Ceritasilat Novel Online

Suling Pusaka Kumala 1

Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo Bagian 1 Suling Pusaka Kumala Karya : Asmaraman S. - Kho Ping Hoo Jilid I PEKIK dan sorak sorai peperangan Itu menggegap gempita menjulang tinggi ke angkasa. Betapapun pasukan kerajaan Beng melakukan perlawanan mati-matian namun mereka telah terkepung ketat, di tempat terbuka dan lebih mencelakakan lagi, mereka bertempur dalam keadaan kehabisan ransum dan air. Lapar dan haus melemahkan semangat dan tenaga mereka sehingga pasukan itu akhirnya dipukul mundur cerai berai oleh pasukan Mongol yang sudah terbiasa perang di tempat yang liar terbuka seperti peperangan di kota Huai Lai, di perbatasan utara kerajaan Beng dan bangsa Mongol itu. Pasukan Mongol, dikepalai oleh panglima-panglima atau kepala-kepala suku Mongol dan gagah perkasa, telah menyerbu ke dalam dan mengepung perkemahan di mana terdapat Kaisar Cheng Tung. Para pengawal berserabutan keluar dengan pedang dan lembing dan melakukan perlawanan mati-matian untuk melindungi kaisar mereka. Namun, jumlah mereka jauh kalah banyak dan satu demi satu para pengawal itupun roboh bergelimang darah. Terjadilah pembantaian di perkemahan itu. Kepala suku Mongol yang juga menjadi panglima besar yang memimpin penyerbuan itu adalah Kapokai Khan, seorang pria berusia empat puluh tahun yang tinggi besar dan gagah perkasa. Dia melompat turun dari kudanya dan di kuti belasan orang perwira pembantu dan pasukan di belakangnya, dia menyerang terus ke dalam perkemahan. Setelah tiba di dalam, dia berhenti dan memandang tertegun. Di sana, di tengahtengah perkemahan itu, tampak Kaisar Cheng Tung duduk seorang diri di atas permadani, tenang dan diam, sedikitpun tidak tampak gugup atau ketakutan. Di sekelilingnya tampak tubuh para pengawalnya bergelimpangan bermandikan darah mereka sendiri. Wajah itu tampak tampan dan tenang, masih anggun dan agung dan ketika dia melihat Kapokai Khan, kepala itu dikedikkan, lehernya agak tegak dan sepasang mata yang tajam mencorong memandang kepada kepala suku itu penuh keberanian. Kepala suku Mongol Kapokai Khan adalah seorang panglima besar, seorang yang menjunjung tinggi kegagahan. Dia masih keturunan Kublai Khan dan ketika pemerintah kerajaan Mongol jatuh, dia masih seorang bayi yang dapat dilarik oleh seorang pengawal. Kini, melihat laki-laki yang usianya kurang lebih tiga puluh tahun itu duduk begitu tenangnya, dengan sikap agung seorang raja besar, dikelilingi pengawal yang berserakan tumpang tindih menjadi mayat bergelimang darah dalam suasana yang sunyi, Kapokai Khan menjadi terpesona. Dia merasa seperti melihat seekor naga melingkar di situ, penuh ketabahan, sedikitpun tidak gentar walaupun sudah jelas bagaimana nasibnya, dikepung pasukan musuh yang masih memegang senjata yang berlepotan darah di tangan. "Bunuh Kaisar Beng....!" Tiba-tiba seorang panglima melompat dan goloknya terayun ke arah leher orang muda yang duduk dengan tenang itu. Kepala itu sedikitpun tidak bergerak, seperti sebuah arca ketika golok menyambar ke arah lehernya. "Tranggggg....!" Golok yang menyambar leher itu terpental oleh sebatang pedang yang berada di tangan Kapokai Khan. Kepala suku ini dengan kecepatan luar biasa telah meloncat dan menangkis serangan itu. Penyerangnya terbelalak, juga para panglima yang lain. "Kapokai Khan! Dia adalah Kaisar Beng" Dia adalah musuh besar kita yang harus mati!" beberapa orang berseru dengan penasaran. Kapokai Khan yang tinggi besar itu melintangkan pedangnya dan berdiri menghalang di depan Kaisar Cheng Tung, suaranya terdengar menggelegar dan penuh wibawa. "Aku adalah Kapokai Khan yang besar, selalu menghargai kegagahan dan kejantanan. Aku melihat Kaisar ini seorang yang sama sekali tidak takut mati, dengan gagah berani dan mata terbuka menghadapi ancaman bahaya kematian. Bagaimana aku dapat membiarkan orang segagah dia mati" Tidak, dia akan menjadi tawananku, juga tamu kehormatanku dan barang siapa berani mengganggunya, menyentuh rambutnya, akan berhadapan dengan pedangku. Aku, Khan Yang Besar, telah bicara!" Semua orang terbelalak mendengar kata-kata dan melihat sikap Kapokai Khan ini dan kini semua orang memandang kepada pria yang duduk di atas permadani itu. Dia memang seorang pria yang gagah dan tampan. Usianya sekitar tiga puluh tahun, bertubuh tinggi tegap memakai pakaian kebesaran kaisar yang gemerlapan. Rambutnya digelung ke atas dan ditutup mahkota yang berkeredepan dihias permata. Pandang matanya mencorong, sedikitpun tidak memperlihatkan kegugupan atau rasa takut, seolah-olah dia tidak sedang dikepung pasukan musuh, melainkan dihadap hulubalangnya. Di bibirnya yang merah tersungging senyuman penuh percaya diri sendiri. Dia adalah Kaisar Cheng Tung (1437 - 1465), kaisar dari Kerajaan Beng. Dia adalah keturunan dari Chu Yuan Chang, pendiri dari Kerajaan Beng yang berhasil meruntuhkan kerajaan Mongol yang besar dan mengembalikan tanah air di bawah kekuasaan bangsa sendiri. Kaisar Cheng Tung adalah cucu buyut Kaisar Yung Lo, pendiri istana kerajaan di Peking yang dipindahkan dari Nanking. Sebagaimana tercatat dalam sejarah, pendiri Kerajaan Beng yaitu Chu Yuan Chang, menjadi kaisar pertama Kerajaan Beng dan berpusat di Nanking. Untuk mempertahankan diri dari ancaman bangsa Mongol yang sudah diusir kembali ke utara, Kaisar Chu Yuan Chang menempatkan seorang di antara puteranya, yaitu Pangeran Yen, untuk memimpin pasukan besar dan berjaga di Peking, benteng sebelah utara yang dapat membendung gangguan bangsa Mongol dari utara. Kaisar Chu Yuan Chang atau dikenal pula sebagai Kaisar Hung Wu, meninggal dalam tahun 1398 setelah memimpin kerajaan selama tiga puluh tahun dengan sukses. Akan tetapi putera sulungnya meninggal dunia sebelum menggantikannya sebagai kaisar, oleh karena itu yang menggantikan kedudukan kaisar adalah cucunya bernama Hui Ti yang diangkat menjadi Kaisar ketika berusia enam belas tahun. Pengangkatan Hui Ti yang muda sebagai kaisar ini menimbulkan perang saudara. Pangeran Yen yang menjadi panglima di Peking merasa tidak setuju dan merasa lebih berhak untuk menggantikan ayahnya menjadi kaisar setelah kakak sulungnya meninggal. Oleh karena itu, dia mengerahkan pasukannya menyerbo ke Nan-king, untuk memaksa Hui Ti, keponakannya turun tahta dan menyerahkan kepemimpinan kerajaan kepadanya. Karena kemampuannya sebagai seorang panglima dan karena memang sebagian besar pasukan berada di bawah kepemimpinannya, dia berhasil. Kaisar Hui Ti yang muda melarikan diri dan biarpun Pangeran Yen berusaha mencari keponakannya itu, dia tidak berhasil dan Kaisar Hui Ti tetap lenyap dan dilupakan orang. Nan-king yang diserbu oleh Pangeran Yen dari Peking itu jatuh dalam tahun 1402 dan sejak saat itu, Pangeran Yen mengambil alih kerajaan dan mengangkat diri menjadi Kaisar dengan sebutan Kaisar Yung Lo. Dia memindahkan pusat kerajaannya ke Peking dan membangun Peking sebagai kota raja yang amat besar dan indah, penuh dengan istana-istana yang demikian megahnya sehingga terkenal sampai jauh ke negeri-negeri barat. Kaisar Yung Lo, pendiri Peking itu, menjadi kaisar selama 1402-1425. Dalam usia tua, dia masih sering memimpin sendiri pasukannya untuk mengadakan penyerbuan ke Mongolia luar, menghantam kedudukan bangsa Mongol yang menjadi musuh besarnya. Dia meninggal dalam perjalanan pulang dari serbuan ke utara itu, dalam tahun 1425. Penggantinya adalah Kaisar Hung Hwi, puteranya. Akan tetapi Kaisar ini berpenyakitan dan meninggal dunia karena penyakit di tahun itu juga. Kedudukan Kaisar lalu diserahkan kepada cucu Yung Lo yang bernama Hsuan Te yang juga merupakan kaisar yang berusia pendek dan memerintah selama sebelas tahun. Oleh karena kematiannya itu, maka yang diangkat menjadi kaisar adalah puteranya, atau cucu buyut Kaisar Yung Lo, yaitu Kaisar Cheng Tung yang pada waktu itu baru berusia delapan tahun! Oleh karena Cheng Tung baru berusia delapan tahun ketika diangkat menjadi kaisar, maka dengan sendirinya pemerintahan kerajaan dipegang oleh Ibu Suri dan para pembantunya, yaitu para thai-kam (sida-sida). Kaisar Cheng Tung sendiri, karena usianya yang amat muda, dan karena kedudukannya, terkurung di dalam istana dan oleh Ibu Suri dia dijejali pelajaran sastera dan filsafat, dipersiapkan untuk kelak menjadi seorang kaisar yang bijaksana. Namun, karena dikelilingi oleh para thai-kam yang pandai menjilat, tidak urung kaisar ini terperosok ke dalam pengaruh para thai-kam. Ketika dia sudah berusia dewasa, dia menjadi kaisar yang bijaksana namun lemah, mempercayakan segalanya kepada seorang di antara kepala thaikam yang berpengaruh di waktu itu. Thaikam ini bernama Wang Chin, seorang thaikam yang berasal dari Huai Lai, yaitu kota di perbatasan Mongol. Dalam tahun 1450, ketika usia Kaisar Cheng Tung sudah hampir tiga puluh tahun. Thaikam Wang Chin membujuk Kaisar Cheng Tung untuk mengadakan perjalanan ke tapal batas tanah yang dikuasai bangsa Mongol dan berkunjung ke Huai Lai, yaitu tempat yang menjadi kampung halaman Wang Chin. Dia hendak memamerkan pengaruhnya dan ingin menjamu sang kaisar di kampung halamannya. Kaisar Cheng Tung yang sudah biasa terbujuk dan menuruti omongan manis Wang Chin, sekali ini juga memenuhi permohonannya. Bahkan, bukan saja dia memenuhi permintaan Wang Chin untuk melakukan perjalanan ke utara, namun diapun mengangkat Wang Chin menjadi panglima yang memimpin pasukan yang mengawal perjalanan itu. Tentu saja para panglima tua, yang dahulu pernah berjuang dengan gagah beraninya di samping mendiang Kaisar Yung Lo. yang sudah penuh pengalaman melakukan penyerbuan ke Utara, menjadi khawatir sekali. Mereka mengusulkan kepada Kaisar muda itu untuk mengangkat panglima yang lebih berpengalaman, akan tetapi semua itu dikesampingkan Kaisar Cheng Tung yang sudah percaya penuh kepada Thaikam Wang Chin. Demikianlah, perjalanan itu dilakukan, dikawal oleh sepuluh ribu orang pasukan vang dipimpin oleh Wang Chin yang sama sekali tidak berpengalaman. Ketika pasukan tiba di Huai Lai, kepala suka, Mongol, Kapokai Khan, mendengar tentang perjalanan kaisar ini. Dia menyebar mata-mata dan segera mendapat keterangan bahwa pasukan yang mengawal kaisar itu sudah berada dalam keadaan lelah setelah melakukan perjalanan jauh juga bahwa perbekalan mereka sudah hampir habis, kelaparan dan kehausan. Sebagai seorang kepala suku yang berpengalaman, dia tahu bahwa pasukan itu bukan dipimpin oleh seorang panglima yang pandai. Oleh karena itu, diapun mengerahkan pasukannya untuk mengepung dan menyerbu pasukan kerajaan Beng tidak jauh dari Huai Lai, dekat Nan Kou di sebelah dalam Tembok Besar. Pasukan kerajaan Beng yang kelelahan, kelaparan dan kehausan itu hancur berantakan dan sebagian besar melarikan diri meninggalkan kaisar dan pengawalnya di perkemahan. Para pengawal melindungi kaisar dan bertempur mati-matian sampai akhirnya tak seorangpun di antara mereka hidup dan mayat mereka bertumpukan dan berserakan di dalam kemah. Akan tetapi, ketenangan dan ketabahan hati Kaisar Cheng Tung membuat Kapokai Khan terpesona dan kagum bukan main. Dia sendirilah yang melindungi Kaisar Cheng Tung, merasa bangga bahwa dia telah dapat menawan seorang kaisar yang demikian gagah beraninya! Thaikam Wang Chin dan semua pembantunya terbunuh dalam perang itu, dan para perajurit yang berhasil meloloskan diri berlari pulang ke selatan memberi kabar tentang malapetaka itu. Biarpun Ibu Suri dan para menteri mendengar bahwa Kaisar Cheng Tung tidak terbunuh melainkan tertawan, namun untuk tidak membiarkan singgasana kosong, maka diangkatlah Kaisar Ching Ti, adik Kaisar Cheng Tung, menjadi kaisar pengganti. Kapokai Khan dan para pembantunya mengepung Kaisar Cheng Tung dan atas isarat Kapokai Khan, seorang juru bicaranya yang pandai bahasa Han segera berkata dengan suara memerintah kepada Kaisar Cheng Tung. "Atas perintah Yang Mulia Kapokai Khan Yang Besar, engkau diharuskan bangkit berdiri dan mengikuti kami sebagai seorang tawanan perang!" Kaisar Cheng Tung mengangkat muka dan memandang si pembicara dengan sinar mata merendahkan. "Kami Kaisar Cheng Tung dari kerajaan Beng yang Jaya sama sekali tidak sudi menerima perintah dari siapapun juga!" Penterjemah itu terkejut dan segera menyampaikan jawaban ini kepada Kapokai Khan. Kepala suku ini membelalakkan matanya, akan tetapi dia bahkan tertawa bergelak dan menjadi semakin kagum. "Kalau engkau membangkang, engkau akan disiksa sampai mati!" kembali penterjemah itu berkata garang. Kaisar Cheng Tung tersenyum. Senyumnya lepas bebas keluar dari hati, tidak dibuat-buat dan tiba-tiba dia bernyanyi! "Manusia hidup lemah dan lemas sesudah mati menjadi kaku dan keras segala benda tumbuh lemah dan lemas sesudah mati kering dan getas! Maka itu : kaku dan keras adalah teman kematian lemah dan lemas adalah teman kehidupan! Inilah sebabnya : senjata keras mudah menjadi rusak kayu keras mudah menjadi patah! Maka dari itu : Kaku dan keras menduduki tempat bawah lemah dan lemas menduduki tempat atas!" Sibuklah penterjemah itu menerjemahkan nyanyian yang dinyanyikan Kaisar Theng Tung kepada Kapokai Khan. Kepala suku itu "termenung sejenak, lalu serunya. "Kaisar Cheng Tung, apa yang kau maksudkan dengan nyanyian itu?" Kaisar Cheng Tung yang sejak kecil hafal akan semua ujarujar dan sajak haik dalam kitab-kitab Khong-cu, Lo-cu atau Buddha itu mengangguk. Dia tadi menyanyikan bagian dari kitab To-tik-keng dan kini menghadapi pertanyaan Kapokai Khan dia berkata dengan dingin. "Apa artinya kematian dibandingkan dengan kehormatan" Seorang budiman dapat mempertahankan kehormatannya sampai akhir, namun tidak dapat mempertahankan kehidupannya. Mati terhormat jauh lebih sempurna dari pada hidup terhina." Setelah kata-kata ini diterjemahkan, Kapokai Khan menundukkan kepalanya. Dia juga sudah banyak mendengar tentang kebudayaan dan filsafat Cina dari para pembantunya, terutama yang tua-tua, akan tetapi karena dia sendiri sejak kecil sudah harus meninggalkan Cina, banyak hal yang tidak dikenalnya. Dia merasa kagum sekali dan memerintahkan kepada penterjemah untuk berkata dengan sikap hormat. "Kapokai Khan Yang Besar mempersilakan Kaisar Cheng Tung yang Bijaksana untuk bangkit dan mengikuti rombongannya untuk diperlakukan sebagai seorang tamu agung!" Cheng Tung tersenyum memandang kepada Kapokai Khan, lalu mengangguk dan setelah mengebutkan bajunya diapun bangkit dengan tenang. Tubuhnya yang jtinggi tegap itu berdiri tegak di samping Kapokai Khan. Kepala suku ini lalu menggunakan tangannya mempersilakan dan mereka lalu berjalan berdampingan keluar dari perkemahan, melangkahi mayat-mayat para pengawal yang tewas. Di luar telah dipersiapkan dua ekor kuda yang terbaik, seekor untuk Kapokai Khan dan seekor lagi untuk Kaisar Cheng Tung. Kaisar itupun naik ke punggung kudanya dengan gerakan yang menarik dan anggun, tidak seperti Kapokai Khan yang melompat begitu saja. Dua orang itupun lalu menggerakkan kuda mereka yang jalan sejajar dikawal oleh ribuan orang pasukan Mongol yang bersorak-sorak gembira karena kemenangan. * * * Karena sikapnya yang anggun dan tabah itu membangkitkan kekaguman dalam hati Kapokai Khan, maka Kaisar Cheng Tung biarpun menjadi tawanan perang, diperlakukan sebagai seorang tamu kehormatan. Dia berdiam dalam sebuah pondok besar di perkampungan o-rang Mongol, segala kebutuhannya dicukupi, diperlakukan dengan sikap hormat. Bahkan Kapokai Khan memerintahkan Chai Li, seorang keponakan perempuannya yang masih gadis dan yang pandai berbahasa Han, untuk menjadi pelayan pribadi sang kaisar! Chai Li adalah seorang dara berusia delapan belas tahun yang cantik jelita, sehat kuat, dan cerdik. Juga ia seorang gadis terpelajar, sejak fcecil oleh kakeknya yang dahulu bekerja sebagai pejabat tinggi dalam pemerintahan kerajaan Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Mongol ketika masih menjadi Cina, ia dididik dengan kebudayaan dan kesusastera-an Cina. Ia pandai membaca menulis, pandai bersajak dan pandai pula memainkan alat tiup suling dan bernyanyi serta menari. Sejak kecil bergaul dengan orang-orang Mongol yang kasar, kini bertemu dengan seorang kaisar muda yang demikian lembut dan halus, tampan dan penuh sopan santun, tidak mengherankan kalau hati gadis itu hanyut dan jatuh cinta kepada Kaisar Cheng Tung! Di lain pihak, kaisar yang terpisah dari keluarganya, yang hidup sebatang kara di tempat musuh, tidaklah mengherankan pula kalau dia tertarik kepada dara yang cantik menarik itu. Kalau seorang pria dan seorang wanita sudah saling tertarik dan tergila-gila, apalagi mereka diberi kesempatan untuk hidup berdekatan, maka terjadilah hal yang tak dapat terelakkan lagi. Bertemulah kertas putih dengan tulisan indah dan terbentuklah sajak-sajak yang amat halus dan indah. Bertemulah suling dengan yang-kim (gitar) yang dimainkan tangan-tangan ahli sehingga terdengarlah nyanyian merdu. Pada suatu senja yang indah, Kaisar Cheng Tung duduk di dalam taman bunga di belakang pondoknya, ditemani oleh Chai Li dan seorang pelayan wanita Mongol. Kaisar Cheng Tung sejak tadi mengamati Chai Li. Baginya, senja hari itu Chai Li tampak lebih cantik dari pada biasanya. Sinar matahari senja itu seolah mengubah dara yang berpinggang ramping itu menjadi seorang bidadari yang langkah dan gerak-geriknya seolah tari-an indah sang bidadari. Ketika pelayan wanita tua Mongol meletakkan poci minuman dan cawan-cawannya ke atas meja, Kaisar Cheng Tung berkata kepada Chai Li dengan lembut. "Chai Li, kalau engkau tidak keberatan, aku ingin bicara berdua denganmu. Dapatkah engkau menyuruh pembantu ini pergi?" Chai Li tersenyum. Kaisar ini selalu bersikap sopan kepadanya. Padahal, dia boleh memerintahkan apa saja kepadanya. "Sudah tentu saja, Yang Mulia." ia lalu bicara dalam bahasa Mongol kepada pelayan itu yang segera pergi meninggal-kan mereka. Setelah pelayan itu pergi, dengan cekatan namun halus gerak geriknya Chai Li lalu menuangkan air teh dari poci ke dalam cawan dan menyerahkannya kepa-j da sang kaisar dengan gaya lemah gemulai. Kaisar Cheng Tung menerima cawan itu sambil tersenyum dan meminumnya, lalu meletakkannya di atas meja. "Yang Mulia, apakah yang paduka hendak bicarakan berdua dengan saya?" akhirnya, setelah lama saling pandang tanpa bicara, Chai Li bertanya karena ia merasakan sesuatu dalam pandang mata kaisar muda itu. "Chai Li, duduklah di bangku dekatku sini." kata Kaisar Cheng Tung dengan lembut. "Yang Mulia, mana saya pantas....?" "Tidak ada yang tidak pantas, Chai Li, kalau aku sudah mempersilakanmu." Dengan sikap agak malu-malu Chai Li lalu duduk di sebelah kaisar dan menundukkan mukanya, mendengarkan. "Chai Li, ada kata-kata yang tidak perlu terucapkan mulut, kata-kata yang menjadi bisikan hati yang terpancar keluar melalui pandang mata dan getaran suara. Dapatkah engkau menangkap kata-kata hatiku itu?" Kepala itu semakin menunduk. Tentu saja ia mengerti karena suara hati yang sama tergetar pula dari hatinya. Kaisar Cheng Tung mengeluarkan sesuatu dari balik ikat pinggangnya. Ketika ia mengeluarkannya, ternyata benda itu adalah sebatang suling pendek yang terbuat dari batu kemala hijau, indah bukan main karena diukir dalam bentuk seekor naga. "Chai Li, benda pusaka ini adalah pemberian ibuku dan selamanya belum pernah terpisah dariku. Menurut pesan ibuku, di dunia ini hanya terdapat seorang wanita saja yang mampu memainkan nya sesuai dengan selera hatiku. Maukah engkau mencobanya, memainkan sebuah lagu untukku, Chai Li?" Sambil berkata demikian, Kaisar Cheng Tung meletakkan suling kemala itu ke tangan Chai Li. Dara itu menerima suling kemala dengan jari-jari tangan gemetar. Ia ingin menolak karena merasa tidak berhak memainkan suling milik Kaisar Cheng Tung, akan tetapi ada desakan hatinya yang membuat ia tidak kuasa mengembalikan suling itu. Bagaikan dalam mimpi, kedua tangannya memegang suling dan membawanya ke dekat mulutnya. Setelah menemukan lubang-lubang untuk jari dan lubang untuk bibir, iapun memejamkan kedua matanya, menarik napas panjang lalu mulai meniup suling itu. Suara suling melengking, mendayu-dayu dan terdengar aneh namun manis memasuki telinga dan hati Kaisar Cheng Tung. Dara itu memainkan sebuah lagu Mongol yang terdengar asing namun memukau. Suara itu menghanyutkan sukma, membawa lamunannya membubung tinggi dan terayun-ayun di angkasa, suaranya meninggi dan merendah membuai dan tanpa disadarinya lagi, dua titik air mata membasahi kedua mata Kaisar Cheng Tung. Chai Li menghentikan tiupan suling-Tung dan terbelalak, terkejut bukan main. "Yang Mulia, paduka.... menangis....?" Cheng Tung tidak menjawab, hanya merangkul dara itu. "Lagu apakah yang kau mainkan itu, Chai Li?" ' "Lagu Mongol, judulnya 'Suara hati seorang gadis" ucapnya lirih. "Chai Li, engkaulah wanita satu-satunya yang dapat memainkan suling ini sesuai dengan seleraku. Karena itu, kuberikan suling pusaka kemala ini kepadamu." "Akan tetapi, Yang Mulia...." "Ssttt, apakah engkau tidak sudi menerima hatiku yang kupersembahkan kepadamu?" Kaisar Cheng Tung merangkul dan Chai Li hanyut dalam pelukan itu. Mulai saat itu, terjadilah perubahan besar dalam hubungan antara Chai Li dan Kaisar Cheng Tung. Mereka berkasih kasihan, bahkan secara berterang sehingga tak lama kemudian semua orang mendengar belaka akan hubungan cinta kasih antara kedua orang ini. Ketika Kapokai Khan mendengar akan hal itu, dia tertawa gembira. "Ha-ha-ha, bagus sekali! Biar Kaisar Cheng Tung memperoleh keturunan dari darah keluarga kami dan kelak keturunan itu yang akan menggantikannya menjadi Kaisar Kerajaan Beng!" Dia tidak marah kepada keponakannya itu, bahkan merestui hubungan mereka sehingga lebih leluasa lagi bagi Chai Li dan Kaisar Cheng Tung untuk berkasih-kasihan secara terbuka. Tertawannya Kaisar Cheng Tung membesarkan semangat bangsa Mongol untuk berusaha merebut dan mendirikan kembali kekuasaan mereka di Cina. Mereka bahkan mencoba untuk menyerbu memasuki Tembok Besar bahkan menyerang sampai ke dekat perbatasan kota raja Peking! Namun ternyata kekuatan bangsa Mongol masih belum dapat menembus pertahanan Kerajaan Beng yang dipimpin oleh para panglima tua untuk mempertahankan kota raja Peking. Semua serbuan bangsa Mongol dapat dipatahkan dan mereka terusir keluar dari wilayah kerajaan Beng. Apa lagi, pasukan dari berbagai propinsi juga ikut memperkuat Peking dari berbagai jurusan sehingga pasukan Mongol selalu dipukul mundur. Ketika Kapokai Khan mendengar bahwa sebagai pengganti Kaisar Cheng Tung telah diangkat seorang kaisar baru, yaitu Kaisar Ching Ti, dia menjadi khawatir sekali. Kalaupun dia tidak dapat menguasai Cina, sebaiknya Kaisar Cheng Tung yang menjadi penguasa, bukan kaisar lain yang tentu akan memusuhinya. Kaisar Cheng Tung telah diperlakukan sebagai tamu kehormatan, bahkan telah berhubungan sebagai suami isteri dengan seorang keponakannya yang kini telah mengandung pula. Dia lalu menyebar mata-mata ke dalam kota raja Peking untuk mendengar dan melihat keadaan. Dari para mata-mata ini akhirnya dia mendapatkan berita gembira, yaitu bahwa semua menteri, bahkan Ibu Suri, masih mengharapkan Cheng Tung untuk sewaktu-waktu dapat lolos dari tawanan dan akan diterima kembali menjadi Kaisar. Kebanyakan dari mereka masih mencinta Kaisar Cheng Tung dari pada adiknya, Kaisar Ching Ti yang dianggap kurang mampu memegang tampuk pemerintahan. Ketika mendengar ini, Kapokai Khan segera menemui Kaisar Cheng Tung. Melalui seorang penerjemah dia mengadakan perundingan dengan Kaisar Cheng Tung. "Yang Mulia, kalau sekarang paduka kami bebaskan dan kami antarkan kembali ke Peking, apa yang dapat paduka lakukan demi membalas kebaikan kami?" Diam-diam Kaisar Cheng Tung merasa heran dan girang mendengar bahwa dia hendak dibebaskan. "Kapokai Khan yang baik, engkau yang menawan kami da" engkau pula yang hendak membebaskan kami. Apakah yang dapat kami lakukan untukmu?" "Kami akan membebaskan paduka dan mengawal paduka kembali ke Peking dengan selamat kalau paduka suka menjanjikan beberapa hal kepada kami." Kaisar Cheng Tung memandang kepala suku itu dengan sinar mata menyelidik "Janji apakah yang harus kami berikan?" "Pertama, kalau paduka menjadi Ka-j isar kembali, paduka harus menghentikan penyerbuan ke utara dan menganggap kami sebagai sahabat." Kaisar Cheng Tung mengangguk. "Hal itu sudah sepatutnya. Kami berjanji" "Kedua, kalau putera paduka dari Chai Li terlahir, kelak paduka akan menerimanya sebagai putera, sebagai pangeran Beng yang kelak akan dapat menggantikan kedudukan paduka sebagai Kaisar!" Kaisar Cheng Tung mengerutkan alisnya. "Kalau puteraku dari Chai Li terlahir, dia adalah puteraku. Kalau terlahir sebagai puteri, ia akan menjadi puteri istana yang terhormat, dan kalau terlahir sebagai putera, dia akan menjadi seorang pangeran. Akan tetapi mengenai kedudukan sebagai putera mahkota, hal itu harus dipertimbangkan lebih dulu, melihat keadaan dan suasana. Betapapun juga, dia adalah puteraku dan tentu akan menduduki tempat penting dan terhormat." Kaisar Cheng Tung berhenti sebentar, berpikir lalu berkata, "Akan tetapi karena keadaan Chai Li sedang mengandung tua, lebih baik ia tinggal dulu di sini. Kelak kalau ia sudah melahirkan dan puteranya sudah kuat, ia akan kami terima di istana Peking sebagai seorang selir kami." Kapokai Khan merasa puas dengan janji-janji itu, maka pada hari yang sudah ditentukan, Kaisar Cheng Tung dikawal sepasukan perajurit dan diantarkan ke selatan. Sebelum berangkat Kaisar Cheng Tung berpamit kepada Chai Li yang ketika itu sudah mengandung tujuh bulan. Chai Li menangis dan memegangi tangan suaminya. "Yang Mulia, sekarang kita berpisah, entah kapan kita akan dapat saling bersua kembali." Kaisar Cheng Tung merangkul wanita itu dengan penuh kasih sayang. Selama ini kasih sayangnya terhadap Chai Li semakin bertambah karena ternyata Chai Li adalah seorang wanita yang benar-benar setia dan mencinta suaminya. "Chai Li, simpanlah air matamu. Tangismu tidak baik untuk kesehatan anak kita dalam kandunganmu. Perpisahan kita hanya sementara saja. Kelak, kala anak kita sudah terlahir dan kuat, engkau dapat membawa anakmu menyusul ku ke kota raja Peking dan kita hidup berbahagia di sana selamalamanya." Chai Li menahan tangisnya dan berangkatlah Kaisar Cheng Tung,diantar oleh tiupan suling yang mendayu-dayu itu. Tahulah dia bahwa tiupan suling itu adalah peringatan baginya agar dia tidak melupakannya, dan merupakan bekal yang selalu akan terkenang olehnya. Di perbatasan Kaisar Cheng Tung diterima oleh pasukan kerajaan Beng dengan penuh kegembiraan dan kehormatan. Pasukan pengawal Mongol segera kembali setelah menyerahkan kaisar itu dan Kaisar Cheng Tung selanjutnya dikawal oleh pasukan kerajaan Beng ke kota raja. Kembalinya Kaisar Cheng Tung mendapat sambutan meriah, dan biarpun dia tidak memperlihatkan keinginannya untuk menggantikan kembali adiknya yang sudah terlanjur menjadi Kaisar, namun semua orang mendukungnya. Kaisar Ching Ti yang tidak populer dan tidak disuka itu akhirnya jatuh sakit dan selagi dia sakit, Kaisar Cheng Tung diangkat kembali menjadi kaisar untuk yang kedua kalinya. Akan tetapi ketika Ibu Suri dan para pangeran mendengar bahwa Kaisar Cheng Tung telah mempunyai seorang selir di Mongol yang kini telah mengandung, mereka merasa gelisah sekali. Tak seorang pun di antara mereka menghendaki seorang pangeran atau puteri keturunan Mongol di istana, walaupun tidak ada yang berani secara berterang menyatakan dil depan Kaisar Cheng Tung. Di antara mereka yang diam-diam merasa marah mendengar bahwa Kaisai Cheng Tung mempunyai keturunan dari darah Mongol adalah Pangeran Chen Boan, seorang adik dari Kaisar Chen Tung dari selir. Pangeran Cheng Boan ini diam-diam mengusahakan untuk mengenyahkan keturunan dari darah Mongol itu. Tiga tahun kemudian setelah Kaisai Cheng Tung kembali menjadi kaisar, Pangeran Cheng Boan diam-diam menghubungi seorang datuk persilatan yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Di membawa seratus tail emas, diserahkan kepada datuk besar itu dan minta kepadanya agar pergi ke Mongol dan membunuh seorang wanita bernama Chai Li berserta seorang puteranya. Tidak ada seorangpun lain yang mengetahui perintah ini kecuali Ibu Suri yang menyetujui rencana Pangeran Cheng Boan karena Ibu Suri menganggap bahwa kehadiran seorang pangeran keturunan Mongol akan merupakan suatu hinaan terhadap keluarga Kaisar! Datuk besar persilatan yang menerima tugas keji itu bernama Suma Kiang. Dia seorang laki-laki berusia empat puluh lima tahun, bertubuh tinggi kurus dengan muka kemerahan, dahinya lebar, sepasang mata sipit yang bersinar tajam, idung dan mulutnya tampak mengejek elalu dan dia memelihara jenggot sam-l ai ke lehernya. Di punggungnya tergantung sepasang pedang dan walaupun gerak-geriknya lembut, namun pandang matanya liar dan gerakannya menunjukkan bahwa dia seorang ahli silat tingkat tinggi. Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Ringan dan peka. Selama belasan tahun dia terkenal sebagai seorang datuk di daerah Sungai Huang-ho, malang melintang dengan sepasang pedangnya dar sukar dicari tandingannya. Banyak sekali ketua-ketua perkumpulan persilatan yang sudah roboh olehnya sehingga di diakui sebagai seorang datuk besar di wilayah Lembah Sungai Huang-ho. Sebetulnya sebagai seorang datuk persilatan yang berilmu tinggi seperti Suma kiang yang berjuluk Huang-ho Sin liong (Naga Sakti Sungai Huang-ho), untuk mengumpulkan uang seratus tail emas bukanlah pekerjaan sukar. Bukan jumlah uang itu yang menarik hatinya sehingga dia menerima tugas yang diberikan Pangerai Cheng Boan. Akan tetapi petualangannya itulah. Dia ingin bertualang ke daerah Mongol yang terkenal berbahaya itu. Apalagi dia merasa menjadi petugas kerajaan yang amat penting! Mengemban tugas rahasia yang tidak boleh diketahu orang lain. Dan tugas ini diberikan oleh seorang Pangeran, direstui pula oleh Ibi Suri. Dia merasa dirinya menjadi penting dan terhormat. Karena semua inilah mal ka dia menerima tugas yang sebetulnya tidak ringan dan penuh bahaya itu. Suma Kiang hidup sebatang kara. Di waktu mudanya, dia hidup sebagai seorang pendekar yang mempunyai seorang isteri yang cantik. Akan tetapi telah bertahun-tahun beristeri, dia belum juga mempunyai keturunan. Dan pada suatu hari terjadilah malapetaka itu yang mengubah jalan hidupnya. Dia menerima kunjungan seorang pendekar lain, seorang sahabat, dengan ramah dan senang hati. Akan tetapi ternyata kemudian bahwa isterinya menyeleweng dengan sahabatnya itu! Suma Kiang menjadi mata gelap dan dibunuhnya sahabatnya dan isterinya itu. Kehidupannya menjadi guncang dan bertahun-tahun dia hidup seperti orang gila memperdalam ilmunya dan wataknya menjadi kejam. Dia menjadi seorang datuk yang ditakuti orang. Tidak semata-mata melakukan kejahatan, akan tetapi segala kehendaknya harus ditaati orang, siapa-pun juga dia! Namanya mulai terkenal dan dia dijuluki Huang-ho Sin-liong karena dia seolah-olah seekor naga sakti yang baru muncul dari Sungai Huang-ho dan mengamuk di sepanjang Lembah Huang-ho. Ketika Pangeran Cheng Boan melalui seorang utusan rahasia menyampaikan perintah rahasia itu, dia segera menerimanya. Memang dia sudah bosan bertualang di Lembah Huang-ho. Ditinggalkannya pondok besar di Lembah Huang-ho itu dan dia mulai melakukan perjalanan ke utara yang jauh dan panjang. Apalagi perjalanan menuju ke utara itu bagi Suma Kiang adalah perjalanan pulang ke kampung halaman. Dahulu, di waktu mudanya, dia adalah seorang yang berasal dari utara yang merantau ke selatan dan kini di masa usianya sudah mulai tua, dia kembali ke utara, berarti pulang ke kampung halaman. Dia menerima tugas penting itu karena diapun pandai bahasa Mongol yang pernah dipelajarinya ketika dia masih muda. . Pada suatu pagi yang cerah Suma Kiang memasuki sebuah perkampungan Mongol di dekat Terusan Nan Kou. Dia mengenakan pakaian longgar dan selain sepasang pedangnya, juga sebuah buntalan kuning tergendong di punggungnya. Tangan kanannya memegang sebuah tongkat yang berbentuk ular berwarna hitam dan ketika memasuki perkampungan itu, dia berseru dalam bahasa Mongol yang agak kaku, akan tetapi cukup dapat dimengerti oleh mereka yang mendengarnya. "Tukang mengobati segala macam penyakit dan meramalkan segala macam nasib!" Berulang-ulang dia meneriakkan ini dan tak lama kemudian serombongan anak-anak sudah mengikuti di belakangnya, menarik perhatian banyak orang. Biasanya, yang mendatangi perkampungan orang Mongol, kecuali suku bangsa sendiri, adalah pedagang keliling bangsa campuran Han-Mongol, itupun mereka datang berkelompok untuk berdagang dan menukar barang dagangan. Maka kunjungan orang yang mengaku ahli pengobatan dan peramal ini tentu saja menarik perhatian banyak orang. Mereka yang mempunyai keluarga yang sedang sakit, segera mencoba kepandaian Suma Kiang. Ternyata Suma Kiang memang pandai mengobati penyakit, suatu ilmu yang pernah dipelajarinya. Kalau hanya penyakit ringan saja, dengan ilmu menotok jalan darah, dia dapat menolong si penderita. Dia memang telah menguasai It-yang-ci (Totok Satu Jari), semacam ilmu totok yana ampuh dari perguruan Siauw-lim-pai. Dengan ilmu totok yang juga amat ampuh untuk menyerang lawan itu, dia dapati memulihkan jalan darah yang tersumbat sehingga si penderita penyakit menjadi! sembuh. Setelah terbukti dia dapat menyembuhkan beberapa orang yang menderita! sakit, Suma Kiang mulai dapat kepercayaan penghuni perkampungan suku Mongol itu. Bahkan dia dipanggil kepala suku yang menderita sakit leher untuk mengobatinya. Dalam waktu singkat dia dapat menyembuhkan kepala suku itu sehingga namanya semakin terkenal. Akan tetapi, di luar dugaan Suma Kiang sendiri, perbuatannya itu menimbulkan kemarahan dan iri hati Sangkibu yang biasa bertindak sebagai dukun di suku itu. Sangkibu merasa mendapatkan saingan dan dia menjadi marah sekali. Dia kumpulkan lima orang-orangnya yang dikenal sebagai jagoan dan ketika Suma Kiang sedang berjalan seorang diri di perkampungan itu, tiba-tiba dia diserang oleh lima orang jagoan yang menggunakan senjata golok. Lima orang itu menyerang tanpa berkata apapun. Suma Kiang melihat datangnya serangan lima batang golok itu dan melihat pula seorang laki-laki jangkung kurus berwajah seperti tengkorak memberi aba-aba kepada lima orang itu. Dia bergerak cepat, tongkat ularnya diayun berputar menangkis lima batang golok itu. "Trang-trang-trang-trang....!" Lima batang golok yang diserangkan dengan tenaga kuat itu terpental semua dan lima orang pemegangnya terhuyung seolah golok mereka mengenai sebuah dinding baja yang tebal dan kuat! "Nanti dulu!" Suma Kiang berseru dengan sabar. "Kalian ini siapakah dan mengapa pula menyerangku?" Laki-laki jangkung kurus berusia lim puluh tahunan itu melangkah maju dai menudingkan tongkatnya yang bercabang; "Engkau orang asing. Pergilah sebelum kami mengenyahkan dari muka bumi!" "Apa kesalahanku dan siapakah engkau?" Suma Kiang bertanya dengan sikap tenang. "Aku ahli pengobatan dan sesepuh d perkampungan ini. Engkau datang mem bikin kacau dan menipu rakyat. Enyah lah engkau!" Dukun itu melemparkai tongkatnya yang bercabang sambil mem baca mantera dan.... orang-orang yanj mulai berdatangan dan menonton melihat betapa tongkat itu berubah menjad seekor ular yang merayap ke arah Sum a Kiang. Suma Kiang tersenyum. Baginya, permainan sihir seperti itu seperti permainan kanak-kanak saja. Dia mengerahkai sinkangnya dan menggunakan tongkat ularnya untuk menusuk, tepat mengena kepala ular dan seketika itu pecahlah tongkat bercabang itu menjadi dua potong. Orang-orang yang mulai berdatangan dan menonton melihat betapa tongkat itu berubah menjadi seekor ular yang merayap ke arah Suma Kiang. "Bunuh dia!" Dukun yang bernama Sangkibu itu berteriak garang. Lima orang anak buahnya lalu menyerbu lagi dengan golok mereka. Akan tetapi Suma Kiang memutar tongkatnya dan lima batang golok itu menempel pada tongkatnya, ikut terputar dan terlepas dari tangan lima orang pemegangnya! Denga tangan kirinya, Suma Kiang mengambil lima batang golok itu dan sekali melempar ke atas tanah, lima batang golok itu menancap sampai ke gagangnya ke dalam tanah. "Pergilah kalian!" bentaknya dan sekali mencongkel dengan tongkatnya! tongkat bercabang itupun melayang dan mengenai tubuh Sangkibu sehingga dukun tinggi kurus itu terjengkang karena dadalnya terpukul tongkatnya sendiri. Orang-orang berkerumun dan menyaksikan betapa dukun Sangkibu dan lima orang pembantunya itu dengan mudah dikalahkan Suma Kiang. Sangkibu juga tahu diri. Dia maklum bahwa ternyata orang asing itu memiliki kepandaian tinggi, maka tanpa banyak cakap lagi dia lalu terhuyung pergi di kuti lima orang pembantunya yang juga merasa gentar. Berita tentang kepandaian Suma Kiang ini akhirnya sampai juga ke telinga pemimpin besar suku Mongol, yaitu Kapokai Khan. Dia merasa tertarik sekali, apalagi mendengar bahwa Suma Kiang berhasil mengalahkan dukun Sangkibu dan lima orang pembantunya yang jagoan dengan mudah dan bahwa orang asing itu pandai meramalkan nasib. Segera kepala suku ini mengutus orang untuk memanggil Suma Kiang dari perkampungan itu untuk menghadap dia. Tentu saja Suma Kiang menjadi girang bukan main mendapat panggilan ini. Memang semua tindakannya di perkampungan itu adalah untuk memancing perhatian Kepala Suku Kapokai Khan. Dia sudah mendengar bahwa dahulu, Kapokai Khan inilah yang menawan Kaisar Cheng Tung, dan bahwa wanita yang diperisteri Kaisar Cheng Tung dan sudah mempunyai putera itu adalah keponakan sang kepala suku. Ke sanalah dia harus pergi untuk menyelidiki wanita dan puteranya itu. Untuk langsung datang ke pusatj markas orang Mongol itu amat berbahaya, dapat menimbulkan kecurigaan. Akan tetapi sekarang dia pergi ke sana karena dipanggil oleh Kepala Suku Kapokai Khan. Jerih juga rasa hati Suma Kiang ketika dia berhadapan dengan Kapokai Khan. Kepala Suku itu amat berwibawa dikelilingi para hulubalangnya yang rata-rata tampak gagah perkasa. Maka dia lalu maju dan membungkuk sambil merangkap kedua tangan tanda menghormat "Khan Yang Besar, saya Suma Kiang datang menghadap memenuhi panggilan" katanya dengan suara lantang namun dengan sikap hormat. Kapokai Khan menggerakkan tangan dan seorang pengawal menyodorkan sebuah kursi kepada Suma Kiang. "Duduklah!" katanya dan setelah Suma Kiangl duduk, dia bertanya, "Apakah engkau yang bernama Suma Kiang, ahli pengobatan dan tukang meramalkan nasib?" "Benar, Yang Mulia. Sudah belasan tahun saya mempelajari kedua ilmu itu. Apakah ada di antara keluarga Yang Mulia menderita sakit" Saya akan mengobatinya sampai sembuh." "Ha-ha-ha, semua keluarga kami sehat dan tidak ada yang sakit. Kami tidak ingin minta pengobatan, melainkan menghendaki agar engkau meramalkan nasib kami." Suma Kiang mengamati wajah Kapokai Khan dengan penuh perhatian, lalu menggunakan tongkat ularnya untuk membuat lingkaran di atas lantai di depannya, kemudian mengguratgurat lingkaran itu dan menuliskan beberapa buah huruf yang rumit, lalu mengangguk-angguk dan berkata, "Wajah paduka bersinar terang dan menurut perhitungan saya, paduka masih akan memimpin bangsa ini selama belasan tahun lagi." "Bukan itu yang ingin kami ketahui biarpun itu merupakan berita baik sekali. Kami ingin mengetahui tentang Kaisar Cheng Tung dari Kerajaan Beng. Dia kini telah kembali menjadi kaisar. Bagaimana dengan kedudukannya itu?" Kembali Suma Kiang membuat lingkaran, guratan dan huruf-huruf, lalu mulutnya berkemak-kemik dan akhirnya dia berkata, "Kaisar Cheng Tung memiliki peruntungan besar. Beliau juga dapat lama memegang jabatan kaisar, sampai belasan tahun." "Coba engkau perhitungkan, Suma Kiang. Apakah ada kemungkinan keturunannya, darah Mongol, kelak menggantikan kedudukannya sebagai Kaisar Kerajaan Beng?" tanya Kapokai Khan dengaj suara penuh semangat dan ketegangan. Berdebar rasa jantung dalam dada Suma Kiang. Justeru inilah yang hendak diselidikinya. Dia beraksi lebih gaya lagi, memejamkan matanya, berkemak-kemik dan membuat coretan-coretan seperiti orang kesurupan. Kemudian dia membuka kedua matanya dan memandang ke atas. Matanya mendelik dan diapun bangkit berdiri, mengembangkan kedua tangannya dan berkata seperti orang bersorak. "Benar....! Kaisar Cheng Tung mempunyai seorang keturunan berdarah Mongol! Seorang putera yang berusia tiga tahun. Akan tetapi apa yang saya lihat ini" Bercak-bercak darah, tidak jelas,, uh", banyak halangan. Kesialan yang tebal, harus dibersihkan dulu.... ah...." Suma Kiang terkulai di atas kursinya kembali, terengah-engah seperti kelelahan. Kapokai Khan melompat bangun dan menghampirinya. "Bagaimana penglihatan mu" Apa yang akan terjadi" Dapatkah keturunannya itu kelak menggantikan kedudukannya menjadi kaisar?" "Kalau diusahakannya, tentu dapat," kata Suma Kiang setelah menghela napas panjang berulang kali. "Saya melihat banyak halangan dan hambatan, Yang Mulia. Banyak kesialan dan bahaya. Akan tetapi, hemmm.... saya dapat mengusahakan agar semua kesialan itu terusir pergi." "Begitukah" Engkau dapat" Suma Kiang, berapapun besar biaya yang kau minta, akan kami berikan asalkan engkau dapat membuat dia kelak menjadi pengganti Kaisar Cheng Tung, menjadi Kaisar Kerajaan Beng!" "Akan tetapi pekerjaan itu tidak mu-dah, Yang Mulia. Saya harus membersihkan hawa kesialan dari mereka ibu dan anak berdua, harus bersamadhi, mungkir sampai berhari-hari. Saya harus membersihkan hawa kesialan dari mereka, dalam rumah dan ruangan tersendiri, jauli dari orang lain dan tidak diganggu sampai saya berhasil. Kalau hawa kesialar itu sud&h dienyahkan, saya tanggung kelak anak itu akan dapat menggantikan menjadi-Kaisar Kerajaan Beng. Bukan main girangnya hati Kapokai Khan mendengar ucapan ini. Dia percaya sepenuhnya kepada Suma Kiang yang tampaknya demikian yakin. Maka dia segera memanggil Chai Li dan puteranya disuruh datang ke situ pada saat itu juga. Semenjak ditinggalkan Kaisar Cheng Tung, Chai Li telah melahirkan seorang anak laki-laki yang sehat dan teringal akan pesan Cheng Tung ketika hendak meninggalkannya, dia memberi nama Cheng Lin kepada anak itu. Akan tetapi, setelah menunggu-nunggu sampai anak itu berusia tiga tahun, Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo belum juga ada utusan dari Kaisar Cheng Tung. Padahal Chai Li sudah mendengar bahwa kekasihnya itu kini telah kembali menjadi kaisar. Siang malam ia menunggu-nunggu dengan hati penuh rindu dan harapan, akan tetapi selalu berakhir dengan cucuran air mata di malam hari karena yang ditunggutunggu tidak kunjung datang. Suma Kiang mengamati wanita dan anak itu. Hatinya girang karena dia sudah menemukan ibu dan anak yang harus dilenyapkao dari muka bumi itu. Walaupun tugasnya itu masih sukar karena ibu dan anak itu berada di antara banyak orang Mongol, di perkotaan besar di mana terdapat banyak orang pandai, namun ibu dan anak itu dapat dikatakan telah berada di tangannya. Dia melihat seorang wanita berusia kurang lebih dua puluh satu tahun yang amat cantik, anggun dan bermata bintang, dengan seorang anak laki-laki berusia tiga tahun yang sehat dan tampan. "Inilah mereka, ibu dan anak itu, Suma Kiang. Kami harap engkau akan segera dapat membersihkan mereka dari awan kesialan itu." kata Kapokai Khan kepada Suma Kiang. Kemudian Kepala Suku Mongol itu berkata kepada keponakannya, "Chai Li, mulai hari ini engkau harus menurut apa yang Suma Kiang ini. Dia hendak membersihkan engkau dan anakmu dari kesialan sehingga kelak anakmu akan dapat menemukan kemuliaan besar." Chai Li sudah mendengar akan apa yang terjadi. Ia seorang terpelajar dan cerdik, sungguhpun hatinya tidak percaya akan ketahyulan itu, akan tetapi di depan pamannya, apa yang dapat dikatakannya Ia hanya dapat menurut dan tunduk atas perintah pamannya yang berkuasa Demikianlah, mulai hari itu Chai L dan Cheng Li tinggal di dalam sebuah pondok kosong bersama Suma Kiang. Mereka itu seolah-olah dua ekor dornba yang diberikan kepada seorang algojo yang memang ditugaskan untuk menyembelih mereka! Akan tetapi Kapokai Khai juga bukan seorang bodoh. Dia memperayakan keponakan dan cucu keponakannya kepada Suma Kiang bukan begitu saja. Rumah itu diam-diam dikepung pasukan untuk menjaga keselamatan ibu dan anak yang diharapkan kelak akan mengangkat derajat orang Mongol. Dan sembarang pasukan yang ditugaskan mengamati dan menjaga keselamatan mereka, melainkan pasukan khusus dan yang terdiri dari perajurit-perajurit pilihan, dua losin banyaknya dan dipimpin oleh seorang panglima berusia lima puluh tahun bernama Sabuthai. Panglima ini adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, seorang di antara jagoan-jagoan pemerintah Mongol yang telah jatuh dan kembali ke utara. Ilmu silatnya tinggi dan dia terkenal sebagai seorang yang bertenaga gajah, memiliki sinkang (tenaga sakti) yang kuat dan ahli memainkan senjata ruyung. Bukan hanya Sabuthai yang jagoan lan memiliki ilmu kepandaian tinggi, juga dua losin perajurit yang dipimpinnya adalah orang-orang pilihan, dari satuan golok besar yang tangguh. Bagaimanapun juga Kapokai Khan cukup berhati-hati menjaga keselamatan keponakan dan cucu keponakannya itu dan tidak mempercayai sepenuhnya kepada orang asing bernama Suma Kiang yang mengaku ahl pengobatan dan ahli meramalkan nasib itu. Dua orang tergopoh-gopoh melapor kepada kepala jaga di depan rumah besar Kapokai Khan, minta agar dihadapkan kepada Kepala Suku Mongol itu. Malam sudah tiba dan kepala jaga menolak akan tetapi seorang di antara kedui penghadap itu, Sangkibu, berkata tajam "Ini urusan penting sekali, kalau engkau tidak mau melaporkan, akan kukutuk engkau menjadi babi hutan!" Kepala penjaga mengenal Sangkibu dukun yang ditakuti, maka terpaksa dia pun melapor ke dalam, kepada kepala pengawal di sebelah dalam. Setelah permohonan ini diteruskan, Kapokai Khai mengerutkan alisnya dan mengomel. "A kun ada ulah apa lagi Sangkibu yang aneh itu, malammalam begini mohon menghadap?" Akan tetapi karena kepala uku itu sudah mengenal akan kemampu-in sang dukun, diapun menyuruh pengawalnya untuk menjemput dan membawa Sangkibu dan temannya menghadapnya di ruangan dalam. Setelah menghadap Kapokai Khan, Sangkibu menjatuhkan dirinya berlutut memberi hormat, diturut oleh temannya, seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun ang bertubuh pendek namun gerak-ge-nknya gesit. "Bangkitlah kalian dan ceritakan. Sangkibu, apa yang membawa kalian datang menghadap malam-malam begini?" kata Kapokai Khan sambil menggerakkan tangannya. Sangkibu bangkit berdiri, diturut pula oleh temannya dan dengan suaranya yang agak gemetar itu dia segera berkala,"Para dewa masih melindungi kita, Khan Yang Mulia. Malapetaka tergantung di atas kepala kita tanpa kita ketahui. Khan Yang Mulia, saat ini keselamatan Puteri Chai Li dan puteranya terancan bahaya maut!" Tentu saja Kapokai Khan terkejut bukan main mendengar ini. Justeru saa itu dia mengusahakan agar hawa kesialai meninggalkan ibu dan anak itu, dengan menggunakan bantuan Suma Kiang. Dia melompat bangun dari atas kursinya, memandang kepada Sangkibu dengan mata terbelalak, mengepalkan tinju dan membentak. "Apa yang kaukatakan ini" Apa maksudmu?" "Yang Mulia, sekarang ini ada usaha dari Kerajaan Beng untuk membunuh putera keturunan Kaisar Cheng Tung yang terlahir dari ibu Mongol agar kelak tidak sampai menggantikan kedudukan kaisar. Golongan pangeran Kerajaan Beng mengutus seseorang untuk melakukan pembunuhan itu. Oleh karena itu, menurut perhitungan saya, suruhan yang diutus membunuh itu tentulah si keparat Suma Kiang itu, maka sekarang Puteri Chai Li dan puteranya berada dalam keadaan berbahaya sekali!" Kapokai Khan menjadi semakin terkejut. "Sangkibu, dari mana engkau memperoleh berita seperti itu?" "Yang Mulia, ini orangnya yang membawa berita. Dia adalah seorang di antara mata-mata yang kita sebar ke Kerajaan Beng untuk menyelidiki dan mengetahui keadaan. Dia baru saja tiba dan menyampaikan berita itu kepadaku karena dia adalah adik misanku dan bernama Bhika." "Hei, Bhika! Benarkah apa yang dikatakan Sangkibu itu?" Kapokai Khan membentak. Laki-laki pendek itu segera memberi hormat. "Tidak salah, Yang Mulia Khan! Pangeran yang mengutus agar Puteri Chai Li dan puteranya dibunuh adalah Pangeran Cheng Boan, dan yang diutus adalah Suma Kiang itu, seorang datuk di Lembah Huang-ho. Kalau paduka tidak cepat turun tangan, hamba khawatir akan keselamatan Puteri Chai Li dan puteranya!" Mendengar ini, Kapokai Khan mengutus kepala pasukan pengawal untuk memanggil panglima-panglimanya dan dalam waktu singkat, dua puluh orang lebih ikut dua losin penjaga itu mengepung rumah yang didiami oleh Puteri Chai Li dan puteranya, di mana juga terdapat Suma Kiang. Penyerbuan ini dipimpin sendiri oleh Kapokai Khan. Akan tetapi walaupun berita itu sudah jelas, mereka masih ragu dan mengepung rumah itu dengan diam-diam dan mereka hendak memeriksa keadaan terlebih dulu sebelum turun tangan. Sementara itu, di dalam pondok, Suma Kiang duduk bersila dalam samadhi, di atas sebuah pembaringan dalam kamarnya. Pondok itu mempunyai dua buah kamar, sebuah untuknya dan sebuah lagi ditinggali Puteri Chai Li dan Cheng Lin. Suma Kiang yang duduk diam itu ternyum mengejek. Alangkah mudahnya tugas itu baginya. Tinggal menanti sampai sang puteri dan puteranya itu pulas, kemudian dua kali menggerakkan pedangnya dia sudah akan dapat menunaikan tugas dengan baik. Setelah itu, dia dapat meloloskan diri di malam gelap Akan tetapi, jalan pikirannya tidak selancar itu. Ada beberapa hal mengganjal hatinya. Setelah tadi bertemu dan mengamati sang puteri, terjadi sesuatu dalam hatinya. Suma Kiang bukanlah seorang laki-laki mata keranjang. Bahkan nafsunya terhadap wanita telah mati bersama matinya isterinya yang menyeleweng dengan sahabatnya. Dia menganggap wanita rnahluk yang berbahaya dan palsu, hanya mendatangkan kesengsaraan batin belaka. Akan tetapi ketika siang tadi dia dipertemukan dengan Puteri Chai Li, ketika sang puteri dengan matanya yang seperti bintang itu memandangnya, dengan mulutnya yang berbibir indah merah itti menatapnya, jantungnya berdegup keras ekali. Dia seperti melihat isterinya berdiri di hadapannya! Wajah sang puteri itu demikian mirip isterinya sehingga seolah-olah isterinya hidup kembali dan mengenakan pakaian puteri Mongol. Ketika dia membunuh isterinya, usia isterinya juga sebaya dengan Puteri Chai Li! Perjumpaan dengan wanita yang persis isterinya itu membangkitkan gairah kerinduan dan gairah birahi yang berkobar di dalam dirinya. Seperti juga segala macam nafsu, nafsu berahi tidaklah mungkin padam begitu saja dalam diri manusia. Kalau toh dikendalikan dan diusahakan supaya tidak berkobar, nafsu itu hanya membara, tidak bernyala namun tetap membara menanti datangnya angin untuk mengipasinya dan membuatnya berkobar lagi! Nafsu telah ada dalam diri manusia sejak manusia dapat mengenal baik buruk dan menjadi peserta dalam kehidupan manusia. Berbahagialah manusia apabila nafsu pesertanya yang patuh dan baik, membantu manusia untuk dapat berbahagia hidupnya sebagai manusia. Namun, celakalah manusia kalau nafsunya dibiarkan berkobar membakar dirinya, kalau nafsu dibiarkan berubah dari pelayan menjadi majikan, kalau nafsu dibiarkan menyeret dirinya menurut segala yang dikehendaki nafsu! Dar kalau nafsu sudah memegang kendali, kita menjadi hambanya dan semua perbuatan kita ditujukan untuk memuaskar nafsu dan mulai hidup menjadi lembah kesengsaraan dan kedukaan! Sudah belasan tahun Suma Kiang dapat menekan nafsu berahinya, semenjak dia membunuh isterinya yang menyeleweng dengan sahabatnya. Dia mengira bahwa nafsu berahinya telah mati. Akan tetapi sama sekali dia tidak menyadari bahwa nafsu itu hanya pura-pura mati saja, dan setiap saat mengintai dan mencari kesempatan. Begitu kesempatan terbuka, dia akan meronta dan mengamuk sehingga dirinya tidak berdaya lagi. Begitu dia melihat Puteri Chai Li yang merupakan seorang wanita cantik mirip isterinya, nafsu berahinya bangkit dan tidak dapat dikuasainya lagi. Hanya satu saja keinginannya. Dia harus mendapatkan wanita itu! Ini merupakan hambatan pertama terhadap tugasnya membunuh Puteri Chai Li dan puteranya. Hambatan kedua adalah keraguannya. Kalau dia membunuh putera yang masih kecil itu, mana buktinya yang dapat dia ajukan kepada Pangeran Cheng Boan" Akan lebih baik lagi kalau dia menghadapkan pangeran cilik berdarah Mongol itu ke hadapan Pangeran Cheng Boan sendiri, agar Pangeran Cheng Boan melihat buktinya da dapat melaksanakan sendiri n itu! Dengan demikian, dia akan mendapa pahala lebih besar dan mungkin dia dapat menuntut kedudukan tinggi dan terhormat dari Pangeran Cheng Boan. Dan alangkah akan senang hidupnya kalau dia dapat menduduki jabatan tinggi dan mulia, hidup di samping Puteri Chai Li yang menjadi isterinya! Suma Kiang tersenyum-senyum dalan lamunannya, kemudian dia mendengai pernapasan lembut sang puteri dari kamar sebelah. Dia tersenyum dan pikirannya berputar, mencari cara bagaimana dia dapat membawa Chai Li dan anaknya keluar dari situ dengan aman. Kalau membunuh mereka lalu keluar, hal itu teramat mudahnya. Akan tetapi sekarang terjadi perubahan dalam rencananya. Diq hendak membawa kabur mereka! Dan hal ini diakuinya bukan merupakan pekerjaan mudah. Membawa lari anak itu jauh lebih mudah, tinggal menggendong dan mengikatnya dengan dirinya. Akan tetapi membawa lari Puteri Chai Li lebih sukar. Kembali dia mendengar suara pernapasan lembut dari kamar sebelah. Dengan pendengarannya yang tajam terlatih, tahulah dia bahwa sang puteri yang membuatnya tergila-gila itu telah tidur nyenyak. Dia turun dari pembaringannya. Langkahnya seperti seekor harimau, ama sekali tidak mengeluarkan bunyi ketika dia mendekati kamar sebelah. Tongkat ular hitam berada di tangan kirinya dan dengan tongkat itu dia menguak tirai yang menutupi kamar itu. Dari balik kelambu tipis dia melihat sosok tubuh sang puteri yang ramping itu tidur miring, menghadapi dan memeluk puteranya yang juga tidur nyenyak. Begitu tirai dikuak, dia mencium bau harum dari kamar itu. Dia memejamkan mata dan pikirannya melamun jauh, meng ingat ketika dia masih hidup berbahagia bersama isterinya. betapa senang dan bahagianya waktu itu. Tiba-tiba dia membuka mata, menurunkarr tirai yang dikuakkan dengan tongkatnya, memutar tubuh dengan cepat memandang ke sekelilingnya. Telinganya menangkap suara yang tidak wajar, yang datangnya dari luar rumah. Ada suara tapak-tapak kaki manusia, tidak wajar tersendat-sendat seolah-olah langkah yang tertahan-tahan dan dilakukan dengan hati-hati. Jilid II DENGAN sekali loncatan, tubuhnya sudah tiba di dekat jendela. Tanpa mengeluarkan bunyi. Dia mengintai dari balik jendela. Dilihatnya bayangan beberapa orang tertangkap sinar lampu yang tergantung di luar rumah. Sebagai seorang datuk persilatan yang banyak pengalaman dia maklum bahwa ada bahaya mengancam dirinya. Dia tidak dapat menduga siapa orang-orang itu dan apa maunya, namun dia sudah yakin bahwa mereka bukan datang dengan niat baik! Orang yang datang dengan niat baik tidak seperti itu. Karena ingin mengetahui lebih banyak, dia melangkah ke tengah pondok dan mengenjot tubuhnya ke atas, melayang ke atas dan berpegang pada tihang melintang di bawah atap. Perlahan-lahan dibukanya genteng dan dia mengintai keluar. Kini dia dapat melihat lebih jelas lagi. Ada sedikitnya tiga puluh orang bergerak perlahan-lahan mengepung rumah itu! Dan diapun melihat bahwa diantara mereka terdapat orangTiraikasih Website http://kangzusi.com/ orang yang berkepandaian tinggi, dilihat dari gerakan mereka yang ringan dan gesit. Tadinya dia merasa heran bukan main. Dia adalah orang yang dipercaya oleh Kapokai Khan untuk Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "mengusir kesialan" Sang Puteri Chai Li dan puteranya. Mengapa sekarang dia dikepung" Siapakah mereka itu" Akan tetapi tiba-tiba berkelebat bayangan Kapokai Khan sendiri di bawah sinar lampu dan mendadak dia menjadi waspada dan juga terkejut. Pasti ada sesuatu yang keliru, pikirnya. Kalau Kapokai Khan sendiri yang turun tangan ikut mengepungnya, hal itu hanya dapat mempunyai satu arti saja, ialah bahwa rahasianya telah diketahui orang! Orang-orang Mongol itu telah mengetahui bahwa dia adalah utusar kerajaan Beng untuk membunuh sang puteri dan anaknya! Jawabannya pasti hanya itu, tidak dapat lain lagi. Akan tetapi dia dapat berlagak bodoh. Maka, dengan ,tongkat ular hitam di tangan, dia membuka daun pintu dan memandang keluar. Suaranya terdengar lantang ketika dia berseru ke arah kegelapan yang mengelilingi pondok itu. "Siapa yang berdatangan dari luar" Ada urusan apakah dengan aku yang sedang sibuk" Apakah Yang Mulia Kapokai Khan mengutus kalian untuk bicara denganku?" Terdengar gerakan orang dan begitu tampak bayangan banyak orang berkelebat, di depan Suma Kiang telah berdiri Kapokai Khan sendiri bersama seorang laki-laki tinggi besar yang berusia lima puluh tahun, tampak gagah dan tangannya memegang sebatang ruyung yang besar dan kelihatan berat. Di belakang kedua orang ini tampak banyak sekali orang, ada tiga puluh orang lebih yang semuanya memegang senjata terhunus dan dengan sikap mengancam. Juga di bagian belakang ada beberapa orang yang memegang obor hesar yang dinyalakan sehingga keadaan disitu menjadi terang dan menegangkan karena obor-obor itu nyalanya digerakk angin membentuk bayang-bayang seol tempat itu dikepung serombongan raksasa hitam. "Suma Kiang, manusia palsu! Kami sudah tahu bahwa engkau sesungguhnya adalah utusan kerajaan Beng untuk membunuh keponakanku Chai Li dan puteranya!" "Yang Mulia Khan.....!" "Tidak perlu menyangkal lagi. Keterangan yang kami peroleh sudah cukup. Engkau diutus oleh Pangeran Cheng Boan untuk membunuh keponakannya agar kelak keturunan Kaisar Cheng Tung tidak dapat menjadi Kaisar di kerajaan Beng!" Suma Kiang menelan ludah dan diam diam dia harus memuji kecerdikan kepala suku itu. Bagaimana mereka sudah mendapat keterangan sedemikian cepatnya" Melihat Suma Kian diam dan seperti orang terkejut dan terbelalak, Kapok Khan berseru lagi, "Engkau adalah seorang datuk dari Lembah Huang-ho yang berjuluk Huang-ho Sinliong. Sekarang tidak perlu banyak cakap lagi, cepat engkau menyerahkan diri untuk kami tangkap. Engkau sudah terkepung!" Tiba-tiba Suma Kiang tertawa bergelak, mata sipitnya mengeluarkan sinar berapi. "Ha-ha-ha-ha! Hendak menangkap Huang-ho Sin-liong" Tidak begitu mudah, Kapokai Khan!" Kapokai Khan menggerakkan pedangnya dan berseru kepada Sabuthai yang berada di sebelah kirinya. "Panglima babuthai, tangkap dia!" Sabuthai sejak tadi sudah siap. Begitu menerima perintah, dia mengeluarkan bentakan nyaring sekali dan ruyungnya menyambar dahsyat ke arah Suma Kiang. "Haaaai i kkk.....I" Ruyung menyambar mengeluarkan suara angin bersiutan saking cepat dan kuatnya. Namun dengan gerakan mudah Suma Kiang menghindarkan diri dengan menarik kaki ke kanan dan tubuhnya condong ke kanan. Dia melihat bahwa gerakan serangan orang tinggi besar ini cukup hebat dan dari sambaran ruyung itu saja tahulah dia bahwa dia berhadapan dengan seorang yang memiliki tenaga besar. Akan tetapi, datuk Lembah Sung Huang-ho ini sedikitpun tidak merasa takut. Selama puluhan tahun bertualang dia sudah bertemu dan bertanding deng ratusan orang dari berbagai tingkat maka sebentar saja dia dapat mengukur kehebatan lawan dan mengetahui bahwa tingkat kepandaian dan kekuatan Sabuthai belum membahayakan dirinya. Yang berbahaya justeru pengepungan itu. Dia berada di sarang naga. Baru tiga puluh lebih orang itu saja mungkin dia masih mampu menandinginya, akan tetapi dia tahu bahwa dalam sekejap mata Kapokai Khan dapat mendatangkan beribu-ribu pasukan Lalu bagaimana mungkin dia dapat melawan mereka" Apalagi dia berniat hendak membawa Puteri Chai Li dan Ceng Lin. Akan tetapi Sabuthai tidak memberi banyak waktu untuk memusingkan hal itu. Ruyungnya sudah menyambar-nyambar bagaikan seekor elang sakti, beberapa kali menyambar ke arah kepala Suma Kiang dengan kekuatan yang dapat menghanccurkan batu karang. Apalagi kepala manusia "Wuttt..... wuuuttt.l... wuuuttt...!" Suma Kiang mengandalkan kelincahan gerakan kedua kakinya mengelak ke sana-sini. Ketika ruyung kembali menyambar, kini ke arah dadanya, dia sengaja menyambut dengan tongkat ular hitamnya, mengerahkan sin-kangnya (tenaga sakti) mendorong ke samping. "Wuuushhh....!" Ruyung itu terdorong oleh tongkat dan menyimpang, membuat Sabuthai terhuyung. Kesempatan itu dipergunakan oleh Suma Kiang, sekali kaki kirinya menendang, dia sudah dapat menendang pinggang Sabuthai sehingga orang tinggi besar itu jatuh tersungkur! Akan tetapi, tubuh Sabuthai juga dilindungi kekebalan, maka begitu jatuh dia sudah melompat bangun kembali dan dengan napas terengah-engah karena marah, dia sudah menghadapi lawannya lagi. Kapokai Khan dan yang lain-lain hanya menonton karena mereka masih berharapan penuh bahwa jagoan mereka akan mampu menangkan perkelahian itu. Rasanya sulit untuk mereka percaya bahwa ada orang yang akan mampu mengalahkan Sabuthai dengan ruyung mautnya. "Hyaaaattt......!!" Sabuthai menyerang lagi, kini mengerahkan seluruh tenaganya dan ruyungnya menimpa ke arah kepala Suma Kiang. Suma Kiang maklum bahw dia herus cepat merobohkan si raksasa ini agar sempat mencari akal untuk lolos dari tempat itu bersama Chai Li da puteranya, Cheng Lin. Begitu tongka datang menyambar, kembali dia mengelak dengan cepat. Kini ruyung diputar dan menyerangnya dengan sambung-menyambung dan terusmenerus, bahkan bentuk ruyung lenyap berubah menjadi gulungan bayangan yang menyambar-nyambar. Namun tubuh Suma Kiang berkelebatan di antara gulungan bayangan ruyung itu, dan diapun memainkan tongkatnya berkali-kali untuk mendorong ruyung ke samping. Dia mainkan ilmu tongkat Ciu-sian Tong-hoat (Ilmu Tongkat Dewa Mabok), tongkat itu mencuat ke sana-sini dan akhirnya, dalam kesempatan yang terbuka, ujung tongkatnya dapat menotok pundak kanan lawan. "Wuuuttt..... tukk!" Totokan itu dapat mengenai jalan darah diN pundak kanan dan seketika lengan kanan Sabuthai menjadi lumpuh dan ruyungnya terlepas dari pegangan. Tongkat itu menyambar lagi dan kini menotok ke arah tenggorokan Sabuthai yang sudah tidak berdaya. "Tukk.....!" Tubuh tinggi besar itu terkulai dan tewas karena jalan darah mautnya yang menuju ke otak telah tertotok ujung tongkat yang amat lihai itu. Robohnya Sabuthai mengejutkan semua orang, akan tetapi membuat Kapokai Khan marah sekali. Sambil mengacungTiraikasih Website http://kangzusi.com/ acungkan pedangnya dia memberi aba-aba, "Serbu....! Bunuh dia.....!" Suma Kiang tahu akan bahaya yang mengancamnya. Cepat dia menyelipkan tongkatnya di ikat pinggang dan sekali kedua tangannya bergerak, dia sudah mencabut sepasang pedangnya dari punggung. Sinar pedang berkilauan terkena sorotnya api obor dan begitu sepasang sinar pedang berkelebatan, empat orang penyerang terdepan roboh mandi darah dengan leher hampir putus! Hal ini tentu saja mengejutkan dan membuat jerih para pengeroyok. Akan tetapi karena Kapokai Khan berada di belakang mereka, dan mereka mengandalkan banyak orang, mereka terpaksa menggerakkan senjata mengeroyok. "Masuk pondok dan selamatkan Puteri dan anaknya!" terdengar Kapokai Khan memberi perintah. Inilah yang dikhawatirkan Suma Kiang Kalau puteri itu dan anaknya sampai terampas oleh mereka, maka segalanya tidak berarti lagi baginya, bahkan dia dapal terancam bahaya maut di tempat berbahaya itu. Bagaikan kilat timbul dalam benaknya. Merekalah satu-satunya jalan keselamatan baginya! Puteri dan anaknya itu. Setelah berpikir demikian, dia menyerang ke kiri, merobohkan tiga orang yang hendak memasuki pintu pondok dengan pedangnya, kemudian secepat burung terbang dia sudah melayang ke dalam pondok. Puteri Chai Li terbangun oleh suars gaduh. Juga anaknya terbangun, akan tetapi anak itu tidak menangis karena segera dipondongnya. Ketika Chai Li hendak meninggalkan kamar, tiba-tiba tirai tersingkap dan Suma Kiang telah muncul di depannya dengan sepasang pedang yang berlepotan darah di tangannya. Iapun mendengar suara gaduh di luar rumah. "Apa.... apa yang terjadi?" tanya Chai Li kepada Suma Kiang, walaupun ia memandang orang yang berpedang itu dengan wajah ketakutan. Suma Kiang menyisipkan pedang kirinya di belakang punggungnya, kemudian dia maju dan merangkul sang puteri dengan tangan kirinya. "Jangan banyak bergerak dan menurut saja perintahku kalau engkau tidak ingin mati bersama puteramu!" bentaknya lirih. Dengan lengan kiri merangkul leher dan pundak puteri yang memondong puteranya itu, dan pedang di tangan kanan ditempelkan di leher sang puteri, Suma Kiang melangkah maju ke pintu sambil tersenyum mengejek. Orang ini paling berbahaya kalau sedang tersenyum seperti itu, karena kecerdikan dan kekejamannya sudah mencapai puncaknya ditandai senyum yang mengejek seperti memandang rendah segala sesuatu itu. Kapokai Khan dan para pengawalnya muncul di pintu dan dia terbelalak ketika melihat Chai Li dirangkul dan pedang ditempelkan di leher puteri itu oleh Sum Kiang. "Apa.... apa artinya ini...." Bebaskan keponakanku dan cucu keponakanku!" bentak Kapokai memerintah. "Engkau telah dikepung ratusan pasukan, tidak mungkin lolos dari sini!" "Ha-ha-ha, Kapokai Khan, benarkah demikian" Dengar baik-baik, aku mengajukan usul yang menguntungkan pihakmu!!" kata Suma Kiang, senyumnya melebar dari nada suaranya seperti orang yang yakini akan kemenangan di pihaknya. Kapokai Khan mengerutkan alisnya "Engkau sudah terkepung, nyawamu berada di telapak tanganku dan engkau masih mengajukan usul?" "Bukan hanya usul, melainkan syarat Engkau boleh pilih, Kapokai Khan. Di satu pihak, engkau membiarkan aku bebas membawa Puteri Chai Li dan anaknya tanpa mengganggu, menyediakan dua ekor kuda terbaik dan tidak akan melakukan pengejaran!" Wajah Kapokai Khan menjadi merah saking marahnya. "Jahanam! Pilihan lain?" "Pilihan kedua, aku akan menyembelih Puteri Chai Li dan puteranya di depan matamu, kemudian aku mengamuk dan aku tidak membual kalau kukatakan bahwa aku masih sanggup membunuh beratus orangmu, atau bahkan mungkin aku masih dapat lolos dari sini!" Wajah Kapokai Khan menjadi pucat sekali mendengar omongan dan melihat sikap Suma Kiang saja tahulah dia bahwa orang ini tidak sekedar menggertak, melainkan dapat melaksanakan apa yang diucapkannya. "Hemm, Suma Kiang! Jangan hendak membodohi kami! Kalau engkau membawa pergi keponakanku Chai Li dan cucu keponakanku Cheng Lin, tetap saja engkau akan membunuh mereka. Lalu apa bedanya bagi kami?" "Aku bukan orang bodoh, dan engkau-pun bukan orang bodoh. Aku, sebagai datuk besar, bersumpah bahwa aku tidak akan membunuh Puteri Chai Li dan tidak akan membunuh anaknya! Sumpahku merupakan kehormatanku dan kehormatan seorang datuk lebih berharga daripada nyawa!" Kapokai merasa tersudut. Kalau dia nekat menyerbu, mungkin saja dia dengan banyak anak buahnya akan dapat membunuh durjana ini, akan tetapi yang jelas Chai Li dan Cheng Lin akan terbunuh depan matanya dan juga kalau durjana ini mengamuk, entah berapa banyak aank buahnya yang akan tewas dan bukan tidak mungkin manusia iblis ini benar-benar akan dapat meloloskan diri di tengah malam yang gelap itu. Dia menggenggam pedangnya dengan kuat dan menggertakk giginya saking marah dan jengkelnya akan tetapi dalam keadaan seperti ini apa yang akan dia lakukan" Diamdiam menyerang manusia iblis itu" Resikon terlalu besar karena dia sudah memperhatikan kehebatan kepandaiannya. Den mudah dia mengalahkan Sabuthai dengan mudah pula membunuh beberapa orang pengeroyok. Alangkah mudah baginya untuk membunuh Chai Li dan Cheng Lin Dengan teriakan marah bercampur tertahan, Kapokai Khan berseru keluar rumah. "Sediakan dua ekor kuda terbaik!" Hati Suma Kiang bersorak, akan tetapi wajah dan sinar matanya tidak memperlihatkan sesuatu, hanya senyumnya makin menyeringai keji. Terdengar seruan-seruan protes di luar, yakni para panglima yang tidak setuju membiarkan penjahat itu meloloskan diri. Akan tetapi Kapokai Khan mengulangi bentakannya. "Cepat sediakan dua ekor kuda terbaik dan jangan ada yang membantah perintah ku!" Tak lama kemudian, dua ekor kuda besar dan kuat sudah dibawa masuk ke dalam pondok itu. Dengan sepasang matanya yang sipit Suma Kiang mengamati suasana di sekitarnya, sinar matanya penuh kecurigaan dan kewaspadaan. "Kapokai Khan, aku percaya omonganmu. Sekarang, suruh semua orang mundur, biarkan kami menunggang kuda. Engkau tahu, sedikit saja aku mengalami gangguan, Chai Li dan anaknya akan mati dan aku akan mengamuk sampai titik Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo darah penghabisan. Biarkan kami pergi tanpa gangguan sedikitpun!" Kapokai Khan mengangguk dan membeli aba-aba dengan suaranya yang mulai parau karena tegang agar semua orang mengundurkan diri. "Puteri Chai Li, sekarang naiklah seekor kuda ini bersama puteramu. Aku sudah bersumpah tidak akan membunuh engkau dan puteramu selama perjalanan kita tidak dihalangi. Hayo, naiklah." "Ahhh....!" Puteri Chai Li mengeluh. ia sendiri seorang gadis Mongol yang berhati tabah, bahkan tidak takut mati. Akan tetapi sekarang melihat puteranya terancam, ia tidak berdaya kecuali menyerah dan menurut perintah Suma Kiang yang tampaknya tidak ragu-ragu untuk segera membunuh ia dan puteranya kalau ia membangkang. Ia memondong puteranya, dipeluknya kuat-kuat dan iapun naik ke atas kuda. Sebagai seorang puteri Mongol tentu saja ia sudah biasa menunggang kuda, bahkan tidak asing untuk melepaskan anak panah dari busurnya atau memainkan senjata tajam. Akan tetapi iapun sudah tahu akan kelihaian penyanderanya sehingga setiap perlawanannya akan membahayakan puteranya. Suma Kiang memandang ke sekeliling. Tempat itu telah ditinggalkan, sesuai dengan perintah Kapokai Khan. Dia memegang kendali kuda yang ditunggangi Chai Li dan puteranya, kemudian sekali lompat dia sudah menunggangi kuda ke dua. Sambil menuntun kuda yang ditunggangi Chai Li, dia tetap menodong leher wanita itu dengan pedangnya, dan mengendalikan kudanya dengan sebelah tangan saja. Perlahan-lahan dua ekor kuda itu lalu melangkah keluar dari pondok. Setibanya di luar pondok, Suma Kiang memandang ke sekeliling. Tampak orang-rang berkerumun, akan tetapi cukup jauh dari situ, dengan obor di tangan. Khawatir kalau diserang secara menggelap dengan anak panah, dia menempelkan pedangnya lebih dekat di leher Puteri Chai Li. "Kapokai Khan, jangan mencoba-coba untuk menyerangku dengan anak panah, Usaha itu hanya akan membuat Puteri Chai Li dan puteranya mati!" teriaknya lantang. "Suma Kiang, kami sudah berjanji, Akan tetapi jangan engkau melanggar sumpahmu!" teriak Kapokai Khan tak berdaya Suma Kiang lalu menarik kendali kuda, melarikan dua ekor kuda itu keluar dari perkampungan, terus berjalan menuju ke selatan. Kebetulan sekali malam ini terang bulan sehingga perjalanan tidak begitu gelap baginya. Setelah dia berada cukup jauh, kembali terdengar teriakan Kapokai Khan. "Suma Kiang, engkau jangan melanggar sumpahmu!" Suma Kiang tersenyum penuh kemenangan. Dengan adanya dua orang sandera itu, lawan tidak mampu berbuat apa apa. Maka diapun segera mengerahkan khi-kang (hawa sakti) melalui dadanya berteriak dengan suara lantang sekali "Kapokai Khan, aku bersumpah tidak akan membunuh Puteri Chai Li dan puteranya." Ucapan ini keluar dari setulus batin. Memang dia tidak ingin membunuh mereka. Puteri Chai Li" Tidak! Dia sudah tergilagila kepada wanita yang mirip wajah isterinya itu, bahkan sudah mengambil keputusan untuk menggantikan kedudukan isterinya dengan puteri itu. Dia akan memperisteri Puteri Chai Li. Dia akan mendapatkan isterinya kembali. Dan Cheng Lin" Dia tidak akan membunuhnya, melainkan akan menyerahkannya hidup-hidup kepada Pangeran Cheng Boan. Dengan demikian, bukan berarti dia yang membunuhnya. Suma Kiang tersenyum puas dan menarik kendali kuda sehingga dua ekor kuda itu melangkah lebih cepat lagi. Dia yakin bahwa orang-orang Mongol tidak akan berani melakukan pengejaran dan andaikata kemudian mereka mengikuti jejaknya, dia tahu bagaimana untuk menghilangkan jejak dua ekor kuda itu. Kurang lebih sebulan kemudian, dua ekor kuda yang ditunggangi Suma Kiang dan Puteri Chai Li serta puteranya itu menyusuri sebuah sungai kecil. Kedua ekor kuda itu berjalan di air dan sudah belasan kali Suma Kiang melakukan hal semacam ini. Inilah caranya untuk menghilangkan jejak kedua ekor kuda itu. Sekarang dia percaya penuh bahwa orang orang Mongol tidak akan dapat menemukan jejak mereka. Apalagi mereka sudah melewati Tembok Besar, sudah tiba pegunungan Yin-san. Dia sudah merasa berada di daerah sendiri, bukan lagi daerah yang dikuasai orang Mongoi dan sudah merasa aman. Pada suatu pagi, berhentilah mereka di tepi sebuah sungai. Pemandangan di sini indah bukan main. Di tepi sungai itu terdapat rumput-rumput hijau segar dan di sana-sini tumbuh bunga-bungaan yang beraneka warna dan segar indah. Pohon cemara terayun-ayun puncaknya dipermainkan angin pegunungan. Suasananya sungguh romantis dan hal ini mempengaruhi jiwa Suma Kiang. Sebulan lamanya diamenahan gelora hatinya yang penuh rindu kepada Puteri Chai Li. Ditahan-tahannya desakan birahinya terhadap puteri itu karena mereka masih melakukan pelarian dan belum terbebas benar dari bahaya pengejaran. Akan tetapi pagi ini suasananya demikian tenteram dan penuh ketenangan, demikian damai tidak ada bahaya apapun yang mengancam mereka. "Puteri Chai Li, silakan mandi dulu di hilir sana, di balik tebing itu, biar aku menjaga Cheng Lin di sini." kata Suma Kiang. Puteri itu memang menuntut untuk mandi pagi dan sore dan pagi ini mereka kebetulan bertemu dengan anak sungai yang dangkal dan airnya amat jernih itu. Puteri Chai Li mengangguk, tidak membantah. Ia tahu bahwa bagaimanapun juga, laki-laki itu tidak akan memberikan anaknya mandi bersamanya agar ia tidak akan melarikan diri. Maka iapun lalu berjalan ke hilir dan mandi bersembunyi di balik tebing yang tinggi. Cheng Lin juga agaknya sudah mulai terbiasa dengan laki laki berjenggot itu, maka diapun diam saja bermain-main kembang di dekat Suma Kiang. Ketika melihat dua ekor kelinci gemuk menyusup di semak, Suma Kiang menggunakan dua buah batu membunuh mereka. Lumayan untuk sarapan pagi, pikirnya, membiarkan Cheng Lin mempermainkan bulu kelinci yang telah mati itu. Tak lama kemudian Chai Li muncul dan Suma Kiang terpesona. Wanita itu tampak segar dan cantik bukan main, wajahnya masih basah dan sebagian rambutnya juga terkena air. Kulitnya begitu halus mulus tertimpa cahaya matahari pagi. "Aku mendapatkan dua ekor kelinci. Kuliti dan potongpotong dagingnya untuk dipanggang selagi aku mandi bersama Cheng Lin." Setelah berkata demikian, ia memondong Cheng Lin dan dibawanya anak itu ke tebing sungai di hilir. Tentu saja dia melakukan ini bukan karena semata hendak memandikan anak itu, melainkan mengajak anak itu bersamanya lagi ibunya tidak dapat pergi ke manamana. Chai Li tidak membantah. Selama sebulan melakukan perjalanan dengan Suma Kiang, ia sudah hafal akan gerak gerik Suma Kiang dan tahu bahwa laki-laki tidak akan membiarkan ia berdua dengan anaknya, agar tidak dapat melarikan diri. Iapun sudah mengasah otak mencari jalan bagaimana agar dapat membebaskan diri dari laki-laki itu, namun selalu tidak berhasil mendapatkan jalan keluar. Diamdiam ia merasa amat ngeri dan takut terhadap laki-laki itu, juga amat benci. Ia seperti sudah merasakan firasat yang mengerikan akan menimpa dirinya. Laki-laki itu seperti bukan manusia, seperti seekor anjing srigala yang buas namun berwajah anjing jinak. Hidungnya seperti selalu kembang kempis mencium sedapnya darah! Suma Kiang meninggalkan sebilah pisau belati untuk dipergunakan menguliti dan mengerat daging kelinci. Chai Li menggenggam gagang pisau itu dengan erat, menggigit bibirnya dan mengerutkan alisnya. Ah, tidak, tidak mungkin ia dapat mengalahkan laki-laki itu dengan senjata seperti ini. Laki-laki itu terlalu tangguh. Panglima Sabuthai saja kalah olehnya. Apalagi ia! Turun lagi semangatnya dan Chai Li lalu mengerjakan tugasnya menguliti kelinci, memotong-motong dagingnya, menusuk daging-daging itu dengan sebilah kayu dan membuat api unggun lalu memanggangnya. Ia menemukan garam di sebuah bungkusan yang ditinggalkan Suma Kiang, berikut merica. Laki-laki itu memang membawa segala macam keperluan dalam buntalannya. Suma Kiang bersama Cheng Lin muncul, sudah mandi bersih dan segar. Bau harum daging panggang menyambutnya dan mereka semua mulai sarapan daging kelinci panggang tanpa bicara. Akan tetapi pandang mata laki-laki itu membuat Chai Li merasa tidak enak sekali. Pandang mata seperti itu sudah sering dilihatnya akhir-akhir ini. Pandangan mata seperti menelanjanginya, penuh gairah! "Engkau akan membawa kami ke manakah?" tanya Chai Li sambil menggigit daging kelinci yang lunak, manis dan gurih. Suma Kiang menunda gigitannya, menelan daging yang sudah dikunyah, lalu memandang kepada wanita itu, dan menjawab, "Ke manapun aku pergi, kalian akan kubawa." Chai Li bergidik dalam hatinya. "Suma Kiang, engkau boleh membunuh aku kalau kau kehendaki akan tetapi janganlah kau ganggu anakku." Suma Kiang tidak menjawab, melainkan melanjutkan makannya. Chai Li menanti jawaban yang tidak kunjung tiba, lalu iapun melanjutkan makannya sambil memilihkan daging yang terlunak untuk Cheng Lin yang juga makan daging kelinci. Setelah selesai makan dan mencuci tangan dan mulut, Chai Li berkata lagi. "Sekali lagi, Suma Kiang, jangan engkau mengganggu anakku. Aku tidak perduli akan keselamatanku sendiri, akan tetapi anakku harus selamat." Suma Kiang tersenyum mengejek dan matanya bersinar memandang wajah cantik itu. "Jangan khawatir, aku tidak akan membunuh anakmu, juga tidak akan membunuh engkau. Mana ada suami membunuh isterinya tersayang?" Sepasang mata yang seperti bintang itu terbelalak, wajah yang manis itu menjadi pucat, jari-jari tangan kanan yang gemetar itu dengan cekatan sudah meraih pisau yang tadi ia pergunakan untuk menguliti kelinci. "Apa..... apa kau bilang....."' Ia bertanya karena masih belum percaya akan pendengarannya sendiri. Suma Kiang memperlebar senyumnya "Chai Li.... engkau adalah Sui Eng.. isteriku tersayang. Engkau akan menjadi isteriku yang setia dan baik." "Gila! Engkau gila! Aku adalah isteri Kaisar Cheng Tung!" "Bukan, engkau isteriku yang telah mati kini hidup kembali. Sui Eng... mendekatlah, isteriku, aku sudah rindu kepadamu" Suma Kiang menghampiri Chai Li Wanita itu dengan gesitnya menghindar dan ketika tangan Suma Kiang meraih, menggerakkan pisau itu untuk menyerang. Akan tetapi dengan amat mudahnya Suma Kiang menangkis sehingga tangan yang memegang pisau terpental dan pisau itu hampir terlepas dari genggaman. "Ke sinilah, Sui Eng, aku butuh kau. Ke sinilah....." Suma Kiang meloncat dan tangannya meraih dengan cepat. Chai mencoba menghindar, akan tetapi ujung bajunya masih tertangkap dan sekali Suma Kiang menarik, baju itu robek besar. "Brettt......!!" Pundak dan sebagian dadanya tampak. Hal ini membuat Suma Kiang semakin memuncak birahinya dan diapun mengejar lagi. Melihat ibunya dikejar-kejar, Cheng Lin yang belum tahu apa-apa itu tiba-tiba menangis. Agaknya naluri anak itu yang membuat dia merasa bahwa ibunya berada dalam ancaman bahaya yang amat besar. Akan tetapi Suma Kiang tidak perduli dan dia menubruk lagi. Chai Li menghindar, akan tetapi kini celananya terpegang ujungnya. "Brettt....!" Kaki dan sebagian pahanya tampak. Chai Li yang ngeri ketakutan itu tiba-tiba meloncat berdiri dan menempelkan ujung pisau belati ke dadanya sendiri. "Dengar, kalau engkau berani menjamahku, aku akan membunuh diri!" bentaknya dan ucapannya itu bukan gertakan saja karena ujung pisau sudah menembus pakaian dalamnya dan sudah memancing keluar dua tetes darah dari kulit dadanya. Suma Kiang yang sedang dimabok berahi itu berdiri tertegun. Matanya menjadi amat sipit, akan tetapi mencorong, mulutnya menyeringai penuh kekejaman dan ejekan. Keduanya saling bertentang pandangan, seperti hendak menguji tekad masing-masing dan akhirnya Suma Kiang mengerutkan alisnya. Dia tahu bahwa wanita itu sudah nekat dan jika dia memaksa, tentu ia akan membunuh diri. Hal ini sama sekali tidak dikehendakinya. Otaknya berputar keras, kecerdikannya membuat mata sipit itu berputar putar puja. Tiba-tiba senyumnya melebar dan sekali melompat dia sudah berada didekat Cheng Lin dan menyambar tubuh anak yang menangis keras itu. "Ha-ha, boleh kau pilih!" katanya kepada Chai Li yang terbelalak. "Engkau bole sayang dirimu atau lebih sayang nyawa anakmu" Kalau engkau tetap menolak aku akan banting hancur anakmu di sini" Chai Li terbelalak, terengah-engah menangis, bibirnya gemetaran tanpa dapat mengeluarkan suara. Suma Kiang merasa mendapat kemenangan. "Nah, sekarang buang pisau itu dan aku akan menyerahkan anakmu agar engkau membuat dia tidak menangis lagi. Kemudian, dengan baik-baik engkau harus menyerahkan diri kepadaku. Menjadi isteriku tercinta." Chai Li hendak menjerit, menggigit bibirnya. Perlahan-lahan jari-jari tangan kanannya melepaskan pisau itu yang jatuh Ke tanah dan ia menghampiri Suma Kiang, mengembangkan kedua tangannya untuk menerima puteranya. Sambil tersenyum mengejek Suma Kiang menyerahkan Cheng Lin yang segera didekap dan dipondong ibunya. Chai Li menangis sambil menciumi puteranya, dipandang dengan mata bersinarsinar oleh Suma Kiang. Setelah Cheng Lin diam dan tertidur alam pondongan ibunya, Suma Kiang menghampiri Chai Li. "Rebahkan anakmu di sana!" Dia menuding ke bawah Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo sebatang pohon. Chai Li tidak berani membantah lagi. Ia merebahkan Cheng Lin yang sudah tidur nyenyak ke bawah pohon dan tiba-tiba kedua lengan Suma Kiang sudah merangkul dan mendekapnya. Chai Li meronta sekuat tenaga, akan tetapi apa dayanya terhadap pria yang bertenaga besar itu. Apalagi semua keinginan untuk melawan sudah terusir oleh kekhawatiran dibunuhnya puteranya. Ia terkulai tidak berdaya dalam pelukan Su Kiang dan hanya memejamkan kedua matanya yang mengalirkan air mata seperti air bah. "Sui Eng, isteriku......" Suma Kiang memondong Chai Li, dibawa ke tanah berrumput tebal dan menggelutinya. Pada sua saat Chai Li sadar akan keadaannya, Kehormatannya terancam dan hanya ini yang teringat olehnya. Ikat pinggangnya terlepas dan bersama itu jatuh pula sebuah benda, yaitu Suling Pusaka Kemala yang dahulu diterimanya dari Cheng Tung. Melihat benda ini, sadarlah ia bahwa ia adalah isteri Kaisar Cheng Tung, bahwa tidak ada laki-laki lain yang boleh menjamahnya. Ia melihat Suma Kia seperti seorang mabok, memejamkah mata sambil menciuminya dan mencoba merebahkannya. Pada saat itu Chai Li mencurahkan segala tenaga dan Kemauannya, adalah puteri Mongol, isteri Kaisar Cheng Tung. Sampai mati ia tidak akan sudi menyerahkan dirinya kepada pria lain, apalagi diperkosa secara demikian hina. Tangan kanannya meraih suling kemala, diangkatnya tinggi-tinggi dan dihantamkannya benda itu ke ubun-ubun kepala Suma Kiang! Suma Kiang yang sedang dimabok berahi dan dirangsang nafsu memuncak itu kehilangan kewaspadaan. Penjagaan dirinya sedang "kosong" karena semua perhatian terselubung nafsu berahi oleh karena itu ubun-ubun kepalanya juga sama sekali tidak terjaga oleh tenaga sinkang (tenaga sakti). "Dukkk......!!" Hantaman itu keras sekali. "Aduhhh.....!" Suma Kiang melepaskan rangkulannya dan menggulingkan tubuhnya. Akan tetapi dasar dia seorang manusia yang sejak muda sudah menggembleng dirinya, maka hantaman yang bagi orang lain akan meremukkan tengkorak itu tidak ampai mematikannya. Dia meraba-raba Kepalanya yang terasa nyeri. Kemudian memandang kepada Chai Li dan menubruk lagi. Chai Li menyambutnya dengan hantaman suling lagi, akan tetapi sekali ini Suma Kiang menangkis dan suling itupun terlepas dari pegangannya. Dia menubruk seperti seekor harimau menubruk domba sehingga Chai Li terbanting ke atas rumput dan ditindihnya. Tiba-tiba Chai Li mengeluarkan suara jeritan mengerikan dan Suma Kiang terbelalak melihat darah muncrat-muncrat dari mulut wanita itu! Dan berbareng pada saat itu, Cheng Lin juga menjerit dan menangis, mungkin digigit semut atau memang nalurinya yang bekerja. Suma Kiang terbelalak memandang wajah Chai Li. Wanita itu dalam keadaan sekarat dan ketika Suma Kiang membuka mulut wanita itu, ia melihat bahwa Chai Li telah menggigit lidahnya sendiri sampai putus hingga darah mengalir dengan derasnya dan ia berada dalam keadan sekarat! Suma Kiang meloncat berdiri, memandangi wajah yang kini berlepotan darah itu dengan ngeri. Dia melihat wajah itu seperti wajah isterinya dahulu ketika dibunuhnya. Dahulu dia memenggal leher isterinya dan darah juga berlepotan mebasahi mukanya seperti sekarang ini. "Sui Eng.... kau..... kau..... ohh, tidak.....!" Makin dipandang wajah itu makin seperti wajah Sui Eng dan teringatlah dia akan semua perbuatan isterinya yang menyeleweng dan bermain cinta dengan sahabatnya sendiri di dalam kamarnya sendiri! Mendadak Suma Kiang menjadi beringas. Matanya yang sipit seperti mengeluarkan api dan tangan kanannya meraih ke belakang punggung. Dicabutnya sebatang pedangnya dan dengan penuh kemarahan pedang itu lalu diangkat ke atas kepalanya. "Engkau perempuan pengkhianat, perempuan rendah!" Dan pedang itupun menyambar ke bawah, ke arah leher Chen Li yang sudah sekarat. "Singgg..... tranggg......!!" Tubuh Suma Kiang sampai ikut terpental saking kuatnya tangkisan pada pedang itu. Sum Kiang melompat ke belakang dan mata yang sipit terbelalak memandang ke depan. Pandang matanya agak kabur dan bergoyang sebagai akibat hantaman pada ubun-ubun kepalanya tadi sehingga kepalanya ikut bergoyang-goyang. Dia melihat betapa di dekat tubuh Chai Li kini terdapat tiga orang laki-laki yang usianya kurang lebih lima puluh tahun dan ketiganya mengenakan jubah seperti seorang pertapa atau pendeta, Jubah mereka putih bersih walaupun sederhana sekali dan rambut mereka yang panjang digelung ke atas dan di kat dengan pita kuning. Perawakan mereka sedang saja bahkan tidak tampak kuat melainkan umpak lemah lembut. "Siancai (damai)....!" Seorang di antara mereka yang mukanya merah mengeluarkan pujian. "Tidak boleh ada kekejaman dilakukan orang selama kami berada di sini!" Suaranya juga lembut namun mengandung ketegasan yang mantap. Suma Kiang kini sudah menyadari bahwa sabetan pedangnya tadi ditangkis orang, kini melihat seorang di antara mereka menegurnya dan yang dua orang lagi berjongkok dan melakukan totokan pada beberapa bagian tubuh Chai Li, terutama di bagian leher dan pundak, dia menjadi marah sekali. "Jahanam keparat! Siapa kalian yang berani mencampuri urusan pribadi Huang ho Sin-liong Suma Kiang?" Dia sengaja memperkenalkan dirinya sebagai datuk besar agar mereka mendengarnya dan merasa jerih. Seorang di antara tiga orang to (pendeta agama To) itu mendengar jeritan Cheng Lin dan tiba-tiba saja tubuhnya yang sedang berjongkok itu telah melayang ke dekat anak itu dan bagai seekor burung rajawali saja dia sudah menyambar tubuh anak itu dan dibawa dekat ibunya. Cara melayang dalam keadaan berjongkok lalu menyambar tubuh anak itu merupakan bukti bahwa orang y angjenggotnya dipotong pendek ini adalah seorang yang memiliki gin-kang (Ilmu meringankan tubuh) yang tinggi sekali. Tosu muka merah yang tadi menangkis pedang menggunakan sebatang tongkat baja yang panjangnya sebatas pundak menjawab pertanyaan Suma Kiang. "Agaknya nama yang terkenal sekali diselatan!" katanya lembut sambil tersenyum. "Akan tetapi di utara sini kami tidak mengenal nama itu. Kami disebut orang di sini sebagai Gobi Sam-sian (Tiga Dewa dari Gobi) dan kami tidak mencampuri urusan pribadimu, melainkan urusanmu dengan wanita yang malang ini." Dia menoleh ke arah Chai Li yang kini diam tidak bergerak seperti tertidur. Darah sudah berhenti mengucur dari mulutnya dan pernapasannya mulai membaik. Agaknya totokan-totokan itu menghentikan keluarnya darah dan meringankan rasa nyeri sehingga ia kini tertidur atau pingsan. "Kenapa engkau hendak membunuhnya?" Suma Kiang mengumpat dalam hatinya "Apa peduli kalian dengan itu" Aku harus Membunuhnya dan kalau kalian menghalangi, kalianpun akan kubunuh!" Dia mengcuncang kepalanya untuk mengusir kepeningan yang masih mengganggunya. Pukulan pada ubun-ubun kepalanya tadi keras sekali pada saat ubun-ubun itu tidak ter-lindung tenaga dalam. Masih untung baginya bahwa tengkorak kepalaya kuat, kalau tidak tentu tengkorak itu sudah retak dan nyawanya tidak mungkin dapat ditolong lagi. Dia menyelipkan pedangnya di balik punggung dan memegang tongkatnya dengan kuat. Suma Kiang adalah seorang yang terlalu percaya kepada diri sendiri dan selalu menganggap diri sendiri yang terhebat dan terkuat. Oleh karena itu menghadapi tiga orang tosu itupun dia hanya hendak menggunakan tongkat ular hitamnya yang dia anggap sudah cukup untuk membunuh mereka bertiga yang berani menghalangi kehendaknya. Dia memutar tongkat ular hitam itu di tangan kanan dan berkata dengan suara keren, "Gobi Sam-sian, pergilah kalian sebelum terlambat. Kalau kalian berkeras hendak melindungi wanita ini, kalian akan mampus di tanganku!" "Mati dan hidup bukan di tanganmu Huang-ho Sin-liong. Membela yang baik menentang yang jahat selalu mengandung resiko dan kami bertiga siap menghadapi resiko itu." kata tosu bermuka merah sambil melintangkan tongkat bajanya. Tosu kedua, yang berjenggot pendek juga sudah mencabut sebatang pedang dari punggungnya, dan tosu ke tiga yang matanya lebar meloloskan sebatang kebutan berbulu putih dari ikat pinggangnya. "Hai i ttt....!" Suma Kiang melompat ke depan dan menyerang dengan tongkat hitamnya. Serangannya dahsyat bukan main karena dia mengerahkan sin-kang (tenaga sakti) sekuatnya yang tersalur dalam tongkat itu. Pukulannya ini tenaganya sungguh berbeda dengan tenaga pedangnya yang tadi dibacokkan ke arah leher Chai Li. Bacokan itu hanya mengandung tenaga kasar saja. Tosu muka merah melihat datangnya serangan dahsyat itu dan diapun menggerakkan tongkatnya menangkis. "Wuuuuttt,... dukkkk!" Kedua tongkat bertemu dan akibatnya, tosu muka merah terhuyung ke belakang. Ternyata dia masih kalah kuat dalam hal sin-kang dibandingkan Suma Kiang. Suma Kiang mendesak dengan tusukan tongkatnya ke arah ulu hati tosu muka merah. Akan tetapi dari samping menyambar sebatang pedang menangkis tusukan itu. "Trang....!" Itulah tangkisan tosu berjenggot pendek dan pada saat Suma Kiang belum dapat melanjutkan serangannya, ada angin menyambar dan ujung kebutan bulu putih meluncur ke arah lehernya. Bulu kebutan itu lemas saja, namun di tangan tosu mata lebar dapat menjadi kaku seperti sepotong tongkat yang dipergunakan untuk menotok. Serangan ini berbahaya sekali dan Suma Kiang cepat membuang diri ke kanan sambil melompat Walaupun serangan itu luput, akan tetapi ketika melompat ke kanan, kembal Suma Kiang mengeluh dalam hati karena kepalanya berdenyut pening sekali. Tahulah dia bahwa dia sudah terluka di sebelah dalam kepalanya, yang membuat kepalanya pusing dan dia tidak dapat memusatkan perhatiannya kepada pertandingan itu. Pada hal, dia menghadapi tiga orang lawan yang cukup berat. Kembali dia menerjang dan menyerang ke arah tiga orang lawannya. Gerakan tongkatnya demikian cepat, seperti orang mabok, namun setiap sambaran tongkat mengarah jalan darah maut dari tiga orang lawannya. Tiga orang tosu itupun maklum akan hebatnya ilmu tongkat Suma Kiang. Mereka main mundur dan menangkis, kemudian membalas dari tiga jurusan dengan cepat sekali sehingga terpaksa Suma Kiang memutar tongkat melindungi dirinya dan mundur. Pada saat dia terdesak, ujung kebutan dengan tepat menyentuh pergelangan tangannya dan tangan itu seketika menjadi kejang dan tongkatnya terlepas. Suma Kiang terkejut dan cepat meraih dengan kedua tangannya ke belakang, melolos sepasang pedangnya dan kini mengamuk dengan sepasang pedangnya dan menggerakkan pedang itu seperti kilat cepatnya. Lenyaplah bentuk kedua pedang dan yang tampak hanya dua gulungan sinar pedang yang menyambarnyambar. Namun, pertahanan tiga orang tosu itu kokoh sekali. Mereka itu bukan saja lihai, akan tetapi juga dapat bekerja sama secara kompak sekali sehingga ke manapun sinar pedang menyambar, tentu bertemu tangkisan dan sebaliknya merekapun membalas seranga/? dengan tidak kalah gencarnya. Yang amat mengganggu Suma Kiang adalah kepalanya. Makin cepat dia bergerak, semakin pening kepalanya dan bumi yang di njaknya seolah berputar. Tahula dia bahwa kalau dilanjutkan perkelahian itu, akhirnya dia akan celaka. Karena semua rencananya membawa anak itu gagal, karena gagal pula dia memperisteri Chai Li, kesemua rencananya gagal, dia merasa kecewa dan marah sekali. Dia mengeluarkan suara yang disertai khi kang (hawa sakti) sekuatnya sehingg menggetarkan jantung tiga orang pengeroyoknya yang cepat melompat ke belakang suaranya melengking seperti seekor harimau terluka, kemudian Suma Kiang melompat ke atas kudanya dan membalapkan kudanya melarikan diri. Tiga orang tosu itu saling pandang dan menghela napas panjang. "Sungguh berbahaya....!" kata tosu muka merah yang biasa disebut Ang bin-sian (Dewa Muka Merah). "Harus diakui bahwa ilmu kepandaiannya tinggi sekali." kata It-kiam-sian (Dewa Pedang Tunggal), julukan tosu yang berjenggot pendek. "Kalau dia belum terluka, belum tentu kita mampu mengalahkannya." kata pula Pek-tim-sian (Dewa Kebutan Putih), tosu yang bermata lebar. Kembali mereka menghela napas sambil menengok ke arah menghilangnya Suma Kiang. Kemudian mereka menghampiri Chai Li dan Cheng Lin yang masih menangis memanggilmanggil ibunya. Anak itu kelihatan bingung melihat ibunya rebah telentang dengan muka berlepotan darah. Mereka berjongkok dan memeriksa kembali keadaan Chai Li. Mereka merasa lega. Wanita itu dapat tertolong, tidak sampai mati kehabisan darah. Ang-bin-Man lalu menggunakan sehelai saputangan untuk membersihkan muka itu dari darah dan It-kiam-sian dengan hati-hati mengurut beberapa urat di leher dan pundak. Akhirnya Chai Li mengeluh panjang dan membuka matanya. Begitu ia membuka matanya, ia teringat akan peristiwa tadi dan seperti seekor harimau betina ia bangkit, menyambar puteranya dan matanya terbelalak memandang ke sana-mencari Suma Kiang. "Tenanglah, nyonya. Kami telah berhasil mengusir penjahat itu dan engkau anakmu tidak terancam bahaya lagi. Tenang dan duduklah." Chai Li memandang kepada orang itu lalu memperhatikan dirinya sendiri. Pakaiannya robek-robek setengah telanjang namun ia menyadari bahwa ia belum ternoda. Syukur dan terima kasih meliputi dirinya tidak ternoda dan anaknya selamat membuat ia cepat menjatuhkan diri berlutut sambil Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo memondong Cheng Lin dan mengangguk-anggukkan kepalanya menyentuh tanah sambil menangis. Air mata bercucuran dan biarpun merasa sakit pada mulutnya, dan teringat bahwa ia te menggigit lidahnya untuk membunuh d dari pada diperkosa Suma Kiang, tidak merasakannya benar. Ia berteri kasih sekali kepada tiga orang tosu yang telah menyelamatkan ia dan puteranya. "Cukuplah sudah, nyonya. Agaknya memang Thian belum menghendaki kaliab mati. Kami hanya kebetulan saja lewat disini dan semua ini Thian yang mengatur-nya." Kata Ang-binsian. "Engkau terluka parah, agaknya engkau telah menggigit putus lidahmu sendiri. Engkau tidak mungkin bicara jelas...." "Mungkin engkau dapat menulis" Menjelaskan apa yang telah terjadi?" tanya It-Kiam-sian. Tiga orang itu harus mengetahui dulu persoalannya dan mengenal siapa adanya wanita dengan anaknya ini, mengapa berada di situ bersama penjahat tadi, sebelum mereka dapat memutuskan apa yang selanjutnya mereka akan lakukan terhadap ibu dan anak ini. Chai Li mengangguk-angguk dan cepat jari-jari tangan kanannya membersihkan tanah yang kering dan tidak ditumbuhi rumput sehingga dapat ia tulis. Ia melihat Suling kemala menggeletak di situ. Cepat la mengambil suling kemala itu dan dengan suling itulah ia mencorat-coret huruf di atas tanah. Tiga orang tosu itu merubungnya dan membaca huruf demi huruf yang ditulis dengan indah oleh wanita yang sejak kecil sudah mempelajari ilmu kesusasteraan Han itu. "Saya adalah Chai Li, puteri Mongol" Demikian Chai Li mulai menulis, "anak saya ini bernama Cheng Lin, dia keturunan Kaisar Cheng Tung." Tiga orang tosu itu terbelalak dan saling pandang. Mereka mendengar bahwa Kaisar Cheng Tung pernah menjadi tawanan orang Mongol selama hampir 3 tahun sehingga apa yang ditulis wanita itu bukan hal yang tidak mungkin. "Kami diculik oleh Suma Kiang hampir saja tadi saya diperkosa olehnya. Saya memukul kepalanya dengan suling kemala ini dan saya menggigit putus lidah saya untuk membunuh diri." Puteri ini berhenti menulis dan ia menangis lagi sambil mendekap kepala puteranya. "Puteri, buka mulutmu, pinto (aku) akan mengobati luka di lidahmu!" tiba tiba Pek-tim-sian yang ahli pengobatan itu berkata. Chai Li tidak membantah, membuka mulutnya dan tampaklah lidahnya yang tinggal sepotong. Pek-tim-si lalu mengeluarkan sebungkus obat bubuk hijau dan menaburkan obat itu ke lidah yang terluka. It-kiam-sian menanggalkan jubahnya yang lebar dan menyelimuti tubuh wanita yang hampir telanjang itu. Chai Li merasa berterima kasih sekali. Ia tidak dapat mengucapkan kata-kata, hanya sepasang Ratanya yang indah itu memandang penuh rasa syukur. "Sekarang bagaimana kehendakmu, puteri" Apakah engkau ingin pulang ke perampungan keluargamu" Kalau memang demikian, biarpun perjalanan itu jauh dan akan waktu lama, kami bertiga akan mengantarmu ke sana," kata Ang-bin-Han. Akan tetapi Chai Li sudah mengambil keputusan lain. Bangsanya telah tidak mampu melindunginya dari Suma Kiang. Akan tetapi tiga orang tosu ini ternyata sanggup menyelamatkannya. Ia ingin agar puteranya kelak menjadi seorang yang tinggi ilmu kepandaiannya, bukan saja akan mampu melindungi diri sendiri terhadap penjahat macam Suma Kiang, akan tetapi juga akan dapat mencari ayahnya dan membalas dendam kepada Suma Kiang yang jahat. Dan kiranya hanya tiga orang tosu inilah yang akan mampu membim puteranya menjadi seorang yang berilmu tinggi. Cepat ia menulis lagi di atas tanah "Saya tidak ingin kembali ke Mongol. saya mohon dengan hormat dan sangat sudilah sam-wi totiang (tiga orang pendeta) membimbing anak saya agar kelak menjadi seorang yang berilmu tinggi, agar dia dapat mencari sendiri ayahnya." Setelah menuliskan kata-kata itu, iapun berlutut dan membentur-benturkan dahi ke atas tanah di depan tiga orang tasu itu. Kembali tiga orang tosu itu saling pandang. Mereka merasa iba sekali kepada Chai Li dan merekapun mengerti mengapa wanita itu menghendaki puteranya menjadi seorang yang tangguh. Tentu karena pengalaman pahit yang dideritanya itu. Ang bin-sian lalu meraba-raba tubuh Che Lin. Seorang anak yang bertulang baik pikirnya. Dia memberi isarat dengan anggukan kepala kepada dua orang rekannya, kemudian dia membangunkan Chai Li yang berlutut. "Bangkitlah nyonya. Kami bertiga dapat menerima permintaanmu yang cukup pantas. Akan tetapi ketahuilah bahwa tidak mungkin engkau tinggal bersama kami tiga orang tosu yang hidup sebagai pertapa. kami akan mencarikan rumah dan keluarga untukmu di suatu kota atau dusun di mana engkau dapat bekerja sedapatnya dan setelah anakmu mulai besar kami akan mengangkatnya sebagai murid." Chai Li mengangguk-angguk dengan air mata bercucuran. Hidup ia dan puteranya kini seluruhnya bergantung kepada pertolongan tiga orang pertapa itu. Gobi Sam-sian (Tiga Dewa Gobi) lalu menyuruh Chai Li menggendong puteranya dan menunggang kuda. Kemudian mereka mengawal nyonya yang malang itu menuju Ke selatan. Akhirnya mereka tiba di Pao-tow, sebuah kota yang cukup ramai di tepi Sungai Huang-ho yang mengalir ke utara. Di kota ini Gobi Sam-sian mendapatkan seorang wanita janda tua berusia lima puluh tahun lebih yang hidup seorang diri. Janda Itu menerima Chai Li dan puteranya dengan gembira, apalagi karena Chai Li berjanji akan bekerja sendiri untuk keperluan ia dan puteranya. Setelah mendapatkan tempat bernaung untuk Chai Li, Gobi Sam-sian meninggalkan wanita itu dan berjanji akan datang dan mulai mengangkat Cheng Lin seba murid kalau Cheng Lin sudah berusia enam tahun. Chai Li merasa terharu berlutut sebagai tanda terima kasih kepada tiga orang sakti dari Gobi itu. Janda tua yang hidup seorang diri Pao-tow, menempati rumah sederhana yang tidak berapa besar, tidak kecewa menerima Chai Li. Ternyata walau Chai Li tidak dapat bicara dengan jelas wanita cantik ini pandai sekali menyulam dan sebentar saja hasil sulamannya terkenal di daerah Pao-tow. Banyak orang membelinya dengan harga mahal sehingga mereka mendapatkan hasil uang yang cukup untuk menghidupi mereka bertiga. Setelah Cheng Lin yang tumbuh menjadi seorang anak yang sehat dan cerdas berusia lima tahun, Chai Li yang memiliki penghasilan cukup lalu mengundang orang guru sastera untuk mengajar putera nya. Puteranya adalah putera kaisar, maka sejak kecil harus diajar kesusasteraan dan kebudayaan, juga kitab-kitab agama yang mengajarkan tentang filsafat dan kehidupan, agar kelak menjadi seorang pandai di samping pelajaran ilmu silat yang akan diterimanya dari Gobi Sam-sian kalau Cheng Lin sudah berusia enam tahun. Anak itu kelak harus menjadi seorang bun-bu-coan-jai (ahli sastera dan silat). Beberapa orang anak tetangga yang mampu membayar guru ikut belajar sehingga terkumpul belasan orang anak seusia Cheng Lin yang ikut belajar dari guru sastera yang diundang itu. Tempat belajar mengambil tempat di sebuah gudang yang tidak terpakai lagi dan setiap hari dari tempat itu terdengar anak-anak itu menirukan gurunya membaca ujar-ujar atau filsafat dari kitab-kitab suci. Can Sianseng (Tuan Can) begitu panggilan guru yang mengajarkah sastera kepada belasan orang anak itu, adalah seorang laki-laki berusia lima puluh tahun. Tubuhnya kurus sekali seperti cecak kering dengan leher panjang dan mukanya memanjang dan menajam seperti muka kuda. Dia adalah seorang siucai (sarjana) yang gagal dalam ujian negara karena miskin. Pada masa itu, betapapu pandai dan cerdiknya seorang mahasiswa kalau kantongnya kempis, jangan harap akan dapat lulus ujian negara. Sebaliknya seorang mahasiswa malas yang otaknya kosong sekalipun, kalau kantungnya tebal dapat dengan mudah lulus ujian negara mendapat gelar siucai dan memperoleh kedudukan. Tidaklah mengherankan apabila mereka yang memperoleh kedudukan itu mempergunakan kedudukannya untuk mengeruk uang sebanyak mungkin, Golok Sakti 9 Mutiara Hitam Karya Kho Ping Hoo Rahasia Istana Terlarang 7

Cari Blog Ini