Ceritasilat Novel Online

Golok Kelembutan 9

Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id Bagian 9 badan, sementara jurus kembangannya sama sekali tak tahu. Entah apa yang terjadi, tahu-tahu serangan golok dan pedang Ong Siau-sik berganti haluan dan menyerang ke arah Pek Jau-hui. Sebaliknya serangan jari pengejut impian Pek Jau-hui justru berganti arah menyerang ke arah Ong Siau-sik. Kwan Jit telah menggunakan hawa khikang yang luar biasa untuk memutar- balikkan tenaga serangan lawan, bukan saja tak menyentuh tubuhnya, sebaliknya malah saling menggempur ke tubuh kawan sendiri. Ketika golok kerinduan, pedang pelumat sukma dan ilmu jari pengejut impian bertemu, akibat apa yang kemudian terjadi" Kehidupan" Atau kematian" Atau bahkan kehancuran total kedua orang itu" Tentu saja mereka tak ingin saling gempur, tak ingin saling bunuh. Jika golok kerinduan, pedang pelumat sukma dan tiga jari menyentil langit saling beradu, yang pasti kedua orang pemuda itu sama-sama akan terluka parah. Sebaliknya jika serangan itu harus ditarik kembali mentah-mentah, akibatnya mereka akan melukai diri sendiri. Satu-satunya cara adalah membiarkan pihak lawan menarik kembali serangannya sementara serangan tetap menggempur, dengan membunuh lawan berarti mereka dapat menyelamatkan jiwa sendiri. Situasi seperti ini sedari dulu hingga sekarang masih sering dijumpai, setiap orang tentu mempunyai cara berpandangan yang berbeda, berarti cara mereka menyelesaikan kesulitan inipun pasti akan berbeda juga. Membiarkan pihak lawan mati sementara diri sendiri selamat, bukankah pilihan semacam ini adalah pilihan utama" Tapi ketika kedua belah pihak sama-sama punya pikiran begitu, maka akibatnya seringkah adalah sama-sama terluka atau mati. Kini Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui telah dihadapkan pada kondisi seperti ini, mereka harus mencari akal untuk menyelesaikan keadaan yang sangat rumit ini. Ong Siau-sik segera mengayunkan golok kanan dan pedang kirinya secara menyilang, benturan keras kedua bilah senjata itu segera menimbulkan percikan bunga api ke empat penjuru. Sementara Pek Jau-hui lekas membuyarkan tenaga serangannya. Akibat peristiwa ini, kedua orang itu sama-sama merasakan pantulan tenaga serangan mereka, hawa darah bergolak keras di rongga dada, mereka merasa seakan dada terhajar oleh sebuah pukulan lawan. Masih untung Kwan Jit tidak melakukan pengejaran. Dia hanya mengawasi kedua orang itu dengan pandangan tertegun, lama kemudian tiba-tiba dia mengacungkan ibu jarinya seraya berseru, "Bagus!" Kehebatan kungfu kedua orang musuh tangguhnya ini tidak sampai membuat dia ngeri atau ketakutan, sebaliknya ia justru merasa kagum karena kedua orang itu lebih mengutamakan keselamatan rekannya ketimbang urusan lain, sebab inilah sesungguhnya cara yang paling bijaksana. Setelah memberikan pujiannya, dia baru mulai melancarkan serangan. Kali ini dia benar-benar telah mengeluarkan seluruh inti kekuatan. Fo-Ti-buheng-kiam-khi, hawa khikang yang memancar ke empat penjuru membuat Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui lekas harus melindungi diri dari ancaman maut. Di saat yang amat kritis itulah mendadak Pek Jau-hui merasakan suatu perasaan yang amat dikenal olehnya, begitu juga Ong Siau-sik, dia merasa ada hawa tubuh seseorang yang amat dikenalnya telah muncul di sekeliling sana. Menyusul kemudian mereka pun mendengar suara yang amat dikenalnya ... suara orang terbatuk-batuk. Tak lama setelah mendengar suara batuk, mereka pun menyaksikan berkelebatnya suatu benda. Bayangan golok! Mereka hanya menyaksikan bayangan golok, sama sekali tidak melihat goloknya. Sebab gerakan golok itu kelewat cepat, kecuali mereka, para penonton jalannya pertempuran malah tak sempat melihat apa pun, termasuk berkelebatnya bayangan golok. Bayangan golok yang indah, bagaikan bayangan tubuh seorang kekasih, di saat golok itu menyambar, terendus bau harum semerbak dan suara rintihan yang lirih, lekukan golok bagai bahu lembut seorang gadis perawan, di saat golok itu membabat ke bawah, terbawalah sebuah romantika hidup yang indah. Golok itu begitu indah, begitu menawan sehingga siapa pun yang memandangnya rela mati demi golok itu, rela hidup demi golok itu, bahkan rela melepaskan seluruh kehidupannya demi golok itu. Bukan hanya manusia, bahkan golok kerinduan yang berada dalam genggaman Ong Siau-sik pun seolah ikut merintih lirih. Dia merintih mungkin karena golok bagus telah bertemu golok mestika, seperti seorang Enghiong Hohan bertemu dengan seorang gadis cantik yang rupawan. Kecuali Ang-siu-to, kecuali golok nomor wahid dari balik impian, golok mana lagi di kolong langit ini yang memiliki romantika hidup seindah itu" Sesosok bayangan manusia berkelebat, menyusul berkelebatnya sebilah golok, golok yang sangat indah. Dia tak lain adalah So Bong-seng. So Bong-seng dengan golok Ang-siu-to! ooOOoo AKHIR DARI BAB III MANUSIA KOSONG 42. Peti mati Pertempuran seketika terhenti. Semua jago yang hadir seketika bungkam, suasana pun menjadi sangat hening. Sedemikian heningnya hingga suara jarum yang jatuh ke lantai pun dapat terdengar sangat jelas. Golok yang sangat indah itu kini sudah dipalangkan di atas tengkuk Kwan Jit. Kwan Jit sama sekali tak bergerak, kelopak mata pun tidak berkedip. Dia hanya mengawasi golok itu tanpa berkedip. Sesosok bayangan manusia yang kurus, berdiri membelakangi Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui. Golok milik orang inilah yang telah ditempelkan di atas tengkuk Kwan Jit, begitu muncul, nyawa Kwan Jit sudah terjatuh ke tangannya.' Orang ini sama sekali tak berpaling, tapi Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui tahu siapakah dia. Sejak suara batuk berkesiur di tepi telinga mereka, sejak cahaya golok berkelebat di depan mata mereka, kedua orang itu sudah tahu siapa yang telah datang, tanpa melihat jelas bayangan punggungnya pun mereka sudah tahu siapakah orang itu. "Toako!" serentak mereka menyapa. Golok itu masih menempel di tengkuk Kwan Jit, tapi sikap Kwan Jit sangat tenang. Di balik matanya tiada perasaan takut, bahkan tiada perasaan ngeri dalam menghadapi kematian, hidup atau mati seakan bukan masalah baginya, selembar jiwa yang ada dalam tubuhnya seolah bukan miliknya, tak ada yang lebih acuh, lebih tenang ketimbang dia. Ia cuma mengawasi So Bong-seng dengan pandangan dingin, sorot matanya malah terselip sikap memandang hina, memandang enteng, atau sama sekali tak ada luapan perasaan apa pun. "Aku tak akan membunuhmu dengan cara begini," kata So Bong-seng kemudian. Ketika selesai berkata, golok itupun lenyap dari pandangan mata. Balik ke dalam bajunya. Ternyata dia telah menarik kembali goloknya. Golok yang sebenarnya dapat membantai Kwan Jit secara mudah ternyata ditarik begitu saja. Pada saat itulah dari kejauhan, sepertinya dari mulut jalanan, seperti juga dari tempat yang lebih jauh lagi, terdengar seorang berseru dengan suara nyaring, "Jangan Tapi So Bong-seng telah menyimpan kembali goloknya. Perubahan mimik muka yang aneh memancar keluar dari balik wajah Kwan Jit, mendadak ia bertanya, "Jadi kau adalah So Bong-seng?" "Kalau bukan So Bong-seng, mana mungkin aku bisa menguasai dirimu dengan sekali bacokan?" "Mengapa kau tarik kembali golokmu?" "Sebab serangan itu termasuk sebuah serangan bokongan, karena membokong maka aku berhasil." Perlahan-lahan Kwan Jit menggeleng, dengan suara dingin bagaikan salju ujarnya, "Membokong pun termasuk suatu pertempuran, bila kau bertarung dengan seseorang maka serangan bokongan pun tercakup di dalamnya. Banyak orang di dunia ini membunuh dengan mengayunkan golok, tapi sebagian besar di antara mereka membunuh tanpa menggerakkan golok, bahkan banyak yang tak perlu turun tangan sendiri." "Apakah kau pun membokong musuhmu?" ejek So Bong-seng sambil tertawa dingin. "Aku tak mau melakukan perbuatan semacam ini karena aku memandang hina perbuatan itu, tapi anak buahku tetap akan melakukan hal semacam itu," sorot mata Kwan Jit dingin bagaikan salju, "bila aku menganggap diriku kuat, maka aku tak perlu membokong orang, bila aku benar-benar cukup tangguh, biarpun orang lain membokong aku juga tak akan berhasil." Kemudian setelah berhenti sejenak, lanjutnya, "Sekarang aku telah kau bokong hingga terjatuh ke tanganmu, aku tak akan banyak bicara lagi." Ong Siau-sik yang mendengarkan pembicaraan itu jadi terperanjat, begitu juga dengan Pek Jau-hui. Mereka sama sekali tidak menyangka Kwan Jit yang terlihat setengah gila setengah waras itu ternyata mampu mengucapkan perkataan seperti itu. Setelah termenung beberapa saat, kembali So Bong-seng berkata, "Bagaimanapun juga, jumlah orangku jauh lebih banyak." "Tahukah kau apa artinya mampu menandingi sepuluh laksa musuh?" tiba-tiba Kwan Jit mengajukan pertanyaan aneh. "Maksudnya satu orang bisa menandingi sepuluh laksa musuh." "Jika ada sepuluh orang mampu menandingi sepuluh laksa musuh, dia tak akan mampu menahan orang yang kesebelas, apakah manusia semacam ini dapat disebut juga mampu menandingi sepuluh laksa musuh?" So Bong-seng tidak menyangka kalau orang setengah sinting itu bisa mengajukan pertanyaan semacam ini, untuk sesaat dia tak sanggup menjawab. Belum lagi pikiran lain melintas, Kwan Jit telah menjawab sendiri pertanyaannya, "Tentu saja tidak, orang yang benar-benar mampu menandingi sepuluh laksa musuh adalah orang yang bisa menghadapi serangan dari berapa banyak pun musuh yang datang menyerang." Walaupun dalam hati kecil So Bong-seng merasa kagum, namun perasaan itu tidak diperlihatkan, katanya, "Kalau itu sih bukan manusia, tapi dewa." "Padahal manusia lah dewa, kalau tak ada manusia, dari-mana datangnya dewa?" Sekali lagi So Bong-seng tertegun. Kembali Kwan Jit berkata, sepatah demi sepatah, "Walaupun tadi kau tidak membunuhku, aku pun tidak merasa berhutang nyawa kepadamu." "Aku tidak membunuhmu bukan berarti aku menginginkan hutang budi darimu," kata So Bong-seng angkuh, "selama hidup aku tak pernah melakukan pekerjaan yang butuh hutang budi dari orang." "Bagus!" seru Kwan Jit, sambil menuding ke arah Lui Tun katanya lagi, "aku tetap akan membawanya pergi dari sini." "Jawabanku juga masih sama, aku melarangmu membawanya pergi, jika dipaksa terus, aku tetap akan membunuhmu." "Jadi kau batal membunuhku tadi karena kau tak ingin membunuhku dalam kondisi seperti itu?" "Bila kubunuh kau dalam kondisi seperti itu, bagimu jelas tidak adil, aku anggap perbuatan semacam itupun sangat memalukan dan tidak menarik." Kwan Jit seakan sedang tertawa. "Aku selalu berhati keji dan telengas, tapi tak akan kulakukan perbuatan yang memalukan atau tidak menarik." Kemudian setelah berhenti sejenak, tambahnya, "Kalau begitu, bunuhlah aku sekali lagi! Kalau tidak, akulah yang akan membunuhmu." Begitu selesai berkata ia sudah mulai bertindak, tubuhnya langsung menerjang ke arah Lui Tun. So Bong-seng bergerak cepat, dia menghadang di depan gadis itu, menghadang dengan tubuhnya, menghadang dengan goloknya. Diiringi suara batuk yang keras, ia lepaskan sebuah bacokan kilat. Suara batuk seketika terdengar terpatah-patah, terputus dan tak jelas. Ini dikarenakan angin pedang, dikarenakan hawa pedang. Karena hawa khikang Po-Ti-bu-heng-kiam-khi yang maha dahsyat dan sangat menakutkan itu sudah memancar keluar dari balik tangan Kwan Jit. Hawa pedang yang memancar keluar masih terasa begitu kuat dan dahsyat, pertarungan sengitnya melawan Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui tadi sama sekali tidak membuat kekuatannya melemah, sebaliknya kekuatan itu malah semakin dahsyat dan mengerikan. Bukan cuma begitu, seluruh tubuhnya yang masih terborgol seakan turut mengembang besar, turut mengayun kian kemari mengikuti gelombang hawa pedang yang menggulung. Golok Ang-siu-to dari So Bong-seng sudah tidak memancarkan keindahan lagi, tidak terlihat romantika kehidupannya lagi, kini yang terlihat adalah keganasan dan kegarangan. Setiap kali bisa menyelinap ke posisi yang paling mengun?tungkan, golok itu baru dilancarkan. Dimana goloknya berkelebat, yang diserang pasti berusaha menolong diri, pasti kalah dan pasti mati. Sekalipun pada akhirnya pihak lawan mampu menerima serangan itu, dapat menangkis ancaman golok itu, namun perasaannya pasti akan dibuat kacau balau, ketakutan, pecah nyali dan mengenaskan. Benar juga, gempuran Kwan Jit seketika melemah. Kalau pada awal pertarungan tadi setiap So Bong-seng melancarkan tiga empat jurus maka Kwan Jit bisa balas menyerang sebanyak tujuh kali, maka setelah situasinya berubah, setiap kali So Bong-seng menyerang sebanyak enam tujuh kali, Kwan Jit hanya mampu membalas sebanyak empat kali. Baru saja So Bong-seng merasa girang, ia segera melihat satu hal. Ternyata Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui telah ikut terjun kedalam pertarungan, mereka telah mengendalikan penyebaran hawa pedang Po-Ti-bu-heng-kiam-khi yang memancar keluar dari tubuh Kwan Jit. ......! Sebenarnya sejak awal Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui sudah ingin terjun ke arena untuk membantu So Bong-seng, tapi mereka tak pernah turun tangan. Sebab mereka tak tahu apakah tindakan itu akan membuat So Bong-seng tak senang atau tidak mau menerima bantuannya, selain itu mereka sendiri pun mempunyai kesulitan yang susah diucapkan. Bagi Ong Siau-sik, sejak awal dia memang tidak terlalu ingin membunuh atau melukai Kwan Jit, sebaliknya bagi Pek Jau-hui yang angkuh, dia merasa segan dan tak sudi mengerubut lawannya. Tapi sekarang mau tak mau mereka harus turun tangan mengerubut musuh. Bukan saja mereka berdua harus bekerja sama, bahkan harus main kerubut bertiga. Rupanya ketika bertarung melawan So Bong-seng tadi, secara diam-diam Kwan Jit telah mengerahkan hawa pedangnya untuk menyerang juga diri Pek Jau-hui. Menanti Pek Jau-hui menyadari akan hal ini, hawa pedang sudah tiba di depan mata, terpaksa dia harus menggunakan jurus Toa-boan untuk melancarkan serangan balasan. Baru saja Pek Jau-hui melancarkan enam tujuh jurus se?rangan, Ong Siau-sik yang berada di sisinya ikut merasakan pula hawa pedang yang membabat ke arah tubuhnya. Oleh karena hawa pedang sudah menyergap dirinya, ter?paksa dia pun ikut terjun dalam kancah pertarungan itu. Dengan begitu maka sama saja seperti So Bong-seng, Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui sedang mengeroyok Kwan Jit seorang. Meskipun Kwan Jit sudah berhadapan dengan musuh yang sangat menakutkan macam So Bong-seng, namun dia seakan merasa belum cukup sehingga mefencarkan serangan lebih dulu ke arah Pek Jau-hui dan Ong Siau-sik, dimana pada akhirnya kedua orang pemuda itupun terpaksa harus melibatkan diri dalam pertempuran itu. Setelah situasi berkembang, tiada pilihan lain bagi mereka untuk melibatkan diri dalam pertarungan itu. Sebaliknya Kwan Jit sendiri pun tak punya pilihan lain. Hawa pedang Po-ti-bu-heng-kiam-khi miliknya harus menghantam ke sana kemari untuk menghadapi serangan maut golok Ang-siu-to, ilmu jari Sam-ci-tan-thian serta babatan golok kerinduan dan pedang pelumat sukma. Angin golok serasa menyayat tubuh, hawa pedang menyelimuti angkasa. Di antara semua itu terselip pula desingan angin jari yang menyambar kian kemari, seperti ulah perompak yang sedang merampok perahu niaga. Pada saat itulah tiba-tiba Kwan Jit terpeleset dan jatuh ke tanah. "Traaang!", ayunan golok Ang-siu-to segera menyambar tiba, lekas Kwan Jit merentangkan sepasang kakinya untuk menangkis, bacokan itupun segera menghantam Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo rantai borgol di kakinya. Ternyata rantai borgol itu tidak putus meski terkena bacokan. Lekas So Bong-seng menarik kembali goloknya. Yang membuatnya terperanjat bukan karena rantai borgol itu tidak putus, sebab dia sudah tahu kalau rantai borgol itu terbuat dari bahan khusus yang sangat kuat, ia merasa sayang dengan golok miliknya itu. Dengan satu lejitan, Kwan Jit melompat bangun. Serangan jari Han-si dari Pek Jau-hui segera membelah angkasa dan menyergap tiba. Kwan Jit kembali merentangkan sepasang lengannya, "Triiing!", serangan itu menghajar di atas rantai borgolnya. Pek Jau-hui segera merasakan ujung jarinya kesemutan, dalam kagetnya lekas dia mundur sejauh dua langkah. Dalam waktu singkat Ong Siau-sik telah merangsek, golok kiri pedang kanannya segera diayunkan melancarkan serangan. Namun ketika golok dan pedangnya nyaris membabat tu?buh Kwan Jit itulah tibatiba ia merasakan datangnya gulungan angin pedang yang aneh menyambar ke arahnya, begitu kuat gulungan itu membuat goloknya malah menyerang ke arah pedangnya, sementara pedangnya malah menusuk ke arah goloknya. Percikan bunga api segera memancar ke empat penjuru. Menggunakan kesempatan yang amat singkat, sekali lagi Kwan Jit menerjang ke hadapan Lui Tun. Walaupun berada dalam kepungan musuh yang ketat dan berbahaya, apakah ia tetap nekat akan membawa kabur Lui Tun" Mengapa dia berbuat demikian" Terlepas karena alasan apa pun dia berbuat begitu, So Bong-seng tak pernah akan mengabulkan permintaannya, apalagi kejadian semacam ini berlangsung di hadapan matanya. Sekali lagi dia melejit ke udara, baru saja tangan kiri Kwan Jit akan menempel bahu Lui Tun, bacokan golok So Bong-seng telah menyapu tiba. Tujuan dari bacokan itu adalah untuk menolong Lui Tun, ia seakan lupa dengan keselamatan sendiri, tapi menurut perkiraannya Kwan Jit pasti akan berusaha menyelamatkan lengan sendiri, asal Kwan Jit menarik kembali tangannya kemudian baru menyerang dia, maka ilmu goloknya dapat segera dikembangkan hingga lawan tak mampu banyak berkutik. Siapa tahu Kwan Jit segera menggetarkan tangan kirinya, begitu lepas dari bahu lembut Lui Tun, dia langsung mencengkeram mata golok so Bong-seng. Tak sempat berpikir panjang So Bong-seng segera menarik goloknya lalu ditebaskan ke depan, percikan darah segar berhamburan kemana-mana, tahu-tahu sebelah lengan Kwan Jit sebatas pergelangan telah terpapas kutung. Begitu berhasil dengan serangannya, gerakan golok So Bong-seng pun ikut melambat, tampaknya Kwan Jit punya ren?cana lain, tangan kanannya secepat kilat menyerang ke muka, hawa pedang langsung mengancam tenggorokan lawan. So Bong-seng sama sekali tak bergerak, dia memang tak bisa bergerak, nyawanya sudah dalam cengkeraman Kwan Jit, sekalipun dia cuma memiliki sebelah tangan. Ong Siau-sik tak sanggup bergerak, tak berani bergerak. Begitu juga halnya dengan Pek Jau-hui, perasaannya ikut bergetar keras, dia terlebih tak berani bertindak secara gegabah. Suasana pun berubah menjadi membeku kaku, yang terdengar hanya suara kutungan tangan Kwan Jit yang terjatuh ke tanah persis di hadapan Lui Tun serta suara tetesan darah yang mengalir deras dari lukanya itu. Menyaksikan semua itu Lui Tun ingin sekali menangis. Begitu banyak darah yang berceceran di lantai. Begitu mengerikan dan menakutkan suasana dalam arena pertarungan! Tapi dia pun tak berani bergerak. Ia kuatir teriakannya akan membuat gusar Kwan Jit, bila amarahnya sampai berkobar, kemungkinan besar Kwan Jit akan membunuh So Bong-seng. Sayang sekali walaupun dia dapat menahan diri untuk tidak berteriak, seorang yang lain telah mewakilinya menjerit. "Aduh, celaka!" jerit Un Ji sambil menutupi wajah sendiri. Setiap wanita mengapa selalu melakukan tindakan atau perbuatan yang tak bermanfaat di saat keadaan sedang gawat, terancam bahaya kematian dan kritis" Pek Jau-hui betul-betul tak habis mengerti. Ong Siau-sik merasa jantungnya nyaris copot mendengar jerit melengking Un Ji itu. Dia seakan-akan menyaksikan otot hijau di punggung tangan Kwan Jit mulai menonjol keluar. Dia pun seakan menyaksikan otot hijau di jidat So Bong-seng ikut menonjol keluar. Akan tetapi tangan Kwan Jit sama sekali tidak melanjutkan gerakannya. "Sudah kubilang," kata Kwan Jit sambil tertawa, darah masih meleleh keluar dari sela-sela giginya, menodai deretan giginya yang putih bersih, "Aku tak akan menerima kebaikanmu." Kemudian ia menarik tangannya secara tiba-tiba, membuyarkan hawa pedangnya. "Sekarang aku bayar hutang kebaikan yang telah kau berikan kepadaku," katanya, "kali ini aku pun tak akan membunuhmu, mulai sekarang kita berdua sama-sama sudah tidak berhutang lagi." Ternyata begitu saja dia bebaskan So Bong-seng. Selama beberapa tahun terakhir, entah sudah berapa banyak orang yang ingin membunuh So Bong-seng. Sebab dengan membunuh So Bong-seng, sama halnya dengan memusnahkan Kim-hong-siyu-lau, saat itu dia akan menguasai seluruh kotaraja. Tapi kini Kwan Jit telah membebaskan dia begitu saja, melepaskan kesempatan emas itu begitu saja. Bahkan demi keberhasilannya menangkap So Bong-seng, dia tak segan mengorbankan sebuah tangannya! So Bong-seng tidak mengucapkan sepatah kata pun. Dia hanya menggunakan tangannya yang tidak dipakai untuk menggenggam golok dan meraba tengkuk sendiri, sepasang matanya masih tetap memancarkan sinar api yang menggidikkan, tiada rasa girang, tiada rasa sedih, yang ada hanya kobaran api tanpa nama. Sementara itu Kwan Jit sembari menotok beberapa buah jalan darah di lengan kirinya, ia berkata kepada Lui Tun, "Hari ini tanganku tinggal sebelah, aku tak bisa membawamu pergi lagi, kau pasti akan dibawa pergi orang lain Ia tidak meneruskan perkataannya, setelah berpekik nyaring secara tiba-tiba, terusnya, "Tapi aku bersumpah akan datang lagi di kemudian hari, datang untuk menjemputmu, tunggu saja kedatanganku!" Begitu selesai berkata, sekali lagi dia melancarkan serangan ke arah So Bongseng. Biarpun tangannya tinggal sebelah, namun serangannya tetap menggila, pukulannya tetap kalap. Agaknya So Bong-seng sudah menduga akan datangnya serangan itu, ia segera miringkan badan untuk menghindar. Pek Jau-hui dan Ong Siau-sik tidak tinggal diam, serentak mereka melancarkan serangan untuk mendukung saudaranya. Tiba-tiba Kwan Jit melejit ke tengah udara. Pek Jau-hui dan Ong Siau-sik kuatir dia bermaksud mengejar gadis itu lagi, satu dari kiri dan yang lain dari kanan, cepat mereka melambung ke udara dan menggencet tubuh lawan dengan serangan golok, pedang dan jari. Kwan Jit tetap melambung, dengan tangan sebelah dia melancarkan hawa pedang, ketika menghadapi gempuran di tengah udara, tiba-tiba Kwan Jit berjumpalitan dengan kepala di bawah kaki di atas, dia melakukan satu gerakan yang sangat aneh. Perubahan ini membuat Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui jadi kebingungan, untuk sesaat mereka tak tahu bagaimana harus menghadapinya, terpaksa mereka melayang turun kembali, kini mereka baru sadar, ternyata mereka semua telah berada di mulut jalan. Kwan Jit berjumpalitan beberapa kali di tengah udara, setelah bersalto tujuh kali dia baru melesat menuju ke sudut jalan dan melayang turun ke bawah. Ternyata di ujung jalan sana telah duduk menanti seseorang. Orang itu berbaju putih, dia sedang duduk santai di atas sebuah kursi malas yang terlihat empuk dan nyaman. Orang berbaju putih itu duduk dengan kepala tertunduk sehingga siapa pun tak dapat melihat dengan jelas raut wajahnya. Lebih kurang tujuh depa di hadapan orang itu, terletak sebuah peti mati. Sebuah peti mati bercat hitam yang tampaknya sudah kelewat kuno, bentuknya jauh lebih besar daripada peti mati biasa. Paras muka Kwan Jit waktu itu nampak hijau membesi, terlihat menyeramkan sekali. Mimik mukanya juga nampak amat ketakutan, bukan takut kepada orang berbaju putih yang sedang duduk di kursi malas itu, tapi takut terhadap peti mati itu! Peti mati apakah itu sebenarnya" Mengapa bisa membuat Kwan Jit yang tak takut langit tak takut bumi kini justru menunjukkan perasaan jeri dan takut yang luar biasa" Ong Siau-sik berpaling memandang Pek Jau-hui, sebaliknya Pek Jau-hui berpaling memandang So Bong-seng. Mereka semua tahu kalau manusia berbaju putih yang duduk dengan kepala tertunduk itu tak lain adalah Ti Hui-keng dari perkumpulan Lak-hun-poan-tong, tapi mereka tak tahu dimana letak kehebatan peti mati itu sehingga dapat menimbulkan perasaan takut bagi Kwan Jit. Namun ketika mereka saksikan mimik muka So Bong-seng, kedua orang pemuda itu semakin tercekat dibuatnya. Ketika jatuh ke tangan Kwan Jit tadi, mimik muka So Bong-seng masih terlihat sangat tenang, seolah tak pernah terjadi sesuatu apa pun, tapi sekarang, setelah melihat peti mati itu, dia nampak berkerut kening bahkan mulai memperlihatkan perasaan kuatirnya. Bukan hanya dia, bahkan Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui juga melihat bahwa Ti Huikeng yang duduk di kursi malas pun menunjukkan sikap yang luar biasa hormatnya terhadap peti mati itu. Padahal peti itu hanya sebuah peti mati biasa. Sama sekali tak ada alasan bagi mereka untuk merasa takut dan hormat terhadap sebuah peti mati, kecuali.... Mungkinkah di dalam peti mati itu terdapat penghuninya" Mungkinkah penghuninya adalah seseorang yang pantas ditakuti dan dihormati" Tapi siapakah dia" Mengapa bisa membuat seluruh tokoh persilatan yang di hari biasa tak takut langit tak takut bumi, kini justru memperlihatkan perasaan takut, jeri dan hormatnya" AKHIR DARI BUKU 2 (Bersambung Ke Jilid 3) 43. Pasukan bubar sebelum barisan terbentuk Kwan Jit menjejakkan* kakinya bergeser dua setengah langkah ke sisi kiri. Ketika berada di tengah arena pertarungan tadi, dia hanya tahu maju terus pantang mundur, sekalipun demi melarikan diri, dia tetap menyerbu maju terus dan berusaha menjebol pertahanan lawan dengan cara apa pun, tapi sekarang hanya gara-gara sebuah peti mati, ternyata dia mundur sampai sejauh dua setengah langkah. Lalu dia bergeser lagi sejauh tiga depa, setelah itu tidak berusaha mundur atau kabur. Terdengar ia berpekik nyaring, dengan menyalurkan hawa pedang Po-ti-bu-hengkiam-khi untuk melindungi seluruh badan, dia menghindar dari hadapan peti mati itu dan langsung kabur menuju ke mulut jalan. Di tengah mulut jalan terlihat berdiri seseorang. Dia tak lain adalah Ti Hui-keng yang nampak lemah lembut bagaikan seorang sastrawan. Ti Hui-keng yang menundukkan terus kepalanya. Ti Hui-keng yang selalu duduk, Ti Hui-keng yang pucat Serangannya dari bentuk bunga teratai hingga bentuk pedang, kadang perlahan kadang cepat, seakan tenaga sang Bud-dha yang sedang menyebar ke bumi dan memberi kekuatan ke seluruh jagat. Tapi di balik cahaya suci, terselip tenaga pembunuh yang disertakan dalam jurus ilmu sembilan huruf. Seandainya Kwan Jit masih mempunyai dua buah tangan, mungkin dia sanggup menandingi serangan itu. Tapi keadaan Kwan Jit saat ini sudah berada di ujung tanduk, jiwanya sudah terancam bahaya maut. Tanpa terasa Ong Siau-sik mulai menguatirkan keselamatan Kwan Jit. Pada saat itulah mendadak terdengar suara seseorang bergema di angkasa, semacam suara seorang bergumam. "Bila aku dapat menyembuhkan orang, orang akan disembuhkan olehku, bila aku tak dapat menyembuhkan orang, aku akan disembuhkan orang," tentu saja suara itu berasal dari Kwan Jit, "bila aku dapat menaklukkan iblis, iblis akan kutak-lukkan, bila aku tak dapat menaklukkan iblis, aku yang akan ditaklukkan iblis Mendengar ucapan itu perasaan Ong Siau-sik tergerak, mendadak ia terperanjat. Yang membuatnya terperanjat adalah di saat dan keadaan seperti ini ternyata Kwan Jit masih mengoceh dengan kata-kata yang membingungkan, bergumam seorang diri, yang membuat perasaannya tergerak adalah dalam keadaan dan situasi seperti ini Kwan Jit masih bisa bergumam. Hal ini menandakan Kwan Jit belum kalah! Dia bahkan sama sekali tidak menunjukkan gejala akan kalah. Jika seseorang berada dalam keadaan bahaya namun masih bisa memecah perhatian mengurusi hal lain, keadaan ini menunjukkan dia masih menguasai keadaan. Sementara Ong Siau-sik memikirkan hal ini, mendadak terdengar suara teriakan keras diiringi dua sosok bayangan manusia saling berpisah dari balik hujan. Lui Sun berdiri sambil memegangi dada, wajahnya terlihat mengejang, agak terbungkuk dia mundur sejauh tujuh delapan langkah, setelah tiba di depan peti mati itu, mendadak seakan mendapat tambahan kekuatan baru, dia berdiri kembali dengan badan tegap. Waktu itu hawa pedang Po-ti-bu-heng-kiam-khi yang memancar keluar dari tubuh Kwan Jit semakin membara. Saat itulah So Bong-seng menyerbu ke depan sambil membentak nyaring, "Lihat golok!" Kwan Jit membalikkan badan, hawa pedang Po-ti-bu-heng-kiam-khi dengan membentuk segulung cahaya tajam langsung menyongsong datangnya cahaya golok itu. So Bong-seng berteriak keras, tubuhnya terlihat gontai disusul kemudian ia mulai terbatuk-batuk dengan keras. Darah yang semula membasahi lengan Kwan Jit yang kutung kini sudah mulai tersapu bersih oleh guyuran air hujan, sebaliknya cahaya pedang yang ada di lengan kanannya justru terlihat bertambah cemerlang. Ia tertawa sinis, teriaknya, "Aku akan menerjang keluar, aku pasti dapat menerjang keluar Sekali lagi Pek Jau-hui melancarkan serangan dengan ilmu jari Sam-ci-tan-thian, Kwan Jit tertawa seram, hawa pedangnya dialihkan ke arah pemuda itu, Pek Jau-hui segera merasa angin serangannya terpapas oleh hawa pedang yang tajam itu, terpaksa sambil bertarung dia mundur terus hingga sampai di sisi peti mati. Begitu mendekati peti mati itu, tiba-tiba Kwan Jit menghentikan langkahnya. Saat itulah Ong Siau-sik mengayunkan golok dan pedannya sambil melancarkan serangan, di sisi lain So Bong-seng dan l.ui Sun sekali lagi maju mengembut. "Naik ke langit masuk ke bumi, aku tiada tandingan jerit Kwan Jit sambil tertawa seram. Mendadak terdengar suara guntur menggelegar di ujung langit, sekilas cahaya tajam tampak membelah kegelapan angkasa dan menusuk ke hadapan Kwan Jit bagaikan tusukan ujung tombak. Kwan Jit meraung keras, sekali lagi dia gunakan hawa pedang Po-ti-bu-heng-kiamkhi untuk melindungi sekujur badannya. "Blaaaam!", ledakan keras menimbulkan cahaya terang yang menyilaukan mata. Sekujur tubuh Kwan Jit terlihat gemetar keras, sambil membalikkan badan ia lepaskan sebuah tusukan, langit pun kembali dicekam kegelapan. "Tiada tandingan jerit Kwan Jit dengan suara yang menyeramkan, "tiada tandingan di kolong langit..." Tatkala sambaran petir menyambar ke ujung jalan, ternyata dia melancarkan sebuah tusukan balasan ke arah langit. "Mampus aku jerit Kwan Jit ketika sebuah sambaran petir kembali menyambar ke arahnya. Dalam pada itu secara diam-diam Lui Sun sudah menyelinap ke sisi tubuh Kwan Jit, dengan jurus cepat ilmu sembilan hurufnya dia menusuk jalan darah kematian di tubuh lawannya. Baru saja tangannya bergerak, tiba-tiba melintas cahaya golok dan pedang. Golok itu milik Ong Siau-sik, pedang pun miliknya. Dia hanya menghambat datangnya serangan kilat itu, memunahkan ancaman kematian yang diarahkan ke tubuh Kwan Jit. Dalam waktu sekejap Kwan Jit sudah pergi, tubuhnya sudah lenyap di balik hujan. Selapis kabut tebal menyelimuti ujung jalan, membuat suasana yang sudah suram Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo terasa lebih menyesakkan napas. "Lukanya sangat parah di tengah hujan So Bong-seng menyeka noda darah yang membasahi bibirnya, "gara-gara menyerang angkasa dengan hawa pedangnya, ia disambar petir, mungkin tubuhnya akan cacad ... tapi kita tetap tak mampu menghalanginya, ai... Kwan Jit memang hebat!" "Ya, Kwan Jit memang hebat!" puji Pek Jau-hui pula de?ngan perasaan masih berdebar keras, berdebar lantaran terperanjat. Di pihak lain, Lui Sun sedang melotot gusar ke arah Ong Siau-sik sambil menegur, "Mengapa kau menghalangi aku untuk membunuhnya?" "Karena tidak adil!" "Mengapa tidak adil?" "Kita berjumlah banyak sementara dia hanya seorang," jawab Ong Siau-sik cepat, "apalagi dia sudah disambar geledek, jika kita membunuhnya dalam keadaan seperti ini, jelas perbuatan ini bukan perbuatan seorang Enghiong!" "Bagus! Bagus sekali," Lui Sun tertawa keras, "sekarang kau boleh berlagak jadi Enghiong, jadi Hohan! Tunggu saja bila suatu hari nanti ia muncul kembali, membunuh kita satu per satu, akan kulihat adakah Enghiong Hohan yang masih bisa hidup selamat!" Ia berpaling ke arah So Bong-seng, kemudian lanjutnya, "Saudaramu yang hebat ini telah menghancurkan semua jerih payah kita dalam menyusun rencana untuk membunuh Kwan Jit linu memusnahkan perkumpulan Mi-thian-jit-seng!" "Hmmm, apa yang dilakukan saudaraku sama seperti apa yang kulakukan, kami tak berbeda," jawab So Bong-seng dingin. "Baik, baiklah," teriak Lui Sun jengkel, "kalian telah membebaskan Kwan Jit, aku pun tak akan banyak bicara, toh yang memotong tangannya bukan aku." "Kau tak usah kuatir," tukas So Bong-seng ketus, "sekarang pikiran Kwan Jit bertambah tidak waras, pukulan yang bertubi-tubi sudah membuat dia bertambah sinting, ditambah pula cahaya pedangnya kelewat berkilauan hingga mengundang sambaran petir, biarpun tak mati, tenaga dalamnya sudah sulit untuk dipulihkan kembali seperti sedia kala." "Bila ingin membabat rumput seharusnya cabut seakar-akarnya," mendadak Pek Jauhui berkata, "kenapa kita tidak segera berangkat melakukan pengejaran?" "Tidak bisa," cegah So Bong-seng. "Kenapa?" "Apa tidak kau lihat kabut hujan itu Meskipun hujan sudah makin mereda, namun selapis kabut hujan yang amat tebal masih menyelimuti wilayah di depan sana, bahkan semakin menggumpal dan tak bergerak. "Jangan-jangan hujan itu ... hujan itu adalah ... Yan-hi-bong-bong (Hujan gerimis bagai kabut) bisik Pek Jau-hui kaget. Ketika menyinggung soal hujan gerimis bagai kabut, dia terlihat sangat tegang, seolah sedang membicarakan hal yang sangat menakutkan. "Benar, itulah Yan-hi-bong-bong," sahut So Bong-seng dengan suara berat, "ada orang mengundang datang jago tangguh dori keluarga Tong, tampaknya jagoan dari Suchuan ini khusus diundang untuk melindungi jalan mundurnya." "Aku rasa kejadian ini sepertinya bukan perbuatan Kwan Jit," tiba-tiba Lui Sun menyela. "Benar, Kwan Jit tak pernah mempersiapkan jalan mundur bagi dirinya." "Dan Kwan Jit belum pernah melarikan diri." "Oleh sebab itu pasti masih ada orang lain yang sedang menyambut dirinya di sana," timbrung Ti Hui-keng yang berada di kejauhan tiba-tiba, "ini membuktikan bahwa di belakang perkumpulan Mi-thian-jit-seng masih ada orang lain, menurut dugaanku, jika kekuatan semacam ini tidak cepat dibasmi, di kemudian hari mereka akan menjadi kanker paling jahat di kotaraja." "Untung kita telah membasmi dirinya," sambung Lui Sun. Ti Hui-keng berpikir sejenak, kemudian katanya lagi, "Walaupun belum sampai mencabut rumput seakar-akarnya, namun untuk memulihkan kembali kekuatan mereka seperti sedia kala, rasanya hal ini bukan sesuatu yang gampang." "Hahaha, tak disangka kerja sama Kim-hong-si-yu-lau dengan perkumpulan Lak-hunpoan-tong untuk pertama kalinya telah berhasil menciptakan satu peristiwa besar." Perkataan Lui Sun ini jelas berniat menjalin hubungan baik dengan So Bong-seng. Namun So Bong-seng tidak menanggapi, dia hanya menyahut, "Sayang, masih ada setumpuk urusan lain yang sedang menanti." Ketika dia membalikkan badannya, dari enam orang rasul kini tinggal tersisa empat orang, yaitu Gan Hok-hoat, Cu Siau-yau, Jin Kui-sin dan Liu Cong-seng. Sementara Sengcu kelima dan Sengcu keenam sudah melarikan diri sejak Kwan Jit masih bertarung sengit melawan So Bong-seng tadi. Tiba-tiba terdengar Ti Hui-keng berseru lantang, "Teman-teman perkumpulan Mithian-jit-seng yang bersembunyi di sekitar sini, kalian sudah tak punya pilihan lain lagi, karena sekitar sini sudah dikepung rapat oleh tiga ratus empat puluh lima orang jago Kim-hong-si-yu-lau dan tiga ratus tiga puluh tujuh orang anggota perkumpulan Lak-hun-poan-tong, kalian hanya bisa menyerah atau tewas di tempat ini." "Bagi yang bersedia menyerah, kalian punya dua pilihan, bergabung dengan Kimhong-si-yu-lau atau perkumpulan Lak-hun-poan-tong." Dari balik sebuah pintu rumah di tepi jalan berjalan keluar seorang, dia adalah Yo Bu-shia. "Tentu saja kalian pun boleh setia sampai mati pada perkumpulan Mi-thian-jitseng, tapi kalian mesti ingat, biar Sengcu kalian pun tahu bahwa lelaki yang pintar adalah lelaki yang bisa menyesuaikan diri dengan keadaan ..." Mendadak dari dalam sakunya Gan Hok-hoat mengeluarkan sebuah seruling besi, kemudian ditiupnya seruling itu hingga mengeluarkan suara yang amat keras dan tajam. Cu Siau-yau memandang sekejap sekeliling tempat itu, kemudian berpikir sejenak, akhirnya dia pun mengeluarkan sebuah seruling bambu dan ditiupnya keras pula. Jin Kui-sin serta Liu Cong-seng saling pandang sekejap, kemudian masing-masing mengeluarkan sebatang seruling kasar dan seruling panjang, lalu ditiupnya tiga kali. Serentak para jago perkumpulan Mi-thian-jit-seng yang bersembunyi di sekeliling jalanan bermunculan dari tempat persembunyiannya, sekalipun berada dalam kondisi terkepung rapat, namun kawanan manusia itu masih nampak gagah dan gesit, jumlah mereka sekitar dua ratusan orang. Setelah berdehem beberapa kali, Gan Hok-hoat berseru, "Aku adalah Toa-sengcu kalian, barusan Jit-sengcu telah menderita luka parah hingga kalah dan tewas "Dia hanya terluka, belum kalah, belum juga tewas," tukas So Bong-seng mendadak. "Akan tetapi Jit-sengcu sudah tidak berada di sini, otomatis perkumpulan Mithian-jit-seng sudah bubar. Aku sendiri sebetulnya adalah anggota Kim-hong-siyu-lau yang dikirim So-kongcu menjadi mata-mata di perkumpulan Mi-thian-jitseng. Dalam perundingan yang diselenggarakan So-kongcu dengan Lui-congtongcu kali ini, mereka telah memutuskan hendak membasmi perkumpulan Mi-thian-jit-seng terlebih dulu kemudian baru membicarakan syarat perdamaian, untuk memperlancar rencana ini, hari ini kami pun gunakan nona Lui sebagai umpan untuk memancing Kwan Jit masuk perangkap, kemudian baru turun tangan membasminya." Cu Siau-yau tertawa, senyumannya amat tipis dan sinis, seakan memandang rendah orang lain, seperti juga sedang menertawakan diri sendiri, sambil menuding ke arah Gan Hok-hoat katanya, "Aku pernah berhutang budi kepadanya, banyak hutang kebaikan kepadanya, apa yang ia kerjakan selalu akan kudukung, oleh sebab itu aku pun anggota Kim-hong-si-yulau." Jin Kui-sin dan Liu Cong-seng kembali saling bertukar pandang sekejap, setelah itu dengan suara lantang Jin Kui-sin berseru, "Kami sebenarnya adalah anggota perkumpulan Lak-hun-poan-tong. " "Oleh sebab itu mulai sekarang kami akan mengkhianati perkumpulan Mi-thian-Jitseng," sambung Liu Cong-seng dengan suara nyaring. "Nona, maafkan kekasaran kami tadi," ujar Jin Kui-sin kemudian kepada Lui Tun, "kami hanya menjalankan perintah dari Ti-toatongcu, sebab kalau tidak berbuat begitu, kami tak bisa menunjukkan kalau kungfu kami jauh di bawah orang, Ngosengcu dan Lak-sengcu pun tak akan mengundang bantuan dari Kwan Jit, jika Kwan Jit tidak muncul di sini, semua rencana kita pun tak dapat terlaksana." "Mulai sekarang kami sudah memulihkan kembali identitas yang sebenarnya," sambung Liu Cong-seng cepat, "sebetulnya kami berdua adalah utusan kiri dan kanan perkumpulan Lak-hun-poan-tong, oleh sebab itu bila kalian ingin bergabung dengan perkumpulan Lak-hun-poan-tong, silakan segera menggabungkan diri." Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui hanya berdiri bersanding tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Pertarungan yang berlangsung tadi meski sangat sengit, dalam pertarungan itu meski mereka sempat terluka, namun pertempuran itu tetap meninggalkan kesan yang mendalam bagi mereka berdua. Namun sekarang ada perasaan aneh tiba-tiba muncul dalam hati kecil mereka berdua, bahkan membawa sedikit perasan mengganjal. Hingga kini mereka baru sadar, seluruh operasi yang dilakukan selama ini sebenarnya hanya merupakan satu bagian dari sebuah rencana besar, termasuk segala perubahan yang tampaknya sudah diperhitungkan secara masak. Bukan saja mereka berdua sama sekali tidak menyadari akan hal ini, sebagian besar mereka yang hadir pun sudah dilibatkan tanpa mereka sadari. Atau dengan perkataan lain, mereka berdua sebenarnya hanya merupakan dua bidak yang dijalankan oleh suatu perencanaan yang matang dan sempurna. ooOOoo 44. Angkuh dan menahan malu Begitu Liu Cong-seng, Jin Kui-sin, Cu Siau-yau dan Gan Hok-hoat selesai bicara, para jago perkumpulan Mi-thian-jit-seng jadi kebingungan sendiri, untuk sementara mereka tak tahu harus berbuat apa. Tiba-tiba terdengar seorang meludah dengan suara keras. Begitu semua orang berpaling, maka terlihatlah Tan Cian-kui sedang meludah ke tanah sambil berkata sinis, "Cuhh! Kamu itu terhitung manusia macam apa! Jitsengcu masih hidup pun kalian sudah berani memberontak, pandai melihat arah angin, pandai jadi bunglon ... Hmmm! Saudara-saudaraku yang setia kawan dan berjiwa ksatria, inilah saatnya bagi kalian untuk menunjukkan kesetiaanmu kepada Sengcu!" Begitu ia berteriak, sekawanan jago dari perkumpulan Mi-thian-jit-seng segera memperlihatkan rasa malu dan sesalnya, bahkan Liu Cong-seng dan Cu Siau-yau pun menundukkan kepalanya tanpa terasa. Dengan gusar Gan Hok-hoat segera menghardik, "Tan-toucu, kau sudah bosan hidup!" "Gan-toasengcu, terus terang saja aku berkata," ujar Tan Cian-kui dengan lantang, "siapa sih yang selama beberapa tahun terakhir hidup berkecukupan" Siapa yang sandang pangannya selalu terjamin" Biarpun aku orang she Tan hidup dalam kegelapan, akan tetapi hati dan pikiranku jauh lebih jelas dari cahaya matahari, ada sementara urusan aku lebih suka memilih jalan kematian daripada hidup." Kemudian dengan suara keras teriaknya kepada para pengikuti perkumpulan Mithian-jit-seng, "Rekan-rekan yang merasa punya darah lelaki, punya jiwa ksatria, mereka yang menganggap dirimu mengalir jiwa dan semangat Kwan Jit-sengcu, silakan berdiri di pihakku, mari kita angkat senjata bersama, paling tidak kita mesti menunjukkan kepada mereka bahwa dalam perkumpulan Mi-thian-jit-seng masih ada manusia yang bersedia menjaga nama baik dan mempertahankan martabat perkumpulan." Begitu perkataan itu diutarakan, puluhan orang anggota setia perkumpulan Mithian-jit-seng serentak menyeberang dan berdiri di belakangnya. "Tan Cian-kui, kau betul-betul tak tahu diri!" seru Jin Kui-sin gusar. Tan Cian-kui balas tertawa dingin. "Betul, aku memang tak tahu diri, paling tidak aku bukan pengkhianat yang menjual majikan demi keselamatan sendiri!" "Kau Menggunakan kesempatan itu Gan Hok-hoat ikut berseru, "Bagi mereka yang ingin meninggalkan jalan gelap dan kembali ke jalan terang, bergabunglah dengan Kimhong-si-yu-lau, kami akan menyambut penggabungan kalian, datang dan berdiri saja di barisanku." Sebenarnya Jin Kui-sin ingin menghadapi dulu Tan Cian-kui, tapi menyaksikan Gan Hok-hoat sudah mulai berkampanye untuk mencari pendukung, dia tak ingin ketinggalan, apalagi kalau sampai ditegur Lui Sun atau Ti Hui-keng, maka lekas serunya pula, "Perkumpulan Lak-hun-poan-tong membuka pintu lebar-lebar, kami mengutamakan mereka yang berbakat dan merasa punya kemampuan, silakan berdiri di pihakku, kami tak akan mempermasalahkan dosa dan kesalahan lama." Tak selang berapa saat kemudian dari kedua ratusan orang anggota perkumpulan Mithian-jit-seng, ada seratus orang yang menyeberang ke sisi Jin Kui-sin dan seratusan yang lain berpihak ke barisan Gan Hok-hoat. Padahal jauh sebelum terjadinya pertempuran hari ini, di dalam perkumpulan Mithian-jit-seng sudah terbagi jadi tiga aliran, Toa-sengcu Gan Hok-hoat dan Jisengcu Cu Siau-yau berdiri sebagai satu aliran, sementara Sam-sengcu Jin Kui-sin dan Su-sengcu Liu Cong-seng berdiri sebagai aliran lain, kelompok yang benarbenar setia sampai mati terhadap Kwan Jit se?sungguhnya tak sampai satu bagian saja. Ketika Kwan Jit mendirikan perkumpulan Jit-seng-beng (persekutuan tujuh rasul), sebetulnya kekuatan organisasi ini sangat kuat, pengaruhnya amat luas, jauh mengungguli perkumpulan Lak-hun-poan-tong, namun kemudian ketika Lui Sun naik dan memegang pimpinan, apalagi setelah dia menikah dengan adik kandung Kwan Jit yakni Kwan Siau-te, kekuatan dan pengaruh perkumpulan Lak-hun-poan-tong baru semakin meningkat, saat itu kelompok ini menjadi orang kepercayaan perkum?pulan Mi-thian-jit-seng. Pada saat itulah tiba-tiba Kwan Jit menjadi linglung, setiap hari mengurung diri dalam kotak besinya sambil mengoceh tiada habisnya, tingkah lakunya jadi semakin aneh bahkan sebentar marah sebentar gembira, akibatnya urusan partai semakin tak diurusi, yang lebih parah lagi karena urusan kecil dia kerap kali melakukan pembunuhan, akibatnya banyak anak buah setianya seperti Ji-sengcu Kim-bin-siu (hewan berwajah emas) Kwan Cin, Ngo-sengcu Kay-sim-sin-sian (dewa riang) Lu Pokim, Lak-sengcu Tok-jiu-mo-sim (Mo Sim bertangan iblis) Thio Hun-yan tewas dibantai olehnya. Untuk menutup kekosongan itu, akhirnya masuklah Cu Siau-yau sekalian menjadi Sengcu perkumpulan itu. Akibat dari semua ini, kekuatan dan daya pengaruh perkumpulan Lak-hun-poan-tong makin hari semakin bertambah kuat, sebaliknya kekuatan perkumpulan Mi-thian-jitseng semakin merosot dan melemah, sejak tujuh delapan tahun berselang persekutuan tujuh rasul pun berubah menjadi sebuah organisasi bawah tanah yang sangat rahasia. Melihat ada peluang yang sangat baik ini, perkumpulan Lak-hun-poan-tong segera melakukan pengejaran dengan maksud membasmi perkumpulan Mi-thian-jit-seng dari muka bumi, tapi pada saat bersamaan So Bong-seng dengan Kim-hong-si-yu-lau mulai berkibar daya kekuatannya. Untuk membendung semakin meluasnya pengaruh Kim-hong-si-yu-lau, terpaksa perkumpulan Lak-hun-poan-tong harus' mengubah targetnya dengan mengalihkan segenap kekuatannya. Dengan beralihnya target perkumpulan Lak-hun-poan-tong, perkumpulan Mi-thianjit-seng pun mendapat kesempatan untuk bertahan terus, sayang kekuatan mereka tak pernah bisa bangkit kembali, setiap hari Kwan Jit hanya mengurung diri bagaikan orang sinting, sementara urusan partai diserahkan pelaksanaannya kepada Ngo-sengcu dan Lak-sengcu. Akibat kurang tegaknya disiplin dan peraturan, kerap kali anak buah perkumpulan Mi-thian-jit-seng melakukan perbuatan jahat dan terkutuk dalam dunia persilatan, dimana pada akhirnya mereka mengalihkan sasaran untuk menculik Lui Tun dengan mengirim Toa-sengcu dan kawan-kawan, dan terjadilah peristiwa yang berakibat hancurnya partai itu. Sebelum peristiwa ini terjadi, selama beberapa bulan belakangan pengaruh perkumpulan Mi-thian-jit-seng dalam kotaraja menunjukkan peningkatan, banyak jago-jago kosen yang menggabungkan diri dengan partai itu, bahkan banyak anggotanya yang mulai bermunculan di situ. Perkumpulan Lak-hun-poan-tong dan Kim-hong-si-yu-lau yang sedang saling gontok segera menyadari akan kehadiran mereka, meski sekilas orang mengira mereka masih saling menyerang, padahal Lui Sun maupun So Bong-seng bukan jago sembarangan. Mereka tak pernah mengabaikan kehadiran perkumpulan Mi-thian-jit-seng, bahkan mereka pun cukup paham sejauh mana kepandaian silat yang dimiliki Kwan Jit. "Dalam hal kepandaian silat, aku tidak kuatir dengan Lui Sun, tapi takut dengan peti mati itu," So Bong-seng pernah berkata begitu kepada Kwik Tang-sin, "seandainya dalam beberapa tahun terakhir Kwan Jit tidak sinting dan linglung, sebenarnya dialah musuh kita yang paling menakutkan." "Tapi kenyataan, status dan kungfu yang dimiliki Ti Hui-keng jauh lebih berbahaya dan penuh misterius," Kwik Tang-sin menanggapi, "meski kekuatan di belakang Kwan Jit membikin kita makan tak enak tidur pun tak nyaman." Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Maka So Bong-seng pun memutuskan untuk menyingkirkan perkumpulan Mi-thian-jitseng terlebih dulu. Hanya dalam kondisi kekuatan perkumpulan Mi-thian-jit-seng sudah tersingkir dari depan mata, mereka baru bisa menghadapi perkumpulan Lak-hun-poan-tong dengan perasaan lega dan bertarung habis habisan. Jalan pikiran itu ternyata sepaham dengan jalan pikiran Lui Sun. "Sebelum bertarung habis-habisan melawan kekuatan Kim-hong-si-yu-lau, kita harus membasmi dulu kekuatan Kwan Jit," Ti Hui-keng pun pernah berkata demikian kepada Lui Sun, "sebesar apa pun kekuatan dan pengaruh seseorang, perselisihan antara sang Lotoa dengan Loji pasti akan melibatkan Lo-sam, oleh karena itu yang mendapat untung akhirnya adalah Lo-sam, sekali Lo-sam mendapat untung, dia akan berubah menjadi Lo-ji, sebaliknya meski kita menang pun, Lo-sam tetap akan menjadi ancaman bagi kita, maka mumpung kekuatan inti kita belum terluka parah, lebih baik kita singkirkan dulu pihak ini agar tidak menjadi bibit bencana di kemudian hari, seandainya kita kalah dan kehabisan kekuatan, padahal dulu kitalah yang telah merampas posisi dan pengaruh Kwan Jit, bayangkan sendiri, mana mungkin dia akan melepaskan kita begitu saja?" "Tapi Kwan Jit sudah sinting, sudah linglung!" Lui Sun beralasan begitu. "Sinting atau linglung bukan berarti mati," Ti Hui-keng menerangkan, "malah terkadang orang sinting mirip seseorang yang menderita kekalahan, walaupun sudah kalah masakah tak ingin bangkit pada suatu ketika" Kalau sudah sinting atau linglung, memangnya tak mungkin kesadarannya pulih kembali?" Maka Lui Sun pun melakukan kesepakatan rahasia dengan So Bong-seng. Kesepakatan mereka adalah menyingkirkan dulu perkumpulan Mi-thian-jit-seng dan membunuh Kwan Jit! Dalam hal ini, mereka dapat melakukannya secara jelas dan tuntas. Liu Cong-seng dan Jin Kui-sin adalah orang kepercayaan Kwan Jit di masa lalu, mereka sangat tidak puas ketika melihat Kwan Jit yang linglung dan sinting lebih percaya kepada orang lain ketimbang pada orang sendiri, kalau Liu Cong-seng masih teguh imamnya dan tak gampang berubah pikiran, beda dengan Jin Kui-sin yang sudah lama merasa tak puas, dia lebih mudah disuap, apalagi Liu Cong-seng memang satu komplotan dengan dirinya. Maka secara diam-diam Lui Sun mengirim Ti Hui-keng untuk melakukan kontak rahasia dengan Jin Kui-sin dan menga jak mereka berdua untuk bergabung. Jin Kui-sin yang merasa tak puas dengan Kwan Jit karena lebih mempercayai Ngosengcu dan Lak-sengcu ketimbang mereka berdua, tentu saja menyambut baik tawaran Lui Sun ini, maka Liu Cong-seng yang memang akrab dengan Jin Kui-sin pun akhirnya menyetujui rencana rekannya ini. Di pihak lain So Bong-seng telah mengutus Yo Bu-shia untuk bergabung menjadi anggota perkumpulan Mi-thian-jit-seng, sejak awal Yo Bu-shia sudah mengincar Gan Hok-hoat. Meskipun Gan Hok-hoat adalah Toa-sengcu perkumpulan Mi-thian-jit-seng, namun kenyataannya dia tidak memiliki pe?ranan yang besar, ketika menyaksikan pengaruh dan kekuatan partainya kian lama kian bertambah lemah dan goncang, ia me?rasa amat tidak puas dan sangat tidak rela dengan keadaan itu. Jelas Gan Hok-hoat adalah seorang jago yang pintar, kalau bukan orang cerdas tak mungkin dia tetap bertahan menjadi Toa-sengcu di perkumpulan Mi-thian-jit-seng, walaupun sudah ia saksikan bagaimana Ngo-sengcu Lu Po-kim dan Lak-sengcu Thio Hun-yan tewas dicelakai Kwan Jit. Sebagai orang yang cerdas, tentu saja dia pun tahu hidup selanjutnya justru merupakan persoalan yang paling penting. Orang pintar biasanya lebih takut mati, sebab hanya orang pintar yang tahu hidup dengan cara apa baru terhitung hidup yang nyaman. Sebagai orang yang sangat memperhatikan kenyamanan hidup, biasanya dia punya pikiran tamak, punya tujuan tertentu. Yo Bu-shia sangat memahami kelemahan manusia seperti ini, maka dengan tehnik yang jitu ia berhasil membeli Gan Hok-hoat agar mau berpihak kepadanya. Di samping jtu dia pun dapat melihat bahwa Gan Hok-hoat satu komplotan dengan Ji-sengcu Cu Siau-yau, asal ia dapat menaklukkan Gan Hok-hoat, secara otomatis Cu Siau-yau pun akan berpihak kepadanya. Ternyata perhitungan Yo Bu-shia sangat tepat. Maka Gan Hok-hoat serta Cu Siau-yau pun menjadi mata-mata Kim-hong-si-yu-lau yang menyusup ke dalam jaringan perkumpulan Mi-thian-jit-seng. Dengan dukungan kedua orang inilah maka muncul kesepakatan di loteng Sam-haplau. Dengan Lui Tun sebagai umpan, mereka memancing terjadinya pertarungan dalam skala kecil di situ hingga memancing kemunculan Kwan Jit, begitu sasaran muncul di arena, maka mereka pun segera melancarkan serangan mematikan, mereka berusaha membasmi Kwan Jit dari muka bumi. Siapa sangka Kwan Jit berhasil melarikan diri dari kepungan kendatipun dengan membawa luka yang cukup parah. Namun dalam melaksanakan rencana penumpasan terhadap Kwan Jit ini, baik Kimhong-si-yu-lau maupun perkumpulan Lak-hun-poan-tong sama-sama berusaha mengamati kekuatan masing-masing, kerja sama bukan berarti permusuhan di antara mereka memudar. Karena persoalan ini So Bong-seng justru mendapat tambahan dua kekuatan besar yaitu Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui. Dia justru memanfaatkan kesempatan ini untuk menyeim-bangkan kekuatan dari Kimhong-si-yu-lau dengan perkumpulan Lak-hun-poan-tong, bahkan memerintahkan Pek Jau-hui berdua untuk menculik Lui Kun dan membunuh Lui Heng. Dia sendiri dengan posisi sebagai komando tertinggi Kim-hong-si-yu-lau, bersama dengan Lui Sun sama sekali tidak melakukan tindakan apa pun, hingga Kwan Jit muncul untuk menangkap Lui Tun, mereka baru menyergap loteng Sam-hap-lau dan menyelesaikan rencana besar mereka. Sekarang masalahnya tinggal penyelesaian serta mengumpulkan anggota baru. Membunuh hanya cara yang bisa dilakukan bila terpaksa, sebab tindakan seperti ini merupakan semacam tindak penghancuran. Yang penting dalam keadaan begini adalah menghimpun tenaga baru, sebab kekuatan baru justru merupakan penunjang yang amat penting untuk berlangsungnya sebuah perkumpulan. Ditinjau dari situasi saat ini, dari pasukan inti yang dimiliki perkumpulan Mithian-jit-seng, ada empat bagian yang sudah menyeberang ke pihak Kim-hong-si-yulau dan empat bagian pindah ke perkumpulan Lak-hun-poan-tong, hal ini menunjukkan selama ini secara diam-diam Gan Hok-hoat dan Jin Kui-sin sudah berkampanye untuk mencari pendukung. Waktu itu andai kata Kwan Jit tidak sinting dan mau memperhatikan lebih seksama, semestinya dia segera akan tahu kalau banyak anggota perkumpulannya yang sudah mulai goyah. Kini tinggal dua bagian anggota perkumpulan Mi-thian-jit-seng yang belum mengambil sikap, dimana pada akhirnya satu bagian berpihak ke Tan Cian-kui dan siap bertarung sampai titik darah penghabisan, satu bagian yang tersisa menjadi pasukan tak punya pendirian, mereka tak ingin bergabung, tak ingin mengadu nyawa, namun mau kabur pun tak berani hingga untuk sesaat malah kebingungan sendiri. Tiba-tiba So Bong-seng berkata kepada Yo Bu-shia, "Tahukah kau, aku paling benci terhadap manusia jenis apa?" Tahi lalat yang ada di kening Yo Bu-shia segera bersinar tajam, sahutnya, "Kongcu selalu membenci orang yang senangnya berpijak di atas dua perahu, jadi rumput penghias di atas tembok, mencari muka pada semua pihak, orang yang plinplan tak punya pendirian." "Betul, kalau ingin setia ya setia, mau berkhianat, cepatlah berkhianat, mau baik mau buruk segera mengambil sikap, jadi orang harus punya pendirian, pilih sesuai dengan suara hati, kalau salah pilih, anggap saja memang salah, kalau betul pilihannya terima saja keadaan, tapi kalau beraninya hanya menjadi kurakura yang selalu sembunyi kepala, lebih baik dibunuh saja habis perkara!" "Perkataan Kongcu memang tepat sekali!" sahut Yo Bu-shia cepat. Begitu mendengar perkataan So Bong-seng itu, kembali ada beberapa orang yang menyeberang ke pihak Kim-hong-si-yu-lau. Mendadak terdengar Lui Sun berdehem sambil menyapa, "So-kongcu, sampai berjumpa." "Kau sakit pilek?" jengek So Bong-seng. Mula-mula Lui Sun agak tertegun, tapi segera sahutnya, "Berkat Kongcu, selama ini Lohu selalu sehat tanpa penyakit." "Kau punya sakit paru?" kembali So Bong-seng bertanya. Perkataan So Bong-seng ini tak ayal merupakan sebuah sindiran, bahkan lebih mendekati sebuah penghinaan. Ternyata Lui Sun sama sekali tak marah, dia malah menjawab, "Tidak ada!" "Kalau memang begitu, kenapa selalu batuk dulu sebelum berbicara?" Lui Sun tidak menyangka akan pertanyaan itu, untuk sesaat dia tak mampu menjawab. Tiba-tiba Ti Hui-keng menjawab, suaranya lemah seakan tak bertenaga, bicara dengan kepala tertunduk, namun setiap orang dapat mendengar perkataannya dengan jelas, kendatipun saat itu hujan sedang turun. "Sebelum bicara, Congtongcu selalu batuk dulu karena dia menghendaki perhatianmu, dia ingin memberitahu kalau ia sedang mengajakmu berbicara." "Kalau ingin bicara, katakan saja, aku toh bisa mendengarnya, memang kau anggap aku tuli sehingga harus menggunakan suara batuk untuk menarik perhatian" Atau dia tidak punya rasa percaya diri karena sedang berhadapan dengan aku?" "Kalau begitu aku pun ingin bertanya, kemarin sewaktu bertemu aku di loteng Samhap-lau, So-kongcu sudah batuk sebanyak tujuh belas kali, apa pula maksud batukmu itu?" Begitu perkataan itu diutarakan, serentak anggota perkumpulan Lak-hun-poan-tong dan Kimhong-si-yu-lau meraba senjata masing-masing. Ternyata So Bong-seng sama sekali tidak marah, dia malah menjawab dengan santai, "Karena aku sedang sakit, maka mau tak mau aku harus batuk." Kemudian sambil menuding ke arah Lui Sun katanya lagi, "Dia tidak sakit, kenapa mesti batuk?" Bicara sampai di sini ia berhenti sebentar, kemudian baru katanya lagi, "Kecuali dia memang sedang memprovokasi aku, melihat aku batuk, dia pun sengaja ikut batuk beberapa kali dengan niat mengejek aku!" Sekarang siapa pun dapat melihat bahwa So Bong-seng memang sengaja mencari garagara pada Lui Sun. Bila seorang pemimpin besar satu perkumpulan sedang mencari gara-gara dengan seorang pemimpin lain, tentu saja ia mempunyai beribu macam cara dan alasan untuk melakukan provokasi, tapi kini ternyata So Bong-seng menggunakan urusan kecil sebagai alasan untuk mencari gara-gara, jelas dia memang sedang mengincar Lui Sun, bahkan sama sekali tidak memandang sebelah mata pun kepadanya. Anehnya Lui Sun tetap tenang, sama sekali tidak jadi jeng kel. "Tadi aku batuk karena ingin menyampaikan salam kepadamu, ingin berhubungan lebih dekat dengan Kongcu," ucap Lui Sun tetap menahan diri, kalau paras mukanya semula lebih abu-abu ketimbang warna cuaca di langit, maka sekarang senyuman malah menghiasi bibirnya, "Aku sama sekali tidak berniat jahat, harap Kongcu sudi memaklumi." Begitu ucapan itu diutarakan, beberapa puluh orang anggota perkumpulan Mi-thianjit-seng yang masih tersisa kembali ada belasan orang menggabungkan diri dengan Kim-hong-si-yu-lau. "Percuma kau berusaha membaiki aku," kata So Bong-seng lagi sinis, "lebih baik dalam masalah yang satu itu, kau beri jawaban yang sesuai untukku." "Aku tahu," Lui Sun tertawa paksa, "cuma batas waktu tiga hari yang kau berikan kepadaku, sekarang baru lewat satu hari." "Apa?" teriak So Bong-seng seolah tidak mendengar dengan jelas. Terpaksa Lui Sun mengulangi sekali lagi perkataannya, "Batas waktu tiga hari yang Kongcu berikan kepadaku masih ada dua hari, lusa aku pasti akan memberikan jawaban yang memuaskan." Kini bukan saja sisa anggota perkumpulan Mi-thian-jit-seng yang semula masih sangsi telah bergeser berdiri di pihak Kim-hong-si-yu-lau, bahkan sebagian anggota perkumpulan Mi-thian-jit-seng yang semula sudah berdiri di barisan perkumpulan Lak-hun-poan-tong pun ada sebagian yang secara diam-diam bergeser ke dalam rombongan Kim-hong-si-yu-lau. So Bong-seng berlagak seolah sedang berpikir, kemudian dengan logat kurang yakin serunya, "Masa aku memberi waktu selama tiga hari kepadamu?" "Benar." "Ah, benar, tiga hari, wah, rasanya kelewat lama, sekarang urusan Kwan Jit telah beres, besok kau harus memberi jawaban yang gamblang kepadaku." "Besok?" Lui Sun terlihat agak sangsi, "apa ... apa tidak kelewat cepat?" "Kau anggap kelewat cepat?" tiba-tiba So Bong-seng menarik wajahnya, "boleh saja kalau kau ingin batas waktu yang lebih cepat" "Tidak cepat, tidak cepat, baik, besok... besok saja lekas Lui Sun berseru. Begitu tanya jawab itu selesai berlangsung, seluruh anggota perkumpulan Lak-hunpoan-tong yang hadir di arena nyaris tak berani mendongakkan kepala lagi, sementara anggota Kim-hong-si-yu-lau justru membusungkan dada. So Bong-seng sama sekali tidak mengendorkan pertanyaannya, kembali ia berseru, "Sudah tahu kau harus menjawab masalah apa kepadaku" Apakah Ti-sianseng sudah memberitahu kepadamu?" Didengar dari logat bicaranya, dia seakan jauh lebih meng?hargai Ti Hui-keng ketimbang terhadap dirinya. "Sudah!" jawab Lui Sun. "Aku minta kau menyerah, asal kau bersedia menyerah, maka perkumpulan Lak-hunpoan-tong masih dapat hidup di kotaraja berdampingan dengan Kim-hong-si-yu-lau, kalian tak perlu mengalami pemusnahan. Namun bila kau memilih tetap bertempur terus, maka aku perlu memberitahu kepadamu, kau sedang mencari kematian buat diri sendiri." Begitu mendengar perkataan ini, sebagian besar anggota perkumpulan Lak-hun-poantong sudah tak mampu mengendalikan diri lagi, mereka berharap Lui-congtongcu serta Ti-toatongcu bisa segera menurunkan perintah, agar mereka dapat bertarung habis-habisan dengan para musuhnya. Tapi Ti Hui-keng sendiri pun berlagak seolah-olah tidak mendengar apa-apa. Lui Sun sendiri pun sama sekali tidak menunjukkan perubahan reaksi, dengan sikap yang tetap tenang sahutnya, "Aku mengerti." "Bagus," tampaknya sekarang So Bong-seng baru merasa agak puas, "jangan lupa besok, tengah hari, tempat pertemuan kuubah di Kim-hong-si-yu-lau!" "Apa?" akhirnya Lui Sun tak kuasa menahan diri. "Ooh, kau tidak setuju?" tanya So Bong-seng sambil mengerling. Lui Sun seperti mau mengucapkan sesuatu, tapi kemudian diurungkan. "Tidak bisa, sama sekali tidak bisa," kali ini Ti Hui-keng yang berteriak, suaranya sangat keras, "Biarpun Congtongcu setuju pun aku tetap tidak setuju!" ooOOoo 45. Manusia paling tak tahu malu Kui Kian-ciu So Bong-seng mengerling sekejap ke arah Ti Hui-keng dengan wajah dingin bagaikan salju, sepasang matanya memancarkan cahaya merah bagai api setan, siapa pun tak bisa menduga apakah dia sedang marah atau tidak. "Ooh, jadi kau tidak setuju?" tanyanya hambar. "Kalau kita berunding di Kim-hong-si-yu-lau berarti kami sudah memasuki sarang harimau dan terjerumus dalam kepungan musuh, itu namanya mengantar diri ke dalam jebakan, kalau perbuatan semacam itu sih aku tak sudi melakukan!" "Benarkah?" So Bong-seng tertawa, "tapi kali ini mungkin kau harus melanggar kebiasaan." "Kenapa?" "Sebab akulah yang menyuruh kau ke sana." Ti Hui-keng termenung sampai lama sekali, kemudian baru berkata, "Tidak, aku tetap menolak, jika mesti menderita kekalahan esok, lebih baik kita bertarung habis-habisan hari ini!" Perlahan-lahan So Bong-seng menarik napas panjang, empat jari kirinya ditekuk di atas telapak tangan kanannya, inilah cara yang biasa digunakan Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui untuk mengendorkan rasa tegang, sekarang tanpa terasa dia pun menggunakannya. "Kau tidak berani?" tantangnya sambil menatap tajam Ti Hui-keng. "Kau berani jika pertemuan diselenggarakan di depan markas besar perkumpulan Lak-hun-poan-tong kami?" Ti Hui-keng balas bertanya. "Baik," ternyata So Bong-seng langsung menyetujui, perkataannya tajam bagai sayatan bambu bahkan tanpa berpikir lagi, "kami akan mendatangi markas besar perkumpulan Lak-hun-poan-tong!" Begitu janji itu diberikan, bukan hanya anggota perkumpulan Lak-hun-poan-tong yang merasa kaget, seluruh anggota Kim-hong-si-yu-lau pun ikut terkesiap. Tanpa memasuki sarang macan, mana mungkin bisa memperoleh anak harimau" Namun orang yang berani memasuki sarang macan, sering kali harus membayar mahal atas perbuatannya itu. Memasuki sarang musuh ibarat memasuki daerah yang gelap, musuh ada di posisi gelap sementara posisi sendiri amat terang, biasanya tindakan semacam ini tak Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo akan dipilih orang pintar, apalagi berhadapan dengan musuh setangguh perkumpulan Lak-hun-poan-tong, jangan-jangan So Bong-seng sudah sinting" Begitu perkataan itu diucapkan, Su Bu-kui segera maju satu langkah seakan hendak mengatakan sesuatu, begitu juga dengan Mo Pak-sin, entah darimana munculnya, tahu-tahu ia sudah menghampiri So Bong-seng. Tapi So Bong-seng sama sekali tidak memberi kesempatan kepada mereka untuk buka suara, kembali serunya, "Kalian berani tidak?" Berkilat sepasang mata Lui Sun, ia segera tertawa tergelak, "Hahaha, bila Sokongcu bersedia mengunjungi markas kami, tentu saja dengan tangan terbuka kami akan menunggu kehadiran kalian semua!" "Tidak bisa!" mendadak Ti Hui-keng menampik. So Bong-seng memandang peti mati itu sekejap, kembali sinar aneh memancar keluar dari balik matanya, ujarnya dingin, "Hmm, tak kusangka ternyata Ti-toatongcu bernyali kecil." "Masalah ini bukan masalah bernyali atau tidak, tapi sudah menyangkut masalah kepercayaan," sahut Ti Hui-keng tidak marah ataupun tersinggung. "Masalah kepercayaan?" "So-kongcu sudah bilang akan menanti jawaban tiga hari kemudian, sebagai ucapan Locu Kimhong-si-yu-lau, semestinya janji itu adalah sah, karena bila diingkari, sekalipun kau berhasil mengalahkan pihak lawan pun, tindakanmu ini akan ditertawakan orang banyak," kata Ti Hui-keng, "So-kongcu, untuk sukses dalam masalah besar, urusan kecil pun terkadang harus diperhatikan, tentunya kau tak akan ingkar janji hanya gara-gara urusan kecil bukan?" "Sebenarnya apa yang kau inginkan?" perasaan kagum terpancar keluar dari balik mata So Bong-seng. "Sesuai dengan perjanjian yang diucapkan So-kongcu, kita baru akan berjumpa lagi lusa tengah hari," kali ini Ti Hui-keng bicara dengan kepala tertunduk sehingga siapa pun tak dapat menyaksikan perubahan mimik mukanya, "Mengenai tempat pertemuan, oleh karena So-kongcu adalah pemberani sementara sahabat dari Kimhong-si-yu-lau pun rata-rata merupakan orang bernyali, maka kita ubah jadi di markas besar perkumpulan Lak-hun-poan-tong, bila dalam hal ini saja perkumpulan Lak-hun-poan-tong tak mampu menghadapi, tak mampu menjadi tuan rumah yang baik, maka sejak kini, perkumpulan Lak-hun-poan-tong sudah tak punya muka lagi untuk bertahan terus dalam kancah persaingan ini." "Ti-toatongcu," seru Mo Pak-sin cepat, "hebat amat perhitungan sipoamu kali ini, dengan demikian bukankah pihak perkumpulan Lak-hun-poan-tong telah meraih keuntungan baik soal waktu, tempat maupun manusia?" Tiba-tiba Ti Hui-keng mengawasi telapak tangan sendiri yang diletakkan di atas lutut, jawabnya santai, "Kalau itu sih tergantung apakah pihak Kim-hong-si-yulau memang benar-benar bernyali untuk mengaduk sarang naga dan mendongkel sang naga." "Ti Hui-keng, kau ........... Su Bu-kui amat gusar. "Baik, aku setuju!" mendadak So Bong-seng menukas. Sekali lagi semua dibuat terperanjat oleh perkataan itu. "Ucapan seorang kuncu ............ seru Ti Hui-keng. Belum sempat So Bong-seng menjawab, Pek Jau-hui sudah menyela duluan, "Belum tentu dianggap suatu janji!" "So-kongcu," Ti Hui-keng segera menyindir dengan nada sinis, "sebetulnya ada berapa orang sih dalam Kim-hong-si-yu-lau yang bisa memberi komando?" "Aku adalah wakil Locu yang baru diangkat," jawab Pek Jau-hui cepat, "aku tidak setuju dengan usul itu, aku tak sudi melakukan perbuatan mengantar domba ke mulut harimau, dan aku rasa perbuatan semacam inipun tak pantas dilakukan seorang Locu. Kalau ingin berunding, kita ketemu lagi di Sam-hap-lau, kalau tidak, jika kalian memang betul-betul punya nyali, ayo, kita bertemu saja dalam istana terlarang!" "Sekalipun kau adalah Hu-locu, namun persoalan semacam ini hanya pantas diputuskan oleh Kongcu seorang!" sela Yo Bu-shia. "Aku adalah anggota Kim-hong-si-yu-lau, demi keuntungan dan keutuhan Kim-hongsi-yu-lau, aku pun berhak untuk melakukan tindakan yang kuanggap paling menguntungkan," tegas Pek Jau-hui. "So-kongcu," tampaknya Ti Hui-keng sudah habis kesabarannya, "apakah kalian para pemimpin Kim-hong-si-yu-lau perlu sedikit waktu untuk berunding dulu sebelum memberikan ja?waban yang pasti kepada kami?" "Tidak usah," tegas So Bong-seng, "aku setuju dengan usulmu!" Sekali lagi Ti Hui-keng mengernyitkan alis matanya. "Ucapan seorang Kuncu ... ?" "Bagaikan kuda cepat yang dilecut," sambung So Bong-seng kemudian, tapi ia segera menambahkan, "kecuali kalian tidak pegang janji terlebih dulu!" "Baik, dua hari kemudian kami akan menunggu kehadiran kalian, tidak bubar sebelum bertemu." Menyaksikan keputusan ini, Pek Jau-hui segera menghentakkan kakinya berulang kali dengan jengkel, serunya, "Membebaskan Kwan Jit sudah merupakan tindakan yang keliru, melepaskan kesempatan bertarung cepat untuk menyelesaikan persoalan pun merupakan kesalahan besar, buat apa kita mesti menerobos ke dalam markas besar perkumpulan Lak-hun-poan-tong" Aku rasa tindakan semacam ini tak perlu dilakukan." "Kau tak akan mengerti," ujar So Bong-seng cepat, perasaan tidak senang terlihat muncul dari balik matanya, "aku menginginkan perkumpulan Lak-hun-poan-tong menyerah dengan perasaan tulus!" "Perselisihan antara dua kekuatan hanya bisa diselesaikan dengan kemenangan bukan perasaan takluk, siapa menang jadi raja siapa kalah jadi penyamun, seseorang yang sudah menderita kekalahan sama artinya sudah kehilangan rasa kepercayaan, kau pernah mendengar kisah tentang Song Siang-kong yang membubarkan tentaranya untuk menyeberang sungai?" "Kurangajar!" mendadak Su Bu-kui membentak marah. Ti Hui-keng yang menyaksikan kejadian ini lekas mengejek lagi sambil tertawa, "Kelihatannya orang yang ingin mengambil keputusan dalam Kim-hong-si-yu-lau saat ini bukan cuma satu orang saja "Tepat sekali," balas Yo Bu-shia tiba-tiba, "tampaknya perkumpulan Lak-hun-poantong saat inipun sudah menjadi milik Ti-toatongcu seorang, buktinya hanya dia yang bisa mengambil keputusan, kalau begitu Lui-congtongcu sudah jadi boneka yang tidak mencampuri urusan keduniawian lagi." Lui Sun tersenyum. "Selama ini Ti-toatongcu lah yang selalu mengambilkan keputusan bagiku, baik urusan besar maupun urusan kecil, hampir semuanya dia yang putuskan." "Semua ini berkat kepercayaan dan kebijaksanaan Cong-tongcu," sambung Ti Huikeng. "Hmmm, siapa sih yang tak mampu mengucapkan kata-kata menjilat?" ejek Pek Jauhui sinis, "kalau sudah tahu salah tapi tidak menunjukkan kesalahannya, kalian tak lebih cuma sekawanan manusia munafik, manusia srigala yang bisanya hanya berbuat kriminal, jangan harap manusia macam kalian bisa melakukan pekerjaan besar." Ti Hui-keng tertawa tergelak. "Hahaha, perkumpulan Lak-hun-poan-tong selalu menghargai pendapat umum, hanya sayang manusia berbakat macam saudara Pek sama sekali tidak dihargai oleh siapa pun" "Ti-toatongcu jangan memandang enteng Jikoku ini," tiba-tiba Ong Siau-sik menyela, "kami adalah saudara angkat So-toako. Sekali angin emas berhembus, sekali hujan gerimis membasahi bumi, jangan harap cahaya matahari dari perkumpulan Lak-hun-poan-tong bisa menampakkan diri, aku justru mengagumi bakat anda, bagaimana kalau kau saja yang mempertimbangkan untuk pindah ke pihak Kimhong-si-yu-lau" Aku percaya Toako pasti akan menyambut dirimu dengan senang hati." "Sudahlah, urusan angin emas atau hujan gerimis adalah masalah kalian sendiri, aku enggan mencampuri," kata Ti Hui-keng sambil menghela napas, "tapi kini So-kongcu sudah menyetujui usul kami, jadi kita bertemu lagi lusa di markas perkumpulan Lak-hun-poan-tong." Pek Jau-hui segera berpaling ke arah So Bong-seng sambil serunya, "Toako, kenapa kau tidak menarik kembali perkataanmu?" "Karena apa yang sudah kuucapkan tak akan ditarik kembali, sama seperti sewaktu aku mengayun golokku, golok yang sudah diayun tak akan ditarik kembali," jawab So Bong-seng tegas. "Tapi kalau salah sudah seharusnya segera diperbaiki!" "Aku tak merasa salah, jadi tak perlu diperbaiki!" "Kau tampak Pek Jau-hui semakin gusar. Cepat Ong Siau-sik menarik ujung bajunya sambil berbisik, "Jiko, lebih baik urusan macam begini kita bicarakan secara pribadi saja dengan Toako "Dibicarakan lagi?" seru Pek Jau-hui sambil mengebaskan tangannya, "kalau keputusan sudah final, mau dibatalkan juga tak ada gunanya!" "Tapi tidak pantas kau menegur Toako di hadapan orang banyak, Toako sudah lama memegang komando, keputusannya tentu sudah melalui berbagai pertimbangan, dia pasti sudah tahu keadaan sebelum mengambil keputusan." Saking jengkelnya paras muka Pek Jau-hui berubah menjadi putih memucat, tapi kali ini dia bicara dengan suara lirih, "Apa-apaan ini" Semua orang tak berani bicara, tak mau bicara, padahal sangat tidak menguntungkan buat semua orang!" Ketika mendengar Kim-hong-si-yu-lau akan mengirim pasukan untuk langsung mendatangi markas besar perkumpulan Lak-hun-poan-tong, kembali ada sebagian anggota perkumpulan Mi-thian-jit-seng yang secara diam-diam berpindah lagi ke pihak perkumpulan Lak-hun-poan-tong. Lu Sam-ciam yang menyaksikan kejadian ini segera berkata kepada Lui Sun, "Congtongcu, bagaimana kita selesaikan orang-orang itu?" Sebelum Lui Sun sempat menjawab, Thio Than yang selama ini hanya membungkam segera berteriak, "Kawanan manusia itu sebentar pindah kemari, sebentar pindah lagi ke sana, jadi bunglon, jadi benalu yang tak berguna, menerima orang plinplan jadi anggota belum tentu membuat mereka setia dengan partai, jangan-jangan yang dipikirkan nantinya hanya keselamatan sendiri, lebih baik dibubarkan saja." Kawanan bekas anggota perkumpulan Mi-thian-jit-seng itu lekas menyatakan kesetiaannya kepada perkumpulan Lak-hun-poan-tong atau Kim-hong-si-yu-lau. "Lebih baik dibunuh saja!" mendadak teriak Pek Jau-hui. Begitu ucapan itu diucapkan, seketika suasana berubah jadi tenang kembali. "Hari ini mereka mengkhianati perkumpulan Mi-thian-jit-seng, hal ini tidak menjamin besok mereka tak akan mengkhianati Kim-hong-si-yu-lau, tidak mengkhianati perkumpulan Lak-hun-poan-tong, buat apa manusia macam begini tetap kita pelihara" Lebih baik bantai saja, habis perkara!" Padahal di situ terdapat dua ratusan orang, tapi kata "bunuh" yang diucapkan Pek Jau-hui diutarakan sangat santai, seakan membantai dua ratusan nyawa manusia bukanlah satu pekerjaan yang luar biasa. "Dibunuh" Rasanya tak usah," kata Ong Siau-sik cepat, "daripada meninggalkan sumber bencana di kemudian hari, lebih baik bebaskan saja mereka, paling kita usir mereka keluar dari kotaraja dan selamanya tak boleh balik lagi kemari, bukankah urusan jadi beres?" Pek Jau-hui kembali mendengus dingin. "Hmmm, baik amat perasaanmu, sayang dunia persilatan penuh dengan intrik dan tipu muslihat, tak ada orang yang berbaik hati, berjiwa mulia macam kau." "Jiko tak usah marah," Ong Siau-sik tertawa lebar, "aku memang tak ingin dibandingkan siapa pun." Tampaknya Lui Sun sendiri pun tak dapat mengambil keputusan, akhirnya ia bertanya kepada Ti Hui-keng, "Bagai?mana rencanamu?" Dengan kening berkerut sahut Ti Hui-keng, "Kendatipun kita tidak percaya pada mereka, paling tidak harus mempercayai Jin-tongcu dari Ko-san-tong (ruang bukit tinggi) dan Liu-tongcu dari Liu-sui-tong (ruang air mengalir), bila lain kali terbukti mereka pun tidak setia, rasanya belum terlambat untuk membu?nuh mereka berdua." Dengan ucapan itu maka sebagian besar anggota perkumpulan Mi-thian-jit-seng yang bergabung dengan perkumpulan Lak-hun-poan-tong merasa seakan telah mendapat pengampunan dosa, mereka segera berjanji menyatakan kesetiaannya. Kembali Ti Hui-keng tertawa dingin. "Hmmm, jangan dianggap setelah bersumpah setia maka kami percaya penuh pada kalian, bila suatu saat ketahuan pikiran kalian tidak menyatu, aku yakin masih punya cara lain untuk menghukum." Sementara itu hujan telah berhenti, langit kembali cerah, suasana di tengah arena yang semula panas kini mulai mereda dan terasa segar kembali, seakan air hujan telah mencuci semua pertikaian itu. Tan Cian-kui beserta sebagian anggota perkumpulan Mi-thian-jit-seng yang bersumpah setia sampai mati pun saat ini malah kebingungan sendiri, untuk sesaat mereka tak tahu harus berpihak kepada siapa dan mau melakukan apa. Pek Jau-hui masih berdiri dengan wajah dingin, sikapnya angkuh dan jumawa, seperti tak ingin mencampuri urusan itu. Ong Siau-sik tahu rekannya tak suka hati, sambil menarik tangannya ia segera berkata, "Toako pasti punya alasan untuk berbuat begitu, bila tak puas, kita bicarakan lagi sekembalinya ke loteng nanti." "Lelaki mengutamakan keberanian, perempuan mengutamakan kebijaksanaan, namun kalau mengambil keputusan gara-gara emosi, jelas tindakan ini keliru besar," kata Pek Jau-hui tak puas, "bila seorang pemimpin tak bisa mengendalikan diri, bagaimana dia bisa mengendalikan situasi yang lebih luas?" Ong Siau-sik amat gelisah setelah mendengar perkataan itu, dia kuatir orang lain ikut mendengar perkataan itu, serunya panik, "Aduh, kau ini "Hmm, aku tak menyangka kalau kau pun terhitung manusia bernyali kecil yang takut urusan!" "Terserah apa yang ingin kau katakan, aku pun berbuat begini demi...". Mendadak terdengar seseorang bersenandung sambil bertepuk tangan, suaranya merdu namun nadanya penuh sindiran. "Manusia paling tak tahu malu Kui Kian-ciu, manusia paling goblok si batu kecil." Ong Siau-sik segera mengenali suara Un Ji itu, serunya, "Siapa yang kau maksud si batu kecil?" "Siapa lagi" Tentu saja kau," sahut Un Ji tertawa cekikikan. "Aku goblok?" tanya Ong Siau-sik sambil menunjuk ke hidung sendiri. "Sebenarnya kau tidak terhitung goblok, tapi kalau dibandingkan nonamu, kau memang memiliki kelebihan berapa macam barang." "Barang apa?" "Musim semi dan dua ekor cacing." "Lalu siapa pula Kui Kian-ciu yang kau sebut" Memangnya dia?" ketika mengucapkan perkataan itu, Ong Siau-sik sengaja menuding ke arah Pek Jau-hui. Begitu memandang Pek Jau-hui, paras muka Un Ji seketika berubah jadi dingin membeku. "Kalau bukan dia, siapa lagi" Memangnya di kolong langit masih ada orang lain yang jauh lebih tak tahu malu?" "Ada!" Ternyata yang menyahut adalah Tong Po-gou. "Siapa?" "Dia!" teriak Tong Po-gou lantang, "si Gentong nasi Thio Than." Ong Siau-sik memang menaruh simpati pada kedua orang ini, sebab dia merasa gurauan mereka sangat lucu dan menyenangkan, maka sengaja tanyanya, "Kenapa bisa begitu?" "Dia telah mencuri saputanganku! Seorang lelaki sejati tak akan mencuri, tapi dia .... Hmmm, bayangkan sendiri, apakah perbuatannya tidak menyebalkan sekali" Apakah dia tak pantas disebut manusia yang tak tahu malu ..." "Oya" Masih ada yang lain?" tanya Thio Than sambil meletakkan mangkuk kosongnya ke tanah. "Tentu saja masih ada," sahut Tong Po-gou dengan nada berapi-api, "Leng-hiat dan Put-cing (si Tanpa perasaan)..." "Lho, Leng-hiat dan Put-cing" Bukankah kau sudah menyamakan aku dengan anggota 4 opas yang termashur?" 'Kau" Huh, menyebalkan! Memangnya kau pantas?" Tong Po-gou mengumpat makin kasar, "dasar licik, busuk, bejad moral "Masih ada yang lain?" "Pikiran picik, gegabah, sok jadi badut, punya kelainan jiwa "Bagaimana" Sudah kehabisan bahan?" ejek Thio Than sambil tertawa. "Tidak ada, tidak ada "Akhirnya habis juga urrpatanmu." "Kenapa" Tidak puas?" teriak Tong Po-gou sambil mengambil ancang-ancang untuk bertarung. "Heran, kenapa sih kau selalu memaki aku?" tanya Thio Than kemudian. Untuk sesaat Tong Po-gou agak tertegun, setelah berpikir sesaat ia baru menjawab, "Kenapa kau mencuri saputanganku?" "Saputangan?" Thio Than tertawa terkekeh, "bukankah saputanganmu ada di saku sebelah kanan?" "Sudah jelas telah kau curi, sekarang belum selesai Tong Po-gou bicara, mendadak tangannya menyentuh sebuah benda lunak di sakunya, ketika dikeluarkan ternyata benda itu adalah saputangannya, kontan merah padam wajahnya. Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Ba ... bagaimana ... bagaimana mungkin ... hehehe "Jangan ini itu, sekarang kau sudah tahu kalau salah menuduh bukan" Kenapa tidak segera minta maaf kepadaku?" tegur Thio Than tidak sabar. "Kenapa aku harus minta maaf?" teriak Tong Po-gou, tapi sudah tidak segarang tadi, "tadi kau memang sudah mencuri saputanganku, siapa tahu sudah kau kembalikan lagi secara diam-diam." Kemudian setelah berhenti sejenak, tambahnya, "Sekali maling tetap maling!" Tadi Thio Than memang bermaksud mempermainkan orang ini, maka biar Tong Po-gou mengumpat dengan cara apa pun dia tak ambil peduli, tapi sekarang api amarahnya berkobar kembali, umpatnya, "Kau memang manusia yang bisanya hanya melukai orang, kau Mendadak terdengar Lui Tun menghela napas panjang. "Dimana kau bisa memaafkan orang, maafkanlah dia, Thio-goko, lebih baik kurangi pembicaraan yang tak berguna!" "Baik," Thio Than segera menahan amarahnya sambil menyahut, "memandang wajah nona kami, aku tak akan menyalahkan dirinya lagi, kalau orang baik disangka jahat, percuma saja banyak bicara dengan makhluk tak tahu diri macam begitu." "Apa kau bilang?" teriak Tong Po-gou gusar. Ketika melihat Thio Than bergerak ke samping, dia mengira lawan akan melancarkan serangan, maka tak tahan dia pun melontarkan sebuah sodokan ke muka. Seharusnya dengan ilmu silat yang dimiliki Thio Than, tak ada alasan baginya untuk tak bisa menghindar, namun kenyataannya pukulan itu bersarang telak di bahu kiirinya. Terdengar Thio Than mendengus tertahan, tubuhnya gontai nyaris roboh. Sekilas perasaan kuatir melintas di wajah Lui Tun, menyusul kemudian tetesan air mata jatuh berlinang membasahi pipinya. Tong Po-gou jadi tertegun, serunya tanpa sadar, "Maaf, aku salah memukulnya, selanjutnya aku tak akan memukul dirinya lagi." Waktu itu Thio Than sendiri sudah melompat ke sisi Lui Tun, tanpa menggubris Tong Po-gou lagi, ujarnya cemas, "Nona Lui, aku tak akan berkelahi lagi, kau jangan menangis." ooOOoo 46. Manusia paling goblok si batu kecil Lui Tun segera berpaling ke arah lain, terdengar ia bergumam, "Go-ko, kau sangat baik kepadaku, urusan ini ... tak ada sangkut-pautnya denganmu, aku tidak apaapa." Biasanya Thio Than banyak bicara dan pandai memutarbalikkan kata, begitu melihat Lui Tun melelehkan air mata, ia jadi bingung dan gelagapan sendiri, untuk sesaat tak tahu apa yang mesti dilakukan. Ong Siau-sik maupun Pek Jau-hui pun tidak tahu apa yang harus dikatakan. "Dia menangis," bisik Ong Siau-sik lirih. "Aku tahu," jawab Pek Jau-hui dengan suara berat. "Aku sendiri pun ingin ikut menangis, maka aku sangat memahami perasaan nona Lui," kata Ong Siau-sik lagi sambil tertawa getir. "Kehadiran Lui Tun di tempat ini adalah sebuah rencana, sebuah pengaturan, bahkan rencana dan pengaturan ini diketahui Lui Sun, diketahui juga So-toako, karena kehadirannya merupakan rangkaian dari sebuah perangkap yang sengaja mereka pasang, agar Kwan Jit masuk ke dalam perangkap itu, apa mau dikata, Lui Tun tidak mengetahui akan hal ini. Kita berdua pun hanya bidak, sedang dia, jadi bidak pun tak pantas, karena dia hanyalah sebuah umpan." "Tapi dia tak bisa berbuat lain kecuali menurut, yang satu adalah ayahnya sedang yang lain adalah bakal suaminya ... kalau dibicarakan lebih jauh, tak lama kemudian kita semua harus memanggil dia sebagai enso." Baru selesai ia bicara, Ong Siau-sik segera dapat merasakan perubahan air muka Pek Jau-hui, berubah jadi semakin memucat. "Sehari Lui Tun belum menikah, dia belum bisa disebut nyonya dari siapa pun," katanya ketus. Ong Siau-sik amat terperanjat setelah mendengar perkataan itu, belum sempat dia berkomentar, Pek Jau-hui sudah berkata lebih jauh, "Belum tentu nona Lui menangis lantaran dia dijadikan umpan oleh Lui Sun dan So Bong-seng untuk membunuh Kwan Jit." "Lantas karena apa?" "Belum tentu nona Lui setuju dengan perkawinan ini." "Tapi Lui Sun benar-benar berharap nona Lui bisa dikawinkan dengan So-toako agar perselisihan antara Kim-hong-si-yu-lau dengan perkumpulan Lak-hun-poan-tong bisa diselesaikan secara damai, bukankah hal ini sangat baik?" "Itu sih hanya perhitungan sipoa yang menguntungkan Lui Sun sepihak, belum tentu Lui Tun akan menyetujui dengan perasaan tulus dan iklas." "Tapi ... bukankah So-toako pun sangat menyukai nona Lui?" "Mungkin saja So Bong-seng mencintainya, tapi cintanya hanya bertepuk sebelah tangan, belum tentu nona Lui pun mencintainya." "Aku mengerti sekarang," seru Ong Siau-sik seakan menyadari akan sesuatu. "Kau mengerti apa?" kali ini giliran Pek Jau-hui yang tercengang. "Aku mengerti sebenarnya persoalan ini timbul darimana." "Persoalan apa?" "Persoalan bukan terletak pada Lui Sun, juga bukan pada So-toako, mungkin juga bukan pada nona Lui, tapi masalahnya ada pada dirimu," berkilat sepasang mata Ong Siau-sik, "nona Lui kawin dengan siapa pun, kau pasti tak akan senang hati." "Betul!" tanpa sungkan Pek Jau-hui mengakui, "kecuali dia kawin dengan aku. Sejak ia memandangku untuk pertama kalinya di Han-swe tempo hari, aku telah bersumpah dalam hati kecilku, dia harus menjadi biniku!" "Bukankah dengan begitu akan muncul banyak persoalan dan keributan?" Ong Siausik menggeleng sambil menghela napas, "aku rasa persoalan ini hanya akan menjadi ganjalan dalam hatimu, sebab di dunia ini tak ada urusan yang tak bisa diselesaikan, namun ketika persoalan sudah menjadi ganjalan di dalam hati, kecuali kau sendiri yang mengurainya, kalau tidak, siapa pun tak bisa membantumu mengurai keruwetan ini." "Kau masih muda, kau belum mengerti akan hal ini," bisik Pek Jau-hui sedih. "Siapa bilang aku tak mengerti" Bagaimana mungkin kau bisa tahu perasaanku sekarang" Aku hanya tak ingin terjadi keributan dengan Toako hanya gara-gara urusan nona Lui, kejadian semacam ini bisa menimbulkan masalah yang tak enak." "Masalah apa?" tukas Un Ji tiba-tiba, "ada masalah apa yang tak bisa diurai" Cepat beritahu aku, biar nonamu bantu menyelesaikannya." "Kau?" serentak Ong Siau-sik dan Pek Jau-hui berseru sambil tertawa getir. "Ada apa?" teriak Un Ji sambil melotot, "persoalan sebesar apa pun, kalau bukan aku yang menyelesaikan, memangnya orang lain bisa membantu?" "Tepat sekali," gumam Pek Jau-hui tiba-tiba, "katamu memang tepat sekali." Un Ji sangat kegirangan mendengar pujian itu, serunya, "Perkataan nonamu memang selalu cengli dan pakai aturan, tapi perkataan mana yang kau maksud?" "Aku sangat mengagumi perkataan yang kau hadiahkan untuk Ong Siau-sik tadi." "Perkataan yang mana?" sekali lagi Un Ji tertegun. "Manusia yang paling goblok si batu kecil!" "Kau ........ teriak Ong Siau-sik gusar. Un Ji seakan tidak merasa kalau pemuda itu sedang menyindirnya, malah dengan gembira serunya lagi, "Itu baru kali?mat atas, masih ada kalimat bawah ..." "Oya" Kalau begitu aku perlu mengubah sedikit bunyi kalimat bawahnya ..." tukas Pek Jau-hui. "Kau ubah jadi apa?" tanya Un Ji keheranan. "Sepasang sejoli menimbulkan kelembutan!" Un Ji segera mengulang kata-kata itu, "Manusia paling go?blok si batu kecil, sepasang sejoli menimbulkan kelembutan ..." Tiba-tiba paras mukanya berubah jadi merah padam. "Pek-loji, apa-apaan kau?" tegur Ong Siau-sik cepat. "Tidak apa-apa," sahut Pek Jau-hui sambil tertawa, kemudian sambil menuding Ong Siau-sik dan Un Ji, terusnya, "kalian berdua memiliki taraf kecerdasan yang sama, bukankah memang ditakdirkan sejodoh?" "Apa kau bilang?" teriak Un Ji jengkel, ia segera dapat menangkap maksud perkataan itu, "kau anggap aku dan dia ... sama-sama goblok?" Sebenarnya Ong Siau-sik mau ikut memaki, tapi begitu mendengar Un Ji berteriak nyaring sambil mencak-mencak gusar, untuk sesaat dia jadi tertegun. Sekali lagi Pek Jau-hui tertawa. "Kalau kau tidak goblok, kenapa saat ini masih tak tahu diri dan datang kemari untuk mencuri dengar pembicaraan dua orang lelaki?" "Hmmm, mungkin hanya setan yang ingin menguping perkataan isengmu itu," Un Ji merasa jengkel bercampur mendongkol, "tadi kau bilang aku harus tahu diri, apa yang dimaksud tahu diri?" "Kau tidak mengerti?" "Coba terangkan." "Apakah nona Lui adalah sahabatmu?" "Betul!" "Sekarang dia sedang menangis, masa kau tidak menghiburnya" Teman macam apa dirimu itu?" "Ah!" Un Ji berseru tertahan, dengan jengkel dia melotot sekejap ke arah Pek Jau-hui, kemudian baru berjalan meng?hampiri Lui Tun, katanya lagi, "aku akan menghibur enci Tun lebih dulu, tunggu saja perhitunganku nanti." Sewaktu lewat di hadapan Ong Siau-sik, dia sengaja menyikut pemuda itu dengan keras, dengan cepat Ong Siau-sik berkelit ke samping, gagal dengan sikutnya itu, dengan sengaja ia segera menginjak kaki Tong Po-gou. "Kalian semua memang bukan orang baik-baik!" seru nona itu. Tong Po-gou yang tanpa sebab diinjak kakinya menjadi mencak-mencak gusar, sambil menuding hidung sendiri teriak?nya, "Tapi apa urusannya dengan aku?" Mendadak terdengar Lui Tun berkata dengan suara lembut, "Buat apa kau menghiburku" Aku tidak apa-apa!" Ketika berpaling kembali, paras mukanya terlihat amat sendu dan sayu, sama sekali tak terlihat habis menangis, bahkan bekas air mata pun tidak nampak. "Jadi kau tidak apa-apa?" tanya Un Ji tercengang. "Betul, aku tidak apa-apa," sahut Lui Tun sambil tersenyum manis, "sejak kalian muncul dan menyelamatkan aku, mana mungkin aku ada masalah lagi?" "Bagus sekali," seru Un Ji kegirangan, "apa kubilang, kau pasti tidak apa-apa, dasar Kui Kian-ciu (setan ketemu pun murung), dia bilang suruh aku menghiburmu, kali ini dia benar-benar salah duga." Tiba-tiba terdengar Pek Jau-hui berteriak lantang, "Menurut pendapatku, satu pun jangan dibiarkan hidup!" Tentu saja perkataan ini bukan ditujukan kepada Un Ji, juga bukan tertuju kepada Lui Tun atau Ong Siau-sik. Perkataan itu sengaja ia tujukan ke tengah arena. Rupanya setelah urusan beres dan masing-masing pihak mengumpulkan kekuatan dan anak buah sendiri, maka kini mereka mulai membicarakan nasib Tan Cian-kui beserta kedua-tiga puluhan anggotanya yang bersumpah tetap akan setia sampai mati pada perkumpulan Mi-thian-jit-seng. Lui Sun mengusulkan dibunuh saja daripada meninggalkan bibit bencana di kemudian hari. Sebaliknya So Bong-seng mengusulkan dibebaskan saja, karena kekuatan mereka bukan sebuah ancaman yang kelewat serius. Sebaliknya Ti Hui-keng mengusulkan untuk membekuk orang-orang itu terlebih dulu, kemudian baru memaksa mereka untuk menentukan pilihannya....... Pada saat itulah tiba-tiba Pek Jau-hui menimbrung, katanya, "Membiarkan mereka tetap hidup sama artinya meninggalkan sisa musuh untuk diri sendiri, kehadiran mereka hanya akan menimbulkan banyak rintangan dan masalah, ketimbang besok baru membunuhnya hingga permusuhan semakin mendalam, kenapa tidak ditumpas saja sekarang juga?" Perkataan Pek Jau-hui ini sama halnya dengan menentang pendapat So Bong-seng, terpaksa ketua Kim-hong-si-yu-lau ini berkata, "Bagaimanapun juga tempat ini merupakan daerah Sri baginda, tidak bisa bilang mau bunuh lantas membunuh, kalau saling membunuh dikarenakan masing-masing pihak berusaha melindungi keselamatan sendiri, itu masalah lain, tapi kalau hanya demi membasmi bibit penyakit lalu belasan nyawa mesti dikorbankan, aku rasa tindakan semacam ini sedikit kelewatan." "Padahal apa bedanya, kiri juga membunuh, kanan juga membunuh, ujung-ujungnya pembunuhan dilakukan hanya demi memperebutkan kekuasaan, orang buta pun bisa melihatnya, buat apa mesti berpura-pura sok suci" Kalau ingin membunuh, lebih baik lakukan saja sekarang, ketimbang menambah masalah di kemudian hari, harus mengorbankan nyawa saudara sendiri ... jika memang demi keuntungan, buat apa mesti mengurusi omongan orang?" Yo Bu-shia yang melihat terjadinya perdebatan itu segera tampil menengahi, "Untuk mencapai suatu perdamaian dan hidup yang harmonis, terkadang kita memang mesti membayar mahal, tapi sebagai satu perkumpulan besar di ibukota, sebuah kekuatan besar di kotaraja, kita tak bisa main bunuh sekehendak hati sendiri." Mendadak terdengar Tan Cian-kui berteriak lantang, "Kami bukan tawanan, kalau mau dilepas, kita bertemu lagi lain waktu, kalau merasa keberatan dan mau dibunuh, kami akan bertarung sampai titik darah penghabisan!" "Hmm, sudah dengar teriakan itu?" Pek Jau-hui tertawa dingin, "manusia macam mereka itu keras tulangnya, daripada dilepas hingga menimbulkan masalah, mending dihabisi sekarang juga!" "Aku rasa perkataan So-kongcu jauh lebih cengli," ternyata Lui Sun sangat mendukung perkataan So Bong-seng, "walaupun kllti berhadapan sebagai musuh, namun kalau ingin melakukan butuh penyelesaian, sudah sepantasnya hal ini dilakukan dengan mengandalkan kungfu masing-masing,, tapi kasus yang kita hadapi saat ini jauh berbeda, jika kita mesti membunuh orang karena mereka enggan tunduk, aku rasa perbuatan semacam ini justru akan menodai reputasi kita." "Hmmm, kalau ingin reputasi tidak ternoda, seharusnya Lui-congtongcu tak usah menyiapkan siasat menjebak Kwan Jit di tempat ini," ejek Pek Jau-hui sambil mendengus sinis, "kalian menganggap diri sendiri sebagai Enghiong Hohan, justru sangat menggelikan, gayanya saja sok suci, padahal sepasang tangan sudah penuh berlepotan darah, mungkin mau dicuci pun sepanjang masa tak nanti bisa tercuci bersih." Selama ini Ti Hui-keng hanya termenung tanpa komentar, kecuali sewaktu mengawasi Kwan Jit melarikan diri dari kepungan, dia selalu duduk di sisi peti mati dengan kepala tertunduk, gayanya seakan sedang berdoa bagi peti mati itu. Tapi kini secara tiba-tiba dia berseru, "Agaknya majikan dari Kim-hong-si-yu-lau memang bukan cuma satu orang "He, orang she Ti, kau tak usah mengadu domba!" hardik Yo Bu-shia gusar. Sementara itu Ong Siau-sik telah berseru, "Aku setuju dengan perkataan Sotoako!" Kembali Pek Jau-hui mendengus dingin. "Hei, batu kecil, kita sedang bicara serius, bukan lagi bergurau atau main topeng monyet untuk menghibur orang banyak, bila hari ini kita bebaskan mereka, suatu ketika mereka pasti akan mendukung Kwan Jit untuk tampil lagi ke dunia persilatan, jadi bila kau benar-benar mencintai Kim-hong-si-yu-lau, seharusnya jangan mendukung usul sinting itu." "Bila setiap menjumpai musuh lantas kau bunuh, berapa banyak teman yang masih kau miliki?" Ong Siau-sik balik bertanya, "dalam sejarah hidupmu, berapa banyak manusia yang bisa kau bunuh" Kalau bukan teman lantas kau bantai, pada akhirnya hanya ada satu akibat yang mesti kau hadapi, semua temanmu akan kau anggap sebagai musuh dan akhirnya mampus semua di tanganmu!" "Kau sangka dengan membebaskan mereka maka orang-orang itu akan menganggap kau sebagai sahabat" Hmm, jangan mimpi di siang hari bolong," jengek Pek Jau-hui sambil tertawa dingin. "Masalahnya sekarang bukan dibebaskan, setiap manusia punya hak untuk melanjutkan hidup, tak seorang pun di dunia ini berhak untuk membunuh yang lain, jika kita tidak saling membunuh, di dunia ini tak akan terjadi saling membalas, memangnya pikiran ini lucu" Aneh" Mimpi di siang hari bolong?" kata Ong Siau-sik dengan bersemangat, "mungkin kita membunuh seekor semut karena dia menggigit kita terlebih dulu, atau mengangkangi makanan milik kita, sebaliknya bila ia tidak mengganggu kita, kenapa kita mesti membunuh mereka" Selama orang tidak menggangguku, kenapa aku mengganggu orang lain" Sekalipun dia mengganggu kita, asal tidak kelewat batas, kita pun belum tentu harus membunuhnya. Jangan lupa, di atas kepala kita terdapat sepasang tangan kekuasaan yang tak berwujud, kalau tanpa sebab kita main bunuh, siapa tahu kita sendiri pun akhirnya digencet sampai mampus oleh tangan tak berwujud itu." "Kalau yang kau maksud adalah Thian, maka terus terang aku beritahu, Thian itu menganggap semua kehidupan di dunia itu sama rata sama derajat, bila kita tak membunuh orang itu, tentu ada orang lain yang akan membunuhnya, agar diri kita tidak dibunuh, lebih baik kita membunuh duluan. Memangnya kau anggap mereka yang melakukan pekerjaan besar tidak membunuh" Membunuh itu sebetulnya bukan satu kejadian yang luar biasa, siapa sih manusia di dunia ini yang tak bisa membunuh" Mungkin saja mereka membunuh tidak memakai golok, tidak melihat darah, bisa saja mereka membunuh seseorang dengan pikiran, dengan rencana busuk, dengan menggunakan caranya sendiri, membunuh demi keuntungan pribadi, membu?nuh demi memperkuat posisi sendiri." "Hari ini kau bisa berkata begitu karena kau punya kekuatan untuk membunuh," ujar Ong Siau-sik, Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "seandainya suatu ketika kau kehilangan kemampuanmu itu dan semua orang berusaha membunuhmu, apakah kau pun akan mengatakan hal yang sama?" "Siapa yang tak mempunyai kemampuan, dia memang pantas mati, kalau tidak punya kemampuan tapi tidak berusaha belajar sesuatu, jika akhirnya mati dibunuh, semestinya dia tak usah protes, orang hidup memang untuk membunuh atau dibunuh." "Kalau ingin mengucapkan kata-kata seperti ini, semestinya kau pun berubah dulu jadi sinting, jadi linglung macam Kwan Jit!" "Apa yang diucapkan Kwan Jit secara berulang memang dia lakukan karena aku ingatkan, setiap patah kataku memang selalu lebih tajam dari pedang yang menusuk bagian mematikan di tubuhnya." "Kalau begitu kau memang lebih latah ketimbang Kwan Jit." "Bukan hanya latah seperti Kwan Jit, aku lihat dia justru lebih edan, lebih sinting daripada Kwan Jit!" tambah Lui Tun secara tiba-tiba. Pek Jau-hui kontan mengernyitkan dahi, belum sempat dia mengucapkan sesuatu, Lui Tun sudah berkata lagi, "Bahkan aku lihat dia lebih goblok ketimbang Kwan Jit!" Lebih goblok! Kalau ucapan itu muncul dari mulut Un Ji, mungkin dia masih bisa menahan diri, sebab banyak orang di dunia ini yang menganggap diri sendiri sebagai orang pintar, sering memaki orang lain sebagai orang goblok, padahal orang yang benarbenar pintar biasanya malah tak ingin terlalu banyak orang tahu kalau dirinya pintar, mereka lebih suka dianggap bodoh, oleh sebab itu seseorang yang pintar, dia tak akan membiarkan orang lain mengetahui kepintarannya, hanya seseorang yang tidak kelewat pintar, dia baru berusaha membuat orang lain tahu kalau dirinya adalah pintar. Dan kini, di hadapan orang banyak Lui Tun telah mengumpatnya sebagai orang goblok! Paras muka Pek Jau-hui yang pucat pias untuk pertama kalinya dialiri warna merah darah. Kembali Lui Tun berkata, "Kwan Jit memiliki kepandaian hebat, paling tidak kungfunya sempat mengejutkan dua perkumpulan besar di kotaraja, itulah sebabnya kerubutan lima orang jago baru berhasil melukainya, tapi bukan berarti dapat membekuknya, dalam keadaan begitu dia baru mengucapkan kata-kata sesumbar bahwa kalau orang tidak membunuhnya, dialah yang akan membunuh orang. Sebaliknya kemampuan yang dimiliki Pek-kongcu rasanya belum mencapai taraf itu, kau pun tidak memiliki kekuatan setara dia, kenapa kau mengucapkan kata-kata yang kelewat sesumbar" Kau tidak kuatir, bukan saja tak mampu membunuh orang, justru kau sendiri yang dibunuh orang?" Paras muka Pek Jau-hui berubah semakin merah membara, belum lagi sempat membantah, Lui Tun sudah bicara lebih jauh, "Bila tidak memiliki kekuatan untuk menjaga berlangsungnya perdamaian, tapi ngotot ingin menegakkan perdamaian dan kebenaran, tindakan semacam ini namanya lelucon yang tak lucu. Jika tidak memiliki kekuatan untuk melindungi diri sendiri tapi ingin melindungi orang lain, tindakan semacam ini disebut manusia yang tak tahu kenyataan, bila seseorang tak bisa menilai kemampuan dan kekuatan sendiri, mustahil dia bisa melakukan pekerjaan besar, sekalipun bisa dilakukan, pasti hasilnya tak sesuai, tidak nyaman. Tapi bila seseorang tak tahu kemampuan sendiri namun bersikeras ingin melakukan banyak tindakan konyol, mengucapkan kata-kata konyol, bayangkan sendiri, kalau orang ini bukan goblok lantas apa namanya?" ooOOoo 47. Tahu diri "Seperti contohnya kau sekarang, mungkin saja kau tak puas, tidak terima dengan perkataanku ini, tapi apa gunanya?" ujar Lui Tun lebih jauh, "karena menganggap aku wanita, kau enggan cekcok denganku, ingin membunuhku pun tak bisa, maka kau bisanya cuma mendongkol dan marah-marah sendiri, oleh sebab itu orang yang tak tahu kemampuan sendiri tapi sok jagoan, biasanya perbuatannya hanya akan menuai rasa malu dan aib!" Pisau Terbang Li 2 Kisah Bangsa Petualang Karya Liang Ie Shen Datuk Muka Hitam 1

Cari Blog Ini