Ceritasilat Novel Online

Bujukan Gambar Lukisan 10

Bujukan Gambar Lukisan Tukang Kayu Rimba Persilatan Lambang Penangkal Maut Dan Misteri Lambang Penangkal Maut Karya Wu Lin Qiao Zi Bagian 10 untuk orang mengurusi kau?" Mukanya keempatjago Kiong Lay Pay itu menjadi merah, Mereka mesti menahan sabar. Terpaksa mereka berdiam dengan hati sangat mendongkol. Thian Hong putus asa, maka itu, habis mengawasi Tiong Hoa. ia putar tubuhnya untuk ngeloyor pergi, hingga ia lenyap diantara angin, pasir dan debu... Akhir-akhirnya si orang tua menghampirkan Tiong Hoa satu tindak. Ia mengawasi anak muda itu dengan ia memperlihatkan senyumannya ia kata: "Siauwhiap. inilah pertanyaan terakhir dari aku si orang tua. Aku ingin sekali ketahui maksud siauw-hiap datang ke Hoa Kee Po ini, sukakah kau menjelaskannya?" Tiong Hoa menjawab sabar: "Bukankah aku yang muda sudah membilangnya" Kebetulan aku lewat disini, ingin aku menyaksikan wajah sekalian orang gagah." "Jikalau begitu, aku si orang tua mau minta siauwhiap. jangan campur disini, sudilah siauwhiap nonton saja dari pinggiran?" Hebat untuk si baju merah, sebagai ketua satu partai berkenamaan, ia mesti bicara demikian merendah. Tiong Hoa mengasi lihat sikap tawar. "Hanya satu hal aku yang muda belum jelas," ia bilang, "Apakah ciangboenjin suka memberi keterangan padaku?" Si orang tua melengak. Tapi tak dapat ia berdiam lama. "silahkan siauwhiap tanya." sahutnya, "Nanti aku si orang tua menjawab dengan sebenar-benarnya." Tiga orang lainnya serta Kim Pak sam Mo heran bukan main, mereka mengawasi sambil berdiam saja. Mereka juga tidak mengerti kenapa orang tua itu menjadi demikian lemah. Mereka tidak tahu ketua itu jeri terhadap dua orang Hok dan in serta Thian Yoe sioe. Lie Tiong Hoa sudah lantas mengajukan pertanyaannya, ia berlaku sabar, bicaranya pun perlahan. "Aku yang rendah tak tahu apa maksudnya Hoa Kee Po membangun loeitay ini?" demikian pertanyaannya itu. Si orang tua berbaju merah belum sempat menjawab atau dari sebelah barat daya dari atas sebuah pohon yang besar dan lebat terdengar tertawa yang nyaring yang diikuti katakata terang jelas ini: "Anak. sudahlah tak usah kau campur banyak urusan lagi. Didalam kalangan Rimba Persilatan, banyak sekali teka tekinya yang sulit untuk diterka jitu Budi dan permusuhan yalah soal sulit, maka janganlah kau mendesak orang " Hanya sejenak terhenti suara itu, segera terdengar pula lanjutannya: "Hong Koen aku si orang tua suka memberi nasihat padamu supaya urusan hari ini dihentikan sampai disini, Kalau kamu memikir kitab Lay Kang KeenPouw, kenapa kau tidak mau pergi ke Inlam untuk berkunjung dan memintanya sendiri" Kenapa kau menggunai ini macam akal muslihat ?" Kapan Tiong Hoa mendengar suara itu, dengan lantas ia menyerahkan pedang rampasannya kepada ln Nio, tanpa berayal sedetik jua ia lompat, untuk terus lari pesat ke arah pohon itu. Dalam sekejap saja ia sudah sampai diatas pohon tetapi ia kecele. Tak ada orang disitu, tak nampak bayangan juga. Cuma pada sebuah cabang ia melihat di pantek paku sehelai kertas tulis putih yang bertuliskan sebagai berikut : "semenjak di Yan Kee Po terus aku mengikuti jejakmu, Begitulah di Kee Leng aku melihat kau berada bersama gadisnya Losat Kwie Bo, itulah satu pasangan yang setimpal, senang aku melihatnya. Aku dengar Losat Kwie Bo terjatuh didalam tangannya Cit Chee Cioe. untuk sementara, baiklah kau jangan beritahukan hal itu kepada anaknya nyonya itu, kau pun harus bertindak dengan melihat gelagat. Aku masih mempunyai urusan, dari itu buat sementara kita berpisah disini. tunggu saja di Inlam nanti, disana nanti kita bertemu pula." Seperti ia duga maka tanda tangan surat itu yalah Thian Yoe sioe, Maka itu, rupa-rupalah perasaannya anak muda ini. Hatinya terkesiap kapan ia ingat guru itu senantiasa menguntit ia. Coba ia nyeleweng, ia bersyukur bahwa ia selalu berjalan lurus. Dilain pihak. la girang guru itu demikian memperhatikan dirinya, Hanya akhirnya ia menyesal sebab tak dapat ia bertamu dengan guru yang baik budi itu. Dengan masgul ia turun dari atas pohon, untuk lari balik ke panggung loeitay, ia tiba dengan mendapatkan medan pertempuran menjadi sepi, cuma tinggal In Nio seorang, yang lagi berdiri menjublak. Terlalu asyik ia diatas pohon, sampai tak pernah ia menoleh kearah panggung, si nona terus mengawasi ia semenjak ia lari pergi, sampai ia kembali itu. Mata si nona mendelong. "Kemana mereka?" ia tanya, heran, sekarang si nona bisa tertawa, "Thian lam Kay Pang telah menjanjikan empat jago Kiong Lay Pay serta Kin pak sam Mo untuk nanti bertemu pula pada tiga bulan kemudian-" sahutnya. "Tempat pertemuan yalah di Chonggouw, katanya untuk menyelesaikan urusan mereka, hanya entah urusan apa itu. Turut lagu-suaranya pihak Kay Pang, rupanya urusan suatu sakit hati yang besar sekali." Berkata sampai di-situ, si nona menatap dengan sinar mata berarti Terus ia menambahkan "si Nona Pouw tadi mengawasi aku, mulutnya berkemik, tapi tak jadi dia bicara, Dia ragu-ragu sampai tiga kali berkelemik, Pouw Lim sendiri menggoyang benderanya keudara sampai tiga kali, entah apa maksudnya, habis itu dia memutar tubuh berlalu bersama saudaranya itu. Tahukah kau apa yang Pouw Keng hendak bilang?" Tiong Hoa menggoyang kepala meskipun ia percaya, Nona Pouw tentunya hendak menghaturkan terima kasih yang dia telah ditolong, ia pun mentaati pesan gurunya akan tidak memberitahukan In Nio perihal ibunya yang tertawan orang. "Aku tidak dapat menerka," sahutnya, barangkali...barangkali." In Nio tertawa mendengar orang cuma menyebut "barangkali" berulang-ulang tapi ia menyebabkan si pemuda merah mukanya. syukur pemuda itu mengenakan topeng. "Kemana perginya keempat jago Kiong Lay serta Kin Pak sam Mo?" ia tanya. "Mereka pergi keluar Hoa Kee Po yang lainnya semua mengikuti mereka itu." "Aneh Aneh" "Aneh kenapakah?" "Aneh sikapnya Kin Pak sam Mo. Mereka agaknya tenang seperti orang yang menantikan saja kesudahannya pertandingan." si nona mengawasi, ia tertawa. "Sudah, mari kita pergi" katanya, "Tak dapat kita perdulikan urusan lain orang" Nona ini menarik tangan si anak muda buat pergi ke istal dimana mereka menuntun keluar kuda mereka. "Orang diatas pohon barusan itu tentulah gurumu?" tibatiba si nona tanya. "Hitunglah separuh guruku," sahut Tiong Hoa. "siapakah dia?" "Thian Yoe sioe," Si nona melengak. tapi la nampak girang. "Turut apa yang aku tahu, Thian Yoe sioe tak menerima murid" katanya, "Bagaima caranya maka ia menerima kau separuhseparuh?" Nona ini sangsi. "Jadi encie menyaksikan aku separuh murid Thian Yoe sioe?" ia menegasi. In Nio tersenyum. "Yah, setengah percaya, setengah tidak." Tiong Hoa tidak mengerti. "Encie, apa artinya ini?" Nona itu tertawa. "Kau bertemu dengan gurumu itu atau tidak," ia balik menanya. Tiong Hoa menggoyangi kepala. Si nona pun berdiam, tetapi ia gembira. Lalu ia seperti memikiri sesuatu. Ketika itu diluar, dialas rumput di jalanan, ditepian kali, terlihat tanda-tanda bekas pertempuran tanda penyerangannya orang-orang Pouw Liok It terhadap Kea Kee Po. Dipuncak gunung disebelah depan itu waktu terlihat berlarilarinya tiga bayangan tiga orang. Mungkin merekalah Kin Pak sam Mo, ketiga pemilik dari Hoa Kee Po. Tiong Hoa heran kenapa sam Mo dan Kiong Lay soe sioe, yalah keempatjago tua Kiong Lay Pay itu. agaknya baik dimulut, lain dihati. Selagi Tiong Hoa berpikir demikian, In Nio dibikin heran oleh hubungan ia dengan Thian Yoe sioe, Tiong Hoa tak menjelaskan secara memuaskan kenapa dia disayangi Thian Yoe sioe hingga dia diajari silat sedang Thian Yoe sioe tidak menerima murid. Pemudi ini juga tidak mengerti hubungan diantara dia. Tiong Hoa dengan nona Keng, Terang itu mencintai Tiong Hoa, tetapi Tiong Hoa sendiri seperti terbenam dalam keraguraguan. Selagi muda-mudi itu berangkat maka di dalam Hoa Kee Po tak sepuluh tumbak terpisahnya dari lauwteng, didalam sebuah rumah kecil, tergantung gambar lukisan "Yoe sian Goat Eng" yang seperti membikin Tiong Hoa memikirkannya sampai tak dapat tidur. Rumah kecil itu, rumah papan tertutup atap ada ruang atau kamar dimana Kin Pak sam Mo biasa melatih ilmu tenagadalamnya, Rumah itu tak menarik untuk dipandang. Tiong Hoa menduga gambar mesti dipajang di kamar yang mewah, ia tidak menyangka kepada rumah kecil itu. Karena pandangannya ini, ia telah mengasi lewat, ia jadi mensia-siakan ketikanya yang baik. Hingga ia membutuhkan banyak waktu untuk mencari dilain tempat... Bukankah ini peruntungan" ooooo Jilid 18 : Urusan ibunda In Nio BAB21 DI WAKTU fajar selagi kabut tebal, Tiong Hoa bersama In Nio berada didalam sebuah rumah penginapan kecil di luar kota kecamatan Tongcoe, Mereka keluar dari kamar mereka, untuk dipapak jongos yang muncul dari istal menuntun kuda mereka, sembari tertawa manis, jongos itu memujikan"Jiewie, semoga jiewie banyak senang didalam peejalanan " Muda-mudi itu bersenyum, Mereka lompat naik ke atas kuda mereka, yang terus mereka kasijalan periahan-lahan, Tindakan kaki kuda mereka itu memecahkan kesunyiannya sang pagi. Mereka jalan ditanah pegunungan. Dikiri dan kanan ada ladang-ladang gandum dan terigu, ada bunga-bunga hutanMereka berjalan peria han, sebab tadi malam hampir mereka tak tidur sama sekali, Masing-masing mereka ada pikirannya sendiri. Mereka merendengkan kuda mereka sambil membungkam sampai akhirnya si anak muda membuka juga mulutnya. "Encie In, mengapa kau masih menyangsikan aku bukan murid Thian Yoe Sioe?" demikian pertanyaannya. In Nio melirik. "Benarkah kau tidak ketahui sebabnya?" ia balik menanya, "Baiklah kau tunggu saja nanti, sampai telah bertemu ibuku, kau bakal ketahui, itu waktu barulah aku percaya habis padamu, Kenapa kau melit menanyakan ini?" Meskipun ia menanya demikian, si nona bersenyum. Tiong Hoa berdiam, ia berduka untuk si nona. Kalau dia tahu ibunya berada di-tangannya Cit Chee Cioe tidak nanti dia demikian gembira.... Perjalanan dilanjuti dengan Tiong Hoa tidak membicarakan urusan Rimba persilatan ia mencoba membikin gembira si Nona. Tepat tengah hari, mereka sampai di-seberangan sungai ouw Kang, Ditepian, dimana ada pohon-pohon yaniioe, tampak tak sedikit orang, ada pedagang, ada orang Kang ouw, ada juga yang berbicara berombongan dua-tiga orang. Tidak seberapa jauh dari tepian, muda-mudi itu lompat turun dari kuda mereka. segera mereka menarik perhatian, banyak mata diarahkan terhadapnya, sebab merekalah pasangan yang setimpal, s embab at satu padalain. Mereka sebaliknya tak menghiraukan orang banyak itu, Mereka berjalan terus sampai ditepian. Tiong Hoa heran tak mendapatkan perahu eretan-Air kali itu deras. Mereka juga heran mendapatkan mereka menarik perhatian banyak orang itu. Disaat Tiong Hoa hendak menyapa orang untuk berbicara, tiba-tiba ia didului seorang usia pertengahan yang tadinya duduk nyender pada sebuah pohon sambil matanya dimeramkan. Dia berbangkit dia mengawasi tajam. la la sambil bersenyum dia menanya: "Rupanya Jiewie ingin lekas-lekas nyeberang?" Tiong Hoa mengangguk ia melihat orang bukan sembarang orang. "Sebenarnya, kami tak ingin lekas menyeberang." ia menjawab, "Aku hanya heran tidak ada orang menyeberang disini, orang hanya pada menanti saja, pantasnya disini ada perahu eretan-" "Pantas kau heran, tuan-" kata orang itu. "sebenarnya disini ada dua perahu eretan-nya. Hanya semua perahu itu miliknya Kim Pak sam Mo. Kemarin ini Kim Pak sam Mo ada yang ganggu, lantas hari ini perahu-perahunya tidak muncul. sudah ada beberapa orang yang pergi kehilir melihatnya." "Kalau begitu kita tentu bakal menanti lama disini," kata Tiong Hoa. "Dihilir itu di mana ada penyeberangan?" orang itu bersenyum. "Dihilir sana air terlebih deras lagi dan juga banyak wadasnya." Kata dia, "Tak pernah aku dengar ada yang membilang disana ada penyeberangan- Baiklah tuan sabar saja, sebentar juga mereka itu kembali atau kalau tidak biar aku yang mendayakannya." "Kau baik sekali, saudara," kata Tiong Hoa, "Dapatkah aku mengetahui she dan nama saudara yang mulia ?" "Bukankah kita manusia bersaudara di empat penjuru lautan?" orang itu menjawab bersenyum, " Kenapa kita tak dapat saling tolong " Aku Kong Peng soei dari Hong- hoa- cioe di Hoa- kie tetapi sekarang dalam perjalanan pulang dari soecoan Barat di mana aku mempunyai urusan pribadi, Aku senang bertemu dengan jiewie disini, sudikah jiwie memperkenaikan nama jiewie?" Bujukan Gambar Lukisan Tukang Kayu Rimba Persilatan Lambang Penangkal Maut Dan Misteri Lambang Penangkal Maut Karya Wu Lin Qiao Zi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Tiong Hoa tidak kenal nama Kong Peng soei tetapi karena orang menanya ia menjawab : "saudara Kong aku yang rendah Lie Cie Tiong dan ini kakakku Cek In Nio." Mendengar jawaban kawannya In Nio tertawa. Peng soei mengawasi kagum ia nampak tersengsam, akan tetapi lekas-lekas ia mengubah sikap menjadi seperti biasa pula, Hanya didalam hati, ia kata : "Wanita ini cantik luar biasa, tepat pemuda ini yang menimpalinya." In Nio memandang terus pada Peng soei, lalu ia ingat suatu orang. "Aku mendengar kabar di Hong- hoa- cioe di Hoa-kie ada tinggal menyendiri orang bernama Keng Kioe Houw." katanya perlahan "Dialah yang dijuluki Tok sie sim Liong dan namanya tersohor di Lam Kiang, apakah ia ada hubungannya dengan kau, tuan?" "Maaf nona, ialah ayahku yang rendah." sahut Peng soei. "Ayahku itu tinggal menyendiri tetapi ia gemar bergaul, umpama Jiwie pergi ke Koen yang. sukalah aku menemaninya. ingin sekali aku berlaku sebagai tuan rumah." Tiong Hoa mau membuka mulutnya untuk menampik atau ia batal karena ia lantas melihat belasan orang lari mendatangi dari arah hulu sungai, Kedatangan mereka itu menarik perhatian banyak orang lain. Beberapa diantara mereka itu, yang bertubuh besar dan membekal senjata dipunggungnya, langsung lari pada Peng soei. Mereka itu pada mandi keringat yang berkata: "Siauw-chungcoe," satu memberi hormat dan dua buah perahu sudah karam membentur wadas di tempat lima lie dihilir itu, empat awak perahunya terbinasa bekas hajaran tangan." Peng soei mengerutkan alis, nampak ia berduka. "Kalau begitu pergilah kamu menebang pohon untuk membuat getek." katanya, ikatlah biar kokoh supaya tak sampai nanti buyar terlepas tergempur arus." "Kelihatannya kita mesti menanti pula sekian waktu." kata Peng soei pada dua kenalannya, "Di depan itu ada rumah makan kalau tidak. sekarang juga kita dapat berjamu.." "Terima kasih," kata Tiong Hoa. "sama saja kita bicara sambil berdiri disini." In Nio tertawa, ia menanya: "Nama ayah mu yang mulia itu tuan, telah menggempar kan wilayah Lam-kiang dengan ilmu silatnya yang dinamakan sin Liong ciang-sie. Justeru nama itu tersohor sekali, kenapa sekarang ia telah mengundurkan diri?" Kembali terlihat Peng soei mengerutkan alisnya. "Itu.... itu..." katanya- lantas ia berhenti. Nampak ia sangat masgui, ia tidak meneruskan, hanya pandangan matanya diarahkan kelainjurusan, kelihatan ia tak tenang. Tiong Hoa memandang kearah pandangan orang, ia melihat tak jauh ditepian, dibawah pohon yanglioe, ada enam orang dengan pakaian sings at warna hitam, terang mereka itu orang-orang Kang ouw, dan mereka lagi mengawasi kearah nya Peng soei. Enam orang itu rupanya melihat Tiong Hoa memandang kearah nya, lalu terdengar yang satu berkata nyaring: "Mereka itu lagi membikin getek. mari kita lihat" Lantas empat antaranya berlalu, tinggal dua yang masih berdiri tetap. Melihat itu, Tiong Hoa heran-"siapa mereka itu?" ia tanya Peng soei. orang yang ditanya itu melihat kebawah, kelihatannya ia lagi berpikir keras, ia mau menjawab tetapi gagal. Tiong Hoa memandang In Nio, ia mendapatkan si nona bersenyum, terus nona itu mengedipi mata, memberi isyarat supaya ia jangan menanya lebih jauh. Rupanya Peng soei mendapat lihat sikapnya muda-mudi itu, mendadak ia tertawa. "Maaf, jiewie." katanya "Tentang ayahku mengundurkan diri, panjang untuk menutur. Dulu hari itu ayahku menjadi orang Rimba Hijau tapi dialah yang disebut penjahat yang mengenal prikepantasan, hingga dia tidak mau melakukan apa-apa yang tak halal. sudah selama duapuluh tahun di selatan, disamping pihak lurus, ada empat yang membangun diri dalam kelompok masing-masing, yang satu dengan la ih bermusuhan dan sering bentrok..." "Siapa empat kelompok itu?" "Merekalah cit-chee-cioe Pouw Liok It dari Hek Liong Thoa." jawab Peng Soei, yang sekarang suka memberi keterangannya, "Hoa-sie Sam Pa dari Jiauw Liong San di Siong-kam, Tok Bak Lao Koay cian Yang dari In Boe San, dan orang tua ku. Tiga jago Keluarga Hoa itu menjagoi di Koeicioe Utara dan Pouw Liok It di Koen-beng. Mereka itujauh, mereka tak ada urusannya dengan kami. Adalah In Boe San, yang letaknya dekat dengan Hong hoo-eioe, yang seperti berdiri berhadapan. Pada duabelas tahun yang lalu kita bentrok untuk satu urusan, Terus berlarut-larut, ciam Yang mendatangi ayahku, keduanya bertempur setelah seratus jurus, ayahku kena terhajar satu kali. Karena itu ayah lantas mengundurkan diri. Meski begitu, permusuhan belum berhenti, diam-diam mereka itu masih mendendam, Enam orang itu yalah orang-orangnya Tok Bak Lao Koay." "Apakah mereka memikir tak baik terhadap kau saudara Kong?" "Inilah sulit buat aku mengatakannya. sekarang ini memang jaman kacau untuk kaum Rimba Hijau, maka juga banyak piauwkiok bekerja secara diam-diam, kalau melindungi piauw, mereka bekerja secara menggelap, itulah yang disebut piauw gelap untuk menyingkir dari mata umum." ia menunjuk ke tepian dimana ada pohon yang teduh ia tambahkan: "Lihatlah itu lima saudagar, Merekalah kawanan piauwsoe yang menyamar kelihatan mereka berduka. Disana pihak In Boe san lagi membuat getek. Kalau mereka naik getek In Boe san, mereka seperti mengantari diri kedalam mulut harimau." Tiong Hoa memandang ke arah yang di tunjuk itu, benar ada lima saudagar lagi bicara kasak-kusuk roman mereka lesu. In Nio tertawa dan kata: "saudara Kong kenapa kau tidak mau ajak mereka naik di dalam getekmu?" "Itulah sulitnya." Peng soei jawab. "kalau aku mengajak mereka, lantas pihak In Boe san akan menyangka kami hendak menelan piauw yang diarahnya itu, dan itu bisa berarti bentrokan pula, Memangnya mereka sudah curiga." "Walau saudara tak membantu, peristiwa toh bakal terjadi juga," kata Tiong Hoa. "Biarkan saja, saudara jangan menghiraukan nya. Buat apa saudara berduka " Lagi-lagi alis Peng soei berkerut. "Justru tak dapat aku membiarkan. Kelima piauwsoe itu tidak kenal aku tapi pihak kami harus melindungi mereka. Ketua mereka sudah meminta kami melindungi piauw gelap itu, sudah sekian lama kami mengikuti secara diam-diam. sekarang..." Tiong Hoa tertawa. "Saudara, jikalau kau membutuhkan bantuan kami, bilanglah," kata ia. "Tak usah saudara ragu-ragu..." Mukanya Peng soei menjadi merah, "Memang aku memikir untuk minta bantuan jiewie," ia kata, "tapi sebab kita baru berkenalan didetik ini, berat buat aku membuka mulut." Tiong Hoa tertawa pula. "Saudara Keng, tolong kau undang kemari kelima piauwsoe itu," kata ia. "Sekarang ini aku bersedia akan bertanggungjawab segala galanya" semangat Peng soei jadi terbangun. "Baik" katanya: Terima kasih, saudara" Ia bertindak kearah kelima plouwsoe. In Nio tertawa, ia memandang kawannya. "Adik Hoa, apakah ini bukan namanya usilan?" kata ia. Hati Tiong Hoa bercekat. "Encie In benar," pikirnya, "ia tidak mengerti kenapa selama ini pikirannya gampang tergerak. Bukankah pohon besar mudah mendatangkan gempuran angin" Maka ia lalu memikir jalan untuk menyingkir dari bentrokan." "Kalau begitu, encie, kita baik lepas tangan," katanya, "Mari kita mencoba menyeberang dengan mengandal ilmu kita Teng Peng Touw soei" Nona Cek kembali tertawa. "Sekarang sudah tak dapat" katanya, " Kata- kata itu harus dihormati siapa suruh kau lancang memberikan kata-katamu" sekarang tak dapat kita menariknya pulang" Nona ini ingat suatu apa, mukanya menjadi merah. Tiong Hoa heran, ia mengawasi ia merasa si nona manis sekali. Melihat ia ditatap, In Nio likat, "Apa kau belum pernah melihat aku?" ia menegur, "Kenapa kau mengawasi aku?" Anak muda ini tertawa. "Encie In, kau sangat cantik" sahutnya. "Lihat itu mereka dengan mendatangi" katanya, Jangan kau ngoceh saja," Tiong Hoa berpaling. Kong Peng soei terlihat mendatangi bersama lima piauwsoe yang menyamar sebagai saudagar-saudagar itu, Dilain pihak ia mendapatkan kedua muridnya Tok Bak Lao Keay mengawasi gusar kepada Peng soei dia seperti mengertak gigi. In Nio tertawa dan kata: "Rupanya bakal datang hal yang memusingkan kepala" "Biarlah" kata Tiong Hoa, "Biarlah kalau mereka berani mencari gara-gara, Kalau kau sangsi, kau lihat saja" Peng soei sudah lantas tiba, ia mengajar kenal kelima piauwsoe, kelima orang Auw coe ong Teng pioe, Toan-HoanToo cie Goan Heng, Hek-see ciang LoBeng, Hwee-kap-coe Teng Thong, dan Kim cian-piauw Gouw siang Ta. Lima piauwsoe itu orang Kauw ouw ulung melihat si nona bersama sepasang pedang-nya, mereka merasa pasti nona itu liehay. Sebaliknya, melihat Tiong Hoa, mereka heran, orang muda dan tampan, wajahnya selalu seperti berseri-seri sedang dandanannya mirip pelajar yang lemah- lembut. sioe-cay semacam ini dapat bersahabat dengan puteranya tok sie sia Liong, si Naga sakti jaman Kacau Peng soei sedang bingung pikirannya, diwaktu ia mengajar kenal muda-mudi itu, ia lupa menyebutkan nama mereka, ia memperkenalkan saja sebagai Lie siauwhiap dan Cek Liehiap Kalau tidak. mereka berlima pasti mengetahui nama pemuda itu yang di Kimleng telah mengangkat nama. Peng soei dapat menduga hati kelima piauwsoe itu, ia tuannya Lie siauwhiap ini, kata tertawa: "Dengan bantuan pasti kamu terjamin Aku telah memesan saudara Auw yang, sekarang hatiku lega." Belum berhenti suaranya pemuda itu, atau terdengar tertawanya dua murid Tok Bak Lao Koay, yang pun berkata jumawa: "omong besar belaka ikan didalam jala, mau lolos pun Tak dapat" Yang satu pun kata: "Kalau lolos, percuma kita hidup dalam dunia Kang ouw" Teng Thong bertabiat keras, gusar dia mendengar ocehan orang itu, hampir dia mendamprat baiknya Cie Goan Hong keburu mencegah. Dua orang itu tidak ngoceh terus, hanya mereka meluncurkan sesuatu keudara, atas mana terlihat sepasang panah- api, yang mulanya memberubus meletup, meluncur ke-seb erang, sinarnya merahnya muda. Di tepian ada banyak orang lainnya yang mau nyeberang, mereka itu lantas kesak-kusuk. roman mereka bergelisah. Dua orang itu demikian jumawa, In nio menjadi mendongkol, tahu-tahu ia sudah lompat sampai dibelakang mereka itu, yang terpisah belasan tombak. Peng soei dan kelima piauwsoe terkejut, heran dan kagum. "Kamu terlalu jumawa" kata si nona, selagi orang belum tahu tibanya itu. "Di-depan nonamu kamu banyak lagak. apakah kamu menyayangi mati kurang lekas?" Suara itu dingin, kedua orang itu kaget, Mereka heran akan melihat si nona tak di kenal. In Nio melihat dua orang dengan roman tak mengasih. yang dikiri usianya kira empat puluh lebih, matanya merah rambutnya hitam panjang turun ke dada, yang lainnya beroman bengis, usianya sudah lanjut, kedua telinganya tak ada. Dengan roman keren dan suara bengis, dia lantas tegur mereka itu. "Kamu dengar atau tidak?" orang yang dikiri itu menyeringai. "Nona kami tidak mengganggu kau, kenapa kau cari penyakitmu sendiri?" dia menegur, "Baiklah kau ketahui kami tak dapat dibuat permainan" Cuma didepan Tiong Hoa si nona lemah-lembut, kalau tidak. tidaklah ia mendapat julukannya, maka juga sepasang alisnya lantas terbangun. "Kamu tidak dapat dibuat permainan apakah nonamu dapat?" kata dia tertawa dingin, "Aku hendak tanya kamu kenapa kamu menggunai panah kamu itu?" orang itu tertawa. "Nona pertanyaanmu berlebihan" sahutnya, " Untuk kaum Kang ouw umum saja melepaskan pelbagai isyarat panah burung darah atau lainnya inilah urusan kami tak berhak nona mencampur tahu. Rupanya nona belum kenal kita siapa?" ia melembungkan dada, dengan terkebur, ia menambahkan. "Aku yang rendah Mo Thian Lim yang kaum Kang ouw menyebutnya Kim Pian sin Tiauw" ia menunjuk kawannya yang tak ada telinganya, untuk berkata pula: " Inilah jago luar biasa dari Kwiesay, Cek Cioe Kim- Liong Koh lam Peng Bukankah kau telah mendengarnya, nona?" "Aku belum pernah dengar" sahutnya, "sekarang nonamu mau pinjam serupa barang dari kamu tuan-tuan entah kamu suka meluluskan atau tidak?" Mo Thian Lim melengak tapi lantas dia bersenyum. "Nona mau pinjam barang apa" Asal yang kami sanggup suka meluluskan." ia ketarik kepada nona yang cantik manis ini, maka suka ia melayani bicara. Mendadak si nona kata bengis: "Aku mau pinjam matamu Aku perlu dengan itu" Dua orang itu kaget hingga muka mereka berubah, Thian Lim tertawa dingin terus ia meluncurkan sebelah tangannya keiga kanan si nona. orang bergerak sebat, lebih sebat In Nio. Thian Lim menyerang sasaran kosong, Lantas ia merasa angin bersiur dibelakangnya. ia kaget, segera ia mendak. tubuhnya terus berputar. Tepat ia berbalik tepat ke dua jeriji si nona meluncur kearah kedua matanya, Maka ia kaget sekali. Justeru itu Lam Peng berseru dan menyerang, atas mana si Bujukan Gambar Lukisan Tukang Kayu Rimba Persilatan Lambang Penangkal Maut Dan Misteri Lambang Penangkal Maut Karya Wu Lin Qiao Zi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo nona berkelit. Dengan begitu si orang she Mo ketolongan. Dia menjadi gusar, segera dia mengeluarkan senjata nya yang berupa cambuk lemas yang di simpan d iping gangnya. Lantas dia berdiri berendeng dengan kawannya. In Nio gusar. "Segala manusia tidak tahu malu " ia membentak, "Kali ini nonamu mau mengambil matamu, tak dapat tidak, Atau aku bukannya Cie Cioe Losat" Mendengar julukan itu, Thian Lim dan Lam Peng terkejut, roman mereka ketakutan, Lam Peng membuka matanya. "Mohon tanya nona," tanyanya, " kau pernah apa dengan Losat Kwie Bo?" Tak sudi In Nio menyebut nama ibunya. Kalau ia menyebut, mungkin Thian Lim mundur teratur, inilah ia tidak kehendaki. Lebih-lebih didepan Tiong Hoa, tak sudi ia menyebutnya, Maka ia kata dingin " Nona mu tak kenal Losat Kwie Bo sekarang kau korek matamu dan menyerahkannya sendiri, supaya nonamu tidak usah bekerja lagi" Lampeng habis sabarnya. "Saudara, mari maju" ia mengajak Thian Lim. ia mendahului menyerang: tangan kanannya kepusar si nona, tangan kirinya mencari jalan darah auw-kioe nona itu. Thian Lim juga bekerja, ia menyerang dengan cambuknya, dengan jurus "Naga mendekam ditengah udara, ia mengarah pinggang si nona. Dua orang itu Iiehay, tapi In ^io melayani sambil tertawa, Dengan gesit ia berkelip lalu ia main berkelit terus-terusan, hingga ia bagaikan seekor kupu-kupu beterbangan diantara kedua penyerangannya itu. Tiong Hoa menonton sambil menggendong tangan, sedang penonton-penonton lainnya terbengong kagum dan heran. Dengan cara berkelahi nya itu, In Nio membikin musuhmusuhnya penasaran dan bingung, sebab semua penyerangan mereka itu sia-sia belaka tak ada hasilnya, sebaliknya, mata mereka berkunang-kunang dan kepala mereka pusing. Setelah lewat banyak jurus, mendadak terdengar si nona berseru nyaring, lantas kedua pihak berpisah satu dari lain, seruan itu dibarengijeritan dari kesakitan dan tubuh Mo Thian Lim dan Keh Lim Peng roboh terguling, untuk bergulingan seraya tanya mereka dipakai menutupi muka mereka, dari sela jari-jari tangan mereka itu nampak darah mengucur. Setelah memisahkan diri, Nona Cek berdiri dengan tangannya memegang biji mata yang berlumuran darah, ia pandang itu, terus ia lemparkan ketanah, kemudian dengan tindakan tenang, ia menghampirkan Tiong Hoa, untuk berdiri disisinya, ia tertawa dan bersenyum berseri-seri. Tiong Hoa mengerutkan kening. "Encie, kau terlalu keras," katanya. "Kau apakah kau tak sama?" si nona membaliki. Thian Lim dan lam Peng masih menjerit-jerit kesakitan, tak tega mendengarnya akhir nya Tiong Hoa lompat kepada mereka itu, untuk menotok. Dengan begitu dalam sekejab saja, rintihan mereka berhenti tubuh mereka tak berkutik pula, sebab jiwa mereka telah dikirim pergi kelain dunia, setelah itu, dengan mengangkat bergantian si anak muda melemparkan mayat mereka ke-dalam kali. Muncratlah air sungai, lalu lenyaplah kedua tubuh. Tiong Hoa menjublak mengawasi air hanyut, ia si anak pembesar negeri, yang tadinya bertubuh lemah, ia sekarang menjadi seorang pembunuh. Ia seorang terpelajar tapi sekarang satujago Rimba Persilatan, siapa sangka" Ia bercita cita mendirikan rumah-tangga, untuk hidup merdeka disuatu tempat sepi yang indah, untuk dikawani si cantik- manis, buat bersyair... Maka ia teringatlah kepada Ban In. Yan Hoe.... kepada Pouw Keng... kepada In Nio disisinya ini. Pemuda ini baru sadar ketika ia merasai tangan halus menahan pundaknya. ia menoleh dengan perlahan, untuk dipakai wajah cantik yang bersenyum manis. "Adik Hoa, kau pikirkan apa?" Muka si pemuda menjadi merah, "Tidak" sahutnya, gugup, ia lantas melihat kelilingan, maka ia mendapatkan semua mata diarahkan kepadanya. Kembali mukanya bersemu merah. Habis itu, ia menghampirkan Kong Peng soei. "Nona Cek gagah sekali." kata Peng soei. "Hanya perkara menjadi perkara, aku kuatir si siluman tua mata satu tak nanti mau mengerti...." Mendengar itu in Nio tertawa nyaring. Tiong Hoa tidak membilang apa-apa, sebaliknya ia tanya: "saudara Keng, mengapa getekmu masih belum selesai ?" "Mungkin sudah selesai." Peng soei menjawab, " G etek itu masih perlu diluncurkan dari atas gunung, buat ditolak kehuIu sampai dipenyeberangan, pembuatannya mudah, yang sukar pengangkutannya, Harap saudara bersabar..." Belum lama, dari seberang terdengar panah bersuara, yang meluncur keseb erang sini, jatuh didalam rumpun rumput. "Murid- murid Tok Bak Lao menyusul " kata Peng soei tertawa. Dari seberang sini tidak ada jawaban untuk kedua batang anakpanah itu, maka juga dari seberang meluncur lagi dua yang lainnya, yang jatuh sirap diantara pohon yangliau. Rupanya disebabkan isyaratnya tak terbalas dari seberang sana lantas terlihat dua orang muncul di tepian, lalu keduanya lompat ke air, untuk berlari-lari sambil berlompatan, mereka saban-saban melemparkan sepotong kayu, yang dijadikan alat menaruh kaki, jauh dan tetap lompatnya dua orang itu, tak lama tibalah mereka diseberang sini. selagi berlompat ketepian, mereka mengasi dengar siulan nyaring. Dua orang yang liehay itu masing-masing mengenakan baju hitam dan putih, tubuh mereka kekar, usianya tigapuluh lebih, matanya tajam. Mereka bermuka putih, beroman tampan dan gagah. Nampak mereka heran waktu mereka tidak mendapatkan Lam Peng dan Thian Lim. Dari mengawasi orang banyak. mata mereka lantas menatap In Nio, yang kecantikannya menggiurkan hati. "Awas kamu. kamu mencari mampusmu," kata Tiong Hoa dalam hati, karena ia melihat roman orang kesengsam. Dua orang itu masih mengawasi lantas ke duanya kasakkusuk. Habis itu, mereka bertindak kearah si nona. Panas hati Tiong Hoa, kapan ia menggerak kakinya, segera ia memapaki mereka itu, Hingga ketika mereka datang dekat satu pada lain, hampir keduanya bersomplokan. Kaget dua orang itu. Mereka lantas minggir. Tiong Hoa menghentikan majunya, ia tertawa, matanya mengawasi dua orang itu, yang berbalik memandang dengan tajam, Agaknya mereka heran dan dongkol. si anak muda tertawa. "Apakah tuan-tuan mencari aku yang rendah?" tanyanya. "siapa mencari kau?" membentak yang berbaju putih. Tiong Hoa berlagak pilon. "Agaknya tuan-tuan kesusu, tuan-tuan selalu mengawasi aku" kata ia, "Aku kira tuan-tuan mempunyai sesuatu untuk dihaturkan kepadaku, kiranya bukanKalau begitu maafkanlah aku" Lagak pemuda ini membuat In Nio tertawa geli. Dua orang itu berdiri likat, marah salah tak marah juga salah. "Kamu bingung tuan-tuan, apa kamu kehilangan sesuatu?" Tiong Hoa tanya pula, tertawa, "Meski aku hanya seorang pelajar, kalau perlu, dapat aku membantu kamu." Dua orang itu mendongkol muka mereka merah. Mereka merasa bahwa mereka lagi dipermainkan. "Kita lagi mencari orang" akhirnya kata si baju hitam dingin. "Mencari orang?" Tiong Hoa tanya, ia melengak. lalu kata: "Tuan-tuan. kamu bergurau Lihatlah, disana ada puluhan orang apakah tuan-tuan tak melihatnya?" "Kami mencari lain orang itulah sebabnya kami menanya kau" kata si hitam. "Sungguh beruntung, tuan-tuan, kamu tidak menanya lain orang tetapi justeru menanya aku" kata Tiong Hoa. Justeru tepat- lah kau mencari orang" Dua orang itu heran. "Aku mencari dua orang" kata si hitam. "Tadi mereka berada disini, Kenapa sekarang mereka menghilang?" "Kembali kamu bergurau, tuan-tuan. kata Tiong Hoa tertawa, "Dimana ada lain orang disini kecuali tuan-tuan, yang baru saja menyeberang?" Si hitam mengerutkan alis. "Baru mereka memberi isyarat dengan panah- api" kata dia. " itu sebabnya kenapa kami ketahui mereka berada disini." "Oh mereka itu," kata Tiong Hoa, roman-nya heran, "Tadi ada beberapa orang pergi ke lembah memotong pohon buat membikin getek. Diantara mereka ada dua yang masing masing mukanya merah dan kumisnya hitam dan yang tak ada kedua buah telinganya. Mereka berdua tadi menantikan ditepi sungai, Tuan-tuan menanyakan mereka berdua?" Mau atau tidak ia mengangguk. Tiong Hoa memperlihatkan roman sungguh sungguh. "Si orang tua tak berkuping itu nampak gelisah sekali," katanya, "dia melepas panah, sampai sekian lama dia tidak mendapatjawaban, mendadak dia menarik kawannya, untuk diajak terjun kesungai, Dalam sekejab saja, mereka sudah lenyap. Mereka memandang enteng jiwa mereka, sungguh kasihan" Si hitam kaget, dia menatap bengis, "Pelajar melarat, kau ngoceh" bentaknya. "Aku bicara tak ngaco." kata Tiong Hoa, sabar, "jikalau tuan tidak percaya, pergilah tanya orang banyak itu" ia menunjuk kepada semua orang yang hadir disitu. "Toako, mari kita tanya mereka itu" kata si putih, yang agak heran, "Kalau dia mendusta, dia tentu tak bakal dapat lari" Si hitam menurut, maka mereka lantas pergi, untuk menghampirkan seorang pedagang, Tiong Hoa menyusul, ia mendatangkan herannya dua orang itu, hingga mereka mengawasi. Si hitam bukan menanya sipedagarg, mendadak dia menjambak dada orang. Inilah karena timbul kecurigaannya, Akan tetapi, belum lagi ia berhasil, tiba-tiba lengannya terasa nyeri. Diluar dugaannya, Tiong Hoa menyambar tangannya itu, sedang mata nya menatap tawar. "Kenapa tuan berlaku garang terhadap orang yang tidak mengerti silat?" Tiong Hoa menegur, "Takpuas aku terhadap kelakuan mu" Selagi ia ditegur, si hitam mengerahkan tenaganya untuk meronta, siapa tahu, Tiong Hoa melepaskan cekalannya, maka ia terlepas secara tiba-tiba. Si anak muda lantas tertawa kata: "sekarang aku omong benar-benar Keh Lam Peng dan Mo Thian Lim terbinasa ditangan- ku, mayatnya aku lemparkan kedalam sungai untuk dijadikan umpan ikan sekarang suka aku memberi nasehat kepada kamu, supaya kamu membalaskan diri kamu Pergi pulang, untuk menasehatkan Tok Pak Lao Koay, supaya dia menyayangi dirinya, agar dia jangan mengumbar murid muridnya mengganas jikalau tidak dia bakal mati tanpa tempat kuburnya" Dua orang itu terkejut, lalu keduanya ter tawa nyaring. "Pelajar rudin, kau tak tahu kami siapa" si hitam membentak. Tiong Hoa tertawa mengejek. "Tak lebih tak kurang segala murid atau cucu muridnya si siluman tua mata satu siapakah yang dapat kamu gertak?" Si hitam gusar bukan main. "Kau berani menghina tuan-tuan muda dari In Boe san?" kata dia bengis, "Baiklah, hutang jiwanya Lam Peng dan Thian Lim dibebankan sekalian kepadamu" Si putih berlompat maju ia berdiri sejarak satu tombak dari si anak muda, matanya mengawasi tajam. Tiang Hoa terus tertawa, sikapnya sangat tak melihat mata. "Tuan, nyalimu tak kecil Bagaimana rasanya tadi waktu aku cekal tanganmu?" Mukanya si hitam jadi merah, "itulah cara membokong, bukannya kepandaiannya sejati" sahutnya, "Masih kau berani omong besar, sungguh tak tahu malu" Didalam hati dia salah. Tiong Hoa mengawasi muka orang, ia tertawa. "Kau tidak puas" Baik, aku beri tempo sepuluh jurus padamu. Asal kau mampu meloloskan diri, kau dapat hidup," Gusarnya si hitam sampai dipuncaknya, mendadak dia lompat menerjang, kedua tangannya mencari tiga jalan-darah thian-hoe, ceng-cok dan khie-ha . itulah serangan sangat cepat dan berbahaya. Tak kalah gesit Tiong Hoa menggeser ke kiri, tangan kanannya dengan sebatnya menyambar kejalan-darah kiokstie penyerangnya itu, untuk ditangkap dan dipencet. Si hitam berkelit kekanan- Dia kaget sampai dia mengeluarkan keringat dingini Dengan tangan kirinya dia menyampok. Dengan begitu, dia berkelit sambil menyerang. Tiong Hoa memuji kesebatan lawan ini, Tapi ia tidak berdiam saja ia mencoba menangkap lengan kiri orang itu. Menyaksikan lichaynya si anak muda, Peng soei kagum. Baru sekarang ia melihat, Didalam hati ia kata: "Lie siauwhiap benar gagah seumurku baru aku menyaksikan ilmu silat liehay ini Hari ini mataku ter-buka" Si hitam kaget dan berkuatir, Baru sekarang ia insaf lawan lihai sekali, ia tapi-nya menjadi penasaran, Tiba-tiba ia mencelat sekali didepan dada, itulah tipu silat "Menolak gelombang, membantu ombak" Dengan itu pun ia mengerahkan seluruh tenaga nya, "tenaga badai yang membuat gelombang menggembur gunung," Tiong Hoa bersenyum, ia mengibas dengan dua tangannya, tubuh berdiri, tegak tak bergeming, Badai si hitam lenyap tidak keruanparan, bahkan sebaliknya dadanya tergempur, hingga dia terjerunuk mundur akan akhirnya roboh terlentang. Sekonyong-konyong si baju putih berseru tubuhnya mencelat maju, akan tetapi dia bukan menyerang lawan hanya menubruk kawannya, untuk dirangkul hingga dia melihat muka orang pucat pasi, tanda dari luka di dalam yang parah. Kibasannya Tiong Hoa itu yalah kibasan "Ie Hoa Ciap Bok" ajaran Ay sian dari see Hek. la tahu lihainya tipu silat itu, maka ia mengibas dengan tenaga separuh, siapa tahu, lawan Bujukan Gambar Lukisan Tukang Kayu Rimba Persilatan Lambang Penangkal Maut Dan Misteri Lambang Penangkal Maut Karya Wu Lin Qiao Zi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo masih tak dapat bertahan, Si putih lantas menotok jalan darah khie hay dan sam-yang dari kawannya, ia menyalurkan tenaganya, pertolongan ini tidak berhasil si hitam makin lama makin lemah akhirnya dia kata susah: "Toako anggota tubuhku bagian dalam sudah terluka, tak dapat aku bertahan lama, Lekas kau totok jalan darah sim-jie, lantas kau pondong aku pulang ke gunung, Mungkin aku dapat ditolong cit Yap Coe cie ayah.." si putih kaget dan bingung sekali, ia menurut, maka ia lantas menotok sim-jie- h iat kakaknya itu, setelah mana ia memandang bengis pada Tiong Hoa seraya berkata: "Kita tidak kenal satu sama lain, kita tidak bermusuhan tetapi kau sudah menurunkan tangan jahat sekali inilah sakit hati seumpama gunung, maka itu selagi gunung hijau tak berubah lain kali kita bertemu pula" "Kau lihat sendiri tuan, aku membalas menyerang atau tidak?" ia tanya "Dialah yang menggunai tenaga berlebihan hingga darahnya mandek, dia terluka didalam, Kau hendak persalahkan siapa?" Si putih melengah Memang benar ia tidak melihat orang menyerang, kedua tangan pemuda itu cuma mengibas menangkis serangan kakaknya. Tapi aneh kenapa kakaknya terjerunuk mundur hingga jatuh dan terluka demikian parah" "Mungkinkah pemuda ini berilmu sesat?" ia berpikir. Si putih insaf kakaknya terancam bahaya kematian, maka ia lantas kata: "Biar bagaimana tuan, kaulah gara-garanya, tak dapat kau membantah" Lalu dengan memondong tubuh kakaknya, dia lari ketepian, Disini dia menoleh kebelakang, lantas dia lelaki kakaknya, untuk membuka ikat pinggang nya. Dengan itu ia ikat sang kakak dipunggungnya, ia pun memunguti potongan-potongan kayu tadi, untuk dipakai pula sebagai batu loncatan, maka dilain saat, ia sudah tiba kembali diseberang dimana dia berlari lari lenyap diantara pepohonan lebat. Ketika itu matahari sudah doyong ke-barat, sinarnya yang berwarna indah berkaca dimuka air. Burung-burung gagakpun mulai beterbangan pulang kepohonannya. In Nio menghampirkan Tiong Hoa. "Kenapa dia terluka demikian parah?" si nona tanya, "Apakah kau kembali menggunai ilmumu seperti diwaktu kita menyingkir dari hadapannya Liong Hoei Giok?" Tiong Hoa mengangguk. "Inilah diluar sangkaku," sahutnya, "Sebenarnya aku menggunai tenaga tiga bagian, separuh untuk menghalau serangan, siapa tahu dia tak dapat bertahan terhadap kibasanku itu. Aku lihat sebab kecelakaan itu yalah dia telah terlalu mengumbar tenaganya hingga dia mirip pelita kering minyaknya dia tak sanggup mempertahankan diri lagi." ia menghela napas pula dan menambahkan "Aku pikir lain kali, jikalau tidak sangat terpaksa, tidak mau aku gunai lagi ilmu silatku itu." Ketika itu Peng Soei mendatangi berama kelima saudagar tetiron, Mereka itu sangat kagum, semua memberi pujiannya. Tiong Hoa cuma bersenyum terhadap mereka itu. "Mereka itu berdua yalah kedua anak laki-laki dari Tok Bak Lao Koay ciam Yang." Peng soei memberi tahu, "Si kakak bernama Kiu Wan dan si adik Hok Leng, keduanya sangat galak, pastilah semangatnya Lao Koay kena tergempur peristiwa ini." Selagi mereka bicara, terlihat dua buah getek lagi mendatangi saling susul, jarak ke duanya satu dengan lain belasan tombak, Keduanya terbawa air yang deras, Yang belakangan itu nampak seperti ikatannya longgar dan diatasnya bergeletakan beberapa tubuh orang. "Celaka" Peng Soei berseru apabila ia melihatnya, segera ia lari ketepian. Dari getek yang didepan itu terdengar ter tawa girang dari empat orang. Tiong Hoa pun melihat. ia dapat menduga apa yang terjadi, yaitu orang orangnya Peng Soei telah jadi kurban, ia jadi gusar maka ia pun lari kepinggir kali, untuk terus berlompatan. Baru dua kali, ia sudah sampai digeteknya empat orang itu Berhenti tertawanya mereka menjadi melengak, Mereka kaget melihat orang datang seperti terbang. Tiong Hoa bertindak cepat, tanpa bersuara. setibanya, ia mengibaskan kedua tangannya, Maka menjeritlak empat orang itu, terus mereka bungkam, tubuh mereka terpental, jatuh tercebur dimuka air. Si anak muda tidak berhenti sampai di situ, ia menyambar dadung diatas getek. untuk melemparkannya kedarat sambil ia berseru: "sambut Lekas tambat" Didarat orang menyambutnya, lantas menarik ramai-ramai, Mereka mesti melawan arus tetapi mereka berhasil, dadung itu dapat dilibat kepada pohon dan diikat keras. Tiong Hoa sendiri bekerja lebih jauh, untuk lompat kegetek yang dibelakang, Di sana Peng soei telah tiba dulu, ia mendapat kan empat orangnya rebah dengan napas empasempis, hingga ia menjadi putus asa, berduka tak kepalang, ia pun gusar. Ketika itu karena gempuran air, getek mulai terlepas. Tiong Hoa lantas berseru: saudara Keng, lekas menyingkir" ia tidak cuma berseru, ia menyambar tubuh Peng soei, buat dlangkat dan dibawa lari ketepian. Untuk itu ia berlompatan, menginjak balok-balok yang sudah terlepas. Sampai didarat, Peng soei melihat kearah getek dan orangorangnya, yang tak dapat tertolong lagi itu, karena geteknya sudah berantakan hingga tubuh mereka tersapu air. Tanpa merasa ia menangis menggerung. "Merekalah empat pembantu yang dihargai ayahku. Katanya sedih, "Aku tidak sangka selagi mereka mengikut aku, aku tidak sanggup melindunginya, mereka roboh ditangan jahat. Mana aku mempunyai muka akan bertemu dengan ayahku?" Kemudian dengan mengandal pada getek yang dapat dirampas itu, bergantian orang mulai pada menyeberang. Ketika itu sang waktu berjalan terus, sang rembulan telah muncul. In Nio turut dalam rombongan yang pertama dan Tiong Hoa pada rombongan terakhir. Tiong Hoa lagi berdiri menantikan kembalinya getek ketika ia melihat satu bayangan orang berkelebat didepannya, Walaupun ia terkejut tangannya toh lantas menyambar. Bayangan itu berkelebat sambil tertawa geli, Dia lolos lewat, Tangannya si anak muda kena menyambar segulung benda yang lunak. Ketika ia melihatnya disinar rembulan, ia mendapatkan itu sehelai satu tangan sutera yang harum semerbak. Ia menjadi melengak. Lekas-lekas ia membebernya, Di ujung kiri itu ada sulaman setangkai bunga bwee-hoe. Diujung kanannya ada sulaman satu huruf "Keng." Ditengah-tengah ada beberapa baris hurufhuruf yang dapat dibaca sebagai berikut: "Syukur karena bantuan tuan aku berhasil lolos dari tangan beracun dari Kiong Lay soe sioe. Aku berterima kasih dan aku ingat baik-baik budi itu Tapi tuan harus waspada, Kiong Lay soe sioe penasaran, ingin mereka mendapatkan padamu, Kami kakak dan adik akan mencoba merintangi mereka itu. jikalau nanti tuan sudah di Koei-yang, harap terus pergi ke Hek Liong Thoa. Mengenai urusannya Losat Kwie Bo, aku mengharap bantuan tuan untuk menyelesaikannya. Hormat aku: "Keng." Tiong Hoa membengong pula, ia menjadi bingung, Bagaimana harus memecahkannya alasan Losat Kwie Bo" Kalau In Nio ketahui ibunya ditawan cit chee cioe Pouw Liok It, pasti dia gusar sekali dan sangat membenci. Maukah nanti ln Nio mendengarkan nasihat atau bujukannya" Pasti nona itu akan mengamuk... Rembulan terang, binatang banyak. akan tetapi Tiong Hoa merasakan matanya suram disebabkan pikirannya yang ruwet.. cococco BAB 22 TIONG HOA menyeberang paling akhir, setibanya didarat, bersama In Nio dia melanjuti perjalanan dengan merendengi binatang tunggangan mereka. selagi kakinya binatang itu bersuara nyaring, mereka lenyap diantara gelap- gulitanya sang malam. Kong Peng swie bersama kelima piauwsoe, juga la ini la in orang yang dapat menyeberang itu, sangat berterima kasih kepada anak muda itu. Mereka juga kagum untuk keberanian dan kepandaian si anak muda. Tiong Hoa bersikap tenang meskipun hatinya kusut, ia masih belum memperoleh pikiran yang baik. Diam-diam ia kata didalam hatinya: Manusia berusaha, Thian berkuasa.... Biarlah aku bertindak, tindak demi tindak..." Terpisah duapuluh lie dari sungai ouw Kang, orang bermalam di Yang-iiong-ce. Besoknya baru terang tanah, orang melanjutinya. Tujuan mereka yalah kota Koei-yang. Didalam wilayah propinsi Koei- cioe, mulai dari Yang-lioecee keutaranya, jalan rimba dan pegunungan dimana angin sering bertiup dan kabut tebal, sebaliknya keselatannya cuma pegunungan sangat sedikit rimbanya, jalanan sukar tetapi pemandangan alam indah. Orang berjalan tak ayal tetapi majunya lambat. sedang kudanya Tiong Hoa dan In Nio seringkali terpeleset.... "Tahu begini tidak nanti aku menggunai kuda..." kata si nona menyesal ia memandang Tiong Hoa dengan meringis. Tiong Hoa tertawa. "Sekarang kau tahu, beginilah tenaganya sang kuda" katanya. Mau tak mau, In Nio turut tertawa, ia melirik pemuda itu. sebaliknya dari sepasang muda-mudi itu, Kong Peng swie selalu terbenam dalam kekuatiran, ia kuatir kawannya dua putera Tok Bak Lao Koay nanti pulang buat menyampaikan berita celaka, hingga si siluman tua ini akan datang menuntut balas, sebisanya ia berlaku tenang, dengan berpura saja ia saban-saban memandang kesekitarnya. Mereka itu tengah berjalan terus kapan disebelah depan mereka, dipuncak gunung, terlihat bayangan dari empat orang pia uw-soe Teng Thong yang paling dulu melihatnya. "siapakah mereka?" katanya kaget. "Perduli siapa mereka." kata Cie Goan Heng, dingin, "kalau mereka mengandung maksud jahat terhadap Kim shia Piauw Klok, biarlah mereka merasai golok Toan-hoen-too ini" Teng Thong melirik. "Jangan terkebur," katanya, Dia memang tak akur dengan kawannya itu meski mereka bekerja sama. Kenapa kemarin selagi menyeberang disungai ouw Kang kau tidak mengeluarkan kepandaian ilmu silat golokmu yang terdiri dari sembilan puluh-tiga jurus itu?" Goan Hong mendongkol ingin ia mengutarakan kegusarannya, Tapi ketika itu, cepat luar biasa, keempat bayangan sudah lari ke arah mereka sampai terpisahnya tinggal tiga tombak lebih. semua mereka beroman bengis. Mereka tak berdiam, bahkan mereka terus berlompat lewat diatasan kepalanya Peng swie beramai Lie Tiong Hoa menoleh kepada In Nio dan bersenyum. Dia mengambil sikap masa bodoh: " orang tak menggangguku, aku tak mengganggu orang." Tapi Lo siang Tay tidak puas, Dia lantas menimpuk dengan senjata rahasianya, yaitu kim-cian-piauw. Piauw itu meluncur keatas, lalu beradu, terus jatuh kearah kepalanya keempat orang itu yang tubuhnya sedang mau turun ketanah, itulah ilmu piauw yang mahir. Peng soei hendak mencegah tetapi sudah kasip. ia menjadi berduka, ia melihat empat orang itu liehay sekali, Mereka mendengar suara piauw beradu, lantas mereka berdongak. ketika semua piauw itu turun, untuk menghajar mereka, mereka mengangkat tangannya masing-masing untuk menanggapi.. Tiong Hoa dan In Nio sudah turun dari kuda mereka, mereka juga menyaksikan kejadian itu, keduanya kagum. Keempat orang itu tidak berkata apa-apa, mereka tidak menoleh kesana atau kemari, hanya mereka mengamproki tangan masing-masing yang mencekal kim-chie-piauw, lalu terlihat mengepulnya asap yang bersinar hijau, lantas asap itu sirna. Menampak demikian, Peng soei terkejut, segera ia ingat siapa keempat orang itu, selagi ia berpikir keras dengan kekuatiran, maka salah satu diantara orang-orang itu, yang mukanya panjang dan kumisnya pendek yang kulit mukanya kebiru-biruan, yang ke dua matanya bersinar sangat tajam, mengawasi dengan keren, lalu dengan suara dingin, dia menegur: "siapa yang melakukan pembokongan" Lekas menggelinding" "Hm " Lo siang Tay mengasi dengar suara menghinanya, terus ia mengajukan dirinya, untuk berkata: " itulah aku Kau mau apa" Bukankah kamu keterlaluan sudah berlompat lewat diatasan kepala kami " itulah pantangan " Orang itu tidak menjawab hanya tubuhnya mencelat, kedua tangannya terulur, menyusul mana terdengar dua kali suara "plak plok." Sebagai kesudahan dari itu, siang Tay melengak. kedua pipinya merah dan bengap Diluar dugaannya, ia telah kena digaplok orang itu. Peng soei maju menghampirkan, sembari hormat, ia kata kepada orang itu : "Maaf, bukankah tuan-tuan yalah Hoan Ceng soe Kie yang tahun dulu itu telah menggetarkan Boe Tong san ?" Orang itu mengasi lihat roman bengis, lalu dia tertawa lebar. "Sudah beberapa puluh tahun kami ber empat tidak muncul dalam dunia Kang-ouw tetapi toh masih ada orang yang mengenali kami" katanya nyaring, Lalu dia menambah kan dengan suara dalam: "Kami mau pulang kegunung kami untuk menyelesaikan sesuatu, kami tidak sempat melayani kamu. Maka lagi tiga hari saja kita nanti bertemu pula satu dengan lain " Habis berkata dia menoleh akan mengawasi pedangnya In Nio lalu dia mengulapkan tangannya seperti isyarat untuk ketiga kawannya, Akhirnya dia lompat mencelat untuk berlalu. Dia segera diturut tiga kawannya, Maka sebentar saja mereka sudah pergi jauh. Lain piauwsoe melengak. mereka berdiam saja. Bujukan Gambar Lukisan Tukang Kayu Rimba Persilatan Lambang Penangkal Maut Dan Misteri Lambang Penangkal Maut Karya Wu Lin Qiao Zi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Saudara Kong, siapa itu Ceng soe Kie?" Tiang Hoa tanya Peng soei. "Tentang mereka itu, aku tak tahu jelas." Peng soei menjawab, "Menurut katanya ayahku, mereka bukannya orang Han asli hanya keturunan peranakan suku Yauw-Biauw. Entah darimana mereka mendapatkan ilmu silat mereka, yang beda sekali daripada ilmu silat Tionggoan. Belum berumur tigapuluh tahun, mereka sudah tersohor sekali di wilayah selatan-barat. Kabarnya siapa bermusuhan dengan mereka pasti jiwanya sukar lolos. Pada tigapuluh tahun dulu mereka sudah mendaki gunung Boe Tong san dimana mereka telah melukai duapuluh tujuh jago Boe Tong, lalu dengan tak kurang suatu apa mereka turun dari gunung itu, peristiwa itu ramai menjadi buah-tutur orang banyak. Hanya tanpa setahu kenapa, semenjak itu mereka tak terdengar lagi kabar beritanya, hingga tentang mereka menjadi sirup, siapa tahu sekarang mereka muncul disini." Peng soei menghela napas, lalu ia menambahkan : "sekarang ini kita ada diujung pegunungan Hoan Ceng san, gunung yang panjang ribuan lie dan banyak rimba- rayanya, ada bagian-bagian dimana orang tak nampak matahari dan disana ada hawanya yang jahat hingga manusia dan binatang dapat mati karenanya. Karena itu tak ada orang yang ketahui Hoan Ceng soe Kie tinggal dibagian mana dari gunungnya itu gunung yang ditakuti orang, sayang tadi tak keburu aku memberi penjelasan." Tiong Hoa heran melihat orang demikian berduka. "Kejadian barusan toh perkara sangat kecil," kata ia. "Mungkinkah benar lagi tiga hari Hoan Ceng soe Kie bakal melakukan sesuatu yang tidak menguntungkan saudara Lo?" Peng soei menghela napas pula, ia menggeleng kepala. "Bukan melainkan saudara Lo. semua orang yang berjalan bersamanya turut dibenci sangat," ia menjawab. "siauwhiap dan nona Cek tak usah kuatir, tidak demikian dengan kita semua, terutama aku yang bertugas melindungi saudara Lo berlima." Siang Tay menjadi tidak senang. "Buat apa takut?" katanya mendongkol. "sekarang kita mati, nanti kita menitis pula?" Peng soei pun tak puas kepada piauwsoe jumawa ini, yang menjadi biang onar. "Hanya aku kuatir, sebelum kamu berhasil menyerahkan piauw kamu, rohmu sudah pulang keneraka" katanya sengit. "Tidak apa kalau kau saja yang mati, tetapi dengan itu kau meruntuhkan juga namanya Kim shia Piauw Kiok Dapatkah kau mengganti itu?" Mukanya siang Tay menjadi merah, dia bungkam. Dia malu sekali. Ketika itu tiba-tiba orang mendengar suara dingin ini: "Tok sie sin Kiong mempunyai anak semacam ini, sungguh harus disayangi." Peng soei terkejut, tapi lantas ia menjadi gusar. "Siapa berani menghina aku si orang she Kong?" dia menengok " Kenapa kau tidak keluar menemui aku?" Walaupun dia mengatakan demikian, Peng soei toh mendadak untuk segera lompat ke-arah dari manajengekan itu datang, disitu segera dia melakukan penyerangan hingga batu gunung hancur belarakan. Hampir berbareng dengan itu sesosok tubuh manusia terlihat lompat mencelat, menyingkir dari serangan dahsyat itu, terdengar suara tertawanya, terus orangnya lenyap. Peng soei menjadi masgul sekali. "Saudara Lie." katanya lesu, "nyatalah sekarang ini diantara Koei-yang dan Koen Beng telah ada tak sedikit orang Kang ouw yang mundar mandir, karena mana aku menduga diwilayah selatan ini mungkin bakal terjadi peristiwa apa-apa yang luar biasa. Lihatlah, orang-orang yang liehay telah pada muncul, Aku menyesal apabila sampai terjadi sesuatu yang hebat." "Saudara, kenapa kau mendapat anggapan ini?" tanya Tiong Hoa. "Hotel di Yang-liong-cee itu yala h hotel yang dibangun oleh orang bawahanku," Peng Soei mengasi keterangan "orangku itu telah memberikan pelbagai keterangan kepadaku." Tiong Hoa menoleh kepada In Nio, siapa berbalik memandang pemuda itu, lalu keduanya saling mengedipi mata, suatu tanda mereka saling mengerti. Mereka menduga urusan akan berpusat di Hek Liong Thoa di Koen-beng, Hanya mereka masih belum mendapat kepastian, itu ada urusan sendiri atau urusan Tok Bak Lao-Koay ciam Yang hendak berebut pengaruh dengan cit chee cioe Pouw Liok It. "Tak apalah," kata si anak muda kemudian dengan maksud menghibur, "Mari kita melanjuti perjalan kita." Demikian mereka menuju ke Koei-yang, Ditengah jalan mereka menemui orang-orang Kang ouw tetapi tidak mengalami sesuatu, Diwaktu magrib mereka sampai diluar kota hingga mereka lantas mendapat lihat tembok kota yang tinggi dan kokoh kuat, yang seperti melingkar-lingkar. Mereka berjalan masuk kedalam kota disaat orang mulai menyalakan penerangan- Peng soei berjalan dimuka memimpin rombongannya menuju ke hotel Goan Tiang, suatu penginapan nomor satu untuk kota Koei yang. Pihak hotel menyambutnya dengan hormat, dari mana terbukti hotel itu miliknya keluarga Kong. Disitu ada menumpang banyak orang Kang ouw, yang terlihat menyolok mata. Peng soei mengajak rombongannya masuk ke ruang paling belakang dimana ada sekelompok dari lima kamar yang terpencil semua kamar terawat baik dan bersih, sedang didalam pekarangannya tertanamkan beberapa pohon bunga yang menyiarkan keharumannya. Ruang ini pun sunyi dan tenang tak seberisik ruang depan. Selagi Peng soei menemui Tiong Hoa bicara, ia mendengar tepukan tangan diluar kamar, ia nampak terkejut. Tapi ia tertawa dan kata: "sia uwhiap berdua duduklah aku hendak keluar sebentar " "Silahkan, saudara Kong," kata Tiong Hoa bersenyum. Ketika Peng soei sudah pergi, pemuda ini berpaling pada in Nio untuk menanya: "Encie, kau lebih berpengalaman daripadaku. Bukankah suara tepukan tangan itu ada maksudnya yang terlebih dalam ?" Nona Cek mengangguk. "itulah tepukan tangan isyarat kaum Kang ouw yang biasa dipakai jauh, bukan dipakai dekat." katanya, "Itu biasa dipakai diwaktu malam gelap- gulita Kalau kita berpisah jauh, Maka dipakainya disini tak tepat, Pasti ada urusan yang penting, Lihat saja perubahan air mukanya Peng soei." Perubahan airmuka Peng soei itujusteru yang mencurigai Tiong Hoa, Maka ia lantas berpikir. "Adik Hoa" Si anak muda mengangkat kepalanya, menatap nona cantik didepannya itu. In Nio berkata: "Adik Hoa, besok kita menuju langsung ke Koen- beng untuk memenuhi janji dengan Pouw Liok It, untuk menyelesaikan urusan kita. kemudian baru kita mencari ibuku. Tentang urusan Kang-ouw, baiklah kita jangan terlalu mencampur tahu" Di terangnya api, mata nona itu bersinar bening, Tiong Hoa melihat sinarmata yang mencinta, ia menjadi masgul. Akan tetapi ia tidak mengentarakan rasa hatinya itu. ia lekas menyahuti: "Encie In aku setuju dengan pendirianmu, Ya besok kita berangkat langsung." Selagi mereka bicara itu, kelima piauw-soe dari Kim shia Piauw Kiok terlihat datang dengan tindakan cepat, Teng Thong lantas memberi hormat dan kata: "Sekarang kami mau pergi kekota selatan untuk menyerahkan piauw kami, begitu selesai maka malam ini juga kami hendak berangkat pulang kePa-siok. siauwhiap dan nona sudah membantu kami, kami sangat berterima kasih, kami ukir itu didalam hati kami, sekarang kami meminta diri Kalau nanti siauwhiap berdua pergi ke Pa-siok, kami minta sukalah siauwhiap memerlukan mampir di piauwkiok kami," Tiong Hoa dan si nona mengangguk. "Baiklah," kata si anak muda, yang lantas mengantar orang keluar dari kamarnya. Tidak lama datang jongos dengan barang hidangan dan araknya. "Siauwjie, mana saudara Kong?" tanya Tiong Hoa kepada jongos itu. Orang she Kong itu sudah keluar lama juga. Si jongos melengak, lantas dia menjura. "Maaf, aku tidak tahu," sahutnya tertawa. "Kami cuma dipesan lekas menyediakan barang santapan untuk tuan berdua nona, serta katanya silahkan tuan berdua dahar, tak usah dia ditunggui." "Ya, aku mengerti," kata Tiong Hoa. Terima kasih" Muda-mudi ini lantas duduk bersantap. akan kemudian beromong-omong dengan gembira. Belum lama mereka mendengar suara berisik diruang luar, seperti seorang tetamu berselisih dengan jongos. Tetamu itu keras suaranya. Tiong Hoa mengerutkan alis, lalu tertawa. "Encie kau duduklah." katanya pada In Nio. "Ada orang mencari kita." Lantas ia bertindak keluar, hingga ia me lihat seorang jongos lagi melintangi tangan dipintu pekarangan menghalang seorang bertubuh besar bermuka kuning usia empat-puluh. Jongos itu melihat si anak muda ke luar, dia lantas kata: "Nah, kau lihatlah Bukankah kamar itu ada penghuninya" Kau tidak percaya perkataanku, sekarang baru kau percaya, bukan?" Orang itu mengasi Tiong Hoa, lantas dia kata: "Biar ada penghuninya, aku masih mau melihatnya Dia seorang diri, dia tak layak memakai demikian banyak kamar" Lantas dia menotok kepundak si jongos. Jongos itu mengerti silat tetapi ia tidak mau melayani ia tahu banyak tetamunya kaum Kang-ouw dan ia tidak mau mencari penyakit Maka ia lompat mundur tapi ia kalah sebat, pundaknya kesentuh juga, hingga ia merasa nyeri dan menjerit dengan tubuhnya terhuyung. Tiong Hoa tidakpuas terhadap kelakuan galak dan kasar orang itu ia maju menghalang hingga orang tak dapat bertindak terus kekamarnya. "Tuan mau pergi kemana?" ia menegur. "Minggir" membentak orang itu. "jangan usil aku" Dengan tangannya, dia pun menolak. Tiong Hoa gusar, ia berkelit, tangan kiri nya menyambar, untuk mencengkeram lengan orang kasar itu orang itu kaget, dia lompat mundur. Tiong Hoa lompat maju, niat mengejar. Tapi orang itu mundur terus, akan lompat naik ke atas genteng dimana dia lantas lenyap. ia lompat naik juga. Malam itu rembulan terang dan bintang banyak seberlalunya orangkasar itu, sekitarnya Tiong Hoa menjadi tenang. Justeru itu mendadak ia mendengar tertawa perlahan dan merdu, hingga ia tercengang, ia lantai berpaling dan melihat keatas genteng cari mana tertawa itu datang. Untuk herannya ia melihat Pow Keng lagi berdiri diatas genteng, terpisah dari ia kira dua tambak, Kedua matanya nona itu bercahaya terang. Hati si anak muda berdebaran, inilah ia tidak sangka, Kedua belah pipinya pun menjadi merah, ia lantas bertindak maju. "Kau baik nona ?" ia menyapa, Nona itu bersenyum, ia mengangguk. " orang barusan orangnya Hoan Ceng soe Kie," kata ia. "Dia datang kemari membikin penyelidikan sambil mengincar sepasang pedang dipundaknya Nona Cek. Dialah kurcaci. tak usah dia dibuat pikiran, ciat-sin datang kemari buat menemui kau, siauwhiap untuk minta kau pergi ke Koenbeng guna memenuhkan janji dengan ayahku." Mendengar Pouw Keng membasakan diri " ciat-sin," muka Tiong Hoa merah dan hatinya berdenyut itulah kata-kata menghormat dan merendah kaum wanita terhadap pria. "Itu juga menjadi pemikiranku," kata ia perlahan "Besok memang aku hendak pergi ke Koen-beng. Cuma urusannya ibu dari Nona Cek sulit..." "Tentang itu ciat-sin dan adikku sudah mengatur sesuatu," kata Pouw Keng. "Adikku sudah berangkat lebih dulu ke Koen-beng, Asal siauhiap suka membantu urusan bakal dapat diselesaikan dengan baik," Kata-kata yang belakangan itu diucapkan perlahan sekali. Tiong Hoa mengangguk beberapa kali. Nona Pouw berkata pula: "Ayahku telah mendapat kitab Lay Kang Koen Pouw hadiah Kwie lam ciauw, tapi sekarang orang orang Kang ouw lagi mengarah kitab itu, yang mereka ingin rampas, Begitulah di Koei yang kaum Rimba persilatan berkumpul dan ada yang berkoncoh karenanya, hal itu membuat ayahku berduka. "Kalau urusan kitab itu digabung dengan urusan ibunya Nona Cek. hingga kedua gurunya Nona Cek turun tangan, mungkin sekali terjadi kebencanaan Rimba persilatan-" Tiong Hoa heran- "Nona Cek mempunyai dua guru?" ia tanya. "Eh, kenapa siauwhiap tidak ketahui itu?" tanyanya, "Kedua gurunya Nona Cek yalah yang satu Hay Gwa It In- to-coe dari pulau Le Coe To dari laut Poet-hay dan yang lainnya Cit Yang sin nie, bhikshuni dari biara Cie Tiok Am di pulau Ban Keng sie dilaut Tang Hay. Dimasa mudanya, kedua guru itu tersohor sebagai hantu. Tadinya merekalah sepasang suami istri, kemudian setahu karena urusan apa diantara mereka terbit salah mengerti, lantas mereka berpisahan, sang suami hidup menyendiri di Poet hay, sang isteri mencucikan diri di Ban Keng sie." Habis berkata itu, Noua Pouw mengeluarkan sehelai bendera sulam tujuh bintang, cit Chee Kim-kie sembari mengangsurkan itu kepada si anak muda, ia menambahkan "Dalam perjalanan dari sini ke Inlam, apa bila siauwhiap bertemu dengan orang-orang cit Chee Boen, asal mereka dikasi lihat bendera ini, segala kerewelan yang tak diingini bakal dapat disingkirkan. ciat-sin akan memberitahukan siauwhiap beberapa isyarat yang merupakan gerak-gerakan tangan-" Bujukan Gambar Lukisan Tukang Kayu Rimba Persilatan Lambang Penangkal Maut Dan Misteri Lambang Penangkal Maut Karya Wu Lin Qiao Zi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Tiong Hoa mengulur tangannya menyambut bendera sulam itu, kemudian ia mengawasi si nona yang terus menyadari ia pelbagai isyarat tangan, sementara itu hatinya goncang, ia berdiri dekat sekali dengan si nona hingga hidungnya mendapat cium bau harumnya nona itu. Pouw Keng mengulangi pelbagai isyarat itu, habis dia tertawa dan kata dengan manis: "Aku harap siauwhiap mengerti maksud kedatangan ciat-sin ini, sekarang ciat-sin mau pergi" Benar-benar si nona berlompat menghilang. Tiong Hoa berdiri menjublak sekian lama, baru ia lompat turun, untuk masuk kedalam kamnrnya, ia mendapatkan In Nio lagi duduk rebah diatas pembaringan nona itu seperti lagi memikirkan apa-apa. "Eh. kenapa kau pergi drmikian lama, adik Hoa?" tanyanya setelah melihat si pemuda kembali. Tiong Hoa bersenyum. "Orangnya Hoan Ceng Soe Kie datang untuk mengacau, aku telah usir dia sampai diluar kota." sahutnya. oleh karena si nona memanggil ia adik, pemuda ini selalu membasakan diri aku dengan siauw-tee, artinya adik kecil. Cek In Nio tertawa, Mendadak dia menggerak tangannya menyerang kearah jendela. Tiong Hoa terperanjat apa pula segera telinganya mendengar orang berseru tertahan diluar jendela, ia mau lompat keluar, tetapi si nona menariknya. si nona tertawa manis dan kata: "Pasti ada orang yang membereskan mereka itu, hingga tak usahlah kita turun tangan sendiri..." Baru nona itu habis berkata, atau mereka mendengar jeritan yang meng Giriskan hati, disusul dengan ini kata-kata mendumal: "Dari mana datangnya segala tikus tak punya mata" Kenapa orang berani mengincar kepada aku sam Cioe Kim Kong seng Toa ya" Bukankah orang mencari mampusnya sendiri?" Suara itu disusul pula dengan suara berisik, sebab suara itu telah lantas menarik perhatiannya orang-orang Kang-ouw tetamu-tetamu lainnya dari hotel Goan Tiang itu. Diam-diam Tiong Hoa memuji In Nio yang cerdik itu, serangan si nona. yalah semacam pukulan Udara- kosong yang dinamakan Thian Mo Ciang Lek atau tenaga Tangan Hantu Langit. siapa terhajar itu, dia terluka didalam, kalau dia lari darahnya akan mandek. hingga dia mudah dikenali atau terpergok, "Encie In, sungguh kau cerdik" katanya, "Aku kalah." Justeru itu, dari luar jendela terdengar ini suara seram: "Eh, wanita cilik, kau tak dapat mengabui aku si orang tua Pukulan tangan beracun ini mana dimiliki oleh itu manusia dogol she seng?" Tiong Hoa terkejut, ia lantas mengayun tangannya keara h jendela sampai tubuhnya menyusul berloncat. Diluar itu terdengar lagi suara tertawa dingin tadi, orangnya terpisah belasan tombak, ketika Tiong Hoa menyusul dia berlompat keatas genteng untuk berdiri diam diatas wuwungan- Tiong Hoa menyusul terus dibelakangnya In Nio mengikuti. Orang itu sudah lantas menyerang dergan serupa senjata rahasia, habis itu dia lari turun kelain sebelah, sekejab saja ia lenyap. senjata rahasia itu lambat meluncurnya. Segera ternyata itulah segumpal kertas putih, maka ia lantas membeber dan melihatnya, setelah lama ia mengangsurkan itu kepada si anak muda seraya berkata: "Adik Hoa, inilah untukmu" Tiong Hoa melengak. apa pula setelah ia membaca dibawah sinar rembulan Beginilah bunyinya surat itu: siauwhiap Lie Tiong Hoa yang terhormat Kita belum pernah bertemu muka tetapi aku mengagumimu, hingga senantiasa aku memikirkannya. Baik kau ketahui, aku si orang tua bersahabat akrab dengan saudara Song Kie dan baru kira setengah bulan yang lampau aku bertemu saudara Song itu dirumah penginapan- selagi kita memasang omong, saudara song menyebut-nyebut tentang siauwhiap yang gagah dan berhati mulia, hingga aku menjadi bertambah mengaguminya. Siauwhiap yang baik, aku bersahabat baik dengan Ciam Yang, dan aku telah menerima permintaannya untuk mencelakai kau, aku tidak sangka kau justeru tuan penolong dari saudara Song. Hal ini membuat aku serba salah, Tetapi, umpama jemparing pada busur, tak dapat itu tak dilepaskan. siauwhiap. sebentar jam empat, baiklah siauwhiap berhatihati jangan siauwhiap minum teh atau lainnya. sekian saja Hormat dari aku, Pek-Pou Leng-Hong Pauw Yang" Habis sianak muda membaca, in Nio kata dingin, "Syukur mereka tidak datang, tetapi kalau toh mereka muncul, biar mereka belajar kenal dengan lihay Cit Yang sin ciang." Tiong Hoa mengajak si nona kembali ke dalam kamar, Mereka tidak banyak omong sebab hati mereka tahu satu pada lain. Tak lama muncullah seorang jongos, munculnya secara tergesa-gesa, Dia bukan jongos yang biasa, Dia membawa sebuah nenampan diatas mana ada tehkoan beling yang indah putih mirip batu kemala. Dia meletaki itu diatas meja sembari menjura dan tertawa dia kata: "Majikan muda kami menyuruh menghaturkan ini sepoci teh pilihan, silahkan tuan dan nona minum, Majikanku pun menyampaikan hormat. Tiong Hoa bangun berdiri. "Memberabekan kau saja" katanya, tertawa, "Tolong kau sampaikan terima kasih ku si orang she Lie" Jongos itu menyahuti. "Baik, tuan-" katanya. Mendadak tangan si anak muda meluncur. Tanpa menanti orang menutup mulur, ia menyambar tangan jongas tetiron, karena benar orangnya Ciam Yang. Jongos itu kaget, dia berlompat mundur akan tetapi dia kalah sebat, lengannya sudah lantas tercekal. Dia merasakan sangat nyeri seperti dijepit capit besi. Dia tak dapat memperdengarkan suaranya, cuma mulutnya terbuka lebar, matanya terbuka juga, dan keringatnya mengucur deras. In Nio tahu bagaimana harus bertindak. Dengan cepat ia lompat keluar kamar, untuk bersembunyi dibelakang pohon dipekarangan dalam itu. Jilid 19 : Prahara kitab Lay Kang Koen Pouw Tiong Hoa mengawasi tajam. "Apakah kau orangnya TokBak Lao Keay?" ia tan a, tertawa dingin-Jongos tetiron itu mengangguk. "Apakah malam ini TokBak Lao Koay datang kemari?" Tiong Hoa tanya pula. Jongos itu menggeleng kepala, Mata dia mendelik saking menahan sakit. Tiong Hoa tertawa pula, Cepat sekali ia menotok jalan darah khie-hay dari jongos itu, yang lantas roboh tanpa berkutik lagi. Setelah itu dengan msngibas tangannya, Tiong Hoa memadamkan api. hingga kamarnya menjadi gelap petang, cuma rembulan yang menyinarkan luar jendela. Kesunyian pun lantas menguasai kamarnya itu. Lewat jam tiga, bintang-bintang mulai jarang dan si Puteri Malam sudah berkisar rendah kebarat, sinarnya ayu. Rumah penginapan pula menjadi sepi. Justeru itu di-luar jendela terlihat berkelebatnya empat bayangan orang. satu bayangan mendekati jendela, untuk memasang telinga, Dia tidak mendengar apa-apa, maka dia memberi isyarat kepada tiga kawannya. Ketiga orang itu menghampirkan, lalu berempat mereka berlompat masuk kedala m jendela. Kamar tetap sunyi, apa yang terdengar yalah mirip suara kutu yang halus. selang beberapa saat diluar jendela terlihat lima bayangan lain, yang lompat masuk dari luar tembok pekarangan. Mereka mengawasi kekamarTiong Hoa, kelihatan mereka curiga. " Heran kenapa mereka tak nampak?" kata yang satu, "Mungkinkah mereka roboh?" "Tak mungkin" kata satu yang lain, Mustahil mereka dapat dirobohkan tanpa suara apa juga?" Mereka bersangsi sekian lama, Lalu dua antaranya lompat masuk dijendela. Tiga yang lain menantikan, mata mereka diarahkan kejendela itu. sekonyong-konyong terlihat sinar berke-redep seperti kilat menyambar, itulah sinar pedang istimewa, Menyusul itu ketiga orang itu roboh, kepala mereka jatuh bergelantungan. Mereka lagi memperhatikan jendela tak merasa mereka akan datangnya maut. Dua orang yang lompat masuk kedalam kamar juga tak muncul pula, Mereka tiba di dalam dengan kamar itu tetap sunyi dan gelap. Diluar kamar satu bayangan kecil langsing muncul untuk bekerja sebat, menyingkirkan ketiga mayat kepojokan, sesudahnya dia kembali ketempat sembunyinya. Kembali kamar dan pekarangan itu terbenam kalam kesunyian, Cahaya rembulan makin lemah, begitu juga sinarnya sisaska bintang, Meski begitu terlihat cukup nyata ketika satu bayangan lompat turun dari tembok pekarangan. Dialah seorang tua dengan kumis jeng got panjang sampai didada dan sepasang mata bersinar tajam dan bengis, dia heran dan curiga hingga dia bersangsi, Baru kemudian dia menjejak tanah, untuk tubuhnya mencelat tinggi kira dua tembak untuk menerkam kepojok tembok pekarangan itu. Dipojok itu lantas terdengar satu seruan perlahanSi orang tua sudah lantas lompat balik, Baru saja dia menaruh kaki diluar kamar, atau dari dalam kamar terlihat satu bayangan lompat keluar, menyerang dia, menekan punggungnya. Si orang tua kaget setelah kasip. Tanpa berdaya, dia roboh. Sang pagi telah tiba, Matahari sudah muncul dengan sinarnya yang hangat. Kamarnya Tiong Hoa, begitu juga pekarangan luarnya, tenang sekali. Tiong Hoa dan In Nio sudah siap untuk melanjuti perjalanan. "Encie In." kata si anak muda, bersenyum, "tentu saudara Kong sudah pulang ke Hoa kie, maka itu baik kita pergi menyusul sekalian kita menjenguk Tok sie sin Liong Kong Loocianpvvee, Disana kita berpamitan dengan saudara Kong. setujukah kau?" In Nio mengangguk Maka keluarlah mereka dari hotel. Tindakan Tiong Hoa tenang dan sabar dia bersama si nona tak menghiraukan banyak mata mengawasi dengan perhatian, bahkan ada yangkasak-kusuk. Kalau Tiong Hoa gemar bersenyum, si nona berdiam saja. Diluar hotel, jongos sudah sedia dengan kuda mereka, dari itu tak ayal lagi, mereka naik dan berangkat dengan perlahan-lahanBaru setelah berada ditengah jalan, muda mudi ini bersenyum satu dengan lain, atau bicara sambil tertawa-tawa. Diluar kota Koei-yang sebelah barat, sawah ladang nampak dikiri dan kanan, pohon-pohon padi bergelombang diantara tiupan sang angin, Gunung hijau memberikan pemandangan indah dan segar, Maka itu, bergembiralah muda-mudi ini. Dengan begitu juga, tanpa merasa mereka sudah sampai di Hoa-kie. Kali Hoa kie terletak di atasan sungai LamBeng Hoo. airnya jernih, d iping Girannyatumbuh banyakpohon yanglioe, Ada pasebannya, ada jembatannya juga. Ada pula tempat terkenalnya, yalah Hong Hoo Cioe. Selagi jalan dijalan Hong Hoo Cioe, muda mudi itu melihat seorang tua dengan dandanan sasterawan, Dia kelihatan ketarlk dia mengawasi bahkan kemudian dia menanyai. "Jiewie, apakah kamu hendak mengunjungi Kong Kioe Houw" Kalau benar, ikutilah ini kali Hoa Kie sampai kamu melihat sebuah paseban perhentian. itulah Gili- Gili seberangnya Hong Hoo Cioe. Cumalah Kong Kioe Houw tak biasa menerima tetamu-tetamu, mungkin kamu bakal kecele..." Habis berkata, orang tua itu ngeloyor terus. Tiong Hoa heran- "Orang tua itu mungkin musuhnya Kong Kioe Houw." kata in ^io kemudian, ia berpikir sebentar, lalu tertawa, "Penduduk disekitar sini tak ada yang tak menghormati orang tua she Kong itu sikap dia itu aneh. Aneh pula sikap Kong Peng soei, Dia berlalu dan sampai sekarang tak juga muncul lagi. Aku percaya sekarang Hong Ho cioe lagi dilicuti kabut kedukaan." Tiong Hoa melihat kelilingan. orang tua tadi sudah lenyap. ia heran. "Sudah,jangan perdulikan dia" kata In Nio. "Mari kita maju terus, Kalau Kong Kioe Houw menampik kita, tidak apa. kita sudah berlaku hormat terhadapnya, Bahkan dengan begitu kita jadi dapat langsung menuju ke Koen-beng." Tiong Hoa akur, ia mengangguk. Maka mereka mengasi kuda mereka jalan terus. Tidak lama, benar saja mereka melihat sebuah paseban ^egi empat, Disitu tumbuh banyak pohon yanglioe, Ditengah kali ada sebuah pulau kecil. itulah dia pulau Hong Hoo Cioe dimana bangunan rumah seperti ketutupa n pepohonan. Keduanya turun dari kuda mereka, habis menambat binatang itu, mereka bertindak kepaseban, Disitu sudah ada tiga orang laki-laki dengan dandanan singsat, romannya jumawa, matanya bersinar tajam. Mereka itu ketarik kecantikan m Nio, hingga mereka mengawasi saja, sampai si nona jadi mendongkol. "Tuan-tuan, aku mohon tanya." menyapa Tiong Hoa seraya ia memberi hormat, "Apakah tuan-tuan menjadi sebawahannya Kong Tay-hiap?" Tiga orang itu duduk tak bergeming, Cuma yang mukanya ada tapak goloknya, hingga romannya menjadi bengis menjawab dengan dingin: "kalau benar bagaimana" Kalau bukan, bagaimana?" Tiong Hoa tidak senang dengan sikap kasar itu, tetapi ia tertawa, Meski orang tidak tahu aturan, kalau orang benar orangnya Kong Hong Kioe Houw, tak enak apabila ia bentrok dengan mereka itu, malu untuk menemui sijago tua itu, ia berkata pula: "Kalau benar, aku minta diwartakan kepada tayhiap bahwa aku si orang she Lie..." Belum habis kata kata Tiong Hoa, dia sudah disela. Bujukan Gambar Lukisan Tukang Kayu Rimba Persilatan Lambang Penangkal Maut Dan Misteri Lambang Penangkal Maut Karya Wu Lin Qiao Zi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Kamu mau minta bertemu dengannya, bukan ?" katanya kaku, matanya pun mencilak, "Percuma saja, sahabat Kong Looya coe sudah lama tak menerima tetamu, terhadap kamu juga dia tidak dapat membuat kecualian Kalau ia mau menerima kunjungan dia tak akan menerima orang tak ternama" Tiong Hoa mendongkol tapi ia masih menyabarkan diri, Tidak demikian dengan nona Cek yang lantas maju menghampirkan. "Encie In, jangan...." si anak muda berseru. Sudah kasip. Kedua tangan si nona sudah bekerja, Kedua pipinya orangkasar itu berbunyi dua kali, dia roboh dengan kepala pusing dan mata berkunang-kunang. Dua yang lain menjadi gusar, Mereka berjingkrak bangun, terus mereka menghunus golok mereka, menyerang si nona, In ^io bertambah gusar, ia menangkis sambil berkelit, terus ia menotok, Maka robohlah dua orang itu, roboh bergulingan sambil merintih. Tak berdaya Tiong Hoa mau meredakan panas hatinya si nona. "Adik Hoa mari" In Nio lantas mengajak. Dengan terpaksa sampai ia menghela napas, si anak muda turut keluar dari pas eban, untuk menghampirkan kuda mereka, Maka juga dilain saat, keduanya sudah tengah me lanjuti perjalanan mereka. ooo Dipermulaan lohor ditengah jalan antara An-soen dan Tinleng ada dua penunggang keledai yang lagi mengaburkan binatang tunggangan mereka itu. Dibelakang mereka debu mengepul naik, Merekalah sepasang pria dan wanita muda, keduanya memakai topeng sutera hitam hingga mereka nampak aneh. Ketika itu dipertengahan musim panas, hawa udara terik, panasnya tak tertahankan membuat napas orang memburu dan keringat mengucur deras. Tengah melarikan kudanya itu, mendadak si anak muda berseru tertahan, terus ia menahan kudanya maka dalam sekejap binatang itu lantas berjalan dengan perlahan. si pemudi lantas menurut contoh. "Tidak disangka hawa udara begini panas mengkedus, encie In," kata si anak muda. rperjalanan kita masih ada kira satujam, Kupikir untuk siang-siang mencari pondok." "Terserah " sahut si nona, "Tapi kau lihat sendiri, hari ini ada banyak orang Rimba persilatan yang pada menuju ke Keen beng, Kau dengar suara kuda dibelakang " Si pemuda berpaling kebelakang, ia lantas melihat debu mengepul tebal dan tinggi, di sana terdapat beberapa penunggang kuda yang lagi kabur mendatangi. Bersama sinona ia lantas minggir untuk memberi lewat pada mereka itu. Itulah enam penunggang kuda yang kuda nya tinggi dan nampak berduka bahkan yang besar, tetapi penunggangnya satu lagi memegangi seorang muda bermuka pucat pias yang tubuhnya berlepotan darah. "Encie In. kembali pertempuran-" kata si pemuda. "Mungkin dibelakang mereka ini ada pengejarnya...." "Beginilah sikapnya seorang jago" kata si nona bersenyum, "Bukankah pertempuran itu umum, apa pula disini didalam wilayah selatan yang lagi keruh dan panas suasana nya" Kenapa kau menjadi bingung tidak keruan-" Pemuda itu bersenyum jengah. Benar dugaan Tiong Hoa. segera terlihat datangnya barisan pengejar, yang terdiri dari belasan penunggang kuda. selagi lewat cepat, mereka itu memandang tajam muda mudi ini. "Hebat" Tiong Hoa berseru tiba-tiba, "Di antara mereka itu ada orang Koa Kee Po. Mari kita susul dan melihatnya" Si nona menjadi heran, pemuda itu agak jeri tetapi toh usilan. "Adik Hoa, kau usil" kata ia. "Kau tahu, akan banyak timbul kepusingan karenanya" si pemuda tertawa. "Aku akan jadi si penonton saja" kata-nya. "Aku akan tak turun tangan...." In Nio kewalahan maka ia menurut untuk menggeprak lari kudanya. Tapi mereka lantas kehilangan orang-orang didepan itu. jalanan disitu memang tak rata tinggi rendahnya, Terpaksa mereka berjalan terus. Ketika akhirnya mereka tiba dikota Tinleng. hari masih siang, Berisik kaki kuda mereka ketika mereka berjalan dijalan besar yang tertabur batu lempengan. "Encie, lihat" tiba-tiba Tiong Hoa berkata perlahan tangannya menunjuk. In Nio menoleh, Disebelah kiri, ditepijalan, tertambat banyak kuda yang lagi makan rumput dalam rombongan, itulah kuda dari dua rombongan tadi, Merasa heran orang mengambil satu tempat persinggahan mereka pun lantas menghampirkan- Disitu ada sebuah rumah penginapan jongosnya sudah lantas keluar menyambut tetamu muda mud i ini. memberi hormat terus dia memegangi les kuda. Ruang depan penginapan itu besar dan luas, mejanya belasan biji, delapan diantara nya sudah ada tetamunya. Rombongan dari belasan orang tadi memborong dua buah meja bundar yang besar. Karena mereka memakai topeng, Tiong Hoa dan In Nio menarik perhatian para tetamu. Mereka tidak menghiraukannya. dengan tenang mereka memilih meja. Lantas mata Tiong Hoa menyapu kesekitarnya, segera dia nampak tercengang. In Nio turut melihat kearah pandangannya si pemuda, sasararan mereka yalah si orang tua yang di Hoa- kie tadi mereka ketemukan, yang menyapa mereka mengenai Keng Kioe Houw. Juga si orang tua tengah mengawasi mereka, matanya bersinar dingin, senyumannya tawar. Tiong Hoa dan si nona tidak mau mengawasi orang, si anak muda lantas memanggil jongos meminta arak dan barang makanan. Hanya sebentar, didalam rombongan belasan penunggang kuda terdengar seorang berkata: "Tadi malam rumahnya bangsat tua she Keng di Hong Hoo Cioe telah disateroni musuh-musuhnya, Diluar dugaan bangsat she Keng itu yang namanya menggetarkan wilayah selatan telah berhasil meloloskan diri dan lenyap tanpa bekas-bekasnya" "Yo Loo-jie, beginilah biasanya kau, mulutmu seperti tidak ada perintangnya" menegur seorang yang lainnya, "Kau tahu tempat ini tempat apa" Kita masih mempunyai urusan kita sendiri, buat apa kita bicara dari hal yang tidak ada perlunya?" Tiong Hoa mendengar itu, hatinya terkejut Teranglah tiga orang yang diketemukan didalam paseban itu bukan-orangnya Kong Kioe Houw. sebaliknya merekalah mata-mata musuhnya Kioe Houw, Kalau benar seperti katanya si Yo Loo-jie ini, pastilah sudah, keluarga Kong itu telah mengalami bencana. Maka ia lantas melirik In Nio. Nona In seperti tak menghiraukan, dia menyingkir dari lirikan kawannya itu. Tiong Hoa seperti tak berdaya, kembali ia menoleh kepada belasan orang itu. Belasan orang itu lantas tak berbicara pula, mereka minum dengan mata mereka sering-sering diarahkan kepintu, Teranglah mereka lagi meng harap- harap penunggang kuda yang berenam itu. Diam-diam Tiong Hoa memperhatikan mereka itu. Karena ini ia menunda memikir untuk pergi ke Hong Hoo Cioe. Si orang tua juga minum araknya dengan tenang, Tempat duduknya itu yala h disamping pintu dari ruang dalam. Disaat itu, semua ruang sepi sekali, sinar matahari layung masuk kedalam ruang itu. Cuma diluar kadang kali terdengar ringkiknya kuda, Ketika telah tiba saatnya api dinyalakan, jongos rupanya lupa kepada tugasnya, kesunyian membuat dia menyender saja dimeja tukang uang. Tak lama maka dua diantara belasan orang itu berbangkit Dengan mengangkat kepala dengan tindakan lebar, mereka menuju ke-dalam, sikap mereka acuh tak acuh, Tepat lewat lima kaki dari si orang tua mendadak mereka memutar tubuh mereka. Lalu dengan mendadak juga mereka menyerang orang tua itu, yang diarah dada dan perut nya. Mereka itu meluncurkan masing-masing lima buah jari tangannya, Mereka bergerak sangat cepat. Orang tua itu nampak tenang seperti biasa ia tak terkagetkan serangan tiba-tiba itu, Dengan sebat ia meringkaskan dada dan perutnya, Ditarik mundur sedikit, sebaliknya dua buah tangannya diluncurkan kedepan segera juga terdengar teriakan yang menyayatkan hati. Tubuhnya dua penyerang itu terpental mundur, roboh menggabruk di depan mejanya tukang uang, dimana kedua nya lalu berkoseran dan rintihannya terdengar terus. Tangan mereka bengkak dan merah, dari lubang-lubang keringatnya ke luar darah hitam. Si orang tua sendiri duduk tetap dikursinya, ia minum araknya dengan tenang, seperti telah tak terjadi sesuatu, sebaliknya sisa belasan orang itu terpentang mata dan mulutnya disebabkan kaget dan heranTiraikasih Website http://kangzusi.com/ Kedua orang yang berkoseran itu merintih terus, hanya rintihannya makin lama makin perlahan, mereka juga berkoser makin lemah. Akhirnya siraplah suara mereka, berhentilah bergeraknya tubuh mereka itu. sekarang jiwa mereka sudah melayang, tinggal muka mereka yang nampak menakuti. ooooo BAB 22 TIONG HOA juga TERKEJUT. "Hebat orang tua ini." pikirnya, "Dia nampak lemah, siapa tahu dia liehay sekali, Kenapa dia berlaku begini teleng as" Mungkinkah diantara mereka ada permusuhan besar?" Karena ini, ia menjadi mengawasi orang tua itu. Jongos " kemudian terdengar suara si orang tua. "Cuaca sudah gelap. kenapa kau masih belum memasang lampu" Apakah kau hendak membikin aku si tua memasuki arak ku kelobang hidungmu ?" "Ya, ya " sahutnya, terus dia pergi mengambil api. Belasan orang yang menjadi kawannya ke dua penyerang yang naas itu mendusin dari kagetnya, mereka lari memburu kepada mayat dua kawannya itu, untuk disambarkan dibawa lari, sama sekali mereka tak menoleh lagi kepada si orang tua. Habis itu terdengar suara larinya kuda yang berisik, lalu sepi pula. sekarang ini api telah dinyalakan, Ruang depan dan ruang dalam menjadi terang, Kecuali dua buah meja dari belasan orang itu, yang sudah ditinggal kosong, masih ada tetamutetamu dari enam meja yang lainnya. Heran semua tetamu itu, walaupun peristiwa hebat sekali, mereka semua berdiam saja, mereka repot dengan arak mereka sendiri, Tak usilan mereka, tak tertarik perhatian mereka. Seberlalunya rombongan itu, dari dalam kamar terlihat munculnya seorang usia pertengahan yang ringkas dandanannya, Dia bermuka bersih berewoknya pendek. matanya bersinar les uh. Dia menghampirkan si orang tua, untuk menanya perlahan: "Apakah mereka sudah pergi ?" Si orang tua menggeleng kepala. "Mereka pergi buat sementara waktu saja," sahutnya, "Begitu lekas pemimpin mereka sampai, mereka bakal melakukan penyerbuan. Maka itu kamu berjaga-jagalah dengan seksama. Dia mengerutkan alis lalu menambahkan: "Dua orang yang aku si orang tua minta bantuannya ditengah jalan masih belum tiba, entah kenapa, Pihak sana mempunyai banyak pembantu yang lihay, seorang diri saja sulit aku memecah diri." orang usia pertengahan itu melirik pada Tiong Hoa berdua, "Aku bersyukur atas bantuan kau loocianpwee," katanya pula, tetap perlahan, "Karena bantuan loocianpwee, dari Hokkian kami sampai disini dengan tidak kurang suatu apa. Asal kita memasuki wilayah Inlam, aku percaya Tayhiap Pouw Liok It tidak akan duduk diam bertopang dagu saja tanpa membantu kita, Pouw Tayhiap sahabat kekal dari loo-sancoe pasti tayhiap telah mendengarnya, hanya sayang belum nampak ia mengirim bantuannya..." orang tua itu tertawa tawar. "Dia repot dengan urusannya sendiri, mana sempat dia mencampuri urusan kita?" katanya, "Kita harus mengandal kepada diri kita sendiri, Kita terancam bahaya, syukur la h apabila kita dapat menghindarinya. ia menyapu keseluruh ruang untuk berkata pula: "Mereka itu tak perlu berkumpul disini, baiklah kita disebar kepelbagai tempat gelap, supaya begitu lekas mereka melihat sesuatu, lantas mereka memberikan isyarat mereka." Mendengar suara si orang tua, semua tetamu dari enam meja itu lantas pada bangun untuk terus berjalan keluar. Melihat demikian baru Tiong Hoa tahu bahwa orang kawannya si tua ini. si orang usia pertengahan sudah lantas kembali kedalam, hingga disitu tinggallah si orang tua sendiri, Dia tunduk. agaknya dia lagi berpikir. Tiong Hoa kata dalam hatinya: "Benar-benar keruh suasana disini.." ia lantas berpaling kepada kawannya, ia mendapatkan In Nio repot dengan sumpitnya, untuk memasuki nasi kedalam mulutnya, Maka iapun makanlah. "Jongos." ia memanggil, setelah mereka dahar cukup, " apakah ada kamar yang bersih?" "Ada, ada" sahut jongos, gegap. "silahkan tuan berdua turut aku." In Nio berbangkit lebih dulu, Tiong Hoa mengikuti. Setibanya didalam kamar, habis jongos menyediakan teh dan mengundurkan diri, si nona kata pada kawannya: "Adik Hoa" "Meski ilmu silatmu lihay, pengalamanmu kurang sekali, seharusnya kau mengenal lebih banyak selak-seluknya dunia Kang ouw atau Rimba Persilatan, kau mesti pandai melihat selatan guna membedakan satu dari lain, Kekeliruan akan Bujukan Gambar Lukisan Tukang Kayu Rimba Persilatan Lambang Penangkal Maut Dan Misteri Lambang Penangkal Maut Karya Wu Lin Qiao Zi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo berarti penyesalan. Tak ada faedahnya menimbulkan permusuhan tanpa alasan, Adik, andaikata kau ketarik hati, baiklah kau menyelidiki dulu supaya kau dapat membantu pihak yang tepat." Tiong Hoa mengangguk seraya bersenyum, ia menginsafi kebaikan si nona. "Aku tahu encie tak menghendaki aku mencampuri urusan luar," katanya, "Aku juga cuma ingin melihat keramaian saja.." "Nah, kau pergilah" katanya, jangan sembarang memperlihatkan diri supaya kau tak mendatangkan salah paham, Aku sendiri ingin merebahkan diri." Si nona lantas mengibas memadamkan lilin hingga kamarnya menjadi gelap. Tanpa ayal, Tiong Hoa pergi keluar, untuk terus naik kegenteng, ia mendapat kenyataan seluruh hotel telah terbenam dalam kegelapan dan kesunyian. syukur untuknya ia telah biasa dengan tempat gelap, ia berdiri diam diatas genteng, ia menduga-duga dimana adanya rombongan penumpang kuda yang enam itu. Tengah berdiam itu ia melihat dua bayangan berkelebat sejarak sepuluh tombak. Dengan sehat ia lompat untuk menyembunyikan diri, atau ia lantas dengar jatuhnya senjata rahasia kegenteng dimana barusan ia berdiri, Dua kali suara itu berbunyi. Meski ia heran, ia toh mengagumi lihaynya sipenyerang itu. sudah matanya awas, serangannya tepat, Kalau ia tidak keburu menyingkir, pasti ia akan jadi kurban. Dua penyerang itu berdiri diam diwuwungan depan. "Ah, apakah mataku kabur?" terdengar yang satu kata perlahan. Kenapa aku tidak melihat dia?" "Hus". sahut yang lainnya, " Hati- hatilah" "Kalau pihak sana lihai sekali, sekarang masih siang, kita j angan membikin kaget orang disekitar kita. Loocianpwee mengatakan bahwa sepasang muda-mudi tadi mencurigai, entah mereka musuh atau bukan, kita dipesan jangan menyebabkan mereka gusar, Bayangan barusan mungkin juga mereka itu adanya...." "Apakah bala-bantuan Lo Loocianpwee sudah datang ?" "Ya." jawab sang kawan"Tadi baru datang yang satu. Katanya dialah sin Hong sioe soe Kim som." Tiong Hoa melengak. "Eh, mengapa dia datang ke selatan ini?" tanyanya dalam hati. Dua orang itu tidak berdiam lama, lantas mereka melenyap ke selatan. Tiong Hoa terus berdiam, matanya melihat kelilingan, sekitarnya tetap gelap dan sunyi. Baru kemudian muncul juga sinar rembulan yang sangat guram, Ketika terdengar tanda waktu tiga kali ia melihat bayangan-bayangan muncul dari empat penjuru wuwunganHanya sejenak semua bayangan itu lenyappula. "Nampak mereka semua gesit sekali." pikirnya, "Kalau mereka semua musuh, mereka benar-benar liehay." Baru berpikir begitu atau Tiong Hoa mendengar suara pintu kamar dibawahannya terbuka, terlihat dua orang bertindak keluar, berdiri dimuka kamar yang menjadi satu pekarangan terbuka yalah pelataran dalam rumah, R^ta-rata mereka itu sudah berusia limapuluh lebih, matanya tajam. Yang satu memiliki hanya sebelah tangan kanan, ujung tangan bajunya yang kiri berkibaran- "Syukur lukanya siauw-sancoe mendingan," kata si tangan satu itu, "cuma didalam tempo yang pendek tak dapat ia sembuh seluruhnya, ia mesti dijaga jangan gusar, nanti darahnya bergolak dan mandek. Paling benar ia jangan ketahui sebala kejadian sekarang..." "Saudara Coei," kata orang d is isinya, "orang itu sudah datang Apakah kau tidak mau menyambut sahabatmu?" si tangan satu tertawa. "Siang-siang tela^ aku melihatnya" sahutnya. Lalu dia kata nyaring: "Hanya aku kuatir sahabat baik kita tak sudi memperlihat kan dirinya, hingga sulit untuk aku Tok Pie Lengkoan menyambutnya." Baru berhenti suara itu, sambutan telah datang dalam rupa tertawa dingin, datang nya dari sebuah pohon gouw-tong, dari mana terdengar pula kata-kata ini: "coei Leng-koan, apakah belum cukup kau mengicipi kepahitan selama beberapa hari ini beruntun- runtun" jikalau aku si tua menjadi kau. pasti siangsiang sudah aku menarik diri Menurut nasihatku, sekarang ini masih ada ketika untuk kau melepas tangan-.." Si tangan satu mengawasi kepohon gouw tong yang cabang dan daunnya lebat itu. "Oh, kiranya disana saudara Liap Hong gelar ok coe Pong yang pandai berakal muslihat" kata dia tertawa, "pantas segala daya upayaku menjadi sia-sia belaka, aku seperti membentur tembok kokoh kuat" Dia hening sejenak lantas dia kata pula keras: "Saudara Liap^ sebenarnya kau bermusuh apa dengan Kang san-coe" Bukankah Kang san-coe telah menutup mata" Bukankah dengan kematian berarti permusuhan habis sudah" Apakah faedahnya untuk Liap Hong buat dia ingin membasmi pohon berikut akarnya" orang diatas pohon itu tidak lantas menjawab, sebaliknya dia lompat turun, untuk berdiri didepan si tangan satu itu yang di panggil she coei gelar Tok Pie Leng-koan, si Hakim bertangan Tunggal. Tiong Hoa melihat seorang bertubuh kecil dengan kepala besar, kepalanya lanang dan tak berkumis. Dia mengawasi tajam kepada si tangan satu dan kawannya, baru dia kata dalam: "Sudah banyak tahun kita tidak bertemu. kiranya Coei Leng-koan masih tetap angkuh danjumawa, kau membuatnya aku si orang tua kagum Tapi marilah kita bicara urusan kita, urusan sekarang ini Bukankah kau telah ketahui baik duduknya hal " Tee In san-coe d ibenci pemerintah Ceng, dia terbinasa dalam kepunganny a sembilan belas jago dari istana, syukur aku si orang tua menggunai akal maka sancoe kamu yang muda telah dapat lolos dari bahaya jikalau aku mau membasmi pohon sampai kepada akarnya, sepuluh sancoe juga pasti telah berangkat rohnya ke negara setan, mana sancoe kau itu dapat hidup sampai saat ini?" "Tapi inilah namanya budi menagih budi" kata sitangan tunggal. "Pikiran itu harus dibikin mati " Ok-Coe-Pong Liap Hong si "Thio Liang Jahat" tertawa besar, suaranya itu berkumandang meny era mka n. "Liap Hong, kau tertawakan apa ?" si tangan satu menegur, gusar. "Aku mentertawakan kau " kata Liap Hong, yang berhenti tertawa, Kau harus ketahui, yang sekarang ini menghadapi kau bukan cuma aku si orang she Liap sendiri, maka itu kau haruslah menginsafi bahaya Untukku guna menyingkirkan ancaman malapetaka itu, cukup asal kau minta siauw-sancoe memberi pinjam padaku gelang kemala Han-peksgiok yang tahun dulu itu di hadiahkan kepadanya oleh cit chee cioe Pouw Liok It" Sebelum sitangan satu menjawab, dari kejauhan terdengar tertawa dan perkataan yang dingin ini: " Liap Hong janganlah kau merasa terlalu pasti dengan hitungan kau jikalau bukannya kau yang saban-saban merintangi, mana dapat si bangsat kecil she Kang hidup sampai sekarang ini" Ketahui oleh kau kota sengkeng kwan yalah kota Hong-touw-shia untuk kamu satu orang juga jangan harap lolos orang she Liap kau pun terhitung diantaranya" Tidak menanti suara orang berhenti, Liap Hong sudah membentak: "siluman tua jangan banyak lagak Masih belum ketahuan akanjangan bakal terjatuh ditangan siapa " "Menurut aku si orang she Liap justeru kaulah yang sekarang lagi menghadapi hukuman picis, otot-otot putus lamanya tujuh hari selama kau belum putus jiwa" Liap Hong terus tertawa dingin. Kata-kata itu tidak memperoleh sambutan maka itu selang sekian lama, orang she Liap ini mengawasi pula si tangan satu, guna tertawa tawar dan berkata lagi: "sekarang ini disekitar hotel ini telah datang tak sedikit musuh aku si orang tua akan menggunai akal, tidak dengan tenaga kekerasan Nah, sampai ketemu pula" Tiong Hoa kagum untuk ilmu ringan tubuh orang she Liap itu. Kemudian ia kata dalam hatinya: "Dalam ribuan lie mereka mengejar si orang she Keng, tak lebih tak kurang maksudnya untuk sebuah gelang kemala Entah, mustika apakah itu hingga gelang itu ada harganya untuk dipakai mengadu jiwa" Coba aku menjadi si orang tua tangan satu ini, pasti aku sudah menasihati si orang she Keng untuk melepaskannya. Buat apa karena kemala itu diri dibiarkan terancam bahaya dan setiap saat selalu ber kuatir saja?" Melihat kepergiannya Liap Hong, orang tua bertangan satu itu berkata perlahan kepada orang tua disisinya : "saudara soen, aku si orang she Coei mau pergi, sebentar saja aku akan kembali, Aku minta sukalah kau berlaku waspada " Habis berkata, ia bertindak pergi, ketika ia sudah sampai d i pojok tembok. mendadak dia memutar tubuh nya dengan gesit, untuk dengan hebat me lakukan penyerangan. Hampir berbareng dengan itu, satu tubuh melesat keluar dari pojok yang gelap itu, Tubuh itu melesat sambil tertawa lebar, terus dia lompat keluar dari tembok pekarangan dalam itu. Si orang tua yang dipanggil she soen itu tertawa. "Saudara Coei, buat apa kau bekerja dengan menuruti suara hatimu itu?" kata dia. " walaupun kau liehay, apakah kau dapat perbuat?" Si tangan satu berpaling kepada orang she soen ini, sinar matanya menandakan dia gusar bercampur bimbang, Baru sesaat kemudian ia berkata perlahan : "Aku Coei Kiat Him, sedari siang .siang telah aku melihat kau soen Loen Teng orang macam apa, semenjak jalan aku telah menerka hatimu karena kau suka berpeluk tangan menyaksikan saat-saat yang berbahaya, jikalau terkaanku tak keliru, kau juga datang untuk mendapatkan gelang kemala itu sungguh tidak disangka dikolong langit ini boleh ada orang semacam kau yang sakit didalam hatinya" Disenggapi demikian, orang she Soen itut tidak menjadi jengah atau gusar, dia cuma tertawa tawar, Kata dia: "saudara Coei, hari ini tabiatmu berubah lain sekali. Mana dapat kakakmu beranggapan seperti kau" Kau harus ketahui, sekarang ini siapa juga jangan mengharap yang dia akan dapat pulang dengan masih hidup, Begitu berkata, dia memutar tubuhnya untuk kembali kedalam. Tiba-tiba tubuh Coei Kiat Him bergerak lalu dia menghadang didepan Loen Teng. "Saudara Soen, kau mau pergi kemana?" dia tanya sembari tertawa tawar. Loen Teng berhenti bertindak, ia tidak menjawab. Tiong Hoa mengawasi. Tak tahu ia dua orang itu musuh atau kawan satu pada lain. Aneh sikapnya si orang she Soen. "Musuh besar belum dapat disingkirkan, kau dan aku hendak berperang saudara." kata Loen Teng kemudian, "kalau warta tersiar dalam dunia Kang-ouw, pasti kita bakal jadi buah tertawaan orang. Karena kita bercita-cita lain malah aku dicurigai, aku pikir baiklah kita berpisah siang-siang saja." "Aku lihat lebih baik kau jangan pergi." kata Kiat Him. Soen Loen Teng melihat orang menggeraki sedikit tangan kanannya, matanya lantas terbuka tebar, dengan keras dia berkata: "Biarnya pukulan udaramu kesohor lihai sebagai si pengejar arwah dalam seratus tindak, aku si orang she soen tidak jeri terhadapmu jikalau aku bukannya mengingat kebaikan sancoe tua semasa hidupnya, tak nanti aku dapat bersabar seperti ini" "Segala kata-kata paisu" kata Kiat Him singkat. Loen Teng gusar hingga mendadak ia meninju dada kawannya itu. ia mengguna i tipu silat "Awan keluar dari lembah." Kiat Him sudah bersiap sedia, maka itu begitu diserang ia menyambuti, Mereka berdiri dekat satu dengan lain, tinju mereka beradu keras dan bersuara nyaring. Atas itu Kiat Him terhuyung dua kali dan Loen Teng terpental mundur tiga tindak. Didala m cuaca guram itu, keduanya lantas saling menyerang pula. Selagi mereka bertempur seru, mereka mendengar tertawa dingin perlahan. Ked uanva kaget, lantas keduanya lompat mundur, Berbareng dengan itu satu tubuh yang besar berlompat turun diantara mereka, menolak keras sekali, hingga keduanya mundur pula dengan terpaksa. Begitu menginjak tanah, dia maju kepintu kamar untuk menggempur, hingga dengan menerbitkan suara berisik, daun pintu menjeblak. Terus dia berlompat untuk masuk kedala m. Didala m kamar itu terlihat api berkelebat lalu padam, lalu orang itu lompat keluar. Dengan berbareng Kiat Him dan Loen Teng maju menyerang orang tidak dikenal itu, yang datangnya secara mendadak dan berlalunya secara cepat sekali, orang itu menangkis dengan mengibas kedua tangannya, tubuhnya lolos, maka terus dia berlompat naik, terus dia melenyapkan diri,., Menyusul kepergiannya orang itu d iempat penjuru genteng terlihat beberapa bayangan yang pun terus menghilang. Coei Kiat Him mengawasi kearah kemana orang menghilang, dia tertawa dingin tak hentinya. soen Loen Teng sebaliknya berdiam berpikir. Tiong Hoa ditempat sembunyinya juga kaget dan heran, Anginnya gerakan orang itu demikian keras sampai mengenai ia yang lagi sembunyi sampai tubuhnya mesti dig era ki untuk menyingkir hampir dia jatuh dari pa yon, yang ia pegang i dengan keras, ia kuatir nanti kepergok dan tersangka jelek. Ketika itu terlihat pula berkelebatnya dua bayangan orang, yang muncul dari wuwungan depan, Dua orang itu lompat turun ke-pelataran, Tempo Tiong Hoa sudah mengawasi, ia mengenali si orang tua sebagai sasterawan dan sin Hong sioeTiraikasih Website http://kangzusi.com/ soe Kim som. ia berdiam terus untuk memasang mata dan telinga. si orang tua lantas berkata: "Rasanya malam ini bencana Bujukan Gambar Lukisan Tukang Kayu Rimba Persilatan Lambang Penangkal Maut Dan Misteri Lambang Penangkal Maut Karya Wu Lin Qiao Zi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo sudah lewat, Hanya tipu daya kita Tiga Liang Kecil kena mereka pecahkan syukur mereka tidak tahu, aku si orang tua telah menyembunyikan siauw-san coe dilubang yang keempat...." "Saudara Lo." kata Kim som. " Kenapakah mereka itu ketahui baik sekali tipudaya kau" Mungkinkah dipihakmu ada orang yang membocorkan rahasia?" Mendengar itu, Coei Kiat Him mengawasi soen Loen Teng, Dia tertawa dingin. si orang tua dengan dandanan sasterawan seperti tak melihat gerak-geriknya dua orang itu, dia hanya menoleh kepada Kim som untuk memberikanjawa bannya, Kata dia: "Sama sekali aku telah mengguna Habis semuanya tigapuluh enam akalku Dari sini kita akan pergi ke seng- kengkwan ke-wilayah Inlam untuk itu kita membutuhkan tempo perjalanan delapan belas jam, jalanannya juga sukar sekali. saudara Kim, apakah kau mempunyai dayamu" Aku sendiri, aku sudah putus asa." sin Hong sioe-soe berpikir. "Aku tidak mempunyai daya apa juga maka itu baik kita bertindak dengan melihat gelagat saja," sahutnya kemudian. "Ok-coe-Pong Liap Hong sangat banyak akalnya, dia sangat licin, dia pun dapat membunuh orang tanpa orang mengetahui apa-apa. sampai sebegitu jauh kau bisa menyingkir dari dia, Saudara Lo, kau sebenarnya cerdik seumpama Coe-kat Liang, sekarang kau minta akal dari aku. Tidakkah itu lucu ?" sasterawan tua itu tertawa. "Aku bertindak menurut apa yang akupikir baik." katanya, "Aku mengguna i tombaknya menikam tamengnya sendiri sebenarnya ada yang ditakuti Liap Hong. Dengan membinasakan kita, dia tidak akan memperoleh kefaedahan. Dia sebenarnya mengarah gelang kemala Han-pek-giok " Kim som heran. "Sebuah gelang kemala toh berharga cuma seribu tahil emas ?" katanya, " itulah benda yang umum, kenapa dia menghargai dan mengharapinya demikian sangat " Benarbenar aku tidak mengerti." Orang tua itu menggeleng kepala, ia menghela napas. "Itulah rahasia dan yang mengetahuinya dipihak kami cuma aku si orang she Lo sendiri," kata dia. "Dipihak sana yang mendapat tahu cuma Liap Hong bersama Kie soen berdua, Liap Hong terhitung satu rombongan, yalah dia bekerja sendiri, Kie soen sebaliknya memakai tenaganya belasan rombongan Rimba Persilatan, Mereka itu telah mencari tahu dimana adanya gelang kemala itu, atau beradanya ditangan siapa, akan tetapi masih menjadi teka-teki." Berbareng dengan kata-katanya itu, orang she Lo ini bertindak bulak- balik, lalu mendadak tubuhnya mencelat kearah dimana Tiong Hoa lagi bersembunyi, menyambar dengan sepuluh jari tangannya yang kuat, inilah karena tadi ketika si anak muda bergerak. dia telah mendengar dan melihat, hanya sekian lama, dia waspada, dia menanti ketika untuk menerkam. Tiong Hoa masih hijau tetapi pengalamannya bertambah setiap hari, lebih-lebih setelah dia terjeblos dalam perangkap di Yan Kee Po karena kelicikannya Pek Kie Hong. selanjutnya dia terus waspada, juga kali ini, sekarang dia insaf akan Siluman Bukit Menjangan 2 Pendekar Bayangan Sukma Tiga Ksatria Bertopeng Pendekar Mata Keranjang 23

Cari Blog Ini