Ceritasilat Novel Online

Golok Maut 6

Golok Maut Karya Batara Bagian 6 satu jalan untuk menyelidiki ini, membuktikan apakah betul Kak-busu bunuh diri atau dibunuh. Aku pribadi tetap berpendapat bahwa busu itu dibunuh, bukan bunuh diri. Dan kalau kau ingin membuktikannya maka bekuk dan kompres saja orang yang kau anggap encimu itu!" Sin Hauw terbelalak. "Kau masih ragu juga, bukan?" "Hm," Sin Hauw jadi merah padam. "Aku jadi penasaran oleh semuanya ini, nenek buruk. Kalau kau benar maka aku benar-benar goblok melebihi kerbau! Memang tak kusangkal bahwa aku tak memeriksa kematian busu itu. Aku tak tahu apakah dahinya yang pecah atau tengkuknya. Baiklah, sekali lagi aku akan mengikuti petunjukmu, nenek siluman. Kali ini tak mau aku dibodohi lagi dan kau tunggulah di sini!" "Keparat, kau belum membebaskan aku juga. Sin Hauw" Kau masih menahan aku di sini?" "Sampai keteranganmu benar, nenek buruk. Dan kujamin kau tak akan apa-apa di sini!" Nenek itu memaki-maki. Sin Hauw akhirnya menotok pula agar tidak dapat berkaok-kaok, kembali nenek itu mendelik dan Sin Hauw melemparnya ke sudut. Dan ketika Sin Hauw berkelebat dan kembali ke gedung maka malam itu dia berhadapan dengan encinya. "Aku ingin memperoleh keterangan, penjelasan yang serius!" Hwa Kin, encinya, terkejut. Sin Hauw tiba-tiba memasuki kamarnya dan tidak mengetuk pintu, baru kali ini pemuda itu melakukannya dan tentu saja wanita ini terperanjat. Tapi ketika dia dapat menahan perasaannya dan duduk menemani pemuda itu maka Sin Hauw mulai bertanya tentang masa silam mereka. "Kau ingat uwak Lun?" Gadis atau wanita ini terbelalak. "Sin Hauw," katanya. "Apa maksud pertanyaanmu ini" Uwak Lun siapa?" "Hm, penjaja makanan kecil itu, enci. Masa kau tidak ingat" Ibu dulu sering menitipkan makanan padanya!" "Oh, dia?" wanita itu mengangguk, agak berubah. "Ya, aku ingat, Sin Hauw. Ada apakah?" "Aku ingin kau mengingatnya baik-baik, enci. Coba sebutkan siapa anak uwak Lun yang mati kena penyakit!" "Ini... ini..." Hwa Kin atau wanita itu tiba-tiba pucat. "Aku tak ingat. Sin Hauw. Kejadian itu sudah lama berselang dan aku tak ingat!" "Tapi kau yang dulu membelikan obat di tempat Cun-sinshe (tabib Cun)! Kau tentu ingat, enci. Atau, hmm... kau berpura-pura saja!" . "Sin Hauw!" wanita itu membentak, tiba-tiba marah. "Kau mau apa dengan semua pertanyaanmu ini" Kau mau menyakiti encimu?" "Tidak, duduklah, enci, jangan berdiri begitu!" Sin Hauw memandang tajam, menarik encinya duduk dan jelas wanita ini gemetar. Pandang mata Sin Hauw mulai menembus seperti pedang dan wanita itu tampak gelisah. Dan ketika Sin Hauw menyuruh dia duduk dan kecemasan mulai tak dapat disembunyikan wanita ini maka Sin Hauw bertanya lagi, "Kau tentu ingat Wong-lopek {paman Wong) pula. Katakan berapa anaknya dan siapa namanya yang tertua!" "Sin Hauw, aku tak mau menjawab! Kau kurang ajar dan agaknya mencurigai encimu! Keparat, kuberitahukan Coa-ongya, Sin Hauw. Kulaporkan perbuatanmu ini yang menyakiti hatiku!" "Tunggu!" Sin Hauw membentak, menyambar encinya itu. "Pertanyaan ini biasa-biasa saja, enci. Tak usah kau marah kalau kau dapat menjawab. Atau kau bukan enciku dan kau manusia gadungan!" Hwa Kin terpekik. Sin Hauw sudah menyambarnya dan membentak dengan kata-kata mengejutkan. Bagai geledek di siang bolong saja dia mendengar tuduhan itu. Dan ketika Sin Hauw mencengkeramnya dan dia mau menjerit tiba-tiba Sip Hauw sudah menotoknya dan wanita ini-pun roboh. "Aihh.,!" Sin Hauw sudah menutup teriakan itu dengan ketukan di rahang. Wanita ini mengeluh dan tidak dapat bersuara. Suara yang keluar hanya ah-uh tak jelas dan rintihan ketakutan. Jelas wanita itu ngeri melihat Sin Hauw, memandang wajahnya yang merah padam dan tampak beringas. Sin Hauw telah melancarkan dua kali pertanyaan yang tak dapat dijawab tegas, padahal anak Wong-lopek hanya seorang dan itupun perempuan, sahabat encinya dan percayalah Sin Hauw bahwa wanita ini bukan encinya, meskipun mirip dan amat persis sekali. Dan ketika Sin Hauw teringat sesuatu dan merobek lengan baju wanita itu maka tembong atau tanda hitam yang dipiiliki encinya ternyata tak ada. Berarti wanita ini benar-benar enci palsu. "Keparat, kalau begitu benar, siluman betina. Kau adalah Tang Kiok!" Sin Hauw langsung saja teringat nama yang diucapkan nenek buntung, langsung menyebut nama itu dan wanita ini terpekik. Pekiknya tertahan di kerongkongan namun itu cukup bagi Sin Hauw. Dan ketika Sin Hauw yakin bahwa wanita ini ternyata bukan encinya maka kemarahan Sin Hauw menggelegak dan pemuda itu mencekik leher orang. "Tang Kiok, berapa lama lagi kau mau menyembunyikan rahasia" Kau minta mati atau apa?" "Oh-ugh..!" wanita itu menggeleng-geleng. "Lep... lepaskan aku. Sin Hauw. Bebaskan aku!" "Mudah membebaskanmu, tapi akui dahulu bahwa kau bukan enciku!" "Ak... aku memang benar... bukan.. bukan encimu..!" "Kau yang dulu dibawa Kwi-goanswe?" "Beb.. benar... tapi, ah... tapi bebaskan aku dulu, Sin Hauw. Jangan dicekik!" Sin Hauw mengendorkan cengkeraman. "Baiklah, katakan siapa yang membuat semuanya ini, siluman betina. Dan di mana enciku Hwa Kin!" "Encimu... encimu tewas..!" "Bagaimana terjadinya" Siapa yang melakukan?" "Aduh, aku tak tahu, Sin Hauw. Tapi.. tapi mungkin Ci-ongya (pangeran Ci)..!" Wanita itu menjerit. Sin Hauw membantingnya dan melepas cekikan, menendang dan wanita itu menangis. Dan ketika Sin Hauw berkelebat dan sudah berdiri di sampingnya maka wanita ini meratap, "Sin Hauw, jangan salahkan aku. Aku ... aku hanya diperintah Coa-ongya. Aku tak tahu apa-apa dan harap kau tidak menghukum aku!" "Tentu, aku tak akan menghukummu, siluman betina. Tapi sebutkan apakah kau Tang Kiok atau bukan!" "Aku... aku benar wanita itu. Kau sudah tahu, kenapa bertanya?" "Hm, aku hanya ingin membuktikan omongan nenek buntung, wanita sial. Dialah yang memberi tahu aku dan sekarang benar. Aku tertipu. Kau, ah!" dan Sin Hauw yang menyambar serta menggencet jalan darah di punggung tiba-tiba membuat wanita itu roboh dan mengeluh, seperti disengat api dan mau menjerit namun lagi-lagi Sin Hauw menotok urat gagunya Kemarahan Sin Hauw hampir tak dapat ditahan namun untunglah dia teringat bahwa wanita ini hanya orang yang melakukan perintah Coa-ongya. Sin Hauw hampir meremas hancur tengkuk wanita itu. Dan ketika dia mengompres dan memaksa wanita itu mengaku apa yang sebenarnya dilakukan Coa-ongya maka Sin Hauw mendapat banyak keterangan, satu di antaranya adalah benar Pangeran Coa itulah yang menukar Golok Maut. Pangeran itu hendak memperdayai Sin Hauw melalui banyak orang, satu di antaranya adalah Miao In, gadis yang dicinta Sin Hauw, yang ternyata adalah murid dari Imkan Siang-li, sebenarnya pacar atau kekasih Kwi Bun, putera Kwi-goanswe, yang mendapat banyak kesenangan dari Coa-ongya berupa janji kedudukan dan macam- macam. Jadi Sin Hauw diperalat dan pemuda ini gemeratak. Dan ketika Tang Kiok berkata bahwa Sin Hauw sebenarnya hendak "dihisap" ilmunya melalui Miao In untuk kepentingan Coa-ongya maka Sin Hauw menggeram dan marah bukan main, saat itu mendengar suara-suara di luar dan tiba-tiba tujuh pisau terbang dilepas kearahnya, menyambar punggung. Tentu saja dielak dan terdengar jerit ngeri di belakangnya. Dan ketika Sin Hauw sadar bahwa Tang Kiok menjadi korban maka benar saja wanita itu roboh mandi darah, "Aduh, tolong, Sin Hauw, Mati aku!" Sin Hauw tertegun, Dia cepat menyambar wanita ini namun Tang Kiok mengeluh, menggeliat dan tiba-tiba menghembuskan napasnya yang terakhir, tewas dan terkulai sekejap mata. Dan ketika Sin Hauw terkejut dan terbelalak melihat tujuh pisau menancap di tubuh si cantik itu maka di luar terdengar bentakan dan seribu pasukan muncul dipimpin Kwi-goanswe! -ooo0dw0ooo- Jilid : IX "SIN HAUW, menyerahlah. Kau kami tangkap!" Sin Hauw menggereng. Dia meloncat keluar kamar dan tubuh Tang Kiok dipondongnya, mandi darah namun Sin Hauw tak perduli. Bajunya basah oleh wanita itu namun Sin Hauw membiarkannya. Matanya tajam menatap ke depan dan tampak berapi-api, membakar siapa saja dan semua orangpun tertegun. Matanya itu rasanya sanggup menghanguskan setiap orang dengan sekali pandang saja, menelan dan melahap siapa saja yang berani beradu pandang dengannya. Dan ketika Sin Hauw tegak dengan wanita berlumuran darah di bahunya maka pemuda itu balas membentak, suaranya menyambar bagai geiedek di siang bolong. "Kwi-goanswe, jahanam keparat kau! Majulah, tak usah banyak cakap. Kau telah menipu dan mempermainkan aku!" "Keparat, kau yang jahanam. Sin Hauw. Kau pemberontak dan tak tahu diri, menyerahlah, atau kami semua akan menyerangmu!" "Kenapa banyak cakap" Majulah, Kwi-goanswe, dan mari kuantar kau ke neraka jahanam!" dan Sin Hauw yang tidak kuat lagi menahan marah tiba-tiba membentak dan sudah berkelebat ke depan, menyambar pengawal yang ada di muka dan pengawal-pengawal itu terkejut. Sin Hauw mencabut Golok Mautnya dan sinar kemerahan menyambar mereka, dari atas ke bawah. Dan ketika mereka menangkis namun tombak atau pedang putus dibabat tiba-tiba saja sinar merah itu terus menyambar mereka dan meluncur lurus ke leher Kwi-goanswe. "Tahan dia, awas... cring-crangg!" Pedang dan tombak mencelat entah ke mana. Sebelas pengawal tiba-tiba roboh menjerit ketika golok di tangan Sin Hauw berkelebat menyambar, tak kenal ampun dan terpekiklah tujuh prang pertama ketika leher mereka tergurat panjang, mandi darah dan tentu saja orang-orang itu terjungkal. Dan ketika yang lain juga terpelanting dan terlempar ke kiri kanan maka Kwi-goanswe terkejut melihat sinar kemerahan itu menuju lehernya, cepat dan tak kenal ampun dan tentu saja jenderal ini membanting tubuh bergulingan, tak sempat mengelak karena gerakan Sin Hauw luar biasa cepatnya. Satu-satunya jalan hanya melempar tubuh bergulingan itu. Dan ketika hal itu sudah dilakukan namun masih juga pundak kirinya robek tersambar maka jenderal ini berteriak menyuruh pasukan panah melepas panahnya. "Bunuh dia! Panah...!" Puluhan panah tiba-tiba menyambar. Jepretan yang hampir berbareng disusul sinar-sinar hitam yang menuju Sin Hauw bergerak bukan main cepatnya. Sin Hauw memutar golok dan semua panah itupun runtuh, tak kurang dari tujuh puluh jumlah-nya. Tapi ketika pasukan kembali mementang gendewanya dan puluhan panah menjepret menuju Sin Hauw maka Sin Hauw berkelebatan mengerahkan ginkang, menangkis dan meruntuhkan panahpanah itu namun pasukan tombak mendapat aba-aba. Seratus orang sudah menggerakkan tombaknya pula dan menyambarlah dari mana-mana senjata panjang itu. Sin Hauw sibuk dan marah, akhirnya melengking-lengking dan bergeraklah pemuda itu bagai bayang-bayang yang luar biasa cepatnya. Betapapun dia tak boleh lengah karena lawan hendak membunuhnya. Sin Hauw marah karena dua ratus lawan menyerangnya dari jauh. Dan ketika dia berkelebatan menangkis sambaran panah atau tombak tiba-tiba delapan ratus yang lain mulai bergerak dan menyerang. "Ha-ha, mampus kau, Sin Hauw. Mati kau sekarang!" Sin Hauw membentak panjang. Akhirnya dia demikian sibuk menyelamatkan dirinya, lupa pada mayat Tang Kiok dan tubuh wanita itu menjadi korban. Beberapa panah atau tombak yang luput menyambar Sin Hauw mengenai tubuh wanita ini, tubuh yang sebenarnya sudah menjadi mayat. Dan ketika suara "crap-crep" membuat Sin Hauw naik darah karena tubuh wanita itu sudah penuh oleh tombak atau panah maka Sin Hauw tiba-tiba meloncat berjungkir balik tinggi sekali, begitu tinggi hingga pasukan panah atau tombak tertegun. Sin Hauw sudah berjungkir balik begitu jauh dan tingginya hingga tahu-tahu ia sudah hinggap di wuwungan paling tinggi, turun dan lenyap di sini. Dan ketika ia keluar lagi namun sudah tidak membawa mayat Tang Kiok maka Sin Hauw terjun dan sudah menyerang pasukan di wuwungan yang lain, berkelebat dan berjungkir balik melayang ke sini dan kagetlah semua orang ketika Golok Maut tiba-tiba berkelebatan meminum darah. Sin Hauw tidak bertindak setengah-setengah lagi dan dibalaslah semua kekejaman lawan. Apa yang ada di depan diterjang dan dirobohkannya. Dan ketika darah memuncrat dari mana-mana dan kepala atau lengan putus disambar Golok Maut maka orang menjadi ngeri dan pucat melihat tandang pemuda itu. "Awas, menjauh.. menyingkir..!" Sin Hauw tak perduli. Dia terus membentak dan mencari Kwi-goanswe, memaki-maki. Jenderal itu tiba-tiba menghilang dan tentu saja Sin Hauw marah. Seribu pasukan hanya mendengar aba-aba jenderal itu dari tempat tersembunyi, beberapa bawahannya membantu dengan teriakan-teriakan nyaring. Pasukan panah dan tombak tiba-tiba tak dapat menyerang lagi karena Sin Hauw berpindah-pindah. Pemuda ini selalu bergerak di tengah hingga membuat pasukan tombak atau panah ragu, mereka tak berani meluncurkan tombak atau panah lagi karena takut mengenai teman sendiri. Maklumlah. Sin Hauw dengan Golok Maut Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo cerdik sengaja bergerak di tengah agar pasukan tombak atau panah tak berani melepaskan senjatanya, pemuda ini membabat dan merobohkan siapa saja yang ada di depan. Dan karena orang-orang seperti Kak-busu atau Pek-wan tak ada di situ karena mereka tewas terbunuh maka hanya Kwi-goanswe dan pasukannya ini yang dihadapi Sin Hauw, memang tidak memiliki kepandaian tinggi namun serangan begitu banyak orang tetap membahayakan juga. Sin Hauw melindungi dirinya dengan baik sementara golok di tangannya terus menyambar-nyambar mencari sasarannya. Dan ketika seratus orang akhirnya tergelimpang mandi darah dengan begitu cepatnya maka Sin Hauw ditakuti dan membuat gentar semua orang. "Jangan didekati, serang dari jauh!" Itulah suara Kwi-goanswe. Entah bersembunyi di mana jenderal tinggi besar itu namun aba-abanya cukup terdengar jelas. Kwi-goanswe memang sengaja mengorbenkan pasukannya, yang menjadi makanan empuk bagi Sin Hauw dan akhirnya seratus orang kembali roboh, bermandi darah. Sepak terjang Sin Hauw memang menggiriskan dan pemuda itu terus mengamuk. Namun ketika pasukan mulai menjauh dan Sin Hauw harus beterbangan dari satu tempat ke tempat lain maka pemuda ini membentak memakimaki Kwi-goanswe. "Orang she Kwi, keluarlah. Ayo jangan bersikap pengecut!" Sin Hauw akhirnya serak suaranya. Memaki dan membentak-bentak jenderal itu sementara lawan tetap bersembunyi memang menghabiskan tenaga juga. Sin Hauw mulai berkeringat namun belum lelah, seperlima dari lawan sudah dibantai dan pemuda itu terus bergerak menyambarnyambar. Namun ketika lawan mulai menjauh dan terdengar suitan panjang tiba-tiba beterbangan benda-benda hitam di atas kepala Sin Hauw. "Rrtt-crat-crat!" Sin Hauw terkejut. Kiranya puluhan jala menyambar mau menjerat, Kwi-goanswe berteriak dari sana agar semua orang mempergunakan senjata perangkap itu, Sin Hauw terkejut dan marah. Dan ketika benar saja tak lama kemudian dari segala penjuru meluncur ratusan jala yang ditembakkan dari jauh maka Sin Hauw membentak dan memutar goloknya di atas kepala, cepat melebihi kitiran. "Rrtt-crat-crat!" Sebagian besar memang terbabat. Hampir semua jala itu putus bertemu Golok Maut, senjata yang luar biasa dan ampuh. Namun karena putus sepuluh menyambar seratus maka Sin Hauw kewalahan dan beberapa di antaranya ada yang mulai menjirat, jatuh di bawah kaki atau di atas pundaknya. Ratusan jala tiba-tiba saja sudah bertumpuk di dekat kakinya, bukan main! Dan ketika Sin Hauw mengeluh dan satu di antaranya menjerat kaki tiba-tiba pemuda ini terjatuh dan terguling. "Panah dia, hujani senjata!" Ratusan panah dan tombak sekarang menyambar. Sin Hauw rupanya benar-benar mau dibunuh dan pemuda itu tak diberi ampun. Sementara dia terguling tiba-tiba ratusan panah dan tombak menyambar, seperti tadi. Tak dapat dielak dan mengenai Sin Hauw. Namun karena Sin Hauw telah mengerahkan sinkangnya dan semua panah atau tombak patah bertemu tubuhnya maka orang pun terbelalak dan semakin gentar, melihat bahwa Sin Hauw kebal! "Keparat, lepaskan lagi panah dan jala. Serang sampai dia kehabisan tenaga!" Sin Hauw menggeram. Kwi-goanswe itu keparat benar, kerjanya hanya memerintah dan pasukannya terus menghujani dirinya dengan panah dan jala. Sin Hauw kerepotan karena bagaimanapun juga dia diserang dari jauh. Sekarang semua pasukan tak ada yang berani maju mendekat setelah Sin Hauw merobohkan lagi seratus teman mereka, jadi tiga ratus orang sudah roboh mandi darah menjadi korban Golok Maut. Dan ketika pemuda itu dihujani ratusan panah dan jala secara berbareng maka Sin Hauw kembali terguling, jatuh keserimpet jala sementara tubuhnya kebal menerima hujan panah atau senjata-senjata lain yang tajam, hal yang membuat kagum musuhmusuhnya tapi mereka tak berhenti menyerang. Kwigoanswe terus menyuruh mereka merepotkan pemuda itu. Sin Hauw memang sibuk. Dan ketika akhirnya dia terguling dan memang keserimpet jala maka pemuda itu mengeluh ketika hampir saja sebuah panah mengenai matanya. "Crep!" panah itu menancap di rambut, di atas telinganya, disusul lagi panahpanah yang lain di mana tiba-tiba Kwi-goanswe memerintahkan agar pasukannya menyerang mata pemuda itu, tempat yang tentu saja tak dapat dilindungi kekebalan. Dan ketika Sin Hauw menggeram dan hampir saja sebuah panah lagi-lagi menusuk mata kirinya maka pemuda itu berkelebat ke atas genteng. "Kwi-goanswe, kau jahanam keparat!" Namun sesuatu yang mengejutkan terjadi.. Sin Hauw tiba-tiba berteriak kaget ketika genteng yang diinjak amblong, menjejakkan kaki dan berjungkir balik lagi ke genteng yang lain, maksudnya mau menyembunyikan diri dari hujan serangan jala dan panah, yang kini semakin berbahaya karena diarahkan pada sepasang matanya, padahal pandangannya bisa tertutup oleh puluhan jala yang menimpa atas kepalanya. Tapi begitu kakinya juga menginjak genteng yang amblong dan entah mengapa tiba-tiba semua wuwungan rapuh maka terdengarlah tawa bergelak sang jenderal yang kini muncul di sebelah timur. "Ha-ha, kau tak dapat melarikan diri. Sin Hauw. Kau sudah terjebak!" Sin Hauw terbelalak. Genteng atau wuwungan terakhir yang diinjaknya tiba-tiba mengeluarkan suara keras, berkeratak dan robohlah wuwungan itu. Genteng di atas kepalanya berguguran semua dan Sin Hauw kaget sekali. Hal itu tak diduga. Dan ketika tembok di sekelilingnya juga runtuh dan panah serta tombak bersuitan menyambarnya maka Sin Hauw terpelanting ke bawah dan jatuh terbanting. "Buummm..!" Suara itu menggetarkan tempat sekitar. Sin Hauw tahutahu teruruk dan kejatuhan semua bahan-bahan ini, genteng dan tembok yang berguguran. Tentu saja terkubur hidup-hidup. Dan ketika pemuda itu terpekik dan menjadi kaget maka kakinya yang ada di bawah tahu-tahu seakan dibetot dan, meluncurlah pemuda ini ke sebuah lubang mirip sumur yang dalam. "Bress!" Sin Hauw tak ingat apa-apa lagi. Dia tahu-tahu terbentur oleh sesuatu yang keras dan pemuda itu pingsan. Dan ketika tubuhnya terbanting dan jatuh di tempat yang dalam maka pemuda itu kehilangan kesadarannya dan tak tahu apa yang terjadi. ooooo0de0wi0ooooo "Hm, ini pemuda itu, kanda" Dia adik mendiang Hwa Kin?" Begitu Sin Hauw mendengar sebuah percakapan ketika kesadarannya mulai pulih. Pemuda ini masih merasa seakan melayang-layang di tempat yang tinggi, kepalanya pening dan bumi rasanya seperti berputar. Tapi ketika seember air dingin disiramkan ke mukanya dan pemuda itu membuka mata maka dilihatnya Coa-ong-ya berdiri di situ dengan seorang laki-laki lain, juga Kwi-goanswe, dan Kwi Bun! "Heh, kau bangunlah. Sin Hauw. Lihat bahwa kau sudah tertangkap!" Sin Hauw terkejut. Memang benar dia sudah tertangkap dan keempat kaki tangannya diikat rantai yang besar. Golok Maut, senjatanya itu, ternyata sudah di tangan Coa-ongya. Pangeran itu mengamang-amangkan goloknya dan membolak-balik, sikapnya seperti main-main tapi pandang matanya penuh ancaman. Dan ketika pangeran itu tertawa aneh dan menyuruh dia bangun maka Sin Hauw bangkit. dengan susah payah namun merasa seluruh tenaganya seakan dilolosi. "Kau telah menelan liur Katak Merah, Sin Hauw. Kau tak punya daya kalau tidak kami beri obat penawar!" "Pengecut!" Sin Hauw membentak, marah sekali. "Apa yang kau kehendaki, Coa-ongya" Kenapa tidak membunuhku?" "Hm, kau masih kuperlukan, Sin Hauw. Belum semua kepandaianmu kurekam!" "Apa maksudmu" Dan siapa temanmu itu?" "Oh, kenalkan. Sin Hauw. Dia adikku pangeran Ci!" Sin Hauw terbelalak. Ci-ongya, adik Coa-ongya itu tiba-tiba maju, mengangkat dagunya dan Sin Hauw melihat tawa yang aneh pada pandang mata pangeran ini. Dan ketika Ci-ongya mengangguk-angguk dan tertawa maka laki-laki itu berkata, "Mirip.., mirip sekali. Dia dan mendiang encinya sama! Hm, pemuda ini keras kepala, kanda pangeran. Sebaiknya diberi obat pelupa ingatan dan menyerahkan semua kepandaiannya kepada kita!" "Nah!" Coa-ongya menjengek. "Dengar kata-kata adikku. Sin Hauw. Kami dapat memberimu obat pelupa ingatan agar tunduk seperti kerbau!" Sin Hauw pucat. Mendengar kata-kata dua orang itu tiba-tiba dia semakin marah, coba menarik tangan dan kakinya namun gagal. Tenaganya lemah sekali sementara rantai itu kuat bukan main, dia mengerahkan sinkang namun juga gagal. Dan ketika Sin Hauw mendelik dan merah padam maka Coa-ongya kini maju menjepit dagunya. "Sin Hauw, jangan coba-coba melawan. Kau tak punya daya, jangan macam-macam!" "keparat, kau curang, pangeran. Kau licik dan tidak berperikemanusiaan!" "Ha-ha, sesukamulah. Kau boleh memaki. Sin Hauw. Tapi sekarang katakan dulu maukah secara baik-baik kau menyerahkan Im-kan-tohoat (Silat Golok Dari Akherat) atau tidak." "Aku tak sudi!" Sin Hauw membentak. "Kau bunuhlah aku, pangeran. Aku tak takut mati!" "Ha-ha, seperti encinya!" Ci-ongya tiba-tiba tertawa. "Persis encinya, kanda pangeran, gagah dan tak takut mati! Tapi kita harus menundukkannya, kali ini tak boleh gagal!" dan Ci-ongya bertepuk tangan memanggil pengawal tibatiba menyuruh pengawal mengambil sesuatu. "Ambilkan Arak Hitam!" Sin Hauw menggigil. Rupanya dua kakak beradik ini sama-sama keji, mereka suka mencekoki lawan dengan arak beracun, atau entah arak apalagi yang kini diminta pangeran itu. Dan ketika pengawal mengangguk dan keluar lagi maka Ci-ongya memandang Kwi Bun dan ayahnya. "Kwi-kongcu, kau tak ingin membalas dendam?" "Hm!" Kwi Bun, pemuda yang sejak tadi diam dengan mata bersinar-sinar tiba-tiba seolah mendapat kesempatan bagus., "Tentu saja aku ingin membalas dendam, ongya. Tapi paduka katanya membutuhkan pemuda ini!" "Ha-ha, itu betul. Tapi kau dapat main-main sebentar kalau kau ingin, Kwikongcu, asal jangan bunuh dulu!" "Baik!" dan Kwi Bun yang melompat dengan muka gembira tiba-tiba memandang ayahnya. "Ayah, apakah yang pantas kita lakukan pada pemuda ini" Bolehkah kukerat dagingnya sedikit demi sedikit?" "Hm, terserah kau, Bun-ji. Asal jangan dibunuh seperti kata pangeran!" "Tidak, tentu tidak!" dan Kwi Bun yg gembira mencabut pisau tiba-tiba sudah membungkuk dan menempelkan pisau dileher Sin Hauw. "Sin Hauw, kau ingat betapa kau pernah kurang ajar kepadaku" Hukuman apa yang kauinginkan setelah kau bersikap kurang ajar memusuhi ayahku pula" Kau ingin dihukum picis?" "Cuh!" Sin Hauw tiba-tiba meludah, tepat sekali mengenai muka pemuda itu. "Kau bunuhlah aku, Kwi Bun. Aku tak takut!" dan Kwi Bun yang terkejut serta marah tiba-tiba membentak dan melayangkan tangannya yang lain, menampar Sin Hauw dan terpelantinglah pemuda itu. Dan ketika Sin Hauw dicengkeram bangun dan balas diludahi maka pemuda itu menggigil mengancam Sin Hauw. "Sin Hauw, pangeran telah memberi perkenan kepadaku. Kau akan kuhukum picis!" pisau bergerak, menyayat lengan Sin Hauw namun ternyata tak mempan. Sin Hauw tak dapat mengerahkan sinkangnya namun tenaga sakti di tubuh pemuda itu bekerja secara otomatis, menolak dan Sin Hauw ternyata tetap kebal. Dan ketika Kwi Bun membentak lagi dan kini menyayat punggung ternyata tetap saja pisau pemuda itu mental! "Tak-tak!" Kwi Bun jadi malu. Dua kali dia menyayat namun dua kali itu pula gagal, pisaunya seolah tumpul dan Sin Hauw tertawa mengejek. Putera Kwi-goanswe itu melotot dan menampar mulut Sin Hauw. Dan ketika Sin Hauw tersentak dan bibirnya pecah berdarah tiba-tiba Kwi Bun sudah melekatkan ujung pisaunya di mata Sin Hauw. "Heh, jangan tertawa. Tubuhmu boleh kebal tapi tak mungkin bola matamu kebal, Sin Hauw. Aku ingin mencobanya dan kau tertawalah!" pisau bergerak, menusuk mata pemuda itu namun Sin Hauw berkelit. Terhadap ancaman pemuda ini membuat muka Sin Hauw berobah juga dan Kwi Bun tertawa mengejek. Sekarang dia yang ganti mengejek lawannya itu, pisau kembali bergerak dan akhirnya mengenai juga pipi kiri Sin Hauw, pemuda itu sudah pucat dan marah. Dia bisa buta! Tapi ketika pisau kembali bergerak dan siap menusuk mata Sin Hauw untuk kesekian kalinya lagi tiba-tiba pengawal mengetuk pintu dan masuk, membawa apa yang diminta pangeran Ci. "Maaf, ini, ongya. Arak Hitam yang paduka minta!" Ci-ongya menerima. Kwi Bun akhirnya menghentikan juga tusukan pisaunya dan sejenak Sin Hauw lega. Betapapun ia masih selamat. Tapi ketika Kwi Bun hendak mengulangi perbuatannya dan membutakan mata Sin Hauw tiba-tiba Ci-ongya berseru agar pemuda itu mencekoki Sin Hauw dengan Arak Hitam. "Simpan pisaumu, kongcu. Cekokkan ini padanya dan lihat apa yang nanti terjadi!" Kwi Bun sedikit kecewa. Rupanya pemuda itu ingin benar menyiksa Sin Hauw, memberikan arak dianggapnya mengenakkan Sin Hauw menghalangi kegembiraannya.Tapi ketika ayah berseru agar dia cepat melaksanakan perintah itu maka Kwi Bun menerima dan menyambut. Golok Maut Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Baiklah, maaf, ongya. Rupanya aku masih kurang beruntung!" "Ma-ha, jangan kecewa. Arak itu jauh akan lebih menyenangkanmu, Kwi-kongcu. Sin Hauw bisa tunduk kepada siapa saja. Mulailah!" Sin Hauw berdebar. Mengingat pengalamannya ketika minum arak bersama Coa-ongya pemuda ini jadi mendapat firasat buruk dengan segala macam arak, apalagi kalau dari orang-orang ini, yang keji dan rupanya tak tahu malu. Dan ketika arak sudah didekatkan Kwi Bun dan Sin Hauw siap disuruh minum tiba-tiba Sin Hauw membentak dan meludahi pemuda itu, kali ini tiba-tiba tenaganya sedikit pulih dan langsung air ludahnya menjadi sekeras batu! "Kwi Bun, kau pergilah ke neraka. Minumlah arak itu sendiri.. cuh!" ludah Sin Hauw mengenai pipi pemuda ini, langsung tembus dan tentu saja Kwi Bun kaget bukan main, berteriak-teriak dan ludah itu seperti pelor baja yang diletupkan dari sebuah senapan. Kwi Bun terbanting dan botol arak pun pecah. Dan ketika pemuda itu bergulingan dan semua kaget maka pemuda ini menjerit-jerit dan mengaduh. "Aduh, keparat. Sin Hauw. Kau jahanam keparat!" Kwi Bun bergulingan, mencabut pisaunya lagi dan tiba-tiba pemuda itu melemparkannya ke dada Sin Hauw. Kwi Bun lupa bahwa pemuda ini tak boleh dibunuh, pisaunya itu menyambar cepat dan sang ayahpun terkejut. Tapi ketika pisau mengenai dada Sin Hauw dan mental bertemu kekebalan pemuda itu maka Kwi-goanswe lega sementara Coa-ongya dan Ci-ongya berseru marah, "Kwi-kongcu, kau tak boleh membunuh pemuda ini. Tahan!" Kiranya Kwi Bun mencabut pedangnya. Dalam kemarahan dan kesakitannya tadi tiba-tiba pemuda ini hendak menyerang Sin Hauw, yang diincar adalah mata karena pedang itu sudah bergetar ke arah mata. Sin Hauw bakal tak dapat melindungi jiwanya lagi kalau pedang itu mengenai matanya, tembus ke otak dan tentu saja dua pangeran itu segera membentak. Kelemahan Sin Hauw diketahui dan Ci-ongya serta Coa-ongya melompat ke depan, menegur pemuda itu. Dan ketika Kwi Bun kecewa dan memasukkan pedangnya lagi maka sang ayah berkelebat dan marah memandang Sin Hauw. "Pangeran, pemuda ini berbahaya sekali. Sebaiknya dia cepat dibunuh!" "Tidak, kami akan menundukkannya dengan obat pelupa ingatan, goanswe. Obat itu sudah kami campur di Arak Hitam tapi sayang puteramu menumpahkannya!" "Bukan dia yang menumpahkan, pangeran, melainkan Sin Hauw!" "Sama saja. Puteramu tak dapat berhati-hati, goanswe. Tapi kami akan mengambil lagi. Sebaiknya kau yang meminumkan dan kusuruh pengawal datang!" Kwi-goanswe pucat. Disuruh meminumkan arak pada Sin Hauw tiba-tiba jenderal ini berobah mukanya. Sin Hauw itu masih hebat, air ludahnya seperti pelor! Ngeri jenderal ini! Tapi ketika pengawal dipanggil datang dan membawa arak lagi maka jenderal ini bingung memandang pangeran itu. "Minumkan, biar kau membalas sakit hati puteramu, goanswe. Berikan arak itu dan paksa pemuda ini minum!" Jenderal itu ragu, memandang Sin Hauw dan pangeran berganti-ganti. "Kenapa" Kau takut?" "Hm, bukan begitu, pangeran. Tapi pemuda ini masih berbahaya!" "Dia tidak dapat menyerang!" "Tapi ludahnya seperti pelor, pangeran. Aku jadi ragu!" "Ah, kau pengecut, Kwi-goanswe. Tak pantas kau menjadi pembantuku!" Jenderal ini pucat. Melihat pandang mata penuh ancaman dari Coa-ongya tiba-tiba jenderal itu mengeraskan hati, melompat ke belakang dan dari belakang ia menubruk Sin Hauw. Sin Hauw mau membalik namun kalah cepat, jenderal itu tahu-tahu telah mencekik lehernya.Dan ketika Sin Hauw mengeluh dan mau meronta tapi tak berdaya maka dengan kuat dan kasar jenderal ini menjepit rahangnya, memaksa dia membuka mulut dan Sin Hauw kesakitan. Dia tak berdaya dan mulutpun terbuka. Dan begitu Kwi-goanswe mencekokkan arak dan memaksa dia minum maka arak memasuki mulut pemuda ini namun Sin Hauw menahan. "Glek-glek!" Sin Hauw membuat lawannya terbelalak. Kwi-goanswe melihat arak itu hanya berhenti saja di mulut Sin Hauw, tidak memasuki perutnya dan tentu saja jenderal ini penasaran. Tapi begitu dia membentak dan memencet rahang tahu-tahu Sin Hauw menyemburkan arak yang ada di dalam mulutnya itu, mengerahkan tenaga sakti. "Crot!" Jerit ngeri terdengar meraung-raung. Kwi-goanswe berteriak dan menjerit-jerit ketika arak itu tepat mengenai mukanya, hidungnya hancur sementara mata jenderal itu buta sebelah! Terkejutlah semua orang. Dan ketika Kwi-goanswe bergulingan di sana dan puteranya terbelalak maka Kwi Bun tiba-tiba mencabut pisaunya dan menerjang Sin Hauw. "Bedebah! Kau melukai ayahku. Sin Hauw. Jahanam keparat!" Coa-ongya dan Ci-ongya terkejut. Dua orang pangeran itu belum bermaksud membunuh Sin Hauw, kalau hal itu dilakukan tentu sejak tadi mereka sudah melaksanakannya. Maka begitu Kwi Bun tak dapat menguasai diri sementara Kwi-goanswe di sana berteriak-teriak dan bergulingan maka dua pangeran ini membentak dan Sin Hauw sendiri melempar kepalanya ke belakang, melihat pisau menyambar mata dan Kwi Bun hendak menusuk bagian yang tak dapat dilindungi kekebalan ini. Pemuda itu marah melihat kebutaan yang menimpa ayahnya. Dan begitu pisau menyambar namun Sin Hauw keburu melempar kepala ke belakang maka pisau itu mengenai tembok, mental. "Takk!" Kwi Bun membalik. Keadaan tiba-tiba tak dapat dikuasai lagi, Kwi-goanswe di sana membentak dan sudah mencabut pedangnya, jenderal tinggi besar itu tampak menyeramkan karena sebagian besar mukanya penuh darah, matanya yang buta hancur sebuah dan jenderal itu menyerang. Tapi ketika dia menubruk dan pengawal sudah dipanggil tiba-tiba Coa-ongya memerintahkan agar Kwi-goanswe dicegah, jenderal itu harus ditangkap dan di-bawa keluar. Dia harus diobati dan Sin Hauw tak boleh dibunuh. Dan ketika Kwi Bun juga ditubruk dan pengawal berhamburan datang maka Sin Hauw selamat namun baju pemuda ini robek-robek, tadi tak dapat mengelak semua serangan dan pisau atau pedang di tangan ayah dan anak mengenainya juga. Untung sinkangnya masih bekerja dan kekebalannya menjaga. Dan ketika dua orang itu ditangkap sementara Coa-ongya sendiri membentak penuh wibawa maka Sin Hauw akhirnya dipukul dengan sepotong besi, pingsan. "Kau jahanam keparat, rebahlah di situ., ngek!" pemuda ini tersungkur, roboh dan pingsan lagi dan dua orang pangeran itu pucat. Mereka masih melihat kehebatan Sin Hauw ini, kekuatannya yang luar biasa dan juga kekebalannya yang mengagumkan. Dalam keadaan seperti itupun pemuda ini mampu melukai Kwi-goanswe dan anaknya. Bukan main! Hal yang benar-benar mengejutkan. Dan ketika dua orang itu meninggalkan Sin Hauw dan Kwi-goanswe dirawat tapi tetap matanya buta sebelah maka hari-hari berikut merupakan neraka bagi Sin Hauw. Akhirnya Arak Hitam dicekokkan juga ketika dia pingsan. Sin Hauw masih mendapat hajaran dan siksa yang lain, pukulan dan tendangan, tapi pemuda itu tak terluka. Obat pelupa ingatan mulai bekerja dan seminggu kemudian Sin Hauw sudah seperti orang linglung, tubuhnya kurus karena selama seminggu itu pula makan minumnya tak diurus. Dan ketika pemuda itu benar-benar lupa ingatan pada minggu kedua maka Coa-ongya dan Ci-ongya mempermainkannya. "Ha-ha, ke sinilah. Sin Hauw. Jalan merangkak!" Sin Hauw merangkak, lambat-lambat, tidak lagi diikat. "Cepat, seperti anjing!" Sin Hauw merangkak seperti anjing. "Ha-ha, sekarang berdirilah. Sin Hauw Mainkan silat golokmu yang paling hebat itu!" Sin Hauw mengerutkan kening, pandang matanya kosong. "Eh, kau tak mendengar perintahku?" sebuah cambuk mengeletar. "Cepat, mainkan silat golokmu itu, Sin Hauw. Dan tunjukkan pada kami semua tipu-tipunya!" Sin Hauw mendelong saja. Cambuk akhirnya menjeletar dan tergulinglah pemuda itu, bajunya pecah namun kulitnya tidak apa-apa. Hebat pemuda ini. Dan ketika Coa-ongya terbelalak sementara adiknya juga tertegun maka Ci-ongya mendecak menyatakan kagum. "Sin Hauw ini benar-benar luar biasa. Sinkangnya masih melindungi tubuhnya meskipun hilang ingatan!" "Ya, dan aku ingin memiliki sinkang seperti itu, adik pangeran. Kudengar Im-kanto-hoat yang dimiliki pemuda ini mengandung gerak-gerak tenaga sakti. Setiap tarikan napas atau hembusan napasnya dikendalikan sinkang otomatis, ilmu itu hebat!" "Tapi dia belum menjelaskan!" "Dapat kita paksa, adik pangeran. Biarlah kusuruh lagi dan kuperiksa dia!" pangeran ini membentak Sin Hauw, mengeletarkan cambuknya dan Sin Hauw pun bangun. Coa-ongya memerintah agar dia mainkan silat goloknya itu, Im-kan-to-hoat. Tapi ketika Sin Hauw mendelong saja dan seperti orang bodoh maka Coa-ongya marah dan mencambuk pemuda itu lagi. "Sin Hauw, ayo mainkan silat golokmu itu. Cepat, atau kau kusiram air panas!" Sin Hauw menggigil. "Aku... aku tak dapat, pangeran. Aku lupa..." "Apa" Kau bohong" Keparat, jangan menipu aku. Sin Hauw. Ayo mainkan itu atau kau roboh... tar!" cambuk meledak kembali, mengenai muka Sin Hauw dan pipi pemuda itu tergurat. Sin Hauw terpelanting namun diperintahkan bangun lagi. Dan ketika pemuda itu terhuyung dan Coa-ongya mendelik maka pemuda ini menggeleng kuyu, menyatakan lupa. "Aku... aku tak bisa... aku tak ingat semua yang pernah kupunyai..." Jawaban itu disambut geraman. Coa-ongya marah dan tiba-tiba menyiramkan air panas. Sin Hauw berjengit dan mengaduh, berkelojotan di tanah. Dan ketika dia diperintah lagi namun jawabannya selalu itu-itu saja maka pangeran ini marah dan mengambil api, menyulutkan itu pada Sin Hauw dan Sin Hauw kesakitan. Luka bakar memang tidak dialami pemuda ini, namun karena api merupakan barang panas dan rasa panas itu menyakiti tubuhnya maka pemuda ini merintih dan melingkar-lingkar. "Ampun... ampun, pangeran. Aku betul-betul tak tahu..!" Ci-ongya mengerutkan alls. Melihat perbuatan kakaknya dan sikap Sin Hauw yang tampaknya tidak dibuat-buat akhirnya membuat pangeran ini tertegun. Dia khawatir bahwa jangan-jangan obat pelupa ingatan yang telah dicekokkan kepada Sin Hauw juga sekaligus menghilangkan ingatan pemuda itu pada semua ilmunya. Dan ketika dia meloncat dan menyatakan ini pada kakaknya maka Coa-ongya terkejut dan mengerutkan kening. "Begitukah?" "Mungkin saja. Ini baru dugaan, kanda pangeran. Dan sebaiknya kita uji!" Ciongya melangkah maju, mengangkat bangun Sin Hauw dan dengan mata tajam bersinarsinar pangeran muda itu mengamati pemuda ini. Dan ketika Sin Hauw dilihatnya berpandangan kosong maka pangeran itu mendesis, "Sin Hauw, kau ingat dan mengenai nama Hwa Kin?" Sin Hauw mengerutkan kening, berpikir keras. "Kau tidak ingat?" "Tidak, pangeran. Aku tidak ingat..." "Dia encimu!" "Aku tidak ingat..." "Hm, kau ingat siapa gurumu?" "Tidak, pangeran. Aku juga tidak ingat..." "Gurumu adalah Sin-liong Hap Bu Kok! Kau ingat nama ini?" "Tidak," Sin Hauw menggeleng sedih. "Aku tidak ingat apa-apa..." "Hm, encimu bernama Hwa Kin, Sin Hauw. Dan dia tewas membunuh diri, ku-perkosa!" Mata itu tiba-tiba terbelalak. Sin Hauw tampak terkejut dan memandang Ci-ongya, sejenak ada kilat seperti api namun redup lagi. Dan ketika Ci-ongya memberi tahu dengan berani bahwa enci pemuda itu digagahinya tapi lalu mati membunuh diri maka pangeran ini tertawa mengejek. "Sin Hauw, encimu itu hebat. Manis benar dia. Kau tidak benci kepadaku dan marah?" "Hm, aku tak ingat siapa wanita itu, pangeran. Kalau aku ingat tentu aku benci dan marah kepadamu!" "Dan kau tak ingat apapun tentang ilmu silat yang kau punyai?" "Tidak, aku tak ingat apa-apa..." "Nah," Ci-ongya membalik. "Sin Hauw ternyata kehilangan ingatannya tentang ilmunya pula, kanda. Jadi percuma mengharap pemuda ini!" "Jadi bagaimana?" "Sebaiknya dibuang saja, pemuda ini tak berguna!" Sang kakak kecewa. "Dia benar-benar tak dapat digunakan?" "Lihat sendiri, dia kehilangan semua ingatannya, kanda. Bahkan tentang encinya yang juga kuperkosa pemuda ini tak menyerangku. Obat itu rupanya terlampau banyak kita minumkan!" "Hm!" Coa-ongya membanting kaki. "Kalau begitu percuma kita menahannya, adik pangeran. Tapi coba kita panggil Miao In!" "Hamba di sini!" sesosok bayangan tiba-tiba berkelebat. "Ada apa, ongya" Paduka memerlukan hamba?" "Ha-ha, cepat benar!" sng pangeran tertawa bergelak. "Kau datang di saat kami memerlukanmu, Miao In. Bagus dan lihatlah Sin Hauw!" Coa-ongya bertepuk tangan, menyambar dan tiba-tiba memeluk gadis itu dengan gembira. Adiknya juga tertawa Golok Maut Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo dan bersinar-sinar memandang Miao In, gadis yang tiba-tiba muncul di situ dengan caranya yang mengejutkan. Dan ketika Miao In tersenyum dan membiarkan Coa-ongya meraba dan meremas dadanya maka Sin Hauw terbelalak tapi diam tak memberikan reaksi, padahal gadis ini adalah kekasihnya, setidak-tidaknya adalah bekas kekasih! "Sin Hauw, kau kenal siapa ini?" "Tidak." "Dia Miao In, kekasihmu!" "Hi-hik, hamba tak memiliki kekasih macam orang gila ini, ongya. Kekasih hamba adalah paduka berdua!" gadis itu tertawa, melingkarkan lengannya di pinggang Coa-ongya dan Ci-ongyapun diberinya kerling tajam. Pangeran Ci itu datang dan tertawa meraih lengannya. Dan ketika tanpa malu-malu lagi Ci-ongya meremas dan meraba tubuh gadis itu maka sebuah ciuman didaratkan pada mulut si gadis. "Miao In, kau sungguh kekasih yang hebat!" "Hi-hik, hati-hati, pangeran. Nanti Kwi Bun datang!" "Ah, Kwi-kongcu itu orang tolol. Dia pemuda ingusan yang tak tahu permainan kami!" "Hi-hik!" Miao In menggeliat, geli oleh jari-jari nakal dua orang pangeran itu. Baik Ci-ongya maupun Coa-ongya akhirnya meremas seluruh tubuhnya, dari dada sampai ke perut. Dan ketika Sin Hauw juga tak memberikan reaksi atas semuanya itu maka Coa-ongya melepas si gadis berkata jemu, "Miao In, pemuda ini sudah tak dapat kita pergunakan. Kau buanglah dia ke mana kau suka!" "Maksud paduka?" "Dia kehilangan seluruh ingatannya, Miao In, termasuk ilmu silatnya itu. Kami tak dapat memaksanya karena pemuda ini sudah linglung!" "Begitukah?" "Ya, dan kau ringkas saja ilmu-ilmu yang sudah kau dapat dari pemuda ini, Miao In. Berikan kepada kami kitab catatan itu." "Belum selesai," gadis ini berkata, "masih kurang sedikit, pangeran. Dua tiga minggu lagi hamba serahkan paduka semuanya!" "Ah, begitu" Baiklah, bawa pemuda ini, Miao In. Tapi serahkan dulu apa saja yang sudah kau catat!" Coa-ongya merogoh, langsung mengambil sesuatu dari balik baju dalam gadis itu dan pangeran ini tertawa mendapatkan sebuah kitab, tak perduli pada wajah si gadis yang berobah. Dan ketika buku kecil itu berada di tangannya dan ditimang-timang maka Coa-ongya melirik adiknya, memberi isyarat dan Ci-ongya tersenyum. Tiba-tiba dia menepuk pundak gadis. itu dan menyuruh Miao In pergi, membawa Sin Hauw. Berkata biarlah nanti gadis itu ke kamar mereka, setelah tugasnya selesai. Dan sementara Miao In tertegun tapi tak dapat berbuat apa-apa maka Ci-ongya sudah disambar kakaknya. "Bawa pemuda itu, setelah itu ke kamarku!" Miao In akhirnya mengangguk. Senyum kecut menghias bibirnya sejenak dan tiba-tiba gadis ini berkelebat, menyambar Sin Hauw. Dan ketika Sin Hauw terkejut dan berseru tertahan maka pemuda itu sudah dibawa berjungkir balik melompati tembok yang tinggi. "Sin Hauw, kau benar-benar pemuda tak berguna!" Sin Hauw terpekik. Dibawa berjungkir balik dan melayang di tempat begitu tinggi tiba-tiba pemuda ini menjerit, ketakutan, sungguh jauh bedanya dengan Sin Hauw beberapa minggu yang lalu. Dan ketika Miao In membawanya "terbang" dan berkali-kali pemuda itu mengeluarkan seruan kaget maka Miao In berhenti di hutan, mendengar rintih dan erangan seorang nenek. "Aduh, keparat kau. Sin Hauw. Kau membiarkan aku si tua bangka kelaparan dan tersiksa!" Miao In terkejut. Dia berhenti dan menoleh. Sin Hauw dilepas dan pemuda itu roboh ke tanah. Dan ketika seorang nenek muncul dari balik semak-semak dan merangkak susah payah maka Miao In terbelalak melihat siapa kiranya. "Subo..!" "Miao In..!" Gadis ini bergerak. Tahu-tahu dia telah menolong nenek itu, yang bukan lain Imkan Siang-li yang buntung lengannya. Nenek ini susah payah merangkak di tengah hutan, memaki dan menyebut-nyebut nama Sin Hauw. Dan ketika nenek itu bertemu Miao In dan gadis itu bergerak menubruknya maka Miao In tersedu-sedu memeluk subonya (ibu guru). "Ah, celaka. Aku ditipu Coa-ongya, subo. Aku dipedayai! Kau di mana saja selama ini" Kau masih hidup?" "Keparat, siapa yang kau bawa itu, Miao In" Bukankah dia Sin Hauw?" sang nenek tak menjawab, melotot memandang Sin Hauw dan Sin Hauw bengong saja memandang dua orang ini. Baik Im-kan Sian-li maupun Miao In hanya merupakan bayang-bayang samar dalam ingatannya, Sin Hauw seolah kenal tapi juga seolah tidak. Obat perampas ingatan yang diberikan dua orang pangeran itu memang melebihi takaran. Sin Hauw telah mendapat perlakuan yang kejam. Dan ketika nenek itu tidak menjawab melainkan mendelik dan memandang Sin Hauw tiba-tiba kakinya bergerak dan Sin Hauw sudah ditendangnya, padahal tadi nenek ini seolah kelihatan lumpuh dan tidak bertenaga. "Sin Hauw, kau bedebah terkutuk. Jahanam.. des-dess!" Sin Hauw mencelat, ditendang penuh kemarahan oleh nenek ini dan pemuda itu mengaduh. Sin Hauw tak berdaya apa-apa dan tiba-tiba nenek itu menyerang lagi, menendang dan menghajar pemuda ini di mana2. Sin Hauw akhirnya terguling-guling dan mengeluh, pemuda itu tak membalas dan si nenek heran, tertegun. Tapi ketika dia mau menghajar lagi dan Miao In berkelebat maka gadis itu berseru, "Subo, tahan. Sin Hauw sekarang bukan Sin Hauw beberapa waktu yang lalu!" "Apa maksudmu?" sang nenek terbelalak. "Kau bilang apa?" "Pemuda ini sudah dicekoki arak perampas ingatan, subo. Sin Hauw sudah tak dapat mainkan ilmu silatnya dan menjadi orang biasa!" "Heh?" "Benar, subo. Dan itu adalah perbuatan Coa-ongya. Pemuda ini tak akan melawan biarpun dibunuh. Kau tak usah kalap karena dengan mudah kau akan dapat membunuh pemuda ini!" Nenek itu tertegun. Tiba-tiba dia terbelalak dan bengong, Sin Hauw dilihatnya bangkit terhuyung dan meringis kesakitan. Beberapa tendangannya yang keras dan kuat membuat pemuda itu jungkir balik. Sin Hauw cukup tersiksa. Tapi ketika pemuda itu berdiri dengan pandangan kosong dan nenek ini akhirnya percaya maka Miao In bercerita, bahwa dua minggu ini Sin Hauw ditangkap dan disiksa Coa-ongya, juga Ci-ongya yang akhirnya mencekoki pemuda itu dengan Arak Hitam, arak yang sudah dicampuri obat perampas ingatan dan nenek itu mengangguk-angguk. Mengertilah dia kenapa selama ini Sin Hauw tak muncul, dia dibiarkan di luar gedung Coa-ongya ketika pemuda itu masuk, ditotok dan berhari-hari dibiarkan menderita. Seperti kita ketahui nenek ini memang belum dibebaskan Sin Hauw yang ingin membuktikan omongannya kepada Coa-ongya, akhirnya mengompres Tang Kiok dan terjadilah semuanya itu, terbunuhnya wanita itu tapi Sin Hauw juga tertangkap, terjeblos dalam lubang jebak-an di mana Coa-ongya yang memasang semuanya itu, untuk menghadapi kepandaian Sin Hauw yang luar biasa. Dan ketika nenek itu mengerti dan mengangguk-angguk maka nenek ini terkekeh dan tiba-tiba memandang Sin Hauw. "Heh-heh, begitukah kiranya" Dan kau sendiri, kenapa tidak menolong subomu, Miao In" Ke mana saja kau selama ini?" "Aku bersama Kwi-kongcu, subo, merencanakan untuk membunuh Coa-ongya!" "Begitukah" Kau tidak bohong?" "Tidak, tapi rasanya tak berhasil, subo. Kitab kecil yang berisi catatan Im-kanto-hoat yang belum lengkap kupelajari dari Sin Hauw tiba-tiba diambil Coa-ongya. Aku tak mengerti kenapa dia melakukan itu padahal sudah kujanjikan seminggu dua minggu lagi!" "Heh" Buku kecil itu diambil Coa-ongya?" "Benar, subo. Dan sekarang aku disuruh membunuh atau membuang Sin Hauw...." "Celaka, goblok sekali! Kau tak tahu tipu muslihat pangeran itu! Eh, mana Golok Maut, Miao In" Juga di tangan Coa-ongya?" "Benar, subo. Aku belum berhasil mencurinya..." "Awas!" teriakan itu dikeluarkan si nenek, menendang muridnya dan tiba-tiba mereka berdua melempar tubuh bergulingan. Dan ketika Miao In berseru kaget sementara subonya memaki maka terdengar suara "crep" dan sebatang panah persis sekali menancap di pohon di belakang gadis itu, di mana kalau Miao In tak disambar subonya tentu gadis itu menjadi korban. Miao In tak tahu karena sedang bercerita, subonya yang mendengar dan secepat kilat nenek yang masih lihai itu menendang muridnya. Dan ketika mereka berdua meloncat bangun dan Miao In terbelalak maka. di situ berdiri seratus pengawal dipimpin seorang laki-laki tinggi kurus yang kumisnya pendek. "Yin-goanswe (Jenderal Yin)..!" Miao In terkejut, kaget memandang laki-laki itu dan Yin-goanswe, sahabat atau rekan Kwi-goanswe yang biasanya bertugas di kota raja tiba-tiba mengangguk, mengeluarkan suara dingin. "Ya, aku, nona. Dan benar dugaan Coa-ongya bahwa kau akan membunuhnya!" Miao In tertegun. Setelah jenderal Yin bicara dan seratus orang pasukannya tegak mengelilinginya maka tahulah dia bahwa dirinya dalam bahaya. Rupanya Coa-ongya sudah mencium rencananya itu dan pantas saja merampas buku kecil yng berisi catatan Im-kan-to-hoat, ilmu silat golok yang amat hebat yang baru sebagian diberikan Sin Hauw kepadanya, ditulis dan dicatat dalam buku kecil itu. Maka begitu Yin-taijin muncul dan mendengar semua kata-katanya segera maklumlah gadis ini bahwa tak mungkin lagi baginya untuk kembali ke tempat pangeran itu. "Yin-goanswe, kau jahanam keparat! Kenapa menyerang secara curang?" "Hm, Coa-ongya menyuruhku membunuhmu, Miao In. Sekarang menyerahlah atau kami akan bersikap keras kepadamu!" "Bedebah!" nenek buntung tiba-tiba membentak. "Kau tak perlu takut, Miao In. Ada aku di sini dan kita hadapi tikus-tikus busuk ini!" "Hm, kau masih hidup, Im-kan Siang-li" Dan kau kiranya diam-diam juga mengatur muridmu?" "Keparat, kau jahanam busuk, Yin-goa-swe. Tak usah banyak cakap dan mari kubasmi kau.. wut!" nenek ini meloncat, gerakannya begitu sigap dan orang lagi-lagi akan tertegun. Tadi nenek itu tampak begitu lemah dan merangkak, tiba-tiba saja menjadi segesit elang dan kini menyambar Yin-goanswe itu. Kakinya berputar dua kali dan tahu-tahu selangkangan Yin-goanswe sudah diserangnya. Tapi ketika jenderal itu mundur dan membentak marah tiba-tiba dia mencabut golok-tombak dan membabat kaki nenek ini. "Bret-plak!" Golok-tombak luput, sudah ditendang namun sebagian ujung celana nenek itu robek. Tadi jenderal ini bergerak cekatan dan mundur menjauh. Dan ketika si nenek melengking tinggi dan berkelebat lagi maka jenderal ini memerintahkan anak buahnya maju membantu. "Bunuh nenek ini, tangkap gadis itu!" Pasukan tiba-tiba bergerak. Miao In sudah berkelebat hendak membantu subonya, tak tEihunya didahului bentakan dan serangan tombak dari kiri kanan. Pembantu Yin-goanswe telah bergerak dan membentak gadis itu. Dan ketika Miao In melengking dan marah mencabut goloknya, meniru-niru Sin Hauw, tiba-tiba gadis ini sudah berkelebatan dan mainkan Im-kan-to-hoat, yang tidak lengkap. "Subo, bunuh Yin-goanswe itu. Jangan beri ampun!" "Ya, dan kau basmi semua tikus-tikus itu, Miao In. Dan cepat kita lari setelah ini!" Namun pasukan sudah bergerak dari mana-mana. Yingoanswe cepat dibantu sepuluh pembantunya sementara sembilan puluh yang lain mengeroyok Miao In. Gadis itu memutar golok namun akhirnya kewalahan juga. Im-kanto-hoat yang dipelajari belum lengkap semuanya dan gadis ini bingung kalau melanjutkan, tak tahu dan tentu saja permainan goloknya kacau. Dan ketika di sana subonya ternyata juga kewalahan menghadapi lawannya karena tangannya yang buntung tak dapat digunakan maka hanya kaki nenek ini yang membagi-bagi tendangan, celaka sekali lawan tiba-tiba mengeluarkan jala, melempar dan berusaha menjerat kaki nenek itu. Nenek ini memaki-maki dan tentu saja dia harus berloncatan, satu karena menghindari jeratan itu sedang yang lain karena dia harus mengelak dari sambaran senjata sebelas lawannya. Yin-goanswe mainkan golok-tombaknya dengan berganti-ganti, sebentar bagian golok lalu sebentar kemudian bagian tombak. Ternyata jenderal ini lihai mainkan senjata khasnya itu. Dan ketika si nenek melengkinglengking dan tentu saja marah bukan main maka dua kali tendangannya berhasil merobohkan dua orang perwira tapi sebuah lontaran lasso atau jala kecil itu menjirat kakinya. "Rrt-des-dess!" Nenek ini berteriak. Dua pembantu Yin-goanswe roboh namun dia sendiri terpelanting. Untunglah, nenek ini cukup lihai karena tiba-tiba sambil menggulingkan tubuh seperti trenggiling tiba-tiba nenek ini menumbukkan badannya. Yin-goanswe yang terdekat dijadikannya kaget karena nenek itu mengait kaki, melompat tinggi dan nenek itupun lolos dari serangan Golok Maut Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo yang lain-lain. Dan ketika nenek itu sudah meloncat bangun sementara Yin-goanswe sendiri melayang turun maka Yin-goanswe membentak dan menyerang kembali bersama sepuluh pembantunya, memaki dan jala atau lasso kini ditambah, sang nenek sibuk dan berloncatan serta menendang ke sana-sini, akhirnya berteriak ketika dua buah jala lagi-lagi menggubat kaki. Dan ketika dia terguling dan Yin-goanswe serta sepuluh pembantunya membentak mengayun senjata maka nenek itu menjerit ketika golok-tombak di tangan Yin-goanswe membabat bahunya, bergulingan menyelamatkan diri namun sepuluh yang lain berkelebatan dari mana-mana, nenek itu sibuk dan tentu saja pucat. Dan karena kakinya masih tergubat dan susah baginya melepaskan diri maka nenek yang kewalahan ini berteriak ketika empat buah golok mengenai dirinya lagi, mengeluh dan darah mulai membasahi tubuh nenek itu. Im-kan Siang-li pucat karena sebenarnya dia tak sanggup menghadapi keroyokan ini, dia sudah lelah dan tenaganya cepat habis. Beberapa hari ini menderita di bawah totokan Sin Hauw yang celaka sekali tak pernah datang membebaskannya karena Sin Hauw tertangkap membuat nenek itu menderita. Apalagi kedua tangannya yang buntung belum dapat menyesuaikan diri membuat keseimbangan. Akibatnya nenek ini jatuh lagi ketika jala yang menjerat kakinya ditarik, terseret dan terpelanting dan sebuah bentakan Yin-goanswe akhirnya disusul bacokan ke kaki. Nenek itu menjerit ketika tiba-tiba kakinya putus, darah memuncrat dan berteriaklah nenek itu memanggil muridnya. Dan ketika Miao In di sana terbelalak dan terkejut melihat keadaan subonya maka nenek ini terhenti teriakannya ketika senjata yang lain dari pembantu Yingoanswe itu juga menusuk tubuhnya. "Aduh, tolong, Miao In., crep!" nenek itu menggeliat, akhirnya berhenti memekik karena tombak di tangan jenderal Yin menancap di dadanya. Dalam keadaan tangan dan kaki buntung memang tak mungkin lagi bagi nenek itu untuk melawan, Jenderal Yin adalah jenderal yang kepandaiannya cukup tinggi, betapapun lihainya dia tentu tak mungkin menghadapi keroyokan sebelas orang lawan yang rata-rata memiliki kepandaian cukup. Maka begitu golok seorang pembantu jenderal itu membacok pinggangnya dan Yin-goanswe menyusulinya dengan tusukan di dada maka nenek itupun terkapar dan roboh mandi darah, tewas. "Yin-goanswe, keparat jahanam kau!" Miao In membentak, marah menggerakkan goloknya dan lima orang di depan roboh menerit. Dari sembilan puluh orang lawan gadis ini sudah melukai tak kurang dari dua puluh, berkelebatan dan menyambar-nyambar namun lawan terlampau banyak. Satu dikeroyok sembilan puluh adalah terlalu berat, apalagi gadis ini belum memiliki Im-kan-to-hoat sepenuhnya. Banyak jurus-jurus lanjutan yang tiba-tiba saja macet di tengah jalan, tak dapat diteruskan karena gadis itu memang tak tahu. Maka begitu subonya roboh dan gadis ini membentak memaki Yingoanswe tiba-tiba ia mencoba menerobos kepungan namun gagal, pengawal atau pasukan Yin-goanswe itu mengepung ketat karena roboh satu maju sepuluh, roboh sepuluh mereka maju dua puluh. Tentu saja gadis ini repot. Dan ketika ia menjadi marah dan memekik membuka jalan darah tiba-tiba goloknya kembali mendapat korban tujuh orang di depan. "Minggir kalian, bedebah... des-plak-cret!" tujuh orang itu menjerit, roboh berteriak dan Miao In berjungkir balik, maunya keluar tapi tiba-tiba Yin-goanswe sudah berkelebat ke situ. Setelah merobohkan nenek buntung maka jenderal ini bersama sepuluh pembantunya sudah cepat ke sini, tentu saja jenderal itu tak mau anak buahnya dibantai. Dia sudah bergerak dan balas membentak gadis itu. Dan ketika Miao In melayang turun namun sudah disambut sang jenderal maka gadis itu melengking dan menggerakkan goloknya. "Cring-crangg!" Miao In terpental. Ternyata Yin-goanswe memiliki tenaga yang besar dan dia terpekik, kalah beradu tenaga dan sang jenderal sudah menyerang lagi. Dan ketika sepuluh pembantunya juga bergerak dan membantu jenderal itu maka yang lain diminta mengepung dan agar menonton. "Biarkan gadis ini kami hadapi, kalian mundur..!" Semua akhirnya mundur. Miao In dikeroyok sebelas orang saja dan sebenarnya lebih ringan, dalam arti jumlah. Namun karena yang mengeroyok kali ini adalah sang jenderal sendiri dan sepuluh pembantunya itu adalah perwira-perwira yang tentu saja kepandaiannya masih di atas perajurit biasa maka bukannya ringan melainkan justeru semakin berat bagi gadis ini, yang terdesak dan tiba-tiba mundur dan terus mundur. Miao In berteriak agar Sin Hauw membantunya, lupa bahwa pemuda itu kehilangan ingatannya dn pasukan tak ada yang menyerang. Mereka hanya mendapat perintah untuk menangkap atau membunuh guru dan murid itu, Miao In dan subonya. Maka ketika Sin Hauw diam saja dan sejak tadi pemuda ini mendelong memandang pertempuran maka teriakan Miao In sia-sia dan gadis itu tiba-tiba menangis. "Sin Hauw, bantu aku. Cepat, bantu aku..!" Namun mana Sin Hauw bisa" Menjaga diri sendiri saja tak mampu, apalagi orang lain. Pemuda itu telah kehilangan ingatannya akan semua, ilmu silat dan masa lalunya. Tak ada pandangan hidup pada mata pemuda itu, sinar mata Sin Hauw kosong dan tak sedikitpun ada perasaan mengerti. Pemuda ini seperti orang bingung, gerak-geriknya seperti orang linglung karena pemuda itu memang tak mengerti apaapa. Dia juga tak bisa silat karena ingatannya akan ilmu silat hilang. Coa-ongya telah membuatnya begitu rupa hingga pemuda ini seperti area saja, hidup tapi jiwanya kosong. Maka ketika di sana Miao In memekik dan menjerit oleh sebuah tusukan Yin-goanswe tiba-tiba gadis ini mendapat serangan lima senjata yang terpaksa ditangkis dengan muka pucat. "Cring-crang-crangg..!" Golok di tangan gadis ini mencelat. Miao In sudah gemetar karena habis tenaganya, terkuras oleh keroyokan tadi dan gadis ini mengeluh. Dia terpelanting dan Yin-goanswe serta perwira-perwiranya mengejar, Miao In menggulingkan tubuh namun akhirnya menabrak pohon, berhenti dan tentu saja gadis itu pucat. Yin-goanswe dan sepuluh pembantunya tertawa mengejek dan berkelebat, sebelas senjata tertuju kepadanya dan Miao In melotot. Dia akan ditembus senjata bermacam-macam itu, bakal disate. Tapi ketika Yin-goanswe dan sepuluh pembantunya membentak mau membunuh tiba-tiba terdengar bentakan dan Coa-ongya serta Ci-ongya muncul. "Yin-goanswe, tahan..!" Jenderal itu terkejut. Golok-tombak di tangannya tertahan, begitu pula sepuluh perwiranya. Mereka mengenal suara Coa-ongya dan tentu saja semuanya berhenti, semua senjata tertodong beberapa inci saja di muka gadis itu, Miao In hampir memejamkan mata menyerah pada maut. Tapi begitu Yin-goanswe menahan senjatanya dan sepuluh orang pembantunya juga begitu maka berdeguplah gadis ini melihat kedatangan Coa-ongya. "Ha-ha, bagaimana, Miao In" Kau mau membela diri?" lalu sementara gadis itu masih tertegun tak mampu menjawab pangeran ini berkata, "Mundurlah, goanswe. Biarkan ia berdiri!" Jenderal Yin mundur. Dia tetap menjaga bersama sepuluh perwiranya itu, semeter di depan korbannya. Dan ketika Miao In bangkit dan terhuyung pucat maka Coa-ongya mencabut Golok Maut dan membolang-balingnya di tangan. "Ha-ha, kematian apa yang kau inginkan, Miao In" Minta dikutungi seperti gurumu atau bagaimana?" "Tidak.. tidak..!" gadis ini gemetar. "Ampun, ongya. Aku.. aku tak bersalah..!" "Ha-ha, tidak bersalah setelah merencanakan untuk membunuhku" Hm, kau seperti subomu, Miao In, suka berkhianat dan jalan di belakang!" pangeran tertawa, maju mendekat dan Golok Maut diputar-putar. Pandang penuh ancaman tampak di mata pangeran ini, Coa-ongya menatap keji dan sorot matanya itu membuat Miao In gentar, gelisah. Dan ketika pangeran dekat benar dan golok ditempelkan di pangkal lengannya maka pangeran bertanya, senyumnya keji, "Miao In, kau ingin aku mengutungi lenganmu yang kiri dulu atau kanan" Atau kau minta kakimu dibuntungi dulu?" "Tidak.. tidak!" gadis ini menangis. "Kau bunuhlah aku, ongya. Kau bunuhlah aku!" "Hm, terlalu enak. Sebelumnya ingin kutanya dulu siapa yang merencanakan pembunuhan itu, Miao In. Kau ataukah Kwi-kongcu!" "Kwi Bun!" Miao In cepat menjawab. "Dia itu yang mengajak aku, ongya. Sungguh mati aku hanya ikut-ikutan, tak bersalah!" "Bagaimana kalau kuadu?" Miao In terbelalak. "Ha-ha, kau terkejut, bukan?" sang pangeran menyeringai. "Lihatlah, Miao In, siapa itu..!" dan pangeran yang menuding serta bertepuk ke belakang tiba-tiba membuat Miao In tersirap, Kwi Bun terhuyung dan muncul di situ, mukanya babakbelur dan jelas dihajar, mengeluh dan gemetar memandang Miao In. Dan ketika pemuda itu didorong dan nyaris jatuh maka Coa-ongya berkata dingin, "Heh, jawab, Kwi-kongcu. Siapa sebenarnya di antara kalian yang merencanakan untuk membunuh aku!" "Di... dia...!" Kwi Bun menggigil. "Ampun, ongya. Aku hanya terbujuk!" "Hm, bagaimana, Miao In" Siapa jawabanmu?" "Dia itu! Bohong!" gadis itu melengking, "Kwi Bun yang membujuk, ongya, Aku hanya ikut-ikutan dan dia yang merencanakan!" "Eh, bagaimana, Kwi-kongcu" Siapa yang benar dan siapa yang bohong" Atau kau minta dikerat lagi?" "Tidak... tidak..!" pemuda ini ketakutan. "Miao In yang merencanakan, ongya. Dan aku yang dibujuk!" "Bohong! Kau..." "Diam!" Coa-ongya membentak gadis itu. "Satu per satu kalau bicara, Miao In. Biar Kwi-kongcu yang menjelaskan bagaimana kau membujuknya!" lalu memandang pemuda itu bengis bertanya pangeran ini membentak, "Katakan alasanmu, Kwi Bun. Sebutkan kenapa kau yang terbujuk dan gadis itu yang merencanakan!" "Dia hendak membalas kematian subonya. Miao In membenci paduka karena gara-gara padukalah subonya pertama terbunuh!" "Nah, dengar?" pangeran mengejek, membalik menghadapi gadis itu. "Alasan ini dapat kuterima, Miao In. Sedang kau, alasan apa yang hendak kaukatakan" Kwi Bun putera Kwi-goanswe, pembantuku. Tak mungkin mau makar kalau bukan atas bujukanmu!" Gadis ini pucat. "Dia... dia bohong, pangeran. Justeru Kwi Bunlah yang membujuk aku. Dia membalik omongan!" "Apa alasanmu?" Gadis ini menangis. "Dia.. dia..." katanya terbata-bata. "Kwi Bun cemburu kepadamu, ongya. Dia tak rela aku menjadi kekasihmu secara diam-diam!" "Apa?" "Benar. Kwi Bun marah melihat kau mencintaiku pula, pangeran. Pemuda ini sakit hati dan lalu merencanakan pembunuhan itu. Dia... dia..." "Bohong!" Kwi Bun tiba-tiba melompat, membentak gusar. "Kau memfitnah, Miao In. Kau menjebloskan aku. Ah, kau gadis siluman!" dan Kwi Bun yang menyerang dan menubruk gadis ini tibatiba melengking dan langsung menghantam, maunya membanting gadis itu namun Miao In ternyata dapat berkelit. Gadis ini menjengek dan Kwi Bun menubruk angin kosong. Dan ketika pemuda itu membalik dan mau menyerang lagi tiba-tiba Miao In mendahului dan menendangnya. "Kwi Bun, kau yang melempar omongan fitnah. Kau jahanam busuk... dess!" dan Kwi Bun yang mengeluh terlempar tinggi tiba-tiba terbanting dan berdebuk di sana, jatuh menggeliat namun pemuda ini bangun lagi, terhuyung dan memaki lawannya, bekas kekasih yang juga menjadi teman tidur Coa-ongya dan adiknya. Dan ketika Miao In menyambut dan dua orang itu segera berkelahi maka Kwi Bun jatuh bangun dihajar Miao In, ternyata masih lihai gadis itu. Maklum, Miao In adalah murid Im-kan Siang-li dan kepandaian dua nenek itu jelas lebih tinggi dibanding Kwi-goanswe, yang melatih ilmu silat pada puteranya sendiri. Dan ketika Kwi Bun terguling-guling dan jatuh oleh tamparan Miao In maka Miao In berkelebat mau membunuh pemuda ini, dengan satu totokan jari ke dahi. "Stop! Tahan itu, Yin-goanswe. Tak boleh gadis itu membunuh Kwi-kongcu!" Yin-goanswe sudah bergerak. Dia memiliki tenaga yang besar, golok-tombaknya menusuk dan tahu-tahu gadis itu mengeluh. Punggung bajunya robek dan otomatis totokannya kepada Kwi Bun tertahan. Yin-goanswe akan meneruskan gerakan tombaknya bila dia terus menyerang Kwi Bun. Dan ketika pemuda itu terhuyung bangun berdiri sementara Coa-ongya bergerak ke depan maka pangeran ini memberi tanda dan adiknya melompat maju. "Kwi Bun, alasan gadis ini dapat kuterima secara akal. Agaknya itu benar, kau yang memulai dulu!" Golok Maut Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Tidak... tidak...! Gadis itu bohong, pangeran. Sumpah demi langit bumi paduka ditipunya!" "Tapi hal itu dapat kuterima Kau cemburu!" "Ah, meskipun siluman ini paduka serahkan pada pengawal aku tak cemburu, pangeran. Iblis betina busuk yang macam begini tak perlu kucemburui!" "Keparat, kau yang menipu pangeran, Kwi Bun. Kau yang ingin menyelamatkan diri!" "Hm, begini saja. Kalian berdua kuanggap sama-sama bersalah, jadi patut menerima hukuman. Siapa yang minta hukuman paling berat kuanggap dia itu yang kurang dosanya. Hukuman apa yang ingin masing-masing kalian minta?" Dua orang itu tertegun. Tapi Kwi Bun yang maju dengan muka pucat berkata gemetar, "Aku berani memotong jariku, ongya. Siap menerima hukuman dari paduka!" "Hm, dan kau?" sang pangeran memandang Miao In. "Hukuman apa yang kaukehendaki, Miao In" Juga memotong jari?" Gadis ini pucat. Namun berkata mengedikkan kepala gadis ini menjawab, "Aku juga bersedia dipotong jari!" "Hm, bagaimana, Kwi Bun" Kau berani tambah?" "Aku... aku berani dikutungi lenganku, ongya. Aku siap dihukum!" "Ha-ha, bagaimana, Miao In" Kauberani mengimbangi?" Gadis ini terkejut. Kwi Bun yang berani dipotong lengannya jelas lebih tinggi keberaniannya dibanding dirinya, kalau ia tidak cepat-cepat mengimbangi. Maka mengangguk dan berkata melengking gadis ini menjawab, "Aku juga berani!" "Ha-ha, kalau begitu mari dibuktikan!" sang pangeran tertawa bergelak. "Pinjam golokmu, Cing-ciangkun, dan berikan masing-masing sebuah pada dua orang ini!" Cing-ciangkun, pembantu Yin-goanswe tiba-tiba melolos goloknya. Kebetulan dia punya dua buah dan cepat golok itu dilempar kepada Miao In dan Kwi Bun. Dan ketika dua orang itu pucat menerima dan masing-masing diminta memberi bukti maka Miao In maupun Kwi Bun sama-sama menggigil. Maklumlah, mereka diminta mengutungi lengan sendiri. Baik Miao In maupun Kwi Bun tiba-tiba merasa ngeri setelah diberi golok, mereka pucat membayangkan lengan yang sebentar lagi putus dari tempatnya. Namun ketika semua orang menunggu dan Kwi Bun maupun Miao In sama-sama ragu mendadak terdengar bentakan dan sinar putih berkeredep dari satu di antara dua orang itu. -ooo0dw0ooo- Jilid : X "COA-ONGYA, lihat bukti dariku... crakk!" sepotong lengan terlempar di udara, mengerikan dengan semprotan darahnya yang menyembur ke mana-mana. Semua orang menoleh dan terbelalak melihat apa yang terjadi. Dan ketika pemilik lengan itu terhuyung dan roboh ke tanah maka gemparlah semua orang melihat siapa yang melakukan itu. "Kwi Bun!" sesosok bayangan berkelebat, muncul meneriakkan kata-katanya ini. Seorang laki-laki tinggi besar muncul, itulah Kwi-goanswe alias ayah Kwi Bun. Dan ketika semua orang terkejut dan terpana oleh kejadian itu maka Kwi Bun sudah ditubruk ayahnya dan jenderal itu menangis dan membentak. "Kwi Bun, apa yang kau lakukan ini" Kau gila" Kau tidak waras?" "Ooh..!" Kwi Bun mengeluh, merintih. "Aku.. aku ingin membuktikan pada Coa-ongya bahwa aku tak bersalah, ayah. Gadis siluman itu memfitnahku dan membuat aku celaka. Tolonglah, bunuh dia dan balas sakit hatiku...!" "Siapa yang kau maksud" Miao In?" "Benar... dia... dia, ayah... Dia membuatku begini dan kau bunuhlah dia..." "Wut!" sang jenderal sudah membalik, menyambar senjatanya. "Keparat jahanam kau, Miao In. Kau mencelakakan puteraku dan bayar kutungan sebelah lengan ini!" sang jenderal menerjang, Miao In ternyata tak berani mengutungi lengannya dan sejak tadi ngeri memandang lengan Kwi Bun yang buntung di atas tanah. Lengan itu penuh darah dan menggeliat-geliat, mengerikan sekali. Tapi ketika Kwi-goanswe menyerang dan jelas kemarahan besar melanda jenderal itu maka gadis ini cepat mengelak. "Singg..!" pedang menyambar di sisi tubuhnya, luput dan Kwi-goanswe sudah menyerang lagi, membentak marah. Dan ketika gadis itu berlompatan namun di Sana Coa-ongya tersenyum dan mengangguk-angguk maka pangeran ini tiba-tiba memerintahkan agar menangkap gadis itu. "Keroyok dia, tangkap!" Yin-goanswe mengangguk. Tanpa banyak bicara lagi tiba-tiba jenderal ini melompat ke tengah, sepuluh anak buahnya juga bergerak dan segera mengeluarkan bentakan. Dan ketika Kwi-goanswe dibantu dan tentu saja Miao In terkejut maka gadis ini berteriak ketika pedang di tangan Kwi-goanswe akhirnya mengenai pundaknya, menggurat panjang dan tombak-golok di tangan Yin-goanswe akhirnya juga menusuk pinggangnya. Dan ketika dari mana-mana senjata yang lain juga menyambar dan berkelebatan maka gadis ini akhirnya roboh ketika tikaman buas dari Kwi-goanswe membabat tengkuknya. "Jangan bunuh, tangkap saja!" Kwi-goanswe kiranya masih turut perintah. Pedang yang sedianya menyerang leher tiba-tiba diturunkan sedikit, mengenai punggung dan robohlah gadis itu. Miao In menjerit dan tidak bergerak-gerak lagi. Tendangan dari Yin-goanswe juga membuatnya merintih karena tulang pahanya patah. Dan ketika gadis itu menangis dan meratap minta ampun maka Coa-ongya tibatiba tertawa bergelak menghampirinya dengan goiok di tangan. "Ha-ha, kau minta hukuman apa sekarang, Miao In" Minta dibunun atau disiksa?" "Tidak... tidak...!" gadis itu tersedu-sedu. "Ampunkan aku, pangeran. Aku.. aku bertobat dan berjanji akan melayanimu baik-baik..!" "Ha-ha, setelah terbongkar semuanya ini" Hm, tidak, Aku sekarang tahu siapa benar siapa salah, Miao In. Kau patut di-hukum siksa!" "Paduka mau apa?" "Kau minta apa?" "Ampunkan aku, ongya. Atau kau bunuhlah aku!" "Ha-ha, gampang. Aku ingin mengutungi kedua lenganmu, Miao In. Ingin kulihat bagaimana seorang gadis bakal cacad seumur hidup!" "Tidak... tidak..!" Miao In berteriak. "Kau bunuhlah aku, pangeran. Kau bunuhlah aku dan kuterima kematianku!" "Hm, begitu enak?" Coa-ongya tertawa dingin. "Sebaiknya kutanyakan adikku, Miao In. Hukuman apa yang sepantasnya kau terima lebih dulu!" "Berikan dia pada pengawal!" Ci-ongya tiba-tiba berseru. "Hadiahkan gadis ini kepada mereka, kanda. Hitung-hitung sebagai jasa mereka membantu kita!" "Ha-ha, begitukah?" Coa-ongya tertawa bergelak, memandang seratus pengawalnya. "Bagaimanakah, pengawal, kalian mau menikmati gadis ini" Siapa yang mau harap menudingkan jarinya, dan gadis ini dapat diundi!" Para pengawal tiba-tiba berteriak gembira. Mereka saling mengangkat jarinya dan dahulu-mendahului. Miao In pucat dan tentu saja mengeluh. Dan ketika semuanya rata-rata menginginkan dirinya dan Coa-ongya tertawa maka seorang yang paling buruk dipanggil. "Kau ke sini," katanya. "Dan telanjangi gadis ini di depan teman-temanmu!" Laki-laki itu girang. Dia adalah pengawal bermuka jelek, giginya keropos dan liurnya belum apa-apa sudah menetes-netes. Miao In ngeri melihat laki-laki ini, mau menolak tapi tak berdaya. Dan ketika laki-laki itu tertawa dan sudah merenggut bajunya maka suara "brat-bret" diiring pekik dan jerit Miao In, tak lama kemudian sudah telanjang dan gadis itu berdiri di depan seratus pengawal. Miao In benar-benar mengalami hinaan hebat yang tidak terobati lagi, Dan ketika Coa-ongya sudah mengadakan undian dan kebetulan laki-laki itu menjadi orang nomor satu maka di depan mata demikian banyak orang gadis cantik ini digarap. Coa-ongya memerintahkan agar yang mau tak usah membawa gadis itu ke semak-semak, terlalu lama dan biar yang lain menonton. Dan karena semuanya kebetulan laki-laki kejam dan berwatak kotor maka Miao In menjadi permainan namun baru sepuluh orang menggarapnya tiba-tiba gadis ini pingsan. Tak kuat menahan pedih dan malu gadis itu tiba-tiba tak sadarkan diri, Coa-ongya akhirnya jengkel dan menyuruh yang lain beramai-ramai menggagahi gadis itu, dalam keadaan pingsan. Dan ketika gadis itu menjadi tak keruan dan kekejaman Coa-ongya sungguh di luar batas akhirnya gadis ini dibuntungi kedua lengannya setelah pingsan dan siuman berkali-kali. Lalu tak puas oleh semuanya itu pangeran ini masih membuntungi lagi sebuah kaki gadis inL Dan ketika Miao In tak sadarkan diri dan tentu saja tersiksa akhirnya gadis ini tewas dan mayatnya ditendang begitu saja. "Hei, pemuda ini masih di sini!" Coa-ongya terkejut, melihat Sin Hauw masih di situ dengan muka berubah-ubah, Semenjak tadi pemuda ini menonton saja apa yang terjadi, jiwanya terguncang namun Sin Hauw tak berbuat apa-apa. Pemuda itu seakan dibawa ke sebuah mimpi buruk. Perkosaan dan kekejian yang dilihat di depan matanya itu hebat sekali, sayang dia kehilangan ingatan. Dan ketika Coa-ongya tertegun dan berseru perlahan tiba-tiba pangeran ini tertawa dan melangkah lebar menghampiri pemuda itu. "Ha-ha, kaupun menjadi pemuda yang sudah tidak berguna, Sin Hauw. Sebaiknya kau mampus dan menyusul gadis itu!" Sin Hauw tetap saja terbelalak. Pemuda ini seakan patung yang tidak bernyawa, diam saja ketika pangeran itu mengangkat goloknya. Golok Maut telah bergetar dan dibolak-balik oleh pangeran ini, golok itu pula yang telah membuntungi kedua lengan dan kaki Miao In, yang tersiksa secara mengerikan. Tapi ketika pangeran itu tertawa dan menggerakkan goloknya ke leher Sin Hauw tiba-tiba berkesiur angin halus dan sebuah suara lembut bergetar menahan bacokan itu, "Thian Yang Maha Agung! Kau terlalu, Coa-ongya. Sungguh keji dan ganas watakmu. Tahan, bocah ini tak boleh di-bunuh..!" golok itu tiba-tiba terlepas, sesosok bayangan bertiup dan entah bagaimana tiba-tiba pangeran ini terpelanting. Coaongya kaget ketika sesosok asap, begitu kelihatannya, muncul seperti hantu, berseru dan tahu-tahu diapun terlempar. Golok Maut yang ada di tangannya terlepas, sudah berpindah tangan, tahu-tahu di tangan bayangan itu, yang ternyata seorang kakek yang wajahnya tertutup halimun. Dan ketika Coa-ongya terguling-guling dan tentu saja kaget dan marah maka seratus pengawalnya membentak dan cepat melindungi pangeran itu, rata-rata kedodoran dengan celana terbuka separoh. "Ah," kakek ini, yang tak diketahui siapa tiba-tiba mendesah. "Kau keji, pangeran. Kau kejam. Hukum karma akan membalasmu kelak. Sayang, hawa nafsu menjadi bertumpuk dan kau akan mengalami yang lebih mengerikan dari ini." "Kau siapa?" pangeran itu membentak. "Kenapa campur tangan dan kurang ajar di sini" Serahkan golok itu kepadaku, kakek lancang. Dan enyahlah sebelum para pembantuku membunuhmu!" "Hm!" sepasang sorot cahaya tiba-tiba muncul, mengejutkan pangeran ini. "Kau mencari penyakit, Coa-ongya. Kau menciptakan permusuhan. Ketamakan dan kekejamanmu bakal menggegerkan dunia!" "Serahkan golok itu!" sang pangeran tiba-tiba berteriak. "Tangkap dia, Yin-goanswe, Tangkap dan bunuh!" Coa-ongya tiba-tiba gemetar, entah kenapa tiba-tiba roboh dan mendeprok di tanah. Dia tak tahan melihat sorot cahaya itu, yang tadi memandangnya dan menegur tajam. Sorot itu tak bicara apaapa namun pangeran ini seolah dihunjam sebuah pisau yang dingin, langsung menuju ke relung hatinya dan dia gentar. Dan ketika dia roboh dan tentu saja kaget tapi juga gentar maka Yin-goanswe diperintahkannya untuk menyerang kakek itu, menutupi mukanya dan pangeran ini tak tahan oleh sorot yang demikian menakutkan. Bertemu sorot itu seakan bertemu hantu bermata api, pangeran ini terpekik dan ketakutan, menjerit-jerit. Entah kenapa tiba-tiba menjadi histeris dan Ci-ongya, adik-nya, terkejut. Kedatangan kakek aneh ini juga membawa pengaruh menyeramkan baginya. Dia juga tergetar dan surut mundur oleh sorot cahaya itu, yang keluar dari balik halimun di atas kepala si kakek, padahal kakek itu tak memandangnya, memandang kakaknya namun getaran pengaruh gaib sudah membuatnya terdorong. Dan ketika Yin-goanswe di sana membentak dan menyerang kakek itu tiba-tiba secara aneh dan ajaib sekali jenderal itu terjungkal. "Yin-goanswe, kaupun akan menerima hasil perbuatanmu. Pergilah!" Yin-goanswe berteriak. Sorot itu tiba-tiba beralih, menerjangnya. Dan ketika dia seakan diterjang aliran listrik dan kaget serta menjerit maka sepuluh pembantunya yang lain juga terpekik dan terlempar roboh, disusul oleh teriakan-teriakan para pengawal yang entah bagaimana tiba-tiba seakan "disapu" aliran listrik ini, sebuah getaran tenaga gaib dalam ujud sorot cahaya itu. Kakek itu sendiri tidak bergerak dan hanya sepasang matanya yang bersorot luar biasa itu yang menyambut setiap serangan. Sorot ini tiba-tiba terasa panas oleh setiap orang dan mereka seolah bertemu api, membakar dan senjata yang dipegang tiba-tiba sudah menyala. Tentu saja semua orang ketakutan, gentar! Dan ketika Yin-goanswe juga terkejut karena tombakgoloknya meleleh dan cair seperti minyak panas maka Jenderal itu menjerit dan berteriak melarikan diri! Golok Maut Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Siluman...! Kakek ini siluman..!" "He, tunggu..!" Coa-ongya terkejut. "Jangan tinggalkan aku, goanswe. Tunggu!!" Sang jenderal teringat. Tanpa banyak cakap lagi dia sudah menyambar pangeran itu, Ci-ongya ganti berteriak-teriak dan ngeri. Pangeran inipun melihat apa yang hampir tak masuk akal itu, melelehnya senjata Yin-goanswe dan juga terbakarnya senjata pengawal. Seratus orang itu tiba-tiba saling berteriak ketika senjata di tangan sudah berobah, merah menyala dan tentu saja mereka kepanasan! Dan ketika semua senjata dibuang dan mereka lintang-pukang maka Kwi-goanswe sendiri sudah tak ada di situ karena sudah membawa pergi puteranya, merawat Kwi Bun dan kejadian itu benar-benar menggegerkan. Coa-ongya tak ingat lagi akan Golok Mautnya, tak perduli pada senjata itu karena kesaktian si kakek sungguh di luar dugaan. Hanya dengan sorot matanya saja mereka semua sudah dibuat jatuh bangun, senjata yang dipandang tiba-tiba terbakar! Dan ketika semua melarikan diri dan baru kali itu kejadian demikian luar biasa dialami pangeran ini maka untuk sebulan pangeran itu terkena "shock", kejutan. Rasa ngeri yang sangat dan juga takut. Sorot yang tak dapat dilupakannya seumur hidup itu terasa membawa bekas yang terlalu dalam. Sorot itu tajam dan menusuk, dingin dan seolah membawa ancaman menakutkan. Coa-ongya sering berteriak-teriak sendiri, sebulan tak berani keluar dan adiknya serta Yin-goanswe maupun yang Iain-lain juga begitu. Mereka itu masih ngeri oleh kesaktian si "Kakek Siluman", begitu julukan yang mereka berikan pada kakek yang luar biasa sakti itu. Dan ketika semuanya panas dingin dan hari demi hari dilalui dengan perasaan tercekam, takut kalau kakek itu datang lagi, ternyata tak ada apa-apa setelah ini. Kakek itu tak datang lagi menemui mereka. Perlahan tetapi pasti merekapun mulai tenang. Namun karena kejadian itu demikian mengerikan dan semuanya dicekam rasa takut yang hebat maka beberapa di antaranya jatuh sakit, tak sembuh-sembuh dan akhirnya meninggal dan banyak di antara mereka yang mengigau menyebutnyebut nama kakek ini. Mereka sering merintih dan minta ampun, beberapa di antaranya mencakar dan mencolok muka sendiri. Bayangan kakek siluman itu seakan Malaikat Maut yang bertindak sebagai jaksa, menuntut tanggung jawab mereka dalam setiap perbuatan yang sudah dilakukan. Dan ketika separoh lebih akhirnya meninggal dan yang lain terguncang oleh peristiwa itu maka Kwi-goanswe dan anaknya tiba-tiba menghilang, pergi entah ke mana dan Coa-ongya tertegun. Dia sudah mulai tenang dan dapat berpikir lebih baik, kini Yin-goanswe menjadi pembantunya paling dekat, saling pandang namun Yin-goanswe menggeleng, tanda tak tahu. Dan karena Kwigoanswe bukan orang yang perlu ditakuti dan hari-hari dilewati lebih tenang maka Coa-ongya akhirnya tak acuh dan juga tidak perduli. Peristiwa itu lama-lama hilang. Coa-ongya mulai lupa pada persoalan itu dan kehidupan berjalan seperti biasa. Dan ketika sepuluh atau sebelas tahun kemudian pangeran ini benar-benar lupa dan menganggap Sin Hauw meninggal atau paling tidak sudah menjadi manusia tak berguna karena hilang ingatannya maka sungguh mengagetkan kalau tiba-tiba Golok Maut muncul, nama yang menggegerkan dunia kang-ouw dan tempat pangeran itu telah disatroni. Coa-ongya pucat dan tertegun, tiba-tiba ingatan melayang pada peristiwa belasan tahun yang lalu, terkejut dan tentu saja panik. Namun ketika Golok Maut akhirnya pergi dan istana dibuat kalang-kabut maka pangeran ini bertanya-tanya siapakah sebenarnya laki-laki bercaping itu. Sin Hauwkah" Atau bukan" Dan karena ini juga masih merupakan teka-teki mengingat Sin Hauw sudah dibuat hilang ingatannya dan bahkan kepandaiannya sendiripun pemuda itu telah lupa maka pangeran ini berdebar dan teringat bayangan si "kakek siluman". ooooo0de0wi0ooooo "Anak muda, kau bikin apa?" Pemuda di atas makam itu terkejut. Dia sejak tadi tepekur di sini, berjam-jam duduk bersila dengan pandangan kosong. Matanya menunduk, menghela napas dan berulang-ulang mengerot gigi. Teguran yang tiba-tiba didengarnya tanpa diketahui kapan datangnya tiba-tiba membuat pemuda atau laki-laki ini terkejut. Dia menoleh dan seorang kakek tahu-tahu berdiri di sebelah kirinya, laki-laki atau pemuda ini melompat kaget. Dan ketika mereka berdiri berhadapan dan kakek itu tersenyum maka dia mengangguk-angguk dan mendesah, "Aih, kau kiranya si Golok Maut! Hm, apa yang kau lakukan, anak muda" Kenapa tepekur di tempat ini" Bukankah itu makam Sin-liong Hap Bu Kok dan isterinya?" "Kau siapa?" "Ah, kau belum menjawab pertanyaanku. Sebutkan dulu apakah kau si Golok Maut yang menggegerkan dunia itu!" "Hm, aku enggan memperkenalkan diri, orang tua. Tapi kalau kau sudah mengenalku maka tak perlu aku bicara lagi." "Ha-ha, pongah tapi berwibawa. Eh, terus terang aku belum mengenalmu, anak muda. Tapi capingmu itu memberi isyarat bahwa kau si Golok Maut. Benarkah" Tak perlu takut, aku bukan musuh!" Pemuda bercaping lebar ini mendengus. Dia mengangkat wajahnya sedikit dan tampaklah kilatan matanya yang bercahaya, masih tidak memperlihatkan semua mukanya namun sudah cukup membuat si kakek tergetar. Pandang mata itu berkilat seperti mata seekor naga, menyambarkan sesorot cahaya yang membuat orang terkejut. Tanpa dibekali tenaga batin yang tinggi tentu dia sudah surut mundur, pandangan itu membuat orang merasa ngeri, belum apa-apa sudah merasa gentar! Tapi ketika kakek ini tertawa dan mengangguk mengerahkan kekuatan batinnya maka dia dapat menahan dan berani mengadu mata, hal yang membuat lawan terkejut dan tertegun. "Hm, kau benar," akhirnya suara itu keluar, lambat-lambat dan lirih. "Aku adalah si Golok Maut. Kau ada keperluan apa di sini?" "Eh, seharusnya yang bertanya begitu adalah aku, Golok Maut. Aku justeru heran dan ingin bertanya kenapa kau berada di sini, di tempat makam sahabatku!" "Kau siapa?" si Golok Maut tampak terkejut, mengerutkan kening. "Seingatku Sin-liong Hap Bu Kok tak mempunyai sahabat!" "Ha-ha, kau salah. Aku Fen-ho Lojin (Orang Tua Dari Fen-ho), Golok Maut. Sahabat baik si Naga Sakti pada dua puluh enam tahun yang lalu!" "Fen-ho Lo-jin?" "Ya, kau pernah mendengar namaku" Atau kau belum lahir?" "Hm, saat itu aku sudah ada di muka bumi, orang tua. Dan namamu terus terang kuingat sekarang. Suhuku pernah bercerita tentangmu, tapi kau dinyatakan telah mati!" "Ha-ha, gurumu" Jadi kau murid si Naga Sakti Hap Bu Kok" Eh, jangan mengaku-aku, anak muda. Seingatku belum pernah sahabatku itu mempunyai murid, baik dia maupun isterinya!" "Dan aku juga tak percaya bahwa kau adalah Fen-ho Lojin. Sahabat guruku itu telah tewas!" "Ha-ha, kalau begitu kita sama-sama tak percaya, anak muda. Aku juga tak percaya bahwa kau adalah murid sahabatku. Sahabatku itu tak pernah punya murid. Cobalah ini, mari main-main sebentar.. wut!" dan si kakek yang tiba-tiba berkelebat dan menghilang ke depan tahu-tahu melakukan tamparan di mana angin pukulannya bersiut panas, kelima jarinya sudah dekat di hidung si Golok Maut dan Golok Maut terkejut. Gerak yang begitu luar biasa cepat dari si kakek membuat dia membentak, mengelak namun tangan yang lain dari si kakek tahu-tahu bergerak juga, menghantam dari kanan. Dan ketika apa boleh buat dia terpaksa menangkis dan menggerakkan kedua lengannya ke kiri kanan maka dua tenaga dahsyat menggetarkan tempat itu. "Duk-plak!" Si kakek dan Golok Maut sama-sama terdorong. Kakek itu berteriak keras dan penasaran, rupanya terkejut dan marah. Tapi ketika ia membentak lagi dan terbelalak memandang lawannya tiba-tiba kakek itu sudah berkelebatan dan kaki tangannya bergerak menyambarnyambar, cepat dan kuat bagai elang atau rajawali dan si Golok Maut harus mengelak ke sana-sini. Si kakek menambah kecepatannya dan akhirnya menghilang, yang tampak hanya bayangan tubuhnya yang berseliweran naik turun, Golok Maut terkejut dan apa boleh buat kembali ia menangkis. Dan ketika si kakek rupanya menambah tenaga dan Golok Maut juga mengerahkan sinkangnya maka dua orang itu terpental ketika mereka sama-sama berseru kaget, "Duk-plak!" dua orang itu terpelanting. Si Golok Maut terguling-guling ke kiri sementara kakek itu terbanting bergulingan ke kanan, Dua-duanya terkejut berseru keras. Namun ketika si kakek meloncat bangun dan tertawa bergelak tiba-tiba kakek itu berseru gembira, "Bagus, coba keluarkan semua kepandaianmu, Golok Maut, Coba kulihat ilmu-ilmu dari mendiang gurumu!" Golok Maut terkejut. Sebenarnya dia enggan berkelahi, melihat mereka tak mempunyai permusuhan. Kakek ini datang dan menyatakan sebagai sahabat gurunya pula, jadi bukan lawan melainkan kawan. Tapi karena si kakek sudah mendesak dan tiba-tiba tubuh yang ringan itu berkelebatan menyambar-nyambar tiba-tiba si kakek sudah mengeluarkan semua kepandaiannya dan tamparan atau pukulan berhawa panas menyambar dari mana-mana, kian lama kian panas dan tiba-tiba bajunya hangus terbakar! Dan ketika Golok Maut harus mengerahkan sinkang dan berseru keras maka diapun melayani dan tiba-tiba tubuhnyapun lenyap mengikuti gerakan si kakek lihai. "Bagus, mari kita main-main sebentar, Fen-ho Lojin. Dan tunjukkan bahwa kau pantas menjadi sahabat mendiang guruku!" "Ha-ha, tentu, anak muda. Dan aku juga ingin mengetahui apakah ilmu-ilmu dari Sin-liong Hap Bu Kok benar-benar kau punyai!" Dua orang itu sudah bertanding cepat. Tiba-tiba tanpa dapat dicegah lagi keduanya mengerahkan semua ilmunya, pukulan sinar emas mulai meluncur dari tangan Si Golok Maut dan kakek itu berseru tertahan. Rupanya dia juga mengenai ilmu pukulan ini, Kim-kong-ciang. Dan ketika Golok Maut membentak dan mendorong serta menarik kedua lengannya dengan cepat melakukan pukulan-pukulan berbahaya maka kakek itu terkejut dan terbeliak. "Sin-eng-kun (Silat Garuda Sakti)! Aih, ini Sin-eng-hian-jiauw (Garuda Sakti Mengulur Cakar)..!" Golok Maut kagum. Memang dia mainkan Sin-eng-kun dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya melakukan pukulan-pukulan Kimkong-ciang (Pukulan Sinar Emas). Dan ketika si kakek dapat mengenai jurus-jurusnya dan menyebut satu di antara silat Garuda Saktinya maka kepercayaan mulai tertanam di hati Si Golok Maut namun dia terus menghadapi lawannya itu, tak berhenti dan masing-masing rupanya sama penasaran. Mereka mempercepat gerakan dan juga tenaga, pukulan mulai menderu-deru dan baik Golok Maut maupun lawan mulai sering terhuyung. Dan ketika pertandingan berjalan semakin cepat dan kakek itu mulai berkeringat maka kakek ini berseru kagum memuji berulang-ulang, "Hebat, benar-benar hebat kau, anak muda. Tak salah lagi ini adalah ilmu-ilmu gurumu, juga Hwa-liong Lo-kai (Pengemis Naga Kembang). Eh, apa hubunganmu dengan Hwa-liong Lo-kai, Golok Maut" Bukankah ia juga tak mempunyai murid?" "Hm," Golok Maut memuji juga lawannya. "Kau juga hebat, orang tua. Dan aku mulai percaya bahwa kau adalah sahabat mendiang guruku. Hwa-liong Lo-kai juga guruku, beliau guru pertama yang banyak menghutangkan jasa." "Ha-ha, tapi golok mautmu belum kau keluarkan. Eh, keluarkan senjatamu itu, anak muda. Hayo kulihat dan biar semakin yakin hatiku!" Golok Maut ragu-ragu. Mengeluarkan goloknya berarti pembunuhan. Goloknya itu amat haus darah dan akhirakhir ini sering tak mau dimasukkan sarungnya kalau belum menghisap darah, sekecil apapun. Maka menggeleng dan tersenyum pahit dia menolak. "Tidak, aku tak mau mengeluarkan senjataku, orang tua. Kau bilang ini hanya main-main dan tak usah berkelahi lagi. Berhentilah!" "Ha-ha, berhenti sebelum salah seorang roboh" Tidak, aku penasaran, anak muda. Lebih baik kaucabut golokmu itu atau kau roboh.. siutt!" si kakek tiba-tiba mencabut gelang hitam, gelang berganda di mana senjata ini tiba-tiba menyambar ke muka Si Golok Maut. Golok Maut terkejut dan tentu saja mengelak. Namun ketika tangan kiri kakek itu juga mencabut gelang yang lain dan sepasang gelang mengejar dan sudah memburunya maka Golok Maut terkejut dan menangkis. "Plak-plak!" Sesuatu yang luar biasa terjadi. Gelang yang ditangkis bukannya terpental melainkan malah melejit, cepat menuju bawah leher Golok Maut dan laki-laki bercaping ini terkejut. Dia menangkis tapi gelang semakin gila mengejar, melejit dan sudah menyambar matanya. Dan karena sepasang gelang itu bersiut aneh dan tiba-tiba mendengung bagai manapun dia menangkis maka sebuah di antaranya mengenai pundaknya dan sebuah lagi yang lain menghantam tengkuknya. "Des-dess!" Golok Maut terkesiap. Sekarang lawan terbahak-bahak Golok Maut Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo dan dia tiba-tiba didesak, gelang selalu melejit setiap ditangkis, hebat sekali. Dan ketika dia jadi bingung karena menangkis berarti salah maka kakek itu terbahak mengejek padanya, "Nah, keluarkan golokmu, Golok Maut. Jangan sungkan atau kepalamu kupecah-kan... dess!" kepala Golok Maut benar-benar terkena serangan, mencelat dan terlempar bergulingan dan pemuda itu mengeluh. Gelang serasa berobah menjadi palu yang berat menghantam kepalanya, tulang berbunyi keras dan kalau bukan dia barangkali kepala sudah benar-benar pecah! Dan ketika Golok Maut bergulingan dan kakek itu mengejar maka Golok Maut menggeram dan apa boleh buat berseru keras, "Baik, hati-hati, kakek lihai. Aku terpaksa mengeluarkan senjataku dan hati-hatilah..!" kakek itu tertawa, tak menghiraukan seruan lawan dan dia terus mendesak. Setelah mencabut gelang bergandanya tiba-tiba Fen-ho Lojin ini menjadi semakin lihai. Dia berkelebatan dan mengejar Golok Maut yang sedang bergulingan. Lawannya itu tak diberi kesempatan untuk bangun, gelang terus berkelebat dan menyerang lawannya, menghajar sekali lagi tubuh lawannya itu namun Golok Maut mengerahkan sinkang, menahan. Dan ketika kakek itu terbahak dan gelang di tangannya sudah berobah menjadi benda berbahaya yang bertubi-tubi menuju tubuh lawannya maka saat itulah tampak sinar berkeredep dan sekilat cahaya keluar dari balik punggung Si Golok Maut. "Cring-plak-dess!" Kakek itu berteriak tertahan. Gelang di tangan kanannya tiba-tiba putus, terbabat oleh sinar yang menyilaukan mata itu. Dan ketika dia terpekik dan berseru kaget maka Golok Maut sudah melompat bangun dan menendangnya, ditangkis dengan sepasang gelang yang lain namun lawan menampar. Sinar menyilaukan itu bergerak lagi dari atas ke bawah. Dan ketika dia berkelit namun cahaya itu masih terus mengejarnya maka kakek ini menimpukkan gelang di tangan kirinya namun senjata itu tiba-tiba putus juga. "Cranggg...!" Kakek ini membanting tubuh bergulingan. Dia sudah berusaha menjauhi sinar yang mengejutkan itu, kaget melihat senjatanya putus namun sinar itu masih mendahuluinya juga. Dan ketika ia bergulingan namun pundak terasa perih maka kakek ini tertegun melihat pundaknya sudah tergurat, meloncat bangun. "Siluman, ilmu kepandaianmu benar-benar iblis, Golok Maut. Dan senjatamu itu luar biasa..!" kakek ini tertegun, melihat Golok Maut sudah berdiri di depannya namun sinar atau cahaya menyilaukan itu sudah tak ada lagi. Di balik punggung Si Golok Maut tampak gagang sebatang golok tersembul sedikit, lawan telah mengembalikan senjata itu setelah "menghirup" sedikit darah di pundaknya. Dan ketika kakek itu gemetar dan pucat memandang lawan maka Golok Maut menjura. "Fen-ho Lojin, kau juga hebat. Kau ternyata benar sahabat guruku. Bukankah yang kau mainkan itu adalah Sin-goat-goan-kun (Silat Gelang Bulan Sakti)" Aku sudah mendengar tentang ini, dan aku menyatakan kagum!" Kakek itu menggigil. "Setan, ilmu golok macam apa yang kaumainkan tadi, anak muda" Bukankah seingatku Sin-liong Hap Bu Kok tak memiliki ilmu golok?" "Hm, mendiang suhuku telah menciptakan ilmu goloknya, Lojin, ilmu terbaru namun sayang tak dapat dipakai lama. Aku mewarisinya dan itulah ilmunya terakhir tadi." "Hebat, dan kau telah mengalahkan aku!" "Hm, kelebihan golokku yang membuat aku memperoleh kemenangan, Lojin. Tapi tanpa golok ini barangkali kau yang menang." "Tidak, silat golokmu juga hebat, anak muda. Terus terang aku mengaku kalah!" "Terima kasih, kau telah memberikan pujian untukku." dan Si Golok Maut yang menjura dan kembali membungkuk di depan kakek itu tiba-tiba dikejutkan seruan nyaring dan berkelebatnya seorang gadis. "Suhu, siapa ini" Kau habis bertempur?" "Ha-ha, kau Siang In" Baru datang" Hei, ketahuilah, inilah Si Golok Maut yang baru saja mengalahkan gurumu!" Si Golok Maut tertegun. Seorang gadis berwajah cantik tahu-tahu muncul di situ, wajahnya seperti bulan dan rambutnya dikepang dua, manis menjuntai di kiri kanan kepalanya. Dan ketika gadis itu juga tertegun karena Golok Maut tak menampakkan seluruh mukanya maka dua orang itu terkesima dengan perasaan berguncang, heran dan aneh tiba-tiba jantung Si Golok Maut berdetak! "Suhu, ini Si Golok Maut" Dia mengalahkan dirimu?" "Benar, dan sepasang gelangku putus semua, Siang In. Golok Maut betul-betul hebat dan dia amat lihai!" "Keparat, kalau begitu dia harus dihajar. Biar aku yang membalaskan sakit hatimu dn kuminta tukar senjatamu yang dirusak!" dan gadis ini yang tiba-tiba menerjang dan berseru nyaring tibatiba sudah membentak dan menyerang Si Golok Maut, tidak banyak cakap lagi dan tubuh yang berkelebat seperti walet menyambar itu tahu-tahu sudah melakukan tamparan. Gerakannya sama cepat dengan sang suhu, Golok Maut mengelak namun bayangan gadis itu mengejar. Dan ketika dia mengelak namun tetap dibayangi maka apa boleh buat Golok Maut menangkis dan gadis itu menjerit. "Aduh..!" Ternyata gadis ini terpental. Dalam tangkisan tadi dia merasa tangannya sakit, gadis ini membentak lagi namun tidak mundur. Tangkisan Golok Maut dianggapnya hinaan dan gadis itu marah. Dan ketika dia melengking-lengking dan menyambarnyambar bagai walet kesetanan maka Golok Maut terdesak dan entah mengapa tiba-tiba tidak berani menangkis lagi, takut mendengar jeritan si gadis! "Hei, tahan, Siang In. Jangan menyerang!" si kakek, Fen-ho Lojin berteriak. Kakek ini mencegah namun sang murid tak mau dengar. Siang In berkelebatan dan marah menyambar-nyambar, teriakan sang suhu bahkan membuatnya beringas seolah harimau diganggu anaknya. Dan ketika Golok Maut terus berlompatan mengelak dan tentu saja kian lama juga kian cepat karena mengimbangi gadis itu maka Siang In melengking-lengking karena tak sebuah pun dari serangannnya mengenai sasaran. "Keparat, jangan mengelak saja, Golok Maut. Ayo balas dan kauserang aku!" "Hm," Golok Maut bingung. "Aku tak bermusuhan denganmu, nona. Sebaiknya tahan dan hentikan serangan-seranganmu." "Pengecut! Kau tak berani membalas" Baik, aku akan menyerangmu, Golok Maut, terus sampai kau atau aku roboh!" dan Siang In yang tak memperdulikan gurunya lagi dan terus berkelebatan menyambar-nyambar akhirnya mencabut gelang dan mainkan senjata itu seperti suhunya, tak mau sudah dan sang suhu berseru marah. Gadis itu tak mau berhenti dan terus menyerang Si Golok Maut, yang kini mulai terkena satu dua sambaran gelang karena gadis itu seakan harimau yang tumbuh sayapnya, Dengan gelang-berganda di tangan sungguh gadis ini seperti Fenho Lojin sendiri, kian lihai dan kian hebat. Tapi ketika gadis itu mulai mendesak lawannya dan Golok Maut bingung menerima satu serangan lagi tiba-tiba Fen-ho Lojin berkelebat dan membentak muridnya itu. "Siang In, berhenti.. plak!" kebutan ujung baju Fen-ho Lojin mementalkan gelang, mengejutkan sang murid dan Siang In berteriak keras terpelanting ke belakang. Gurunya marah dan menangkisnya dengan keras. Dan ketika gadis itu berjungkir balik dan terkejut memandang gurunya maka kakek itu memaki, "Siang In, Golok Maut bukan musuh. Dia justeru kawan bukannya lawan!" "Tapi gelangmu dirusaknya! Bagaimana bukan musuh kalau kurang ajar begini" Tidak, kau minggirlah, suhu. Biar aku merobohkannya atau dia yang merobohkan aku!" Siang In mau menyerang lagi, mengira gurunya main-main karena tak mungkin lawan yang sudah merusak senjata dianggap kawan. Tapi ketika dia mau bergerak namun sang suhu sudah menangkap lengannya maka kakek ini berseru, "Tidak, kau yang salah, Siang In. Tadi kami main-main dan hanya menguji kepandaian. Kau tahanlah dan jangan seperti siluman kehilangan anak!" lalu melihat muridnya melotot karena dianggap seperti siluman kehilangan anak kakek ini tertawa melanjutkan, "Dengar, Golok Maut ternyata murid sahabat gurumu, Siang In, mendiang Sin-liong Hap Bu Kok yang sudah almarhum. Eh, kau harus minta maaf karena kekasaranmu tadi!" Gadis ini tertegun. "Suhu tidak main-main?" "Eh, siapa main-main" Aku serius, bocah. Hayo minta maaf dan simpan senjatamu!" Gadis itu tersipu. Tiba-tiba mukanya menjadi merah dan malu, lawan yang disangka musuh kiranya bukan musuh, bahkan murid sahabat gurunya, yang sudah almarhum. Tapi ketika dia menyimpan senjatanya dan mau meminta maaf tiba-tiba Golok Maut mendahului, mencegah, "Tidak, tak perlu, nona. Aku tak marah, justeru aku kagum padamu karena pembelaanmu terhadap gurumu ini. Kita hanya sedikit berselisih faham, tak apa dan tak usah minta maaf!" Siang In bengong. Si Golok Maut membungkuk dan tersenyum padanya, wajah di balik caping itu tiba-tiba kelihatan sedikit jelas dan gadis ini berdetak. Sekilas terlihat wajah yang tampan dan gagah, wajah yang gagah namun dingin, mencoba tersenyum tapi tetap saja wajah yang dingin itu tak dapat disembunyikan. Gadis ini melihat wajah yang dingin seperti es, yang sekilas telah dicoba cairkan dalam wujud senyum itu. Tapi ketika wajah itu terangkat kembali dan sudah tertutupi caping lebar maka Siang In terkejut dan sadar, gugup. "Eh, maaf. Suhu telah menyuruhku, Golok Maut, tak mungkin aku mengabaikannya. Terimalah maaf atas seranganku tadi!" "Ha-ha, tak perlu ditolak!" sang kakek berseru, gembira. "Ini sudah menjadi adatku, Golok Maut. Murid tak boleh membantah gurunya dan kau terimalah maafnya!" Golok Maut tersipu. "Baiklah," suara itu agak bergetar. "Tak apa, Fen-ho Lojin. Dan maaf pula atas seranganku tadi." "Ha-ha, tak apa. Sekarang kita dapat berkenalan lebih baik dan kau kenalkanlah muridku ini. Namanya Siang In!" Golok Maut mengangguk. Sekali lagi senyum itu terlihat dan Siang In bengong. Senyum yang gagah namun dingin itu rupanya tak dapat dihapus, sudah menjadi ciri khas Si Golok Maut ini. Dan ketika gurunya tertawa dan melepas tangannya maka gadis ini berdebar ketika dua mata mereka kembali beradu. "Golok Maut, aku ingin sembahyang di makam sahabatku. Yang manakah kuburan Si Naga Sakti?" "Ini," Golok Maut menunjuk. "Dan itu isterinya, Lojin. Suboku Cheng-giok Sian-li." "Baiklah, biar aku sembahyang dulu!" dan si kakek yang mengeluarkan hio (du-pa) dan tiba-tiba menyalakannya dengan sekali tiupan mulut mendadak sudah melangkah lebar ke makam sebelah kiri, mengerling sekejap ke kanan dan segeralah kakek itu berkemak-kemik membaca doa, hio diangkat berkali-kali di atas kepalanya, sebagai tanda hormat. Dan ketika semuanya selesai dan dia bertanya apakah makam di sebelahnya itu milik Chen-giok Sian-li maka kakek inipun sudah berpindah dan sembahyang di makam itu, berkemak-kemik dan tak lama kemudian iapun sudah selesai. Tak ada setengah jam kakek itu menekuri makam kedua suami isteri itu. Dan ketika dia menarik napas dan menyuruh muridnya juga sembahyang maka Siang In semburat merah mengikuti perintah gurunya. Tak lama kemudian semuanya selesai dan Golok Maut memandang sejak tadi. Pandang matanya banyak mengawasi murid Fen-ho Lojin itu, yang dipandang agaknya merasa dan Siang In mengerling, Dan ketika lirik matanya bertemu dengan pandangan Si Golok Maut maka laki-laki itu melempar pandang ke samping dan batukbatuk. "Nah, selesai," si kakek tak mengetahui lirikan yang muda-muda. "Terima kasih, Golok Maut. Tapi coba ceritakan padaku bagaimana mereka berdua ini bisa tewas. Siapa yang membunuh dan kapan terjadinya itu!" "Hm," Si Golok Maut muram. "Suhu dan subo tewas sudah lama, Lojin. Dua puluh tahun yang lampau. Tak ada yang membunuh, mereka tewas karena... karena bertempur sendiri." "Heh?" "Benar.." muka yang tertutup caping itu menunduk. "Mereka bertempur satu sama lain, Lojin. Dan mereka akhirnya sama-sama tewas." "Celaka. Apa yang menyebabkan begitu?" "Hm, aku tak ingin mengenang itu, Lojin. Maaf aku tak mau menjawab!" Si kakek tertegun. Fen-ho Lojin rupanya marah, melotot dan mau mendesak. Tapi ketika dia ingat bahwa masalah itu mungkin menusuk perasaan Si Golok Maut ini maka kakek itu menahan diri dan mengangguk-angguk. "Baiklah, kalau begitu coba ceritakan padaku tentang Hwa-liong Lo-kai, Golok Maut. Dan apakah dia juga sudah tewas pula!" "Benar, guruku inipun sudah tewas, bahkan dia lebih dulu. Tapi makamnya ada di atas sana." "Hm, siapa yang membunuh?" "Dia meninggal karena sakit," Golok Maut berbohong. "Dan tak perlu kiranya aku bercerita panjang lebar." Kakek ini melotot. Golok Maut sudah mendahuluinya dengan kata-kata seperti itu, rupanya tahu bahwa dia akan banyak bertanya dan sebelumnya distop dulu, kakek ini gemas namun juga tak dapat berbuat apa-apa kembali. Dan ketika dia bersinar-sinar memandang lawan bicaranya itu dan mau bertanya siapakah nama pemuda ini ternyata muridnya mendahului, "Maaf, siapakah namamu, Golok Maut" Bukankah kau punya nama?" "Hm, aku tak tahu namaku, nona. Nama itu sudah terkubur bersama kedua guruku. Nama tak mempunyai arti, orang telah memanggilku Si Golok Maut!" "Begitu sombong?" Siang In marah. "Kau terlalu, Golok Maut. Namapun tak sudi kau perkenalkan kepada sahabat gurumu. Apakah mereka memesannya demikian?" "Barangkali, aku lupa," jawaban ini acuh, sama sekali tak perduli dan tiba-tiba sikap dingin itu kembali timbul. Siang In melotot dan mau marah lagi, tapi ketika gurunya batuk-batuk dan memegang lengan muridnya itu ternyata Fen-ho Lojin mendahului, "Sudahlah, cukup kiranya, Siang In. Golok Maut dikenal pendiam dan adalah sebuah kehormatan kalau kali ini dia bicara banyak. Mari kita pergi, urusan kita sudah selesai!" Golok Maut memandang kakek ini. Setelah Fen-ho Lojin mau mengajak muridnya pergi dan Siang In mengangguk Golok Maut Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo tiba-tiba Golok Maut tampak tertegun, mengangkat mukanya dan guru serta murid itu dipandangnya sejenak. Dan ketika kakek itu mengebutkan lengan bajunya dan berpamit pergi tiba-tiba Golok Maut mengangkat tangannya. "Nanti dulu. Bolehkah aku tahu ke mana kau selama ini, Lojin" Kenapa tak pernah muncul hingga guruku menganggapmu tiada lagi?" "Ha-ha, perlukah kau tahu" Aku pergi keluar Tionggoan, Golok Maut. Dan terus terang aku mendongkol karena pernah dikalahkan dua gurumu!" Kisah Para Naga Di Pusaran Badai 2 5 Pahlawan Dan Kaisar Karya Zhang Fu Han Bu Kong 6

Cari Blog Ini