Ching Ching 2
Ching Ching Karya ??? Bagian 2 itu," kata Ching-ching. "Tidak bisa," sahut Yuk Lau. "Biar bagaimana, orang yang kesulitan mesti ditolong. Tapi, kalau tahu jadinya begini ...." Pintu diketuk orang. "Tabib Yuk, Tabib Yuk," panggil orang di luar itu. "A-lau, coba kalu lihat siapa di luar," kata Tabib Yuk kepada cucunya. "Ching-ching, kau ambillah sewaskom air. Sebentar lagi A-fuk akan demam. Kita Ching Ching 34 akan kompres dengan air itu." Ching-ching pergi mengambil air, sementara Yuk Lau membuka piontu. Di depan pintu berdiri Chow Fa, ayah A-fuk. "Chow Siok-siok (Paman Chow)," panggil Yuk Lau. "Yuk Lau, adakah kau melihat A-fuk" Sejak pagi ia tidak pulang. Ibunya khawatir sekali. Yuk Lau tak bisa menjawab. Ia takut Chow Fa menyalahkannya, kalau tahu A-fuk terbaring tak sadarkan diri di rumah kakeknya. Karena itu ia diam saja dan bengong menata Chow Fa. "A-lau, siapakah tamunya?" tanya Tabib Yuk dari dalam kamar. Ia keluar dan melihat. "A-fa, rupanya kau. Ada apakah?" "Cuma hendak menanyakan apakah A-fuk main bersama Yuk Lau. Ia belum pulang ke rumah sejak tadi." "Oh, A-fuk ada di sini. Itu di kamar." Yuk Lau panas-dingin. Chow Fa dikenal sebagai orang paling pemarah di kampung mereka. Kalau marah-marah di sini, bisa-bisa .... "A-fuk ada di kamar" Sedang apa?" Tanpa menunggu dipersilakan lagi, Chow Fa menerobos ke dalam. Ching-ching yang sedang mengompres A-fuk terkejut melihat lelaki besar itu. Karena kaget, tak sengaja tangannya menyenggol baskom tempat air, sehingga tubuhnya tersiram basah kuyup. "Apa yang kaulakukan pada anakku!" bentak Chow Fa. "Lihat apa yang kaulakukan!" kata Ching-ching balas menghardik. "Apa yang kulakukan?" Saking kagetnya melihat anak kecil yang berani membentak dirinya, Chow Fa malah jadi bingung sendiri. "Siapa suruh kau masuk gedubrakan,b ikin orang kaget tanpa alasan yang jelas. Memangnya kalau kau masuk pelan-pelan, apa salahnya" Lihat, lantai kamar kini basah. Aku harus mengepelnya. Dan ini ... bajuku kuyup juga. Dasar manusia tak berguna, menambah-nambah kerjaan orang saja." Ching-ching mencak-mencak di depan Chow Fa yang berdiri bengong dengan tampang dungu. Di belakang mereka, Yuk Lau tersenyum-senyum menahan tawa. Nah, kena batunya sekarang, Chow Siok-siok, pikir anak itu. Ching-ching memungut waskom kayu yang terguling. "Minggir!" katanya pada Chow Fa yang menghalangi. Gadis kecil itu keluar untuk mengambil air sekali lagi. Yuk Lau mengikutinya dari belakang. "Ching-ching, kau ... luar biasa!" "Memangnya kenapa?" "Kau tahu orang yang kaubentak-bentak barusan?" Ching-ching menggeleng. "Dia itu ayah A-Fuk." "Masa bodoh ayahnya, kakeknya, atau siapa pun. Aku tidak terima dibentak tanpa alasan yang jelas," kata Ching-ching ketus. Dia masih kesal. "Tapi, dia itu orang yang paling galak di kampung ini. Barangkali sekali-kalinya seumur hidup ia dimaki-maki anak kecil. Kau lihat tidak tampangnya tadi" Hihihi, kalau A-fuk tahu ayahnya bisa bertampang seperti itu ...." Ching-ching ingat bagaimana tampang Chow Fa tadi. Memang lucu sekali. Sudut bibir Ching-ching tertarik ke atas. Detik berikutnya, ia dan Yuk Lau sudah tertawa sampai bergulingan di tanah. Yuk Lau menghapus hair mat ayang keluar waktu tertawa tadi. "Sudah, sudah. Aku tak kuat lagi," katanya. "Ayo, Ching-ching. Kau kan mau ambil air buat mengompres A-fuk." Yuk Lau mengambil waskom dari atas tanah, tapi Ching-ching Ching Ching 35 masih diam saja. "Ayo, apa perlu kugendong kau?" Ching-ching tidak menjawab. Matanya menerawang. Yuk Lau duduk lagi di sampingnya. "Ada apa?" "Lau Ko-ko, bagaimana kalau A-fuk mati?" Yuk Lau jadi ikut termenung. "Tidak!" katanya sambil melompat berdiri. "A-fuk tidak akan mati. Dia tidak boleh mati!" "Tapi ...." "Kong-kong pasti dapat menyembuhkannya. Pasti! Ching-ching, sebelum kau kemari, dialah temanku yang paling baik." "Apakah ketika aku datang, ia bukan lagi teman yang baik?" "Bukan begitu. Tapi, setelah kau kemari, aku jadi malas bermain dengan teman-temanku." "Kalau begitu, lebih baik aku pergi saja." "Jangan! Kau tidak usah pergi. Lebih bagus, kuajak kau ikut main bersama semua temanku. Kau sudah kenal beberapa kan?" "Ya. Tapi aku ingin kenal semuanya." "Nanti kukenalkan. AH, kalau kita main terus, aku tak akan sempat lagi mencicipi masakanmu." "Tentu saja aku akan tetap masak, sekalipun kita ermain." "A-fuk juga bilang ingin merasakan masakanmu." "Nanti, kalau dia sudah sembuh, aku akan buatkan semua makanan yang ia sukai." "Aku juga akan main layangan lagi dengannya." Ching-ching menatap Yuk Lau. "Dia penasaran ingin mengalahkanmu. Apakah kau nanti akan mengalah padanya?" Yuk Lau balas memandang gadis cilik di hadapannya. "Tidak!" katanya tegas. "Aku tidak suka berpura-pura. Kalau memang harus kalah, aku terima. Tapi, kalau mestinya kalah, diberi menang pun aku tak suka." "Sudah kuduga," kata Ching-cing. "Ayolah, kita mengambil air sekarang." "Baik. Biar aku yang menimba." "Ayo." Di dalam kamar, Tabib Yuk sedang menjelaskan kepada Chow Fa, apa yang telah terjadi pada anaknya. "Jadi, ia akan mati, Tabib Yuk?" "Tidak, kalau cepat ditolong," sahut Tabib Yuk. "Kalau begitu, cepat tolonglah dia." "Sebelumnya aku harus mencari bahan-bahan obat dulu." "Kapan?" "Secepatnya." "Aku bantu." "Tidak, kau ditunggu anak dan istrimu di rumah." "Lalu, bagaimana A-fuk?" "Jangan khawatir. Aku akan merawatnya." Chow Fa tampak kurang percaya, tapi kemudian ia berkata, "Baiklah, Tabib Yuk. Tolong kaujaga anakku baik-baik." Tabib Yuk mengangguk-angguk dan mengantar tamunya keluar. "Yuk Lau, Ching-ching!" panggilnya. "Ada apa, Kong-kong?" sahut kedua anak itu dari belakang rumah, seraya menghampiri kakek mereka. Yuk Lau meletakkan baskom yang dibawanya di dalam kamar, lalu keluar lagi. "Yuk Lau, Ching-ching, malam ini Kong-kong akan mencari obat. Kalian jaga rumah Ching Ching 36 baik-baik. Yuk Lau, sebaiknya kau pulang dulu. Katakan pada orang tuamu, kau menginap di rumah Kong-kong beberapa hari." "Kong-kong, aku ikut," rengek Ching-chign. "Aku belum pernah ikut mencari obat." "Ching-ching, kau di rumah saja. A-fuk dan orang yang kalian bawa kemari perlu perawatan. Lagipula, kau belum masak untuk makan kita, bukan?" Ching-ching merengut, tapi ia mengangguk juga. "Kong-kong tidak pergi lama-lama kan?" "Nanti malam Kong-kong akan sudah tiba di rumah. Setelah itu kita akan bekerja keras. Kalian tidak keberatan?" Ching-ching dan Yuk Lau menggeleng. "Asal A-fuk bisa sembuh, kami akan lakukan apa saja," kata mereka. Ching-ching dan Yuk Lau menunggu smpai jauh malam. Mereka bolak-balik mengompres A-fuk dan orang yang mereka temukan. Darah orang itu tidak mengucur lagi sejak diberi obat oleh Tabib Yuk, tapi mukanya masih setengah hitam setengah putih. Ching-ching ngeri melihatnya. Ia memilih mengurusi A-fuk saja. "Baiklah," kata Yuk Lau, ketika Ching-ching mengatakan hal itu. "Tapi hati-hati, jangan sampai tersentuh tangannya yang hitam itu." Malam telah larut. Rumah terasa sunyi. Yuk Lau menemani Ching-ching menjagai Afuk yang belum sadar. Waktu seolah bergulir lebih lambat dari biasanya. "Lau Ko-ko," Ching-ching memecah kesunyian, "aku takut kalau A-fuk - " "Ssst!" potong Yuk Lau. "Jangan bicarakan hal itu. Yang lain saja." "Apa?" "Bicarakan A-thiamu saja." "Aku kan sudah ceritakan semuanya. Ah, aku tak tahu ke mana harus mencarinya. Sekarang malah tersangkut di sini." "Sudah. Barangkali ayahmu itu sudah pergi jauh. Buat apa dicari lagi" Lebih baik kau tinggal saja di sini." "Mana bisa" Aku sudah janji pada Ibu untuk menjaga A-thiaku itu." "Memang A-thiamu sakit?" "Tidak." "Lalu buat apa dijagai" Kan sudah besar?" Ching-ching mengangkat bahu. "Padahal, mestinya ayahmu yang mengurusi kau." "Ssst, ada orang di luar," desis Ching-ching. Yuk Lau menajamkan pendengarannya. "Aku tidak dengar apa-apa," bisiknya. "Itu Kong-kong!" seru Ching-ching. Ia segera berlari membukakan pintu untuk Tabib Yuk. "Kong-kong, bagaimana?" "Semua bahan sudah ada," kata Tabib Yuk. Ching-ching berlari ke dapur mengambilkan teh hangat. Yuk Lau membantu kakeknya membawa keranjang yang penuh dedaunan obat ke dalam rumah. Setelah meminum tehnya, Tabib Yuk menatap dua anak yang memandangnya penuh tanya. "Yuk Lau, Ching-ching, sekarang kalian harus bekerja berat. Apakah kalian siap?" kata Tabib Yuk. Yuk Lau dan Ching-ching mengangguk serempak. "Baik. Kalian ambillah lesung batu, berikut alu kayu yang terseimpan di kolong tempat tidurku. Kedua benda itu penuh debu. Kalian bersihkan dulu!" Kedua anak yang disuruh melakukan perintah kong-kongnya bersama-sama, sementara Tabib Yuk sendiri memisah-misahkan jenis obat yang dibawanya. "Kong-kong, sudah. Apa lagi?" "Kalian bawa dulu keduanya ke halaman. Lalu kembali ke sini." Alu batu yang berat itu mereka gotong keluar. Baru mereka diberi tahu apa yang Ching Ching 37 harus dilakukan. "Yuk Lau, Ching-ching, kalian harus bekerja bersama di luar rumah. Gunakan mantel kalian untuk menahan angin malam. Kong-kong akan merebus obat yang harus ditunggui benar-benar. Kalian tidak boleh mengganggu. Karenanya, dengar dan ingat baik-baik perintahku. "Lihat daun berwarna kebiruan ini" Kalian tumbuk sampai halus. Setiap kali warnanya berubah merah, beri sedikit air. Ingat, sedikit saja! Dan tumbuk sampai betul-betul halus. Jangan sekaligus. Sekali memasukkan, cukup lima lembar saja. Dan kalau nanti embun pagi uturn, campurkan dengan bunga kuning ini. Sementara itu, seorang dari kalian harus mengumpulkan embun pagi satu cawan penuh. Setelah itu, campurkan pada obat yang ditumbuk. Pindahkan ke dalam sebuah mangkuk. Baru kalian panggil aku. Mengerti?" "Kong-kong, embun pagi itu yang sudah menempel di rumput atau yang langsung dari udara?" tanya Yuk Lau yang sudah banyak tahu ilmu pengobatan. "Sebenarnya, embun yang belum sampai ke tanah jauh lebih baik, tetapi untuk mendapat satu cawan penuh sulit sekali. Sudahlah, embun dari rerumputan boleh juga, asal jangan sampai tersentuh oleh tangan kalian." Ching-ching dan Yuk Lau melakukan apa yang diperintahkan kepada mereka. Sementara Yuk Lau menumbuk, Ching-ching siap dengan poci airnya. Sebagai penahan dingin, mereka meminjam mantel Tabib Yuk. Mantel itu terlalu besar bagi mereka, sehingga ketika angin bertiup agak kencang, mantel itu berkibar. Tapi, kedua anak tersebut tidak peduli. Mereka terus saja bekerja dan bekerja. "Aduh, tanganku pegal," keluh Yuk Lau setelah beberapa lama menumbuk dengan alu kayu yang besar. "Kalau begitu, gantian denganku," kata Ching-ching. Ia merebut alu itu dan menyerahkan poci airnya kepad Yuk Lau. Tapi, baru beberapa saat saja, Ching-ching hampir kepayahan. Untung, A-thia dan ibunya di Gunung Leng-yi pernah mengajarkan ilmu silat. Ching-ching mengerahkan tenaga dalamnya. Dengan begitu, ia dapat bertahan lebih lama. Yuk Lau, yang sama sekali tak mengerti ilmu silat, keheranan. Apalagi, tumbukan Ching-chig yang semula kendor, bukannya melemah, makin lama malah makin mantap. Kuat betul anak ini, pikirnya. Padahal perempuan. Aku yang laki-laki saja kalah. "Ching-ching, lenganku sudah tidak pegal lagi. Ayo gantian!" Mereka bertukar tempat. Begitu terus sampai pagi menjelang. Kabut tipis mulai menyelimuti mereka. "Ching-ching, embunnya mulai turun. Sama ambil cawan. Kumpulkan embun-embun itu," kata Yuk Lau. Ching-ching menurut. Sebetulnya, ia ingin menawarkan diri menumbuk dan Yuk Lau yang mengumpulkan embun. Tapi pikirnya, Nanti kan gantian. Ia menghampiri pepohonan di halaman rumah. Ya, embun mulai turun di sana. Mulai dari bintik-bintik kecil, berkumpul menjadi butiran-butiran air. Ia memetik sehelai daun untuk menggantikan ujung jari, mendorong masuk embun dari permukaan daun ke dalam cawan. Butiran embun yang didorongnya itu menggelinding, dan kemudian masuk ke cawan itu. Lucu kelihatanya. Ching-ching semakin asyik dengan pekerjaannya. Ia lupa pada Yuk Lau yang bekerja berat sendirian. "Ching-ching, tolong gantikan. Aku capek!" Seru Yuk Lau. Ching-ching menggantikan. Satu cawan sudah penuh dengan embun. Embun itu mereka campurkan ke dalam tumbukan obat, kemudian mereka pindahkan ke dalam sebuah mangkuk. Matahari sudah terbit. Yuk Lau maupun Ching-ching sudah lelah sekali, tapi mereka masuk ke dalam rumah dengan gembira untuk mencari kong-kongnya. Ching Ching 38 "Kong-kong, sudah selesai!" teriak mereka sambil berlari ke dapur. Tabib Yuk mencampurkan bahan-bahan obat itu. Ching-ching dan Yuk Lau memperhatikan, tapi karena lelahnya, mereka malah tertidur. Terpaksa Tabib Yuk bekerja sendiri. Hari sudah berlalu. Orang yang mereka tolong sudah sadar. Racun di tubuhnya sudah lenyap. Ching-ching yang lincah sebentar saja sudah akrab dengan Yang Chia Sen. Ia juga menanyakan bagaimana Yang Chia Sen bisa terkena Pemunah Jiwa. Ketika Chia Sen bercerita, Yuk Lau dan kakeknya ikut mendengarkan. "Waktu itu," Chia Sen mulai bercerita, "aku baru turun gunung. Guruku menyuruh menyusul Su-heng yang sedang menjalankan tugas. Hampir satu bulan aku mencari, tak juga kutemui su-hengku itu. Suatu hari ada kabar bahwa Su-heng sudah kembali ke perguruan. Aku segera pulang. Di perjalanan, ketika melewati sebuah desa, kudengar suara orang bertempur. Ketika kudekati suara itu, kutemukan banyak mayat bergelimpangan, dan orang-orang yang berteriak ketakutan. Ternyata seorang laki-laki tengah mengamuk membabi-buta, membunuhi semua makhluk hidup yang ada di dekatnya." Sampai di sini ia berhenti. Ching-ching penasaran dan berkata, "Lalu bagaimana?" "Aku tidak terima kalau rakyat tidak berdosa dibunuh semena-mena. Kuhalangi orang yang mengamuk itu. Namun, dalam dua gebrakan saja, aku kenal dipukul. Sudah itu, aku tidak ingat apa-apa sampai ada orang membawaku ke sebuah sungai dan mengguyur kepalaku." "Siapa orang itu?" tanya Ching-ching. "Ching-ching!" tegur Tabib Yuk. Chia Sen tersenyum dan meneruskan ceritanya. "Aku tidak kenal orang itu. Aku tidak tahu namanya. Tapi, dia mengatakan bahwa aku terkena pukulan beracun dan umurku tinggal sepuluh hari. Katanya, yang bisa menyembuhkanku hanya tiga orang. Yang seorang sudah mati, seorang yang memukulku, seorang lagi adalah Dewa Obat. Ia menunjukkan jalan ke bukit ini, dan minta maaf tak bisa mengantar karnea harus membalas dendam pada seorang nenek jelek. Lalu, kubeli seekor kuda dan kupacu ke bukit ini, siang-malam tanpa henti. Ketika sampai di dekat sebuah lapangan, hari sudah malam. Karena tak ingin mengganggu orang, aku mencari sebuah pohon dan tidur di salah satu cabang. Kemudian, ketika bangun, aku sudah ada di tempat ini." Ching Ching Karya ??? di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Ching-ching tampak berpikir-pikir. Ia tak mendengar beberapa kalimat Chia Sen yang terakhir. "Balas dendam ... nenek jelek. Nenek jelek! Nenek jelek! Jangan-jangan ..." "Ching-ching, kenapa?" tanya Yuk Lau yang memperhatikan. Ching-ching tidak menjawab. Ia malah bertanya kepada Chia Sen. "Yang Ko-ko, inkongmu itu rupanya bagaimana?" Yang Chia Sen mengingat-ingat. "Emh. Orangnya tinggi, besar. Jenggot dan kumisnya lebat. Bajunya dari kulit binatang. Lalu ... Oh ya, ia membawa pedang besaaar sekali di punggungnya." "Itu A-thia!" seru Ching-ching seraya melompat berdiri. "Yang Ko-ko, apakah dia berkata ke mana dia akan pergi?" "Kalau tidak salah, ke Bukit Rase." "Aku akan menyusul," kata Ching-ching bersemangat. "Ching-ching, apa kau tahu di mana Bukit Rase itu?" tanya Yuk Lau. Ching-ching menggeleng. "Lalu, bagaimana kau bisa sampai ke sana?" "Aku tahu tempatnya," kata Chia Sen tiba-tiba. "Aku akan mengantar kau ke sana." "Tapi, Yang Ko-ko kan belum sembuh betul." Ching Ching 39 "Kalau begitu, kau tunggu sampai Yang Ko-ko sembuh," kata Yuk Lau. Tiba-tiba dari kamar sebelah terdengar suara gedubrakan. Tabib Yuk dan kedua cucuknya memburu ke asal suara itu. Mereka melihat A-fuk terkapar di lantai. "A-fuk!" Ching-ching dan Yuk Lau mendekat. "Jangan!" seru A-fuk. "Jangan mendekat." "Kenapa?" "Lihat!" A-fuk menunjuk ke kelambu di atas tempat tidur. Kelambu itu robek. Bagian yang robek itu hangus seperti dimakan api. "Dan itu!" A-fuk menuding lagi. Kali ini daun meja, yang di tengahnya terdapat telapak hitam. "Itu ... itu bekas tanganku." "Kok bisa begitu?" Kong-kong, kenapa jadi begini?" Tabib Yuk menghampiri A-fuk. "Coba perlihatkan tanganmu!" A-fuk menyodorkan tangan kanannya yang kehitaman. Tabib Yuk mengangguk-angguk. "Hhh," desahnya. "Ternyata aku belum mampu menyembuhkan secara tuntas." "Memangnya A-fuk kenapa, Kong-kong?" "Yah, racun di tubuhnya tidak akan menjalar lagi, tapi mengendap di telapak tangan sampai sebatas pergelangan. Racun itu berhawa panas. Sekarang, apa saja yang dipegang A-fuk akan hangus terbakar." "Aduh!" A-fuk mengeluh. "Kalau semua yang kupegang hangus, bagaimana nanti aku bermain" Atau membantu A-thia" Atau kalau makan, berpakaian?" "Ada satu cara untuk membantumu. Tunggu sebentar!" Tabib Yuk keluar dari kamar. Ching-ching yang ingin tahu mengikuti dari belakang. Tabib Yuk mengambil beberapa buah buku. "Ching-ching, kebetulan. Kau bantulah aku mencari resep untuk sarung tangan air." "Sarung tangan" Buat apa, Kong-kong?" "Untuk tangan A-fuk. Dengan sarung tangan itu ia akan dapat mengerjakan apa-apa seperti biasa." Kedua orang itu segera tenggelam dalam pekerjaan mereka. Kadang-kadang mereka bersin-bersin akibat debu dari buku-buku tua yang disimpan terlalu lama. "Kong-kong, ini bukan?" kata Ching-ching sambil menyodorkan halaman buk yang terbuka. "Ah, ya, betul," sahut Tabib Yuk. Ia membaca sebentar. Ching-ching ikut membaca lewat pundak kong-kongnya. "Wah, Kong-kong. Di mana kita harus mencari kulit ikan perak untuk bahan sarung tangan itu" Dan bunga semalam untuk merendamnya?" "Kalau kulit ikan perak, Kong-kong masih punya, pemberian tabib dari Tibet. Tapi, kalau bunga semalam, cukup sulit. Soalnya, bunga itu hanya mekar setahun sekali pada saat bulan purnama. Hanya semalam pula." "Kong-kong tahu kapan bunga itu akan mekar?" Tabib Yuk menghitung-hitung. "Kalau tidak kemarin, ya malam ini." "Kalau ternyata mekarnya kemarin, bagaimana?" "Terpaksa menunggu tahun depan." "Kong-kong, kalau harusnya mekar hari ini tapi bulan tertutup awan, bagaimana?" "Mungkin akan mekar besok." "Bagus! Kemarin hujan turun lebat sekali. Mudah-mudahan bunga itu mekar hari ini." "Kuharap begitu," kata Tabib Yuk. "Malam nanti kita akan menunggu di balik bukit tempat bunga itu tumbuh." Malamnya, Tabib Yuk pergi bersama Yuk Lau. Ching-ching tinggal di rumah. Ia Ching Ching 40 memasak makanan untuk semuanya. Ia juga menyuapi A-fuk yang belum dapat menggunakan tangannya. "Wah, Ching-ching, makananmu enak sekali," puji A-fuk seselesai makan. "Memang enak," sahut Ching-ching. "Kalau tidak, mana mungkin kau makan begitu banyak." "Meskipun tidak enak, kalau kau yang menyuapi, pasti rasanya enak," goda A-fuk. "Kau enak. Aku nih yang pegal." "Yang penting, enak. Kalau tiap hari dilayani begini, mau aku kehilangan dua tangan sekaligus." "Jagngan kuatir. Selama tiga hari menunggu sarung tanganmu jadi, aku akan selalu menyuapi. Tapi sesudah itu tidak bisa lagi. Aku mau pergi!" "Lho, kok pergi?" A-fuk terkejut. "Kenapa" Tidak suka menyuapiku" Besok aku makan sendiri, tapi kau tak perlu pergi!" "Bukan begitu. Aku harus mencari A-thiaku secepatnya." "Ke mana?" "Ke Bukit Rase. Yang Ko-ko akan mengantarku." "Yang Ko-ko" Siapa itu?" "Orang yang kita tolong tempo hari. Ingat?" "Oooh, orang yang belang itu" Dia sudah baik?" "Ya, sekarang dia sudah baikan dan tidak belang lagi," sahut Ching-ching tersenyum. "Omong-omong, sudah berapa hari aku pingsan?" "Ada kira-kira enam hari." "Lama juga! Kok tidak terasa?" "Kau yang tidur terus-terusan memang tidak merasakan. Kami yang menunggui, khawatir sekali kalau kau tidak bangun lagi. Belum ayahmu yang bolak-balik menanyakan anak kesayangannya." "Ayahku bolak-balik kemari?" "Ya. Katanya, asal kau cepat sembuh, apa pun yang kauminta akan diberikan." "Asyiiik. Aku mau minta layangan yang banyak ah. O ya, Ching-ching, sebelum kau pergi nanti, kau harus main layangan dulu bersamaku!" "Baiklah. Tapi sekarang aku mau ke dapur dulu, membuat sop obat untuk Yang Koko." "Aku dibuatkan tidak?" "Tidak. Kau cerewet sih. Sekarang kau istirahat saja. Nanti, kalau lenganku tidak pegal lagi, baru kuberi sopnya." "Ya. Tapi jangan terlalu lama!" "Suka-suka!" kata Ching-ching sambil meleletkan lidah dan keluar dari kamar itu. A-fuk tersenyum. "Kalau saja dia adikku!" gumamnya pelan. Besok Ching-ching akan pergi. Hari ini ia menyiapkan semua barang-barangnya, dikumpulkan dalam sebuah buntalan. Yuk Lau menunggui di sampingnya. A-fuk yang minta izin tidak pulang juga memperhatikan. "Ching-ching, kapan kau kembali ke sini?" tanya Yuk Lau. "Kapan-kapan," jawab Ching-ching ringan, seperti biasanya. "Ching-ching, kenapa tidak di sini saja, jadi adikku," kata A-fuk. "Kalau kau suka, kauanggap aku adik, boleh saja. Tapi aku tetap harus mencari Athiaku." Yang Chia Sen, yang mendengarkan pembicaraan mereka, mengusulkan, "Kenapa kalian tidak angkat saudara saja?" Yuk Lau, A-fuk, dan Ching-ching saling berpandangan. Ching Ching 41 "Boleh juga," kata A-fuk. Tabib Yuk tersenyum. Ia segera menyiapkan segala sesuatunya. Upacara pengangkatan saudara dilakukan di luar rumah, di bawah langit yang berbintang, disaksikan Tabib Yuk dan Yang Chia Sen. "Mula-mula, kalian menyatukan darah di mangkuk bersisi air ini," Chia Sen memandu, memberikan belatinya. "Yang kiri, yang kanan?" tanya A-fuk. "Yang kiri saja. Tangan kananmu mengandung racun. Malah mati bebareng nanti." Tiga anak yang akan mengangkat saudara itu melukai jari tangan masing-masing dan membiarkan tiga tetes darah bercampur dalam air. "Nah, sekarang masing-masing minum air dari mangkuk ini. Mereka minum. "Nah, sekarang bersumpahlah di depan altar." Tabib Yuk membagikan hio. Yuk Lau dan kedua anak yang lain berlutut. "Ikuti kata-kataku!" ucap Chia Sen. "Demi langit dan bumi." "Demi langit dan bumi," tiru ketiga anak itu. "Kami bersumpah sebagai saudara dan akan rukun seumur hidup dan saling membantu. Susah-senang satu orang adalah susah-senang bersama." "Jangan cepat-cepat," protes A-fuk, tapi kemudian ia ikut bersumpah seperti dua anak yang lain. "Membungkuk delapan kali!" Mereka menurut. "Saling memberi hormat!" "Tunggu, tunggu," kata A-fuk. "Siapa yang tertua?" "Aku lahir bulan dua tahun anjing," kata Yuk Lau. "Kalau begitu, kau harus panggil Toa-ko padaku," kata A-fuk. "Aku lahir bulan dua belas tahun ayam." "Aku tahun macan," kata Ching-ching. "Tidak tanya," sahut A-fuk. Ching-ching cemberut. "Sudah, ayo saling beri hormat!" kata Chia Sen. Setelah upacara pengangkatan saudara selesai, mereka masuk ke dalam rumah. "Toa-ko, aku ada sesuatu untukmu," kata Ching-ching kepada A-fuk. Ia mengeluarkan sesuatu yang keperakan dari balik baju luarnya. "Sarung tangan air!" seru A-fuk mengenali benda itu. "Ching-ching, eh, maksudku Sam-moay, aku kan sudah punya, sarung tangan yang kaujahitkan ini." A-fuk menunjukkan tangan kanannya yang memang bersarung. "Aku tahu," jawab Ching-ching. "Tapi kalau kau besar nanti, sarung tangan itu pasti kekecilan. Makanya, kubuatkan yang ini, yang berukuran besar." "Iya ya. Kalau begitu, terima kasih. Tapi, sarung tangan yang kupakai ini pun akan kusimpan. Lumayan, kenang-kenangan dari Sam-moayku." "Eh, Sam-moay," kata Yuk Lau. "Buat Toa-ko kau memberi kenang-kenangan sarung tangan. Mana buatku?" "Aduh, lupa," kata Ching-ching. "Ini saja deh." Ia mengeluarkan sebuah kantung dari buntelannya. "Kantung uang?" tanya A-fuk. "Tidak tahu. Itu pemberian piaw-cieku dulu. Dia buatkan sendiri. Belum pernah kugunakna. Habis, aku tak tahu untuk apa barang itu." "Terserah kantung uang atau apa pun. Pokoknya kenang-kenangan," kata Yuk Lau. "Ching-ching, apakah kau tak akan kembali kemari?" Tabib Yuk bertanya. "Aku tidak tahu, Kong-kong," jawab Ching-ching. Ching Ching 42 "Ching-ching, eh lupa lagi. Sam-moay, nanti kalau kau bertemu ayahmu, ajak saja ia tinggal di desa kita ini," kata A-fuk. "Ya, nanti kuajak." "Nanti, kalau kau tinggal di sini, kita kalahkan lagi si Yuk Lau seperti kemarin." "Tidak bisa," protes Yuk Lau. "Lain kali, kau yang kukalahkan. Ya tidak, Sam-moay?" "Lain kali, aku yang akan mengalahkan kalian," kata Ching-ching. "Sudah, sudah," kata Tabib Yuk. "Sekarang sudah larut. Ching-ching harus istirahat. Kalian juga." "Baik, Kong-kong," kata tiga anak itu bebareng. Ching-ching sudah lama berada di kamarnya, tapi ia belum bisa juga tidur. Matanya menatap langit-langit kamar. Besok, dia tidak lagi tidur di kamar ini. Tidak lagi membantu kong-kongnya meramu obat. Tidak lagi bermain dengan Yuk Lau dan A-fuk dan kawan-kawannya yang lain. Hhh, sebenarnya ia tak ingin meninggalkan desa ini. Tapi, ia harus mencari A-thianya. "Sam-moay, Sam-moay!" seseorang memanggil-manggil di jendela kamar dengan bisikan. "Siapa?" "Aku." Ching-ching membuka jendela. "Toa-ko-ko, ada apa?" "Aku cuma mau memberikan ini. "A-fuk menyodorkan dua belati kecil. "Aduuuh, bagus sekali! Dapat dari mana?" "Kubuat sendiri." "Oh ya, aku lupa kalau kau anak tukang besi." "Ssst. Kau jangan bilang sama Jie-tee." "Kenapa?" "Soalnya dia bolak-balik minta dibikinkan, tapi aku tidak kasih." "Baik, aku tak akan beri tahukan dira." A-fuk pergi. Ching-ching memperhatikan belati kembar di tangannya. Bagus sekali. Dibuat dengan hati-hati. Cepat betul A-fuk membuatnya. Padahal, hanya beberapa hari Ching-ching mengundur hari kepergiannya. "Sam-moay," bisikan dari jendela terdengar lagi. Ching-ching mengerutkan kening. Mau apa lagi, Toa-ko-ko" Pikirnya. Tapi kali ini Yuk Lau yang berdiri di depannya. "Jie-ko?" "Ya, aku. Aku tidak lama-lama. Cuma mau memberikan ini. Jangan bilang Toa-ko, ya." "Ya, ya. Kenapa memang?" "Dia merengek minta diajari cara membuatnya, tapi aku tidak mau. Di desa ini hanya aku yang punya barang begini. Orang laint idak bisa bikin." "Oh, begitu. Terima kasih, Jie-ko-ko." Jendela ditutup lagi. Ching-ching memperhatikan pemberian Yuk Lau. Bambu yang dibelah dua dan diukir halus. Gambarnya dua anak yang sedang main layangan. Gambar Ching-ching dan Yuk Lau. Ching-ching tersenyum. Ada-ada saja kedua saudara angkatnya itu. Masing-masing memberi, tapi dengan pesan supaya yang laint idak tahu. Hihi, lucu. "Masa bodoh. Aku mau tidur saja," gumam Ching-ching. Ia memejamkan mata, siap untuk bermimpi. "Ching-ching, hati-hati di jalan," kata Yuk Lau ketika mengantar kepergiannya pagi itu. "Yang Ko-ko, tolong jaga Sam-moay baik-baik," pesan A-fuk. "Sam-moay, kalau kau Ching Ching 43 rindu pada ... eh, pada desa ini, buat saja layang-layang dan terbangkan. Nanti rasa rindu itu akan bertambah." "Lho, kok begitu?" Yang Chia Sen keheranan. "Iya. Supaya Sam-moay cepat balik kemari," jawab A-fuk. Ching-ching mengerti maksud A-fuk, tapi tidak berkata-kata. Ia takut, begitu sepatah kata ia ucapkan, air matanya akan mengalir juga. Wah, malu dong. Bisa-bisa habis dia diledek A-fuk. Ia hanya melambaikan tangan sebentar, lalu berbalik dan tidak menoleh lagi. Tinggal Yuk Lau dan A-fuk yang terus memperhatikan sampai hilang dari pandangan. "Yuk Lau, aku rasanya ingin menangis," A-fuk berkata dengan suara bergetar. "Aku juga," kata Yuk Lau dengan sedihnya. "Kalau begitu, mari menangis sama-sama." "Baiklah. Tapi, cari tempat sepi dulu, supaya tidak dilihat teman-teman." "Bagaimana kalau di belakang bukit?" Teman-teman jarang ke sana." "Baiklah." Keduanya berlari ke belakang bukit, bersembunyi di balik semak-semak, dan menangis dengan suara keras. Sepanjang perjalanan Ching-ching diam saja. Chia Sen mencoba menghibur dengan cerita-cerita lucu, tapi Ching-ching tidak menanggapi. Hanya sesekali saja ia tersenyum hambar, cuma supaya Chia Sen tidak disangka gila, tertawa-tawa sendiri di jalan. Lama-lama, bosan juga Chia Sen berbicara sendiri. Ia tidak melanjutkan ceritanya dan berdiam diri. Ching-ching seolah tak menyadari. "Ching-ching!" Ching Ching Karya ??? di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Yang dipanggil tak menyahut. "Ching-ching!" Chia Sen berteriak di telinga Ching-ching. "Ada apa, Yang Ko-ko?" "Sepanjang hari kau membisuuu terus. Ching-ching yang kukenal tidak bersifat demikian. Jangan-jangan aku salah bawa orang." "Yang Ko-ko, aku sedang tidak ingin bercanda." "Baik, aku tidak bergurau lagi. Ada apa denganmu" Sakit" Tidak enak badan?" tanya Chia Sen. Ching-ching menggeleng. "Oooh, aku tahu. Kau berat meninggalkan dua saudara angkatmu, bukan" Kalian tentunya sudah sangat akrab. Berapa lama kalian saling mengenal?" "Kira-kira tiga bulan." "Tiga bulan" Kok bisa begitu dekat?" "Tidak tahu. Barangkali karena sebelumnya aku tidak pernah punya teman." "Sudahlah. Tak lama lagi kau akan jumpa dengan mereka." "Dari mana bisa tahu?" "Bukt Rase lamanya hanya empat belas hari perjalanan. Di sana nanti kau akan segera bertemu A-thiamu. Kemudian, kalian akan kembali ke tempat Tabib Yuk. Paling lama, bulan depan kalian sudah dapat berkumpul." Wajah Ching-ching menjadi cerah. "Betul juga. Bulan depan aku dapat berkumpul dengan mereka." "Nah, makanya jangan terllau sedih. Sekarang kita makan dulu. Perutku sudah berbunyi." Dituntun oleh Yang Chia Sen, Ching-ching dibawa masuk ke sebuah rumah makan besar. Mereka memesan segala macam makanan sampai kemudian kekenyangan. "Ching-ching, sebentar lagi kita kana melewati sebuah pantai," kata Yang Chia Sen. "Kau sudah pernah pergi ke pantai?" "Belum. Seperti apa pantai itu?" Ching Ching 44 "Seperti ... seperti apa ya" Pokoknya pantai itu adalah dataran luas yang berpasir di tepi laut." "Kalau laut, aku tahu. Seperti danau yang sangat besar kan?" "Betul. Di sana kita bisa main air sepuasnya." "Ya. Sudah berhari-hari kita jalan, tak sempat main air." Beberapa lama mereka berjalan dengan berdiam diri sampai kemudian terdengar suara debur ombak di kejauhan. "Ching-ching, itu lautnya sudah kelihatan. Bagaimana kalau kita adu cepat ke sana?" "Baik!" sambut Ching-ching gembira. Pada awalnya Yang Chia Sen memimpin, tapi tak lama kemudian Ching-ching menyusul dan menjejeri. Chia Sen kaget. Dilihat dari fisiknya, ia mesti menang jauh. Tapi, karena masih muda, Chia Sen malah berpikir bagaimana mengalahkan gadis kecil di sampingnya. Ia mengerahkan gin-kang. Ching-ching ketinggalan. Chia Sen berlari beberapa lama. Kemudian ia melihat ke belakang untuk mengetahui seberapa jauh Ching-ching tertinggal. Betapa kagetnya ia melihat anak itu berlari tak lebih setombak di belakangnya. Ia menghentikan larinya. Anak itu ikut berhenti. "Yang Ko-ko, kau lari cepat sekali. Aku sampai kehabisan napas mengejermu," kata Ching-ching dengan napas terengah-engah. "Ching-ching, siapa yang mengajarimu ilmu meringankan tubuh?" langsung Chia Sen bertanya. "Ibuku," jawab Ching-ching. "Ibumu" Dia mestinya seorang yang lihay. Siapa nama beliau?" "Namanya ... ah, percuma. Yang Ko-ko tidak akan kenal," Ching-ching mengelak. Ia malah berlari menghampiri laut yang menggelora. Yang Chia Sen menyusul. Ia sungguh penasaran. Mustahil orang yang mengajarkan gin-kang tingkat tinggi namanya tak dikenal. Baru saja Chia Sen akan mengatakan hal itu, Ching-ching sudah menariknya berlari menyusur pantai. "Yang Ko-ko, lihat! Di sana ada kapal bagus sekali," kata Ching-ching sambil menunjuk ke sebuah kapal yang memang besar dan indah. "Aku kepingin tahu, apa isinya kapal besar macam begitu," kata Ching-ching sambil bergegas menghampiri kapal itu. Dengan sekali lompat saja, ia sudah berada di atasnya. "Ching-ching, jangan!" cegah Chia Sen. "Ayo, turun! Itu kapal pribadi orang." "Tidak apa-apa!" teriak Ching-ching. Ia malah masuk ke kapal tersebut. Chia Sen ragu-ragu. Mau ikut masuk, takut didamprat yang punya. Tidak ikut, khawatir ada apa-apa dengan Ching-ching. Akhirnya Chia Sen memutuskan untuk menunggu saja. Nanti juga Ching-ching keluar sendiri. Paling-paling diceburka yang punya kapal ke dalam air, pikirnya. Ching-ching sendiri asyik menjelajah kapal. Aneh, dalam kapal sebesar itu, tidak ada orang sama sekali. Ia berada dalam sebuah ruangan luas. Di sana ada kursi-kursi tersusun rapi. Berjajar. Dan di sana, di depan, agak naik seperti sebuah panggung pendek, ada tiga kursi berdert. Yang paling besar dan paling bagus, terletak di tengah. "Rupanya ruang pertemuan," gumam Ching-ching. Ia menghampiri kursi itu dan duduk di sana. Dibayangkannya sedang memimpin sebuah rapat besar. Tak lama kemudian, ia bosan dan meneruskan penyelidikannya. Ia sampai ke sebuah lorong yang panjang. Pada setiap sisinya terdapat banyak sekali pintu. Ia membuka salah satunya. Di dalam kamar yang dilihatnya itu,t Ching Ching 45 erdapat sebuah tempat tidur, meja rias, dan meja kursi untuk menerima tamu. Semuanya menempel ke keempat dinding ruangan. Ia menutup pintu dan masuk ke kamar lain. Isinya sama saja dengan yang pertama. Demikian pula dengan kamar-kamar yang lainnya. Di ujung lorong ia membelok ke kanan dan masuk ke sebuah ruangan yang di sudutnya terdapat sebuah tangga menurun. Ching-ching turun lewat tangga itu. Ia tiba di lorong lain, di salah satu sisinya terdapat tirai hijau yang tebal. Dikuakkannya tirai itu. Dilihatnya orang-orang berbaju putih, semuanya wanita, sedang berkumpul di sana. Seorang wanita cantik berpakaian indah berwarna putih sedang berbicara di depan dengan bahasa yang tidak dimengerti Ching-ching. Tapi itu bukan soal. Ia memang tak berminat mendengarkan. Plak! Seseorang mendaratkan tangannya di pundak Ching-ching. Anak itu melompat dan berbalik.s eorang gadis berwajah galak berdiri di belakangnya sambil mengacungkan pedang melengkung yang berkilat-kilat! Chia Sen menunggu dengan gelisah. Sudah lama Ching-ching di dalam, tapi belum keluar-keluar juga. Apalagi diceburka ke air. Barangkali ia sudah ditangkap di dalam, dan sekarang sedang ditanyai. Atau langsung dihajar" Tapi ia tak mendengar apa-apa. Barangkali Ching-ching langsung dibunuh. Mungkin dipenggal! Hiii! Tapi, mungkin yangmenangkapnya orang baik-baik. Lalu, ketika ditangkap, bukannya dimarahi, Ching-ching malah dijamu. Sekarang kan sudah waktu makan. Namun, untuk naik ke kapal itu, Chia Sen mesti berpikir-pikir lagi. Ia ragu-ragu. Entah apa yang akan ditemui di atas kapal itu. "Sudahlah, aku menunggu saja sebentar lagi." Ia duduk di pasir dan mengawasi kapal itu. Belum berapa lama ia duduk, dilihatnya seorang gadis berbaju putih melongok dari kapal. Melihat Chia Sen, gadis itu tampak terkejut. Ia berbicara sambil menunjuk-nunjuk. "Apa?" teriak Chia Sen. "Aku tidak dengar." Gadis itu berbicara lagi. Tangannya bererak-gerak. Cia Sen tidak tahu bahasa apa yang dipakai gadis itu, tapi dari gerakannya, kentara bahwa gadis itu mengusirnya dari dekat kapal. "Tidak bisa!" sahut Chia Sen lagi. "Aku sedang menunggu orang!" Chia Sen tetap duduk di depannya. Gadis yang mengusirnya tampak gusar. Ia membalikkan badan dan masuk ke dalam kapal. Ching-ching dibawa ke tengah-tengah orang yang berkumpul tadi. Gadis yang membawanya berbicara dengan wanita yang tadi memimpin pertemuan. Ching-ching memandang berkeliling. Penuh sekali ruangan ini. Pantas dari tadi ia tak ketemu orang. Rupanya semua sedang berkumpul di tempat ini. "Siauw-moay, ada urusan apa kau masuk ke kapal kami?" tanya wanita yang berbaju putih, kelihatannya pemimpin di antara kawan-kawannya. "Tidak ada apa-apa," kata Ching-ching. "Cuma ingin melihat-lihat, apa saja yang ada di dalam kapal." "Melihat-lihat sambil menyambar apa yang bisa diambil," cetus gadis yang berbaju hijau sinis. "Huh, kecil-kecil sudah jadi pencuri." "Aku tidak mengambil apa-apa," tukas Ching-ching. "Aku tak percaya sebelum memriksa sendiri," kata gadis berbaju hijau tadi dengan logat bicara yang asing. Ia maju mendekati. Tangannya terjulur menjamah Ching-ching. Gadis kecil itu menghindar. Si baju hijau kelihatan kesal ketika tangannya hanya menyentuh angin. Tapi, sebelum lengannya bergerak lagi, seorang Ching Ching 46 gadis berbaju putih masuk terburu-buru sambil nyerocos dalam bahasa mereka yang aneh. "Ada seorang pemuda di luar," kata si pemimpin, dalam bahasa yang dimengerti anak itu. "Kau kenal pada orang itu?" "Mungkin," jawab Ching-ching asal-asalan. Ia masih kesal dituduh sebagai pencuri. "Jawab yang betul!" hardik si baju hijau yang galak. "Lho, sudah betul kok!" tantang Ching-ching tak kalah galaknya. "Tadi aku kemari memang dengan seorang pemuda. Tapi, siapa tahu dia sudah pergi dan kemudian ada pemuda lain yang datang." Si baju hijau mengumpat-umpat dalam bahasanya sendiri. Ching-ching tak peduli. Dia toh tak mengerti apa yang dikatakan gadis galak itu. Ching-ching digiring keluar, ke tempat ia naik tadi. Anak itu melongok ke bawah. Dilambaikannya tangan ke arah Chia Sen. "Ternyata kau memang kenal orang itu," kata si Hijau. "Lalu kenapa kalau kenal" Iri" Kukenalkan sekarang, mau?" goda Ching-ching. Si Hijau galak tampak mendongkol. Ia mendengus dan membuang muka. "Adik kecil, sekarang pergilah!" kata wanita yang berbaju putih. "Lain kali, kalau mau masuk kapal orang, minta izin dulu ya!" Ching-ching bersiap melompat turun, tapi tangan si Hijau Galak menahannya. "Tunggu, aku belum yakin kau tak mengambil apa-apa dari kapal kami." "Berani sumpah disamar petir, aku tidak mencuri barang apa pund ari kapal ini." "Aku belum percaya!" sergah si baju hijau. Ia segera menggeledah Ching-ching. Anak itu mengelak. Akhirnya merke amalah kejar-kejaran di atas perahu. Si baju hijau mengatakan sesuatu kepada gadis yang berbaju putih, tapi jawabannya hanya gelengan kepala. Mulanya, Ching-ching selalu lolos dari kejaran. Ia terpaksa mengerahkan gin-kang untuk itu. Tapi, ilmu ringan tubuh si gadis galak ada setingkat di atasnya. Tenaganya pun menang jauh. Pada suatu ketika, Ching-ching kena dijambret. "Nah, apa kubilang," kata gadis itu. "Batu giok mahal macam begini, mana bisa anak kumal seperti kau memilikinya?" Ching-ching melotot. Batu giok itu pemberian ibu angkatnya sebelum meninggal. Sekarang kena dirampas orang. Ia tak boleh tinggal diam. "Kembalikan barangku!" teriaknya seraya menerjang. Gadis galak berbaju hijau berkelit. Ching-ching menyerang beruntun. Lama-lama yang diserangnya kelabakan dan menangkis. Ching-ching menyerang lagi. Ia keluarkan semua ilmu yang ia punyai. Lawannya tercengang juga melihat anak kecil dapat menyerang cukup mantap. Si baju hijau balas menyerang. Ilmunya di atas Ching-ching. Tak heran, sebentar saja ia berada di atas angin. Yang Chia Sen yang menonton dari bawah tampak heran. Tak ia sangka, Ching-ching punya ilmu silat yang lumayan. Tapi, yang lebih mengherankan adalah dua orang yang bertempur di kapal itu memakai jurus yang mirip. Gadis anggun berbaju putih agaknya menyadari hal ini. Ia berseru-seru menyuruh berhenti. Sekali dalam bahasanya sendiri, sekali dalam bahasa negeri. Si baju hijau mendengar kata-katanya. Perhatiannya terpecah. Geraknya menjadi agak lamban. Ching-ching tak menyia-nyiakan kesempatan. Ditendangnya siku gadis galak itu, yang segera saja membuat kesemutan. Benda di tangannya terlempar dan meluncur ke laut. Yang Chia Sen segera memburu. Ia melompat, menyambarnya. Namun, sebuah selendang Ching Ching 47 putih bergerak lebih cepat. Chia Sen menangkap angin dan, tanpa dapati dicegah lagi, badannya mencebur ke air. "Sial!" umpat pemuda itu. Ia melompat naik ke atas kapal. "He!" katanya pada gadis berbaju putih yang memperhatikan giok itu. "Kembalikan barang orang! Sembarangan!" Ching-ching yang sudah berhenti bertempur turut menghampiri si baju putih. "Itu milikku, sumpah, aku bukannya mencuri dari kapal!" Yang diajak bicara tidak menjawab. Wajahnya malah berubah pucat. Ia menyerukan sesuatu. Tiba-tiba saja semua berlutut, menunduk di hatapan Ching-ching dengan tangan kanan terkepal, menyilang di dada. Si baju hijau tampak ragu-ragu sejenak, kemudan juga mengikuti perbuatan yang lain. "Apa-apaan?" cetus Chia Sen heran. Ching-ching juga heran, tapi ia lebih peduli pada barang peninggalan ibunya. "Sekarang, kuminta baik-baik. Tolong kembalikan milikku itu." Tanpa banyak bicara barang itu sudah ada di tangannya. "Aku sudah bosan main di sini. Yang Ko-ko, mari kita pergi." "Mereka bagaimana?" tanya Chia Sen, menunjuk orang-orang yang berlutut. Ching-ching, yang sudah melangkah pergi, balik lagi dan berjongkok di depan si baju putih. "Sekarang bagaimana" Kalian mau berlutut di sini sampai besok?" "Kami tak akan berdiri sebelum disuruh." "Siapa yang menyuruh?" Si baju putih memandang Ching-ching. "Aku?" tanya Ching-ching. "Oooh, rupanya begitu cara kalian minta maaf. Repot amat. Baiklah. Bangun! Bangun! Aku mau pergi. Mau mengantar?" Serentak orang-orang itu berdiri. "Nah, begitu kan peres," kata Chia Sen. "Ching-ching, ayo kita lanjutkan perjalanan!" "Tunggu!" cegah si baju putih. "Sebelumnya kami minta penjelasan." "Apa lagi?" kata Ching-ching. "Sudahlah, masa bodoh. Aku mau pergi." Chia Sen mengikuti. Mereka terus pergi tanpa menghiraukan panggilan si Baju Putih. "Kalau begitu, maafkan!" teriakan si Baju Putih terdengar. Tia-tiba saja Chia Sen dan Ching-ching pingsan. "Su-moy, ini dua puluh tahil," perintah si Baju Putih kepada gadis berbaju hijau. "Pergilah ke penginapan terdekat. Serahkan pemuda ini kepadanya." "Tapi ... kenapa tidak keduanya ...." "Nanti di jalan pulang kujelaskan." "Yang lain saja, jangan aku." "Di antara kita, hanya kau dan aku yang dapat berbahasa Han. Maka, kau kusuruh. Jangan lama-lama! Begitu kau kembali, kita berangkat." Si baju hijau segera bertindak tanpa membantah lagi. Samar-samar, Ching-ching mendengar suara-suara di dekatnya. Ia ingin membuka mata untuk melihat, tapi berat sekali. Ia mengerang lemah. Suara-suara itu berhenti. Ching-ching memaksa matanya supaya terbuka. Ternyata, dua gadis berbaju putih berdiri di dekatnya. Pakaian mereka seragam dengan gadis-gadis yang ada di perahu. "Ini di mana?" tanya Ching-ching pada mereka. Kedua gadis itu menggeleng. "Jie-cie tidak tahu juga?" tanyanya lagi. Yang ditanya menggeleng lagi. "Jie-cie kenapa?" Ching-ching bingung melihat dua orang itu cuma menggeleng-geleng terus, tapi lagi-lagi mereka menggeleng dengan dahi berkerut. Ching-ching melompat dari tempatnya berbaring. Berdiri di tengah kamar. Tapi, Ching Ching 48 tiba-tiba saja kepalanya pusing, perutnya mual. Cepat-cepat ia berbaring lagi. Kenapa aku ini" pikirnya. Jangan-jangan sudah kena diracun orang, supaya aku berbaring terus dan tidak ke mana-mana. Tapi, siapa yang mau meracuniku" Ah, coba aku berdiri lagi. Ching-ching berdiri lagi, tetapi perasaannya itu kembali lagi. Dilihatnya barang-barang di kamar itu oleng semua. Badannya sendiri limbung. Nyaris saja ia tersungkur jatuh, kalau tidak ditopang dua gadis di sampingnya. Ching-ching dibaringkan lagi. Kepalanya masih saja pusing. Ia memejamkan matanya rapat-rapat, tidak ingin melihat benda-benda yang miring ke sana kemari. "Siaw-moy, kau tidak apa-apa?" sebuah suara halus terdengar. Suara yang pernah ia dengar. "Ada racun di tubuhku," jawab Ching-ching. "Racun apa?" suara itu bernada panik. "Tidak tahu. Pokoknya racun yang membuat aku mual kalau berdiri." Ching Ching Karya ??? di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Sejak kapan racun itu ada di tubuhmu?" "Tidak tahu. Yang jelas, aku belum pernah merasa begini sebelum bangun tadi." Suara halus itu tertawa. Ching-ching gondok. Orang sengsara kok ditertawai. Ia membuka matanya, siap memelototi orang tak tahu diri itu. "Siaw-moy, rupanya kau mabuk laut." Ternyata pemilik suara itu adalah si nona cantik yang berbaju putih. "Mabuk laut" Aku baru dengar kata itu." "Oh ya" Kalau begitu, kau belum pernah berlayar ya?" "Belum. Mabuk laut itu apa sih?" "Ituuu ... yah, perasaan pusing dan mual jika sedang berada di tengah laut." "Di tengah laut?" Ching-ching terperjanjat. "Mau ngapain di tengah laut?" "Membawamu pulang." "Pulang" Lewat laut" Pulang ke mana?" "Ke utara." "Ke utara, buat apa lewat laut" Lewat darat kan lebih dekat." "Tapi lewat darat sulit sekali untuk melewati perbatasan." "Perbatasan" Astaga. Jadi, kita akan ke negeri tetangga?" "Begitulah. Ke Sha Ie, negeri kami." "Tidak bisa." Ching-ching bangkit dan menggeleng-geleng, lupa akan mabuk lautnya. "Aku harus mencari A-thiaku. Kalau berlama-lama, keburu A-thiaku pergi dan tak ada lagi jejaknya." "Siaw-moay, kau harus ikut dengan kami untuk menjelaskan beberapa hal." "Hal apa" Soal pencurian" Aku sudah bilang, aku bukan pencuri. Aku naik ke kapal pun cuma untuk melihat-lihat. Gadis berbaju putih itu tersenyum. "Aku percaya, tapi ...." "Tidak ada tapi," tukas Ching-ching. "Pokoknya aku tak mau ikut. Aku mau cari Athiaku." Gadis cilik itu melompat dan berlari ke luar kamar. Si Baju Putih mengejar di belakang. Sesampai di geladak, Ching-ching dihadang beberapa orang gadis yang mengepungnya. Mengandalkan gin-kang dan kepandaian yang diajarkan orangtua angkatnya, gadis kecil itu melawan. Ia dapat menjatuhkan beberapa orang, namun ia sendiri cukup kewalahan dengan yang lain. Ching-ching semakin terdesak sampai mepet ke pinggir geladak. Gadis yang berbaju putih membiarkan saja. Diperhatikannya gerakan-gerakan Chingching dengan kening berkerut. Kadang digeleng-gelengkannya kepala atau sesekali mengeluh dengan nada tidak puas. Ching Ching 49 Ching-ching agak terdesak, tapi ia masih dapat bertahan, sampai dilihatnya lautan biru yang bergelombang terbentang luas. Seketika perasaan mualnya datang lagi. Kepalanya seolah berputar. Napasnya sesak dan pandangannya berkunang-kunang. Gerakannya sulit diatur, hingga beberapa kali ia sempat terpukul tanpa berusaha membalas. Tahu-tahu si gadis yang berwibawa itu sudah melompat ke hadapannya. Ia mengebaskan tangan, mengusir pengeroyok Ching-ching. "Siaw-moy, dari mana kau belajar ilmu silatmu itu?" tanyanya. Ching-ching tidak menjawab. Ia sibuk mengatur napas, emncegah isi perutnya berontak keluar. "Uh." Setelah beberapa saat, dapat juga ia bersssuara. "Aku tidak tahan di tengah laut macam begini. Pek-ie Cie-cie (Kakak baju putih), tolong antarkan aku kembali ke darat." "Nanti juga kau akan sampai di darat." "Tidak mau nanti!" Ching-ching membanting kaki. "Sekarang! Mana Yang Ko-ko" Dia pasti mau mengantarku." "Dia sudah ada di darat. Kami tidak bawa dia." Ching-ching melotot. Tahu-tahu ia menangis. "Aku tidak mau di laut!" "Cerewet!" tiba-tiba gadis yang berbaju hijau mengomel. "Rewel amat." "Masa bodoh! Aku mau pulang!" "Siaw-moy, marilah, aku punya obat yang bisa bikin pusingmu lenyap. Kemudian kau dapat ikut berlayar dengan kami dengan senang hati." Si baju putih hendak memegang lengan Ching-ching, tetapi bocah itu keburu menghindar dan lari ke tepi geladak. "Aku mau pulang!" teriak Ching-ching. "Antarkan aku ke darat, atau aku lompat ke laut!" Si baju hijau mendengus sinis. "Coba saja kalau berani," tantangnya. Ching-ching hendak melaksanakan ancamannya. Ia bersiap melompat, walaupun nyalinya ciut melihat laut biru yang menggelora di bawahnya. Gadis itu memejamkan mata, dan kemudian ia betul-betul melompat! Ia mendengar jeritan tertahan di belakangnya. Ia juga merasakan kakinya tidak menapak. Tetapi, tak didengarnya suara mencebur. Ia tak merasakan dinginnya air. Malah, seolah-olah tubuhnya melayang ke atas dan kemudian mendarat dalam gendongan seseorang. "Siaw-moy, kau betul-betul nekat," kata si baju putih yang menggendongnya. Ialah yang mencegah Ching-ching terjun dengan cara menjerat dengan selendang sutra putihnya. "Kalau begitu, aku terpaksa melakukan ini." Ia menotok jalan darah Ching-ching sehingga si cilik yang bandel itu lemas tak berdaya. Apalagi otot gagunya ikut kena ditotok orang. Si baju putih menyerukan sesuatu kepada yang lain sebelum ia sendiri menggendong Ching-ching ke dalam kamar. Di kamarnya, Ching-ching dibaringkan di tempat tidur. Ia disuapi semacam madu yang baunya menyengat, tetapi rasanya masam sekali. "Siaw-moy," kata si baju putih, "setelah ini kau mengasolah. Kalau kau bangun nanti, kau tak akan pusing lagi." Ching-ching tak dapat berkata apa-apa, seandainya ia ingin sekalipun. Yang dapat dilakukannya hanyalah memejamkan maa. Bahkan tak dilihatnya gadis berbaju putih itu keluar dari kamar. Keesokan harinya Ching-ching bangun dengan pikiran jernih, tetapi badannya pegal semua. Totokan di tubuhnya belum dilepas. Ia mengeluh dalam hati. Tiba-tiba ia ingat ajaran ibu angkatnya mengenai cara membuka jalan darah. Ching Ching 50 Segera saja ia mempraktikkan ajaran itu. Dikumpulkannya seluruh tenaga. Dikonsentrasikannya ke titik jalan darah yang tertutup. Dapat dirasakannya hawa yang hangat berputar dari tan-tian, mengalir ke seluruh tubuh. Pelan-pelan hawa itu berkumpul menjadi satu, lalu mengalir seperti air menjebol sumbat di jalan darahnya. Bagi anak seumur Ching-ching, hal ini cukup sulit dilakukan. Apalagi kalau tidak pernah melatih lwee-kang secara mendalam. Tenaga Ching-ching pun didapat dari orangtua angkatnya, yang disalurkan ke tubuhnya. Masih bagus ia pernah mendapat gemblengan keras dari ibu angkatnya, sehingga berhasil menguasai tenaga sakti dalam tubuhnya. Kira-kira sepertanak nasi, Ching-ching baru berhasil membuka satu jalan darah di bahu kanan. Kini ia dapat menggerakkan seluruh tangan kanannya. Tanpa buang waktu, ia segera mengerahkan untuk membuka jalan darah yang lain. Dengan waktu yang sama dengan sebelumnya, dapat juga ia membuka tiap-tiap jalan darah yang ditotok. Ching-ching melompat bangun. Beberapa saat ia berdiri tak bergerak, kalau-kalau mabuk lagi macam kemarin. Tapi, ia tak merasakan apa-apa. Rupanya obat yang diberikan si Baju Putih kemarin memang manjur. Pelan-pelan Ching-ching melangkah. Ia membuka pintu. Betapa kagetnya ia ketika bertemu si Baju Hijau di luar. "Aaaa ...!" jeritnya terkejut. "Aaaa ...!" si Baju Hijau ikut menjerit. Baki yang dibawanya lepas. Lantas saja ia berbalik sambil menjerit-jerit ribut. Ching-ching meringis. Ia segera bergerak meninggalkan tempat itu. Didengarnya suara orang berlarian. Barangkali mencari dirinya. Beberapa orang lewat. Ching-ching bersembunyi di balik sebuah tirai. Selamat! Ia berlari ke geladak. Uh, banyak orang! Lebih baik di bawah, banyak tempat sembunyi. Ia tak mau kejadian kemarin berulang. Ditotok orang dikiranya enak" Badan jadi pegal semua. Ching-ching menemukan sebuah kamar yang bagus. Rupanya tempat berlatih musik. Di sana ada khim di atas meja. Sebuah suling emas tergantung di dinding. Ada semacam terompet dari tanduk. Beberapa macam tambur yang besar dan keicl, dan macam-macam alat musik lainnya. Anehnya, di situ juga terdapat pedang, tombak, dan belati. Didekatinya kecapi di atas meja. Bagus sekali kecapi ini. Lebih bagus daripada milik ibu angkatnya. Ching-ching terkenal lagi pada wanita yang seperti ibunya sendiri itu. Tanpa terasa jari-jarinya memetik kecapi itu. Suara kecapi yang jernih mengalun. Teringat oleh gadis cilik itu kebaikan ibunya. Saat-saat bersama ketika mereka bermain musik maupun berlatih silat. "Siauw-moay, permainanmu bagus sekali," sebuah suara halus memuji, diiringi orang bertempuk tangan. "Sayang, iramanya sedih." Ching-ching buru-buru mengusap matanya yang basah. Ia menatap ke arah orang itu. "Pek-ie-cie, jangan kau totok lagi aku," pintanya. "Badanku pegal semua jadinya." "Tentu tidak," kata yang dipanggil tersenyum. "Asal kau tidak coba kabur lagi." "Mau kabur juga ke mana?" sahut Ching-ching setengah mengeluh. "Di mana-mana laut melulu." "Eh, Siauw-moay, apa kau melepaskan totokanku, sendiri?" "Iya?" jawab Ching-ching. "Siapa mengajarimu?" Ching Ching 51 "A-thiaku dan ibuku juga." "Siapa nama A-thiamu?" "Chu Han Wei." "Dan ibumu?" "Aku cuma tahu ayahku memanggilnya Nio-coe," kata Ching-ching. Si baju putih nampak kecewa. "Cie-cie, namamu sendiri siapa?" "Aku" Guru memanggilku Sioe Pek." "Kalau Cie-cie yang galak siapa namanya?" "Itu soe-moayku. Namanya Sioe Lie." "Sioe Pek dan Sioe Lie. Sesuai dengan pakaian masing-masing." "Kami tujuh bersaudara memang dipanggil oleh Soe-bo sesuai warna masing-masing baju." "Oh ya?" mata Ching-ching membulat. "Siapa saja?" "Soe-cieku yang pertama Sioe Hung. Yang kedua Sioe Chen, ketiga Sioe Hek, soemoayku Sioe Lie, Sioe Lan, dan Sioe Tien." "Wah, bagus!" cetus Ching-ching. "Kalau dijejerkan, warna-warni seperti pelangi." "Siauw-moay, aku belum menanyakan namamu." "Eh, aku ..." ia bingung. Bagusnya A-hoa atau .... "Siauw-moay, kenapa" Lupa nama sendiri?" "Eh, aku Ching-ching, tapi A-thia biasa memanggil A-hoa." "Kenapa begitu?" Ching-ching mengangkat bahu, lalu memalingkan muka memandangi isi kamar. "Pek-ie-cie-cie, di sini banyak alat musik, tetapi kenapa banyak senjata juga?" "Siauw-moay, senjata itu adalah untuk berlatih silat, sedangkan khim dan lain-lain alat musik di sini untuk mengiringi tarian." "Kenapa disimpan bebarengan" Apakah tidak ada kamar lain?" "Bukan begitu. Tarian yang kami lakukan juga latihan silat." "Begitu?" "Ya. Kau tahukah, tairan dan silat sebetulnya hampir sama. Bedanya, dalam silat digunakan untuk menyerang dan bertahan, dibarengi tenaga, sementara tarian semata untuk keindahan dan bertumpu pada gemulainya gerak tubuh." "Wah, hebat! Pek-ie-cie, sudikah kau perlihatkan padaku?" "Kalau kau suka melihatnya, baiklah." Saat itu Sioe Lie masuk dengan tergesa. Ia tertegun melihat Ching-ching ada di sana juga. "Bocah kecil, dicari sedari tadi rupanya kau ada di sini," desisnya gemas. "Siapa suruh cari-cari," sahut Ching-ching. "Sedari tadi aku diam di sini." Sioe Lie berpaling ke arah soe-cienya dan mengoceh dalam bahasa aneh dengan sangat cepat. Sioe Pek cuma menjawab singkat-singkat saja. Sioe Lie cemberut lantas keluar sambil menghentak-hentakkan kaki gemas. "Pek-ie-cie, kau bicara bahasa apa barusan?" "Itu bahasa Mongol. Kau tertarik mempelajari?" "Boleh juga," jawab Ching-ching. "Di kapal ini aku tidak punya kerjaan. Tapi, sekarang kau lebih ingin melihatmu menari." Sioe Pek bertepuk tangan tiga kali. Lima orang memasuki ruangan, langsung mengambil alat-alat musik dan siap memainkannya begitu ada perintah. Sioe Pek mengambil sepasang golok pendek yang melengkung berkilat-kilat. Gadis itu memberi tanda. Musik segera mengalun merdu. Sioe Pek mulai menari, gemulai, layaknya seorang bidadari. Ching-ching yang menonton, melotot tak Ching Ching 52 berkedip. Ia masih terbengong-bengong ketika musik berhenti. Sesaat kemudian, barulah ia tersadar dan lantas saja bertepuk tangan dengan serunya. "Bagus sekali, bagus sekali!" serunya. "Pek-ie-cie, ajari aku tarianmu itu." "Besok-besok aku akan mengajari kau, asalkan kau mau memainkan sebuah lagu untukku." "Tentu saja mau," sambut Ching-ching gembira. "Kudengar tadi permainan khimmu baik juga. Nah, perdengarkanlah padaku!" "Baik!" Ching-ching duduk menghadapi kecapi. "Lagu apa yang kausuka?" "Apa saja, asal tidak sedih seperti yang tadi." "Aku akan memainkan sebuah, mudah-mudahan Cie-cie suka mendengarnya." Jari-jari mungil Ching-ching mulai memetik. Ia memilih sebuah lagu yang lincah gembira. Lagu itu adalah lagu kesukaan ibu angkatnya dulu. Sioe Pek mendengarkan dengan asyik. Ia menggerak-gerakkan kepalanya. Kakinya ikut mengetuk lantai. Ia menyukai lagu itu. Aneh, rasanya lagu tersebut tidak asing baginya. Tahu-tahu gadis berbaju putih itu melompat berdiri. Ya, ia mengenal lagu itu! Lagu tarian perang yang hanya dipelajari oleh pewaris tahta kerajaan negeri Shaie. Memang, jari-jari Ching-ching belum cukup panjang untuk memainkannya dengan sempurna, tetapi ia memetik cukup baik sehingga Sioe Pek dapat mengenali lagu tersebut. Ching-ching yang melihat kelakuan Sioe Pek menjadi keheranan. Ia menghentikan permainannya. "Pek-ie-cie, aku bermain jelek. Kau tentu tak suka mendengarnya." Sioe Pek tidak menjawab. Ia malah menatap Ching-ching lekat-lekat. "Siauw-moay, dari mana kau belajar lagu itu?" "Dari ibuku," jawab Ching-ching. "Dan batu giok putih yang kemarin itu?" "Dari ibuku juga." "Dan ilmu silat yang kaugunakan?" "Sama. Kenapakah Pek-ie-cie?" "Siauw-moay, coba perlihatkan padaku giok itu," pinta Sioe Pek. Ching-ching mengeluarkan giok itu dari balik bajunya. "Siauw-moay, kalau benar ibumu pemilik giok ini, maka sebenarnyalah ia seorang putri. Katakanlah, apakah ia punya tanda merah berbentuk kepala rajawali di telapak tangannya?" "Betul sekali," kata Ching-ching bersemangat. "Pek-ie-cie, dari mana kau tahu" Apakah kau mengenalnya?" "Tidak. Aku bahkan belum pernah melihatnya. Tapi, guruku pernah cerita ... Sioe Pek pun menceritakan apa yang pernah ia dengar dari gurunya. Kira-kira 28 tahun berselang, kerajaan Sha-ie di bilangan daerah Mongol dipimpin seorang raja yang gagah perkasa lagi adil bijaksana bernama Lung Fei. Raja yang dicintai rakyatnya ini mempunyai seorang anak perempuan yang berumur delapan belas tahun, Lung Yin namanya. Dialah satu-satunya pewaris tahta kerajaan. Sesuai adat mereka, semenjak lahir di tangannya diberi tanda untuk menghindari hal-hal tertentu, semisal penukaran bayi untuk merebut tahta atau semacamnya. Putri kerajaan ini dididik dalam bidang politik dan sastra. Selain itu, ia juga diajari bermacam kepandaian perang. Untuk yang terakhir ini ia diserahkan kepada seorang panglima perang wanita bernama Lung Shia, adik lain ibu dari Lung Fei sendiri. Gadis ini sejak muda sudah diajarkan untuk membela keadilan. Ajaran bibinya ini mengakar dalam di hatinya. Apalagi, bibinya itulah satu-satunya pengganti ibu kandungnya yang telah mangkat sejak ia masih kecil. Ching Ching 53 Lung Yin bukanlah seorang yang berbakat boe. Ia lebih berhasil di bidang boen. Hanya didikan keras dan kasih sayang Lung Shia saja yang dapat membuatnya cukup memiliki ilmu untuk melindungi diri dalam tingkat lumayan. Di lain pihak, jiwa petualang sang bibi menurun pada Lung Yin. Ia bercita-cita datang ke Tiong-kok Ching Ching Karya ??? di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo yang menurut cerita orang, banyak orang pandai baik mengenai boen maupun boe. Untuk itu, sedikitnya ia harus berkepandaian supaya dapat melindungi dari penjahat yang katanya lagi tak kurang banyaknya di sana. Lung Yin belum lagi menamatkan pelajaran ketika suatu saat berkesempatan mewujudkan keinginannya. Ia berlayar ke Tiong-kok tanpa seizin ayah maupun bibinya yang juga sebagai gurunya. Kabar terakhir yang didengar tentang dirinya adalah ia mendapat julukan Sat-kauw-sian-lie, menandakan Lung Yin adalah seorang yang selalu menegakkan keadilan. Sesudah dua tahun malang-melintang di Tiong-kok, tak seorang pun juga pernah mendapat kabar mengenai gadis ini. Lung Fei tak pernah berhenti mencari kabar putrinya itu. Tiap tiga tahun sekali ia mengirim utusan pencari berita. Sayangnya, semua usaha sia-sia belaka. Untuk menentramkan rakyat yang gelisah bahwa pewaris tahta tak kunjung tiba, Lung Fei menunjuk kemenakannya laki-laki menggantikan putrinya. Ia juga mengawinkan kemenakannya ini dengan putri bangsawan terpandang. Dari perkawinan ini hasilnya adalah seorang anak perempuan yang diberi nama Chin Yee. Sungguh kasihan nasib Chin Yee. Ayahnya mati lebih dulu daripada Lung Fei. Dan istrinya menjadi sakit-sakitan saking merana dan menyusul suaminya sebelum Chin Yee berusia dua tahun. Sejak itu, Chin Yee diasuh Peh-kongnya dan kelak dialah yang akan memerintah kerajaan Sha-ie. Kecuali, Lung Yin atau keturunannya kembali ke negeri tersebut ... "Pek-ie-cie, apakah kau mengira putri Lung Yin adalah ibuku?" tanya Ching-ching setelah Sioe Pek bercerita. "Siauw-moay, kau memang sungguh pintar." "Bagaimana bisa" Lantas, aku kauculik ini mau dibawa pulang ke Sha-ie?" "Tepat sekali." "Lantas, aku harus menggantikan kedudukan ... eh, siapa itu ... Chin Yee itu?" "Betul. Ching-ching menggeleng-geleng sambil tertawa. "Pek-ie-cie, terus terang saja, aku tidak percaya." "Aku tidak berdusta." "Hah, baiklah. Mau tidak mau, aku toh mesti percaya juga. Tapi ... Pek-ie-cie, aku sungguh ada urusan penting di daratan. Sebelum ibuku meninggal ...." Ching-ching melihat wajah Sioe Pek berubah pucat. "Eh, aku lupa ngomong kalau ..." "Ibumu meninggal?" Sioe Pek mengeluh dalam bahasanya sendiri. Ching-ching melanjutkan kata-katanya. "Sebelum ibuku meninggal, beliau minta supaya aku menjaga A-thia. Sekarang A-thia pergi. Aku harus cari. Belakangan kudengar ia ada urusan di Hoei-ho. Tak nyana, di tengah jalan aku dibawa kabur orang ..." Wajah Sioe Pek memerah. "Siauw-moay, aku bukan tukang culik." "Aku tahu," kata Ching-ching cepat. "Tapi, Pek-ie-cie, aku sungguh harus mendapatkan ayahku. Perjalananku sudah tertinggal berhari-hari. Aku tak mau ketinggalan semakin jauh. Pek-ie-cie, kau mengerti bukan" Sekarang bisakah kita kembali ke darat mencari ayahku" Setelah itu aku akan ikut ke Sha-ie, lagian ayahku belum leihat gak-hoenya bukan?" "Siauw-moay, aku sungguh ingin, tetapi saat ini angin berhembus ke utara. Ching Ching 54 Kembali ke Tiong-kok berarti menentang angin. Itu bakal makan lebih banyak waktu dan tenaga. Begini saja. Kau ikut kami ke Sha-ie. Sesampai di sana, aku akan usahakan utusan-utusan tercepat untuk menyusul a-thiamu. Aku berjanji. Kau mau kan?" "Sesungguhnya tidak mau, tetapi tak ada lagi yang dapat kulakukan." Dengan kecewa, Ching-ching meninggalkan kamar musik itu diiringi pandangan menyesal di mata Sioe Pek. Hari-hari selebihnya, Ching-ching sungguh senang tinggal di kapal besar itu. Ia belajar menari, bermain musik, memasak, bahkan kadang-kadang berlatih silat dengan Sioe Pek. Ia juga banyak belajar bahasa Mongol dari gadis-gadis lain di kapal itu, sekalipun pengucapannya agak kurang tepat, sehingga membuat orang tertawa. Pembawaannya yang lincah membuat ia cepat disayangi semua orang. Mereka mau saja kalua Ching-ching mengajak bermain kucing-kucingan atau petak umpet. Sioe Pek yang biasanya begitu anggun pun kadang-kadang ikut juga. Hanya Sioe Lie saja yang masih tidak suka pada Ching-ching. Ching-ching juga selalu menghindar darinya. Hanya saja, kalau ia benar-benar iseng, ia mendekati Sioe Lie lalu meledek gadis itu. Sioe Lie yang penaik darah sering terpancing. Kalau sudah begitu, ia akan mengejar Ching-ching ke mana pun anak itu lari. Saat-saat inilah yang menjadi hiburan bagi seisi kapal. Mengerjai Sioe Lie, cuma Ching-ching orang yang berani. Dua hari lagi mereka akan tiba di Sha-ie. Ching-ching menunggu dengan gelisah. Ia ingin tahu, macam apakah negeri yang mereka tuju itu. Suatu malam, ia menanyakan hal itu kepada Sioe Pek. "Sha-ie adalah negeri yang indah. Kecil memang, namun ramai. Orang dari berbagai-bagai negeri sering singgah di sana. Begitulah, sehingga kebudayaan Sha-ie merupakan gabungan kebudayaan beberapa negeri." "Kedengarannya menarik." "Besok pagi kau bisa lihat sendiri. Sekarang baiknya kau istirahat. Sehabis kejar-kejaran dengan Sioe Lie tadi, kau mestinya lelah kan?" "Iya, Sioe Lie Cie-cie larinya cepat sekali." "Kalau di darat, kau tak akan dapat lepas darinya." "Oh ya" Sampai di darat nanti aku akan coba." "Boleh, tapi sekarang kau tidurlah. Di kamarnya, Ching-ching masih berpikir-pikir. Duluuu sekali, Meng Sian-seng pernah cerita bahwa seorang putri raja tinggal di gedung yang besar dan indah. Kerjanya sehari-hari hanya makan, main, dan berdandan. Kalau ia jadi putri Shaie, akankah hidupnya seperti itu juga" Betapa membosankan. Tetapi, bagaimana kalau raja Sha-ie menolaknya" Akankah ia dapat pulang ke Tiong-kok lagi" Kalau dijebloskan ke penjara bagaimana" Ching-ching berpikir-pikir sampai akhirnya tertidur kelelahan. Dalam mimpinya, ia hidup sebagai putri raja yang memakai pakaian mewah dan mukanya berbedak serta bergincu. Sehari-harinya ia hanya main kejar-kejaran dengan Sioe Lie yang menjadi dayang-dayangnya. Garis pantai sudah tampak. Tak sampai setengah hari lagi, mereka akan tiba di Sha Ie. Siu Li, Siu Pek, dan Ching-ching berdiri berjajar di geladak. Mereka tidak berkata-kata. Hanya pandangan ke arah yang sama. Kapal merapat ke tepian, tempat kapal-kapal besar yang lain menanti. Siu Li melompat, mendarat di pantai. Kelakuannya menyebabkan seruan kagum dari beberapa Ching Ching 55 orang yang menjaga kapal-kapal besar. Siu Pek tidak mau kalah. Ia melayang bagai kapas tertiup angin. Bajunya yang panjang berikubar. Selendangnya meliuk. Gayanya anggun sekali. Mata yang menonton terbelalak. Seruan mereka makin keras. Dikiranya ada bidadari dari kahyangan. Siu Pek melayang turun, tepat di sebelah Siu Li. Tahu-tahu mukanya memerah ketika melihat Ching-ching masih di atas kapal. Ia sungguh malu. Gara-gara ingin mendapat pujian, sampai dilupakannya Ching-ching, "tamu" mereka. Ia sudah menggerakkan selendang untuk menolongi Ching-ching ketika Siu Li menahannya. Siu Li ingin membalas kelakuan Ching-ching di kapal. Biar anak itu turun, dan basah kecebur, pikirnya. Melihat anak itu belum bergerak juga, Siu Li berteriak menantang. "He! Ayo, turun! Kenapa diam saja" Takut ya?" Ditantang begitu, karuan saja Ching-ching marah. Diamnya barusan adalah karena kagumnya melihat Siu Pek. Kalau soal turun, ia belum pikirkan. Anak itu lantas saja melompat ke air. Siu Li bersorak. Basah dia sekarang! Aku bisa ejek! Pikirnya. Siu Pek sudah bersiap menolong kalau-kalau Ching-ching tak bisa berenang dan tenggelam. Tapi, Ching-ching tidak butuh pertolongan siapa-siapa. Ia melompat bukannya tanpa perhitungan. Diingat-ingatnya ajaran ibu angkatnya. Ia mengerahkan gin-kang dalam Lan-hoa-sui-sang sehingga dapat berjalan di atas air. Ia melangkah dengan mantap, seperti di tanah datar saja. Semua mata yang melotot ke arahnya tidak dihiraukan. Sorak Siu Li terhenti. Ia ikut membelalak. Ketika Ching-ching menginjak daratan, ributlah orang bersorak dan bertepuk tangan. Orang-orang itu memang kagum melihat Siu Li dan Siu Pek yang bisa terbang. Tapi, di Sha Ie tak sedikit orang berkepandaian demikian. Setidak-tidaknya mereka pernah dengar. Tapi berjalan di atas air" Cuma dewa yang bisa lakukan! Siu Li dan Siu Pek tak kalah heran. Gin-kang Ching-ching begitu hebat. Barangkali ada setingkat di atas mereka. Diam-diam mereka kagum pada gadis cilik itu. "Eh, kenapa jadi bengong" Ayo jalan. Ke mana kita sekarang?" Ching-ching berceloteh, tak peduli dengan sekitarnya. "Kita ... kita ke kota raja sekarang," terkejut Siu Pek ketika menyahuti. "Asyik," sorak Ching-ching. "Seberapa jauh dari sini?" "Tidak lama. Dengan berlari cepat, kita akan sampai lewat tengah hari nanti," ucap Siu Li. Dahi Siu Pek berkerut. Buat apa repot" Dengan berkuta, mereka akan lebih cepat tiba. Tapi, kemudian ia melihat kilatan mata adik seperguruannya. Siu Li masih ingin menguji. Biarlah, supaya soe-moaynya itu senang sedikit. "Baik, sambut Ching-ching. "Ayo." Mereka mulai berlari. Mula-mula belum terlalu cepat. Ching-ching masih dapat mengikuti. Lama-kelamaan, Siu Lie berlari makin cepat dan makin cepat. Ching-ching mulai kelabakan. Sekarang ia tahu maksud Siu Lie, dan ia pantang menyerah begitu saja. Siu Li gemas melihat Ching-ching masih dapat menyusul. Ia tambah lagi kekuatan larinya, tapi masih juga dapat dijejeri. Herannya, Ching-ching hanya berusaha menjejeri dan bukannya mendului. Ini merupakan taktik Ching-ching. Ia ingin menunjukkan kebolehannya di depan Siu Li. Untuk kalah, pantang baginya. Paling sedikit, ia harus selalu menjejeri Siu Ching Ching 56 Li. Bisa saja ia mendului pada saat permulaan, tetapi hanya sementara. Tenaganya akan habis duluan. Beberapa li ke depan, bisa jadi malah ketinggalan. Belum lagi, ia tak tahu jalan. Kalau semestinya belok dan ia jalan terus, wah bisa berabe. Lagipula, sekarang ini pun ia sudah kepayahan. Tapi, tentu saja Siu Li tak boleh tahu hal itu. Siu Pek tidak mengikuti persaingan, hanya menonton. Ia berlari di belakang Siu Li dan Ching-ching. Setiap kali kecepatan keduanya bertambah, ia juga menambahi tenaganya. Pokoknya, jarak ia dan kedua gadis itu selalu tetap. Setelah mengikuti belasan li, ia dapat melihat betapa Ching-ching kepayahan dan mulai ketinggalan, sementara Siu Li, yang menyadari Ching-ching berada beberapa tombak di belakang, makin mengempos semangat. Ching-ching masih berusaha menyusul, namun sia-sia belaka. Dalam gin-kang, boleh jadi ia jago. Tapi, soal tenaga, ia tertinggal jauh dari Siu Li. Siu Pek, yang melihat gigihnya usaha Ching-ching, tidak rela kalau anak itu kalah. Tapi, apa yang dapat ia lakukan" Satu ingatan melintas! Ya, ia dapat menolong Ching-ching mengalahkan Siu Li. Buru-buru dijajarinya Ching-ching. "Siaw-moy, kau tak mau kalau ketinggalan dari su-moyku itu kan?" Ching-ching mengangguk-angguk. Ia tak mau buka suara, kalau-kalau ketinggalan semakin jauh. Siu Pek menahan Ching-ching sehingga mereka berhenti berlari. "Kau mau segera menyusulnya?" Ching-ching mesti mengatur napas dulu sebelum sanggup menjawab. "Tentu saja, tapi bagaimana bisa?" "Ada satu jalan. Ayo!" Siu Pek menarik Ching-ching ke tepian jalan. Tak jauh dari tempat mereka berdiri, ada sebuah jalan kecil yang hampir-hampir tidak kelihatan dari jalan utama. Ke sanalah mereka berdua menuju. "Siaw-moy, di depan nanti Siu Li harus melalui jalan yang berbelok-belok. Kalu lewat jalan ini, kita akan menembus jalan yang rata, mendahului su-moyku. Kita tak perlu buru-buru, jadi kau dapat memulihkan tenaga sejenak." Ching-ching mengangguk-angguk mengerti. Mereka menyusuri jalan kecil itu tanpa berkata-kata. Ching-ching mengatur napas sambil berjalan.s ebentar saja ia sudah tidak tersengal-sengal. Tenanganya juga hampir pulih. Ujung jalan pintas itu sudah di depan mata. "Pek-ie-cie, menurut perhitunganmu, apakah Ci-ci Siu Li sudah lewat ke sini?" "Belum. Kalau di jalan ia tidak istirahat, sebentar lagi barulah ia lewat." "Bagus, biar kita duduk-duduk sebentar." "Lho" Kok begitu?" "Ya. Ci-ci Siu Li bukan orang bodoh. Kalau tanpa melewatinya aku tah-tahu sudah berada di depan, dengan segera akan diketahui kalau aku mengambil jalan pendek. Tapi, kalau kita biarkan ia lewat lalu menyusul dan mendului, setidaknya butuh waktu lebih lama untuk tahu sebabnya." Siu Pek mengangguk-angguk. "Baiklah. Asal kau ingat, di simpang pertama yang kautemui nanti, beloklah ke kiri. Kira-kira tiga li dari sana, kau akan tiba di gerbang kota raja. Jangan masuk lewat depan. Lewatlah pintu barat. Kau akan melihat rumah makan bear. Pesanlah makanan dan tunggu kami di sana." Saat itu, kelihatanlah bayangan Siu Li yang masih berlari. Ching-ching mengintai, membiarkan saingannya lewa sekitar dua ratus tombak ke depan. Lalu ia berbisik pada Siu Pek, "Pek-ie-cie, sampai ke temu di rumah makan. Lalu, ia melesat menyusul Siu Li." Ching Ching 57 Semenjak berhasil mendului Ching-ching, Sui Li sudah senang bukan main. Ia memang lelah, tapi tak mau berhenti beristirahat, takut kalua-kalau Ching-ching sempat menyusul. Hanya saja, setelah beberapa kali menengok ke belakang dan tidak melihat bayangan Ching-ching maupun su-cinya, ia mulai merasa heran. Apalagi, kupingnya yang terlatih baik tak dapat mendengar derap kaki orang. Tapi, dalam hatinya ia menduga, Barangkali bocah sialan itu semaput di jalan dan Su-ci kerepotan menolong. Berpikir begitu, hampir saja Siu Li berhenti dan beristirahat. Tapi ia adalah seorang yang licik dan curigaan pula. Jangan-jangan ia memang jebak aku supaya istriahat. Sukur-sukur kalau aku ketiduran dan gampang saja ia menyusul. Huh, dasar bocah licik! Termakan pikiran sendiri, Siu Li buru-buru mempercepat larinya. Ia tak memperhatikan sekitar. Yang ada dalam kepala hanyalah perintah untuk lari dan lari, supaya menang dari Ching-ching, bocah yang selalu bikin panas hatinya itu. Dan, karena ia berkonsentrasi ke jalan di depannya, tak kelihatanlah bayangan di balik semak-semak yang mengintai. Ching-ching mengerahkan tenaga mengejar Siu Li yang sudah ratusan tombak di depan. Jarak mereka semakin dekat. Kini hanya beberapa belas tombak saja antara mereka. Tanpa buang waktu, ia lantas menyusul. "Permisi, Ci-ci Siu Li, aku duluan," katanya ketika melewati Siu Li. Siu Li kaget bukan main. Hatinya mencelos. Tenaganya jadi berkurang, sehingga Ching-ching dapat melewatinya makin jauh. Siu pek yang mengawasi diam-diam bersorak. Sudahnya, dia malu sendiri. Heran, sebelum ini ia tak pernah berniat mempermainkan orang. Memikirkan saja pun belum pernah. Tapi, tak lama mengenal Ching-ching, ia sudah ketularan iseng. Dan dia merasa senang atas keisengannya itu! Ching-ching mengikuti petunjuk Siu Pek. Tak seberapa lama, ia sudah sampai di tembok kota raja. Di pintu gerbang utama dilihatnya beberapa penjaga memeriksa dengan teliti orang-orang yang datang. Ching-ching tak mau direpotkan mereka. Seperti yang disuruh Siu Pek, ia mengitar ke sebelah barat. Pintu gerbang barat ini tidak sebesar pintu gerbang selatan. Di sini juga ada beberapa penjaga, tapi kelihatan tidak segawat rekan-rekannya tadi. Ching-ching juga melihat beberapa saudagar yang menyogok dibiarkan lewat tanpa pemeriksaan lagi. Hmm, jad begitu caranya melicinkan jalan. Ketika Ching-ching lewat, para penjaga itu tampak tak peduli. Paling anak salah seorang saudagar, pikir mereka. Lagipula, apa yang bisa didapat dari seorang anak kecil yang berjalan sendirian" Sesampainya di dalam kota raja, Ching-ching segera menunggu di rumah makan yang disebut Siu Pek dalam petunjuknya. Ia sempat melihat banyak orang yang datang dan pergi sebelum Siu Pek dan Siu Li akhirnya datang. "Siaw-moay, sudah lama menunggu?" Siu Pek menyapa lebih dulu. Di belakangnya Siu Li mengikuti dengan wajah cemberut. "Lumayan," jawab Ching-ching. "Kenapa kau tidak pesan makanan?" "Pelayan itu tidak mengerti apa yang kukatakan. Padahal, aku sudah bicara dalam bahasa Mongol." Ching Ching Karya ??? di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Tahu-tahu Siu Pek tertawa. Siu Li tersenyum-senyum. "Siaw-moay, ini adalah rumah makan orang Han. Pelayannya juga bangsa Han dan mereka rupanya tidak mengerti bahasa Mongl. Kau kusuruh ke sini karena aku kuatir kau kesulitan dalam bahasa." Siu Pek masih tertawa. Ching Ching 58 Wajah Ching-ching memerah. "Pek-ie-cie, semestinya kau bilang dari tadi-tadi." "Siapa suruh kau sok tahu," sahut Siu Li ketus. Ching-ching mencibir Siu Li balas mencibir juga. "Sudah, sudah. Jangan musuhan terus. Sekarang waktu makan." Siu Pek memanggil pelayan dan memesan makanan. Selama makan, Ching-ching dan Siu Li saling diam sekalipun ada saatnya kedua gadis itu saling melirik dengan sikap bermusuhan. Sekali waktu, Ching-ching dan Siu Li sama-sama hendak mengambil daging ayam di sebuah piring. Kebetulan mereka memilih sepotong yang sama pula. Sumpit yang mereka pegang beradu. "Itu milikku!" kata Siu Li. "Siapa bilang" Aku duluankok." Ching-ching tak mau kalah. Siu Li mencapit sumpit Ching-ching, menjauhkannya dari piring daging. Ching-ching enggan menyerah. Ia juga menghalangi sumpit Siu Li yang siap mengambil daging. Akhirnya terjadi perang sumpit di antara mereka. Siu Li berhasil mengambil daging yang diincarnya, ketika sumpit Ching-ching membentur sumpitnya. Daging ayam itu terlontar ke atas, dan sebelum jatuh ke atas mangkuk milik Ching-ching, sepasang sumpit lain sudah keburu mendapatkannya. "Terima kasih memberikan daging ini untukku, Leng-moay." Siu Pek menggigit daging yang jadi rebutan itu, sementara Siu Li dan Ching-ching sama-sama melotot kesal. "Aku tak mau makan." Siu Li membanting sumpitnya ke meja hingga patah menjadi potongan-potongan kecil. Tadinya, Ching-ching juga hendak berlaku demikian, tapi demi melihat Siu Li berkata duluan, ia berubah pikiran. Diambilnya sayuran lain dania makan dengan enak. "Sayur seenak ini, sayang kalau tidak dimakan. Aneh, Cie-cie Siu Li baru makan beberapa suap, sudah kenyang. Barangkali takut kegemukan ya?" sindir gadis bandel itu. Siu Li mendelik marah, lantas membuang muka dengan amat kesalnya. Sehabis makan, agak terburu-buru mereka melanjutkan perjalanan ke kerajaan. Sebenarnya Ching-ching ingin melihat-lihat keramaian di sepanjang perjalanan. Banyak barang yang indah, yang belum pernah ia lihat. Sayangnya, mereka tak punya waktu untuk singgah. Ching-ching terkagum-kagum ketika sampai di istana. Bangunannya luaaas sekali, dengan halaman yang juga sangatluas. "Ini belum apa-apa," kata Siu Li. "Kalau nanti kau masuk, hati-hati, jangan sampai pingsan di hadapan raja." "Kalau nanti aku masuk ke ruang utama, baiknya kalian tunggu di luar," kata Siu Pek. "Aku tak mau berdua dengannya," Siu Li menolak. Siu Pek berkata sangat-sangat cepat dalam bahasa Mongol, sehingga Ching-ching tak dapat menangkap. Tapi, ia melihat wajah Siu Li yang berubah keruh. Ia menduga bahwa gadis itu diomeli su-cienya. Sukur! Siapa suruh melawan melulu!. Siu Pek masuk ke dalam ruangan utama. Lung Fei, raja Kerajaan Sha Ie baru saja selesai memimpin sidang bersama para penasihatnya. Ia terkejut melihat Siu Pek memberi hormat. "Hormatku pada Tuanku!" "Eh, kuterima hormatku. Kau ... bukankah kau salah satu murid adikku" Kau kan yang mendapat tugas mencari kabar ke Tiong-goan?" "Itulah saya, Tuanku." "Apakah ada berita tentang anakku?" "Tidak pasti, tetapi saya ada membawa seorang anak perempuan ...." Siu Pek Ching Ching 59 menceritakan pertemuannya dengan Ching-ching sampai bocah itu dibawa ke Sha Ie. "Hmm, jadi ia memiliki pek-giok milik putriku?" Lung Fei mengerutkan kening. "Coba bawa dia masuk. Aku ingin melihatnya!" Siu Pek mengundurkan diri, keluar ruangan mencari Ching-ching, tapi ia tak bertemu siapa pun di luar sana. Tidak ada Ching-ching. Siu Li juga entah ke mana. Kebingungan ia mencari di sekitar sana. Ia menemukan keduanya di halaman belakang, sedang berlarian. Siu Li mengejar-ngejar Ching-ching, sementara bocah bandel itu lari sambil mengacung-acungkan sesuatu. "Ching-ching, Siu Li, sedang apa kalian?" tegur Siu Pek. "Bukankah tadi aku suruh kalian berdua menunggu di luar ruang utama?" Ching-ching buru-buru menghampiri dan bersembunyi di belakang gadis itu. Siu Li mengejar sambil bersungut-sungut. "Su-ci, bocah ini sungguh kurang ajar," kata Siu Li, disambung serentetan omelan dalam bahasa Mongol. "Ching-ching, kauapakan adikku?" "Dia mencopet suling bambuku," Siu Li yang menyahuti. "Betul?" Siu Pek bertanya pada Ching-ching. "Salahnya sendiri," Ching-ching membela diri. "Mau pinjam saja, pelit betul. Diminta baik-baik, tak boleh. Ya sudah, kusambar saja dari pinggangnya." "Sudahlah. Ayo ikut menghadap raja. Tapi ingat, di hadapan beliau nanti, kau jangan main gila." "Baiklah." "Eh, tunggu! Kembalikan dulu sulingku!" Siu Li membentak. "Nih!" Ching-ching melempar suling itu jauh-jauh. Siu Li mengejar, tak rela kalau sulingnya sampai menyentuh tanah. Ching-ching tertawa. Siu Pek menggeleng-gelengkan kepala. "Kalau murid guruku sepertimu semua, bisa makan hati su-moyku itu." "Kalau begitu, murid gurumu baik-baik semua ya." "Jelas. Guruku orangnya amat tegas dan keras dalam mendidik." "Wah, baru dengar saja, aku sudah ngeri," kata Ching-ching, "apalagi kalau bertemu orangnya." "Sst. Ayo masuk. Kau jangan lupa beri hormat." "Beres." Keduanya menghadap ke ruang utama. Ching-ching terbengong-bengong melihat tempat yang luas itu. Banyak sekali orang di dalam sana. Dan bajunya aneh-aneh. Lucu sekali. Hampir Ching-ching lupa memberi hormat. Baru ketika Siu Pek berlutut, ia teringat dan langsung menyoja. Tapi ia belum berlutut. "Aku Ching-ching memberi hormat," katanya lantang. Siu Pek melirik, terkejut melihat anak itu hingga sama-sama berlutut. Ching-ching hendak berdiri lagi, namun tangan Siu Pek menekan tangannya, sehingga ia tak dapat berdiri. Ching-ching meringis. "Aduh, Pek-ie-cie, pegangnya jangan keras-keras," katanya pelan, tapi belum cukup pelan sehingga masih dapat didengar oleh Lung Fei. "Lepaskan!" perintah Lung Fei. Begitu dilepas, Ching-ching bangkit berdiri lagi. Tanpa takut-takut, ia langsung menentang mata Lung Fei yang terbelalak menatapnya. Lung Fei, semenjak Siu Pek melapor tadi, sudah kegirangan akan mendengar kabar mengenai anaknya, walaupun ia kurang percaya kalau ia sudah punya cucu. Tapi, hatinya berharap juga kalau bocah yang dibawa murid adik tirinya ini betul Ching Ching 60 cucunya. Akan seperti siapa wajahnya" Mirip ibunyakah, mirip ayahnya, atau gabungan keduanya" Lung Fei sudah menduga-gua. Namun, ketika melihat Ching-ching, ia terkejut bukan main. Apalagi, ketika bertemu pandang dengan sorot mata gadis itu. Ching-ching kini dapat melihat orang yang disebut raja Sha Ie itu lebih jelas. Orangnya sudah cukup tua, kira-kira tujuh puluh tahun umurnya. Rambut, kumis, dan alisnya sudah memutih. Jenggotnya juga. Matanya menyorot ramah. Ching-ching langsung menyukai orangtua itu, sekalipun tampak ketolol-tololan dengan mata melotot dan mulut terbuka. Lung Fei terperanjat seolah melihat setan. Bukan main. Bocah yang ada di hadapannya ini sama persis dengan putrinya. Ia seolah melihat lagi putrinya tiga puluh yang lalu, ketika masih kecil. Tahu-tahu Ching-ching tertawa keras sekali, memcah kesunyian di ruangan itu. Ia merasa geli, melihat kakek tua di hadapannya dan orang-orang di sekelilingnya bengong memandangi dia. Tawanya membuat Lung Fei dan para penasihatnya tersadar. Dan tawa Ching-ching selalu membuat orang di sekitarnya tertawa juga. Akhirnya, semua orang di ruangan itu ikut tertawa tanpa tahu apa yang mereka tertawai, kecuali Siu Pek. Gadis itu menunduk dengan wajah merah padam. Ketika akhirnya semua sudah berhentit ertawa, suasanya yang kaku dan tegang di ruangan itu berubah hangat dan akrab. Masih tersenyum-senyum, Lung Fei memanggil bocah di hadapannya supaya mendekat. Tanpa ragu, Ching-ching melangkah maju. "Anak kecil, mengapa kau tertawa?" tanya Lung Fei. "Kau sendiri kenapa tertawa?" Ching-ching balas bertanya. Siu Pek tersekat. Astaga, anak itu menyebut rajanya yang sangat ia hormati itu kau begitu saja dengan enteng. Seperti kepada seorang teman saja! Lung Fei gelagapan. Ia tak tahu sebabnya tertawa barusan. Mungkin karena terharu bertemu cucunya, tapi ia tak tahu pasti. "Aku tidak tahu," jawabnya setelah terdiam beberapa waktu. "Barangkali karena aku sedang senang hari ini. Eh, anak kecil, siapa tadi namamu" Berapa tahun umurmu?" "Namaku Ching-ching. Bulan depan, umurku tepat sembilan tahun." "Ching-ching, siapa orangtuamu?" "Thia-thia, Nio, A-thia, dan Ibu," jawab Ching-ching menyebutkan sekaligus orangtua kandungnya dan orangtua angkatnya. Namun, Lung Fei salah mengerti. Dikiranya Ching-ching menyebutkan dua kali untuk menegaskan. "Siapa nama ayahmu?" "Yang mana?" tanya Ching-ching. "Tentu saja A-thiamu," kata Lung Fei, karena sebuatan A-thia kedengaran lebih akrab. "A-thiaku Chow Han Wei." "Ibumu?" Ching-ching teringat ibu angkatnya. "A-thia memanggilnya Nio-cu. Lung Fei agak kecewa. Masa anaknya tidak memberitaukan nama sendiri kepada cucunya ini. "Kau anak tunggal?" tanya Lung Fei, mengharap anaknya berketurunan laki-laki. Tapi, ia tidak menyesal ketika Ching-ching mengangguk. Pokoknya, ia punya cucu. "Ibumu ada berikan tanda kepadamu?" "Ya. Ini." Ching-ching mengeluarkan kemala putih dari saku baju dan menyodorkannya kepada Lung Fei. Lung Fei tercekat melihat giok putih dengan lambang kepala rajawali itu. Benar, itu milik anaknya. Putri satu-satunya yang pergi mengembara dua belas tahun Ching Ching 61 lalu. "Ini milik anakku," gumamnya dengan suara bergetar. "Di mana dia" Di mana ibumu?" "Ada di mana-mana," jawab Ching-ching. "Di langit, dan di dalam sini." Ia menunjuk ulu hatinya. "Ibumu ... sudah ... meningal?" Lung Fei berkata nyaris tak terdengar. Ching-ching mengangguk dengan mata yang mulai kabur oleh air mata. Lung Fei terdiam sesaat. Lantas ia berbicara dalam bahasa Mongol kepada orang-orangnya. Serentak semua laki-laki di ruangan itu membuka kopiah mereka dan yang perempuan menguraikan rambutnya tanda berkabung. "Sudah berapa lama?" tanya Lung Fei lagi. "Satu tahu," jawab Ching-ching setelah menguatkan hati supaya suaranya tidak gemetar. Lung Fei mengangguk. Ia meletakkan kedua tangannya di pundak Ching-ching. "Kau cucuku," katanya. "Mulai sekarang, kau harus tinggal bersamaku. Kau akan dididik dan dilatih segala macam ilmu yang pantas diajarkan pada seorang raja." Setelah berkata demikian, Lung Fei mengebaskan tangan, menyuruh Siu Pek mengundurkan diri bersama Ching-ching. Siu Pek mengajak gadis cilik itu pergi. Di luar, Ching-ching tidak tahan untuk tidak bertanya. "Pek-ie-cie, sekarang aku mau diapakan?" "Putri sudah dengar sendiri. Putri akan tinggal bersama Raja di istana." "Eh, Pek-ie-cie, apa-apaan. Aku bukan putri. Namaku Ching-ching." "Sekarang kau seorang putri Kerajaan Sha Ie." "Apa peduliku. Pokoknya, namaku Ching-ching, titik. Jangan diembel-embeli macammacam." "Tapi - " "Tidak pakai tapi, atau aku pergi dari sini." "Mana bisa?" "Mau bukti?" Sekali bergerak, Ching-ching sudah berlari menjauh. Siu Pek kaget, namun cepat kuasai diri. Tanpa banyak kesukaran, ia dapat menangkap Ching-ching. "Tidak sekarang, kan bisa nanti." Ching-ching belum mau mengalah. "Sudah, jangan banyak tingkah." Tahu-tahu Siu LI sudah ada di belakang mereka. "Sejak sekarang, ada dayang-dayang yang mengikutimu ke mana pun kau pergi." "Hmm, kalau kau yang jadi dayang-dayangku, lebih baik tak usah." Ching-ching mencibir. "Huh, siapa kesudian jadi pelayanmu." "Kalau begitu, aku akan minta supaya kau yang melayaniku." Mat Ching-ching berkilat jahil. "Tak sudi." Siu Li membalikkan badan dan pergi. Ching-ching dan Siu Pek berjalan ke arah lain, menuju kamar. Benar saja, di kamar itu ada dua orang kiong-lie yang siap melayani Ching-ching. Siu Pek sudah akan pergi, supaya Ching-ching bisa beristirahat, ketika Ching-ching menarik bajunya. "Pek-ie-cie, temani aku di sini," rengek anak itu. "Eh, kenapa" Kan sudah dua orang yang tinggal menemanimu?" "Aku tak kenal mereka. Lagian, apa mereka mengerti apa yang kuomongkan?" "Oh ya. Aku lupa kau belum dapat bicara lancar dalam bahasa Mongol. Begini saja. Sekarang harus sudah sore. Kau bersihkan dirimu, makan, dan istirahat. Kau tidak perlu bicara kepada mereka. Besok pagi, begitu kau bangun, aku akan ada di sini dan menemanimu seharian." Ching Ching 62 "Kenapa tidak sekarang saja?" "Aku harus menemui guruku lebih dulu." "Aku ikut." "Katanya, kau ngeri ketemu guruku," goda Siu Pek. "Lagipula, tempatnya cukup jauh. Kalau sekarang aku berkuda cepat-cepat, sebelum malam aku akan sampai di sana, dan besok pagi bisa cepat kemari lagi." "Su-ci, kuda kita sudah siap." Kepala Siu Li nongol di antara tirai. "Aku segera ke sana," sahut Siu Pek. "Nah, Ching-moay, kau istirihatlah. Sampai ketemu besok pagi." Siu Pek pergi. Ching-ching memandangi kedua dayang-dayangnya. Ia tersenyum kepada mereka, manun kedua gadis usia enam belasan tahun itu buru-buru menunduk. Ching-ching mendengus kesal. Dipikir-pikir, mendingan punya dayang kayak Siu Li, daripada yang pemalu macam manusia di depannya ini. Siu Pek dan sumoynya memacu kuda ke luar kota raja. Di sebelah utara kota itu ada gunung yang tinggi. Ke sanalah mereka menuju. Ke tempat yang agak terpencil dari dunia luar. Tempat mereka belajar seumur hidup bersama guru dan saudara-saudara seperguruan mereka, yang semuanya perempuan. Belum sampai setengah perjalanan, mereka melihat lima orang yang measing-masing menunggang kuda yang terawat baik. Mereka langsung mengenali orang-orang itu, yang tak lain adalah Lung Shia, guru mereka, dan empat muridnya. Kedua gadis itu buru-buru turun dari kuda dan memberi hormat pada guru mereka yang turun dari kereta. "Guru," sapa kedua gadis itu. "Hmm." Cuma itu tanggapan Lung Shia. "Kita kembali ke kota raja." Wanita itu kembali memacu kudanya, diikuti keenam muridnya. Siu Li sengaja mengambil tempat paling belakang, mengajari salah seorang murid yang tingkatannya masih di bawah dia. "Bagaimana guru bisa turun gunung?" bisiknya. "Orang kita yang ditinggal di perahu segera mengirim kabar ke perguruan tentang anak kecil yang kalian bawa. Belum lagi raja mengirim burung dara memanggil guru secepatnya." "Pantas. Tidak sering-sering guru mau turun gunung." Langit sudah gelap ketika rombongan kecil itu sampai di istana. Mereka segera disambut baik. Lung Shia diantar ke tempat kakaknya lain ibu, Lung Fei. "Ada keperluan penting apakah Abang memanggilku?" tanpa basa-basi Lung Shia langsung bertanya. Ching Ching Karya ??? di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Lung Fei tidak langsung menjawab. Ia memperhatikan dulu adiknya. Gadis kecil yang keras kepala itu belum berubah sekalipun sekarang sudah enam puluh taun usianya. Sedari dulu, cuma Lung Fei yang dapat mengerti perasaannya. Gadis yang gagah, tak mau dibedakan dari abang-abangnya yang lain. Lebih senang berburu daripada tinggal di kamarnya. Dan bersikeras tak mau menikah selamanya hanya karena dijodohkan dengan orang yang belum pernah ia lihat. Berbakat dalam ilmu silat, bahkan melebih semua putra raja yang lain. Yang menyingkir karena "Abang," Lung Shia menegur lagi. "Ah, Adik, sudahkah muridmu bercerita ia ada membawa orang kemari?" "Orangku ada mengatakannya. Tapi, sepenting apakah dia, sampai kau memerintahkanku turun gunung ini?" "Heh. Kau tak akan percaya. Dia cucuku!" "Cucu?" Lung Shia terbelalak heran. "Ya, cucuku dari anakku satu-satunya. Ching Ching 63 "Lung Yin?" "Betul." "Apakah Lung Yin sudah kembali?" Ada nada senang dalam nada suara Lung Shia, berbaur dengan marah yang terpendam. "Dia tak akan bisa kembali. Dia udah mati." "Mati?" Wajah Lung Shia memucat. Tapi, ia cepat menguasai diri yang menyembunyikan isi hatinya. Ia malahan berkata. "Sudah kuduga. Aku yakin dia mati akibat dendam salah seorang musuhnya. Huh, salahnya sendiri. Dididik baikbaik, malah kabur." Lung Fei tidak berkomentar. Ia tahu kekesalan adik tirinya ini. Anaknya memang tak tahu diuntung. Baik-baik diajari, malah lari.dan hal inilah yang membuat Lung Shia menyingkir ke gunung dan mendirikan perguruan. Ia ingin membuktikan bahwa ia dapat mendidik banyak murid yang jauh lebih baik daripada muridnya pertama. "Lalu, bagaimana dengan cucumu itu?" tanya Lung Shia pada abangnya yang lagi-lagi mulai melamun. "Itulah yang membuat aku bingung. Menurutmu, bagaimana baiknya" Apa yang harus kulakukan dengan bocah itu?" "Kau yakin itu cucumu" Dia tak menipu?" "Tunggu sampai kaulihat sendiri. Kau akan betul-betul yakin. Dialah keturunan anakku." "Bagaimana ayahnya?" "Astaga, aku lupa bertanya!" Lung Fei menepuk jidat sendiri. Lung Shia menghela napas kesal. Abangnya ini sering tidak teliti. "Baiklah kalau begitu. Malam ini aku dan murid-muridku akan tinggal di sini. Besok biar aku sendiri yang akan menanyai cucumu." "Begitu pun bagus. Oh, aku hampir lupa. Besok aku akan mengumumkan tiga hari berkabung. Bagaimana?" "Terserah. Sebetulnya tak perlu, tapi itu anakmu. Bagaimana kau saja." Lung Shia keluar. Lung Fei memandangi tirai yang menutup. Wanita itu begitu keras, tapi ia tahu itu cuma kulit luarnya saja. Di dalam hati, iap asti sangat sedih mendengar kemenakannya tersayang tak akan kembali. Lung Shia duduk diam di kamarnya. Ada sesuatu yang kosong dalam hatinya. Sesuatu yang membuat matanya basah. Lung Yin, kemenakannya yang dianggapnya sebagai anak sendiri. Yang dididiknya dengan kasih sayang yang berlebihan, yang pergi tanpa pamit, membuat hatinya marah tak terkira. Yang sampai sekarang masih dirindukan untuk kembali, kini sudah mati. Keesokan paginya, seisi istana berkabung. Mereka mengenakan baju putih dan membiarkan rambut mereka terurai. Ching-ching terkejut sekali melihat kedua pelayannya dengan dandanan demikian menakutkan. Ia bengong saja duduk di tepi pembaringan sampai kemudian Siu Pek masuk ke kamarnya. "Ching-ching, ayo cepat berdandan. Raja ingin menemuimu." "Wah, kok pagi-pagi betul," Ching-ching mengeluh enggan. "Sudah. Ayo cepat. Siu Pek mendandani Ching-ching sama seperti dirinya dan kedua dyaang-dayang di kamar itu. "Ini yang dinamai dandan?" protes Ching-ching. "Masih lebih bagus waktu bangun tidur tadi. Wah, gawat. Bisa-bisa aku diledek Ci-ci Siu Li." "Dia pun berdandan seperti ini." Ching Ching 64 "Kalau begitu, biar aku yang goda dia." Setengah diseret, Ching-ching dibawa menghadap ke kamar tempat Raja sudah menunggu. Siu Pek meninggalkan mereka berdua. Sebentar saja kedua orang di dalam kamar itu sudah bercakap-cakap dengan akrab dan sesekali tertawa. Ching-ching bercerita macam-macam sampai pada cerita tentang A-thianya. "Jadi, selama ini kau sendirian mencari A-thiamu?" "Ya. Dan itu sebabnya aku tak bisa tinggal lama-lama di sini. Aku harus balik ke - " "Tidak, tidak. Itu tidak perlu. Kau harus tinggal di sini." "Tapi ... A-thia ...." "Jangan kuatir. Begitu angin berganti arah, aku akan mengirim orang mencari Athiamu. Selama itu, kau tinggal di sini ya?" Ching-ching berpikir. Ya, bagusan begitu. Ia tidak capek dan A-thianya akan dicari dan dibawa ke Sha Ie menemuinya. Ya, kenapa tidak" "Baiklah," jawab anak itu. Lung Fei tertawa girang. Ching-ching ikut tertawa. Tahu-tahu Lung Fei teringat sesuatu. "Wah, semestinya aku ke ruang utama. Semua menteriku pasti sudah lama menunggu. Ching-ching, nanti sore, kalau semua tugas Kakek sudah selesai, kita omong-omong lagi ya?" "Kakek, ada satu lagi permintaanku!" "Apa?" "Dayang-dayangku tak dapat diajak bercakap-cakap. Diganti Siu Li Cie saja." "Siu Li, yang sering berbaju hijau itu" Baiklah, baiklah. Nanti kusuruh dia untuk melayanimu." "Terima kasih, Kakek." Ching-ching berjingkrakan. Sudah terbayang dalam otaknya, apa saja yang akan dilakukan untuk membuat Siu Li kerepotan. Setelah menyuruh Siu Lie melayani Ching-ching, Lung Fei bergegas ke ruang sidang. Benar saja, semua penasihatnya sudah menunggu, hendak melaporkan urusan kerajaan yang selalu membikin jidat berkerut. Namun, wajah sang Raja hari ini sedang cerah. Moga-moga semua urusan cepat beres. Ketika sidang berakhir, hari sudah menjelang sore. Tapi, masih ada satu hal lagi yang mesti dibicarakan. "Mengenai cucuku," kata Lung Fei. "Ia akan tinggal di istana dan jika masa berkabung sudah selesai, aku akan mengenalkannya kepada rakyat." Para penasihat raja setuju. Kemudian, seorang dari mereka maju ke muka. "Tuanku, mengenai perjodohan dengan pangeran Sie Hsia untuk mempererat persaudaraan, siapa yang akan dijodohkan" Putri Chin Yee ataukah ..." Penasihat itu ragu-ragu ketika hendak menyebutkan nama Ching-ching. "Lung Ching. Namanya Lung Ching. Sesuai adat kebiasaan, dia akan dipanggil demikian. Ah, aku hampir lupa soal perjodohan itu. Bagaimana baiknya menurut kalian?" Seorang menteri lain angkat bicara. "Tuanku, perjodohan dimaksudkan supaya kelak Sha Ie dan Sie Hsia dipersatukan menjadi negara yang lebih besar dan kuat. Apalagi dengan kebudayaan serupa, peperangan akand ikurangi, seperti yang pernah terjadi dulu. Dengan begitu, seharusnya ahli waris kerajaanlah yang dijodohkan." "Tuanku," menteri lain mengambil bagian. "Selama ini, dalam setiap kunjungan kemari, Pangeran Fei Yung hanya mengenal Putri Chin Yee. Kalau tahu-tahu berubah, bisa-bisa ia merasa tertipu, dan pecah lagi perang antara Sie Hsia dan Sha Ie." Perdebatan berlanjut sampai hari gelap. Akhirnya diambil keputusan. Karena Ching Ching 65 Ching-ching tidak mengenal kebudayaan Sha Ie, ia akan dididik dengan baik lebih dulu mengenai segala sesuatu yang harus diketahui sebagai seorang putri. Setelah itu, barulah ia akan dipertemukan degan Fei Yung. Pangeran itu boleh memilih mana yang lebih ia sukai, Ching-ching atau Chin Yee. Hari ketiga sudah berlalu. Masa berkabung telah usai. Hari ini Ching-ching akan diperkenalkankepada rakyat. Ia didandani secantik-cantiknya, mengenakan baju seorang putri. Entah kenapa, ia gugup sekali. Mungkin karena akan menghadapi orang banyak. Dan dalam kegugupan, jahilnya semakin menjadi. Lihat saja, rambut Siu Li putih semua ditaburi bedak, padahal gadis itu sudah berdandan cantik. Terang saja ia jadi marah-marah. Tapi, untuk hari ini, ia harus mengampuni semua kesalahan Ching-ching. Sudah tiba saatnya untuk berangkat. Ching-ching akan diarak ke alun-alun kota dengan sebuah tandu. Ia merasa tangan dan kakinya dingin. Rasanya jauh sekali. Ketika turun dari tandu dan naik ke panggung batu di tengah lapangan itu, kaki Ching-ching gemetar. Bagus ia masih dapat melangkah. Astaga, ia belum pernah seperti ini sebelumnya. Ching-ching tidak ingat apa yang ia lihat dan apa yang ia lakukan. Semua rasanya berlangsung begitu cepat. Seperti mimpi saja. Ia tidak ingat kalau ia tersenyum terus, tak ingat ia melambai pada rakyat yang bersorak menyambutnya. Ia tak ingat apa-apa. Tetapi, tidak demikian dengan rakyatnya. Pertemuan yang singkat itu membekas dalam hati mereka. Seorang putri yang baru, yang ramah, yang menarik segala tingkah lakunya. Tapi, terutama bagi mereka yang sudah berumur, seolah melihat kembali putri mereka, Lung Yin, yang telah hilang bertahun-tahun lalu. Selama beberapa hari Ching-ching berada di istana, ia berteman dengan siapa saja. Dari dayang, pengawal, koki, semua akrab dengannya. Apalagi dengan kekeknya, Ching-ching cepat sekali akrab. Dan orang tua itu amat memanjakan dia. Ching-ching tidak menyadari ada anak lain yang iri padanya. Dialah Chin Yee. Selama ini, Chin Yee adalah satu-satunya putri di istana itu. Sekarang, seluruh perhatian terpusat pada Ching-ching. Bahkan, dayang-dayangny sendiri sering kepergok sedang memuji-muji Putri Lung Ching di depan dayang-dayang lain. Itu sebabnya Chin Yee selalu menghindar untuk bertemu Ching-ching. Ia benci, benciii sekali pada anak itu. Karenanya, ia sering pura-pura tak melihat kalau Ching-ching tersenyum padanya. Sering pula tidak mendengar kalau disapa. Tapi, diam-diam ia mengawasi gadis itu, ingin tahu apa miliknya yang tidak dipunyai Chin Yee, sehingga ia disukai semua orang. Orang lain yang mengawasi Ching-ching adalah Lung Shia. Ia tak sering menemui Ching-ching, hanya memperhatikan diam-diam. Ia segera menyadari bahwa Ching-ching sangat berbakat dalam silat, tetapi juga keras kepala dan manja luar biasa. Lung Shia menyayangkan kalau bakat itu disia-siakan. Di lain pihak, ia juga tak rela kalau anak kemenakannya ini rusak karena sifat manjanya. Harus ada orang yang mendidiknya. Kakek anak itu tak dapat diharapkan. Kalau begitu, dia sendiri yang akan mendidik anak itu. Ia sudah mengawasi Ching-ching sebulan ini ketika akhirnya memutuskan untuk mengatakan kepada abangnya mengenai rencana mendidik anak Lung Yin itu. "Tapiii ...." Lung Fei agak keberatan. Ia sudah mulai sayang pada gadis yang membuatnya merasa lebih muda dua puluh tahun itu. Ia tak mau jauh-jauh darinya sekarang. Adik tirinya meminta anak itu supaya dididik di gunung sepi" "Dia akan rusak kalau dimanjakan seperti Lung Yin dulu." Ada nada getir dalam suara Lung Shia. Ching Ching 66 "Ah, tidak bisa. Dia kan harus diajari macam-macam kepandaian oleh banyak guru. Kau mana mau terima orang luar di perguruanmu?" "Kali ini kekecualian. Aku akan bangun gedung belajar di luar perguruan." "Eh, dia juga mesti dikenalkan pada jodohnya, Pangeran Fei Yung." "Dia selalu mengunjungi dua tahun sekali. Aku bisa mengantar anak itu ke sini pada waktu-waktu tertentu. Lagipula, akan lebih baik kalau anak itu sudah terdidik sehingga pantas dipertemukan." "Yah, aku pikir-pikir dulu." "Aku butuh keputusan sekarang. Besok aku akan pulang. Perguruan tak bisa ditinggal terlalu lama." "Lalu kapan aku bertemud engannya?" "Jadi kau setuju" Aku akan suruh dia berkemas." "Kau belum jawab aku." "Pada waktu hari jadimu, ia boleh datang ke sini." Lung Shia keluar, tak menoleh lagi. Lung Fei termenung-menung. Baru sebulan, ia sudah harus berpisah dengan cucu yang dikasihi. Tapi, mungkin itu yang terbaik bagi semua. Baginya, bagi anak itu sendiri, dan bagi Lung Shia. Mudah-mudahan sakit hatinya akan terobati. Ching-ching diboyong ke bukit tempat Lung Shia mendirikan perguruan. Sebenarnya, ia merasa sayang meninggalkan kakeknya tempat ia bermanja-manja. Tapi, ia juga senang dapat pindah ke tempat yang belum pernah ia lihat. Apalagi, ia juga akan bertemu lagi dengan teman-temannya di kapal dulu. Sayang, ia harus bertemu dengan Lung Shia setiap hari. Dalam hatinya, Ching-ching merasa takut pada nenek judes itu, tapi ia tak memperlihatkan hal itu. Lain dengan Siu Li. Ia merasa gembira ketika diajak gurunya pulang dan tak usah melayani Ching-ching lagi. Rasanya bebas dari hukuman. Anak itu memang brengsek. Selama satu bulan ini, Siu Li benar-benar dijadikan pelayan. Pernah sekali Ching-ching belajar membuat perahu kertas. Setiap kali gagal, diremasnya hancur dan dilempar jauh-jauh. Kamarnya jadi berantakan dan Siu Li harus membereskannya sendirian. Siu Li agak kecewa mengetahui Ching-ching ikut pulang dan diangkat jadi murid gurunya. Tapi, di lain pihak, ia bisa membalas dendam sekarang. Ya, ia akan membalas perlakuan bocah busuk itu padanya tempohari. Ching-ching nyaris menggerutu ketika mereka harus mendaki sebuah tebing. Di puncak tebing itulah berdiri perguruan yang didirikan oleh Lung Shia, dan untuk sampai ke atas, satu-satunya jalan adalah dengan mendaki. Ching-ching mendongak. Tebing itu tinggi sekali. Barangkali ada sekian tombak. Gadis itu meringis. Bagaimana caranya sampai ke atas" Lung Shia melihat keraguan di wajah Ching-ching. Ia mengisyaratkan Siu Li dan dua muridnya yang lain naik duluan. Kedua murid yang lain langsung melompat. Mereka kadang-kadang menjejak sisi tebing untuk melompat lagi ke tempat yang lebih tinggi. Keduanya seolah-olah berlari di tanah datar saja. Siu Li mendengus meremehkan. Ia menyusul ketika kedua saudaranya sudah mencapai tiga perempat tebing. Enak saja ia melayang lurus ke atas. Siu Li cuma perlu menotol kaki tiga kali sebelum ia sampai di puncak dan tidak kelihatan lagi. "Naik kau sekarang!" perintah Lung Shia pada Ching-ching. Ching-ching kaget, tak langsung bertindak. Diam-diam hatinya gentar melihat tebing terjal itu. Karena Lung Shia berbicara dalam bahasa Mongol, Ching-ching pura-pura bengong tak mengerti. "Ching-ching, suhuku bilang - " Siu Pek mau membantu menjelaskan dalam bahasa Han. "Tidak perlu. Kau tak perlu mengulangi. Ia mengerti!" kata gurunya. Kepada Ching Ching 67 Ching-ching ia berkata, "Lakukan apa yang kusuruh sebelum kau kuseret ke atas dan kulempar dari atas sana." Ching-ching bergidik ngeri. Sambil menetapkan hati, ia langsung memanjat sambil mengentengkan tubuh sebisa-bisanya. Gadis cilik itu berhasil sampai setengah bagian sebelum ia menemukan tempat pijakan yang baik untuk beristirahat. Tetapi, pijakan itu tidaklah terlalu baik. Ia harus berpegang erat-erat pada cekungan bekas murid-murid Lung Shia memijak. Ching-ching menoleh ke bawah, melihat seberapa jauh ia memanjat. Sayangnya, ia belum terbiasa pada tempat tinggi. Begitu melihat ke bawah, kepalanya langsung pusing. Buru-buru dipejamkannya mata. Tapi, justru bayangan tanah yang jauh itu berputar dalam bayangannya. Ching-ching lupa ia harus berpegang erat. Ia hendak memegang kepalanya yang terasa berat, takut kalau copot dan jatuh duluan ke bawah. Tapi, karena itu pegangannya lepas. Dan tubuhnya betul-betul meluncur ke bawah. Siu Pek merasa jantungnya berdebar ketika melihat Ching-ching mulai mendaki. Tapi, ia mulai agak tenang ketika menyaksikan kelincahan gadis kecil itu, dan melihat dengan mantap dan tenang. Gadis itu bergerak makin tinggi dan makin tinggi. Siu Pek tidak tahu, saat itu Ching-ching menutupi rasa takutnya yang hebat. Ching-ching merasa seolah jantungnya melompat ke perut waktu ia terjatuh. Dibukanya mata dan cepat ditutup lagi saat melihat langit berputar. Ching-ching tahu, ia tak boleh tinggal diam, menanti tubuhnya terbanting ke tanah dan remuk berantakan. Ia cepat membuka mata. Tangannya menggapai ke arah tebing, tapi gerakan itu justru mempercepat jatuhnya. Tahu-tahu sebuah selendang melilit pinggangnya dan melontarkannya mendekati tebing. Ching-ching mencengkeram sisi tebing. Ia tak menunggu terlalu lama, langsung mencoba memanjat lagi. Ching Ching Karya ??? di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Napas Siu Pek terhenti sejenak ketika menyaksikan sosok tubuh mungil melayang jatuh. Ia menjerit tertahan dan gerak refleksnya meluncurkan selendang panjang yang melilit pinggang ke arah tubuh itu. Tapi, ada selendang lain yang lebih dulu melibat tubuh Ching-ching. Itulah selendang Lung Shia. Siu Pek menoleh ke arah Lung Shia dan kaget menyadari betapa pucat muka gurunya itu. Namun, berangsur-angsur wajah yang pasi itu dialiri darah kembali. Dalam beberapa saat, wajah yang menampakkan kecemasan, ketakutan, dan penyesalan itu lenyap, berganti wajah dingin beku dengan segaris bibir tipis yang menunjukkan kekerasan hati. Bende Mataram 32 Pendekar Slebor 26 Geisha Pendekar Budiman Hwa I Eng-hiong 10