Ceritasilat Novel Online

Darah Pendekar 19

Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo Bagian 19 dunia. Sejak kecil kami berdua, saya dan adik Bwee Hong, dira-wat dan dididik oleh beliau, diaku anak sendiri. Di waktu beliau hendak meninggal dunia, barulah beliau memberi tahu bahwa kami berdua sebenar-nya she Chu dan terhitung cucu keponakan beliau karena mendiang ibu kami adalah keponakan be-liau." "She Chu ?" Tiba - tiba Kwee Tiong Li bertanya. "Saudara Seng Kun, kalau boleh aku bertanya, siapakah nama ayah kandungmu yang she Chu itu ?" Tentu saja Tiong Li bertanya de-mikian karena pada waktu itu, she Chu hanya di-miliki oleh keluarga dekat dari kaisar saja, seperti juga gurunya yang pertama, yaitu pemberontak Chu Siang Yu yang masih keturunan Jenderal Chu yang terkenal berdarah keluarga kaisar pula. Sebenarnya Seng Kun tidak suka memperke-nalkan ayah kandungnya karena dia tidak ingin diketahui bahwa dia masih berdarah bangsawan istana. Akan tetapi mengingat bahwa dua orang itu adalah penolongnya, maka terpaksa dia meng-aku juga, "Ayah kandungku bernama Chu Sin, akan tetapi sekarang telah berganti nama menjadi Bu Hong Tojin." "Aihhh ! Sungguh luar biasa! Pangeran Chu Sin yang kini menjadi kepala kuil di istana " Kiranya engkau masih sanak keluarga atau sedarah dengan bengcu (pemimpin) Chu Siang Yu !" teriak Tiong Li gembira. "Siancai ! Dan akupun sudah mendengar akan kehebatan Pangeran Chu Sin yang menentang istana. Ah, anak baik, tidak tahukah engkau de-ngan siapa engkau berhadapan " Bu Kek Siang itu adalah muridku, murid keponakan. Ayahnya, men- Darah 24 41 diang Bu Cian adalah twa-suhengku ." Seng Kun memandang terbelalak, kemudian menjatuhkan diri berlutut. "Teecu sudah merasa heran ketika susiok-couw tadi menyadarkan nelayan dengan cubitan "ning" dari perguruan teecu. Kiranya susiok-couw adalah kalau teecu tiKANG ZUSI website http://kangzusi.com/ dak salah, kakek Kam Song Ki yang mulia!" "Ha-ha-ha, kiranya orang sendiri malah. Dan engkau tahu, dia ini, Kwee Tiong Li, adalah mu- ridku dan tadinya menjadi murid dan pembantu utama dari pemberontak Chu Siang Yu yang masih sanakmu juga. Ha-ha, dunia ini sungguh tidak berapa luas!" Tentu saja Seng Kun merasa girang dan kakek itupun kini makin bersemangat untuk mencari dan menolong Bwee Hong yang ternyata adalah cucu muridnya sendiri. Perahu didayung lebih cepat lagi untuk menuju ke dusun Kini - le, di mana mereka harapkan akan dapat menyusul dua orang iblis yang melarikan Bwee Hong itu. ** * Setelah menguburkan mayat wanita yang te-lah menyelamatkan mereka, Liu Pang dan Pek Lian lalu melanjutkan perjalanan mereka dengan hati - hati. Mereka tidak ingin bertemu dengan musuh yang kini dibantu oleh para datuk sesat. Agar dapat melakukan perjalanan yang aman dan tersembunyi, mereka menyeberangi padang rumput. yang luas dan setelah fajar menyingsing tiba- lah mereka di sebuah lembah bukit. Tiba-tiba, di pagi hari itu, mereka mendengar suara terom-pet bersahut - sahutan. Tentu ada perkemahan tentara, pikir Liu Pang yang tidak asing dengan suara terompet seperti itu. Mereka berdua lalu mendaki puncak bukit dan meneliti ke bawah. Si nar matahari pagi memandikan bagian bawah bu-kit menjadi keemasan dan indah sekali. Akan te-tapi sinar mata kedua orang itu sama sekali tidak dapat merasakan keindahannya karena pandang mata mereka sibuk mencari - cari dan akhirnya mereka menemukan apa yang dicari oleh pandang mata mereka. Ratusan buah, bahkan ribuan ke-mah bertebaran di balik bukit. Liu Pang memin- cingkan mata dan berseru gembira, "Ah, itu ada-lah pasukan kita !" Tentu saja Pek Lian juga merasa gembira se-kali. Dari bendera yang berkibar di puncak tenda iapun dapat mengenal tanda - tanda dari pasukan mereka sendiri. Mereka lalu cepat menuruni bu-kit dan berlari-lari menuju ke perkemahan itu. Ketika mereka tiba di luar hutan kecil yang se-olah-olah menjadi pintu gerbang perkemahan itu, tiba - tiba puluhan batang anak panah menyambar seperti hujan ke arah mereka. Guru dan murid ini cepat mengelak dan mencabut pedang untuk me-lindungi tubuh dari sambaran anak panah. Lalu bermunculan belasan orang bersenjata yang segera mengeroyok guru dan murid itu. Liu Pang dari Pek Lian tidak sempat menerangkan siapa keadaan mereka, dan mereka berduapun tahu bahwa para pengeroyok yang terdiri dari pasukan peronda ini adalah perajurit - perajurit baru yang menggabung selagi mereka berdua pergi sehingga tidak menge-nal mereka. "Berhenti!" Tiba - tiba terdengar bentakan menggeledek dan muncullah seorang perwira muda yang berwajah tampan dan gagah. Para pengero-yok terkejut, membuka jalan dan memberi hormat kepada pemuda itu. Di belakang pemuda tampan ini berjalan seorang pemuda lain yang berpakaian serba putih sederhana. "Liu - bengcu ! Nona Ho !" Pemuda tampan itu berseru. Dia Yap Kim, putera Yaplojin, pemuda yang bengal itu. Kemudian dia tertawa ber-gelak. "Ha-ha-ha, harap bengcu maafkan, mereka ini adalah bekas pasukan pemerintah yang dibawa oleh Gui - ciangkun yang bergabung de-ngan kita." Liu Pang mengangguk - angguk dan tersenyum. "Pantas, mereka sangat tangkas !" Para perajurit terkejut setengah mati ketika mendengar bahwa dua orang yang mereka keroyok tadi bukan lain adalah Liu - bengcu, pemimpin be-sar mereka, dan nona Ho yang namanya sudah a-mat terkenal di antara para anggauta pejuang pen-dekar itu ! Mereka segera minta maaf, dan dengan besar hati Liu Pang berkata, "Mengapa minta ma-af " Tindakan kalian tadi sungguh mengagumkan dan memang demikianlah seharusnya sikap pasu-kan peronda. Kalau kalian tidak menyerang kami, mungkin aku malah akan menegur kalian !" Pasu-kan itu tentu saja merasa girang karena setelah menyerang pemimpin besar itu, mereka tidak mendapat marah, malah menerima pujian! Kedatangan Liu Pang dan Pek Lian disambut dengan amat gembira oleh para pimpinan pasukan. Mereka sudah merasa khawatir sekali akan lenyap-nya pemimpin besar itu. Dan kini tahu - tahu mun-cul bersama Pek Lian yang dalam keadaan sela-mat pula. Mereka semua berkumpul dan memberi laporan kepada pemimpin besar mereka. Ternyata gerakan mereka seperti yang sudah mereka renca-nakan ketika menghadapi pasukan besar Lai-goanswe itu berhasil dengan KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ baik sesuai dengan siasat mereka. Kota kecil berhasil diduduki dan pasukan besar Jenderal Lai dihadang oleh pasukan inti dari Liu Pang yang dipimpin oleh para pende-kar Thian - kiam - pang. Pasukan Lai - goanswe dapat dipukul kocar - kacir, sebagian melarikan diri, dan sebagian malah menakluk dan kini menggabung dengan para pemberontak. "Bagus !" Liu Pang merasa girang sekali. Bi-arpun dia sendiri nyaris menjadi korban akan teta-pi ternyata gerakan pasukannya berhasil dan hal inilah yang terpenting baginya. Sekarang di manakah adanya Lai - goanswe ?" tanyanya dengan girang. Yap Kim menghela napas panjang. "Itulah, twako!" keluhnya. Semua pimpinan pasukan para pendekar itu kadang - kadang menyebut twako kepada Liu Pang. "Itulah sebabnya mengapa para peronda tadi langsung menyerang twako dan nona Ho tanpa bertanya lagi. Malam tadi muncul dua orang sakti yang memliebaskan Lai - goanswe. Aku dan kakakku Kiong Lee melakukan pengejaran, akan tetapi terpaksa kami melepaskan mereka. Aku sendiri tidak dapat melawan mereka dan kakakku sungkan untuk melawan mereka " "Maafkan saya, Liu - bengcu. Mereka adalah sahabat - sahabat kami sendiri. Antara perguruan kami dan perguruan mereka terjalin persahabatan yang erat. Guru saya dan ketua mereka adalah sa-habat lama." Kiong Lee menyambung penuturan adiknya dan sikapnya menjadi sungkan sekali. "Heran, siapakah mereka ?" Liu Pang bertanya. "Mereka adalah dua orang berjubah coklat dari Liong - i - pang." Mendengar bahwa dua orang penculik tawanan itu adalah orang-orang Perkumpulan Jubah Naga, Liu Pang dan Pek Lian saling pandang. "Ah, mereka !" Liu Pang dan muridnya telah melihat kedua orang itu ketika mereka mengintai perte-muan para tokoh kaum sesat dan mendengar bah-wa kedua orang itu hendak pergi ke benteng. Kiranya mereka itu pergi ke perkemahan ini dan menculik tawanan yang cukup penting! Lai- goan-swe adalah tangan kanan Jenderal Beng Tian. Jadi, membebaskan Panglima Lai itukah tugas yang mereka dapat dari guru mereka seperti yang telah didengarnya bersama Pek Lian ketika dua orang berjubah naga itu saling bercakap - cakap " Atau-kah suatu tugas yang lain lagi " Akan tetapi urusan itu segera dikesampingkan dan Liu Pang lalu mengajak para pembantunya berunding. Para pimpinan itu berniat untuk meng-gempur kota di sebelah depan, akan tetapi Liu Pang menentang keinginan mereka. "Jangan ke-rahkan semua tenaga ke sana. Biarlah sepasukan kecil saja mengacau di situ. Kita perlu menggerakkan seluruh kekuatan kita menuju ke kota raja. jangan sampai kita kedahuluan oleh pasukan pem-berontak Chu Siang Yu." Liu Pang lalu mencerita-kan pengalamannya ketika dia melihat para tokoh sesat yang kini dipergunakan pula oleh para pem-berontak. Maka diaturlah siasat mereka dan pembagian kerja. Hek - coa Ouw Kui Lam, satu satunya di antara Huang - ho Su - hiap yang masih hidup, ju-ga pernah menjadi guru Pek Lian, menerima tugas memimpin seribu orang pasukan untuk menggem-pur dan mengacau kota di sebelah depan. Hal ini juga amat penting untuk menutupi gerakan mereka yang sebenarnya, yaitu gerakan ke utara, menuju kota raja. Pasukan mereka amat besar kini, setelah banyak petani dan pasukan pasukan pemerintah yang kalah datang menggabungkan diri. Sampai laksaan orang. Pasukan besar ini terpaksa harus dibagi-bagi menjadi beberapa kelompok. Kelom-pok terkuat berada di depan dan dipimpin oleh Liu Pang sendiri, dibantu oleh para pendekar Thian-kiam - pang. Ho Pek Lian memimpin pasukan per-bekalan, dibantu oleh para pendekar yang lain dan di belakang sekali terdapat sebuah pasukan lain yang menjadi penjaga bagian belakang agar ja-ngan sampai terjadi pembokongan dari pihak mu-suh. Yap Kiong Lee, pendekar yang dianggap pa-ling lihai di antara mereka semua, bertugas seba-gai penghubung antar pasukan - pasukan itu. KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ Pagi-pagi sekali, pasukan-pasukan inipun bergerak setelah pasukan yang dipimpin Hek - coa Ouw Kui Lam mulai melakukan penyerangan ke-pada kota di depan. Sehari penuh pasukan - pasu- kan itu bergerak dan di waktu matahari terbenam tibalah mereka di suatu lembah yang dikelilingi bukit-bukit. Mereka lalu berkemah dan Liu Pang sendiri menempati sebuah bekas pesanggrahan yang terdapat di tempat itu. Kota besar Pao-keng yang menjadi kota benteng penting untuk kota raja, terletak hanya belasan li di sebelah depan, di balik bukit. Setelah mereka berhasil menguasai kota Pao - keng, maka mereka akan berhadapan dengan benteng kota raja sendiri! Maka, Liu Pang lalu memilih tempat ini sebagai pusat atau benteng in-duk. Malam itu amatlah sunyi. Pasukan yang sudah sehari penuh melakukan perialanan yang cukup melelahkan memanfaatkan waktu itu untuk beristi-rahat. Akan tetapi mereka tidak lepas dari kewas-padaan. Setiap kemah diiaga dengan ketat dan bergilir. Liu Pang sendiri bersama Yap Kiong Lee nampak meronda mengelilingi perkemahah. Hal ini membesarkan semangat Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo para perajurit dan seti-ap peronda yang bertemu dengan pemimpin besar ini tentu memberi hormat dengan tegapnya. Di perkemahan para pemimpin terjadi kete-gangan sedikit ketika nampak seorang pejuang atau pendekar ditegur oleh peronda karena me-masuki daerah penjagaan mereka. Orang itu ber- tubuh gendut agak pendek, kepalanya yang botak gundul ditutupi sebuah kopyah warna hitam. Su-kar ditaksir usianya karena malam itu gelap, akan tetapi dari sinar api unggun di luar kemah dapat diketahui bahwa dia bukanlah muda lagi. "Siapa engkau berani memasuki tempat ini tanpa ijin !" bentak peronda dan enam orang pen-jaga sudah menghampirinya. "Hemm, apakah kalian tidak melihat bendera pengenalku ini ?" Orang itu mengacungkan sebu-ah bendera kecil, tanda bahwa dia adalah seorang utusan dari pasukan perbekalan yang dipimpin oleh nona Ho Pek Lian. "Aku diutus untuk meng-hadap Panglima Yap Kim." "Engkau juga anggauta barisan kita, tentu engkau sudah tahu akan peraturannya! Untuk menghadap Panglima Yap Kim, harus menanti dan kami akan membuat laporan dulu. Bukannya berindapindap seperti maling begitu!" kepala jaga membentak marah. Mendengar ini, sepasang mata itu melotot dan mukanya berobah gelap mengerikan. Kemudian orang pendek gendut itu tersenyum menyeringai, lalu menggerakkan kedua tangan ke depan seperti orang menghormat. "Aku salah aku salah maafkanlah!" Setelah berkata demikian, diapun membalikkan tubuhnya dan pergi. Akan tetapi, pada saat itu, terjadilah kegem-paran di antara para penjaga. Seorang demi seorang menjerit dan roboh, tubuh mereka kejang-kejang dan mata mereka mendelik, mulut berbuih dan kulit tubuh mereka, terutama di bagian muka nampak kehijauan. Tentu saja jeritan- jeritan mereka menarik perhatian. Semua orang keluar dan dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka ke-tika melihat enam orang penjaga itu tewas tak la-ma kemudian, tewas dalam keadaan mengerikan karena muka mereka berobah hijau. Tentu saja suasana menjadi gempar dan orang- orang mulai mencari - cari orang pendek gendut tadi. Sementara itu, si pendek gendut memperguna-kan kesempatan selagi keadaan kacau untuk menyelinap mendekati perkemahan terbesar. Dengan gerakan yang amat gesit dia berhasil menyelinap masuk. Akan tetapi ketika dia tiba di sebuah ru-angan, mendadak muncul Pek Lian yang juga su-dah mendengar akan adanya keributan itu. Si gendut tidak sempat bersembunyi lagi dan perjum-paan itu tidak dapat dihindarkan. "Kau ! Si Kelabang Hijau! Awas ! Siapppp , ada pengacau di sini!" Pek Lian berteriak-teriak setelah mengenal si pendek gen-dut itu yang bukan lain adalah Thian - te Tok - ong atau Ceng-ya-kang, Si Kelabang Hijau yang me-rupakan tokoh ke lima dari Tujuh Iblis Ban - kwi-to! Pek Lian tahu bahwa dalam hal ilmu silat, memang tokoh ini tidak sangat lihai, akan tetapi Raja Racun ini sungguh amat berbahaya dengan racun - racunnya. KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ Ketika banyak penjaga menyerbu ke situ, Pek Lian cepat berseru, "Awias, dia membawa racun-racun berbahaya. Jangan dekati dia!" Akan tetapi banyak di antara para penjaga yang marah - marah karena mendengar bahwa orang ini sudah membunuh enam orang penjaga, tidak perduli dan mereka sudah menerjang dengan senjata mereka. Akan tetapi, iblis gendut itu me-niupkan sesuatu ke arah mereka dan orang-orang itupun berjatuhan dan kejang - kejang keracunan ! "Iblis busuk !" Pek Lian membentak dan me-nyerang dengan pedangnya. Ia berhatihati ma- 50 ka ketika si gendut meniupkan racun ke arahnya, Pek Lian dapat meloncat ke samping, mengelak sambil menggerakkan pedangnya menyerang dari samping. Karena ilmu pedang nona Ho Pek Lian cukup berbahaya, tokoh ke tujuh Pulau Ban - kwi-to itupun tidak berani lengah dan cepat dia meng-elak mundur. Pek Lian merasa sukar untuk dapat menangkap atau merobohkan tokoh ini. Pertama, bagaimanapun juga, tingkat kepandaiannya sudah kalah, apa lagi ditambah dengan kehebatan kakek itu dalam menggunakan racun, membuat ia tidak berani terlalu mendekatinya. Tiba - tiba ter-dengar bentakan nyaring dan muncullah Yap Kim. "Engkau !" bentak Yap Kim melihat bekas sahabatnya itu. "Keparat, apakah engkau mau membiusku lagi ?" Melihat pemuda tampan ini, wajah yang me-nyeramkan itu berseri, akan tetapi agaknya ben- takan Yap Kim membuat alisnya berkerut dan ha-tinya tertusuk. "Aih, adikku yang baik, janganlah berkata kasar begitu. Telah lama aku mencarimu, mari engkau ikut pergi bersamaku." Suaranya ha-lus dan penuh bujukan. Pada saat itu, Liu Pang dan para pendekar lain sudah pula berada di situ dan Yap Kim yang sudah marah sekali, kini me-nubruk maju dan menyerang dengan pedangnya. Sepasang pedangnya berkelebatan menjadi dua gulung sinar dan pemuda itu telah mainkan sepasang pedangnya dengan Ilmu Pedang Langit yang amat ampuh dari perguruannya. Menghadapi serangan Yap Kim, Si Kelabang Hijau terdesak. Dia merasa sayang kepada Yap Kim, maka masih merasa ragu - ragu untuk men-celakai pemuda itu. Melihat lawan terdesak, de- ngan kemunculan Yap Kim, hati Pek Lian menjadi besar dan dengan penuh semangat, gadis inipun maju membantu Yap Kim. Pemuda ini terkejut se-kali dan cepat mencegah. "Nona, jangan dekat " Akan tetapi terlambat sudah. Nampak asap mengepul dan Pek Lian mengeluh. Tahu tahu tubuhnya sudah disambar oleh Si Kelabang Hijau. Dalam keadaan pingsan, nona itu berada dalam kekuasaan si gendut pendek yang mengangkatnya tinggi - tinggi di atas kepala. "Ha - ha, majulah kalian dan nona ini akan ku-bunuh lebih dulu !" Melihat ini, Yap Kim menjadi pucat dan tidak berani bergerak. Suasana menjadi tegang. "Tahan, jangan menyerangnya !" Tiba - tiba Liu Pang mem-bentak keras melarang para penjaga yang marah dan hendak menyerang orang itu. "Ha - ha, itu baru baik. Nah, Kim - te, ayo eng-kau ikut bersamaku, kalau tidak, nona ini akan ku-bunuh di depanmu !" Yap Kim ragu - ragu. Liu Pang juga menjadi tak berdaya dan serba salah. Tiba tiba Yap Kim mendengar bisikan suara kakaknya, mengiang di dekat telinganya, "Kim - sute, turuti kemauannya dan bawalah dia lewat mayat - mayat di luar itu. Aku akan menolong." Singkat saja pesan itu akan tetapi Yap Kim mengerti sudah. Sambil tersenyum pahit seperti orang yang tidak berdaya lagi diapun menyimpan sepasang pedangnya. "Tidak ada pilihan lain bagiku kecuali menuruti kehendakmu, Tok - ong. A-kan tetapi, awas, kalau engkau mengganggu nona itu aku bersumpah untuk membunuhmu!" Dia sengaja bersikap keras agar lawan tidak curiga akan adanya siasat kakaknya, dan juga untuk mem-beri kesempatan kepada kakaknya melakukan sia-sat yang belum dia ketahui bagaimana itu. "Heh-heh, baiklah, adikku yang ganteng. Ma-ri, engkau membuka jalan, aku tidak mau kalau ada kecurangan." KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ Yap Kim lalu melangkah keluar, memperlihat-kan sikap ragu - ragu dan bingung. Seperti taripa disengaja, dia berjalan melalui mayat-mayat para penjaga yang tadi roboh dan tewas menjadi korban keganasan racun Si Kelabang Hijau. Ratusan pe-rajurit berbaris di kanan kiri, siap dengan senjata mereka. Akan tetapi Liu Pang selalu menahan mereka agar jangan turun tangan. Semua orang ber-gerak memberi jalan ketika Yap Kim dan Si Kela-bang Hijau yang masih memondong tubuh Pek Lian yang pingsan itu lewat. Diam - diam tokoh 55 ke lima Ban - kwi - to itu bergidik juga ketika me-lewati barisan perajurit yang semua memandang kepadanya penuh kebencian itu. Yap Kim kini melalui depan pos penjagaan di mana terdapat mayat-mayat malang melintang, yaitu mayat para penjaga yang tadi dibunuh oleh Si Kelabang Hijau. Tokoh sesat ini, sambil me- mondong tubuh Pek Lian, mengikuti langkah-langkah Yap Kim, melangkahi mayatmayat itu sambil menyeringai dan memandang ke arah para perajurit -ang berdiri di kanan kiri. "Heh - heh, kaliaa lihat mereka ini! Jangan memaksa aku membunuh lagi. Begitu ada yang bergerak melawanku, aku akan membuang racunracun yang akan membunuh seluruh pasukan yang berada di sini. Yang tidak langsung mati akan tersiksa, tubuhnya akan ditumbuhi jamur-jamur menular yang tidak dapat diobati dan nyerinya bukan main, heh - heh - heh. Dan dia akan mati perlahan - lahan aduhhh !!" Ketika sambil mengejek tadi Si Kelabang Hi-jau melangkahi sesosok mayat lainnya, tiba-tiba "mayat" itu menggerakkan tangan dan iblis itu-pun terjungkal dan tubuhnya lemas karena terto- tok, sedangkan tubuh Pek Lian sudah pindah ke tangan "mayat" itu yang bukan lain adalah Yap Kiong Lee! Kiranya pendekar ini merebahkan diri di antara mayat-mayat itu dan ketika Yap Kim mengenal suhengnya yang rebah miring, segera dia tahu siasat apa yang dijalankan kakaknya itu, ma-ka diapun lalu melangkahi tubuh kakaknya. Melihat iblis itu terjungkal dan Pek Lian sudah diselamatkan, para perajurit bersorak dan mereka itu langsung saja menggerakkan senjata untuk melumatkan tubuh iblis itu. Tiba - tiba, membuat semua orang terkejut sekali, terdengar suara melengking tinggi disusul bentakan, "Tahan ! Jangan serang dia !!!" Tentu saja semua orang, termasuk Yap Kim dan Liu Pang yang sudah mengejar ke situ, terkejut dan heran mendengar bahwa Yap Kiong Lee yang membentak melarang semua orang membunuh Si Kelabang Hijau. "Suheng, iblis ini layak mampus !" Yap Kim sendiri sampai menegur suhengnya atau ka-kak angkatnya itu. Akan tetapi Kiong Lee tidak menjawab, mela-inkan melangkah mendekati Si Kelabang Hijau sehingga timbul dugaan di hati semua orang bahwa pemuda ini hendak membunuh iblis itu dengan ta-ngannya sendiri maka mencegah orang lain mem-bunuhnya. Akan tetapi Kiong Lee hanya memben-tak, "Iblis keji, hayo serahkan obat penawar ra-cunmu untuk nona Ho !" Barulah semua orang tahu dan Liu Pang cepat memandang ke arah wajah Pek Lian yang berada di pondongan pemuda murid pertama dari Thian kiam - pang itu. Kiranya wajah itu pucat kehijauan Darah 24 57 KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ seperti wajah mayat! Terkejutlah dia dan seperti juga Yap Kim, kini dia mengerti mengapa tadi Kiong Lee melarang iblis itu dibunuh. Tentu ka-rena satu - satunya orang yang dapat menolong nyawa Pek Lian hanya ibhs itu sendiri! Dugaan Liu Pang dan Yap Kim memang tepat. Begitu merampas tubuh Pek Lian dari tangan Si Kelabang Hijau, Kiong Lee merasa sesuatu yang tidak wajar pada diri gadis itu. Cepat dia meme-riksa dan tahulah dia bahwa iblis itu telah mera-cuni Pek Lian ! Sungguh licik dan keji sekali iblis itu, lebih dahulu menciptakan perisai atau sema-cam sandera agar dia tidak sampai dicelakai lawan. Maka Kiong Lee lalu melarang iblis itu diserang. Si Kelabang Hijau tak mampu bergerak. Hebat sekali totokan jago muda Thian kiam - pang itu. Akan tetapi dia masih mampu menggerakkan ma-ta dan mulutnya untuk bicara. "Heh - heh - heh, satu nyawa ditukar satu nya-wa, itu sudah adil namanya. Bunuhlah aku, dan aku akan pergi berdua bersama nona manis itu ke alam baka. Betapa Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo menggembirakan! Mungkin dia akan menjadi pelayanku di sana, tidak ada yang melindunginya seperti di sini, heh- heh-heh !" Tentu saja Kiong Lee dan semua orang marah sekali. Kalau mungkin, mereka tentu takkan se-gan untuk mencincang hancur tubuh ibhs itu. A-kan tetapi Kiong Lee menahan kemarahannya. "Keluarkanlah obat penawarnya dan kami akan membebaskanmu." "Heh - heh, bagaimana aku dapat memperca-yaimu ?" "Iblis busuk! Aku adalah seorang pendekar, bukan seorang penjahat macam engkau!" Kiong Lee membentak. Pemuda yang pendiam ini marah juga mendengar kata - kata yang menghina itu. "Uhhh, siapa percaya ucapan pendekar ?" Kiong Lee sadar bahwa iblis ini sengaja mem-bakar hatinya, maka diapun menjadi tenang kem-bali. Menghadapi iblis Ban - kwi - to harus tenang dan tidak boleh menuruti perasaan marah. "Lalu apa kehendakmu " Nona Ho terancam maut, akan tetapi engkaupun tak mungkin dapat terlepas dari ancaman maut." "Hanya ada satu orang yang kupercaya janji-nya, dia adalah Liu - bengcu. Biarkan dia yang berjanji bertukar nyawa, dan aku akan percaya." Liu Pang melangkah maju. Menghadapi orang jahat seperti itu, yang amat keji, haruslah tegas. "Baiklah, aku berjanji akan membebaskanmu ka-lau engkau memberikan obat penawar racun untuk nona Ho Pek Lian." "Bagus ! Nah, bebaskan aku." Terpaksa Kiong Lee membebaskan totokannya dan siap untuk menghantam kalau kalau iblis itu melakukan kecurangan. Akan tetapi, setelah kini tidak ada sandera di tangannya, Si Kelabang Hijau 58 59 juga tidak terlalu bodoh untuk menggunakan keke-rasan. Sambil menyeringai dia mengeluarkan se-bungkus obat seperti gajih, lalu mengoleskan obat itu pada leher Pek Lian di mana terdapat luka ke-cil berwarna hijau gelap bekas tusukan jarumnya. "Minumkan pel ini padanya," katanya menyerah-kan tiga butir obat pel berwarna merah kepada Kiong Lee. Dengan bantuan Yap Kim, Kiong Lee lalu me-maksakan tiga butir pel itu memasuki perut Pek Lian. Tak lama kemudian, gadis itu mengeluh dan membuka matanya, warna hijau pada kulit muka-nyapun meluntur dan akhirnya hilang. Begitu sadar dan melihat Si Kelabang Hijau, Pek Lian men-cabut pedangnya yang tadi terlepas dan sudah di-sarungkan kembali oleh Yap Kim. Akan tetapi Liu Pang meipegang lengannya, kemudian pemim-pin ini memberi perintah kepada para pembantu-nya. "Biarkan dia pergi!" KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ Semua orang mengepal tinju dan menggigit gigi saking gemasnya melihat betapa iblis itu dibi-arkan pergi. Iblis itu telah membunuh banyak pe-rajurit dan sekarang terpaksa dibiarkan pergi be-gitu saja! Sebaliknya, sambil menyeringai dan ter-tawa ha - ha - hi - hi Si Kelabang Hijau yang mera-sa kecewa sekali karena tidak berhasil membawa pergi Yap Kim, bahkan mengalami kekalahan, me-mandang kepada mereka semua dan berkata meng-ancam, "Awas kalian semua! Beberapa hari lagi akan kuhancurkan kalian dengan pasukan kami yang tidak kalah banyaknya dengan pasukan ka-lian !" Diapun pergi tanpa diganggu karena tidak ada yang berani melanggar janji sang pemimpin. Setelah iblis itu pergi, Liu Pang memerintahkan agar mayat para perajurit diurus baik - baik dan agar penjagaan dilakukan lebih ketat lagi. Kemu-dian dia mengajak semua pembantunya masuk ke-mah dan berunding. Liu Pang mengerutkan alisnya, nampak khawa-tir. "Ancaman iblis tadi bukanlah gertak sambal belaka. Aku sudah melihat sendiri betapa para iblis Ban - kwi - to telah bersekutu dengan pem be-rontak dan pasukan asing. Hanya belum kita keta-hui berapa besarnya kekuatan mereka dan di mana mereka bersarang. Untuk mengetahui keadaan mereka ini amatlah penting, maka biarlah besok aku akan pergi lagi bersama nona Ho untuk melakukan penyelidikan." Para pembantunya menyatakan tidak setuju dan kekhawatiran mereka kalau kembali pemimpin mereka akan pergi sendiri melakukan penyelidikan. Akan tetapi pemimpin besar itu membantah. "Pe-nyelidikan ini merupakan suatu tindakan perju-angan yang amat penting, maka harus aku sendiri yang pergi. Sementara itu, sebagai wakil yang menggantikan aku memimpin barisan kita, kuse-rahkan kepada saudara muda Yap Kim." Semua pemimpin menyambut gemibira karena mereka sudah mengenal kegagahan pemuda ini. Akan tetapi Yap Kim sendiri menjadi gugup dan wajahnya berobah, tangannya digoyang - goyang menolak. "Aih, Liu - twako, mana saya berani me-nerima tugas yang demikian amat pentingnya " Saya saya masih terlalu muda, saya tidak berani menerimanya " "Saya kira, kedudukan wakil bengcu itu dapat diserahkan kepada saudara Yap Kiong Lee yang memiliki kepandaian paling tinggi di antara kita, dan dibantu oleh saudara Yap Kim " kata Pek Lian. "Aih, mana aku berani menerimanya ?" Yap Kiong Lee juga menol ***[All2Txt: Unregistered Filter ONLY Convert Part Of File! Read Help To Know How To Register.]*** a Kim yang menerimanya karena diapun telah menjadi seorang di antara para pejuang, bahkan sudah mengenakan pakaian seragam perwira. Bi-arlah saya membantu dari belakang saja, sebagai orang luar yang menaruh perasaan kagum terhadap perjuangan ini. Akan tetapi, kalau saya harus langsung memimpin pasukan melawan kaisar, sungguh sama artinya dengan saya menentang su-hu dan subo yang melindungi kaisar." Akhirnya Yap Kim menerima pula kedudukan wakil bengcu itu dan pada keesokan harinya pagi - pagi buta, Liu Pang dan Pek Lian berangkat melakukan perjalanan mereka untuk menyelidiki keadaan musuh. Liu Pang menyamar sebagai seorang dusun pencari kayu sedangkan Pek Lian juga mengena- kan pakaian sederhana seorang gadis dusun de-ngan bertopi lebar dan kulit mukanya yang pu-tih mulus itu dilumuri warna kecoklatan sehingga kecantikannya tidak lagi menyolok. Sambil me-mikul kayu kering, berangkatlah Liu Pang bersa-ma muridnya yang dalam penyamaran itu diaku sebagai anaknya. "Suhu, kita menuju ke manakah ?" tanya Pek Lilan setelah mereka keluar dari dalam hutan yang menjadi pintu masuk benteng mereka itu. "Pasukan musuh itu hanya berselisih setengah malam saja dengan barisan kita, dan mereka juga menuju ke arah barat laut. Tentu mereka menuju ke kota raja. Kita harus berjalan menuju ke barat, tentu akan bertemu dengan barisan mereka." KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ Mereka melakukan perjalanan cepat menuju ke barat. Akan tetapi setelah lewat setengah hari dan matahari sudah naik tinggi di atas kepala mereka, 62 63 belum juga mereka bertemu dengan barisan mu-suh. Mereka melihat suasana panik dan kacau su-dah melanda kota - kota dan dusun - dusun yang mereka lalui. Berita tentang kemungkinan pecah-nya perang sudah sampai di daerah dekat kota ra-ja dan banyak penduduk yang merasa resah dan siap - siap mengemasi barang agar memudahkan mereka kalau sewaktu - waktu harus lari mengung-si. Karena merasa lapar dan perlu beristirahat, Liu Pang dan Pek Lian lalu memasuki sebuah kedai makan di sebuah kota kecil. Baru saja mereka ma-kan, datang empat orang laki - laki berpakaian pemburu dan wajah serta tubuh mereka nampak lesu dan lelah. Pemilik kedai makanan menyam-but mereka yang agaknya sudah menjadi langga-nan lama. (Bersambung jilid ke XXV.) xx - ? DARAH PENDEKAR " - xx Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo JILID XXV * * * "MANA hasil buruan kalian " Apakah sudah habis terjual semua " Aih, agaknya kalian lupa untuk menyisihkan daging kijang untukku !" katanya ramah. Seorang di antara mereka yang pipinya codet bekas terluka kuku harimau, mengeluh dan men-jawab, "Ah, A - kiu, engkau tidak tahu betapa si-alnya kami! Sebetulnya kami telah memperoleh hasil buruan yang lumayan juga. Akan tetapi ke-marin sore kami bertemu dengan pasukan tentara yang banyak sekali dan mereka itu dikawlal orang-orang yang memiliki ilmu seperti iblis. Hasil buru-an kami dirampas semua, bahkan nyaris kami dibu-nuh kalau kami tidak cepat - cepat melarikan diri." "Tapi tapi kalian adalah orang - orang gagah " Pemilik warung itu merasa penasaran. "Hemm, apa daya kami melawan pasukan be-sar" Apa lagi mereka dikawal oleh orangorang kang - ouw yang menyeramkan. Bayangkan saja, seorang di antara mereka yang seperti raksasa ma-kan seekor anak harimau hidup - hidup !" 3 "Hidup - hidup ?" Mata pemilik warung terbe-lalak. "Ya, induk harimau kami robohkan dan tewas, anaknya masih hidup kami tangkap. Ketika dirampas oleh mereka raksasa itu langsung menerkam anak harimau dan tanpa membunuhnya lebih dulu, tanpa memanggang dagingnya, begitu saja leher anak harimau itu digigit dan darahnya dihisap." "Hiiihhh !" Pemilik kedai itu bergidik dan nampak ketakutan, lalu mengundurkan diri untuk mempersiapkan hidangan bagi empat orang lang-ganannya. Tentu saja Liu Pang dan Pek Lian yang mendengarkan semua itu merasa tertarik dan juga girang. Besar kemungkinan yang diceritakan mereka itu adalah pasukan musuh yang mereka se-dang kejar dan cari. KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ "Ah, keamanan terancam oleh perang " Liu Pang mendekati mereka dan berkata. "Kami orang - orang dusun sungguh merasa bingung harus mengungsi ke mana. Kalau boleh saya bertanya, di manakah saudara sekalian bertemu dengan pa-sukan itu ?" Dengan gaya bahasa dusun, Liu Pang dapat mengelabuhi empat orang pemburu itu yang agaknya masih merasa tegang sehingga mereka suka sekali menceritakan pengalaman hebat yang baru saja mereka temui itu. Dengan pancingan-pancingan yang tidak kentara, akhirnya Liu Pang dapat mengumpulkan keterangan bahwa pasukan itu adalah pasukan besar yang mengawal iring-iringan kereta para pembesar beserta keluarganya, dan bahwa di antara para pemimpinnya terdapat orang-orang kang-ouw yang menyeramkan. Dari keterangan mereka, Liu Pang dapat mengetahui bahwa semua tokoh Ban - kwi - to telah lengkap bersama pasukan musuh itu. Dengan aksi seolah - olah ketakutan dan hen-dak cepat pulang untuk mempersiapkan keluarga-nya mengungsi, Liu Pang mengajak Pek Lian me-ninggalkan kedai dan kota kecil itu. "Wah, sungguh berbahaya ! Semua tokoh Ban-kwi - to agaknya sudah lengkap berkumpul dan membantu pasukan musuh. Belum lagi tokoh-to-koh sesat yang lain dan belum kita ketahui. Mari kita cepat menyusul dan menyelidiki keadaan mereka." Akan tetapi, ketika mereka tiba di tepi kota, mereka melihat dua orang laki laki tua berjubah coklat sedang berjalan dengan cepat. Melihat mereka, Liu Pang berbisik kepada muridnya, "Lihat, orang - orang Liong - i - pang itu lagi! Mau apa mereka " Dan di mana Lai - goanswe yang mereka culik ?" Guru dan murid ini cepat membayangi mereka yang berjalan cepat keluar kota. Baiknya mereka mengjambil jalan di sepanjang jalan umum yang cukup ramai sehingga Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo perbuatan guru dan murid itu tidak menarik perhatian. Pek Lian yang pernah bentrok dengan kedua orang kakek Liong - i - parig itu, membenamkan topinya lebih dalam untuk me-nyembunyikan mukanya. Dua orang berjubah naga itu menuju ke sebuah kedai arak yang berdiri terpencil sendirian di se-buah tikungan jalan. Di sinilah para pedagang, pe-rantau, dan mereka yang kebetulan lewat di jalan raya ini, melepaskan lelah dan makan minum. Me-lihat warung arak ini, Pek Lian terkejut. "Suhu, teecu pernah melihat tempat ini." Ia lalu mence-ritakan betapa ia pernah bersama Seng Kun dan Bwee Hong dalam perjalanan mencari ayahnya dahulu itu, sampai di warung ini. Di sinilah ia berjumpa dengan A - hai yang menjadi tukang pengantar arak dan kusir gerobak arak. Di tempat ini pula muncul tokoh - tokoh sesat anak buah Raja Kelelawar, yaitu San hek - houw dan Si Buaya Sakti yang kemudian menawan Seng Kun dan A-hai. Liu Pang berbisik kepada muridnya agar ber-hati - hati. Setelah dia meneliti penyamaran murid-nya dan merasa yakin bahwa penyamaran itu cu-kup sempurna, mereka berdua lalu memasuki wa-rung itu pula, memilih tempat di sudut sebelah dalam. Matahari mulai condong ke barat dan wa-jah mereka tertutup bayangan dinding, akan tetapi dari tempat itu mereka dapat melihat dua orang Liong -i-pang itu dengan jelas Dua orang Liong-i-pang itu duduk di kursi agak luar dan tak lama kemudian, selagi mereka berdua minum, datanglah seorang pemuda yang memakai jubah hijau. Pemuda itu disambut oleh kedua orang Liong - i - pang, duduk semeja dan mengeluarkan sehelai surat untuk diserahkan ke- pada dua orang itu. Tiba - tiba nampak, bayangan orang berkelebat cepat dan tahu-tahu seorang wanita cantik telah menerjang ke arah kakek jubah coklat yang tinggi besar dan yang sedang membaca surat. Penye-rangan itu dibarengi bantuan dua orang lain yang juga menyerang si pemegang surat sedangkan wa-nita cantik itu memukul tangan yang memegang surat untuk merampas surat itu. Hebat dan cepat sekali gerakan wanita cantik itu bersama dua orang kawannya, akan tetapi kakek jubah naga itu lebih hebat lagi. Dia memang terkejut diserang tiba-tiba, akan tetapi sambil membentak keras, kedua tangannya bergerak dan tubuhnya bangkit berdiri. Sekaligus dia menangkis dan akibatnya, wanita cantik itu bersama dua orang kawannya terdorong sampai terjengkang dan terhuyung! Akan tetapi, surat yang dipegang oleh kakek jubah naga itu ter-lepas dan terdorong oleh angin pukulan mereka yang berkelahi, surat itu terbang ke dekat meja di mana Liu Pang dan Pek Lian duduk. Dua orang kakek Liong - i - pang itu memang lihai bukan main. Padahal, dengan kaget sekali KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ Pek Lian mengenal bahwa wanita cantik itu adalah Pek-pi Siauw-kwi Si Maling Cantik, tokoh sesat yang amat lihai itu! Dan empat orang temannya juga kesemuanya memiliki gerakan yang lihai tan-da bahwa mereka bukan orang - orang sembarang-an. Namun, mereka berlima itu kewalahan meng-hadapi dua orang kakek Liong - i - pang. Bahkan, kakek Liong - i - pang yang tinggi besar, yang di-kenal oleh Pek Lian sebagai Bhong Kim Cu yang pernah menyerbu ke rumah keluarga Bu Kek Siang, dengan tendangannya membuat Maling Cantik kembali terhuyung. Ketika itu, Maling Can-tik hendak menubruk surat yang terlepas tadi, akan tetapi ia terhuyung oleh tendangan dan kakek Bhong Kim Cu kini telah menyambar kembali su-rat yang tadi terlepas dan memasukkannya ke da-lam saku jubahnya. Melihat betapa ia dan kawan-kawannya ke-walahan, Si Maling Cantik lalu mengeluarkan sua- ra tinggi melengking, lalu bersama empat orang kawannya iapun meloncat keluar warung melari- kan diri. Dua orang kakek jubah coklat tidak me-ngejar, melainkan cepat membayar harga minum- an dan meninggalkan tempat itu pula. Tinggal Liu Pang dan Pek Lian yang masih duduk di situ. Warung itu sudah sepi karena per- kelahian tadi membuat semiua tamu lari cerai-be-rai ketakutan. "Tadi aku sempat membaca bebera-pa huruf di surat itu. Sayang aku tidak dapat merampasnya. Aku membaca beberapa huruf yang penting, yaitu kata - kata "kaisar", "pemberontak-an", dan "Pesanggrahan Hutan Cemara". Huruf-huruf itu dapat memberi petunjuk. Tentu ada hu-bungannya dengan kaisar, juga dengan pemberon-takan." "Dan apa artinya Pesanggrahan Hutan Cemara itu, suhu ?" Pek Lian bertanya. "Aku sedang memikirkan itu ah, sekarang aku ingat., Tak jauh dari sini, di puncak bukit ter-dapat sebuah hutan cemara dan memang di situ terdapat sebuah pesanggrahan milik kaisar yang di-pergunakan untuk beristirahat di waktu berburu di hutan - hutan liar di balik bukit. Tentu ada apa-apa di sana. Mari kita ke sana !" Mereka lalu membayar harga minuman dan me-ninggalkan pemilik kedai yang mengomel panjang pendek karena perkelahian itu amat merugikannya. Banyak tamu yang lari tanpa lebih dulu memba-yar harga makanan dan minuman, juga ada bebe-rapa buah bangku dan meja yang rusak, belum la-gi perabot - perabot makan yang pecah - pecah. Hutan cemara itu memang merupakan tempat indah dan tidak mengherankan apa bila kaisar me-merintahkan pembangunan sebuah pesanggrahan di tempat ini. Hutan itu cukup luas dan di tengah-tengah hutan, dikurung pohon - pohon cemara, ter-dapat sebuah danau. Pesanggrahan yang merupa-kan bangunan indah itu berdiri di tepi danau, agak 8 Darah 25 9 ke tengah sehingga sebagian besar bangunan itu dikelilingi danau. Air danau yang jernih meman-tulkan bayangan pesanggrahan, mendatangkan pe-mandangan yang amat indah. Liu Pang dan Pek Lian tiba di hutan itu men-jelang tengah malam. Dengan hatihati sekali mereka memasuki hutan. Ketika mereka menye-linap di antara pohon-pohon cemara memasuki hutan hendak menuju ke bangunan pesanggrahan di tepi danau, tiba-tiba mereka mendengar suara orang berkelahi dan dengan berindap - indap merekapun menuju ke arah suara itu. Setelah mereka dapat mendekati tempat per-kelahian itu, di bawah sinar bulan mereka dapat mengenal tiga orang yang sedang berkelahi itu. Kiranya pemuda Tai - bong pai, yaitu Song - bun-kwi Kwa Sun Tek, putera ketua Tai - bong-pai yang lihai dan yang bersekongkol dengan orang-orang asing dan para pembesar yang mengkhianati pemerintah, kini sedang bertanding dikeroyok dua oleh orang - orang berjubah biru dan rambutnya riap - riapan. Di situ berdiri pula empat orang ber-jubah hijau menonton perkelahian. KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ Kini nampak betapa Kwa Sun Tek Si Setan Berkabung itu mengeluarkan ilmu silatnya yang aneh, yaitu Ilmu Silat Pukulan Mayat Hidup dan seorang di antara kedua pengeroyoknya yang me- nangkis pukulan itu, terjengkang! Seperti lengan mayat yang kaku, Kwa Sun Tek mencengkeram ke depan, ke arah orang ke dua yang mengeroyoknya sambil membalikkan tubuh. Orang inipun me-nangkis dengan tangan kirinya. "Plakk!" Dan tubuh orang inipun terpelanting. Akan tetapi, kedua orang jubah biru itupun lihai sekali. Mereka sudah mampu berloncatan bangun kembali dan dibantu oleh empat orang kawan mereka yang berjubah hijau, mereka maju lagi. Kwa Sun Tek dikeroyok enam orang yang lihai. Namun, pemuda tampan berwajah dingin menyeramkan se-perti wajah mayat ini tidak gentar dan gerakan-gerakannya yang aneh membuat enam orang pe-ngeroyoknya bahkan kewalahan. Akan tetapi, se-orang di antara dua kakek berjubah biru kini mengeluarkan suitan - suitan nyaring, agaknya untuk memanggil teman - temannya. Melihat ini, Kwa Sun Tek terkejut sekali. Ta-dinya dia sedang melakukan penyelidikan ke dae-rah yang akan dilewati barisannya. Tak disangka-nya di situ bertemu dengan orang - orang Liong - i-pang yang lihai dan agaknya banyak anggauta Liong - i - pang berada di situ. Untung dia hanya bertemu yang berjubah hijau dan biru saja, yang tingkatnya masih belum tinggi. Kalau berjumpa dengan yang tingkatnya lebih tinggi, tentu dia ce-laka. Berpikir demikian, Kwu Sun Tek berkelebat pergi melarikan diri dari tempat itu. Liu Pang yang mengintai merasa bimbang. Ingin dia membayangi pemuda Tai - bong pai itu, akan tetapi diapun ingin sekali menyelidiki apa yang dilakukan oleh perkumpulan Liong - i - pang maka mereka berkumpul di tempat ini. Dia meng-ambil keputusan untuk menyelidiki tempat itu. A-pa lagi, pemuda Tai-bong-pai itu lihai sekali. Kalau dia bersama muridnya melakukan pengejar-an dan membayanginya, hal itu amatlah berbaha-ya. Dia harus menyelidiki barisan itu dengan cara yang lebih aman dan bersembunyi. Setelah Kwa Sun Tek pergi, seorang di antara dua kakek berjubah biru itu berkata kepada te-man - temannya, "Orang itu lihai sekali. Seorang yang berkepandaian tinggi telah menemukan tem-pat ini. Mungkin dia tadi seorang di antara kaki tangan Perdana Menteri Li Su dan sekutunya. Si-apa tahu kalau orang tadi diutus untuk mencari Tong - taihiap. Kita harus cepat memberi laporan ke dalam. Hayo !" Enam orang itu lalu memasuki hutan. Liu Pang memberi tanda kepada muridnya dan merekapun cepat membayangi. Bulan kadang - kadang tertu-tup awan sehingga memudahkan guru dan murid ini melakukan pengintaian tanpa diketahui enam orang itu. Akan tetapi, ketika enam orang itu me masuki bangunan pesanggrahan, Liu Pang tidak berani mengambil jalan dari pintu depan. Dia mengajak muridnya untuk mengambil jalan dari belakang, melalui air danau dan mereka berenang di antara pohon - pohon teratai yang rimbun. Karena permukaan air itu cukup gelap, dengan agak menjauh dari gurunya, Pek Lian berani berenang dengan telanjang bulat, membawa pakaiannya di atas kepala. Juga Liu Pang yang berenang lebih dahulu, melepaskan pakaiannya. Setelah tiba di bagian belakang bangunan, barulah mereka menge-nakan pakaian mereka. Mereka bergantung pada tiang-tiang bangunan dan menanti dengan hati-hati sekali. Dalam keadaan seperti ini, Pek Lian termenung. Banyak sudah yang aneh - aneh dialaminya se-menjak ayahnya ditawan, semenjak di istana terjadi kekacauan. Kini hidupnya sebatangkara dan sete-lah kini berdekatan dengan gurunya, baru terasa olehnya bahwa di dalam diri gurunya ini dia me-nemukan pengganti segala galanya. Pengganti orang tua, juga pengganti guru - gurunya yang ke-banyakan telah gugur dalam perjuangan, penggan-ti sahabat - sahabatnya yang kini berpisah darinya. Kalau dia teringat kepada A - hai, jantungnya ma-sih berdebar keras. Entah bagaimana, di. dalam hatinya terdapat suatu perasaan yang aneh terha-dap pemuda yang aneh itu. Akan tetapi, iapun harus mengakui bahwa gurunya ini juga mendapat-kan tempat yang istimewa dalam hatinya! Liu Pang yang usianya belum ada empatpuluh tahun mi juga hidup sendirian. Isterinya gugur dalam perjuangan pula dan belum mempunyai anak. Dan iapun dapat merasakan sesuatu yang aneh dalam pandangan Liu Pang terhadap dirinya, walaupun ia tidak berani memastikan apakah gurunya itu KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ ja-tuh cinta kepadanya, seperti juga ia sendiri tidak tahu apakah ia mencinta A - hai, ataukah mencinta Liu Pang, bahkan ia tidak tahu pasti apakah ada orang yang dicintanya ! Tiba-tiba gurunya memberi isyarat. Mereka ta-di duduk di tiang melintang di permukaan air. Ada suara di sebelah kiri dan suhunya kini sudah me-manjat tiang bangunan yang terendam air. Iapun mengikuti jejak gurunya, memanjat tiang ke dua. Setelah tiba di atas, kini mereka dapat mengintai ke dalam, juga suara mereka yang sedang berca-kap - cakap di dalam itu terdengar cukup jelas. Mereka berdua mengenal suara Tong Ciak yang berjuluk Pek - lui kong itu. Si Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo pendek cebol yang amat lihai dan menjadi jagoan istana itu. Liu Pang dan Pek lian mengintai dan Pek Lian merasa jantungnya seperti hendak copot saking kagetnya. Pek - lui kong Tong Ciak yang lihai itu ternyata sedang bercakap - cakap dengan seorang kakek be-rambut putih yang amat dikenalnya dan kakek ini bahkan lebih sakti dibandingkan dengan Tong Ciak. Kakek itu berpakaian serba putih sederhana dan dia bukan lain adalah Yap Cu Kiat atau Yap-lojin, ketua Thian - kiam - pang, ayah kandung Yap Kim dan ayah angkat Yap Kiong Lee ! Untunglah bahwa air danau itu mengeluarkan bunyi. Riak air itulah yang menyelamatkan guru dan murid itu sehingga kemunculan mereka tidak didengar oleh dua orang sakti yang berada di dalam pesanggrah-an. Si Malaikat Halilintar Tong Ciak tidak mema-kai pakaian seragam, melainkan memakai pakaian biasa dan sebuah topi caping lebar. Kiranya dia sedang menyamar. Sikapnya amat menghormat terhadap Yap - lojin dan suaranya seperti orang melapor kepada atasannya ketika dia berkata, "Locianpwe, ternyata bahwa kaisar telah benar-benar dibunuh oleh mereka. Persekutuan pengkhi-anat itu telah menyewa orang-orang dari golong-an hitam untuk menjatuhkan sri baginda kaisar. Kaisar telah dibunuh oleh mereka di pantai timur. Rencana ini sebenarnya telah diketahui Sang Pu-teri Siang Houw Nio - nio, dan beliau telah meng-utus saya ke tempat itu. Namun, kedatangan saya terlambat. Kaisar telah mereka bunuh dan saya hanya mampu merebut dan melarikan jenazah sri baginda saja." Yap - lojin mengangguk - angguk dan menarik napas panjang. "Kelemahan sri baginda sendirilah yang menciptakan munculnya pengkhianat - peng-khianat." Sementara itu, Liu Pang merasakan tu-buhnya menggigil. Kaisar telah dibunuh oleh pa-ra pengkhianat itu! Betapapun juga, dia masih mempunyai perasaan setia kepada kaisar dan men-dengar nasib kaisar itu, tanpa disadarinya, kedua matanya menjadi basah. Kaisar dibunuh orang dan jenazahnya sampai dibuat rebutan ! 16 "Saya berhasil menyembunyikan jenazah itu dan membawanya sampai ke sini, locianpwe. Sung-guh bukan sebuah pekerjaan yang mudah! Peng-khianat - pengkhianat itu mengerahkan tokoh - to-koh sesat untuk merebut kembali jenazah kaisar. San - hek - houw dan Si Buaya Sakti yang lihai itu selalu membayangi saya. Mereka ingin merebut jenazah karena mereka membutuhkannya untuk menjadi bukti kematian sri baginda. Tanpa adanya bukti jenazah tak mungkin mereka dapat mengang-kat kaisar baru menurut pilihan mereka. Demikian sukarnya saya melarikan jenazah sri baginda se hingga terpaksa saya sembunyikan ke dalam pedati ikan asin." Yap - lojin mengangguk - angguk. "Sungguh bu-ruk sekali nasib sri baginda. Akan tetapi engkau bertindak benar, demi tugasmu. Perdana Menteri Li Su dan kawan - kawannya memang berusaha mati - matian untuk merebut kekuasaan. Mereka telah berhasil menyingkirkan pangeran mahkota. Bahkan Jenderal Beng Tian juga mereka singkir-kan bersama sang pangeran, juga para pembesar yang jujur. Mereka sudah mencalonkan pula pa-ngeran pilihan mereka sendiri untuk diangkat men-jadi kaisar, tentu saja pangeran yang dapat menja-di boneka mereka. Mereka ingin menggantikan kaisar secepat mungkin sebelum pangeran mahkota dan Jenderal Beng Tian kembali dari perang di perbatasan." 17 Liu Pang termangu - mangui mendengarkan itu semua. Kaisar telah dibunuh. Keadaan di istana dalam kemelut. Pangeran mahkota disingkirkan. Mereka saling memperebutkan kekuasaan, tanpa mengetahui banwa kini pasukan - pasukan pembe-rontak dari daerah bersama pasukan asing sudah mendekati kota raja dan siap menyerbu dan me-nguasai kota raja! Kemudian terdengar suara kakek itu, halus peKANG ZUSI website http://kangzusi.com/ nuh keharuan, "Tong - ciangkun, setelah sri baginda kaisar wafat, perlukah beliau disiksa lagi dengan membiarkan jenazahnya membusuk" Apakah tidak lebih baik kalau kita membakar saja jenazah itu ?" ' "Saya sudah memikirkan hal itu, akan tetapi sungguh sayang bahwa hal itu tidak mungkin dapat kita lakukan, locianpwe. Para sesepuh dan yang berwenang di istana tidak akan dapat meng-angkat kaisar baru kalau kaisar lama belum wafat dan sebagai buktinya tentu harus ada jenazah be-liau. Kalau kita bakar jenazah itu, nanti apa bila putera mahkota pulang, tentu akan terdapat kesu-karan dalam mengangkatnya sebagai kaisar baru. Bukti berupa abu tentu kurang meyakinkan, apa lagi kalau diingat bahwa terdapat banyak pihak yang menghendaki diangkatnya pangeran yang ja-hat itu!" "Benar pula apa yang kaukatakan, Tong-ciang-kun." ''Selain itu, sri baginda kaisar sendiri selama hi-dupnya sangat mendambakan agar hidupnya lang-geng. Beliau pergi ke mana-mana, kadang-ka-dang sendirian saja, hanya karena ingin mencari ilmu hidup abadi. Beliau pernah berkata kepada saya bahwa beliau tidak menginginkan badannya rusak sampai akhir jaman." Yap - lojin mengangguk - angguk dan menarik napas panjang. "Akupun sudah mendengar akan hal itu. Beliau terlalu dipengaruhi oleh pelajaran Agama To, akan tetapi secara keliru sehingga be-liau menghendaki hal yang aneh - aneh. Itulah se-babnya beliau suka mengembara seorang diri, ke tempat - tempat sepi, ke gunung - gunung tanpa pengawal sehingga kesukaan beliau itu kini diman-faatkan oleh pengkhianat Li Su untuk mengha-dang dan membunuhnya." "Masih untung saya berhasil mengamankan je-nazahnya sehingga niat busuk mereka itu gagal."Pada saat itu terdengar bunyi langkah orang dan muncullah enam orang murid Liong - i - pang di ambang pintu. Ketika dua orang berjubah co-klat itu memandang ke dalam ruangan dan melihat Yap-lojin, mereka terkejut sekali dan seperti orang bingung. "Ahhh maaf kami ...........kami tidak tahu bahwa Yap - locianpwe berada di sini " kata Bhong Kim Cu dengan gugup sambil membe-ri hormat, diturut oleh para sutenya pula yang kesemuanya memandang dengan alis berkerut tanda bahwa hati mereka tidak senang. "Hemm, Bhong Kim Cu, apa artinya kemuncul-anmu yang tiba-tiba ini bersama saudara- sauda-ramu, dan apa artinya sikapmu yang gugup ini ?" Yap-lojin yang mengenal baik murid- murid sa-habatnya itu menegur. Bhong Kim Cu menjawab dengan hati-hati, "Yap - locianpwe, kami berenam menerima tugas dari suhu agar turut melindungi jenazah sri bagin-da kaisar. Suhu mendengar desas - desus bahwa Raja Kelelawar sendiri akan keluar membantu-anak buahnya mencari dan merampas jenazah itu." "Hemm, begitukah " Dan di mana adanya su-humu sekarang ?" "Suhu juga sedang berkeliling untuk mencari Raja Kelelawar dan menghadapinya!" "Bhong Kim Cu, apa lagi yang hendak kausam-paikan kepadaku" Bicaralah!" tanya pula Yap- lojin melihat betapa pandang mata tokoh Liong-i - pang itu masih membayangkan keraguan dan kebingungan. Bhong Kim Cu cepat menjura dengan hormat. "Saya sendiri merasa bingung dan hanya karena perintah suhu maka saya berani menyampaikan hal ini kepada locianpwe. Saya dan sute ini menerima tugas untuk menyelamatkan Jenderal Lai dari ta-wanan kaum pemberontak Liu Pang dan keti-ka kami melaksanakan tugas itu, kami melihat hal yang amat mengejutkan hati, yaitu bahwa ke-dua putera locianpwe, saudara Yap Kiong Lee dan Yap Kim, berada bersama para pemberontak itu, bahkan mereka telah membantu pasukan pembe-rontak Liu Pang." "Hemm !" Wajah kakek itu berobah merah dan juga berduka, sedangkan si cebol Tong Ciak tidak berani mengangkat mata memandang, maklum betapa terpukulnya hati ketua Thiankiam - pang itu ketika mendengar berita ini. Dia KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ sendiri tidak merasa heran karena mendengar betapa para pendekar banyak yang membantu gerakan Liu Pang. Dan para murid Thian - kiam - pang memang sejak dahulu menganggap diri mereka sebagai pendekar. Sejenak suasana menjadi sunyi, seolah - olah mereka semua tenggelam dalam lamunan masing - masing. Kembali terdengar langkah - langkah kaki dan kini muncul dua orang gadis cantik yang segera menjatuhkan diri berlutut di depan Yap - lojin. Melihat dua orang gadis ini, hampir saja Pek Lian berseru memanggil. Mereka adalah Pek In dan Ang In, dua orang murid dan juga pengawal pribadi Siang Houw Nio - nio yang sudah dikenal-nya dengan baik itu. Akan tetapi teringat bahwa ia sedang mengintai bersama gurunya, Liu Pang, yang merupakan pemimpin pergerakan para pen-dekar, tentu saja ia menahan diri dan sama sekali tidak berani mengeluarkan suara. "Suhu, teecu berdua diutus oleh subo untuk menjemput suhu. Ini surat dari subo yang harus teecu haturkan kepada suhu." Pek In mengeluar-kan sepucuk surat yang diberikannya kepada Yap-lojin. Dengan sikap tenang, walaupun hatinya masih terpukul oleh berita tentang kedua orang putera-nya tadi, Yap - lojin menerima dan membuka surat dari isterinya yang lalu dibacanya itu. Isi surat itu menyatakan bahwa pasukan yang dipimpin oleh Jenderal Beng Tian dan putera mahkota, menga-lami gempuran - gempuran musuh dari luar dan ki-ni mengundurkan diri sudah mendekati kota raja. Juga barisan pemberontak Chu Siang Yu yang makin kuat itu makin mendekati kota raja. Karena itu Yap - lojin diminta datang oleh bekas isterinya itu untuk berunding dan membantunya ikut memikirkan keadaan kota raja yang semakin gawat. Sejenak Yap - lojin termangu - mangu, lalu menarik napas panjang, terdengar dia mengeluh duka. "Ahhh, agaknya Thian telah menentukan semuanya, agaknya saat-saat terakhir dari Dinasti Cin Si Hongte sudah berada di ambang pintu " Kalau orang lain yang berani mengeluarkan ucapan seperti ini tentu akan dianggap pemberon-tak dan mungkin ditangkap, akan tetapi karena yang mengucapkan adalah Yap - lojin dan semua orang tahu bahwa kakek ini benar-benar berdu-ka, maka mereka semua kelihatan prihatin dan su-asana menjadi sunyi. Hati siapa yang tidak akan menjadi prihatin memikirkan keadaan kerajaan di saat itu " Kaisar telah tewas dalam keadaan amat menyedihkan. Semua pejabat yang setia, seperti Jenderal Beng Tian, putera mahkota, Siang Houw Nio nio, Tong Ciak, dan juga mereka yang ber-pihak kerajaan menentang para pemberontak se-perti Yap - lojin dan Liong - i - pang, agaknya kini tidak akan dapat berbuat apapun untuk menyelamatkan istana dan kerajaan. Mereka harus meng-hadapi dua pemberontakan yang kuat, yaitu pemberontakan barisan Chu Siang Yu dan juga barisan Liu Pang. Padahal di dalam tubuh pemerintah sendiri muncul sekelompok musuh dalam selimut di bawjah pimpinan Perdana Menteri Li Su, pange-ran ke dua, dan kepala thaikam Chao Kao. Peng-khianat - pengkhianat ini bahkan tidak segan - se-gan untuk menarik golongan hitam untuk memban-tu mereka. "Yap - locianpwe," kata Bhong Kim Cu si jubah coklat, "pada saat ini, barisan besar Liu Pang juga sudah tiba di daerah kota raja. Negara kita benar-benar terjepit, sedangkan para pejabat di istana yang gila kekuasaan hanya saling memperebutkan kekuasaan." Yap-lojin menghela napas dan si pendek Tong Ciak mengerutkan alisnya sambil mengepal tinju! Yap - lojin lalu bangkit dan berkata kepada jagoan cebol itu, "Sayang aku tidak dapat ikut menjaga jenazah sri baginda. Aku harus kembali ke kota raja sekarang juga." Yap - lojin lalu pergi dikawal oleh dua orang gadis cantik. Mereka pergi dengan cepat. Bhong Kim Cu lalu berkata kepada Tong Ciak, Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Tong - ciangkun, tadi dua orang sute berjubah biru dan empat orang sute berjubah hijau telah KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ memergoki seorang mata - mata yang sangat lihai. Sayang bahwa mereka tidak berhasil membekuknya. Aku khawatir bahwa tempat ini sudah diketahui pihak musuh " Tiba - tiba dia menghentikan bicaranya karena Tong Ciak sudah meloncat keluar, diikuti oleh pa-ra murid Liong - i - pang. Sementara itu, Liu Pang yang tadinya mendengar semua percakapan yang amat penting, tiba - tiba dikejutkan oleh suara air bergelombang. Dia bersama Pek Lian cepat me-rosot dan bersembunyi di bawah bangunan yang gelap. Kiranya yang muncul adalah Si Buaya Sak-ti, Sin - go Mo Kai Ci bersama belasan orang anak buahnya yang semua mengambil jalan air. Mereka tadi mendekati bangunan itu dengan jalan menye-lam dan barisan katak ini sekarang bermunculan lalu berloncatan ke atas bangunan dengan sigapnya. Tak lama kemudian, bangunan itu dibakar dan ter-jadilah pertempuran antara para penyerbu dan Tong Ciak yang dibantu oleh murid - murid Liong-i - pang. Terdengar auman - auman harimau dan muncullah San - hek - houw bersama anak buahnya, juga Si Maling Cantik, si jai - hwa - cat Jai-hwa Toat - beng - kwi, dan yang lain - lain. Terjadilah perkelahian yang amat hebat. Di antara berkobarnya api yang membakar pesanggrahan, mereka berkelahi. "Tahan mereka !" Pek-lui-kong Tong Ciak berbisik kepada Bhong Kim Cu. "Aku akan menyelamatkan !" Dia tidak berani melanjutkan, akan tetapi murid Liong-i-pang itu sudah mengerti. Tentu si cebol itu akan menyelamatkan jenazah sri baginda. Maka, kini Bhong Kim Cu dan sutenya yang juga berjubah co-klat, dibantu oleh dua orang berjubah biru dan empat orang berjubah hijau, mengamuk dan me-nahan serbuan para pengeroyok yang jumlahnya banyak itu. Tong Ciak sendiri cepat menyelinap dan me-nyusup ke hutan lebat di sebelah utara danau. Di sanalah dia menyembunyikan pedatinya dan peti mati kaisar berada di dalam pedati, dicampur de-ngan keranjang - keranjang ikan asin. Bulan ber-sinar cukup terang dan dari jauh dia melihat pe-datinya masih berdiri dengan selamat. Dengan ha-ti girang Tong Ciak lalu berlari cepat, akan tetapi ketika dia tiba di dekat pedati, tiba - tiba terdengar suara ketawa mendengus. Dia terkejut dan cepat menoleh. Ternyata di situ telah berdiri seorang laki - laki tinggi kurus memakai pakaian dan jubah serba hitam, mukanya seperti mayat akan tetapi matanya mencorong mengerikan. Jantung di da- 24 Darah 25 lam dada jagoan istana cebol itu berdebar tegang. "Raja Kelelawar !" bentaknya. "Ha - ha - ha, cebol sombong engkau mengan-tarkan nyawa !" Biarpun sudah mendengar akan kelihaian iblis ini namun Tong Ciak tidak gentar. Jagoan istana ini adalah seorang ahli waris Soa - hu - pai (Par-tai Persilatan Danau Pasir), mewarisi ilmu ketu-runan dari Kim - mo Sai - ong. Dia sudah mema-tangkan ilmu - ilmu kesaktian dari perguruan itu dan dia berhak mengaku sebagai ahli waris tung-gal atau yang paling lihai dari Soa - hu - pai. Keti-ka dia mendengar munculnya Raja Kelelawar, bah-kan hatinya merasa penasaran dan dia ingin sekali bertemu dengan raja iblis itu untuk mengadu ilmu. Maka kini, begitu melihat Raja Kelelawar berada di situ, diapun menjadi marah sekali. Jelaslah bah-wa Raja Kelelawar hendak merampas jenazah sri baginda. "Engkaulah yang datang mengantar nyawa!" bentaknya dan si cebol ini langsung saja menye-rang dengan ganasnya. Begitu menyerang, dia su-dah mainkan ilmu inti dari perguruannya, yaitu Ilmu Silat Teratai atau Soa - hu - lian. Begitu dia mainkan ilmu ini, kedua lengannya bergerak sede-mikian cepatnya sehingga dilihat oleh mata biasa kedua lengannya KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ berobah menjadi puluhan, bahkan ratusan banyaknya ! Dan setiap pukulannya mendatangkan angin halus yang bersiutan! Tentu saja Raja Kelelawar tidak berani meman-dang rendah karena diapun sudah tahu akan keli-haian lawan ini. Maka, begitu melihat lawan lang-sung mengeluarkan ilmu simpanannya, diapun ti-dak segan - segan untuk mainkan ilmu simpanan-nya pula, yaitu Pat hong Sin - ciang (Silat Sakti Delapan Penjuru Angin). Karena dua macam ilmu silat itu sama - sama mengandalkan kecepatan, ma-ka tubuh kedua orang sakti itupun lenyap dan yang nampak hanya bayangan mereka berkelebatan dan bayangan banyak sekali lengan dan kaki sehingga kalau ada yang menonton, dia tentu akan bingung mengenal mana Pek - lui - kong dan mana Bit bo-ong. Si cebol yang segera merasa betapa hebatnya lawan, cepat mengeluarkan tenaga sakti yang am-puh, yaitu Pukulan Pusaran Pasir Maut yang men-datangkan angin puyuh dan hawa dingin itu. Na-mun, lawannya mendengus dan Raja Kelelawar-pun mainkan Kim - liong Sin - kun yang tidak kalah hebatnya. Terjadilah perkelahian yang amat he-bat, kadang - kadang mereka mengandalkan kece-patan sehingga tubuh mereka lenyap, ada kalanya mereka bahkan tidak bergerak atau hanya bergerak sedikit sekali karena mereka saling dorong dan saling serang dengan menggunakan kekuatan sin-kang! Diam - diam Raja Kelelawar terkejut juga me-nyaksikan kehebatan si cebol ini. Sejak tadi dia mempelajari gerakan lawan dan tahulah dia bah-wa ilmu - ilmu yang dikeluarkan oleh si cebol ini memang hebat, setingkat dengan ilmu perguruan-nya sendiri. Hanya dalam kecepatanlah dia ung-gul. Oleh karena itu, setelah perkelahian berlang-sung seratus jurus lebih, Raja Kelelawar menge-luarkan bentakan nyaring dan tiba - tiba tubuhnya berkelebat sedemikian cepatnya sehingga Pek - lui-kong Tong Ciak mengeluarkan seruan kaget karena sukarlah baginya untuk mengikuti gerakan lawan yang sedemikian cepatnya seperti pandai menghi-lang itu. Kecepatan luar biasa inilah yang membu-at Tong Ciak akhirnya terkena tamparan pada tengkuknya dan diapun roboh terguling. Pada saat itu terdengar suitan nyaring dan dari jauh nampak berkelebatan tiga bayangan orang. Melihat ini, Raja Kelelawar maklum bahwa yang datang adalah orang-orang yang tinggi ilmunya. Dia tidak merasa gentar untuk menandingi siapapun juga, akan tetapi urusan yang lebih penting harus dise-lesaikannya dahulu. Maka diapun mengeluarkan suara mencicit seperti kelelawar sebagai tanda ke-pada anak buahnya untuk mundur, sedangkan dia sendiri membuka pintu pedati, tanpa memperduli-kan bau busuk yang menyambut hidungnya, dia lalu menyambar peti jenazah sri baginda dan mem-bawanya pergi dengan kecepatan luar biasa. Pa- kaian dan jubahnya yang serba hitam itu membuat dia seperti menghilang saja ditelan kegelapan malain. Anak buahnya yang dipimpin oleh San-hek-houw dan Si Buaya Sakti, mendengar isyarat pim-pinan mereka itupun lalu berloncatan pergi diikuti oleh anak buah mereka. Ketika terjadi perkelahian, Liu Pang dan Pek Lian sudah keluar dari tempat persembunyian mereka di bawah bangunan pesanggrahan yang ter-bakar itu. Mereka lalu bersembunyi di balik se- mak-semak belukar dan dapat menyaksikan semua hal yang terjadi di situ, yakni penyerbuan para kaum sesat yang dilawan oleh para tokoh Liong -pang. Mereka tidak dapat mengikuti Tong Ciak dan tidak tahu bahwa si cebol yang lihai itu sudah terluka oleh Raja Kelelawar dan bahwa jenazah sri baginda telah terampas oleh raja iblis itu. Tiga bayangan yang datang dengan cepat se-kali itu ternyata adalah kakek Kam Song Ki, ber-sama Kwee Tiong Li yang menjadi muridnya, dan Seng Kun. Seperti telah diceritakan di bagian de-pan, mereka bertiga ini sedang mencari jejak San-hek - houw dan Si Buaya Sakti yang menculik Bwee Hong. Akhirnya mereka terbawa oleh jejak kedua orang tokoh jahat itu ke tempat itu dan ke-datangan mereka menyelamatkan nyawa Tong Ciak yang sudah roboh. Kalau mereka tidak da-tang, tentu Raja Kelelawar akan memberi pukulan terakhir kepadanya. Tiga orang itu datang terlambat juga karena peti mati berisi jenazah kaisar telah dilarikan Raja Kelelawar. Akan tetapi, Seng Kun segera ber-lutut memeriksa keadaan Tong Ciak yang mengge-letak pingsan. Ternyata si cebol menderita luka hebat sekali oleh pukulan tangan ampuh KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ Raja Ke-lelawar dan kalau saja dia sendiri bukan orang yang memiliki kesaktian, pukulan itu telah meram-pas nyawanya. "Kita lihat dulu apa yang telah terjadi di pe-sanggrahan yang terbakar itu," kata kakek Kam Song Ki. Seng Kun memondong tubuh Tong Ciak dan merekapun pergi menghampiri para murid Liong - i - pang yang sedang sibuk berusaha me-madamkan api yang tadi dipergunakan oleh para anak buah penjahat untuk membakar pesanggrah-an. Melihat betapa mereka sibuk memadamkan api yang membakar dan menjalar ke ruangan tengah, kakek Kam Song Ki lalu meloncat dan sekali ber-gerak saja tubuhnya sudah melewati para murid Liong - i - pang, kemudian dia melakukan gerakan seperti mendorong dengan kedua tangan dirang-kapkan ke depan dada. Angfn kuat menyambar ke arah api yang segera padam ! Melihat gerakan ini, Bhong Kim Cu dan para sutenya terkejut sekali karena mereka mengenal ilmu pukulan paling he-bat dari perguruan mereka, yaitu Ilmu Pai - hud-ciang, akan tetapi dilakukan dengan tingkat yang amat tinggi! Bhong Kim Cu cepat memandang dan begitu melihat tanda - tanda pada kakek itu, diapun cepat menjatuhkan diri berlutut, diturut oleh para sutenya. "Ah, kiranya Kam - susiok yang datang. Harap maafkan bahwa teecu sekalian tidak tahu akan ke-datangan susiok!" Kam Song Ki tersenyum dan menggoyangkan tangannya. "Sudahlah, tidak perlu banyak sungkan, kedatanganku inipun kebetulan saja. Jadi kalian adalah murid - murid Ouwyang - suheng yang menjadi ketua Liong - i - pang " Ini adalah Kwee Tiong Li muridku dan pemuda itu adalah " "Adalah orang yang hendak membalas kematian kakek Bu Kek Siang dan isterinya!" Seng Kun ber-seru. Dia sudah menurunkan tubuh Tong Ciak dan kini dengan muka merah saking marahnya dia mencabut pedang dan siap untuk menyerang Bhong Kim Cu dan para sutenya yang menyebab-kan tewasnya kakeknya dan neneknya. "Hemm, kiranya engkau !" Bhong Kim Cu berseru kaget dan siap melayaninya. Melihat ini, kakek Kam Song Ki terkejut dan cepat melang-kah maju untuk melerai. "Hemm, apa - apaan ini " Kita semua masih satu keturunan perguruan, kenapa harus bentrok sendiri " Aku sudah mendengar tentang kematian Bu Kek Siang, dan murid murid Liong - i - pang ini hanya mentaati perintah guru mereka. Di mana guru kalian, Ouwyang suheng " Akupun hendak minta pertanggungan jawabnya atas perbuatannya terhadap Bu Kek Siang." Melihat sikap paman gurunya ini, Bhong Kim Cu menundukkan muka. "Teecu tidak tahu di ma-na suhu sekarang, tadinya suhu pergi untuk men-cari dan menandingi Raja Kelelawar dan kami di-perintahkan untuk membantu melindungi jenazah sri baginda " "Jenazah sri baginda " Di mana ?" tanya kakek Kam Song Ki. "Di sana " Bhong Kini Cu tertegun memandang kepada Tong Ciak yang masih menggeletak pingsan. Baru dia teringat akan jenazah itu dan tanpa mengeluarkan kata - kata lagi tubuhnya melesat ke depan, lari memasuki hutan. Sebagai cucu murid Raja Tabib Sakti Tanpa Bayangan tentu saja ginkangnya hebat. Tak lama kemudian dia kembali dengan mata terbelalak dan muka pucat. "Celaka jenazah itu telah dicuri orang ....!" Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Dengan singkat dia lalu menceritakan tentang jenazah kaisar itu, didengarkan oleh mereka ber-tiga dengan kaget. "Kalau begini, teecu sekalian harus cepat pergi mencari suhu untuk melaporkan peristiwa ini, susiok." "Baiklah, akan. tetapi, apakah kalian melihat penjahat - penjahat San - hek houw dan teman-temannya " Mereka telah menculik Bwee Hong ......" tanya kakek itu. "Baru saja kami berkelahi melawan mereka! Merekalah yang tadi menyerbu dan membakar pe-sanggrahan. Kini mereka telah melarikan diri, ten-tu setelah jenazah itu berhasil mereka curi!" kata Bhong Kim Cu penuh geram. Setelah memberi hormat kepada susiok mereka, para murid KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ Liong-i-pang itu segera pergi dari situ. Mereka merasa tidak enak untuk berlama - lama berada di suatu tempat bersama Seng Kun. Setelah dapat menyabarkan hatinya karena bu-jukan susioknya, Seng Kun lalu mengobati Pek-lui-kong Tong Ciak. Sementara itu, Pek Lian membuat gerakan hendak keluar dari tempat per- sembunyiannya. Melihat ini, gurunya cepat me-nyentuh lengannya dan memberi isyarat kepada muridnya untuk mengikutinya meninggalkan tem-pat itu. Setelah mereka pergi jauh dari situ, dia menegur, "Nona Ho, apa yang hendak kaulakukan tadi ?" Di dalam percakapan resmi atau serius, Liu Pang selalu menyebut muridnya ini nona Ho. Ha-nya kadang - kadang saja dia menyebut nama mu-ridnya seperti tak disadarinya. "Suhu, teecu mengenal baik mereka itu. Mereka bukan musuh, dan teecu mendengar betapa enci Bwee Hong diculik oleh San - hek - houw. Teecu ingin membantu mereka mencari enci Hong " Gurunya tersenyum dan menggeleng kepala. "Ingat, pada saat ini kita bukanlah bertugas seba-gai pendekar, melainkan memiliki tugas perjuangan yang lebih penting lagi sehingga urusan-urusan pribadi harus disingkirkan atau dikesampingkan lebih dulu. Kalau engkau keluar dan terlihat oleh Tong Ciak atau orang - orang Liong - i - pang, ten-tu engkau akan ditangkap. Lupakah engkau bah-wa kita ini telah dianggap pemberontak ?" Pek Lian termangu - mangu dan terpaksa membenarkan ucapan gurunya. Ia menarik napas panjang. "Kasihan enci Bwee Hong " "Kita harus berhati - hati. Kurasa yang meng-gerakkan orang - orang jahat tadi adalah Raja Ke-lelawar sendiri. Siapa lagi yang akan mampu me-robohkan Tong Ciak kalau bukan raja iblis itu " Jangan sampai kita bertemu dengan dia. Mari kita mencari jejak pemuda Tai bong - pai itu untuk menyelidiki keadaan pasukan asing yang berse-kongkol dengan para pengkhianat." Guru dan murid itu melepaskan lelah sambil menanti datangnya fajar. Liu Pang segera dapat tertidur dan Pek Lian duduk termenung. Ia sendiri tidak dapat tidur, memikirkan keadaan Bwee Hong, sahabat yang disayangnya itu. Kalau Bwee Hong diculik San - hek - houw, di mana nona itu ditawannya " Tadi San - hek - houw menyerbu pe-sanggrahan bersama teman temannya tanpa mem-bawa Bwee Hong sebagai tawanan. Jangan - ja-ngan sudah dibunuhnya ! Ia bergidik dan menge-pal tinju. Kalau saja tidak ada tugas perjuangan yang mengikatnya tentu ia akan membantu Seng Kun mencari Bwee Hong dan membalaskan den-dam kepada para penjahat itu kalau benar Bwee Hong sudah terbunuh. Pada keesokan harinya, pagi - pagi sekali mereka telah melanjutkan perjalanan, menuju ke arah larinya Kwa Sun Tek, pemuda Tai - bong - pai se-malam. Menjelang senja, setelah melalui bebera-pa buah bukit dan banyak hutan liar, di dalam se-buah hutan mereka mendengar derap kaki kuda. Mereka menyelinap bersembunyi dan dengan gi-rang mereka melihat belasan orang penunggang kuda yang dipimpin oleh Kwa Sun Tek sendiri, menuju ke depan. Segera mereka membayangi dari jauh dan setelah matahari mulai tenggelam ke barat, akhirnya mereka menemukan barisan yang mereka cari - cari. Di sebuah lembah barisan itu berkemah. Menurut taksiran Liu Pang yang sudah berpengalaman, jumlah pasukan asing yang dibantu oleh orang - orang lihai dari golongan sesat itu berjumlah paling sedikit seribu orang. Dan di dalam pasukan itu terdapat banyak orang lihai dan berbahaya seperti pemuda Tai - bong - pai dan pa-ra iblis Ban- kwi-to itu. Setelah membuat perhitungan dan penggam-baran dalam benaknya, Liu. Pang mengajak murid-nya untuk pulang ke beteng mereka. Akan tetapi mereka telah pergi jauh dan untuk pulang ke ben-teng mereka, tentu mereka harus melakukan per-jalanan kurang lebih dua hari dua malam ! KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ Malam itu mereka bermalam di hutan yang Se-pi. Ketika mereka sedang mencari tempat yang enak untuk beristirahat, tiba - tiba terdengar suara halus memanggil, "Hei, sobat tukang kayu. Ke si-nilah apa bila kalian hendak beristirahat." Liu Pang dan Pek Lian terkejut, akan tetapi mereka datang juga menghampiri sebuah gua. Dan di situ terdapat dua orang kakek yang berpakaian seperti tosu sedang duduk bersila menghadapi api unggun. Gua itu cukup luas dan memang meru-pakan tempat yang cukup enak untuk melewatkan malam. Maka Liu Pang lalu menurunkan pikulan kayunya, lalu masuk ke dalam gua dan bersama muridnya duduk bersandar dinding guha sambil memandang kepada dua orang tosu itu. "Terima kasih, ji - wi totiang," katanya. "Kami ayah dan anak memang kemalaman dan sedang mencari tempat untuk berteduh dan melewatkan malam." Dua orang pendeta itu ramah sekali. Mereka bahkan membagi roti kering kepada Liu Pang dan Pek Lian. Guru dan murid ini menerima dan me-makannya, tidak berani mengeluarkan perbekalan mereka berupa roti dan daging kering yang tidak sesuai dengan keadaan mereka sebagai orang-orang miskin. Sekali ini, Pek Lian dapat mengaso dan tertidur pulas di sudut guha, membelakangi mereka yang sedang bercakap-cakap. Liu Pang berlagak bo36 doh seperti penghuni dusun pencari kayu. Dia me-ngatakan bahwa dia dan puterinya terpaksa lari mengungsi karena ancaman perang, dan kini hidup dari mencari dan menjual kayu kering. "Siancai !" kata tosu yang matanya sipit sekali. "Dunia memang sedang kacau oleh ulah orang - orang jahat. Kami sendiri terpaksa turun gunung untuk membantu gerakan para pendekar yang dipimpin oleh Liu bengcu. Kabarnya pasu-kan Liu Pang bengcu berada di dekat tempat ini." Tentu saja Liu Pang tidak berani memperkenal-kan diri karena dia tidak boleh percaya begitu sa-ja kepada dua orang tosu ini. Siapa tahu mereka ini malah mata - mata pihak musuh " Maka diapun lebih banyak mendengarkan dari pada bicara. Dari percakapan itu Liu Pang mendapat kenyataan bah-wa dua orang tosu itu amat membenci pasukan asing dan para tokoh sesat yang membantu para pengkhianat. Pada keesokan harinya, dua orang tosu itupun berangkat pergi, dan Liu Pang bersama muridnya juga meninggalkan tempat itu, melanjutkan per-jalanan mereka kembali ke induk pasukan mereka. Malam berikutnya mereka tiba di sebuah pa-dang rumput yang sebenarnya sudah tidak jauh dari lembah di mana pasukan mereka berkumpul. Akan tetapi melanjutkan perjalanan di malam hari amatlah berbahaya. Bukan saja jalan pendakian ke bukit di depan itu cukup licin dan banyak terdapat jurang - jurang berbahaya, akan tetapi juga padang rumput itu sendiri dihuni banyak ular se-hingga berjalan melalui tempat itu di malam hari juga berbahaya dan mengerikan. Mereka tahu bahwa di dekat padang rumput sebelah barat terdapat sebuah kuil tua yang sudah kosong maka ke sanalah mereka menuju untuk melewatkan ma-lam agar besok pagi - pagi dapat langsung kemba-li ke lembah tempat pasukan mereka berada. Ketika mereka mendekati kuil, tiba - tiba Liu Pang memberi isyarat. Mereka berhenti karena hidung mereka mencium bau yang membuat mulut mereka berair, bau sedap daging dipanggang! Selama beberapa hari ini mereka melakukan per-jalanan sukar dan mereka tidak memperoleh ke- sempatan untuk makan enak ! Dan kini, sudah de-kat dengan tempat sendiri, dalam keadaan letih dan lapar, mereka mencium bau yang demikian sedap. Siapa orangnya tidak mengilar! Seperti ditarik oleh tenaga sembrani, guru dan murid ini mendekati kuil. Akan tetapi, agaknya kedatangan mereka sudah diketahui orang dalam kuil. Buktinya, tidak ada api bernyala di dalam kuil dan keadaannya sunyi saja. Bagaimanapun juga, bau sedap daging panggang tadi tidak mung-kin mereka hilangkan dan masih mengambang di udara, dengan mudah dapat dicium. "Hati - hati," bisik Liu Pang. "Siapa tahu mereka adalah pihak musuh " KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ Karena jelas bahwa orang yang berada di da-lam kuil bersembunyi. Liu Pang dan Pek Lian ti- dak berani sembarangan memasuki kuil. Mereka bahkan mengambil keputusan untuk bermalam di tempat lain saja. Akan tetapi, pada saat mereka hendak membalikkan tubuh pergi dari situ, tiba- tiba nampak dua sosok bayangan berkelebat kelu-ar. Mereka adalah dua orang gadis cantik. "Lian - moi, kiranya engkau !." teriak gadis yang berbaju merah sedangkan gadis baju putih memandang Liu Pang dengan sinar mata penuh selidik. "Ah, Pek - cici dan Ang - cici !" Pek Lian berseru girang ketika mengenal dua orang gadis itu ternyata adalah Pek In dan Ang In yang bebe-rapa hari yang lalu telah dilihatnya menghadap Yap - lojin di dalam pesanggrahan. "Perkenalkan, ini adalah paman Kiang, seorang sahabat yang boleh dipercaya. Paman, mereka ini adalah enci Pek In dan enci Ang In, dua orang murid Siang Houw Nio - nio yang lihai. Eh, enci, kenapa ka-lian berada di sini " Hendak ke manakah ?" Pek In memandang ke kanan kiri, kemudian menggandeng tangan Pek Lian. "Mari kita bicara di dalam saja." Mereka berempat masuk ke dalam kuil kosong itu. Api unggun dinyalakan lagi dan sebelum bi-cara, Pek Lian dan gurunya mendapat bagian daging panggang yang sedap tadi. Mereka berempat makan tanpa berkata - kata. Setelah kenyang, Pek In melirik ke arah Liu Pang dan berkata ke-pada Pek Lian, "Adik Lian, aku mau bicara pen-ting denganmu, akan tetapi jangan sampai terde-ngar orang di luar kuil. Maukah pamanmu ini ber-jaga di luar agar diketahuinya kalau ada orang da-tang ?" Liu Pang maklum bahwa gadis baju putih ini masih belum percaya kepadanya, maka diapun bangkit dan berkata, "Biarlah aku berjaga di luar." Diapun melangkah keluar, duduk di depan kuil yang gelap dan sunyi, akan tetapi tentu saja dia memasang telinga karena biarpun nanti muridnya bisa bercerita kepadanya, namun hatinya sudah ti-dak sabar, ingin mendengar apa yang akan diceri-takan oleh gadis yang baru keluar dari istana ini. Tentu terdapat berita yang amat penting sehu-bungan dengan lenyapnya jenazah kaisar yang di-duganya tentu dicuri oleh Raja Kelelawar atau anak buahnya, kaum sesat yang membantu para pengkhianat. Setelah Liu Pang keluar, Pek In berkata, "Maafkan kami, adik Lian. Yang akan kami ceritakan ini penting sekali dan terus terang saja, hatiku tidak enak kalau terdengar orang lain. Kepadamu kami sudah percaya penuh, akan tetapi temanmu itu, kami belum tahu benar siapa dia " "Tidak mengapa, enci. Padahal, pamanku itu amat boleh dipercaya. Sudahlah, ada baiknya dia 40 Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Darah 25 41 berjaga di luar. Nah, ceritakan, mengapa kalian di sini dan apa yang telah terjadi ?" Pek In lalu bercerita yang membuat Pek Lian dan Liu Pang yang ikut mendengarkan di luar, menjadi terkejut bukan main. Hal - hal yang amat hebat telah terjadi di istana ! Pek In menceritakan dari awal, dimulai dengan kepergian kaisar yang melakukan perjalanan sendirian untuk mencari il-mu hidup abadi! Semua pembesar yang bersih, bahkan mereka yang telah diangkat kembali oleh kaisar, dipecat oleh komplotan Perdana Menteri Li Su dan kepala thaikam Chao Kao. Kemudian, dengan dalih berbakti kepada negara, mendapat dukungan para pembesar yang menjadi antek mereka, putera mahkota diperintahkan menyusul Jen-derai Beng Tian ke garis depan. KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ Dalam keadaan istana kosong inilah, karena kaisar tidak diketahui, ke mana perginya, Li Su dan Chao Kao berkuasa di dalam istana ! Kemudian terjadi kegegeran ketika Li Su menyatakan kaisar telah tewas dan dapat membuktikannya dengan je-nazah kaisar yang telah mulai membusuk ! Gegerlah seluruh pejabat istana. Mereka ber-kumpul dan bersidang. Di dalam persidangan ini, Perdana Menteri Li Su mengusulkan agar dilaku-kan pengangkatan kaisar baru agar kedudukan ja-ngan berlarut - larut kosong. Nenek Siang Houw Nio-nio mengusulkan agar ditunggu kembalinya pangeran mahkota. Akan tetapi usul ini ditentang oleh Li Su yang mengatakan bahwa adanya pa-ngeran mahkota di garis depan amat perlu untuk membangkitkan semangat barisan. Dan kini pi-hak pemberontak telah mulai mendekati kota raja, maka perlu segera diangkat kaisar baru. Karena Li Su memang menang suara dan memperoleh du-kungan terbanyak, akhirnya pangeran muda yang pandainya hanya bersenang - senang itupun diang-kat menjadi kaisar dengan julukan Cin Si Hongte Ke Dua! Tindakan pertama yang dilakukan oleh kaisar muda ini dapat diduga. Dia mengangkat Li Su menjadi wakil penuh kaisar, dan Chao Kao diang-kat menjadi kepala istana! Para pejabat yang be- rani memprotes, ditangkap dan dipecat. Yang le-bih hebat lagi. para datuk sesat diberi pangkat dan kedudukan! Raja Kelelawar diangkat menjadi panglima ! Dan orang - orang macam San - hek- houw diangkat menjadi perwira yang berkuasa. "Adik Lian, pendeknya gegerlah istana yang berobah seperti neraka. Tentu saja subo mempro-tes keras dan akibatnya beliau kini ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara !" "Ahhh !" Pek,Lian berseru kaget. Nenek itu adalah pengawal kaisar nomor satu dan masih bibi dari kaisar lama, jadi nenek kaisar baru, akan tetapi toh ditangkap. "Kami berhasil melarikan diri dan melapor ke-pada suhu. Kini kami diutus suhu untuk memberi kabar kepada Yap - suheng dan ji - suheng tentang hal itu sedangkan suhu sendiri berusaha untuk membebaskan subo," kata Pek In dengan suara duka. "Akan tetapi kami mendengar bahwa kedua suheng kami itu telah bergabung dengan pasukan para pendekar di bawah Liu - bengcu !" "Kebetulan sekali! Kami juga mau pulang I" Tiba - tiba terdengar suara dan Liu Pang melangkah masuk, wajahnya masih tegang mende-ngarkan penuturan tadi akan tetapi matanya me-mandang dua orang gadis itu dengan ramah. Pek Lian juga tahu bahwa kini tidak perlu lagi mera-hasiakan keadaan gurunya. "Pek - cici dan Ang - cici, kalian maafkanlah a-ku yang tadi berbohong. Beliau ini adalah Liu- bengcu, juga guruku !" Dua orang gadis itu terkejut bukan main. Cepat mereka bangkit berdiri dan memandang dengan tajam. Sudah lama mereka mendengar nama Liu Pang atau Liu-bengcu. Tak disangkanya mereka akan dapat bertemu dengan pemimpin besar itu di sini dan melihat pemimpin besar itu mengena-kan pakaian sederhana seperti seorang petani bia-sa ! Mereka lalu memberi hormat dan dibalas oleh Liu Pang. "Ji - wi lihiap, mari kita duduk dan bicara," ajaknya dan mereka kembali duduk mengelilingi api unggun. "Aku tadi sudah ikut mendengarkan dari luar, maafkan kelancanganku itu dan keadaan di istana itu sungguh mengenaskan dan mengge-maskan. Dua orang pengkhianat Li Su dan Chao Kao itu harus dibasmi. Akan tetapi ke mana pergi-nya Pek - lui - kong Tong Ciak " Dan juga Jende-ral Beng Tian yang kabarnya sudah meninggalkan posnya di barat " Mereka berdua adalah jagoan-jagoan Kaisar Cin Si Hongte yang setia dan lihai!" "Entahlah, Liu - bengcu, karena keadaan amat kacau pada waktu itu dan mereka berdua itu tidak ada kabarnya lagi," jawab Pek In, yang kemudian menyambung cepat, "Benarkah pemberitahuan suhu kepada kami bahwa kedua orang suheng ka-mi telah menggabungkan diri dengan pasukan bengcu ?" Liu Pang tersenyum dan mengangguk. "Bukan hanya menggabungkan diri, bahkan kini selagi ka-mi pergi, yang menjadi wakil kami memimpin pa-sukan adalah saudara Yap Kim dibantu oleh su-hengnya, saudara Yap Kiong Lee." KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ Tentu saja dua orang gadis itu tercengang, akan tetapi juga merasa girang. Ketika untuk pertama kalinya mereka mendengar dari suhu mereka bah-wa kedua orang suheng itu membantu pasukan pemberontak Liu Pang, mereka hampir tidak mau percaya. Subo mereka adalah kepercayaan kaisar, bahkan suhu mereka akhir - akhir ini juga mem-bantu kaisar, bagaimana mungkin dua orang su-heng itu menjadi pembantu - pembantu para pem-berontak " Akan tetapi, setelah melihat suasana di istana, kini mereka malah menjadi gembira men-dengar bahwa dua orang suheng mereka itu malah menjadi pembantu - pembantu pemimpin besar, Liu Pang ! Sikap kedua orang gadis ini sama sekali tidak perlu diherankan. Kalau kita mau membuka mata, memandang dengan waspada segala hal yang ter-jadi baik di dalam maupun di luar diri kita sendiri, maka akan nampaklah dengan jelas betapa si-kap dan perasaan kita, seperti dua orang gadis itu, selalu dikendalikan oleh pementingan diri pribadi atau ke - aku - an. Kita selalu amat mudah mema-afkan kesalahan sendiri, siap membela diri sendiri untuk menutupi kesalahan yang kita perbuat. Ki-ta selalu menentang segala sesuatu yang merugikan diri kita, dan membantu sesuatu yang mengun-tungkan diri kita, karena yang menguntungkan itu, lahir maupun batin, adalah menyenangkan dan sebaliknya yang merugikan itu selalu tidak menyenangkan. Aku yang paling benar, aku yang paling baik, aku yang harus menang. Siaku ini bisa meluas menjadi anakku, keluargaku, sahabatku, kelom-pokku, bangsaku dan selanjutnya. Seorang yang berada di suatu kelompok, selama memperoleh keuntungan dan merasa disenangkan dalam kelompok itu, pasti akan membelanya mati-matian. Bu-kan karena setianya kepada si kelompok, melainkan karena setianya kepada diri sendiri, karena di situ terdapat kesenangan. Akan tetapi, begitu dia disi-sihkan dari kelompok, begitu dia tidak lagi memperoleh keuntungan, apa lagi begitu dia dirugikan dan tidak disenangkan, maka seketika dia akan berobah dan akan menentang kelompok itu dan memilih kelompok lain yang menentang kelompok lama ! Pengejaran kesenangan dapat menyeret ma-musia menjadi munafik, palsu, pengkhianat, kejam dan curang, dan segala macam, kejahatan lain. "Kalau begitu kami berdua akan mengikuti bengcu ke tempat kedua orang suheng kami!" kata Ang In dengan, wajah cerah, lalu ia menoleh kepada Pek Lian. "Apakah apakah Kim - su- heng baik - baik saja ?" Pek Lian tersenyum. "Dia dalam keadaan se-hat dan semakin gagah!" katanya sambil terse- nyum, penuh arti dan wajah Ang In yang manis itu berobah kemerahan. Pada keesokan harinya, pagi - pagi sekali mere-ka berempat meninggalkan kuil itu dan berangkat menuju ke perkemahan para perajurit pendekar di balik bukit. Dari puncak bukit itu tidak nam-pak apa - apa dan memang inilah yang dikehendaki oleh para pimpinan pasukan itu dan baru setelah mereka menuruni bukit, mereka memasuki daerah perondaan pasukan dan bertemulah mereka de-ngan dua orang peronda. Liu Pang dan Pek Lian segera mengenal dua orang pendeta atau tosu yang mereka jumpai di dalam guha, maka mereka segera menegur. Akan tetapi dua orang tosu itu meng-ambil sikap keras. "Kalian telah melanggar wilayah kami, harus menyerahkan diri untuk kami tangkap dan kami bawa ke benteng!" "Ehh " Liu Pang berseru heran. "Apakah ji - wi kini sudah menjadi anggauta pasukan Liu - bengcu ?" Pek Lian bertanya. "Benar, karena itu, dalam tugas pertama kami, kalian harus kami tangkap sebagai orang - orang yang melanggar wilayah kami tanpa ijin." Sebelum Pek Lian menjawab, Liu Pang menda-huluinya bertanya, "Kalau aku tidak mau ditang-kap ?" Suaranya mengandung tantangan, akan te-tapi sinar matanya dan wajahnya berseri. "Kami akan menggunakan kekerasan!" jawab tosu yang bermata sipit. "Totiang, aku sangsi apakah engkau akan mam-pu menangkap aku !" kata Liu Pang sambil me-langkah maju. Tosu sipit itu memandang tajam, kemudian diapun melangkah maju. "Boleh kita coba !" Dan diapun sudah menu-bruk maju mencengkeram ke arah pundak Liu Pang. Pemimpin besar ini cepat mengelak dan ba-las menyerang karena dia memang ingin sekali mencoba kepandaian dua orang tosu yang baru sa-ja masuk menggabungkan diri dengan KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ pasukannya itu. Dan hatinyapun puas dan kagum. Tosu si-pit ini lihai sekali sehingga kalau Liu Pang benar- 48 benar menghendaki, belum tentu dia akan mampu mengalahkan tosu ini dalam waktu seratus jurus! Gerakannya cepat dan tangkas, tenaganyapun kuat. Perkelahian itu amat seru dan semakin ramai. Tiba-tiba terdengar bentakan, "Berhenti .... " dan muncullah Yap Kim. Dua orang pertapa itu menghadap Yap Kim dan memprotes. "Mereka adalah pelanggar - pelanggar wilayah tanpa ijin !" . "Ji - wi totiang, beliau ini adalah Liu - bengcu, pemimpin kita !" kata Yap Kim. "Siancai siancai ! Dan dia sudah ber- cakap-cakap semalam suntuk dengan pinto !" kata tosu ke dua yang lebih tua. Mereka lalu memberi hormat yang dibalas oleh Liu Pang sambil tertawa dan memuji - muji kepandaian mereka. Sementara itu, Yap Kim sudah saling bertemu dengan Pek In dan Ang In. Pertemuan yang meng-gembirakan, juga mengharukan sekali. Apa lagi Ang In yang tiada kedip kedipnya menatap wajah pemuda itu sehingga Pek Lian merasa geli hatinya. Ketika Yap Kim mendengar bahwa ibu kandung-nya ditawan di istana, dia mengepal tinju dan mu-kanya berobah pucat, kemudian merah karena marah. "Mari kita bicara di sana !" kata Liu Pang dan mereka semuapun pergilah ke perkemahan pasu-kan. Pertemuan antara Yap Kiong Lee dan Pek In yang memang sejak dahulu sudah ada rasa sa- Darah 25 ling sayang, amat menggembirakan. Segera diada-kan pertemuan antara para pemimpin dan para pendekar, bukan hanya untuk menyambut kemba-linya Liu Pang akan tetapi juga untuk mengatur siasat selanjutnya. Situasi di kota raja sudah demi-kian berobah, maka harus diatur siasat yang sesu-ai dengan keadaan itu. Yap Kiong Lee tidak me-rasa ragu - ragu lagi untuk mencurahkan seluruh tenaganya membantu gerakan pasukan ini. Kini subonya ditawan. Kini kota Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo raja dikendalikan oleh pengkhianat - pengkhianat yang menjadi musuh-nya. Juga Pek In dan Ang In bertekad untuk membantu gerakan pasukan para pendekar di ba-wah pimpinan Liu Pang. * * * Kita kembali menjenguk keadaan A-hai yang kini berada seorang diri saja di dalam ruangan rumah tua mendiang Gu-lojin. Dia ditinggalkan oleh semua orang dalam keadaan masih pingsan atau tertidur karena pengaruh totokan Seng Kun ketika mengobatinya. Pengaruh totokan itu ma- kin menghilang dan akhirnya A - hai sadar. Begitu dia sadar dan dapat bergerak, dia segera bangkit duduk dan mencari kakak beradik yang tadi meng-obatinya. Akan tetapi tidak ada orang lain di situ. Dia berteriak memanggil. "Saudara Kun ...... ! Nona Hong ...... !" Tidak ada jawaban. Dia melihat pakaian Bwee Hong bertumpuk di sudut ruangan itu. Apakah nona itu berganti pakaian " Kalau benar demikian, kenapa pakaian yang kotor dibiarkan saja bertum-puk di situ " Mencurigakan benar keadaan ini, pikirnya dan kembali dia memanggil - manggil. Setelah yakin bahwa tidak ada suara jawaban, baik dari Seng Kun maupun dari nona itu, dia lalu bangkit berdiri dan mencari ke luar. Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hatinya ketika dia melihat mayat si pemilik warung, dan di situ nam-pak bekas - bekas perkelahian. A - hai menjadi pa-nik dan dia memanggil - manggil lagi sambil men-cari ke sekeliling rumah itu. Namun, tidak ada yang menjawab. Dengan hati penuh kekhawatiran dia lalu berlari mencari, menuju ke perkampungan ne-layan dengan melewati jalan setapak dalam hutan. Tiba - tiba dia memperlambat larinya dan hidung-nya kembang - kempis, mendengus - dengus karena dia mencium bau harum yang aneh. Dia semakin terheran - heran karena tidak ada apa apa di situ, cuaca yang suram karena hanya mendapat pene-rangan bulan lemah itu mendatangkan suasana KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ menyeramkan. Setelah menoleh ke kanan kiri dan belakang, dia memandang ke depan lagi untuk melanjutkan perjalanan. Begitu dia membalik, hampir dia menjerit kaget karena tiba - tiba saja di depannya kini sudah berdiri dua orang yang muka-nya pucat seperti mayat! Seorang kakek dan seorang nenek. Kalau saja mereka itu tidak bergerak, tentu A-hai mengira berhadapan dengan mayat yang mengingatkan dia akan mayat tukang wa-rung yang menggeletak di luar rumah mendiang Gu-lojin itu. Ketika laki-laki setengah tua itu bertanya, su-aranya juga kosong dan mengambang seperti bu-kan suara manusia! "Sobat, apakah engkau melihat seorang gadis cantik di sekitar tempat ini " Seorang gadis cantik dengan kulit putih dan keringat-nya berbau harum dupa ?" Pertanyaan itu saja sudah membuat A - hai serem. Gadis cantik putih pucat berbau dupa hanyalah siluman ! "Tidak ada aku tidak tahu " jawabnya dengan suara gemetar. Dia tidak tahu bahwa laki - laki dan wanita yang berdiri di depan-nya itu adalah Kwa Eng Ki dan isterinya. Kwa Eng Ki adalah ketua Tai-bongpai yang jarang keluar pintu dan kini keluar bersama isterinya un-tuk mencari anak - anak mereka. "Huhh !" Laki - laki setengah tua bermuka pu-cat itu mendengus dan berkata kepada isterinya, "Orang - orang dusun itu berkata bahwa anak kita menuju ke tempat ini. Mari kita cari di tempat lain dan bertanya kepada orang yang lebih cerdik!" Mereka berkelebat dan lenyap. A-hai yang di-anggap tidak cerdik itu tidak marah, bahkan mera-sa lega bahwa dua orang manusia yang seperti mayat hidup itu pergi meninggalkannya. Diapun melanjutkan perjalanan menuju ke dusun nela-yan. Keadaan dusun itu masih ribut. Para pendu-duknya masih diliputi suasana tegang dengan pe-ristiwa aneh yang terjadi berturut - turut itu. Mereka dipaksa keluar dengan ancaman rumah diba-kar, lalu ada pemilik perahu yang perahunya di-rampas. Melihat para penduduk belum tidur dan berkelompok sambil bicara secara serius dan geli-sah, A - hai lalu menghampiri mereka dan berta-nya apa yang telah terjadi. "Ada terjadi apakah " Dan apakah kalian me-lihat sahabat - sahabatku, pemuda tampan dan ga-dis cantik itu ?" Dari orang - orang ini A - hai mendengar bahwa Seng Kun pergi bersama seorang kakek dan seorang pemuda, katanya untuk mencari adik perem-puannya yang diculik penjahat. Mendengar ini, A - hai terkejut. Ah, dia sendirian sekarang. Bwee Hong diculik orang dan Seng Kun melakukan pe-ngejaran. "Dan di sana kulihat pemilik warung sudah menjadi mayat, entah siapa yang membunuhnya," katanya. Kini para penghuni dusun itulah yang terkejut dan merekapun lalu ikut dengan A - hai menuju ke rumah mendiang Gu - lojin. Benar saja, pemilik warung itu mereka temukan tewas dalam keadaan mengerikan. Beramai - ramai mereka lalu mengurus mayat itu. A - hai duduk termenung sampai fajar menying-sing. Dia bingung sekali. Dia sekar ***[All2Txt: Unregistered Filter ONLY Convert Part Of File! Read Help To Know How To Register.]*** arian, dan kalau pengobatan itu tidak dilanjutkan, dia akan celaka. Mungkin ingatannya semakin mundur, atau mungkin dia akan mati. Ah, dia kini hidup sendiri lagi, harus mengembara ke sana ke mari bertahun - tahun sambil bekerja sedapatnya, dengan tujuan mustahil, yaitu mencari seseorang yang akan dapat me-ngenalnya dan menceritakan siapa sebenarnya dia" Di mana keluarganya " A - hai menengadah. Kini dia duduk di luar rumah tua itu, memandang langit yang mulai me- rah terbakar sinar matahari pagi yang baru terbit. Agaknya tidak ada seorangpun mengenalnya, me-ngenal keluarganya. Agaknya dia sekeluarga da-hulu hidup terasing dari pergaulan umum. Tak terasa lagi kedua matanya basah. Dia mengusap air matanya dengan punggung tangan yang dikepal. Hatinya penasaran sekali. Masa ada orang tidak tahu siapa dirinya sendiri, siapa ayah bundanya" Ketika lengannya bergerak, tanpa di-sadarinya tangannya menyentuh boneka batu giok yang tadi dibawanya keluar. Boneka yang tadi di-temukannya melalui nalurinya di rumah mendiang Gu - lojin. Kini sinar matahari memungkinkan dia memandang boneka itu dengan jelas. Ada sesuatu pada boneka itu yang seperti membuka ingatan-nya. Batu giok yang berkilauan terkena cahaya matahari pagi itu seperti menyihirnya dan secara samar - samar ia membayangkan KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ pemilik boneka ini. Seorang anak perempuan kecil yang lincah, yang suka berlari - lari dengan penuh kebahagia-an, berlarian di alam terbuka. Suka mengejar ku-pu - kupu. Anak perempuan kecil yang manja, ber-lari - larian di dekat sebuah rumah yang bersih in-dah, di tepi sungai yang airnya jernih. Banyak ba-tu menonjol tersembul di sana - sini. Sungai itu mengalir mengeluarkan dendang dan terjun ke ba-wah, tak jauh di belakang rumah itu. Anak pe-rempuan itu gemar sekali bermain ke tepi sungai, berlari - larian biarpun sudah sering dilarangnya. Pada suatu hari, anak perempuan itu kembali ber-lari - lari dan kakinya tersandung, tubuhnya terguling dan jatuhlah anak perempuan itu ke dalam lubuk air terjun yang sangat dalam. Badannya yang mungil tenggelam, membuat pelayannya menjerit keras. "Lian Cu !!" Tiba-tiba A-hai menjerit dan tubuhnya meloncat ke depan, tangannya menyambar ke depan secepat kilat dan ternyata tangannya itu telah menangkap seekor burung ke-cil yang kebetulan terbang lewat! A - hai sadar. Dengan terheran - heran dia me-lepaskan burung kecil itu bepat cepat. Burung itu terbang menggelepar sambil mencicit ketakut-an. A - hai mengamati tangannya yang tiba - tiba saja menjadi amat cepat gerakannya itu. Lalu dia menarik napas panjang dan duduk kembali. "Hemm, aku melamun. Tempat itu , rumah itu kenapa aku seperti mengenalnya " Dan .... anak perempuan itu Lian Cu , ahhh !" Dia membalik boneka yang masih berada di tangan kirinya, lalu membaca tulisan yang terdapat di be-lakangnya. "HADIAH ULANG TAHUN UNTUK PUTERIKU LIAN CU." Berkalikali dibacanya tulisan itu. "Lian Cu , Lian Cu " Benarkah anak itu ada ?" A - hai merasa pusing. Ingatan yang serba suram tentang anak perempuan itu, rumah dekat sungai dan air terjun itu, memusingkan ke-palanya. Akhirnya dia bangkit berdiri. "Aku harus mencari rumah itu ! Rumah indah bersih di tepi sungai jernih yang ada air terjunnya. Aku akan menyelusuri setiap sungai di dunia ini sampai kutemukan rumah itu," tekadnya. Pikiran ini membuat hatinya tenang. Dia lalu mengumpulkan sisa uangnya, juga buntalan pakai-annya dan buntalan pakaian Seng Kun dan Bwee Hong yang ditinggalkan. Sisa uangnya masih cu-kup untuk membeli sebuah perahu kecil sederhana dari para nelayan di dusun itu. Dengan semangat besar diapun meninggalkan rumah tua mendiang Gu - lojin dan pergi menuju ke dusun. Ketika pen-duduk dusun mendengar bahwa A - hai hendak menyusul sahabat - sahabatnya mencari nona yang diculik penjahat, mereka memberikan sebuah pe-rahu kecil sederhana dengan harga murah. A - hai girang sekali, berterima kasih lalu berangkat de-ngan perahu kecilnya menyusuri sungai itu. Biar-pun perahunya mudik dan melawan arus, akan te-tapi dia mendayung penuh semangat, menggerak-kan perahunya di sepanjang pinggiran sungai di mana arusnya tidak sekuat di tengah. Setiap kali dia kelelahan dan hendak beristirahat, dia memba-wa perahunya ke tepi dan menariknya ke darat, mengaso di tepi sungai. Biarpun ingatannya sudah tertutup rahasia gelap yang membuatnya tidak ingat apa - apa tentang masa lalunya, akan tetapi pada dasarnya dia memiliki kecerdikan. Kini dia mempunyai pegangan, yaitu bahwa dia harus men-cari sebuah rumah indah mungil di tepi pantai se-buah sungai kecil yang jernih airnya dan yang ter-dapat air terjunnya di belakang rumah. Dia merasa yakin bahwa sungai di dekat rumah itu tentu ada hubungannya dengan sungai yang ditelusurinya ini. Buktinya, bukankah rumah mendiang Gu - lo-jin juga dekat dengan sungai ini dan bahwa anak kecil yang namanya terukir di belakang boneka giok itupun menurut mendiang pemilik warung se- ring pula datang ke situ " Setidaknya, antara sungai kecil di dekat rumah mungil dengan sungai ini ten-tu ada hubungannya. Karena perahunya mudik, maka perahu itu ha-nya dapat maju perlahan saja. Namun A - hai ti-dak pernah kehilangan kesabaran. Dia sudah meng-ambil keputusan untuk mencari terus di sepanjang sungai ini, kalau perlu sampai selama hidupnya! Tiga hari sudah dia mendayung sambil memperha-tikan keadaan di kanan kiri sungai. Kalau ada tempat yang agak miripmirip saja dia tentu ber-henti dan mendarat untuk melakukan penyelidikan. KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ Hari telah menjelang sore ketika perahunya me-masuki bagian sungai yang lebar dan di sini airnya tenang sehingga dia dapat mendayung lebih cepat. Beberapa kali sejak pagi tadi dia berpapasan de-ngan perahu - perahu lain yang lebih besar. Tiba-tiba muncul tiga buah perahu besar yang bergerak mudik dengan dorongan layar, juga dibantu de-ngan dayung dayung anak buah perahu - perahu itu. Sinar matahari senja membuat layar-layar itu berwarna kemerahan. Dengan cepat tiga buah perahu itu mendahu-lui perahu A - hai. Dia melihat Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo beberapa orang dengan sikap yang keren dan wajah serem berdiri di atas geladak, memandang kepadanya dengan si-nar mata tajam, A-hai tidak perduli, akan tetapi hatinya tertarik juga karena dapat menduga bah-wa orang-orang yang berada di perahu-perahu itu tentulah bukan nelayan atau pedagang biasa.Bulan menggantikan matahari dengan sinarnya yang cerah, membuat permukaan air nampak se-perti perak. A - hai tidak mendarat. Malam terlalu indah dan terang, sedangkan air sungai tenang, enak untuk mendayung perahu. Malam sungguh indah. A - hai mendayung perahu sambil membuka matanya memandang ke sekeliling. Matanya ber-sinar - sinar, ada rasa bahagia yang aneh meme-nuhi hatinya. Ataukah sinar bulan itu, keheningan yang mendalam itu yang menerangi batinnya " Keindahan terdapat di setiap tempat dan di se-tiap saat bagi mata yang waspada dengan batin yang kosong dari pada segala kesibukan pengejaran kesenangan. Keindahan menggetarkan jiwa yang bersih dari pada segala kesibukan senang susah, puas kecewa dan segala perasaan yang timbul karena pertentangan antara dua keadaan. Di seti-ap pucuk daun, di setiap sudut awan, di setiap ba-tang rumput, di setiap tetes air, di dalam setiap helai rambut kita, di mana- mana terdapat kea-gungan, keindahan dan kemujijatan itu. Namun sayang, mata kita telah menjadi buta, dibutakan oleh pikiran yang selalu mengejar-ngejar kese-nangan sehingga bertemulah pikiran dengan kesu-sahan, kekecewaan, iri hati, kebencian, permusuhan, pemuasan nafsu dan sebagainya. Batin menjadi lelah dan lumpuh oleh hempasan - hempasan pe-rasaan itu dan mata menjadi buta, tidak dapat lagi melihat keindahan, keagungan dan kemujijatan yang amat besar itu. Selagi A - hai tenggelam ke dalam keindahan dan keheningan yang maha besar itu, tiba - tiba perhatiannya tertarik oleh banyak benda yang mengapung di permukaan air. Dan terkejutlah hatinya ketika dia melihat bahwa benda - benda itu adalah pecahan - pecahan perahu yang hanyut dan lebih kaget lagi rasa hatinya ketika dia melihat betapa di antara pecahan - pecahan perahu itu ter-dapat pula beberapa mayat manusia mengambang. A - hai bergidik ketika mengenal mayat itu seperti wajah orang yang tadi dilihatnya di atas tiga buah perahu yang mendahuluinya. Karena merasa nge-ri, A - hai lalu mempercepat gerakan dayungnya dan perahunya meluncur cepat mendahului benda-benda mengerikan yang terbawa arus air itu. Tak lama kemudian perahunya memasuki dae-rah yang berbukit - bukit dan kedua tepi sungai terdiri dari tebing - tebing yang terjal menjulang tinggi. Tempat ini memiliki keindahan yang Pendekar Baja 12 Dewa Arak 65 Si Linglung Sakti Rumah Tanpa Dosa 2

Cari Blog Ini