Satria Gendeng 18 Siluman Bukit Menjangan Bagian 2
Aku sudah tak sabar menunggu kehangatanmu."
Penuh nafsu, Togap bangkit. Sempoyongan,
dihampirinya Lestari yang berdiri menantang di
sudut pagar tembok dalam keremangan malam.
Tepat setengah langkah di depan dia berhenti. Mata liarnya langsung menjilati tubuh Lestari yang
tertelan keremangan.
Tapi baru saja Togap hendak masuk....
Bed! Crasss...! Togap melotot sejadi-jadinya. Mulutnya
menganga tanpa suara. Tanpa dapat dicegah tadi,
Lestari membabat perut dengan jari-jari tangannya yang berkuku panjang.
Tindakan Lestari tak sampai di situ. Begitu
Togap ambruk, dihampirinya kelima kawan Togap.
Seperti tadi, jari-jari tangannya kembali bergerak.
Amat cepat, membabat perut lima lelaki yang sudah tak tahu apa yang terjadi. Yang jelas, tahutahu mereka menemukan diri masing-masing telah
berada di dalam kubur.
ENAM TAK hanya di depan rumah Ki Tambakyasa
yang terjadi kegemparan. Pada saat yang sama,
dua orang pemuda ditemukan tewas dengan tubuh
mengeriput, mirip kulit kakek-kakek. Para penduduk mengenali mereka sebagai dua bersaudara.
Saman dan Samin. Ada dugaan, sebelum kedua
pemuda itu dibunuh, terlebih dahulu mereka diperkosa. Diperkosa"
Bukti-bukti memang menjurus ke sana. Keduanya ditemukan di sebuah dangau di tengah
sawah dalam keadaan telanjang. Di bagian selangkangan juga ditemukan cairan bening yang telah
mengering. Sepertinya, sari pati dua pemuda itu
diserap habis-habisan. Kedua wajah mereka
menggambarkan ketakutan yang luar biasa.
Kalau keduanya diperkosa, berarti pelakunya seorang wanita. Itu dugaan yang timbul di
benak para penduduk.
Begitu para penduduk mendengar terjadi
pembunuhan para lelaki tukang pukul di rumah
Ki Tambakyasa, maka makin lengkaplah kecemasan mereka. Di satu sisi, para penduduk memang
merasa bersyukur dengan kematian para tukang
pukul itu, tapi di sisi lain mereka merasa terancam. Sebab, bukan mustahil Ki Tambakyasa akan
menuduh mereka sebagai si pembunuh.
Tapi apa benar begitu"
* * * "Keparat! Ada yang mau main-main denganku rupanya! Enam orang anak buahku tewas
tanpa ada yang tahu siapa pembunuhnya"! Mustahil! Mustahil!" sembur Ki Tambakyasa.
Setelah penguburan keenam anak buahnya.
Ki Tambakyasa mengumpulkan para tukang pukulnya di ruang tengah. Di sampingnya, berdiri
Pandu. Sikap si pemuda terlihat jumawa.
"Pada saat yang sama, ternyata juga terjadi
pembunuhan dua pemuda desa ini, Tuan," lapor salah seorang tukang pukul.
"Siapa?"
"Kalau tak salah, namanya Samin dan Saman. Mereka kakak-beradik," lanjut si tukang pukul, semangat.
"Maksudku, siapa yang tanya, Guoblok!" ledak Ki Tambakyasa. Kedua biji mata
kelabunya nyaris melompat keluar. Semburan percikan air
liurnya saja yang meluncur, membasahi wajah si
pelopor. Karena wajahnya tepat di hadapan Ki
Tambakyasa. Si pelapor tadi ingin mengusap wajah basahnya. Tapi hatinya merasa tak enak. Walaupun
agak jijik, dibiarkannya percikan liur yang membasahi wajah.
Hening. Para tukang pukul tak ada yang bersuara.
"Jaswadi! Apa kau punya dugaan, siapa kira-kira si pembunuh?" buka Ki
Tambakyasa, merampas
keheningan. "Dugaan saya, si pembunuh memiliki kepandaian tinggi. Buktinya dalam waktu hampir
bersamaan, dia bisa berada di dua tempat," duga lelaki bernama Jaswadi.
"Apa tak mungkin kalau pembunuhnya dua
orang?" sela Pandu.
"Bisa jadi begitu, Tuan Muda," sahut Jaswadi. "Kau benar, Anakku. Aku yakin
pembu- nuhnya dua orang. Karena mereka masing-masing
jelas mengemban niat yang berbeda. Satu orang
pembunuh jelas memusuhiku dengan melenyapkan enam orang anak buahku. Pembunuh satunya paling tidak punya niatan lain. Karena kudengar, dua pemuda yang tewas terhisap sari patinya hingga tandas. Sedangkan enam anak buahku mati dengan luka-luka mengerikan pada bagian perut," papar Ki Tambakyasa. Rupanya lelaki tua ini telah mendengar adanya
pembunuhan dua pemuda. Sehingga ketika dilapori, amarahnya
memuncak. Semua orang yang berada di tempat ini
hanya manggut-manggut mendengar penjelasan Ki
Tambakyasa. Bisa jadi penjelasan Ki Tambakyasa
memang masuk akal. Tapi yang masih jadi tanda
tanya, siapa pembunuh itu" Kalau dua orang apakah kedua-duanya wanita" Sebab diduga si pembunuh dua pemuda bernama Saman dan Samin
adalah wanita. Belum ada yang mampu menjawab, Semuanya masih gelap.
"Kalau aku menduga bahwa si pembunuh
keenam anak buah kita adalah Lestari, bagaimana?" aju Pandu. Tenang sekali sikapnya.
Ki Tambakyasa sendiri yang terhenyak.
"Maksudmu, Lestari anak mendiang Ki Pawit?" Ki Tambakyasa seperti kurang yakin.
"Ya!"
"Bukankah kabar yang selama ini terdengar
Lestari bunuh diri di jurang Lembah Setan" Kita
semua tahu, orang putus asa macam Lestari pasti
akan mengakhiri hidupnya di jurang itu," bantah Ki Tambakyasa.
"Itu kalau dia benar-benar bunuh diri. Kalau tidak?" sergah Pandu.
"Kalau tidak pun, bagaimana bisa punya
kepandaian tinggi" Kabar tentang Lestari sampai
sebulan ini memang tidak pernah terdengar lagi.
Tapi aku tak percaya kalau dia mampu menyerap
ilmu-ilmu tingkat tinggi hanya dalam waktu sebulan" Sebab kita tahu, Lestari adalah gadis yang tak memiliki dasar ilmu olah
kanuragan sedikit pun!"
Pandu terdiam. Benar juga kata ayahnya.
Tapi siapa si pembunuh itu" Tanyanya, membatin.
* * * Malam pun menggilas mayapada.
Seorang gadis cantik berkulit putih berjalan
gemulai di pinggir desa. Pakaiannya ketat warna
kuning. Kegelapan tak mengurungkan langkah
gemulainya. Wajah cantiknya tersiram sinar bulan bulat.
Senyumnya tak lepas dari bibir ranumnya. Tubuhnya berlekuk-lekuk indah, mengundang hasrat. Dari arah berlawanan berjalan seorang lela-ki tua berperawakan kekar.
Pakaiannya hitamhitam longgar. Bersabuk kulit buaya dan berikat
kepala kain berwarna hitam pula. Kedua kakinya
buntung, disambung dengan logam runcing. Siapa
lagi lelaki tua itu kalau bukan Ki Kusumo"
"Malam, Cah Ayu" Mau ke mana, malammalam begini?" tegur Ki Kusumo, ramah. Langkahnya terhenti dua tombak di hadapan si gadis.
"Malam, Pak Tua. Aku mau ke Desa Jatianom," sahut si gadis. Datar suaranya.
"Ada apa malam-malam ke Desa Jatianom,
Cah Ayu?" Mestinya, pertanyaan itu tak perlu meluncur dari bibir Ki Kusumo.
Sebab, apa haknya
ingin tahu urusan orang. Tapi didorong rasa khawatirnya terhadap si gadis yang jalan sendirian di malam buta begini, membuatnya
merasa untuk bertanya. Tanpa menyahut, si gadis melanjutkan
langkahnya. Agaknya, dia tersinggung dengan pertanyaan Ki Kusumo barusan. Dilewatinya lelaki itu tanpa menoleh sedikit pun.
Ki Kusumo hanya bisa tersenyum kecut.
Kedua bahunya terangkat. Lalu langkahnya kembali bergerak. Namun baru beberapa tindak, langkahnya terhenti,
"Sepertinya ada yang tak beres?" gumamnya. "Aku seperti mencium bau busuk yang begitu menyengat hidung."
Cepat, Ki Kusumo berbalik. Tercekat.
Si gadis berbaju kuning tadi telah lenyap.
Menurut perhitungan, kalau dia berjalan biasa,
pasti bayangan tubuhnya masih terlihat. Jadi, jelas gadis itu memiliki kepandaian tinggi.
Kecurigaan Ki Kusumo makin menggumpal.
Ada apa malam-malam begini seorang gadis berkeliaran" Begitu tanya hatinya. Dan mencium bau
busuk yang ditinggalkan, rasanya ada sesuatu
yang hendak dikerjakan si gadis. Sesuatu yang bisa jadi mengundang malapetaka. Sebab kalau dia
orang baik-baik, tak perlu tersinggung dengan kata-kataku tadi, lanjut batin Ki Kusumo.
"Ah, sebaiknya kuikuti arah perjalanannya
dari atas," gumamnya lagi.
Lewat satu sentakan kaki logamnya, Ki Kusumo melesat ke atas. Di puncak sebuah pohon
besar, dia mendarat. Ringan sekali. Rupanya, setelah kakinya diganti dengan
logam runcing, Ki Kusumo sering melatih ilmu meringankan tubuhnya.
Setidaknya, agar kaki logamnya terbiasa saat diajak mendarat di sebuah ranting pohon.
Di atas pohon, Ki Kusumo melesat ke arah
perginya gadis tadi. Dari satu pohon ke pohon lain dia berlompatan. Begitu
ringan, seperti seekor tu-pai yang bermain-main di atas pohon.
Tepat di ujung Desa Jatianom, Ki Kusumo
menghentikan lesatannya. Sampai sejauh ini mata
kelabunya tak menangkap satu bayangan setitik
pun. Tapi di kejap kemudian....
"Aaaa...!"
Ki Kusumo tercekat. Mata kelabunya langsung diarahkan ke tengah sebuah ladang singkong. Di situ, terdapat sebuah dangau kecil. Dari sanalah suara jeritan tadi
memangkas udara....
* * * Ada keramaian di rumah Ki Tambakyasa.
Malam ini Pandu telah melangsungkan pesta perkawinannya dengan gadis putri juragan palawija dari desa tetangga. Sejak petang tadi, para tamu telah memenuhi rumah
besar itu. Di perten-gahan malam, para tamu mulai berkurang. Dan di
ujung malam, hanya tamu-tamu yang berasal dari
jauh saja yang masih ada. Sebab, mereka jelas
akan menginap di rumah Ki Tambakyasa, yang
saat ini menjabat kepala desa.
Walaupun kemarin terjadi kegemparan karena enam anak buahnya tewas mengenaskan, tapi Ki Tambakyasa seolah untuk sementara hendak
melupakan peristiwa itu. Dia tak ingin kebahagiaan anak satu-satunya terusik. Menurutnya, asal penjagaan diperketat kejadian kemarin sulit
akan terulang. Benarkah demikian"
Seketat-ketatnya penjagaan di rumah Ki
Tambakyasa ternyata ada bagian yang masih bisa
ditembus. Buktinya, satu sosok bayangan kuning
leluasa melompat dari satu pohon ke atap rumah
Ki Tambakyasa. Mengendap-endap, si bayangan
kuning berjalan ke arah kamar Pandu yang telah
berubah menjadi kamar pengantin.
Tepat di atap kamar Pandu, si bayangan
kuning menghentikan langkahnya. Sejenak matanya menghujam ke bawah. Ada dua penjaga di
sana. Ringan, si bayangan kuning melompat.
Jleg! Tepat di belakang dua penjaga, si bayangan
kuning mendarat. Dan sebelum dua penjaga itu
menoleh, kedua tangannya langsung mencengkeram leher dua penjaga itu dari belakang.
Crass! Crass! Tak ada. Tak ada teriakan yang terdengar
mengusik keheningan. Mengusik para penghuni
tiap-tiap kamar yang tengah berlindung di balik
selimut dari hawa dingin. Yang jelas, tahu-tahu sa-ja kedua penjaga itu ambruk
dengan leher koyak
nyaris putus. Terjilat sinar rembulan penuh, wajah
bayangan itu terlihat amat cantik. Berpakaian
kuning ketat. Rambutnya panjang, berkilatan terusap sinar rembulan. Namun di balik wajah, tersimpan sebuah dendam.
Dengan pandangan nyalang, kini bayangan
kuning milik seorang gadis itu menuju ke jendela
kamar Pandu. Gemulai, langkahnya makin dekat
ke jendela. Wajahnya begitu dingin, seolah tak ada lagi sifat-sifat rasa
kemanusiaan di sana.
Satria Gendeng 18 Siluman Bukit Menjangan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tok! Tokk! Dua ketukan terdengar, mengusik sebuah
keasyikan yang terbangun di dalam kamar. Puncak kenikmatan pun pupus sudah. Yang ada kini
rasa kejengkelan, karena suara ketukan telah merampas kenikmatan dua manusia berlainan jenis
yang tengah bergumul di atas ranjang.
"Setan keparat!" terdengar bentakan dari dalam kamar. "Jontor! Bawor! Kenapa
kalian men-gusikku, hah"!"
Tok! Tok! Sahutan yang terdengar dari luar malah suara ketukan kembali. Suaranya malah lebih keras.
"Bedebah! Kalian akan kupecat, tahu"!"
Terdengar bentakan lagi dari dalam. Menyusul
kemudian, suara langkah terseret ke arah jendela.
Kasar, jendela pun dibuka.
Baru saja kepala orang yang membentak
melongok, sebuah tangan berkuku panjang telah
mencengkeram lehernya dari bawah jendela.
Creppp! "Apa kabarmu, Pandu.... Kau lupa padaku...?" desis si gadis yang bersembunyi di bawah jendela.
Biji mata Pandu yang nyaris keluar karena
tercekik memperhatikan wajah si gadis di depan
jendela kamarnya.
"Les..., Lestari..." Ka..., kau masih hidup?"
Gagap Pandu, susah payah. Sulit rasanya untuk
bernapas. "Siapa bilang aku sudah mati, Pandu" Aku
belum mati. Dan aku harus menuntut tanggung
jawabmu. Benih cinta kasih kita telah menjadi janin dalam kandunganku. Sayang, janin itu telah
mati. Rupanya, si janin lebih suka untuk tidak
menjadi bayi yang tanpa ayah. Karena, sang Ayah
hanyalah seorang lelaki pengecut! Lelaki perusak
wanita!" desis si pemuda.
Dialah Lestari. Putri mendiang Ki Pawit
yang sebulan lalu hendak bunuh diri, namun diselamatkan Nini Manten. Tokoh silat wanita itu merawat Lestari, setelah kandungannya keguguran.
Berkat bimbingan Nini Manten pula kini Lestari telah berubah menjadi wanita
perkasa. Wanita yang
memiliki kepandaian tinggi, walau hanya digembleng dalam waktu sebulan
Sewajarnya, memang tak mungkin rasanya
menggembleng seseorang dengan ilmu tinggi hanya
dalam waktu satu bulan. Mustahil rasanya bila
Lestari yang dulu dikenal sebagai gadis yang tak
memiliki kepandaian apa-apa, tiba-tiba menjadi
gadis yang digdaya.
Tapi, itulah Nini Manten.
Datuk silat wanita yang telah lama tenggelam dari gonjang-ganjing dunia persilatan itu memang bisa mengendalikan orang
dari jarak jauh.
Lewat mata batinnya, Nini Manten mampu menggerakkan seluruh bagian tubuh Lestari, hingga bisa memperagakan jurus-jurus silat. Sementara, jalan pikiran si gadis tetap dikendalikan oleh Lestari sendiri.
"Am.., ampuni aku Lestari.... Ak..., aku...!"
"Tolong.... Tolong...!" Wanita yang ada di kamar Pandu segera menjerit begitu
bisa menguasai keadaan. Dialah istri Pandu yang baru dinikahi tadi siang. Semula
hatinya begitu tercekat melihat apa yang terjadi. Dan begitu bisa menguasai
keadaan, kesadarannya pun timbul untuk meminta
bantuan. Tapi terlambat.
Baru saja gema suara teriakan itu lenyap,
Lestari telah membetot leher Pandu amat kuat.
Crass...! Sia-sia Pandu bertahan. Memang dia mempunyai kepandaian lumayan. Tapi menghadapi
Lestari, sama saja dia menghadapi Nini Manten.
Biarpun Pandu mengerahkan tenaga dalam untuk
melepaskan diri, tetap saja tak mampu berbuat
banyak. Begitu Lestari melepaskan cengkeramannya, Pandu ambruk bersimbah darah di atas lubang jendela kamarnya. Sebentar berkelojotan, lalu diam tak bergerak lagi. Mati.
Sementara, Lestari telah mencelat ke atas
atap. Dari situ, tubuhnya melayang ke arah pohon.
Hinggap sebentar, lalu kembali melayang ke pohon
lain, menjauhi tempat ini.
* * * Tiba di tempat kejadian, Ki Kusumo menemukan satu sosok mayat terbujur di dalam dangau. Tanpa pakaian, memperlihatkan keadaannya
yang mengeriput. Sepertinya, mayat lelaki ini terhisap sari patinya. Namun
ketajaman matanya
masih sempat menangkap satu sosok bayangan
kuning yang meninggalkan dangau tadi.
Tak ingin kehilangan buruan, Ki Kusumo
menyentak kakinya di atas tanah. Tubuhnya langsung melesat mengejar. Tabib Sakti Pulau Dedemit
mengerahkan ilmu lari cepat dan ilmu meringankan tubuhnya agar tak kehilangan buruan.
Kecurigaannya kini memang sudah terbukti. Ternyata, bayangan kuning milik gadis yang ditemuinya tadi telah membawa
petaka. Maka makin
bulat tekadnya untuk segera mengikuti. Bahkan
kalau bisa membekuk si bayangan kuning.
"Hmmm.... Bayangan itu menuju Bukit
Menjangan. Sampai sejauh ini kehadiranku tak diketahuinya. Mau apa gadis itu ke sana" Tapi...,
bukankah di sana tempat tinggal Ki Ageng Wirakrama" Apakah gadis itu anaknya" Atau, istrinya?" tanyanya, sambil terus mengerahkan segala kemampuannya.
Kini si bayangan kuning telah mulai mendaki Bukit Menjangan. Gerakannya cepat luar biasa. Nyaris Ki Kusumo tak mampu menandingi.
Untung saja, bau busuk yang menebar dari tubuh
bayangan kuning itu membimbingnya hingga tak
kehilangan jejak.
Sepeminum teh kemudian, si bayangan
kuning telah tiba di pelataran yang dipenuhi bebatuan bekas reruntuhan sebuah
candi. Tabib Sakti
Pulau Dedemit sendiri telah bersembunyi di atas
sebuah pohon, untuk memastikan kecurigaannya.
Mata kelabunya terus melekat erat pada si
bayangan kuning yang kini telah duduk bersila.
Kedua telapak tangannya menempel di depan dada. Kepalanya tertunduk.
Lalu.... Perlahan-lahan dari seluruh tubuh gadis
berpakaian kuning keluar asap putih tipis. Perlahan namun pasti, asap berubah menebal, mengepung tubuh si gadis.
Alis jarang berwarna putih milik Ki Kusumo
bertautan, Dan ketika asap perlahan-lahan menghilang.... "Nini Berek...?" gumamnya, berbisik.
TUJUH JANGAN ditanya bagaimana geramnya Ki
Tambakyasa ketika dikabari bahwa putranya tewas. Lebih geram lagi ketika mendengar penuturan
istri Pandu kalau yang menyatroni kamar mereka
adalah seorang gadis yang mengaku bernama Lestari. Dia tak habis pikir, bahkan nyaris tak percaya kalau si pembunuh adalah Lestari. Habis, bagaimana mungkin" Lestari dikenalnya sebagai gadis lemah yang tak punya dasar-dasar ilmu olah
kanuragan. Lalu tiba-tiba muncul sebagai momok
yang menakutkan. Kalau Pandu saja dapat dibuat
tak berdaya secara mengenaskan, apa bukan momok menakutkan namanya"
Kini hati Ki Tambakyasa dihantui keresahan. Karena, bisa jadi Lestari akan menuntut balas atas tewasnya Ki Pawit, ayahnya. Saat itu juga, dia memerintahkan para anak
buahnya untuk mencari Lestari.
Tapi, di manakah Lestari"
Tak ada yang tahu. Karena ketika saat itu
juga para anak buah Ki Tambakyasa memeriksa
rumah Ki Pawit sudah dalam keadaan kosong. Istrinya yang tinggal sendiri sudah beberapa hari ini pergi ke rumah salah seorang
saudaranya di kadipaten. Sementara, para penduduk Desa Jatianom
diam-diam merasa bersyukur atas kematian Pandu. Sebab bukan rahasia lagi kalau Pandu dikenal
sebagai pemuda pemetik bunga desa. Tak hanya
gadis desa yang jadi korbannya, bahkan para wanita bersuami. Sampai sejauh itu, para penduduk hanya
bisa berdiam diri. Mereka takut dengan para tukang pukul Ki Tambakyasa. Apalagi, waktu itu Ki
Pawit masih bersahabat dengan Ki Tambakyasa.
Sehingga bila penduduk yang anak gadis atau istrinya jadi korban Pandu melapor pada Ki Pawit,
tak akan menghasilkan apa-apa.
Sampai akhirnya, banyak gadis yang hamil
di luar nikah. Sehingga tak heran bila Desa Jatianom sering terjadi bencana
alam. Anehnya, bencana alam itu akan berhenti bila korban kemesuman
Pandu telah menyeburkan diri ke jurang di Lembah Setan. * * * "Guoblok..., guoblok...!" Di dalam gubuk di Tanjung Karangbolong, Dongdongka
uring-uringan sendiri. Dia berjalan mondar-mandir. Dan bambu
tipisnya tak lupa diketuk-ketukkan di kepala gundulnya. "Bukankah Cah Gendeng itu pernah bilang kalau telah dengan terpaksa
membunuh si jelek
Ageng Wirakrama. Pantas..., pantas. Karuan kalau
istri jelek si Ageng Wirakrama muncul di mimpiku.
Rupanya, dia menyangka kalau aku yang membunuhnya.... Huh! Kenapa waktu itu aku tak ingat,
ya" Dan Cah Gendeng itu kubiarkan pergi sendiri
mencari si Kusumo...."
Di ujung kalimatnya, Dedengkot Sinting Kepala Gundul melempar pantat teposnya ke balai
bambu. Kedua kakinya lantas diangkat, duduk
bersila. Kelopak mata berkeriputnya perlahanlahan mengatup.
Hening. Kecuali debur suara ombak di pantai sana.
Saling berkejar-kejaran mencapai bibir pantai. Angin dini hari mendengus-dengus,
menerbangkan butir-butir pasir putih kecoklatan.
Apa yang dilakukan Dongdongka di dalam
gubuk" Mengerahkan aji 'Melepas Sukma'. Itulah
cara Dongdongka menyusul Cah Gendeng-nya. Karena aji itu tak dibatasi ruang dan waktu, bukan
satu hal yang sulit bagi Dongdongka untuk menemukan Satria Gendeng maupun Ki Kusumo.
* * * Bukit Menjangan pada dini hari.
Mata kelabu Ki Kusumo terus mengawasi
seorang perempuan tua berpakaian seperti jubah
warna kelabu. Wajahnya dipenuhi borok berlendir
berbau busuk. Tangan kanannya memegang tongkat berwarna putih.
Semula, Tabib Sakti Pulau Dedemit sulit
untuk mengerti, bagaimana mungkin seorang gadis cantik berpakaian kuning, tahu-tahu telah berubah menjadi perempuan tua jelek bernama Nini
Berek" Tapi ketika teringat bahwa Nini Berek adalah sebangsa siluman, maka akal tuanya baru bisa
menerima. "Hi hi hi.... Sebentar lagi, Kakang Wirakrama. Tepat di hari keempat puluh kematianmu, kau
akan bangkit lagi. Aku tinggal membutuhkan sari
pati dari dua orang pemuda lagi. Begitu kau kugauli, maka kau akan bangkit untuk menuntaskan
dendammu.... Hi hi hi...," celoteh Nini Berek.
Pada saat yang sama, dari balik sebuah batu bekas reruntuhan candi muncul seorang perempuan tua lainnya. Pakaiannya kebaya lusuh
dengan tapih dari kain batik kusam. Rambutnya
panjang berwarna putih. Seperti Nini Berek, mulut si perempuan tua itu juga
terus mengunyah sirih.
Dialah Nini Rewang. Perempuan tua keturunan siluman yang sekarang guru Nini
Jonggrang. "Bagaimana, Adikku" Kau dapat korban lagi?" sapa Nini Rewang, mendekati Nini Berek.
"Tentu, Mbakyu. Itu sebabnya, aku memintamu datang ke sini menolongku untuk membangkitkan Kakang Ageng Wirakrama. Tanpa kekuatan
kita berdua, mustahil kita bisa membangkitkan
Kakang Ageng Wirakrama. Biarlah untuk sementara, aku bersusah-susah mencari korban pemuda,
dan kau menunggui makam suamiku," sahut Nini Berek. Di tempatnya, Ki Kusumo
menautkan kedua alis putih jarangnya. Jadi, Ki Ageng Wirakrama telah tewas" Kata hatinya. Hmmm, kalau kuhubung-hubungkan dengan mimpi Panembahan
Dongdongka, berarti yang membunuhnya pasti Satria. Tak mungkin kalau Dongdongka. Sebab, selama Satria berada di luar, Dongdongka tak pergi
ke mana-mana. Perhatian Tabib Sakti Pulau Dedemit kembali diarahkan pada Nini Berek dan Nini Rewang.
Rupanya mimpi Panembahan Dongdongka tepat,
Satria Gendeng 18 Siluman Bukit Menjangan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lanjut batinnya. Di sini telah terjadi persekutuan para siluman. Dan mereka
hendak menuntaskan
dendam kepada Dongdongka atau Satria. Jadi,
kekhawatiranku pada Panembahan Dongdongka
waktu itu beralasan.
Perlahan-lahan, Ki Kusumo menghembuskan napas sesak. Ini tak bisa didiamkan. Desahnya. Apa yang harus kuperbuat" Rasanya kalau menyerang mereka sekarang bukan saat yang
tepat. Artinya, aku harus menggunakan siasat.
Bangsa siluman sulit dikalahkan dengan ilmuilmu silat. "Kapan kau akan mencari korban lagi?"
tanya Nini Rewang.
"Sehari sebelum kita melakukan upacara,"
sahut Nini Berek.
"Berarti, dua hari lagi?"
"Ya!"
"Apa semua sudah kau pikirkan masakmasak?" aju Nini Rewang.
"Maksudmu?" Kening keriput Nini Berek
berkerut. "Walaupun kita bangsa siluman, tapi tetap
punya kelemahan. Kau tahu bukan, kelemahan kita?" Nini Berek mengangguk.
"Sebab kalau itu sampai terjadi, utusan Ratu Laut Selatan akan mengambil dan memenjarakan kita," sambung Nini Rewang.
Di tempat persembunyiannya, Ki Kusumo
kembali tersentak. Kini dia mulai mengerti, siapa kedua siluman itu. Rupanya,
mereka masih terhi-tung warga Laut Selatan.
Hmmm, rasanya aku harus menemui Panembahan Dongdongka lebih dahulu. Mungkin dia
tahu kelemahan apa yang dimiliki kedua siluman
ini. Begitu putus hati Ki Kusumo. Lalu tanpa bersuara sedikit pun dia melesat meninggalkan tempat ini. * * * Pagi merekah di Desa Jatianom.
Seorang pemuda tampan berjalan tegap
memasuki mulut desa. Pakaiannya rompi putih
dari kulit binatang. Celananya pangsi sebatas lutut. Rambutnya panjang melebihi bahu berwarna
kemerahan. Wajahnya bergaris rahang jantan. Mata sembilunya begitu cerah, secerah pagi ini. Di
pinggangnya terselip sebuah tongkat pendek.
Ujungnya berbentuk kepala ular naga. Sedang
ujung yang satu lagi berbentuk ekor naga. Siapa
dia" Satria namanya.
Tokoh muda sakti yang mulai mengisi gonjang-ganjing dunia persilatan. Dalam pencariannya terhadap Ki Kusumo, tanpa
terasa langkah si pemuda perkasa telah tiba di desa ini.
Belum jauh Satria Gendeng memasuki mulut desa, dari arah berlawanan terlihat beberapa
orang tengah mengusung keranda. Si pemuda menepi, lalu berhenti. Paling tidak, dia ingin ikut memberi hormat pada para
pengantar jenazah.
"Hmm, ada yang mati. Kenapa matinya, ya"
Ah, pasti karena sudah tak punya napas lagi," gumamnya, perlahan.
Rombongan pengusung jenazah melewati
Satria. Sebagian orang melirik si pemuda dengan
pandangan curiga. Sebagian lagi seperti tak peduli, tapi dengan wajah tersaput
rasa takut luar biasa.
Satria tak peduli. Tapi baru saja akan melangkah lagi, dari arah yang sama muncul rombongan orang yang juga tengah mengusung keranda. Kening si pemuda berkerut.
"Apa di sini ada wabah penyakit?" tanyanya, tak mengerti.
Masih belum beranjak, mata sembilu Satria
terus tertuju pada rombongan pengusung jenazah
yang akan melewatinya. Dan Satria melihat ada
perbedaan dengan para pengusung jenazah sebelumnya. Bila para pengusung jenazah pertama kelihatannya adalah orang-orang biasa, maka para
pengusung jenazah kedua seperti dari kalangan
persilatan. Berjalan paling belakang di antara para pengusung jenazah adalah
seorang lelaki tua berpakaian baju sutera putih berhiaskan renda-renda
keemasan pada pinggirannya juga celananya lengkap dengan blangkon.
Begitu melewati Satria, lelaki tua bersurjan
menatap Satria. Tatapannya terlihat dingin seperti menyimpan rasa dendam. Si
pemuda bisa merasa-kannya.
Tak ingin mengusik, Satria melanjutkan
langkahnya. Tapi hatinya masih bertanya-tanya,
ada apa dengan desa ini. Para penduduknya pun
hanya satu-dua yang terlihat. Sepertinya tak ada
denyut kehidupan di sini.
Penasaran, Satria Gendeng mendekati sebuah rumah yang kebetulan di halaman ada seorang lelaki tua tengah mencabuti singkong. Langkah tegapnya pun menghentak.
"Selamat pagi, Pak Tua?" sapa Satria, ramah. "Selamat pagi, Anak Muda. Ada yang bisa saya bantu?" sahut lelaki tua kurus
itu. "Oh, tidak, Pak Tua. Aku cuma mau bertanya. Siapa yang meninggal, Pak Tua?" tanya Satria. "Maksudmu, kedua jenazah
tadi?" "Benar."
"Kalau yang pertama lewat, namanya si
Marbun. Dia pemuda penduduk desa ini yang kerjanya berburu. Tapi semalam, dia ditemukan tewas
secara mengerikan. Tubuhnya mengeriput seperti
kulitku. Padahal usianya baru sembilan belas tahun. Kuat dugaan, sebelum mati dia melakukan
hubungan intim dengan seorang perempuan.
Mungkin perempuan itu yang membunuhnya," papar si lelaki tua.
"Perempuan" Maksud Pak Tua, setelah melakukan hubungan intim, perempuan itu membunuhnya?" "Begitulah. Tapi herannya, tak ada luka sedikit pun di tubuhnya. Hanya ya, itu tadi. Tubuhnya mengeriput. Sepertinya, sari pati si Marbun
tersedot habis."
Kening Satria berkerut. Edan! Buas sekali
perempuan itu! Pasti dia tokoh sesat yang tengah
memperdalam ilmu hitam! Desis Satria dalam hati.
"Lantas usungan mayat kedua?" lanjutnya,
"Apakah sama dengan mayat pertama?"
"Nah, kalau yang ini lain. Mayat kedua itu si keparat Pandu. Dia putra satusatunya Ki Tambakyasa yang menjadi kepala desa ini."
"Keparat" Apa maksudnya, Pak Tua?" cecar Satria. "Pandu dikenal sebagai pemuda
pemetik bunga desa," jelas si tua kurus.
"Pemetik bunga" Masa' hanya pemetik bunga dikatakan keparat?" tukas Satria lugu.
"Maksud saya, tukang main perempuan. Setiap gadis cantik atau istri orang selalu diusiknya,"
jelas si lelaki tua.
"O.... Lalu, matinya kenapa?"
"Kabarnya, dibunuh oleh bekas kekasihnya.
Lestari, namanya. Yah, bisa jadi Pandu dibunuh.
Mungkin Lestari menuntut tanggung jawab, karena telah dihamili oleh Pandu. Sama seperti gadisgadis desa ini. Mereka hamil, tapi Pandu menolak
tanggung jawab," urai si tua kurus.
Satria mendesah. Lirih. Ada sesuatu yang
mengganjal benaknya. Yakni, tentang kematian
pemuda desa bernama Marbun yang begitu aneh.
Soal kematian Pandu, dia tak begitu peduli. Baginya, itu masalah biasa. Artinya, Pandu memang
harus membayar segala perbuatannya yang banyak menyengsarakan orang banyak.
"Sudah berapa orang pemuda yang bernasib
seperti Marbun, Pak Tua?" cecar Satria.
"Kalau tak salah, sudah dua orang," jawab lelaki itu.
"Kalau kau mau, kau bisa bernasib seperti
pemuda itu...."
Sebuah suara terdengar. Satria dan si lelaki
tua tercekat. Dan begitu Satria menoleh....
* * * "Kakek Kusumo"!" ledak Satria.
Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di
belakang Satria telah berdiri Ki Kusumo. Kehadiran yang tanpa diketahui, sungguh membuat si
pemuda terkagum-kagum. Sebab, ternyata Ki Kusumo telah terbiasa menggunakan kaki logamnya
pada saat mengerahkan ilmu meringankan tubuh.
Sebaliknya bagi lelaki kurus penduduk desa
ini, kehadiran Ki Kusumo yang begitu tiba-tiba,
sungguh membuatnya nyaris kencing di celana.
Degup jantungnya pun berpacu keras. Tubuhnya
gemetar. Bagaimana tidak" Kehadiran Ki Kusumo
bagaikan hantu saja. Amat mengagetkan.
"Tenang, Pak Tua. Jangan takut. Dia guruku," ujar Satria, menenangkan.
"Eh, iii..., iya. Saya sudah tenang, kok," jawab si tua kurus.
"Siapa namamu, Kisanak?" tanya Ki Kusumo, ramah. "B..., Biran," sahut si tua kurus. "Nah, Ki Biran. Bolehkah kami duduk-duduk di
rumahmu?" lanjut Tabib Sakti Pulau Dedemit. "Silakan..., silakan...."
Ki Biran segera mendahului, melangkah
menuju rumahnya. Saking gugupnya, singkong
yang tadi dicabutnya terlupa.
"Pak Tua! Singkongmu ketinggalan," ingat Satria. Ki Biran berhenti dan berbalik.
Tergopoh-gopoh, dihampirinya singkong di dekat kaki Satria.
Lalu, sama-sama mereka melangkah menuju rumah Ki Biran. DELAPAN KI KUSUMO dan Satria Gendeng mendesah
geram setelah mendengar apa yang terjadi di Desa
Jatianom ini dari penuturan Ki Biran. Betapa para penduduk desa ini sangat
membutuhkan dewa pe-nolong yang sanggup menghentikan sepak terjang
Ki Tambakyasa. "Kami sudah menjadi orang-orang tertindas.... Belum juga bisa bebas dari penindasan itu, datang malapetaka dengan
terbunuhnya beberapa
pemuda desa. Seolah, malapetaka tak pernah pergi
dari desa ini," desah Ki Biran.
Di beranda rumah Ki Biran mereka berbincang-bincang. Satu piring singkong rebus masakan istri Ki Biran terhidang di atas meja. Sebelumnya, Ki Kusumo juga telah bercerita apa yang
dilihatnya di Bukit Menjangan kepada Satria.
"Menurutmu, apakah kita perlu pulang dulu
ke Tanjung Karangbolong, Satria?" aju Ki Kusumo.
"Buat apa, Kek?" si pemuda malah balik
bertanya. "Aku khawatir terhadap Panembahan
Dongdongka," keluh Ki Kusumo.
"Slompret kau, Kusumo! Sudah kubilang,
kau jangan mengkhawatirkan aku terus menerus!"
Seperti memedi saja, tahu-tahu Dongdongka telah berdiri di depan pintu rumah Ki Biran.
Muncul tiba-tiba! Satria pun tahu, guru gendengnya saat ini tidak membawa wadagnya. Yang muncul hanyalah badan halus di tua itu. Pendek kata, Dedengkot Sinting Kepala
Gundul tengah mengerahkan aji 'Melepas Sukma'. Sementara, wadag kasarnya ditinggal di Tanjung Karangbolong.
Tidak seperti Ki Kusumo dan Satria, maka
Ki Biran justru tercekat. Sraduk-sruduk, dia hendak masuk ke dalam rumahnya. Saking kalutnya,
kakinya terpentok meja.
"Aduuuh...!" ratapnya.
Jangan ditanya, bagaimana takutnya lelaki
tua ini melihat kedatangan Dongdongka yang seperti memedi saja. Tahu-tahu muncul begitu saja,
membuat Ki Biran menduga kalau Dongdongka
memang memedi betulan. Memang bisa jadi kalau
melihat penampilan Dongdongka. Tubuh kurus
keringnya hanya mengenakan cawat untuk menutupi bagian terlarangnya. Cawat terbuat dari kulit ular sanca. Kepalanya gundul.
Bila tertawa, hanya terlihat beberapa gigi yang sudah menghitam. Jadi, wajar
kalau Ki Biran ketakutan begitu.
"Ha ha ha.... Jangan takut, Ki. Dia guruku.
Kakek Dongdongka, namanya. Sudah jinak, kok,"
oceh Satria, geli sekali melihat wajah takut Ki Biran. Dongdongka manyun. Tak
ada yang bisa diperbuatnya untuk menjitak kepala murid gendengnya. Masa dia dibilang sudah jinak" Dalam
kemunculannya yang seperti ini, mana mampu
Dongdongka berbuat banyak, selain manyun"
"Lihat.... Tunggu saja nanti kalau pulang ke
Tanjung Karangbolong. Akan kuhukum kau"!"
semprot Dongdongka. Lalu perhatiannya ditujukan
pada Ki Kusumo. "Kusumo! Akhirnya kau kutemukan di sini."
"Atas restu Panembahan, aku bisa bertemu
Satria. Mari duduk di sini, Panembahan," kata Ki Kusumo.
"Tidak! Aku mau di sini saja," tolak Dongdongka.
"Ada apa Kakek menyusul kemari?" sela Satria. "Kakek mengkhawatirkan kami, ya?"
"Siapa bilang" Aku cuma mau bilang, kalian
harus hati-hati terhadap Nini Berek dan Nini Rewang. Para nenek jelek itu sukar ditaklukkan. Aku sendiri saja mungkin tak
sanggup menghada-pinya." "Oh, ya Panembahan. Semalam aku mengintip Nini Berek di
Bukit Menjangan," letus Ki Kusumo. "Edan kau, Kusumo. Tua-tua masih saja
tukang intip. Bagaimana" Mulus kulit perempuan
jelek itu?" Salah tangkap rupanya Dongdongka.
"Maksudku, mengintai perbuatan Nini Berek," ralat Ki Kusumo.
"Wah, makin seru saja! Apa dia sedang ber
Satria Gendeng 18 Siluman Bukit Menjangan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
buat mesum lagi?" Makin tak karuan kata-kata Dedengkot Sinting Kepala Gundul. Di
kepalanya kontan muncul bayangan mesum. "He he he....
Bagaimana bentuknya kalau nenek jelek itu sedang telanjang" Menggemaskan kali, ya?"
"Kek! Kakek Kusumo sedang bicara sungguh-sungguh!" celetuk Satria. Tak tega dia melihat
Ki Kusumo tersenyum kecut dengan kepala menggeleng perlahan.
"Siapa bilang aku tak sungguh-sungguh"
Kau kira aku sedang bercanda, Cah!" Mata tua Dongdongka mendelik. "Asal kau tahu
saja, saat ini Nini Berek sedang berkeliaran mencari tumbal, menghisapi sari
pati pemuda untuk membangkitkan mayat suaminya. Kalau tak salah namanya...."
"Ki Ageng Wirakrama," Ki Kusumo yang
menjawab. "Ya, benar. Si Gareng Tak Keramas," kembali Dongdongka salah dengar. Tapi mana
mau dia peduli. Setiap kata yang sudah keluar, haram baginya ditarik lagi.
"Panembahan tahu dari mana" Aku juga
mau menjelaskan begitu," tanya Ki Kusumo.
"Semalam aku bermimpi begitu. Makanya
aku menyusul, hingga sampai ke tempat ini!"
Kini Ki Kusumo mengerti, apa yang terjadi
terhadap Desa Jatianom. Itu tak lain dari ulah Nini Berek. Waktu dia bertemu
dengan gadis berpakaian kuning di pinggiran desa, Tabib Sakti Pulau Dedemit
sudah curiga. Dan ketika mengikuti, ternyata Ki Kusumo terlambat. Nini Berek
telah men- dapatkan korban lagi.
"Seperti mimpi Panembahan, di Bukit Menjangan memang kulihat ada Nini Rewang. Rupanya
mereka benar bersekutu, untuk menuntaskan
dendam terhadap Panembahan dan Satria. Rupanya, kekhawatiranku terhadap Panembahan beralasan," papar Ki Kusumo.
"Sudah kubilang, kau tak usah khawatir
terhadapku, Kusumo! Justru kita harus khawatir
terhadap Cah Gendeng kita!" Dongdongka melirik Satria. Lalu tiba-tiba bibirnya
tersenyum geli. "Kusumo! Apa kau bisa bayangkan kalau Cah Gendeng kita ditaksir nenek jelek itu" Tak bisa kubayangkan, pasti Cah Gendeng kita bakal terkencing-kencing. He he he...," kekeh Dongdongka.
"Ya, aku pun mengkhawatirkannya," desah Tabib Sakti Pulau Dedemit.
"Aku tadi juga bilang begitu, Kusumo!"
Satria Gendeng yang jadi pusat pembicaraan malah terbengong-bengong sendiri. Mata
sembilunya berpindah-pindah. Dari wajah Dongdongka ke wajah Ki Kusumo. Edan! Kenapa kedua
guruku malah begitu gelisah mengkhawatirkanku"
Mereka pikir aku takut" Rutuk si pemuda perkasa
dalam hati. Biar mereka keturunan Gendruwo,
kek. Setan belang, kek. Aku tak takut! Tandasnya.
Dan selagi Satria hendak menanyakan.
mengapa dirinya begitu dikhawatirkan.... "Aaaa...!"
Sebuah teriakan menerabas udara. Nadanya menyiratkan kematian yang terbangun di
satu tempat. Ada apakah..." Pertanyaan itu terbetik begitu saja di benak Satria....
* * * Sebuah pertarungan seru terbangun di sebuah pemakaman, pinggiran Desa Jatianom. Pelakunya, seorang gadis cantik berpakaian kuning
dengan beberapa lelaki bertampang kasar. Beberapa mayat lelaki kasar lain telah tergolek tumpang tindih dalam keadaan
menyedihkan. Rata-rata perut mereka robek. Menumpahkan darah serta isi
perut yang terburai.
"Mampus kau, Gadis Jalang!"
Wukh! Satu babatan golok dibuat salah seorang lelaki. Tak bisa dianggap sembarangan, karena si lelaki telah mengiringinya dengan
pengerahan tenaga dalam. Buktinya, suara sabetannya menderu
tajam saat memangkas udara.
Dua jari lagi golok menemui sasaran, si gadis baju kuning malah menghadangnya dengan
cengkeraman telapak tangan.
Tap! Golok tertangkap. Padahal, mata golok begitu tajam berkilatan saat terjilat sinar matahari
siang ini. Bahkan pemiliknya juga menyertai dengan tenaga dalam.
Tapi sekali pluntir....
Tak! Golok patah jadi dua bagian. Si pemilik golok melotot tak percaya. Dan sebelum dia bertindak sesuatu, lawan telah menghujamkan tangan
kanan berkuku panjangnya ke perut.
Bress...! Breeett...!
Begitu menembus perut, tangan si gadis
membetot jeroan lawan. Tanpa ampun, isi perut lelaki itu ikut keluar! Dan hanya sekali hantaman
tangan kiri yang masih memegang potongan golok,
si gadis telah membuat lawan terjengkang bersimbah darah. Sebentar meregang nyawa, lalu mati
penuh derita. "Siapa lagi yang menghalangiku membunuh
si keparat Tambakyasa, maju!" desis si gadis cantik. Wajahnya tetap dingin,
seolah tak merasa berdosa membantai secara keji begitu.
Tiga lelaki kasar yang memang anak buah
Ki Tambakyasa tersurut mundur. Sedangkan Ki
Tambakyasa sendiri sudah sejak tadi mengendapendap, melarikan diri. Hanya karena hadangan
anak buahnya saja pada gadis itu yang membuat
Ki Tambakyasa selamat. Kalau tidak, sudah sejak
tadi nyawanya melayang ke neraka.
Si gadis cantik yang tak lain Lestari maju
selangkah demi selangkah. Dibuangnya mata golok
yang ada di tangan kiri, serta bagian jeroan lelaki malang tadi yang ada di
tangan kanan. Matanya
tak lagi indah seperti dulu, tapi kosong seperti menyimpan hawa membunuh.
Sementara, keberanian tiga lelaki ini sudah
terdepak entah ke mana. Semula, mereka begitu
garang dan ganas. Saat itu mereka baru saja selesai menguburkan mayat Pandu. Entah dari mana
datangnya, tahu-tahu muncul seorang gadis cantik
berpakaian kuning.
Karena belum tahu siapa Lestari sesungguhnya, para tukang pukul Ki Tambakyasa menganggapnya bukan ancaman. Sedangkan Ki Tambakyasa sendiri mesti dibalur keterkejutan, tetap tenang-tenang saja. Karena dia
pikir, sepuluh anak buahnya sudah cukup untuk menandingi Lestari.
Tapi apa yang terjadi"
Hanya beberapa gebrakan, dua orang tukang pukulnya sudah terjengkang tanpa nyawa.
Perut mereka robek, dengan isi terburai keluar.
Melihat hal ini, tentu saja Ki Tambakyasa merasa
cemas. Maka diam-diam ditinggalkannya tempat
ini selagi Lestari bertarung.
Lestari sempat mengejar. Tapi hadangan para anak buah Ki Tambakyasa memang menyulitkan gerakannya. Mau tak mau, kedua tangan
berkuku panjangnya pun menelan korban lagi.
Hingga tanpa terasa, sudah tujuh orang yang dijatuhkannya. "Huh! Mana kegarangan kalian tadi"!" ejek Lestari, mencibir.
Ketiga tukang pukul itu tercekat. Keringat
dingin semakin membasahi tubuh mereka. Dalam
pandangan mereka, Lestari tak ubahnya sosok
malaikat maut yang datang untuk mencabut nyawa-nyawa busuk mereka.
"Ma..., maafkan kami, Nona. Ka..., kami
hanya menjalankan tugas?" gagap salah seorang lelaki kasar itu. Jangan ditanya,
bagaimana kini wajahnya. Pucat, seolah darah tak mau mengalir.
"Menjalankan tugas" Apakah membunuh Ki
Pawit juga bagian dari tugas kalian! Ayo, jawab!"
"Be..., benar, Nona. Tapi kami hanya orang
suruhan...."
"Kalau begitu, kalian wajib mati. Ki Pawit
yang kalian bunuh itu adalah ayahku!" Lestari siap menggebrak. Tapi....
"Tahan!"
* * * Betapa terkejutnya Ki Tambakyasa begitu
tiba di rumahnya. Karena di halaman rumahnya
yang ditemuinya hanya mayat-mayat para tukang
pukulnya yang tergolek tak karuan. Sedangkan
sanak keluarganya, termasuk istrinya pergi entah
ke mana. Dia sudah berkeliling-keliling rumah, ta-pi tak menemukan apa-apa.
Di halaman, kini kepala desa itu celingukan. Dia ingin berteriak meminta bantuan para tetangganya, tapi malu hati. Entah bagaimana, tibatiba sebuah kesadaran muncul dalam benaknya.
Betapa selama ini dia telah banyak menyakiti para tetangganya. Dan kini, lelaki
tua itu bagai anak
ayam kehilangan induk. Tak tahu harus meminta
bantuan siapa. Kini baru disadari, betapa tingginya nilai sebuah persaudaraan.
Diam-diam dia menyesali, kenapa dulu begitu angkuh terhadap para tetangga. Bahkan menyakitinya dengan merampas harta serta hak milik
orang lain. Dan dia yakin, para tetangganya mengetahui kejadian di rumahnya. Hanya saja, mereka
tak mau menolong. Pendeknya, bersikap tak peduli. Buktinya, para tetangganya hanya menatapnya
dari kejauhan dengan wajah seolah seperti menertawakannya. Sebelum Ki Tambakyasa melangkah hendak
masuk ke dalam rumahnya lagi....
"Hi hi hi.... Siapa yang kau cari, Pengecut"!"
Ki Tambakyasa terhenyak. Sigap, dia berbalik. Kini di depan lelaki itu berdiri seorang perempuan tua. Pakaiannya kebaya kusam dengan
tapih kain batik yang telah compang-camping. Tusuk konde pada gelungan rambutnya terbuat dari
tulang manusia.
Siapa perempuan tua ini" Tanya hati Ki
Tambakyasa. Dia berusaha menenangkan hatinya
yang mulai kisruh. Matanya memandangi dari atas
hingga kaki si perempuan tua.
"Siapa kau, Perempuan Tua"! Hmmm...,
jangan-jangan kau yang mengadakan pembantaian
di halaman rumahku"! Sekarang katakan, di mana
istri dan sanak keluargaku"!" bentaknya, berusaha mengusir rasa takutnya.
"Kau menanyakan aku" Aku Nini Manten.
Lestari telah cerita banyak tentang penderitaannya. Nah, kupikir inilah saat yang tepat aku menuntaskan dendamnya. Aku datang ke sini, kau
tak ada. Dan justru para tukang pukulmu menyambutku dengan permusuhan. Ya, terpaksa aku
melenyapkan mereka. Dan tentang sanak saudaramu, istrimu, dan mantumu, mereka kusuruh
pergi kalau tak ingin jadi mayat. Aku sendiri tak tahu, ke mana mereka pergi,"
jelas Nini Manten, lugas. Setidaknya, Ki Tambakyasa bisa menarik
napas lega. Karena Nini Manten ternyata bukan
orang kejam seperti yang dibayangkan. Dia menduga paling-paling sanak saudara, istri, serta man-tu perempuannya pergi ke
Kadipaten Wadaslintang, rumah adik kandung istrinya. Tapi bagaimana dengan dirinya sendiri"
"Ja..., jadi kau Guru Lestari?" gagap Ki Tambakyasa. Dia mulai bisa mengerti,
mengapa Lestari kini telah berubah menjadi gadis yang tak bisa dianggap remeh. Juga,
menduga apa maksud
kedatangan Nini Manten ke tempat ini.
"Ya! Kenapa" Kau takut?" leceh Nini Manten, Ki Tambakyasa tak menjawab. Sebagai
lelaki, gengsi rasanya untuk mengucapkan kata takut.
Apalagi, dia belum menjajal, setinggi apa ilmu Nini Manten. Apakah begitu tinggi
seperti apa yang
pernah didengarnya dulu" Sebab sebagai orang
yang pernah belajar silat, Ki Tambakyasa pernah
mendengar dari gurunya tentang tokoh silat wanita bernama Manten Sakawerti. Apakah benar dia
orangnya" "Kau bermaksud hendak menuntut balas"
Apa yang kulakukan, Nini Manten?" kilah Ki Tambakyasa, pura-pura. Sekalian
mengulur-ulur waktu. Yah, siapa tahu punya kesempatan melarikan
diri. "Jangan mungkir, Kadal Buduk! Anakmu
telah menghamili Lestari. Karena tak bertanggung
jawab. Lestari putus asa, lalu hendak bunuh diri.
Tapi aku bisa menolongnya. Dan kau juga telah
membunuh Ki Pawit, ayah Lestari. Juga, kau telah
membuat penduduk desa ini menderita akibat
perbuatanmu sebagai lintah darat! Ayo, ngaku!"
cecar Nini Manten. Saking semangatnya, air liurnya sampai bermuncratan ke wajah Ki Tambakyasa. Ki Tambakyasa hendak mengusap mukanya. Tapi....
"Jangan dihapus!" bentak Nini Manten,
membuat gerakan tangan Ki Tambakyasa terhenti.
"Ludah saja belum cukup untuk membayar kebejatanmu, tahu"!"
Panas hati Ki Tambakyasa. Tanpa tedeng aling-aling, dicabutnya keris di balik pakaian surjannya. Sratt...!
"Kau pikir aku takut padamu, Nenek Busuk! Makan keris pusakaku! Chiaaat...!"
Satria Gendeng 18 Siluman Bukit Menjangan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Wutt...! "Keras kepala. Disuruh mengaku malah melawan! Hih!"
Satu jari lagi mata keris lekuk tujuh Ki
Tambakyasa membeset leher keriput si nenek, si
calon korban menarik tubuhnya ke belakang. Tepat ketika sambaran keris lewat, Nini Manten menyampok tangan yang memegang keris.
Pak! Keris terpental. Tangan Ki Tambakyasa yang
memegang keris terdongkel ke atas. Cepat, Nini
Manten maju selangkah secara menyamping.
Sambil bergerak begitu, sikut kirinya langsung
menohok iga Ki Tambakyasa. Buk!
Lelaki tua telengas itu terjajar mundur. Mulut keriputnya meringis, menahan nyeri luar biasa pada iganya. Dan sebelum dia
berbuat sesuatu,
Nini Manten melompat sambil mencincing kain batik compang-campingnya. Kaki kurus keriputnya
pun terjulur. Dan.... Desss...! Telak, telapak kaki tak terurus milik Nini
Manten bersarang di dada Ki Tambakyasa. Tubuh
lelaki itu terjengkang ke belakang sampai sepuluh
tombak, mendekati pintu halaman.
Memang tak ada perlawanan berarti dari lelaki tua itu. Hanya karena tabiatnya yang pongah, sehingga tak ada kata menyerah
yang meluncur dari bibirnya. Padahal, kepandaiannya masih terla-lu jauh bila dibanding Nini
Manten. Dalam melancarkan serangan pun. Nini
Manten sebenarnya tak banyak mengerahkan tenaga dalam. Dia telah cukup pengalaman untuk
mengukur, sampai di mana kepandaian lawan.
Sementara para penduduk yang menonton
dari kejauhan, mulai berani mendekat sampai ke
pintu halaman. Dan begitu melihat Ki Tambakyasa
jatuh, tanpa ada yang menyuruh mereka berhamburan menghampiri sambil membawa senjata apa
saja yang ditemui. Dengan batu, kayu, bambu,
atau apa saja, mereka langsung menghantami tubuh Ki Tambakyasa yang belum sempat bangkit.
Nini Manten sendiri tak ingin mencegah. Dia merasa, itu bayaran setimpal atas perbuatan Ki Pawit
selama ini. "Mampus, kau lintah darah! Ini balasan dari
harta kami yang kau rampas!" rutuk salah seorang penduduk, geram.
"Ini untuk anak perawanku yang dihamili
anakmu, Setan!" maki seorang perempuan setengah baya, langsung mengepruk kepala
Ki Tamba- kyasa dengan bambu.
Segenap kemarahan, kebencian, rasa kecewa, dendam, terlampiaskan di tempat itu. Sebuah
pemandangan mengerikan tercipta. Tanpa bisa
melawan, tubuh Ki Tambakyasa remuk redam dihantami para penduduk yang selama ini jadi korbannya. Nini Manten tak ingin tersihir oleh pemandangan di depannya. Karena tiba-tiba, perasaannya jadi tak enak begitu mengingat Lestari.
"Eh, ada apa dengan Lestari, ya" Menurut
mata batinku, dia tengah berhadapan dengan tokoh-tokoh sakti. Ah, aku harus menyusulnya. Tadi
dia kulihat sedang bertarung di pemakaman, melawan para tukang pukul Ki Tambakyasa. Tapi,
kenapa sekarang bertarung dengan orang lain"
Wah, gawat! Aku harus cepat ke sana!"
SEMBILAN SEBUAH pertarungan kembali tercipta di
pemakaman. Kali ini Lestari berhadapan dengan
seorang pemuda berpakaian rompi putih keabuabuan dari kulit binatang. Bercelana pangsi sebatas lutut. Berambut panjang melebihi bahu berwarna kemerahan. Siapa lagi pemuda itu kalau
bukan pendekar perkasa bernama Satria"
Ketika Lestari hendak menghabisi tiga tukang pukul Ki Tambakyasa, Satria Gendeng, Ki
Kusumo, dan Dongdongka keburu datang. Begitu
melihat Lestari, Tabib Sakti Pulau Dedemit langsung teringat pada gadis berpakaian kuning penjelmaan Nini Berek yang diduga sebagai pembunuh para pemuda desa. Merasa yakin dengan dugaannya, Ki Kusumo langsung bilang pada Satria
Gendeng. Tapi, sebenarnya Ki Kusumo dan Satria
agak ragu-ragu juga. Karena bila melihat para korban yang bergelimpangan di
sekitar makam, sungguh sangat berbeda dengan apa yang pernah terjadi. Yakni, dengan tubuh mengeriput dan dalam
keadaan tanpa benang sehelai pun. Sedangkan
mayat-mayat di sekitar makan tak satu pun yang
tubuhnya mengeriput.
Hanya saja, tak mungkin Satria membiarkan adanya pembantaian yang begitu keji. Naluri
kependekarannya terpanggil untuk segera menghentikan sepak terjang si gadis berbaju kuning.
Lestari sendiri menyangka kalau Satria adalah salah satu kaki tangan Ki Tambakyasa. Dugaan itu timbul, karena si pemuda berani menghalangi niatnya. "Aku tak menyangka, ternyata ada gadis
yang kejamnya minta ampun! Apa kau tak merasa
berdosa membunuhi orang sebanyak ini, Nona?"
oceh Satria, sambil terus menghindari sambaran
tangan berkuku panjang Lestari.
"Dan kau sama kejamnya dengan menjadi
kaki tangan Ki Tambakyasa!" balas Lestari, "Lantas, apa bedanya?"
Wuttt! Kembali satu sambaran dibuat si gadis.
Tangan kanan berkuku panjangnya mengarah ke
perut Satria. Hendak dirobeknya perut berotot keras si pemuda. Sebenarnya, agak aneh juga apa yang terjadi pada diri Lestari. Kini tanpa dikendalikan dari
jauh oleh Nini Manten, si gadis telah mampu memainkan jurus-jurus silat tingkat tinggi. Karena
biasanya, tanpa dibantu dari jarak jauh, gerakannya akan terasa lambat. Entah, apa sebabnya. Tapi bisa jadi karena dia telah mulai biasa dengan
jurus-jurus yang biasa diperagakan. Atau mungkin, karena terdorong oleh kemarahan menggelegak" "Hih!"
Satria menarik perutnya. Lalu tangan kanannya bergerak menyampok ke samping, ke arah
tangan kanan Lestari.
Pak! Begitu melihat Lestari terhuyung ke samping, si anak muda memutar tubuhnya ke kiri.
Langsung dibuatnya satu sapuan dengan kaki kiri.
Keras, tapi tanpa disertai tenaga dalam. Sebab,
pada dasarnya si pemuda tak ingin menyakiti Lestari. Dia hanya ingin melumpuhkan saja.
Plak! Sendi lutut bagian belakang Lestari terhantam. Si gadis jatuh bersimpuh. Sedang lawan tahu-tahu telah berdiri di belakangnya. Hendak ditotoknya gadis itu.
Tapi.... "Tahan, Anak Muda!"
Sebuah teriakan menahan gerakan Satria.
Si pemuda menoleh. Juga Lestari. "Guru...!" sebut Lestari. Satria membiarkan si
gadis bangkit dan
menghambur ke arah seorang perempuan tua yang
dipanggil guru oleh Lestari. Namun kewaspadaannya tetap terjaga. Menurutnya, dia merasa lebih
baik bertarung dengan lawan yang telah siap dan
berilmu tinggi, ketimbang melawan seorang gadis
yang kelihatannya masih hijau dalam dunia persilatan. Memang, setinggi-tingginya jurus-jurus
yang dikerahkan Lestari, di mata Satria masih saja terlihat lambat. Bahkan
tampak kaku. Ini yang
membuat Satria membiarkan gadis itu berlari ke
arah gurunya. "Mengapa kau bertarung dengan muridku,
Anak Muda. Kulihat, sepertinya kau bukan anak
buah Ki Tambakyasa" Tak kulihat tanda-tanda kalau kau dari golongan sesat. Siapa kau, Anak Muda?" berondong perempuan tua yang tak lain Nini Manten, Guru dari Lestari.
"Aku Satria, Nek. O, jadi dara cantik itu muridmu" Begini, Nek. Muridmu sudah
kuperin- gatkan agar menghentikan sepak terjangnya. Tapi
dia malah menuduhku sebagai anak buah Ki Tambakyasa. Semakin kuperingatkan, dia malah menyerangku. Ya, terpaksa aku melawan," tutur si pendekar muda, jujur.
Si nenek menatap muridnya yang kini sudah berada dalam pelukan dada peotnya. Bibir
kendornya lantas tersenyum.
"Ya, kita ternyata salah paham," desah si nenek. "Bukan saja salah paham! Tapi
muridmu sudah keterlaluan!"
Sebuah suara sember terdengar. Si nenek
langsung berpaling ke arah datangnya suara. Di
bawa pohon kemboja, Nini Manten melihat dua lelaki tua tengah berdiri tenang.
"Panembahan Dongdongka" Panembahan
Kusumo" O, alaaah.... Tak kusangka kita bisa bertemu di sini" Gusti Yang Maha Agung.... Akhirnya
Kau pertemukan aku dengan kawan-kawan lama...," desah Nini Manten, langsung menghampiri dua lelaki tua yang memang
Dongdongka dan Ki
Kusumo. Pada jarak satu tombak, Nini Manten
berhenti. Lalu dia menjura.
"Apa kabarmu, Nini Manten?" buka Ki Kusumo. "Kenapa kau baru muncul lagi dalam kancah persilatan?"
"Kau terlalu asyik mengerami telurmu, ya?"
timpal Dongdongka. "Oh, maaf. Kau tak punya telur, ya?" Di benak si tua bangka
Dongdongka terbayang telur yang lain.
Di tempatnya, Satria malah terbengong-bengong. Juga Lestari. Sungguh tak diduga kalau
mereka telah saling mengenal.
"Kabarku baik-baik saja, Panembahan. Yah,
beginilah. Sejak aku dikhianati lelaki, aku menga-singkan diri di dasar jurang
Lembah Setan. Sejak
itu aku benci lelaki!" sahut Nini Manten. Lupa dia kalau di depannya berdiri dua
lelaki. "Termasuk kami?" goda Ki Kusumo. "Oh, maaf. Tentu saja tidak. Kalian lain.
Kalian adalah teman-teman baikku," ralat Nini Manten. "Eh, ngomong-ngomong, ada
acara apa kalian bisa
muncul berbarengan?" lanjutnya, bertanya.
"Ini, si Kusumo mau sunat lagi, kali," celetuk Dongdongka seenaknya.
Berbarengan, Ki Kusumo dan Nini Manten
tertawa lepas. Renyah, serenyah kerupuk kulit.
"Begini, Nini," Ki Kusumo yang menjelaskan. "Panembahan Dongdongka punya firasat mimpi kalau para siluman akan
bersekutu untuk
menuntaskan dendam mereka terhadap Panembahan Dongdongka. Juga murid kami."
"Murid kalian" Jadi, kalian sudah punya
murid" Mana?"
"Itu, yang tadi bertarung dengan muridmu,"
tunjuk Ki Kusumo pada Satria.
Nini Manten menoleh ke arah yang ditunjuk
Ki Kusumo. "O, jadi dia murid kalian. Pantas..., pantas...."
"Pantas kenapa, Nini Manten" Hebat ya murid didikan kami?" letus Dongdongka bersemangat.
"Bukan. Bukan itu. Yang ku maksud. ketampanannya. Lihat, mata muridku sebentarsebentar melirik ke arah muridmu," tunjuk Nini Manten pada muridnya sendiri.
Lalu perhatiannya
kembali beralih pada kedua lelaki tua di depannya.
"Eh, iya. Tadi kalian bilang, para siluman bersekutu" Siluman mana yang
bersekutu?"
"Kau pernah dengar nama Nini Berek dan
Nini Rewang?"
"Ya, mereka memang keturunan siluman.
Jadi mereka yang bersekutu?" tebak Nini Manten lebih lanjut.
"Bukan hanya bersekutu. Bahkan neneknenek jelek itu mau membangkitkan mayat Ki
Ageng Wirakrama yang ditewaskan Cah Gendeng
kami!" tambah Dongdongka.
Nini Manten melengak.
Bukan. Bukan karena mendengar persekutuan para siluman. Tapi karena nyaris tak percaya kalau murid kedua teman
lamanya mampu mene-waskan Ki Ageng Wirakrama. Sulit dipercaya. Pemuda yang kelihatannya hijau tapi mempunyai kesaktian tinggi. Karena untuk melawan Ki Ageng
Wirakrama alias Iblis Samber Nyawa dibutuhkan
kesaktian tinggi yang mesti diperdalam puluhan
tahun. Tapi pemuda itu"
"Pantas..., pantas...," desah Nini Manten.
"Pantas apa lagi" Ketampanannya" Sampaisampai, muridmu melirik terus pada Cah Gendeng
kami?" cibir Dongdongka. Tapi hatinya kecewa, karena tebakannya salah.
"Pantas, kulihat tadi tatapan matanya begitu menyentuh kalbuku. Rasanya, sulit dipercaya
kalau pemuda itu sudah memiliki perbawa tinggi,"
puji Nini Manten, mendesah.
Nini Manten masih menggeleng-geleng tak
percaya. Tapi memang itu kenyataannya.
"Nah, Nini Manten. Kami rasa, persoalan kita sudah selesai. Kami masih ada urusan dengan
Satria Gendeng 18 Siluman Bukit Menjangan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
para siluman itu. Jadi kami mohon diri dulu,"
ucap Ki Kusumo.
"Ya, ya. Maaf, aku tak bisa membantu kalian. Karena aku masih harus mengobati jiwa Lestari, agar tak larut dalam dendam. Kasihan dia,"
desah Nini Manten. Lalu kepalanya menoleh pada
gadis berbaju kuning. "Lestari! Mari kita pulang!"
Sejenak Nini Manten menjura, lalu pergi
meninggalkan Dongdongka dan Ki Kusumo. Masih
sempat kepalanya menggeleng-geleng ketika sekali
lagi menatap Satria.
"Hebat..., hebat. Mudah-mudahan saja dunia ini banyak kutemukan pemuda sepertimu,
Cah! Kujamin, dunia ini pasti aman tenteram. Kujamin!" desahnya, perlahan sekali.
SEPULUH TAK ingin kecolongan, Ki Kusumo dan Satria Gendeng memutuskan untuk tetap tinggal di
Desa Jatianom, tempat yang selama ini dijadikan
sasaran oleh Nini Berek untuk mencari korban.
Sedangkan Dedengkot Sinting Kepala Gundul memutuskan untuk kembali ke Tanjung Karangbolong. Karena dari penuturan Ki Kusumo, Nini Berek dan Nini Rewang akan menuntaskan dendamnya setelah bisa membangkitkan mayat Ki Ageng
Wirakrama. Dan itu memerlukan satu orang pemuda lagi. Menurut perhitungan Ki Kusumo, tak perlu
ada yang patut dikhawatirkan lagi pada diri Dedengkot Sinting Kepala Gundul. Karena, asal bisa
menggagalkan rencana gila Nini Berek yang ingin
membangkitkan mayat suaminya, maka bisa jadi
Nini Berek hilang semangatnya. Dengan begitu,
diharapkan rencananya bakal berantakan.
Untuk mempermudah penyelidikan, Ki Kusumo dan Satria Gendeng saling membagi tugas.
Tiap sepeminum teh, salah seorang dari mereka
mengelilingi Desa Jatianom. Di rumah Ki Biran,
salah seorang dari mereka menunggu.
Kini, malam merangkak semakin larut. Desa Jatianom telah terbuai dalam keheningan. Saat
ini, para penduduk seolah ingin melepas rasa penat dari ketertekanan yang diderita selama ini. Ketertekanan yang disebabkan
ulah sosok manusia
serakah. Penduduk Desa seperti merasa terlepas dari
belenggu mimpi buruk berkepanjangan. Betapa tidak" Sekian tahun darah dan air mata mereka seperti diperas. Dan kini setelah sang pemeras tewas, mereka ingin segera melupakannya. Mereka
bercita-cita ingin kembali membangun desa dari
kesengsaraan. Lepas dari penderitaan, membuat penduduk
merasa ingin beristirahat. Membangun mimpimimpi indah yang tak boleh diganggu gugat.
Hanya beberapa rumah saja yang penghuninya
masih belum terlelap. Sebagian membicarakan kejadian di rumah Ki Tambakyasa. Sebagian lagi
membicarakan para pemuda yang tewas mengerikan dengan tubuh mengeriput.
Memang, ada segelintir kengerian di hati
penduduk bila mengingat tewasnya beberapa pemuda desa. Tapi sejak Ki Biran menceritakan kalau desa ini tengah dijaga beberapa tokoh persilatan, rasa cemas itu cukup
terobati. Di rumah Ki Biran, Ki Kusumo menunggu
was-was. Saat ini, giliran Satria Gendeng yang tengah berkeliling desa. Tapi
sudah lebih dari sepeni-num teh, si pemuda bertabiat sinting itu belum ju-ga
kembali. Dicobanya untuk menenangkan hatinya sendiri. Dia tahu betul watak Satria. Dia percaya, Satria tidak sedang
bermain dalam tugasnya.
"Satria belum datang, Ki Kusumo?" Ki Biran tiba-tiba muncul dari dalam. Merampas
lamunan Ki Kusumo terhadap Satria.
Di sebelah Ki Kusumo, Ki Biran mengambil
tempat. Pantat keroposnya diletakkan perlahanlahan. Sejak bertemu Dongdongka kemarin, encoknya mendadak kumat. Selain karena terkejut,
juga karena takut yang melampaui batas.
"Belum, Ki Biran. Tapi aku yakin, Satria selalu patuh pada tugas yang kuberikan," sahut Ki Kusumo, berusaha menghibur
dirinya sendiri.
"Apa tidak sebaiknya disusul saja?" cetus Ki Biran. "Terlalu berbahaya, Ki.
Rumahmu terletak di tengah desa. Kalau ada kejadian, siapa yang
menjaga?" Ki Biran tak menjawab. Diakui kebenaran
kata-kata Ki Kusumo.
"Apa sebaiknya kita minta bantuan para
penduduk desa?" usulnya lagi.
"Jangan, Ki. Terlalu berbahaya. Dan lagi,
kasihan para penduduk. Mereka telah lelah setelah peristiwa kemarin. Biarkan
mereka istirahat dengan tenang," tolak Ki Kusumo lagi. Diseruputnya kopi yang
disediakan Ki Biran.
Ki Biran terdiam. Dia seolah kehabisan kata-kata untuk menghibur hati Ki Kusumo.
"Desa ini cukup luas. Apa mungkin pemuda
itu mampu berkeliling hanya dalam waktu sepeminum teh?" tanya Ki Biran, lugu.
Ki Kusumo tersenyum. Kelihatan terpaksa
senyumnya. Saat ini perasaannya benar-benar kisruh. Dia khawatir, Satria justru malah kepergok
Nini Berek. "Percaya sajalah pada anak muda itu, Ki Biran," sahut Ki Kusumo, yang sebenarnya untuk menghibur dirinya sendiri yang
dikepung kega-lauan. Kenapa Satria lama sekali" Tanyanya dalam
hati... * * * Justru pada saat yang sama, Satria Gendeng malah tengah celingukan. Sekelebatan tadi,
mata tajamnya menangkap sebuah bayangan kuning melesat di depannya. Ketika mengejar sampai
di ujung desa dekat persawahan, bayangan itu seperti menghilang begitu saja.
"Slompret! Hebat juga ilmu lari cepat bayangan kuning itu. Dan..., ufh! Kok tiba-tiba tercium bau busuk di tempat ini"!"
omel Satria, langsung menutup cuping hidungnya yang semula kembang
kempis. "Kau mencari siapa, Cah Bagus...."
Sebuah suara teguran cukup membuat Satria terjingkat. Bagai dedemit, tahu-tahu di belakangnya telah berdiri seorang
gadis cantik berpakaian kuning. Begitu ketat pakaiannya, seolah
hendak membanggakan lekuk-lekuk tubuhnya.
Satria berbalik. Mata sembilunya menyipit.
Kedua alisnya nyaris bertautan. Sementara, bau
busuk makin menerobos lubang hidungnya.
"Alahh..., jangan berpura-pura, Nini Berek!
Jangan berlindung di balik wajah cantikmu. Aku
tahu, siapa dirimu!" tembak Satria langsung. Pemuda ini memang telah diceritakan
oleh Ki Kusu- mo, bagaimana ciri-ciri Nini Berek bila sedang me-nyamar sebagai wanita cantik.
Termasuk, bau busuk yang menyengat hidung.
Terkejut Nini Berek. Tapi dia tak ingin menunjukkannya pada si pemuda. Namun dia cukup
heran, bagaimana si pemuda bisa tahu siapa dirinya yang sesungguhnya"
"Mau cari korban lagi, ya, Nenek Jelek" Pemuda bodoh mana yang mau kau kerjai. Aku yakin, pemuda yang kau kerjai bakal mati berdiri bila melihat tampang jelekmu!"
ledek Satria habis-habisan.
Setan buduk! Setan buntung! Siapa bocah
ini" Kenapa dia tahu tentang diriku" Sumpah serapah Nini Berek yang menjelma jadi gadis cantik
meluncur dalam hati.
"Siapa kau, Cah Bagus?" susulnya, penasaran. "Aku Satria," jawab si anak muda
perkasa. "Maksudku, julukanmu, tahu"!"
"Aku tak punya julukan."
"Tapi kau punya guru, bukan"!" pancing
Mini Berek. "Guruku Kakek Kusumo dan Kakek Dongdongka," jawab Satria, polos.
"Apa"!" lonjak Nini Berek. "Kau tuli, Nini Berek?" Pucuk dicintai ulam tiba!
Sorak hati Nini
Berek. Siapa pun yang ada hubungannya dengan
Dongdongka harus mampus. Bahkan bisa jadi, justru bocah ini yang membunuh suamiku, seperti
dugaan Mbakyu Rewang! Hmmm aku bisa menggunakannya sebagai tumbal terakhirku! Ya! Aku
harus secepatnya mengerahkan aji 'Pemikat Birahi'! Tapi diam-diam Nini Berek merasa harus
hati-hati, karena dia yakin pemuda ini berilmu
tinggi. Sebab, kalau benar kata Nini Rewang, pemuda itu saja telah mampu membunuh Ki Ageng
Wirakrama, suaminya. Jadi bukan mustahil kalau
kepandaian anak muda itu tak bisa dianggap remeh. "Hmm, jadi kau muridnya Dongdongka"
Bagus..., bagus. Nah, mulai sekarang kau patuhlah denganku. Apa kau tak tertarik dengan tubuh
menggiurkanku" Tataplah mataku. Ayo, pandanglah aku. Kau akan kuajak ke surga setelah ini,"
Nini Berek mendesah, mulai memasang perangkapnya. Aji 'Pemikat Birahi' pun dikerahkan.
Tanpa sadar, Satria menatap kedua mata
Nini Berek. Sementara, secara aneh bau busuk
berganti bau harum yang membuat pening kepala.
Namun baru beberapa kejapan mereka saling tatap.... "Aaah...!"
Bukan. Keluhan itu bukan keluar dari mulut Satria. Justru kini Nini Berek yang terlonjak mundur membawa suara keluhan.
Rupanya ketika menatap kedua biji mata si pemuda, justru Nini
Berek merasa bergetar.
Edan! Kadal buduk! Dari mana bocah sinting ini memiliki perbawa tinggi. Aku yakin, umurnya baru seujung upilku! Tapi kenapa pengaruhnya begitu menggetarkanku" Hmm, aku harus
meningkatkan aji 'Pemikat Birahi'-ku sampai setinggi mungkin! Sumpah serapah Nini Berek menyusul kemudian.
"Ayo, Cah Bagus. Apa aku kurang menarik
buatmu" Atau, karena aku masih berpakaian"
Baiklah.... Aku bisa membukanya satu persatu.
Lalu setelah itu, kau gendeng aku ke dangau itu.
Setuju?" rayu Nini Berek lagi. Perlahan, tangan ha-lusnya mulai mempreteli
pakaian yang dikenakan.
Sementara, aji 'Pemikat Birahi' makin ditingkatkan. Ajaib! Mendadak, pandangan mata Satria yang
semula penuh perbawa mulai surut, berganti tatapan kosong. Bahkan langkahnya mulai bergerak
mendekati Nini Berek!
"Ayo, pandanglah aku, Cah Bagus.... Pandanglah aku...." Dari balik kedua mata Nini Berek sebenarnya keluar sinar kasat
mata yang langsung
menembus alam pikiran Satria Gendeng.
Satria kini merasa berada di awang-awang
memabukkan. Alam bawah sadarnya berjalan kacau. Degup jantungnya jadi tak menentu. Tanpa
bisa dikendalikan, sukmanya seolah terseret ke
alam asing. Alam yang melenakan kelakilakiannya.... Bahaya besar mengancam si pemuda....
SEBELAS GUSTI Yang Maha Agung!" sentak Ki Kusumo, tiba-tiba. "Kenapa perasaanku makin tak enak saja" Jangan-jangan..., ah! Aku
harus menyusul Satria!" putusnya kemudian.
Tabib Sakti Pulau Dedemit beranjak dari
duduknya. Sekali genjot, tubuhnya sudah melesat
meninggalkan rumah Ki Biran. Ditinggalkan si
pemilik rumah yang telah tertidur pulas bersender di bangkunya. Kebluk juga,
dia! Tiba di luar, Ki Kusumo melesat ke atas
atap rumah penduduk. Dari situ tubuhnya berlompatan ringan. Dari satu rumah ke rumah lain.
Atau, dari satu pohon ke pohon yang lain. Cepat
gerakannya, sehingga yang terlihat hanya bayangan tubuhnya saja.
Mungkin karena mata batinnya sudah terlatih, entah mengapa lesatan tubuh Ki Kusumo menuju ujung desa tempat ketika dia menemukan
mayat seorang pemuda. Digenjotnya seluruh kekuatan ilmu lari cepatnya, sehingga tak sampai
dua puluh hitungan mata tuanya sudah dapat
menangkap suatu pemandangan menjijikkan....
* * * Satria telah benar-benar terbius akal pikirannya. Dibiarkannya saja tubuh telanjang Nini
Berek membekap dan menggerayangi tubuhnya.
Bahkan si pemuda perkasa mulai mendesahdesah, seolah tengah terengah-engah memacu kuda betina. "Bagus, Cah! Terus..., terus nikmati belaianku. Nikmatilah.... Sebentar lagi kita terbang ke awang-awang," desah Nini
Berek, makin liar memeluki tubuh kekar si pemuda.
Hingga tiba-tiba....
Satria Gendeng 18 Siluman Bukit Menjangan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Satria! Hentikan!"
Satu bentakan berisi tenaga dalam mengoyak udara. Menyentak alam pikiran waras si
pemuda. Membangkitkan alam bawah sadarnya
yang tiba-tiba terusir entah ke mana. Kesadaran si pemuda pun terbangkit.
Matanya saat itu juga
memerah, melotot di balik punggung Nini Berek.
"Teruskan, Sayang.... Sebentar lagi kita menuju surga...," rayu Nini Berek, seolah tak ingin terusik oleh bentakan barusan.
Justru tanpa diketahui si nenek jelek, di dalam diri si pemuda tengah bergolak sebuah kekuatan dahsyat. Sebuah kekuatan yang berasal dari
dasar amat dalam sekitar Lautan Hindia. Tanpa
sengaja, waktu dulu Satria menghisap suatu cairan berwarna kelabu, sewaktu bocah ini tergulung
dan terseret gelombang laut. (Baca episode : "Tabib Sakti Pulau Dedemit').
Kemarahan yang amat sangat begitu menyadari dirinya telah diperdayai Nini Berek membuat si pemuda ingin segera melampiaskannya.
Sementara gejolak kekuatan dahsyat dari dalam
tubuhnya makin menyentak-nyentak. Lalu....
"Khuaaa...!"
Satria melolong. Disentakkannya tubuh telanjang Nini Berek ke depan. Matanya mendelik.
Urat-urat di bola matanya memerah, seperti milik
banteng ketaton. Urat di lehernya mengembung.
Udara tergempur. Getarannya menghancur. Dedaunan runtuh. Gugur. Si nenek jelek yang tadi
tersentak pun melonjak. Dadanya bergetar mendengar lolongan mengerikan itu. Bahkan tiba-tiba
saja, asap putih menggulung tubuhnya. Begitu
asap menghilang, yang terlihat bukan lagi perawan cantik, tapi wujud perempuan
tua mengerikan.
Wujud Nini Berek yang sesungguhnya!
Nini Berek bermaksud hendak mendahului
menyerang Satria Gendeng. Tapi begitu hendak
bergerak.... "Oh, kenapa tubuhku mendadak lemas sekali" A..., aku seperti lumpuh.... A..., aku tak dapat menggerakkan tubuhku...,"
keluh Nini Berek, kalut bukan main. "Ja..., jangan-jangan.... Bocah ini anak
angkat Gusti Ratu Selatan...."
Sebelum kata-kata Nini Berek habis....
Glaarrr...! Kilat mendadak menyambar, membelah
angkasa. Tahu-tahu, gerombolan awan hitam telah
mengepung langit. Cuaca berubah mendadak. Angin ganas pun mendengus-dengus, siap melabrak
apa saja yang dilewati.
Di tempatnya. Nini Berek malah menggigil
ketakutan. Pancaran wajahnya kini tak lagi mengerikan seperti tadi, tapi memelas. Dan tepat keti-ka hujan rintik-rintik mulai
turun, lima buah
bayangan berbentuk gadis-gadis jelita turun dari
langit. "Berek.... Kau telah melanggar aturan Kerajaan Laut Selatan. Pemuda yang hendak kau gauli
adalah anak angkat Ratu Laut Selatan. Dulu, pemuda itu telah meminum air susu Ratu Laut Selatan yang dimuntahkan bayinya sewaktu ada badai
di Laut Selatan. Dan Ratu Laut Selatan lantas
memutuskan bahwa barang siapa yang meminum
air susu itu, dia akan diangkat menjadi anak oleh Gusti Ratu. Kau pun telah tahu
aturan itu, Berek.... Tapi, tetap saja kau langgar...."
Suara mirip desahan itu makin menyiutkan
nyali Nini Berek. Suara yang berasal dari utusan
Laut Selatan. "Ampuni aku, Punggawa.... Sungguh aku
tak tahu.,.," ratap Nini Berek.
"Maaf, Nini Berek. Kalau saja hatimu tidak
buta, kalau saja hatimu tak tersaput dendam....
kau pun bisa merasakan getaran-getaran aneh di
tubuh pemuda itu. Tapi kau terlalu rakus...."
"Oh, sekali lagi ampuni aku.... Aku tak mau
dipenjara seumur hidup.... Aku..., oohh...."
Tatapan Nini Berek terputus saat itu juga.
Tahu-tahu saja, tubuhnya telah terangkat naik, ditarik kekuatan kasat mata para
gadis yang berbentuk bayang-bayang di angkasa.
"Kami tahu, kau pun bekerja sama dengan
Nini Rewang.... Jadi kami juga akan menjemputnya...," sambung para utusan Laut Selatan.
Tepat ketika bayang-bayang utusan Ratu
Laut Selatan itu pergi membawa Nini Berek, hujan
deras mengguyur bumi. Satria sendiri masih terpaku tak percaya. Semula dia hendak melampiaskan kemarahannya. Tapi keterpanaannya seolah menyingkirkan niatnya.
"Satria...!" sebuah suara halus menyentak lamunan si pemuda.
Satria menoleh. Senyum cerah langsung
terkembang di bibirnya.
"Kakek Kusumo.... Terima kasih, kau telah
menyadarkan aku dari pengaruh sihir perempuan
bejad tadi...," ucap Satria.
Memang, Ki Kusumo tadi yang telah menyadarkan Satria dari pengaruh aji 'Pemikat Birahi' Nini Berek dengan bentakan tenaga dalamnya.
Dan Satria wajib berterima kasih. Tanpa lelaki tua ini, bisa jadi pemuda hijau
itu akan tinggal nama saja....
* * * Glaarr...! Glarrr...!
"Aaa...."
Dari kejauhan, samar-samar Ki Kusumo
dan Satria mendengar ledakan dahsyat yang ditingkahi jeritan panjang. Entah mengapa, kepala
mereka sama-sama memandang ke arah Bukit
Menjangan di kejauhan yang puncaknya telah terkepung awan hitam.
Sebentar-sebentar, lidah-lidah petir menyambar puncak bukit itu. Alam seolah murka pada para penghuni Bukit Menjangan....
Timbul keyakinan di hati Satria maupun Ki
Kusumo. Seperti kata utusan Laut Selatan tadi,
mereka memang akan menjemput Nini Rewang.
Bersama Nini Berek, perempuan siluman guru dari
Nini Jonggrang itu dipenjarakan di dasar Laut Selatan.... Bisa jadi begitu.
Bisa jadi, mereka tak akan kembali lagi.
Bisa jadi tak akan ada yang dapat membangkitkan Ki Ageng Wirakrama.
Bisa jadi teriakan tadi adalah jeritan Nini
Rewang" Atau, jeritan Ki Ageng Wirakrama di alam
kubur. Sekali lagi, bisa jadi.
SELESAI Segera terbit; PERTUNANGAN BERDARAH
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com/
DuniaAbuKeisel Kisah Para Naga Di Pusaran Badai 2 13 Pendekar Gila 19 Murka Sang Iblis Gerombolan Samurai Hitam 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama