Meraba Matahari 3
Meraba Matahari Karya Sh Mintardja Bagian 3 mengganggu aku jika aku sedang beristirahat" Ebook by Dewi Kangzusi 153 Kang Zusi http://kangzusi.com/ "Ah, bukankah lurah tidak mengganggu, sejak ia datang, ia berdiri saja disana tanpa mengucapkan sepatah katapun. Ia baru berbicara sejak Raden bertanya kepadanya" "Kau benar, Rara. tetapi aku tidak akan mengulanginya lain kali" Rara Menur tidak menjawab, sementara itu, Raden Madyastapun melangkah mendekati lurah Rembana. Raden Madyasta tertawa, katanya "Tidak, kakang sama sekali tidak, aku sedang menggoda anak Panjer itu" "Aku tahu Raden" Rembanapun tertawa pula. "Bagaimana menurut pendapatmu", bukankah ia seorang gadis yang cantik?" "Ya, Raden. gadis itu memang cantik" "Bukan hanya itu, tetapi juga kepribadiannya menarik, ia anak seorang Demang, tetapi ia melakukan kerja apapun juga sebagaimana seorang gadis padesan, dan ternyata gadis itu cukup cerdas, aku pernah mendengar gadis itu berbicara dengan ayahnya tentang jalannya pemerintahan di kademangan ini, ternyata cukup banyak yang diketahuinya, bahkan terlalu banyak bagi seorang gadis seperti Rara Menur." "Nampaknya ia juga seorang gadis penurut" "Ya, ia bukan anak manja meskipun ia anak satu-satunya" keduanyapun kemudian melangkah ke halaman depan rumah Ki Demang Panjer, ternyata di pringgitan Sasangka dan Wismaya telah duduk bersama Ki Demang. Ebook by Dewi Kangzusi 154 Kang Zusi http://kangzusi.com/ "Kapan kalian datang?" bertanya Rembana "Baru saja" Ki Demanglah yang menjawab. "Kau malah sudah ada disini" desis Sasangka. "Aku mencari Raden Madyasta di belakang, nampaknya....." Rembana tidak meneruskan kata-katanya, tetapi ia berpaling memandang Raden Madyasta sambil tersenyum. "Sudahlah" berkata Raden Madyasta "Marilah kita naik" Sejenak kemudian, Raden Madyasta dan ketiga orang senapati muda itu serta Ki Demang telah duduk melingkar di pringgitan. "Ada sesuatu yang ingin aku sampaikan Raden" berkata Rembana kemudian. "Ada apa Kakang?" "dalam hubungannya dengan para perampok itu" Raden Madyasta mengangguk-angguk. "Dua orang pengawas telah melihat dua orang yang mencurigakan lewat di jalan utama kademangan ini, sedang di hari berikutnya dua orang pengawas yang lain melihat dua orang lagi melakukan hal yang sama seperti kedua orang yang terdahulu, mereka berjalan menyusuri jalan di padukuhan induk, berhenti melihat latihan di halaman banjar, namun ternyata bahwa kedua orang itu, baik yang pertama maupun yang kemudian, telah pergi ke padukuhan-padukuhan lain Ebook by Dewi Kangzusi 155 Kang Zusi http://kangzusi.com/ pula, para pengawas di padukuhan juga melihat mereka memperhatikan anak-anak muda yang berkumpul dan berlatih di halaman banjar atau di halaman rumah Ki Bekel" Raden Madyasta mengangguk-angguk, katanya kemudian "Nampaknya mereka sedang mengamati keadaan, mereka baru akan menentukan sikap setelah mereka melihat langsung gejolak di kademangan ini" "Ya, Raden, dengan demikian, maka tanda-tanda bahwa mereka akan mulai bergerak telah nampak" "Kita harus lebih berhati-hati, Kakang, pengawasan harus ditingkatkan, sementara itu, para prajuritpun harus mempersiakan anak-anak muda yang dibimbingnya untuk dalam waktu singkat terjun dalam tugas mereka yang sebenarnya" "Ya, Raden" Raden Madyastapun kemudian berkata pula kepada Ki Demang "Ki Demang, para Bebahupun harus bersiap, perintah-perintah mereka kepada anak-anak muda yang berlatih kepada merekapun harus jelas, mereka jangan turun ke dalam arena pertempuran, tetapi mereka diperintahkan untuk mengepung lingkungan pertempuran, menjaga agar tidak ada seorang perampokpun yang berhasil melarikan diri, namun bukan berarti bahwa tugas mereka tidak berbahaya, para perampok yang berusaha melarikan diri itu umumnya adalah orang-orang yang berputus asa, sehingga mereka justru akan menjadi orang-orang yang nekad dan kehilangan akal, sekali lagi aku peringatkan, anak-anak muda itu jangan mencoba menghadapi mereka seorang melawan seorang" "Ya, Raden" Ebook by Dewi Kangzusi 156 Kang Zusi http://kangzusi.com/ "Kita tidak tahu, kapan, para perampok itu akan datang, tetapi tentu dalam waktu yang dekat, jika mereka sudah mengirimkan orang-orangnya untuk mengamati keadaan, itu berarti bahwa mereka sudah mengambil ancang-ancang" "Ya, Raden, aku akan memanggil para Bebahu dan para Bekel hari ini juga, untuk memberikan peringatan-peringatan kepada mereka" "Kitapun harus memberi peringatan pula kepada keluarga yang mungkin akan menjadi sasaran, tentu orang-orang terkaya di kademangan ini" "Ya, Raden, jika Raden dan para senapati berkenan, aku harap Raden dan para senapati bersedia bertemu dengan para Bebahu dan para bekel disini sebentar lagi" "Baik Ki Demang, kami akan menunggu" berkata Raden Madyasta yang kemudian bertanya kepada para senapati "Bukankah latihan-latihan itu dapat kalian tinggalkan sebentar untuk berbicara dengan para Bebahu?" "Tentu Raden" jawab Wismaya "latihan-latihan itu sudah dapat berjalan, anak-anak muda itu ternyata mempunyai ketrampilan yang tinggi, sehingga kami tinggal mengarahkannya" "Mudah-mudahan latihan-latihan yang berlangsung hampir sebulan ini akan berarti bagi mereka" sambung Sasangka. "Meskipun demikian, merekapun jangan mencoba untuk bertempur seorang melawan seorang, mereka adalah anak-anak muda yang belum berpengalaman" sahut Raden Madyasta. Ebook by Dewi Kangzusi 157 Kang Zusi http://kangzusi.com/ "Ya, Raden, kami setiap kali memperingatkan mereka, agar mereka tidak terlibat dalam perang tanding, kamipun sudah menunjuk pasangan-pasangan diantara mereka jika mereka benar-benar harus terjun ke medan" "Agaknya cara itu pulalah yang harus kami lakukan" berkata Ki Demang "kelompok-kelompok kecil itu harus sudah ditunjuk sebelumnya, agar mereka tidak bingung dengan siapa mereka harus bekerja sama" "Ya" berkata Rembana kemudian, "Apakah hal itu belum Ki Demang lakukan?" "Belum ngger, kami baru memerintahkan agar mereka bertempur dalam kelompokkelompok kecil, tetapi kami belum menunjuk kelompok kecil itu" "Nanti hal itu dapat Ki Demang sampaikan kepada para Bebahu dan para bekel" Dalam pada itu, beberapa orang anak-anak muda telah menyebar memanggil para Bebahu dan para Bekel untuk berkumpul di rumah Ki Demang. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, mereka mulai berdatangan, mereka menyadari, bahwa mereka telah sampai pada persiapan terakhir untuk benar-benar menghadapi para perampok yang mereka perhitungkan akan segera datang ke kademangan Panjer" Ki Demang dan Raden Madyasta berganti-ganti memberikan petunjuk-petunjuk, apakah yang seharusnya mereka lakukan. Ebook by Dewi Kangzusi 158 Kang Zusi http://kangzusi.com/ Sementara itu, belum lagi pembicaraan mereka selesai, dua orang pengawas telah datang untuk menemui Ki Demang Panjer. "Marilah, naiklah" berkata Ki Demang. Kedua orang pengawas itupun segera naik ke pendapa, di wajah mereka membayang kegelisahan, baju mereka basah oleh keringat yang megemban dari tubuh mereka. "Ada apa?" bertanya Ki Demang. Seorang diantara kedua pengawas itupun berkata dengan suara yang agak bergetar "Ki Demang, aku melihat mereka" "Mereka siapa?" bertanya Ki Demang. "Kedua orang itu lagi, mereka berjalan menyusuri jalan utama padukuhan induk ini" "Apa yang mereka lakukan?" "Mereka berhenti beberapa lama di depan rumah Ki Wiratenaya, namun kemudian mereka berjalan terus ke selatan, kami mencoba mengawasi mereka dari jarak yang cukup jauh" "Apalagi yang mereka lakukan?" "Mereka juga berhenti di depan rumah Ki Semanggi" Ki Demang mengangguk-angguk, kedua orang yang disebut itu adalah orang-orang terkaya di kademangan Panjer. "Lalu kemana lagi mereka pergi?" Ebook by Dewi Kangzusi 159 Kang Zusi http://kangzusi.com/ "Kami tidak dapat mengikutinya lagi, jalan kearah selatan di depan rumah Ki Semanggi adalah jalan yang lurus, jika kami mengikuti mereka, maka mereka tentu akan melihat kami, karena keduanya kadang-kadang juga melihat ke belakang" "Apa yang kau lakukan kemudian?" "Kami mencari jalan lain, kami melingkari rumah Ki Semanggi, namun tiba-tiba saja kami berpapasan dengan kedua orang itu. kami memang terkejut ketika melihat mereka muncul dari simpang tiga, tetapi kami berjalan terus, kami berpura-pura tidak menghiraukannya" "Kau tahu mereka pergi kemana?" "Keduanya justru menegur kami berdua" "Menegur kalian?" "Ya, Ki Demang, mereka bertanya kepada kami, apakah kami tinggal di padukuhan induk ini" "Apa jawabmu" "Kami mengiakannya, keduanya tertawa. seorang diantara mereka justru berpesan kepada kami agar malam nanti kami berhati-hati, agar semua anak-anak muda yang sudah berlatih olah kanuragan dibawah bimbingan Ki Demang itu keluar rumah untuk meronda" "Untuk apa menurut mereka?" "Mereka tidak mengatakannya, namun mereka pergi sambil tertawa berkepanjangan" Ebook by Dewi Kangzusi 160 Kang Zusi http://kangzusi.com/ "Nampaknya sudah jelas, Ki Demang" berkata Raden Madyasta "Mereka akan datang malam nanti, kedua orang itu tentu berusaha meyakinkan sasaran mereka, agaknya kedua rumah itulah yang akan mereka datangi malam nanti" "Ya, Raden" "Waktu kita tidak banyak lagi Ki Demang, kita harus segera mempersiapkan segalagalanya, terutama di padukuhan induk ini" "Jika demikian Raden, apakah anak-anak muda dari padukuhanku harus datang ke padukuhan induk ini pula malam nanti?" "Belum sekarang Ki Bekel" jawab Raden Madyasta "Kita masih belum tahu pasti, kemana para perampok itu akan pergi, biarlah anak-anak muda itu menjaga padukuhan mereka masing-masing, kami sendiri malam nanti akan mengawasi mereka, jika perlu, maka biarlah kami memberikan isyarat, tetapi sebaliknya, jika para perampok itu datang ke padukuhan yang manapun, maka isyarat kentongan akan memanggil kami untuk datang" "Baik Raden, kami akan menunggu" "Marilah Ki Demang, kita akan mulai dengan tugas berat kita, kita akan memikul bersama. mudah-mudahan kita akan berhasil, sehingga keberadaan kami yang hampir sebulan disini tidak sia-sia" Demikianlah, maka pertemuan itupun segera dibubarkan, Ki Demang telah membagi tugas kepada para Bebahu, mereka harus segera menghubungi anak-anak muda terutama di padukuhan induk untuk segera bersiap-siap. Sebentar lagi matahari akan turun disisi barat. Langit akan menjadi buram, Ebook by Dewi Kangzusi 161 Kang Zusi http://kangzusi.com/ sesaat kemudian senja akan datang dan malampun akan menyelimuti kademangan Panjer. Raden Madyastapun telah memberikan printah-perintah kepada para senapati dan para prajurit yang ada di kademangan Panjer, bahkan Raden Madyasta telah memerintahkan para prajurit itu untuk datang mengunjungi kedua buah rumah yang agaknya akan menjadi sasaran para perampok. "Jangan bersama-sama, datanglah berdua, seorang bebahu atau anak muda yang ditugaskan oleh Ki Demang akan mengantarkan kalian, kalian harus tahu pasti, apa yang akan kalian lakukan malam nanti, jika mereka benar-benar datang" Para prajurit dan para senapati itupun menjalankan printah Raden Madyasta dengan sebaik-baiknya, sementara Ki Demang telah minta agar pemilik rumah itu justru meninggalkan rumah mereka. "Sebaiknya kalian berada di rumahku atau rumah Ki Jagabaya atau rumah para Bebahu yang lain. Mungkin keadaan akan menjadi gawat, meskipun kami masih berharap, mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa malam ini nanti di rumah kalian" berkata Ki Demang kepada kelaurga Ki Wiratenaya dan Ki Semanggi. Ternyata kedua keluarga itu tidak berkebaratan, mereka percayakan rumah mereka dibawah pengawasan para Bebahu kademangan Panjer serta para prajurit Paranganom yang berada di kademangan mereka. Ketika kemudian senja turun, maka segala sesuatunya sudah siap, meskipun tidak nampak gejolak dipermukaan, Ebook by Dewi Kangzusi 162 Kang Zusi http://kangzusi.com/ namun kademangan Panjer sudah berada dalam kesiagaan penuh. "Jangan membuat kademangan ini menjadi resah dan ketakutan" berkata Raden Madyasta kepada para prajurit, sementara Ki Demangpun berusaha agar kademangan Panjer tetap tenang. Namun bagaimanapun juga Ki Demang berusaha, masih juga terasa ketegangan yang mencengkam para penghuninya. Malampun perlahan-lahan turun menyelimuti kademangan Panjer, langit nampak cerah dan bintang-bintangpun bergayutan. Meraba Matahari Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Beberapa orang anak muda yang terpilih diantara mereka yang berlatih dibawah bimbingan para prajurit, mendapat tugas untuk mengawasi jalan-jalan utama menuju ke padukuhan induk, sementara itu anak-anak muda di padukuhan-padukuhan yang lain telah mendapat perintah untuk tidak mengganggu jika mereka melihat iring-iringan sekelompok orang yang menuju ke padukuhan induk. "Biarlah para perampok itu sampai itu sampai ke padukuhan induk, kecuali jika mereka merampok di padukuhan-padukuhan lain, maka padukuhan itu harus membunyikan isyarat agar para prajurit segera datang" pesan Ki Demang kepada para Bekel. Sebenarnyalah, malam ini para perampok itu dibawah pimpinan Sura Branggah telah mempersiapkan orangorangnya untuk memasuki padukuhan induk kademangan Panjer, mereka sudah menentukan untuk memasuki dua buah rumah orang terkaya di padukuhan induk kademangan Panjer, rumah Ki Wiratenaya dan rumah Ki Semanggi, keduanya adalah saudagar yang berhasil. Ebook by Dewi Kangzusi 163 Kang Zusi http://kangzusi.com/ "Aku telah mempermainkan anak-anak muda kademangan Panjer" berkata salah seorang dari para perampok itu. "Apa yang kau lakukan?" "Jka anak-anak muda itu menantang kita dengan berlatih olah kanuragan dibawah bimbingan Demang Panjer dan para Bebahu, maka aku berkata kepada anak muda Panjer yang aku temui di jalan, agar mereka mempersiakan diri malam nanti" "Kau memang gila" geram Sura Branggah seakan-akan mereka akan dapat menandingi kita?" "Bukankah kita tersinggung dengan latihan-latihan yang mereka lakukan?" "Jika anak-anak muda itu benar-benar berusaha melawan, kita akan menjadi pening juga" "Kenapa", kita akan membantai mereka seperti menebas batang ilalang" "Itulah yang membuat kepala kita pening, apakah kita akan membunuh anak-anak muda itu?" "Jika satu dua orang diantara mereka sudah terbunuh, maka yang lain akan melarikan diri" berkata seorang perampok yang lain. Namun seorang yang sudah lebih tua dari mereka berkata "Kita akan berusaha untuk menemukan Ki Demang Panjer yang tentu akan memimpin anak-anak muda itu, kita paksa Ki Demang untuk memerintahkan anak-anak muda itu menyingkir, jika Ki Demang Panjer yang sombong itu keras Ebook by Dewi Kangzusi 164 Kang Zusi http://kangzusi.com/ kepala dan mungkin juga Ki Jagabaya Panjer telah mati, maka anak-anak muda itu akan lari dengan sendirinya" "Yang akan membuat jantung kita menjadi sangat tegang, jika anak-anak muda itu tidak mau menyingkir" "Apaboleh buat" berkata seorang yang bertubuh agak pendek, tetapi otot-ototnya menjorok di permukaan kulitnya, wajahnya yang cacat membuatnya menjadi sangat menyeramkan. "Ya" sahut orang yang bertubuh raksasa "Bukan salah kami" Ki Sura Branggah termangu-mangu sejenak, namun iapun kemudian berkata "Kita adalah sekelompok berandal terkenal, sebenarnyanya aku agak malu jika kita harus membunuh anak-anak" "Tetapi itu karena salah mereka sendiri, kesombongan merekalah yang telah membunuh mereka "Aku setuju untuk menemukan Ki Demang dan Ki Jagabaya, mereka harus akan mati, jika mereka mati, kita memang dapat berharap anak-anak muda itu akan berhenti dengan sendirinya" Namun orang yang bertubuh raksasa itu masih menyahut "Jika mereka tidak mau menyingkir, kita harus bertindak tegas.Panjer akan menjadi ajang pembantaian yang pertama sejak kita melakukan gerakan beruntun di Paranganom. pada saatnya kitapun akan bergerak ke Kateguhan" "Ladang di Kateguhan tidak sesubur ladang di Paranganom, bukankah aku sudah pernah mengatakannya" sahut Ki Sura Branggah. Ebook by Dewi Kangzusi 165 Kang Zusi http://kangzusi.com/ Orang bertubuh raksasa itu masih juga menyahut "Jika lahan di Paranganom sudah habis dituai?" "Kita akan memikirkannya kelak, tetapi lahan di Paranganom tidak akan habis dalam beberapa tahun" Orang yang bertubuh pendek itulah yang menyahut "Mungkin, tetapi pada suatu saat kita harus berhenti, para prajurit Paranganom tentu akan turun ke gelanggang jika kita bergerak semakin ketengah, apalagi mendekati pusat pemerintahan di Paranganom" "Kita akan memikirkannya kelak, jangan sekarang, sekarang kita siap memasuki padukuhan induk kademangan Panjer" potong Ki Sura Branggah. Yang lainpun terdiam Ketika malam menjadi semakin gelap, para perampok itu sudah berada di pategalan di perbatasan kademangan Panjer, mereka masih sempat beristirahat sejenak, baru kemudian, setelah lewat wayah sepi bocah, Ki Sura Branggah membawa anak buahnya untuk bergerak, Ki Sura Branggah telah bergerak ke padukuhan induk kademangan Panjer. Sebelum mereka mulai bergerak, Ki Sura Branggahpun telah berpesan kepada anak buahnya untuk tidak berbuat apaapa di padukuhan-padukuhan yang akan mereka lewati. "Kenapa?" bertanya yang bertubuh raksasa "Jika kita mengganggu padukuhan yang kita lewati, maka akan ada diantara para penghuninya yang akan memukul kentongan" Ebook by Dewi Kangzusi 166 Kang Zusi http://kangzusi.com/ "Apa salahnya", orang-orang padukuhan induk tentu sudah mengira bahwa kita akan datang malam ini" "Itulah bodohnya kedua orang yang menuruti gejolak perasaannya itu" "Apakah kita akan menjadi ketakutan jika anak-anak muda itu bersiap-siap menyongsong kdt kita" " "Bukan ketakutan, tetapi sudah aku katakan, apakah kita harus membunuh anak-anak muda itu" , sementara itu, orang-orang terkaya di Panjer itu sempat menyembunyikan harta benda mereka" Tetapi seorang perampok yang lain tertawa "Tidak akan ada yang berani menyembunyikan harta bendanya, jika kita datang, dimanapun hartanya disembunyikan, tentu akan mereka tunjukkan dan akan mereka serahkan kepada kita, jika tidak, ujung pedang akan kita letakkan di lehernya" Namun seorang perampok yang lain bertanya "Jika mereka pergi mengungsi?" "Seluruh padukuhan induk akan kita bongkar, jika padukuhan induk itu menjadi kosong, maka rumah-rumah merekalah yang akan kita bakar" "Cukup" Ki Sura Branggah "Bagaimanapun juga, kita, kita akan melakukan pekerjaan kita dengan sebaik-baiknya, menurut perhitunganku, orang-orang padukuhan induk itu tidak akan mengungsi, mereka tentu justru akan menyongsong kehadiran kita, karena mereka memang sudah mempersiapkan diri sebelumnya, seharusnya kita menghindari kemungkinan itu, kita tidak perlu memberikan isyarat bahwa kita akan datang atau merangsang penghuni padukuhan yang lain untuk membunyikan kentongan" Ebook by Dewi Kangzusi 167 Kang Zusi http://kangzusi.com/ Para perampok itupun terdiam, sementara itu mereka berjalan semakin cepat melintasi jalan-jalan padukuhan. Padukuhan-padukuhan di lingkungan kademangan Panjer itu nampak sepi, tidak ada seorangpun yang nampak diluar rumah, ketika mereka melewati gardu perondaan, maka tidak seorangpun yang nampak di dalam gardu itu. Tetapi ketika para perampok itu melihat rumah-rumah di pinggir jalan lewat pintu regol yang terbuka, maka di dalam rumah itu nampak cahaya lampu minyak yang menyala. "Mereka bersembunyi di balik dinding rumah mereka" berkata para perampok itu. "Mereka menjadi ketakutan, nampaknya berita akan kehadiran kita sudah merambat sampai ke padukuhanpadukuhan" "Itu pantas mereka sesali" berkata perampok yang sudah lebih tua. Dengan demikian, maka iring-iringan itupun bergerak semakin lama menjadi semakin cepat, para perampok itu dihinggapi oleh keinginan untuk segera sampai di rumah yang akan menjadi sasaran perampokan, mereka ingin segera mengetahui, apakah harta benda yang tersimpan di rumah itu sudah disembunyikan, atau bahkan pemilik rumah itu sudah pergi mengungsi sambil membawa semua harta bendanya yang berharga. Tetapi mereka menduga, bahwa pemilik rumah itu tidak akan pergi, di rumah itu ada sebuah pedati, beberapa ekor lembu, kambing dan bahkan kuda, tiang-tiang di pendapa serta gebyok pringgitan yang berukir. Semuanya itu tentu Ebook by Dewi Kangzusi 168 Kang Zusi http://kangzusi.com/ mahal harganya, mereka tentu tidak akan membiarkan semuanya itu dibakar dan menjadi abu. Beberapa saat kemudian, iring-iringan itupun telah mendekati padukuhan induk, para pengawas pada lapis pertama melihat kehadiran mereka, namun mereka sama sekali tidak mengganggu. Dalam sepinya malam, tiba-tiba saja terdengar suara burung hantu yang ngelangut, dihanyutkan oleh angin yang bertiup perlahan. Sementara itu, dalam kegelapan malam, seorang pengawas yang duduk diatas dahan pohon jambu yang tumbuh di belakang dinding padukuhan induk yang mendengar suara burung hantu itu, memberi isyarat kepada dua aorang kawannya yang duduk bersandar batang jambu itu. Seorang diantara merekapun segera berlari ke banjar memberikan laporan, bahwa para perampok yang mereka tunggu, benar-benar telah datang. "Terima kasih" berkata Raden Madyasta "Sekarang semuanya pringgitan ke tempat yang sudah ditetapkan, yang kita perhitungkan akan menjadi sasaran pertama adalah Ki Wiratenaya, tetapi kita akan mengawasi mereka melintas di jalan utama padukuhan induk ini" Para prajurit dan anak-anak muda yang telah terlatih dibawah bimbingan para prajurit itupun memencar, sebagian dari mereka berada di balik dinding halaman di tepi jalan utama, sementara yang lain telah mendahului berada di halaman rumah Ki Wiratenaya, namun beberapa dari mereka juga mengawasi rumah Ki Semanggi. Ebook by Dewi Kangzusi 169 Kang Zusi http://kangzusi.com/ Namun dengan isyarat tentu, mereka akan segera berkumpul untuk melawan para perampok itu, apakah di halaman rumah Ki Wiratenaya atau di halaman rumah Ki Semanggi atau justru ti tempat yang lain. Dalam pada itu, selain anak-anak muda yang telah berpencar itu, maka anak-anak muda yang lainpun telah menjaga semua pintu gerbang padukuhan selain pintu gerbang yang akan dilewati oleh para perampok itu. Sejenak kemudian, maka para perampok itupun telah memasuki padukuhan induk kademangan Panjer, namun ternyata di padukuhan induk itupun mereka tidak menjumpai anak-anak muda yang sebelumnya sudah sempat berlatih di halaman banjar, di halaman rumah para Bebahu dan para Bekel. Bab 09 - Ki Tumenggung Reksadrana "Jangan-jangan seisi padukuhan ini sudah mengungsi?" seorang diantara merekapun bertanya. "Jika padukuhan induk ini kosong, maka rumah di padukuhan induk ini akan kita bakar" sahut yang lain. Ki Sura Branggah sendiri, yang berjalan paling depan, masih belum berkata apaapa, tetapi ia berjalan semakin cepat, agaknya ia langsung pergi ke rumah Ki Wiratenaya. Ketika mereka melewati sebuah gardu perondaan, maka seperti di padukuhanpadukuhan, gardu perondaan kosong, tidak seorangpun yang meronda malam ini, bahkan oncornyapun tidak menyala sama sekali. Malam terasa demikian mencengkam, sepi dan tegang. Ebook by Dewi Kangzusi 170 Kang Zusi http://kangzusi.com/ Para perampok itu menjadi gelisah bukan karena mereka akan mendapat perlawanan, tetapi mereka justru menjadi gelisah karena padukuhan induk itu terasa sepi sekali. Namun ketika Ki Sura Branggah yang gelisah itu mendorong sebuah pintu regol halaman rumah di pinggir jalan utama itu, ia melihat lampu yang menyala, bahkan kemudian iapun mendengar suara bayi yang menangis. Ki Sura Branggah menarik nafas dalam-dalam, padukuhan ini tidak kosong, penghuninya masih ada di rumah mereka masing-masing, jika mereka pergi mengungsi, maka tentu tidak akan terdengar suara bayi yang menangis di rumah sebelah. Karena itu, maka Ki Sura Branggah melangkah semakin cepat. Namun Ki Sura Branggah itu berhenti di luar sebuah regol halaman rumah yang luas, halaman rumah Ki Wiratenaya, seorang saudagar yang kaya. "Rumah ini adalah sasaran kita" berkata Ki Sura Branggah sambil mendorong pintu regol halaman itu perlahan-lahan, demikian regol itu terbuka, maka Ki Sura Branggah itupun melihat lampu pringgitan yang menyala, bahkan di dalam rumah itupun nampak pula cahaya lampu yang terang. "Kita tidak kehilangan korban kita malam ini" berkata Ki Sura Branggah. Iapun kemudian memberi isyarat kepada anak buahnya untuk bergerak masuk. Para prajurit yang berada di halaman itupun kemudian mempersiakan diri, mereka membiarkan para perampok itu Meraba Matahari Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo seluruhnya memasuki halaman. Ebook by Dewi Kangzusi 171 Kang Zusi http://kangzusi.com/ Tetapi agaknya dua orang diantara mereka tetap berada di pintu regol untuk mengamati keadaan, mereka mengawasi jalan yang melintas di depan rumah Ki Wiratenaya. "Memang sekitar dua puluh sampai tiga puluh orang" desis seorang prajurit ke telinga kawannya. Kawannya mengangguk-angguk, namun merekapun melihat dua orang diantara para perampok yang berdiri di pintu regol. Sejenak suasana benar-benar dicengkam oleh ketegangan, bahkan para perampok yang sudah terbiasa melakukan pekerjaan merekapun menjadi tegang pula. Ternyata kademangan Panjer memang mempunyai kesan yang berbeda dari padukuhan yang lain. Sejenak kemudian, maka Ki Sura Branggah dan beberapa orang diantara anak buahnya naik ke pendapa, sementara beberapa orang yang lain telah melingkari rumah itu, berjagajaga di pintu butulan dan pintu dapur. "Jangan ada yang sempat keluar" berkata Ki Sura Branggah. Dalam pada itu, dibawah bayangan cahaya lampu minyak di pringgitan, Ki Sura Branggah itu mengetuk pintu rumah Ki Wiratenaya yang tertutup rapat. Namun tidak terdengar jawaban sekali lagi Ki Sura Branggah memeninggalkanetuk lebih keras lagi, tetapi juga tidak terdengar jawaban. Ebook by Dewi Kangzusi 172 Kang Zusi http://kangzusi.com/ "Ki Wiratenaya, buka pintunya atau aku yang akan membukanya sendiri dengan paksa" Sepi, rumah itu masih saja tetap membisu. "Ki Wiratenaya, jika kau tetap saja diam, aku akan menghancurkan pintu rumahmu" Karena tidak ada jawaban, maka Ki Sura Branggah itupun berkata kepada kawankawannya "Kita pecahkan saja pintunya" Beberapa orangpun segera melangkah mendekati Ki Sura Branggah, merekapun segera bersiap untuk mendorong dan memecahkan pintu yang masih saja tertutup rapat. Namun sebelum mereka bersama-sama mendorong dan memecahkan pintu itu, tiba-tiba saja terdengar seseorang berkata dari dalam kegelapan "Apa yang akan kau lakukan, Ki Sanak?" Ki Sura Branggah terkejut, iapun segera berpaling, demikian pula kawan-kawannya yang berada di skatakanya. "Siapa kau" berkata Ki Sura Branggah "Aku pimpinan anak-anak muda Panjer" "Pimpinan anak-anak muda Panjer" , sayang sekali anak muda, kau telah terjun ke sarang singa yang lapar, apakah kau belum mengenal aku?" Jilid 03 Ebook by Dewi Kangzusi 173 Kang Zusi http://kangzusi.com/ "Kau tentu pimpinan sekelompok brandal yang akan merampok rumah Ki Wiratenaya" "Ya, namaku Ki Sura Branggah, nama yang ditakuti di daerah ini" "Sayang, bahwa anak-anak muda Panjer tidak merasa takut mendengar nama Ki Sura Brandal" "Ki Sura Branggah" "Bukankah lebih tepat jika kau disebut Ki Sura Brandal" "Persetan kau" "Sura Brandal, kami anak-anak muda Panjer memang sudah menunggumu, kami sudah siap untuk menangkapmu, sudah hampir sebulan kami berlatih keras dibawah pimpinan Ki Demang, sekarang adalah waktunya untuk mengetrapkan hasil kerja keras kami" Seorang perampok yang perutnya buncit tertawa berkepanjangan, katanya "Apa yang kau dapatkan dengan latihan sebulan itu", ternyata kalian adalah anak-anak muda yang lebih dungu daru yang aku duga" "Inilah yang kami dapatkan dari latihan-latihan yang pernah kami lakukan" terdengar suara yang lain, orang-orang berjalan dari kegelapan sambil mendorong seseorang pula, katanya kemudian "ini tentu kawanmu pula, seorang lagi telah kami bunuh di depan regol, dan inilah yang seorang lagi" Ki Sura Branggah memang sangat terkejut, orang itu adalah orangnya yang ditugaskan mengawasi keadaan di depan regol, namun ternyata orang itu tidak berdaya, bahkan Ebook by Dewi Kangzusi 174 Kang Zusi http://kangzusi.com/ seorang dari dua orang yang ditugaskannya itu sudah terbunuh. Bahkan orang yang membawa seorang perampok mendekati pendapa itu kemudian mendorongnya sambil berkata lantang "Kau telah membunuh dua orang di padukuhan yang telah kau rampok sebelumnya, karena itu, maka dua orangmu harus dibunuh pula" Sebelum Ki Sura Branggah sempat menjawab, maka tibatiba saja ujung keris yang bagaikan menyala kebiru-biruan telah menghunjam lambung perampok yang malang itu, terdengar teriakan yang menggelepar di malam yang gelap itu. Orang yang berdiri di depan pendapa telah berteriak pula "Jangan Kakang Rembana" Tetapi orang yang menusuk dengan keris itu menjawab "Kita tidak dapat beramah tamah dengan perampok" Keteganganpun segera mencengkam, perampok yang lambungnya tertusuk keris itupun terjatuh di tanah, nafasnya yang terakhirpun telah dihembuskannya. Orang yang berdiri di depan pendapa itu merasa jantungnya berdegup kencang, sementara itu Rembanapun berkata "Tidak hanya kedua orangmu ini yang akan mati" Orang yang berdiri di depan pendapa itu akhirnya harus bersikap, karena itu, maka iapun kemudian berkata "Ki Sura Branggah, baiklah kami berterus terang, diantara anak-anak muda kademangan Panjer sekarang ini, memang terdapat beberapa orang prajurit dari Paranganom, karena itu, maka aku minta kau dan orang-orangmu menyerah, maka kita akan Ebook by Dewi Kangzusi 175 Kang Zusi http://kangzusi.com/ dapat menghindari kematian, dua orang yang terbunuh itu sudah cukup" Ki Sura Branggahpun bergetar oleh kemarahan yang menghimpit jantungnya. "Jadi kau adalah prajurit Paranganom?" "Ya" Rembanalah yang menjawab "Yang ada diantara anak-anak muda kademangan Panjer adalah Raden Madyasta sendiri, selain itu disini ada tiga orang senapati yang namanya dikenal oleh semua orang, tidak hanya di Paranganom, tetapi juga di Kadipaten Kateguhan. Di Kadipaten Paranganom dan bahkan di seluruh tlatah Tegal Langkap, senapati yang telah memukul mundur pasukan yang sangat besar yang datang dari seberang Bengawan Rahina" Suara Rembana yang lantang itu bagaikan menggelegar di seluruh halaman dan bahkan menggoyang rumah yang ditinggalkan penghuninya itu. Tetapi Ki Sura Branggah adalah seorang pimpinan perampok yang mempunyai pengalaman yang sangat luas, ia seorang yang berilmu tinggi dan sudah kenyang makan pahit getirnya dunia kelamnya. Karena itu, maka Ki Sura Branggah itupun menyahut "Persetan dengan igauanmu, jika kalian benar dapat mengalahkan pasukan yang besar yang datang dari seberang Bengawa Rahina itu, karena kalian membawa pasukan yang sangat besar pula, bukan saja dari Paranganom, tetapi juga dari semua Kadipaten yang berada dibawah naungan kuasa Tegal Langkap. "Jadi kau mendengar juga berita tentang perang besar yang terjadi itu?" Ebook by Dewi Kangzusi 176 Kang Zusi http://kangzusi.com/ "Ya" "Kalau demikian, kau tentu pernah mendengar nama-nama Rembana, Sasangka dan Wismaya" "Aku tidak perduli dengan nama-nama itu, jika kau salah seorang diantara mereka, maka aku akan menghancurkan namamu itu, bahkan kau akan menjadi mayat di halaman rumah ini, sebagaimana kedua orang kawanku yang telah kau bunuh" "Persetan, kita akan membuktikannya" Ki Sura Branggahpun kemudian telah memberikan isyarat kepada kawan-kawannya untuk menyerang orang-orang yang berada di halaman itu. Namun sejenak kemudian, anak-anak muda kademangan Panjerpun berloncatan di halaman, ada yang meloncat dari dahan-dahan pohon, ada yang meloncat dari luar dinding halaman dan ada pula yang berlari-lari memasuki halaman lewat pintu regol yang telah terbuka. Demikianlah, maka sejenak kemudian telah terjadi pertempuran yang sengit di sekitar rumah Ki Wiratenaya yang kosong itu, enam orang prajurit Paranganom, tiga orang senapati muda yang pilih tanding telah melibatkan diri dalam pertempuran itu. Ternyata Ki Sura Branggah adalah orang yang benar-benar berilmu tinggi, ia tidak mau mengikat diri menghadapi seorang lawan, tetapi ia berloncatan diantara orang-orangnya dengan parang yang besar berputaran mengerikan. Ebook by Dewi Kangzusi 177 Kang Zusi http://kangzusi.com/ Anak-anak muda kademangan Panjer sempat bergetar jantungnya melihat cara para perampok itu bertempur, namun para prajurit Paranganom itu berusaha mengimbangi mereka, para prajurit itupun berloncatan di seluruh medan, apalagi Raden Madyasta, Rembana, Sasangka dan Wismaya. Namun Raden Madyasta menjadi cemas melihat sikap Rembana, ia sama sekali tidak mengekang diri dalam pertempuran itu, it tidak pernah memberikan kesempatan kepada lawan-lawannya, kerisnya terayun-ayun sangat mengerikan, sehingga tanpa ampun, orang yang sempat menghadapinya akan terkapar mati dengan luka-lukanya yang parah. Sasangka dan Wismaya serta para prajurit yang lain masih berusaha untuk mengendalikan diri, mereka tidak harus membunuh lawan yang datang kepada mereka. Demikianlah, maka pertempuran itu menjadi semakin sengit, dengan dibayangi oleh kemampuan para prajurit Paranganom, maka anak-anak muda Panjerpun menjadi semakin berani, seperti pesar yang mereka terima, maka mereka tidak bertempur seorang melawan seorang, tetapi mereka sudah mempunyai kelompok-kelompok kecil untuk menghadapi setiap perampok yang harus mereka hadapi. Meskipun para perampok adalah orang-orang yang sudah terbiasa bertualang diantara ujung-ujung senjata, tetapi menghadapi para prajurit Paranganom dibawah para senapati pilihan, merekapun mengalami kesulitan. Tetapi Ki Sura Branggah sendiri adalah orang yang sangat garang, beberapa orang telah tersentuh tajam parangnya, namun setiap kali Ki Sura Branggah harus menghadapi kemampuan para prajurit Paranganom. Ebook by Dewi Kangzusi 178 Kang Zusi http://kangzusi.com/ Namun akhirnya Ki Sura Branggah tidak dapat mengingkari kenyataan yang dihadapinya, satu persatu orang-orangnya jatuh terkapar di tanah. Disana sini terdengar erangan kesakitan, desah yang tertahan, serta keluhan-keluhan panjang. Ketika terdengar di kejauhan suara ayam jantan yang berkokok untuk ketiga kalinya di malam itu, maka pertempuran di rumah Ki Wiratenaya itupun sudah selesai, beberapa orang perampok terluka parah, ada juga diantara mereka yang terbunuh. Namun ketika Raden Madyasta dan para senapati serta para prajurit berkumpul di depan pendapa dikelilingi oleh anak-anak muda kademangan Panjer, barulah ternyata bahwa pimpinan perampok yang bernama Ki Sura Branggah itu sempat meloloskan diri. "Setan alasan" geram Rembana "Jika Ki Sura Branggah itu tidak tertangkap, maka kita akan membunuh semua perampok yang tertinggal dan yang menyerah. "Kita tidak dapat melakukannya, Kakang" sahut Raden Madyasta. "Sudah aku katakan, kita tidak dapat beramah-tamah dengan mereka, para perampok itu sudah membuat banyak sekali kerugian, bukan saja herta benda yang telah mereka rampok, tetapi mereka telah menimbulkan kegelisahan dan ketakutan, harga dari keresahan itu tidak akan dapat lunas dengan kematian mereka, sebelum Ki Sura Branggah sendiri digantung di alun-alun atau diketemukan mayatnya di pertempuran" "Bukan wewenang kita untuk menghukum mereka" Ebook by Dewi Kangzusi 179 Kang Zusi http://kangzusi.com/ "Di medan pertempuran, kita tidak bersalah jika kita membunuh lawan" "Tetapi pertempuran sudah selesai" desis Raden Madyasta. "Mereka adalah orang-orang yang sangat berbahaya, Raden, mereka tidak akan dapat menghentikan tingkah laku mereka, seandainya mereka dibawa menghadapi Kangjeng Adipati kemudian diadili dan dijatuhi hukuman, maka setelah mereka lepas dari hukuman, mereka akan mengulangi kejahatan yang pernah lakukan" "Biarlah segala sesuatunya di putuskan kelak" jawab Raden Madyasta. Rembana masih akan menjawab, tetapi Sasangkapun berkata "Bukankah yang dikatakan oleh Raden Madyasta itu benar?" "Kita akan menjadi prajurit yang cengeng" "Kita terikat pada paugeran, Rembana" berkata Wismaya. Rembana tidak menjawab lagi, tetapi dari raut wajahnya nampak bahwa jantungnya justru menjadi semakin bergejolak. Raden Madyastapun kemudian telah memerintahkan kepada anak-anak muda kademangan Panjer untuk mengumpulkan kawan-kawan mereka yang terluka dan yang telah menjadi korban dan gugur di pertempuran, bahkan bukan hanya kawan-kawan mereka yang terluka dan menjadi korban saja yang harus dikumpulkan, tetapi juga para perampok yang terluka dan terbunuh d pertempuran, sedangkan yang menyerah, telah diikat dan dibawa ke banjar. Ebook by Dewi Kangzusi 180 Kang Zusi http://kangzusi.com/ Menjelang fajar, Ki Demang, para Bebahu, Raden Madyasta dan para senapati masih berbincang di banjar, semuanya menyatakan kekecewaan mereka, bahwa pimpinan brandal yang bernama Ki Sura Branggah itu tidak dapat tertangkap. "Para berandal itu harus di hukum mati" geram Rembana "Ada tiga orang prajurit Paranganom yang terluka, meskipun tidak terlalu parah, siapa yang melawan, apalagi melukai petugas, ia akan dihukum dengan hukuman yang paling berat, selain itu ada sebelas orang anak muda yang terluka, tiga diantaranya parah dan yang seorang telah gugur" "Ada berapa orang perampok yang tertangkap?" bertanya Ki Demang. "Yang menyerah ada enam belas orang Ki Demang. Ki Sura Branggah sendiri entah dengan berapa orang kawannya, berhasil meloloskan diri, yang terluka dan Meraba Matahari Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo terbunuh" Ki Demang menarik nafas dalam-dalam, katanya "Kami mengucapkan terima kasih yang besar sekali, Raden Madyasta. bukankah dengan demikian, gerombolan perampok itu sudah dihancurkan, mereka tidak mempunyai kekuatan lagi untuk dapat melakukan kegiatan mereka dihari-hari mendatang. Setidak-tidaknya untuk waktu yang dekat ini" "Tetapi kami merasa kecewa, bahwa kami tidak dapat menangkap Ki Sura Branggah, pimpinan perampok itu, Ki Demang. kami sangat memerlukan keterangannya dalam hubungannya dengan gerakannya yang seakan-akan muncul dari Kadipaten Kateguhan" "Ya, Raden, tetapi apaboleh buat, namun yang sudah Raden lakukan bersama para senapati dan para prajurit sudah merupakan satu keberhasilan, anak-anak muda kademangan Ebook by Dewi Kangzusi 181 Kang Zusi http://kangzusi.com/ Panjer, bukan saja mendapat pengalaman yang sangat berharga malam ini, tetapi mereka bukan lagi anak-anak muda yang gemetaran mendengar suara kentongan dalam irama titir, latihan-latihan yang sudah Raden berikan bersama para senapati dan para prajurit, akan dapat kita kembangkan, sehingga jika pimpinan perampok itu datang lagi dengan membawa dendam, maka anak-anak muda Panjer sudah tidak akan mengecewakan" "Itulah yang kami harapkan, Ki Demang, mudah-mudahan anak-anak muda di kademangan tidak segera menjadi jemu justru karena mereka merasa sudah memiliki kemampuan yang cukup" "Aku akan berusaha, Raden, sementara itu, kelak jika Raden akan meninggalkan kademangan ini, Raden dapat memberikan pesan kepada mereka" Raden Madyasta mengangguk-anggguk sambil berdesis "Ya, Ki Demang" *** Dalam pada itu, di tempat yang jauh, di perbatasan antara Kadipaten Paranganom dan Kadipaten Kateguhan, Ki Sura Branggah memapah seorang anak muda yang terluka parah dibantu seorang anak buahnya. "Kuatkan, angger. Sebentar lagi kita akan sampai di pondok itu. ayah angger Ki Tumenggung Reksadrana tentu menunggu kita di pondok itu" Anak muda itu mengerang kesakitan, sementara langit menjadi semakin terang, cahaya fajar sudah membayang di pungung pebukitan di arah timur. Ebook by Dewi Kangzusi 182 Kang Zusi http://kangzusi.com/ "Aku tidak kuat lagi, paman" "Jangan berkata begitu, ngger. Kau adalah anak muda yang jarang ada duanya, kau mempunyai daya tahan yang sangat tinggi, kaupun menjadi harapan ayah angger di masa mendatang." "Tetapi lukaku sangat parah, paman" "Lihat, di depan kita adalah regol padukuhan, podnok kita terletak dekat pintu gerbang itu, sedikit berbelok ke kiri, di tempat yang kelihatan terpisah dari rumah-rumah yang lain karena halamannya yang luas serta kebun kosong di sebelahnya" Anak muda itu tidak menjawab, yang terdengar adalah desah desah kesakitan. Sebelum terang, mereka bertiga telah memasuki regol padukuhan yang masih sepi, merekapun dengan cepat menyelinap memasuki lorong kecil kearah kiri, sejenak kemudian merekapun telah memasuki sebuah halaman rumah sederhana yang terletak di tengah-tengah kebun yang luas serta di sebelahnya terdapat kebun kosong yang cukup luas pula. Karena pintu rumah sederhana itu masih tertutup, maka Ki Sura Branggahpun mengetuk pintunya perlahan-lahan. Sekali dua kali tidak terdengar jawaban, sementara itu anak muda yang terluka itu masih saja mengerang kesakitan. Karena itulah, maka Ki Sura Branggahpun mengetuk lebih keras lagi. Ebook by Dewi Kangzusi 183 Kang Zusi http://kangzusi.com/ Di dalam rumah itu, Ki Tumenggung Reksadrana dan Ki Lurah Patrawangsa ternyata baru saja terlelap, semalam suntuk mereka bertahan menunggu Ki Sura Branggah itu kembali, tetapi sampai dini hari, mereka masih belum memasuki rumah sederhana yang terletak di perbatasan itu. Namun justru ketika mereka baru saja terlelap, pintu rumah itu telah diketuk orang. Ki Tumenggung Reksadrana yang terkejut dengan gagap memanggil Ki Lurah Patrawangsa "Patrawangsa, kau dengar pintu diketuk orang?" Ki Lurah Patrawangsa segera terbangun pula, sementara itu ketukan pintu itupun menjadi semakin keras. "Siapa itu" " bertanya Ki Lurah Patrawangsa sambil memutar kerisnya di lambung. "Aku Ki Lurah" "Sura Branggah?" "Ya" "Buka pintu itu cepat" bentak Ki Tumenggung yang tidak sabar. Ki Lurahpun segera meloncat ke pintu sambil memegangi ujung wiron kain panjangnya yang terlepas karena terinjak kakinya sendiri. Demikian pintu dibuka, maka Ki Sura Branggahpun segera bergerak masuk sambil memapah anak muda yang terluka itu, di belakangnya seorang anak buahnya mengikuti pula. Ebook by Dewi Kangzusi 184 Kang Zusi http://kangzusi.com/ "Tutup kembali pintu itu, dungu" bentak Ki Lurah Patrawangsa. Anak buah Ki Sura Branggah itupun kemudian dengan tergesa-gesa menutup pintu yang masih terbuka. Sementara itu, cahaya fajarpun menjadi semakin terang, ayam-ayampun mulai turun dari kandangnya, seekor induk ayam berkotek memanggil anak-anaknya, ketika ia menemukan seekor cacing tanah yang gemuk. "Anak itu terluka?" bertanya Ki Tumenggung Reksadrana. "Ya, Ki Tumenggung" "Siapa?" Ki Sura Branggah menjadi ragu-ragu. "Siapa?" bentak Ki Tumenggung Reksadrana. Ki Sura Branggahpun kemudian membaringkan anak muda yang terluka itu di lantai. "Prakosa" Ki Tumenggung Reksadrana hampir menjerit "Jadi yang terluka itu anakku?" Ki Sura Branggah mdk wajahnya, dengan nada dalam iapun berdesis "Ya Ki Tumenggung" Ki Tumenggung Reksadrana segera meloncat dan berjongkok disisinya. "Prakosa, jadi kau yang terluka itu, ngger" "Ayah" desis Prakosa. Ebook by Dewi Kangzusi 185 Kang Zusi http://kangzusi.com/ "kenapa kau ngger?" "Lukaku parah, ayah" "Biarlah Ki Lurah Patrawangsa memanggil tabib terbaik di Kateguhan" "Tidak ada gunanya lagi, ayah" "Jangan berkata begitu, Prakosa" Ki Tumenggung itupun kemudian mengangkat kepala anaknya dan diletakkannya di pangkuannya. "Aku sudah tidak kuat lagi, ayah. Darahku terlalu banyak yang keluar" "Siapa yang melukaimu, Prakosa", orang-orang Panjer?" "Tidak ayah, bukan orang-orang Panjer" "Jadi siapa?" "Ternyata di Panjer kami bertemu dengan sekelompok prajurit dari Paranganom, ayah" "Prajurit dari Paranganom?" "Ya, ayah, para prajurit yang dipimpin langsung oleh Raden Madyasta" "Madyasta, Raden Madyasta anak Adipati Paranganom?" "Ya, ayah" Ebook by Dewi Kangzusi 186 Kang Zusi http://kangzusi.com/ "Kau tidak salah lihat, Prakosa, bukankah Madyasta tidak berada di Paranganom?" "Tidak, ayah. Aku tidak salah lihat. Selain aku memang sudah mengenalnya sejak lama, seorang senapatipun telah menyebut namanya pula, disamping Madyasta, tiga orang senapati muda yang namanya mulai dikenal sejak pertempuran di sebelah Bengawan Rahina, Rembana, Sasangka dan Wismaya" "Gila orang-orang Paranganom, tetapi jangan cemas Prakosa, kau akan segera sembuh, kau akan segera mendapat kesempatan untuk membalas dendam. "Ayah, aku tidak mampu lagi bertahan. "Patrawangsa" teriak Ki Tumenggung. "Ya, Ki Tumenggung" "Kenapa kau begitu dungu, cepat pangil tabib terbaik di Kateguhan" "Dibawa kemari?" Ki Tumenggung termangu-mangu sejenak, lalu katanya "Ya, bawa orang itu kemari" "Tetapi, apakah tidak ada bahayanya jika tabib itu melihat rumah ini?" "Aku tidak peduli, yang penting anakku dapat diselamatkan" Namun terdengar suara Prakosa yang lemah "Tidak usah ayah, tidak akan ada artinya" Ebook by Dewi Kangzusi 187 Kang Zusi http://kangzusi.com/ "Prakosa" Suara Prakosa menjadi semakin sendat "Ayah" "Prakosa" Prpakosa memandang ayahnya dengan mata yang semakin sayu, wajahnya menjadi sangat pucat seakan-akan tidak berdarah lagi, sementara itu darah yang mengalir dari lukanya membasahi lantai rumah itu, menggenang di kaki ayahnya. "Ayah" suara Prakosa hampir tidak terdengar. "Prakosa, dengar. Aku akan mengundang tabib itu, Prakosa" Mata Prakosa menjadi semakin redup, sehingga akhirnya mata itupun terpejam. "Prakosa" Ki Tumenggung berteriak. Namun Prakosa sudah tidak mendengarnya, nafasnya yang terakhirpun telah meluncur lewat lubang hidungnya. Ki Tumenggung memeluk anaknya dan meletakkannya di dadanya, dengan suaranya yang bergetar iapun berkata "Prakosa, kenapa kau mendahului ayahmu, ngger. Aku ingin kau menjadi seorang besar, jauh lebih besar dari ayahmu. Aku ingin kau menjadi senapati yang selalu berada dkt dengan Kangjeng Adipati, tetapi kenapa kau justru mendahului aku" Tetapi Prakosa sama sekali sudah tidak bergerak lagi. Perlahan-lahan Ki Tumenggung meletakkan anak laki-lakinya yang sudah meninggal itu, kemudian iapun bangkit dan bergeser mendekati Ki Sura Branggah, dengan sinar mata Ebook by Dewi Kangzusi 188 Kang Zusi http://kangzusi.com/ yang menyala, Ki Tumenggung mencengkam baju Ki Sura Branggah sambil membentak "Apa kerjamu setan alasan. untuk apa kau pergi ke Panjer", kenapa kau tidak dapat melindungi anakku, sehingga terbunuh di pertempuran melawan prajurit Paranganom", ada berapa orang prajurit Paranganom yang berada di Panjer", segelar sepapan" Seratus, lima puluh?" Ki Sura Branggah tidak segera menjawab, mulutnya justru bagaikan terbungkam. "Kau sudah menjadi tuli, he", atau bisu?" Ki Sura Branggah masih belum menjawab. Namun tiba-tiba saja tangan Ki Tumenggung menyambar wajahnya sambil membentak "Berapa, He?" "Ampun, Ki Tumenggung. Ki Sura Branggah menjadi gagap "Tidak jelas, kami tidak tahu ada berapa orang prajurit Paranganom di Panjer, mereka tidak mengenakan pakaian prajurit, agaknya mereka sengaja menjebak kami, sementara itu, anak-anak muda Panjerpun telah ikut pula bersama-sama mereka. jumlahnya tidak terhitung, bahkan mereka sudah pandai pula menempatkan diri untuk melawan kami" Ki Tumenggung mengguncang baju Ki Sura Branggah yang dicengkamnya sambil membentak "Jadi kau tidak dapat mengatasi anak-anak muda Panjer itu, He" Mulutmu saja yang selalu sesumbar, tetapi apa yang terjadi", anakku telah mati" Ki Sura Branggah tidak menjawab, Ki Tumenggung yang kehilangan anaknya tentu sulit untuk menahan perasaannya yang bergejolak, karena itu, maka Ki Sura Branggah memilih untuk diam. Ebook by Dewi Kangzusi 189 Kang Zusi http://kangzusi.com/ Ki Tumenggung itupun kemudian melepaskan baju Ki Sura Branggah, nn kemudian ia mendekati pengikut Ki Sura Branggah yang membantunya membawa Prakosa pulang ke pondok itu. Dengan kasar Ki Tumenggung mendorong pundak orang yang duduk di lantai itu dengan kakinya, sehingga orang itu jatuh terlentang. "Kecoa pengecut, apa kerjamu di Panjer He", Kau biarkan anakku mati?" Orang itupun tidak menjawab pula, ketika ia perlahan-lahan bangkit dan duduk kembali, maka Ki Tumenggung Reksadranapun berkata "Aku tidak mau menerima keadaan ini, orang-orang Paranganom telah terbutang nyawa, mereka harus membayar dengan nyawa pula, Madyasta, Rembana Sasangka dan Wismaya harus mati" Suara Ki Tumenggung tergetar seakan-akan telah mengguncang dinding pondok kecil yang dipergunakannya itu. :Kita akan membawa Prakosa pulang" "Apa kata orang yang melihat keadaannya di sepanjang jalan?" desis Ki Lurah Patrawangsa. Ki Tumenggung termangu-mangu sejenak, dengan nanda berat iapun bertanya "Menurutmu, apa yang harus aku lakukan?" "Ki Tumenggung" berkata Ki Lurah Patrawangsa "Jika tubuh angger Prakosa dibawa pulang, akan dapat menimbulkan masalah, bukan saja di perjalanan, tetapi juga di katumenggungan. Seandainya akan diaadakan upacara pemakaman, apa yang dapat kita katakan kepada orang-orang Ebook by Dewi Kangzusi 190 Kang Zusi http://kangzusi.com/ yang datang melayat", kecelakaan atau pembunuhan atau apa", seandainya demikian, masih akan timbul pertanyaan panjang yang tidak berkeputusan, kita akan semakin lama akan menjadi semakin sulit untuk menjawabnya" Bab 10 - Gegayuhan :Jadi bagaimana menurut pertimbanganmu?" "Untuk sementara kita kuburkan saja disini, di halaman rumah ini" "Disini?" "Ya, tetapi kita akan memberinya tetenger yang tidak Meraba Matahari Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo mudah hilang, bsk pada saatnya, jika kadaan menjadi bertambah baik, kita akan menggalinya kembali dan dimakamkan sebagaimana mestinya" "Kau gila, Patrawangsa, kau berniat untuk menguburkan anakku, anak Ki Tumenggung Reksadrana seperti mengubur seorang perampok yang mati dikeroyok orang?" Hampir saja Ki Lurah Patrawangsa mengatakan, bahwa Prakosa memang terbunuh sebagai seorang perampok, tetapi untunglah bahwa ia segera menyadarinya, sehingga katakatanya itupun ditelanna kembali. Yang kemudian diucapkan adalah justru sebuah pertanyaan "Lalu, apa yang harus kita lakukan?" "Aku akan membawa Prakosa pulang, aku akan mengatakan bahwa ia mengalami kecelakaan ketika Prakosa sedang mencoba seekor kuda yang bary saja aku beli, Prakosa terjerumus jurang sehingga terluka purah" Ebook by Dewi Kangzusi 191 Kang Zusi http://kangzusi.com/ "Tetapi apakah angger Prakosa pantas mengenakan pakaian seperti itu?" "Kita akan mengganti pakaiannya dengan pakaian yang wajar" "Apakah disini tersedia pakaian yang wajar itu?" Ki Tumenggung termangu-mangu sejenak, namun tiba-tiba saja iapun berkata "Aku memerlukan pakaianmu Ki Lurah" "Pakaianku, lalu aku?" "Kau tinggal disini untuk sementara sampai ada orang yang datang untuk mengantar pakaian bagimu" Ki Lurah bersungut-sungut, ia harus menyerahkan pakaiannya yang akan dipakai oleh Prakosa yang sudah tidak bernyawa lagi, dengan demikian, maka ia tidak akan pernah mendapatkan pakaiannya spengadeg itu kembali. Namun dalam pada itu, Ki Tumenggung itupun berpaling kepada Ki Sura Branggah "Apakah ada orang-orangmu yang tertangkap hidup atau menyerah?" "Mungkin ada, Ki Tumenggung" "Apa kata mereka tentang Prakosa?" "Mereka tidak tahu, bahwa anak muda ini adalah anak Ki Tumenggung, yang mereka ketahui anak ini bernama Lorop, kemanakanku, kecoa inipun baru tahu tadi, bahwa Lorop adalah putera Ki Tumenggung" "Kau tidak berbohong?" Ebook by Dewi Kangzusi 192 Kang Zusi http://kangzusi.com/ "Tidak Ki Tumenggung" "Bagaimana dengan rumah ini?" "Bukankah aku tidak pernah mengajak salah seorang dari pengikutku datang kemari", mereka tidak tahu hubunganku dengan Ki Tumenggung, baru hari inhi kecoa kecil ini mengetahuinya, tetapi ia tidak akan berbicara dengan siapapun, karena jika ia membuka mulutnya itu akan aku koyakkan sampai telinga." "Kau jamin bahwa rahasiaku tidak akan terbongkar di hadapan para prajurit Paranganom", apalagi di hadapan Raden Madyasta, putera Kangjeng Adipati" "Aku jamin, Ki Tumenggung. taruhannya adalah leherku" Ki Tumenggung menarik nafas dalam-dalam, tetapi ketika ia memandang tubuh anaknya yang terbaring diam, maka iapun berkata lantang "Sekali lagi aku berjanji untuk membalas kematian anakku atas orang-orang Paranganom. terutama Madyasta, Rembana, Sasangka dan Wismaya, meskipun mereka dikagumi dalam perang di dekat Bengawan Rahina, tetapi aku tidak akan gentar menghadapi mereka bersama-sama, tidak hanya seorang-seorang" Tidak seorangpun yang menyahut, suara Ki Tumenggung Reksadrana itu bagaikan menggetarkan rumah sederhana itu seisinya. Seperti yang dikatakan, maka setelah pakaian Prakosa yang disesuaikan dengan pakaian para perampok itu diganti, maka Ki Tumenggung Reksadranapun telah membawa tubuhnya yang mulai membeku diatas punggung kudanya. dengan wajah yang muram, Ki Tumenggung Reksadrana Ebook by Dewi Kangzusi 193 Kang Zusi http://kangzusi.com/ membawa anaknya pulang, beberapa orang yang menjumpainya di sepanjang jalan bertanya-tanya, apa yang telah terjadi dengan anak muda itu. Ki Tumenggung Reksadrana telah menempuh perjalanan panjang, ketika ia memasuki pintu gerbang kota, sementara itu mataharipun telah condong ke barat. Tubuh Ki Tumenggung menjadi basah kuyup oleh keringatnya, sementara itu kudanyapun nampak sangat letih. "Apa yang terjadi atas Prakosa Ki Tumenggung?" bertanya seseorang yang sudah mengenalnya. "Prakosa mengalami kecelakaan ketika ia mencoba kudaku yang baru. Anak ini terlempar dari punggung kuda dan ia terjerumus ke dalam jurang, sementara kudanya lari entah kemana" "Kasihan anak muda itu, ia adalah anak muda yang mempunyai masa depan penuh harapan" "Jangan katakan itu kepadaku dan kepada istriku, hatiku akan menjadi semakin tersayat" "Maaf, Ki Tumenggung" Namun dalam pada itu, berita tentang kecelakaan yang terjadi atas Prakosa itu telah tersebar, kawan-kawannya yang mendengarpun segera pergi menyusul ke rumah Ki Tumenggung Reksadrana. Dalam pada itu, ketika Ki Tumenggung Reksadrana membawa anaknya masuk ke dalam rumahnya, Nyi Tumenggung yang melihatnya menjerit tinggi, setelah meletakkan Prakosa, Ki Tumenggung berusaha menenangkannya. Ebook by Dewi Kangzusi 194 Kang Zusi http://kangzusi.com/ "Kenapa Kakang, kenapa?" teriak Nyi Tumenggung. "Prakosa mengalami kecelakaan Nyi, apa yang terjadi tidak dapat dihindari, Yang Maha Kuasa sudah berkenan memanggilnya" "Tetapi kenapa begitu cepat, Kakang, ia masih sangat muda, kecelakaan apa yang terjadi atasnya?" Seperti kepada orang lain, maka Ki Tumenggungpun berkata "Prakosa mencoba kuda yang baru aku beli, Nyi. tetapi agaknya ia belum begitu mengenal tabiat kuda itu, sehingga Prakosa telah terlempar dari punggungnya jatuh ke dalam jurang, sedangkan kudanya lari tanpa entah kemana" "Anakku" Nyi Tumenggung memeeluk tubuh Prakosa yang sudah dingin dan beku, sejenak masih terdengar tangisnya, namun kemudian Nyi Tumenggung itupun pingsan. Sejenak kemudian di rumah Ki Tumenggung itupun menjadi ramai, beberapa orang telah berdatangan, beberapa orang perempuan tua telah berusaha menghibur Nyi Tumenggung demikian ia sadar dari pingsannya. Hari itu juga Prakosa dikuburkan dengan upacara yang seharusnya dilakuka. Kangjeng Adipati Yudapati juga datang menghadiri upacara pemakaman putera Ki Tumenggung Reksadrana itu. "Aku ikut sedih atas kematian Prakosa, Ki Tumenggung" berkata Kangjeng Adipati "Ia adalah anak yang baik, aku mengenalnya sejak Prakosa masih kanak-kanak, umurku dan umur Prakosa tidak bertaut banyak" Ebook by Dewi Kangzusi 195 Kang Zusi http://kangzusi.com/ "Ya, Kangjeng" namun kemudian Ki Tumenggung itupun berbisik "Ia menjadi tumbal bagi gegayuhan Kangjeng Adipati" Kangjeng Adipati kng, tetapi Kangjeng Adipati itupun kemudian menarik nafas dalam-dalam, dengan nada rendah iapun berkata "Aku sudah mencoba mencegahmu, Ki Tumenggung" Pembicaraan merekapun terputus, ada beberapa orang yang datang untuk mengucapkan bela sungkawa atas kematian Prakosa karena kecelakaan itu. Hari itu di Panjer, anak-anak mudapun telah menjadi sibuk pula, ketika matahari bertengger di punggung bukit, maka segala sesuatunya telah selesai pula. Mereka harus menguburkan beberapa orang diantara para perampok yang terbunuh, sementara itu merekapun telah mengadakan upacara pemakaman anak muda terbaik dari kademangan Panjer yang telah gugur. Madyasta, Rembana, Sasangka dan Wismaya serta para prajurit Paranganom masih tetap bersama Ki Demang dan para Bebahu Panjer untuk menyelesaikan persoalanpersoalan yang kemudian timbul dengan para tawanan, apalagi para tawanan yang terluka. *** Di Kateguhan, ketika senja mulai membayang, maka mereka yang mengantar tubuh Prakosa ke pemakaman, telah berangsur-angsur meninggalkan makam, ketika orang yang terakhir beranjak dari gundukan tanah yang merah, orang itu sempat berkata kepada Ki Tumenggung "Sudahlah, Ki Tumenggung, marilah kita pulang, ikhlaskan kepergian Prakosa yang memang sudah saatnya dipanggil oleh Yang Ebook by Dewi Kangzusi 196 Kang Zusi http://kangzusi.com/ Maha Kuasa, sebentar lagi senja akan turun, kemudian makam ini akan menjadi gelap" "Sebentar, kakang, silahkan dahulu" Orang itupun kemudian meninggalkan makam Ki Tumenggung Reksadrana sendiri, bahkan orang-orang terdekat, sanak kadangnyapun telah seluruhnya mendahuluinya. Ketika makam itu menjadi sepi, maka langitpun menjadi buram, senja yang merah bagaikan memanggang langit. Dari balik gerumbulan sesosok tubuh bergerak mendekati Ki Tumenggung yang tinggal sendiri. Ki Tumenggung berpaling ketika ua mendengar desir langkah kaki mendekat. "Apa kerjamu disini, Ki Sura Branggah?" bertanya Ki Tumenggung. "Aku juga ingin menyaksikan putera Ki Tumenggung yang harus dimakamkan hari ini, aku juga ingin memberikan penghormatanku yang terakhir" "Tetapi jika ada yang melihat dan mengenalmu sebagai seorang benggolan perampok, maka kehadiranmu akan mengotori upacara pemakaman yang khidmat ini" "Bukankah aku tahu diri, Ki Tumenggung" "Apakah Ki Lurah Patrawangsa juga datang?" "Tentu tidak, Ki Tumenggung. Ia masih berada di pondok itu" Ebook by Dewi Kangzusi 197 Kang Zusi http://kangzusi.com/ Ki Tumenggung mengangguk-angguk, lalu katanya "Cari pakaian dan berikkan kepada Ki Lurah" "Apakah aku harus ke katumenggungan?" "Kau benar-benar dungu seperti kerbau, kehadiranmu akan memberikan kesan buruk padaku" "Jadi?" "Pergi ke pondok di belakang pasar itu, aku akan kesana nanti malam sambil membawa pakaian itu" "Ya, Ki Tumenggung, aku akan menunggu di pondok di belakang pasar" "Kawanmu itu juga ada disana?" "Ya, Ki Tumenggung" "Bukankah ia tidak akan membuka rahasia kepada siapapun juga" " "Aku jamin kesetiaannya, aku mengenalnya sejak ia masih kanak-kanak, aku selamatkan ayahnya dari kematian, kemudian aku entaskan anak itu dari kelaparan" "Kenapa kelaparan?" "Ayahnya seorang penjudi yang tidak sempat merawat keluarganya, ketika ibunya meninggal, maka aku bawa anak itu dan tingal bersamaku, beberapa bulan kemudian ayahnya benar-benar mati ketika ia menyamun iring-iringan yang lewat di bulak panjang yang ternyata dturunya terdapat orang-orang Ebook by Dewi Kangzusi 198 Kang Zusi http://kangzusi.com/ berilmu, aku tidak bersamanya waktu itu, sehingga aku tidak dapat menyelamatkannya lagi" Ki Tumenggung merenung sejenak, namun tiba-tiba saja ie menggeram "Tetapi aku tetap tidak dapat menerima kenyataan ini, aku akan membalaskan dendam yang terkubur bersama tubuh anakku, tetapi selama aku masih hidup, maka aku akan berusaha untuk membunuh Madyasta, Rembana, Sasangka dan Wismaya, siapapun yang akan mati terdahulu" Ki Tumenggung itupun kemudian berjongkok disamping kuburan anaknya, ditepuknya tanah yang merah itu sambil berkata "Aku berjanji Prakosa, aku akan membalas dendammu" Suara Ki Tumenggung Reksadrana itu bagaikan menggetarkan pohon-pohon kamboja yang tumbuh menebar di makam itu, bunganya yang putih bersih menebarkan bau yang menusuk. Baru sejenak kemudian, Ki Tumenggung Reksadrana itu bangkit berdiri dan melangkah ke regol makam. "Jangan mengikuti aku, aku sendiri di makam ini, akupun akan pulang sendiri" Ki Sura Branggah memang tidak mengikutinya, ia berdiri saja di tempatnya memandang Ki Tumenggung Reksadrana yang melangkah diantara nisan-nisan yang berserakkan, semakin lama semakin kabur ditelan gelap malam yang mulai turun. Ki Sura Branggah berdiri termangu-mangu, sberaniyalah bahwa iapun mendendam orang-orang yang telah menghancurkan gerombolannya, terutama kepada para prajurit Paranganom yang dipimpin oleh Raden Madyasta. Ebook by Dewi Kangzusi 199 Kang Zusi http://kangzusi.com/ "Akupun akan membalas sakit hatiku, gerombolanku hancur terkoyak-koyak menjadi debu, bersama Ki Tumenggung Reksadrana, aku akan menghancurkan senapatisenapati muda Paranganom yang sombong itu, mereka mengira bahwa tidak ada orang yang mlk keunggulan ilmu sebagaimana mereka itu" Ketika bayangan Ki Tumenggung Reksadrana itu hilang Meraba Matahari Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo dibalik regol makam, maka Ki Sura Branggahpun segera beringsut dari tempatnya, kulitnya mulai merasa gatal-gatal digigit nyamuk yang berterbangan di makam itu" Malam itu Ki Tumenggung Reksadrana menemui Ki Sura Branggah di sebuah pondok kecil di belakang pasar untuk memberikan pakaian yang harus diberikannya kepada Ki Lurah Patrawangsa. "Untuk sementara, jangan berbuat sesuatu" berkata Ki Tumenggung Reksadrana "Kita harus berpikir matang, apa yang selanjutnya harus kita lakukan" "Apakah aku juga tidak diperkenankan mencari makan", isteriku tiga orang, Ki Tumenggung, anakku tujuh belas" "Berapa anakmu?" "Tujuh belas" "Tujuh belas apa", tujuh belas tahun?" "Tujuh belas orang" "Kau gila Sura Branggah, aku saja seorang tumenggung isterinya Cuma satu, anakku satu, laki-laki, tetapi anak itu telah dibunuh oleh orang-orang Paranganom" Ebook by Dewi Kangzusi 200 Kang Zusi http://kangzusi.com/ "Isteri Tumenggung memang hanta satu orang itu yang tinggal di Katumenggungan, yang tinggal disana sini?" "Edan, aku sumbat mulutmu" Ki Sura Branggah terdiam. "Awas jika kau langgar perintahku, Ki Sura Branggah. untuk sementara jangan lakukan apa-apa, bukankah pemberianku cukup banyak untuk memberi makan isteri-isteri dan anak-anakmu itu", selama ini kau mendapat kesempatan untuk mengambil apa saja yang kau inginkan di Paranganomm, hasil kejahatanmu itu tentu masih cukup banyak" Ki Sura Branggah mengangguk-angguk kecil, katanya "Aku memang menyimpan beberapa barang yang dapat dijual, tetapi semakin lama akan menjadi semakin menipis juga" "Ajab aku beri kau uang setiap akhir pekan" "Terima kasih, Ki Tumenggung" "Nah, pergilah menemui Ki Lurah Patrawangsa, jangan menyamun di sepanjang jalan meskipun kau berpapasan dengan orang yang membawa sekampil uang emas" "Ya, Ki Tumenggung" Malam itu juga Ki Sura Branggah telah pergi ke rumah sederhana di perbatasan untuk memberikan pakaian bagi Ki Lurah Patrawangsa, baju dan kain panjangnya telah dipinjam oleh Prakosa. Ebook by Dewi Kangzusi 201 Kang Zusi http://kangzusi.com/ Namun seperti Ki Tumenggung Reksadrana, Ki Sura Branggah tidak berani melakukan kejahatan sampai ia menerima perintah baru. Ketika Ki Sura Branggah sampai di pondok sederhana yang tersekat oleh kebun kosong dengan rumah sebelahnya, sehingga seolah-olah letaknya menjadi terpencil itu, Ki Lurah Patrawangsa sudah tertidur nyenyak berselimut tikar. Ia hanya mengenakan celananya yang berwarna kelabu sampai ke lutut, tetapi ia tidak mengenakan baju dan kain panjang. Ki Lurah Patrawangsa terkejut ketika ia mendengar pintunya di ketuk lewat tengah malam, ketika ia bangkit berdiri, diraihnya pedangnya yang terletak di pembaringannya. "Siapa?" bertanya Ki Lurah Patrawangsa. "Aku" Ki Lurah Patrawangsa mengenal suara Ki Sura Branggah, karena itu, maka iapun segera mengangkat selarak pintu. Demikian pintu terbuka dibawah cahaya lampu minyak yang redup, ia melihat Ki Sura Branggah berdiri termangu-mangu di depan pintu. "Kau berkuda?" "Ya Ki Lurah" "Taruh kudamu di belakang" "Ini pakaianmu, Ki Lurah" berkata Ki Sura Branggah sambil menyerahkan bungkusan kepada Ki Lurah. Ebook by Dewi Kangzusi 202 Kang Zusi http://kangzusi.com/ "Kenapa baru sekarang, kenapa tidak sebelum malam, sehingga aku tidak kedinginan" "Ki Tumenggung baru sibuk mengurus pemakaman anaknya, Ki Tumenggung tidak sempat memberikan pakaian kepadaku" Ki Sura Branggah membawa kudanya ke belakang, iapun kemudian masuk pula ke rumah itu serta menyelarak pintunya. Ki Lurah yang sudah mengenakan pakaian itupun bertanya "Apa yang dikatakan oleh Ki Tumenggung tentang anaknya?" "Seperti yang direncanakan, anak itu terjatuh dari kudanya yang baru" "Apakah orang-orang mempercayainya?" "Nampaknya mereka percaya, tetapi entahlah, aku hanya sempat menjumpai Ki Tumenggung sebentar di makam ketika orang-orang yang ikut mengantar jenazah anak muda itu sudah meninggalkan makam, Ki Tumenggung tidak mau ada orang yang melihat bahwa aku telah berhubungan dengan kademangan, jika saja ada orang yang mengenalku, maka persoalannya tentu akan bergeser" Ki Lurah itupun mengangguk-angguk, katanya "Ya, jika saja ada yang mengenalmu sebagai seorang gegedug brandal yang terkenal, tetapi sayang, bahwa kau justru terkenal pada sisi yang hitam" "Tetapi aku ditakuti orang, Ki Lurah. Namaku akan menjadi bayangan maut bagi orang-orang yang mencoba menentangku" Ebook by Dewi Kangzusi 203 Kang Zusi http://kangzusi.com/ "Kau berbangga karenanya?" "Tentu, sebagai seorang lurah brandal, aku memerlukan kewibawaan, jika namaku tidak ditakuti, maka aku akan direndahkan, terutama oleh kelompok-kelompok brandal yang lain. tetapi dengan pengaruh namaku sekarang, aku mampu menghimpun beberapa kelompok brandal sebagaimana dikehendakki oleh Ki Tumenggung Reksadrana" "Namun yang kemudian dihancirkan oleh prajurit Paranganom" "Bukankah wajar jika aku tidak mampu melawan Kangjeng Adipati", namaku masih akan tetap ditakuti kelak bila aku muncul lagi dengan sebuah kelompok yang baru, tetapi aku memang memerlukan waktu" Ki Lurah Patrawangsa tiba-tiba berkata "Aku masih mengantuk, aku akan tidur lagi, kau akan tidur disini sempai esok, atau kau akan kembali ke Kateguhan?" "Aku tidak tergesa-gesa kembali, aku akan tidur saja disini, esok aku akan pergi ke Kateguhan" "Aku juga pergi ke Kateguhan, tetapi kita akan pergi sendiri-sendiri" Ki Sura Branggah tertawa, katanya "Ki Lurah takut terpercik noda pada namaku seperti Ki Tumenggung Reksadrana", tetapi kalian tetapi memerlukan aku untuk mencapai gegayuhan kalian" "Bukan aku yang punya gegayuhan, tetapi Ki Tumenggung" "Ki Lurah tentu juga punya pamrih" Ebook by Dewi Kangzusi 204 Kang Zusi http://kangzusi.com/ "Tentu, apa yang dilakukan oleh seseorang, tentu mengandung pamrih" Ki Sura Branggah mengangguk-angguk, tetapi ia tidak sempat menjawab, Ki Lurah telah kembali berbaring dan memejamkan matanya. Ki Sura Branggah termangu-mangu sejenak, namun kemudian iapun membaringkan tubuhnya pula diatas tikar yang dibentangkannya di lantai" Ki Lurah Patrawangsa itu bersungut-sungut ketika ia mendengar Ki Sura Branggah mendengkur keras sekali sebelum Ki Lurah itu sendiri tertidur. Malam itu Ki Tumenggung Reksadrana tidak dapat tidur nyenyak, di dini hari ia sempat terlelap beberapa saat, namun kemudian iapun telah terbangun kembali. Ketika matahari terbit, Ki Tumenggung Reksadrana sudah selesai berbenah diri, satu-satu masih ada sanak kadangnya yang datang untuk menyatakan bela sungkawa atas meninggalnya Prakosa dalam kecelakaan. Namun ketika matahari naik, Ki Tumenggung Reksadrana telah memberitahukan kepada Nyi Tumenggung bahwa ia akan menhadap Kangjeng Adipati. "Apakah Kakang sudah harus menghadap" bukankah Kangjeng Adipati tahu, bahwa kita telah kehilangan anak kita?" "Aku hanya sebentar Nyi, ada persoalan yang penting aku sampaikan, aku akan segera kembali, sementara aku pergi, temui sanak kadang yang datang untuk menyatakan Ebook by Dewi Kangzusi 205 Kang Zusi http://kangzusi.com/ keprihatinan mereka, kita sangat berterima kasih atas perhatian mereka" "Tetapi aku minta Kakang segera kembali, jika Kakang pergi, maka rasa-rasanya aku sendiri di dunia ini" Ki Tumenggung memandang isterinya dengan penuh iba, ia mengerti, betapa pedihnya perasaan perempuan itu, anaknya begitu saja meninggalkannya untuk selama-lamanya. "Jika ia tahu, apa yang telah terjadi sebenarnyanya, perempuan itu akan dapat membunuh dirinya sendiri" berkata Ki Tumenggung di dalam hatinya. "Nyi" suara Ki Tumenggung merendah "Aku hanya akan pergi sebentar, aku akan segera kembali, aku tahu, bahwa dalam keadaan yang berat ini, kau memerlukan aku selalu disisimu. Tetapi aku tidak dapat mengkesampingkan tugasku yang penting ini" Nyi Tumenggung memang tidak menghalanginya, tetapi ketika Nyi Tumenggung melepasnya di tangga pendapa, ia masih berpesan "Jangan terlalu lama Kakang, sanak kadang yang datang akan kecewa jika tidak dapat menemuimu" Sejenak kemudian, maka kuda kKi Tumenggung itu sudah berlari menuju ke dalem Kadipaten. "Aku kira Ki Tumenggung tidak datang menghadap hari ini. Di rumah Ki Tumenggung tentu masih ada orang tamu yang datang" "Ya, Kangjeng, masih saja ada orang yang ikut menyatakan ikut berduka, isteri hamba masih dibayangi oleh kepedihan yang sangat menekan jiwanya" Ebook by Dewi Kangzusi 206 Kang Zusi http://kangzusi.com/ "Karena itu, sudahlah Ki Tumenggung, sejak semula aku sudah mengatakan, bahwa tidak akan ada gunanya. rencana yang kau sampaikan kpadukuhanu itu itu adalah rencana yang sangat berbahaya" "Anak hamba telah terlanjur menjadi korban, anak hamba terbunuh oleh orang-orang Paranganom. ia mati sebagai seorang perampok yang rendah, untunglah, bahwa hamba masih sempat membersihkan namanya" "Hentikan permainan yang berbahaya itu, Ki Tumenggung. Jika paman Adipati di Paranganom mengetahuinya, maka namakupun akan senilai sampah yang hanya pantas untuk dibakar" "Tetapi jika berhasil?" "Apa yang berhasil" "Seperti yang hamba sampaikan beberapa waktu yang lalu, Kangjeng Mahapatih di Tegal angkap telah wafat" Kanjeng Adipati menarik nafas dalam-dalam, katanya "Ki Tumenggung ingin aku menggantikan kedudukan itu?" "Ya, Kangjeng, seperti yang sudah hamba katakan, di Tegal angkap hanya ada dua orang Adipati yang dipandang pantas untuk menjadi Mahapatih di Tegalangkap" "Tentu tidak Ki Tumenggung. ada beberapa orang Adipati yang sudah mempunyai pengalaman jauh lebih banyak dari pengalamanku, sebagaimana paman Kanjeng Adipati Prangkusuma di Paranganom, sementara aku masih belum cukup lama menjabat" Ebook by Dewi Kangzusi 207 Kang Zusi http://kangzusi.com/ "Tetapi Kangjeng Adipati sudah menunjukkan kelebihan, hamba mendengar dari pimpinan di Tegalangkap, bahwa ada dua orang terkuat, Kangjeng Sultan di Tegalangkap adalah seorang Sultan yang masih muda. yang membuat Kangjeng Sultan di Tegalangkap bimbang adalah manakah yang terbaik, apakah Mahapatih yang akan mendampinginya itu seorang Adipati yang sudah tua dan cukup berpengalaman atau seorang Adipati yang masih muda yang akan dapat mengimbangi gejolak jiwa Kangjeng Sultan yang masih muda itu" "Aku mengenal Kangjeng Sultan itu dengan baik, Ki Tumenggung, menurut pendapatku, yang paling tepapt mendampingi Kangjeng Sultan yang masih muda itu adalah paman Kanjeng Adipati Prangkusuma" "Tidak, Kangjeng jangan mengalah, Kangjeng harus berjuang merebut kedudukan itu, itulah sebabnya aku telah membuat rencana untuk mengacaukan tlatah Paranganom. jika Paranganom menjadi kacau, penduduknya menjadi resah, maka pilihan Kangjeng Sultan tentu akan condong kepada Kangjeng Adipati" "Condong kepadaku?" "Ya, Kangjeng" "Kau kira aku akan puas berada pada satu jabatan yang direbut dengan curang?" "Tetapi gegayuhan, Kangjeng, seseorang mempunyai hak untuk nggayuh kemukten" "Ki Tumenggung menganggap semua cara dapat ditempuh", dengan cara yang curang, licik dan bahkan mengorbankan orang lain?" Ebook by Dewi Kangzusi 208 Kang Zusi http://kangzusi.com/ "Jangan banyak pertimbangan, Kangjeng, pokoknya di Paranganom telah terjadi kerusuhan, dengan demikian, maka pilihan Kangjeng Sultan untuk menggantikan kedudukan Sang Mahapatih yang wafat dan tidak berputera itu akan jatuh kepada Kangjeng Adipati dari Kateguhan" "Ki Tumenggung, sudah aku katakan, bahwa aku tidak bermimpi menjabat Mahapatih di Tegalangkap, aku sudah puas dengan kedudukan sekarang, sebagai seorang Adipati, maka aku akan berada lebih dekat dengan rakyatku daripada seorang Mahapatih" "Tetapi gelar kekuasaan seorang Mahapatih akan meliputi seluruh kerajaan Tegalangkap, bahkan kekuasaan yang sebenarnyanya atas pemerintahan terletak pada tangan Mahapatih" "Ki Tumenggung, aku tidak mau mempergunakan caramu, aku adalah kemanakan paman Kanjeng Adipati Prangkusuma, akupun sudah merasa puas dengan kedudukan sekarang, aku wajib mensyukuri kurnia-Nya ini. tidak sepatutnya aku justru memfitnah pamanku sendiri" "Kangjeng, ini adalah satu gegayuhan, Kangjeng tidak boleh berpuas-puas dengan kedudukan Kangjeng sekarang, jika Kangjeng Adipati melepaskan kesempatan ini, maka kesempatan seperti ini tidak akan pernah kembali lagi" "Biarlah kesempatan itu berlalu, Ki Tumenggung" Meraba Matahari Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Kangjeng" "Dengar perintahku, Ki Tumenggung, hentikan" Ebook by Dewi Kangzusi 209 Kang Zusi http://kangzusi.com/ Ki Tumenggung masih akan berbicara, tetapi Kangjeng Adipatipun berkata "Sudahlah, Ki Tumenggung, aku tidak ingin membicarakannya lagi" Karena itu, maka Ki Tumenggungpun kemudian berkata "Kangjeng, hamba mohon diri, mungkin dalam dua hari ini hamba tidak datang menghadap, baru setelah lewat hati ketiga kematian Prakosa hamba akan menghadap lagi" "Silahkan, Ki Tumenggung. Aku tahu bahwa kau tentu sangat sibuk lahir dan batinmu di rumah, salam buat Nyi Tumenggung" "Hamba Kangjeng Adipati" Ki Tumenggungpun kemudian telah meninggalkan dalem Kadipaten, disepanjang jalan Ki Tumenggung masih saja bersungut. "Anak dungu, ia tidak mau mendengarkan pendapat orang tua, anak-anak muda sekarang merasa dirinya lebih pintar dari orang-orang tua yang sudah kenyang makan pahit manisnya kehidupan. Aku melihat jalan yang terbuka bagi Kangjeng Adipati. Tetapi agaknya anak itu memang tidak mempunyai gegayuhan, Ia menerima saja apa adanya. Jiwanya sama sekali tidak setegar ayahnya yang mempunyai citacita setinggi langit" Ki Tumenggung kemudian melarikan kudanya di sepanjang jalan yang ramai. Kekecewaan Ki Tumenggung masih juga dibawabya sampai kr rumahnya, namun ketika ia melihat beberapa orang yang duduk di pringgitan, maka Ki Tumenggung berusaha untuk mengekang perasaannya. Apalagi ketika ia melihat Ebook by Dewi Kangzusi 210 Kang Zusi http://kangzusi.com/ isterinya itu sedang mengangis dihadapan bibi dan pamannya yang agaknya baru datang. Ki Tumenggung yang kemudian duduk di sebelah isterinya bertanya dengan nada rendah "Sudah lama paman dan bibi datang?" "Belum Ki Tumenggung" jawab paman "Aku baru semalam mendengar kecelakaan yang menimpa angger Prakosa" Bab 11 - Air Mata Rara Menur "Maaf paman dan bibi, kemarin kami tidak mempunyai kesempatan, semuanya dilakukan dengan tergesa-gesa, kami tidak ingin jasad Prakosa itu harus menginap di rumah ini karena keadaannya, karena itu, kami tidak sempat memberitahukan kepada sanak kadang, apalagi yang agak jauh, yang dekatpun ada pula yang tidak mendengar musibah ini" "Tabahkan hati kalian, jika saatnya datang, tidak ada yang akan dapat menghalanginya" "Ya, paman. Aku sudah mencoba untuk mengikhlaskannya, tetapi kadang-kadang masih juga tersembul pertanyaan, kenapa bukan aku saja" "Kita tidak dapat memilih, Ki Tumenggung" "Ya, paman, tetapi sebenarnya akulah yang akan mencoba kuda yang baru aku beli itu, tetapi Prakosa berkeras untuk melakukannya, bw kuda itu kadang-kadang agak sulit dikuasai" Ebook by Dewi Kangzusi 211 Kang Zusi http://kangzusi.com/ "Itulah yang disebut pepaten, Ki Tumenggung, kuda tidak dapat menghindarinya" "Ya, paman" "Dimana kuda itu sekarang?" "Aku tidak mengurusnya lagi paman, kuda itu berlari entah kemana. Biar saja kuda itu hilang dari pandangan mataku" "Tetapi bukankah kuda itu harganya tinggi?" "Aku ingin melupakan apa yang pernah terjadi atas Prakosa" Pamannya mengangguk-angguk, namun ia tidak bertanya lagi tentang kuda yang hilang itu, yang dikatakan kemudian adalah beberapa nasehat baik bagi Ki Tumenggung dan Nyi Tumenggung, namun nasehat baik itu kadang-kadang justru bagaikan ujung duri yang menusuk jantung Ki Tumenggung Reksadrana yang tahu pasti, kenapa anaknya meninggal. "Madyasta, Rembana, Sasangka dan Wismaya harus mati' geramnya di dalam hati. Hari itu, Ki Tumenggung dan Nyi Tumenggung masih banyak menerima kunjungan dari kerabat dekat dan jauh, sanak kadang yang tidak mendengar kabar meninggalnya Prakosa menyatakan penyesalan mereka. Karena mereka tidak dapat ikut memberikan penghormatan terakhir. "Segala sesuatunya sudah berlangsung dengan baik" berkata Ki Tumenggung, kami berdoa bagi Prakosa. "Terima kasih, terima kasih" Ebook by Dewi Kangzusi 212 Kang Zusi http://kangzusi.com/ keikhlasan sanak kadang yang berdatangan itu dapat sedikit menghibur kepedihan yang mencengkam Nyi Tumenggung, namun kehadiran mereka, apalagi sanak kadang yang membawa anaknya seusia Prakosa, kadang-kadang membuat luka hati Nyi Tumenggung justru semakin pedih, namun setiap kali Nyi Tumenggung mendengar nasehat orang-orang tua yang datang mengunjunginya, hatinya menjadi sedikit tenang. "Tidak ada seorangpun yang dapat melawan pepaten, Nyi Tumenggung" berkata seorang perempuan tua. Kata-kata itu pula yang diucapkan oleh banyak orang yang datang mengunjunginya. Dalam pada itu, selagi Ki Tumenggung Reksadrana berkabung karena kehilangan seorang anak laki-lakinya, di kademangan Panjer, Raden Madyasta Rembana, Sasangka1 dan Wismayapun telah bersiap-siap untuk meninggalkan kademangan itu. "Biarlah untuk sementara, mungkin sepekan dua pekan, enam orang prajurit Paranganom itu akan tetap berada disini, Ki Demang" berkata Raden Madyasta. "Terima kasih, Raden. mereka akan melindungi kademangan ini, namun sekaligus meningkatkan kemampuan anak-anak muda yang telah berlatih olah kanuragan, sehingga jika pada suatu saat kami benar-benar ditinggalkan, maka kami dapat melindungi diri kami sendiri" Raden Madyasta mengangguk-angguk, katanya "Ya, Ki Demang mudah-mudahan kelebihan dari anak-anak muda Panjer dapat dipercikkan ke kademangan-kademangan yang lain. setidak-tidaknya jika terjadi sesuatu, anak-anak muda Panjer dapat membantu mereka." Ebook by Dewi Kangzusi 213 Kang Zusi http://kangzusi.com/ "Tentu, Raden. kami akan menyampaikan kepada para Demang tanpa memberikan kesan kesombongan. "Itu sulitnya membina keseimbangan dalam pergaulan ini, Ki Demang. kita benar-benar berniat baik. orang lain akan dapat menganggap, betapa sombongnya kita ini. tetapi jika kita berdiam diri, maka kita dianggap tidak peduli terhadap kehidupan antara sesama" "Tetapi kami akan mencari jalan yang terbaik, Raden. jika mereka sudah mendengar, bw perampok itu telah dihancurkan di kademangan Panjer, maka mereka akan membuat pertimbangan-pertimbangan baru atas hubungan mereka dengan kademangan Panjer" "Baiklah, Ki Demang" berkata Raden Madyasta kemudian, "Setelah beberapa hari kami berada di kademangan i , maka kami, maksudku aku, kakang Rembana, kakang Sasangka, dan kakang Wismaya akan minta diri, besok kami akan kembali ke Paranganom untuk memberi laporan kepada ayahanda, bw gerombolan perampok itu telah kita hancurkan, sayang, bw pemimpin perampok yang bernama Sura Branggah itu tidak dapat kami tangkap" "Tetapi bw gerombolan itu benar-benar telah lumat, berarti bw setidak-tidaknya dalam waktu singkat ini, mereka tidak akan dapat segera bangkit kembali, Sura Branggah memerlukan waktu untuk menyusun kekuatan. Sementara itu, anak-anak muda kademangan ini, bahkan semua laki-laki yang masih memiliki tenaga serta keberanian, sudah siap untuk menghadapi mereka. keberadaan Raden serta para prajurit di kademangan ini, apalagi beberapa orang diantara para prajurit itu akan tinggal, telah membentuk anak muda di kademangan ini menjadi lain" Ebook by Dewi Kangzusi 214 Kang Zusi http://kangzusi.com/ "Ya, Ki Demang, mudah-mudahan mereka tetap berminat untuk meningkatkan ilmu mereka. sementara itu, aku titipkan beberapa orang gerombolan yang tertangkap dan menyerah itu disini. Para prajurit yang kami tinggalkan akan bertanggung jawab terhadap para tawanan itu. namun tentu saja mereka akan minta bantuan anak-anak muda di kademangan ini untuk ikut menjaga. Jika Sura Branggah masih ingat kepada mereka, mungkin ia akan berusaha mengambilnya. Tetapi dalam waktu dekat ini ia tidak mempunyai kekuatan untuk melakukannya, sementara itu, sekelompok prajurit dari Paranganom akan segera menjemput mereka" "Baiklah, Raden, kami akan ikut mempertanggung-jawabkan para tawanan itu" "Terima kasih, Ki Demang" Raden Madyasta mengangguk-angguk, namun kemudian iapun berkata "Ki Demang, besok kami bertiga akan berangkat pagi-pagi selagi matahari belum naik" Sebenarnya kami ingin menahan untuk beberapa hari lagi, tetapi kami mengerti, bw Raden harus segera memberi laporan kepada Kangjeng Adipati di Paranganom" "Ya, Ki Demang, karena itu, maka kami tidak dapat lebih lama lagi tinggal disini" "Baiklah, Raden. sekali lagi, kami seisi kademangan ini mengucapkan terima kasih, biarlah aku beritahu para Bebahu agar agar nanti malam mereka datang menemui Raden dan ketiga orang senapati yang menyertai Raden. biarlah nanti malam angger Rembana, Sasangka dan Wismaya berada di rumah ini pula, agar esok pagi pada saatnya berangkat, Raden dan para senapati dapat mempersiapkan diri bersama-sama" Ebook by Dewi Kangzusi 215 Kang Zusi http://kangzusi.com/ 'Terima kasih, Ki Demang" sahut Wismaya pula. Di hari terakhir Raden Madyasta berada di kademangan Panjer, diperlukannya untuk bertemu dan berbicara dengan Rara Menur, "Besok aku akan meninggalkan kademangan ini, Menur." Rara Menur menunduk, suaranya dalam sekali "Raden tidak akan pernah datang lagi ke kademangan Panjer?" "Tentu aku akan datang lagi, Menur, ada beberapa orang berandal yang masih ditahan disini, enam orang prajurit akan tinggal disini pula" "Tentu tidak harus Raden yang mengurus mereka, mungkin seorang diantara ketiga orang senapati itu, atau bahkan orang lain sama sekali" "Aku akan berusaha datang kembali ke kademangan ini, Menur. Bukan hanya sekedar tugasku yang memanggil" Rara Menur terdiam. Raden Madyastapun termenung sesaat, ia melihat wajah sendu gadis Panjer itu. Agaknya perkenalan mereka setelah Raden Madyasta berada di Panjer beberapa hari telah menundukkan perasaan yang semula terasa asing di hati kedua insan itu, mereka mulai merasakan, tali yang menjerat batin mereka masing-masing. semakin lama terasa menjadi semakin kuat membelit sehingga keduanya akan merasa sangat sulit untuk mengurainya kembali. Ebook by Dewi Kangzusi 216 Kang Zusi http://kangzusi.com/ Tetapi Raden Madyasta harus meninggalkan Panjer, ia adalah putera Kangjeng Adipati Prangkusuma yang datang ke Panjer untuk menjalankan tugas ayahandanya. Meredam kegiatan sekelompok brandal yang mempunyai kekuatan yang sangat besar. "Aku hanyalah seorang perempuan padesan, Raden. aku hanya akan pasrah dalam ketidak berdayaan, apakah Raden masih akan datang lagi atau tidak" desis Rara Menur kemudian. "Aku berjanji, Menur" "Jika Raden kemudian tenggelam dalam kehangatan pergaulan gadis-gadis kota, maka aku tidak akan berarti apa-apa lagi bagi Raden" "Menur" suara Raden Madyasta merendah. "Meskipun aku putera seorang Adipati, tetapi aku terbiasa hidup di sebuah padepokan, aku bergaul diantara para cantrik dan anak-anak muda di padukuhan-padukuhan sekitar padepokanku. Ketika aku tumbuh dewasa, sejak lebih dari empat tahun yang lalu. Aku terpisah dari pergaulan kota" "Tetapi seorang anak muda, putera Kangjeng Adipati pula, akan dengan cepat menyesuaikan diri dengan lingkungannya" "Mungkin kau benar, Menur. Aku memang harus segera menyesuaikan diri, terutama yang berhubungan dengan kedudukan serta tugas-tugasku. Tetapi ada nilai-nilai yang lain di jalan kehidupan ini, Menur" Hening sejenak. Rara Menur itu menundukkan wajahnya. Madyasta menarik nafas dalam-dalam, ketika, ketika ia berpaling memandang wajah gadis itu, ia melihat jari-jari Ebook by Dewi Kangzusi 217 Kang Zusi http://kangzusi.com/ tangan Menur mengusap titik-titik air yang mengembun di pelupuknya. Namun kemudian Rara Menur itu mengangkat wajahnya. Senyumnya yang hambar mengembang di bibirnya "Selamat jalan, Raden. aku berharap kita dapat bertemu lagi. Tetapi bukan aku yang menentukan, tetapi Raden. aku hanya dapat berharap, tidak lebih dari itu" "Menur" desis Raden Madyasta. "Maaf Raden. aku harus membantu ibu di dapur, kami harus menyiapkan makan siang bagi Raden dan para senapati yang berada disini hari ini. besok mereka akan meninggalkan kademangan ini bersama Raden" Raden Madyasta tidak sempat menjawab, Rara Menur itupun segera pergi meninggalkannya. Raden Madyasta itupun termenung-menung sejenak. Ia tahu, bw Rara Menur adalah seorang gadis padesan, anak seorang Demang. latar belakang kehidupannya diketahuinya pula, sawah, ladang, lumbung, lesung dan sekali-sekali mencuci pakaian ke sungai kecil yang tidak jauh dari rumah Ki Demang. Tetapi Rara Menur itu telah menjerat hatinya, hari itu, para senapati yang semula berpencar di rumah beberapa orang di padukuhan induk untuk kepentingan penyelengaraan latihanlatihan yang tertutup, telah berada di kademangan. Esok mereka bersama-sama dengan Raden Madyasta akan meninggalkan kademangan Panjer. Hari itu, Raden Madyasta dan para senapati yang berada di rumah Ki Demang itupun menerima banyak tamu, ketika para Bebahu dan para sesepuh kademangan mendengar bw esok Ebook by Dewi Kangzusi 218 Kang Zusi http://kangzusi.com/ Raden Madyasta akan meninggalkan kademangan itu telah memerlukan menemuinya untuk mengucapkan terima kasih serta selamat jalan. "Kapan rencana Raden berangkat?" "Esok pagi-pagi sekali" jawab Madyasta "Selagi matahari belum terbit, kami akan menempuh perjalanan panjang" "Ya" sahut Ki Demang "Jarak dari panjer ke Paranganom Meraba Matahari Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo dan Kateguhan tidak terpaut banyak" "Bukankah kademangan ini dekat sekali dengan perbatasan?" sahut Ki Jagabaya. "Ya, itulah sebabnya maka kita dapat saja menduga, bw sarang para perampok itu justru di Kateguhan. Tidak di Paranganom, meskipun daerah jelajah mereka justru di Paranganom" sahut Rembana. "Tetapi ini hanya satu dugaan; sahut Raden Madyasta "Kami tidak dapat menuduh bw Kateguhan terlibat, karena dapat saja terjadi, bw sarang para perampok itu berada di Paranganom, sementara itu, mereka juga merampok di daerah Kateguhan, mungkin kita sajalah yang belum mendengar berita dari seberang perbatasan" Ki Demang mengangguk-angguk, ia sadar, bw Raden Madyasta sebagai putera Kangjeng Adipati memang harus berhati-hati mengucapkan kata-kata, apalagi yang menyangkut kadipaten yang lain. Tetapi Rembana menyahut, tidak mungkin mereka bersarang di Paranganom, Raden." Ebook by Dewi Kangzusi 219 Kang Zusi http://kangzusi.com/ "Banyak, kemungkinan dapat terjadi, kakang. Dari mereka yang tertangkap, kita tidak memperoleh keterangan yang cukup. Mereka adalah kelompok-kelompok yang semula berdiri sendiri-sendiri. Tetapi kemudian telah dihimpun oleh Sura Branggah. mereka ada yang berasal dari Paranganom. ada yang berasal dari Kateguhan. Tetapi ada pula yang justru berasal dari jauh. Sedangkan mereka tidak tahu, sarang berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain, menurut mereka, mereka tidak dapat mengenalinya apakah mereka berada di tlatah Paranganom atau di Kateguhan. Mereka hanya tahu, bw mereka berada di satu tempat disekitar perbatasan" "Kita harus memaksa mereka berbicara" "Kita sudah mencoba, tetapi mereka benar-benar tidak tahu banyak tentang gerombolan mereka sendiri, sementara itu, cara-cara yang kita gunakan untuk memaksa mereka berbicara kadang-kadang telah melampaui batas kewajaran" Rembana masih akan menjawab, tetapi Wismaya telah mendahuluinya "Kita sudah cukup berbicara dengan mereka, Raden. aku justru mempercayai mereka tidak tahu apa-apa selain melaksanakan perntah Lurah Brandal itu" "Ya" Raden Madyasta mengangguk-angguk, "Kita tidak usah mempermasalahkan hal itu lagi. Pada suatu saat para brandal yang tertangkap dan menyerah itu akan dibawa menghadap ayahanda, mungkin ada keterangan yang tertinggal dapat diungkap oleh ayahanda sendiri." Rembana terdiam meskipun berusaha untuk membawa pembicaraan kembali pada arah semula. Para Bebahu itu datang untuk menemuinya serta para senapati yang esok akan meninggalkan kademangan Panjer. Ebook by Dewi Kangzusi 220 Kang Zusi http://kangzusi.com/ Ketika Rara Menur bersama seorang pembantunya menyampaikan hidangan bagi para tamu, maka Raden Madyasta melihat tangan gadis itu gemetar, tetapi Raden Madyasta tidak bertanya apapun kepadanya. Apalagi di hadapan banyak orang. Sampai malam masih saja ada beberapa orang yang datang untuk menemui Raden Madyasta serta ketiga orang senapati yang berada di kademangan Panjer. Pada umumnya mereka menyampaikan terima kasih serta mengucapkan selamat jalan. Beberapa orang kaya telah datang untuk menyampaikan kenang-kenangan kadipaten Raden Madyasta beserta para senapati dan prajurit Paranganom yang telah menyelamatkan kademangan mereka. bahkan ada diantara mereka yang membawa barangbarang berharga. "Terima kasih" berkata Raden Madyasta kepada mereka "Kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Tetapi kami minta maaf, bw kami tidak dapat membawa ke Paranganom. kami akan menitipkan semuanya itu kepada Ki Demang Panjer. Mungkin barang-barang itu lebih bermanfaat bagi rakyat Panjer sendiri. Kami hanya akan membawa satu saja diantara semua kenang-kenangan itu, yang kemudian akan kami serahkan kepada ayahanda untuk disimpan di kadipaten" "Raden" berkata Ki Wiratenaya "Kami menyerahkan semuanya ini dengan ikhlas, kami juga sudah berbicara dengan Ki Demang sebelumnya, karena itu, kami mohon Raden dapat menerimanya" "Kami menerima dengan senang hati, Ki Wiratenaya. tetapi kami titipkan semuanya itu di rumah Ki Demang Panjer, disini benda-benda itu akan selalu memperingatkan bagaimana rakyat kademangan itu telah bekerja sama dengan para prajurit untuk melindungi rakyatnya" Ebook by Dewi Kangzusi 221 Kang Zusi http://kangzusi.com/ "Tetapi tanpa Raden Madyasta, para senapati dan para prajurit, maka kami tidak akan dapat berbuat apa-apa" "Ki Wiratenaya dan saudara-saudaraku, bagi kami, pernyataan terima kasih kalian sangat membesarkan hati kami. Tetapi apa yang kami lakukan itu adalah memang tugas dan kewajiban kami. Sementara itu, rakyat Panjer sendiri dengan suka rela mempertaruhkan nyawa mereka. nah jika saudara-saudaraku sependapat, disamping kenang-kenangan yang kalian berikan kepada kami, maka alangkah baiknya jika kalian juga memberikan kenang-kenangan kepada rakyat Panjer sendiri. Ada diantara anak-anak muda kita yang gugur. Mungkin kalian dapat membangun sebuah tugu peringatan di depan banjar. Tetapi mungkin pula untuk mengenang anak muda terbaik yang telah gugur itu kalian membangun sebuah bendungan yang akan dapat mengairi beberapa ratus bahu sawah, atau membangun jembatan ya akan dapat menjadi penghubung antara lingkungan terpencil di kademangan ini dengan lingkungan di sekitarnya ya akan dapat memberikan arti bagi kesejahteraan mereka. jika air sungai menjadi besar karena hujan di lereng pegunungan, arus perdagangan dengan daerah terpencil itu tidak terputus, hasil bumi tidak tertahan dan bahkan membusuk karena tidak sempat dilemparkan ke pasar" Orang-orang yang terhitung kaya dan berada, para pedagang dan para saudagar mendengarkan pesan Raden Madyasta itu sambil mengangguk-angguk, mereka menyadari, bw harta benda mereka tidak akan terlindungi, jika rakyat yang sehari-hari hidup dalam tataran kesejahteraan jauh berada di bawah kesejahteraan mereka tidak berbuat apa-apa. Demikianlah, ketika malam menjadi semakin lama larut, maka Ki Demang telah menyarankan Raden Madyasta serta ketiga senapati dari Paranganom itu untuk beristirahat. Ebook by Dewi Kangzusi 222 Kang Zusi http://kangzusi.com/ Yang sulit untuk dapat tidur adalah Raden Madyasta, bukan lagi karena kegagalannya menangkap pemimpin perampok yang bernama Sura Branggah itu, tetapi Raden Madyasta tidak segera dapat menyingkirkan wajah Rara Menur dari kepalanya. "Ia hanya seorang gadis padesan" berkata Raden Madyasta. Sekian lama Raden Madyasta gelisah, akhirnya ia dapat tertidur juga. Pagi-pagi sekali, seperti yang direncanakan, Raden Madyasta serta ketiga orang senapati Paranganom itu sudah bersiap, Ki Demang dan keluarganya melepas mereka sampai ke regol halaman. Rara Menur berdiri disamping ibundanya, ia mencoba tersenyum, tetapi senyumnya nampak masam. "Aku masih akan datang kembali, Ki Demang" berkata Raden Madyasta tiba-tiba saja. "Kami sangat mengharapkan Raden" sahut Ki Demang. "Aku masih harus menyelesaikan persoalan tawanan itu sampai tuntas" "Ya, Raden" Tetapi diluar sadarnya, Raden Madyasta itu berpaling kepada Rara Menur yang sedang memandangnya, namun wajah gadis itupun segera menunduk dalam-dalam. Sejenak kemudian, maka Raden Madyasta, Rembana, Sasangka dan Wismaya telah minta diri sekali lagi sebelum Ebook by Dewi Kangzusi 223 Kang Zusi http://kangzusi.com/ kuda-kuda mereka berlari meninggalkan regol halaman rumah Ki Demang Panjer. Ketika keempat orang berkuda itu keluar dari gerbang padukuhan induk kademangan Panjer, butiran-butiran embun masih nampak melekat di ujung dedaunan seperti butir-butir mutiara yang bergayut di telinga seorang gadis. Rerumputan masih basah, sementara langit yang cerah mulai membayangkan cahaya fajar yang merah. Burung-burung liar terdengar bersiul bersahutan menyambut terbitnya matahari. "Segarnya udara di padesan" gumam Raden Madyasta. "Ya, Raden" sahut Wismaya. Raden Madyasta benar-benar menikmati udara pagi, tidak terlalu jauh nampak sebagai pegunungan yang rendah membujur sejajar dengan jalan yang dilaluinya, hutan yang lebat nampak tumbuh dilerengnya yang memanjang. Di belakang pegunungan itu terdapat perbatasan antara kadipaten Paranganom dan kadipaten Kateguhan. Dua kadipaten yang semula diperintah oleh dua orang bersauara, namun kemudian kadipaten Kateguhan sepeninggal Kangjeng Adipati Prawirayuda telah dipimpin oleh puteranya yang kemudian ditetapkan menjadi Adipati yang bergelar Kangjeng Adipati Yudapati. Keempat orang berkuda yang melarikan kuda mereka semakin cepat, selagi masih pagi, mereka ingin menempuh jarak yang panjang. Ebook by Dewi Kangzusi 224 Kang Zusi http://kangzusi.com/ Namun ketika mereka melalui sebuah padukuhan maka mereka harus memperlambatkan kuda mereka, pada saat matahari mulai membayang di langit, jalan-jalan di padukuhan mulai menjadi ramai pula, beberapa orang perempuan berjalan beriring pergi ke pasar dengan membawa bakul sayuran, ada yang berisi ubi dan hasil kebun lainnya, ada yang berisi daun pisang ada pula yang berisi pisang yang masih bertandan serta buah-buahan lainnya. "Di padukuhan itu terdapat sebuah pasar yang cukup ramai" berkata Sasangka. "Ya, kesibukannya sudah nampak sampai disini" sahut Raden Madyasta. Raden Madyasta, Rembana, Sasangka dan Wismaya justru turun dari kuda mereka, mereka menuntun kuda mereka melintas di kerumunan orang-orang yang masih berada di depan pintu gerbang pasar. Ketika mereka melintas di dekat beberapa orang yang berkerumunan, Sasangka sempat bertanya "Apakah pasar ini demikian ramainya setiap hari?" "Hari ini hari pasaran, Ki Sanak" jawab orang itu. "Disetiap hari pasaran, pasar ini tidak dapat memuat kesibukannya seperti hari ini?" "Di setiap hari pasaran, pasar ini memang ramai sekali, tetapi tidak seperti hari ini. mungkin orang-orang yang berjualan dan berbelanja di pasar ini tidak lagi dihantui oleh orang-orang yang sering melakukan kejahatan" dinos "Kenapa", apakah penjahatnya sudah tertangkap?" Ebook by Dewi Kangzusi 225 Kang Zusi http://kangzusi.com/ "Ya" "Apakah penjahatnya hanya satu?" "Banyak, tetapi gerombolan mereka telah dihancurkan di kademangan Panjer, sehingga orang-orang ini merasa tenang pergi ke pasar, kamipun jarang sekali pergi ke pasar. Tetapi hari ini kami memeerlukan pergi untuk melihat-lihat keadaan setelah gerombolan perampok itu dihancurkan" "Apakah yang sering terjadi?" "Mereka menyamun dan bahkan kadang-kadang merampas di tempat ramai" "Apakah orang-orang yang sering menyamun dan merampas itu termasuk gerombolan yang dihancurkan di kademangan Panjer?" "Tentu, orang-orang itu sering menyebut-nyebut nama Sura Branggah, sedangkan pemimpin gerombolan di Panjer itu juga bernama Sura Branggah" Tiba-tiba Rembanapun ikut pula berbicara "Bagaimana ujud Sura Branggah itu menurut bayanganmu?" Orang itu tidak ada yang berani menjawab, sementara Rembana sambil tertawa berkata "Kalian keliru, ternyata Ki Sura Branggah adalah seorang anak muda yang tampan. Nah kalian harus minta maaf, karena kalian telah menghinanya meskipun baru di dalam bayangan kalian" Tetapi Wismaya tiba-tiba saja berkata "Marilah, matahari telah naik semakin tinggi" Ebook by Dewi Kangzusi 226 Kang Zusi http://kangzusi.com/ Meskipun demikian Rembana masih saja berkata "Sudahlah, jangan pikirkan Sura Branggah, Sura Branggah sendiri akan melupakan kalian, demikian kami lepas dari kerumunan orang-orang yang tidak sempat masuk ke dalam pasar ini, kami sedang memburu seorang saudagar emas berlian" Jantung orang-orang itu menjadi semakin cepat berdetak, sementara Sasangkapun berkata "Sudahlah beritahu aku jika kalian melihat atau bertemu orang-orang kaya yang berkeliaran. Tetapi para prajurit Paranganom itu telah merusak semua rencanaku, mereka tidak terkalahkan, gerombolanku telah dihancur lumatkan menjadi debu" Rembana tidak berkata apa-apa lagi, namun iapun bergegas sambil menuntun kudanya. di belakangnya Sasangkapun mengikutinya menyusul Wismaya dan Raden Madyasta yang sudah semakin jauh. Matahari memanjat langit semakin tinggi, sinarnya yang semakin panas terasa menusuk kulit. Selembar awan mengalir tertiup angin dari arah lautan terdorong kearah pegunungan. Udara yang terbakar oleh panasnya matahari nampal mengeliat seperti uap air yang mendidih, mengambang diatas jalan yang akan mereka lalui. Rembana yang kepanasan membuka bajunya dibagian dadanya. Raden Madyasta yang berkuda di paling depanpun sambil bertanya "Bagaimana dengan kuda-kuda kita?" "Sudah waktunya beristirahat, Raden"Sahut Sasangka. Ebook by Dewi Kangzusi 227 Kang Zusi http://kangzusi.com/ "Kau tahu kudamu yang sudah waktunya beristirahat?" bertanya Rembana. "Kuda-kudanya" jawab Sasangka. Raden Madyasta dan Wismaya hanya tersenyum saja. Namun merekapun menyadari, bw setelah lewat tengah hari, maka sebaiknya merekapun berhenti untuk beristirahat, kuda-kuda merekapun nampak letih dan haus. Karena itu, ketika mereka menjumpai sederet kedai di dekat sebuah pasar yang sudah mulai sepi, merekapun berhenti. Kepada seorang yang memang bertugas untuk merawat kuda bagi mereka yang masuk dan makan serta minum di kedai itu, Wismaya berpesan "Tolong beri minum dan makan kuda-kuda kami" Meraba Matahari Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Orang itu mengangguk hormat. Setelah mereka beristirahat secukupnya, maka Raden Madyasta membayar harga makanan serta minuman mereka termasuk perawatan kuda mereka sekaligus minta diri untuk melanjutkan perjalanan. "Terima kasih, Ki Sanak" berkata pemilik kedai itu sambil menerima uangnya. Ketika keempat orang itu keluar dari pintu kedai itu, mereka melihat dua orang yang sedang mengamati kuda Raden Madyasta, kuda yang besar dan tegar, memang jarang terdapat kuda sebesar dan setegar kuda Raden Madyasta. Raden Madyasta membiarkan kedua orang itu mengamati kudanya, ia tidak tergesagesa membawa kudanya pergi. Ebook by Dewi Kangzusi 228 Kang Zusi http://kangzusi.com/ Namun beberapa saat kemudian, telah datang lagi empat orang berkuda, namun kuda-kuda mereka tidak ada yang sebaik kuda Raden Madyasta. Seorang yang berwajah tampan, berkumis tipis dan bermata tajam, bertanya kepada Raden Madyasta "Apakah ini kudamu anak muda?" "Ya, Ki Sanak" jawab Raden Madyasta sambil tersenyum. "Kudamu bagus sekali, apakah kau blantik kuda?" "Bukan, Ki Sanak. Jawab Raden Madyasta. "Apakah kerjamu sehingga kau dapat membeli kuda sebagus ini. lebih bagus dari kuda kawan-kawanmu dan bahkan lebih bagus dari kudaku" "Ayahku seorang petani, Ki Sanak" "Tentu petani kaya" "Bukan Ki Sanak, ayahku seorang petani kebanyakan, kuda ini kami miliki bukan karena orang tuaku kaya, tetapi karena kuda ini aku terima sebagai hadiah dari pamanku yang kebetulan juga calon mertuaku" "Jadi, calon mertuamulah yang kaya?" "Sebenarnya juga tidak kaya, Ki Sanak. Tetapi pamanku adalah penggemar kuda. Ketiga orang ini adalah calon iparku" Orang itu memandang Wismaya, Sasangka dan Rembana berganti-ganti, diluar sadarnya iapun bertanya "Mereka bertiga?" Ebook by Dewi Kangzusi 229 Kang Zusi http://kangzusi.com/ "Wajah mereka tidak mirip yang satu dengan yang lainnya?" Raden Madyasta termenung-menung sejenak. Semula ia tidak berpikir sedemikian jauhnya, namun agaknya orang yang mengajaknya berbicara itu termasuk orang yang teliti mengamati sesuatu. Namun Rembanalah yang menjawab "Kami berbeda ibu, Ki Sanak. Kami bertiga mempunyai tiga orang ibu yang berlainan" Orang yang berwajah tampan itu mengerutkan keningnya, dengan nada dalam iapun berkata "Kalian tahu, aku adalah seorang yang mempunyai pengaruh yang luas di daerah Pasiraman Barat, daerah yang diperintah oleh Ki Panji Wirasentika" "Pasiraman Barat, bukankah Pasiraman Barat itu termasuk wilayah Paranganom?" "Ya, aku adalah orang yang dituakan disana, mungkin karena beberapa kelebihan daridaku, tetapi mungkin juga karena aku seorang saudagar yang berkecukupan, itulah sebabnya aku bertanya kepada kalian, apakah kalian blantik kua. Jika kalian blantik kuda, aku ingin membeli kuda ini" "Maaf, Ki Sanak" berkata Raden Madyasta "Aku tidak menjual kudaku" "Dimanakah rumah kalian?" bertanya kwb orang yang berwajah tampan itu. "Kami tinggal di kaduwang" Ebook by Dewi Kangzusi 230 Kang Zusi http://kangzusi.com/ "Kaduwang, tlatah Kateguhan" "Ya" Kalian akan pergi kemana?" "Kami akan pergi ke Paranganom, menengok seorang paman kami yang tinggal di Paranganom" Orang itu mengangguk, namun tiba-tiba seorang lain yang baru datang kemudian, bertanya "Jadi kau orang Kateguhan?" "Ya, kenapa?" "Banyak wilayah Paranganom yang telah didatangi perampok, banyak pula jalanjalan di Paranganom yang menjadi daerah perburuan bagi para penyamun, semuanya itu terjadi di dekat perbatasan dengan kadipaten Kateguhan" Raden Madyasta termenung-menung sejenak, jika pembicaraan itu berkepanjangan, maka Raden Madyasta terlanjur mengaku orang Kateguhan. Karena itu, Raden Madyasta tidak ingin terlibat lebih dalam pembicaran yang sulit, maka iapun berkata "Mungkin Ki Sanak. Tetapi daerah perbatasan di tlatah Kateguhanpun banyak terjadi kejahatan pula sebagaimana di Paranganom. mudah-mudahan segera ada kerja sama antara kadipaten Kateguhan dan kadipaten Paranganom untuk mengatasi kejahatan itu. menurut pendengaranku, sudah ada usaha dari kedua belah pihak untuk menjepit daerah yang banyak dibayangi oleh kejahatan itu. "Kau berlagak seperti seorang Tumenggung di Kateguhan" seorang yang lain menyela "Apa yang kau tahu tentang kejahatan itu?" Ebook by Dewi Kangzusi 231 Kang Zusi http://kangzusi.com/ "Aku tidak tahu apa-apa, Ki Sanak. Yang aku tahu hanyalah kata orang" Bab 12 - Jari Besi Orang yang berwajah tampan itu tersenyum, katanya "Sudahlah, sebaiknya kau jual saja kudamu kepadaku, maksudku, kita bertukar kuda, berapa aku harus menambah?" Renjana Pendekar 13 Pendekar Gila 10 Tengkorak Darah Sepasang Pedang Iblis 13