Empat Besar 4
Empat Besar The Big Four Karya Agatha Christie Bagian 4 Lalu sahabatku itu bangkit. Dengan sikap penuh percaya diri yang tampak kurang pas dengan kepribadiannya yang istimewa dan menarik itu. "Hanya itu yang dapat saya katakan, untuk memberi peringatan. Saya rasa memang pantas kalau saya tidak dipercaya. Tapi sekurang-kurangnya, Anda akan waspada. Kata-kata saya tadi akan mengendap, dan setiap peristiwa baru yang terjadi, akan mengukuhkan kepercayaan Anda yang masih goyah. Memang perlu sekali saya berbicara sekarang - kelak mungkin sudah tak bisa lagi." "Maksud Anda -?" tanya Crowther, tanpa dikehendakinya dia terkesan oleh kesungguhan nada bicara Poirot. "Maksud saya, Yang Mulia, sejak saya berhasil mengenali Nomor Empat, hidup saya hanya bisa dihitung jam demi jam. Dia ingin memusnahkan saya dengan segala usahanya - tak percuma dia dinamakan 'si Pemusnah'. Yang Mulia, saya mohon diri. Kepada Anda, M. Crowther, saya serahkan kunci dan amplop bersegel ini. Saya telah mengumpulkan semua data mengenai perkara ini, juga pikiran-pikiran saya mengenai cara yang terbaik untuk menghadapi bencana besar yang mungkin kelak menimpa dunia. Semuanya itu sudah saya simpan di suatu brankas yang aman. Seandainya saya tewas, M. Crowther, saya kuasakan Anda untuk mengambil surat-surat itu, dan memanfaatkannya sedapatnya. Nah, sekarang, Yang Mulia, selamat tinggal." Desjardeaux hanya mengangguk dengan sikap dingin, tetapi Crowther melompat dan mengulurkan tangannya. "Anda telah menyadarkan saya, Poirot. Meskipun peristiwa - itu tampaknya seperti khayalan, saya benar-benar percaya akan kebenaran apa yang Anda katakan. " Ingles pergi bersama kami. "Aku, tidak kecewa dengan pertemuan tadi, " kata Poirot, ketika kami berjalan. "Aku memang tidak berharap dapat meyakinkan Desjardeaux, ta,pi sekurangkurangnya aku sudah menjamin bahwa, bila aku mati, pengetahuanku tidak akan ikut mati dengan aku. Dan aku telah bertobat dalam beberapa hal. Cukuplah sudah!" "Kau tentu tahu bahwa aku berada di pihakmu," kata Ingles. "Nomong-ngomong, aku akan pergi ke Cina secepat mungkin." "Apakah itu bijaksana?" "Tidak," kata Ingles datar. "Tapi itu perlu. Kita harus melakukan apa yang bisa kita lakukan." "Ah, kau memang pemberani!" seru Poirot penuh perasaan. "Kalau saja kita tidak di jalanan, kupeluk kau. " Kulihat Ingles tampak agak lega. "Kurasa aku tidak akan menghadapi bahaya yang lebih besar di Cina, daripada kalian di London ini," geramnya. "Mungkin itu memang benar," Poirot mengakui. "Kuharap mereka tidak akan berhasil membunuh Hastings pula. Itu saja harapanku. Hal itu akan sangat kusesalkan." Kupotong percakapan yang riang itu dengan mengatakan bahwa aku tak punya niat untuk membiarkan diriku dibunuh orang. Sebentar kemudian, Ingles memisahkan diri dari kami. Kami berjalan terus tanpa berkata-kata beberapa lamanya. Akhirnya Poirot memecahkan kesunylan itu dengan mengucapkan suatu pernyataan yang sama sekali tak kuduga. "Kurasa - kurasa memang sebaiknya - kalau kuikutsertakan saudara laki-lakiku dalam peristiwa ini. "Saudara laki-lakimu?" seruku terkejut. "Aku tak tahu kau punya saudara lakilakl." "Kau ini membuatku heran, Hastings. Apa kau tak tahu bahwa semua detektif terkenal punya saudara laki-laki yang - kalau saja bukan gara-gara kemalasannya yang luar biasa - bahkan bisa jadi lebih terkenal?" Sikap Poirot kadang-kadang memang aneh, hingga kadangkadang membuat kita hampir tak tahu, apakah dia bersungguh-sungguh atau sedang bergurau. Pada saat itu, nyata benar sikapnya yang satu itu. "Siapa nama saudara laki-lakimu?" tanyaku, sambil mencoba menyesuaikan diri dengan gagasannya yang baru itu. "Achille Poirot," sahut Poirot dengan bersungguh-sungguh. "Dia tinggal di dekat Spa di Belgia." "Apa kerjanya?" tanyaku penuh ingin tahu. Kukesampingkan rasa ingin tahu tentang watak sifat almarhumah Nyonya Poirot dan seleranya yang klasik dalam memberikan nama kecil pada anak-anaknya. "Dia tidak bekerja apa-apa. Sebagaimana telah kukatakan, dia punya sifat pemalas sekali. Padahal kemampuannya boleh dikatakan tak kalah dari kemampuanku sendiri - dan itu besar artinya." "Apakah dia serupa denganmu?" "Tidak berbeda. Tapi dia tidak setampan aku. Dan dia tak berkumis. " "Apakah dia lebih tua atau lebih muda?" "Dia kebetulan dilahirkan pada hari yang sama dengan aku." "Kembar!" seruku. "Tepat, Hastings. Kau telah mengambil kesimpulan yang benar dan tepat sekali. Tapi kita sudah sampai di rumah. Mari kita segera mulai menangani perkara kecil mengenal kalung Duchess itu. " Tetapi kalung Duchess itu ternyata harus menunggu belberapa lamanya. Suatu perkara yang lain sekali sifatnya telah menunggu kami. Induk semang kami, Nyonya Pearson, langsung memberi tahu kami bahwa seorang juru rawat rumah sakit telah datang dan sedang menunggu kami untuk bertemu dengan Poirot. Kami temukan wanita itu sedang duduk di kursi besar yang menghadap jendela. Dia wanita setengah baya berwajah ceria dan mengenakan seragam berwarna biru tua. Agak enggan dia untuk langsung membicarakan persoalannya, taapl Poirot segera menenangkannya. Maka mulailah dia berkisah. "Begini, Tuan Poirot, tak pernah saya menemui persoalan semacam ini, selama ini. Saya anggota Lark Sisterhood. Saya diminta datang ke Hertfordshire untuk merawat seseorang. Yang harus dirawat adalah seorang pria tua, Tuan Templeton. Rumahnya cukup menyenangkan. Penghuninya pun cukup menyenangkan. Istrinya, Nyonya Templeton, jauh lebih muda daripada suaminya. Tuan Templeton punya seorang putra dari perkawinannya yang pertama. Putranya itu tinggal di sana. Saya tidak tahu bahwa pemuda itu selalu bergaul dengan ibu tirinya. Anak muda itu tak bisa dikatakan normal - tidak benar-benar 'miring' - tapi kecerdasannya benar-benar rendah. Nah, penyakit Tuan Templeton itu, sejak semula memang saya rasa sangat misterius. Kadang-kadang kelihatannya ia sama sekali tak apa-apa, lalu tiba-tiba dia mendapat serangan sakit perut, kesakitan dan muntah-muntah. Tapi dokter kelihatannya tenang-tenang saja, dan saya tak punya hak untuk mengatakan apa-apa. Tapi mau tak mau, hal itu menjadi pikiran saya. Lalu -" Dia diam, dan wajahnya memerah. "Terjadilah sesuatu yang menimbulkan kecurigaan Anda?" kata Poirot membantunya. "Ya. " Tapi dia kelihatan masih saja merasa sulit untuk melanjutkan. "Saya dapati para pelayan juga saling berbisik-bisik." "Mengenai penyakit Tuan Templeton itu?" "Oh, bukan! Mengenai - hal yang lain." "Nyonya Templeton?" "Ya." "Nyonya Templeton dengan dokternya, mungkin?" Poirot mempunyai perasaan yang luar biasa tajamnya mengenai hal-hal yang begituan. Juru rawat itu memandangnya dengan perasaan terima kasih, lalu melanjutkan, "Orang-orang itu benar-benar berbisik-bisik. Lalu pada suatu hari saya kebetulan melihat sendiri, mereka berduaan - di kebun -" Hanya sampai di situ saja keterangannya. Klien kami merasa tersiksa oleh pelanggaran tata sopan santun ini, hingga kami tak merasa perlu tagi menanyakan apa sebenarnya yang telah dilihatnya di kebun itu. Agaknya dia sudah cukup banyak melihat, hingga bisa menilai sendiri keadaannya. "Serangan penyakitnya makin lama makin parah. Dr. Treves berkata itu wajar sekali dan memang sudah diduga, dan bahwa Tuan Templeton tidak akan mung,kin hidup lebih lama. Padahal saya belum pernah melihat hal yang seperti itu selama pengalaman saya yang sudah banyak dalam merawat orang, belum pernah. Saya lihat keadaan itu lebih tepat dikatakan semacam -" Dia berhenti lagi dengan ragu. "Racun arsenik?" tanya Poirot untuk membantu. Juru rawat itu mengangguk. "Lagi pula, pasien itu sendiri, mengatakan sesuatu yang aneh. Katanya, 'Mereka akan menghabisi aku, mereka berempat. Mereka akan berusaha menghabisi aku.'" "Ha?" kata Poirot cepat-cepat. "Begitulah katanya, Tuan Poirot. Memang, dia waktu itu sedang kesakitan sekali, dan mungkin tak tahu apa yang dikatakannya." 'Mereka akan menghabisi aku, mereka berempat, Poirot mengulangi sambil merenung. "Apa maksudnya dengan 'mereka berempat' menurut Anda?" "Saya tak tahu. Saya pikir, mungkin maksudnya istrinya dan putranya, dokter, dan mungkin Nona Clark, pelayan pribadi Nyonya Templeton. Itu jumlahnya empat, kan" Mungkin dia berpikir mereka itu semua berkomplot melawan dirinya." "Mungkin begitu, mungkin begitu," kata Poirot, dengan suara orang linglung. "Bagaimana dengan makanannya. Tak bisakah Anda mengambil jalan pencegahan dalam hal itu?" "Saya selalu melakukan apa yang bisa saya lakukan. Tapi kadang-kadang Nyonya Templeton memaksa mengantarkan makanan itu sendiri, kemudian ada pula waktunya saya bebas tugas." "Benar. Dan Anda pun tidak pula yakin atas dasar apa Anda bisa ke polisl?" Mendengar gagasan itu saja waJah juru rawat itu sudah tampak amat takut. "Yang telah saya lakukan adalah begini. Tuan Templeton mendapat serangan hebat setelah makan semangkuk sup. Setelah itu, saya ambil sedikit sup dari mangkuk itu, lalu saya bawa. Hari ini saya bebas sehari untuk mengunjungi ibu mya yang sakit, karena Tuan Templeton sudah bisa ditinggalkan." Dikeluarkannya sebuah botol kecil berisi cairan yang warnanya gelap, lalu diserahkannya pada Poirot. "Bagus sekali, Mademoiselle. Akan kami suruh orang segera memeriksa calran ini. Bila Anda bisa kembali kemari lagi dalam katakanlah, satu jam lagi, saya rasa kami sudah akan bisa melenyapkan kecurigaan Anda. " Setelah meminta nama dan keterangan-keterangan lain dari tamu kami itu, Poirot mengantarkannya ke luar. Kemudian dia menulis surat singkat lalu dlkirimkannya bersama-sama botol berisi sup itu. Sambil menunggu hasilnya, Poirot sibuk memeriksa kebenaran surat-surat keterangan juru rawat itu. Hal itu membuatku agak keheranan. "Ya, ya, Sahabatku," dia menjelaskan, "aku memang harus berhati-hati. Jangan lupa Empat Besar sedang mengikuti kita terus." Namun dia segera mendapatkan informasi bahwa seorang perawat yang bernama Mabel Palmer, anggota dari Lark Institute, memang telah dikirim untuk urusan perawatan seseorang. "Sebegitu jauh, cukup baik, " katanya dengan mata berseri. "Nah, itu juru rawat Palmer sudah kembali, dan laporan analisa kita pun sudah kembali juga. Aku dan juru rawat itu menunggu dengan berdebar, sementara Poirot membaca laporan analisa itu. "Apakah ada arsenikum di dalamnya?" tanya juru rawat itu dengan menahan napasnya. Poirot menggeleng, sambil melipat kembali kertas itu. "Tidak ada." Kami berdua heran sekali. "Tak ada arsenikum di dalamnya," sambung Poirot. "Tapi ada antimony. Dan oleh karenanya, kita harus segera berangkat ke Hertfordshire. Berdoalah kita belum terlambat." Kami memutuskan bahwa cara yang paling sederhana adalah supaya Poirot berterus terang memperkenalkan dininya sebagai detektif. Tetapi kami akan berbohong mengenal alasan kunjungan kami. Kami akan mengatakan bahwa Poirot ingin menanyai Nyonya Templeton mengenai seorang pelayan yang pernah bekerja padanya. Nama bekas pelayan itu diperolehnya dari Suster Palmer. Poirot akan mengatakan bahwa pelayan itu terlibat dalam suatu perampokan perhiasan. Hari sudah malam waktu kami tiba di Elmstead, nama rumah itu. Kami telah membiarkan Suster Palmer mendahului kami kira-kira dua puluh menit, supaya tidak menimbulkan pertanyaan mengapa kami tiba bersama-sama. Nyonya Templeton, seorang wanita bertubuh jangkung dan berambut hitam, gerakgeriknya lemah gemulai dan matanya tampak gelisah, yang menerima kami. Kulihat bahwa waktu Poirot membentahukan pekerjaannya, wanita itu menahan napasnya dengan mendadak, seolah-olah dia terkejut sekali. Tetapi dia menjawab pertanyaan Poirot mengenal pelayan wanita itu dengan cukup lancar. Kemudian, untuk mengujinya, Poirot menceritakan sebuah kisah panjang tentang suatu perkara peracunan, di mana seorang istri memegang peranan. Sambil bercerita, mata Poirot tak lepas dari wanita ltu. Betapapun, kuatnya wanita itu berusaha, dia tak berhasil menyembunyikan perasaan kacaunya yang kian menjadijadi. Tiba-tiba, setelah minta diri dengan kata-kata yang tak menentu, dia bergegas meninggalkan ruangan itu. Kami tak lama ditinggalkan sendiri. Seorang laki-laki berdada bidang, berkumis kecil merah, dan mengenakan kaca mata tanpa gagang, masuk. "Dr. Treves," katanya memperkenalkan dirinya. "Nyonya Templeton minta supaya saya menyampaikan permohonan maafnya pada Anda. Soalnya dia sedang dalam keadaan yang kurang baik. Syarafnya tegang. Dia kuatir memikirkan suaminya dan hal-hal lain. Saya telah menyuruhnya tidur, dan memberinya obat tidur. Tapi dimintanya supaya Anda tak pulang dulu dan makan seadanya di sini. Sayalah yang akan bertindak sebagai tuan rumah. Kami di sini sudah banyak mendengar tentang Anda, M. Poirot, dan kami ingin membantu Anda sebaik-baiknya. Oh, ini Micky!" Seorang anak muda yang jalannya tertatih-tatih, memasuki ruangan. Wajahnya bulat sekali. Alisnya yang tampak tolol terangkat, seolah-olah dia sangat terkejut. Dia tersenyum dengan kaku waktu berjabatan tangan. Ini pasti putra yang 'miring' itu. Tak lama kemudian, kami masuk untuk makan malam. Dr. Treves meninggalkan ruangan sebentar kurasa untuk mengambil anggur dan tiba-tiba saja anak muda itu berubah sekali. Dia menyandarkan tubuhnya ke depan, sambil menatap Poirot. "Anda pasti datang sehubungan dengan Ayah," katanya sambil menganggukkan kepalanya. "Saya tahu. Saya tahu banyak - tapi tak seorang pun tahu bahwa saya tahu. Ibu akan senang bila Ayah meninggal, supaya dia bisa kawin dengan Dr. Treves. Dia bukan ibu kandung saya. Saya tak suka padanya. Dia ingin agar Ayah meninggal." Mengerikan sekali semuanya itu. Untunglah, sebelum Poirot sempat menjawab, dokter masuk kembali, dan kami harus melanjutkan percakapan yang dipaksakan. Kemudian tiba-tiba Poirot tersandar di kursinya dengan mengerang kuat-kuat. Wajahnya kejang karena kesakitan. "Tuan, ada apa?" seru dokter. "Kejang mendadak. Saya biasa dengan serangan serangan begini. Tidak, tidak, saya tidak menginginkan bantuan Anda, Dokter. Izinkan saja saya berbaring di lantai atas sebentar." Permintaannya itu segera dikabulkan, dan aku menyertainya ke lantai atas. Di situ dia menjatuhkan dirinya ke tempat tidur, sambil mengerang hebat. Selama beberapa menit, aku percaya akan hal itu. Tapi aku segera menyadari bahwa Poirot sedang bermain sandiwara. Tujuannya adalah supaya dia ditinggalkan berduaan saja dengan aku di lantai atas ini, di dekat kamar pasien. Oleh karenanya, aku sudah siap waktu, begitu kami ditinggalkan berduaan saja, dia pun melompat berdiri. "Cepat, Hastings, jendela. Di luar ada tanaman merambat. Kita bisa turun melalui tanaman itu, sebelum mereka mulai curiga." "Turun melalui tanaman?" "Ya, kita harus segera keluar dari rumah ini. Adakah kaulihat dia waktu makan?" "Dokter itu?" "Bukan, Templeton muda. Kebiasaannya dengan roti itu. Ingatkah kau apa yang dikatakan Flossie Monro pada kita sebelum dia meninggal" Bahwa Claud Darrell punya kebiasaan mengetuk-ngetukkan rotinya di atas meja untuk mengumpulkan remah roti. Empat Besar The Big Four Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Hastings, ini jebakan besar. Anak muda dengan pandangan hampa itu adalah musuh besar kita Nomor Empat! Cepat!" Aku tak mau menunda untuk membantah. Meskipun semuanya kelihatan tak masuk akal, kurasa lebih baik kalau aku tidak menunda. Kami merangkak menuruni tanaman rambat perlahanlahan sekali, lalu langsung pergi ke kota dan ke stasiun kereta api. Kami masih sempat menumpang kereta api terakhir, yang berangkat pada pukul delapan lewat tiga puluh empat menit. Kami akan tiba sekitar pukul sebelas. "Suatu perangkap, " kata Poirot dengan merenung. "Aku ingin tahu ada berapa orang mereka itu" Aku curiga seluruh keluarga Templeton itu hanya anak buah Empat Besar saja. Apakah mereka hanya ingin memancing supaya kita pergi ke sana" Atau apakah lebih licik lagi. Apakah mereka bermaksud untuk main sandiwara di sana dan membuatku tertarik, sampai mereka sempat untuk melakukan - apa ya" Ingin benar aku tahu." Dia terus merenung. Setiba kami di penginapan, aku ditahannya di pintu kamar tamu. "Awas, Hastings. Aku curiga. Biar aku masuk dulu. " Dia masuk lebih dulu, dan sebagai usaha berjaga-jaga dia menekan sakelar lampu dengan sepatu karet tua. Aku agak geli melihatnya. Kemudlan dia mengelilingi kamar itu seperti seekor kucing, dengan amat berhati-hati, perlahan-lahan sekali, waspada terhadap bahaya. Kuperhatikan dia beberapa lamanya. Dengan patuh aku tetap berdiri di tempat yang diperintahkannya, yaitu di dekat dinding. "Sudah, tak apa-apa, Poirot," kataku tak sabaran. "Kelihatannya begitulah, mon ami, kelihatannya memang begitu. Tapi lebih baik kita waspada." "Persetan," kataku. "Bagaimanapun juga, aku akan menyalakan api di perapian, dan ingin mengisap pipaku. Kali ini kau yang kedapatan ceroboh. Kau yang terakhir menggunakan korek api, dan kau tidak mengembalikannya ke tempatnya seperti biasa - padahal kau selalu mengumpatku kalau aku melakukannya." Aku mengulurkan tangan. Kudengar teriakan Poirot memberi peringatan - kulihat dia melompat ke arahku - tanganku menyentuh kotak korek api. Lalu - tampak suatu kilatan nyala biru - suatu ledakan yang memekakkan - lalu gelap. Aku sadar kembali melihat wajah yang kukenal, wajah sahabat kami, Dr. Ridgeway, yang membungkuk di sisiku. Air mukanya tampak lega. "Tenanglah," katanya membujuk. "Anda tak apa-apa. Anda tentu tahu, tadi ada kecelakaan." "Poirot?" gumamku. "Anda berada di kamar penginapan saya. Segalanya beres. " Aku merasakan ketakutan menedekam di hatiku. Usahanya untuk mengelakkan pertanyaanku menimbulkan rasa takut yang mengerikan. "Poirot-" aku mengulangi. "Bagaimana dengan Poirot?" Dia menyadari bahwa aku harus tahu, dan bahwa dia tak bisa mengelak lagi. "Anda lolos karena suatu keajalban - Poirot tidak!" Pekik terlepas dari mulutku. "Tidak meninggalkan" Tidak meninggal?" Ridgeway menundukkan kepalanya, air mukanya berubah karena dipengaruhi perasaannya. "Poirot bisa saja meninggal," kataku lemah. "Tapi semangatnya tetap hidup. Saya akan melanjutkan pekerjaannya. Mampuslah Empat Besar!" Lalu aku tergeletak lagi, pingsan. Bab 16 ORANG CINA SEKARAT SEKARANG pun rasanya aku tak tahan menulis tentang harl-hari di bulan Maret itu. Poirot - yang unik, Hercule Poirot yang tak ada duanya - sudah tak ada lagi! Ada sesuatu yang tak beres pada kotak korek api yang sembarang letaknya waktu itu, yang pasti disengaja untuk menarik perhatiannya. Dia lalu bakal ingin buru-buru memperbaiki letaknya - dan dengan demikian tersentuhlah alat peledak itu. Sebenarnya, akulah yang mempercepat terjadinya bencana itu, dan hal itu tak sudah-sudahnya menjadi penyesalanku. Seperti kata Dr. Ridgeway, benar-benar ajaib aku tidak terbunuh, dan lolos hanya dengan gegar otak ringan. Meskipun aku merasa seolah-olah aku segera sluman kembali, ternyata lebih dari dua puluh empat jam kemudian aku baru hidup kembali. Esok malamnya aku baru bisa berjalan tertatih-tatih dengan lemah ke kamar di sebelah, dan memandangi dengan sedih sekali, peti mati sederhana dari kayu elm yang berisi jenazah salah seorang dari orang-orang istimewa yang pernah dikenal dunia. Sejak pertama aku sadar kembali, aku hanya punya satu tujuan dalam pikiranku untuk membalas kematian Poirot, dan untuk mengejar Empat Besar tanpa belas kasihan. Kusangka Ridgeway akan sependapat denganku tentang hal itu, tetapi aku heran karena dokter yang baik itu ternyata bersikap dingin sekali. "Kembalilah ke Amerika Selatan," katanya menasihatiku selalu pada setiap kesempatan. "Mengapa mencoba melakukan sesuatu yang tak mungkin?" Kata-kata itu sebenarnya merupakan bentuk halus pendapatnya yang sebenarnya berbunyl: bila Poirot saja, Poirot yang hebat itu, telah gagal, apakah mungkin aku akan berhasil" Tetapi aku tetap berkeras. Aku mengesampingkan semua pertanyaannya apakah aku memiliki kemampuan untuk menjalankan tugas itu. Secara sepintas, aku bisa mengatakan bahwa aku tidak sependapat dengan keraguannya dalam hal itu. Aku sudah bekerja bersama Poirot demikian lamanya, hingga aku sudah hafal betul cara-cara kerjanya. Aku merasa benar-benar mampu untuk mengambil alih pekerjaan yang telah ditinggalkannya itu; bagiku itu soal perasaan. Sahabatku telah dibunuh dengan kejam. Pantaskah kalau aku dengan tenang kembali ke Amerika Selatan, tanpa berusaha untuk menyeret pembunuh-pembunuhnya ke pengadilan" Kukatakan semuanya itu, dan bahkan lebih banyak lagi pada Dr. Ridgeway, dan dia mendengarkan dengan penuh perhatian. "Bagaimanapun juga, " katanya setekah aku selesal, "nasihatku tidak berubah. Aku benar-benar yakin bahwa sekirarrya Poirot masih ada, dia sendiri pun akan mendesak agar kau kembali. Maka atas namanya, Hastings, kumohon hilangkan pikiran-pikiran gila itu, dan kembalilah ke peternakan." Mendengar nasihat itu, aku hanya punya satu jawaban, dan sambil menggeleng dengan sedih, dia tak berkata apa-apa lagi. Sebulan kemudian, barulah aku benar-benar sembuh. Pada suatu hari di akhir bulan April, aku meminta dan mendapatkan izin untuk bertemu dengan Sekretaris Negara. Sikap Crowther mengingatkan diriku pada pandangan Dr. Ridgeway. Sikapnya menghlbur, tetapi negatif. Sambil menghargai tawaran jasajasaku, dia menolaknya dengan halus dan penuh pertimbangan. Surat-surat yang dulu disebut Poirot telah ada dalam tangannya. Dia meyakinkan aku bahwa semua langkah yang pantas telah diambil untuk menangani ancaman yang akan datang. Aku terpaksa merasa puas dengan hiburan yang dingin itu. Crowther mengakhiri pertemuan itu dengan mendesakku supaya aku kembali ke Amerika Selatan. Bagiku semuanya itu sama sekali tak memuaskan. Kurasa, sepantasnya aku melukiskan pemakaman Poirot. Upacaranya berjalan sangat khidmat dan sangat mengesankan. Pernyataan penghormatan berupa karangan bunga, luar biasa banyaknya. Dari kalangan tinggi maupun rendah, orang berdatangan. Itu bukti nyata betapa sahabatku itu telah merebut hati orang-orang di tanah airnya yang kedua ini. Sedang aku sendiri, terus terang, terbawa emosi selama berdiri di sisi liang kubur itu. Kukenang kembali semua pengalaman kami yang banyak ragamnya, dan hari-hari bahagia, yang telah kami lalui bersama. Pada awal bulan Mei, aku telah menyelesaikan rencana tentang langkah-langkah yang akan kuambil. Kurasa, mengenai pencarian informasi tentang Claud Darrell tak ada cara yang lebih baik, selain tetap berpegang pada cara kerja Poirot. Aku telah memasang lklan mengenai hal itu dalam beberapa buah surat kabar pagi. Pada suatu hari, sedang aku duduk di sebuah rerstoran kecil di Soho, aku melihat-lihat surat kabar, untuk mencari dampak iklan itu. Sebuah foto di surat kabar itu membuatku terperanjat. Dengan singkat sekali diberitakan tentang hilangnya John Ingles secara misterius, dari kapal api Shanghai, tak lama setelah kapal itu bertolak dari Marseilles. Meskipun cuaca benar-benar bagus, dikuatirkan bahwa pria malang itu telah jatuh ke laut. Berita itu diakhirl dengan pernyataan singkat mengenal jasa-jasa Ingles yang lama dan menonjol di Cina. Berita itu tidak menyenangkan. Dalam berita kematian Ingles itu aku melihat suatu motif penuh rahasia. Sedetik pun aku tak percaya pada teori tentang kecelakaan itu. Ingles jelas telah dibunuh. Jelas sekali kematiannya adalah hasil perbuatan Empat Besar terkutuk itu. Sedang aku duduk terpaku, karena terkelut oleh pukulan berita itu, dan membolakbalik seluruh persoalan itu dalam otakku, aku dikejutkan oleh tingkah laku orang yang duduk di seberangku. SeJak tadi, aku tak menaruh perhatian padanya. Dia seorang laki-laki setengah baya, kurus, berambut hitam, berwajah pucat, dan berjenggot lancip. Dia duduk, di seberangku diam-diam sekali, hingga aku hampirhampir tidak melihat kedatangannya. Tetapi kini perbuatannya menjadi aneh sekali. Sambil menyandarkan tubuhnya ke depan, dia terang-terangan menuangkan garam untukku. Garam itu dituangkannya menjadi empat tumpukan kecil di pinggir piringku. "Maafkan saya," katanya dengan suara sendu. "Memberikan garam pada seorang yang tak dikenal, sama dengan memberikan kesedihan padanya, kata orang. Hal itu agaknya tak dapat dihindarkan. Tapi saya tidak mengharapkannya. Saya harap Anda mau bertindak bijaksana." Kemudian dia terang-terangan mengulangi perbuatannya dengan garam itu di piringnya sendiri. Tak salah lagi, lambang angka empatlah yang tampak itu. Aku memandanginya terus. Namun aku sama sekali tak bisa mengenali persamaan orang ini dengan Templeton muda, atau James si pelayan pembantu, atau macam-macam pribadi lain yang sudah pernah kami temui. Tapi aku yakin sedang berhadapan sendiri dengan Nomor Empat yang ditakuti itu. Dalam suaranya ada semacam persamaan kecil dengan suara orang asing yang mantelnya terkancing sampai ke dagu, yang mengunjungi kami di Paris dulu. Aku memandang ke sekelilingku, dalam keraguanku untuk mengambil tindakan. Orang itu membaca pikiranku, dan dia tersenyum sambil menggeleng perlahan-lahan. "Saya nasihatkan supaya Anda tidak punya pikiran apa-apa," katanya. "Ingat, apa akibat perbuatan Anda yang gegabah di Paris dulu. Saya tekankan bahwa jalan mundur bagi Anda sudah terjamin. Kalau boleh saya katakan, gagasan-gagasan Anda cenderung mentah, Kapten Hastings." "Setan kau," kataku, dengan kemarahan yang menyesakkan dada. "Kau benar-benar setan!" "Anda naik darah - agak pemanas rupanya Anda. Almarhum sahabat Anda, yang kematiannya diratapi orang banyak itu pun pasti akan mengatakan pada Anda, bahwa orang yang selalu tenanglah yang berada di pihak yang menguntungkan. " "Berani kau menyinggung-nyinggung dia," seruku, "orang yang telah kaubunuh dengan begitu kejam. Dan kau datang kemari. Dia memotong bicaraku. "Saya datang kemari dengan tujuan yang sangat baik dan dengan damai. Saya anjurkan supaya Anda segera kembali ke Amerika Selatan. Bila Anda berbuat demikian, akan berakhirlah urusan Anda dengan Empat Besar. Anda dan keluarga Anda tidak akan diganggu dengan cara bagaimanapun juga. Saya berani memberikan jaminan saya mengenai hal itu." Aku tertawa mengejek. "Bagaimana kalau saya menolak perintah Anda yang sok kuasa itu?" "Itu bukan suatu perintah. Itu boleh kita katakan semacam peringatan." Nada suaranya mengandung ancaman dingin. "Itu peringatan yang pertama," katanya dengan halus. "Saya nasihatkan supaya Anda tidak mengabaikannya. Kemudian, sebelum aku sempat menafslrkan apa niatnya, dia bangkit lalu cepatcepat menyelinap ke arah pintu. Aku melompat berdiri, dan langsung mengejarnya. Tetapi sialnya, aku bertabrakan dengan seseorang yang gemuk sekali, yang menghalangi jalan antara aku dan meja di sebelahku. Waktu aku berhasil membebaskan diriku, orang yang kukejar baru saja melewati ambang pintu. Kemudian datang lagi hambatan kedua, dari seorang pelayan yang sedang membawa setumpuk tinggi piring. Ia bertabrakan dengan diriku, tanpa peringatan sama sekali. Waktu aku tiba di pintu, sudah tak ada lagi tanda-tanda orang kurus yang berjenggot lancip tadi. Pelayan itu berulang kali meminta maaf, sedang orang gemuk itu duduk saja dengan tenang, memesan makanannya. Sama sekali tak ada tanda-tanda bahwa kedua kecelakaan itu bukanlah sekadar ketidaksengajaan. Namun, aku mengerti benar tentang kejadian itu. Aku tahu benar bahwa kaki-tangan -Empat Besar tersebar di mana-mana. Tak perlu dikatakan lagi, aku tidak mempedulikan peringatan itu. Aku akan bertindak atau mati demi niat baik. Aku menerima tak lebih dari dua jawaban dari iklan-iklanku. Tak ada di antara keduanya yang memberikan informasi yang berarti. Keduanya berasal dari pemain-pemain sandiwara, yang pernah main bersama Claud Darrell. Tak ada di antara mereka yang mengenaInya dengan akrab, dan tak ada yang memberikan titik terang pada masalah mengenal identitasnya dan di mana dia sekarang berada. Tak ada lagi tanda-tanda dari Empat Besar, sampai sepuluh hari kemudian. Aku sedang menyeberangi Hyde Park, tenggelam dalam pikiranku. Tiba-tiba suatu suara yang bernada asing, menghentikan langkahku. "Kapten Hastings, kan?" Sebuah sedan limousin besar baru saja berhenti di tepi trotoar. Seorang wanita menjulurkan kepalanya ke luar. Gaun hitamnya elok, mutiaranya indah. Kukenal wanita itu, mula-mula sebagai Countess Vera Rossakoff, dan kemudian dengan nama samaran lain, sebagai kaki-tangan Empat Besar. Entah mengapa, Poirot diam-diam menyukai countess itu. Ada sesuatu dalam gerakgeriknya yang serba menyolok menarik laki-laki kecil itu. Bila hatinya sedang bergelora, Poirot tak segan-segan menyatakan bahwa dialah wanita dalam seribu. Agaknya ia tak peduli pada kenyataan bahwa wanita itu telah menggabungkan dirinya dengan pihak musuh-musuh besar kami untuk melawan kami. "Ah, jangan berjalan terus!"' kata countess itu. "Ada sesuatu yang sangat penting yang akan saya katakan pada Anda. Dan jangan pula coba menyuruh orang menangkap saya, karena itu akan merupakan tindakan tolol. Anda memang selalu agak bodoh - ya, ya, memang begitulah keadaannya. Sekarang pun Anda bodoh bila Anda berkeras untuk tetap mengabaikan peringatan yang kami berikan pada Anda. Ini peringatan kedua yang saya berikan pada Anda. Tinggalkanlah Inggris segera. Anda tidak akan bisa berbuat sesuatu yang bermanfaat di sini - saya katakan itu terus terang. Anda tidak akan menghasilkan apa-apa. " "Dalam hal itu," kataku datar, "agaknya aneh sekali kalau kalian semua begitu ingin menyuruh saya keluar dari negeri ini." Countess mengangkat pundaknya - pundak itu indah, dan geraknya pun indah pula. "Menurut saya pun hal itu bodoh. Saya lebih suka membiarkan Anda bersenangsenang saja di sini. Tapi soalnya, para pemimpin kami takut kalau-kalau ada perkataan Anda yang jadi bantuan besar bagi orang-orang yang lebih cerdas daripada Anda sendiri. Oleh karenanya, Anda harus disingkirkan." Kelihatannya countess itu punya penilaian sendiri mengenai kemampuanku. Rasa jengkelku kusembunyikan. Sikapnya itu pasti bertujuan untuk memanasi hatiku, dan untuk memberikan kesan padaku, bahwa aku ini tak penting. "Sebenarnya, tentu akan mudah sekali untuk menyingkirkan Anda," sambungnya, "tapi saya kadang-kadang punya perasaan sentimental, maka saya bela Anda. Anda punya istri yang cantik, nun di sana, kan" Dan laki-laki kecil malang yang telah meninggal itu tentu akan senang, bila dia tahu bahwa Anda tidak akan dibunuh. Soalnya, saya sebenarnya suka padanya. Dia itu pandai - pintar sekali! Kalau bukan disebabkan oleh perbandingan yang tak seimbang, empat lawan satu, maka dengan jujur saya akui bahwa kami tidak akan dapat melawannya. Saya akui dengan terus terang - dia itu guru saya! Saya kirim karangan bunga ke pemakamannya dulu, sebagai tanda rasa kagum saya - sebuah karangan bunga yang besar sekali, dari bunga mawar merah tua. Bunga mawar merah tua melambangkan temperamen saya." Aku mendengarkannya tanpa berkata apa-apa, dengan perasaan jijik yang makin lama makin hebat. "Anda kelihatannya seperti harimau yang siap untuk menerkam. Pokoknya, saya sudah menyampaikan peringatan saya. Ingat, peringatan yang ketiga akan disampaikan oleh 'si Pemusnah' -" Dia memberi aba-aba, dan mobil itu melaju dengan cepat. Kucatat nomor mobil itu, tanpa harapan bahwa itu akan membawa suatu manfaat. Empat Besar tak mungkin ceroboh sampai hal yang sekecil-kecllnya. Setelah merasa agak tenang, aku pulang. Dari celoteh countess yang tak berkeputusan tadi itu, telah muncul satu kenyataan. Empat Besar The Big Four Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo HIdupku benar-benar sedang terancam bahaya. Meskipun aku tak punya niat untuk menghentikan perjuanganku, aku sadar bahwa aku harus waspada. Aku harus menerapkan langkah pencegahan. Sedang aku mengingat-Ingat kembali semua peristiwa itu dan mencari jalan yang terbaik untuk bertindak, telepon berdering. Aku menyeberangi kamar dan mengangkat gagang telepon. "Ya, halo. Dengan siapa saya berbicara?" Seseorang menjawab dengan nada tegas. "Di sini Rumah Sakit St. Giles. Di sini ada seorang Cina, dia ditikam di jalan dan dibawa kemari. Dia tidak akan bisa bertahan lama. Kami menelepon Anda, karena di dalam sakunya kami temukan secarik kertas yang berisi nama dan alamat Anda." Aku terkejut sekali. Namun, setelah mempertimbangkannya sebentar, kukatakan bahwa aku akan segera datang. Aku tahu Rumah Sakit St. Giles itu terletak di depan pelabuhan. Maka terpikir olehku orang Cina itu mungkin baru turun dari kapal. Dalam perjalananku ke sana, pikiranku tiba-tiba dipenuhl rasa curiga. Apakah semuanya ini hanya perangkap" Di mana pun ada seorang Cina, di situ mungkin ada campur tangan Li Chang Yen. Aku ingat akan petualangan dalam Perangkap Berumpan. Apakah semuanya ini merupakan usaha musuh-musuhku" Setelah berpikir sebentar, aku yakin bahwa bagaimanapun juga, kunjungan ke rumah sakit tidak ada buruknya. Mungkin saja ini semacam rencana kejahatan yang tidak terlalu gawat. Orang Cina yang sedang sekarat itu mungkin akan membukakan suatu rahasia padaku yang dapat kujadikan dasar tindakanku. Aku akan bertindak dan hasilnya mungkin menjaringku ke dalam tangan Empat Besar. Yang penting aku harus tetap berakal sehat dan diam-diam waspada, meskipun purapura gampang percaya. Setibanya di Rumah Sakit St. Giles, dan setelah memberitahukan maksud kedatanganku, aku segera dibawa ke Bangsal Kecelakaan, ke tempat terbaringnya laki-laki itu. Dia terbaring diam. Matanya tertutup. Hanya gerak yang samar sekali di bagian dadanya yang menunjukkan bahwa dia masih bernapas. Seorang dokter berdiri di samping tempat tidur itu, tangannya meraba nadi orang Cina itu. "Dia tidak akan tahan larna lagi, " blslknya padaku. "Anda kenal padanya?" Aku menggeleng. "Saya tak pernah bertemu dengan dia." "Lalu mengapa nama dan alamat Anda ada padanya" Anda Kapten Hastings, bukan?" "Ya, tapi sepertl juga Anda, saya tak dapat menjelaskannya." "Aneh sekali. Dari surat-surat keterangan yang ada padanya, agaknya dia pernah menjadi pembantu seseorang yang bernama Ingles - seorang pegawai negeri yang sudah pensiun. Oh, Anda rupanya kenal padanya?" dia cepat menambahkan, karena dilihatnya aku terkejut mendengar nama itu. Pelayan Ingles. Kalau begitu aku tentu pernah bertemu dengan dia, meskipun aku tak pernah bisa membedakan antara orang Cina yang satu dengan yang lain. Dia pasti telah ikut Ingles dalam perjalanannya ke Cina, dan setelah musibah itu, dia kembali ke Inggris dan mungkin membawa pesan untukku. "Apakah dia sadar?" tanyaku. "Bisakah dia berbicara" Ingles itu sahabat baik saya. Saya rasa mungkin orang yang malang ini membawa pesan dari beliau. Ingles telah dinyatakan jatuh ke laut dalam, perjalanannya dengan kapal, sepuluh hari yang lalu." "Dia baru saja sadar, tapi saya ragu apakah dia cukup kuat untuk berbicara. SoaInya, dia telah banyak sekali kehilangan darah. Saya tentu bisa memberikan obat perangsang padanya, meskipun kami sudah berusaha sebatas kemampuan kami ke arah itu." Meskipun demikian, dia berikan juga sebuah injeksi. Aku tetap menunggu di sisi tempat tidur, tanpa berani berharap orang itu akan masih bisa mengucapkan barang sepatah kata - atau suatu tanda yang akan sangat berharga dalam pekerjaanku. Tetapi menit demi menit berlalu tanpa ada tanda-tanda. Lalu tiba-tiba timbullah suatu gagasan yang aneh dalam pikiranku. Apakah aku tidak terperangkap" Seandainya orang Cina ini hanya berpura-pura saja menjadi pelayan Ingles, dan bahwa dia sebenarnya adalah kaki-tangan Empat Besar" Bukankah aku sudah pernah membaca bahwa pendeta-pendeta Cina bisa mempercepat kematian" Atau, lebih jauh lagi, Li Chang Yen mungkin mengepalai suatu gerombolan fanatik, yang bersedia mati atas perintah majikannya. Aku harus waspada. Sedang pikiran-pikiran itu memenuhi otakku, laki-laki di tempat tidur itu bergerak. Matanya terbuka. Dia menggumamkan sesuatu yang tak jelas. Kemudian pandangannya lekat padaku. Tak ada tanda-tanda bahwa dia mengenali diriku, tetapi aku segera melihat bahwa dia sedang berusaha untuk berbicara padaku. Baik dia teman maupun musuh, aku harus mendengar apa yang dikatakannya. Aku membungkuk mendekatkan diriku padanya, tetapi suaranya yang terputus-putus itu tak mengandung arti bagiku. Kurasa aku mendengar dia mengucapkan kata 'hand', tetapi aku tak dapat mengatakan dalam hubungan apa perkataan Itu digunakan. Kemudian suaranya terdengar lagi, dan kali ini aku mendengar perkataan lain, yaltu kata 'Largo'. Aku terbelalak keheranan, setelah aku bisa menangkap gabungan kedua perkataan ltu. "Handel's Largo?" tanyaku. Kelopak mata orang Cina itu berkedip-kedip, seolah-olah membenarkan. Kemudian dia menambahkan sepatah kata bahasa Italia lagi, yaitu kata 'carrozza'. Kudengar dia menggumamkan dua atau tiga patah kata bahasa Italia lagi, lalu dia tiba-tiba terkulai. Dokter menyisihkan aku. Semua telah berlalu, laki-laki Itu sudah meninggal. Aku keluar lagi mencari udara segar, dalam keadaan benar-benar kebingungan. 'Handel's largo', dan sebuah 'Carrozza'. Kalau aku tak salah ingat, carrozza berarti 'kereta'. Apakah arti yang tersembunyl di ballik kata-kata yang sederhana itu" Laki-laki itu orang Cina, bukan orang Italia, mengapa dia berbicara dalam bahasa italia" Bila dia memang benar pelayan Ingles, dia tentu pandai berbahasa Inggris" Semuanya itu membingungkan sekali. Aku mencoba memecahkannya di sepanjang perjalananku pulang. Ah, seandainya Poirot ada di sini untuk memecahkan persoalan ini dengan kecerdasan otaknya! Dengan menggunakan kunciku sendiri, aku naik perlahan-lahan ke kamarku - Sepucuk surat tergeletak di meja. Aku merobeknya sembarangan saja. Tapi sebentar kemudian aku berdiri bagai terpaku di lantal, sambil membaca surat itu terus. Surat itu dari suatu perusahaan pengacara. Bunyinya: "Dengan hormat, Berdasarkan instruksi dari almarhum klien kami, Hercule Poirot, kami sampaikan kepada Anda surat yang terlampir. Surat tersebut diserahkan kepada kami seminggu sebelum kematiannya, dengan permintaan bahwa bila dia meninggal, surat itu harus kami kirimkan kepada Anda beberapa waktu setelah kematiannya. Hormat kami," dan sebagainya. Surat yang terlampir itu kubolak-balikkan. Surat itu jelas dari Poirot. Aku kenal benar dengan tulisan tangannya itu. Dengan hati yang berat, namun dengan rasa ingin tahu yang besar, aku membukanya. "Mon cher ami (demikian surat itu dimulai) Bila kau menerima surat ini, aku sudah tak ada lagi. Jangan mencucurkan air mata bagiku. Tapi ikutilah perintahperintahku. Segera setelah menerima surat ini, kembalilah ke Amerika Selatan. Jangan kau berkeras kepala mengenal hal itu. Kau kusuruh mengadakan perjalanan itu, bukan karena alasan-alasan sentimental. Hal itu memang perlu sekali. Itu merupakan sebagian dari rencana Hercule Poirot! Bagi seseorang yang mempunyai kecerdasan setajam kau, Sahabatku, kata-kata lain tak diperlukan lagi. Musnahlah Empat Besar! Terimalah salamku dari kubur, Sahabatku. Sahabatmu selalu, Hercule Poirot." Kubaca dan kubaca lagi surat yang mengejutkan itu. Satu hal sudah jelas. Lakilaki yang luar biasa itu telah menyiapkan segala kemungkinan, hingga bahkan kematiannya sendiri pun tidak mengacaukan rencana-rencananya! Tugasku adalah untuk bertindak secara aktif - sedang tugas dia adalah untuk memberi petunjukpetunjuk yang bijak. Aku yakin bahwa instruksi-instruksi lengkap sudah menantikan diriku di seberang lautan sana. Sementara itu, musuh-musuhku yang merasa yakin bahwa aku mematuhi peringatan mereka, tidak akan pusing kepala lagi memikirkan aku. Bisa saja aku kembali lagi, tanpa dicurigai, lalu melakukan pemusnahan atas diri mereka, di tengah-tengah mereka sendiri. Kini tak ada satu pun penghalang untuk berangkat segera. Kukirim beberapa pucuk telegram, kubeli karcis kapal, dan seminggu kemudian aku pun naik kapal Ansonia, menuju ke Buenos Aires. Baru saja kapal meninggalkan dermaga, seorang pelayan kapal mengantarkan sepucuk surat padaku. Dijelaskannya bahwa surat itu diberikan padanya oleh seorang pria bertubuh besar yang mengenakan mantel dari kulit binatang. Orang itu baru mau meninggalkan kapal, tepat pada saat tangga kapal akan diangkat. Surat itu kubuka, isinya singkat dan tegas. "Anda bijaksana," demikian bunyinya. Surat itu ditandatangani dengan sebuah angka empat yang besar. Aku sempat tersenyum sendiri. Gelombang tidak terlalu besar. Aku menikmati makan malam yang lumayan enaknya, memperhatikan penumpang-penumpang lain, dan main bridge satu-dua putaran. Kemudian aku masuk ke kamar dan tidur nyenyak sekali. Aku memang selalu begitu bila berada di kapal. Aku terbangun karena merasa diriku diguncang-guncang orang. Dengan perasaan heran dan kebingungan, kulihat salah seorang perwira kapal berdiri di sisiku. Dia mendesah lega waktu aku duduk. "Syukurlah saya akhirnya berhasil juga membangunkan Anda. Lama benar saya harus lakukan itu. Apakah memang selalu begitu Anda tidur?" "Ada apa?" tanyaku, dalam keadaan masih kebingungan dan belum sadar benar. "Ada sesuatu yang tak beres dengan kapal?" "Saya sangka Anda leblh tahu daripada saya, apa soalnya, " sahutnya datar. "Ada instruksi khusus dari pimpinan Angkatan Laut. Sebuah kapal perusak sudah siap menunggu Anda untuk pindah ke sana." "Apa?" teriakku." Di tengah-tengah samudra ini. "Agaknya ada suatu urusan yang misterius, tapi itu bukan urusan saya. Mereka telah mengirimkan seorang anak muda ke kapal ini untuk menggantikan Anda, dan kami semua disuruh bersumpah untuk merahaslakan hal ini. Bangunlah dan berpakaian." Tanpa bisa menyembunylkan rasa heranku sedikit pun, kulakukan apa yang diperintahkan padaku. Sebuah kapal motor kecil diturunkan ke laut, dan aku diantarkan sampai ke kapal perusak itu. Di sana aku disambut dengan hormat, tetapi aku tidak mendapatkan informasi selanjutnya. Instruksi yang telah diterima dari Panglima adalah, agar mendaratkan aku di suatu tempat tertentu di pantai Belgia. Hanya itulah yang mereka ketahui, dan sampai disitu pula berakhirnya tanggung jawab mereka. Semuanya itu seperti mimpi saja. Aku berpegang teguh pada satu gagasan, yaitu bahwa semuanya im pasti merupakan bagian dari rencana Poirot. Aku hanya harus terus melangkah maju, dengan tetap mempercayai sahabatku yang telah meninggal itu. Tepat pada waktunya, aku didaratkan di tempat yang telah ditentukan. Di sana sebuah mobil sudah menungguku. Sesaat kemudian aku - sudah dibawa membelok-belok di sepanjang dataran rendah Fleming yang rata itu. Malam itu aku tidur di sebuah hotel kecil di Brussel. Esok harinya kami melanjutkan lagi perjalanan kami. Daerahnya menjadi berhutan-hutan dan berbukit-bukit. Aku menyadari bahwa kami sedang melintasi wilayah Ardennen, dan tiba-tiba aku ingat Poirot pernah berkata bahwa dia mempunyai seorang saudara kembar di Spa. Tetapi kami tidak pergi ke Spa. Kami tinggalkan jalan utama. Melalui jalan yang berliku-liku di bukit-bukit yang luas dan banyak tumbuhtumbuhannya, sampailah kami di sebuah desa kecil, kemudian di sebuah vila terpencil di lereng sebuah bukit yang tinggi. Mobil berhenti di depan pintu vila yang berwarna hijau. Pintu terbuka waktu aku turun dari mobil. Seorang pelayan laki-laki yang sudah tua, berdiri di ambang pintu dan membungkuk. "Kapten Hastings?" katanya dalam bahasa Prancis. "Kapten sudah ditunggu. Silakan ikuti saya." Dia berjalan mendahului aku menyeberangi lorong rumah, kemudian membuka lebarlebar sebuah pintu di belakang. Ia menepi untuk mempersilakan aku masuk. Mataku agak berkedip-kedip, karena kamar itu menghadap ke barat, dan sedang disinari mataharl petang. Kemudian penglihatanku menjadi jelas kembali, dan kulihat sesosok tubuh siap menyambutku dengan tangan terentang. Dia adalah - ah, tak mungkin, tak bisa jadi - tapi ya, memang benar! "Poirot!" teriakku, dan kali ini aku tak berusaha mengelakkan pelukannya yang erat. "Memang! Memang benar aku! Tidak semudah itu orang membunuh Hercule Poirot!" "Tapi, Poirot - kenapa?" "Siasat, Sahabatku, siasat perang. Kini semuanya sudah siap untuk serangan besar-besaran kita." "Tapi harusnya kauceritakan padaku!" . "Tidak, Hastings, aku tak dapat berbuat begitu. Seandainya itu kulakukan, kau' tidak mampu memainkan peran yang begitu baiknya di pemakamanku. Waktu itu sempurna benar aktingmu. Benar-benar membuat Empat Besar yakin." "Tapi yang kualami selama ini -" "Jangan kausangka aku tak punya perasaan. Kujalankan tipuan itu, antara lain juga demi kau sendiri. Aku sendiri bersedia mempertaruhkan hidupku sendiri tapi aku merasa tak enak berulang kali mempertaruhkan nyawamu. Maka setelah ledakan itu, kudapatkan gagasan yang gemilang. Dr. Ridgeway yang baik itu telah memungkinkan aku melaksanakannya. Aku mati, dan kau akan kembali ke Amerika Selatan. Tapi, mon ami, kau sama sekali, tak mau ke sana. Akhirnya aku harus mengatur dikirimnya sepucuk surat dari pengacaraku, dengan omong kosong yang panjang lebar. Nah, bagaimana pun juga, kau sekarang sudah berada di sini - ini yang hebat. Dan sekarang kita - menyembunylkan diri di sini - sampai tiba saatnya untuk serangan besar-besaran yang terakhir - pemusnahan akhir Empat Besar." Bab 17 NOMOR EMPAT MEMENANGKAN SUATU AKAL DARI tempat persembunyian kami yang tenang di Pegunungan Ardennen itu, kami ikuti perkembangan peristiwa-peristiwa di dunia luar. Kami menerima surat kabar banyak sekali. Setiap hari Poirot menerima sebuah amplop besar dan tebal, yang ternyata berisi laporan-laporan. Dia tak pernah menunjukkan laporan-laporan itu padaku, tapi aku biasanya bisa menandai dari sikapnya, apakah laporan itu memuaskan hatinya atau sebaliknya. Tak pernah dia goyah dalam keyakinannya, bahwa rencana kami yang inilah satu-satunya yang akan berhasil. "Ada satu soal kecil, Hastings," katanya pada suatu hari. "Pernah aku terusterusan kuatir, kalau-kalau kau menemui ajalmu di ambang pintuku. Dan hal itu membuatku gugup - bagaikan duduk di bara api aku rasanya, kata pepatah. Tapi sekarang aku puas. Meskipun bila mereka tahu bahwa Kapten Hastings yang mendarat di Amerika Selatan itu gadungan (dan kurasa mereka tak akan tahu, mereka tak akan mungkin mengirim kaki-tangan yang mengenalmu secara pribadi ke sana), mereka hanya akan menyangka bahwa engkau mencoba menipu mereka dengan cara dan akal cerdikmu sendiri. Mereka tidak akan menaruh perhatian serius untuk menemukan di mana engkau berada. Pokoknya, mereka benar-benar yakin mengenai satu kenyataan penting, bahwa aku sudah mati. Mereka akan bergerak terus dan mematangkan rencana mereka." "Lalu?" ' tanyaku penuh rasa ingin tahu. "Dan kemudian, mon ami, terjadilah kebangkitan Hercule Poirot secara besarbesaran! Pada saat yang tepat, aku akan muncul kembali, mengobrak-abrikkan segalanya, dan mencapai kemenangan yang gemilang dengan caraku sendiri yang unik. Kulihat bahwa sifat Poirot yang suka membanggakan diri itu memang benar-benar hebat dan tahan segala macam pukulan. Kuingatkan padanya, bahwa satu atau dua kali kemenangan dalam permainan berada di pihak musuh-musuh kami. Tetapi aku seharusnya tahu bahwa hal itu tak mungkin melemahkan semangat Hercule Poirot terhadap teori cara kerjanya sendiri. "Dengarlah, Hastings, ini sama saja dengan siasat yang kita mainkan dalam permainan kartu. Engkau pasti pernah melihatnya. Kita ambil empat kartu lalu kita pisah-pisahkan. Sehelai kita taruh di atas tumpukan, sebuah lagi di bawah, dan begitu seterusnya - kita potong, lalu kita Empat Besar The Big Four Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo kocok dan bersatu lagilah keempatnya. Itulah tujuanku. Selama ini aku harus berselisih paham, kadang-kadang dengan salah seorang anggota Empat Besar itu, lain kali dengan anggota yang lain lagi. Tapi kini biar kugabungkan mereka semua, seperti keempat jenis kartu dalam satu pak tadi, dan kemudian, dengan satu pukulan, kumusnahkan mereka semuanya!" "Lalu bagaimana rencanamu untuk mengumpulkan mereka bersama?" tanyaku. "Dengan menunggu saat yang paling tepat. Dengan mengintai sampai mereka siap untuk menyerang. "Itu bisa berarti lama sekali," keluhku. "Hastings yang baik ini selalu tak sabaran! Tapi tidak, ini tidak akan lama lagi. Satu-satunya orang yang mereka takuti - yaitu aku sendiri - sudah mereka singkirkan. Kuberi mereka waktu dua atau paling lama tiga bulan." Bicaranya tentang seseorang yang sudah tersingkir itu mengingatkan aku pada Ingles dan kematiannya yang menyedihkan. Dan aku ingat bahwa aku belum menceritakan pada Poirot mengenai orang Cina yang sekarat di Rumah Sakit St. Giles dulu itu. Dia mendengarkan ceritaku dengan perhatian besar. "Pelayan Ingles, ya" Dan kata-kata yang diucapkannya dalam bahasa Italia" Aneh." "Sebab itu aku curiga bahwa itu mungkin suatu jebakan Empat Besar lagi." "Jalan pikiranmu keliru, Hastings. Gunakan sel-sel kecilmu yang kelabu itu. Bila musuh-musuh kita itu ingin menipumu, mereka pasti berusaha agar orang Cina itu berbicara dalam bahasa Inggris dengan logat Cina yang tak jelas. Tidak, pesan itu pasti murni. Ceritakan lagi semuanya yang telah kaudengar. "Mula-mula sekali dia mengucapkan kata-kata 'handel's largo'. kemudian dia mengatakan sesuatu yang berbunyi seperti 'carrozza' itu berartl 'kereta' bukan?" "Tak ada lagi lainnya?" "Yah, lalu pada saat terakhir sekali, dia menggumamkan sesuatu seperti 'cara' ditambah dengan nama seseorang - seperti nama wanita. Kurasa, 'Zia'. Tapi kurasa itu tak ada kaltannya dengan yang disebutnya terdahulu. "Kaupikir tak ada kaitannya, Hastings" 'Cara Zia' itu penting sekali, benarbenar sangat penting." "Aku tak mengertl -" "Sahabatku yang baik, kau tak pernah mengerti, dan orang Inggris memang tak tahu ilmu bumi." "Ilmu bumi?" seruku. "Apa hubungan ilmu bumi dengan hal itu?" "Pokoknya Thomas Cook akan lebih mengerti." Sebagaimana biasa, Poirot tak mau berkata apa-apa lagi - tipunya yang paling menjengkelkan. Tetapi kulihat sikapnya menjadi ceria sekali, seolah-olah dia telah memenangkan suatu, taruhan. Hari-hari berlalu cukup menyenangkan meskipun agak membosankan. Banyak sekali buku di vila itu, dan banyak pula tempat vang indah di sekelilingnya untuk berkelana. Tetapi kadang-kadang aku makan hati, disebabkan oleh keadaan tak aktif yang dipaksakan dalam hidup kami itu. Dan aku heran melihat sikap Poirot yang tenang dan senang-senang saja, tak ada satu pun peristiwa yang mengguncangkan keadaan kami yang tenang itu. Pada akhir bulan Juni, masih dalam batas waktu yang diberikan Poirot, barulah kami mendapat berita tentang Empat Besar. Pada suatu hari, pagi-pagi benar, sebuah mobil berhenti di depan vila. Itu merupakan peristiwa yang luar biasa dalam kehidupan kami yang damai itu, hingga aku bergegas turun untuk memenuhi rasa ingin tahuku. Kudapati Poirot sedang bercakap-cakap dengan seorang pria muda yang kira-kira sebaya denganku, berwajah manis. Poirot memperkenalkan aku. "Ini Kapten Harvey, Hastings, salah seorang anggota yang paling terkenal dalam Dinas Rahasia Inggris. " "Ah, sama sekali tidak terkenal," kata anak muda itu sambil tertawa riang. "Memang tidak terkenal, kecuali bagi yang tahu. Kebanyakan sahabat dan kenalan Kapten Harvey menganggapnya sebagai seorang anak muda yang ramah-tamah tapi tak punya otak - yang hanya tergila-gila pada dansa-dansi dengan irama tertentu saja." Kami berdua tertawa. "Nah, sekarang kita bicarakan urusan kita," kata Poirot. "Jadi Anda berpendapat bahwa waktunya sudah tiba?" "Kami yakin, Pak. Sejak kemarin Cina sudah terisolasi dari dunia politik. Tak seorang pun tahu apa yang sedang terjadi di sana. Tak ada berita, tak ada telegram atau apa pun juga yang telah berhasil menembus - hubungan terputus sama sekali - dan semua membisu!',' "Li Chang Yen sudah mulai bergerak. Bagaimana dengan yang lain?" "Abe Ryland tiba di Inggris seminggu yang lalu dan - kemarin menyeberang ke Benua Eropa ini." "Dan Madame Olivier?" "Madame Olivier telah meninggalkan Paris semalam." "Ke Italia?" "Ke Italia, Pak. Menurut pengamatan kami, mereka berdua akan pergi ke daerah yang sudah Anda sebutkan itu - entah bagaimana Anda sampai tahu tempat itu." "Ah, bukan saya yang sepantasnya mendapat pujian itu! Itu hasil karya Hastings ini. Seperti Anda lihat, dia menyembunylkan kecerdasannya, tapi sebenarnya dia hebat sekali." Harvey melihat padaku dengan pandangan menghargai. Aku merasa agak risi. "Jadi semuanya sudah siap," kata Poirot. Kini menjadi pucat. Dia benar-benar serius. "Waktunya telah tiba. Lalu apakah persiapan-persiapannya semua sudah beres?" "Semua yang Anda perintahkan sudah dilaksanakan. Pemerintah Italia, Prancis, dan Inggris mendukung Anda. Semuanya bekerja sama dengan harmonis. " "Jadi boleh dikatakan merupakan suatu persekutuan baru," kata Poirot datar. "Saya senang bahwa Desjardeaux akhirnya dapat juga diyakinkan. Kalau begitu, eh bien, kita akan mulai - atau lebih tepat, sayalah yang akan mulai. Kau, Hastings, harus tinggal di sini - ya, itu permintaanku. Aku benar-benar serius, Sahabatku." Aku memang percaya padanya, tetapi tentu saja aku tidak mau ditinggalkan begitu saja. Pertengkaran kami mengenal hal itu singkat, tetapi menentukan. Setelah kami berada di kereta api yang meluncur ke arah Paris, barulah dia mengakui bahwa diam-diam dia merasa senang atas keputusan yang telah kuambil. "Karena kau harus memainkan suatu peran, Hastings. Suatu peran yang penting! Tanpa, kau, mungkin aku akan gagal. Namun demikian aku merasa tetap berkewajiban untuk mendesak agar kau tinggal saja." "Kalau begitu, adakah bahaya mengancam?" "Mon ami, di mana ada Empat Besar, di sana ada bahaya." Setibanya di Paris, kami terus pergi ke Gare de l'Est, dan akhirnya barulah Poirot mau memberitahukan tujuan kami. Kami sedang menuju ke Bolzano dan Tirol di Italia. Sementara Harvey tak berada dalam gerbong kami, aku mengambil kesempatan untuk bertanya pada Poirot mengapa dikatakannya bahwa dia mengetahul tempat pertemuan itu berkat aku. "Karena memang begitulah keadaannya, Sahabatku. Aku tak tahu bagaimana Ingles bisa mendapatkan informasi itu. Tapi dia telah berhasil, dan dia mengirimkan informasi itu melalui pelayannya. Sekarang, mon ami, kita sedang menuju ke 'Karersee' nama baru dalam bahasa Italia. Dulu daerah itu bernama Largo di Carezza. Sekarang kaulihat, apa makna 'Cara Zia' itu dalam informasimu dulu, juga 'carrozza' dan 'largo' - kata 'handel' itu hanya khayalanmu saja. Mungkin akan menyatakan bahwa informasi itu berasal dari 'tangan' (= hand) Tuan Ingles; begitulah mungkin rangkaian asosiasinya." "Karersee?" tanyaku., "Aku tak pernah mendengarnya. " "Aku kan selalu mengatakan, orang Inggris tak tahu ilmu bumi. Itu daerah pelancongan musim panas yang terkenal dan cantik sekali. Letaknya empat ribu kaki di atas permukaan laut, di tengah-tengah daerah Dolomite. " "Dan di tempat yang terpencil itu Empat Besar mengadakan pertemuan?" "Tempat itu lebih tepat disebut markas besar mereka. Aba-aba sudah diberikan. Mereka berniat menghilang dari dunia dan mengeluarkan perintah-perintah dari persembunyian mereka di tengah-tengah pegunungan yang luas itu. Aku sudah mengadakan penyelidikan - di sana banyak tambang batu. Ada pula endapan-endapan mineral. Penggaliannya dilakukan oleh suatu perusahaan, yang seolah-olah merupakan sebuah firma kecil Italia, padahal sebenarnya berada dalam tangan Abe Ryland. Aku berani bersumpah mereka telah menggali suatu tempat tinggal yang luas di bawah tanah, rahasia dan terpencil. Dari sanalah pemimpin-pemimpin organisasi itu mengeluarkan perintah- perintah dengan telegram kepada pengikut mereka yang ribuan di setiap negara. Dan dari tebing Dolomite itu, para diktator dunia itu akan muncul. Maksudku, mereka akan muncul, kalau saja tak ada Hercule Poirot." "Apa kau benar-benar yakin akan ini semua" Apa yang akan terjadi dengan angkatan-angkatan perang dan perangkat-perangkat peradaban umumnya?" "Bagaimana dengan Rusia" Gerakan ini sama saja dengan yang di Rusia itu, tetapi dalam ukuran yang tak terhingga besarnya ditambah lagi dengan bahaya lain - yaitu yang dihasilkan oleh eksperimeneksperimen Madame Olivier. Kurasa, sampai batas tertentu, dia telah berhasil mendapatkan energi atom untuk melengkapi tujuannya itu. Eksperimennya dengan nitrogen dalam udara, sangat hebat. Dia sudah pula melakukan eksperimen tentang konsentrasi energi gelombang radio, hingga suatu berkas sinar dengan intensitas yang sangat tinggi bisa diarahkan ke suatu tempat tertentu. Tak seorang pun tahu dengan pasti berapa jauh sudah kemajuannya dalam eksperimen-eksperimennya itu. Tapi pasti sudah lebih jauh dari yang pernah ada. Wanita itu memang luar biasa pintarnya - Pasangan suami-istri Curie pun belum apa-apa dibandingkan dengan di kecerdasannya yang luar biasa itu, ditambah kuasa kekayaan Ryland yang hampir tak terbatas, apa lagi dengan pengarahan dan perencanaan oleh Li Chang Yen, otak kriminal paling hebat yang pernah dikenal orang, eh bien, tidak akan ada hambatan apa pun untuk kemajuan peradaban. Kata-katanya itu membuatku berpikir keras. Meskipun Poirot kadang-kadang suka berlebihan dalam memilih kata-katanya, dia sebenarnya tak suka menakut-nakuti. Kini baru kusadari betapa hebatnya perjuangan yang sedang kami hadapi. Harvey segera menggabungkan diri lagi dengan kami. Perjalanan pun dilanjutkan. Kami tiba di Bolzano kira-kira tengah hari. Dari sana perjalanan dilanjutkan dengan mobil. Ada beberapa buah mobil besar berwarna biru di tengah-tengah lapangan kota itu. Kami masuk ke salah sebuah di antaranya. Meskipun hari panas sekali, tubuh Poirot terbungkus rapat dalam mantel dan selendang sampai ke matanya. Hanya mata dan ujung-ujung telinganya yang kelihatan. "Aku tak tahu apakah itu cuma demi kewaspadaan ataukah karena ia terlalu takut masuk angin. Perjalanan bermobil itu berlangsung beberapa jam. Perjalanan yang sangat menyenangkan. Di sepanjang tahap pertama perjalanan itu, kami berbelok-belok keluar masuk tebing-tebing besar, sedang di satu sisinya terdapat air terjun. Kemudian kami tiba di sebuah lembah subur, yang panjangnya beberapa kilometer. Kami terus berkelok-kelok mendaki, sementara puncak-puncak karang gersang mulai tampak. Di kakinya hutan pinus tumbuh rapat. Seluruh daerah itu tampak perawan dan ndah sekali. Akhirnya kami harus menempuh beberapa tikungan tajam menembus hutan pinus. Tiba-tiba kami sampai di sebuah hotel besar. Sampailah kami di tempat tujuan. Harvey membawa kami langsung ke kamar yang telah disiapkan untuk kami. Kamarkamar itu menghadap langsung ke puncak-puncak karang dan hutan pinus yang memenuhi lereng-lereng yang panjang. Poirot menunjuk ke sana. "Di sanakah tempatnya?" tanyanya dengan suara halus. "Ya," sahut Harvey. "DI situ ada suatu tempat yang bernama Felsenlabyrinth batu-batu besar bertumpukan di sana-sini, indah sekali - di celah-celahnya terdapat lorong kecil yang berkelok-kelok. Tambang batu itu ada di sebelah kanannya, tapi kami rasa jalan masuknya mungkin di Felsenlabyrinth sendiri." Poirot mengangguk. "Ayo, mon ami, " katanya padaku. " Kita turun ke bawah, duduk-duduk di teras dan menikmati matahari. " "Apa itu tak berbahaya?" tanyaku. Dia cuma mengangkat bahu. Sinar matahari sungguh indah - meskipun cahayanya hampir tak tertahankan olehku. Kami tidak minum teh, melainkan kopi susu. Kemudian kami naik lagi ke lantai atas dan membongkar barang-barang kami yang hanya sedikit itu. Poirot dalam keadaan tak dapat didekati; dia tenggelam dalam kediamannya. Sekali-sekali dia menggeleng dan mendesah. Sejak tadi pikiranku agak terganggu oleh seorang laki-laki yang tadi turun pula dari kereta api kami di Bolzano. Dia dijemput mobil pribadi. Seorang laki-laki kecil, dan satu hal yang menarik perhatianku adalah karena dia pun terbungkus rapat-rapat seperti Poirot tadi. Bahkan lebih dari itu, karena selain memakai mantel dan penutup leher, dia juga memakai kaca mata besar berwarna biru. Aku yakin bahwa kami telah bertemu dengan salah seorang perutusan Empat Besar. Poirot kelihatannya tidak terkesan olah gagasanku. Tetapi, ketika kulaporkan padanya bahwa laki-laki tersebut sedang berjalan-jalan di sekeliling hotel. Poirot mengakui mungkin itu ada apa-apanya. Kudesak sahabatku itu supaya tidak turun untuk makan malam, tetapi dia berkeras berbuat demikian. Kami masuk ruang makan agak terlambat dan diberi meja dekat jendela. Baru saja kami duduk, perhatian kami tertarik oleh seruan seseorang dan bunyi pecahan barang porselen yang jatuh. Sepiring makanan telah tumpah mengenal seorang laki-laki yang duduk di meja di sebelah kami. Pelayan kepala bergegas datang dan berulang kali memohon maaf. Ketika kemudian pelayan yang mengalami musibah itu datang mengantarkan sup kami, Poirot menyapanya, "Kecelakaan sial tadi. Tapi bukan kesalahan Anda." "Jadi Anda melihatnya tadi" Bukan, memang bukan kesalahan saya. Tuan itu tadi setengah melompat dari tempat duduknya - saya sangka tadi dia akan mengalami semacam serangan. Tak bisa saya cegah musibah itu." Kulihat mata Poirot berbinar dengan sinarnya yang hijau yang begitu kukenal. Setelah pelayan itu pergi dia.berbisik padaku. "Lihat, Hastings, akibat yang disebabkan oleh Hercule Poirot yang ternyata masih hidup?" "Apa kaupikir-" Aku tak sempat melanjutkan. Kurasakan tangan Poirot di atas lututku. Dia berbisik, "Lihat, Hastings, lihat. Kebiasaannya dengan roti itu! Nomor Empat!" Benar rupanya, laki-laki yang duduk di meja di sebelah kami, yang waiahnya amat pucat pasi, tanpa sadar sedang menutul-nutulkan sepotong kecil roti di mejanya. Kuperhatikan dia dengan teliti. Wajahnya yang dicukur bersih-bersih itu kelihatan montok tetapi pucat dan tak sehat. Kelopak matanya yang sebelah bawah menggantung. Dari sisi-sist hidungnya sampai ke sudut-sudut mulutnya terdapat garis yang dalam. Umurnya mungkin sekitar tiga puluh lima sampai empat puluh lima tahun. Dia sama sekali tidak serupa dengan salah seorang pelaku yang pernah dimainkan oleh Nomor Empat sebelumnya. Seandainya tidak disebabkan oleh kebiasaannya makan roti, yang jelas sama sekali tak disadarinya itu, aku berani bersumpah bahwa laki-laki yang duduk di sana itu, pasti kusangka orang yang belum pernah kulihat. "Dia mengenalimu," gumamku. "Kau seharusnya tadi tak usah turun." "Hastings, sahabatku yang baik, aku telah berpura-Pura mati selama tiga bulan, dengan tujuan yang satu inilah." "Untuk mengejutkan Nomor Empat?" "Untuk mengejutkan dia di saat dia harus bertindak cepat atau sama sekali tidak bertindak apa-apa. Dan kita mendapatkan keuntungan besar ini - dia tak tahu bahwa kita mengenalinya. Disangkanya dia aman dalam penyamarannya yang baru itu. Betapa besar terima kasihku pada Floosie Monro, karena telah menceritakan kebiasaan laki-laki itu." "Lalu apa yang akan teriadi sekarang?" tanyaku. "Apa yang bisa terjadi" Dia telah mengenali satu-satunya orang yang ditakutinya, yang secara ajaib telah bangkit dari kematiannya, justru di saat rencana-rencana Empat Besar telah mantap. Madame Olivier dan Abe Ryland tadi makan siang di sini. Diduga mereka pergi ke Cortina. Kita hanya tahu bahwa mereka telah menarik diri ke tempat persembunyian. Berapa banyak yang telah kita ketahui" Itulah yang sedang dipertanyakan Nomor Empat saat ini. Ia tak bakal berani menantang bahaya. Bagaimanapun juga, aku harus dihadangnya. Eh, bien, biar saja dia mencoba menghadang Hercule Poirot! Aku sudah siap menghadapinya." Begitu Poirot selesai berbicara, laki-laki di meja sebelah itu bangkit, lalu Empat Besar The Big Four Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo keluar. "Dia pergi untuk bersiap-siap," kata Poirot dengan tenang. "Mari kita minum kopi di teras. Kurasa itu akan lebih menyenangkan. Aku akan mengambil mantelku dulu." Aku keluar ke teras, dengan pikiran yang kurang tenang. Sikap Poirot yang penuh keyakinan itu, tidak membuatku tenang. Tapi aku yakin bahwa selama kami tetap waspada, tidak akan terjadi apa-apa atas diri kami. Aku memutuskan untuk terus waspada. Lebih dari lima menit kemudian, barulah Poirot menyertai aku lagi. Dia membungkus dirinya sampai ke telinganya, untuk seperti biasanya melindungi diri dari masuk angin. Dia duduk di sampingku lalu menghlrup kopinya dengan nikmat. "Hanya di Inggrislah yang kopinya sama sekali tak enak," celanya. "Di benua ini orang mengerti betapa pentingnya arti kopi untuk pencernaan makanan, hingga kopinya harus dibuat dengan sebaik-baiknya. " Baru saja dia selesai berucap, laki-laki yang duduk di meja di sebelah kami tadi, tiba-tiba muncul di teras. Tanpa ragu-ragu dia mendatangi kami lalu menarik sebuah kursi lagi ke meja kami. "Saya harap Anda tidak keberatan kalau saya menggabungkan diri, " katanya dalam bahasa Inggris. "Sama sekali tidak, Monsieur," kata Poirot. Aku kuatir sekali. Memang benar kami berada di teras sebuah hotel dengan banyak orang di sekeliling kami, namun aku tetap tak tenang. Aku merasakan adanya bahaya yang mengancam. Sementara itu Nomor Empat ngobrol dengan wajar sekali. Rasanya mustahil menganggap dia bukan seorang turis biasa. Dia bicara soal rekreasi dan pesiar bermobil. la menampilkan diri sebagai seseorang yang sangat mengenal daerah itu. Kemudian dia mengeluarkan pipa dari sakunya dan menyalakannya. Poirot pun mengeluarkan kotak yang berisi rokoknya yang kecil-kecil itu. Sedang dia menyelipkan sebatang rokok ke celah bibirnya, orang asing itu membungkuk dengan sebuah korek api. "Izinkan saya memberi Anda api." Ketika dia berkata ltu, tanpa disangka sedikit pun juga, semua lampu padam. Terdengar gemerincing gelas, kemudian tercium sesuatu yang pedas di hidungku, sesuatu yang membuatku lemas Bab 18 DI FELSENLABYRINTH RASANYA tak lebih dari satu menit aku pingsan. Aku siuman, menyadari diriku sedang ditopang oleh dua orang. Mereka di kiri-kananku, menunjangku di bawab kedua ketiakku, sedang mulutku tersumbat. Keadaan gelap gulita, tapi aku menyadari bahwa kami tidak berada di luar. Kami sedang melalui lorong-lorong hotel. Di sekelilingku terdengar orang berteriak-teriak dalam bermacam-macam bahasa, menanyakan apa yang telah terjadi dengan lampu-lampu. Orang-orang yang menangkapku membawaku menuruni tangga. Kami melalui lorong di bawah, melalui sebuah pintu, kemudian kami keluar ke udara terbuka melalui sebuah pintu kaca di bagian belakang hotel. Sesaat kemudian kami tiba di kerimbunan pohon pinus. Kulihat sekilas sesosok tubuh lain dalam keadaan yang sama denganku, dan tahulah aku bahwa Poirot juga telah menjadi korban dari serangan yang sangat berani itu. Dengan keberanian yang luar biasa, Nomor Empat telah mendapatkan kemenangan gemilang. Aku yakin dia telah menggunakan obat bius yang kuat, mungkin ethylchlorida - setelah memotong sumbatnya di bawah hidung kami. Kemudian, dalam kekacauan di dalam gelap itu, komplotannya - yang mungkin duduk sebagai tamu di meja sebelah, telah memasukkan sumbat ke dalam mulut kami, lalu bergegas membawa kami pergi melalui bagian dalam hotel untuk menghindari pengejaran. Tak dapat aku menggambarkan peristiwa-peristiwa berikutnya. Kami dibawa melalui hutan dengan sangat terburu-buru dan terus mendaki. Akhirnya kami tiba di tempat terbuka, di lereng gunung. Tepat di muka kami kulihat susunan batu-batu karang besar yang aneh dan luar biasa. Pasti inilah Felsenlabyrinth yang telah disebut Harvey. Kami segera berjalan membelok-belok keluar masuk melalui lorong-lorongnya. Tempat itu bagaikan suatu jaringam jalan ruwet yang disusun oleh jin-jin jahat. Tiba-tiba kami berhenti. Sebuah batu karang yang besar sekali menghalangi kami. Salah seorang seperti mendorong sesuatu, lalu tanpa berbunyi, batu karang yang bukan main besarnya itu seperti berputar sendiri, dan terbukalah sebuah tempat yang menyerupai terowongan menuju ke dalam gunung. Kami cepat-cepat dibawa memasuki lubang itu. Beberapa lamanya kami melintasi terowongan yang sempit itu. Kemudian lubang itu melebar. Tak lama kemudian kami tiba di sebuah ruangan yang luas berdinding batu karang. Ruangan itu berpenerangan listrik. Sumbat di mulut kami dikeluarkan. Setelah mendapatkan isyarat dari Nomor Empat yang berdiri menghadapi kami dengan wajah kemenangan yang penuh ejekan, kami digeledah dan semua barang dikeluarkan dari saku-saku kami, termasuk pistol otomatik Poirot yang kecil. Ngeri rasa hatiku melihat pistol itu dilemparkan ke atas meja. Kami telah dikalahkan - benar-benar dikalahkan dan terkepung. Inilah akhir kisah kami. "Selamat datang di markas besar Empat Besar, M. Hercule Poirot," kata Nomor Empat dengan nada mengejek. "Pertemuan kembali dengan Anda ini merupakan kegembiraan yang tak terduga. Tapi apa ada manfaatnya Anda keluar dari kubur hanya untuk ini." Poirot tidak menyahut. Aku tak berani menoleh padanya. "Mari ikut saya," kata Nomor Empat lagi. "Kedatangan Anda akan merupakan kejutan cukup besar bagi rekan-rekan saya." Dia menunjuk ke sebuah pintu kecil di dinding. Kami melewati pintu itu, dan masuk ke sebuah kamar lain. Di ujung kamar itu ada sebuah meja, di belakangnya ada empat buah kursi. Kursi yang paling ujung kosong, tetapi ditutupi sebuah jubah bermotif mandarin. Pada kursi yang kedua, duduk Nomor Dua yang sedang mengisap cerutunya. Duduk bersandar di kursi yang ketiga adalah Madame Olivier, dengan matanya yang berapi-api dan wajah biarawatinya. Nomor Empat mengambil tempat di kursi yang keempat. Kami berhadapan dengan Empat Besar. Tak pernah aku bisa merasakan benar-benar kehadiran Li Chang Yen seperti saat itu, saat aku menghadapi kursi kosong itu. Nun jauh di negeri Cina, dia tetap memegang tampuk pimpinan dan mengatur organisasi yang jahat ini. Madame Olivier memekik kecil melihat kami. Ryland yang lebih tenang, hanya memindahkan cerutunya dan mengangkat alisnya yang tebal. "Hercule Poirot," kata Ryland lambat-lambat, "Ini suatu kejutan yang menyenangkan. Anda telah mempermainkan kami. Kami menyangka Anda telah terkubur baik-baik. Tapi bagaimanapun juga sekarang permainan itu sudah berakhir." Ada nada sekeras baja dalam suaranya itu. Madame Olivier tidak berkata apa-apa, tetapi matanya membara. Dan aku tak suka melihat senyurn kecilnya itu. "Nyonya dan Tuan-tuan, saya mengucapkan selamat pagi," kata Poirot dengan tenang. Sesuatu yang sama sekali tak kusangka, sesuatu dalam suaranya yang tak biasa kudengar, membuatku menoleh padanya. Dia tampak tenang sekali. Namun ada sesuatu dalam keseluruhan penampilannya yang berbeda. Kemudian tirai di belakang kami bergoyang. Masuklah Countess Vera Rossakoff. "Oh!" kata Nomor Empat. "Pembantu kami yang terhormat dan terpercaya. Seorang teman lama Anda ada di - sini, Nyonya yang baik." Countess itu berbalik dengan geraknya yang bergaya. "Ya, Tuhan di surga!" serunya. "Pria kecil ini rupanya! Oh! dia ada di manamana! Aduh, Orang kecil, Orang kecil! Mengapa Anda melibatkan diri ke dalam semuanya ini?" "Madame," kata Poirot sambil membungkuk, "Saya ini seperti Napoleon yang agung itu, saya selalu berada di pihak pasukan pasukan yang besar." Ketika dia sedang berbicara, kulihat mata wanita itu memandangnya dengan curiga. Pada saat itu pula tahulah aku dengan pasti, sesuatu yang sudah kuduga tanpa kusadari. Laki-laki di sebelahku ini bukan Hercule Poirot. Dia serupa benar, sama benar. Kepalanya yang berbentuk telur itu sama, sikapnya yang anggun itu serupa, dan sama-sama agak montok. Tetapi suaranya lain, dan matanya tidak hijau -melainkan berwarna gelap, dan yang paling jelas, kumis itu - kumis yang terkenal itu-" Pikiran-pikiranku itu terhenti oleh suasana Countess. Dia maju dengan suara lantang dan kacau dia berkata, "Kalian telah tertipu. Laki-laki ini bukan Hercule Poirot!?" Nomor Empat menyerukan perkataan yang tak jelas, tetapi Countess membungkuk lalu menarik kumis Poirot. Kumis itu tercabut dan tampaklah dengan jelas keadaan yang sebenarnya. Bibir atas pria itu cacat oleh bekas luka yang kecil. Cacat itu membuat paras wajah itu benar-benar berubah. "Bukan Hercule Poirot," gumam Nomor Empat. "Lalu siapa dia?" "Saya tahu," teriakku tiba-tiba, lalu aku berhentl mendadak. Aku takut aku menghancurkan segala-galanya. Tetapi pria yang masih tetap akan kusebut 'Poirot' itu berpaling padaku dan berkata mendorongku. "Katakan saja kalau kau mau. Sudah tak ada artinya lagi sekarang. Akal ini sudah berhasil." "Ini Achille Poirot," kataku perlahan-lahan. "Saudara kembar Hercule Poirot." "Tak mungkin, " kata Ryland dengan tajam, tetapi dia tampak goyah. "Rencana Hercule telah berhasil dengan baik sekali," kata Achille dengan tenang. Nomor Empat melompat ke depan, suaranya keras dan mengandung ancaman. "Berhasil kata Anda?" geramnya. "Adakah Anda menyadari bahwa sebentar lagi Anda akan mati - mati, tahu?" "Ya," kata Poirot dengan bersungguh-sungguh. "Saya menyadari hal itu. Andalah yang tak mengerti bahwa laki-laki bersedia membeli suatu keberhasilan dengan hidupnya sendiri. Ada orang yang bersedia mempertaruhkan nyawanya dalam peperangan untuk negaranya. Saya pun mau mengorbankan hidup saya dengan cara begitu bagi dunia." Aku tiba-tiba menyadari bahwa, meskipun aku benar-benar rela mengorbankan hidupku, seharusnya aku diajak berunding terlebih dulu. Kemudian aku ingat bahwa Poirot memang telah mendesakku untuk tinggal saja di rumah, dan aku pun merasa tenang. "Lalu apa manfaatnya pengorbanan jiwa Anda itu bagi dunia?" tanya Ryland dengan mengejek. "Saya lihat bahwa Anda tidak mengerti inti rencana Hercule. Pertama-tama, tempat persembunyian kalian ini sudah diketahui sejak beberapa bulan yang lalu. Boleh dikatakan, semua pengunjung, petugas-petugas hotel, dan yang lain-lain lagi, adalah detektif-detektif atau petugas-petugas Dinas Rahasia. Gunung ini sudah dikepung oleh suatu barisan penjaga. Mungkin saja kalian sudah membuat lebih dari satu jalan keluar, namun demikian kalian tidak akan bisa lolos. Poirot sendiri yang sedang memimpin operasi-operasi di luar. Sepatu bot saya ini semalam sudah dilumuri dengan semacam campuran bumbu-bumbu, sebelum saya memasuki teras rumah saudara kembar saya. Kini anjing-anjing pelacak sedang mencari jejak saya. Jejak saya itu pastl akan membawa mereka ke gunung batu di Felsenlabyrinth, di tempat jalan masuk kemari. Ya, lakukanlah apa saja yang ingin kalian perbuat atas diri kami, jaringan telah terpasang dengan ketat di sekeliling kalian. Kalian tidak akan bisa lolos." Madame Olivier tiba-tiba tertawa. "Anda keliru. Masih ada satu jalan keluar untuk kami, dan sebagaimana Samson dari zaman dulu itu, kami juga akan memusnahkan musuh-musuh kami bersama kami. Bagaimana pendapat Anda sekarang, Sahabat?" Ryland tetap menatap Achille Poirot. "Kurasa laki-laki ini berbohong," katanya serak. Achille Poirot mengangkat bahunya. "Satu jam lagi fajar akan menyingsing. Anda akan melihat sendiri kebenaran katakata saya itu. Saat ini pun mereka pasti sudah menemukan jejak saya yang menuju ke jalan masuk Felsenlabyrinth ini." Belum selesai dia berbicara, terasa suatu getaran dari jauh. Seorang laki-laki berlari sambil berteriak-teriak kacau-balau. Ryland melompat berdiri lalu keluar. Madame Olivier berjalan ke ujung kamar, lalu membuka sebuah pintu yang semula tak kelihatan. Di dalamnya sekilas kulihat sebuah laboratorium yang dilengkapi dengan sempurna, mengingatkan aku pada laboratorium yang ada di Paris. Nomor Empat juga melompat berdiri lalu keluar. Tetapi dia kembali lagi sambil membawa pistol Poirot yang diberikannya pada Countess. "Mereka tidak akan bisa lolos," katanya ketus. "Tapi sebaiknya kau tetap memegang ini." Lalu dia keluar lagi Countess mendekati kami, lalu mengamat-amati temanku dengan cermat beberapa lamanya. Tiba-tiba dia tertawa. "Anda pandai sekali, M. Achille Poirot," katanya mengejek. "Madame, mari kita bicara soal bisnis. Untunglah mereka semua telah meninggalkan kita. Apa imbalan yang Anda minta?" "Saya tak mengerti. Imbalan apa?" "Madame, Anda bisa membantu. kami supaya lolos. Anda tahu jalan rahasia untuk keluar dari tempat persembunyian ini. Beri tahu saya, imbalan apa yang Anda minta." Wanita itu tertawa lagi. Leblh dari yang bisa Anda bayar, Orang kecil! Bahkan semua uang yang ada di dunia ini pun tidak akan bisa membeli saya!" "Madame, saya tidak berbicara tentang uang. Saya ini orang cerdas. Tapi bagaimanapun, inilah faktanya - setiap orang punya harga! Sebagai imbalan dari nyawa dan kebebasan kami, saya tawarkan kepada Anda apa saja yang sangat Anda ingini." "Jadi Anda seorang pesulap!" "Anda boleh saja menyebut saya begitu kalau Anda mau." Countess tiba-tiba menghentikan sikap senda guraunya. Dia berbicara dengan nada pahit penuh hawa nafsu. "Tolol! Keinginan hatiku! Akan bisakah kau memberiku pembalasan dendam terhadap musuh-musuhku" Bisakah kau mengembalikan keremajaan, kecantikan, dan hati yang ceria" Bisakah kau menghidupkan kembali orang yang sudah meninggal?" Achille Poirot menatap wanita itu dengan penuh rasa ingin tahu. "Yang mana di antara ketiga hal itu, Madame" Pilihlah. " Wanita itu tertawa mencemooh. "Atau mungkin Anda bisa memberi saya gairah hidup" Ayo, saya mau tawar-menawar dengan Anda. Saya pernah mempunyai seorang anak. Temukan anak itu untuk saya, dan Anda akan bebas." "Madame, saya setuju. Tawaran itu saya terima. Anak Anda itu akan dikembalikan pada Anda. Demi - demi nama baik Hercule Poirot sendiri." Wanita aneh itu tertawa lagi - kali ini tawanya panjang tak tertahan. "M. Poirot yang baik, saya hanya memasang perangkap bagi Anda. Anda baik sekali mau berjanji menemukan anak saya. Tapi ketahullah, saya tahu betul bahwa Anda tidak akan berhasil, jadi itu tadi suatu tawar-menawar yang bersifat sepihak, bukan?" "Madame, saya bersumpah demi malalkat-malalkat yang suci, bahwa saya akan mengembalikan anak Anda pada Anda." "Sudah saya tanyakan tadi, M. Poirot, apakah Anda bisa menghidupkan kembali yang sudah meninggal?" "Jadi anak itu-" "Meninggal" Ya." Pria itu melangkah ke depan, lalu mencengkeram pergelangan wanita itu. "Madame, saya - saya yang berbicara dengan Anda ini, sekali lagi bersumpah. Saya akan menghidupkan kembali yang sudah meninggal." Wanita itu menatap padanya dengan terpesona. "Anda tak percaya pada saya. Saya akan membuktikan kata-kata saya itu. Tolong ambilkan buku saku saya yang telah mereka ambil dari saya." Countess keluar dari ruangan itu, dan kembali dengan membawa buku kecil itu. Sementara itu dia tetap menggenggam Pistol. Aku merasa bahwa usaha Achille untuk membohonginya itu akan sedikit sekali hasilnya. Countess Vera Rossakoff bukan orang bodoh Buka buku itu, Madame. Lihat kulit buku yang di sebelah kirl. Ya, benar. Nah, sekarang keluarkan foto itu, dan perhatikan." Empat Besar The Big Four Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Penuh rasa ingin tahu, wanita itu mengeluarkan sebuah foto yang berukuran kecil sekali. Baru saja dia melihatnya, dia terpekik, terhuyung seolah-olah akan jatuh. Kemudian seolah terbang ia menghampiri temanku. "Di mana dia - Di mana - Katakan padaku. Di mana." "Ingat tawar-menawar kita, Madame." "Ya, ya, saya percaya pada Anda. Mari cepat sebelum mereka kembali." Sambil mencengkeram tangan Achille ditariknya laki-laki itu cepat-cepat, lalu diam-diam keluar dari ruangan itu. Aku menyusul. Dari kamar luar itu kami dituntunnya masuk ke terowongan yang mula-mula belum lama kami masuk, kami masuki tadi. Tetapi terowongan itu bercabang dua dan dia membelok ke kanan. Lorong itu bercabang berulang kali, tetapi dia berjalan terus di depan kami tanpa bimbang, tanpa ragu jalan yang mana yang harus dipilihnya, dan jalannya makin lama makin cepat. "Asal kita tak terlambat saja," katanya terengah-engah. "Kita harus sudah keluar dari sini sebelum ledakan itu terjadi." Kami masih berjalan terus. Sepengetahuanku, terowongan ini memotong habis gunung itu, dan bahwa kami nanti akhirnya akan keluar di sisi lain gunung yang menghadap ke sebuah lembah lain. Keringatku bercucuran, tapi aku berlari terus. Kemudian kulihat secercah sinar dikejauhan. Sinar itu. makin lama makin dekat. Kulihat semak-semak yang hijau. Kami menguakkan semak-semak itu untuk membuka jalan bagi kami. Kami berada di luar lagi, dengan cahaya matahari subuh yang samar-samar, yang membuat segalanya tampak berwarna merah muda. Barisan yang menjaga Poirot bagai tak ada habisnya. Sekarang pun, baru saja kami keluar, tiga orang laki-laki menyergap kami. Tetapi mereka segera melepaskan kami dengan pekik terkejut. "Cepat, " teriak temanku. " Cepat - tak boleh ada waktu terbuang -" Kata-katanya itu belum lagi selesal. Bumi yang kami pijak bergetar dan bergoyang, kemudian terdengar gemuruh mengerikan dan seluruh gunung kelihatannya seolah-olah ambruk. Kami terlempar ke udara, lalu jatuh tersungkur. Akhirnya aku siuman lagi. Aku terbaring di tempat tidur yang tak kukenal dan dalam kamar yang asing bagiku. Seseorang duduk di dekat jendela. Dia berpaling lalu mendatangi aku dan berdiri di sisiku. Dia adalah Achille Poirot - atau - tunggu dulu apakah Suara dengan nada ejekan yang begitu kukenal, menghilangkan semua keraguan yang ada padaku. "Ya, Sahabatku, dugaanmu benar. Saudaraku Achille sudah kembali - ke negeri antah berantah. Selama ini aku juga orangnya. Bukan hanya Nomor Empat yang bisa bersandiwara. Suatu keahlian tata rias muka telah mengubah mataku, kumisku kukorbankan, dan bekas luka yang memang benarbenar ada pada bibirku. Gara-gara luka yang memang sengaja dibuat, dua bulan yang lalu aku harus menderita sakit sekali - aku aku tak berani membuat cacat luka tiruan, mengingat mata Nomor Empat yang tajam itu. Dan sebagai usaha terakhir, memberitahukan padamu dan membuatmu percaya bahwa orang yang bernama Achille itu memang ada! Bantuanmu yang telah kauberikan padaku, sungguh tak ternilai artinya. Separuh dari keberhasilan serangan kita ini, adalah berkat kau. Yang terpenting dalam usaha itu adalah meyakinkan mereka bahwa Hercule Poirot masih bebas bergerak memimpin operasi itu. Selebihnya, semuanya memang benar, campuran bumbu di sepatuku, barisan pagar betis, dan sebagainya." "Tapi mengapa tidak mengirim seorang pengganti saja?" "Dan membiarkan kau menghadapi bahaya seorang diri tanpa aku di sisimu - Begitu rupanya citramu mengenai diriku. Kecuali itu, aku memang selalu berharap untuk menemukan jalan keluar atas petunjuk Countess." "Bagaimana kau sampai bisa meyakinkan dia" Kisahmu yang kausajikan padanya itu, rapuh sekali - tentang anak yang sudah meninggal itu." " Countess itu punya pandangan yang lebih tajam daripada kau, Hastings yang baik. Mula-mula dia memang terkecoh oleh penyamaranku, tapi dia segera menyadarinya. Waktu dia berkata 'Anda pandai sekali, M. Achille Poirot, aku tahu dia sudah menduga kebenarannya. Itulah kesempatanku yang terakhir untuk membuka kartu yang mematikan." "Semua isapan jempol mengenal menghidupkan kembali orang yang sudah meninggal itu?" "Tepat - tapi, kau perlu tahu bahwa anak itu memang ada dalam tanganku." "Apa?" "Tentu! Kau kan tahu semboyanku selalu - siap siagalah! Segera setelah aku tahu bahwa Countess Rossakoff terlibat dalam Empat Besar, aku mengumpulkan segala macam informasi mengenal masa lalunya. Kuperoleh berita bahwa dia pernah punya anak yang dilaporkan telah dibunuh. Tapi aku juga mendapat informasi bahwa ada perbedaan dalam cerita itu, hingga aku jadi ragu, jangan-jangan anak itu masih hidup. Akhirnya berhasil juga aku menemukan anak itu, dan dengan membayar mahal sekali aku mendapatkannya. Anak kecil itu hampir mati kelaparan. Kutempatkan dia di suatu tempat yang aman, dengan orang-orang yang baik hati, lalu kubuat fotonya dalam lingkungannya yang baru itu. Maka waktu tiba saatnya, aku sudah siap dengan serangan balikku." "Kau memang hebat, Poirot; benar-benar hebat!" "Aku juga senang berbuat begitu kok. Aku mengagumi countess itu. Aku akan menyesal sekali, seandainya ia sampai tewas dalam ledakan itu." "Aku tadi takut-takut menanyakannya padamu bagaimana dengan Empat Besar?" "Semua mayat sudah ditemukan. Mayat Nomor Empat hampir tak bisa dikenali, kepalanya hancur. Aku sebenarnya ingin - ingin sekali tidak demikian halnya. Aku ingin meyakinkan diriku - tapi sudahlah. Coba lihat ini." Diberikannya padaku sehelai surat kabar. Ada suatu bagian yang ditandai. Di situ dilaporkan tentang kematian Li Chang Yen, akibat bunuh diri. Diberitakan pula bahwa dialah yang telah menjadi otak usaha pemberontakan yang baru-baru ini terjadi, yang telah gagal dengan begitu menyedihkan. "Musuh besarku," kata Poirot dengan sungguh-sungguh. "Rupanya sudah nasib bahwa dia dan aku, tidak akan pernah bertemu muka. Waktu dia menerima berita tentang bencana di sini, dia menempuh jalan yang paling sederhana. Otak yang hebat, Sahabatku, benar-benar otak yang hebat. Tapi aku benar-benar ingin melihat wajah laki-laki yang disebut Nomor Empat itu. Seandainya, ah - aku mengkhayal. Dia sudah meninggal. Ya, mon ami, kita berdua telah menghadapi dan menghancurkan Empat Besar; dan sekarang kau akan kembali pada istrimu yang cantik itu, sedang aku - aku akan mengundurkan diri. Perkara yang besar dalam hidupku sudah berlalu. Setelah kejadian ini, semuanya akan kelihatan tak berarti. Ya, aku akan menarik diri. Mungkin aku akan jadi petani sayur-sayuran! Bahkan mungkin pula aku akan menikah dan hidup dengan tenang!" Dia tertawa terbahak-bahak karena gagasan itu, tapi dengan sedikit kemalumaluan. Aku berharap... kaum pria yang bertubuh kecil biasanya selalu mengagumi wanita-wanita yang bertubuh besar dan bergaya. "Menikah dan hidup tenang," katanya lagi. "Siapa tahu?" Pendekar Kucar Kacir 2 Pendekar Rajawali Sakti 105 Istana Gerbang Neraka Istana Sekar Jagat 2