Ceritasilat Novel Online

Golok Maut 5

Golok Maut Karya Batara Bagian 5 Namun ketika jala mulai dilepas dan semua orang berteriak-teriak maka Sin Hauw bingung sementara kepalanya semakin berat berputar-putar. "Terkutuk kalian. Pengecut!" Semua orang marah. Mereka tak menghiraukan makian Sin Hauw karena sudah menyebar jala. Semua takut menghadapi ketajaman golok. Sin Hauw sebenarnya sudah gemetar dan diharap roboh, pemuda ini memang hampir tak kuat karena perutnya mendidih. Isi perutnya itu seakan terbakar dan hanya berkat pengerahan sinkangnya sajalah dia dapat menahan semuanya itu. Dan ketika jala menyambar dari segala penjuru dan mau tak mau Sin Hauw harus menggerakkan goloknya maka semua jala dibabat dan dua di antaranya putus. "Crat-tas!" Kak-busu dan Lutung Putih memaki. Merekalah yang putus jalanya namun sudah mengambil lagi, yang baru, melempar dan mengincar bagian bawah Sin Hauw. Dan karena dari mana-mana berhamburan jala-jala lebar dan Sin Hauw sibuk akhirnya sebuah di antaranya mengenai kakinya. Kebetulan sekali dari nenek Im-kan Sian-li yang memandang penuh kebencian kepada pemuda ini. Sin Hauw terjirat dan ditarik roboh. Dan ketika pemuda itu terguling dan nenek itu berteriak agar merampas goloknya maka Kak-busu dan Pek-wan sudah melakukan itu, tanpa diperintah dua kali. "Bret-dess!" Sin Hauw masih melakukan kejutan. Dihantam dan dipukul terguling-guling oleh serangan Im-kan Siang-ii dia masih juga dapat menggerakkan goloknya, Pek-wan terkesiap karena golok menyambar dirinya, membabat pundak dan hampir saja dia terbabat, baju pundaknya sobek dan Lutung Putih itu melempar tubuh bergulingan, Kak-busu mendapat tendangan Sin Hauw namun Im-kan Sian-li sudah melepas jarum-jarum kecil, tiga menancap di tubuh Sin Hauw namun runtuh, kiranya Sin Hauw masih kebal dan kuat sinkangnya, mampu menahan sambitan jarum dan pemuda itu tak apa-apa. Tapi ketika pengawal mengeroyok dan maju lagi maka Sin Hauw terhuyung-huyung dan akhirnya satu tendangan Im-kan Sian-li melempar tubuhnya, terguling-guling dan Kwi-goanswe maju menggerakkan jala. Dan ketika jala mengenai pinggang Sin Hauw dan pemuda itu terlilit maka jenderal ini menarik dan Sin Hauw roboh. "Brukk!" Semua orang bernafsu sekali. Sin Hauw seolah ikan gemuk yang siap disantap, ditubruk dan beberapa jala menyambar lagi, Sin Hauw mengeluh karena kepalanya terputar-putar, tak kuat dia. Maka ketika jala berhamburan menjerat tubuhnya dan Sin Hauw kali ini tak mampu mengelak maka pemuda itu tertangkap dan goloknya ditendang nenek Im-kan Sian-li. "Des-plak!" lepaslah golok itu, terlempar dari tangan Sin Hauw dan nenek Im-kan Sian-li berseru girang. Nenek itu berjungkir balik merampas golok. Tapi ketika dari kiri dan kanan berkelebat bayangan Lutung Putih dan Kak-busu serta Kwi-goanswe ternyata empat orang itu berebut golok. "Serahkan padaku!" "Tidak, ini milikku..!" dan Im-kan Sian-li yang membentak menerima pukulan Lutung Putih tiba-tiba menendang dan marah memaki temannya itu, menyambar golok namun gagal. Kak-busu menendang dan golok pun mencelat lagi, tinggi ke udara. Dan ketika Kak-busu berjungkir balik namun Kwi-goanswe berkelebat disampingnya maka golok itu telah didahului dan berpindah tangan. "Hei..!" Lutung Putih berteriak. "Serahkan kepadaku, goanswe. Nanti Im-kan Sianli merampasnya darimu!" Benar saja. Nenek itu, yang marah digagalkan Pek-wan melengking tinggi. Sin Hauw yang roboh tiba-tiba mereka lupakan karena tercurah pada golok. Senjata luar biasa itu telah menarik perhatian mereka dan melupakan segalanya, Kwi-goanswe ditampar dan jenderal itu terkejut, golok terlepas dan mencelat lagi dari tangannya. Dan ketika golok terlempar dan mencelat ke udara maka Lutung Putih berseru keras mendahului Im-kan Sian-li. "Plak-dess!" Nenek itu ternyata tak mau mengalah. Lutung Putih yang mengacau dihantam dari samping, golok mencelat lagi dan Lutung Putih terpental di udara. Dan ketika Im-kan Sian-li tertawa dan menyambar golok maka golok sudah berada di tangannya tapi celaka sekali Kak-busu menyerangnya. "Lepaskan, nenek siluman. Berikan itu padaku!" Nenek ini terkejut. Saat itu mereka jadi berebut sendiri, kawan menjadi lawan dan Coa-ongya terbelalak. Golok masih terus berpindah tangan dan terlempar di udara, masing-masing menghendaki senjata itu dan tak ada yang mau mengalah. Mereka melupakan Sin Hauw dan pengawal pun tertegun. Apa yang terjadi memang di luar dugaan dan semua mendelong. Tapi ketika nenek itu menangkis pukulan Kak-busu dan Pek-wan serta Kwigoanswe berkelebat bersamaan maka golok terlepas dari tangan nenek itu dan Coaongya maju membentak, "Berhenti.. tringg!" Golok jatuh ke lantai. Sekarang semua orang berhenti karena terkejut mendengar bentakan pangeran. Coa-ongya marah sekali karena para pembantunya bertengkar. Dan ketika tak ada satupun yang berani memungut golok karena pangeran sudah maju dengan muka merah maka pangeran itu mengambil golok ini. "Semua tak boleh berkelahi. Hentikan perselisihan ini!" Aneh, semua melotot memandang golok yang dipungut pangeran itu. Pek-wan dan Im-kan Sian-li saling pandang, mereka rupanya tak rela golok itu diambil Co-ongya. Maka begitu mengangguk dan melompat maju tiba-tiba keduanya berseru, "Pangeran, berikan golok itu kepada hamba!" "Tidak, hamba yang lebih berhak, pangeran. Hamba yang merobohkan pemuda itu!" im-kan Sian-li protes, merasa dialah yang merobohkan Sin Hauw namun Ki-goanswe melompat maju. Dan ketika dua orang itu melotot sementara pangeran sendiri marah memandang keduanya maka Kwi-goanswe berseru bahwa dialah yang lebih pantas. "Tidak. mereka tak berhak, pangeran. Akulah yang menggubat pinggangnya hingga bocah itu roboh. Kalau tak kulilit pinggangnya tadi tentu mereka ini tak dapat merobohkan pemuda itu!" Coa-ongya mendelik. Setelah Kwi-goa-swe sendiri turut berebut dan berani bicara maka pangeran itu menghadapi ketiganya. Dan ketika semua terkejut karena mata pangeran berapi-api maka pangeran itu membentak dengan sikap gusar, "Kalian ini siapakah berani bicara seperti itu" Tidakkah kalian tahu bahwa kalian adalah pembantupembantuku" Atau kalian mau memberontak?" Semua orang kuncup. Setelah pangeran membentak dan berkata seperti itu tiba-tiba saja semua orang tak berani bercuit, Coa-ongya marah-marah dan mereka melihat pengawal bergerak maju, rupanya mereka mau melindungi pangeran dan tentu saja memusuhi mereka, hal yg tidak menguntungkan. Dan ketika Kwi-goanswe ditatap tajam dan menunduk serta membungkuk maka Lutung Putih dan Im-kan Sian-li juga melipat punggung. "Maaf, pangeran. Kami lupa." "Nah, begitu. Lihat pemuda itu, Sian-li. Kenapa harus ribut dan bermusuhan sendiri" Bukankah Sin Hauw masih harus dibereskan" Tangkap pemuda itu, dan jebloskan ke penjara bawah tanah!" Kwi-goanswe terkejut. "Tidak dibunuh, pangeran" Masih dibiarkan hidup dan dipenjarakan?" "Ya, aku tertarik pada pemuda ini, goanswe. Aku ingin memberikan kesempatan padanya untuk mengabdi padaku!" Semua terkejut. Kata-kata pangeran yang di luar dugaan sungguh tak mereka sangka, Sin Hauw malah hendak diangkat sebagai pembantu, dari lawan menjadi kawan! Dan ketika semua tertegun namun tak ada yang berani membantah maka Sin Hauw ditangkap dan dimasukkan ruang bawah tanah, malam itu juga membuat para pembantu Coa-ongya tak senang. Im-kan Sian-li paling marah karena saudaranyalah yang paling menderita, kedua lengannya buntung. Namun karena titah telah diucapkan dan mereka hanya sebagai pembantu saja maka nenek itu menahan marah dan sakit hatinya, tentu saja tak puas sementara yang lain-lain teringat golok. Bagi Pek-wan atau Kak-busu tentu saja golok lebih penting. Mereka tak perduli penderitaan Im-kan Sian-li yang satunya. Mereka mengincar golok karena itulah senjata langka yang amat mujijat, senjata keramat yang harus didapatkan, kalau perlu dicuri! Dan ketika Sin Hauw ditawan dan golok peninggalan gurunya di rampas maka malam itu pemuda ini tak sadarkan diri karena pengaruh arak, pusing dan berputar karena sesungguhnya dia diberi arak pelumpuh semangat. Sebenarnya kalau bukan Sin Hauw tentu sudah roboh sejak tadi. Sin Hauw memiliki sinkang yang kuat dan karena itu Coa-ongya kagum, apalagi setelah Sin Hauw mengeluarkan goloknya, Golok Maut yang luar biasa tajam. Dan ketika malam itu Sin Hauw masih tak sadarkan diri sementara goloknya dirampas Coa-ongya maka pemuda itu menjadi tawanan dan dijaga Kak-busu. ooooo0de0wi0ooooo "Bagaimana, kau mau menjadi pembantuku, Sin Hauw" Kau mau bekerja untuk istana dan negara?" Sin Hauw menggigit bibir. Keesokan harinya dia sadar dan Coa-ongya sudah ada di depannya, dia ditanya namun belum menjawab. Dan ketika sang pangeran mengulang lagi dan Sin Hauw mengerutkan kening maka pemuda itu menjawab, membalas pertanyaan dengan pertanyaan pula, "Kenapa aku tak dibunuh" Mana senjataku?" "Ah," sang pangeran tertawa. "Aku tak berniat membunuhmu, Sin Hauw. Justeru ingin mengambilmu sebagai pembantu." "Tapi golokku kau rampas. Dan kau curang!" "Nanti dulu! Curang bagaimana, Sin Hauw" Bukankah baik-baik aku menawanmu sini" Lihat, kau segar-bugar. Kau mendapat makan minum cukup dan kami tak melukaimu!" "Hm, tapi sikapmu melukai perasaanku, pangeran. Kau melindungi dan membela Kwigoanswe!" "Tentu saja. Dia pembantuku, Sin Hauw. Siapapun harus kuljndungi kalau ia pembantuku! Sekarang jawab pertanyaanku maukah kau bekerja di sini dan menjadi pembantuku!" "Di sini ada Kwi-goanswe!" Sin Hauw tak senang. "Kau tak dapat mencampur dua seteru, pangeran. Dia harus kubunuh karena berhutang dua jiwa!" "Hm, persoalanmu sudah kuketahui," sang pangeran mengangguk-angguk. "Urusan itu sebuah kesalah-pahaman, Sin Hauw. Kau tak dapat menuntut Kwi-goanswe karena sesungguhnya ia tak bersalah!" "Bagus, membunuh jiwa orang tak bersalah, pangeran" Melenyapkan nyawa orang kau anggap benar?" "Aku tahu," sang pangeran tersenyum. "Masalah ibumu telah kudengar, Sin Hau. Dan sesungguhnya masalah itu telah diselesaikan. Ibumu bukan dibunuh Kwi-goanswe melainkan secara tak sengaja terbunuh oleh pengawalnya. Aku telah mendengar itu, dan Kwi-goanswe juga telah membunuh pengawalnya!" "Bukan hanya ibuku!" Sin Hauw mengetrukkan gigi. "Enciku juga dibawanya, pangeran. Dan mungkin telah dibunuhnya!" "Ha-ha, Hwa Kin?" sang pangeran tertawa bergelak. "Lagi-lagi kau salah, Sin Hauw. Encimu masih hidup dan tidak diapa-apakan!" Sin Hauw terkejut. "Kau tidak percaya?" Pemuda ini bersinar-sinar. "Kau barangkali benar, pangeran. Tapi juga barangkali menipuku. Aku jadi ragu atas pernyataanmu ini!" "Ha-ha, kalau begitu boleh kubuktikan. Tapi bagaimana kalau betul" Bagaimana kalau aku tidak bohong" Maukah kau menjadi pembantuku dan bekerja di sini?" Sin Hauw ragu. "Lihat, aku telah bersikap jujur, Sin Hauw. Tinggal kau dapat mengimbangi atau tidak. Aku jamin bahwa encimu masih hidup dan selamat hingga saat ini!" Sin Hauw tergetar. Kalau sang pangeran sudah berkata seperti itu dan dia dapat membuktikan bahwa encinya masih hidup tentu saja dia girang. Berarti dendamnya berkurang dan dia sedikit terhibur. Tapi bagaimana dengan ibunya" Haruskah dia diam saja karena betapapun ibunya telah terbunuh" Dan di situ ada Kwi-goanswe. Dia akan berkumpul dengan orang yang tidak disenangi ini dan Kwi-goanswe adalah orang yang telah menyebabkan ayahnya terbunuh. Jadi soal itu akan merepotkannya karena betapapun dia harus menuntut baias, meminta tanggung jawab, Dan ketika Sin Hauw tertegun dan juga ragu atas penawaran ini maka pangeran yang tampaknya dapat membaca pikirannya itu berkata, lagi-lagi membujuk, "Apa yang kau pikirkan aku tahu, Sin Hauw. Sungguh sayang bahwa kau masih membawa-bawa persoalan ayahmu. Kwi-goanswe tak membunuh ayahmu itu, justeru dia diculik dan akhirnya dibawa teman-temannya sendiri!" "Teman-temannya siapa?" "Siapa lagi kalau bukan pengikut Chu Wen yang bodoh itu" Memang ayahmu dibawa ke kota raja, Sin Hauw. Tapi di tengah jalan diculik dan dibawa lari teman-temannya sendiri!" "Hm," Sin Hauw tertegun. "Suhu tak pernah menceritakan ini, pangeran. Dan aku tak percaya!" "Percaya atau tidak kau nanti dapat bertanya pada encimu. Kalau aku bohong tentu ketahuan!" Sin Hauw lagi-lagi tergetar. Coa-ongya ini bicara begitu sungguh-sungguh hingga nampak meyakinkan. Encinya Golok Maut Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo kembali disebut-sebut dan Sin Hauw tiba-tiba rindu. Ia tergerak dan tentu saja ingin melihat encinya itu, inilah satu-satunya saudara yang merupakan keluarganya. Setelah suhu dan subonya tewas bisa dibilang ia adalah sebatangkara. Hidupnya sang enci membuat semangat Sin Hauw terbangun. Dan ketika sang pangeran bertanya dan kembali meyakinkan tentang ceritanya tadi maka Sin Hauw mengangguk dan akhirnya mengalahkan perasaannya sendiri. "Baiklah, aku menerima, pangeran. Tapi golokku harus dikembalikan!" "Ha-ha, tentu, Sin Hauw. Tapi kau harus bersumpah atas nama ayah ibumu bahwa kau akan setia kepadaku!" "Begitu berat?" Sin Hauw terkejut. "Sumpah biasa kukira cukup, pangeran. Tak usah membawa-bawa nama ayah ibuku!" "Tidak, aku tak mau pertukaran ini berat sebelah, Sin Hauw. Kau harus menyatakan setiamu dan berjanji dapat bekerja sama dengan semua pembantuku, termasuk Kwigoanswe. Atau aku tak mau mempertemukan encimu denganmu!" Sin Hauw kalah. Disebut-sebutnya nama encinya akhirnya membuat dia luluh. Itu memang pelumpuhnya dan Sin Hauw berjanji, menyatakan sumpahnya dan mau bekerja di samping pangeran ini, menjadi pembantunya. Dan ketika dengan berat Sin Hauw menyebut nama ayah ibunya untuk pelengkap sumpah maka Coa-ongya tertawa bergelak dan memeluk pemuda itu, girang bukan main, "Bagus, sudah kukira, Sin Hauw. Kau pasti berpikiran panjang dan tidak menentangku! Ha-ha, mari kukembalikan golokmu dan kau lihatlah encimu!" Coaongya bertepuk tangan, memanggil Kak-busu dan muncullah laki-laki tinggi kurus itu. Dialah yang menjaga dan sesungguhnya pangeran memang tidak sendirian, diam-diam dikawal dan Kak-busu cepat diminta mengambil golok, senjata maut yang dimiliki Sin Hauw itu, yang kemarin dirampasnya. Dan ketika Sin Hauw menerima golok dan tidak curiga maka sang pangeran membawa pemuda itu keluar dari ruang bawah tanah, menuju ke gedungnya dan Pek-wan serta yang lain-lain muncul, begitu pula Im-kan Sian-li yang masih sehat, yang lain terbaring sakit dan Sin Hauw berdebar. Kwi-goanswe muncul terakhir dan seorang pemuda lain tiba-tiba mengiring pula di belakang jenderal tinggi besar itu. Kwi Bun, pemuda yang kini gagah dan tampan tapi yang tersenyum mengejek memandang Sin Hauw. Pemuda itu sinis memandang dan Sin Hauw berdetak, ternyata Kwi Bun ada di situ dan tentu saja dia tak melupakan musuhnya sejak kecil ini, apalagi dulu Kwi Bun adalah bekas "majikannya", majikan kecil yg sombong dan angkuh! Dan ketika Sin Hau melewati orang-orang itu dan mereka semua membungkuk memberi hormat maka pangeran tertawa berkata pada mereka, "Sin Hauw sekarang kawan. Dia pembantuku!" Ada rasa tak enak di hati Sin Hauw. Semalam dia datang sebagai musuh, kini tibatiba sudah berbalik arah, menjadi pembantu Coa-ongya dan orang-orang yang semalam dimusuhinya mendadak sontak menjadi kawan. Janggal sekali rasanya! Tapi karena pangeran mengimbanginya dengan masalah encinya dan mati hidup encinya itu memang segala-galanya bagi Si Hauw maka pemuda itu menindas semua perasaannya dan menegakkan kepala melewati orang-orang itu, tak perduli pada sinar mata mereka yang aneh dan Sin Hau terus dibawa ke dalam. Dan ketika yang lain diajak memasuki gedung dan untuk pertama kalinya Sin Hauw disambut secara benar maka pangeran hendak menjamu pemuda ini sambil menyuruh Hwa Kin ke-luar. "Encimu sebentar datang. Aku ingin merayakan perjumpaanmu yang membahagiakan ini!" Sin Hauw bersinar-sinar, Dia jadi teringat janji Coaongya yang katanya juga akan memanggil Kwi-goanswe, yang ternyata bohong dan justeru melolohinya dengan arak perampas tenaga. Sin Hauw was-was dan tentu saja tak nyaman. Tapi ketika pangeran tertawa dan berkata padanya bahwa tak usah dia khawatir maka pangeran sudah menyuruhnya duduk. "Mari, tak usah ragu. Sambutanku benar-benar tulus dan tak usah kau khawatir!" Sin Hauw semburat merah. Pangeran sudah menyuruhnya duduk sementara dia sendiri sudah memilih sebuah kursi, duduk mengajak Sin Hauw dan untuk kedua kali Sin Hauw berhadapan dengan pangeran ini. Semalam sebagai musuh kini sebagai sahabat, canggung juga Sin Hauw. Tapi ketika pangeran menuangkan arak dan Sin Hauw tak buru-buru menerima maka pemuda itu berkata biarlah dia menunggu dulu encinya. "Ha-ha, boleh, Sin Hauw. Kalau begitu yang lainpun biar menunggu encimu!" Sang pangeran bertepuk tangan. Pelayan yang datang menghidangkan makanan disuruh meletakkan dulu di meja, mereka semua jadi menanti dan menunggu Hwa Kin, Coa-ongya telah memerintahkan seorang dayangnya untuk memanggil gadis itu. Dan ketika tak lama kemudian terdengar suara langkah kaki dari dalam maka muncullah seorang gadis yang berhenti di pintu tengah. "Sin Hauw..!" Sin Hauw tergetar. Seorang gadis cantik memanggil namanya dengan suara tertahan, menggigil dan pucat. Sin Hauw menjublak karena itulah encinya, agak berobah namun masih cantik, tubuhnya semakin matang dan Sin Hauw terguncang. Gadis cantik itu memanggilnya sekali lagi dan tiba-tiba menjerit, menghambur dan menubruk dirinya. Dan ketika Sin Hauw bangkit berdiri dan menggigil menerima tubrukan ini maka Hwa Kin, encinya itu sudah mengguguk dan tersedu-sedu menerkamnya. "Oh, tak kusangka kau masih hidup, Sin Hauw. Tak kusangka kita dapat bertemu di sini. Aduh, Coa-ongya tak menipu-ku..!" dan Sin Hauw yang sudah menggigil dan balas memeluk akhirnya tersedak dan menangis tak dapat menahan haru, melihat encinya sehat walafiat tak kurang suatu apa, segar-bugar dan tentu saja dia girang. Dan ketika Hwa Kin mengguncang-guncang tubuhnya dan mencengkeram serta menangis maka Sin Hauw ikut mencucurkan air mata dalam haru dan girangnya. "Enci, ini bukan mimpi" Kau juga masih hidup?" "Benar, ini bukan mimpi, Sin Hauw. Aku masih hidup! Ah, kau semakin gagah dan tampan. Kau kudengar memiliki kepandaian tinggi dan lihai!" "Ah, ini berkat guruku, enci. Mendiang Sin-Iiong Hap Bu Kok dan isterinya mendidikku sampai begini." "Mendiang" Jadi mereka.." "Benar, mereka tiada, enci. Tapi kepandaiannya telah kuwarisi!" "Ah!" dan Hwa Kin yang girang memeluk pemuda itu lalu menangis tapi tertawa, girang dan terharu dan Sin Hauw berlinang-linang. Encinya sekarang tampak montok dan cantik sekali, wajahnya segar berseri-seri dan seolah tak ada himpitan batin, heran dia. Namun karena encinya masih hidup dan tentu saja dia ingin banyak bicara maka Sin Hauw mendengar tepuk tangan pangeran. "Ha-ha, cukup, Sin Hauw. Sekarang mari duduk!" Sin Hauw teringat. Dia terkejut ketika sadar bahwa semua orang memandangnya. Tadi dia terlampau girang dan terharu bertemu encinya ini. Mereka kakak beradik ternyata masih hidup semua, ini kebahagiaan yang memang harus dirayakan. Maka ketika pangeran bertepuk tangan dan menyuruhnya duduk Sin Hauw sudah disambar dan didahului encinya. "Sin Hauw, benar kata pangeran. Mari ucapkan dulu terima kasih padanya. Ketahuilah, tanpa Coa-ongya tak mungkin encimu ini masih hidup!" Sin Hauw tersipu-sipu, diajak encinya mendekati meja dan encinya itu sudah menjura di depan pangeran. Dan ketika dia diajak mengucap terima kasih dan encinya itu menangis meluapkan perasaannya maka pangeran bangkit berdiri menyambut encinya itu, memeluk pundaknya, lembut dan mesra. "Sudahlah, semua ini berkat Tuhan, Kin-moi. Duduk dan ajaklah Sin Hauw bergembira!" Sin Hauw tertegun. Encinya dipeluk dan tampak menyambut mesra sikap pangeran itu, mereka layaknya sudah akrab benar dan satu sama lain melempar pandang bahagia. Sin Hauw mengerutkan kening. Tapi ketika encinya duduk dan dia juga diminta duduk maka pangeran menjamunya dan hari itu dia benar-benar seperti raja, mendapat kehormatan sejati. Pangeran menyuruh semua orang makan minum dan ditenggaklah arak berulang-ulang, Sin Hauw tak ragu lagi karena encinya juga turut minum. Aneh! Dan ketika semua orang bergembira dan saling menemukan cawan untuk memberi hormat padanya maka Hwa Kin, encinya, juga tampak dihormat dan mendapat perhatian istimewa. Kwi-goanswe dan lain-lain menghormat encinya itu seperti mereka menghormat pangeran, Sin Hauw tertegun dan bertanya-tanya dalam hati. Dan ketika empat jam kemudian semuanya selesai dan pertemuan dibubarkan maka Coa-ongya memberi kesempatan padanya untuk bercakap-cakap dengan encinya itu, berdua. "Kalian puaskanlah kerinduan masing-masing. Bawa Sin Hauw ke kamarnya dan ajak adikmu bercakap-cakap!" Sin Hauw girang bukan main. Ini memang yang ditunggu dan dia sudah tak sabar, ingin berdua dan bercakap-cakap dengan encinya itu. Maka begitu Coaongya memberi kesempatan dan encinya bangkit berdiri encinya itu sudah tertawa menyambarnya. "Lihat, pangeran demikian bijaksana, Sin Hauw. Sungguh sepatutnya kita menghormat dan berterima kasih!" Sin Hauw mengangguk. Memang pandangannya kini sudah berobah, pangeran dianggapnya baik dan tentu saja dia bersikap mengimbangi. Semua sikap permusuhannya lenyap dan Sin Hauw sudah mengangguk. Dan ketika sang enci. menarik dan membawanya ke dalam ternyata dia sudah mendapat sebuah kamar yang bagus dan indah. "Ini kamarku?" "Benar, dan kau selamanya tinggal di sini, Sin Hauw, mendampingi encimu dan jangan pergi lagi!" Sin Hauw berdebar. Masuk ke kamar berdua dengan encinya ini tiba-tiba menimbulkan rasa panas di wajah. Entahlah, setelah enam tahun tak berjumpa dan kini mereka tiba-tiba sudah sama besar mendadak membuat Sin Hauw jengah. Kalau ini bukan encinya tak mau dia masuk bersama. Mereka bagai pasangan pengantin baru saja! Tapi ketika encinya sudah mendorong masuk dan dia diminta duduk di kursi yang empuk maka encinya itu menutup pintu kamar dan berkata, "Nah, sekarang kita aman. Lebih enak bicara dan kau ceritakanlah bagaimana keadaanmu selama ini!" "Ah, nanti dulu!" Sin Hauw sedikit tertegun. "Kenapa pintunya kau kunci, enci" Masa kita harus dalam keadaan tertutup begini?" "Eh, memangnya kenapa" Pangeran sendiri telah menyuruh kita, Sin Hauw. Dan kitapun enci adik. Pintu kututup agar tak ada yang mendengar pembicaraan kita!" "Tapi tak perlu dikunci." "Hm, ada apa sih kau ini" Kenapa rewel masalah pintu" Kita bukan orang lain, Sin Hauw. Kita enci adik dan bukan mau macam-macam. Kau buanglah pikiranmu yang tidak-tidak dan jangan khawatir dugaan orang!" Sin Hauw semburat merah. Memang encinya ini benar, mereka kakak adik. Mau apa pusing omongan orang" Dia dan encinya justeru diperintah pangeran untuk berdua melepas kerinduan, mereka sudah lama tak bertemu dan tentu saja masing-masing ingin bicara, tentu banyak pembicaraan mereka nanti. Maka begitu encinya duduk dan bersinar-sinar memandangnya Sin Hauw sudah tak banyak bicara lagi tentang pintu yang terkunci. "Baiklah, kau benar, enci. Hanya rasanya kikuk juga. Kau sekarang bertambah cantik dan dewasa!" "Hush, kau mau merayu encimu?" Sin Hauw tertawa. "Tidak, tapi kenyataan membuktikan begitu, enci. Dan kau, hm.. tampaknya tak mengenal susah!" "Maksudmu?" "Kau tampak bahagia di sini, kau sehat dan segar-segar saja!" "Ah, tentu, Sin Hauw. Coa-ongya yang menolongku. Dia.. dia kakak iparmu!" "Apa?" "Benar, Sin Hauw. Coa-ongya, pangeran.. dia itu.. dia itu suamiku. Encimu sekarang menjadi isterinya!" Sin Hauw terkejut. Hampir berjengit dia melonjak dari kursinya, terbelalak memandang sang enci. Tapi ketika encinya terisak dan mengangguk bersinar-sinar encinya itu berkata perlahan, "Sin Hauw, banyak cerita yang harus kau dengar. Barangkali harus aku dulu yg mulai. Kau dengarlah," encinya memulai, mengangkat muka dan akhirnya tidak menunduk lagi. Encinya menceritakan betapa dia diambil pangeran, dicinta dan akhirnya menjadi isterinya. Dan ketika semuanya itu dimulai dari peristiwa di Cin-ling dulu maka Sin Hauw mendengarkan dengan sikap tertegun. "Aku tak diapa-apakan. Kwi-goanswe baik-baik saja kepadaku. Aku ditawan lalu diserahkan Coa-ongya. Kebetulan pangeran tertarik padaku dan jatuh cinta, diminta baik-baik dan akupun menjadi isterinya. Dan karena pangeran berjanji untuk mempertemukan aku denganmu maka aku menunggu-nunggu kau dari Cin-ling, Sin Hauw. Sayang dikabarkan orang bahwa kau tak di sana lagi!" Sin Hauw menjublak. Encinya menangis dan terisak, sederhana dan singkat cerita itu namun sudah cukup jelas. Encinya menunggu-nunggu dia dari Cin-ling, dikabarkan pangeran menyuruh orang mencari dirinya, tak ketemu dan encinya itu menangis sepanjang hari. Maklumlah, Sin Hauw akhirnya dibawa ke Lembah Iblis oleh gurunya, dididik dan digembleng di sana, meninggalkan Cin-ling setelah Hwa-liong Lo-kai tewas. Dan ketika encinya berkata bahwa tiada bosan-bosannya pangeran menyuruh orang mencari dirinya maka encinya itu menutup. "Aku sekarang gembira. Janji pangeran ternyata dapat ditepati. Aih, tak boleh kau sekarang meninggalkan encimu, Sin Hauw. Kau harus di sini dan selalu Golok Maut Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo menemanimu encimu!" "Hm!" Sin Hauw mengangguk-angguk. "Jadi kau sudah menikah, enci" Dan Coa-ongya adalah suamimu?" "Benar, dia baik, Sin Hauw. Dan tanpa dia barangkali tidak begini nasib encimu!" "Hm, aku terus terang terkejut. Lalu bagaimana dengan Kwi-goanswe, enci" Bukankah dia musuh kita?" "Ini kekeliruan kita, Sin Hauw. Kwi-goanswe tak boleh kita musuhi karena sesungguhnya dia tak bersalah." "Tapi ibu terbunuh olehnya'" "Bukan, bukan olehnya, Sin Hauw, melainkan oleh pengawalnya. Dan pangawal itu sudah dibunuhnya. Hutang ini impas, ibu terbunuh secara tak sengaja!" Sin Hauw mengerutkan kening. "Dan ayah?" Sin Hauw masih tak puas. "Ayah terbunuh olehnya, enci. Dan hutang ini belum impas." "Ah, lagi-lagi kau salah, Ayah tak dibunuh olehnya, Sin Hauw. Ayah diculik dan dibawa lari teman-temannya sendiri!" Sin Hauw teringat omongan Coa-ongya. Pangeran itu juga berkata seperti itu dan kini encinya mengulang, dia mengerutkan kening dan bertanya hati-hati. Dan ketika encinya menarik napas dan duduk membetulkan letak kakinya maka encinya itu berkata, "Aku mengetahui ini setelah di sini. Ayah diculik dan dibawa lari temantemannya, ketika dibawa Kwi-goanswe. Dan karena Kwi-goanswe masih kerabat sendiri dan membiarkan ayah dibawa teman-temannya maka ayah tak dibunuh siapa-pun. Kabarnya ayah tewas karena sakit, dalam perjalanan. Yakni ketika bersama teman-temannya itu. Tapi karena Kwigoanswe yang menangkap ayah dan dialah yang pertama kali membawa ayah maka orang menyangka Kwi-goanswe inilah yang mencelakakan ayah. Padahal sebenarnya Kwi-goanswe tak tahu apa-apa lagi setelah ayah diculik dan dibawa teman-temannya sendiri!" "Hm, kalau bukan kau yang bercerita tak mau aku percaya, enci. Baiklah kuterima hal ini sebagai kenyataan yang lain. Aku percaya padamu, dan bagaimana saranmu setelah aku ada di sini!" "Kau membantu Coa-ongya! Bukankah kau sudah berjanji padanya?" "Benar, tapi aku kikuk berkumpul dengan Kwi-goanswe dan lain-lainnya itu, enci. Kemarin aku bertempur dengan mereka habis-habisan tapi kini tiba-tiba bersahabat!" "Hm, tak perlu begitu. Kau lihat muka encimu, Sin Hauw. Kau pandanglah aku dan buang perasaanmu yang salah itu. Mereka juga tak akan berani mengganggumu karena aku adalah isteri Coa-ongya. Jelek-jelek kau adalah adik ipar pangeran, kau akan bergelar pangeran pula kalau diusulkan pada sri baginda!" "Pangeran" Aku menjadi pangeran?" "Ya, aku dapat membawa ini pada suamiku, Sin Hauw. Coa-ongya pasti menurut dan di bawah perintahku!" Sin Hauw tertegun. Membayangkan dirinya sebagai pangeran tiba-tiba dia merasa melembung, kepala rasanya membalon tapi tiba-tiba Sin Hauw tertawa. Dan ketika encinya bertanya kenapa dia tertawa maka Sin Hauw menjawab geli, "Aku merasa lucu dengan omonganmu ini. Mana bisa seorang biasa diangkat sebagai pangeran" Ah, terlalu tinggi. enci, terlalu muluk. Aku tak mau menjadi pangeran!" "Kenapa?" "Tak enak, aku ingin menjadi orang biasa saja dan bebas ke sana ke mari. Ah, tak enak itu. Lagi pula aku tak berpendidikan istana!" "Ah, itu dapat belajar, Sin Hauw. Aku dapat memberitahumu!" "Tidak, aku tak suka, enci. Kita bukan dari keluarga biru. Aku ingin seperti ini dan biar tetap seperti ini!" "Baiklah, terserah kau, Sin Hauw. Yang penting kau tetap di sini menemani encimu. Aku tak mau kau pergi dan meninggalkan aku!" "Hm, aku tak akan meninggalkanmu, Tapi sehari dua aku mesti pergi juga, enci, melaksanakan tugas suhu yang harus kuselesaikan!" "Benar, sekarang ceritakan kisahmu itu. Bagaimana dengan gurumu dan kemana kau selama ini!" "Aku di Lembah Iblis.." "Lembah Iblis?" "Ya, Lembah Iblis, enci. Tempat tinggal kedua orang guruku. Aku di sana selama enam tahun!" "Pantas saja, pangeran tak dapat menemukanmu!" "Aku tak diperbolehkan keluar, enci. Suhu dan subo melarangku." "Aneh, ceritakan kisahmu, Sin Hauw. Biar aku mendengar!" Sin Hauw menarik napas dalam. Setelah encinya selesai bercerita dan ganti dia diminta bercerita maka Sin Hauw menarik napas panjang. Kisahnya sedih, juga panjang. Maka duduk dengan baik dan mulai bercerita dia lalu menceritakan apa yang dialaminya, sejak penyerbuan di Cin-ling dulu dan betapa Hwa-liong Lo-kai akhirnya tewas. Kakek atau gurunya pertama itu tak dapat ditolong lagi, lukanya parah dan racun Ular Merah cukup jahat. Semuanya itu membuat si kakek tewas dan akhirnya dia dibawa ke Lembah Iblis oleh gurunya yang baru, Sin-liong Hap Bu Kok suami isteri itu. Dan ketika di sana dia dilarang turun lembah sebelum mewarisi semua kepandaian gurunya maka Sin Hauw menarik napas mengenang ini. "Aku tak boleh ke mana-mana. Itulah sebabnya baru hari ini aku datang, enci. Itupun karena suhu dan subo tewas. Mereka berkelahi, masing-masing tak mau mengalah dan akhirnya mati bareng!" "Ih!" sang enci tampak ngeri. "Persoalan apa yang membuat mereka seperti itu, Sin Hauw" Apakah kedua gurumu gila?" "Tidak, mereka memperebutkan ini, enci. Golok Maut! Aku juga menyesal kenapa mereka harus seperti itu!" "Golok Maut" Senjata yang kau bawa itu?" "Benar, dan ini milik guruku, enci. Aku akan mempertahankannya dengan jiwaku!" "Dan kau telah menabas buntung seorang dari nenek Imkan Sian-li! Benar-kah, Sin Hauw?" "Benar, enci," Sin Hauw tak enak. "Tapi mereka itu yang menggangguku lebih dulu. Kalau tidak begitu tentu tak akan terjadi itu!" "Ih, aku jadi mengkirik! Senjatamu berbau darah, Sin Hauw. Sebaiknya disimpan dan tidak dipergunakan saja!" "Aku juga bermaksud begitu. Tapi kalau keadaan memaksa tentu tak mungkin kulakukan itu, enci. Dan aku berharap mudah-mudahan golok ini tidak mereguk darah!" Pembicaraan mulai menyimpang. Kini Sin Hauw ditanya masalah golok itu, ketajaman dan keampuhannya, lalu ilmu-ilmu silat yang dia miliki. Dan ketika pembicaraan beralih pada masalah pribadi apakah Sin Hauw sudah punya pacar atau belum maka pemuda ini tersipu merah dengan muka jengah. "Pacar" Ah, kau ini ada-ada saja, enci. Aku hidup penuh penderitaan dan tidak ingat masalah itu. Aku tidak memikirkan itu!" "Tapi kau sudah cukup dewasa. Hampir dua puluh tahun!" "Hm. baru delapan belas, enci. Masih ingusan dan hjjaul" "Hi-hik, jangan begitu, Sin Hauw. Delapan belas pun sudah cukup. Kau sudah dewasa dan dapat beristeri. Aku punya pandangan di sini, Miao In!" Sin Hauw terkejut. Tanpa banyak bicara lagi tiba-tiba encinya itu bangkit berdiri, keluar dan sudah membuka pintu kamar. Dan ketika dia bertepuk tangan dan seorang dayang muncul diminta memanggil seorang gadis maka tak lama kemudian muncul seorang dara tujuh belasan tahun yang cantik berbaju hijau, dibawa masuk encinya itu. "Ini, perkenalkan, Sin Hauw. Miao In yang kuberitahukan itu!" Sin Hauw merah padam. Tanpa ba-bi-bu lagi encinya itu tiba-tiba sudah membawa masuk seorang gadis, cantik dan tentu saja Sin Hauw gugup. Selamanya dia belum pernah bergaul dengan wanita, kecuali enci dan subonya itu. Maka begitu seorang gadis asing sudah diperkenalkan padanya dan gadis itu malu-malu membungkuk di depannya Sin Hauw pun tersipu dan jengah dengan muka merah padam. "Aih-aih, tak usah malu-maiu. Miao In adalah puteri Ci-ongya, Sin Hauw. Masih kerabat dengan Coa-ongya. Ayo kenalan, jangan malu-malu!" Sin Hauw seperti kepiting direbus. Encinya itu sudah mengajaknya berkenalan, Miao In tersenyum malu-malu dan menggigit bibir. Pipi yang kemerahan itu tampak semakin memerah dan membentuk apel yang masak. Dan ketika Sin Hauw menyambut dan mau tak mau memperkenalkan diri maka gadis itu berkata penuh kagum padanya, "Aku sudah mendengar tentang dirimu. Enci Kin sungguh beruntung, mempunyai adik yang begini hebat dan lihai. Aku kagum, Sin Hauw. Mudah-mudahan kau suka bersahabat denganku dan sedikit-sedikit mengajariku silat!" "Ah, aku tak bisa apa-apa, Miao In. Kau terlalu membesar-besarkan diriku. Aku masih bodoh dan sesungguhnya kepandaianku terbatas!" Percakapan dimulai. Sekarang Sin Hauw ditemani seorang gadis cantik di samping encinya. Untunglah, kalau tak ada encinya di situ tentu Sin Hauw tak dapat berkutik, mula-mula gugup tapi Miao In ternyata luwes, pandai bertutur kata dan Si Hauw tertarik. Dan ketika secara perlahan tetapi pasti dua muda-mudi itu sambar-menyambar mengerlingkan mata tiba-tiba saja Sin Hauw merasa jatuh cinta! Hari itu encinya ngobrol tak habis-habisnya, mereka terlibat pembicaraan menarik dan sama sekaii tidak menyinggung-nyinggung masalah kemarin, pertandingan pemuda itu dengan Im-kan Sian-li dan lain-lain, hal yang membuat Sin Hauw merasa lega dan tenang. Encinya menguasai percakapan dan Miao In serta Sin Hauw hanya saling menumpang. Miao In sering melirik Sin Hauw dan kekaguman tak dapat disembunyikan di mata gadis itu, Sin Hauw tergetar dan tentu saja merasa. Dan ketika sehari itu mereka asyik ngalor-ngidul dengan pembicaraan yg selalu ada akhirnya Hwa Kin minta diri karena harus menemui atau menemani suaminya, Coa-ongya. "Suamiku tentu menunggu. Cukuplah, Sin Hauw. Besok kita bicara lagi dan Miao In dapat menemanimu!" "Ah., biar aku besok ke mari bersamamu, enci Kin. Sin Hauw tentu ingin beristirahat dan mengaso!" Sin Hauw mengangguk. Memang dia lelah, ingin beristirahat setelah seharian ngobrol dengan encinya. Hari itu dia merasa gembira dan bahagia. Teman barunya Miao In cukup menyenangkan juga, ada semacam perasaan nikmat kalau berdua dengan gadis itu, berbicara dan bercakap-cakap. Dan ketika mereka pergi dan malam itu Sin Hauw mengaso di kamarnya maka pemuda ini menerawang girang ke langit-langit ruangan. "Ah, encinya ternyata bahagia," pikirnya dengan mata berseri-seri. "Dan Coaongya pun ternyata seorang laki-laki yang baik. Kalau semua itu betul dan kematian ayah ibunya tak dapat disalahkan kepada siapa-siapa tentu saja dia akan menerima dan melupakan hal itu. Sin Hauw mulai gembira. Kenyataan bahwa encinya masih hidup dan segar-bugar membuat pemuda ini cepat melupakan yang lain-lain. Kwi-goanswe dan temantemannya mulai dapat diterima di hati, begitu juga Im-kan Sian-li, dua nenek lihai itu, yang tidak mengganggunya. Dan ketika sebulan kemudian Sin Hauw sudah menjadi pembantu Coa-ongya dan tiap hari hampir selalu ditemani encinya atau Miao In maka bulan kedua gadis baju hijau itu sudah erat dengan Sin Hauw sementara encinya satu dua kali saja muncul menemaninya. "Kau baik-baiklah dengan Miao In. Gadis itu jatuh cinta padamu!" Sin Hauw tersentak. "Kau tak percaya?" encinya tertawa. "Lihat pandang matanya, Sin Hauw. Amati gerak-geriknya dan sikapnya. Gadis itu sudah menyatakan perasaan hatinya kepadaku!" Sin Hauw tersirap. Kalau encinya sudah bicara seperti itu tentu saja dia terkesiap, encinya sudah meninggalkannya dan terkekeh ditahan. Tawa encinya itu penuh arti dan Sin Hauw tertegun. Dan ketika kebetulan Miao In muncul tak lama kemudian untuk minta pelajaran silat maka Sin Hauw merah padam teringat katakata encinya tadi. "Lihat pandang matanya, lihat gerak-geriknya," begitu kata-kata itu terngiang. "Gadis itu jatuh cinta padamu, Sin Hauw. Dan aku setuju kau menikah dengannya!" Sin Hauw berdegup kencang. Setelah encinya pergi dan Miao In tiba-tiba muncul mendadak jantungnya berdebar kencang. Dia gugup memandang gadis itu dan hari itu Miao In tampak cantik bukan main. Gadis ini mengenakan celana hitam dengan baju kembang-kembang, di-lilit sebuah ikat-pinggang merah dalam pakaian ketat. Ah, Sin Hauw terbelalak dan kagum. Dan ketika gadis itu mendekat dan benar saja pandang mata Miao In penuh getaran dan mesra memandangnya maka gadis itu berkata, merdu dan menggetarkan perasaan Sin Hauw, "Aku ingin melanjutkan jurus kemarin, Sin Hauw. Aku ingin kau mengulangnya lagi dan memberitahukan padaku!" Ternyata Sin Hauw sudah memberikan sebagian kepandaiannya kepada gadis itu. Hwa Kin menyuruhnya dan Sin Hauw tidak menolak, memberikan Kim-kong-cian dan beberapa dasar-dasar ilmu silat. Miau In menerimanya cerdas dan cepat menangkap pelajarannya, Sin Hauw diam-diam kagum dan memuji. Namun ketika pagi itu gadis ini agak mengerutkan kening karena pelajaran kemarin agak sukar maka Sin Hauw tersenyum dan sudah dapat menguasai perasaan hatinya. "Ah, jurus Pukulan Emas Memecah Awan, Miao In" Mudah, mari kuulang dan kau lihat gerak tanganku!" Sin Hauw menyambar gadis ini, sudah berani memegang lengannya karena untuk melatih silat tentu saja harus pegang-pegang segala. Perasaan ini menimbulkan nikmat tersendiri dan Sin Hauw senang melakukan itu, apalagi Miao In sendiri sering tersenyum dan tidak menolak, halus dan lembutnya tangan seorang gadis membuat Sin Hauw kadang-kadang "ketagihan". Tentu saja senang memegang-megang dan hubungan mereka kian akrab saja. Dan Ketika pagi itu Sin Hauw mengulang jurus kemarin dan tak bosan-bosannya memberi petunjuk akhirnya Miao In girang, mengerti. Golok Maut Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Oh, begitu kiranya, Sin Hauw" jari tangan harus ditekuk sebuah" Ah, pantas, Sin Hauw. Aku kemarin gagal karena tidak memperhatikan letak ibu jari!" "Nah, coba kau ulang. Tunjukkan padaku dan berlatihlah!" Miao In sudah melakukan itu. Pagi itu dia mengikuti petunjuk Sin Hauw, melatih dan mengulang-ulang jurus Pukulan Emas Memecah Awan, akhirnya menguasai dan giranglah gadis itu. Dan ketika jurus-jurus berikut dilatih lagi dan sedikit demi sedikit Sin Hauw memberikan Kimkong-ciangnya maka seminggu kemudian Sin Hauw berduaan lagi dengan gadis itu. "Kita berlatih di hutan, jangan di sini!" Sin Hauw terkejut. "Kenapa?" "Ah, perlu suasana baru, Sin Hauw. Aku ingin di tempat yang lebih luas dan lega!" Sin Hauw tertawa. Hari itu lagi-lagi Miao In mengenakan pakaian ketat, celananya hitam namun bajunya merah. Akhir-akhir ini Sin Hauw lebih sering memperhatikan pakaian yang dikenakan gadis itu, sering memperhatikan bentuk tubuhnya yang kian menonjol saja. Secara tak disadari Sin Hauw mulai diganggu berahinya, darah mudanya sering berdenyar dan hari itupun dia agak terbelalak melihat pakaian yang dikenakan gadis ini. Entahlah, pandang matanya selalu lekat pada tubuh gadis itu dan Sin Hauw kagum pada sepasang buah yang menonjol. Itulah daya tarik wanita dan Sin Hauwpun silau. Dan ketika hari itu Miao In mengajaknya ke hutan dan kali ini gadis itu yang menyambar lengannya maka Sin Hauw berdebar merasakan jari-jari yang lembut dan hangat. "Eh, tanganmu berkeringat, Sin Hauw. Aneh sekali belum apa-apa sudah basah!" Sin Hauw terkejut. "Aku agak gugup, Miao In. Entahlah hari ini aku merasa kikuk!" "Kepada siapa?" "Kepada dirimu." "Eh!" gadis itu berhenti. "Kepadaku" Hi-hik, lucu, Sin Hauw. Kau main-main!" dan gadis itu yang sudah menyambar Sin Hauw lagi dan diajak berlari ke hutan akhirnya membuat Sin Hauw merah padam, memang sesungguhnya kikuk dan ada perasaan jengah di hati. Mereka sudah biasa pegang-pegangan tangan tapi hari ini dia merasa lain. Keketatan pakaian dan kecantikan Miao In hari ini lebih menonjol, Sin Hauw tergetar dan sesungguhnya itulah yang membuat dia tak keruan, gugup dan mau melengos tapi seialu saja matanya ingin melirik ke samping, menembus apa yang ada di balik pakaian ketat itu, aneh. Sebuah keinginan yang akhir-akhir ini mengganggu Sin Hauw. Dan ketika mereka tiba di hutan dan di situ baru Miao In melepaskan tangannya maka gadis ini minta agar Sin Hauw melayaninya bertanding. "Sekarang Kim-kong-ciang sudah kupelajari semua. Tolong kauberi petunjuk dan kita berlatih lengkap!" Sin Hauw mengangguk. Memang Kim-kong-ciang sudah diberikannya semua, gadis itu melahapnya dalam beberapa bulan saja dan Sin Hauw kagum. Hebat gadis ini, dia bersinar-sinar dan tentu saja merasa kagum. Dan ketika Miao In minta ditemani agar mereka berlatih secara lengkap maka Sin Hauw mengangguk dan untuk sesaat dapat melupakan debaran hatinya, bersiap dan Miao In tertawa di depannya. Gadis itu juga bersiap dan memberi aba-aba. Dan ketika gadis itu bergerak dan mulai menyerang maka Sin Hauw melayani dan mengelak, dikejar lalu bertubi-tubi mendapat serangan susulan, menangkis dan segeralah mereka terlibat dalam latihan yang serius. Baru kali ini gadis itu meminta Sin Hauw melayaninya dalam latihan lengkap, maklumlah, baru kali itu juga dia selesai mendapat Kim-kong-ciang. Namun ketika Sin Hauw dapat mematahkan semua serangannya dan Kim-kong-ciang seolah tak berdaya menghadapi pemuda itu tiba-tiba Miao In menangis dan membanting kakinya. "Sin Hauw, aku masih bodoh. Aku tak dapat mengalahkanmu!" "Eh," Sin Hauw terkejut. "Jangan kau bicara begitu, Miao In. Kepandaianmu sudah cukup dan Kim-kong-ciang hampir sempurna kau ingat!" "Tapi aku tak dapat merobohkanmu! Aku masih bodoh!" "Tidak, bukan begitu, Miao In, melainkan ilmumu kukenal dan tentu saja dapat kuhadapi dengan baik. Kau yang terlalu berambisi!" Gadis itu berhenti. Tiba-tiba Miao In melempar tubuh dan duduk menangis. Semua serangannya yang tadi dengan mudah dielak atau ditangkis Sin Hauw dianggapnya kebodohannya. Gadis ini tiba-tiba menangis dan tersedu-sedu. Dan ketika Sin Hauw terkejut dan malah bengong maka gadis itu menjambak-jambak rambutnya sendiri. "Ah, aku tolol, Sin Hauw. Tak nyana semua pelajaran darimu tak dapat kupakai sama sekali. Aku terlalu bodoh, tak ada kemajuan sama sekali!" "Tidak," Sin Hauw membungkuk. "Kau salah, Miao In. Justeru latihan yang sudah kau tunjukkan ini mengagumkan hatiku. Kemajuanmu pesat, bayangkan hanya dalam dua bulan saja kau sudah menguasai Kimkong-ciang dan dapat dipakai bertempur!" "Tapi aku tak dapat mengalahkanmu, Sin Hauw. Aku tak dapat merobohkanmu!" "Tentu," Sin Hauw tertawa. "Aku memiliki ilmu-ilmu yang lain, Miao In. Bukan hanya Kim-kong-ciang saja. Lagi pula aku enam tahun belajar sedang kau hanya dua bulan! Mana bisa ditandingkan" Tidak, kau memang belum dapat mengalahkan aku, Miao In. Masih terlalu lama bagimu mengalahkan aku. Barangkali kau harus belajar bertahun-tahun!" "Jadi bukan karena aku bodoh?" "Ah, kau tidak bodoh, Miao In. Bahkan sesungguhnya mengagumkan hatiku. Kalau bukan kau tentu tak mungkin melatih Kim-kong-ciang hanya dua bulan selesai!" "Sungguh?" "Eh, kau kira aku bohong?" "Ah, kalau begitu terima kasih, Sin Hauw. Aku sekarang tak kecewa dan biar kauajarkan lagi ilmu-ilmumu yang lain!" gadis itu tiba-tiba menubruk, tertawa dan sudah girang memeluk Sin Hauw. Pemuda ini terkejut karena tiba-tiba saja tubuhnya sudah dirangkul, dipeluk lengan yang hangat itu dan tanpa sengaja "buah" yang dikagumi Sin Hauw melekat di dadanya, nempel dan terasalah sesuatu yang hangat-hangat mendesirkan mengguncang sukma pemuda ini. Dan ketika Sin Hauw tertegun dan merah padam menerima itu tiba-tiba Miao In melepaskan diri seolah kaget. "In, maaf, Sin Hauw. Aku tak sengaja!" "Tak apa," Sin Hauw menggigil. "Aku merasa gembira, Miao In. Kalau kau tidak menangis dan dapat gembira lagi tentu akupun turut senang!" "Kau tak marah ku.. kupeluk tadi?" "Hm," Sin Hauw semburat. "Kita sahabat baik, Miao In. Aku tak marah kau melakukan itu!" "Dan kau.. kau tadi menyatakan kagum. Eh, benarkah aku tak bebal, Sin Hauw" Atau kau hanya sekedar menghiburku agar aku tak kecewa?" "Hm, tidak. Kau memang mengagumkan, Miao In. Dan terus terang jarang ada yang dapat menyelesaikan Kim-kong-ciang hanya dalam dua bulan!" "Sungguh?" "Sungguh!" "Dan kau, eh., bagaimana pandanganmu kepadaku, Sin Hauw" Termasuk gadis apakah aku ini?" "Hm, kau gadis cantik, Miao In. Dan aku mengagumi kecantikanmu!" Sin Hauw kelepasan bicara, sudah mabok oleh bekas pelukan tadi dan Miao In terkejut. Gadis itu terbelalak tapi tiba-tiba menunduk, mukanya merah dan tiba-tiba dia betanya apakah Sin Hauw suka padanya. Dalam saat begitu suasana romantis tak dapat dicegah, Miao In secara tak sengaja mendekatkan lengannya, merayap dan sudah disambar Sin Hauw. Dan karena Sin Hauw teringat kata-kata encinya bahwa gadis ini jatuh hati kepadanya maka dia merasa berani dan tak dapat disangkal bahwa iapun sebenarnya jatuh cinta terhadap gadis cantik itu! "Maaf, aku.. aku bukan hanya merasa suka kepadamu, Miao In. Melainkan.. melainkan juga mencintamu! Bolehkah aku mendapat jawab bagaimana perasaan hatimu kepadaku" Apakah.. apakah cintaku kau terima?" Muka yang menunduk itu tiba-tiba terangkat. Sin Hauw melihat mata yang bukan main indahnya saat itu, bening dan berkedip padanya dan tiba-tiba bibir yang merekah itu tersenyum. Dan ketika Miao In mendesah dan malu-malu menyembunyikan mukanya maka gadis itu berbisik, gemetar, "Sin Hauw, bagaimanakah kiramu" Mengapa aku harus tak menerimanya?" "Ooh, jadi.. jadi kau.." "Benar, kau terlalu lama menyatakannya, Sin Hauw. Aku tak sabar dan hampir mati dilanda rindu!" "Miao In!" dan Sin Hauw yang girang bukan main mendengar ini tiba-tiba melihat gadis itu sudah merobohkan tubuh ke dadanya, malu-malu tapi bahagia dan entah kekuatan dari mana tiba-tiba Sin Hauw memeluk gadis itu, erat sekali, mengeluh dan tiba-tiba Miao In terguling. Dan ketika mereka sama-sama roboh dan Sin Hauw girang bukan main tiba-tiba muka gadis itu sudah berdekatan dengan mukanya, bibir yang merekah itu masih tersenyum dan dari mulut Miao In keluar semacam erangan lirih. Sin Hauw tak tahan dan tiba-tiba menunduk, Dan karena wajah mereka berdekatan dan tak dapat dicegah iagi hidung bertemu hidung tiba-tiba mulut keduanya melekat dan Sin Hauw sudah mencium gadis pujaannya itu. "Miao In, aku cinta padamu!" Sin Hauw terbang ke langit ketujuh. Dara pujaannya menyambut dan mereka berciuman, lama dan masingmasing seolah tak mau melepaskan lagi. Sin Hauw gemetar dan menggigil namun bahagia bukan main. Baru kali itu dia dimabok asmara dan disambut, gadis pujaannya tak menolak dan tentu saja Sin Hauw memuaskan diri. Namun ketika mereka terengah dan Miao In mendorong tubuhnya maka gadis itu berkata, hampir kehabisan napas dicium Sin Hauw, "Ih, sudah, Sin Hauw. Jangan terus-terusan, nanti dilihat orang!" Sin Hauw tertawa. "Kau, ah., salahmu kau cantik sekali, Miao In. Aku mabok dan bahagia sekali dibuatnya!" "Hm, kau sendiri yang mabok" Tidak, aku juga, Sin Hauw. Akupun mabok dan bahagia. Tapi sekarang kau harus melatihku ilmu silat yang baru, ayo ajari aku!" Sin Hauw tertawa. Setelah mereka berciuman tadi tibatiba tiada jarak diantara mereka berdua. Sin Hauw merasa begitu dekatnya hingga tak canggung-canggung dia menyambar lagi, memeluk dan mencium. Dan ketika kekasihnya mengelak dan genit-genit manja Sin Hauw melompat bangun. "Ha-ha, pelajaran apalagi yang kau inginkan, In-moi (adik In)" Bukankah Kimkong-ciang saja masih harus dilatih berulang-ulang untuk mencapai kematangan?" "Tidak, aku sekarang ingin minta pelajaran senjata, Sin Hauw. Aku ingin berlatih Giam-to-hoat (Silat Golok Maut)!" "Apa" Ilmu silat golok?" Sin Hauw terkejut. "Ya, kenapakah" Tidak bolehkah?" "Hm," Sin Hauw tertegun. "Ini, hm.." pemuda itu bingung. "Silat ini belum waktunya kau pelajari, In-moi. Dan lagi melanggar pesan guruku!" "Kau tak percaya?" wajah cantik itu tiba-tiba menangis. "Baiklah, kalau begitu tak usah aku mempelajarinya, Sin Hau Biar aku tetap bodoh dan kalah olehmu!" dan si nona yang marah memutar tubuh tiba-tiba ngambek dan meninggalkan Sin Hauw, tak mau bicara lagi dan tentu saja Sin Hauw bingung. Itu tak boleh terjadi, dia lagi hangat-hangatnya menikmati cinta! Maka begitu mengejar dan berkelebat menyambar lengan kekasihnya Sin Hauw sudah menarik omongannya, berkata baiklah kekasihnya itu mempelajari ilmu silat golok tapi kekasihnya diminta bersabar. Ilmu silat tinggi tak bisa dipelajari dalam waktu singkat dan giranglah gadis cantik itu. Dan ketika hari itu juga Sin Hauw diminta menurunkan ilmu goloknya dan sedikit tetapi pasti rahasia Giam-to-hoat diberikan pada gadis ini maka Sin Hauw tak menyadari sebuah bahaya baru, setengah tahun kemudian Miao In sudah hapal hampir semua teorinya, tinggal sedikit lagi dan barangkali dua tiga bulan gadis itu akan mendapatkan semuanya. Sin Hauw memang memberikan semua rahasia ilmu goloknya pada gadis itu. Maklumlah, pemuda ini lagi dilanda cinta. Cinta memang selamanya membius, memabokkan dan mudah membuat orang lupa diri. Namun ketika semuanya itu dijalani tanpa terasa dan malam itu Sin Hauw beristirahat setelah seharian lelah melatih kekasihnya mendadak terdengar ributribut di luar. "Golok Maut dicuri! Golok Maut dicuri..!" Sin Hauw terkejut. Golok Maut, yang diteriakkan orang-orang di luar itu dipandangnya. Golok itu ada di samping pembaringannya dan tetap di situ, tak bergerak dan sehari itu tetap bersamanya. Maka ketika teriakan atau bentakan di luar itu membuatnya heran sekaligus terkejut tiba-tiba terdengar bentakan Kakbusu dan Lutung Putih, "Im-kan Sian-li, jangan berkhianat. ! Serahkan golok itu pada pangeran!" Sin Hauw melompat bangun. Di luar sudah terjadi ribut-ribut dan tawa yang aneh. Im-kan Sian-li, yang dikenal ketawanya tiba-tiba menendang seorang pengawal, membentak Lutung Putih dan terdengar jerit tertahan. Dan ketika Lutung Putih rupanya terbanting atau melempar tubuh bergulingan maka derap pengawal berdatangan dari segala penjuru, disusul teriakan dan suara-suara memaki. "Cegat nenek ini, jangan sampai lolos!" "Benar, jangan sampai lolos. Dia mencuri Golok Maut!" Sin Hauw jadi bingung. Kalau orang di luar sudah berteriak-teriak tentang Golok Maut padahal golok itu jelas ada di sampingnya maka Sin Hauw tak tahan untuk tidak meloncat, keluar dan berkelebat membuka jendelanya. Dan begitu Sin Hauw melihat apa yang terjadi di luar dan dua nenek lihai itu dikepung dan dikeroyok dari segala penjuru maka Sin Hauw mendengar kekeh mereka Golok Maut Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo yang menyeramkan, lalu melihat Kwi-goanswe dan lain-lain menyerang nenek itu. Nenek yang buntung mengebutkan ujung bajunya dan terlemparlah belasan pengawal yang berani mendekat, nenek yang lain membawa sebatang golok dan Sin Hauw terkejut melihat itu. Golok yang berkeredep menyilaukan tampak menyambar-nyambar dari tangan nenek yang ini, sedikit memantulkan warna merah dan Sin Hauw tentu saja bengong. Dan ketika dia menjublak sementara pertempuran sudah ramai disusul jerit atau pekik kesakitan maka golok di tangan nenek di sebelah kiri membabat dan menangkis senjata di tangan Kwi-goanswe ataupun Kak-busu, yang memegang sebatang tombak bercagak. "Cring-crang!" Sin Hauw terbelalak. Bagai membabat agar-agar dua senjata di tangan dua orang itu terbabat putus, Sin Hauw terkejut karena teringat keampuhan Golok Mautnya, persis dan sama. Dan ketika pengawal datang menyerang namun mereka dihalau golok di tangan nenek itu maka Im-kan Sian-li mengancam, "Minggir kalian, atau kubunuh!" Kwi-goanswe membentak. Lutung Putih melepas senjata-senjata gelap namun nenek itu menangkis, semuanya runtuh dan patah-patah, sebelum mengenai nenek itu. Dan ketika sinar merah berkelebat dan nenek itu menyambar Pek-wan maka Lutung Putih terbabat pundaknya dan mengaduh. "Crat!" Segumpal daging terlempar di udara. Kakek ini berteriak dan nenek itu terkekeh. Sin Hauw ngeri. Dia melihat kehebatan yang sama pada golok di tangan nenek itu. Tapi ketika dia mau bergerak dan memasuki pertempuran tiba-tiba Coa-ongya muncul disusul bentakannya yang nyaring, "Berhenti!" -oooOdwOooo- Jilid : VIII SEMUA orang terkejut. Coa-ongya tiba-tiba muncul di situ dengan muka merah padam, mendelik dan tampak betapa pangeran ini marah besar. Im-kan Siang-li, dua nenek lihai itu tampak terkejut, muka mereka berobah namun tiba-tiba mereka menyeringai. Dan ketika pangeran melangkah maju dan mendekati mereka maka pangeran membentak, "Im-kan Siang-li, apa yang kalian lakukan ini" Sadarkah kalian dengan apa yang kalian perbuat?" "Heh-heh!" nenek yang memegang golok, yang tampak tidak gentar dan tidak takut, tertawa. "Kami tahu apa yang kami lakukan, pangeran. Dan tentu saja kami sadar akan semua perbuatan kami!" "Keparat, kalian mencuri Golok Maut" Kalian berani melakukan itu?" "Heh-heh, Golok Maut bukan milikmu, pangeran. Maaf kami pinjam karena kami juga ingin memilikinya." "Tapi golok itu aku yang mendapatkan, kalian tak berhak dan cepat kembalikan?" "Ah, kau mendapatkan juga atas bantuan kami, pangeran. Jadi adil kalau kami juga meminjamnya sebentar!" "Keparat, kau membangkang?" "Tidak, kau yang pelit, pangeran. Seharusnya kami mendapat pinjaman sebentar dan kau biarkan kami pergi. Atau, heh-heh.. Sin Hauw ada di situ, pangeran. Dan kita bisa ramai!" Sang pangeran tertegun. Memang Sin Hauw ada di situ dan tadi tak jadi melompat maju, pangeran muncul dan dia menahan diri. Dan ketika pangeran menoleh dan semua orang memandangnya maka Sin Hauw menjadi pusat perhatian dan pangeran tampak terkejut. "Eh!" serunya. "Kebetulan, Sin Hauw. Kau bantu kami tangkap dua nenek ini!" Sin Hauw tertegun. Menghadapi keadaan yang membingungkan begini tiba-tiba dia tak dapat berpikir baik. Dia memandang goloknya dan golok di tangan nenek itu, berkali-kali, ragu dan bingung bagaimana tiba-tiba ada dua Golok Maut di situ, satu punyanya sedang yang satu lagi dipegang nenek Im-kan Siang-li. Dan belum dia menemukan kebingungannya tiba-tiba pangeran telah mendekatinya dan melompat berkata, "Sin Hauw, golokmu dicuri nenek itu. Mereka menukarnya. Golok di tanganmu palsu!" Sin Hauw terbelalak. "Benar, golok di tanganmu bukan yang asli, Sin Hauw. Im-kan Siang-li menukarnya dan golok di tangannya itulah yang asli!" Sin Hauw terkejut. "Benarkah, pangeran?" "Kau tanya semua orang, Sin Hauw. Dan buktikan golokmu asli atau bukan!" "Srat!" Sin Hauw mencabut goloknya, menggigil. "Kau jangan main-main, pangeran. Atau aku akan melakukan seperti dulu!" "Bodoh! Buktikan senjata itu, Sin Hauw, serang dua nenek siluman itu!" Sin Hauw membentak. Tiba-tiba tanpa banyak cakap dia sudah berkelebat ke depan, Coa-ongya didorong dan hampir saja pangeran itu terjengkang. Dan ketika sinar golok berkilat menyilaukan mata dan Sin Hauw sudah bergerak ke arah nenek itu maka pemuda ini sudah menyerang dan melakukan bacokan miring. "Singg..!" golok mendesing meremangkan bulu tengkuk. Pemuda itu sudah bergerak dan langsung menggunakan senjatanya, nenek yang diserang terkekeh dan tampak tidak gentar. Karena begitu Sin Hauw menyerang dan menggerakkan senjatanya tiba-tiba nenek ini pun menggerakkan golok dan menangkis. "Trang!" Golok Sin Hauw patah. Pemuda itu berteriak saking kagetnya. Dalam segebrakan saja goloknya putus, terpotong di-babat golok si nenek. Dan ketika Sin Hauw terpekik dan berseru kaget maka golok si nenek terus menyambar dan Sin Hauw membanting tubuh bergulingan. "Crass!" Golok itu menghajar batu. Tanah bekas injakan Sin Hauw hangus dan terbakar, Sin Hauw terkejut karena itulah benar golok yang asli. Dan ketika dia bergulingan melompat bangun dan sang nenek terkekeh maka pemuda ini pucat mendengar kata-kata sang pangeran, "Nah, lihat. Sin Hauw. Dustakah kata-kataku?" "Keparat!" Sin Hauw gemetar. "Bagaimana kau mencurinya, nenek siluman" Dan kapan kau melakukan ini?" "Tak usah tanya! Nenek itu akan berbohong, Sin Hauw. Lebih baik serang lagi dan biar kau dibantu yang lain-lain di sini!" sang pangeran berseru, memotong pertanyaan Sin Hauw dan nenek itu tak diberi kesempatan menjawab. Pek-wan dan lain-lain disuruh maju, membantu Sin Hauw. Dan ketika semua menerjang dan kembali membentak nenek itu maka Sin Hauw memungut goloknya dan termangu sejenak, tak tahu bagaimana hal itu bisa terjadi dan nenek Im-kan Siang-li terkekeh. Mereka sudah diserang dan dikeroyok lagi. Tapi ketika nenek itu memutar goloknya dan semua patah-patah bertemu golok di tangan nenek ini maka Pek-wan dan lain-lain pucat berseru pada Sin Hauw, minta tolong. "Sin Hauw, bantu kami. Jangan mendelong!" Sin Hauw sadar. Sang pangeran telah mendekatinya dan melompat memberikan sebuah golok baru, golok itu besar dan kuat, mengkilap dan terbuat dari baja yg baik. Dan ketika pangeran menyuruh dia maju dan minta agar tidak mengadu goloknya Sin Hauw sudah mengangguk dan berkelebat ke depan, membentak dan berkilauanlah cahaya golok yang naik turun, menukik dan menerkam dan dua nenek itu terkejut. Sin Hauw menyerang siapa saja di antara mereka berdua, tak perduli dan goloknya selalu ditarik bila mau berpapasan, menyerang lagi dengan jurus-jurus maut dan berkeredepanlah sinar menyilaukan mata ini ketika Sin Hauw sudah mainkan ilmu goloknya. Dan ketika pemuda itu beterbangan dan dari satu tempat ke tempat lain ia selalu melakukan jurusjurus berbahaya maka dua nenek itu sibuk sementara yang buntung berteriak pada saudaranya agar melindungi dirinya. "Keparat, kau jahanam berotak kerbau Sin Hauw. Kau tak tahu bahwa Coa-ongya menipumu dan mengibulimu habis-habisan. Pangeranlah yang mengganti golokmu, kau harus menuntut padanya dan tidak menyerang kami!" "Benar," nenek yang lain menyambung "Kami mengambil golok ini dari pangeran. Sin Hauw. Kau dipedayainya dan ditipu habis-habisan!" "Jangan dengarkan omongannya!" Coa-ongya membentak. "Nenek itu bawel mulutnya, Sin Hauw. Lebih baik kau serang dan rampas kembali golokmu!" "Sing-plak!" Sin Hauw tak menghiraukan, terus menyerang dua nenek itu dan mereka memaki-maki. Pek-wan dan lain-lain diminta Coa-ongya agar menyerang lebih hebat, dua nenek itu marah tapi sekarang Coa-ongya memberi tahu agar nenek yang buntung didesak lebih dulu, Sin Hauw mengangguk dan dapat mengikuti ini, mengerti bahwa nenek yang itu memang lebih lemah. Nenek ini hanya mempergunakan kedua kakinya untuk mengelak dan menendang, saudaranya di sana memegang golok sementara dia bertangan kosong, eh., mana.ada nenek buntung memegang senjata" Maka begitu Sin Hauw mulai menekankan serangannya pada nenek ini sementara nenek yang lain disibukkan serangan pengawal maka nenek buntung kelabakan diserang Sin Hauw, sebentar saja terdesak! "Sin Hauw, tahan seranganmu. Atau saudaraku akan membunuhmu!" "Sing-crat!" jawaban Sin Hauw berupa sambaran golok, tepat mengenai pundak si nenek dan nenek buntung itu menjerit. Dia melempar tubuh bergulingan ketika Sin Hauw mengejar, dua pengawal membantu namun nenek itu menendang, membuat dua pengawal ini mencelat. Tapi ketika dia melompat bangun dan Sin Hauw sudah ada di dekatnya maka golok pemuda itu bergerak dan kaki nenek ini terbabat miring. "Crat-aduh!" Nenek itupun meraung. Untuk kedua kali ia kesambar golok, untung tidak putus namun betisnya robek berdarah, luka memanjang karena serangan Sin Hauw tadi menyambar miring. Coa-ongya bertepuk tangan dan memuji pemuda itu, Sin Hauw menyerang lagi lebih hebat dan nenek itu melengking. Dan ketika dia berteriak dan Kak-busu membantu Sin Hauw maka nenek ini memaki kalang-kabut karena dirinya betul-betul kewalahan. "Aduh, bantu aku, toa-ci. Ke mari dan bunuh dua orang ini!" Sang toa-ci (kakak) terkejut. Saat itu dirinya dihadang puluhan pengawal, roboh satu maju sepuluh. Roboh sepuluh maju dua puluh. Dan karena Pek-wan selalu mendapat aba-aba dari Coa-ongya agar mencegah dan menghalangi dia membantu adiknya di sana maka nenek ini menggeram dan memekik marah. "Pek-wan, mundur. Atau kau kubunuh!" "Hm, serahkan golok dulu, nenek siluman. Baru setelah itu aku mundur!" "Keparat, kau bicara serius?" "Tentu, kau kira main-main" Ha-ha, serahkan golok, nenek bau. Dan baru setelah itu aku mundur!" "Kalau begitu terimalah!" nenek ini tiba-tiba melempar golok. "Kau boleh menikmatinya sejenak, kakek busuk. Tapi bantu adikku dari desakan Sin Hauw.. singg!" golok benar-benar menyambar Pek-wan, diberikan dan Lutung Putih tentu saja terbelalak, girang tapi cepat menerima golok itu. Dan ketika dia tertawa bergelak dan Golok Maut berpindah di tangannya maka dia meloncat ke kiri dan., kabur meninggalkan arena. "Heii..!" Coa-ongya terkejut. "Berikan padaku, Pek-wan. Kembali..!" Namun si Lutung Putih terbahak di sana. Dia tak kembali dan pangeran berteriak-teriak. Sin Hauw dipanggil dan semua orang terkejut. Dan karena kejadian itu memang di luar dugaan dan Sin Hauw menahan desakannya maka pangeran berseru, "Sin Hauw, kejar kakek Lutung itu. Golokmu diambilnya!" Sin Hauw tertegun. Memang ini kejadian mengejutkan, para pengawal ribut dan merekapun geger. Apa yang dilakukan Pek-wan adalah tiruan dari apa yang tadi dilakukan Im-kan Siang-li. Kini si Lutung yang mengambil golok itu dan melarikannya. Dan karena yang amat berkepentingan adalah Sin Hauw karena pemuda itulah pemilik utamanya maka Sin Hauw meninggalkan nenek buntung dan meloncat berjungkir balik mengejar si Lutung. "Pek-wan, kembalikan golok itu!" Pengawal benar-benar ribut. Sin Hauw berjungkir balik di atas kepala mereka dan sudah menghadang perjalanan lawan, Pek-wan tak dapat berlari karena pemuda itu sudah ada di depannya. Dan karena Sin Hauw marah dan membentak kakek itu maka golok di tangan langsung berkelebat dan menyambar kepala kakek itu, membuat lawan terkejut tapi Pek-wan menggerakkan goloknya. Gerak otomatis dari seorang ahli silat langsung di-kerjakan kakek ini. Dan persis golok Sin Hauw menyambar datang Golok Maut di tangannya itupun menyambut. "Crangg!" Golok Sin Hauw putus. Tadi dalam kemarahan dan kegeramannya Sin Hauw lupa pada pesan Coa-ongya. Goloknya memang tak boleh diadu dengan Golok Maut karena pasti kalah. Golok di tangannya itu adalah golok biasa meskipun terbuat dari baja yang baik, tak mungkin ditandingkan dengan Golok Maut. Maka begitu putus dan Sin Hauw sadar akan kekeliruannya maka Pek-wan tertawa bergelak mengejek padanya, "Minggir, Sin Hauw. Atau kau terbunuh oleh golokmu sendiri.. singg!" Golok Maut Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Sin Hauw mengelak, melempar tubuh bergulingan ketika Pek-wan mengejar, golok ampuhnya bekerja dan tentu saja Sin Hauw menghindar. Dan ketika pemuda itu bergulingan meloncat bangun namun Pek-wan terbahak di sana ternyata kakek itu melarikan diri dan sudah pergi lagi. "Ha-ha, tak usah mengejar. Sin Hauw. Tuntut saja Coa-ongya karena benar dia telah menipumu!" Sin Hauw tertegun. Untuk kedua kali la mendengar omongan ganjil, tadi Im-kan Siang-li sekarang kakek ini, padahal beberapa saat yang lalu Pek-wan adalah pembantu Coa-ongya, jadi musuh dari dua nenek lihai yang kini melotot. Sang toa-ci sudah menolong adiknya dan Kakbusu serta pengawal mencelat ditendang, Sin Hauw tak ada di situ jadi nenek buntung dapat bernapas lega. Dan ketika nenek itu melotot sementara Sin Hauw termangu dengan muka bingung tiba-tiba Im-kan Siang-li membentak dan mengejar si kakek Lutung, berkelebat di samping Sin Hauw. "Jangan bodoh, kau memang dipedayai Coa-ongya, Sin Hauw. Apa yang kau alami selama ini adalah tipuan. Tapi sekarang lebih baik golokmu diambil, mari kubantu dan bunuh si kakek Lutung itu!" Sin Hauw menggeram. Setelah diombang-ambing sejenak oleh kata2 dua orang itu akhirnya omongan si nenek di-anggap benar. Pek-wan harus dikejar dan goloknya dirampas kembali. Itu adalah peninggalan gurunya dan tak boleh Golok Maut dipegang orang lain. Maka begitu nenek itu mengejar dan Sin Hauw menyusul maka pemuda ini berkelebat dan sudah membentak si Lutung. "Pek-wan, kembalikan golokku!" Pek-wan terkejut. Sin Hauw dan nenek Im-kan Siang-li hampir berbareng menyambar punggungnya, nenek itu melepas jarum sementara Sin Hauw menyambar tombak seorang pengawal, tombak panjang yang ujungnya tahutahu sudah dekat dengan punggungnya. Dan karena kakek ini harus menangkis dan apa boleh buat berhenti berlari maka kakek itu membentak dan memukul pula jarumjarum si nenek Im-kan Siang-li. "Cring-trak-tas!" Ujung tombak dan jarum-jarum runtuh. Sin Hauw melotot namun menyerang kembali, nenek di sebelahnya sudah menerjang dan berseru keras. Dan ketika Pek-wan harus melayani dan dikeroyok dari muka dan belakang maka saat itu Coa-ongya membentak memerintahkan orang-orangnya maju, menyerang si Lutung. "Bunuh kakek itu. Rampas goloknya!" Berhamburanlah orang-orang mengeroyok kakek ini. Kak-busu dan lain-lain menerjang bersama, otomatis membantu Sin Hauw dan nenek Im-kan Siang-li. Lucu, tadi menyerang Im-kan Siang-li tapi sekarang malah membantu, inilah ulah atasan, pangeran Coa itu. Dan ketika Kak-busu dan lain-lain menerjang sementara Sin Hauw sendiri sudah membuang tombak untuk merampas yang baru maka pemuda ini membentak lawannya dan si Lutung Putih terkejut, cepat memutar golok tapi celaka sekali dia bukan seorang ahli golok, menangkis tapi Sin Hauw tak mau mengadu senjatanya lagi. Kini pemuda itu menusuk dan mainkan tombaknya dengan keahlian seorang profesional, ternyata Sin Hauw pandai mainkan senjata selain golok. Dan karena dari kiri kanan menyambar senjata-senjata lain sementara nenek Im-kan Siang-li juga melepas jarum-jarum berbahayanya maka Pek-wan sibuk dan akhirnya satu tusukan Sin Hauw mengenai pundaknya. Celakanya justeru menusuk bagian yang sudah terluka, yakni pundak yang tadi terbabat Im-kan Sian-li, ketika nenek itu masih memegang Golok Maut. Maka begitu kena yang luka dan kakek ini menjerit maka sebatang jarum akhirnya menancap di lehernya, disusul kemudian oleh tikaman pedang di tangan Kwigoanswe. Pek-wan yang tak mahir bersenjatakan golok akhirnya menjadi korban sendiri, Dan ketika kakek itu bergulingan sementara Sin Hauw mengejar dan melakukan serangan-serangan berbahaya akhirnya kakek ini mengaduh dan berteriakteriak. "Keparat, bantu aku, Im-kan Siang-li. Cegah dan serang mereka ini!" "Hi-hik, kau yang merampas dan berbuat curang, Pek-wan. Sekarang tak mungkin kubantu karena pangeran marah kepadamu!" "Tapi golok ini bisa kita miliki berdua, nenek busuk. Kau bantu aku atau golok ini kubuang!" Nenek itu terkejut. Pek-wan ternyata meskipun bersenjatakan sebuah golok yang ampuh namun sayang sekali kakek itu kurang mampu mempergunakannya. Hanya didorong ketamakannya memiliki senjata yang hebat kakek ini coba-coba merampas, tak tahunya gagal dan Sin Hauw serta Kak-busu dan lain-lain mengeroyok, masih mending nenek Im-kan Siang-li tadi karena mereka berdua, lain dengan si Lutung ini yang hanya seorang diri. Maka ketika terjangan dan desakan bertubi-tubi menyerang kakek itu sementara yang paling hebat adalah tombak di tangan Sin Hauw maka Lutung Putih mengeluh dan terguling-guling, mempergunakan goloknya namun senjata di tangan Sin Hauw mampu menyelinap. Dua kali tombak di tangan pemuda itu menusuk dan menghunjam, satu di antaranya di atas perut, berbahaya sekali keadaan kakek itu. Dan ketika Im-kan Siang-li tertegun sementara Sin Hauw memperhebat dan melakukan tekanannya akhirnya satu tusukan tombak kembali merobek paha kakek itu, menjerit dan Pek-wan marah sekali. Coa-ongya bertepuk tangan dan menyuruh bunuh kakek itu, pucat kakek ini. Dan ketika serangan pengawal dan Kak-busu serta Kwi-goanswe juga menyibukkannya dari mana-mana maka kakek ini melengking dan tiba-tiba golok, yang memang diincar dan menjadi sumber pertikaian dilempar, tinggi sekali dan semua orang terkejut. Dalam keputusasaannya kakek ini tiba-tiba membuang golok, melemparnya. Dan karena golok itu memang golok keramat dan semua orang menginginkannya tiba-tiba Kak-busu membentak dan berjungkir balik menyambar senjata itu, yang melayang tinggi di atas pohon. "Hei, jangan diambil. Serahkan itu pada pangeran!" Kwi-goanswe, yang mengira Kak-busu akan berbuat seperti Pek-wan berteriak marah. Jenderal tinggi besar ini langsung mengejar dan berjungkir balik puia, menusuk Kak-busu. Dan karena laki-laki itu hampir menyentuh golok tapi diserang dari belakang maka apa boleh buat dia menangkis dan membentak Kwi-goanswe, gagal menangkap golok. "Plak!" Dua orang itu sama-sama terpelanting. Baik Kak-busu maupun Kwi-goanswe sama-sama memaki. Kak-busu menyatakan tak ada niat untuk merampas golok, Kwigoanswe disemprot dan merahlah muka jenderal itu. Dan ketika mereka berjungkir balik melayang turun sementara golok terus melayang jatuh maka Im-kan Siang-li tiba-tiba melepas ikat-pinggangnya dan terkekeh merampas golok itu, dengan cara menggubatnya. "Siut-rrtt..!" Golok tahu-tahu terbelit. Dengan cara begini nenek itu telah merampasnya, tertawa dan meloncat tinggi. Dan ketika ia berjungkir balik dan melewati atas pohon maka nenek itu sudah berkelebat dan melayang jauh, melarikan diri. "Heh-heh, terima kasih, Pek-wan. Memang ini punyaku!" Namun, baru nenek itu berjungkir balik dan melewati pohon tiba-tiba bayangan Pek-wan dan Sin Hauw menyusul, membentak dan Sin Hauw bergerak tanpa suara. Pemuda ini marah sekali dan tiba-tiba melontar tombaknya. Dari belakang Sin Hauw mempergunakan tenaga lemas, tombak meluncur dan suaranya tidak terdengar nenek itu. Dan karena Pek-wan juga menyerang dan bentakan kakek itu kebetulan sekali menutup suara tombak maka tepat sekali tombak menancap di punggung nenek ini. "Crep!" Jerit mengerikan terdengar di situ. Si nenek lihai, yang tidak menyangka dan ditembus golok tiba-tiba terbanting. Tombak menancap persis di saat dia menginjak tanah, jadi kontan roboh ketika punggungnya ditancapi golok. Dan karena nenek itu tersungkur dan otomatis golok terlepas dari tangannya maka si Lutung Putih terbahak menendang nenek itu, merampas goloknya. "Ha-ha, Golok Maut milikku, nenek siluman. Dan sekarang kau tak mungkin hidup lagi... dess!" nenek itu mencelat, jauh ditendang kakek ini tapi tiba-tiba Sin Hauw membentaknya. Bersamaan dengan itu Kak-busu dan Kwi-goanswe sudah meloncat bangun, menerjang kakek ini. Dan ketika Sin Hauw juga melepas Kim-kong-ciang untuk menghantam Pek-wan tiba-tiba dari belakang mencuat sebuah tendangan dari nenek buntung, saudaia dari nenek yang roboh. "Plak-des-blukk!" Suara-suara itu disusul jerit dan bantingan tubuh. Sin Hauw, yang tidak menduga tendangan dari belakang tiba-tiba terlempar, mengeluh dan terbanting kaget. Dia memang lupa bahwa Im-kan Siang-li ada dua orang, yang pertama sudah roboh sementara yang kedua adalah nenek buntung itu, yang dulu dibuntunginya. Maka begitu melihat saudaranya tersungkur dan tentu saja si nenek buntung marah maka nenek itu sudah berkelebat dan menendang Sin Hauw, mengeluh dan terlempar sementara Kak-busu dan Kwi-goanswe di sana juga menubruk Pek-wan. Kakek Lutung Putih ini diterkam dan tak sempat mengelak, terguling dan mereka bertiga sama-sama roboh. Golok Maut terlepas lagi dan tiga orang itu berebut. Dan karena Kak-busu yang terdekat dan kebetulan golok tinggal meraih maka laki-laki ini menyambar dan golok pun sudah di tangannya. "Wut!" golok tiba-tiba bergerak. Entah kenapa mendadak laki-laki ini menyerang Kwi-goanswe, yang berteriak dan minta agar golok itu diserahkan padanya. Dan karena jarak mereka dekat dan Kwi-goanswe tak menduga maka bahu jenderal tinggi besar itu kesambar. "Crat!" Jerit kembali terdengar. Bahu jenderal itu sompal, darah memuncrat namun Pek-wan tiba-tiba bergerak. Kakek ini mencuri kesempatan dalam waktu yang amat sempit. Kak-busu baru saja membacok Kwi-goanswe dan cepat dia bergulingan, menyambar dari bawah dan menendang lawannya. Kak-busu kalah cepat karena baru saja dia menyerang Kwi-goanswe. Maka begitu tertendang dan mencelat terlempar golokpun terlepas dan kebetulan jatuh di tengah-tengah pengawal. "Hei, awas...!" "Tangkap!" Semua melotot. Saat itu Sin Hauw yg diserang nenek buntung tiba-tiba tak diperdulikan semua orang, mata tertuju pada golok yang jatuh di tengah-tengah ini, anehnya semua orang tibatiba berebut dan satu sama lain ingin memiliki. Rupanya, keampuhan golok telah membuat ngilar orang-orang ini. Pengawal pun ikut-ikutan mau berebut, saling berteriak dan mendorong yang lain. Dan ketika golok jatuh di tengah-tengah dan semua berebut tiba-tiba Kak-busu berkelebat dan menyambar golok itu, mendahului yang lain-lain, menendang. "Minggir.. plak-des-dess!" Golok tahu-tahu telah berada di tangan Kak-busu ini. Pandang mata dan sikap yang aneh tampak di mata busu itu, pangeran girang dan berseru agar busu itu menyerahkan golok padanya. Tapi ketika laki-laki ini tertawa aneh dan meloncat pergi tiba-tiba dia melarikan diri, membawa Golok Maut itu. "Hei..!" Coa-ongya terkejut. "Serahkan golok padaku, Kak-busu. Kembalikan!" Namun laki-laki itu tertawa. Dia berkelebat dan mau menghilang, Kwi-goanswe membentak dan tentu saja marah, tiba-tiba melayang ke depan laki-laki itu, yang ternyata mau melarikan diri dan membawa golok. Dan ketika jenderal ini menggerakkan pedangnya dan langsung membacok maka Kak-busu mendengus dan tentu saja menangkis, tak melihat bayangan kakek Lutung yang tiba-tiba bergerak di belakangnya. "Cring-dess!" Jerit tertahan terdengar di situ. Kak-busu tahu-tahu cerlempar, goloknya memapas buntung pedang di tangan Kwi-goanswe tapi laki-laki ini terkena hantaman Pek-wan, mencelat dan terlempar, goloknya terlepas dan sudah disambar kakek Lutung itu. Dan ketika golok berpindah tangan dan Kak-busu bergulingan terkejut maka Pek-wan ganti merampas golok itu dan melarikan diri. "Ha-ha, ini milikku, Kak-busu. Pergi dan biarkan aku sendiri!" Kak-busu terbelalak. Dia sudah tidak memegang golok Maut lagi dan Kwi-goanswe di sana tertegun. Semua orang juga tertegun karena untuk kedua kalinya Lutung Putih mendapatkan golok, yang kecelik jadi melongo tapi Coa-ongya gusar bukan kepalang. Sekarang Kak-busu maupun Pek-wan sama-sama tak dapat dipercaya, dua pembantunya itu sama-sama berkhianat dan mereka ingin mengangkangi golok, pangeran ini mendelik dan marah bukan main. Tapi ketika Pek-wan meloncat pergi dan tertawa-tawa tiba-tiba menyambar tujuh golok terbang di mana dua di antaranya tidak bersuara, menyambar punggung kakek ini. "Sing-crep-crep!" ! Jerit ngeri terdengar di situ. Pek-wan yang tidak mendengar sambaran dua golok di punggungnya tiba-tiba roboh tertembus, mendengar yang lain dan menangkis namun yang dua ini lolos dari pendengarannya. Kakek itu membalik dan meruntuhkan lima golok di depan, tak tahu dua golok yang terakhir menuju punggungnya, yang kini otomatis menyambar dada karena kakek itu membalik. Jadi, kontan dua golok terbang ini mengenai dadanya, amblas dan tembus sampai ke punggung. Dan ketika kakek itu mendeiik dan roboh dengan golok terlepas maka Sin Hauw sudah berkelebat dan tahu-tahu merampas goloknya. "Des-dess!" Kakek itu mencelat. Sin Hauw telah menendangnya dan pemuda itu mendapatkan kembali Golok Mautnya, tegak berdiri dengan mata bersinar-sinar. Dan ketika yang lain tertegun dan Pek-wan menggelepar dan Golok Maut Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo akhirnya menuding-nuding tiba-tiba kakek itu roboh dan tidak bergerak-gerak lagi, tewas. "Sin Hauw, ah., untung kau sudah mendapatkan golokmu!" Coa-ongya, yang girang melihat pemuda itu menewaskan si Lutung tibatiba berseru memeluk. Pangeran ini tampak gembira dan berseri-seri memandang pemuda itu, yang menggigil dan berkerut memandang Golok Maut, heran bagaimana senjata yang ada di tangannya itu tiba-tiba berganti, mendapat yang palsu dan yang asli ini dicuri orang, begitu yang dilihatnya. Tapi ketika pangeran memeluknya dan memuji serta tampak girang nenek buntung berteriak sementara Kak-busu tiba-tiba melarikan diri! "Sin Hauw, kau jahanam keparat..!" Sin Hauw mengerutkan kening. Tadi dia meninggalkan nenek ini melepas hui-to (golok terbang), menyerang Pek-wan yang mau melarikan diri dengan membawa Golok Maut, hal yang tentu saja tak akan dibiarkannya. Maka begitu si nenek menyerang sementara Kak-busu melarikan diri tiba-tiba Sin Hauw mendengus dan menendang nenek itu. "Im-kan Siang-li, kau pergilah..!" Nenek itu mencelat. Sin Hauw tak tega mempergunakan goloknya karena nenek itu pasti buntung lagi, kakinya menerima kaki si nenek dan nenek itu terlempar. Dan ketika nenek itu menangis dan memaki-makinya mendadak Kwi-goanswe dan lain-lain disuruh pangeran menangkap Kak-busu. "Hei, tangkap dia. Bunuh!" Sin Hauw terkejut. Kak-busu tiba-tiba berteriak minta tolong padanya, diserang dan laki-laki itu kalang-kabut. Kak-busu kehilangan senjatanya akibat Golok Maut itu, ketika terjadi perebutan dan kegaduhan. Dan ketika Kwi-goanswe dan para pengawal menerjangnya hampir berbareng maka laki-laki ini menjerit ketika pedang dan tombak ada yang mengenainya, luka dan laki-laki itu terjungkal. Kwi-goanswe membentaknya dan mengejar, saat itulah laki-laki ini berteriak meminta tolong Sin Hauw. Dan ketika dia bergulingan menyelamatkan diri namun bacokan Kwi-goanswe masih menyambar bahunya maka laki-laki ini mengaduh dan sekali lagi memanggil Sin Hauw. "Sin Hauw, tolong. Selamatkan aku. Kau ditipu Coa-ongya!" Sin Hauw terbelalak. Untuk kesekian kalinya dia diberi tahu bahwa dia ditipu Coa-ongya, dan semua yang mengatakan itu adalah bekas pembantu-pembantu pangeran ini. Jadi, tak mungkin mereka bohong dan agaknya ada sesuatu yang tak beres di sini, entah apa. Sin Hauw mengerutkan kening dan tentu saja tak senang, memandang pangeran tapi Coa-ongya buru-buru membentak, mengatakan itu tak benar dan pangeran malah minta agar Kak-busu dibunuh. Sin Hauw disuruh menyerang dan membantu Kwi-goanswe. Dan ketika Sin Hauw masih ragu-ragu dan Kak-busu kembali berteriak menyelamatkan diri dari serangan Kwigoanswe dan lain-lain bekas pembantu Coa-ongya itu berseru lagi, menuding nenek buntung, "Kau tanyalah dia. Nenek itu pasti akan disuruhnya tangkap pula, Sin Hauw. Kami berdua mengetahui kebusukan dan kecurangan pangeran. Golok Maut pangeranlah yang menukarnya!" "Bohong!" pangeran Coa membentak marah. "Mereka itulah yang melakukannya. Sin Hauw. Nanti dapat kujelaskan kalau Kak-busu sudah kau bunuh. Cepat bantu Kwi-goanswe, jangan biarkan dia mempengaruhi pikiranmu!" Sin Hauw bingung. Saat itu tiba-tiba dia dibuat bimbang, Kwi-goanswe sudah menyerang lagi namun Kak-busu mengelak, laki-laki ini berteriak-teriak lagi tentang pangeran, bahwa Sin Hauw ditipu dan dikelabuhi mentah-mentah. Sin Hauw boleh bertanya pada nenek buntung kalau tidak percaya, mulai menyebut-nyebut bahwa enci Sin Hauw itupun palsu, encinya yang asli sudah terbunuh dan Sin Hauw tertipu. Dan ketika Sin Hauw terkejut dan tentu saja terkesiap maka Kak-busu menjerit ketika tombak dan pedang di tangan Kwi-goanswe hampir saja memutuskan lehernya. "Aduh! Cepat, Sin Hauw. Atau kau akan terlambat dan Coa-ongya membunuhmu di belakang hari, tanpa kau sadari!" Sin Hauw jadi penasaran. Dia gemas oleh semua katakata ini, nenek buntung tiba-tiba berkelebat dan menangis membawa encinya, yang sudah tewas, Dan ketika pangeran tertegun dan menyuruh kejar nenek itu tiba-tiba Kak-busu berteriak lagi, "Nah, lihat. Sin Hauw. Kalau tak ada apa-apa tak mungkin Coa-ongya menyuruh kejar nenek itu. Dia pasti membunuhnya, pangeran ingin membungkam kami!" "Wut!" Sin Hauw berkelebat, menolong Kak-busu. "Jangan bunuh orang ini, Kwi-goanswe, Biarkan dia roboh dan kita tangkap saja!" Kwi-goanswe dan lain-lain terlempar. Sin Hauw mendorong dan hanya menyentuh perlahan, tapi karena pemuda itu mengerahkan sinkangnya dan tentu saja Kwigoanswe tak kuat maka jenderal tinggi besar itu terpelanting sementara pengawal juga berteriak dan terguling-guling. Mereka terlempar menjauhi Kak-busu, Sin Hauw sudah merobohkan dan menangkap laki-laki ini, Dan ketika Kak-busu mengeluh dan minta agar Sin Hauw membawanya pergi maka Coa-ongya meloncat dan berkata marah, "Tidak, Kak-busu telah melakukan kesalahan besar. Sin Hauw, Dia harus dibunuh dan berikan padaku!" sang pangeran merampas pedang, menyambarnya dari Kwigoanswe dan langsung menusukkannya ke dada Kak-busu. Sekali kena tentu busu itu tewas, dadanya bakal berlubang, Tapi Sin Hauw yang tentu saja tak membiarkan itu dan menangkis perlahan tiba-tiba membuat sang pangeran menjerit dan pedang pun terlepas dari tangannya. "Aduh, keparat kau, Sin Hauw. Terkutuk kau!" sang pangeran terguling-guling, marah tapi Sin Hauw cepat menyambar tubuhnya. menolong dan tentu saja Sin Hauw minta maaf. Dan ketika pangeran melotot dan Sin Hauw menepuk-nepuk membersihkan bajunya maka Coa-ongya agak gusar meskipun sedikit terhibur. "Maaf, pangeran. Aku tak sengaja. Kak-busu tak boleh dibunuh!" "Tapi dia mempengaruhimu, dia menghasut!" "Hm, itu dapat diselidiki, pangeran.Kalau bohong tentu paduka dapat menghukumnya!" "Ah, terlalu lama, Sin Hauw. Dia dapat melantur macam-macam dan kau akan terpengaruh. Aku ingin membunuhnya dan berikan dia padaku!" "Tidak, paduka harus menahan diri, pangeran. Atau aku akan mempercayai omongannya!" Coa-ongya tertegun. Sin Hauw memandangnya tajam dan tentu saja pangeran ini berdetak. Dia harus berhati-hati kalau tak ingin Sin Hauw curiga. Maka melepas pegangannya dan tersenyum pahit pangeran ini berkata, "Baiklah, Sin Hauw. Kau rupanya termakan juga omongan pemfitnah ini. Nah, mau kau apakan dia dan mau dikemanakan!" "Bagaimana menurut pendapat paduka?" "Sebaiknya Sin Hauw mengejar dulu nenek buntung itu, pangeran. Im-kan Sian-li telah membuat keributan dan mengacau!" Pangeran mengerutkan kening. Kwi-goanswe tiba-tiba melompat dan berdiri di samping Sin Hauw, memberi kedipan, ditangkap pangeran dan tentu saja Sin Hauw tak tahu. Dan ketika pangeran mengangguk dan teringat itu tiba-tiba pangeran berkata, "Benar, nenek keparat itu harus kau bekuk pula. Sin Hauw. Ini perintahku dan jangan kau membantah!" "Ah, tidak!" Kak-busu berteriak. "Jangan biarkan aku di tempat orang-orang ini. Sin Hauw. Jangan tinggalkan aku dan biar kau bawa!" "Hm, kau cerewet!" Kwi-goanswe tiba-tiba menotoknya. "Hwa Kin dapat menjagamu, Kak-busu. Kalau Sin Hauw mengejar si nenek pengkhianat kau dapat diberikan pada encinya!" "Benar," pangeran berseri-seri. "Kak-busu dapat kau titipkan sebentar pada encimu. Sin Hauw. Kau dapat merasa aman kalau curiga terhadap kami!" Sin Hauw tertegun. Saat itu Kak-busu tak dapat bicara lagi, busu ini ah-uh-ah-uh namun tak dapat mengeluarkan suara. Sebenarnya takut dan pucat bukan main busu ini. Sin Hauw tak tahu betapa dengan licik Kwi-goanswe sengaja "membungkam" mulut busu itu, menotok urat gagunya, membuat si busu tak dapat bicara dan teniu saja segala laporannya bakal tak didengar Sin Hauw. Dan ketika pangeran bicara seperti itu dan buru-buru bertepuk tangan dua kali maka muncullah Hwa Kin yang keluar dengan tubuh menggigil, pucat dan gemetar. "Pangeran, aku.. aku dipanggil?" "Benar, ke marilah, Kin-moi, Bawa dan jaga tikus busuk ini. Adikmu menangkapnya, mau rnengejar nenek buntung tapi mungkin Tin Hauw curiga kepada kami. Nah, bawalah dia dah seret ke kamarmu!" "Aku tak kuat!" "Pengawal dapat membantumu, atau mungkin Sin Hauw!" dan Coa-ongya yang memandang serta meminta pendapat Sin Hauw akhirnya membuat pemuda itu bergerak dan sudah menyambar Kak-busu ini, meloncat dan membawa Kak-busu ini ke kamar encinya. Hwa Kin pucat pasi namun Coa-ongya menggamit, cepat mengikuti Sin Hauw dan Kwi-goanswepun melompat, membayangi pemuda itu. Dan ketika Sin Hauw sudah melempar Kakbusu dan minta agar encinya menjaga baik-baik maka pemuda itu berkelebat dan lenyap mengejar nenek buntung. "Pangeran, sebaiknya yang lain tak usah mengikuti. Biar nenek itu kutangkap sendiri!" "Tapi..." "Tidak!" pemuda itu berseru dari jauh. "Aku tak perlu bantuan, pangeran. Seorang diri aku dapat menangkap dan biarkan yang lain di sini!" Terpaksa, karena Sin Hauw bernada keras dan lagi-lagi pangeran tak mau dicurigai maka pangeran menarik napas dan menyuruh yang lain berjaga, sisanya membersihkan bekas-bekas pertempuran dan terbanglah Sin hauw mengejar nenek itu. Dan ketika Sin Hauw lenyap sementara dari jauh ia meminta encinya menjaga baik-baik busu itu maka Kak-busu ditinggal dan Sin Hauw merasa tenang sejenak. Tapi benarkah" Inilah kelicikan Coa-ongya yang bakal terbongkar! ooooo0d0w0ooooo "Hei, berhenti! Tunggu sebentar, nenek siluman. Berhenti dan tunggu dulu!" Sin Hauw akhirnya menemukan nenek itu, tersaruk-saruk melarikan diri dan nenek ini membawa mayat encinya. Im-kan Sian-li yang seorang sudah tewas dan Sin Hauw berjungkir balik di depan nenek buntung ini, turun dan menghadang perjalanan orang. Dan ketika nenek itu berhenti dan otomatis tak dapat meneruskan larinya maka Sin Hauw dipandangnya dengan mata penuh kebencian, bersinar-sinar. "Kau mau apa. Sin Hauw" Membunuhku?" "Hm, tidak," Sin Hauw merasa kasihan juga. "Golok Maut telah berada di tanganku, nenek buruk. Dan aku tak ingin membunuhmu." "Tapi kau menghadang lariku!" "Maaf, kau harus kembali, nenek buruk. Pangeran minta kau ke sana dan mempertanggungjawabkan perbuatanmu." "Keparat, kau mau menangkap aku Sin Hauw" Kau membela orang yang menipumu habis-habisan?" "Hm, aku tak mengerti ini, nenek siluman. Tapi coba kau terangkan padaku bagaimana semuanya ini." "Aku tak mau bicara! Kau kerbau dungu yang bodoh!" "Kalau begitu kau kutangkap, kuseret dan akan kuhadapkan Coa-ongya!" "Keparat, kau jahanam. Sin Hauw. Kau bocah tengik yang tidak berjantung!" dan si nenek yang menerjang dan meletakan mayat encinya tiba-tiba menubruk dan memutar kakinya, menendang dan melakukan serangan miring namun Sin Hauw dapat menghalau, Dengan mudah dia mengibas kaki nenek itu, diserang lagi tapi Sin Hauw kali ini mundur selangkah, membiarkan kaki si nenek lewat dan tiba-tiba ia menangkap. Dan ketika Sin Hauw memencet dan kaki itu tertangkap maka si nenek menjerit dan meronta-ronta dengan kaki yang lain. "Aduh, lepaskan. Sin Hauw. Lepaskan..!" "Aku akan melepaskan, tapi kau harus mengaku!" "Mengaku apalagi" Kau yang bodoh tak dapat melihat mana orang baik atau jahat, Sin Hauw. Kau kerbau tolol yang tidak punya otak.. aduh!" si nenek menjerit, Sin Hauw memencet jalan darah di punggung kaki dan rasa nyeri menyengat kakinya. Dari bawah sampai ubun-ubun nenek ini diserang rasa sakit yang hebat, dia meronta namun Sin Hauw mencengkeram jari kakinya. Dan karena nenek ini buntung tak mempunyai kedua lengan maka dia kerepotan tersengkal-sengkal, mau jatuh tapi Sin Hauw menahan. Ditahan tapi Sin Hauw mendorongnya maju mundur, akibatnya nenek ini mau jatuh juga, pucat dan marahlah nenek itu. Dan ketika Sin Hauw memencet jalan darahnya dan dia dipaksa mengaku maka nenek ini berkaokkaok. "Aduh, lepaskan. Aku mengaku!" "Hm," Sin Hauw melepaskan. "Sekarang ceritakan padaku bagaimana semuanya ini, nenek buruk. Dan bagaimana kau serta yang lain-lain mengatakan aku ditipu Coa-ongya!" "Tentu saja! Pangeran yang menukar golokmu, Sin Hauw. Kau yang bodoh tak mengetahui itu. Hal itu dilakukannya ketika kau pingsan, beberapa bulan yang lalu! Bukankah kau tak merasa karena cerdiknya pangeran ini" Nah, kau memang ditipunya. Sin Hauw. Golok Maut yang asli ditukar pangeran dengan golok yang mirip, palsu tapi mirip!" Sin Hauw tertegun. "Kau tak bohong?" "Hm, bohong tak ada gunanya, Sin Hauw. Itulah keteranganku dan kau boleh tanya Kak-busu atau Kwigoanswe!" "Apalagi yang kau ketahui?" Nenek itu melotot. "Apa imbalannya untuk semua ini. Sin Hauw" Bukankah aku akan tetap kau serahkan Coaongya?" "Tidak," Sin Hauw menggeleng. "Kau boleh bebas kalau memberitahukan semua yang kau ketahui, nenek buruk. Tapi tentu saja semua itu harus benar!" "Aku tak bohong, tentu saja benar!" "Baiklah, lanjutkan ceritamu. Apa yang kau ketahui!" Golok Maut Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Kau berjanji membebaskan aku" Benar-benar membebaskan aku?" "Sumpah demi guruku, nenek buruk. Tapi kau jangan bohong!" "Aku tak akan bohong, aku akan berkata sebenarnya, seperti apa yang aku ketahui! Nah, apa yang ingin kau ketahui, Sin Hauw, tanyakan dan boleh kau buktikan nanti!" "Aku ingin mengetahui apa saja, yang menyangkut diriku. Golok Maut sudah kau terangkan dan barangkali coba kau jawab tentang enciku," Sin Hauw tiba-tiba teringat. "Benarkah enciku tewas dan siapa wanita yang ada di gedung Coa-ongya itu!" "Dia memang bukan encimu!" nenek itu ketus menjawab. "Dia wanita lain yang mirip encimu. Sin Hauw. Coa-ongya memang keji karena tidak tanggung-tanggung menipumu" Sin Hauw tergetar. "Bagaimana mungkin" Dia enciku, nenek buruk. Dan segala gerak-gerik serta wajahnya adalah enciku!" "Inilah kelihaian Coa-ongya. Gadis itu memang mirip encimu, Sin Hauw. Tapi sebenarnya dia selir Coa-ongya! Gadis itu temuan Kwi-goanswe. Coa-ongya dan Kwigoanswe memang bekerja sama. Encimu sebenarnya telah terbunuh enam tahun yang lalu!" "Bagaimana aku dapat mempercayai itu?" Sin Hauw semakin menggigil. "Dan bagaimana aku membuktikannya?" "Bodoh! Kau dapat menanyainya tentang sesuatu yang pernah terjadi di antara kalian, Sin Hauw. Masa kecil kalian atau apa saja yang teringat olehmu, sesuatu yang penting!" Sin Hauw pucat. Setelah nenek ini bicara tentang itu dan dia bertanya apakah nenek itu berani dibuktikan ternyata nenek ini terkekeh, mengangguk dan bersedia dibuktikan. Sin Hauw boleh menanya encinya, itu dan si nenek akan menunggu. Dan ketika Sin Hauw marah dan merah padam maka si nenek balik bertanya, "Di mana Kak-busu" Telah kau bunuh?" "Tidak, dia kutangkap. Di gedung Coa-ongya!" "Hi-hik, kau membiarkan umpan begitu empuk di hidung Coa-ongya, Sin Hauw" Kau membiarkan Kak-busu mampus secara konyol?" "Apa maksudmu?" "Sebuah kebodohan lagi kau buat, Sin Heuw. Kak-busu akan dibunuh karena dia juga mengetahui rahasia ini!" "Tapi dia kuserahkan enciku!" "Dia bukan encimu. Dia Tang Kiok!" Sin Hauw tertegun. "Nah, ini kesempatan baik untuk menguji babak pertama. Sin Hauw. Kau boleh buktikan bahwa Kak-busu pasti sudah dibunuh! Orang yang kau anggap encimu itu tak mungkin dapat menjaga Kak-busu. Diapun kaki tangan Coa-ongya!" "Aku akan membuktikan!" Sin Hauw sudah tak tahan. "Kau ikut aku dulu, nenek siluman. Kalau cocok baru kau kulepaskan!" Sin Hauw menyambar nenek ini, menotok tengkuknya dan nenek itu roboh. Im-kan Siang-li tentu saja menjerit dan berteriak-teriak, Sin Hauw dimakinya sebagai pemuda yang tak menepati janji. Tapi ketika Sin Hauw berkata bahwa nenek itu hanya dibawa sebentar untuk melihat keadaan di gedung Coa-ongya maka nenek itu pucat dan memaki-maki, tak percaya. "Kentut busuk. Kau bohong, Sin Hauw. Kau penipu. Kau ternyata sama dengan Coa-ongya!" "Tidak, aku pasti membebaskanmu, nenek buruk. Tapi coba kubuktikan dulu apakah benar Kak-busu dibunuh!" "Tentu dibunuh, aku berani taruhan! Tapi bawa pula mayat saudaraku!" "Hm, kau dapat membawanya nanti, nenek siluman. Sekarang tak perlu banyak cakap dan kau diam saja!" Sin Hauw menggerakkan jarinya, menotok urat gagu nenek itu dan kini si nenek tak dapat berkaok-kaok. Nenek itu mendelik dan gusar bukan kepalang. Sin Hauw sudah membawanya terbang dan kembali ke gedung Coa-ongya. Dan ketika tak lama kemudian Sin Hauw sudah melempar nenek itu di tempat tersembunyi dan langsung berkelebat masuk sendirian maka Coa-ongya ternyata menyambut bersama Kwi-goanswe, juga seratus pengawal yang tiba-tiba sudah disiapkan di situ, seolah perang! "Bagaimana, Sin Hauw" Mana nenek itu?" Coa-ongya tampak tegang, melihat Sin Hauw merah mukanya namun pemuda itu dapat mengendalikan diri. Tiba-tiba Sin Hauw menjadi cerdik untuk tidak melakukan sesuatu secara gegabah. Jejak yang mulai terang bisa menjadi gelap lagi kalau dia terburu-buru. Maka begitu melihat pangeran datang menyambut dan seratus pengawal siap dengan senjata bergetar maka Sin Hauw pura-pura menahan marah dan memaki nenek itu, "Maaf, aku gagal, pangeran. Nenek itu melarikan diri entah ke mana. Aku terpaksa pulang untuk minta bantuan. Nenek itu licin, dia rupanya masuk hutan!" "Hm, kau tak bohong?" Sin Hauw terkejut. "Kukira kau sudah menemukan nenek itu, Sin Hauw. Tapi kau terhasut! Kau menyembunyikan sesuatu!" Sin Hauw berdetak. Kalau tak ingat bahwa rupanya dia dijebak dan pertanyaan itu mengandung tipuan barangkali ia akan terkecoh. Untung, Sin Hauw ingat itu dan kini sikapnya terhadap Coa-ongya penuh kehatihatian. Sin Hauw justeru mengerutkan kening dan menampakkan ketidak-senangannya mendengar kata-kata ini, sebuah tuduhan langsung! Maka ketika pangeran memandangnya tajam dan dia balas memandang tak kalah tajam maka Sin Hauw membalik dengan sebuah pertanyaan getas, "Pangeran, bagaimana paduka menuduh demikian" Beginikah cara paduka menyambut seorang yang telah mati-matian membantu paduka" Di mana penghargaan paduka terhadap seorang yang telah mati-matian bekerja keras?""Maaf," pangeran tiba-tiba tertawa. "Aku rupanya terlampau bercuriga. Sin Hauw. Terus terang saja aku khawatir kau telah menemukan nenek itu dan mendengarkan omongannya yang tidak-tidak. Ah pembantuku telah berkhianat semua, terkutuk mereka itu!" dan Coa-ongya yang mempersilahkan Sin Hauw masuk lalu bertepuk tangan dan mengajak Sin Hauw ke ruang dalam, ke meja makan. "Mari.. mari. Sin Hauw. Betapapun aku ingin membuang semua kejadian ini dengan suasana baru. Aku ingin berterima kasih bahwa kau telah membunuh Pek-wan dan satu di antara dua nenek keparat itu!" Sin Hauw tertegun. "Paduka mau apa" "Membuang rasa sebal. Sin Hauw. Mengajak semua orang termasuk pengawal bersenang-senang! Mereka telah ikut mengamankan tempat ini, wajib diberi sekedar tanda terima kasih dengan makan minum bersama!" "Ah, tapi.. tapi aku ingin bertemu enciku, juga Kak-busu!" "Ha-ha, dapat dilakukan setelah makan minum. Sin Hauw. Ayolah tak lari gunung dikejar. Biar encimu kupanggil dulu!" dan sang pangeran yang bertepuk dan minta agar Hwa Kin dipanggil lalu melihat wanita itu muncul tak lama kemudian, berlari menubruk Sin Hauw dan bertanya bagaimana dengan nenek yang dikejar. Sin Hauw agak tertegun dan ragu dipeluk wanita ini, teringat kata-kata Kak-busu maupun si nenek buntung bahwa wanita ini bukanlah encinya. Dia wanita lain yang entah bagaimana betul-betul mirip dengan encinya. Dan ketika Sin Hauw tertegun dan semua gerak-geriknya itu diamati pangeran maka Coa-ongya batuk-batuk dan berdehem. "Kenapa, Sin Hauw" Kau teringat kata-kata Kak-busu?" Sin Hauw terkesiap. Coa-ongya ini tajam benar pandangannya, tepat menebak dengan sekali melihat. Tapi Sin Hauw yang tentu saja cepat menekan kekagetannya dengan pura-pura balas memeluk encinya membuang rasa gugup. "Hm, apa maksudmu, pangeran" Kata-kata yang mana?" Sin Hauw pura-pura bodoh, mengerutkan kening dan Coaongya tertawa. Untuk kedua kalinya dia jadi ragu melihat jawaban pemuda ini. Sin Hauw sekarang sudah cerdik dan dapat melayaninya tak kalah pintar! Dan ketika pemuda itu balik bertanya dan tentu saja pangeran ini tak mau menjawab maka dia berkata menepuk keduanya, "Ha-ha, sudahlah, Kin-moi. Ayo kita duduk dan nikmati hidangan!" Hwa Kin mengangguk. Wanita ini terisak menanya Sin Hauw bagaimana hasil pengejarannya, Sin Hauw menjawab gagal dan dengan muram pura-pura memaki nenek buntung itu. Dan ketika dia duduk dan balas bertanya bagaimana keadaan Kak-busu maka encinya itu menarik napas panjang. "Kak-busu tetap di kamarku, dia tetap meringkuk. Apakah ingin kau lihat, Sin Hauw?" "Ah," pangeran buru-buru menutup. "Hidangan belum disentuh, Kin-moi. Masa mau pergi" Ayo kita nikmati dulu, baru setelah itu ke tempat Kak-busu!" Coa-ongya mengambil mangkok piringnya, bertepuk tangan dan menyuruh semua orang mengikuti. Saat itu memang seratus pengawal telah duduk di kursi panjang, berderet dan teratur dan mereka rupanya benar-benar siap menghadapi hidangan. Sin Hauw tak melihat sesuatu yang mencurigakan kecuali persiapan seratus pengawal itu, mereka seolah siap tempur dan mau maju perang. Dan ketika pangeran mengajak bercakap-cakap sambil makan minum maka Sin Hauw mengambil dan membaui semua makanan, tentu saja dengan diam-diam dan dia tak merasakan bius atau racun. Jadi, makanan itu bersih dan tidak ada apa-apanya. Namun ketika perjamuan berjalan setengah selesai dan pangeran siap membawa Sin Hauw ke tempat Kak-busu tiba-tiba bergegas seorang pengawal yang terbungkukbungkuk melapor, menggigil, "Maaf, pangeran. Kak-busu... Kak-busu bunuh diri membenturkan kepalanya ke tembok!" "Apa?" dua seruan itu berbareng meluncur dari mulut Coa-ongya dan Sin Hauw. "Kak-busu bunuh diri?" "Beb.. benar, pangeran. Hamba mohon ampun!" "Keparat! Kau... kau bedebah!" Coa-ongya tiba-tiba marah, bangkit dan menendang pengawal itu dan pengawal itu mengaduh. Kwi-goanswe tiba-tiba bangkit dan membentak. Dan ketika pengawal itu bangun berdiri namun jenderal ini menggeram marah tiba-tiba sinar putih berkeredep dan pedang jenderal itu menabas kepala pengawal ini. "Bodoh, kau tak becus dan pantas dibunuh. Jahanam!" dan pedang yang menyambar si pengawal dan tepat mengenai lehernya tiba-tiba sudah disusul muncratnya darah segar dan menggelindingnya sebuah kepala, tak sempat lagi pengawal itu berteriak karena dia sudah tewas saat itu juga. Semua orang menjadi geger dan Sin Hauw terkejut bukan main, perbuatan Kwi-goanswe ini benar-benar tak diduga. Dan ketika pangeran juga berseru keras dan kaget menegur jenderal itu maka Kwi-goanswe menyimpan pedangnya dan sudah membungkuk. "Maaf, pangeran. Hamba... hamba terlanjur naik pitam. Laporan pengawal ini sungguh mengejutkan dan membuat hamba marah!" "Ah, tapi kau harus minta persetujuanku dulu, goanswe. Bukan langsung membabat dan membunuh begini!" "Hamba bersalah," sang jenderal menunduk. "Tapi kalau tidak begini mungkin Sin Hauw mencurigai kita, pangeran. Barangkali dia akan menduga bahwa kitalah yang menyuruh bunuh Kak-busu itu. Sekarang Sin Hauw boleh melihat kesungguhan kita. Hamba membunuh pengawal dan mudah-mudahan ini menghilangkan kecurigaan Sin Hauw!" Sin Hauw dan pangeran tertegun. Memang tak dapat disangkal bahwa tadi sebenarnya Sin Hauw bercuriga. Kak-busu jangan-jangan memang sengaja dibunuh dan kini pengawal itu pura-pura datang, atas suruhan pangeran atau siapa saja. Kini jadi lenyap kecurigaannya setelah Kwi-goanswe bicara seperti itu. Sin Hauw merah mukanya dan tentu saja sedikit tertampar. Dan ketika dia terkejut sementara pangeran tertegun maka Coa-ongya menarik napas mengangguk-angguk. "Ah, maaf. Benar juga, Kwi-goanswe. Sin Hauw memang bisa bercuriga terhadap kita. Kalau begitu mari cepat kita ke sana!" pangeran tak menunggu waktu lagi, bergegas meloncat ke dalam dan Sin Hauwpun mengikuti. Lenyap dugaan Sin Hauw akan sangkaan yang tidak-tidak, sudah mati "dibuntu" Kwigoanswe. Dan ketika mereka tiba di sana dan pintu kamar itu terbuka maka Sin Hauw dan Coa-ongya terhenyak memandang ke dalam. Kak-busu, yang tadi dititipkan dan berada di kamar Hwa Kin ternyata sudah menggeletak mandi darah. Kepalanya pecah dan tak mungkin busu itu hidup lagi. Sin Hauw termangu sementara orang-orang lain pun berdatangan. Dan ketika tempat itu penuh orang dan Hwa Kin juga menyusul kaget maka wanita ini tertegun dan menjublak. "Bagaimana bisa terjadi ini" Kenapa tidak dijaga baik-baik" Oh, aku menyesal. Sin Hauw, Aku minta maaf!" Hwa Kin menubruk Sin Hauw, mengguguk dan menangis di Golok Maut Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo situ tapi Sin Hauw sudah dapat menguasai perasaan hatinya. Kejadian itu dianggapnya benar dan sang encipun dihibur, tak perlu menangis dan akhirnya mayat kakek itu disuruh ambil. Lantai yg penuh darah segera dibersihkan dan Coa-ongya berkali-kali menghela napas. Penyesalan juga tampak di wajah pangeran ini dan Sin Hauw tak menaruh curiga. Dan ketika perjamuan berobah menjadi getir dan mayat pengawal yang dibunuh Kwi-goanswe juga disingkirkan maka tak lama kemudian Sin Hauw sudah berkelebat dan pamit sebentar, menemui nenek buntung. "Kau benar, tapi juga salah!" Sin Hauw mendesis, membebaskan totokan lawan dan nenek itu memaki. Sekarang si nenek dapat bicara meskipun tubuhnya masih dilumpuhkan. Sin Hauw memang tidak membebaskan dirinya sepenuhnya. Dan ketika nenek itu bertanya apa yang dimaksud Sin Hauw maka Sin Hauw menceritakan tentang kematian Kak-busu. "Dia telah mati, benar telah mati. Tapi bukan dibunuh melainkan bunuh diri!" "Hah, kau percaya" Bodoh! Sekali lagi kau bodoh, Sin Hauw, dapat saja dikibuli dan diperdayai lawan. Sudahkah kau lihat cermat tanda-tanda kematian itu" Apanya yang pecah" Tengkuk atau dahinya" Kalau dia membenturkan tembok maka dahinya yang pecah. Sin Hauw. Tapi kalau dia dipukul dari belakang maka belakang kepalanya yang remuk! Sudahkah kau teliti hal ini sampai secermat-cermatnya?" Sin Hauw tertegun. Dia jadi bengong oleh uraian si nenek, tadi kematian Kak-busu memang tak diperiksanya secermat itu. Dia sudah melihat busu itu terkapar dan mandi darah, tak dilihatnya yang pecah tengkuk ataukah dahi! Dan ketika ia tertegun dan tak menjawab maka nenek itu terkekeh, mengejek, "Sin Hauw, kau benar-benar goblok, goblok melebihi kerbau! Sekarang hanya ada Pahlawan Dan Kaisar 5 Pendekar Naga Putih 11 Memburu Harta Karun Sastrawan Cantik Dari Lembah Merak 6

Cari Blog Ini