Memanah Burung Rajawali 37
Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong Bagian 37 "Kiu Cian Jin," Ang Cit Kong berkata pula, "Pangcu Siangkoan Kiam Lam dari Tiat Ciang Pang ada seorang gagah perkasa, seumurnya dia bersetia kepada negara, belum pernah dia berubah pikiran, tetapi kau, yang sama-sama jadi pangcu, kau sudah bersekongkol dengan bangsa Kim, kau berkhianat, kau menjual negara! Kalau nanti kau mati, apakah kau mempunyai muka untuk bertemu dengan Siangkoan Pangcu" Hari ini kau mendaki gunung Hoa San ini, kau memikir yang gila-gila mengharapkan kehormatan sebagai orang kosen nomor satu di kolong langit ini! Jangan kata ilmu silatmu tidak mampu menandingi yang lain-lain orang gagah, umpama kata kau benar tiada tandingan, tetapi di kolong langit ini, orang gagah yang mana yang sudi takluk kepada pengkhianat penjual negara"!" Kiu Cian Jin berdiri menjublak. Hebat kata-kata itu. Maka teringatlah dia akan kejadian-kejadian beberapa puluh tahun yang lampau, ketika pertama kali ia menerima kedudukan sebagai pangcu, ketua Tiat Ciang Pang. Ketika itu Siangkoan Kiam Lam, pangcu yang lama, sambil rebah sakit di pembaringan, telah meninggalkan pesannya, dia dijelaskan aturan suci dari Tiat Ciang Pang, dia diwanta-wanti bagaimana harus mencintai negara dan menyayangi rakyat negeri. Ia ingat, semakin usianya menanjak, semakin lihay kepandaiannya, tetapi semakin lama, sepak terjangnya semakin jauh bertentangan dengan cita-cita partainya. Di antara anggota-anggotanya, yang jujur dan setia menjauhkan diri, yang buruk tetap berkumpul bersamanya, hingga kemudian, Tiat Ciang Pang yang suci murni itu telah berubah menjadi kotor, berubah menjadi sarang penjahat. Ia mengangkat kepalanya, ia melihat rembulan terang. Justru itu tampak sepasang mata yang bersinar tajam dari Ang Cit Kong, yang mengawasi padanya. Mendadak ia sadar, ia menginsyafi samua perbuatannya dulu bertentangan dengan Thian. Tanpa merasa, peluh membasahkan seluruh tubuhnya. "Ang Pangcu, kau benar!" akhirnya ia kata. Ia terus memutar tubuhnya, untuk berlompat ke jurang. Cit Kong kaget. Ia memegang tongkatnya untuk berjaga diri. Ia khawatir, karena gusarnya, Kiu Cian Jin nanti menerjang padanya. Ia tahu ketua Tiat Ciang Pang itu lihay. Maka ia tidak menyangka, orang menjadi nekat, orang hendak membunuh diri. Ia tercengang. Selagi ia tidak berdaya, lain orang telah mencelat maju ke tepi jurang. Itulah It Teng Taysu, yang semenjak tadi duduk bersila saja. Tapi pendeta ini bukan berlompat dengan kakinya menindak, hanya ia berlompat dengan tubuhnya terapung. Sebab dia masih duduk bersila saja. Hanya tangan kirinya diulur, untuk dipakai menyambar kaki Kiu Cian Jin, untuk ditarik dengan keras. Sambil berbuat begitu, ia memuji: "Siancay! Siancay! Laut kesengsaraan tidak ada batas pinggirannya, siapa yang menoleh, melihat tepian! Kau telah insyaf, kau telah menyesal, maka untukmu masih belum kasep guna kembali menjadi manusia benar! Pergilah kau merawat dirimu baik-baik!" Kiu Cian Jin lantas menangis menggerung-gerung, ia berlutut di depan si pendeta, pikirannya pepat, tidak dapat ia mengatakan sesuatu. Eng Kouw melihat orang berlutut membaliki belakang terhadapnya, ia meihat ketikanya, maka ia menghunus pisau belatinya, ia menikam punggung musuhnya itu!" "Tahan!" berseru Pek Thong seraya menahan tangan si nona. "Kau bikin apa"!" bentak Eng Kouw, gusar. Loo Boan Tong memang tidak mau berurusan dengan si nyonya, dibentak begitu, ia menjerit, lantas ia memutar tubuhnya untuk lari kabur. "Ke mana, kau hendka pergi"!" bentak Eng Kouw, yang terus mengejar. "Perutku sakit, hendak aku membuang kotoran!" sahut Pek Thong sambil berlari terus. Sejenak Eng Kouw tergugu, lantas ia mengejar pula. Ia tidak memperdulikan katakata orang itu. Pek Thong berteriak-teriak pula: "Celaka, celaka! Celanaku semua penuh kotoran, bau sekali, kau jangan datang padaku!" Eng Kouw tidak memperdulikan, terus ia mengejar. Sudah duapuluh tahun ia mencari, kalau sekarang ia membikin orang lolos pula, lain kali sukar untuk ia mencarinya hingga ketemu lagi. Ia lari dengan keras. Loo Boan Tong mendengar tindakan kaki orang, ia kaget. Sekarang ia kaget benarbenar. Kalau tadi ia mengatakan hendak membuang air besar untuk menggertak Eng Kouw, sekarang benar-benar itu kejadian.......... Kwee Ceng dan Oey Yong bersenyum melihat lagaknya Pek Thong itu, yang bersama Eng Kouw lenyap dengan cepat. Kemudian mereka menoleh, memandang It Teng Taysu. Pendeta itu bicara berbisik sama Kiu Cian Jin, dan ketua Tiat Ciang Pang itu mengangguk-angguk. Kemudian Toan Hongya yang "sudah mati" itu berbangkit. "Mari kita berangkat!" katanya. Sampai di situ, Kwee Ceng dan si nona menghampirkan untuk memberi hormatnya. Mereka pun memberi hormat kepada si tukang pancing berempat. It Teng mengusap-usap kepala sepasang muda-mudi itu, ia bersenyum, kelihatan nyata romannya yang mengasihi. Ia menoleh kepada Ang Cit Kong, ia berkata: "Saudara Cit, kau sehat-sehat saja, kau lebih gagah daripada dulu! Kau pun telah menerima dua murid yang baik sekali, aku beri selamat padamu!" Ang Cit Kong menjura. "Hongya toh juga baik!" katanya. It Teng Taysu tertawa. "Sekarang ini aku bukannya hongya lagi!" katanya. Ia menolak kata-kata hongya atau raja. "Saudara Cit, gunung itu tinggi, air itu panjang, maka itu, sampai bertemu pula!" Ia merangkap kedua tangannya, untuk memberi hormat, lantas ia membalik tubuhnya, akan berangkat pergi. "Eh, eh," kata Cit Kong pula, "Besok harian rapat, kenapa Toan Hongya pergi sekarang?" Karena telah jadi kebiasaan, tidak dapat ia mengubah panggilan "Tian Hongya" itu. It Teng berbalik, ia tertawa. "Akulah orang dari luar kalangan, tidak berani aku berebutan dengan orang-orang gagah di kolong langit ini," katanya. "Kedatanganku hari ini hanya untuk menyelesaikan keruwetan dari duapuluh tahun yang lampau, maka aku bersyukur akan maksduku telah tercapai. Saudara Cit, sekarang ini siapa lagi si orang gagah kalau bukannya kau, maka janganlah kau merendahkan diri." Lagi-lagi pendeta ini memberi hormat, lantas ia pergi dengan menuntun Kiu Cian Jin. Si tukang pancing berempat memberi hormat pada Ang Cit Kong, terus mereka mengikuti guru mereka. Si pelajar lewat di dekat Oey Yong, ia melihat muka bercahaya dari si nona, ia tertawa dan menggoda dengan bersenandung: "Di tanah rendah ada pohon yang-toh, cabangnya halus dan lemas." Oey Yong membalas sindiran itu: "Sang ayam menclok di para-paranya, hari sudah jadi malam...." Si pelajar tertawa lebar, ia menjura dan melanjutkan perjalanannya. Kwee Ceng heran, ia tidak mengerti. Ia menduga orang main teka-teki. "Yong-jie, adakah itu kata-kata Sansekerta?" ia tanya. Si nona tertawa. "Bukan. Itulah syair dari Kitab Syair." Kedua syairnya si pelajar dan Oey Yong itu masih ada sambungannya masing-masing tetapi mereka sengaja menyebut permulaannya saja. Si pelajar mengatakan si nona belum menikah tapi sudah kegirangan, sedang Oey Yong mengumpamakan si pelajar sebagai binatang. Sementara itu Kwee Ceng, yang telah mendengar teguranny Ang Cit Kong kepada Kiu Cian Jin, turut tersadar, maka ia menginsyafi keruwetannya selama ini. Gurunya telah membunuh banyak orang tapi semua orang jahat, guru itu tidak dapat dikatakan tidak pantas, guru itu bukannya jahat, bahkan sebaliknya, guru itu seorang yang baik, sebab ia menindas kejahatan. Karena itu, ia pun tidak mestinya melupakan atau membuang ilmu silatnya. Lantas muda-mudi ini menghampirkan guru mereka, untuk memberi hormat mereka, untuk kemudian mereka memasang omong tentang segala hal semenjak perpisahanan mereka yang paling belakang. Ang Cit Kong ikut Oey Yok Su ke Tho Hoa To, di sana ia dapat menyembuhkan diri dengan memahamkan Kiu Im Cin-keng, dengan melatih diri dalam ilmu tenaga dalam, untuk menyalurkan pernapasannya dan jalan darahnya. Dalam tempo setengah tahun ia sembuh, lalu dalam tempo setengah tahun lagi, ia berhasil memulihkan kepandaian silatnya. Ia sudah sembuh, tetapi ia meninggalkan Tho Hoa To lebih belakang daripada Oey Yok Su, yang berangkat lebih dulu untuk mencari anak daranya yang dia buat pikiran dan kangen. Oey Yok Su berangkat ke utara, Cit Kong bertemu sama Lou Yoe Kiak, dari itu ia mendapat tahu juga tentang kedua muridnya itu, kecuali hal-hal setelah rombongan Yoe Kiak meninggalkan Mongolia. "Suhu, sekarang silahkan suhu beristirahat," kata Kwee Ceng kemudian. "Sang fajar bakal lekas tiba, kalau sebentar tiba waktunya mengadu kepandaian, suhu mesti menggunai banyak tenaga." Cit Kong tertawa, ia berkata: "Usiaku telah lanjut, tetapi kegemaranku akan menang pun bertambah, tetapi mengingat yang aku bakal menghadapi Tong Shia dan See Tok, hatiku kurang tentram. Selama ini, Yong-jie, kepandaian ayahmu maju pesat sekali. Coba kau tebak, siapa yang lebih kuat atau lebih lemah di antara ayahmu dan gurumu?" "Sebenarnya kepandaian suhu dan kepandaian ayahku berimbang," menyahut Oey Yong. "Tetapi sekarang suhu telah mewariskan It Yang Cie dari It Teng Taysu dan suhu sendiri telah menyakinkan Kiu Im Cin-keng, maka itu tentulah ayahku bukan tandingan suhu lagi. Maka sebentar aku omong sama ayahku, supaya ayah tidak usah melawan suhu lagi hanya lekas-lekas pulang ke Tho Hoa To." Ang Cit Kong memikirkan perkataan si murid, yang lagu suaranya berbeda, ia lantas menduga hati orang, lalu ia tertawa lebar dan berkata: "Tidak usah kau bicara berputar-putar. It Yang Cie kepunyaan Toan Hongya dan Kiu Im Cin-keng kepunyaan kamu berdua, dari itu tidak usah kau menyebutkannya, aku si pengemis tua tidak nanti menebalkan muka menggunakan itu. Kalau nanti tiba saatnya pibu, aku akan menggunakan kepandaian asalku." Begitu memang maksud Oey Yong, maka ia pun tertawa. "Suhu," katanya, "Jikalau kau kalah dari ayahku, akan aku masakkan kau seratus masakan untuk kau berpest pora. Akurkah kau?" Cit Kong lantas mengilar. "Eh, bocah cilik, hatimu tidak bagus!" ia kata. "Sudah kau membakar hatiku, kau menyogok juga! Kau sangat licuk, kau mengharap-harap supaya ayahmulah yang menang. Oey Yong tertawa. Belum lagi ia menyahut, atau Cit Kong mendadak bangun berdiri dan sambil menunjuk ke belakangnya, dia berkata: "Bisa bangkotan kau datang begini pagi!" Dua-dua Oey Yong dan Kwee Ceng berlompat bangun, lantas mereka menoleh, berdiri di samping guru mereka. Mereka segera melihat Auwyang Hong yang lagi berdiri dengan tubuhnya yang tinggi besar. Secara diam-diam See Tok tiba hingga dua muda-mudi itu tidak mendapat tahu. Mereka heran dan terkejut. "Datang lebih pagi, pibu lebih pagi!" menyahut Auwyang Hong. "Datang siang, pibu siang. Eh, pengemis tua, hari ini kita bakal bertempur, kau sebutlah, kita bakal bertempur untuk mencari kemenangan yang memutuskan atau mengadu jiwa?" "Karena kita bertaruh untuk kalah dan menang, itu pun artinya hidup dan mati," jawab Ang Cit Kong. "Maka itu, kalau kau menurunkan tangan, tidak usah kau main kasih-kasiha lagi!" "Baik!" berkata Auwyang Hong. Ia lantas menggerakkan tangannya yang kiri, yang tadi ia taruh di belakangnya. Nyata ia telah menyiapkan tongkatnya, ia menotok batu seraya berkata pula: "Di sini saja atau di lain tempat yang terlebih lebar?" Cit Kong belum menyahut, atau dia sudah didului oleh Oey Yong. "Tidak bagus gunung Hoa San ini dipakai sebagai tempat pibu!" kata si nona. "Lebih baik kita pergi ke perahu!" Mendengar itu, Pak Kay melengak. "Apa kau bilang?" ia menegaskan muridnya itu. "Dengan bertempur di perahu, kita dapat mengasih ketika lagi untuk Auwyang Sianseng membalas kebaikan dengan kejahatan!" si nona menjelaskan. "Biarlah ia mendapat ketika untuk membokong pula!" Ang Cit Kong tertawa terbahak. "Dulu kita terpedaya satu kali, maka satu kali juga kita belajar pintar," katanya. "Jangan kau mengharap yang si pengemis bangkotan nanti mengasih ampun pula!" See Tok disindir si nona, air mukanya tidak berubah sama sekali, hanya tanpa membilang apa-apa, lantas ia menekuk kedua dengkulnya, untuk menongkrong, sedang tongkatnya dipindahkan ke tangan kiri, tangan kirinya itu lantas dipakai mengerahkan ilmu silatnya yang istimewa, ialah Kap Moa Kang atau ilmu Kodok. Menampak demikian, Oey Yong segera menyerahkan tongkat Tah-kauw-pang kepada gurunya. "Suhu," ia berkata, "Kau lawan ini bangsat licik dengan Tah-kauw-pang ditambah It Yang Cie! Terhadap dia kau jangan pakai lagi segala aturan atau kemurahan hati!" Ang Cit Kong lantas berpikir: "Dengan kepandaianku sendiri, belum tentu aku dapat mengalahkan dia, sedang sebentar aku mesti melayani Oey Lao Shia, kalau aku sudah letih, mana bisa aku melayani Tong Shia?" Karena ini ia menyambuti tongkat keramat partainya itu, terus ia bergerak dalam sikapnya "Mengeprak rumput mimbikin ular kaget" dan Membiak rumput mencari ular", tongkatnya bergerak ke kiri dan kanan. Beberapa kali sudah Auwyang Hong pernah menempur Pak Kay, si Pengemis dari Utara ini, belum pernah dia melihat orang menggunakan tongkatnya, yang dia pernah saksikan adalah ilmu silat tongkatnya Oey Yong, yang dia kurang perdatakan, sekaranglah untuk yang pertama kalinya dia melihatnya, ia menjadi kagum. Dengan gerakannya itu pulang pergi, Cit Kong telah menghembuskan angin keras. Karena ini tanpa ayal lagi, dia maju menyerang, menyerang ke tiong-kiong atau tengah. Ketika dulu hari itu Cit Kong dibokong Auwyang Hong, hampir jiwanya melayang, untuk itu dia mesti berobat dan merawat diri hampir dua tahun, baru kesehatannya kembali dan kepandaiannya pulih, karenanya hari ini dia tidak mau berkelahi secara sembarangan. Kekalahan dulu itu adalah kekalahan besar yang dia belum pernah mengalaminya seumur hidupnya, itulah pula bahaya yang dia belum pernah menghadapinya. Maka sekarang, berhubung saat penentuan kehormatan dan kehinaan, atau hidup atau mati, ia tidak main sungkan lagi. Bab 80. Pibu di gunung Hoa San Bab terakhir, ke-80, dari cersil Memanah Burung Rajawali. Auwyang Hong bertubuh tinggi dan besar, meskipun ia telah menekuk sedikit kedua kakinya untuk mengimbangi ilmu silatnya, ilmu silat Kodok, dia masih terlebih tinggi daripada Ang Cit Kong. Ia sekarang menggunakan tongkat yang ketiga, yang ia baru bikin, sebab dua tongkat ularnya yang pertama telah lenyap. Tongkatnya ini, di bagian ujungnya, yang berukiran kepala manusia, tetap aneh macamnya, tetap mengerikan di pandangnya. Di situ ada dililitkan dua ekor ular berbisa, hanya kedua ekor ular ini ular-ular baru, kurang kelincahannya seperti dua ularnya yang dulu. Di samping itu, ia sekarang bertempur Pak Kay untuk keempat kalinya, maka beda cara berkelahinya ini. Pertama kali melawan Ang Cit Kong, itu terjadi di gunung Hoa San ini, dan itu terjadi guna memperebutkan kehormatan dan Kiu Im Cin-keng. Yang kedua kali di Tho Hoa To, itulah untuk membela Auwyang Kongcu yang berebutan jodoh dengan Kwee Ceng. Yang ketiga kali ialah pertempuran di laut. Usia kedua pihak makin lanjut tetapi berbareng degan itu ilmu silat mereka juga makin maju, maka itu hebat pertarungan mereka. Inilah pibu untuk nama baik, tentang hidup atau mati. Maka siapa yang alpa, atau kurang gesit, dia harus menerima nasibnya. Lekas sekali, seratus jurus lebih telah dilewatkan. Dengan mendadak, sang Putri Malam selam. Dengan lantas, cuaca menjadi gelap. Itulah perubahan waktu seketika untuk pergantian sang waktu, untuk lewatnya sang malam guna diganti sang fajar. Selang sesaat, cuaca bakal menjadi terang. Sekarang kedua pihak sukar dapat melihat satu kepada ynag lain dengan jelas. Sekarang tertampak tegas, mereka saling menyerang dengan lebih banyak menutup diri. Kwee Ceng dan Oey Yong menonton dengan menumpahkan perhatian mereka sepenuhnya. Biar bagaimana, mereka berkhawatir untuk guru mereka. Mereka maju beberapa tindak, supaya kalau perlu, mereka bisa menolong guru mereka. Mata Kwee Ceng mengawasi tajam tetapi hatinya berpikir: "Mereka inilah jago-jago nomor satu di jaman ini, hanya bedanya yang satu orang gagah dengan hati mulia, yang lain berhati buruk, mengganas karena mengandalkan kekosenannya. Jadinya, ilmu silat tidak mengenal baik dan jahat, itu hanya terbawa oleh si orang tersangkut sendiri. Siapa baik, ilmu silatnya menambah kebaikan, siapa jahat, ilmu silatnya menambah kejahatannya." Ia cemas hati ketika ia mendengar See Tok dan gurunya bergantian berseru, tanda dari hebatnya pertarungan mereka. "Suhu sudah terluka parah, itu artinya dia telah menyia-nyiakan waktu hampir dua tahun," anak muda ini berpikir pula, hatinya berdebaran. "Memangnya ilmu silat mereka berimbang satu dengan lain, dengan suhu terhalang itu, mungkin See Tok mempunyai kepandaian berlebihan. Pertarungan ini berarti hanya denagn satu tindak maju dan satu tindak mundur. Kalau suhu kalah" Ah, sayang aku telah memberi ampun hingga tiga kali kepada jago dari Barat ini..." Kwee Ceng ingat pula ajaran Khu Cie Kee bahwa haruslah dibedakan kepercayaan dan kebajikan besar dari kepercayaan dan kebajikan kecil, bahwa kalau karena Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo kepercayaan dan kebajikan kecil orang roboh, itu bukan lagi kepercayaan dan kebajikan. Singkatnya, itulah bukannya kehormatan. "See Tok mengatakan untuk berkelahi satu sama satu, dengan cara terhormat," anak muda ini berpikir lebih jauh, "Habis bagaimana kalau dia tetap berlaku curang" Bagaimana kalau dia lantas mengganas dengan terlebih hebat pula" Berapa banyak korban jatuh karenanya" Dulu-dulu aku tidak dapat membedakan artinya kepercayaan dan kebajikan ini, aku jadi telah melakukan banyak ketololan...." Oleh karena berpikir begini, Kwee Ceng lantas berpikir tetap untuk membantu gurunya itu. Tapi ia belum lagi maju atau ia mendengar suara Oey Yong. "Auwyang Hong kau dengar!" demikian si nona berkata. "Engko Ceng telah berjanji padamu, dia hendak memberi ampun tiga kali kepada jiwamu, siapa tahu kenyataannya mengandalkan kekosenanmu, kau tetap menghina aku, maka itu untuk menjadi satu orang kecil tak ternama dari Rimba Persilatan, kau sudah tidak surup, bagaimana lagi kau hendak memperebutkan nama jago nomor satu di kolong langit ini?" See Tok telah banyak melakukan kejahatan yang tak terhitung banyaknya, meski begitu ialah orang yang biasa mengatakan satu itulah satu atau dua ialah dua, belum pernah ia menyangkal kata-kata atau janjinya. Ia juga sangat jumawa. Bahwa ia sudah memaksa Oey Yong itulah karena sangat terpaksa, sebab ia ingin sekali si nona menjelaskan artinya kitab kepadanya. Sekarang sekali hebatnya ia menempur Ang Cit Kong, ia diungkat-ungkat oleh nona itu, tanpa merasa, kupingnya menjadi panas, karena itu, gerakan tangannya menjadi lambat, hampir ia kena tersodok tonglatnya si pengemis. "Kau dinamakan See Tok, si Bisa dari Barat," berkata pula Oey Yong, "Maka itu tidaklah bisa dikatakan apa-apa mengenai segala perbuatanmu yang busuk, akan tetapi kau sampai diberi ampun tiga kali oleh seorang muda, sungguh telah hilang mukamu! Bagaimana dapat kau menelan kata-katamu sendiri terhadap satu anak muda" Sungguh kau menyebabkan orang-orang gagah kaum kangouw tertawa hingga mulutnya mengok! Auwyang Hong, Auwyang Hong! Ada satu hal yang orang di kolong langit ini tidak dapat mengalahkan kau, ialah bahwa kaulah tidak tahu malu nomor satu di dalam dunia ini!" See Tok gusar bukan kepalang, tetapi ia tahu maksudnya nona itu, yang hendak membangkitkan amarahnya, supaya perhatiannya menjadi terpecah, supaya tidak dapat ia mengutamakan pertempurannya dengan Ang Cit Kong - tegasnya, supaya ia kena dikalahkan. Karena ini, sebagai seorang licik, ia tidak mau dirinya dibakar. Ia tidak menghiraukan ocehan itu. Tapi Oey Yong sangat cerdik, ia tidak mau berhenti, dia mengoceh terus, bahkan ia menyebutkan kebusukan yang sebenarnya Auwyang Hong belum pernah melakukannya. Dia sengaja membusuki supaya See Tok menjadi manusia terjahat di dunia ini. Mulanya See Tok terus dapat bersabar, kemudian dia terbakar juga, ia lantas membela diri, dia melawan bicara terhadap si nona itu. Itulah yang diharap si nona, dia lantas mengoceh terlebih jauh. Maka terjadilah See Tok berkelahi di dua kalangan; melawan Pak Kay ia bersilat dengan kaki dan tangan, melayani Oey Yong, ia menggoyang lidah. Sedang mengenai menggunakan lidah, Oey Yong lebih pandai daripada Ang Cit Kong! Lewat sekian lama, Auwyang Hong merasakan ia terdesak. Justru itu ia ingat: "Pengemis tua ini tentunya tidak mengerti Kiu Im Cin-keng, maka itu, untuk merebut kemenangan, aku mesti menggunakan ilmu itu." Karena ini, ia lantas menggunakan ilmunya itu. Tidak perduli ia mendapat ajaran yang sesat, tapi sebab ia lihay dan bakatnya baik sekali, ia toh memperoleh kemajuan juga. Dengan begitu maka berubahlah gerakan tongkatnya. Ang Cit Kong terkejut, ia mesti melayani dengan memasang mata tajam luar biasa, dengan kegesitan yang bertambah. Oey Yong mendapat tahu perubahan di kedua pihak itu, ia lantas kata nyaring: "Goansu-engjie, pasie-palok-pou, soatliok-bunpeng!" Auwyang Hong mendengar itu, dia terperanjat. "Apakah artinya kata-kata Sansekerta itu?" pikirnya. Dia tidak tahu si nona cuma mengoceh, bahwa katakatanya itu tidak ada artinya. Oey Yong pun tidak berhenti dengan kata-katanya itu, ia mengulang itu beberapa kali, dengan kata-kata yang lain lagi. Ia juga menghela napas dan berseru-seru bergantian, beberapa kali ia seperti menanya. "Apa kau kata?" akhirnya See Tok tanya. Oey Yong menyahut dengan kata-kata Sansekerta tidak karuan, hingga ia menambah bingungnya jago dari See Hek itu. Ia mengoceh terus, sampai mendadak Ang Cit Kong berseru: "Kena!" Pak Kay tahu See Tok kena dibikin kacau perhatiannya, ia menggunakan ketikanya untuk melakukan serangannya itu, tongkatnya menghajar ke batok kepala lawannya yang tangguh itu. Auwyang Hong kaget melihat datangnya serangan itu, ia menjerit, sambil menjerit ia berkelit, terus dengan menyeret tongkatnya, ia berlari pergi. "Ke mana kau hendak pergi"!" membentak Kwee Ceng sambil meloncat untuk mengejar, tetapi ia tidak dapat menyandak. Auwyang Hong lari untuk berlompat berjumpalitan tiga kali, lalu dia menggulingkan tubuhnya lenyap di belakang jurang. Ang Cit Kong ebrdiri bengong, juga Oey Yong, hanya sebentar, lantas keduanya saling memandang dan tertawa. Kwee Ceng juga turut tertawa juga. "Yong-jie," kata si pengemis sesaat kemudian, "Kali ini aku berhasil mengalahkan si bisa bangkotan, semua itu karena jasa kau..." Ia menghela napas. Oey Yong bersenyum. "Tetapi suhu," berkata si nona. "Bukankah itu kepandaian ajaranmu sendiri?" "Sebenarnya itu berkatmu!" Cit Kong tertawa. "Dengan adanya tua bangka yang licin sebagai ayahmu maka muncullah anak perempuan yang licun sebagai kau sendiri!" "Bagus, ya!" tiba-tiba terdengar satu seruan di belakang mereka. "Di belakang orang kau omong jelek tentang orang lain! Pengemis bangkotan kau malu atau tidak?" "Ayah!" Oey Yong berteriak begitu ia mendengar suara itu seraya melompat maju, untuk berlari-lari ke arah darimana suara itu datang. Sekarang ini sang matahari sudah menyingsing, maka itu terlihat di sana munculnya seorang dengan jubah hijau, yang berjalan dengan tindakan tenang. Dialah bukan lain dari tocu atau pemilik Tho Hoa To, Oey Yok Su. Oey Yong menubruk ayahnya itu, yang ia rangkul, sebagaimana si ayah membalas merangkulnya. Ayah itu mengawasi putrinya. Ia melihat anaknya sebagai seorang nona, ynag telah berkurang sifat kekanak-kanakannya, hingga sekarang putri itu beroman mirip dengan istrinya. Ia menjadi girang berbareng berduka. "Oey Lao Shia," berkata Ang Cit Kong. "Kau ingat tidak apa yang aku bilang padamu di Tho Hoa To bahwa anakmu sangat cerdik dan banyak akalnya, lain orang dapat ia kelabui, ia sendiri tidak bakal terpedayakan, bahwa kau tidak usah mengkhawatirkannya" Nah, sekarang kau bilanglah, benar atau tidak perkataannya si pengemis tua?" Oey Yok Su bersenyum, sembari menarik tangan anaknya, ia mendekati Pak Kay. "Aku memberi selamat padamu yang telah membikin si tua bangka berbisa kabur!" ia berkata. "Dengan kekalahannya itu, maka legalah hatimu dan hatiku." Ang Cit Kong tersenyum. "Jago di kolong nlangit ini ilaha kau dan si pengemis tua," katanya. "Tapi kalau aku melihat anakmu ini, cacing di dalam perutku sudah lantas mengamuk tidak karuan, ilarku pun meleleh turun, maka marilah kita lekas bertempur! Untukku, kau yang menjadi jago bagus, aku yang menjadi jago, bagus juga, aku hanya menanti untuk menghajar barang hidangan yang lezat-lezat!" "Ingat!" berseru Oey Yong. "Kalau kau kalah, baru aku akan masak untukmu!" "Fui, tidak tahu malu!" Ang Cit Kong membentak. "Jadi kau hendak menggencet aku - benarkah?" Oey Yok Su beradat tinggi. Ia kata; "Pengemis tua, setelah kau terluka, kau menyia-nyiakan waktumu dua tahun, dari itu sekarang ini, aku khawatir, kau bukannya tandinganku! Maka itu, Yong-jie, tidak peduli siapa yang menang siapa yang kalah, kau mesti masak barang makanan untuk mengundang gurumu bersantap!" "Benar begitu!" memuji Ang Cit Kong. "Begini baru kata-katanya seorang guru besar! Tocu dari Tho Hoa To mana boleh berpandangan cupat seperti gadisnya" Sekarang mari kita mulai, tak usah kita menanti sampai datang waktunya tengah hari tepat atau bukan?" Habis berkata, Ang Cit Kong mengangkat tongkatnya, untuk maju menyerang. Oey Yok Su menggeleng kepala. "Baru saja kau bertempur lama dengan See Tok," ia berkata, "Meski benar kau tidak letih tetapi kau toh telah mengeluarkan banyak tenaga. Aku, Oey Yok Su, mana dapat aku mau menang tempo" Baiklah kita tunggu sampai tengah hari tepat, supaya kau sekalian bisa memelihara tenagamu!" Cit Kong tahu itu benar dan pantas sekali, tetapi ia tidak dapat menahan sabar, maka ia mendesak untuk mulai bertempur pula. Oey Yok Su sebaliknya, dia berduduk di batu, dia tidak memperdulikannya. Melihat orang berkutat itu, Oey Yong datang sama tengah. "Ayah, suhu, aku mempunyai satu daya," ia berkata. "Dengan dayaku ini, kamu bisa bertempur dengan ayah tidak usah menang tempo." "Bagus!" berkata Cit Kong dan Tong Shia berbareng. "Apakah itu?" "Ayah dan suhu adalah sahabat-sahabat kekal, siapa menang dan siapa kalah, akhirnya toh persahabatan kedua pihak akan terganggu juga," berkata itu anak. "Pibu hari ini ada pibu ynag menghendaki menang dan kalah, bukan?" Sama-sama Cit Kong dan Yok Su telah berpikir demikian rupa, maka itu, mereka setuju. Lantas keduanya tanya, bagaimana dayanya si anak atau di murid itu" "Dayaku begini," berkata Oey Yong. "Mula-mula ayah bertempur dengan engko Ceng. Lihatlah, di dalam berapa jurus ayah dapat mengalahkan dia. Setelah itu suhu yang bertempur sama engko Ceng. Umpama kata ayh menggunakan sembilanpuluh sembilan jurus baru engko Ceng terkalahkan sedang suhu mesti menggunakan seratus jurus, maka ayahlah yang menang. Dan sebaliknya kalau suhu menang dalam sembilanpuluh delapan jurus, maka ayahlah yang kalah." "Bagus,bagus!" Cit Kong memuji. "Engko Ceng bertempur lebih dulu sama ayah," Oey Yong berkata pula, "Dua-dua pihak masih segar dan bertenaga cukup. Kalau sebentar engko Ceng melawan suhu dia pun bekas bertempur, jadi dia seimbang sama suhu yang baru habis bertempur juga. Tidakkah itu adil?" Oey Yok Su mengangguk. "Jalan ini baik," katanya. "Anak Ceng, mari maju. Kau menggunai senjata atau tidak?" "Terserah," Kwee Ceng menjawab. Ia setuju dengan cara sama tengah itu. Ia lantas mau bertindak maju. "Perlahan dulu," Oey Yong mencegah. "Masih ada yang harus dijelaskan. Bagaimana umpama kata di dalam tigaratus jurus ayah dan suhu masih belum sanggup mengalahkan engko Ceng?" Mendengar itu Ang Cit Kong tertawa bergelak. "Oey Lao Shia," katanya. "Mulanya aku sangat mengagumi putrimu yang pandai sekali membela ayahnya, ha, siapa tahu dia toh tetap wanita, dia kahirnya membela pihak luar juga! Tapi inilah wajar! Sebenarnya dia ingin sekali supaya si tolol yang memperoleh gelaran orang gagah nomor satu di kolong langit ini." Tong Shia bertabiat sangat aneh tetapi sekarang mendengar suara anaknya itu dan si Pengemis dari Utara, ia mengambil keputusannya: "Biarlah aku membikin tercapai keinginan anakku ini." Ia lantas kata: "Apa yang Yong-jie kata benar adany. Kita berdua tua bangka, kalau kita tidak dapat mengalahkan anak Ceng di dalam tigaratus jurus, mana kita mempunyai muka untuk terhitung sebagai orangorang nomor satu?" Hanya, setelah berkata begitu, ia berbalik berpikir lagi: "Aku boleh mengalah, aku membiarkannya dia dapat melayani aku sampai tigaratus jurus, akan tetapi si pengemis tua, jikalau dia tidak sudi mengalah, dia tentu bakal dapat mengalahkan anak Ceng dalam tempo tigaratus jurus! Dengan begitu, aku jadi bukan mengalah terhadap anak Ceng hanya kepada si pengemis tua..." Karena ini, ia menjadi ragu-ragu. Ang Cit Kong sudah lantas menolak tubuh muridnya. "Lekas mulai!" katanya. "Mau tunggu apa lagi?" Kwee Ceng terhuyung ke depan Oey Yok Su, siapa terpaksa mesti mengambil keputusannya. Dia kata di dalam hatinya: "Baiklah, sekarang aku mencoba dulu tenaga dalamnya, sebentar aku pikir pula." Lantas dia menggeraki tangan kirinya ke arah pundak si anak muda. "Jurus pertama!" ia menyerukan. Kalau Oey Yok Su berpendirian tidak tetap, demikian juga Kwee Ceng. Anak muda ini berpikir: "Pasti sekali tidak dapat aku menjadi si orang kosen nomor satu di dalam dunia ini, hanya, apakah aku membiarkan tocu ini menanga atau guruku?" Adalah tengah ia bersangsi itu, tangan Oey Yok Su menyambar kepadanya. Ia mengangkat tangan kanannya, ia menangkis. Karena ia belum sempat memperbaiki diri, dengan bentroknya tangan mereka, ia terpental hingga hampir ia jatuh. Lantas ia mendapat pikiran baru; "Aku gila! Kenapa aku mesti pikirkan soal mengalah atau tidak" Biarpun aku keluarkan semua kepandaianku, mana bisa aku melawan sampai tigaratus jurus?" Tapi ketika serangan Oey Yok Su yang kedua bakal tiba, ia berpikir untuk melawan, ia mau membiarkan mereka itu menggunai kepandaian mereka untuk mengalahkan dia, tinggal terserah siapa yang lebih dulu dan siapa yang ketinggalan, ia sendiri tidak mau berat sebelah. Setelah jurusnya yang kedua itu, yang dapat dihindarkan, Oey Yok Su mengulangi serangannya lebih jauh. Baru beberapa jurus, ia menjadi heran sekali hingga ia kata di dalam hatinya: "Baru saja beberapa tahun, kenapa anak tolol ini maju begini rupa" Kalau aku mengalah, kecuali itu tigaratus jurus yang disebutkan, mungkin aku terkalahkan dia..." Di dalam beberapa jurus itu, lantaran dia bersikap mengalah dan tenaganya dipakai cuma tujuh bagian, Oey Yok Su berada di bawah angin. Ini yang menyebabkan ia heran. Karena ini, selanjutnya ia bersilat dengan ilmu silatnya Lok Eng Ciang. Kwee Ceng benar-benar bukan Kwee Ceng dulu hari. Belasan jurus Oey Yok Su telah mencobanya, masih belum bisa dia lantas unggul. Dia telah menukar belasan macam jurus, dia masih tidak berhasil. Demikian puluhan jurus telah dikasih lewat. Setelah seratus jurus lebih, Kwee Ceng yang jujur berlaku alpa, hampir dia kena tertendang kaki kiri lawannya, syukur dia keburu lompat mundur, tapi karena ini, imbangan ini menjadi sama. Oey Yok Su menarik napas lega. "Hebat," pikirnya. Baru setelah menggunai tipu, ia bisa mengubah keadaan, hanya untuk menang di atas angin, ia mesti bekerja lebih keras pula. Setelah pengalamannya yang pertama itu. Kwee Ceng memasang kedudukan kokoh teguh, biar ia diserang bagaimana juga, tetap ia membela diri. Ia telah mengambil sikar biar tidak menang asal jangan kalah. "Duaratus tiga!" Oey Yong menghitung. "Duaratus empat!" Oey Yok Su menjadi bingung juga. "Tangan si pengemis tua lihay, bagaimana kalau dia dapat merobohkan muridnya dalam tempo seratus jurus?" pikirnya. "Ke mana aku mesti menaruh mukaku?" Kembali ia bekerja keras, untuk menyerang hebat. Baru sekarang Kwee Ceng terdesak, malah dia hampir sukar bernapas, ai merasa seperti tertindih gunung, matanya pun mulai kabur. Oey Yok Su menyerang hebat sekali, cepat penyerangannya itu, tetapi di sana sang wasit, sang putri juga cepat sekali hitungannya. Di saat Kwee Ceng merasa bibir dan lidahnya kering, kaki dan tangannya lemas, hingga ia mau menyerukan menyerah kalah, mendadak terdengar suara nyaring dari si nona: "Tigaratus!" Segera muka Oey Yok Su menjadi pucat, terus ia lompat mundur. Kwee Ceng menderita hebat sekali. Matanya kabur, kepalanya pusing, kaki dan tangannya kehilangan tenaga. Pertempuran telah berhenti, tapi ia belum berhenti bergerak, ia berputar-putar dan terhuyung, hampir ia roboh ketika ia sadar bahaya yang mengancam dirinya. Mendadak ia menancap kaki kirinya, dengan tipu "Cian kin twie", atau "Berat seribu kati". Baru sekarang ia dapat berdiri tegak. Untuk memulihkan kesegarannya, ia bergerak dengan tangan kanan, dengan ilmu silat Hang Liong Sip-pat Ciang, ia menyerang sepuluh kali. Secara begini, otaknya lantas menjadi jernih. ia berdiam sejenak, terus ia kata: "Oey Tocu, lagi beberapa jurus, maka tak dapat tidak mestilah aku roboh...!" Tong Shia malu dan berduka, ia sedikit mendongkol, akan tetapi kapan ia menyaksikan ketangguhan si anak muda itu, ia berbalik menjadi girang. Luar biasa yang anak muda ini dapat bertahan dari serangannya dengan tipu silat "Kie-bun Ngo coan" yang ia telah memahamkannya selama belasan tahun. Dengan ilmu itu ia biasa membikin letih lawannya. "Pengemis tua," ia kata kepada Ang Cit Kong, "Aku tidak punya guna, kaulah yang mendapatkan gelaran orang gagah nomor satu di kolong langit ini!" ia terus memberi hormat, ia memutar tubuhnya, untuk berlalu. "Tunggu dulu, tunggu dulu!" Cit Kong berkata. "Segala di dunia bagaikan catur, perubahannya tak dapat diterka-terka....." Ia lantas menghampirkan Kwee Ceng, ia pun melemparkan tongkatnya, sebaliknya dari pinggangnya, ia menghunus sebatang pedang, yang ia serahkan pada si anak muda. Ia berkata pula: "Kau menggunakan senjata, akan aku lawan kau dengan tangan kosong!" Kwee Ceng melengak. "Suhu..." katanya. "Mana...." "Ilmu silatmu tangan kosong adalah aku yang mengajarkannya, dengan kau menggunakan kepalanmu, apa itu namanya pibu?" berkata si orang tua. "Kau majulah!" Kata-kata ini disusul sambaran tangan kiri, untuk merampas pedang orang. Kwee Ceng tidak dapat menerka maksud gurunya itu, ia melepaskan pedangnya, ia Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo tidak melawan. "Anak tolol!" Cit Kong mendamprat. "Kita lagi pibu, tahu!" Ia menyerahkan pula pedangnya dengan tangan kiri, untuk dengan tangannya merampas lagi! Kali ini Kwee Ceng mengelit pedangnya itu, yang jadi tak kena dirampas. "Satu!" Oey Yong lantas menghitung. Ang Cit Kong sudah lantas menggunakan Hang Liong Sip-pat Ciang. Tentu sekali, ia hebat luar biasa. Sambaran-sambaran anginnya demikina rupa hingga meski ia bersenjatakan pedang, Kwee Ceng tidak dapat datang dekat lawannya ini. Sebenarnya tidak biasa si anak muda menggunakan senjata, hanya setelah didesak Auwyang Hong di rumah batu, pandai ia menggunakannya. Tapi beda dari lain-lain orang, pelajarannya menggunakan senjata, delapan bagian untuk pembelaan diri, dua bagian guna penyerangan. Dari Kanglam Cit Koay, ia memperoleh apa yang dinamakan "kepandaian kasar", setelah mendapatkan Kiu Im Cin-keng baru ia memperoleh kemajuan yang berarti, sekarang itu ditambah dengan kepandaiannya menggunakan senjata itu, menghadapi Auwyang Hong, ia membela diri dari tombak kayu, sekarang dari serangan-serangan tangan kosong. Ang Cit Kong girang mendapatkan muridnya dapat bertahan demikian bagus. "Anak ini dapat maju, tidak kecewa aku mendidik dia," pikirnya. "Hanya kalau aku merobohkan dia dalam duaratus jurus, itulah jelek untuk Oey Lao Shia. Baik aku menanti sampai duaratus jurus lebih, baru aku menggunakan tangan berat..." Terus Pak Kay menggunakan ilmu silatnya Hang Liong Sip-pat Ciang, Delapanbelas Jurus Menaklukaan Naga. Dengan itu ia mengurung muridnya, angin serangannya mendesir-desir. Di dalam sikapnya ini, Ang Cit Kong telah membuat kekeliruan. Kalau dia terus mendesak, mungkin Kwee Ceng kewalahan dan patah perlawanannya. Tapi ia mengulur tempo, ia mau menanti selewatnya duaratus jurus. Ia melupakan yang Kwee Ceng adalah seorang muda, yang tenaganya sedang penuhnya, yang setelah menyakinkan Kiu Im Toan-kut Pian, telah maju jauh sekali. Sebaliknya, ia sendiri adalah seorang tua, jadi tidak dapat ia main ulat-ulatan. Demikian, ketika ia sudah menyerang hingga sembilan putaran, atau artinya seratus enampuluh dua jurus, serangannya tidak dahsyat lagi sebagai mulanya, bahkan sesudah sampai ke jurus yang duaratus, di samping tangan kanannya itu, yang memegang pedang, tangan kiri Kwee Ceng jadi semakin hebat. "Inilah hebat," pikir si Pengemis dari Utara, yang menjadi merasa tidak tenang hatinya. Tapi ialah seorang yang berpengalaman, ia lantas mendapat tahu, tidak bisa ia mengadu tenaga, mesti ia menggunakan akalnya itu dengan mementang terbuka kedua tangannya. Kwee Ceng dapat melihat perubahannya itu, ia heran. "Inilah jurus yang suhu belum pernah mengajarkan padaku..." pikirnya. Kalau ia menghadapi orang lain, ia tentu telah merangsak ke tiong-kiong, ke tengah untuk menyerang dada, sekarang ia menghadapi gurunya, tidak bisa ia berlaku telangas. Karena ini ia mesti berpikir dulu untuk menyerang. "Tolol!" tegur si guru. "Kau terpedayakan!" Mendadak kaki kiri guru ini melayang naik, menendang pedang muridnya sehingga terlepas, sedang tangan kanannya menyambar ke pundak. Ia hanya menggunakan delapan bagian tenaganya, karena ia tidak berniat melukakan muridnya itu. Ia yakin bahwa muridnya akan roboh dan ia akan menang. Tapi ia keliru. Muda ia, tetapi Kwee Ceng telah banyak pengalamannya, tubuhnya sering menderita, hal mana bagaikan semacam latihan untuknya, maka itu, hajaran itu hanya membikin ia terhuyung beberapa tindak dan membuat pundaknya terasa sakit, tidak sampai membikin ia roboh. Maka akhirnya kagetlah si guru yang lantas berseru: "Lekas kau melepaskan napasmu tiga kali, lalu menyedotnya, nanti kamu terluka di dalam!" Kwee Ceng menurut. Benar saja, dengan lantas ia merasa lega. "Teecu menyerah," katanya lemas. "Tidak!" berkata guru itu. "Kalau kau menyerah, Oey Lao Shia mana puas. Sambutlah!" lantas tangannya menyambar. Sekarang Kwee Ceng tidak mempunyai senjata, ia mesti melawan dengan tangan kosong. Ia menghindarkan diri dengan satu jurus dari Khong Beng Kun ajarannya Ciu Pek Thong, semacam ilmu silat lunak yang paling lunak, yang Loo Boan Tong menciptakannya setelah dia membaca kitab Too Tek keng bagian; "Serdadu kuat, dia musnah, kayu kuat, bisa patah, yang keras kuat jatuh di bawah, yang lunak lemas jatuh di atas." Benda terlunak di kolong langit ini tidak ada yang melebihkan air, tetapi kuat serangannya tidak ada yang dapat menahan. Hang Liong Sip-pat Ciang adalah ilmu silat yang terkeras, maka mesti dilawan dengan ilmu yang terlunak. Tetapi Kwee Ceng tidak melawan hanya dengan yang lunak, juga dengan yang keras, sebab di samping pandai Khong Beng Kun atau pukulan memisah diri, ia pun paham Hang Liong Sip-pat Ciang dari gurunya ini. Jadi kedua tangannya bergerak masing-masing, satu keras dan satunya lemas. Dengan itu, ia membuat gurunya kewalahan. Oey Yong menonton sambil menghitung, ia melihat Kwee ceng tidak ada tandatandanya bakal kalah, hatinya girang. Ia menghitung terus sampai duaratus sembilan puluh sembilan! Ang Cit Kong mendengar hitungan itu. Mendadak muncul tabiatnya yang suka menang sendiri. Maka mendadak saja ia menyerang dengan jurusnya "Kang Liong Yu Hui" yang hebat sekali, umpama kata gunung roboh laut terbalik. Setelah itu mendadak juga ia menyesal, karena ia khawatir Kwee Ceng tidak dapat mempertahankan diri dan nanti terluka parah. Ia berteriak: "Hati-hati!" Kwee Ceng mendengar peringatan itu di saat tangan gurunya sudah berada di depan mukanya. Ia kenal baik serangan itu, sebab di waktu mempelajari Hang Liong Sippat Ciang, itulah jurus yang pertama. Ia mengerti, bahwa tidak ada jurus dari Khong Beng Kun, yang dapat menghindarkan serangan itu, maka ia menggunakan jalan keras lawan keras, ia menyambut dengan Kang Liong Yu Hui juga!" Tidak ampun lagi kedua tangan beradu dengan keras hingga terdengar bunyinya yang nyaring. Sebagai kaibatnya, tubuh kedua orang itu sama-sama tergetar! Oey Yok Su dan putrinya terkejut, hingga mereka berseru, keduanya bertindak menghampirkan. Kedua guru dan murid itu telah seperti berpegangan tangan, tangan mereka bagaikan nempel satu pada lain. Kwee Ceng mempertahankan diri karena ia tahu, bahwa ia mengalah, ia akan akan terluka parah. Ia tahu baik bahwa gurunya lihay. Maka ia hendak menanti sampai tangan gurunya sudah tidak begitu membahayakan, baru ia mau menyerah kalah. Ang Cit Kong kaget dan girang dengan berbareng mendapatkan muridnya bisa bertahan, segera timbullah rasa sayangnya, hingga berkuranglah tabiatnya suka menang sendiri. Ia lantas memikirkan daya untuk mengalah supaya murid itu mendapat nama. Karena ini, dengan perlahan-lahan, ia memperlunak tenaganya. Tepat selagi guru dan murid itu tidak memang dan tidak kalah, di belakang jurang terdengar tiga kali seruan nyaring, dibarengi munculnya seorang yang berjungkir balik hingga tiga kali. Dialah See Tok Auwyang Hong, yang muncul pula secara tiba-tiba. Kwee Ceng dan Ang Cit Kong mengendorkan tenaga mereka dengan berbareng juga mereka lompat mundur, dengan begitu mereka pun bisa mengawasi kepada si Bisa dari Barat, baju siapa robek rubat-rabit dan mukanya berlepotan darah. Kembali ia berteriak: "Raja Langit telah tiba! Giok Hong Taytee turun ke bumi!" Lantas dengan tongkat ularnya, ia merabu kepada keempat orang yang berada di situ! Ang Cit Kong menjemput tongkatnya, dengan itu dia menangkis, hingga mereka jadi bertempur. Setelah beberapa jurus, ia menjadi heran. Juga Oey Yok Su, Kwee Ceng dan Oey Yong, tidak kurang herannya. Aneh sekali kelakuannya See tok ini. Dia berkelahi tetapi ada kalanya dia mencakar muka sendiri, ada kalanya dia menyentil, mendupak kempolannya sendiri, atau tengah menyerang, mendadak ia menariknya pulang, untuk diubah dengan jurus yang lain. Menyaksikan demikian, Ang Cit Kong lantas mengambil sikap membela diri. Lewat beberapa jurus, kembali Auwyang Hong mengasih lihat keanehannya. Beruntun tiga kali, dia menggaplok mukanya sendiri, hingga terdengar suaranya yang nyaring diikuti dengan jeritannya yang keras. Setelah itu mendadak dia melonjorkan kedua tangannya untuk merayap di depan Ang Cit Kong. Menampak itu, Pak Kay girang. Dia berpikir: "Menyerang anjing adalah keistimewaan tongkatku ini, sekarang kau membawa sikapmu seperti anjing, bukankah itu seperti kau mengantarkan diri masuk ke dalam jurang?" Ia lantas menusuk pinggang lawannya itu. Dengan sekonyong-konyong saja Auwyang Hong membalik tubuhnya, dengan begitu ia kena menidih ujung tongkat, terus ia menggelendingkan tubuhnya itu mendaki tongkat. Cit Kong terkejut hingga tongkatnya terlepas. Menyusul itu, tubuh See Tok mencelat tinggi, kedua kakinya berbareng menendang ke arah kedua mata lawannya! Cit Kong terkejut, ia lompat mundur. Oey Yok Su lantas maju seraya mencabut pedangnya, dengan apa ia menusuk si Bisa dari Barat. "Toan Hongya, aku tidak takut It Yang Cie kau!" berkata Auwyang Hong, yang menangkis tetapi terus merangsak, untuk menubruk. Melihat kelakuan orang itu, Oey Yok Su mengerti jago dari See Hek ini lagi waswas, hanya heran, serangannya justru lebih lihay daripada waktu dia sadar. Ia tentu tidak tahu, karena Auwyang Hong belajar Kiu Im Cin-keng yang palsu yang sangat meminta pikiran san tenaganya, ia menjadi tersesat, tetapi sebab bakatnya baik dan ilmu silatnya sudah mahir, sesat atau tidak, dia telah memperoleh kemajuan yang luar biasa itu, hingga dua orang kosen ini menjadi kewalahan. Selang beberapa jurus, Oey Yok Su keteter, hingga ia mesti mundur, tempatnya segera diambil Kwee Ceng, yang maju dengan menggunai pedangnya. Tiba-tiba See Tok menangis dan berkata: "Oh, anakku, kau mati secara sangat mengenaskan..." Dengan tiba-tiba ia melemparkan tongkat ularnya, untuk berlompat merangkul anak muda di depannya itu. Kwee Ceng tahu ia tentunya disangka Auwyang Kongcu. Karena mendengar jeritan dan keluhan orang itu, ia menjadi tidak tega untuk menurunkan tangan jahat. Dilain pihak, ia juga takut. Maka ia mengeluarkan tangannya, untuk menolak. Auwyang Hong lihay sekali. Walaupun ia berkelakuan aneh, gerakannya sangat gesit, tangan kirinya lantas memegang lengan orang dan tangan kanannya memeluk. Si anak muda meronta, akan tetapi ia kalah tenaga, dia tidak berhasil meloloskan dirinya. Ang Cit Kong dan Oey Yok Su terkejut, keduanya berlompat maju untuk menolong. Dengan It Yang Cie, Cit Kong menotok jalan darah hongbwee-hiat di punggung See Tok agar Kwee Ceng dilepaskan. Jalan darah Auwyang Hong telah menjadi bertentangan salurannya, dia tidak dapat ditotok, totokan itu tidak terasa olehnya, dia tidak menghiraukannya. Oey Yong memungut batu, dengan itu ia menyerang kepalanya Auwyang Hong, tetapi See Tok menggunakan tangan kanannya, meninju batu itu, yang menjadi terpental masuk ke jurang. Karena ini, Kwee Ceng dapat berontak sambil terus berlompat mundur. Ketika itu Oey Yok Su sudah menempur pula si edan itu. Tidak lagi Auwyang Hong memakai ilmu silat yang biasa, tetapi itu hebatnya bukan main, sering dia memiringkan tubuhnya atau berdiri tegak, atau menjatuhkan diri terungkup dengan sebelah tangannya menekan tanah, hingga tangannya yang lain dapat digunakan untuk berkelahi terus. Tentu sekali, cara berkelahi itu sulit dilayani. Oey Yong berkhawatir ayahnya nanti salah tangan, maka ia berteriak: "Suhu, menghadapi orang edan ini jangan kita pakai aturan lagi, mari kita keroyok dia!" "Diwaktu biasa, dapat kita berbuat begitu untuk membekuk dia," berkata Ang Cit Kong, "Akan tetapi sekarang ada harian pibu di Hoa San ini, dunia ketahui kita mesti menempur satu lawan satu, kalau sekarang kita mengepung dia, kita bakal ditertawakan orang kangouw." Selagi Pak Kay bicara, serangan yang aneh dari Auwyang Hong menjadi bertambahtambah dahsyat, bahkan ia memakai ludah dengan apa ia meludahi Oey Yok Su, hingga majikan dari Tho Hoa To menjadi gelagapan, hingga ia mesti main mundur. Habis itu, Auwyang Hong menyerang sambil membungkuk. Itu artinya ia tidak melihat ke atas. Oey Yok Su melihat itu, ia girang, hatinya berkata: "Dasar dia edan, dia was-was!" Dengan lantas ia menotok ke jalan darah geng-hiat-hiat. Baru totokan itu mengenai kulit muka atau mendadak Auwyang Hong menyambar dengan mulutnya, menggigit jari telunjuk penyerangnya itu. Dalam kagetnya, Oey Yok Su segera menyerang dengan tangan kirinya ke jalan darah tayyang-hiat. Tapi juga Auwyang Hong sebat sekali, dia menangkis dengan tangan kanannya, sedang gigitannya diperkeras. Kwee Ceng maju berbareng bersama Oey Yong, masing-masing dengan pedang kayu dan tongkat bambu. Baru sekarang Auwyang Hong melepaskan gigitannya, tapi sebagai gantinya, ia mencakar ke muka si nona, untuk mana ia memakai kedua tangannya atau sepuluh jarinya. Selagi berbuat begitu, ia memperlihatkan romannya yang bengis sekali, sedang mukanya berlepotan darah. Oey Yong kaget hingga ia menjerit, ia melompat ke samping. Tapi dia disusul. Kwee Ceng menggempur punggung jago dari See Hek itu, dia menangkis. Dengan begitu barulah Oey Yong lolos dari ancaman bahaya. Baru belasan jurus si anak muda melayani orang edan itu, pundak dan pahanya beberapa kali kena dihajar, syukur tidak berbahaya. "Anak Ceng, mundur!" berkata Cit Kong. "Kasih aku yang mencoba melayani dia!" Pak Kay berlompat maju, hingga ia jadi bertarung pula sama See Tok. Kali ini mereka bertempur lebih hebat daripada tadi. Setelah menyaksikan orang melawan Oey Yok Su dan Kwee Ceng, Cit Kong melihat masih ada jalan di dalam ilmu silat kacau dari Auwyang Hong itu, maka sekarang ia melawan dengan penuh perhatian. Kap Mo Kang digunai si Bisa dari Barat secara bertentangan, yaitu yang mestinya ke kanan menjadi ke kiri, yang mestinya ke atas menjadi ke bawah, demikian sebaliknya. Umumnya, tujuh di dalam sepuluh, gerakan itu tidak meleset. Karena ini, meski ia keteter, Cit Kong bisa juga membalas menyerang, satu kali melawan tiga kali. Juga Oey Yok Su memperhatikan jalannya ilmu silat See Tok itu, selagi anaknya mengurus lukanya, ia memperhatikan terlebih jauh. Di dalam hal penelitian, ia lebih cerdas daripada Ang Cit Kong, maka itu, ia pun lantas melihat jalan. Ia lantas mengajari Ang Cit Kong, berulang-ulang: "Cit Kong tendang dia! Hajar dia pada jalan darah kie-koat! Serang jalan darah thian-cu!" Semua petunjuk ini diberikan selagi setiap jalan darah itu terbuka. Sebagai penonton, OeyYok Su dapat melihat tegas sekali. Ang Cit Kong menuruti petunjuk itu, maka tidak lama kemudian, mereka jadi berimbang kekuatannya. Meski begitu, Cit Kong dan Oey Yok Su jengah sendirinya, sebab mereka mesti mengepung See Tok. Tiba-tiba muncul saatnya yang Cit Kong bisa memberi hajaran tepat kepada See Tok atau kembali Auwyang Hong meludah secara tiba-tiba, hingga ia batal menyerang dan mesti berkelit, justru itu ia dirabu, disusuli dengan ludah lagi hingga ia gelagapan. Biarpun ludah, kalau kena mata, bisa tusak, maka tidak sudi si pengemis mandah saja. Tidak ada jalan lain, ia menanggapi ludah itu dengan tangannya, lantas ia meneruskan menyerang. Baru beberapa jurus, kembali Auwyang Hong meludah, rupanya inilah siasatnya untuk mengacau lawan. Cit Kong mendongkol sekali. Ia merasa dirinya seperti dihina. Ia juga merasa jijik karena ludahnya Auwyang Hong tetap melekat di tangan kanannya yang tadi dipakai menanggapi, sedang untuk memeperkan itu dibajunya, kesempatan tidak ada. Ia sedang sangat repot. "Kena!" mendadak ia berseru setelah lewat lagi beberapa jurus. Dengan tangan kanannya ia menepuk mukanya Auwyang Hong. Nampaknya ia hendak memulas muka orang dengan ludah orang itu, tidak tahunya diam-diam dia hendak menotok dengan It Yang Cie, ialah totokan istimewa untuk menaklukan Kap Mo Kang, ilmu silat Kodok. Meski ia seperti gila, Auwyang Hong sebenarnya sangat gesit dan dapat memikir. Ia menanti tibanya tepukan tangan lawannya, ketika jeriji tangan Cit Kong dikeluarkan, untuk menotok padanya, hendak ia menyambut itu dengan gigitannya, seperti tadi ia menggigit tangannya Oey Yok Su. Oey Yok Su, Kwee Ceng dan Oey Yong, yang memasang mata, menjadi terkejut. Mereka melihat berkelebatnya gigi putih dari See Tok. Mereka lantas menjerit, "Awas!" Tidaklah heran kalau tiga orang ini menjerit, mereka lupa yang Auwyang Hong itu dijulukkan Kiu Cie Sin Kay si Pengemis Aneh Berjeriji Sembilan, sebab jeriji telunjuknya yang kanan telah dikutungi sendiri olehnya untuk ia membatalkan diri atas keserakahannya gegares. Maka ketika Auwyang Hong mengigit sasaran kosong, dua baris gigi atas dan bawahnya bercatruk keras sendirinya. Inilah ketika yang paling baik, Ang Cit Kong tidak mau menyia-nyiakannya. Selagi mulut orang tertutup rapat, ia mengeluarkan jari tengahnya, dengan itu ia menotok jalan darah tee-chong-hiat di pinggir mulut See Tok. Ong Tiong Yang dan Toan Hongya biasa menggunai telunjuknya, tetapi Cit Kong tidak mempunyai itu, maka ia menggunakan jari tengah sebagai gantinya. Inilah Auwyang Hong tidak menyangka, maka itu, ia menggigit seperi biasa, untuk menyambuti totokan, tidak tahunya ia kehilangan sasarannya. Melihat Cit Kong berhasil, Oey Yok Su bertiga mau bersreu girang, akan tetapi belum lagi seruan mereka keluar, mereka sudah dibikin kaget sekali. Dengan mendadak mereka melihat Pak Kay berjumpalitan roboh ke tanah, sedang See Tok terhuyung mundur beberapa tindak, gerakannya mirip orang mabok, setelah dia dapat berdiri tetap, dia tertawa terbahak sambil melengak. Sudah diketahui jalan darah Auwyang Hong telah menjadi bertentangan semuanya, Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo maka itu, totokannya Ang Cit Kong bukan mengenai tee-chong-hiat hanya justru jalan darah besar ciok-yang-beng wie-keng. Cuma di waktu kena totok, tubuh See Tok mati sedetik, habis itu, dia pulih seperti biasa. Maka itu, sebat luar biasa, dia membalas menghajar pundak lawannya. Cit Kong melihat serangan itu, ia tidak sempat menangkis, dia lantas berkelit, benar ia pun kena terhajar, tetapi sembari berkelit, ia bisa membuang diri dengan jumpalitan. Tentu sekali, ia tidak menyerah dengan begitu saja, sambil berkelit tadi, ia membarengi menyerang dengan jurus "Kian liong cay tian", hanya karena kenanya tidak telak, See Tok cuma terhuyung. Cit Kong tidak terluka parah, untuk sejenak itu, ia merasakan tubuhnya kaku, tidak dapat ia lantas bergerak pula dengan leluasa, tidak dapat ia segera maju lagi. Karena ialah seorang kenamaan, ia malu untuk menyangkal kekalahannya itu, dari itu setelah bangun pula, ia memberi hormat kepada See Tok seraya berkata: "Saudara Auwyang, aku si pengemis tua takluk kepadamu, kaulah si orang kosen nomor satu di kolong langit ini!" Auwyang Hong berdongak, ia tertawa lama. Kemudian ia mengulap-ulapkan kedua tangannya ke arah udara. "Toan Hongya," ia berkata kepada Oey Yok Su, "Kau takluk atau tidak kepadaku?" Tong Shia mendongkol sekali, di dalam hatinya ia kata: "Bagaimana bisa menjadi gelaran orang gagah nomor satu di kolong langit ini dirampas seorang edan" Habis bagaimana kita dapat menemui orang banyak?" Meski begitu, ia menginsyafi kenyataan. Ia tidak bisa melawan jago dari Barat ini. Maka akhirnya ia mengangguk. Ia pun tidak menghiraukan yang ia dipanggil Toan Hongya oleh si edan itu. Auwyang Hong lantas berpaling kepada Kwee Ceng. "Anak," ia berkata., "Ilmu silat ayahmu sangat lihay, di kolong langit ini tidak ada tandingannya lagi, kau girang atau tidak?" Orang merasa aneh See Tok menyebut anak kepada keponakannya. Inilah tidak heran karena tidak ada yang mengetahui rahasianya. Sebenarnya Auwyang Kongcu itu dilahirkan oleh enso atau kakak iparnya, yaitu istri kakaknya, yang telah berlaku serong dengannya, maka juga namanya mereka ada paman dan keponakan, sebenarnya mereka ayah dan anak. Ia belum sadar, ia masih menganggap Kwee Ceng sebagai anaknya, seperti Oey Yok Su dikira Toan Hongya. Setelah puluhan tahun, ia seperti membuka rahasia hati sendiri dengan menyebutkan anaknya itu. Kwee Ceng jujur, tanpa menghiraukan panggilan orang itu, ia kata: "Kita semua tidak dapat melawan kau." Auwyang Hong tertawa geli sekali. "Nona mantuku yang baik, kau girang atau tidak?" ia menanya Oey Yong sambil memandang nona itu. Oey Yong tengah masgul, karena ia telah mesti menyaksikan ayahnya, Ang Cit Kong dan Kwee Ceng telah dipecundangi See Tok, hingga ia telah memikirkan daya untuk menghadapi orang kosen yang edan ini. Sekarang ia ditegur si edan itu, ia lantas berkata: "Siapa bilang kaulah orang kosen nomor satu di kolong langit ini" Ada satu orang yang kau tidak sanggup lawan!" Mendengar perkataan itu, Auwyang Hong gusar hingga ia menepuk dadanya. "Siapa" Siapa dia"!" ia menanya keras. "Suruh dia datang melawan aku!" Oey Yong menatap mata orang. Ia memusatkan semangatnya kepada "Liap Sim Tayhoat", ilmu mempengaruhi hati dari Kiu Im Cin-keng. Itulah semacam ilmu sihir. Selama rapat di gunung Kun San, di telaga Tong Teng ia telah pergunakan itu terhadap Pheng Tianglo hingga pengemis itu tertawa tidak mau berhenti. Digunakan terhadap orang yang tenaga dalamnya cetek, ilmu itu gampang mempan, tidak demikian terhadap orang lihay, maka juga di dalam kitab ada dipesan ilmu itu tidak dapat sembarangan dipakai sebab bisa mencelakai diri sendiri. Tapi Oey Yong menggunakannya juga karena ia tidak melihat jalan lain sedang Auwyang Hong nampaknya kacau pikirannya. Di dalam keadaan biasa memang Auwyang Hong tidak dapat dipengaruhi Oey Yong, yang tenaga dalamnya kalah jauh, kalau dibalik ia bisa celaka, tetapi sekarang dia was-was, dia tidak dapat melawan. Sambil mengawasi, dia masih bertanya: "Siapa" Siapa dia" Suruh dia datang melawan aku!" "Dia lihay luar biasa, kau pasti tidak dapat melawannya!" kata Oey Yong, yang matanya tetap mengawasi tajam. "Siapa" Siapa dia" Suruh dia datang melawan aku!" "Dia bernama Auwyang Hong!" "Auwyang Hong?" See Tok menggaruk-garuk kepalanya. "Benar, Auwyang Hong! Kau boleh lihay tetapi kau tidak bakal dapat melawan Auwyang Hong!" Kacau pikirannya See Tok. Ia merasa kenal baik nama Auwyang Hong itu tetapi tidak dapat ia mengingatnya. Ia cuma merasa, Auwyang Hong itu sangat berdekatan dengannnya, hanya entah siapa.... "Sebenarnya, siapa aku ini?" kemudian ia tanya. "Kau ialah kau!" menjawab Oey Yong tertawa dingin, matanya terus menatap. "Kau sendiri tidak tahu, mengapa kau menanya aku?" Auwyang Hong bingung. Ia seperti berpikir keras untuk mengetahui siapa dirinya sendiri. Begitulah ia berpikir: "Aku ini siapa" Sebelum aku dilahirkan, aku ini apa" Setelah aku mati, apa aku ini?" Lalu ia menanya pula: "Sebenarnya siapa aku ini" Aku ini berada di mana" Aku kenapa?" "Auwyang Hong mau mencari kau untuk mangadu kepandaian!" kata si nona. "Dia hendak merampas kitabmu, kitab Kiu Im Cin-keng!" "Mana dia sekarang" Dia ada di mana?" "Itu dia, di belakangmu!" jawan Oey Yong, yang menunjuk ke belakang orang. Auwyang Hong memutar tubuhnya, cepat luar biasa, ia lantas melihat bayangannya sendiri, yang berdiri di belakangnya itu. Ia melengak. "Lihat, dia hendak menghajar kamu!" kata Oey Yong cepat. Auwyang Hong mendak, segera ia menyerang. Karena ia bergerak, bayangannya turut bergerak. Ia terkejut. Segera ia menyerang pula, dengan tangan kiri dan kanan saling susul. Ia bergerak sangat cepat, bayangannya itu bergerak sama cepatnya. Satu kali ia lompat berkelit, tubuhnya diputar, hingga ia menghadapi matahari. Sudah tentu ia kehilangan bayangannya itu. "Hai, kau lari ke mana"!" dia berteriak. Dia meleset ke kiri. Di arah kiri itu ada gunung lamping, di situ ada terlihat bayangannya. Tidak ayal lagi, Auwyang Hong meninju. Tentu sekali, ia kena hajar batu gunung. Ia merasakan sakit bukan main hingga ia berseru: "Kau sangat lihay!" Ia lantas menendang. Tentu sekali, ia berjengit sendirinya, sebab ia menendang gunung dan kakinya itu dirasakan sangat sakit seperti kepalannya barusan. Sekarang ia menjadi jeri sendirinya. Mendadak ia memutar tubuhnya dan lari. Karena ia lari menghadapi matahari, ia tidak melihat bayangannya. Setelah lari beberapa tombak, ia menoleh. Untuk kagetnya, ia melihat bayangannya berada di belakangnya. Dia berteriak: "Biarlah kau yang menjadi orang kosen nomor satu di kolong langit ini! Aku menyerah kalah!" Oleh karena ia berhenti lari dan tidak bergerak, bayangannya pun berdiam. Ia tidak berkata-kata apa algi, ia memutar tubuh pula, guna berlalu. Tapi masih ia menoleh, maka ia melihat bayangannya pun mengikuti padanya. Ia menjadi kaget dan takut, lantas ia lari sekeras-kerasnya, sembari lari, ia berteriak-etriak. ia lari turun gunung. Sampai sekian lama masih terdengar jeritannya: "Jangan kejar aku! Jangan kejar aku!" Oey Yok Su dan Ang Cit Kong saling mengawasi, mereka sama-sama menghela napas. Mereka tidak menyangka, demikian rupa ada nasibnya seorang jago yang lihay sekali. Oey Yong duduk bersila. Habis menggunai tenaga dan pikirannya demikian keras, ia menjadi letih sendirinya. Masih sekian lama ia bersemadhi, baru ia berbangkit. Suaranya Auwyang Hong masih kadang-kadang terdengar, tetapi terpisahnya dia dari mereka sudah beberapa lie. Itulah kumandangnya yang terdengar. "Dia tidak bakal hidup lebih lama pula," kata Cit Kong. "Aku...aku siapa ya?" mendadak Kwee Ceng berkata seorang diri. Oey Yong terkejut. Ia menduga pemuda tolol ini tentunya telah kena dibikin bingung oleh See Tok. "Kau Kwee Ceng! Kau engko Ceng!" berkata Oey Yong lekas. "Jangan kau pikirkan dirimu, kau pikirkan orang lain!" Anak muda itu melengak, lalu dia sadar. "Benar!" katanya. "Suhu, tocu, mari kita turun gunung!" "Anak tolol!" Cit Kong membentak. "Kau masih memanggil tocu! Aku nanti gaplok padamu!" Kwee Ceng melengak, ia mengawasi Oey Yong yang tersenyum. "Gakhu!" ia lantas memanggil, jengah. Oey Yok Su tertawa. Rupanya senang ia dipanggil gakhu alias mertua. Ia tarik tangan gadisnya, ia sambar tangan menantu itu, ia lantas kata kepada Pak Kay: "Saudara Cit, hari ini barulah kita berdua mengerti, ilmu silat itu tidak ada batas habisnya, jadi di kolong langit ini jug atidak ada si orang kosen nomor satu!" "Adalah ilmu masaknya anak Yong yang paling pandai, inilah aku berani bilang!" kata si Pengemis dari Utara, menjawab yang tidak ditanya. Oey Yong tersenyum. "Jangan kau puji-puji aku!" katanya. "Mari lekas kita turun gunung! Akan aku masaki kau beberapa rupa sayur!" Penutup Akhir-akhirnya Oey Yong berempat tiba di kaki gunung, di sana mereka terus mencari pondokan, di mana si nona benar-benar menepati janjinya, ia membuat beberapa rupa masakan yang lezat untuk gurunya terutama. Malamnya mereka beristirahat di dalam dua kamar, Oey Yok Su bersama putrinya, dan Ang Cit Kong bersama Kwee Ceng. Hanyalah besok paginya, ketika Kwee Ceng mendusin, ia tidak melihat gurunya, melainkan di atas meja ia melihat tiga huruf yang terukir dalam: "Aku telah pergi." Teranglah itu ukiran dengan jeriji tangan. Ia menjadi heran, lekas-lekas ia pergi ke kamar mertuanya untuk memberitahukan kepergian gurunya itu. Oey Yok Su menghela napas. "Biarlah!" katanya. "Memang demikian sepak terjangnya saudara Cit, seperti naga sakti yang nampak kepalanya tidak ekornya....!" Kemudian ia melirik si anak muda dan gadisnya, untuk meneruskan berkata: "Anak Ceng, ibumu telah menutup mata, maka sekarang ini orang yang paling dekat dengan kamu tinggallah gurumu, Kwa Tin Ok, oleh karena itu mari kau turut aku pulang ke Tho Hoa To, di sana kau mohon gurumu itu menjadi cu-hun, agar dia merampungkan pernikahanmu dengan Yong-jie" Kwee Ceng berduka berbareng girang, ia sampai tidak bisa membilang suatu apa, ia melainkan mengangguk berulang-ulang. Oey Yong hendak mengatakan kekasihnya itu tolol, tetapi karena di situ ada ayahnya, ia batal, setelah melirik ayahnya, dia berdiam terus. Tiga orang ini sudah lantas memulai perjalanan mereka pulang ke Tho Hoa To, di sepanjang jalan mereka menggunai ketika untuk menikmati keindahan alam. Mereka menuju ke tenggara. Pada suatu ahri tibalah mereka di selatan jalanan perbatasan timur dan barat propinsi Ciatkang. Itu berarti, Tho Hoa To sudah tidak jauh lagi. Begitu mereka sampai di situ, begitu mereka mendengar suaranya burung rajawali berbunyi di udara, lantas terlihatlah burungnya, satu pasang, terbang mendatang dari arah utara. Kwee Ceng girang sekali, ia lantas mengasih dengar suaranya, atas mana kedua burung itu terbang menghampirkan, untuk menclok di pundaknya. Ketika anak muda ini berangkat dari Mongolia, ia tidak sempat membawa burungnya, maka itu bisalah dimengerti kegirangannya. Ia mengusap-usap burung itu. Tibatiba ia melihat ada sesuatu di kakinya burung yang jantan. Nyata itu sehelai kulit yang digulung kecil sekali. Ia lantas membuka ikatannya, terus ia membebernya, ia mellihat ukiran huruf-huruf yang berbunyi: "Angkatan perang kami berangkat ke Selatan dan akan menyerang kota Siangyang. Berhubung dengan itu, karena aku tahu kau sangat setia akan negera, dengan menempuh bahaya aku menyampaikan kabar ini kepadamu. Aku telah menyebabkan kematian yang sangat menyedihkan dari ibumu, aku malu untuk bertemu pula dengan kau, dari itu sekarang aku berangkat ke Barat, di daerah yang terasing, untuk tinggal bersama kakak sulungku. Untuk seumurku, tidak nanti aku kembali ke negariku. Aku harap kau merawat diri baik-baik, semoga kau panjang umur!" Surat itu tanpa alamat dan tanda tangan tetapi Kwee Ceng tahu itulah suratnya putri Gochin Baki. Ia lantas menyalin surat itu, untuk diberitahukan Oey Yok Su dan Oey Yong, setelah mana ia tanya mertuanya, bagaimana mereka harus mengambil tindakan. "Kita sekarang berada dekat dengan kota Lim-an," berkata Oey Yok Su, "Tetapi jikalau kita menyampaikan warta kepada pemerintah, itu artinya kita terlambat. Pemerintah pasti bertindak sangat perlahan dan kota Siangyang terancam bahaya. Kuda merah kau keras larinya, pergi lantas berangkat ke Siangyang, untuk menemui kepala perang di sana. Umpama kata dia suka mendengar nasehat, kau bantu dia, untuk bersama membelai kota itu. Sebaliknya kalau dia menentang, kau hajar mampus padanya lantas kau bertindak menggantikan dia. Kau bekerja sama dengan semua pasukan dan rakyat kota itu, kau membelainya melawan angkatan perang Mongolia itu. Aku akan pulang bersama Yong-jie, di Tho Hoa To aku menantikanmu." Kwee Ceng menerima baik perkataan mertuanya itu. Oey Yong berdiam tetapi ia nampak tidak senang. Oey Yok Su melihat roman gadisnya itu, ia tertawa. "Baiklah, Yong-jie, kau boleh pergi bersama!" ia berkata. "Setelah urusan beres, kamu mesti lekas pulang. Jangan pedulikan umpama kata pemerintah memberi ganjaran padamu." Anak itu girang sekali. "Itulah pasti!" sahutnya. Lantas sepasang muda-mudi itu berangkat ke Barat, mereka mengaburkan kuda mereka di atas mana mereka bercokol bersama. Kwee Ceng tidak mau main ayal-ayalan, ia khawatir musuh nanti keburu sampai. Jikalau kota Siangyang pecah, celakalah penduduk kotanya. Ia menginsyafi kekejaman tentara Mongolia itu. Pada suatu malam mereka singgah di tempat dekat perbatasan selatan Liang-ciat dan barat Kanglam. Si anak muda duduk berdiam, pikirannya kusut. Ia ingat bunyinya surat putri Gochin, karena mana ia ingat juga saatnya masih sama-sama kecil dengan putri itu, hidup rukun hingga besar. Si pemudi membiarkan orang berpikir, ia menjahiti bajunya. "Yong-jie," tiba-tiba si anak muda tanya, "Dia menulis bahwa ibuku mati mengenaskan dan dia tidak punya muka menemui aku lagi, kau tahu, apakah artinya itu?" "Ayahnya memaksakan kematian ibumu, sudah tentu ia merasa tidak tega dan berduka karenanya," menyahut si nona. "Tentu ia menjadi sangat menyesal." Kwee Ceng berdiam, ia membayangi kematian ibunya itu. Mendadak ia berlompat bangun, tangannya menepuk meja keras sekali. "Aku tahu sekarang!" serunya. "Kiranya demikian!" Oey Yong terkejut hingga jarumnya menusuk jari tanganny, hingga darahnya menetes. "Eh, kau kenapakah?" ia menanya tertawa. "Sekarang aku mengerti duduk kejadian," menyahut si anak muda. "Ketika aku dan ibuku membuka surat wasiat dari Jenghiz Khan, hingga kita mengambil keputusan buat pulang ke Selatan, di sana tidak ada orang lain, tetapi Jenghiz Khan lantas dapat ketahui perbuatan kita itu dan mempergrokinya, kita ibu dan anak lantas ditawan. Karena sudah putus asa, ibu membunuh diri. Kenapa rahasia kita bocor" Sekian lama aku memikirkan itu, baru sekarang aku ketahui. Jadi dialah yang membocorkan rahasia kepada ayahnya." Oey Yong menggeleng kepala. "Putri Gochin sangat mencintaimu, tidak nanti dia membocorkan rahasia, hingga dia jadi mencelakai padamu," katanya. "Tetapi dia bukan hendak membikin celaka, dia hendak mencegah keberangkatanku. Dia berada di luar kemah, dia mendengar pembicaraan kita berdua, terus dia melaporkannya kepada ayahnya. Dia percaya ayahnya akan tidak mengijinkan kita berangkat, siapa tahu, akibatnya ialah bencana hebat..." Ia menghela napas. "Karena dia berbuat tanpa sengaja, kau harus pergi ke Barat mencari dia!" kata Oey Yong. Kwee Ceng menggeleng kepala. "Aku dengannya seperti kakak adik saja," ia bilang. "Sekarang dia sudah tinggal di Wilayah Barat itu bersama kakaknya, hidupnya mulia, perlu apa aku pergi mencari dia?" Oey Yong tertawa, hatinya girang. Besoknya perjalanan mereka dilanjuti terus sampai pada suatu hari mereka tiba di kecamatan Bu-leng di kawedanan Liong-hin. Mereka melintasi Ok-lim dan Tiang Nia, di mana mereka menampak pemandangan alam seperti semasa mereka bertemu sama Cin Lam Khim di tempat mereka menangkap burung hiat-niauw. "Engko Ceng," kata Oey Yong tertawa. "Di mana kau sampai, kau main asmara, dan sekarang kau kembali akan bertemu sama sahabat lamamu..." "Jangan ngaco, apa itu sahabat lama bukan sahabat lama!" kata si anak muda polos. Oey Yong tetap tertawa. "Kalau umpama kata kembali turun hujan besar, dia pasti akan mengambil pula Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo payung, untuk memayungi kau, bukannya aku!" ia menggoda. Baru si nona menutup mulutnya, atau mereka mendengar dua burung mereka yang mengikuti mereka sembari terbang, terdengar suara kegusarannya, terus keduanya terbang menyelundup ke bawah, lenyap di dalam rimba. "Mari kita lihat!" mengajak Kwee Ceng. Ia menduga pada sesuatu. Si nona juga menduga demikian. Mereka melarikan kuda dengan jalan memutari rimba. Lantas mereka menampak burung mereka, sambil terus beterbangan, lagi bertempur sama satu orang. Apa yang aneh, hiat-niauw, si burung api, pun ada di situ dan dia turut membantui kedua burung rajawali itu berkelahi. "Bagus!" seru Oey Yong. Ia girang bertemu sama burung yang ia sangat sayangi itu. Sekarang mereka melihat tegas, orang itu ialah Pheng Tiangloo dari Kay Pang. Dia membela diri dengan memutar goloknya, karena mana ketiga burung tidak dapat datang dekat kepadanya. Hanya kemudian, rajawali betina dapat menyambar ikat kepala orang dan mematuk kepala pengemis itu. Pheng Tianglo membacok, ia berhasil membuat bulu binatang itu terbabat berhamburan. Dengan kepalanya tanpa ikat kepala, Oey Yong dapat melihat satu bagian di mana ada kulit tanpa rambut, melihat mana, segera ia ingat: "Dulu hari burung ini terpanah dadanya dengan panah pendek, kiranya ini pengemis busuk yang memanah padanya. Ketika sepasang burung ini bertempur di Chee-liong-thoa, dia dapat menyambar kulit kepala orang, jadi itulah kulit kepala pengemis ini!" Lantas Oey Yong memungut beberapa butir batu, niatnya untuk membantui burungburungnya itu, tetapi belum sampai ia turun tangan ia sudah melihat burung api menyambar dan dengan bacotnya yang panjang mematuk biji matanya si tianglo. Dia lagi membelai kepalanya, dia tidak tahu burung kecil ini menyambar dari bawah. Dia kesakitan bukan main, hingga dia menjerit, dia melemparkan goloknya, terus dia lari masuk ke dalam gombolan berduri. Untuk menolong jiwanya, dia tidak perdulikan duri menusuk di sana-sini. Ketiga burung itu tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Hiat-niauw melihat si nona, dia terbang menghampirkan. Kedua rajawali masih terbang berputaran di atas gombolan duri itu. "Dia telah buta sebelah matanya, kasihlah dia ampun!" berkata Kwee Ceng kepada kedua burungnya. Habis ia berkata, Kwee Ceng mendengar suara anak kecil, beberapa kali. Ia menjadi heran, sampai dia berseru tertahan. Suara itu datangnya dari samping ia di mana ada rumput tinggi dan tebal. Dengan lantas ia berlompat turun, akan lari ke gombolan itu, ketika ia membiaknya, di situ ia mendapatkan seorang anak kecil lagi duduk sendirian, kedua tangannya lagi memegangi seekor ular berbisa, yang meronta-ronta tetapi tidak dapat meloloskan diri. Ia kaget dan heran. Tapi herannya itu tidak lantas lenyap. Di samping anak itu ada terlihat sepasang kaki wanita, maka ia membiak terus rumput tebal itu, hingga ia mendapatkan seorang wanita, yang berbaju hijau,lagi rebah pingsan. Bahkan ia segera mengenali nona Lam Khim. Khawatir ular itu mencelakai si anak, Kwee Ceng mengulur tangannya, untuk menarik, hanya belum dapat ia berbuat begitu, anak itu sudah melemparkan ular berbisa itu, yang terus bergerak-gerak beberapa kali, lantas diam. Sebab ternyata dia telah kena dipencet anak itu. Pemuda ini menjadi terlebih heran lagi. Ia menduga, anak itu belum berumur dua tahun. Tapi untuk menolongi si nona, ia lantas membungkuk, memeriksa nona itu, yang benar-benar pingsan. Dengan lantas ia menekan hidung orang. Selang tidak lama, Lam Khim mendusin, Ketika ia membuka matanya, ia melihat Kwee Ceng, hingga ia menjadi melengak, Ia merasa bahwa ia tengah bermimpi. "Kau...kau toh engko Kwee..." katanya, suaranya bergetar. "Ya, aku Kwee Ceng!" si anak muda mendahului. "Nona Cin, apakah kau terluka?" Nona itu bergerak untuk bangun, atau dia roboh pula. Nyata dia terikat tangan dan kakinya. Maka Oey Yong yang segera menghampirkan, menolongi memotong putus belenggunya itu. "Terima kasih," kata Lam Khim yang terus mengempo anaknya, ia lantas duduk diam. "Sebenarnya nona, apa yang telah terjadi atas dirimu?" tanya Kwee Ceng. Lama nona itu berdiam, akhirnya dengan likat ia menuturkan juga hal ikhwal dirinya. Di atas puncak Tiat Ciang Hong ia telah dicemarkan kehormatannya oleh Yo Kang, lantas ia hamil, ketika ia pulang ke kampungnya, ia melahirkan anaknya itu. Oleh karena tidak punya sesuatu, ia tetap hidup sebagai penangkap ular. Ia terhibur oleh anaknya, yang cerdik sekali, yang seperti mengetahui kesengsaraan ibunya. Itu hari Lam Khim membawa anaknya untuk mencari kayu bakar, kebetulan ia bertemu dengan Pheng Tianglo, yang lagi lewat disitu. Timbul nafsu binatang pengemis itu, yang tertarik kecantikan orang, ia mendekati untuk main gila. Lam Khim telah pelajari ilmu yang diajari Kwee Ceng, tubuhnya menjadi sehat dan kuat, sayang ia bertemu dengan Pheng Tianglo, satu diantara keempat pemimpin Kay Pang, ia kena dikalahkan dan diringkus. Bersama Lam Khim ada hiat-niauw, si burung api. Semenjak berpisah dari Kwee Ceng dan Oey Yong di Chee-liong-tho, dia pulang ke kampung halamannya, tinggal bersama nona Cin. Burung ini mendapat tahu si nona dapat susah, ia menyetang Pheng Tianglo, hingga keduanya jadi berkelahi. Tidak lama dia dibantu kedua rajawali. Lantaran ini, pengemis itu tidak sempat melakukan perbuatan binatangnya. Lam Khim sendiri jatuh pingsan, itulah disebabkan ia melihat beberapa ular berbisa datang ke situ, ia mengkhawatirkan keselamatan anaknya, ia tidak sangka ketika mendusin, di situ ada si muda-mudi dan anaknya tidak kurang suatu apa pun. Oleh karena pertemuan ini, malam itu Kwee Ceng dan Oey Yong singgah di rumah nona Cin. Si pemuda senang melihat roman anak kecil itu, yang membikin ia ingat Yo Kang yang tersesat itu. Ia menghela napas. "Kwee Toako," kata Lam Kim kemudian, "Coba kau tolong memberikan nama pada anak ini." "Dengan ayahnya aku bersaudara angkat," berkata Kwee Ceng. "Sayang ayahnya itu tersesat hingga pergaulan kita berdua menjadi buruk. Sebenarnya aku menyesal tidak bisa melakukan kewajibanku sebagai saudara. Sekarang mengenai anak ini, kau harap setelah dewasa dia bisa berbeda dari sifat ayahnya. Aku pikir dia baik diberi nama Ko alias Kay Cie. Apakah kau setuju?" "Ko" itu berarti "Salah" atau "Kesalahan" dan "Kay Cie" berarti "Merubah itu" ialah "Merubah kesalahan". Diharap setelah besar anak ini merubah kesalahan ayahnya dan menjadi orang bijaksana. "Terserah kepada kau, toako," kata Lam Khim sambil mengeluarkan air mata. "Harap saja dia menjadi orang baik-baik." Pengharapan mereka ini di belakang hari telah terkabul (sebagaimana ceritanya dapat dibaca dalam Sin Tiau Hiap Lu sambungan dari cerita kita ini) Kwee Ceng dan Oey Yong tidak bisa berdiam lama di rumah Lam Khim. Hanya ketika mereka mau berangkat, Kwee Ceng memberikan uang emas seratus tail, sedangkan Oey Yong menghadiahkan serenceng mutiara. Oey Yong pun tidak jadi dapat mengajak hiat-niauw, meski ia sangat menyukai burung itu, yang lebih penting untuk menjadi kawanan nona Cin itu. Lam Khim merasa berat untuk berpisahan tetapi ia tidak dapat menahan muda-mudi itu. Ia cuma terharu dan menyesal dan lalu mendoakan mereka berhasil. Kwee Ceng berdua menuju ke barat, lalu tiba di selatan Lian Ouw (kedua propunsi Ouwlam dan Ouwpak), dari situ mereka belok ke utara, maka pada suatu hari tibalah mereka di tempat tujuan mereka, kota Siangyang. Lega hati mereka akan mendapatkan musuh belum sampai. Penduduk tenang, kota ramai, sama sekali tidak ada terlihat tanda-tanda bahaya perang. Kota Siangyang ada kota penting di Utara, di jaman Lam Song atau Song Selatan itu, di situ di tempatkan satu pembesar tinggi An-bu-su atau komisaris keamanan, dengan pasukan tentaranya yang kuat, untuk membelai keselamatan kota, atau lebih benar, tapal batas. Karena pentingnya urusan, tanpa menanti mencari rumah penginapan lagi, Kwee Ceng mengajak Oey Yong segera pergi ke kantor An-bu-su, guna menemui pembesar militer itu. Tentu saja, tidak gampang-gampang untuk mengadakan pertemuan itu. An-bu-su itu panglima tinggi. Meski benar di Mongolia ia menjadi panglima perang, di sini Kwee Ceng ada rakyat jelata, yang tidak dikenal juga. Tapi Oey Yong tidak kurang akal. Ia menyerahkan uang emas satu tail kepada pengawal pintu, yang lantas bersikap manis budi. Hanya, untuk segera melaporkan, dia itu keberatan. Katanya, menurut kebiasaan, untuk bertemu sama pembesar itu, orang mesti menanti paling cepat setengah bulan, sedang yang biasa diterima menghadap adalah bangsa pembesar atau orang bukan sebangsa si anak muda. Akhirnya Kwee Ceng menjadi mendongkol. "Inilah urusan tentara sangat penting, mana bisa aku menanti lama-lama?" katanya bengis. Oey Yong sebalikya memikir lain. Ia mengedipi mata kepada kekasihnya itu, ia menarik tangan orang, untuk diajak minggir. Di sini ia berbisik: "Sebentar malam kita menyeludup masuk, menemui dia dengan paksa." Kwee Ceng akur, dari itu, mereka mengundurkan diri, untuk mencari tempat mondok dulu. Adalah kapan sang malam tiba, pada jam dua, mereka lantas menyantroni gedung komisaris itu. An-bu-su itu ada orang she Liu, ketika Kwee Ceng berdua Oey Yong masuk ke dalam gedungnya, ia lagi bersenang-senang makan minum sambil memeluki gundiknya. "Hamba hendak melaporkan urusan militer penting!" kata Kwee Ceng sambil menjura. Lu An-bu-su kaget sekali. "Ada pembunuh!" ia menjerit sambil menolak gundiknya, ia sendiri nelusup masuk ke kolong meja. Kwee Ceng bertindak mencekal tubuh orang, untuk diangkat. "An-bu jangan takut!" ia berkata. "Hamba tiak niat membikin celaka." Ia mendorong tubuh si pembesar hingga dia duduk pula di tempatnya. Pembesar itu masih ketakutan, mukanya pucat, tubuhnya bergemetaran. Segera muncul beberapa puluh serdadu pengiring yang hendak menolongi pembesarnya, tetapi Oey Yong, dengan mengancam dada si pembesar dengan pisau belatinya, menahan majunya mereka itu, hingga mereka hanya bisa berteriakteriak. "Perintah mereka jangan membuat berisik!" Oey Yong titahkan si An-bu-su. "Mari kita bicara!" Dengan bingungnya An-bu-su itu memerintahkan orang-orangnya diam. Dengan begitu sunyilah ruangan itu. Kwee Ceng mengeluh di dalam hatinya menyaksikan pembesar yang berpangkat tinggi dan bertanggung jawab besar ini adalah satu kantung nasi, tetapi ia tidak bisa mengubah orang, maka ia lantas menyampaikan laporannya hal angkatan perang Mongolia bakal datang menyerang kota Siangyang, yang hendak diserbu secara menddadak. Ia minta pembesar ini segera mengambil tindakan memperkuat penjagaan, guna menyambut musuh. Lu An-bu-su tidak mempercayai laporan itu tetapi ia menyahuti: "Ya, ya!" "Kau dengar tidak?" Oey Yong yang melihat orang bergemetaran saja. "Dengar, dengar..." "Kau dengar apa?" "Aku dengar bangsa Kim bakal menyerbu dan kita mesti bersiap sedia......" "Bangsa Mongolia, bukan bangsa Kim!" Oey Yong menjelaskan. Pembesar itu heran. "Bangsa Mongolia" Tidak bisa jadi!" katanya. "Bangsa Mongolia itu telah berserikat sama perdana menteri kita untuk bersama menyerang bangsa Kim! Tidak nanti dia mengandung lain maksud..." Oey Yong sebal, matanya mendelik. "Aku bilang bangsa Mongolia!" ia membentak. "Bangsa Mongolia!" Pembesar itu ketakutan. "Ya, bangsa Mongolia, bangsa Mongolia..." katanya seraya mengangguk-angguk. Kwee Ceng lantas kata, sabar tetapi bersungguh-sungguh. "Kota ini dan penduduknya berada di dalam perlindungan tayjin, kota Siangyang ini juga tirai dari kerajaan Selatan kita, maka itu au minta tayjin perhatikan baik-baik." "Benar, saudara benar apa yang kau bilang," kata pembesar itu. "Sekarang persilahkan!" Kwee Ceng dan Oey Yong menghela napas, tanpa banyak omong lagi, mereka menyingkir dari gedung itu. Tapi mereka mendengar teriakan-teriakan di belakang mereka. "Tangkap orang jahat! Tangkap orang jahat!" Suara itu berisik dan kacau. Pulang ke tempat mondok mereka, muda-mudi ini menantikan sepak terjang si An-busu, tetapi dua hari lamanya mereka menanti dengan sia-sia. Kota tetap tenang, pihak pembesar itu tidak ada tindakan apa juga. "Pembesar itu busuk!" berkata Kwee Ceng. "Baik kita bertindak seperti yang diajari ayahmu! Kita binasakan dia, lantas kita bertindak!" "Pembesar anjing itu dibinasakan, dia tidak harus disayangi," kata Oey Yong. "Hanya musuk sudah bakal sampai dalam beberapa hari ini, tentara dan rakyat tentulah kacau karena mereka tidak ada yang pimpin. Bagaimana musuh bisa dilawan?" Kwee Ceng mengerutkan alisnya. "Benar sulit..." katanya. "Bagaimana sekarang?" Oey Yong berpikir, kemudian ia berkata: "Di dalam kita Co Toan ada sebuah dongeng, mungkin kita dapat menirunya. Itulah dongeng Hian Kho memberi hadiah kepada tentaranya. Kwee Ceng girang pula. "Yong-jie, membaca kitab itu ada kefaedahannya tak ada habisnya," ia berkata. "Dongeng itu dongen bagaimana" Coba kau ceritakan padaku. Mungkin kita dapat mencontoh. "Mencontoh tentu bisa, cuma itu tergantung kepadamu...." Si anak muda heran. "Apa?" ia menegaskan. Si nona tidak lantas menjawab, dia hanya tertawa. Kwee Ceng mengawasi, menanti cerita. Oey Yong berhenti tertawa, habis mana baru dia mulai: "Baiklah, nanti aku menuturkan. Di jaman Cun Ciu di negeri The ada seorang saudagar bernama Hian Kho. Dia berdagang dengan merantau. Satu kali, di tengah jalan dia bertemu dengan angkatan perang negeri Cin. Itulah angkatan perang yang menyerbu negeri The, negerinya sendiri. Negeri The tidak bersiap sedia, kalau musuh tiba secara mendadak, pasti negari The bakal kena dimusnahkan. Hian Kho itu saudagar tetapi dia mencintai negeri. Dia hendak menolong negerinya itu. Apa akal" Dia lantas membawa duabelas ekor kerbau kepada pasukan negeri Cin itu, dia menemui kepala perangnya. Dia kata bahwa dia menerima perintahnya raja The untuk menghadiahkan pasukan perang Cin itu. Dilain pihak, diam-diam dia mengirim kabar kilat kepada raja The, memberitahukan tentang datangnya musuh. Panglima negeri Cin mengira bahwa negeri The sudah bersiap sedia, dia tidak berani melanjuti gerakannya menyerbu negeri The, bahkan dia menarik pulang pasukan perangnya itu. "Tipu itu bagus sekali," berkata Kwee Ceng girang. "Tapi bagaimana kau kata tipu itu tergantung kepadaku?" "Ya, aku hendak pinjam tubuhmu." "Bagaimana itu?" "Bukankah ada disebut halnya duabelas ekor kerbau?" kata si nona tertawa. "Bukankah kau shio Goe?" Kwee Ceng berjingkrak. "Bagus, dengan jalan memutar kau mencaci aku!" katanya. Pemuda ini shio Coe, kelahiran tahun Goe, dan "Goe" itu artinya "kerbau". Maka ia mengulurkan tangannya, guna mengitik si nona, yang lantas berkelit sambil tertawa. Ia pun turut tertawa. "Sekarang begini aku niat bekerja," kata si nona, setelah mereka berhenti bergurau. "Malam ini kita menyeludup masuk ke dalam kantor An-bu-su, kita mencuri uang emas dan batu permata, lantas besok aku akan menyamar sebagai seorang pria, aku dandan sebagai pegawai negeri, dengan membawa uang itu, aku pergi memapakai angkatan perang Mongolia, guna menghadiahkan mereka. Kau sendiri mesti bekerja di dalam kota, mencoba bekerja sama tentara dan rakyat, untuk mengatur pekerjaan." Kwee Ceng akur, ia girang hingga ia bertepuk tangan. Malam itu juga mereka bekerja. Lu An-bu-su banyak simpanan uang dan barang permatanya. Sampai terang tanah, pencurian mereka tidak ada yang ketahui. Paginya Oey Yong lantas bekerja. Surup ia menyamar sebagai pria, sebagai pegawai negeri. Dengan naik kuda merah, ia pergi ke luar kota utara, guna menyambut angkatan perang Mongolia. Ia membawa satu kantung yang besar. Di hari kedua, tengah hari, Kwee Ceng pergi kota Utara, untuk memandang jauh keluar. Ia menantikan kekasihnya. Dengan lekas ia melihat kuda merahnya lari mendatangi, ia lantas menyambut, Oey Yong menahan kudanya, ia mengasih lihat roman bergelisah, ketika ia membuka suara, suaranya sedikit bergemetar. Ia kata; "Tentara Mongolia itu mungkin berjumlah belasan laksa. Mana dapat kita melawan mereka?" Kwee Ceng pun kaget. "Begitu banyak?" ia menegasi. "Kelihatannya Jenghiz Khan ingin dengan sekali bekerja dapat memusnahkan kerajaan Song," berkata si nona. "Ketika aku tiba pada mereka, aku bertemu sama Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo punggawa terdepannya, aku menyerahkan hadiah itu. Dia tidak mendapat tahu bahwa kita sudah mendapat ketahui maksud kedatangannya ini, ia mengatakan dia membawa angkata perang buat menyerang negari Kim, bukannya negeri Song. Waktu kebeber rahasianya, dia kaget, lantas dia menahan pasukan perangnya itu. Mungkin dia mau melaporkan dulu kepada kepala perangnya." "Kalau mereka terus pulang, itulah bagus," kata Kwee Ceng. "Kalau mereka maju terus, aku khawatir...." Oey Yong pun mengerutkan alis. "Aku telah memikir satu hari satu malam, aku tidak juga mendapat akal," ia berkata. "Engko Ceng, kalau kita bertempur satu lawan satu, cuma ada dua tiga orang yang dapat melayani kita, tapi kita mesti menghadapi orang ribuan dan laksaan, itulah hebat. Bagaimana sekarang?" Kwee Ceng menghela napas. "Sebenarnya rakyat Song jauh terlebih besar dari rakyat Mongolia," katanya kemudian, "Di antara tentara dan rakyat pun banyak yang setia kepada negara, kalau mereka itu dapat bersatu, tak usah kita takuti tentara Mongolia itu. Sayang banyak pembesar negeri bangsa tolol dan bernyali kecil, bisanya cuma memeras dan menyiksa rakyat, mereka mencelakai negeri tanpa merasa...." "Kalau terpaksa, biarlah kita mencoba melabrak tentara Mongolia itu," kata Oey Yong. "Kita boleh mengandalkan kuda merah kita......" "Yong-jie, sikapmu keliru," kata Kwee Ceng sungguh-sungguh. "Kita telah mempelajari kitab perangnya Gak Bu Bok, kenapa kita tidak mau meniru juga kegagahannya yaitu membela negeri dengan menghabiskan kesetiaan kita" Kalau kita berkorban untuk negera, tidak kecewa kita telah dirawat orang tua dan di didik guru kita!" Si nona menghela napas. "Aku memang telah menduga pasti datang hari seperti ini," katanya. "Baiklah, mati atau hidup, kita bersama!" Setelah memikir demikian, hati mereka menjadi sedikit lega. Lantas mereka pulang ke pondokan mereka. Kali ini mereka menjadi semakin erat satu dengan lain. Demikian mereka minum arak sampai jam dua. Di saat mereka mau masuk tidur, mereka dibikin kaget dengan suara riuh di luar kota. "Mereka tiba!" kata si nona. "Ya!" sahut si pemuda. Keduanya lari keluar, untuk terus ke tembok kota. Mereka menyaksikan rakyat negeri, tua dan muda, pria dan wanita, berkumpul di luar kota, di belakang mereka berduyun-duyun yang lainnya. Mereka mau masuk ke dalam kota tetapi mereka dihalangi. Pintu kota dikunci rapat. Kemudian datang pasukan serdadu yang dikirim An-bu-su, yang siap dengan panahnya. Mereka itu memerintahkan rakyat itu mengundurkan diri. "Tentara Mongolia datang menyerang! Lekas buka pintu, kasih rakyat masuk!" rakyat itu berteriak-teriak. Pintu kota tetap tidak dibuka. Saking takutnya, rakyat itu berteriak-teriak lebih hebat dari semula tdai, pula banyak yang menangis. Kwee Ceng berdua memandang ke tempat jauh, maka mereka tampak cahaya api bergulat-legot bagaikan naga api yang mendatangi. Itulah pasukan depan dari angkatan perang Mongolia. Terang mereka itu tidak kembali ke negerinya hanya maju terus. Jadi daya upaya menghadiahkan mereka uang dan permata itu tidak memberi hasil. Kwee Ceng berduka, hatinya giris. Ia tahu sifatnya Jenghiz Khan. Untuk menyerang kota, selalu tentara Mongolia memaksa rakyat maju di muka. Itu artinya rakyat dan tentara kota bakal bertempur........ Dalam keadaan seperti itu, dengan mendadak anak muda ini mengambil keputusannya. Dengan tiba-tiba ia berseru-seru: "Kalau kota Siangyang pecah, tidak ada satu juga yang bakal hidup! Maka itu siapa laki-laki sejati, mari turut aku menerjang musuh!" Punggawa si pintu kota itu orang kepercayaan Lu An-bu-su, dia gusar sekali melihat perbuatan Kwee Ceng. Dia berteriak dengan titahnya: "Tangkap orang itu! Dia mengacau rakyat!" Tapi Kwee Ceng sudah bertindak. Ia lomat turun, punggawa itu disambar dadanya, diangkat tubuhnya, maka dilain saat, ialah yang menggantikannya duduk di atas punggung kudanya punggawa itu. Di antara tentara itu ada banyak yang gagah dan mencinta negara, mereka tidak tega menyaksikan rakyat di luar kota berteriak-teriak dan menangis minta dibukakan pintu kota, mereka menyambut sepak terjang Kwee Ceng itu. Mereka tidak mengambil mumat titah punggawanya itu. Kwee Ceng melihat sikapnya pasukan itu, senang hatinya. "Lekas perintahkan membuka pintu kota!" ia memberikan perintahnya. Si punggawa menyayangi jiwanya, ia menurut dengan terpaksa. Begitu pintu kota dibuka, bagaikan banjir, rakyat berlomba masuk ke dalam kota. Kwee Ceng menyuruh Oey Yong menjagai si punggawa. Ia kata, ia sendiri, dengan menunggang kuda dan membawa tombak, mau pergi ke luar kota. "Baik," kata si nona, yang terus menitahkan si punggawa melepaskan baju perangnya, untuk Kwee Ceng yang pakai, setelah mana, ia membisiki kekasihnya itu: "Dengan memakai firman palsu, pergi kau membawa tentara ke luar kota." Kwee Ceng girang. Akal itu baik sekali. Maka ia maju untuk segera berseru: "Atas firman Sri Baginda Raja, maka An-bu-su dari kota Siangyang, yang tolol dan memandang enteng kepada musuh, dipecat dari jabatannya! Semua tentara mari turut aku menangkis musuh!" Dengan bantuan tenaga dalamnya, Kwee Ceng membuat suaranya keras dan terdengar jauh, biarnya di luar kota sangat berisik, semua serdadu mendengarnya dengan nyata. Banyak serdadu yang bersangsi atas titah yang datang mendadak ini tetapi juga banyak yang tahu, An-bu-su mereka memang tolol dan mereka mengerti pentingnya melawan musuh itu, dari itu segera terdengar seruan sambutan yang meriah. Sebentar saja Kwee Ceng sudah pergi keluar kota bersama kira-kira tiga ribu serdadu. Ia menyesal akan melihat tentara itu tidak tertib. Mana bisa mereka dipakai berperang melawan musuh yang berjumlah besar" Ia lantas ingat akan siasat perangnya Gak Hui, yang membilang, disaat terjepit baiklah menggunakan akal muslihat. Maka ia lantas menitahkan seribu serdadu pergi ke belakang gunung sebelah timur, untuk bersembunyi. Mereka dipesan, kalau mereka mendengar pertandaan letusan meriam, mereka mesti bersorak-sorai sambil menggoyanggoyangkan bendera tetapi jangan keluar berperang. Seribu serdadu lebih pun diperintah sembunyi di belakang gunung barat dengan tugas serupa. Rakyat yang dikasih masuk ke dalam kota, sampai fajar barulah semua dapat masuk dengan selamat. Sebagai ganti mereka segera terlihat datangnya musuh. Berisik bunyinya tetabuhan perang mereka itu serta tindakan kaki kudanya. Debu pun mengepul tinggi. Selagi musuh mendatangi, Oey Yong menotok punggawa yang diserahkan padanya itu. Ia melemparkannya ke belakang pintu, ia lantas minta kuda dan tombak dari satu serdadu, untuk ia menyusul Kwee Ceng. "Pentang keempat pintu kota," Kwee Ceng memberikan titahnya pula. "Semua rakyat mesti sembunyi di dalam rumah! Siapa yang lancang ke luar, dia akan dihukum potong kepala!" Perintah itu ditaai terutama oleh rakyat, tanpa titah juga tidak nanti mereka berani muncul di luar rumah. Di dalam gedung An-bu-su, pembesar itu bersembunyi di bawah kasur dengan tubuh bergemetaran. Pasukan Mongolia telah sampai dengan cepat. Mereka lantas menampak dipentangnya pintu kota dan kotanya sepi sedang di muka jembatan gantung ada berdiri sepasang pria dan wanita, yang menunggang kuda dan bersenjatakan tombak. Punggawa yang memimpin pasukan depan itu, seorang cianhu-thio, menjadi heran, maka ia lantas memberi laporan kepada atasannya, seorang banhu-thio. Dia ini tidak kurang herannya. Dengan lantas ia maju ke depan untuk meyaksikan sendiri. Banhu-thio ini terkejut ketika mengenali Kwee Ceng. Selama berperang ke Barat, Kim Too Huma itulah yang paling berakal dan gagah, sebagaimana kota Samarkand dirampas oleh tentara berpayungnya.... Ia juga bercuriga melihat pintu kota dipentang dan kotanya kosong. Dengan cepat ia menghampirkan, untuk turun dari kudanya, guna memberi hormat. Ia memanggil: "Kim Too Huma yang mulia!" Kwee Ceng membalas hormat, tanpa membilang apa-apa. Segera banhu-thio itu mengundurkan diri, sembari mengundurkan pasukannya, ia mengirim kabar cepat kepada kepala perangnya. Satu jam kemudian, di situ muncul satu pasukan dengan benderanya yang besar. Pasukan itu dipimpin oleh seorang panglima muda, yang diiringi banyak punggawanya. Dialah pangeran keempat, Tuli, maka ia mengaburkan kudanya keluar dari barisannya, maju ke depan. "Anda Kwee Ceng!" ia berseru. "Kau baik?" Kwee Ceng mengaburkan kudanya, untuk memapaki. "Anda Tuli!" ia berseru. "Kiranya kau!" Biasanya, kalau mereka berdua bertemu, mereka saling rangkul, akan tetapi sekarang, mereka tidak datang terlalu dekat, sama-sama menahan kuda mereka. "Anda," menanya Kwee Ceng. "Kau mengepalai pasukan perang untuk menyerang negeri Song, bukankah?" "Aku menerima titah ayahku, aku tidak merdeka," menyahut Tuli. "Aku minta kau suka memberi maaf kepadaku." Kwee Ceng memandang ke pasukan musuh, yang entah berapa laksa jumlahnya. "Kalau pasukan berkuda ini menyerbu, hari ini habislah jiwaku..." pikirnya. Lantas ia menghadapi pula pangeran Mongolia itu, untuk berkata: "Baiklah! Nah, kau ambillah jiwaku!" Tuli terperanjat. Ia pun segera berpikir; "Dia sangat pandai mengatur tentaranya, aku bukan tandingannya. Lagi pula, kita ada bagaikan saudara kandung, mana dapat aku merusak persaudaraan kita...?" Oleh karena ini, ia menjadi ragu-ragu. Oey Yong menyaksikan semua itu, ia lantas berpaling ke arah kota, tangan kanannya diulapkan. Tentara di dalam kota melihat isyarat itu, dengan lantas mereka menyulut meriam. Maka bergemalah suara ledakannya, suara mana disusul sama sambutan tentara yang bersembunyi di belakang gunung timur, mereka itu bersorak-sorak dan bendera mereka digoyangkan pergi datang. Tuli kaget hingga air mukanya berubah. Ledakan meriam yang pertama disusul sama yang kedua dan ini disusul pula sambutan tentara yang bersembunyi di gunung sebelah barat. "Celaka, aku terjebak!" pikir pangeran ini kaget. Tidak tempo lagi, ia menitahkan pasukan perangnya mundur sampai tigapuluh lie. Untuk ini, tentaranya itu cuma perlu membalik tubuh, lantas pasukan belakang menjadi pasukan depan dan pasukan depan sendirinya menjadi pasukan belakang. Tuli tidak tahu berapa besarnya pasuka musuh, tetapi karena dia sudah jeri terlebih dulu terhadap Kwee Ceng, mundur adalah jalan yang paling aman untuknya. Melihat mundurnya musuh, Kwee Ceng berpaling kepada Oey Yong dan terawa, dan si nona menyambutnya sambil tertawa juga. "Engko Ceng, aku memberi selamat padamu untuk Khong Shia Kee ini!" si nona memuji. "Khong Shia Kee" itu ialah akal muslihat mengosongkan kota guna menggertak musuh. Akal itu juga dapat dipakai untuk menjebak musuh masuk ke dalam kota, untuk sesampainya di dalam kota nanti dikepung. Habis tertawa, Kwee Ceng mengasih lihat roman berduka. "Tuli itu gagah dan ulet," ia berkata. "Sekarang ia mundur tetapi besoknya ia pasti bakal datang pula. Bagaimana kita melawannya. Oey Yong menginsyafi itu, ia lantas berpikir. "Aku mempunyai satu daya, hanya aku khawatir, lantaran kau ingat persaudaraanmu, kau tidak sudi turun tangan melakukannya," katanya kemudian. "Kau menghendaki aku pergi membunuh dia secara diam-diam?" tanyanya. "Dialah putra terkasih dari Jenghiz Khan," berkata si nona. "Dia juga beda daripada panglima-panglima perang lainnya, satu kali dia mati, mesti musuh mundur sendirinya!" Kwee Ceng bertunduk, ia berdiam. Mereka pulang kedalam kota. Semua tentara ditarik pulang, semua pintu kota ditutup rapat dan dijaga, meski begitu, untuk sesaat, kota nampaknya kacau. Kapan An-bus-u mendapat laporan bagaimana dengan omong sedikit saja Kwee Ceng berdua dapat mengundurkan musuh, sendirinya dia pergi menemui muda-mudi itu untuk menghanturkan terima kasih. Kwee Ceng menggunai ketika itu untuk membicarakan soal pembelaan kota. An-bu-su itu menjadi kecil hatinya dan lemas tubuhnya, apabila ia mendapat keterangan musuh bakal datang pula besok, dia sampai tidak dapat membuka suaranya, kemudian berulang-ulang dia memberi titahnya: "Siapkan joli, pulang!" Ia telah mengambil keputusan untuk kabur meninggalkan kota. Kwee Ceng berduka, meski Oey Yong telah matangi sayur yang lezat, ia tidak bernafsu berdahar, apa pula kapan sang malam datang, selagi sang jagat gelap gulita, dari sana sini di dalam kota terdengar tangisan rakyat-rakyat yang ketakutan. Ia membayangi, besok siang tentulah tidak bakal ada tentara atau rakyat, semua bakal dibasmi tentara Mongolia yang ganas itu. Di depan matanya berkelebat peristiwa dahsyat, kejam dan menyedihkan di kota Samarkand. "Yong-jie," katanya mendadak seraya tangan kirinya menggeprak meja. "Di jaman dahulu untuk negara orang dapat membunuh orangnya atau sanak sendiri, maka itu sekarang mana dapat pula aku memikirkan saudara angkat!" Oey Yong menarik napas panjang. "Memang urusan kita ini sulit sekali," katanya. Kwee Ceng telah mengambil keputusan, maka ia lantas menyalin pakaian, setelah itu bersama Oey Yong ia menunggang kuda merahnya ke utara. Setelah mendekati kubu tentara Mongolia, mereka menunda kuda mereka di kaki gunung, lalu dengan berjalan kaki mereka menghampirkan musuh, guna mencari tendanya Tuli. Tidak sulit untuk mereka mencarinya. Lebih dulu Kwee Ceng membekuk dua serdadu ronda, ia totok mereka, sesudah orang tidak berdaya, ia merampas seragamnya, untuk ia dan Oey Yong mengenakannya. Dengan begini, mereka dapat berjalan dengan merdeka. Ia mengerti bahasa Mongolia, ia juga mengerti segala aturan ketentaraan, dari itu, dengan cepat mereka tiba di kemah Tuli. Karena langit gelap, mereka dapat pergi ke belakang, di mana mereka menyembunyikan diri sambil mengintai. Tuli masih belum beristirahat, dia bahkan berjalan mondar-mandir, romannya bergelisah. Lalu terdengar mulutnya mengucapkan: "Kwee Ceng, anda! Anda Kwee Ceng!" Kwee Ceng terkejut, ia menyangka Tuli sudah mengetahu kedatangannya itu hingga ia mau menyahuti. Oey Yong melihat gerakan kawannya, ia menutup mulut orang. "Ah....!" pikir si anak muda, yang tersadar. Ia berduka. Kemudian di dalam hatinya ia mengatai ketololannya itu. Oey Yong menghunus pisau belatinya sambil ia berbisik di kuping kekasihnya, "Lekas turun tangan! Seorang laki-laki mesti berkeputusan tetap, tidak boleh bersangsi!" Berbareng dengan itu, di kejauhan terdengar suara laratnya kuda, lantas tertampak datangnya satu penunggang kuda ke kemah besar itu. Kwee Ceng tahu, itu urusan penting. "Tunggu dulu," ia bisiki si nona. "Kita dengar dulu, kabar penting apa ini." Penunggang kuda itu seorang pesuruh dengan seragam kuning. Dia lompat turun dari kudanya, untuk terus lari masuk ke dalam tenda, setelah memberi hormat kepada Tuli, dia berkata: "Tuan pangeran, ada titah dari Khan yang agung!" "Apakah kata Khan yang agung?" Tuli tanya. Bangsa Mongolia itu belum lama mempunyai bahasa tulisny, sudah begitu Jenghiz Khan tidak dapat membaca dan tidak dapat menulis, maka itu, kalau dia mengeluarkan titah, dia memberikannya secara lisan, supaya si pesuruh tidak lupa, ia menyuruh menghapalkannya dulu hingga orang ingat dan tidak melupakannya lagi. Pula titah itu disuarakan hingga mirip dengan nyanyian. Demikian utusan ini, sambil berlutut dan mendekam, dia membacakannya di luar kepala titah khannya yang agung itu. Baru orang menyebut tiga baris kata-kata, Kwee Ceng sudah menjadi kaget sekali, sedang Tuli lantas mengeluarkan air mata. Jenghiz Khan sudah berusia lanjut, selama yang belakangan ini,ia terganggu kesehatannya, setelah mendapat firasat yang dia tidak bakal dapat hidup lebih lama pula, ia mengeluarkan titah memanggil Tuli segera pulang untuk bertemu dengannya. Di penutup firman lisan itu, khan itu juga memberitahukan bahwa dia kangen dengan Kwee Ceng, dari itu dia memesan, kalau di Selatan itu putranya bertemu sama pemuda she Kwee itu, supaya si anak muda diajak bersama ke Utara guna mereka, khan dan yang agung dan si anak muda, mengambil selamat berpisah.... Mendengar samapi di situ, dengan pisau belatinya Kwee Ceng menggurat memecahkan tenda, ia berlompat masuk. "Anda Tuli, aku akan pergi bersama kau!" katanya berseru. Tuli kaget bukan main, akan tetapi setelah mengenali si anak muda, ai girang bukan buatan. Kedua lantas saling merangkul. Si utusan mengenali Kwee Ceng, dia memberi hormat sambil terus berlutut dan Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo mengangguk, terus dia berkata: "Kim Too Huma, Khan yang agung menitahkan supaya Huma yang mulia pergi ke Kemah Emas untuk menemuinya!" Hati Kwee Ceng tercekat mendengar ia tetap dipanggil Kim Too Huma. Tentu sekali ia khawatir Oey Yong bercuriga. Maka ia lari molos di tenda, akan melihat kawannya itu, tangan siapa ia terus tarik seraya berkata: "Yong-jie, mari kita pergi bersama untuk nanti pulang bersama!" Nona itu berdiam. "Yong-jie, kau percaya aku atau tidak?" Kwee Ceng tanya. Tiba-tiba nona itu tertawa dan kata: "Jikalau kau memikir untuk menjadi huma atau hu-hoe, akan aku potong kepalamu!" "Hu-ma" atau menantu raja, huruf "ma"-nya berarti "kuda", karena itu Oey Yong menambahkan dan menyebut "hu-goe" untuk menggoda. Huruf "goe", itu berarti "kerbau" Kwee Ceng mempertemukan si nona dengan Tuli, sedang Tuli sudah lantas memberi perintah untuk tentara bersiap sedia, untuk besok pagi mereka pulang ke Utara. Kwee Ceng bersama Oey Yong pulang dulu, untuk mencari kuda dan burung mereka, tetapi besoknya pagi mereka kembali ke pasukan perang Mongolia itu, untuk turut berangkat bersama. Tuli khawatir tidak keburu bertemu bersama ayahnya, ia memberi kekuasaan kepada wakilnya, untuk memegang pimpinan. Ia sendiri, bersama-sama Kwee Ceng dan Oey Yong berangkat lebih dulu dengan mengaburkan kuda mereka. Maka itu, belum sampai satu bulan, mereka telah tiba di Kemah Emasnya Jenghiz Khan. Dari jauh-jauh Tuli telah melihat bendera di kemah ayahnya masih terpencar seperti biasa, hatinya menjadi sedikit nlega, meski begitu, hati itu toh berdebaran. Ia telah mengasih kudanya lari sekerasnya untuk sampai di kemah itu. Kwee Ceng menahan kudanya, pikirannya bekerja keras. Ia ingat budinya khan yang agung itu, yang sudah menolong dan memelihara ia dan ibunya, sebaliknya juga, ia lantas ingat kematian yang menyedihkan dari ibunya itu. Jadinya khan itu berbareng menjadi tuan penolong dan musuh besar! Ia jadi menyayangi dan membenci! Bagaimana sekarang" Selama di Siangyang dan tengah jalan, ia ingin sekali menemui tuan penolong itu, tetapi sedetik ini..... Maka ia berdiam sambil tunduk. Tidak lama terdengarlah suara terompet, lalu di muka markas terlihatlah munculnya dua baris serdadu pengiring. Setelah itu nampak Jenghiz Khan keluar Pengejaran Ke Cina 3 Wiro Sableng 187 Si Pengumpul Mayat Si Tangan Sakti 2