Ceritasilat Novel Online

Mayat Misterius 4

Mayat Misterius The Clocks Karya Agatha Christie Bagian 4


besar, tetapi karena saya tidak pernah tahu berapa harga barang-barang celaka
itu atau kapan mereka dapat dikirim - saya dipecat.
"Satu-satunya hal yang dapat saya lakukan adalah berdansa dan bermain tenis.
Saya diterima di sebuah hotel di Riviera. Lumayan di sana. Pekerjaan saya tidak
terlalu jelek. Tetapi pada suatu kali saya mendengar kata-kata seorang kolonel
tua, benar-benar seorang kolonel tua, sudah amat tua sekali, khas Inggris sampai ke
ujung jari-jarinya, dan selalu bercerita tentang Poona. Ia mendatangi pimpinan
hotel dan berseru keras-keras,
"Di mana si gigolo itu" saya perlu mencari si gigolo. Istri saya dan anak saya
mau berdansa, Anda tahu" Di mana laki-laki itu" Berapa sih upahnya" Saya mau si
gigolo." Raymond melanjutkan, "Sebenarnya saya yang bodoh karena merasa sakit hati
oleh kata-katanya itu - tetapi begitulah. Saya tinggalkan pekerjaan itu, datang
kemari. Di sini gajinya lebih kecil, tetapi pekerjaannya lebih menyenangkan.
Kebanyakan tugas saya hanya mengajar wanita-wanita gemuk bermain tenis, yang
selamanya tidak akan pernah bisa bermain dengan baik, dan juga berdansa dengan
anak-anak gadis orang-orang kaya, yang tidak mempunyai pasangan. Nah, ya,
begitulah hidup ini. Maafkan, hari ini saya hanya mengeluh saja!"
Ia tertawa. Giginya putih gemerlapan dan matanya berkerut di ujung-ujungnya.
Tiba-tiba ia kelihatan sehat, bergembira, dan penuh vitalitas.
Kata Sir Henry, "Saya senang dapat mengobrol dengan Anda. Sudah lama saya
ingin berbicara dengan Anda."
"Mengenai Ruby Keene" Saya tidak dapat membantu Anda, Anda tahu" Saya tidak
tahu siapa yang telah membunuhnya. Saya tahu sedikit sekali tentang dirinya. Ia
tidak pernah membuka isi hatinya kepada saya."
Kata Nona Marple, "Apakah Anda menyukainya?"
"Tidak terlalu. Saya juga tidak membencinya." Suara Raymond kedengarannya
santai, acuh, tidak mengandung emosi.
Kata Sir Henry, "Jadi Anda tidak bisa memberikan pendapat?"
"Saya kira tidak .... Kan sudah saya kemukakan kepada Harper seandainya saya
mempunyai opini. Menurut saya pembunuhan itu salah satu pembunuhan yang
umum! Perbuatan keji tanpa tujuan - tanpa tanda-tanda - tanpa motif."
"Ada dua orang yang mempunyai motif," kata Nona Marple.
Sir Henry memandang Nona Marple dengan tajam.
"Betul?" tanya Raymond keheranan.
Nona Marple memberikan suatu pandangan mendesak kepada Sir Henry. Akhirnya
Sir Henry berkata berat hati,
"Kematiannya mungkin menguntungkan Nyonya Jefferson dan Tuan Gaskell
sebanyak lima puluh ribu pound."
"Apa?" Raymond benar-benar terkejut - bahkan lebih daripada sekadar terkejut dia
terpukul. "Oh, tetapi itu gila - betul-betul gila - Nyonya Jefferson -mereka
berdua-tidak mungkin terlibat dalam hal ini. Hanya membayangkannya saja sudah
tidak masuk akal." Nona Marple mendehem. Katanya lembut, "Sayang sekali, rupanya Anda seorang
idealis." "Saya?" Raymond tertawa. "Sama sekali tidak! Saya seorang sinis tulen."
"Uang," kata Nona Marple, "adalah motif yang amat kuat."
"Boleh jadi," kata Raymond getol. "Tetapi mustahil saya bisa mempercayai bahwa
salah satu dari mereka berdua sanggup mencekik seorang gadis dengan darah
dingin -" Dia menggelengkan kepalanya. Lalu ia bangkit.
"Itu Nyonya Jefferson. Dia datang untuk pelajaran tenisnya. Ia terlambat."
Suaranya kedengaran mengandung nada heran. "Terlambat sepuluh menit!"
Adelaide Jefferson dan Hugo McLean sedang berjalan tergesa-gesa menuju tempat
mereka. Dengan senyum permintaan maaf untuk keterlambatannya, Addie Jefferson pergi
ke lapangan. McLean duduk di bangku. Setelah bertanya dengan sopan, apakah Nona Marple
keberatan jika ia mengisap pipanya" Ia menyulutnya, dan untuk beberapa saat
duduk mengepul-ngepulkan asapnya dalam kebisuan sambil mengamati kedua
sosok tubuh yang berpakaian putih-putih di lapangan tenis dengan mata yang
kritis. Akhirnya ia berbicara, "Saya tidak mengerti mengapa Addie memerlukan
pelajaran. Bermain beberapa set, oke. Tidak ada orang lain yang lebih senang
bermain bersamanya daripada saya. Tetapi mengapa ia membutuhkan pelajaran?"
"Mau meningkatkan permainannya," jawab Sir Henry.
"Permainannya tidak jelek," kata Hugo. "Termasuk lumayan. Persetan, dia kan
tidak berniat main di Wimbledon?"
Dia bisu beberapa menit lamanya. Lalu katanya, "Siapa sih si Raymond ini" Dari
mana datangnya mereka, orang-orang profesional ini" Orang ini tampaknya seperti
seorang jipsi." "Ia salah satu dari keluarga Starr di Devonshire," kata Sir Henry.
"Apa" Ah, tidak mungkin."
Sir Henry mengangguk. Jelas berita ini tidak menyenangkan Hugo McLean.
Wajahnya semakin mendung.
Katanya, "Saya tidak mengerti untuk apa Addie memanggil saya kemari. Ia
tampaknya tenang-tenang saja menghadapi persoalan ini! Bahkan bertambah
cantik. Untuk apa memanggil saya?"
Sir Henry bertanya dengan sedikit nada ingin tahu, "Kapan dia memanggil Anda?"
"Oh - eh - ketika semuanya itu terjadi."
"Bagaimana berita itu sampai kepada Anda" Dengan telepon atau telegram?"
"Telegram." "Saya cuma sekadar ingin tahu, tetapi kapan telegram itu dikirim?"
"Eh - saya tidak tahu persis."
"Lha pukul berapa Anda menerimanya?"
"Bukan saya yang menerimanya. Saya menerima berita telegram itu lewat
telepon." "Mengapa" Waktu itu Anda ada di mana?"
"Sebetulnya, saya telah meninggalkan London sore hari sebelumnya. Saya
menginap di Danebury Head."
"Apa - yang ada di dekat sini?"
"Ya, agak lucu, bukan"! Saya menerima berita itu ketika saya baru pulang dari
bermain golf dan saya langsung kemari."
Nona Marple memandangnya sambil berpikir. McLean tampaknya kepanasan dan
salah tingkah. Kata Nona Marple, "Saya dengar di Danebury Head tempatnya enak sekali, dan
tidak begitu mahal."
"Ya, memang tidak mahal. Kalau mahal, mana saya mampu membayarnya.
Tempat kecil yang nyaman sekali."
"Kita harus berjalan-jalan ke sana pada suatu hari," kata Nona Marple.
"Heh" Apa" - Oh - eh - iya, ide yang bagus." McLean bangkit. "Sebaiknya saya
berolahraga sedikit - untuk membangkitkan nafsu makan."
Dia berjalan meninggalkan mereka dengan canggung.
"Perempuan," kata Sir Henry. "Selalu memperlakukan lelaki yang mengagumi
mereka dengan jelek sekali."
Nona Marple tersenyum tetapi tidak memberikan jawaban.
"Apakah dia memberikan kesan seperti orang yang menjemukan?" tanya Sir
Henry. "Saya ingin tahu pendapat Anda."
"Sedikit terbatas dalam cara berpikirnya, saya kira," kata Nona Marple. "Tetapi
ia bisa ditingkatkan, ya - saya kira ia pasti bisa ditingkatkan."
Sekarang tiba giliran Sir Henry yang berdiri. "Sudah waktunya bagi saya untuk
menunaikan tugas saya. Saya lihat Nyonya Bantry sedang dalam perjalanan kemari
untuk menemani Anda."
Nyonya Bantry sampai di sana sambil terengah-engah dan menghenyakkan dirinya
di bangku dengan helaan napas panjang.
"Aku baru datang dari berbicara dengan gadis-gadis pelayan yang membersihkan
kamar. Tetapi tidak ada hasilnya. Aku tidak bisa menemukan apa-apa lagi! Apakah
mungkin gadis ini bisa mempunyai seorang pacar tanpa diketahui oleh seorang pun
di hotel ini?" "Itu suatu pertanyaan yang menarik, Dolly. Saya pikir, pasti tidak mungkin,
Seseorang pasti akan tahu, aku yakin, seandainya memang dia mempunyai pacar!
Tetapi gadis ini tentunya juga amat berhati-hati dengan urusan pribadinya."
Perhatian Nyonya Bantry beralih ke lapangan tenis. Katanya memuji, "Permainan
Addie banyak kemajuannya. Petenis profesional itu pemuda tampan. Addie juga
kelihatan cantik. Dia masih menarik - aku tidak heran kalau ia menikah lagi."
"Ia juga akan menjadi wanita kaya, kalau Tuan Jefferson meninggal," kata Nona
Marple. "Oh, jangan selalu mempunyai pikiran yang begitu curiga, Jane! Mengapa
kau masih belum membereskan misteri ini" Kita rasanya tidak maju-maju. Tadinya
aku mengira kau akan segera tahu." Nada suara Nyonya Bantry mengandung
celaan. "Tidak, tidak, Dolly. Aku tidak segera tahu -tidak untuk beberapa waktu
lamanya." Nyonya Bantry memalingkan kepalanya. Terkejut. Matanya menatap mata
temannya dengan tidak percaya.
"Maksudmu, sekarang kau tahu siapa yang membunuh Ruby Keene?"
"Oh, iya," kata Nona Marple,"itu aku tahu!" "Tetapi, Jane - kalau begitu, siapa"
Ayo, cepat katakan!"
Nona Marple menggeleng-gelengkan kepalanya dengan tegas dan
mencemberutkan bibirnya. "Maafkan, Dolly, tetapi itu tidak bisa kulakukan."
"Mengapa tidak bisa?"
"Karena kau begitu gegabah. Kau akan menceritakannya kepada setiap orang atau,
kalau kau tidak sampai cerita, kau akan memberikan sentilan."
"Tidak, aku tidak akan cerita. Aku tidak akan mengatakannya kepada seorang jua
pun." "Orang-orang yang berkata demikian selalu orang-orang yang paling tidak bisa
memegang janjinya. Percuma, Dolly. Masih banyak yang harus dikerjakan. Masih
banyak hal yang belum jelas. Kauingat, aku pernah tidak menyetujui Nyonya
Partridge menjalankan derma untuk palang merah, dan aku tidak bisa
mengemukakan alasannya. Alasannya, aku melihat hidungnya bergetar, persis
seperti gadis pelayanku, Alice, yang bergetar cuping hidungnya setiap kali aku
menyuruhnya membayarkan langganan bukuku. Ia selalu mengambil satu shilling
dari uangku dan mengatakan kepada pemilik toko buku itu supaya 'memasukkan
kekurangannya ke dalam rekening bulan depan.' Ya, persis seperti yang dilakukan
Nyonya Partridge. Hanya saja ia menipu dalam jumlah yang lebih banyak. Dia
melarikan uang tujuh puluh lima pound."
"Jangan bicarakan Nyonya Partridge," kata Nyonya Bantry.
"Tetapi aku harus menjelaskannya kepadamu. Dan kalau kau memang ingin tahu,
aku akan memberikan suatu sentilan. Letak kesalahan dalam kasus ini adalah
setiap orang terlalu mudah menerima dan cepat percaya. Orang sama sekali tidak
boleh mempercayai segala sesuatu yang dikatakan orang. Kalau ada hal-hal yang
mencurigakan, aku tidak pernah mempercayai seorang pun! Kau tahu, aku sudah
begitu mengenal watak manusia."
Nyonya Bantry terdiam sejenak. Lalu katanya dengan nada suara yang lain.
"Aku kan pernah berkata kepadamu, bahwa aku tidak melihat alasannya mengapa
aku tidak bisa menikmati sensasi kasus ini" Suatu pembunuhan yang sungguhsungguh
telah terjadi di dalam rumahku sendiri! Hal begini tidak akan terjadi lagi."
"Aku pun berharap begitu," kata Nona Marple.
"Begitu pula aku. Satu kali sudah lebih dari cukup. Tetapi ini kasus
pembunuhanku, Jane; aku ingin bisa menikmatinya."
Nona Marple memandang tajam.
Nyonya Bantry berkata dengan garang. "Apakah kau juga tidak percaya kepada
kata-kataku ini?" Kata Nona Marple dengan manis. "Tentu saja, Dolly, kalau kau yang berkata
begitu." "Ya, tetapi kau tidak pernah mempercayai apa yang dikatakan orang, bukan" Kau
baru saja berkata begitu. Nah, kau benar." Suara Nyonya Bantry tiba-tiba berubah
getir. Katanya, "Aku bukan orang yang benar-benar bodoh. Mungkin kau berpikir,
Jane, bahwa aku tidak tahu apa yang dikatakan orang di St. Mary Mead - di
seluruh dusun! Mereka mengatakan satu sama lain bahwa tidak akan ada asap kalau tidak
ada api, bahwa kalau gadis itu ditemukan di perpustakaan Arthur, pasti Arthur
terlibat dengannya. Ada yang mengatakan bahwa gadis itu adalah simpanan Arthur
- bahwa ia anaknya yang tidak sah - bahwa gadis itu sedang memerasnya. Mereka
mengatakan apa saja yang terpikirkan oleh otak-otak celaka mereka! Dan ini akan
terus berlangsung! Pada mulanya Arthur tidak akan menyadarinya - ia tidak akan
tahu apa kesalahannya. Ia begitu polos, dia tidak pernah menduga orang-orang
bisa berpikiran begitu buruknya tentang dirinya. Ia akan diacuhkan, dicemoohkan, dan
dihina, tidak dipandang sebelah mata (apa pun artinya ungkapan ini!) dan sedikit
demi sedikit ia baru akan merasa dan tiba-tiba ia akan menjadi begitu terkejut,
begitu terpukul, ia akan mengucilkan dirinya sendiri dan hanya bisa membatin
saja, dari hari ke hari, hidup di dalam kesedihan.
"Justru karena apa yang akan terjadi padanya itulah maka aku kemari untuk
mencari tahu segala sesuatu mengenai kasus ini sebisa-bisaku! Pembunuhan ini
harus dapat dipecahkan! Kalau tidak, seluruh hidup Arthur akan hancur - dan aku
tidak mau hal itu terjadi. Aku tidak rela! Tidak rela! Tidak rela!"
Ia berhenti sejenak, lalu katanya, "Aku tidak mau Pak Tua itu harus menderita
untuk kesalahan yang tidak dibuatnya. Itulah satu-satunya alasan mengapa aku
datang ke Danemouth dan meninggalkannya seorang diri di rumah - guna mencari
kebenarannya." "Aku mengerti, Dolly," kata Nona Marple. "Itulah mengapa aku juga di sini."
BAB EMPAT BELAS Di dalam kamar hotel yang tenang itu, tanpa emosi, Edwards mendengarkan Sir
Henry Clithering. "Ada beberapa pertanyaan tertentu yang ingin saya tanyakan, Edwards. Tetapi
pertama-tama saya ingin Anda terlebih dulu mengerti posisi saya di sini. Saya
pernah menjadi komisaris polisi Scotland Yard. Sekarang saya sudah pensiun.
Majikan Anda telah memanggil saya kemari ketika tragedi ini terjadi. Ia meminta
saya untuk mempergunakan semua ketrampilan dan pengalaman saya untuk
mencari kebenarannya."
Sir Henry berhenti. Edwards, yang memandang teman bicaranya dengan matanya yang bening dan
cerdas, menganggukkan kepalanya. Katanya, "Memang demikian, Tuan Henry."
Clithering melanjutkan dengan perlahan dan tegas, "Dalam setiap kasus polisi,
banyak informasi penting yang disembunyikan. Informasi ini disembunyikan
karena berbagai alasan - mungkin karena dapat mengungkapkan aib dalam suatu
keluarga. Mungkin karena hal itu dianggap tidak ada kaitannya dengan kasus
tersebut. Mungkin karena dikuatirkan akan menimbulkan kecanggungan dan
perasaan malu kepada pihak-pihak yang bersangkutan."
Lagi-lagi Edwards berkata, "Memang demikian, Tuan Henry."
"Saya berharap, Edwards. Sekarang Anda sudah mengerti pokok-pokok masalah
urusan ini. Gadis yang mati itu sedianya akan menjadi anak pungut Tuan Jefferson
melalui adopsi. Ada dua orang yang mempunyai motif untuk mencegah terjadinya
hal ini. Kedua orang tersebut adalah Tuan Gaskell dan Nyonya Jefferson."
Untuk sejenak lamanya mata pelayan ini bersinar. Katanya, "Bolehkah saya
bertanya, apakah mereka dalam bahaya, Tuan?"
"Kalau maksudmu apakah mereka akan ditahan, jawabnya tidak. Tetapi sudah pasti
polisi mencurigai mereka dan tetap akan mencurigai mereka sampai kasus ini
terbongkar." "Suatu kedudukan yang tidak menyenangkan bagi mereka. Tuan."
"Amat tidak menyenangkan. Sekarang, untuk mencapai kebenaran, orang harus
mempunyai semua faktanya. Banyak yang tergantung, yang pasti tergantung pada
reaksi, kata-kata, dan tindakan-tindakan Tuan Jefferson dan anggota keluarganya.
Bagaimana perasaan mereka, reaksi apa yang mereka tunjukkan, apa yang mereka
katakan. Saya bertanya kepada Anda, Edwards. Untuk memperoleh informasi
orang dalam - jenis informasi dalam yang hanya diketahui oleh Anda. Anda
mengenal perubahan-perubahan perasaan majikan Anda. Dari melihat ini
semuanya, Anda barangkali bisa mengetahui apa yang menyebabkannya. Saya
bertanya ini bukan sebagai seorang polisi, tetapi sebagai teman Tuan Jefferson.
Maksudnya, kalau apa yang Anda ceritakan kepada saya, menurut saya tidak
relevan untuk kasus ini, saya tidak akan meneruskannya kepada polisi."
Ia berhenti. Edwards berkata dengan tenang. "Saya mengerti, Tuan. Tuan ingin saya berbicara
secara terbuka-menceritakan hal-hal yang biasanya tidak seharusnya saya


Mayat Misterius The Clocks Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ceritakan - dan, maafkan saya - yang biasanya Tuan pun tidak ingin mendengarnya."
Kata Sir Henry, "Anda amat cerdas, Edwards. Itu memang tepat apa yang saya
maksudkan." Edwards terdiam beberapa saat lamanya, kemudian dia mulai berbicara.
"Tentu saja, sekarang saya sudah cukup mengenal Tuan Jefferson dengan baik.
Saya sudah mengikutinya selama bertahun-tahun. Dan saya pernah melihatnya
pada saat-saat dia 'jatuh', bukan hanya pada saat-saat dia 'jaya'. Terkadang,
Tuan, saya sering bertanya-tanya sendiri, apakah benar bagi seorang manusia untuk
melawan nasib seperti yang dilakukan Tuan Jefferson" Hal itu telah menguras
banyak tenaganya, Tuan. Kalau seandainya terkadang dia mau menerima kalah
saja, mengakui dirinya seorang tua dan tidak berbahagia, yang kesepian dan patah
semangat - nah, mungkin itu lebih baik baginya, pada akhirnya. Tetapi ia terlalu
angkuh untuk berbuat demikian. Dia lebih baik memilih mati berjuang, begitu
semboyannya. "Tetapi sikapnya ini, Tuan Henry, membuatnya menjadi terlalu senewen.
Kelihatannya ia sabar. Tetapi saya pernah melihatnya dalam keadaan naik pitam
sampai ia tidak bisa berbicara. Dan satu-satunya hal yang dapat membuatnya
marah besar, Tuan, adalah ketidakjujuran..."
"Apakah Anda menceritakan ini dengan maksud tertentu, Edwards?"
"Iya, Tuan, betul. Tuan meminta saya berbicara dengan terus terang?"
"Itulah kehendak saya."
"Nah, kalau begitu, Tuan Henry, menurut saya, gadis muda yang telah begitu
memikat Tuan Jefferson sebenarnya adalah manusia yang tidak berharga untuk
dipermasalahkan. Terus terang saja, ia perempuan mata duitan yang kampungan.
Dan dia sama sekali tidak sungguh-sungguh memikirkan Tuan Jefferson. Semua
lagaknya mencurahkan perhatian dan rasa terima kasihnya itu semata-mata
hanyalah sandiwara. Saya tidak mengatakan bahwa ia jahat - tetapi ia sama sekali
bukan apa yang disangka Tuan Jefferson. Sebenarnya lucu juga, Tuan. Tuan
Jefferson pengusaha yang cerdik; biasanya ia tidak mudah ditipu orang. Tetapi
yah, bagaimana" Seorang laki laki umumnya tidak dapat menilai dengan tepat lagi
apabila berhadapan dengan seorang wanita muda. Nyonya Jefferson muda adalah
orang yang banyak diandalkan Tuan Jefferson untuk mendapatkan simpatinya.
Tetapi musim semi ini ia banyak berubah. Tuan Jefferson melihatnya dan dia
merasa tersinggung. Dia suka sekali kepada Nyonya Jefferson, Tuan tahu" Tuan
Mark tidak pernah terlalu disukainya."
Sir Henry memotong, "Namun Tuan Jefferson selalu mengajak Tuan Mark
bersamanya?" "Ya, tetapi itu demi Nona Rosamund, istri Tuan Mark. Nona Rosamund, anak
kesayangan Tuan Jefferson. Dia menyayanginya setengah mati. Tuan Mark, suami
Nona Rosamund. Begitulah selalu tampaknya di mata Tuan Jefferson."
"Seumpama Tuan Mark menikah dengan orang lain?"
"Tuan Jefferson pasti akan marah sekali."
Sir Henry mengangkat alisnya. "Sampai di sana?"
"Oh, Tuan Jefferson tidak akan memperlihatkan perasaannya, tetapi ia pasti akan
menyimpan perasaan begitu."
"Dan jika Nyonya Jefferson yang akan kawin lagi?"
"Tuan Jefferson juga tidak akan senang, Tuan."
"Silakan melanjutkan cerita Anda, Edwards."
"Saya berkata tadi bahwa Tuan Jefferson terpikat oleh gadis ini. Saya sudah
sering menyaksikan hal demikian terjadi pada orang-orang yang pernah menjadi majikan
saya. Penyakit ini menyerang mereka seperti suatu wabah saja. Mereka mau
melindungi si gadis, mau menyelamatkannya, dan menghujaninya dengan berbagai
pemberian - dan sembilan dari sepuluh kali, si gadis ini sebetulnya orang yang
cukup mampu untuk mengurus dirinya sendiri dan yang matanya sebenarnya
sedang mengincar kesempatan yang utama."
"Jadi Anda menganggap Ruby Keene seorang yang licin?"
"Nah, Tuan Henry. Ia masih kurang berpengalaman karena usianya masih begitu
muda. Tetapi ia mempunyai bakat menjadi perempuan yang licin sekali. Ia telah
memperoleh pengalamannya. Dalam waktu lima tahun lagi seumpama ia tidak
mati, ia sudah menjadi orang yang ahli dalam permainan ini!"
Kata Sir Henry, "Saya gembira mendapat kesempatan mendengarkan pendapat
Anda tentang dirinya. Itu berharga sekali. Sekarang, apakah Anda ingat ketika
soal adopsi ini pertama disinggung oleh Tuan Jefferson di hadapan keluarganya" Apa
yang dibicarakan?" "Tidak banyak yang dibicarakan, Tuan. Tuan Jefferson mengumumkan apa yang
sudah menjadi tekadnya dan menghentikan segala jenis bentuk protes. Dia
membungkam mulut Tuan Mark, yang agak berani mengutarakan pendapatnya.
Nyonya Jefferson tidak berkata banyak - dia pendiam - dia hanya memohon supaya
Tuan Jefferson tidak berbuat apa-apa dengan terburu nafsu."
Sir Henry mengangguk. "Ada yang lain lagi" Bagaimana sikap gadis itu sendiri?"
Dengan mimik mencibir, pelayan ini berkata, "Saya menamakan sikapnya girang
bukan kepalang." "Ah - girang, kata Anda" Anda tidak mempunyai alasan untuk menduga, Edwards,
bahwa -" Sir Henry berpikir mencari istilah yang tepat untuk telinga Edwards,
"bahwa - eh - kegembiraannya itu disebabkan karena meluapnya rasa cintanya?"
"Tuan Jefferson bukan melamarnya menjadi istri, Tuan. Dia hanya ingin
mengambilnya sebagai anak."
"Kalau begitu, pertanyaan itu saya ulangi tetapi yang saya tanyakan adalah rasa
cintanya kepada orang lain?"
Pelayan ini berkata dengan perlahan, "Ada satu insiden, Tuan. Saya kebetulan
menjadi saksinya." "Itu suatu keuntungan. Ceritakan."
"Mungkin sebenarnya tidak berarti apa-apa, Tuan. Tetapi, pada suatu hari gadis
ini kebetulan membuka tasnya dan sebuah potret jatuh. Tuan Jefferson memungutnya
dan berkata, "Lho, Manis, siapa orang ini, heh?"
"Potret itu potret seorang pemuda, Tuan. Seorang pemuda yang agak kehitaman,
dengan rambut yang acak-acakan dan dasinya miring.
"Nona Keene berpura-pura bahwa ia tidak mengenalnya. Katanya, 'Aku tidak tahu,
Jeffie. Sama sekali tidak tahu. Aku tidak tahu bagaimana foto ini bisa masuk ke
dalam tasku. Aku tidak menyimpannya di sana!"
"Nah, Tuan Jefferson bukanlah seorang yang bodoh. Alasan itu kurang masuk akal.
Tuan Jefferson tampak gusar, alisnya turun dan suaranya menjadi kasar. Ia
berkata, "Ayo, Manis, jangan begitu. Kau pasti tahu siapa ini."
Gadis itu segera mengganti taktiknya. Dia tampak ketakutan. Katanya, "Sekarang
aku ingat. Orang ini terkadang datang kemari dan aku pernah berdansa
bersamanya. Aku tidak tahu namanya. Si tolol itu tentunya telah memasukkan
fotonya sendiri ke dalam tasku pada suatu hari. Pemuda-pemuda ini memang
benar-benar konyol!"
Dia berpaling ke belakang dan tertawa mengikik, dan menganggap masalahnya
selesai. Tetapi itu bukan cerita yang masuk akal, toh" Dan saya pikir Tuan
Jefferson juga tidak begitu percaya. Tuan Jefferson memandangnya satu atau dua
kali dengan pandangannya yang tajam, lalu setiap gadis itu keluar, Tuan
Jefferson selalu menanyakan dari mana datangnya."
Kata Sir Henry, "Apakah Anda pernah melihat orang yang di foto itu di hotel
ini?" "Setahu saya tidak, Tuan. Tetapi tentu saja saya tidak begitu sering turun
berada di antara tamu-tamu." Sir Henry mengangguk. Dia menanyakan beberapa pertanyaan lagi, tetapi Edwards
sudah tidak dapat menceritakan lebih banyak.
*** Di markas polisi di Danemouth, Kepala Inspektur Harper sedang mewawancarai
Jessie Davis, Florence Small, Beatrice Henniker, Mary Price, dan Lilian
Ridgeway. Mereka adalah gadis-gadis sebaya, meskipun agak berlainan dalam mentalitas dan
latar belakang. Mereka berasal dari tingkat keluarga 'dusun' sampai keluarga
'petani' dan anak pemilik-pemilik toko. Mereka menceritakan kisah yang sama
bahwa Pamela Reeves tidak tampak lain daripada biasanya, ia tidak menceritakan
apa-apa kecuali bahwa ia akan pergi ke toko Woolworth dan akan pulang dengan
bis yang lebih malam. Di sudut kantor Kepala Inspektur Harper, duduk seorang nenek. Gadis-gadis ini
hampir-hampir tidak melihatnya. Kalaupun mereka melihatnya, barangkali mereka
hanya bertanya-tanya siapa gerangan orang ini. Yang pasti ia bukanlah seorang
polwan. Mungkin mereka mengira nenek ini juga seorang saksi seperti mereka,
yang menunggu gilirannya untuk diwawancarai.
Gadis yang terakhir dipanggil sudah dipersilakan keluar.
Kepala Inspektur Harper menghapus keringat dari keningnya dan berpaling kepada
Nona Marple. Pandangannya penuh pertanyaan, tetapi tidak mengandung harapan.
Di lain pihak Nona Marple berbicara dengan tegas. "Saya ingin berbicara dengan
Florence Small." Alis Kepala Inspektur Harper naik, tetapi ia mengangguk dan memijat belnya.
Seorang petugas polisi muncul.
Kata Harper, "Florence Small."
Gadis ini menghadap kembali, diantarkan oleh petugas polisi tadi. Ia anak
seorang petani yang cukup kaya - seorang gadis yang tinggi perawakannya dan berambut
pirang, mulutnya tampak agak tolol, dan matanya yang cokelat memantulkan sinar
ketakutan Dia sedang meremas-remas jari-jarinya dan tampak gelisah.
Kepala Inspektur Harper memandang Nona Marple, yang mengangguk.
Kepala Inspektur Harper bangkit, katanya, "Ibu ini akan menanyakan beberapa
pertanyaan kepada Anda."
Kepala Inspektur Harper keluar, dan menutup pintu di belakangnya.
Florence memandang Nona Marple dengan canggung. Matanya bersinar persis
seperti mata salah seekor anak sapi ayahnya.
Kata Nona Marple, "Duduklah, Florence."
Florence Small duduk dengan patuh. Tanpa disadarinya, tiba-tiba ia merasa lebih
santai, lebih berkurang takutnya. Suasana kantor polisi yang belum dikenalnya
dan menakutkan baginya, sekarang telah diganti oleh sesuatu yang lebih dikenalnya,
suara orang dewasa dengan nada memerintah yang memang sudah terbiasa
memberikan perintah. Kata Nona Marple, "Kau mengerti, Florence. Hal yang paling penting adalah untuk mengetahui segala
sesuatu mengenai kegiatan Pamela pada hari kematiannya."
Florence berbisik bahwa ia mengerti.
"Dan saya yakin kau mau berbuat sebisa-bisamu untuk membantu."
Mata Florence tampak was-was ketika ia berkata bahwa tentu saja ia bersedia
membantu. "Menyembunyikan sepotong informasi adalah pelanggaran yang amat parah," kata
Nona Marple. Jari-jari gadis ini melilit-lilit di atas pangkuannya. Ia menelan
air liurnya satu atau dua kali.
"Saya bisa memberikan keringanan," lanjut Nona Marple. "Karena kau tentunya
takut harus berhubungan dengan polisi. Kau juga takut dipersalahkan tidak
mengatakannya lebih pagi. Mungkin kau juga takut dipersalahkan tidak mencegah
Pamela pada waktu itu. Tetapi kau harus menjadi gadis yang berani dan berterus
terang. Kalau sekarang kau menolak mengatakan apa yang kauketahui, hal ini akan
menjadi persoalan yang amat parah - amat parah - praktis kau memberikan
kesaksian palsu, dan untuk itu, seperti yang kauketahui, kau bisa dimasukkan
penjara." "Saya - saya tidak -"
Nona Marple berkata dengan ketus, "Ayo, sekarang jangan pakai berbohong lagi,
Florence! Ceritakan kepada saya sekarang juga! Pamela tidak berniat pergi ke
Woolworth, bukan?" Florence membasahi bibirnya dengan lidah yang kering dan memandang Nona
Marple dengan pandangan memohon, seperti seekor hewan yang akan dijagal.
"Ini ada hubungannya dengan film, bukan?" tanya Nona Marple.
Suatu pandangan lega bercampur kagum berkelebat di wajah Florence.
Kebisuannya lenyap. Dia berkata terbata-bata, "Oh, iya!"
"Saya pikir juga begitu," kata Nona Marple. "Sekarang saya minta semua
keterangannya. Silakan."
Kata-kata mengalir dari bibir Florence seperti banjir bandang.
"Oh! Saya begitu kuatir. Saya telah berjanji kepada Pam, Anda tahu, bahwa saya
tidak akan mengatakannya kepada seorang jua pun. Dan ketika ia ditemukan
hangus di dalam mobil itu - oh! Seram sekali dan saya pikir saya mau mati - saya
merasa bahwa itu karena kesalahan saya. Seharusnya saya cegah kepergiannya.
Hanya saja saya tidak pernah membayangkan barang sedetik pun, bahwa Pam akan
pergi ke tempat yang berbahaya. Kemudian ketika saya ditanyai apakah Pam
biasabiasa saja pada hari itu, saya menjawab 'ya' sebelum saya sempat berpikir
panjang. Karena pada saat itu saya tidak berkata apa-apa, saya tidak tahu bagaimana saya
bisa berkata apa-apa kemudian. Sebetulnya, saya tidak tahu apa-apa - tidak
benarbenar tahu - hanya apa yang pernah Pam katakan kepada saya."
"Apa yang pernah dikatakan Pam kepadamu?"
"Itu terjadi pada waktu kami berjalan bersama-sama ke halte bis - dalam
perjalanan kami ke rally. Pam bertanya apakah saya bisa menyimpan rahasia, dan saya
berkata 'Ya'. Dia memaksa saya bersumpah tidak akan membocorkannya. Ia akan
pergi ke Danemouth untuk di tes main film sehabis rally dan bahwa ia telah
bertemu dengan seorang produser film - yang baru kembali dari Hollywood,
katanya. Orang itu mencari seorang gadis dengan tipe tertentu, dan dia berkata
kepada Pam bahwa Pam-lah yang dicarinya. Tetapi ia memperingatkan Pam
supaya tidak terlalu berbesar hati. Katanya, orang tidak bisa tahu sampai
setelah orang itu dilihat dari hasil pemotretannya. Mungkin tes ini tidak akan berhasil.
Yang dicarinya adalah seseorang untuk membawakan peranan Bergner, katanya.
Pemerannya harus yang masih muda. Ceritanya mengenai seorang pelajar yang
bertukar tempat dengan seorang artis pentas dan yang mempunyai karir bagus.
Katanya ia dapat melihat bahwa Pam bisa berakting, tetapi Pam masih
membutuhkan latihan yang intensif. Jadi bukan hanya hal-hal yang enak saja,
katanya. Malahan kalau Pam diterima, itu berarti Pam harus bekerja keras. Apakah
Pam bisa tahan?" Florence Small berhenti untuk mengambil napas. Nona Marple merasa agak muak
mendengarkan tipuan-tipuan klasik yang sering dijumpainya di film-film dan
buku-buku novel. Pamela Reeves, seperti kebanyakan gadis lainnya, tentunya telah
diperingatkan orang tuanya supaya tidak berbicara dengan orang asing - namun
daya tarik dunia film pasti telah melunturkan semuanya itu.
"Orang itu malah bersikap amat terbuka," lanjut Florence. "Katanya kalau tes itu
berhasil, Pamela akan dibuatkan kontrak. Dan katanya, karena Pamela masih muda
dan tidak berpengalaman, seharusnya ia meminta bantuan seorang pengacara untuk
meneliti kontraknya sebelum kontrak itu ditandatangani. Tetapi Pamela tidak
boleh memberitahukan orang bahwa ialah yang telah mengajarnya berbuat demikian. Dia
juga bertanya apakah Pam nanti akan mendapat kesulitan dari orang tuanya. Dan
Pam berkata kira-kira begitu. Lalu orang ini berkata, 'Nah, itu sudah tentu
karena kau masih semuda ini, tetapi saya kira jika hal ini dibeberkan kepada mereka
sebagai kesempatan yang bagus yang tidak mungkin kembali untuk kedua kalinya,
mereka tentu akan mengerti.' Tetapi, katanya, sekarang tidak ada gunanya
membicarakan soal itu sebelum mereka mengetahui bagaimana hasil tesnya. Pam
diperingatkan supaya tidak kecewa apabila gagal. Dia menceritakan soal
Hollywood dan tentang Vivien Leigh - bagaimana bintang ini tiba-tiba telah
menaklukkan kota London - dan bagaimana asal mulanya orang bisa terjun ke
dunia film yang gemerlapan itu. Ia sendiri baru pulang dari Amerika untuk
bekerja di Lenville Studios dan memberikan semangat baru ke dalam perusahaan film
Inggris." Nona Marple mengangguk. Florence melanjutkan, "Jadi semuanya sudah diatur. Pam harus pergi ke
Danemouth setelah rally dan bertemu dengan orang ini di hotelnya. Dan dia akan
membawanya ke studio mereka (mereka mempunyai studio kecil sebagai tempat
pengetesan di Danemouth, katanya). Di sana Pam akan diuji dan dari sana dia bisa


Mayat Misterius The Clocks Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pulang dengan bis. Pam dapat memberikan alasan pulang dari berbelanja, dan dia
akan memberi kabar tentang hasil tesnya dalam waktu beberapa hari, dan jika
semuanya bagus, Tuan Harmsteiter, pimpinannya, akan datang dan berbicara
dengan orang tua Pam. "Nah, tentu saja semuanya ini kedengarannya begitu menyenangkan! Saya malah
merasa iri! Pam melewati kegiatan rally dengan tenang - kami selalu memberinya
nama si Wajah Batu, karena ia tidak pernah menunjukkan emosinya- Lalu, ketika
ia berkata bahwa ia akan pergi ke Danemouth, ke toko Woolworth, dia
mengedipkan matanya sedikit kepada saya.
"Saya melihatnya berjalan pergi." Florence mulai menangis. "Seharusnya saya
mencegahnya. Seharusnya saya tahu bahwa apa yang diceritakannya tidak
mungkin benar. Seharusnya saya memberitahukan seseorang. Ya, Tuhan, saya mau
mati rasanya!" "Sudah, sudah" Nona Marple menepuk-nepuk bahunya. "Tidak apa-apa. Tidak ada
orang yang menyalahkanmu. Kau sudah berbuat yang betul dengan
menceritakannya kepada saya."
Nona Marple menghibur gadis ini beberapa waktu lamanya.
Lima menit kemudian Nona Marple sudah menceritakan kisah ini kepada Kepala
Inspektur Harper. Yang terakhir disebutkan ini tampaknya geram sekali.
"Bangsat yang cerdik itu!" katanya. "Saya akan menghajarnya nanti. Cerita ini
memberikan aspek yang lain kepada duduk persoalannya."
"Ya, memang." Harper melirik Nona Marple. "Anda tidak heran?"
"Saya sudah menduga sesuatu yang mirip begini."
Kepala Inspektur Harper berkata dengan keheranan, "Apa yang menyebabkan
Anda memilih gadis yang satu ini" Mereka semuanya tampak ketakutan setengah
mati dan sejauh yang dapat saya lihat, tidak ada perbedaannya antara gadis
Florence ini dengan gadis-gadis lainnya."
Nona Marple berkata dengan lembut, "Anda belum mempunyai begitu banyak
pengalaman menghadapi gadis-gadis yang berbohong seperti saya. Florence tadi
memandang Anda lurus-lurus, Anda ingat" Dan dia berdiri dengan kaku dan
memindah-mindahkan kakinya sama seperti yang lain-lain. Tetapi Anda tidak
memperhatikannya ketika ia berjalan keluar dari pintu. Pada saat itu saya
langsung tahu bahwa ia menyembunyikan sesuatu. Orang-orang yang berbohong selalu
merasa aman terlalu cepat. Gadis pembantu saya si Janet selalu bersikap
demikian. Dia akan menjelaskan dengan meyakinkan bahwa tikus-tikus yang telah
menggerogoti ujung sebuah tar, tetapi ketika ia meninggalkan ruangan, dia
mencibir terlalu cepat, dan bohongnya ketahuan."
"Saya sangat berterima kasih kepada Anda," kata Harper. Tambahnya sambil
termenung, "Lenville Studios, heh?"
Nona Marple tidak berkata apa-apa. Ia bangkit dari duduknya.
"Menyesal sekali," katanya, "saya harus buru-buru. Saya senang sudah dapat
membantu Anda." "Apakah Anda akan kembali ke hotel?"
"Ya-untuk mengemasi barang-barang saya. Saya harus kembali ke St. Mary Mead
secepat mungkin. Masih banyak yang harus saya kerjakan di sana."
BAB LIMA BELAS Nona Marple keluar lewat jendela rumahnya yang besar di kamar tamunya.
Berjalan di atas jalan setapak halamannya yang rapi, keluar lewat pintu
halamannya, masuk ke halaman rumah Pak Pendeta, menyeberangi halaman itu,
dan langsung menghampiri jendela kamar duduk rumah Pak Pendeta, tempat ia
berhenti dan dengan lembut mengetuk pada kayu jendelanya.
Pak Pendeta sedang sibuk menyusun khotbahnya untuk hari Minggu yang akan
datang, tetapi istrinya, yang masih muda dan cantik, sedang mengawasi usaha
anaknya yang mencoba merangkak di atas permadani di depan tempat perapiannya.
"Bolehkah aku masuk, Griselda?"
"Oh, silakan, Nona Marple. Coba lihat si David! Dia menjadi begitu penasaran
karena ia hanya bisa merangkak mundur. Dia mau mencapai sesuatu dan semakin
dia berusaha, semakin dia mundur ke peti arang itu!"
"Ia tampaknya sehat sekali, Griselda."
"Memang tidak salah, bukan?" kata ibu muda ini, berusaha bersikap agak acuh.
"Aku sih tidak begitu mempedulikannya. Semua buku mengatakan bahwa seorang
anak harus dibiarkan saja sebisa-bisanya."
"Itu amat bijaksana, Griselda," kata Nona Marple. "Ehem, aku datang bertanya
apakah saat ini ada pengumpulan dana khusus yang sedang kauorganisir?"
Istri pendeta ini memandangnya dengan keheranan.
"Oh, ada banyak sekali," katanya dengan riang. "Selalu ada saja."
Ia menghitungnya dengan jari-jarinya.
"Ada Dana Restorasi Nave, dana untuk Misi St. Giles, pengumpulan Hasil
Penjualan Karya Kita hari Rabu depan, dana untuk Ibu-ibu yang tidak bersuami,
dana untuk perkemahan pramuka, pengumpulan jahitan, dan permintaan bantuan
dari Uskup untuk nelayan-nelayan penyelam."
"Apa pun jadi," kata Nona Marple. "Aku pikir, sebaiknya aku keliling sedikit
membawa buku dermanya, kau tahu" - kalau kau setuju."
"Kau mempunyai rencana tertentu" Aku kira pasti begitu. Baiklah, aku
menyetujuinya. Ambillah untuk Penjualan Hasil Karya Kita; paling tidak kita akan
menerima uang kontan, daripada barang-barang yang tidak bermanfaat, baju-baju
anak-anak yang sudah terlalu jelek, bulu-bulu yang dibuat menyerupai boneka, dan
entah apa lagi. "Sudah pasti," lanjut Griselda mengantarkan tamunya ke jendela. "Kau tidak akan
mau mengatakan kepadaku mengapa kau bertindak demikian, bukan?"
"Nanti saja. Sayang," kata Nona Marple bergegas-gegas pergi.
Sambil menghela napas ibu muda ini kembali ke permadani di depan tempat
perapiannya, dan dengan tekad mempraktekkan prinsipnya untuk tidak
memberikan perhatian kepada anaknya, ditepuknya si anak ini tiga kali pada
perutnya sehingga anak ini mencekal rambutnya dan menariknya sambil
berteriakteriak gembira. Lalu mereka berdua berguling-guling bersama-sama sampai
pintu depan terbuka dan pembantunya mengumumkan kepada anggota sidangnya yang
paling berpengaruh (dan yang tidak menyukai anak-anak), "Nyonya ada di sini."
Dengan demikian Griselda segera duduk dan berusaha tampak anggun dan lebih
mendekati citra seorang istri pendeta yang selayaknya.
*** Nona Marple, sambil mendekap sebuah kitab hitam kecil yang penuh dengan
tulisan pensil erat-erat, berjalan cepat-cepat sepanjang jalan dusun itu sampai
ia mencapai suatu persimpangan. Di sini ia berbelok ke kiri dan berjalan melewati
kedai minum Blue Boar hingga ia tiba di Chatsworth, alias "Rumah Tuan Booker
yang Baru." Nona Marple membelok masuk ke pintu gerbangnya, berjalan ke pintu depan dan
mengetuknya dengan tegas.
Pintu dibukakan oleh si gadis pirang yang bernama Dinah Lee. Hari ini
dandanannya tidak begitu rapi seperti biasanya, dan sebenarnya ia tampak agak
lusuh. Dia mengenakan celana berwarna abu-abu dan sehelai kaus berwarna hijau
zamrut. "Selamat pagi," kata Nona Marple dengan tegas dan riang. "Bolehkah saya masuk
sebentar saja?" Nona Marple terus maju sementara ia berbicara, sehingga Dinah Lee, yang agak
terkejut menerima kunjungannya, tidak mempunyai kesempatan untuk mengambil
keputusan. "Terima kasih banyak," kata Nona Marple sambil tersenyum dengan ramah dan
dengan berhati-hati duduk di atas sebuah kursi rotan "antik".
"Udaranya agak panas, ya, untuk musim seperti sekarang?" lanjut Nona Marple
masih dengan penuh keramahan.
"Ya, agak. Eh, memang," kata Dinah Lee.
Karena tidak mengetahui bagaimana harus menghadapi keadaan ini, Dinah Lee
membuka sebuah kotak dan menawarkan isinya kepada tamunya. "Eh - merokok?"
"Terima kasih banyak, saya tidak merokok. Anda tahu, saya datang hanya untuk
melihat apakah saya bisa memperoleh bantuan Anda demi pengumpulan dari Hasil
Penjualan Karya Kita minggu depan?"
"Hasil Penjualan Karya Kita?" tanya Dinah Lee, seperti seseorang yang
mengucapkan kata-kata dalam bahasa asing saja.
"Diadakan di rumah Pak Pendeta," kata Nona Marple. "Hari Rabu depan."
"Oh!" Mulut Nona Lee melongo bulat. "Sayang nya, saya kira saya tidak dapat -"
"Suatu pemberian yang kecil saja juga tidak dapat" - setengah crown saja pun
boleh." Nona Marple menunjukkan kitab kecilnya.
"Oh - eh - yah, baiklah. Saya kira saya mampu memberikan sekian."
Gadis ini tampaknya lega dan pergi mencari dompetnya.
Mata Nona Marple yang tajam menjelajahi seluruh ruangan. Katanya, "Saya lihat
Anda tidak meletakkan sebuah permadani di depan tempat perapian."
Dinah Lee berpaling dan menatapnya. Ia merasa bahwa nenek ini sedang
mengamat-amatinya dengan saksama, tetapi kecuali sedikit rasa jengkel, hal ini
tidak menimbulkan perasaan apa pun dalam dirinya.
Nona Marple dapat merasakannya. Katanya, "Itu agak berbahaya, Anda tahu" Pert
ikan api bisa beterbangan dan merusakkan karpet."
"Seorang nenek tua yang antik," pikir Dinah. Tetapi kepada Nona Marple ia
berkata dengan cukup ramah meskipun agak samar-samar. "Tadinya memang ada
sebuah. Saya tidak tahu apa jadinya dengan permadani itu."
"Saya kira," kata Nona Marple, "yang Anda pakai adalah dari jenis berbulu-bulu?"
"Bulu domba," kata Dinah. "Tampaknya seperti bulu domba."
Sekarang Dinah Lee merasa geli. Nenek tua ini ternyata eksentrik.
Dinah mengulurkan setengah crown-nya. "Ini,"
"Oh, terima kasih, Nak."
Nona Marple menerimanya dan membuka kitab hitam kecilnya.
"Eh - nama apa yang harus saya cantumkan?"
Mata Dinah tiba-tiba menjadi tajam dan menantang.
"Uh, mau tahu saja!" pikirnya. "Jadi itulah maksud kedatangannya kemari - hanya
mencari-cari bahan untuk skandal!"
Dinah berkata dengan jelas dan sengaja, "Nona Dinah Lee."
Nona Marple memandangnya dengan tenang.
"Bukankah ini pondok Tuan Basil Blake?"
"Ya, dan saya adalah Nona Dinah Lee!" Suaranya terdengar lantang menantang,
kepalanya menengadah, matanya yang biru bersinar-sinar.
Dengan tenang Nona Marple memandangnya. "Izinkanlah saya memberikan
sedikit nasihat, meskipun Anda akan menganggap tindakan saya tidak pada
tempatnya." "Saya memang menganggap tindakan Anda tidak pada tempatnya. Sebaiknya Anda
tidak berkata apa-apa."
"Walaupun Anda merasa demikian," kata Nona Marple, "saya akan berbicara. Saya
mau menasihati Anda dengan sungguh-sungguh, supaya Anda tidak tetap
menggunakan nama Anda sendiri di dusun ini."
Dinah membelalakkan matanya. Katanya, "Apa - apa yang Anda maksudkan?"
Nona Marple berkata dengan serius, "Dalam waktu singkat, Anda akan
membutuhkan simpati dan bantuan penduduk di sini. Juga penting bagi suami
Anda untuk dihargai sebagai orang baik-baik. Di distrik yang kuno begini, ada
perasaan antipati terhadap orang-orang yang hidup bersama di luar nikah. Anda
berdua menganggapnya lucu selama ini, mengelabui orang-orang bahwa itulah
yang sedang Anda lakukan. Itu tentunya agar tidak ada orang yang mau
berkunjung kemari dan Anda tidak akan disibukkan melayani tamu tamu yang
Anda anggap 'orang-orang udik.' Namun bagaimanapun juga, orang-orang udik ini
juga berguna." Dinah mendesak, "Dari mana Anda tahu bahwa kami sudah menikah?"
Nona Marple tersenyum masam. "Wah, Nak," katanya.
Dinah masih mendesak. "Tidak, tetapi bagaimana Anda bisa tahu" Anda tidak Anda
tidak pergi ke Somerset House untuk memeriksa daftar surat-surat nikah,
bukan?" Mata Nona Marple tiba-tiba bersinar.
"Somerset House" Oh, tidak. Tetapi untuk menebaknya tidaklah sulit. Anda tahu,
di dusun berita apa saja mudah sekali tersebar. Dan jenis - eh - pertengkaran
yang kalian ributkan - adalah ciri khas dari hari-hari pertama suatu perkawinan.
Sangatsangat berbeda dengan suatu hubungan gelap. Anda tahu, orang berkata bahwa
setelah menikah itulah baru Anda bisa merasa jengkel terhadap pasangan Anda
(dan saya kira, itu memang benar). Kalau tidak ada - tidak ada ikatan resmi,
biasanya orang lebih berhati-hati, mereka harus tetap berusaha meyakinkan
dirinya sendiri betapa bahagianya dan indahnya segala sesuatu itu. Mereka perlu
membuktikan kepada diri mereka sendiri, Anda tahu" Mereka tidak akan berani
bertengkar. Orang-orang yang sudah kawin, saya lihat, malah menikmati
perkelahian-perkelahian mereka dan -eh - metode rujuknya yang tepat nanti."
Nona Marple berhenti dan mengedipkan matanya dengan ramah.
"Nah, saya -" Dinah berhenti dan tertawa. Ia duduk dan menyulut rokoknya. "Anda
benar-benar menakjubkan!" katanya.
Lalu lanjutnya, "Tetapi mengapa Anda menghendaki kami mengakui status kami
dan menjadi orang-orang terhormat?"
Wajah Nona Marple menjadi serius. Katanya, "Karena, sebentar lagi suami Anda
mungkin akan ditahan karena tuduhan membunuh."
Untuk beberapa saat lamanya Dinah menatap Nona Marple dengan terbengongbengong.
Lalu katanya dengan tidak percaya,
"Basil" Pembunuhan" Apakah Anda sedang bergurau?"
"Sama sekali tidak. Apakah Anda belum membaca koran."
Dinah terkesiap. "Maksud Anda - gadis yang di Hotel Majestic itu" Maksud Anda mereka
mencurigai Basil yang telah membunuhnya?"
"Ya." "Tetapi itu mustahil!"
Di luar terdengar suara deru mobil, lalu suara pintu gerbang dibanting. Basil
Blake membuka lebar-lebar pintu rumahnya dan masuk, membawa beberapa buah botol.
Katanya, "Sudah kubelikan gin dan vermouth-nya. Apakah kau - ?"
Ia berhenti dan berpaling dengan pandangan keheranan kepada tamunya yang
duduk dengan rapi dan tegak itu.
Dinah berkata dengan napas memburu, "Apakah perempuan ini gila" Ia berkata
bahwa kau akan ditangkap untuk pembunuhan gadis Ruby Keene itu."
"Ya, Tuhan!" kata Basil Blake. Botol-botol bawaannya terjatuh dari tangannya ke
atas sofa. Ia terhuhung-huyung menuju sebuah kursi dan menjatuhkan badannya di
atasnya, lalu menutupi wajahnya dengan kedua belah tangannya. Katanya
berulang-ulang, "Ya, Tuhan! Ya, Tuhan!"
Dinah lari menghampirinya. Dicengkeramnya bahu Basil.
"Basil, lihatlah aku! Hal itu tidak benar, bukan" Aku tahu bahwa hal itu tidak
benar! Sedikit pun aku tidak percaya!"
Tangan suaminya naik dan menggenggam tangan Dinah. "Terima kasih, Sayang."
"Tetapi mengapa mereka berpikir - Kau bahkan mengenalnya saja tidak, bukan?"
"Oh, ya, ia mengenalnya," kata Nona Marple.
"Diamlah, Nenek tua. Dengarkan, Dinah sayang, aku boleh dikatakan hampir tidak
kenal padanya. Aku cuma pernah melihatnya saru dua kali di Hotel Majestic. Itu
saja. Aku bersumpah tidak lebih daripada itu."
Kata Dinah bingung, "Aku tidak mengerti. Kalau begitu mengapa kau dicurigai?"
Basil mengeluh. Diangkatnya tangan untuk menutupi kedua belah matanya dan dia
berayun ke depan dan ke belakang.
Nona Marple berkata, "Apa yang Anda perbuat dengan permadani di depan tempat
perapian Anda?" Jawabannya keluar secara otomatis, "Saya masukkan ke tong sampah."
"Ck, ck, ck," kata Nona Marple. "Itu bodoh -bodoh sekali. Orang tidak
melemparkan permadani yang masih baik ke dalam tong sampah. Saya kira ada
benang-benang emas dari gaun gadis itu yang menempel pada bulu-bulu
permadani Anda?" "Ya, dan saya tidak berhasil membersihkannya."
Dinah memekik, "Apa yang sedang kalian bicarakan?"
Basil berkata dengan murung, "Tanyakan kepadanya. Rupanya ia sudah
mengetahui semuanya."
"Saya akan mengatakan apa yang saya kira terjadi, kalau Anda suka," kata Nona
Marple. "Anda boleh meralat saya, Tuan Blake, kalau saya keliru. Saya pikir,
setelah Anda bertengkar ramai dengan istri Anda di pesta itu dan juga setelah
Anda minum, barangkali, agak terlalu banyak, Anda membawa mobil Anda kemari. Saya
tidak tahu pukul berapa Anda tiba -"


Mayat Misterius The Clocks Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Basil Blake berkata dengan bermuram durja, "Sekitar pukul dua dini hari. Saya
tadinya berniat ke kota dulu. lalu ketika saya sudah memasuki pinggiran kota,
saya berubah pikiran. Saya pikir mungkin Dinah akan kemari menyusul saya. Lalu saya
putar haluan kemari. Rumah masih gelap. Saya membuka pintu dan menyalakan
lampu, dan saya melihat - dan saya melihat -"
Dia menelan air liurnya dan berhenti.
Nona Marple melanjutkan. "Anda melihat seorang gadis berbaring di atas
permadani Anda - seorang gadis yang mengenakan gaun malam putih-tercekik.
Saya tidak tahu apakah pada saat itu Anda mengenali wajahnya -"
Basil Blake menggelengkan kepalanya dengan getol. "Saya tidak tahan
memandangnya setelah pandangan yang pertama tadi - wajahnya biru semua
membengkak. Rupanya ia sudah mati agak lama dan dia berada di sana - di kamar
saya!" ia bergidik. Nona Marple berkata dengan lembut, "Pada saat itu tentunya Anda tidak seratus
persen sadar. Anda masih terpengaruh alkohol, dan saraf Anda tidak tegar. Saya
kira Anda menjadi panik, Anda bingung tidak tahu harus berbuat apa -"
"Saya kuatir Dinah bisa muncul setiap saat. Dan kalau ia menemukan saya di sini
bersama mayat seseorang - seorang gadis - dia akan berpikir bahwa saya telah
membunuhnya. Lalu saya mendapat suatu ide - pada waktu itu tampaknya ide ini
adalah ide yang bagus - saya pikir, saya pindahkan gadis ini ke perpustakaan si
Bantry tua. Tua bangka yang sombong itu, ia selalu tidak pandang sebelah mata
kepada saya, mencibir saya, dan menghina saya sebagai seorang artis bencong.
Saya pikir, biar kali ini tahu rasa dia! Ia akan menjadi orang bego kalau
seorang gadis mati ditemukan di atas permadaninya di depan tempat perapiannya."
Tambahnya dengan getol sebagai penjelasan. "Waktu itu saya sudah mabuk, Anda
tahu. Dan ide itu tampaknya begitu menarik. Si Bantry tua kedapatan bersama
mayat seorang gadis berambut pirang."
"Ya, ya," kata Nona Marple. "Si kecil Tommy Bond juga mempunyai cara berpikir
yang sama. Sebenarnya ia seorang anak yang peka, yang mempunyai kompleks
rendah diri. Katanya, gurunya selalu suka mencari-cari kesalahannya. Jadi ia
memasukkan seekor katak ke dalam lonceng, dan katak itu melompat keluar
mengejutkan gurunya. "Anda persis seperti itu," lanjut Nona Marple. "Hanya tentu saja mayat adalah
kenakalan yang lebih serius daripada katak."
Basil mengeluh lagi. "Menjelang pagi saya sadar kembali. Saya menyadari
kesalahan yang saya perbuat. Saya ketakutan setengah mati. Lalu polisi kemari si Kepala Polisi yang sama sombongnya seperti Kolonel Bantry. Saya takut
menghadapinya - dan satu-satunya cara untuk menyembunyikan rasa takut saya
adalah dengan bersikap kurang ajar. Di tengah-tengah pembicaraan kami, Dinah
datang." Dinah memandang keluar jendela.
Katanya, "Sekarang ada mobil datang ... di dalamnya ada beberapa orang."
"Saya kira itu polisi," kata Nona Marple.
Basil Blake bangkit. Tiba-tiba ia berubah menjadi tenang dan mantap. Bahkan dia
bisa tersenyum. "Jadi, saya kena, bukan" Baiklah, Dinah sayang. Jangan kuatir. Hubungi si Sims
tua - ia pengacara keluargaku - pergilah kepada Ibu dan ceritakan semuanya
tentang perkawinan kita. Ia toh tidak akan menggigit. Dan jangan takut. Aku
tidak membunuh-nya. Jadi, semuanya akan beres. Mengerti, Sayang?"
Pada daun pintu pondok itu terdengar suara ketukan.
Basil berkata, "Masuk."
Inspektur Slack masuk bersama seorang laki-laki lain. Katanya, "Tuan Basil
Blake?" "Ya?" "Saya membawa surat perintah penahanan Anda sehubungan dengan pembunuhan
Ruby Keene pada malam tanggal dua puluh satu September yang lalu. Saya
peringatkan kepada Anda bahwa apa yang Anda katakan bisa dipakai sebagai
bahan tuntutan kalau nanti Anda disidangkan. Mohon sekarang Anda ikut bersama
saya. Nanti Anda akan diberikan kesempatan penuh untuk menghubungi pengacara
Anda." Basil mengangguk. Dipandangnya Dinah, tetapi ia tidak menyentuh gadis itu.
Katanya, "Sampai ketemu, Dinah."
"Orang yang tenang," pikir Inspektur Slack.
Slack mengangguk sedikit kepada Nona Marple dan mengucapkan "Selamat pagi,"
dan berpikir dalam hati. "Nenek yang cerdik, dia pun tahu! Untung kami
menemukan permadani itu Permadani itu dan keterangan dari tukang parkir di
studio yang mengatakan bahwa Blake meninggalkan pesta pukul sebelas dan
bukannya pukul dua belas. Aku kira teman-temannya tidak bermaksud sengaja
berbohong. Mereka sudah mabuk dan pada keesokan harinya Blake mengatakan
kepada mereka dengan tegas bahwa ia meninggalkan pesta pada pukul dua belas
tengah malam, dan mereka percaya. Nah, sekarang, dia kena batunya! Kira-kira
sakit jiwa! Ia akan berakhir di rumah sakit jiwa di Broadmoor, bukan di tiang
gantungan. Pertama-tama gadis Reeves itu, mungkin dicekiknya juga, lalu dibawa
ke mulut tambang. Setelah itu ia kembali dengan berjalan kaki ke Danemouth,
mengambil mobilnya sendiri yang mungkin ditinggalkannya di suatu jalan samping
yang kecil, terus ke pestanya itu dan kembali lagi ke Danemouth, mengajak Ruby
Keene keluar, mencekiknya, dan membuang mayatnya di perpustakaan Kolonel
Bantry. Lalu mungkin dia teringat akan mobil yang ditinggalkannya di mulut
tambang, kembali ke sana, membakarnya, lalu kembali kemari. Gila betul tentunya
haus seks dan darah - untung gadis yang mi lolos. Inilah yang dinamakan
orang penyakit gila kumat kumatan, kukira."
*** Ditinggalkan sendiri bersama Nona Marple, Dinah Blake berpaling kepada wanita
tua ini. Katanya, "Saya tidak tahu siapakah Anda sebenarnya, tetapi Anda harus
percaya- Basil tidak melakukannya."
Kata Nona Marple, "Saya tahu ia tidak melakukannya. Saya tahu siapa yang
melakukannya. Tetapi itu tidak mudah untuk dibuktikan. Saya mendapat ide dari
sesuatu yang Anda katakan tadi - baru tadi - dan mungkin hal itu dapat membantu.
Saya kira itulah hubungan yang saya cari-cari - nah, sekarang, apa ya, yang tadi
Anda katakan itu?" BAB ENAM BELAS "Aku sudah pulang, Arthur!" teriak Nyonya Bantry. Ia mengumumkan
kedatangannya seperti suatu proklamasi kerajaan sementara ia membuka pintu
kamar bacanya lebar-lebar.
Kolonel Bantry segera bangkit, mencium istrinya, dan berkata dengan gembira,
"Syukur, syukur, ini bagus sekali!"
Kata-katanya tidak ada yang salah, sikapnya juga tepat.
Tetapi seseorang yang sudah menjadi istrinya begitu lama, dan yang begitu sayang
kepadanya seperti Nyonya Bantry, tidak dapat dikibulinya. Nyonya Bantry segera
berkata, "Apakah ada yang tidak beres?"
"Tidak, tentu saja tidak, Dolly. Apanya yang tidak beres?"
"Oh, entahlah," kata Nyonya Bantry samar-samar.
"Begitu banyak hal yang aneh telah terjadi, bukan?"
Nyonya Bantry melemparkan mantelnya sementara ia berbicara dan Kolonel
Bantry memungutnya dengan hati-hati dan meletakkannya di sandaran sofa.
Semuanya sama seperti biasanya - namun juga tidak seperti biasanya. Pikir
Nyonya Bantry, suamiku rasanya telah menyusut. Dia tampak lebih kurus, lebih
bungkuk; matanya menggantung di bawah dan dia menghindari tatapan mataku.
Kolonel Bantry melanjutkan bicaranya masih dengan nada riangnya, "Nah,
senangkah kau di Danemouth?"
"Oh! Senang sekali. Kau seharusnya ikut, Arthur."
"Tidak sempat, Sayang. Banyak yang harus kukerjakan di sini."
"Walaupun begitu, aku kira suatu perubahan suasana tentunya membawa manfaat
yang baik bagimu. Dan bukankah kau juga senang bertemu dengan keluarga
Jefferson?" "Ya, ya, orang yang malang dia. Orang yang baik, semuanya ini begitu
menyedihkan." "Apa kerjamu selama aku tidak di rumah?"
"Oh, tidak banyak. Aku pergi ke peternakan kita, kau tahu" Aku menyetujui
Anderson memasang atap yang baru - yang lama sudah tidak dapat diperbaiki
lagi." "Bagaimana hasil rapat pimpinan dusun Radford-shire?"
"Aku - eh - aku tidak datang."
"Tidak datang" Tetapi bukankah kau ketuanya?"
"Nah, sebenarnya, Dolly - rupanya telah terjadi sedikit kesalahpahaman mengenai
hal itu. Mereka bertanya apakah aku tidak keberatan seandainya Thompson yang
mengetahuinya." "Oh, begitu," kata Nyonya Bantry.
Ia mencopot satu sarung tangannya dan dengan sengaja melemparkannya ke dalam
keranjang sampah. Suaminya memungutnya, tetapi dicegahnya dengan kata-kata
yang tajam, "Biarkan saja. Aku benci pada sarung tangan."
Kolonel Bantry memandangnya dengan perasaan tidak enak.
Kata Nyonya Bantry tegas, "Apakah kau datang ke undangan makan malam di
keluarga Duff pada hari Kamis?"
"Oh, itu! Acaranya ditunda. Koki mereka sakit."
"Orang-orang bodoh," kata Nyonya Bantry. Lanjutnya, "Apakah kau pergi ke
Naylor kemarin?" "Aku menelepon dan berkata bahwa aku merasa kurang enak, dan berharap mereka
memaafkan ketidakhadiranku. Mereka mengerti."
"Jadi mereka mengerti, heh?" kata Nyonya Bantry dengan geram.
Nyonya Bantry duduk di meja tulis dan sambil melamun mengambil gunting
tanamannya. Dengan gunting itu dipotongnya satu per satu jari-jari sarung
tangannya yang sebelah. "Apa yang kaukerjakan, Dolly?"
"Ingin merusak," kata Nyonya Bantry.
Nyonya Bantry bangkit. "Di mana kita akan duduk setelah makan malam nanti,
Arthur" Di perpustakaan?"
"Eh - ah - aku pikir jangan di sana - heh" Di sini kan enak - atau di kamar
tamu." "Aku kira," kata Nyonya Bantry, "sebaiknya kita duduk di perpustakaan."
Matanya yang tenang bertemu pandang dengan mata suaminya. Kolonel Bantry
meluruskan bahunya dan berdiri lebih tegap. Matanya tampak lebih bersinar.
Katanya, "Kau benar. Sayang. Kita akan duduk di perpustakaan!"
Nyonya Bantry meletakkan tangkai teleponnya dengan perasaan jengkel. Dia
sudah menelepon dua kali, dan setiap kali jawaban yang diterimanya selalu
jawaban yang sama: Nona Marple sedang keluar.
Karena memang sifatnya yang tidak sabaran, Nyonya Bantry bukanlah seseorang
yang mau mengaku kalah begitu saja. Berturut-turut dia menelepon rumah Pak
Pendeta, Nyonya Price Ridley, Nona Hartnell, dan Nona Wetherby. Dan sebagai
usaha terakhir, si penjual ikan yang karena letak tempatnya yang strategis,
biasanya ia melihat di mana si anu dan si Polan berada.
Namun kali ini si penjual ikan juga menyesal, ia tidak melihat Nona Marple sama
sekali di dusun sejak pagi.
Nona Marple tidak mengunjungi tempat-tempat yang biasa dikunjunginya.
"Di mana mungkin dia berada?" tanya Nyonya Bantry dengan tidak sabar.
Di belakangnya terdengar suatu dehem. Lorrimer yang bijaksana menggumam,
"Nyonya mencari Nona Marple" Saya baru saja melihatnya menuju kemari."
Nyonya Bantry bergegas ke pintu depan, membukanya lebar-lebar, dan
menyongsong Nona Marple dengan napas memburu.
"Aku mencarimu ke mana-mana. Dari mana saja, kau?"
Nyonya Bantry melirik ke belakang. Si Lorrimer yang tahu diri sudah menghilang.
"Wah, keterlaluan! Orang-orang sudah mulai mengucilkan Arthur. Dia
kelihatannya bertambah tua. Kita harus berbuat sesuatu, Jane. Kau harus berbuat
sesuatu!" Nona Marple berkata, "Kau tidak perlu kuatir, Dolly," suaranya agak aneh.
Kolonel Bantry muncul dari pintu kamar bacanya.
"Ah, Nona Marple. Selamat pagi. Senang Anda kemari. Istri saya tadi berusaha
menghubungi Anda seperti orang gila saja."
"Saya pikir, sebaiknya saya menyampaikan berita ini kepada Anda," kata Nona
Marple sambil mengikuti Nyonya Bantry ke dalam kamar bacanya.
"Berita?" "Basil Blake baru saja ditangkap dengan tuduhan membunuh Ruby Keene."
"Basil Blake?" pekik Pak Kolonel.
"Tetapi bukan dia yang melakukannya," kata Nona Marple.
Kolonel Bantry tidak mengambil pusing dengan keterangan ini. Malah diragukan
apakah dia mendengarnya. "Maksud Anda, ia mencekik gadis itu lalu membawanya kemari dan
meninggalkannya di perpustakaan saya?"
"Ia meninggalkannya di perpustakaan Anda," kata Nona Marple. "Tetapi ia tidak
membunuhnya." "Mana mungkin! Kalau ia yang meninggalkannya di perpustakaan saya, tentu saja
ia juga yang membunuhnya! Kedua hal itu berkaitan."
"Tidak mesti. Ia juga bisa menemukannya dalam keadaan sudah mati di dalam
pondoknya." "Alasan yang tidak masuk akal," kata Kolonel Bantry sinis. "Kalau orang
menemukan mayat, nah, seharusnya orang itu menelepon polisi - pasti begitu kalau
orang ini orang baik-baik."
"Ah," kata Nona Marple. "Tetapi tidak semua orang mempunyai saraf baja dan
ketenangan seperti Anda, Kolonel Bantry. Anda angkatan tua. Generasi yang lebih
muda ini lain." "Tidak mempunyai stamina," kata Pak Kolonel mengulang pendapatnya yang
terkenal. "Ada dari mereka yang juga pernah melewati banyak kesengsaraan," kata Nona
Marple. "Saya sudah mendengar banyak tentang Basil. Dia pernah menjadi
sukarelawan. Anda tahu, ketika umurnya masih delapan belas tahun. Dia masuk ke
dalam sebuah rumah yang terbakar, menyelamatkan empat orang anak, satu per
satu. Lalu ia kembali untuk menyelamatkan seekor anjing meskipun mereka sudah
memberitahukan kepadanya bahwa itu terlalu berbahaya. Gedung itu akhirnya
ambruk menimpanya. Mereka berhasil mengeluarkannya, namun dadanya
menderita luka tindih yang hebat dan dia harus berbaring sambil digips selama
hampir satu tahun. Setelah itu ia sakit lama sekali. Saat itulah dia mulai
tertarik kepada pekerjaan perancang."
"Oh!" Pak Kolonel mendehem dan bersin. "Saya - eh - tidak pernah tahu mengenai
cerita itu." "Ia tidak pernah menyinggungnya," kata Nona Marple.
"Hem - itu bagus. Mempunyai semangat yang tepat. Kalau begitu ia lebih baik
daripada dugaan saya. Saya selalu mengira bahwa ia berhasil menghindari dinas
milisinya semasa perang. Ini suatu pelajaran bahwa orang harus berhati-hati agar
tidak mengambil kesimpulan yang salah."
Kolonel Bantry tampaknya kemalu-maluan "Namun demikian" - perasaan
jengkelnya timbul kembali -" apa maksudnya mencoba membebankan
pembunuhan itu kepada saya?"
"Saya kira ia tidak melihatnya dari sudut itu," kata Nona Marple. "Ia lebih
menganggapnya sebagai -sebagai suatu lelucon. Anda lihat, pada waktu itu ia
masih di bawah pengaruh alkohol."
"Oh, mabuk?" kata Kolonel Bantry dengan perasaan simpati khas orang-orang
Inggris untuk kaum sejenisnya yang mabuk. "Yah, kalau begitu kita tidak dapat
menghakimi seseorang yang berada dalam keadaan mabuk, bukan" Ketika saya
masih kuliah di Cambridge, saya pernah memasukkan suatu benda - ehem, ehem,
sudahlah, benda apa itu tidak penting. Waktu itu perbuatan saya juga menimbulkan
pertengkaran yang cukup seru."
Kolonel Bantry terkekeh-kekeh, lalu langsung berhenti tertawa ketika ia
menyadari di mana ia berada sekarang.
Di pandangnya Nona Marple dengan mata yang jeli dan penuh penilaian. Katanya,
"Anda mengira bukan dia yang melakukan pembunuhan itu, heh?"
"Saya merasa pasti bukan dia."
"Dan Anda kira Anda tahu siapa pelakunya?"
Nona Marple mengangguk. Nyonya Bantry, seperti penyanyi koor Yunani yang kesurupan, berkata kepada isi
dunia yang telah menutup telinga mereka, "Alangkah hebatnya ia!"
"Nah, kalau begitu, siapa pelakunya?"
Kata Nona Marple, "Saya kemari sebenarnya mau minta bantuan Anda. Kalau kita
bersama-sama pergi ke Somerset House, kita akan tahu."


Mayat Misterius The Clocks Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

BAB TUJUH BELAS Wajah Sir Henry campak serius. "Saya tidak menyukai apa yang Anda
rencanakan." "Saya tahu," kata Nona. Marple. "Cara ini bukanlah cara yang Anda anggap
konvensional. Tetapi memang benar-benar penting untuk mendapatkan kepastian,
bukan" Sebagaimana kata pujangga Shakespeare, - 'untuk memastikannya dua kali
lipat". Saya kira, seumpama Tuan Jefferson setuju -?"
"Bagaimana dengan Harper" Apakah dia juga akan diberi tahu?"
"Sebaiknya ia tidak perlu tahu terlalu banyak. Anda boleh saja memberinya suatu
sentilan kecil. Supaya ia mengawasi gerak-gerik orang-orang tertentu - menguntit
mereka, Anda mengerti."
Kata Sir Henry perlahan, "Ya, cara ini bisa dipakai..."
*** Kepala Inspektur Harper memandang Sir Henry Clithering dengan tajam.
"Mari kita blak-blakan tentang bal ini, Pak. Anda memberikan suatu amaran
(perintah)kepada saya?" Kata Sir Henry,
"Aku hanya memberi tahu kepadamu apa yang baru saja dikatakan temanku - dan
tadi ia tidak mengatakan bahwa hal ini harus dirahasiakan-yaitu besok dia
berniat mengunjungi pengacaranya di Danemouth guna membuat surat wasiat yang baru."
Alis Kepala Inspektur Harper yang tebal turun memayungi matanya yang tenang.
Katanya, "Apakah Tuan Conway Jefferson mempunyai rencana memberitahukan
anak mantunya tentang hal ini?"
"Ia merencanakan untuk memberi tahu mereka."
"Oh, begitu." Kepala Inspektur Harper mengetuk-ngetuk mejanya dengan tangkai penanya.
Katanya lagi, "Oh, begitu."
Lalu mata yang tajam itu menatap kembali dalam-dalam ke mata teman bicaranya.
Kata Harper, "Jadi Anda tidak puas dengan kasus kami terhadap Basil Blake?"
"Kau bagaimana?"
Kumis Kepala Inspektur Harper bergetar. "Nona Marple bagaimana?"
Kedua laki-laki ini saling berpandangan.
Lalu kata Harper, "Anda boleh menyerahkannya kepada saya. Saya akan
menugaskan orang-orang saya. Tidak akan ada kesempatan untuk bermain kotor.
Itu saja. Janjikan kepada Anda."
Kata Sir Henry, "Ada satu hal lagi. Sebaiknya kaulihat ini."
Ia membuka lipatan secarik kertas dan menyerahkannya kepada Kepala Inspektur
Harper. Kali ini ketenangan Kepala Inspektur Harper buyar. Dia bersiul, "Oh, jadi
begitu, heh" Ini memberikan warna yang sama sekali berlainan kepada urusan ini.
Bagaimana sampai Anda bisa memperoleh keterangan ini?"
"Perempuan," kata Sir Henry. "Sejak zaman Hawa sudah selalu berusaha untuk
mengikat tali perkawinan."
"Terutama," kata Kepala Inspektur Harper, "perempuan single yang sudah
berumur." *** Conway Jefferson menengadah ketika temannya masuk. Wajahnya yang geram
melunak dan dia tersenyum.
"Nah, aku sudah memberi tahu mereka Mereka menerimanya dengan tenangtenang."
"Apa yang kaukatakan?"
"Aku katakan, karena Rubv sudah mati, aku merasa bahwa uang yang lima puluh
ribu pound yang sedianya akan kuberikan kepadanya, seharusnya diberikan kepada
sesuatu yang bisa aku asosiasikan dengan kenangannya. Jadi uang itu akan dipakai
untuk membangun suatu hotel bagi gadis-gadis remaja yang bekerja sebagai penari
profesional di London. Huh! Cara yang gila untuk mewariskan uang - aku heran
mereka menelannya mentah-mentah!"
Tambahnya sambil berpikir, "Kau tahu, aku benar-benar tolol dalam berhubungan
dengan gadis itu. Mungkin aku sedang dalam tahap berubah menjadi orang tua
yang tolol. Sekarang aku dapat melihat dengan jelas, Ruby memang seorang anak
yang manis - tetapi apa yang aku lihat dalam dirinya sebetulnya kebanyakan
imajinasiku sendiri. Aku membayangkan dia sebagai Rosamund yang kedua.
Mereka berdua mempunyai warna kulit dan rambut yang sama, kau tahu" Tetapi
ternyata pikiran dan hatinya berbeda. Nah, sekarang berikan koran itu kepadaku
ada suatu masalah bridge yang menarik di sini."
Sir Henry turun. Dia mengajukan suatu pertanyaan kepada si portir.
"Tuan Gaskell, Pak" Dia baru saja keluar dengan mobilnya. Harus pergi ke
London." "Oh, begitu. Apakah Nyonya Jefferson ada?"
"Nyonya Jefferson, Pak. Baru saja naik ke kamar tidurnya."
Sir Henry memandang ke ruangan tamu dan lewat kaca pembatasnya ke ruangan
dansa. Di dalam kamar tamu Hugo McLean sedang mengerjakan teka-teki silang
dan sering kali mengernyitkan dahinya. Di lantai dansa Josie sedang tersenyum
dengan tabah kepada seorang laki-laki gemuk yang bersimbah peluh sementara
kakinya dengan lincah menghindari langkah-langkah lelaki itu yang selalu nyaris
menginjaknya. Lelaki gemuk itu jelas kelihatan sedang menikmati dansanya.
Raymond, lincah dan awas, sedang berdansa dengan seorang gadis yang pucat
pasi, berambut cokelat suram, dan mengenakan gaun yang amat tidak sesuai
baginya. Sir Henry berkata setengah berbisik, "Dan sekarang sudah waktunya tidur." lalu
ia naik ke atas. *** Sekarang pukul tiga pagi. Angin sudah berhenti bertiup, bulan bersinar terang di
atas laut yang tenang. Di dalam kamar Conway Jefferson tidak terdengar suara apa-apa kecuali suara
napasnya sendiri yang naik turun sementara ia terlelap, terbenam di antara
bantalbantal yang menunjang kepalanya.
Tidak ada angin yang menghembus tirai di jendela, namun tirai itu bergerak ....
Seketika lamanya tirai tersibak, dan bayangan sesosok tubuh tampak di bawah
sinar rembulan. Lalu tirai itu menutup kembali.
Segalanya hening kembali, tetapi di dalam kamar ini ketambahan kehadiran
seseorang. Orang yang menyelinap masuk ini semakin mendekati tempat tidur. Napas teratur
yang datang dari arah bantal Conway Jefferson tidak terganggu.
Tidak ada suara, atau hampir-hampir tidak ada suara.
Sebuah ibu jari dan telunjuk sudah siap untuk mencubit selapis kulit sementara
di dalam tangan yang lain sudah siap sebuah jarum penyuntik.
Lalu, tiba-tiba dari kegelapan, suatu tangan muncul dan mencekal tangan yang
memegang jarum penyuntik itu, sementara lengan yang lain mendekap sosok tubuh
tersebut dalam pelukan yang erat.
Suatu suara yang dingin, tanpa emosi, suara penegak hukum, berkata, "Oh, tidak!
Berikan jarum itu kepada saya!"
Lampu menyala, dan dari atas bantal-bantal penopangnya dengan geram Conway
Jefferson memandang wajah pembunuh Ruby Keene.
BAB DELAPAN BELAS Sir Henry berkata, "Menirukan pertanyaan Watson asisten Sherlock Holmes yang
setia. Saya sekarang mau tahu metode Anda, Nona Marple."
Kepala Inspektur Harper berkata, "Saya mau tahu apa yang pertama-tama membuat
Anda mencurigainya."
Kolonel Melchett berkata. "Anda telah berhasil lagi, astaga! Saya mau tahu
seluruhnya dari permulaan."
Nona Marple meluruskan gaun malamnya yang terbuat dari sutra asli. Ia merona
sedikit dan tersenyum. Tampaknya sedikit canggung.
Katanya, "Saya kuatirkan Anda akan menganggap 'metode' saya, sebagaimana
yang dikatakan Sir Henry, amat amatiran. Terus terang saja sebetulnya kebanyakan
orang - dan tidak terkecuali juga polisi - terlalu mudah percaya, di dunia yang
jahat ini. Mereka mempercayai apa saja yang dikatakan orang kepada mereka. Saya
tidak pernah berbuat demikian. Saya selalu suka membuktikan sesuatu sendiri."
"Itu logis," kata Sir Henry.
"Dalam kasus ini," lanjut Nona Marple, "hal-hal tertentu sudah diterima begitu
saja dari permulaan -padahal orang sebenarnya harus berpatokan hanya pada fakta saja.
Faktanya, menurut catatan saya, adalah: bahwa korban ini masih muda dan dia
mempunyai kebiasaan menggigit kuku jarinya dan giginya agak merongos - seperti
kebanyakan gadis-gadis remaja apabila tidak diperbaiki dari kecil dengan memakai
kawat gigi - (dan anak-anak memang nakal, suka melepas kawat mereka kalau
orang tuanya tidak melihat).
"Tetapi cerita ini sudah melantur-lantur. Sampai di mana saya" Oh, ya. Saya
sedang memandang gadis yang mati itu dan merasa sayang, karena melihat suatu
kehidupan muda yang terputus sebelum waktunya memang selalu menyedihkan,
dan saya berpikir, orang yang melakukan perbuatan ini kejam sekali. Sudah tentu
dengan ditemukannya mayat gadis itu di dalam perpustakaan Kolonel Bantry,
orang akan dibuat bingung, dan peristiwa itu kelihatannya seperti dongeng dalam
buku-buku cerita, tidak seperti kejadian yang benar-benar terjadi. Malah dengan
demikian, dia memberikan kesan yang salah. Tahukah Anda, sebenarnya memang
bukan demikian rencananya, dan inilah yang membuat kita bingung. Rencana yang
sebenarnya adalah meninggalkan mayat itu di tempat Basil Blake (orang yang jauh
lebih cocok sebagai pembunuhnya daripada Kolonel Bantry), dan ulah Basil
memindahkannya ke perpustakaan Kolonel Bantry banyak memperlambat prosedur
pengusutannya, dan tentunya sangat menjengkelkan pembunuh yang sebenarnya.
"Rencana semula. Anda tahu, adalah untuk menjadikan Tuan Blake si kambing
hitam yang pertama dicurigai polisi. Polisi tentunya akan mengusut ke Danemouth,
dan akan mengetahui bahwa Basil Blake mengenal gadis ini, lalu mereka akan tahu
bahwa Blake telah membuat ikatan dengan gadis lain. Maka mereka akan menarik
kesimpulan bahwa Ruby mencarinya untuk memerasnya atau berbuat entah apa
yang sejenis itu, dan Blake mencekiknya karena naik pitam. Suatu kejahatan yang
biasa, jorok, dan murahan. Apa yang saya namakan kejahatan tipe klub malam!
"Tetapi sebagaimana yang Anda ketahui, rencana itu berantakan, dan perhatian
polisi terlalu cepat berfokus pada keluarga Jefferson - dan ini amat
menjengkelkan satu orang tertentu. "Seperti yang saya katakan kepada Anda, saya mempunyai pikiran yang penuh
curiga. Kemenakan saya si Raymond, selalu berkata (dengan bergurau, tentunya,
dan sekadar menggoda) bahwa otak saya itu seperti bak cuci piring. Menurut dia,
kebanyakan orang kuno memang begitu. Saya hanya dapat mengatakan bahwa
orang-orang kuno mengetahui banyak sekali tentang sifat-sifat manusia.
"Jadi, seperti kata saya, karena saya mempunyai otak yang begitu kotor - atau
malah sebaliknya" -saya segera melihatnya dari sudut keuangan. Di sini ada dua
orang yang beruntung dengan matinya gadis ini - orang tidak dapat menyangkal
fakta ini. Lima puluh ribu pound jumlah yang besar-terutama jika orang berada
dalam kesulitan finansial, sebagaimana kedua orang yang terlibat itu. Tetapi,
mereka kedua-duanya tampak seperti orang baik-baik, ramah tamah - mereka tidak
mirip potongan pembunuh - tetapi siapa tahu, bukan"
"Misalnya saja, Nyonya Jefferson - semua orang menyukainya. Tetapi memang
kelihatan bahwa musim panas ini ia tampak gelisah sekali, dan dia sudah bosan
dengan jalan hidupnya selama ini yang sama sekali bergantung kepada ayah
mertuanya. Ia tahu, karena dokter telah mengatakan kepadanya bahwa ayah
mertuanya tidak bisa diharapkan hidup lama - jadi tidak apa-apa ia menunggu
sebentar lagi - atau secara blak-blakan saja, tidak apa-apa, seandainya Ruby
Keene tidak muncul. Nyonya Jefferson sangat mencintai anaknya, dan ada wanita-wanita
yang berpikiran janggal, bahwa kejahatan yang diperbuat demi kepentingan
anakanak mereka, secara moral masih dapat dibenarkan. Saya pernah bertemu dengan
sikap demikian satu atau dua kali di dusun. 'Lha, itu semuanya saya lakukan demi
Daisy, Non,' kata mereka. Dan mereka menganggap bahwa alasan itu lalu bisa
membenarkan perbuatan yang salah. Cara berpikir yang amat dangkal dan tidak
bertanggung jawab. "Tuan Mark Gaskell, sebaliknya, orang yang mempunyai latar belakang yang lebih
mencurigakan. Dia penjudi, dan saya kira juga tidak mempunyai kode moral yang
terlalu tinggi. Tetapi, karena alasan-alasan tertentu, saya berpendapat bahwa
kejahatan ini melibatkan tangan seorang wanita.
"Seperti saya katakan, dengan memandang motifnya, aspek keuangan itu
kelihatannya amat meyakinkan. Maka itu, saya merasa jengkel karena kedua orang
ini sama-sama mempunyai alibi untuk jam-jam ketika Ruby Keene, menurut
buktibukti medis, menemui ajalnya.
"Tetapi tak lama kemudian, ditemukan mobil yang terbakar dengan mayat Pamela
Reeves di dalamnya, dan pada saat itu semuanya menjadi jelas. Alibi-alibi mereka
tidak ada harganya. "Saya tahu, saya telah mencekal separuh bagian dari masing-masing kasus
pembunuhan itu, dan keduanya cukup meyakinkan. Namun mereka tidak cocok
satu sama lainnya. Kaitannya pasti ada, tetapi saya tidak bisa menemukannya.
Satu satunya orang yang saya tahu terlibat dalam kejahatan itu, tidak mempunyai
motif. "Saya yang bodoh," kata Nona Marple sambil termenung. "Kalau bukan karena
Dinah Lee, hal itu tidak akan terpikirkan oleh saya - hal yang paling menyolok
di dunia ini. Somerset House! Perkawinan! Bukan saja hal ini menyangkut Tuan
Gaskell atau Nyonya Jefferson sendiri - masih ada kemungkinan lain dari suatu
perkawinan. Kalau salah satu dari kedua orang itu kawin, atau merencanakan akan
kawin, maka orang yang menjadi pasangannya juga terlibat. Misalnya saja si
Raymond Starr, yang mengharapkan dia mempunyai peluang bagus untuk
mendapatkan seorang istri yang kaya. ia bersikap amat perhatian kepada Nyonya
Jefferson, dan saya kira, daya tarik Raymond inilah yang telah membuat Nyonya
Jefferson bangun dari kepompong menjandanya. Tadinya ia cukup puas hanya
berperan sebagai anak Tuan Jefferson - seperti Ruth dan Naomi dalam kisah Kitab
Suci - hanya saja Naomi, si ibu mertua, berupaya keras untuk mencarikan jodoh
yang pantas bagi menantunya, Ruth yang janda.
"Di samping Raymond, ada Tuan McLean. Nyonya Jefferson amat menyukainya
dan kelihatannya pada akhirnya ia akan kawin dengan Tuan McLean. Tuan
McLean tidak berduit - dan dia juga tidak jauh dari Danemouth pada malam
terjadinya pembunuhan itu. Jadi, rupanya siapa saja bisa melakukan kejahatan
itu, bukan?" kata Nona Marple.
"Tetapi, sebenarnya di dalam pikiran saya sendiri, saya tahu. Kita tidak bisa
melupakan kuku-kuku jari yang geripis itu, bukan?"
"Kuku geripis?" tanya Sir Henry. "Tetapi kuku gadis itu putus satu, lalu ia
memotong yang lain."
"Omong kosong," kata Nona Marple. "Kuku yang digigit dan kuku yang dipotong
pendek itu tidak sama bentuknya! Orang yang mengerti soal kuku gadis, tidak akan
salah membedakannya - kuku yang digigit itu jelek sekali, sebagaimana yang
selalu saya peringatkan kepada gadis-gadis di dalam kelas saya. Kuku-kuku itu
adalah fakta. Dan itu hanya berarti satu hal. Mayat yang ditemukan di
perpustakaan Kolonel Bantry itu sama sekali bukan Ruby Keene.
"Dan itu membawa kita kepada satu-satunya orang yang terlibat. Josie! Josie yang
mengidentifikasi mayat itu. Ia tahu, pasti ia tahu bahwa itu bukan mayat Ruby
Keene. Dia berkata bahwa itu mayatnya. Josie bingung, betul-betul bingung,
menemukan mayat itu di sana. Hampir saja ia membocorkan keterlibatannya.
Mengapa" Karena ia tahu, di mana mayat itu seharusnya berada! Di dalam pondok
Basil Blake. Siapa yang mengarahkan perhatian polisi kepada Basil" Josie,
berkata kepada Raymond bahwa mungkin Ruby berada bersama orang film itu. Dan
sebelumnya dengan memasukkan sebuah foto Basil ke dalam tas Ruby. Siapa yang
menyimpan rasa amarah yang begitu hebatnya terhadap gadis itu sehingga bahkan
setelah melihat gadis itu menjadi mayat, amarahnya masih tidak dapat
disembunyikan" Josie! Josie, yang cerdik, praktis, sekeras batu, dan yang
seratus persen mata duitan. "Itulah yang saya maksudkan ketika saya berkata bahwa manusia itu terlalu mudah
percaya. tidak terpikirkan oleh seorang jua pun untuk mempertanyakan pernyataan
Josie bahwa mayat itu adalah Ruby Keene. Semata-mata karena pada saat itu Josie
tidak diketahui mempunyai motif untuk berbohong. Motif selalu merupakan
kesulitan kita-Josie sudah jelas terlibat, tetapi kematian Ruby malah
kelihatannya berlawanan dengan kepentingannya. Dan barulah ketika Dinah Lee menyebut
Somerset House, saya mendapatkan hubungannya.
"Perkawinan! Kalau Josie dan Mark Gaskell sebenarnya sudah kawin - maka


Mayat Misterius The Clocks Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seluruh peristiwa itu menjadi jelas. Seperti yang kita ketahui sekarang, Mark
dan Josie sebenarnya sudah kawin setahun yang lalu. Mereka menyembunyikan fakta
ini sampai nanti setelah Tuan Jefferson meninggal.
"Sebetulnya, melacak satu per satu urutan kejadiannya itu menarik sekali, Anda
tahu" -melihat bagaimana jalannya rencana mereka. Rumit namun sederhana.
Pertama-tama, mereka mencari seorang gadis yang mirip, anak yang malang itu, si
Pamela, yang akhirnya berhasil diumpan dengan pembicaraan tentang film. Suatu
tes layar - wah, sudah tentu anak yang malang ini tidak sanggup menolak. Apa
lagi kalau cara penyajiannya dibuat sedemikian menariknya seperti yang diungkapkan
Mark Gaskell. Pamela datang ke hotel, Mark menantikannya. Pamela dibawa
masuk lewat pintu samping dan diperkenalkan kepada Josie - yang mengaku
sebagai salah satu dari ahli rias mereka! Anak yang malang itu! Saya muak setiap
kali membayangkan kejadian tersebut. Pamela didudukkan di kamar mandi Josie
sementara Josie menyemir rambutnya menjadi pirang dan merias wajahnya dan
mencat kuku-kuku jari tangan dan kakinya. Sementara itu Pamela diberi obat bius.
Mungkin dicampurkan dalam minuman es krim soda. Anak ini menjadi tidak
sadar. Saya kira mereka lalu memindahkannya ke dalam salah satu kamar-kamar
kosong di seberang kamar Josie - toh kamar-kamar itu hanya dibersihkan sekali
seminggu, Anda ingat"
"Setelah makan malam, Mark Gaskell keluar dengan mobilnya - katanya ke pantai.
Waktu itulah ia membawa tubuh Pamela yang diberi pakaian salah satu baju tua
Ruby ke pondok Basil dan meletakkannya di atas permadani di depan tempat
perapian Basil. Pamela masih tidak sadar tetapi belum meninggal. Lalu dicekiknya
gadis ini dengan sabuk gaunnya sendiri....
Kejam, iya - tetapi saya berharap Pamela tidak merasakan apa-apa. Saya
benarbenar merasa gembira Mark Gaskell akan digantung untuk perbuatannya ini....
Waktu itu tentunya baru pukul sepuluh. Lalu Mark memacu mobilnya kembali ke
hotel dan mendapatkan yang lain-lain sedang duduk di kamar tamu di mana Ruby
Keene, masih segar bugar, sedang membawakan tarian ekshibisinya bersama
Raymond. "Saya kira sebelumnya Josie tentu sudah memberikan instruksi kepada Ruby. Ruby
sudah terbiasa melakukan apa saja yang disuruh Josie. Ruby disuruhnya menukar
pakaiannya, pergi ke kamar Josie dan menunggu di sana. Ruby pun diberi obat
bius, mungkin dicampurkan di dalam kopinya, yang diminum setelah makan
malam Bukankah Ruby malam itu terus menguap ketika ia berdansa dengan si
Bartlett muda" "Kemudian Josie naik ke atas untuk 'mencarinya' - tetapi tidak ada orang lain
yang masuk ke kamar Josie kecuali Josie sendiri. Kemungkinan besar pada saat itulah
ia membunuh Ruby - dengan suatu suntikan barangkali, atau dengan memukul
belakang kepalanya. Lalu Josie turun, berdansa dengan Raymond, berdebat dengan
keluarga Jefferson tentang di mana Ruby mungkin berada, dan akhirnya ia pergi
tidur. Pada waktu pagi-pagi dini hari, Josie mengenakan pakaian Pamela pada
mayat Ruby, membawa turun mayatnya lewat anak tangga samping - Josie yang
kuat dan berotot -mengambil mobil George Bartlett, mengemudikannya dua mil ke
mulut tambang itu, menuangkan bensin ke atas mobil dan menyulutnya. Lalu ia
berjalan kembali ke hotel, mungkin menepatkan kedatangannya sekitar pukul
delapan atau sembilan - dia dapat berkata bahwa. ia bangun pagi-pagi karena
menguatirkan Ruby!" "Plot yang rumit," kata Kolonel Melchett. "Tidak lebih rumit daripada
langkahlangkah suatu tarian," kata Nona Marple.
"Saya kira Anda benar."
"Josie sudah berhati-hati dan teliti sekali," kata Nona Marple. "Bahkan dia
sudah melihat adanya perbedaan kuku-kuku jari kedua gadis itu. Itulah sebabnya
mengapa ia berhasil mematahkan salah satu kuku jari Ruby pada selendangnya.
Hal itu merupakan alasan nanti bahwa Ruby telah memotong pendek semua
kukunya supaya seragam."
Kata Harper, "Ya, Josie telah memikirkan segalanya, sampai hal sekecil-kecilnya.
Dan satu-satunya bukti yang Anda miliki, Nona Marple. Kuku jari seorang gadis
pelajar yang geripis."
"Oh, tidak, lebih daripada itu," kata Nona Marple. "Orang cenderung akan
berbicara terlalu banyak. Mark Gaskell bicara terlalu banyak. Waktu ia bercerita
tentang Ruby, ia berkata 'giginya masuk ke dalam.' Tetapi gadis yang ditemukan
mati di perpustakaan Kolonel Bantry itu giginya merongos."
Conway Jefferson berkata dengan geram, "Dan apakah babak terakhir yang
dramatis itu ide Anda, Nona Marple?"
Nona Marple mengakuinya, "Ya, memang betul. Merasa pasti itu enak, bukan?"
"Pasti merupakan kata yang tepat," kata Conway Jefferson geram.
"Anda lihat," kata Nona Marple. "Sekali Mark dan Josie mengetahui bahwa Anda
akan membuat surat wasiat yang baru, mereka harus berbuat, sesuatu. Mereka telah
melakukan dua pembunuhan demi uang. Jadi mengapa tidak melakukan yang
ketiga sekali" Mark, tentunya, harus mempunyai alibi yang tidak terbantahkan,
jadi ia pergi ke London, membuat alibinya dengan pergi makan di sebuah rumah makan
bersama teman-temannya lalu bergembira di klub malam. Josie-lah yang harus
melaksanakan pekerjaan keji itu. Mereka masih ingin melibatkan Basil sebagai
pembunuh Ruby, maka kematian Tuan Jefferson harus dianggap sebagai akibat
serangan jantung. Kata Kepala Inspektur Harper kepada saya, alat penyuntiknya
berisi digitalin. Dokter mana pun akan mengambil kesimpulan bahwa kematian
akibat serangan jantung dalam keadaan seperti ini, adalah hal yang dapat
diharapkan. Josie telah melepaskan salah satu dari bola-bola batu di susuran
balkon, yang nantinya akan dijatuhkannya ke bawah. Ini tentunya akan
menimbulkan suara dan getaran yang besar. Kematian Tuan Jefferson bisa
diperhitungkan Sebagai akibat keterkejutannya mendengar suara itu."
Melchett berkata, "Setan yang cerdik."
Kata Sir Henry, "Jadi kematian yang ketiga yang Anda singgung-singgung tempo
hari itu sedianya adalah kematian Conway Jefferson?"
Nona Marple menggelengkan kepalanya.
"Oh, bukan - yang saya maksudkan adalah Basil Blake. Polisi tentu akan
menggantungnya kalau bisa."
"Atau ia akan dimasukkan ke rumah sakit jiwa di Broadmoor," kata Sir Henry.
Conway Jefferson menggerutu. Katanya, "Dari dulu saya sudah tahu bahwa
Rosamund telah mengawini seorang bajingan. Hanya saja saya tidak mau
mengakuinya sendiri. Rosamund amat mencintainya. Mencintai seorang
pembunuh! Nah, dia akan dihukum gantung, sama seperti yang perempuan. Aku
gembira akhirnya ia dapat dipatahkan dan bertekuk lutut mengakui semuanya"
Kata Nona Marple, "Yang perempuan dari semula lebih kuat karakternya. Semua
itu adalah rencananya. Ironisnya adalah justru ia sendiri yang telah membawa
Ruby kemari, tanpa membayangkan bahwa Ruby akan memikat hati Tuan
Jefferson dan menghancurkan masa depannya sendiri."
Kata Jefferson, "Anak yang malang. Ruby yang malang..."
Adelaide Jefferson dan Hugo McLean masuk. Adelaide malam ini tampak hampir
cantik. Dia menghampiri Conway Jefferson dan meletakkan tangannya di bahunya.
Katanya dengan sedikit menahan air mata, "Aku mau mengatakan sesuatu, Jeff.
Sekarang juga. Aku akan kawin dengan Hugo."
Conway Jefferson memandangnya sejenak. Katanya kaku, "Memang sudah
waktunya kau kawin lagi. Selamat kepada kalian berdua. Ngomong-ngomong,
Addie, aku akan membuat surat wasiat baru besok."
Addie mengangguk. "Oh, ya, aku tahu."
Jefferson berkata, "Oh, tidak, kau tidak tahu. Aku akan memberimu sepuluh ribu
pound. Sisanya dan semua hartaku yang lain akan jatuh ke tangan Peter kalau aku
mati kelak. Bagaimana ide ini menurutmu, Manis?"
"Oh, Jeff!" Suaranya tertahan. "Kau hebat!"
"Peter anak baik. Aku ingin sering-sering bisa bertemu dengannya - dalam sisa
waktu yang kumiliki ini."
"Oh, itu pasti!"
"Peter mempunyai firasat yang tajam dalam hal kejahatan," kata Conway Jefferson
termenung. "Bukan saja ia memiliki potongan kuku jari gadis yang terbunuh -salah
satu gadis-gadis yang terbunuh, maksudku - tetapi ia juga beruntung menyimpan
bagian dari selendang Josie yang tersangkut pada kuku itu. Jadi ia juga
mempunyai tanda mata dari si pembunuh! Itu membuatnya sangat gembira!"
Hugo dan Adelaide melewati ruangan dansa. Raymond menghampiri mereka.
Kata Adelaide agak terburu-buru, "Aku harus memberitahukan kepadamu. Kami
akan menikah." Senyum pada wajah Raymond tidak bercela -suatu senyum yang tabah dan
mengandung nada sedih. "Aku harap," katanya tanpa mempedulikan Hugo dan memandang dalam-dalam ke
mata Addie, "kau akan menjadi sangat, sangat berbahagia ...."
Mereka melanjutkan langkahnya dan Raymond berdiri di sana mengikuti kepergian
kedua orang ini dengan pandangan matanya.
"Seorang wanita yang baik," katanya kepada dirinya sendiri. "Seorang wanita yang
amat baik. Tadinya ia juga mempunyai kesempatan menjadi wanita yang kaya.
Dan aku sudah repot-repot menghidupkan cerita mengenai keluarga Starr dari
Devonshire .... Yah, apa mau dikata, memang nasibku yang buruk. Berdansa
sajalah, berdansalah terus, Jejaka!"
Dan Raymond kembali ke ruangan dansa.
End Edit & Convert to Txt, Pdf, Jar: inzomnia
http://inzomnia.wapka.mobi
Re edited by: Farid ZE Blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu
Harimau Kemala Putih 2 Pendekar Bayangan Sukma 26 Pertarungan Para Pendekar Pedang Langit Dan Golok Naga 39

Cari Blog Ini