Tersesat Di Rawa Onom 2
Tersesat Di Rawa Onom Karya Aan Merdeka Permana Bagian 2 dengan semestinya. "Ada sebuah proyek besar yang akan kami kerjakan, yaitu mengeringkan Rawa Onom," tutur Bendara Wedana. "Dan lantaran ini sebuah pekerjaan besar, maka jauh-jauh hari sebelumnya, harus diadakan beberapa perundingan. Semua camat dan lurah se Kewedanaan Rancah pasti hadir," kata Bendara Wedana. Mendengar ini, tua kampung sedikit terperangah. "Apakah wakil dari Kampung Handiwung akan diikut-sertakan, Bendara?" tanyanya. "Tentu tidak, sebab sudah terwakili oleh lurah yang membawahi wilayah ini. Tapi kenapa, Tua Kampung?" Bendara Wedana menoleh. "Mengeringkan Rawa Onom sedikitnya akan mempengaruhi kehidupan kami. Barangkali rakyat di sini pun musti diajak urun-rembuk. Paling tidak ditanya pendapatnya, Bendara ..." kata Tua Kampung. Ucapan ini tentu terlalu berani bagi orang setingkat tua kampung. Camat, lurah bahkan upas nampak sudah mengerutkan kening. namun untuk yang ke sekian kalinya, Bendara Wedana hanya tersenyum tipis. "Itu akan kami rundingkan, apakah setingkat tua kampung memang perlu diikutsertakan pula?" kata Bendara Wedana. Percakapan tak dilanjutkan sebab kokok ayam semakin nyaring terdengar. Kata Bendara, rombongan harus sudah pergi sebab rapat di Cisaga akan berlangsung pagi hari. Maka kendati tua kampung mencoba menahannya, rombongan akan tetap berangkat. "Tak apa kalau tetap begitu. Tapi di tengah jalan, harap jangan menoleh ke belakang," tutur tua kampung membuat yang lain tercengang. Tak terkecuali, Lendra pun tercengang. Ucapan seperti ini pernah dia dengar melalui mulut Nyi Indangwati. Dulu ketika dia mau pulang dari sebuah taman indah, Nyi Indangwati berpesan agar ketika berjalan pulang jangan menoleh ke belakang. Dan manakala peringatan itu tak digubris, tiba-tiba jalanan lengang yang indah dengan taman bunga berubah menjadi hutan belukar yang gelap dan pekat. "Apakah kejadian aneh itu akan terulang kembali?" tuturnya dalam hati. "Sebaiknya kita turuti saja amanat ini, Bendara ..." kata Lendra setengah berbisik. "Mari kita pulang ..." sambut Bendara Wedana membenahi kain kebaya yang agak kusut Tersesat di Rawa Onom > Aan Merdeka P > published by buyankaba.com 25 lantaran lama duduk di depan balandongan. Ketika semuanya bersiap untuk berangkat, Mang Sajum celingukan kesana-kemari. "Dayat! Dayat! Ke mana anak itu, ya?" tanyanya.Semua orang baru sadar kalau Jang Dayat tak berada di tempat. "DI mana Si Dayat?" tanya pula Bendara Wedana. "Tadi ikut Nyi Tarsih ke belakang balandongan, Gamparan ..." jawab seorang penari dengan senyum dikulum. "Siapa Nyi Tarsih?" tanya Bendara. "Dia sesama penari juga. Dasar Si Tarsih, dia mudah akrab dengan siapa saja ..." jawab tua kampung. "Pemuda itu kelelahan banyak menari tayub. Barangkali numpang tidur di rumah Nyi Tarsih, Gamparan ..." kata penari tadi. "Ah, dasar Si Dayat ..." keluh Mang Sajum. "Tapi, biarlah. Kalau sudah jodoh tak apa. Kami tak melarang pasangan muda-mudi memadu janji kasih, asalkan kelak berakhir di pelaminan ..." kata tua kampung. "Jadi, bagaimana ini?" tanya Bendara bingung. "Biarkan tinggal pemuda itu. Kami akan menjaganya, Gamparan ..." kata tua kampung. Akhirnya dengan hati sedikit waswas, Bendara Wedana mengajak semuanya segera berangkat. "Pukul sembilan pagi kita harus sudah berada di Cisaga," tutur Bendara. Rombongan pun pergi meninggalkan Kampung Handiwung. Rencananya, mereka akan mengambil kuda yang dititipkan di kampung tetangga. Jalanan masih gelap sebab suasana masih dinihari. Camat Cisaga bertanya pada Kuwu Cibeurih pukul berapa sekarang. Maka Kuwu Cibeurih segera memasukkan tangannya ke saku pakaian bedahan lima untuk mengambil jam saku. Namun jam saku tak ditemuinya. "Waduh, jangan-jangan tertinggal di Kampung Handiwung ..." keluhnya. Sambil berkata begitu, kepalanya menoleh ke belakang. "Hai, jangan toleh ke belakang!" teriak Lendra. Namun peringatan ini tak berarti sebab Kuwu Cibeurih sudah terlanjur menoleh. Akibatnya sungguh mencengangkan. Jalanan yang tadinya rata dan bersih dengan cahaya damar sewu di sepanjang dua sisi jalanan mendadak hilang dan suasana menjadi gelap-gulita. Jalanan pun yang tadinya rata dan kering, telah berupa menjadi becek dan berlumpur. Kaki Upas Karta malah melesak masuk ke dalam rawa sebatas lutut. "Wah, kok jadi begini?" tanyanya heran. Hanya Lendra yang tak heran. Namun kendati begitu, tetap saja jiwanya bergetar. Bahwa kehidupan nyata ini bersanding dengan kehidupan gaib, kini dipercaya penuh olehnya. Tersesat di Rawa Onom > Aan Merdeka P > published by buyankaba.com 26 "Kau mungkin sudah tahu akan kejadian-kejadian aneh ini, Lendra ..." gumam Mang Sajum. Lendra mengangguk. Bahkan Bendara Wedana pun pelan-pelan mengangguk. "Harap Bendara percaya kalau beberapa waktu lalu sebenarnya saya tidak mati, Gamparan ..." gumam Lendra. Maka untuk kedua kalinya Bendara Wedana mengangguk pelan. "Jadi, bagaimana akal kita?" tanya Upas Karta. "Akalnya, ya jungkat kakimu jangan dibiarkan melesak seperti itu, Mas Karta ..." kata Mang Sajum sambil membantu menggapai kaki Upas Karta. Dibantu dengan tenaga tarikan Lendra, maka kaki Upas Karta mulai bisa ditarik. "Maksudku, bagaimana akalnya agar kita terbebas dari kungkungan misteri gaib ini, Sajum?" tanya Upas Karta bingung dan suaranya bergetar. "Justru kini kita terbebas dari dunia gaib," kata Mang Sajum. Kata Mang Sajum, mereka kini terjebak di kubangan lumpur rawa. Tapi, ya inilah kehidupan nyata. "Barusan kita masuk ke kehidupan gaib, Gamparan ..." kata Mang Sajum, membuat Upas Karta bergidik. "Sudahlah. Mari kita tinggalkan saja tempat ini," gumam Bendara Wedana sambil meninggikan kain batiknya. Maka mereka berjalan dengan susah-payah. Dan perjalanan kali ini terasa amat lama dan amat melelahkan. Dinihari pun seperti enggan berubah menjadi subuh sebab di ufuk timur seperti tak ada tanda-tanda berkas cahaya walau selintas. Di saat dinihari yang seharusnya berudara dingin, hampir semua anggota rombongan basah kuyup karena cucuran keringat. Sialnya, cucuran keringat ini kini ditambah dengan cucuran air hujan. Semua orang sungguh tak mengerti, mengapa cuaca tiba-tiba menjadi mendung dan hujan turun dengan derasnya. Hujan deras ini disertai dengan kilatan halilintar dan bunyinya amat memekakkan telinga. Maka perjalanan jadi semakin susah karena jalanan jadi semakin becek. Namun Bendara Wedana memerintahkan agar semua orang melanjutkan perjalanan dengan tenang dan hati-hati. "Kita sial. Padahal tadinya kita akan berburu ke Rancabingung ..." keluh Kuwu Cibeurih. Setelah berjalan beberapa lama dengan susah-payah, ahirnya tiba juga di kampung di mana kuda dititipkan. Di tapal-batas kampung, hujan mulai reda. Bahkan rupanya di tempat ini tak ada hujan sama-sekali. Jalan setapak di kampung ini kering dan tak pernah terguyur hujan. Di saat terang-tanah, mereka menemukan kuda-kuda mereka terpancang di beberapa batang pohon yang jauh dari perumahan. Lendra tercenung. Padahal kemarin sore, kuda itu dititipkan di halaman rumah penduduk. Ketika kuda dilepas talinya, dari jauh nampak beberapa petani tengah memanggul cangkul. Mang Sajum mengucapkan terima-kasih bahwa kuda mereka aman di sini. Namun penduduk malah melenggak heran. Kata mereka, tak ada penduduk yang merasa dititipi kuda. "Tadi malam tugur (ronda) hilir-mudik ke sini. Tak ada siapapun di sini, apalagi kuda," kata petani. Tersesat di Rawa Onom > Aan Merdeka P > published by buyankaba.com 27 "Nah, ini kuda, kan?" kata Upas Karta menunjuk kuda miliknya. "Ya, memang itu kuda. Tapi tentu para juragan yang bawa sendiri barusan ..." tutur penduduk lagi sambil senyum, sebab mereka mengira pendatang asing ini lagi membanyol. Bendara Wedana bertanya perihal nama kampung ini. Ini Kampung Babakan, masuk ke Desa Ciminyak. Sepagi ini, Gamparan dari mana saja?" tanya penduduk. Maka Bendara Wedana berkata kalau rombongan baru saja pulang dari Kampung Handiwung. "Kampung Handiwung" Serasa tak ada kampung bernama itu, kecuali Pulo Handiwung di wilayah kawasan Rawa Onom. Gamparan dan semua rombongan nampak basah-kuyup, rupanya menyebrangi Pulo Handiwung sambil berenang di rawa, ya?" tanya penduduk heran. Sudah barang tentu Upas Karta marah dibuatnya. "Mana bisa kami berenang di rawa malam-malam" Kami ini kehujanan. Apa tak dengar di saat dinihari hujan deras dan halilintar bersahutan?" tanya Upas Karta. "Hujan" Di sini tak ada hujan, apalagi halilintar bersahutan," gumam penduduk membuat rombongan kembali bingung. "Sudahlah. Ini bagian dari kesialan kita, Karta ..." gumam Bendara Wedana sambil naik kuda. Namun sebelum rombongan berangkat, semuanya teringat nasib Jang Dayat. "Kalau dia celaka, kita bertanggung-jawab," tutur Bendara. "Nasib Jang Dayat, biar serahkan pada saya, Gamparan ..." Lendra mengajukan diri. "Maksudmu, engkau akan jemput Jang Dayat" Kamu kan lagi sakit, Lendra?" kata Bendara Wedana. "Tak apa. Sakitnya saya, kan karena kegaiban. Maka saya akan kunjungi lagi dunia itu, Gamparan ..." kata Lendra. Bendara Wedana bimbang akan kesanggupan Lendra. Barangkali pejabat ini khawatir akan nasib pegawainya ini. Namun karena yang lain diam saja, maka Bendara Wedana terpaksa mengiyakannya. "Yang penting kau hati-hati. Bawa Jang Dayat dengan tak kurang suatu apa dan begitu pun dirimu," kata Bendara Wedana. "Saya akan junjung tinggi pesan ini, Gamparan ..." tutur Lendra menyembah hormat. Maka ketika rombongan berjalan ke arah selatan, Lendra berjalan menuju arah utara kembali. "Hati-hatilah Lendra!" teriak Mang Sajum. Lendra hanya bisa mengangguk pasti. Maka Lendra kini berjalan sendirian, melewati jalanan setapak yang kian lama kian mengecil dan menghilang sama-sekali. Hingga pada suatu saat, kakinya hanya melangkah di semak-belukar yang sedikit mengandung rawa dan tanah lembek. Lendra tak bisa memastikan, apakah tadi subuh memang benar terjadi hujan lebat dengan halilintar saling sambung-Tersesat di Rawa Onom > Aan Merdeka P > published by buyankaba.com 28 menyambung" Yang jelas, di sini hujan tak berbekas sebab sepanjang perjalanan, tanah selalu basah berawa. Sesekali Lendra musti berhenti untuk memeriksa kakinya yang terasa gatal. Dan bila kaki itu diperiksa, maka ketahuan rasa gatal terjadi lantaran lintah sebesar ibu jari melekat erat menyedot darah di bagian kaki. Lendra terus melangkah menuju wilayah Rancabingung. Rancabingung itu memang berada di wilayah Rawa Onom. Mungkin Pulo Handiwung pun berada di sekitar sini. Bila benar, maka Lendra jangan harap bisa menemukan Kampung Handiwung, sebab di dunia nyata, tak ada Kampung Handiwung. Yang ada hanyalah Pulo Handiwung, seperti apa yang dikatakan penduduk Kampung Babakan tadi. "Aku pun jangan harap menemukan jalan pedati yang besar dan rata, atau pun bisa menemukan deretan rumah-rumah bagus, sebab itu semua hanya ada di dunia gaib ..." tuturnya dalam hati. Tapi Lendra merasa, bisa menemukan Jang Dayat di dunia nyata ini pula. Dia berpikir berdasarkan pengalaman yang pernah menimpanya. Beberapa hari lalu, dia pun sempat terperosok ke dunia gaib, namun sebetulnya hanya sukmanya saja, sebab raga kasarnya tetap utuh berada di dunia nyata. Maka berdasarkan pengalaman ini, Lendra memastikan bisa menemukan tubuh Jang Dayat. "Semoga Jang Dayat tetap utuh ..." tuturnya dalam hati. Maksudnya, Lendra memohon pada Tuhan agar keselamatan Jang Dayat dilindungi. Kalau pun tubuh Jang Dayat ditemukan, maka dia minta agar tubuh itu tetap utuh menyertai jiwa dan rohnya. Rupanya doa Lendra terkabul sebab jauh di depan, nampak tubuh Jang Dayat meringkuk di bawah pohon besar dan berjanggut. Jang Dayat masih hidup sebab tubuhnya bergerak-gerak. Gerakannya bahkan sedikit keras, bukan sekadar menggigil. Yang membuat Lendra terkejut, tubuh Jang Dayat sekujurnya dikerubuti oleh puluhan bahkan ratusan ekor lintah dan lipan. Binatang menjijikan itu nampak menyedot tubuh Lendra. Ada darah meleleh di setiap wilayah tubuh yang disedotnya. Lendra berupaya sekuat tenaga mencabuti tubuh lintah dan lipan. Lendra seperti bertarung keras melawan ratusan lintah atau lipan yang mengerubuti tubuh Jang Dayat. Kalau dia telat mencabuti binatang itu, maka darah Jang Dayat akan terkuras disedot binatang haus itu. Lintah-lintah itu sungguh keras dan bandel. Ketika ada yang bisa dicabut, maka ketika dilempar, lintah itu melata memburu tubuh Jang Dayat kembali. Begitu seterusnya. Itulah sebabnya Lendra hampir kewalahan. Akal satu-satunya, Lendra menghunus golok yang terdapat di pinggang Jang Dayat. Dengan mata golok, maka lintah lintah itu diserutnya seperti membersihkan lumut di tembok. Dengan begitu, banyak lintah bisa diusir pergi seketika. Setiap lintah yang jatuh ke tanah, segera dibabat habis dengan goloknya, begitu berulang-ulang. Begitu seluruh lintah bisa diusir pergi, begitu pula kesadaran Jang Dayat tumbuh. Tubuh Jang dayat menggeliat. Namun setelah celingukan dan bisa menatap Lendra, serta-merta dia memeluk tubuh Lendra sambil berteriak-teriak histeris. "Aduh, Lendra! Tolong aku! Selamatkan nyawaku! Selamatkan nyawaku!" teriaknya terlongong-longong. "Kau sudah aman! Kau sudah selamat!" jawab Lendra menepis-nepis pipi Jang Dayat agar kesadarannya segera pulih. Beberapa saat kemudian, kesadaran Jang Dayat bisa pulih secara utuh. Namun demikian, untuk beberapa saat dia tak bisa ditanya. Kerjanya hanya melongo Tersesat di Rawa Onom > Aan Merdeka P > published by buyankaba.com 29 saja sambil sesekali bergidik ngeri. Sesudah berselang lama, barulah Jang Dayat bisa ditanya. "Apa yang kau alami selama ini, Dayat?" tanya Lendra memegangi tengkuk Jang Dayat. "Aku dikepung satu pasukan bersenjata. Mereka mencecarku dengan berbagai senjata tajam. Darahku sudah berceceran di setiap bagian tubuhku. Untung kau menolong mengusir penyerang-penyerang itu ..." kata Jang Dayat sambil kembali bergidik. "Engkau diserang oleh Pasukan Galuh, Jang Dayat?" tanya Lendra. "Diserbu Pasukan Galuh" Sungguh edan dan sungguh sulit dimengerti. Penyerang itu malah menuduhku bagian dari Pasukan Galuh. Serbu prajurit Galuh. Bunuh prajurit Galuh! Begitu teriak mereka." "Kalau begitu, kau pasti diserbu oleh Pasukan Kerajaan Pulo Majeti, Jang Dayat ..." "Ya, benar. Mereka mengaku sebagai prajurit Kerajaan Pulo Majeti. Tapi eh ... dari mana engkau tahu, Lendra?" tanya Jang Dayat heran. Lendra hanya tersenyum tipis. "Mari kita pulang saja ke Rancah ..." ajak Lendra berjingkat. Dengan agak lemah, Jang Dayat pun berdiri. Beberapa bagian tubuhnya yang berbintik merah dan ada noda darah, dia seka satu persatu."Lendra, apakah aku ini mimpi atau apa" Bila disebut mimpi, kok tubuhku penuh luka?" tanya Jang Dayat terheran-heran. "Biar kita obrolkan nanti di rumah saja ..." tutur Lendra berjalan duluan. Jang Dayat ikut berlari kecil di belakangnya seperti takut tertinggal. "Kau musti hati-hati dengan perempuan, Lendra ..." "Oh, ya ...?" "Kalau permintaannya tak diturut, perempuan suka ngadat, memaksa, bahkan menekan." "Oh, ya?" "Nyi Tarsih bahkan memanggil beberapa prajurit Kerajaan Pulo Majeti. Dia katakan aku pengkhianat dari Galuh." tutur Jang Dayat kembali bergidik. "NYI Tarsih?" Tersesat Di Rawa Onom Karya Aan Merdeka Permana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Kau tahu penari cantik berhidung mancung yang memberikan soder padaku" Nah, dia seperti tertarik padaku. Matanya berbinar. Sebentar menatap sayu, sebentar menatap tajam penuh gairah. Ketika selesai tari tayub, kami turun balandongan dan pergi menuju sebuah rumah bagus, asri, tenang, sepi dan ada tempat tidur hangat di sana ..." "Lalu kau mencumbu?" tanya Lendra. "Tidak. Malah aku yang dia cumbu habis-habisan. Seluruh tubuhku dia elus mesra dan hangat. Sepasang pipiku dia kecup mesra. Dan manakala mulutku dia lumat habis, maka Tersesat di Rawa Onom > Aan Merdeka P > published by buyankaba.com 30 tergetar gelora berahiku. Namun ketika giliranku yang ingin bereaksi, malah dia menepis pergi. Ketika kekuatanku hampir roboh, dia malah meninggalkanku. Lendra, aku teriak-teriak tak kuat menahan birahi. Maka Nyi Tarsih bilang, mari kita bergumul sepuasnya. Mari kita menyatu hingga salah satu tak bisa lepas lagi. Tapi dengan satu syarat ..." "Apa itu?" "Gagalkan rencana pengeringan Rawa Onom!" kata Jang Dayat. "Lho" Itu kan rencana Bendara Wedana. Memangnya kau bisa apa?" tanya Lendra. "Itulah susahnya. Maka aku katakan, aku tak bisa laksanakan. Itu adalah rencana besar Bendara Wedana, sementara aku hanya orang kecil saja," kata Jang Dayat. "Betul itu." Tapi kata Nyi Tarsih, orang besar dan apalagi yang namanya pemimpin, musti menurut apa keinginan yang kecil. Maka aku disuruhnya mengumpulkan seluruh rakyat Rancah agar menolak pengeringan rawa. Begitu usul Nyi Tarsih," kata Jang Dayat. "Lantas kau mau?" "Ah ... aku tak bilang apa-apa. Maka itulah akhirnya Nyi Tarsih jengkel dan memanggil para prajurit Kerajaan Pulo Majeti. Aku dikepung dan hendak dicincang habis-habisan. Tua Kampung Handiwung pun ikut bantu memanasi para prajurit agar segera melumatkan tubuhku sebab aku tak mau bela rakyat Kerajaan Pulo Majeti," tutur Jang Dayat napasnya memburu. "Selamatkan aku, Lendra ..." "Lho, kau sudah selamat." "Tapi Nyi Tarsih tetap mengancam, kalau aku tak bisa mempengaruhi rakyat Rancah, maka aku akan terus dikejar. Lendra, tolonglah aku!" kata Jang Dayat sambil diakhiri tangisan memilukan. "Kau akan selamat sebab kau kini ada di dunia nyata. Ancaman itu datang dari dunia gaib. Maka kau tak bisa dijangkau mereka," kata Lendra. "Apakah aku tak akan kembali ke dunia mereka?" "Asalkan kau jangan mudah tergoda rayuan perempuan cantik, Dayat ..." "Apakah Nyi Nenah wajahnya jelek?" "Nyi Nenah yang mana?" "Anaknya Mang Sajum?" "Ya ... kalau dibandingkan dengan wajah Nyi Tarsih, dia sih bukan apa-apa. Aku akan pacari saja Nyi Nenah, Lendra ..." kata Jang Dayat. Tersesat di Rawa Onom > Aan Merdeka P > published by buyankaba.com 31 "Lho, apa-apaan kamu ini?" "Katamu barusan, aku jangan mudah tergoda perempuan cantik. Lalu kalau digoda perempuan nggak cantik, nggak apa, kan?" "Ah, sundel kamu, Dayat!" kata Lendra sebal. Maka Lendra berjalan cepat coba meninggalkan Jang Dayat. Tapi Jang Dayat pun ikut cepat berlari sebab dia takut ditinggal di belakang. Hanya ketika lewati rawa saja mereka mulai kewalahan. Seperti pengalaman aneh yang pernah melanda Lendra, begitu pun yang melanda Jang Dayat. Kisah aneh pemuda ini pun menjadi bahan perbincangan tak henti-hentinya di wilayah Rancah dan sekitarnya waktu itu. Isu menyebutkan bahwa penghuni Rawa Onom dan Pulo Majeti marah karena mendengar rencana pengeringan rawa. Mendengar isu ini, banyak orang menjadi takut dan khawatir atas rencana besar yang akan dilakukan Bendara Wedana R. Bratanagara. Rakyat yang semula merasa bimbang menjadi semakin menjauh atas ajakan ini. Kata Mang Sajum, sejak puluhan bahkan ratusan tahun silam, wilayah Rawa Onom memang ditakuti oleh seluruh lapisan masyarakat. Disebutkan oleh Mang Sajum, bahwa di Rawa Onom dan sekitarnya, memang sudah didengar banyak keanehan. "Rawa Onom memang dihuni oleh makhluk gaib yang disebutkan sebagai bangsa onom. Mungkin kau sudah mengalaminya sendiri ..." tutur Mang Sajum pada Lendra. Lendra hanya terpekur mendengarnya. Diakui oleh hatinya, bahwa dia pernah mengalami kejadian gaib di mana pernah masuk ke dunia onom. "Tapi kalau benar di dunia gaib ada Prabu Lancang Kuning yang menguasai Kerajaan Pulo Majeti, mengapa raja itu mengingkari perjuangannya sendiri, Mang Sajum?" tanya Lendra merenung. Mendengar pertanyaan ini, Mang Sajum mengerutkan dahinya. "Aku tak paham pertanyaanmu, Lendra ..." gumam Mang Sajum. Kata Lendra, menurut yang dia dengar melalui Nyi Indangwati di dunia gaib, ayahandanya bernama Prabu Lancang Kuning itu dulu berjuang untuk memakmurkan wilayah Pulo Majeti. Dari semula berupa hutan belukar, dibangun dengan susah-payah sehingga menjadi sebuah negri yang makmur. "Namun kenapa ketika kini ada yang ingin lebih memakmurkan kembali wilayah itu, Prabu Lancang Kuning tak setuju?" tutur Lendra. "Itulah yang aku tak tahu. Aku hanya tahu, makhluk gaib bernama onom itu memang tak mau mengganggu kecuali diganggu ..." kata Mang Sajum. Sementara itu, dua hari kemudian, Lendra dipanggil Bendara Wedana. Setelah Lendra menghadap, Bendara Wedana R Bratanagara berucap kalau pegawainya itu sebaiknya ikut mendukung rencana besar pengeringan Rawa Onom. "Kau jangan membantu Jang Dayat untuk menyebarkan isu-isu gaib, Lendra ..." kata Bendara. Lendra menyembah takzim sambil wajahnya sedikit pucat karena terkejut. "Saya tidak secuil pun mempengaruhi orang banyak untuk tak mendukung rencana besar itu, Gamparan ..." kata Lendra. Tersesat di Rawa Onom > Aan Merdeka P > published by buyankaba.com 32 "Syukur kalau begitu. Hanya saja yang terjadi di seluruh Rancah, semua orang menjadi takut setelah mendengar peristiwa yang menim kalian. Tak nanti mereka merasa takut kalau tidak menerima khabar-khabar buruk dari kalian, Lendra ..." kata Bendara Wedana. Lendra menunduk lesu. Rupanya dia merasa kalau majikannya tetap menuduhnya ikut menyebarkan isu yang membuat rakyat Rancah menjadi takut. "Sudah ada utusan dari masyarakat yang meminta aku mengurungkan niatan itu, Lendra ..." tutur Bendara Wedana lagi. "Akan saya perjuangkan agar rakyat percaya lagi kepada Gusti Gamparan ..." kata Lendra sedikit sendu karena sedih. Ketika Lendra mohon diri, Bendara Wedana tak bilang apa-apa. membuat hati Lendra semakin sedih. Sepulang dari pendopo, Lendra meneliti keadaan masyarakat Rancah. Maka dia menarik kesimpulan bahwa orang Rancah takut ikut ambil bagian dalam gotongroyong mengeringkan Rawa Onom lantaran di antaranya termakan isu yang dilontarkan Jang Dayat. "Mang Sajum, Jang Dayat ke mana?" tanya Lendra ketika menemui Mang Sajum di istal kuda. Mendengar pertanyaan ini, Mang Sajum hanya menghela napas. "Anak muda itu pulang ke kampung halamannya di Kawali. Mungkin dia merasa takut setelah sadar bahwa banyak orang Rancah menolak bergabung kerja mengeringkan rawa lantaran berita buruk yang dilontarkannya ..." tutur Mang Sajum. "Jang Dayat lebih mengkhawatirkan jiwanya yang katanya diancam oleh bangsa onom, Mang Sajum ..." kata Lendra. "Aku mafhum atas kekhawatiran anak muda itu, Lendra," kata Mang Sajum. "Dan kini, giliran saya yang diperingatkan Bendara, Mang ..." kata Lendra mengulang kisah pemanggilan dirinya oleh Bendara Wedana. "Aku mengerti kekecewaan Bendara Wedana. Rencana besar ini sudah dilaporkan kepada Kangjeng Bupati RAA Kusumasubrata. Bahkan Kangjeng Bupati pun sudah melaporkannya ke pemerintah pusat di Batavia. Mereka setuju dan akan membantu sepenuhnya. Maka bagaimana tak kecewa kalau kini rakyat Rancah sendiri banyak mengundurkan diri karena ketakutan atas kemarahan penghuni gaib?" kata Mang Sajum. "Saya mengerti, Mang ..." "Kau musti berusaha mengembalikan kepercayaan Juragan Bendara padamu, Lendra. Sejak dari Krangkeng Indramayu kau sudah mengabdi. Jadi, jangan putuskan nilai pengabdianmu hanya karena ini, anak muda ..." kata Mang Sajum. "Saya sungguh mengerti, Mang ..." jawab Lendra. Sepulang dari perbincangan ini, Lendra jadi melamun sendirian. Dia gelisah dengan peristiwa ini. Pemuda ini merasa kalau majikannya merasa kecewa atas peristiwa-peristiwa yang Tersesat di Rawa Onom > Aan Merdeka P > published by buyankaba.com 33 berlangsung baru-baru ini. Bendara R Bratanagara mendapat reputasi baik dengan kenaikan pangkat dari asisten wedana di Krangkeng hingga menjadi wedana di Rancah lantaran prestasinya di bidang pengairan. Di wilayah Indramayu sana, Bendara Wedana sukses mengeringkan beberapa rawa hingga menjadi daerah pertanian subur. Maka akan merasa malu dan jatuh reputasinya bila dalam membuat rencana besar di daerah Rancah ini mengalami kegagalan hanya karena masalah gangguan makhluk gaib semata. "Aku harus berjuang mengembalikan kepercayaan masyarakat Rancah terhadap kepemimpinan Juragan Wedana ..." tuturnya dalam hati. Karena tekadnya sudah bulat, maka Lendra berpikir keras, bagaimana dan apa yang mula-mula harus dia kerjakan agar tujuannya terlaksana. Entah mengapa. Tapi secara tiba-tiba saja dirinya jadi ingat kembali kepada Nyi Indangwati. Bukan sekadar ingat, dia bahkan merasa rindu. Lendra merasa kalau Nyi Indangwati menyayangi dirinya. "Aku harus bertemu dengannya ..." gumamnya. Maka pada hari itu juga secara diamdiam pemuda itu pergi meninggalkan Rancah. Yang ditujunya tak lain adalah wilayah Pulo Majeti. "Aku harus bertemu dengannya. Harus ..." tutur hati Lendra berkali-kali. Secara diam-diam Lendra berangkat menuju wilayah Pulo Majeti sebab dia yakin akan mudah menemui Nyi Indangwati di tempat di mana dulu dia menemukannya. Lendra ingat pertama kali dia bersua dengan Nyi Indangwati. Itu terjadi ketika Bendara Wedana mengajaknya berburu binatang. Ketika ada seekor menjangan terkena anak-panah, Lendra menyusulnya. Belakangan, ternyata bukan menjangan yang terkena panah, melainkan tubuh seorang perempuan cantik.Itulah Nyi Indangwati. Gadis ayu itu merasa tertolong myawanya oleh Lendra. Sebagai balas jasa, maka gadis cantik berlesung pipit itu berjanji akan menghadiahkan sesuatu. Berupa apakah itu, Lendra tak sempat menanyakannya sebab dirinya tak secuil pun mengharapkan upah. Namun oleh peristiwa yang menekan dirinya itu, memaksa Lendra untuk mengingat kembali apa yang pernah dijanjikan Nyi Indangwati. "Ya, aku harus menemui Nyi Indang ..." tuturnya lagi. Tapi, untuk sampai ke tempat tujuan kini susahnya bukan main. Walau pun baru sekali ke wilayah Pulo Majeti, namun sebenarnya Lendra masih hapal ke mana arah yang musti dituju. Lendra pun hapal betul, berapa lama waktu dihabiskan untuk bisa sampai ke tempat itu. Namun manakala perjalanan ini diulang kembali, ternyata tidak sama persis seperti perjalanan pertama itu. Lendra musti keluar masuk hutan yang gelap dan pekat. Terkadang tubuhnya terjerembab masuk ke kubangan berlumpur dingin. Ketika tangannya menggapai-gapai ke atas karena tubuhnya melesak ke rawa dalam, ternyata benda yang digapainya bukan akar bukan pula dahan pohon, melainkan tubuh seekor ular besar. Maka Lendra harus bergumul dengan ular besar itu sebelum dirinya selamat dari jebakan tanah rawa. Dengan serta-merta tubuh ular itu dia gayuti dan dipakai alat untuk melepaskan diri dari jebakan lumpur pekat. Selamat dari jebakan rawa dan bahaya ular berbisa, ternyata dia pun harus berhadapan dengan beberapa binatang hutan berbahaya. Manakala dia tiba ketika malam menjelang di sebuah gugusan tanah penuh pohonpohon besar, didengarnya sebuah lolongan mengerikan. Lolongan itu seperti sebuah lolongan serigala namun suaranya lebih menyayat-nyayat menyedihkan. Ketika binatang itu berlalu ke hadapannya, Lendra mengkirik bulu-kuduknya. Binatang itu seperti kera tapi bisa berjalan Tersesat di Rawa Onom > Aan Merdeka P > published by buyankaba.com 34 sebagaimana laiknya manusia. Namun yang lebih aneh, kepalanya menyerupai kepala anjing. Tempo hari Mang Sajum pernah bilang bahwa di hutan-hutan pekat daerah Rancah terdapat binatang aneh bernama aul. Aul itu bentuknya seperti kera namun berkepala anjing. Jarang menampakkan diri, kecuali malam hari, itu pun di tengah hutan. Dan binatang yang kini berdiri di hadapannya itu bentuk tubuhnya persis seperti apa yang pernah digambarkan oleh Mang Sajum. Dada Lendra berdegup kencang. Binatang misterius itu tetap berdiri di hadapannya dan suaranya melolong-lolong terus. Lendra mencoba menguatkan batinnya dan memasang kuda-kuda untuk menghadapi kemungkinan buruk. Namun binatang itu ternyata tak bermaksud jahat. Buktinya setelah lama menatap agak lama, dia segera meloncat pergi. Loncatannya demikian dahsyat dan cepat. Hanya dalam sedetik lenyap bagaikan ditelan gelapnya malam. Hanya suaranya saja sayup-sayup terdengar melolong dan merintih. Binatang itu ternyata tak berbahaya. Yang membahayakan malah yang datang belakangan. Entah dari mana datangnya, secara tiba-tiba hadir serombongan ular. SECARA serentak, ular-ular itu membelit sekujur tubuhnya. Lendra berusaha meronta dan menguak. Namun semakin kuat dia meronta semakin kuat lilitan ularular itu. Beberapa di antaranya malah membelit lehernya, menyebabkan pernapasan Lendra serasa tercekik. Akan akhirnya Lendra terkulai lemas karena napasnya serasa sesak. Manakala siuman, ternyata dia sudah berada di sebuah ruangan. Ini adalah ruangan mewah. Suasananya pun terang-benderang kendati di sana tak didapat penerangan atau jendela terbuka. Lendra tergolek di atas alketip berwarna merah darah. Ada harum wewangian menyelimuti seluruh ruangan. Lendra berusaha bangkit namun tubuhnya terikat keras oleh tali-tali kencang terbuat dari sejenis kulit. "Suruh dia duduk," terdengar suara seseorang. Tubuh Lendra didudukkan oleh seseorang. Maka sambil tubuh tetap tertelikung tali kencang, dia sudah dalam keadaan duduk dan menghadap ke arah sebuah singgasana. Di atas singgasana warna emas itu terlihat duduk seorang lelaki setengah baya, berkumis tipis berjanggut tipis dengan sepasang mata tajam menyorot. Lelaki gagah ini memakai mahkota raja terbuat dari emas pula. Ada ornamen berlian di jidatnya, bergoyang-goyang karena kepalanya bergerak. "Kau musti beri hormat kepada Sang Prabu Selang Kuning ..." tutur seorang ponggawa. Tapi kendati merasa terkejut, Lendra tetap diam. "Ayo cepat menyembah!" teriak seseorang. "Bagaimana caranya aku menyembah, sementara kedua tanganku terikat keras?" tanya Lendra. "Kalau kau berniat menyembah setulus hatimu, maka kau bisa," tutur orang itu lagi. Lendra musti berpikir berulang-ulang untuk mengaku tulus dalam menyembah. Namun karena dia ingin lepas, maka dia kuatkan hatinya untuk berniat menyembah. Maka seketika itu pun sepasang tangannya lepas dan bisa menyembah takzim. "Nah, begitu baru bagus ..." kata seseorang. Lendra hanya sedikit mendengus. Tersesat di Rawa Onom > Aan Merdeka P > published by buyankaba.com 35 "Kau orang Galuh, mau apa datang ke Kerajaan Pulo Majeti sini?" tanya seseorang lagi. Sementara Prabu Selang Kuning tetap memandang saja. "Saya bukan orang Galuh, bila yang kalian maksud adalah sebuah kerajaan bernama Galuh. Harap kalian ingat, Galuh sudah hilang. Yang ada hanyalah Kabupaten Ciamis," kata Lendra. "Setiap yang ingin hancurkan Kerajaan Pulo Majeti adalah orang Galuh," tutur lagi orang di sampingnya. "Ki Patih, biarkan orang ini mengutarakan maksudnya ..." Sang Prabu Selang Kuning mulai berujar. "Sang Prabu sudah berkenan. Maka cepat kau katakan, apa maksud kedatanganmu?" tanya Ki Patih. "Saya ingin tanya sesuatu. Apakah di bangsa kalian sebuah janji musti ditepati?" tanya Lendra. "Jangan samakan kami dengan bangsa manusia. Janji bagi bangsa kami adalah sebuah Tersesat Di Rawa Onom Karya Aan Merdeka Permana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo kehormatan," tutur Ki Patih marah. "Siapa yang pernah janji padamu?" "Nyi Indangwati ..." "Mengapa Nyi Indangwati pernah keluar janji, padahal di bangsa kami tak biasa mengobral janji?" "Bisakah hadapkan Nyi Indangwati?" tutur Lendra. NYI Indangwati ternyata tak bisa dihadirkan dan ini membuat Lendra kecewa berat. "Mengapa saya tak bisa bersua dengan Nyi Indangwati?" tutur Lendra kepada patih. "Sebab Nyi Indangwati bukan orang biasa. Orang kebanyakan sepertimu tak bisa gegabah bersua dengan putri Raja. Nyi Indangwati tak akan segegabah itu menerima kehadiran orang kebanyakan," sahut Ki Patih sambil melirik kepada Prabu Selang Kuning. Namun yang dilirik hanya diam saja. Wajahna nampak masygul. "Apakah Nyi Indangwati pun tidak gegabah dalam menerima pertolongan orang kebanyakan dan apalagi pertolongan itu menyangkut nyawanya?" tanya Lendra menatap Ki Patih. "Engkau pernah menolong nyawa Nyi Indangwati?" Ki Patih balik bertanya. "Ya, dan mustahil seorang bangsa onom tak taat janji," kata Lendra memanasmanasi. "Apa yang dijanjikan anakku itu, hai anak-muda?" Prabu Selang Kuning mengangkat badannya sedikit dari kursinya. Maka Lendra menceritakan pengalamannya menolong luka gadis itu. Karena pertolongan ini, maka Nyi Indangwati berjanji akan melu luskan permintaan Lendra. Tersesat di Rawa Onom > Aan Merdeka P > published by buyankaba.com 36 "Permintaan apa?" tanya Sang Prabu. "Tak disebutkan sebab saya tak pinta. Dan kini karena saya butuh pertolongannya, maka akan saya pinta janjinya ..." kata Lendra. "Biasanya laki-laki yang datang pada anakku merengek-rengek mohon menjadi suaminya. Apakah itu pula yang engkau akan perbuat, anak muda?" tanya Sang Prabu. Namun Lendra menggelengkan kepala dan amat mengherankan bagi yang melihatnya. "Dia mungkin laki-laki bodoh bila dapat peluang bersua Nyimas namun tak minta jadi suaminya," gumam Ki Patih tersenyum sinis. Lendra tak mengomentari. "Apakah engkau menginginkan emas-intan dan berbagai kekayaan" Lelaki di bangsa manusia memang begitu. Kalau tak minta wanita tentu minta harta, bahkan kekuasaan," tutur Ki Patih lagi. Untuk kedua kalinya Lendra tak menimpali komentar mereka. Dan manakala Lendra hanya diam seribu bahasa, maka terdengar kekeh menghina dari para prajurit. "Sudah, biarkan saja anak-muda ini mengutarakan keinginannya," potong Sang Prabu. "Coba katakan saja kepada Sang Prabu, apa permintaanmu, anak-muda ..." kata Ki Patih. "Maksudnya, apakah saya tak perlu bersua dengan Nyi Indangwati?" tanya Lendra. "Jangan cerewet. Cepat katakan saja, apa keinginanmu," kata Ki Patih marah. Maka Lendra berkata, bahwa Bendara Wedana tengah menghimpun kekuatan rakyat untuk mengeringkan Rawa Onom namun rakyat kebanyakan takut dan tak sudi mengerjakan proyek besar itu. "Saya minta, bebaskan rasa takut orang agar sudi mengerjakan pengeringan rawa itu," kata Lendra. Mendengar celoteh Lendra, Sang Prabu termangu. Ki Patih bahkan merah-padam wajahnya. "Mengapa Rawa Onom/Onom musti dikeringkan?" tanya Sang Prabu kemudian. "Agar kehidupan rakyat lebih sejahtera. Sebab dengan keringnya wilayah rawa itu, maka rakyat bisa menanam apa saja," kata Lendra. "Kau hanya berpikir perihal kesejahteraan bangsa manusia saja. Bagaimana pula dengan kepentingan bangsa kami?" tutur Ki Patih menyela. "Apakah ini merugikan kalian?" tanya Lendra. KI Patih berujar, bahwa bangsa manusia cenderung egois. Bangsa manusia selalu beranggapan bahwa hanya kepentingan mereka saja yang musti didahulukan. "Padahal bangsa lelembut (halus) seperti kami ini pun sama punya kepentingan hidup," tutur Tersesat di Rawa Onom > Aan Merdeka P > published by buyankaba.com 37 Ki Patih. "Apakah dengan upaya pengeringan rawa, bangsa kalian akan terpuruk?" tanya Lendra lagi. Hening sejenak. Kemudian giliran Sang Prabu yang berucap. "Antara bangsa kalian dengan bangsaku memang terpisahkan oleh satu lapisan. Namun lapisan itu sungguh hanya setebal kulit bawang. Perikehidupan kami juga kadang-kadang suka ada kaitannya dengan bangsa kalian. Tokh apalagi bangsa kami dahulunya adalah seperti kalian pula, yaitu sama-sama sebagai bangsa manusia," tutur Sang Prabu. Namun hal ini belum membuat Lendra mengerti. "Kami perlu makan. Makanan itu di antaranya ada di lingkungan bangsa manusia. Kalau kami ingin makanan berupa daging, maka kami akan mengubah diri jadi buaya atau sebangsa hewan pemakan daging. Kalau kami ingin makanan yang tumbuh di air, maka kami akan menyerupai ikan yang berseliweran di rawa-rawa. Maka bila rawa kering, kami tak bisa mencari makan sebab suatu saat, oleh keserakahan manusia, rawa akan berubah menjadi ladang dan sawah. Belakangan akan berubah pula menjadi rumah atau pusat kediaman penduduk. Dan lantaran manusia adalah bangsa serakah, maka suatu saat alam akan rusak. Telaga tak ada, rawa tak ada, hutan tak ada. Padahal itulah tempat hidup kami," tutur Ki Patih. "Itu juga bagian dari tempat hidup manusia," potong Lendra. "Apalagi bila hal itu benar demikian. Tapi aku sungguh tak percaya sebab manusia itu memang serakah. Suatu saat, alam yang asri ini bakal habis atau rusak," tutur Ki Patih lagi. "Tak boleh memukul-rata seperti itu. Kalau semua manusia ahlaknya rusak, sudah sejak dulu dunia ini akan punah," gumam Lendra sedikit tersinggung. "Apakah engkau bagian dari kelompok yang baik?" tanya Ki Patih. "Saya tak berani menilai diri sendiri. Namun majikan saya, Bendara Wedana adalah orang yang menghargai alam. Beliau berupaya membuat rencana bukan semata untuk kepentingan umat manusia semata namun juga untuk kepentingan yang lebih besar lagi, yaitu alam semesta ini. Bendara ingin alam tetap asri dengan polesanpolesan tangan manusia," kata Lendra. "Maksudmu, kami harus bantu kalian?" "Paling sedikit, kami tak diganggu." "Dari mana engkau tahu bahwa kami suka mengganggu manusia?" tanya Ki Patih tersinggung. Maka Lendra menjelaskan kalau kadang-kadang terdengar berita orang hilang di rawa atau di hutan. Atau terdengar berita ada orang menderita sakit mendadak bahkan sampai tewas hanya gara-gara berbuat ulah yang sepele. "Itulah perilaku manusia. Bangsa kalian hanya selalu membuat penilaian berdasarkan kepentingan kalian sendiri. Membabat satu ranting dianggap perbuatan sepele sebab Tersesat di Rawa Onom > Aan Merdeka P > published by buyankaba.com 38 beranggapan tak bakal merusak hutan. Padahal kalau satu orang mematahkan satu ranting, berapa juta ranting akan patah bila semua bangsa kalian bertindak ceroboh?" tanya Ki Patih, "Itulah sebabnya, bila ada yang mematahkan ranting lantas orang itu jatuh terjerembab, jangan salahkan bahwa itu hukuman dari kami," kata Ki Patih lagi. "Bulan lalu ada orang terbenam di rawa. Apakah itu bukan perbuatan kalian?" tanya Lendra sambil senyum. "Orang itu mati karena serakah pingin ambil ikan banyak-banyak. Saking lamanya berendam diri, badannya kaku dan tenggelam. Apakah itu hukuman dari kami atau bukan, silakan engkau nilai sendiri perilaku orang itu," kata Ki Patih. "Banyak orang berlaku gegabah tapi bila kena musibah, kesalahan selalu ditimpakan kepada orang lain," tutur Ki Patih yang diiyakan oleh Sang Prabu. Ki Patih menerangkan berbagai contoh di mana suka terjadi orang celaka, apakah itu mati tenggelam, jatuh dari pohon atau tersesat di hutan. Kata Ki Patih, bila ada yang mati tenggelam, maka selalu dikatakan lantaran penghuni rawa minta tumbal. Padahal orang itu mati karena kakinya terjerat akar-akar bawah air atau lantaran kaku kedinginan. Begitu pun bila ada yang tersesat di hutan, dikatakan sebagai disembunyikan oleh lelembut di hutan itu. "Padahal itu semua bergantung kepada perbuatan mereka sendiri," tutur Ki Patih lagi. Lendra diam saja mendengarkan. Tapi kembali kepada urusan yang tadi, apakah pihak penghuni di sini mau membantu bila Bendara Wedana akan mengeringkan rawa?" Lendra mengembalikan obrolan kepada masalah utama. Untuk yang ke sekian kalinya Sang Prabu nampak tercenung. "Rawa Onom dan sekitarnya adalah kampung halaman kami, tempat kami mencari hidup bahkan tempat kami menghadapi kematian kelak. Kalau rawa dikeringkan, alam akan berubah dan persediaan kebutuhan kami pun akan berubah. Bangsa onom tak senang kehiruk-pikukan. Bila rawa kering dan kelak rawa menjadi tempat mukim bangsa manusia, kahidupan kami terganggu," tutur Ki Patih lagi. "Kalau begitu, kita tak punya kesesuaian paham. Artinya kita musti berjuang sendiri-sendiri ..." gumam Lendra sambil berjingkat berdiri. "Engkau mau ke mana?" tanya Ki Patih sama-sama ikut berdiri. Para prajurit pun sama berdiri dan seperti hendak mencegah Lendra untuk beranjak. "Saya akan kembali ke alam saya ..." kata Lendra. "Silakan bila kau bisa, anak muda!" kata Ki Patih melirik ke arah Sang Prabu. Maka ketika Sang Prabu mengangguk, Lendra pun dilepasnya untuk keluar dari keraton. Lendra melangkah di sepanjang jalan berbalay berupa batu-batu mengkilat bak permata. Di sepanjang jalan berbalay itu tumbuh bunga beraneka-macam dengan keharuman yang semerbak menyegarkan pernapasan. Namun Lendra tek tertarik dengan itu. Katanya, itu Tersesat di Rawa Onom > Aan Merdeka P > published by buyankaba.com 39 hanyalah pandangan maya sebab bila dia kembali tersadar ke dunia nyata, semuanya akan berubah menjadi sesuatu yang menakutkan. Ketika Lendra lewat ke sebuah pertamanan yang berpohon rimbun dan teduh, hatinya tersentak manakala di sebuah bangku taman ada seorang gadis menantinya. "Nyi Indangwati ... " gumamnya dengan dada berdebar. Tak pelak lagi, debaran jantung ini terjadi lantaran ada gairah berahi yang selama ini tersembunyi. Tapi di saat-saat perasaan itu bergelayut datang pula kesadaran dirinya. "Dia bukan bangsa manusia. Tak baik aku musti berhubungan dengan mahluk dari alam berbeda ..." begitu tutur kata hatinya. "Tapi kita semua sebenarnya tunggal mahluk ciptaan Tuhan, Kakang. Mengapa hanya karena perbedaan bangsa kita harus memilah-milah?" jawab Nyi Indangwati membuat Lendra terkejut. "Gadis itu mendengar apa yang dikatakan hatiku ..." keluh Lendra. "Itulah sebabnya, tak ada bohong di sini. Jahat dan benar akan nampak seperti kita melihat sinar bulan. Dan karena tak ada yang bisa disembunyikan maka hanya kejujuran saja yang hidup di negri kami," tutur Nyi Indangwati sambil senyum. Untuk kedua kalinya dada Lendra berdebar kencang. Tangan Nyi Indangwati melambai dan tubuh Lendra seperti tersedot untuk segera ikut datang. Begitu tiba di hadapannya, debar dada Lendra semakin kencang. Dan manakala tangannya dituntun untuk duduk bergandengan, pemuda itu pun menurut. "Orang Galuh boleh dikata musuh kami. Tapi galuh sebenarnya adalah kecintaan kami. Galuh itu dambaan kami, sebab dulu kamilah yang membesarkan Galuh. Sebagai tanda bahwa kami cinta Galuh, perilaku kami selama ini pun adalah perilaku orang Galuh yang sejatinya," kata Nyi Indangwati. "Bila boleh aku katakan, orang Galuh yang asli adalah kami. Yang lainnya hanya ikut-ikutan mengaku saja sambil tak pernah memperlihatkan perilaku masyarakat Galuh," kata lagi Nyi Indangwati. "Apa tandanya masyarakat Galuh yang asli itu, Nyimas?" tanya Lendra penasaran. "Yaitu, mereka yang sanggup mengamalkan dan menjaga ketulusan galihnya hati. Galuh atau galih adalah pusat hati, pusatnya perasaan kemanusiaan. Apakah manusia itu bisa baik atau buruk bahkan jahat, amat bergantung kepada penggunaan galihnya hati itu. Percuma engkau mengaku orang Galuh bila hatimu busuk. Sebab dengan demikian, nama negri ini akan tercemar," tutur Nyi Indangwati. "Saya bukan orang Galuh, Nyimas ..." "Bila begitu, kau beruntung sebab kau boleh menggunakan perasaanmu apa dan bagaimana saja." "Tak bisa begitu. Sebab dunia akan hancur kalau manusia mengumbar perasaannya tanpa Tersesat di Rawa Onom > Aan Merdeka P > published by buyankaba.com 40 dibatasi oleh kebenaran dan niat baik," jawab Lendra. "Itulah perilaku orang Galuh, Kakang ..." "Atau mungkin itulah keharusan semua umat di dunia, di mana pun adanya," potong Lendra. "Tapi orang Galuh sudah musti beritikad seperti itu sebab mereka sudah menyadari dengan memberinya nama Galuh bagi kerajaan ini," kata Nyi Indangwati. "Wilayah ini kini namanya Ciamis, bukan Galuh, Nyimas ..." "Tidak. Bangsa kami tetap menyebutnya Galuh sebab aku tetap menaruh harapan agar masyarakat di sini, apakah itu masyarakat nyata atau masyarakat bunian, tetap melanggengkan kehidupan yang penuh tanggungjawab," kata Nyi Indangwati. Lendra hanya menghela napas sebab keinginan gadis ini di zaman kini amatlah susah. Untuk ini, maka Lendra kembali berjingkat. "Kakang mau ke manakah?" gadis itu memegang tangan Lendra. "Kakang akan pulang ke alam Kakang sendiri ..." "Mengapa" Bukankah Kakang akan berjuang untuk kepentingan bangsa Kakang?" tanya Nyi Indangwati. "Rasa-rasanya Kakang berbeda kepentingan dengan bangsamu, Nyimas ..." kata Lendra ingat lagi perselisihan paham dengan Ki Patih kerajaan ini. "Yang namanya perjuangan tak harus dimulai dari persamaan kehendak. Malah itulah namanya perjuangan bila kita sanggup mempertahankan pendapat kita. Sebab bila berjuang dengan kesepakatan, biasanya perlu kompromi. Yaitu saling mengalah dan saling memberi. bukan semata-mata saling meminta saja," kata Nyi Indangwati tersenyum ringan. "Ya, ya, Kakang mengerti ..." gumam Lendra sambil mencoba menahan hatinya untuk pergi dari tempat ini. Maka Lendra melangkahkan kakinya, meninggalkan Nyi Indangwati tanpa berani menengok lagi ke belakang. Terdengar lantunan gadis itu dengan suara merdu. Isi nyanyiannya perihal pentingnya perjuangan untuk mencapai sesuatu tujuan. Lendra terpana dengan isi nyanyian itu. "Ari bajuang teh kudu aya pangorbanan saha-saha anu menta kudu daek mere anu pepenta embung mere nya pinter-kodek ngaranna ... (Yang namanya berjuang harus ada pengorbanan siapa berani minta harus berani beri Tersesat di Rawa Onom > Aan Merdeka P > published by buyankaba.com 41 yang kerjanya minta tanpa mau beri itulah culas namanya ...) Lendra sejenak berdiri mematung. Ada keinginan dia menoleh ke belakang, namun niat itu diurungkannya kembali. "Tidak. Aku harus pulang ke tempat asalku ..." demikian hatinya bicara.Maka Lendra memaksa hatinya beri perintah agar kakinya melangkah terus. Dan Lendra memang berhasil melangkah. Terus melangkah kendati suara lantunan Nyi Indangwati terus terngiang. Hingga pada suatu ketika, Lendra tiba kembali di sebuah hutan belantara yang gelap dan pekat. Di tempat itu tak ada jalan setapak, tidak pula lorong dengan sedikit cahaya. Lendra bahkan tak tahu, apakah sekarang siang hari atau malam hari. Bila siang hari musti ada cahaya, bila malam hari musti gelap gulita. Sementara di hutan itu, tak ada cahaya namun juga tak gelap-gulita. Artinya, benda apapun yang ada di sekitarnya terlihat dengan cukup jelas. Termasuk yang bisa dilihat oleh Lendra adalah seonggok tubuh yang amat menakutkan. Mahluk itu sungguh aneh. Sebesar kambing namun juga bukan kambing. Tersesat Di Rawa Onom Karya Aan Merdeka Permana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Mahluk itu bisa berdiri dengan sepasang kakinya. Sementara sepasang kaki bagian atasnya meronta-ronta dengan cakarnya yang tajam. Kepala mahluk itu seperti kera namun juga seperti manusia, sebab hidungnya tak pesek. Hanya lantaran gigigiginya yang tajam saja yang membuat dia dianggap sebagai mahluk aneh. Apalagi matanya mencorong tajam berwarna merah menyala. Dari sisi-sisi mulutnya meleleh cairan putih. Lendra terkesiap. Makhluk aneh itu seperti sengaja mencegatnya. Apalagi ketika mahluk itu meloncat ke depan dan mencoba mencakar wajahnya. Lendra menjatuhkan dirinya ke samping sehingga sergapan mahluk itu hanya mencakar angin. Namun begitu Lendra bangkit, mahluk itu sudah meloncat dan mencakar pula. Lendra menjerit ngeri sebab mahluk itu akan mencakar wajahnya. Untuk ke sekian kalinya Lendra menjatuhkan tubuhnya ke belakang dan jungkirbalik beberapa kali. Namun demikian, tak urung bahu Lendra terkena sedikit cakaran. Ada rasa dingin dan bercampur pedih manakala sedikit darah mengucur dari luka itu. Dari rasa perih berubah menjadi panas dan gatal. Lendra mencoba menggaruknya. Tapi semakin digaruk semakin perih dan semakin gatal. Belum lagi kulit yang terkena garukan lukanya semakin membesar dan darah semakin mengucur. Melihat Lendra mengeluh lantaran luka di bahu, mahluk itu berbunyi bercuitan dan suaranya menyakitkan telinga. Lendra tak mau terus berhadapan dengan mahluk menjijikan itu. Maka dia balik ke arah semula dan berlari kencang. Tapi mahluk itu ternyata bisa terbang seperti kelelewar. Ketika dia tengadah ke atas, baru ketahuan bila mahluk itu memang persis kelelawar raksasa. Lendra ingat, kelelawar takut cahaya. Maka ingat ini, sambil berlari kencang dia ambil paneker (pemantik api terbuat dari batu) dari saku bajunya. Paneker itu dia coba nyalakan. Maka ketika terlihat cahaya berkilat, mahluk itu menjerit ngeri dan terbang menjauh. Namun berbarengan dengan itu, tubuh Lendra pun terkulai lemah. Kepalanya terasa pening dan tubuhnya berdebuk. Lendra pingsan. Ketika siuman, dia sudah berada di pembaringan. Di sisinya, Nyi Indangwati duduk tengah merawat luka di bahunya. "Nyimas... kau menolongku?" tanya Lendra menatap wajah cantik di mana tangantangan yang lentik dan halus itu tengah merawat luka di bahunya. "Ya, sebab saya punya utang budi pada Kakang yang dulu merawat lukaku ..." tutur Nyi Indangwati mengingatkan peristiwa dulu ketika gadis itu terkena luka anakpanah. Tersesat di Rawa Onom > Aan Merdeka P > published by buyankaba.com 42 "Apakah dengan demikian, kita sudah impas satu-sama lain tak punya utang lagi, Nyimas?" tanya Lendra. Yang ditanya hanya tersenyum kecil. "Apakah bila tak punya utang budi, engkau tak bakalan menolongku lagi, Nyimas?" tanya lagi Lendra. "Engkau adalah lelaki gagah yang punya harga diri tinggi. Mustahil orang sepertimu bisa merengek-rengek minta pertolongan orang lain?" tanya Nyi Indangwati sungguh memukul perasaan Lendra. "Ya, Kakang sungguh ingat lantunan nyanyianmu, bahwa tak baik orang hanya meminta saja, sebab sebuah nilai kemanusiaan akan terjadi bila di antara sesama saling memberi dan bukan hanya saling meminta saja ..." keluh Lendra sebab dia merasa kalau keinginannya tak akan terkabul. "Apa yang engkau inginkan sebenarnya, Kakang?" tanya Nyi Indangwati seperti tahu akan isi hati Lendra. "Ya ... engkau sudah pasti tahu akan keinginanku. Bahkan keinginanku ini sudah kau sampaikan kepada ayahandamu, Nyimas," kata Lendra. "Ya. Bagaimana tanggapan ayahanda?" "Dia menolaknya ..." kata Lendra menghela-napas. Nyi Indangwati pun sama menghela napas. "Kalau ayahanda menolak, maka tak ada yang bisa mengubah pendiriannya," kata Nyi Indangwati. "Ya Kakang mengerti. Dan ini artinya Kakang musti berjuang sendiri ..." kata Lendra. "Maksudmu, bangsamu akan melawan bangsaku?" "Kakang tak tahu, seperti apa perjuangan itu. Kakang pun tak mewakili bangsaku sebab kini aku jadi orang terasing di sana. Bendara Wedana bahkan sudah mengacuhkanku sebab tersinggung atas sikapku," kata Lendra. "Mengapa begitu?" Maka Lendra memaparkan kisah-kisahnya. Betapa peristiwaperistiwa aneh yang melanda dia dan temannya bernama Jang Dayat dianggap telah memberi pengaruh buruk terhadap masyarakat Rancah. "Setelah mendengar kisah Jang Dayat bahwa bangsamu tak merestui pengeringan Rawa Onom, maka hampir semua orang Rancah merasa takut dan tak mau diajak bekerja mengeringkan rawa. Kakang pun kena getahnya ditegur oleh Bendara Wedana. Maka sebagai penebus dosa, Kakang berjanji kepada Bendara untuk mengusahakan agar masyarakat tak takut lagi. Itulah sebabnya Kakang memerlukan datang ke tempatmu. Karena Kakang hanya kenal engkau, maka tadinya Kakang akan minta pertolonganmu. Namun di keraton aku tak bisa bertemu denganmu. Yang ada hanyalah ayahandamu dan patihnya. Pihak keraton Tersesat di Rawa Onom > Aan Merdeka P > published by buyankaba.com 43 menolak permintaanku ..." keluh Lendra. Nyi Indangwati hanya terpekur mendengarnya. "Kau pun tak setuju dengan rencana bangsa kami?" tanya Lendra kemudian. Jawab Nyi Indangwati: "Bila saya pun termasuk bangsamu, tentu saya akan mendukungnya. Tapi antara kalian dengan kami tentu ada kepentingan yang beda. Kami senang kelestarian alam, sementara kalian tidak. Mari dengarkan lantunan ujar-ujar kami ..." Maka Nyi Indangwati melantunkan nyanyiannya lagi. Lamun nyatu tamba henteu laparlamun nginum tamba henteu hanaanglamun hees tamba henteu nundutan, lamun dibaju tamba henteu dicangcut ... (Bila makan sekadar tidak lapar bila minum sekadar tidak dahaga bila tidur sekadar tidak ngantuk bila memakai celana dalam sekadar tak berpakaian ...) "Begitu sederhananya sikap-hidup kami. Semuanya tak berlebihan. Semuanya tak bersifat serakah. Dan semuanya tidak merusak. Sementara di bangsa kalian, bila ingin makan, maka makan banyak-banyak. Bila ingin minum, maka minum banyakbanyak. Bila ambil ikan di rawa, kebutuhan dua ekor, maka ambilnya sepuluh ekor. Bila mungkin, seluruh air dikeringkan agar seluruh ikan bisa diambilnya. Demikian pun bila masuk hutan. Ambil kayu banyak-banyak, berburu binatang banyak-banyak, padahal keperluannya tak sebanyak itu. Itulah sebabnya bangsaku suka mengerutkan dahi bila bangsamu punya rencana besar. Boleh dikata, kami tak punya kepercayaan bahwa bangsamu bisa mengurus alam baik-baik ..." tutur Nyi Indangwati panjang-lebar. Mendengar ocehan ini, Lendra menunduk lesu. Demikian burukkah perilaku manusia sehingga tak dipercayai mahluk gaib" "Seandainya perilaku bangsaku sama dengan perilaku bangsamu ..." gumam Lendra seperti tak tuntas. "Apa maksudmu, Kakang?" tanya Nyi Indangwati melirik sedikit sayu. "Ya, seandainya bangsaku bisa hidup apik dan teratur mengurus alam, apakah kalian akan mempercayai dan merestui rencana besar yang akan dihadapi Bendara Wedana?" tanya Lendra lagi. Mendengar ini, kembali Nyi Indangwati tersenyum tipis. "Direstui atau tak diberi restu, sebenarnya itu merupakan sesuatu yang terpisah dari rencana besar bangsamu. Tidak berarti bahwa bangsa kami tak merestui lantas rencana besar kalian musti digagalkan. Kan sudah saya katakan, bahwa sebenarnya kepentingan kita ini berbeda. Kami hanyalah bangsa yang sederhana dan tak berlebihan, sementara kalian adalah bangsa yang banyak cita-cita dan berkeinginan besar. Jangankan ingin menguak alam di bumi, bahkan untuk menguak rahasia alam di langit, bangsa kalian kelak akan berusaha," kata Nyi Indangwati lagi. "Maksudmu, apakah bangsamu akan membiarkan kami melanjutkan rencana besar ini?" tanya Tersesat di Rawa Onom > Aan Merdeka P > published by buyankaba.com 44 Lendra kemudian. "Itu sudah menjadi urusan kalian. Bahwa nanti akan terjadi sesuatu lantaran beda kepentingan, sudah barang tentu akan terjadi. Jangankan antara mahluk yang beda bangsa. Bahkan di sebuah lingkungan yang sama pun bila sudah beda kepentingan akan terjadi pertikaian. Seorang penjala ikan di bangsa kalian tiba-tiba musti jadi petani karena rawa dikeringkan menjadi persawahan, tentu akan memberontak sebab dia tak bisa jadi petani, begitu sebaliknya. Nah, di bangsa kami, rawa diperlukan sebab di rawa kami bisa menjadi ikan, bila ingin merasakan makanan berupa rumput. Kami bisa jadi bangau, bila ingin makan ikan kecil. Begitu seterusnya. Jadi, betapa sengsaranya bangsa kami bila pada suatu saat rawa tak ada. Itu saja." Mendengar ini, Lendra kembali mengeluh. Betapa beratnya punya keinginan. Pikirnya, semua keinginan yang ada di benak siapa pun musti dipikir masak-masak sebelum melakukannya. Sebab apalah artinya kebahagiaan bila cita-cita terlaksana sambil menyengsarakan pihak lain. Perbantahan antara Lendra dengan Nyi Indangwati tak pernah selesai. Satu sama lain tetap bertolak pada masing-masing kepentingan. Namun demikian, sebenarnya Lendra sudah dapat menarik kesimpulan, bahwa sebenarnya bangsa onom tidak sertamerta melakukan penolakan dengan harga mati. Seperti apa kata Nyi Indangwati, kekhawatiran bangsa onom itu terjadi lantaran mereka tak percaya kepada manusia yang selalu bersikap serakah. "Mungkin mereka tidak akan begitu keras menolak bila manusia bisa memenuhi harapan mereka, yaitu bangsa manusia jangan merusak alam ..." tutur Lendra dalam hati. Lendra kembali melangkahkan kakinya. Bahunya yang dibebat dedaunan obat masih terasa sakit, namun demikian, darah sudah lama kering. Seperti yang sudah dilakukannya, Lendra melangkah sambil tak mau menoleh ke belakang. Pengalaman beberapa waktu lalu membuktikan, bila menoleh ke belakang maka pandangan akan berubah. Istana megah beserta hal-hal indah lainnya akan berubah mendadak menjadi hutan belukar dengan berbagai mara-bahayanya. Ketika dia berjalan hati-hati di atas jalanan berbalay batu-batuan permata itu, di tengah jalan berdiri pula seorang gadis cantik. Melihat wajahnya, Lendra serasa pernah mengenalnya. Gadis berlesung pipit dengan mata berbinar ini adalah emban bawahan Nyi Indangwati. "Engkaukah Nyi Naimah?" tanya Lendra merandek. Gadis berusia 17 tahun ini mengangguk dengan senyum menawan. "Kau mencegatku?" Untuk kedua kalinya gadis itu mengangguk dengan senyum dikulum. "Mengapa?" tanya Lendra. "Sebab kau adalah pemuda aneh ..." tutur gadis itu. "Apanya yang aneh?" Tersesat di Rawa Onom > Aan Merdeka P > published by buyankaba.com 45 "Banyak lelaki di bangsa kalian susah-payah bertapa dan bersunyi diri sampai mau digigit nyamuk, bahkan dihampiri binatang buas. Semuanya pingin ketemu Nyimas. Sementara kau beberapa kali bertemu malah mengabaikannya ..." kata Nyi Naimah. "Mengapa mereka berusaha pingin bertemu Nyimas?" tanya Lendra. "Mereka pingin menikahi putri Kerajaan Pulo Majeti. Sebab dianggapnya bila berhubungan keluarga dengan bangsa kami maka segala keinginan duniawi bakal terlaksana." "Ouw begitukah" Apakah cita-cita pingin mengeringkan rawa termasuk juga ke dalam sebuah keinginan duniawi?" tanya Lendra memancing. Nyi Naimah kembali tersenyum. "Mungkin, ya, sebab itu masuk ke dalam hal-hal yang bersifat duniawi juga ..." kilahnya. "Apakah aku pun musti melamar Nyimas?" tanya Lendra kemudian. Maka untuk yang ke sekian kalinya Nyi Naimah tersenyum manis. "Sudah diberi kesempatan banyak-banyak agar kau meminang Nyimas tapi kau abaikan selalu," kata Nyi Naimah. "Aku ingin tanya, apakah bila aku menikah dengannya cita-cita mengeringkan Rawa Onom akan terkabul?" Lendra tak menggubris ucapan Nyi Naimah. "Setiap bangsamu yang pingin menikah dengan Nyimas adalah mereka yang memiliki ambisi pribadi, untuk kepentingan pribadi. Pingin kaya, pingin disegani atau pingin jadi pemimpin. Boleh dikata hanya kau seorang datang kesini lantaran cita-cita untuk kepentingan umum," kata Nyi Naimah. "Apakah bisa itu?" Lendra mendesak tapi Nyi Naimah tak menjawab ecara langsung. "Cita-cita pribadi mudah dilaksanakan. Tapi cita-cita untuk kepentingan umum, bakal menyangkut hal-hal lebih besar lainnya. Apalagi sesuatu yang berhubungan dengan kerugian fatal di pihak si pemberi. Tak semudah itu," tutur Nyi Naimah. Lendra merenung. Dia ingat cita-cita Bendara Wedana. Dan dia pingin bantu citacita besar itu. Apa pun risikonya. "Kalau cita-cita Bendara Wedana terkabul, aku rela menikah dengan Nyimas ..." gumam Lendra. Mendengar ini, Nyi Naimah ketawa renyah. "Dasar bangsa manusia licin dan licik. Kau yang butuh tapi malah kau yang minta syarat ..." kata Nyi Naimah menutup bibirnya dengan punggung tangan karena masih tertawa. "Mintalah sesuatu untuk kepentingan diri sendiri saja," katanya lagi. Tersesat di Rawa Onom > Aan Merdeka P > published by buyankaba.com 46 Mendengar ucapan Nyi Naimah ini, Lendra mengatupkan bibirnya, sudah itu berlalu melangkahkan kakinya menyusuri jalan berbalay batu permata. "Lendra ... menikahlah dengan Nyimas. Dia amat kagum padamu," terdengar suara Nyi Naimah. "Dengan syarat mendukung pengeringan rawa?" tanya Lendra tanpa menoleh ke belakang. "Kau manusia sombong. Tak sepantasnya jual-mahal di tempat ini," Nyi Naimah menjadi berang. Tapi Lendra terus melanjutkan langkahnya. "Kau menolak cintanya Nyimas, maka akan kuwalat. Tapi itu bisa ditolong bila kau mau menikah dengan siapa saja di sini. Kau akan diterima menjadi bangsa kami," kata Nyi Naimah. Namun Lendra seolah tak mau mendengarnya. "Kalau kau tak menoleh padaku kau akan mati sebab akan bertarung dengan Siluman Aul. Dan kalau kau menoleh ke belakang, maka kau akan mati karena menahan berahi!" teriak Nyi Naimah. Lendra bercekat. Maka serta-merta kakinya berhenti melangkah. Ada dua pilihan yang sama-sama membahayakan. Bila dia tak menoleh maka akan bertarung melawan Siluman Aul. Barangkali yang dimaksud di sini adalah binatang aneh yang garang seperti kelelawar besar. Bisa terbang, berwajah mirip anjing dan berkaki seperti kera namun bersayap. Sudah dia rasakan betapa membahayakannya binatang menjijikan itu. Pilihan kedua adalah mati karena menahan berahi. Kaum lelaki memang paling rawan dalam menghadapi hal yang satu ini. Tapi Lendra tak takut dengan yang ini. "Wuah, mustahil aku tak kuat menahan gelora cinta. Sudah aku buktikan menghadapi mahluk secantik apa pun aku bisa kuat menghadapinya!" tutur Lendra. Berkata begitu sambil dia memilih menoleh ke belakang. Dan benar seperti apa yang diduganya. Di hadapannya terpampang sebuah pemandangan yang amat menggelorakan hatinya.Di hadapannya Nyi Naimah sudah berdiri penuh gelora. Gadis manis berlesung pipit dengan mata berbinar itu kini sudah terkuak semuanya. Tak ada benang selembar pun yang menutupi tubuhnya. Amboi, tubuh itu begitu putih mulus dan halus. Bila ada lalat yang hinggap, maka tubuh lalat itu akan jatuh ke tanah saking licinnya tubuh gemulai itu. Nyi Naimah datang padanya sambil bergerakgerak menggelorakan berahi. Lendra akan memalingkan muka. Namun lehernya terasa kaku. Matanya pun tak bisa dia gerakkan untuk melihat ke arah lain. Maka yang kini dilihatnya hanyalah gerakan-gerakan erotik dari tubuh Nyi Naimah. Ada harum semerbak lewat di depan hidungnya. Ada dengus napas dan erangan serta rintihan perlahan yang lewat di telinganya. Nyi Naimah merengek-rengek manja dan itu semua sungguh menggelorakan hasrat birahinya. Bergidik bulu-kuduk Lendra. Tubuhnya pun menggeletar seperti orang menderita demam hebat. Dadanya turun-naik dan napasnya memburu. Tak terasa, pemuda itu mencabik-cabik pakaiannya sendiri. Tak puas dengan mencabik pakaiannya, maka dicabiknya pula seluruh tubuhnya Tersesat Di Rawa Onom Karya Aan Merdeka Permana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo sampai berdarah-darah. Lendra berteriak-teriak, sebab tak kuat menahan gelora hatinya. Dia hampir menerjang untuk mendekap gadis itu. Namun ketika hasratnya sudah tak tahan, dia balikkan tubuhnya ke belakang. Maka begitu membalik, begitu terlihat ada mahluk garang menerjangnya. Mahluk mengerikan itu mencakar wajahnya. Mencabik-cabik dadanya, bahkan Tersesat di Rawa Onom > Aan Merdeka P > published by buyankaba.com 47 menggigit lehernya. Lendra berupaya keras untuk menghindar dan melawan. Bila tadi tubuhnya menggeletar karena menahan gelora berahi, kini bergeletar karena menahan rasa takut dan kengerian. *** Bendara Wedana merasa kehilangan pemuda bernama Lendra. Beliau merasa menyesal telah menegurnya. Padahal rasa takut warga Rancah atas keberadaan Rawa Onom bukan lantaran hasutan pemuda itu semata. Bendara Wedana jauh hari pun sudah tahu, bahwa daerah Rawa Onom sudah disebut-sebut sebagai daerah angker. Hanya karena Lendra mengatakan bahwa penghuni Rawa Onom keberatan dengan rencana pengeringan rawa, maka seolah semua kesalahan ditimpakan kepada pemuda itu. Sampai berminggu-minggu lamanya, orang dikerahkan untuk mencari Lendra. Pinggiran hutan dan rawa ditelusuri kalau-kalau pemuda itu celaka di sana. Namun Lendra tak bisa ditemukan. Kalau dia mati, musti diketahui di mana kuburnya. Tapi Lendra bagaikan ditelan bumi, tak ada kabar beritanya. Sementara itu, masyarakat semakin menjauh juga dari ajakan Bendara Wedana. Pada umumnya mereka enggan ikut rencana pengeringan rawa. Apalagi di saat-saat itu, bersamaan dengan hilangnya Lendra, di Rancah timbul penyakit malaria dan banyak makan korban. Bendara Wedana bersedih hati. Selain dia kehilangan pekerja yang amat setia namun keras hati, Bendara pun bersedih karena belum bisa melaksanakan citacitanya mengeringkan Rawa Onom. Sampai pada saat berhentinya R.Bratanagara sebagai Wedana Rancah karena musti pindah bertugas kembali ke Indramayu, proyek besar yang jadi cita-citanya itu belum kesampaian juga. Catatan sejarah menyebutkan bahwa pada 1917, R.Bratanagara yang sudah pensiun, memilih hari tuanya untuk tinggal di Rancah kembali. Sebagai orang swasta dia tetap berkeras ingin melaksanakan cita-citanya, yaitu mengeringkan Rawa Onom agar bisa berubah menjadi lahan pertanian. Di tahun-tahun itu pun perjuangan beliau sungguh berat sebab tak begitu mudah mengajak serta masyarakat untuk sama-sama berjuang mengeringkan rawa. Alasan klasik yang dikemukakan, bahwa wilayah itu merupakan kekuasaan bangsa onom dan mereka tak berani mengganggunya. Namun rupanya, berlandaskan kepada kepercayaan tradisi ini, maka R.Bratanagara pun pada akhirnya "mengakui" adanya "kekuasaan" di daerah itu. Maka untuk memperlihatkan sebagai bangsa manusia yang beradab dan penuh hormat terhadap sesama, R.Bratanagara berupaya melaksanakan cita-citanya sambil melakukan tata-cara terhormat sehingga diperkirakan "penghuni" Rawa Onom tidak marah atau tersinggung atas cita-cita besar bangsa manusia. Secara diam-diam, R.Bratanagara sering pergi ke wilayah Pulo Majeti, di mana dipercaya bahwa daerah itu merupakan pusatnya Kerajaan Onom. Sampai pada 1935 rencana besar itu baru bisa dikerjakan. Selama mengerjakan pengeringan rawa, boleh dikata tak ada hal-hal yang spektakuler. Dengan kata lain, bangsa onom tak marah. "Tentu tak akan marah sepanjang kita meminta izin secara terhormat," tutur Ki Dipa, juru kunci Pulo Majeti. Dalam setiap pengerjaan pengeringan rawa, malah bangsa onom diundang serta, terutama di saat kenduri selamatan. Pada akhirnya, sampai dengan awal 1980-an, warga Ciamis kerap "mengundang" bangsa onom bila ada keramaian. Kamar kosong, kuda kosong, bahkan berbagai penganan suka disiapkan untuk menyambut kedatangan "tamu terhormat" yang Tersesat di Rawa Onom > Aan Merdeka P > published by buyankaba.com 48 secara kasat mata dari orang biasa, "sang tamu" tak bisa dilihat. Pulo Majeti yang dahulu berada di tengah rawa, kini sudah berada di tengah lahan persawahan subur. Kata sementara "orang pandai", sesudah Rawa Onom dikeringkan, Prabu Selang Kuning beserta ambarahayatnya telah meninggalkan Pulo Majeti dan membangun kembali kerajaan baru di sebuah lahan yang masih berawa. Rupanya untuk kepentingan manusia, bangsa onom mau mengalah. TAMAT__________________________________________ Tersesat di Rawa Onom > Aan Merdeka P > published by buyankaba.com 49 Pedang Hati Suci 8 Pendekar Kelana Sakti 2 Tangan Hitam Elang Perak Kutukan Dari Liang Kubur 1