Ceritasilat Novel Online

Badik Buntung 14

Badik Buntung Karya Gkh Bagian 14 keadaan terluka dalam begitu berat Bu-bing Loni masih mampu bergerak begitu lincah menghindari diri dari serangan yang dahsyat itu. Bu-bing maklum bahwa dirinya hari ini tidak akan dapat menang, tapi demi nama dan gengsinya ia tidak rela tinggal pergi begitu saja, apalagi mandah menyerah kalah, terlebih pula bila membebaskan hukuman mati orang-orang dihadapannya ini. Begitulah sambil menenteng pedangnya ia berdiri di ambang pintu dengan pandangan mata berapi-api. Kiu-yu-mo-lo menjadi murka, dengan sengit ia terjang ke arah Bu-bing. sebetulnyalah ia tidak pandang sebelah mata Bu-bing Loni. tapi baru saja bergebrak lantas ia kena terdesak di bawah angin. Sergapan Bu-bing selanjutnya yang lebih hebat tadi kalau dirinya tidak memperoleh bantuan Ham Gwat mungkin tubuhnya sudah berlobang dan mampus oleh tusukan pedang lawan. Adalah sekarang Bu-bing sendiri sudah terluka parah. ia harus mengambil keuntungan secara licik mengadu kekuatan dengan satu lawan satu ingin ia menjajaki sampai dimana tinggi kepandaiannya. Melihat hanya Kiu-yu-mo-lo seorang yang mendesak madiu. dengan pandangan dingin Bu-bing menanti, dalam hati rada menganggap ringan, maka matanya segera menantang ke arah Ham Gwat, maksudnya supaya kau pun maju sekalian memang aku gentar" Tapi Ham Gwat tahu maksud Kiu-yu-mo-lo yang ingin bertanding sendiri melawan Bubing Loni. maka iapun tinggal diam saja berdiri ditempatnya, bila Kiu-yu-mo-lo memang terdesak dan hampir kalah terpaksa aku harus bantu dia. Bu-bing sendiri sudah terluka dalam betapapun Kiu-yu-mo-lo tidak bakal kena dikalahkan dalam gebrak permulaan. Maka ia jemput pula pedangnya dan berdiri siap waspada. Sementara itu Kiu-yu-mo-lo sudah semakin dekat. Bu-bing mendengus hidung, pedang panjangnya teracung tinggi ke samping terus membabat miring ke arah Kiu-yu-molo. Bu-bing sendiri juga maklum begitu Kiu-yu-mo-lo terdesak pasti Ham Gwat akan segera menerjunkan diri dalam pertempuran ini, luka dalamnya cukup parah, betapapun ia pantang menggunakan tenaga dalam yang berkelebihan untuk melawan kekerasan dengan Kiu-yu-mo-lo, kiranya cukup ia hadapi dengan kelihayan gerak pedangnya untuk merobohkan musuh saja. Memang bila perlu harus terluka lebih parah juga tidak jadi soal, asal dengan kekuatan terakhir dapat merobohkan atau membunuh Kiu-yu-mo-lo. Demikian Bu-bing sudah bertekad dalam hati. Kiu-yu-mo-lo juga sudah kerahkan tenaganya, kedua telapak tangannya terangkat naik kesamping menyampok batang pedang, ia insaf dalam keadaan terluka parah tentu Bu-bing cukup mengandalkan kehebatan permainan pedangnya, maka ia harus tumplek seluruh perhatiannya kebatang pedang musuh yang hebat itu. Apalagi setelah luka parah Bu-bing tidak ngacir pergi, pastilah ia bertekad untuk gugur bersama. Kalau musuh ingin mati adalah ia masih ingin hidup, maka telapak tangannya bergerak lincah memngiringi serangan permainan pedang lawan, disamping main sergap ia pun mencari kelemahan musuh untuk bertindak. ingin dia bentrok secara kekerasan untuk menetukan siapa unggul dan siapa asor. Permainan pedang Bu-bing memang sangat lihay, kelihatannya pedangnya melayang miring dengan babatan biasa saja, namun sebetulnya mengandung tusukan berlainan yang cukup mematikan bila mengenai sasarannya. Kiu-yu-mo-lo tahu akan kelihayan perubahan permainan pedang ini, maka kedua tangannya menyamping dan ditekuk ke atas menggetar batang pedang Bu-bing, sehingga serangan lawan kena dipunahkan ditengah jalan. Bu-bing menggeram gusar, ia tarik kembali pedangnya, ia tahu cara permainan Kiuyu-mo-lo hendak mengulur waktu dan menguras habis tenaganya, cara bertempur begini sangat tidak menguntungkan pihaknya, kalau tidak menggunakan kekerasan sulit dapat memperoleh kemenangan. maka ia harus memancing supaya Kiu-yu-mo-lo menyerang edan2an dengan seluruh kekuatannya. Pikiran ini berkelebat dalam benaknya, sebat sekali mendadak ia lancarkan pula sebuah tusukan yang berbahaia, cara tusukannya ini sengaja diperlihatkan seperti tenaganya sudah hampir habis ditengah jalan dan tak bisa menyambung lagi, tapi ia masih berlaku nekad melancarkan serangannya untuk menutupi kelemahan sendiri! Melihat keadaan Bu-bing, sebagai seorang kawakan Kangouw Kiu-yu-mo-lo maklum akan tipu pancingan lawan, teringat olehnya tadi Bu-bing dapat meloloskan diri dari serangan gabungan yang begitu dahsyat, sekarang dia berbuat demikian bukan mustahil memang sengaja hendak menjebak dirinya. Tapi kenyataan Bu-bing memang sudah terluka parah, tapi toh ia masih dapat lolos dari rangsakan, yang hebat tadi. Sesaat lamanya Kiu-yu-mo-lo menjadi bimbang. kalau Bu-bing terluka pasti lambat laun tenaga dalamnya pasti bakal terkuras habis, kenapa aku tergesa-gesa, yang penting berlaku hati-hati jangan sampai tertipu olehnya,. Begitulah gebrak2 selanjutnya kedua belah pihak masih sama dalam taraf coba-coba dan saling memancing saja, beruntun beberapa jurus sudah berlalu, selama ini Bu-bing Loni belum lagi menunjukkan keletihannya dalam gebrak2 yang berlalu itu kedua belah pihak belum lagi menggunakan tenaga yang berarti. Akhirnya Kiu-yu-mo-lo yang berangasan itu menggerung gusar, kedua telapak tangannya dengan deras melancarkan pukulan sengit, setelah tangannya mencengkeram pundak sedang tangan yang lain menjojoh lambung. Tubuh Bu-bing mendadak bergerak dengan gesit, beruntun ia berloncatan menghindar berbareng pedangnya berputar memunahkan kekuatan tenaga serangan Kiu-yu-mo-lo. Melihat serangannya yang lihay kena dipunahkan musuh, hati Kiu-yu-mo-lo menjadi lesu, mendadak dilihatnya pula gerak pedang Bu-bing Loni mengendor dan gemetar. Berkilat biji mata Kiu-yu-mo-lo, sekarang ditemukan titik kelemahan Bu-bing Loni, sudah berulang kall Bu-bing sengaja menutupi titik kelemahannya ini, tapi sekarang ia tidak mudah lagi dikelabui. Maka sambil menjengek dingin mendadak sepasang telapak tangannya menyerang ketiak dari lambung Bu-bing Loni dengan dilandasi seluruh kekuatannya. Girang hati Bu-bing Loni bahwa pancingannya berhasil, tapi air mukanya malah mengunjuk rasa gugup yang dibuat-buat. Semenbara sepasang telapak tangan Kiu-yu-mo-lo memberondong dengan serangan berantai yang ketat, beruntun Bu-bing menyambut dan menangkis dengan tajam pedangnya. Sekonyong-konyong Kiu-yiu-mo-lo merasakan suatu keganjilan, tadi ia tidak kerahkan setaker tenaganya, sebaliknya Bu-bing mengunjuk rasa kejut dan gugup, sekarang setelah dirinya menggempur mati-matian dengan penuh kekuatannya, sedikitpun tiada berhasil mendesak mundur setapakpun kepada Bu-bing Loni. jelas sekali bahwa mungkin dirinya sudah masuk dalam perangkap kelicikan musuh. Karena rekaannya ini serta merta hatinya menjadi waswas dan gerak geriknya menjadi lamban. Waktu ia angkat kepala mengawasi Bu-bing tampak sorot matanya tetap tajam tidak kelihatan rasa keletihan sedikitpun juga, sebaliknya orang seperti tumplek seluruh perhatian untuk mencari titik kelemahannya sendiri, keruan terperanjat ia dibuatnya. Begitu merasakan tekanan serangan lawan mengendor lantas pedang Bu-bing teracung ke atas, tapi Kiu-yu-mo-lo berlaku nekad tanpa memikirkan keselamatannya, sepasang telapak tangannya ia menindih kebatang pedang Bu-bing Loni. Dasar licik sedikitpun Bu-bing tidak kena kecundang, sebat sekali ia menyurut mundur berbareng pedang ditarik mundur terus terbang ke belakang. Keruan sepasang telapak tangan Kiu-yu-mo-lo menindih tempat kosong. terdengar Bu-bing menyeringai dingin dari jarak yang cukup jauh itu tiba-tiba ia timpukkan pedang panjangnya, pedang meluncur ketenggorokan Kiuyu- mo-lo. Sudah tentu kejut Ham Gwat bukan main, meski ia dapat meraba bahwa Kiu-yu-mo-lo masuk dalam perangkap Bu-bing Loni. tapi sungguh diluar dugaannya bahwa situasi bakal berubah begitu buruk. Karena tidak bersiaga sebelumnya. tahu-tahu pedang Bu-bing sudah meluncur ditengah jalan, untuk menolong terang tidak sempat lagi, terpaksa ia pun timpukkan pedangnya sendiri ke arah Bu-bing Loni, berbareng tubuhnya juga mencelat terbang menyusul ke arah Kiu-yumo-lo, sedapat mungkin ia harus selamatkan jiwa orang tua ini. Sekonyong-konyong sesosok bayangan tubuh manusia berkelebat masuk dari luar, tepat sekali kedatangannya, begitu tiba kedua telapak tangannya segera menyamber miring memukul jatuh pedang sambitan Bu-bing Loni, tahu-tahu dalam gelanggang tambah seorang lakilaki tua. Waktu Kiu-yiu-mo-lo angkat kepala dengan jantung berdebar, serta merta ia berteriak kegirangan "Samte, kaukah itu!" Pendatang ini bukan lain adalah tokoh terkecil dari Si-gwasam-mo yaitu Pek-kut-sin-mo Pek Si-kiat. Pek Si-kiat tertawa, sahutnya, "Ya, ditengah jalan tadi kulihat kau, maka kuikuti jejakmu kesini" Dalam pada itu Bu-bing Loni berkelebat kesamping menangkap kembali pedangnya yang disambitkan, oleh Ham Gwat, inilah pedang miliknya yang tadi ditimpukkan untuk menghancurkan harpa itu kembali ketangannya. Air mukanya berubah ganti berganti. dari pucat menjadi merah dan berubah hijau pula. sorot matanya penuh kegusaran mendelik ke Pek Si-kiat yang telah menggagalkan usahanya. Pek Si-kiat juga angkat kepala mengawasi Bu-bing lekat-lekat ujarnya, "Kau anggap tiada tandingan di seluruh kolong langit. Jangan kau lupa, bukan melulu kau seorang hidup dalam dunia, ini." Tiba-tiba laksana kilat Bu-bing melejit ke tengah gelanggang beruntun pedangnya berkelebat laksana bianglala memencar ketiga jurusan menyerang mereka bertiga dengan sembilan taburan kilat pedang yang hebat. Ham Gwat bertiga menjadi kelabakan membela diri dengan tarian sepasang telapak tangan masing-masing. Sungguh mereka sangat terkejut akan kehebatan Lwekang Bu-bing Loni yang tigggi ini, tidaklah malu ia berani malang-melintangdi Kangouw dengan bekal kepandaiannya ini, sudah terluka parah, namun masih berani melancarkan serangan kekerasan yang mengandung banyak risiko. Pelan-pelan Ham Gwat bertiga berpencar ketiga jurusan, kedududkan mereka berbentuk segi tiga, dari jurusan masing-masing mereka bergantian menggempur dengan gencar. Rangsakan kesembilan jurus kilatan pedang Bu-bing Loni tadi maki hebat, dan ketiga musuhnya terkejut akan kehebatan lwekangnya yang tiada taranya itu, namun Bu-bing sendiri maklum bahwa tenaga sendiri sudah hampir ludes, sekarang ia harus gunakan sisa tenaganya u8ntuk bertahan supaya mengelabui musuh, tapi pengerahan tenaga yang berkelebihan sudah ia rasakan akibatnya, dalam tubuh, urat nadinya sudah semakin lemah, semakin lama ia rasakan hawa murni sudah tak mampu disalurkan kembali. Jelas harapan untuk menang tidak mungkin lagi. Si-gwa-sam-mo sudah muncul dua diantara tiga, ditambah Ham Gwat yang cukup lihay, bila pertempuran diteruskan, mungkin jiwa sendiri bakal melayang secara konyol ada lebih baik gugur bersama, cuma kuatir usahanya bakal sia-sia. Timbul niat melarikan diri secara teratur, diam-diam ia menerawang keadaan, hari masih cukup panjang, tanpa harus tergesa-gesa dalam waktu singkat ini. kalau Poci dengan suara harpanya tadi itulah yang menyebabkan keadaan menjadi fatal, kalau tidak dengan dua lawan satu jelas ia akan unggul berkelebihan. Getaran senar putus yang hebat itu telah membuat kedua pihak terluka berat, menurut pendapatnya kekuatannya jauh lebih hebat tiga bagian dari perbawa Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Wi-thian-citciet- sek yang dipelajari Hun Thian-hi. Sekarang Bu-bing berdiri tegak mengkonsentrasikan seluruh perhatian dan semangatnya. Ham Gwat bertiga juga was-was akan kehebatan rangkaian sembilan jurus pedang kilatnya itu sehingga tak berani sembarangan bergerak. Untung Bu-bing sudah kelelahan dan cukup payah, kalau tidak betapa hebat Lian-hoan-sam-kiamnya itu, terang tak mungkin mereka bertiga mampu terhindar dari bencana. Begitulah empat orang sama berdiri diam, tekad Bu-bing Loni untuk mengundurkan diri semakin besar, dirinya tidak rela berkorban secara konyol dan sia-sia, tapi sebelumnya ia harus menggempur ketiga musuhnya ini pontang-panting, ia tidak percaya mereka bertiga mampu bekerja sama menjalin kekuatan yang tak terpecahkan. Setelah tetap keputusannya serta tenagapun sudah terhimpun kembali mendadak Bubing angkat pedangnya di depan dada, matanya menyapu pada tiga musuhnya. Bercekat hati ketiga lawannya, dengan rasa tegang mereka meningkatkan kewaspadaan. Sekonyong-konyong badan Bu-bing terbang ke tengah udara. dimana pedangnya berputar dan membacok turun serta membabat miring, beruntun ia lancarkan pula Lian-hoan-samkiam yang paling diandalkan, tiga jurus ilmu pedang sekaligus meluncur laksana lembayung menukik turun menyapu deras ke arah lawannya, SerempaK Ham Gwat bertiga kerahkan tenaga dan menggabungkan tenaga pukulan telapak tangannya untuk membendung rangsakan tenaga kibasan pedang yang hebat itu, sementara mereka repot membela diri, tahu-tahu badan Bu-bing terus meluncur keluar hendaK tinggal merat. Ham Gwat sudah maklum akan sepak terjang Bu-bing ini sebelumnya, maka ia pula yang mendahului mengejar ke arah Bu-bing, begitulah Pek-si-k-at berdua juga segera mengejar datang, mereka insahari bila b ini Bu-bing sampai berhasil melarikan diri, gelombang pertikaian dikalangan Kangouw tidak akan pernah berhenti. Begita tiba diambang pintu gua terdengar Bu-bing bersuit nyaring panjang, dari luar seekor burung dewata segera menukik turun. Ham Gwat sudah hampir dapat menyusul, tiba-tiba dilihatnya langkah Bu-bing Loni sempoyongan sejalur darah segar menyembur dari mulutnya. tubuhnya pun tersungkur ke depan dan kebetulan jatuh jatas punggunng burung dewata, dalam kejap lain burung itu sudah terbang tinggi tak terkejar lagi. Ham Gwat menjadi melongo, ia tidak" mengejar lebih lanjut. Betapapun Bu-bing Loni adalah bekas gurunya yang mengasuh dirinya sejak kecil. dulu ia malang melintang tiada tandingan, namun hari ini ia harus terima kekalahannya secara total malah terluka parah lagi. tak tertahan lagi hatinya menjadi tidak tega dan bersedih. Sementara burung dewata sudah melesat terbang pesat sekali. dalam kejap lain tinggal setitik bayangan yang menghilang dibalik awan. Ooo)*(ooO MendadaK melihat Giok-yap Cinjin muncul dihadapannya, malah berada di dalam Jian-hud-tong lagi, karuan kejut Hun Thian-hi seperti arwahnya luput dari badan kasarnya, beruntun ia menyurut mundur ketakutan. Waktu ia mempertegas memang raut wajah orang ini persis benar-benar dengan, Giok-yap Cinjin, cuma rada pucat dan sepasang biji matanya pun rada lesu. seperti muka mayat hidup. Tapi sepasang matanya itu dengan tajam menatap lempang kepada dirinya, seakan-akan sedang menyeringai dingin. Tiba-tiba hidungnya dirangsang bau amis yang memualkan. serta merta Hun Thian-hi menyurut mundur lagi, dari pinggangnya dicabutnya seruling jade, dengan nanar ia awasi orang di hadapannya ini. Mendadak dilihatnya di atas muka orang itu terdapat bundaran benang merah, mendadak ia julurkan keluar kedua telapak tangannya seperti cakar setan, setiap jari-jarinya berwarna hitam, begitu kesepuluh jarinya saling jentik bergantian, segulung kabut hitam kontan menyerbu ke arah Hun Thian-hi. Hun Thian-hi terperanjat, entah siapakah orang ini sebenar-benarnya, tapi jelas bahwa orang ini bukan Giok-yap Cinjin yang sudah meninggal itu. Ia membekal ilmu jahat yang sangat berbisa, sungguh sangat menggetarkan sukma dan nyali orang. Cepat ia tepukkan telapak tangan kiri untuk menangkis dengan dilandasi Pan-yokhian-kang, seketika kabut hitam itu bujar tercerai-berai tersapu balik. Gerak-gerik orang itu cukup cekatan, mendadak ia berkelebat. Lagi-lagi Thian-hi kaget dibuatnya, ia tahu lawan sengaja hendak mencegat jalan mundurnya. sebat sekali ia melompat mundur, telapak tangannya melintang dengan pukulan angin yang cukup keras, ia berusaha merintangi sepak terjang orang, Tapi dalam gerak berkelebat ini orang dapat menerobos lewat dari jurusan tidak terduga sama sekali oleh Hun Thian-hi, sekarang berbalk Hun Thian-hi yang tercegat jalan mundurnya, malah. Sejenak Hun Thian-hi terlongong, dengan pandangan rasa keheranan dan was-was ia pandang orang itu. Sungguh ia tidak mengerti darimana Tok-sim-sin-mo dapat mengundang tokoh aneh macam ini, sungguh menggiriskan dan menciutkan nyali manusia.... Betapa aneh dan lihay ilmu silat orang ini benar-benar belum pernah dilihatnya, bilamana ilmu silatnya memang tinggi dan aneh, tak mungkin ia mandah dikurung begitu saja di tempat itu, benar-benarkah ia terbelenggu oleh Tok-sim-sin-mo, masih merupakan tanda tanya, entah mengapa ia rela tinggal menetap di tempat itu" Setelah dapat mencegat jalan mundur Hun Thian-hi dengan seksama orang itu juga mengamatinya. sorot matanya mengunjuk rasa keheranan, sekian lama mereka beradu pandang, tiba-tiba orang itu berkelebat pula merangsak maju pula. Melihat orang begitu berani bertangan kosong menempur senjata serulingnya, mau tak mau Hun Thian-hi merasa kagum, seumpama Bu-bing Loni sendiri juga tidak akan berani begitu takabur memandang pada dirinya. Seruling Hun Thian-hi mendadak terangkat ke atas ujungnya telak sekali mengarah jalan darah Hou-kiat-hiat. Tapi baru saja ia bergerak, tiba-tiba serasa pandangan matanya kabur, berbareng serumpun angin keras menerjang ke arah badannya, entah cara bagaimana tahu-tahu orang itu sudah mendesak tiba sampai dekat sekali dihadapannya, sebelah telapak tangannya menyelonong tiba terpaut satu dim dari tulang iganya. Keruan Hun Thian-hi terkejut, cepat ia tarik serulingnya terus putar balik menutuk punggung orang, berbareng kakinya menggeser mundur mencari posisi yang lebih menguntungkan, dalam jarak yang hanya terpaut beberapa mili saja secara untung2an ia berhasil terhindar dari pukulan musuh. Tapi tak urung keringat dingin sudah membasahi punggungnya saking kagetnya. Gerak gerik yang begitu aneh benar-benar belum pernah dilihat selama ini, apalagi orang aneh ini membekal racun berbisa yang teramat jahat, sedikit kena seumpama tidak mati pasti celaka jiwanya. Melihat Hun Thian-hi dapat berkelit dari rangsekan pukulannya orang itupun mengunjuk rasa heran, adalah sangat mustahil ada orang yang bisa lolos dari serangan jahat yang sangat berbisa dan ampuh dari pukulan mautnya. Tidak heran kalau Hun Thian-hi mengalirkan keringat dingin, tujuan Tok-sim-sinmo cukup keji, jelas ia sengaja menjebak dirinya kemari supaya dirinya mampus di tangan manusia berbisa yang lihay ini. Begitulah dengan pandangan mata berkilat warna kebiruan, beruntun ia lancarkan pula tiga pukulan berantai yang aneh, Hun Thian-hi menjadi kelabakan tak tahu dia cara bagaimana ia harus menghadapi atau melawan ilmu silat yang aneh dan lucu itu, terpaksa ia mundur dan menjaga diri. Semakin dalam, keadaan gua di dalam semakin gelap gulita, kelima jari sendiripun tidak kelihatan lagi. Tiga pukulan berantai musuh berturut-turut telah disambut oleh Hun Thian-hi secara kekerasan sembari mundur, sampai babak terakhir ini baru Thian-hi mendapatkan bahwa Lwekang musuh ternyata tidak sehebat seperti permainan pukulannya yang lihay dan aneh itu, orang tidak lain cuma mengandalkan gerak tubuh dan langkah kakinya yang aneh. Dalam pada itu, orang laki-laki itu telah melancarkan pula sebuah pukulan kepada Thian-hi. Sekonyong-konyong Hun Thian-hi merasakan sesuatu keganjilan. terasa olehnya orang ini merabukan serangkaian pukulannya dengan gencar tujuannya tak lain tak bukan hanya mendesak dirinya masuk mundur ke dalam gua yang lebih gelap sana, cepat timbul rasa waswas dalam hatinya, entah ada apa di dalam gua gelap dibelakangnya sana, betapapun harus hati-hati supaya tidak terjebak oleh musuh. Karena kekuatirannya ini segera ia layangkan serulingnya dengan jurus Liu-sijian-tiu melintang ke depan, sekonyong-konyong ia mendapat firasat jelek, betapapun ia tidak bisa mundur lebih lanjut ke dalam gua gelap sana. Jurus permainan seruling Thian-hi ini punya ragam yang berlainan, dapat menyerang juga dapat menjaga diri, tapi lagi-lagi orang itu menggerakan badannya dengan kelakuan yang teramat aneh, tahu-tahu sebelah telapak tangannya sudah menyelonong tiba, tiba-tiba pula tubuhnya sudah menyelundup masuk ke dalam taburan sinar serulingnya. Semakin ciut nyali Thian-hi, sungguh tidak habis otaknya berpikir cara rangsakan serulingnya yang rapat itu tidak mampu merintangi gerak tubuh lawan menurut penilaiannya jurus Liu-si-jiangtiu merupakan tipu penjagaan yang teramat rapat dan ketat sekali tiada jurus tipu permainan silat lainnya yang dapat dibanding dengan kehebatannya. Tapi kenyataan dihadapi olehnya sendiri bahwa musuh begitu gampang menyelundup masuk ke dalam tabir sinar serulingnya yang ketat itu, betapa hatinya takkan ciut dan gentar. Terpaksa Hun Thian-hi mencelat jauh ke belakang, baru saja kakinya menyentuh tanah. mendadak segulung angin keras menerjang tiba dari arah belakangnya, terjangan angin keras ini begitu pesat dan besar sekali, sehingga Hun Thian-hi tambah terkejut. Cepat seruling diayun ke belakang dengan seluruh kekuatannya ia sambut terjangan angin keras itu. Tapi terjangan angin keras itu seperti hidup saja mendadak membelok ke atas mengarah jalan darah mematikan dipunggung Thian-hi, jaraknya terpaut tiga dim saja. Jantung Thian-hi seperti hampir meledak saking kejut dan takutnya, cara gerak serangan yang membokong dari belakang ini hakikatnya sama dengan permainan Tosu di hadapannya ini, malah cara serangan dan tenaganya yang aneh itu jauh lebih hebat.... Untuk berkelit terang tidak sempat lagi, terpaksa Hun Thian-hi menghardik keras secara reflek serulingnya menyendal ke atas pula melancarkan Wi-thian-cit-ciat-sek, dengan kekuatan jurus ilmu pedang yang tiada taranya ini. segulung tenaga Lwekang yang ampuh berputar menggulung balik menyongsong serangan musuh. Betul juga usahanya rada berhasil, terjangan angin keras di belakang itu sementara kena dibendung mundur, cepat Hun Thian-hi berdiri mepet dinding dan memiringkan badannya, waktu ia berpaling ke arah sana dilihatnya yang menyerang dari belakang tadi kiranya seekor ular warna putih laksana salju. Panjang ular ini tidak lebih tiga kaki, kedua biji matanya merah darah menyorong menakutkan, pelan-pelan badannya melingkar dan melata dari tempat yang gelap sana, dengan tajam kepalanya terangkat mengawasi Hun Thian-hi, mulutnya terpentang dan lidahnya terjulur keluar. Tosu tinggi besar itu mencegat jalan keluar, dengan pandangan keheranan ia awasi Thian-hi, kesudahan dari gebrak terakhir antara Hun Thian-hi melawan ular putih itu sungguh diluar perhitungannya. Sungguh hebat Hun Thian-hi dapat menangkis serangan si ular Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo putih kecil yang hebat itu. Tidaklah berkelebihan rasa kejutnya itu karena ia pun mengenali Withian-cit-ciat-sek yang dilancarkan oleh Thian-hi. Semakin mencelos hati Thian-hi, si Tosu seorang sudah begitu lihay dan sulit dilayani, kini ketambahan seekor ular yang tidak kalah hebatnya, betapapun dirinya tidak akan mampu melawan, untuk lolos dari kepungan seorang manusia dan ular berbisa yang lihai ini, boleh dikata sesulit memanjat ke atas langit. Sambil memicingkan mata setindak demi setindak si Tosu tinggi besar itu mendesak maju. Hun Thian-hi berdiri tegak melintangkan seruling di depan dada dan otaknya beruntun memikirkan berbagai persoalan yang tidak terpecahkan olehnya. Ia curiga akan pengalaman yang aneh ini, masakah aku harus mati secara konyol di tempat ini" Bagaimana mungkin Tosu tinggi besar ini berbentuk begitu mirip dengan Giok-yap Cinjin, apakah dia punya sangkut paut dengan Ciangbunjin Bu-tong-pay itu" Mungkin seperti Hwesio jenaka dan Mo-bin Suseng mereka adalah saudara kembar. Tengah pikirannya melayang, Tosu itu sudah mendesak dekat, Hun Thian-hi mengertak gigi seruling ditangannya teracung miring ke depan dengan setaker tenaganya ia lancarkan pula Withian- cit-ciat-sek seiring dengan gerak serulingnya badannya pun menerjang maju ke depan. sergapan mendadak Hun Thian-hi memang cukup dahsyat. Tosu besar itu rada terkejut dan menyurut mundur ke belakang. Dengan melancarkan Wi-thian-cit-ciat-sek tujuan Thian-hi bukan melukai orang, maka begitu badannya terbang ke depan terus menerjang kemulut gua. Tapi ular putih kecil di belakangnya itupun tidak tinggal diam laksana anak panah iapun terbang mengejar, secepat kilat mematuk kepunggung Thian-hi. Keruan Thian-hi menjadi merinding dan terperanjat, ia tahu bahwa ular macam itu pasti sangat beracun, sedikit kulit kena terluka oleh giginya jelas tidak akan tertolong lagi jiwanya, terpaksa ia harus membalikan tubuh dengan Wi-thian-cit-ciat-sek untuk membela diri mendesak mundur siular putih itu. Sedikit merandek karena gangguan serangan siular kecil ini kesempatan lolos Hun Thian-hi menjadi sia-sia, ia terkepung pula diantara gencetan si Tosu dan ular putih kecil yang lihay itu. Kedua belah pihak sama berdiam diri sama memikirkan cara untuk merobohkan lawan, ketegangan mencekam sanubari mereka. Tanpa berjanji sebelumnya, mendadak si Tosu dan ular kecil itu sama bergerak dari dua jurusan menerjang kepada Hun Thian-hi. Bercekat jantung Thian-hi, terpaksa serulingnya ditaburkan pula dengan Wi-thian-cit-ciat-sek, tujuh gelombang angin dahsyat menerpa hebat ke arah si Tosu dan ular kecil itu. Gesit dan lincah sekali tiba-tiba ular putih melejit lebih tinggi dan menyendal maju melesat ketenggorokan Hun Thian-hi. Keruan bukan kepalang kejut Thian-hi, bahwa si ular kecil tidak takut keterjang tenaga pukulan Wi-thian-cit-ciat-sek yang dahsyat itu, ia berdiri mepet dinding untuk mundur sudah tidak bisa lagi, terpaksa hanya mengandal keampuhan Wi-thian-citciat-sek saja untuk menggempur dan merintangi serangan ular putih itu. Diluar dugaan ular kecil itu tersapu mental tiga tombak jauhnya oleh ketukan seruling Hun Thian-hi, tapi karena sampokan kepada ular putih itu sehingga gerakan seruling Hun Thian-hi rada lamban. dan kesempatan ini dipergunakan pula oleh si Tosu untuk mendesak maju dengan tepukan kedua telapak tangan kedada Hun Thian-hi. Tanpa banyak pikir Hun Thian-hi berkelit kesamping, tapi sudah terlambat, pukulan lengan orang itu telak sekali mengenai pundak kiri Hun Thian-hi, seketika Thian-hi rasakan seluruh pudaknya kiri kesemutan dan hilang rasa. Waktu ia menoleh dalam sekejap waktu seluruh lengan kirinya sudah melepuh besar tiga kali lipat. Thian-hi insaf bahwa ia telah kena racun yang teramat jahat, mungkin jiwa sendiri sudah tidak tertolong lagi, dengan rasa kecewa dan lesu perlahan-lahan ia meloso duduk bersimpuh. Begitu pukulannya berhasil melukai Hun Thian-hi Tosu itupun lantas mundur. gesit sekali ia melejit ke arah ular putih serta memeriksanya dengan teliti. Ular putih itu rebah dengan lemas, agaknya jatuh pingsan, rada lama kemudian baru bisa bergerak dan melata dengan amat payahnya. Melihat siular putih sudah dapat bergerak baru si Tosu berdiri lagi. dengan pandangan dingin mengancam ia awasi Hun Thian-hi. Sementara itu Thian-hi kerahkan lwekangnya untuk mendesak hawa racun supaya tidak menjalar lebih jauh ke dalam tubuhnya. Tosu itu menyeringai, jengeknya, "Ilmu silatmu cukup tinggi, tapi akan kubuat kau mati berangsur-angsur. Kau sudah terkena racunku, kau kira kau bisa mendesaknya supaya tidak menjalar ke dalam tubuhmu?" Dengan tajam Thian-hi pun pandang orang itu, sesaat kemudian ia bertanya, "Siapa kau sebenar-benarnya" Kenapa kau harus bunuh aku?" "Jangan kau peduli siapa aku," jengek orang itu pula. "Siapapun yang masuk kemari jangan harap bisa hidup ditanganku, dan kenapa sebabnya kau tidak perlu tahu!" Waktu berkata-kata sedikitpun Tosu ini tidak menunjukkan perasaan hatinya, semakin mencelos hati Thian-hi menghadapi manusia sadis yang tidak diketahui asalusulnya ini. Dari nada perkataan orang kedengarannya jiwa sendiri terang tidak tertolong lagi. Terpaksa ia tinggal diam saja dan memejamkan mata, ia duduk bersimpuh dengan tenang dan mengerahkan tenaga. Orang itu mengamat-amati Thian-hi lagi, hatinya rada heran, dengan usia Hun Thian-hi yang masih begitu muda, ilmu silatnya ternyata begitu lihay, betul-betul sangat mengejutkan hatinya, kalau tidak menghadapi sendiri ia tidak akan mau percaya. Mendadak hatinya seperti semakin menciut dan mencelos, air muka Hun Thian-hi tadi sudah berubah ungu dan membiru, tapi sekarang lambat laun semakin menghilang dan segar bugar kembali, ini boleh dikata suatu hal yang luar biasa dan tidak mungkin terjadi. Barang siapa yang terkena racunnya, mana dapat hidup" Ia yakin betapapun tinggi ilmu silat orang itu umpama setinggi langitpun jangan harap bisa mendesak bujar racun yang mengeram dalam tubuhnya. Apalagi racun itu adalah racun ciptaannya yang teramat jahat, Saking tidak percaya akhirnya ia bertanya pada Thian-hi, "Siapa kau" Apa tujuanmu kemari?" Dengan Lwekangnya Thian-hi berusaha membendung menjalarnya racun dalam tubuhnya, namun hasilnya tetap nihil karena hawa racun terus merembes masuk melalui sendi urat nadinya tersebar luas di seluruh tubuh, ia menjadi putus asa, dengan, membuka mata ia berkata tawar, "Sekarang baru kau bertanya, apa gunanya?" Orang itu mendengus, katanya, "Ingin aku tahu siapa kau sebenar-benarnya?" Thian-hi pejamkan mata lagi tanpa bersuara. sesaat kemudian baru ia berkata dengan kalem, "Apa kau ingin mendirikan batu nisanku" Kukira tidak perlulah." Orang itu rada terkejut, katanya dingin, "Kau tidak akan mati. Cuma aku ingin tahu dengan cara apa kau dapat memunahkan racunku itu." Thian-hi tersentak kaget sambil membelalakkan matanya, lambat laun memang ia merasakan semangat semakin segar dan pulih kembali seperti sedia kala, dengan cermat ia menepekur sekian lamanya ia belum mendapat jawaban yang tepat. Sekonyong-konyong hatinya seperti sadar. Buah ajaib! Tentu oleh khasiat buah ajaib itulah. Bukankah ia pernah menelan beberapa butir buah ajaib, maka seluruh tubuhnya sekarang tidak perlu takut menghadapi segala bisa atau racun. Hatinya menjadi girang, katanya riang, "Kalau kau ingin tahu sudah tentu boleh kuberitahu kepada kau. Tapi kau harus beritahu lebih dulu padaku, siapa kau sebenarbenarnya. Kenapa bentuk wajahnya serupa benar-benar dengan Ciangbunjin Bu-tong-pay?" Raut muka orang itu berkerut-kerut agaknya ia menjadi berang, dengusnya, "Tapi akupun perlu tanya kau lebih dulu. Untuk apa kau kemari" Untuk mencari harta benda itu bukan?" Bab 27 Thian-hi melengak, bahwasanya ia tidak tahu bahwa di dalam Jian-hud-tong ini ada tersimpan harta benda apa maka ia menyahut tawar, "Untuk mencari harta" Kalau untuk harta benda apa perluku kemari. yang terang aku dipancing Tok-sim-sin-mo masuk ke tempat ini." Agaknya orang itu juga merasa diluar dugaan. "Tok-sim-sin-mo?" gumamnya, matanya segera memancarkan rasa gusar yang berapiapi, sesaat kemudian baru ia bersuara pula, "Kau ahliwaris dari Wi-thian-cit-ciatsek" Siapa kau" Dan murid siapa?" Melihat sikap orang sudah tidak segarang semula, Thian-hi menjadi lega, sahutnya kemudian, "Benar-benar aku ahliwaris Wi-thian-cit-ciat-sek, Aku bernama Hun Thian-hi. Murid Lam-siau!" "Lam-siau?" dengus orang itu. "Ya!" sahut Thian-hi tersenyum ewa. "Tapi Ka-yap Cuncia menganugerahkan Withian-cit-ciatsek kepada aku, apakah ada salahnya" Sudan banyak yang kau tanyakan padaku, sekarang giliranku bertanya pada kau. Siapa kau sebenar-benarnya?" Agaknya orang itu rada melengak akan jawaban dan pertanyaan Thian-hi, sesaat baru ia menjawab, "Tak menjadi soal kau tahu siapa aku. Akulah Pek-tok-kau Kaucu Pek-tok Lojin!" Thian-hi tercengang. Pek-tok-kau bercokol di daerah barat daya. Pek-tok Lojin merupakan calon seorang iblis yang sangat disegani pada jamannya dulu, sepuluh tahun yang lalu mendadak menghilang dari percaturan dunia persilatan hingga kini belum diketemukan jejaknya, sehingga Pek-tok-kau pun menjadi cerai berai dan bubar karena tiada orang yang memimpinnya. Siapa duga sepuluh tahun kemudian, Pek-tok Lojin muncul pula di dalam gua yang sempit dan gelap ini, malah membekal ilmu silat yang lebih aneh dan lihay lagi. sungguh sulit dibayangkan akan kebenar-benarannya. Dan yang menambah keheranannya bahwa Pek-tok Lojin kenapa bermuka mirip sekali dengan Giok-yap Cinjin. Tokoh macam Pek-tok Lojin yang diberitakan di Kangouw dulu tidak menyerupai bentuknya sekarang. Agaknya Pek-tok Lojin tahu apa yang tengah di sangsikan oleh Thian-hi, katanya tertawa dingin, "Kau heran kenapa aku berubah seperti bentukku ini bukan" Baiklah kujelaskan. Sepuluh tahun yang lalu aku masuk ke Jian-hud-tong dengan tujuan mencari Ni-kay-ki-tin, tapi sepuluh tahun kemudian baru aku berhasil dapat keluar." Tersentak hati Thian-hi, serunya, "Ni-hay-ki-tin?" - Hampir ia tidak percaya pada pendengarannya bahwa Ni-hay-ki-tin berada di dalam Jian-hud-tong ini, mimpi juga tidak menduga sebelumnya. "Ya, berada di dalam gua ini," jengek Pek-tok Lojin. "Jika masuk lebih dalam sana tibalah di Mikiong (istana sesat), aku masuk kesana dan menghabiskan waktu sepuluh tahun baru berhasil keluar. Waktu berjalan keluar aku sudah kehabisan tenaga, kebetulan bentrok dengan Tok-simsin- mo. Dalam keadaan payah sudah tentu aku bukan tandingannya, gampang saja aku teringkus olehnya, dia mengupas kulit mukaku dan mengganti dengan bentuk lain, ia menekan aku harus mendengar perintahnya!" ~ sampai disini ia bergelak tawa saking murka dan penasaran. Sekarang baru jelas bagi Thian-hi duduk perkara sebenar-benarnya Tok-sim-sin-mo memang sengaja hendak membuat geger dunia persilatan dengan rencana jangka panjang secara diamdiam ia menculik jasat Giok-yap Cinjin dan mengelupas kulit mukanya untuk ditempelkan di muka Pek-tok Lojin, secara berani ia coba-coba melaksanakan rencana jahatnya. Untung Pek-tok Lojin tidak sampai kena diperalat olehnya, kalau tidak entah bagaimana jadinya dengan gelombang pertikaian dunia persilatan. Terdengar pula Pek-tok Lojin melanjutkan, "Beruntung akhirnya aku dapat lolos dari genggamannya itu, aku sembunyi di tempat ini dan kebetulan ketemu dengan Siau pek-mo (siular Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo putih kecil, pernah terjadi hampir saja Tok-sim~sin-mo menemui ajalnya di bawah keganasan bisa Siau-pek-mo. Sayang ia takut melihat sinar cahaya!" - Sampai disini ia merandek lalu sambungnya mendengus dingin, "Kalau tidak mungkin sejak lama bersama Siau-pek-mo aku sudah keluar dari gua ini. Tapi selama mengeram diri disini aku berhasil juga mempelajari Lingcoa- pou, tapi aku tak kuasa meninggalkan tempat ini." Hun Thian-hi berpikir sejenak. lalu katanya, "Cara Bagaimana kau bisa punya hasrat untuk mencari Ni-hay-ki-tin itu. Kalau kau tidak memiliki Badik buntung mana bisa menemukan Ni-hayki- tin itu?" Pek-tok Lojin terkekeh dua kali, ujarnya, "Bagaimana juga, aku harus menemukan Ni-hay-ki-tin itu. Sepuluh. tahun aku berdiam dalam gua ini, selama sepuluh tuhun ini aku sudah menjelajahi seluruh Mi-kiong (istana sesat), di setiap tempat penting ada kutinggalkan tanda2 rahasia, aku tahu cara bagaimana masuk juga tahu cara bagaimana keluar. Aku percaya sekali lagi aku masuk kesana pasti dapat menemukan Ni-hay-ki-tin itu!" Hun Thian-hi tertawa tawar, katanya, "Mungkin kau bisa, apakah kau yakin benarbenar sekali lagi hendak kesana, kau tidak bakal tinggal terkurung lagi selama sepuluh tahun?" - berhenti sejenak lalu ia melanjutkan, "Kau sudah berkorban sepuluh tahun, sehingga Pektok-bun lenyap dan dilupakan para sahabat Kangouw, kau mendapat lebih banyak atau kehilangan lebih banyak" Coba kau renungkan antara untung dan ruginya." Pek-tok Lojin menggeram, ia menunduk tanpa bersuara. Hun Thian-hi berkata lebih. lanjut, "Kalau kau sudah tahu bahwa Ni-hay-ki-tin pasti tersimpan di dalam Jian-hud-tong, masa tiada orang lain pula yang tahu" Kenapa mereka tidak meluruk kemari" Bukan mustahil kehilangan atau kerugian yang mereka derita jauh lebih besar dari apa yang mereka dapatkan." Pek-tok Lojin menggeram sekali lagi, meski wataknya keras dan seperti penasaran tapi hatinya sudah mulai menyesal, tekadnya mencari Ni-hay-ki-tin semula memang menyalanyala, dan usahanya ini merupakan suatu taruhan yang sangat berbahaya bagi jiwa dan raganya. Alhasil ia kalah dalam taruhan, apakah aku harus melanjutkan permainan judi ini" Atau berhenti sampai disini saja" begitulah ia sedang menerawang apa yang harus dia lakukan selanjutnya. Sementara itu Hun Thian-hi juga sedang melayangkan pikirannya, ia rasakan betapa culas dan keji jiwa Pek-tok Lojin ini, bila sekarang dia dapat keluar, pasti harus dua orang bersamaan, tak mungkin seorang diri ia keluar dengan selamat tanpa kurang suatu apa. Tapi bila dapat keluar. pasti Pek-tok Lojin bakal menimbulkan bencana bagi kaum persilatan umumnya, ini merupakan suatu persoalan pelik yang sulit dipecahkan. Ia berpikir cara bagaimana supaya Pek-tok Lojin tidak mengganas pula di Bulim bila nanti bisa keluar" Kecuali Pek-tok Lojin' dapat digugah watak dan pikiran sesat menjadi lurus, kalau tidak tiada jalan lain yang lebih sempurna. Akhirnya Pek-tok Lojin angkat kepala, katanya kepada Hun Thian-hi, "Apa yang sedang kau pikirkan?" "Aku terpikir bila seseorang dapat melanjutkan kehidupannya dalam keadaan keputus-asaan, lalu apa yang harus dia lakukan?" Berkilat biji mata Pek-tok Lojin, dua kali hidungnya mendengus, katanya, "Aku pun tidak tahu. Kenapa kau harus berpikir sedemikian banyak dan begitu rumit?" Thian-hi menyahut pelan-pelan, "Aku merasa itu sangat penting. Sekarang kita harus siap dan menyadari lebih dulu apa yang harus kulakukan sesudah aku dapat keluar?" "Jangan kau berangan2." demikian jengek Pek-tok Lojin, "Kita berdua tidak akan mampu keluar, seorang diri aku sudah terkurung sepuluh tahun, mendapat kau sebagai teman juga bolehlah" "Memang mungkin tak bisa keluar. Tapi apakah kau tidak ingin keluar?" "Keluar" Kerdil benar-benar pikiranmu. Seumpama tiada orang yang merintangi kau, kau takkan mampu keluar seorang diri, apalagi Tok-sin-sim-mo ada diluar sana, memasang berbagai alat rahasia lagi. untuk keluar sesulit memanjat ke atas langit." Hun Thian-hi tersenyum, katanya, "Betapapun sukarnya, aku harus keluar. Masih banyak tugas yang harus kurkerjakan, aku harus keluar!" "Anggapmu aku sendiri tidak punya urusan?" Hun Than hi pandang Pek-tok Lojin, terlihat sorot matanya mengunjuk rasa kepedihan hatinya ia tertawa lalu berkata, "O, begitu" Semula kusangka kau tidak ingin keluar?" Melihat sikap Pek-tok Lojin, ia mereka-reka orang pasti mempunyai ganjalan dalam lubuk hatinya, tapi entah persoalan apa. Pikirnya siapa saja, setiap manusia bila dia masih punya rasa perikemanusiaan. hatinya tentu takkan terlalu bejat, sebelum watak kemanusiaannya pudar pasti dia dapat diinsafkan dari perbuatan jahatnya, manusia sejak dilahirkan memang bersifat bijaksana dan kenal cinta kasih. soalnya cara bagaimana ia menjalani hidupnya dalam pergaulan masyarakat. Demikianlah Pek-tok Lojin, meskipun ia jahat dan keji. namun dia masih mempunyai kesadaran jiwa yang masih bisa ditolong dari jurang kesesatannya. Pek-tok Lojin menjengek hidung, ia menengadah dan berpikir. Hun Thian-hi tertawa-tawar, katanya, "Di mulut saja aku bicara; tapi asal percaya bahwa setiap orang tentu mempunyai gagasan hidupnya. masih banyak urusan yang mesti kukerjakan. Dan karena semua urusan itulah aku harus berjuang untuk hidup, maka aku harus keluar dengan tetap hidup. Entahlah dengan persoalanmu!'" "Seumpama kau tadi sudah ajal di tanganku bagaimana?" "Kenyataan aku masih hidup! Sepuluh tahun lamanya kau tersekap dalam gua ini kau masih tetap hidup, kenapa?" Pek-tok Lojin tertunduk lebih dalam. terketuk sanubarinya. Hun Thian-hi berkata pula, "Selama kita masih hidup, meski hanya satu hari. maka kita harus menjadi manusia, secara baik-baik. Kau tahu apakah manusia itu" Manusia itu adalah yang punya jiwa dan prikemanusiaan, bila seseorang telah kehilangan prikemanusiaan, maka dia bukan manusia lagi." Mendadak Pek-tok Lojin angkat kepala, matanya mendelik gusar kepada Thian-hi desisnya, "Kau sedang memberi pengajaran kepadaku?" "Kau tersinggung?" ujar Thian-hi tawar, "Aku tidak tahu asal-usulmu, tidak tahu karaktermu, mana bisa aku menyinggung kau?" sampai disini ia menepekur sebentar lalu sambungnya, "Kau pun tidak tahu riwayat hidupku. Ketahuilah ayahku menjadi korban secara konyol karena memiliki Badik buntung, akhirnya beliau meninggal di tangan Mo-bin Suseng." dengan kalem lalu ia menceritakan pengalaman hidupnya selama ini. Pek-tok Lojin mendengarkan dengan seksama, hatinya mulai tergugah, lambat laun ia seperti baru siuman dari tidurnya yang pulas dan masih ragu-ragu akan impian yang dialaminya. dalam tidur pulasnya itu. Dia masih belum mau percaya begitu saja akan ketulusan hati Thian-hi menceritakan segala urusan yang melibatkan dirinya dengan panjang lebar. Tapi keadaan mau tidak mau mengharuskan dia mesti percaya. Segala urusan sampai yang paling mendetail semua diceritakan oleh Hun Thian-hi tanpa malu-malu, satupun tiada yang disembunyikan. Begitulah dalam pendegaran itu, hatinya pun ikut bergejolak akan situasi Kangouw yang timbul tenggelam, ia merasa kuatir pula akan urusan dirinya yang masih mengganjal dalam sanubarinya Ia merasa masih banyak urusan atau pekerjaan yang harus segera ia lakukan. Sesaat lamanya cerita Hun Thian-hi berakhir, sambil tertawa ia menambahkan, "Adalah sangat gampang bagi seorang manusia untuk berbuat kelewat batas diluar kesadarannya, sebuah urusan yang dianggap sepele atau tidak berarti bagi orang itu, dapat meninggalkan kesan yang mendalam dan diukir di lubuk hati orang lain. Umpamanya aku dengan menggunakan jurus Pencacat langit pelenyap bumi sekaligus kubunuh puluhan jiwa manusia, tatkala itu aku merasa aku tidak berdosa, mungkin tujuanku melulu untuk membela diri dan demi keselamatan jiwa, tapi orang lain sebanyak puluhan orang harus dikorbankan, seumpama mereka tidak menyesali perbuatanku, aku pun akan menyesal dan selalu menjanggal dalam sanubariku.... yang jelas keluarga atau sanak famili orang-orang yang menjadi korban itu akan membenci dan dendam kepadaku selama hidup ini!" Pek-tok Lojin menepekur diam, agaknya benaknya mulai menyadari akan perbedaan antara baik dan buruk, asal kita berbuat berlandaskan kebenar-benaran dengan kebijaksanaan pula, dengan adanya cinta kasih bagi sesama umat manusia pula, orang akan tergugah dari pikiran sesatnya dan kembali ke jalan benar-benar. Dengan tertawa Hun Thian-hi menandaskan, "Aku harus keluar, bagaimanapun akibatnya!." Pek-tok Lojin menunduk, tekad Hun Thian-hi begitu besar, membuat hatinya merasa sesal dan terketuk, akhirnya ia membuka mulut dan tersenyum, katanya, "Sepuluh tahun yang lalu waktu aku meninggalkan rumah, keluargaku melarang aku kemari, tapi akhirnya aku kemari juga. Diwaktu aku terkenang pada mereka, mereka sudah tidak berada di sampingku lagi!" Mendengar ucapan dan sikap Pek-tok Lojin, sungguh berjingkrak hati Thian-hi katanya, "Mengandal kekuatan kita bersama, mungkin dapat menjebol keluar gua." Pek-tok Lojin menunjuk memandangi si ular putih kecil yang melingkar di tanah, sambil menghela napas ia ulapkan tangannya ke arah si ular putih serta berkata, "Kau masuklah, aku hendak pergi, kelak kutengok disini." Ular kecil putih itu seperti bisa mendengar ucapan manusia, ia berputar satu lingkaran di bawah kaki Pek-tok Lojin sambil menengadahkan kepalanya lalu melata masuk ke dalam gua yang dalam dan gelap sana. Setelah melihat si ular putih itu menghilang, Pek-tok Lojin menghela napas panjang, keadaan memaksa dia harus meninggalkan tempat ini, mendadak merasa kepercayaan pada dirinya bertambah kuat dan teguh, seolah-olah ia sudah mendapat firasat dan yakin benarbenar bersama Hun Thian-hi mereka akan dengan mudah bebas dari kurungan. Akhirnya ia berpaling ke arah Thian-hi, katanya, "Baik, mari kita berangkat!" Hun Thian-hi tertawa lebar dan puas, terasa olehnya bahwa sekarang Pek-tok Lojin sudah pulih kembali akan kesadaran kemanusiaannya, seolah-olah ia seperti kehilangan suatu tekanan sehingga hatinya terasa longgar dan enteng. Sementara racun di lengan tangannya pun sudah lenyap dan sudah pulih seperti sediakala. Begitulah mereka beranjak keluar, dia belum tahu apakah mereka bakal mampu menerjang keluar dari kepungan yang ketat dalam gua yang penuh alat2 rahasia, tapi mereka harus mencoba dan berjuang. Setelah Tok-sim-sin-mo memancing dan menjebak Hun Thian-hi masuk ke jalan rahasia itu, akhirnya ia meloloskan diri melalui jalan rahasia lainnya, sambil mengulum senyum kemenangan dan sinis ia tinggal pergi, ia tahu akan tabiat Pek-tok Lojin kalau Hun Thian-hi masuk ke sana jelas kematianlah yang bakal menimpa dirinya, apalagi. muka Pek-tok Lojin sudah dikelupas dan diganti dengan kulit muka Giok-yap Cinjin, dalam keadaan kaget dan ketakutan melihat keadaan yang seram itu, bukan mustahil Hun Thian-hi mesti terbunuh oleh Pek-tok Lojin yang ganas itu. Begitulah sambil berpikir2 dengan keriangan hatinya langsung ia melangkah ke kamar tahanan Coh Jian-jo. Kira-kira beberapa kejap kemudian, waktu ia tiba di sebuah jalan lorong yang lurus, dilihatnya Biau-biau-cu dan Bing-tiong-mo-tho berlari-lari mendatangi tergesagesa, kontan ia mengerut alis, cepat Bing-tiong-mo-tho maju memberi hormat serta memberi lapor, "Pangcu! Hun Thian-hi sudah menyelundup masuk di Jian-hud-tong!"' Tok-sim-sin-mo menyapu pandang mereka, katanya, "Dia sudah kupancing menuju ke tempat Pek-tok Lojin, mari kita tengok keadaan Coh Jian-jo!" Biau-biau-cu dan Bing-tiong-mo-tho saling pandang dengan terkejut, mereka terbungkam seribu basa, betapapun Tok-sim-sin-mo jauh lebih hebat dan lihay dalam segala tindak tanduk, begitulah mereka mengintil di belakang orang. Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Waktu mereka sampai di kamar batu itu, tampak Coh Jian-jo sedang duduk terpekur entah memikirkan apa. Pelan-pelan Tok-sim-sin-mo maju menghampiri, katanya menjengek dingin, "Coh Jian-jo! Pek-tok-hek-liong-ting buatanmu itu sungguh baik sekali, ja, aku harus berterima kasih kepada kau. Apakah kau pernah memikirkan cucumu perempuan?" - Nadanya sinis matanya berapi-api mengunjuk hawa membunuh. Pelan-pelan Coh Jian-jo bangkit sahutnya, "Hal itu sejak mula memang kuketahui, meski aku tahu cara membuatnya, tapi baru pertama kali itu kupraktekkan pembuatannya bukan mustahil ada kekurangannya." Tiba-tiba telapak tangan Tok-sim-sin-mo melayang dan "Plok" Coh Jian-jo ditamparnya sampai tersungkur jatuh, mulut Tok-sim-sin-mo mendesis dengan kejam, "Benar-benarkah begitu?" Perlahan-lahan Coh Jian-jo merangkak bangun, dengan bungkam ia berdiri tegak. Tok-sim-sin-mo menj< i katanya, "Tidak menjadi soal bila kau ingin modar, tapi kau harus ingat cucumu perempuan berada ditanganku, hati-hatilah aku bisa menyiksanya dengan berbagai alat kompes, tahu!" Raut mata Coh Jan-jo berkerut-kerut dan gemetar, katanya, "Kau tak perlu berlaku kasar padaku, bila kau baik kepadanya, aku akan bekerja lebih baik bagi kau, persetan dengan orang lain yang terang kau harus baik-baik terhadap cucuku." Biji mata Tok-sim-sin-mo jelalatan, katanya, "Jangan kau main-main dengan aku, bila hasilnya tidak memuaskan, akan kupertontonkan kepadamu betapa dia menderita!" Ternyata Coh Jan-jo menyahut dengan tawar, "Hun Thian-hi memperoleh Wi-thiancit-ciat-sek, meski sekarang belum sempurna latihannya sehingga Lwekangnya tidak bisa disalurkan sampai puncak tertinggi, tapi kau sendiri punya perhitungan dan tahu benar-benar lambat atau cepat Pektok- hok-liong-ting tidak akan dapat melawannya. Jikalau aku tidak bantu kau, kau akan roboh dan jatuh di tangannya." Mendengar nada ucapan Coh Jan-jo mendadak berubah begitu ketus jauh berlainan dengan sikapnya semula, Tok-sim-sin-mo rada diluar dugaan, namun dasar cerdik terpikir olehnya dengan sikap Con Jian-jo yang aneh ini, pasti dia mempunyai suatu rahasia yang belum diketahui orang lain, kenapa aku tidak memanfaatkan tenaga dan pikirannya demi kepentinganku" Serta merta ia tertawa menyeringai lagi, ujarnya, "Sayang ahli waris Wi-thian-cit-ciat-sek sekarang sudah mampus!" Coh Jian-jo tersentak tertegun, ia tunduk termenung tanpa bersuara lagi! "Bagaimana?" desak Tok-sim-sin-mo. "Adakah yang perlu kau beritahukan kepadaku" Kalau tidak segera aku harus segera kembali, ingat cucumu perempuan berada di genggamanku!" Coh Jian-jo tertawa tawar, katanya, "Kalau kau mau melulusi satu permintaanku, akan kubuatkan semacam alat rahasia yang teramat jahat dan berbisa pada Kau, para orang-orang gagah di seluruh kolong langit ini tiada seorang pun yang mampu menyelamatkan diri dari serangan buah tanganku ini" Terpancar sinar terang dari biji mata Tok-sim-kin-mo, katanya, "Senjata rahasia apa, coba kau sebutkan dulu!" "Setelah alat rahasia itu dapat kuciptakan, seluruh kaum persilatan di Bulim pasti takkan memberi pengampunan kepadaku, tatkala itu seumpama kau melepas aku pergi, akupun takkan dapat keluar seorang diri. Tapi hanya satu pengharapanku kepada kau, lepaskan cucuku perempuan. sungguh aku akan sangat berterima kasih kepadamu!" Tok-sim-sin-mo terkekeh-kekeh, sejenak ia berpikir lalu katanya. "Kau katakan dulu barang apakah ciptaan barumu itu?" "Tidak!" sahut Coh Jian-jo menggeleng kepala. Kali ini aku tidak akan sebutkan lebih dulu!" Tok-sim-sin-mo tertawa kering, katanya, "Kau harus tahu. sekarang kaulah yang memohon kepadaku bukan aku yang meminta2 kepada kau, sedang cucu perempuanmu masih di tanganku, ingatkah kau!" "Aku tidak akan dapat kau ancam pula sekarang. kau sendiri akan paham, selamanya adalah kau yang meminta2 kepadaku, soalnya karena kau tangkap cucuku untuk dijadikan sandera belaka. Seumpama benar-benar Hun Thian-hi sudah meninggal, toh aku bukan tidak tahu orang pandai dan lihay di dunia ini bukan melulu dia seorang.... Terutama Ka-yap Cuncia belum lagi muncul, Bu-bing Loni kau jauh bukan tandingannya. meski jiwamu seorang dapat kau pertaruhkan atas jiwa kita kakek dan cucu tapi cobalah kau berpikir sekali lagi atau akan kutunggu sampai kau berpikir dua belas kali." Berkilat-kilat sorot kekejaman dimata Tok-sim-sin-mo, dengan geram ia membanting kaki, dengusnya, "Urusan tidak segampang seperti yang kau katakan, aku boleh mati ditangan Ka-yap Cuncia, atau terbunuh oleh Bu-bing Loni, tapi mungkin cucumu bisa segera mampus dihadapanmu." Coh Jian-jo rada terpengaruh akan ancaman ini, katanya sember, "Kau pun tahu Kayap Cuncia selamanya tidak membunuh orang, bila dia meringkus kau, mungkin kau bisa disekap lagi selama lima puluh tahun!" Biji mata Tok-sim-sin-mo semakin mendelik gusar, desisnya, "Kau sangka aku bakal tunduk akan ancamanmu?" "Aku tidak tahu apakah kau bakal menyerah," ujar Coh Jian-jo, "Tapi bila kau melebarkan pandanganmu mungkin kau akan berbuat menurut usulku!" "Coba kau terangkan dulu, senjata rahasia macam apa?" Sesaat Coh Jian-jo beragu, akhirnya ia membuka mulut, "Namanya Kiu-siau-biathun-tan! Terbikin dari bahan pembakar yang paling ganas, tiada seorang pun yang kuat bertahan dari semburan api yang dahsyat." ' "Baik. sesaat berpikir Tok-sim-sin-mo lantas menyetujui, "Sekarang juga kusiapkan peralatannya, besok dapat kau mulai bekerja" - lalu ia menyeringai dingin dengan penuh kemenangan, bergegas ia membalik terus tinggal pergi. Setelah Tok-sim-sin-mo pergi Coh Jian-jo menghela napas, dilihat dari sikap orang terang dia tidak punya ketulusan hati sesuai dengan janjinya, entah apa pula alasan yang diajukan besok pagi, urusan sudah telanjur sedemikian jauh, inilah tindakan terakhir bagi jalan yang harus ditempuh dirinya, jikalau tidak berhasil terpaksa ia harus berbuat menurut rencana, begitulah sambil berpikir2 ia berjalan mondar-mandir di dalam kamar. Betapapun Tok-sim-sin-mo tidak perlu disangsikan akan keculasan hatinya, kelihatannya memang dia rada mengalah, namun bukan mustahil dia memang punya rencana dan caranya sendiri. Dia tahu bahwa yang dikuatirkan Coh Jian-jo melulu keselamatan cucunya perempuan, bila cucunya dilepas jadi dia tidak punya kekuatiran pula, maka selanjutnya tidak perlu membuat segala peralatan untuk dirinya. yang terpenting sekarang ia harus cepat bertindak, kelihatannya sikap Coh Jian-jo mulai ketus dan teguh pendirian, kalau salah langkah pasti segalanya akan menjadi runyam, bukan mustahil pula orang akan rela gugur bersama!" Cepat sekali, hari kedua sudah tiba, disaat Coh Jian-jo masih mondar-mandir berpikir2 Tok-simsin- mo sudah mendatangi. Segera ia perintah anak buahnya meletakkan segala peralatan di pinggir kamar, lalu berkata pada Coh Jian-jo, "Silakan sekarang kau mulai bekerja!" Coh Jian-jo malah tinggal duduk tenang tanpa bersuara, dengan tenang ia pandang Tok-simsin- mo. Hatinya mulai gundah, ia tahu bahwa Tok-sim-sin-mo tidak akan menepati janjinya, dengan kesabaran dan ketenangan ia duduk ingin ia melihat apa yang hendak dilakukan Tok-simTiraikasih Website http://kangzusi.com/ sin-mo. Semalam suntuk ia tidak pejamkan mata, betapapun ia tidak boleh mundur setapakpun dari urusan ini! Tok-sim-sin-mo menyeringai, katanya, "Kau persoalkan cucumu perempuan bukan" Biar kuberitahu padamu, tidak mungkin kulepas dia!" Coh Jian-jo mandah tertawa hambar tak bersuara. "Bila kulepas dia tiada membawa manfaat bagi kau, sewaktu2 aku bisa menangkapnya kembali, apalagi bila dia tidak tergenggam olehku, maukah kau membuatkan peralatan senjata rahasia itu kepadaku?" "Persetan bagaimana kelak jadinya yang terang sekarang juga kau harus melepas dia pergi, segala urusan aku tidak perlu urus dan tidak mau tahu." "Besok kuringkus dia kembali, kau tidak mau peduli?" "Itupun tiada halangannya!" Tok-sim-sin-mo melangkah kehadapan Coh Jian-jo, ancamannya, "Jangan kau mainmain dengan tipu daya kepadaku, kau tahu, aku tidak bakal tertipu olehmu!" "Mau tidak kau melepas cucuku terserah pada kau. Tapi kelak bila Kiu-siau-biathun-tan terjadi pula kerewelan jangan kau salahkan aku!" Bukan kepalang gusar Tok-sim-sin-mo kontan tangannya terayun, Coh Jian-jo kena dihantamnya roboh telentang di tanah. Bersamaan itu terdengar suara gemerincing, Tok-sim-sin-mo berseru heran, dilihatnya sebuah serangka pedang pendek menggeletak di tanah, sambil menyeringai dingin pelanpelan dijemputnya, katanya tertawa lebar, "Ternyata serangka Badik buntung berada di tanganmu. Tapi diluaran sana sedang geger saling berebutan karena barang ini!" Pukulan Tok-sim-sin-mo cukup keras, sekian lamanya Coh Jian-jo rebah di tanah, sesaat lamanya baru pelan-pelan merangkak bangun lagi. "Hayo cepat kerjakan," bentak Tok-sim-sin-mo, "Kalau tidak awas akan kubeset kulit cucumu, kau tahu, aku dapat berbuat sesuai dengan ancamanku." Melihat Badik buntung jatuh ke tanah Tok-sim-sin-mo sungguh Coh Jian-jo sangat menyesal. Kenapa ia tidak beritahukan saja rahasia di dalam sarung Badik buntung itu kepada Hun Thian-hi, sekarang terjatuh ke tangan manusia durjana ini, dia pasti akan memaksa pula, aku membocorkan rahasianya, bagaimanakah baiknya" Tok-sim-sin-mo mengamat-amati sarung Badik buntung dengan seksama, akhirnya ia menyeringai senang, katanya, "Coh Jian-jo, orang yang mengetahui rahasia Ni-hayki-tin mungkin cuma kau seorang, banyak orang saling memperebutkan sarung badik ini, aku tidak perlu capai mengeluarkan tenaga, soalnya kau berada di tanganku, sekarang...." "Bahan bakar Kiu-siau-biat-hun-tan perlu diramu dan diaduk sembilan kali, cobalah kau saksikan hasil buatanku yang pertama, bila kau merasa puas silakan kau bebaskan cucuku, sebaliknya bila hasil kerjaku tidak memuaskan terserah apa yang kau hendak lakukan terhadapnya, setuju?" Tok-sim-sin-mo berpikir sebentar, katanya, "Baik, syaratmu ini dapat kusetujui, memang jalan inilah satu-satunya yang harus ditempuh. Tapi aku berpendapat ada lebih baik bila dia kubawa kemari supaya dekat dengan kau?" "Tidak perlu, aku tidak perlu dia berada disini!" Berubah air muka Tok-sim-sin-mo, tanyanya, "Kenapa" Apakah kau punya sesuatu rencana keji?" "Dia masih merupakan gadis kecil yang hijau, setiap hari harus hidup dalam kegelapan dan dalam kamar tahanan yang lembab, kukira kurang baik bagi kesehatannya." "Sebaliknya aku berpendapat lain!" jengek Tok-sim-sin-mo lalu ia ulapkan tangannya keluar serta berteriak, "Gusur cucunya kemari, biar mereka kakek dan cucu bersua disini!" seringainya lebih sadis, ia mendekat lagi serta katanya, "Sekarang tibalah saatnya kutanyakan soal rahasia Nihayki-tin itu, sebenar-benarnya dimanakah tersimpan Ni-kay-ki-tin itu, cepat beritahu kepadaku!" "Sarung badik buntung ini adalah peninggalan leluhurku," demikian sahut Coh Jian-jo tertawa ewa, "Tapi baru beberapa hari yang lalu Hun Thian-hi memberikan kepadaku, aku belum lagi membukanya, darimana aku bisa tahu?" "Takdir sudah menentukan aku bakal sukses, tak mengapa kau tidak mau buka mulut, coba nantikan bila cucumu perempuan sudah diantar kemari!" Coh Jian-jo berjalan dua lingkaran dalam kamar itu, ia insaf bahwa ia harus nekad melaksanakan tekadnya. Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Sementara terdengar pula Tok-sim-sin-mo berkata, "Jangan kau mengatur tipu dayamu terhadapku, cucumu perempuan berada di tanganku, bila sampai terjadi hasil kerjamu kurang memuaskan atau kurang sempurna, cucumulah yang akan menerima akibatnya!" Baru saja kata-katanya habis diucapkan, dari luar pintu terdengar seseorang menyanggah, "Belum tentu!" Tok-sim-sin-mo tersentak kaget. cepat ia memutar tubuh, tampak di ambang pintu kamar tahanan itu berdiri tegak Hun Thian-hi, di sampingnya berdiri pula seorang gadis remaja berpakaian kuning, dia bukan lain adalah cucu Coh Jian-jo yang bernama Coh Siauceng! Sudah jamak kalau Tok-sim-sin-mo merasa kaget karena ia menyangka Hun Thian-hi pasti mampus di dalam gua sana, sungguh diluar dugaannya bahwa mendadak Hun Thian-hi muncul dihadapannya laksana setan gentayangan. malah menolong keluar pula cucu Coh Jian-jo dari tempat kurungannya yang terjaga kuat dan terahasia. itu. Setelah menenangkan hati dan gejolak darahnya, ia menyeringai dua kali lalu katanya dingin, "Hun Thian-hi, kiranya kau belum mampus!" "Benar-benar!" sahut Hun Thian-hi mendengus, "Aku tidak mati, diluar dugaanmu bukan" Bukan saja tidak mati malah sekarang kuberdiri dihadapanmu!" "Kau beruntung terhindar dari kematian, tapi kau tidak akan mampu lari keluar dari Jian-hudtong. hari ini kau akan mampus dalam gua ini tanpa ada tempat untuk mengubur kau!" "Masa begitu gampang" Apakah tidak pernah terpikir oleh kau cara bagaimana aku bisa keluar" Berani kau takabur mengobral bacotmu!" "Apa bedanya. Setelah kubunuh kau, buat apa memeras keringat memikirkan cara kau lolos keluar! yang jelas kau bakal mati!" Tiba-tiba Hun Thian-hi menggapai ke samping, katanya, "Coba kau lihat siapa dia!" Bagai dedemit tiba-tiba Pek-tok Lojin muncul di samping Hun Thian-hi. Sudah tentu bukan kepalang kejut Tok-sim-sin-mo, begitu hebat terguncang perasaannya sampai ia tersurut mundur. Sungguh tidak habis terpikir olehnya bahwa Pek-tok Lojin bakal bergabung dengan Hun Thian-hi untuk menjebol kurungan. Betapa jahat racun Pek-tok Lojin ia tahu betul, ditambah Wi-thian-citciatsek" Hun Thian-hi yang tiada taranya itu. mau tidak mau hatinya menjadi ciut dan gentar ketakutan. Pek-tok Lojin batuk2 dua kali lalu menyeringai tawa, serunya, "Tok-sim-sin-mo selamat jumpa kembali! Aku akan bertindak menurut budi dan dendam. Cara bagaimana tempo hari kau perlakukan diriku, kurasa masih segar dalam ingatanmu bukan, sekarang tibalah saatnya aku membalas, akan kukupas pula kulit muka dan seluruh tubuhmu!" Tok-sim-sin-mo melangkah mundur setindak saking ngeri mendengar ancaman orang. namun dasar licik ia masih main garang, jengeknya. "Jangan kau lupa, Jian-hud-tong berada dicengkeraman kekuasaanku. dalam waktu singkat bakal ada bala bantuanku yang datang, hatihatilah kalian, setelah tiba saatnya bukan aku yang mati tapi adalah kalian yang mampus." Pek-tok Lojin melangkah maju mendesak ke arah Tok-sim-sin-mo, tiba-tiba kedua tangannya didorong ke depan menepuk ke arah lawan. Tok-sim menjengek dingin, kedua tangannya pun diangkat terus menyongsong ke depan merangsak juga ke arah Pek-tok Lojin. Tiba-tiba Tubuh Pek-tok Lojin gentayangan seperti hampir roboh, dengan menggunakan langkah Ling-coa-poiu, tiba-tiba tubuhnya menyusup ke dalam angin pukulan musuh, kedua cakar tangannya langsung mengancam kemuka dan tenggorokan orang.... Pandangan Tok-sim-sin-mo menjadi kabur dan tahu-tahu Pek-tok Lojin sudah mendesak tiba di depan, hidungnya, keruan kejutnya seperti disengat kala, sebat sekali kakinya menjejak badannya lantas mencelat mundur ke belakang, tapi tak urung baju di depan dadanya kena tercengkeram robek oleh cakar Pek-tok Lojin. Bergidik dan gemetar seluruh tubuh Tok-sim-sin-mo, bulu romanya berdiri merinding. Melihat kedua cakar tangan Pek-tok Lojin yang mempunyai kuku yang panjang dan runcing melengkung penuh ditaburi racun2 berbisa, hatinya menjadi dingin dan merinding. Dulu waktu Pek-tok Lojin melarikan diri, ia mengejar dan akhirnya kebentur mundur karena terdesak oleh siular kecil putih yang lihay sekali itu. Sekarang gerak-gerik aneh dan lucu itu sudah dapat dipelajari oleh Pek-tok Lojin, untuk menempur dan mengalahkannya dalam waktu dekat rasanya bukan soal gampang. Pek-tok Lojin melangkah ke depan, sebaliknya Tok-sim-sin-mo mundur terdesak, Pek-tok Lojin mengejek, "Kiranya kau pun tahu rasanya ketakutan sekarang?" Dalam pada itu Coh Jian-jo sudah memburu ke depan saling berpelukan dengan cucunya Coh Siau-ceng dan bertangisan gerung-gerung. Cepat Hun Thian-hi berkata, "Sebentar lagi pasti ada orang datang, mari lekas kita mundur." Baru saja ucapannya selesai, didengarnya derap langkah orang banyak berlari mendatangi, Keruan Thian-hi terperanjat, tahu dia bahwa orang-orang yang tadi kena mereka tutuk jalan darahnya itu sekarang sudah keburu datang bersama kawan2nya yang lain. Mendadak Tok-sim-sin-mo mendongak dan bergelak tawa. Pek-tok Lojin mendengus ejek, "Hidupku sudah kebacut hampa, tiada tujuan tiada keperluan, dan yang perlu kuperjuangkan hanyalah mencabut jiwamu! Anak buahmu datang pun tak berguna, yang terang kau bakal mampus ditanganku." Tok-sim-sin-mo memusatkan perhatian dan mengerahkan tenaga. dengan waspada ia hadapi musuh dihadapannya ini, sedikitpun tak berani lalai. soalnya bila dia mendapat kesempatan lebih dulu melancarkan dua kali serangan sudah pasti ia dapat mengambil inisiatif pertempuran, dari terdesak menjadi dipihak yang mendesak dan menang. Tiba-tiba Pek-tok Lojin bergerak pula dengan langkah gentayangan dan badan berlegat-legot menyerupai gerak-gerik ular, begitu aneh ia bergerak tahu-tahu sudah melancarkan serangannya yang sangat berbahaya. Saking gentarnya Tok-sim-sin-mo mengembangkan kelincahan tubuhnya, sebat sekali ia berloncatan terbang, namun gerak gerik Pek-tok Lojin cukup lincah dan aneh pula, kemanapun Tok-sim-sin-mo melejit menghindar selalu diikuti dengan ketat, bagaimana juga ia tidak mampu lolos dari kejaran dan ancaman elmaut. Seperti layaknya seekor anjing yang kepepet dan dihajar pun akan nekad berani melawan dan menggigit majikannya. Demikianlah keadaan Tok-sim-sin-mo, dalam ruang kamar yang tidak begitu besar ia menjadi kelabakan lari pontang-panting seperti tikus dipermainkan kucing, akhirnya ia nekad dan menghardik keras, berbareng kedua telapak tangannya memukul sekuat tenaga kemuka dan perut Pek-tok Lojin. Mulut Pek-tok terdengar mengeram, tubuhnya berkelebat menghilang tahu-tahu melejit tiba di belakang Tok-sim-sin-mo, dengan cara penyerangan yang aneh, ia menyerang sambil membelakangi badan dan yang diarah adalah panggung Tok-sim-sin-mo pula. Begitu mendadak merasakan angin kencang melandai dari belakang, lagi-lagi Toksim-sin-mo berjingkrak kaget dibuatnya, sebetulnya ia sudah siap melompat mundur bila serangannya tidak membawa hasil, dan sekarang terpaksa dia harus menghindar ke depan, memang keadaan yang tegang dan membahayakan jiwanya ini memaksa dia harus menjatuhkan diri ke depan. Begitu Tok-sim-sin-mo roboh menyentuh tanah, Pek-tok mengira bahwa serangannya telah mengenai sasaran, ternyatalah Tok-sim cukup licik dan cerdik menghindar dengan cara yang tak terduga. Keruan gusarnya bukan kepalang, dengan sengit ia angkat kakinya kanan terus mendepak ke belakang dan telak sekali tubuh Tok-sim kena didepak mencelat terbang, tanpa menghiraukan keadaan tubuh yang luka-luka Tok-sim berusaha mengendalikan tubuh mengerahkan tenaga untuk meluncur turun pula di tanah sehingga tidak terbanting jatuh. Tatkala itu diluar kamar tahanan sudah penuh sesak berjubel anak buah Hek-liongpang, diantara mereka terdapat Bing-tiong-mo-tho, Biau-biau-cu, Lan-bing-it-hiong dan lain-lain yang setingkat dengan mereka serta kaki tangannya, mereka berusaha menerjang masuk ke dalam kamar batu itu, namun tak berani sembarangan bertindak. Sejenak Hun Thian-hi menerawang situasi, dengan tajam ia awasi mereka, ia insaf hari ini takkan terhindar dari pertempuran sengit, menang atau kalah sulit diduga pula sebelumnya. Kebetulan Tok-sim-sin-mo melorot jatuh di sebelah samping kamar, tubuhnya sebelah kiri bagian yang kena didepak terasa kesemutan, seolah-olah seluruh tulang belulangnya sudah pecah dan berantakan, tapi ia masih bersyukur dalam hati, untung ia kena tedepak oleh kakinya Pek-tok Lojin, bila kena terpukul atau kesentuh tangannya, jiwanya pasti takkan dapat hidup lebih lama lagi. Jarak tempat dimana ia berdiri dengan Bing-tiong-mo-tho dan lain-lain kira-kira cuma tiga tombak. tapi dia tidak berani meloncat terbang langsung ke arah mereka. soalnya ia tahu luka-luka dalamnya tidaklah ringan, sedikit bergerak pasti dapat diketahui oleh lawan, apalagi bila Hun Thian-hi melancarkan Wi-thian-cit-ciat-sek menyergap dirinya di tengah jalan, celakalah dirinya. Karena adanya perhitungan ini, sambil menahan sakit ia menyedot napas lalu berseru tertawa, "Kalian berempat hari ini jangan harap dapat lolos dari kamar batu ini!" - lalu ia mengumbar tawa gelak-gelak. Hun Thian-hi mengawasi terus segala gerak-gerik lawan, ia tahu bahwa Tok-simsin-mo pasti terluka, entahlah berat atau ringan luka-lukanya itu, cara untuk dapat menyelamatkan diri cuma berusaha meringkus benggolannya ini dan dijadikan sandera baru mereka dapat melarikan diri. Melihat Thian-hi mengamat-amati dirinya, rada bercekat Tok-sim-sin-mo, nelan2 kakinya bergerak menggelemet keluar, tiba-tiba ia mengulapkan tangan, memberi syarat kepada anak buahnya untuk mengepung dan meluruk ke arah mereka berempat. Thian-hi kaget, sekarang ia yakin bahwa luka-luka Tok-sim-sin-mo pasti cukup parah kalau tidak masa dia nekad memberi perintah pada anak buahnya. Dalam pada itu Bing-tiong-mo-tho dan lain-lain sudah menubruk tiba, kontan Hun Thian-hi merasa bila ia tidak segera mencegat jalan mundur dan berusaha meringkus musuh utama ini, keselamatan mereka bakal terancam bahaya, kecuali secara mengadu untung dapat membekuk Tok-sim-sin-mo sebagai sandera untuk lolos, tiada cara lain lagi. Cepat ia mengerahkan hawa murni dari pusernya, mulut bersuit panjang, berbareng seruling jadenya terlolos keluar terus teracung miring ke depan melancarkan Wi-thian-ciciat-sek, tabir perak terpancar cemerlang. dalam kamar batu itu terus menerjang ke arah Bingtiong-mo-tho dan kawan2nya. Memang tiada jalan lain kecuali tindakannya yang terpaksa ini, harapannya cuma begitu ia lancarkan Wi-thian-cit-ciat-sek, secepat itu pula Pek-tok Lojin dapat menyadari kemana tujuannya, disaat ia membendung serbuan dari luar, dengan kesempatan ini Pek-tok Lojin harus melaksanakan tugasnya membekuk Tok-sim-sin-mo, inilah jalan yang paling sempurna untuk mereka berempat lolos. Bing-tiong-mo-tho dan kawan2nya bukanlah lawan lemah. sebelum Hun Thian-hi melancarkan serangannya, mereka sudah sama-sama melolos senjata, serempak sinar pedang berkelebat gemerlapan, kekuatan bergabung membendung serangan Hun Thian-hi yang hebat itu. Dalam detik-detik yang sangat berharga itu, dalam waktu dekat Pek-tok Lojin tidak bisa menyimpulkan kemana tujuan Hun Thian-hi sebenar-benarnya, sambil menggerung keras ia melejit ke tengah udara terus menerjang ke arah pintu, niatnya membantu Hun Thian-hi namun ditengah jalan lantas ia sadar akan kesalahannya bertindak, cepat ia menekuk tubuh dan mencelat balik. Dilain pihak begitu melihat Hun Thian-hi melancarkan serangannya yang hebat itu lantas Toksim- sin-mo dapat meraba kemana tujuan Thian-hi sebenar-benarnya, dasar cerdik Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo sekilas berpikir saja lantas ia mendapat akal, tidak lari keluar sebaliknya ia menubruk ke arah Coh Jian-jo yang masih berpelukan dengan cucunya. Sudah tentu Pek-tok Lojin menjadi kaget luar biasa, sungguh hatinya menyesal akan tindakannya yang salah langkah, kenapa tidak sejak tadi meringkus Tok-sim-sin mo saja. Ternyata Tok-sim-sin-mo dapat bertindak selangkah lebih cepat, dimana tangannya meraih, Coh Jian-jo beserta cucunya kena diseret mepet dinding, dengan menyeringai ia berkata pada Pektok Lojin, "Berani kau maju selangkah kedua orang ini akan melayang jiwanya!" Yang paling terkejut mendengar ancaman ini adalah Hun Thian-hi, ia mengeluh bahwa usahanya ternyata gagal di tengah jalan, Coh Jian-jo jatuh ke tangan musuh, apakah mereka berdua harus menyerah dan terima diringkus pula" Apalagi saat mana ia tengah menghadapi tekanan kekuatan besar dari sekelilingnya, setiap kali Wi-thian-cit-ciat-sek dikembangkan, cukup dalam pergeseran gerak serulingnya dalam jarak beberapa mili saja menyalurkan seluruh kekuatan Lwekangnya untuk menyerang musuh, tapi sekarang ia menghadapi tekanan gabungan dari para musuhnya yang teramat hebat dan kuat, sehingga tekanan yang hebat ini menyulitkan dirinya sampai Wi-thian-cit-ciat-sek sulit dikembangkan lebih lanjut. Ia tahu dan insaf bahwa percaturannya telah kalah dan gagal, Bing-tiong-mo-tho dan lain-lain pun melancarkan rangsakan yang lebih hebat, mereka berusaha menjebol kekuatan Wi-thian-citciat- sek untuk menerjang masuk ke dalam kamar. Tiba-tiba, berkelebat sebuah pikiran dalam benak Thian-hi. 'Bukankah Tok-simsin-mo masih berada di dalam kamar itu pula, asal orang tidak sampai lolos keluar serta kuat bertahan membendung Bing-tiong-mo-tho dan lain-lain tidak menerjang masuk, keadaan yang kaku dan sama bertahan ini, akan jauh lebih menguntungkan bagi harapan hidup mereka berempat.' Sekilas memperoleh ilhamnya ini, Thian-hi serempak menghardik keras, seruling jadenya menggentak ke atas melancarkan sisa kekuatan Wi-thian-cit-ciat-sek yang belum selesai dilancarkan tadi, beruntung ia dapat mendesak Bing-tiong-mo-tho keluar kamar. mulutnya lantas berterlak, "Kalian dilarang masuk kamar, kalau tidak Pangcu kalian segera kubunuh tahu!" Lawan2nya menjadi keder dan sesaat kebingungan. Di belakang sana Tok-sim-sin-mo mengejek tawa, "Hun Thian-hi, kau harus tahu, Coh Jian-jo dan cucunya berada di tanganku, sembarang waktu aku dapat bikin mampus mereka!" Dengan membelakangi Tok-sim-sin-imo. Thian-hi balas mengancam tanpa berpaling, "Masa kau berani?" suaranya begitu tegas dan penuh rasa kecongkakan, mau tak mau membuat Tok-sim-sinmo bergidik dan merinding. Tok-sim-sin-mo maklum bila Thian-hi melancarkan Wi-thian-cit-ciat-sek menyerang dirinya, pasti jiwanya bakal melayang, tapi dia mengeraskan kepala berseru ke arah Bingtiong-mo-tho dan lain-lain, "Kalian terjang masuk saja, dia takkan berani berbuat banyak!" dalam berkata-kata itu ia sendiri menjadi ragu-ragu, bagaimana akibatnya nanti hal itulah yang ditakutkan. Sementara Bing-tiong-mo-tho dan lain-lain masih beragu, maju atau mundur mereka susah berkepastian. Ucapan Tok-sim-sin-mo seperti menganjurkan mereka menerjang masuk, tapi kedengarannya juga seperti menjajal reaksi Hun Thian-hi. "Silakan kalian coba-coba." demikian tantang Hun Thian-hi. Nadanya begitu tegas dan berwibawa, sehingga keberanian Bing-tiong-mo-tho dan lain-lain untuk maju menjadi sirna. Beruntun Tok-sim-sin-mo menjengek dua kali, ia sudah dapat menerawang situasi, pihaknya berada dalam posisi yang menguntungkan, Hun Thian-hi tidak lebih seperti binatang buas yang terperangkap dalam kurungan, setindak ia salah langkah begitu Hun Thian-hi nekad dan mengadu jiwa untuk gugur bersama. pasti runyam akibatnya. Sebenar-benarnyalah ia hanya menggertak saja, hakikatnya ia tidak suka menyuruh Bing-tiong-mo-tho dan lain-lain menerjang masuk. Menyusul ia menggoyangkan tangan memberi isyarat kepada Bing-tiong-mo-tho supaya tidak usah masuk kemari, matanya berkilat-kilat ia pandangi punggung Hun Thian-hi, sementara Pek-tok Lojin berdiri di samping sana mengawasi dirinya. Tok-sim-sin-mo tahu untuk mencapai kemenangan secara gemilang terang tidak mungkin. Cara yang terbaik adalah bertahan seperti sekarang, disamping itu mencari daya upaya untuk tetap menahan Coh Jian-jo dan cucunya di lain pihak berusaha mengantar Hun Thian-hi dan Pek-tok Lojin keluar. Atau tetap menahan Pek-tok Lojin pula dan hanya melepas Hun Thianhi seorang" Tapi soalnya cara bagaimana ia melaksanakan daya pikirannya ini. Ini tergantung cara bagaimana ia dapat menguasai situasi yang dihadapi sekarang. Sebaliknya Hun Thian-hi seorang yang cerdik pandai, kalau Tok-sim-sin-mo dapat berpikir ke arah itu masa Hun Thian-hi tidak berpikir lebih sempurna, apa yang terpikir oleh lawan paling tidak dapat terpikir pula delapan sembilan bagian dari keseluruhan tujuan Tok-sim-sinmo. Dalam hati ia sedang memperhitungkan, untuk mundur secara sempurna tanpa kurang suatu apa, kecuali ia menunggu sesuatu keajaiban yang bakal muncul secara kenyataan, untuk dapat keluar iapun harus menunggu perkembangan selanjutnya, tindakan apa yang akan dilakukan oleh Tok-sim-sinmo. Adalah Pek-tok Lojin yang paling menyesal, bila tadi ia bisa bertindak secara cermat dan berhasil membekuk Tok-sim-sin-mo, jelas mereka berempat pasti dapat keluar dengan selamat dan tidak kurang suatu apa, sekarang keadaan menjadi sama bertahan dan entah bagaimana perkembangan selanjutnya. Tok-sim-sin-mo terus memutar otak mencari akal, tiba-tiba ia berkata, "Hun Thian-hi, ingatkah kau sekarang berada di Jian-hu-tong, disini adalah tempat kekuasaanku, kalau bertahan lebih lanjut, keadaan akan lebih memburuk bagi kalian!" "Hal itu aku tidak banyak tahu dan tidak perlu tahu, yang terang sekarang kau berada dikekuasaanku. sembarang waktu aku dapat menghabisi jiwamu!" Keruan Tok-sim-sin-mo menjadi berjingkrak gusar, "Kau berani?" seringainya geram. "Kenapa tidak berani!" jengek Hun Thian-hi, "Yang mengganas dan bersimaharaja di dunia persilatan kau yang paling menonjol, kalau bisa melenyapkan manusia semacam kau, terhitung aku telah mendharma baktikan diriku bagi kepentingan masyarakat umumnya, seumpama harus berkorban akupun tidak perlu menyesal." "Mari, boleh kau coba-coba!" demikian tantang Tok-sim-sin-mo. "Aku berani meluruk kemari sudah tentu tidak kuhiraukan keselamatan diriku, tapi bukan itu maksud tujuanku yang sebenar-benarnya!" Selama bicara itu Hun Thian-hi tetap menghadap ke ambang pintu dan tidak memutar balik menghadapi Tok-sim-sin-mo, Tok-sim-sin-mo menjadi mati kutu, ujarnya, "Manusia mana di dunia ini yang tidak takut mati" Bila aku mati, maka kalian berempat juga akan mampus dengan tiada tempat untuk mengubur kalian, orang mati takkan hidup kembali. dendam ayahmu belum lagi terbalas, kau harus berpikir pula sebelum mengambil keputusan terakhir!" Mendengar ucapan yang terakhir terbayang dalam benak Thian-hi akan wajah Siaubin-mo-in, tanpa merasa hatinya menjadi pilu. dilain kejap terbayang pula akan wajah Ma Gwat-sian, Ham Gwat. Mukanya masam terpengaruh oleh perasaan hatinya, sesaat ia menjadi terbungkam. Biji mata Tok-sim-sin-mo berjelalatan, ia sedang meraba-raba jalan pikiran Hun Thian-hi, akhirnya pelan-pelan ia berkata lagi, "Apalagi kau satu-satunya ahli waris Withian-cit-ciat-sek kau pula calon utama dari pimpinan kaum persilatan golongan kependekaran yang akan datang. Cuma Wi-thian-cit-ciat-sek pula yang cukup kuat dan berharga dapat menandingi Huisim-kiam-hoat yang hebat itu." "Apakah benar-benar seperti katamu?" "Benar-benar atau tidak kau sendiri lebih paham dari aku!" Secara langsung Hun Thian-hi merasakan akan kebenar-benaran kata-kata Tok-simsin-mo mengenai dirinya. Bukan mustahil pula Tok-sim-sin-mo sudah merebut serangka Badik buntung dari tangan Coh Jian-jo, sehingga ia berani begitu takabur, kalau tidak tentu dia akan mengukuhi pendapatnya semula dan tidak akan rela melepas dirinya pergi. Dan itu tidak akan menjadi hal yang mustahil pula bila dia sudah mengetahui rahasia Ni-hay-ki-tin itu. Terdengar Tok-sim-sin-smo berkata pula, "Tapi kau pun harus ingat, bahwa kau merupakan musuhku yang paling utama inilah kesempatanku yang paling baik untuk melenyapkan kau dari muka bumi ini. Tapi selama hidup ini aku belum pernah ketemu tandingan yang setimpal, dan kau pulalah justru yang menjadi musuhku yang setanding. Sekarang dengan senang hati dengan kelapangan dadaku kulepas kau keluar, ingin aku mengadu segala kepintaran dan kecerdikan, kutantang kau untuk mengadu kekuatan dalam langkah-langkah selanjutnya, biarlah kenyataan yang menjadi wasit siapa lebih unggul atau asor!" "Kau melepas aku, banyak terima kasih. Tapi kau harus tahu apakah aku sudi melepas kau?" Terdengar Pek-tok Lojin yang berdiam sejak tadi tertawa terloroh-loroh, selama ini hatinya selalu bersitegang leher. Ia kuatir kalau Hun Thian-hi tinggal pergi begitu saja. tanpa hiraukan pula dirinya, sebagai ahli waris Wi-thian-cit-ciait-sek tidak mungkin ia bisa menjadi korban secara konyol di tempat ini, betapapun hatinya akan penasaran sekali sekarang setelah mendengar ucapan Hun Thian-hi, mau tak mau ia memuji dan merasa kagum akan sikap Thian-hi, lain hal bila dirinya lolos dulu lebih penting, soal membalas dendam baiklah diperhitungkan kelak. Saking gusar Tok-sim-sin-mo sampai membanting kaki seraya menggeram, serunya, "Kecuali kau ingin melihat Coh Jian-jo dan cucunya kupukul mampus, Kalau tidak kuperingati kepada kau jangan sembarang bergerak!" Coh Jian-jo tertawa getir dengan penuh kesedihan, serunya, "Hun-siauhiap jangan kau hiraukan aku, aku sudah tua renta tak berguna lagi. tapi berulangkali menyulitkan Hunsiauhiap saja!" "Coh Jian-jo!" bentak Tok-sim-sin-mo, "Jangan lupa pada cucumu perempuan." Bergetar badan Coh Jian-jo, ia melirik melihat ke arah cucunya perempuan, tampak dengan lemah dan penuh ketakutan cucunya sedang angkat kepala memandang ke arah dirinya, cepat Coh Jian-jo tertunduk, katanya dengan suara lirih tak bertenaga, "Aku kuatir justru sekarang kau tidak berani mengganggu usik seujung rambutnya pun!" Tok-sim-sim-mo terkekeh menyeringai mengunjuk gigi2nya yang sudah banyak ompong sekali gentak ia dorong cucu Coh Jian-jo tersungkur jatuh di tanah. Tapi gadis remaja itu tidak mengenal takut malah. dengan mata mendelik dan berapi-api penuh kebencian ia mendeliki Tok-sim-sin-mo. Berubah hebat air muka Coh Jian-jo, tak tertahan lagi air mata mengalir deras, ia berteriak dengan suara gemetar dan tersendat, "Siau-ceng! Siau-ceng!" betapa pedih dan pilu rasa hatinya. Tiba-tiba Hun Thian-hi membalikkan badan. matanya mendelik tajam ke arah Toksim-sin-mo, begitu biji mata Tok-sim-sin-mo bentrok dengan sorot mata tajam Hun Thian-hi, kontan ia merasa bulu tengkuknya merinding, badan gemetar. Sekilas memandang ke arah Coh Siau-ceng Hun Thian-hi lalu berkata dengan suara berat, "Agaknya kau suka memilih untuk gugur bersama dalam kamar ini bersama Kita" Jangan kau beranggapan setelah kubunuh kau lantas kita tak mampu keluar, seumpama memang tidak berhasil, paling tidak anak buah Hek-liong-pang pasti banyak yang menjadi pengiring kita!" Tok-sim-sin-mo menyeringai lebar, sekarang hatinya lebih mantap bahwa Hun Thiansi sudah merasakan punya pertanggungan jawab yang besar, maka ia berkata dingin, "Sangkamu setelah kau bunuh aku kalian masih bisa keluar" Meski Wi-thian-cit-ciat-sek sangat hebat, paling-paling Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo kau baru mempelajari kulitnya belaka, masa kau ingin merebut kemenangan, masih terpaut terlalu jauh!" Tergerak hati Thian-hi, diam-diam ia mengeluh dalam hati, bila Tok-sim-sin-mo diberi angin dan berada di atas angin dalam perang urat syaraf ini, sungguh konyol dan memalukan, pelan-pelan dengan sikap dingin membeku ia mengacungkan seruling jadenya. Tok-sim-sin-mo juga tidak mau unjuk kelemahan, pelan-pelan ia menggeser kaki kirinya mendekat ke arah Coh Siau-ceng, maksudnya bila Hun Thian-hi berani maju selangkah atau banyak bertingkah, Coh Siau-ceng akan segera diinjaknya mampus. Biji mata Hun Thian-hi tidak tenang, sanubarinya sedang bergejolak menghadapi suatu pertempuran lahir dan batin, darah seperti berontak dalam rongga dadanya, diamdiam ia berkeputusan dalam hati, hanya jalan satu-satunya itulah yang harus ditempuh, atau paling sedikit pihak sendiri harus berkorban dua orang, betapapun dalam saat begini dirinya pantang mengunjuk kelemahan. Seruling jade ditangan Thian-hi semakin terangkat tinggi. Semua orang yang hadir sama menahan napas dan tutup mulut, perhatian semua orang terhanyut oleh ketegangan yang melingkup sanubari mereka. Pek-tok Lojin berkilat biji matanya, diam-diam ia menerawang situasi sekeliingnya, kegagalannya tadi merupakan suatu pengalaman pahit yang harus ditebus mahal dengan perkembangan yang berbuntut seperti keadaan sekarang ini, maka sekarang ia harus meningkatkan kewaspadaannya, ia harus menjaga dan bila perlu mengadu jiwa andaikata Bingtiong- mo-tho dan lain-lain menerjang masuk. Coh Jian-jo sudah tak kuasa berdiri lagi, matanya dipejamkan dengan mengalirkan air mata, kaki Tok-sim-sin-mo sudah terangkat tinggi di atas jidat Coh Siau-ceng, Coh Siau-ceng sendiri rebah celentang tak bergerak, kedua biji matanya dengan penuh ketekadan dan keberanian yang menyala-nyala mendelik kepada Tok-sim-sin-mo. Rona wajah Hun Thian-hi memperlihatkan keteguhan hatinya, tiba-tiba mulutnya bersuit melengking panjang, pergelangan tangannya rada ditarik menekan kebawah. Sekonyong-konyong Tok-sim-sin-mo merasakan hatinya seperti tertekan berat dan dilumuri ketakutan yang luar biasa, ia yakin benar-benar seyakin2nya bahwa Hun Thian-hi tidak akan berani melancarkan Wi-thian-cit-ciat-sek, tapi ia tidak kuasa menerima rasa ketakutan yang luar biasa ini, memang gampang saja bila dia mau sedikit tenaga saja cukup menamatkan jiwa Coh Siau-ceng, namun ia tidak berani membayangkan apa akibat dari perkembangan selanjutnya. Seluruh tubuhnya menjadi basah kuyup oleh keringatnya dingin, tiba-tiba ia berseru keras, "Nanti dulu!" Hun Thian-hi menunda gerakan tangannya, telapak tangannya pun sudah basah oleh keringat, dia sendiri juga menyadari akibat apa yang bakal dihadapi, soalnya keadaan sudah kepepet kecuali ia berani bertindak secara drastis pihaknya tidak akan menang. Disebelah sana Tok-sim-sin-mo sudah menarik turun kakinya, baru pertama kali ini ia kena dikalahkan dalam situasi yang tegang ini, ia menjadi patah semangat dan lesu serta uring-uringan, katanya menjengek, "Hari ini terhitung kau yang menang, apa maumu" Coba kau katakan!" "Mari kita adakan pertukaran yang adil, kami tidak akan mempersukar kau, dan kaupun harus melepas kami berempat keluar dari Jian-hud-tong!" "Apakah pertukaran ini kau anggap adil?" "Dengan mempertaruhkan jiwa ragamu, masa kurang setimpal?" "Aku tidak punya jiwa yang sedemikian besar dan berharga!" Thian-hi terdiam, ia tahu bahwa Tok-sim-sin-mo tidak akan mau menyetujui usulnya, ia lantas berpikir, bila tadi waktu berada di atas angin lantas aku bertindak lebih lanjut mungkin hasilnya bakal diluar dugaan. Maka dengan tertawa tawar ia berkata, "Akupun tahu kau tidak setimpal dan tidak berharga bagi aku, tapi masa tidak berharga bagi kau sendiri?" terkilas senyum dikulum mulutnya. "Jangan kau lupa Coh Jian-jo dan cucunya masih berada digenggamanku, bila kau tidak merasa gentar dan memikirkan keselamatan mereka, cobalah sekarang kau bertindak!" "Agaknya kau memang keras kepala dan mengukuhi pendapatmu, tidak menjadi soal untuk mencobanya sekali lagi!" Tok-sim-sin-mo mengawasi Hun Thian-hi dengan cermat, dalam hati ia mereka-reka, apakah kata-kata Hun Thian-hi betul-betul berani dilaksanakan ataukah melulu gertakan sambel belaka" Kalau dirinya mengukuhi dan tak mau mengalah, apakah dia bakal berlaku nekad tanpa memikirkan akibatnya" Dia tenggelam dalam pemikiran dan pertimbangan, soalnya gebrak selanjutnya merupakan langkah yang menentukan bagi mati hidupnya. Sementara Hun Thian-hi sendiri juga sedang menerawang, entah apa yang sedang dipikirkan oleh Tok-sim-sin-mo, akhirnya ia bersuara, "Suheng Ka-yap Cuncia yang bergelar Ah-lam Cuncia sekarang sudah muncul, ilmu silatnya pun sudah pulih kembali, kau tak usah menguatirkan aku tiada seorang yang dapat menguasai Bu-bing Loni, bila Ah-lam Cuncia sudi mengulurkan tangannya, dua orang Bu-bing Loni juga tidak perlu ditakuti lagi!" Bercekat hati Tok-sim-sin-mo, sedapat mungkin ia tekan gejolak hatinya supaya tidak sampai kentara pada roma wajahnya, ia berpikir sekarang tinggal beberapa langkah permainan caturku saja bila terus kujalankan, dunia persilatan bakal geger, soalnya cara bagaimana ia bisa keluar dengan selamat dan tidak kurang suatu apa. Bab 28 Teringat akan langkah-langkah permainannya Tok-sim-sin-mo jadi menyesal, kenapa ia pancing Hun Thian-hi ke tempat Pek-tok Lojin, sekarang segala rencananya semula gagal total malah. Begitulah ia berpikir2, mendadak ia tersentak sadar kenapa aku berpikiran tidak karuan, yang penting bagaimana aku harus menghadapi kenyataan di hadapanku ini" Maka ia angkat kepala meanandang ke arah Hun Thian-hi, Katanya kalem, "Kalau begitu bila kulepas kau, bukankah keselamatan jiwaku malah terancam bahaya?" "Lalu bagaimana menurut kemauanmu?" "Kau seorang tokoh Bulim kelas wahid, demikianlah aku pula, mari jadikan pertukaran antara aku dan kau saja, akan kuantar kau keluar dari Jian-hud-tong!" "Demikian saja?" ejek Hun Thian-hi. "Umpama usulmu ini kuterima, apakah kau tidak beranggapan tindakanmu ini malah lebih menguntungkan bagi aku?" Tok-sim-sin-mo terbungkam. diam-diam ia mengakui akan kecerdikan Hun Thian-hi, sungguh ia merasa kaget dan heran akan diplomasi Hun Thian-hi yang cukup lihay ini, sesaat ia menjadi terbungkam tak kuasa menjawab. Hun Thian-hi menarik muka lalu melanjutkan, "Menguntungkan bagi aku, tapi sangat tidak adil bagi mereka bertiga!" - Lalu ia tuding ke arah Pek-tok Lojin, sambungnya, "Bila kau bikin dia gusar, lalu menyerang pula kepada kau aku yakin kau bakal konyol pada detikdetik yang mendatang!" ia menyeringai dingin dan sinis, katanya pula, "Kalau begitu bukankah kau terlebih rendah menilai dirimu sendiri?" "Agaknya kau tidak sudi gugur bersama, marilah kita cari jalan atau penyelesaian lainnya. Marilah kita bicara terus terang. dan sebelumnya perlu kutandaskan bila mau kulepas paling banyak cukup dua orang saja, yaitu kau dan Pek-tok Coh Jian-jo berdua harus tetap tinggal disini, aku masih memerlukan tenaga mereka." Hun Thian-hi tertawa besar serunya, "Sungguh menggelikan ucapanmu ini, kalau begitu kami menjadi kena dirugikan seorang. tadi bila kami bertiga tidak muncul kemari bagaimana kau selanjutnya?" "Bicaramu jangan begitu muluk2, seumpama kalian tidak kemari, betapapun tidak mungkin kalian bisa keluar dengan selamat dari gua ini, apa lagi bertiga!" "Belum tentu, aku mampu menolongnya keluar sudah tentu aku punya caraku untuk mengantarnya keluar!" Tok-sim-sin-mo terdiam lagi. dalam hati ia sudah berkeputusan untuk bertindak menurut rencananya, kalau tidak ia bakal kehilangan segala miliknya. Andai itu sampai terjadi sungguh merupakan Suatu hal yang luar biasa. Hun Thian-hi tertawa tawar pula, katanya, "Kenyataan aku telah muncul bers;ma. malah terkurung di dalam kamar batu ini, tujuanku kemari demi tolong Coh Jian-jo tapi tidak berhasil. Musuh sasaran yang utama adalah aku, menurut hematku biarlah aku saja yang tinggal disini dan biarkan mereka bertiga keluar, bagaimana?" Dengan gusar Tok-sim-sin-mo terkekeh dua kali, ujarnya, "Bicara terus terang tindakkanmu ini hanya cuma merintangi aku supaya Ni-hay-ki-tin tidak terjatuh ketanganku bukan!" Ia merendek sebentar, ujung mulutnya Menyungging senyum sinis lalu menyapu pandang ganti berganti antara Hun Thian-hi dan Pek-tok Lojin, katanya, "Tudiuanku hari ini adalah untuk menemukan Ni-hay-ki-tin itu, jikalau aku bisa memperoleh Ni-hay-ki-tin apa pula yang perlu kutakuti terhadap kalian. Jikalau sebaliknya akupun sudah insaf sulit untuk dapat bercokol selamanya di Bulim. harapanku terlalu kecil. Maka aku harus menahan Coh Jian-jo berdua disini, kalian berdua boleh silakan pergi." "Enak benar-benar kau putar bacot, ketahuilah seluruh manusia dikolong langit ini tidak akan mandah membiarkan kau melaksanakan angan2mu yang gila itu." "Sekarang aku bisa memberi kelonggaran dengan langkahku yang terakhir. cucu Coh Jian-jo ini boleh kau bawa serta, tapi aku tidak akan mengalah lagi, coba kau pikir2 dulu!" Hun Thian-hi maklum setelah mengalah dan memberi kelonggaran sedemikan banyak, betapapun Tok-sim-sin-mo tidak akan sudi mundur lagi, lalu bagaimana ia harus bertindak selanjutnya" "Hun-siauhiap!" seru Coh Jian-jo biji matanya berkilat-kilat, "Sudah kau setujui saja, aku tidak akan membocorkan rahasia Ni-hay-ki-tin itu kepadanya!" Hun Thian-hi menunduk, hatinya merasa hambar, ia tahu bahwa penyelesaian inilah yang paling sempurna bagi mereka berdua, iapun yakin bahwa Coh Jjan-jo tidak bakal membocorkan' Ni-hay-ki-tin kepada Tok-sim-sin-mo, tapi bila ia harus tinggal pergi begini saja, betapapun hatinya tidak tenteram. Waktu ia menunduk sorot mata Coh Siau-ceng justru bentrok dengan pandangannya, sinar matanya penuh mengandung permohonan, meski ia tidak bicara, tapi rasanya ia memohon supaya Hun Thian-hi cepat bertindak. Hun Thian-hi masih beragu sesaat lamanya, akhirnya ia angkat kepala ke arah Toksim-sin-mo. "Bagaimana?" tanya Tok-sim-sin-mo dengan pandangan dingin. "Apa boleh buat akhirnya Hun Thian-hi manggut-manggut, baru saja ia manggut lantas ia merasakan suasana yang ganjil, dilihatnya sorot mata Tok-sim-sin-mo begitu terpengaruh oleh perasaan hatinya, apakah dia mempunyai muslihat keji" Atau mungkin dia punya pegangan untuk mengompes Coh Jian-jo supaya membocorkan rahasia Ni-hay-ki-tin itu" Dengan nanar ia pandang Tok-sim-sin-mo. Tampak biji mata Tok-sim-sin-mo mengunjuk sinar aneh dan kejut. secara tiba-tiba pula Hun Thian-hi merasa ada seseorang telah berada diambang pintu kamar. sigap sekali ia membalikkan tubuh. Muncul sebuah bentuk manusia yang sangat dikenalnya. hatinya berdetak keras. orang ini muncul disini secara mendadak. keruan hatinya sangat kaget. Jang lebih terkejut justru Tok-sim-sin-mo. ia berdiri melongo dan mematung tanpa bergerak. otaknya sedang diperas untuk mencari daya untuk menghadapi situasi yang berkembang lebih lanjut ini. Waktu Hun Thian-hi membalik tubuh menengok ke belakang tanpa merasa iapun ikut terkejut. yang datang ini ternyata bukan lain adalah Mo-bin Suseng, atau mungkin pula Hwesio jenaka, karena bentuk dan wajahnya mirip benar-benar dengan Ngo-sing alias Siau-bin-moin yang telah meninggal belum lama berselang. Tok-sim-sin-mo tidak tahu siapakah orang yang baru datang ini, cuma sudah jelas bahwa orang adalah musuh dan bukan kawan, otaknya bekerja cepat, diam-diam ia mencari akal Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo untuk menghadapi perkembangan yang tak terduga ini. Mendadak Ham Gwat dan Su Giok-lan juga ikut muncul. Sebenar-benarnya hati Hun Thian-hi teramat kejut dan heran sekali, ia tahu bahwa Mo-bin Suseng berada di sekitar Jian-hud-tong, selama ini belum pernah muncul lagi, maka sembilan puluh persen dapatlah diyakinkan bahwa manusia cebol tambun ini adalah Mo-bin Suseng adanya. Tapi setelah melihat Han Gwat dan Su Giok-lan ikut muncul, baru ia sadar bahwa orang ini tentu Hwesio jenaka adanya, keruan hatinya sangat senang dan mantep. Kalau pikiran dan hati Hun Thian-hi menjadi tenang dan mantap sebaliknya Toksim-sin-mo semakin gentar ketakutan, Su Giok-lan dan Ham Gwat sama adalah murid Bu-bing Loni, entah apakah maksudnya mereka muncul di tempat dan diwaktu yang genting ini, dirinya terluka cukup parah, musuh berada di sekelilingnya lagi, dengan ditambah mereka berdua keadaan dirinya semakin terjepit dan lebih berbahaya. Sekilas melihat situasi dalam kamar lantas Ham Gwat dapat merasakan keadaan yang menyulitkan. Tapi dengan kedatangan bala bantuan mereka berdua posisi Hun Thianhi sekarang menjadi lebih menguntungkan, cuma Tok-sim-sin-mo terang semakin kukuh menggunakan Coh Jian-jo dan cucunya sebagai sandera untuk mengancam mereka. Su Giok-lan bergerak hendak bertindak, cepat Ham Gwat menarik tangannya, diamdiam Hwesio jenakapun sudah hampir bertindak, tapi melihat isyarat Ham Gwat lantas ia maklum kemana juntrungannya, ia batalkan niatnya. Dengan sikap dan raut wajahnya yang memang dingin Ham Gwat maju selangkah, ia berdiri tegak dan tak bicara, sedikit banyak ia sudah paham akan situasi dalam gelanggang, namun dalam sesingkat ini ia belum berani mengambil keputusan, apalagi bagaimana duduk perkara sebenarbenarnya ia belum jelas, maka lebih baik bersikap diam untuk menumpas segala pergerakan, biarlah salah satu pihak diantara kedua belah pihak ini bicara baru dirinya ikut menimbrung dan bersiap cara bagaimana ikut terjun dalam persengketaan ini. Tok-sim-sin-mo sendiripun seorang yang cerdik pandai, sedikit menerawang lantas ia tahu diantara tiga orang pendatang baru ini, adalah Ham Gwat yang menjadi pentolannya, otaknya terus bekerja mencari akal untuk memecahkan situasi yang Semakin menjepit dirinya. Tapi sebetulnya apa yang hendak dilakukan oleh Su Giok-lan" Dimana pendirian dan kemana tujuan mereka" Inilah pertanyaan yang ingin diketahui. Setelah meneliti sebentar, lantas ia buka bicara kepada Ham Gwat, "Apakah kalian kemari untuk menolong Hun Thian-hi?" - dengan cermat ia awasi air muka Ham Gwat. dengan pancingannya ini ia ingin mengetahui dimana pendirian Ham Gwat, bila Ham Gwat benar-benar hendak menolong Hun Thian-hi, maka kedudukannya jelas berlawanan dengan dirinya, maka dengan adanya Coh Jian-jo berdua sebagai sandera ia harus cepat-cepat berlindung keluar. Bila mereka punya tujuan lain, maka perlulah ia berpikir lebih lanjut bagaimana ia harus menghadapi mereka pula. Memang muka Ham Gwat selalu kaku dingin tanpa expresi, laksana kilat otaknya berputar menerawang, pertanyaan Tok-sim-sin-mo adalah pancingan untuk mengetahui tujuan kedatangan mereka bertiga, otaknya dengan cermat memikirkan berbagai jawaban dan berbagai akibatnya pula, bila dia menjawab begini, bagaimana pula akibatnya" Semua berkelebat cepat sekali dalam benaknya, ia harus mencari suatu jawaban yang cukup diplomatis supaya Tok-sim-sin-mo tidak tahu bahwa kedatangannya tidak punya maksud tertentu. Terpikir olehnya segala peristiwa dan kejadian sejak Su Giok-lan meninggalkan Jian-hud-tong ini, maka pelan-pelan ia lantas berkata, "Kudengar katanya serangka Badik buntung terjatuh di tangan Ling-lam-kiam-ciang, kuluruk kemari untuk memintanya kembali!" Tok-sim-sin-mo menggeram dalam mulut, otaknya pun bekerja keras mempertimbangkan kebenar-benaran jawaban Ham Gwat ini, benar-benarkah Ham Gwat kemari karena serangka Badik buntung" Masa tujuannya pun hendak mendapatkan Ni-hay-ki-tin itu" Segera ia dapat meneguhkan jawabannya yang terakhir ini, maka dengan menyeringai ia bertanya, "Apakah gurumu yang suruh kau kemari?" Sejak tadi Ham Gwat sudah meraba. Mungkin sejak Su Giok-lan meninggalkan Jianhud-tong, Tok-sim-sin-mo pun kebetulan sampai kembali di Jian-hu-tong, dan menemukan Badik buntung berada ditangan Coh Jian-jo. Maka dengan situasi yang dihadapi sekarang, jelas sekali yang paling diberati oleh Tok-sim-sin-mo melulu adalah Coh Jian-jo seorang yang harus tetap tinggal. soalnya cuma dia seorang yang mengetahui rahasia dalam Badik buntung itu, jikalau bisa mendapatkan Nihay- ki-tin, tak perlu lagi ia takut menentang seluruh kaum persilatan di dunia ini. Agaknya rekaannya sebagian besar tepat, segera ia memikirkan tindakan lebih lanjut, cara bagaimana kedatangan mereka bertiga bisa membawa manfaat yang paling mengesankan. Ham Gwat menyambung pula dengan suara kalem, "Banyak bertanya tiada manfaat bagi kau. Guruku tidak datang tapi kau harus tahu, sekarang aku minta orang dan minta serangka pedang itu dari tanganmu, apa yang akan kau lakukan dan bagaimana akibatnya, kukira kau sudah maklum!" Memang keadaan semakin runyam dan menyulitkan bagi Tok-sim-sin-mo. Tujuan Ham Gwat bukan menolong Hun Thian-hi, tapi justru demi Coh Jian-jo pula, ia insaf sangat fatal akibatnya bila main keras dengan Ham Gwat, tapi bagaimana juga ia tidak rela menyerahkan Coh Jian-jo apalagi serangka Badik buntung itu, lalu bagaimana baiknya" Otaknya harus diperas dan bekerja keras untuk memecahkan situasi yang serba kontras bagi dirinya ini. Untuk mengulur waktu segera ia meng-ada2 bertanya kepada Ham Gwat, tapi tangannya menuding Hwesio jenaka, "Entah siapakah" Hwesio jenaka meringis lebar, serunya, "Jangan kau bertanya siapa aku, aku toh tidak utang apa-apa pada kau, lebih penting kau lekas jawab pertanyaan penting tadi, apa yang hendak kau lakukan hayo lekas jawab!" Tiba-tiba tergerak hati Tok-sim-sin-mo, mereka bertiga tidak sejalan dengan Hun Thian-hi, tapi tujuan mereka sehaluan sama hendak menolong Coh Jian-jo, kenapa tidak kuadu domba mereka dulu, setelah mereka berhantam sampai keletihan, keadaan selanjutnya bukankah jauh sangat menguntungkan bagi diriku" Segera ia angkat bicara, "Soalnya aku sudah terluka parah, terjepit pula oleh Hun Thian-hi, aku tak kuasa ambil keputusanku sendiri, kalau kau ingin jawaban silakan kau tanya dia, bila ia setuju, aku pun tak perlu banyak bacot lagi!" Terpikir olehnya bahwa Bu-bing Loni merupakan musuh kebujutan Hun Thian-hi, betapapun tak mungkin menyerahkan Coh Jian-jo kepada Ham Gwat soalnya permainanku semula sudah salah langkah sehingga seluruh percaturan ini kalang kabut, seolah-olah aku terjerambab masuk ke dalam jebakan yang kugali sendiri. Dalam pada itu Hun Thian-hi tersenyum tawar, katanya, "Terima kasih akan kebaikanmu untuk menyerahkan Coh Jian-jo kepadaku, tapi entahlah kau memang bertujuan baik ataukah cuma tipu daya belaka!" "Jangan kau kira dengan kata-katamu ini kau hendak membakar kemarahan orang, orang lain tidak berpikiran begitu goblok seperti otakmu yang tumpul itu!" Ham Gwat segera menimbrung, serunya, "Persetan dengan pertikaian kalian, yang terang Coh Jian-jo dan serangka Badik buntung harus segera diserahkan kepadaku!" "Tapi harini aku tak kuasa lagi!" demikian ujar Tok-sim-sin-mo, lalu ia berdiri minggir kesamping serta melepas tangan Coh Jian-jo, dalam hati diam-diam ia bersorak, ingin ia saksikan Hun Thian-hi dan Ham Gwat dua generasi muda yang sama-sama tokoh kelas wahid, yang satu ahli waris Hui-sim-kiam-hoat yang hebat, dan yang lain adalah ahli waris Withian-cit-ciat-sek, biarlah mereka sama bertanding mengadu kepandaian, ingin aku menyaksikan siapakah sebenarbenarnya lebih unggul dan asor. Setelah ia lepas tangan dan menjauhkan diri ia ulapkan tangan menyuruh Bingtiong-mo-tho memecah diri kedua samping. Ham Gwat lantas melangkah masuk ke dalam kamar sekarang dia berhadapan dengan Hun Thian-hi, pandangan mereka sama berkilat memancarkan sorot aneh yang menakjupkan. Pandangan Hun Thian-hi langsung mengawasi Ham Gwat, dilihatnya orang begitu agung, sederhana dan cukup berwibawa, selamanya belum pernah ia mengawasi orang secara langsung begitu jelas dan cermat, laksana sebuah patung dewi yang membuat ia bertekuk lutut dan memujanya. Mereka berdiri mematung sekian lamanya tak bergerak dan sama bersikap aneh, masingmasing melayangkan pikirannya kembali ke alam yang sudah silam. Lambat laun Tok-simsin-mo melihat keganjilan sikap mereka, timbul kecuriagannya, namun cuma sekilas saja karena ia menyangka kedua belah pihak tak berani memandang enteng musuh. keadaan mana sering dilihat sebelum pertempuran sengit antara dua tokoh tingkat tinggi berlangsung. Sungguh diluar tahunya bahwa diantara mereka sebenar-benarnya sudah terjalin tali asmara yang semakin mendalam dan terikat semakin kencang. Sesaat lamanya baru terdengar Ham Gwat membuka suara dingin, "Sekarang Coh Jianjo berada di tanganmu, apa kau mau kata?" Perasaan Hun Thian-hi menjadi hambar, dia tidak tahu apa yang terpikir oleh Ham Gwat, sebab ia tahu keadaan Tok-sim-sin-mo cukup kepepet dan hanya dapat bergerak dalam lingkungan yang terbatas, kalau tidak mungkin sejak tadi ia sudah keluar melarikan diri. Melihat keraguan sikap Hun Thian-hi, Ham Gwat menjengek dingin, katanya, "Apa pula yang perlu kau katakan?" Thian-hi tahu Ham Gwat terlalu jauh dan panjang menilai persoalan disini, tapi ia segan menghalangi maksud dan segala sesuatu yang telah dipikirkan oleh Ham Gwat, maka dengan tertawa tawar ia berkata, "Ni-hay-ki-tin merupakan incaran setiap insan manusia, umpama Bu-bing Loni sendiri datang pun aku tidak takut, masa aku gentar menghadapi kau!" "Aku belum pernah belajar kenal Wi-thian-cit-ciat-sek marilah kita buktikan apakah Hui-simkian- hwat lebih unggul atau wi-thian-cit-ciat-sek lebih hebat!" Hati Tok-sim-sin-mo menjadi mendelu dan keheranan, nada tanya jawab kedua orang agaknya ngelantur semakin jauh dari persoalan, tanya jawab mereka kedengarannya memang saling mengancam, tapi jelas sekali menyimpang dari adat dan kebiasaan sepak terjang mereka pada umumnya. Terutama watak Thian-hi berbeda dengan biasanya, jika menurut rekaannya, Hun Thian-hi pasti tidak akan mengalah dan memberi angin pada lawannya, malah bukan mustahil minta kembali sekalian Badik buntung dari Ham Gwat. Tapi apa yang disaksikan sekarang jauh menyimpang dari dugaannya yang sebenar-benarnya. Sekilas Thian-hi melirik ke sekitarnya, dilihatnya sorot mata Tok-sim-sin-mo yang tajam, sedang mengawasi mereka, ia tahu bahwa pandangan orang hendak menembus isi hati atau sikapnya, tapi perkembangan selanjutnya membuat hatinya semakin tabah, memang ia ingin benar-benar Tok-sim-sin-mo mengumbar adatnya bila perlu memancing kemarahannya malah. Ham Gwat sendiri juga merasa was-was, bila sandiwara mereka berdua kali ini sampai konangan oleh Tok-sian-sin-mo pasiti akan terjadi pertempuran sengit secara Pendekar Super Sakti 1 Wiro Sableng 002 Maut Bernyanyi Di Pajajaran Pahlawan Dan Kaisar 19

Cari Blog Ini