Ceritasilat Novel Online

Empat Besar 2

Empat Besar The Big Four Karya Agatha Christie Bagian 2 seorang pria Prancis. Apa yang Anda kehendaki dari saya, M. Poirot" Anda lakilaki yang mengerikan. Anda mengejar saya sejak dari London. Nah, saya rasa sekarang Anda akan menceritakan pada Madame Olivier yang hebat itu tentang diri saya, dan mengusir saya dari Paris" Kami, orang-orang Rusia yang malang ini, harus hidup juga." "Persoalannya lebih serius daripada itu, Madame," kata Poirot sambil memperhatikannya. "Saya ingin masuk ke vila yang di sebelah itu, dan melepaskan Tuan Halliday, kalau dia masih hidup. Soalnya, saya sudah tahu segala-galanya." Kulihat wanita itu tiba-tiba memucat. Dia menggigit bibirnya. Ke.mudian dia berbicara dengan rasa percaya diri yang dimilikinya. "Dia memang masih hidup - tapi dia tak ada di dalam vila itu. Mari, Monsieur, saya ingin mengadakan tawar-menawar dengan Anda. Bebaskan saya - maka saya akan menyerahkan Tuan Halliday, dalam keadaan hidup dan sehat." "Saya terima, " kata Poirot. "Saya baru saja berniat untuk mengusulkan tawarmenawar seperti itu. Ngomong-ngomong, apakah Empat Besar itu majikan Anda, Madame?" Sekali lagi kulihat wajahnya berubah menjadi pucat, tetapi pertanyaan itu tak dijawabnya. Dia hanya berkata, "Izinkan saya menelepon," katanya, lalu setelah menyeberangi kamar itu ke tempat pesawat telepon, dia memutar suatu nomor. "Ini nomor telepon vila itu," dia menjelaskan, "tempat sahabat kita itu terkurung. Anda boleh saja menyerahkan nomor telepon itu pada polisi - sarang itu sudah akan kosong bila mereka tiba. Nah! Saya sudah dlhubungkan. Kaukah itu, Andre" Di sini Inez. Si BeIgia kecil itu sudah tahu semuanya. Kirimkan Halliday ke hotel, sesudah itu segera angkat kaki." Gagang telepon dikembalikannya, lalu dia berjalan ke arah kami sambil tersenyum. "Harap Anda menyertai kami ke hotel itu, Madame. " "Tentu. Permintaan Anda itu sudah saya duga." Aku memanggil sebuah taksi, dan kami berangkat bersama-sama. Kelihatan benar di wajah Poirot bahwa dia tak mengerti. Penyelesajan itu terlalu mudah. Kami tiba di hotel. Penjaga pintu mendatangi kami. "Ada seorang pria datang tadi. Dia ada di kamar Anda. Kelihatannya dia sakit parah. Seorang juru rawat datang bersamanya tadi, tetapi dia sudah pergi." "Baiklah," kata Poirot, "dia teman saya." Kami naik ke lantai atas bersama-sama. Seorang pria muda sedang duduk di kursi di dekat jendela; dia kelihatan letih luar biasa. Poirot mendatanginya. "Apakah Anda John Halliday?" Laki-laki itu mengangguk. "Tolong tunjukkan lengan kirl Anda. John Halliday mempunyai sebuah tahi lalat besar tepat di bawah siku kirinya." Laki-laki itu mengulurkan lengannya. Tahi lalat itu memang ada. Poirot mengangguk pada Countess. Wanita itu berbalik lalu meninggalkan kamar itu. Segelas brandy agak memulihkan keadaan Halliday. "Ya, Tuhan!" gumamnya. "Rasanya saya baru kembali dari neraka - benar-benar neraka. Penjahat-penjahat itu benar-benar jelmaan setan. Di mana istri saya" Apa dugaannya. Kata mereka, dia akan menyangka - akan menyangka -" "Tidak, dia tidak menyangka begitu, " kata Poirot dengan pasti. "Kepercayaannya pada Anda tak pernah goyah. Dia sedang menunggu Anda dengan putri Anda." "Syukurlah kalau begitu. Rasanya sulit dipercaya bahwa saya masih akan bisa bebas." "Setelah Anda agak pullh, Monsieur, saya ingin mendengar seluruh ceritanya mulai dari awal." Halliday melihat padanya dengan air muka yang tak dapat ditafsirkan. "Saya tak ingat apa-apa," katanya. "Apa?" "Pernahkah Anda mendengar tentang Empat Besar?" "Sedikit-sedikit," kata Poirot datar. "Anda tak dapat membayangkan apa yang saya ketahui. Kekuasaan mereka tak terbatas. Bila saya menutup mulut, saya akan selamat - bila saya berkata sepatah saja - maka bukan hanya saya, melainkan orang-orang yang paling dekat di hati saya dan yang paling saya cintai, juga akan menderita hebat. Percuma membujuk saya. Saya tahu... tapi saya tak ingat apa-apa." Lalu dia bangkit dan keluar dari kamar. Air muka Poirot membayangkan kekecewaan luar biasa. "Jadi begitu rupanya, ya?" gumamnya. "Empat besar menang lagi. Apa yang kaupegang itu, Hastings?" Aku memberikannya padanya. "Countess itu menuliskannya cepat-cepat sebelum dia pergi tadi, " kataku. Poirot membacanya. "Au revoir - I.V." "Ditandatangani dengan huruf-huruf awal namanya - I. V. Mungkin hanya suatu kebetulan, bahwa kedua huruf itu juga bisa dibaca sebagai angka empat. Aku ingin tahu, Hastings, ingin sekali aku tahu." Bab 7 PENCURI-PENCURI RADIUM PADA malam hari setelah pembebasannya, Halliday tidur di kamar sebelah kami di hotel, dan sepanjang malam kudengar dia mengerang dan mengigau membantah dalam tidurnya. Pengalamannya di vila itu pasti telah merusak syarafnya, dan pagi harinya kami tak berhasil mendapatkan informasi apa-apa dari dia. Dia hanya mau mengulangi pernyataannya tentang kekuasaan yang tak ada batasnya yang dimiliki Empat Besar, dan keyakinannya akan adanya pembalasan bila dia membuka mulutnya. Setelah makan siang, dia berangkat untuk kembali pada istrinya di Inggris, sedang Poirot dan aku tinggal di Paris. Aku merasa semangatku berkobar-kobar untuk melanjutkan tindakan-tindakan kami, dan aku merasa jengkel melihat sikap Poirot yang tenang-tenang saja. "Demi Tuhan, Poirot," desakku, "marilah kita berbuat sesuatu untuk menggulung mereka." "Mengagumkan, mon ami, mengagumkan sekali pikiranmu itu! Tapi berbuat apa, dan menggulung siapa" Kuminta, bicaralah dengan tepat." "Menggulung Empat Besar, tentu." "Itu sudah jelas. Tapi bagalmana kau akan mulai bertindak?" "Dengan polisi," kataku memberanikan diri dengan ragu. Poirot tersenyum. "Mereka akan menuduh kita berkhayal. Kita tak punya dasar untuk bertindak - sama sekali tak punya. Kita harus menunggu." "Menunggu apa?" "Menunggu sampai mereka mengambil langkah. Dengarkan, kalian orang-orang Inggris suka sekali mulai olahraga tinju. Bila yang seorang tidak menyerang, yang seorang lagi yang harus melakukannya, dan dengan melihat lawannya mengadakan serangan, orang akan bisa mempelajari sesuatu dari dia. Itulah peran kita membiarkan lawan mengadakan serangan." "Apakah kaupikir mereka akan melakukannya?" tanyaku ragu. "Aku sama sekali tak ragu mengenai hal itu. Pertama-tama, lihatlah, mereka telah mencoba menyingkirkan aku dari Inggris. Usaha itu gagal. Kemudian, dalam peristiwa Dartmoor, kita turun tangan, dan menyelamatkan korban mereka dari hukuman mati. Dan kemarin sekali lagi kita mengacaukan rencana-rencana mereka. Mereka pasti tidak akan mendiamkan persoalan itu begitu saja." Sedang aku merenungkan kata-kata itu, terdengar suara ketukan di pintu. Tanpa menunggu jawaban, seorang laki-laki masuk ke kamar kami dan menutup pintunya lagi. Laki-lakl itu kurus dan tinggi, hidungnya agak bengkok dan mukanya pucat. Dia mengenakan mantel yang terkancing sampai ke bawah dagunya, dan sebuah topi dari bahan yang lembut, terpasang dalam-dalam sampai _ menutupi matanya. "Maafkan saya, Tuan-tuan, atas kedatangan saya yang agak tanpa aturan ini -" katanya dengan suara halus, "tapi urusan saya mendesak sekali." Sambil tersenyum dia berjalan ke arah meja, lalu duduk. Hampir saja aku melompat akan menghajarnya, tetapi Poirot mengisyaratkan supaya aku menahan diriku. "Seperti Anda katakan sendiri, Monsieur, Anda masuk memang tanpa aturan. Coba katakan apa urusan Anda." "Tuan Poirot yang baik, soalnya sederhana sekali. Anda telah menyusahkan temanteman saya." "Menyusahkan bagaimana?" "Ah, Tuan Poirot, masakan Anda tanyakan lagi hal itu" Anda sendiri tentu tahu." "Hal itu tergantung, Monsieur, siapa teman-teman Anda itu." Tanpa berkata apa-apa, laki-laki itu mengeluarkan sebuah kotak rokok dari sakunya, setelah membukanya, dia mengeluarkan empat batang rokok, lalu melemparkan rokok-rokok itu ke meja. Kemudian dia mengambilnya lagi dan mengembalikannya ke dalam kotaknya, lalu dimasukkannya kembali kotak itu ke dalam sakunya. "Aha!" kata Poirot. "Jadi begitu rupanya, ya" Lalu apa yang diusulkan temanteman Anda itu?" "Mereka mengusulkan, Monsieur, supaya Anda memanfaatkan bakat-bakat Anda bakat-bakat Anda yang hebat itu untuk menyelidiki kejahatan-kejahatan biasa saja - kembalilah Anda pada pekerjaan Anda semula, dan pecahkan sajalah persoalanpersoalan wanita-wanita terkemuka di London." "Suatu acara kerja yang aman dan damai, memang," kata Poirot. "Lalu bagaimana kalau saya tak setuju?" Laki-laki itu membuat gerak isyarat yang mengerikan. "Kami tentu akan sangat menyesalkannya," katanya. "Demikian pula semua sahabat dan para pengagum Tuan Hercule Poirot yang hebat. Tapi penyesalan itu, bagaimanapun juga dalamnya, tidak akan bisa menghidupkan orang lagi." "Itu kalau diungkapkan secara halus sekali," kata Poirot, sambil mengangguk. "Dan seandainya saya menerima?" "Dalam hal itu saya diberi hak untuk menawarkan pada Anda suatu imbalan." Dia mengeluarkan sebuah buku saku, lalu melemparkan sepuluh lembar uang kertas ke atas meja. Setiap lembar bernilai sepuluh ribu frank. "Itu baru sekadar jaminan atas kepercayaan kami yang baik," katanya. "Anda akan dibayar sepuluh kali lipat lagi. " "Ya, Tuhan," teriakku, "kau berani berpikir -" "Duduklah, Hastings," kata Poirot dengan penuh wibawa. "Tahanlah sifatmu yang begitu murni dan jujur itu, duduklah. Kepada Anda, Monsieur, saya akan berkata begini. Apa yang bisa menghalangi saya untuk menelepon polisl dan menyerahkan Anda kepada mereka untuk ditahan, sementara sahabat saya ini menjaga supaya Anda tak bisa melarikan diri?" "Ah! Dengarlah, Poirot," aku berseru. "Aku tak tahan. Teleponlah polisi dan bereskan ini semua." Sambil cepat-cepat berdiri, aku berjalan ke pintu dan bersandar ke daun pintu. "Kelihatannya jalan itulah yang harus kita ambil", gumam Poirot, seolah-olah dia masih bimbang. "Tapi Anda masih ragu, bukan?" kata tamu kami itu sambil tersenyum. "Ayolah, Poirot," desakku. "Ini akan merupakan tanggung jawabmu, mon ami." Waktu Poirot mengangkat gagang telepon, laki-laki itu tiba-tiba melompat, dengan suatu lompatan kucing ke arahku. Aku siap menyambutnya. Sesaat kemudian kami bergumul, banting-membanting di sekitar kamar. Tiba-tiba kurasa dia tergelincir dan tersungkur. Aku memanfaatkan kesempatan baik itu. Dia terbaring di hadapanku. Kemudian, pada saat aku merasakan kemenangan itu, terjadilah sesuatu yang luar biasa. Kurasa tubuhku terbang ke arah depan. Dengan kepala tersungkur, aku terbanting pada dinding, aku terkapar. Sesaat kemudian aku bangkit lagi, tapi pintu sudah tertutup dan lawanku sudah berada di luar. Aku berlari ke pintu itu dan mengguncang-guncangnya. Pintu itu terkunci dari luar. Kurampas telepon dari Poirot. "Apakah di situ bagian keamanan hotel" Cepat cegat seorang laki-laki yang akan keluar. Seorang laki-laki yang akan keluar. Seorang laki-laki jangkung yang mantelnya terkancing sampai ke dagunya dan bertopi lembut. Dia orang yang dicarl-cari polisi." Beberapa menit kemudian kami mendengar suara ribut-ribut di lorong di luar kamar kami. Kunci diputar orang dan pintu terbuka. Manager hotel sendiri yang berdiri di ambang pintu. "Mana orang itu - sudahkah Anda tangkap dia?" teriakku. "Tidak, Monsieur. Tak ada seorang pun yang turun. " "Anda pasti berpapasan dengan dia." "Kami tidak berpapasan dengan siapa-siapa, Monsieur. Aneh sekali dia bisa lolos." "Saya rasa Anda berpapasan dengan seseorang," kata Poirot dengan suaranya yang halus. "Salah seorang staf hotel, barangkali?" "Hanya seorang pelayan yang membawa sebuah nampan, Monsieur." "Nah!" kata Poirot dengan nada penuh arti. "Itulah sebabnya mantelnya dikancingnya sampai ke bawah digunya," renung Poirot, setelah pegawai-pegawai hotel yang kebingungan itu pergi semuanya. "Aku menyesal sekali, Poirot, " gumamku dengan murung," kusangka aku sudah berhasil menundukkannya." "Ya, kurasa dia menggunakan siasat berkelahi orang Jepang. Tak usah sedih, mon ami. Semuanya sudah berjalan sesual dengan rencana - Maksudku, rencana dia. Itulah yang kulngini." "Apa pula ini?" seruku, sambil menyambar suatu barang berwarna coklat yang terletak dilantai. Barang itu sebuah buku saku kecil dari kulit yang berwarna coklat, yang agaknya terjatuh dari saku tamu kami, selama pergumulan denganku tadi. Buku itu berisi dua helai surat tagihan yang sudah dibayar, atas nama Tuan Felix Laon, dan sehelal kertas yang terlipat. Kertas itu membuat jantungku berdebar lebih keras. Rupanya itu adalah separuh dari sehelai kertas catatan di mana tertulis dengan kasar beberapa perkataan. Kata-kata itu penting sekali artinya. Rapat pengurus berikutnya adalah pada hari Jumat di rue des Echelles nomor tiga puluh empat, Jam sebelas siang." Pemberitahuan itu ditandatangani dengan sebuah angka empat yang besar. Dan hari ini adalah hari Jumat, sedang jam di atas perapian menunjukkan jam setengah sebelas. "Ya, Tuhan, kesempatan yang baik sekali!" seruku. "Nasib baik ada di pihak kita. Kita harus segera berangkat. Sungguh-sungguh nasib baik yang tak disangka-sangka." "Jadi untuk itu rupanya dia datang," gumam Poirot. "Sekarang aku mengerti semuanya." "Mengerti apa" Ayolah, Poirot, jangan menerawang lagilah." Poirot melihat padaku, lalu perlahan-lahan menggelengkan kepalanya, sambil tersenyum. "Kata-kata dalam lagu 'Nina Bobok' orang Inggris, bukankah antara lain berbunyi, 'Mari silakan masuk ke rumahku yang indah, kata labah-labah pada lalat'" Ya, Hastings - mereka itu cerdik - tapi tidak secerdik Hercule Poirot." "Apa sih maksudmu, Poirot?" "Sahabatku, sejak tadi aku bertanya-tanya sendiri, apa maksud kedatangan orang itu pagi ini" Apakah tamu kita itu benar-benar berharap akan berhasil menyuap aku" Atau, sebaliknya, akan menakut- nakuti aku supaya aku meninggalkan pekerjaanku" Agaknya hampir tak masuk akal. Jadi mengapa dia datang" Sekarang aku mengerti semua rencananya - rapi sekali - bagus sekali - alasan yang kelihatan adalah untuk menyuap atau menakut-nakuti aku perkelahian yang mungkin menyusul, sama sekali tak dihindarinya. Perkelahian itu justru akan membuat seolah-olah buku saku itu jatuh tanpa di sengaja, dan memang masuk akal - dan akhirnya jebakan itu! Rue des Echelles, jam sebelas siang" Kurasa tidak, mon ami! Orang tak begitu mudah menjebak Hercule Poirot." "Demi Tuhan!" kataku terengah. Poirot mengerutkan alisnya. "Masih ada satu hal yang aku tak mengerti." "Apa itu?" "Waktunya, Hastings - waktunya. Bila mereka ingin memancingku untuk ke sana, Empat Besar The Big Four Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo bukankah malam hari akan lebih baik" Mengapa sesiang ini" Apakah mungkin karena ada sesuatu yang akan terjadi pagi ini" Sesuatu yang amat mereka harapkan agar tidak diketahui oleh Hercule Poirot?" Dia menggeleng. "Akan kita tunggu dan lihat. Aku akan tetap duduk di sini, mon ami... Kita jangan bergerak ke luar pagi ini. Kita menunggu kejadian-kejadiannya di sini." Pukul setengah dua belas tepat, datanglah pangglian itu. Sepucuk surat kilat. Poirot membukanya, dan setelah membacanya menyerahkannya padaku. Surat itu dari Madame Olivier, ilmuwan yang termasyhur di seluruh dunia itu, yang kami kunjungi kemarin dalam hubungan dengan perkara Halliday. Surat itu meminta agar kami segera datang ke Passy. Kami memenuhi panggilan itu tanpa menunda waktu barang sedetik pun juga. Madame Olivier menerima kami di ruang tamu kecil yang dulu juga. Aku lagi-lagi terkesan oleh kemampuan besar wanita ini, dengan wajahnya yang panjang seperti wajah seorang biarawati, dan matanya yang membara - pengikut jejak yang cemerlang dari Becquerel dan suami-istri Curie ini. Dia segera menyatakan maksudnya. "Tuan-tuan. Anda berdua kemarin mewawancarai saya mengenai hilangnya Tuan Halliday. Saya dengar Anda kemarin kembali lagi ke rumah ini, dan minta bertemu dengan sekretaris saya, Inez Veroneau. Dia pergi dari sini bersama Anda, dan sejak itu dia tak kembali lagi." "Hanya itu sajakah, Madame?" "Tidak, Monsieur, tidak hanya itu. Semalam laboratorium saya dimasuki orang, dan beberapa surat dan catatan telah dicuri. Pencuri-pencuri itu telah mencoba untuk mencuri sesuatu yang lebih berharga, tapi syukurlah mereka tak berhasil membuka peti besi." "Madame, beginilah duduk perkaranya. Bekas sekretaris Anda, Madame Veroneau itu, sebenarnya adalah Countess Rossakoff, seorang pencuri ulung, dan dialah yang bertanggung jawab atas hilangnya M. Halliday. Sudah berapa lama dia bekerja pada Anda?" "Lima bulan, Monsieur. Saya terkejut sekali mendengar kata-kata Anda itu." "Itu memang benar. Surat-surat itu, Madame, apakah memang mudah ditemukan" Atau adakah tanda-tanda bahwa hal itu adalah pekerjaan orang dalam?" "Memang aneh bahwa pencuri-pencuri itu tahu betul di mana harus menemukannya. Apakah Anda pikir Inez -" "Ya, saya tak ragu lagi bahwa orang-orang itu berbuat atas petunjuk wanita itu. Tapi barang-barang berharga apakah yang tak berhasil ditemukan oleh pencuripencuri itu" Apakah perhiasan?" Madame Olivier menggeleng sambil tersenyum kecil. "Sesuatu yang jauh lebih berharga daripada itu, Monsieur." Dia melihat ke sekelilingnya, lalu membungkuk ke depan dan berkata dengan berbisik, "Radium, Monsieur." "Radium?" "Benar, Monsieur. Saya sekarang sedang dalam puncak eksperimen. Saya memiliki sendiri sejumlah kecil radium - jumlah yang lebih banyak dipinjamkan pada saya, dalam hubungan pekerjaan yang sedang saya lakukan. Meskipun kelihatannyi jumlahnya kecil, itu merupakan bagian yang besar dari persediaan dunia dan bernilai jutaan frank." "Lalu di mana barang itu?" "Dalam kotak timah hitam, di dalam peti besi yang besar - peti besi itu sengaja dibuat supaya kelihatannya tua dan usang, tapi itu sebenarnya merupakan hasil karya yang gemilang dalam seni pembuatan peti besi. Mungkin itulah sebabnya pencuri-pencuri itu tak bisa membukanya." "Berapa lama lagi Anda akan menyimpan radium itu?" "Hanya tinggal dua hari lagi, Monsieur. Maka akan berakhirlah eksperimen saya." Mata Poirot bersinar. "Dan Inez Veroneau tahu akan hal itu" Bagus tentu teman-teman kita akan kembali. Jangan katakan pada siapa pun juga mengenai diri saya, Madame. Tapi yakinlah, saya akan menyelamatkan radium Anda itu. Apakah Anda mempunyai kunci pintu laboratorium yang menuju ke kebun?" "Ada, Monsieur. Ini dia. Pada saya ada duplikatnya. Dan ini kunci pintu kebun yang menuju ke luar, ke gang di antara vila ini dan vila sebelah." "Terima kasih, Madame. Malam ini, tidurlah Anda seperti biasa, tak usah takut, serahkan semuanya pada saya. Tapi jangan katakan apa-apa pada siapa pun juga juga tidak pada kedua orang asisten Anda Nona Daude dan Tuan Henry, kan" Terutama pada mereka, jangan katakan apa-apa. " Poirot meninggalkan vila itu sambil menggosok-gosok kedua belah tangannya dengan sikap puas. "Apa yang akan kita perbuat sekarang?" tanyaku. "Sekarang, Hastings, kita akan berangkat dari Paris ini - ke Inggris. "Apa?" "Kita akan mengepak barang-barang kita, makan siang, lalu pergi ke stasiun, ke Gare du Nord. "Tapi radium itu?" "Kataku kita akan berangkat ke Inggris - aku tidak berkata bahwa kita akan tiba di sana. Berpikirlah sebentar, Hastings. Jelas sekali bahwa kita ini sedang diawasi dan dibuntut; terus. Musuh-musuh kita harus menyangka bahwa kita akan kembali ke Inggris. Tapi mereka pasti tidak akan percaya, kalau tidak melihat kita berada di kereta api dan berangkat." "Apa maksudmu, kita harus menyelinap turun Jagi, sesaat sebelum berangkat?" "Tidak, Hastings. Musuh-musuh kita tidak akan puas sebelum melihat kita benarbenar berangkat." "Tapi, bukankah kereta api itu tidak akan berhenti sebelum tiba di Calais?" "Kereta akan berhenti bila kita membayar untuk itu." "Ah, Poirot - kau pasti tidak akan bisa menyuap petugas kereta api ekspres supaya berhenti - mereka akan menolak. " "Sahabatku yang baik, tak pernahkah kau melihat alat pemegang kecil yang tergantung - yang merupakan alat tanda berhenti darurat Alat itu bila disalahgunakan, pemakainya akan didenda, kalau tak salah, seratus frank." "Oh! Apakah kau akan menarik alat itu?" "Bukan aku, tapi temanku, Pierre Combeau, yang akan melakukannya. Lalu, sementara dia bertengkar dengan petugas, menimbulkan keributan besar, dan seluruh isi kereta api kacau karena ingin tahu, kau dan aku pergi menyelinap diam-diam." Kami laksanakan rencana Poirot itu dengan baik. Pierre Combeau, seorang teman karib Poirot sejak lama, dan yang agaknya sudah tahu betul cara-cara kerja sahabat kecilku, ikut serta dalam rencana itu. Kabel penghubung itu ditarik, tepat waktu kami tiba di pinggiran kota Paris. Combeau 'menimbulkan keributan dengan cara khas Prancis, hingga Poirot dan aku bisa meninggalkan kereta api tanpa menarik perhatian seorang pun Juga. Langkah pertama kami selanjutnya, adalah mengadakan perubahan yang cukup besar pada penampilan kami. Poirot telah membawa peralatan-peralatan untuk itu, dalam sebuah peti kecil. Hasilnya adalah dua orang gelandangan yang memakai kemeja kotor. Kami makan malam di sebuah rumah makan kecil yang suram, dan setelah itu kembali ke Paris. Hampir pukul sebelas malam, kami tiba lagi di sekitar vila Madame Olivier. Kami melihat ke kirl dan kanan jalan, sebelum kami menyelinap ke gang. Tempat itu kelihatan sepi sekali. Satu hal dapat kami pastikan, yaitu bahwa kami tidak dlikuti orang. " Kurasa mereka belum tiba, " bisik Poirot padaku. "Mungkin besok malam mereka baru akan datang, tapi mereka tahu betul bahwa tinggal dua malam lagi radium itu ada di sini. " Dengan sangat berhati-hati kami memutar kunci pintu kebun. Pintu itu terbuka tanpa berbunyi, dan kami masuk ke dalam kebun. Lalu, tanpa kami sangka sama sekali, serangan itu tiba. Dalam semenit saja kami sudah dikelilingi orang-orang, mulut kami disumbat dan kami dilkat. Pasti sekurang-kurangnya sepuluh orang yang menunggu kami itu. Perlawanan tidak akan ada gunanya. Kami diangkat dan dibawa seperti dua buah barang bungkusan saja. Bukan main terkejutnya aku, waktu melihat bahwa kami dibawa ke arah rumah, dan bukannya pergi meninggalkan rumah itu. Dengan sebuah kunci mereka membuka pintu untuk masuk ke laboratorium, lalu membawa kami masuk. Salah seorang laki-laki itu membungkuk lalu membuka sebuah peti besi besar. Pintu peti besi itu terbuka. Aku dilanda perasaan tak enak. Apakah mereka akan memasukkan kami begitu saja ke dalamnya, dan membiarkan kami mati lemas perlahan-lahan" Tetapi, aku keheranan lagi, melihat bahwa di dalam peti besi itu ada sebuah tangga yang menuju ke bawah rumah. Kami dimasukkan dengan paksa ke jalan yang sempit itu, dan akhirnya tiba ke sebuah kamar yang besar di bawah tanah. Seorang wanita berdiri di situ, tinggi dan anggun, dengan mengenakan sebuah kedok beludru berwarna hitam, menutupi wajahnya. Dari gerak-gerlknya yang penuh wibawa, jelas bahwa dia menguasai keadaan di situ. Laki-laki tadi melemparkan kami ke lantai lalu meninggalkan kami hanya dengan makhluk berkedok yang misterius itu. Aku tak ragu lagi siapa wanita itu. Dia pasti wanita Prancis yang tak dikenal itu Nomor Tiga dari Empat Besar. Dia berlutut di dekat kami lalu membuka sumbat mulut kami, tapi membiarkan kami tetap terikat. Kemudian dia bangkit dan dengan menghadapi kami, dia menanggalkan kedoknya dengan suatu sentakan cepat. Wanita itu adalah Madame Olivier! "Tuan Poirot," katanya dengan nada rendah yang mengejek. "Tuan Poirot yang besar, yang hebat dan yang istimewa. Kemarin pagi telah saya beri peringatan pada Anda. Anda memilih untuk tidak memperhatikannya - Anda pikir, Anda bisa mengadu akal melawan kami. Dan sekarang Anda ada di sini!" Sikapnya menunjukkan kekejaman yang dingin, yang membuat sumsumku terasa membeku. Keadaan itu berlawanan benar dengan matanya yang seperti bara api ltu. Dia gila - gila - gilanya seseorang yang terlalu pintar! Poirot tidak berkata apa-apa. Dia terperanjat, dan dia hanya menatap wanita itu saja. "Nah," kata wanita itu dengan halus, "beginilah akhirnya. Kami tidak bisa membiarkan rencana-rencana kami dikacaukan. Apakah ada permintaan terakhir Anda?" Tak pernah, baik sebelum saat itu atau setelahnya, aku merasa begitu dekat dengan kematian. Poirot memang hebat. Dia tak gentar dan tidak memucat, dia hanya menatapnya terus dengan perhatian yang tak berkurang. "Psikologi Anda sangat menarik perhatian saya, Madame," katanya dengan tenang. "Sayang waktunya tinggal terlalu singkat untuk sempat mempelajarinya. Memang, ada permintaan saya. Kalau tak salah, seorang yang sudah diputuskan untuk mendapat hukuman mati, selalu diizinkan mengisap rokok untuk terakhir kalinya. Pada saya ada kotak rokok saya. Izinkanlah saya -" Dia melihat pada ikatannya, "Oh, ya!" kata Madame Olivier sambil tertawa. "Anda ingin saya membukakan pengikat tangan Anda, bukan" Anda pandai, M. Hercule Poirot, saya tahu itu. Saya tidak akan membuka ikatan tangan Anda tapi akan saya ambilkan rokok Anda." Dia berlutut di dekat Poirot, dikeluarkannya kotak rokok Poirot, dikeluarkannya sebatang rokok, lalu dimasukkannya ke celah bibir Poirot. "Sekarang korek apinya, " katanya sambil bangkit. "Tak perlu, Madame." Sesuatu dalam suaranya membuat aku terkejut. Madame Olivier pun kelihatan terkejut. "Sebaiknya Anda jangan bergerak, Madame Olivier. Anda akan menyesal kalau Anda lakukan juga. Pernahkah Anda mendengar tentang kekuatan racun curare" Orangorang Indian di Amerika Selatan menggunakannya untuk racun panahnya. Suatu goresan saja sudah akan membawa kematian. Ada suku yang menggunakan sumpitsumpit kecil - saya juga menyuruh orang membuatkan sebuah sumpitan kecil yang kelihatannya sama benar dengan sebatang rokok. Saya hanya harus meniup.... Nah! Anda terkejut. Jangan bergerak, Madame. Cara kerja rokok ini hebat sekali. Kita tiup - dan sebuah anak panah halus yang menyerupai duri ikan akan terbang di udara - untuk kemudian menemukan sasarannya. Anda tentu tak ingin mati, Madame. Oleh karenanya, saya minta supaya Anda membebaskan teman saya Hasting's dari ikatannya. Saya memang tak bisa menggunakan tangan saya, tapi saya bisa memutar kepala saya - jadi Anda masih tetap berada di bawah ancaman saya, Madame. Saya harap Anda tidak membuat kesalahan." Perlahan-lahan, dengan tangan gemetar karena menahan marah yang amat sangat, dan rasa benci yang membuat wajahnya tegang, wanita itu membungkuk dan melaksanakan perintah Poirot. Aku bebas. Lalu Poirot memberikan perintah-perintahnya padaku. "Tali bekas pengikatmu itu sekarang kaugunakan untuk wanita itu, Hastings. Betul. Sudahkah dia terikat dengan baik" Sekarang bebaskan aku. Kita beruntung karena dia menyuruh pergi tukang-tukang pukulnya itu. Kita bisa berharap untuk menemukan jalan keluar tanpa hambatan." Sesaat kemudian, Poirot sudah berdiri di sisiku. Dia membungkuk ke arah wanita itu. "Tidak semudah itu membunuh Hercule Poirot, Madame. Saya ucapkan selamat malam." Karena terhalang oleh sumbat mulutnya, dia tak dapat menyahut, tetapi sinar matanya yang memancarkan niat untuk membunuh membuatku ngeri. Aku berharap dengan segenap hatiku, supaya kami tidak lagi jatuh ke dalam tangannya. Tiga menit kemudian kami sudah berada di luar vila, dan cepat-cepat menyeberangi kebun. Jalan di luar tak ada orangnya, dan sebentar saja kami sudah meninggalkan daerah itu. Kemudian Poirot memecahkan kesunyian itu. "Memang sepantasnya aku dikata-katai dengan kata-kata yang diucapkan perempuan itu tadi. Aku ini memang binatang brengsek yang goblok luar biasa, tolol benar-benar tolol. Aku merasa bangga karena merasa tidak jatuh ke dalam perangkap mereka. Padahal mereka bukannya sengaja memasang perangkap itu kecuali kalau dilihat dari sudut, bagaimana aku jatuh ke dalamnya. Mereka tahu bahwa aku sudah mencium rencana mereka - mereka sudah menduga bahwa aku bisa mencium rencana itu. Kejadian ini menjelaskan segala-galanya - betapa mudahnya mereka mengalah. Soal Halliday - semuanya. Madame Olivier adalah semangat penggeraknya - Vera Rossakoff itu hanya anak buahnya. Wanita itu membutuhkan buah pikiran Halliday dia sendiri cukup pintar untuk mengisi kekosongan-kekosongannya. Hal itu membuat Halliday bingung. Ya, Hastings, sekarang kita tahu siapa Nomor Tiga itu wanita yang mungkin merupakan ilmuwan terbesar di dunia! Coba bayangkan. Otak orang Timur, digabungkan dengan ilmu pengetahuan dari Barat - dan dua yang lain yang belum kita kenal. Tapi kita harus menyelidikinya. Besok kita akan kembali ke London dan mulai bekerja." "Apakah kau akan melaporkan Madame Olivier pada polisi?" "Orang tidak akan percaya padaku. Wanita itu salah seorang idola bangsa Prancis. Dan kita tak bisa membuktikan apa-apa. Kita sudah beruntung kalau dia tidak melaporkan kita." "Apa?" "Coba pikir. Kita kedapatan malam hari di dalam pekarangan rumah orang. Pada kita ada kuncinya tapi dia akan bersumpah bahwa dia tak pernah memberikan kunci itu pada kita. Dia menangkap kita di peti besinya, dan kita lalu menyumbat mulutnya serta mengikat tubuhnya, kemudian lari. Jangan berkhayal, Hastings. Kedudukan kita tidak menguntungkan. " Bab 8 DI DALAM RUMAH MUSUH SETELAH pengalaman kami di vila di Passy, kami buru-buru kembali ke London. Ada beberapa puduk surat yang sudah menunggu Poirot. Salah satu di antaranya dibacanya dengan suatu senyuman aneh, lalu diberikannya padaku. "Baca ini, mon ami." Aku mula-mula mencari tanda tangannya, 'Abe Ryland', dan aku lalu teringat katakata Poirot, orang terkaya di dunia. Surat Ryland itu singkat dan mendesak, Dia menyatakan benar-benar merasa kecewa akan alasan yang diberikan Poirot pada saat terakhir untuk menarik diri dari permintaannya agar pergi ke Amerika Selatan. "Hal itu jadi membuat kita berpikir keras, bukan?" kata Poirot. "Kurasa wajarlah kalau dia agak marah." "Bukan, bukan itu, kau tak mengerti. Ingat kata-kata Mayerling, laki-laki yang melarikan diri kemarin dulu - yang akhirnya meninggal juga di tangan musuhmusuhnya. 'Nomor Dua dinyatakan dengan huruf S dengan dua garis di tengahtengahnya - lambang dolar; juga ada dua buah garis dan sebuah bintang. Oleh karenanya dapatlah disimpulkan bahwa dia adalah seorang warga negara Amerika, dan bahwa dia salah seorang yang terkaya. Tambahkan pada keterangan itu, kenyataan bahwa Ryland telah menawarkan padaku suatu jumlah uang yang besar sekali, untuk mengumpanku supaya keluar dari Inggris ini - dan - dan bagaimana, Hastings?" "Maksudmu," kataku dengan terbelalak, "bahwa kau mencurigai Abe Ryland, jutawan besar itu, sebagai Nomor Dua dari Empat Besar?" Empat Besar The Big Four Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Kecerdasanmu yang cemerlang rupanya sudah dapat menangkap pikiranku, Hastings. Ya, aku memang mencurigainya. Yakin dan fasih benar lidahmu menyebutnya jutawan besar. Tapi aku ingin mengingatkan kau akan satu hal - organisasi itu dijalankan oleh orang-orang terkemuka - dan Ryland pun terkenal karena cara dia menangani usaha dagangnya, tak beres. Dia adalah seorang laki-laki yang punya kemampuan, yang licik, seorang yang mempunyai segala-galanya yang dibutuhkannya, tapi yang masih punya nafsu untuk mendapatkan kekuasaan yang tak terbatas." Tak dapat diragukan lagi bahwa Poirot berpandangan demikian tentulah karena ada alasannya. Kutanyakan padanya kapan dia merasa yakin akan hal itu. "Itulah masalahnya. Aku belum yakin. Aku belum bisa yakin. Mon ami, aku bersedia mengorbankan apa saja supaya tahu. Kalau saja aku bisa menempatkan Abe Ryland dengan pasti sebagai Nomor Dua, maka kita akan makin dekat ke tujuan. "Dia rupanya baru saja tiba di London, bisa dilihat dari sini," kataku sambil menunjuk ke surat itu. "Apakah kau akan mengunjunginya, dan minta maaf secara pribadi?" "Mungkin aku akan berbuat begitu." Dua hari kemudian, Poirot kembali ke kamar penginapan kami dalam keadaan gempar sekali. Dicengkeramnya aku dengan kedua belah tangannya dengan terengah-engah. "Sahabatku, ada suatu kesempatan yang luar biasa, yang tak terduga dan tidak akan pernah terjadi lagi! Tapi ada bahayanya, bahaya besar sekali. Aku bahkan tak berani mengajakmu menghadapinya." Jika Poirot mencoba menakut-nakuti aku, dia telah keliru memilih jalan, dan hal itu kukatakan padanya. Setelah agak tenang, dia mengemukakan rencananya. Rupanya Ryland sedang mencari seorang sekretaris yang berkebangsaan Inggris. Dia mencari seseorang yang berkelakuan dan berpenampllan baik. Poirot menganjurkan agar aku melamar pekerjaan itu. "Sebenarnya aku sendiri mau melamarnya, mon ami," dia menjelaskan dengan nada meminta maaf. "Tapi soalnya, aku ini hampir-hampir tak mungkin bisa menyamar untuk keperluan itu. Aku memang bisa berbicara dalam bahasa Inggris yang baik kecuali bila aku sedang kacau - tapi logatku masih belum bisa menipu pendengaran orang; dan meskipun aku harus mengorbankan kumisku, orang pasti masih bisa mengenali diriku sebagai Hercule Poirot. " Aku pun meragukan hal itu pula, dan kunyatakan bahwa aku siap dan bersedia memainkan peran itu, menyusup ke dalam rumah tangga Ryland. "Aku berani bertaruh dia juga tidak akan mau menerima aku," kataku. "Ah, pasti dia mau. Akan kuusahakan surat keterangan yang sedemikian rupa, hingga akan membuatnya ngiler melihatmu. Tak kurang dari Sekretarls Negara sendiri yang akan memberikan surat pupan itu padamu." Kedengarannya memang berlebihan, tetapi Poirot mengabaikan bantahan-bantahanku. "Oh ya, pasti menterl itu akan mau memberikannya. Aku pernah mengadakan penyelidikan untuknya mengenai suatu persoalan yang bisa menimbulkan skandal besar. Semuanya bisa kuselesalkan tanpa ribut-ribut dan dengan halus sekali. Dan sekarang dia mau berbuat apa saja bagiku." Langkah kami yang pertama adalah memanfaatkan jasa seorang seniman tata rias muka. Orangnya kecil, caranya memalingkan kepalanya aneh, dan bentuk kepalanya hampir sama dengan Poirot. Diamat-amatinya aku sebentar, lalu mulai bekerja. Waktu kulihat bayangan diriku di cermin setengah jam kemudian, aku tercengang. Dengan mengenakan sepatu khusus, aku jadi kelihatan sekurang-kurangnya lima senti lebih tinggi, dan mantel yang kupakai diatur demikian supaya mukaku jadi kelihatan panjang, kurus, dan lemah. Alis mataku diubah demikian cerdlknya, hingga parasku jadi berubah sama sekali. Di pipiku dipasang pelapis, dan warna coklat di wajahku sebagai akibat sengatan matahari, sudah hilang sama sekali. Kumisku sudah dibuang, dan salah satu gigiku yang di samping dilapisi emas. "Namamu sekarang Arthur Neville," kata Poirot. "Semoga Tuhan melindungimu, Sahabatku - karena aku kuatir kau akan harus pergi ke tempat-tempat yang berbahaya." Dengan hati yang berdebar-debar aku melaporkan diri di Hotel Savoy, pada jam yang sudah ditentukan oleh Ryland, dan kuminta untuk bertemu dengan orang besar itu. Setelah diblarkan menunggu beberapa menit, aku dipersilakan naik ke lantai atas, ke kamarnya yang mewah. Ryland sedang duduk di dekat sebuah meja. Di hadapannya ada surat terbuka. Dari sudut mataku kulihat bahwa surat itu ditulis tangan oleh Sekretaris Negara sendiri. Baru sekali itulah aku melihat jutawan Amerika itu. Mau tak mau aku terkesan juga. Dia jangkung dan langsing, dagunya agak terdorong ke depan dan hidungnya agak bengkok. Sinar matanya dingin dan kelabu, di bawah naungan alis yang tebal sekali. Rambutnya tebal dan beruban, dan sebatang cerutu yang panjang terselip dengan pantas sekali di sudut mulutnya. (Kemudian kudengar bahwa ia tak pernah terlihat tanpa cerutu Itu.) "Duduklah, " gumamnya. Aku duduk. Dia mengetuk-ngetuk surat yang ada di hadapannya. "Menurut surat ini, Andalah orangnya. Tak perlu aku mencari lagi. Apa Anda menguasai soal-soal kemasyarakatan di sini?" Kukatakan bahwa aku merasa akan bisa memberinya kepuasan dalam hal itu. "Maksudku, bila aku mengundang pangeran-pangeran dan kaum bangsawan di rumahku yang di luar kota, bisakah Anda menentukan kedudukan masing-masing dan menempatkannya di tempat yang tepat di meja makan?" "Ah! itu mudah sekali," sahutku sambil tersenyum. Kami membicarakan beberapa soal pendahuluan lagi, kemudian aku pun diterima bekerja. Yang diingini Ryland adalah sekretaris yang juga cakap dalam soal-soal kemasyarakatan Inggris, karena dia sudah mempunyai seorang sekretaris yang berkebangsaan Amerika dan seorang sekretaris steno. Dua hari kemudian aku pergi ke Hatton Chase, yaitu rumah milik Duke of Loamshire, yang telah disewa oleh jutawan Amerika itu untuk masa enam bulan. Tugas-tugasku sama sekali tak sulit. Di waktu lampau aku pernah menjadi sekretaris pribadi seorang anggota parlemen yang selalu sibuk. Jadi pekerjaan yang harus kukerjakan sekarang sudah kukenal benar. Ryland biasa mengundang orang banyak di akhir pekan, tetapi pada hari-hari biasa, keadaan boleh dikatakan tenang. Aku jarang bertemu dengan Appleby, sekretaris Amerika itu, tapi dia rupanya seorang anak muda Amerika biasa, yang menyenangkan dan sangat cekatan dalam pekerjaannya. Aku agak sering bertemu dengan Nona Martin, sekretaris stenonya. Gadis itu cantik dan berumur dua puluh tiga atau dua puluh empat tahun. Rambutnya merah kecoklatan dan bermata coklat yang kadang-kadang bisa memandang dengan nakal, meskipun matanya itu biasanya ditundukkannya malumalu. Aku mendapat kesan dia tak suka dan tak percaya pada majikannya, meskipun dia tentu cukup waspada untuk sekali pun tidak mengisyaratkan kata-kata semacam itu. Tetapi pada suatu ketika, tanpa kusangka, dia mempercayakan isi hatinya padaku. Aku tentu saja telah mengamati dengan teliti semua isi rumah itu. Satu atau dua orang di antara pelayan-pelayan, baru saja dipekerjakan - kalau tak salah, salah seorang pelayan laki-laki dan beberapa orang pelayan wanita. Petugas penjaga pintu, petugas kebersihan rumah tangga, dan juru masaknya adalah petugas-petugas Duke sendiri. Mereka itu sudah menyatakan kesediaannya untuk tetap tinggal di tempat itu. Pelayan-pelayan wanitanya kuanggap tak penting; sedang James, pelayan pembantu, kuamat-amati dengan cermat sekali; tetapi jelas dia tak lebih dari seorang pelayan pembantu. Memang, petugas penjaga pintu yang menerimanya bekerja. Ada seorang yang jauh lebih kucurigai, yaitu Deaves, pelayan pribadi Ryland, yang dibawanya dari New York. Laki-laki itu kelahiran Inggris, tindak tanduknya tak bercacat, namun aku tetap menaruh curiga padanya. Sudah tiga minggu aku berada di Hatton Chase, dan tak satu pun peristiwa yang terjadi, peristiwa yang akan bisa menguatkan teori kami. Tak ada tanda-tanda kegiatan Empat Besar. Ryland adalah seorang pria yang punya kekuasaan dan pribadi yang kuat sekali, tetapi aku bisa menyimpulkan bahwa Poirot telah keliru kalau dia mengaitkannya dengan organisasi yang ditakuti itu. Bahkan pada suatu malam, ketika sedang makan, kudengar dia menyebut nama Poirot secara sambil lalu. "Kata orang dia seorang pria kecil yang hebat. Tapi kata-katanya tak bisa dipegang. Bagaimana saya sampai tahu akan hal itu" Saya pernah membuat janji dengannya, dan dia membatalkannya begitu saja pada saat terakhir. Saya tak mau lagi percaya pada Hercule Poirot kalian itu. " Pada saat seperti itulah aku merasa lapis-lapis pipiku sangat menggangguku! Kemudian Nona Martin menceritakan padaku suatu kisah yang agak aneh. Hari itu Ryland sedang pergi ke London, dengan mengajak Appleby. Nona Martin dan aku sedang berjalan-jalan berduaan di kebun, setelah minum teh. Aku suka sekali pada gadis itu, dia begitu wajar dan polos. Aku bisa melihat bahwa dia sedang menyembunyikan sesuatu dalam pikirannya, dan akhirnya keluar juga isi hatinya itu. "Tahukah Anda, Mayor Neville," katanya, "saya benar-benar, berniat untuk menarik diri dari pekerjaan saya di sini." Aku memandangnya dengan agak terkejut, dan dia cepat-cepat melanjutkan, "Oh! Saya tahu bahwa ini sebenarnya adalah pekerjaan yang baik sekali. Saya rasa kebanyakan orang akan berpikir betapa bodohnya saya akan melemparkannya begitu saja. Tapi saya tak tahan caci maki Mayor Neville. Saya sama sekali tak tahan dicaci maki seperti serdadu kasar. Tak pantas seorang pria terhormat berbuat begitu." "Apakah Ryland suka memaki Anda?" Gadis itu mengangguk. "Tentu, dia selalu mudah tersinggung dan naik darah. Itu memang pantas. Itu biasa dalam pekerjaan sehari-hari. Tapi kalau sampai mengamuk begitu rupa dengan alasan yang tak berarti - dia kelihatan seperti ingin membunuh saya! Dan seperti saya katakan tadi, hanya karena soal sepele!" "'Mau Anda ceritakan kepada saya?" tanyaku. Aku sangat tertarik. "Sebagaimana Anda ketahui, saya bertugas membuka semua surat Tuan Ryland. Beberapa di antaranya saya teruskan pada Tuan Appleby, yang lain saya tangani sendiri, tapi saya selalu memilihnya terlebih dulu. Nah, ada beberapa surat tertentu yang datang, yang tertulis pada kertas biru, dan yang di sudutnya ada angka empat yang kecil sekali - maaf, Anda mengatakan sesuatu?" Aku baru saja tak berhasil menahan seruan terkejut, tetapi aku cepat-cepat menggeleng, dan memintanya untuk melanjutkan. "Nah, seperti saya katakan, surat-surat seperti itu kadang-kadang datang. Saya mendapat perintah keras agar surat-surat yang begitu jangan dibuka, melainkan harus diserahkan langsung pada Tuan Ryland dalam keadaan tertutup. Dan saya tentu selalu berbuat demikian. Tapi kemarin pagi, banyak sekali surat yang datang, dan saya tergesa-gesa sekali membukanya. Tanpa sengaia, saya telah membuka salah satu surat yang demikian itu. Segera setelah saya sadari apa yang telah saya lakukan, saya bawa surat itu pada Tuan Ryland dan memberikan penjelasan. Bukan main terkejutnya saya melihat dia mengamuk sehebat itu. Sebagaimana saya katakan, saya takut sekali. " "Saya jadi ingin tahu, apa isi surat yang telah membuatnya begitu kacau itu?". "Sama sekali tak penting - itulah yang membuat saya tak mengerti. Saya sudah terlanjur membacanya, sebelum sadar akan kesalahan saya itu. Surat itu singkat sekali. Saya bahkan masih ingat kata demi kata. Isinya tak ada yang bisa mengesalkan orang." "Anda bilang, bisa mengulanginya?" aku mendorongnya supaya mengingat-ingat. "Bisa." Dia diam sebentar, lalu diulanginya lambat-lambat, sementara aku diamdiam mencatatnya. Bunyinya adalah sebagai berikut: "Dengan hormat - Yang penting menurut saya adalah menengok barangnya. Bila seandainya Anda mendesak agar supaya tambang juga disertakan, maka 17 ribu agaknya pantas. 11 persen terlalu tinggi, 4 persen komisi cukuplah. Hormat saya, Arthur Leversharn. Nona Martin berkata lagi, "Agaknya mengenai barang yang ingin dibeli Tuan Ryland. Tapi sungguh, saya benar-benar merasa bahwa orang yang begitu marah hanya karena soal seremeh itu, yah, berbahaya. Menurut Anda, apa yang harus saya lakukan, Mayor Neville" Anda sudah lebih banyak pengalaman di dunia ini daripada saya. Gadis itu kubujuk, kukatakan padanya bahwa Ryland mungkin menderita penyakit yang banyak diderita oleh orang-orang yang segolongan dengan dia - yaitu kelainan dalam pencernaan. Akhirnya dia meninggalkanku dalam keadaan yang lebih tenang. Tetapi aku sendiri tidak merasa puas. Setelah gadis itu pergi, dan aku tinggal seorang diri, kukeluarkan buku catatanku, lalu kubaca surat yang kucatat tadi. Apa maksud surat itu - surat yang bunyinya begitu tak berarti" Apakah surat itu berhubungan dengan suatu urusan dagang yang sedang ditangani Ryland, dan apakah dia tak suka ada hal-hal terperinci mengenal hal itu bocor sebelum dia sempat melaksanakannya" PenjeIasan itu masuk akal. Tetapi aku ingat angka empat yang menandai amplopnya, dan akhirnya aku merasa bahwa aku sudah mulai melihat jalan terbuka ke arah yang sedang kami cari. Sepanjang malam itu dan hampir sepanjang hari esoknya, aku mencoba memecahkan rahasia surat itu - lalu aku tiba-tiba mendapatkan penyelesajannya. Penyelesajan itu sederhana sekali rupanya. Angka empatlah yang merupakan petunjuknya. Bacalah setiap perkataan keempat dalam surat itu, maka akan muncullah suatu pesan yang lain sekali: "Penting menengok Anda tambang batu tujuh belas sebelas empat." Penyelesalan angkanya mudah saja. Tujuh belas, maksudnya tanggal tujuh belas Oktober - yaitu besok - sebelas adalah jamnya, sedang empat adalah tanda tangannya - kalau tidak menyatakan Nomor Empat yang misterius itu sendiri - atau bisa juga merupakan 'tanda sandi' Empat Besar. Tambang itu juga tak diragukan lagi. Memang ada sebuah tambang batu besar yang sudah tak dipakai lagi di tanah milik itu, kira-kira setengah kilometer dari rumah itu - suatu tempat yang terpencil, tepat sekali untuk tempat pertemuan. Sejenak aku tergiur untuk melaksanakan pekerjaan itu sendiri. Sekali ini, bisalah keberhasilan itu nanti merupakan suatu kebanggaan yang dapat kupersembahkan pada Poirot, untuk menyenangkan hatinya. Tapi akhirnya kutahan keinginan itu. Ini urusan besar - aku tak punya hak untuk memainkan peranku seorang diri, untuk kemudian membahayakan kesempatan mencapai keberhasilan. Baru kali inilah kami bisa menangkap rencana kegiatan musuh-musuh kami. Kali im kami harus berhasil dan aku tak bisa menyangkal bahwa di antara kami berdua, Poirot-lah yang punya otak yang lebih cerdas. Aku cepat-cepat menulis surat padanya, kujelaskan hal-hal itu dan kujelaskan pula betapa pentingnya kami mendengarkan apa yang akan terjadi pada pertemuan itu nanti. Bila aku yang diserahinya tugas itu, baik sekali, namun kuberikan juga padanya gambaran terperinci bagaimana bisa mencapai tambang batu itu dari stasiun, kalau-kalau menurut anggapannya lebih baik dia sendiri yang hadir. Surat itu kubawa ke kantor pos di desa itu dan kumasukkan sendiri ke kotak pos. Selama aku berada di sini, aku bisa mengadakan hubungan dengan Poirot, dengan cara yang tepat dan sederhana, yaitu dengan memasukkan sendiri surat-suratku ke kantor pos, tetapi kami sudah sependapat bahwa dia tak boleh berusaha untuk menghubungi aku, karena takut kalau-kalau surat-suratku disensor. Hatiku berdebar-debar terus esok malamnya. Tak ada seorang tamu pun di rumah, dan aku sibuk dengan Ryland di ruang kerjanya sepanjang malam itu. Aku sudah menduga keadaan itu, hingga aku tak punya harapan untuk bisa menjemput Poirot di stasiun. Tetapi aku yakin bahwa aku akan dibebaskannya sebelum pukul sebelas. Benar juga, pukul setengah sebelas lewat sedikit, Ryland melihat ke jam, dan menyatakan bahwa dia sudah selesai. Aku mengerti maksudnya dan aku pergi diamdiam. Aku naik ke lantai atas seolah-olah aku akan tidur, tetapi diam-diam aku menyelinap turun melalui tangga samping dan keluar ke kebun, setelah mengambil langkah pengamanan yaitu mengenakan mantel berwarna gelap untuk melindungi kemeja putihku. Setelah aku berada di kebun beberapa jauh, aku menoleh. Ryland baru saja keluar dari ruang kerjanya dan menuju ke kebun. Dia akan berangkat memenuhi janji pertemuan itu. Aku mempercepat langkahku, supaya bisa lebih dulu tiba. Aku tiba di tambang batu itu dengan agak terengah-engah. Kelihatannya tak ada seorang pun di sana, dan aku merangkak ke dalam segerombol semak yang tebal lalu menunggu perkembangan selanjutnya. Sepuluh menit kemudian, tepat pukul sebelas, Ryland datang. Topinya dipasangnya sampai menutupi matanya dan cerutunya yang tak terpisahkan itu terselip di mulutnya. Dia menoleh ke belakang sebentar, lalu terjun ke dalam lekuk tambang di bawah itu. Kemudian kudengar gumam suara-suara. Rupanya orang atau orang-orang lain itu - entah siapa pun dia - telah tiba lebih dulu di tempat pertemuan itu. Dengan sangat berhati-hati aku merangkak keluar dari semak-semak itu, lalu senti demi senti, dengan sangat berhati-hati supaya tidak menimbulkan bunyi, aku merayap sampai ke lorong yang curam itu. Kini tinggal sebuah batu Empat Besar The Big Four Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo besar yang memisahkan aku dari orang-orang yang sedang berbicara itu. Karena merasa aman dalam kegelapan itu, aku mengintai di tepinya dan kudapati diriku berhadapan dengan moncong pistol otomatis hitam yang mengerikan! "Angkat tangan! " kata Ryland dengan tegas. "Aku sudah menunggumu." Dia duduk dalam bayangan sebuah batu besar, hingga aku tak dapat melihat wajahnya, tapi suaranya yang kejam itu, sungguh tak menyenangkan. Kemudian kurasakan suatu pukulan besi yang dingin di tengkukku, dan Ryland menurunkan pistol otomatisnya. "Bagus, George," geramnya. "Bawa dia kemari." Dengan rasa mendidih di dada, aku dibawa ke suatu tempat yang gelap. Di sana George (Yang kuduga adalah Deaves) menyumbat mulutku dan mengiikat tubuhku kuatkuat. Ryland berbicara lagi dengan nada yang sulit dikenali, begitu dingin dan kejam. "Ini akan merupakan akhir kalian berdua. Kalian sudah terlalu sering mengganggu Empat Besar. Pernah kau mendengar tentang tanah longsor" Kira-kira dua tahun yang lalu di sini pernah terjadi. Malam ini akan terjadi lagi. Itu sudah kurencanakan sebaik mungkin. Ngomong-ngomong, sahabatmu itu memang tak bisa menepati janji dengan tepat." Aku dilanda rasa takut yang amat hebat. Poirot! Sesaat lagi dia akan datang... langsung masuk perangkap. Sedang aku tak mampu memberinya peringatan. Aku hanya berdoa, semoga dia memutuskan untuk leblh baik menyerahkan persoalan Ini ke dalam tanganku sendiri, dan tetap saja di London. Seandainya dia datang, dia pasti sudah ada di sini sekarang. Makin lama harapanku makin besar. Tiba-tiba harapan itu buyar. Aku mendengar langkah-langkah kaki - langkah-langkah yang berhati-hati. Aku merasa tersiksa sekali. Langkah-langkah itu mendekat terus ke lorong, berhenti sebentar, lalu muncullah Poirot. Kepalanya agak dimiringkannya untuk melihat lebih baik dalam kegelapan itu Aku mendengar geram kepuasan dari Ryland, waktu dia mengangkat pistol otomatisnya yang besar itu dan berteriak, "Angkat tangan!" Pada saat itu, Deaves melompat maju dan menjepit Poirot dari belakang. Sempurnalah serangan itu. "Saya senang bertemu Anda, Tuan Hercule Poirot," kata orang Amerika itu dengan tak ramah. Sungguh luar biasa ketenangan Poirot. Dia sama sekali tak berubah. Tapi kulihat matanya mencari-cari dalam gelap. "Mana sahabat saya" Dia di sini?" "Ada, kalian berdua berada dalam perangkap - perangkap Empat Besar." Dia tertawa. "Perangkap?" tanya Poirot. "Hel, belum juga Anda sadar?" "Ya - saya memang tahu ada perangkap," kata Poirot dengan halus. "Tapi Anda keliru, Monsieur. Karena Andalah yang berada dalam perangkap itu - bukan saya dan sahabat saya itu." "Apa?" Ryland mengangkat pistolnya lagi, tapi kulihat pandangannya beralih. "Bila Anda menembak, berarti Anda melakukan pembunuhan dengan disaksikan oleh sepuluh pasang mata, dan akibatnya, Anda akan digantung. Tempat ini sudah dikepung - sudah sejak sejam yang lalu oleh orang-orang Seotland Yard. Anda kalah langkah, Tuan Abe Ryland. Poirot bersiul aneh, dan seolah-olah dengan suatu gerakan ajalb, tempat itu tiba-tiba menjadi ramai oleh orang-orang. Mereka menangkap Ryland dan pelayan pribadinya, lalu melucuti senjatanya. Setelah berbicara sebentar dengan perwira yang bertugas, Poirot memegang lenganku dan menuntunku pergi dari situ. Segera setelah kami jauh dari tambang batu itu, dirangkulnya aku erat-erat. "Kau masih hidup - kau tak apa-apa. Hebat sekali. Berkali-kali aku menyalahkan diriku karena membiarkan kau pergi." "Aku sama sekali tak apa-apa," kataku sambil membebaskan diriku. "Tapi ada yang aku tak mengerti. Kau terjebak dalam rencana mereka, bukan?" "Tapi itu memang sudah kuharapkan! Untuk apa lagi kubiarkan kau pergi ke sana, kalau bukan untuk itu" Nama palsumu, penyamaran itu, sama sekali tidak bertujuan untuk menipu!" "Apa?" teriakku. "Tak pernah kauberitahukan itu padaku." "Sudah sering kukatakan padamu, Hastings, bahwa kau mempunyai sifat yang sangat baik dan sangat jujur, hingga tanpa menipu dirimu sendiri, kau tidak akan bisa menipu orang lain. Baik, mereka mengenalimu sejak semula, dan mereka melakukan apa yang memang kuperhitungkan akan mereka lakukan - suatu kepastian seperti dalam matematika, bagi orang yang menggunakan sel-sel kelabunya dengan baik - mereka memakal kau sebagai umpan. Mereka tempatkan gadis itu - ngomong-ngomong, mon ami, berdasarkan kenyataan psikologi, apakah gadis itu berambut merah?" "Kalau yang kaumaksud itu adalah Nona Martin," kataku dingin, "warna rambutnya agak merah bernada kecoklatan, tapi -" "Orang-orang itu - memang luar biasa! Mereka bahkan sudah mempelajari tentang psikologi dirimu. Oh ya, Sahabatku, Nona Martin adalah bagian dari komplotan itu - dia benar-benar terlibat. Dia mengulangi isi surat ltu untukmu, bersamaan dengan kisahnya tentang kemurkaan Tuan Ryland, kau menuliskannya, kau memeras otak untuk memecahkannya - kata-kata itu telah disusun dengan baik, sulit memang, tapi tidak terlalu sulit - kau bisa memecahkannya, dan kau memanggilku. Tapi mereka tak tahu bahwa aku memang mengharapkan hal itu akan terjadi. Aku buru-buru mendatangi Japp dan mengatur langkah. Dan begitulah, seperti kaulihat, kita menang!" Aku tidak begitu puas terhadap Poirot, dan hal itu kukatakan padanya. Kami berangkat kembali ke London dengan menumpang kereta susu, pagi-pagi esok harinya. Perjalanan itu sama sekali tak enak. Aku baru saja selesal mandi dan sedang dengan santai memikirkan sarapan yang enak, ketika kudengar suara Japp di ruang tamu. Kukenakan mantel kamar mandiku, lalu cepat-cepat masuk. "Anda libatkan kami ke suatu perangkap tipuan kali ini," kata Japp waktu aku masuk. "Saya sayangkan sekali tindakan Anda itu, M. Poirot. Baru kali inilah saya Iihat Anda salah perhitungan." Poirot tampak terperanjat. Japp berkata lagi, "Kita mengatur semuanya dengan begitu serius padahal yang tertangkap ternyata hanyalah pelayan." "Pelayan?" kataku, napasku agak tersekat. "Ya, si James, atau siapa namanya itu. Agaknya dia bertaruh di antara sesama pelayan, bahwa dia bisa memperdayakan si tolol itu itu Anda, Kapten Hastings - dan memberinya banyak cerita detektif tentang suatu komplotan Empat Besar." "Tak mungkin!" seruku. "Anda tak percaya. Orang itu kami giring langsung ke Hatton Chase. Di sana kami dapati Ryland asli sedang tidur di tempat tidurnya. Sedang petugas penjaga pintu, juru masak, dan entah siapa lagi - pokoknya banyak sekali - semuanya bersumpah tentang adanya taruhan itu. Hanya senda gurau yang tak lucu - tak lebih dari itu - dan pelayan pribadinya bersama dia juga." "Jadi itu sebabnya dia selalu berdiri di tempat gelap," gumam Poirot. Setelah Japp pergi, kami berpandangan. "Sekarang kita tahu, Hastings," kata Poirot akhirnya. "Nomor Dua dari Empat Besar adalah Abe Ryland. Sandiwara pelayannya itu dilakukan supaya mereka bisa mundur dalam keadaan darurat. Sedang pelayan itu -." "Ya?" aku terkesiap. "Nomor Empat," kata Poirot dengan serius. Bab 9 MISTERI MELATI KUNING POIROT boleh saja bilang kami terus mendapat informasi dan semakin paham saja pada jalan pikiran lawan. Tapi aku sendiri membutuhkan keberhasilan yang lebih nyata. Sejak kami ada hubungan dengan Empat Besar, mereka telah melakukan dua kali pembunuhan, menyekap Halliday dan hampir berhasil membunuh Poirot dan diriku sendiri; sedang sebaliknya kami selama ini hampir tidak mencapal hasil apa-apa. Poirot menanggapi keluhanku itu dengan santai saja. "Sampai sekarang, Hastings," katanya, "mereka memang tertawa. Itu memang benar. Tapi bukankah ada pepatah dalam bahasa Inggris vang berbunyi: 'yang tertawa terakhirlah yang menang'" Jadi akhirnya kelak, mon ami, kau lihat sajalah." "Kau juga harus ingat," sambungnya, "kita tidak berurusan dengan penjahatpenjahat biasa, melainkan dengan otak nomor dua terhebat di dunia." Aku tak mau membenarkan kesombongannya itu, dengan cara menanyakan suatu pertanyaan yang sebenarnya sudah jelas. Aku sudah tahu jawabnya, sekurangkurangnya aku tahu apa yang akan merupakan jawaban Plorot. Namun aku gagal memancing informasi mengenal langkah apa yang akan diambilnya untuk melacak musuh kami. Sebagaimana biasa, aku dibiarkannya buta mengenal sepak terjangnya. Tetapl aku tahu dia menghubungi Dinas Rahasia India, Cina, dan Rusia. Rasa puas dirinya sekali-sekali meledak ke permukaan. Dari situ aku tahu bahwa sekurang-kurangnya dia mengalami kemajuan dalam permainan yang paling disukainya, menyadap pikiran musuh. Boleh dikatakan ia telah menghentikan semua praktek pribadinya. Aku tahu bahwa pada saat ini pun dia telah menolak beberapa tawaran yang bayarannya tinggi. Memang, kadang-kadang dia menyelidiki juga beberapa perkara yang menarik hati, tapi biasanya perkara itu dilepaskannya lagi, segera setelah dia yakin bahwa perkara itu tak ada hubungannya dengan kegiatan Empat Besar. Sikapnya itu jelas menguntungkan kawan kami, Inspektur Japp. Tak dapat dibantah bahwa dia telah meraih nama baik dalam memecahkan beberapa persoalan. Padahal keberhasilannya itu sebenarnya berkat petunjuk-petunjuk bernada cemoohan dari Poirot. Sebaga balas jasanya, Japp memberikan keterangan terperinci mengenal perkara apa saja yang menurut dugaannya akan menarik bagi si BeIgia kecil itu. Begitulah, waktu dia ditugaskan untuk menyelesaikan perkara yang dalam surat kabar disebut 'Misteri Melati Kuning', dikirimnya telegram pada Poirot untuk menanyakan apakah dia tak ingin datang dan meninjau. Sebagai kelanjutan telegram itu, kira-kira sebulan setelah petualanganku di rumah Abe Ryland dulu, kami berada berdua saja dalam gerbong kereta api, meninggalkan London yang penuh asap dan debu, menuju kota kecil Market Handford di Worcestershire, tempat terjadinya misteri itu. Poirot duduk bersandar di sudut. "Apa pendapatmu mengenal peristiwa ini, Hastings?" Aku tidak langsung menjawab, aku merasa perlu bersikap waspada. "Kelihatannya rumit sekali," kataku berhati-hati. "Memang," cetus Poirot bersemangat. "Kurasa keberangkatan kita yang terburu-buru begini merupakan pertanda jelas bahwa kau menganggap kematian Paynter akibat pembunuhan bukan bunuh diri atau akibat kecelakaan?" "Tidak, tidak, kau salah faham, Hastings. Meskipun Tuan Paynter kita anggap meninggal akibat suatu kecelakaan yang sangat mengerikan, masih banyak hal misterius yang harus dijelaskan." "Itulah maksudku waktu aku berkata bahwa semuanya kelihatannya rumit." "Coba kita tinjau semua faktanya dengan tenang dan teratur. Tolong ceritakan padaku, Hastings, dengan teratur dan jelas." Aku pun mulai bercerita dengan teratur dan sejelas mungkin. "Kita mulai," kataku, "dengan Paynter. Dia seorang pria berumur lima puluh lima tahun, kaya, berbudaya tinggi, dan suka melanglang buana. Selama dua belas tahun terakhir ini, dia jarang berada di Inggris. Tiba-tiba setelah merasa bosan karena tak sudah-sudahnya bepergian, dia membeli sebuah rumah kecil di Worcestershire, dekat Market Handford, dan bersiap-siap menetap di situ. Rumah dan tanahnya itu dinamakannya Croftlands. Tindakannya yang pertama-tama adalah menulis surat pada satu-satunya sanaknya, yaitu keponakannya, Gerald Paynter, putra adiknya yang bungsu. Diundangnya keponakan itu datang untuk tinggal menetap bersamanya di Croftlands. Gerald Paynter, seorang seniman yang tak beruang, senang sekali memenuhi ajakan itu, dan baru tujuh bulan dia tinggal bersama pamannya, waktu musibah itu terjadi." "Gayamu bercerita hebat sekali," gumam Poirot, sampai-sampai kupikir, sebuah buku yang bercerita ini, bukan sahabatku Hastings." Karena makin bergairah bercerita aku melanjutkan tanpa memperhatikan kata-kata Poirot. "Tuan Paynter menggaji petugas yang cukup banyak di Croftlands - enam pelayan, ditambah pelayan pribadinya sendiri, seorang Cina bernarna Ah Ling." "Pelayan Cina, Ah Ling," gumam Poirot. "Hari Selasa yang lalu, Tuan Paynter mengeluh merasa tak enak badan setelah makan malam. Salah seorang pelayannya diperintahkan untuk memanggil dokter. Tuan Paynter menerima dokter itu di ruang kerjanya, karena dia tak mau disuruh tidur. Apa yang mereka bicarakan berdua waktu itu, tidak diketahui. Tapi sebelum Dr. Quentin pulang, dia minta bertemu dengan pengurus rumah tangga, dikatakannya bahwa dia telah memberl Tuan Paynter suntikan, karena jantungnya dalam keadaan lemah sekali. Dokter menganjurkan supaya dia jangan diganggu, lalu dia menanyakan beberapa pertanyaan aneh tentang para pelayan, sudah berapa lama mereka bekerja di situ, melalui siapa mereka masuk di situ, dan sebagainya. Pengurus rumah tangga menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut sebisa-bisanya, tapi dia tak mengerti apa tujuannya. Esok paginya orang menemukan - sesuatu yang mengerikan. Salah seorang pelayan wanita, waktu turun dari lantai atas mencium bau yang memuakkan, bau daging bakar yang agaknya berasal dari ruang kerja majikannya. Dia mencoba membuka kamar itu, tapi terkunci dari dalam. Dengan bantuan Gerald Paynter dan orang Cina itu, pintu itu dibuka dengan paksa. Mereka disambut pemandangan yang mengerikan. Tuan Paynter tersungkur ke api gas. Wajah serta kepalanya hangus tanpa bisa dikenali lagi. Pada saat itu tentulah tak ada kecurigaan bahwa kejadian itu lebih dari suatu kecelakaan yang mengerikan. Kalaupun ada seseorang yang dapat dikatakan bersalah, maka dia adalah Dr. Quentin, yang telah memberi pasiennya suntikan narkotika dan meninggalkannya dalam keadaan yang begitu berbahaya. Kemudian ditemukan sesuatu yang agak aneh. Di lantai tergeletak sehelai surat kabar. Agaknya surat kabar itu merosot dari lutut orang tua itu. Waktu surat kabar itu dibalik, didapati beberapa coretan kata yang samar-samar. Kata-katanya ditulis dengan tinta. Di dekat kursi yang tadinya diduduki Tuan Paynter ada sebuah meja tulis dan ujung telunjuk kanan korban berbekas tinta sampai di tulang ruasnya yang kedua. Nyatalah, karena terlalu lemah untuk memegang pena, Paynter mencelupkan saja jarinya ke dalam botol tinta itu. Dia berhasil menulis dua patah kata di surat kabar yang sedang dipegangnya - tapi kata-kata itu aneh sekali: melati kuning - hanya itu saja, tak lebih. Di sepanjang dinding rumah Croftlands banyak sekali tumbuh merambat melati kuning. Orang menyangka pesan kematian itu menunjuk pada bunga-bunga itu, yang membuktikan bahwa pikiran orang tua malang itu sudah menerawang. Surat kabar selalu berkeinginan besar menggall sesuatu dari yang biasa saja. Oleh karena itulah perkara itu diberitakan besar-besaran dan disebut Misteri Melati Kuning' meskipun besar kemungkinannya kata-kata itu sama sekali tak berarti apa-apa." "Kaukatakan tak punya arti apa-apa?" tanya Poirot. "Yah, karena kaukatakan tak ada artinya, maka tentu demikianlah keadaannya." Kuperhatikan dia dengan ragu, tapi tak nampak ejekkan dimatanya. "Kemudian," kataku melanjutkan, terjadilah kegemparan dalam pemeriksaan pengadilan." "Kurasa itulah yang ingin sekali diketahui orang." "Ada beberapa orang yang punya dugaan yang memberatkan Dr. Quentin. Pertama-tama, dia bukanlah dokter yang biasa. Dia hanya dokter pengganti, yang ditempatkan hanya untuk selama satu bulan, sementara Dr. Bolitho pergi menikmati libur yang memang amat dibutuhkannya. Kemudian orang menduga bahwa kecerobohannyalah yang merupakan sebab langsung kecelakaan itu. Tetapi kesaksian dokter itu tidak terlalu menggemparkan. Paynter memang sakit-sakitan sejak kedatangannya di Croftlands. Dr. Bolitho sudah beberapa kali menanganinya. Tetapi waktu Dr. Quentin pertama kali melihat pasiennya, dia dibuat bingung oleh Empat Besar The Big Four Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo beberapa gej ala penyakitnya. Sebelum malam itu hanya satu kali dia pernah menangani Paynter. Segera setelah mereka tinggal berduaan saja, Paynter mengisahkan suatu cerita yang mengejutkan. Pertama-tama, dia sebenarnya sama sekali tidak merasa sakit, katanya, tetapi kare yang dimakannya malam itu rasanya aneh. Setelah mencari alasan supaya Ah Ling keluar sebentar, isi piring dituangkannya ke dalam mangkuk. Makanan itu kemudian diserahkannya pada dokter agar diselidiki kalau-kalau memang ada yang tak beres dengan makanan itu. Meskipun orang tua itu menyatakan bahwa dia tak merasa sakit, dokter melihat bahwa kecurigaannya itu telah menimbulkan shock juga dan berpengaruh pada jantungnya. Sehubungan dengan itulah, dia telah memberikan suntikan itu - bukan suntikan narkotika, melainkan suntikan Strychnine. Kurasa dengan demikian selesallah perkara itu kalau saja tidak kedapatan puncak dari seluruh kejadian itu - yaitu bahwa kare yang tak dimakan itu, setelah diteliti, ternyata mengandung bubuk candu yang cukup banyak untuk bisa membunuh dua orang! Aku berhenti sebentar. "Lalu, kesimpulanmu, Hastings?" tanya Poirot dengan tenang. "Sulit dikatakan. Mungkin saja itu suatu kecelakaan dan kenyataan bahwa seseorang telah mencoba untuk meracuninya pada malam itu juga, mungkin hanya suatu kebetulan saja." "Tapi kau pasti tidak berpendapat begitu, kan" Kau lebih suka percaya bahwa itu adalah - suatu pembunuhan!" "Apakah kau tidak?" "Mon ami, kau dan aku ini tidak berpikir dengan cara yang sama. Aku tidak akan mencoba mengambil keputusan di antara dua penyelesajan yang berlawanan - pembunuhan atau kecelakaan. Itu akan terselesaikan dengan sendirinya bila kita sudah menyelesalkan masalah yang satu lagi - yaitu 'Misteri Melati Kuning' itu. Ngomong-ngomong, ada satu hal yang tidak kauceritakan." "Maksudmu, dua buah garis yang saling membentuk sudut arah kanan yang samarsamar di bawah kata-kata itu" Kurasa garis-garis itu tak penting." "Yang penting bagimu hanyalah apa yang kaupikir sendiri, Hastings. Tapi marilah kita beralih dari 'misteri melati kuning' ke 'misteri kare'." "Aku tahu. Siapa yang meracuni kare itu" Mengapa" Ada beratus-ratus pertanyaan yang bisa ditanyakan. Ah Ling, tentulah yang memasaknya. Tapi mengapa dia ingin membunuh majikannya" Apakah dia seorang anggota suatu komplotan, atau semacamnya" Kita banyak membaca tentang hal-hal seperti itu. Komplotan Melati Kuning, mungkin" Kemudian si Gerald Paynter itu." Aku terhenti tiba-tiba. "Ya, " kata Poirot sambil mengangguk. "Ada pula Gerald Paynter seperti katamu itu. Dia ahli waris pamannya. Tetapi malam itu dia sedang makan malam di luar." "Mungkin dia telah mengutik-utik bumbu kare itu," saranku. "Dan dia mengatur supaya dia tak berada di rumah, supaya dia tak perlu ikut memakan makanan itu." Kurasa jalan pikiranku agak meyakinkan Poirot. Dia melihat padaku dengan pandangan yang lebih banyak mengandung hormat daripada biasanya. "Larut malam dia baru , kembali," kataku, memberikan bahan pertimbangan baru. "Dia melihat cahaya di ruang kerja pamannya, dia masuk, dan waktu dilihatnya bahwa rencananya gagal, didorongnya orang tua itu ke api." "Paynter, yang boleh dikatakan cukup sehat dan berumur lima puluh lima tahun itu, tidak akan mau membiarkan dirinya dibakar sampai mati tanpa perlawanan, Hastings. Rekonstruksi yang begitu, tak bisa diterima. " "Yah, Poirot, " kataku, "kurasa kita sudah hampir sampai. Aku ingin mendengar bagaimana pikiranmu?" Poirot melempar senyumnya padaku, membusungkan dadanya, dan mulai berbicara dengan gaya yang hebat. "Seandainya itu suatu pembunuhan, maka langsung akan muncullah pertanyaan, mengapa memilih cara itu" Aku hanya bisa menemukan satu alasan - supaya mukanya tidak dikenal lagi, karena mukanya hangus. "Apa?" seruku, "Kaupikir-" "Bersabarlah sebentar, Hastings. Aku baru akan mengatakan bahwa aku memegang teori itu. Adakah dasarnya untuk menduga bahwa mayat itu bukanlah mayat Paynter" Apakah ada kemungkinan itu mayat orang lain" Kuteliti kedua pertanyaan itu, dan akhirnya aku harus menjawabnya dalam bentuk menyangkal. " "Oh!" kataku agak kecewa. "Lalu?" Mata Poirot berkilat. "Lalu aku berkata pada diriku. Karena dalam hal ini ada sesuatu yang tak kupahami, sebaiknya kuselidiki persoalan ini. Aku tak boleh membiarkan diriku terlalu asyik dengan Empat Besar. Nah! Kita sudah tiba. Sikat bajuku yang kecil itu, di mana dia tersembunyi" Nah, ini dia - tolong sikatkan bajuku. Sahabatku, nanti aku akan melakukan yang sama untukmu." "Ya," kata Poirot sambil menyimpan sikatnya, "kita tak boleh membiarkan diri kita dikuasai oleh satu macam persoalan saja. Selama ini aku terus terancam bahaya itu. Bayangkan sendiri, Sahabatku, bahwa di tempat ini, dalam perkara ini pun, aku terancam bahaya itu pula. Dua garis yang kausebut tadi itu, sebuah garis ke bawah dan sebuah garis lain yang membentuk sudut ke kanan dengan garis itu, apakah bukan awal dari sebuah angka empat?" "Astaga, Poirot," seruku sambil tertawa. "Itu bukannya tak masuk akal! Aku melihat tangan Empat Besar di mana-mana. Sebaiknya pikiran kita memang harus kita tempatkan dalam suasana yang benarbenar berbeda. Nah! Itu Japp datang menjemput kita. " Bab 10 KAMI MENGADAKAN PENYELIDIKAN DI CROFTLANDS INSPEKTUR dari Seotland Yard itu memang sedang menunggu di peron, dan dia menyambut kami dengan hangat. "Nah, Tuan Poirot, saya senang sekali. Saya memang sudah menduga Anda akan suka dilibatkan dalam perkara ini. Sungguh misteri yang hebat, kan?" Menurut tafsiranku, hal itu menunjukkan bahwa Japp benar-benar merasa tak mengerti dan berharap akan bisa mendapatkan petunjuk-petunjuk dari Poirot. Japp membawa sebuah mobil, dan kami naik mobil itu ke Croftlands. Rumah itu berbentuk segi empat, berwarna putih, tak ada keistimewaannya, dan dinding-dindingnya dipenuhi tanaman rambat, termasuk bunga melati kuning yang berbentuk bintang. Japp ikut memperhatikan rumah itu bersama kami. "Orang tua yang malang itu pasti sudah kurang beres pikirannya, sampaj menuliskan kata-kata itu," kata Japp. "Mungkin dia berkhayal, dan menyangka bahwa dia sedang berada di luar." Poirot tersenyum padanya. "Menurut Anda, yang mana, Japp yang baik?" tanyanya. "Apakah itu suatu kecelakaan atau pembunuhan?" Inspektur itu kelihatan agak salah tingkah oleh pertanyaan itu. "Kalau saja tak ada urusan kare itu, saya tetap berpikir bahwa itu suatu kecelakaan. Tak masuk akal memasukkan kepala orang hidup-hidup ke dalam api huh, dia tentu berteriak sekuat-kuatnya." "Oh!" kata Poirot dengan suara rendah. "Tolol benar aku. Goblok sekali! Anda lebih pandai daripada saya, Japp." Japp agak terkejut mendengar pujian itu - Poirot biasanya dikenal suka memuji diri sendiri. Wajah Japp menjadi merah dan bergumam bahwa hal itu masih sangat diragukan. Japp mengantar kami memasuki rumah itu, ke kamar tempat musibah itu terjadi ruang kerja Paynter. Ruangan itu luas, berlangit-langit rendah, dindingnya dipenuhi buku, dan di situ terdapat kursi-kursi kulit yang besar. Poirot segera memandang ke arah jendela di seberang kamar. Jendela itu menghadap ke teras yang berbatu kerikil. "Jendela itu tak terkunci?" tanyanya. "Itulah soalnya. Waktu dokter keluar dari ruangan ini, dia hanya menutup pintu. Esok paginya pintu itu kedapatan terkunci. Siapa yang menguncinya" Paynter" Menurut Ah Ling, jendela itu sudah ditutup dan dikuncinya. Sebaliknya, Dr Quentin mendapatkan kesan bahwa jendela itu memang tertutup, tapi tidak dikunci. Tapi dia tak berani bersumpah mengenal hal itu. Kalau saja dia bisa disumpah, maka akan lain sekali halnya. Bila orang tua itu memang dibunuh, seseorang telah masuk ke kamar itu, entah melalui pintu atau jendela - kalau melalui pintu, maka hal itu adalah pekerjaan orang dalam; kalau melalui jendela, bisa siapa saja. Setelah mendobrak pintu, mereka pertama-tama membuka jendela lebar-lebar. Pelayan wanita yang membukanya, merasa bahwa itu tak dikunci, tapi perempuan itu saksi yang kurang baik - dia akan mengatakan apa saja yang kita pesankan padanya!" "Bagaimana dengan kuncinya?" "Itu satu soal lagi. Kuncinya ada di lantai di antara bekas-bekas pintu yang didobrak. Mungkin terjatuh dari lubangnya, mungkin dijatuhkan oleh salah seorang yang masuk, mungkin pula diselipkan orang dari bawah pintu dari luar." "Jadi semuanya masih 'mungkin'?" "Dugaan Anda tepat, Tuan Poirot. Memang begitulah." Poirot sedang memandang ke sekelilingnya. Alisnya berkerut tak senang. "Saya belum bisa melihat titik terang," gumamnya. "Semula memang saya melihat suatu titik, tapi sekarang semuanya gelap lagi. Saya tak punya petunjuk - tak ada motif." "Tuan Muda Gerald Paynter punya motif yang cukup kuat," kata Japp dengan tandas. Bisa saya katakan, bahwa dia pernah hidup liar. Dia juga suka berfoya-foya. Anda pun tahu bagaimana hidup seniman - tak ada moral sama sekali." Poirot tak banyak menaruh perhatian pada celaan-celaan Japp yang berkepanjangan mengenai cara-cara hidup seniman. Dia hanya tersenyum paham. "Japp yang baik, mungkinkah Anda ingin mengelabui saya" Saya tahu betul bahwa orang Cina itulah yang Anda curigai. Anda ini benar-benar licik. Anda minta saya membantu Anda - tapi Anda sembunyikan sasarannya." Japp tertawa terbahak. "Itu memang cirl khas Anda, Poirot. Saya memang mencurigai si Cina itu, saya akui itu. Jelas sekali bahwa dialah yang mengutak-atik kare itu. Bila sudah satu kali dalam satu malam dia mencoba menyingkirkan majikannya, dia mau saja mencoba untuk kedua kalinya." "Saya ingin tahu apakah mau dia berbuat demikian," kata Poirot dengan halus. "Tapi alasan perbuatan itulah yang ingin saya ketahui. Semacam dendam kesumat, saya rasa?" "Entahlah," kata Poirot lagi. "Bukankah tak ada perampokan yang menyertainya" Tak adakah barang yang hilang" Perhiasan, uang, atau surat-surat?". "Tak ada - yah, tidak sama sekali - begitu sebenarnya. " Aku memasang telinga, demikian pula Poirot. "Maksud saya, perampokan memang tak terjadi," Japp menjelaskan. "Tapi Pak Tua itu sedang menulis sebuah buku. Hal itu baru kami ketahui tadi pagi, waktu ada surat datang dari penerbit yang menanyakan tentang naskah buku itu. Agaknya naskah itu baru saja selesai. Paynter muda dan saya sudah mencari ke mana-mana, tapi sama sekali tak bisa menemukan bekas-bekasnya - mungkin telah disembunylkannya entah di mana." Mata Poirot menyinarkan warna hijau yang sudah begitu kukenal. "Apa judul buku itu?" tanyanya. "Saya rasa diberinya judul, Tangan Tersembunyi di Cina." "Oh!" kata Poirot, bagai tersekat napasnya. Lalu dia berkata cepat-cepat, "Saya ingin bertemu dengan Ah Ling, orang Cina itu." Orang Cina itu dipanggil dan muncul. Jalannya terseret-seret, matanya terus terhunjam ke bawah, dan kepangnya terayun-ayun. Wajahnya yang datar, sama sekali tidak membayangkan apa-apa. "Ah Ling," kata Poirot, "apa kau sedih majikanmu meninggal?" "Sedih sekali. Dia majikan yang baik." "Tahu kau siapa yang membunuhnya?" "Tak tahu. Kalau saya tahu, saya beri tahu polisi. Tanya-jawab itu berjalan terus. Dengan wajah yang tetap datar, Ah Ling menggambarkan bagaimana dia membuat kare. Juru masak sama sekali tak campur tangan, katanya. Tak ada tangan lain yang menyentuhnya, kecuali tangannya sendiri. Aku ingin tahu, apakah dia menyadari, akan berakibat apa pernyataannya ltu atas dirinya. Dia juga tetap bertahan pada pernyataannya, bahwa jendela ke kebun sudah dikunci malam itu. Kalau pagi harinya terbuka, pasti majikannyalah yang telah membukanya sendiri. Akhirnya Poirot membolehkannya pergi. "Cukup sekian saja, Ah Ling." Baru saja orang Cina itu tiba di pintu, Poirot memanggllnya kembali. "Apa benar katamu tadi bahwa kau tak tahu apa-apa tentang melati kuning?" "Tidak, apa yang harus saya ketahui?" "Juga tidak mengenal tanda yang ditulis di bawah kata-kata itu?" Poirot membungkukkan tubuhnya ketika dia berbicara, dan dengan cepat mencoretkan sesuatu pada debu di atas sebuah meja kecil. Aku berada cukup dekat, hingga aku bisa melihatnya sebelum dia menghapusnya lagi. Sebuah garis ke bawah dan sebuah garis lain yang membentuk sudut ke kanan, lalu sebuah garis ke bawah lagi, hingga sempurnalah bentuk angka empat. Efeknya atas diri orang Cina itu sangat mengesankan, karena seketika itu juga wajahnya membayangkan rasa takut yang hebat. Kemudian, secepat itu pula, wajah itu menjadi datar kembali. Lalu setelah mengulangi pernyataannya bahwa dia tak tahu, dia pergi. Japp pergi untuk mencari Paynter muda, dan aku tinggal berdua saja dengan Poirot. "Empat Besar, Hastings," seru Poirot. "Lagi-lagi Empat Besar. Paynter orang yang suka berkelana. Dalam bukunya itu pasti ada suatu informasi yang membahayakan, sehubungan dengan sepak terjang Nomor Satu, Li Chang Yen, otak Empat Besar." "Tapi siapa - bagaimana-" "Ssst, mereka datang." Gerald Paynter seorang laki-laki muda yang ramah-tamah dan kelihatan agak lemah. Dia memelihara jenggot berwarna coklat muda dan memakal dasi yang aneh. Dia menjawab pertanyaan-pertanyaan Poirot dengan lancar. "Saya pergi makan malam bersama tetangga kami, keluarga Wycherly," dia menjelaskan. "Jam berapa saya pulang" Yah, kira-kira jam sebelas. Saya punya kunci duplikat. Semua pelayan sudah tidur, dan saya tentu saja menyangka bahwa paman saya pun sudah tidur. Terus terang, saya memang sekilas melihat Ah Ling yang langkahnya tak bersuara itu. Dia baru saja membelok di sudut lorong rumah, tapi mungkin saya keliru. " "Kapan Anda bertemu untuk terakhir kali dengan paman Anda, maksud saya, sebelum Anda datang kemari untuk tinggal bersamanya?" "Oh! Waktu saya baru berumur sepuluh tahun, sejak itu tak pernah lagi. Soalnya, Paman bertengkar dengan adlknya, ayah saya itu." "Tapi dia bisa menemukan Anda kembali tanpa banyak susah payah, kan" Meskipun sudah begitu lama waktu berlalu?" "Ya, memang untung sekali saya telah melihat iklan pengacara itu. Poirot tidak bertanya apa-apa lagi. Langkah kami yang berikutnya adalah, mengunjungi Dr. Quentin. Kisahnya pada dasarnya sama dengan yang sudah diceritakannya pada waktu pemeriksaan pertama di pengadilan, dan sedikit sekali yang bisa ditambahkannya. Kami diterimanya di ruang pemeriksaannya. Dia baru saja selesal memeriksa pasien-pasiennya. Kelihatannya dia orang cerdas. Sikapnya sangat sopan santun, sesuai benar dengan kaca matanya yang tanpa gagang, tapi kurasa dia benar-benar modern dalam cara kerjanya. "Saya ingin sekali ingat -tentang jendela itu," katanya dengan jujur. "Tetapi percobaan untuk mengingat-ingat kembali sesuatu itu berbahaya, orang bisa merasa yakin akan sesuatu yang sebenarnya tak pernah ada. Itu psikologinya kan, Tuan Poirot" Soalnya, saya sudah membaca semua tentang cara kerja Anda, dan saya boleh berkata bahwa saya sangat mengagumi Anda. Tidak, saya rasa, pasti orang Cina itulah yang telah memasukkan serbuk candu itu ke dalam kare, tapi dia tidak akan pernah mengakuinya. Kita tidak akan pernah tahu mengapa. Tapi menurut saya, memasukkan kepala seseorang ke dalam api - itu rasanya tak sesuai dengan watak orang Cina itu." Aku membahas pernyataan yang terakhir itu dengan Poirot, ketika kami berjalan di jalan raya Market Handford. "Apakah menurutmu, mereka berdua itu berkomplot?" tanyaku. "Ngomong-ngomong, kurasa Japp bisa dipercaya untuk mengawasinya, bukan?" (Inspektur itu telah mampir ke pos polisi karena ada urusan.) "Soalnya kaki-tangan Empat Besar itu cepat sekali dalam segala gerakgeriknya." Empat Besar The Big Four Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Japp sedang mengawasi keduanya," kata Poirot dengan tegas. "Mereka dlikuti terus dengan ketat, sejak mayat itu ditemukan." "Yah, pokoknya kita yakin bahwa Gerald Paynier tak ada sangkut pautnya dengan keJahatan itu." "Kau selalu tahu lebih banyak dari aku, Hastings, aku jadi letih. " "Brengsek tua kau," kataku tertawa. "Kau tak pernah mau mengakui." "Terus terang, Hastings, perkara itu sudah menjadi lebih terang bagiku sekarang - kecuali kata-kata melati kuning - dan aku mulai sependapat denganmu bahwa kata-kata itu tak ada hubungannya dengan kejahatan itu. Dalam perkara semacam ini, kita harus memastikan diri siapa yang berbohong. Aku sudah mengambil keputusan- " Namun Tiba-tiba dia menjauh dari sisiku dan memasuki sebuah toko buku yang ada di dekat kami. Beberapa kemudian, dia keluar lagi, dengan mendekap sebuah bungkusan. Kemudian Japp menggabungkan diri dengan kami, dan kami lalu mencari penginapan. Aku bangun kesiangan esok paginya. Waktu aku turun ke ruang tamu yang disediakan untuk kami, kudapati Poirot sudah ada di sana. Dia sedang berjalan hilir-mudik, wajahnya seperti orang kesakitan. "Jangan ajak aku bicara," serunya, sambil mengguncang-guncang tangannya kuatkuat. "Sampai semuanya beres - artinya sampai dilakukan penangkapan. Aduh! Daya pikirku lemah sekali. Hastings, bila seseorang yang sedang sekarat menuliskan pesan, itu tentu karena penting. Semua orang berkata - 'Melati kuning" Ah, pada dinding rumah itu memang banyak sekali tumbuh melati kuning - itu tak berarti apa-apa.' jadi, apa artinya" Hanya sekadar nama bunga saja. Dengarkan." Diangkatnya sebuah buku kecil yang sedang dipegangnya. "'Sahabatku, aku tibatiba mendapat gagasan bahwa sebaiknya aku mempelajari soal itu. Apakah bunga melati kuning itu sebenarnya" Buku kecil ini telah membuka mataku. Dengarkan." Dia membacanya. "Gelsemini radix. Bunga melati kuning. Komposisinya: Alkaloida gelseminine C22H26N203, semacam racun yang kuat yang bekerja sebagai contine; gelsemine C12HI4NO2, yang bekerja sebagai strychnine; asam gelsemat, dan sebagainya. Gelsernium adalah semacam obat pelemah yang kuat sekali, yang bekerja sampai ke pusat susunan syaraf. Lama setelah digunakan, gelsemium melumpuhkan ujung-ujung syaraf penggerak, dan bila dipakai dalam takaran tinggi, menyebabkan pusing kepala dan kehilangan kekuatan otot. Akhirnya membawa kematian yang disebabkan oleh kelumpuhan pusat pernapasan." "Soalnya, Hastings. Mula-mula aku sudah mendapat gambaran waktu Japp menyebutnyebut tentang orang yang dimasukkan ke dalam api hidup-hidup. Waktu itulah aku sadar bahwa orang yang sudah matilah yang dibakar itu." "Tapi mengapa" Untuk apa?" "Sahabatku, bila menembak seseorang, atau menikam seseorang setelah dia meninggal, atau bahkan menghantam kepalanya, akan tampak jelas bahwa luka-luka itu ditimbulkan setelah kematiannya. Tapi dengan menghanguskan kepalanya sampai menjadi arang, tak seorang pun akan menyelidiki tentang sebab-sebab kematian yang tersembunyi. Selain itu seseorang yang agaknya baru saja terhindar dari usaha peracunan pada waktu makan, tak mungkin, diracun tepat sesudah itu. Siapa yang berbohong, itulah selalu pertanyaannya. Aku memutuskan untuk mempercayal Ah Ling." "Apa?" seruku. "Kau keheranan, Hastings" Ah Ling tahu tentang adanya Empat Besar, itu sudah jelas - demikian jelasnya hingga terang sekali dia tak tahu apa-apa tentang keterlibatan komplotan itu dalam keJahatan tersebut, sampai saat itu. Seandainya dia yang membunuh, pastilah wajahnya akan tetap datar saja. jadi aku lalu memutuskan untuk mempercayal Ah Ling, dan kecurigaanku kutujukan pada Gerald Paynter. Menurutku, Nomor Empat akan dengan mudah menyamar sebagai seorang keponakan yang sudah lama hilang." "Apa!" teriakku. "Nomor Empat?" "Bukan, Hastings, bukan Nomor Empat." Segera setelah kubaca tentang bunga melati kuning aku melihat kebenarannya. Kebenaran itu bahkan menyolok mata. "Sebagaimana biasanya," kataku dingin, "hal itu tidak membuka mataku." "Karena kau tak mau menggunakan sel-sel kelabumu yang kecil. Siapa yang punya kesempatan untuk ikut menangani kare itu?" "Ah Ling. Tak ada yang lain." "Tak ada, yang lain" Bagaimana dengan dokter itu?" "Tapi dokter itu melihatnya kemudian." "Tentu saja kemudian. Sebenarnya tak ada bekas-bekas serbuk candu dalam kare yang disajikan pada Tuan Paynter, tapi karena menuruti kecurigaan yang telah ditimbulkan Dr. Quentin, orang tua itu tidak memakan kare tersebut. Makanan itu ditinggalkannya untuk diberikan kepada dokter pribadinya, yang dimintanya datang sesuai dengan rencana. Dr. Quentin datang, menerima kare itu, lalu memberikan suntikan pada Tuan Paynter - katanya suntikan strychnine, padahal sebenarnya suntikan bunga melati kuning dalam takaran sampai merupakan racun. Setelah obat itu mulai bekerja, dia pergi, setelah membuka dulu kunci jendela. Kemudian malam harinya, dia kembali melalui jendela, menemukan naskah itu, dan memasukkan kepala Paynter ke api. Dia tidak mempedulikan surat kabar yang jatuh ke lantai dan terlindung oleh tubuh orang tua itu. Paynter tahu obat apa yang telah disuntikkan pada dirinya, dan berjuang untuk menuding bahwa Empat Besar-lah yang telah melakukan pembunuhan itu. Bagi Quentin, mudah saja mencampurkan serbuk candu ke dalam kare sebelum meneruskannya untuk dianalisa. Diceritakannya tentang percakapannya dengan orang tua itu berdasarkan karangannya sendiri. Secara selintas disebutnya tentang suntikan strychnine, kalau-kalau bekas tusukan jarum suntikan dilihat orang. Maka kecurigaan terpecah dua, antara bahwa itu kecelakaan, dan bahwa itu kesalahan si Ah Ling, sehubungan dcngan adanya racun di dalam kare." "Tapi Dr. Quentin itu tak mungkin Nomor Empat. "Kurasa bisa saja. Aku yakin, pasti ada Dr. Quentin yang sebenarnya, yang mungkin sedang berada di suatu tempat di luar negeri. Dengan mudah saja Nomor Empat lalu menyamar menjadi dokter itu, dalam waktu singkat. Hubungan dengan Dr. Bolitho, selalu dilakukan secara tertulis, sedang orang sebenarnya yang akan jadi pengganti dibuat sakit di saat-saat terakhir." Pada saat itu, Japp masuk tergopoh-gopoh dengan wajah merah. "Sudah Anda tangkap dia?" teriak Poirot dengan kuatir. Japp menggeleng, terengah-engah. "Tadi pagi, Bolitho kembali dari liburnya karena dipanggil melalui telegram. Tak seorang pun tahu siapa yang telah mengirim telegram itu. Penggantinya sudah berangkat semalam. Tapi kita akan menangkapnya." Poirot menggeleng dengan tenang. "Kurasa tidak," katanya, dan dengan sikap linglung dibuatnya angka empat besarbesar di meja dengan garpu. Bab 11 PERSOALAN DALAM CATUR POIROT dan aku sering makan malam di sebuah restoran kecil di Soho. Pada suatu malam, kami sedang berada di sana, waktu kami melihat seorang teman di meja di sebelah kami. Dia Inspektur Japp. Karena di meja kami masih ada tempat, dia pun menggabungkan diri dengan kami. Sudah agak lama kami tak bertemu dengan dia. "Anda tak pernah lagi datang mengunjungi kami, sekarang, " kata Poirot menyesalinya. "Sejak peristiwa bunga melati kuning itu kita tak pernah bertemu, padahal itu sudah sebulan yang lalu. " "Saya pergi ke daerah utara - itu sebabnya. Bagaimana kabar Anda berdua" Empat Besar masih merajalela terus ya?" Poirot menegurnya dengan mengguncang-guncangkan jarinya ke arah orang itu. "Nah! Anda mengejek saya - tapi Empat Besar itu memang ada." "Oh! Saya tidak meragukan hal itu - tapi mereka itu bukanlah yang terpenting di muka bumi ini, sebagaimana anggapan Anda." "Sahabatku, Anda salah sekali. Kekuatan terbesar dalam kejahatan di dunia masa kini adalah Empat Besar itu. Apa tujuan perbuatan-perbuatan mereka, tak seorang pun yang tahu, tapi tak pernah ada organisasi keJahatan seperti itu sebelumnya. Otak yang terpandai di Cina sebagai kepalanya, seorang jutawan Amerika dan seorang ilmuwan wanita Prancis sebagai anggota-anggotanya, dan mengenal yang keempat -" Japp menyelanya. "Saya tahu - saya tahu. Anda sampai seperti gila karena soal itu. Hal itu sudah menjadi penyakit Anda, M. Poirot. Baiknya sekarang kita bicara tentang hal lain saja Apakah Anda menaruh perhatian pada catur?" "Ya, saya pernah memainkannya." "Anda melihat soal mencurigakan kemarin itu" Pertandingan antara dua orang pecatur yang punya nama international, dan seorang di antaranya meninggal ketika sedang dalam permainan." "Ada saya baca berita tentang itu. Dr. Savaronoff, juara dari Rusia itu, salah seorang pemainnya. Yang seorang lagi, yang meninggal karena serangan jantung, adalah Gilmour Wilson, pria muda Amerika yang cemerlang itu." "Benar sekali. Savaronoff mengalahkan Rubinstein dan menjadi juara Rusla beberapa tahun yang lalu. Wilson disebut-sebut sebagai Capablanca yang kedua." "Suatu peristiwa yang aneh," renung Poirot. "Kalau saya tak salah, Anda menaruh perhatian khusus pada peristiwa itu." Japp tertawa agak kemalu-maluan. "Anda benar, M. Poirot. Saya tak mengerti. Wilson itu sehat wal'afiat - tak ada tanda-tanda berpenyakit jantung. Kematiannya tak bisa diungkapkan. " "Apakah Anda curiga bahwa Dr. Savaronoff yang telah menyingkirkannya?" tanyaku. "Tak dapat dikatakan begitu," kata Japp datar. "Saya rasa, seorang Rusia sekalipun tidak akan membunuh hanya supaya tidak dikalahkan dalam pertandingan catur - dan bagaimanapun juga, menurut pandangan saya, keadaannya malah terbalik. Dokter itu pecatur hebat - kata orang, kedua sesudah Lasker." Poirot mengangguk termangu. "Jadi bagaimana pendapat Anda?" tanyanya. "Mengapa Wilson harus diracuni" Karena, kesimpulan saya tentulah, bahwa Anda curiga adanya racun." "Tentu. Serangan jantung berarti jantung kita berhenti berdetak hanya itu saja. Itulah yang dikatakan dokter secara resmi pada saat itu, tapi secara pribadi dia memberl isyarat pada kami bahwa dia tak puas." "Kapan otopsinya akan dilakukan?" "Nanti malam. Kematian Wilson benar-benar mendadak. Dia benar-benar kelihatan biasa-biasa saja. Malah dia sedang memindahkan salah satu anak catur itu ketika tiba-tiba tertelungkup - mati!" "Sedikit sekali racun yang bekerja dengan cara secepat itu," Poirot membantah. "Saya tahu. Saya rasa, otopsi itu akan membantu kita nanti. Tapi mengapa ada orang yang ingin agar Wilson mati - itu yang saya ingin tahu. Dia seorang anak muda yang tidak menyusahkan orang lain, tak banyak lagak. Dia baru saja datang dari Amerika dan agaknya tak punya musuh di dunia ini." "Kelihatannya tak masuk akal, " kataku merenung. "Sama sekali, tidak," kata Poirot sambil tersenyum. "Japp punya teorl, aku bisa melihatnya." "Memang ada, M. Poirot. Saya tidak percaya bahwa racun itu ditujukan untuk Wilson - itu pasti ditujukan untuk lawannya." "Savaronoff ?" "Ya. Savaronoff bertentangan dengan kaum Bolsyewlk waktu revolusi pecah. Dia bahkan dilaporkan sudah meninggal. Sebenarnya dia melarikan diri, dan selama tiga tahun dia menderita hebat di hutan-hutan Siberia. Demikian hebatnya penderitaannya, hingga dia berubah. Sahabat-sahabat dan handal taulannya mengatakan bahwa mereka hampir tak bisa mengenalinya. Rambutnya sudah memutih, dan seluruh penampilannya seperti orang yang sudah tua sekali. Dia jadi setengah cacat, dan jarang keluar. Dia tinggal berduaan saja dengan keponakan perempuannya, Sonia Daviloff, dan seorang pelayan laki-laki Rusia di sebuah flat di jalan Westminster. Mungkin dia masih menganggap dirinya orang yang terkemuka. Jelas dia enggan sekali memainkan pertandingan catur itu. Sudah beberapa kali dia menolak dengan tegas, dan setelah surat-surat kabar turun tangan dan mulai membuat ribut-ribut tentang penolakan yang tak sportif, barulah dia menerimanya. Gilmour Wilson telah terus-menerus menantangnya dengan cara khas orang Amerika, dan akhirnya dia berhasil. Sekarang saya bertanya, Poirot, mengapa dia selama itu tak mau" Karena dia tak mau orang menaruh perhatian pada dirinya. Dia tak ingin sesuatu atau seseorang sampai mengetahui jejaknya. Itulah penyelesajan saya - Gilmour Wilson terbunuh sebagai korban kekeliruan." "Tak adakah seorang pun yang punya alasan pribadi yang menguntungkan dirinya, dengan kematian Savaronoff itu?" "Yah, saya rasa keponakannya itulah. Savaronoff baru-baru ini mendapatkan kekayaan besar. Kekayaan itu warisan dari Madame Gospola, yang almarhum suaminya pengusaha gula di. bawah rejim yang lama. Saya rasa mereka pernah punya hubungan. Wanita itu dulu menolak kebenaran laporan tentang kematian Savaronoff." "Di mana pertandingan itu dimainkan?" "Di flat Savaronoff sendiri, Dia itu cacat, seperti kata saya tadi." "Banyak yang menonton?" "Sekurang-kurangnya dua belas orang - mungkin lebih. Poirot nyengir. "Kasihan Anda, Japp, tugas Anda tak ringan." "Segera setelah saya tahu pasti bahwa Wilson tidak diracuni, saya akan bisa bertindak." "Adakah terpikir oleh Anda, seandainya kesimpulan Anda Savaronoff-lah sasaran yang sebenarnya, pembunuhnya akan mencoba lagi?" "Tentu saya menyadari hal itu. Ada dua orang yang mengawasi flat Savaronoff." "Itu perlu sekali, kalau-kalau ada seseorang yang datang dengan mengepit sebuah bom," kata Poirot datar. "Anda mulai tertarik, M. Poirot," kata Japp dengan mengedipkan matanya. "Maukah kalian ikut ke tempat penyimpanan mayat, dan melihat mayat Wilson, sebelum dokter mulai memeriksanya" Siapa tahu, jepit dasinya miring dan hal itu merupakan petunjuk berharga bagi Anda untuk memecahkan misteri ini." "Japp yang baik, selama kita makan ini pun jari-jari saya sudah gatal untuk memperbaiki letak jepit dasi Anda sendiri. Izinkan saya, ya" Nah! Begitu lebih enak dipandang mata. Ya, tentu, mari kita pergi ke tempat penyimpanan mayat." Bisa kulihat bahwa perhatian Poirot kini sudah benar-benar tertuju seluruhnya pada masalah baru itu. Sudah lama sekali dia tidak menunjukkan perhatian pada suatu perkara di luar Empat Besar, hingga aku senang sekali melihat ia kembali seperti semula. Aku sendiri merasa kasihan sekali waktu melihat tubuh diam dan wajah kesakitan anak muda Amerika yang malang itu. Ia telah menemul ajal dengan cara yang begitu aneh. Poirot memeriksa mayat itu dengan penuh perhatian. Tak ada bekas-bekas di bagian mana pun juga pada tubuh itu, kecuali suatu bekas luka kecil di tangan sebelah kiri. "Dokter mengatakan itu luka bakar, bukan luka terpotong," Japp menjelaskan. Perhatian Poirot beralih pada isi saku mayat itu. Barang-barangnya semuanya sudah dikeluarkan dan disodorkan oleh seorang agen polisi untuk kami periksa. Tak banyak barang-barangnya - sehelai sapu tangan, kunci-kunci, sebuah buku catatan berisi beberapa catatan, dan beberapa pucuk surat yang tak penting. Tapi ada satu benda khusus yang menarik perhatian Poirot. "Buah catur!" serunya. "Sebuah gajah putih. Apakah benda ini terdapat dalam sakunya pula?" "Tidak, benda itu tergenggam dalam tangannya." Kami mengalami kesulitan waktu akan mengeluarkan dari genggamannya. Benda itu harus dikembalikan pada Dr. Savaronoff kelak. Buah catur itu satu dari seperangkat buah catur gading berukir yang sangat indah. "Izinkan saya saja yang mengembalikannya. "Dengan demikian saya punya alasan untuk pergi ke sana. " "Aha!" seru Japp. "Jadi Anda ingin masuk dalam perkara ini?" "Saya akui, memang benar. Begitu pandainya Anda membangkitkan perhatian saya." "Bagus. Dengan begitu Anda tidak akan termangu-mangu lagi. Saya lihat Kapten Hastings pun senang juga." "Benar sekali," kataku sambil tertawa. Poirot berbalik lagi ke arah mayat itu. Empat Besar The Big Four Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Irama Seruling Menggemparkan Rimba Persilatan 12 Jodoh Rajawali 13 Jejak Tapak Biru Antara Budi Dan Cinta 8

Cari Blog Ini