Mata Rantai Yang Hilang 2
Mata Rantai Yang Hilang Ordeal By Innocence Karya Agatha Christie Bagian 2 "Ya, boleh dikatakan begitulah. Maksud saya, saya sudah mendatangi seorang ahli hukum. Joe yang menyuruh saya pergi ke sana. Joe memang tak pernah suka pada Jackie." "Apakah Joe suami Anda?" "Ya. Dia bekerja di perusahaan listrik. Pekerjaannya bagus, dan dia mendapat perhatian dari atasan-atasannya. Sudah lama dia mengatakan bahwa Jackie itu tidak beres. Tapi, yah, saya masih kanak-kanak dan masih bodoh waktu itu. Sedangkan Jackie punya daya tarik yang besar." "Begitulah yang saya dengar tentang dia." "Dia pandai sekali bergaul dengan kaum wanita - sungguh, saya tak tahu. Dia sebenarnya tidak tampan. Saya bahkan biasa menyebutnya 'wajah monyet'. Namun dia pintar mengambil hati orang. Tahu-tahu kita sudah melakukan segala yang diinginkannya. Meskipun sekali-dua kali hal itu ada manfaatnya. Tak lama setelah kami menikah umpamanya, dia mengalami kesulitan di bengkel tempatnya bekerja, akibat sesuatu yang telah dikerjakannya atas mobil seorang pelanggan. Saya tak pernah tahu bagaimana kejadian sebenarnya. Pokoknya majikannya marah sekali. Tapi Jackie malah mendatangi istri majikannya itu. Wanita itu sudah tua, umurnya sudah hampir lima puluh. Tapi Jackie merayunya, mempermainkannya dengan segala macam cara, hingga wanita itu lupa diri. Akhirnya dia mau melakukan apa saja untuk Jackie. Dia lalu berbicara dengan suaminya. Didesaknya suaminya itu supaya tidak menuntut Jackie kalau Jackie mengganti uangnya. Tapi suaminya tak tahu dari mana uang itu! Istrinya sendirilah yang memberikan uang itu. Peristiwa itu membuat kami - saya dan Jackie - tertawa geli!" Calgary memandangi wanita muda itu dengan rasa agak jijik. "Apakah... apakah itu begitu lucu?" "Oh, ya, saya rasa begitu. Anda tidak merasa begitu" Wah, lucu sekali! Wanita tua seperti itu tergila-gila pada Jackie, sampai mengorek tabungan untuknya." Calgary mendesah. Banyak hal tidak seperti yang kita bayangkan, pikirnya. Setiap hari dia merasa makin tak senang saja pada pria ini - pria yang namanya sedang ia usahakan dengan susah payah agar kembali bersih. Boleh dikatakan ia mulai mengerti dan sependapat dengan pandangan yang telah membuatnya begitu terkejut di Sunny Point. "Saya datang kemari, Mrs. Clegg," katanya, "hanya untuk melihat apakah ada sesuatu yang bisa... yah, saya lakukan untuk menebus apa yang telah terjadi." Maureen Clegg melihat dengan agak heran. "Wah, Anda baik sekali," katanya. "Tapi untuk apa Anda berbuat begitu" Kami baik-baik saja. Joe berpenghasilan cukup, dan saya punya pekerjaan sendiri. Saya menjadi penunjuk jalan di bioskop." "Ya, saya tahu itu." "Bulan depan kami akan membeli televisi," kata wanita itu dengan bangga. "Saya senang sekali mendengarnya," kata Arthur Calgary, "lebih senang daripada yang bisa saya ucapkan, bahwa... bahwa peristiwa yang tak menyenangkan itu tidak meninggalkan... eh, bayangan abadi pada Anda." Makin lama rasanya makin sulit memilih kata-kata yang tepat untuk diucapkan pada wanita muda yang pernah menjadi istri Jacko ini. Semua yang diucapkannya terdengar terlalu muluk-muluk dan dibuat-buat di telinganya sendiri. Mengapa ia tak bisa berbicara dengan wajar pada wanita muda ini" "Saya khawatir kalau-kalau itu akan merupakan kesedihan yang luar biasa bagi Anda." Maureen menatapnya dengan matanya yang lebar dan biru, yang sama sekali tidak memancarkan pengertian. "Saat itu memang mengerikan sekali," katanya. "Semua tetangga membicarakannya, dan saya susah memikirkannya, meskipun boleh saya katakan bahwa dalam keadaan itu polisi baik sekali. Mereka berbicara pada saya dengan sopan sekali, dan berbicara baik-baik tentang segala sesuatu." Calgary ingin tahu apakah wanita yang dihadapinya ini punya perasaan terhadap pria yang sudah meninggal itu. Lalu ia mengajukan suatu pertanyaan dengan mendadak. "Apakah menurut Anda memang dia yang melakukannya?" tanyanya. "Maksud Anda, apakah dia yang telah membunuh ibunya?" "Ya. Itulah." "Yah, tentulah... yah... yah... ya, ada juga saya menduga begitu. Dia tentu berkata bahwa dia tidak melakukannya, tapi kita tak pernah bisa percaya apa-apa yang dikatakan Jackie. Dan kelihatannya itu memang perbuatannya. Soalnya, Jackie bisa jadi jahat sekali, kalau kita menentangnya. Saya tahu bahwa saya sedang dalam kesulitan. Dia tidak mau bicara banyak pada saya. Dia hanya memaki-maki kalau saya bertanya padanya. Tapi hari itu dia pergi dan berkata bahwa urusannya akan beres. Katanya ibunya pasti mau membantu. Dia harus mau. Jadi saya tentu percaya padanya." "Saya dengar, dia tak pernah mengatakan pada keluarganya tentang pernikahannya dengan Anda. Apakah Anda pernah bertemu dengan mereka?" "Belum. Soalnya mereka orang-orang terkemuka, punya rumah besar segala. Saya tidak akan pernah bisa menyesuaikan diri. Jackie merasa lebih baik kalau saya disembunyikan saja. Apalagi, katanya kalau saya dibawa ke sana, ibunya pasti akan mengatur hidup saya maupun hidupnya. Katanya, ibunya punya pembawaan suka mengatur orang, dan dia sudah muak. Keadaan kami sudah cukup baik, katanya." Wanita itu tidak membayangkan rasa benci, bahkan agaknya menganggap tindakan suaminya wajar sekali. "Saya rasa Anda terkejut sekali waktu dia ditangkap, ya?" "Yah, tentu. Apakah dia bisa melakukan hal semacam itu" tanya saya sendiri. Tapi, yah, kita tak bisa mengelak dari kenyataan-kenyataan. Dia selalu mengamuk kalau ada sesuatu yang merisaukannya." Calgary membungkukkan tubuhnya. "Jadi, rupanya begitu persoalannya. Agaknya Anda sama sekali tidak heran, suami Anda memukul kepala ibunya dengan sebatang besi pengorek, dan mencuri sejumlah besar uang darinya?" "Yah, Mr.... eh... Calgary, maafkan saya, itu kedengarannya kasar sekali. Saya rasa dia tidak bermaksud memukul ibunya kuat-kuat. Saya rasa dia tak bermaksud membunuh ibunya. Ibunya tak mau memberinya uang, Jackie menangkap besi itu, lalu mengancamnya. Waktu ibunya menahannya, dia naik pitam, lalu menghantamnya. Saya rasa dia tidak bermaksud membunuhnya. Itulah nasib buruknya. Soalnya dia sangat membutuhkan uang itu. Dia bisa masuk penjara kalau dia tak punya uang itu." "Jadi, Anda tidak menyalahkannya?" "Yah, tentu saja saya menyalahkannya. Saya tidak suka perbuatan jahat yang kasar itu. Apalagi itu ibu sendiri! Tidak, saya rasa itu sama sekali bukan perbuatan yang baik. Saya mulai berpikir bahwa Joe benar waktu mengatakan supaya saya tidak berhubungan dengan Jackie. Tapi... yah, begitulah. Sulit sekali bagi seorang gadis untuk mengambil keputusan. Joe orang yang bisa diandalkan. Saya sudah lama kenal dengannya. Jackie lain. Dia pernah mendapatkan pendidikan dan sebagainya. Kelihatannya dia kaya raya, selalu menghambur-hamburkan uangnya. Apalagi, seperti sudah saya katakan, dia pandai mengambil hati orang. Dia bisa menarik hati siapa saja. Dan dia juga merayu saya. 'Kau akan menyesal, Sayang,' kata Joe. Saya pikir dia hanya iri dan tak suka dengan kesenangan orang saja. Tapi akhirnya Joe benar." Calgary memandanginya. Ia ingin tahu, apakah wanita itu masih saja tak mengerti maksud ceritanya. "Benar dalam hal apa?" tanyanya. "Yah, karena Jackie telah mengacaukan hidup saya. Maksud saya, kami orang-orang yang cukup terhormat. Ibu saya membesarkan kami dengan baik. Kami selalu baikbaik saja, dan tak pernah jadi bahan gunjingan orang. Tiba-tiba suami saya ditangkap polisi! Dan semua tetangga tahu. Semuanya diberitakan di surat-surat kabar. Juga menjadi berita dunia. Banyak sekali wartawan datang dan bertanya macam-macam. Semuanya itu sangat memperburuk kedudukan saya." "Tapi, anak yang baik," kata Arthur Calgary, "sekarang Anda kan tahu bahwa dia tidak melakukannya?" Sesaat wajah putih yang cantik itu kelihatan bingung. "Tentu. Saya lupa itu. Meskipun demikian... yah, maksud saya, dia memang pergi ke sana dan mengamuk, dan mengancam pula. Bila dia tidak melakukan semuanya itu, dia pasti tidak akan ditangkap, bukan?" "Tidak," kata Calgary, "tidak, itu memang benar." Mungkin anak cantik yang bodoh ini ternyata lebih realis daripadaku sendiri, pikir Calgary. "Oh, mengerikan sekali," lanjut Maureen. "Saya tak tahu apa yang harus saya perbuat waktu itu. Lalu kata ibu saya, sebaiknya saya segera pergi menemui keluarganya. Mereka harus melakukan sesuatu untuk saya, kata Ibu. 'Bagaimanapun juga kau punya hak, dan sebaiknya perlihatkan pada mereka bahwa kau ingin membela hakmu itu.' Maka saya pun pergi. Wanita asing itu yang membukakan pintu untuk saya. Mula-mula sulit saya meyakinkannya. Agaknya dia tak bisa mengerti. 'Tak mungkin!' katanya berulang kali. 'Tak mungkin Jacko menikah dengan Anda!' Saya agak tersinggung. 'Kami menikah dengan sah,' kata saya. 'Bukan di kantor catatan sipil, melainkan di gereja. Itu kemauan ibu saya!' Lalu katanya, 'Itu tidak benar. Aku tak percaya.' Lalu Mr. Argyle datang, dan dia baik sekali. Katanya saya tak perlu susah lagi, dan dia akan melakukan segala-galanya untuk membela Jackie. Ditanyakannya bagaimana keadaan keuangan saya, lalu setiap minggu saya dikiriminya tunjangan. Dan itu masih dilakukannya sampai sekarang. Joe tak suka saya menerimanya, tapi saya katakan padanya, 'Jangan bodoh. Mereka mampu berbuat begitu, bukan"' Waktu saya menikah dengan Joe, dia bahkan mengirim cek. Dikatakannya bahwa dia senang sekali, dan dia berharap agar pernikahan ini akan lebih berbahagia daripada yang terdahulu. Ya, Mr. Argyle itu memang baik sekali." Ia menoleh waktu pintu terbuka. "Oh, ini Joe." Joe seorang anak muda berbibir tipis dan berambut pirang. Ia menyambut penjelasan dan perkenalan Maureen dengan dahi berkerut. "Saya berharap urusan itu sudah selesai," katanya dengan nada tak senang. "Maafkan saya berkata begitu, Sir. Tapi tak ada gunanya mengorek masa lalu. Begitulah perasaan saya. Maureen tak beruntung. Hanya itu yang bisa kita katakan." "Ya," kata Calgary. "Saya mengerti betul pandangan Anda." "Memang," kata Joe Clegg, "seharusnya Maureen sejak semula tidak bergaul dengan anak muda seperti itu. Saya sudah tahu bahwa dia tidak beres. Sudah banyak cerita tentang dia. Dua kali dia pernah dijatuhi hukuman percobaan. Sekali orang mulai begitu, mereka biasanya terus begitu. Mula-mula menggelapkan uang, lalu menipu wanita supaya mengeluarkan uang tabungannya, dan akhirnya membunuh." "Tapi ini bukan pembunuhan," kata Calgary. "Itu kata Anda, Sir," kata Joe Clegg. Kedengarannya ia sama sekali tak yakin. "Jack Argyle punya alibi yang sempurna untuk waktu, saat pembunuhan itu terjadi. Dia berada dalam mobil saya. Saya memberi tumpangan untuk pergi ke Drymouth. Jadi Anda lihat, Mr. Clegg, tak mungkin dia yang melakukan kejahatan itu." "Mungkin tidak, Sir," kata Clegg. "Tapi bagaimanapun juga, sia-sia saja mengoreknya kembali, maafkan kata-kata saya. Soalnya dia sudah meninggal, dan tidak akan ada lagi pengaruhnya terhadapnya. Para tetangga pun mulai berceloteh lagi, dan mulai menduga macam-macam." Calgary bangkit. "Yah, mungkin dari segi pandangan Anda, begitulah Anda meninjaunya. Tapi ketahuilah, Mr. Clegg, masih ada yang disebut keadilan." "Selama ini saya menyangka sidang-sidang perkara di Inggris ini yang paling adil." "Sistem yang terbaik sekalipun di dunia ini bisa membuat kesalahan," kata Calgary. "Soalnya, bagaimanapun juga keadilan ada di tangan manusia, dan manusia bisa membuat kesalahan." Setelah meninggalkan mereka dan berjalan di jalan, Calgary merasa pikirannya lebih terganggu daripada sebelumnya. Tidakkah sebenarnya akan lebih baik bila ingatanku tentang hari itu tidak kembali" pikirnya. Bagaimanapun juga, seperti kata anak muda berbibir tipis yang begitu percaya diri itu, Jacko sudah meninggal. Ia telah pergi menghadap hakim yang tak pernah membuat kesalahan. Apakah ia akan dikenang sebagai pembunuh atau hanya sebagai pencuri biasa, sudah tidak akan berbeda lagi baginya. Lalu tiba-tiba ia dilanda rasa marah. "Tapi hal itu harus ada bedanya bagi seseorang!" pikirnya. "Seharusnya ada seseorang yang merasa senang. Mengapa mereka semua tak senang" Wanita muda ini, yah, aku mengerti betul. Mungkin dia pernah tergila-gila pada Jacko, tapi tak pernah mencintainya. Bahkan mungkin dia tak bisa mencintai siapa-siapa. Tapi yang lain-lain itu. Ayahnya. Adik perempuan itu, perawatnya... mereka semua seharusnya senang. Mereka seharusnya punya perasaan terhadapnya, sebelum mereka ketakutan untuk diri mereka sendiri. Ya, seharusnya ada seseorang yang memikirkannya." II "Miss Argyle" Di meja yang kedua di sana itu." Calgary berdiri saja beberapa saat, memperhatikannya. Gadis itu rapi, bertubuh kecil, sangat tenang dan tampak efisien. Ia mengenakan gaun berwarna biru tua, dengan kerah dan manset putih. Rambutnya yang berwarna hitam pekat tergelung rapi di tengkuknya. Kulitnya gelap, lebih gelap daripada warna kulit orang Inggris umumnya. Tulang-tulangnya pun lebih kecil. Inilah anak blasteran yang telah diambil Mrs. Argyle menjadi anak dalam keluarganya. Mata yang terangkat itu, membalas pandangan Calgary, juga berwarna gelap dan polos sekali. Mata itu tidak berkata apa-apa. Suaranya rendah dan simpatik. "Apa yang bisa saya bantu?" "Apakah Anda Miss Argyle" Miss Christina Argyle?" "Ya." "Nama saya Calgary, Arthur Calgary. Mungkin Anda sudah mendengar..." "Ya, saya sudah mendengar tentang Anda. Ayah saya sudah menulis surat." "Saya ingin sekali berbicara dengan Anda." Gadis itu mendongak melihat jam. "Perpustakaan ini tutup setengah jam lagi. Apakah Anda bisa menunggu sampai waktu itu?" "Tentu. Maukah Anda ikut minum teh dengan saya di suatu tempat?" "Ya, terima kasih." Lalu ia mengalihkan perhatiannya pada seorang pria yang datang di belakang Calgary. "Ya" Ada yang bisa saya bantu?" Arthur Calgary menjauh. Ia berjalan berkeliling saja, memeriksa isi rak-rak buku, sambil terus mengawasi Tina Argyle. Gadis itu tetap saja seperti semula, tenang, cekatan, dan tidak terganggu. Setengah jam dirasakannya lama berlalu, tapi akhirnya lonceng berbunyi, dan gadis itu mengangguk padanya. "Akan saya jumpai Anda dalam waktu beberapa menit." Ia tidak membiarkan Calgary menunggu lama. Ia tidak memakai topi, hanya sehelai mantel tebal berwarna gelap. Calgary bertanya ke mana mereka sebaiknya. "Saya tidak begitu tahu tentang Redmyn," jelasnya. "Di dekat Katedral ada sebuah kedai minum teh. Tempatnya tidak begitu bagus, tapi justru karena itulah, tempat itu tidak sepenuh tempat-tempat lain." Tak lama kemudian, mereka duduk di sebuah meja kecil. Seorang pelayan wanita yang kelihatan malas dan bosan menanyakan pesanan mereka tanpa semangat sama sekali. "Teh di sini tidak begitu enak," kata Tina dengan rasa bersalah. "Tapi saya pikir mungkin Anda ingin supaya kita tak terganggu." "Memang begitu. Saya harus menjelaskan mengapa saya mendatangi Anda. Begini. Saya telah mendatangi anggota-anggota keluarga Anda yang lain, termasuk - izinkan saya mengatakannya - istri, eh, janda kakak Anda, Jacko. Andalah satu-satunya anggota keluarga yang belum saya temui. O, ya, masih ada seorang lagi, kakak Anda yang sudah menikah." "Anda merasa perlu menemui kami semua?" Kata-kata itu diucapkan dengan cukup sopan, tapi dalam suaranya terdengar semacam jarak, yang membuat Calgary merasa agak serba salah. "Ya, bukan sekadar suatu kebutuhan sosial," jelasnya dengan nada datar. "Dan tidak pula sekadar ingin tahu." (Benarkah itu") "Saya hanya ingin menyatakan secara pribadi pada Anda sekalian, penyesalan saya yang sedalam-dalamnya, karena saya telah gagal memberikan kesaksian akan kebenaran kakak Anda pada saat sidang itu." "Oh, begitu." "Sekiranya Anda sayang padanya... Sayangkah Anda padanya?" Gadis itu merenung sebentar, lalu berkata, "Tidak. Saya tidak sayang pada Jacko." "Tapi saya dengar dari semua pihak bahwa dia... punya daya tarik yang besar." Dengan jelas, meskipun tanpa gairah, ia berkata, "Saya tak percaya dan tak suka padanya." "Jadi Anda tak pernah - maafkan saya - punya perasaan ragu-ragu sedikit pun bahwa dia yang membunuh ibu Anda?" "Tak pernah terlintas di pikiran saya bahwa ada penyelesaian lain." Pelayan mengantarkan teh mereka. Rotinya sudah lama, selainya aneh, seperti agar-agar, sedangkan cake-nya mengilat dan tidak mengundang selera. Tehnya pucat. Mata Rantai Yang Hilang Ordeal By Innocence Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Calgary menghirup tehnya, lalu berkata, "Agaknya orang-orang memberikan keyakinan pada saya bahwa informasi yang saya bawa ini, yang sebenarnya membebaskan kakak Anda dari tuduhan membunuh itu, akan menimbulkan akibat yang tidak begitu menyenangkan. Bahwa itu akan membawa... kesulitan-kesulitan baru bagi Anda semua." "Karena perkaranya akan dibuka kembali?" "Ya. Apakah Anda sudah memikirkannya juga?" "Menurut ayah saya, agaknya itu sudah pasti." "Saya menyesal. Benar-benar menyesal." "Mengapa Anda menyesal, Dr. Calgary?" "Saya tak suka menjadi penyebab pembawa kesusahan baru bagi Anda." "Tapi apakah Anda merasa senang kalau Anda diam saja?" "Soal keadilankah yang Anda pikirkan?" "Ya. Bukankah itu yang Anda pikirkan?" "Tentu. Bagi saya keadilan itu penting sekali. Sekarang saya jadi ingin tahu, apakah ada hal-hal yang lebih penting daripada itu." "Seperti?" Pikiran Calgary melayang pada Hester. "Seperti - yang tak bersalah, mungkin." Mata gadis itu makin polos. "Apa yang Anda rasakan, Miss Argyle?" Beberapa saat lamanya gadis itu diam saja, kemudian ia baru berkata, "Saya ingat kata-kata dalam Magna Carta. Tak ada orang yang akan dibiarkan tidak mengecap keadilan." "Oh, begitu," kata Calgary. "Jadi itu jawaban Anda." BAB VII DR. MACMASTER seorang pria tua beralis tebal, bermata tajam, dan dagunya menjorok ke depan. Ia bersandar ke kursinya yang usang, dan mengamati tamunya. Ia merasa menyenangi orang yang diperhatikannya itu. Di pihak Calgary juga ada perasaan menyukai. Boleh dikatakan untuk pertama kalinya sejak kembali ke Inggris, ia merasa sedang berbicara dengan seseorang yang menghargai perasaan-perasaan dan pandangannya. "Anda telah berbaik hati mau menerima saya, Dr. MacMaster," katanya. "Tak apa-apa," kata dokter itu. "Saya bosan setengah mati sejak saya pensiun. Orang-orang muda dalam profesi saya menyuruh saya duduk saja di sini seperti boneka, untuk menjaga jantung saya. Tapi jangan dikira itu wajar bagi saya. Sama sekali tidak. Saya mendengarkan radio, tapi saya kebisingan, lalu kadang-kadang pengurus rumah tangga menganjurkan supaya saya nonton televisi, tapi... ah, silau. Saya orang sibuk. Sepanjang hidup saya harus bekerja dan tak suka duduk diam. Membaca meletihkan mata saya. Jadi tak usah meminta maaf karena meminta waktu saya." "Yang pertama-tama saya ingin Anda mengerti adalah mengapa saya masih berdaya upaya dalam semua ini," kata Calgary. "Saya rasa, secara logis saya sudah harus puas karena sudah mengerjakan apa yang harus saya lakukan - yaitu menceritakan tentang gegar otak saya dan keadaan kehilangan kesadaran saya yang menjengkelkan itu. Dan saya telah membuktikan bahwa anak itu tak bersalah. Setelah itu, satusatunya hal yang paling bijak dan wajar yang seharusnya saya lakukan adalah pergi dan mencoba melupakan semuanya. Benar begitu, bukan?" "Tergantung," kata Dr. MacMaster. "Adakah sesuatu yang menyusahkan Anda?" tanyanya dalam keadaan hening yang menyusul. "Ada," sahut Calgary. "Semuanya menyusahkan saya. Soalnya, berita yang saya sampaikan tidak diterima sebagaimana yang saya harapkan." "Oh, begitu," kata Dr. MacMaster. "Itu tidak aneh. Itu terjadi setiap hari. Kita menyiapkan sesuatu dalam pikiran kita sebelumnya, apa saja, entah itu konsultasi dengan seorang dokter lain, lamaran menikah dengan seorang gadis, atau berbicara dengan seorang teman sebelum masuk ke sekolah kembali. Tahu-tahu pada saatnya, tak pernah terjadi seperti yang kita duga. Padahal kita sudah memikirkannya, semua yang akan kita katakan, dan biasanya sudah pula kita karang apa-apa jawabannya nanti. Nah, itulah yang setiap kali mengecewakan kita. Jawabannya ternyata tak pernah seperti yang kita duga. Saya rasa itu yang merisaukan Anda, ya?" "Ya," kata Calgary. "Apa yang Anda harapkan" Anda mengharapkan mereka semua menyambut Anda dengan senang hati?" "Saya mengharapkan..." - ia berpikir sebentar - "tudingan" Mungkin. Rasa benci" Barangkali. Tapi juga rasa terima kasih." MacMaster menggeram. "Ternyata tak ada rasa terima kasih itu, dan tidak pula ada rasa benci seperti yang Anda duga?" "Ya, begitulah," Calgary mengakui. "Itu karena Anda tak tahu keadaannya sebelum Anda berada di sana. Mengapa sebenarnya Anda mendatangi saya?" Lambat-lambat Calgary berkata, "Karena saya ingin mengerti lebih banyak tentang keluarga itu. Saya hanya ingin tahu kenyataan-kenyataan yang diketahui pula oleh umum. Almarhumah seorang wanita yang sangat baik dan tidak memikirkan diri sendiri, yang melakukan yang terbaik bagi anak-anak angkatnya. Seorang wanita berjiwa kemanusiaan dan berwatak baik. Dan sebaliknya, ada seorang anak yang biasa disebut anak yang sulit - seorang anak yang salah jalan. Anak muda berandal. Hanya itu yang saya ketahui. Saya tak tahu apa-apa lagi. Saya tak tahu apa-apa tentang Mrs. Argyle sendiri." "Anda benar sekali," kata MacMaster. "Anda telah menyinggung soal yang ada artinya. Tahukah Anda, bila kita pikirkan, itulah yang selalu merupakan bagian menarik dari setiap pembunuhan. Bagaimana sebenarnya orang yang terbunuh itu. Semua orang selalu sibuk menanyakan bagaimana pikiran si pembunuh. Mungkin Anda berpikiran bahwa Mrs. Argyle seorang wanita yang seharusnya tak boleh dibunuh." "Saya rasa semua orang berpikiran begitu." "Secara etis, Anda benar sekali," kata MacMaster. "Tapi tahukah Anda?" Ia menggosok-gosok hidungnya. "Orang Cina berpendapat bahwa jasa-jasa baik harus dianggap dosa, bukan suatu kebaikan. Pendapat itu ada benarnya. Jasa baik banyak akibatnya bagi orang. Bila kita berbuat baik terhadap seseorang, kita jadi merasa baik hati terhadapnya. Kita menyukainya. Tapi orang yang telah menerima jasa baik itu, apakah dia merasa senang pula pada kita" Apakah dia benar-benar suka pada kita" Seharusnya dia tentu begitu. Tapi, apakah begitu pula yang dirasakannya" "Yah," kata dokter itu lagi, setelah berhenti sebentar. "Begitulah keadaannya. Mrs. Argyle boleh disebut ibu yang hebat. Tapi dia melakukan kebaikan itu dengan berlebihan. Itu sudah pasti. Apakah itu memang keinginannya, atau dia benarbenar mencoba berbuat begitu?" "Mereka semua bukan anak-anak kandungnya, bukan?" Calgary mengingatkan. "Bukan," kata MacMaster. "Saya rasa justru karena itulah timbul kesulitan. Kita lihat saja seekor induk kucing yang biasa. Dia melahirkan, melindungi anakanaknya dengan hebat sekali, dan akan dicakarnya setiap orang yang mendekati anak-anak itu. Tapi kira-kira seminggu kemudian, dia mulai menjalani hidup seperti biasa lagi. Dia pergi, berburu sedikit, tidak lagi terus-menerus berada di dekat anak-anaknya. Dia masih tetap melindunginya bila ada yang menyerang anak-anak itu, tapi dia tidak lagi menjaga mereka mati-matian sepanjang waktu. Dia akan bermain sedikit dengan mereka. Kalau mereka agak terlalu kasar, dia berbalik pada mereka dan memukul mereka, dan mengatakan bahwa dia tak mau diganggu terlalu banyak. Pokoknya, dia kembali pada alam. Dan dengan tumbuhnya anak-anak itu, makin lama makin kurang dia mengurus mereka. Pikirannya makin lama makin tertuju lagi pada si jantan tampan di sekitar tempat itu. Itulah yang bisa kita sebut pola yang wajar dalam kehidupan seekor betina. Saya banyak melihat gadis-gadis dan wanita-wanita yang memiliki naluri keibuan yang kuat, yang ingin sekali menikah hanya karena dorongan untuk menjadi ibu, meskipun mungkin mereka tak menyadarinya. Lalu mereka melahirkan, mereka berbahagia dan merasa puas. Maka kehidupan pun kembali pada keadaan semula bagi mereka. Mereka bisa memberikan perhatian pada suami mereka, kejadian-kejadian setempat, dan gunjingan-gunjingan yang sedang beredar, dan tentu juga anak-anak mereka. Tapi semuanya berjalan dengan seimbang. Pokoknya, naluri keibuannya dalam pengertian fisik sudah terpuaskan. "Nah, pada Mrs. Argyle, naluri keibuan itu kuat sekali, tapi kepuasan fisik untuk melahirkan seorang anak atau anak-anak tak pernah didapatnya. Jadi obsesi keibuannya tak pernah benar-benar berkurang. Dia ingin anak, banyak anak. Dia tak pernah merasa bosan dengan anak-anak. Seluruh pikirannya untuk anak-anak itu, siang dan malam. Suaminya tidak berarti lagi. Pria itu tinggal di belakang saja. Ya, segala-galanya untuk anak-anak. Memberi mereka makan, pakaian, bermain dengan mereka, segala sesuatu yang berhubungan dengan mereka. Terlalu banyak yang dilakukannya untuk mereka. Satu-satunya yang tidak diberikannya pada mereka adalah sedikit mengabaikan mereka, yang sebenarnya sangat mereka butuhkan dan justru akan baik bagi mereka. Mereka tidak dibiarkan keluar kebun dan bermain seperti anak-anak biasa di desa. Tidak, mereka diberi segala macam peralatan, alat memanjat tiruan, batu-batu loncatan, rumah-rumah yang dibangun di pohon, khusus dibelikan pasir dan dibuatkan pantai tiruan di tepi sungai. Makanan mereka bukan makanan biasa. Sayur mereka pun harus disaring sampai mereka berumur lima tahun. Susu mereka harus disterilkan, dan airnya dites. Kalori makanannya harus ditimbang dan vitaminnya diperhitungkan! Ingat, saya berbicara ini tidak sebagai orang awam. Mrs. Argyle sendiri tak pernah menjadi pasien saya. Bila dia memerlukan dokter, dia pergi ke salah seorang dokter di Harley Street Meskipun dia tak perlu sering pergi. Dia bertubuh tegap dan sehat. "Tapi saya dokter setempat yang dipanggil untuk memeriksa anak-anaknya. Menurut dia, saya agak meremehkan kesehatan anak-anak itu. Soalnya saya katakan padanya supaya membiarkan mereka makan sedikit buah liar blackberry yang tumbuh di pagar-pagar. Saya katakan, mereka tidak akan sakit bila kaki mereka dibiarkan basah sedikit, dan kita boleh saja membiarkan mereka masuk angin sedikit. Dan tidaklah berbahaya benar bila seorang anak demam dengan suhu badan 37,2 derajat. Bahwa kita tak perlu khawatir sebelum suhunya melebihi 38,3 derajat. Anak-anak itu terlalu dimanjakan, disuapi, diurus, dan disayangi, padahal dalam banyak hal, itu tak baik bagi mereka." "Maksud Anda, itu tak baik bagi Jacko?" kata Calgary. "Oh, saya tidak hanya mengingat Jacko. Menurut saya, Jacko itu sudah ada kelainan sejak kecil. Dengan istilah modern, anak seperti itu disebut 'anak yang kacau'. Keluarga Argyle berusaha dengan segenap tenaga untuknya, mereka melakukan segala-galanya yang bisa dilakukan. Selama hidup, saya sudah banyak melihat anak-anak seperti Jacko itu. Di kemudian hari, setelah anak itu tak tertolong lagi, orangtuanya akan berkata, 'Alangkah baiknya kalau aku lebih keras terhadapnya waktu dia masih kecil,' atau sebaliknya mereka berkata, 'Aku terlalu keras terhadapnya, alangkah baiknya kalau aku lebih baik padanya dulu.' Menurut saya, semua itu tak ada gunanya. Ada anak-anak yang menjadi jahat karena keluarga mereka tidak beres, dan pada dasarnya mereka tidak merasa disayangi. Ada pula yang menjadi jahat karena memang dengan tekanan sedikit saja mereka sudah menjadi jahat. Saya menggolongkan Jacko pada golongan yang kedua itu." "Jadi Anda tidak terkejut," kata Calgary, "waktu dia ditangkap karena membunuh?" "Terus terang saya terkejut. Bukan karena pembunuhan itu tak mungkin dilakukan Jacko. Dia anak muda yang tak punya hati nurani. Tapi caranya melakukan pembunuhan itu yang mengejutkan saya. Oh, saya tahu bahwa dia penaik darah dan sebagainya. Waktu masih kecil, dia sering menyerang anak-anak lain, atau memukulnya dengan mainannya yang berat atau dengan sepotong kayu. Tapi itu biasanya dilakukannya terhadap anak-anak yang lebih kecil, dan biasanya itu bukan karena kemarahan yang luar biasa, melainkan sekadar ingin menyakiti atau mau mendapatkan apa yang diinginkannya. Pembunuhan yang dilakukan Jacko, yang lebih masuk akal saya, bila itu memang dilakukannya, adalah cara yang lebih pengecut. Umpamanya, beberapa anak mengadakan pengeroyokan, lalu polisi datang, dan anak-anak seperti Jacko berkata, 'Hantam kepalanya, Bung. Biar dia rasakan. Tembak dia.' Mereka menyukai pembunuhan, siap menghasut orang untuk membunuh, tapi mereka tak punya keberanian untuk membunuh dengan tangan mereka sendiri. Menurut saya, cara yang pertama itu lebih masuk akal dilakukan Jacko. Sekarang ternyata dugaan saya memang benar," lanjut dokter itu. Calgary menunduk, menatap alas lantai, sehelai karpet yang sudah usang, yang polanya hampir tak kelihatan lagi. "Saya tak tahu," katanya, "apa yang sedang saya hadapi. Saya tak menyadari akan berarti apa tindakan saya itu bagi yang lain. Saya tak tahu bahwa itu mungkin bahkan pasti..." Dokter itu mengangguk dengan halus. "Ya," katanya. "Kelihatannya begitu, ya" Kelihatannya Anda telah meluruskan keadaan di tengah-tengah mereka." "Saya rasa," kata Calgary, "untuk membicarakan itulah sebenarnya saya mengunjungi Anda. Kelihatannya tak ada motif yang jelas pada salah seorang di antara mereka untuk membunuhnya." "Kelihatannya memang tak ada," dokter itu membenarkan. "Tapi kalau Anda melihat ke balik yang nyata itu... oh, saya rasa Anda akan melihat banyak alasan mengapa seseorang mungkin ingin membunuhnya." "Mengapa?" tanya Calgary. "Anda benar-benar merasa itu urusan Anda, bukan?" "Saya rasa begitu. Mau tak mau, saya merasa begitu." "Kalau saya jadi Anda, mungkin saya akan merasa begitu pula. Entahlah. Tapi yang ingin saya katakan pada Anda adalah bahwa mereka semua tak punya kepribadian sendiri-sendiri, selama ibu mereka - untuk mudahnya saya sebut saja dia begitu masih hidup. Sampai dewasa pun dia masih mengendalikan hidup mereka semua." "Dalam hal apa?" "Dalam hal keuangan misalnya, dia masih memberi mereka uang. Dalam jumlah besar. Mereka diberi tunjangan. Uang itu dibagikan pada mereka dengan perimbangan yang baik menurut para anggota trust. Meskipun Mrs. Argyle sendiri bukan anggota trust itu, namun semua keinginannya dilaksanakan selama dia masih hidup." Orang tua itu berhenti sebentar, lalu berkata lagi, "Sebenarnya menarik juga melihat bagaimana semuanya mencoba membebaskan diri. Bagaimana mereka berjuang untuk menentang pola yang telah diaturnya untuk mereka. Wanita itu memang sudah mengatur suatu pola, pola yang bagus sekali. Dia ingin memberi mereka rumah yang baik, pendidikan yang baik, tunjangan yang besar, dan suatu awal yang baik dalam suatu pekerjaan yang dipilihkannya pula untuk mereka. Dia ingin memperlakukan mereka seolah-olah mereka anak-anak kandungnya dan Leo Argyle sendiri. Padahal anak-anak itu punya naluri sendiri, perasaan sendiri, kemampuan otak dan tuntutan-tuntutan yang sangat berlainan. Si Micky sekarang bekerja sebagai petugas penjualan mobil. Hester boleh dikatakan lari dari rumah untuk naik pentas. Dia jatuh cinta pada seseorang yang sama sekali tak berarti, dan dia ternyata sama sekali bukan seorang aktris yang baik. Dia terpaksa pulang kembali. Dan dia terpaksa mengakui - padahal dia tak suka mengaku bahwa ibunya benar. Mary Durrant bersikeras menikah dalam perang, dengan seorang pria yang tak berkenan di hati ibunya. Dia seorang pria muda pemberani dan cerdas, tapi buta dalam bidang bisnis. Lalu dia terserang penyakit polio. Dalam rangka pemulihannya, dia dibawa ke Sunny Point. Mrs. Argyle mendesak agar mereka menetap di sana. Si suami mau saja. Tapi Mary Durrant tetap menolak mati-matian. Dia ingin memiliki sendiri rumah dan suaminya. Tapi dia pasti akan menyerah juga, seandainya ibunya tidak meninggal. "Micky, anak laki-laki yang seorang lagi, adalah pemuda yang cepat tersinggung. Dia menjadi orang yang getir dan penuh kebencian karena merasa telah disiasiakan ibu kandungnya. Waktu masih anak-anak pun dia sudah membenci keadaan itu, dan hal itu tak pernah teratasinya sampai sekarang. Saya rasa dalam hatinya dia selalu membenci ibu angkatnya. "Lalu ada wanita pemijat yang dari Swedia itu. Dia tak suka pada Mrs. Argyle. Dia sayang sekali pada anak-anak, dan suka sekali pada Leo. Dia menerima banyak pemberian dari Mrs. Argyle, dan mungkin mencoba untuk berterima kasih, tapi tak berhasil. Tapi saya rasa tak mungkin perasaan-perasaan tak sukanya itu sampai menyebabkannya menghantam kepala orang yang telah berbuat baik padanya dengan sebatang besi pengorek. Lagi pula, bukankah dia bisa saja pergi setiap saat" Mengenai Leo Argyle..." "Ya. Bagaimana dengan dia?" "Dia akan menikah lagi," kata Dr. MacMaster, "dan dia beruntung. Wanita muda itu baik sekali. Dia berhati hangat, baik, teman bicara yang menyenangkan, dan sangat mencintainya. Sudah lama. Bagaimana perasaan gadis itu terhadap Mrs. Argyle" Mungkin Anda bisa menebaknya sendiri. Kematian Mrs. Argyle tentu akan mempermudah persoalan. Leo Argyle bukan seorang pria yang mau pacaran dengan sekretarisnya di bawah satu atap dengan istrinya. Dan saya rasa dia juga tidak akan mau meninggalkan istrinya." Lambat-lambat Calgary berkata, "Saya sudah bertemu dengan mereka berdua, dan sudah bercakap-cakap dengan mereka. Saya rasa tak mungkin salah seorang di antara mereka..." "Saya tahu," kata MacMaster. "Memang tak masuk akal kita, ya" Tapi bagaimanapun juga, salah seorang di rumah itu yang melakukannya." "Anda yakin itu?" "Saya tak tahu apa lagi yang harus kita duga. Polisi boleh dikatakan sudah yakin bahwa itu bukan perbuatan orang luar, dan mungkin polisi benar." Mata Rantai Yang Hilang Ordeal By Innocence Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Tapi yang mana?" kata Calgary. MacMaster mengangkat bahu. "Pokoknya kita tak tahu." "Anda sendiri tak tahu, meskipun Anda kenal baik dengan mereka?" "Kalaupun saya tahu, tidak akan saya beritahukan pada Anda," kata MacMaster. "Soalnya, apa untungnya bagi Anda" Kecuali kalau ada faktor yang luput dari penglihatan saya, rasanya tak seorang pun di antara mereka pembunuhnya. Sebaliknya, tak ada pula di antara mereka yang bisa saya kecualikan. Pokoknya," lanjutnya lambat-lambat, "menurut saya, kita tak akan pernah tahu. Polisi pasti akan menanyai orang-orang. Mereka berusaha, tapi untuk mendapatkan bukti setelah sekian lama, dan atas dasar yang begitu lemah..." Ia menggeleng. "Tidak, saya rasa kebenaran tentang hal itu tidak akan pernah diketahui. Anda bukannya tak tahu adanya beberapa perkara yang seperti itu. Kita sering membaca berita-berita begitu. Sejak lima puluh atau seratus tahun yang lalu, selalu ada saja perkaraperkara yang pelakunya seorang dari tiga atau empat atau lima orang, tapi tak cukup bukti. Dan tak seorang pun pernah bisa mengatakannya." "Apakah menurut Anda begitu pula yang akan terjadi dalam hal ini?" "Ya. Ah," kata MacMaster, "ya, begitulah." Ia menatap Calgary dengan pandangan tajam. "Dan itulah yang mengerikan, bukan?" katanya. "Mengerikan," kata Calgary, "untuk yang tak bersalah. Itulah yang dikatakannya pada saya." "Siapa" Siapa mengatakan apa pada Anda?" "Gadis itu - Hester. Katanya, saya tak mengerti bahwa yang tak bersalahlah yang harus dipikirkan. Sama seperti kata Anda. Bahwa kita takkan pernah tahu..." "...siapa yang tak bersalah?" Dokter menyelesaikan kalimat Calgary. "Ya, alangkah baiknya bila kita tahu kebenarannya. Meskipun tidak sampai terjadi penangkapan atau sidang atau keputusan hukuman. Asal kita tahu saja. Karena kalau begitu..." Ia diam. "Ya?" tanya Calgary. "Selesaikan sendirilah," kata Dr. MacMaster. "Tidak, saya tak perlu mengatakannya. Anda sendiri sudah tahu." Ia berkata lagi, "Saya jadi teringat. Anda tentu tahu perkara Bravo itu - sudah hampir seratus tahun yang lalu. Tapi orang masih menulis tentang perkara itu. Kasus itu jelas sekali. Si istri yang menjadi terdakwa sebagai pelakunya, lalu diduga Mrs. Cox yang melakukannya, atau Dr. Gully - atau bahkan dikatakan bahwa Charles Bravo telah minum racun, meskipun hasil pemeriksaan mayat tidak mengatakan begitu. Semua teori itu bisa diterima, tapi sampai sekarang tak seorang pun pernah tahu yang sebenarnya. Maka Florence Bravo, yang telah dikucilkan keluarganya, meninggal seorang diri gara-gara terlalu banyak minum minuman keras, dan Mrs. Cox yang diasingkan bersama tiga anaknya yang masih kecil-kecil, sampai hari tuanya masih hidup dengan dugaan sebagai pembunuh oleh orang-orang yang dikenalnya. Sedangkan Dr. Gully, profesi maupun namanya hancur dalam pergaulan. "Ada orang yang bersalah - dan berhasil lolos. Sedangkan yang lain-lain, yang tak bersalah - tak bisa lolos, dan harus menderita." "Itu tak boleh terjadi dalam hal ini," kata Calgary. "Tak boleh!" BAB VIII HESTER ARGYLE sedang memandangi dirinya di cermin. Ia tidak merasa dirinya cantik. Pandangannya lebih banyak mengandung pertanyaan yang dilatarbelakangi rasa rendah diri seseorang yang tak pernah merasa yakin benar akan dirinya. Ditariknya rambutnya dari dahi, ditariknya ke suatu sisi, lalu ia mengerutkan dahi melihat hasilnya. Lalu waktu suatu wajah lain muncul di belakangnya di cermin, ia terkejut, tersentak, lalu berputar ngeri. "Aduh," kata Kirsten Lindstrom, "kau ketakutan!" "Apa maksudmu ketakutan, Kirsty?" "Kau takut padaku. Kaukira aku diam-diam datang dari belakangmu, dan mungkin aku akan menyerangmu." "Aduh, Kirsty, jangan begitu bodoh. Aku sama sekali tak punya pikiran seperti itu." "Pasti ada," Kata Kirsten. "Dan kau tak salah berpikiran begitu. Melihat bayangan-bayangan, tersentak bila melihat sesuatu yang tidak begitu kaumengerti. Karena dalam rumah ini memang ada sesuatu yang harus ditakuti. Sekarang kita tahu itu." "Bagaimanapun juga, Kirsty sayang," kata Hester, "aku kan tak perlu takut pada kau!" "Bagaimana kau tahu itu?" kata Kirsten Lindstrom. "Belum lama ini aku membaca di surat kabar tentang seorang wanita yang telah bertahun-tahun hidup dengan seorang wanita lain. Lalu pada suatu hari tiba-tiba dia membunuh teman serumahnya itu. Wanita itu dicekiknya. Dia mencoba mengorek matanya keluar. Mengapa" Wanita itu mengatakan dengan halus pada polisi bahwa teman serumahnya itu sedang dirasuki setan. Dia pernah melihat pandangan setan terpancar dari matanya, dan dia insaf bahwa dia harus kuat dan berani membunuh setan itu!" "Oh, ya, aku ingat cerita itu," kata Hester. "Tapi wanita itu gila." "Ya," Kata Kirsten, "tapi dia sendiri tak tahu bahwa dia gila. Dan bagi orangorang di sekitarnya, dia tidak kelihatan gila, karena tak seorang pun tahu apa yang berkecamuk dalam pikirannya yang kacau itu. Jadi kukatakan padamu, kau pun tak tahu apa yang berkecamuk dalam pikiranku. Mungkin saja aku gila. Mungkin saja aku mengira bahwa ibumu kafir, lalu aku membunuhnya." "Tapi, Kirsty, itu omong kosong! Omong kosong belaka." Kirsten mendesah, lalu duduk. "Ya," akunya, "itu omong kosong. Aku sayang sekali pada ibumu. Dia selalu baik padaku. Tapi yang ingin kukatakan padamu, Hester, dan yang kuingin kau mengerti adalah, kau tak bisa berkata 'omong kosong' tentang segala-galanya dan pada setiap orang. Kau tak bisa percaya begitu saja padaku atau pada siapa pun juga." Hester berpaling dan memandangi wanita itu. "Aku jadi merasa bahwa kau serius," katanya. "Aku memang sedang serius sekali," kata Kirsten. "Kita semua harus serius, dan kita harus membuka diri. Tak baik berpura-pura bahwa tak pernah terjadi apa-apa. Orang yang datang kemari itu, alangkah baiknya kalau dia tidak datang. Tapi dia sudah datang, dan dia telah menjelaskan bahwa Jacko bukan pembunuh. Baiklah kalau begitu. Jadi pembunuhnya orang lain, dan itu pastilah seorang di antara kita." "Tidak, Kirsty, tidak. Dia pasti seseorang yang..." "Yang apa?" "Yah, yang ingin mencuri sesuatu, atau yang punya rasa dendam terhadap Ibu, entah dengan alasan apa, di masa lalu." "Kaupikir ibumu mau menyuruh masuk orang itu?" "Mungkin saja," kata Hester. "Kau kan tahu bagaimana Ibu. Bila seseorang datang dengan kisah nasib buruk, bila seseorang datang menceritakan padanya mengenai seorang anak yang disia-siakan atau diperlakukan dengan buruk, tak mungkinkah Ibu menyuruhnya masuk, membawanya ke kamarnya, dan mendengarkan penuturannya?" "Kupikir sangat tak mungkin," kata Kirsten. "Sekurang-kurangnya, kurasa tak mungkin ibumu duduk saja di meja, membiarkan orang itu mengambil besi pengorek, dan memukul tengkuknya. Tidak. Dia pasti dalam keadaan tenang, percaya penuh, bersama seseorang yang dikenalnya dalam kamar itu." "Alangkah baiknya kalau kau tidak berpikiran begitu, Kirsty," seru Hester. "Aduh, kau jadi membawa orang itu begitu dekat, terasa begitu akrab." "Karena dia memang dekat, memang akrab. Tidak, aku tidak akan berkata apa-apa lagi sekarang. Tapi aku sudah memberimu peringatan bahwa meskipun kupikir kau kenal betul pada seseorang, meskipun kau mengira bisa mempercayainya, jangan kau merasa yakin. Jadi waspadalah terhadap aku, terhadap Mary, terhadap Micky, dan terhadap Gwenda Vaughan." "Bagaimana aku bisa tinggal di sini terus dan mencurigai semua orang?" "Kalau kau mau mendengar nasihatku, akan lebih baik kalau kau meninggalkan rumah ini." "Sekarang aku tak bisa." "Mengapa tidak" Karena dokter muda itu?" "Aku tak tahu apa maksudmu, Kirsty." Pipi Hester menjadi merah. "Maksudku Dr. Craig. Dia memang pria muda yang baik sekali. Seorang dokter yang cukup baik, ramah, dan tahu kewajibannya. Untung kau tidak mendapatkan orang yang tak sebaik itu. Tapi bagaimanapun juga, kurasa akan lebih baik lagi kalau kau meninggalkan tempat ini dan pergi." "Semuanya itu omong kosong," seru Hester dengan marah, "omong kosong, omong kosong, omong kosong. Aduh, alangkah baiknya kalau Dr. Calgary tak pernah datang." "Aku pun merasa begitu," kata Kirsten, "dengan sepenuh hatiku." II Leo Argyle menandatangani surat terakhir yang telah diletakkan Gwenda Vaughan di depannya. "Yang terakhirkah itu?" tanyanya. "Ya." "Hari ini kita cepat selesai." Beberapa lama kemudian, setelah Gwenda menempelkan prangko dan menyusun suratsurat itu, ia bertanya, "Apakah belum saatnya kau bepergian ke luar negeri?" "Bepergian ke luar negeri?" Leo Argyle agak heran terdengar, kata Gwenda, "Ya. Tak ingatkah kau bahwa kau berencana pergi ke Roma dan Siena?" "Oh, ya, ya, aku ingat." "Kau akan pergi untuk melihat dokumen-dokumen dari arsip yang diberitahukan Kardinal Massilini dalam suratnya padamu." "Ya, aku ingat." "Sudah bolehkah aku memesankan tempat di pesawat terbang, atau kau lebih suka pergi naik kereta api?" Leo menoleh pada gadis itu, seolah-olah baru kembali dari perjalanan jauh. Ia tersenyum kecil. "Kelihatannya kau ingin sekali aku pergi dari sisimu, Gwenda," katanya. "Oh, tidak, Sayang, bukan begitu." Cepat-cepat ia menyeberangi ruangan itu, lalu berlutut di samping Leo. "Tak pernah aku berkeinginan kau meninggalkan aku, tidak akan pernah. Tapi... tapi kupikir... oh, kupikir akan lebih baik kalau kau pergi dari sini, setelah... setelah..." "Setelah minggu yang lalu?" kata Leo. "Setelah kunjungan Dr. Calgary itu?" "Alangkah baiknya kalau dia tak pernah datang," kata Gwenda. "Alangkah baiknya bila keadaan dibiarkan saja seperti sediakala." "Dengan Jacko dihukum atas tuduhan sesuatu yang tidak dilakukannya?" "Mungkin memang dia yang melakukannya," kata Gwenda. "Dia bisa saja melakukannya setiap saat, dan kurasa suatu kebetulan saja dia tidak melakukannya." "Aneh," kata Leo sambil merenung. "Aku tak pernah yakin benar bahwa dia yang melakukannya. Maksudku, aku memang harus mengakui bukti-bukti yang ada, tapi rasanya sangat tak masuk akal." "Mengapa" Bukankah dia memang penaik darah?" "Ya, itu memang benar. Dia suka menyerang anak-anak lain. Biasanya anak-anak yang lebih kecil daripadanya. Aku tak pernah yakin benar bahwa dialah yang menyerang Rachel." "Mengapa tidak?" "Karena dia takut pada Rachel," kata Leo. "Kau kan tahu bahwa Rachel punya wibawa besar sekali. Dan seperti juga yang lain-lain, Jacko merasakan benar wibawa itu." "Tapi apakah kau tidak menduga," kata Gwenda, "bahwa justru karena itu maksudku..." Ia lalu diam. Leo melihat padanya dengan pandangan bertanya. Sesuatu dalam pandangannya itu membuat wajah Gwenda memerah. Ia berbalik, pergi ke perapian, lalu berlutut di depannya sambil mengulurkan tangannya ke arah nyala api. Ya, pikirnya. Rachel memang punya wibawa besar. Dia merasa senang sendiri, sangat percaya diri, tak ubahnya seperti seekor ratu lebah yang menguasai kami semua. Apakah itu tak cukup menimbulkan keinginan seseorang untuk menyerangnya, menutup mulutnya untuk selama-lamanya" Rachel selalu benar, Rachel selalu paling tahu, segala sesuatu selalu terjadi menurut keinginan Rachel. Tiba-tiba ia bangkit. "Leo," katanya, "tak bisakah kita... tak bisakah kita menikah secepatnya, tak perlu menunggu sampai bulan Maret?" Leo memandanginya. Ia diam sebentar, lalu berkata, "Tidak, Gwenda, tidak. Kurasa itu bukan suatu rencana yang baik." "Mengapa tidak?" "Kurasa," kata Leo, "tak baik tergesa-gesa melakukan sesuatu." "Apa maksudmu?" Gwenda mendatanginya lagi. Ia berlutut lagi di dekat Leo. "Leo, apa sebenarnya maksudmu" Kau harus mengatakannya padaku." Kata Leo, "Sayangku, aku hanya berpendapat, seperti kataku, tak baik kalau kita melakukan sesuatu dengan tergesa-gesa." "Tapi kita kan tetap menikah dalam bulan Maret seperti rencana kita, ya?" "Kuharap begitu. Ya, kuharap begitu." "Kau sepertinya tak yakin. Leo, apakah kau sudah tak sayang lagi padaku?" "Aduh, sayangku." Leo meletakkan tangannya ke pundak Gwenda. "Tentu saja aku menyayangimu. Kau segala-galanya bagiku di dunia ini." "Nah, kalau begitu," kata Gwenda tak sabar. "Tidak." Leo bangkit. "Belum! Tidak sekarang. Kita harus menunggu. Kita harus yakin dulu." "Yakin mengenai apa?" Leo tak menjawab. Gwenda berkata lagi, "Kau kan tak menduga... masa kau mengira..." "Tidak, aku tidak menduga apa-apa." Pintu terbuka, dan Kirsten Lindstrom masuk, membawa sebuah nampan yang diletakkannya di meja kerja. "Ini teh Anda, Mr. Argyle. Apakah kau ingin tehmu kubawakan kemari juga, Gwenda" Atau kau mau minum bersama yang lain di lantai bawah?" Gwenda menjawab, "Aku akan turun ke ruang makan. Surat-surat ini kubawa, ya" Soalnya harus dikirim." Dengan tangan agak gemetar diambilnya surat-surat yang baru ditandatangani Leo, lalu ia keluar membawanya. Kirsten Lindstrom memandanginya dari belakang, lalu ia menoleh ke arah Leo. "Apa yang telah Anda katakan padanya?" tanyanya. "Apa yang telah Anda lakukan sampai dia jadi sedih begitu?" "Bukan apa-apa," kata Leo. Suaranya terdengar letih. "Sama sekali bukan apaapa." Kirsten Lindstrom mengangkat bahu, lalu keluar dari ruangan itu tanpa berkata sepatah pun lagi. Namun kritiknya yang tak kelihatan dan tak diucapkan masih tetap terasa. Sambil mendesah, Leo bersandar di kursinya. Ia merasa letih sekali. Dituangnya tehnya, tapi tidak diminumnya. Ia duduk saja di kursinya, menatap tanpa melihat apa-apa ke seberang ruangan. Pikirannya dipenuhi bayangan masa lalu. *** Organisasi sosial yang diminatinya di East End di London. Di sanalah untuk pertama kalinya ia bertemu dengan Rachel Konstam. Kini serasa terlihat jelas bayangan Rachel di mata hatinya. Ia seorang gadis dengan tinggi sedang, bertubuh tegap. Ia suka mengenakan pakaian yang saat itu tak berkenan di hatinya. Yaitu pakaian mahal, tapi dipakai dengan cara sembrono. Wajahnya bulat dan serius, berhati hangat, bergairah hidup, dan kepolosannya sangat menarik hati. Rachel mengucapkan kata-kata dengan penuh semangat dan agak kacau. Katanya banyak sekali yang harus dilakukan, banyak sekali yang pantas dikerjakan. Dan meskipun ia sendiri berpembawaan ironis, hingga merasa ragu apakah pekerjaan yang pantas dilakukan itu selalu berhasil sebagaimana seharusnya, ia pun membenarkannya. Tapi Rachel tak punya keraguan semacam itu. Bila kita mengerjakan apa saja, bila suatu badan diberi sumbangan, hasil-hasil perbuatan baik itu otomatis akan menyusul. Kini disadarinya bahwa Rachel tak pernah memperhatikan unsur kemanusiaan. Ia selalu memandang manusia sebagai suatu persoalan, sebagai masalah yang harus ditangani. Tak pernah disadarinya bahwa setiap manusia itu berbeda, selalu bereaksi dengan cara berlainan, dan memiliki ciri-ciri khas masing-masing. Ia ingat, waktu itu ia mengatakan pada Rachel supaya tidak berharap terlalu banyak. Tapi Rachel selalu berharap terlalu banyak, dan selalu membantah peringatanperingatannya. Rachel selalu berharap terlalu banyak, dan kemudian selalu merasa kecewa. Boleh dikatakan ia langsung jatuh cinta pada Rachel, dan ia terkejut sekali mendapati bahwa Rachel putri seorang kaya raya. Mereka telah merencanakan hidup mereka berdua atas dasar pemikiran yang tinggi, yang tidak terlalu berdasarkan hidup sederhana. Tapi kini disadarinya dengan jelas apa yang terutama menariknya pada Rachel. Tak lain adalah kehangatan hati Rachel. Tapi sayang, kehangatan hati itu sebenarnya bukan untuknya, di situlah Mata Rantai Yang Hilang Ordeal By Innocence Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo letak tragedinya. Ya, Rachel memang mencintainya. Tapi yang diinginkan Rachel darinya dan dari hidup adalah anak-anak. Dan anak-anak itu tak pernah datang. Mereka telah mendatangi dokter-dokter, mulai dari dokter-dokter yang punya nama, sampai dokter-dokter yang tidak ternama, bahkan dukun-dukun. Dan kepastian akhirnya adalah sesuatu yang terpaksa harus diterimanya. Ia takkan pernah bisa melahirkan anak. Mereka telah menghubungi yayasan-yayasan adopsi, ketika pada suatu kunjungan mereka ke New York, mobil mereka menabrak seorang anak yang sedang berlari keluar dari suatu daerah pemukiman di bagian kota yang miskin. Rachel melompat keluar mobil, lalu berlutut di jalan, di dekat anak itu. Anak itu hanya lecet saja, tidak cedera. Ia seorang anak yang cantik, berambut keemasan, dan matanya biru. Rachel bersikeras membawanya ke rumah sakit, untuk meyakinkan bahwa ia tidak mengalami cedera. Ia menghubungi keluarga anak itu: seorang bibi yang jorok dan suaminya yang peminum. Nyata benar bahwa mereka tak punya perasaan terhadap anak yang mereka bawa tinggal bersama mereka, karena kedua orangtua si anak sudah meninggal. Rachel mengusulkan agar anak itu tinggal bersama mereka beberapa hari, dan wanita itu menyetujuinya dengan senang. "Saya tak bisa mengurusnya dengan baik di sini," katanya. Maka dibawalah anak itu ke kamar mewah mereka di hotel. Agaknya anak itu senang dengan tempat tidur empuk dan kamar mandinya yang mewah. Rachel membelikannya pakaian baru. Lalu tiba saatnya anak itu berkata, "Saya tak mau pulang. Saya mau tinggal di sini bersama Anda." Rachel melihat pada Leo, melihat padanya dengan penuh gairah, keinginan, dan rasa senang. Waktu mereka tinggal berduaan saja, ia pun berkata, "Mari kita pelihara dia. Pasti mudah mengurusnya. Kita adopsi dia. Dia akan menjadi anak kita sendiri. Perempuan itu pasti akan senang sekali kalau dia kita ambil." Leo langsung setuju. Anak itu kelihatannya tenang, bertingkah laku baik, dan patuh. Kelihatannya ia pun tak punya perasaan terhadap bibi dan pamannya. Bila hal itu bisa membuat Rachel senang, mereka akan melakukannya. Maka dibicarakanlah hal itu dengan para ahli hukum, surat-surat ditandatangani, dan mulai saat itu Mary O'Shaughnessy pun dikenal sebagai Mary Argyle, dan ikut berlayar dengan mereka kembali ke Eropa. Leo mengira Rachel yang malang akhirnya merasa bahagia. Ia memang berbahagia. Berbahagia dalam arti yang berapi-api dan hampir-hampir kacau. Ia tergila-gila pada Mary, memberinya bermacam-macam mainan mahal. Dan Mary menerima semuanya itu dengan tenang dan manis. Namun, pikir Leo, selalu masih ada sesuatu yang terasa agak mengganggunya. Anak itu mudah dan penurut. Ia tak pernah merasa rindu pada tempatnya yang lama dan keluarganya. Leo berharap cinta kasih yang sebenarnya akan datang kemudian. Pada saat itu Leo masih belum melihat tanda-tandanya. Mary menerima baik semua kebaikan, merasa puas dan menikmati semua yang diberikan padanya. Tapi kasih sayang terhadap ibu angkatnya yang baru" Belum, Leo belum melihatnya. Maka sejak saat itu dan seterusnyalah, kenang Leo, ia mulai menarik dirinya ke belakang kehidupan Rachel Argyle. Rachel seorang wanita berpembawaan keibuan, bukan sebagai seorang istri. Setelah ia mendapatkan Mary, agaknya naluri keibuannya tidak terpenuhi, melainkan baru terangsang. Seorang anak belum cukup baginya. Semua usahanya sejak itu selalu dihubungkan dengan anak-anak. Minatnya tertuju pada rumah-rumah yatim-piatu; sumbangan-sumbangan untuk anak-anak cacat; masalah-masalah anak-anak terbelakang, cacat mental, cacat tulang - selalu anakanak. Mengagumkan sekali. Leo ikut merasakan bahwa itu sangat mengagumkan, tapi itu lalu menjadi pusat kehidupan Rachel. Sedikit demi sedikit Leo pun mulai menyibukkan diri dalam kegiatan-kegiatannya sendiri. Ia mulai mendalami latar belakang sejarah perekonomian, yang memang selalu diminatinya. Makin lama ia makin banyak menarik diri ke dalam ruang perpustakaannya. Ia menyibukkan dirinya dengan riset, dan menulis risalah-risalah pendek tapi padat. Istrinya yang selalu sibuk, yang bersungguh-sungguh dalam pekerjaannya dan berbahagia, mengurus rumah tangganya dan meningkatkan kegiatan-kegiatannya. Leo tetap siap membantu dan menerima keadaan. Ia tetap mendorong Rachel dengan kata-kata, "Itu proyek yang baik sekali, Sayang," atau, "Ya, ya, kurasa sebaiknya dilanjutkan saja." Sekali-sekali diselipkannya juga kata-kata supaya Rachel berhati-hati. "Kurasa kau pasti mau meneliti dulu keadaan itu baik-baik, sebelum melaksanakannya. Tapi kau jangan sampai terpengaruh." Rachel tetap berkonsultasi dengannya, tapi hal itu belakangan kadang-kadang dilakukannya asal-asalan saja. Dengan berlalunya waktu, Rachel makin menjadi sok berkuasa. Katanya ia tahu apa yang benar dan apa yang terbaik. Dengan rela pula Leo mengurangi kritik-kritik dan peringatan-peringatannya. Rachel sudah tidak membutuhkan bantuannya lagi, pikir Leo, sudah tidak membutuhkan cintanya lagi. Ia sibuk, berbahagia, dan selalu bersemangat. Di balik perasaan tersinggung yang mau tak mau dirasakannya, anehnya Leo juga merasa kasihan pada istrinya. Seolah-olah ia tahu bahwa jalan yang sedang ditempuh Rachel mungkin berbahaya. Waktu perang pecah pada tahun 1939, kegiatan-kegiatan Mrs. Argyle langsung berlipat ganda. Begitu mendapatkan gagasan untuk membuka sebuah panti asuhan darurat bagi anak-anak dari daerah kumuh di London, ia langsung menghubungi orang-orang berpengaruh di London. Departemen Kesehatan bersedia bekerja sama, dan ia lalu mencari dan menemukan sebuah rumah yang cocok untuk tujuannya itu. Sebuah rumah yang baru dibangun, modem, di bagian terpencil di Inggris, yang kira-kira tidak akan dijatuhi bom. Di tempat itu ia bisa menampung sampai delapan belas anak berumur antara dua sampai tujuh tahun. Anak-anak itu tidak saja berasal dari keluarga-keluarga miskin, tapi juga dari keluarga-keluarga yang tidak beruntung. Ada anak yatim-piatu, ada pula anak tidak sah yang ibunya tak punya niat mengungsi dengan membawa mereka dan telah bosan memelihara mereka. Anak-anak dari rumah-rumah tempat mereka diperlakukan dengan buruk atau disia-siakan. Tiga atau empat orang di antara anak-anak itu lumpuh. Untuk memberikan perawatan pada anak-anak lumpuh itu, ia membayar pekerja-pekerja khusus, juga seorang ahli pijat dari Swedia dan dua orang perawat terlatih. Semua itu dilakukannya tidak hanya dengan jaminan kenyamanan, tapi juga dengan cara mewah. Pada suatu kali, Leo menegurnya. "Jangan lupa, Rachel, anak-anak itu akan kembali ke tempat-tempat dari mana kita mengambilnya. Jangan kau mempersulit mereka." Dengan hangat Rachel menjawab, "Tak ada yang terlalu baik untuk anak-anak malang ini. Tak ada!" "Ya, tapi mereka akan kembali, ingat itu," desak Leo. Tapi Rachel meremehkan peringatan itu. "Mungkin itu tak perlu. Mungkin... yah, kita lihat saja nanti." Keadaan darurat dalam perang telah membawa perubahan-perubahan. Para perawat rumah sakit merasa tak sabar harus merawat anak-anak yang benar-benar sehat, padahal sebenarnya tugas merawat yang sesungguhnya menunggu mereka. Mereka harus sering diganti. Akhirnya tinggal seorang perawat rumah sakit dan Kirsten Lindstrom yang tetap bertahan. Pembantu rumah tangga pun tak bisa bertahan, dan Kirsten Lindstrom pun merangkap tugas itu pula. Ia bekerja dengan penuh kerelaan, tanpa memikirkan kepentingannya sendiri. Dan Rachel Argyle pun sibuk dan berbahagia. Leo ingat bahwa kadang-kadang ada juga saat-saat yang membingungkannya. Umpamanya waktu Rachel merasa heran melihat seorang anak laki-laki, Micky, yang berat badannya berkurang dan nafsu makannya hilang. Dokter pun dipanggil. Dokter tidak menemukan sakit apa-apa. Lalu dikemukakannya pada Mrs. Argyle bahwa anak itu mungkin rindu pada ibunya. Tapi Rachel cepat menolak gagasan itu. "Itu tak mungkin! Anda tak tahu rumah tempatnya berasal. Dia sering dipukul, diperlakukan dengan buruk. Keadaan itu buruk sekali baginya." "Meskipun demikian," kata Dr. MacMaster, "meskipun demikian, saya tidak heran. Yang penting adalah menyuruhnya bicara." Dan pada suatu hari berbicaralah Micky. Sambil terisak-isak di tempat tidurnya, didorongnya Rachel dengan tinjunya, dan ia berteriak, "Saya mau pulang. Saya mau pulang, ke Mama, ke Ernie." Rachel merasa kesal, tak masuk akalnya. "Masa anak itu ingin kembali pada ibunya. Perempuan itu sama sekali tak peduli padanya. Anak itu dipukulinya kalau dia sedang mabuk." Dan Leo berkata dengan halus, "Tapi kau melawan alam, Rachel. Perempuan itu ibunya, dan dia mencintai ibunya itu." "Perempuan itu tak pantas menjadi ibunya!" "Dia darah dagingnya sendiri. Begitulah perasaan anak itu. Itu tak bisa diganti dengan apa pun juga." Dan Rachel menjawab, "Tapi sekarang seharusnya dia menganggap aku ibunya." Kasihan Rachel, pikir Leo. Kasihan Rachel. Ia bisa membeli begitu banyak barang. Bukan barang-barang untuk kepentingannya sendiri. Ia bisa memberikan pada anak yang tak diinginkan orangtuanya, cinta kasih, perawatan, dan sebuah rumah. Semua itu bisa dibelinya untuk mereka. Tapi ia tak bisa membeli cinta anak-anak itu padanya. Lalu perang berakhir. Anak-anak mulai kembali ke London, karena diminta kembali orang-tua atau sanak saudara mereka. Tapi tidak semuanya. Beberapa di antaranya tetap tak diinginkan, dan waktu itu Rachel berkata, "Leo, anak-anak ini sudah seperti anak-anak kita sendiri sekarang. Inilah saatnya kita membangun keluarga kita sendiri. Empat atau lima orang dari anakanak ini bisa tinggal bersama kita. Kita adopsi mereka, kita pelihara mereka, dan mereka akan benar-benar menjadi anak-anak kita." Leo kurang setuju, tapi ia tak tahu mengapa. Bukan karena ia tidak menyukai anak-anak itu, tapi nalurinya mengatakan bahwa itu tidak benar. Anggapan betapa mudahnya membina keluarga sendiri dengan cara yang tak murni. "Apakah kau tidak merasa bahwa itu berbahaya?" tanyanya. Tapi Rachel menjawab, "Berbahaya" Apa salahnya kalau itu berbahaya" Itu pantas dilakukan." Ya, Leo sependapat bahwa itu pantas dilakukan. Hanya saja ia tidak seyakin Rachel. Waktu itu ia sudah merasa dirinya begitu jauh, begitu terpencil di tempatnya sendiri yang dingin, berkabut. Ia jadi merasa tidak berhak membantah. Maka diulanginya kata-kata yang sudah sering diucapkannya, "Yah, lakukanlah apa yang kausukai, Rachel." Rasa kemenangan Rachel terpenuhi, dan ia pun berbahagia sekali. Ia membuat rencana-rencana, berbicara dengan para penasihat hukum, pokoknya melakukan bermacam-macam hal dengan caranya yang selalu praktis. Maka didapatkannyalah keluarganya. Mary, anak sulung yang mereka bawa dari New York dulu; Micky, anak laki-laki yang selalu merindukan rumahnya, yang sering kali menangis di malam hari, sampai tertidur, karena masih merindukan rumahnya yang kumuh serta ibunya yang sembrono dan penaik darah itu; Tina, anak blasteran yang luwes, yang ibunya pelacur dan ayahnya pelaut India; Hester, yang ibunya Irlandia, yang setelah melahirkannya sebagai anak tidak sah ingin memulai hidup baru. Lalu Jacko, anak laki-laki berwajah monyet yang mengasyikkan. Kelucuan-kelucuannya selalu membuat mereka semua tertawa. Ia selalu bisa melepaskan diri dari hukuman dengan kepandaiannya berkata-kata, dan pandai membujuk untuk mendapatkan permen tambahan, bahkan dari Miss Lindstrom yang sangat ketat itu. Ayah Jacko sedang menjalani hukuman penjara, dan ibunya lari dengan laki-laki lain. Ya, pikir Leo, memang merupakan pekerjaan yang pantas mengambil anak-anak ini, untuk diberi kenyamanan sebuah rumah, dan cinta kasih seorang ayah dan ibu. Rachel memang berhak merasa menang, pikirnya. Tapi sayang, hasilnya tidak seperti yang diduga... karena anak-anak itu bukan anak-anak Rachel dan dirinya. Dalam tubuh mereka tidak mengalir darah leluhur Rachel yang pekerja keras dan hemat, tak ada dorongan dan ambisi yang dimiliki keluarga Rachel yang semula kurang terkemuka, untuk mendapatkan tempat yang mantap dalam masyarakat. Tidak pula ada kebaikan dan ketulusan hati yang seingatnya dimiliki ayahnya sendiri, kakek dan neneknya. Juga tidak ada kecerdasan otak dari kakek dan neneknya dari pihak lain. Segala sesuatu yang bisa dilakukan lingkungan, dilakukan terhadap mereka. Itu memang banyak pengaruhnya, tapi itu bukan segala-galanya. Yang jelas, sudah ada bibit kelemahan yang menyebabkan mereka sampai dibawa ke panti asuhan, dan dalam keadaan tertekan, bibit itu bersemi dan bisa berbunga. Hal itu terlihat nyata pada Jacko. Jacko yang menawan, Jacko yang cerdik, dengan lelucon-leluconnya yang ceria, daya tariknya, kebiasaannya yang dengan mudah mempermainkan orangorang. Ia benar-benar nakal luar biasa. Hal itu sudah tampak dengan dilakukannya pencurian cara kanak-kanak. Kebohongan-kebohongannya, semuanya yang mereka anggap sebagai akibat buruk dari asal-usul yang buruk dan caranya dibesarkan dulu. Kata Rachel, semua itu bisa diatasi dengan mudah. Tapi nyatanya mereka tak bisa mengatasinya. Hasil pelajaran di sekolah buruk. Ia dikeluarkan dari perguruan tinggi, dan sejak itu terjadilah serangkaian panjang peristiwa menyakitkan. Dalam hal itu, ia dan Rachel selalu berusaha memberikan keyakinan pada anak itu bahwa mereka menyayanginya dan memberinya kepercayaan. Mereka mencarikannya pekerjaan yang cocok dan menyenangkan untuknya, yang bisa menjanjikan keberhasilan bila ia melamar sendiri. Mungkin mereka terlalu lemah menghadapi anak itu, pikir Leo. Tapi tidak, lemah atau keras, dalam hal Jacko akhirnya akan sama saja, pikirnya lagi. Apa yang diinginkannya harus didapatkannya dengan cara yang bagaimanapun juga. Ia tidak begitu pandai untuk berhasil menjalankan kejahatan, bahkan kejahatan kecil pun tidak. Maka tibalah hari terakhir itu, saat ia datang dalam keadaan tak punya uang dan takut masuk penjara. Dengan marah-marah ia menuntut uang yang katanya haknya, dan ia mengancam. Ia pergi sambil berteriak bahwa ia akan kembali, Rachel sudah harus menyiapkan uang itu. Kalau tidak...! Dan dengan demikian, Rachel meninggal. Betapa jauh rasanya masa lalu itu. Tahuntahun panjang selama perang, bersama anak-anak yang sedang tumbuh waktu itu. Sedang ia sendiri" Ia juga jauh, tak berarti. Seolah-olah energi yang kuat dan gairah besar untuk hidup yang dimiliki Rachel telah menelannya, meninggalkannya dalam keadaan lumpuh dan lemah, serta sangat merasa membutuhkan kehangatan dan cinta. Sampai sekarang ia rasanya tak ingat kapan ia baru menyadari betapa dekat kedua hal itu melingkupinya. Siap dan sedia. Tidak disodorkan padanya, tapi ada. Gwenda... sekretaris yang sempurna, sangat membantu, yang bekerja untuknya, selalu siap, dan baik hati. Ada sesuatu pada gadis itu yang mengingatkannya pada Rachel waktu ia pertama kali bertemu dengannya. Kehangatan yang sama dan semangat hidup yang sama pula. Hanya pada Gwenda kehangatan itu adalah kehangatan hati, dan semangat hidup itu seluruhnya untuknya. Serasa menghangatkan tangan di perapian... tangan yang selama ini dingin dan kaku karena tak terpakai. Kapan ia pertama kali menyadari bahwa Gwenda juga menyayanginya" Sulit mengatakannya. Hal itu terjadi dengan mendadak. Tapi tiba-tiba - pada suatu hari - ia tahu bahwa ia mencintai Gwenda. Padahal, selama Rachel masih hidup, mereka tak bisa menikah. Leo mendesah. Ia memperbaiki duduknya, lalu meminum tehnya yang sudah dingin sekali. BAB IX BARU beberapa menit Calgary pergi, Dr. MacMaster menerima tamunya yang kedua. Tamu yang ini dikenalnya dengan baik, dan ia menyambutnya dengan kasih sayang. "Oh, Don, aku senang kau datang. Mari masuk dan ceritakan padaku apa yang menjadi pikiranmu. Pasti ada sesuatu yang kaupikirkan. Aku sudah tahu kalau melihat dahimu berkerut dengan cara begitu khas." Dr. Donald Craig tersenyum sedih. Ia seorang pria muda yang serius dan tampan, yang selalu menganggap serius, baik dirinya sendiri maupun pekerjaannya. Dokter tua yang sudah pensiun itu sangat menyayangi penggantinya yang muda itu. Tapi kadang-kadang ia ingin Dr. Craig lebih mudah bisa merasakan suatu lelucon. Craig menolak ditawari minuman, dan langsung mengemukakan persoalannya. "Aku susah sekali, Mac." "Kuharap bukan kelainan vitamin lagi," kata Dr. MacMaster. Baginya, kelainan vitamin merupakan lelucon yang lucu. Seorang dokter hewan pernah mengatakan pada Dr. Craig bahwa kucing milik seorang pasien kecil menderita sakit cacing gelang yang parah. "Ini tak ada hubungannya dengan pasien-pasien," kata Don Craig. "Ini persoalan pribadiku sendiri." Wajah MacMaster langsung berubah. "Maaf, anakku. Maafkan aku. Apakah ada berita buruk?" Anak muda itu menggeleng. "Bukan itu. Begini, Mac. Aku harus berbicara dengan seseorang. Kau kenal dengan semua orang di sini, kau sudah bertahun-tahun di sini, kau tentu tahu segalanya tentang mereka. Dan aku harus tahu juga. Aku harus tahu bagaimana harus bertindak, dan apa yang sedang kuhadapi." Alis MacMaster perlahan-lahan naik. "Coba kudengar kesulitannya," katanya. "Keluarga Argyle. Kau tahu - dan kurasa semua orang tahu bahwa aku dan Hester Argyle..." Dokter tua itu mengangguk. "Suatu kenyataan kecil yang menyenangkan," katanya membenarkan. "Begitulah istilah lamanya, dan itu memang bagus sekali." "Aku cinta sekali padanya," kata Donald berterus terang, "dan kurasa - ya, aku yakin - dia pun suka padaku. Lalu sekarang semuanya ini terjadi." Wajah dokter tua itu menjadi cerah. Mata Rantai Yang Hilang Ordeal By Innocence Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Oh, itu! Pengampunan bagi Jack Argyle itu," katanya. "Pengampunan yang terlambat datangnya baginya." "Ya. Itulah yang membuatku merasa... aku tahu bahwa salah sekali aku merasa begitu, tapi aku tak bisa lain. Sebenarnya lebih baik bila... bila kenyataan baru ini tak pernah muncul." "Oh, bukan kau satu-satunya yang berperasaan begitu," kata MacMaster. "Sepanjang pengetahuanku, hal itu dirasakan oleh mulai dari Agen Kepala Polisi, seluruh keluarga Argyle, sampai-sampai pada pria yang baru kembali dari Kutub Selatan dan membawa berita itu sendiri," katanya lagi. "Dia baru saja dari sini, petang tadi." Donald Craig terkejut. "Begitukah" Apa katanya?" "Maumu apa yang dikatakannya?" "Apakah dia punya bayangan siapa yang...?" Dr. MacMaster menggeleng perlahan-lahan. "Tidak," katanya. "Dia tak punya bayangan. Bagaimana mungkin" Bukankah dia baru saja datang, dan baru pertama kali bertemu dengan mereka semua" Agaknya," lanjutnya, "tak seorang pun punya bayangan." "Ya, memang tak ada." "Apa yang merisaukanmu, Don?" Donald Craig menarik napas panjang. "Waktu pria itu datang ke sana malam itu, Hester meneleponku. Rencananya aku dan dia akan pergi ke Drymouth setelah selesai praktek, untuk mendengarkan ceramah mengenai macam-macam kejahatan dalam buku-buku Shakespeare." "Rencana yang bagus sekali," kata MacMaster. "Lalu Hester menelepon, mengatakan bahwa dia tidak jadi pergi. Katanya ada berita yang mengacaukan sekali." "Oh, berita dari Dr. Calgary itu." "Ya. Ya, meskipun waktu itu Hester tidak mengatakannya. Tapi kedengarannya dia risau sekali. Kedengarannya dia... tak dapat kujelaskan bagaimana dia kedengarannya." "Itu darah Irlandia-nya," kata MacMaster. "Kedengarannya dia sangat tegang, ketakutan. Ah, tak bisa aku menjelaskannya." "Yah, apa yang kauharapkan?" kata dokter itu. "Bukankah umurnya belum lagi dua puluh tahun?" "Tapi mengapa dia begitu risau" Percayalah, Mac, dia ketakutan sekali." "Hm, ya, kurasa mungkin saja," kata MacMaster. "Apakah kaupikir... bagaimana pikiranmu?" "Yang penting adalah apa yang kaupikir," kata MacMaster dengan tegas. Anak muda itu berkata dengan getir, "Kurasa, kalau saja aku bukan dokter, aku tidak akan berpikir macam-macam. Dia gadisku, dan gadisku tak pernah berbuat salah. Tapi nyatanya..." "Ya, teruskanlah. Keluarkanlah isi hatimu." "Aku tahu bahwa ada sesuatu yang mengganggu pikiran Hester. Dia... dia korban dari keresahan masa kecilnya." "Memang," kata MacMaster. "Dia belum sempat menyesuaikan diri dengan baik. Pada saat pembunuhan itu, dia sedang mengalami suatu perasaan yang wajar sekali bagi seorang wanita muda yang sedang meningkat dewasa. Dia sedang mengalami kebencian terhadap wibawa. Dia berusaha melarikan diri dari cinta kasih ibu yang menjadi penyebab begitu banyak hal yang merugikan zaman sekarang, Dia ingin memberontak, ingin pergi. Semua itu diceritakannya sendiri padaku. Dia pernah lari dan menggabungkan diri dengan perkumpulan teater keliling murahan. Dalam hal itu, kurasa ibunya telah bertindak bijaksana. Diusulkannya supaya Hester pergi ke London dan masuk Akademi Seni untuk mempelajari seni peran dengan baik, bila memang itu yang diinginkannya. Tapi bukan itu yang diinginkan Hester. Dia melarikan diri untuk main drama, itu sebenarnya hanya suatu isyarat. Dia sebenarnya tak ingin bersekolah drama, tidak pula menginginkan profesi itu. Dia hanya ingin memperlihatkan bahwa dia bisa mandiri. Pokoknya, keluarga Argyle tidak berusaha menahannya. Mereka malah memberinya tunjangan dalam jumlah besar." "Suatu tindakan yang bijak sekali," kata MacMaster. "Lalu dia bercintaan dengan seorang anggota perkumpulan yang sudah setengah baya. Akhirnya disadarinya sendiri bahwa laki-laki itu tidak beres. Mrs. Argyle datang, berbicara dengan laki-laki itu, dan Hester pulang." "Dia sudah jera," kata MacMaster. "Tapi tak ada orang yang mau mengakui bahwa dia jera. Hester pun tidak." Donald Craig berkata lagi dengan sedih, "Dia masih menyimpan rasa benci terpendam, lebih-lebih justru karena dia harus mengakui, meskipun tidak terang-terangan, bahwa ibunya memang benar sekali, yaitu bahwa dia sama sekali bukan aktris yang baik, dan laki-laki yang dicurahinya cinta kasihnya adalah orang yang tak pantas menerima cinta kasih itu. Sebenarnya dia juga tidak cinta pada laki-laki itu. Ibu selalu tahu apa yang terbaik. Itulah yang selalu menggetirkan anak-anak." "Ya," kata MacMaster. "Itulah salah satu kesulitan Mrs. Argyle yang malang itu, meskipun hal itu tak pernah disadarinya. Nyatanya dia memang hampir selalu benar, dia memang paling tahu. Seandainya dia seperti wanita-wanita lain, yang dililit utang, sering kehilangan kuncinya, sering ketinggalan kereta api, suka melakukan tindakan-tindakan bodoh hingga memerlukan bantuan orang lain untuk menyelesaikannya, pasti seluruh keluarganya akan jauh lebih menyayanginya. Menyedihkan dan kejam, tapi begitulah kehidupan. Padahal dia tidak mendapatkan keinginan-keinginannya dengan tipu muslihat. Dia orang yang merasa puas diri. Dia merasa senang dengan kekuasaan yang ada padanya dan penilaiannya sendiri, dan dia amat percaya diri. Sikap-sikap itulah yang amat sulit dihadapi bila seseorang masih muda." "Oh, aku tahu itu," kata Donald Craig. "Aku menyadari semuanya itu. Dan karena aku menyadari semuanya itulah aku merasa... aku bertanya sendiri..." Ia berhenti. MacMaster berkata dengan halus, "Sebaiknya kuselesaikan kalimatmu itu, ya, Don" Kau takut kalau-kalau Hester-mu yang mendengar pertengkaran antara ibunya dan Jacko lalu punya niat. Dan garagara nafsu pemberontakannya terhadap wibawa dan terhadap anggapan ibunya yang merasa diri mahatahu, ia lalu masuk ke kamar itu, mengangkat besi pengorek tersebut, dan membunuh ibunya. Itu yang kautakuti, bukan?" Pria muda itu mengangguk dengan rasa serba salah. "Tidak juga. Aku tak percaya itu, tapi... tapi aku merasa... aku merasa itu bisa terjadi. Aku yakin, Hester tak punya keseimbangan batin. Kurasa dia masih muda sekali, masih belum yakin akan dirinya, dan masih peka terhadap seranganserangan nafsu. Kuperhatikan keluarga itu, dan kurasa tak seorang pun di antara mereka yang melakukannya, sampai aku melihat Hester. Lalu... lalu aku yakin." "Oh, begitu," kata Dr. MacMaster. "Ya, aku mengerti." "Bukannya aku benar-benar menuduhnya," kata Donald Craig cepat-cepat. "Kurasa anak malang itu tidak menyadari apa yang dilakukannya. Aku tak bisa menyebutnya pembunuhan. Itu hanya suatu perbuatan yang merupakan perlawanan emosional, suatu pemberontakan, keinginan untuk bebas, berdasarkan keyakinan bahwa dia tidak akan pernah bebas, sampai... sampai ibunya sudah tak ada lagi." "Yang terakhir itu memang benar," kata MacMaster. "Itu satu-satunya motif yang ada, dan itu suatu motif yang aneh. Motif yang kelihatannya tak kuat di mata hukum. Keinginan untuk bebas, bebas dari pengaruh seseorang yang lebih kuat. Hanya karena tak seorang pun di antara mereka yang mewarisi uang dalam jumlah besar dengan kematian Mrs. Argyle, hukum menganggap mereka tak punya motif. Padahal kurasa, bahkan penanganan keuangan pun sebagian besar berada di tangan Mrs. Argyle, melalui pengaruhnya terhadap para anggota trust. Memang kematiannya membebaskan mereka semua. Bukan hanya Hester, anakku. Leo jadi bebas menikahi wanita lain. Mary jadi bebas mengurus suaminya dengan caranya sendiri, Micky jadi bebas menjalani hidupnya dengan cara yang disukainya sendiri. Bahkan si kuda kecil hitam, Tina, yang duduk di kantor perpustakaannya itu pun mungkin menginginkan kebebasan." "Aku merasa harus datang dan berbicara denganmu," kata Donald. "Aku ingin tahu bagaimana pikiranmu, apakah kaupikir... kaupikir itu mungkin benar?" "Mengenai Hester?" "Ya." "Kurasa itu mungkin benar," kata MacMaster lambat-lambat. "Tapi aku tak yakin." "Apakah menurutmu mungkin terjadi seperti yang kukatakan?" "Ya. Kurasa apa yang kaubayangkan itu tidak terlalu dicari-cari, dan ada unsur kemungkinannya. Tapi itu sama sekali belum pasti, Don." Anak muda itu mengangkat bahu sambil mendesah. "Tapi aku ingin kepastian, Mac. Itulah satu-satunya yang kurasa penting. Aku harus tahu. Kalau Hester menceritakannya padaku - kalau dia mengatakannya sendiri itu... itu tak apa-apa. Kami akan menikah secepat mungkin. Dan aku akan menjaganya." "Kalau begitu, sebaiknya Inspektur Huish jangan sampai mendengar ucapanmu itu," kata MacMaster datar. "Pada dasarnya, aku seorang yang sadar hukum," kata Donald, "tapi kau sendiri tahu betul, Mac, bagaimana orang menangani bukti-bukti psikologis dalam sidangsidang perkara. Padahal kupikir itu suatu kecelakaan yang mematikan, bukan suatu pembunuhan karena darah panas." "Kau benar-benar mencintai gadis itu," kata MacMaster. "Ingat, hanya padamu aku berbicara begini." "Aku mengerti," kata MacMaster. "Aku hanya ingin mengatakan bahwa bila Hester menceritakannya padaku, dan aku sudah tahu, kami akan menghadapinya bersama. Tapi dia harus menceritakannya padaku. Aku tak bisa menjalani hidup tanpa mengetahui kebenarannya." "Maksudmu, kau tidak bersedia menikah dengannya, dengan dibayangi kemungkinan itu?" "Seandainya kau berada di tempatku, apakah kau mau?" "Entahlah. Bila itu terjadi atas diriku waktu aku masih muda dulu, dan aku mencintai gadis itu, mungkin aku akan tetap berkeyakinan bahwa dia tak bersalah." "Bukan bersalah atau tak bersalah yang begitu penting, tapi aku harus tahu." "Dan sekiranya dia memang telah membunuh ibunya, apakah kau akan bersedia menikah dengannya, dan selanjutnya hidup berbahagia sepanjang masa, seperti kata orang dalam dongeng?" "Ya." "Jangan begitu yakin!" kata MacMaster. "Kau kelak akan bertanya-tanya apakah rasa pahit dalam kopimu betul-betul pahitnya kopi, dan kau akan berpikir bahwa besi pengorek di perapian kalian terlalu besar. Dan dia akan melihat kecurigaanmu. Itu tak baik...." BAB X "AKU yakin, Marshall, kau mau menerima alasanku untuk meminta datang dan menghadiri pertemuan ini." "Ya, tentu," kata Mr. Marshall. "Bahkan sekiranya Anda tidak mengusulkannya pun, Mr. Argyle, saya sendirilah yang akan datang. Semua surat kabar pagi ini sudah memuat berita itu, dan hal tersebut pasti akan menimbulkan kembali perhatian pers pada perkara itu." "Bahkan sudah ada beberapa yang menelepon kami dan meminta waktu untuk wawancara," kata Mary Durrant. "Ya, dan saya rasa itu memang wajar. Saya anjurkan supaya Anda menyatakan tak bisa memberikan komentar apa-apa. Bahwa Anda tentu senang sekali dan sangat bersyukur, tapi Anda lebih suka tidak membahas soal itu." "Inspektur Huish, yang waktu itu bertugas menangani perkara itu, telah minta izin untuk datang dan berbincang-bincang dengan kami besok pagi," kata Leo. "Ya. Ya, saya rasa perkara mi memang akan dibuka kembali, meskipun saya ragu sekali apakah polisi punya banyak harapan untuk mendapatkan hasil yang memuaskan. Soalnya, dua tahun sudah berlalu, dan apa-apa yang mungkin diingat orang pada saat itu - maksud saya orang-orang di desa - sekarang tentu sudah dilupakan. Hal itu memang sangat disayangkan, tapi tak bisa lain." "Agaknya semuanya sudah jelas sekali," kata Mary Durrant. "Rumah ini terkunci dengan aman terhadap pencuri. Tapi bila seseorang datang dan meminta bantuan Ibu dalam suatu masalah khusus, atau mengaku temannya, saya tak ragu, orang itu pasti diizinkan masuk oleh Ibu. Saya rasa itulah yang terjadi. Ayah menduga dia mendengar bel pintu, jam tujuh lewat sedikit." Marshall menoleh pada Leo dengan pandangan bertanya. "Ya, kalau tak salah begitulah," kata Leo. "Sekarang tentu tak ingat benar, tapi waktu itu rasanya aku mendengar bel. Aku sudah bersiap-siap akan turun, tapi lalu rasanya aku mendengar pintu terbuka dan kemudian tertutup. Aku tidak mendengar suara-suara, atau kemungkinan seseorang memaksa masuk atau bertindak menyerang. Kurasa, kalau ada tentu aku mendengarnya." "Ya, memang," kata Marshall. "Saya rasa tak diragukan lagi, begitulah kejadiannya. Kita tahu betul, banyak orang tak berbudi yang mendapat izin masuk ke sebuah rumah dengan menceritakan kisah sedih yang mudah dipercaya. Setelah diizinkan masuk, orang itu lalu menyerang pemilik rumah dan melarikan uang yang bisa didapatkannya. Ya, saya rasa kita sekarang harus beranggapan bahwa itulah yang terjadi." Ia berbicara dengan suara sangat meyakinkan. Sambil berbicara, ia memandang ke sekelilingnya, pada kumpulan kecil orang-orang itu. Diamatinya mereka dengan cermat, dan dicatatnya dalam otaknya. Mary Durrant, cantik, tak banyak khayalan, tak mau susah, agak menjaga jarak, dan kelihatannya yakin sekali pada dirinya sendiri. Di belakangnya, suaminya duduk di kursi roda. Philip Durrant, pikir Marshall, adalah orang yang cerdas. Ia seorang pria yang mungkin bisa berbuat banyak dan bisa maju, kalau saja ia tidak mengalami kegagalan-kegagalan dalam segala macam bisnisnya. Menurut Marshall, ia tidak setenang istrinya menanggapi semuanya itu. Matanya penuh kewaspadaan dan pikiran. Ia pasti mengerti benar duduk persoalannya. Meskipun tentu saja mungkin Mary tidak setenang penampilannya. Baik sebagai anak dan kemudian wanita dewasa, ia selalu bisa menyembunyikan perasaan-perasaannya. Mata Philip Durrant yang cerdas memandangi ahli hukum itu dengan agak mengejek. Waktu ia menggeser duduknya sedikit di kursi rodanya, Mary menoleh dengan mendadak. Ahli hukum itu agak terkejut melihat betapa besar cinta kasih yang terpancar dari matanya waktu ia memandang suaminya. Ia memang sudah tahu bahwa Mary Durrant seorang istri yang penuh pengabdian. Tapi selama ini Mary dianggapnya sebagai makhluk yang tenang, seolah-olah tak punya gairah, tanpa rasa cinta atau rasa benci mendalam, hingga ia terkejut melihat pandangan itu. Jadi, begitu rupanya perasaannya terhadap pria itu" Sedangkan Philip Durrant sendiri kelihatan resah. Mungkin ia ngeri menghadapi masa depannya, pikir Marshall. Memang pantas ia begitu! Di seberang ahli hukum itu duduk Micky. Seorang muda yang tampan tapi getir, pikir Marshall. Bukankah segala-galanya selalu dilakukan untuknya" Mengapa ia harus selalu kelihatan seperti orang yang ingin menentang dunia" Di sampingnya duduk Tina, yang kelihatan seperti seekor kucing hitam yang anggun. Kulitnya gelap sekali, suaranya halus, matanya besar dan gelap, dan gerak-geriknya lentur dan agak miring. Ia tenang, tapi apakah ada emosi di balik ketenangan itu" Sedikit sekali yang diketahui Marshall tentang Tina. Ia bekerja sebagai seorang ahli perpustakaan pada Perpustakaan Daerah, sesuai dengan yang dianjurkan Mrs. Argyle. Ia tinggal di sebuah flat di Redmyn, hanya 38 kilometer dari tempat ini. Namun Tina dan Micky bisa dianggap tak terlibat. Marshall memandang sekilas pada Kirsten Lindstrom yang sedang memandanginya dengan sikap bermusuhan. Mungkinkah dia yang telah menjadi mata gelap, lalu menyerang majikannya" Itu tidak akan mengherankannya. Sebenarnya bahkan tak ada yang mengherankan bagi seseorang yang sudah bertahun-tahun bergerak di bidang hukum. Ada istilah khusus yang dipakai untuk orang-orang semacam dia, yaitu "perawan tua yang tertekan". Mereka biasanya pengiri, cemburu, dan selalu sedih, baik dengan alasan maupun tidak. Ya, begitu anggapan orang tentang mereka. Dan kelihatannya memang tepat sekali, pikir Mr. Marshall. Ya, cocok sekali, apalagi ia seorang asing dan bukan anggota keluarga ini. Tapi apakah ia mau dengan sengaja menimpakan tuduhan palsu pada Jacko, karena ia mendengar pertengkaran itu, lalu memanfaatkan keadaan itu" Itu lebih sulit dipercaya, karena Kirsten Lindstrom amat menyayangi Jacko. Ia memang sayang sekali pada semua anak-anak itu. Tidak, ia tak percaya perempuan itu begitu. Sayang sekali, tapi ia tak boleh berpikiran begitu. Pandangannya beralih pada Leo Argyle dan Gwenda Vaughan. Pertunangan mereka belum diumumkan. Itu bagus. Itu merupakan keputusan yang bijak. Ia bahkan pernah menulis dan menyinggung soal itu. Meskipun mungkin itu sudah merupakan rahasia umum, dan polisi sudah memikirkannya. Menurut pandangan polisi, itu merupakan jawaban yang tepat. Sudah banyak sekali contoh sebelumnya. Suami, istri, dan wanita ketiga. Tapi, entah mengapa, Marshall tak bisa percaya bahwa Leo Argyle yang menyerang istrinya. Tidak, ia tak bisa percaya itu. Soalnya, sudah bertahun-tahun ia mengenal Leo Argyle, dan ia mempunyai penilaian tinggi mengenai diri pria itu. Leo seorang yang berpendidikan. Seorang pria yang berhati hangat terhadap orang lain, banyak membaca, dan punya pandangan terhadap hidup. Ia bukan tipe laki-laki yang mungkin membunuh istrinya dengan sebatang Mata Rantai Yang Hilang Ordeal By Innocence Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo besi pengorek. Meskipun mungkin - pada umur tertentu, ketika seorang pria jatuh cinta lagi - tapi tidak! Itu berita surat kabar yang enak dibaca pada hari-hari Minggu di seluruh Kepulauan Britania! Tapi kita tak bisa membayangkan Leo... Bagaimana dengan wanita itu! Ia tidak begitu tahu tentang Gwenda Vaughan. Tampak bibirnya yang penuh dan potongan tubuhnya yang matang. Jelas ia mencintai Leo. Bahkan mungkin sudah bertahun-tahun mencintainya. Bagaimana kira-kira perasaan Mrs. Argyle mengenai perceraian" Ia benar-benar tak tahu. Tapi menurutnya, tak mungkin Leo Argyle punya niat begitu, karena ia berpandangan kolot. Menurutnya, Gwenda Vaughan bukan pula pacar gelap Leo Argyle. Dalam hal itu, makin besar kemungkinan bahwa Gwenda Vaughan melihat kesempatan untuk menyingkirkan Mrs. Argyle, karena yakin bahwa orang tak mungkin mencurigainya. Ia berhenti, tak mau melanjutkan pikirannya itu. Mungkinkah Gwenda akan mau mengorbankan Jacko tanpa ragu-ragu" Menurutnya, Gwenda tidak begitu suka pada Jacko. Daya tarik Jacko tidak mempengaruhinya. Padahal Mr. Marshall tahu benar bahwa kaum wanita bisa kejam sekali. Jadi kita tak bisa mengecualikan Gwenda Vaughan. Tapi setelah sekian lama, sangat diragukan apakah polisi akan bisa mendapatkan bukti. Ia sendiri pun tak bisa melihat bukti yang memberatkan Gwenda Vaughan. Gwenda memang ada di rumah itu, pada hari itu. Ia berada bersama Leo Argyle di ruang perpustakaan, mengucapkan selamat malam pada Leo, lalu meninggalkannya dan menuruni tangga. Tak seorang pun bisa mengatakan apakah ia tidak membelok, masuk ke kamar duduk Mrs. Argyle, lalu mengambil besi pengorek, dan berjalan ke belakang wanita yang tidak merasa curiga itu, yang sedang menunduk menekuni kertas-kertas di meja kerjanya. Lalu setelah itu, setelah menghantam Mrs. Argyle yang tak sempat berteriak, Gwenda Vaughan melemparkan besi pengorek itu, keluar lewat pintu depan, dan pulang seperti yang selalu dilakukannya. Pandangannya beralih pada Hester. Seorang anak manis. Tidak, tidak hanya manis, tapi benar-benar cantik. Kecantikan yang aneh dan kurang menyenangkan. Marshall ingin tahu siapa orangtuanya yang sebenarnya. Kadang-kadang ia kelihatan kejam dan liar. Ya, kita bisa menggunakan kata nekat untuknya. Tapi mengapa ia harus nekat" Ia pernah melarikan diri dengan cara yang bodoh untuk naik pentas, dan dengan bodoh pula ia menjalin cinta dengan seorang laki-laki yang tak beres. Kemudian ia insaf, kembali pada Mrs. Argyle, dan hidup tenang lagi. Namun kita tak bisa mengecualikan Hester, karena kita tak tahu bagaimana jalan pikirannya. Kita tak tahu bagaimana reaksinya pada saat ia merasakan putus asa yang tak beralasan itu. Tapi polisi pun tidak akan tahu itu. Bahkan, pikir Mr. Marshall, meskipun polisi sudah memastikan siapa yang bertanggung jawab, agaknya mereka tak mungkin bisa berbuat sesuatu. Hingga pada umumnya, keadaannya jadi tidak memuaskan. Memuaskan" Ia agak terkejut sendiri ketika terpikir olehnya perkataan itu. Tapi apakah itu memuaskan" Apakah jalan buntu sebenarnya merupakan jalan keluar yang baik dalam perkara ini" Apakah keluarga Argyle sendiri tahu keadaan yang sebenarnya, tanyanya sendiri. Lalu dipastikannya sendiri bahwa tidak demikian halnya. Mereka tidak tahu. Kecuali tentu seorang di antara mereka yang pasti tahu betul. Tidak, mereka tak tahu, tapi apakah mereka curiga" Yah, kalau sekarang mereka tidak curiga, sebentar lagi mereka akan curiga. Karena kalau kita tak tahu, mau tak mau kita tentu bertanya-tanya, kita mencoba mengingat-ingat. Tidak menyenangkan. Ya, ya, keadaan yang tidak menyenangkan. Semua pikirannya itu tak banyak makan waktu. Mr. Marshall sadar dari renungannya, dan menyadari pandangan Micky yang lekat pada dirinya. Pandangan yang memancarkan ejekan. "Jadi itu keputusan terakhir Anda, Mr. Marshall?" kata Micky. "Dia adalah orang luar, orang berwatak buruk yang telah membunuh, merampok, dan bisa lolos?" "Agaknya itulah yang harus kita terima." Micky mengempaskan punggungnya ke sandaran kursi, lalu tertawa. "Jadi itulah kisah kita, dan kita akan bertahan di situ, begitu?" "Yah, begitulah Michael, itulah yang bisa saya anjurkan." Jelas terdengar nada peringatan dalam suara Mr. Marshall. Micky mengangguk. "Oh, begitu," katanya. "Itu yang Anda anjurkan. Ya, ya, saya yakin Anda benar. Tapi Anda sendiri tak yakin, bukan?" Mr. Marshall menatapnya dengan pandangan dingin. Itulah sulitnya dengan orangorang yang tak bijak. Mereka suka mengucapkan kata-kata yang sebenarnya jauh lebih baik bila tidak diucapkan. "Pokoknya," katanya, "begitulah pendapat saya." Pada bicaranya yang tegas, terdengar teguran keras. Micky memandang ke sekeliling meja. "Bagaimana pendapat kita semua?" tanyanya secara umum. "Hei, Tina sayang, jangan menunduk diam-diam begitu terus. Apakah kau tak punya gagasan-gagasan" Yah, kata-kata yang tak berarti, umpamanya" Dan kau, Mary," kata Micky dengan agak tajam. "Kau tak banyak bicara." "Aku tentu sependapat dengan Mr. Marshall," kata Mary dengan tajam. "Apakah ada penjelasan yang lain dari itu?" "Philip kelihatannya tidak sependapat denganmu," kata Micky. Mary menoleh dengan mendadak, akan melihat pada suaminya. Philip Durrant berkata dengan tenang, "Sebaiknya jaga mulutmu, Micky. Tak pernah ada baiknya bila orang terlalu banyak bicara dalam keadaan terdesak. Dan kita sekarang dalam keadaan terdesak." "Jadi tak ada seorang pun yang punya pendapat, ya?" kata Micky. "Baiklah. Biar saja. Tapi sebaiknya kita semua memikirkannya sedikit, waktu kita akan berangkat tidur nanti malam. Soalnya mungkin itu baik. Soalnya lagi, bukankah kita ingin tahu bagaimana keadaan kita sebenarnya" Apakah kau tak tahu apa-apa, Kirsty" Biasanya kau tahu banyak. Sepanjang ingatanku, kau selalu tahu apa yang terjadi, meskipun terus terang, kau tak pernah mengatakannya." Dengan sikap anggun Kirsten berkata, "Kurasa kau memang harus menjaga mulutmu, Micky. Benar kata Mr. Marshall, terlalu banyak bicara itu tak baik." "Sebaiknya kita mengadakan pemungutan suara," kata Micky lagi. "Atau menuliskan sebuah nama pada secarik kertas, lalu dikumpulkan. Kurasa akan menarik sekali, ya, kalau kita melihat nama siapa yang terbanyak ditulis." Kali ini suara Kirsten Lindstrom menjadi nyaring. "Diam," katanya. "Jangan bodoh dan nekat seperti waktu kau masih kecil. Kau sekarang sudah dewasa." "Maksudku hanya, sebaiknya kita pikirkan," kata Micky dengan agak terkejut. "Memang kita akan memikirkannya," kata Kirsten Lindstrom. Suaranya terdengar getir. BAB XI HARI telah malam di Sunny Point. Dengan dilindungi tembok-temboknya, tujuh orang masuk ke kamar masing-masing untuk beristirahat, tapi tak seorang pun bisa tidur nyenyak. Philip Durrant - sejak ia sakit dan kehilangan kemampuan tubuhnya, makin lama makin merasa mendapatkan hiburan dalam kegiatan mentalnya. Ia memang cerdas. Kini ia sadar dan merasa sumber-sumbernya terbuka melalui kecerdasannya itu. Kadang-kadang ia menghibur diri dengan meramalkan reaksi-reaksi orang-orang di sekelilingnya terhadap rangsangan-rangsangan tertentu. Apa-apa yang dikatakan dan dilakukannya sering kali bukan merupakan pernyataan yang wajar, melainkan suatu pernyataan yang diperhitungkan, yang semata-mata dilakukannya untuk mengamati reaksi terhadap perbuatannya itu. Itu menjadi suatu permainan yang disukainya. Bila melihat reaksi seperti yang diharapkannya, ia merasa dirinya menang. Sebagai akibat dari hiburannya sendiri itu, ia menemukan, untuk pertama kali dalam hidupnya, bahwa ia suka sekali mengamati perbedaan-perbedaan dan kenyataan-kenyataan dari kepribadian manusia. Padahal sebelumnya kepribadian manusia tak pernah diminatinya benar. Ia hanya bisa merasakan suka atau tak suka, terhibur, atau merasa bosan terhadap orangorang yang ada di sekelilingnya atau yang ditemuinya. Sebelumnya ia manusia pekerja, bukan manusia pemikir. Daya khayalnya yang banyak itu, selama ini dimanfaatkannya untuk melaksanakan berbagai rencana untuk mengumpulkan uang. Semua rencana itu intinya sehat, tapi karena ia sama sekali tak punya kemampuan menjalankan bisnis, usahanya selalu berakhir dengan kegagalan. Selama ini, manusia hanya dianggapnya sebagai unsur dalam permainan saja. Kini, sejak penyakitnya memutuskan hubungannya dari kehidupan aktifnya dulu, ia terpaksa memperhatikan bagaimana manusia itu sendiri. Hal itu telah dimulainya di rumah sakit, tempat ia terpaksa memperhatikan kehidupan cinta para perawat, bentrokan-bentrokan dalam diam di antara mereka, dan kesedihan-kesedihan kecil dalam hidup di rumah sakit, karena tak ada kegiatan lain. Dan kini hal itu telah benar-benar menjadi kebiasaannya. Manusia hanya itulah kini yang menjadi perhatiannya. Ya, hanya orang-orang. Manusia untuk dipelajari dan diteliti, untuknya menarik kesimpulan. Ia menentukan sendiri apa yang membuat seseorang melakukan sesuatu, lalu menyelidiki apakah ia benar. Dan hal itu ternyata memang bisa menarik sekali.... Malam ini umpamanya, saat ia duduk di ruang perpustakaan tadi, baru disadarinya betapa sedikit sebenarnya ia mengenal keluarga istrinya. Seperti apa mereka sebenarnya" Artinya, bagaimana batin mereka semuanya, bukan penampilan mereka di luar, yang sudah cukup dikenalnya. Aneh, betapa dangkalnya kita mengenal manusia. Bahkan istrinya sendiri. Ia memandangi Mary sambil merenung. Berapa banyak sebenarnya yang diketahuinya tentang Mary" Ia jatuh cinta pada Mary karena ia menyukai kecantikan dan pembawaan Mary yang tenang dan serius. Juga karena Mary punya uang, dan hal itu penting baginya. Ia akan berpikir dua kali sebelum mengawini seorang gadis yang tak punya uang. Semuanya sesuai sekali, dan ia pun menikah dengannya, dan menggodanya dengan menyebutnya Polly. Ia suka melihat pandangan Mary yang ragu bila ia membuat lelucon yang artinya tak bisa ditangkap Mary. Tapi apa sebenarnya yang diketahuinya tentang Mary" Tentang apa yang dirasakan dan dipikirkan Mary" Ia tahu pasti bahwa Mary mencintainya dengan kasih sayang yang dalam dan penuh gairah. Dan mengenang kasih sayang itu, ia bergeser sedikit dengan susah payah, menegangkan pundaknya, seolah-olah ingin meringankan suatu beban. Kasih sayang memang menyenangkan bila kita bisa meninggalkannya selama sembilan atau sepuluh jam dalam sehari. Memang menyenangkan kalau kita pulang disambut dengan kasih sayang itu. Tapi kini ia dibalut dengan kasih sayang itu, dijaga, diurus, dibelai. Kita jadi ingin agak diabaikan sedikit Kita bahkan ingin mencari jalan untuk melepaskan diri. Dengan cara-cara mental, karena tak ada cara lain. Kita jadi ingin melepaskan diri ke alam angan-angan atau spekulasi. Ya, spekulasi. Mengenai siapa yang bertanggung jawab atas kematian ibu mertuanya, umpamanya. Selama ini ia memang tak suka pada ibu mertuanya itu, begitu pula sebaliknya. Wanita itu tak menginginkan Mary menikah dengannya (Apakah ia suka kalau Mary menikah dengan orang lain" tanyanya sendiri), tapi ia tak berhasil mencegah mereka. Ia dan Mary memulai hidup dengan berbahagia dan bebas. Lalu mulailah terjadi kesulitan-kesulitan. Mula-mula dengan perusahaan Amerika Selatan itu, lalu dengan Perusahaan Peralatan Sepeda. Keduanya sebenarnya merupakan perusahaan-perusahaan yang baik, tapi yang berwenang menilai permodalannya buruk. Lalu disusul pula dengan pemogokan di bidang perkeretaapian di Argentina. Itu merupakan puncak dari bencana-bencana tersebut. Semuanya memang soal nasib buruk, tapi dalam beberapa hal, ia merasa Mrs. Argyle-lah yang bertanggung jawab. Wanita itu tak ingin menantunya sukses. Lalu datang pula penyakitnya. Agaknya, satu-satunya jalan keluar untuk mereka adalah tinggal di Sunny Point, tempat mereka pasti diterima baik. Ia sendiri sebenarnya tidak keberatan. Seorang laki-laki lumpuh yang tinggal setengahnya saja manusia, apa bedanya di mana ia tinggal" Tapi Mary keberatan. Yah, ternyata mereka tak perlu tetap tinggal di Sunny Point. Mrs. Argyle terbunuh. Para anggota trust menyerahkan uang tunjangan Mary yang menjadi haknya, dan mereka pun hidup sendiri lagi. Ia tidak terlalu merasa sedih atas kematian Mrs. Argyle. Tentu saja lebih menyenangkan bila wanita itu meninggal gara-gara sakit radang paru-paru atau semacamnya, di tempat tidurnya. Pembunuhan adalah urusan menyakitkan yang memberikan nama buruk dan berita-berita koran yang mencolok. Namun kalau ditinjau dari sudut pembunuhan sendiri, itu merupakan suatu pembunuhan yang baik. Agaknya pada diri si pembunuh terdapat sebuah sekrup yang tidak beres, hingga bisa disimpulkan dengan sempurna sebagai suatu perbuatan yang berlatar belakang kelainan jiwa. Ia bukan adik kandung Mary. Ia hanya seorang "anak angkat" yang leluhurnya tak baik dan sering menjadi orang jahat. Tapi kini keadaannya jadi tak baik. Besok Inspektur Huish akan datang untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan dengan suara halusnya yang berlogat West Country itu. Mungkin mereka harus memikirkan jawaban-jawabannya. Mary sedang menyikat rambutnya yang pirang dan panjang di depan cermin. Ada sesuatu dalam sikap tenangnya yang menjaga jarak itu yang menjengkelkan Philip. "Sudah siap dengan jawabanmu untuk besok, Polly?" tanya Philip. Mary menoleh padanya dengan pandangan heran. "Besok Inspektur Huish akan datang. Dia akan mengulangi pertanyaan-pertanyaannya lagi mengenai gerak-gerik kita pada malam tanggal 9 November itu." "Oh, itu. Itu sudah lama sekali. Sulit sekali mengingatnya lagi." "Tapi dia bisa, Polly. Itulah soalnya. Dia bisa. Itu semua tertulis dalam sebuah buku catatan kecil kepolisian." "Begitukah" Apakah mereka menyimpannya?" "Mungkin mereka menyimpan segala sesuatu dalam rangkap tiga selama sepuluh tahun! Yah, mengenai gerak-gerikmu sih sederhana sekali, Polly. Kau tidak melakukan apa-apa. Kau berada di kamar ini bersamaku. Dan kalau aku jadi kau, aku tidak akan menyebutkan bahwa kau meninggalkan kamar ini antara jam tujuh dan setengah delapan." "Tapi itu kan hanya untuk pergi ke kamar mandi," kata Mary memberikan alasan. "Semua orang kan harus pergi ke kamar mandi." "Kau tidak berkata begitu padanya waktu itu. Aku yang mengatakannya, kau ingat, kan?" "Kurasa aku lupa." "Kurasa mungkin itu merupakan nalurimu untuk melindungi diri. Pokoknya aku ingat, aku mendukungmu. Kita berada di sini, kita main picquet, mulai dari jam setengah tujuh sampai Kirsty berteriak. Begitulah jawaban kita, dan kita harus bertahan pada jawaban itu." "Baiklah, Sayang." Kata persetujuan itu diucapkan dengan tenang, tanpa minat. "Apakah dia tak punya daya khayal?" pikir Philip. "Tidakkah disadarinya bahwa kami akan menghadapi masa sulit?" Philip membungkukkan tubuhnya. "Hanya itukah yang menarik bagimu" Polly, kau memang hebat." Wajah Mary agak memerah. "Apakah ada yang aneh dalam hal itu?" "Tidak, tak ada. Tapi, yah, aku lain. Aku ingin tahu." "Kurasa kita tidak akan pernah tahu. Kurasa polisi pun tidak akan pernah tahu." "Mungkin tidak. Pasti sedikit sekali yang bisa mereka jadikan dasar. Tapi kedudukan kita lain sekali dari polisi." "Apa maksudmu, Philip?" "Yah, pada kita ada beberapa hal kecil di dalam, yang kita ketahui. Kita mengenal orang-orang dalam lingkungan kecil kita ini dari dalam, kita mengerti betul apa yang membuat mereka melakukan sesuatu. Kau juga pasti tahu. Kau telah tumbuh bersama mereka. Coba kudengar pandangan-pandanganmu. Bagaimana pendapatmu dalam hal ini?" "Aku tak tahu apa-apa, Philip." "Kalau begitu, terka saja." Dengan tajam Mary berkata, "Aku lebih suka tak tahu siapa yang melakukannya. Aku bahkan lebih suka tidak berpikir tentang hal itu." "Kau bersikap seperti burung unta yang menyembunyikan kepalanya ke dalam tanah dalam kesulitan," kata suaminya. "Sungguh, aku tak mengerti apa gunanya menerka segalanya. Jauh lebih baik kalau kita tak tahu. Supaya kita semua bisa hidup seperti biasa lagi." "Oh, tidak. Itu tak bisa," kata Philip. "Di situlah kekeliruanmu, sayangku. Keadaan sudah mulai memburuk." "Apa maksudmu?" "Yah, lihat saja Hester dan pacarnya - Dr. Donald, anak muda yang serius itu. Dia anak muda yang baik dan serius, dan sekarang dia khawatir. Sebenarnya dia tak yakin bahwa Hester yang melakukannya! Jadi dia lalu memandangi Hester dengan khawatir sekali, kalau dirasanya Hester tak menyadarinya. Padahal sebenarnya Hester sadar. Nah, begitulah! Mungkin memang Hester yang melakukan perbuatan itu - kaulah yang lebih tahu daripada aku - tapi kalau dia tidak melakukannya, bagaimana hubungannya dengan pacarnya itu" Apakah dia harus terus-menerus berkata, 'Percayalah, bukan aku yang melakukannya.'" Tapi kurasa pasti dia berkata begitu." "Ah, Philip, kurasa kau berangan-angan saja." "Soalnya kau sama sekali tak bisa berangan-angan, sih, Polly. Lalu lihatlah Leo yang malang. Rencana perkawinannya dengan Gwenda makin menjauh. Gadis itu susah sekali karenanya. Tidakkah kaulihat itu?" Mata Rantai Yang Hilang Ordeal By Innocence Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Aku sebenarnya tak mengerti untuk apa Ayah menikah lagi, pada usianya yang sekian itu." "Dia tahu alasannya! Tapi dia juga menyadari bahwa percintaannya dengan Gwenda menyebabkan mereka berdua jadi punya motif yang besar sekali untuk membunuh. Sungguh tak enak!" "Rasanya tak masuk akal membayangkan barang sesaat saja bahwa Ayah yang membunuh Ibu!" kata Mary. "Hal-hal serupa itu tak pernah terjadi." "Pernah. Baca saja surat-surat kabar." "Tapi mereka bukan orang-orang macam kita." "Pembunuhan tidak pilih bulu, Polly. Lalu lihatlah Micky. Pasti ada sesuatu yang menyiksanya. Dia anak muda yang aneh dan getir. Tina agaknya bebas, dia tidak khawatir, tidak terpengaruh. Tapi wajahnya itu... datar sekali. Lalu ada pula si Tua Kirsty yang malang." Wajah Mary menjadi agak ceria. "Nah, mungkin di situ letak penyelesaiannya!" "Kirsty?" "Ya. Soalnya dia orang asing. Dan dia sering sekali pusing selama setahun-dua tahun terakhir ini. Rasanya lebih mungkin dia yang melakukannya daripada siapa pun di antara kita". "Kasihan dia," kata Philip. "Tidakkah kausadari bahwa dia sendiri pun berkata begitu" Yaitu bahwa kita semua pasti sependapat dialah yang melakukannya" Hanya untuk mudahnya saja. Karena dia bukan anggota keluarga. Apa kau tidak lihat tadi, bahwa dia ketakutan setengah mati" Dia berada dalam keadaan yang sama dengan Hester. Apa yang bisa dikatakan atau dilakukannya" Haruskah dia berkata pada kita, 'Aku tidak membunuh majikan yang sekaligus sahabatku itu!'" Apa kekuatan pernyataan itu" Baginya keadaan ini mungkin yang terburuk daripada bagi siapa pun juga, karena dia seorang diri. Akan diulang-ulanginya terus dalam otaknya setiap perkataan yang sudah diucapkannya, setiap pandangan marah yang pernah ditujukannya pada ibumu - dengan merasa bahwa itu akan diingat orang untuk membuktikan dirinya. Dia tak berdaya untuk membuktikan dirinya tak bersalah." "Sebaiknya kau agak lebih tenang, Phil. Soalnya, apalah yang bisa kita lakukan dalam hal itu?" "Sekadar mencari tahu kebenarannya." "Tapi bagaimana itu mungkin?" "Mungkin ada saja jalannya. Aku ingin mencoba." Mary kelihatan resah. "Bagaimana caranya?" "Ah, hanya dengan mengatakan sesuatu, lalu melihat reaksi orang-orang. Bisa saja kita mengarang-ngarang" - ia diam sebentar, sementara otaknya bekerja - "kata-kata yang mungkin ada artinya bagi seseorang yang bersalah, tapi tak berarti bagi seseorang yang tak bersalah." Ia diam lagi, terus membalik-balik pikirannya. Ia mendongak, lalu berkata, "Tak inginkah kau membantu orang yang tak bersalah, Mary?" "Tidak." Perkataan itu keluar bagaikan suatu ledakan. Lalu ia mendatangi Philip dan berlutut di dekat kursi rodanya. "Aku tak ingin kau melibatkan diri dalam semuanya ini, Phil. Jangan katakan apa-apa dan jangan memasang perangkap. Biarkan sajalah keadaan ini begini. Aduh, demi Tuhan, tinggalkanlah persoalan itu!" Alis Philip naik. "Ya-ah," katanya. Lalu diletakkannya tangannya ke atas kepala berambut halus berwarna keemasan itu. II Michael Argyle terbaring saja tanpa bisa tidur. Ia menerawang dalam gelap. Pikirannya berputar-putar seperti seekor tupai dalam sebuah sangkar, membolakbalik masa lalu. Mengapa ia tak bisa melepaskan dirinya" Mengapa ia harus menyeret masa lalunya sepanjang hidupnya" Lalu apa pengaruhnya" Mengapa ia harus selalu mengingat dengan begitu jelas kamar pengap tapi menyenangkan di daerah kumuh di London itu, tempat ia adalah "Micky kami". Suasana santai yang sangat menyenangkan itu! Bersenang-senang di jalan-jalan! Berkelompok dengan anak-anak lain! Ibunya yang berambut cerah keemasan (setelah dewasa, baru disadarinya bahwa rambut itu selalu dikeramas dengan bahan murahan), kemarahan-kemarahannya yang mendadak, pada saat ibunya memukulnya (pasti gara-gara minuman keras!), dan betapa riang ibunya bila sedang dalam keadaan senang. Maka mereka akan makan malam yang enak, terdiri atas ikan dan kentang goreng, dan ibunya pun menyanyikan lagu-lagu, balada-balada yang menyentuh hati. Kadang-kadang mereka pergi menonton bioskop. Dan tentu selalu ada saja oom-oom. Begitulah ia harus menyebut mereka. Ayahnya sendiri sudah minggat sebelum ia sempat mengingatnya. Tapi ibunya tak pernah membolehkan pria-pria itu menyentuhnya. "Jangan sentuh Micky kami," katanya pada mereka. Lalu pecahlah perang yang menegangkan itu. Semua orang takut pesawat-pesawat pembom Hitler akan datang. Sirene-sirene berbunyi sebelum tiba saatnya. Mengaumaum. Mereka harus masuk ke lubang-lubang perlindungan dan tinggal di situ sepanjang malam. Menyenangkan sekali! Penduduk di sepanjang jalan ada di situ. Mereka membawa makanan dan minuman. Dan kereta-kereta api tetap saja menderuderu sepanjang malam. Itulah kehidupan, itu yang menyenangkan! Dengan segala kesibukannya! Lalu ia dibawa kemari, ke pinggiran kota ini. Ke tempat yang hidup tapi terasa mati ini, tempat tak ada kejadian apa-apa! "Kau akan kembali, Sayang, bila semuanya ini sudah berlalu," kata ibunya dengan nada ringan, seolah-olah itu tak benar. Agaknya ibunya tak peduli ia pergi. Lalu mengapa ibunya tidak ikut" Padahal banyak anak-anak di jalan mereka yang mengungsi bersama ibu-ibu mereka. Tapi ibunya tak mau pergi. Ia malah pergi ke arah utara (dengan seorang oom yang terbaru, Oom Harry!). Katanya untuk bekerja di bidang persenjataan. Seharusnya ia sudah tahu saat itu, meskipun ibunya mengucapkan kata perpisahan dengan kasih sayang. Ibunya sebenarnya tidak menyayanginya. Minuman keras, pikirnya, hanya itulah yang diinginkan ibunya. Minuman keras dan pria-pria. Dan ia pun tinggal di sini, terperangkap, seperti narapidana. Ia makan tanpa selera, makanan yang tak biasa dimakannya, pergi tidur pada jam yang tak masuk akal, pukul enam sore, setelah makam malam, makanan yang tak masuk akal pula: susu dan biskuit (susu dan biskuit, bayangkan!). Dan ia tak bisa tidur Ia menangis dengan menyembunyikan kepalanya di bawah selimut. Menangisi ibu dan rumahnya. Itu gara-gara perempuan itu! Perempuan itu telah menemukannya dan tak mau melepaskannya lagi. Banyak omong kosongnya. Ia selalu disuruh memainkan permainan-permainan bodoh. Perempuan itu menginginkan sesuatu darinya. Sesuatu yang tidak akan diberikannya. Tapi biarlah. Ia akan menunggu. Ia akan bersabar! Dan pada suatu hari kelak - suatu hari yang gemilang - ia akan pulang. Kembali ke jalan-jalan anak-anak, bus-bus merah ceria dan stasiun bawah tanah, serta ikan dengan kentang goreng, juga lalu lintas dan kucing-kucing jalanan. Dengan penuh gairah pikirannya melayang ke hal-hal menyenangkan itu. Ia harus menunggu. Peperangan tidak akan berlangsung terus. Ia terperangkap di tempat yang tak enak ini, sementara seluruh kota London dijatuhi bom dan separo kota London terbakar uh! Betapa hebat nyalanya tentu; orang-orang terbunuh dan rumah-rumah ambruk. Semua itu dilihatnya dalam angan-angannya, semuanya dalam warna-warni cemerlang. Biarlah. Bila perang sudah usai, ia akan kembali kepada Ibu. Ibu pasti akan terkejut sekali melihatnya sudah besar. Dalam gelap itu Micky mengembuskan napasnya dengan berdesis. Peperangan memang berlalu. Hitler dan Mussolini dikalahkan. Beberapa di antara anak-anak pulang. Tak lama lagi. Lalu pada suatu hari perempuan itu kembali dari London, dan mengatakan bahwa ia akan tetap tinggal di Sunny Point, dan akan menjadi anaknya sendiri. Ia bertanya, "Mana ibu saya" Apakah dia kena bom?" Sekiranya ia tewas oleh bom, yah, itu tidak terlalu menyakitkan. Itu terjadi atas para ibu anak-anak lain. Tapi Mrs. Argyle berkata, "Tidak." Ibunya tidak tewas. Melainkan ada suatu pekerjaan sulit yang harus dikerjakannya, dan ia tak bisa memelihara anak dengan baik - pokoknya semacam itulah kata-katanya, kata-kata manis yang tak ada artinya. Ibunya tidak mencintainya, tidak menginginkannya kembali. Ia harus tinggal di sini, selama-lamanya. Setelah itu, diam-diam ia bersembunyi dan mencoba mendengarkan percakapan orang. Dan akhirnya didengarnya sesuatu, meskipun hanya sepotong percakapan antara Mrs. Argyle dan suaminya. "Dia malah senang sekali bisa berpisah dari anak itu. Dia sama sekali tak peduli." Lalu didengarnya ucapan seratus pound. Dan tahulah ia, ibunya telah menjualnya seharga seratus pound. Rasa terhina, rasa perih - ia tak pernah sembuh dari perasaan-perasaan itu. Dan perempuan itulah yang membelinya! Dilihatnya perempuan itu sebagai suatu perwujudan kekuasaan, terhadap siapa ia tak berdaya, karena ia hanya memiliki kekuatan yang tak berarti! Tapi ia akan tumbuh. Pada suatu hari nanti ia akan menjadi kuat, menjadi seorang laki-laki. Lalu ia akan membunuh perempuan itu. Setelah bertekad begitu, ia merasa lebih tenang. Kemudian, setelah ia pergi untuk kuliah, keadaan jadi tidak begitu buruk. Tapi ia benci pada hari-hari libur, karena akan bertemu dengan perempuan itu. Perempuan itu mengurus segala-galanya, membuat rencana-rencana, dan memberinya bermacam-macam hadiah. Perempuan itu kelihatan heran karena ia tak pernah memperlihatkan kegembiraannya. Ia benci dicium perempuan itu. Dan kemudian ia senang bisa menggagalkan rencana-rencana yang telah dibuat perempuan itu untuknya. Ia disuruh bekerja di bank! Atau di perusahaan minyak. Ia tidak mau. Ia mau pergi mencari pekerjaan sendiri. Waktu duduk di perguruan tinggi, ia mencoba melacak ibunya. Didapatnya berita bahwa ibunya sudah meninggal beberapa tahun yang lalu dalam suatu kecelakaan mobil, bersama seorang laki-laki yang mengemudikan mobil dalam keadaan mabuk berat. Jadi, mengapa tidak dilupakan saja" Mengapa tidak dijalani saja hidup ini dan bersenang-senang" Ya, mengapa tidak" Dan kini, apa yang akan terjadi sekarang" Perempuan itu sudah meninggal, bukan" Perempuan itu mengira ia bisa membeli dirinya seharga seratus pound. Dikiranya ia bisa membeli segala-galanya - rumah-rumah, mobil-mobil, dan anak-anak, karena ia tak bisa melahirkan sendiri. Dikiranya ia Tuhan Yang Mahakuasa! Nah, ternyata bukan. Hanya suatu pukulan dengan sebatang besi pengorek di kepalanya, dan ia pun menjadi mayat, sama seperti mayat-mayat lain! (Sama seperti mayat berambut keemasan dalam kecelakaan mobil di Great North itu.) Perempuan itu sekarang sudah meninggal, bukan" Mengapa harus pusing" Ada apa dengan dirinya" Apakah... karena ia tak bisa membenci perempuan itu lagi, gara-gara ia sudah meninggal" Jadi itulah kematian. Tanpa rasa bencinya itu, ia merasa kehilangan - kehilangan dan takut. BAB XII DALAM kamar yang rapi, terpelihara tanpa cacat, Kirsten Lindstrom menjalin rambut pirangnya yang kaku, menjadi dua jalinan yang tidak bagus, lalu bersiapsiap tidur. Ia susah dan takut. Polisi tidak menyukai orang-orang asing. Sudah sekian lama ia di Inggris ini, hingga ia sendiri sudah tidak merasa seperti orang asing lagi. Tapi polisi tak mau tahu itu. Dr. Calgary itu - mengapa ia harus datang dan menjadikannya begini" Bukankah keadilan sudah dijalankan" Ia teringat akan Jacko, lalu diulanginya lagi dalam hati bahwa keadilan sudah dijalankan. Ia mengenang Jacko sebagaimana ia mengenalnya sejak anak itu masih kanak-kanak. Selalu, ya, ia selamanya pembohong dan penipu! Tapi ia begitu menarik dan Pewaris Ilmu Tokoh Sesat 3 Pendekar Mabuk 014 Pedang Guntur Biru Ksatria Negeri Salju 1