Naga Bhumi Mataram Karya El Pramono Bagian 11
sekedar beristirahat. Tapi, seperti kata Paman Wajra, ia sedang
mempersiapkan diri. Bersiap-siap, lahir batin!
Sesungguhnya, anak muda itu seperti orang yang sedang berdiri
di sebuah persimpangan. Persimpangan atas dua cabang pilihan:
membiarkan atau menghentikan. Dua-duanya pahit. Tidak enak.
Membiarkan itu sama halnya dengan memberikan persetujuan
terhadap keguncangan lebih luas atas Bhumi Mataram: Perang.
Perang yang kembali mengoyak dua wangsa. Wangsa Utama di
22 tlatah Yawadw?pa. Sebab, orang itu akan menegakkan sebuah
wangsa berdiri tegak dengan memberagus wangsa saingannya.
Wangsa Syailendra sebagai Adwaya Lokeswara (Raja Dunia
Tunggal). Raja Dunia Tunggal di atas kematian wangsa lain,
624 Wangsa Sanjaya. Lalu, menghentikan itu sama artinya ia akan berhadapan dengan
kenyataan yang sangat pahit. Kenyataan bahwa seorang yang
sama menampilkan diri dalam wujud dua orang. Dua orang
dengan sifat berbeda. Yang sangat pahit, orang itu sangat dekat
dengan dirinya. Sangat disayanginya. Sangat dihormati dan
dipuja. Bahkan, orang itu telah membakar semangat bagi dirinya
untuk terdepan membela Jalma Manungsa (kemanusiaan sejati).
Membela kemanusiaan sejati atas suatu prinsip yang tidak
terbelenggu oleh wangsa, keyakinan dan kekuasaan. Suatu
prinsip mulia yang telah ia sebarkan lewat ikatan Chandrakapala.
Sebarkan hingga melintas batas-batas kekuasaan di Bhumi
Mataram. Ia sungguh adalah Adi Acarya (Guru Utama). "Oh,
Hyang Agung! Di balik itu semua, ternyata Adi Acarya itu tidak
lain Baring Lokatara (orang genius sinting) pencetus seluruh
kegemparan di Bhumi Mataram." Jerit batin anak muda itu pahit.
Sangat pahit. Sangat sulit bagi anak muda itu menetapkan pilihannya. Akan
tetapi, pilihan itu harus segera diputuskan. Tidak bisa terus
ditunda. Menunda sama halnya membiarkan dirinya berada pada
ketidakpastian di persimpangan cabang dua itu. Anak muda itu
tidak kuasa membayangkan apa yang nanti akan terjadi. Yang
akan terjadi antara dirinya dengan Baring Lokatara itu. Pangeran
Abhipraya. Pangeran Abhinaya. Eyang Kawiswara. "Apa yang
terjadi, biarlah terjadi". Ia mendesah lirih, membaringkan tubuh di
atas rumput dan beristirahat.
Di bawah sana terlihat sejumlah pijaran cahaya. Cahaya itu
terlihat di sela-sela dedaunan bambu. Dedaunan yang terus
berbunyi gemerisik tertiup angin. Cahaya itu berasal dari senthir
625 yang biasa digunakan sebagai penerangan dari sebuah
padepokan. Padepokan yang asri. Padepokan Chandrakapala.
Malam baru saja berlabuh. Anak muda itu pun bergerak cepat
naik ke bukit. *** Di tempat di mana ia biasa berlatih di atas bukit itu, seseorang
telah berdiri menunggu. Pangeran Sepuh Abhinaya. Pangeran
yang sudah sangat tua. Kulit tubuh dan wajahnya sudah menjadi
keriput. Wajah itu tampak putih memucat. Memucat ganjil dan
menyeramkan. Ia berpakaian layaknya seorang petapa. Rambut
panjangnya sudah memutih dan digulung bersanggul ke atas.
Anak muda itu datang mendekat pada orang tua bermuka pucat.
Ia mendekatinya dengan persiapan lahir batin. Persiapan yang
23 masih rapat disembunyikannya.
"Selamat malam Eyang. Arga sudah datang". Anak muda itu
berlutut bersimpuh di hadapan Pangeran Sepuh. Ia berlutut
hanya dalam jarak dua tindak dari Pangeran Sepuh bermuka
pucat. Ada yang tidak biasa pada orang tua itu. Di pinggangnya
terselip sebilah keris. Keris pusaka.
"Bangunlah Nakmas." Anak muda itu pun segera bangun.
Beringsut mendekati Pangeran tua bermuka pucat. Pangeran tua
itu tidak bergerak, masih tetap berdiri memandang lekat anak
muda itu. Dengan pandangan itu, ia terus memeriksa keadaan
anak muda. Dari situ, Pangeran Sepuh bermuka pucat
mempersiapkan sesuatu untuk ditunjukkan pada anak muda itu.
Ditunjukkan seperti yang dikatakan kemarin di Perguruan Merak
Mas. Bukan Samudra Manthana (Pengaduk Samudera), tapi
626 sesuatu yang lain. Pandangan Pangeran Sepuh bermuka pucat menyiratkan suatu
ingatan, bahwa Samudra Manthana (Pengaduk Samudera) tidak
berdaya pada anak muda itu. Ia yakin sesuatu yang merupakan
Acalapati Krastala Bithi (Pukulan Sakti Tertinggi) akan
melenyapkan anak muda itu di atas bukit pada malam ini. "Tidak
perlu tergesa-gesa. Hanya menunggu saatnya." Pandangan
orang tua itu menerawang jauh. Saat ini ia terdiam. Terdiam
cukup lama, karena tidak merasa tergesa-gesa. Pada dua bola
mata yang telah sebagian memutih, tidak hitam lagi, berkilat
bayangan pertemuan dengan anak muda itu saat pertama kali.
Pertemuan itu terus diingatnya. Pada pertemuan itu, ia ingin
memastikan "suatu keyakinan". Sesuatu di dalam diri anak muda
itu. Sesuatu yang diyakini dapat menghapus segala-galanya.
Menghapus setelah ia bangun dua puluh lima tahun. Pada
pertemuan itu, ia pun langsung dan tiba-tiba mengempur.
Mengempur untuk memastikan sesuatu atas diri anak muda itu.
*** Untuk memastikan sesuatu atas diri anak muda itu, saat
pertemuan pertama, Pangeran Sepuh bermuka pucat telah
memintanya datang mendekat. "Mari mendekat..." Sambil berkata
demikian, orang tua itu mengerakkan tangan ke arah janggut
olah-olah ingin meraba jenggot putih setengah hasta.
"Aku akan membinasakan anak muda itu lewat sebuah gerakan
kecil. Gerakan kecil berlambarkan Samudra Manthana (Pengaduk
Samudera). Pengaduk Samudera akan membinasakan anak
muda itu seketika. Demikian, seketika juga telah sirna sesuatu
627 yang dapat menghapus rencanaku selama dua puluh tahun".
Orang tua itu senang anak muda itu datang kepadanya tanpa
suatu persiapan. Tambah senang, melihat anak muda itu tidak
menghindari Pengaduk Samudera.
"Udhadhi Nampa (Menerima Lautan)." Sebenarnya, orang tua
24 ingin meneriakkan nama itu. Tapi, urung. Sebab salah seorang
Senopati Utama yang telah menjadi terkejut menyerukan nama
itu. "Tidak masuk akal! Anak muda itu tidak binasa seketika oleh
Pengaduk Samudera. Udhadhi Nampa. Ia ingin bercanda dengan
kekuatan samudera. Akan kulihat sejauhmana ia dapat bertahan
dan binasa." Mata orang tua itu berkilat dan segera
mendorongkan dua tangan ke depan meningkatkan tenaga.
Tekanan Samudra Manthana pun semakin kuat menerpa.
"Bagus, tekanan Samudra Manthana telah membuat tubuh anak
muda menjadi membesar membengkak. Tubuhnya telah terisi
oleh aliran Samudra Manthana. Tinggal tunggu waktunya.
BUUUM. Tubuh itu akan meledak, karena tidak mampu
menampung Samudra Manthana."
Orang tua itu terlihat mengunci bibirnya, tapi di hatinya berteriak
terkejut dan kecewa. "Apa! ia mampu melepaskan diri tekanan
Samudra Manthana". Dengan kecepatan yang tak telihat mata,
anak muda itu memukulkan tangan kanan ke tanah, lalu
melenting ke atas dan membalikkan badan serta meluncur cepat
sambil mengerakkan tangan kiri untuk mengirimkan sebuah
pukulan. "Di depan orang-orang itu, tidak mungkin kupapak
serangan anak muda itu dengan Racun Maha Dewa. Itu
membangkitkan kecurigaan di dalam diri mereka. Tidak perlu
membinasakan anaku muda itu dengan Racun Maha Dewa".
Dengan dua telapak tangan, orang tua itu memapak pukulan itu.
628 PLLEEKK. PLLEEKK. Dua benturan membawa akibat luar biasa. Benturan itu telah
melontar anak muda itu sejauh tujuh delapan hasta. Ia terlihat
mendarat keras ke tanah dengan dua lutut karena kakinya terlipat
ke belakang. Anak muda itu pun terbatuk-batuk.
"Anak muda, hanya tokoh-tokoh tertentu, yang dalam adu tenaga,
mampu membuatku beranjak. Luar biasa. Kau telah
melakukannya. Dan, benturan tadi agaknya pun hanya
membuatmu tertekan sesaat tidak mengakibatkan banyak
pengaruh pada dirimu. Anak muda. Hati-hati, aku akan bertindak
lebih jauh." Setelah berkata demikian, Pangeran Abhinaya
tampak menerawang jauh dan siap merambah pada tataran lebih
tinggi. Sambil berkata demikian orang tua itu membatin. "Anak
muda yang tidak mudah dilenyapkan. Bagus. Bagus. Sampai di
mana kau menahan kekuatan samudera. Kekuatan yang setahap
demi setahap akan terus meningkat hingga ke puncaknya:
Aryasatya Samudra (Samudra Kemuliaan)." Demikian, orang tua
itu menerapkan sesuatu yang lebih jauh atas anak muda itu.
Kekuatan samudera hingga pada puncak.
"Sungguh-sungguh harus segera dihentikan. Dihentikan saat ini
sebelum anak muda itu tumbuh sebagai Naga yang sebenarnya".
Pangeran bermuka pucat itu membatin. Dalam serangan anak
muda itu, ia sungguh-sungguh merasakan kehadiran bayangbayang seekor naga. Makhluk raksasa
itu seperti bergerak 25 bergulung-gulung, terus mengitarinya dan melontarkan kekuatan.
Pada akhirnya, serangan anak muda itu telah bersarang pada
punggungnya. Dalam perlindungan Carmi Samudra, serangan itu
tidak mempengaruhi. Alih-alih memperlihatkan kegusaran,
Pangeran bermuka pucat itu itu membalikkan badan, dengan
629 sebuah senyum menutup wajahnya. "Anak muda, engkau
sungguh berhasil mengguncang diriku yang terisi penuh oleh
kekuatan Carmi Samudra. Aku tahu engkau masih memiliki yang
lain, ayo kerahkan itu semua." Tanpa memperlihatkan kegusaran,
ia berkata memancing anak muda itu dengan suara yang
memberat. Memberat menahan kegusaran dalam batinnya. "Aku
akan melumatkan anak muda itu dengan Adwitiya Astula
Samudra (Samudra Luas Tiada Dua)". Orang tua itu pun bergerak
secepat kilat maju melayang sambil membentangkan tangan
yang kini tampak dijalari oleh sinar hijau kebiruan.
Pertarungan terus berlangsung tanpa Pangeran Sepuh bermuka
pucat tidak juga mampu melukai, apalagi melumat seperti yang
diinginkannya. Bahkan, hingga pertarungan itu semakin merayap
menuju pada kemapanannya dalam suasana yang telah menjadi
gelap. "Aku harus menuntaskan anak muda itu. Terima ini Aksata
Samudra (Samudra Yang Tidak Terputus)". Pangeran Sepuh itu
pun tersenyum dan segera menyiapkan diri menerapkan Aksata
Samudra (Samudra Yang Tidak Terputus). Seluruh permukaan
tubuh orang tua bermuka pucat segera berbalur sinar hijau tua.
Saat itu, Pangeran Sepuh bermuka pucat terkesima. Wajah pucat
putih itu semakin putih. Ia telah menjadi terkesima dengan benda
perak yang melingkar di pinggang anak muda itu. Benda yang
sangat dikenalinya. Benda itu telah mengantarnya pada suatu
kepastian. "Aku harus memusnahkan anak muda itu. Harus
membunuhnya dan jika sangat terpaksa membunuhnya dengan
Racun Maha Dewa." Kepastian itu terlihat jelas pada raut
wajahnya, manakala ia jelas melihat anak muda itu mengenakan
pada pinggangnya sebuah Siwa Upawita *) (Tali Kasta Siwa)
berbentuk Ular Naga. Ciri yang selalu melekat di tubuh Siwa.
630 Dewa Pujaan Wangsa Sanjaya. Kesempatan pun tiba. Tiba lewat
benturan yang tidak bersuara keras.
PLAK. Telapak tangan anak muda itu telah melekat pada dua
lengannya. Dua lengan yang telah disilangkan di depan dada.
Dua lengan itu tidak keriput lagi, tapi mengeras berotot. Pada
lengan itu mengalir Pratyangga Tuntum Rosan (Kekuatan
Pemulih Tubuh) yang telah menyatu sempurna sehingga tangan
itu menjadi hijau kebiruan. "Kesempatan itu kembali tiba, anak
muda itu melekatkan dirinya pada benturan itu. Anak jahanam!
Cari mampus. Sekarang, rasakan kekuatan samudera dalam
paduan dengan Pratyangga Tuntum Rosan." Tak terlihat mata
26 orang tua itu bersinar bengis. Sangat bengis, saat mengalirkan
kekuatannya dalam lekatan itu. Kekuatan itu terus menekan
dalam bentuk rona hijau kebiruan semakin merebak membesar
dan meluas. "Mati kau!" Pangeran Sepuh bermuka pucat itu mendesakkan
kekuatan. Kekuatan itu telah langsung membuat rona merah
semakin menyempit dan mengecil. Dalam tekanan kekuatannya,
rona merah hanya menyisakan sebidang kecil. "Sesaat lagi.
Hanya sesaat, kekuatanku akan merasuki dan meledakkan anak
muda itu. Musnah!" Serta merta Pangeran Sepuh meningkatkan
kekuatan menerjang dan menghimpit anak muda itu.
Kegembiraan pada wajah tua itu, kini menghilang. Sudah lebih
dari dua penderesan nira, ia terus mengelontorkan kekuatannya
pada diri anak muda itu. Tapi, anak muda itu tetap melayang di
tempatnya. Tidak juga, seperti diharapkan: mati karena diterjang
dan ditelan kekuatan samudera dalam paduan dengan Kekuatan
Pemulih Tubuh. 631 "Apakah kekuatan dari dongeng Ramayana memang ada"
Kekuatan seorang ibu yang menyusui seekor monyet putih.
Curirana?" Mata tua yang tajam itu menangkap rona merah pada
diri anak muda itu, sekalipun kian mengecil dan menyempit, tetapi
semakin terlihat solid dan kuat. Suatu kekuatan telah bangkit
dalam diri anak muda itu. Bangkit bereaksi atas kekuatan lain
yang telah menekan dan mendesak.
"Tidak salah. Anak muda itu telah bertumpu padanya. Bertumpu
pada sumber yang disadap dari Pemilik Ikat Pinggang yang
melingkar pada pinggangnya. Biarlah, anak muda itu menerima
Aryasatya Samudra (Samudera Kemuliaan) seutuhnya." Sebuah
keputusan telah ditetapkan. Keputusan untuk menerapkan
Aryasatya Samudra (Samudra Kemuliaan). Bukan yang lain.
"Lekatan ini tidak memungkinkan aku melepaskan Manila
Widyutmala Tebah (Pukulan Mata Petir Intan Biru). Bentuk
tertinggi dari kekuatan Racun Maha Dewa. Sebagai gantinya, aku
akan melenyapkan anak muda itu dengan Samudera Kemuliaan."
Tubuh itu pun sepenuhnya bersinar membiru, manakala
Pangeran Sepuh bermuka pucat menggelogokkan deras
Samudra Kemuliaan pada tataran yang paling tinggi. Utuh penuh
pada puncak kekuatan ilmu itu. Deras menerjang kekuatan itu
masuk ke dalam diri anak muda. Menerobos masuk menjangkau
seluruh titik-titik sumber kekuatan dalam diri anak muda itu.
"Aneh!" Kata itu melonjak dalam batin Pangeran Sepuh bermuka
pucat, bersamaan dengan suara lirih anak muda itu yang jelas ia
Naga Bhumi Mataram Karya El Pramono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengar. "Benar-benar aneh. Anak muda itu tidak juga binasa oleh
Samudra Kemuliaan yang telah aku lesakkan pada tataran
pamungkas. Mengapa?" Jawab atas pertanyaan heran itu baru
632 27 disadari kemudian. "Edan! Samudera Kemuliaan justru menyatu
dengan kekuatan anak muda itu. Kekuatan anak muda itu seperti
membelai Samudera Kemuliaan. Dalam belaian itu, Samudra
Kemuliaan telah tunduk dan masuk menyatu. Kekuatan anak
muda itu seperti memeluk Samudera Kemuliaan layaknya anak
seorang. Anak terkasih." Keheranan Pangeran Sepuh bermuka
pucat berubah menjadi kekagetan. Mata Pangeran Sepuh pun
berkilat memutuskan sesuatu. "Aku akan melepaskan diri.
Terpaksa mengurai Pukulan Mata Petir Intan Biru. Pukulan
tertinggi kekuatan Racun Maha Dewa. "
Tapi terlambat. Pegangan dua tangannya pada lengan anak
muda itu tidak juga dapat dilepaskan. Dua tangan itu tersegel
rapat oleh kekuatan Samudera Kemuliaan. Samudera Kemuliaan
itu tengah terbuai dalam belaian kekuatan seorang ibu pada diri
anak muda itu. Pangeran Sepuh pun berupaya menarik aliran
Samudera Kemuliaan. Lagi, ia tidak kuasa. Samudera Kemuliaan
telah menjadi krasan betah dalam belaian itu. Dalam keadaan itu,
Samudera Kemuliaan telah lepas dari kendali Pangeran Sepuh.
Samudera Kemuliaan berdiri mandiri, dan terus masuk tenang
namun kuat mencari kepuasannya sendiri. Kekuatan Belaian
Seorang Ibu. Curirana. "Ah...." Pangeran Abhinaya mendesah lirih cemas. Akan tetapi,
kecemasan itu tertutup oleh wajah tuanya yang semakin
memucat. Sangat pucat. "Aku bukan membunuhnya, tapi justru
memberinya kekuatan." Ia membatin dalam ketidakberdayaan.
Tidak berdaya menghentikan Samudera Kemuliaan yang telah
lepas mandiri. Keadaan itu terus berlangsung lebih dari tiga
penderesan nira lamanya. "Apa yang sedang Eyang lakukan?" Terdengar anak muda
633 berkata dalam keterkejutannya. Anak muda itu pun melakukan
sebuah tepukan. Tepukan menepis dengan punggung telapak
tangan. Punggung telapak itu menyasar pada kedua lengan
Pangeran Sepuh bermuka pucat itu. Diakhiri dengan sebuah
hentakan (http://cerita-silat.mywapblog.com)
http://cerita-silat.mywapblog.com ( Saiful Bahri - Seletreng - Situbondo )
ringan dan lembut, ia telah melepas genggaman
Pangeran Sepuh bermuka pucat itu. Gerakan itu telah mengakhiri
apa yang berlangsung pada pertemuan pertama
Ia sangat kecewa. Tapi, kekecewaan itu disembunyikannya
dalam-dalam. Kecewa bahwa pada pertemuan pertama, ia tidak
kuasa membunuh binasa anak muda itu. Alih-alih membunuh
binasa, ia justru telah memindahkan sebagian besar kekuatan
yang selama ini telah dipupuknya. Kekuatan yang sangat
berharga. Demikian, Pangeran Sepuh bermuka pucat mengakui,
bahwa pada beberapa purnama lalu, ia telah gagal untuk
memastikan sesuatu atas diri anak muda itu.
*** Untuk kembali memastikan sesuatu atas diri anak muda itu,
Pangeran Sepuh bermuka pucat telah mengundang anak muda
itu datang ke bukit dekat padepokan. Kini anak muda itu berdiri di
hadapannya. Ia telah memenuhi undangan itu. Undangan yang
sebenarnya adalah upaya memancing keluar anak muda itu.
Memancing keluar untuk membunuhnya. Membunuhnya pada
malam ini. Itulah sesuatu yang ingin ia pastikan atas diri anak muda itu.
Membunuh dengan Pukulan Mata Petir Intan Biru. Pukulan
tertinggi kekuatan Racun Maha Dewa. "Tidak perlu tergesa-gesa.
Sekuat apa pun dirinya anak muda itu tidak akan kuasa di bawah
634 Pukulan Mata Petir Intan Biru". Sekali lagi ia membatinkan
keyakinannya. "Maaf Eyang, apa yang hendak Eyang tunjukkan pada Arga."
Perkataan itu memecahkan keheningan bukit itu, sekaligus
menyadarkan Pangeran Sepuh bermuka pucat yang telah terdiam
cukup lama. "Nakmas Arga, Eyang ingin menunjukkan sesuatu. Sesuatu itu
berupa sebuah cerita." Orang tua bermuka pucat itu telah
mengalihan sesuatu yang sebenarnya menjadi suatu cerita.
"Nakmas Arga, Eyang pernah bercerita tentang tiga orang
saudara. Satu di antaranya kemudian duduk di atas tahta Bhumi
Mataram, dengan gelar Samaratungga. Lalu, raja itu
mengukuhkan sebuah mahligai Puterinya, Pramodyawardani,
dengan seorang keturunan Sanjaya, Raka i Pikatan. Sangat hina
dan menjijikkan!" Dalam keterkejutannya, anak muda itu
menangkap sesuatu yang lain pada diri Eyang Kawiswara. Ia
tidak lagi tampak sebagai seorang Adi Acarya (Guru Utama).
"Raja itu telah menistakan Wangsa Syailendra. Menistakan
serendah-rendahnya." Kemurkaan keras membayang di wajah
orang tua itu. Wajah pucat putih yang sangat menyeramkan.
"Pikatan.... Pikatan....Binatang itu telah memikat dan mengikat
hati raja itu." Kini yang telah menjadi sangat marah adalah anak
muda itu. Nama yang adalah seorang leluhurnya dikatakan
1 sebagai "binatang". Sejak saat itu, ia telah menyiapkan dirinya
hingga pada puncak kekuatannya. Sekuat tenaga, anak muda itu
menahan gejolak di dalam dirinya. Termasuk kekuatan yang telah
siapkan hingga puncak. "Nakmas. Cerita tentang tiga saudara..... Abhirama, Abhipraya
dan Abhinaya. Sebagian hanya isapan jempol. Tidak ada tiga
635 saudara. Yang ada hanya dua saudara. Abhirama dan Abhipraya.
Tidak ada Abhinaya. Sosok ketiga itu hanya bayangan yang telah
diciptakan oleh Abhipraya. Oleh Eyang sendiri, Nakmas." Dua
mata tua itu mencorong. Seram dan tajam. Pangeran tua itu telah
membuka sebuah kebenaran.
"Dua puluh lima tahun, Eyang telah membangun dan membentuk
sosok itu. Di antara banyak tokoh. Tokoh yang Eyang ikatkan
dalam Chandrakapala. Ikatan yang dialaskan dengan cita-cita
dan mimpi kosong. di awang-awang." Di balik sebatang pohon
besar, seorang tua tampak bergetar hebat. Getar hebat itu sekuat
tenaga diredamnya. "Belum saatnya". Ia membatin dengan
tombak pendek di tangan. "Puih! Membela Jalma Manungsa (kemanusiaan sejati). Membela
kemanusiaan sejati atas suatu prinsip yang tidak terbelenggu oleh
wangsa, keyakinan dan kekuasaan. Mana bisa! Mana bisa, itu
dilakukan kecuali oleh Wangsa Syailendra. Wangsa Syailendra
yang murni." Pengeran Sepuh bermuka pucat itu meludah
kemudian membentak. "Empat puluh empat tahun silam. Aku telah berupaya
menegakkan Wangsa Syailendra dalam kemurnian.
Mendudukkan keponakanku, Balaputradewa, berdiri tegak
meluruskan kemurnian sebuah wangsa di atas Tahta Bhumi
Mataram. Meluruskan kemurnian wangsa sekalipun itu ditempuh
dengan perang saudara. Sayang, upaya itu kandas di tangan
Pikatan." Kecewa itu jelas membayang, dan Pangeran Sepuh
bermuka pucat itu tidak lagi menyebut dirinya sebagai "Eyang"
melainkan "aku". Bagi anak muda itu, peruban ini menyatakan
kenyataan yang sangat pahit. Kenyataan, bahwa orang yang
dihormati dan disayanginya memang benar-benar seorang Baring
636 Lokatara (orang genius sinting) pencetus seluruh kegemparan di
Bhumi Mataram. "Hyang Agung...." Jerit batin anak muda itu
pahit. Sangat pahit. "Bersama Balaputradewa, aku menyingkir ke Suarnadwipa.
Hampir dua puluh tahuan. Dua dasawarsa, terbuang di negeri
orang. Tapi, itu tidak sia-sia. Di tanah itu, aku telah menegakkan
Wangsa Syailendra dan mendudukan Balaputradewa di atas
Tahta Sriwijaya. Sungguh pelarian yang tidak sia-sia." Kepalanya
mendongak ke atas seperti bersyukur.
"Tapi, Tahta Bhumi Mataram terus membakar diriku. Tidak akan
padam sampai Tahta itu digenggam oleh seorang dari Wangsa
2 Syailendra dalam darah yang murni. Dua puluh lima tahun lalu
aku kembali ke tanah Yawadw?pa dalam dua sosok yang
berbeda. Abhipraya dan Abhinaya. Dua sosok dengan sifat-sifat
dan cita-cita sangat berbeda. Abhipraya dan Abhinaya pun telah
menempuh jalan dan rencana yang berbeda." Semua dimengerti
dengan gamblang. "Orang tua itu telah memulainya dua puluh
lima tahun silam". Anak muda itu membatin dan memberi jarak,
jarak rasa, dengan menyebut orang yang biasa disapa "Eyang
Kawiswara" menjadi "orang tua itu". Anak muda itu telah lepas
dari belenggu rasa. Rasa memiliki atau menjadi bagian dari
Pangeran Sepuh bermuka pucat.
"Terhitung lima tahun silam, Abhipraya dan Abhinaya telah
memilih sebuah nama untuk mengalaskan rencana mereka.
Chandrakapala. Sebenarnya, Chandrakapala telah diarahkan
menuju muara yang sama. Kegemparan. Melalui Chandrakapala,
Abhipraya telah meledakkan kegemparan. Sementara, Abhinaya
menarik tokoh-tokoh ke dalam pusaran itu. Tokoh-tokoh yang
tidak setuju atas berdirinya sebuah wangsa di Yawadw?pa.
637 Wangsa apa pun. Tokoh-tokoh pembela Jalma Manungsa di atas
suatu prinsip yang tidak terbelenggu oleh wangsa, keyakinan dan
kekuasaan. Chandrakapala di satu sisi telah meledakkan
kegemparan sekaligus menggulirkan kegemparan lain.
Kegemparan lain itu adalah tergilasnya tokoh-tokoh yang telah
ditarik ke dalam Chandrakapala oleh Penguasa-Penguasa Bhumi
Mataram saat ini. Tokoh-tokoh yang pasti akan melawan
manakala aku menegakkan Wangsa Syailendra berdiri tegak
berkuasa. Berkuasa dalam kemurniannya." Anak muda itu
bergidik. "Rencana gila!" Terbayang banjir darah. Dan, banjir itu
memang sebagian sudah terjadi di Bhumi Mataram.
"Lalu, bagaimana dengan Chandrakapala Ascarya?" Tentu yang
dimaksudkan anak muda itu, bagaimana Pangeran Sepuh itu
telah mendudukan dirinya sebagai Chandrakapala Ascarya.
"Chandrakapala Ascarya... Chandrakapala Ascarya... Diri
Nakmas duduk sebagai Chandrakapala Ascarya" Itu sebuah
kecelakaan kecil dari sebuah rencana. Sebenarnya, aku telah
mempersiapkan orang lain sebagai Chandrakapala Ascarya.
Seorang Pangeran, Penguasa Watugaluh. Yang karena sebuah
peran, ia tidak lagi berada di atas tahta. Tidak lagi berada di tahta
itu, karena harus menghilang seolah-olah dibunuh di atas Gunung
Welirang." Bayang-bayang mendiang Ketua Samaragrawira
terbayang di dua mata anak muda itu.
"Ia memang murid yang luar biasa. Tidak sia-sia aku
membentuknya. Pangeran itu memainkan peran dengan
sempurna. Peran seolah-olah telah terbunuh di atas gunung itu.
Atas peran itu, ia telah mengarahkan Penguasa Watugaluh yang
menggantikannya, untuk pergi menuntut suatu penebusan pada
Penguasa Tembelang. Meminta penebusan kepada Tembelang,
638 3 atas apa yang telah dilakukan oleh tangannya sendiri.
Samaragrawira hanyalah korban dari peran itu ...." Lirih dan
ringan Pangeran Sepuh bermuka pucat mengatakan bagian
terakhir dari penuturannya. Bergetar anak muda itu menahan
murkanya. "Tidak selesai di situ, Nakmas. Atas kecelakaan kecil itu aku telah
meletakkan sebuah rencana besar. Menarik Chandrakapala ke
permukaan sebagai perkumpulan berciri. Perkumpulan yang telah
mengumbar kegemparan di mana-mana. Mulai dari Poh Pitu,
Gunung Ungaran, Gunung Welirang dan terakhir Tembelang.
Kegemparan itu berakar pada sebuah nama Chandrakapala.
Yakni, Chandrakapala yang merupakan sebuah perkumpulan
berciri. Perkumpulan berciri yang digerakan oleh seorang
Chandrakapala Ascarya. Dan, Chandrakapala Ascarya itu adalah
adalah seorang anak muda yang memiliki ikatan dengan
Penguasa Tembelang. Chandrakapala Ascarya itu menyebut
Penguasa Tembelang sebagai Pamannya. Paman Wira."
Pangeran Sepuh bermuka pucat itu menyeringai. Sangat puas.
"Begitulah Nakmas. Atas kecelakaan kecil itu aku telah
meletakkan sebuah rencana besar." Kembali orang tua itu
menyeringai puas. Sangat lepas.
"Apakah ada kecelakan kecil lain" Misalnya, pengoperan tenaga.
Pengoperan tenaga pada laga terdahulu. Juga, membiarkan
bahkan membimbing menguasai Samudera Kaca. Selama tiga
purnama saat di padepokan Chandrakapala. Adakah dua hal itu
merupakan kecelakan kecil" Atau bagian dari sebuah rencana?"
Anak muda itu ikut tersenyum. Senyum mengejek.
"Nakmas. Itu tergantung bagaimana memandangnya. Dua hal itu
memang telah menjadi kecelakaan-kecelakaan kecil. Yakni, dua
639 hal itu telah memberimu kekuatan. Tepatnya, meningkatkan dan
menambah kekuatanmu. Akan tetapi, itu semua sesungguhnya
bagian dari sebuah rencana. Rencana dengan hasil tertunda.
Bukan gagal." Jawaban diberikan begitu ringan. Ini mengagetkan
anak muda itu. "Tidak mengapa kau menjadi sangat kuat, tapi di bawah Pukulan
Mata Petir Intan Biru. Kekuatan itu tidak ada artinya. Tidak ada
kekuatan yang dapat menahan pukulan itu." Orang itu
mengatakan dalam batin. Begitu yakin atas Pukulan Mata Petir
Intan Biru. "Apa itu rencana sesungguhnya" Baik, akan kukatakan.
Pengoperan tenaga" Pengoperan tenaga yang mana" Itu tidak
ada. Yang ada adalah melenyapkan seorang anak muda. Lalu,
soal menurunkan Samudera Kaca di bukit Chandrakapala.
Dengan itu, aku ingin menghadap-hadapkan seorang anak muda
dengan seorang bertombak pendek. Orang bertombak pendek Si
pemburu Abhinaya. Pada dirimu aku telah menanam jejak
Abhinaya bagi orang itu, dan ...... BLLLAAARRRR. Kalian telah
4 saling membentur bukan" Ha.... Ha.... Ha.... Semua itu adalah
bagian dari rencana." Belum pernah mata itu terlihat pada
Pangeran Abhinaya. Baring Lokatara. Orang Genius Sinting.
"Sebuah rencana" PUIH!" Sosok itu muncul dari rimbunan
pepohonan, sambil meludah. Ludah kemuakan sekaligus ejekan.
Orang itu adalah Ki Wajra Sasmaka Kunta
"Adhi Wajra Sasmaka Kunta". Pangeran Sepuh bermuka pucat
menyembunyikan kekagetan. Tapi hanya sesaat.
"Kecelakaan kecil itu tetap kecelakaan. Bahkan, kebodohan.
Sangat bodoh". Wajah keriput pucat dari Pangeran itu menajam
menahan murka. Ia sangat murka dikatakan bodoh. Sangat
Naga Bhumi Mataram Karya El Pramono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
640 bodoh. Apa penalarannya"
"Dua kecelakaan kecil tadi bila digabungkan dengan kecelakaan
kecil lain, akan menampakkan kebodohan yang paling bodoh.
Tahu apa kecelakaan kecil lain itu?" Kembali ia dikatakan sangat
bodoh. Pangeran Sepuh semakin murka. Sama murkanya
dengan orang tua bertombak pendek. Orang itu murka, setelah
mengetahui kesimpulan dari rangkaian kecelakaan-kecelakaan
kecil. Murka itu nyata lewat dua matanya. Mata itu seolah-olah
ingin membakar apa pun di atas bukit. Di atas bukit, saat malam
telah menjadi sangat gelap.
*** Saat malam telah menjadi gelap, di atas bukit, setelah pada senja
tadi Penguasa Watugaluh meminta pertanggungjawaban pada
Penguasa Tembelang atas peristiwa di lereng Gunung Welirang,
anak muda itu telah mengundangnya ke Perguruan Merak Mas.
Mengundang dirinya, setelah ia mengatakan ciri-ciri pada orang
tua bermuka pucat. Orang tua yang dikenalnya sebagai
Kakangmas Pangeran Abhipraya.
Cepat ia bergerak mengikuti anak muda itu. Ia dibawa ke sebuah
bilik. Bilik anak muda itu sendiri. Anak muda itu mengundang
dirinya ke biliknya, bukan menjebaknya. Anak muda itu
mempersilahkan dirinya duduk. Duduk bersila pada sebuah tikar
pandan yang baru saja dipaparkan. Sementara ia duduk, anak
muda itu mengambil sesuatu dari pembaringannya. Tiga buah
kitab. Anak muda itu mengatakan bahwa tiga kitab itu memuat
keterangan mengenai Racun Maha Dewa. Keterangan yang
sangat berguna mengenal dan memahami Racun Maha Dewa.
641 Anak muda itu dengan fasih mengurai keterangan mengenai
Racun Maha Dewa sembari menunjukkan keterangan yang
diuraikan sebagaimana ada pada tiga kitab itu. Pada akhir
uraiannya, anak muda itu membaca satu bagian keterangan pada
salah satu kitab itu: "Kekuatan Racun Maha Dewa dapat
dilontarkan sebagai pukulan jarak jauh dalam bentuk Manila
Widyutmala Tebah. Pukulan Mata Petir Intan Biru, puncak
tertinggi pencapaian kekuatan Racun Maha Dewa.
5 "Anak muda apa maksudmu dengan seluruh keterangan itu?"
Orang tua bertombak pendek itu bertanya. Ia sebenarnya sudah
meraba arah kesimpulan anak muda itu. Pertanyaan itu ia ajukan
untuk memastikan bagaimana anak muda itu mengatakan sendiri
kesimpulannya. "Paman, tadi Paman mengatakan bahwa salah satu ciri dari
orang tua bermuka pucat itu adalah Manila Widyutmala Tebah
(Pukulan Mata Petir Intan Biru). Kitab itu mengatakan bahwa
Pukulan Mata Petir Intan Biru itu merupakan bentuk tertinggi dari
kekuatan Racun Maha Dewa. Dapat dipastikan bahwa orang tua
bermuka pucat itu memiliki kekuatan Racun Maha Dewa. Racun
Maha Dewa dalam bentuk tertinggi." Orang tua bertombak
pendek itu terdiam. Terpaku pada kesimpulan itu.
"Pemilik Pukulan Mata Petir Intan Biru menguasai Racun Maha
Dewa dalam bentuk tertinggi. Perguruan Tombak Petir ditumpas
habis oleh Pemilik Racun Maha Dewa. Mungkinkah Pemilik
Pukulan Mata Petir Intan Biru sama dengan Pemilik Racun Maha
Dewa yang telah menumpas habis Perguruan Tombak Petir"
Kalau itu benar, maka selama ini aku telah berada bersama-sama
dengan orang yang mungkin telah menumpas habis Perguruan
Tombak Petir." Orang bertombak pendek itu terdiam dengan
642 suatu kemungkinan. Kemungkinan itu di antar oleh suatu
kecelakaan: menumpas habis Perguruan Tombak Petir dengan
Racun Maha Dewa! "Tadi Paman menanyakan apa hubunganku dengan orang yang
Paman sebut Abhinaya. Abhinaya yang dikatakan telah
menumpas habis Perguruan Tombak Petir." Sontak wajah orang
tua bertombak itu menegang. "Anak muda itu akan menjawab
pertanyaanku". "Aku memang mengenal orang yang Paman sebut Abhinaya.
Pangeran Abhinaya." Anak muda itu sesaat menghentikan
perkataannya. "Paman, aku sungguh-sungguh mengenal Pangeran Abhinaya.
Dengannya, aku tinggal beberapa purnama. Tinggal atas
undangannya di sebuah padepokan. Pada padepokan itu,
Pangeran Abhinaya lebih dikenal sebagai Eyang Kawiswara.
Jadi, aku tidak hanya mengenal Pangeran Abhinaya semata. Aku
juga mengenal dirinya dalam wujud sebagai Eyang Kawiswara.
Tetua Utama Chandarakapala." Anak muda itu menarik nafas
dalam dan menghembuskan perlahan. Sangat perlahan. Ia
seakan-akan hendak melepaskan beban yang sangat berat
dalam hembusan itu. "Atas pengenalku itu, aku memastikan bahwa orang tua bermuka
pucat yang bersama Paman adalah Pangeran Abhinaya. Eyang
Kawiswara. Orang tua bermuka pucat." Orang tua bertombak
pendek itu beringsut kaget. Akibat dari kecelakaan kecil: rencana
melenyapkan seorang anak muda tidak mencapai hasil, sehingga
anak muda itu memberikan kepastian kepada orang tua
6 bertombak pendek yang memburu dirinya!
"Apa!" Loncat sepotong seruan kaget. "Jadi, aku selama ini telah
643 bersama-sama dengan orang yang telah membunuh Saudaraku.
Tidak hanya bersama, aku bahkan telah membantunya. Oh,
Hyang Agung." Orang tua bermuka pucat itu berkata lirih. Lirih
hampir tidak terdengar. "Itulah mengapa aku mengajukan sebuah pertanyaan. Sebuah
pertanyaan yang waktu itu telah membuat bingung Paman.
Pertanyaan tentang apakah mungkin seorang yang sama
menampilkan diri dalam wujud dua orang" Dua orang dengan
sifat yang berbeda?" Kini tidak hanya beban terlihat pada anak
muda itu, tapi kenyataan pahit. Teramat pahit. Ia pun berdiam
lama. "Demikianlah Paman. Aku mendapati suatu kenyataan pahit atau
setidaknya saat ini masih berupa kemungkinan pahit, bahwa
Pangeran Abhinaya atau Eyang Kawiswara itu adalah orang yang
sama dengan Orang Tua Bermuka Pucat. Pangeran Abhipraya."
Orang tua bertombak pendek itu melihat jelas kepedihan anak
muda itu. Kepedihan itu mengemuka bersamaan dengan sebuah
kesimpulan. Pada akhirnya, kecelakaan-kecelakaan kecil itu
mengerucut bermuara pada satu kesimpulan: Pangeran Abhinaya
atau Eyang Kawiswara itu adalah orang yang sama dengan
Orang Tua Bermuka Pucat. Pangeran Abhipraya!
"Engg?r, sekali lagi Paman minta maaf. Paman sangat berterima
kasih bahwa Engg?r telah memberi sebuah kemungkinan.
Menurut Paman, kemungkinan yang Engg?r telah sampaikan
harus diungkap terbuka. Terbuka telanjang." Orang itu telah
mengikatkan diri dengan anak muda itu, manakala ia memanggil
anak muda itu dengan "Engg?r". Lalu mereka pun membicarakan
bagaimana membuka kemungkinan itu secara terbuka telanjang.
Atas dasar ikatan itu, anak muda itu mengatakan bahwa biliknya
644 selalu terbuka untuk menerima kehadirannya.
Orang tua bertombak pendek pun beranjak meninggalkan bilik
anak muda itu. Ia melesat pergi keluar dari Perguruan Merak Mas
melewati sebuah bukit. Berhenti sesaat di bukit itu, dan berkata
lirih menyebut dua nama berulang-ulang seolah-olah sebuah
mantera. "Abhipraya... Abhinaya... Abhipraya... Abhinaya..."
Orang itu tidak henti menyebut dua nama itu. Menyebut nama itu
di atas bukit, saat malam telah menjadi sangat gelap.
*** Di atas bukit, saat malam telah menjadi sangat gelap, orang tua
bertombak pendek masih hanyut dalam kegusaran. Kegusaran itu
cukup lama mengekang apa yang ingin dikatakannya kepada
Pangeran Sepuh bermuka pucat. Cukup lama ia tertahan oleh
kegusaran itu. "Kecelakaan kecil terbodoh di antara yang teramat bodoh adalah
7 meninggalkan jejak Abhinaya dan Racun Maha Dewa atas
pembasmian atas Perguruan Tombak Petir. Atas jejak itu aku
mengejar baik Abhinaya maupun Racun Maha Dewa. Mengejar
tanpa henti. Ke mana pun." Kegusaran orang tua bertombak itu
pecah. "Kebodohan lain adalah menanam jejak Abhinaya pada anak
muda itu. Memang itu telah membawaku pada anak muda itu
dalam sebuah benturan. Justru dari benturan itu, aku telah
memastikan bahwa Racun Maha Dewa tidak ada pada anak
muda itu. Bagaimana mungkin jejak Abhinaya tidak bersandar
Racun Maha Dewa" Anak muda itu mengatakan Abhinaya
memang tidak bersandar pada Racun Maha Dewa. Jadi,
Abhinaya dan Racun Maha Dewa itu terpisah. Tapi, mengapa
645 yang terpisah itu tiba-tiba menjadi satu, dan muncul sebagai
pembasmi dari Perguruan Tombak Petir. Anak muda luar biasa!
Ia menunjukkan suatu kemungkinan. Kemungkinan dari
kecelakaan-kecelakaan kecil yang sebenar-benarnya adalah
kebodohan. Sangat bodoh." Orang tua bertombak pendek
tersenyum puas. "Pukulan Mata Petir Intan Biru.... Pukulan Mata Petir Intan Biru....
Siapapun pemilik pukulan itu pasti ia menguasai Racun Maha
Dewa, sebab pukulan itu adalah bentuk tertinggi dari Racun Maha
Dewa. Dan, Pemilik Racun Maha Dewa telah menumpas habis
Perguruan Tombak Petir. Jadi, ada kemungkinan Pemilik Pukulan
Mata Petir Intan Biru telah bertindak menumpas Perguruan
Tombak Petir." Hanya jeda sesaat.
"Dari sini, apa yang terpisah antara Abhinaya dengan Racun
Maha Dewa terungkap kemungkinan kesatuannya. Sekali lagi,
anak muda itu yang mengatakan. Mengatakan atas dasar
pengenalannya." Anak muda itu kagum pada orang tua
bertombak pendek. "Rencana atas rencana berjalan sempurna.
Rencana atas rencana itu mengungkapkan apa yang paling
utama." Anak muda itu membatin.
"Atas pengenalan, anak muda itu memastikan Abhinaya itu
adalah orang yang sama dengan Pemilik Pukulan Mata Petir
Intan Biru, Abhipraya. Abhipraya... Abhinaya... Abhipraya...
Abhinaya..." Orang tua bertombak pendek kembali menyebut dua
nama seperti sebuah mantera. Berulang-ulang.
"Kecelakaan-kecelakaan kecil itu mengungkap terbuka. Telanjang
mengungkap: Siapa pembasmi Perguruan Tombak Petir! Yang
lebih utama mengungkap: dirimu..... Abhipraya atau Abhinaya
juga Eyang Kawiswara.... Dirimu dengan segala rencana
646 terhadap Bhumi Mataram." Puas. orang bertombak pendek
sangat puas. Puas, karena penelusurannya tidak hanya sekedar
membawa pada pelaku pembasmian Perguruan Tombak Petir,
tapi lebih dari itu: Angkara Punjer (Akar Pusat Kejahatan) dan
8 rencana yang akan segera digulirkan mengguncang Bhumi
Matara. "Kau tentu menginginkan alasan, mengapa aku membasmi
Perguruan Tombak Petir. Dua puluh tahun silam. Dua Saudara
Tribawana Kunta. Dua orang bodoh yang keras kepala!"
Pangeran Sepuh itu membalas orang tua bertombak pendek itu.
Orang bertombak yang telah membuat dirinya sangat gusar. Ia
membalas dengan menguak tragedi pada orang itu. Tragedi
kematian Dua Saudara. Memainkan perasaan orang bertombak.
Berhasil! Orang bertombak kembali gusar.
"Dua puluh tahun silam, aku mendengar kabar bahwa di luar
Kayuwangi, Pikatan disebut-sebut memiliki seorang anak yang
lain. Anak dari Wangsa Sanjaya, bukan dari Wangsa Syailendra.
Orang yang dikatakan menetap di Gunung Prabu. Mendapati
orang itu, tentu merupakan keberuntungan bagiku. Aku dapat
menempatkan orang itu berhadapan dengan Kayuwangi." Mata
anak muda itu tajam menatap Pangeran Sepuh. "Edan! Ia pun
ingin menyentuh Ayah."
"Dari seorang sahabat di Chandrakapala, telah sampai kepadaku
kabar lain bahwa Tribawana Kunta (Tombak Tiga Dunia) setiap
tahun datang ke Gunung itu untuk bertemu dengan seseorang.
Tribawana Kunta merupakan jalan utama menuju orang di
Gunung Prabu. Untuk itu, atas nama Chandrakapala, aku pun
datang ke Perguruan Tombak Petir. Datang untuk minta dibawa
pada orang di Gunung Prabu. Anak Pikatan berdarah Sanjaya.
647 Sayang, di Perguruan itu aku hanya bertemu dengan dua orang
berkepala batu. Walau pun aku telah membantai habis
kumpulannya, dan menyiksa dengan Racun Maha Dewa, dua
orang itu tetap keras kepala. Bungkam mengenai keberadaan
orang di Gunung Prabu. Persahabatan yang telah memakan
korban. Korban berupa orang-orang keras kepala. Sungguh siasia..... Mati sia-sia oleh orang dari
Chandrakapala. Abhinaya."
Terang. Terang benderang. "Saudaraku mengenal orang itu
sebagai Abhinaya dari Chandrakapala. Nama yang diguratkan
bersama dengan Racun Maha Dewa. Dua nama sebagai jejak
pembasmi Perguruan Tombak Petir". Gemertak gigi jelas
terdengar di kesunyian bukit itu. Gemertak gigi dari orang
bertombak pendek. "Nakmas Arga, beri kesempatan Paman mengurus Angkara
Punjer (Akar Pusat Kejahatan) itu. Sudah sepantasnya malam ini
aku meminta penebusan atas dua Saudaraku yang telah kau
bunuh dua puluh tahun silam." Orang tua bertombak pendek
memandang Arga. Pandangan mata yang meminta anak muda itu
memberi ruang untuk sebuah penebusan.
Lalu, ia menoleh kepada Pangeran Sepuh. "Bersiap-siaplah."
"Bersiap-siap" Sejak dahulu aku telah bersiap-siap. Bahkan, tidak
hanya bersiap-siap. Tapi, menyiapkan. Menyiapkan segalanya.
Adhi... Adhi... Bukankah kau sudah mengetahui bahwa saat ini
9 aku telah bersiap-siap. Bersiap-siap dengan enam ribu prajurit
yang mengepung Tembelang. Hanya satu pekan lagi. Satu pekan
mendatang Tembelang pasti ada dalam genggaman. Dalam
genggamanku." Pangeran Sepuh itu telah menguasai keadaan di
bukit itu. Keadaan yang sempat terguncang oleh kemurkaannya
sendiri. 648 "Saat Tembelang jatuh, sebuah lencana jasa segera akan
disematkan ke dada Penguasa Watugaluh. Lencana itu
disematkan karena Penguasa Watugaluh itu akan ditempatkan
sebagai pahlawan Bhumi Mataram yang telah memberangus
kekuatan Tembelang sekaligus Chandrakapala. Dua kekuatan itu
akan dikaitkan dalam suatu persekongkolan. Persekongkolan
lewat hubungan Paman-Kemenakan. Paman-Kemenakan antara
Naga Bhumi Mataram Karya El Pramono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Penguasa Tembelang dengan Chandrakapala Ascarya. Dalam
persekongkolan itu, Tembelang dan Chandrakapala telah
menebarkan dan meledakkan kegemparan-kegemparan.
Kegemparan di sejumlah wilayah Kekuasaan Bhumi Mataram.
Itulah rencana Abhipraya... Rencana Abhinaya... Rencana
sempurna, tidak tergoyak oleh kecelakaan-kecelakaan kecil."
Pengeran Sepuh pun menyiapkan diri orang yang meminta
penebusan padanya. *** Dua orang tua telah berdiri berhadapan. Berhadapan untuk
menyelesaikan perkara dua puluh tahun silam. Yang seorang
menggenggam tombak pendek. Tombak itu disilangkan sejengkal
di depan dada. Tombak itu telah bersinar menyala. Tombak
Pusaka Kara Welang. Tombak di tangan Ki Wajra Sasmaka
Kunta. Tombak pusaka Perguruan Tombak Petir. Tombak ampuh
itu dapat membelah dan menembus batu atau logam sekeras apa
pun. Ia meminta penebusan.
Yang seorang juga telah meloloskan senjatanya. Sebilah keris.
Keris pusaka ciptaan Mpu Dewayasa tiga abad silam.
Yuyurumpung. Benda pusaka itu telah digenggam erat dengan
649 tangan kanan. Yuyurumpung tampak hidup biru menyala. Tangan
kiri orang itu telah berotot sempurna, juga menyala membiru.
Racun Maha Dewa menyatu dengan Pratyangga Tuntum Rosan
(Kekuatan Pemulih Tubuh). Kekuatan yang sangat diandalkan.
Kekuatan dengan banyak korban.
Mereka berdua tidak ingin bermain-main, tapi langsung
menyusup pada inti kekuatan pada tataran tertinggi. Tataran
puncak. Cepat serentak dua orang itu telah berkelebat. Hanya
bayangan. Dua bayangan ditambah dengan alur cahaya. Alur
cahaya yang telah membentuk tarian manakala dua orang itu
terus bergerak. Serang-menyerang dan kilah-mengelak. Jepitmenekan dan lucut-melepas. Dua
orang tua dalam laga itu masih
berdiri seimbang. 10 CRRRIIINGG. CRRRIIINGG. CRRRIIINGG.
Tiga kali dua pusaka itu telah dibenturkan. Dibenturkan dengan
lambaran tenaga dalam. Dua tangan itu sama-sama bergetar.
Bergetar menahan hempasan tenaga. Baik tenaga lawan yang
menekan maupun tenaga sendiri yang memantul. Tiga benturan
itu menyatakan dua orang itu sama kuat. Sama kuat dalam
pengerahan tenaga lewat senjata.
Dua orang tua itu memang jagonya dunia kanuragan. Ratusan
luka telah menandai tubuh dua-duanya. Luka dari ratusan laga.
Luka luar dalam. Ilmu dan kekuatan lambaran dua orang tua itu
memang sulit terukur berapa dalamnya. Ditambah pengalaman
laga yang telah dilalui, ilmu dan lambaran itu semakin mapan.
Mapan dalam arti sebenarnya. Mapan saat digelar dalam laga.
Laga sebenarnya: menang-hidup atau kalah-mati.
CRRRIIINGG. SSREEETTT. Ki Wajra Sasmaka Kunta membenturkan tombak pendeknya
650 setelah jalan, lalu membelokkan arah tombak itu miring menyabet
sasarannya. Bahu kiri Pangeran Abhipraya. Kain di bahu itu
sobek menganga. Tapi, bahu itu tidak menjadi sobek. Hanya
tergurat tipis. Tergurat tipis oleh Tombak Pusaka Kara Welang.
Carmi Samudra telah membentengi daging bahu itu.
Membentengi dengan sempurna.
"Kecepatan tombaknya memang seperti petir. Tak salah ia
menyandang nama Tombak Sinar Petir. Lihat, apa yang bisa
dilakukannya di bawah Manila Widyutmala Tebah (Pukulan Mata
Petir Intan Biru)." Pangeran Abhipraya mengatakan itu sambil
mengelak sebuah tebasan tajam Ki Wajra Sasmaka Kunta.
Pangeran Sepuh bermuka pucat itu mengelak dengan beringsut
cepat setindak ke kanan, lalu tiba-tiba melambung tinggi satu
tumbak, cepat memasukkan Yuyurumpung ke sarungnya. Empat
larik sinar biru telah mencelat. Cepat dan deras dengan suara
menyayat dan membelah. CESSS. CESSS. CESSS. CESSS.
Pukulan Mata Petir Intan Biru telah dilepaskan, saat melambung.
Melambung satu tumbak. Tiga kekuatan pukulan itu tertangkis.
Sepenuhnya tertangkis. Tiga kekuatan pukulan yang datang lebih
kemudian. Kekuatan penangkis itu bukan milik Ki Wajra Sasmaka
Kunta. Tapi. milik anak muda yang telah berdiri di belakangnya.
Berdiri di belakang dengan selaput merah tak berwujud. Tiga
kekuatan Mata Petir Intan Biru tertangkis penuh oleh Naga
Semesta Cemerlang. "Apa!" Pangeran Sepuh telah berteriak kaget dan terus melenting
ke belakang untuk menghindari pantulan tenaga pukulannya
sendiri. Ia telah melenting menjauh dua tumbak.
"Paman, jangan kerahkan tenaga. Biarkan diri Paman kosong.
651 Maaf Paman." Sesaat setelah berkata demikian, tangan kiri anak
11 muda itu menekan tengkuk Ki Wajra Sasmaka Kunta. Orang tua
bertombak pendek itu tidak sadarkan diri. Tidak sadarkan diri
dalam keadaan diri kosong. Kosong tanpa tenaga murni.
Sekalipun telah bergerak cepat dan tetap, anak muda itu telah
terlambat. Terlambat untuk membentengi Ki Wajra Sasmaka
Kunta dengan Naga Semesta Cemerlang. Sebuah Pukulan Mata
Petir Intan Biru yang datang paling awal, sekalipun sudah dipapas
dengan kekuatan Bawana Wajra (Petir Dunia) dan Tombak
Pusaka Kara Welang, berhasil menembus Ki Wajra Sasmaka
Kunta. Kekuatan pukulan itu sebagian merembes masuk. Ki
Wajra Sasmaka Kunta telah terpapar Racun Maha Dewa. Racun
paling ganas, tanpa penawar. Racun perusak dan penghancur
sumber-sumber penghimpunan tenaga dalam. Sungguh-sungguh
dewanya racun. Anak muda itu telah mengenal sifat-sifat dari racun itu. Sejak
salah seorang dari Tujuh Merak Dunia terpapar racun itu, anak
muda itu mengurai sifat-sifat racun itu dan menggali cara
menangani atau memperlakukan racun itu. Racun yang telah
terpapar dalam tubuh. Sifat racun itu adalah mencari. Ia aktif
mencari dan semakin aktif-liar mencari apabila orang yang telah
terpapar dalam keadaan aktif. Anak muda itu menyimpulkan hal
ini atas dasar pengujian yang dilakukan. Pengujian menggunakan
seekor babi hutan dan Racun Maha Dewa yang diambilnya dari
bawah ketiak Ketua Samaragrawira. Atas izin Ketua Merak Mas,
anak muda itu melakukan suatu pengujian.
Seekor babi hutan dibuat lumpuh tak berdaya lewat sebuah
totokan, lalu dengan pisau kecilnya ia memasukkan Racun Maha
Dewa ke hewan itu. Membiarkan babi hutan itu terpapar.
652 Terpapar dalam keadaan tertotok. Ia memberi babi hutan itu
minuman bercampur pati (sagu aren) selama tertotok dan
terpapar. Dua pekan babi hutan itu bertahan atas racun itu. Lalu,
ia membebaskan babi hutan itu, namun seketika binatang itu
mati. Racun Maha Dewa menyebar saat hewan itu aktif dan
mendatangkan kematian pada hewan itu.
Atas dasar pengalaman dan pengamatan itu, anak muda itu telah
meminta Ki Wajra Sasmaka Kunta tidak mengerahkan tenaga inti.
Anak muda itu pun meminta orang tua itu mengosongkan diri.
Lalu, menotok orang tua itu hingga tidak sadarkan diri. Kini, orang
tua itu telah berbaring tidak sadarkan diri dalam keadaan diri
kosong. Kosong tanpa tenaga murni. Keadaan terbaik untuk tidak
membiarkan tersebar cepat ke seluruh tubuh.
*** Dua tumbak jaraknya, dua orang yang telah memiliki ikatan
berdiri berhadapan. Berhadapan dalam arti sebenarnya. Begitu
curam dan dalam perbedaan pada dua orang itu. Perbedaan
yang tidak mungkin disatukan. Antara bumi dan langit. Perbedaan
dalam kepentingan dan cita-cita. Yang satu ingin menghancurkan
Tembelang, yang lain ingin melanggengkan. Yang satu ingin
12 mengotori Bhumi Mataram, yang lain ingin membersihkan.
Sekalipun dalam ikatan, dua orang itu sungguh berseberangan.
"Pangeran Abhiprya, mohon hentikan semuanya. Tarik seluruh
prajurit dari Tembelang. Hentikan pertumpahan darah. Semua
belum terlambat." Sebuah permintaan diajukan oleh anak muda
itu. "Sudah lajuk (terlanjur), Nakmas. Apa yang sudah dilepas, tidak
653 mungkin untuk ditarik. Bersiap-siaplah" Orang tua bermuka pucat
itu bergerak menyerang. "Eyang Kawiswara tidak memberi aku pilihan." Lirih anak muda itu
berkata pada dirinya. "Jedeng (mati, mampus)." Di udara Pangeran Abhipraya
berteriak. Ia senang melihat anak muda tidak menghindari
serangannya Bahkan, ia melihat anak muda itu justru menutup
mata. Menutup mata, saat Pukulan Mata Petir Intan Biru tiba
padanya. Hanya dalam hitungan satu ketukan jari ke meja, serangan
Pangeran Abhipraya sudah berpapasan dengan sasaran. Tapi,
apa yang terjadi sebuah kekuatan telah datang dan melontarkan
dirinya. Takut terbanting di tanah Pangeran Sepuh bermuka pucat
itu melambung bergulung-gulung di udara. Bergulung beberapa
putaran, untuk kemudian mendarat sempurna. Lontaran itu tidak
membuat dirinya menjadi terluka, karena anak muda itu hanya
melontarkan tidak bermaksud melukainya. Anak muda itu
memberikan peringatan pada Pangeran Sepuh itu.
"Eyang Kawiswara, mohon hentikan demi Kanistha". Sambil
memejamkan mata, anak muda itu kembali meminta. Tapi, kali ini
meminta atas nama orang lain. Orang itu sangat istimewa di mata
orang tua itu. Anak muda itu berharap nama gadis itu akan
melunakkan kekerasan hati Pangeran Abhipraya.
CESSS. CESSS. CESSS. CESSS. CESSS. CESSS.
Pukulan Mata Petir Intan Biru datang sebagai jawaban
permintaan anak muda itu. Enam pukulan telah dilepaskan. Anak
muda itu tidak bergerak. Tidak juga menghindar. Ia masih
menutup dua mata. Tapi, itu hanya sesaat. Meloncat cepat enam
larik sinar merah memunahkan Mata Petir Intan Biru di tengah
654 jalan. Enam larik itu meloncat saat dua mata anak itu dibuka.
Sinar itu memang dilepaskan lewat dua matanya. Itulah Naga
Semesta Cemerlang yang telah dirambah pada puncak. Puncak
penguasaan Naga Semesta Cemerlang.
"Tidak masuk akal!" Ketakutan membayang di wajah Pangeran
Abhipraya. Tidak pernah ia melihat orang yang telah melontarkan
kekuatan dari dua mata. Kekuatan yang telah meredam sirna
Pukulan Mata Petir Intan Biru.
"Pangeran Abhipraya, kini atas nama seorang Chandrakapala
Ascarya hentikan segala ulahmu atas Bhumi Mataram".
13 Peringatan itu dikatakan dengan suara yang menggeras. Tidak
lembut sebagaimana dua permintaan sebelumnya. Sebab, anak
muda itu memang telah berdiri sebagai Chandrakapala Ascarya.
Penegak dan pelindung Bhumi Mataram. Dari kekuatan apapun
dan siapapun! "Jangan menakut-nakuti diriku". Padahal, Pangeran Sepuh itu
memang telah menjadi takut. Sangat takut. Ia yang selama
hidupnya telah menebar rasa takut, di hadapan seorang
Chandrakapala Ascarya telah menjadi sangat takut. Ironisnya,
yang telah membuat dirinya ketakutan adalah ciptaan sendiri.
Chandrakapala Ascarya. Rancana Lokatara (Orang Jenius dalam
membuat) telah dibuat ketakutan oleh rencana rancangan sendiri.
"Mana boleh aku takut oleh rencana yang aku rancang sendiri".
Segera ia menyiapkan segala kekuatan. Kekuatan yang telah
dihimpun selama puluhan tahun. Yuyurumpung sudah di
genggaman. Ia mencelat dari tempatnya.
Anak muda itu tidak menghindari tusukan keris pusaka itu. Ia
menyamplok tangan kanan orang tua itu. Keras dan kuat, hingga
keris itu terlepas dari tangan Pangeran tua itu.
655 "Kena!". Ia melihat sebuah kesempatan. Kesempatan yang begitu
terbuka. Dada anak muda itu lapang terbuka. Terbuka untuk
terkena serangan tangan kiri. Tangan kiri yang bersinar membiru.
Penuh kekuatan Mata Petir Intan Biru. Satu dari tiga Acalapati
Krastala Bithi (Pukulan Sakti Tertinggi) yang pernah
mengemparkan Yawadw?pa. BUUUKK. Pukulan Mata Petir Intan Biru telah mengena di dada kanan anak
muda itu. SEEETTT. SEEETTT. Dengan gerakan yang tidak terlihat mata, dua tangan kanan anak
muda itu tiba-tiba sudah berada di bawah ketiak Pangeran
Abhipraya. Di kiri dan di kanan.
BUUUKK. Menyusul tangan kanan Pangeran Sepuh itu mendarat di dada
kiri anak muda itu. Dua orang itu menyatu. Dalam keadaan menyatu itu, Pangeran
Abhipraya terlihat sangat senang. "Aku akan mendesakkan Mata
Petir Intan Biru. Bentuk tertinggi Racun Maha Dewa". Seketika itu
juga, kekuatan Mata Petir Intan Biru keluar membanjir dan
mendesak. Terus mendesak, makin lama makin deras. Tidak
berhenti. Atas keadaan ini Pangeran Sepuh itu sangat girang.
Tapi, itu tidak lama. Apa yang tidak terbayangkan olehnya sedang
terjadi. Seketika Pangeran Sepuh itu menjadi sangat terkejut. Anak muda
itu tidak terpengaruh oleh Mata Petir Intan Biru. Bentuk tertinggi
Racun Maha Dewa. "Mengapa" Sebuah pertanyaan keluar dari
mulut orang tua itu. Sesuatu telah mengemuka di depannya.
Begitu dekat. Hanya berjarak serangkulan tangan. Sesuatu yang
14 656 tertutup dan terabaikan karena kegembiraan.
Di sekeliling tangan kiri dan kanannya yang telah menyentuh
dada anak muda itu telah terbentuk sekabut uap berwarna biru.
Kabut uap Racun Maha Dewa. Anak muda itu telah menguapkan
Racun Maha Dewa. Menguapkan seperti ia lakukan sewaktu
masih muda. Sewaktu ia ingin menyatupadukan cikal bakal
Racun Maha Dewa menjadi sifat-sifat dari kekuatannya. Tidak
terpisahkan dari kekuatan dirinya. Menguapkan adalah kunci
"menguasai" sekaligus "menangkal" kekuatan Racun Maha Dewa.
Di depan mata, ia telah menyaksikan hal yang sama:
menguapkan Racun Maha Dewa. Bedanya, ia menguapkan racun
itu di dalam tubuhnya, sedangkan anak muda itu menguapkan
racun itu di luar tubuh. Semakin banyak racun yang telah
menguat, semakin tebal uap biru terlihat. Melihat hal ini, ia pun
ingin segera menghentikan aliran kekuatan Mata Petir Intan Biru.
Tapi, kekuatan itu tetap tidak berhenti. Tepatnya, kekuatan Mata
Naga Bhumi Mataram Karya El Pramono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Petir Intan Biru tidak dapat dihentikannya.
"Ada apa ini?" Kegelisahan dan taku membayang di wajahnya. Ia
menyadari keadaannya. Anak muda itu telah membuat dirinya
tidak mampu menghentikan kekuatan Mata Petir Intan Biru. Lewat
bagian bawah ketiak, anak muda itu telah menyalurkan tenaga.
Menyalurkan tenaga untuk mendorong keluar kekuatan dirinya.
Celakanya, anak muda itu tidak hanya mendorong keluar
kekuatan Mata Petir Intan Biru, tetapi seluruh kekuatan yang
berada di dalam dirinya. Keadaan ini telah menyadarkan diri Pangeran Sepuh itu, bahwa
anak muda itu telah menguasai dirinya. Menguasai penuh.
"Ahhh....." Desahan tidak berdaya dan putus asa dari Pangeran
Sepuh. Ia memang benar-benar tidak berdaya dan putus asa.
657 Tidak berdaya karena anak muda itu telah menguasi titik rawan.
Titik di bawah ketiak. Atas penguasaan itu, anak muda itu dapat
berbuat apa pun atas dirinya. Apa pun itu berakibat fatal bagi
dirinya. Fatal bagi keselamatan jiwanya.
Pangeran Sepuh itu menangis. Kelihatan sangat ganjil, orang tua
bermuka pucat putih dan menyeramkan terlihat menangis.
Menangis dalam ketidakberdayaan, keputusasaan dan
kepasrahan. "Maafkan Arga, Eyang." Pada akhirnya anak muda itu
melepaskan Pangeran Sepuh itu. Seketika orang yang sudah
sangat tua itu melorot luruh, namun sebelum terbanting ke tanah
anak muda itu menahannya. Orang tua itu semakin bertambah
pucat. Bertambah keriput. Terlihat kering menyusut. Dua matanya
yang sebagian telah memutih telah redup. Rambutnya sebagian
rontok begitu saja. Itu semua terjadi setelah seluruh kekuatan
pada dirinya terkuras habis. Kekuatan yang selama ini menopang
melawan usia. Anak muda itu pun mendudukkan orang tua itu di
15 bawah sebatang pohon. Ia duduk tergolek lemah tidak berdaya.
Cepat anak muda itu berjongkok memeriksa keadaan Ki Wajra
Sasmaka Kunta. "Ah, Paman tidak terlalu parah terluka. Asalkan
beristirahat dan tidak banyak mengerahkan tenaga serta
menjalani perawatan yang semestinya, ia akan dapat dipulihkan.
Sekalipun dalam waktu yang lama." Ia pun membawa Ki Wajra
Sasmaka Kunta ke Padepokan Chandrakapala.
Setelah mengunci sumber-sumber tenaga yang mungkin akan
dibangunkan oleh Ki Wajra Sasmaka Kunta, manakala ia menjadi
sadar kembali, anak muda itu melepaskan pengaruh totokan
pada orang itu. Lalu, ia tetap meminta agar Ki Wajra Sasmaka
Kunta tetap mengosongkan tenaga. Anak muda itu menitipkan
658 orang tua bertombak pendek dalam perawatan murid-murid
Padepokan Chandrakapala. "Paman, aku akan segera kembali ke Tembelang. Setelah
segalanya selesai, aku akan menjenguk Paman.Tentang
Pangeran Abhipraya tidak usah dipikirkan lagi. Ia telah murat
(habis)." Tangan anak muda itu lembut menggenggam
tangannya. Air mata meleleh dari dua mata orang tua itu. Sesaat
kemudian, ia mendongakkan kepala. Sungguh-sungguh
bersyukur. Bersyukur tidak hanya telah terjadi penebusan atas
orang itu, melainkan juga apa yang akan terjadi dapat segera
dihentikan. Dihentikan dengan pengaruh yang jauh berkurang.
"Banjir darah itu akan berkurang....." Desah syukur keluar dari
mulut orang tua bertombak itu.
Anak muda itu pun kembali ke atas bukit untuk membawa
Pangeran Abhipraya. Membawa orang tua itu ke suatu tempat
yang semestinya. Tempat di mana ia dapat dijaga dan ditemani
untuk menghabiskan sisa hari-harinya. Akan tetapi, anak muda itu
terkejut orang tua itu tidak berada di tempatnya. Ia mencari ke
segala penjuru berupaya menemukan orang tua itu. Tapi, orang
tua itu tidak dapat dijumpainya. Tidak ingin kehabisan waktunya,
anak muda itu memutuskan menghentikan pencariannya dan
pergi ke Tembelang malam itu juga.
*** Seseorang terlihat bergerak cepat dengan beban di
punggungnya. Beban itu tidak berupa benda, melainkan seorang
yang sudah sangat tua renta. Yang telah tidak berdaya karena
usia telah menelannya. Ia bergerak terus seakan-akan ada yang
659 mengejarnya. Orang yang bergerak cepat sambil menggendong orang tua di
punggung adalah seseorang dalam wujud kuwad?an banija.
Sementara orang tua renta tidak berdaya sebelumnya merupakan
orang yang sangat digjaya dan berkuasa. Pangeran Abhipraya.
Pangeran Abhinaya. Eyang Kawiswara. Sekarang orang itu sama
sekali tanpa daya, bahkan untuk berdiri menopang tubuhnya. Di
16 gendongan orang dalam wujud kuwad?an banija, orang tua itu
terus menerus berkata lirih sulit dipahami. "Abhipraya, Abhiyana
Murat". "Abhipraya, Abhiyana kini telah habis!"
*** Pagi itu prajurit pengepung belum juga bergerak. Masih
menunggu pesan. Tepatnya perintah dari orang tua bermuka
pucat. Orang tua bermuka pucat itu dikatakan sedang memancing
anak muda yang telah mencabut keberanian seluruh prajurit
Watugaluh. Ia memancing agar anak muda itu tidak berada di
Tembelang. Jika segalanya sesuai rencana, pagi ini atau
selambat-lambatnya siang nanti orang tua bermuka pucat itu
akan muncul di Tembelang dan secepatnya akan mengirimkan
pesan. Pesan menyerbu masuk Tembelang.
"Paman Guru, kapan Guru akan muncul di Tembelang dan
mengirimkan pesan kepada kita." Ketidaksabaran jelas
membayang di wajah Pangeran Sikara. Tidak sabar segera
masuk menyerbu Tembelang.
"Aku akan menumpas habis kekuatan Tembelang. Menumpas
seluruhnya." Tekad itu merupakan reaksi yang akan dilakukan
Penguasa Watugaluh itu sebagai pembalasan atas apa yang
660 telah dilakukan anak muda itu. Pembalasan atas sesuatu yang
telah mempermalukan dirinya.
"Nakmas Pangeran, baik kita sedikit bersabar. Paling lambat
siang ini Kangmas Pangeran akan muncul dan memberi
perintahnya. Yang terpenting kita bersiap. Jika Kangmas
Pangeran muncul pagi ini juga setidaknya kita akan menyerbu
Tembelang sore nanti atau esok hari. Jadi, kita hanya menunggu
menyabarkan Penguasa Watugaluh itu.
*** Pagi itu juga seekor kuda telah dipacu cepat. Kuda itu telah
memasuki Tembelang. Di atas kuda itu, tangkas seorang anak
muda menghela. Ia langsung menuju Perguruan Merak Mas.
Setelah menambatkan kuda itu, ia langsung bergegas ke bilik Ki
Gardapati. Tanpa diminta orang tua itu memanggil Ki
Gardagarjita, Kanistha dan Labdajaya.
"Paman, kenyataan pahit itu telah terjadi." Hanya dengan sebuah
kalimat. Orang-orang di bilik itu mengerti apa yang telah terjadi di
atas bukit dekat Padepokan Chandrakapala. Kanistha menangis
keras. Sangat keras. Ia menangis dengan menjatuhkan diri di
pembaringan Ki Gardapati. Tiga orang lain dari Padepokan
Chandrakapala, hanya tertunduk dalam. Sejenak kemudian,
hampir berbarengan tiga orang itu melepaskan sebuah hembusan
nafas keras. Mereka melepaskan sebuah beban berat
menghimpit. Ki Gardapati berdiri diikuti Ki Gardagarjita dan Labdajaya. Ki
Gardagarjita dan Labdajaya keluar lebih dahulu. Ki Gardapati
menyusul dengan sebelumnya menyentuh pundak anak muda itu.
661 17 Anak muda itu mengerti apa yang dimaksudkan oleh orang tua
itu. Tiga orang itu telah menunggu di luar. Sebentar kemudian, di
bilik itu tinggal dua orang. Arga dan Kanistha.
Arga terdiam. Memikirkan apa yang harus dikatakan pada gadis
itu. Ia berpikir harus mulai dari mana.
"Bibi Kanistha, aku minta maaf atas apa yang terjadi atas Eyang
Kawiswara". Sebuah tangan anak muda lembut telah menyentuh
punggung gadis itu. Gadis itu menangis lebih keras. Agaknya, ia
telah menangis sejak kemarin. Sejak anak muda itu berangkat
untuk memenuhi undangan itu. Lama gadis itu tetap menangis di
pembaringan. Selama itu pun tangan anak muda itu tetap berada
di punggung gadis itu. Pada akhirnya anak muda itu duduk di tepi
pembaringan. Duduk sangat dekat di sisi gadis itu.
Entah apa yang terjadi, tiba-tiba gadis itu membalikkan badan
dan seketika memeluk pemuda itu. "Kakang.... Eyang...." Ia kini
menangis di dada anak muda itu. Arga membiarkan gadis itu
menumpahkan tangis kepahitannya. Tanpa disadari tangan anak
muda itu pun memeluk gadis itu. Memeluk lembut. Memeluk gadis
itu sebagaimana ia memeluk gadis lain di sebuah bukit. Tapi, kali
ini ia tidak memeluk gadis tepat berbaring di bawahnya, tetapi
bersandar di dadanya. Gadis yang cantik.
"Bibi Kanistha, sekali lagi aku minta maa....." Tidak selesai gadis
itu telah menutup mulut pemuda itu dengan tangan kanannya. Ia
memandang lekat wajah anak muda itu. Wajah yang selalu
membuatnya bergetar. Tangan anak muda itu pun mengusap lembut air mata pada
kedua pipi gadis itu. Gadis itu terus memandang anak muda itu.
"Kakang, syukurlah kau telah kembali." Ia kembali memeluk erat
pemuda itu. Lama gadis itu terbenam dalam dada yang
662 dipeluknya. "Bagaimana keadaan Eyang, Kakang?" Gadis itu bertanya dari
dalam pelukan. Anak muda itu pun menceritakan apa yang telah
terjadi. Menceritakan secara cepat.
"Aku menduga, salah seorang murid Eyang telah membawanya
pergi. Seluruh bukit itu telah aku susur, tetap tidak menemukan
Eyang. Tidak menemukannya untuk aku bawa ke tempat yang
semestinya agar Eyang bisa menghabiskan hari-harinya dengan
tenang. Bibi, maaf aku." Anak muda itu pelan dan lembut menarik
tubuh gadis itu keluar dari dadanya. Kini wajah dua wajah itu
berhadapan, saling menatap.
Gadis itu bergerak sangat cepat. Bergerak mencium bibir anak
muda itu. Melumat cepat untuk menghempaskan kenyataan pahit.
Anak muda itu membalasnya. Membalas dengan irama yang
sama. Mengimbangi. Cepat dan menyengat. Melihat gadis
terengah, ia mendorong lembut gadis itu bersandar. Tepat tidak
melepaskan bibirnya atas bibir gadis itu. Lama dua anak muda itu
mendorong kenyataan pahit keluar menjadi suatu yang bergairah.
18 Penuh warna dan pelangi. Anak muda itu merasakan suatu
kegairahan. Kegairahan itu sama dengan kegairahan saat
mencium gadis yang lain. Maheswari. Nama itu telah
mengembalikan keadaan. Ia menarik perlahan dirinya dan
mendorong lembut tubuh gadis itu.
"Bibi". Gadis itu kembali masuk ke pelukannya. Ia mendiamkan
lama. Sebuah ketukan dari luar terdengar. Gadis itu segera melepaskan
pelukannya. Segera anak muda itu beranjak menuju pintu. Ki
Gardapati telah berdiri di depan. Ia melihat gadis itu sudah tidak
menangis lagi. 663 "Engg?r, kita akan berkumpul di pesanggerahan." Empat orang
itu pergi, gadis itu masih di bilik itu. Di bilik itu himpitan kepahitan
yang telah sirna, bergati dengan manisnya warna pelangi.
Di pesanggerahan orang-orang telah berkumpul. Mereka
membicarakan kemungkinan hari ini. Dari prajurit tilik sandi
dikatakan prajurit itu masih belum bergerak. Mereka menunggu
perintah. Berbagai kemungkinan dibicarakan. Termasuk,
bagaiman jika mendahului. Mendahuli menyergap. Memberi
kejutan selama mereka dalam keadaan menunggu.
"Setidaknya saat itu sebagian telah atau sedang jenuh.
Kejenuhan dapat dimanfaatkan untuk menekan dan
memperlemah prajurit pengepung itu". Ki Antargata
menyampaikan pertimbangannya.
"Jika ingin mendahului kita harus memilih. Memilih mana yang
paling lemah. Menurut pertimbanganku, di antara prajurit-prajurit
pengepung, yang terlemah adalah prajurit Watugaluh. Saat di
alun-alun beberapa hari lalu mereka tampak telah ketakutan.
Sekalipun di sana ada Duhkata Gandra (Muka Iblis), tak hendak
kehadirannya dapat memulihkan keberanian yang telah menciut.
Apalagi, jika di sana muncul Engg?r Arga. Kehadiran Engg?r
Argra dapat mengejutkan mereka. Sangat mengejutkan." Ki
Cutajanma menetapkan penilaiannya.
Lewat suatu pembicaraan yang panjang, diputuskan untuk
mendahului. Untuk mendahului menyerang prajurit pengepung di
sisi timur. Prajurit di bawah Pangeran Sikara yang didampingi
oleh Duhkata Gandra (Muka Iblis). Pangeran Janaloka memimpin
sendiri prajurit itu. Ia didampingi oleh Arga. Ditetapkan waktunya
adalah siang hari. Janaloka akan membawa prajurit pemancing
untuk membiarkan prajurit itu bergerak mendekat masuk ke
664 dalam kancah di mana prajurit-prajurit Tembelang dan muridmurid Merak Mas ditempatkan.
Ditempatkan secara tersembunyi.
Arga sendiri akan memancing keluar Muka Iblis. Keluar menjauh
dari medan perang. *** Tidak lama sesudah pertemuan itu selesai, serombongan prajurit
19 telah bergerak ke arah timur. Tidak banyak. Sekitar tujuh hingga
delapan ratus prajurit. Dipimpin langsung Pangeran Janaloka.
Menjelang siang mereka telah tiba dekat perkemahan prajurit
pengepung. Hanya dalam jarak satu setengah pal saja, kehadiran
prajurit Tembelang diketahui lawan. Memang, ini keinginan
pasukan itu: diketahui lawan.
"Maaf Pangeran, kurang dari satu tengah pal dari kemah ini,
pasukan Tembelang telah datang. Dibawa langsung oleh seorang
Pangeran." Sebuah laporan masuk. Laporan dari Senopati
Utama, pimpinan prajurit pengintai.
"Bagus. Paman tabuh genderang. Biar prajurit bersiap
menyongsong dan menghantam." Terpancar kegairahan pada
Penguasa Watugaluh itu. Hanya sebentar saja. Prajurit Watugaluh itu telah siap. Dipimpin
Pangeran Sikara dan Muka Iblis mereka bergerak menyongsong.
Menyongson prajurit Tembelang di sebuah tanah lapang tidak
jauh dari perkemahan mereka.
Matahari sudah agak ke barat, dua kekuatan telah saling
berhadapan. Di sisi prajurit Watugaluh, Pangeran Sikara tampak
gagah. Ia kembali berapi-api. Kegentaran telah sirna. Menguap
karena kehadiran Muka Iblis, dan tidak terlihatnya anak muda
Naga Bhumi Mataram Karya El Pramono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
665 yang menakutkan itu. Jelas, di depannya telah berbaris prajurit
Tembelang. Kurang dari seribu orang. Dibawa oleh Pangeran
muda, yang didamping oleh senopati dengan kumis melintang
tebal. Senopati pendamping atau pengiring seorang Pangeran.
Tidak ada yang mencolok pada orang itu. Hanya kumis yang
lebat tebal. "Bagus Paman. Anak muda itu tidak bersama mereka. Guru telah
memancingnya. Mungkin sudah membunuhnya."Senyum lebar
terpapar di wajah Pangeran Sikara.
Sebuah aba-aba ia berikan. Aba-aba maju menyerang. Serentak
prajurit-prajurit itu pun bergerak. "Sarkara B?la Pati (Rela Mati
Demi Sarkara)". Sambung menyambung dikumandangkan. Tidak
berhenti. Membakar semangat. Prajurit itu pun bergerak penuh
keberanian. Keberanian penuh semangat. Semangat penebusan.
Penebusan yang telah salah sasaran.
*** Sependeresan nira telah lewat. Sejumlah prajurit telah menjadi
korban. Korban pertemuan dua kekuatan dalam sebuah benturan.
Korban tewas dan korban terluka. Tidak bisa terbilang sedikit
korban telah jatuh. Puluhan. Dari dua belah pihak. Tapi, itu tidak
menghentikan pertempuran. Pertempuran yang telah dimulai atas
nama sebuah penebusan. Penebusan yang telah salah sasaran.
Bukan! Penebusan yang sengaja disalahalamatkan.
Takut memakan banyak korban. Janaloka telah meminta
Senopati berkumis tebal itu menghadang Muka Iblis. Senopati
berkumis lebat langsung menghadang Wilmuka itu. Menghadang
sebelum ia sempat membentur siapa pun pada laga itu. Sejak
20 666 awal dua orang itu telah memasuki pertarungan mereka.
Muka Iblis terus mendesak dan mengurung Senopati itu. Tidak
memberi ruang. Ruang sekecil apa pun. Tampak sekali Senopati
itu telah sangat kerepotan menghindar dan mengelak. Ia terus
terdesak dan terdesak. Mundur dan terus mundur. Mereka telah
terpisah dengan arena pertempuran. Laga dua orang itu telah
berjarak lima puluh tumbak dari arena pertempuran.
Senopati itu memang terus terdesak. Tapi, belum sekalipun
serangan Muka Iblis mengena. Ini mengejutkan Wilmuka itu.
Sangat mengejutkannya. Lebih mengejutkan lagi, ia kini telah
bertempur terpisah. "Gila! Sebuah pancingan." Ia menyadari.
Tapi, itu terlambat. Senopati itu menyatakan wujud asli. Kumis tebal lebat ganjil telah
tanggal. Anak muda yang menakutkan itu berdiri di hadapan.
"Kangmas Pangeran. Bagaimana bisa begini!" Tegas, ketakutan
itu membayang. Muka Iblis takut seperti telah bertemu dengan
iblis. Ia bersama dua Wilmuka lain pernah menggempur anak
muda itu. Tidak bisa menjatuhkannya. Sejak peristiwa itu, ia
sudah gentar dengan anak muda itu. Ia sebisa mungkin akan
menghindar dari anak muda itu. Tapi, sekali lagi, itu terlambat.
Anak muda itu sudah berdiri berhadapan, Muka dengan muka.
"Aku harus cepat melumpuhkan orang tua itu". Arga memutuskan.
"Ki Sanak bersiap-siaplah. Aku akan menyerang." Selepas itu,
sebuah bayangan cepat mengarah ke Muka Iblis. Bayangan itu
seperti seekor branjangan.
Muka Iblis tidak memapak di tengah jalan. Ia menunggu serangan
itu tiba. Entah memapak atau menghindar, ia akan putuskan
sekejap nanti. Ia pun telah bersiap. "Aneh! Anak muda itu tidak
menyerangku. Di tengah jalan ia mumbul ke udara. Mengapung.
667 Dan........." Ia sudah terkapar. Tersengat oleh kekuatan luar biasa.
Merah menyala. Sekalipun hari belum gelap, sinar dari dua mata
itu tetap terang. Sangat terang.
Anak muda itu menukik cepat dan mendarat lembut di atas tanah.
Muka Iblis melihat seluruh gerakan anak muda itu. Melihat
dengan jelas. Sangat jelas. Gerakan seekor branjangan. Branjang
yang tiba-tiba terbang melambung tegak ke atas, lalu berhenti di
udara, dan menukik cepat. Tapi, "branjangan" di depan Wilmuka
tidak hanya membuat itu. Ia melontarkan serangan lewat dua bola
mata. Cepat dan deras. Menghantam diri Muka Iblis dan
menghempaskannya seketika. Bibirnya menahan sesuatu. Suatu
akibat serangan sorotan mata.
Serangan sorotan mata itu telah mengguncangkan bagian dalam
Muka Iblis. Khususnya organ hati yang disasar oleh serangan itu.
Dalam sekejap, serangan itu telah mempengaruhi jaringan dan
pembuluh darah pada hati di dalam tubuh Muka Iblis. Jaringan
dan pembuluh darah itu seketika berubah terganggu, sehingga
21 darah yang mengalir memasuki hati terhambatan. Darah itu
terbendung pada seluruh saluran yang menuju dan keluar dari
hati. Hal ini menimbulkan pelebaran pipa pembuluh darah yang
menuju maupun yang keluar dari hati. Akibat serangan itu, pipa
pembuluh darah Muka Iblis terus mengalami pelebaran.
Pelebaran itu ada batasnya. Hingga batas tertentu pipa pembuluh
darah tidak mungkin melebar lagi. Tidak terhindari pembuluh ini
menjadi pecah saat terus terjadi pelebaran.
Itu lah yang beberapa saat lalu terjadi di dalam tubuh Muka Iblis.
Kini salah salah satu pipa pembuluh darah yang menuju dan
keluar dari hati telah pecah. Pipa pembuluh darah itu berada
pada dinding kerongkongan leher. Pecahnya pembuluh darah itu,
668 yang sudah berusaha melebar maksimal, mengakibat sesuatu
yang sedang berusaha ditahan oleh bibir Muka Iblis. Muntah
darah. Muntah darah tanda ia telah terluka. Terluka bagian
dalam. Anak muda itu datang kepadanya. Ia tidak turun tangan atas
dirinya. Hanya melumpuhkan seluruh kemampuannya
membangkitkan kekuatan. Membopongnya, lalu membawa pergi
ke arena pertempuran dua kekuatan: prajurit Tembelang dan
Watugaluh. *** Terlihat seorang telah membopong tubuh yang telah lunglai.
Orang itu langsung dikenali. Dua-duanya. Yang dibopong Muka
Iblis, yang membopong anak muda ...... Terbang seketika
sebagian prajurit Watugaluh yang telah melihat berlalunya dua
orang itu di muka mereka. Anak muda itu sengaja. Sengaja
berlalu lambat di depan prajurit yang bertempur. Ia kini ada di
tengah arena pertempuran. Arena pertempuran yang sebagian
telah berhenti. Berhenti karena, prajurit Tembelang kehilangan
lawan. Lawan yang telah melarikan diri. Melarikan diri melihat
anak muda itu telah mengalahkan orang yang dialaskan untuk
membangkitkan keberanian.
"Hentikan! Muka Iblis telah aku kalahkan. Letakkan senjata! Bila
tidak Chandrakapala Ascarya akan bertindak!" Suara itu berasal
dari tengah udara. Seperti suara dewa. Memang, anak muda itu
menyatakan perintahnya sembari mengapung dua tumbak di
udara. Seperti branjangan. Pada keadaannya itu, seluruh prajurit
Watugaluh melihat anak muda yang telah membopong Muka
669 Iblis. Mereka luruh ketakutan. Semakin ketakutan, manakala pada
sekitar orang yang mengapung mengemuka selubung merak tak
berwujud. "Betara Wisnu dalam Triwikrama." Bisik beberapa
prajurit Tembelang. Hanya sesaat pertempuran telah terhenti. Prajurit Watugaluh
luluh menyerah. Tidak ada lagi keberanian pada mereka.
Keberanian itu terhempas sirna. Termasuk pada diri Senopati.
22 Prajurit yang telah keluar masuk sejumlah medan perang.
*** Pangeran Sikara masih memegang kerisnya. Gemetar. Di depan
orang itu, Pangeran Janaloka juga tegak berdiri. Juga dengan
keris di tangan. "Menyerahlah Pangeran." Janaloka meminta. Orang itu tetap
diam. Diam dengan tangan memegang keris gemetar.
"Ah.....Guru telah dikalahkan. Muka Iblis pun dilumpuhkan". Mata
itu tidak berdaya dan putus asa. Tidak ada yang akan menjadi
sandaran baginya. "Hyang Buddha. Aku, Sikara telah kalah.
Sikara Kalindhih. Sikara Kalah. Kalindhih.... Kalah ....Kalindhih....
Kalah ...." Ia pun menyabetkan cepat kerisnya ke arah leher
sendiri. Ia ingin suduk slira (bunuh diri). Memberikan dirinya
dimangsa oleh kerisnya sendiri. Lewat tangannya.
Tapi, itu tidak terjadi. Melihat gelagat itu. Gelagat sejak Pangeran
itu menyerukan kekalahannya, Janaloka telah mengambil sebuah
batu sebesar kepalan bayi. Batu hitam. Batu itu ia sambitkan
sekuat tenaga. Tepat mengarah pada keris. Keris itu luput
mendarat di leher untuk meminta sebuah nyawa lagi sebagai
korban. Batu itu telah menjatuhkan keris saat terjadi benturan.
670 Pada saat yang sama, ketajaman keris itu telah membelah batu.
Menjadi dua potong. Dua buah potongan batu itu terus meluncur.
Kekuatan sambitan Janaloka tidak sepenuhnya teredam oleh
benturan tadi. Tak disangka, dua potongan batu itu seketika
menancap di dua mata Pangeran Sikara.
Dua telapak tangan Pangeran Sikara mendekap mata. Dari selasela jari telapak itu mengalir cairan
merah. Darah. Potongan batu
itu sungguh telah menghancurkan dua bola mata. Ia sungguh
telah menjadi buta. Buta dalam arti sebenarnya. Buta itu
menggantikan buta lain yang telah ada sebelumnya. Buta kuasa.
Batu itu telah mengambil buta kuasa dan menempatkan buta
mata pada Pangeran Sikara. Batu...Buta....Batu...Buta....
Dua-duanya ada pada Pangeran Sikara yang dengan telapak
tangan sedang menutup dua mata. Lewat dua mata itu ia
menginginkan kuasa.Kuasa setinggi-tingginya. Berapa pun dan
siapa pun harus dikorbankan, tidak acuh baginya. Kuasa lewat
mata. Mata telah buta, kuasa pun reda.......
*** Berita kekalahan Pangeran Sikara tersebar cepat. Memang
sengaja disebar cepat. Sangat cepat. Ditambah juga, kabar
kehadiran anak muda. Anak muda yang seharusnya telah
dilenyapkan oleh Pangeran Abhipraya. Lokatara (orang genius)
pencetus seluruh gerakan terhadap Bhumi Mataram.
Menggantikan Pangeran Sepuh itu, yang mucul justru anak muda
itu. Lokatara itu jelas telah dikalahkan.
Keadaan ini mempengaruhi seluruh semangat dan keberanian
prajurit-prajurit. Apalagi, empat orang tersisa yang diandalkan
671 23 telah raib entah ke mana. Nenek Tenung, Utpala Waliwis (Blibis
Teratai Biru), Hong Mei atau pendeta Alis Merah dan Pejabat Poh
Pitu telah menyelinap meninggalkan prajurit-prajurit.
Menghilangnya orang-orang itu, serta merta mengentarkan hati
prajurit-prajurit itu. Mereka serentak dan segera meletakkan
senjata. Menyerah. Begitu pun prajurit-prajurit dalam
penyamaran. Tembelang selamat. Bebas dari ancaman!
*** "Ah....." Anak muda itu bersyukur mendesah.
"Tembelang terhindar dari pertumpahan darah". Anak muda itu
mengungkapkan kelegaan. Ia berada pada sebuah bilik. Di bilik itu ia bersama dua gadis.
Dua gadis itu telah kehilangan orang yang paling dicinta.
Maheswari dan Kanistha. Dua gadis yang telah menyatakan
kehendak bebas mereka. Hanya bertiga.
"Kakang, aku ingin Kakang meluluskan satu permintaanku."
Sambil bersandar manja di bahu kiri anak muda itu. Anak muda
itu diam. Hanya memandang gadis itu. Pandangan setuju lewat
mata. Mata itu tajam bersinar cerah. Siapapun akan terkesan
memandang dua sinar mata anak muda itu. Sebab, di sana ada
sesuatu yang selalu tampil dari dua pupil matanya. Kegembiraan.
"Aku minta Kakang menerima Bibi Rajni untuk......" Ucapan itu
terputus. Terputus oleh pemintaan lain dari gadis di bahu
kanannya. "Aku juga meminta Kakang menerima Mbokayu Acintya untuk
mendampingi Kakang. Kami berempat akan mendampingi
Kakang. Hidup bersama." Ia pun mencium anak muda itu pada
672 bibir sesaat. Kemudian, gadis di sisi kiri pun menyusul.
Melakukan hal yang sama. Selepas kejadian ini, di Bhumi Mataram akan muncul penegak
keadilan dan pelindung wanua. Mereka diberi julukan Suraduhita
Catur Naga (Naga Empat Bidadari). Atau Chandrakapala Ascarya
(Figur Terdepan Chandrakapala) dan Suraduhita Banjeng Catur
(Empat Barisan Bidadari).
*** "Guru, kita telah dikalahkan. Dikalahkan oleh Chandrakapala
Ascarya." Kuwad?an banija itu mengakui kekalahan. Ia telah
kalah bersama dengan kekuatan dan rencana yang telah
dihimpun. Dihimpun bersama gurunya. Pangeran Abhipraya.
Pahit ia mengatakan hal itu. Mengakui itu sambil menyandarkan
orang tua bermuka pucat di dada. Orang tua yang menurutnya
tidak akan lama lagi bersatu dengan leluhurnya.....
"Ya Nakmas, kita memang sepenuhnya telah dikalahkan. Saat ini.
Tapi, kita kalah dengan sempurna. Kalah setelah kita berjuang
sekuat tenaga. Sekuat.....tenaga.... Sekuat tenaga mengalaskan
kembali kebesaran Wangsa Syailendra. Darah yang Mulia........".
Mata orang tua itu tetap terbuka. Terbuka dengan pandangan
24 yang kosong. Ia telah menyatu dengan Sang Buddha.
*** Seekor kuda dipacu cepat. Sangat cepat. Kuwad?an banija itu
membawa serta sasawa (jenasah) gurunya. Ia bergerak terus dan
tiba di sebuah lembah di lereng gunung, yang ia sendiri tidak tahu
pasti namanya. Ia mencari suatu tempat untuk membaringkan
673 jenasah gurunya. Orang itu sangat dihormati dan telah
membentuk dirinya. Membentuk dalam arti sebenarnya.
Di lereng itu ia mendapati sebuah gua. Gua tanpa guratan atau
ukiran pada dindingnya. Di gua itu ia membaringkan orang tua itu,
melakukan upacara sebagaimana mestinya. Lalu,
meninggalkannya. "Guru, Sarkara akan kembali ........." Sangat bersayap kata-kata
itu. *** Keluar dari gunung itu, kuwad?an banija memacu cepat kudanya.
Sangat cepat. Tak berapa lama ia berhenti sesaat di kaki gunung,
sesaat memandang ke arah gunung. Dari kejauhan, penampakan
gunung itu memutar. Bulat seperti roda. Selalu mengeluarkan
asap. Tanda di tubuh gunung itu terdapat api. Gunung berapi
yang aktif. Mungkin, karena serupa dengan roda (Jantera) dan
selalu berapi (Pawaka), gunung itu disebut Pawaka Jantera.
Roda Api.
Naga Bhumi Mataram Karya El Pramono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
674 (http://cerita-silat.mywapblog.com)
25 Pendekar Tanpa Bayangan 2 Si Rajawali Sakti Karya Kho Ping Hoo Pedang Langit Dan Golok Naga 39
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama