Ceritasilat Novel Online

Badik Buntung 4

Badik Buntung Karya Gkh Bagian 4 Berjalan didepan Hwesio jenaka membawa Thian-hi berlari naik keatas melalui jalan yang ber-liku2, tak lama kemudian jauh diatas tebing terlihat tembok warna merah. Tak terasa hati Thian-hi menjadi berdebar dan tegang, dengan memikul dosa yang tak terampun ia hendak menghadap Thian-cwan Taysu, tak tahu bagaimana Thian-cwan Taysu bakal menghadapi dirinya nanti. Hwesio jenaka terus membawa Thian-hi maju kedepan, secara sembunyi2 mereka melompati tembok merah, serta maju terus kedepan sambil berjalan merunduk. Tampak para hwesio penjaga berlalu lalang meronda. Agaknya Hwesio jenaka seperti apal betul dengan keadaan didalam kelenteng besar Siau-lim-si ini, selalu ia mencari jalan yang penuh ditumbuhi pepohonan lebat dan rimbun. Tak lama kemudian mereka sudah sampai diambang sebuah hutan bambu, dengan jari telunjuk Hwesio jenaka memberi isyarat supaya Thian-hi masuk kedalam hutan bambu itu. Girang hati Thian-hi, segera ia mencelat melesat menuju kehutan bambu itu, sayang gerak geriknya rada kasar sehingga menyentuh dedaunan dan mengeluarkan suara keresekan. Keruan Hwesio jenaka kaget sekali, cepat ia celingukan kekanan kiri, tampak olehnya seorang hwesio muda tengah beranjak maju kearah tempat sembunyi Thian-hi. Hwesio jenaka menjadi gugup dan gelisah, namun dia sendiripun tidak boleh mengunjukkan diri, terpaksa sembunyi tanpa berani bergerak, terserah kepada nasib Thian-hi bagaimana. Meski Thian-hi mendekam tanpa bergerak, namun tempat sembunyinya sudah korangan, mana mungkin ia dapat mengumpat lagi. Sementara itu hwesio muda itu sudah semakin dekat ketempat sembunyi Thian-hi. Waktu Hwesio jenaka melihat tegas wajah hwesio muda itu, hatinya bercekat, kiranya hwesio muda ini tak lain tak bukan adalah murid Ciangbunjin Siau-lim-si Te-kik Taysu, yaitu Ti-hay. Thian-hi juga mendengar derap langkah orang yang tengah mendatangi kearah dirinya, tapi ia tak berani bergerak, besar harapannya hwesio muda ini hanya salah dengar dan menuju ketempat lain. Kira2 tiga tomtaak dari jarak tempat sembunyi Thian-hi Ti-hay menghentikan langkahnya. pelan2 ia buka bicara, "Siapakah itu" Kalau berani berkunjung ke Siau-lim-si, kenapa main sembunyi segala?" Thian-hi tahu tak mungkin main sembunyi lagi, dilihatnya hutan bambu itu berjarak tiga lima tombak jauhnya dari tempat sembunyinya, mungkin sekali lompat saja bisa sampai, kalau bisa berjumpa dengan Thian-cwan Taysu, maka tidak sia2lah perjalanan jauh ini. Melihat orang yang sembunyi dibalik rumpun pohon tidak bergerak dan menunjukkan reaksi, gesit sekali Ti-hay bergerak maju, tubuhnya melayang ringan menubruk ketempat sembunyi Thianhi. Tepat pada saat itu juga, Thian-hi menjejakkan kedua kakinya meleset kearah hutan bambu. Melihat orang buruannya sudah muncul lekas2 Ti-hay berse-ru, "Sicu harap berhenti!" mulut berkata gerak kakinya begitu cepat, tubuhnya meluncur kedepan mengejar kearah Thian-hi, kedua jari dirangkapkan langsung menutuk kejalan darah dipungung Thian-hi. Sejengkal lagi Thian-hi bakal mencapai hutan bambu, namun tutukan Ti-hay sudah hampir mengenai jalan darah dipunggung, terpaksa ia membalikan tangan kanan mengayun Badik buntung, selarik sinar hijau yang tajam dan dingin memapas kepergelangan tangan Ti-hay. "Badik buntung?" teriak Ti-hay dengan kaget, cepat2 ia tarik tangan kanan serta mendegus gusar, sebat sekali tangan kanan sudah membalik maju lagi telapak tangan terpentang menjojoh kedepan mengandung tenaga Ciang-mo-sin-kang, yang diarah punggung Thian-hi lagi.. Melihat Ti-hay melancarkan pukulan yang lebih hebat, sementara tubuh Thian-hi sudah mencelat mumbul sampai diujung sepucuk bambu, terpaksa ia gunakan Badik buntung untuk menangkis kearah pukulan telapak tangan Ti-hay. Tenaga pukulan Ciang-mo-sin-kang sungguh bukan olah2 hebatnya, kontan Badik buntung kena tergetar lepas dari cekalan Thian-hi. Maklum Thian-hi baru sembuh dari luka2nya setelah beradu pukulan dengan Sian-thian-cin-gi pihak Bu-tong-pay, seketika tenaga pukulan Ciang-mosin- kang merembes masuk ke lengan kanannya dan terus menerjang jantung, sesaat dadanya menjadi sesak, tak kuasa lagi mulutnya lantas menyemburkan darah segar. Sementara tubuh Thian-hi melayang jumpalitan kedalam hutan bambu. Ti-hay tak berani sembarangan mengejar kedalam, cepat2 ia melompat turun dan menerobas masuk dari jalan yang menumpuh kedalam hutan bambu itu. Sekuatnya Thian-hi mengempos tenaga untuk memusatkan semangat, waktu ia menggelinding jatuh ditanah, samar2 terlihat dalam pandangan matanya seorang Hwesio tua duduk bersila tiga tombak didepan sana. Susah payah ia merangkak maju serta sembahnya tergagap, "Wanpwe Hun Thian-hi menghadap Thian-cwan Taysu." habis kata2nya, iapun jatuh pingsan. Waktu Ti-hay juga memburu masuk kedalam hutan bambu tampak Thian-hi sudah menggeletak tak berkutik di tanah, ter-sipu2 ia merangkap tangan memberi hormat dan bersabda, "Thian-cwan Supek, entah untuk apa orang ini menyelundup ke Siau-lim-si. Harap Supek memberi ijin untuk kubawa keluar!" Thian-cwan Taysu membuka mata sejenak ia menatap Hun Thian-hi lalu katanya, "Dia berkata hendak mencari aku, entah ada urusan apa. Bila Sutit berkenan bisakah kutanyakan dulu beberapa patah kata?" Cepat Ti-hay menjawab, "Kalau Supek hendak bertanya kepadanya baiklah Sutit mengundurkan diri dulu. Tapi orang ini membekal Badik buntung, pernah membunuh banyak orang di kalangan Kangouw, kabar yang terakhir malah katanya telah membunuh Bu-tong Ciangbun Giokyap Cinjin, betapapun Supek harus hati2, jangan sampai tertipu oleh obrolannya." Thian-cwan Taysu tampak terkejut, setelah terpekur sebentar ia berkata, "Giokyap Cinjin bisa mati di tangannya ?" - nadanya penuh tanda tanya dan hampir tak percaya. Sahut Ti-hay, "Sutit pun hanya mendengar kabar saja bagaimana duduk perkara sebetulnya Sutitpun tidak tahu?" Thian-cwan Taysu manggut2, ujarnya, "Dia datang ingin bertemu dengan aku, maka aku harus mencari tahu kepadanya. Kuduga urusan ini terselip latar belakang yang sulit diraba, apalagi mungkin hanya dia seorang saja yang tahu segala seluk beluknya." Ti-hay merangkap tangan didepan dada, serta berkata, "Sulit sementara mengundurkan diri saja." Thian-cwan manggut. Cepat2 Ti-hay membungkuk badan terus mundur keluar. Sekian lama Thian-cwan Taysu ter-mangu2, baru pelan2 bangkit menghampiri Thianhi, diulurkan sebelah tangannya menekan nadi pergelangan tangan Thian-hi. Lalu diangkatnya diletakkan disamping tempat duduknya, dengan jari jemarinya pelan2 ia mengurut jalan darah Thian-hi. Tak lama kemudian dalam keadaan sadar setengah sadar Thian-hi merasa segulung hawa hangat menjalar kencang menyusup ke seluruh tubuhnya. Setiap jari Thian-cwan Taysu mengurut, hawa murni dalam tubuhnya serasa bergetar, dan tertuntun oleh hawa hangat tadi serta ikut berputar dan melandai kesegala jalan darah di seluruh tubuhnya. Waktu Thian-hi membuka mata, dilihatnya disamping duduk seorang Hwesio tua berjenggot dan beralis putih, tahu dia mesti beliau inilah Thian-cwan Taysu adanya, bergegas ia bangun serta katanya, "Terima kasih akan pertolongan Taysu!" Thian-cwan Tausy menggoyang tangan per-lahan2, "Siausicu tak usah banyak peradatan. Siausicu mencari aku entah ada urusan apa?" Thian-hi segera menyembah serta serunya, "Tecu Hun Thian-hi tersangkut bencana yang penasaran harap Taysu suka membantu mencuci bersih nama baik Wanpwe." "Coba kau ceritakan dulu persoalan apakah itu?" "Bu-tong Ciangbun Giok-yap Cinjin tentu Taysu sudah kenal." demikian Thian-hi mulai dengan ceritanya, "Beberapa waktu yang lalu beliau telah terbunuh secara gelap oleh musuh. Tapi seluruh tokoh2 silat dikolong langit ini semua menuduh adalah buah karya Wanpwe. Andai kata harus berkorban aku Hun Thian-hi takkan menyesal, tapi apakah kita harus membiarkan pembunuh durjana itu ongkang2 kaki dan berpeluk tangan, betapapun aku rada penasaran." "Hal ini baru saja kudengar beberapa waktu yang lalu," begitulah Thian-cwan bertanya, "sebetulnya bagaimana duduk perkara sebenarnya, coba kau ceritakan." Per-lahan2 Thian-hi menutur pengalaman sejak dirinya berpisah dengan Suhunya Kongsun Hong secara ringkas. dan jelas. Setelah selesai mendengar cerita Thian-hi, Thian-cwan Taysu pejamkan mata terpekur dalam pikirannya, akhirnya ia berkata, "Meski apa yang kau uraikan sangat beralasan, tapi aku tak bisa dengar kata sepihak saja, kalau menurut apa yang kau katakan kau memang seorang yang tak berdosa, atau sebaliknya kau adalah seorang durjana yang keliwat batas." Thian-hi menghirup hawa, desaknya, "Taysu merupakan tokoh teragung dalam dunia persilatan, perkara ini tentu bisa tercakup dalam genggaman Taysu seorang, memang Taysu tak bisa mendengar kata sepihak dari saja. Sebaliknya kalau Gwat Long dan Sing Poh tidak mau bicara sejujurnya, selanjutnya aku mesti tenggelam semakin dalam dan tak mungkin membongkar rahasia pembunuhan gelap yang misterius itu." Thian-cwan harus hati2 dan tenggelam dalam pikirannya lagi, katanya, "Dulu aku pernah berjanji dengan Bu-bing Loni untuk tidak turut campur urusan Kangouw, tapi Giokyap adalah sahabat tuaku, urusannya menjadi urusanku juga, kalau kau sudi menetap dan tinggal disini selama seratus hari, supaya memberi peluang dan kesempatan aku untuk menyirapi dan menyelidiki peristiwa ini, tentu aku dapat memberikan kepastian dan keputusan, apakah kau bisa?" Thian-hi juga ragu2, akhirnya ia berkata, "Taysupun sudah tahu, bahwa Soat-sansu-gou punya perjanjian selama setahun dengan Bu-bing Loni, jangka waktu itu sudah habis seratusan hari, kalau aku tinggal lagi disini selama seratus hari, sisa hari2 selanjutnya tidak banyak untuk menempuh segala usahaku, bagaimana enak perasaanku terhadap Soat-san-su-gou berempat Cianpwe?" Thian-cwan Taysu menjadi bungkam, sebentar kemudian ia berkata, "Kau mementingkan persoalan itu aku pun tak bisa menyalahkan kau. Tapi dalam keadaan gawat begini apakah kau mampu dan bisa menempuh perjalanan ke Tiang-pek-san?" Thian-hi berdesah dengan rawan, "Soat-san-su-gou berempat Cianpwe wafat karena aku, masa untuk mencoba saja aku tidak sudi?" Thian-cwan menghela napas, ujarnya, "Maksud Soat-san-su-gou memang baik. Tapi masa mereka tahu kalau ilmu silat Ce-han-it-ki dan Ciang-ho-it-koay dapat menandingi Bu-bing Loni?" Thian-hi terlongong2, ia tunduk dan tak kuasa bicara. Kata Thian-cwan Taysu pelan2, "Saat ini sudah tentu siapapun tidak tahu, bukan saja mereka berdua, dulu situa Pelita pun menyangka Go-cu Taiysu bisa menandingi Bu-bingLoni, tapi menurut hematku, belum tentu demikian." Thian-hi melengak dengan rasa tak percaya, tanyanya, "Apakah Bu-bing Loni betul2 tiada tandingan diseluruh kolong langit ini?" Thian-cwan Taysu geleng2 kepala, jawabnya, "Untuk hal ini siapapun tak berani memastikan namun untuk saat ini aku sendiri juga sangsi dan belum tahu ada tokoh mana yang mampu dan kuat menandingi Bu-bing Loni." Thian-hi terlongong bungkam. Thian_cwan Taysu melanjutkan, "Kalau kau mau menghimpas sakit hatimu, tiada halangan kau menetap disini selama seratus hari. tapi aku pun tidak memaksa kau, kalau tekadmu hendak pergi ke Tiang-pek-san, boleh silakan kau berangkat!" Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Thian-hi angkat kepala memandang kearah Thian-cwan Taysu. Thian-cwan Taysu tahu maksud Thian-hi, sesaat ia menatap wajah orang lalu katanya, "Aku akan suruh mereka melepas kau pergi." Thian-hi tertunduk lagi, katanya, "Terima kasih akan kebaikan Taysu, sekarang juga Hun Thianhi mohon diri!" "Siau_sicu," ujar Thian-cwan menghela napas, "Sesat dan lurus hanya terpikir dalam kilasan otak manusia, Sicu berteksd berkecimpung di Kangouw, sungguh Hwesio tua ini merasa kagum. Sebelum berangkat ingin aku memberi sedikit bekal kepadamu, hanya bersabar dan berlaku bijaksanalah baru akan tercapai cita2mu tanpa me-nyia2kan harapan orang banyak." Thian-hi terlongong sebentar lalu menyembah tiga kali kepada Thian-cwan Taysu, setelah menjemput Badik buntung terus mengundurkan diri. Terdengar Thian-cwan Taysu berseru keluar, "Ti-hay!" Tampak Ti-hay beranjak masuk dari luar hutan. Segera Thian-cwan Taysu memberi perintah, "Hantarkan Hun-sicu keluar!" Ti-hay tertegun, tanyanya, "Supek, mengantar dia keluar?" "Ada urusan baru dia mencari aku," demikian Thian_cwan menjelaskan, "Hakikatnya tiada berniat jahat, selamanya Siau-lim kita jarang turut campur urusan Kangouw, untuk urusan ini kita pun harus dapat membedakan siapa salah dan benar!" Ti-hay lantas membungkuk tubuh dan mundur. Hun Thian-hi mengintil dibelakang Tihay keluar dari hutan bambu terus keluar dari lingkungan biara Siau-lim. Setelah sampai diluar pintu, segera Ti-hay merangkap tangan serta katanya, "Hunsicu, maaf Siauceng tidak mengantar lebih jauh lagi.." Ter-sipu2 Hun Thian-hi menjura serta katanya, "Banyak terima kasih kepada Siausuhu." Ti-hay lantas membalik tubuh dan masuk kembali. Thian-hi menghirup napas lega, sejenak ia celingukan keempat penjuru, sekelilingnya sepi tanpa kelihatan bayangan seorangpun, dengan perasaan hampa dan kosong per-lahan2 ia berjalan turun gunung, hatinya tengah menerawang wejangan yang diberikan oleh Thian-cwan Taysu tadi. Sambil berjalan turun gunung, otak Thian_hi berputar, "Apakah benar Bu_bing Loni tanpa tandingan diseluruh dunia" Menurut kata Thian-cwan Taysu Ce-han-it-ki dan Ciang_ho-it_koay dari Tiang-pek-san belum mampu menandingi Bu-bing Loni, tapi itu kan penilaian masa lalu, siapa tahu sekarang" Begitulah berbagai pertanyaan berkecamuk dalam benaknya, namun ia masih bertekad hendak menuju ke Tiang-pek-san. Baru saja Thian-hi tiba dikaki gunung dan beranjak dijalan raja, dari kejauhan lantas terlihat Thian-mo-kiam Liong Lui memimpin sebarisan anak buahnya dari Partai Merah tengah membedal tunggangannya menuju kearah dirinya. Lekas2 Thian-hi berlari menyingkir, untung Liong Lui dan anak buahnya tidak melihat dirinya. Sedang Liong Lui dan kawan2 seperti punya kerja penting terus membedal lewat dengan kencang. Setelah rombongan Liong Lui pergi jauh baru Thian-hi melongok keluar. Mendadak seekor kuda mencongklang mendatangi secepat terbang, untuk sembunyi sudah tak sempat lagi, sudah tentu Thian-hi menjadi kaget, waktu ditegasi pendatang itu bukan lain adalah putri Ciok Hou-bu itu majikan Hwi-cwan-po yaitu Ciok Yan adanya. Melihat Hun Thian-hi cepat2 Ciok Yan melompat turun. Thian-hi mundur dua langkah mengawasinya dengan mendelong. Ciok Yan berdesah, katanya, "Dimanakah Bun-pangcu sekarang?" Kiranya orang bukan mencari dirinya dengan heran Thian-hi menggeleng kepala. Melihat jawaban Thian-hi, Ciok Yan membanting kaki, cepat2 ia melompat naik keatas tunggangannya terus dibedal kedepan dengan kencang. Thian-hi menjublek ditempatnya mengantar bayangan Ciok Yan yang semakin jauh, rada lama kemudian baru ia sadar dan tertawa geli sendiri akan kebodohan dirinya, diam2 ia memaki kenapa hubungan asmara antar muda mudi saja tidak dapat dirabanya. Thian-hi jadi berpikir tentu Ciok Yan ada urusan mencari Bun Cu-giok, gerakgerik rombongan Liong Lui pun sangat mencurigakan, tentu ada sesuatu hal telah terjadi yang tidak menguntungkan Bun Cu-giok. Sejak dirinya diusir dari perguruan hanya Bun Cu-giok seorang yang menjadi sahabat kentalnya. Entah sejak pulang tempo hari bagaimana pula dengan Partai Putih yang tengah menghadapi berbagai persoalan, bila perlu aku harus menyusul kesana membantu dia.. Ter-sipu2 Thian-hi ber-lari2 menelusuri jalan raja mengejar kedepan mengikuti telapak kaki kuda. Kira2 setengah jam kemudian ia menanjak naik keatas sebuah bukit kecil, baru saja ia sampai diatas bukit terdengar gelak tawa orang yang sudah dikenalnya, serunya, "Ternyata kau berani datang masuk perangkap." Waktu Thian-hi menoleh seketika ia melongo, tampak diatas bukti berdiri jajar beberapa orang, mereka bukan lain adalah Ciok Hou-bu majikan Hwi-cwan-po, Tio Hong-ho dan Liong Lui dari Partai Merah dan anak buahnya, yang berdiri paling samping adalah Ciok Yan. Begitu Thian-hi tiba, segera Ciok Hou-bu bergelak tawa, serunya, "Hun-siauhiap, aku Ciok Houbu sungguh kagum akan nyalimu yang besar, berani kau bunuh Giok-yap Cinjin Ciangbunjin Butong- pay, sekarang berani berlenggang kangkung berjalan di jalan raja." Berubah air muka Hun Thian-hi, dengan cermat ia bergantian mengawasi tiga orang didepannya, sindirnya, "Sebaliknya akupun merasa kagum akan kesetiaan kawan kalian serta berterima kasih akan kehormatan yang tinggi ini, entah ada keperluan apakah kalian menanti aku disini?" Ciok Hou-bu ter-kekeh2 tanpa bicara, sebaliknya Tio Hong-ho tertawa kering, serunya, "Memang kita sedang menanti kedatanganmu." Sebentar saja otak Thian-hi yang encer sudah dapat menebak, diam2 ia membatin dalam hati; tentu mereka hendak menyebak Bun Cu-giok disini, sungguh goblok justru akulah yang masuk perangkap mereka. Dari samping Ciok Yan berkata kepada Ciok Hou-bu, "Ajah, Bun Cu-giok tidak akan datang, masa begitu bodoh dia bisa kena pancing." "Budak goblok, cerewet!" semprot Ciok Hou-bu gusar. Thian-hi tahu, kata2 Ciok Yan itu ditujukan kepadanya secara tidak langsung memberi tahu akan maksud tujuan mereka sebenarnya. Sedikit memutar otak cepat2 Thian-hi berlari turun bukit. Sejak tadi Ciok Hou-bu selalu mengawasi gerak-gerik Thian-hi, begitu ia bergerak sebat sekali iapun sudah mengebutkan mantel abu2nya menyerang kepada Hun Thian-hi. Sigap sekali Hun Thian-hi sudah mengeluarkan Badik buntung, dimana sinar hijau pupus berkelebat, gesit sekali ia balas menyerang kepada Ciok Hou-bu. Ciok Hou-bu menggerung gusar, terpaksa ia melompat mundur sambil mengegos. Sementara itu Tio Hong-ho dan Liong Lui melejit maju mencegat jalan mundur Thian-hi, serentak pedang dan tongkat mereka bergerak menyerang saling silang dari dua jurusan, pedang membabat pinggang sedang tongkat menyerampang kaki Hun Thian-hi. Hun Thian-hi menggertak keras, jurus Gelombang perak mengalun berderai dilancarkan, sekaligus ia punahkan serangan musuh dan merabu maju, terpaksa ketiga lawannya melawan dengan senjata dan ilmu simpanan masing2. Thian-hi tahu bahwa ketiga seterunya ini bertujuan hendak mencelakai jiwa Bun Cu-giok sekarang Bun Cu-giok belum datang, inilah kesempatan bagi aku untuk memancing pergi mereka bertiga supaya Bun Cu-giok tidak terjebak. Karena pikirannya ini sebat sekali ia melompat jauh dengan gerak ringan tubuhnya yang pesat dan enteng, sekali ia menerobos lewat diantara samberan senjata ketiga lawannya terus berlari kencang ke arah depan Sana. Badik buntung milik Hun Thian-hi adalah benda pusaka yang selalu diimpikan dan diincar oleh ketiga gembong silat tamak itu. Apalagi Hun Thian-hi memikul dosa dengan tuduhan sebagai pembunuh Bu-tong Ciangbun Giok-yap Cinjin, siapa saja yang dapat membekuknya bakal terangkat nama dan gengsinya Sudah tentu ketiga lawannya tidak mau melepasnya begitu saja, dengan kencang serempak mereka mengejar dengan kencang. Bukan gentar atau gugup sebaliknya Thian-hi malah berlega hati bahwa usahanya ternyata berhasil memancing ketiga musuhnya berkisar dari tempat bukit kecil itu. Dengan demikian maka terlepaslah Bun Cu-giok dari perangkap yang telah mereka rencanakan. Apalagi kepandaian dan kemampuan ketiga lawan ini bila mau cukup dengan bekal kepandaiannya sekarang mudah sekali untuk mengalahkan mereka. Baru pikiran ini terkilas dalam benaknya, mendadak terdengar derap lari kuda yang berlari pesat sekali, begitu dekat kontan menerjang ke arah Ciok Hou-bu, Tio Hong-ho dan Liong Lui bertiga serta merabu dengan serangan pedang yang ganas. Waktu Thian-hi berpaling pendatang ini kiranya bukan lain Pangcu Partai Putih Bun Cu-giok si pedang mas cambuk perak. Berhasil mendesak mundur ketiga lawan baru Bun Cu-giok berkesempatan menoleh kepada Hun Thian-hi, serunya, "Dari mana kau saudara Hun?" "Bun-pangcu," teriak Thian-hi, "kenapa kau ke-mari" Dari nona Ciok tadi kudengar katanya mereka hendak menjebak kau!" Tergetar badan Bun Cu-giok, namun sikapnya masih tenang2 dan tertawa, tanyanya, "Saudara Hun hendak kemana kau sekarang?" Dalam pada itu Ciok Hou-bu sudah menyerbu tiba sambil menggerung gusar, mantelnya menderu menyapu datang. Sementara pedang dan Tongkat Tio Hong-ho serta Liong Lui juga tengah mengancam dari jurusan lain. Se-olah2 tidak terjadi apa2, seenaknya saja Bun Cu-giok tidak pandang sebelah mata keroyokan para musuhnya. Tampak batang pedang mas berkilau menggetar me-nutul2 sejurus saja sekaligus ia punahkan serangan ketiga lawannya. Diam2 terperanjat hati Thian-hi, batinnya, "Kepandaian silat Bun Cu-giok ternyata begitu tinggi, kalau tidak mengandal ketajaman senjatanya pusaka mungkin si orang tua jubah merah Pangcu Partai Merah bukan menjadi tandingannya. Karena ia menonton dengan seksama, pikiran pun tengah melayang sesaat ia menjadi lupa menjawab pertanyaan orang. Melihat Thian-hi menonton dengan cermat pertempuran satu lawan tiga, diam2 girang hati Bun Cu-giok, sengaja ia ingin pamer kepandaian ilmu pedangnya, sinar pedang berkilatan selulup timbul, beruntun lima jurus ia menyerang mundur musuh ber-ulang2. Tanya Bun Cu-giok setelah mendesak mundur ketiga musuhnya, "Dikalangan Kangouw tersiar kabar katanya saudara Hun telah membunuh Giok-yap Cinjin, bagaimana duduk perkara sebenarnya apakah saudara Hun sudi beritahu kepada aku?" Mendadak Hun Thian-hi teringat bahwa guru Bun Cu-giok adalah Sute Giok-yap Cinjin, entah bagaimana pandangannya mengenai persoalan ini, sejenak ia tatap wajah Bun Cugiok, dilihatnya orang tiada punya maksud buruk, maka segera ia menjawab, "Soal ini tersangkut paut dengan Mo-bin Su-seng (pelajar muka iblis). Apalagi kedua murid Giok-yap Cinjin yaitu Gwat Long dan Sing Poh juga jelas tahu peristiwa itu, Terlalu panjanglah kalau mau diceritakan." Setelah mendengar sekedar penjelasan Thian-hi yang singkat itu, Bun Cu-giok angkat alis dan berseru kepada Ciok Hou-bu bertiga, "Apakah kalian masih ingin bertempur?" Ciok Hou-bu mendengus, jengeknya, "Kita mengundang kau, apa kau tahu apa tujuan kita?" Bun Cu-giok ter-bahak2 serunya, "Go Ciok kenapa tidak datang?" Thian-liong-kiam Liong Lui menjengek dingin, "Kita bertiga sudah lebih dari cukup untuk membereskan kau, kenapa harus Pangcu sendiri yang turun tangan?" Bun Cu-giok menggeram, semprotnya, "Kalian dua golongan menyergap dan memusnahkan Kim-ke-cheng waktu pihak lawan tak bersiaga, kalian sangka urusan lantas beres sampai disitu saja" Gi Ciok sendiri punya sepak terjang tengik seperti bajingan, maka jangan salahkan kalau aku menghukum kalian dulu!" Ciok Hou-bu tersenyum sinis, katanya, "Bun pangcu seorang gagah yang perwira, aku Ciok Hou-bu benar2 kagum. Urusan harus dibikin beres secepatnya menurut keadilan bagi Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo orang yang cerdik pandai." Bun Cu-giok ter-bahak2, serunya, "Ciok-pocu punya cara muslihat apa untuk menundukkan aku, Bun Cu-giok ingin belajar kenal!" Hun Thian-hi menjublek ditempatnya, dari percakapan ini baru ia tahu bahwa urusan ternyata sudah berkembang begitu jauh Pihak Kim-ke-cheng sudah musnah begitu gampang dalam waktu singkat. Kenapa" Bukan lain hanya karena sebilah Badik buntung. Segere Hun Thian-hi menimbrung, "Hanya karena sebilah Badik buntung milikku itu Partai Merah dan Hwi-cwan-po memusnahkan seluruh Kim-ke-cheng, aku Hun Thian-hi betul2 menjadi mati kutu. Tapi Hun Thian-hi ingin minta penjelasan langsung dari Ciok-pocu, mengandal apa Hwicwan- po kalian bisa malang melintang didaerah Kanglam?" Ciok Hou-bu ter-loroh2. Tanpa menanti orang berhenti tertawa. Bun Cu-giok menyindir dengan seringai sinis, "Ciok Hou-bu, kau hendak menjebak dan mencelakai aku. Lebih baik sekarang kau pulang ke Hwi-cwan-po, coba lihat mungkin sarangmu itu sudah kubumi hanguskan seluruhnya." Berubah hebat rona wajah Ciok Hou-bu. Tio Hong-ho yang berwatak tenang mendengus, bujuknya, "Ciok-pocu, jangan kau percaya dengan obrolannya. Partai putih sedang kepepet dari dua jurusan, diutara oleh Thian-san-ji-long, diselatan ada kita beramai, masa mereka masih punya kekuatan pergi ke Hwi-cwanpo!" "Apakah begitu gampang seperti uraianmu?" jengek Bun Cu-giok, "Aku kuatir kau hanya mengudal ludah saja." Segera Ciok Hou-bu menenangkan hati, bukan mustahil hal itu bisa terjadi, sesaat ia terlongong ditempatnya. Terpikirkan olehnya usaha capek lelah selama puluhan tahun telah lenyap hanya sekejap mata saja betapa tidak sayang dan murung hatinya. Saking gegetun dan gemas ia putar mantel ditangannya terus menyerbu seperti banteng ketaton. Tampak diujung lirikan mata Bun Cu-giok, Ciok Yan tengah berlari menyingkir sambil menutupi raut mukanya dengan kedua tangan. Hatinya menjadi menyesal dan ragu2, cepat2 ia menarik tali kekang mencongklang kudanya menyingkir dari serangan Ciok Hou-bu ini. Dengan kalap Ciok Hou-bu menyerbu terus dengan serangan gencar. Tio Hong-ho memburu maju kesamping Ciok Hou-bu dan membisiki, "Saudara Ciok! Kenapa menjadi kalap!" Tersentak hati Ciok Hou-bu, tergugah semangatnya untuk berpikir secara terang, bukankah obrolan orang belum terbukti kenyataannya, sedang pihak sendiri masih punya tipu muslihat untuk menjebaknya. Karena itu cepat2 ia menyurut mundur, serunya, "Orang she Bun, hari ini kuampuni jiwamu, aku akan kembali memeriksa dulu!" bersama mereka bertiga terus ia membalik dan berlari2 meninggalkan gelanggang. Bun Cu-giok menjengek dingin, matanya menerawang keempat penjuru, batinnya, "Aku Bun Ciok-giok masa bernyali kecil, biar kau mengatur jebakan apapun juga akan kuterjang." Kudanya segera dikeprak mengejar serunya, "Begitu gampang kalian hendak melarikan diri ?" Sambil berlari Ciok Hou-bu menolhi dan berteriak, "Gi-pangcu berada didalam lembah didepan sana, apa kau berani kesana?" Bun Cu-giok ter-kakak2, sudah dalam rekaan hatinya bahwa Gi Ciok memendam diri disana hendak menyergap dirinya, sekarang terbukti kenyataannya. Kudanya dipecut berlari semangkin kencang. Terpaksa Hun Thian-hi juga ikut berlari pesat, teriaknya, "Bun-pangcu hati2 kau!'" "Legakan hatimu saudara Hun," teriak Bun-cu-giok sambil tertawa lebar, "Bun Cugiok tidak gentar menghadapi Thay-i-kiam miliknya itu." Sementara itu Ciok Hou-bu bertiga sudah mencapai mulut lembah yang sempit itu, sebat sekali Thian-hi mengerahkan tenaga menjejakkan kaki, tubuhnya melambung tinggi dan meluncur kedepan, ditengah udara ia berteriak, "Ciok-pocu, harap berhenti sebentar." Namun Ciok Hou-bu menjawab dengan gelak tawanya, sekejab saja mereka sudah berkelebat hilang dibalik mulut selat yang sempit itu. Bun Cu-giok mencongklang kudanya masuk kedalam lemtah yang sempit, kedua lampingnya tinggi dan terjal, baru saja beberapa puluh langkah tiba2 terdengar suara gemuruh seperti gugur gunung, ber-puluh atau beribu batu besar kecil tiba2 berjatuhan dari atas tebing seperti hujan derasnya. Keruan bukan kepalang kaget Bun Cu-giok dan Thian-hi, sigap sekali Bun Cu-giok melompat turun dari tunggangannya sambil menyeret Thian-hi menyingkir kesamping dan berdiri membelakangi dinding batu yang terjal itu, mereka menjadi repot menghindar dan memukul batu2 yang meluruk keseluruh tubuh mereka. Kira2 setengah jam lamanya hujan batu gunung itu berlangsung sampai mereka kehabisan tenaga, setelah suasana menjadi hening dan terang kembali seluruh lembah sempit itu sudah penuh tertimbun batu dan debu, Thian-hi berdua sudah kepayahan tertimbun setengah badan, dalam waktu dekat mereka tak mampu bergerak dan meloloskan diri dari himpitan batu2. Tak lama kemudian tampak Ciok Hou-bu bertiga mendatangi. Sambil cengar cengir Ciok Hou-bu bertiga tertawa sinis kegirangan. Maju selangkah gampang sekali Tio Hong ho merebut Badik buntung yang digenggam ditangan Thian-hi. Ada niat Thian-hi hendak melawan apa daja tenaga sudah habis, untuk bergerak saja tak mampu. Bun Cu-giok menghela napas rawan, katanya kepada Thian-hi, "Saudara Hun! Sungguh aku sangat menyesal." Hun Thian-hi tersenyum, ujarnya, "Ah, Bun-pangcu kenapa bicara begitu. Kalau Bun-pangcu tidak menyeret aku tadi siang2 jiwaku ini pasti sudah melayang." Setelah dapat merebut Badik buntung, dengan seksama Tio Hong-ho tengah memeriksanya, wajahnya dihiasi senyum kegirangan Ciok Hou-bu menjadi mendelu, tanyanya rada tak senang, "Tio-tongcu cara bagaimana kau hendak membereskan kedua orang ini ?" Tio Hong-ho tertawa kering, katanya, "Menurut hemat Pangcu kita untuk memulihkan kekuatan dan pangkalan Thay-i-bun kembali betapapun perlu minta bantuan Hun Thian-hi. Kalau kita meringkusnya dan diserahkan kepada Bu-tong-pay, tentu selanjutnya seluruh kaum Kangouw tidak bersikap bermusuhan lagi dengan Thay-i-bun. Sedang Bun Cu-giok punya permusuhan dengan Ciok-pocu, dia boleh kuserahkan kepada Pocu terserah bagaimana kau hendak membereskan dia." Seketika berkobar amarah Ciok Hou-bu, dalam hati ia mengumpat, "Jang menguntungkan kau keruk sendiri, sedang Bun Cu-giok yang bisa menimbulkan bencana kau serahkan kepada aku, apa2an sikap kalian ini!" Dalam hati ia mengumpat namun situasi yang dihadapi ini tak menginjinkan dia pengumbar nafsunya, maka dengan tertawa lebar ia berkata, "Pikiran Pangcu kalian sungguh sangat sempurna, sebaliknya aku Ciok Hou-bu punya pandangan yang rada berbeda." Tio Hong-ho tahu kalau Ciok Hou-bu tidak senang akan keputusan tadi, namun urusan sudah ketelanjur sedemikian jauh, bukan mustahil mereka bakal bertengkar sendiri, sekarang Hwi-cwanpo sudah musnah, mengandal kekuatan Partai merah yang tersebar luas di kalangan Kangouw kiranya tak perlu takut menghadapi Ciok Hou-bu. Terdengar Tio Hong-ho tertawa terkekeh, serunya, "Kalau Ciok-pocu punya pendapat silakan bicarakan. Hanya aku kuatir Pangcu kita tidak bakal setuju pendapat Ciok-pocu itu." Semakin berkobar amarah Ciok Hou-bu, terang orang tengah menggunakan tipu menyebrang sungai memutus jembatan memukul jatuh anjing kedalam air, jelas sekali menghina Hwi-cwan-po yang sudah musnah itu. Sedapat mungkin ia menahan gelora amarahnya, setelah bergelak tawa sekian lama ia berkata, "Semula partai kalian mengajak aku berserikat, tujuan utama Ciok Hou-bu adalah Badik buntung, sedang Partai kalian menghadapi Partai putih yang merupakan musuh kebujutan. Menurut perjanjian semula sudah seharusnya Badik buntung itu diserahkan kepada aku, sedang Bun Cu-giok dan Hun Thian-hi boleh kalian urus." "Pendapatmu ini tidak mungkin terlaksana, perjanjian semula boleh dianggap batal." demikian jawab Tio Hong-ho sambil menyeringai. Tak tertahan lagi gejolak amarah Ciok Hou-bu, desisnya dingin, "Apa yang kuucapkan tadi sebetulnya sudah memberi banyak kelonggaran dan memberi muka kepada partai kalian." Tio Hong-ho bergelak tawa, serunya, "Ciok-pocu, kita bekerja harus menurut aturan, bagaimana menurut pendapat Ciok-pocu mengenai hal ini'" Ciok Hou-bu mendengus, batinnya, "Apakah ini yang dimaksudkan dengan mengenai aturan?". Kata Tiok Hong-ho meneruskan diplomasinya, "Memang, pembagian cara ini pihak partai kita rada mengambil sedikit keuntungan. Tapi Ciok-pocu harus ingat, semula cara bagaimana dan kenapa Kita sampai berserikat?" "Apakah perlu ditanyakan lagi?" demikian umpat Ciok Hou-bu dalam hati. "Aku percaya Ciok-pocu sudah maklum dalam hati," begitulah Tio Hong-ho meneruskan pidatonya, "kita bergabung karena keuntungan dan berpisah setelah keuntungan itu tercapai, ini kan sudah jamak, apakah Ciok-pocu berani menyanggah akan kebenaran ini?" Ciok Hou-bu tertawa hambar, katanya, "Kalau demikian kukuh pendapat Tio-tongcu, terpaksa Ciok Hou-bu mohon diri saja........." "Ciok-pocu tunggu sebentar," teriak Tio Hong-ho, "Bun-pangcu tak berguna lagi bagi kita, silakan Ciok-pocu membawanya pulang." Ciok Hou-bu menggeram, otaknya berpikir, "Jelas kalian gentar menghadapi gurunya yang kenamaan yaitu Ce-hun Totiang, demi mengambil hati pihak Bu-tong-pay lantas kalian serahkan dia kepadaku." mendadak tergerak hatinya, otaknya sudah merancang suatu muslihat, dengan pura2 tertawa ia berkala, "Kalau Tio-tongcu memang berkeputusan begitu, terpaksa Ciok Hou-bu menurut saja." Tiok Hong-ho tertawa lebar dimabuk kemenangan. Mendadak Ciok Hou-bu menggertak keras mantel abu2nya bergulung lempang terus terbang menyerang kearah Tio Hong-ho. Serangan dilancarkan secara tak terduga, Tio Hong-ho tak bersiaga lagi, menurut dugaannya semula Ciok Hou-bu sudah gentar dan kuncup menghadapi Partai merah yang sudah semakin menanjak dikalangan Kangouw, betapapun dia takkan berani sembarangan bergerak, apalagi kepandaian silat sendiri tidak terpaut jauh dibanding kemampuan Ciok Hou-bu. Begitulah waktu mendengar samberan kuat menyerang kearah dirinya, sekuatnya ia bergerak mengepos. namun dimana mantel itu menyamber lewat, seketika ia menjerit sekeras2nya, tahu2 lengan kirinya sudah tersapu kutung. Berhasil akan serangannya Ciok Hou-bu tak berhenti sampai disitu saja, tampak mantelnya berkembang me-nari2 dengan derasnya membawa deru angin yang sangat kencang, sekaligus ia sudah melancarkan kepandaian tunggal yang paling dibanggakan, yaitu tiga belas jurus Hwi-cwankian- soat. Tampak setabir bayangan abu2 berkembang melebar kekanan kiri menyerang kearah dua orang musuhnya. Terpaksa Liong Lui mencabut pedangnya menangkis, susah payah ia menghalau setiap serangan Ciok Hou-bu. Dalam waktu dekat memang Liong Lui kuat bertahan, tapi lama kelamaan ia semakin terdesak dan mundur selangkah demi selangkah. Dalim pada itu Tio Hong-ho sudah berhasil membalut luka2 dilengan kirinya mencegah mengalirnya. banyak darah, sambil kertak gigi ia mengayun tongkat senjatanya membantu Liong Lui berdua mereka mengerojok Ciok Hou-bu. Begitulah mereka bertiga bertempur dengan sengit, dalam wuktu singkat keadaan menjadi berimbang. Sudah tentu kejadian ini sangat menguntungka Bun Cu-giok dan Hun Thian-hi. Hun Thian-hi pernah menelan buah ajaib, sedang Bun Cu-giok pun punya dasar latihan Sianthian- cin-gi dari aliran murni, dalam waktu singkat tenaga dan semangat mereka bisa pulih kembali. Pertempuran sudah berjalan ratusan jurus, keadaan masih tetap sama kuat. Diam2 Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Thian-hi dan Bun Cu-giok saling memberi isyarat, mereka membentak bersama sekaligus berhasil membongkar batu besar dan debu yang menghimpit mereka terus melompat keluar. Tapi kelihatan kedua kaki masing2 basah lembab oleh darah yang merembes dari luka2. Sudah tentu Ciok Hou-bu bertiga kaget setengah mati, Sementara itu Bun Cu-giok serahkan pedang masnya kepada Hun Thian-hi, untuk melawan musuh ia melolos cambuk perak sebagai gaman. Tepat saat itu juga, dari luar lembah terdengar derap kaki kuda yang berlari pesat. Seketika Tio Hong-ho dan Liong Lui mengunjuk rasa girang, pendatang ini bukan lain adalah Pangcu Partai Merah Gi Ciok adanya. Belum lagi sampai Gi Ciok sudah melambung tinggi, ditengah udara melolos pedang pusaka terus meluncur menyerbu kearah Bun Cu-giok. Bun Cu-giok menghardik ringan, tombak perak ditangan kanan terayun, laksana ular hidup cambuknya melilit kearah Thay-i-kiam musuh. Terdengar Gi Ciok mendengus kaget, terasa sesuatu keganjilan diluar kesigapannya. Diketahui olehnya bahwa cambuk perak Bun Cu-giok itu kiranya bukan sembarang senjata umumnya yang terbuat dari perak biasa, tetapi adalah terbuat dari anyaman sutra perak dan benang baja yang ulet tak mempan senjata. Maka cepat2 ia menarik pulang pedangnya. Kesempatan ini tak di-sia2kan oleh Bun Cu-giok, cambuk perak ditangan kanannya diobat-abitkan sekencang kitiran menyerbu semakin gencar, setiap lecutan tentu mengarah jalan darah mematikan diseluruh badan Gi Ciok. Gi Ciok harus kerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya, meski terdesak ia masih kuat bertahan terus sampai ratusan jurus Kemudian baru ia bisa memperbaiki posisinya. Sekarang keadaan kelihatan sama kuat. Thian-hi tahu bahwa tenaga Bun Cu-giok belum pulih seluruhnya, tentu tidak menguntungkan bertempur lama-lama, segera ia berkata, "Bun-pangcu, hari ini kita hentikan dulu sampai disini." Bun Cu-giok insaf hari ini tentu tak mudah mengambil kemenangan, apalagi kalau Ciok Hou-bu berbalik kepihak musuh lagi tentu semakin berabe, sambil bergelak tawa ia berkata, "Hari ini cukup sekian saja, tapi urusan ini takkan ada habisnya." Sementara itu Gi Ciok tengah keheran-heranan akan kepandaian silat Bun Cu-giok yang luar biasa itu, mendengar itu segera ia pura-pura menggertak, "Apa, kau hendak lari?" Bun Cu-giok menyeringai, katanya kepada Ciok Hou-bu, "Hwi-cwan-po sebetulnya masih utuh, tapi akan datang suatu hari akan kubumi hanguskan rata dengan tanah." - Habis berkata lalu tinggal pergi bersama Hun Thian-hi. Ciok Hou-bu berdiri menjublek, tak tahu bagamana baiknya, bahwa Hwi-cwan-po masih utuh ini benar-benar suatu berita yang menggembirakan, namun keadaan sekarang adalah sangat berbahaya bagi dirinya Pangcu Partai Merah Gi Ciok sudah cba, apakah dia rela melepas dirinya. Dalam pada itu Hun Thian-hi dan Bun Cu-giok sudah berlari jauh. Gi Ciok tahu dirinya takkan mampu merintangi, terpaksa ia mandah saja membiarkan mereka pergi. Pelan-pelan Gi Ciok lantas membalik. Tio Hong-ho segera maju mempersembahkan Badik buntung katanya, "Pangcu! Badik buntung berhasil kurebut. Tapi karena Ciok Houbu merintangi sehingga kedua orang itu tak dapat dibekuk, harap Pangcu mendapat tahu." Gi Ciok manggut-manggut sambil menerima Badik buntung. Sekian lama ia mengamati dan meneliti seluruh batang Badik buntung itu. Pelan-pelan sinar matanya terangkat naik berpindah menatap kepada Ciok Hou-bu. Tergetar jantung Ciok Hou-bu. Terdengar Gi Ciok menjengek, "Ciok-pocu, kelakuanmu ini apakah terhitung berserikat dengan kita?" " Ciok Hou-bu tahu bahwa Gi Ciok takkan melepas dirinya, dari kepepet ia menjadi nekad, katanya sambil tertawa lebar, "Gi-pangcu sebaliknya apakah kalian punya maksud yang serius hendak berserikat dengan kita!" Gi Ciok menggeram gusar, tahu dia kalau Ciok Hou-bu bisa berdiri menjagoi sesuatu daerah dan membangun Hwi-cwan-po yang kenamaan tentu punya kepandaian simpanan yang diandalkan, kalau tidak turun tangan sendiri tentu takkan dapat menundukkan dia. Gi Ciok terkekeh dingin, tantangnya, "Ciok-pocu angkat nama karena tiga belas jurus Hwicwan- kiaH-soat itu, hari ini Gi Ciok minta belajar kenal betapa lihay ketiga belas jurus ilmu mantelmu itu." Ciok Hou-bu tak mau unjuk kelemahan, tertawa bahak-bahak iapun mengejek, "Betapa beruntungnya Ciok Hou-bu mendapat pelajaran langsung dari Gi-pangcu, matipun puaslah!" - tanpa sungkan-sungkan segera ia menggentakkan mantel dari punggungnya. "Senjataku ini adalah sebilah pedang pusaka, kalau dalam sepuluh jurus aku tidak dapat mengalahkan kau, urusan hari ini anggap himpas seluruhnya." demikian ejek Gi Ciok. Ciok Hou-bu insaf, jangan kata sepuluh jurus, hanya lima jurus saja mungkin dirinya takkan kuat bertahan, namun urusan sudah mendesak begitu jauh, terpaksa ia kerahkan tenaga dan menggerakkan mantelnya, dengan jurus-jurus ilmu Hwi-cwan-kian-soat ia mendahului menyerang. Gi Ciok menyungging seringai sadis, cepat sekali ia berkelit kian kemari membebaskan diri dari samberan mantel musuh. Sekali pedangnya menyontek ke atas, dalam sejurus saja ia berhasil mengupas sebagian kecil ujung mantel Ciok Hou-bu. Berubah air muka Ciok Hou-bu, mantelnya dikebutkan dengan jurus It-sek-hun-kian menggulung ke arah muka Gi Ciok. Gi Ciok mengandalkan senjata pusakanya sedikit pun ia tidak gentar menghadapi musuh, bukan mundur atau berkelit sebaliknya dengan berani ia memapak maju, ujung pedangnya tahu-tahu sudah mengancam di depan dada lawan. Terpaksa Ciok Hou-bu melompat mundur, sehingga serangannya gagal di tengah jalan. Gerak pedang Gi Ciok ternyata hebat sekali belum sempat Ciok Hou-bu memperbaiki posisinya, tahu-tahu mantelnya sudah terkutung menjadi dua oleh ketajaman pedang pusaka musuh. Insaflah Ciok Hou-bu bahwa dirinya memang bukan tandingan lawan, terpaksa ia pasrah nasib dan menyerah mentah-mentah, dengan tertawa lebar ia buang mantelnya serta katanya, "Aku Ciok Hou-bu mengaku kalah, terserah bagaimana kalian hendak membereskan aku." Gi Ciok tertawa dingan, katanya kepada Tio Hong-ho, "Tio-tongcu, Ciok-pocu sudah menyerah, dia membuntungkan lenganmu, sekarang terserah bagaimana kau hendak menghukumnya." Sungguh Tio Hong-ho tidak menyangka bahwa Ciok Hou-bu diserahkan kepadanya untuk memberi hukuman, sesaat ia menjadi melongo tak tahu apa yang harus dilakukannya. Ciok Hou-bu punya nama dan kedudukan di kalangan Kangouw, kalau menghukumnya terlalu berat kuatir para sahabatnya nanti menuntut balas. Kalau hukuman terlalu ringan, kelak mungkin bakal menimbulkan bencana juga bagi dirinya, untuk sesaat ia menjadi bingung mengambil keputusan. "Bagaimana?" Gi Ciok mendesak, "Apa Tio-tongcu belum tahu?" Cepat Tio Hong-ho menjawab, "Selamanya Partai Merah mengutamakan keadilan dan kebenarbenaran, dia telah membuntungi lenganku. Aku tidak bisa menghukumnya terlalu berat, apalagi Partai Merah tidak suka mengikat permusuhan, sekarang lengan kiriku sudah buntung maka akupun mengutungi lengan kanannya saja. Bagaimana pendapat Pangcu?" Gi Ciok manggut-manggut dengan puas. Pucat wajah Ciok Hou-bu, sebagai seorang tokoh persilatan, apalagi dalam usia yang sudah menanjak setengah abad, kalau sebuah lengannya buntung berarti menjadi cacat. Gi Ciok maju ke hadapannya, katanya kepada Ciok Hou-bu, "Bagaimana Ciok-pocu?" Hakikatnya Ciok Hou-bu takkan mampu melawan atau mati adalah bagiannya, terpaksa ia mengulurkan lengan kanannya, sekali bacok Gi Ciok memapas kutung lengan kanan orang. Kontan Ciok Hou-bu menjadi pucat pasi. Gi Ciok terbahak-bahak, ujarnya, "Ciok-pocu, sebuah lengan diganti sebuah lengan, untuk selanjutnya golongan kita sudah himpas dan tidak punya hutang piutang lagi." lalu bersama Tio Hong-ho dan Liong Lui mereka tinggal pergi menunggang kuda. Otak Ciok Hou-bu terasa hampa dan kosong, setelah membalut sekedarnya luka-luka lengan kanannya ia berjalan terhuyung-huyung. Dalam keadaan kehabisan darah pikirannya menjadi semakin kabur, entah berapa jauh sudah ia berjalan jatuh bangun, yang terpikir dalam otaknya melulu, "Lengan kananku sudah buntung!" - begitulah dia terus melanjutkan ke depan. Akhirnya ia sampai di tanjakan bukit berbatu, sampai disini tak mungkin ia kuat merambat ke atas, ia berdiri menjublek dan terlongong disitu, mulutnya menggumam, "Tidak ada jalan lagi." Mendadak dibelakangnya terdengar sabda Budha, dengan linglung Ciok Hou-bu menoleh, tampak seorang Hwesio tua tengah beranjak mendatangi. Sambil tersenyum Hwesio tua itu berkata kepada Ciok Hou-bu, "Kenapa Sicu tak melanjutkan ke depan?" "Terus ke depan?" sahut Ciok Hou-bu bingung, "Depan sana tiada jalan lagi. "Kembali tentu ada jalan!" sahut Hwesio tua. Ciok Hou-bu melengak, desisnya, "Kembali?" Hwesio tua manggut-manggut, katanya tertawa, "Kenapa lengan kanan Sicu buntung?" "Dibacok buntung oleh orang." "Dibacok buntung orang?" Hwesio tua menegas, "Loceng kuatir mungkin lengan itu bukan dikutungi oleh orang lain." Ciok Hou-bu tertegun, desisnya lagi, "Bukan dibacok buntung" Kalau begitu tentu kubacok buntung sendiri, cara bagaimana aku membacoknya buntung?" Hwesio tua tersenyum simpul tak bersuara, sesaat kemudian baru buka suara, "Benar-benar, cara bagaimana kau mengutungi lenganmu sendiri!" habis berkata ia putar tubuh terus tinggal pergi. Ciok Hou-bu masih menjublek di tempatnya, sejenak kemudian otaknya rada tergetar sadar cepat-cepat ia berteriak, "Lo-suhu harap tunggu sebentar." Hwesio tua tak hiraukan panggilannya terus berjalan ke depan. Lekas-lekas Ciok Hou-bu mengejar, sampai dibelakangnya Ciok Hou-bu tak berani mendahului ke depan, begitulah ia terus mengintil di belakang Hwesio tua itu, lambat laun bayangan mereka menghilang dibayang2 hutan yang lebat. Setelah meninggalkan lembah, ditengah jalan Bun Cu-giok menanyakan pengalaman sejak mereka berpisah tempo hari. Thian-hi tahu tujuan Bun Cu-giok ingin tahu persoalan pembunuhan atas Giok-yap Cinjin, maka dengan jelas ia menceritakan. Bun Cu-giok termenung sebentar. lalu katanya, "Guruku sudah lama mengasingkan diri, soal ini tentu beliau tak mau urus. Tapi kita berdua sudah mengalami berbagai bencana dan bahaya sehidup semati, untuk persoalan ini kau pun tak perlu kuatir, aku akan membantumu sekuat tenaga supaya kau dapat melanjutkan ke Tiang-pek-san." Hun Thian-hi tertawa getir, katanya, "Bun-pangcu, banyak terima kasih akan maksud baikmu, kalau hanya aku seorang gampang saja aku mau sembunyi kemana. Sebaliknya Partai Putih untuk hari2 selanjutnya perlu tegak berdiri di Kangouw, betapapun jangan karena persoalanku sehingga timbul permusuhan dengan para sahabat Bulim!" Bun Cu-giok tertawa tawar, katanya menggoyang tangan: Sudah lima tahun aku berkelana di Kang-ouw, hanya kaulah seorang yang menjadi sahabat kentalku. Tujuanku berkelana di Kangouw bukan mengejar nama atau mencari keuntungan pribadi. Seumpama Partai Putih harus lenyap dari Kangouw pun tak kupedulikan lagi!" Thian-hi menjadi heran, tanyanya, "Lalu apa tujuan Bun-pangcu sebenar-benarnya?" Bun Cu-giok tertawa getir, katanya menggeleng, "Kau tidak tahu, akupun tidak akan tahu." Thian-hi mengira Bun Cu-giok punya rahasia hati yang sulit dikatakan, maka iapun tak mendesak lebih lanjut. "Mungkin usiamu lebih muda beberapa tahun baiklah aku panggil kau ajk saja," demikian kata Bun Cui-giok sambil menghela napas, "Masih banyak urusanku yang belum dapat kau pahami kuberitahu pun tiada gunanya." Bertambah heran benak Thian-hi. Mendadak teringat olehnya akan sikap Bun Cu-giok yang rada ganjil waktu mendengar rasa prihatin Ciok Yan terhadapnya, tiba-tiba ia tertawa, Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo katanya, "Apakah maksud Bun-heng mengenai asmara muda-mudi?" Bun Cu-giok angkat kepala menatap Thian-hi, desisnya, "Lote, apakah kau...." sampai disini Bun Cu-giok menjagi geli sendiri. Bab 8 Sontak Thian-hi merasa jantungnya berdebur keras, hatipun tak tenang, nada tertawa Bun Cugiok malah membangun kembali kenangan yang tak menentu, bayangan Ham-gwat, Su Gioklan dan Siau Hong berkelebat dalam benaknya, akhirnya bayangan jelita lenyap dan berganti wajah dingin kaku dan seram dari muka Bu-bing Loni. Tanpa merasa bergidik tubuh Thian-hi, badannya merinding dan terasa dingin. setelah menghirup hawa ia berkata, "Saudara Bun jangan berkelakar." Bertaut alis Bua Cu-giok, hatinya membatin, "Kenapa kelihatannya Hun Thian-hi takut menghadapi wanita, hanya menyinggungnya saja kenapa badan sampai gemetar?" Thian-hi menghembuskan angin dari mulutnya, ditatapnya sikap dan mimik wajah Bun Cu-giok, ia tertawa dibuat-buat, pikirnya mungkin aku terlalu serius dan tegang dalam bicara tadi. Mendadak ia tertawa lebar dan katanya, "Ucapanku tadi hanya pancingan saja, karena waktu kusinggung tentang nona Ciok kulihat mimik dan sikap saudara Bun kurang wajar." Terketuk sanubari Bun Cu-giok, katanya tersipu-sipu, "Lote, jangan kau sembarang ngoceh, jangan main-main dengan urusan asmara!" Melihat kegugupan Bun Cu-giok, Thian-hi menjadi bergelak tawa ujarnya, "Siaute berpikir sampai sekarang saudara Bun belum punya istri, nona Ciok seorang gadis rupawan, lemah lembut lagi, menurut penilaian Siaute watak dan martabatnya pun boleh deh...." Sampai disini dilihatnya. perubahan air muka Bun Cu-giok, maka segera ia berhenti kata, dan merubah haluan, "Saudara Bun, maaf akan kelancangan mulutku tadi." Bun Cu-giok menghela napas, ujarnya, "Tak apa, aku sedang memikirkan persoalan lain, apakah patut aku berbuat begitu." Hun Thian-hi bungkam, Bun Cu-giok pun tenggelam dalam renungannya. Mendadak ia bertanya kepada Thian-hi, "Lote, ada satu persoalan hendak kutanya kepadamu. Jikalau seseorang melakukan pekerjaan, tapi melanggar adat istiadat dan pengajaran, namun ia ingin beaar melakukan semua itu, apakah patut kalau dia melaksanakan terus niatnya itu?" Mendelong mata Thian-hi mengawasi Bun Cu-giok, hatinya heran dan bertanya-tanya kenapa Bun Cu-giok menyinggung persoalan begitu kepada dirinya, sebentar ia berpikir lalu jawabnya, "Aku sendiri juga tidak tahu. Tapi menurut hemadku kalau dia merasa betul, boleh saja dia melakukan keinginannya." Bun Cu-giok menunduk terpekur, katanya kemudian, "Lote, mari kita berangkat, coba lihat, bagaimana dandanan kita sekarang!" Waktu Thian-hi menunduk, memang separo badan mereka sudah kotor dan lembab oleh noda2 darah tercampur debu, tak kuasa ia menjadi tertawa geli. Cepat-cepat mereka menuju kesebuah kota kecil. Anak buah Partai Putih tersebar luas dimanamana, tak lama kemudian mereka sudah berganti pakaian, dan menginap semalam dikota itu. Hari kedua Thian-hi berkeras hendak melanjutkan perjalanan seorang diri. Terpaksa Bun Cu-giok mengangguk setuju. Begitulah Hun Thian-hi lantas berangkat melalui jalan raja. Jauh dibelakangnya Bun Cu-giok berlari-lari kecil mengejar. Entah berapa lama Bun Cu-giok berlari saat mana tiba didataran tinggi. yang menghijau. Mendadak Bun Cu-giok berhenti dan berdiri terlongong, jauh di sebelah sana kelihatan sebuah bayangan orang yang sangat dikenalnya, bayangan orang bergoyang gontai berjalan pelan-pelan. Orang ifu bukan lain adalah CioK Yan adanya. Ciok Yan berjalan menunduk dan tengah menghampiri ke arah dirinya. Jantung Bun Cu-giok seperti bertambah berdegup dan darahnya menggelora, napas pun jadi memburu. Hampir ia berniat menyingkir, namun kaki terasa berat dan mungkinkah ia tinggal pergi" Ciok Yan sudah semakin dekat, setiap langkah Ciok Yan menambah jantung Bun Cugiok berdetak semakin cepat, sekarang jelas kelihatan rambut panjang Ciok Yan yang awut2an, matanya yang redup dan titik-titik air mata yang membasahi pipinya. Akhirnya Bun Cu-giok tak kuasa angkat kepala, sementara itu Ciok Yan sudah berjalan lewat di sampingnya seperti orang linglung hakikatnya seperti tak dirasakan akan kehadiran Bun Cu-giok di pinggir jalan itu. Sungguh rawan perasaan Bun Cu-giok, hati laksana ditusuk sembilu, sekuatnya ia bertahan supaya air mata tidak meleleh keluar. Saat itulah terketuk hatinya, ia merasa tidak seharusnya ia membiarkan keadaan Ciok Yan yang menyedihkan itu, tak tertahan lagi ia berteriak, "Nona Ciok!" Ciok Yan tersentak kaget dari lamunannya, seketika ia berdiri menjublek. Bun Cu-giok berseru lagi, "Nona Ciok!" Pelan-pelan Ciok Yan menoleh memandang ke arah Bun Cu-giok. Bun Cu-giok tak berani beradu pandang dengannya, cepat-cepat ia berpaling ke arah lain, namun sekilas saja ia sudah melihat jelas wajah Ciok Yan yang aju jelita, begitu menggiurkan dan menawan hati. Waktu pertama kali mereka jumpa, dia kelihatan begitu gagah dan berani, sekarang seperti seekor kelinci yang ketakutan dan terluka, ah, betapa bijaksana hatinya! Sekian lama Ciok Yan terlongong memandang wajahnya tanpa bersuara. Apa boleh buat akhirnya Bun Cu-giok buka suara lagi, "Nona Ciok, lekas kau pulang saja, Hwicwan- po hakikatnya tidak pernah kumusnakan." Biji mata Ciok Yan memancarkan cahaya aneh yang gemilang, matanya terbelalak kesima mengawasi Bun Cu-giok, rasa rawan dan kesedihan hatinya seketika tersapu bersih. Lubuk hatinya yang paling dalam mendadak merasa kegembiraan yang sangat aneh dan menggairahkan. Desisnya kegirangan, "Kau.... apakah ucapanmu benar-benar?" Bun Cu-giok tersenyum dan balas pandang, ujarnya, "Kau tidak percaya kepadaku?" "Tidak!" kata Ciok Yan kememek, air mata berlinang dikelopak matanya, "Maksudku aku kegirangan Bun-pangcu, kau...." Melihat air mata Ciok Yan, Bun Cu-giok menjadi terpesona, pikirannya melayang, "Ternyata dia begitu lincah dan lucu," diam-diam ia merasa lega, namun tak terpikir olehnya kata-kata manis yang enak dikatakan, terpaksa ia berkata pendek, "Aku...." Kenapa aku?" Melihat pandangan Bun Cu-giok yang tajam dan penuh mengandung arti itu, Ciok Yan menjadi malu dan menunduk, batinnya, "kiranya Bun Cu-giok menyusul kemari hendak mencari aku malah memberi penjelasan duduk perkara sebenar-benarnya. Usianya masih begitu muda, berkepandaian silat tinggi, sikapnya begitu baik pula terhadap dirinya." Melihat Ciok Yan menunduk malu tergetar hati Bun Cu-giok, tersipu-sipu ia berkata, "Nona Ciok, lekaslah kau pulang. Sekarang aku masih ada urusan, segera harus berangkat!" Ciok Yan angkat kepala, katanya, "Apa" Kau akan berangkat kemana?" Sedapat mungkin Bun Cu-giok tertawa sewajarnya, sahutnya, "Hun Thian-hi tengah terkepung oleh berbagai mara bahaya, aku hendak menyusul dan melindungi jiwanya." Lagi-lagi Ciok Yan menunduk dengan rawan, katanya tersendat, "Kalau begitu silakan kau pergi." "Kau sendiri, kau harus lekas pulang!" ujar Bun Cu-giok gugup karena sikap Ciok Yan yang ogah2-an. Ciok Yan memutar tubuh tanpa bicara lagi, pelan-pelan ia tinggal pergi. Bun Cu-giok mengejar beberapa langkah, katanya, "Nona Ciok, kupinta kepadamu, jangan kau menuju ke tempat lain, langsung pulang saja ke rumahmu." Sesaat Ciok Yan menatap Bun Cu-giok lalu manggut-manggut, katanya, "Terima kasih Bunpangcu." Bun Cu-giok menghirup hawa panjang, dipandangnya punggung Ciok Yan semakin menjauh, sejenak ia terlongong, tiba-tiba tergetar hatinya, cepat-cepat ia memutar tubuh hendak mengejar kesana tapi begitu ia berputar kontan ia tersentak kaget, entah kapan di belakangnya sudah berdiri seorang nenek ubanan. Bergegas Bun Cu-giok menyurut mundur, dengan seksama ia awasi nenek tua ini, sekarang baru lega hatinya, kiranya nenek ini adalah Hoan-hu Popo dari pegunungan Tangkula di daerah barat, kepandaian silatnya tidak di bawah gurunya Ce Hun Totiang. Tersipu-sipu Bun Cu-giok menjura serta sapanya, "Nenek apa kau baik." Hoan-hu Popo memicingkan matanya, tanyanya tertawa, "Gadis remaja tadi baik bukan?" Bun Cu-giok mengalihkan pandangannya, apa boleh buat ia manggut-manggut. Kata Hoannhu popo tersenyum simpul, "Kau tak perlu takut, kulihat sikapmu terlalu baik padanya, kau harus berkumpul sama dia." Bun Cu-giok tergagap, jawabnya, "Jangan nenek berkelakar, Sutit masih banyak urusan lain." Berubah dingin wajah Hoan Hu, jengeknya, "Karena Hun Thian-hi bukan" Kau berani melindungi dia, ketahuilah kedatanganku justru hendak mencabut nyawanya." Bun Cu-giok menjadi gugup, serunya, "Nenek, dia orang baik. Giok-yap Cinjin bukan meninggal di tangannya, dia kena difitnah orang lain." "Bocah kecil jangan terlalu banyak turut campur urusan orang." semprot Hoan-hu popo. Keruan Bun Cu-giok semakin gelisah, bujuknya, "Kenapa nenek kemari mencarinya. Berilah muka kepadaku dan memberi ampun pada jiwanya!" "Tidak bisa!" sentak Hoan-hu sambil menarik muka. Bun Cu-giok menjadi heran, teraba olehnya sikap Hoan-hu yang kereng ini bukan kenyataan hendak membunuh orang, kelakuan kasarnya memang sengaja dilakukan untuk menakut2i saja. Ia beragu sebentar lalu katanya, "Nenek, adakah sesuatu urusan yang perlu kulakukan?" Hoan-hu merengut, semprotnya, "Urusan apa yang perlu kau kerjakan" Omong kosong belaka." Bun Cu-giok rada kuatir kalau membuat sinenek marah mungkin urusan selanjutnya bakal lebih sulit diselesaikan, cepat-cepat ia merubah sikap, ia berkata tersenyum: ....Nenek. pandanglah muka Siautit dan berilah kelonggaran!" Hoan-hu popo menggeram, tanyanya, "Berapa tahun kau berkelana di Kangouw. semakin lama semakin bejat dan tak tahu aturan." Bun Cu-giok menjadi kikuk dan bungkam tak bisa bicara. Kata Hoan-hu popo lagi, "Apa yang terkandung dalam sanubarimu kuketahui semua, namun gurumu tak pernah mengurus kau, kalau dia tidak peduli biar aku yang mewakili dia mengajar adat kepadamu. Cepat kau susul dahulu nona kecil itu kemari." Bun Cu-giok melengak, tanyanya menegas, "Nona kecil yang mana?" "Bocah goblok, jangan pura-pura linglung, lekas susul dia, jangan sampai ia lari jauh atau tak kuberi ampun kepada kau...." Bun Cu-giok menjadi serba susah, terdengar Hoan-hu mendengus, katanya, "Ajahnya sudah cukur gundul menjadi Hwesio, kenapa kau suruh dia kembali seorang diri?" Bun Cu-giok melengak kaget, dipandangnya mata Hoan-hu lekat-lekat. Hoan-hu mendesak lagi, "Lekas susul dia!" terpaksa Bun Cu-giok beilari mengejar' ke depan. Tak lama kemudian ia sudah dapat menyusul Ciok Yan. Ciok Yan masih berjalan pelan-pelan sambil menundukkan kepala. Mendengar derap langkah ia angkat kepala dan menoleh, dengan heran dan bertanya-tanya ia pandang Bun Cu-giok. Kata Bun Cu-giok tersendat, "Nona Ciok! Seorang teman guruku bernama Hoan-hu Popo hendak mencari kau, ada berapa patah kata yang hendak disampaikan kepadamu." "Apa?" Ciok Yan menegas dengan terlongong. "Cepatlah," desak Bun Cu-giok, "Kalau sampai dia jengkel urusan bakal berabe." Sejenak Ciok Yan sangsi, akhirnya ia mengintil di belakang Bun Cu-giok. Mulutnya bertanya, "Untuk keperluan apa dia mencari aku?" "Akupun tidak tahu," jawab Bun Cu-giok singkat. Tak lama kemudian mereka sudah sampai dimana Hoan-hu popo menunggu. Dengan tersenyum manis Hoau-hu menatap Ciok Yan, bergegas Ciok Yan maju berapa langkah serta sapanya, "Wanpwe Ciok Yan menghadap pada nenek!" Hoan-hu menarik Ciok Yan lebih dekat, dengan lekat-lekat ia mengawasi wajah orang, tak tertahan mulutnya. menggumam, "Ah, anak yang kasihan!" Hati Ciok Yan menjadi pedih, tak tertahan airmata mengalir deras, ia menangis sesenggukan. "Jangan nangis, jangan nangis! bujuk Hoan-hu sambil menepuk2 bahunya. Lalu ia berpaling ke arah Bun Cu-giok dan berkata, "Cu-giok, lihatlah betapa baik dan rupawan gadis ini dimana ada kekurangannya." Bun Cu-giok terperanjat, mulutnya ternganga tak mampu bicara, sesaat baru ia berkata, "Baik, baik sekali, tiada kekurangannya!" "Nah kalau begitu baik kujodohkan menjadi istrimu saja. Untuk selanjutnya kau harus Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo membimbingnya baik!" "Apa?" Bun Cu-giok dan Ciok Yan berteriak bersama. "Kenapa?" tanya Hoan-hu, "Bukankah menguntungkan kau malah?" Cepat Ciok Yan menalangi, "Nenek, bagaimana bisa, ayahku...." Hoan-hu membujuk dengan kata-kata manis, "Kau tak perlu kuatir, ayahmu diapusi Hwesio aneh itu menjadi muridnya. Tentu dia setuju dan tiada persoalan lagi." "Aku....aku....Bun Cu-giok hendak menolak. "Kau kanapa?" semprot Hoan-hu, "Apa kau tidak setuju?" "Bukan nenek tidak tahu" demikian ujar Bun Cu-giok sambil tunduk, ....Soalnya aku...." "Jangan kau takut,"-Hoan-hu menghibur. "Akulah yang bertanggung jawab kepada gurumu, sedang calon istrimu itu, buang saja." Ciok Yan tersentak kaget, "Apa?" tanyanya, Sungguh diluar tahunya bahwa Bun Cu-giok ternyata sudah punya calon istri. Bun Cu-giok tunduk semakin dalam. Kata Hoan-hu lebih tandas, "Aku yang bertanggung jawab. kenapa takut-takut lagi. Kukira gurumu pun akan setuju." Sekilas Bun Cu-giok melirik ke arah Ciok Yan, dilihatnya orang pun menunduk tanpa bersuara, akhirnya iapun tunduk lagi tanpa bicara. Hoan-hu memandang ]ekat2, katanya, "Cu-giok, tak perlu beragu, kebahagian hanya sekilas datangnya, kalau kau ingin bahagia dihari tua, cepatlah kau ambil putusan!" Bun Cu-giok masih tunduk tak berani ambil putusan. Hoan-hu membujuk lagi, "Dalam segala hal terang Nona Ciok lebih unggul dari Nona Ce itu, sudahlah kau jangan terlalu berat mengenangnya!" Dilain pihak hati Ciok Yan sendiri juga tengah bimbang, pikiran dan kemauannya saling bertentangan tak tertahan lagi air mata mengucur deras. "Nona Ciok," ujar Hoan-hu. "Apakah kau mau?" Pikiran Ciok Yan kusut dan bingung. jawabnya, "Nenek, aku tidak mau menikah!" Hoan-hu menjadi heran dan menatapnya dengan tak mengerti, lalu berpaling dan berkata kepada Bun Cu-giok, "Cu-giok, kau tunggu disini sebentar, aku hendak bicara dengan nona Ciok." Lalu digandengnya tangannya diajak menyingkir. Ciok Yan mandah saja diseret menyingkir sambiil tunduk, entah apa yang hendak dikatakan Hoan-hu kepadanya, hatinya menjadi kebat kebit. Betapapun dia takkan begitu saja menyetujui akan perjodohan ini, sebagai seorang wanita menjadi keharusan untuk menjaga gengsi pribadinya. Hoan-hu membawa Ciok Yan kebawah sebuah pohon besar yang rindang, dengan tangan ia suruh Ciok Yan duduk disebelahnya, mulailah ia buka mulut bicara kepada Ciok Yan, "Mungkin kau menyangka cara kerjaku terlalu sembrono bukan?" Ciok Yan menggeleng, katanya, "Aku belum memahami jiwa dan karakternya." "Bukan kau tidak paham kepadanya," ujar Hoan-hu, "yang terang kau menyangsikan rahasia dibalik pribadinya itu bukan?" Ciok Yan tunduk tak bersuara. Hoan-hu menghela napas sambil menepuk bahunya, katanya, "Ada sebuah cerita, apakah kau mau mendengarkan?" "Cerita?" tanya Ciok Yan heran. "Dulu adalah seorang pendekar muda," demikian Hoan-hu mulai ceritanya, "belum lama ia berkelana di Kangouw, waktu itu usianya masih muda dan berwajah ganteng, kepandaian silatnya pun lihay, sikapnya menjadi congkak dan mau menang sendiri, sudah menjadi kodrat alam akhirnya ia jatuh cinta dengan seorang gadis." Sampai disini ia berhenti sebentar. Pikiran Ciok Yan lantas melayang, mungkin ini cerita pengalamannya sendiri waktu masih muda dulu. Memang tampak Hoan-hu tengah termenung2 dan tertawa-tawa tenggelam dalam kenangan lama. Akhirnya ia melanjutkan, "Meski jatuh cinta, nmun ia tak berani menyatakan rasa cintanya itu. Sebaliknya gadis itupun sebetulnya merasa tertarik juga kepadanya, melihat sikapnya itu timbul salah paham, disangkanya si pemuda adalah begitu congkak dan takabur." Ciok Yan menunduk, dua tokoh dalam cerita itu persis benar-benar seperti bayangannya dengan Bun Cu-giok. Kulit muka Hoan-ihu berkerut-kerut, lalu katanya lebih lanjut, "Pada suatu hari, pendekar itu tiba-tiba pergi mencarinya, secara langsung ia meminang dan mengharap sang gadis pujaan mau menjadi istrinya!" Sampai disini ia berpaling ke arah Hoan-hu, tanyanya, "Seumpama gadis itu adalah kau, bagaimana kau hendak mengambil sikap?" "Aku tidak tahu." Ciok Yan menjawab singkat. "Martabatnya baik, dari sepak terjangnya di kalangan Kangouw dapatlah dinilai jiwanya itu, tapi tiada orang yang tahu perihal asal usulnya, apalagi dia adalah begitu mendadak...." ia merandek sebentar lalu melanjutkan, "Gadis itu menjadi marah, ia merasa seolah-olah terlukakan oleh tusukan pedang di ulu hatinya, lalu memakinya kalang kabut, dikatakan dia terlalu takabur, berlawanan dengan lubuk hatinya ia menyatakan bahwa dia tidak menyukainya!" Ciok Yan mengeluh tertahan, pikirnya kalau aku sendiri yang mengalami kejadian itu, aku pun akan berkata begitu. "Akhirnya baru gadis itu tahu bahwa pendekar muda itu ternyata adalah murid Butong Ciangbunjin, sebetulnya dia harus masuk biara menjadi imam, tapi demi sang pujaan hatinya dia rela kehilangan segala miliknya, namun gadis itu berkeras tak menyetujui." Baru sekarang Ciok Yan dapat meraba pendekar muda yang dimaksud dalam cerita itu tak lain tak bukan adalah Ce-hun Totiang adanya. Hoan-hu berkata lagi, "Cu-giok adalah anak baik. Untuk ini aku berani bicara dimuka, dulu memang ia sudah mengikat tali perjodohan, namun calon istrinya itu sepak terjangnya semakin kotor, dari lurus menjurus ke sesat. Setelah mengetahui hal ini, saking duka seorang diri ia berkecimpung di dunia persilatan. Sebaliknya perempuan itu belum tahu bahwa Cugiok sudah tahu akan tingkah lakunya, hatinya masih terkenang akan pujaan hatinya ini. Maka Cu-giok menjadi hidup sengsara dan merana, dalam hal ini kaulah yang dapat membantunya untuk melupakan perempuan itu!" Ciok Yan semakin dalam menunduk. Hoan-hu tertawa geli, ujarnya, "Ajahmu sudah menjadi Hwesio, kalau kau sudi, Hwi-cwan-po boleh bergabung dengan Partai Putih, kupikir ayahmu tentu sangat senang mendengar berita ini." Terpikir oleh Ciok Yan, "Agaknya Bun Cu-giok bukan seorang tamak dan pengecut seperti yang tersiar di kalangan Kangouw, dia boleh dipercaya, apalagi sejak bertemu aku sudah memujanya, asal aku sudah mengetahui martabat dan jiwanya sudah cukup, kenapa menuntut terlalu jauh." Akhirnya ia tersenyum dan manggut-manggut setuju. Hoan-hu berjingkrak bangun kegirangan, katanya sambil menarik tangan Ciok Yan, "Bangunlah Cu-giok masih menanti kita disana!" Begitulah mereka beranjak kembali. Hati Ciok Yan menjadi was-was, kuatir Bun Cugiok sudah tinggal pergi" Waktu sampai di tempat semula, tampak Bun Cu-giok masih berdiri terlongong tanpa bergerak. Rada terhibur hati Ciok Yan, cepat-cepat ia menunduk dengan muka merah malu. Ooo)*(ooO Sekarang baiklah kita ikuti perjalanan Hun Thian-hi sejak berpisah dengan Bun Cu-giok, seorang diri dengan tunggangannya langsung ia menuju ke Tiang-pek-san. Satu jam kemudian, ia sudah menempuh kira-kira lima puluh li jauhnya. Dia insaf siapapun yang bertemu dengan dirinya pasti takkan melepas begitu saja. Sejenak Thian-hi menerawang 'pandangan alam sekelilingnya, pikirnya, kalau aku dapat selamat tanpa gangguan hari ini, mungkin perjalanan kali ini bisa selamat sampai ke tempat tujuan. Tengah ia berpikir2, kupingnya menangkap samberan angin kencang dari samping menyerang dirinya, secara gerak reflek ia melolos pedang pemberian Bun Cu-giok terus memapas ke arah datangnya serangan. "Tak," kiranya itulah sebatang kayu kering kecil yang patah dua. Bercekat hati Thian-hi, ia celingukan kian kemari tiada tampak bayangan seorangpun, ia menghembus napas sebal dari mulutnya lalu mengeprak kudanya ke depan, pedang disarungkan kembali, untuk selanjutnya ia mulai waspada dan berjaga-jaga. Tak lama kemudian sebatang kayu kering menyamber tiba lagi, kali ini Thian-hi angkat tangan dengan kedua jari ia menjepit kayu kecil itu. Tapi tenaga luncuran kayu kecil itu begitu besar dan kuat, jepitannya menjadi gagal, kayu kecil itu terus terbang melesat dari sampingnya. Kejut Thian-hi seperti disengat kala, sekarang dilihatnya seseorang tengah duduk bersila di atas sepucuk dahan pohon, orang itu bukan lain adalah Situa Pelita. Bergegas Thian-hi melompat turun serta maju menyapa, "Kiranya adalah Jan-teng Cianpwe, Wanpwe tidak tahu, harap suka dimaafkan!" Tanpa bersuara Situa Pelita menatap Thian-hi le-kat2, rada lama kemudian baru bicara, "Begitu besar nyalimu berani membunuh Giok-yap Cinjin!" Hampir semua orang yang ketemu oleh Thian-hi tentu menuduhnya demikian, dengan sedih ia menundukkan kepala. Situa Pelita mendengus serta katanya, "Waktu pertama kali aku melihat kau, mengingat riwayat dan pengalamanmu yang penuh derita aku rada kasihan dan membantu kau. Aku terburu-buru pergi karena punya urusan penting, untung waktu itu aku tidak turunkan ilmu Ginkang milik tunggalku itu kepadamu- Jiwa Soat-san-su-gou berempat terhitung tersia-sia, mereka salah menilai kau." "Cianpwe juga. mencurigai aku?" tanya Thian-hi mendongak. "Kenapa" Kau berani tak mengakui dosa2mu itu?" "Semua orang menuduhku begitu, apakah aku harus memberi penjelasan kepada seluruh manusia di kolong langit ini" Kiranya cukup kukatakan bahwa bukan akulah yang berbuat, aku tidak bisa menuntut kepada semua orang untuk memberi maaf kepada aku, namun dalam sanubari aku selalu berdoa, hanya Tuhanlah yang tahu apa yang telah terjadi!" Situa Pelita menjadi bungkam, dengan mendelong ia awasi Hun Thian-hi. Hun Thian-hi berdesah sambil menunduk, ujarnya, "Cianpwe! Sikapku ini mungkin rada keterlaluan, hakikatnya aku tidak tahu cara bagaimana aku harus memberi penjelasan kepada setiap orang, aku pun takkan bisa membuat setiap orang mau percaya kepada aku." Setelah berpikir Situa Pelita berkata, "Sebetulnya akupun tak berani berkukuh. Aku hanya mendengar berita saja, kenyataan pihak Bu-tong-pay sudah menyebar Bu-lim-tiap, mengundang seluruh tokoh-tokoh silat dari segala lapisan dan golongan untuk mencari jejakmu bersama." "Thian-cwan Taysu mengatakan supaya aku bersabar, tujuan hidupku sekarang hanyalah hendak menuntut balas bagi ayah dan Soat-san-su-gou berempat Cianpwe, soal lain aku tidak ambil peduli lagi." Akhirnya Situa Pelita menghela napas, katanya memberi pesan, "Bagaimana duduk perkara sebenar-benarnya sulit diterangkan. Tapi kau harus selalu ingat, hasrat kita sangat besar terhadap kemajuanmu dihari depan, kau harus bisa mengendalikan diri baik-baik, sudah aku pergi!" - enteng sekali tubuhnya lantas melayang jauh ke dalam hutan dan lenyap tanpa meninggalkan bekas. Hun Thian-hi menjublek, pikirannya melayang jauh, akhirnya ia menghirup hawa panjang, meski Situa Pelita tidak membantu secara langsung, namun sikap dan kata-katanya itu sungguh membuatnya tunduk lahir batin. Hun Thian-hi naiki kudanya dan melanjutkan perjalanan lagi. Tak lama kemudian ia memasuki sederetan hutan-hutan lebat yang semakin gelap. Jalan punya jalan lambat laun firasatnya bicara bahwa sekelilingnya telah penuh dikuntit oleh banyak perangkap. Segera Thian-hi menarik tali kekang dan menghentikan kudanya, sekian saat ia celingukan ke sekitarnya. Benar-benar juga tahu-tahu di hadapannya melayang turun dua sosok manusia, mereka bukan lain adalah Gwat Long dan Sing Poh. Dengan sikap dingin Hun Thian-hi menatap mereka berdua. Demikian juga Gwat Long dan Sing Poh berdiri tegak dengan sikap angker di kanan kiri di hadapan kuda Thian-hi. "Untuk apa kalian menghadang perjalananku?" jengek Thian-hi dingin. Gwat Long dan Sing Poh berkata bersama, "Seluruh tokoh Bulim siapa yang tidak tahu bahwa kau telah membunuh guruku. Kenapa tanya lagi!" Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Thian-hi tertawa dengan sombong, sindirnya, "Tapi adalah kalian berdua lebih jelas dari aku siapa sebetulnya pembunuhnya?" "Hun Thian-hi!" maki Gwat Long gusar, "jangan cerewet lagi, apa hari ini kau sangka bisa keluar dari hutan ini" Hutan ini sudah terkepung rapat, seumpama tumbuh sayap pun jangan harap kau dapat terbang ke langit!" Thian-hi bergelak tawa dengan congkak, katanya, "Guru kalian Giok-yap Cinjin semula menyangka kamu berdua sangat setia terhadap beliau, tapi setelah beliau wafat, sepak terjang kalian sungguh...." "Hun Thian-hi jangan banyak bacot lagi!" teriak Gwat Long sambil mengulapkan tangan ke belakang. "Lihatlah itu!" Tampak dari hutan sebelah depan sana muncul Kongsun Hong gurunya. Kata Gwat Long berpaling ke belakang, "Kongsun Tayhiap, muridmu disini bagaimana menurut anggapanmu?" Melihat gurunya Kongsun Hong mendadak muncul di tempat itu, Thian-hi tercengang heran, cepat ia nyapa, "Suhu!" Lam-siau Kongsun Hong menatap tajam ke arah Thian-hi tanpa bersuara. Gwat Long mendesaknya lagi, "Kongsun Tayhiap, kaulah seorang tokoh Kangouw yang bangkotan, sepak terjang dan tingkah laku muridmu ini, kau sebagai gurunya bagaimana mempertanggung jawabkan!" Kongsun Hong menghela napas tanpa bicara. Thian-hi menunduk dengan sedih, jelas terlihat olehnya titik-titik air mata dimuka gurunya. Dibanding pertemuan dengan gurunya tempo hari Lam-siau Kongsun Hong sekarang kelihatan jauh lebih tua sepuluh tahun, rambut dipinggir telinganya kelihatan sudah mulai ubanan. Sekian lama Kongsun Hong tenggelam dalam renungannya, akhirnya ia angkat kepala berkata kepada Gwat Long, "Aku mengusirnya dari perguruan terserah bagaimana kalian hendak menghukumnya. Aku tak perlu banyak bicara lagi!" Habis bicara terus tinggal pergi. Gwat Long menjengek hidung, katanya, "Kongsun Tayhiap begitu saja keputusanmu?" Kongsun Hong membalik ke arah Gwat Long katanya, "Bagaimana" aku menyerahkan dia kepada kalian untuk menghukumnya sesuka hatimu apakah masih kurang adil?" Gwat Long mendengus tak bicara lagi. Maksudnya semula hendak mendesak Kongsun Hong supaya memerintahkan Hun Thian-hi bunuh diri, sekarang terpaksa harus turun tangan sendiri.... Dengan berlinang air mata Hun Thian-hi mengawasi punggung Kongsun Hong yang menghilang dibalik pohon dalam hutan. Tahu dia sikap dan keputusan gurunya terhadap dirinya tadi adalah yang paling baik dan banyak memberi kelonggaran, dan terpaksa memang harus demikianlah yang dapat diperbuatnya.... di hadapan para gembong-gembong silat Kangouw. Seumpama Kongsun Hong mengetahui bahwa kematian Giok-yap bukan lantaran dirinya, diapun bakal berbuat demikian. Gwat Long melolos pedang terus menyerang kepada Hun Thian-hi. Hun Thian-hi bergelak tawa, sigap sekali tubuhnya mencelat tinggi dari tunggangannya, sebelah tangan kiri menanggalkan pedang dengan jurus Hun-liong-pian-yu ia balas menyerang kepada Gwat Long. Hun-liong-pian-yu adalah salah satu jurus dari Thian-liong-chit-sek yang paling hebat dan lihay. Meski Gwat Long sebagai murid Bu-tong Ciangbun Giok-yap Cinjin tak urung juga terdesak mundur selangkah. Tapi dasar punya kepandaian tinggi dari didikan perguruan murni ilmu silatnya memang lain dari yang lain. Kejap lain ia sudah dapat memperbaiki posisinya, sekarang ia mulai balas menyerang, pedangnya panjang berterbangan, dengan jurus Soat-yong-lou-hwa, selarik sinar dingin berputar terus balas menyerang mengarah tenggorokan Thian-hi. Menyaksikan Gwat Long mendesak gurunya begitu rupa sungguh benci Thian-hi bukan main, saking sengit segera ia kembangkan ilmu Gin-ho-sam-sek, tenaga dikerahkan seluruhnya untuk merobohkan lawan. Melihat saudaranya rada terdesak Sing Poh segera mencabut pedang, sekarang berdua mengepung Hun Thian-hi. Dengan dua lawan satu Hun Thian-hi masih lancar memainkan Tamlian- hun-in-hap untuk menyerang dan untuk membela diri. Pertempuran sudah berjalan setengah jam, meski Thian-hi membekal pedang aliran murni dari tingkat yang paling tinggi, lama kelamaan ia merasa tenaga mulai terkuras habis, pula Gwat Long dan Sing Poh sudah mainkan Cian-si-bik-so ilmu pedang gabungan yang kokoh dan rapat sekali untuk menempur Thian-hi mati-matian. Semakin tempur Gwat Long berdua semakin gagah dan serangan semakin gencar. Tiba-tiba Hun Thian-hi bersuit nyaring panjang, tibalah saatnya ia kembangkan jurus ketiga Gin-sho-sam-sek yang belum selesai dilatihnya. Dimana pedangnya berputar lempang dimana jurus Hwi-ho-poh-cun-siau berkembang, cahaya mas berkilau mengembang lebar langsung menerjang dan membobol kepungan jalur sinar pedang Gwa Long dan Sing Poh, seiring dengan hasil gemilang ini tubuh Thian-hi pun ikut melesat keluar dari kepungan. Begitu berhasil lolos dari kepungan seketika Thian-hi rasakan dadanya sesak dan mual, tanpa kuasa mulutnya lantas menyemburkan darah segar, sekali lompat ke atas punggung kudanya terus mencongklang keluar hutan. Dalam ilmu Gin-ho-sam-sek hanya jurus ketiga inilah yang paling ganas dan merupakan jurus menyerang melulu. Dulu karena belum selesai sempurna ciptaan jurus ketiga ini maka Soat-sansu- gou tak berani melancarkan melawan Bu-bmg Loni sehingga mereka sendiri yang menjadi korban. Atau kalau terpaksa dilancarkan tentu untuk hari2 selanjutnya bilamana Hun Thian-hi melancarkan jurus ini Bu-bing Loni takkan gentar dan dapat menyelami inti sari serta pemecahannya. Kenyataan memang mereka terdesak dan bakal kalah akhirnya mereka sembunyikan jurus yang terlihay ini khusus diturunkan kepada Hun Thian-hi. Kalau Hun Thian-hi kelak berhasil mempelajari dengan sempurna tentu akan merupakan tekanan berat bagi Bu-bing. Dengan luka-luka berat Thian-hi semampai di atas kudanya terus menerjang keluar hutan. Waktu sampai diluar hutan dimana sudah ada orang yang menunggunya. Pertama-tama Toh-bingcui- hun yang menyerang lebih dulu, sekali ayun tangan kanan cincin pencabut nyawa dan Cuihun- chit-sa-to sekaligus diberondong keluar, semua mengarah tempat mematikan di tubuh Thianhi. Meski luka dalam sangat berat, tapi musuh menghadang jalan, terpaksa ia menahan sakit dan kerahkan tenaga, dengan menggeram gusar pedangnya berkelebat miring, cukup dengan jurus Tam-lian-hun-in-hap seluruh hujan senjata rahasia kena dipukul runtuh. Sementara itu jarak kedua belah pihak sudah semakin dekat terpaksa Toh-bing-cuihun To Hwi menggunakan pedang menyerang Thian-hi. Di belakangnya tampak Tosu gila juga muncul, teriaknya tertawa, "Bocah, mau lari kemana lagi!" Perasaan Thian-hi menjadi pedih seperti diiris-iris, Tosu gila yang tempo hari pernah berjanji hendak membantu dirinya sekarang berbalik memusuhi dirinya. Saking berduka ia bergelak tawa panjang, pedangnya bergerak kencang menangkis dan menyampok serangan senjata para musuh, karena gelak tawanya ini darah menyembur lagi dari mulutnya. Melihat keadaan Thian-hi, Tosu gila menjadi kaget, biji matanya memancarkan sorot cahaya aneh berkilat. Beruntun pedang Thian-hi menutul dan menabas ke arah kedua musuh, terpaksa Tosu gila berkelit mundur, Thian-hi berkesempatan mengeprak kudanya lari. Tidak jauh Thian-hi lari Gwat Long dan Sing Poh sudah menyusul tiba. Tubuh mereka bagai terbang mencelat tiba menghadang jalan Hun Thian-hi. Hun Thian-hi menjadi sengit bentaknya, "Jangan kalian terlalu mendesak orang!" matanya mendelik membara ke arah kedua musuhnya. Gwat Long dan Sing Poh menjadi gentar dan mundur ketakutan. Dengan gusar Thianhi menggentakkan pedang menyerang lagi, karena kata-katanya tadi ia menyemburkan darah segar. Urusan sudah ketelanjur sedemikian jauh terpaksa Gwat Long berdua pun tak mau menyudahi begitu saja. Mana kuat dan mana lemah jelas dapat dibedakan, sekali balas menyerang' pedang Thian-hi mencelat dari cekilannya. Tepat saat itu Toh-bing-cui-hun juga telah memburu tiba, pedangnya menusuk kelambung Thian-hi karena tak membekal senjata terpaksa Thian-hi menjepit perut kudanya melecutnya ke depan untuk menghindari tusukan ganas ini. Melihat Toh-bing-cu-hun To Hwi begitu bernafsu hendak membunuh Thian-hi, memang inilah yang menjadi maksud tujuan Gwat Long berdua, l Pedang Darah Bunga Iblis 3 Pendekar Slebor 10 Pengadilan Perut Bumi Kisah Tiga Kerajaan 3

Cari Blog Ini