Si Rajawali Sakti 1
Si Rajawali Sakti Karya Kho Ping Hoo Bagian 1 SI RAJAWALI SAKTI Asmaraman S. Kho Ping Hoo Zaman Lima Dinasti ( 907 - 960 ) merupakan jaman yang amat buruk di Negeri Cina. Dalam masa setengah abad itu perebutan kekuasaan terjadi, perang antara bangsa sendiri yang terpecah belah membuat negeri itu berganti-ganti dinasti sampai lima kali, berganti-ganti dinasti berarti berganti-ganti pula Kaisar dan berubah-ubah pula peraturan. Akibatnya hanyalah kebingungan, ketakutan, dan penderitaan bagi rakyat jelata. Perang adalah hasil dari mereka yang berada di atas saling memperebutkan kekuasaan. Mereka saling memperkuat kedudukan dirinya dengan cara mengupah para perajurit dan menghimpun mereka dalam pasukan-pasukan, atau ada pula yang membujuk rakyat Jelata dengan janji-janji muluk sehingga rakyat yang bodoh terbius dan mengira bahwa semua bujukan itu benar sehingga kelak mereka akan hidup makmur. Pasukan pasukan yang diberi upah dan rakyat yang terkena bujukan lalu berperang mati-matian untuk dia atau mereka yang berkuasa. Mereka yang kalah perang akan mati bersama pemimpin mereka yang menjadi dalangnya. Bagaimana mereka yang menang perang, sisa dari mereka yang mati siasia" Pasukan-pasukan yang membela si pemenang tentu saja menerima hadiah agar mereka menjadi semakin setia membela sang pemimpin dan kaki tangannya. Adapun rakyat kecil yang mengharapkan kemakmuran tetap saja seperti biasa dan semua janji muluk hanya menjadi mimpi belaka. Memang kemenangan mendatangkan kemakmuran, akan tetapi bagi siapa" Yang jelas, bagi para pemimpin yang mendapatkan kedudukan tinggi, yang ketika masih berjuang memperebutkan kekuasaan, mengatas-namakaei rakyat. Setelah menang, maka agaknya mereka sajalah yang dimaksudkan dengar rakyat itu, sedangkan rakyat kecil sudah tidak masuk hitungan lagi. Tetap saja menderita. Tidak ada rakyat, kecuali mereka yang terbius janji-janji, yang suka berperang, apalagi berperang di antara bangsa sendiri. Yang mencetuskan perang adalah mereka yang sedang memperebutkan kekuasaan yang sesungguhnya bukan lain adalah memperebutkan harta. Kekuasaan itu sesungguhnya adalah harta .atau lebih tepat, melalui kekuasaan urang dapat memperoleh harta. Kalau kekuasaan tidak dapat mendatangkan harta yang menjadi sarana tercapainya kesenangan duniawi, pasti tidak akan ada yang memperebutkan kekuasaan! Dinasti terakhir yang berkuasa di Cina adalah Dinasti Kerajaan Chou (951 - 960). Kaisar Chou Ong adalah seorang kaisar yang tua dan lemah lahir batinnya. Dia yang menjadi kaisar, namun kekuasaan yang berlaku adalah kekuasaan para pembesar. Mereka itu ber-lumba untuk mengumpulkan harta dunia banyaknya, dan untuk itu, mereka menghalalkan segala cara. Korupsi, sogok menyogok, penindasan, pemerasan terjadi di mana-mana. Hukum yang berlaku seolah hukum rimba, siapa kuat dia berkuasa dan menang. Terjadilah kekacauan di mana-mana dan para penjahat bermunculan merajalela. Dalam keadaan seperti ini, kembali rakyat kecil yang menderita. Gerombolan-gerombolan perampok beraksi, terutama di daerah dan kota atau dusun yang jauh dari kota raja. Pada suatu hari di musim semi tahun 958, dusun Ki-bun sebelah selatan Hang-chou mendapat giliran tertimpa malapetaka. Pada pagi hari itu, segerombolan perampok yang terdiri dari sekitar lima puluh orang, menyerbu dusun itu. Mereka adalah laki-laki yang berusia antara tiga puluh sampai empat puluh tahun, rata-rata bertubuh kekar dan bersikap kasar dan bengis. Gerombolan perampok ini sudah mengganas di mana-mana, bahkan sekarang berani mengganggu dusun Ki-bun yang tidak berada jauh dari kota Hang-chou. Pemimpin mereka terdiri dari tiga orang. Mereka sudah terkenal di dunia hitam dengan julukan Tiat-pi Sam wan (Tiga Lutung Bertangan Besi) yang merupakan kakak beradik seperguruan. Yang pertama adalah Yong Ti, berusia tiga puluh tahun, bertubuh tinggi besar bermuka hitam dan dia terkenal lihai sekali dengan senjatanya berupa sebatang tombak baja. Orang ke dua bernama Oh Kun, usianya tiga puluh tujuh tahun, bertubuh tegap tinggi dengan muka penuh brewok dan dia juga lihai dan terkenal dengan senjatanya siang-to (sepasang golok). Adapun saudara seperguruan termuda bernama Joa Gu, berusia tiga puluh lima tahun, bertubuh gendut agak pendek dengan wajah bundar kekanakan. Joa Gu ini pun lihai dengan senjatanya berupa sepasang kapak. Setengah tahun yang lalu, sekelompok kecil dari gerombolan ini yang hanya terdiri dari sembilan orang secara liar tanpa pemimpin pernah mengganggu Ki-bun. Akan tetapi mereka dibuat kocar-kacir karena ada Si Tiong An yang tinggal di dusun itu. Si Tiong An adalah seorang bekas guru silat yang mengungsi ke dusun itu dari kota raja. Sebagal seorang murid Siauw-lim-pai, Si Tiong An cukup lihai dan dialah yang menghajar sembilan orang anak buah gerombolan itu sehingga mereka luka-luka dan melarikan diri. Hal itu akhirnya diketahui Tiat-pi Sam-wan. Tiga orang pimpinan ini menjadi marah sekali dan pada pagi hari itu mereka menyerbu dusun Ki-bun bukan hanya untuk merampok penduduk dusun, akan tetapi terutama sekali untuk membalas dendam kepada Si Tiong An. Begitu memasuki dusun Ki Bun, lima puluh orang anak buah perampok itu mulai beraksi. Segera terdengar jerit tangis para wanita berbaur dengan suara gelak tawa para perampok. Barang-barang yang sekiranya berharga dirampok habishabisan, para pria yang berani melakukan perlawanan dibacok roboh. Gadis-gadis dan wanita-wanita muda tidak dapat melepaskan diri dari gangguan para perampok yang sadis dan kejam. Tiga orang Tiat-pi Sam-wan memang membiarkan anak buah mereka berpesta ria. Mereka bertiga langsung saja menuju ke rumah Si Tiong An yang di dusun itu disebut Si Kauwsu (Guru Silat Si). Pada saat itu, Si Tiong An dan isterinya yang sedang berada di dalam rumah, mendengar suara ribut-ribut. Maklum bahwa mungkin ada bahaya mengancam penduduk karena pada masa itu bukan hal aneh kalau ada gerombolan penjahat mengacau di dusun-dusun, Si Tiong An cepat mengambil dua batang pedang mereka. Yang sebatang dia berikan kepada isterinya. "Di mana Han Lin?" tanya Si Tiong An kepada isterinya. "Dia tadi mengantar dagangan kue ke pasar." "Ah, mari kita cari dia dulu. Dia harus dilindungi." kata Si Tiong An kepada isterinya dan mereka berdua segera keluar dari rumah. Akan tetapi begitu muncul di depan rumah, mereka melihat di pekarangan rumah mereka terdapat tiga orang yang berdiri berjajar dengan sikap bengis. Dan mereka juga mendengar jerit tangis dan teriakan-teriakan. Dari kanan kiri, tanda bahwa gerombolan mulai mengganas dan mengganggu penduduk:! Sementara itu, tiga orang kepala perampok tertegun ketika mereka memandang kepada isteri Si Tiong An. Tak mereka sangka di sebuah dusun kecil seperti Kibun ini terdapat seorang wanita yang demikian montok, denok d jelita! Memang pasangan suami isteri ini lain daripada penduduk Ki-bun. Si Tio An sendiri yang berusia sekitar tiga puluh lima tahun adalah seorang laki-Iaki yang tampandan gagah, bertubuh tegap. Adapun isterinya, adalah seorang wanita berusia tiga puluh tahun yang cantik jelita, tubuhnya masih denok langsing seperti seorang gadis sembilan belas tahun. Akan tetapi wanita yang cantik dan lembut ini pun tidak dapat dipandang ringan. Ia bukan seorang lemah karena walaupun ia hanya mendapat bimbingan dan latihan dari suaminya, ia sudah mahir membela diri dengan i mu silat pedang yang cukup lihai. Melihat tiga orang laki-laki berdir menghadang di pelataran rumah, suami isteri itu tidak merasa gentar. Yang mereka khawatirkan adalah anak tunggal mereka, yaitu Si Han Lin. Anak itu berusia sepuluh tahun dan pagi itu dia membantu ibunya yang membuat kue, mengantarkan dagangan kue itu kepada para warung langganan di pasar. Tadinya, nyonya Si hendak mencari anaknya, akan tetapi melihat tiga orang itu yang agaknya berbeda dari para perampok biasa, ia merasa perlu untuk membantu suaminya menghadapi mereka. Ha-ha-ha, apakah kamu ini yang brrnama Si Tiong An dan beberapa bulan yang lalu telah berani memukuli sembilan orang anak buah kami?" kata Yong yang tinggi besar bermuka hitam. "Anak buah kalian datang merampok dan mengganggu penduduk di dusun ini, tentu saja aku menghajar mereka karena mereka jahat." kata Si Tiong An. "Ah, begini saja!" kata Joa Cu yang gendut sambil tersenyum menyeringai memandang kepada Nyonya Si. "Kami sudahi saja urusan itu asalkan isterimu yang bahenol ini mau ikut dengan kami dan melayani kami selama sebulan. Ba gaimana?" "Jahanam!" Nyonya Si membentak da ia sudah meloncat ke depan sambil menggerakkan pedangnya menyerang Si Gendut yang kurang ajar itu. "Tranggg.............!" Pedang wanita itu terpental dan hampir terlepas dari pegangan ketika pedang itu tertangkis oleh sebatang tombak baja yang panjang dan besar. "Biar kutangkap perempuan ini. Kalian bunuh dia!" kata Yong Ti sambil menggerakkan tombaknya mendesak Nyonya yang melawan mati-matian. Ketika Si Tiong An hendak membantu isterinya, Oh Kun dan Joa Gu sudah menghadang dan mengeroyoknya. Si Tion An memutar pedangnya dan begitu mereka berkelahi, murid Siauw-lim-pai it maklum bahwa sekali ini dia menghadapi lawan yang berat. Baru orang tinggi tegap brewokan itu saja sudah memilik tenaga dan kecepatan yang sebanding dengan dia, apalagi dibantu oleh Si Gendut yang bersenjata sepasang kapak. Sebentar saja dia pun terdesak oleh sepasang golok dan sepasang kapak itu. Nyonya Si sama sekali bukan lawan Yong Ti, orang pertama dari Tiat-pi Sam wan. Dia adalah orang yang terpandai di antara tiga kakak beradik seperguruan itu. Tombaknya yang panjang dan berat itu bergerak dengan kuat dan ganas sekali. Biarpun Nyonya Si melawan dengan nekat dan mati-matian, namun baru lewat belasan jurus, pedangnya terpental lepas dari tangannya ketika beradu dengan tombak lawan. Bahkan ia terhuyung, terdorong oleh tenaga lawan yanng kuat. Sebelum ia sempat menghindarkan diri, tangan kiri Yong Ti yang besar dan panjang itu menyambar dan mencengkeram otot di pundak Nyonya Si, membuat wanita itu terkulai dan kehilangan tenaga. Di lain saat, sambil tertawa-tawa Yong Ti sudah memanggul tubuh wanita itu di atas pundak kirinya, lalu dengan tombak di tangan kanan, dia membantu dua orang sutenya (adik sepergurunnya), meluncurkan tombaknya menyamar ke arah punggung Si Tiong An. Si Kauwsu sedang terdesak oieh dua orang lawannya. Mendengar berdesingnya tombak yang menyerang dari belakang, dia cepat memutar tubuhnya sambil menggerakkan pedangnya menangkis. "Cringgg...........!" Pedangnya terpental saking kuatnya tombak itu beradu dengan pedang. Si Tiong An dapat menghindar dari serangan itu, akan tetapi melihat isterinya dipondong Yong Ti, dia terkejut sekali. "Lepaskan isteriku!" bentaknya dan dengan nekat dia menerjang Yong Ti untuk menolong isterinya. Kesempatan itu dipergunakan oleh Oh Kun dan Joa Cu untuk berbareng menyerang dari kanan kiri. Golok dan kapak menyambar dan sekali ini, karena perhatiannya tertuju kepada isterinya, kurang cepat Si Tiong An melindungi dirinya dan sebatang golok Oh Kun mengenai pahanya. Si Tiong An terhuyung dan darah mengucur dari pahanya yang terluka. Oh Kun dan Joa Gu semakin ganas menyerangnya dan Si Tiong An terpaksa memutar pedang melindungi dirinya. Kini gerakannya kurang cepat karena paha kirinya telah terluka sehingga dia terdesak hebat. Melihat ini, Yong Ti merasa tidak perlu membantu kedua adik seperguruannya lagi dan sambil tertawa dia lalu meninggalkan tempat itu sambil memondong tubuh Nyonya Si yang mulai dapat tergerak dan meronta-ronta. Namun, makin kuat ia meronta, semakin senang hati Yong Ti karena dia merasakan betapa tubuh yang lunak itu kini bergerak-gerak hidup, tidak seperti tadi diam saja seperti memanggul mayat. Rontaan Nyonya Si tidak ada artinya lagi kepala perampok yang bertubuh kokoh kuat itu, bahkan ketika kedua tangan wanita itu memukuli punggungnya, dia semakin senang, merasa seolah punggungnya dipijat-pijat. Ketika Yong Ti yang memondong wanita itu melewati pasar yang berada di ujung dusun, pasar yang kini menjadi sepi karena orang-orang yang berada di situ sudah berlari-larian ketakutan, seorang anak laki-laki memandangnya dengan mata terbelalak. Anak ini berusia sepuluh tahun dan dia memegang sebuah keranjang yang sudah kosong. Dia adalah Si Han Lin, putera tunggal Si Tiong An yang tadi mengantar dagangan kue buatuan ibunya kepada warung-warung di pasar. Dia mendengar akan adanya peram pok yang menyerang dusun itu dan ketik, semua orang melarikan diri meninggalkai pasar, dia pun keluar dan hendak pulang Han Lin adalah seorang anak yang tabah. Dia percaya kepada ayah ibunya yang di tahu memiliki kepandaian silat yang tangguh, terutama ayahnya. Dia menyaksikan pula ketika beberapa bulan yang lalu ayahnya menghajar sembilan orang perampok yang mengacau dusun mereka. Akan tetapi ketika dia berjalan hendak pulang, dia melihat Yong Ti yang memanggul ibunya. Melihat ibunya meronta-ronta dalam pondongan laki-laki tinggi besar muka hitam yang membawa tombak itu, dan mendengar ibunyi menjerit-jerit, Han Lin terkejut dan cepat dia membuang keranjang kosongnya lalu mengejar. Yong Ti melangkah dengan lebar dan cepat sehingga Han Lin harus berlari untuk dapat mengejarnya. Sambil tersenyum menyeringai karena senang Yong Ti keluar dari pintu gerbang dusun, tidak peduli lagi akan anak buahnya karena di sana sudah ada dua orang sute yang menjadi wakilnya. Dia ludah ingin sekali bersenangsenang degan tawanannya yang cantik bahenol. Tiba-tiba Han Lin yang sudah dapat mengejarnya dan berada di belakangnya berseru. "Lepaskan Ibuku, jahanam!!" Anak itu dengan nekat lalu melompat dan menubruk dari belakang, menangkap kedua lengan ibunya dan menariknya agar terlepas dari panggulan raksasa muka hitam itu. Yong Ti terkejut. Dia memutar tubuhnya sambil menggerakkan kaki menendang. "Bukkk........!" Tubuh anak itu terlempar sampai tiga tombak ketika terkena tendangan kaki Yong Ti yang besar dan kuat. Kepala perampok itu marah sekali melihat bahwa yang memakinya hanyalah seorang anak laki-laki kecil. Maka dia lalu melangkah maju menghampiri dengan tombak di tangan. "Bocah setan, mampuslah engkau makinya dan dia mengangkat tombaknya, hendak dihujamkan ke tubuh Han Lin yang masih belum bangkit karena tadi tertendang dan terbanting. Pada saat tombak itu meluncur, tiba-tiba dengan sekuat tenaga Nyonya meronta sehingga terlepas dari panggulan dan secepatnya ia menubruk puteranya. "Han Lin..........!" "Creppp........!" Nyonya Si menjerit sambil mendekap anaknya. Yong Ti terbelalak melihat betapa tombak yang tadinya hendak hujamkan ke tubuh anak itu ternyata menancap di punggung Nyonya Si yang menubruk anaknya! "Ibu........, Ibu...........!" Han Lin merangkul ibunya, pakaiannya kebanjiran darah ibunya yang punggungnya tertembus tombak "........Han Lin........" Nyonya Si han dapat mengeluarkan kata-kata itu, la terkulai dan tewas. "Ibuuu..........!" Setelah terkejut melihat wanita itu oleh tombaknya, Yong Ti menjadi marah bukan main. Dicabutnya tombak-dan dengan wajah bengis dia memandang kepada Han Lin yang masih mngis dan merangkul mayat ibunya. "Bocah setan!" Dia membentak dansekali lagi tombak itu diangkatnya untuk dihujamkan ke tubuh kecil itu. "Siancai (damai)..........!' Terdengar seruan lembut dan tiba-tiba tombak itu terus dari tangan Yong Ti. Tentu saja kepala perampok itu terkejut bukan main. tidak melihat sesuatu dan mendengarkan orang kecuali suara tadi. Bagaimana mungkin tiba-tiba tombaknya direnggut lepas dari pegangannya" Padahal, tenaga sepuluh orang belum tentu akan mampu merenggut tombaknya terlepas dari tangannya. Dia hanya merasakan ada tenaga yang tak dapat dilawannya menarik tombak itu sehingga terlepas dari tangannya. Dia cepat memutar tubuh dan melihat seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun. Tubuhnya tinggi kurus terbungkus kain putih yang milibat-libatkan, kakinya mengenakan sandal kulit kayu. Rambutnya yang panjang dan bercampur uban itu dibiarkan tergerai sampai ke punggung. Jenggot dan kumisnya rapih dan seperti rambut dan pakaiannya tampak bersih. Wajahnya yang kurus masih tampak tampan dan lembut, sepasang matanya lembut dan mulut yang berada di balik kumis itu selalu tersenyum ramah. Dia memegang tombal milik Si Rajawali Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Yong Ti dan sambil menggelengkat kepalanya dia berkata halus. "Benda pembunuh ini mendatangkan kekejaman di hati manusia, sungguh menyedihkan..........." Kemudian dia menggunakan jari-jari tangannya, menekuknekuk tombak itu dan terdengar suara berdetakan ketika tombak itu patah-patah. Hal ini dilakukan demikian mudahnya seolalah dia mematah-matahkan sehelai lidi saja! Setelah membuang potongan-potongan tombak itu, dia memandang ke arah Han Lin yang masih memeluk ibunya sambil menangis. Kembali kakek itu menggeleng kan kepalanya. "Anak baik, lepaskan Ibumu.Jangan gangganggu perjalanannya kembali ke asalnya. Marilah, Nak, bangkitlah." menjulurkan tangannya memegang tangan Han Lin dan tiba-tiba saja Han Lin menurut, bangkit walaupun dia masih memandang ke arah tubuh ibunya dengan bercucuran air mata. Sementara itu, Yong Ti sudah meniatkan kesadarannya kembali. Tapi dia nya memandang bengong seperti dalam mimpi, hampir tidak percaya betapa kakek itu demikian mudahnya mematah-mematahkan tombak bajanya yang amat kuat! Kini, kemarahannya membutakan hatinya, membuat dia tidak mau menyadari bahwa dia berhadapan dengan orang manusia yang amat sakti. Sambil menggereng seperti seekor beruang dia lalu menerjang dan memukul ke arah kepala kakek itu. Yang dipukul agaknya tidak tahu karena dia sedang menunduk dan memandang wajah Han Lin sambil mengelus rambut kepala anak itu. "Jangan pukul ....!!" Han Lin yang melihat kakek itu dipukul cepat melompat dan dengan kepalanya dia menumbuk ke arah perut Yong Ti! "Bukkk!" Tubuh Han Lin terpental ketika kepalanya menumbuk perut kepala perampok itu. Yong Ti melanjutkan pukulannya ke arah kepala kakek baju putih, mengerahkan seluruh tenaganya karena dia ingin sekali pukul meremukkan kepala kakek itu. "Wuuuttttt !" Dia memukul sekuat tenaga, akan tetapi tangannya terhenti beberapa sentimeter di atas kepala kakek itu, seolah tertahan sesuatu yang tidak tampak, yang lunak namun kuat sekali! Yong Ti kembali terkejut, heran akan tetapi juga penasaran sekali, tidak percaya apa yang telah terjadi. Dia kini mengerahkan tenaga ke arah kedua tagannya dan dengan gencar melakukan pukulan ke arah kepala, muka, dada dan lambung kakek itu. Kedua tangannya, bergerak cepat sekali seolah tangan itu menjadi delapan, namun semua pukulan tidak mengenai tubuh kakek yang berdiri diam dan hanya memandang sambil tersenyum. Semua pukulan itu, seperti mental, terhenti sebelum mengenai tubuh kakek itu, berhenti terhalang sesuatu yang tidak tampak namun kuat sekali! Han Lin yang sudah bangkit lagi, melihat pula kejadian ini dan dia yang sudah mendengar banyak cerita ayahnya tentang orang-orang sakti, segera dapat menduga bahwa penolongnya itu tentulah porang yang amat sakti. Dia lalu mendekati jenazah ibunya dan berlutut sambil mengelus wajah ibunya yang seperti orang tidur namun tampak demikian cantik dan tenang. Pada saat itu, terdengar suara hiruk pikuk dan lima puluh orang anak buah perampok, dipimpin oleh Oh Kun dan Joa, bermunculan dari pintu gerbang dusun yang baru saja mereka merampok habis-habisan. Mereka melihat Yong Ti memukuli seorang kakek yang berdiri tanpa bergerak dandua orang kepala rampok itu segera berlari menghampiri sambil mencabut senjata mereka. Melihat betapa Yong Ti memukuli namun tak sebuah pun pukulan dapat mengenai tubuh kakek berambut panjang itu, Oh Kun dan Joa Gu tanpa diperintah lagi segera menyerang dengan senjata mereka. Kun membacokkan dua buah goloknya arah kepala dan leher, sedangkan Joa Gu menyerang dengan sepasang kapaknya arah dada dan perut. "Wuuuttttt......... ting-ting-ting-ting........!!! Empat buah senjata itu seolah bertemu dengan benda yang amat keras dan kuat sehingga terpental dan terlepas dari kedua tangan Oh Kun dan Joa Gu! Tentu saja dua orang kepala perampok ini terkejut bukan main. Mereka menggunakan tangan untuk memukul di kaki untuk menendang seperti yang dilakukan Yong Ti, akan tetapi semua pukulan dan tendangan itu tidak pernah mengenai sasaran, tertahan sesuatu, sebelum menyentuh tubuh kakek itu seolah tubuh itu dilindungi perisai yang tidak tampak namun yang kuat sekali! Dalam kemarahan dan penasaran, juga ketakutan yang membuat dia menjadi semakin kejam, Yong Ti berseru kepada anak buahnya. "Keroyok dan bunuh Kakek ini!" Ketakutan memang menimbulkan kekejaman, atau lebih tepat lagi, kekejaman timbul karena rasa takut akan keselamatan diri sendiri. Untuk menyelamatkan diri sendiri, seseorang akan tega untuk membunuh semua orang yang menjadi ancaman bagi dirinya. Hati, akal pikiran yang dikuasai nafsu daya rendah pembentuk dan membesar-besarkan sifat sehingga kalau aku-nya terancam itu terganggu, timbul ah rasa takut yang berkembang menjadi kemarahan dan kekejaman. Lima puluh orang anak buah perampok itu pun segera menyerang kakek itu seperti semut-semut hendak mengeroyok seekor kupu. Akan tetapi, senjata mereka terpentalan dan ketika kakek itu menggerakkan tangan mendorong, tubuh merek berpelantingan seperti daun-daun kering dihembus angin yang amat kuat! Tidak terkecuali, tubuh Tiat-pi Sam wan yang terkenal jagoan itu terpelanting dan terguling-guling di atas tanah. Mereka tidak terluka, akan tetapi mereka menjadi semakin ketakutan dan akhirnya, tiada yang memberi komando, mereka semua, lima puluh tiga orang itu, lari tukang pukang, bahkan mereka meninggalkan barang- barang yang tadi mereka rampok dari rumah para penduduk dusun ki-bun! Setelah mereka semua melarikan diri, Han Lin yang teringat akan ayahnya, lalu bangkit dan berkata kepada kakek itu. Dia sudah mendapat pendidikan ayahnya tentang sopan santun di dunia persilatan, maka ia menjatuhkan diri berlutut ketika bicara. "Lo-cian-pwe, mohon pertolongan Lo-cian-pwe terhadap Ayah saya dan para penduduk Ki-bun." "Mari kita lihat!" Kakek itu berkata lu menggandeng tangan Han Lin dan memasuki pintu gerbang dusun. Di mana-wma terdengar wanita menangis karena hilangan harta benda maupun karena tadi diganggu anggauta perampok yang kurang ajar dan melanggar kesusilaan. Han Lin menggandeng tangan kakek itu diajak menuju ke rumahnya. Ketika tiba di depan pekarangan rumah, dia melihat beberapa orang tetangga berkumpul, mengelilingi mayat Si Tiong An. Melihat ayahnya menggeletak dengan tubuh penuh luka dan sudah tewas, Han Lin menjerit dan lari menubruk mayat itu. "Ayaaahhh............! Ayah.............Ibu................ahhh.......... mengapa kalian meninggalkan aku............?" Dia menangis tersedu-sedu memeluk mayat ayahnya sehingga pakaiannya makin banyak dilumuri darah. Kiranya tadi Si Tiong An yang sudah luka dan terdesak oleh Oh Kun dan Joa Gu, terpaksa roboh ketika banyak anak buah perampok ikut mengeroyok, memang berhasil merobohkan beberapa orang anggauta perampok, akan tetapi dia sendiri akhirnya roboh dengan tu penuh luka dan tewas. Sebuah tangan memegang pundak Han Lin dan tiba-tiba saja Han Lin merasa ada tenaga yang mengangkatnya berdiri. "Anak baik, seperti juga Ibumu, Ayahmu tidak boleh kau halangi perjalanann menuju ke alam asalnya. Semua telah terjadi dan apa yang telah terjadi tidak dapat diubah lagi." Suara kakek itu dengan lembut menghibur, akan tetapi mengandung wibawa kuat yang membuat Han Lin sadar sehingga dia dapat menghentikan tangisnya Kakek itu lalu memandang kepada banyak orang yang berdatangan memenuhi pelataran rumah keluarga Si itu. "Studara-saudara, harap kalian jangan ribut. Semua perampok telah terusir pergi dan mereka meninggalkan barang-barang kalian di luar dusun. Pergilah kaliandan ambil kembali barang-barang kalian, dan jangan lupa agar membawa jenazah Ibu anak ini ke sini untuk diurus sebagaimana mestinya." Mendengar ini, semua penduduk yang laki-laki berbondong keluar dari dusun. Dan benar saja, mereka menemukan semua barang yang dirampok itu berada di situ, berhamburan. Mereka lalu mengmbili barang-barang itu, dibawa masuk ke dusun dan empat orang tetangga memikul jenazah Nyonya Si, dibawa pulang ke rumah Keluarga Si . Sementara mereka tadi pergi keluar dusun, kakek itu mengangkat jenazah Si Tiong An, membawanya masuk ke dalam rumah bersama Han Lin dan merebahkah jenazah itu ke atas dipan. Kemudian dia duduk di atas kursi dan Han Lin yang kehilangan ayah ibu itu duduk di atas lantai, di depannya. "Anak baik, siapakah namamu dan siapa pula Ayahmu yang tewas ini?" "Lo-cian-pwe, nama saya Si Han Lin dan Ayah nama Si Tiong An. Sekarara Ayah dan Ibu telah tewas terbunuh rampok, saya .......... saya .......... menjadi yatim piatu, hidup seorangdiri..........." Han Lin menahan tangisnya dan mengusap dua titik air mata yang turun ke atas pipanya. "Engkau tidak mempunyai sanak keluarga lain?" Han Lin menggelengkan kepalanya. "Siancai! Sekarang, setelah Ayah Ibumu tewas dan engkau hidup seorang diri apa yang akan kau lakukan selanjutnya?" Mendengar pertanyaan ini, tiba-tiba Han Lin lalu berlutut di depan kaki kakek itu dan menangis. "Lo-cian-pwe" kalau Lo-cian-pwe sudi menerimanya ingin ikut Locian-pwe, biarlah saya jadi pelayan Lo-cian-pwe. Bawalah saya, Lo-cianpwe..........!!" Kakek itu membiarkan Han Lin berlutut dan menyembah-nyembah di depan kakinya. Dia menoleh untuk melihat keadaan dalam rumah itu. Agaknya orang anak itu hidup dalam keadaan yang cukup baik, pikirnya. "Han Lin, kalau engkau ingin hidup ikut denganku, syaratnya mungkin berat bagimu." "Katakanlah, Lo-cian-pwe, apa syaratnya" Saya pasti akan memenuhi semua permintaan Lo-cian-pwe." Han Lin sudah berhenti menangis dan mengangkat muka memandang kakek itu dengan mata merah dan bengkak karena terlalu banyak menangis. "Syaratnya, engkau harus tahan menderita, hidup serba melarat bersamaku, dan engkau harus tinggalkan rumah dan semua isinya ini. Kalau engkau benar-benar hendak ikut denganku, rumah dan isinya ini akan kuserahkan kepada para penduduk dusun ini. Selain itu engkau harus pergi denganku sekarang juga dan menyerahkan urusan pemakaman orang tuamu kepada para penduduk." Han Lin terkejut dan bingung. "cian-pwe, apakah saya tidak boleh menunggu sampai selesai pemakaman kedua orang tuaku?" "Terserah kepadamu, Han Lin. Akan tetapi ketahuilah bahwa sekarang aku akan pergi meninggalkan tempat ini. Terserah kepadamu hendak ikut denganku atau tidak." Sebelum Han Lin menjawab, empat orang tetangga yang mengangkut jenazahNyonya Si telah tiba dan jenazah itu dibaringkan di sebelah jenazah Si Tiong An. Melihat jenazah ayah ibunya, kembali Han Lin menangis sambil berlutut depan pembaringan. "Han Lin, bagaimana, apakah engkau hendak ikut dengan aku atau tidak" Pertanyaan yang lembut itu menyadarkan Han Lin dan dia harus mengakui kelemahannya, kembali menangisi kematian ayah ibunya yang menurut kakek hanya menghalangi kepergian mereka. Maka dia menjawab tegas. "Lo-cian-pwe, saya ikut!" Lalu dia memberi hormat dengan berlutut di depan dipan dan berkata. "Ayah dan Ibu, ampunilah anakmu yang tidak sempat mengurus jenazah Ayah dan Ibu karena anak harus ikut dengan Lo-cian-pwe........" Dia menoleh kepada kakek itu, "Maaf, Lo-Cian-pwe, siapakah nama Lo-cian Pwe" Saya akan memperkenalkan kepada ayah dan Ibu." Kakek itu tersenyum. "Orang-orang menyebut aku Thai Kek Siansu." "Ayah dan Ibu, anakmu harus ikut dengan Lo-cian-pwe Thai Kek Siansu. Ayah dan Ibu, pergilah dengan baik dan doakanlah anakmu agar menjadi anak yang baik." Dia memberi hormat delapan kali lalu bangkit berdiri, memandang kepada Thai Kek Siansu dengan sikap tegas. "Lo-cian-pwe, saya sudah siap!" Thai Kek Siansu tersenyum dan mengelus kepala anak itu. "Anak yang baik, panggil ah semua orang agar berkumpuldi sini." "Baik, Lo-cian-pwe!" Setelah berkata demikian, dengan sigap dan cepat ke keluar dari rumah dan memanggil semua orang agar datang berkumpul di pelataran rumahnya. Semua orang yang sudah mendengar akan munculnya kakek pakaian putih yang secara aneh membantu para perampok meninggalkan semua barang rampasan di luar dusun, berbondo-bondong datang berkumpul. Setelah semua penduduk berkumpul termasuk Lurah Thio yang menjadi kepala dusun di situ, Thai Kek Siansu mengandeng tangan Han Lin, berdiri di pendapa dan berkata kepada mereka. Suaranya halus dan lirih saja, akan tetapi anehnya, semua orang sampai yang berdiri paling jauh dapat mendengar bisikan itu dengan jelas! "Saudara-saudara penduduk Ki-Bun. Anak Si Han Lin ini telah kehilangan Ayah Ibunya dan menjadi yatim piatu tidak memiliki sanak keluarga lain." "Kami mau memeliharanya!" "Biarkan aku yang menjadi pengganti orang tuanya!" Banyak orang meneriakkan kesanggupan mereka untuk menerima Han Lin. Hal ini membuktikan bahwa anak itu memang disuka oleh para penduduk yang amat menghormati ayah ibu anak itu. Tiba-tiba Han Lin berkata dengan suara lantang. "Para Kakek, Paman dan Bibi! Terima kasih atas kebaikan hati dan penawarankalian. Akan tetapi aku sudah mengambil keputusan untuk ikut bersama Lo-cian-pwe Thai Kek Siansu ini!" Thai Kek Siansu tersenyum lalu berkata. "Saudara-saudara sekalian telah mendengar sendiri. Han Lin ingin ikut bersamaku, maka atas namanya kami serahkan rumah dan seisinya kepada kalian. Harap Saudara Lurah mengaturnya dan juga mengadakan upacara sembahyang dan mengatur pemakaman suami isteri Si Tiong An dengan sebaiknya, Nah, kami berdua akan pergi sekarang." Setelah berkata demikian, semua orang menjadi berisik karena saling bicara sendiri. Akan tetapi tiba-tiba me reka semua tersentak dan berhenti bicara karena ada angin bertiup kencang dan ketika mereka memandang ke pendapa kakek dan anak itu telah lenyap! Semua orang, dipelopori Lurah Thio menjatuhkan diri berlutut untuk menghormat kepergian kakek itu dan semenjak saat itu, nama Thai Kek Siansu menjaj pujaan penduduk dusun Ki-bun. Bukan hanya menjadi pujaan, bahkan menjadi pelindung, karena kalau ada gerombolan penjahat hendak mengganggu dusun itu dan mendengar bahwa Thai Kek Sianu menjadi pelindung dusun Ki-bun dan mendengar pula betapa gerombolann yang dipimpin oleh orang-orang sakti seper Tiat-pi Samwan juga dihajar sehingga lari ketakutan oleh Thai Kek Siansu mereka tidak jadi mengganggu karena takut! oooOOooo Si Han Lin yang baru berusia sepuluh tahun itu sejak kecil sudah diberi pelajaran dasar-dasar ilmu silat Siauw-lim-Pai oleh ayahnya sehingga dia memiliki tubuh yang kuat walaupun agak kurus. Dia sudah banyak mendengar cerita Ayahnya tentang kisah para pendekar yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, bahkan gurunya pernah bercerita tentang ("orang yang amat sakti seperti Tat Mo-couwsu yang nama aselinya Buddhi Dharma, yang memiliki ilmu kepandaian seperti dewa dan yang pertama-tama menembangkan ilmu silat di Siauw-lim-Akan tetapi ketika dia digandeng oleh Thai Kek Siansu keluar dari rumahnya, dia merasa tubuhnya seperti melayang sehingga dia merasa heran bukan main. Apalagi ketika dia melihat betapa tahu-tahu dia sudah berada di luar dusun Ki-bun! Dia masih digandeng dan biarpun berrdua kakinya melangkah namun dia tidak merasakan menginjak tanah, melainkan seperti melayang dan meluncur. Dengan cepat sekali kakek itu membawanya mendaki bukit dan setelah tiba di puncak bukit, baru kakek itu berhenti dan melepaskan tangan yang digandengnya. Begitu dilepaskan oleh Thai Kek Siar su, Han Lin cepat menjatuhkan diri berlutut didepan kakek yang sudah duduk bersila di atas sebuah batu besar. "Lo-cian-pwe, saya mohon kepada Lo cian-pwe agar suka menerima saya sebagai murid." "Han Lin, kenapa engkau ingin menjadi muridku?" "Karena Lo-cian-pwe adalah seorang yang amat sakti dan amat pandai. Saya ingin mempelajari semua ilmu yang Lo cian-pwe kuasai." "Han Lin, ketahuilah bahwa tidak ada orang pandai di dunia ini. Tidak ada orang sakti! Yang Maha Sakti dan Maha Pandai itu hanyalah Tuhan! Kalau aku manusia mengaku sakti dan pandai, itu hanya membual saja, bualan yan sombong dan kosong!" "Akan tetapi saya melihat sendiri Lo cian-pwe tanpa bergerak sudah mampu mengusir para perampok itu. Bahkan tidak ada perampok yang dapat menyerang Locian-pwe, semua serangan itu tidak dapat mengenai tubuh Lo-cian-pwe. Apakah itu tidak sakti namanya?" Thai Kek Siansu menggelengkan kepalanya dan tersenyum. "Bukan aku yang sakti Si Rajawali Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo atau pandai, melainkan Tuhan Yang Maha Kuasa. Yang membuat aku terbebas dari semua serangan adalah kekuasaan Tuhan, bukan kesaktianku.Kalau kekuasaan Tuhan bekerja melindungiku, siapakah yang akan mampu menggangguku" Biar Iblis dan Setan sekalipun tidak mungkin dapat mengganggu seseorang yang dilindungi kekuasaan Tuhan. Manusia tidak ada yang pintar. Kalau dia dapat lakukan sesuatu, itu adalah karena iluin yang menganugerahi dengan kemampuannya itu. Bagaimana orang dapat mengaku pintar kalau tidak mampu menghitung rambut di kepalanya sendiri, tidak mampu menghentikan tumbuhnya rambut dan kukunya sendiri" Yang Maha Pandai hanya Tuhan dan yang dianugerahkan kepada manusia sesungguhnya hanya sedikit dan terbatas sekali. Karena itu bukalah matamu, Han Lin. Guru Sejati adalah Tuhan sendiri dan Dia telah memberimu hati akal pikiran untuk belajar dan ilmu-ilmu itu telah diberikan Tuhan dengan berlebihan melalui segala sesuatu yang terdapat di alam maya pada ini. Hidup ini adalah belajar, sampai kita mening galkan dunia ini." Anak berusia sepuluh tahun itu tentu saja agak sukar mengunyah dan menelan makanan batin yang mendalam itu, akan tetapi Han Lin yang cerdik mencatat dalam ingatannya. "Lo-cian-pwe, tanpa bimbingan Lo cian-pwe bagaimana mungkin saya akan dapat mengerti semua itu" Karena itulah maka saya mohon untuk menjadi murid Lo-cianpwe." Kakek itu mengelus jenggotnya, tersenyum dan mengangguk-anggukkan kepalanya. "Baiklah, Han Lin, kalau itu sudah menjadi tekadmu, aku akan membimbingmu, asalkan engkau percaya dengan penuh keyakinan akan adanya Thian yang menguasai seluruh alam semesta dan sekalian isinya, termasuk dirimu." "Saya percaya akan adanya Tuhan, suhu." kata Han Lin dengan penuh semangat dan gembira. "Dan engkau rela berserah diri kepada Tuhan sepenuhnya, tanpa pamrih, dan kau menerima segala sesuatu yang menempa dirimu dan di luar kekuasaanmu untuk menghindarinya dengan penuh kesabaran dan keikhlasan. Maukah engkau berserah diri sedalam itu kepadaNya sehingga mati pun akan kau terima dengan suka rela kalau hal itu memang diKehendakiNya?" "Saya bersedia untuk berserah diri kepada Tuhan, Suhu." kata pula anak itu dengan mantap. Dengan wajah riang Thai Kek Siansu tertawa mendengar kesanggupan anak itu. suara tawanya lembut dan merdu, akan tetapi ketika kakek itu tertawa dan menengadahkan kepalanya, Han Lin mendengar suara seperti ada halilintar menggeluduk dari jauh dan begitu kakek itu kini henti tertawa, suara menggeluduk di diatas itu pun berhenti. Tiba-tiba terdengar bunyi melengking di angkasa. Han Lin terkejut, apalagi suara itu disusul suara berkelepaknya sayap yang cukup keras. Dia mengangkat muka, berdongak ke atas dan mata anak itu terbelalak. Seekor burung yang luar biasa besarnya melayang dan mengelilingi puncak bukit itu. Belum pernah selama hidupnya Han Lin melihat burung sebesar itu. Dari bentuknya dia mengenal sebagai burung rajawali yang pernah dilihatnya, akan tetapi biasanya burung rajawali tidak seberapa besar, sampai besar seperti seekor ayam jantan. Akan tetapi burung yang melayang-layang besar sekali, kedua kakinya itu saja sebesar lengan orang dewasa dan kepala sebesar kepala kambing! "Ho-ho, Tiauw-cu (Rajawali), engkau mengenal suara tawaku dan datang .menyusulku ke sini" Ha-ha, Rajawali yang baik, turunlah dan jangan sungkan, ini adalah muridku bernama Si Han Lin. Aneh sekali! Rajawali raksasa itu seolah mengerti akan kata-kata Thai Kek Siansu. Dia meluncur turun dan hingga di atas tanah tak jauh dan batu yang diduduki kakek itu. Setelah rajawali itu turun, baru Han Lin melihat bahwa burung itu memang besar sekali, ketika berdiri di situ, dia lebih tinggi daripada dirinya sendiri! Melihat Han Lin memandang dengan heran, kagum dan juga takut, Thai Kek Siansu berkata sambil tersenyum. "Han Lin, ketahuilah bahwa Tiauw-liu ini adalah seekor Rajawali Sakti yang telah langka. Dahulu, induk burung ini merupakan sahabat baikku yang kujumpai di puncak Awan Biru, satu di antara puncak-puncak di Pegunungan Himalaya. Induk Rajawali Sakti itu merupakan sahabat lamaku yang setia dan baik sekali. Akan tetapi sekarang ia telah tiada dan ini adalah anak tunggalnya yang masih muda. Burung ini amat langka, Han Lin, dahulu hanya terdapat di Pegunung Himalaya, itu pun hanya sedikit dan sekarang entah masih ada berapa ekor yang masih hidup. Tiauw-cu ini sudah lima tahun tinggal bersamaku di Puncak Cin-ling-san dan engkau lihat, ketika aku meakukan perjalanan merantau dan sudah meninggalkannya selama hampir tahun, kini dia menyusul dan berhasil menemukan aku di sini." "Wah, dia hebat sekali, Suhu!" kata Han Lin girang dan dia pun menghampiri burung rajawali itu dan mengelus bulu halus di sayapnya. Burung itu mengerakkan kepalanya dan mengelus rambut kepala Han Lin dengan paruhnya yang runcing melengkung dan hitam mengkilat itu. "Ha, bagus sekali! Tiauw-cu ini agaknya juga suka kepadamu, Han Lin, biasanya nalurinya tidak akan salah memilih!" Han Lin memang kagum sekali mengamati burung rajawali itu baik-baik dari kepala sampai ke kaki. Paruh burung itu besar dan kokoh kuat, melengkung dengan ujung runcing tajam. Lehernya penuh bulu tebal dan di atas kepalan tampak jambul berwarna putih. Bulu burung itu keabu-abuan dengan sedikit titik-titik keemasan di bagian sayap dan ekornya. Tubuhnya juga kokoh dan keras dan kedua kakinya yang sebesar lengan manusia dewasa itu tampak kering dan dan seperti baja, bersisik dan jari-jarinya mekar dengan kuku-kuku yang runcing melengkung pula. "Han Lin, engkau pulanglah lebih dulu ke Cin-ling-san bersama Tiauw-cu. Aku masih mempunyai beberapa urusan dan harus berpisah darimu. Engkau pulanglah dulu ke Cin-i ng-san. Bersihkan pondok kita di sana, rawat tanaman sayur-sayuran.Tunggu aku di sana sampai aku pulang" "Suhu, bagaimana teecu (murid) dapat pergi ke Cin-ling-san" Teecu tidak tahu mana pegunungan itu dan teecu tidak pernah melakukan perjalanan jauh. Betapa jauhnya tempat itu, Suhu?" "Jangan khawatir, Tiauw-cu akan menemani dan mengantarmu sampai di sana." "Baik, Suhu!" kata Han Lin penuh mangat. "Berapa harikah teecu harus berjalan kaki menuju ke sana" Teecu siap berangkat sekarang juga!" Thai Kek Siansu mengelus jenggotnya dan tersenyum. Hatinya merasa senang melihat semangat besar dan keberanian muridnya ini yang siap mencari Cin-lingsan walaupun tidak tahu tempatnya dan tanpa memiliki sedikit pun uang bekal! "Kalau engkau berjalan kaki, kukira dalam waktu setengah tahun engkau baru akan sampai di sana, Han Lin." Anak itu terbelalak memandang gurunya. "Setengah tahun" Suhu maksudnya enam bulan, seratus delapan puluh hari" Wah, begitu jauhnya............!" Kembali kakek itu tertawa. "Ha-ha. engkau akan tiba tak selama itu, Han Lin. Paling lama dua hari engkau dapat tiba di pondok kita di Puncak Cemara di Pegunungan Cin-ling-san. Tiauw-cu akan mengantarmu ke sana." "Tiauw-cu akan mengantar teecu dapat dua hari tiba di sana" Akan tetapi Tiauw-cu dapat berlari secepat itu teecu yang tidak dapat dan akan tertinggal jauh............." "Dia akan terbang, Han Lin." "Dia dapat terbang, Suhu, akan tetapi teecu............." "Engkau duduk di atas punggurgnya Han Lin!" "Teecu" Dibawa terbang..............." Suhu, mana teecu berani" Bagaimana kalau tertergelincir dan terjatuh?" Han Lin bergidik membayangkan dia terjatuh dari punggung burung itu setelah diterbangkan tinggi. "Nah, lihat baik-baik dan amati dirimu sendiri, Han Lin. Mulai saat ini engkau harus membuka mata baik-baik dan terutama lebih dulu mengamati dirimu sendiri sebelum engkau mengamati apa yang berada di luar dirimu. Lihatlah, apakah rasa takut di dalam batinmu itu" Dari mana timbulnya perasaan takut dan ngeri itu" Coba rasakan dan jawab!" Han Lin memang masih kecil namun memiliki kecerdasan dan kematangan pertimbangan yang lebih daripada anak-anak biasa berusia sekitar sepuluh tahun berdiam diri, mencoba untuk menelusuri perasaannya sendiri. Tadinya dia sama sekali tidak mempunyai perasaan takut,akan tetapi mendengar bahwa dia harus naik ke punggung rajawali yang akan membawanya terbang, dia membayangkan dirinya tergelincir dan terjatuh, maka timbul ah rasa ngeri takut itu. "Suhu, kalau teecu tidak salah, rasa takut itu muncul dipikiran teecu setelah teecu membayangkan kalau teecu tergelincir dan terjatuh dari punggung Tiau-cu ketika dibawa terbang." "Nah, berarti bahwa rasa takut muncul dari ulah pikiranmu yang membayangkan hal-hal tidak enak yang belum terjadi. Pikiran bagaimana kalau nanti ataubagaimana kalau nanti begitulah yang mendatangkan rasa takut. Dengan datangnya rasa takut maka bijaksanaan kita pun goyah dan miring. Mengapa memikirkan hal-hal yang belum terjadi, yang hanya menimbulkan rasa takut" Mengapa pula membayangkan masa lalu yang hanya mendatangkan rasa sedih dan dendam kemarahan" Yang tidak penting adalah menghadapi saat itu, saat demi saat dengan penuh kewaspada. Engkau harus menaati perintah guru kalau aku sudah menyuruhmu menunggang Tiauw-cu, engkau harus taat dan yang penting bagimu melakukan hal ini, sekarang ini, dengan baik dan benar. Kalau engkau melaksanakan apa pun yang terjadi dengan baik dan benar saat ini, maka sudah cukuplah itu. Selanjutnya pun yang terjadi harus kau hadapi sebagai suatu kenyataan yang wajar, waspada saat ini, saat demi saat, urusan kemudian serahkan saja kekekuasaan Tuhan yang tidak dapat dirubah oleh siapapun juga. Nah, sekarang baiklah dan jangan takut, Tiauw-cu akan mengantarmu sampai ke Puncak Cemara, Bukankah begitu, Tiauw-cu?" Rajawali besar itu mengangguk-anggukkan kepala seolah dia mengerti dan selalu, mengeluarkan suara kwak-kwak, lalu menekuk kakinya, mendekam di dekat Han Lin! Sebagai putera tunggal seorang guru Silat murid Siauw-lim-pai, sesungguhnya Han Lin telah dibekali dasar-dasar sebagai seorang yang jantan dan tabah, mendengar ucapan gurunya yang walau agak sukar namun dapat dia mengerrti itu, tanpa ragu lagi Han Lin lalu melompat naik ke punggung burung yang amat besar itu. Punggung itu ternyata lebar dan dia dapat duduk dengan enak. "Cengkeram bulu lehernya. Bulu itu kuat dan kalau merasa pening, membukuklah saja dan rebah menelungkup atas punggung Tiauw-cu " kata Thai Siansu. "Baik, Suhu. Harap Suhu doakan a teecu tidak jatuh!" kata Han Lin san memegang bulu-bulu leher dengan ketangannya. Rajawali raksasa itu bangkit berdiri mengeluarkan suara seolah berpamit pada Thai Kek Siansu, lalu mengembangkan kedua sayapnya sambil meloncat atas dan terbanglah dia dengan indah, ke atas. Han Lin merasa seolah-olah jantungnya copot dan tinggal di bawah. Cepat dia memejamkan matanya membungkuk, menyembunyikan muka dalam bulu-bulu yang lembut dan hangat itu. Thai Kek Siansu berdiri di atas batu sambil mengikuti terbangnya Tiauw-Cu dengan pandang matanya sampai buram. itu menjadi sebuah titik hitam yang makin menjauh. Dia menghela napas panjang. Dia telah menerima seorang anak laki-laki sebagai murid. Hal ini berarti bahwa biarpun dia tidak pernah dan tidak akan mengikatkan batin dengan siapa atau apapun, namun harus mempertanggung jawabkan keputusan yang telah diambilnya. Dia mempunyai murid, maka dia harus membimbing murid itu agar kelak menjadi manusia yang dekat dengan Sang Sumber dan menjadi penyalur berkat Tuhan Yang Maha Kuasa, menyalurkan semua bekat itu untuk orang lain yang membutuhkah. Kemudian kakek itu menuruni bukit dan biarpun tampaknya hanya melangkah lambat saja, namun dalam waktu sebentar saja dia telah tiba di kaki bukit. oooOOooo Di luar kota Lok-yang sebelah timur di tepi sungai, terdapat sebuah perbukitan memanjang dan sebuah di antara bukit-bukit itu disebut Bukit Naga Kecil karena bentuknya seperti kepala naga. Bentuk ini sebetulnya hanya batu karang, numun dilihat dari jauh tampak beberapa batu karang itu seperti mulut dan kepala naga. Bukit yang gersang karena terdiri dari batu karang sehingga tanahnya tidak subur. Jarang ada orang mendaki bukit! karena memang tidak ada apa-apanya yang berharga. Tidak ada tumbuh-tumbuh-berharga, tidak ada pula hewan buruan besar. Akan tetapi pada suatu hari, baru saja matahari menyinarkan cahayanya yang hangat, muncul dari celah-celah dua buah bukit, tampak seorang hwesio (pendeta Buddha) memegang tongkat pendetatanya dan menggunakan tongkat itu untuk menopangnya ketika dia mendaki ke atas Bukiit. Hwesio itu seorang kakek berusia sekitar lima puluh tahun, bertubuh tinggi kasar dan perutnya amat gendut. Kepalanya gundul, hanya ditumbuhi sedikit rambut. Dia mengenakan jubah hwesio, dari tetapi berbeda dengan para hwesio di negeri itu yang biasanya memakai berwarna kuning atau merah mu dilibat-libatkan di tubuh mereka secara sederhana sekali, hwesio ini mengenakan jubah longgar yang berkotak-kotak dengan hiasan bunga, dan celananya berwarna warna kuning. Kedua kakinya yang besar mengenakan sandal yang aneh bentuk! dan terbuat daripada kain tebal dengan bagian bawah dari kayu. Hwesio ini bukan orang sembarangan karena dia adai seorang pendeta Buddha yang datang-daerah Tibet dan di dunia barat, yaitu sekitar Tibet, Sin-kiang, bahkan sama ke Nepal, namanya terkenal sebagai seorang pendeta yang sakti. Dia berjuluk Thong Leng Lo-su, tidak mengguna nama para Lama di Tibet karena dia adalah berbangsa Han (Pribumi Cina). Karena merasa tidak cocok dengan pelajaran Agama Buddha aliran Tibet, memisahkan diri dan meninggalkan Tibet lalu merantau ke Timur, atau kembali Cina. Wajahnya yang tampak penuh sennyum dan ramah itu cocok benar dengan perutnya yang gendut sehingga dia mirip Patung Jilai-hud! Setelah tiba di atas puncak Bukit Naga Kecil yang datar, Tiong Leng Losu mencari sebuah batu sebesar perut kerbau yang banyak berseraikan di tepi sebuah jurang. Dia menguakkan tongkatnya dengan perlahan kearah batu itu. "Ceppp!" tongkat itu menusuk batu sedemikian mudahnya seolah dia bukan menusuk batu melainkan menusuk benda yang lunak! Batu yang tertusuk tongkat itu dia bawa ke tengah dataran puncak bukit, melepaskannya dan melihat permukaan batu itu tidak rata, dia lalu menggunakan telapak tangan kiri dengan jari-jarinya yang gemuk untuk mengusap permukaan batu. Sedikit debu mengebulkan permukaan batu itu kini menjadi halus seperti dibubut! Kemudian dia meniup permukaan batu sehingga permukaan batu bersih dari debu yang terkena remukan batu, lalu duduk bersila di atas batu, meletakkan tongkatnya bersandar pada batu yang didudukinya lalu memejamkan kedua matanya, duduk bersamadhi. Tubuhnya duduk tegak lurus dan sedikit pun tidak bergerak sehingga dia tampak perti sebuah patung! Tak lama kemudian muncul seorag bertubuh gemuk pendek dari jurusan lain mendaki bukit itu. Kakinya yang pendek-pendek itu bergerak cepat dan tubuhnya meluncur ke atas dengan kecepatan yang sukar di kuti pandangan mata. Tubuhnya seolah berubah menjadi bayang-bayang dan tahu-tahu dia sudah berdiri di puncak. Dia tersenyum melihat Thong Leng Losu duduk tenggelam dalam siu-lian (samadhi) dan dia pun menghampiri batu-batu besar yang berserakan dekat lereng. Dia memilih batu terbesar dan begitu mencabut pedang yang tergantung punggung, tampak sinar hijau bergulung-gulung di sekitar batu itu dan batu-batu kecil disertai debu berhamburan. Hanya sebentar saja, batu besar itu kini telah berubah menjadi sebuih kursi yang seolah dipahat halus dan bentuknya indah! Hal ini menunjukkan betapa hebatnya ilmu pedang orang pendek itu. Dia berusia sekitar lima puluh tahun, tubuhnya yang gemuk pendek membuat dia tampak seperti serba bulat. Pakaiannya longgar sederhana, seperti pakaian yang biasa dipakai para pertapa. Orang ini pun bukan orang sembarangan. Dia bernama Liong Gi Cin-jin dan di dunia persilatan, terutama didaerah timur, dia terkenal nama julukan Tung Kiam-ong (Raja pedang Timur). Dia seorang yang tekun mempelajari agama Khong-kauw (Confui sm) dan bertahun-tahun dia merantau di sepanjang kota pantai Timur untuk menyebar-luaskan pelajaran Khong-hu-Im. Baru saja dia menduduki kursinya yang diletakkan dalam jarak lima tombak dari tempat duduk Thong Leng Losu, tiba-tiba dari arah lain tampak seorang munusia seperti seekor burung melayang naik ke puncak itu. Dia bukan terbang, namun gerakannya yang cepat ditambah tubuhnya yang lebar itu mengembang seperti sayap burung membuat ia seperti melayang naik dan dengan cepat dia sudahberada di puncak bukit. Dia adalah seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun lebih, tubuhnya tinggi kurus. demikian kurusnya sehingga mukanya seperti tengkorak. Jubahnya longgar sekali, berwarna kuning, dan sebuah kebutan berbulu putih panjang terselip di pinggangnya. Dengan tenang dia memandang ke kanan kiri, tersenyum melihat dua orang pertama yang sudah duduk atas batu. Dia pun menghampiri batu-batu di tepi jurang dan memilih batu. Melihat ada batu yang Si Rajawali Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo panjang, menggunakan kebutannya untuk dihantamkan ke tengah batu itu. Bagaikan pisau tajam memotong agar-agar, kebutan itu membelah batu panjang dan bekas potongan itu demikian rata dan halus seolah batu itu dipotong dengan benda ya amat tajam. Kemudian, bulu-bulu. kebutannya itu membelit sebuah di antara potongan batu itu dan dengan gerakan lembut batu itu terangkat dan terlontar atas, ke arah tempat dua orang itu duduk! Dia lalu meluncur cepat kedepan dan ketika batu itu melayang turun, menggunakan kebutannya untuk menangkap batu dan diletakan dalam jarak lima tombak dari dua orang yang lain dan kini Mereka duduk saling berhadapan membentuk titik ujung segi tiga. Orang ketiga ini mudah diketahui bahwa dia seorang Tosu (Pendeta Agama To) dari pakaian pendetanya yang berwarna serba kuning. Dia pun terkenal di dunia persilatan sebagai seorang datuk besar dari Selatan. Julukannya di dunia kang-ouw Ialah Lam-liong (Naga Selatan). Tiga orang kakek ini biarpun amat terkenal di dunia kang-ouw sebagai orang-orang sakti, namun mereka jarang mencampuri urusan dunia ramai, dan tidak pernah mempunyai murid. Mereka lebih tekun menyebarkan pelajaran agama masingmasing. Thong Leng Losu menyebarku pelajaran Agama Buddha, Tiong Gi Ki-jin menyebarkan Agama Khong-kauw, dan Louw Keng Tojin menyebarkan Agama Tokauw. Tidak seperti para tokoh agama yang menjadi pimpinan kuil agama masingmasing, tiga orang datuk ini lebih suka bekerja sendiri, merantau dan tidak pernah menetap di suatu tempat atau tinggal di sebuah kuil. Setelah orang ke tiga itu duduk bersila di atas batu yang dipilihnya, Ti Gi Cinjin mengangkat kedua tangan di depan dada sebagai penghormatan ke dua orang itu lalu berkata dengan lembut. "Selamat berjumpa, Saudara-saudara!" Betapa bahagianya bertemu dengan sahabat-sahabat lama yang datang dari jauh! "Omitohud, Tiong Gi Cinjin! Pedangmu masih tajam, ucapanmu masih mengandung aturan kemanusiaan, tentu kau memperoleh kemajuan pesat. Pinceng (aku) merasa kagum sekali!" kata Thong Leng Losu sambil membalas penghormatan itu. "Siancai! Apakah segala macam aturan yang dibuat manusia dapat merubah cara hidup manusia menjadi baik! Pinto (aku) tahu bahwa pribadi Tiong Cinjin memang sudah baik, akan tetapi kebaikannya bukan karena adanya aturan." kata Louw Keng Tojin sambil tersenyum. "Saudara Thong Leng Losu dan saudara Louw Keng Tojin, aku mengenal jiwi (Anda Berdua) sebagai orang-orang baik dan selalu berusaha untuk menjadikan orangorang menjadi baik degan ajaran-ajaran agamamu. Akan tetapi mari kita lihat, bagaimana keadaan dunia ini" Padahal, semua manusia di empat penjuru sesungguhnya adalah saudara sendiri, mengapa terjadi perang perebutan kekuasaan yang mengorbankan nyawa banyak orang" Beginilah kalau manusia tidak menaati peraturan.Kalau semua rakyat mengikuti dan menaati pelajaran agama kami dan mengutamakan bakti, anak-anak berbakti kepada orang tuanya, rakyat berbakti kepada rajanya, tentu tidak akan terjadi semua pertentangan dan keributan kekuasaan ini." "Ha-ha-ha, Tiong Gi Cinjin, agamamu lalu menekankan agar manusia menaati peraturan. Akan tetapi apa kenyataannya, makin banyak peraturan, semakin banyak terjadi kekacauan! Peraturan dibuat oleh miusia, seperti juga senjata dibuat manusia dengan maksud baik, akan tetapi justeru senjata itu dipergunakan manusia untuk kepentingan dan keuntungan pribadi masing-masing. Peraturan juga demikian, kenyataannya, peraturan dijadikan senjata bagi manusia untuk kepentingan dan keuntungan masing-masing. Tahukah dan sadarkah engkau, Tiong Gi Cinjin, bahwa dosa dilakukan manusia justeru karena adanya peraturan" Dosa adalah pelanggaran, dan justeru peraturan itu menimbulkan pelanggaran! Kalau tidak ada peraturan, tidak akan ada pelanggaran atas dosa!" "Omitohud! Pendapat Tiong Gi Ci dan Louw Keng Tojin itu semua baik mungkin tidak akan berhasil mengamankan dunia dan mendatangkan kedamaian kehidupan manusia! Semua usaha itu hanya mendatangkan sengsara dan duka. Saat Buddha telah menemukan cara sempurna untuk membebaskan manusia dari duka. Manusia tidak mungkin dapat terbebani dari duka selama dia belum melaksanakan apa yang disabdakan oleh Sang Buddha. Empat Kenyataan yang disadari benar bahwa terdapat adanya Duka, sebab dari Duka, menghentikan Duka, dan Jalan untuk menghentikan Duka. untuk itu Sang Buddha telah menemukan dengan Jalan Utama, Lima Petunjuk, Sepuluh Larangan, Sepuluh Jalan Kebaikan, dan lain-lain. Kalau semua manusia mentaati semua petunjuk Sang Buddha, manusia akan terbebas dari Sengsara dan duka." Petunjuk-petunjuk dan upacara-upacara saja tidak akan menolong, Thong Leng Losu. Harus ada peraturan yang melaksanakan, harus ada hukum, yaitu hukum siapa yang melanggar peraturan. Kalau peraturan hukum dilaksanakan dengan baik dan sebagaimana mestinya, akan terdapat ketertiban." kata Tiong Gi Cinjin mempertahankan teorinya berdasarkan pelajaran dari Agama Khong-kauw yang dianutnya. "Ha-ha-ha, kalian berdua hanya bicara tentang peraturan. Manusia tidak akan dapat membuat kehidupan menjadi baik, dengan mengadakan peraturan yang baimanapun. Lihatlah, matahari bulan dan Bintang tidak diatur manusia namun selalu berjalan dengan tertib. Burung-burung terbangan di udara, ikan-ikan berenang dalam air, mereka itu tidak mempunyai akal pikiran seperti manusia, namun tidak kekurangan makan, tidak mengerti sengsara karena mereka semua itu hidup sesuai dengan To. Alam mengatur segala sesuatu dengan tertib, akan tetapi aturan perbuatan manusia malah menimbulkan kekacauan. Biarkanlah Alam bekerja tanpa campur tangan manusia, karena Alam bekerja tanpa tujuan tanpa pamrih tidak seperti manusia yang mementingkan tujuannya daripada caranya." kata Lou Keng Tojin mempertahankan teori agamanya. Tiga orang itu mulai berdebat, mula-mula mereka mempertahankan teori kebenaran agama masing-masing. Akan tetapi perdebatan itu mendatangkan suasana panas yang mempengaruhi hati akal pikiran mereka sehingga akhirnya mereka saling mencela! Yang beragama buddha dicela karena dikatakan menyembah benda mati berupa arca. Tiong Gi Cinjin yang pendeta Agama Khong-kauw dicela karena hanya mengurus soal manusia dan duniawi. Louw Keng Tojin dicela karena agamanya hanya mengurus hal-hal yang tidak nyata, mengkhayal dan seperti mimpi, sama sekali tidak mempedulikan urusan manusia hidup di dunia. Perdebatan yang dimulai memamerkan kebaikan dan kebenaran masing-masing berlanjut kepada saling mencela sehingga akhirnya tiga orang itu turun dari atas batu, berdiri dengan muka merah mata bersinar penuh kemarahan! "Hemmm, kalian mencela pelajar Agama Khong-kauw kami, hal itu berarti kalian menentang kami dan siapa yang menentang kami berarti musuh kami teriak Tiong Gi Cinjin yang sudah hilangan kesabarannya. Dia mencabut pedangnya dan tampak sinar hijau ber kelebat, lalu sinar itu menyambar-nyambar kearah batu yang tadi diduduki Tiong Gi Cinjin. Hanya terdengar sedikit suara, akan tetapi ketika sinar hijau itu kembali ke tangan Tiong Gi Cinjin, batu itu runtuh dan berantakan, telah terpotong-potong seperti mentimun dirajang pisau yang amat tajam! "Ha-ha-ha, permainan kanak-kanak macam itu tidak ada artinya!" terdeng Louw Keng Tojin berkata. Dia lalu melempar kebutannya ke atas dan tiba-tiba bagaikan benda hidup, kebutan itu melayang turun ke arah batu yang tadi diduduki dan kebutan itu menyambar cepat. Terdengar ledakan keras dan batu itu terpukul bulu kebutan pecah berhamburan dan kebutan itu sudah "terbang" kembali ke tangan Louw Keng Tojin memang pendeta To ini selain lihai ilmu silatnya, juga mahir ilmu sihir. "Omitohud, kalian telah melanggar larangan membunuh dalam agama kami. Menghancurkan batu-batu itu sama dengan membunuh. Sungguh tidak memiliki belas kasihan." kata Thong Leng Losu dan hwesio tinggi besar ini menghampiri lima buah batu yang sudah pecah berantakan itu, memungutinya dan dia menempelnempelkan pecahan batu-batu itu sehingga melekat kembali dan menjadi utuh. Inilah hasil tenaga sakti yang amat hebat! Kini tiga orang yang lelah berdebat sengit tadi, berdiri saling berhadapan. Mereka semua adalah pendeta-pendeta yang sudah mempelajari agama masing-masing secara mendalam, hafal akan semua pelajaran dalam kitab-kitab suci mereka. Mereka siap untuk membela agama masing-masing dengan mati-matian, kalau perlu berkorban nyawa! Akan tetapi mereka masih dapat menenangkan diri tidak membiarkan diri hanyut oleh nafsu amarah karena maklum bahwa itu ditentang atau dilarang oleh agama mereka masing-masing. Karena mereka sama-sama menahan diri, tidak mau mendahului melakukan serangan, maka mereka bertiga hanya berdiri saling berhadapan dengan muka merah. Thong Leng Losu sudah siap dengan tongkatnya dari baja biru. Tiong Cinjin juga sudah memegang pedangnya dan Louw Keng Tojin memegang kebutannya. Di dalam hati mereka terjadi konflik sendiri, sebagian terdorong penasaran dan marah hendak menyerang lawan, sebagian lagi menaati pelajar agama masing-masing tidak mau melakukannya. Tiba-tiba terdengar suara orang bernyanyi! Datangnya dari bawah puncak dan suara itu terdengar tenang dan sayup-sayup, namun dapat terdengar jelas semua katakatanya. Intinya adalah Api Suci yang selalu membakar dan menerangi Mengapa yang dipersoalkan asap dan abunya yang hanya mengaburkan pandangan mata?" Biarpun suara nyanyian itu terdengar lebih sayup-sayup, akan tetapi tiga orang yang berilmu tinggi itu dapat merasakan getarannya yang kuat dan penuh kewibawaan lembut mengusap perasaan hati mereka, menghapus kemarahan dari hati. Tahulah mereka bertiga bahwa akan muncul seorang manusia yang luar biasa dan seperti dengan sendirinya mereka tunduk dan menanti dengan sikap hormat. Kemudian tampaklah Thai Kek Siansu melangkah ke puncak itu, memandang mereka bertiga, tersenyum lalu menghampiri, berdiri berhadapan dengan mereka sehingga mereka berempat kini menduduki titik-titik segi empat. "Ho-ho, tiga manusia utama memperebutkan Kebenaran! Kebenaran yang dapat diperebutkan jelas bukan kebenaran lagi namanya. Kebenaran yang dapat diperebutkan adalah kebenaran yang mempunyai lawan, yaitu ketidakbenar Padahal, Kebenaran tertinggi tidak mepunyai lawan. Segala sesuatu tercakup dalamnya!" Thai Kek Siansu lalu duduk bersila begitu saja di atas tanah berumput. Anehnya tanpa dia mengatakan sesuatu, tiga orang itu otomatis lalu duduk bersila di atas tanah seperti yang dilakukan Thai Kek Siansu! Tiga orang itu mengenai kakek itu dan mereka bertiga merangkapkan kedua tangan depan dada sambil mengucapkan salam hampir bersamaan. "Selamat datang, Thai Kek Siansu!" Thai Kek Siansu membalas salam mereka dengan ucapan lembut, "Selamat berjumpa, Sam-wi Suhu (Ketiga Guru) dari Sam Kauw (Tiga Agama)!" Mereka berempat duduk bersila tiga orang pertama memandang kepada Thai Kek Siansu yang menundukkan mukanya sambil tersenyum dan kedua mukanya terpejam. Kemudian, bagaikan orang bermimpi, dia kembali menyanyikan syair yang amat terkenal di antara para tokoh agama dan para sastrawan di Zaman itu. Syair itu adalah karya Sikong Tu (837 - 908), seorang penduduk Daerah Yong-ji di Propinsi Shan-si. Dalam usia muda dia sudah lulus ujian negara. Ketika orang Chao menyerang ibukota Kerajaan Tang dia mengungsi. Dalam usia lima puluh lima tahun dia mengundurkan diri bertapa. Ketika Dinasti Tang jatuh, dia menolak pemberian pangkat oleh Kaisar Dinasti yang baru. Thai Kek Siansu menyanyikan syair itu dengan suara lembut. "Dia tinggal dalam keheningan, dalam kesederhanaan; Ilham adalah lembut sekali, cepat menghilang. Dia minum dari Sumber Keselarasan Agung, Terbang bersama burung bangau terpencil di atas. Lembut seperti desahan napas angin lalu Yang semilir menyentuh baju panjangmu. Atau desir pohon-pohon bambu yang tinggi Yang keindahannya selalu engkau rindukan. Kalau kebetulan bertemu, agaknya mudah dicapai Pada saat engkau hampir, Dia mundur, Dan ketika engkau menjangkau merangkapnya, Dia menggelincir dari tanganmu hilang!" Setelah Thai Kek Siansu menghentikan nyanyiannya, suasana sejenak menjadi hening, akan tetapi segera terisi oleh suara alami yang terdengar demikian menghanyutkan perasaan. Desir angin antara batu-batu air yang memancur menimpa batu, diselingi bunyi burun burung yang melayang lewat puncak. Akan tetapi semua suara dari luar di yang tidak mampu menghilangkan suara keheningan dalam diri yang tidak pernah berhcnti akan tetapi hanya dapat didengar orang yang benar-benar tidak lagi mempengaruhi kebisingan hati akal pikiran, suara itu terdengar di telinga yang paling dalam. Orang yang mendengarnya mungkin tidak sama daya penangkapnya dengan orang lain. Ada yang mengatakan seperti gemersiknya angin bergurau dengan daun-daun, atau seperti gelora air lautan yang dahsyat, atau seperti ombak berkejaran.Telinga luar tidak mempengaruhi pendengaran itu, biar telinga ditutup, tetap saja suara itu berbunyi. Suara keheningan, suara kehidupan, membahagiakan manusia yang dapat mendengarnya Thong Leng Losu pendeta Buddha dari Tibet itu tak sabar lagi untuk tinggal diam. "Omitohud, Thai Kek Siansu, kebetulan sekali engkau datang pada saat kami bertiga sedang mengadakan pertemuan. Kami bertiga ingin membahas tentang keadaan rakyat jelata dan kerajaan yang silih berganti, selalu terjadi perebutan kekuasaan yang menyengsarakan rakyat. Kami memperbincangkan semua itu dan juga agama kami masing-masing, bagaimana kami akan dapat menanggulangi semua itu dan mendatang kedamaian dan kesejahteraan bagi manusia, khususnya bangsa kita yang terpecah belah oleh perebutan kekuasaan. Mohon petunjuk dari Siansu yang telah kami dengar akan kebijaksanaannya." Thai Kek Siansu menghela napas panjang dan mengelus jenggotnya, namun mulutnya tersenyum, senyum penuh pengertian dan kesabaran. . "Tiga orang sahabatku yang baik, untuk dapat mengerti tentang kehidupan mengapa kita harus mendengar petunjuk orang lain" Kita bersama adalah manusia, kehidupan ini sama-sama kita alami. Siapa yang berhak memberi petunjuk dan kepada siapa" Kita tidak membutuhkan petunjuk orang lain, karena apa pun juga yang kita percaya dan lakukan, kalau menurut petunjuk orang lain, adalah palsu. Bagaimana kalau petunjuk itu salah. Maka, karena kita berempat sama-sama mengalami kehidupan ini, apakah tidak lebih baik kalau kita sama-sama pula mengamati dan mempelajarinya?" Tiong Gi Cinjin berkata, "Tak dapat dibantah kebenaran ucapan Siansu Itu. Akan tetapi untuk melakukan penyelidikan kami bertiga yang tadi tidak mendapatkan kesepakatan, perlu seorang yang tidak berpihak untuk membuka jalan dan kami harap Thai Kek Siansu yang suka memulai dengan pengamatan dan penyelidikan ini, agar kami bertiga tidak saing bertumbukan." Thong Leng Losu dan Louw Keng Cinjin mengangguk-angguk dan menyatakan setuju. Louw Keng Tojin berkata, "Thai Kek Siansu, mari kita bicara dan menyelidiki tentang Agama lebih dulu. Tadi kami bertiga berselisih paham mengenai kebenaran dalam Agama dan karena kami Mempertahankan kebenaran dalam Agama kami masingmasing, maka terjadi salah faham. Sekarang, bagaimana kita dapat melihat kenyataannya, siapa di antara kami bertiga yang benar?" "Sam-wi (Anda Bertiga) berdebat tentang Kebenaran" Kebenaran yang diperdebatkan bukanlah kebenaran lagi karena Dia ditinjau dengan pandangan yang dan terselubung tirai penilaian agama masing-masing. Mari kita amati tanpa tirai itu. Apakah sebenarnya Agama itu Yang dapat dibuktikan, Agama ada pelajaran untuk menuntun manusia arah jalan hidup yang baik. Bukan demikian" Semua Agama mengajar kebaikan dan tidak ada sebuah pun Agama yang mengajarkan agar umatnya melakukan tindakan jahat. Intinya ada agar manusia di waktu hidupnya berbuat kebaikan menjauhi kejahatan sampai akhir hayatnya. Akan tetapi Agama juga memiliki sejarah dan upacara-upacara masing-masing yang tentu saja diakui benarannya secara mutlak oleh umat Sayang sekali, seperti yang Sam-wi perlibatkan tadi, Sam-wi tidak melihat kesamaan intinya atau apinya, yaitu hidup dalam kebaikan, melainkan Sam-wi bersitegang membela upacaranya yang berbeda. Mengapa Sam-wi tidak menggunakan persamaan intinya itu untuk diajarkan kepada umat masing-masing sehingga semua pemeluk agama yang berbeda itu dapat hidup berdampingan secara rukun karena sama-sama memperjuangkan kebaikan dalam kehidupan manusia di dunia Si Rajawali Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Omitohud! Biarpun ucapan Siansu membuka mata kami untuk melihat kebenaran, akan tetapi bagaimana dengan kenyataan yang dapat disaksikan betapa umat beragama lain, misalnya ada orang beragama To tetapi menjadi seorang penipu dengan ilmu sihirnya?" kata Thong Leng Losu. "Siancai! Enak saja Hwesio ini mencela orang lain! Pinto juga melihat banyak sekali orang beragama Khong-kauw yang menjadi penjahat!" seru Louw Keng Tojin membela agamanya. "Bukan hanya itu, siapa yang tidak tahu berapa banyaknya orang beragama Budha yang menjadi pembunuh?" Suasana menjadi tegang, akan tetapi suara tawa Thai Kek Siansu seolah dapat mendatangkan suasana dingin karena suara itu lembut sekali. "Mari kita lihat dan pertimbangkan, Sam-wi. Kalau seorang beragama To kauw menipu, jelas dia itu bukan orang beragama To-kauw, melainkan seorang penipu yang mengaku beragama To! karena kalau dia benar-benar seorang agama To, dia tidak berani menipu dilarang oleh agamanya itu! Juga kalau ada penjahat mengaku beragama Khong kauw, dia adalah seorang penjahat juga hanya mengaku-aku saja dan bukan orang Khong-kauw sejati. Kalau dia benar-benar beragama Khong-kauw, tidak akan berani berbuat jahat karen hal itu dilarang oleh agamanya. Demikian pula, seorang pembunuh mengaku agama Buddha, sebetulnya dia hanya palsu dan mengaku-aku saja karena kalu dia benar seorang Buddhis, sudah pasti dia tidak berani membunuh karena itu dilarang keras oleh agamanya! Nah, kiranya sudah jelas. Bukanlah agama yang tidak benar, melainkan orangnya Tidak perlu dan tidak benarlah kalau Agama saling menyalahkan, karena tidak ada agama yang benar atau salah menurut pandangan orang-orang yang pecah belah melalui agama. Agama adalah Kebenaran itu sendiri karena datang dari Kebenaran Yang Satu." Tiga orang pendeta itu termenung, Tiong Gi Cinjin menghela napas lalu berkata. "Siansu, aku mulai melihat kebanaran dalam keterangan ini. Akan tetapi mengapa hampir seluruh rakyat meengaku beragama, dan semua agama mengajarkan kebaikan agar kita hidup melakukan kebaikan dan menjauhi kejahatan, Akan tetapi kenyataannya, mengapa selalu terjadi perang, permusuhan, kejahatan dan kekacauan yang menyengsarakan rakyat?" Thong Leng Losu dan Louw Keng Tojin juga tertarik oleh pertanyaan ini dan mereka bertiga memandang kepada Thai Kek Siansu dengan penuh perhatian. "Pertanyaan yang baik sekali dan hal ini patut kita pertanyakan dan kita renungkan. Mengapa demikian" Kenyataannya adalah bahwa umat beragama sekarang ini hanya mementingkan sejarah dan upacara masin-masing yang saling berbeda, dan jarang yang mendapatkan Api atu inti Agama masing-masing yang sesungguhnya sama dan hanya satu. Apakah inti dari semua pelajaran itu?" kata Thai Kek Siansu. "Inti semua pelajaran tentu saja menurut pelajaran agama masing-masing yang menuntun manusia untuk berbuat kebaikan!" kata Tiong Gi Cinjin dan seorang pendeta lainnya mengangguk menyetujui. Pada saat itu, tiba-tiba ada sinar-sinar hitam menyambar bagaikan kilat arah empat orang itu! Kiranya sinar-sinar itu adalah empat batang anak panah berwarna hitam yang dilepas dengan kekuatan dahsyat menyerang empat orang yang sedang bercengkerama. "Sing-sing-sing-sing.......... !!" Sebatang anak panah menyambar arah tengkuk Thong Leng Losu. Akan tetapi hwesio ini diam saja, tidak tahu ataukah memang sengaja diam saja, tidak mengelak maupun menangkis. "Tukkk !!" Anak panah itu tepat mengenai tengkuk dan patah menjadi dua, jatuh di belakang tubuhnya! Sebatang anak panah lain menyambar ke arah lambung kanan Tiong Gi Cinjin. Pendeta Khong-kauw ini pun seolah tidak mengacuhkannya. Tangan kanannya hanya bergerak ke kanan tanpa menengok dan ditang anak panah itu telah terjepit di antara jari tengah dan telunjuknya! Sebatang anak panah lain menyambar kepala Louw Keng Tojin. Pendeta To ini menoleh dan meniup ke arah sinar hitam itu dan anak panah itu tiba-tiba menyimpang dan meluncur ke atas, terputar-putar di atas. Louw Keng Tojin mengikat tangan kirinya menggapai dan bagaikan hidup anak panah itu melayang turun ke arah tangan tosu itu yang mengkapnya! Adapun sebatang anak panah yang menyambar ke arah dada Thai Kek Siansu tampaknya seperti akan tepat mengenai kisaran, akan tetapi setelah dekat sekali dengan dadanya, anak panah itu jatuh ke tanah seolah-olah tertahan sesuatu yang tdak tampak! Empat orang tua yang amat lihai itu memungut anak panah dan mengamatinya. "Omitohud, bangsa Khitan selalu berusaha menguasai negeri ini dan mamerkan kepandaian mereka memanah kata Thong Leng Losu mengamati anak panah yang tadi mengenai tengkuk dan patah menjadi dua. "Orang-orang yang melakukan penyerangan secara curang adalah pengecutpengecut dan orang-orang seperti tidak ada harganya, sebangsa Siauw-Jin (Orang Rendah). Sepantasnya kalau diberi hajaran agar mereka itu sadar dan kembali ke jalan kebenaran." kata Tiong Cinjin dengan suara dan sikap keren namun tetap tenang. "Ha-ha-ha, harimau-harimau tidak akan mempedulikan ulah para tikus kata Louw Keng Tojin. Sementara itu, Thai Kek Siansu diam saja, hanya tersenyum karena dia ingin melihat apa yang akan dilakukan tiga orang tokoh agama yang berbeda itu terhadap orang-orang yang menyerang dengan curang itu. Dia hanya memandang ke empat penjuru karena maklum bahwa puncak di mana mereka berempat duduk itu telah dikepung banyak orang! "Saudara-saudara yang datang, kalau ada urusan dengan kami berempat, mengapa tidak langsung naik saja ke sini dan bicara dengan kami?" kata Thai Kek Siansu dengan suara lirih, namun suaranya dapat terdengar orang yang berada di kaki bukit sekalipun karena gelombang udara yang didukung tenaga sakti dari batin yang kuat itu memiliki gelombang yang dahsyat. Kini bermunculanlah puluhan orang dari empat penjuru, lalu mereka berkumpul di depan Thai Kek Siansu. Tiga orang pendeta itu pun menggunakan tenaga sakti mereka sehingga tanpa menggerakkan tubuh, mereka yang duduk bersila itu berputar menghadap ke arah para pendatang itu. Sedikitnya ada tiga puluh orang Khitan berdiri di situ dan di depan mereka terdapat lima orang yang agaknya menjadi pimpinan mereka. Yang pertama adalah seorang suku bangsa Khitan. Hal ini jelas tampak pada pakaiannya. Dia memang seorang di antara para kepala suku Khitan bernama Kailon, berusia lima puluh tahun, ber tubuh tinggi besar, di punggungnya tergantung sebuah busur dan belasan batang anak panah, di pinggangnya tergantung sebuah golok dan di lengan kirinya menempel sebuah perisai. Kailon tampak gagah perkasa sebagai seorang panglima perang yang kokoh kuat. Agaknya yang menjadi juru bica rombongan yang datang itu adalah Ce In Hosiang karena diaJah yang menjaw didahului tawa yang membuat perutn yang gendut itu bergoyang-goyang. "Ha-ha-ha-ha, Thai Kek Siansu, sungguh merupakan kejutan besar yang mengherankan dan menyenangkan dapat bertemu denganmu di tempat ini. Terus terang saja, kami naik ke bukit ini karena mendengar akan adanya pertemuan antara Thong Leng Losu, Tiong Ci Ci jin, dan Louw Keng Tojin. Siapa tahu sini kami bertemu dengan Thai Kek Sia su yang kami sangka sebelumnya bahkan seorang manusia sepertimu ini tidak akan pernah muncul di dunia ramai! Kalau datang untuk menjumpai tiga orang tokoh besar ini karena pada saat ini bangsa kita membutuhkan semua tenaga orang sakti untuk mengakhiri semua perang saudara dan perebutan kekuasaan yang menyengsarakan rakyat. Kami ingin minta bantuan mereka bertiga agar mendukung pemerintahan baru yang kokoh, kuat dan yang akan menyejahterakan kehidupan rakyat jelata. Akan tetapi Saudara Kailon kepalasuku Khitan ini yang menjadi sekutu kami dan yang akan membantu bangsa kami, masih menyangsikan kemampuan mereka bertiga. Maka kami setuju bahwa dia akan menguji kalian dengan serangan anak panah karena kami yakin hal itu tidak akan membahayakan kalian. Dan ternyata dugaan kami benar. Serangan anak panah itu tidak ada artinya. Kalian benar-benar sakti dan orang-orang seperti kalian inilah yang kami butuhkan untuk mendukung dan memperkuat perjuangan kami." Thai Kek Siansu mengangguk-anggukan kepalanya. "Ah, kiranya kalian berempat termasuk golongan orang-orang yang mendahulukan kepentingan bangsa daripada kepentingan sendiri dan merupakan pejuang-pejuang. Kalau pilihan kali seperti itu, baik-baik saja. Akan tetapi kalau Su-wi ingin mengajak orang lain, sudah sepatutnya kalau orang yang diajak itu sependapat dan mau. Maka, aku persilakan kepada mereka bertiga ini untuk menjawab ajakan kalian tadi." Thong Leng Losu memandang kcpada Ceng In Hosiang, lalu tertawa dan berkata, "Ha-ha, Ceng In Hosiang, sebagai seorang tokoh Siauw-lim-pai, apakah engkau tidak menyadari bahwa mendukung pemerintahan baru juga sama dengan menyulut api peperangan antara bangsa sendiri dan perang adalah pencetusan dari dendam kebencian" Tentu engkau tidak lupa akan sabda Sang Buddha bahwa "Kebencian takkan pernah dapat dihentikan oleh kebencian pula dalam dunia Ini. Kebencian hanya dapat dihentikan dengan Kasih. Ini adalah hukum yang berlaku sejak dahulu kala. Nah, apakah kini engkau akan menyebarkan kebencian hingga timbul perang dan bunuh membunuh antar bangsa sendiri" Pinceng jelas tidak mau ikut!" Tiong Gi Cinjin juga berkata kepada para pendatang itu. "Aku pun tidak bisa ikut! Semua orang adalah saudara kita sendiri, apakah kita harus saling membunuh hanya untuk memperebutkan pangkat dan kedudukan" Kalau kalah, kita yang hancur, kalau menang, para pemimpinlah yang akan memetik buah kemenangan itu yang berupa kemakmuran dan kesenangan duniawi. Tidak, aku tidak mau ikut!' "Siancai! Dua orang sahabatku ini berpendirian cocok dengan pinto! Bertindak kejam dan dalam hati mengandung kebencian, itulah syarat orang untuk perang. Bunuh membunuh tidaklah cocok dengan agama dan kepercayaanku. Pinto juga tidak mau ikut!" Empat orang pendatang itu saling pandang dan mengerutkan alisnya. Kemudian terdengar suara tawa yang aneh dan tawa itu disambut suara menggelegar di udara! Hong-san Siansu Kwee Cin Lok agaknya mendemonstrasikan kedahsyat tenaga saktinya. "Ha-ha-ha-ha, sepanjang yang kami dengar, tiga orang pendeta yang bertemu di puncak ini, biarpun dari tiga macam agama, namun mereka adalah orang-orang Pribumi Han yang gagah perkasa, yang berjiwa patriot pahlawan bangsa. Sekarang, kalian bertiga menolak untuk berjuang membantu berdirinya kerajaan yang akan melenyapkan semua perang saudara ini dan menyejahterakan rakyat melihat hadirnya Thai Kek Siansu di sini, kami mengerti bahwa tentu kalian bertiga telah terpengaruh olehnya. Thai Kek-Siansu, tepat dan benar bukan penilaianku ini?" Thai Kek Siansu tersenyum. "Hong-Siansu Kwee Cin Lok, boleh saja engkau berpendapat sesuka hatimu. Akan tapi jelas, tiga orang saudara yang kaliaan bujuk itu tidak setuju dan tidak mau membantu kalian. Setiap orang berhak untuk mempunyai pendapat sendiri dan engkau tidak boleh memaksanya, engkau adalah Hong-san pangcu (Ketua Hong-san-pang), ketua sebuah perkumpul-tentu saja ingin memajukan perkumpulannya dan memiliki cita-cita besar hingga apa yang kau putuskan dan lakukan tentu berdasarkan pamrih mencapai cita-cita itu. Silakan saja, akan tetapi jangan memaksa orang lain!" "Thai Kek Siansu, sudah lama aku mendengar namamu sebagai seorang yang tidak mau mencampuri urusan dunia. Kalau engkau yang menolak campurtangan dalam urusan mendirikan kerajaan baru yang akan memimpin rakyat dengan bijaksana ini, kami dapat mengerti. Akan tetapi kalau engkau mempengaruhi orang-orang lain, itu merupakan perbuatan dosa terhadap rakyat!" kata Hong-san Pangcu marah. "Aih, Pangcu (Ketua), siapakah rakyat itu dan siapa pula aku ini" Aku rakyat. Setiap pejuang menggunakan rakyat sebagai alasan, semua mengatar demi rakyat jelata, akan tetapi apa kenyataannya" Selama lima abad ini, berganti-ganti ada kerajaan baru sampai lima kali dan mereka semua ketika sedang berjuang merebut kekuasaan mengunakan nama rakyat, demi kesejahtera rakyat, akan tetapi lihat, apa buktinya" Yang jelas semua itu demi kesejahteraan para pimpinan pemberontak itu sendiri. Setelah perjuangan berhasil, para pimpinan itu hidup makmur, berkuasa, dan kaya raya sedangkan rakyat jelata tetap miskin sengsara." "Thai Kek Siansu, engkau keterlaluan. Agaknya engkau menjadi sombong karena merasa hebat dan sakti sendiri, tidak ada yang akan berani mengganggumu" Hendak i hat sampai di mana kehebatan dan kesaktianmu!" kata Hong-san Pang-cu Kwee Cin Lok garang dan dengan muka merah karena marah. "He-he, Hong-san Pang-cu, agaknya engkau lupa bahwa tidak ada manusia yang sakti di dunia ini. Aku tidak sakti, engkau juga tidak sakti, kalau engkau memiliki sedikit kemampuan, hal itu adalah karena engkau diberi oleh Yang Maha Mampu. Engkau mendapat kesaktian karena berkat Yang Maha Sakti, akan tetapi kalau kau pergunakan dalam kesesatan, berarti engkau menjadi alat Yang Maha Sesat atau Setan. Tenang dan buang semua api kemarahan yang membutakan mata hatimu itu." Mendengar teguran dari Thai Kek Siansu ini, Kwee Cin Lok ketua Hong-San-pang ini menjadi semakin marah. "Manusia sombong, sambutlah ini kalau engkau memang sakti!" Ketua Hong-san-Pang itu mengeluarkan sebatang pedang yang mengeluarkan sinar kuning dan begitu dia melontarkan pedang itu ke atas, pedang itu seakanakan hidup dan terbang menuju ke arah Thai Kek Siansu yang masih duduk bersila. Pedang itu berputar-putar di sekitar atas kepala kakek itu, semakin cepat sehingga berubah menjadi sinar kuning. Ketika Kwee Cin Lok menggerakkan tangannya ke arah pedang terbangnya. itu, sinar kuning meluncur dan menyerang kepala Thai Kek Siansu! Thong Leng Losu, Tiong Ci Cinjin dan Louw Keng Tosu hanya duduk bersila dan menonton saja. Mereka juga ingin menyaksikan kehebatan Thai Kek Siansu yang sudah lama mereka dengar akan kesaktiannya. Akan tetapi Thai Kek Siansu diam saja, tidak membuat gerakan untuk melawan atau menghindarkan diri. Dia hanya memejamkan kedua matanya mulutnya tersenyum. Ketika sinar kuning itu meluncur turun menghujam kepalan dan tinggal beberapa senti jaraknya tiba-tiba pedang itu terpental seolah tertolak oleh tenaga yang lembut kuat sekali. Akan tetapi sungguh aneh, pedang itu seperti dipegang dan digerakkan oleh tangan yang tidak tampak, menyerang lagi secara bertubi dengan tusukan dan bacokan ke arah seluruh tubuh Thai Kek Siansu. Namun hasilnya siasia, bagian tubuh manapun yang diserang tidak dapat disentuh pedang itu yang selalu terpental. Ilmu ini merupakan puncak tenaga Liku karena bukan tenaga yang dikerahkan oleh Thai Kek Siansu, melainkan ada tenaga lain yang seolah melindunginya. Orang dapat menggunakan semacam ilmu sihir untuk mendapat perlindungan seperti itu, akan tetapi tenaga yang melindungi itu ditimbulkan oleh sihir itu hanya kuat menahan serangan orang yang lebih rendah tingkat kepandaiannya atau dari serangan senjata biasa yang tidak ampuh. Akan tetapi, yang menyerang Thai Kek Siansu adalah seorang tokoh besar, ketua Hong-san-pang, yang terkenal memiliki Imu silat dan ilmu sihir yang tinggi, juga pedangnya bukan pedang biasa, melainkan pedang pusaka yang terbuat dari logam yang ampuh. Akhirnya pedang kuning itu terbang kembali ke tangan Hong-san Pang karena ditarik kembali oleh pemiliknya. Hong-san Pangcu Kwee Cin Lok atau yang berjuluk Hongsan Siansu ini segera maklum bahwa dia berhadapan dengan orang tingkat kepandaiannya amat tinggi mungkin lebih tinggi dari tingkat kepandaian mendiang gurunya sendiri. Maka dia lalu menyimpan pedangnya dan menjura dengan hormat. "Thai Kek Siansu ternyata memang amat bijaksana dan sakti. Kami mengaku kalah dan amat kagum. Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi dan maafkan kalau kami mengganggu ketenteraman di sini Setelah berkata demikian, Kwee Cin Lok membalikkan tubuh dan menuruni puncak itu. Tiga orang temannya, Ceng In Hosiang, Kwan In Su, dan Im Yang Tosu juga tahu diri. Mereka tahu bahwa antara mereka, yang paling lihai dan boleh diandalkan adalah Hong-san Pangcu. Melihat teman yang lihai ini sama sekali tidak berdaya melawan Thai Kek Siansu, mereka maklum bahwa mereka semua pun tidak akan ada yang mampu mengalahkan Thai Kek Siansu, apalagi disitu masih ada tiga orang datuk lain yang juga lihai. Maka setelah menjura sebagai permintaan maaf, mereka pun mengikuti jejak Kwee Cin Lok meningkalkan tempat itu menuruni bukit. Akan tetapi Kailon, tokoh Khitan itu, mengerutkan alisnya dan dia tidak ikut pergi seperti empat orang datuk yang datang bersamanya di puncak itu. Dia masih merasa penasaran dan menganggap empat orang tokoh kangouw itu penakut, mereka, bersama beberapa orang pimpinan daerah yang berambisi, telah bersekutu dan Si Rajawali Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo berniat menggulingkan Dinasti Chou yang dipimpin Kaisar Chou Ong yang sudah tua dan lemah, dan mendirikan Kerajaan baru. Akan tetapi dalam usaha mereka untuk menghubungi dan menarik para datuk dunia persilatan, baru saja mereka mulai di puncak itu, setelah gagal dan empat orang itu bahkan m elarikan diri! Betapa pengecutnya! Sebagai seorang yang biasa berperang, Kailon tidak akan pergi sebelum bertempur. "Hemmm, kalian berempat tidak mau membantu, berarti tentu kelak hanya akan menentang kami! Yang tidak membantu berarti musuh yang harus binasakan!" Setelah berkata demikian, memberi aba-aba kepada tiga puluh orang anak buahnya. Mereka lalu menerjang sambil berteriak-teriak dengan garang. Kailon sendiri sudah maju dan menyerang Thai Kek Siansu dengan goloknya yang besar dan berat. Sedangkan tiga puluh orang anak buahnya menyerbu dan menyerang tiga orang pendeta yang masih duduk bersila itu dengan senjata mereka. Thong Leng Losu tertawa dan memutar tongkatnya. Tampak sinar biru menyambarnyambar dan terdengar bunyi nyaring ketika senjata para penyerang bertemu sinar biru dari toya yang dipegang Thong Leng Losu. Senjata mereka terpental dan terlepas dari tangan sehingga mereka terkejut apalagi merasa betapa telapak tangan mereka nyeri panas dan lecet-lecet. Mereka yang menyerang Tiong Gi Cinjin juga disambut sinar hijau menyambar-nyambar dan senjata patah-patah bertemu dengan pedang sinar hijau itu. Demikian pula mereka yang menyerang Louw Keng Tojin. Senjata mereka bertemu kebutan dan dilibat lalu direnggut lepasl dari tangan mereka. kemudian, tiga orang pendeta itu mendorong-dorongkan tangan mereka dan tiga puluh orang itu terjengkang dan terguling-guling seperti daun-daun kering disapu angin. Sementara itu, Kailon sudah menyerangkan goloknya kearah tubuh Thai kek Siansu. Akan tetapi seperti halnya anak-anak panah tadi, juga seperti yang terjadi pada pedang terbang Hong-san Pag-cu, golok Kailon tidak dapat menyentuh kulit. Makin kuat Kailon membacokkan goloknya, semakin kuat pula golok itu terpental dan akhirnya, begitu Thai Kek Siansu menggerakkan tangan menolak, tubuh tokoh Khitan ini terjengkang jauh ke belakang dan terbang roboh. Baru dia menyadari bahwa i tidak akan mampu mengalahkan kakek itu dan melihat betapa semua anak buahnya juga kehilangan senjata dan bergelimpangan, dia lalu memberi aba-aba kepada mereka dan larilah mereka seri turun puncak bukit. Setelah mereka semua pergi, Thong Leng Losu, Tiong Ci Cinjin, dan Lo Keng Tojin tertawa, sedangkan Thai Kek Siansu hanya tersenyum namun mengeleng-gelengkan kepalanya. "Terbuktilah bahwa segala macam perbuatan, yang disebut baik maupun buruk, apabila keluar dari hati akal pikiran, sudah pasti menyembunyikan pamrih demi kesenangan dan keuntungan sendiri." katanya. Tiong Gi Cinjin memandang kepada Thai Kek Siansu dan dua orang lainnya juga memandang. Kini bertiga mendapat kenyataan betapa tingginya ilmu dari Thai Kek Siansu sehingga mereka merasa kagum sekali. "Siansu," kata Tiong Gi Cinjin, "mari kita lanjutkan pembicaraan kita yang terputus oleh gangguan tadi. Kita bica tentang Inti semua pelajaran Agama aku mengatakan bahwa inti semua pelajaran itu sama, yaitu menuntun manusia untuk berbuat kebaikan." Thai Kek Siansu menghela napas panjang. "Kalau sudah diakui bahwa semua pelajaran Agama adalah sama, yaitu mengajarkan agar semua umatnya berbuat kebaikan, mengapa di antara Agama masih ada saling menyalahkan dan membenarkan pihak sendiri" Kita mulai dengan Kebenaran. Apakah Kebenaran itu" apakah yang dinamakan Kebaikan itu" Kalau ada yang disebut kebenaran, tentu ada kesalahan. Kalau ada kebaikan, tentu ada kejahatan. Baik dan benar untuk sefihak, mungkin saja jahat dan salah untuk pihak lain. Karena itu, kebaikan yang dilakukan menurut hati akal pikiran, sesungguhnya bukan kebaikan lagi, melainkan perbuatan yang dilakukan dengan pamrih mendapat imbalan. Imbalan itu supaya kesenangan atau keuntungan untuk si pelaku perbuatan, bentuknya macam-macam. Pamrih itu bisa berupa imbalan jasa dan balasan, atau puji dan sanjungan, atau perasaan bangga diri, atau imbalan yang dijanjikan berupa kemuliaan dan kesenangan di akhir kehidupan. Pamrih apa pun juga, pada hakekat sama, yaitu melakukan sesuatu dengan pamrih agar mendapat imbalan sesuatu yang menyenangkan dan menguntung Maka, perbuatan kebaikan seperti hanya merupakan jual beli belaka, sama sekali bukan kebaikan lagi karena kalau imbalannya ditiadakan, maka perbuatan baik itu pun belum tentu dilakukan. Semua mengajarkan perbuatan baik, akan tetapi disertai janji-janji yang menyenangkan sebagai upahnya sehinngga perbuatan-perbuatan baik itu menjadi palsu, didasari keinginan untuk akhirnya mendapatkan kesenangan atau keuntungan. Karena inilah maka terjadi perebedaan, yaitu memperebutkan hak memperoleh segala macam hadiah yang dijanjikan itu." Tiga orang itu saling pandang. Baru sekarang mereka mendengar uraian seperti itu dan mendengar uraian itu, diam-diam mereka terkejut dan menyadari mengapa para umat beragama seringkali saling bermusuhan. Mereka tidak dapat membantah apa yang dikatakan Thai Kek Siansu karena mereka merasa ditelanjangi dan melihat kenyataan yang sebenarnya. "Siancai! Kalau begitu kenyataannya, lalu apakah yang dinamakan kebaikan itu, Siansu?" tanya Louw Keng Tojin dan dua orang lainnya mendengarkan dengan penuh perhatian karena mereka pun ingin mendengar jawaban Thai Kek Siansu atas pertanyaan yang amat penting ini. Thai Kek Siansu berkata lembut, "Sam-wi harap menaruh perhatian yang sungguhnya. Seperti telah kukatakan, Kalau Sam-wi hanya mendengar kemudian menurut apa yang kukatakan, maka Sam-wi tidak akan menemukan Kebenaran Sejati. Aku pun bukan guru yang harus diturut atau dicontoh. Mari kita bersama, dengan pikiran kosong dan tidak menggunakan tirai dengan warna kepercayaan kita masing-masing agar pandangan kita sama dan seperti apa adanya, tanpa praduga dan prasangka, tanpa penilaian. Nah, seperti yang telah kita dapatkan dalam percakapan kita tadi, perbuatan baik yang datang dari pelajaran menimbulkan pamrih demi kesenangan, kebaikan, atau keuntungan diri sendiri. Kalau kita berbuat sesuatu dan kita menilai sendiri sebagai kebaikan, maka kebaikan itu condong palsu dan menyembunyikan pamrih. Akan tetapi perbuatan apa juga yang berlandaskan Inti dari semua yang dinamakan pelajaran kebaikan, adalah perbuatan yang berlandaskan Kasih. Kasih tidak dapat dipelajari, tidak dapat disengaja, dapat dibuat-buat! sungguhnya, Inti dari semua Agama adalah Kasih ini, bukan cinta berahi, bukan cinta terhadap sesuatu atau seseorang yang menyenangkan hati, karena cinta seperti itu bukan yang dimaksudkan dengan Kasih itu! Cinta mempunyai kebalikan, yaitu Benci. Namun Kasih cinta mempunyai kebalikan, tidak memilih tidak disengaja, tidak dibuat! Dapatkah Sam-wi melihat ini" Dapatkah Sam-wi melihat kenyataan tentang palsunya cinta dalam hati manusia, cinta pada umumnya disanjung dan dipuja manusia pada dewasa ini?" "Omitohud, pinceng dapat melihatnya dan jelas, Siansu. Cinta adalah suatu perasaan yang ditujukan kepada benda atau orang yang dapat menyenangkan atau menguntungkan diri kita. Biasanya, Kalau engkau menyenangkan atau menguntungkan aku, engkau kucinta. Sebaliknya kalau engkau menyusahkan atau merugikan aku, engkau kubenci!" kata Thong gi Losu. "Memang pada umumnya tak dapat disangkal demikian," kata Tiong Gi Cinjin. "Akan tetapi ada cinta yang. sejati, yang mungkin ini yang disebut Kasih oleh Thai Kek Siansu, yaitu cinta seorang ibu kepada anaknya. Siapa dapat menyangkal kemurniannya cinta seorang ibu kepada anaknya?" kata Tiong Gi Cinjin. "Karena, pelajaran terpenting agama kami prialah Hauw (Bakti). Seorang anak haruslah berbakti kepada orang tuanya, terutama kepada ibunya!" "Cinta seorang ibu memang lebih murni daripada cinta-cinta manusia yang lainnya," kata Thai Kek Siansu. "Akan tetapi bagaimanapun juga, walaupun tipis, teorang ibu masih memiliki pamrih, memiliki harapan agar anaknya itu berbakti kepadanya, menyenangkan hatinya masih terdapat kemungkinan cinta berubah menjadi benci kalau si anak kelak menjadi jahat kepadanya. Ada Kasih yang lain lagi, yang tidak dapat samakan dengan cinta manusia yang timbul dari hati akal pikiran, karena sedikit banyak itu mengandung pamrih." "Siancai!" kata Louw Keng Tojin "Pinto menjadi penasaran sekali, Thai Kek Siansu. Mari kita selidiki bersama apa sesungguhnya Kasih yang maksudkan itu?" Thai Kek Siansu memejamkan mata sejenak sebelum menjawab dengan halus "Mari kita sama-sama mengamatinya. Kita lihat bunga-bunga mawar dan bunga teratai, mereka memberi keharuman dan keindahan yang dapat dinikmati siapapun juga, yang terpelajar tinggi maupun yang tidak, yang berkedudukan tinggi maupun yang rendah, yang kaya maupun yang miskin, pendeta maupun penjahat, kaisar maupun pengemis. Keharuman dan keindahan diberikan kepada siapapun juga tanpa pandang bulu, tanpa pilih kasih, tanpa pamrih mendapatkan imbalan! Mari me lihat matahari yang memberi daya hidup, kehangatan, penerangan, kepada siapa saja dan apa saja tanpa pilih bulu, juha tanpa pamrih apa pun. Kalau kita mau membuka mata melihat di seluruh permukaan bumi dan di langit maupun di dalam tanah, akan tampaklah semua itu, yang memberi tanpa pandang bulu dan tanpa pamrih. Bukankah itu indah sekali" itulah Kasih yang sejati. Kasih itu Penyalur berkat. Kasih itu memberi tanpa menuntut imbalan. Kasih itu merupakan pohon yang banyak sekali buahnya, dan buahnya inilah yang disebut kebajikan atau perbuatan baik. Kalau ada Kasih dalam diri kita, maka perbuatan apa pun yang kita lakukan, sudah pasti baik dan benar! Karena segala macam perbuatan baik itu merupakan buah dari Kasih. Dapatkan orang melakukan hal yang menyengsarakan orang lain kalau ada Kasih" Kasih itu menjauhkan segala macan dengki, iri, cemburu, marah, dendam, angkara murka, dan Kasih itu melebur si-aku yang selalu ingin menang sendiri. Nah, bukankah Inti atau Api yang dibutuhkan manusia pada umumnya itu Adalah Kasih ini" Kalau ada Kasih bersemayam dalam diri, orang tidak perlu diajar untuk berbuat baik lagi karena Kasih akan membuahkan segala perbuatan baik. Kasih tidak merusak, melainkan membangun." Tiga orang pendeta itu memejamkan mata dan mengerutkan alisnya masing-masing dan termenung. "Omitohud, satu di antara pelajaran dalam agama pinceng juga mengajarkan agar ada Kasih di hati kita. Apakah engkau hendak mengatakan bahwa semua perbuatan, kalau tidak didasari Kasih adalah perbuatan yang tidak baik dan kalau pun ada yang kelihatan baik, kebaikan itu hanya palsu belaka?" "Aku tidak mengatakan begitu, Thong Leng Losu. Mari kita lihat saja bersama. Aku hanya melihat dengan jelas bahwa kalau ada dalam hati sanubari kita, maka perbuatan kita itu wajar bahwa si pelaku yang sudah disemayami kasih itu tidak akan melihat perbuatan itu sebagai suatu kebaikan, melainkan kewajaran. Siapa yang telah memiliki jiwa yang bersatu dengan Kasih, maka kita akan memandang semua orang dengan tidak membeda-bedakan, akan selalu merasa ikut bahagia kalau melihat orang lain, siapa saja, berbahagia. Akan tetapi akan ikut bersedih dan merasa kasihan kalau melihat orang lain, siapa saja, menderita sehingga rasa kasihan dari Kasih ini akan menggerakkannya untuk menolong orang yang sedang menderita Itu." "Hemmm, sekarang aku dapat melihat lebih jelas, Siansu. Akan tetapi bagaimana mungkin kita mendapatkan Kasih itu tanpa campur tangan hati dan akal pikiran?" tanya Tiong Gi Cinjin. "Kalau menurut Agama pinceng, degan jalan bersamadhi akan dapat mencapai keadaan itu."kata Thong Leng Losu. "Kalau menurut Agamaku, dengan hidup selaras dengan Tao, selaras dengan hukum Alam, karena Kasih yang engkau maksudkan itu bukan lain adalah Tao itu sendiri, Siansu!" kata Louw K engTojin. "Aku ingat bahwa yang dimaksudkan itu cocok dengan pelajaran Tokau (Agama To/Tao), bahwa Kasih itu tentu dengan sendirinya ada setelah orang mengosongkan diri dan tidak mempun kehendak pribadi. Beginilah pelajara itu." Louw Keng Tojin lalu memejamkan mata dan menyanyikan atau mendeklamasikan sajak pelajaran dalam Kitab Tao te-cing (To-tek-khing). "Langit dan Bumi itu Abadi karena mereka tidak hidup untuk diri sendiri. Inilah sebabnya orang bijaksana membelakangkan dirinya karena itu dirinya tampil ke depan Dia mengesampingkan dirinya karena itu dirinya menjadi utuh. Karena dia tidak mempunyai kehendak Pribadi maka pribadinya menjadi sempurna." "Ah, aku jadi teringat akan ayat pertama dari Kitab Agama kami yaitu Kitab Tiong-yong," kata Tiong Gi Cinjin tertengan wajah berseri. "Yang dimaksudkan Thai Kek Siansu dengan Kasih itu menurut perkiraanku adalah Seng, watak aseli karunia Thian (Tuhan) yang diberikan kepada manusia." Pendeta Khong-kauw ini lalu membacakan ujar-ujar dalam Kitab Tiong-yong. "Karunia Thian adalah Seng (Watak Aseli), bertindak selaras dengan Seng itulah Tao berbuat menurut aturan Tao ialah Agama." Thai Kek Siansu mengangguk-angguk. "Semua pendapat itu boleh-boleh saja, yang penting Sam-wi benar-benar mengerti dan menghayatinya, bukan hanya merupakan teori pelajaran belaka. Tidak ada artinya sama sekali menghafal semua filsafat di dunia ini tanpa mempraktekkannya dalam kehidupan. Jauh lebih baik membiarkan diri dituntun dan dibimbing oleh Kasih yang pasti tidak menyimpang dari apa yang dikehendaki Thian." "Akan tetapi bagaimana cara mendapatkan kasih itu?" Tiga orang itu bertanya dengan berbareng. "Tidak ada cara untuk mendapati Kasih itu," kata Thai Kek Siansu. "Dia datang sendiri apabila kita selalu berserah diri kepada Yang Maha Kuas berserah diri sepenuhnya, bukan hanya lahiriah berupa pengakuan belaka, melainkan dengan seluruh jiwa. Kalau Kasih sudi bersemayam dalam jiwa kita, maka Kasih yang juga dapat disebut Kekuasaan Thian itu akan membimbing kita. Nafsu Daya Rendah atau Setan akan kehilangan pengaruhnya terhadap jiwa kita dan Kasih merupakan karunia yang akan menyelamatkan jiwa kita dari kehancuran dan penyelewengan. Dengan adanya Kasih dalam hati, maka apa pun yang kita lakukan bukan dikemudikan oleh si-aku (ego) yang mencengkeram hati akal pikiran kita, melainkan merupakan buah dari Kasih sehingga langkah kita dalam hidup merupakan berkat bagi orang-orang lain." "Akan tetapi bagaimana kita tahu bahwa sudah ada Kasih dalam hati kita, kasih yang sejati dan bukan dari hati akal pikiran?" tanya Tiong Gi Cinjin. "Hanya kalau hati mudah tergetar penuh iba kepada orang lain yang menderita, hati sudah amat peka sehingga lupa merasakan penderitaan orang lain tanpa orang itu mengatakannya, selalu siap terdorong oleh perasaan kasihan untuk membantu dan mengangkatnya dari penderitaan, tanpa diboncengi pamrih tertentu, tanpa ingin diketahui orang, tidak merasa bahwa perbuatannya itu baik, dan merasa bahagia melihat orang lain bahagia dan dapat merasakannya, maka itu merupakan satu di antara tanda-tanda yang paling mudah diketahui bahwa Kasih mulai bersemayam dalam jiwanya." "Omitohud, dalam keadaan seperti itu, manusia telah mencapai tujuan terakhir." kata Thong Leng Losu. "Seseorang akan benar-benar menjadi seorang Kuncu (Budiman) yang bijaksana kata Tiong Gi Cinjin. "Kalau semua orang memiliki Kasih seperti itu, dunia akan menjadi indah tiada kebencian, tiada permusuhan, tiada perang, semua manusia saling mengasih, Sorga dapat dirasakan di dunia dalam kehidupan sekarang!" kata Louw Keng Tojin. Tiba-tiba terdengar suara bercuit dari atas, hanya sayup-sayup suaranya Thai Kek Siansu tersenyum. "Ah, Tiauw-cu (Rajawali) agaknya datang mencari dan menjemputku." katanya. Tiga orang pendeta itu memandang keatas dan tampak seekor burung rajawa masih tinggi di atas, hanya tampak kecil. Akan tetapi burung itu melayang sambil mengelilingi bukit itu, makin lama semakin rendah. "Suhu, teecu menyusul Suhu!" terdengar suara seorang anak laki-laki. Burung itu hinggap di dekat Thai Kek Siansu dan Si Han Lin, anak itu, la melompat turun dari punggung rajawali yang sudah mendekam, lalu dia berlutut di depan Thai Kek Siansu. "Suhu, maafkan kalau teecu menyusul karena teecu melihat Tiauw-cu seperti gelisah. Maka teecu berkata kepadanya bahwa kalau dia ingin mencari Suhu, Teecu ingin ikut. Dia mengangguk dan mendekam, maka teecu lalu ikut dengannya mencari Suhu." Tiga orang pendeta itu memandang kepada Han Lin dengan penuh perhatian. Si Rajawali Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Omitohud! Engkau telah mempunyai seorang murid, Siansu?" "Thai Kek Siansu, mengapa engkau yang tidak mau mencampuri urusan dunia mengambil seorang murid?" tanya Tiong Gi Cinjin menyusul pertanyaan Thong Leng Losu tadi. "Puluhan tahun tekun mempelajari ilmu, untuk apa kalau tidak dimanfaatkan" Karena aku sendiri tidak mempunyai minat mencampuri urusan dunia, maka biarlah apa yang sudah kupelajari kutinggalkan kepada seorang murid agar dia dapat memanfaatkannya. "kata Thai Kek Siansu sambil tersenyum, menjawab pertanyaan dua orang pendeta itu. "Siancai........... ucapan Siansu ini menyadarkan pinto (aku)! Pinto sendiri belum mempunyai murid, dan usia pinto! makin lama semakin tua. Apakah semua yang pinto pelajari selama bertahun-tahun harus pinto bawa mati pula" Pinto juga ingin mengambil murid, Siansu kata Louw Keng Tojin. "Omitohud, dulu pinceng (aku) mencela para saudara di Siauw-lim-pai karena mempunyai banyak murid yang dilath ilmu silat. Sekarang pinceng menyadari dan akan mencontoh Thai Kek Siansu akan mencari seorang murid yang baik!" kata Thong Leng Losu. "Ah, kalau begitu mari kita bertiga melanjutkan kesalah-pahaman kita bertiga tadi dengan perlumbaan yang lebih bermanfaat, yaitu kita turunkan apa yang kita pernah pelajari kepada murid masing-masing dan kita lihat kelak, murid siapa yang paling berguna bagi tanah air dan bangsa!" kata Thong Gi Cinjin. "Bagus, ini baru perlumbaan dan persaingan yang menarik karena hasilnya pasti akan bermanfaat bagi kehidupan manusia. Biarlah aku, atau kalau tidak diwakili muridku, yang kelak menjadi saksi keberhasilan kalian bertiga." kata Thai Kek Siansu. "Sekarang, aku pamit, harap Sam-wi maafkan karena aku harus pergi." Setelah berkata demikian, Thal Kek Siansu mengangkat tubuh Han Lin, dibawanya naik ke atas punggung rajawali yang masih mendekam, duduk berboncengan dengan Han Lin di depan dan dia di belakang. "Tiauw-cu, mari kita pulang!" kata Thai Kek Siansu. Rajawali itu mengeluarkan bunyi nyaring, bangkit berdiri, mengembangkan sayapnya yang lebar, lalu kedua kakinya yang kokoh kuat itu mengenjot tubuhnya, lalu terbanglah dia ke atas dengan cepatnya. Tiga orang pendeta itu bangkit berdiri Han memandang dengan kagum. "Omitohud, Thai Kek Siansu dapat menjinakkan Sin-tiauw (Rajawali Sakti) yang hidup di daerah Himalaya dan kini amat langka itu! Sungguh luar biasa sekali!" Thong Leng Losu berseru. Sebagai seorang yang puluhan tahun berkelana di daerah Tibet dan Pegunungan Himalaya dia tahu tentang rajawali yang langka itu. "Siancai! Pinto sendiri sudah menjinakkan seekor harimau yang dapat pula jadikan seperti kuda tunggangan, tetapi tidak ada artinya dibanding dengan Rajawali Sakti itu. Mengagum sekali!" kata Louw Keng Tojin. Setelah mereka sepakat untuk mas masing mencari seorang murid, tiga orang pendeta itu lalu meninggalkan puncak bukit itu dan saling berpisah. oooOOooo Terjadi peristiwa penting di istana Kerajaan Chou. Kaisar Chou Ong yang sudah berusia tujuh puluh lima tahun dan memang sudah selama beberapa tahun tidak bergairah mengurus pemerintahan dan hanya menyerahkan kepada para pejabat tinggi yang membantunya, kini menyerahkan mahkota kerajaan kepada puteranya yang masih kecil berusia tujuh tahun di bawah bimbingan Sang Permaisuri, ibu pangeran itu. Hal ini sebetulnya amat tidak disetujui sebagian besar para pejabat tinggi, terutama para panglima karena mereka tahu bahwa sewaktu Kaisar Chou Ong masih menjadi kaisar pun, pemerintahan sudah dikuasai oleh Sang permaisuri dan para pejabat tinggi yang bersaing menumpuk harta kekayaan pribadi. Apalagi sekarang, kaisarnya masih kanak-kanak dan kekuasaan sepenuhnya berada di tangan Permaisuri dan kaki tangannya, para pejabat tinggi yang korup. Maka sudah dapat dibayangkan betapa akan buruk akibatnya bagi rakyat. Pemerintahan lemah, pemberontakan dan kekacauan terjadi di mana-mana sedangkan para pembesarnya hanya sibuk memperebutkan kekayaan yang tidak halal. Pada waktu itu, ada seorang jenderal atau panglima dari Kerajaan Chou yang terkenal gagah perkasa dan sudah banyak jasanya terhadap kerajaan. Dialah yang terkenal memimpin pasukannya menghancurkan pemberontakan-pemberon takan. Panglima ini bernama Chao Kuang Yin, seorang yang berusia hampir lima puluh tahun. Dia berasal dari Chou, sebuah kota di sebelah selatan Peking, sejauh kurang lebih empat puluh li (mil). Chao Kuang Yin ini keturanan orang-orang yang menduduki jabatan penting pada masa Dinasti Tang dan dinasti-dinasti berikutnya pada zaman Lima Dinasti yang kini diakhiri dengan Dinasti Chou. Ketika Kaisar Chou Ong menyerahkan mahkotanya kepada pangeran yang masih kecil, Chau Kuang Yin termasuk di antara para pejabat tinggi yang merasa tidak setuju. Akan tetapi dia seorang yang setia kepada kerajaan, maka biarpun hatinya merasa tidak setuju, tidak mau menyatakan dalam sikap atau ucapannya. Para pimpinan baru kerajaan yang dikepalai Permaisuri tahu bahwa Chao Kuang Yin merupakan seorang panglima yang tidak menyukai mereka dan amat berbahaya, maka ketika terdapat gerakan dan ancaman dari bangsa Khitan, Permaisuri memerintahkan Chau Kuang Yin untuk membawa tentaranya ke utara untuk mengusir bangsa yang men gancam itu. Panglima Chao Kuang Yin tentu saja menaati perintah ini. Akan tetapi para pembantunya, para panglima dan perwira pembantunya, diam-diam merasa penasaran. Mereka tahu betapa lemahnya kedaan pemerintahan yang dikuasai Permaisuri dan para pejabat tinggi yang korup itu. Setelah mereka berhasil menyisir para pengacau Khitan, para panglima dan perwira pembantu mengadakan persekongkolan. Mereka bersepakat bulat untuk mengadakan pemberontakan dan pengangkat panglima mereka Chao Kuang Yin sebagai kaisar baru! Akan tetapi para perwira itu tahu benar bahwa Panglima Chao Kuang Yin yang amat setia dan pasti tidak mau melakukan pemberontakan, maka mereka bersepakat untuk memaksanya! Demikianlah, pada suatu malam, ketika pasukan berhenti dalam perjalanan kembali ke kotaraja, belasan orang perwira memasuki tenda di mana Panglima Chao Kuang Yin tidur. Panglima ini terkejut ketika dia terbangun, dia telah dikepung belasan orang perwira pembantunya dengan pedang terhunus! "Hei, apa yang kalian lakukan ini?" Chao Kuang Yin melompat turun dari tempat tidurnya, sama sekali tidak takut walaupun ditodong belasan batang pedang oleh para perwira yang mengepungnya. Dia tahu bahwa dia tidak mungkin dapat melawan belasan orang perwira itu. Biarpun dia seorang ahli perang, pandai mengatur barisan dan menggunakan siasat perang, namun ilmu silatnya tidak selisih banyak dengan seorang perwira pembantunya. Dikeroyok belasan orang itu, tentu dia tidak akan mampu menang. Seorang perwira mengeluarkan sebua jubah kuning dengan gambar naga dan burung Hong. "Thai-ciangkun (Panglima Besar), kami hanya mohon agar ciangkun suka mengenakan jubah yarng telah kami persiapkan ini." "Hei, apakah kalian sudah gila?" Cha Kuang Yin memandang jubah itu dengan mata terbelalak. "Jubah kuning dengan gambar-gambar ini hanya boleh dipakai seorang kaisar!" Para perwira itu lalu menceritakan apa kehendak yang telah mereka sepakati bersama, yaitu mengangkat Chao Kuang Yin menjadi kaisar baru untuk menggantikan kaisar kanak-kanak yang baru diangkat oleh Kaisar Chou Ong. "Tidak, aku tidak mau memberontak! Chao Kuang Yin menolak keras. "Maaf, Thai-ciangkun. Kalau engkau menolak, terpaksa kami akan membunuhmu dan mengangkat calon kaisar lain karena engkau tentu akan menentang rencana kami!" Chao Kuang Yin tidak takut menghadapi ancaman maut. Akan tetapi di berpikir. Kalau aku dibunuh lalu mereka mengangkat kaisar lain pasti akan terjadi Pendekar Kipas Akar Wangi 1 Pendekar Binal Karya Khu Lung Iblis Angkara Murka 2