Ceritasilat Novel Online

Badik Buntung 3

Badik Buntung Karya Gkh Bagian 3 Kata-Thian-hi lagi, "Meskipun tiada perlunya bagi Sin-ceng, namun kau sudah susah payah menunggunya selama enam puluh tahun. Kukira tentu sangat memerlukannya bukan?" "Walaupun Lo-ceng tidak bisa main silat." demikian ujar Hwesio tua sembari tertawa-tawa, "namun hidup sampai setua ini perihal seluk beluk Bulim kuketahui juga. menurut jalan pernapasan tuan ini, bakat dan tulang tuan sungguh merupakan rahmat yang terbaik, apalagi dalam usia menanjak dewasa. Murid Lo-ceng sendiri tidak becus, maka dengan sukarela dan senang hati kuberikan pucuk pohon buah ajaib itu kepada tuan, harap tuan tidak menolak lagi." Melihat orang bicara begitu tulus dan sungguh hati Thian-hi menjadi tidak enak dan risi. Toh disana masih ada orang lain yang ingin merebutnya juga, belum tentu dirinya bisa berhasil memetiknya, terpaksa sekarang disetujui dulu saja. maka segera ia menjawab, "Terpaksa kunyatakan banyak terima kasih akan karunia Sin-ceng." Hwesio tua tersenyum ujarnya, "Suatu hal perlu kutegaskan, kalau tuan sudah setuju maka betapa juga, jangan sampai buah2 ajaib itu terjatuh ketangan orang lain." Thian-hi menjadi terhenyak melongo, sungguh ia tak habis heran kenapa jalan pikirannya dapat diketahui oleh Hwesio tua ini, terpaksa ia menyahut, "Wanpwe akan berbuat sekuat tenaga." "Tuan tentu sangat lelah," begitu ujar Hwesio tua, "silakan istirahat sebentar!" habis berkata. dengan telapak tangannya ia meng-usap2 di depan muka Thian-hi, kontan Thian-hi lantas tercatuh mendengkur dan tertidur nyenyak. Waktu Thian-hi siuman dari tidurnya hari sudah terang benderang pada hari kedua. Tersipusipu Thian-hi meloncat angun, ia heran mengapa sekali tertidur dirinya sampai pulas sehari semalam, waktu ia mengerling Hwesio tua itu sudah tak berada ditempatnya, sesaat ia terlongong, baru sekarang ia sadar bahwa, Hwesio tua ini pasti seorang sakti waktu ia lari keluat tampak kuda hitamnya masih tertambat di bawah pohon sana. Thian-hi masih teringat pesan Hwesio tua kemaren, maka segera ia menyesuri jalanan kecil menuju ke belakang kelenteng. Dengan ilmu ringan tubuhnya ia memanjat naik kebukit yang tidak begitu tinggi, tiba dipuncak bukit hidungnya lantas dirangsang bau harum semerbak. Sebenfar berdiri menerawang keadaan sekitarnya, tampak olehnya diseberang bukit sebelah depan sana terdapat sebuah gua esar, di depan gua ini melingkar seekor ular sanca besar warna putih tengah berhadapan dengan seorang tua yang mengenakan jubah kuning. Ular dan orang itu diam tak bergerak seperti ajam adonan, masing-masing tiada yang berani bergerak dulu, namun besar hasrat masing-masing untuk mendahului mendapatkan buah ajaib yang berbau wangi. Agaknya orang tua jubah kuning itu tidak sabaran lagi, gesit sekali ia berkelebat hendak menerjang masuk ke dalam gua, namun secepat anak panah ular sanca putih itu mematuk mengarah tenggorokannya. Orang tua jubah kuning menjadi gusar, dengan menghardik keras ia melolos sebilah pedang terus membabat kemonciong ular yang ternganga lebar itu. Ternyata siular besar inipun pandai berkelahi, dengan menekuk badannya ia sampok pedang musuh kesamping tubuhnya terus meluncur hendak menerjang ke dalam gua. Sijubah kuning menggertak keras, pedangnya berputar mempetakan setabir kabut sinar putih mendesak mundur ular putih itu keluar gua pula, begitulah mereka saling berhadapan lagi diluar gua dengan siap siaga. Meski hanya melibat beberapa gebrak pertarungan antara ular dan manusia ini namun diamdiam bercekat hati Thian-hi, batinnya, 'kalau kepandaianku dibanding dengan ular dan sijubah kuning terang terpaut teramat jauh sekali. Kiu-thian-cu-ko itu jangan harap dapat kuperoleh, tapi aku sudah berjanji kepada Hwesio sakti itu, masa lantas mundur begini saja. Bau harum yang teruar keluar dari dalam gua semakin tebal, jelas sijubah kuning dan ular besar Itu semakin bersitegang leher, pelan-pelan Hun Thian-hi menggeser maju ke arah gua besar itu. Waktu ia menggeremet tiba di atas samping gua, untung saking tegang dan tumplek perhatian musuh dihadapannya ular dan sijubah kuning tidak mengetahui kehadirannya. Kelihatan kedua musuh bertengger ini sudah tak sabar lagi, mendadak sijubah kuning mengayun pedangnya menyerang ke arah ular sanca sebat sekali ular putih berkelit tanpa hiraukan sijubah kuning lagi ia mendahului melesat masuk ke dalam gua Tapi gerak-gerik sijubah kuning cukup hebat. lincah sekali tangan kirinya bergerak dengan telak telapak tangannya memukul ketubuh siular, terdengar ular putih mendesis keras, tubuhnya melenting balik mematuk kedua biji mata sijubah kuning. Terpaksa sijubah kuning mundur selangkah, pedang ditangan kanan lagi-lagi membabat ke kepala musuh. Siular putih terdesak dan mundur berkelit, kontan jubah kuning timpukan pedangnya mengarah kedua biji mata sang ular, tanpa melihat apakah serangannya bakal berhasil segera ia menerobos masuk ke dalam gua. Keruan ular putih menjadi gugup, tubuhnya masih cukup gesit bergerak namun tak urung badannya sudah kena luka tergores, namun ia berhasil melenting maju merintangi si jubah kuning masuk ke dalam gua, maka dengan geram sijubah kuning ayun jotosannya menghantam sekuatnya menggetar mundur sang ular, sementara waktu mereka berhadapan lagi tanpa bergerak. Diam-diam Thian-hi menghela napas lega, katanya dalam hati "Untung! Masih belum ada ketentuan pihak mana yang menang dan asor, kalau tidak sedikitpun ak takkan punya harapan." Tengah ia termenung sekonyong-konyong ia merasa telinganya seperti dikili2 dengan hembusan angin silir, keruan kejutnya bukan kepalang, lekas-lekas ia berpaling dilihatnya seorang Hwesio kecil yang bertubuh tambun buntak tengah berseri tawa kepadanya. Mengkirik kuduk Thian-hi, untung orang tiada niat mencelakai jiwanya, kalau tidak sejak tadi jiwanya tentu sudah melayang. Sekian lama Hwesio cilik itu tertawa-tawa lucu lalu berseru lirih, "Kau ingin mendapatkan Kiuthian- cu-ko itu bukan?" Thian-hi manggut, baru saja ia hendak bicara, Hwesio cilik sudah mencegahnya dengan mendesis mulut dan menegakkan jari tangannya di depan mulutnya, begitu menarik tangan Thianhi terus diajak lari kebawah bukit. Thiar-hi mandah saja diseret kebawah bukit tanpa mampu mengeluarkan tenaga untuk meronta. Setiba di bawah Hwesio cilik itu memandang Thian-hi dan berkata, "Kalau kau ingin benar-benar, aku bisa membantu kau!" Thian-hi rada sangsi, namun akhirnya ia berkata, "Harap tanya Siausuhu ini bergelar nama siapa?" "Siausuhu apa?" dengus Hwesio cebol itu rada tak senang, "usiaku jauh lebih tua dari kau, orang lain sering panggil aku Siau-hosiang (Hwesio jenaka), kau panggil aku Siau-hosiang saja!" Hati Thian-hi menjadi geli dan ingin tertawa, namun tak enak dikatakan, terpaksa ia manggutmanggut saja, katanya, "Siau-hosiang! Kau ada cara baik apa?" Hwesio cilik bernama Siau-hosiang terkekeh-kekeh melebarkan mulutnya tanpa membuka kata. Thian-hi tahu bahwa ilmu silat Hwesio jenaka ini jauh lebih tinggi dari kemampuannya, kalau sudi membantu betul-betul merupakan pembantu yang boleh diandalkan, maka ia menambahi, "Kalau sudah dapat nanti kita bagi rata hasilnya bagaimana?" Hwesio jenaka menarik muka, jengeknya, "Bagi rata" Kataku tadi aku hanya membantu kepadamu, kalau aku mau gampang saja aku turun kesana mengambilnya, buat apa harus bagi rata dengan kau apa segala!" Terpaksa Thian-hi minta maaf, sambungnya, "Tapi kau hanya tertawa-tawa saja tidak beritahu cara bagaimana harus bekerja, kalau....," "Ah, ada aku disini masa perlu kuatir apa lagi?" kata Hwesio jenaka sambil menepuk dada. Melihat sikap Hwesio cilik yang takabur ini, Thian-hi menjadi uring-uringan, katanya, "Jangan kau bicara begitu takabur!" Hwesio jenaka tertegun sebentar lantas melebarkan mulutnya lagi terkekeh-kekeh, serunya, "Memang benar-benar, tapi aku ada pegangan dan pasti berhasil. Hari ini kau ada kerja maka kubantu kau kelak kalau aku punya urusan dan minta bantuanmu apakah kau sudi membantu?" Thian-hi tercengang, tanyanya, "Kau ada urusan apa?" "Sekarang tiada," sahut Hwesio jenaka dengan riang, "maksudku kelak kemudian hari kalau aku kena perkara apakah kau sudi membantu aku?" "Tidak kau jelaskan urusan apakah itu, mana aku tahu dapatkah aku membantu?" Hwesio jenaka menunduk berpikir sebentar lalu angkat kepala serunya, "Mari kita naik ke atas!" Begitulah dilain saat mereka sudah tiba dipuncak bukit, waktu memandang ke depan sana kelihatan sijubah kuning dan ular putih masih bersitegang leher berhadapan. Kata Hwesio jenaka, "Biar aku turun kesana, kau bekerja menurut isyaratku!" Thian-hi manggut-manggut, Hwesio jenaka tertawa lebar kepadanya terus berjalan bergoyang - gontai seperti gentong! menggelinding ke bawah lembah sana. Sekilas sijubah kuning dan ular putih berpaling ke arah Hwesio jenaka lain berpaling lagi bersiaga. Hwesio jenaka terloroh-loroh menghampiri ke arah sijubah kuning serunya, "Sicu tua ini, apakah yang kau tengkarkan dengan ular putih ini?" Sijubah kuning mendengus hidung tanpa hiraukan dirinya. Sembari tertawa-tawa Hwesio jenaka melangkah lebar masuk gua. Tersipu-sipu si jubah kuning dan ular putih itu menghadang di depannya, dengan pura-pura kaget Hwesio jenaka melompat mundur teriaknya, "Waduh! Hebat benar-benar!" Teriak sijubah kuning, "Hwesio cilik, tiada urusanmu disini, lekas minggir!" "Sicu tua," ujar Hwesio jenaka, "salah ucapanmu, aku Hwesio cilik ini ingin masuk kesana untuk istirahat, kenapa kau menghadang merintangi aku?" Sijubah kuning tahu bahwa kepandaian Hwiesio jenaka tidak lemah, maka katanya lagi, "Hwesio cilik, kau usir ular-ular ini, Kiu-thian-cu-ko yang berada di dalam gua nanti boleh kita bagi dua, bagaimana?" "Kiu-thian-cu-iko apa?" Hwesio jenaka pura-pura membodoh, "aku belum pernah dengar!" S ijubah kuning menggeram jengkel, katanya gegetun, "Mari kau bantu aku mengusir ular ini saja." "Itu boleh," -sahut Hwesio jenaka manggut-manggut, "selamanya, aku Hwesio cilik paling suka membantu kesulitan orang, tapi kalau aku bantu kau mengusir ular ini, kau jangan mengganggu tidur nyenyakku lho!" "Baik!' sahut sijubah kuning aseran. Hwesio jenaka putar tubuh menghadapi siular putih, dengan gentar ular putih surut ke belakang terus melingkar bundar, kepalanya menegak tinggi dengan lidah melelet2 mengawasi Hwesio jenaka. Hwesio jenaka sendiri kelihatan rada takut-takut, selangkah demi selangkah maju mendekat, tangan diulur ke depan lalu ditarik kembali cepat, mulutnya berkaok, "Sicu tua, marilah kau maju membantu." Biji mata sijubah kuning berputar-putar, ia jemput pedang panjang di tanah terus berlari kencang menerobos masuk ke dalam gua. Ular putih ternyata sudah siaga, tidak kalah cepatnya iapun melesat mengejar ke arah sijubah kuning, tangkas sekali sijubah kuning memutar badan seraya melontarkan pedangnya. mengarah siular putih, gesit sekali ular putih nenekuk badan menukik kebawah seraya pentang mulutnya mematuk pundak sijubah kuning. Terdengar sijubah kuning menggerung keras, tangan kanannya membalik mencengkeram leher ular dengan kencang tidak dilepas!agi. Kesempatan ini digunakan oleh Hwesio jenaka lari ke dalam gua, tak lama kemudian kelihatan ia berlari keluar lagi sambil menggembol seonggok dedaunan terus berlari kencang ke atas bukit. Sijubah kuning berteriak panjang, dengan gusar ia mengumpat caci terus bergerak mengejar dengan kencang. Sekejap saja suara teriakannya semakin jauh dan tak terdengar lagi. Thian-hi menghela napas lega, dari atas bukit ia melihat tegas, dedaonan yang dibawa lari oleh si Hwesio Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo cilik bukan lain hanya dahan pohon yang lebat dengan daun-daunnya yang menghijau. Tapi bagi penglihatan sijubah kuning Kesekelebatan warna hijau pupus, sungguh tak terpikirkan olehnya bahwa ini merupakan jebakan memancing harimau meninggalkan sarangnya, tanpa pikir panjang segera ia lari mengejar sembari membawa ular putih itu. Cepat-cepat Thian-hi turun ke dalam lembah terus masuk ke dalam gua, setelah membelok sebuah tikungan tampak sebelah depan sana terdapat sebuah jembangan dengan airnya yang jernih kelihatan dasarnya. Ditengah jembangan ini kelihatan tumbuh sepucuk pohon kecil berdaon sembilan berbuah sembilan biji warna merah darah, warna daonnya hijau pupus berkilau menjadi sangat kontras sekali dengan warna buahnya.... Dalam-dalam Thian-hi menyedot hawa, terasa bau harum merangsang hidung menyegarkan badan dan membangkitkan semangat. Sungguh mimpi juga tak terduga sebelumnya bahwa buah ajaib yang tak ternilai itu betul-betul berada di depan matanya. Sesaat ia menjadi kememek dan tidak tahu cara bagaimana ia harus bekerja, tanpa mengeluarkan sedikit tenagapun ia bakal memperoleh buah dewata yang sukar didapat, kalau dikata memang sukar dipercaya, tapi kalau rejeki ini ditolak tak lama kemudian buah dan daon ajaib ini segera bakal menjadi kuju dan laju. Tengah Thian-hi terpekur tiba-tiba sebuah bayangan orang meluncur hinggap di depannya, Thian-hi terperanjat dan menyurut mundur, waktu ia menegasi kiranya si Hwesio jenaka. Tetap dengan sikapnya yang tertawa-tawa Hwesio jenaka berkata, "Bagaimana" Eh tidak lekas kau ambil dan menemuinya, sebentai lagi bakal laju kering lho!" "Siausuhu kenapa kau sendiri tidak mau menelannya?" tanya Thian-hi. "Segala sesuatu di dunia ini pasti ada sebab dan akibatnya. Jika sudah ditakdirkan bahwa buah ajaib ini bakal menjadi milikmu, lekaslah Sicu menelannya!" Thian-hi masih rada sangsi, tiba-tiba Hwesio jenaka melompat maju menutuk jalan darahnya, cepat-cepat kesembilan buah merah itu dipetik terus dijejalkan semua kemulut Hun Thian-hi. Terasa oleh Thian-hi rasa manis dan harum tertelan melalui tenggorokannya terus melebar keseluruh tubbhnya, tak terasa lagi kepalanya menjadi berat dan ia jatuh pingan. Entah berapa lama berselang waktu ia pelan-pelan siuman dilihatrrja. Hwesio jenaka tengah berdiri disamping sambil tertawa riang, ditangannya masih menyekal pucuK daun warna hijau berjumlah sembilan tangkai. Sedikit bergerak lantas Thian-hi rasakan badannya sangat enteng. "Kusampaikan selamat. tuan kecil!'" ujar Hwesio jenaka menggoda. "Akupun banyak terima kasih akan bantuan Siausuhu!" jawab Thian-hi sungguhsungguh. Hwesio jenaka memalingkan kepalanya, mulut bergerak hendak bicara namun diurungkan. Teringat oleh Thian-hi akan permintaan Hwesio jenaka di atas bukit tadi, maka katanya, "Siausuhu. kalau kau betul-betul memerlukan bantuanku, dimana dan kapan saja pasti aku membantumu sekuat tenagaku!" Hwesio jenaka berseri tawa, "Sembilan tangkai daun ini merupakan benda yang sangat berharga, silakan kau simpan Saja!" Melihat orang tidak menyinggung persoalan tadi, Thian-hi rada kikuk dan jadi menyesal, dengan menunduk ia sambuti kesembilan tangkai daun hijau lalu hati-hati disimpan ke dalam baju. "Kau sudah tidur sehari lamanya," kata Hwesio jenaka, "hari ini tepat hari ketiga boleh kau pergi menemui Situa Pelita itu!" Thian-hi melengak, tak habis herannya dari mana Hwesio jenaka ini mengetahui perihal pertemuannya dengan situa Pelita itu. Hwesio jenaka mandah tertawa lucu, semoga Selamat berjumpa kelak!" - hilang suaranya badannya pun melenting keluar gua. Thian-hi menjublek ditempatnya sekian lamanya baru pelan-pelan beranjak keluar dari gua, sedikit menyedot hawa dan mengempos semangat badannya lantas bergerak ringan seenteng asap seperti menunggang awan, keruan ia melengak dan keheranan, sungguh diluar tahunya bahwa khasiat buah ajaib itu ternyata begitu aneh dan mustajab. Begitu ia ganti napas badannya lantas meluncur turun, segera ia empos semangatnya terus berlari kencang kepuncak bukit betapa cepat luncuran tubuhnya sungguh sangat mengejutkan dan diluar perhitungannya, sekejap mata ia sudah tiba di depan gunung lagi. Waktu ia melangkah memasuki keleteng brobrok itu keadaan sunyi senyap tiada seorang pun yang tinggal hanya kasur bundar buat semadi itu. Thian-hi berlutut serta menyembah empat kali ke arah kasur bundar itu lalu keluar dari pintu samping, setelah mengambil kudanya ia berjalan balik ke arah datang semula. Pengalaman tiga hari ini seolah-olah dalam mimpi saja, suatu kejadian yang agaknya tak mungkin terjadi, namun kenyataan telah dialami olehnya. Hwesio tua itu sudah menunggu selama enam puluh tahun akhirnya buah itu diberikan kepada dirinya secara mentahmentah, demikian juga Hwesio jenaka suka rela membantu dirinya tanpa pamrih. Waktu ia membedal kudanya sampai di tempat semula, tampak Situa Pelita sudah menunggunya duduk di bawah pohon besar yang rindang. Tersipu-sipu Thian-hi turun dari tunggangannya terus menjura dalam. Dengan cermat situa Pelita mengawasi Thianhi sambil tersenyum simpul, katanya, "Apakah kau sudah bertemu dengan Go-cu Taysu?" "Go-cu Taysu?" ulang Thian-hi dengan tak mengerti. Situa Pelita melengak, tanyanya, "Apa kau tidak jumpa dengan beliau?" "Apakah beliau seorang Hwesio tua yang buta sepasang matanya serta beralis dan berjenggot putih?" "Bukan!" sahut situa Pelita, "Kedua biji mata Go-cu Taysu tidak buta. Apa kau benar-benar tidak berjumpa dengan Go-cu Taysu?" Hun Thian-hi termenung beberapa saat tanpa buka suara lagi. "Apakah kau sudah sampai di kelenteng bobrok itu?" desak situa Pelita. Thian-hi manggut, sahutnya, "Tapi yang kutemukan hanya seorang padri tua yang buta!" "Begitulah 'jodoh', beliau tentu Go-cu Taysu adanya. Seluruh kaum persilatan di kolong-langit ini yang paling ditakuti oleh Bu Bing Loni hanya beliau seorang. Dan hanya Bu Bing Loni dan aku saja dari seluruh jagat ini yang mengetahui adanya tokoh yang lihay ini!" Thian-hi kesima sekian lama, katanya, "Kiu-thian-cu-ko yang beliau tunggu 5elama enam puluh tahun telah diberikan kepadaku!" "Apa?" situa Pelita tersentak kaget. Thian-hi lantas tuturkan pengalamannya selama tiga hari ini. Situa Pelita manggut-manggut serta katanya tersenyum, "Begitupun baik, sayang kalau Go-cu Taysu sendiri mau memberi petunjuk langsung kepadamu tentu lebih besar manfaatnya!" Diam-diam Thian-hi bertanya-tanya dalam hati, tokoh macam apakah sebenarbenarnya Go-cu Taysu itu, betapa tinggi ilmu kepandaiannya. Situa Pelita tertawa-tawa, ujarnya, "Namun rejeki yang kau peroleh pun merupakan karunia yang sukar didapat oleh orang lain. Tapi kau harus tahu ini baru permulaan dari 'Sebab' itu, kelak tentu banyak pekerjaan dari 'akibat' itu untuk kau selesaikan." "Kemanakah kiranya Go-cu Taysu sekarang, apakah Cianpwe tahu jejaknya?"' "Orang muda jangan terlalu serakah. Jejak Go-cu Taysu selamanya. sukar diketahui orang, buat apa kau tanya kepadaku?" "Bukan begitu maksudku, tujuanku hanya ingin tanya berbagai persoalan kepada beliau!" Situa Pelita geleng-geleng kepala, ujarnya, "Mungkin kalau ada jodoh atau secara kebetulan saja baru kau ada kesempatan bertemu dengan beliau!" Sesaat mereka berdiam membungkam, Situa Pelita membuka suara, "Sijubah kuning itu kuduga adalah Mo-lam-it-koay, sedang Hwesio jenaka itu aku kurang terang. Karena kejadian ini ia menanam permusuhan dengan Mo-lam-it-koay, kelak tentu banyak perhitungan yang harus kau pikul!" Diam-diam Thian-hi mencatat nama Mo-lam-it-koay dalam sanubarinya. "Aku masih punya urusan yang harus segera kuselesaikan. Rejekimu begitu nomplok maka kau harus hati-hati dan bisa menjaga diri baik-baik karena ilmu silatmu sekarang belum mencukupi Gin-ho-sam-sek pemberian Soat-san-su-gou boleh kau pelajari dulu, belakang hari kalau ada jodoh kita bisa berjumpa kembali!" - habis berkata terus tinggal pergi. Setelah situa Pelita hilang dari pandangan matanya Thian-hi merasa hatinya hampa dan cemas, lama dan lama kemudian baru ia cemplak kudanya melanjutkan perjalanan ke depan. Sejak menelan Kiau-thian-cu-ko Lwekangnya maju pesat, sepanjang perjalanan ini tak mengenal kesal ia pelajari ilmu Gin-ho-sam-sek. Tak terasa tahu-tahu tiga hari sudah lewat, selama ini ia tidak menemui rintangan apa di tengah jalan. Tapi ia tahu bahwa seratusan li di sekitarnya banyak orang tengah memata2i dirinya. Hari itu pagi2 benar-benar Thian-hi sudah congklang tunggangannya melanjutkan perjalanan. Kira-kira puluhan li kemudian, tiba-tiba puluhan kuda tunggangan membedal datang dari belakang. Thian-hi hentikan kudanya menunggu, puluhan ekor kuda itu melesat lewat di kedua sampingnya, terus secepat kilat dihentikan dan putar balik berdiri jajar mencagat di depan Thianhi. Terlihat oleh Thian-hi puluhan orang itu mengenakan seragam pendek warna hijau, punggung mereka mengenakan mantel besar, hanya seorang yang ditengah adalah seorang gadis remaja yang mengenakan pakaian serba merah, mantel yang dikenakan pun warna merah menyolok. Orang yang paling pinggir memajukan kudanya serta bertanya kepada Thian-hi, "Apakah kau ini murid Lam-siau Hun Thian-hi?" Hun Thian-hi manggut-manggut tanpa buka suara. Terdengar orang itu berseru lantang, "Atas perintah dari Hwi-cwan Pocu, persilahkan Hunsiauhiap mampir sebentar di Hwi-cwan-po!" Thian-hi menyapu pandang dulu ke puluhan orang itu baru balas tanya, "Untuk urusan apa?" "Siauhiap akan tahu setelah sampai disana!" Thian-hi tertawa tawar, katanya, "Terima kasih akan maksud baik Pocu kalian. Harap beri lapor kembali pada Pocu kalian katakan bahwa aku Hun Thian-hi punya urasan penting, belakang hari kalau ada waktu tentu aku mampir kesana!" Orang itu tertegun sebentar lalu berpaling ke arah gadis baju merah. "Sekarang juga. harus kesana!" akhirnya gadis baju merah ikut bicara. "Karena urusan Leng Bu bukan?" seru Thian-hi sembari gelak tertawa, "Siapapun boleh dan harus membunuh Leng Bu, betapa tercela sepak terjangnya masa Hwi-cwan-po ada maksud menuntut balas baginya?" Gadis baju merah menarik muka, bentaknya, "Kau tidak mau pergi terpaksa kita gunakan kekerasan!" Thian-hi menjengek dingin, "Ya, biar aku belajar betapa hebat tiga belas jurus Hwi-cwan-kinsoat dari Hwi-cwan-po kalian!" Gadis baju merah tertawa dingin, para kerabatnya segera maju merubung kesekeliling Thian-hi. Thian-hi pentang lebar matanya manyapu pandang para pengepungnya, tahu dia bahwa hari ini terpaksa ia harus gunakan kekerasan lagi. Maka segera kudanya dikeprak maju terus menerjang lebih dulu. Serentak puluhan mantel bertebaran menari2 menggulung berbareng ke arah Thianhi. Thian-hi menggertak keras tubuhnya mencelat tinggi ke tengah udara sedang kudanya masih membedal ke depan terus, ditengah udara Thian-hi mainkan gaja tubuhnya yang indah berkelit kian kemari dari samberan mantel2 musuh dan membelesot lewat dari tengah celah kepungan musuh terus meluncur duduk kembali dipunggung kudanya. Baru saja belum sempat ia membetulkan tempat duduknya, terdengar teriakan nyaring merdu sekuntum awan merah disertai angin menderu keras menerpa ke arah dirinya. Tahu Thian-hi bahwa gadis baju merah telah menunjukkan aksinya. Tanpa ayal ia dorong ke depan kedua telapak tangannya memapak menyambut serangan mantel merah lawan Begitu serangan pertama gagal, jurus kedua yang lebih hebat dari sigadis baju merah telah melandai tiba pula. Thian-hi tidak perlu gentar mengingat Lwekangnya baru saja maju berlipat ganda, enteng sekali tangan kanan dijulurkan keluar mencengkerana mantel gadis baju merah terus dibetotnya mentah-mentah, dan usahanya ternyata berhasil. Tapi seiring dengan lari Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo kudanya yang membedal lewat cepat-cepat ia timpukkan pula mantel rampasannya kemuka gadis baju merah, maka dilain kejap ia sudah menyongklang kudanya ke depan. Gadis baju merah kelabakan sebentar, namun dilain saat ia sudah larikan kudanya pula mengejar dengan kencang. Dari kejauhan terdengar gadis baju merah berteriak, "Berani kau lari! Ketahuilah gurumu tertawan di Hwi-cwanj-po, malah Pak-kiam suami isteri juga disana." Terkejut Thian-hi, segera ia tarik kendali kudanya sehingga lari pelan-pelan. Waktu ia berpaling tampak gadis baju merah memutar balik kudanya seraya berseru, "Kau mampir tidak terserah kepadamu!"' Thian-hi menghentikan kudanya terus memutarnya balik. Melihat Thian-hi putar balik gadis baju merah tertawa senang, kakinya menendang perut tunggangannya terus dibedal ke depan. Sungguh berat perasaan Thian-hi. Sungguh daluar tahunya, bahwa gurunya bisa tertawan oleh Hwi-cwan-po di Kanglam, tak bisa tidak ia harus percaya akan berita ini karena hari itu ia tinggal lari begitu saja Lam-siau dan Pak-kiam berdua masih bertempur seru, setelah ia lolos kemungkinan besar Thi-kiam Lojin dan Im-hong-ciang Lim Bing kembali dan mengeroyok mereka, dapatlah dibayangkan pihak mana bakal menang. Melihat Thian-hi kena terpancing akan kata-katanya dan tunduk berpikir, gadis baju merah berpaling dan berteriak lagi, "Lekas! Apa lagi yang kau pikirkan?" Thian-hi angkat kepala, pikirnya urusan sudah ketelanjur sedemikian jauh terpaksa aku harus ikut mereka ke Hwi-cwan-po, Karena pikirannya ini segera ia tendang perut kudanya terus dibedal ke depan. Gadis baju merah tertawa lebar, tangannya diulapkan memberi aba-aba, puluhan anak buahnya segera bergerak mengelilingi sekitar Thia-hi berlari kencang. Sekilas Thian-hi menyapu pandang mereka, namun tak bicara apa-apa kudanya dilarikan terus mengintil di belakang gadis baju merah. Entah berapa lama dan betapa jauh perjalanan yang sudah ditempuh ini, tiba-tiba jauh di depan sana kelihatan puluhan kuda mendatangi dengan cepat. Begitu dekat puluhan kuda itu lantas berjajar rapi menghadang di tengah jalan. Dengan muka dingin membeku Gadis baju merah mengajukan kudanya lebih dekat, matanya yang jeli berputar menyorotkan sinar tajam menatap satu persatu para pendatang ini. Melihat cara dandanan para pendatang ini diam-diam Thian-hi terkejut, pikirnya, kenapa anak buah Tong-ting-kun juga meluruk kemari" Pada jauh di belakang sana berlari kencang seekor kuda putih tengah mendatangi.... seorang pemuda yang membekal pedarg panjang menerobos lewat dari puluhan pencegat itu terus menghampiri ke depan gadis baju merah. "Nyo Seng!" teriak gadis baju merah gusar, "Kenapa kau menghadang perjalanan kita?" Pemuda itu bergelak tawa serunya, "Nona Ciok, pihak Hwi-cwan-po kalian tiada punya permusuhan dengan Hun Thian-hi. Urusan Kim-i-kongcu Leng Bu biarlah diselesaikan oleh ayahnya Sing-hu Lojin tak perlu kalian ikut campur. "Tapi engkohku menjadi korban ditangan Hun Thian-hi, ayah menitahkan kepadaku kemari untuk meringkusnya, bagaimana menurut pendapatanmu?" "Hwi-cwan-kian-soat-cap-sa-sek yang dimainkan Leng Bu itu milik siapa masa kau tidak tahu?" jengek gadis baju merah dengan uring-uringan. "Benar-benar!" Seru Nyo Seng tertawa-tawa, "Tapi kau harus tahu Hun Thian-hi membunuh engkohku, sedang Leng Bu bagi Hwi-cwan-po kalian tidak lebih hanya murid murtad melulu!" Gadis baju merah mendengus hidung, belum sempat ia bicara Nyo Seng sudah berkata lagi, "Apakah Hwi-cwaw-po di Kanglam tidak mengenal tata tertib dunia persilatan?" Seru gadis baju merah, "Nyo Seng! Jangan kau pura-pura, kau sangka aku tidak tahu apa yang kau pikirkan" Kalau kau benar-benar ingin minta orang, mari silakan datang ke Hwi-cwan-po saja!" sembari berkata ia jepit perut kudanya seraya mengayun tangan terus menerjang ke depan. Nyo Seng menjengek dingin, sebelah tangannya membalik melolos pedang, para pengikutnya serempak juga melolos keiuar senjata masing-masing untuk merintangi jalan si gadis baju merah. Terdengar gadis baju merah menghardik nyaring tangan yang lain menanggalkan mantel merah di punggungnya terus diobat-abitkan sembari menerobos maju dengan kencang. Nyo Seng melintangkan pedangnya, dengan kekerasan ia berusaha merintangi orang, teriaknya, "Nona Ciok, kalau kau tidak mematuhi peraturan dunia persilatan jangan salahkan aku Nyo Seng tidak mengenal kasihan lagi." Dalam pada itu gadis baju merah sudah menerjang tiba, mantel merahnya segera dikebutkan ke arah Nyo Seng tanpa pedulikan peringatannya. Terpaksa Nyo Seng angkat pedangnya menyontek dan membabat ke arah mantel merah yang menggulung tiba. Tapi permainan mantel si gadis merah ternyata cukup lihay, terdengar ia menghardik keras, kelihatan mantel merahnya berkembang lebar seperti sekuntum awan merah berterbangan menari2 laksana kupu2 merah besar. Dengan deras si gadis baju merah lancarkan ilmu Hwi-cwan-kian-soat-capsa-sek mendesak kepada Nyo Seng. Tapi Nyo Seng tidak gentar, sambil tertawa dingin ia berkelit ke samping sembari memberi aba-aba kepada para pengikutnya untuk menyerbu bersama. Para kerabat dari Hwi-cwan-po juga tidak mau unjuk kelemahan serentak mereka pun menanggalkan mantel masing terus menyerbu ke depan. Seketika terjadilah pertempuran kalangkabut di atas kuda, suasana menjadi riuh meriah. senjata berdenting diselingi teriakan menggeledek serta pekik kesakitan yang jatuh menjadi korban terutama bebenger kuda-kuda yang luka dan sekarat. Suasana pertempuran menjadi semakin kalut karena pemandangan menjadi gelap oleh mengepulnya debu yang menabirkan kabut ke-kuning2an. Diam-diam Hun Thian-hi menerawang" pertempuran di hadapannya dengan berbagai pertimbangan yang menggejolak dalam sanubarinya. Pertempuran kedua golongan ini pasti bukan melulu karena sakit hati atau balas dendam saja, tentu ada latar belakang yang tersembunyi mungkinkah...., terpikir sampai disini tanpa merasa ia mendengus hidung dengan gemes. Begitulah pertempuran ini berjalan secara keras lawan keras, sorak-sorai terus terdengar untuk menambah semangat tempur mereka. Namun tak disadari oleh mereka saking nafsu untuk merobohkan lawan masing-masing bahwa kedua belah pihak sudah jatuh korban sedemikian banyak, boleh dikata separo dari jumlah mereka sudah berjatuhan menggeletak di tanah dengan berlumuran darah, namun semangat tempur kedua belah pihak tetap tinggi dan terus berkutet. Sementara itu, kepandaian Nyo Seng memang setingkat lebih rendah dari lawannya, setelah bergebrak puluhan jurus akhirnya ia terdesak di bawah angin oleh gadis baju merah. Apalagi dilihatnya korban anak buahnya juga semakin banyak, akhirnya sembari menghardik keras: "Berhenti!" ia meloncat mundur. Pertempuran segera berhenti dan anak buah masing-masing mundur ke tempat masing-masing. Mengawasi para korban yang malang melintang di atas tanah, Nyo Seng menggeram dengan mengertak gigi, "Ciok Yan! Nyo Seng hari ini mengakui keunggulanmu. Tapi dalam sepuluh hari ini pasti kita berkunjung ke Hwi-cwan-po." Dengan sombong gadis baju merah yang bernama Ciok Yan menyahut, "Terserah kapan kau mau datang. Hwi-cwan-po selalu menanti kedatangan kalian!" Dengan mengerling Nyo Seng memandang ke arah Hun Thian-hi, lalu mendelik ke arah Ciok Yan terus memutar kudanya dibedal lari sekencang-kencangnya.... Bab 5 Liong Lui sendiri sudah maklum kalau bertempur secara kekerasan tentu Ciat-jitchiu takkan mampu mengambil keuntungan, tapi apakah lawan begitu goblok" Begitulah waktu Oh Lun lancarkan pukulannya yang ganas itu cepat-cepat ia berloncatan menghindar, setiap kesempatan tentu tidak disia-siakan untuk menyergap dan balas menyerang. Tiba-tiba badan Oh Lun melejit ke atas, badannya berputar dan tiba-tiba tangannya membalik terus menekan kebawah dari atas menggencet kepala Liong Lui, Liong Lui mengerahkan tenaga pada kedua kakinya untuk bergerak semakin cepat, tubuhnya berloncatan seperti kupu2 menari di atas sekuntum bunga, terdesak oleh keadaan terpaksa ia angkat tangan untuk menangkis tindihan berat serangan Ciat-jit-chiu Oh Lun. Ditengah udara Oh Lun bisa bergerak begitu lincah seperti burung camar, mendadak badannya menggeliat sehingga, ia meluncur turun disamping Thian-mo-kiam, kedua jari tangan kirinya terangkat terus menutuk keketiak kiri Liong Lui. Terkejut Liong Lui dibuatnya, cepat-cepat ia melangkah mundur mengegos. Tapi serangan Oh Lun ini sungguh punya gaja tersendiri, dari menutuk ia rubah menjadi pukulan telapak tangan, dengan jurus tipu Tiang-song-tiam-soat (Pohon Siong menutul salju). telapak tangannya berubah laksana kabut putih yang berlapis2 mendesak kemuka Thian-mo-kiam Liong Lui. Terpaksa Liong Lui angkat kedua tangannya untuk menangkis dengan kekerasan. terasa kekuatan dahsyat bagai gugur gunung menerpa dan menindih bergelombang tak putus2 sehingga kakinya sempoyongan mundur tiga langkah, akhirnya ia berdiri menjublek dengan muka pucat pasi. Ciat-jit-chiu Oh Lun lantas membalik tubuh menghadapi ke arah pemuda jubah putih sambil menjura dalam, dengan tangannya sipemuda jubah putih memberi isyarat, cepatcepat oh Lun duduk kembali ke tempatnya. Dengan muka pucat Thian-mo-kiam Liong Lui memutar tubuh memandang ke orang tua jubah merah, dengan kedipan mata ia menyuruh Liong Lui, mundur, dengan malu dan tunduk Liong Lui mundur ketermpat duduknya sendiri. Tampak mata sipemuda jubah putih berkilat dengan puas dan bangga. Dengan lirikan tajam Ko-bok-it-koay Tio Hong-ho mengawasi pemuda jubah putih bergegas ia berdiri serta menantangnya, "Aku yang rendah Tio Hong-ho, tidak tahu diri ingin belajar kenal dengan kepandaian Pangcu Partai putih yang luar biasa" Kiong-sa-khek Ki Kang terloroh-loroh berdiri, serunya, "Tio Hong-ho, jangan kau bersikap purapura gede, kenapa tidak secara langsung saja kau tunjuk aku, mengandal kau rasanya tiada berharga untuk bermain-main dengan Pangcu kita." Sikap Tio Hong-ho juga tidak kalah dingin, jengeknya, "Pangcu Partai putih, sudah lama aku Tio Hong-ho mendengar ketenaran namamu, hari kita berjumpa disini, kenapa tidak berani unjuk muka aslinya?" Ki Kang melangkah ke tengah gelanggang, serunya, "Tio Hong-ho kau tak usah putar bacot, marilah aku saja yang akan melayani kau." Saking gusar Tio Hong-ho bergelak tawa, akhirnya dengan sikap kaku ia mendesis, "Ki Kang, betapa besar jagat ini bukan hanya seorang kau yang berkepandaian tinggi, Marilah hari ini kau saksikan dan rasakan betapa aku Tio Hong-ho tidak mudah dihina." Sementara itu Ki Kang sudah menyoreng pedang dan berdiri menanti. Begitu maju Tio Hong-ho lantas ayun tongkat kayunya menyerang kepada Ki Kang. Begitulah merekai mulai saling serang menyerang dengan segala tipu daya untuk merobohkan lawannya, sekejap saja saking cepat gerakan mereka seratus jurus sudah dicapai. Keadaan dua belah pihak masih sama kuat sulit dibedakan siapa lebih unggul atau asor. Mendadak pintu besar ruangan diterjang dari luar, tampak sebarisan anak buah Partai putih menerobos masuk, pemuda jubah putih berkedok bergegas berdiri, dalam hatii ia sudah menduga pasti terjadi sesuatu diluar dugaan yang sangat gawat. Ciok Hou-bu mengerutkan kening, siang-siang sudah perintahkan kepada seluruh penghuni perkampungannya supaya tidak merintangi anak buah Partai merah dan putih, biarlah mereka saling bentrok dan bertempur mati-matian. Sekarang dilihat gelagatnya seperti Partai putih kena perkara gawat, entah apa, jika Partai putih sampai mengundurkan diri, situasi yang menguntungkan pihak dirinya bakal berantakan, mengandal tenaga sendiri mungkin Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Hwi-cwan-po bakal runtuh total dan tak mungkin kuasa berdiri di kalangan Kang-ouw. Seluruh anak buah Partai Putih meluruk ke hadapan Pangcu mereka, sementara itu terpaksa Ki Kang menghentikan pertarungannya dengan Tio Hong-ho. Salah seorang anak buah Partai Putih melapor dengan gugup, "Lapor Pangcu, Thian-san-siang-long...." Pemuda jubah putih menggertak sekali memutus laporan anak buahnya, dengan berpaling ia mendelik awasi orang tua jubah merah. Kontan orang tua jubah merah terbahak-bahak, serunya, "Sungguh aku ikut menyesal bahwa Partai Bun-pangcu tengah terjadi suatu tragedi, kalau Bun-pangcu memerlukan bantuan dan tenaga kita beramai, setelah urusan disini selesai segera kami akan membantu sekuat tenaga." Biji mata pemuda jubah putih memancarkan sinar cemerlang yang aneh, sungguh tak habis herannya darimana mungkin orang tua jubah merah ini tahu bahwa dirinya she Bun" Tapi dalam situasi yang genting ini tiada tempo untuk banyak pikir, cepat ia memberi perintah kepada Kiongsa- khek Ki Kang dan Ciat-jit-chiu Oh Lun, "Jiwi Tongcu harap segera kembali. Urusan disini biar kuselesaikan sendiri!" Ki Kang menjadi gugup, serunya, "Pangcu seorang diri...." "Aku punya rencanaku sendiri!" desak pemuda jubah putih. Ki Kang dan Oh Lun tak berani banyak debat lagi, tersipu-sipu mereka mengundurkan diri. Dengan tajam orang tua jubah merah menatap pemuda jubah putih,. sorot matanya menampilkan rasa dendam yang berkobar, sangkanya tentu musuh utamanya ini akan tinggal pergi, kenyataan adalah diluar perhitungannya semula. Dengan mendelong pandangan pemuda jubah putih terarah ke pintu besar, setelah bayangan Ki Kang beramai tak tampak lagi baru perlahan-lahan ia membalik tubuh, setajam ujung pedang pandangannya berkilat mendelik ke arah orang tua jubah merah. Selintas pandang ia menyapu ke seluruh hadirin, pandangannya berhenti dimuka orang tua jubah merah lagi, pelan-pelan mulutnya mendesis, "Sekarang sudah tiba saatnya untuk kita menyelesaikan sendiri urusan ini." Orang tua jubah merah terkekeh-kekeh bangkit, ujarnya, "Benar-benar memang harus kita berdua yang menyelesaikan sendiri!" sambil berkata matanya melirik ke kanan kiri pada Liong Lui dan Oh Lun. Liong Lui dan Tio Hong-ho segera bangkit bersama, katanya berbareng, "Untuk menyelesaikan urusan ini masa Pangcu harus turun tangan sendiri, biar kita berdua yang menghadapi saja." Orang tua jubah merah terloroh-loroh lagi, dengan congkak ia pandang pemuda jubah putih. Sudah tentu Pemuda jubah putih tahu apa yang tengah dipikir oleh lawan, diapun tak man kalah wibawa, dengan tertawa lebar ia berkata, "Boleh juga kalau kalian ingin belajar kenal dengan aku, Jiwi Tongcu merupakan tokoh kosen dari Partai kalian dan merupakan jago silat kelas wahid dikalangan Kang-ouw, andai kata bertekuk lutut di hadapanku seorang bocah ingusan yang tak ternama apakah tidak menjatuhkan gengsi dan nama baik kalian?" Tio Hong-ho tertawa kering dua kali, katanya, "Pangcu Partai putih sudah tenar dan kenamaan di kolong langit, seumpama terkalahkan oleh kita berdua kaum keroco...." sampai disini ia merandek serta menyapu pandang kekiri kanan. Pemuda jubah putih tertawa geli, ujarnya, "Begitupun baik, marilah kalian maju bersama." Tio Hong-ho dan Liong Lui melangkah maju bersama ke tengah arena. Mereka insaf hari ini menghadapi musuh tangguh, maka pedang dan tongkat yang menjadi senjata andalan mereka sudah disiapkan, mengkonsentrasikan diri mereka bersiap waspada. Ujung kaki pemuda jubah putih sedikit menutul dilantai, tiba-tiba tubuhnya melejit enteng ke tengah udara seringan burung seriti, di tengah udara badannya berputar setengah lingkaran baru meluncur turun miring, berbareng kedua telapak tangannya menepuk ke arah dua musuhnya. Tio Hong-ho dan Liong Lui bukan kaum lemah, kepandaian mereka cukup tinggi, serentak mereka menyilangkan pedang dan tongkat, berbareng balas menyerang memapak luncuran tubuh lawan. Kelihatannya pemuda jubah putih acuh tak acuh menghadapi serangan balasan ini, tiba-tiba tubuhnya meluncur turun, begitu kaki menyentuh tanah dengan gesit kedua kakinya menggeser kedudukan tahu-tahu kedua telapak tangannya sudah menepuk maju kemuka kedua lawan. Tio Hong-ho dan Liong Lui melompat mundur menghindar, sekarang mereka berdiri beradu punggung, setiap jurus pedang dan tongkatnya bergerak untuk melindungi badan saja tak mencari kesempatan untuk mengejar kemenangan. Terlihat oleh Ciok Hou-bu yang menonton pertempuran ini dengan seksama, gerakgerik pemuda jubah putih semakin tempur semakin tangkas dan cepat. Gaja permainan silatnya hampir tidak dapat diikuti oleh pandangan mata, diam-diam bercekat hatinya, bukan mustahil sebagai pejabat Pangcu suatu partai mempunyai kepandaian tunggal yang diandalkan, tapi siapakah pemuda jubah putih ini, murid siapa lagi" Ternyata begitu tinggi dan mengagumkan ilmu silatnya. Dilain pihak orang tua jubah merah juga tengah meneliti dengan seksama setiap permainan silat pemuda jubah putih, semakin lama alisnya bertaut semakin dalan. Hatinya pun tak habis heran dan kagetnya, bukankah permainan pukulan yang diunjukan ini adalah Engjiong-ciang dari gurun besar diluar perbatasan itu" Apakah pemuda jubah putih she Bun ini adalah murid beliau" Tengah ia terpekur, tiba-tiba terdengar gertakan cukup keras ditengah gelanggang. Ternyata pemuda jubah putih itu sudah tidak sabar lagi, beruntun ia bergerak melancarkan tiga pukulan berantai, tiba-tiba ia melolos keluar cambuk peraknya, tampak selarik sinar putih kemilau herkelebat kontan pedang dan tongkat lawan kena digubat dan disendak terlepas terbang dari cekalannya. Thian-mo-kiam Liong Lui dan Ko-bok-it-koay Tio Hong-ho berdiri terlongonglongong ditempatnya, dengan seringai dingin pemuda jubah putih berputar tubuh menghadap ke arah orang tua jubah merah dengan pandangan yang mengejek. Sekonyong-konyong cahaya matanya mengunjuk rasa kaget dan kesima, dengan melirik sekilas ia menyaksikan sebuah wajah yang penuh rasa kegirangan dan kekagumam tengah mengawasi kepadanya wajah nan aju molek itu bukan lain adalah Ciok Yan, putri tunggal dari Hwi-cwan-po. Terdengar orang tua jubah merah menjengek dingin, ejeknya, "Murid tunggal Cekhun Totiang ternyata benar-benar hebat." Kontan seluruh hadirin mengunjuk rasa heran dan kaget. Cek-hun Totiang adalah Sute dari Ciangbunjin Bu-tong-pay Put-lo-sin-sian Giok-yap Cinjin, beberapa puluh tahun yang lalu pernah diusir dari perguruan karena melanggar undang2 perguruan, maka sejak itu entah kemana jejaknya, sungguh tidak nyana, bahwa pemuda jubah putih ini kiranya adalah muridnya. Sedikitpun pemuda jubah putih tidak menunjukkan reaksi akan cemooh orang, dengan sikap dingin ia pandang orang tua jubah merah, sindirnya, "Kedua jagomu sudah keok, sekarang kau bagaimana?" Orang tua jubah merah menggeram gusar, pelan-pelan ia melangkah maju. Melihat musuhnya tiada niat menggunakan senjata, segera pemuda jubah putih membelitkan lagi cambuknya dipinggang. Sembari menyeringai orang tua jubah merah menyerang dengan sebelah tangannya kepada musuh yang masih muda belia ini. Sebat sekali pemuda jubah putih mencelat mundur, namun orang tua jubah merah mendesak maju mengejar. Sedikit menutulkan kakinya badan pemuda jubah putih lantas melejit tinggi ke atas, beruntun kedua kakinya menendang berantai memgarah kedua biji mata orang tua jubah merah. Orang tua jubah merah menggerung murka, terpaksa dari menyerang ia main bertahan. Mendapat angin pemuda jubah putih semakin merangsek dengan gagah berani, begitu kakinya hinggap di tanah di belakang lawan segera ia kembangkan ilmu Eng-jiong-ciang yang mempunyai delapan belas jalan pukulan, gerak-gerik badannya selulup timbul naik turun persis laksana seekor elang besar yang beterbangan ditengah udara. Tapi gerak-gerik orang tua jubah merah pun tidak kalah licinnya, dengan kedua tangan melintang melindungi dada, kedua matanya menatap tajam setiap gerak gerik pemuda jubah putih, sedikit ada lowongan baru menyerang tanpa membuang tenaga dan kesempatan, cara tempurnya adalah main sergap dan tak main kekerasan. Delapan belas jurus Eng-jiong-ciang sudah hampir dimainkan habis, namun sedikitpun pemuda jubah putih tak mampu mendesak lawannya, diam-diam gugup dan gelisah hati pemuda jubah putih, inilah pengalaman pertama yang dialaminya sejak berkelana di dunia persilatan. Mendadak sebuah pikiran terkilas dalam benaknya, apakah bukan dia" Terpikir akan ini diamdiam ia mengumpat dalam hati. Segera badannya melejit lagi dengan sejurus Giok-jianhun-kayloh, kedua jari-jari tangannya laksana cakar burung elang mencengkeram kemuka musuhnya. Melihat serangan ganas sipemuda, orang tua jubah merah mandah tertawa sinis, diam-diam girang hatinya, batinnya kau mimpi kalau berani mengadu kekerasan dengan aku. Kedua telapak tangannya segera menepuk keluar dengan jurus Ciang-tok-mo-thian melawan serangan pemuda jubah putih dengan kekuatan penuh. Tak nyana gerak gerik pemuda jubah putih cukup tangkas, beluam lagi tangannya mengenai sasarannya cepat-cepat ia meluncur turun dan menghindar, setelah mendengus ejek ia menyeringai "Kukira siapa, ternyata adalah keturunan dari Thay-i-bun!" Muka orang tua jubah merah menjadi beringas, dengan menghardik keras ia melolos sebilah pedang yang berkilauan memancarkan cahaya menyilaukan mata terus membacok serabutan kepada pemuda jubah putih. Terpaksa pemuda jubah putih keluarkan kedua senjata, sesuai dengan nama julukannya yaitu pedang mas dan cambuk perak untuk melawan sebisanya, begitulah pertempuran babak kedua dengan menggunakan senjata ini tak kalah sengit dan serunya. Ciok Hou-bu, Nyo Kwong dan To Hwi saling pandang, sungguh mereka tidak nyana bahwa Thay-i-bun yang dulu sudah ditumpas ternyata muncul lagi disini. kalangan Kangouw mengandal ilmu pedang yang dinamakan Thay-i-kiam-hoat dari jaya akhirnya berubah menjadi runtuh. Dulu Thay-i-bun malang melintang dan simaharaja dijadi congkak dan takabur akhirnya karena merasa terlalu kuat dan sombong, aliran ini menjadi semakin buruk kelakuannya dari golongan lurus menjadi nyeleweng ke arah yang sesat. Terpaksa berbagai golongan dan aliran bergabung menumpasnya bersama. Sejak itu golongan Thay-i-bun lantas kelelap dari lembaran sejarah dunia persilatan, namun sebilah pedang Thay-i-kiam sejak saat itu pula menghilang tanpa diketahui jejaknya. Orang tua jubah merah sendiri tahu bahwa golongan Thay-i-bun pihaknya memang sudah tersingkirkan dari percaturan dunia persilatan. Maka dengan sengit ia kembangkan permainan ilmu Thay-i-kiam-hoat. Tanpa gentar sedikitpun pemuda jubah putih mainkan pedang mas dikombinasikan dengan cambuk perak. Tahu dia bahwa Thay-i-kiam merupakan pedang pusaka yang tajam luar biasa, walau pedang dan cambuknya cukup lihay bagaimana juga takan kuat melawan pedang pusaka, Begitu Thay-i-kiam-hoat dikembangkan berkuntum cahaya putih kemilau bertaburan ditengah gelanggang menari2, begitu ketat dan rapi sekali mengurung pemuda jubah putih, sehingga terdesak mundur berulang-ulang. Dilain pihak Ciok Hou-bu beramai juga terperanjat, merekapun insaf bila pemuda jubah putih Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo tak kuasa melawan dan bertahan, pihak sendiripun bakal kerembet dan celaka. Setelah celingukan kekanan kekiri ia tanggalkan mantel dipunggungnya, sebat sekali ia bergerak maju sambil tarikan senjata mantelnya mengembangkan kepandaian andalannya yaitu tiga belas jurus Hwi-cwan-kiansoat. Sejak tadi Ciok Yan sudah terpesona dan kagum kepada pemuda jubah putih, diamdiam ia kepincut akan ketangkasan anak muda ini, melihat ayahnya turun tangan ia pun tanggalkan mantelnya ikut menyerbu ke tengah gelanggang. Tio Hong-ho dan Liong Lui menggertak bersama, segera mereka menggerakan tongkat dan pedang masing-masing maju merintangi, maka terjadilah pertempuran dalam tiga kelompok. Tiga belas jurus ilmu kepandaian mantel yang dimainkan Ciok Hou-bu memang cukup lihay, cukup dengan putaran senjata lunaknya ini yang bisa berkembang melebar ia desak Tio Hong-ho dan Liong Lui berdua, dalam waktu singkat mereka rada terdesak di bawah angin. Nyo Kwong dan To Hwi saling pandang sebentar, To Hwi mendeugus hidung, ringan sekali tangan kirinya menjentik, sebentuk Toh-bing-ci-hoan (cincin penyabut sukma) melesat keluar mengeluarkan suara mendengung, terbang berputar melesat ke arah jalan darah mematikan ditubuh orang tua jubah merah. Orang tua jubah merah menggertak dengan gusar, cepat sekali ia mengayun Thay-ikiam, tapi cara sambitan cincin penyabut nyawa ini memang luar biasa, ditengah jalan mendadak putar haluan terus terbang berputar satu lingkaran, pedang pusaka membabatnya disebelah samping, tapi tahu-tahu cincin penyabut sukma ini sudah melesat dari tengah mengarah ke tengah kedua mata orang tua jubah merah. Keruan girang bukan main pemuda jubah putih mendapat bantuan yang menguntungkan ini, pedang cambuknya dimainkan semakin gencar, dengan seluruh kekuatan dan kemampuannya ia serang orang tua jubah merah habis2an. Orang tua jubah merah menggerung panjang, kepandaian silatnya sungguh luar biasa dalam kepungan ketat dari musuh2nya sigap sekali ia masih dapat bergerak cepat, tubuhnya miring meluputkan diri, berbareng pedangnya menyontek ke atas melancarkan jurus Itgoak-hok-su, tring, tring, terdengar suara nyaring cincin penyabut nyawa yang menyamber itu kena ditangkis pecah berhamburan, sedang pedang mas pemuda putih pun telah kutung menjadi dua. Pemuda jubah putih kaget luar biasa, cepat ia melompat mundur, namun sambil menyeringai seram orang tua jubah merah maju mengejar sambil menusukan pedangnya. Sekonyong-konyong sesosok bayangan orang meluncur turun dari tengah udara memasuki gelanggang. Ternyata Hun Thian-hilah yang muncul, tampak tangan kanannya menyoreng sebilah pedang, sejurus saja cukup ia mendesak mundur orang tua jubah merah. Seluruh hadirin menjadi kaget dan berseru heran. Terutama Ciok Yan berteriak kejut, "Hun Thian-hi." Sesaat seluruh hadirin menjadi sunyi senyap. Sebetulnya sejak tadi Hun Thian-hi sudah menyelundup masuk keruang besar, tapi selama itu ia tidak mendengar pembicaraan mengenai gurunya. Kini setelah melihat pemuda jurus Gelonmbang perak berderai ia pukul mundur si orang baju putih terdesak dan menghadapi bahaya dengan sejurus situa jubah merah. Sebetulnya tusukan orang tua jubah merah dapat tepat mengenai sasarannya, tentu saat ini pemuda jubah putih sudah menemui ajalnya di bawah tusukan pedang pusakanya. Tapi begitu Hun Thian-hi muncul lantas lancarkan serangan ganas dan aneh sehingga terpaksa ia harus menyelamatkan diri terlebih dulu, keruan gusar bukan kepalang hatinya. Dasar berhati culas dan banyak akal muslihatnya lahirnya ia tetap tenang-tenang saja, namun dalam hati ia mengakui, jurus serangan Hun Thian-hi tadi meski dilancarkan secara tak terduga, namun cukup dapat mendesak dirinya, maka dapatlah diukur betapa tinggi kepandaian bocah ini. Apalagi Badik buntung masih berada ditangannya, betapa pun aku tak bisa berlaku ceroboh sehingga kehilangan rejeki. Tenang-tenang ia menyapu pandang kewajah para hadirin dalam ruang besar ini. Hun Thian-hi melangkah kesamping serta berkata kepada Ciok Hou-bu, "Ciok-pocu, guruku Lam-siau dimanakah beliau sekarang, harap suka menerangkan?" Ciok Hou-bu menghirup hawa, sesaat ya menjadi kememek tak tahu cara bagaimana harus menjawab. Malah Toh-bing-cui-hun To Hwi yang menjengek dingin, "Hun Thian-hi, jiwamu sendiri belum tentu selamat, kau masih urus gurumu." Biji mata Hun Thian-hi berkilat tajam bagai aliran listrik menatap muka To Hwi, katanya dengan nada berat, "Hun Thian-hi berani meluruk kemari, sudah tentu tak peduli mati atau hidup. Hun Thian-hi seorang laki-laki apa yang telah kuperbuat biar aku sendiri yang bertanggung jawab, kenapa merembet pada guruku?" Orang tua jubah merah menggerung gusar, teriaknya, "Urusan gurumu aku tidak peduli, yang terang kau sendiri sekarang disini, dengan sepak terjangmu tadi serta Badik buntung yang kau miliki itu, apakah kau harap bisa tinggal pergi dari sini?" Pelan-pelan Hun Thian-hi berputar menerawang seklilingnya, dihhatnya pandangan semua orang mengandung rasa kepanikan dan dendam yang membara terhadap dirinya. Tiba-tiba pemuda jubah putih dibelakangnya buka bicara, "Hari ini dia merupakan tamu teragung dari aku Bun Cu-giok, kalian berani menggangu usik dia harus tanya dulu kepadaku!" - sembari berkata ia melangkah serindak ke depan. Kalem2 saja Hun Thian-hi berpaling, sekilas ia pandang pemuda jubah putih dengan perasaan penuh haru dan terima kasih. Terdengar ia mendengus serta menyapu pandang keempat penjuru, jengeknya sinis, "Jikalau tadi dia tidak muncul, seluruh hadirin dalam ruang ini siapa yang masih kuasa hidup sampai sekarang ini?" "Itukan persoalan pribadi," tukas orang tua jubah merah, "Yang terang Hun Thianhi telah mengobarkan kemarahan umum, sudah jamak kita bekerja mengutamakan kepentingan orang banyak, bukankah kau sendiri termasuk aliran dari Bu-tong-pay" Murid Bu-tong pun ada yang mati ditangannya, apa kau tidak tahu?" To Hwi juga menggeram dan ikut bicara, "Aku To Hwi tidak peduli apa yang kalian persoalkan, betapapun hari ini aku harus meringkus bocah Hun Thian-hi ini." "Mengandal kau" Apa kau becus?" ejek pemuda jubah putih. Toh-bing-cui-hun To Hwi bergelak tawa, dengan gerak lamban tangannya sekaligus ia semtilkan tiga buah cincin penyabut nyawa langsung melesat mengarah Hun Thianhi. Kim-kiam-gin-pian menggertak murka, cambuk peraknya yang sudah kulung separo disambitkan membuat sambitan cincin penyabut nyawa porak peronda ditengah jalan. Berubah air muka To Hwi, beruntun jari tangan kanannya menjenyik bergantian menyambitkan tiga batang Cui-hun-chit-sa-cian (panah tujuh iblis mengejar sukma) yang sudah lama tak pernah dipakai lagi, ketiga batang panah kecil warna hitam kemilau meluncur ke arah Hun Thian-hi. Hun Thiari-hi bersuit ringan, badannya mendadak. mencelat mumbul ke depan menubruk ke arah datangnya tiga panah maut sambitan musuh, dimana pedang panjang ditangan kanannya bergerak dengan jurus Gelombang perak mengalun berderai sekaligus ia tangkis dan hancur leburlah ketiga Cui-hun-cian musuh. Berubah hebat rona wajah To Hwi sungguh tidak terduga olehnya bahwa Cui-hunchit-sa-cian yang lihay dan kenamaan itu begitu gampang telah dipatahkan. Tadi ia melihat dengan mata kepala sendiri sekali gebrak Hun Thian-hi berhasi] memukul mundur orang tua jubah merah, sangkanya merupakan serangan bokongan diwaktu orang tengah melancarkan serangan khusus pada musuhnya, sekarang kalau dilihat gelagatnya, kepandaian silat Hun Thian-hi betul-betul sangat mengejutkan sekali. Badan Hun Thian-hi melunjjur turun dihadapan Ciok Hou-bun, katanya, "Ciok-pocu, harap tanya dimanakah jejak guruku sekarang?" Belum sempat Tiiok Hou-bu menjjawab, tahu-tahu orang tua jubah merah sudah putar pedang pusakanya merabu ke arah Hun Thian-hi. Sejak menelan buah ajaib, Hun Thian-hi mulai melatih Gin-ho-sam-sek dengan seksama, kecuali jurus ketiga yang masih rada sulit dipahami, jurus pertama dan kedua dapat dilatihnya dengan gampang. Selama dua hari di Soat-san ia melihat Soat-san-su-gou mereka menggunakan kedua jurus itu untuk menghalau musuh tangguh, ini berarti intisari kedua jurus ilmu ini telah diturunkan langsung kepada Hun Thian-hi, sayang Lwekang Hun Thian-hi sendiri belum mencapai taraf yang diperlukan. Sekarang waktu Hun Thian-hi lancarkan Gelombang perak mengalun berderai dari bertahan berbalik balas menyerang malah, orang tua jubah merah terdesak keripuhan. Terasa oleh orang tua jubah merah sinar perak berkemilau diempat penjurunya menyilaukan mata dan mengganggu pemusatan pikiran, hawa dingin dan tajam seperti mengiris kulit yang tak kelihatan seiring dengan kilalatan sinar pedang merangsang dan menyampok ketubuhnya, keruan ia semakin terdesak di bawah angin, terpaksa ia menjaga diri saja dengan rapat. Melihat babak pertempuran adu pedang ini diam-diam bercekat hati Ciok Hou-bu, ia membatin kalau sampai Hun Thian-hi mengambil kemenangan tentu. situasi selanjutnya tidak menguntungkan bagi dirinya, beruntung kalau ia mau percaya dengan keterangannya, kalau tidak.... Karena pikirannya ini segera ia berteriak, "Tahan, dengarkan kata-kataku!" Hun Thian-hi menghentikan serangannya terus mundur dan berdiri sambil masih menenteng pedangnya, kepalanya berpaling memandang ke arah Ciok Hou-bu. Tanpa merasa Ciok Hou-bu merasa tekanan bertamba hbesar terhadap dirinya, maka katanya menyelidik kepda pemuda jubah putih, "Bun-pangcu, apakah tujuanmu yang utama kemari?" Bun Cu-giok bergelak tawa dijawabnya, "Memang, semula aku mengincar juga Badik buntung itu, tapi sekarang kunyatakan aku tidak memerlukannya lagi." Tergetar perasaan Ciak Hou-bu, ia berpaling dan memandang kekanan diri, diamdiam ia tengah menerawang situasi sekelilingnya, memperhitungkan untung ruginya, kalau seumpama dirinya bergabung, ditambah orang tua jubah merah dan seluruh kerabat dari Hwicwan-po kemenangan terang bakal dapat dicapai dengan mudah. namun.... Agaknya orang tua jubah merah dapat meraba jalan pikirannya, sembari tertawa lantang ia berseru, "Kenapa Bun-pangcu tersinggung oleh peristiwa tadi, urusan sudah lewat anggap saja sudah himpas. yang paling utama sekarang adalah demi Hun Thian-hi, seumpama bisa merebut Badik buntung dari tangannya, kita masing-masing apa kuat mengangkanginya sendiri, maka jalan satu2nya adalah berserikat." ~secara gamblang ia ajak Bun Cu-giok untuk bergabung, hakikatnya tujuan kata-katanya adalah kepada Ciok Hou-bu, secara diam-diam ia memberi kisikan supaya orang tak perlu kuatir kalau kelak ia bakal memonopoli sendiri hasil jerih payah bersama. Bun Cu-giok menjengek gusar, "Bun Cu-giok tadi sudah menjelaskan, sekarang aku tidak sudi lagi dengan Badik buntung apa segala." Sudah tentu Ciok Hou-bu juga maklum akan arti kata orang tua jubah merah yang dalam, sambil tertawa ewa ia berkata kepada Hun Thian-hi, "Sebenar-benarnya gurumu tak berada disini." Hun Thian-hi tersentak kaget, tanyanya, "Apa?" Ciok Hou-bu menyeringai, katanya lagi, "Hun-siauhiap, gurumu tak berada disini. Memang aku sudah menahannya, namun akhirnla gurumu pergi juga. Supaya dapat memancingmu kemari terpaksa aku menyebar kabar bohong itu." Gemes dan dongkol pula perasaan Hun Thian-hi, katanya dingin, "Jadi tujuan Ciokpocu yang sebenar-benarnya adalah Badik buntung" Ketahuilah bahwa Badik buntung sekarang tak berada di tanganku." Ciok Hou-bu tertegun. Dasar licik adalah orang tua jubah merah yang buka bicara lagi, "Tak menjadi soal, asal kau disini, tak perlu kuatir Badik buntung takkan datang Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo sendiri?" Terlihat oleh Thian-hi, Ciok Hou-bu tengah memberi tanda lirikan kepada anak buahnya, tak lama kemudian sebarisan anak buahnya yang mengenakan seragam hijau berdujun2 memenuhi seluruh ruangan. Tiba-tiba Hun Thian hi tertawa lebar, tanyanya, "Apakah Ciok-pocu betul-betul hendak menahan aku?" "Sudah tentu!" seru Ciok Hou-bu. Orang tua Jubah merah tahu saatnya sudah tiba, maka sembari bergelak tawa ia bolang balingkan pedang pusakanya terus menyerbu lebih dulu. Kim-kiam-gin-pian Bun Cugiok melihat situasi sudah berkembang begitu gawat, terpaksa iapun mulai bergerak, dengan menenteng pedang ia menubruk ke arah Ciok Hou-bu. Mata Ciok Hou-bu jelilatan melirik ke kanan kiri, segera Nyo Kwong dan To Hwi juga melolos pedang masing-masing, sedang ia sendiri menggentakkan mantel besarnya terus kembangkan tiga belas jurus Hwi-cwan-kian-soat menyerbu kepada Bun Cu-giok. Bun Cu-giok membuang pedangnya yang sudah kutung, dengan ilmu Eng-hong-ciang ia hadapi ketiga pengerojoknya. Sudah sekian lama Ciok Hou-bu angkat nama dikalangan Kangouw dengan ilmunya Hwicwankian- soat-cap-sa-sek, sudah tentu kepandaiannya bukan olah-olah lihaynya, tiga tokoh silat kelas wahid sekaligus mengeroyok Bun Cu-giok, pedang dan cambuknya sudah kutung dan dibuang dengan bertangan kosong sudah tentu ia terdesak di bawah angin. Terdengar Ciok Hou-bu membujuk, "Bun-pangcu seorang gagah harus dapat melihat gelagat dan mengambil keuntungan, Bun-pangcu masih muda dan punya masa depan yang gemilang, kenapa berpandangan cupat dan mengukuhi adat sendiri?" Bun Cu-giok menjengek sinis tanpa buka suara. Sementara itu Ciok Yan berdiri menjublek di tempatnya, tak tahu apa yang harus dilakukan. Di lain pihak dengan permainan Gin-ho-sam-sek seorang diri Thian-hi melawan orang tua jubah merah. Gin-ho-sam-sek merupakan ilmu tunggal yang tiada keduanya dari ilmu pedang tingkat tinggi. Bu-bing Loni yang dipandang sebagai jago nomor satu di seluruh kolong langit pun kena dikepung selama sehari semalam, maka dapatlah dibayangkan betapa hebat dan digdaya ilmu ini. Tapi kepandaian orang tua jubah merah dengan ilmu pedang Thay-i-kiam yang tajam luar biasa itu berusaha bertahan sekuat tenaga, sayang Hun Thian-hi menguatirkan keselamatan Bun Cugiok yang terkepung dalam bahaya. diam-diam hatinya menjadi gugup dan kuatir. Pertempuran tokoh silat tinggi melulu mengutamakan pengkonsentrasian pikiran dan badan sedikit perhatian terpencar orang tua jubah merah lantas balas menyerang, keadaan menjadi sama kuat. Hun Thian-hi menjadi tak sabar lagi, Gin-ho-sam-sek jurus kedua segera dilancarkan setabir cahaya putih berterbangan mengurung orang tua jubah merah. Kontan orang tua jubah merah terkurung ketat, sekuat tenaga ia bertahan dan berusaha menerobos dan bergulat dengan segala daya upaya. Hun Thian-hi semakin mengerutkan kurungannya, sayang ia kuatir dan gentar menghadapi ketajaman Thay-i-kiam-lawan sehingga mengurangi kebebasan gerak geriknya. Di belakang sana terdengar gelak tawa Ciok Hou-bu, kiranya kedok Bun Cu-giok ditanggalkan. Kata Ciok Hou-bu lagi, "Bun-pangcu, sekarang kesempatan terakhir aku mengundangmu ikut dalam perserikatan kita." Biji mata Bun Cu-giok berkilat beringas, dengan murka ia mencemooh, "Seumpama aku Bun Cu-giok hari ini harus terkubur disini jangan harap keinginan kalian bisa terkabul." Melihat Bun Cu-giok sudah terdesak ke dalam bahaya. Hun Thian-hi membentak keras, tiba-tiba ia melesat berkelebat, pedang panjangnya serentak merabu kepada Ciok Hou-bu bertiga. Gentar akan kekuatan dan kehebatan kepandaian orang Ciok Hou-bu bertiga menyurut mundur. Sementara orang tua jubah merah menghardik terus mengejar tiba, pedang panjangnya menusuk ke punggung Hun Thian-hi dari belakang. Terpaksa Hun Thian-hi membalikkan pedang, tusukannya balas menyerang ke tengah mata orang tua jubah merah. Orang tua jubah merah tertawa riang, sedikit angkat pedang dan menyontek "tring", kontan pedang Hun Thian-hi kutung menjadi dua dan berkerontangan jatuh di lantai. Girang Ciok Hou-bu bukan main, berempat mereka mengepung Bun Cu-giok dan Hun Thian-hi. Sementara Ciok Yan berdiri dengan pucat dan ketakutan diluar gelanggang. Bun Cugiok berdiri menjublek kehilangan semangat. Berkilat pandangan Hun Thian-hi satu per satu ia tatap keempat musuhnya, hatinya menyesal sekali bahwa seseorang menyertai kematiannya, ini adalah tidak diinginkan olehnya, otaknya tengah menerawang dan beragu apakah ia harus melancarkan jurus ganas pencacat langit pelenyap bumi untuk mengakhiri pertempuran ini. Tempo hari ia sudah pernah berjanji kepada Situa pelita untuk tidak melancarkan jurus ganas ini, tapi Sementara itu, Ciok Hou-bu sudah unjuk muka berseri, otaknya sudah melayang membayangkan Badik buntung bakal tergenggam dalam tangannya, maka Ni-hay-ki-tin jelas sudah diambang mata. Mendadak pintu besar diterjang dari luar, serombongan orang berkuda menerjang masuk, terus meluruk ke arah Ciok Hou-bu beramai. Keruan kaget Ciok Hou-bu bukan main, cepat ia memberi aba-aba kepada anak buahnya, pihak Partai merah juga lantas bergerak memapak maju merintangi. Pemimpin penyerbuan tak terduga ini adalah seorang tua berambut uban, tampak ia mencelat tinggi dari tunggangannya ditengah udara melolos pedang terus meluncur ke tengah diantara empat musuh Hun Thian-hi. Begitu melihat orang tua beruban ini Ciok Hau-bu lantas berteriak, "Kim Poanlong!" Ki-thian Lojin Kim Poan-long begitu mendaratkan kakinya lantas bertanya lantang, "Siapa Hun Thian-hi?" Ciok Hou-bu mengulap tangan menghentikan anak buahnya, serta serunya menunjuk Hun Thian-hi, "Dia inilah, saudara Kim ada urusan apa?" Kim Poan-long celingukan menerawang situasi sekelilingnya. Sedang orang tua jubah merah menjadi marah melihat tambah seorang lagi yang turut campur dalam pertikaian ini, dengan menggerung ia menusuk dengan pedangnya kepada Kim Poan-long. Hakikatnya tiada ketulusan hati untuk bekerja sama dengan Ciok Hou-bu beramai kini dilihatnya tambah kedatangan seorang lagi, tadi mereka sudah berada di atas angin, seumpama Kim Poanlong bergabung dalam pihak Hun Thian - hi iapun tak perlu takut. Melihat tusukan orang tua jubah merah, Kim Poan-long mengegos ke samping, berbareng tangannya terayun serta berteriak kepada Hun Thian-hi, "Hun-siauhiap, sambut ini, mari kita menerobos keluar!" Terlihat secarik cahaya hijau berkelebat, tangkas sekali Hun Thian-hi sudah meraih Badik buntung di tangannya, sungguh kejut dan girang bukan main, sungguh tak terkira olehnya Ki-thian Lojin Kim Poan-long bakal meluruk datang tepat pada waktunya. Begitu membekal Badik buntung Hun Thian-hi seperti harimau tumbuh sayap, dimana sinar hijau menyamber sekaligus ia serang keempat pengepungnya, bersama itu ia berteriak kepada Bun Cu-giok, "Saudara Bun, lekas ikut kami menerjang keluar!" Kedatangan Kim Poan-long betul-betul merubah situasi menjadi tegang, sekaligus Badik buntung juga muncul diarena pertempuran, sudah tentu Ciok Hou-bu berempat menjadi kalang kabut, kepungan mereka menjadi bobol dan dengan mudah ketiga orang musuhnya dapat menerobos keluar. Ciok Hou-bu berkaok2 memberi aba-aba para kerabatnya untuk merintangi, demikian juga orang tua jubah merah memerintahkan anak buahnya menghadang, namun mana mereka kuat menghadapi ketajaman Badik buntung, sebentar saja Hun Thian-hi bertiga sudah mencemplak di atas kuda terus dilarikan pesat menerjang keluar pintu gerbang perkampungan.... Sesaat Ciok Hou-bu berempat menjadi melongo dan kesima di tempat masing-masing, hanya Ciok Yan merasa hampa nan kecut. Setelah lolos dari Hwi-cwan-po Hun Thian-hi terus membedal kudanya sekencangkencangnya, kira-kira lima li kemudian baru berhenti. Segera Bun Cu-giok angkat tangan menjura kepada Hun Thian-hi, ujarnya, "Bantuan saudara Hun hari ini sampai ajalpun takkan kulupakan. Dalam partai masih banyak urusan, terpaksa Bun Cu-giok mohon diri dulu!" "Hun-pangcu terlalu sungkan," demikian jawab Thian-hi dengan sikap jantan dan setia kawan, "Bun-pangcu, sungguh Hun Thian-hi merasa sangat kagum dan banyak terima kasih pula." Bun Cu-giok juga menjura kepada Ki-thian Lojin Kim Poan-long, ujarnya, "Kalau Kim-ke-cheng memerlukan bantuan kami dari Partai putih pasti akan suka membantu dengan seluruh kemampuan. Sekarang Bun Cu-giok mohon diri!" - kudanya diputar terus dibedal kencang. Kim Poan-long tertegun sebentar, katanya, "Diakah Pangcu Partai putih!" Hun Thian-hi tersenyum, sahutnya manggut-manggut, "Kim-chengcu datang tergesagesa, apakah ada urusan?" Pelan-pelan Kim Poan-long menundukkan kepala, ujarnya sambil menghela napas rawan, "Adikku dibokong orang, saat ini sudah wafat karena luka-lukanya yang berat." Berubah air muka Thian-hi, serunya kejut, "Ji-chengcu sudah mati?" Kim Poan-long manggut-manggut tanpa bersuara, katanya, "Dengan sekuat tenaga ia bertahan kembali kerumah, setelah menceritakan pengalamannya lantas menghembuskan napasnya." Sungguh mimpi juga Hun Thian-hi tidak nyana bahwa Kim Ci-ling sudah meninggal dibokong orang, sekian lama ia terlongong-longong, terbayang olehnya wajah orang di depan matanya, suaranya pun seperti masih terkiang di pinggirl telinganya, pelan-pelan ia bertanya, "Apakah Jichengcu tahu siapakah pembokongnya?" Kim Poan-long menghela napas, katanya, "Musuh di tempat gelap, diapun tak jelas siapakah yang membokong." Hun Thian-hi terpekur, mendadak ia berteriak, "Akulah yang mencelakai dia, biar sekarang juga aku pergi ke Bu-tong-san." "Hun-siauhiap, siapakah yang kau sangka?" tanya Ki-thian Lojin Kim Poan-long. "Aku belum tahu," sahut Thian-hi sambil menunduk. "tapi pasti ada sangkut paut dengan pihak Bu-tong-pay." "Dugaankupun begitu," kata Kim Poan-long, "peristwa ini terjadi begitu mendadak, setiap kejadian hampir membuat orang susah percaya!" "Kim-chengcu. sekarang juga aku mohon diri." "Perjalanan ini cukup berbahaya, tidakkah lebih baik kita pergi bersama " Thian-hi manggut-manggut. sahutnya, "Begitupun baik." Kim Poan-long memberi pesan dan perintah pada anak buahnya lalu bersama Thian-hi beriring membedal kudanya langsung menuju ke Bu-tong-san. Sepanjang jalan ini Hun Thian-hi mengerutkan alisnya hatinya tengah gundah dan menerawang, kejadian yang dihadapi betul-betul cukup mengherankan, betapapun aku meluruk ke Bu-tong-san menanyakan secara langsung pada Put-lo-sin-sian Giok-yap Cinjin. Entah berapa lama dan berapa jauh sudah perjalanan ini yang mereka tempuh, yang terang cuaca sudah berganti mulai magrib. Secara kebetulan Hun Thian-hi sedang berpaling ke belakang, dilihatnya rada jauh di belakang sana terlihat dua sosok bayangan hitam tengah mengejar datang dengan kecepatan seperti kilat. Saking kaget Thian-hi berteriak kepada Kim Poan-long, "Lihat!" Kim Poan-long berpaling, ia pun tersentak kaget. Sekejap saja kedua sosok bayangan hitam itu sudah menyusul tiba terus menerobos lewat tunggangan mereka terus berhenti menghadang di depan. Lekas-lekas Thian-hi berdua menarik kekang kuda masing-masing. Dengan seksama seksama Thian-hi mengamati kedua orang penghadang ini, mereka adalah dua orang berseragam hitam dan berkedok hitam pula, hanya kedua biji mata masing-masing yang kelihatan berkilat tajam, mereka mencegat ditengah jalan tanpa bersuara. Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Bercekat hati Thian-hi, terpikir olehnya bahwa kedua orang ini tentu meluruk dirinya karena mengincar Badik Buntungnya. Terdengar Ki-thian Lojin buka suara, "Saudara berdua menyusul kita, entah ada urusan apakah?" Dua orang itu tetap bungkam tanpa bersuara atau bergerak. Dengan cermat Thian-hi pandang mereka, ujarnya, "Apakah kalian mengincar Badik buntung milikku itu?" Kedua orang itu masih bungkam. Hun Thian-hi menjengek dingin, kudanya dibedal menerjang ke depan. Cepat-cepat orang sebelah kiri angkat sebelah tangannya menepuk kepala tunggangan Thian-hi. Thian-hi mengayun Badik buntung memapas kepergelangan tangan orang berkedok, terdengar ia mendengus hidung, tubuhnya mencelat naik ke udara, sebelah kakinya geledek menendang ke tangan Thian-hi yang me-Badik buntung. Cepat Thian-hi menarik tangannya, namun kesempatan tidak disia-siakan oleh lawannya gesit sekali sebelah tangan yang lain sudah meluncur tiba menepuk ke dadanya. Hun Thian-hi menggertak dengan gusar, sejak menelan buah ajaib Lwekangnya sudah maju berlipat ganda selama ini belum pernah beradu pukulan dengan lawan secara kekerasan, sekarang tibalah saatnya ia menjajal kemampuannya, maka sebelah tangan kiri diayunkan memampak serangan telapak tangan lawan. Begitu kedua pukulan saling bentrok, seketika berubah rona wajah Hun Thian-hi, terasa telapak tangannya panas sekali seperti dibakar dalam bara, begitu saling sentuh lantas seluruh lengannya pati rasa. Orang berkedok itu menjengek dingin, tangan kanannya terulur cepat sekali menyengkeram ketangan kanan Thian-hi yang memegang Badik buntung. Thian-hi mengertak gigi, dengan nekad ia ayun tangannya melancarkan jurus Gelombang perak mengalun berderai mendesak mundur lawannya. Melihat muka Thian-hi yang tidak wajar, Kim Poan-long menjadi gelisah, tanyanya gugup, "Hun-siauhiap, kenapa kau?" "Tidak apa-apa," sahut Thian-hi sambil menarik lengan kirinya yang sudah kejang. Kedua orang berkedok saling berkedip memberi isyarat lalu mulai bergerak lagi menyerang dengan tekanan lebih besar kepada Hun Thian-hi dan Kim Poan-long. Luka-luka Thian-hi cukup berat, namun ia bertahan sekuat tenaga, melihat musuh menyerbu lagi, dia tahu Kim Poan-long tentu tak kuat bertahan, dengan menghardik keras ia menjepit perut kudanya, tubuhnya mencelat tinggi ia atas terbang lempang ke depan sembari lancarkan Tam-lianhun- in-hap, inilah jurus kedua dari Gin-ho-sam-sek yang hebat itu, seketika terlihat cahaya hijau pupus berkembang melebar terus menungkrup ke arah kedua musuh berkedok. Agaknya kedua orang berkedok cukup tahu betapa hebat serangan ini, cepat-cepat mereka melompat mundur jumpalitan. Lengan kiri Thian-hi terasa panas dan tak tertahan lagi ia insaf semakin lama bertempur tentu dirinya takkan kuat bertahan, maka setelah dengan aksinya ini, ia obat-abitkan Badik buntungnya lalu jumpalitan turun di atas pelana kudanya kembali, begitu menggertak kudanya lantas dicongklang kencang menerjang maju. Melihat musuh hendak lari, kedua orang berkedok menjadi gugup, cepat-cepat mereka berdiri kembali sambil pasang kuda-kuda sembari berteriak panjang empat telapak tangan mereka bekerja bersama memukul ke depan, kontan kedua kuda tunggangan Thian-hi tersentak naik ke atas dan berbenger panjang terus roboh terkapar tak bergerak lagi. Begitu melihat gaja serangan kedua musuh Ki-hian Lojin lantas berteriak kaget, "Siau...." salah seorang berkedok tampak menerjang secepat kilat, sebelah tangannya telak sekali menepuk kedada Kim Poan-long, terdengar Ki-thian Lojin menjerit ngeri terus robah terjengkang. Saat mana Thian-hi sudah berhasil menerjang lewat dari samping serta mendengar jerit Kim Poan-long yang menggiriskan itu, kejutnya bukan kepalang, cepat-cepat ia putar balik hendak menolong tapi sudah terlambat. Keruan Hun Thian-hi menjadi berang, seperti banteng ketaton segera ia obatabitkan Badik buntung sekencang-kencangnya, maksudnya hendak mendesak dan merobohkan kedua musuhnya berkedok, tapi kepandaian kedua orang berkedok ternyata juga tidak lemah, enteng sekali mereka melesat mundur terus putar tubuh melarikan diri. Hun Thian-hi melompat mengejar, kira-kira puluhan tombak kemudian seluruh mukanya sudah basah kujup oleh keringat sendiri. Bukan lari terus sebaliknya kedua musuh berkedok itu malah putar balik, Thian-hi harus kertak gigi sambil menerjang musuhnya, dimana Badik buntung berkelebat ia kembangkan Gelombang perak mengalun berderai menyerang dengan kalap. Kedua musuh berkedok melomprt berpencar meluputkan diri, dari dua jurusan ini mereka angkat tangan balas menyerang kepada Hun Thian-hi. Begitu melancarkan serangan pertama lantas Thian-hi merasa tenaga dalamnya rada macet tak kuat bersambung lagi, sudah tentu kejutnya sepeti disengat kala, keringat dingin mengalir keluar, pikiran otaknya menjadi rada terang. Cepat ia dapat menyadari situasi yang tidak menguntungkan dirinya ini, diam-diam ia berpikir, "Cara mengadu jiwa begini, mungkin aku sendiri bakal konyol sebelum dapat menuntut balas." Sementara itu kedua musuh berkedok itu telah merangsek maju lagi, sambil menggeram Thianhi ayun Badik buntung menyerampang musuh. Begitu kedua musuhnya menyurut mundur menghindar, cepat-cepat ia melompat mundur ke belakang, diam-diam ia mencari jalan untuk meloloskan diri Sedikit melompat menghindar kedua musuh berkedok gesit sekali sudah melejit maju pula tiba di belakang Hun Thian-hi. Saking gugup dan tiada jalan lain, terpaksa tanpa banyak pikir lagi Thian-hi sambitkan Badik buntung diantara kedua musuhnya. Sudah tentu kedua musuhnya tidak menyangka bahwa Thian-hi rela melemparkan Badik buntungnya, tanpa berjanji keduanya melejit terbang mengejar ke arah Badik buntung yang meluncur jauh kesana. Sebat sekali Hun Thian-hi berkelebat terus melompat naik ke atas sepucuk pohon rindang. Sesaat kemudian tampak kedua orang berkedok lari balik, sekian lama mereka ubek2an di dalam hutan mencari jejaknya, akhirnya mereka kewalahan. setelah bercakap-cakap sebentar mereka lantas berlari pergi. Melihat kedua musuhnya pergi, Thian-hi sendiri sudah payah dan tak kuat bertahan lagi, begitu ketegangan hatinya mengendor tubuhnya lantas terjungkal roboh dari atas pohon. Begitu terbanting di tanah pikiran Thian-hi menjadi rada terang, pelan-pelan dengan segala sisa tenaganya ia merogoh keluar daon buah ajaib terus dijejalkan ke dalam mulut, seketika hawa harum mengalir dalam tenggorokannya. Bergegas Thian-hi duduk bersila. pelan-pelan mengatur pernapasan dan mengerahkan tenaga dalam kira-kira setengah jam kemudian baru ia merasa kesehatannya pulih seperti sedia kala. Waktu ia kembali ke tempat semula, tampak kedua ekor kuda mereka dan Kim Poanlong menggeletak di tanah. Hun Thian-hi menghela napas rawan. Segera ia gali liang lahat, jenazah Kim Poan-long lantas dikabur sekadarnya. Setelah mengubur jasad Kim Poan-long, Thian-hi duduk di bawah pohon, pikirannya bekerja, "Siapakah kedua orang berkedok itu?" Dipikir punya pikir mendadak ia tersentak kaget, gumamnya, "Siau! Siau-yang-sinkang" - kedua biji matanya mendelik lebar, hidungnya mendengus, selain mereka berdua siapa lagi, demikian dalam hati ia membatin. Tiba-tiba melonjak berdiri. seperti bakal ketiban rejeki tersipu-sipu ia berlari kencang menuju ke Bu-tong-san. Waktu sinar surja menongol keluar di ufuk timur, memancarkan cahayanya yang cerlang cemerlang Hun Thian-hi sudah beranjak dijalanan yang menuju kepusat Bu-tong-pay, dua pucuk pohon Siong yang besar dan tinggi berdiri diam laksana raksasa menembus awan. Dalam hati Han Thian-hi berani memastikan bahwa kedua orang berkedok itu tentu adalan Gwat Long dan Sing Poh adanya, Kira-kira baru setengah perjalanan, dari ataas gunung berjalan turun seseorang, begitu melihat Hun Thian-hj orang itu lantas mengumpat caci dengan murka. Waktu Thian-hi angkat kepala, orang itu bukan lain adalah murid preman pihak Butong-pay, tak lain tak bukan adalah Thi-kiam Lojin yang pernah mencari perkara pada dirinya. Begitu melihat tegas pada Hun Thian-hi, kontan Thi-kiam Lojin lantas melolos pedang yang disandang dipunggungnya, bentaknya kepada Thian-hi, "Orang she Hun! Ke-mana-mana kucari kau, tak kukira hari ini kau batang sendiri." Hun Thian-hi tak sabar main debat dengan Thi-kiam Lojin, tanpa membuka suara cepat ia menerjang ke atas, melihat sikap acuh tak acuh Thian-hi, Thi-kiam Lojin semakin murka sembari bergelak tawa ujung pedangnya. menjojoh ke depan menusuk perut Thian-hi. Enteng sekali badan Thian-hi mencelat tinggi, mulutnya berteriak, "Hari ini aku mencari Giokyap Cinjin, bukan mencari kau!" Kepandaian silat Thi-kiam Lojin cukup tinggi, sebab sekali ia pun mencelat terbang menyusul, beruntun pedangnya berkelebat menyamber, sekaligus ia sudah lancarkan tiga jurus serangan pedang kepada Hun Thian-hi. Hun Thian-hi menghardik keras. dengan sebelah tangannya ia menyampok kebatang pedang Thi-kiam yang menyamber tiba. Thi-kiam Lojin rada keder, kuatir Hun Thian-hi mengeluarkan Badik buntung memotong kutung pedang panjangnya seperti tempo hari, maka cepatcepat ia tarik balik pedangnya, merubah gaja dan jurus tipu pedangnya ia merabu semakin kencang. Tak terkira olehnya bahwa kepandaian Hun Thian-hi sekarang sudah jauh beda dengan Thianhi tempo hari, beegitu ia menarik dan merubah jurus ilmu pedangnya, berbalik Thianhi mendapat kesempatan melancarkan tiga pukulan berantai, sehingga Thi-kiam Lojin terpaksa hanya mampu bertahan dan mundur selamatkan diri dari pada balas menyerang. Hun Thian-hi melompat tinggi ke depan berlari laksana terbang ke atas gunung. Sepanjang jalan penuh rintangan, untung mereka bukan terdiri tokoh-tokoh lihay dari Butong-pay, maka dalam sekejap saja ia sudah sampai diambang Tin-yang-kiong. Sampai disini baru Hun Thian-hi berhati lega, dia tahu Tio-yang-kiong merupakan tempat berkumpul para tokoh-tokoh kosen Bu-tong-pay, Put-lo-sin-sian Giok-yap Cinji sendiri pun bersemajam di Tio-yang-kiong ini. Thian-hi sendiri insaf bahwa menghadapi Gwat Long dan Sing Poh saja dirinya bukan tandingan mereka, apalagi Giok-yap Cinji sendiri. Tapi urusan ini sudah terjadi gara-gara dirinya betapa pun harus jumpa dan menanyakan langsung kepada Giok-yap Cinjin. Kenyataan sudah terjadi Gwat Long dan Sing Poh membunuh Kim Poan-long untuk menutup mulutnya, sudah tentu dengan gampang mereka pun dapat membunuh keempat orang lainnya. Seumpama tidak meluruk datang juga sama saja. Harapan utama sekarang adalah bahwa Gwat Long dan Sing Poh membangkang atau bekerja membelakangi Giok-yap Cinjin, kalau tidak begitu dirinya beranjak ke dalam Tio-yang-kiong bakal takkan mudah keluar kembali. Dengan teliti dan waspada Thian-hi putar kayun mengelilingi Tio-yang-kiong seputaran, hatinya tak habis mengerti kenapa selama ini tak terdengar sedikitpun suara. Dengan enteng Thian-hi meloncat naik ke atas rumah, memandang ke dalam terlihat suasana Tio-yang-kiong sunyi senyap, seorang pendeta pun tak terlihat bayangannya. Hati Thian-hi menjadi curiga, pikirnya, "Mungkinkah Tio-yang-kiong tidak kenyataan seperti yang dikabarkan di luaran?" ~dilain kejap ia melompat turun di sebelah dalam, dengan langkah tetap ia berjalan masuk. Tampak di ruang sembahjang batang2 hio masih tersemat menyala, asap mengepul tinggi, tapi tak kelihatan bayangan seorangpun. Thian-hi melangkah terus ke dalam, memang Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo rumah berhala yang sedemikian besar ini tidak dihuni seorang manusiapun. Dalam hati Thian-hi membatin, jikalau Giok-yap Cinjin, bersemajam di Tio-yang-kiong, seumpama orang lain sedang keluar karena banyak urusan, tentu beliau seorang masih ada didalam. Jalan punya jalan dari kejauhan dilihatnya di sebelah dalam sana sebuah ruang samadi pelanpelan ia maju ke arah sana, waktu ia melongok ke dalam terlihat seorang Tosu tengah duduk samadi tanpa bergerak. Thian-hi terperanjat, terlihat olehnya sinar mata orang itupun memancarkan cahaya aneh dan heran, namun ia tidak bergerak dan tidak bersuara. Setelah menenangkan gejolak hatinya Thian-hi mengamati Tosu itu, jelas Tosu ini berambut hitam dan berjenggot hitam pula, namun wajahnya pucat pasi seperti kertas, sinar matanya guram tak bersemangat, duduk mematung tanpa bergerak, jikalau biji matanya tidak terpentang dan bergerak Thian-hi pasti anggap orang telah mati. Thian-hi maju mendekat serta menjura katanya, "Aku yang rendah Hun Thian-hi, harap tanya kepada Totiang, dimana kediaman Giok-yap Cinjin?" Tosu itu tetap tak bergerak dan tak bersuara, namun matanya mengunjuk rasa heran dan tak mengerti. Melihat orang tidak bicara, Thian-hi merenung sebentar, lalu katanya lagi, "Kalau Totiang tidak bisa bicara, apakah bisa mengantarku kepada beliau?" Biji mata si Tosu berjelilatan, seolah-olah punya banyak pertanyaan yang hendak disampaikan, namun sedikitpun ia tidak mampu bergerak. Thian-hi menjadi putus asa, pelan-pelan ia putar tubuh hendak tinggal pergi, tiba-tiba tergerak sanubarinya, sebuah pikiran berkelebat dalam benaknya, pikirnya siapa lagi orang yang boleh duduk samadi di dalam ruang Tio-yang-kiong" Tiba-tiba ia putar balik serta maju bertanya, "Apakah Totiang adalah Giok-yap Cinjin Cianpwe?" Lagi-lagi mata Tosu tua ini memancarkan cahaya yang sukar diraba juntrungannya. Terkilas dalam pikiran Thian-hi akan cerita Kim Ci-ling tempo hari, mungkin Giok-yap Cinjin mempunyai kesukaran yang sulit disampaikan?" Thian-hi terlongong sebentar, akhirnya ia berketetapan untuk coba-coba, dari kantong bajunya ia mengeluarkan sepucuk daun buah ajaib terus diangsurkan kepada Tosu itu serta katanya, "Mungkin Totiang terkena racun jahat, inilah daun Kiu-thian-cu-ko, setelah Totiang menelan daun ini tentu penyakitmu dapat sembuh." Tampak Tosu itu rada beragu sebentar, namun akhirnya ia menerima juga, dengan kedua tangannya Thian-hi menyongkel gigi si Tosu yang terkatup kencang terus menjejalkan daun buah ajaib ke dalam mulutnya. Rada lama kemudian, baru tampak si Tosu dapat menghela napas lega dengan lemah, katanya serak, "Pinto memang Giok-yap adanya. Entnh Siauhiap mencari aku ada urusan apa?" Mendengar ucapan orang sungguh girang Thian-hi bukan main, tersipu-sipu ia berlutut dan menyembah sapanya, "Wan-pwe Hun Thian-hi menghadap pada Lo-cianpwe." Kata Giok-yap Cinjin perlahan, "Sekarang aku tahu untuk apa kau kemari. Aku dibokong orang sehingga tak dapat bicara, badanpun menjadi kaku tak bisa bergerak sejak sebulan yang lalu. Tadi meski kau sudah memberi daun buah ajaib, paling tidak harus memakan waktu dua belas jam baru bisa pulih seluruhnya! Eh, kau bangunlah!" Kata Thian-hi sambil bangkit, "Wanpwe semula mengira mungkin Cianpwe dikelabui dalam peristiwa ini maka dengan lancang menghadap kemari." Ujar Giok-yap Cinjin memejamkan mata, "Aku dapat menduga kejadian apakah itu, tapi belum jelas akan duduk perkara sebenar-benarnya, coba Hun-siauhiap menjelaskan." Maka Hun Thian-hi menceritakan pengalamannya sejak ia bertemu dengan Kim Ciling. Setelah mendengar cerita Thian-hi Giok-yap Cinjin membuka mata, katanya serius, "Hun siauhiap! Dosa. Gwat Long dan Sing Poh dalam peristiwa ini tak terampun lagi. Tapi apakah Hun siauhiap tahu siapakah orangnya yang berdiri di belakang lajar?" Thian-hi berpikir sebentar, jawabnya, "Tentang hal ini Wanpwe pernah memikirkannya, memang pasti ada orang yang memegang rol di belakang peristiwa ini, dan orang itu pasti Mo-bin Suseng adanya." Giok-yap Cinjin manggut-manggut, tiba-tiba ia bertanya, "Apakah Siauhiap ada bermusuhan dengan Mo~bin Suseng?" Hun Thian-hi manggut-manggut mengiakan. Kata Giok-yap Cinjin, "Beberapa tahun belakangan ini aku gemar main catur, beberapa waktu yang lalu pernah datang seorang yang mengaku bernama Hou Gwan, diapun pandai bermain catur, sungguh aku tidak menduga bahwa dia inilah Mo-bin Suseng yang kenamaan di seluruh jagad itu, diam-diam ia telah meracun kepadaku, racun yang digunakan adalah Soat-san-cu, bisa paling jahat di seluruh dunia. Karena kurang hati-hati aku terjebak oleh tipu muslihatnya. Dia ngapusi murid2ku katanya aku tersesat latihan Lwekang, tanpa Badik buntung tak mungkin dapat disembuhkan." -setelah bercerita ia menghela napas dengan rawan. Thian-hi sendiri juga bungkam dan menunduk. Sambung Giok-yap, "Mo-bin Suseng berhati culas dan banyak muslihatnya, jika dia tahu sekarang aku sudah sembuh tentu menggunakan akal liciknya untuk mencelakai jiwaku. Baru saja aku menelan daun buah ajaib, betapa pun jangan sampai dia mengetahui." Thian-hi manggut-manggut, dalam hati ia mengakui kenyataan ini, kalau Mo-bin Suseng betulbetul tahu di bawah gosokan mulut manisnya tentu Gwat Long dan Sing Poh takkan membiarkan dirinya berada di tempat ini dengan tetap bernapas. Sedang Giok-yap harus menunggu dua belas jam lagi baru bisa pulih kesehatannya. Kalau Mo-bin Suseng hendak berbuat jahat rasanya semudah ia membalikkan telapak tangan. Karena pikirannya ini segera ia bertanya kepada Giok-yap Cinjin, "Kenapa Tioyang-kiong kosong melompong selain Cianpwe seorang." "Setelah seluruh penghuni Tio-yang-kiong tahu aku keracunan mereka lantas pindah ke Sianggoan- kiong, tinggal Gwat Long dan Sing Poh saja bersama aku, tapi sewaktu2 mereka pergi, legakan saja hatimu, saat ini selain mereka berdua tiada seorangpun yang bisa kemari. Meski sepak terjang mereka sangat tercela, tapi mereka masih dengar kata-kataku!" habis berkata ia menghela napas panjang. Thian-hi memaklumi kesukaran dan pikiran Giok-yap Cinjin, sepak terjang Gwat Long dan Sing Poh memang patut dihukum mati, tapi betapapun perbuatan mereka itu melulu demi keselamatan Giok-yap Cinjin, maka tidaklah heran kalau Giok-yap Cinjin merasa sedih dan serba sulit. Hun Thian-hi tunduk dan terpekur. Begitulah selanjutnya mereka bicara panjang lebar, dalam kesempatan itu Giok-yap Cinjin menanyakan riwayat hidup Thian-hi, dengan setulus hati Thian-hi menutur apa adanya. Akhirnya Giok-yap Cinjin tenggelam dalam pikirannya, agak lama kemudian baru buka bicara lagi, "Urusan ini setelah aku sembuh tentu akan kubereskan. Tentang urusanmu tentu aku akan berusaha sekuat tenaga, meski aku ada janji dengan Bu-bing Loni untuk tidak mencampuri urusan dunia tapi kau telah menolong jiwaku, tidak bisa tidak aku harus membalas budi ini, sampai pada waktunya tentu dapat dibereskan dengan sempurna." Girang hati Thian-hi, lekas-lekas ia nyatakan banyak terima kasih kepada Giokyap Cinjin, pikirnya dengan keagungan Giok-yap Cinjin bila ia mau sedikit membela dan bicara demi kebersihannya maka segala urusan tentu dapat dibikin terang. Tengah ia kegirangan, mendadak terdengar langkah kaki yang sangat lirih di luar pintu, bercekat hati Thian-hi, waktu ia pandang wajah Giok-yap agaknya ia tidak mendengar, maklum karena kesehatan Giok-yap belum sembuh seluruhnya, mana mungkin dengar suara yang begitu lirih. Cepat ia berkata kepada Giok-yap Cinjin, "Apakah Cianpwe mendengar suara langkah di luar" Ada orang tengah mencuri dengar pembicaraan kita!" Berubah air muka Giok-yap, katanya, "Tentu Mo-bin Suseng adanya!" Mendengar akan Mo-bin Suseng Thian-hi juga terkejut, sebat sekali ia bergerak melesat keluar, maksudnya hendak meringkus Mo-bin Suseng. Terdengar olehnya lapat-lapat suara derap langkah yang ringan dan lirih berlari ke depan sana. Begitu mendengar jelas suara langkah itu bergolak darah dalam rongga dadanya, sambil menghardik keras, "Lari kemana!" tubuhnya melesat seperti anak panah mengejar ke depan. Setelah membelok tiga tikungan pandangan di depan menjadi jelas kiranya itulah seekor kucing hitam mulus. Thian-hi tertegun sebentar, hatinya lantas mengeluh, "Celaka! Giokyap masih belum mampu bergerak, terang aku terpancing meninggalkan sarang," karena pikirannya ini cepat-cepat ia berlari balik. Begitu ia melangkah di ambang pintu seketika ia berdiri kesima di depan pintu. Giok-yap Cinjin tetap duduk di tempatnya tak bergerak, namun dadanya bertambah sebilah badik dengan digenangi darah segar, jelas itulah Badik buntung yang menghunjam di dadanya. Kepala Thian-hi laksana dipukul godam, pikirannya menjadi kosong, segala harapan semula sekarang menjadi lenyap seperti gelembung air, tak perlu disangsikan lagi tentu inilah buah karya Mo-bin Suseng yang culas dan banyak muslihatnya itu. Entah berapa lama ia menjublek di tempatnya, mendadak didengarnya derap langkah orang banyak. Walaupun Giok-yap Cinjin bukan mati oleh tangan Hun Thian-hi, namun sanubarinya dirundung suatu perasaan yang susah diraba takutnya, siapapun bila melihat ia hadir disini tentu akan curiga bahwa dialah yang telah membunuh Giok-yap Cinjin. Dengan gelisah Thian-hi celingukan ke kanan kirinya, baru saja ia hendak lari ke kamar lain mendadak teringat akan Badik buntung, kalau Badik buntung tertublas di dada Giok-yap sedang umum tahu bahwa Badik buntung adalah miliknya, orang lain takkan mau percaya bahwa Badik buntung pernah direbut oleh Gwat Long dan Sing Poh karena tiada bukti, sekarang.... Lekas-lekas ia berlari masuk ke dalam ruang samadi, baru saja ia menarik Badik buntung dari dada Giok-yap Cinjin dan berputar, pintu kamar sudah penuh dihadang oleh anak murid Bu-tongpay, terang Thian-hi tak punya jalan untuk meloloskan diri.... Bab 7 Sungguh Thian-hi tak berani membayangkan, sambil menggerung seperti singa mengaum ia kiblatkan Badik buntung terus menerjang ke arah pintu. Tapi para penghadang itu adalah Sam-lo-chit-cu, merupakan tokoh-tokoh yang paling diandalkan oleh pihak Bu-tong-pay, mana mungkin mereka mau membiarkan dirinya melarikau diri" Serempak Sam-lo-chit-cu melolos pedang, terus bergerak saling melintang melancarkan serangan gabungan yang dahsyat perbawanya, Thian-hi terdesak mundur ke dalam kamar semadi lagi. Thian-hi menggertak, yang terpikir dalam otaknya hanya melarikan diri, sedikitpun tidak terpikir olehnya akibat dari peristiwa hebat ini. Dimana Badik buntung berkelebat dengan jurus Gelombang perak mengalun berderai ia merabu para musuhnya sehingga Sam-lo-chit-cu terdesak mundur oleh tabiran cahaya hijau pupus yang dingin dan tajam sekali. Sam-lo-chit-cu merupakan tokoh-tokoh kosen yang berkepandaian tinggi, mereka insaf setiap jurus serangan Thian-hi pasti adalah jurus-jurus ganas yang membahayakan, maka sebat sekali mereka bergerak bersama, sepuluh orang sepuluh batang pedang berbareng melancarkan jurus gabungan Coan-liu-gak-lik, memang dahsyat sekali perbawa tenaga gabungan ilmu pedang ini, betapapun lihay dan hebat serangan Thian-hi tak urung ia terdesak balik oleh daya perlawanan yang kuat dari tenaga musuh. Sekali gebrak saja lantas terdesak mundur, namun segala akibat dan sesuatunya sudah tak terpikirkan lagi oleh Thian-hi, begitu mundur ia menyerbu maju lagi, kini ia lancarkan jurus Tamlian- Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo hun-in-hap dari Gin-ho-sam-sek kedua. Jurus kedua ini berlipat ganda lebih dahsyat dan hebat perbawanya, Sam-lo-chitcu terpaksa harus menyurut mundur, Thian-hi berkesempatan menerobos lewat keluar pintu, begitu sampai diluar Sam-lo-chit-cu sudah berbaris membentuk sebuah barisan mengepung dan menghadang jalan lari Thian-hi. Thian-hi insaf jalan satu-satunya baginya hanyalah menggunakan kekerasan, maka begitu bergerak langsung ia mengerahkan sekuat tenaga merangsak musuh. Tampak Sam-lochit-cu berpencar dan secepat kilat bergabung maju pula, tetap mereka mengepung Thian-hi di tengah. Thian-hi sudah berusaha mengerahkan tenaga dan mengembangkan ilmu pedangnya mengandal ketajaman Badik buntung, namun setiap serangannya selalu kandas, ia terpaksa harus membela diri melulu. Untung kedua jurus Gin-ho-sam-sek yang dilatihnya itu merupakan ilmu pedang tingkat tinggi yang sudah diapalkan diluar kepala, untuk membela diri jauh masih berkelebihan. Sekejap saja lima puluh jurus sudah berlalu, dari atas gunung tampak berlarilari mendatangi dua sosok bayangan. Dilain kejap begitu kedua orang ini tiba Sam-lo-chit-cu segera menarik serangan, pedang melintang di depan dada. Berpikirpun tidak, begitu melihat Samlo-chit-cu menghentikan aksinya sebat sekali Thian-hi melejit tinggi terus terbang ke depan menuju bawah gunung. Sambil menarik muka kedua pendatang itu terus mengejar ke depan, masing-masing mengulur telapak tangan memukul ke arah Thian-hi. Begitu melihat gaya serangan kedua orang ini, Thian-hi lantas berteriak kejut, "Gwat Long Sing Poh!" - setelah berteriak ia angkat kepala mengawasi kedua orang ini dengan seksama. Kiranya Gwat Long dan Sing Poh adalah pemuda remaja yang berusia 20-an, mengenakan jubah Tosu warna hijau, punggung masing-masing menyandang pedang panjang, biji matanya tanpa expresi mengawasi Hun Thian-hi tanpa berkedip. Walau usia Gwat Long dan Sing Poh masih muda, namun mereka adalah murid langsung dari Giok-yap Cinjin, mereka berdua saja yang menjadi keturunan dari ilmu Siau-yangsin-kang, maka begitu mereka unjuk diri, Sam-lo-chit-cu harus memberi muka dan mengalah kepada mereka. Memandang Gwat Long Sing Poh, Hun Thian-hi menjengek dingin, "Cara bagaimana kematian Suhu kalian, kukira kalian berdua sudah tahu, kiranya tak perlu aku Hun Thian-hi banyak mulut. Sekarang kalian mencari perkara kepada aku, sungguh aku ikut penasaran akan kematian beliau." Gwat Long dan Sing Poh bungkam seribu basa, Sam-lo-chit-cu mendengus ejek, Gwat Long dan Sing Poh angkat kepala, pelan-pelan menggapai tangan, serempak Sam-lo-chit-cu menyerbu lagi. Thian-hi bergelak tawa saking murka, Badik buntungnya berkelebat menyerang kepada Sam-lo. Gwat Long dan Sing Poh saling pandang sekilas, mereka mencabut pedang masingmasing terus berkelebat memasuki gelanggang memapas dan menusuk kepada Thian-hi. Sambil kertak gigi Hun Thian-hi ayun Badik buntungnya untuk melawan keroyokan musuh, tapi Gwat Long dan Sing Poh adalah murid didik langsung dari Giok-yap Cinjin sejak masih kecil, Bu-tong-pay merupakan aliran murni dari golongan Lwekeh, sejak kecil mereka sudah diberi kepandaian dasar yang kokoh kuat sudah tentu hasilnya sangat mengagumkan. Melihat cara tempur Hun Thian-hi yang nekad dan tanpa gentar sedikitpun berbareng mereka memutar pedang dan menyampok kesamping, dengan rangsekan berbareng dari dua jurusan ini Badik Hun Thian-hi kena dituntun miring kesamping, kesempatan ini digunakan Samlo-chit-cu mengacungkan pedang menusuk dan membacok bersama dari berbagai penjuru. Jidat Thian-hi sudah basah oleh air keringat, terdengar ia menggembor keras, tanpa disadari ia mengembangkan ilmu ringan tubuh yang pernah dilihatnya dari si tua Pelita dalam rimba tempo hari, keadaan waktu itu sangat berkesan dalam benaknya, sekarang dalam keadaan genting dia kembangkan, laksana ikan berenang selicin belut ia bergoyang gontai bergerak lolos dari rangsekan pedang Sam-lo-chit-cu. Thian-hi sendiri menjadi tercengang melihat hasil perkembangan ilmu ringan tubuhnya yang dapat ditirunya dari kepandaian Situa Pelita, bahkan girang melihat dirinya bakal lolos dari kepungan Sam-lo-chit-cu gerak-geriknya menjadi sedikit lamban, tampak selarik sinar pedang berkelebat tahu2 lengan kirinya sudah tergores luka panjang dan mengeluarkan darah deras. Saking kesakitan Thian-hi sampai mengeluh panjang, cepat2 ia kiblatkan Badik buntung melancarkan jurus kedua dari Gin-ho-sam-sek untuk membendung serangan susulan pihak musuh. Dari menyelang ia sekarang menjadi pihak yang bertahan, meski terasa tekanan tenaga dari berbagai penjuru sangat berat, tapi dalam waktu dekat ia masih kuat bertahan. Melihat serbuan gabungan ilmu pedang mereka tak berhasil membobol pertahanan Thian-hi, Gwat Long dan Sing Poh menjadi sengit. Mendadak mereka membalikkan pedang, serempak melancarkan ilmu simpanan pihak Bu-tong-pay yang dinamakan Cian-si-bi-ciu, dua batang pedang mereka berputar memetakan cahaya terang benderang menerangi gelanggang, seluruh kekuatan telah dikerahkan untuk melancarkan serangan ini. Se-konyong2 Thian-hi merasa tekanan dari empat penjuru bertambah berat, luka lengan kirinya mengalirkan darah lagi, insaf ia kalau pertempuran berlangsung terus tentu dirinya susah buat bertahan, paling lama juga hanya kuat bertahan setengah jam. Lama kelamaan kepalanya terasa berat, matanya ber-kunang2 dan kabur, sekuatnya ia masih lancar-kan jurus2 ilmu Gin-ho-sam-sek untuk berlindung dan membela diri. Mendadak samar2 terdengar olehnya teriakan kaget dan takut, Gwat Long dan Sing Poh, berbareng terasa tekanan serangan mereka mengendor. Kuat2 Thian-hi menggelengkan kepala, sebuah keajaiban tiba2 membuat semangatnya tersentak bangun dari kepalanya. Namun dilain saat Thian-hi sendiri juga menjadi melongo, karena terlihat olehnya Giok-yap Cinjin tengah berdiri tegak dikaki tembok sebelah dalam sana. Sekilas Thian-hi menjadi sadar bahwa entah tokoh siapa yang telah berusaha menolong dirinya. untuk menerjang keluar dari kepungan, sebat sekali ia melambung tinggi terbang kebawah gunung. Sambil menggertak Sam-lo-chit-cu menggerakkan pedang menusuk dan membabat. gesit sekali Thian-hi menggeliat ditengah udara tubuhnya terus meluncur kedepan, serangan bersama Sam-lochit- cu mengenai tempat kosong. Terdengar Gwat Long dan Sing Poh menghardik keras. berbareng mereka melejit mengejar sambil menyerang dari jarak jauh. Thian-hi berusaha untuk mengegos, namun gerak geriknya sudah rada lamban, kontan pundak kirinya kena dijotos lagi oleh musuh, seketika ia rasakan seluruh lengan kirinya seperti dipanggang diatas bara, begitu kakinya menyentuh tanah segera ia kembangkan ilmu ringan tubuh dan berlari sipat kuping kebawah gunung. Entah sudah berapa lama dan berapa jauh ia berlari, cara bagaimana pula ia berhasil menghindarkan diri dari kejaran Gwat Long dan Sing Poh, tak diketahui pula olehnya kapan ia telah jatuh pingsan dan tak sadarkan diri lagi. Waktu Thian-hi membuka mata terasa mukanya dingin, terlihat Hwesio jenaka tengah berdiri dihadapannya sembari cengar-cengir kepadanya. Thian-hi merasa badannya sedikit segar, ter-sipu2 ia berusaha bangkit berduduk, segera Hwesio jenaka mencegahnya katanya tertawa, "Kesehatanmu belum pulih, jangan kesusu bangun!" Memang Thian-hi merasa kaki tangannya lemas tak bertenaga, dengan lirih ia menyapa, "Siausuhu, hari ini aku tertolong pula oleh kau, sungguh tak ahu cara bagaimana aku harus membalas kebaikanmu ini." Hwesio jenaka masih cengar-cengir tanpa bicara, rada lama kemudian baru ia buka bicara, "Urusan yang kau kerjakan kali ini sungguh sangat menggemparkan. Kau tertuduh membunuh Giok-yap Cinjin, apakah kau kuat memikul dosa berat ini" Jangan kata orang luar, mungkin gurumu sendiri pun takkan berani buka bicara untuk membela kau lagi." Thian-hi maklum apa yang dikatakan itu memang kenyataan, ia menghela napas an bungkam seribu bahasa. Sesaat kemudian tiba2 ia bertanya, "Kenapa Siau-suhu bisa disini" Bagaimana pula kau tahu bahwa Giok-yap Cinjin bukan aku yang membunuhnya?" Wajah Hwesio jenaka lantas mengunjuk rasa sedih dan rawan, ia berputar menghadap kejurusan lain, sejenak kemudian ia berpaling serta berkata dengan tersenyum, "Jangan kau berpikir terlalu jauh, aku mendengar kabar bahwa Mo-bin Suseng hendak mencelakai kau, waktu aku menyusul tiba tapi sudah terlambat!" Bergegas Thian-hi bangun berduduk, tanyanya cepat, "Dimana Siau-suhu mendengar kabar ini?" Hwesio jenaka menyengir, jawabnya, "Bukan aku tidak mau memberitahu, sebetulnya tak guna mengetahui hal itu." Thian-hi dirundung rasa cemas dan curiga, pelan2 ia merajap bangun menggelendot dibatang pohon, dengan seksama ia menatap Hwesio jenaka, pikirnya, "Darimana ia tahu" Mungkinkah.........." Tampak Hwesio jenaka tetap berseri tawa tanpa menunjukkan sesuatu keganjilan. Akhirnya Thian-hi menghela napas, ujarnya, "Siau-suhu! Aku memikul dendam kesumat sedalam lautan, kalau Siausuhu suka memberi petunjuk sehingga aku dapat menuntut balas, Siausuhu minta apapun terhadap aku tentu dapat kulaksanakan." Hwesio jenaka tertawa lebar, katanya:, "Apa yang kutahu saat ini bila kuberitahu kepada kau hanya akan mengagetkan pihak musuh saja, malah mungkin membawa bencana bagi kau." Thian-hi menerawang sebentar, lalu katanya, "Apakah Siau-suhu anggap sepak terjangku terlalu gegabah?" Kata Hwesio jenaka tertawa lebar, "Sekarang kau lebih baik pergi ke Siau-lim-si, berusaha mendapat bantuan dari Thian-cwan Taysu, kalau beliau yang tampil kedepan mungkin dapat menghapus penasaranmu, Sampai saatnya nanti boleh kau bicara perihal yang lain, karena saat ini kau terancam bahaja dan sulit berdiri dikalangan Kangouw." Terkancing mulut Thian-hi, memang kenyataan apa yang dikatakan itu. Mungkin Thian-cwan Taysu belum tentu mau membantu, beliau tidak tahu duduk perkara sebenarnya, bagaimana mungkin beliau mau membantu secara semberono" Melihat kesangsian Thian-hi, Hwesio jenaka berkata lagi, "Selain jalan ini tidak ada cara lain untuk mengatasi kesukaranmu ini". Thian-hi merenung sekian lama, hatinya gundah dan bingung, memang selain jalan itu tiada cara penyelesaian lain yang lebih sempurna. Kata Hwesio jenaka, "Kalau kau sudi aku bisa menunjukkan jalan, sepanjang jalan ini kutanggung tidak akan ada orang yang mencegat, dan tanpa rintangan kau dapat menghadap kepada Thian-cwan Taysu. Tapi persoalan lain aku tak berdaja lagi." Ter-sipu2 Thian-hi menyatakan banyak terima kasih. Saat itu juga segera mereka berangkat menuju ke Siau-lim-si. Mereka menempuh perjalanan dengan gerak cepat, tak terasa lima hari sudah berlalu, luka Thian-hi sudah mulai sembuh, hari itu mereka sudah tiba dibawah kaki Siong-san. Misteri Lukisan Tengkorak 5 Pendekar Naga Putih 44 Badai Rimba Persilatan Munculnya Pendekar Bayangan 2

Cari Blog Ini