Badik Buntung 1
Badik Buntung Karya Gkh Bagian 1 Badik Buntung Saduran : GKH Bab 1 Kabut malam mulai menyelimuti seluruh kota Hangciu. Disebelah timur kota Hangciu terdapat sebuah bangunan gedung mentereng yang berdiri megah dan angker dikegelapan malam. Dari dalam gedung yang megah dan angker ini lapat-lapat terdengar gelak tawa orang banyak. Seorang pemuda mengenakan jubah panjang warna putih, seperti pemuda pelajar umumnya tengah beranjak cepat menuju ke arah gedung besar ini, pemuda itu berpaling menengadah melihat cuaca, memandang sang putri malam yang memancarkan cahayanya yang terang cemerlang. Ditimpah cahaya sang bulan purnama kelihatan sikap tegas dan watak keras dari wijah pemuda yang putih cakap itu. Sejenak ia berhenti mengamat-amati gedung besar dihadapannya, ujung mulutnya mengulum senyum, sedikit pundaknya bergoyang gerak tubuhnya sudah terbang tinggi ke tengah udara langsung melesat ke atas wuwungan ruangan besar terus meluncur turun memasuki ruangan pesta itu. Suara tawa dan percakapan ramai dalam ruangan besar seketika sirap. Dengan berputar tubuh pemuda itu menjelajahkan pandangannya keseluruh ruang besar itu. Penerangan terpasang terang benderang, meja besar perjamuan berputar tiga lingkaran. yang terletak paling tengah sana duduk seorang tua bermuka merah, dua lilin besar dibelakangnya tengah terbakar menyala menerangi sebuah huruf "SIU" (panjang umur) yang besar dari kertas mas. Semua mata memandang heran ke arah sipemuda. Mereka merasa takjup akan kepandaian silatnya begitu lihaynya sampai sudah mendarat di dalam ruangan besar itu baru hadirin mengetahuinya. Setelah berputar memeriksa keadaan seluruh ruangan pesta ini sipemuda langsung menghadap ke arah si orang tua bermuka merah itu, serunya sambil menjura, "Siautit Hun Thian-hi, mendapat perintah dari orangtua untuk menyampaikan salam panjang umur, setindak telah terlambat harap paman suka memberi maaf! Waktu Hun Thian-hi memperkenalkan diri si orang tua muka merah mengerutkan kening dan mengunjuk rasa heran dan curiga, dengan tajam ia awasi Hun Thian-hi bibirnya bergerak seperti hendak berkata apa, tapi urung diucapkan. Selanjutnya air mukanya lantas menunjukkan rasa kejut dan marah. Sekilas kedua biji matanya melirik keseluruh ruang, sekejap saja wajahnya berubah lagi menjadi beringas dan gusar. Hun Thian-hi seakan tidak merasa dan tidak tahu akan segala perubahan air muka si orang tua muka merah, acuh tak acuh seperti anak kecil yang ketarik akan sesuatu yang memincut hatinya ia berputar dan celingukan menatapi itu persatu seluruh hadirin. Setelah sepasang mata tajam berkilat menerawang seluruh isi ruang pesta ini, ujung mulutnya lagi-lagi menampilkan senyum dikulum. Mendadak berkelebat cahaya aneh dan mengejutkan terpancar dari kedua biji matanya tanpa merasa sebelah tangannya mengelus Seruling batu pualam dipinggangnya. Ternyata bahwa dikedua samping kiri kanan si orang tua merah duduk sepasang muda mudi, sorot pandangan mereka berdua juga berkilat mengandung ketajaman yang luar biasa, pandangan muda-mudi itu juga tertuju ke arah dirinya. Dengan muka gusar si orang tua muka merah membentak kepada Hun Thian-ki, "Siapa kau" Berani kau mengaku sebagai putra Hun Siau-thian Hun-toako untuk menyampaikan salam hormat kepadaku?" Seluruh hadirin yang terdiri dari orang-orang gagah persilatan terkejut, begitu mendengar nama Hun Siau-thian disebut. Harus diketahui bahwa Hun Siau-thian adalah tetua dari Bulim-samciat pada dua puluh tahun yang lalu, dengan menggembol dan bersenjatakan Badik buntung ia belum pernah mendapat tandingan di seluruh jagat. Selama dua puluh tahun terakhir jejaknya menghilang tak karuan paran. Sungguh diluar dugaan hari ini ada seseorang yang berhubungan dekat dengan beliau muncul disini menyampaikan salam hormat. Hun Thian-hi mengulum senyum tawar, katanya pelan-pelan, "Jangan takut! Aku tidak akan menuntut balas, kedatanganku ini hanya mau minta balik badik buntung saja, apa kau minta bukti?" - dari dalam lengan baju tangan kanannya ia melolos keluar sarung pedang pendek sepanjang satu kaki entah terbuat besi atau mas, yang terang sarung Pedang ini memancarkan cahaya terang terus diangsurkan ke depan orang tua muka merah. Seluruh hadirin bertambah kejut dan heran lagi. Badik buntung sudah menghilang ikut lenyapnya Hun Siau-thian selama dua Puluh tahun tak duga bisa berada disini! Merah Padam muka si orang tua, mendadak ia berjingkrak bangun terus membentak sambil menuding Hun Thian-hi, "Badik buntung berada ditangan Hun Siau-hian, seluruh orang gagah dijagat ini mengetahui. Siapa kau sebenar-benarnya" Kau kira aku Hoan-thian-chiu Su Tat-jin gampang dihina dan dipermainkan?" Baru lenyap suara Su Tat-jin, seseorang yang duduk disebelah samping kanannya sudah bergegas berdiri serta serunya, "Su Toako, biar kuberi hajaran kepadanya!" Kalem saja Hun Thian-hi memutar tubuh menghadapi si orang pembicara ini, dengan seksama ia awasi orang ini. Kiranya seorang Tosu pertengahan umur mengenakan jubah pendeta warna hijau mulus. Matanya juling seperti mata garuda menyorotkan sinar dingin mendelik ke arah dirinya. Sekonyong-konyong wajah putih Hun Thian-hi menampilkan senyum tawa yang aneh. Seketika si Tosu itu berhenti dan berdiri melongo, matanya berkilat ragu-ragu, agaknya tak tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya setelah melihat senyum tawa Hun Thian-hi yang penuh arti itu. "Harap tanya slapakah gelaran Totiang ini?" tanya Hun Thian-hi dengan nada mengejek. Tiba-tiba Tosu pertengahan umur ini tersentak kaget seperti sadar dari suatu lamunan, dimakluminya sekarang bahwa senyum tawa Giok-liong tadi hakikatnya mengandung sindiran dan memandang ringan dirinya, saking gusar selebar mukanya menjadi merah padam, teriaknya, "Hun-tiong-it-ho Ling-ci-cu itulah aku adanya!" habis berkata kakinya terus bergerak menubruk maju ke hadapan Hun Thian-hi disertai dengan mulutnya membentak, "Lihat pukulan!" sebelah tangannya tahu-tahu nyelonong menjotos ke dada Hu Thian-hi. Hun Thian-hi sedikit menekuk dengkul lalu menggeser mundur, ringan sekali tubuhnya ikut berputar menghindar. Maka pukulan lawan dengan mudah sekali dapat dihindarkan menyamber lewat disamping dadanya terpaut seurat saja. Ling-ci-cu menggerung murka, tangan kiri berputar menyusul tiba terus menepuk ke punggung Hun Thian-hi. Sambil tetap mengulum senyum Hun Thian-hi menggoyangkan sedikit badan indah sekali ia bergaja berkelit dari serangan musuh. Gerak tubuhnya enteng laksana awan mengembang seperti air mengalir ia main mundur ke tengah ruangan. Dimana sepasang matanya berkilat menyapu pandang ke seluruh keadaan meja perjamuan dalam ruang pesta besar ini. Diam-diam terkejut hati seluruh hadirin. Siapa yang tak kenal akan ketenaran nama Hun-tiongit- ho Ling-ci-cu yang berkepandaian tinggi, dengan gerak tubuh serta bekal Lwekangnya ternyata dua kali serangannya dengan mudah telah dihindarkan oleh pemuda pelajar ini. Ini betul-betul suatu hal yang luar biasa. Seandainya pemuda ini betul adalah anak kandung Hun Siau-thian, dengan usia yang masih muda betapapun latihannya takkan mungkin mencapai tingkat yang sempurna sekian baiknya. Beruntun serangan berantainya dengan mudah kena kelit oleh lawan, hati Ling-cicu menjadi dongkol seperti dibakar, gesit sekali ia menerjang datang lagi sambil kirim serangan lebih gencar. "Nanti dulu!" tiba-tiba Hun Thian-hi berseru menghentikan pertempuran. Ling-ci-cu segera menghentikan aksinya, dengusnya, "Ada omongan apa lagi yang hendak kau katakan?" Hun Thian-ki tertawa lebar, sekilas ia menyapu pandang ke sekelilingnya lalu berkata kepada Su Tat-jin, "Hari ini aku sudah datang kemari. Perihal Badik Buntung yang di tanganmu itu betapa juga pasti akan tersiar luas, dengan kemampuanmu kau takkan mungkin kuat melindunginya. Biarlah kutekankan lagi bahwa kedatanganku ini bukan hendak menuntut balas. Serahkan saja Badik buntung itu kepadaku, segalanya beres!" Belum lagi Su Tat-jin membuka suara Ling-ci-cu telah menyelak, "Nanti dulu." Pelan-pelan Hun Thian-hi memutar badan menghadapi Ling-ci-cu sambil memicingkan mata. Kata Ling-ci-cu dengan gusar, "Bocah keparat jangan kau terlalu sombong, tak perlu dikatakan apakah benar-benar Badik buntung itu berada disini. Seumpama betul ada disini, berani kau dihadapan kita sekalian hendak mengambilnya begitu gampang?" Hun Thian-hi celingukan melihat reaksi seluruh hadirin, satu pun tiada yang berani bersuara. Terang bahwa mereka sudah setuju akan kata-kata profokasi dari Ling-ci-cu itu. Dengan sabar dan kalem ia hadapi Ling-ci-cu, lalu katanya acuh tak acuh, "Lalu bagaimana maksudmu?" "Hatimu tahu sendiri," jengek Li-ci-cu, "kenapa perlu tanya lagi!" Alis lentik Hun Thian-hi terangkat tinggi, ujung mulutnya mengulum senyum manis, berturutturut ia mundur dan mundur terus sampai diambang pintu lalu dirogohnya keluar Seruling batu giok di pinggangnya langsung diangkat ke depan mulutnya. Gadis yang duduk di sebelah kanan Su Tat-jin bergegas bangun, matanya memancarkan sinar tajam penuh kejut dan heran, tak kuasa mulutnya juga berteriak, "Lam-siau!" Pemuda yang duduk di sebelah kiri juga tersentak bangun berdiri. Seluruh hadirin juga sama terkejut, siapapun tak mengira bahwa Hun Thian-hi kiranya adalah murid Lam-siau (seruling selatan) salah satu dari Hwe-siang-ki (sepasang manusia aneh dalam dunia). Tak heran dengan mudah dan seenaknya saja ia tadi berkelit dan menghindari serangan Ling-ci-cu yang cukup hebat itu. Sejenak sorot mata Hun Thian-hi memancarkan rasa bimbang dan ragu, namun demikian mulutnya sudah mulai meniup serulingnya, dilain saat irama seruling yang merdu sudah kumandang mengalun di tengah udara. Beramai-ramai seluruh hadirin mengerahkan tenaga murni dan Lwekang untuk mempertahankan diri. Hun Thian-hi sendiri juga prihatin dan penuh keseriusan, karena dia sendiri harus memusatkan pikiran dan mengerahkan seluruh kekuatan Lwekangnya disalurkan ke dalam irama serulingnya untuk menundukkan musuh. Selain kedua muda mudi itu, seluruh hadirin sudah mulai mandi keringat, matimatian mereka tengah bertahan sekuat tenaga. Sambil meniup serulingnya pandangan Hun Thian-hi menyapu ke seluruh ruangan besar, lagilagi matanya memancarkan rasa ragu dan bimbang, sejalur irama melengking tinggi memecah angkasa, dinding di empat penduru gedung ini terdengar bergetar dan mulai retak hampir roboh. Pelan-pelan Hun Thian-hi menarik turun Serulingnya, pandangannya menyapu ke seluruh hadirin, nyata tiada satupun yang lolos semua telah tertutuk jalan darahnya oleh getaran irama serulingnya, sebentar ia menarik napas panjang terus tertawa lebar langsung ia melangkah menghampiri Su Tat-jin. Pertama-tama ia bebaskan jalan darah Su Tat-jin yang tertutuk. Dengan penuh rasa kejut gusar dan takut-takut Su Tat-jin menyapu pandang ke seluruh tamu-tamunya. Dilihatnya kedua muda mudi itu juga telah tertutuk jalan darahnya, dengan penuh rasa murka dan hampir tak percaya ia tatap Hun Thian-hi. Kata Hun Thian-hi tanpa menunjukkan expresi, "Su Tat-jin, semasa hidup ayahku betapa baik sikapnya terhadap kau. Tak duga, dalam keadaan beliau sedang sakit kau rebut Badik buntung itu Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo lalu melarikan diri menghilang!" Sambil mundur ke dalam ruangan dalam, Su Tat-jin menyahut cepat, "Bukan aku, itulah. Ling Ci-cu yang melakukan!" Hun Thian-hi mendengus hina, katanya, "Sekarang aku tidak ingin tahu segala tetek bengek itu, serahkanlah Badik buntung itu kepadaku!" Su Tat-jin kempas-kempis berusaha mengendalikan pembawaannya, sikapnya raguragu. "Lekas!" desak Hun Thian-hi. Su Tat-jin membuka pintu terus membawa Hun Thian-hi masuk kerumah dalam. Setelah melewati sebuah serambi panjang mereka tiba pada pada sebuah kamar. Sekilas Hun Thian-hi memeriksa keadaan kanan kirinya, mulutnya lantas berkata kepoda Su Tat-jin, "Jangan kau mengatur tipu daya, aku takkan bisa terjebak oleh tipu muslihatmu!" Mata Su Tat-jin berjelilatan, akhirnya apa boleh buat ia menghampiri ke depan tempat tidur. Dengan ketat Hun Thian-hi mengintil dibelakangnya. Mendadak ia memutar tubuh sambil mengulur serulingnya menekan jalan darah di punggung Su Tat-jin lalu berpaling ke belakang ke arah pintu. Di depan kamar tidur sana berdiri berendeng kedua muda mudi tadi, masing-masing tangannya menyoreng pedang panjang, dengan tajam dan gusar mereka tatap Hun Thian-hi.... Hun Thian-hi diam saja mengawasi mereka. Dalam hati ia menyesal kenapa waktu menutuk jalan darah mereka dengan irama serulingnya tadi tidak gunakan tenaga berat, sehingga begitu cepat mereka sudah bisa ikut mengintil datang. Terdengar pemuda itu buka suara, "Hun Thian-hi, kau adalah murid Lam-siau, lepaskan pamanku, mari kita bicara diluar!" Hun Thian-hi merenung sebentar, akhirnya ia menjawab, "Tidak! Suruh dia mengembalikan Badik buntung kepadaku!" Su Tat-jin menjadi gugup, serunya, "Anak Cin, jangan kau percaya omongannya, hakikatnya aku tidak menyimpan Badik buntung apa segala." "Lalu kenapa kau bawa aku kemari?" jengek Hun Thian-hi menyeringai. "Adalah kau yang mendesak aku begitu rupa!" Hun Thian-hi mendengus hidung, sedikit menerawang hati-hati sekali mendadak sebuah kakinya menendang ke tempat tidur Su Tat-jin. "Blang!" seketika ranjang kena ditendang terbalik dimana terdengar suara pegas berbunyi serentetan pisau terbang melesat keluar berseliweran, sigap sekali Hun Thian-hi jinjing tubuh Su Tat-jin melompat terbang keluar kamar. Dengan selamat Hun Thian-hi mendaratkan kakinya di tanah, hidungnya mendengus hina. Sekilas Su Tat-jin memandang ke arah muda mudi itu lalu berkata, "Memangnya Badik buntung tidak berada ditanganku, terpaksa aku berbuat begitu!" Berbareng muda mudi itu melolos pedang panjangnya terus menerjang ke arah Hun Thian-hi. Cepat sekali biji mata Hun Thian-hi menjelajah keadaan sekitarnya, tiba-tiba tangannya diayun ke belakang melemparkan tubuh Su Tat-jin keluar rumah sana, disusul tubuhnya sendiri juga ikut berkelebat keluar hinggap di pelataran luar. Sebetulnya Su Tat-jin bukan kaum kroco, tadi sedikit pun ia tidak berontak karena di bawah ancaman Hun Thian-hi, sekarang setelah lepas dari tangan Hun Thian-hi seiring dengan luncuran tubuhnya ini tiba-tiba ia jumpalitan ditengah udara badannya terus membalik naik hinggap di atas dahan sebuah pohon besar. Meski kepandaian Hun Thian-hi tinggi, pengalaman masih cetek sedikit gegabah ia lemparkan Su Tat-jin keluar, setelah ia melempar tubuh orang baru menyesal juga sudah kasep. Begitu badan Hun Thian-hi melenting keluar, kedua muda mudi itu juga sudah terbang mengejar tiba, pedang panjang mereka sebat sekali menusuk tiba dari kanan kiri. Mendadak Hum Thian-hi memutar tubuh ditengah udara, serempak tangannya dibalikkan ke belakang sambil menyapukan Serulingnya dengan jurus Hoat-hi-pit-thian, sejalur kabut putih dari kekuatan tenaga dalamnya segera menyampok ke arah muda-mudi itu. Baru tusukan sampai ditengah jalan sebelum pedang mereka dan seruling Hun Thianhi saling sentuh, pedang sudah ditarik balik, disusul pedang dibalikkan berputar terus menusuk ke depan dari atas dan bawah, masing-masing mengarah temggorokan dan perut Thian-hi. Pancaran mata Thian-hi menampilkan rasa kejut dan heran, serulingnya diputar dan disurutkan mundur, berbareng lincah sekali tubuhnya menggeser terus hinggap di atas tanah. Saat itu juga kedua muda mudi itu juga sudah meluncur turun, sesaat ketiga orang ini saling tatap tanpa bicara. Sejenak kemudian Hun Thian-hi baru membuka mulut, "Apakah kalian murid Pakkiam?" "Betul!" sahut sipemuda, "Aku bernama, Su Cin. Dan ini adikku bernama, Su Gioklan." Su Giok-lan mencemooh, "Apakah kau murid Lam-siau?" Hun Thian-hi manggut-manggut, ujarnya; "Kalau begitu lebih baik, harap kalian suka bujuk paman kalian untuk mengembalikan Badik buntung itu kepadaku!" "Kau punya bukti apa berani menuduh bahwa Badik buntung itu berada ditangan pamanku." semprot Su Giok-lan aseran. "Dulu pamanmu menggunakan akal muslihat licik merebut Badik buntung itu dikala ayahku terluka berat," demikian Hun Thian-hi memberi keterangan, "Kalau nona benarbenar adalah murid Pak-kiam Siau-cianpwe tentu mengenal juga betapa pentingnya Badik buntung ini, kuharap nona suka membujuk paman kalian untuk kembalikan Badik buntung itu kepada aku yang rendah, kupandang muka kalian aku tidak akan menuntut segala peristiwa yang sudah lalu." "Enak benar-benar kau mengudal mulutmu," jengek Su Giok-lan. "Ada bukti apa kau berani bicara begitu takabur?" "Apakah murid Lam-siau juga bisa membual?" "Apakah murid Pak-kiam bisa berlaku ceroboh?" Berkobar hawa amarah Hun Thian-hi, "Kau...." katanya berhenti, lalu sambungnya, "Kalau nona hendak mengetahui duduk perkara yang berbelit2 itu silakan tanyakan kepada Hun-tiong-it-ho dan pamanmu itu, tentu kalian akan jelas segalanya." "Jangan kau kira kau ini paling pintar," dengus Giok-lan, "apa hakmu menyuruh kami mengompes keterangan mereka. Murid Lam-siau punya kepandaian apa?" Mendadak bercekat hati Hun Thian-hi, pikirnya, "Ooo, jadi begitu!" - mungkin karena tadi mereka kena tertutuk jalan darahnya oleh irama seruling jadi mereka uringuringan. Hun Thian-hi berdiri diam, bungkam seribu bahasa. "Adik Lan!" Cegah Su Cin sambil berpaling ke arah adiknya. "Kenapa engkoh bantu orang luar!" teriak Giok-lan keras, lalu ia menghadapi Hun Thian-hi lagi, ujarnya, "Jangan banyak mulut lagi, tiga hari kemudian jam empat subuh kita bertemu di Giokhong- gay di gunung Sian-sia-nia. Kalau kau menang bagaimana juga kita berusaha mengembalikan Badik buntungmu, kalau kau kalah sudah jangan cerewet lagi!" Thian-hi berpaling ke arah Su Cin, melihat orang tidak membuka suara, lalu ia mengawasi pula ke arah Su Tat-jin, pelan-pelan baru ia berkata, "Begitupun baik, kita bertemu tiga hari kemudian!" selesai berkata ia memutar tubuh terus berlari bagai terbang sekejap saja ia sudah menghilang. Sebentar saja tiga hari sudah mendatang. Pagi hari itu cuaca masih gelap Hun Thian-hi sudah beranjak dari penginapannya, berlari cepat menuju ke Giok-hong-gay di gunung Sian-sia-nia. Udara gelap dingin kabut masih tebal, dengan kepandaian dan latihan Lwekang Hun Thian-hi yang sudah cukup sempurna juga tidak lebih hanya dapat melihat setombak jauhnya. Sejenak ia mengerutkan kening, sebentar ia berdiri di atas ngarai lalu memandang ke arah hutan sebelah sana. Tak lama kemudian diantara kabut tebal muncul tiga bayangan orang, langsung berlari kencang menuju ke puncak ngarai ini. Itulah Su Tat-jin bersama Su Cin dan Su Giok-lan. Melihat Hun Thian-hi sudah menunggu disitu, Su Giok-lan tersenyum ejek, ujarnya, "Kiranya kau bisa menepati janji?" Hun Thian-hi menggendong tangan sambil angkat dahi tanpa bicara. Kata Su Cin, "Hun Siauhiap! Sudah beberapa kali kutanyakan kepada pamanku, bahwa Badik buntung memang tiada ditangannya, mungkin Hun Siauhiap salah duga!" Hun Thian-hi berpaling menatap Su Tat-jin dengan tajam tanpa bersuara. "Keluarkan Serulingmu!" tantang Su Giok-lan uring-uringan, "ingin aku belajar kenal kepandaian hebat apa yang dimiliki oleh murid Lam-siau yang diagungkan itu!" Diam-diam Hun Thian-hi tengah menerawang dalam hati, ia tahu pasti bahwa Badik buntung itu benar-benar berada ditangan Su Tat-jin, namun dengan adanya Su Cin dan Su Giok-lan sebagai pelindungnya urusan menjadi rada runyam. Bahwasanya Lam-siau (seruling selatan) dan Pak-kiam (pedang utara) sama tenar sama derajat, betapa juga ia tidak mungkin bermusuhan dengan mereka, sebaliknya Badik buntung itu bagaimana juga harus direbut kembali. Tengah ia berpikir Su Giok-lan sudah tidak sabaran lagi "sreng!" ia cabut keluar pedang panjangnya, katanya menuding Hun Thian-hi, "Bagaimana, apakah murid Lam-siau sedemikian pengecut?" Hun Thian-hi menjadi dongkol pelan-pelan ia putar tubuh, ujarnya, "Apakah nona Su mendesak aku turun tangan?" "Bukankah kau minta kembali Badik Buntung?" dengus Su Giok-lan, "Kalau mau minta kembali silakan keluarkan serulingmu!" Dengan angkuhnya Hun Thian-hi menyeringai tawa, pelan-pelan dikeluarkan serulingnya. Tanpa banyak mulut segera Su Giok-lan menerjang maju sambil menusuk membabat dan membacok bergantian, beruntun ia lancarkan empat jurus serangan berantai. Seenaknya saja Hun Thian-hi menggerakkan serulingnya, entah menyampok atau menangkis gampang saja ia punahkan seluruh serangan Su Giok-lan. Melihat serangan gencarnya tak dapat mendesak lawan Su Giok-lan menjadi sengit, sambil menggertak pedang panjangnya mendadak menekan ke bawah tiba-tiba terus menukik ke atas menusuk lambung, kiranya ia sudah mulai kembangkan pelajaran tunggal yang diandalkan pihak Pak-kiam (pedang utara) yaitu ilmu pedang yang dinamakan Hian-thian-kiam-hoat badan dan pedang seakan bersatu padu bergerak lincah mengikuti gerak badan dan samberan pedang. Sejalur pelangi panjang menggubat dan melilit kencang ke arah Hun Thian-hi. Dengan angkernya Hun Thian-hi tetap berdiri di tempatnya tanpa menggeser sesentipun, Serulingnya terayun ke kiri menyampok kekanan lalu menekan kebawah bergantian sedikitpun tidak menjadi gugup atau terpengaruh oleh serangan gencar lawannya. Meskipun Hian-thian-kiam-hoat yang dikembangkan Su Giok-lan mengandung banyak perubahan yang susah diraba, sayang Lwekangnya setingkat lebih rendah, sedikitpun ia tak mampu menyentuh atau mendesak Hun Thian-hi yang berlaku tenang itu. Sekejap saja kedua belah pihak sudah saling serang sebanyak lima puluh jurus. Dimana ayunan seruling Hun Thian-hi bergerak sekarang mulai mengambil inisiatif pertempuran dari banyak membela diri mulai melancarkan serangan balasan. Begitu Lwekang dikerahkan seiring dengan ayunan serulingnya terpancarlah sinar cahaya putih bergerak lincah menari2 terus menyerang lebih deras dan ketat ke arah Su Giok-lan. Semakin lama Su Giok-lan terdesak di bawah angin, untuk membela diri saja menjadi kerepotan jangan kata balas menyerang. Akhirnya Su Cin menjadi cemas dan kuatir, sreng! Pedangnya lantas dilolos keluar, teriaknya, "Adik Lan, kau mundurlah!" - lalu iapun berteriak ke arah Hun Thian-hi, "Hun Siau-hiap, biarlah aku pun belajar kenal dengan kepandaianmu!" Sambil menyapukan pedangnya Su Cin terus menerjang maju. Su Giok-lan mendapat peluang dengan sengit dan gemes ia berteriak, "Aku belum terkalahkan, buat apa kau ikut maju?" seiring dengan kata-katanya, pedang panjangnya mendadak bergerak lincah, beruntun ia lancarkan lagi serangan ketat kepada Hun Thian-hi. Su Cin menjadi serba susah, maju mundur menjadi sulit baginya, kedua belah pihak adalah murid perguruan ternama yang sejajar ketenarannya, bagaimana mungkin dirinya melawan orang dengan cara keroyokan. Tapi keadaan Su Giok-lan sudah di ambang bahaya, tidak bisa tidak aku harus maju membantu, terpaksa mengeraskan kepala ia terus menerjang maju. Hun Thian-hi bergelak tawa lantang, dimana Serulingnya menari kencang mendadak tubuhnya terbang ke atas, di tengah udara jumpalitan terus mengembangkan Thian-liong-cit Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo sek atau tujuh gaja naga langit. Jurus pertama yang bernama Liok-liong-wi-hian (enam naga terbang berputar) dikembangkan berpetalah bayangan seruling samar-samar seperti ada seperti tiada serentak meluncur ke arah dua sasaran. Su Cin dan Su Giok-lan merupakan murid didikan Pak-kiam yang kenamaan apalagi dengan dua mengeroyok satu sudah tentu tidak gampang mereka dikekang dan terkepung. Serempak pedang panjang mereka silang menyilang di tengah udara ke kanan kiri inilah jurus Banliu-ing-hong (dahan pohon liu menyambut angin) jalur sinar pedang terpancang menjadi pepat merintangi serangan melandai tiba. Tapi di tengah jalan tubuh Hun Thian-hi mendadak melenting lebih tinggi lagi, seruling batu pualam putihnya lagi-lagi meluncur dengan serangan yang dinamakan Gin-liong-jipcui (naga sakti masuk air) Seruling batu itu menukik dari atas meluntiur seperti burung menyambar belalang langsung menutuk ke jalan darah Bi-sim-hiat Su Cin dan Su Giok-lan. Sekali lagi pedang panjang mereka bekerja sama bersatu padu melancarkan tipu Loan-ciokbing- hun (batu kalut menerjang awan), sinar pedang berubah setitik bintang menutul balik merangsak ke arah Hun Thian-hi lagi. Hun Thian-hi tertawa tawar, lagi-lagi lawan bergabung menyerang dirinya, memang inilah yang sedang diharapkan, tiba-tiba tubuhnya mengkerut turun, dimana seruling batunya terayun maju langsung memapak ke arah kedua batang pedang lawan yang terbang meninggi mengarah dirinya. Di tengah jalan jurus serangan Thian-hi ini lagi-lagi dirubah menjadi Hun-liong-pian-yu, bayangan seruling mendadak berubah menjadi beribu banyaknya, seperti menyerang tapi juga membela diri langsung menyapu ke depan. Naga terbang menyapu baju yang dilancarkan Hun Thian-hi ini merupakan salah satu jurus dari ilmu Thian-liong-cit-sek yang paling banyak perubahan dan paling sulit di jajaki. Su Cin dan Su Giok-lan tidak mengira Hun Thian-hi bakal melancarkan jurus-jurus yang sangat lihay ini, keruan bercekat hati mereka, tak tahu mereka kemana juntrungan Hun Thian-hi melancarkan serangan berbahaya ini, tanpa merasa gerak-gerik mereka sedikit merandek. Sementara serangan Hun Thian-hi ini sampai di tengah jalan mendadak juga memperlihatkan setitik kelemahan, dimana jurus serangan yang seharusnya menutuk maju rada2 kelihatan sedikit lamban seperti hendak membela diri malah, karuan sedikit lubang kelemahan ini cukup ketahui oleh kakak beradik didikan Pak-kiam ini, keruan bukan kepalang girang hati mereka, tanpa berjanji seperti sudah terjadin ikatan batin saja mendadak pedang mereka berbareng membabat dan menyontek ke atas membabat kaki dan menusuk perut Hun Thian-hi. Tak kira perbuatan Hun Thian-hi ini memang disengaja untuk memancing gerakan musuh, sedikit lamban mendadak Hun Thian-hi lincah sekali menyelonong maju, lenyap gaya membela diri semula mendadak berubah menjadi serangan telak, berbareng dengan gerak tubuhnya yang lincah lantas menyelinap ke tengah diantara mereka berdua, serulingnya menutuk pundak dan mengetuk batok kepala. Karuan Su Cin berdua berjingkrak kaget seperti disengat kala. Berbareng mereka mundur kedua samping untuk menghindar. Dengan tipu jurus yang indah Hun Thian-hi berhasil memisahkan kedua musuhnya, mendapat angin yang menguntungkan ini serulingnya bergerak semakin sebat lagi, jurus demi jurus tipu-tipu serangan serulingnya membadai tiada habisnya, dengan jurus Jian-hong-ing-long (menuntun angin menyambut gelombang) ia tumplek seluruh kekuatan untuk menyerang kedua lawannya. Su Giok-lan dan Su Cin harus melompat mundur kesamping lagi, namun sambil berkelit ini tibatiba pedang panjang mereka menukik balik, dengan jurus Yau-ci-thian-lam (jauh-jauh menuding langit selatan) pedang mereka tepat sekali memapaki kedatangan serangan Hun Thian-hi, begitu seruling dan pedang kedua belah pihak saling bentur, kontan Su Cin dan Su Gioklan tergetar mundur satu langkah. Gerakan Hun Thian-hi tidak berhenti sampai disitu saja, lagi-lagi serulingnya menyapu tiba dengan tipu Ci-ang-yau-sut (pelangi menggubat saka) dimana sinar putih berkelebat masingmasing menutuk ke arah jalan darah Thian-to-hiat di atas tubuh Su Cian dan Su Giok-lan. Karena terdesak untuk membebaskan diri dari tutukan berbahaya ini terpaksa mereka mundur berulangulang. Wajah Hun Thian-hi menampilkan senyum tawar. seorang diri bukan saja dirinya mampu melawan keroyokan mereka malah mendesak mundur kedua musuhnya, betapa hatinya takkan senang. Dalam pada itu dengan kesima Su Tat-jin menonton pertempuran seru ini dengan seksama, lambat laun berubah rona wajahnya, kedua biji matanya memancarkan rasa kebencian yang meluap-luap, samar-samar juga terunjuk rasa ragu sulit mengambil suatu keputusan. Sementara itu, sinar putih kemilau dari seruling Hun Thian-hi terus berkembang berputar-putar di tengah gelanggang mengepung dua musuhnya. Belum lama Su Cin serta adiknya kelana, baru pertama kali ini mereka menghadapi musuh tangguh, dalam waktu singkat mereka menjadi kelabakan dan keripuhan tak tahu cara bagaimana untuk bekerja sama menghadapi musuh karena kehilangan pegangan, maka gerak pedang mereka lambat laun juga menjadi tak terkontrol lagi, begitulah dalam suatu ketika mereka harus mengayun pedang untuk menangkis. Melihat kedua musuhnya mengangkat pedang menangkis serangannya Hun Thian-hi tersenyum riang, tahu dia kalau pedang dan serulingnya saling bentrok tak ampun lagi pasti pedang kedua musuhnya bakal terpental terbang ke tengah udara terlepas dari cekalannya. Mereka adalah murid Pak-kiam yang sejajar dengan gurunya, hal inilah yang menjadikan penghambat gerak geriknya. Semakin lama hati Su Tat-jin semakin berang dan kebat-kebit, pancaran matanya semakin buas dan mengandung hawa membunuh. Mendadak ia menghardik keras sekali, "Ni, sambutlah Badik buntung!" sejalur sinar hijau melesat terbang dari tangannya langsung melayang lewat disamping gelanggang pertempuran tiga kaki tingginya. Begitu mendengar bentakan, Hun Thian-hi sangat terkejut, sedikitpun tiada tempo untuk ia pikir, sebat sekali tubuhnya bergerak terus mengejar ke arah Badik buntung yang meluncur itu. Su Cin dan Su Giok-lan sendiri juga terperanjat, dengan muka merah padam mereka mengawasi Su Tat-jin. Ditengah gelapnya kabut di sebelah sana terdengar pekik kejut yang tertahan, sinar hijau kelihatan berloncat dan terus melayang jatuh ke bawah jurang sana. Su Cin serta adiknya berdiri terlongo tanpa membuka suara, wajah mereka menjadi pucat pias. Tak lama kemudian Su Giok-lan membuka mulut kepada Su Tat-jin, "Paman! Ternyata Badik buntung itu betul berada ditanganmu!" Su Tat-jin tertawa kering dua kali, ujarnya menyeringai, "Benar-benar! Badik buntung berada ditanganku. Tapi kalian harus tahu bahwa perbuatanku tadi adalah demi untuk kebaikan kamu berdua. Kalau aku tidak bertindak cepat, kukuatir kalian bakal terjungkal ditangannya" "Tapi paman," sela Su Cin cepat, "seharusnya kau tidak boleh berbuat demikian, dia adalah murid tunggal Seruling selatan...." "Justru karena dia adalah murid tunggal Seruling selatan, maka aku bertindak demikian." Demikian sambung Su Tat-jin, "apa kalian sudah lupa bahwa kalian adalah murid Pedang utara" Kalau kalian terkalahkan kemana muka guru kalian hendak ditaruh. Seruling selatan dan Pedang utara tergabung menjadi Hwe-siang-ki (sepasang manusia aneh di majapada tapi hakikatnya mereka sendiri belum pernah saling jajal kepandaian masing-masing, apa kalian sudah tahu?" Su Cin dan adiknya bungkam. Mereka insaf bahwa dengan kekalahan mereka berdua melawan Hun Thian-hi mungkin akan merupakan noda hitam bagi ketenaran nama baik Pedang utara, bukankah sejak saat ini taraf antara Seruling selatan dan Pedang utara harus dibagi tingkatannya. Kata Su Tat-jin pula, "Cin-ji! Lan-ji! Kalian harus tahu bahwa peristiwa pagi ini sekali2 tidak boleh diketahui orang luar, kalau tidak bukan saja kalian aku pun terseret pula, bagaimana selanjutnya kita harus berkecimpung dikalangan Kangouw. Kukira guru kalian juga menjadi sulit untuk angkat kepala di dunia persilatan!" Berbareng Su Cin dan Su Giok-lan angkat dagu memandang ke arah Su Tat-jin, hati mereka maklum bahwa kata-kata tadi merupakan ancaman halus terhadap mereka. Dengan tajam Su Tat-jin juga tatap mereka berdua, apa boleh buat akhirnya mereka menundukkan kepala. Su Tat-jin tertawa kering lagi dengan puas akan kemenangan, sambungnya lagi, "Sudah tentu, kalau kalian tidak mengobral mulut aku pun tetap bungkam. Sudahlah, mari kita turun gunung," habis berkata ia mendahului berlari-lari kecil kebawah gunung. Dengan lesu dan rawan Su Cin dan Su Giok-lan ikut turun gunung dengan langkah berat bergoyang gontai. Dalam pada itu, begitu melihat Badik buntung meluncur tanpa pikir panjang serta melihat keadaan sekelilingnya Hun Thian-hi lantas melesat mengejar, syukur tangannya masih sempat meraih dan digenggamnya kencang, sementara itu badannya lantas meluncur turun. Tapi karena kabut sedemikian tebal pandangan menjadi gelap begitu tubuhnya meluncur turun terasa badannya koh terus melayang jatuh tanpa menyentuh tanah, keruan hatinya menjadi gugup, tanpa merasa ia lantas menjerit dengan kaget! Sekuat tenaga ia berusaha mengendalikan tubuh untuk jumpalitan mumbul ke atas ngarai, tapi pandangan sekelilingnya remang-remang semuanya serba putih gelap. Begitulah badannya terus melayang kebawah, kini hatinya diliputi hawa amarah, sungguh tidak terkirakan olehnya baru pertama terjun ke gelanggang kericuhan dunia persilatan dirinya lantas masuk jebakan. Samar-samar di depannya sana menyongsong dekat sebuah bayangan hitam besar, sekilas pandang saja Hun Thian-hi lantas tahu bahwa itulah sebatang pohon besar yang menjolor keluar dari batu-batu gunung di tengah kabut, keruan bukan kepalang girang hatinya. Sontak bangkit semangatnya tenaga dalamnya juga lantas bergairah keseluruh badan, cepat-cepat ia ulurkan tangan untuk meranggeh, ternyata usahanya tidak sia-sia dengan kencang ia kena menyekap sebatang pohon sehingga sesaat luncuran tubuhnya menjadi membal bergelantungan, baru saja hatinya kegirangan tak kira mendadak terdengar suara "krak!" dahan pohon terlalu kecil tak kuat menahan berat pantulan badannya, seketika badannya terjungkal pula kebawah. Hun Thian-hi terperanjat, nurani untuk tetap mempertahankan hidup masih menyadarkan pikirannya, sekuatnya ia mengendalikan badan dengan kesempatan dahan pohon patah dan meluncur jatuh, kedua tangannya kuat2 menekan kebawah, sehingga tubuhnya lantas membal ke atas. Dengan kencang ia berhasil sikap batu gunung untuk menahan badannya, suara gemuruh dari jatuhnya pohon besar tadi terus kumandang di bawah jurang sana, dengan saksama ia mendengarkan agak lama kemudian baru terdengar pohon besar itu jatuh menyentuh tanah. Thian-hi menghela napas lega, hatinya bersyukur dan memanjatkan doa akan kebesaran hati Tuhan yang mulia. Jikalau pada batang pohon sebagai penangsang tubuhnya tadi, pasti dirinya sudah terbanting hancur lebur didasar jurang sana. Sebentar ia mengheningkan cipta lalu angkat tangan meng-amat-amati Badik buntung ditangannya, terlihat olehnya Badik buntung itu berkilau memancarkan cahaya hijau yang cemerlang, hawa dingin meresap tulang. Dengan hati-hati ia masukkan Badik buntung ke dalam Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo sarungnya, sejenak ia berpikir lalu pelan-pelan merambat turun kedasar jurang. Setelah susah payah menghabiskan banyak tenaga akhirnya ia berhasil mencapai dasar jurang, didapati bahwa dasar jurang ini merupakan sebuah lembah subur akan semak belukar banyak batu-batu gunung yang berserakan pula, disebelah sana malah kelihatan onggok demi onggok tulang-ulang putih manusia. Dengan jijik dan penuh kelelahan Hun Thian-hi berjalan menyusuri pinggir jurang terus merambat maju ke arah kiri sana. Kira-kira ia berputar setengah lingkaran. Tibatiba di depan sana dilihatnya sebuah gua besar. Dari dalami gua besar ini terbaur keluar hawa amis yang memuakkan, diam-diam mencelos hati Hun Thian-hi, ia menjadi kuatir dan was-was kalau gua besar ini menjadi sarang binatang buas atau berbisa yang sangat ganas sekali, itu akan membuat dirinya berabe. Karena kesangsiannya ini segera ia menghentikan langkahnya, baru saja ia hendak berputar tinggal pergi, mendadak dari dalam gua sana terdengar suara orang bertanya, "Siapa itu!" Hun Thian-hi tersentak kaget, sungguh diluar sangkanya bahwa gua besar ini ternyata dihuni oleh manusia. Legalah hatinya, maka dengan tertawa lebar segera ia beranjak mendekati ke arah gua besar itu, ingin ia melihat orang macam apakah kiranya yang tinggal dalam gua berbau busuk ini! Baru saja kakinya melangkah sampai diambang gua, terdengar suara dengusan keras dari dalam, sejalur benang hitam terus melesat datang menerjang dirinya, Lagi-lagi Hun Thian-hi terperanjat dibuatnya, secara gerak reflek sebat sekali ia merogoh keluar Badik bumtung terus diayunkan keluar memapas maju. Dimana sinar hijau berkelebat lewat bayangan hitam itu seketika putus menjadi dua terus terpental jatuh di atas tanah. Waktu ia menunduk kebawah kiranya itulah seekor ular. Berkat ketajaman matanya dengan cermat Hun Thian-hi memandang ke dalam, samarsamar terlihat olehnya di atas sebuah batu besar duduk bersila seorang tua, berambut panjang warna merah, demikian juga jenggotnya berwarna merah, sepasang sinar hijau bening dari sorot matanya menembus keluar dari aling2 rambutnya yang awut2an menutupi mukanya, dengan seksama ia awasi Badik buntung ditangan Hun Thian-hi. Disekitar kakinya dimana ia duduk melingkar2 banyak macam ular-ular aneh besar kecil. Sinar mata hijau bening dari orang tua berambut merah beralih dari Badik buntungnya kemuka Hun Thian-hi, biji matanya memancarkan rasa gusar dan kebencian yang meluapluap. Hun Thian-hi sendiri menjadi menjublek ditempatnya, hatinya tengah dirundung kecemasan. Mendadak si orang tua berambut merah mendengus hidung, tubuhnya mendadak mumbul ke atas terus terbang maju dengan tetap bergaja duduk langsung menerjang ke arah Hun Thian-hi. Bertambah kejut lagi hati Hun Thian-hi, orang tua berambut merah ini tanpa bergaja atau bergerak ternyata bisa mencelat tinggi terus meluruk datang, betapa tinggi kepandaiannya agaknya sudah mencapai Sia-ki-hwi-hing (terbang menghimpun hawa), kepandaian hebat begitu rupa bukan saja dirinya bukan tandingan, seumpama Suhunya sendiri Seruling selatan berhadapan secara langsung juga takkan mungkin dapat menandinginya. Tahu ia bahwa aksi orang tua berambut merah ini tentu mempunyai tujuan yang tertentu, cepat-cepat ia bergerak mundur ke belakang seraya berseru, "Nanti dulu!" Pedulipun tidak akan seruan Hun Thian-hi ini, si orang tua berambut merah tetap melesat tiba. Terpaksa Hun Thian-hi mengayun tangan kanan, dengan jurus Jian-hong-in-long Badik buntungnya menyapu ke arah si orang tua berambut merah, Tampak si orang tua berambut merah mengebutkan lengan baju tangan kanan, kontan Hun Thian-hi merasa seluruh lengannya pegal, jalan darah pergelangan tangannya tertutuk, sudah tentu Badik buntung tak kuasa dipegangnya lagi langsung jatuh ke atas tanah. Tangkas sekali orang tua berambut merah menyamber dengan tangan kiri meraih Badik buntung itu. Sedang tangan kanan menjinjing tubuh Hun Thian-hi terus mencelat balik ke atas batu besar lagi. Dalam sejurus saja Hun Thian,hi teringkus oleh lawan. hatinya menjadi uring-uringan, dua jari tangan kirinya segera diulurkan untuk mencolok kedua biji mata si orang tua. Tidak kalah lihay dan sebatnya tahu-tahu Badik buntung sudah mengancam ditenggorokan Hun Thian-hi. Baru sekarang Hun Thian-hi merasa bagaimana juga dirinya bukan menjadi tandingan si orang tua berambut merah ini, sudah terang kalah main licik pun tak unggulan. Akhirnya ia tertawa lebar sambil menurunkan" tangan kirinya. Dengan tajam si orang tua berambut merah memincingkan mata memandangi mukanya, sorot matanya mengunjuk rasa heran dan kejut2 aneh, sejenak kemudian ia me buka suara, "Apa yang kau tertawakan?" Dengan pandangan aneh Hun Thian-hi juga pandang si orang tua berambut merah ini, sahutnya, "Apa" Tak boleh tertawa?" Si orang tua merenung sebentar. lalu katanya, "Badik buntung berada ditanganmu, kau tahu cara bagaimana aku akan menghadapimu?" Sebetulnya tengkuk Hun Thian-hi sudah merinding melihat sorot pandangan si orang tua yang bengis mengandung hawa membunuh, tapi mulutnya tetap bandel, "Itu kan urusanmu, buat apa aku main tebak?" Orang-tua berambut merah mendehem keras-keras, ujarnya, "Kau akan kujadikan umpan ular, supaya kau mati pelan-pelan." - sambil berkata sinar matanya berkilat-kilat lalu sambungnya lagi, "Tapi jika kau minta ampun padaku, aku boleh memperingan hukumanmu!" Hun Thian-hi tertawa dengan angkuhnya, ujarnya, "Minta ampun" Selamanya aku belum pernah minta ampun kepada siapapun juga!" Pandangan si orang tua berambut merah berubah beringas penuh kemarahan, katanya sesaat kemudian, "Apa betul?" Terasa oleh Hun Thian-hi kelima jari si orang tua berambut merah mencengkram semakin kencang, sampai pergelangan tangan kanannya sakit bukan main seperti tulangulangnya hancur luluh. Tapi akhirnya ia tetap bersikap keras kepala dan adem-ajem malah dengan congkaknya ia tersenyum simpul seperti tidak merasakan sakit sedikitpun. Akhirnya pandangan si orang tua berambut merah menjadi guram putus asa, mulutnya terdengar menggumam, "Bocah yang keras kepala!" - lalu ia menundukkan kepala, sesaat kemudian ia angkat dagu memandang muka Hun Thian-hi, wajahnya mengulum senyum sadu. Dengan pancaran sinar yang bersifat congkak dan berani Thian-hi bersiap menerima siksaan kedua dari si orang tua berambut merah. Ternyata pelan-pelan si orang tua berambut merah melepas pergelangan tangan Thian-hi. sekilas dilihatnya seruling batu pualam yang tergantung dipinggangnya, hidungnya lantas mendengus hina, pancaran matanya sekarang berganti penuh kemarahan dan bermusuhan. Hun Thian-hi tak tahu apa yang tengah dipikirkan oleh si orang tua berambut merah, tapi dari sinar matanya yang penuh kebencian dan bermusuhan ini tak perlu dijelaskan lagi, hatinya sudah membadek (menebak) cara bagaimana si orang tua rambut merah ini hendak menjadikan dirinya bulan2an. Apakah mungkin aku kuat menerima siksaan berat demikian, ia membatin. Setelah berkilat-kilat sebentar si orang tua berambut merah berkata, "Cara bagaimana kau turun kemari?" Hun Thian-hi tercengang, hatinya menjadi heran kenapa si orang tua berbalik menanyakan hal ini, sejenak ia ragu-ragu dan curiga, akhirnya ia tertawa tawar, ujarnya, "Kau tak perlu tahu." "Karena digasak oleh musuh besarmu?" tanya si orang tua rambut merah tak acuh. Thian-hi semakin heran akan perubahan sikap si orang tua yang menjadi sabar dan kalem, sejenak ia tatap mata orang tanpa membuka suara. Si orang tua rambut merah tertawa aneh, ujarnya lagi, "Akupun digasak terjungkal kesini oleh musuhku, untung tidak sampai menemui ajal, sayang kedua kikiku ini buntung, jadi tak berdaya pula untuk dapat keluar dari tempat terkurung ini!" Sejenak ia berhenti, matanya memandang Hun Thian-hi, melihat orang tetap membisu lalu ia menyambung lagi, "Aneh, dengan bekal kepandaianmu ini, jatuh dari Ngarai curam sedemikian tinggi tidak mati ini sudah cukup untung dan besar rejekimu, tapi kenapa sedikit luka saja tidak kau derita?" Hun Thian-hi tertawa, lebar dengan takabur, katanya, "Kau sangka aku digasak jatuh Kesini" Tidak, hanya karena kebodohankulah sehingga aku tertipu jatuh kemari!" Si orang tua berambut merah menjengek dingin; ujarnya, "Jangan kau terlalu membanggakan dirimu sendiri, kena tipu" Apakah kau tidak merasa malu?" Kontan mendidih darah Hun Thian-hi bagai dibakar, raut muka merah padam saking menahan gusar, namun mulutnya tetap terkancing tiada alasan untuk main debat. Kata orang tua rambut merah lagi, "Apa kau ingin naik ke atas pula?" Hun Thian-hi menjadi melenggong, pikirnya, "apakah orang tua rambut merah ini sudah merubah maksudnya semula" Kenapa nada perkataannya berubah begitu besar" Karena berpikir demikian ia lantas tertawa riang, katanya, "Masa kau sendiri tidak ingin naik?" Si orang tua menengadah memandang puncak gua, tiba-tiba ia tertawa aneh lagi, katanya, "Ya, benar-benar. Aku tidak ingin naik, tapi aku dapat membantumu naik!" Kini berbalik Hun Thian-hi mengerut kening, hatinya was-was, hidungnya mendengus tanpa bicara, Orang tua itu menepekur sebentar lalu berkata lagi, "Tapi setelah kau naik ke atas, dengan bekal ilmu silatmu sekarang, apa pula yang dapat kau kerjakan?" habis berkata ia tertawa geli penuh nada menghina. Hun Thian-hi pun tidak mau kalah congkaknya, debatnya, "Walaupun ilmu silatku sekarang belum cukup tinggi tapi usiaku masih muda, kau sendiri kau sudah tua bangka dan rejot, tinggal menunggu ajal saja masa kau tahu kalau kepandaianku tak bisa menandingi kau?" Terpancar rasa bangga dan puas dalam pandangan mata si orang tua rambut merah, katanya kemudian, "Punya pambek! Tapi kalau tidak berjodoh juga akan sia-sia belaka." Lama, dan, lama sekali Hun Thian-hi meng-amat-amati si orang tua berambut merah tanpi membuka suara, Dia merasa heran kenapa si orang tua rambut merah ini tidak marah lagi, dan yang lebih menbuatnya tak habis mengerti kenapa orang tua ini tidak menyinggung lagi tentang Badik buntung dan Seruling batu pualamnya" Kedua benda pusaka ini hakikatnya seperti mempunyai sesuatu hubungan erat dengan orang tua renta aneh ini, kenapa ia tidak menanyakan perihal kedua benda ini lebih lanjut" Ujar si orang tua, "Aku dapat mengangkatmu menjadi seorang tokoh silat ncmor satu di seluruh kolong langit ini!" Hun Thian-hi mandah tertawa ewa tanpa menunjukkan sesuatu reaksi. "Jangan kau mengejek," ujar si orang tua, "Ketahuilah jika dulu aku jadi melancarkan jurus tunggalku, yang terjatuh ke dalam jurang sini tentu bukan aku. sebaliknya adalah mereka berdua." "Nah, kenapa tidak kau lancarkan?" cemooh Hun Thian-hi. Si orang tua terkekeh dua kali, ujarnya, "Mungkin kelak kau akan tahu sendiri!" Hun Thian-hi menebak2 dalam hati, tapi ia tidak mau banyak tanya lagi. Si orang tua angkat tangan kirinya yang menyekal Badik buntung, katanya, "Badik pusaka tiada tandingan di kolong langit ini, ditambah dengan jurus tipu ilmuku yang kunamakan Jan-thian-ciatte (pencacat langit pelenyap buana), kiranya cukup untuk menjagoi di seluruh dunia persilatan!" lalu ia tertawa nyengir penuh misterius, tiba-tiba ia lempar Badik buntung itu ke arah Hun Thianhi. Dengan gugup Hun Thian-hi menampani Badik buntung itu, hatinya penuh tanda tanya.... Setelah mengerling ke arah Hun Thian-hi sembari tersenyum simpul si orang tua mengambil sebatang pedang dari bawah batu, katanya, "Lihat dengan cermat jurusku Janthian-ciat-te ini!" Setelah berkata tubuhnya lantas bergerak melejit tinggi, berbareng pedang panjangnya melingkar terayun membuat setengah bundaran di tengah udara, seketika bayangan sinar Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo pedang berkilau laksana bentuk gunung, berputar dan bergerak gesit laksana tebaran bintangbintang di langit, hawa pedang berkembang dingin membeku laksana ular emas melingkar yang menari menjadi gambaran abstrak di tengah udara. Lima tombak sekelilingnya dilingkupi samberan deras hawa pedang, terdengar suara "plak-plok" ledakan lirih ditengah udara berulang kali sampai memekakkan telinga! Hun Thian-hi sendiri juga terdesak mundur keterjang angin lesus yang berputar cepat sampai terhujung beberapa tindak, diam-diam hatinya mencelos, batinnya dengan kehebatan ilmu pedang yang tiada taranya ini, ucapan si orang tua berambut merah memang bukan omong kosong belaka. Si orang tua menarik permainan pedangnya, sekilas ia melirik ke arah Hun Thianhi, air mukanya lagi-lagi mengunjuk senyum misterius penuh arti, tanpa bertanya dulu pada Hun Thianhi secara tekun dan pelan-pelan ia terangkan intisari pelajaran jurus tipu Janthian-ciat-te ini kepada Hun Thian-hi. Sambil memberi keterangan dengan pelan secara terperinci sekali lagi ia praktekkan secara lamban supaya dapat diselami oleh Hun Thian-hi. Dengan tekun dan cermat Hun Thian-hi berdiri diam saja mendengarkan. Terdengar orang tua rambut merah bertanya, "Masih adakah yang belum kau paham?" Hun Thian-hi mandah tertawa-tawa saja, Badik buntung ditangan kanannya tiba-tiba bergerak sekitar tubuhnya menjadi terang benderang disinari oleh cermerlangnya cahaya hijau pupus yang menyilaukan mata.... Terunjuk sedikit perubahan pada air muka si orang tua rambut merah, sekilas biji matanya memancarkan hawa membunuh yang menyala-nyala, tapi hanya sebentar saja lantas hilang lagi. Sungguh tidak terduga olehnya bahwa Hun Thian-hi sedemikian berbakat dan pintar. Hampirhampir ia tidak berani percaya akan penglihatannya sendiri. Sambil memasukkan Badik buntung ke dalam kerangkanya, Hun Thian-hi berkata tawar, "Apakah begitu cara mainnya?" Orang tua rambut merah mendengus dongkol, matanya berputar lalu katanya, "Sungguh tak kuduga ternyata kau berbakat benar-benar, mengandal jurus tipu pedang tadi ditambah dengan Badik buntungmu itu, aku berani pastikan di seluruh kolong langit ini kau tiada tandingan. Kau dapat turun dengan selamat menggunakan Badik buntung itu pasti juga kau dapat naik, bolehlah kau segera berangkat!" Hun Thian-hi menjadi bimbang, katanya kepada orang tua rambut merah, "Bukankah katamu semula hendak menjadikan tubuhku sebagai umpan ular, kenapa sekarang kau lepas aku?" Lagi-lagi orang tua rambut merah menampilkan mimik wajahnya yang aneh dan lucu, serunya sambil gelak tawa, "Kelak kau akan tahu" "Kalau kau juga ingin keluar, mari kubantu kau!" demikian ajak Hun Thian-hi. Orang tua aneh itu tercengang, matanya memancarkan cahaya aneh, dengan tajam ia pandang muka Hun Thian-hi, sebentar kemudian baru ia membuka mulut, "Kalau aku mau keluar, siangsiang aku sudah manjat ke atas, buat apa kau harus bantu aku!" Hati Hun Thian-hi diliputi pertanyaan yang tak terjawab, heran ia kenapa orang tua ini tidak mau diajak naik ke atas, diam-diam ia menimang, pernah Suhunya memberitahu bahwa tokoh silat kosen di seluruh kolong langit yang pernah diceritakan itu agaknya tiada seorang seperti orang tua berambut merah ini. Sementara itu, pandangan si orang tua juga teralih ke kempat lain. Hun Thian-hi coba-coba hendak mengorek keterangan, "Tapi kau mengajari jurus lihay itu kepadaku, aku tidak sudi terima budimu secara gratis, adakah sesuatu urusanmu yang perlu kulaksanakan?" Orang tua rambut merah berpaling, ujarnya, "Kau merasa hutang budi" Karena aku mengajar sejurus ilmu pedang itu?" sampai disini ia bergelak tawa sekian lamanya, lalu sambungnya, "Kenapa aku menurunkan sejurus ilmu pedangku ini kelak kau akan maklum sendiri, sekarang silakan kau pergi!" Sekian lama Hun Thian-hi menjadi ragu-ragu dan tak enak mati, akhirnya menjadi kewalahan katanya, "Kalau begitu baiklah aku pergi!" sambil berkata ia putar tubuh terus keluar. Memandang punggung Hun Thian-hi orang tua rambut merah menyengir seram dan menyeringai dingin, seolah-olah ia sudah melaksanakan sesuatu pekerjaan yang sangat menyenangkan hatinya. Sampai diambang mulut gua, mendadak Hun Thian-hi memutar badan dan bertanya, "Tapi siapakah namamu?" Berubah airmuka orang tua rambut merah, jawabnya mendengus tak sabaran, "Dalam kelanamu di Bulim kau akan tahu siapa aku ini Sudahlah berangkat jangan cerewet!" Hun Thian-hi memutar tubuh terus keluar gua, tak jauh kemudian ia duddk bersila memusatkan pikiran menghimpun tenaga, lalu dikeluarkan Badik buntung dengan senjata ampuh inilah ia selangkah demi selangkah merambat naik. ke atas tebing yang curam itu. Setelah susah payah kira-kira pada tengah hari baru ia sampai diatas, perut terasa lapar dan tenagapun seperti terkuras habis, lagi-lagi ia duduk bersila memejamkan mata beristirahat, kirakira setengah jam kemudian matanya terbuka lagi. Sejenak ia menerawang keadaan sekelilingnya, dalam benaknya terbayang wajah Su Tat-jin, Su Cin dan Su Giok-lan, ujung mulutnya mengulum senyum ejek dan mendengus hidung, pelan-pelan ia bangkit terus berlari pesat turun gunung. Setelah matahari tenggelam tabir kegelapan malam mulai menelan bumi, tampak dimana-mana sudah menyulut pelita, saat itu Hun Thian-hi beranjak pula menuju kegedung Su Tat-jin yang megah dan angker itu. Dimana tubuhnya bergerak melayang enteng ke arah samping sana seperti daun jatuh hinggap di atas wuwungan rumah, terus meluncur lagi turun ke dalam ruang besar perjamuan. Keadaan ruang besar terang benderang suasana ramai bersuka ria, agaknya Su Tatjin tengah merajakan kemenangannya dan menjamu para tamunya. Begitu Hun Thian-hi melayang turun dalam ruang besar itu, seketika berubah hebat rona wajah Su Tat-jin, suasana yang riuh rendah tadi saketika menjadi sunyi senyap, begitu hening seumpama jarum jatuh juga bisa terdengar. Pelan-pelan Hun Thian-hi menggerakkan kepalanya dengan pandangan menghina dan memincingkan mata ia tatap semua hadirin, akhirnya pandangannya berhenti pada wajah Su Cin dan adiknya Rada lama ia tatap mereka bergantian, akhirnya tercetus jengek sinis dari mulutnya, "Bagus benar-benar sepak terjang murid Pedang utara " Kakak beradik ini menundukkan kepala saking malu, namun dikejap lain tiba-tiba Su Giok-lan angkat kepala dengan mata mendelik ke arah Hun Thian-hi semprotnya, "Orang she Hun, jangan kau mendesak dan menghina orang, peristiwa itu bukan perbuatan kita berdua, apa maksudmu dengan murid Pedang utara apa segala!" Hun Thian-hi menyeringai sinis kepalanya berpaling ke arah Su Tat-jin, katanya, "Sebetulnya tiada niatku mencari perkara kepadamu. Tapi sekarang aku tak bisa melepasmu lagi, marilah perhitungan lama dan baru ini kita selesaikan sekarang. Su Tat-jin menyapu pandang kepara tamunya, matanya berjelilatan, katanya sembari bangkit dari tempat duduknya. "Banyak orang tahu, betapa besar budi Hun Siau-thian Huntoako kepadaku laksana setinggi gunung. Meskipun aku Su Tat-jin tidak bisa membalas budi kebaikannya itu, tapi aku sudah bekerja sekuat tenagaku." Ia menundukkan kepala lalu merendahkan suara, sambungnya, "Waktu Hun~toako menghilang dulu aku sudah berdaya upaya dengan seluruh kemampuanku untuk mencari jejaknya, akhirnya...." Mendadak ia angkat kepala serta bersuara keras; Akhirnya aku tahu sebab musabab menghilangnya Hun-toa, beliau menghilang karena Badik buntung yang menjadi miliknya itu. Tokoh-tokoh lihay dalam dunia persilatan ini, ada berapa banyak yang ilmu silatnya bisa mengungguli Hun-toako?" Kata-katanya dilembari nada yang penuh keibaan, matanya dingin menyapu seluruh orang gagah yang hadir, akhirnya pandangan matanya berhenti pada wajah Hun Thian-hi. Bercekat hati Hun Thian-hi terang dengan kata-katanya ini Su Tat-jin bermaksud mengobarkan kemarahan hati seluruh hadirin, meski ia tidak takut menghadapi profokasi ini, namun ia harus menghindari salah paham dengan orang lain. Maka cepat2 ia bergerak dan berseru lantang, "Ucapan Su Tat-jin ini hanya bualan belaka, jangan kalian percaya akan obrolannya ini." "Banyak orang tahu bahwa musuh besar Hun-toako adalah Sam Kong Lama," begitulah cepatcepat Su Tat-jin memainkan diplomasinya, "Untuk merebut Badik buntung itulah maka ia mencelakai Hun-toako, dan Badik buntung itu kini berada ditangannya,. Coba kalian lihat, Badik buntung itu kini berada ditangan bocah yang mengakui bernama Hun Thian-hi ini, darimana ia bisa tahu sama yang hendak kukatakan" Darimana pula ia tahu kalau ucapanku ini bohong belaka?" Hun Thian-hi membalik tubuh menghadapi Su Tat-jin, semprotnya gusar; ....Diplomasimu memang cukup lihay, kau kira kau bisa bebas dari kematian?" Su Tat-jin melirik ke arah Su Cin dan Su Giok-lan, mestinya mereka sudah menggerakkan mulut hendak bicara, namun lantas urung dan menundukkan kepala. Kata Su Tat-jin kepada Hun Thian-hi, "Kau tidak memandang mata seluruh orang gagah disini bukan?" demikian pancihgnya sembari menyapu pandang keseluruh gelanggang. Bab 02 Hun Thian-hi menggerung keras, gesit sekali ia bergerak terus menubruk ke arah Su Tat-jin. Tapi dalan waktu yang sama tiba-tiba seseorang membentak keras dibelakangnya, "Bocah she Hun jangan kau takabur dan menghina orang." Belum lenyap suara ini sepasang sumpit tahu-tahu meluncur kencang mengarah punggung Hun Thian-hi. Laksana angin lesus sebat sekali badan Hun Thian-hi bergerak memutar dan mengacungkan kedua jari tangan kanannya tahu-tahu kedua sumpit terbang itu sudah kejepit dicelah-celah jari tangannya. Berkilat matanya memandang ke arah sana, ternyata penyerang gelap ini adalah seorang lakilaki pertengahan umur yang mendelik memandang dirinya. Hun Thian-hi tidak tahu sikapnya yang sombong dan perbuatannya meniup seruling itu sudah menimbulkan rasa dongkol dan tak senang seluruh hadirin, kini dibakar dan diprofokasi lagi dengan ucapan Su Tat-jin yang tajam tepat menusuk ke lubuk hati mereka, semakin besar rasa benci seluruh hadirin terhadap dirinya. Sesaat Hun Thian-hi menjadi melongo dan menjublek di tempatnya, tak tahu ia apa yang harus diperbuatnya atas laki-laki pertengahan umur ini. Melihat sikap Hun Thian-hi yang acuh tak acuh itu, laki-laki pertengahan umur itu mengira Hun Thian-hi sengaja bersikap tidak memandang sebelah mata pada dirinya, maka hardiknya, "Seluruh orang gagah di kolong langit banyak yang hadir disini, seumpama kau betul adalah murid Seruling selatan, kita tidak akan membiarkan kau bertingkah dan main gagah2an disini." Hun Thian-hi coba berlaku sabar katanya pelan-pelan, "Kelatanganku hari ini bukan ingin mencari perkara dengan kalian, tujuanku yang utama adalah Su Tat-jin." Selesai berkata pelan-pelan setindak demi setindak ia maju ke arah Su Tat-jin. Su Tat-jin mandah menyeringai dingin, ia tahu sikap lun Thian-hi ini tentu dapat mengobarkan kemarahan seluruh hadirin, maka untuk peristiwa selanjutnya dirinya boleh enakenak duduk di tempatnya tinggal menonton pertarungan saja. Salah besar dugaan Hun Thian-hi, sangkanya dengan sekedar penjelasannya tadi cukup menyelesaikan segala urusan, tak disadarinya bahwa dengan perkataannya tadi justru lebih mempertebal keyakinan seluruh orang-orang gagah yang hadir akan sifatnya yang takabur dan memandang ringan seluruh hadirin, maka begitu ia bergerak maju, lantas terlihat dua orang bangkit berdiri malah terus menerjang ke arah dirinya, yang satu menggablok punggung sedang Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo seorang lain membabat pinggangnya. Terpaksa Hun Thian-hi menggerakkan Serulingnya, tanpa membalik tubuh serulingnya menutuk dan menangkis serangan kedua musuh pembokong ini, untuk menolong diri terpaksa kedua penyerang ini melompat mundur. Seluruh hadirin terbakar kemarahannya, serempak Semua erdiri dan meluruk maju bersikap mengancam, bila perlu akan main keroyok tanpa pandang bulu lagi. Su Cin dan Su Giok-lan menjadi gelisah, namun serta melihat Su Tat-jin tengah melirik dengan pandangan dingin ke arah mereka mencelos hatinya, kata Su Tat-jin sembari maju mendekat, "Hakikatnya Hun Thian-hi tidak percaya lagi pada kalian, buat apa kalian hendak menolong ia?" Su Cin dan Su Giok-lan bungkam sembari menundukkan kepala, waktu angkat kepala lagi terlihat Hun Thian-hi tengah melancarkan ilmu Thian-liong-chit-sek seruling ditangannya berputar lincah gagah perwira ia tengah berkutet melawan sekian banyak pengepungnya, namun dasar kepandaiannya memang hebat setiap kali terlihat sinar putih berkelebat dan menutuk satu persatu para pengepungnya terjungkir balik dengan jalan darah tertutuk. Berubah air muka Su Tat-jin, katanya kepada Su Cin dan Su Giok-lan, "Sudah saatnya kita tinggal pergi." "Tidak...." sahut su Giok-lan beragu. Su Tat-jin berpaling menatap ke arahnya, tanyanya, "Kau tak mau pergi?" Su Giok-lan menunduk tanpa menjawab. Maka Su Tat-jin segera mendahului beranjak masuk ke belakang. Dengan bekal kepandaiannya yang lihay sebetulnya Hu Thian-hi tidak perlu gentar menghadapi keroyokan sedemikian banyak orang, namun semakin banyak pengerojoknya gerakgeriknya menjadi sedikit terhalang, kini melihat Su Tat-jin hendak melarikan diri, tibatiba ia menghardik keras jurus-jurus Thian-liong-chit-sek lantas dilancarkan semakin kencang, dengan tipu Lui-thianhwitheng (kilat dan geledek menyamber2), seruling pualamnya berputar menyilang menyapu mundur para pengepungnya, badannya lantas mencelat terbang mengejar. Sudah tentu para orang gagah yang mengeroyoknya itu tak tinggal diam, be-ramairamai merekapun memburu dengan kencang. Bukan kepalang gusar Hun Thian-hi, tahu-tahu serulingnya menutuk membalik telak sekali seorang yang memburu paling depan kena tertutuk jalan darahnya kontan terjungkal dan diinjak2 oleh para kawannya sendiri, gerakan Hun Thian-hi masih tidak berhenti tanpa hiraukan korbannya kakinya menjejak tanah terus meluncur mengejar ke arah Su Tat-jin. Di lain kejap ia sudah tiba diserambi panjang, sesudah memutar dua pengkolan terlihatlah ketiga orang buronannya, laksana seekor burung elang segera ia menubruk tiba. Su Tat-jin terkejut, katanya kepada Su Cin berdua, "Kalian maju rintangi dia sebentar." Sejenak Su Cin "berdua" ragu-ragu, tapi akhirnya melolos pedang terus menghadang di depan Hun Thian-hi. Hun Thian-hi mengayun seruling mengembangkan tipu-tipuan ia mendesak mundur mereka berdua, mulutnya menjengek dingin, "Bukan kalian yang kucari!" Su Cin berdua menjadi serba runyam tiada tempo buat mereka untuk menerangkan, apalagi mendengar sindiran Hun Thian-hi ini hampir-hampir Su Giok-lan melelehkan air mata, dengan mengertak gigi ia nekad merangsak maju menusuk ke arah Hun Thain-hi. Ilmu seruling Hun Thian-hi memang cukup hebat terlihat sedikit bergetar tahutahu serulingnya menjungkit dan menyampok turun, sekaligus ia tangkis dan sampok miring pedang panyang lawan, sebat sekali tahu-tahu ia menerobos lewat diantara celah-celah kosong ini terus mengejar ke arah mana Su Tat-jin telah melenyapkan diri. Dengan mengeluh tertahan Su Cin berdua kirim pukulan jarak jauh dengan kepalan tangan kiri untuk merintangi tindakan Hun Thian-hi, terpaksa ia merandek sejenak sembari dan menggerakkan serulingnya mendesak mundur mereka berdua. Sedikit hambatan ini, sementara itu para orang gagah yang mengejar sudah tiba, tanpa kuasa Hun Thian-hi terkepung lagi dengan ketat.... Sinar pedang berkelebat menyambar2, namun bayangan seruling Thian-hi pun tidak kalah gesit bergerak, namun menghadapi sekian banyak serangan dari berbagai penjuru akhirnya Thian-hi terdesak juga di bawah angin. Apalagi dengan rangsekan Su Cin berdua yang berkepandaian cukup tinggi, semakin payah keadaannya. Dalam pada itu bayangan Su Tat-jin sudah tidak kelihatan lagi, saking murka dada Hun Thian-hi terasa hampir meledak, dengan menggertak keras tangan kirinya tiba-tiba terayun, tahu-tahu Badik buntung sudah tergenggam ditangannya, dimana sinar hijau pupus berkelebat dua batang pedang yang menyamber tiba kontan terpapas kutung menjadi dua. Para pengepung menjadi kaget, serempak mereka menyurut mundur dengan ketakutan. Terpecik dalam benak mereka bahwa ucapan Su Tat-jin barusan memang kenyataan. Bukankah Badik buntung sudah berada ditangan Hun Thian-hi.... Para pengepung itu hanya sedetik saja beragu lantas merangsek semakin hebat dengan kemurkaan yang berkobar. Hun Thian-hi mandah tersenyum sinis sembari melirik ke arah Su Cin berdua. Keruan hati Su Cin dan Su Giok-lan menjadi mendak seperti ditusuk sembilu, namun urusan sudah berkembang sedemikian larut terpaksa biarlah terus berlanjut tanpa berkesudahan. Dengan bersenjatakan Badik buntung di tangannya, Hun Thian-hi bertambah besar, seruling pualam di tangan kanan ditanggalkan di pinggangnya, sedang Badik buntung dipindah ke tangan kanan, dengan menggerung keras segera ia terjang para orang-orang gagah yang mengepung itu. Dimana sinar hijau pupus berkelebatan, para orang-orang gagah menjadi terdesak mundur tanpa berani melawan tajaman senjata sakti ini, akhirnya mereka mundur-mundur terus sampai di halaman belakang. Tapi bayangan Su Tat-jin memang sudah tak kelihan lagi entah sudah merat kemana, sudah tentu rasa dongkol dan kemarahannya lantas ditimpahkan kepada para pengepungnya, gesit sekali tubuhnya bergerak terbang menerobos serambi panjang terus menerjang ke dalam halaman tengah terus meluncur di tengah gelanggang. Baru saja ia hinggap di tanah lantas ia merasa situ rada ganjil, didapatinya bahwa perhatian seluruh hadirin ternyata tidak dipusatkan kepada dirinya sebaliknya terus mendelong mengawasi satu jurusan. Ia memutar tubuh memandang ke arah sana terlihat di atas tembok tinggi sana berdiri dua orang, itulah Su Tat-jin dan seorang tua yang mengenakan jubah hitam, dua mata orang tua jubah hitam ini tengah menatap tajam ke arah Hun Thian-hi. Secara langsung Hun Thian-hi lantas merasa bahwa orang tua jubah hitam im agaknya punya wibawa yang cukup angker, kalau tidak kenapa seluruh hadirin menjadi bungkam dan tak berani sembarangan bergerak, sedang Su Tat-jin sendiri juga kelihatan sangat tenang dan perhatian" Sejenak Hun Thian-ki menyapu pandang sekelilingnya, sebaliknya orang tua jubah hitam disampingnya itu lantas membentak dengan nada rendah, "Siapa kau" berani bertingkah dan kurang ajar dihadapanku?" Hun Thian-hi menyeringai dengan jongkak, sahutnya, "Siapa kamu aku tidak perduli." Su Tat-jin berkata melengking, "Haha, kiranya masih bau kerucut yang tidak tahu kebesaran nama Toh-bing-cui-hun Cu Hwi!" Rada bercekat benak Hun Thian-hi ketenaran nama Cu Hwi sudahpernah didengarnya, bukan saja tinggi ilmu silatnya, terutama permainan senjata rahasia boleh dikatan jagoi seluruh dunia persilatan tiada tandingan. Adalah senjata rahasia pribadinya lain dari yang lain pula, begitu dikembangkan memang bukan gertakan belaka dapat mengejar sukma mencabut nyawa. Cu Hwi tertawa dingin jengeknya, "Sungguh tak kuduga martabat seruling selatan ternyata begitu rendah." Berubah air muka Hun Thian-hi, dengan seringai sombong ia berkata menghina, "Aku juga tak menduga, Toh-bing-cui-hun yang kenamaan itu ternyata adalah berotak tumpul gampang diapusi bajingan tengik." "Memang sombong dan takabur sekali!" teriak Cu Hwi murka. Kata Hun Thian-hi kepada Su Tat.jin, "Su Tat-jin, sungguh pintar akalmu, seluruh orang gagah di kolong langit ini gampang saja kau peralat untuk menjuai nyawa demi kepentinganmu." habis berkata ia mendesak maju lebih dekat. "Berhenti disitu!" bentak Cu Hwi di atas tembok. Hun Thian-hi tak menghiraukan. Cu Hwi lantas mengulur tangan kanan jari tengahnya menjelentik, terdengarlah suara mendengung nyaring, sebuah gelang hitam berputar-putar ditengah udara terbang memutar terus melesat ke arah Hun Thian-hi. Hun Thian-hi mendengus hidung, tahu dia inilah satu senjata rahasia andalan Cu Hwi yang kenamaan dinamakan gelang mencabut nyawa. Hun Thian-hi tak berani memandang enteng, dengan gagap dan penuh prihatin ia menggerakkan Badik buntung terus menutul ke arah gelang penyabut nyawa yang menyamber tiba. Namun ia kecele. Gelang hitam itu terbang melintang berputar-putar di tengah udara satu bundaran lalu terbang kembali ketangan Cu Hwi. Dengan senyum ejek dan dingin Cu Hwi menatap Hun Thian-hi. Merah jengah muka Hun Thian-hi, terang ia sudah kalah dalam selintas jurus ini. Alisnya bertaut dalam, tiba-tiba tubuhnya bergerak laksana burung manyar terus menerjang ke arah Cu Hwi. "Bocah sembrono!" maki Cu Hwi, lagi-lagi tangan kanannya bergerak dua bilah pisau terbang meluncur memapak kedatangan Hun Thian-hi. Begitu badan Hun Thian-hi meluncur cepat, Badik buntung lantas disodokkan ke depan tepat sekali menyambut kedua pisau terbang ini, maka dilain saat ia sudah hinggap di atas tembok dimana tadi Cu Hwi berdiri. Terdengar Cu Hwi mendengus keras, hatinya dongkol dan tak senang menghadapi sikap Hun Thian-hi yang berandal dan takabur. Namun demikian toh ia tidak gampang jebak dalam tipu muslihat Su Tat-jin, tahu dia bahwa apa yang dikatakain Su Tat-jin belum tentu benar-benar, tapi juga kemungkinan ada betulnya, maka ia tidak segera ambil suatu kepastian total, yang pasti ia hanya ingin menyapu bersih sikap Hun Thian-hi yang sombong ini. Tangannya membalik melolos pedang panjangnya terus meluncur menyerang ke arah Hun Thian-hi. Terpaksa Hun Thian-hi juga membalikkan tangan untuk memapas pedang panjang ditangan Cu Hwi. Segera Cu Hwi kembangkan ilmu pedangnya yang lihay, seketika ia lancarkan serangan berantai lima enam jurus, maksudnya hendak mendesak Hun Thian-hi terjungkal ke tanah. Hebat kepandaian Hun Thian,hi, sembari menggertak keras, Badik buntung bergerak lincah balas menyerang, tapi serangan Cu Hwi juga cukup gencar sehingga Hun Thian-hi terdesak mundur berulang-ulang. Terpaksa Hun Thian-hi merogoh keluar seruling pualamnya, dalam seribu kerepotannya menjaga diri segera dikembangkan ilmu Thian-liong-chit-sek terus memberondong ke arah Cu Hwi. Cu Hwi pun tidak mau kalah wibawa, pedang ditangannya ditarikan secepat kitiran, namun toh terdesak dua langkah, hatinya menjadi kaget sekali. Sungguh diluar perhitungannya bahwa Hun Thian-hi kiranya membekal kepandaian silat yang begitu tinggi dalam jangka dua tiga tahun mendatang mungkin tiada tandingannya, dikolong langit. Karena pikirannya ini serempak tangan kanannya dibolang-balingkan, selarik sinar putih berkilau meluncur bergantian saling susul, itulah pisau terbang yang disambitkan ke arah Hun Thain-hi. Untuk menyelamatkan diri terpaksa Hun Thian-hi memutar dan menggerakkan seruling dan Badik buntung bersama, namun timpukan pisau terbang musuh memang punya caranya sendiri, ditengah jalan mendadak luncuran pisau terbang itu berubah arah menukik kebawah, keruan kejut. Hun Thian-hi bukan main cepat-cepat ia menggeser kaki menyurut mundur Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo kesamping, meski ia sudah berlaku sebat tak urung ketiga batang pisau terbang itu menembus lengan bajunya terus menancap didinding dibelakangnya.... Terdengar Cu Hwi tertawa dingin berulang-ulang. Melihat Cu Hwi hanya main gertak belaka tiada tanda2nya hendak membunuh Hun Thian-hi, Su Tat-jin menjadi sengit segera ia berseru memberi aba-aba, "Hayo maju semua!" Banyak diantara pengepung itu yang sudah merasakan kelihayan Hun Thian-hi, rasa dongkol dan penasaran belum sempat terlampias, kini mendengar aba-aba yang memberikan kesempatan untuk menuntut balas ini, segera mereka serabutan menerjang maju bersama secara membabi buta. Hun Thian-hi menggembor keras dan panjang, tangan kanannya menarik sekuat tenaga "bret!" lengan bajunya yang kepanjangan sobek saparo, disusul ia mengayun Badik buntung melancarkan jurus Jan-thian-ciat-te yang ganas itu. Lima tombak sekitar gelanggang pertempuran seketika terkurung dalam jangkauan serangan jurus yang lihay ini, sinar hijau kemilau hanya berkelebat cepat laksana kilat terus lenyap tanpa bekas. Namun akibatnya adalah dahsyat sekali dan mengerikan. Dalam gelanggang tampak mayat bergelimpangan, hanya Su Cin berdua dan Su Tat-jin serta Cu Hwi yang kehilangan sebelah lengannya saja yang masih ketinggalan hidup. Hun Thian-hi terlongong-longong menjublek di tempatnya. Seperti patung kaju tak bergerak. Dengan dihantui kemarahannya ia melancarkan jurus pelajaran dari orang tua rambut merah, sungguh diluar tahunya bahwa akibat dari serangannya itu ternyata begitu mengerikan. Begitu jurus ganas itu mulai dilancarkan lantas segulung tenaga yang begitu besar mengendalikan nuraninya sehingga tanpa kuasa Badik buntung ditangannya terlanjur mengarah keleher para musuhnya, dia sendiri sampai heran dan terkesima mengapa ia tak mampu mengendalikan diri lagi. Dengan muka pucat pias Cu Hwi mendesis, "Kejam benar-benar! Asal aku Cu Hwi sehari masih hidup, akan datang saatnya pembalasanku!" habis berkata ia terus berlari sipat kuping. Demikian juga keadaan Su Tat-jin yang pucat pasi, terhuyung-huyung ia tersurut mundur terus mendoproh dikaki dinding dengar badan lemas lunglai tak mampu bergerak lagi. Adalah Su Cin dan adiknya yang berdiri rada jauh diluar gelanggang selamat dari bencana mengerikan ini. Namun demikian menyaksikan pemandangan yang mengerikan ini tak urung berubah pucat dan ketakutan, lama dan lama kemudian baru mereka saling pandang terus berlari sekencang-kencangnya. Tinggal Hun Thian-hi yang kesima mengawasi mayat-mayat tak berkepala dengan muka pucat, seolah-olah ia tak sadar dan tak tahu apa yang telah terjadi barusan, yang masih terpercik dalam ingatannya hanyalah dengan jurus Jan-thian-ciat-te tadi sekaligus ia telah bunuh semua orang ini, tak tahu bagaimana ia bekerja dalam waktu sesingkat itu telah mengutungi sedemikian banyak kepala musuh, terasa pandangannya menjadi gelap otaknya seperti kosong hampa. Agak lama kemudian baru tercetus gumam dari mulutnya, "Jurus sesat! Jurus sesat." sembari berteriak ia berlari sempoyongan dengan kedua tangan menutup mukanya.... Bulan purnama tengah memancarkan sinar redup memutih perak menerangi seluruh jagat raja, tampak seorang pemuda tengah bergoyang gontai berjalan menyusuri jalan raja yang dipagari pohon-pohon rindang. Ditimpah sinar bulan nan menyejukkan jelas kelihatan muka si pemuda yang murung seperti dirundung kemalangan entah kekisruhan apa yang tengah membelit hatinya. Sinar kemilau bergoyang2 dari sebatang seruling batu pualam yang tergantung di pinggangnya. Pelan-pelan ia angkat kepala memandang ke arah bulan nan jauh di cakrawala, tak terasa kakinya berhenti melangkah entah apa yang tengah dipikirkan, tak lama kemudian ia mulai beranjak lagi ke depan dengan langkah berat. Sekonyong-konyong sesosok bayangan hitam melesat keluar dari dalam rimba di pinggir jalan, persis hinggap ditengah jalan raja dan mencegat di hadapannya.... Segera si pemuda menghentikan langkahnya, pelan-pelan ia berpaling ke arah hutan gelap di pinggir kanannya lalu berputar menghadapi orang di hadapannya ini. Kiranya itulah seorang Lama yang mengenakan jubah kuning tua, dari penerangan sinar bulan jelas kelihatan, lama jubah kuning ini tak lain tak bukan adalah musuh besar gurunya dulu, yaitu Sam Kong Lama. Agak lama Sam Kong Lama memicingkan mata mengawasinya, baru ia membuka mulut, "Apakah kau ini yang bernama Hun Thian-hi?" Mendengar pertanyaan ini si pemuda rada bimbang, sesaat baru ia menyahut, "Ya, betul!" Sam Kong Lama bergelak tawa sekeras-kerasnya, ujarnya, "Sungguh besar nyalimu. Sebetulnya tiada niat aku mencari kau, tapi kudengar kau sekaligus telah membunuh puluhan tokoh-tokoh silat kenamaan, malah mengutungi sebelah lengan Toh-bing-cui-hun Cu Wi, apakah berita itu benar-benar adanya?" Hun Thian-hi meragu, "Benar-benar!" akhirnya ia mengakui dengan lantang. Sam Kong Lama menyeringai dingin, jengeknya, "Sungguh tak duga Seruling selatan punya murid muda yang berhati kejam telengas melebihi kebuasan binatang. Terang dia tak mampu mendidik muridnya, biarlah aku saja yang memberi hajaran!" Hun Thian-hi tersenyum sombong, ujarnya, "Lebih baik aku bunuh diri di hadapan guruku daripada menerima hajaranmu. Ketahuilah sepak terjang murid Seruling selatan selamanya tak sudi dikekang orang lain." Sam Kong Lama menyeringai dingin, katanya, "Cukup gagah dan besar nyalimu, tak malu menjadi murid Lam-siau. Tapi sepak terjangmu hari ini seumpama Lam-siau sendiri hadir disini, beliau takkan berani merintangi aku untuk menghajar adat kepadamu." Berubah air muka Hun Thian-hi, ia maklum bahwa jurus serangan yang dilancarkan itu terlampau ganas dan besar akibatnya. Tak heran orang tua berambut merah tak membunuhnya malah mengajarkan ilmu yang hebat ini, kiranya mempunyai maksud-maksud tersembunyi. Dengan peristiwa yang telah dialaminya ini, terasa betapa menderita pukulan batin yang menimpa dirinya rasanya lebih besar derita yang menimpa dirinya dari pada dibunuh oleh si orang tua berambut merah.... Akhirnya ia tertunduk tanpa bicara, sementara Sam Kong Lama langkah demi langkah menghampiri semakin dekat. "Tidak!" mendadak Hun Thian-hi angkat kepala dan berteriak tegas. Sam Kong Lama terhenyak. Dalam benak Hun Thian-hi tengah membatin, sakit hati orang tua masih belum terbalas betapapun aku tidak sudi dikekang orang lain, apalagi peristiwa ini terjadi bukan karena disengaja. Maka kata Hun Thian-hi lantang, "Tidak, betapapun aku tidak rela menerima cercah kalian." Raut muka Sam Kong Lama berkerut-kerut menampilkan rasa gusar, katanya, "Semakin kau berkukuh dosamu semakin tak berumpun, akan kuseret kau kehadapan gurumu, coba kulihat cara bagaimana dia akan mendidikmu sekali lagi!" Hun Thian-hi menanggalkan serulingnya sembari tertawa panjang, ujarnya, "Kalau kau mampu membekuk aku, dengan senang hati aku ikut kepadamu." Sam Kong Lama terbahak dua kali, ujarnya, "Dua puluh tahun yang lalu aku pernah bergebrak dengan gurumu, akhirnya sama-sama terluka berat. Aku harus mengakui secara pribadi gurumu adalah seseorang tokoh kenamaan yang sangat kuhormati, sungguh tak duga dia punya murid macam kau yang tak bisa mengurus diri!" Berkilat mata Hun Thian-hi desisnya dengan kukuh, "Urusan ini tak perlu kau turut campur." Saking murka Sam Kong Lama bergelak tawa menggelegar, tiba-tiba tubuhnya mencelat mumbul laksana seekor burung elang yang menyamber mangsanya langsung menubruk ke arah Hun Thian-hi. Hun Thian-hi tahu bahwa Sam Kong Lama ini merupakan tokoh nomor satu diluar perbatasan, seorang tokoh yang tidak boleh diganggu usik, melihat sedemikan hebat terjangan orang, gesit sekali ia melompat mundur, pikirnya hendak meluputkan diri dari jurus serangan pertama ini. Tak kira badan besar Sam Kong Lama tiba-tiba jumpalitan dan berputar cepat di tengah udara tahutahu kedua kakinya sudah menyapu datang ke arah Hun Thian-hi.... Hun Thian-hi menggeser kesamping berbareng serulingnya melintang mengetuk jalan darah Yung-cwan-hiat dimata kaki Sam Kong Lama. "Bagus!" Sam Kong Lama berseru memuji, disusul tubuhnya bergerak lurus seperti berhenti di tengah udara, secepat kilat kedua telapak tangannya sudah menepuk datang kedada Hun Thianhi. Bercekat hati Hun Thian-hi, diam-diam ia kagum dalam hati akan keanehan dan kecepatan perubahan jurus tipu serangan Sam Kong Lama ini. Dalam saat2 genting ini tiada waktu untuk banyak berpikir, tangkas sekali ia bergerak memutar meluputkan diri. "Trang", tahu-tahu Badik buntung sudah digenggam ditangan kirinya, berdiri tegap menghimpun semangat ia nantikan gebrak selanjutnya. Baru pertama kali ini Sam Kong Lama menyaksikan Badik Buntung, maka ia menjadi was-was tak berani sembarangan menyerang, lama dan lama sekali ia menatap wajah Hun Thian-hi tanpa bergerak. Hun Thian-hi sendiri juga tegak berdiri bersiaga tanpa berani sembarangan bergerak. Rada lama kemudian baru Sam Kong Lama berkata lirih, "Tak malu kau menjadi murid Lamsia!" hilang suaranya laksana geledek menyamber mendadak ia menubruk maju lagi seraya menyerang dengan dahsyat. Hun Thian-hi bersuit nyaring, gerak tubuhnya pun tak kalah cepatnya menyongsong maju, tangan kanan membalingkan Seruling pualam mengembangkan ilmu Thian-liong-jhitsek mengombinasikan Badik buntung di tangan kiri merangsak dengan berani ke arah Sam Kong Lama. Kedua belah pihak tengah meluncur cepat saling terjang di tengah udara, dalam sedetik itu mereka sudah saling serang sebanyak lima jurus baru meluncur turun dan hinggap di atas tanah. Tampak Sam Kong Lama menampilkan rasa kagum dan keheranan, katanya, "Betul-betul murid Lam-sia yang gagah perkasa!" Sebaliknya Hun Thian-hi mematung ditempatnya tanpa bergerak dan bicara. Dalam kejap lain rona wajah Sam Kong Lama berubah putus asa dan murung, sekonyong-konyong tubuhnya mencelat lagi menerjang ke arah Hun Thian-hi. Meski lahirnya Hun Thian-hi berlaku tenang dan wajar, sebenar-benarnya susah payah tadi ia menyambut lima kali serangan lawan secara keras lawan keras, dadanya terasa bergetar dan sakit sehingga napas rada sesak. Kini melihat lawan menerjang lagi, maka kapok sudah ia, tak berani main kekerasan, cepatcepat ia membuang diri ke samping. Tapi betapa luas pengalaman tempur Sam Kong Lama, sembari mendengus hidung kedua tangannya bergerak menyilang satu di belakang dan yang lain di depan saling susul menghantam ke arah Hun Thian-hi. Terpaksa Hun Thian-hi menyapukan Seruling pualam setengah lingkaran di tengah udara terus mengepruk ke depan. Begitu serulingnya saling bentur dengan telapak tangan lawan seketika tergetar hebat badan Hun Thian-hi, tak kuasa ia tersurut dua langkah, seketika wajahnya menjadi pucat. Sementara serangan susulan Sam Kong Lama sudah melandai tiba pula. Dalam keadaan gawat ini tanpa disadari Badik buntung di tangan kirinya lantas bergerak memutar siap hendak melancarkan jurus Pencacat langit pelenyap bumi yang ganas itu. Untung baru saja jurus sakti itu akan dilancarkan mendadak bergolak darah dalam rongga dadanya, nuraninya bekerja, secara reflek akan keganjilan hajat diluar kesadarannya, maka cepatcepat ia berusaha menguasai diri sembari menghentikan aksinya, untung masih keburu menarik kembali serangan dahsyat yang bakal dilancarkan itu. Akan tetapi serangan Sam Kong Lama pun sudah melandai tiba, telak sekali sebuah Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo pukulan mengarah pundak kirinya, untuk menghindar agaknya sudah terlambat. Dalam keadaan krisis inilah bintang penolong telah tiba. Mendadak ditengah udara terdengar pekik nyaring seekor burung, disusul suara seorang gadis berkata, "Siau Hong - Benar-benar itulah orangnya, coba kau turun dan bekuk dia kemari!" Seiring dengan merdu suaranya tampak dari tengah udara melayang turun seorang gadis berbaju hijau, pakaian yang lazim dikenakan oleh seorang dayang, dengan tangan tunggalnya tepat dan persis benar-benar ia tangkis pukulan Sam Kong Lama itu, di lain saat ia sudah berdiri tegar di atas tanah sambil tersenyum simpul Terhindarlah Hun Thian-hi dari ancaman maut. Dayang berbaju hijau ini mendehem dengan puas dan bangga, katanya kepada Hun Thian-hi, "Mari ikut aku!" Sejenak Sam Kong Lama menatap dayang baju hijau itu lalu tanyanya, "Siapa kau?" Dayang baju hijau mendengus hidung, tiba-tiba tangannya bergerak melemparkan sebuah medali putih dari batu pualam. Begitu melihat medali putih batu pualam ini seketika berubah hebat air muka Sam Kong Lama, mulutnya terkancing tak berani banyak bicara lagi, diamdiam ia mengutirkan keselamatan Hun Thian-hi. Sementara itu dengan seksama Hun Thian-hi sudah mengamati dayang kecil berusia kira-kira 15-16-an, iapun tahu siapa pemilik dari medali putih pualam itu, namun toh ia tersenyum sombong dan berkata, "Kau kira aku sudi ikut kau?" Sedikit berubah rona wajah si dayang kecil ini, alisnya bertaut dalam, katanya menjengek, "Besar benar-benar nyali anjingmu, apa kau tidak kenal medali putih pualam ini?" Pucat wajah Hun Thian-hi, namun sikapnya tetap angkuh, sahutnya tertawa, "Bu Bing Loni merupakan tokoh aneh yang kenamaan, aku Hun Thian-hi toh tidak berbuat dosa terhadap beliau. Kalau kau mampu silakan kau ambil kepalaku persembahkan kepadanya!" Dayang itu bersungut, katanya, "Kapan kau dengar orang yang dipanggil dengan medali putih pualam, boleh sembarangan saja dibunuh?" "Nanti dulu!" tersipu-sipu Sam Kong Lama berseru. Dayang cilik itu menjadi murka, semprotnya jengkel, "Ada apa lagi yang perlu kau katakan!" Ragu-ragu sejenak akhirnya Sam Kong Lama berkata, "Untuk apa Bu Bing Loni memanggilnya dengan medali putih pualam itu?" Sebetulnya ia tak berani sembarang buka mulut, namun serta melihat Hun Thian-hi berani main debat, dirinya seorang angkatan yang lebih tua masa harus unjuk kelemahan di hadapan murid Lam-siau" Apalagi diam-diam timbul kecurigaan dalam benaknya, masakan dengan kepandaian yang dimiliki oleh Hun Thian-hi sekarang mungkinkah kabar yang tersebar luas di kalangan Kangouw itu benar-benar kenyataan?" Sementara itu Dayang kecil itu semakin uring-uringan, ujarnya, "Kalau mau tanya silakan pergi tanya langsung kepada pemilik medali putih pualam itu!" Berubah air muka Sam Kong Lama, tapi ia tertawa gelak-gelak untuk membesarkan nyalinya, dijemputnya medali putih pualam itu, katanya, "Baik, apapun yang hendak kau lakukan silakan. Tapi sebelum kau katakan sebab musababnya tak kuberi izin kau menyentuhnya." Dayang kecil itu semakin gusar, bentaknya, "Besar benar-benar nyali anjingmu!" seiring dengan bentakannya tubuhnya bergerak bagai angin lesus menerjang kepada Sam Kong Lama, dimana tangan kanannya bergerak tahu-tahu cakarnya Sudah mengancam muka Sam Kong. Sam Kong juga bergerak tidak kalah cepatnya, namun ia harus lancarkan empat serangan balasan baru berhasil membendung sejurus serangan lawan, keruan basah bajunya oleh keringat dingin. Sungguh diluar dugaannya bahwa kepandaian silat dayang kecil ini begitu lihay, dilihat naganaganya, apa yang dinilai orang lain tentang betapa tinggi kepandaian Bu Bing Loni memang bukan omong kosong. Melihat jurus serangannya tak membawa hasil dayang kecil itu berjingkrak murka, mukanya merah padam, tahu-tahu tubuhnya bergerak lebih cepat dan tangkas menyerang pula kepada Sam Kong. Hun Thian-hi berpeluk tangan menonton tenang-tenang, sekilas pandang saja lantas diketahui olehnya bahwa Sam Kong Lama terang bukan menjadi tandingan dayang kecil ini. Tak tahu dia untuk keperluan apa Bu Bing Loni memanggilnya dengan medali piutih pualam itu. Pernah didengar dari cerita orang bahwa Bu Bing Loni merupakan tokoh nomor satu di seluruh Bulim, namun sifatnya kejam dan telengas melebihi para gembong-gembong iblis yang paling jahat. Dulu waktu masih remajanya pernah patah hati, namun secara kebetulan menemukan sejilid buku pelajaran silat yang sekaligus telah mengangkat dirinya menjadi tokoh nomor satu tiada tandingan di seluruh kolong langit. Konon kabarnya empat puluih tahun yang lalu dipuncak Hoa-san ia tempur puluhan tokohtokoh silat kelas wahid, semuanya kena dibunuh tanpa ketinggalan satu pun yang hidup, cara turun tangannya kejam dan sadis sekali tiada bandingannya. Para penonton menjadi bergidik dan tak tega, sebaliknya sedikit pun tak berubah airmukanya. Meski kejadian itu sangat menggemparkan, nanum para korban itu memang bukan orang baikbaik dari golongan sesat. Palagi memang ilmu silat Bu Bing terlalu tinggi maka tiada seorangpun yang berani tampil ke depan, maka untuk selanjutnya dimana medali putih pualam ini muncul tiada seorangpun yang berani menolak. Akan tetapi sebetulnya untuk urusan apakah, kenapa sekarang menimpa giliranku" "Hai, berhenti!" tiba-tiba ia berseru mencegah. Tangkas sekali dayang kecil baju hijau itu jumpalitan balik, ditengah udara badannya berputar indah sekali terus meluncur turun dengan kaki menginjak tanah lebih dulu, tanyanya, "Keperluan apa pula. yang perlu kau katakan?" Pelan-pelan Hun Thian-hi berpaling mengamati Sam Kong Lama, mulutnya menyungging senyum tawar katanya kepada. dayang kecil itu, "Urusan ini tiada sangkut paut dengan dia. Marilah kita selesaikan sendiri." Tak kira Dayang kecil dan Sam Kong Lama berseru berbareng tanpa berjanji, "Tidak!" Sejenak mereka saling pandang lalu Dayang kecil itu mendengus ejek, ujarnya, "Setiap kali medali putih pualam muncul siapa yang berani membangkang?" - sejenak ia berhenti mengawasi Hun Thian-hi berdua bergantian lalu sambungnya, "Memang lain dia lain kau, tapi persoalan ini bisa dibereskan bersama, silakan kamu berdua maju bersama!" Sam Kong Lama bergelak tawa, serunya, "Bagus! Hari ini terpaksa aku harus belajar kenal betapa, tinggi ilmu silat murid didik Bu Bing Loni!" "Sombong benar-benar," jengek Dayang kecil baju hijau, Mengandal kemampuan kalian masa ada. harganya belajar kenal dengan kepandaiian silat dari aliran Bu Bing loni" Aku saja yang maju sudah cukup berharga memandang kalian!" Sam Kong Lama menjadi dongkol dipandang enteng begitu rupa, dilandasi kemarahan segera kirim sebuah pukulan kencang ke arah Dayang cilik itu. Terdengar Dayang kecil itu tertawa dingin, sebat sekali meloncat terbang lempang ke depan, kedua ujung sepatunya menendang bergantian mengarah kedua biji mata Sam Kong Lama, betapa cepat dan tepat serangan berani ini benar-benar sangat hebat dan menakjubkan. Namun dengan suatu gerak yang sangat cepat Sam Kong Lama meloncat mundur menjauhi. Sementara Hun Thian-hi juga tidak tinggal diam, laksana kilat iapun sudah bergerak membuntut tiba, dimana seruling pualamnya bergerak langsung ia menutuk jalan darah mematikan dipunggung Dayang kecil. Hebat benar-benar kepandaian Dayang kecil baju hijau ini, seperti tumbuh mata saja belakang kepalanya, mendadak membalik sebuah tangannya, sekali raih ia mencengkram seruling Hun Thian-hi yang menutuk datang. Keruan bukan kepalang kejut Hun Thian-hi, cepat Badik buntung ditangan kirinya mengiris kebawah langsung membabat pergelangan tangan Dayang kecil itu. Dilain pihak Sam Kong Lama juga tak kalah kejutnya, tergopoh2 ia lancarkan sebuah pukulan ke arah Dayang kecil untuk menolong Hun Thian-hi. Dayang kecil itu menggeram lirih, tiba-tiba tangan kanannya digentakkan kuat2, sehingga tergetar tangan kanan Hun Thian-hi, kontan badannya mencelat ke tengah udara karena hentakan yang kuat dari gentakan tenaga Dayang kecil itu. seiring dengan gerakannya itu, lincah sekali dayang kecil itu berputar selicin belut meluputkan diri dari pukulan Sam Kong Lama, tangannya merangsang ke belakang lengan membelakangi penyerangnya, namun cukup lihay tipunya ini karena telak sekali jalan darah pelemas Sam Kong Lama tertutuk, kontan ia terjungkal roboh dengan badan lamas tak mampu bergerak lagi. Sementara itu, Hun Thian-hi yang mencelat ke tengah udara beruntun jumpalitan dua kali baru mendarat turun di atas tanah Sembari tersenyum ejek Dayang kecil mengawasi Hun Thian-hi, sedikit kerahkan tenaga Seruling batu pualam yang dirampasnya itu seketika dipotes menjadi dua. Berubah hebat rona wajah Hun Thian-hi. Maklum Seruling pualam itu sudah puluhan tahun malang melintang mengikuti gurunya, Akhirnya diturunkan kepadanya sampai sekarang. Melihat perubahan air muka Hun Thian-hi, Dayang kecil Ru malah tertawa riang, ejeknya menggoda, "Apa, tidas terima?" Terpancar sinar kilat aneh dalam biji mata Hun Thian-hi, dengan mengertak gigi ia mengayun Badik buntung sekeras-kerasnya, sejalur cahaya hijau pupus kelihatan menari bergelombang ditengah gelanggang disertai suara mendesis yang semakin nyata terus menungkrup ke arah dayang kecil baju hijau. Semula dayang kecil perdengarkan tawa menghina langsung ia terbang maju memapak serangan lawan. Dimana jurus Jan-thian-ciat-te dilancarkan gelanggang pertempuran menjadi seperti dicekam dalam suasana yang menusuk perasaan, begitu kedua belah pihak saling sentuh si dayang kecil lantas merasa sesuatu yang luar biasa bakal terjadi, berubah air mukanya, sejalur cahaya hijau pupus langsung menyamber ke arah lehernya. Secara gerak reflek segera ia angkat kedua kutungan seruling di tangannya untuk menangkis. Terdengar sentuhan yang lirih nyaring, dengan pesona ia memandangi dua kutungan seruling di kedua tangannya, sekarang kedua kutungan itu telah terpapas lagi menjadi empat kutungan, dua yang lain jatuh di tanah, seruling ditangannya terpapas licin dan rajin sekali. Waktu ia angkat kepala terlihat muka Hun Thian-hi bersemu merah kehitaman, ujung mulutnya melelehkan sealur daran segar, susah payah ia mengtiasai dirinya untuk tetap berdiri. Dayang kecil itu semakin dibakar kemarahan, sambil menggertak nyaring ia menyerbu lagi. Sekonyong-konyong terdengar suara merdu seorang gadis dari tengah udara, "Siau Hong. Kembali, hari ini ia telah melepas jiwamu, kitapun melepasnya sekali ini, marilah pulang!" dayang kecil yang bernama Siau Hong itu segera menghentikan aksinya, dengan seksama ia mengawasi Hun Thian-hi, diam-diam hatinya sangat menyesal dan mendelu, keadaan Hun Tnianhi ini terang berusaha hendak menarik dan mengendalikan serangan ganas tadi sehingga tenaga murni sendiri membalik menerjang jantung sampai terluka dalam yang berat. Ia tahu bahwa dengan bekal yang dimiliki Hun Thian-hi terang takkan mampu melukai dirinya. namun demikian tak urung ia menjadi terharu dan merasa terima kasih. Seekor burung besar berbulu hijau terbang rendah, pelan-pelan dayang kecil bernama Siau Hong itu lantas melompat tinggi naik ke atas punggungnya, sebentar saja burung besar berbulu hijau itu sudah menjulang tinggi ke tengah angkasa sambil berpekik nyaring dan panjang, dalam kejap lain sudah menghilang dari pandangan mata. Mengantar menghilangnya burung besar itu Hun Thian-hi bengong sekian lamanya, lalu duduk bersila bersemadi mengembalikan tenaga dan semangatnya, setelah pikiranya jadi jernih kembali bergegas ia berdiri terus membetulkan tutukan jalan darah Sam Kong Lama. Pelan-pelan Sam Kong Lama merajap bangun, rona wajahnya menunjukkan rasa yang malu yang tak terhingga, lambat-lambat dijemputnya medali putih pualam itu lalu Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo katanya pada Kun Thian-hi, "Jurus yang kau lancarkan tadi itu belajar dari mana, aku tidak tahu dan belum pernah mengenalnya?" Hun Thian-hi bungkam tak bicara. Agak lama kemudian ia angkat kepala berkata sambil tersenyum, "Bukankah lebih kau tidak mengetahui saja?" lalu ia melangkah maju menjemput potongan kecil seruling pualamnya yang kutung terpapas oleh Badik buntungnya sendiri, kutungan seruling yang lain dibawa pergi oleh dayang kecil tadi, memandangi kutungan dua seruling ditangannya Hun Thian-hi menjublek di temparnya seperti patung. Kata Sam Kong Lama, "Medali putih pualam itu sudah berada ditanganku maka aku harus segera kembali. Aku percaya akan martabatmu, mungkin kau terdesak oleh peristiwa ini. Sekarang kau sudah bentrok dengan pihak Bu Bing Loni, kalau kau mau marilah kita pulang bersama. Ketahuilah ilmu silat dikolong langit ini hakikatnya bukan Bu Bing Loni saja yang paling tinggi." Hun Thian-hi angkat kepala pandangannya menampilkan rasa haru yang tertekan, sahutnya, "Terima kasih, tapi aku tak ingin pergi!" Sam Kong Lama terlongong sesaat lama, katanya tersenyum, "Seharusnya aku tahu kau takkan sudi ikut aku, Tapi kau harus ingat Bu Bing Loni bukan sembarang tokoh yang dapat dibuat mainmain jangan sampai kau mengorbankan jiwanya secara sia-sia." Bertaut alis Hun Thian-hi, menggelengkan kepala. Sam Kong Lama menghela napas, ujarnya: Perangainya rada sama dengan sifat gurumu, akupun tak perlu banyak membujuk kau. Hari ini kau sangat banyak membantu kepadaku jikalau kelak kau memerlukan bantuan silakan datang ke tempatku, setelah keluar dari perbatasan jejakku akan gampang kau temukan asal kau bertanya sembarang orang disana." Hun Thian-hi tersenyum pahit, ia menganggukkan kepala. Biji mata Sam Kong berkilat mengawasinya, ia menggeleng kepala dan berkata, "Sayang kau tak sudi ikut aku, kau sia-siakan kesempatan paling baik ini." -setelah menghela napas panjang ia putar tubuh Mengantar punggung Sam Kong Lama yang semakin jauh itu, Hun Thian-hi menghela napas panjang. Tengah ia terlongong mendadak dari dalam hutan sebelah kiri sana terdengar gelak tawa orang yang keras nyaring. Sigap sekali Hun Thian-hi memutar tubuh sembari menghardik, "Siapa itu?" Namun suasana hutan di depannya sangat hening lelap, gesit sekali badannya meluncur menuju ke arah dimana suara gelak tawa tadi terdengar, namun meski ia sudah bergerak begitu cepat bayangan seorang pun tak terlihat olehnya. Bercekat hatinya. Batinnya kenapa hari ini beruntun aku bertemu dengan tokohtokoh kosen2, jarak dirinya berdiri tidak lebih tiga tombak saja, dengan kesebatan gerak tubuhnya ternyata bayangan orang saja tak keliahatan olehnya. Dengan dongkol ia celingukan ke sekelilingnya Sekonyong-konyong gelak tawa tadi bergelombang keras seperti gema lonceng besar yang memekakkan telinga. Lagi-lagi Hun Thian-hi melesat cepat mengejar jejaknya ke arah sana namun ia meluncur turun bayangan setanpun tak terlihat olehnya. Sebentar ia menerawang situasi sekelilingnya dengan ketajaman matanya, namun tak diketemukan sesuatu keganjilan apa-apa. Meski gelak tawa tadi terdengar lagi, kali ini tak dihiraukan lagi,tanpa berpaling ia terus berlari keluar. Tiba-tiba ia merasa tengkuknya terasa rada dingin, juga ada gatal2, keruan kejutnya bukan main, secara reflek ia menggunakan tangannya untuk mengusap ke belakang, tampak seekor ulat menggelinding jatuh dari atas tengkuknya.... Hun Thian-hi menjublek ditempatnya, sungguh hatinya berang sekali, namun hakikatnya ia merasa kagum dan kaget dengan kepandaian orang telah begitu hebat mempermainkan dirinya. Gelak tawa yang mengalun tinggi itu bergema pula dari dalam hutan. Tak sabaran Hun Thian-hi membentak keras, "Siapa itu yang main sembunyi seperti pancalongok. Kalau kau manusia mari unjukkan tampangmu yang sebenar-benarnya." Setitik bayangan melesat dari dalam hutan langsung terbang ke arah Hun Thian-hi, cepat-cepat ia angkat tangan kanannya dengan kedua jarinya hendak menjepit bayangan kecil ini, tapi luncuran titik hitam itu mendadak bertambah cepat menerobos lewat dari celahcelah jari tangannya langsung melekat di bibir Hun Thian-hi. Hun Thian-hi berjingkrak merinding sembari mengusapnya diatuh dengan tangan kiri, lagi-lagi seekor ulat kecil. Sungguh dongkol dan gemes benar-benar sampai tak mampu bicara, akhirnya Hun Thian-hi menjadi nekad terus mengejar semakin dalam ke hutan yang semakin gelap. Gelak tawa itu selalu membayangi dirinya terus menerobos semakin jauh ke dalam hutan, Hun Thian-hi pun terus mengejar dengan berani, kejar punya kejar akhirnya sampai di depan sebuah gua, tiba-tiba gelak tawa itu berhenti. Hun Thian-hi menjadi ragu-ragu sebentar, namun ia nekad juga mengejar masuk ke dalam gua. Begitu ia melangki masuk dilihatnya seorang tua yang mengenakan jubah panjang dari kain bagor tengah duduk semadi didalaiH pojok gua sana. Orang tua ini berwajah merah, rambut dan jenggotnya sudah ubanan, wajaknya itu mengunjuk senyum ramah tamah, tempat dimana ia duduk dikeliling sebuah garis bundaran sebesar tiga tombak.tangannya kanan mencekal sebatang tongkat putih batu pualam panjang tiga kaki. Hun Thian-hi ragu-ragu sejenak, tanyanya kepada urang tua itu, "Kaukah tadi yang menggoda aku?" Orang tua itu tetap dalam keadaan samadinya tanpa bergerak, sedikitpun ia tidak hiraukan pertanyaan Hun Thian-hi. Hun Thian-hi mengerutkan kening, hidungnya mendengus lalu melangkah maju dengan uringuringan. Namun baru saja kakinya menginjak masuk ke dalam arena garis bundaran itu. tampak tongkat ditangan si orang tua bergerak menutul ke depan, seketika ia merasa sejalur tenaga besar mendorong dirinya, tanpa kuasa karena tidak bersiaga sebelumnya Hun Thian terjungkir balik. Sungguh kejut hati Hun Thian-hi bukan kepalang. Dengan bekal Lwekangnya sekarang masa begitu gampang kena disengkelit orang dengan sekali tutul dari jarak jauh" Bergegas ia bangkit berdiri, dengan uring-uringan ia pandang si orang tua, namun orang tua itu tetap dalam gaya semadinya tanpa bergerak sedikitpun. Pelan-pelan Hun Thian-hi coba-coba ulur kakinya ke dalam bundaran namun segera hendak ditarik kembali, namun belum sempat bergerak lebih jauh mendadak terasa kakinya terdorong naik oleh segulung tenaga besar yang tidak kelihatan, cepat-cepat ia menghimpun tenaga dan mengendalikan pernapasannya, namun hawa murni seperti macet ditengah jalan, sementara itu tubuhnya sudah terangkat naik oleh dorongan tenaga besar itu, terpaksa ia harus jumpalitan ditengah udara baru meluncur turun ke tanah. Orang tua itu tetap duduk ditempatnya seperti tak terjadi sesuatu. Setelah hinggap di tanah Hun Thian-hi menjadi berdiri terlolong tak bersuara. Agak lama kemudian ia melangkah pelan-pelan memutar ke belakang si orang tua. Si orang tua tetap tak bergerak. Setelah sampai di belakang orang, dijemputnya sebutir kerikil terus diselintikkan kepunggung si orang tua. Baru saja kerikil itu melesat sampai ditengah jalan, pandangannya seperti menjadi kabur oleh berkelebatnya selarik bayangan putih, disusul kerikil yang disambitkannya itu mendadak meluncur balik menerjang dirinya sendiri. Tersipu-sipu Hun Thian-hi menyingkir kesamping, kerikil itu menyamber lewat disamping lehernya, "plok" amblas ke dalam dinding batu tanpa bekas. Akhirnya Hun Thian-hi menjadi gemas dilolosnya keluar Badik buntung, dengan nekad ia menubruk masuk ke dalam bundaran. Punggung si orang tua seperti tumbuh sepasang mata, mendadak tongkat putihnya terayun ke belakang menyapu kedua kaki Hun Thian-hi. Sigap sekali Hun Thian-hi mengayun Badik buntungnya hendak menangkis, namun lagi-lagi pandangan matanya serasa kabur oleh berkelebatnya sinar putih kemilau, kontan terasa Badik buntung ditangan kanannya tergetar keras terlepas dari cekaiannya terbang ke atas, sedang badannya sendiri juga terlempar keluar dari arena bundaran itu. Begitu berdiri tegak lagi Hun Thian-hi menjadi kesima sekian lama, pelan-pelan dijemputnya Badik buntung lalu dengan lesu ia berjalan keluar. Tiba-tiba si orang tua membuka matanya, katanya, "Bocah, kiranya tidak punya tekad besar!" Hun Thian-hi menghentikan langkahnya, lalu berpaling memandang ke arah si orang tua, sahutnya, "Betapa besarpun tekadku, aku tak mampu menerjang masuk." Si orang tua tercengang dilain saat mendadak bergelak tawa nyaring, serunya, "Benar-benar, ucapanmu memang betul!" Teringat akan pengalaman yang aneh yang dialaminya selama ini tergerak hati Hun Thian-hi, lekas-lekas ia berlutut ke arah si orang ua sembari ujarnya, "Cianpwe menuntunku kemari, entah ada petunjuk apa yang berharga?" Orang tua itu tertegun sebentar lalu bergelak tawa, katanya, "Ternyata cukup pintar." Rada girang hati Hun Thian-hi, tahu dia bahwa ilmu silat orang tua ini pasti sangat tinggi, jikalau bisa minta petunjuknya, perbekalan ilmu silatnya tentu akan bertambah maju. Sekian lama si orang tua tenggelam dalam pikirannya, mendadak wajahnya tegang serius, tanyanya, "Jurus Jam-thian-ciat-te itu kau pelajari dari mana?" Hun Thian-hi tertegun, sesaat ia menjadi kememek tak tahu bagaimana ia harus menjawab. Orang tua itu mendengus hidung, tanyanya pula, "Ang-hwat-lo-mo itu apamu?" Mendengar orang menanyakan orang tua aneh berambut merah itu, terperanjat hati Thian-hi sahutnya, "Aku tiada hubungan apa dengan beliau!" "Bohong!" maki si orang tua, "Kalau kau tiada hubungan dengan dia bagaimana ia bisa mengajarkan Jan-thian thiat-te kepandaian tunggal yang ganas itu kepada kau!" Semakin kejut hati Hun Thian-hi, tengkuknya terasa merinding, bermula ia merasa heran kenapa Bu Bing Loni, bisa mencari dirinya. Pula teringat kata-kata orang tua rambut merah yang berkata sendlap-sendlup tak keruan itu, kiranya tak lain memang bertujuan mengumpankan dirinya kepada Bu Bing Loni, bukankah kematian dirinya bakal lebih mengerikan. Karena pikirannya ini tak terasa mulut Thian-hi menggumam, "Ternyata tujuannya utama adalah hendak mencelakai jiwaku!" Si orang tua berubah air mukanya, mengerutkan kening tanpa bicara. Hun Thian-hi angkat kepala mengawasi si orang tua, Hanya ia bercerita pengalamannya di dalam jurang dimana Ang-hwat-lo-mo bersemajam. Sambil mendengarkan orang tua manggutmanggut, setelah Hun Thian-hi habis bercerita ia berkata, "Begitu lebih baik, kan tak usah takut menghadapi Bu Bing Loni!" Menatap tajam ke arah si orang tua berubah pikiran Thian-hi, ia mereka-reka, ia heran siapakah orang tua di hadapannya ini, seluruh tokoh-tokoh di Bulim ini siapa yang berani berkata bahwa dia tidak gentar menghadapi Bu Bing Loni!. Sang Penerus 7 Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long Tiga Naga Sakti 12