Ceritasilat Novel Online

Memanah Burung Rajawali 38

Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong Bagian 38 dengan tubuhnya berkerebong baju bulu hitam, sebelah tangannya memegangi pundak Tuli. Ia masih dapat bertindak lebar, cuma tubuhnya sedikit gemetar. Kwee Ceng maju ke depan untuk mendekam di tanah. Matanya khan agung itu mengembang air. "Bangun, bangun!" katanya. "Setiap hari aku memikirkan kau....!" Kwee Ceng berbangkit. Ia melihat muka khan keriputan dan pipinya celong. Ia mau percaya orang benar tidak bakal dapat hidup lebih lama pula. Melihat demikian, panas hatinya reda sedikit. Jenghiz Khan memegangi pundak Kwee Ceng dan pundak Tuli dengan kedua tangannya, ia pun mengawasi mereka dengan bergantian. Kemudian ia menarik napas oanjang, matanya memandang jauh ke depan, ke arah gurun yang besar dan luas. Ia terbengong. Kwee Ceng dan Tuli tidak dapat menerka hati orang, keduanya berdiam. Sesudah sekian lama berdiam, Jenghiz Khan menghela napas. "Dulu hari itu mulanya aku bekerjasama dengan anda Jamukha," ia berkata, "Siapa tahu diakhirnya tidak dapat tidak, aku mesti membunuh saudara angkatku itu. Aku telah menjadi Khan yang maha agung, tetapi dia telah terbinasa di tanganku. Kapan lagi lewat beberapa hari, bagaimana nanti jadinya" Bukankah aku sama dengan dia, bersama pulang ke tanah yang kuning" Siapa berhasil, siapa runtuh, bukankah itu diakhirnya tidak ada perbedaannya" Ia menepuk-nepuk pundaknya kedua anak muda. "Maka itu kamu berdua, dari mulai hingga di akhirnya, kamu mesti hidup rukun bersama," ia berkata, "Sekali-kali janganlah kamu saling membunuh. Anda Jamukha telah mati, aku anggap urusannya telah selesai beres, akan tetapi setiap kali aku ingat dia, lantas sukar merapatkan mataku." Kwee Ceng dan Tuli lantas membayangi kejadian di antara mereka di Siangyang yang baru saja lewat. Bukankah mereka bakal saling membunh" Maka itu mereka malu pada diri mereka sendiri. Setelah berdiri sekian lama, Jenghiz Khan merasa kakinya lemas, hendak ia kembali ke dalam markas. Belum lagi ia mengajak putranya dan Kwee Ceng masuk ke dalam, di sana terlihat datangnya satu barisan kecil serdadu berkuda dengan yang menjadi kepala seorang dengan pakaian perang warna putih serta ikat pinggang emas. Dari dandannya sudah lantas ketahuan dialah orang bangsa Kim. Melihat kepada musuh, semangat Jenghiz Khan terbangun. Orang itu menghentikan barisannya masih jauh-jauh, dia sendiri lantas lompat turun dari kudanya, untuk menghampirkan pendekar Mongolia itu sambil berjalan kaki, tetapi dia tidak berani datang sampai dekat sekali, masih sedikit jauh dia sudah berlutut dan mendekam untuk memberikan hormatnya. "Utusan negara Kim menghadap Khan yang agung!" demikian dilaporkan. "Negeri Kim tidak sudi menakluk, dia mengirim utusan, untuk apakah itu?" menanya Jenghiz Khan gusar. Sambil terus mendekam, utusan Kim itu berkata; "Negara kami yang rendah mengetahui bahwa kami telah berlaku kurang ajar terhadap Khan yang agung, bahwa dosa kami dosan tak terampunkan, karena itu sekarang hamba diutus untuk menghanturkan seribu butir mutiara dengan permohonan Khan yang agung tidak menggusuri pula dan sudi memberi ampun. Mutiara itu ialah mutiara pusaka negara kami, hamba mohon sudi apalah kiranya Khan yang agung menerimanya." Habis berkata, utusan itu menurunkan bungkusan di punggungnya. Ia membuka itu, untuk mengasih keluar sebuah tetampan kumala, kemudian dari kantung sulamnya ia menuang keluar banyak sekali mutiara, di taruh di atas tetampan itu. Diakhirnya dengan kedua tangannya dia menghanturkan bingkisan itu. Jenghiz Khan melirik. Ia mendapatkan mutiara-mutiara sebesar jari telunjuk mengitari sebuah yang sebesar jempol tangan. Mutiara itu, satu saja sudah besar harganya, apa pula sampai seribu butir. Semua itu pun terlihat berkilau-kilau. Dulu-dulu kalau dia melihat mutiara ini, Jenghiz Khan pasti girang bukan main, tetapi sekarang, ia mengerutkan alis beberapa kali. "Simpanlah!" ia kata kepada pengiringnya. Si pengiring menyambut tetampan berharga besar itu. Utusan Kim girang bukan main melihat bingkisannya diterima, ia lantas menghanturkan terima kasihnya. Ia kata bahwa rajanya serta rakyatnya sangat bersyukur dan akan mengingat baik-baik budinya khan yang agung ini, yang sekarang menerima baik permintaan mereka untuk akur dan bersahabat. "Siapa bilang bersahabat?" kata Jenghiz Khan tiba-tiba. "Sebentar lagi aku akan menggeraki angkatan perangku menghajar anjing Kim! Tangkap dia!" Sejumlah serdadu pengiring lantas maju mencekuk utusan itu. Tapi Jenghiz Khan menghela napas dan berkata: "Biarnya ada seribu mutiara tetapi itu sukar untuk memnikin aku hidup lebih lama satu hari lagi...." Ia menyambuti tetampan dari tangan pengiringnya, ia terus melemparkan itu berikut tetampannya, hingga semua mutiara terlempar dan berhamburan jauh. Semua orang menjadi kaget dan heran, semuanya bungkam. Dari banyak mutiara itu, kemudian banyak orang peperangan Mongolia yang memungutnya, masih banyak yang terpendam di rumput, maka beberapa ratus tahun kemudian, ada juga penggembala yang beruntung menemuinya. Dengan tidak gembira, khan agung ini kembali ke markasnya. Di waktu sore, ia memerintahkan Kwee Ceng seorang diri menemani dia menunggang kuda, untuk pesiar di padang rumput sejauh beberapa puluh lie, sampai di tepi jurang. Di sini Kwee Ceng lantas ingat halnya ia semasa kecilnya bertemu sama Kanglam Cit Koay, bagaimana diwaktu malam ia menghajar mampus Tong-sie Tan Hian Hong si Mayat Perunggu, bagaimana Ma Giok mengajari ia ilmu tenaga dalam. Mengenang semua itu, ia merasa bersyukur dan terharu. Tengah ia berpikir keras, kupingnya mendengar suara burung rajawali di tengah udara. Itulah burungnya yang terbang berputaran dia atas jurang. Rupanya kedua burungnya itu juga mengenali kampung halaman mereka. Sekonyong-konyong Jenghiz Khan menurunkan busurnya dan segera memanah kedua burung itu. Kwee Ceng kaget sekali, dengan gugup ia berseru: "Kha Khan, jangan panah!" Meski tenaganya berkurang, Jenghiz Khan toh masih cukup kuat, tempo si anak muda berseru, anak panahnya sudah meleset. Maka anak muda ini mengeluh, ia menyesal bukan main. Ia hanya tahu, pendekar Mongolia ini pun satu jago panah. Ia berkhawatir sangat untuk burungnya itu. Burung rajawali betina yang dipanah Jenghiz Khan. Burung itu melihat datangnya anak panah, dia berkelit dan menyampok dengan sayap kirinya hingga anak panah itu jatuh. Rajawali yang jantan gusar sekali, dia berbunyi nyaring, dia terbang ke bawah, menyambar ke arah khan yang agung itu. Kwee Ceng terkejut tetapi ia membentak: "Binatang, kau mau mampus?" Bentakan itu dibarengi sama menyambarnya cambuk. Burung itu mengenali majikannya, dia batal menyerbu, dengan berbunyi beberapa kali, dia terbang ke atas, untuk bersama yang betina melayang jauh.... Parasnya Jenghiz Khan menjadi guram, dengan lesu ia melemparkan busurnya. "Selama beberapa puluh tahun, baru hari ini yang pertama kali aku gagal memanah burung rajawali...." katanya. "Rupanya memang benar tiba saat dari kematianku...." Kwee Ceng hendak menghibur tetapi ia tidak tahu harus membilang apa. Khan yang agung ini menjepit perut kudanya, membikin binatang tunggangan itu kabur ke utara. Kwee Ceng khawatir orang nanti mendapat celaka, ia lantas menyusul. Kuda merahnya lari keras sekali, sebentar saja ai sudah dapat menyandak dan mendahului. Jenghiz Khan menahan kudanya, ia memandang ke empat penjuru. "Anak Ceng," ia berkata, "Negara besar yang aku membangunnya, berjaman-jaman tidak ada bandingannya! Dari tengah-tengah negaraku ini sampai di daerah yang paling ujung di sekitarnya, di timur dan selatan, di barat dan utara, semuanya seperjalanan satu tahun lamanya!" Kau bilang, di antara pendekar-pendekar di jaman dulu hingga jaman sekarang ini, siapakah yang dapat melawan aku?" Kwee Ceng berdiam sekian lama, baru ia menyahuti: "Di dalam halnya kegagahan, semenjak dulu hingga sekarang ini, tidak ada yang dapat menandinginya, hanyalah oleh karena keangkeran Khan seorang, maka di kolong langit ini entah telah bertumpuk berapa banyak tulang-belulang putih serta mengalirkan air matanya setahu berapa banyaknya anak-anak piatu dan janda..." Sepasang alis Jenghiz Khan berdiri, cambuknya menyambar ke pundak si anak muda! Kwee Ceng melihat itu, ia tidak takut, ia berdiam saja. Cambuk itu berhenti di tengah udara. "Apa kau bilang?" membentak pendekar Mongolia itu. Kwee ceng berpikir: "Setelah hari ini dan selanjutnya, pasti aku dan khan tidak dapat bakal bertemu pula maka itu biarnya dia bakal gusar sekali, apa yang aku pikir mesti aku mengutarakannya!" Maka ia menyahuti dengan gagah: "Khan yang agung! kau telah memelihara aku dan mendidik aku, kau juga telah memaksakan kematian ibuku! Tapi itulah budi dan dendaman pribadi, tak usahlah itu dibicarakan! Sekarang aku hendak tanya kau dengan satu pertanyaan saja: 'Kalau seorang mati dan dia dikubur di dalam tanah, berapa luas dia dapat tanah kuburannya itu?" Jenghiz Khan melengak, lalu ia mengayun bundaran dengan cambuknya. "Itulah lebih kurang seluas ini," sahutnya. "Benar," berkata Kwee Ceng. "Sekarang kau telah membinasakan demikian banyak orang, kau telah mengalirkan demikian banyak darah, kau juga telah merampas demikian banyak negara, diakhirnya, apakah gunanya semua itu?" Khan yang agung itu, pendekar dari Mongolia, berdiam. Tidak dapat ia membuka mulutnya. Kwee ceng berkata pula: "Pendekar jaman dahulu hingga jaman sekarang ini, mereka yang dikagumi orang jaman belakangan, mesti dia yang telah membuatnya rakyat berbahagia dan yang mencintai rakyatnya! Menurut pandanganku sendiri, siapa yang membunuh banyak orang, belum tentu dialah satu pendekar!" Dengan "pendekar" itu Kwee Ceng maksudkan "enghiong" "Apakah seumurku, aku belum pernah melakukan pekerjaan baik?" khan itu tanya. "Pekerjaan baik itu pasti ada dan juga besar sekali," menjawab Kwee Ceng. "Kau telah menerjang ke Selatan dan menyerbu ke Utara, kau telah menumpuk mayat setinggi gunung, apakah itu yang dinamakan jasa atau dosa, itulah sukar dibilang......" Kwee ceng jujur, maka apa yang ia pikir lantas ia mengutarakannya. Jenghiz Khan berkepala besar, ia biasa merasa puas akan dirinya sendiri, sekarang di saat-saat dari hari akhirnya, ia mesti mendengar kata-kata tajam itu, ia tidak dapat kata-kata untuk membilang suatu apa, ia lantas segera membayangi segala perbuatannya yang dulu-dulu. Ia pun memandang kelilingan. Ia merasa seperti kehilangan sesuatu. Lewat lagi sesaat, mendadak ia berseru: "Oweh!" dan ia memuntahkan darah hidup!" Kwee Ceng kaget. Ia lantas mengerti bahwa barusan ia telah berbicara terlalu tajam. Ia lantas mempepayang pendekar itu. "Kha Khan, mari kita pulang untuk beristirahat," katanya. "Barusan aku telah salah omong, harap dimaafkan." Tapi Jenghiz Khan tertawa, tawar tertawanya, parasnya pun menjadi kuning pias. "Orang di kiri kananku," katanya, "Tidak seorang juga yang bernyali besar seperti kau, yang berani omong padaku secara begini jujur." Ia lantas mengangkat alisnya, kelihatan jumawa. Ia kata nyaring: "Seumurku aku telah malang melintang di kolong langit ini, aku telah memukul musnah negara lain tak terhitung banyaknya, tetapi menurut kau, aku bukannya satu pendekar! Hm, sungguh kata-katanya seorang bocah!" Ia mencambuk kudanya, ia melarikannya pulang. 0oooooo0 Malam itu Jenghiz Khan berpulang ke lain dunia di dalam Kemah Emasnya, maka menurut pesannya yang terakhir, Ogotai menggantikan dia menjadi khan yang maha agung. Di saat napas terakhirnya, beberapa kali ia menyebut-nyebut: "Pendekar.....Pendekar...." Rupanya ia terpengaruh sangat perkataannya Kwee Ceng. Kwee Ceng dan Oey Yong menanti sampai upacara pemakaman selesai di itu hari juga mereka pulang ke Selatan. Di sepanjang jalan, hati mereka bukan main terharunya, sebab mereka melihat di antara rumput-rumput tebal tak sedikit tulang-belulang putih korban bencana perang. Mereka melamun, kapan akan datangnya jaman aman sentosan hingga rakyat dapat hidup aman dan berbahagia.... TAMAT Pusaka Langit 3 Pendekar Naga Putih 60 Goa Larangan Panji Wulung 11

Cari Blog Ini