Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M Bagian 3
"Baiklah Mang, asal jangan saya disuruh memapah Emang
pulang ke penginapan dan janganlah Emang muntahmuntah
karena mabuk nanti, seperti muntah-muntah sehabis melihat
Rawing makan ular itu."
"Jangan takut, Anom. Emang berpengalaman dalam minum
tuak. Tapi janganlah nanti diceritakan kepada orang-orang di
padepokan, apalagi kepada Eyang Resi, hehehe. Kalau Anom
usil, Emang tidak akan mau lagi menjadi panakawan Anom
hehehe." "Baiklah, sekarang marilah kita cari tempat menginap,
Mang," ujar Pangeran Muda sambil menuntun si Gambir
menyusuri tepi jalan besar yang meriah oleh orang yang hilir
mudik, oleh pakaian mereka yang bagus-bagus dan hiasanhiasan
di atas dan di pinggirnya.
Di bawah cahaya obor yang terang benderang itu
tampaklah sebuah rumah besar yang di depannya terdapat
beberapa ekor kuda yang ditambatkan pada tiang-tiang
tambatan. Pangeran Muda dengan diikuti oleh Mang Ogel
segera berjalan ke arah sana, lalu berhenti sejenak,
memandang ke dalam rumah yang serambinya luas dan
terang oleh lentera-lentera minyak kelapa.
"Mang, pegangkanlah kendali si Gambir. Saya akan
menanyakan tempat," ujar Pangeran Muda. "Tidak, Anom.
Emanglah yang pergi."
"Baiklah, mari saya pegangkan kendali kudamu, Mang."
Mang Ogel pun masuk ke dalam serambi, lalu menghilang di
balik sebuah pintu. Tak berapa lama kemudian ia kembali dan
mengatakan bahwa tempat masih tersedia.
Setelah menambatkan kuda dan memberinya rumput,
keratan ubi mentali, dedak, dan taburan garam, Pangeran
Muda dan Mang Ogel membersihkan diri di tempat yang
tersedia di belakang rumah penginapan yang besar itu.
Setelah itu, mereka bersantap. Selesai bersantap mereka
mengenakan pakaian yang pantas, tetapi sangat sederhana.
Pangeran Muda mengajak Mang Ogel melihat-lihat kota.
Untuk sampai di tempat pesta tidaklah sukar. Dengan
mengikuti arus manusia yang hampir berdesak-desakan di
jalan itu, sampailah Pangeran Muda dengan Mang Ogel ke
sebuah lapangan yang sangat luas. Di sekeliling lapangan itu
terdapat tempat duduk dan beberapa panggung yang juga
diisi dengan tempat-tempat duduk. Panggung-panggung itu
dihiasi dengan janur dan buah-buahan serta bunga-bungaan
beraneka ragam. Di tengah-tengah lapang itu sendiri berdirilah
menara tinggi yang terbuat dari ikatan-ikatan padi yang
beribu-ribu jumlahnya. Di atas menara padi itu berdiri rumahrumahan,
yang di dalamnya disemayamkan patung Sang
Hiang Sri yang terbuat dari emas murni. Di kaki menara padi
itu ditanamkan orang panji-panji, umbul-umbul yang tiangtiangnya
terdiri dari bambu-bambu betung. Kain panji-panji
dan umbul-umbul itu terbuat dari sutra yang merah, kuning,
putih, hijau, Jingga, nila warnanya. Dari segala perlengkapan
itu sadarlah Pangeran Muda, bahwa kota kecil ini termasuk
kota kecil yang maju dan kaya raya penduduknya.
Ketika Pangeran Muda dan panakawannya sampai di
lapangan, orang sudah berjejal-jejal. Sementara itu, panggung
pun sudah diisi oleh pembesar-pembesar kota. Pembesar dan
para bangsawan duduk di deretan terdepan, di belakang
mereka duduklah putri-putri mereka yang berpakaian
serbaindah dan mengenakan perhiasan-perhiasan yang
gemerlapan. Melihat putri-putri serta emban-emban yang
cantik, bertanyalah Mang Ogel, "Anom, berapa tahun umurmu
sekarang?"
"Hampir tujuh belas, Mang. Mengapa?" Pangeran Muda
bertanya karena heran mendengar pertanyaan Mang Ogel
yang tidak disangka-sangka itu.
"Nah, tadi Anom menasihati Mang Ogel agar tidak mabuk
tuak. Sekarang Emanglah yang mendapat kesempatan
membalas. Emang hendak menasihati Anom: Awas jangan
mabuk oleh kerlingan dan senyuman gadis-gadis itu. Itu
bukan saja akan menghalaukan akal sehatmu, bahkan
menghalaukan seluruh pikiranmu, Anom!"
"Mang Ogel, jangan takut.
"Gadis-gadis itu tidak menarik perhatian saya," ujar
Pangeran Muda. "Ala, ni anak! Kalau Anom tidak memerhatikan mereka,
mereka yang akan memerhatikan Anom. Lihat dirimu sendiri
dalam cermin, Anom. Walaupun kau belum tujuh belas, orang
akan menyangka sekurang-kurangnya kau berumur dua puluh.
Latihan-latihan dan udara sehat di padepokan menumbuhkan
rohani dan jasmanimu dengan cepat. Jadi, hati-hatilah."
"Jangan takut, Mang. Minumlah sepuas-puasnya hingga
kau kehilangan akal warasmu," ujar Pangeran Muda dengan
tersenyum Mereka pun bergabunglah dengan orang banyak yang
berjejal-jejal sekitar lapangan itu.
Ketika bulan muncul di atas benteng sebelah timur kota,
dan menyaingi obor-obor dengan cahaya peraknya, ditiup
oranglah trompet tiram, mendayu-dayu bunyinya. Orangorang
yang ingar-bingar pun sunyilah, tanda upacara
mengelu-elukan Nyai Sang Hiang Sri akan dimulai. Dari
panggung terbesar di tepi lapangan itu tampaklah
Tumenggung Wiratanu berdiri dari tempat duduknya, dan
dengan didampingi oleh beberapa orang pendeta kota ia mulai
berdoa dan berseru kepada Nyai Sang Hiang Sri yang duduk
dengan megah dalam rumah-rumahan di atas menara padi itu.
"Putri Sang Hiang Tunggal yang pemurah
Sang Hiang Sri yang abadi
Lambang kehidupan dan kesuburan
Seluruh warga kota Kuta Kiara menyilakan
Sang Hiang Sri untuk bersemayam selama-lamanya
di tengah-tengah kami."
"Nyakseni" gumam pendeta-pendeta yang diikuti oleh
khalayak. Dan sekarang, sebagai tanda kegembiraan karena
Sang Hiang Sri telah berkenan melimpahkan kemurahannya
kepada kita malam ini, semalam suntuk kita akan berpesta
dan tidak akan pernah tidur, hingga matahari menggantikan
purnama." Selesai pembicaraan itu, dan sebelum Tumenggung
Wiratanu kembali ke tempat duduknya, dari kolong panggung
terdengarlah bunyi trompet diiringi gendang yang
bersemangat, maka gemuruhlah seluruh tempat itu oleh suara
bunyi-bunyian. Tak lama kemudian melompatlah beberapa orang ke dalam
gelanggang dan mulai menari. Mereka segera diikuti oleh
kawan-kawannya yang lain, laki-laki, perempuan, tua, dan
muda. Mereka menari sambil menyanyi mengikuti irama
gendang, mengelilingi menara padi sambil meliuk
melenggang. Melihat kegembiraan anak negeri yang
diperlihatkan dalam tari dan nyanyi itu, hangat pulalah hati
Pangeran Muda. Kalau saja Pangeran Muda bukan seorang bangsawan, dan
bangsawan tinggi pula, mungkin Pangeran Muda sudah
menggabungkan diri dengan barisan yang berlenggang-lenggok
dan melingkar-lingkar bagai ular itu. Akan tetapi, karena
selalu sadar akan kedudukannya, Pangeran Muda hanya
bertepuk. "Mang Ogel, saya sudah beberapa kali mengikuti pesta
macam itu, bahkan pernah ikut menari, tetapi sekali ini
suasana meriah luar biasa," kata Pangeran Muda. Akan tetapi,
ketika tidak ada yang menyahut, Pangeran Muda segera
berpaling ke sampingnya. Ternyata Mang Ogel tidak ada.
Pangeran Muda melihat ke kiri dan ke kanan mencari-cari,
tetapi sia-sia, bukan saja karena orang terlalu banyak, tetapi
orang-orang itu tidak tinggal diam, bergerak kian kemari.
Pangeran Muda mulai kebingungan karena tanpa Mang Ogel
mungkin ia akan tersesat mencari tempat penginapan nanti.
Padahal ia bermaksud tidur sore-sore. Akan tetapi, kemudian
hatniya menjadi lega kembali demi melihat seorang yang
gemuk dan pendek menari-nari dan melambai-lambaikan
tangannya yang lebar dan besar seperti sepitan kepiting itu
dalam barisan manusia yang menari-nari dan melingkarlingkar
mengelilingi menara padi itu.
Sementara itu, ke tengah-tengah orang banyak itu
masuklah orang-orang yang mengusung tempayan-tempayan
besar. Di belakang pengusung-pengusung tempayan itu
berjalan pulalah pembawa niru-niru yang penuh diisi cangkircangkir
tanah liat. Pembagian tuak dimulai, dan orang-orang
pun terburu-buru mengelilingi pengusung-pengusung
tempayan itu. Sementara itu, dari arah lain diusung pula bakibaki
yang berisi makanan-makanan serta buah-buahan. Yang
paling menarik perhatian Pangeran Muda dalam sebuah baki
besar yang diusung oleh empat orang di atasnya berisi seekor
babi hutan besar yang telah dibakar dan dibumbui. Sambil
tertawa dan bersorak-sorak orang mengerumuni babi bakar
itu, dan mulai mempergunakan pisau-pisau untuk mengerat
dagingnya yang berlemak itu. Maka pesta itu pun lengkaplah,
yang menari, yang makan, yang minum semua sibuk.
Ketika sedang asyik memerhatikan segala keramaian itu,
seseorang menyentuh tangan Pangeran Muda. Ketika
Pangeran Muda berpaling tampaklah seorang pemuda
menyodorkan secangkir tuak.
"Untuk memeriahkan kedatangan Sang Hiang Sri, marilah
kita minum bersama," katanya.
"Terima kasih, kesehatan saya tidak mengizinkan saya
minum-minuman memabukkan," jawab Pangeran Muda,
terpaksa berdusta untuk tidak mengecewakan kebaikan
pemuda itu. "Sakit apa?" tanya pemuda itu keheranan, "Saudara
kelihatannya sehat-sehat saja."
"Saya sendiri juga tidak tahu, hanya dukun meminta
kepada saya agar tidak minum tuak dan sebangsanya."
"Air gula boleh" Air buah-buahan?" tanyanya. "Boleh,
terima kasih, tapi jangan menyusahkan." "Tidak
menyusahkan," kata pemuda itu sambil mengambil secangkir
air buah-buahan yang diterima oleh Pangeran Muda setelah
mengucapkan terima kasih.
"Tampaknya Saudara orang baru," katanya pula.
"Saya baru saja datang tadi sore," ujar Pangeran Muda.
"Pantas, Saudara kelihatan asing dan kesepian," kata pemuda
itu sambil tersenyum. "Marilah, bergabunglah dengan kami,
orang muda tidak pantas berada di sini," sambungnya. Sambil
berkata demikian dituntunnya Pangeran Muda ke arah
panggung terbesar, kemudian, dengan melewati tukangtukang
tabuh gamelan di bawah panggung, kawan barunya itu
membawa Pangeran Muda ke dalam suatu tempat di belakang
panggung yang remang-remang disinari obor-obor kecil.
Di sana banyak sekali pemuda yang berumur belasan
sampai dua puluhan. Mereka ada yang bermain dadu, minum
tuak, makan, berpantun-pantunan. Umumnya mereka putraputra
bangsawan. Hal itu kelihatan dari pakaian mereka yang
bersulamkan benang emas atau benang perak, sesuai dengan
tingkat kebangsawanan keluarga mereka. Setiba di tempat itu,
kawan barunya disambut oleh kawan-kawannya, seraya
berbisik-bisik serta tertawa-tawa pergilah ia ke tempat lain,
lupa akan Pangeran Muda yang tertegun di sana dan merasa
asing. Semula Pangeran Muda bermaksud kembali ke tempat
terang untuk menonton orang-orang yang menari, tetapi
untuk mencapai tempat itu harus melangkahi tukang-tukang
bunyi-bunyian yang berada di bawah panggung. Seandainya
Pangeran Muda seorang warga kota yang telah dikenal oleh
mereka, mungkin hal itu mudah saja dilakukan. Akan tetapi,
karena merasa dirinya orang asing, hal itu tidaklah
dilakukannya. Pangeran Muda malah memutuskan untuk
tinggal di tempat pemuda-pemuda itu, sambil meniru-niru
apa-apa yang mereka lakukan agar tidak menarik perhatian.
Main dadu bukanlah kegemaran Pangeran Muda, di
samping itu berjudi ditabukan bagi seorang puragabaya dan
juga bagi seorang calon. Minum tuak demikian juga. Setelah
melihat ke kiri dan ke kanan, tampaklah oleh Pangeran Muda
seorang pemain kecapi buta, yang dengan merdunya sedang
bernyanyi. Pangeran Muda segera melangkah ke sana, lalu
ikut duduk di atas tikar di mana orang-orang muda lain
sedang mengelilingi pemain kecapi itu.
Sambil mendengarkan nyanyian tukang kecapi itu,
Pangeran Muda memerhatikan tingkah laku orang-orang muda
di sana. Seorang muda memberikan uang logam kepada
tukang kecapi buta itu, lalu meminta dinyanyikan sebuah lagu.
Melihat itu, Pangeran Muda segera merogoh uang kecil,
bermaksud meniru perbuatan orang lain agar tidak merasa
terlalu asing dan agar tidak menarik perhatian orang. Akan
tetapi, baru saja lagu selesai, pemuda lain sudah memberikan
uang terlebih dahulu. Kali ini lagunya tidak menarik hati
Pangeran Muda. Oleh karena itu, dilayangkannya pandangan
ke sekeliling. Mengertilah Pangeran Muda, mengapa putra-putra
bangsawan berkumpul di bawah panggung besar itu. Ketika
Pangeran Muda tengadah, berjajarlah putri-putri dan gadisgadis
emban di atas panggung. Mengerti pula Pangeran Muda
tentang kedudukan tukang kecapi buta, yaitu sebagai orang
yang menyampaikan isi hati pemuda-pemuda kepada pemudipemudi
yang berada di atas panggung itu. Pantas, pikir
Pangeran Muda, kalau lagu-lagu yang dinyanyikan oleh tukang
kecapi itu berupa lagu-lagu kasih asmara semata. Dengan
menyadari hal itu, dikembalikanlah uang logamnva ke dalam
kantongnya. Sementara itu, tampak pula beberapa orang tua yang sibuk
di tengah-tengah pemuda-pemuda itu, yaitu orang-orang tua
laki-laki dan perempuan yang bolak-balik naik-turun
panggung. Mak Comblang! pikir Pangeran Muda. Pangeran
Muda mulai merasa tidak betah. Permainan-permainan yang
disaksikannya, walaupun menarik keingintahuannya, adalah
permainan-permainan orang-orang yang lebih tua
daripadanya. Walaupun begitu, Pangeran Muda tidak beranjak
dari tempat duduknya. Diperhatikannya segala gerak-gerik
orang-orang muda dan gadis-gadis itu dengan tekun.
Pada suatu saat datanglah seorang tua ke dekatnya. Orang
ini dengan tidak disangka-sangka berbisik kepadanya,
"Seseorang bertanya kepada Bibi tentang Raden," katanya.
Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Siapakah dia?" tanya Pangeran Muda agak bingung.
"Yang duduk dekat tiang dan sedang memandang bulan
itu," kata orang itu.
Pangeran Muda berpaling dan terhenyak, karena orang
yang menanyakan tentang dirinya adalah seorang putri.
Pangeran Muda tidak tahu, apakah ia merasa takut, gembira,
terkejut, atau apa. Yang disadarinya hanyalah jantungnya
berdegup dengan cepat. Ia pun tidak tahu apa yang akan
dikatakannya kepada putri itu. Baru pertama kali ia
menghadapi pengalaman yang mengguncangkan dan
membingungkannya seperti itu.
"Siapakah dan dari manakah Raden" Nyi Putri ingin sekali
mengetahui. Ia bertanya kepada Bibi, kalau tidak salah Raden
baru pertama kali hadir di pesta seperti ini."
"Saya orang asing, Bibi... dan... besok sudah harus pergi ...
dari ... mana atau ke mana tidak boleh disebutkan. Saya...
seorang cantrik dari suatu padepokan."
Orang tua itu tersenyum, lalu berkata, "Mengapa harus
berdusta" Raden bukan seorang cantrik. Kalaupun bukan
seorang pangeran yang sedang berkelana dan cari
pengalaman, Raden mungkin seorang putra bangsawan,
sekurang-kurangnya putra saudagar."
"Terserah kepada Bibi, tetapi apa yang saya katakan itu
benar." "Baiklah, tetapi Raden harus jawab pertanyaan Nyai Putri,
supaya Bibi dapat mengatakan sesuatu."
"Bibi, katakan saya berterima kasih akan keramahan Tuan
Putri, tetapi saya... saya adalah seorang cantrik yang
melarikan diri dari padepokan untuk menonton pesta ini. Kalau
rahasia tentang nama saya dibuka, saya akan mendapat
kesukaran," ujar Pangeran Muda yang kebingungan.
"Apakah Raden sudah mendapatkan sekuntum bunga lain?"
"Apakah yang Bibi maksud?"
'Jangan pura-pura tidak tahu. Tapi baiklah, Bibi akan
menyampaikan kata-kata Raden," kata orang tua itu, lalu
berjalan ke dalam gelap. Tak lama kemudian sudah tampak
berbisik-bisik dengan putri yang berada dekat tiang, yang
asyik memandang bulan.
Pangeran Muda berdiri dari tempat duduknya, lalu berjalan
dengan maksud meninggalkan tempat itu. Akan tetapi, karena
banyaknya orang, akhirnya ia tertahan di suatu tempat tidak
berapa jauh dari tempat semula. Sementara Pangeran Muda
sedang berpikir-pikir, terjadilah suatu hal yang menarik
perhatiannya. Pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi yang
berada di atas panggung mulai main lempar-lemparan dengan
bunga-bunga, sementara orang tua mereka bercakap-cakap
dan pura-pura tidak tahu. Tidak puas dengan melemparkan
bunga kepada kekasih masing-masing, ada pemudi-pemudi
yang melemparkan perhiasannya, demikian juga pemudapemuda,
ada yang melemparkan gelang-gelang tangan dan
cincin-cincin permatanya. Pangeran Muda dengan gembira
memerhatikan permainan yang menyenangkan itu
Akan tetapi, kemudian hatinya menjadi kecut kembali,
ketika dilihatnya putri itu sedang memerhatikannya dan
tersenyum kepadanya. Pangeran Muda kebingungan, gembira
bercampur cemas. Gembira karena putri itu sangat cantik,
cemas karena hal itu baru pertama kali dialaminya. Di samping
itu, ia merasa tidak senonoh karena terlalu muda untuk
melakukan permainan seperti yang dilakukan oleh yang lainlain.
Tampak pula olehnya bahwa sebenarnya tuan putri jauh
lebih tua daripadanya.
Sementara Pangeran Muda bingung, tiba-tiba putri itu
menaburkan bunga-bungaan kepadanya. Dari baunya yang
segar Pangeran Muda tahu, bahwa bunga-bunga itu adalah
bunga-bunga kenanga. Karena kebingungannya, Pangeran
Muda segera meninggalkan tempat itu dan walaupun
terhalang oleh orang yang berjejal-jejal ia dapat menyelusup,
kembali ke lapangan depan panggung tempat Mang Ogel
sedang menari dengan orang lain.
Melihat Mang Ogel menari sambil sempoyongan, tertawalah
Pangeran Muda. Orang yang gemuk, pendek, dan bertangan
besar itu tampaknya sudah mabuk oleh tuak, bunyi-bunyian,
dan cahaya-cahaya obor. Sambil tersenyum-senyum dan
berpegangan dengan orang-orang lain yang mabuk, ia menarinari
dan menyanyi-nyanyi di tengah-tengah ingar-bingar
bunyi-bunyian. Waktu Pangeran Muda asyik tertawa-tawa
melihat Mang Ogel yang sempoyongan, seseorang terasa
menyenggolnya dengan keras. Pangeran Muda memberi jalan,
tetapi tidak ada orang yang lewat. Kemudian, terasa lagi ada
yang menyenggolnya, lebih keras lagi.
Pangeran Muda sekarang penasaran, ia berpaling, dan
tampaklah di belakangnya beberapa orang pemuda
memandangnya dengan tajam sambil melipat tangan di dada.
Mereka tampaknya marah kepada seseorang, dan Pangeran
Muda pun melihat ke sekeliling, tapi tak melihat ada pemuda
lain atau orang lain yang berhadapan dengan pemudapemuda
yang berjajaran di belakangnya itu.
Pangeran Muda mulai cemas, kalau-kalau orang-orang
muda itu bermaksud tidak baik terhadapnya. Hal itu mungkin
saja, karena orang-orang itu mungkin saja salah sangka dan
menganggap Pangeran Muda sebagai musuh atau orang yang
dicarinya. Tampak oleh Pangeran Muda bahwa orang-orang itu
bukanlah bangsawan-bangsawan yang biasa dikerahkan
menghadapi masalah-masalah seperti itu.
Sementara itu, Pangeran Muda mulai cemas oleh hal lain.
Kalau ia terlibat dalam perkelahian karena salah mengerti,
mungkin ia akan dilepas sebagai calon puragabaya. Di
samping itu, hal yang sangat ditakutinya adalah dirinya
sendiri, karena setiap anggota tubuhnya sangat berbahaya
bagi orang lain. Setiap jarinya, setiap ujung tulang dan otototot
pada tubuhnya yang lampai itu adalah senjata-senjata
yang sangat berbahaya dan kalau sudah bergerak sukar
dikendalikan. Bagaimana kalau senjata-senjata itu dipancingpancing
untuk bergerak oleh orang-orang yang tidak
menyadari akan bahayanya dan berbuat begitu karena salah
sangka atau salah mengerti"
Karena kecemasan-kecemasan seperti itu, Pangeran Muda
segera memikirkan cara-cara untuk menjauhi orang-orang
yang tampaknya salah sangka itu. Hal itu tidak sukar
dilakukannya. Kemampuannya bergerak seperti ular,
dipergunakannya dalam menjauhi orang-orang itu, dan dalam
sekejap mata Pangeran Muda sudah ada di tempat lain, dan
sambil tertawa-tawa melihat penari-penari yang telah mabuk
itu sempoyongan ke sana kemari, saling tabrak satu sama lain.
Makin larut orang bukannya makin kurang, tetapi
sebaliknya. Walaupun Pangeran Muda masih senang
menonton berbagai bentuk pertunjukan yang diadakan orang
di samping tari mengelilingi menara padi itu, ingatannya akan
keberangkatannya esok hari mendorongnya untuk segera
pulang ke penginapan. Setelah malam larut benar, Pangeran
Muda segera mendekati Mang Ogel yang terus juga menari,
walaupun sudah hampir tidak sanggup lagi berdiri. Begitu
mereka bertemu, Pangeran Muda segera memegang tangan
panakawannya itu, lalu menariknya keluar gelanggang. Karena
sudah mabuk benar oleh tuak, Mang Ogel hampir tidak lagi
dapat berjalan. Oleh karena itu, Pangeran Muda terpaksa
harus memapahnya dan dengan tersaruk-saruk membawanya
ke luar dari pusat keramaian itu.
Walaupun sudah hampir tidak dapat berjalan, sambil
bersandar pada tangan Pangeran Muda, Mang Ogel terus
berkata-kata dan tertawa-tawa.
"Hehehe orang-orang di sini sangat baik-baik, ala, tuaktuaknya
tua-tua benar. Heh, Anom, mana gadismu" Pintar
juga Anom ini, dilepas sebentar sudah kecantol. Hehehe,
seorang puragabaya tidak boleh mempergunakan bungabunga,
apalagi bunga kenanga, Anom. Eyang Resi akan
murka, tapi biar, beliau tidak melihat kita hehehe kita harus
pandai, dan minumlah banyak-banyak selagi jauh dari
padepokan, makanlah banyak-banyak hehehe selagi kita sehat
dan gagah perkasa aaaaahh."
Kaki Mang Ogel sudah tidak dapat berpijak lagi, ia seolaholah
mau tidur di tangan Pangeran Muda. Oleh karena itu,
Pangeran Muda terpaksa setengah menggendongnya. Setelah
dari jauh tampak obor besar dinyalakan di depan penginapan,
di suatu tempat yang gelap tiba-tiba Pangeran Muda dihadang
oleh dua orang pemuda. Tampak dengan segera bahwa
mereka adalah kedua orang badega yang mendelik kepadanya
di tengah-tengah keramaian yang baru ditinggalkannya.
Pangeran Muda berhenti melangkahkan kaki, tapi ia pun tak
berkata apa-apa. Di hatinya timbul lagi kecemasan, bagaimana
kalau orang ini memancing-mancing untuk berkelahi.
"Berhenti!" kata salah seorang di antara dua badega itu.
Pangeran Muda berhenti, sambil tetap memegang Mang Ogel
yang sudah tertidur di tangannya.
"Saudara-saudara mungkin salah sangka. Saya bukanlah
orang yang sedang Saudara-saudara cari," kata Pangeran
Muda. "Betul ini orangnya," kata seseorang di dalam gelap, dan
ketika Pangeran Muda berpaling ke sana, tampaklah lima
orang pemuda lainnya, seorang di antaranya adalah
bangsawan muda yang sangat mewah pakaiannya.
Bangsawan muda inilah yang baru saja berkata.
"Saya yakin Saudara-saudara salah sangka," kata Pangeran
Muda, sementara itu didudukkannya Mang Ogel yang telah
mendengkur di sebuah bangku yang ada di tepi jalan.
"Pengecut! Kau tidak akan dapat meloloskan diri, bunga
kenanga itu masih kau selipkan di ikat kepalamu," kata salah
seorang pemuda yang berdiri dekat bangsawan muda yang
berpakaian mewah itu.
"Saya ingin melihat tampang orang ini dengan jelas," kata
bangsawan muda itu sambil melangkah.
"Den Bagus, hati-hati, siapa tahu orang yang tampaknya
pengecut ini membahayakan," kata salah seorang di antara
pemuda itu. "Saya tidak akan berbuat apa-apa karena saya tidak ada
urusan dengan Saudara-saudara," kata Pangeran Muda,
menujukan kata-katanya kepada yang disebut Den Bagus itu.
"Kau punya urusan dengan kami. Kau telah berani
mengganggu gadis-gadis kota ini, kau tak tahu diri, kau orang
asing di tempat ini. Kau harus merasai sendiri bagaimana
akibatnya kalau kau tak tahu diri."
Alangkah herannya Pangeran Muda mendengar tuduhan
itu. Berkatalah Pangeran Muda, "Saya tidak pernah
mengganggu siapa-siapa, apalagi gadis."
"Kau dusta. Apa yang kau pesankan melalui Mak Comblang
itu" Tidakkah kami lihat" Tidakkah kami dengar" Kau sangka
kami pun buta, dan tidak bisa melihat bunga kenanga yang
kau sisipkan di tutup kepalamu," kata Den Bagus.
Pangeran Muda meraba-raba ikat kepalanya, dan terasalah
suatu benda, dan ketika diambil tampak bahwa benda itu
adalah sekuntum kenanga. Teringatlah Pangeran Muda
bagaimana putri itu menaburkan bunga-bunga kenanga
kepadanya. Tentu kenanga itu adalah salah satu yang
tersangkut dan tertinggal pada ikat kepalanya.
"Saya tidak menyisipkan bunga ini. Bunga ini dilemparkan
kepada saya lalu tertinggal," katanya dengan cemas.
"Pengecut! Mayang Cinde tidak tahu pemuda yang menarik
perhatiannya adalah seorang pengecut yang menjijikkan!
Pah!" "Soalnya bukan pengecut atau pemberani, soalnya ada
salah paham. Saya tidak berbuat apa-apa kepada siapa pun,
dan kalau ada bunga di kepala saya, itu di luar tanggung
jawab saya!"
"Pengecut!"
Sementara itu ketujuh pemuda itu sudah mengelilinginya.
"Kalau begitu, bawalah saya ke pengadilan kota, panggillah
gadis dan perempuan tua itu sebagai saksi," kata Pangeran
Muda. Dalam hatinya berdoa, semoga pemuda-pemuda itu
tidak mencoba memukulnya karena ia takut tidak bisa
mengendalikan tubuhnya sendiri.
"Saya anggota Baros" kata salah seorang pemuda itu.
"Saya juga," kata yang lain, sementara itu mereka mulai
menyepak dan memukul Pangeran Muda dari berbagai arah.
Pangeran Muda berusaha sekuat tenaga menguasai tubuhnya
agar tidak memberikan balasan. Apa yang teringat olehnya
adalah hukuman yang mungkin dijatuhkan kepadanya oleh
Eyang Resi, seandainya ia terlibat dalam perkelahian yang siasia
seperti itu. Untuk menghindarkan bahaya yang
dimungkinkan oleh pukulan-pukulan pemuda-pemuda itu,
Pangeran Muda mengeraskan otot-ototnya dan
menghindarkan agar sepakan dan pukulan-pukulan itu tidak
mengenai bagian-bagian tubuh yang lemah.
Karena Pangeran Muda tidak melawan, mungkin mereka
menganggap Pangeran Muda benar-benar pengecut.
Anggapan ini menambah semangat mereka untuk menyiksa.
Pangeran Muda didorong ke dalam selokan. Pangeran Muda
benar-benar menyerah diri pada siksaan mereka itu. Dari
dalam selokan Pangeran Muda diseret, dan sambil terusmenerus
mendapatkan pukulan dan sepakan dibawa ke
sebuah ruangan yang gelap dan besar. Di sana penyiksaan
dilakukan kembali lebih hebat lagi. Betapapun Pangeran Muda
menghindarkan, tak urung darah mengalir dari siku dan
dengkul Pangeran Muda, begitu juga dari bibir atas yang luka
karena sepakan. Selama itu, Pangeran Muda terus-menerus
melindungi bagian-bagian dirinya yang lemah, dan karena
tidak melawan dan berdiam diri, mungkin akhirnya para
penyiksa menganggap Pangeran Muda telah jatuh pingsan.
Seseorang pergi dan kembali dengan seguci air. Air
disiramkan ke kepala Pangeran Muda, dan pemukulanpemukulan
dimulai lagi. Setelah mereka tampak puas dan
ayam jantan berkokok untuk pertama kali, Pangeran Muda
mendengar mereka pergi, lalu mengunci ruangan yang gelap
dan besar itu, setelah satu-satunya lentera di dalam ruangan
itu dipadamkan. Dengan tubuh linu-linu dan darah terasa asin
dalam mulutnya, Pangeran Muda mengucapkan syukur karena
sudah dapat mengendalikan diri dan tidak melakukan gerakanTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
gerakan yang begitu berbahaya yang hanya terdapat pada
anggota-anggota tubuh seorang puragabaya.
Setelah berbaring sebentar melepaskan lelah, ia pun
Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bangkit, lalu meraba-raba dalam gelap itu. Ternyata bangunan
itu seluruhnya dibuat dari kayu jati, dari papan-papan tebal
dan tiang-tiang yang besar-besar. Pangeran Muda termenung
sebentar, kemudian terlintas dalam pikirannya bahwa jalan
satu-satunya adalah lolos lewat genting. Seperti seekor bajing
Pangeran Muda memanjat salah sebuah tiang. Akan tetapi,
dengan kecewa ia menyadari bahwa loteng bangunan itu pun
dibuat sama kuatnya dengan dindingnya. Mungkin bangunan
itu khusus dibuat untuk menyekap orang, demikian pikir
Pangeran Muda sambil duduk di lantai. Setelah terduduk
beberapa lama, ia pun bangun kembali lalu dengan
mengerahkan tenaga memukul salah satu di dinding bangunan
itu dengan tinjunya. Akan tetapi, itu pun sia-sia. Tak ada
pilihan lain bagi Pangeran Muda kecuali menunggu siang hari
dan menunggu nasib selanjutnya dengan siap siaga.
Selagi duduk di lantai itu terdengarlah di luar burung
prenjak, kucica, dan kutilang mulai bernyanyi. Ayam berkokok
bersahut-sahutan. Bersamaan dengan masuknya cahaya dari
luar, terdengarlah palang pintu dipatahkan orang dari luar.
Pintu bangunan itu terbuka lebar-lebar dan di ambangnya
berdirilah Mang Ogel sambil tersenyum, kedua tangannnya
memegang kendali.
"Nah, makanya jangan mengganggu gadis-gadis. Kau
masih terialu muda, Anom. Mang Ogel tidak menyangka,
bahwa orang yang pendiam seperti Anom bisa cekatan seperti
itu mencuri hati seorang putri. Sekarang segera keluar dari
tempat ini."
Pangeran Muda segera berdiri, lalu berjalan dan melompat
di punggung si Gambir. Mang Ogel memecut kudanya,
Pangeran Muda mengikuti dari belakang sambil berseru,
"Mang, sudahkah kau urus utang-utang kita dengan pemilik
penginapan itu" Sudahkah kaubayar makanan kuda?"
"Bagaimana akan mengurus uang, mengurus satu orang
bangsawan muda pun hampir menjadi putih kepala Mang Ogel
hehehe." "Betul, Mang, kalau belum dibayar marilah kita kembali."
"Sudah! Sudah! Pelayan-pelayan kekasihmu itu sudah
membayarnya," sambil menjawab begitu Mang Ogel memacu
kudanya dijalan besar itu seperti seorang yang sedang dikejarkejar
siluman. Pangeran Muda terpaksa meniru agar tidak
ketinggalan. Orang-orang yang berpapasan berloncatan ke
tepi sambil memaki-maki, ayam beterbangan sambil berkotek,
debu mengepul di udara, sedang dari kuda-kuda mereka
membersit bunga-bunga api.
Ketika mereka melewati gerbang kota, para penjaga
terkejut dan berteriak-teriak memanggil mereka Akan tetapi,
Mang Ogel cuma melambaikan tangan sambil berseru,
"Bangsawan-bangsawan kalian sangat ramah hehehe terima
kasih hehehe." Baru setelah jauh sekali dari kota itu Mang
Ogel mengekang kendali kudanya, dan Pangeran Muda pun
dapat menyusulnya.
"Sekarang terangkanlah kepada Mang Ogel, apa yang
terjadi hingga Mang Ogel terpaksa mematahkan palang pintu
orang. Sungguh-sungguh Anom ini nakal rupanya, sungguh
Emang tidak menyangka hehehe."
Pangeran Muda menceritakan apa yang sebenarnya terjadi
dan sambil mengangguk-anggukkan kepala Mang Ogel
mendengarkannya.
"Mengapa kau tidak lari, Anom?"
"Bagaimana saya bisa lari, Mang, dinding dan seluruh
bagian bangunan itu memang dibuat untuk menyekap orang,"
jawab Pangeran Muda.
"Maksud Mang Ogel, mengapa sebelumnya kau tidak ambil
langkah seribu. Tidakkah di padepokan diajarkan, bagaimana
kau harus lari?"
"Soalnya saya tidak mau disangka berbuat sesuatu yang
tidak saya lakukan. Saya mengharapkan diadakannya
pengadilan, supaya masalahnya menjadi terang."
"Engkau terlalu beradab, Anom, sedang orang-orang di sini,
walaupun mereka kaya ternyata bukan saja tidak beradab,
tetapi cukup buas hehehe."
"Bagaimana kau tahu, Mang?" tanya Pangeran Muda.
Mang Ogel mulailah bercerita, "Begitu banyak tadi malam
Emang minum tuak, hingga dunia ini menjadi begitu meriah.
Tapi, seperti juga dunia yang meriah secara dipaksa, segala
kegembiraan itu lenyap dengan segera. Dalam hal Emang,
tidur pulas segera tiba. Yang terakhir Emang ingat adalah
bahwa kita sedang bercakap-cakap dijalan dan Emang sedang
melihat bunga kenanga terselip di ikat kepalamu, Anom."
"Itu tidak sengaja, Mang. Rupanya bunga yang malang itu
terselip ketika orang menaburkannya kepada saya," ujar
Pangeran Muda. "Bukan orang itu, Anom, maksudmu orang yang cantik itu
hehehe memang putri-putri kota itu rupanya senang bikin
susah orang, main lempar-lemparan segala, hingga terjadi
main sekap-sekapan," sambung Mang Ogel.
"Saya sendiri tidak main lempar-lemparan, Mang. Saya
lewat di bawah panggung dan orang itu menaburkan bunga
kenanga. Celakanya saya tidak tahu sekuntum terselip di ikat
kepala saya."
"Orang cantik itu maksudmu, hehehe, dan tentang terselip
atau diselipkan tidak Emang persoalkan hehehe. Baiklah,
mukamu tidak usah berubah warna kalau kau tidak berbuat
apa-apa hehehe. Sekarang marilah Emang melanjutkan
dongeng Emang. Nah, entah berapa lama Emang tertidur di
balai-balai di tepi jalan itu. Baru Emang bangun ketika
perasaan dingin menggigilkan seluruh tubuh Emang. Ketika
Emang membukakan mata yang terlihat di langit hanyalah
tebaran berjuta bintang, sedang jalan-jalan telah sunyi, hanya
pelita-pelita berkelap-kelip di tepinya. Emang sungguhsungguh
geram kepadamu yang tega meninggalkan Emang
kedinginan di tepi jalan ketika itu. Lalu Emang bangkit dan
berjalan ke penginapan. Setiba di sana, apakah yang Emang
lihat" "Lima orang gulang-gulang, seorang emban tua dan
seorang putri cantik sedang menangisimu, Anom. Begitu
Emang datang, putri itu berlari menubruk Emang, kemudian
menyalahkan Emang sambil memujimu, lalu menangis, lalu
bicara hehehe. Sampai Emang jadi bingung, padahal bangun
sempurna pun Emang belum. Dari perkataannya yang
dicampur air mata, dari pujian yang dicampur penyesalan,
pendeknya dari perkataan-perkataan yang seperti ngelindur
yang didengar oleh orang yang setengah bangun ketika itu,
diambillah kesimpulan, bahwa Anom diculik dan disiksa orang
dan Emang harus segera menolong.
"Kata Emang, Anom itu bukan orang biasa, yang
mengganggunya harus bertanggung jawab. Kata putri itu
justru yang menangkapnya pun orang yang tidak biasa, yaitu
Raden Bagus Wiratanu, putra sulung Tumenggung Wiratanu
yang menjadi penguasa kota. Jadi, Emang harus bertindak
dengan segera, sebelum hal-hal yang lebih jelek terjadi. Kalau
begitu, Emang harus mengetahui sebabnya terlebih dahulu
mengapa Anom sampai disekap. Kalau Anom bersalah, kata
Emang, sepantasnya Anom disekap dan Emang tidak akan
membantunya. Bahkan kalau Anom lari, Emang akan
membantu menangkapnya. Dan apakah yang terjadi hehehe
Putri itu menangis keras-keras dan mengatakan dialah yang
bersalah dan minta diampuni. Bersalah bagaimana" tanya
Emang. Nah, jawabnya tepat: Sekuntum kenanga
dilemparkannya kepada Anom, lalu menyangkut di ikat kepala.
Itulah yang menyebabkan Anom disekap."
"Bukan sekuntum Mang, entah berapa puluh kuntum yang
ditaburkannya di kepala saya," sela Pangeran Muda.
"Soalnya putri itu mengatakan sekuntum dan dengan
sekuntum saja engkau babak belur dan disekap bukan" Hche
he." "Baiklah, teruskan, Mang."
"Siapa yang main sekap hanya lantaran sekuntum
kenanga?" tanya Emang.
"Raden Bagus Wiratanu," jawabnya.,
"Wah, Raden Bagus ini tidak bagus, rupanya," kata Emang.
"Memang suka bikin gara-gara dan sekarang pun entah apa
yang dilakukannya terhadap kesatria yang Emang iringkan
itu," ujarnya.
'Apa yang mungkin dilakukannya?" Emang bertanya dengan
cemas. "Mungkin Anom disiksa, di samping itu, di lapangan di
sebuah hutan yang tidak jauh dari rumah putri itu beberapa
orang badega sedang membuat salib dari kayu. Putri itu sudah
mengira esok pagi salib itu diperuntukkan bagimu. Rupanya
engkau akan disate atau diapakan oleh orang-orang yang
tidak beradab itu, Anom. Mendengar itu, Emang pun segera
pergi, minta ditunjukkan tempat kau disekap. Di perjalanan
Emang sempat melihat salib itu, dengan beberapa orang
sedang bekerja di sana, mempersiapkan pembakaranmu
hidup-hidup, rupanya. Dan kisah selanjutnya kau sendiri
mengetahui," kata Mang Ogel menutup bicaranya.
"Hampir saya lupa dan akan memukul orang-orang itu,
Mang," kata Pangeran Muda sambil menarik napas panjang,
menekan kegeraman yang meluap dengan tiba-tiba.
"Anom, kau ini terlalu patuh hehehe. Kalau kau dipukul di
tempat tersembunyi, mengapa tidak membalas?" ujar Mang
Ogel seraya mengerling pada Pangeran Muda.
"Seandainya, saya bernama Mang Ogel, sudah saya makan
orang-orang itu di tempat terbuka ataupun tertutup!"
sambung Pangeran Muda sambil menahan kegeramannya.
Perasaan sedih mulai menusuk hatinya. Bukan sedih karena
tidak dapat melawan ketika dianiaya, tetapi sedih menemukan
kenyataan bahwa ada orang-orang yang buas seperti Raden
Bagus dengan anak-anak buahnya. Rupanya Mang Ogel
melihat kesedihan yang membayang pada wajah Pangeran
Muda karena kemudian ia berkata, "Engkau seorang calon
puragabaya, Anom, janganlah pengalaman itu dianggap luar
biasa. Bagi seorang puragabaya penderitaan, penghinaan, dan
tugas berat adalah bagian dari hidupnya. Untuk segalanya itu,
puragabaya dianugerahi kehormatan dan kemuliaan oleh
rakyat dan sang Prabu. Jadi, lupakanlah, dan bahkan
bersyukurlah karena engkau telah dapat mengendalikan
perasaan dan terutama mengendalikan tubuhmu yang sangat
berbahaya itu."
"Terima kasih, Mang. Nasihatmu mendinginkan hati saya.
Ingatkan saya nanti, bahwa saya akan menyerahkan sajen
bagi para guriang karena saya telah lolos dari bahaya itu,"
sambung Pangeran Muda.
'Anom, pengekangan diri seorang puragabaya pun ada
batasnya. Seandainya jiwanya terancam, bukan saja dia boleh
mempertahankan diri, tetapi bahkan diharuskan baginya
berbuat demikian, asal saja semuanya dapat
dipertanggungjawabkan."
"Saya pun tahu akan hal itu, Mang. Seandainya, mereka
mempergunakan senjata tajam, saya telah melawan mereka.
Akan tetapi, tidak ada di antara mereka yang mempergunakan
senjata, jadi saya berkewajiban untuk mengendalikan diri."
"Anom, mereka tidak mempergunakan senjata tajam
karena akan menyiksamu keesokan harinya. Jadi, janganlah
menyangka mereka itu beradab. Dari gulang-gulang putri yang
mengantarkan Emang mencarimu, Emang mendapat
penjelasan bahwa Raden Bagus ini memang benar-benar
berandal. Banyak pemuda dan bahkan orang-orang tua yang
menjadi korbannya, dan itu kebanyakan karena cemburunya.
Ia mencintai putri yang menyelipkan kuntum kenanga di
kepalamu itu hehehe. Nama putri itu Mayang Cinde, boleh kau
catat di hatimu hehehe."
Pangeran Muda tidak menyahut. Dilihatnya dari jauh
kelompok pohon yang sangat hijau di tengah-tengah padang
yang mereka lalui. Pangeran Muda tengadah. Matahari sudah
tinggi, kuda-kuda perlu minum dan di bawah kelompok pohon
itu tentu ada mata air yang baik. Tampaknya Mang Ogel pun
berpendapat begitu karena setiba di dekat tempat itu ia pun
mengekang kendali kudanya.
SEMENTARA kuda-kuda minum dan mengunyah dedak dari
kantong-kantong kecil masing-masing, Pangeran Muda duduk
di rumput menghadapi santapan yang telah disediakan oleh
Mang Ogel untuk makan pagi. Mereka minum air dari kulit
kukuk kecil dan mencicipi dendeng bakar dengan nasi merah.
Setelah itu, mereka makan buah-buahan yang dibawa dari
Kuta Kiara yang baru mereka tinggalkan.
Setelah selesai makan, dan ketika Mang Ogel sedang
memeriksa alas kaki si Gambir, suara kedatangan
penunggang-pe-nunggang kuda terdengar gemuruh
mendekati tempat mata air itu. Kedua pengembara itu
menyangka ada rombongan lain yang juga hendak memberi
minum kuda, tetapi sangkaan itu meleset.
Setelah dekat tampak bahwa penunggang kuda terdepan
adalah Raden Bagus Wiratanu. Di belakangnya kira-kira
sepuluh orang pemuda lain mengiringkannya, semuanya putra
bangsawan-bangsawan belaka, karena tak seorang pun di
antara mereka memakai pakaian penggawa dan membawa
senjata panjang. Sebagaimana dilazimkan, putra-putra
bangsawan berpakaian hijau muda dengan sulaman benang
emas atau perak, sedang senjata mereka dilazimkan senjatasenjata
kecil yang mudah disembunyikan, kalau mereka
kebetulan menghadiri upacara-upacara di mana banyak
wanita. Persenjataan mereka yang sederhana itu tidaklah
berarti bahwa putra-putra bangsawan kurang berbahaya
daripada gulang-gulang atau jagabaya. Sebaliknya, mereka
jauh lebih berbahaya karena persenjataan yang sederhana
mendapat imbangan kemampuan berkelahi yang tinggi.
Diadatkan bagi para bangsawan untuk mendidik putra-putra
mereka menjadi prajurit-prajurit yang tangguh agar kalau
terjadi perang atau huru-hura, mereka langsung dapat
diangkat menjadi perwira-perwira oleh sang Prabu.
Pikiran-pikiran tentang bahaya itulah yang memenuhi
kesadaran Pangeran Muda ketika rombongan penunggang
kuda itu turun dari punggung kuda masing-masing dan
berjalan berpencar-pencar ke arah kedua pengembara itu.
"Wah, rupanya mereka tidak puas kalau kau hanya babakbelur,
Anom. Bagaimana kalau kau coba hasil latihanmu di
Padepokan itu?"
"Tidak Mang, kita harus berusaha menghindarkan
Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perkelahian," ujar Pangeran Muda setengah berbisik.
"Anom, tapi Anom telah disiksa dan setelah melarikan diri
terus dikejar. Kau berhak melawan, Anom. Jangan biarkan
bangsawan-bangsawan yang kurang ajar itu!" kata Mang Ogel
mulai panas demi melihat pendatang-pendatang mulai
membuat lingkaran mengelilingi mereka.
"Sabar, Mang, kau seharusnya lebih sabar daripada saya
yang lebih muda!"
"Sambal! Saya bukan puragabaya. Kalau ada orang main
pukul seenak perutnya dan membelalak-belalakkan matanya
ke semua arah, pendeta pun akan menendang dupanya.
Anom, mereka harus diajar!"
"Diam, Mang, biarlah saya yang bicara," kata Pangeran
Muda sambil memegang tangan Mang Ogel.
"Saya sedih melihat bekas-bekas pukulan mereka di seluruh
tubuhmu, Anom."
"Cuma kulitnya yang luka, Mang. Tak ada otot yang sakit,
saya berusaha menghindarkan diri dan mereka memukuli saya
dalam gelap," ujar Pangeran Muda. Sementara itu, lingkaran
makin mengecil.
"Baiklah," kata Mang Ogel menjadi tenang. "Tapi carilah
tempat yang baik, kalau-kalau mereka akan mengeroyok kita
nanti. Mundurlah, dan marilah kita berdiri membelakangi
pohon besar ini, agar mereka tidak dapat menyerang dari
belakang," kata Mang Ogel melanjutkan.
Pangeran Muda menyadari akan perlunya kesiapsiagaan.
Maka mereka pun mundur, mendekati pohon besar yang
tumbuh di tepi mata air itu. Ketika itu pengepung-pengepung
telah amat dekat, dan salah seorang yang membawa tambang
memutar-mutarnya di udara hingga anginnya terasa menyibak
Pangeran Muda. "Begundalnya yang ini rupanya yang mematahkan palang
pintu itu. Dia harus mengganti palang pintu jati itu bukan?"
kata Den Bagus sambil berpaling kepada kawan-kawannya.
Kawan-kawannya tertawa, dan salah seorang di antaranya
berkata, "Rupanya kepiting ini mau ikut dibakar, Den Bagus."
Rupanya perkataan itu dianggap lelucon yang lucu oleh
kawan-kawannya yang tertawa pula terbahak-bahak.
"Sekalian menyalakan api, bolehlah," kata Den Bagus
sambil tersenyum.
"Heh, Paman," kata Den Bagus pula kepada Mang Ogel.
"Kesatria asuhanmu ini pintar juga rupanya. Ia berpakaian
pendeta untuk dapat melakukan rencana-rencana asmaranya.
Sungguh suatu cara yang hebat, Paman. Akan tetapi, di Kuta
Kiara akal-akal busuk macam itu tidak disukai dan harus
dibayar." Kawan-kawan Den Bagus tertawa, tetapi dalam cara
yang hambar. "Janganlah mengganggu kami. Kami tidak bermaksud jelek
kepada siapa pun. Dan kalau semalam terjadi sesuatu, hal itu
karena salah paham. Bunga itu kebetulan jatuh di kepala saya
dan terselip di sana tanpa saya sadari. Tentu Saudara-saudara
tidak akan menyalahkan saya. Sedang mengenai apa yang
terjadi terhadap diri saya akibat dari kesalahpahaman itu, saya
dapat mengerti dan bersedia melupakannya dengan setulustulus
hati saya," kata Pangeran Muda.
"Pengecut! Kalau perkataannya itu benar, kita harus
menghukumnya karena kita tidak sudi kota ini diinjak oleh
pengecut seperti kesatria yang kita hadapi sekarang ini. Kalau
perkataannya itu tidak benar, kita harus menghukumnya lipat
dua; pertama, sebagai pendusta, kedua, sebagai pengecut!"
kata Raden Bagus, kemudian ia meludah ke tanah
menunjukkan penghinaannya.
'Jangan mengganggu kami. Juragan-juragan tidak tahu
siapa kami ini," kata Mang Ogel.
'Apa kau, kodok" Kepiting" Kau harus membayar karena
golokmu telah mematahkan palang pintu terongko."
Mendengar cacian itu, Mang Ogel berpaling kepada
Pangeran Muda yang tetap tenang.
"Katakanlah, Anom, bahwa kita dari Padepokan Tajimalela."
'Janganlah mengganggu kami, kami dari Padepokan
Tajimalela sedang menuju daerah Kutabarang, menuju Puri
Anggadipati," kata Pangeran Muda dengan harapan para
bangsawan itu mengerti apa yang dimaksudkan.
"Hahaha! Kepala Udang! Kepala Kepiting! Mula-mula
berdusta katanya kenanga terselip sendiri, kemudian
pengecut, sekarang berdusta pura-pura menjadi puragabaya!"
Den Bagus tertawa terpingkal-pingkal.
"Hah?" seru kawan-kawannya keheranan, lalu yang
seorang sambil tertawa berkata, "Puragabaya macam apa"
Dipukul bukannya melawan, malah melindung-lindungkan
tangannya ke seluruh tubuh. Den Bagus, orang macam ini
memang cocok untuk upacara pembakaran mayat."
Sambil berkata kemudian orang itu bergerak mendekati,
diikuti oleh kawan-kawannya. Mang Ogel membuka pakaian
hitam yang melindungi pakaian putih yang ada di dalamnya.
Mang Ogel memperlihatkan ikat pinggang sutra perak yang
menjadi tanda bahwa ia adalah puragabaya juga dalam
gayanya sendiri. Penunjukan itu diharapkannya agar
mengurungkan maksud buruk para bangsawan muda itu. Akan
tetapi, demi melihat hal itu, tertawa pulalah Den Bagus
dengan kawan-kawannya.
"Kawan-kawan, rupanya kita bertemu dengan badut
sandiwara. Lihat, kepiting gemuk ini memakai ikat pinggang
puragabaya, tapi bentuknya agak lain. Heh, Mang, kapan kau
main sandiwara terakhir sekali?"
"Yang mengherankan, pemain-pemain sandiwara ini punya
kuda-kuda yang bagus sekali, Kawan!"
"Heh! Mungkin kuda-kuda ini curian! Kita perlu
menyerahkannya kepada jagabaya, tapi tentu saja setelah
menggoreng pencuri-pencurinya!"
"Kami minta untuk terakhir sekali, janganlah mengganggu
kami. Kami tidak bertanggung jawab akan apa yang terjadi,"
kata Pangeran Muda sambil bersiap-siap karena lingkaran
makin dekat. "Kata-katanya persis seperti yang biasa diucapkan oleh
tokoh puragabaya dalam sandiwara-sandiwara keliling!"
"Sambal!" kata Mang Ogel.
"Tenang, Mang Ogel," bisik Pangeran Muda.
Ketika itu Den Bagus memberi isyarat kepada kawankawannya
agar penangkapan dimulai.
Pangeran Muda tidak punya pilihan lain, kecuali melawan.
Walaupun demikian, dicamkan dalam hatinya bahwa
seandainya terpaksa melawan, ia akan berusaha agar tidak
ada yang terluka oleh perlawanannya itu.
Sambil tertawa-tawa, kesepuluh orang pemuda itu, kecuali
Den Bagus, berkeliling sambil menyodorkan tangannya ke
muka. Mulutnya tak henti-hentinya berbunyi, seolah-olah
mereka hendak menangkap ayam. Ketika mereka sudah
mendekat, Pangeran Muda meringankan badannya, lalu
melompat melalui kepala mereka sambil bersiap-siap dengan
kakinya. Seperti digerakkan oleh tenaga yang sama, Mang
Ogel menangkap dua tangan lalu sambil menarik kedua orang
yang ditangkap tangannya, dilipatnya kedua tangan itu ke
arah dadanya. Dengan gerakan pertama itu Pangeran Muda sudah berada
di luar kepungan, sementara Mang Ogel terlindung oleh tubuh
dua orang pemuda yang menggeliat-geliat kesakitan.
"Jangan ganggu kami! Mang Ogel, lepaskanlah mereka
kalau mereka berjanji tidak akan mengganggu," kata
Pangeran Muda sambil berdiri dekat Den Bagus.
Akan tetapi, Den Bagus bukannya menjadi sadar,
sebaliknya malah ia naik pitam. Seperti banteng luka ia
menghambur hendak menghantam muka Pangeran Muda
dengan tinju. Pangeran Muda yang selalu siaga,
menggerakkan tangannya secara naluriah. Ketika tangan itu
menangkap sikut dan pergelangan Den Bagus serta
menariknya, kedua kakinya bergerak seirama dalam satu
lingkaran. Dengan gerakan yang selaras ini, tenaga Den Bagus
yang didorong oleh amarah itu bukan saja tidak menemui
sasaran, bahkan terlempar jauh ke belakang Pangeran Muda.
Begitu kerasnya lemparan itu, hingga tubuh Den Bagus
terbanting terjungkir-jungkir ke atas semak-semak di dekat
mata air. Sementara itu, dua orang bangsawan muda yang lain
menyerang Pangeran Muda secara serempak dari kiri dan
kanan. Pangeran Muda hanya sedikit menggeserkan tubuhnya
ke sebelah kiri, seraya tangan kirinya menyentuh sikut
penyerang yang datang dari arah kiri. Orang yang tinjunya
dibelokkan ini tidak dapat lagi mempertahankan
keseimbangannya, kakinya yang kanan terperosok dan ketika
ia hendak jatuh, kawannya yang menyerang dari kanan
dengan tinjunya yang berdesing, menghantam rusuknya
dengan tidak sengaja. Orang yang malang itu tidak dapat
bangun lagi, menggelepar-gelepar di bawah pohon.
Kawan yang merubuhkannya bangkit dan mencari-cari
Pangeran Muda. Akan tetapi, baru saja tampak olehnya dan ia
hendak melangkahkan kakinya, Mang Ogel sudah menangkap
tengkuknya, lalu membalikkan kepalanya ke samping,
memandang ke wajah Mang Ogel yang melotot kepadanya.
Orang itu berteriak karena tulang lehernya berderak.
'Jangan terlalu keras, nanti kudaku lari!" kata Mang Ogel
sambil membanting orang itu ke sebelah kirinya, menyambut
penyerang baru. Suatu tabrakan yang keras tidak dapat
dihindarkan dan dua tubuh bergedebuk jatuh tidak bangkit
lagi. Sementara itu, Pangeran Muda diserang bersama dari
empat arah. Badan serta seluruh anggota tubuhnya bergerak
mengikuti irama serangan lawan. Makin banyak dan makin
cepat serangan, makin cepat pula gerakan kaki dan
tangannya. Bagai seekor burung garuda yang lahap dan ingin
menangkap mangsa, kaki Pangeran Muda seolah tidak
berpijak tampaknya. Dengan putaran-putaran yang indah tapi
berbahaya'ia membagikan hentakan kaki dan hantaman sisi
tangannya. Dalam sekejap telah bergelimpangan keempat
penyerang itu. "Kubunuh kau! Kubunuh kau!" teriak Den Bagus, dan
dengan muka yang berlumuran darah karena duri-duri dalam
semak, ia menghambur dengan badik di tangan. Pangeran
Muda menunggu dengan siaga dan ketika badik itu sudah
sejengkal lagi dari dadanya, Pangeran Muda mengibaskannya
dengan tangan kiri ke sebelah kanan, sambil memutar tumit
kiri dan memindahkan kaki kanan ke belakang. Sekali lagi Den
Bagus melesat, sekarang tidak menerobos semak, tapi
langsung masuk ke dalam kolam tempat air tertampung.
Suara gedebur dan cipratan air pun tersemburlah ke atas.
"Heh, jangan mandi dulu! Kan kita belum selesai, dan itu
bukan tempat mandi, tempat minum kuda!" seru Mang Ogel
sambil melihat Den Bagus yang berusaha bangun dari kolam
seraya batuk-batuk.
"Saudara, bawa kepada ibunya, katakan anak itu jatuh
masuk kolam," kata Mang Ogel kepada dua orang bangsawan
muda yang beku ketakutan melihat segala yang telah terjadi
itu. Dengan takut-takut, kedua orang itu turun ke dalam
kolam, menyelamatkan Den Bagus yang hampir mati
tenggelam. Segalanya telah selesai bagi Pangeran Muda dan Mang
Ogel. Seraya melangkahi badan lawan yang bergelimpangan
dalam semak dan di atas rumput, mereka menuju kuda
masing-masing, kemudian melompatinya dan melecutnya ke
arah padang terbuka. Mereka tak pernah berpaling ke arah
mata air itu, dan tidak berapa lama hilanglah mereka dari
pandangan kedua bangsawan yang memapah Den Bagus.
Mereka lenyap di kaki langit.
Bab 11 Ramalan Ketika matahari hampir condong ke barat, kedua
penunggang kuda itu telah dapat melihat menara-menara
benteng Anggadipati dari jauh. Si Gambir seperti masih ingat
tempat kelahirannya, ia berlari melonjak-lonjak sambil kadangkadang
meringkik. Kuda Mang Ogel yang pendek dan gemuk
dengan susah payah mengejar dari belakang Pangeran Muda
tidak memedulikan Mang Ogel yang berteriak-teriak minta
ditunggu, dipacunya si Gambir hingga seperti terbang larinya.
Baru setelah tiba di bawah bayangan salah satu menara,
Pangeran Muda mengekang kendali. Tak lama kemudian telah
berdiri pula kuda Mang Ogel di sampingnya.
Sementara Pangeran Muda memandang dengan penuh
kerinduan pada benteng tempat kelahirannya, tiba-tiba dari
atas menara berteriaklah seorang gulang-gulang kepada
temannya. "Anom datang! Anom datang!" katanya sambil berlari-lari
turun dari atas menara. Kawan-kawannya yang melihat
Pangeran Muda ikut berteriak-teriak, kemudian tukang
trompet meniup trompet tiramnya keras-keras, dan terheranheranlah rakyat yang sedang berada di pasar dalam benteng
itu. Setelah mereka tahu apa yang terjadi, berlarianlah rakyat,
laki-laki perempuan, orang tua, dan anak-anak bersama
gulang-gulang menghambur dari gerbang benteng mengeluelukan
Pangeran Muda yang baru datang.
Dalam sekejap, kedua pendatang itu sudah dikerumuni oleh
rakyat dan para gulang-gulang yang dengan gembira bersorak
sorai karena pangerannya yang telah dua tahun meninggalkan
benteng sekarang sudah ada di tengah-tengah mereka. Sambil
berebutan menjabat tangan Pangeran Muda atau memegang
kendali si Gambir, tak henti-henti mereka bercakap-cakap satu
sama lain sambil memandang Pangeran Muda. Mereka
keheranan, betapa dalam dua tahun Pangeran Muda sudah
begitu berubah. Kalau waktu meninggalkan Benteng
Anggadipati baru seorang anak, sekarang sudah seorang
pemuda yang berbadan kukuh dan lampai.
Pangeran Muda sendiri berusaha menjabat tangan rakyat
yang banyak dikenalnya. Yang jauh dari kuda dilambainya,
anak-anak kecil diusapnya. Akan tetapi, Pangeran Muda tidak
turun dari kuda, ia takut rakyat akan melihat bekas-bekas
darah lawan-lawannya pada kemeja putih di balik pakaian
perjalanannya. Di samping itu, kalau Pangeran Muda turun,
mungkin orang-orang akan menahannya untuk tinggal
beberapa lama di tengah-tengah mereka. Maka tetaplah
Pangeran Muda duduk di pelana, sambil menyuruh si Gambir
berjalan perlahan-lahan dalam rombongan yang bergerak
Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menuju ke arah pendapa, yang berada tidak jauh dari
lapangan benteng dan pasar itu.
Sambil duduk di atas pelana dan tak henti-hentinya
menyambut tangan rakyat yang memberinya salam atau
melambai mereka yang berdesak-desak dari pintu dan tingkap
rumah, Pangeran Muda memandang kembali dengan saksama
bangunan-bangunan, lapangan, dan orang-orang yang telah
begitu akrab dikenalnya. Kecintaannya akan tempat
kelahirannya tergugah kembali dan bersama perasaan itu
terbit pula rasa bangganya. Pangeran Muda bangga karena
walaupun kecil, kotanya merupakan salah satu tempat yang
paling beradab di daerah kerajaan. Orang-orangnya ramahtamah
dan rajin-rajin, suka akan pengetahuan dan keindahan.
Jalan-jalannya teratur dan bersih, sementara masyarakat
hidup dengan tertib. Tidak pernah Pangeran Muda melihat
bangsawan-bangsawan muda memacu kuda dalam kota dan
menakutkan para pedagang atau pejalan kaki, seperti
beberapa kali dilihatnya dalam Kuta Kiara yang baru saja
dikunjunginya. Demikian juga, di daerah kekuasaan Wangsa
Anggadipati, Pangeran Muda tidak dapat membayangkan
adanya gerombolan pemuda seperti dipimpin oleh Raden
Bagus Wiratanu.
Rupanya Mang Ogel melihat juga perbedaan yang sangat
mencolok antara Benteng Anggadipati dengan Kuta Kiara.
"Ayahanda adalah seorang besar, Anom. Hanya orang
besar yang dapat memimpin kotanya menjadi begini
menyenangkan."
"Ayahanda sangat cinta pada kota iya, Mang. Setelah
putra-putrinya, maka yang menjadi bahan renungannya
adalah bagaimana agar kotanya baik dan menyenangkan bagi
penghuninya. Itulah sebabnya kota ini menarik begitu banyak
pendatang, hingga Ayahanda meluaskannya. Mang Ogel tadi
melihat dinding benteng yang masih baru. Itu khusus didirikan
untuk menampung warga kota yang berlebihan. Demikian
juga halnya kampung-kampung di sekeliling benteng yang
termasuk kekuasaan Ayahanda. Kampung-kampung ini banyak
dijadikan tempat tinggal oleh orang-orang yang datang dari
daerah-daerah kerajaan yang jauh-jauh. Mereka senang
tinggal di kampung-kampung itu karena keamanan kampung
terjaga dengan baik. Perampok tidak berani menyentuh
kampung-kampung itu bukan karena rakyatnya bersenjata,
tetapi para gulang-gulang dan jagabaya setiap malam
berkeliling di atas kuda. Mang Ogel dapat melihat, bagaimana
jalan-jalan padang itu terang benderang oleh obor-obor
mereka." "Saya senang dengan Ayahanda, Anom."
"Beliau juga menyatakan senang kepadamu, Mang."
"Beliau orang yang sangat dalam."
"Apa maksud Emang?" tanya Pangeran Muda.
"Beliau banyak menguasai ilmu-ilmu mulia, dan itu dengan
mudah dapat kita lihat dari sinar mata, tutur kata, dan tingkah
laku beliau."
"Mungkin, Mang. Saya tidak banyak membandingbandingkan
Ayahanda dengan orang lain," jawab Pangeran
Muda sambil tersenyum. Sementara bercakap-cakap demikian,
tak henti-hentinya Pangeran Muda melambaikan tangan atau
memberi salam pada tangan-tangan yang diulurkan oleh
rakyat dan gulang-gulang yang mengelu-elukannya.
Tak lama kemudian tampaklah pendapa dan para keluarga
yang siap mengelu-elukan kedatangan Pangeran Muda di
sana. Si Gambir dipercepat jalannya, kemudian Pangeran
Muda turun dari pelana untuk menghormati orang tua dan
para anggota keluarga lainnya. Setiba di hadapan mereka,
Pangeran Muda pun menghaturkan sembah. Ayahanda
merangkulnya, sementara Ibunda menitikkan air mata
kegembiraan. Ayunda memegang tangannya dan
memandangnya keheranan.
"Adikku, kau jauh lebih tinggi dari Ayahanda sekarang,
padahal umurmu..."
"Tujuh belas, Ayunda," kata Pangeran Muda sambil
tersenyum. Mang Ogel yang sedang bercakap-cakap dengan Ayahanda
berpaling dulu dan berkata, "Latihan-latihan dan makanan
padepokan sangat sehat dan mempercepat tumbuhnya rohani
maupun jasmani, Tuan Putri."
Sambil memasuki ruangan dalam istana, di mana Pangeran
Muda disambut oleh isi istana"para gulang-gulang,
panakawan, dan para emban"mereka terus bercakap-cakap.
Setelah mereka duduk untuk beberapa lama di ruangan
tengah istana, dan setelah air sejuk dikelilingkan dengan
berbagai macam buah-buahan, para bangsawan bersantaplah.
Pangeran Muda duduk diapit oleh Ibunda dan Ayahanda,
sedang Mang Ogel duduk dekat Ayunda. Ketika itulah
Ayahanda menyampaikan kabar gembira, yaitu bahwa Ayunda
telah dipinang oleh Pangeran Rangga Wesi, masih keponakan
sang Prabu. Ayahanda menjelaskan, mereka bertemu ketika
putra Mahkota berkenan berkunjung ke Benteng Anggadipati.
"Pernahkah Putra Mahkota datang?" tanya Pangeran Muda
dengan penuh perhatian.
"Ya, anakku. Beliau berkenan dengan kota kita ini. Beliau
pun mengetahui bahwa engkau menjadi calon puragabaya.
Begitu banyak pengetahuan beliau tentang semua bangsawan,
hingga nama kudamu pun diketahui beliau."
Mendengar penjelasan itu, heran dan kagumlah Pangeran
Muda. Ingin sekali Pangeran Muda bertemu dan bertanya,
bagaimana sampai Putra Mahkota mengetahui nama si
Gambir. "Dari mana mereka tahu tentang hamba, Ayahanda?"
"Itulah yang mengherankanku, tetapi tentu saja seorang
Putra Mahkota yang mendapat pendidikan sebaik-baiknya
akan memiliki kemampuan yang sebaik-baiknya pula dalam
banyak hal. Beliau sangat ramah dan "menyenangkan. Kita
tahu, anakku, banyak putra-putra bangsawan yang berandal
dan menjadi pengganggu ketenteraman masyarakat. Mereka
seharusnya malu oleh kehalusan perangai Putra Mahkota."
"Hamba pun ingin sekali berkenalan dengan Pangeran
Rangga Wesi, Ayahanda."
"Ia anak muda yang halus, anakku. Ia pun sangat ingin
bertemu dengan engkau, bahkan berpesan kepada kakakmu,
agar"kalau sempat "kau berkunjung ke Pakuan Pajajaran
untuk menemuinya."
"Sayang sekali, hamba sangat sibuk, bahkan libur sekarang
pun hanya sepuluh hari lamanya, empat hari terambil oleh
perjalanan. Tapi tak apalah karena seperti sering Ayahanda
katakan, bukan mencari ilmu namanya kalau tidak prihatin,"
kata Pangeran Muda.
"Anakku, janganlah terganggu makanmu. Kakanda, jangan
ganggu dia. Dia tentu kelelahan dan harus banyak makan."
"Hamba makan sangat rakus, Ibunda. Ini sudah piring
ketiga," kata Pangeran Muda sambil memegang tangan
Ibunda yang ketika itu mulai lagi bercakap-cakap dengan
Mang Ogel tentang Padepokan Tajimalcla.
"Bagaimana pelajaranmu, anakku?"
"Rata-rata, Ayahanda. Banyak calon yang lebih baik
daripada hamba, tetapi hamba yakin hamba tidak akan
ketinggalan benar."
"Aku percaya padamu, anakku."
Selesai bersantap dan ketika isi istana mengundurkan diri
untuk beristirahat, datanglah lima orang bangsawan muda,
sahabat-sahabat Pangeran Muda yang telah lama
ditinggalkannya.
"Apa kabar, Ginggi" Bagaimana lukamu dulu itu Galih" Nah,
ini dia tukang sihir kita, mana batu cincinmu?"
"Selamat datang, Anom. Selamat datang puragabaya!" kata
mereka memberi salam. Mereka pun bercakap-cakap tentang
berbagai hal dengan gembira, hingga akhirnya mereka
membuat perjanjian bahwa esok harinya, pagi-pagi benar
mereka akan berangkat ke padang perburuan, untuk
menggembirakan Pangeran Muda.
Keesokan harinya, setelah mohon diri kepada orangtuanya,
Pangeran Muda pun berangkatlah dengan lima
bangsawan muda itu, diiringi oleh lima belas pencalang dan
beberapa puluh ekor anjing
PADANG perburuan terletak antara huma dan ladang
palawija penduduk dengan rimba raya yang terbentang seperti
tidak habis-habisnya. Dengan melalui jalan kampung,
rombongan melewati perhumaan, kemudian masuk ke dalam
padang rumput dan alang-alang yang diselang-seling oleh
semak-semak. Karena adanya peraturan Ayahanda yang
mewajibkan para pemburu membunuh babi hutan sebelum
memburu binatang-binatang lain, perburuan babak pertama
dilaksanakan terhadap binatang hama ini. Rakyat petani
sangat bersenang hati dengan adanya perburuan besarbesaran
itu, dan dari kampung-kampung itu pun berbondongbondonglah
mereka membawa senjata masing-masing sambil
menuntun dua atau tiga ekor anjing setiap orangnya. Maka
rombongan pun gemuruhlah, seakan-akan hendak pergi
berperang layaknya.
Setelah berpuluh-puluh babi hutan dapat dibunuh, dan
setelah binatang-binatang itu disembelih dan dikumpulkan di
suatu tempat, pergilah rombongan menuju padang yang lebih
dekat ke dalam rimba, di mana kijang, menjangan, banteng,
dan badak berada. Pangeran Muda melarikan si Gambir pelanpelan,
sambil berusaha agar berjalan menentang arah angin.
Matanya nyalang mengawasi padang yang seolah-olah
berbatasan dengan kaki langit. Tiba-tiba seorang pencalang
melarikan kudanya mendekati Pangeran Muda lalu menunjuk
ke suatu tempat di tepi langit. Karena sudah biasa, mata
Pangeran Muda dapat melihat sekelompok besar menjangan
dan kijang sedang beristirahat. Para bangsawan dan
pencalang pun berundinglah mengatur pengepungan,
kemudian dibagi-bagi-lah rombongan yang akan menghalau
binatang-binatang itu ke daerah semak-semak supaya mudah
dikepung. Setelah perundingan selesai, para pemburu yang
berkuda pun berangkatlah, sedang yang tidak berkuda
berjalan atau berlari-lari mengikuti.
Tak berapa lama kemudian kelompok menjangan itu pun
telah terkurung oleh kepungan pemburu yang berbentuk
setengah lingkaran. Binatang-binatang ini digiring ke arah
semak-semak rambat, agar kuda-kuda mudah mengejarnya
dan para pemburu dapat menombak atau memanahnya.
Semua anjing sementara ditahan, agar tidak terlalu cepat
menakutkan binatang yang mulai kebingungan. Kemudian,
setelah lingkaran cukup kecil, dilepaslah anjing-anjing itu.
Ramailah salak mereka menghalaukan binatang-binatang yang
ketakutan itu ke arah hutan rambat. Tidak berapa lama para
pemburu telah melepaskan anak panah dan tombak mereka.
Dalam keributan itu, Pangeran Muda melihat rusa yang
besar sekali. Tanduknya sangat panjang. Pangeran Muda
memacu si Gambir ke arah binatang yang sedang mencoba
melarikan diri itu. Akan tetapi, karena si Gambir"seperti juga
menjangan itu"mendapat kesukaran dalam melintasi hutan
tumbuhan rambat itu, jarak antara pemburu dengan yang
diburu tidak banyak berubah. Kedua-duanya makin lama
makin jauh ke tengah hutan rambat dan menuju rimba raya
yang menjulang di hadapan mereka.
Karena takut kehilangan binatang buruannya, Pangeran
Muda memacu si Gambir sambil berseru-seru memberikan
semangat kepada beberapa ekor anjing yang dengan susah
payah mengikuti dari belakang. Akan tetapi, si Gambir yang
telah berusaha keras itu kakinya tersangkut tumbuhan rambat
dan jatuh, dengan terlebih dahulu melemparkan Pangeran
Muda berguling-guling ke depan. Karena menganggap bahwa
di atas pelana kuda lebih sukar daripada berlari, Pangeran
Muda tidak berpaling lagi pada si Gambir. Pangeran Muda
terus berlari, melompat-lompat, makin lama makin dekat ke
arah binatangyang kelelahan itu. Dalam suatu jarak jangkauan
tombak, Pangeran Muda berhenti, lalu melontarkan
senjatanya. Rusa yang sedang kebingungan tiba-tiba
dikejutkan oleh tusukan senjata itu di dekat lehernya. Karena
terkejut dan kesakitan ia melompat dan berhasil melintasi
rumpun tumbuhan rambat yang sangat tinggi.
Pangeran Muda dengan memindahkan tombak-tombak lain
dari tangan kiri ke tangan kanannya, terus berlari melompatlompat;
semangatnya naik, karena yakin, binatang yang
bertanduk indah itu akan didapatnya. Ia terus berlari dan
bertari, hingga akhirnya binatang itu masuk ke dalam rimba.
Pangeran Muda makin bersemangat, karena yakin, akhirnya
binatang itu akan tersesat di antara pohon-pohon rimba yang
lebat itu. Akan tetapi, ternyata hutan yang dimasukinya tidak terlalu
lebat, bahkan seperti sebuah taman yang besar ditumbuhi
oleh pohon-pohonan besar yang indah. Di bawah pohonpohonan
terhampar lumut hijau atau keemasan yang tebal
dan lembut di bawah telapak kaki.
Dengan dituntun oleh bekas jejak rusa di atas lumut itu,
dan dengan melihat binatang itu berkelebatan di antara
pohon-pohon yang besar, Pangeran Muda terus berlari dengan
tombak siap di tangan kanan, sedang di tangan kiri tiga
batang lagi sebagai persediaan. Akan tetapi, tiba-tiba
Pangeran Muda terhenti, di hadapannya terbentang sebuah
danau yang besar dan airnya jernih sedang rusa itu tidak
tampak lagi, mungkin telah rubuh dan terbaring di dalam
semak di tepi danau itu.
Pangeran Muda menajamkan matanya melihat ke dalam
semak-semak, yang samar-samar tampaknya karena kabut
kebetulan meliputi bagian hutan itu. Berulang-ulang Pangeran
Muda menengadah ke langit, merasa kesal karena kabut
mengganggu usahanya dalam mencari binatang buruannya.
Dalam pada itu tampak oleh Pangeran Muda bianglala yang
sangat indah, seolah-olah turun ke permukaan danau yang
ada di hadapannya. Ketika itu bertiuplah angin semilir dan
ketika kabut yang tergantung di permukaan danau itu
tersibak, Pangeran Muda melihat pemandangan yang
memesonakan. Di tengah-tengah danau itu terdapat sebatang pohon yang
terapung. Di atas batang pohon besar yang terapung itu
duduklah tiga orang putri yang cantik, sedang di ujung batang
itu, tidak jauh dari mereka berdirilah seorang kesatria yang
sangat tampan, memegang galah yang menjadi pendayung.
Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mereka berlayar di atas batang pohon itu, putri-putri
bernyanyi kecil sambil mencelupkan kaki mereka yang indah
ke dalam air yang jernih. Sementara itu, di seberang danau, di
semak-semak yang berbunga-bunga seperti sebuah taman,
tampak pula beberapa putri cantik dengan beberapa kesatria
sedang bercengkerama. Melihat pemandangan yang sangat
cantik itu hampir tidak dapat dikejapkan mata Pangeran Muda.
Pangeran Muda memerhatikan satu per satu putri-putri dan
kesatria-kesatria itu. Putri-putri itu mengenakan pakaian yang
tidak pernah ditemukan macamnya di daerah mana pun. Kain
yang dipakai mereka begitu halusnya, hingga seolah-olah tidak
ditenun dari kapas atau sutra, tetapi dari awan yang diwarnai
oleh cahaya bianglala. Para kesatrianya berpakaian gagah
pula, dengan kain-kain putih, ikat-ikat pinggang keemasan
atau keperak-perakan, sementara ikat kepala mereka tidak
pernah ditemukan pula macamnya.
Selagi Pangeran Muda terbelalak memerhatikan mereka,
salah seorang putri yang sedang berlayar melihat ke arahnya.
Tampak putri itu terkejut dan berseru, "Manusia!" Dalam
sekejap, kabut menutupi mereka dan ketika angin bertiup
menghalau kabut itu dan memperlihatkan danau kembali, para
kesatria dan putri-putri itu gaib dari sana. Sadarlah Pangeran
Muda bahwa makhluk-makhluk yang baru dilihatnya bukan
manusia, tetapi para bujangga dan pohaci yang turun dari
Buana Padang dan bercengkerama di hutan larangan yang
telah dimasuki dengan tidak sengaja.
Sadar akan hal itu Pangeran Muda pun terpukaulah.
Kemudian sayup-sayup terdengar olehnya salak anjing-anjing
pemburu, dan tak berapa lama kemudian terdengarlah para
pemburu lain dengan cemas berseru-seru, "Pangeran! Anom!
Ahooooooy! Huuuuuuuuuh! Anom!"
Dengan gontai, Pangeran Muda melangkah kembali dari
tepi danau itu, berjalan ke arah suara kawan-kawannya. Tak
lama kemudian bermunculanlah mereka dan dengan gembira
berlari ke arah Pangeran Muda. Akan tetapi, ketika sudah
dekat, tertegun dan memandang ke dalam mata Pangeran
Muda dengan penuh pertanyaan, "Apa yang terjadi, Anom?"
Sambil berpegang pada bahu Ginggi karena kedua lututnya
gemetar seolah-olah tak mampu mengusung berat badannya,
Pangeran Muda berkata, "Ginggi, saya melihat makhlukmakhluk
suci." "Pangeran, di mana?"
"Di atas danau itu." Ginggi melihat ke atas danau yang
lengang. "Mereka sudah tiada. Saya telah mengusik mereka dengan
tidak sengaja, Ginggi," kata Pangeran Muda. "Sekarang,
marilah kita pulang."
Kelima bangsawan muda dengan Pangeran Muda di
tengah-tengah mereka, melangkah tanpa bercakap-cakap dari
hutan yang indah dan hening itu.
"Hutan ini suci," bisik Girang.
"Marilah segera kita keluar." Mereka pun melangkah
tergesa-gesa, tapi berusaha tidak berisik.
Setiba di tepi hutan itu, para pemburu berjingkrak-jingkrak
dengan gembira di suatu tempat. "Ada apa?"
"Rusa besar ini, Anom telah menombaknya!"
Ternyata rusa besar itu rubuh, tetapi di tempat yang sangat
tidak disangka-sangka, yaitu di tepi hutan larangan itu.
Barangkali binatang memiliki pancaindra yang lebih halus,
hingga mereka tidak berani memasuki atau mati di hutan yang
suci itu. Walaupun Pangeran Muda gembira dengan
ditemukannya binatang itu, kegembiraannya diseliputi
perasaan yang aneh, perasaan yang digugah oleh
pengalamannya yang luar biasa itu.
MALAM harinya para pemburu mengadakan pesta. Acara
makan besar dan minum tuak dilakukan dengan segala bunyibunyian
dan tari-tarian di gelanggang. Pangeran Muda sendiri
tidak menggabungkan diri dengan rakyat yang bersukaria itu,
tetapi bersama bangsawan-bangsawan muda lainnya
mengerumuni seorang tukang pantun buta yang biasa
menghibur isi istana.
Ketika babak pertama dari acara pantun itu selesai dan
tukang pantun sedang beristirahat sambil makan hidangan
yang disajikan untuknya, Pangeran Muda bertanya,
"Bagaimana musim ini, Mang Wentar" Banyakkah orang yang
mengundangmu untuk bernyanyi?"
"Banyak sekali, Anom, hingga kadang-kadang Emang
kewalahan."
"Kalau begitu, Emang akan cepat kaya, Mang Wentar."
"Kekayaan akan membuat Emang malas dan mungkin
besar kepala, Anom. Hanya menyanyilah yang akan membuat
Emang bahagia dan awet muda."
"Jadi, dengan banyaknya yang mengundang Emang sangat
berbahagia dan akan awet muda, Mang?" tanya Pangeran
Muda. "Saya dengar Mang Wentar baru saja kawin lagi, Anom,
padahal baru satu tahun ditinggalkan oleh bibinya," ujar
Ginggi. "Anom, belum tentu banyak menyanyi menyebabkan
Emang berbahagia. Emang hanya berbahagia kalau Emang
menyanyikan cerita-cerita yang baik. Sayangnya sekarang
banyak sekali orang kaya dan bangsawan-bangsawan yang
meminta cerita-cerita yang jelek, kasar bahkan kurang ajar."
Mendengar penjelasan itu, keherananlah bangsawanbangsawan
muda yang berbaring sambil makan buah-buahan
di sekeliling tukang pantun buta itu.
"Cerita-cerita kurang ajar bagaimana, Mang?" tanya
seorang di antara mereka.
"Begini, Juragan-juragan. Ada cerita-cerita yang baik, yang
menarik bagi orang-orang yang halus budinya, misalnya cerita
Munding Laya Dikusumah, Lutung Kasarung, dan sebagainya.
Tapi banyak pula cerita-cerita yang jelek, yang Emang tidak
mau menyebutkannya. Dalam cerita-cerita ini banyak terjadi
adegan-adegan perkelahian, adegan-adegan tidak senonoh,
lelucon-lelucon kasar. Dan sialnya, justru bagian-bagian yang
jelek inilah yang menarik kebanyakan pendengar sekarang,
sedang hal-hal yang lebih halus dan lebih berharga untuk
mendapat perhatian, tidak mereka pedulikan. Itulah sebabnya
uban Emang tumbuh di kepala," kata orang buta itu sambil
tersenyum. "Eh, Mang Wentar," kata Ginggi, "pernahkah Emang
menyanyikan kisah di mana ada tokoh yang bertemu dengan
bujangga dan pohaci?"
"Pernah, beberapa kali. Nah, tokoh yang bertemu dengan
makhluk-makhluk suci ini biasanya nasibnya aneh. Ia
mendapatkan sesuatu yang terbaik di dunia ini, tetapi
sekaligus juga mendapatkan yang terjelek. Kadang-kadang
Emang berpikir, apakah kita harus kasihan kepada tokoh itu
atau harus turut gembira. Sungguh aneh," katanya.
Mendengar cerita orang tua itu para bangsawan muda
melihat pada Pangeran Muda yang mendengarkan dengan
penuh perhatian.
"Apakah Emang suka meramalkan nasib seseorang, Mang?"
tanya salah seorang sahabat Pangeran Muda, lalu
melanjutkan, "bagaimana nasib salah seorang dari kamu yang
bertemu dengan bujangga dan pohaci, apakah juga akan
mendapatkan hal terbaik dan terjelek sekaligus?"
"Tidak tahu, Emang bukan tukang ramal atau nujum,
apalagi tukang sulap atau sihir. Emang adalah tukang pantun
yang cuma bisa bernyanyi dan memetik kecapi."
Kemudian orang tua itu menjentik kawat-kawat kecapi
dengan jari-jarinya yang lincah-terampil, dan menyanyilah ia
dengan merdunya tentang kerajaan zaman dahulu kala,
tentang putri cantik jelita dan pangeran cendekia.
Bab 12 Pengadilan Setelah bersama-sama mendengarkan nyanyian tukang
pantun itu, para bangsawan muda membuat perjanjian lagi.
Mereka merencanakan acara mengail di danau yang berada
tidak jauh dari Puri Anggadipati, dan malam itu juga
perbekalan disiapkan. Mang Ogel yang tertarik oleh acara itu
bersedia pula untuk menggabungkan diri dengan anak-anak
muda itu. Akan tetapi, esok harinya, pagi-pagi sekali suatu
perintah datang dari Pakuan Pajajaran, meminta agar
Pangeran Muda segera kembali ke Padepokan Tajimalela.
Pesan ini sangat mengejutkan dan merisaukan hati
Pangeran Muda. Bukan saja baru dua hari Pangeran Muda
berada di tengah-tengah keluarganya, tetapi datangnya
perintah dari Pakuan Pajajaran dan dari bangsawan yang tidak
dikenalnya sungguh menimbulkan kecemasannya. Akan tetapi,
karena tidak ada pilihan lain, setelah menggagalkan segala
rencana, hari itu juga Pangeran Muda dan Mang Ogel
berangkat meninggalkan Puri Anggadipati.
"Janganlah berkecil hati, Anom. Tak ada kesalahan yang
kaulakukan," kata Mang Ogel.
"Saya berlindung pada Sunan Ambu dan Sang Hiang
Tunggal yang Maha Mengetahui. Seandainya memang saya
akan diadili karena kejadian di Kuta Kiara itu, saya merasa
bahwa saya sudah cukup berusaha menahan diri, Mang."
'Anom, mungkinkah di antara mereka ada yang meninggal
karena pukulan-pukulanmu?" tanya Mang Ogel.
"Saya kira tidak, Mang. Saya tidak pernah memukul mereka
dalam arti yang sebenarnya. Mereka rubuh dan terpukul oleh
tenaga mereka sendiri. Akan tetapi, saya tidak yakin, apakah
di antara mereka ada yang terluka parah atau tidak. Yang
saya yakin, saya telah mengendalikan anggota-anggota badan
saya sebaik-baiknya."
"Mudah-mudahan saja tidak ada yang tewas di antara
mereka itu," kata Mang Ogel. "Kalau sampai ada yang
meninggal, sukar bagi kita untuk mempertahankan diri di
muka pengadilan, Anom."
"Pernahkah ada peristiwa seperti yang kita alami, Mang?"
"Selama Emang ada di padepokan, baru dua kali."
"Apakah ada yang dipecat dari kedudukan sebagai calon?"
"Selama Emang di padepokan belum ada, tetapi
sebelumnya pernah ada yang dipecat dan dibunuh karena
terpaksa. Namanya menurut kabar Raden Jaya."
Pangeran Muda tidak mengatakan apa-apa lagi, dan
perjalanan yang panjang dan sepi pun dilanjutkan, hingga
pada hari keempat sampailah mereka di Padepokan
Tajimalela. SEJAK saat pertama Pangeran Muda memijakkan kaki
kembali di padepokan, terasa bahwa seluruh padepokan
bersuasana murung. Dari Eyang Resi hingga ke para
panakawan kelihatan bersedih dan cemas. Di samping
suasana murung itu dalam lingkungan padepokan itu terdapat
hal yang tidak biasa, yaitu kehadiran tiga orang puragabaya
yang sengaja datang dari Pakuan Pajajaran. Mereka itu adalah
Rangga Sena, Girang Pinji, dan Geger Malela. Mereka
mendapat tugas untuk melakukan acara pengadilan terhadap
Pangeran Muda. Malam itu, dalam ruangan tertutup dan hanya berdua
dengan Eyang Resi, Pangeran Muda menjelaskan apa-apa
yang terjadi. Tak ada satu hal pun yang disembunyikan atau
dipalsukan. Pangeran Muda memberikan segala kisah kejadian
dari permulaan ke akhirnya selengkap-lengkapnya.
"Baiklah, marilah sekarang kita bersembahyang bersama,
mudah-mudahan Sunan Ambu melindungi kita. Eyang yakin,
kau tidak bersalah. Eyang kenal kepadamu."
Kemudian mereka pun pergilah ke dalam candi dan dalam
kesunyian malam itu, guru dan murid melakukan sembahyang
yang khusyuk. Keesokan harinya acara pengadilan pun dilaksanakan.
Seluruh isi padepokan diperintahkan untuk hadir dalam
ruangan besar yang biasa dipergunakan untuk belajar atau
latihan. Para calon duduk berjajar bersaf-saf, dan Pangeran
Muda dipersilakan duduk paling depan, didampingi oleh Mang
Ogel yang bertindak sebagai salah seorang saksi.
Berjajar menghadapi meja panjang dan menghadap pada
para calon duduklah empat orang anggota peradilan, yaitu
Eyang Resi Tajimalela, puragabaya Geger Malela, Rangga
Sena, dan Girang Pinji. Setelah doa-doa dipanjatkan dan
ruangan hening kembali. Puragabaya Geger Malela
menjelaskan secara resmi maksud kedatangan mereka ke
padepokan. Ia menjelaskan bahwa atas dasar pengaduan dari
Tumenggung Wiratanu, penguasa Kuta Kiara, ketiga
puragabaya itu ditugaskan oleh sang Prabu untuk melakukan
pemeriksaan dan langsung melakukan pengadilan kalau
segalanya menjadi jelas. Setelah memberikan penjelasan
demikian, mulailah Geger Malela mengeluarkan kotak lontar
yang kemudian diserahkan kepada Rangga Sena untuk
membacanya. Rangga Sena mulai mengambil beberapa helai lontar,
kemudian ia mulai berkata, 'Akan saya bacakan keterangan
tertulis dari Tumenggung Wiratanu, sebagai pengantar bagi
pengaduannya. Keterangan tersebut adalah sebagai berikut:
? Pada suatu hari ke Kuta Kiara datang seorang calon
puragabaya dengan seorang panakawannya. Calon
puragabaya itu berbadan lampai berisi dengan rambut
tebal agak ikal, terurai hingga ke pundaknya. Pada ikat
kepalanya yang berwarna gading diikatkan pula
serangkai mutiara, menandakan bahwa ia seorang
putra bangsawan tinggi. Pakaian calon puragabaya
yang berwarna putih dilindunginya dengan pakaian
berwarna hitam. Pakaian luar ini dikancingkannya
dengan rapat, hingga sukar bagi orang yang melihatnya
untuk mengetahui bahwa ia adalah seorang calon
puragabaya. ? Calon ini bersama panakawannya datang ke Kuta Kiara
dengan cara memacu kuda mereka, hingga banyak
pedagang yang tumpah dagangannya dan bahkan ada
anak yang luka karena jatuh tersenggol oleh orangorang
yang ketakutan.
? Pada malam harinya kedua orang pendatang ikut
menyaksikan upacara mengelu-elukan Nyai Sang Hiang
Sri di lapangan kota. Kedua orang ini ikut menari,
minum tuak, dan mabuk-mabuk.
? Setelah kelelahan menari, mereka menggabungkan diri
dengan bangsawan-bangsawan muda Kuta Kiara, dan di
tempat mereka berkumpul itu sang calon telah
Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berusaha menarik perhatian seorang putri bangsawan
setempat. Karena kecakapannya bermain kata-kata,
putri itu tertarik kepadanya, walaupun telah lama
berkenalan dengan seorang putra bangsawan setempat.
Beberapa orang pemuda setempat memperingatkan
dengan isyarat bahwa tingkah laku calon puragabaya
itu kurang senonoh dan dapat menyebabkan
kemarahan dari bangsawan-bangsawan muda
setempat. Akan tetapi, calon itu tidak memedulikan
peringatan itu, bahkan secara sengaja menyelipkan
bunga di kepalanya yang didapatnya dari putri yang
telah dicumbunya itu.
? Tingkah laku calon puragabaya tersebut dengan
sendirinya sangat menyinggung perasaan bangsawanbangsawan
muda setempat yang kemudian
menahannya dan membawanya ke suatu tempat
dengan maksud memberinya pelajaran sopan-santun
setempat. Karena hari telah larut dan penjelasanpenjelasan
yang perlu diberikan masih banyak, para
bangsawan bermaksud memberikan penjelasanpenjelasannya
keesokan harinya, dan untuk malam hari
itu memutuskan untuk menahan calon di tempat
tahanan setempat.
? Kemudian ternyata panakawannya, dengan
mempergunakan linggis dan kapak, merusak palang
pintu tempat tahanan yang terbuat dari jati. Mereka
pun melarikan diri dan bersembunyi di suatu sumber air
di tengah-tengah padang yang terbentang antara Kuta
Kiara dan Kutabarang.
? Para bangsawan muda Kuta Kiara yang kehilangan
tahanannya pagi itu juga mencari kedua orang itu, dan
sekira waktu hangat-berjemur mereka mendapatkan
kedua orang itu sudah bersiap-siap menyergap mereka.
Walaupun dengan gagah berani bangsawan-bangsawan
muda berusaha menangkap kedua orang yang harus
dihadapkan ke pengadilan Kuta Kiara, mereka gagal
dan hanya dua orang yang selamat tanpa mendapat
cedera. Yang delapan orang semuanya cedera, bahkan
mungkin ada yang akan cacat seumur hidup. Di antara
yang cedera itu adalah:
" Seorang rusak mukanya karena dibantingkan ke
dalam semak-semak duri kemudian ditenggelamkan di
mata air, dan kalau tidak ditolong oleh kedua temannya
mungkin jiwanya tidak tertolong.
" Dua orang terkilir pergelangan tangannya.
" Seorang patah rusuknya.
" Seorang terkilir tulang lehernya.
" Yang seorang patah tulang selangkanya, akibat
diadukan dengan kepala kawannya yang kehilangan gigi
depannya. " Sisanya babak belur dan memar karena dibanting
ke atas tanah dan semak-semak.
" Semua korban ditinggalkan begitu saja di dekat
mata air itu tanpa tanggung jawab sedikit pun."
Setelah membacakan keterangan itu, Rangga Sena menarik
napas panjang, lalu berkata, "Berdasarkan kejadian-kejadian
yang dilukiskan di atas, Tumenggung Wiratanu dengan
dukungan penuh seluruh bangsawan Kuta Kiara memohon
keadilan kepada sang Prabu, dalam surat beliau yang dibawa
oleh para utusan. Demikian bunyinya:
Paduka Yang Mulia, yang disembah di seluruh Pajajaran,
Kami yang bertanda tangan atas nama rakyat Kuta Kiara yang
juga dapat dianggap mewakili seluruh rakyat Pajajaran,
dengan ini menyatakan keprihatinan dan kecemasan kami oleh
adanya kejadianyang sangat bertentangan dengan apaapayang
dijunjung tinggi oleh masyarakat yang beradab,yaitu
dengan terjadinya penganiayaan terhadap orang baik-baik
yang dilakukan oleh pihak tertentu.
Seandainya penganiayaan itu dilakukan oleh perampok atau
mereka yang dianggap hina dalam masyarakat kita, kami tidak
akan terlalu berkecil hati. Akan tetapi, dalam peristiwa
penganiayaan tersebut, seorang calon puragabaya telah
menjadi pelakunya. Dalam peristiwa itu, orang yang
seharusnya menjadi pelindung rakyat yang lemah, justru
melakukan tindakan yang hanya dapat diperbuat oleh seorang
perampok atau penjahat.
Seandainya peristiwa itu berlalu tanpa peradilan, kami
sangat cemas, masyarakat akan kehilangan kepercayaan dan
penghargaan pada lembaga kepuragabayaan yang selama ini
menjadi lambang kehalusan budi dan keperkasaan, dan
menjadi kebanggaan rakyat Pajajaran. Didorong oleh
keprihatinan dan kecemasan itulah kami menjerit dan
memohon agar orang yang menodai kesucian kepuragabayaan
itu mendapat hukuman yang setimpal.
"Demikian isi surat pengaduan itu, yang ditandatangani
oleh berpuluh-puluh bangsawan dan saudagar serta rakyat
biasa dari Kuta Kiara," kata puragabaya Rangga Sena sambil
meletakkan kotak-lontar di atas meja di hadapannya.
Kemudian ia duduk, sementara puragabaya Geger Malela
bangkit kembali.
"Selain keterangan dan surat pengaduan resmi, sang Prabu
dan kami telah pula mendengarkan keterangan lisan dari para
utusan yang dipimpin oleh Tumenggung Wiratanu sendiri. Dari
keterangan-keterangan lisan itu kami menarik kesimpulan
bahwa peristiwa itu melibatkan kita semua ke dalam suatu
masalah yang sungguh-sungguh dan harus segera mendapat
penyelesaiannya. Kami mengharapkan agar tertuduh
Anggadipati dan saksi Ogel memberikan penjelasan yang
sebenarnya, hingga kami tidak usah diperlambat dalam
menetapkan keputusan."
Setelah berkata demikian, Geger Malela memandang
kepada Pangeran Muda, lalu berkata, "Bangkit dan
berkatalah."
Pangeran Muda bangkit, lalu menjelaskan apa-apa yang
terjadi sesuai dengan yang dialaminya. Setelah diceritakannya
apa-apa yang terjadi sejak mereka menghadiri upacara hingga
perkelahian, ia pun duduk kembali.
Begitu ia duduk, Mang Ogel bangkit dan berkata, "Ada yang
terlewat, Eyang Resi."
"Katakan," kata Geger Malela.
"Waktu kami datang, kami tidak menaiki kuda kami. Waktu
kami meninggalkan Kuta Kiara memang kami memacu kuda
karena kami takut dikejar oleh bangsawan-bangsawan muda
yang menyekap Anom," kata Mang Ogel.
"Baik," kata Geger Malela sambil memberi isyarat kepada
Girang Pinji untuk melakukan pencatatan-pencatatan.
"Masih ada tambahan lain?" tanya Geger Malela pula.
"Bukan tambahan, tetapi usul, Kakanda Geger Malela," kata
Pangeran Muda seraya bangkit.
Geger Malela memberi isyarat agar Pangeran Muda
mengajukan usulnya. Pangeran Muda pun berkatalah kembali,
"Eyang Resi, Kakanda para puragabaya, sebenarnya hamba
tidak dapat memberikan penjelasan yang selengkaplengkapnya
karena sebagian dari keseluruhan peristiwa yang
telah menyangkut hamba secara langsung tidak hamba
saksikan. Hamba tidak, mengetahui apa yang terjadi ketika
hamba berada dalam terongko, dan hamba pun tidak tahu apa
yang dilihat dan dibicarakan oleh Mang Ogel dengan Putri
Mayang Cinde dalam usaha menolong hamba itu. Berdasarkan
hal-hal itu hamba mengusulkan untuk menjelaskan persoalan
dan sebelum menetapkan keputusan, saksi ditambah dengan
Putri Mayang Cinde."
"Adikku Anggadipati, apa yang kauusulkan telah menjadi
pertimbangan kami sebelum kami berangkat ke Padepokan
Tajimalela, dan sekarang seorang di antara kami, yaitu
Rangga Gempol sedang berada di Kuta Kiara; pertama, untuk
meneliti pemuda-pemuda dengan siapa kau terlibat dalam
perkelahian; kedua, untuk secara langsung mendapat
penjelasan-penjelasan lisan dari Putri Mayang Cinde."
"Eyang Resi, Kakanda para puragabaya, hamba
beranggapan bahwa para bangsawan muda itu akan
memberikan keterangan yang memberatkan hamba. Apakah
pengaduan Tumenggung Wiratanu belum dianggap cukup
sebagai tuduhan terhadap hamba?"
Geger Malela segera menjawab pertanyaan Pangeran Muda
yang salah mengerti, "Adikku, Rangga Gempol tidak akan
bertanya secara langsung kepada bangsawan-bangsawan
muda itu. Ia hanya akan meminta keterangan lisan dari Putri
Mayang Cinde. Sedang mengenai bangsawan-bangsawan
muda itu, justru Rangga Gempol akan mencari keterangan
dari rakyat biasa. Rangga Gempol akari menyelidiki apakah
mereka itu tergolong pemuda-pemuda yang tahu sopan
santun, suka akan ketertiban, dan taat pada asas-asas
kesatriaan. Seandainya mereka demikian, hal itu akan
memberatkanmu, sebaliknya, seandainya keterangan yang
didapat oleh Rangga Gempol tidak demikian, hal itu akan
meringankanmu."
"Tapi apakah jaminan bahwa Juragan Rangga Gempol akan
bertanya kepada rakyat yang tidak memihak?" tiba-tiba Mang
Ogel bertanya dan tidak dapat menahan dirinya.
"Tentu saja Rangga Gempol akan berusaha mendapatkan
keterangan yang benar. Ia pun tidak akan menunjukkan
dirinya sebagai puragabaya. Ia akan menyamar sebagai
pengembara yang sedang singgah," demikian Geger Malela.
Kemudian setelah menyadarinya bahwa tidak ada lagi orang
yang akan berkata, Geger Malela menarik napas panjang, lalu
berkata, "Dari pembicaraan kita, dapat ditarik kesimpulan
bahwa keterangan-keterangan yang diperlukan belum
terkumpul semuanya. Oleh karena itu, keputusan pun tidak
akan dapat diberikan sekarang. Kita akan menunggu
keterangan-keterangan yang didapat oleh Rangga Gempol dan
kita akan mengadakan acara sekali lagi sebelum menjatuhkan
keputusan."
Setelah berkata demikian, Geger Malela mempersilakan
Eyang Resi untuk memberikan petuah, tetapi Eyang Resi tidak
berkenan. Beliau malah mengajak seluruh hadirin untuk
bersembahyang bersama untuk memohon petunjuk pada Sang
Hiang Tunggal, agar keputusan yang akan ditetapkan sesuai
dengan tuntutan keadilan. Maka seluruh hadirin pun pergilah
ke candi dan dengan khusyuk mengadakan sembahyang
bersama di sana.
KEESOKAN harinya acara-acara latihan dan pelajaran
rohani mulai diadakan lagi. Para calon melanjutkan kembali
pelajaran-pelajaran ketangkasan, meniru ular dan bajing,
mengarungi arus sungai, melompati jurang-jurang, mendaki
tebing yang curam dan menuruninya, dengan
mempergunakan tambang atau tidak. Akan tetapi, sebagai
orang yang masih ada dalam persoalan, Pangeran Muda tidak
ikut serta. Dengan ditemani oleh Mang Ogel, Pangeran Muda
hanya menyaksikan apa-apa yang dilakukan oleh kawankawannya
di bawah pimpinan Pamanda Rakean, Anapaken,
dan Pamanda Minda.
Dengan melihat latihan itu, makin tergugahlah hasrat
Pangeran Muda untuk menguasai ilmu yang berbahaya tetapi
suci itu. Akan tetapi, kesadarannya bahwa ia sedang
dipersoalkan segera mengecutkan hatinya. Pangeran Muda
sangat menyesal, mengapa ia tidak dapat menghindarkan
kejadian-kejadian yang tidak diinginkan itu. Padahal untuk
melarikan diri sebenarnya mudah sekali.
Sebenarnya dengan mudah Pangeran Muda dapat
meloloskan diri dari bangsawan-bangsawan muda itu, yaitu
ketika ia dengan Mang Ogel disergap sekembali dari upacara
mengelu-elukan Nyai Sang Hiang Sri di Kuta Kiara itu. Sayang
sekali keterkejutan dan kebingungan menyebabkannya telah
terlibat dalam kedudukan yang sulit, di mana ia disekap dalam
terongko. Pangeran Muda pun menyesal, mengapa ia
memberikan minum pada kuda-kuda mereka, padahal secara
samar-samar ia punya firasat bahwa mata air itu berada dalam
jangkauan pengejar-pengejar, sedang tapak kaki kuda mereka
jelas sekali terlukis di jalan pasir yang menghubungkan Kuta
Kiara dengan Kutabarang, tempat mereka tuju sebelum Puri
Anggadipati. Di sampingku, Pangeran Muda pun sangat
menyesal, mengapa mereka tidak merawat para korban
sebelum pergi. Akan tetapi, segalanya sudah berlalu dan
sekarang Pangeran Muda hanya dapat berdoa, mudahmudahan
Sang Hiang Tunggal menetapkan yang sebaikbaiknya
bagi semua. 'Jangan terlalu berkecil hati, Anom. Apa pun yang terjadi
kau masih sangat muda," kata Mang Ogel membesarkan hati
Pangeran Muda yang termenung di sampingnya sambil
memerhatikan kawan-kawannya melakukan latihan.
"Saya telah menyerahkan semuanya kepada Sang Hiang
Tunggal, Mang," kata Pangeran Muda sambil tersenyum, lalu
mengikuti calon-calon lain yang setelah selesai melakukan
perkelahian menuju tempat lain.
MALAM itu juga acara peradilan dilanjutkan, tetapi tidak
langsung dengan penjelasan-penjelasan tambahan oleh
puragabaya Rangga Gempol yang sudah tiba. Para
puragabaya dengan Eyang Resi melakukan rapat khusus
terlebih dahulu, yang tidak dihadiri oleh para calon, tetapi
hanya dihadiri oleh para pelatih. Para calon sendiri berkumpul
seperti biasa di ruang belajar. Mereka tidak banyak bercakapcakap,
semuanya tampak merasa cemas akan nasib Pangeran
Muda. Sikap para calon lain itu sungguh-sungguh
mengharukan Pangeran Muda dan secara tulus tergugahlah
rasa terima kasih yang tidak diucapkan kepada mereka itu.
Tak lama kemudian pintu dari ruangan kecil tempat Eyang
Resi dan para puragabaya berunding pun terbukalah. Maka
heninglah semua calon dan panakawan-panakawan yang
hadir. Setiap orang memerhatikan pembesar-pembesar kepuragabayaan
yang mengambil tempat duduk masing-masing di
ruangan besar. Pangeran Muda dengan saksama
memerhatikan air muka mereka, tetapi sukar sekali dibaca,
apa yang mereka pikirkan dan rasakan. Umumnya air muka
mereka memperlihatkan ketenangan, kedamaian yang biasa
memancar dari air muka para pendeta dan puragabaya.
Kemudian Geger Malela mulai berkata, menjelaskan bahwa
bahan-bahan baru telah didapat oleh Rangga Gempol yang
dua hari dua malam berada di Kuta Kiara untuk mencarinya.
Setelah itu, ia memberikan isyarat kepada Rangga Sena untuk
Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membuka kotak lontar dan membacakan keputusan
pengadilan puragabaya itu. Rangga Sena pun mulai
mengambil beberapa helai lontar dari kotaknya, dan setelah
dijajarkan di atas meja panjang, ia mulai mengambil sehelai
dari yang paling kanan, diikuti oleh pandangan mata seluruh
calon yang dengan tegang memerhatikan perbuatannya.
Kemudian mulailah Rangga Sena membaca.
"Lembaga Kepuragabayaan sejak pendiriannya yang
diresmikan oleh Yang Mulia Prabu Niskalawastu suwargi tetap
berpegang pada asas-asas dan tujuan serta cita-cita yang
sama, yaitu agar anak negeri Kerajaan Pajajaran mendapat
jaminan yang pasti dan dapat diandalkan dalam mencapai
kebahagiaannya.
? Setiap puragabaya adalah pribadi-pribadi yang
menyerahkan seluruh hidupnya untuk menjadi jaminan
agar anak negeri kerajaan merasa aman, tenteram,
tertib, terbebas dari rasa cemas, takut dan tertekan
dalam mencari kebahagiaannya. Oleh karena itu,
menjadi seorang puragabaya berarti menjalani
kehidupan yang penuh pengorbanan yang dilakukan
dengan tulus ikhlas karena yakin bahwa berkorban bagi
sesama hidup adalah perbuatan yang mulia.
? Berdasarkan asas-asas di atas, maka setiap perbuatan
yang bertentangan dengan tujuan Lembaga
Kepuragabayaan dan bertentangan dengan sifat-sifat
seorang puragabaya, dikutuk sekeras-kerasnya dan
harus dijatuhi hukuman yang seberat-beratnya, kalau
perbuatan-perbuatan yang demikian dibiarkan, akan
berarti bahwa anak negeri Kerajaan Pajajaran
kehilangan jaminan yang tertinggi untuk mendapat
kebahagiaan dalam hidup mereka.
? Maka dengan selalu memohon petunjuk Sang Hiang
Tunggal dan berpegang pada asas-asas
kepuragabayaan, kami anggota-anggota Peradilan
Puragabaya yang terdiri dari lima orang, yaitu Resi
Tajimalela, puragabaya Geger Malela, puragabaya
Rangga Sena, puragabaya Girang Pinji, dan puragabaya
Rangga Gempol, setelah melakukan perundingan
dengan saksama dan memeriksa segala bahan lisan dan
tulisan yang dapat dikumpulkan sebelum, selama, dan
sesudah acara pengadilan, menetapkan hukuman
terhadap Pangeran Anggadipati, kedudukan sebagai
calon puragabaya, yaitu dengan mengharuskan
terhukum melakukan tugas-tugas kepanakawanan di
padepokan, yaitu dalam bentuk-bentuk pekerjaan
mencari kayu bakar, membersihkan ruangan belajar
dan kamar-kamar para calon, membersihkan senjata
dan membantu pekerjaan-pekerjaan dapur, serta
mengurus kuda. Perbuatan-perbuatan itu diharapkan
akan mendidiknya untuk lebih berendah hati kepada
rakyat Pajajaran yang menjadi majikannya, dan
menyebabkan menyesali apa-apa yang telah
diperbuatnya yang tercela ditinjau dari asas-asas
kepuragabayaan.
Sebelum Rangga Sena selesai membaca, beberapa orang
calon yang duduk berdekatan dengan Pangeran Muda
merangkulnya karena tidak dapat menahan rasa gembiranya
setelah jelas bahwa Pangeran Muda tidak dipecat sebagai
calon. Pangeran Muda sendiri berulang-ulang mengucapkan
syukur di dalam hati dan dua titik air mata menghangati
pipinya. Setelah ruangan tenang kembali, Rangga Sena melanjutkan
pembacaan keputusan itu.
"Keputusan hukuman itu dijatuhkan di antaranya
berdasarkan pula hal-hal yang memberatkan terhukum, yaitu:
? Perbuatannya membahayakan wibawa dan
kehormatan Lembaga Kepuragabayaan dan
puragabaya-puragabaya secara pribadi.
? Perbuatannya dapat menimbulkan kecemasan dan
keti-daktenteraman hati anak negeri Kerajaan
Pajajaran. ? Perbuatannya telah menyebabkan beberapa orang
menderita cedera, di antaranya cedera yang akan
menyebabkan si korban tidak dapat melakukan
pekerjaan sebaik sebelum cedera itu diderita.
"Hal-hal yang meringankan terhukum adalah:
? Terhukum adalah seorang yang patuh dan hormat
pada pelatih dan Pimpinan Padepokan, dapat
bergaul dengan calon-calon lain dan mau
membantu dalam pekerjaan-pekerjaan yang baik,
yang dapat memperlancar rencana-rencana di
padepokan. ? Perbuatannya dilakukan untuk pertama kalinya dan
atas perbuatannya, terhukum sudah menyatakan
penyesalannya. ? Perbuatan itu dilakukannya setelah berusaha
dengan sekuat tenaga untuk menghindarkannya.
"Demikianlah keputusan kami," kata Rangga Sena,
kemudian ia membaca beberapa perkataan lain yang lenyap
ditelan oleh gemuruhnya kegembiraan para calon. Setelah
upacara selesai dan setiap orang mengucapkan selamat
kepada Pangeran Muda, sembahyang bersama dilakukan
kembali di candi. Setelah selesai, karena malam sudah larut,
para calon langsung menuju pemondokan masing-masing.
Selagi berjalan menuju pemondokan dengan beberapa
calon lain, Pangeran Muda mendengar langkah orang yang
mengikuti. Ternyata puragabaya Rangga Gempol
menyusulnya, kemudian berjalan di sampingnya.
"Anggadipati, gadis itu titip pesan kepadaku, ia minta maaf
akan perbuatannya yang menyusahkanmu itu," katanya.
"Terima kasih akan jerih-payah Kakanda," ujar Pangeran
Muda. 'Adakah pesan dari Raden Bagus Wiratanu, Kakanda?" kata
Rangga yang suka berlelucon.
"Wah, sayang saya tidak sempat berbincang-bincang
dengannya. Saya hanya memerhatikannya dari jauh. Mungkin
dia akan titip tinju bagimu, Anggadipati, seandainya dia tahu
saya akan berkunjung ke sini," jawab Rangga Gempol yang
suka pula berlelucon. Akan tetapi, ia bersungguh-sungguh
kembali, lalu berkata, "Saya bertanya kepada mereka, tetapi
dari gerak-geriknya dan dari keterangan yang diberikan oleh
berpuluh-puluh rakyat tentang bangsawan muda itu, saya
yakin anak muda itu kurang baik kelakuannya. Dari
keterangan rakyat, saya mendapat kesan perkelahianperkelahian
dengan orang asing juga dengan bangsawanbangsawan
muda dari kota-kota lain sering dilakukan oleh
gerombolan Raden Bagus Wiratanu itu. Di samping itu,
dengan mata kepala saya sendiri, bagaimana bangsawanbangsawan
muda itu dengan seenaknya saja melarikan kuda
mereka di tengah-tengah rakyat yang sedang sibuk."
"Eh, Anggadipati, ia akan dendam kepadamu karena
perbuatanmu telah menyebabkan mukanya rusak dan pasti
oleh karena itu, Putri Mayang Cinde makin tidak senang
kepadanya. Bahkan, orangtua Putri Mayang Cinde sekarang
sudah memutuskan untuk pindah ke Kutabarang, tidak tahan
lagi ia hidup di Kuta Kiara setelah kejadian itu. Kau perlu minta
maaf kepada orangtua yang menjadi repot itu, Anggadipati,"
katanya sambil tersenyum.
Pangeran Muda tidak berkata apa-apa. Kemudian Rang-galah
yang menyela. "Kalau perlu, Anom bersedia menambah hukumannya,
Kakanda Rangga Gempol," katanya sambil tertawa.
"Menambah bagaimana?" tanya Rangga Gempol sungguhsungguh.
"Di samping membersihkan lantai asrama, candi, dan ruang
belajar, Anggadipati bersedia mencuci kaki Mayang Cinde
setiap pagi dan sore, demikian tadi katanya kepada saya,"
kata Rangga sambil tertawa.
Semua tertawa, dan mereka pun tibalah di tempat
pemondokan. Bab 13 Putra Mahkota Semenjak pengadilan selesai. Latihan-latihan dan
pendidikan rohani dijalankan kembali seperti biasa. Pangeran
Muda, di samping belajar, juga membantu pekerjaan para
panakawan, sesuai dengan keputusan pengadilan puragabaya
itu. Hukuman itu dilaksanakan bukan saja dengan tabah,
tetapi bahkan dengan kegembiraan.
Pertama, karena di masa kanak-kanak sering sekali
Pangeran Muda ingin membantu panakawan-panakawan di
Puri Anggadipati, walaupun hal itu tidak pernah terpenuhi
berhubung terlarang bagi seorang bangsawan melakukan
pekerjaan-pekerjaan jasmani, selain berburu dan berperang.
Kedua, ternyata hukuman macam itu memperkaya rohaninya
karena dengan bergaul lebih dekat dengan para panakawan,
Pangeran Muda jadi lebih mengenal mereka. Pangeran Muda
merasakan apa yang menjadi perasaan mereka, ikut
memikirkan apa yang menjadi masalah mereka, ikut berhasrat
membantu mencapai cita-cita mereka. Sebelumnya rakyat
kecil adalah orang asing bagi Pangeran Muda, padahal
menurut perintah agama maupun perintah kerajaan, mereka
ini dititipkan oleh Sang Hiang Tunggal dan sang Prabu kepada
para bangsawan. Bagaimana para bangsawan dapat melayani
orang-orang kecil ini seandainya mereka tidak kenal pada
suka-duka mereka" Sekarang barulah Pangeran Muda
menyadari bahwa cerita-cerita tentang bagaimana sang Prabu
sering menyamar dan hidup beberapa waktu di antara rakyat
bukanlah khayalan. Sang Prabu yang bijaksana tentu
menyadari bahwa hidup di tengah-tengah masyarakat kecil
merupakan sesuatu yang berharga bagi beliau sebagai raja
yang harus menjadi bapak mereka. Sedang bagi seorang raja,
mengenal anak negerinya adalah kewajiban yang dibebankan
oleh Sang Hiang Tunggal. Itulah sebabnya Pangeran Muda
bersyukur karena telah dihukum. Maka selama enam bulan
Pangeran Muda menjalankan hukuman itu dengan tabah dan
gembira. Pada suatu hari, setelah latihan perkelahian, pengeroyokan,
dan ketangkasan, para calon dikumpulkan di lapangan, dan
Eyang Resi yang tidak biasa hadir, hari itu keluar dari dalam
candi dan langsung berbicara kepada mereka,
"Anak-anakku, latihan di padepokan untuk gelombang
pertama sudah dianggap selesai. Kalian sudah diperlengkapi
dengan ketangkasan dalam mengatasi rintangan-rintangan
alam, seperti sungai-sungai, jurang-jurang, hutan-hutan, dan
rawa-rawa. Yang lebih penting lagi, kalian sudah dilengkapi
dengan penguasaan gerak dengan berbagai polanya, hingga
kalian akan menjadi prajurit-prajurit yang sukar dikalahkan.
Kalian akan ditakuti oleh mereka yangjahat, tetapi kalian pun
adalah calon-calon pendeta yang akan menjadi sumber
kedamaian bagi anak negeri kerajaan. Akan tetapi, segala ilmu
yang kalian dapat selama ini belumlah benar-benar kalian
kuasai karena kalian belum menghayati penggunaannya dalam
kehidupan sehari-hari di dunia luas. Seperti juga keharusan
yang dijalani oleh calon-calon yang terdahulu, kalian akan
dilepaskan ke dunia luas untuk waktu tiga tahun lamanya,
sebelum kalian dipanggil kembali, untuk melanjutkan
pendidikan tingkat yang lebih tinggi di padepokan ini.
"Minggu depan upacara akan dilakukan, dan kalau Sang
Hiang Tunggal menghendaki, Putra Mahkota akan hadir
menyaksikan upacara pelepasan kalian."
Demikian penjelasan Eyang Resi yang diterima dengan
gembira oleh para calon kecuali Jante. Pangeran Muda yang
keheranan bertanya kepada Jante, mengapa berita itu
menyebabkannya berkecil hati. Akan tetapi, Jante tidak
memberikan penjelasan. Ia hanya mengatakan bahwa
Pangeran Muda tidak akan dapat membantu menyelesaikan
masalahnya. Pangeran Muda tidak mendesak dengan
pertanyaan-pertanyaan karena Pangeran Muda tahu, Jante
adalah orang yang sangat tertutup. Jadi, Pangeran Muda
membiarkannya murung seorang diri.
Pada hari yang ditetapkan datanglah rombongan Putra
Mahkota ke padepokan. Rombongan terdiri dari Putra Mahkota
dikawal oleh empat orang puragabaya yang mereka kenal,
yaitu puragabaya Geger Malela, Rangga Sena, Girang Pinji,
dan Rangga Gempol. Di samping itu, datang pula beberapa
orang bangsawan muda dan beberapa panglima jagabaya
serta prajurit-prajurit. Mereka disambut dengan upacara
sederhana oleh seluruh isi padepokan.
Selama itu, perhatian Pangeran Muda tertuju pada Putra
Mahkota, yang ternyata sangat jauh dari apa yang
dibayangkannya. Putra Mahkota yang sebaya dengannya
adalah pemuda yang ramah dan sangat sederhana. Dalam
pakaian maupun tindak-tanduk tidaklah tampak ia berbeda
dengan pangeran-pangeran lain yang menemaninya. Satu hal
saja yang membedakannya dengan mereka, yaitu senjata kecil
yang disandang di pinggangnya, yang dikenal dengan nama
Kiai Tulang Tong-gong Pajajaran, sebuah badik indah yang
sarungnya terbuat dari kayu berukir emas.
Setelah upacara sederhana itu, Putra Mahkota bergaul
dengan bebas dengan para calon. Pada kesempatan
mengobrol, Pangeran Muda sempat bertanya, apakah
Pangeran Rangga Wesi, calon iparnya ikut serta"
"Rangga Wesi yang mana" Sahabat saya yang bernama
Rangga Wesi dengan menyesal tidak dapat menggabungkan
diri karena ia seorang murid yang baik dan harus
menyelesaikan pelajarannya sebagai calon pejabat kerajaan.
Oh, iya, ia menitipkan salam kepada seorang yang bernama
Anggadipati, seorang calon puragabaya," kata Putra Mahkota.
"Hambalah Anggadipati, Yang Mulia," ujar Pangeran Muda.
"Kalau begitu, saya berhadapan dengan orang yang
berkepentingan, syukurlah, ia ingin sekali bertemu dengan
Saudara." "Saya pun sangat ingin bertemu dengannya, Yang Mulia."
"Ia anak yang baik, Anggadipati. Ia mengemban
kebangsawanannya dengan tabah, dan orang-orang tua
berkata baik tentangnya," kata Putra Mahkota.
"Hamba senang sekali mendengar hal itu, Yang Mulia,
karena ia adalah calon ipar hamba. Ia bertunangan dengan
Ayunda Ringgit Sari."
"Oh, iya, hampir saya lupa. Jadi, kau adik Ayunda Ringgit
Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sari" Maaf saya lupa, maklum banyak sekali bangsawan yang
harus dikunjungi dan karena banyaknya, sering tertukar satu
sama lain. Saya pun harus menyampaikan salam kepada
ayahanda Anggadipati. Beliau sangat bijaksana," kata Putra
Mahkota, lalu beliau melanjutkan percakapan beliau tentang
Pangeran Rangga Wesi.
"Bagaimanapun kebangsawanan adalah beban bagi kita
semua, Anggadipati. Kiranya kau pun telah merasakannya
sekarang. Semula saya menyangka seorang bangsawan
adalah seorang yang memiliki hak istimewa dalam
masyarakat. Ia terhormat, berwibawa, dimuliakan. Ya. Akan
tetapi ternyata kemudian, segala kemuliaan yang diberikan
oleh masyarakat kepada bangsawan tidaklah diberikan cumacuma.
Sang Hiang Tunggal memilih sekelompok kecil manusia
yang disebut bangsawan untuk mengabdi kepada masyarakat
yang banyak itu. Dan pelaksanaan pengabdian ini bukanlah
suatu tugas yang ringan. Saya pun mendengar, tiga orang
bangsawan muda telah menjadi korban dalam latihan-latihan
di sini. Baru dalam melatih diri sudah jatuh sebagai korban,
apalagi kalau sudah melaksanakan tugas yang sebenarnya.
"Akan tetapi, sebagai orang yang beriman kepada Sang
Hiang Tunggal, kita usung beban kebangsawanan kita ini
dengan tabah, gembira, dan rasa syukur. Karena dengan
kebangsawanan kita itulah, kita akan menyumbangkan hal-hal
yang baik bagi kehidupan ini. Bayangkan, kalau kita bukan
seorang bangsawan, saya yakin, kita tidak akan dapat berbuat
apa-apa. Kita yang hanya biasa mempergunakan otak serta
senjata tidak mungkin dapat melakukan pekerjaan-pekerjaan
yang biasa dilakukan oleh rakyat banyak, seperti bercocok
tanam, membuat kerajinan yang indah-indah dan sebagainya.
Anggadipati, arti hidup kita terletak pada pengabdian kita
kepada masyarakat, dan hal itu kita lakukan sebagai seorang
bangsawan, yaitu golongan yang harus menguasai ilmu
kenegaraan dan ilmu kepanglimaan. Akan tetapi, sebagai
puragabaya tugasmu lain dengan bangsawan-bangsawan lain.
Engkau harus menjadi seorang pahlawan dan pendeta
sekaligus. Itu adalah tugas yang sangat berat dan oleh karena
itu, saya menaruh hormat kepada kalian. Dan marilah, kalau
kau sudah lulus dari pendidikan ini, kita bahu-membahu
melaksanakan tugas kita, memberi arti kepada hidup kita yang
sebenarnya sangat singkat ini," kata Putra Mahkota sambil
tersenyum. Mendengar obrolan Putra Mahkota itu, terpukaulah Pa-'
ngeran Muda. Putra Mahkota sebaya dengannya, tetapi jelas
pengetahuannya tentang berbagai hal jauh melebihinya. Rasa
hormat Pangeran Muda makin tinggi juga, sementara itu keramahtamahan
dan kesederhanaan Putra Mahkota tidak
mengilhamkan perasaan lain, kecuali perasaan cinta dan
keinginan mengabdi. Pangeran Muda berkesimpulan, Sang
Hiang Tunggal telah memberikan cahaya lain ke dalam mata
Putra Mahkota, hingga dengan pandangannya yang lembut
dan ramah itu menjadi lembutlah hati mereka yang
berhadapan dengannya.
Rupanya demikian juga kesan calon-calon puragabaya yang
lain terhadap Putra Mahkota, yang kehadirannya di padepokan
menjadi buah bibir mereka untuk beberapa lama.
MALAM itu juga upacara selesainya latihan gelombang
pertama dilakukan dengan disaksikan rombongan Putra
Mahkota. Sore itu para panakawan dan para calon dengan
dipimpin oleh keempat puragabaya mempersiapkan
gelanggang untuk upacara itu.
Gelanggang itu dibuat di tengah-tengah lapangan yang
dikelilingi oleh candi dan bangunan-bangunan lain di
padepokan. Gelanggang itu berbentuk lingkaran kecil yang
bergaris tengah kira-kira tujuh langkah. Di luar lingkaran itu
Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun 9 Kemelut Di Ujung Ruyung Emas Karya Khu Lung Hikmah Pedang Hijau 11
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama