Ceritasilat Novel Online

Kemelut Hutan Dandaka 2

Pendekar Rajawali Sakti 100 Kemelut Hutan Dandaka Bagian 2


pedangnya, namun mudah sekali dapat dielakkan. Sebaliknya, telapak tangan Supit
Gadar malah meluncur deras ke arah batok kepalanya.
Prak! "Aaa...!"
Soreang kontan terpekik, begitu batok kepalanya
jadi sasaran telapak tangan lawan. Tubuhnya terhuyung-huyung dengan kepala retak
dan mengucur-kan darah. Namun rupanya serangan Supit Gadar tidak berhenti di
situ saja. Buktinya....
"Yeaaah...!"
Des! Tubuh Soreang terjungkal dan tidak sempat berteriak lagi, begitu Supit Gadar
mencelat melepaskan pukulan mautnya. Saat itu juga Soreang ambruk ke tanah.
Sedangkan Supit Gadar langsung berkacak pinggang.
"Sudah, tinggalkan saja mereka. Ayo kita berangkat," sentak Nini Towok, seraya
melesat pergi menembus kegelapan Hutan Dandaka.
"Baik, Eyang." sahut Supit Gadar, langsung menyambar tubuh Pandan Wangi. Dan
langsung melesat, mengikuti jejak gurunya.
*** 5 Sebuah gerobak pedati yang ditarik seekor kuda terlihat berlari kcncang seperti
dikejar sesuatu.
Kusirnya seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun. Kepalanya botak
dan dipenuhi kudis.
Tubuhnya kekar dan bertelanjang dada. Pada wajahnya tampak dipenuhi cambang
bauk. Tak salah lagi.
Dialah Kebo Koneng, murid Nini Towok yang sedang mendapat tugas edan dari
gurunya. Sementara di dalam pedati bergeletakan dua sosok pemuda dalam keadaan tidak
berdaya. Tubuh mereka kekar dan berwajah tampan. Sedangkan wajah Kebo Koneng
tampak gelisah penuh
kekesalan. Sambil menengadah menatap langit, sesekali mulutnya mendesah kesal.
Waktunya tidak lama lagi. Sementara dia baru mendapatkan dua pemuda. Padahal
gurunya meminta lima orang pemuda. Dan kalau kembali tanpa memenuhi syarat itu,
jangan harap mendapat ampunan dari gurunya.
Bahkan bisa jadi nyawanya malah terancam.
Tak berapa lama kemudian, Kebo Koneng memasuki sebuah mulut desa. Seketika laju
pedatinya dihentikan dan diamankannya di tempat yang ter-sembunyi agar tidak
diketahui orang lain. Kemudian, dia berjalan kaki memasuki desa itu, menyusuri
sebuah sungai kering.
Namun belum jauh berjalan, tampak terlihat seorang laki-laki cebol berjanggut
panjang berwarna putih, dengan tenangnya duduk memancing di tepi sungai. Kebo
Koneng melirik sekilas. Tampak orang
tua itu meletakkan umpannya di genangan air yang dangkal sekali. Bahkan dasar
airnya pun terlihat Kebo Koneng jadi geli sendiri, menganggap orang tua cebol
itu tidak waras pikirannya.
"Ssst... Awas, jangan mendekat dulu. Umpanku mengena!" seru laki-laki tua
bertubuh cebol itu sambil meletakkan telunjuk ke bibir.
Dahi Kebo Koneng jad berkerut. Masalahnya, laki-laki cebol itu sama sekall tidak
menoleh kepadanya.
Lagi pula, sedikit pun tidak terlihat kalau umpannya sedang dimakan ikan. Tak
lama kemudian, Kebo Koneng berjalan hati-hati.
"Sial! Dasar tuli...!" maki laki-laki cebol itu.
Kebo Koneng tersentak. Makian orang tua itu pasti ditujukan padanya, karena
tidak ada orang lain lagi selain dirinya.
"He, Orang Tua! Siapa yang kau maki..."!" bentak Kebo Koneng gusar.
"Setan! Betul-betul tuli orang ini. Disuruh diam, malah tambah ribut!" dengus si
cebol, tetap tanpa menoleh sedikit pun. Wajahnya masih cermat menatap mata
kailnya. "Kurang ajar! He, Cebol! Jangan sembarangan bicara. Atau, kau ingin mulutmu yang
bau itu kurobek..!"
Mendengar bentakan itu, si cebol bukannya menoleh dan menunjukkan kemarahan,
tapi malah tertawa-tawa. Sepertinya, kata-kata Kebo Koneng dianggapnya sangat
lucu. Tentu saja hal itu membuat hati Kebo Koneng semakin panas. Dihampirinya orang tua itu. Dan
dengan geram, ditedangnya sekuat tenaga.
Wut! "Sudah tuli, eh, malah kurang ajar lagi! Dasar
setan goblok!" bentak laki-laki cebol itu, seraya menghindari dengan merebahkan
tubuhnya. "Keparat...!"
Kebo Koneng semakin geram saja, ketika melihat si cebol melesat, lalu duduk
tenang di sebuah cabang pohon yang berada di atasnya.
"Mukamu yang keparat, Goblok!" balas si cebol sambil memaki lagi.
Kebo Koneng mendengus geram. Kemarahannya semakin meluap. Mendadak, tangan
kanannya disorongkan ke atas sambil membentak keras.
"Mampus...!"
Prasss! Selarik sinar ungu langsung melesat ke atas, menghantam orang cebol itu.
Akibatnya, cabang pohon yang diduduki hancur berantakan, tapi tubuh si cebol
sendiri telah lenyap entah ke mana.
"He he he...! Ternyata tidak sia-sia si kuntilanak Nini Towok itu mengajarimu
pukulan 'Penghancur Tulang'. Pukulan itu memang hebat, tapi hanya untuk batang
kayu. Tapi kalau untuk tubuhku, kau harus belajar sepuluh tahun lagi, Bocah...."
Kebo Koneng jadi terkejut dan berbalik ketika tahu-tahu si cebol sudah berada di
belakangnya. Lebih kaget lagi ternyata pukulan yang barusan dilancarkannya diketahui si
cebol. Dipandangrnya orang tua itu tajam-tajam. Mungkinkah dia teman Eyang
Guru..." Tapi, Eyang Guru pernah berkata kalau tidak memiliki teman seorang pun.
Semua tokoh persilatan telah memusuhinya. Baik dari golongan lurus, maupun dari
golongan sesat.
"Hei, Orang Tua Cebol! Siapa kau sebenarnya"!
Dan, dari mana kau tahu pukulan yang kukerahkan tadi..."!" tanya Kebo Koneng
dengan suara serak
bernada curiga.
"He he he...! Dasar bocah goblok! Kau pikir di kolong langit ini siapa yang
tidak tahu segala yang dimiliki gurumu, heh"! Ilmu kuntilanak yang haus perjaka
itu bukan rahasia lagi, Tolol!"
"Kurang ajar! Berani kau menghina guruku!
Kuhajar kau, Cebol Sial!"
"He he he..! Aku jadi sangsi apakah kau mampu menghajarku, Bocah Tolol! Ayo ke
sinilah kalau ingin kepalamu kukemplang!" sahut orang tua cebol itu, terus
mengejek. "Keparat! Hiyaaat..!"
"Uts! Seranganmu kurang bermutu. Kau harus belajar sepuluh tahun lagl," ledek
laki-laki cebol itu, seraya mengelak.
"Phuih! Tutup mulutmu! Sebentar lagi akan kurobek mulutmu!"
"He he he...!"
Berkali-kali Kebo Koneng melepaskan serangan-serangan bertubi-tubi, namun
sedikit pun tidak ada yang membuahkan hasil. Orang tua bertubuh cebol itu betulbetul membuktikan ejekannya. Bahkan sama sekali tidak memandang sebelah mata
pada serangan maupun pukulan maut yang dilancarkan Kebo Koneng, Malah, serangan
baliknya membuat Kebo Koneng jadi tersentak kaget.
"Huh!"
Kebo Koneng mencoba menghindar dari sodokan kaki lawan, dengan memiringkan
tubuhnya ke kiri.
Namun laki-laki cebol itu melepaskan sabetan tangan kiri yang menderu ke arah
dada lawan. Tidak ada kesempatan bagi Kebo Koneng untuk menghindar.
Desss! "Aaakh...!"
Kebo Koneng kontan menjerit kesakitan sambil terhuyung-huyung ke belakang begitu
terhantam pukulan telak.
"Apa kataku" Ilmu yang kau miliki masih mentah, tapi sudah sok jago!" ejek orang
tua cebol itu Maka semakin gusar saja Kebo Koneng mendengar kata-kata laki-laki
cebol itu. Satu hal yang membuatnya penasaran adalah, bagaimana mungkin lawannya
mampu memasukkan pukulan" Padahal selama ini, dia beranggapan ilmu silatnya
sudah cukup hebat. Betapa tidak..." Sebab, gurunya sendiri yang mengatakannya.
Tapi si cebol ini, sama sekali tidak merasakan kesulitan menghadapinya. Bahkan
terlihat memandang rendah sekali.
"Orang tua! Maaf, aku tidak bisa meladenimu lebih lama. Kalau tidak punya urusan
lain, sudah sejak tadi kepalamu kupecahkan. Kapan-kapan kita teruskan urusan
kita," kata Kebo Koneng dengan nada mengalah.
"Ha ha ha...! Siapa yang peduli dengan urusanmu"
Kau sendiri mengganggu urusanku!"
"He, urusanmu yang mana yang kuganggu...?"
"Dasar goblok! Hei! Bukankah kau tadi melihat aku sedang apa?" tuding orang tua
cebol itu. Matanya mendelik garang, persis seperti sedang memarahi bocah yang
berbuat salah. "Orang tua! Mungkin kau telah pikun, atau sudah gila. Mana ada orang memancing
di air yang dalamnya kurang dari sejengkal" Lagi pula, mana ada ikan di tempat
seperti itu" Dan lagi, aku tidak pernah mengganggu urusan memancingmu, heh..."!"
sahut Kebo Koneng merasa menang.
"Dasar tolol! Siapa yang mengatakan kalau aku sedang memacing ikan...?"
Kebo Koneng tersedak. Seketika kejengkelannya semakin menjadi-jadi mendengar
jawaban ngawur si cebol yang mau menang sendiri saja.
"Orang tua sinting! Siapa pun tahu kalau alat yang kau gunakan itu untuk
memancing, Kalau tidak, apa urusannya kau berada di sini sambil memegang alat
pancingmu...?"
"Dasar otak bebal! Kau sendiri yang mengatakan kalau tempat ini tidak layak
untuk memancing. Jadi, mana mungkin aku memancing ikan seperti yang kau duga.
Aku tidak setolol dirimu, bocah!"
"Jadi apa yang kau kail?" tanya Kebo Koneng, mencoba menahan sabar.
Orang tua cebol itu hanya terkekeh kecil
"Apakah kau tidak melihat, apa yang kudapat" "
Kebo Koneng jadi mengernyitkan dahinya
"Ha ha ha...! Dasar bocah dungu. Aku sudah mendapat kakap jelek yang kepalanya
botak penuh koreng, dan badannya bau seperti tahi kebo. Nah, itulah yang
kudapatkan," sahut orang tua cebol itu sambil terkekeh.
Bukan main kalapnya Kebo Koneng mendengar kata-kata itu. Jadi, dirinya yang
dimaksud orang tua cebol ini"
"He. Cebol! Apa yang kau inginkan dariku"!"
bentak Kebo Koneng garang.
"Kepalamu yang jelek itu untuk kutendang." sahut orang tua cebol itu.
"Keparat!"
"Heh! Memakilah sepuasmu...."
"Huh! Rupanya harus kupecahkan dulu kepalamu, sebelum aku pergi!" dengus Kebo
Koneng. Langsung dia melompat dan menyerang orang tua cebol itu.
"He he he...! Berani juga rupanya kau..."
"Yeaaa...!"
Kembali Kebo Koneng menyerang lawannya
dengan kalap dan bertubi-tubi. Agaknya dia bermaksud menghabisi jiwa laki-laki
cebol itu dalam waktu singkat. Tapi, hal itu ternyata tidak mudah.
Karena selain gesit dan lincah, orang tua cebol itu sendiri kelihatan tenangtenang saja. Sedikit pun tak terlihat kalau terdesak. Bahkan tampaknya sengaja
mempermainkan lawan dengan terus-menerus mengelak untuk menguras tenaga Kebo
Koneng. Dan dia hanya sekali balas menyerang, untuk membuat lawan terkejut dan
jungkir balik menyelamatkan diri.
"Hiyaaat...!"
Dan ketika Kebo Koneng menyerang dengan
melepaskan tendangan setengah putaran, laki-laki cebol itu memapaknya dengan
tangan kanan. Plak! Mendapat papakan seperti itu, tubuh Kebo Koneng jadi melintir berbalik. Dan
kesempatan itu tidak disia-siakan si cebol. Dengan gerakan cepat, tubuhnya
melesat sambil melepaskan saatu pukulan keras ke perut.
Diegk! "Aaakh!"
Kebo Koneng kembali terpekik, ketika perutnya terkena hajaran telak lawannya.
Tubuhnya langsung terhuyung-huyung ke belakang diiringi tawa orang tua cebol
itu. "He he he...! Ayo, keluarkan segala kemampuan yang kau miliki! Umbarlah pukulan
'Penghancur Tulang' yang kau miliki itu untuk menghadapiku!"
ledek si cebol.
"Keparat! Kau harus mati. Cebol!" dengus Kebo Koneng cepat kembali menyerang
lawan dengan garang. "Hup! Bagus..!"
"Yeaaa...!"
"Uts...! Hebat! Pukulan "Penghancur Tulang'mu lagi-lagi hanya mengenai angin.
Kenapa" Apa kau sudah takut menghadapiku" He he he...!"
"Setan!"
"Hei"! Jangan memaki! Lebih baik, pecahkan kepalamu yang bodoh dan jelek itu!"
"Sial!"
"Ha ha ha...!"
"Hiyeaa...!"
"Hm.... Kini bersiaplah menerima kematianmu!"
dengus orang tua cebol itu sambil memasang wajah bengis.
Begitu selesai bicara, laki-laki cebol itu tampak membuka jurus dan mulai
melancarkan serangan cepat bertenaga dalam kuat ke arah Kebo Koneng
"Yeaaa...!"
"Uts!"
Kebo Koneng langsung jungkir balik menghindari diri dari serangan lawan yang
bertubi-tubi. Dan begitu bangkit kembali, lagi-lagi datang sebuah serangan.
Terpaksa Kebo Koneng harus memapaknya, karena untuk menghindar sudah tidak
mungkin. Maka ...
Plak! Tubuh Kebo Koneng terjajar beberapa langkah begitu tangannya beradu dengan
tangan si cebol.
Bahkan tangannya terasa nyeri seperti kesemutan.
Dari sini bisa dilihat kalau tenaga dalamnya kalah jauh.
Sementara itu, begitu melihat lawannya terjajar, si cebol segera berlari
menyusur tanah. Langsung dilepaskannya satu pukulan telak ke dada, begitu
dekat dengan lawannya.
Bugk! "Aaakh. ..!"
Kembali Kebo Koneng memekik ketika satu
pukulan telak bersarang di dadanya. Tubuhnya langsung terpental dengan isi dada
terasa seperti remuk. Tapi serangan orang tua cebol itu tak berhenti sampai di
situ. Sebelum tubuh Kebo Koneng menyentuh tanah, tubuhnya telah lebih dulu
melesat kembali sambil mengirim serangan susulan. Kali ini, agaknya bisa
dipastikan kalau nyawa Kebo Koneng berada di ambang neraka.
Namun, belum juga serangannya mendarat di tubuh Kebo Koneng, mendadak....
"Ki Dara Pincung, harap kau sudi memberikan kesempatan padaku untuk menghukum si
keparat itu!"
Tiba-tiba terdengar bentakan kecil dan nyaring.
"Siapa"!"
Laki-laki cebol itu seketika menghentikan serangannya.
Tiba-tiba saja tidak jauh dari situ berdiri sesosok laki-laki tua berkumis dan
berjanggut panjang yang telah memutih. Sorot matanya yang lembut, namun
menunjukkan kegarangan dan kebencian yang memuncak terhadap Kebo Koneng. Orang
tua gagah bertubuh agak kurus itu membawa sebilah pedang di punggungnya.
Tubuhnya lalu membungkuk memberi salam penghormatan kepada orang tua cebol yang
dipanggil Ki Dara Pincung
"Oh! Kukira siapa. Tidak tahunya sobatku. Ki Ageng Kunir. Hm.... Ada urusan apa
kau dengan kecoa busuk ini. Ki?" tanya Ki Dara Pincung bernada ramah, setelah
menghentikan serangan mautnya pada Kebo
Koneng. "Mereka sudah menewaskan kedua muridku,"
sahut laki-laki tua yang dipanggil Ki Ageng Kunir geram.
"Hm. Dari mana kau tahu itu?"
"Sebentar lagi, si keparat itu akan mengaku..."


Pendekar Rajawali Sakti 100 Kemelut Hutan Dandaka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ki Dara Pincung hanya mendiamkan saja ketika Ki Ageng Kunir mendekati Kebo
Koneng dengan wajah geram.
"He, Keparat! Apa kau tidak mengaku sudah mencelakai dua muridku...?" bentak Ki
Ageng Kunir dengan sorot mata tajam.
"Oh! Siapa... siapa kau...?" tanya Kebo Koneng berusaha bangkit sambil mendekap
dadanya yang terasa sakit bukan main.
"Aku Ki Ageng Kunir. Nah, apakah kau masih mau mengelak..?"
Pada dasarnya Kebo Koneng adalah orang yang tolol dan tidak tahu banyak selukbeluk tokoh persilatan. Dia juga tidak punya teman, selain Supit Gadar. Jadi
tidak pernah terpikir dalam benaknya kalau perbuatannya selama ini berakibat
buruk dan ada orang yang menagih hutang nyawa. Maka ketika Ki Ageng Kunir
berkata demikian, dia hanya semakin bingung saja. Sama sekali tidak dimengerti
apa maksud perkataan orang ini
"Keparat! Kau masih pura-pura, heh..."!" geram Ki Ageng Kunir sambil mengayunkan
kaki kanannya. Tak! "Akh...! "
Kebo Koneng menjerit keras ketika dagunya dihajar Ki Ageng Kunir. Tubuhnya
sampai terjungkal ke belakang dengan beberapa buah gigi tanggal.
Sehingga mulutnya berlumur darah Ki Ageng Kunir
segera mendekati sambil berkacak pinggang.
"Aku tak peduli kau mampu atau tidak melawanku.
Tapi, kau akan mampus kalau tak mengaku juga!"
"Eh...! Aku..., aku tak tahu apa yang kau maksud..."
"Sial! Hei! Muridku yang laki-laki ditemukan mati dengan muka pucat. Sedangkan
muridku yang perempuan pun demikian, setelah dinodai dengan keji. Mayat mereka
dibuang begitu saja di bawah jurang Hutan Dandaka. Nah, apakah kau akan
mengelak"! "
"Eh! Apa..., apakah murid-muridmu itu adalah pemuda bersenjata kapak dan gadis
bersenjata pedang...?"
"Nah! Ternyata ingatanmu masih baik, bukan"
Hih!" Begkh! "Akh...!"
Kebo Koneng kembali terkapar di tanah, begitu mendapat hantaman keras. Lagi
pula, Ki Ageng Kunir tak ingin Kebo Koneng mati begitu saja. Dia memang harus
disiksa dulu, dan harus mati pelan-pelan.
Rasanya keenakan baginya bila langsung mati.
"Ayo, bangkit! Lawanlah aku jangan mereka yang bau kencur dan tak tahu apa-apa!
Ayo, lawan gurunya ini!"
Wut! Das! Ki Ageng Kunir kembali menghajar Kebo Koneng, namun tidak disertai tenaga dalam.
Dan agaknya dia tak memberi kesempatan sedikit pun kepada Kebo Koneng. Amarahnya
ditumpahkan kepada Kebo Koneng. Dia tak peduli, apakah Kebo Koneng melawan atau
tidak. Laki-laki berkepala botak penuh koreng itu berkali
kali menjerit kesakitan. Tubuhnya yang memang sejak tadi sudah lemah, semakin
tak berdaya saja
"Ayo, lawan! Bangun dan keluarkan seluruh ilmu silatmu yang hanya buat menakutnakuti muridku yang masih bau kencur dan tak bisa apa-apa!" teriak Ki Ageng
Kunir jengkel. Sekujur tubuh Kebo Koneng terasa luluh lantak dan amat tak berdaya. Darah telah
mengucur dari kepala, hidung, mulut, dan telinganya. Jerit kesakitan seperti tak
pernah berhenti keluar dari mulutnya Namun, belum terlihat tanda-tanda kalau Ki
Ageng Kunir akan menyudahi stksaannya. Agaknya orang tua itu masih garam
bercampur dendam atas kejadian yang menimpa kedua muridnya.
Sementara, Ki Dara Pincung sandal hanya
terkekeh kekeh kecil sambil menggeleng melihat perbuatan sobatnya. Namun....
"Orang tua busuk, hentikan perbuatanmu! Akulah lawanmu!"
"Hah"!"
Seketika kedua orang tua itu tersentak. Dan begitu mereka berbalik, tampak lakilaki berambut tipis berwajah penuh cambang bauk sudah berdiri di depan mereka.
Tubuh orang itu bertelanjang dada.
Sorot matanya tajam menusuk, dan hawa amarah terlihat jelas di wajahnya.
"Hm... Kau pasti kawannya juga!" bentak Ki Ageng Kunir garang
"Benar Namaku Supit Gadar!"
*** 6 "He he he...! Ini yang namanya ular mendatangi penggebuk!" sahut Ki Dara Pincung
sambil terkekeh-kekeh
Sebaliknya, Ki Ageng Kunir wajahnya tampak semakin kelam dan sorot matanya
bertambah garang. Perlahan-lahan namun pasti, dihampirinya laki-laki yang baru
tiba di tempat itu
"Hm.... Jadi kau pun muridnya si Nini Towok"
Bagus!" dengus laki-laki tua itu dingin
"Dua orang tua bangka busuk! Apakah kalian tak malu mengerubuti seorang yang
telah tak berdaya"!"
"Mana lebih busuk ketimbang dua orang berjiwa binatang yang menewaskan dua orang
muridku yang tak bersalah secara kejam?"
"Apa maksudmu?" tanya Supit Gadar sambil mengerutkan dahi.
"Jangan bertanya! Tapi, akui saja perbuatan biadab kalian!"
"Kisanak! Aku semakin tak mengerti, apa yang tengah kau bicarakan?"
"He he he... Maling biasanya lebih suka lempar batu sembunyi tangan. Tapi bau
busuk yang disembunyikan pasti akan tercium orang lain!" sindir Ki Dara Pincung
acuh tak acuh. "Orang tua cebol! Apa maksud kata-katamu itu"
Yang kutahu kalian hanya dua orang tua hina yang melakukan pengeroyokan terhadap
temanku. Dan kini, kalian malah mencari alasan untuk memojokkan-ku! Phuih!
Sungguh perbuatan memalukan!"
"He he he.. ! Pintar kau bicara, Bocah. Tapi lebih banyak busa yang keluar dari
mulutmu yang bercampur bau busuk dan amat menjijikkan" sahut Ki Dara Pincung
tenang "Kurang ajar! Heh, Orang Tua! Tak usah banyak berbasa-basi segala. Apa yang
kalian inginkan sebetulnya"!" dengus Supit Gadar semakin geram.
"Kalau aku. Ingin langsung mengemplang kepalamu. Dan temanku, barangkali ingin
mengorek jantungmu buat dijadikan kalung di lehernya," sahut Ki Dara Pincung
masih terus bersikap tenang.
"Setan!"
"Hei! Jangan banyak memaki. Sini kau, biar kukemplang!
Supit Gadar tak bba menahan amarahnya lagi. Dan begitu kata-kata orang tua cebol
itu selesai, tubuhnya langsung melesat mengirim serangan bertenaga kuat
"Yeaaa...!"
"Ki Dara Pincung! Biarkan aku yang mengemplang anak sok jago ini!" dengus Ki
Ageng Kunir sambil melompat memapak serangan Supit Gadar
"Hm... Terserah kau saja. Sobat!"
Dan... Plak! Wut Supit Gadar tersentak kaget ketika telapak tangannya beradu dengan tangan lawan.
Terasa perih, dan membuat janrungnya bergetar tak menentu. Memang masih belum
disadarinya, apa yang menyebabkan. Yang jelas dia mulai menduga kalau lawan
memiliki kemampuan yang tak bisa dianggap remeh. Apalagi ketika orang tua itu
bukannya menahan serangannya, tapi malah berbalik ganas menyerang secara
bertubi-tubi. "Hm... Ilmu silatmu lumayan hebat, Orang Tua.
Siapa kau sebenarnya?"
"Siapa yang peduli pujianmu, Kutu Busuk"! Aku hanya peduli nyawamu untuk menebus
kematian kedua muridku yang telah kalian bunuh dengan keji."
"Kedua muridmu..." Ya..., ya. Aku ingat seorang pemuda dan seorang gadis berwajah
manis. Eh! Tahukah kau, Orang Tua" Gadis itu amat menawan dan membuat gairahku nyaris tak
berhenti. Dia cukup memuaskan kami berdua." Supit Gadar tersenyum-senyum kecil
ketika mengatakan hal itu. Supit Gadar memang bermaksud memancing kemarahan
lawannya yang memang telah memuncak. Dan kalau sudah begitu, biasanya
perhatiannya akan kacau-balau.
Tapi, sebenarnya Supit Gadar salah perhitungan.
Meskipun Ki Ageng Kunir semakin geram mendengar kata-kata Supit Gadar, justru
serangan-serangannya semakin ganas dan berbahaya.
"Binatang keparat! Kau akan mampus lebih dahulu!"
"Uts! "
Supit Gadar memang berhasil mengelakkan satu pukulan tangan kanan lawan. Namun,
ternyata tendangan kaki Ki Ageng Kunir lebih cepat lagi menyambar ke arah
perutnya. Des! "Aaakh...!"
Supit Gadar terjajar limbung disertai pekik kesakitan. Sementara itu Ki Ageng
Kunir melompat, tanpa memberi kesempatan kepada lawan.
"Yeaaa...! Uts, Setan!"
Ki Ageng Kunir memaki geram sambil membuang tubuhnya ke samping, ketika Supit
Gadar dalam keadaan bahaya begitu masih sempat melepaskan
pukulan mautnya, 'Kelabang Api'. Selarik sinar merah kekuningan yang berhawa
panas itu menderu dan nyaris menghantam tubuh Ki Ageng Kunir kalau tak sempat
dihindari. "He he he...! Hati-hati kau, Kunir. Salah salah kau malah nanti yang dicundangi
bocah itu dengan pukulan picisannya!" teriak Ki Dara Pincung mengingatkan sambil
tertawa-tawa kecil.
"Terima kasih, Pincung! Mudah-mudahan kau sendiri juga tak lengah. Salah salah
pukulan busuk-nya itu merebus dirimu!" sahut Ki Ageng Kunir tersenyum lebar.
"Sial!" jawab Ki Dara Pincung menggerutu kesal.
Ki Ageng Kunir terkekeh kecil. Tapi tiba-tiba....
"Akh...! "
"Hah"!"
Mendadak mereka semua yang ada di situ di kejutkan oleh jerit tertahan Kebo
Koneng. Dan ternyata seseorang telah muncul di tempat itu, dan langsung
memancung leher Kebo Koneng yang telah tak berdaya dengan bengis.
Supit Gadar tersentak kaget. Padahal walaupun terkejut, saat itu juga Ki Ageng
Kunir melancarkan serangan pukulan maut berisi tenaga dalam penuh.
Maka.... Begkh! "Aaakh!"
Tak ayal lagi, Supit Gadar memekik kesakitan dengan tubuh terjungkal
menyemburkan darah segar dari mulutnya. Dada kirinya seperti remuk dan
jantungnya pecah terkena hantaman lawan. Begitu jatuh di tanah, tubuhnya
menggelepar-gelepar sesaat, kemudian diam tak bergerak gerak lagi. Mati.
"Bidara Condong! Hm... kukira siapa," sahut Ki
Dara Pincung bernada datar, ketika menhat kehadiran seorang laki-laki berambut
gondrong dengan dahi lebar dan ubun-ubun botak. Pedang besarnya masih berlumur
darah. Dan matanya tajam memandang kedua orang tua itu sekilas.
"Aku tak peduli siapa kalian. Tapi, siapa pun yanq berurusan dengan Nini Towok,
mesti mampus di tanganku!" sahut laki-laki berpakaian serba hitam dan kalung
penuh kepala tengkorak yang dipanggil Bidara Condono,
Setelah berkata demikian. Bidara Condong langsung pergi meninggalkan mereka.
"Manusia aneh tak beradat!" umpat Ki Dara Pincung.
Ki Ageng Kunir hanya tersenyum kecil.
"Ki Dara Pincung, terima kasih atas bantuanmu Maaf, aku harus pergi ke Hutan
Dandaka sekarang juga untuk meminta pertanggungjawaban Nini Towok," ucap Ki
Ageng Kunir bersiap pergi.
"He, tunggu dulu!"
"Apakah ada sesuatu yang ingin kau katakan, Ki?"
"Sial! Memangnya kau saja yang berurusan dengan kuntilanak itu" Ayo, berangkat!"
sahut orang tua cebol itu sambil melesat pergi.
Ki Ageng Kunir menggeleng pelan sambil tersenyum kecil, mengikuti orang tua
cebol di samping-nya.
*** Sementara di tempat lain, Nini Towok tengah memandang Pandan Wangi sambil
menyeringai kecil.
Suasana ruangan itu agak temaram. Dan satu-satunya cahaya yang menerangi hanya
obor kecil yang tergantung di dinding pondok. Sehingga, perempuan tua itu tak terlalu
memperhatikan perasaan geram yang terbias di wajah Pandan Wangi.
Gadis itu memang sudah siuman, namun masih dalam keadaan tertotok.
"He he he...! Sebentar lagi kekasihmu akan datang ke sini...!"
"Huh! Jangan terlalu yakin! Dia tak peduli sama sekali!"
"Hm, begitu" Kalau sampai besok dia tak datang, kau akan kuserahkan pada kedua
muridku!" sahut Nini Towok dingin.
Pandan Wangi bergidik ngeri mendengar kata-kata Nini Towok. Betapa tidak!
Terbayang sesuatu pengalaman nista yang akan dialaminya. Terbayang dalam
ingatannya ketika bola mata Supit Gadar yang rakus menjilati seluruh tubuhnya
dari kepala hingga kaki. Padahal, melihat wajah jelek dan menakutkan itu saja,
perutnya sudah mual. Apalagi kalau setan itu sampai menggerayangi tubuhnya.
Mungkin Pandan Wangi akan pingsan, karena tak kuat menahan amarah dalam
ketidakberdayaannya
Nini Towok sendiri agaknya perempuan cerdik. Dia tahu Pandan Wangi hanya ditotok
oleh Supit Gadar.
Meskipun tolokan itu kuat, namun gadis itu bukan wanita sembarangan. Tenaga
dalamnya cukup kuat, sehingga bisa jadi akan mampu melepaskan diri secara diamdiam. Dia berpura-pura tetap tidak berdaya, kemudian membokong di saat lengah.
Itulah sebabnya, gadis ini diikat dalam sebuah tonggak.
Kedua tangan dan kaki Pandan Wangi diikat kuat-kuat dengan tambang dari oyotoyot pohon yang lentur dan tidak mudah putus.
"Hi hi hi.! Kenapa kau diam" Takut ..?" ejek Nini
Towok sambil terkikik pelan.
"Phuih! Apa yang kutakutkan padamu?"
"O, tentu.... Tentu saja kau tidak takut padaku. Aku percaya. Tapi ketika dua
muridku menggerayangi tubuhmu, apa kau masih tidak takut juga " Hi hi hi..."
"Perempuan setan! Kau benar-benar terkutuk.
Manusia binatang...!" maki Pandan Wangi geram.
Nini Towok hanya terkikik mendengar makian yang dilontarkan Pandan Wangi. Dan
sebenarnya, dia tidak tahu kalau kedua muridnya tak akan muncul lagi di
hadapannya. "Hi hi hi..! Memakilah sepuasmu, sehingga akan semakin membuatku senang."
"Dasar binatang!"
"He"! Kau akan lihat sendiri, apa kekasihmu itu lebih baik dariku...?"
"Huh! Mudah-mudahan kau akan mampus
ditangannya."
"Hi hi hi..! Begitukah kau menilaiku" Nini Towok bukanlah orang sembarangan, Cah
Ayu. Dan kekasihmu hanya kelinci nakal yang akan memuaskan rasa laparku saja.
Apa susahnya menangkap seekor kelinci...?"
"Kau terlalu sombong, Perempuan tua. Kau belum mengenal Pendekar Rajawali
Sakti." "Hm, kenapa tidak" Aku sudah banyak mendengar cerita mengenai kekasihmu. Bahkan
aku pernah melihatnya juga. Tapi ya.... tentu saja dia tidak mengenaliku. Karena
saat itu, aku tidak memper-kenalkan diri."
"Apa kau tak malu pada dirimu sendiri?"
"Malu..." Kenapa harus malu?" Nini Towok malah balik bertanya.
"Berkacalah di mata air sana. Dan kau akan
melihat kulit-kulit tubuhmu yang sudah keriput dimakan usia. Sangat tidak pantas
perempuan seusiamu mempunyai pikiran kotor pada pemuda-pemuda blia. Kau bukan
saja berpikiran kotor, tapi perbuatanmu amat menjijikkan. Tidakkah terbersit
dalam hatimu untuk menyadari kekeliruanmu" Atau, barang kali memang kau glla dan
memiliki kelainan...?"
Nini Towok memandang tajam ke arah Pandan Wangi. Wajahnya yang tadi cerah, tibatiba berubah tegang. Bahkan menakutkan. Tanpa sadar, Pandan Wangi jadi bergidik
ngeri membayangkan wajah perempuan tua yang mengerikan itu.
"Hm... Kau tahu apa tentang kehidupan Cah Ayu.."
Hidupmu hanya dipenuhi kesenangan dan
kemewahan belaka. Pernahkah kau merasakan kesengsaraan. dijauhi semua orang, dan
hidup dalam penderitaan lahir batin" Coba bayangkan dan pikir, apa kira-kira
yang akan kau lakukan bagi kehidupanmu sendiri dan bagi orang lain yang


Pendekar Rajawali Sakti 100 Kemelut Hutan Dandaka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memusuhimu?" tanya Nini Towok dingin.
Pandan Wangi terdiam. Dipandangnya perempuan tua itu sekilas. Kemudian,
kepalanya menunduk lesu.
Kata-kata perempuan tua itu dikeluarkan lewat nada yang pahit dan getir. Tapi
sebenarnya apa yang dituduhkan perempuan tua ini terhadap Pandan Wangi tidak
semuanya benar. Dan mungkin Pandan Wangi bisa menyadari, kalau penderitaan yang
pernah dialaminya, tidak setara dengan penderitaan Nini Towok.
Tapi benarkah begitu" Paling tidak bisa dirasakan-nya lewat nada suara dan sorot
mata perempuan tua itu. "Hhh ... itu masa lalu. Dan setiap orang mempunyai masa lalu yang berbeda.'' lirih sekali suara Nini Towok meneruskan katakatanya. Pandan Wangi semakin merasakan kegetiran yang dialami perempuan tua itu lewat
helaan napas dan nada suaranya.
"Sudahlah. Ada baiknya kau bersiap-siap, Cah Ayu," mendadak Nini Towok berdiri
tegak Pandan Wangi merasakan kalau perempuan tua ini sedang menunggu seseorang. Atau,
mungkin beberapa orang. Mungkin juga kedua muridnya. Dan...
"Nini Towok! Keluar kau, Perempuan Jalang!"
Pandan Wangi tersentak dan mengangkat kepala ketika terdengar bentakan dari
luar. Namun, perempuan tua itu malah tampak tersenyum.
Kemudian sambil memandangnya sekilas, dia berjalan menuju pintu.
"Mereka telah datang...."
"Siapa mereka?" tanya Pandan Wangi.
Nini Towok diam membisu.
*** Pandan Wangi tidak tahu apa yang terjadi di luar sana. Lewat celah-celah
dinding, yang terlihat hanya suasana gelap di luar yang berubah terang.
Sementara di luar, beberapa orang tampak membawa obor. Senja memang baru saja
berlalu. Namun, suasana di hutan ini seperti malam pekat Nini Towok menyeringai
dingin di depan pintu sambil memandangi mereka satu persatu. Tampak lebih dari
sepuluh tokoh persilatan sudah mengepung pondoknya rapat-rapat. Wajah mereka
tampak garang dan penuh amarah, yang terlihat oleh cahaya obor.
"Nini Towok! Tidakkah kau merasa jera akibat
perbuatanmu di masa lalu"! Dan kini, kau bersama kedua muridmu membuat kekacauan
di mana-mana. Hm.... Kami tidak bisa mendiamkan begitu saja. Dan kau akan menerima
hukumannya!" kata salah seorang pembawa obor itu dengan suara lantang.
"Sudira! Apakah aku pernah berjanji pada kalian untuk mengaku kalah" Hm...
Kalian terlalu gegabah memasuki wilayahku. Pulanglah kalian semua, sebelum aku
bertindak tegas!"
"Perempuan hina! Apa kau pikir kami takut oleh ancamanmu itu" Kau dan muridmuridmu adalah pengacau dan patut dilenyapkan dari muka bumi ini.
Suruh kedua muridmu itu menyerahkan diri, juga kau...!" sahut laki-laki yang
tadi dipanggil Sudira.
"Hm.... Tidak semudah apa yang kau katakan itu, Sudira. Kau boleh menangkapku
dan juga kedua muridku, setelah melangkahi mayatku. Kali ini, aku tidak akan
lari begitu saja dari kalian. Siapa yang ingin mampus lebih dulu, silakan maju!"
tegas Nini Towok bernada mengancam.
"Kurang ajar...!"
"Sudira! Sudah jangan banyak mulut lagi. Biar kami yang akan meringkus
kuntilanak keparat ini!"
sungut salah seorang dengan geram.
Orang itu langsung melompat ke arah Nini Towok.
Sedangkan golok besar di tangannya cepat diayunkan, mengincar tubuh perempuan
tua itu. "Cokro! Hati-hati kau...!" teriak Sudira mem-peringatkan.
"Jangan khawatir, akan kupersembahkan kepala kuntilanak ini pada kalian!" kata
laki-laki yang baru saja menyerang, dan ternyata bernama Cokro.
"Hi hi hi...! Bukankah kalau kepalamu saja yang lebih dulu kutendang?" sambut
Nini Towok sambil
menghindar dan balas menyerang, dengan ayunan kakinya yang menendang kepala
lawan. Wut! Bet! "Uts..! Shaaa!"
Laki-laki bertubuh besar bernama Cokro itu mengelak dengan gesit. Lalu langsung
dibalasnya serangan Nini Towok dengan ayunan golok besarnya ke arah kaki lawan.
Namun, Nini Towok lebih cepat lagi menarik kakinya. Dan dengan tubuh berputar,
dia melompat melewati kepala lawannya, bermaksud menghajar ubun-ubun.
"Yeaaah...!"
"Hup!"
Melihat serangan itu, Cokro cepat berkelit ke samping sambil membabatkan
goloknya ke atas. Tapi siapa sangka kalau sabetannya hanya membelah angin
belaka, karena lawan sudah lenyap entah ke mana. Cokro celingukan mencari-cari,
seperti orang kebingungan. Namun mendadak....
Des! "Aaakh...!"
Tiba-tiba satu tendangan keras menghantam ulu hatinya. Laki-laki bertubuh besar
itu kontan memekik kesakitan. Tendangan yang dilakukan ujung kaki perempuan tua
itu keras bukan main, sehingga membuatnya terjungkal. Namun belum lagi Cokro
sempat memperbaiki keadaan, tendangan selanjut-nya yang tidak terduga sama
sekali tidak mampu dielakkan lagi. Maka....
"Yeaaah...!"
Diegh.... Krek!
"Aaa...! "
"Cokro...!"
Ujung kaki Nini Towok tepat mendarat telak pada tulang lehernya, hingga
terdengar tulang berderak patah. Tubuh Cokro terlempar dan persis jatuh di depan
orang-orang itu, dalam keadaan tidak ber-nyawa lagi. Sudira dan yang lainnya
berseru kaget dan menghampin Cokro.
"Kita hajar kuntilanak itu sama-sama!" teriak Sudira memberi perintah, begiru
telah memastikan kalau Cokro telah tewas.
"Hancurkan perempuan Iblis itu...!"
"Yeaaa...!"
"Hiyaaa...!"
Nini Towok hanya mendengus meremehkan
melihat mereka maju berbarengan. Bahkan dia masih tampak tenang-tenang saja
ketika serangan lawan dekat. Baru ketika hampir menyambar tubuhnya, dia melompat
ke atas dan langsung berputaran beberapa kali. Dan dengan gerakan manis sekali,
dia sudah mendarat di belakang barisan orang-orang itu. Dan langsung dihajarnya
salah seorang yang berada di dekatnya.
Begkh! "Akh!"
"Sial..!"
"Hati-hati! Kuntilanak ini semakin lihai saja...!"
Pertarungan yang tidak seimbang pun berlangsung sengit. Namun Nini Towok sama
sekali tidak mem-perlihatkan kegentarannya. Malah dengan bengis dan kejam
sekali, dihajarnya lawan satu persatu tanpa kenal ampun.
*** 7 Hari telah menjelang senja. Kegelapan mulai menyergap sekitar pinggiran Hutan
Dandaka. Pada saat ini, tampak Pendekar Rajawali Sakti bersama seorang prajurit
dari Kerajaan Pandarakan sudah tiba di pinggiran hutan ini. Tempat Pandan Wangi
dan Panglima Sura Darma serta pasukannya menunggu.
Namun suasana terlihat sepi dan tidak seorang pun terlihat.
"Apakah kau yakin mereka berada di sini?" tanya Rangga cemas.
"Aku yakin sekali."
"Lalu, ke mana mereka sekarang?"
Prajurit itu tidak mampu menjawab, dan hanya mencari-cari lewat pandangan
matanya. "Cobalah, ingat-ingat. Barangkali kau lupa," ujar Rangga lagi.
"Tidak. Aku yakin di sinilah mereka akan menunggu kita "
"Hm...." Rangga bergumam pelan.
"Aku.... Aku tidak berdusta. Kisanak"
"Ya, ya. Aku mengerti. Mungkin mereka sudah berpindah. Dan sebaiknya kita cari
di sekitar sini,"
sahut Rangga sambil menarik tali kekang kudanya.
Dan mereka kini berkeliling, memutari tempat itu
"Lihat..! Ada apa di sana"!" tunjuk prajurit itu ketika melihat banyak sekali
burung pemakan bangkai yang beterbangan di depan.
Melihat itu, dada Rangga jadi berdebar-debar tidak menentu. Jantungnya berdetak
lebih kencang lagi.
Dia memang mengkhawatirkan nasib Pandan Wangi.
Harapannya, mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu pada gadis itu.
"Haaa..! Ayo, Dewa Bayu. Bawa kami ke sana secepatnya!" teriak Rangga sambil
menepuk leher kudanya.
Kuda berbulu hitam itu melesat cepat bagai kilat.
Dan sebentar saja, mereka sudah berada di tempat itu. Prajurit itu langsung
tersentak kaget ketika melihat seluruh prajurit kerajaan yang menyertai Panglima
Sura Darma telah tewas tanpa nyawa lagi.
Rangga buru-buru melompat turun dari punggung kudanya, dan mencari-cari kalaukalau Pandan Wangi ikut menjadi korban.
"Tidak ada. Ke mana dia...?" dests Rangga.
"Ada apa, Kisanak?" tanya prajurit itu.
"Pandan Wangi. Dia tidak ada di antara mayat-mayat ini," sahut Rangga.
"Apakah kemungkinan dia ... dia diculik?"
"Apa..."! Keparat!"
Prak! Prajurit itu terlonjak kaget ketika Rangga menghantamkan sebuah batu yang ada di
dekatnya hingga hancur berantakan. Wajahnya tampak menyiratkan kegeraman yang
memuncak. "Tunjukkan padaku, di mana mereka berada,"
pinta Rangga. "Mereka...?"
"Kedua orang itu!" bentak Rangga kesal.
"Eh...! Me..., mereka pasti berada di dalam Hutan Dandaka," sahut prajurit itu
dengan tubuh gemetar dan suara tercekat di tenggorokan.
"Mari kita berangkat," ajak Rangga, sambil melompat ke punggung kudanya.
"Ta... tapi..."
"Tapi apa" Apa kau akan mendiamkan saja semua ini terjadi" Sebagai seorang
prajurit sejati sudah selayaknya kau membela kebenaran. Mereka semua mati demi
menjalankan tugas. Lalu apa yang kau ragukan lagi" Ayo Ikut!"
"Di... di sana tempat tinggal Nini Towok."
"Siapa Nini Towok?"
"Guru kedua buronan itu."
"Huh! Siapa yang peduli padanya ..?"
"Dia kejam dan berilmu sangat tinggi. A.... aku...."
"Hm.... Kau takut..." Nah, kau boleh pergi. Tapi, tunjukkan padaku letak Hutan
Dandaka dan di mana persisnya sarang mereka."
"Eh! Hutan Dandaka berada di depan mata kita, Kisanak. Tapi sarang mereka aku
tidak tahu. Mungkin di dalam hutan itu."
Rangga memandang ke depan. Tampak tidak jauh dari tempatnya berdiri, Rangga
melihat segerumbulan pepohonan besar yang lebat dan gelap. Pendekar Rajawali
Sakti mendesah pelan dan diam-diam menggerutu kesal. Hutan itu begitu ruas, dan
tanpa pe-tunjuk jelas. Mau tidak mau, dia harus men-jelajahinya.
"Betul kau tidak mau ikut?"
"Eh! Aku..., harus melaporkan hal ini ke kerajaan,"
sahut prajurit itu menemukan alasan
"Baiklah. Kau boleh kembali dengan berjalan kaki," kata Rangga.
"Berjalan kaki?" tanya prajurit itu terperanjat.
Jarak yang mereka tempuh dengan berkuda saja, sudah begitu jauh. Apalagi
sepanjang perjalanan tidak terlihat sedikit pun ada mata air. Tanah-tanah retak
dan pepohonan gundul. Dan dia kini harus berjalan di
malam hari. "Ya, berjalan kaki." tegas Rangga.
Setelah berkata begitu, Rangga langsung saja me-macu kudanya kencang-kencang.
"Kisanak, tunggu dulu...! Aku ikut saja!" teriak prajurit itu.
Tapi Rangga sudah melesat jauh. Dan seandainya mendengar, Pendekar Rajawali
Sakti mana mau peduli lagi" Dia memang paling tidak suka pada orang penakut yang
hanya mementingkan
keselamatan sendiri. Padahal jelas sekali kalau tugas menangkap kedua buronan
itu terletak di tangannya.
Dan dia adalah salah seorang prajurit di bawah pimpinan Panglima Sura Darma yang
masih tersisa. *** Mencari sarang dua buronan yang sebenarnya telah tewas di hutan luas ini,
bukanlah pekerjaan mudah. Bahkan Dewa Bayu tidak bisa membantu banyak, sebab
banyak sekali cabang serta ranting pohon rendah yang mengganggu perjalanan.
Sehingga tidak jarang Pendekar Rajawali Sakti harus turun, lalu memilih berjalan
kaki sambil menuntun kudanya.
Sudah sejauh ini Pendekar Rajawali Sakti berjalan, namun tidak terdengar tandatanda akan terlihat sarang kedua buronan itu. Udara malam semakin dingin. Dan
kegelapan menyelimuti tempat itu. Malah Rangga harus mengerahkan indera
pendengarannya yang tajam untuk mengawasl keadaan sekitarnya.
"Hieeeh...!"
Mendadak saja, Dewa Bayu meringkik, Rangga menajamkan pendengarannya sambil
menepuk- nepuk leher kuda hitamnya. Memang, telinga Pendekar Rajawali Sakti mendengar
ribut-ribut seperti orang tengah bertarung.
"Ya! Aku juga mendengarnya, Dewa Bayu." ujar Rangga sambil mengikuti sumber
suara yang didengarnya.
Tidak berapa lama Rangga berjalan, terlihat cahaya terang di ujung jalan. Dan
sambil mengendap-endap, Rangga segera menuju sebuah pertarungan yang memang
terjadi. Tampak seorang perempuan tua bertubuh kurus tengah dikerubuti beberapa orang.
Namun perempuan tua itu tampak tidak terdesak sama sekali. Bahkan dari beberapa sosok
mayat yang bergelimpangan di dekat pertarungan, Rangga bisa menduga kalau
perempuan tua itu berada di atas angin. Diakah yang bernama Nini Towok"
"Hi hi hi...! Sudira! Sebentar lagi, kau dan anak buahmu akan mampus di tanganku!"
"Kuntilanak keparat! Kau boleh berkata apa saja.
Tapi, jangan harap kami akan melepaskanmu!"
"Hi hi hi...! Boleh juga semangatmu, Sudira!
Yeaaah...!"
Perempuan yang yang memang Nini Towok itu langsung melepaskan pukulan jarak Jauh
andalannya yang bernama pukulan 'Penghancur Tulang'.
Sementara, Sudira memang bisa menghindar.
Namun.... Plak! Plak! "Akh...!"
Beberapa orang kontan memekik kesakitan
dengan tubuh terhuyung-huyung begitu terhantam pukulan jarak jauh Nini Towok.
Dan mereka langsung ambruk ke tanah dalam keadaan tubuh mengerikan.
Sekujur kulit tubuh mereka hancur menjadi kecil-kecil itulah akibat menggiriskan
dari pukulan maut yang disertai aji 'Penghancur Tulang' yang dilancarkan Nini
Towok. "Perempuan iblis! Kau kira kami takut dengan ajianmu itu"! Huh...!" dengus
Sudira. kembali berniat melancarkan serangan lewat jurus andalannya.
"Hi hi hi..! Sudira! Kau goblok sekali beranl mengandalkan pukulan tidak berguna
itu," ejek Nini Towok sambil tertawa nyaring
"Yeaaah...!"
Sudira tidak mempedulikan ocehan perempuan tua itu. Disertai bentakan nyaring,
dilepaskannya pukulan-pukulan mautnya lewat Jurus 'Pukulan Kembang Merah'
berkekuatan tenaga dalam tinggi.
Pada saat yang bersamaan pula beberapa orang anak buah Sudira segera
menggabungkan kekuatan menjadi satu. Namun dengan gerakan lincah sekali.
Nini Towok berkelit menghindar. Bahkan kembali melepaskan pukulan jarak jauhnya.
"Hiyaaat...!"
Nini Towok menyentakkan kedua tangannya ke depan. Maka seketika meluruk secercah
cahaya kuning dari kedua tangannya. Sinar kurang itu terus meluruk, dan...


Pendekar Rajawali Sakti 100 Kemelut Hutan Dandaka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pras! "Aaa...!"
Kembali beberapa orang kontan terpekik dan ambruk di tanah terkena pukulan jarak
jauh yang dilancarkan perempuan tua itu. Mereka berkelojotan sesaat, lalu diam
tak berkutik lagi. Sudira menggeram sengit. Kini, jumlah mereka tinggal bertiga.
Dia tidak yakin, apakah mampu mengalahkan lawannya yang tangguh ini.
"Kenapa, Sudira" Kau mulai takut setelah kehilangan anak buahmu...?" ejek Nini
Towok. "Huh! Siapa yang takut menghadapimu" Aku akan mengadu jiwa denganmu, Nini
Towok!" dengus Sudira geram.
Bersamaan dengan itu, Sudira bersiap-siap melancarkan serangan. Kemudian sambil
membentak nyaring, tubuhnya melesat cepat ke arah lawan diikuti dua orang
temannya. "Hiyaaat..!"
"Hm.... Manusia-manusia tidak berguna! Kalian memang lebih baik mampus saja!"
dests perempuan tua itu dengan wajah menyiratkan kebengisan.
"Yeaaah...!"
Nini Towok kembali melepaskan pukulan jarak jauhnya, yang disusul meluncurnya
dua buah sinar berwarna kuning dari kedua tangannya yang dihentakkan, tak ada
yang tahu kalau Nini Towok melepaskan dua ajian sekaligus. Aji 'Penghancur
Tulang' dan aji 'Kelabang Api'. Maka...
Prak! Plak! "Aaah...!"
Kejadian itu cepat sekali. Dan tahu-tahu, terdengar keluh kesakitan dari ketiga
lawannya. Tubuh mereka langsung ambruk ke tanah tanpa nyawa lagi.
Dua orang kepalanya pecah terkena aji 'Penghancur Tulang'. Sedangkan Sudira
sendiri hangus terbakar terkena hantaman pukulan jarak jauh yang disertai aji
'Kelabang Api' yang sangat dahsyat itu.
"Chuih! Orang-orang tidak berguna seperti kalian memang harus mati!" dengus Nini
Towok sambil meludah dan berkacak pinggang.
"Ya! Mereka memang layak mampus, seperti juga
kau...!" "Heh..."!"
Nini Towok tersentak kaget dan berbalik, ketika tiba-tiba ada yang menyahuti
ucapannya. Matanya jadi menyipit dan menyorot tajam ke arah laki-laki berusia
sekitar lima puluh tahun berpakaian serba hitam yang sudah berdiri di
belakangnya. Wajah orang itu lebar dan hidungnya bulat. Rambutnya panjang dan
acak-acakan, seperti tak pernah diurus.
Di lehernya terdapat untaian kalung dari tengkorak kepala manusia. Dengan pedang
besar di pinggangnya, laki-laki itu tampak lebih menyeramkan. Apalagi saat
mendengus geram seperti saat ini.
*** "Bidara Condong! Ada maksud apa kau jauh-jauh datang ke tempatku ini?" tanya
Nini Towok dingin.
saat mengenali orang yang baru datang itu.
"Untuk meminta kepalamu!"
"Hi hi hi..! Kau sekarang terlihat makin galak saja.
Apalagi dalam keadaan menggeram begitu. Mana rasa sayangmu yang dulu" Apakah
sekarang kau tidak menyayangiku lagi?" suara Nini Towok terdengar merdu merayu
Tapi laki-laki bernama Bidara Condong itu tidak tersenyum sedikit pun. Bahkan di
wajahnya terbias perasaan geram yang memuncak.
"Perempuan liar! Jangan kau sebut-sebut lagi soal itu. Tidak cukupkah kau
menewaskan kakakku"! Kau bujuk dan kau jerat dia, hingga kau berpaling dariku.
Kemudian setelah itu, dia kau jadikan korbanmu. Dan kini, kau coba-coba
merayuku. Phuih! Tua Bangka Keparat! Cobalah berkaca. Tubuhmu sudah peot dan
wajahmu telah berkeriput. Meskipun kau masih semuda dulu. jangan harap bisa
membujukku lagi.
Apalagi dengan keadaanmu sekarang"
"Hi hi hi..! Sifatmu sejak dulu tak pernah berubah, Bidara. Kau tetap tegas dan
gagah. Tapi, kenapa baru sekarang kau menginginkan kematianku" Kenapa tidak
sejak dulu...?" sindir Nini Towok.
"Kalau dulu, itu kuanggap persoalan kalian. Lagi pula, aku masih sakit hati pada
Kakang Narasoma.
Tapi kini, persoalan menjadi lain. Seorang anakku diculik, saat aku tidak berada
di rumah. Dan ketika kutahu kalau kedua penculik itu muridmu, tahulah aku kalau
kaulah penyebabnya! Kaulah yang memerintahkan kedua muridmu untuk menculik
anakku, sekadar pemuas nafsu iblismu. Dan setelah itu, dengan seenak udelmu
mayatnya kau buang begitu saja. Hhh! Kau harus mampus, di tanganku, Perempuan
Jahanam!" geram Bidara Condong.
Suaranya terdengar bergetar menahan geram. Malah giginya terlihat bergemeretuk.
Setelah berkata begitu, Bidara Condong langsung mencabut pedangnya yang besar.
Langsung diserangnya perempuan tua ini.
"Mampus kau! Hiyaaat..!"
"Hup!"
Nini Towok cepat menghindar dengan gerakan lincah. Disadari betul kalau lawannya
kali ini bukanlah orang sembarangan. Bidara Condong memiliki tenaga dalam kuat.
Itu dapat terlihat dari angin serangannya yang menimbulkan hantaman kuat.
Bahkan mampu membuat lawan sedikit bergetar, meskipun tidak mengenal sasaran.
Maka, Nini Towok merasa perlu berhati-hati menghadapinya. Dia tidak berani
mengadu tenaga secara
langsung, kalau tidak ingin celaka. Sebab kalau ternyata tenaga lawan lebih
tinggi, dialah yang akan rugi. Tapi bila dibandingkan Bidara Condong, ilmu
meringankan tubuhnya lebih tinggi setingkat.
Sehingga, setiap serangan lawan mampu dihindari dengan gesit.
"Hm. Setelah sekian lama, ternyata kemajuanmu sangat pesat. Perempuan Keparat.
Dan yang pasti, itu hasil perbuatan keji. Kau pandai menyerap semua ilmu korbankorbanmu'" kata Bidara Condong sambil menghentikan serangannya.
"Hi hi hi... Kau sungguh bodoh, Bidara. Itu namanya kecerdikan! Bukan licik."
"Tapi bukan berarti kalau aku tidak mampu mengalahkanmu."
"Hm. Kenapa banyak mulut" Kalau memang
mampu, buktikanlah."
"Apa susahnya" Buktinya kedua muridmu sudah mampus. Dan sekarang tinggal kau
sendirian."
"Apa katamu..."!" tanya Nini Towok, kaget
"Kedua muridmu sudah mampus!"
"Bangsat! Kau yang membunuh mereka?"
"Sayang, hanya seekor bagianku." sahut Bidara Condong kalem.
Bidara Condong berkata demikian dengan harapan perempuan tua ini akan marah.
Apalagi menggunakan sebutan seekor. Dan berarti sudah penghinaan yang kelewatan
sekali. Sementara, Nini Towok memang kelihatan marah sekali. Tapi bukan karena
makian kata-kata seekor itu, melainkan...
"Setan! Berani benar kau mendahului aku!"
Dan kini gantian Bidara Condong yang merasa terkejut. Guru macam apa perempuan
ini" Mendengar muridnya tewas dan disamakan dengan
binatang, tapi malah menjawab seperti itu. Seolah dia tidak rela kalau orang
lain yang menghukum kedua muridnya, karena memang bermaksud menghukum-nya
sendiri. Bidara Condong jadi heran. Apakah di antara mereka memang tidak
sejalan" Bidara Condong buru-buru menepiskan pertanyaan terakhir-nya. Dia tahu
betul, perempuan tua ini sangat licik.
"Yeaaah...!"
Kini terlihat, serangan Nini Towok semakin gencar dan hebat saja. Segenap
kecepatan geraknya dikerah-kan untuk menghajar lawan. Akibatnya, Bidara Condong
jungkir balik dibuatnya. Bahkan dalam satu kesempatan dia nyaris terkena hajaran
perempuan tua itu kalau tidak buru-buru menjatuhkan diri ke bawah.
Belum juga Bidara Condong bangkit, perempuan tua itu sudah menyusuli dengan
serangan selanjut-nya. Maka sambil bergulingan. Bidara Condong buru-buru
melepaskan ajiannya yang bernama 'Klambang Mekar'. Ajian mengandung hawa dingin
yang mampu membuat tubuh lawan membeku dan pembuluh darahnya pecah itu ternyata
dihadapi Nini Towok dengan pukulan jarak jauh 'Penghancur Tulang'
disertai kekuatan penuh. Maka....
Glarrr! Sebuah ledakan dahsyat terdengar ketika dua ajian berbeda jenis itu beradu pada
satu titik. Kemudian.... "Akh!"
Bidara Condong tiba-tiba memekik kesakitan.
Tubuhnya yang memang sudah berada di tanah langsung terpental sambil memuntahkan
darah segar. Bukan saja karena pukulannya tidak mampu melukai lawan, tapi justru
ajiannya sendiri malah
berbalik menyerangnya. Sambil menjerit-jerit kesakitan. Bidara Condong
menggelepar di tanah.
Tapi, Nini Towok tidak memberi kesempatan sedikit pun. Bahkan tubuhnya sudah
melompat sambil berputar, dan kembali menghantamkan pukulan mautnya.
"Yaaah...! "
Pratt Bidara Condong tak bersambat lagi ketika tubuhnya remuk tak berbentuk. Kulit
tubuh dan tulang-tulangnya hancur dihantam pukulan maut lawannya. Nyawanya
kontan terlepas dari badan.
"Hhh! Pukulan maut yang hebat. Sayang, Bidara Condong sangat gegabah dan
menganggap enteng..."
Tiba-tiba terdengar suara bernada mengejek. Nini Towok melirik garang. Memang
sudah disadarinya kehadiran dua sosok tubuh itu, saat tadi bertarung melawan
Bidara Condong. Namun karena mereka tidak bertindak apa-apa, dia mendiamkan
begitu saja. Dan kini jelas bisa diketahui, siapa mereka.
"Dara Pincung dan Ageng Kunir! Mau apa kalian datang ke sini?" tanya Nini Towok.
"Meminta pertanggungjawabanmu...!" Ki Ageng Kunir yang menyahuti
"Hm... Dan kau, Kakek Cebol?"
"Aku" Hm Aku hanya rindu saja padamu. Telah lama kita tidak bertemu. Beginikah
sikapmu pada kenalan lama...?"
"Huh, Cebol Licik! Kau pikir aku tidak tahu maksudmu dengan berpura-pura baik
begitu"!"
"Hm.... jadi. kau tahu maksudku yang sebenarnya"
Baguslah..." sahut orang tua bertubuh cebol itu.
"Bukankah kau ingin membalaskan sakit hatimu karena muridmu tergila-gila
padaku?" ejek Nini Towok
sambil tersenyum sinis.
"Kau salah, Kuntilanak. Bukan dia, melainkan kaulah yang tergila-gila padanya.
Dan karena memang gila, kau perkosa dan kau bunuh bocah bau kencur itu."
"Hm... Siapa bilang dia bau kencur" Dia pemuda hebat yang luar biasa."
"He he he.. ! Dasar perempuan iblis, ya tetap iblis Hari ini kau tidak akan bisa
lari lagi dari tanganku!"
"Hi hi hi..! Akan kulihat sampai di mana kehebatanmu, Tua Bangka Cebol!"
*** 8 Ki Dara Pincung sudah bersiap membuka jurus.
Namun.... "Sobat! Biar aku yang lebih dulu menghajar perempuan iblis ini," cegah Ki Ageng
Kunir. "Huh! Apa pedulinya..." Kau mau maju meng-gepruknya sekalian pun aku tidak
peduli. Yang jelas, dia musti mampus di tanganku!" sahut orang tua cebol itu
tanpa tedeng aling-aling lagi.
"Tapi, Sobat..."
"Heh! Kau ingin mengatakan itu tidak adil"
Persetan dengan keadilan. Kalau kau juga ikut menggepruk perempuan sial ini,
silakan saja!"
Ki Ageng Kunir jadi ragu-ragu bergerak. Meskipun dia urakan, tapi masih memegang
peraturan pokok kalau mengeroyok lawan bukanlah perbuatan terpuji.
Tapi belum lagi orang tua cebol itu bergerak menyerang lawan, tiba-tiba saja
terdengar satu suara dari ambang pintu pondok gubuk Nini Towok.
"Kisanak, apakah tidak lebih baik kalau kita undi saja siapa yang lebih berhak
menggepruk perempuan itu...?"
"Siapa kau"!" bentak Ki Dara Pincung garang Tampaklah seorang pemuda tampan
berambut panjang. Bajunya rompi berwarna putih. Di punggungnya tersampir sebuah
gagang pedang berbentuk kepala burung. Dan di sebelahnya, terlihat seorang gadis
cantik berbaju biru muda. Dia memang Pendekar Rajawali Sakti bersama Pandan
Wangi. Memang, ketika Nini Towok tengah bertarung
malawan Sudira, diam-diam Rangga mendatangi pondok yang dilihatnya. Pendekar
Rajawali Sakti memang curiga terhadap pondok itu, dan langsung memeriksanya.
Ternyata di situ dia mendapatkan Pandan Wangi dalam keadaan terikat dan tertotok
di tiang. Maka langsung dibebaskannya gads itu.
Nini Towok yang melihat, mendadak saja wajahnya jadi kelihatan geram. Dan buruburu tangannya berkacak pinggang sambil melotot garang
"Bocah sial! Jadi kaukah yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti.."!" tanya Nini
Towok "Begitulah orang-orang memanggilku." sahut pemuda berbaju rompi putih itu,
merendah "Bagus. Akhirnya kau datang juga. Tapi sungguh gegabah perbuatanmu dengan
melepaskan tawanan-ku. Maka, kaulah yang akan menggantikannya sekarang juga!"
sambung Nini Towok sambil melompat menyerang pemuda itu.
"Sial! Kau pikir aku ini apa, heh..."!" bentak Ki Dara Pincung tiba-tiba, merasa
tidak dipedulikan perempuan tua itu.
Tidak pedull kalau saat ini Nini Towok tengah menyerang Pendekar Rajawali Sakti,
langsung diserangnya perempuan tua itu dengan gencar.
Akibatnya, perhatian Nini Towok jadi terpecah menjadi dua.
Dan hal itu tidak bisa diabaikan begitu saja.
Apalagi Ki Dara Pincung adalah tokoh tersohor yang memiliki kepandaian tinggi.
Dulu saja, kepandaiannya sudah sedemikian tinggi. Entah saat ini. Dan sifatnya
yang ugal-ugalan, sering membuat Nini Towok keteter.
Dia memang tidak peduli sopan santun segala macam. Maka begitu dianggap remeh,
tidak menyambut tantangannya, langsung dihajarnya
perempuan tua itu habis-habisan.
Akan halnya Pendekar Rajawati Sakti, dia langsung menghentikan serangannya
ketika Ki Dara Pincung ikut membantu. Padahal hatinya geram dan amarahnya
memuncak karena perlakuan kedua murid perempuan tua itu terhadap Pandan Wangi.
Dan Pendekar Rajawali Sakti hanya menunggu
kesempatan saja, bila Nini Towok tak bisa dikalahkan.
Berkali-kali Nini Towok dibuat jatuh bangun oleh serangan Ki Dara Pincung yang
berkepandaian tinggi.
Laki-laki cebol itu tidak memberi kesempatan sedikit pun. Namun sebagai seorang
tokoh berkepandaian tinggi. Nini Towok masih mampu membebaskan dari tekanan
lawan. Tubuhnya tiba-tiba melenting ke atas dan berputaran beberapa kali.
Kemudian tubuhnya meluruk turun dan mendarat manis di tanah, langsung memasang
kuda-kuda. Ditatapnya tajam-tajam Ki Dara Pincung dalam jarak dua tombak.
"Mau memamerkan pukulan mautmu itu, heh..."!"
ejek Ki Dara Pincung, ketika Nini Towok hendak melepaskan pukulan 'Penghancur
Tulang' yang sangat dibanggakannya. Rupanya laki-laki cebol itu sudah bisa
membaca gerakan lawan.
"Hih!"
Nini Towok tidak mempeduluiikan ejekan Ki Dara Pincung. Kedua telapak tangannya
yang terbuka, cepat dihentakkan ke depan. Maka seketika meluruk cepat secercah
sinar kuning dari kedua telapak tangannya, ke arah laki-laki cebol itu.
"Uts!"
Namun dengan manis sekali, Ki Dara Pincung menghindar. Lalu langsung dibalasnya
serangan itu dengan pukulan maut yang mengeluarkan cahaya
kebiru-biruan bagai nyala api hendak menyambar.
Werrr! Glarrr! Sebuah ledakan dahsyat terdengar begitu dua buah sinar beradu pada satu titik.
Nini Towok terperanjat kaget ketika tubuhnya terjajar beberapa langkah. Ajian
lawan memang nyaris membuatnya tewas. Untung saja tenaga dalamnya sudah cukup
tinggi. Namun saat itu juga tubuh Ki Dara Pincung terjengkang ke belakang dengan
mulut meringis. Rupanya tenaga dalamnya kalah sedikit di banding Nini Towok.
"Ayo, hadapi aku lagi. Perempuan jalang!" bentak Ki Dara Pincung, begitu
berhasil menguasai keseimbangannya.
"Cebol keparat! Kau akan mampus di tanganku!"
bentak Nini Towok geram, setelah berhasil mengatur jalan napasnya.


Pendekar Rajawali Sakti 100 Kemelut Hutan Dandaka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jangan banyak bicara! Ayo, buktikan...!" sambut Ki Dara Pincung tidak kalah
garangnya. "Yeaaah...!"
Orang tua cebol itu tersentak kaget ketika Nini Towok kembali gencar menyerang.
Agaknya, Nini Towok menyadari kalau sudah dikelilingi lawan-lawan tangguh yang
siap menunggu giliran. Maka tanpa membuang-buang kesempatan lagi, seluruh
kemampuan yang dimiliki dikerahkan untuk menekan habis-habisan. Sehingga tidak
heran kalau dalam beberapa saat saja, Ki Dara Pincung mulai terdesak hebat.
Dan ketika Nini Towok mengibaskan tangan yang mengancam kepala. Ki Dara Pincung
cepat memapaknya.
Plak! Namun, Ki Dara Pincung salah perhitungan. Dikira
sehabis mengibaskan tangan, Nini Towok akan melepaskan tendangan setengah
lingkaran. Ternyata....
Des! "Aaakh...!"
Ki Dara Pincung menjerit kesakitan begitu satu pukulan Nini Towok telak
menghantam dadanya, sehingga membuatnya terjungkal. Rupanya bukan tendangan yang
hendak dilancarkan Nini Towok, tapi sebuah sodokan tangan kiri yang dilepaskan
sambil berputar. Untung saja, dia masih sempat membuat beberapa lompatan. Tapi,
Nini Towok sudah mengejarnya dengan serangan susulan. Terpaksa Ki Dara Pincung
bergulingan untuk menyelamatkan selembar nyawanya.
"Yeaaah...!"
Ki Dara Pincung terus bergulingan, tanpa mempunyai kesempatan membalas. Pada
saat yang sama, Nini Towok terus melancarkan pukulan jarak jauh dengan tenaga
dalam penuh. Selarik sinar kuning terus meluruk cepat secara beruntun memburu
tubuh Ki Dara Pincung. Namun tokoh tua bertubuh cebol itu memang bukan tokoh
kemarin sore. Maka dengan gerakan mengagumkan, tubuhnya melenting ke atas,
ketika Nini Towok baru saja melepaskan pukulan lewat aji 'Penghancur Tulang'.
Namun baru saja kakinya mendarat, kembali secercah cahaya kuning meluncur deras
ke arahnya. Tak ada kesempatan bagi Ki Dara Pincung untuk menghindar, kecuali memapaknya.
Maka... Cras! Glarrr! Seketika terdengar ledakan berdentam dahsyat begitu kedua pukulan andalan mereka
beradu. Tak lama kemudian, terdengar jeritan pendek
salah seorang di antara mereka. Mereka tampak sama-sama terlempar ke belakang.
Namun, nasib malang menimpa Ki Dara Pincung. Dia tewas seketika dengan tubuh
hancur dan berceceran di tanah.
Sementara, Nini Towok sendiri mendapat luka cukup parah. Dari mulutnya darah
tidak henti-hentinya mengalir. Bola matanya yang sayu diusahakan untuk segera
menatap tajam ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Tubuhnya yang terlempar dan
limbung ketika adu kesaktian terjadi, diusahakan untuk berdiri tegak.
"Apakah kau ingin membalaskan sakit hatimu"
Silakan. Aku sudah siap," tantang perempuan tua itu dengan suara bergetar.
Rangga tersenyum pahit melihat keadaan lawannya. Di satu pihak, kejengkelannya
belum terobati.
Namun di pihak lain, dia tidak mungkin berhadapan dengan lawan yang sudah tidak
berdaya. Bagaimana mungkin Pendekar Rajawali Sakti bisa membunuh lawan dalam
keadaan demikian..."
"Ayo! Apa kau takut menghadapiku..." Huh! Tidak kusangka ternyata Pendekar
Rajawali Sakti hanya julukan kosong belaka. Kau tidak lebih dari seorang
pengecut!" teriak Nini Towok dengan suara parau dan diapaksakan untuk tetap
tegar. "Nini Towok! Kau bukanlah lawanku." sahut Rangga pelan.
"Chiuhhh! Omong kosong! Itu hanya untuk
menutupi kepengecutanmu! Ayo! Cabut pedangmu, dan hadapi aku!" bentak Nini Towok
keras sambil meludah.
Rangga hanya menggeleng lemah dan berbalik sambil menggandeng Pandan Wangi.
Mereka berjalan pelan meninggalkan tempat itu.
"Bocah sial! Apa kau pikir aku tidak mampu
menghadapimu" Huh! Terimalah kematianmu...!"
bentak Nini Towok sambil melompat bermaksud menyerang
Tapi di tengah jalan, malah tubuh Nini Towok sendiri yang terhempas sambil
memuntahkan darah segar.
"Hoeeekh!"
Rangga memandang sekilas, kemudian melihat Ki Ageng Kunir juga tidak bertindak
apa-apa. Bisa dirasakan kalau orang tua itu juga mempunyai dendam yang hebat
pada Nini Towok. Tapi, dia berusaha menahan diri karena melihat keadaan lawan
yang sudah terluka dalam yang amat parah.
"Keparat! Ayo lawan aku! Lawan aku!" jerit Nini Towok keras-keras dengan
sesekali memuntahkan darah kental.
Agaknya perempuan tua itu merasa tersinggung betul, karena dianggap rendah oleh
Pendekar Rajawali Sakti yang tidak meladeni bertarung dan meninggalkannya begitu
saja. Dan hal itu sudah merupakan penghinaan yang hebat dirasakan Nini Towok.
Dalam kemarahan dan jengkel, luka dalam yang dideritanya semakin bertambah parah
saja. Sementara itu, Pendekar Rajawali Sakti menghentikan langkahnya. Wajahnya segera
dipalingkan pada perempuan tua itu.
"Nini Towok! Tanpa bertarung dengankupun, nyawamu sudah tidak akan tertolong
lagi. Perbuatanmu sungguh keji dan nista. Jadi, sudah se-patutnya kau menerima
siksaan seperti ini Mem-bunuhmu lebih cepat hanya akan meringankan penderitaanmu
saja. Dan kau memang harus merasakan sakitnya dosa yang sudah kau perbuat selama
ini," kata Rangga kalem, seraya berbalik
bersama Pandan Wangi.
"Ke..., keparat! Keparat kau ! Hoeeekh!"
Tinpa diketahui Rangga dan Pandan Wangi, sebuah bayangan berkelebat ke arah Nini
Towok. Lalu.... Bles! "Aaa..!"
"Heh"!"
"Tidak baik membiarkan penderitaan orang yang sedang sekarat..." gumam Ki Ageng
Kunir sambil mencabut pedangnya dari tubuh Nini Towok. Rupanya orang tua itu
tidak sampai hati membiarkan Nini Towok tersiksa di ambang kematiannya.
Kemudian, Ki Ageng Kunir memberi salam penghormatan dan langsung meninggalkan
tempat itu. Rangga hanya menggeleng saja begitu menyadari apa yang dilakukan orang tua itu.
Memang, tanpa basa-basi lagi dia tadi langsung menghunjamkan pedangnya ke
punggung kin Nini Towok, dan tepat menembus jantung. Kini Nini Towok sudah
terbebas dari siksaan. Tubuhnya yang sejak tadi tertelungkup, diam tidak
bergerak-gerak lagi. Mati.
"Kakang, tindakan orang tua itu kejam sekali,"
desks Pandan Wangi.
"Kenapa" Kau tidak setuju"'' tanya Rangga,
"Nini Towok bukan binatang"
"Berarti kau membelanya" Padahal, dia sudah menahanmu."
"Sebelum semuanya tiba di sini, dia bercerita mengenai kepahitan hidup yang
dialami. Hatiku tersentuh. Aku menduga, pastilah segala kejahatan yang
dilakukannya sekadar pelampiasan hidupnya yang selama ini tidak pernah bahagia."
"Nini Towok itu seorang penjahat licik. Dan lebih
dari itu, sifatnya aneh dan menjijikkan. Orang seperti itu tidak layak
dipercaya," sergah Rangga.
"Tapi aku menganggap kesungguhan di wajahnya saat menuturkan ceritanya,
Kakang.?" "Orang seperti itu memang pandai bersandiwara.
Apa anehnya...?"
"Aku juga mengerti itu, Kakang. Tapi sepintar-pintarnya orang berbicara, sinar
matanya justru akan berbicara lain. Dan aku wanita, sama seperti dirinya Bisa
kurasakan, apa yang diceritakannya padaku,"
Pandan Wangi tetap membela pendapatnya
"Sudahlah, Pandan. Tidak baik membicarakan orang yang telah mati, kan...?"
"Aku hanya tidak menyetujui cara orang tua itu tadi."
"Lalu, apa itu berarti kau setuju dengan caraku?"
"Membiarkan keadaannya tersiksa begitu, padahal kita tahu kalau usianya tidak
akan bertahan lama"
Hm itu tindakan yang lebih kejam lagi." sahut Pandan Wangi.
"Lalu apa yang kau inginkan" Membiarkannya hidup dan membuat kerusuhan di manamana?" "Ya, tidak..."
"Lalu?"
"Mestinya ada cara lain untuk menyadarkan perbuatannya."
"Berarti kau tidak pernah mendengar certta tentang kehidupannya. Nini Towok itu
sudah pernah membuat kekacauan beberapa puluh tahun lalu, sehingga diserbu
banyak tokoh persilatan. Sampal akhirnya, dia melarikan diri. Dalam pelarian,
seharus-nya dia bertobat. Tapi, ternyata tidak. Bahkan malah berusaha bangkit
lagi dan mendidik dua orang murid yang sama bejatnya. Nah! Orang seperti itukah
yang diharapkan bisa sadar dan bertobat...?"
"Iya, iya... Kau memang selalu tidak mau kalah kalau bicara denganku," sungut
Pandan Wangi. "Selagi bicaramu tidak benar, masak aku mesti mengalah."
"Dasar mau menang sendiri!" Pandan Wangi meninju pundak kekasihnya.
Tapi Rangga cepat menangkap, dan menariknya.
Dalam sekejap saja gadis itu sudah berada dalam dekapannya.
"Dasar jahil!" dengus Pandan Wangi sambil melepaskan pelukan Pendekar Rajawali
Sakti. Rangga hanya terkekeh saja. Kemudian, dia bersuit kecil. Tidak berapa lana
terlihat seekor kuda hitam yang tadi disembunyikan di tempat yang agak jauh
datang menghampiri.
"Ayo, cepat kita tinggalkan tempat ini. Kita cari kudamu, Pandan." ajak Rangga.
"Astaga...! Aku baru ingat. Si Putih ke mana, Kakang?"
"Nanti kita cari sama-sama. Nanti juga ketemu.
Aku yakin Dewa Bayu bisa mendapatkan si Putih untukmu lagi," sahut Rangga.
Tidak berapa lama, kuda hitam Dewa Bayu sudah berpacu membawa kedua pendekar
muda itu. Larinya demikian kencang bagaikan angin. Pandan Wangi memeluk eraterat pinggang Pendekar Rajawali Sakti, bila tidak ingin terlempar jatuh.
"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"
SELESAI Created ebook by
Sean & Convert to pdi (syauqy_arr)
Edit Teks (fujidenkikagawa)
Weblog, http://hanaoki.wordpress.com
Thread Kaskus: http://www.kaskus.us/showthread.php"t=1397228
Senopati Pamungkas 4 Kampung Setan Karya Khulung Tamu Aneh Bingkisan Unik 1

Cari Blog Ini