Ching Ching 3
Ching Ching Karya ??? Bagian 3 Setelah jatuh sekali, Ching-ching kapok menengok lagi. Ia buru-buru memanjat supaya cepat sampai di tanah yang rata. Namun, biarpun terburu-buru, ia tetap berhati-hati. Meamng ia sempat terpeleset beberapa kali, tapi tangannya sudah mendapat pegangan kuat. Belum lagi ilmu mengentengkan badannya sudah tinggi. Hanya saja, ia belum terbiasa menggunakan di tempat yang tegak lurus dengan tanah. Sesampainya di atas, Ching-ching langsung saja merebahkan diri di rumput tebal yang menghampar. Selendang di pinggangnya sudaht idak ada. Ia tak tahu kapan selendang itu lepas. Ia juga tak peduli ketika Siu Li mengejek. Ia seperti tak punya sisa tenaga untuk membalas. Dua murid Lung Shia yang lain saling berpandangan dan tersenyum diam-diam, geli dengan tingkah Siu Li. Padahal, tadi mereka sempat mendengar Siu Li mendoakan jangan sampai Ching-ching mati. Sebuah siulan terdengar. Kedua murid itu cepat bergerak ke balik rumpun semak. Ketika kembali lagi, keduanya menggotong sebuah keranjang besar, kemudian Ching Ching 68 melempar keranjang itu ke bawah. Saat itu baru Ching-ching melihat tali yang diikatkan ke keranjang itu, sementara ujung lainnya digantung di sebuah batu kukuh yang ada lubang ditengahnya, tembus ke belakang, ke sebuah roda batu yang bisa berputar lalu ditembus balik lagi. Leat lubang yang lain, dari sana tali ditarik pelan-pelan, keranjang di ujung tali naik. Ching-ching mengomel-omel, mengetahui untuk apa itu semua. "Kalau tahu ada jalan mudah sampai di atas, mana mau repot-repot memanjat tebing," katanya kesal. Ia berbicara dalam bahasa Mongol sehingga dua kawan Siu Li mengerti dan tertawa melihat kejengkelannya. "Kau harus!" kata Siu Li. "Kalaupun tadi keranjang itu ada di bawah, Guru akan memaksamu memanjat." "Tak ada yang boleh memaksaku," cibir Ching-ching. "Lihat saja!" sahut Siu Li balas menjebi. Siu Pek dan gurunya sampai di atas dengan keranjang besar, yang langsung disimpan di balik semak lagi. Lung Shia memimpin muridnya ke perguruan mereka. Ketika tiba, Siu Li dan dua kawannya menghilang. Tinggallah Lung Shia, Siu Pek, dan Siu Li di sbuah kamar besar. Ching-ching berdiri di hadapan Lung Shia. Ia tak suka berdiri begitu. Seperti orang mau dihukum saja. Karenanya, Ching-ching tak bisa diam dan menggerakkan sebelah kakinya berputar-putar. "Tak bisakah kau diam?" tanya Lung Shia dingin. Ching-ching langsung berhenti. Ada sesuatu yang membuat hatinya bergetar, mendengar suara beku itu. Ching-ching berdiri tegak. Memandang lurus ke depan, ke arah Lung Shia. "Apa yang kaulakukan sehingga tadi kau nyaris mati?" Ching-ching kaget. Ia tak menyangka akan ditanya begitu. "Tadi kapan" Oh, waktu memanjat" Aku cuma melihat ke bawah." "Apa yang kaurasakan?" "Euh," Ching-ching mengingat-ingat, "pusing." Ia tak mau mengaku bahwa waktu itu ia ketakutan. Tapi, Lung Shia tahu isi hati bocah di hadapannya. Ia sudah sekian lama mengasuh kemenakannya sebelum gadis itu pergi. Dan, anaknya ini tentu dak beda jauh dari ibunya. "Katakan sejujurnya!" kata Lung Shia datar, tapi memaksa Ching-ching tak dapat berdusta lagi. "Aku takut," katanya. Ia menunduk. "Pandang orang yang sedang bicara padamu!" perintah Lung Shia. "Dan jangan pernah takut memandang orang yang kauajak bicara. Lihat matany! Sebab lidah bisa berdusta, tetapi mata mengatakan yang sebenarnya." Ching-ching mengangkat kepalanya. Ia memandang Lung Shia tepat di mata. Ia ingin tahu, mata itu mau bilang apa. Bagaimana caranya berbicara" "Bagus! Sekarang kau tahu, apa yang nyaris bikin kau mati?" "Rasa takut?" jawab Ching-ching ragu-ragu. "Tapi bagaimana bisa?" "Ketakutan membuat orang lengah dan lupa akan akal. Itu yang menjadi ciri orang lemah. Di sini kau akan diajari cara menghilangkan takut. Itu pelajaran pertama bagimu." Lung Shia memberi isyarat kepada Siu Pek, lalu berdiri dan keluar dari kamar. Siu Pek mengajak Ching-ching pergi, membawanya ke kamar lain. "Hari ini kau boleh istirahat. Besok kau harus mulai pelajaranmu," kata Siu Pek. "Pelajaran apa?" "Naik-turun tebing dengan ginkangmu!" Esok harinya, bersama Siu Pek, Ching-ching berlatih di tebing. Pada awalnya ia Ching Ching 69 masih ketakutan, tapi ia tak mau dianggap lemah. Jadi, ditekannya rasa takut itu sebisa mungkin. Ching-ching sempat dua kali terpeleset. Untung Siu Pek sudah waspada dan menolong. Kalau tidak, barangkali badannya sudah terbanting remuk ke bawah. Menjelang tengah hari, Ching-ching sudah dapat turun-naik tanpa melakukan kesalahan sama sekali. "Ching-moay, kau pandai sekali," puji Siu Pek. "Sekarang kau tak usah takut lagi kalau mesti naik-turun." Ching-ching tersenyum. Ia merasa bangga. "Hari ini sekian saja pelajaranmu. Sekarang kita istirahat dan makan dulu. Sudah itu, kau akan kukenalkan pada saudara-saudaraku yang lain." "Ah ya, sedari kemarin aku belum pernah melihat mereka. Pada ke mana sih?" "Mereka mengajar murid-murid tingkat dua dan tiga, tapi hari ini kau pasti ketemu." Sambil berjalan pulang, keduanya bercakap-cakap, tak menyadari sepasang mata mengawasi. Lung Shia keluar dari tempatnya sembunyi. Hmm, anak Lung Yin ini tampaknya cukup berbakat, tapi bandel tak ketulungan. Mesti diawasi baik-baik. Kalau tidak, gadis itu tak akan sanggup menamatkan pelajara. Selesai makan, Ching-ching diajak menemui saudara-saudara seperguruannya. Mereka berkumpul di satu kamar besar. Siu Pek mengenalkan saudaranya pada Ching-ching satu persatu, tapi belum ia membuka suara, gadis itu sudah menyerobot. "Wah, lihat semuanya, pakai baju berlainan warna. Pek-ie-cie, kau tak usah kenalkan, aku sudah tahu siapa-siapanya," Ching-ching nyerocos. "Betul" Coba kau tebak, siapa namaku?" kata seorang gadis berbaju ungu. "Dan murid keberapa aku?" "Nama Cici pasti Siu Tien. Murid ketujuh, ya kan?" "Tidak salah!" kata gadis dengan baju jingga. "Coba sebut namaku." "Cici Siu Chen, murid kedua." "Kalau suciku ini pasti kau tak tahu namanya," kata gadis baju biru, mendorong yang bajunya hitam. "Siapa nama kami berdua?" "Siu Hek, murid ketiga, dan Siu Lan, murid keenam. Yang ini," Ching-ching menjura kepada gadis baju merah, "pasti Cici Siu Hung, murid pertama." "Wah, Siaw-moay, aku tak sangka kau ingat nama suci dan sumoyku dengan urutannya sekalian," kata Siu Pek kagum. "Aku sendiri tak ingat, kapan memberi tahu kepadamu." "Apa anehnya?" tukas Siu Li sinis. "Tiap orang, kalau tidak buta, pasti dapat kenali kita satu-satu." "Betul!" kata Ching-ching. "Tapi, orang buta pun pasti kenali Cici Siu Li yang galaknya bukan main." Siu Li marah hendak mencubit. Tak disangkanya, Ching-ching menghindar gesit sekali. Siu Li penasaran. Seperti biasa, kalau keduanya bertemu, pasti kejar-kejaran. Ching-ching berlari keliling ruangan, dikejar Siu Li. Untung, di ruangan itu ada banyak yang menghalangi larinya Siu Li. Buat Ching-ching sendiri tidak masalah. Badannya kecil. Ia bisa menyusup di mana-mana. Siu Li juga tak tahu ketika ia bersembunyi di balik pilar. Keruan saja gadis itu terkejut ketika Ching-ching keluar sambil berteriak mengagetkan dia. Saudara-saudara gadis galak itu tertawa melihat kelakuan mereka. Siu Lan malah sampai jatuh terduduk di tanah. "Haduh, aduh," kata Siu Lan sambil memegangi perutnya yang sakit, karena tertawa melihat Siu Li yang terjepit di kolong meja karena mencoba menyusul Ching-ching lewat jalan yang sama. "Baru kali ini ada orang yang bisa mempermainkan engkau, Ching Ching 70 Suci." Wajah Siu Li merah padam karena marah dan malu. Ia menggerakkan tangan, membikin hancur meja kecil itu. Sambil berdiri mengebaskan baju, ia melotot ke arah Ching-ching yang bersembunyi di balik punggung Siu Hung. "Awas kau nanti!" ancamnya. Ching-ching bukannya takut, malah meleletkan lidah. Siu Li pergi dengan amat marahnya. Siu Lan masiht ertawa, harus dibantu berdiri karena badannya lemas semua. "Pantas Siu Li tampak sebal ketika bercerita tentangmu kemarin, Siaw-moay. Rupanya kau senang menggodanya, ya," Siu Hung menegur Ching-ching dengan harus. "Sudah melihat, aku baru percaya cerita Siok Lan," kata Siu Tien. "Katanya, di kapal ada anak yang berani mengganggu Li Suci habis-habisan. Aku pikir dia bohong. Mana ada orang yang sanggup menantangi Li Suci yang galak kelewatan itu?" "Ching-ching, kau harus menjaga kelakuanmu. Jangan keterlaluan. Nanti kau susah sendiri," kata Siu Hung. "Ya. Siu Li, kalau membalas, tidak setengah-setengah," tambah Siu Chen. "Tapi aku tak yakin Siu Li akan sempat membalas." "Justru ia akan punya banyak waktu membalas," bantah Siu Hung. "Kalian tahu apa yang Guru katakan padaku kemarin" Ching-ching akan diajari oleh kita, murid tingkat satu, secara bergiliran. Aku mengajar ilmu tendangan, Siu Chen ilmu pukul, Siu Hek semadi dan tenaga dalam, Siu Pek ginkang. Siu Li mengajarkan ilmu tombak, Siu Lan ilmu pedang, dan Siu Tien dengan selendang." Gadis-gadis itu terdiam. Ya, Siu Li bisa sadis kalau ia kesal. Diam-diam keenam gadis di ruangan itu mulai suka pada Ching-ching yang berpembawaan lincah. Mereka agak kuatir juga. "Biarlah," kata Ching-ching. "Kata orang-orang, aku ini bandel. Butuh dihajar sekali-sekali. Cici semua tak usah kuatir. Aku akan hati-hati di hadapan Cici Siu Li nanti." "Ya. Siu Li juga tak mungkin keterlaluan. Guru bisa marah-marah," kata Siu Tien. "Sudah, jangan kepikiran terus," kata Siu Lan. "Siaw-moay, coba kau ceritakan waktu kalian di kapal dulu. Siu Li Cie tidak pernah cerita." Dengan senang hati Ching-ching menceritakan semua. Sampai mentari silam, mereka baru selesai berbincang-bincang. Berbulan-bulan Ching-ching dilatih sucinya yang tujuh orang. Kecuali Siu Li, semua sangat suka melatihnya karena, selain berbakat, Ching-ching juga pandai mengambil hati orang. Ching-ching sudah mengenal sucinya satu-satu. Siu Hung, sucinya pertama, bijaksana sikapnya, sabar, pintar, lemah lembut, penyayang. Dari sucinya ini Ching-ching belajar juga taktik perang. Siu Chen, murid kedua, periang sifatnya. Badannya agak gemuk karena ia senang makan dan suka memasak. Ching-ching menimba ilmu dapur darinya. Siu Chen agak malas bergerak, sebab itu ia memilih keahlian melempar pisau, yang kemudian diajarkan kepada Ching-ching. Siu Hek adalah murid Lung Shia yang paling pendiam. Sikapnya dingin terhadap siapa pun. Jarang-jarang bisa melihat senyum di wajahnya. Ching-ching paling segan disuruh menghadap Siu Hek. Dalam mengajari, kalau Ching-ching berbuat salah, Siu Hek tak pernah menegur. Cuma gerak alis dan pancaran matanyayang menyatakan sesuatu. Karenanya, Ching-ching tak pernah mencoba main-main dengan Siu Hek yang senang menyendiri. Hanya, kadang-kadang mereka bicara banyak kalau Ching Ching 71 Ching-ching minta petunjuk Siu Hek dalam melukis. Dari Siu Hek juga Ching-ching memperdalam ginkang. Siu Pek dan Siu Li sudah dikenal, tak perlu dipercakapkan lagi. Siu Lan, murid keenam, cepat sekali tertawa. Makin sering ia tertawa, makin sering juga Ching-ching menggodanya. Siu Lan adalah pemburu ulung, pandai menggunakan busur dan panah. Keahlian ini diajarkannya kepada Ching-ching dengan suka hati, karena dengan demikian ia punya teman berburu. Selain senang berburu, Siu Lan juga sayang sekali pada kuda dan dapat menunggangi binatang itu dengan amat baik. Siu Tien, murid ketujuh, susah ditebak sifatnya. Kadang periang, kadang suka marah-marah tanpa sebab. Kadang cemberut berhari-hari, kadang baik sekali. Kalau Siu Tien sedang uring-uringan, ia lebih baik tak dekat-dekat. Hal lain yang menyebabkan Ching-ching enggan terlalu dekat dengan Siu Tien adalah ular-ular berbisa peliharaan gadis yang selalu berpakaian ungu itu. Tapi, Ching-ching selalut ertarik pada pengetahuan tentang racun yang dimiliki Siu Tien. Jadi, kadang-kadang ia harus juga berteman dengan binatang-binatang peliharaan sucinya itu. Dari kesemua sucinya, cuma Siu Li yang sering marah padanya. Kalau memberi latihan juga, Siu Li selalu menggembleng dengan keras. Terlalu keras, menurut murid-murid yang lain. Untungnya, Ching-ching murid yang tabah, keras hati, pula bertulang dan bakatnya besar. Semua gemblengan Siu Li dapat dijalani dengan baik. Tapi, ia juga selalu punya cara menggoda sucinya yang pemarah itu. Siu Li sangat pandai meniup suling. Alat musik kesayangannya terbuat dari bambu wangi, yang kalau ditiup menebar bau wangi selain suara yang indah. Siu Li tak pernah mau mengajarkan kepandaiannya ini kepada Ching-ching. Tapi, gadis cilik yang cerdik itu sering dapat menjebaknya, sehingga tak sadar memberi tahu juga. Kalau sudah begitu, tinggal Siu Li kesal, tak bisa menjaga mulutnya. Setahun laanya Ching-ching digembleng sucinya. Anak iut telah dapat menguasai pelajaran sampai tingkat tiga belas. Hampir menyamai semua sucinya yang rata-rata sudah selesai tingkat delapan belas. Tapi, selama itu juga Ching-ching tak pernah melihat Lung Shia. Baru setelah ia menamatkan tingkat empat belas, ia bertemu dengan subonya itu. "Ching-jie, sudah sampai sebagaimana tingkat kepandaianmu?" tanya Lung Shia waktu memanggil muridnya. "Sudah sampai tingkat empat belas, Subo," jawab Ching-ching. "Bagus. Kalau begitu, kau sudah bisa kudidik sendiri. Tetapi, kemarin aku mendapat kabar dari kongkongmu, bahwa akan dikirim seorang guru sastra untuk mengajarmu. Kau tahu, sebagai putri raja, kau haruslah terdidik. Tapi, bukan berarti kau boleh mengabaikan pelajaran-pelajaran silatmu. Bisa jadi kau harus bekerja dua kali lebih keras." "Teecu mengerti, Subo." "Bagus. Hari ini kau boleh main. Besok guru sastramu akan datang dan kau tak bisa santai-santai lagi." "Teecu mohon diri dulu, Subo." Ching-ching mengundurkan diri. Sesampai di luar, ia mencari jalan bersenang-senang. Enaknya ngapain aku sekarang" Berburu" Menggoda Siu Li Cici, menggambar, atau apa?" "Ching-ching, awas senjata!" seseorang berteriak. Ching-ching menoleh dan cepat menghindari senjata rahasia yang puluhan jumlahnya, yang dilempar oleh Siu Chen. Ditangkisanya pisau-pisauyang beterbangan. Semua dibuatnya menancap di sebatang pohon yang tumbuh tak jauh Ching Ching 72 dari tempatnya berdiri. "Tidak jelek, tidak jelek," kata Siu Chen mendekat, memperhatikan pisau-pisaunya yang menancap dan ternyata membentuk huruf menyebutkan namanya. "Wah, Ching-moay, kau nakal sekali. Sekarang di pohon itu tertera namaku selamanya." "Salahnya," kata Ching-ching sambil tertawa. "Siapa suruh menyerang orang dengan mendadak." "Bukan menyerang. Aku cuma mau lihat, kau waspada tidak. He, Ching-moay, kata Subo beliau akan mengujimu besok pagi. Kau jangan bikin malu aku ya." "Tak perlu kuatir," kata Ching-ching menenangkan. "Baguslah. Sekarang kita adu lempar pisau yuk." "Aku sedang tidak minat." "Bagaimana kalau makan saja?" "Tidak lapar. "Heh, kau berniat mempermainkan Li-moay lagi, ya" Tuh, dia sedang meniup suling di sana. Siu Chen meninggalkan Ching-ching. Begitu Ching-ching pergi menjauh, datang Siu Lan dengan wajah tegang. "Ching-moay, kemarilah. Ambil busur dan panah ini." "Aduh, Suci, aku sedang tidak ingin latihan." "Besok kau akan diuji oleh Subo. Paling tidak, akuharus mencobai lebih dulu." Malas-malasan Ching-ching mengambil busur dan panah itu. Ia mengikuti Siu Lan mendekati sebuah pohon, yang tergantungi sebuah sangkar burung dengan seekor burung hitam di dalamnya. Siu Lan memutar sangkar burung itu makin lama makin cepat. Jeruji yang berputar membuat pertahanan kuat bagi burung di dalamnya. Ching-ching mengerti. Ia harus Ching Ching Karya ??? di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo memanah burung hitam jelek itu, tapi panahnya tak boleh membentur ruji. Ching-ching mengangkat busur, memperhatikan sangkar burung yang berputar, mencari saat yang tepat untuk melepaskan anak panahnya. Anak panah itu melesat dengan cepat menuju sasaran, tetapi tidak berhenti, tentu saja menembus sangkar itu. Wajah Siu Lan memucat. Apakah panah Ching-ching hanya tembus begitu saja" Tidak sedikit pun menyentuh burung di dalamnya" Astaga! Bagaimana pertanggungannya pada subonya nanti" Dengan lesu Siu Lan menghentikan putaran sangkar itu dan menurunkannya dari pohon. Tapi, melihat isinya, Siu Lan malah menjerit senang. Burung di sangkar itu telah mati dengan leher putus! "Ching-ching, ternyata kau melakukannya dengan baik." "Ya, jawab Ching-ching lesu. Ia mengembalikan busur dan panah kepada Siu Lan. "Hei, kau mau ke mana?" tanya sucinya. "Main," jawab Ching-ching. Padahal, ia sendiri tak tahu mau main apa. Tahu-tahu ia melihat Siu Li. Melihat sucinya yang satu itu, timbul lagi isengnya. Ia berlari mendapati sucinya, dan dengan gerakan kilat menyabet suling bambu dari pinggang gadis itu. Siu Li bukannya tidak tahu kedatangan Ching-ching. Cepat gadis itu berkelit, dan sulingnya pun aman sudah. "Payah," komentar Siu Li. "Gerakanmu sih lumayan cepat. Tak sia-sia Siu Hek Cici mengajarimu." "Kalau sudah cepat, bagaimana kau bisa menghindari begitu gampang?" tanya Chingching, kecewa pada diri sendiri. "Lain kali, kalau mau menyerang orang secara diam-diam, jangan berisik." "Berisik apa" Tadi aku sudah menggunakan ginkang." "Ya, tapi terburu-buru. Buat orang seperti aku yang kupingnya terlatih, suaramu Ching Ching 73 barusan ribut sekali. Dan besok, kalau kau buat begitu rupa di hadapan Subo, bakal habis kau diomeli. Puas!" "Suci, lantas aku mesti bagaimana?" "Pakai otakmu memikirkannya!" "Oh ya, aku nanti tinggal bilang, Suci tak becus mengajari dan giliran Suci yang diomeli." "Mana boleh begitu?" Siu Li baru sadar. Memang dia yang ditunjuk gurunya untuk mengajarkan ilmu Bla-bla-bla. "Maunya begitu bukan?" kata Ching-ching sambil melipat tangan. "Baik. Kalau begitu, kuberi kau petunjuk sekali lagi." Siu Li menyeret sumoynya ke kebun tempat terdapat sebuah balok memanjang agak tinggi di atas kepala. Di balok itu terdapat tali-tali yang menjuntai. Di ujung tiap tali digantungi balok-balok yang lebih kecil dan pendek. Angin yang bertiup di sekitar tempat itu menyebabkan tali tipis yang diganduli beban bergoyang-goyang tak teratur. Namun demikian, ternyata tali-tali itu cukup kuat juga, dan bergerak cepat dan kencang pula. "Kau lewatlah di sepanjang balok itu. Kalau selamat sampai di seberang, berarti kau pantas dihadapkan pada Subo." "Mau ke seberang saja susah amat. Begini saja." Ching-ching mernagkak lewat di bawah balok yang bergelantung. "Coba kalau begini. Ingin tahu, apakah kau masih bisa lewat." Siu Li membentangkan seutas tali kira-kira tiga jengkal dari tanah. Di bawah tali itu, ditancapkannya beberapa potong bambu yang runcing ujungnya. "Suci, apakah aku harus berjalan di tali ini"' "Pakai juga otakmu," kata Siu Li sinis. "Tunggu, kau harus pakai ini juga." Gadis itu menyodorkan secarik kain hitam, dan kemudian mengikatkannya di kepala Ching-ching, menutupi mata bocah itu. "Suci, apakah ini mesti?" "Ya, kalau kau tak mau diomeli Subo besok." Sambil mengeluh, Ching-ching naik juga ke tali itu. Ia terpaksa berjalan pelan-pelan. Ia harus hati-hati menggunakan ginkang dan keseimbangan untuk berjalan di atas tali, tapi juga harus berkonsentrasi mendengar gerakan tali yang panjangnya tidak tentu, kalau tak mau terhajar kayu dan jatuh ke bawah, tempat bambu-bambu runcing sudah menanti dan sedikitnya pasti bikin lecet kaki. Buk! Sebuah kayu membentur kepala Ching-ching. "Aduh!" gadis itu berseru kaget dan tidak menyangka perkiraannya meleset. Ia melempar diri untuk menghindari bambu dari bawah. "Tolol! Konsentrasi! Kosongkan pikiran! Ayo, ulang dari depan!" "Ngoceh sih gampang!" gumam Ching-ching kesal. Biarpun dengan hati mendongkol, ia ulangi juga ujiannya. Kali ini ia lewat dengan mulus. Akan tetapi, Siu Li belum puas. "Kurang cepat!" "Ngoceh melulu! Mending kalau sendirinya lebihb aik!" "Tentu saja lebih baik. Coba lihat!" Siu Li menutup mata dan melompat ke atas tali. Diam-diam Ching-ching menjauh dari sucinya. "He, mau ke mana?" tanya Siu Li yang mendengar langkah. "Di sini panas. Aku mau ke sana yang agak teduh." Ching-ching sengaja memilih tempat agak jauh. "Ching-ching, kau lihatlah!" "Iya, dari tadi juga lihat," sahut Ching-ching. Ia menunggu sampai Siu Li sampai Ching Ching 74 di tengah tali, lalu cepat gadis bandel ini memanjat pohon besar tempat ia berteduh. Sambil bertolak pada dahan pohon yang kuat, ia melompat pergi sambil mengerahkan ginkang. Ia berpoksai lima kali di udara, sebelum dirasanya Siu Li tak mungkin lagi mendengar jejak langkahnya di tanah. Lantas, ia kabur cepat-cepat. Ching-ching tak berani berhenti seblum sampai di kaki sebuah bukit batu. Ia menempelkan telinganya ke tanah. Tak ada suara orang mengejar. Bagus! Paling-paling Siu Li, sucinya yang galak itu, sedang menyumpah-nyumpah sendirian. Ching-ching mendaki bukit batu itu. Di puncaknya ada sebuah tempat datar berumput. Itulah tempatnya sembunyi kalau kabur dari suci-sucinya saat belajar silat. Dengan ginkang, sebenarnya ia bisa sampai ke atas sekali lompat, tapi tidak seru jadinya. Ia lebih suka memanjat dengan cara biasa. Sesampainya di atas, nyaris Ching-ching terbanting lagi ke bawah melihat siap yang sudah duluan di sana. Untung ia sempat melompat tinggi dan mendarat mulus di rumput tebal. "Ching-ching, kabur dari siapa kali ini?" "Cici Siu Hek!" Ching-ching menjatuhkan diri ke rumput. "Suci, kau jangan uji aku lagi. Aku sudah capek dkerjai Cici Siu Li, Siu Chen, dan Siu Lan. Kalau disuruh lagi, aku bisa mati kecapekan. Latihan sehari tiga kali, masak belum cukup." Siu Hek menggelengkan kepala melihat kelakuan sumoynya, tapi ia tak berkata-kata. "Suci, apakah kau marah padaku?" "Tidak," jawab Siu Hek singkat. "Lantas, kenapa diam saja?" "Apakah biasanya aku bawel?" Siu Hek balas menanya. Ching-ching menggeleng. "Suci malah paling pendiam dari semua. Aku sampai takut kadang-kadang." Siu Hek tersenyum saja menanggapi kata-kata Ching-ching. Tidak diajak bicara, Ching-ching juga malas bercakap-cakap. Ia merebahkan badannya ke rumput yang tebal. Sebentar saja ia sudah pulas. Siu Hek heran melihat sumoynyayang biasa cerewet tahan berdiam diri. Melihat Ching-ching tidur pulas, ia pun tak mau mengganggu. Dipandangnya saja wajah sumoynya yang tengah pulas. Sumoynya ini memang manis kalau sedang tidur. Lain dengan tingkahnya waktu terjaga. Bandelnya luar biasa. Tapi, dari semua saudara seperguruannya, cuma Ching-ching juga yang berani mendekatinya. Yang lain tampak segan mendekat, tak terkecuali sucinya, bahkan gurunya sendiri. Siu Hek bukannya suka tiada berteman, tapi sejak kecil ia tak pandai bergaul. Kalau tak didekati, tak mau mendekat duluan. Ia juga tak pandai bicara, sehingga lebih suka tutup mulut daripada bercakap-cakap. Yang lain sering mengira ia tak mau mendengar, disebabkan tak suka menanggapi. Pelan-pelan mereka pun menjauh. Tinggal Ching-ching seorang yang tidak bosan menemaninya. Ia juga yang suka mengoceh macam-macam tentang semua hal. Siu Hek jadi tidak kesepian lagi. Hari ujian Ching-ching sudah tiba. Ching-ching dan ketujuh sucinya menunggu kedatangan guru mereka. Kentara sekali ketegangan di antara mereka. Tidak cuma Ching-ching, semua sucinya pun berdebar-debar. Lung Shia mengajak semua muridnya ke sebuah lapangan. Ia membawa sebuah patung kayu dan memberi kepada Ching-ching sebuah busur dan anak panah. "Aku nanti akan berjalan mengelilingimu dan kau harus memanah patung kayu ini dan Ching Ching 75 menghancurkannya dengan lweekangmu lewat panah yang kaulepaskan." Ketika Ching-ching mengangguk tanda mengerti, Lung Shia mulai bergerak mengitari gadis itu dari jarak kira-kira tiga tomak. Ching-ching cepat merentang busur. Ia memperhatikan Lung Shia yang bergerak makin cepat dan makin cepat, sehingga yang kelihatan bayangan orang yang seperti ratusan banyaknya. Ching-ching bingung sendiri, tak tahu mana Lung Shia yang asli. "Huh!" terdengar dengusan sinis. Ching-ching mengenali suara itu. Cuma Siu Li yang bisa mendengus macam itu. Seketika ia ingat lagi pelajaran dari sucinya yang galak. Ching-ching tidak lagi ikut berputar-putar. Ia diam, memandang ke satu arah. Ditajamkannya telinga. Ha! Sekarang ia tahu ada di mana Lung Shia. Kupingnya sudah menangkap gerakan subonya itu. Ditunggunya Lung Shia sampai berada di samping kanan, barulah ia melepas anak panah. Anak panah itu melesat tanpa berhenti terus, sampai menancap ke sebuah pohon. Lantas, anak panah itu runtuh jadi debu. Lung Shia menghentikan tindakannya. Patung kayu masih berdiri di tangannya, tapi begitu ia benar-benar berhenti, patung itu bernasib sama seperti anak panah yang dilepas. Runtuh jadi abu! "Horeee!" tak sadar Siu Lan bersorak, tapi ia langsung berhenti melihat muka subonya yang dingin. Gurunya itu membungkuk, memungut sesuatu dari tangah, memperlihatkannya pada Ching-ching. Ternyata benda itu adalah serpihan kayu yang belum hancur, besarnya tak lebih dari seruas jari. Namun, cukup membuat Lung Shia tak puas. "Lweekangmu kurang sempurnya," katanya kepada Ching-ching. Gadis itu menunduk, sambil matanya melirik Siu Hung dengan perasaan bersalah. Ia memang palings ering kabur dari pengawasan sucinya pertama. Bocah yang memang lincahitu tak pernah mau siu-lian lama-lama untuk mengumpulkan tenaga. Kiranya cuma itulah satu-satunya kegagalan Ching-ching hari itu. Ujian lain dapat ia lewati dengan baik, sehingga membuat Lung Shia sungguh-sungguh puas, bahkan dalam ujian senjata di mana Ching-ching harus menggunakan barang yang macam-macam untuk senjatanya. Bahkan rumput sekalipun mesti digunakan untuk senjata. Malam harinya, saat semua ujian sudah terlewati, Lung Shia mengajak Ching-ching ke kamarnya. Tidak seperti biasanya, ia mengusir semua yang ada di kamarnya, sehingga tinggallah mereka berdua. "Ching-jie, apakah kau senang tinggal di sini?" "Senang, Subo." "Tidak bosan?" "Belum." Lung Shia mengetahui maksud bocah sepuluh tahun ini dengan jawabannya itu. Kalau Ching-ching mengatakan tidak, berarti ia bohong. Sebab, mana tahu kalau di masa mendatang ia merasa bosan" Diam-diam Lung Shia tertawa dalam hati. Sebenarnya jawaban Ching-ching agak lancang. Tapi ia tak peduli. Bukankah dulu waktu muda ia sendiri juga tak peduli segala macam basa-basi" Lung Shia semakin menemukan kemiripan Ching-ching dengan dirinya semasa kecil. "Ching-jie, benarkah kau senang belajar silat?" "Senang, Subo." "Inginkah kau menjadi ahli silat"' "Tentu." "Kenapa?" Ching Ching 76 "Sebab, kalau jadi ahli silat, pasti jadi terkenal, banyak yang menghargai, dan tak ada orang yang berani mengganggu. Bisa menolongi banyak orang dan berbuat banyak jasa." Lung Shia mengangguk-angguk. "Lalu, sudah puaskah kau dengan kepandaianmu yang sekarang?" Ching-ching menggeleng. "Bukankah Subo sendiri yang bilang, kalau ilmuku belum sempurna?" "Kau benar. Lantas, kalau sudah sempurna?" "Kalau masih ada tingkatan yang lebih tinggi, ya belajar lagi." "Bagus. Sekarang aku tak ragu lagi mengajarkan padamu. Ching-ching, kau ketahuilah. Beberapa tahun ini aku sering menyendiri, tak lain adalah untuk memecahkan rahasia suatu ilmu yang disebut Thian-lie-sin-kun (Ilmu silat sakti bidadari). Dan baru kemarin aku berhasil mengerti kesemuanya. Aku ingin mengajarkan kepada murid-muridku. Namun, yang paling berbakat di antara mereka sudah mencapai tingkat sempurna. Padahal, untuk mempelajari ilmu ini, tidak boleh menimpa ilmu lain. Dua tenaga sempurna dapat bertentangan. Akibatnya, kalau bukan hilang ingatan, malah tewas sekalian." Ching-ching bergidik. Melihat Lung Shia diam memperhatikan, ia tahu apa yang dipikirkan subonya itu. "Subo, maksudmu, aku yang harus mempelajarinya?" Lung Shia mengangguk. "Kau suka?" "Tidak tahu," kata Ching-ching. Ia senang bisa mempelajari ilmu baru, tetapi ngeri juga. Memang ia belum sempurna menguasai ilmunya yang sekarang, tapi kalau seandainya untuk mempelajari ilmu baru, kepandaian lama mesti dimusnahkan, sayang juga. "Jangan kuatir," kata Lung Shia yang dapat membaca hati muridnya. "Kau tak usah takut kepandaianmu musnah. Dan kau juga tak akan sinting atau tewas. Tentunya, asal kau mau belajar sungguh-sungguh, sehingga tak salah jalan, maka semua akan beres." Mendengar itu Ching-ching tak ragu lagi. "Kalau demikian, Teecu akan senang sekali mempelajari Thian-lie-sin-kun," katanya bersemangat. Lung Shia tersenyum dalam hati melihat betapa Ching-ching bersemangat demikian. "Hari ini sudah cukup melelahkan. Kau lebih baik pergi beristirahat." Setelah mohon diri pada subonya, Ching-ching berjalan ke kamar. Asyiiik, bosk dia akan belajar ilmu baru. Ia tak usah lagi diawasi sucinya. Apalagi Siu Li yang galak. Tapi, ia kan masih dapat bertemu mereka setiap hari. Ternyata Lung Shia mendidik Ching-ching lebih keras daripada murid-muridnya yang lain. Celakanya, tidak seperti ketika diawasi sucinya, kali ini Ching-ching tidak dapat kabur dari subonya. Tapi, kepandaiannya jadi cepat sekali bertambah. Apalagi, pada dasarnya, ia memang berbakat besar. Maka, dalam waktu tiga bulan saja, ia sudah menguasai puluhan jurus. Lewat tiga bulan, datanglah guru sastra yang dikirim oleh Lung Fei. Seorang laki-laki kira-kira lima puluh tahun umurnya. Wajahnya tidak seperti yang dibayangkan Ching-ching. Dikiranya ia akan bertemus eorang yang lucu berkumis dan mudah dipermainkan seperti Meng Sian-seng dulu. Ternyata, yang ditemuinya justru kebalikannya sama sekali. Gurunya ini memang berkumis dan bercambang yang terpelihara baik dan justru menambah kegagahannya. Tidak seperti kebanyakan guru sastra yang menurut Ching-ching lembek, gurunya yang ini sepertinya lebih pantas sebagai seorang hohan. Lung Fei membangun sebuah rumah kecil di kaki tebing. Lung Shia tidak Ching Ching 77 mengizinkan Liu Shen, guru baru itu, menginjak tanah perguruannya di atas tebing. Terpaksa Ching-ching yang bolak-balik setiap hari naik-turun tebing untuk belajar sastra. Pada mulanya Ching-ching malas-malasan. Ia sering mencoba kabur dari Siu Shen. Lung Shia, yang kemudian memergoki Ching-ching, lantas mengirim Siu Hek untuk mengawasi. Sekarang Ching-ching tak mungkin bolos lagi. Lui Shen juga tahu cara mengatasi bocah bandel ini. Ia tidak memaksakan Ching-ching belajar. Seringkali ajaran yang ia berikan seperti obrolan biasa saja. Ketika Ching-ching mulai tertarik, barulah diberinya pengajaran yang sungguh-sungguh. Lui Shen, yang juga dari Tion-goan asalnya, sering pula menceritakan kepahlawanan para pendekar di sana. Ini yang membuat Ching-ching betah diam berlama-lama di tempat Liu Shen. Dalam waktu singkat, hubungan Chingching dan gurunya sudah teramat dekat. Dan ternyata Ching-ching tidak hanya berbakat dalam bu. Dalam soal bun ia juga punya bakal besar, hal yang membuat Ching Ching Karya ??? di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Liu Shen bertambah sayang padanya. Tahun kedua lewat sudah. Sebelas tahun kini umur Ching-ching. Dengan dua macam ilmu yang digabungkan, kepandaian gadis itu hampir menyamai ketujuh sucinya. Hanya saja, selama ini ia belum pernah pergi dari lingkungan pengawasan Lung Shia. Padahal, Ching-ching sudah bosan sekali. Semua daerah di tempat itu sudah ia ketahu. Tak ada lagi tempat bermain yang menarik. Tapi, pada suatu hari, datanglah kesempatan. Lung Shia menerima kabar dari kakaknya, bahwa terjadi pemberontakan suku Nam di utara. Abangnya itu ingin agar ia, sebagai panglima wanita, datang dalam pertemuan membahas masalah ini di istana. "Ini kesempatan baik," kata Lung Shia kepada murid-muridnya. "Aku ingin tahu, bagaimana Ching-ching menghadapi lawan." "Tapi, Subo, dia baru sebelas tahun," kata Siu Pek. "Apa salahnya sebelas tahun?" bantah Siu Li. "Semakin muda digembleng, semakin bagus nanti jadinya." "Siu Li benar," Lung Shia setujui pendapat muridnya. "Ini kesempatan bagi Chingching mempraktekkan apa yang diketahuinya. Selama ini, ia cuma latihan saja. Kita tidak tahu benar-benar, apakah ia sudah mahir atau belum." Ching-ching merasa senang ketika diberi tahu bahwa ia boleh ikut ke medan perang. Ia girang sekali. Cepat ia berlari ke kaki tebing, memberi tahu Liu Sian-seng. Tidak seperti yang diharapkan, gurunya itu tidak tampak gembira. Bisa dikata murung malah. Ching-ching mengira gurunya sedih karena akan ditinggalkan. "Sian-seng jangan kuatir," katanya. "Hek Suci tidak ikut pergi. Nanti kupesankan kepadanya supaya ia menemani Sian-seng tiap hari." "Tidak perlu," kata Liu Shen, terharu akan perhatian muridnya. "Aku tak mau sucimu terepotkan. Lagipula, tak baik seorang laki-laki berduaan dengan seorang gadis." "Kalau dengan murid kok boleh?" "Kau kan masih kecil." "Kenapa sih di mana-mana aku dikatai masih keciiil terus," protes Ching-ching. "Lantas, kapan besarnya?" "Baiklah, jangan barah. Kau sudah besar kalau tidak bandel lagi." "Memangnya aku bandel?" "Ya." "Ya sudah. Memang bandel dari dulu. Watak orang susah diubah." "Kalau mau, tentu dapat." Ching Ching 78 "Tetap saja susah." "Sudahlah, jangan meributkan soal itu lagi." "Sampai lupa. Aku kemari mau pamitan padamu." "Jaga dirimu. Pulang dengan selamat ya." "Sianseng juga jaga diri baik-baik. Aku tak mau pulang lantas menemui kau tidak sehat." Liu Shen mengangguk-angguk. Habis itu, Ching-ching cepat kembali ke puncak tebing. Gurunya memperhatikan saja dari jauh. Mudah-mudahan anak itu diberkati Buddha dan dapat pulang dengan selamat. Lung Shia tidak terlalu lama di istana membahas masalah. Wanita pemberani itu langsung mengajukan diri menjadi panglima misi tersebut dan murid-muridnya menjadi perwira. Kecuali Ching-ching, tentunya. Lung Fei sebenarnya tak mengizinkan cucunya ikut-ikutan, tetapi Ching-ching memaksa. Lung Shia mendesak pula. Dengan berat hati, diizinkan jugalah mereka. Tidak buang waktu lagi, Lung Shia menyiapkan pasukan untuk segera menumpas pemberontakan suku Nam di utara. Sha Ie adalah sebuah negara yang membawahi banyak suku-suku kecil. Di setiap suku diangkat seorang ketua yang mesti mengurus daerah sendiri. Selama ini, mereka sudah cukup puas hidup demikian, kecuali suku Nam. Suku yang jumlah penduduknya cukup banyak itu tinggal di ujung utara Sha Ie yang berbatasan dengan Mongol. Suku yang senang berperang ini tidak puas diberi wilayah tetap. Mereka ingin menguasai seluruh daerah, seperti juga suku-suku Mongol yang mengembara. Ini tentu mengganggu suku lain, sehingga mereka mengadu ke ibukota. Sampai ke wilayah yang mulai dikuasai suku Nam tidaklah mudah. Lung Shia dan seluruh pasukannya mesti melewati padang gurun luas berhari-hari. Tak heran kalau mereka kerepotan membawa banyak perbekalan. Pada akhirnya, mereka sampai juga di tujuan. Setelah semua tenda terpasang dan semua beristirahat, semangat mereka pulih kembali. Lung Shia dan murid-muridnya mulai merencanakan penyerangan. Mreka memperhitungkan kekuatan musuh dan dengan teliti menyusun rencana penyerbuan. Ching-ching memperhatikan dengan sungguh-sungguh. Ternyata, praktek lebih menyenangkan dari segala macam teori yang bikin pusing itu. Hari yang ditentukan tibalah sudah. Penyerangan dilakukan terhadap perkampungan yang diduduki suku Nam. Yang diserang tidak tinggal diam. Mereka melawan. Yang tua-muda, laki-laki dan perempuan. Bahkan anak-anak semua bertempur gagah berani. Melihat perlawanan yang hebat, Lung Shia salut juga. Tapi, terhadap suku pemberontak ini, ia tidak boleh lemah hati, supaya tidak mendatangkan petaka di kemudian hari. Ia memerintahkan pasukannya untuk membunuh semua suku Nam tanpa pandang bulu. Pokoknya, dibasmi seluruhnya, tak peduli anak-anak. Ching-ching menonton agak jauh. Ia termasuk dalam regu panah, yang memang tak perlu terlalu dekat. Gadis cilik ini, walaupun ilmunya sudah tinggi, namun baru sekali melihat pembantaian besar-besaran seperti itu. Tak sadar ia begidik. Tangannya gemetaran. Pikirannya kacau. Karenanya, ia tak dapat memanah dengan baik. Ia tak tahan lagi. Ia berlari pergi, keluar dari kelompoknya. Duduk menyendiri agak jauh. Panahnya ditinggalkan. Ia mencoba menguatkan hati. Tiba-tiba ia mendengar suara berkeresek di dekatnya. Kupingnya yang terlatih dapat mendengar meskipun suara pertempuran masih amatlah ramainya. Gadis ini cepat bersiaga dan menoleh. Dilihatnya sebuah mata panah menyembuh dari semak-semak. Sebagai ahli panah yang baik, ia dapat segera menentukan dari kelompok mana asal panah ini dan siapa yang menjadi sasaran. Itu adalah mata Ching Ching 79 panah suku Nam. Dapat dibedakan karena ukurannya lebih besar daripada mata panah prajurit Sha Ie. Dan sasaran panah itu tak lain jantung Siu Pek. Sucinya yang sedang bertempur! "Jangan!" teriak Ching-ching sambil menerjang semak-semak asal panah itu. Tapi terlambat. Anak panah sudah meluncur ke sasarannya meskipun agak melenceng arahnya. Mata panah itu menancap di lengan Siu Pek. Setidaknya, nyawa gadis berbaju putih itu terselamatkan. Dengan marah, Ching-ching menyeret keluar orang yang bersembunyi di semak-semak itu. Ternyata adalah seorang anak laki-laki sebayanya. Ching-ching merebut busur di tangan anak itu dan mematahkannya menjadi dua potong dengan sebelah tangan. Melihat busurnya patah, anak laki-laki itu menggereng dan langsung menyerang membabi-buta. Ching-ching menangkis dan membalas. Lawannya malah bertempur nekad, tapi tak jadi masalah bagi gadis cilik ini. Sebentar saja, ia berhasil menotok, sehingga lawannya tak punya daya lagi. "Berani kau mencoba bunuh suciku! Rasakan akibatnya!" "Masa bodoh dengan sucimu. Aku mau bunuh semua orang kerajaan, kau mau apa" Mau bunuh" Bunuhlah! Aku, Ku Mang, tak takut mati." "Banyak lagak!" gerutu Ching-ching. Ia menyeret bocah itu ke kelompoknya. Lupa kalau tadi ia meninggalkan tempat pertempuran. Sekarang ia justru pulang membawa tawanan. Pertempuran itu berlalu dengan dimenangkanoleh kerajaan. Lung Shia sungguh puas melihat tak satu pun suku Nam yang masih hidup. Ia sungguh kaget waktu Ching-ching membawa tawanan kepadanya. "Subo, dia ini tadi mau membunuh Cici Siu Pek." Tadinya Lung Shia mau turun tangan sendiri, tapi ia sudah mendapat laporan dari Siu Lan bahwa Ching-ching belum merobohkan musuh seorang pun. Ia tak percaya muridnya lemah hati. "Ini sebuah belati. Bocah ini tawananmu. Kau boleh membunuh dia untuk negara, atau melepaskan dia. Terserah!" katanya. Ching-ching tercengang mendengar ucapan gurunya. Ia memang sangat marah pada bocah yang dibawanya ini. Ia berharap gurunyalah yang turun tangan. Tapi, gurunya malah melimpahkan hal itu kepadanya. Apa kini yang harus dilakukan" Gadis itu menggenggam belati yang diberikan gurunya erat-erat. Bunuh, jangan, bunuh, jangan. Ia belum pernah membunuh orang sebelumnya. Bagaimana rasanya membunuh orang" Apakah sedih" Seperti waktu ibu angkatnya mati" "Kau sudah mengambil putusan?" gurunya mendesak. "Jangan buang waktu." "Ya, Teecu sudah mengambil putusan," kata Ching-ching mantap. Apalah yang bisa dilakukan anak umur sebelas tahun seperti anak laki-laki ini di hadapan gurunya, pikirnya. Ia pun melepas ikatan yang melilit bocah sebayanya itu. Anak laki-laki itu memandang tak percaya. Setelah susah-payah menangkap, ia dilepas begitu saja" Bocah yang sejak kecil diajar bertindak keras itu menyangka gadis di depannya ini miring otaknya atau ... cari mati. Ya, mati. Dan ia akan mengabulkan harapannya. "Heaa ..." anak laki-laki itu menyambar belati di tangan Ching-ching, menusukkannya ke tubuh gadis itu. Seperti kebiasaan saat latihan, kalau ada orang menyerang dengan senjata, Chingching selalu menangkap pergelangan penyerang, memuntir dengan satu tangan, merebut senjata, dan mengayun senjata di tangannya ke depan. Darah muncrat membasahi tangan Ching-ching. Gadis itu terbengong memandangi tubuh bocah yang ambruk di hadapannya, kemudian memandang pisau itu pada gurunya Ching Ching 80 kemudian melangkah pergi. Siu Li mengejarnya dari belakang. "Subo." Siu Pek yang terluka melirik kuatir pada Ching-ching. "Barangkali ia belum kuat." "Siapa bilang" Ia tidak pingsan atau menjerit-jerit. Artinya dia mampu. Kita tak boleh memanjakannya lagi mulai sekarang. Aku tak mau ia menjadi lembek macam kongkongnya." Ching-ching berjalan ke sungai kecil, tak jauh dari sana. Di sungai dangkal berbatu itu, ia mencuci tangannya. Air sungai itu menjadi merah sebentar, lalu kembali bening. "Hei, bagaimana rasanya habis membunuh orang?" tanya Siu Li. "Biasa," jawab Ching-ching. "Berapa orang yang kaubunuh hari ini?" "Satu. Mati!" "Kau ini kerasukan atau apa" Dibunuh, ya mati dong, tolol." "Iya. Mati." Siu Li mencipratkan air yang dingin ke wajah Ching-ching. "Kau tak apa-apa?" tanyanya kuatir. "Tidak." Waktu pulang ke tendanya, Lung Shia sudah ada di dalam tenda Ching-ching. Ia menanyakan hal yang sama dengan Siu Li. Dijawab tak berbeda pula. "Bagus, kalau begitu. Lain hari, kau ingatlah. Jangan lepaskan seorang pun lawanmu. Kau bisa mati konyol karenanya. Dan jangan pernah kau menyesal membunuh orang yang bersalah kepadamu. Mengerti" Jangan menjadi orang yang lemah!" "Ya, Subo." "Bagus. Kau tidurlah. Besok kita akan kembali ke istana." Esoknya Siu Pek berkuda di sebelah Ching-ching yang tampak murung. Tidak seperti waktu pergi, tanya itu-ini, cerewet sekali. "Ching-moay, kau sakit?" tanya gadis berbaju putih itu. "Tidak." "Murung" Ada pikiran yang mengganggumu" Barangkali soal kemarin?" Siu Pek menghela napas sebelum berkata. "Membunuh orang pertama kali memang agak berat. Tapi, pada saat ini, hal tersebut adalah soal biasa. Kalau kita tidak membunuh, kita yang terbunuh. Kemarin kau sudah buktikan, bukan" Sudahlah, jangan banyak dipikir. Kau baru membunuh satu orang, sudah cemberut. Aku sudah laksaan. Kalau aku sepertimu, bisa cepat ubanan. Tersenyumlah.kau sungguh jelek kalau cemberut terus-terusan." Agak terpaksa, Ching-ching tersenyum juga. "Janji ya. Jangan pikir-pikir hal itu selama di jalan." "Ya, Suci." Ching-ching menepati janji. Ia berusaha melupakan hal itu. Tak sampai sehari, ia sudah berlaku seperti biasa. Bawel dan agak banyak tingkah. Diganggunya Siu Li habis-habisan. Dibuatnya kuda gadis baju hijau itu mabur kalang-kabut. Lung Shia yang melihat berlagak tidak tahu. Bagus, kalau muridnya sudah kuat hati. Tapi, ia harus menggembleng lebih banyak lagi, supaya benar-benar kuat tak tergoyangkah. Ia akan minta izin abangnya untuk membasmi semua pemberontak, dan Ching-ching akan diajaknya serta. Pulang ke istana, Lung Fei yang sudah kanget pada cucunya tidak mengizinkan Ching-ching buru-buru kembali ke perguruan. Ia menahan Ching-ching beberapa lama. Lung Shia juga tak ingin meninggalkan muridnya sendirian. Ia ikut menemani di gedung mewah itu, sementara murid-muridnya yang lain pulang. Ching Ching 81 Selama di istana, Ching-ching banyak bersenang-senang dengan kakeknya. Ia sering mengajak kakeknya memancing atau mengejar kupu-kupu. Pokoknya, segala macam permainan yang jarang bisa dilakukan orang istana. Lung Fei juga amat sayang pada Ching-ching. Ia juga senang pada permainan yang aneh-aneh. Cucunya ini memang tak peduli pada segala macam aturan. Berbeda dengan Chin Yee, yang semua tingkah lakunya sangat baik, sesuai tata cara mereka. Herannya, Lung Fei justru tidak suka. Tingkah laku Chin Yee selalu mengingatkan bahwa ia adalah seorang raja yang mesti diatur kelakuannya. Sebaliknya, bersama Ching-ching, ia benar-benar bisa merasakan bahwa ia adalah seorang kakek. Tak berapa lama, sebelum Lung Shia dan muridnya kembali, datanglah berita bahwa ada keributan di Utara. Mongol, yang menganggap suku Nam sebagai bagian dari mereka, marah, hendak balas menyerbu ke Sha Ie. Lung Shia sebagai panglima tak tinggal diam berlama-lama. Ia mendesak abangnya memberi izin pergi, menghadapi bangsa Mongol itu. Dan Lung Fei tak kuasa mencegah adiknya. Maka, jadilah Lung Shia dan murid-muridnya kembali memapaki pasukan Mongol. Pasukan Mongol ternyata tak bisa dianggap enteng. Siasat perang mereka pun tidak jelek, walaupun lebih mengandalkan jumlah prajurit yang nekat dan berani mati - berbeda dengan Lung Shia yang mengutamakan keselamatan prajuritnya dan mengusahakan supaya jumlah korban tidak banyak. Untuk itu, semuanya direncanakan baik-baik. Tapi, justru perhitungan Lung Shia jauh dengan apa yang terjadi. Pasukan Mongol selalu menyerang pada saat kedudukan prajurit Sha Ie lebih kuat. Serangan ini tentu saja tidak diduga. Lung Shia tidak mengira, Mongol lebih mengutamakan kemenangan, biarpun harus mengorbankan sekian ribu prajuritnya. Karena itulah, walaupun Lung Shia masih selalu menang dalam peperangan, jumlah prajuritnya menyusut banyak. Sampai pada suatu ketika, saat Lung Shia dan murid-muridnya sedang merundingkan siaasat menghadapi lawan, datang laporan dari anak buahnya. "Lapor, Panglima!" kata prajurit yang datang. "Ada apa?" tanya Lung Shia, agak kesal karena rundingan mereka terpotong. "Pengiriman ransum kita dicegat pasukan Mongol." "Kurang ajar!" Lung Shia menggebrak meja. "Rupanya, diam-diam Mongol mengitari perkemahan kita dan mencegat di selatan." "Celaka!" Ching-ching, yang sedari tadi cuma mendengarkan guru dan sucinya, bicara kini ikut-ikutan. "Eh, prajurit ransum yang tersisa bisa dipakai seberapa lama?" "Paling lama empat hari." "Huaduh!" Ching-ching mengeluh. "Sungguh celak! Sudah pengiriman ransumnya terlambat, kini dicegat orang pula. Mana lagi kita tak ada persiapan untuk kelaparan. Payah!" "Kapan pengiriman ransum berikut?" "Bulan depan." "Waaah." Ching-ching sudah mau mengomel lagi, tapi mulutnya langsung rapat, melihat gurunya melirik. "Kalau begitu, kirimkan kabar ke ibukota supaya mengirim ransum sekali lagi," Lung Shia memberi perintah. "Dan, selama menunggu ransum datang, semua orang di perkemahan makan bubur saja. Semua, kataku!" Si prajurit langsung mengundurkan diri, menjalankan titah panglimanya. Ching Ching 82 Enam hari sudah berlalu sejak Lung Shia mengeluarkan perintahnya. Tiap orang di perkemahan sudah bosan dengan bubur yang tak cukup mengganjal perut yang lapar. Begitupun Ching-ching, yang senasib dengan prajuritnya. Ia mengomel kepada Siu Pek. "Makin hari, bubur ini makin encer saja," gerutunya. "Kalau ransum tidak Ching Ching Karya ??? di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo datang juga, lama-lama kita makan air juga. Subo juga sih. Kenapa kita yang pangkatnya lebih tinggi mesti ikutan makan bubur" Padahal, kalau mau, kita boleh mendapatkan nasi." "Ching-moay, Subo sudah melakukan hal yang benar. Sebagai pemimpin, beliau tidak cuma tahu enaknya saja, tapi juga mau sama-sama merasakan penderitaan. Begitulah watak pemimpin sejati. Kau ingatlah kelak, kalau sudah menggantikan menjadi raja di Sha Ie." Penjelasan Siu Pek singkat saja, tetapi Ching-ching memahaminya. Sejak itu ia tak mengomel lagi. Ia ingin belajar menjadi pemimpion sejati mulai sekarang. Ia juga tidak mengeluh waktu pada akhirnya seisi perkemahan mesti menahan lapar karena ransum belum juga dikirimkan. "Ini sungguh bahaya," kata Lung Shia waktu berunding kembali dengan murid-muridnya. "Kalau Mongol menyerang, kita tak akan dapat melawan. Seandainya mereka tidak mengambil tindakan pun, kita akan mati kelaparan." "Apa yang mesti kita lakukan, Subo?" "Gampang!" sela Ching-ching. "Mereka mencuri dari kita, kenapa tidak kita rampas lagi dari mereka?" "Maksudmu, kita mencuri ransum bangsa Mongol itu?" "Itu juga yang aku pikir," kata Lung Shia. "Justru sekarang ini aku hendak memilih siapa yang harus pergi." Murid-murid itu berebutan ingin pergi. Mereka tahu tugas ini cukup berbahaya dan masing-masing ingin melindungi yang lain dengan mengajukan diri. "Cukup, tenang semua!" bentak Lung Shia. "Siu Hung, kau yang paling besar. Kau saja yang pergi. Pilihlah seorang adikmu untuk menyertai." Ini sunggu tugas berat bagi Siu Hung. Memilih satu dari sumoynya berarti mengajaknya serta dalam bahaya. Ia tak menginginkan hal itu. "Subo, biar aku yang pergi," kata Siu Chen. "Dari semua, aku yang paling banyak makan. Sudah sepantasnya kalau aku yang memikul tugas ini." "Baiklah. Kalian pergilah malam ini. Bawa sepuluh orang prajurit dan lima gerobak untuk mengangkut." "Aku ikut!" Ching-ching melompat dari duduknya. "Mana bisa. Kau masih - " Siu Li mencegah. "Aku tahu," potong Ching-ching. "Masih kecil. Dari dulu memang kecil terus, tak pernah besar. Bosan!" "Siapa bilang kau kecil. Aku mau bilang, kau masih kurang pengalaman," sanggah Siu Li, padahal dalam hati ia mengakui apa yang dikatakan Ching-ching. "Jadi, kurang pengalaman, lantas aku tak boleh pergi" Kalau tak diberi kesempatan, lantas kapan aku berpengalaman?" Ching-ching membalikkan kata-kata Siu Li. "Tapi, lebih pantas kalau - " Siu Li membantah. "Jangan bertengkar lagi. Biarlah Ching-ching ikut dengan Siu Hung dan Siu Chen," Lung Shia melerai. "Kalian boleh pergi, kecuali Siu Chen dan Siu Hung. Ada yang mesti dibicarakan." Semua melakukan apa yang disuruh Lung Shia. Kedua muridnya tertua tinggal di tempat. Setelah itu, barulah Lung Shia angkat bicara. "Ching-ching benar. Ia harus diberi kesempatan. Malam ini ia ikut dengan kalian. Ching Ching 83 Berdua kalian harus menjaga dia baik-baik. Ingat, bagaimanapun ia adalah seorang putri kerajaan Sha Ie, walaupun ia adalah sumoy kalian juga. Kalau nanti sampai terjadi apa-apa padanya, bukan saja kalian harus menerima hukuman dariku, tapi kalian juga akan diadili secara militer. Mengerti?" "Mengerti, Subo," jawab kedua gadis itu bebareng. Berpakaian hitam-hitam supaya tersaru di gelap malam, Siu Hung dan kedua adiknya serta sepuluh prajurit terpilih mengendap-endap mendekati perkemahan prajurit Mongol. Mereka bersembunyi, mengawasi keadaan, mencari saat yang kira-kira tepat untuk bertindak. Penjagaan ransum prajurit Mongol ternyata tidak terlalu ketat. Pengawalnya hanya dua orang yang berpratoli mengelilingi tenda ransum. Butuh waktu cukup lama mengitari tempat itu. Dan cuma sebegitu waktu yang dibutuhkan Siu Hung untuk mencuri kembali perbekalan mereka. "Kita lumpuhkan dua penjaga itu supaya lebih aman," kata gadis itu kepada sumoynya. "Dengan pisaumu, dapatkah aku bunuh mereka sekaligus, tanpa banyak ribut?" "Tentu," kata Siu Chen, sambil menyiapkan dua pisau terbangnya. "Kalian tunggulah aku memberi tanda, baru bertindak." Gadis bertubuh gempal itu ternyata dapat bergerak lincah. Samar-samar terlihat bayangannya maju mendekati sasaran mereka. Lalu, terlihatlah dua kilatan senjata tertimpa cahaya api, disusul robohnya dua penjaga tanpa suara sama sekali. Sebatang pisau pendek tertancap di leher masing-masing. Siu Chen memberi tanda. Sebelum bergerak, Siu Hung berpesan kepada sumoy-nya yang paling kecil. "Kalau nanti ada keributuan, atau kami terlalu lama pergi, kau larilah lapor pada Subo. Sebelum itu, tunggu kami di sini. Jangan ke mana-mana!" Tanpa menunggu lagi jawaban, Siu Hung pergi. Ching-ching menunggu dengan patuh dan memperhatikan dari kejauhan. Ia melihat para prajurit mengangkuti karung-karung beras dan memuatnya di gerobak. Setiap gerobak mengangkut sepuluh karung. Semuanya cukup untuk ransum selama dua bulan untuk seluruh tentara. Ia juga melihat kedua suci-nya kembali. "Ha, mereka sudah berhasil," gumamnya. "Aku tak perlu lagi berjaga-jaga di sini. Heh, di sini tidak ada tontonan. Kenapa aku tidak masuk saja ke perkemahan musuh?" Dengan cepat dan tanpa suara, Ching-ching mendekati markas prajurit Mongol. Ia mengambil jalan agak memutar untuk menghindari berpapasan dengan kedua suci-nya. Ia tak mau kehilangan kesempatan mencari pengalaman malam ini. Sampai di tempat semula, Siu Hung dan Siu Chen kebingungan tidak mendapati Ching-ching. Padahal, mereka harus cepat pergi sebelum tindakannya diketahui musuh. "Suci, ke mana Ching-ching?" "Entahlah," jawab Siu Hung. "Apakah ia terlalu lama menunggu, sehingga lebih dulu pulang melapor pada Subo?" "Bisa jadi. Biasanya ia memang tak sabar akan segala sesuatu." "Kalau begitu, kita harus segera pulang, mencegah ia melaporka yang bukan-bukan." "Baiklah." Padahal, saat itu Ching-ching sedang keluyuran di kemah musuh. Tak sulit baginya yang bertubuh kecil untuk menyelinap di tempat gelap, melewati para penjaga yang rata-rata hanya tahu memanah dan bergulat, tanpa memahami ilmu silat. Sesudah melihat-lihat sebentar, tahu-tahu gadis bandel itu mendapat akal untuk Ching Ching 84 membuat kacau prajurit di sana. Ia mengambil dua batang obor yang ditancapkan di tanah. Dilemparnya obor itu ke tenda ransum. Seketika tenda itu terbakar hebat. Para prajurit yang segera mengetahuinya berlarian panik mencari air. Sambil tersenyum-senyum, Ching-ching bersembunyi di bawah bayangan sebuah tenda yang paling bagus. Seorang gagah keluar dari tenda itu, mendekati tempat keributan. Tidak menyia-nyiakan kesempatan, Ching-ching masuk ke dalam. Bagian dalam tenda itu sungguh nyaman. Ada sebuah tempat tidur besar di sana. Di atas sebuah meja kecil, terdapat banyak makanan dan juga arak. Rupanya si pemilik tenda sedang pesta-pora sendirian. "Tidak adil!" cetus Ching-ching. "Kami kelaparan, sedangkan kau makan enak di sini. Padahal, beras ini juga hasil rampasan. Curang! Kubalas kau. Kumakan saja semua sayuran ini dan nasinya kulempar. Hup!" Ching-ching melakukan kata-katanya. Ia mulai memakan sayur yang tersisa. Separo saja, asal perutnya kenyang. Lalu, ia mengambil poci arak yang menebarkan bau arak wangi. Langsung diteguk saja dari pocinya. Arak itu ternyata baik buatannya, tidak seperti arak beras yang biasa diminim bersama A-thianya. Sebentar saja, gadis cilik itu mulai merasa pusing. Apa-apa kelihatan berputar. Perut dan dadanya terasa panas. Lehernya kering. Untuk membasahi tenggorokannya, Ching-ching menghabiskan seisi poci arak. Setelah habis semua, ia berdiri. "Aku harus pulang," gumamnya setengah tak sadar. Ia berputar-putar di dalam tenda besar itu. "Mana sih pintunya" Aku mau keluar." Saat itu rupanya kebakaran sudah dapat diatasi. Seorang berbadan besar masuk ke tenda tempat Ching-ching berada. "Oh, di situ jalan keluarnya," kata gadis itu menghampiri pintu. "Terima kasih." Orang yang baru masuk itu mencengkeram pundak gadis kecil yang sempoyongan karena mabuk. "Kau siapa?" tanyanya. "Aku?" tanya Ching-ching sambil menunjuk hidung sendiri. "Aku anak kecil yang mesti pulang sebelum Subo marah." Lalu ia memandang orang di hadapannya dengan heran. "Apakah badanmu cuma kaki saja" Tidak punya kepala?" Dalam mabuknya, Ching-ching tak sadar kalau orang di hadapannya adalah tinggi-besar. Tinggi Ching-ching sendiri tak sampai sepinggang orang itu. "Bocah, kau mau melihat kepalaku" Biaklah, kukabulkan." Dengan sebelah tangan, orang itu mengangkat Ching-ching setinggi mukanya. Gadis itu kaget bukan main melihat wajah aneh di hadapannya. Kepala yang besar-bulat, mata yang sipit hampir tertutup pipi tembam, hidung pesek yang amat-amat besar, dan mulut yang luar biasa lebar. "Siluman," desah Ching-ching. "Siluman babi." Sudah itu ia tak ingat apa-apa lagi. Ching-ching baru sadar lagi waktu mukanya disiram air. Ia mendapati dirinya terikat erat di tiang di tengah-tengah tenda. Tapi, bukan tendak yang kemarin ia masuki. Bukan tenda tempat tinggal. Di sini banyak orang, sepertinya para panglima Mongol. Berarti tenda inia dalah semacam ruang besar tempat berunding dan menerima tamu. "Akhirnya kau bangun juga, eh bocah kecil." Sepasang kaki besar yang kukuh tampak di depannya. Ching-ching mesti mendongak untuk melihat siapa lawannya bicara. Tak lain si Muka Babi yang dilihatnya kemarin. "Memangnya sudah berapa lama aku ...?" "Semalaman kau tidak bangun. Kusangka kau mati gara-gara kebanyakan minum arak." "Arak sebegitu, untuk membuat perutku kembung pun, tidak cukup." Ching Ching 85 "Jangan ngomong kalau tidak ditanya! Nah, sekarang kau mau mengaku tidak, untuk siapa kau bekerja?" "Bego, masa tidak tahu?" ejek Ching-ching. "Tentunya untuk pasukan Sha Ie yang tak tahu diri. Kau juga yang membakar ransum kami?" "Masih tanya?" "Kurang ajar! Berani kau mempermainkan panglima besar Mongol?" Orang berwajah seperti babi itu menampar muka Ching-ching dengan tangannya yang tebal dan lebar, sampai gadis kecil yang dipukul menjadi pening kepalanya dan pecah bibirnya hingga mencucurkan darah. "Jahanam, kubalas kau nanti," ancam Ching-ching dendam. "Mulutmu lancang. Bagusnya kubunuh saja kau!" Tangan si panglima sudah terayun. "Tahan, Jendral, jangan keburu nafsu," cegah seorang perwira. "Siapa tahu bocah ini berguna juga bagi kita." "Bocah tak tahu adat buat apa?" "Panglima, cobalah pikirkan. Apa gunanya anak kecil begini dibawa ke medan perang, kalau bukan untuk mempelajari situasi tempur. Dan pula, ia adalah anak perempuan. Anak perempuan diajari berperang sedikitnya anak bangsawan atau anak jendral. Barangkali bisa kita gunakan untuk mengancam Kerajaan Sha Ie." "He, kau betul juga. Bocah, nasibmu mujur. Aku tak akan membunuhmu sementara waktu. Tapi, aku mesti tahu dulu, siapa kau sebenarnya. Ayo jawab!" biarpun si panglima membentak, menampar, dan mengancam, Ching-ching diam saja sampai penanyanya kecapekan sendiri. "Kau tak mau bilang, kuhajar kau sekali lagi." "Jangan!" jerit Ching-ching tiba-tiba. "Kau mau tahu" Marilah sini, kubisiki." Panglima yang tinggi besar itu mesti berlutut dulu. Ia lantas mendekatkan kupingnya ke mulut Ching-ching. Gadis itu menarik napas dulu dalam-dalam. "KAU BABI GENDUT TAK PUNYA OTAK TAK TAHU MALU, SILUMAN JAHAT, BISANYA MAKAN!" Ching-ching berteriak disertai khikang. Tiang-tiang di sana sampai berderak. Tanah yang dipijak terasa agak bergetar. Jangankan si panglima di deakatnya, perwira yang jauh juga merasa telinganya agak sakit. Tapi, mereka tak sampai pingsan dengan kuping berdarah, seperti orang yang seperti siluman itu. Semua yang ada di situ kaget melihat pemimpinnya pingsan. Mereka cepat membawanya keluar. Sebelum pergi, perwira yang tadi memberi saran, menyuruh penjaga bersiaga di luar tenda, tak boleh mengizinkan siapa pun masuk. "Hmf, mau menawanku, kau pikir mudah!" gumam gadis itu. Ia masih ada cara untuk kabur. Tapi, pertama-tama tentu ikatan badannya mesti dibuka dulu. Satu-satunya senjata yang dibawa adalah sebilah belati di kakinya. Ching-ching melipat kakinya ke dada, mencoba meraih belati itu dengan mulutnya. Untung, badannya lentur karena terlatih baik, sehingga melakukan hal demikian tidaklah sukar buatnya. Ching-ching mencapit belati dengan dua baris giginya. Belati itu digesek-gesekkannya ke tali yang mengikat badannya. Serat demi serat terpotong. Akhrinya, tali itu putus sama sekali. Ia bebas kini. Ching-ching tahu, di pintu tenda pasti ada penjaga. Ia tak mau cari ribut. Kalau tidak, ia tak akan dapat segera pulang. Karena itu, ia memilih jalan belakang, merangkak lewat di kolong tenda! Ia mencari-cari tempat kuda tertambat. Ah, itu dia! Tapi, di sana ada seorang penjaga. Cepat, tapi tak bersuara, Ching-ching menyergap penjaga itu, menusuknya Ching Ching 86 tepat di jantung, sehingga prajurit itu mati tanpa sempat buku mulut. Gadis itu memilih kuda yang paling baik, lalu menaikinya. Sebelum mengeprak kduanya, lebih dulu ia melepaskan kuda-kuda yang laind an dihalaunya pergi. Semua kuda itu berlari serabutan. "Hei!" tiga orang perwira terkejut melihatnya. Gegerlah semua prajurit di sana. Beberapa orang mencoba mengejar kuda-kuda yang lari. Mereka sibuk sendiri. Tak seorang pun memperhatikan gadis cilik yang menunggang kuda mengarah ke selatan. Dikiranya adalah seorang dari mereka yang juga sedang mengejar kuda-kuda itu. Dengan berkuda, Ching-ching cepat sampai ke perkemahannya sendiri. Dari jauh ia sudah berteriak-teriak mengabarkan kedatangannya. "Suci, ini aku datang, membawa kuda besar!" katanya gembira. Beberapa orang prajurit memberi hormat dan membawa kudanya setelah Ching-ching melompat turun. Namun, tak seorang pun suci-nya datang. Setelah keliling mencari-cari, tahu-tahu Ching-ching mendengar suara cambuk dihentak dari dalam sebuah tenda. Ia cepat masuk dan menjerit kaget melihat apa yang terjadi did alam. Kedua suci-nya, Siu Hung dan Siu Chen, sedang menerima hukuman cambuk yang dilaksanakan subo-nya sendiri. "Subo!" Ching-ching berteriak dan mendarat di hadapan subo-nya. "Subo, jangan!" "Ching-ching" Kau ...." "Subo, kenapa kedua suci dihukum" Bukankah semalam tugas sudah dilaksanakan dengan baik?" "Semuanya gara-gara kau juga, pakai kabur-kaburan segala!" "Siu Li!" subo-nya membentak. Siu Li langsung diam, tapi matanya mendelik marah. Ching-ching berlutut di hadapan subo-nya. "Subo, kalau memang kesalahan Teecu, harap Subo hukum Teecu seorang saja," ia memohon. "Jangan bawa Suci dalam urusan ini." "Kedua suci-mu pantas dihukum karena tak becus menjaga putri mahkota. Tahukah kau?" "Jadi, semua berawal dariku juga. Biarlah aku yang menerima akibatnya." Lung Shia menghela napas. Ia dan muridnya yang satu ini memang sama-sama keras kepala. "Baiklah, kalau kau minta," katanya. Cemeti sudah diangkat, siap turun mencambuk Ching-ching. Melihat muka Ching-ching yang sudah babak-belur, sebenarnya Lung Shia tak tega. Tapi, ia tak boleh menunjukkan kelemahan hati di hadapan murid-muridnya yang lain. Ia mengeraskan hati. TAR! Cambuk berbunyi saat mengenai sasaran. Tapi, cuma itu saja yang kedengaran. Ching-ching tidak bersuara. Meringis pun tidak. Tahu-tahu seisi ruangan berlutut, termasuk Siu Li, memohon ampunan dari guru mereka. Melihat itu, hati Lung Shia luluh. Sebenarnya ia merasa lega juga, tak usah menghukum Ching-ching, murid kesayangannya. Tanpa berkata apa-apa, ia keluar. Serengah semua yang ada di situ menyerbu tiga orang terhukum untuk mengobati luka-luka mereka. Ching-ching meringis kesakitan waktu diobati. Luka akibat cambuk tidak seberapa, justru bengkaknya gara-gara dipukuli kemarin. "Kenapa kau bisa babak belur begini?" tanya Siu Pek, yang kebagian mengobati Ching-ching. Ching Ching Karya ??? di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Dihajar siluman," kata gadis cilik itu. Ia lalu menceritakan pengalamannya. Semua mendengarkan, tak menyadari seseorang datang. Entah sudah berapa lama ia berdiri di sana. Kemudian, seseorang tersadar, disusul yang lain. Akhirnya semua berpaling. Ching Ching 87 "Subo!" sapa mereka menghormat. Lung Shia membalas dengan anggukan. "Ching-ching, Siu Pek, ikut aku!" perintahnya. "Ya, Subo," serempak dua muridnya menyahuti. Ketika mereka sudah tinggal bertiga di ruang tinggal Lung Shia, barulah ia mengatakan masalah. "Ching-ching, besok kau, ditemani Siu Pek dan beberapa pengawal, harus kembali ke ibukota!" "Subo," Ching-ching langsung protes. "Mana boleh begitu" Subo, kalau gara-gara kemarin malam - " "Bukan karena itu. Ini adalah perintah dari kongkong-mu sendiri. Aku sebetulnya lebih suka kau tinggal, tapi perintah raja adalah tak terbantah!" "Tapi ... tapinya ...," Ching-ching mulai merengek. "Jangan rewel!" bentak gurunya. Gadis itu langsung cemberut. "Kau keluarlah. Bereskan barang-barangmu. Besok pagi-pagi buta kalian sudah harus berangkat. Siu Pek, aku mau bicara." Setengah ogah-ogahan, Ching-ching menjalankan perintah subo-nya. Sial sungguh. Padahal, ia masih ingin ikut menggempur pasukan Boan itu. Terutama balas menghajar si Siluman Babi. Huh, kongkong-nya sih pakai menyuruh pulang segala. Jadinya, ia tak bisa ikut senang-senang. Siu Li pasti akan menyombongkan diri nanti, sedangkan dia .... Apa yang dapat dibanggakan" Huh! Ching-ching mengomel-omel sendiri. Bengkak-bengkak di muka Ching-ching makan waktu cukup lama untuk sembuh. Kongkongnya kaget bukan buatan melihat cucunya tersayang babak belur. Ia mengomeli adiknya perempuan yang tak becus menjaga murid. Tapi, waktu Ching-ching menceritakan pengalamannya, ia memuji dengan bangga. "Kong-kong, kenapa aku dipanggil pulang?" "Hehe, aku mau mempertemukan kau dengan seseorang. Aku yakin kau akan gembira." "Apakah A-thia?" tanya Ching-ching berharap. "Kau lihat saja nani. Tapiii ... kau tak bisa menemui dia dengan begini. Ah, kau harus menyembuhkan dulu semua lukamu." Lung Fei menyuruh beberapa orang dayang-dayang membawa Ching-ching ke kamar, tak peduli gadis kecil itu berteriak-teriak kesal. Ditemani Siu Pek, ia dibawa ke bagian istana yang agak jauh dan jarang dilewati orang. Ia harus tinggal di situ dan tak boleh keluar sampai lukanya sembuh, sementara Siu Pek mengajarinya tata krama. Cuma dua hari Ching-ching bertahan. Hari berikutnya ia sudah benar-benar bosan. Gadis bandel itu kabur dari sucinya sambil membawa busur dan panah. Hih, ia lebih suka pergi berburu daripada mendengar semua aturan Siu pek. baYangkan, minum saja ada caranya sendiri. Harus begini, begitu, lalu ini, itu. Mendingan minggat saja. Ching-ching menuju hutan, tak terlalu jauh dari istana. Hutan itu memang sengaja dijadikan tempat berburu para bangsawan. Binatang di sana banyak. Kecuali sedang sial, hampir tak mungkin oran gpulang dari sana tanpa hasil buruan. Sebenarnya Ching-ching kurang suka berburu di sana. Terlalu mudah baginya. Tapi, mau bagaimana" Keluar istana itu sulit sekali. Daripada tidak sama sekali, apa boleh buat. Baru berjalan beberapa langkah ke dalam hutan itu, Ching-ching sudah melihat buruannya. Seekor burun hutan yang terbang tinggi dan badannya gemuk sekali. Ching-ching cepat menarik busurnya. Tanpa membidik lagi, anak panahnya dilepaskan. Gadis itu sudah terlatih berburu. Meskipun tanpa membidik, ia yakin Ching Ching 88 anak panahnya kena sasaran. Burung yang diincarnya jatuh. Ching-ching cepat berlari ke arahnya, tapi seseorang berkuda lebih dulu mencapai tempat itu. Orang di atas kuda itu menyambar burung buruan Ching-ching tanpa menghentikan kudanya. Melihat hasil jerih-payahnya diambil orang, Ching-ching tidak terima. Ia terus mengejar. "He, kembalikan! Itu milikku!" teriaknya. Kuda yang ia kejar berhenti. Penunggangnya menoleh, menunggu Ching-ching mendekat. "Ada apa?" tanyanya. Ternyata, ia adalah seorang pemuda. Kira-kira lima belas tahun umurnya. Ditilik dari pakaiannya yang indah dan kudanya yang terawat baik, paling tidak ia adalah anak bangsawan. "Itu burung buruanku. Kenapa kau ambil?" tuduh Ching-ching. "Siapa bilang" Ini burung yang kupanah jatuh," kata pemuda itu, memperlihatkan burung di tangannya. Ternyata, pada tubuh burung itu tertdapat dua batang anak panah yang menancap di leher. "Ternyata memang buruanmu," kata pemuda itu mengaku. "Tapi milikku juga. Lihat, anak panahku juga ada di lehernya. Sekarang bagaimana?" "Hmm, bagaimana kalau dibagi dua?" usul Ching-ching. "Boleh juga." Pemuda itu mencabut golok melengkung yang tergantung di pinggang, hendak membelah burung itu di tengah-tengah. "Jangan!" cegah Ching-ching. "Kalau sudah dibuka perutnya, nanti tak enak dimasak. Begini saja. Bagaimana kalau kita masak dan kita makan berdua" Bukankah lebih baik?" Pemuda itu ragu-ragu dan beberapa kali menoleh ke arah dia datang. "Ayolah," desak Ching-ching. "Aku tak punya banyak waktu." "Baiklah," kata pemuda itu. "Aku tahu tempat yang baik untuk bersantai." Tahu-tahu ia menyambar pinggang Ching-ching dan membawanya naik ke atas kuda. Mulanya gadis itu terkejut. Tapi, mengetahui maksud pemuda ini, ia tak meronta. Kuda itu membawa mereka ke sebuah tempat yang agak lapang. Ching-ching langsung bekerja. Dengan cekatan, ia menguliti burung itu, lalu mengambil tabung-tabung bumbu di pinggangnya, membumbui buruan mereka, sementara pemuda yang bersamanya membuat api. Tak berapa lama, mereka sudah menikmati bersama hasil masakan Ching-ching. "Enak!" komentar si pemuda. "Rupanya kau pintar masak." "Tentu saja. Aku suka makan enak. Jadinya, terpaksa harus masak enak juga. Kau tahu, setiap kali berburu, aku selalu membawa macam-macam bumbu masak." "Aku tidak menolak kalau dikasih makan enak, tapi masak, nanti dulu." "Rugi kau. Percuma jago berburu kalau tak bisa mengolah." "Ag, gampang. Cari saja istri yang pintar masak. Beres!" Tahu-tahu Ching-ching tersadar. Sudah terlalu lama ia pergi. "He, aku mesti pulang!" katanya buru-buru berdiri. "Tunggu. Makanan ini bagaimana" Tanggung, tinggal sedikit." "Kau boleh habiskan." Ching-ching menyambar busur dan panahnya, hendak segera berlalu. "Nanti dulu. Aku belum tahu namamu!" Ching-ching tak berani menyebut namanya. Kalau pemuda ini tahu siapa dia, tentu sikapnya akan berubah sungkan. "Nama tak penting," jawabnya. "Kau boleh panggil aku apa saja." "Kalau begitu, kupanggil kau si tukang masak." "Dan kau si tukang makan," balas Ching-ching. "Tukang makan, aku pergi dulu." "Tukang masak, besok ketemu lagi ya!" seru pemuda itu. Ching Ching 89 Ia memandangi punggung Ching-ching. Tiba-tiba, didengarnya suara kuda mendatangi. Cepat pemuda itu mematikan api, menutupinya dengan daun. Kemudian, mencongklang kudanya minggat dari situ, menuju ke arah suara yang ia dengar. "Pangeran Fei Yung!" seorang gadis manis menyapanya. "Kucari kau sedari tadi, ternyata kau ada di sini. Aku sudah kuatir saja, kau tersesat, tak tahu jalan kembali." "Chin Yee, aku memang agak lama. Soalnya, burung yang kubidik jatuh tidak ketemu." "Barangkali digondol serigala." Wajah Fei Yung memerah, merasa dirinya disamaikan dengan seekor serigala. "Sudah sore. Mari pulang!" ajaknya. Biarpun agak heran dengan kelakuan Fei Yung, Chin Yee menurut. Fei Yung benar-benar tertarik pada gadis cilik yang ia temui di hutan. Dari pakaiannya, pastilah ia anak pejabat tinggi. Tapi, dari sikapnya, waah, dayang-dayang istana masih lebih bagus. Justru itu yang membuat Fei Yung tertarik. Ia sudah terbiasa dengan kelemahlembutan wanita. Ia lebih suka yang "lain". Esoknya, Fei Yung berburu lagi dengan harapan bertemu dengan gadis yang kemarin. Sengaja ia pergi sendiri. Ia tak mau senang-senangnya dengan si tukang masak terganggu. Apalagi oleh Chin Yee. Sayangnya, sampai matahari naik tinggi di atas kepala, Fei Yung leum juga bertemu dengan kawan barunya. Dan tak seekor binatang pun berhasil ia buru. Ia memang tak berminat. Menjangan yang melintas santai di hadapannya pun didiamkan saja. Pemuda itu sudah putus asa. Ia melangkahkankaki pergi. Perlahan sekali ia berjalan. Dalam pikirnya, jalan pelan-pelan dapat mengobati hati yang kecewa. "Hoooy!" Ketika lewat tak jauh dari sungai kecil, ia mendengar teriakan memanggil. "Tukang makan, kemarilah!" Fei Yung menoleh. "Hei, Tukang Masak, sedang apa di situ?" "Menangkap ikan." Fei Yung mendekat, tertarik akan apa yang dilakukan Ching-ching. Gadis itu berdiri di tengah-tengah sungai. Celananya digulung sebatas lutut. Di tangannya tergenggam ranting pendek. "Tukang Makan, kau pernah makan ikan bakar?" "Belum," jawab Fei Yung. "Bagus. Hari ini kau akan merasakan sedapnya ikan. Tapi, kau bantu aku." Fei Yung cepat membuka sepatu dan menggulung bajunya. Ia ikut masuk ke air. "Lihat, begini caranya." Ching-ching menunjukkan. Ia mengangkat ranting yang dipegang sambil mengincar seekor ikan besar. Tahu-tahu tangannya bergerak cepat sekali. Crepp! Ikan itu ditembusi ranting. "Sudah lihat?" Ching-ching mencabut ranting dari ikan yang ia dapat. "Nih, sekarang giliranmu," katanya sambil menyodorkan ranting itu. Ia sendiri pergi ke tepi, membuat api, dan membakar ikannya. Fei Yung berusaha menangkap ikan sendiri. Tadi kelihatan gampang, tapi ternyata sangat sulit dilakukan. Ikan-ikan yang diincarnya bergerak lincah ke sana kemari. Fei Yung kerepotan. Seekor ikan membuat ia terpeleset dan tercebur. Ching-ching yang melihat tertawa geli. Fei Yung ngambek. Ia membuang ranting di tangannya dan menyusul gadis itu. "Payah!" ejek Ching-ching. "Kau sih bisanya makan saja." Ia menyodorkan ikan yang matang dibakar. "Kau tidak makan?" Ching Ching 90 "Sudah kenyang. Tadi sebelum pergi, aku makan dulu. Astaga, aku mesti pulang." "Buru-buru amat." "Besok aku mau ketemu orang penting. Hari ini aku tak boleh keluar lama-lama. Oh ya, besok aku tak dapat menemuimu. Lusa barangkali. Jangan sedih ya, Tukang Makan," kata Ching-ching sambil berlari menjauh. Fei Yung cemberut. Huh, dia tak senang makan sendirian. Tapi, ikan ini tampak enak sekali. Dicuilnya sedikit untuk dicicipi. Hm, memang enak. "Fei Yung!" Tahu-tahu Chin Yee sudah ada di dekatnya. "Kau jahat. Pagi-pagi pergi tak berpamit. Seharian aku mencarimu, kau malah enak-enak duduk di sini." "Hai, Chin Yee. Aku ada makanan enak. Mau?" "Tidak. Fei Yung, tak kuduga, kau pandai memasak." "Aku suka makan enak sih," kata Fei Yung, tak berani berterus terang. "Aku mau cari istri yang pintar masak, ah." "Kalau begitu, mulai besok aku akan belajar masak," kata Chin Yee tersipu. "Oh, jadi kau belum bisa masak?" Malu-malu Chin Yee menggeleng. "Tidak bisa disalahkan," hibur Fei Yung. "Kau sejak kecil tinggal di istana. Perlu apa masak" Sudah ada selusin kiongli yang melayani setiap mau makan. Betul tidak" Tapi, kalau aku kawin nanti, aku tak mau diladeni orang lain selain istriku." Chin Yee tersindir. Ia diam saja. "Eh, Chin Yee, besok katanya adik sepupumu akan datang. Aku ingin tahu. Seperti apa sih orangnya?" tanya Fei Yung. Dahi Chin Yee berkerut. Ia sudah tahu, Fei Yung nanti akan harus memilih antara ia dan sepupunya untuk pendamping seumur hidup. Sementara itu, ia sudah jatuh hati pada pemuda ini. Chin Yee tak rela kalau Fei Yung menyukai gadis lain. Ini adalah kesempatannya meruntuhkan nama putri mahkota Lung Ching di hadapan pangeran negeri tetangga ini. "Ooh, maksudmu Lung Ching?" Chin Yee tersenyum meremehkan. "Dia itu sungguh keterlaluan. Tak pantas sebagai putri raja. Ia tak bisa main musik, sastra, berkuda, menari." Gadis itu berlagak tahu baik sepupunya. "Sehari-harian kerjanya cuma lari-lari dan teriak-teriak bikin ribut. Pemalasnya bukan main. Jalan-jalan ke tangan bunga saja, ia tak pernah. Apalagi mask-masuk hutan. Dan dia tak pernah berdandan! Huh. Kalau aku ingat mukanya ... dayang-dayangku saja masih lebih bagusan." "Wah, gadis macam itu, mana pantas jadi permaisuri?" gumam Fei Yung. "Mestinya, putri raja itu pandai menunggang kuda, cantik, dan baik hati. Sepertimu, Chin Yee." Hampir saja Chin Yee melonjak kegirangan dipuji. Tapi ia cuma menunduk malu, menutupi kegembiraannya. "Haah, kenyang aku." Fei Yung menepuk-nepuk perutnya. "Mari pulang." Ia menggandeng Chin Yee pergi. Ching-ching didandani habis-habisan. Ian disuruh duduk diam berjam-jam. Mana gadis itu tahan" Ia mengomel dan bergerak terus, membuat sulit para pelayannya. "Aduuh, mau ketemu A-thia saja, kenapa begini repot" Mana A-thia mengenaliku dalam dandanan aneh begini. Sudahlah, biar kupakai pakaianku yang dulu saja." "Jangan rewel. Nanti dandananmu rusak," kata Siu Pek. "Peduli!" kata Ching-ching bandel. Ia menggerakkan kaki, hendak kabur. Siu Pek cepat menotoknya. "Kau tak boleh ke mana-mana sebelum semua beres!" katanya tegas. Ching Ching 91 "Huh!" Ching-ching mendengus kesal. Untungnya, tak berapa lama dandanannya pun beres sudah. "Coba kau diam dari tadi, pasti sudah beres lama." Siu Pek membuka totokannya. "Masa bodo! Ayo, Cici Siu Pek, aku tak sabar ketemu A-thia." Siu Pek tampak hendak mengatakan sesuatu, tapi tak jadi. Ia malah merapikan dandanan sendiri, yang tak kalah meriah dari Ching-ching. "Baiklah. Tungguh enam pelayan, tujuh denganku, mengirimu. Cara jalanmu dibenahi seperti yang kuajarkan kemarin." "Alaaa ... begini saja," Ching-ching berjalan sambil melompat-lompat. "Mana boleh begitu" Hayo, yang betul. Kalau tidak, kau tak boleh keluar!" ancam Siu Pek, yang entah kenapa begitu senewen sehingga menjadi galak. Ching-ching menurut. Ia mengikuti ajaran Siu Pek biarpun mulutnya mengomel. "Kebanyakan aturan!" Dari bangunan tempatnya tinggal sampai ke ruang besar tempat menerima tamu, Ching-ching ditandu. Di depan pintu, barulah tandu diturunkan dan Ching-ching mesti berjalan. Gadis itu merasa jantungnya berdebar. Ia akan bertemu A-thia-nya sebentar lagi! Kentara betapa kecewa ia melihat pria tinggi-besar yang duduk di samping Lung Fei bukanlah A-thia-nya. Merasa tertipu, nyaris Ching-ching ngambek dan minggat, tapi Siu Pek yang sudah kenal sifatnya dapat mengetahui gelagat. Ia cepat menotok pundak Ching-ching untuk kedua kali. Lagi-lagi gadis itu terpaku, tak dapat bergerak. "Kau menurutlah. Kalau tidak, aku adukan Subo dan kau harus siu-lian sebulan!" bisik Siu Pek cepat-cepat. "Ayo menghormat, seperti yang kuajarkan kemarin!" Siu Pek tahu, Ching-ching paling benci disuruh samadhi. Ia harus duduk berkonsentrasi, tak bisa kabur. Kalaupun bisa, tak akan ada yang seorang pun menganggapnya ada, mengajak bicara, atau memarahi. Apa pun yang ia lakukan dibiarkan. Ia dianggap angin lalu sampai tuntas menamatkan samadhinya. Ini adalah hukuman yang paling ditakuti gadis cilik itu. Maka, Ching-ching tak berani memabantah kehendak suci-nya, biarpun melakukan dengan tampang masam. "Senyum!" bisik Siu Pek. Ching-ching menarik sudut bibirnya ke atas. Itu bukan senyum, lebih menyerupai seringai. Tak apalah. Tokh tak ada yang tahu karena Ching-ching tak boleh mengangkat kepala sebelum hormatnya diterima. Sebab itu, ia tak tahu, seorang pemuda di sebelah tamu agung itu melotot melihatnya. "Putri Lung Ching datang memberi hormat," Siu Pek memperkenalkan pada tamu. "Hormatmu kami terima," kata Lung Fei. Ching Ching Karya ??? di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Barulah Ching-ching menegakkan kepala. Nyaris ia tersandung jubah sendiri melihat pemuda yang memperhatikannya, tak lain adalah si Tukang Makan yang sering ia temui di hutan. Siu Pek menyenggol sumoy-nya yang terbengong-bengong. "Duduklah di sana." Ia mennjuk ke sebuah tempat kosong di atas panggung, di seberang tempat Fei Yung, di samping Chin Yee. Diikuti Siu Pek, Ching-ching menuju tempat itu. Santapan disediakan. Sementara itu, beberapa gadis menghibur dengan tarian dan musik. Setelah makan, Chin Yee berdiri. Ia akan memperlihatkan keahliannya kepada para tamu. Semua tahu, Chin Yee sangat pandai menari dan itulah yang akan ia tunjukkan saat ini. Musik mengalun. Chin Yee mulai bergerak memulai tarian. Gemulai indah, seiring alunan musik. Semua berseru kagum memuji tarian Chin Yee. Ketika berakhir, semua bertepuk tangan. Sang tamu agung, Fei Chan, bertepuk paling keras. Sejenak Ching Ching 92 Ching-ching tertegun memperhatikan tangan raja Sie Sha itu, yang besar luar biasa. "Hebat sekali!" puji Fei Chan. "Putri Chin Yee memang selalu dapat menari dengan baik, menyenangkan hatiku. Kalau Putri Lung Ching bagaimana" Adakah keahlian yang kaumiliki untuk ditunjukkan?" Ching-ching kaget. Buru-buru ia menggeleng. "Ayolah, jangan malu-malu," desak Fei Chan. "Ya, ayolah," Lung Fei ikut membujuk. "Aku kakekmu juga belum pernah melihat kau punya kepandaian." Siu Pek menyentuh pundak Ching-ching. "Jangan menolak!" bisiknya pelan sehingga hanya Ching-ching yang dapat mendengar. "Aduh, Suci, keahliah apa yang harus kutunjukkan?" "Permainan khim-mu baik." "Jariku gemetar, mana bisa memetik khim?" "Menari saja." "Tari apa?" "Apa yang kauingat?" "tidak satu pun. Lupa semua," kata Ching-ching gugup. "Yang paling kausuka?" "Eeh, tarian Dewi Perang," kata Ching-ching ragu." "Itu saja. Aku akan memainkan musiknya," Siu Pek memutuskan. Ching-ching berdiri. "Kong-kong, aku akan menari saja." "Itu pun baik. Tarian apa?" "Tarian Dewi Perang." "Bagus sekali," Lung Fei menyambut gembira. "Sudah puluhan tahun aku tak melihat tarian itu." "Puluhan tahun?" Fei Chan bertanya heran. "Tarian apakah kiranya yang begitu langka dilihat?" "Ini adalah tarian yang menceritakan seorang dewi di kahyangan. Pada mulanya ia hidup senang, tapi kemudian, melihat kejahatan di dunia, ia menjadi marah sehingga bertekad berperang melawan kejahatan yang berwujud naga. Dan untuk menarikan tarian ini, orang haruslah memiliki kepandaian menari, musik, ilmu golok, dan memainkan selendang." "Wah, tentunya menjadi kehormatanku dapat melihat tarian ini. Aku jadi tak sabar." Lung Fei bertepuk tiga kali. Beberapa orang gadis datang membawa perlengkapan menari - dua batang golok emas, gelang kaki berkerincing perak, dan sebuah selendang hijau. Agak gemetar Ching-ching memakai perlengkapannya. Golok diselipkan di pinggang, selendang dililit di lengan, melingkar ke punggung, dan melingkari lengan yang lain. Ketika melangkah, gelang kakinya bergemerincing. Ia berdiri di tengah ruangan. Dua orang pelayan melepaskan jubahnya. Musik dari khim yang dipetik Siu Pek mengalun. Ching-ching mulai bergerak mengikuti lagu merdu yang sendu. Gelang di kakinya tidak lagi mengeluarkan suara, ditahan lweekang yang menyedot lewat kaki. Gerak Ching-ching begitu gemulai. Semua terpesona. Diam-diam Fei Yung terkagum-kagum. Awalnya ia meragukan Lung Ching. Bukankah Chin Yee bilang, sepupunya itu serampangan" Kenapa tadi kelihatan begitu anggun" Dan ia hampir tak mempercayai matanya. Si Tukang Masak yang lincah-cerewet dapat menari begitu halus-gemulai. Seperti yang diceritakan Lung Fei, pada mulanya tarian yang dibawakan Ching Ching 93 Ching-ching menceritakan kedamaian. Tapi, kemudian musik berganti. Suara khim lenyap. Terdengar suara tambur dipukul bertalu-talu. Gerak gemulai pun berubah bersemangat. Selendang dikibaskan, meliuk-liuk cepat dan bertenaga seolah seekor naga yang mengacau di langit. Dan digambarkan dewi perang yang marah, mencabut sepasang golok emas memerangi sang naga. Ching-ching terbawa dalam tarian. Ia menari dengan kaki menghentak bumi. Giring-giring yang ia pakai berbunyi nyaring, makin cepat, makin cepat. Tak terlihat lagi gerakan Ching-ching. Yang kelihatan Cuma selendang hijau yang bergerak terus dan sepasang golok emas menyambar-nyambar, menggambarkan perand dewi dengan sang naga yang berlangsung seru. Tiba-tiba musik berhenti. Seisi gedung hening. Khim mengalun syahdu. Diceritakan sang naga mati di tangan dewi. Langit kembali tenang. Ching-ching menari dengan keceriaan. Gelang berbunyi gembira sambil ia mengundurkan diri. Seisi gedung sepi. Semua masih terpesona melihat tarian tadi. Tapi, kemudian serentak semua bertepuk tangan, seperti ingin meruntuhkan gedung dengan tepukan itu. Siu Pek mengangguk bangga pada Ching-ching. Sumoy-nya itu tersipu dan melepas perlengkapannya untuk dikembalikan ke ruang pusaka kerajaan. "Luar biasa," puji Fei Chan yang tak henti-hentinya bertepuk tangan. "Hebat betul! Aku sangka Putri Chin Yee adalah penari terbaik. Tak tahunya, Putri Lung Ching lebih hebat lagi." Geram hati Chin Yee mendengarnya. Selama ini, dialah yang selalu dipuji. Sekarang, begitu Ching-ching datang, perhatian tercurah kepadanya. Juga Fei Yung. Chin Yee sempat melihat pemuda itu tersenyum kepada Lung Ching. Ia cemburu! Memikirkan hal ini, Chin Yee tak dapat lagi menikmati pesta yang seharian itu. Sejak hari itu, Chin Yee tak pernah lagi sempat berduaan dengan Fei Yung. Selalu ada Lung Ching di antara mereka. Atau lebih tepat, Chin Yee yang ada di antara Fei Yung dan Lung Ching. Keduanya semakin akrab, lebih dari Fei Yung dan dia sebelum ini. Chin Yee takut pemuda itu diambil darinya. Lebih lagi, ketika suatu hari, berlima dengan Lung Fei dan Fei Chan mereka berburu. Melihat seekor menjangan yang cepat sekali larinya, Fei Yung dan Ching-ching cepat membalapkan kuda mengejar. Chin Yee ketinggalan. Tak sengaja ia mendengar pembicaraan kongkong-nya dan tamu mereka. "Lihatlah orang muda itu. Begitu bersemangat mereka. Nantinya kita-kita yang tua ini Cuma kebagian sisa." "Memang sudah waktunya kita digantikan. Apalagi, dengan demikian kerajaan akan bertambah luas dan makmur. Lihatlah keduanya begitu serasi. Aku tak sabar melihat mereka bersanding. Dan bagusnya lagi, Putri Lung Ching dapat cepat mengambil hati Fei Yung dengan kepandaiannya berburu." "Bukan cuma berburu yang ia bisa. Berperang pun sanggup," kata Lung Fei bangga. "Betul?" Fei Chan kagum. "Fei Yung juga pandai berperang. Bagaimana kalau besok kita lihat mana yang lebih unggu?" "Baik!" Lung Fei setuju. Chin Yee makin gelisah. Bahkan Fei Chan lebih suka Ching-ching sebagai menantu. Lalu apa yang tersisa buat dia" Esoknya Ching-ching dan Fei Yung setuju diadu. Masing-masing bersiap di atas kuda sambil menggenggam senjata. Pertandingan diadakan di padang rumput. Rakyat dibolehkan menonton karena selain adu senjata, diadakan juga hiburan lain. Waktunya telah tiba. Masing-masing petarung membalapkan kuda ke tengah arena. Senjata beradu, menyebabkan bunyi berdencing. Ching-ching yang bersenjatakan Ching Ching 94 siang-kiam berusaha bertempur jarak dekat. Justru Fei Yung yang memilih tombak sebagai senjata menjauh terus. Masing-masing menyerang dan bertahan sungguh-sungguh - Fei Yung karena gengsi kalau dikalahkan perempuan, Ching-ching karena ingin membuktikan bahwa ia mampu memainkan senjata dengan baik. Nyatanya, Fei Yung mahir sekali bermain tombak. Ching-ching harus menggunakan semua kepandaian kalau mau menang. Tapi, selain keahlian, ia juga menggunakan otak. Ketika tombak Fei Yung bergerak, ia menyambuti dengan menjepitnya dengan pasangan pedang sehingga tombak Fei Yung tak bebas lagi. Terjadi adu tenaga. Ternyata tenaga dalam Ching-ching masih lebih baik daripada Fei Yung. Tombak itu tak dapat terlepas. Dari atas panggung, Siu Pek memperhatikan dengan khawatir. Akan jelek akibatnya kalau Ching-ching mempermainkan Fei Yung seperti itu. Tamu mereka akan mendapat malu. Siu Pek berusaha menarik perhatian Ching-ching. Gadis cilik itu menoleh. Melihat isyarat Siu Pek, ia segera mengerti. Dikendorkannya tenaga di tangan kiri, sehingga Fei Yung dapat mendesak lepas, bahkan membuat pedang terpental ke tanah. Tinggal sebatang pedang di tangan Ching-ching. Ia berlagak bertahan mati-matian, tapi dilepasnya pedang waktu beradu dengan tombak Fei Yung. Ia kalah! Rakyat bersorak. Fei Yung tersenyum bangga. Ia mendekat dan meraih kendali kuda Ching-ching. Beriringan mereka menepi. Fei Chan memuji Ching-ching. Sebaliknya, Lung Fei menyanjung Fei Yung setinggi langit. Chin Yee juga. Tapi, Fei Yung seperti tak memedulikan gadis itu. Ia malah mengajak Ching-ching menjauh dari keramaian. "Lung Ching, lihat, aku punya sesuatu untukmu." Ia membuka telapak tangannya. Di sana ada sebuah mutiara besar berwarna putih keperakan. "Bagus betul," puji Ching-ching. "Untukku?" "Ya, kalau kau dapat merebutnya!" Fei Yung menjauh. Ching-ching mengejar. Tapi, ternyata Fei Yung gesit sekali. Sampai lelah, Chingching belum dapat menyusul. Ditambah lagi, ia pusing berputar-putar di situ. "Capek!" keluhnya. "Kalau begitu, kau tak bisa mendapat mutiara ini." "Bisa saja," kata Ching-ching. "Lihat!" Tiba-tiba ia berseru sambil menunjuk ke atas. "Ada apa?" tanya Fei Yung. Begitu Fei Yung mendongak, Ching-ching merebut mutiara di tangannya. "Dapat!" serunya girang. Di atas, Fei Chan dan Lung Fei tertawa-tawa melihat kelakuan dua anak itu. "Cucumu sungguh cerdik," puji Fei Chan. Lung Fei menyetujui. Sementara Chin Yee semakin sebal pada Ching-ching. "Lung Ching," aku sudah memberikan tanda mata. Sekarang apa yang akan kauberikan untukku?" tanya Fei Yung. "Apakah harus?" "Tentu saja." "Tapi aku tak mempersiapkan apa-apa untuk kuberikan." "Berikan saja apa yang kaubawa." Ching-ching berpikir-pikir. "Baiklah," katanya kemudian. Ia memunggungi Fei Yung sebentar. Waktu membalik lagi, ia menyodorkan dua kepalan tangan. "Tebak, ada di mana barang itu." Fei Yung memilih. "Yang kanan!" tebaknya. "Salah!" Ching-ching memperlihatkan telapak tangan yang kosong. Ching Ching 95 "Kalau begitu, yang kiri." "Salah juga." Fei Yung jadi bingung. "Jadi ada di mana?" "Belum kukeluarkan," kata Ching-ching sambil mengambil sesuatu dari sakunya. Ia memberikan benda itu kepada Fei Yung, yakni sebuah kantung uang dari kain sutra dengan sulaman naga dari benang berwarna keperakan. "Bagusnya," Fei Yung terkagum-kagum. "Kau buat sendiri?" Ching-ching mengangguk. "Tapi tak semahal pemberianmu." "Siapa bilang?" bantah Fei Yung. "Ini jauh lebih mahal. Biar orang mau menukar dengan seember mutiara, aku tak akan berikan." "Huh, kau bohong!" tukas Ching-ching, padahal dalam hati senang sekali. Tak sengaja matanya melirik Chin Yee dan ia terkejut melihat gadis itu tampak begitu amarah. Namun, ia tak sempat lama-lama memperhatikan. Fei Yung sudah mengajaknya bercanda lagi. Malam harinya, di kamar, Siu Pek sedang menemani Ching-ching. "Suci, kenapa tadi pagi kau suruh aku mengalah pada Fei Yung" Padahal, sedikit lagi, aku yakin menang." "Memang, aku juga yakin itu. Tapi, tak baik mempermalukannya di depan orang banyak. Tahukah kau, anak laki-laki tak suka dikalahkan anak gadis, kecuali dalam pekerjaan seperti menyulam atau memasak." "Kenapa?" Siu Pek sudah membuka mulut hendak menjawab, waktu pintu kamar Ching-ching diketuk orang. "Masuk!" seru Ching-ching. Chin Yee masuk. Melirik ke arah Siu Pek. Gadis itu tahu diri. Setelah menyalami, ia lantas pergi. "Ada apa, Piauw-cie?" tanya Ching-ching ramah. "Aku ... aku mau ... kau jahat!" tiba-tiba Chin Yee menangis. "Mula-mula kau datang, kau rebut Kong-kong, kemudian kau pamer di depan para tamu, merendahkan aku. Lalu ... lalu sekarang Fei Yung kauambil juga." "Aku mengambil Fei Yung?" Ching-ching keheranan. "Kok rasanya tidak. Buat apa kuambil dia?" "Mana kutahu" Yang jelas, setelah bertemu denganmu, Fei Yung tak lagi baik padaku. Yang ada di pikirannya cuma kamu saja. Ingat dua hari lalu" Waktu itu aku mengajak Fei Yung menemaniku ke taman bunga. Ia menolak, beralasan tak enak badan. Nyatanya, siang hari itu aku memergoki kalian sedang mencari ikan." Ching-ching mengerutkan kening. Ia tak mengerti apa yang diomelkan Chin Yee, tapi ia tak berkata apa-apa, takut kalau salah ucap dan gadis itu tambah berang. Chin Yee masih mengoceh. "Kau sudah mendapatkan semuanya. Kong-kong, dayang-dayang, bahkan kerajaan in akan jatuh ke tanganmu. Sedangkan aku ... apa yang kudapat" Bahkan, semua pelayanku memuji-mujimu di belakangku. Dan, dan sebentar lagi kau akan kawin dengan Fei Yung." Tahu-tahu Ching-ching tertawa. "Rupanya kau sudah edan. Siapa bilang aku mau kawin dengannya?" "Kau akan!" Chin Yee terisak. "Kong-kong sudah memutuskan." Wajah Ching-ching berubah pucat. "Tapi aku tak mau. Kenapa bukannya kau saja dengan si Fei Yung itu?" "Karena kau yang akan mewarisi kekuasaan Kong-kong, bodoh. Karena kau keturunan langsung darinya!" Chin Yee keluar, meninggalkan Ching-ching yang bengong saking terkejut. Ching Ching 96 Siu Pek masuk lagi. Melihat keadaan Ching-ching, ia menjadi sangat kuatir. "Siauw-moay, kau tak apa-apa?" Ching-ching menoleh. "Su-cie, benarkan aku harus menggantikan Kong-kong nantinya?" "Tentu saja. Kau kan cucunya." "Benarkah aku harus kawin dengan Fei Yung?" "Tahu dari mana?" "Benar?" Siu Pek mengangguk. "Tapi aku bukan cucu Kong-kong!" Ching-ching menyapu semua benda yang ada di meja. Beberapa cawan teh dan pocinya pecah berantakan. "Ssst!" Siu Pek mendesis kuatir. "Kau ngomong apa" Jangan bicara begitu lagi di sini." "Su-cie, aku benar bukan cucu Kong-kong. Aku cuma anak angkat Ibu. Aku tak mau di sini. Aku mau pulang mencari A-thia!" "Ngomongmu ngaco. Apakah kau barusan minum arak?" "Su-cie, aku benar bukan anak kandung Ibu." "Ching-ching, jangan main-main lagi. Siapa pula yang mau mendengar omonganmu" Semua tahu wajahmu mirip sekali dengan Lung Yin. Kalau kau cuma mau mencari Athiamu, nanti bisa dibicarkaan dengan kakekmu." "Tapi, Su-cie, aku betul-betul - " "Sssh," potong Siu Pek. "Barangkali kau kecapekan. Tidurlah. Pikiranmu akan tenang besok pagi." Siu Pek membantu Ching-ching ke tempat tidur. Gadis itu mematikan pelita dan pergi. Ia tak mau mendengar ocehan sumoynya yang dianggap sedang mabuk. Ching-ching tahu, tak ada gunanya bicara soal ini dengan Siu Pek. Lebih baik ia menunggu Su-bo pulang. Pasti dia akan lebih mengerti. Tapi, kapan subonya Ching Ching Karya ??? di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo datang" Sejak pembicaraan dengan Chin Yee malam itu, Ching-ching selalu berusaha menjauhi Fei Yung. Ada saja akalnya mengibuli pemuda itu sehingga, biarpun tak usah mengeram diri di kamar, Fei Yung juga tak bisa dekat-dekat. Ia kini selalu dikelilingi enam orang kiong-li ke mana-mana. Dengan begitu, biarpun Fei Yung dapat menemuinya, tak dapat ia bicara bebas sebab Ching-ching melarang pelayannya pergi selain ia yang menyuruh. Fei Yung menjadi heran dan juga kesal. Ia tak berhenti mengejar. Sampai suatu hari, ia dapat menemui Ching-ching yang sedang berlatih dengan Siu Pek. Melihat Fei Yung datang, mendadak Ching-ching berlagak bodoh dan minta macam-macam petunjuk pada suci-nya. Sayang, Siu Pek tidak tanggap akan maksud sumoy-nya. Ia malah berkata, "Sudahlah, sudah cukup untuk hari ini. Jangan sampai terlalu capek. Nanti terluka sendiri. Kau pergi main sajalah." Siu Pek meninggalkan merkea berdua. "Eh, Suci - " Ching-ching tak sempat mencegah. Siu Pek keburu menghilang. Ching-ching hendak menyusul, tapi Fei Yung menghadang dan langsung berkata, "Lung Ching, ada apa denganmu" Belakangan ini kau selalu menghindari bertemu denganku." "Siapa bilang," sahut Ching-ching cepat. "Belakangan ini aku cuma lebih giat berlatih. Tak kaudengar, Subo sebentar lagi pulang" Pasukan Goan sudah dibikin kocar-kacir. Tapi, tak peduli bagaimana, tiap kali ketemu aku, Subo pasti menguji. Jadi aku mesti latihan baik-baik. Sudah, kau minggirlah. Aku mau minta beberapa petunjuk pada Suci." Ching Ching 97 "Betul bukan, kau menghindariku" Katakanlah, Lung Ching, adakah aku berbuat salah padamu" Kalau benar, maafkanlah atau marahi aku. Kau boleh pukul aku kalau mau. Tapi, jangan begini caranya." "Kau tak punya salah. Kalau punya, tak perlu kau minta, aku akan pukul kau. Aku cuma .... Sudahlah. Kalau kau mau bicara, tunggu saja di taman bunga. Sebentar aku menyusul." Fei Yung heran mendengar tempat yang disebut. Aneh, biasanya Ching-ching selalu menjauhi bunga. Baunya membuat hidung gatal, katanya. Lantas, sekarang kenapa ia malah ingin bertemu di sana" Lama Fei Yung menunggu, tapi Ching-ching tak datang-datang juga. Malah kemudian terlihat sosok Chin Yee yang datang ke situ. "Mana Lung Ching?" tanya Chin Yee. "Katanya, ia mau menemuiku di sini?" "Entah," sahut Fei Yung. "Aku juga sedang menantinya." Pemuda itu mulai curiga maksud Ching-ching mengundangnya ke tempat ini. Keduanya membisu, menunggu beberapa saat lamanya. Tak lama kemudian seorang kiongli menghampiri, memberi hormat, lalu menyampaikan surat dari Ching-ching, dan kemudian pergi. Dahi Fei Yung langsung berkerut membaca surat itu. Isinya adalah permintaan maaf Ching-ching yang tak bisa datang, berhubung harus mengatur penyambutan subo-nya besok siang. Terbukti sudah kecurigaan Fei Yung. Ching-ching benar-benar menjebaknya bersama Chin Yee. "Fei Yung, karena ia tak datang, kenapa kita tidak berjalan-jalan saja?" ajak Chin Yee. Fei Yung menimbang-nimbang. Melihat pengharapan di mata Chin Yee, ia tak tega menolak. "Baiklah!" sambutnya, meski dengan omelan dalam hati. Esoknya Lung Shia pulang. Ia disambut dengan pesta besar-besaran. Begitulah kalau pahlawan pulang perang membawa kemenangan. Ching-ching tak sabar menanti kesempatan bicara dengan subo-nya, tapi kongkong-nya sudah mendului berunding dan berbincang-bincang dengan Lung Shia. Tentu saja gadis yang tak sabaran itu jadi mengomel-omel tak keruan. Akhirnya Lung Shia keluar juga. Ching-ching langsung memburunya. "Su-bo, ada sesuatu yang ingin kubicarakan denganmu." "Tak bisakah menunggu besok pagi?" "Tapi ini penting sekali." "Baiklah, ayo ke kamarku." Mereka masuk ke kamar Lung Shia. Ching-ching menutup pintu dan langsung berlutut di hadapan gurunya. "Su-bo, aku sudah melakukan kesalahan besar!" Dahi Lung Shia berkerut. "Kenapa" Kau membunuh pelayanmu karena tidak becus" Itu soal biasa." "Bukan! Bukan!" Ching-ching menggelengkan kepala. "Tapi - Su-bo, aku bukan anak Lung Yin." Plak! Pedih terasa pipi Ching-ching ditampar oleh Lung Shia. Gadis cilik itu sampai terjengkang karenanya. "Berani kau tidak mengakui ibumu sendiri"!" Lung Shia membentak marah. "Su-bo, bukan maksudku. Tapi, aku benar-benar bukan anak kandungnya. Nama ibuku yang sebenarnya adalah Han Mei Lin dan ayahku Lie Chung Yen. Aku sendiri she Lie, bernama Mei Ching." "Tak mungkin!" Lung Shia tak percaya. "Tak mungkin kau bukan anak Lung Yin. Wajah kalian begitu - begitu mirip satu sama lain. Lagipula, kau dapat memainkan lagu blablabla, mempelajari sebagian ilmu Lung Yin, dan memiliki pek-giok miliknya." Ching Ching 98 "Tidak," kata Ching-ching. "Anak Ibu yang sebenarnya bernama Chu Hoa. Usianya dua tahun di atasku. Ia sudah mati." Ching-ching menceritakan riwayat hidupnya kepada Lung Shia. Mula-mula ceritanya tak dipercayai, tapi kemudian keyakinan Lung Shia goyah. "Kenapa selama ini kau tidak cerita?" "Tidak ada yang menanyakan padaku." "Aku pun tidak bertanya. Kenapa kau cerita?" "Su-bo, aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Kata Chin Yee, aku harus kawin dengan Fei Yung karena aku adalah keturunan langsung dari Kong-kong. Dan, kata Cici Siu Pek, kalau sudah begitu, aku tak boleh lagi pergi ke Tiong-goan. Lantas, bagaimana aku memenuhi pesan Ibu untuk mencari dan menjaga A-thia?" "Kalau A-thiamu ada di sini, akankah kau tinggal dan mengawini Fei Yung?" Ching-ching meringis. "Tidak," katanya. "Mungkin aku senang di sini. Tapi, kalau mesti kawin dengan Fei Yung, mendingan kabur saja." Lung Shia mengangguk. Ia teringat bahwa ia sendiri dulu nekat menyepi ke gunung karena dipaksa orangtuanya, sama seperti Ching-ching. Ia dapat mengerti keputusan gadis kecil muridnya itu. "Pantas abangku menyinggung-nyinggung penggabungan dua negara. Rupanya ini adalah maksud sebenarnya. Kapan Fei Yung akan melamarmu?" "Entah. Tapi, kata Chin Yee, Kong-kong sudah memutuskan." "Sudah diputuskan?" Lung Shia terkejut. "Ching-ching, apakah kau sudah menerima tanda mata dari Fei Yung" Apakah kau juga sudah memberikan tanda mata kepadanya?" "Rasanya aku tidak ... Eh!" Tiba-tiba ia tersentak. "Subo, apakah mutiara dan kantung uang dapat dianggap tanda mata" Aduh, berarti sudah. Memangnya kenapa?" "Itu berarti Fei Yung sudah memilih. Kau memberi tanda mata, berarti kau pun menyukainya. Kalian akan segera bersatu." "Aduh, Subo, aku tak tahu kalau .... Lalu, apa yang harus kulakukan?" "Abangku seumpat bilang, Fei Yung akan pulang lusa untuk mempersiapkan segala sesuatu. Kau harus pergi sebelum itu." "Kapan?" "Besok malam." "Baiklah. Besok pagi aku akan bilang pada Kongkong." "Jangan!" cegah Lung Shia. "Kau akan dilarangnya pergi. Lagipula, ia begitu gembira mempunya cucu. Jangan kau rusak kesenangannya. Dan satu lagi. Selain aku, di Sha Ie tak seorang pun boleh tahu bahwa kau bungan anak Lung Yin. Ingat itu. Sekarang pergilah. Panggil semua suci-mu kemari. Dan kau istirahatlah." Tanpa banyak tanya, Ching-ching melaksanakan perintah subo-nya. Esok harinya, pagi-pagi sekali Ching-ching sudah menemui kongkong-nya, yang begitu senang melihat dia. Mereka menghabiskan waktu dengan membicarakan macam-macam. Lung Fei lebih banyak mengajari soal pemerintahan. Kemudian, kesenangan mereka terganggu dengan kedatangan Fei Chan dan anaknya. "Ah, Ching-ching, aku ada urusan. Kau pergilah menemui Fei Yung," kata kongkongnya. Fei Yung senang. Hari itu Ching-ching baik sekali kepadanya. Semua kemauan pemuda itu dituruti. Seharian mereka main berdua saja. Ching-ching tak mau ditemani pelayan. Fei Yung juga tak mau ada orang lain. Ketika hari menjelang malam, sebelum berpisah dengan Fei Yung, Ching-ching bertanya, "Fei Yung, tahukah kau Chin Yee amat menyukaimu?" "Tentu saja. Orang yang tidak buta pun akant ahu." Ching Ching 99 "Sukakah kau padanya?" "Aku lebih suka kau." Ching-ching tidak menggubris. "Fei Yung, lain hari jangan kaujauhi dia. Kau harus lebih sering main dengannya. Seperti dulu." "Yah, kalau kau lebih suka begitu, baiklah. Mulai besok, kita akan selalu main bertiga dengannya. Ching-ching cuma tersenyum saja. "Kau pergilah. Aku mau istirahat." "Tidur yang enak ya. Jangan lupa bawa aku dalam mimpimu." Fei Yung melambaikan tangan. Ching-ching membalas. Dalam hati, gadis itu mengucapkan selamat berpisah. Sesudah Fei Yung tak kelihatan lagi, ia menyelinap ke kamar Lung Shia. Subo dan semua suci-nya berkumpul di sana. Mereka sudah menyiapkan apa yang dibutuhkan Ching-ching dalam perjalanannya nanti. "Kau sudah siap?" tanya Lung Shia. Ching-ching mengangguk. Ia memang sudah siap meninggalkan guru dan semua suci-nya biarpun terasa berat. Tak terasa, mata gadis itu berkaca-kaca. "Jangan menangis!" bentak subo-nya. "Sudah berapa kali kubilang, menangis adalah pekerjaan orang lemah. Kau tak boleh jadi orang lemah!" Ching-ching buru-buru menghapus air matanya. "Begitu lebih baik." Lung Shia menatap dalam ke mata bening gadis cilik itu. "Sebentar lagi kau harus segera berangkat. Seorang sucimu akan mengantar. Kau boleh pilih seorang dari mereka." Ching-ching menoleh. Ia tahu semua suci-nya mengharap dipilih. Kecuali Siu Li barangkali. Sedari tadi ia terus-menerus memalingkan muka. Ching-ching nyengir. Ini terakhir kalinya ia dapat mengerjai gadis baju hijau itu. "Harap para Suci yang lain mengerti. Aku ingin diantar Cici Siu Li." "Aku?" Siu Li terkejut, sementara yang lain tersenyum-senyum. "Kau dengar sendiri," kata Lung Shia. "Kau terpilih mengantar Putri sampai ke kapal. Terpaksa Siu Li mengangguk. "Kalian keluarlah. Aku perlu bicara dengan sumoy kalian." Ching-ching tinggal berdua di dalam kamar. "Ching-jie, sebelum kau pergi, aku ingin bertanya. Ingatkah kau ajaranku" Nah, coba kaukatakan, bagaimana orang yang lemah itu." "Orang yang lemah adalah orang yang gampang menangis, gampang melupakan kesalahan orang lain, dan suka mengampuni musuh. Oh ya, orang pengkhianat juga adalah orang lemah. Betul kan?" "Lalu, bagaimana orang pintar?" "Yang tahu kemampuan sendiri, tidak gampang percaya, dan berani mundur kalau tiba saatnya." "Orang berani?" "Yang tak takut mati, juga tak takut hidup." "Baiklah. Cukup. Aku percaya kau ingat semua. Ching-jie, di Tiong-goan nanti, baik-baiklah menjaga diri. Kabarnya, di sana tak sedikit orang berkepandaian tinggi. Hati-hati menghadapi mereka. Dan ketahuilah, bakatmu dalam boe baik sekali. Jangan kausia-siakan. Di sana, carilah ilmu setinggi mungkin. Makin tinggi ilmumu, makin mudah menjaga diri. Jangan sungkan mengangkat guru selain aku. Mengerti?" "Ya, Su-bo." "Pergilah. Jaga dirimu baik-baik!" Ching Ching 100 "Su-bo juga harap jaga diri baik-baik." Ching-ching keluar tanpa menoleh lagi. Ia tak sempat melihat dua anak sungai mengalir di pipi Lung Shia. Siu Li dan Ching-ching saling berdiam diri selama perjalanan. Entah kenapa, Siu Li tidak mengomel. Ching-ching juga enggan berkata-kata sampai mereka tiba di sebuah kapal milik seorang saudagar yang akan membawa Ching-ching ke Tiong-goan. Gadis cilik itu sudah akan melangkahkan kaki ke kapal waktu disadarinya Siu Li memegang tangannya erat, seolah tak mau melepas lagi. Ching-ching menoleh heran. "Ada apa, Su-ci?" "Eh, Siauw-moay. Aku ... aku ingin memberikan sesuatu." Siu Li mengeluarkan sebuah benda panjang. Sebuah suling bambu harum, seperti yang diidamkan Ching-ching. "Ini untukmu," katanya kaku. Ching-ching membelalak gembira. Tapi, kemudian ia malah menggeleng. "Su-ci, itu suling kesayanganmu, bukan" Selama ini tak kauizinkan seorang pun menyentuhnya. Mana boleh sekarang kauberikan kepadaku?" "Tolol. Masih banyak waktu bagiku untuk membuat yang baru. Tapi, kau mau pergi, tak tahu kapan kembali. Lebih baik kau aja yang membawa, untuk sesekali menghibur diri." Ching-ching terharu. Matanya berkaca-kaca. Suaranya bergetar waktu ia mengucapkan terima kasih. "Kapal segera berangkat," si pemilik kapal mengingatkan. Ching-ching melangkah ke dalamnya. Ia berdiri di ujung geladak, sementara kapal itu mulai berjalan. Layarnya terkembang, tertiup angin kencang, menambah laju. Ching-ching melihat Siu Li masih mengawasi. Entah perasaan apa yang mendorong gadis cilik itu melakukan hal ini. Tiba-tiba saja ia melompat dari kapal, mendarat di hadapan Siu Li, dan memeluknya erat-erat. Sucinya balas memeluk. Cukup lama mereka berangkulan, sebelum masing-masing tersadar dan saling melepaskan diri dengan kikuk. "Ching-moay, jaga diri baik-baik ya." "Suci juga. Jangan banyak mengomel lagi." Mereka terdiam. Kemudian serentak menoleh ke kapal yang makin jauh. "Ching-moay, kau tak bakal sampai ke sana sekali lompat. Biar kubantu!" Siu Li mengaitkan jemari tangannya, menyuruh Ching-ching menginjaknya. Kemudian, ia melontarkan gadis itu ke arah kapal. Ching-ching berpoksai beberapa kali di udara, sebelum kakinya mantap mendarat di geladak. Ia menoleh lagi. Siu Li sedang melambaikan tangan ke arahnya, sampai kapal yang membawa sumoy-nya tak terlihat lagi. Beberapa minggu kemudian, Ching-ching turun dari kapal yang ditumpanginya, Sumpah Palapa 6 Pendekar Hina Kelana 6 Pusaka Penebus Dendam Kehidupan Para Pendekar 3