Tembok Besar Karya Unknown Bagian 5
****** Pada keesokan harinya, Ling Ling bangun dari tidurnya dengan tubuh lemas. Ia hampir tak
dapat tidur malam itu karena benar saja, banyak nyamuk yang mengganggunya. Ia telah
menutupi seluruh tubuhnya, akan tetapi nyamuk di daerah rawa itu benar-benar bandel.
Binatang-binatang kecil itu dapat menggigitnya melalui mantelnya dan mukanya menjadi
sasaran. Bukan main marah dan mendongkolnya, akan tetapi ia merasa malu untuk membuat api
unggun seperti Sian Lun. Ketika pada pagi hari itu ia hendak melanjutkan perjalanan dengan diam-diam tanpa memberi
tahu kepada pemuda itu, ternyata bahwa Sian Lun telah mendahuluinya dan datang mendekatinya.
"Enak tidur?" tanya pemuda ini sambil tersenyum. Panas hati Ling Ling mendengar pertanyaan
ini yang dianggapnya seperti olok-olok karena tidak tahukah pemuda itu betapa ia menderita
gangguan nyamuk" Ia sama sekali tidak tahu bahwa juga Sian Lun tidak tidur malam itu,
sungguhpun bukan karena gangguan nyamuk, akan tetapi gangguan hati sendiri yang mulai jatuh
cinta kepadanya." "Kau yang enak tidur!" jawabnya mendongkol. "Bagaimana aku dapat tidur di tempat seperti
neraka ini?" "Nona, harap kau jangan terlalu mencurigaiku. Kalau saja kau menurut kata-kataku, tentu kau
tidak akan mengalami kekecewaan. Aku lebih hafal akan jalan-jalan di sini dan percayalah, aku
akan membawamu ke Tiang-an, dan takkan kuhalangi segala tindakanmu kecuali kalau sudah
sampai di kota itu."
Ling Ling tidak menjawab, akan tetapi ia tidak membantah dan mengikuti pemuda itu ketika
Sian Lun mengajaknya keluar dari daerah rawa itu. Mereka berjalan kembali ke jalan yang
kemaren kemudian membelok ke kanan dan selanjutnya Sian Lun yang menjadi penunjuk jalan.
Mereka melakukan perjalanan bersama, merupakan pasangan yang amat sedap dipandang
karena mereka sama-sama muda, gagah dan elok. Akan tetapi, di sepanjang jalan mereka
tidak pernah, atau jarang sekali bicara.
Ling Ling merasa betapa tubuhnya terasa tidak enak sekali dan kepalanya kadang-kadang
pening. Akan tetapi tentu saja ia tidak sudi memperlihatkan keadaannya kepada Sian Lun.
Ia mengira bahwa ia terlampau lelah dan kurang tidur, dan ia tidak mau menyatakan
kelemahannya terhadap Sian Lun. Padahal sebetulnya ia telah terserang oleh bisa gigitan
nyamuk-nyamuk malam tadi.
Setelah matahari naik tinggi, mereka tiba di sebuah dusun dan Sian Lun yang melihat betapa
gadis itu wajahnya pucat dan penuh keringat lalu berkata.
"Kita beristirahat dulu dan mengisi perut."
"Aku tidak ingin makan!" bantah Ling Ling.
"Ingat, nona. Aku yang menjadi penunjuk jalan dan sekarang aku merasa lapar dan lelah. Kau pun
nampak lelah, mengapa berkeras kepala?"
"Kau yang keras kepala!" kata Ling Ling merengut, akan tetapi ia mengikuti pemuda itu yang
melangkah masuk ke dalam sebuah restoran.
"Dua bubur, bebek tim dan air teh." Sian Lun memesan kepada seorang pelayan yang
menghampiri mereka. Pelayan itu mengangguk dan pergi ke belakang untuk menyediakan
pesanannya. "Aku tidak suka bubur dan bebek tim, apalagi air teh!" Ling Ling membantah. "Aku ingin
daging dan arak!" "Dalam keadaan seperti ini, tidak baik makan daging dan minum arak, nona. Kesehatanmu
bisa terganggu." Ling Ling dengan mata melotot, akan tetapi dalam pandangan Sian Lun, ia nampak makin
cantik dan menarik kalau sedang marah.
"Kau kira aku anak kecil yang harus menurut segala omonganmu" Aku mau daging dan
arak!" kata Ling Ling.
"Ssst, nona. Banyak orang di sini, tidak malukah kalau kita cekcok di sini?" kata Sian Lun
berbisik perlahan. Ling Ling mengerling ke kanan kiri dan melihat para tamu restoran yang
duduk di meja lain memandang ke arah mereka sambil tersenyum-senyum. Mereka disangka
sepasang suami isteri yang sedang bertengkar.
Terpaksa Ling Ling mengalah, akan tetapi ia mendongkol sekali.
"Aku tidak sudi makan pesananmu!" bisiknya dengan gigi terkatup. Sian Lun tidak
menjawab. Akan tetapi, ketika masakan yang dipesan tadi dihidangkan oleh pelayan, tanpa berkata
sesuatu Ling Ling lalu makan bubur dan bebek tim itu, bahkan lebih lahap dari pada Sian
Lun. Pemuda ini diam-diam merasa geli sekali, akan tetapi ia tidak memperlihatkan
perasaannya, hanya diam-diam memberi tanda kepada pelayan untuk menambah bubur.
Ling Ling tidak berkata dan makan sampai kenyang betul. Ia merasa tubuhnya menjadi segar
kembali dan diam-diam ia merasa bersyukur atas pilihan makanan pemuda itu. Ia tahu bahwa
permintaannya untuk makan daging dan arak tadi hanya timbul dari hatinya yang keras, karena
sesungguhnya ia tidak begitu doyan minum arak yang membuatnya pening dan merasa muak.
Ketika mereka keluar dari restoran itu, tiba di depan mereka, di luar restoran, berdiri seorang
tosu yang bertubuh tinggi besar dan bermata bundar. Kedua orang muda itu memandang dengan
mata curiga, akan tetapi tosu ini dengan tersenyum-senyum memandang kepada mereka,
seakan-akan sedang menye Tiba-tiba matanya yang bundar itu memandang ke arah gagang pedang yang tergantung di
pinggang Ling Ling dan senyumnya menghilang. Sinar matanya cepat dialihkan dan kini
menatap wajah Ling Ling dengan pandang mata yang membuat gadis itu terkejut sekali,
karena pandangan ini penuh dengan ancaman.
"Di mana kau peroleh pedang itu?" tanyanya kepada Ling Ling dengan suaranya yang
mengguntur sehingga para tamu di dalam restoran itu memandang keluar dengan heran.
"Mau apa kau banyak tanya?" jawab Ling Ling dengan suara yang tak kalah keras dan
nyaringnya. Memang, untuk membuat ia jangan sampai kalah muka, gadis ini telah
mempergunakan khikangnya sehingga suaranya terdengar nyaring dan bergema keras.
bab 17..... Tosu itu tertegun dan maklum akan demonstrasi khikang ini. Ia merobah sikapnya dan
berkata, "Hm, kiranya kalian adalah orang-orang muda dari kang-ouw pula. Pinto bertanya bukan
tiada alasan. Pedang itu tentu Oei-hong-kiam, bukan" Ketahuilah bahwa Oei-hong-kiam
adalah pedangku, sudah sepuluh tahun berada di tanganku.
Kemudian kuberikan kepada muridku dan kumendengar bahwa muridku telah tewas dan
pedang itu telah terampas oleh lawannya. Karena itu, ku ulangi lagi, dari mana kau
memperoleh pedang Oei-hong-kiam itu, nona?"
"Akulah yang memberi pedang itu kepadanya, totiang," Sian Lun mendahuluinya menjawab.
Pemuda ini maklum akan kekerasan hati nona itu, maka sebelum Ling Ling mengeluarkan
ucapan kasar, ia mendahuluinya.
Mendengar ucapan ini, tosu itu lalu berpaling dan kini pandang matanya menatap wajah Sian Lun
dengan tajam. "Kau" Siapa kau" Darimana kau peroleh pedang itu?"
"Aku memperolehnya dari seorang lawanku yang tewas."
"Aha, jadi kaulah yang telah membunuh muridku Kwan Sun Giok" Bagus, kau berani sekali
mengganggu murid dari Liang Hwat Cinjin" Kau mencari mampus!"
Bukan main kagetnya Sian Lun mendengar ucapan ini, apalagi ketika tiba-tiba sepasang tangan
tosu itu yang tertutup oleh lengan baju yang panjang dan lebar, telah menyambarnya dengan
kecepatan luar biasa sekali, melakukan totokan dengan ujung lengan baju ke arah jalan
darahnya yang berbahaya. Sian Lun cepat membuang tubuhnya ke belakang, berjungkir balik di udara beberapa kali,
baru ia turun dan kini ia berdiri agak jauh dari tosu itu.
"Bagus, kau ternyata pandai juga. Pantas muridku kalah!" Sambil berkata demikian, kembali ia
mengebutkan kedua tangannya ke depan, tanpa melangkah maju. Inilah pukulan Kim-kongjiu
yang dapat merobohkan lawan dari jarak jauh, sebuah pukulan yang dilakukan mengandalkan
tenaga khikang yang amat tinggi.
Sian Lun semenjak tadi telah merasa ragu-ragu dan khawatir sekali. Kalau benar keterangan
Kwan Sun Giok dahulu, kakek ini sebetulnya masih supeknya (uwa gurunya) sendiri, maka
bagaimana ia berani melawannya" Ia tidak mengelak dari sambaran pukulan Kim-kong-jiu itu.
Sebaliknya ia lalu mengangkat kedua tangannya ke arah dada dengan telapak terbuka,
mengerahkan khikang dan lweekang dan melakukan gerakan Raja Monyet Menyembah Buddha.
Gerakan ini adalah pelajaran dari ilmu silat Pek-sim-kun-hoat yang ia terima dari Liang Gi Cinjin
dan karena telah lama pemuda ini mendapat gemblengan ilmu lweekang dari Beng To Siansu,
maka tenaga dalamnya sudah cukup kuat sehingga ia berhasil menolak kembali pukulan
Kim-kong-jiu Liang Hwat Cinjin terkejut bukan main, tidak hanya karena melihat pemuda itu dapat menolak
pukulannya, akan tetapi terutama sekali melihat cara pemuda itu menolak pukulan tadi.
"He, dari mana kau memperoleh gerakan See-ceng-pai-hud tadi" Ada hubungan apakah kau
dengan suteku Liang Gi Cinjin?"
Sian Lun adalah seorang pemuda yang terpelajar dan memegang keras peraturan kesopanan antara
hubungan guru dan murid. Mendengar pertanyaan ini, terpaksa ia lalu menjatuhkan diri berlutut
dan berkata, "Maaf, supek. Teecu adalah murid dari suhu Liang Gi Cinjin."
Liang Hwat Cinjin tertegun. "Apa" Kau murid dari Liang Gi" Dan kau yang membunuh
muridku Kwan Sun Giok dan yang merampas pedangnya?"
"Teecu terpaksa, supek, karena dia menjadi panglima dari pasukan Sui, adapun teecu
membantu perjuangan Jenderal Li Goan. Di dalam perang, tentu saja tidak ada hubungan
antara saudara. Harap supek sudi mempertimbangkan dan memaafkan teecu."
"Bedebah!" tiba-tiba tosu itu memaki dengan kasar sekali sehingga mengejutkan semua orang
yang mulai menonton pertengkaran itu. "Kau sudah berani membunuh suhengmu sendiri, hendak
kulihat apakah kau berani pula melawan supekmu?"
Sambil berkata demikian, ia melangkah maju dan hendak memukul Sian Lun yang tidak
bergerak dari tempatnya berlutut. Akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.
"Tosu keparat! Sekarang kaulah yang harus menjawab dari mana kau mendapatkan pedang
ini!" Karena Ling Ling mengeluarkan kata-kata ini sambil menggerakkan pedangnya di depan tosu itu
untuk menghalanginya memukul Sian Lun, Liang Hwat Cinjin terpaksa menarik kembali
tangannya dan ia memandang kepada Ling Ling dengan marah dan mendongkol sekali.
"Gadis liar, siapakah kau" Berani sekali kau berlaku kurang ajar dihadapan Kim-kong Lokoai
(Setan Tua Sinar Mas)."
Mendengar tosu itu menyebutkan julukannya yang menyeramkan, Ling Ling tersenyum
mengejek dan berkata, "Aku adalah Toat-beng Mo-li (Iblis Wanita Pencabut Nyawa), mengapa
harus takut berhadapan dengan setan tua yang sudah hampir mampus. Kau bilang tadi bahwa
pedang Oei-hong-kiam ini adalah pedangmu, ternyata kau telah berkata bohong besar."
Sampai pucat wajah Liang Hwat Cinjin mendengar ucapan yang disertai makian ini. Belum
pernah selama hidupnya ada orang yang berani bersikap demikian kurang ajar kepadanya.
"Bocah yang bosan hidup! Kau berani bilang aku membohong?"
"Tentu saja kau bohong, karena setahuku, pedang Oei-hong-kiam adalah pedang pusaka milik
Panglima Besar Kam Kok Han!"
Berobahlah wajah Liang Hwat Cinjin mendengar nama ini disebut. "Hm, dari mana kau tahu
akan hal ini" Memang benar, Kam Kok Han telah mampus ditanganku dalam pemberontakannya
dan pedang ini terjatuh ke dalam tanganku, bukankah itu berarti bahwa pedang Oei-hong-kiam
menjadi pedangku?" "Bagus, bangsat tua! Sudah lama aku mencari-cari kau untuk membalas dendam sucouw
(kakek guru)!" Sambil berkata demikian, Ling Ling lalu menyerang dengan tusukan
pedangnya. Liang Hwat Cinjin terheran mendengar ini, akan tetapi ia cepat mengelak sambil mengebutkan
ujung lengan bajunya. Ketika ujung lengan baju itu mengenai pedang, terdengar suara gemericing
nyaring dan tergetarlah tangan Ling Ling.
Gadis ini terkejut sekali maklum bahwa kepandaian kakek ini benar-benar amat lihai dan masih
lebih tinggi dari pada tingkat kepandaiannya sendiri. Akan tetapi Ling Ling tentu saja tidak
merasa takut sedikitpun juga, apalagi karena pada saat itu ia sedang merasa marah dan sakit hati
sekali melihat orang yang dimaksudkan oleh pesanan Bu Lam Nio.
Inilah pembunuh suami Bu Lam Nio, dan orang inilah yang harus ia tewaskan untuk
membalas dendam Bu Lam Nio dan Kam Kok Han. Maka ia lalu menyerbu lagi dan
mengeluarkan ilmu pedang Kim-gan-liong-kiam-sut sebaik-baiknya.
"Hoho! Jadi kau sudah mewarisi Kim-gan-liong Kiam-sut dari Kam Kok Han" Bagus, bagus,
mari pinto antar kau menyusul sucouwmu si pemberontak itu!"
Setelah berkata demikian, Liang Hwat Cinjin lalu menggerakkan kedua lengan bajunya secara
istimewa sekali. Dari kedua ujung lengan bajunya keluar angin pukulan yang dahsyat, yang
membuat pakaian para penonton yang berada di tempat jauh ikut berkibar dan yang membuat Ling
Ling merasa seakan-akan menghadapi serangan angin ribut.
Biarpun gadis ini telah memiliki lweekang yang cukup tinggi sehingga ia tidak terpengaruh
oleh hawa pukulan yang hebat ini, namun tetap saja kedua matanya terasa pedas dan hidungnya
terasa sukar untuk bernapas ketika tertiup oleh hawa gerakan tosu yang lihai itu. Inilah ilmu
silat Soan-hong-kim-ko-jiu yang amat lihai dari Liang Hwat Cinjin.
Dulu ketika ia menghadapi Kam Kok Han di waktu mudanya, ia telah berhasil pula merobohkan
panglima kosen itu.dengan Soan-hong-kim-ko-jiu ini. Dan sekarang dengan ilmu pukulan ini pula
ia telah membuat Ling Ling menjadi bingung sekali dan terdesak hebat.
"Supek, jangan celakakan dia!" terdengar Sian Lun berseru berulang-ulang, dan ketika
supeknya tidak memperdulikan teriakannya, dan melihat betapa Ling Ling nampak makin lama
makin lemah gerakan pedangnya, Sian Lun lalu mencabut pedang Pek-hong-kiam dan
melompat maju, menyerbu ke dalam kalangan pertempuran yang hebat itu.
"Ha, ha, ha! Jadi kau membela gadis ini" Agaknya dia adalah kecintaanmu, baik, ....baik!
Akan kuantar kalian berdua menjumpai Kwan Sun Giok muridku di alam baka!"
Kini pertempuran menjadi makin hebat. Gerakan kedua ujung lengan baju tosu itu benarbenar
hebat. Biarpun ujung lengan baju itu hanya terbuat dari pada bahan kain yang tidak berapa
tebalnya, namun karena digerakkan dengan tenaga lweekang yang tinggi dan menurut aturan dari
ilmu silat luar biasa Soan-hong-kim-ko-jiu, maka lengan baju itu merupakan senjata yang luar
biasa berbahayanya. Biarpun, berkali-kali bertemu dengan pedang-pedang pusaka seperti Oei-hong-pokiam dan
Pek-hong-pokiam, namun ujung lengan baju itu tidak menjadi putus bahkan tangan kedua
orang muda itu terasa kesemutan seakan-akan pedang mereka bertemu dengan benda yang
amat keras dan kuatnya. Makin lama makin banyak orang yang menonton pertempuran ini, dan semua orang tidak berani
mendekat, menonton dari jarak jauh sambil menahan napas. Memang pertempuran itu amat
indah dilihat. Pedang di tangan Sian Lun menjadi segulung sinar putih yang cepat dan kuat,
sedangkan pedang di tangan Ling Ling berobah menjadi segulung sinar kuning yang amat ganas.
Adapun lengan baju Liang Hwat Cinjin kadang-kadang terbuka lebar merupakan awan-awan
putih yang bergulung-gulung tertiup angin, sehingga nampaknya karena tubuh ketiga orang itu
tidak kelihatan lagi, seakan-akan yang bermain di situ adalah seekor naga kuning dan seekor
naga putih yang bermain-main di antara mega-mega yang tertiup angin.
Liang Hwat Cinjin merasa penasaran sekali dan diam-diam ia mengagumi ilmu pedang Sian Lun.
Pantas saja Kwan Sun Giok, muridnya itu tidak dapat menang, tidak tahunya pemuda itu sudah
hampir mewarisi seluruh kepandaian sutenya, Liang Gi Cinjin.
Seratus jurus telah lewat dan tosu itu tetap belum dapat mengalahkan kedua orang lawan
mudanya, sungguhpun kedua orang muda itu telah terdesak hebat oleh kedua lengan bajunya.
Bahkan Ling Ling nampak pucat sekali dan keringat telah membasahi jidatnya.
Gadis ini memang telah merasa tidak enak badan dan kini karena ia mengerahkan seluruh
tenaganya, ia merasa kepalanya pening dan tubuhnya panas bagaikan terbakar. Hanya semangat
dan keberaniannya yang luar biasa sajalah yang membuat ia masih kuat melakukan pertempuran
hebat itu. Pada saat itu terdengar seruan. "Kim-kong Lo-koai, kau memang jahat sekali!" Dan tiba-tiba
seorang tosu tua berkelebat datang dan menggunakan sebatang tongkat bambu menyerbu dan
menyerang Liang Hwat Cinjin.
"Beng Kui Tosu, kau mau ikut-ikut?" Liang Hwat berseru marah, akan tetapi diam-diam ia
mengeluh karena dengan adanya tosu tua yang amat tangguh ini, ia merasa tak sanggup
melawan terus. Tadipun menghadapi Ling Ling dan Sian Lun, biarpun ia selalu dapat
mendesak, namun kegesitan tubuh kedua orang muda itu telah membuat kepalanya pening dan
sukar baginya untuk merobohkan seorang di antara mereka.
Kini tertambah pula oleh Beng Kui Tosu, tokoh dari Kun-lun-san yang kepandaiannya tinggi
juga, tentu saja berat baginya menghadapi keroyokan ketiga orang ini. Biarpun tingkat
kepandaian Beng Kui Tosu tidak lebih tinggi dari pada kepandaian Ling Ling atau Sian Lun,
namun tosu ini telah banyak pengalaman dalam pertempuran dan oleh karenanya bambu di
tangannya itu tidak kalah lihainya dari pada pedang pusaka di tangan Sian Lun atau Ling Ling.
Tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan di antara para penonton, "Dia Liem-ciangkun! Hayo
keroyok tosu siluman itu!" Dan banyak orang datang dengan senjata di tangan, siap
mengeroyok Liang Hwat Cinjin.
Ternyata mereka itu adalah bekas pejuang-pejuang atau pemberontak-pemberontak yang
mengenal Liem Sian Lun sebagai pemimpin mereka ketika dahulu menyerbu ke Tiang-an.
Melihat gelagat tidak baik, Liang Hwat Cinjin tertawa bergelak dan tubuhnya melompat cepat
sekali dan lenyap dari pandangan mata.
Sian Lun lalu menghampiri Beng Kui Tosu dan berlutut.
"Suhu, terima kasih atas pertolongan suhu."
Akan tetapi Beng Kui Tosu setelah mengelus-elus kepala bekas muridnya ini lalu berkata,
"Lihat, Sian Lun, nona ini agaknya sakit."
Sian Lun terkejut sekali dan cepat menengok. Alangkah kagetnya ketika ia melihat Ling Ling
berdiri sambil meramkan mata.
Wajahnya pucat sekali dan tiba-tiba gadis itu menjadi limbung, pedangnya terlepas dari
tangannya dan ia tentu sudah roboh kalau Sian Lun tidak cepat-cepat melompat dan
memeluknya. Sementara itu, beberapa belas orang bekas anak buahnya sudah merubungnya dan
di antaranya berkata, "Liem-ciangkun, marilah bawa nona itu ke rumahku untuk dirawat."
Beramai-ramai mereka lalu menuju ke rumah orang she Thio yang peramah itu. Ling Ling
dipondong oleh Sian Lun yang merasa amat gelisah karena tubuh gadis itu ternyata amat
panas bagaikan api. Untung sekali bahwa pendeta Kun-lun-pai ini, yaitu Beng Kui Tosu, paham akan ilmu
pengobatan. Setelah memeriksa nadi tangan Ling Ling dan merabah jidatnya, pendeta ini lalu
berkata perlahan,
Tembok Besar Karya Unknown di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ah, dia tidak terkena pukulan dan tidak terluka, hanya menderita demam akibat gigitan
nyamuk berbisa!" "Memang malam tadi kami berdua bermalam di tepi rawa, suhu."
Beng Kui Tosu mengangguk-angguk maklum. "Tidak apa, tak usah gelisah, ada obatnya untuk
penyakit ini." Ia lalu menulis resep dan minta seorang di antara bekas anak buah Sian Lun untuk
mencarikan obat itu di toko obat. Orang she Thio itu sendiri lalu pergi ke kota yang berdekatan
untuk membeli obat di toko obat.
"Penyakitnya tidak berbahaya," kata tosu itu kepada Sian Lun, "dengan rawatan dan istirahat, kau
beri minum obat itu selama beberapa hari saja akan sembuh. Siapakah nona ini dan mengapa pula
kau sampai bertempur melawan Kim-kong Lo-koai yang lihai?"
Dengan singkat Sian Lun menuturkan pengalamannya. Tosu itu mengangguk-angguk lalu
berkata, "Nona ini ilmu pedangnya hebat sekali. Agaknya cocok kalau bisa menjadi jodohmu, Sian
Lun." Pemuda itu hanya menunduk dengan muka merah. Kemudian tosu itu lalu berpamit untuk
melanjutkan perantauannya, karena tosu Kun-lun-pai ini memang seorang perantau yang tiada
tentu tempat tinggalnya. Dengan amat teliti dan sabar, Sian Lun merawat Ling Ling hingga empat hari kemudian setelah
sembuh, gadis ini merasa amat terharu dan berterima kasih. Akan tetapi, ia merasa malu untuk
memperlihatkan perasaannya, hanya kini ia tidak marah-marah lagi kepada Sian Lun.
"Kau baik sekali, Liem-ciangkun. Mengapa kau sebaik itu kepadaku?" hanya inilah ucapannya
ketika ia melihat betapa pemuda itu dengan kedua tangannya sendiri memberi obat minum
kepadanya. "Nona, kau adalah seorang gagah yang berbudi tinggi dan telah berjasa dalam perjuangan. Kita
boleh dibilang orang-orang segolongan dan kebetulan sekali kita melakukan perjalanan yang
sama, mengalami bahaya yang sama serta bertemu dengan Liang Hwat Cinjin yang berbahaya.
Mengapa aku tidak akan merawatmu" Tak usah bicara tentang kebaikan, karena kalau aku yang
tertimpa malapetaka, aku percaya penuh bahwa kaupun takkan tega meninggalkan aku begitu
saja." "Belum tentu," kata Ling Ling sambil menghindari pandang mata pemuda ini. "Aku, ......aku
keras hati dan keras kepala."
Sian Lun tersenyum. Dia sendirilah yang menyebut keras hati dan keras kepala kepada gadis itu.
"Apa kau kira aku tidak keras kepala" Kita sama saja, nona, dan ..... haruskah kita bersikap
seperti orang yang belum saling mengenal" Tak enak sekali mendengar kau menyebut
ciangkun kepadaku. Di dalam barisan mungkin aku seorang panglima, akan tetapi di luar
barisan, aku hanyalah Liem Sian Lun, orang biasa saja."
Akan tetapi Ling Ling tidak menjawab, hanya melengoskan muka untuk menyembunyikan
mukanya, akan tetapi pemuda itu telah melihat betapa air mata mengucur deras dari sepasang
mata gadis itu. "Nona...... Ling Ling..... kau mengapakah?" bisiknya perlahan.
Gadis ini dalam keadaan sakit teringat akan nasibnya, teringat akan ibunya yang sudah
meninggal dunia, teringat pula akan ayahnya, orang yang sesungguhnya akan menjadi orang
satu-satunya yang dapat diminta tolong, menjadi tempat ia berlindung, akan tetapi, ayahnya
telah menjadi ayah orang lain dan ia hanya akan menjadi anak tiri.
Selama hidupnya, baru dua orang yang menaruh hati kasih sayang kepadanya, yang
memperhatikan dan mengurusnya, yakni neneknya dan ibunya. Bu Lam Nio dan ibunya telah
meninggalkannya. Dan sekarang, dalam keadaan sebatang kara, seorang diri tiada orang lain yang
dapat dimintai tolong, ia jatuh sakit dan mendapatkan perawatan yang demikian baiknya dari
seorang yang "dibencinya" !"
Mengingat akan hal ini dan mendengar pertanyaan pemuda itu yang diucapkan dengan penuh
perhatian, tak terasa lagi Ling Ling menangis tersedu-sedu. Baru kali ini dia menangis terisakisak
dengan hati serasa diperas-peras.
"Kau..... kau terlalu baik padaku..... Liem-ciangkun, keluarlah...... keluarlah, tinggalkan aku
sendiri....." tangis Ling Ling menjadi-jadi.
"Akan tetapi minumlah dulu obat ini, nona." Sian Lun mendekatinya sambil memegang
mangkok berisi obat. "Biarkan saja, aku dapat minum sendiri. Keluarlah, Liem-ciangkun
...... Sian Lun menarik napas panjang. Sungguh ia tidak dapat mengerti akan sikap gadis ini.
"Kau masih lemah, nona. Tak dapat minum sendiri. Biarlah aku menyuruh enso Thio ke sini."
Setelah meletakkan mangkok obat itu ke atas meja, Sian Lun lalu keluar dan memanggil nyonya
Thio. Nyonya rumah ini amat peramah seperti suaminya, dan ia segera masuk ke dalam kamar
gadis itu. "Nona, minumlah obat ini agar kau lekas sembuh."
Dibantu oleh nyonya Thio, Ling Ling bangun duduk dan minum obat ini. "Terima kasih enci, kau
benar-benar baik sekali. Aku berhutang budi kepadamu."
"Hush, mengapa bicara tentang budi" Kalau mau bicara tentang budi, kau harus ingat kepada
Liem-ciangkun. Dialah yang merawatmu selama ini, dia lupa makan, lupa tidur
mengkhawatirkan keadaanmu."
Ling Ling memandang kepada nyonya itu dengan air mata berlinang. "Benarkah, enci?"
"Mengapa tidak benar" Liem-ciangkun setiap malam duduk di atas bangku di luar kamarmu,
selalu menjagamu seperti seorang ayah menjaga anaknya. Ah, kau beruntung sekali mempunyai
seorang calon suami seperti dia, nona."
Tertegun hati Ling Ling mendengar sebutan ini. Ia hendak membantah akan tetapi cepat
ditahannya. Apa gunanya membantah" Biarlah mereka mengira bahwa dia adalah calon isteri
Sian Lun, apa salahnya"
Hatinya merasa perih sekali, karena bagaimana ia bisa berjodoh dengan Sian Lun, dengan
seorang pemuda yang dibencinya" Tak mungkin seorang pemuda yang telah menduduki
pangkat sebagai panglima, seorang pemuda gagah perkasa, orang kepercayaan Jenderal Li,
sudi berjodoh dengan gadis bodoh seperti dia. Hatinya makin terasa perih, Sian Lun
merawatnya tentu bukan karena cinta kasih, melainkan karena iba hati, terdorong oleh
kebaikan budi pemuda itu.
Ah, kalau saja Kwee Siong yang menjadi suami ibunya itu tidak berhati sekejam itu. Kalau saja
Kwee Siong tidak melupakan ibunya, kalau saja ia bisa hidup sebagai puteri Kwee Siong, akan
lain lagi halnya. Tentu ia takkan merasa lebih rendah dari pada pemuda itu. Pikiran ini membuat
hatinya panas dan kemarahan serta kebenciannya terhadap Kwee Siong meluap.
Dan pada malam hari yang gelap itu, tanpa diketahui oleh siapapun juga, tidak diketahui pula oleh
Sian Lun yang telah tertidur saking lelahnya, diam-diam Ling Ling meninggalkan rumah keluarga
Thio itu, meninggalkan Sian Lun menuju ke Tiang-an.
Pada keesokan harinya, gegerlah dalam rumah itu. Sian Lun yang diberi tahu tentang larinya Ling
Ling, tanpa pamit lagi lalu melompat keluar dan berlari mengejar. Akan tetapi, ia telah kalah dulu
selama setengah malam, maka ia mempercepat larinya untuk menyusul gadis yang aneh, gadis
yang berhati keras, yang manis dan yang dicintainya itu.
****** Biarpun tubuhnya masih lemas, akan tetapi penyakit yang diderita oleh Ling Ling telah
sembuh sama sekali. Aneh, ketika ia memaksa dirinya berlari pada malam hari itu, makin
lama ia merasa makin sehat dan segar.
Tahulah dia bahwa kelemasan tubuhnya itu sebagian besar karena terlampau lama berbaring dan
kurang bergerak. Ia telah memiliki tubuh yang kuat, tubuh yang semenjak kecil digembleng
dengan ilmu silat tinggi, sehingga sebentar saja tenaganya telah pulih kembali, sungguhpun ia
masih merasa lemah pada kaki dan punggungnya.
Menjelang pagi, ia tiba di sebuah hutan dan beristirahat sambil mengatur pernapasannya dan
melatih lweekangnya. Kalau teringat kepada Sian Lun, ia menjadi berduka. Entah mengapa, ia
merasa sunyi dan sedih, berbeda sekali ketika ia mengadakan perjalanan bersama pemuda itu.
Ketika pemuda itu selalu berada di sampingnya, ia selalu hendak marah kepada Sian Lun, akan
tetapi setelah kini berpisah dan melakukan perjalanan seorang diri, ia merasa rindu dan ingin
sekali melihat pemuda itu berada di sampingnya. Inikah yang disebut cinta?" Ia sendiri tidak
mengerti, apakah ia merasa cinta atau benci kepada pemuda itu.
Ia melanjutkan perjalanannya, sebentar-sebentar berhenti dan pada senja hari ia tiba di luar kota
Tiang-an. Ia berhenti di sebuah dusun yang bersih dan nyaman hawanya, makan sedikit bubur
dari sebuah warung nasi, lalu menuju ke Tiang-an. Akan tetapi, malam telah tiba dan kembali
Ling Ling bermalam di sebuah hutan, di mana ia melihat sebuah kelenteng tua yang kosong.
Pada kesokan harinya, ia melihat kelenteng itu ternyata indah sekali pemandangan sekitarnya,
dikelilingi oleh tanaman-tanaman bunga liar yang beraneka warna dan di belakang kelenteng
terdapat sebuah sungai kecil yang amat bening airnya. Tempat yang amat indah, pikirnya dengan
hati senang. Akan senanglah ia kalau tinggal di tempat seperti ini, dekat dengan kota Tiang-an dan
tak jauh dari hutan itu terdapat pula sebuah dusun yang bersih.
Ketika ia hendak berangkat ke Tiang-an untuk mencari Kwee Siong dan melakukan niatnya
membalas dendam, tiba-tiba terdengar suara halus memanggil namanya.
"Ling Ling......."
Ling Ling menengok dan tiba-tiba wajahnya berobah menjadi merah. Ia melihat Sian Lun
berdiri di depan kelenteng dengan pandangan mata sayu.
"Ling Ling, mengapa kau meninggalkan aku....?" Pemuda ini nampak pucat sekali karena
memang ia amat gelisah. Ia telah mengejar Ling Ling dan tak dapat berjalan cepat-cepat karena ia
harus mencari keterangan sepanjang jalan kalau-kalau ada orang yang melihat gadis itu.
Ia tidak begitu yakin bahwa Ling Ling akan mengambil jalan langsung ke Tiang-an. Siapa tahu
kalau gadis itu mengambil jalan lain" Karena itulah, maka ia baru dapat menyusul gadis itu pada
pagi hari ini. Ia merasa amat khawatir kalau-kalau gadis yang baru saja sembuh dari sakit itu
akan jatuh sakit pula di tengah jalan.
"Liem-ciangkun, mengapa kau menyusulku?" Ling Ling menjawab dengan pertanyaan sambil
menundukkan mukanya. "Ling Ling, mengapa kau lari dariku" Mengapa kau selalu hendak menjauhkan diri dari padaku"
Sudah sembuh benarkah engkau" Kau nampak begitu kurus dan lemah ....." Sian Lun melangkah
maju mendekat dan tak terasa lagi ia memegang kedua tangan gadis itu.
Berdebar jantung Ling Ling ketika merasa betapa tangan pemuda itu memegang tangannya
dengan mesra. Debaran jantungnya membuat telapak tangannya dingin sekali.
"Tanganmu dingin sekali, Ling Ling. Kau masih belum sehat benar. Mengapa kau memaksa
melakukan perjalanan dan pergi di malam hari" Aku benar-benar gelisah....."
"Liem-ciangkun, jangan kau perdulikan aku lagi! Aku..... aku sebatangkara, pergi ke mana aku
suka, bagaikan seekor burung di udara..... jangan kau acuhkan aku lagi, Liem-ciangkun."
Akan tetapi dorongan cinta kasih di dalam hati Sian Lun tak dapat ditahan lagi. Ia memegang
kedua tangan Ling Ling makin erat dan berkata dengan bibir gemetar.
"Ling Ling, tidak tahukah kau betapa aku menyintamu?"
"Apa.....?" Kedua mata Ling Ling terbelalak dan ia memandang tajam. Sungguhpun ia telah
dapat mengira akan hal ini dan telah mendengar penuturan nyonya Thio tentang rawatan
pemuda ini, namun mendengar pengakuan itu dari mulut pemuda itu sendiri, ia menjadi terkejut
juga. "Memang, aku mencintamu, Ling Ling," kata Sian Lun dengan ketetapan seorang perajurit,
biarpun mukanya menjadi sebentar pucat sebentar merah dan keringat mengalir dari jidatnya di
pagi hari yang dingin itu. "Aku sendiri tadinya tidak mengira sama sekali, kukira hanya karena
kagumku dan rasa iba hatiku kepadamu. Akan tetapi malam kemarin .... pada pagi harinya ketika
aku mendengar bahwa kau telah pergi meninggalkanku ..... aku yakin bahwa aku takkan dapat
hidup bahagia tanpa kau disampingku!"
Bab 18..... Ling Ling tak dapat menjawab, hanya menundukkan mukanya makin dalam dan ia menangis
terisak-isak. "Ling Ling......." Sian Lun menarik kedua tangan gadis itu dan hendak memeluknya, akan
tetapi Ling Ling merenggutkan kedua tangannya sehingga terlepas dari pegangan Sian Lun dan
gadis ini melangkah mundur tiga tindak.
"Tidak, tidak...... jangan sentuh aku....!"
"Ling Ling....." kata Sian Lun dengan suara sedih, "kau bilang bahwa kau hidup sebatangkara ......
tidak maukah kau ikut dengan aku dan menjadi mantu ibuku" Dia orang baik, Ling Ling, ibuku
amat baik dan tentu kau akan suka sekali kepadanya, akan kau anggap sebagai ibumu sendiri."
"Tidak! Tidak! Kau seorang panglima, seorang berkedudukan tinggi, sedangkan aku...... aku
seorang wanita kasar, bodoh, dan telah disebut orang sebagai...... siluman, sebagai iblis wanita!
Tahukah kau aku siapa?"
"Kau seorang gadis yang gagah perkasa, budiman, dan cantik jelita...... dan......"
"Aku disebut Toat-beng Mo-li, Iblis Wanita Pencabut Nyawa, juga disebut Cialing Mo-li,
Iblis Wanita Sungai Cialing! Aku seorang wanita jahat, kejam, dan tidak mengenal
prikemanusiaan!" "Mereka itu bohong!" kata Sian Lun dengan sengit, "Akan kutampar mulut setiap orang yang
berani menyebutmu demikian, Ling Ling. Tidak dapatkah kau menerima cintaku.....?"
"Tidak, tidak mungkin......"
Apakah kau membenciku" Dan..... tidak ada sedikit jugapun rasa cinta kasih di dalam hatimu
terhadapku?" pertanyaan ini terdengar amat mengharukan sehingga kini gadis itu menutupi
mukanya dan tangisnya membuatnya tersedu-sedu. Ia tak dapat menjawab.
"Ling Ling, jawablah. Jawabanmu merupakan keputusan bagi kebahagiaan hidupku."
Setelah tangisnya mereda, gadis itu menatap wajah pemuda itu dengan pandangan yang
berani, pandangan yang menyelidik dan tajam sekali sehingga kembali Sian Lun merasa
betapa sinar mata gadis itu tajam dan runcing bagaikan ujung pedang yang menembus
hatinya. "Sian Lun, katakanlah, mengapa kau menyintaku" Mengapa?"
Berdebar jantung pemuda itu mendengar Ling Ling menyebut namanya begitu saja. Satu
perobahan" Akan tetapi ia harus menjawab.
"Sukar sekali mengatakannya, Ling Ling," ia menatap gadis itu dari kepala sampai ke kaki,
"entah apamu yang membuat aku jatuh cinta. Mungkin rambutmu, matamu, hidung atau
mulutmu, mungkin pula kakimu ..... ah, aku tidak tahu. Mungkin pula watakmu yang keras,
atau kegagahanmu, entahlah. Kenyataannya, kalau kau sedang marah, kau nampak makin
menarik dalam pandangan mataku."
Ucapan ini terdengar bagaikan lagu dari tujuh sorga di dalam telinga Ling Ling, membuatnya
menutupkan kedua mata untuk beberapa lamanya. Alangkah merdu suara pemuda itu, ingin ia
mendengar terus menerus ucapan itu, mendengar selama hidupnya. Akan tetapi ia memaksa diri
merenggutkan semangatnya yang sudah terayun oleh gelombang rayuan ini.
"Sian Lun, lihatlah kenyataan! Bukalah matamu! Aku bukan gadis yang tepat untuk menjadi
jodohmu. Lupakah kau bahwa aku sedang menuju ke Tiang-an untuk mencari dan membunuh
Kwee Siong pamanmu?"
Bagaikan pisau berkarat ucapan ini menikam ulu hati Sian Lun dan membuatnya menjadi pucat
seketika. Sakit rasa hati Ling Ling melihat keadaan pemuda itu. Sesungguhnya Sian Lun menjadi
limbung ketika ia melangkah mundur tiga tindak. Kata-kata ini merupakan suara halilintar di
siang hari yang menggugahnya dari mimpi indah. Bagaikan air dingin yang diguyurkan di atas
kepala seorang yang mengantuk.
"Ling Ling ......... kasihanilah aku, kasihanilah pamanku ...... ! Sakit hati apakah yang membuatmu
demikian kejam terhadap paman " Katakanlah, urusan apakah yang menyakitkan hatimu, yang
diperbuat oleh Kwee siokhu kepadamu ?"
"Kau tak perlu tahu ! Ini urusan pribadi. Cukup kalau kuberitahukan kepadamu bahwa aku harus
membunuh orang she Kwee itu !" Setelah berkata demikian, Ling Ling memutar tubuh dan
berdiri membelakangi Sian Lun.
"Ling Ling, tak dapat dirobahkah niatmu ini " Demi Tuhan, sekali lagi aku mohon padamu,
jangan lanjutkan niatmu ini. Biarlah aku berlutut di depan kakimu, Ling Ling, jangan kau
mengganggu dia !" Dan Sian Lun benar-benar berlutut di depan gadis itu.
"Bodoh ! Lemah !" tiba-tiba Ling ling berseru sambil terisak dan ketika Sian Lun mengangkat
kepalanya, ternyata gadis itu sudah tidak ada di depannya pula.
Pemuda ini terkejut sekali dan cepat ia melompat dan mengejar. Karena memang tubuh Ling
Ling masih lemah, sebentar saja Sian Lun dapat menyusulnya. Akan tetapi, Ling Ling telah
mencabut pedangnya dan berkata menantang,
"Sian Lun, untuk satu hal ini, kalau terpaksa, aku akan menghadapimu dengan pedang!"
Bukan main bingung dan sedihnya hati Sian Lun.
"Ling Ling, aku tidak sampai hati untuk bertanding dengan engkau. Tidak lagi. Kalau kau mau,
kau boleh penggal leherku, aku takkan melawan. Alan tetapi, jika aku melihat engkau
mengganggu pamanku, terpaksa aku akan membelanya, biarpun aku harus mati di tanganmu."
Sambil berkata demikian, Sian Lun lalu berlari terus dengan amat cepatnya, mendahului gadis itu
menuju Tiang-an. Ling Ling maklum bahwa pemuda itu tentu akan pergi ke rumah Kwee Siong dan akan menjaga
keselamatan orang she Kwee itu. Akan tetapi ia tidak takut. Kalau perlu, ia akan menyerang
pemuda itu dengan pedangnya. Sakit hati ibunya lebih penting untuk dibalaskan.
Ia belum pernah berbakti terhadap ibunya, dan ia telah menyaksikan sendiri betapa ibunya hidup
bersengsara, semenjak muda hidup di dalam hutan dan dijuluki iblis wanita, sama sekali tidak
diperdulikan oleh ayahnya yang kini menduduki pangkat tinggi dan hidup bersenangsenang
dengan isteri dan puteranya yang baru. Dengan pikiran penuh nafsu dan dendam, gadis ini lalu
berlari cepat menuju ke kota Tiang-an yang temboknya telah nampak di depan.
****** Semenjak pertemuan dengan Sui Giok dan Ling Ling, Kwee Siong sembuh dari sakitnya
dengan keadaan yang berobah sama sekali. Ia kini nampak tua, selalu berwajah muram dan
seringkali termenung. Isterinya mencoba untuk menghiburnya, akan tetapi sia-sia.
Kwee Siong terganggu oleh pikiran dan perasaannya sendiri. Ia merasa berdosa dan apabila ia
teringat akan Sui Giok dan Ling Ling, ia menjadi amat terharu dan kasihan. Ia dapat
membayangkan betapa hebatnya penderitaan dan kesengsaraan isterinya yang terpisah darinya di
dalam hutan liar itu dalam keadaan mengandung tua.
Dulu ia merindukan isterinya dan telah berusaha mencari isterinya itu. Sampai lama,
bertahun-tahun kemudian, baru ia mau menikah kembali atas bujukan saudara angkatnya,
yakni Liem Siang Hong ayah Liem Sian Lun.
Dan sekarang, setelah penghidupannya dengan keluarganya yang baru ini mulai bahagia, tibatiba
saja muncul Sui Giok yang dikira telah tewas itu dengan puterinya. Alangkah malang nasibnya,
alangkah hebat penderitaan ibu dan anak itu. Ia menyesal sekali mengapa Sui Giok dan Ling Ling
telah pergi. Hiburan satu-satunya hanya Kwee Cun, puteranya yang telah berusia delapan tahun itu. Kwee
Cun ternyata menjadi seorang anak laki-laki yang amat cerdik. Sukar bagi ibunya untuk
menyembunyikan sesuatu dari anak ini karena Kwee Cun memiliki kecerdikan dan keluasan
pandangan seperti orang dewasa.
"Ibu," katanya setelah berkali-kali menanyakan keadaan ayahnya tanpa mendapat jawaban
memuaskan dari ibunya, "bagaimanapun juga ibu hendak menyembunyikan dariku, aku tahu
Tembok Besar Karya Unknown di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bahwa tentu ada sesuatu yang menimpa diri ayah. Ia nampak begitu sedih. Ibu, ceritakanlah
kepadaku, ibu." "Cun-ji, kau masih kecil, tidak perlu mengetahui akan hal ini," kata ibunya sambil mengeluselus
kepala anak itu. "Ibu, kalau kau tidak mau menceritakan, aku akan selalu merasa sedih. Aku tidak mau belajar,
tidak makan, tidak mau bermain-main. Ayah berduka sedangkan aku tahupun tidak urusannya. Ibu
memperlakukan aku seperti orang luar saja."
Setiap hari Kwee Cun membujuk ibunya sehingga akhirnya ibunya merasa kewalahan dan
diceritakannyalah tentang Sui Giok dan Ling Ling. Anak itu mengerutkan kening dan kontan
berkata, "Ayah tidak bersalah !"
Ibunya hanya memeluknya sambil mengalirkan air mata.
"Cun-ji, jangan kau ikut-ikut. Kau masih kecil, nak, belum tahu perasaan hati orang tua. Mari kita
berdoa saja semoga ayahmu akan terhibur hatinya dan semoga ibu dan anak itu akhirnya akan
dapat tinggal bersama kita dalam keadaan yang rukun dan damai."
Kwee Cun memandang kepada ibunya dengan mata penuh kasih sayang, lalu katanya, "Ibu, kau
seorang yang berhati mulia."
Demikianlah, anak kecil ini dengan cara pikiran dan pertimbangannya sendiri, telah dapat
mengetahui keadaan ayahnya.
Pada hari itu, menjelang senja, datanglah Sian Lun dengan wajah pucat dan lesu.
"Engko Sian Lun datang ..... !" Kwee Cun berteriak berkali-kali dengan girang sekali. Sian Lun
mengangkat anak itu ke atas lalu menurunkannya kembali. Ia menganggap Kwee Cun seperti
adiknya sendiri. Ibunya, yakni nyonya Liem Siang Hong, yang semenjak Kwee Cun
lahir telah tinggal menjadi satu di gedung itu, menyambut kedatangan puteranya dengan
girang. "Lun-ji, pasukanmu telah lama tiba, mengapa baru sekarang kau datang " Kau membuat kami
merasa gelisah saja. Kemanakah kau pergi ?"
"Aku ..... aku mengurus sebuah hal yang penting, ibu. Mana Kwee siokhu ?" tanyanya
menyimpangkan pertanyaan ibunya itu.
"Di ruang belakang. Ah, Sian Lun, pamanmu itu akhir-akhir ini nampak selalu bersedih saja.
Jumpailah dia, siapa tahu kedatanganmu akan menghibur hatinya."
Sian Lun lalu menuju ke ruang belakang di mana ia disambut oleh pamannya dan bibinya.
"Kwee siokhu, aku membawa sebuah berita yang amat penting."
Melihat sikap pemuda itu, Kwee Siong lalu mengajaknya masuk ke dalam kamar kerja. Nyonya
Kwee yang maklum bahwa sebagai seorang wanita ia tidak berhak mencampuri urusan
pekerjaan suaminya. Ketika melihat Kwee Cun hendak ikut ayahnya ke dalam kamar kerja,
nyonya Kwee segera membetot tangannya dan mengajaknya ke belakang.
"Kau dan aku tidak boleh mengganggu ayahmu kalau sedang ada urusan pekerjaan," katanya.
"Mengapa tidak boleh ibu ?"
"Kita tidak dapat membantu, hanya akan merupakan gangguan saja. Kalau kakakmu Sian Lun ada
pembicaraan penting dengan ayahmu, tentu mereka itu membicarakan tentang pekerjaan dan
urusan negara." Akan tetapi sesungguhnya yang dibicarakan oleh dua orang itu sama sekali bukanlah urusan
negara. "Siokhu, mulai saat ini sampai malam nanti, harap siokhu sekeluarga jangan keluar dari
kamar dan biar aku menjaga di sini, di dekat siokhu sampai bahaya itu datang."
"Apa maksudmu, Sian Lun ?" tanya Kwee Siong terkejut.
"Siokhu, nanti akan ada orang yang datang dan berusaha menyerang untuk membunuh siokhu."
Pemuda ini sengaja tidak mau menyebut nama Ling Ling, agar orang tua ini jangan menjadi
kaget dan berduka. "Orang mau membunuhku " Siapakah dia dan bagaimana kau bisa tahu ?" Kwee Siong adalah
seorang yang telah lama melakukan pekerjaan sebagai hakim, maka mendengar tentang ada orang
hendak membunuhnya, bukan merupakan hal yang aneh karena tentu banyak penjahat merasa
dendam kepadanya. Dan karena kebiasaan memeriksa pesakitan, kali inipun ia telah mendesak
Sian Lun dengan pertanyaan-pertanyaan.
"Siokhu, tak perlu kiranya aku beritahukan siapa orangnya yang hendak melakukan hal itu. Tiada
gunanya siokhu mengetahui." Pemuda ini menundukkan mukanya. Ia tidak bisa membohong dan
juga bukan seorang ahli dalam memutar balikkan omongan, maka agar dapat
bersembunyi dari pandangan mata pamannya yang luar biasa tajamnya, ia menundukkan
mukanya. Berat sekali rasa hatinya untuk memberitahukan siapa orangnya yang hendak melakukan
perbuatan jahat ini. Ia tidak ingin orang lain, terutama sekali pamannya, tahu akan maksud
jahat dari Ling Ling. Ia hendak menghadapi gadis yang dicintanya itu sendiri, hendak berusaha sedapat mungkin untuk
mencegah gadis itu melanjutkan niatnya. Kalau perlu ia akan mengorbankan nyawanya.
Untuk membiarkan Ling Ling membunuh pamannya, tak mungkin dapat ia lakukan. Dan untuk
memberi keterangan sejelasnya kepada pamannya sehingga orang tua ini memandang rendah
dan marah kepada Ling Ling atau lalu bertindak untuk menghadapi gadis itu dengan kekerasan
sehingga Ling Ling akan mendapat bencana, juga tak dapat dilakukan olehnya. Ia menyinta dan
berbakti kepada pamannya yang dianggap sebagai ayah sendiri, akan tetapi iapun amat menyinta
Ling Ling. Hening sejenak, Kwee Siong menatap tajam sedangkan Sian Lun menunduk sambil menahan
napas. "Tentu dia yang akan datang, bukan " Dia .... gadis yang bernama Ling Ling dan dijuluki
orang Toat-beng Mo-li, gadis yang dulu hendak membunuh jenderal Li, bukan ?" tiba-tiba
Kwee Siong berkata. Serasa ambruk bangunan rumah di atas kepalanya ketika Sian Lun mendengar pertanyaan ini. Ia
cepat mengangkat kepala memandang pamannya dan melihat sinar mata itu menembus dadanya
dengan pandang menyelidik, ia tidak berani mencoba-coba untuk menyangkal lagi.
"Siokhu, bagaimana kau dapat menduga demikian tepat ?" tanyanya kagum.
Kwee Siong tersenyum pahit. Tentu saja ia dapat menduga. Kalau penjahat-penjahat biasa yang
hendak mengarah nyawanya, tentu Sian Lun takkan menyembunyikan namanya. Sui Giok dan
Ling Ling adalah orang-orang yang selama ini tidak pernah meninggalkan ingatannya, dan ia
maklum betapa gadis puterinya itu akan membencinya kalau mendengar dari ibunya betapa ia
adalah ayahnya yang seakan-akan telah menyia-nyiakan kehidupan ibunya.
"Sian Lun, mengapa kau menyembunyikan namanya dariku ?" Kwee Siong menjawab
pertanyaan pemuda itu dengan pertanyaan pula, pertanyaan yang dikeluarkan dengan suara
menuntut dan penuh selidik.
Berdebar jantung Sian Lun. Tentu saja tak mungkin baginya untuk berkata terus terang bahwa ia
menyinta gadis itu. Bahwa ia tidak ingin gadis itu tertangkap dan mendapat celaka, akan tetapi
bahwa iapun tidak ingin melihat gadis itu membunuh pamannya.
"Dia ..... dia .... adalah seorang dara perkasa, seorang pendekar wanita yang sudah berjasa,
yang sudah membantu perjuangan kita, siokhu. Aku hendak mencegahnya melakukan
perbuatan yang jahat ini. Siokhu, bolehkah aku mengetahui, mengapakah dia begitu benci
kepadamu " Mengapa dia begitu berkeras hati hendak membunuhmu ?"
Melihat wajah pemuda itu yang sedih dan ucapannya yang penuh penasaran dan kepedihan hati
itu, mata Kwee Siong yang tajam sudah dapat menduga lebih mendalam lagi.
"Sian Lun," katanya dengan lemah, "jangan kau menghalanginya. Biarkan ia datang dan aku
sendiri yang akan menghadapinya!"
"Siokhu ! Dia ..... dia hendak membunuhmu!"
"Biarlah! Jangan kau ikut campur, Sian Lun. Dengarkah kau" Ini satu perintah dariku, mengerti"
Jangan kau menghalangi dia dan biarkan dia turun menjumpaiku. Aku tidak mau dibantah oleh
siapapun juga dalam hal ini. Tak seorangpun boleh mencampuri urusan ini, juga kau sendiri
tidak!" "Siokhu! Akan tetapi aku ..... bukankah kau kuanggap ayah sendiri" Bukankah aku sama
dengan puteramu sendiri" Bagaimana aku dapat membiarkan orang mengancam
keselamatanmu?" Kwee Siong tersenyum sedih, "Kau tahu bahwa kau lebih dari putera sendiri bagiku. Bahkan aku
ingin sekali ..... mengambilmu sebagai mantuku!"
Bukan main herannya hati Sian Lun mendengar ini dan ia hendak bertanya, akan tetapi Kwee
Siong mendahuluinya dengan kata-kata tegas,
"Sian Lun, kau malam ini keluarlah dari rumah ini. Ajak ibumu bermalam di rumah Jenderal Li.
Biarkan aku sekeluargaku seorang diri di dalam gedung ini." Ketika pemuda itu memandangnya
dengan wajah pucat, ia menyambung cepat, "Anakku yang baik, percayalah kau kepadaku. Aku
hanya minta kau mentaati kata-kataku sekali ini. Jangan membantah, anakku .........."
Dua titik air mata terlompat keluar dari mata pemuda ini. Sebutan "anakku" membuatnya
merasa terharu sekali. Pamannya yang amat baik hati ini menghadapi bahaya maut, akan tetapi
ia bahkan diminta keluar dari situ bersama ibunya. Ia tahu bahwa Ling Ling bukanlah seorang
gadis yang boleh dibuat main-main.
Ancaman yang keluar dari mulut gadis seperti Ling Ling adalah ancaman yang timbul dari
dasar hatinya. Akan tetapi ia tidak berani membantah kehendak pamannya yang tegas-tegas
menyatakan bahwa ini adalah sebuah perintah, maka ia lalu mengajak ibunya keluar dari rumah
gedung itu dan bermalam di rumah Jenderal Li Goan.
****** Sesosok bayangan hitam yang gesit sekali melompat ke atas genteng rumah gedung Kwee
Siong. Bayangan ini bukan lain adalah Ling Ling yang datang dengan maksud membunuh
ayahnya sendiri. Ia merasa heran karena melihat keadaan di luar gedung dan di atas genteng
sunyi saja. Benar-benar di luar dugaannya semula.
Di manakah Sian Lun" Apakah pemuda yang mendahuluinya itu tidak melakukan penjagaan
untuk mencegahnya" Dan di mana pula para penjaga" Apakah Sian Lun telah memperingatkan
ayahnya dan keluarga itu telah pergi bersembunyi di lain tempat" Ah, kalau rumah itu telah
dikosongkan, tentu rumah itu merupakan perangkap baginya.
Akan tetapi Ling Ling tidak merasa takut sedikitpun juga. Ia menganggap bahwa niatnya ini
merupakan tugas terakhir. Biarlah ia tewas dalam melakukan tugas ini, karena apakah artinya
hidup baginya" Ibunya tidak ada, ayahnya hendak ia bunuh, dan Sian Lun ......ah, dia tidak mau
memikirkan pemuda itu dalam saat seperti itu.
Dengan amat ringannya ia melompat turun sambil mencabut pedang Oei-hong-kiam dari
pinggangnya. Ia masuk ke dalam ruangan yang terang dan sunyi. Masuk terus dengan tindakan
kaki ringan, makin ke dalam. Sebuah pintu yang menuju ke ruang belakang tertutup, maka
dibukanya perlahan. Matanya silau karena di ruang itu amat terang, banyak lilin dipasang di atas
meja. Untuk beberapa lama Ling Ling menggosok matanya agar tidak begitu silau. Ketika ia
membuka matanya, ia memandang ke depan dan ........ berdiri bengong seperti patung.
Kwee Siong dengan tenangnya duduk di atas sebuah kursi sambil memandangnya dengan mata
tajam, akan tetapi wajahnya muram dan berduka sekali. Seorang nyonya yang cantik duduk di
sebelahnya, menundukkan muka dan wajahnya nampak amat pucat. Seorang anak laki-laki yang
tadinya menangis sambil menyembunyikan mukanya di pangkuan ibunya, kini serentak bangun
berdiri, memandang kepada Ling Ling dengan matanya yang lebar dan bening.
"Ling Ling, kau baru datang, nak?" terdengar Kwee Siong berkata dengan suara seakan-akan
seorang ayah menegur puterinya yang baru kembali dari perjalanan jauh. "Sudah semenjak tadi
aku, ibu tirimu dan adikmu menanti kedatanganmu!"
Naik sedu sedan dari dada gadis itu menuju kerongkongannya, akan tetapi ia cepat menekan
perasaan keharuan ini dan membentak marah.
"Siapa anakmu" Kau orang jahat, manusia kejam berhati binatang. Kau telah membiarkan ibu
hidup sengsara sampai bertahun-tahun. Ibu hidup bagaikan seekor binatang buas di dalam hutan,
menjadi seorang yang dijuluki iblis wanita oleh orang lain. Semua karena kau! Lakilaki tidak tahu
kewajiban, kau masih berani menyebut aku sebagai anakmu?"
"Ling Ling, kau boleh memaki sesuka hatimu, akan tetapi katakanlah, mengapa ibumu tidak ikut
datang" Mana Sui Giok" Mana isteriku itu?"
Tak tertahan lagi air mata menitik keluar dari sepasang mata Ling Ling.
Kemudian ia mengangkat mukanya memandang wajah ayahnya dengan marah sekali. Dengan jari
telunjuk tangan kirinya ia menuding ke arah muka Kwee Siong sambil berkata keras,
"Manusia rendah! Kenapa tidak dulu-dulu kau menanyakan ibu dan mencarinya" Mengapa
sekarang setelah kau membunuh mati ibu, kau masih berpura-pura bertanya lagi?"
Muka yang sudah pucat dari pembesar itu kini menjadi makin pucat seperti mayat. Ucapan
Ling Ling itu benar-benar menusuk hatinya dan membuatnya terkejut sekali.
"Ling Ling!" ia bangun dari kursinya dengan kedua kaki menggigil. "Apa kau bilang " Mana
ibumu ... " Mana...... ?""
"Ibu telah mati, dan kau tidak berhak bertanya-tanya lagi!" seru gadis itu dengan ganas sambil
melangkah maju dengan pedang siap di tangan.
"Ya, Tuhan .....!" hanya itulah yang dapat diucapkan oleh Kwee Siong. Ia terjatuh kembali ke atas
kursinya dan menutupi mukanya dengan kedua tangannya. "Sui Giok ..... Sui Giok
.......bagaimana dia mati ....." Bagaimana" Ling Ling, katakanlah, bagaimana ibumu bisa mati
.....?" "Tutup mulutmu yang palsu!" bentak gadis itu makin marah. "Aku tidak kasihan kepadamu,
seperti kau tidak kasihan kepada ibuku. Jangan pura-pura berduka atas kematian ibuku, karena
sekarang aku datang hendak memaksa kau mati menyusul ibuku. Biar kau bisa bertemu dan
minta ampun kepadanya!"
"Bunuhlah! Bunuhlah .... ini dadaku, siapa takut mati" Aku akan merasa girang sekali dapat
menyusul Sui Giok, aku merasa berdosa kepadanya, hanya .... hanya aku merasa sayang sekali
mengapa puteriku, puteri Sui Giok akan menjadi seorang anak durhaka yang membunuh ayah
sendiri." Lemaslah tangan Ling Ling mendengar ini, akan tetapi kekerasan hatinya membuat ia
melompat maju dan mengangkat pedangnya, siap ditusukkan ke dada ayahnya. Akan tetapi,
tiba-tiba terdengar jerit mengerikan dan nyonya Kwee melompat maju, menghadang di
depannya. "Nona, suamiku tidak bersalah. Ayahmu tidak bersalah terhadap ibumu. Ketika ia
mengawiniku, dia sudah putus asa dan menganggap bahwa ibumu telah meninggal dunia.
Telah banyak usahanya untuk mencari ibumu, akan tetapi sia-sia. Jangan bunuh padanya,
nona, bunuhlah aku kalau kau merasa bahwa aku yang merusak kehidupan ibumu!" Dan
nyonya ini lalu menangis terisak-isak, berlutut di depan Ling Ling.
Tiba-tiba Kwee Cun berteriak marah. "Tidak, ibu, tidak! Nona ini tidak boleh membunuhmu!" Ia
lalu menghampiri Ling Ling dengan sikap mengancam, kedua tangannya yang kecil terkepal. "Kau
..... kau ganas dan kejam! Kau orang durhaka, mau membunuh ayah sendiri" Kupukul kau!" Dan
anak kecil itu lalu menyerang Ling Ling dengan kedua tangannya memukul.
Ling Ling tertegun melihat ini semua. Sebetulnya ia tidak tega untuk membunuh ayahnya,
untuk melukai orang tua yang sama sekali tidak nampak jahat dan kejam ini. Ia tadi telah
tertusuk oleh sikap dan kata-kata ayahnya, yang ternyata seorang laki-laki gagah dan
budiman. Ketika nyonya itu menangis dan bermohon kepadanya, ia sudah merasa makin lemah
semangatnya. Bagaimana ia bisa membunuh ayah sendiri dan membuat nyonya itu serta
puteranya menjadi janda"
Kini melihat sikap Kwee Cun, ia makin pucat dan tak terasa pula ia melangkah mundur tiga
tindak. Sebagai seorang yang mempelajari ilmu silat dan menjunjung tinggi kegagahan, sikap dan
keberanian anak ini membela ibunya telah membuat Ling Ling kagum sekali.
Ia tidak tahu harus menangis atau tersenyum. Sedih dan girang tercampur aduk menjadi satu.
Sedih mengingat nasib ibunya, dan girang mendapat kenyataan bahwa ayahnya dan isteri serta
puteranya yang baru ternyata adalah orang-orang yang patut dipuji.
Kenyataan bahwa ayahnya seorang laki-laki gagah membuatnya bangga. Kalau seandainya
ayahnya berlutut dan meminta-minta ampun, mungkin akan dilanjutkan niatnya
membunuhnya. Akan tetapi ayahnya bahkan menantang, memberikan dadanya.
"Nona insyaflah akan kesesatanmu!" terdengar nyonya itu berkata di antara tangisnya. "Tidak ada
kedosaan yang lebih besar daripada membunuh ayah sendiri. Menyakiti hatinya saja sudah
merupakan perbuatan terkutuk, apalagi membunuhnya. Aku bersumpah, ketika ayahmu melihat
kau dan ibumu masih hidup, tidak ada pengharapan yang lebih besar dalam hati ayahmu, dalam
hatiku dan dalam hati adikmu yang masih kecil ini, melainkan melihat kau dan ibumu tinggal di
sini bersama kami, hidup sebagai keluarga yang besar dan penuh damai. Sekarang ..... kalau
benar-benar ibumu telah meninggal dunia, kuminta kepadamu, tinggallah di sini. Jadilah anakku,
anak ayahmu, enci adikmu ini ..... Ling Ling, pergunakanlah kesadaranmu ...... "
Kembali Ling Ling tertegun. Akan tetapi sambil mengeraskan hatinya, ia berkata, "Kau kira akan
dapat membujukku dengan omongan manis. Kau tidak tahu betapa rasanya kehilangan ibu.
Biarlah anakmu yang akan merasakan betapa sengsaranya hati seorang anak terpisah dari
ibunya." Setelah berkata demikian, secepat kilat Ling Ling menyambar tubuh Kwee Cun,
dipondongnya dan dibawanya melompat keluar, menghilang di dalam gelap.
Bab 19..... "Cun-ji ........ !" nyonya itu berteriak-teriak sambil menangis, "Ling Ling ..... kasihanilah dia,
kembalikan anakku ...."
Akan tetapi Kwee Siong segera memegang tangan isterinya yang hendak berlari mengejar.
"Sabarlah, tenanglah! Aku tidak percaya bahwa Ling Ling akan mencelakakan Cun-ji. Dia
pasti akan kembali membawa Cun-ji dengan selamat. Percayalah kepadaku."
Nyonya itu lalu menubruk dan menangis di dada suaminya.
****** Pada keesokkan harinya, pagi-pagi sekali Sian Lun sudah masuk ke dalam gedung keluarga
Kwee. Ibunya masih berada di rumah Jenderal Li Goan. Wajah pemuda ini muram dan pucat
penuh kekhawatiran. Semalam suntuk ia tidak pernah tidur sedikitpun juga, penuh kegelisahan memikirkan keadaan
pamannya dan juga memikirkan keadaan Ling Ling. Bagaimana kalau gadis itu membunuh Kwee
siokhu, pikirnya. Ah, kalau hal itu terjadi, akan hancurlah dunianya. Ia harus mencari gadis itu dan
membunuhnya, mungkin untuk mati bersama. Apa gunanya hidup lagi baginya"
Akan tetapi ketika ia masuk ke ruang belakang, didapati paman dan bibinya masih duduk di atas
kursi. Ia tidak tahu bahwa mereka itu duduk di situ semalaman, sama sekali tak pernah tidur
seperti dia sendiri. Sian Lun menarik napas lega, merasa seakan-akan batu besar yang
semalaman menindih isi dadanya kini terangkat, membangkitkan sedu sedan yang mengumpul
di kerongkongannya. "Siokhu ..... " katanya sambil bertindak perlahan menghampiri kedua orang tua itu.
"Sian Lun, kau sudah datang?" kata Kwee Siong sambil tersenyum. Ada sesuatu tersembunyi
dibalik senyum ini, pikir Sian Lun. Pasti ada apa-apa terjadi malam tadi.
"Syukur siokhu selamat," katanya tanpa berani menyebut-nyebut tentang datang tidaknya
Ling Ling.
Tembok Besar Karya Unknown di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ia datang," kata pamannya.
"Dan ia membawa Cun-ji," sambung bibinya dengan bibir gemetar menahan tangis.
Terkejutlah Sian Lun mendengar ini. "Ling Ling datang dan menculik adik Cun?" tanyanya tak
sadar menyebut nama gadis itu.
Pamannya mengangguk sunyi.
Marahlah Sian Lun. Kelegaan hatinya terganti kekhawatiran dan penyesalan. Ling Ling
terlalu sekali, pikirnya.
"Aku akan menyusul dan membawa pulang adik Cun!" katanya dan sebelum dua orang tua itu
dapat menjawab, tubuhnya sudah melesat keluar dari gedung itu. Ia maklum ke mana harus
mencari Ling Ling Kemana lagi kalau tidak di kelenteng dalam hutan, di luar kota Tiang-an itu"
Matahari telah naik tinggi ketika Sian Lun tiba di kelenteng itu. Peluh membasahi jidat dan
lehernya karena ia telah berlari cepat tiada hentinya dari kota. Di depan kelenteng itu sunyi
saja. Apakah gadis itu tidak membawa Kwee Cun ke sini" Ia mulai gelisah dan cepat melompat
masuk ke dalam kelenteng.
Kosong! Ia terus keluar dari pintu belakang dan tiba-tiba ia berdiri bagaikan patung.
Kerongkongannya terasa kering, penuh oleh hawa yang naik dari dalam dadanya. Hampir ia
tidak percaya akan apa yang dilihatnya.
Ling Ling sedang duduk di atas rumput bersama Kwee Cun. Mereka tertawa-tawa. Terdengar
anak laki-laki itu bicara gembira, seakan-akan sedang menceritakan sesuatu, kadang-kadang
diseling oleh suara ketawanya yang bersih.
Adapun Ling Ling mendengarkan sambil memegang pundak anak itu, juga gadis ini terdengar
tertawa-tawa dengan geli dan gembira. Terdengar oleh Sian Lun bagaimana anak itu menyebut
Ling Ling dengan sebutan "enci Ling" yang mesra sekali, dan terlihat olehnya betapa seringkali
tangan Ling Ling mengelus-elus kepala anak itu dengan penuh kasih sayang.
Sian Lun tidak dapat menggerakkan kedua kakinya. Ia demikian terpesona oleh pemandangan ini
sehingga tidak tahu harus berkata apa dan melakukan apa. Pada saat itu, kebetulan sekali Kwee
Cun menengok dan begitu melihat pemuda ini, anak itu lalu melonjak girang.
"Sian Lun-ko ..... !! ia berlari-lari menyambut pemuda itu, memegang tangannya dan menariknya
ke tempat Ling Ling yang sudah berdiri dan memandang kepada Sian Lun dengan wajah
kemerah-merahan, nampaknya malu
"Engko Sian Lun, baik sekali kau datang. Kuperkenalkan kepada enciku Ling Ling !" kata Kwee
Cun dengan girang sekali, kemudian ia berkata kepada Ling Ling setelah kedua orang muda itu
berhadapan. "Enci Ling, inilah engko Sian Lun yang seringkali kautanyakan tadi! Lun-ko, ini adalah
enciku yang cantik dan gagah, namanya Ling Ling!"
Akan tetapi kedua orang muda itu seakan-akan tidak mendengar ucapan anak itu. Keduanya
berdiri saling pandang dan sinar mata mereka bicara dengan seribu satu bahasa yang tidak
terdengar atau dimengerti orang lain kecuali mereka berdua sendiri.
Ucapan Kwee Cun itu sebenarnya sudah patut kalau menjadikan pemuda itu terheran, karena
bagaimanakah tiba-tiba Kwee Cun mengaku gadis ini sebagai encinya " Akan tetapi hanya satu
saja arti yang tertangkap oleh Sian Lun, yakni bahwa gadis itu banyak bertanya kepada anak itu
tentang dia. "Cun-te, benarkah encimu ini banyak bertanya tentang aku?"
"Benar, engko Sian Lun, dia bertanya tentang kepandaianmu, tentang pekerjaanmu, dan
apakah engkau sudah menikah atau belum ........"
"Hush, tutup mulutmu, Kwee Cun!" Ling Ling membentak dengan muka merah, akan tetapi
agaknya Kwee Cun sudah biasa bermain-main dengan gadis itu, buktinya ia tahu bahwa encinya
itu tidak marah maka ia hanya tertawa-tawa gembira.
Keduanya merasa malu-malu dan jengah sehingga tidak berani saling memandang. Bahkan
Sian Lun yang merasa terharu, girang, dan terheran tak dapat mengeluarkan kata-kata terhadap
gadis itu. "Cun-te," akhirnya ia berkata kepada anak itu, "hayo pulang dengan aku. Ayah bundamu
menanti-nanti di rumah."
"Tidak, aku tidak mau pulang. Aku tidak akan pulang kalau tidak bersama enci Ling!" jawab anak
itu sambil memandang Ling Ling, seakan-akan ia sudah berjanji dengan itu, yang segera
memeluknya, tanda girang hati.
Sian Lun benar-benar merasa heran sekali. "Nona, kalau begitu, mengapa kau tidak membawa
adik Cun pulang .... ?"
"Liem-ciangkun, kau pulanglah sendiri. Aku dan adik Cun belum ingin ..... pulang."
Sian Lun hendak membantah, akan tetapi Kwee Cun yang nakal itu berkata, "Pulanglah Lunko.
Kalau kau membantah, enciku akan marah dan kalau dia marah kepadamu, aku takkan berani
tanggung jawab. Kalau ayah yang datang, barulah enci mau pulang ....."
"Hus, Kwee Cun ......" kembali Ling Ling membentak adiknya.
Akan tetapi kata-kata itu sudah cukup bagi Sian Lun. Ia hampir berjingkrak dan menari-nari
saking girangnya. Sungguhpun sampai pada saat itu ia masih belum mimpi bahwa gadis ini
adalah puteri Kwee Siong sendiri, namun jelas baginya bahwa Ling Ling tidak marah lagi
kepada pamannya. Tanpa banyak cakap lagi, ia membalikkan tubuh dan berlari cepat meninggalkan tempat itu.
Kembali ia berlari tiada hentinya ke Tiang-an, akan tetapi kali ini ia berlari cepat dengan hati
girang, tidak seperti tadi ketika meninggalkan Tiang-an, ia berlari cepat dengan hati gelisah.
Kwee Siong mendengarkan penuturan Sian Lun dengan mata basah dan kemudian dua titik air
mata mengalir turun di sepanjang pipinya. Muka yang tadinya pucat itu perlahan-lahan menjadi
merah kembali dan akhirnya ia memeluk isterinya yang sementara itu menangis di dekatnya, lalu
berkata perlahan, "Apa kataku" Tepat seperti yang kuduga!" Dan isterinya hanya dapat menangis di antara
senyumnya. Sian Lun benar-benar tidak mengerti dan memandang dengan melongo. Lebih-lebih ia merasa
heran ketika pamannya berkata,
"Sian Lun, kuulangi lagi kata-kataku bahwa kau patut menjadi mantuku."
Ia menoleh kepada isterinya yang sudah duduk di atas kursi dengan wajah berseri, lalu
berkata, "Bukankah sudah cocok sekali Sian Lun menjadi jodoh anak kita?"
"Cocok sekali, dan aku akan senang sekali, melihat Sian Lun sebagai mantuku!"
Sian Lun memandang dengan bengong. Apakah kedua orang tua ini sudah gila" Mereka
hanya mempunyai seorang putera, bagaimana bisa mengambil mantu padanya"
Tiba-tiba ia teringat kepada Ling Ling. Apakah gadis itu puteri pamannya" Tak mungkin, akan
tetapi ...... ia teringat bahwa suhunya, Liang Gi Cinjin juga menyatakan bahwa ia cocok sekali
menjadi jodoh Toat-beng Mo-li. Usul suhunya ini lebih cocok baginya, karena yang dimaksudkan
oleh suhunya sudah jelas, tentu Ling Ling yang juga ternyata adalah gadis yang membawa
pedang suhunya, Pek-hong-kiam.
Akan tetapi puteri pamannya" Bagaimana kalau bukan Ling Ling" Agaknya tidak mungkin
kalau Ling Ling, karena bukankah gadis itu tadinya hendak membunuh pamannya ini"
"Maaf, siokhu. Akan tetapi .... aku .... aku sudah dijodohkan oleh suhu kepada seorang gadis lain
...." Kwee Siong nampak terkejut. "Apa ...." Mana bisa jadi" Kau tidak boleh menikah dengan gadis
lain, kecuali dengan puteriku sendiri! Kebetulan suhumu berada di sini, aku bicarakan hal ini
dengan dia." "Suhu berada di sini, siokhu" Di mana dia ....?"
"Ya, suhumu, Liang Gi Cinjin baru saja datang dan sekarang masih berada di rumah Ligoanswe." Baru saja sampai di sini percakapan mereka datanglah penjaga yang melaporkan bahwa Jenderal
Li Goan dan Liang Gi Cinjin sudah datang. Tergesa-gesa Kwee Siong dan Sian Lun menyambut.
Pemuda ini segera memberi hormat kepada suhunya yang tertawa bergelak melihat Sian Lun.
"Aku mendengar dari Li-goanswe bahwa kau telah bertempur melawan Liang Hwat Cinjin
suhengku" Ah, Sian Lun, masih untung kau dapat terlepas dari tangannya yang ganas."
Kemudian kakek berilmu ini lalu menuturkan sambil menarik napas panjang betapa suhengnya itu
semenjak dulu telah menyeleweng dan berkali-kali melakukan pelanggaran. "Aku sendiri tentu
sudah lama ia celakakan, kalau saja aku tidak mempunyai semacam ilmu yang dapat mengimbangi
dan melawan ilmu yang ia andalkan, yakni Kim-kong-kiu yang lihai itu. Ia seringkali mengganggu
dan mengejek tentang Pek-sim-kauw."
"Ah, kalau saja teecu sudah mempelajari ilmu yang suhu maksudkan itu, tentu teecu takkan
terdesak hebat." Ia lalu menuturkan lagi dengan jelas, betapa tadinya ia tidak berani melawan
supeknya itu, akan tetapi betapa ia didesak sehingga akhirnya ia melawan juga. Tentu saja ia
merasa malu menuturkan bahwa sesungguhnya karena ingin melindungi Ling Ling saja maka ia
memberanikan diri menghadapi supeknya.
"Itulah kalau orang masih belum banyak pengalaman," mencela suhunya. "Padahal kalau
melihat kepandaianmu, kau takkan kalah olehnya.
Hanya kau tidak tahu bagaimana harus menghadapi Kim-kong-jiu, bukan dengan ilmu silat lain,
muridku, akan tetapi kau harus selalu menghadapinya dengan gerakan rendah. Ketahuilah bahwa
tenaga Kim-kong-jiu yang dimainkan oleh sepasang ujung lengan bajunya itu hanya berbahaya
bagi tubuh bagian atas saja dan selalu dipergunakan untuk menyerang dari pinggang ke atas.
Kalau kau main dengan gerakan rendah, akan kacaulah permainan Kim-kong-jiu."
Girang sekali hati Sian Lun mendengar ini. Pada saat ia bicara dengan suhunya, ia melihat
pamannya sedang asyik bicara dengan Li-goanswe, dan tiba-tiba terdengar suara Li-goanswe.
"Saudara Kwee Siong mempunyai keperluan penting sekali untuk menjemput anaknya, marilah
kita beramai mengantarnya. Juga harap losuhu suka pula mengantarnya. Urusan lain boleh
ditunda, karena urusan ini benar-benar amat pentingnya dan baru saja sekarang kudengar!"
Wajah Jenderal itu nampak berseri-seri dan gembira sekali, seakan-akan ia baru saja
mendengar berita yang amat menggembirakan hatinya, Memang, sesungguhnya baru tadi
Jenderal ini mendengar dari Kwee Siong bahwa sebetulnya Toat-beng Mo-li adalah puterinya
sendiri. Kuda yang kuat lalu disediakan, empat ekor jumlahnya. Tak lama kemudian, Kwee Siong,
Jenderal Li, Sian Lun, dan Liang Gi Cinjin lalu beramai-ramai berangkat dengan cepatnya
menuju ke hutan di mana baru saja Sian Lun meninggalkan Ling Ling dan Kwee Cun.
Matahari telah mulai condong ke barat ketika empat orang ini tiba di tempat yang dituju. Tidak
seperti tadi ketika Sian Lun datang seorang diri, di depan kelenteng itu tidak sunyi, bahkan begitu
mereka tiba semua menjadi terkejut melihat Ling Ling sedang bertempur hebat sekali melawan
seorang kakek. Kwee Cun anak nakal itu berdiri menonton sambil memakimaki keras,
"Kakek tua bangka kurang ajar ! Jangan serang enciku!"
"Liang Hwat Cinjin!" berkata Sian Lun.
"Benar, dia adalah suhengku," berkata pula Liang Gi Cinjin. "Benar-benar tak tahu diri,
menyerang seorang gadis muda."
Pertempuran itu hebat sekali. Pedang Oei-hong-kiam di tangan Ling Ling berkelebatan
mengeluarkan cahaya kuning sehingga Jenderal Li Goan menjadi kagum sekali. Ia sudah
mendengar dari Sian Lun akan penukaran pedang itu dan iapun tidak merasa keberatan, bahkan
ia menyatakan bahwa kalau memang gadis itu keturunan atau ahli waris ilmu pedang dari
Panglima Kam Kok Han, sudah sepatutnya pedang itu diberikan kepadanya.
Akan tetapi jelaslah bahwa Ling Ling terdesak hebat oleh ilmu silat Kim-kong-jiu yang
dilancarkan oleh sepasang lengan baju Liang Hwat Cinjin dengan hebatnya.
Melihat rombongan orang yang datang, Liang Hwat Cinjin melompat keluar dari kalangan
pertempuran. Ketika ia melihat Liang Gi Cinjin, ia tertawa menyindir dan membentak,
"Liang Gi, bagus sekali perbuatanmu! Muridmu itu telah berani melawan aku. Sudah
demikian jauhkah kekurang-ajaranmu terhadap saudara tua?"
Liang Gi Cinjin memberi hormat dan menundukkan kepalanya.
"Suheng, kau sendirilah yang mencari penyakit, tidak dapat menjaga diri sehingga yang
muda-muda berani menentangmu."
"Bangsat kurang ajar!" bentak Liang Hwat Cinjin hendak menyerang adik seperguruannya,
akan tetapi Ling Ling membentak marah dan kembali gadis ini telah menyerangnya.
"Gadis liar, aku harus bunuh dulu padamu!" seru kakek itu dan sebuah kebutan hebat sekali
dengan ujung lengan baju kanannya membuat Ling Ling terhuyung-huyung mundur. Bukan
main hebatnya tenaga kebutan ini sehingga gadis itu tidak kuat menahannya dan kedudukan
kuda-kudanya tergempur hebat. Liang Hwat Cinjin hendak mendesak, akan tetapi tiba-tiba Sian
Lun membentak, "Jangan kau mengganggu Ling Ling!" Pedang Pek-hong-kiam ditangan berkelebat merupakan
gulungan sinar putih dan cepat menyambar dan menyerang ke arah paha Liang Hwat Cinjin.
Pemuda ini teringat akan nasehat suhunya, maka kini ia menyerang dengan merendah dan
menujukan pedangnya ke bagian bawah dari kakek itu.
Bukan main marahnya Liang Hwat Cinjin, "Bagus, kaupun sudah bosan hidup?" Sebentar saja,
seperti juga dulu, kakek ini telah dikeroyok oleh Ling Ling dan Sian Lun. Gerakan pedang
sepasang orang muda itu benar-benar hebat sehingga semua orang yang menonoton
pertempuran itu, termasuk Jenderal Li Goan, menjadi kagum sekali.
Gerakan Ling Ling ganas dan cepat karena gadis ini yang menganggap Liang Hwat Cinjin
sebagai musuh besarnya, pembunuh Kam Kok Han, melakukan serangan-serangan maut,
sedangkan Sian Lun melakukan taktik serangan bawah yang benar saja membuat kakek itu
menjadi kacau balau gerakannya.
Sepasang lengan baju itu kalau dimainkan dengan tenaga Kim-kong-jiu dan diputar di bagian
atas, merupakan sepasang senjata yang dahsyat sekali. Akan tetapi kalau kini terbagi harus
mempertahankan bawah tubuh yang terbuka, maka daya serangnya menjadi banyak berkurang.
Betapapun juga, sampai seratus jurus belum juga kedua orang muda itu dapat merobohkannya.
Ling Ling menjadi penasaran sekali dan cepat ia mengubah gerakan pedangnya. Kini ia bersilat
dengan ilmu pedang bagian terakhir dari Kim-gan-liong Kiam-sut, bagian yang amat sukar
dimainkan, akan tetapi amat berbahaya sehingga jarang sekali dikeluarkan oleh Ling Ling dalam
pertempuran. Benar saja, kali ini Liang Hwat Cinjin merasa terkejut sekali. Gulungan sinar pedang kekuningan
itu seakan-akan berpencar menjadi dua yang mengurungnya dari atas dan bawah.
Liang Hwat Cinjin biarpun amat tangguh, namun ia sudah tua sekali dan pertempuran yang amat
lama ini membuatnya lelah, dan tenaga serta kegesitannya banyak berkurang. Serangan yang
hebat ini, ditambah pula oleh serangan-serangan Sian Lun yang tak kalah berbahayanya, membuat
ia tak sanggup menangkis pula.
Ujung pedang Oey-hong-kiam menusuk pahanya dan berbareng dengan itu, ujung lengan
bajunya sebelah kanan juga terbabat putus oleh Pek-hong-kiam. Ia menjerit dan roboh di atas
tanah. Ling Ling mengangkat pedangnya dan hendak memberi tusukan terakhir, akan tetapi tiba-tiba
Liang Gi Cinjin berseru keras,
"Nona, jangan bunuh dia!"
Ling Ling menahan tusukannya, menghadapi Liang Gi Cinjin dan berkata,
"Totiang, dia ini adalah musuh besarku. Dialah yang telah membunuh sucouw Kam Kok
Han!" Liang Gi Cinjin menggeleng-geleng kepalanya. "Dia bohong, nona. Bukan dia yang membunuh
Panglima Kam Kok Han, akan tetapi seorang jenderal she Gui yang sudah lama meninggal
dunia. Suheng, mengapa kau tidak mau memberi penjelasan?"
Akan tetapi Liang Hwat Cinjin yang kini sudah dapat duduk dengan paha berlumur darah,
tersenyum dan berkata, "Hayo lekas bunuh aku! Aku sudah kalah oleh dua orang muda,
sungguh memalukan. Tidak lekas menghabisi nyawaku mau tunggu apa lagi?"
"Liang Hwat Suheng, bukalah matamu baik-baik. Kau berhadapan dengan calon Kaisar,
apakah kau masih bersikap jahat dan keras kepala" Inilah Jenderal Li Goan yang gagah
perkasa, yang telah membebaskan kesengsaraan rakyat dari tindasan pemerintahan Sui.
Apakah kau tidak tunduk?"
Liang Gi Cinjin maklum akan watak suhengnya ini. Betapapun jahatnya, Liang Hwat Cinjin
adalah seorang yang berjiwa patriot. Sudah berkali-kali tosu ini dahulu mencoba untuk
membunuh kaisar, akan tetapi selalu gagal.
Bahkan, yang membunuh Jenderal she Gui, pembunuh dari Kam Kok Han, adalah Liang Hwat
Cinjin sendiri. Hal ini baru diketahui oleh Ling Ling dan Sian Lun setelah mereka kelak
mendengar penuturan Liang Gi Cinjin.
Liang Hwat Cinjin mendengar ucapan sutenya itu, lalu memandang kepada Jenderal Li Goan
yang sudah menghampirinya. Jenderal ini memandangnya dengan tersenyum dan berkata,
"Liang Hwat Totiang, lupakah kau kepadaku" Lupakah kau ketika kita bahu membahu
menghadapi serbuan tentara dari Mongol dahulu?"
Terbelalak mata Liang Hwat Cinjin. Tentu saja ia teringat kepada jenderal ini, yang amat
dikagumi dan dipujinya. Saking menyesalnya atas kesesatannya sendiri dan saking terharunya
melihat jenderal itu berhasil menumbangkan kekuasaan kaisar, tiba-tiba Liang Hwat Cinjin lalu
menangis. "Biarlah pinto pergi bersama suheng, karena kami berdua sudah terlalu tua untuk mencampuri
urusan dunia. Sian Lun, aku telah meninggalkan urusan Pek-sim-kauw kepada seorang murid, dan
kau supaya suka membantu pergerakan perkumpulan itu. Dan sekali lagi aku usulkan
perjodohanmu dengan Toat-beng Mo-li. Nona, biarlah aku mempergunakan kesempatan ini untuk
menjadi comblang melamarmu untuk menjadi jodoh muridku. Bagaimana jawabanmu?"
Akan tetapi, Ling Ling tidak menjawab, hanya memandang kepada Kwee Siong yang
semenjak tadi juga sedang memandangnya dengan mata basah.
"Ling Ling ......" bisiknya.
"Ayah ....!" Ling Ling menubruk kaki ayahnya sambil menangis tersedu-sedu. Kwee Cun juga lari
kepadanya dan memeluk encinya sambil menangis penuh bahagia.
Hanya Jenderal Li Goan saja yang tidak terkejut melihat pemandangan ini karena ia telah
mendengar dari Kwee Siong. Yang paling merasa aneh sehingga berdiri melongo seperti
patung adalah Sian Lun. Ia merasa seakan-akan sedang mimpi.
Adapun Ling Ling yang merasa betapa ia tadi belum menjawab pinangan dan pertanyaan
Liang Gi Cinjin, lalu berpaling kepada kakek itu dan berkata perlahan, "Totiang, aku
menyerahkan segala hal kepada ayahku."
Bukan main girangnya hati Kwee Siong, ia mengelus-elus kepala puterinya dan berkata, "Ling
Ling ...... anak baik ....." dan di dalam tangisnya ia berkata kepada ketua dari Pek-simkauw itu,
"Totiang, sudah lama sekali aku telah tunangkan puteriku ini kepada keponakanku, Liem Sian
Lun. Maka usulmu tadi hanya merupakan pengesahan belaka dari pertunangan mereka."
"Bagaimana, Sian Lun?" Liang Gi Cinjin menggoda muridnya yang masih berdiri seperti
patung. Merah wajah pemuda ini, merah karena malu dan girang. Ia cepat menjatuhkan diri
berlutut dan berkata, "Teecu hanya menerima titah dan .... dan ... berterima kasih."
Sambil tertawa-tawa Liang Gi Cinjin lalu membawa suhengnya, yang digandeng dan setengah
diangkatnya, pergi dari tempat itu. Adapun Kwee Siong lalu duduk di atas rumput dikelilingi oleh
Jenderal Li, Sian Lun, Ling Ling, dan Kwee Cun.
Dia menceritakan tentang pengalamannya yang dulu, mengenai riwayat hidupnya betapa ia
terpisah dari Sui Giok, isterinya. Mereka bergembira, pertemuan yang amat mengharukan.
Tembok Besar Karya Unknown di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pertemuan antara air mata dan tawa, karena disamping kegembiraan, Kwee Siong juga berduka
mendengar tentang tewasnya isterinya, Sui Giok yang bernasib malang.
"Ia gugur sebagai seorang puteri tanah air yang gagah perkasa, mengapa terlalu disedihkan?" kata
Jenderal Li Goan. "Mati sebagai seorang patriot yang gagah adalah kematian terhormat, yang
patut dibanggakan oleh anak cucu, karena biarpun andaikata namanya akan terlupakan orang,
namun darah yang mengalir dari tubuhnya telah menyuburkan tanah air, telah mencuci rakyat
jelata bersih daripada penindasan dan penghisapan kejam."
Demikianlah, ramai-ramai mereka lalu kembali ke Tiang-an dan tentu saja dapat diduga
bahwa di antara mereka, yang merasa paling bahagia adalah Ling Ling dan Sian Lun.
Sungguhpun keduanya tidak berani membuka mulut saking jengah dan malu digoda terusterusan oleh Kwee Cun, namun senyum dan kerling mereka telah bicara banyak.
****** Demikianlah cerita ini ditutup dengan catatan bahwa setelah semua sisa-sisa pengikut kaisar
Yang-te dapat dihancurkan, dibunuh atau ditawan, sebagian besar menyerah, maka dalam tahun
619 atas pilihan semua pembesar yang berpengaruh, Jenderal Li Goan naik tahta kerajaan
dengan megahnya. Semenjak saat dia menduduki tahta kaisar inilah maka di Tiongkok dimulai
dinasti kerajaan Tang yang akan menjadi sebuah kerajaan yang jaya dan kuat.
Kwee Siong tetap menjabat pangkat tinggi dan selalu menjadi penasehatnya, adapun Liem Sian
Lun diangkat menjadi panglima muda yang gagah dan banyak berjasa dalam penindasan
kaum pemberontak yang dihasut oleh sisa-sisa orang yang masih bersetia kepada kerajaan Sui
yang sudah musnah. Hampir berbareng dengan pengangkatannya, yakni beberapa saat setelah penobatan Jenderal Li
Goan sebagai Kaisar pemerintah Tang, dilangsungkan pernikahan antara Sian Lun dan Ling
Ling, pesta pertama dalam kota raja yang baru sehingga amat menggembirakan penduduk di ibu
kota. T A M A T Harimau Mendekam Naga Sembunyi 19 Tembang Yang Tertunda Karya Mira W Harimau Mendekam Naga Sembunyi 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama