Ceritasilat Novel Online

Menuju Negeri Antah Berantah 2

Menuju Negeri Antah Berantah Destination Unknown Karya Agatha Christie Bagian 2


ya, omong-omong nama saya Baker, Nyonya Calvin baker."
Hilary menanggapi perkenalan itu, sedang Nyonya Baker langsung melanjutkan
pembicaraan yang dengan mulusnya dia monopoli.
"Saya baru datang dari Mogador dan Nona Hetherington dari Tangier. Kami
berkenalan di sini. Anda akan mengunjungi Marrakesh, Nyonya betterton?"
"Sebetulnya saya punya rencana ke sana," kata Hilary. "Tapi tentu saja gara-gara
kecelakaan ini, jadwal saya jadi kacau."
"Ya, ya, itu bisa dipahami. Tapi jangan sampai Marrakesh Anda lewatkan lho.
Begitu juga kan pendapat anda, Nona Hetherington?"
"Marrakesh itu bukan main mahalnya,", kata Nona Hetherington. "Uang saku yang
pas-pasan membuat segalanya jadi sulit."
"Ada hotel bagus di sana, Mamounia," Nyonya Baker melanjutkan.
"Mahalnya keterlaluan," kata Nona Hetherington. "Tak terjangkau oleh saya. Tentu
saja lain untuk Anda, Nyonya Baker-dolar, maksud saya. Tapi ada orang
memberikan nama sebuah hotel kecil di sana, amat menyenangkan dan bersih.
Makanannya pun, kata mereka, sama sekali tidak jelek."
"Ke mana lagi rencananya Anda akan pergi, Nyonya Betterton?" tanya Nyonya Calvin
Baker. "Saya ingin melihat Fez," sahut Hilary hati-hati. "Saya harus memesan tempat
lagi tentunya." "Oh, ya, Anda jangan sampai melewatkan Fez atau Rabat."
"Sudah pernah ke sana?"
"Belum. Rencananya tak lama lagi akan ke sana, Nona Hetherington juga."
"Saya percaya kota tua itu masih seperti aslinya," kata Nona Hetherington.
Beberapa lama mereka mengobrol ke sana kemari. Kemudian Hilary mengaku
lelah karena baru keluar dari rumah sakit. Dia naik ke kamar tidurnya.
Sampai sejauh ini malam lewat tanpa sesuatu yang pasti. Kedua wanita yang baru
saja mengobrol dengannya, begitu khas tipe pelancong, sehingga sulit dia
membayangkan bahwa mereka itu bukan seperti nampaknya.
Besok, dia memutuskan, jika dia tak menerima pesan atau jenis komunikasi lain,
dia akan pergi ke Cooks dan menanyakan pesanan tempat baru di Fez dan
Marrakesh. Keesokan paginya tetap tak ada surat, pesan maupun telepon. Kira-kira pukul
sebelas dia berangkat ke agen perjalanan Cooks. Di sana dia harus antri, tetapi
ketika akhirnya sampai juga di depan counter dan mulai berbicara dengan
petugasnya, terjadi gangguan. Petugas lain yang tampak lebih senior dan berkaca
mata, menyingkirkan si pemuda dengan sikunya. Dari balik kaca matanya,
matanya bersinar menatap Hilary.
"Madame Betterton, bukan" Pesanan Anda semuanya sudah saya bereskan."
"Saya khawatir," kata Hilary, "pesanan saya itu sudah kadaluarsa. Saya baru
diopname di rumah sakit dan..."
"Aa, mais oui, saya sudah tahu semua itu. Selamat atas keberuntungan Anda,
Madame. Tapi saya sudah menerima pesanan Anda lewat telepon dan sudah kami
siapkan." Hilary merasa nadinya berdenyut lebih kencang. Sepengetahuannya, tak ada orang
yang menelepon ke agen perjalanan ini. Kalau begitu inilah pertanda pasti bahwa
pengaturan perjalanan Olive Betterton ada yang mengawasi. Katanya, "Tadi saya
kurang yakin apakah mereka telah menelepon atau belum."
"Memang sudah, Madame. Mari saya tunjukkan."
Pria itu mengeluarkan tiket kereta api, kartu pesanan tempat di hotel, dan
beberapa menit kemudian transaksi pun selesai. Hilary harus berangkat ke Fez
keesokan harinya. Nyonya Calvin Baker tidak ada di restoran, baik waktu makan siang maupun
waktu makan malam. Nona Hetherington ada. Sekarang dia mengangguk kepada
Hilary, ketika Hilary melewati mejanya, tetapi dia tak berusaha membuka
percakapan. Keesokan harinya, setelah membeli beberapa gaun dan pakaian dalam seperlunya.
Hilary naik kereta api ke Fez.
III Pada hari keberangkatan Hilary itu, Nyonya Calvin Baker disapa oleh Nona
Hetherington yang demikian bersemangatnya sampai cuping hidungnya yang
panjang kembang-kempis. Waktu itu Nyonya Baker baru saja masuk ke hotel,
sigap sebagaimana biasanya.
"Saya sudah ingat siapa Betterton-dia kan ilmuwan yang hilang itu. Koran-koran
semua memberitakannya sekitar dua bulan yang lalu."
"Wah, ya, sekarang saya jadi ingat. Ilmuwan Inggris ya - dia sedang menghadiri
konferensi di Paris waktu itu."
"Ya - itulah. Nah, sekarang saya jadi ingin tahu- Anda pikir, mungkinkah ini
istrinya. Saya lihat di registrasi, alamatnya di Harwell-Harwell Anda tahu,
Stasiun Atom. Dan pada hemat saya bom-bom atom ini sangat mengerikan. Dan ko
balt yang paling gawat. Padahal warnanya bagus sekali sebagai cat pewarna. Waktu
kecil saya sering memakainya. Dengan kobalt, tak seorang pun bisa selamat. Tak
seharusnya kita melakukan segala macam eksperimen itu. Beberapa waktu yang
lalu ada orang yang menceritakan kepada saya, bahwa menurut sepupunya, dan dia
orang pandai, seluruh dunia bisa menjadi radio aktif, "Wah, wah," kata Nyonya
Calvin Baker. Bab 6 Samar-samar Hilary merasa kecewa melihat Casablanca. Kota ini tampak seperti
kota-kota Prancis yang makmur, sama sekali tak menunjukkan sifat ketimuran
ataupun memancarkan misteri, kecuali orang-orang yang lalu-lalang di jalanan.
Cuaca masih cerah, matahari bersinar dan langit bersih. Dengan senang dia
memandang keluar, menikmati pemandangan di luar sementara mereka melaju ke
utara. Seorang pria kecil, orang Prancis, yang kelihatannya pedagang duduk di
hadapannya, di ujung sana duduk biarawati yang tampangnya kurang simpatik
sedang berdoa dengan rosarionya, kemudian terakhir ada dua wanita Moor yang
barang-barangnya amat banyak.
Setelah menawarkan api rokoknya, orang Prancis kecil itu mulai membuka
pembicaraan. Dia menunjuk ke luar setiap kali ada hal-hal menarik yang mereka
lewati dan menceritakan banyak informasi tentang negeri itu.
Bagi Hilary, pria itu menarik dan tampak cerdas.
"Anda harus ke Rabat, Madame. Sungguh salah besar kalau Anda tidak ke Rabat."
"Akan saya usahakan. Tapi waktu saya tak banyak. Selain itu," dia tersenyum,
"uang terbatas. Kami kan hanya boleh membawa uang dalam jumlah terbatas ke
luar negeri." "Tapi itu soal mudah. Kita bisa atur dengan kawan di sini."
"Saya khawatir belum punya kawan yang cukup akrab di Maroko."
"Lain kali kalau bepergian lagi, Madame, kirim kabar kepada saya. Saya akan beri
Anda kartu nama saya. Akan saya atur semuanya. Saya sering ke Inggris untuk
urusan bisnis. Anda bisa membayar saya di sana. Semua sederhana saja, kok."
"Anda baik sekali, saya harap kapan-kapan saya bisa ke Maroko lagi."
"Tentunya pergantian suasana bagi Anda, Madame, yang datang dari Inggris sana.
Begitu dingin, penuh kabut, dan tak menyenangkan."
"Ya, enak sekali di sini."
"Bagi saya juga. Saya baru dari Paris tiga minggu yang lalu. Di sana cuma ada
kabut, hujan, dan segalanya yang paling menjengkelkan. Kemudian ketika saya
sampai di sini, segalanya begitu cerah. Meskipun udaranya dingin juga. Tapi
bersih. Udara bersih yang sehat. Bagaimana cuaca di Inggris waktu Anda
berangkat?" "Seperti yang Anda katakan itu," kata Hilary "Penuh kabut."
"Ah ya, ini memang musim kabut. Salju sudah turun belum?"
"Belum," kata Hilary, "belum ada salju." Dengan ringan hati Hilary menduga-duga,
mungkin si Prancis kecil yang doyan melancong ini sedang mempraktekkan
basa-basi yang dipikirnya menurut orang-orang Inggris baik: membicarakan
cuaca" Ia bertanya satu-dua hal mengenai situasi politik Maroko dan Aljazair,
yang dengan senang hati dijawab oleh si Prancis. Pengetahuannya memang cukup
luas. Ketika melirik ke pojok, Hilary melihat biarawati menatapnya tak suka. Wanitawanita Maroko tadi turun dan digantikan pelancong-pelancong yang baru saja naik.
Hari sudah malam, ketika mereka tiba di Fez. "Biar saya bantu, Madame."
Hilary berdiri agak kebingungan di tengah-tengah kesibukan dan kebisingan
stasiun. Portir-portir Arab berebutan menarik-narik barang bawaan di tangannya.
Mereka berteriak-teriak, memanggil-manggil, dan menawar-nawarkan ho-tel yang
berlain-lainan. Dengan lega ia menoleh kepada kawan barunya, si orang Prancis.
"Anda akan ke Palais Djamai, n'est ce pas, Madame?"
"Ya." "Baik. Jauhnya delapan kilometer dari sini."
"Delapan kilometer?" Hilary jengkel. "Jadi di luar kota."
"Dekat kota tua," kata si Prancis menerangkan. "Kalau hotel saya di kawasan
baru, daerah perdagangan. Untuk berlibur, beristirahat, bersenang-senang, jelas
orang memilih Palais Djamai. Hotel itu dulunya rumah bangsawan Maroko. Tamannya
indah dan dari sana Anda bisa langsung ke kota tua Fez, yang masih tetap utuh
itu Tampaknya hotel Anda tidak mengirim jemputan untuk kereta ini. Kalau tak
keberatan, Anda akan saya carikan taksi."
"Anda baik sekali, tapi..."
Si Prancis nerocos dalam bahasa Arab kepada portir-portir. Tak lama kemudian
Hilary telah duduk di taksi, bagasinya dimasuk-masukkan lalu si Prancis
memberitahunya berapa persis yang harus dibayarkannya kepada para portir
tukang paksa itu. Ketika mereka protes mengatakan terlampau sedikit, dengan
makian bahasa Arab ia menghalau mereka. Lalu dari sakunya ia mengeluarkan
kartu dan menyodorkannya kepada Hilary.
"Ini kartu nama saya, Madame. kapan saja Anda butuh bantuan saya, katakan.
empat hari ini saya ada di Grand Hotel."
Setelah mengangkat topi, ia beranjak pergi Sekilas Hilary membacanya, sebelum
mereka meninggalkan stasiun yang terang-benderang:
Monsieur Henri Laurier Taksi itu segera meninggalkan kota, melewati pedesaan dan mendaki sebuah bukit.
Hilary mencoba melihat ke luar jendela, menebak-nebak ke mana kiranya mereka
pergi, tetapi hari sudah gelap. Tak banyak yang tampak, kecuali bila mereka
sedang melewati bangunan terang. Inikah saatnya ia akan dicabut dari jalur
perjalanan biasa dan memasuki petualangan yang serba misterius"
Apakah Monsieur Laurier utusan rahasia organisasi yang telah membujuk Thomas
Betterton agar meninggalkan pekerjaan, rumah, dan istrinya"
Di pojok taksi Hilary duduk dengan perasaan waswas, menduga-duga ke mana
taksi itu akan membawanya.
Bagaimanapun, ternyata taksi itu dengan sempurnanya membawa Hilary ke Palais
Djamai. Di sana ia turun, masuk ke gerbang melengkung dan merasakan
senangnya berada dalam interior gaya umur. Ada dipan-dipan panjang, meja-meja
kopi, dan permadani lokal.
Dari meja penerima tamu, ia diantar melewati kamar-kamar yang saling
berhubungan, lalu keluar ke teras yang dipagari pohon-pohon jeruk dan bungabunga yang harum semerbak. Mereka naik tangga melingkar dan masuk ke sebuah
kamar tidur, yang meskipun tetap bergaya timur tetapi dilengkapi dengan segala
kenikmatan yang dibutuhkan oleh pelancong abad dua puluh.
Portir memberi tahu bahwa makan malam disediakan mulai pukul 19.30. Ia
bongkar sedikit barang bawaannya, membasuh-basuh muka, menyisir rambut,
kemudian turun. Lewat ruang merokok yang panjang dan bergaya timur, teras, dan
setelah naik tangga sedikit, sampailah ia di ruang makan yang terang-benderang.
Ruang makan ini letaknya menyudut di sebelah kanan ruang merokok.
Makan malamnya amat lezat.
Sementara Hilary makan, bermacam-macam orang keluar-masuk restoran. Malam
itu ia terlalu letih untuk memper hatikan dan mengamat-amati mereka, tetapi ada
satu-dua pribadi menyolok yang menarik perhatiannya.
Ada seorang tua yang wajahnya amat kuning dan jenggot kecilnya bak jenggot
kambing Hilary tertarik karena melihat betapa hormatnya staf restoran kepada
orang itu. Cukup mengangkat kepala sedikit saja, piring-piring dengan sigap
dibereskan atau dihidangkan. Bila alisnya bergerak sedikit, cepat-cepat pelayan
menghampiri mejanya. Hilary jadi ingin tahu siapa orang ini. Kentara sekali yang
makan malam di sana ke banyakan turis-turis yang sedang melancong. Di meja
besar tengah ada seorang Jerman, ada pula pria setengah baya bersama gadis
pirang yang amat cantik, yang menurut perkiraannya orang Swedia, atau mungkin
Denmark. Ada keluarga Inggris dengan dua anak, dan banyak grup-grup pelancong
Amerika. Keluarga Prancis ada tiga.
Setelah makan malam ia minum kopi di teras Malam itu sedikit dingin, tetapi
belum terlalu dingin dan senang sekali ia menikmati wanginya bunga-bunga. Ia
pergi tidur sore-sore. Keesokan paginya, Hilary duduk-duduk di teras lagi. Payung bergaris-garis merah
melindunginya dari cahaya matahari. Ia merasa betapa fantastis segalanya ini.
Lihat ia duduk di sini, menyamai menjadi seorang wanita yang sudah mati,
berharap akan terjadi sesuatu yang dramatis dan luar biasa. Padahal, bukankah
mungkin saja Olive Betterton yang malang itu berjalan-jalan ke luar negeri
melulu hanya untuk membuang resah dan sedih"
Mungkin saja wanita malang itu sama tak tahunya dengan orang-orang lain.
Sudah tentu pesan terakhir Olive sebelum meninggal dapat dengan mudah
dijelaskan. Ia ingin supaya Thomas Betterton diperingatkan akan berbahayanya
orang yang namanya Boris. Selama ini ia sudah berpikir-pikir sendiri - Olive
menyitir pantun kecil yang aneh-kemudian ia menyatakan mula-mula tak percaya.
Tak percaya apa" Mungkin tak percaya bahwa Thomas Betterton ternyata digiring pergi.
Olive tidak mengeluarkan ancaman, tidak juga memberi petunjuk yang berguna.
Hilary memandang kebun teras di bawahnya.
Indahnya di sini. begitu indah dan tenteram. Anak-anak berlarian di teras, ibuibu Prancis memanggili anak-anaknya atau memarahi mereka.
Gadis pirang Swedia itu datang, lalu duduk di dekat meja dan menguap.
Diambilnya lipstik merah muda dan diolesnya lagi bibir yang sebenarnya sudah
bagus warnanya. Dengan serius ia mengamati wajahnya sendiri, dahinya agak
berkerut. Tak lama kawannya-suaminya, pikir Hilary, atau mungkin juga ayahnya-turut
duduk di sana. Gadis itu menyapanya tanpa senyum. Ia mencondongkan tubuhnya
ke depan, lalu berbicara kepada laki-laki itu, tampaknya mengomel tentang
sesuatu. Si laki-laki protes lalu minta maaf.
Si tua berwajah kuning berjenggot kambing naik ke teras dari kebun. Ia duduk di
meja dekat tembok yang terjauh, dan langsung seorang pelayan buru-buru
mendekatinya. Ia memerintahkan sesuatu, lalu pelayan membungkuk sebelum
cepat-cepat pergi untuk melaksanakan perintahnya.
Si gadis pirang menggamit lengan kawannya dengan bersemangat dan memandang
ke arah orang tua itu. Hilary memesan martini. Ketika pesanannya datang, dengan suara perlahan ia
bertanya kepada pelayan, "Siapa sih orang tua yang duduk dekat tembok itu?"
"Aa!" Pelayan mencondongkan tubuhnya ke depan dengan dramatis. "Itu Monsieur
Aristides, Ia kaya-luar biasa."
Pelayan itu mendesah terpesona membayangkan kekayaan yang luar biasa. Hilary
memandangi tubuh bungkuk yang sudah mengkerut di meja sana. Sepotong
manusia tua bagaikan mumi yang sudah kering dan penuh keriput. Tetapi, karena
kekayaannya yang luar biasa, pelayan-pelayan tergesa-gesa melayaninya dan
berbicara kepadanya dengan takut-takut.
Si tua Monsieur] Aristides menggeser duduknya. Hanya sebentar matanya bertemu
pandang dengan Hilary. Sejenak ia menatap Hilary, kemudian berpaling ke arah
lain. Ternyata cukup menarik perhatian juga aku, pikir Hilary. Mata itu, meskipun dari
kejauhan, tampak begitu cerdas dan hidup.
Gadis pirang bersama temannya bangkit dari meja mereka dan beranjak ke ruang
makan. pelayan, yang agaknya sekarang merasa menjadi pemandu wisata Hilary,
berhenti di mejanya lagi ketika sedang membereskan gelas-gelas dan memberikan
informasi lebih jauh kepadanya.
"Monsieur itu, ia magnit bisnis yang hebat dari Swedia. Kaya sekali, orang VIP.
Dan wanita yang bersamanya itu bintang film-kata orang Garbo yang baru.
Bergaya sekali pakaiannya-cantik sekali-tapi aduh, rewelnya! Tak pernah puas!
Katanya ia sudah 'jenuh' di sini, di Fez. Tak ada toko-toko permata-dan tak ada
wanita-wanita mewah lain yang mengagumi dan iri melihat dandanannya. Ia
menuntut besok mesti diantar ke tempat lain yang lebih menyenangkan. Ah,
ternyata tidak selalu orang kaya dapat menikmati suasana hati yang tenang
tenteram." Setelah mengucapkan kalimat terakhir yang filosofis itu, dilihatnya sebuah
telunjuk memanggil. Langsung dengan bergegas ia menyeberangi teras, seperti
kena sengatan listrik saja.


Menuju Negeri Antah Berantah Destination Unknown Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Monsieur?" Umumnya orang-orang sudah pergi makan siang, tetapi Hilary tidak merasa perlu
tergesa-gesa menyantap makan siangnya. Tadi pagi ia sarapan agak siang.
Dipesannya minuman lagi. Seorang Prancis yang masih muda keluar dari bar dan menyeberangi teras. Sekilas
ia melirik Hilary, yang kira-kira artinya: "Apa pula yang kaukerjakan di sini?"
Ia menuruni tangga ke teras bawah sambil pelan-pelan menyenandungkan sebuah
potongan lagu opera Prancis:
Le long des lauriers roses Revant de donees choses.
(Daun-daun laurel merah jambu Membawaku pada angan-angan lembut)
Kata-kata itu mengingatkannya pada sesuatu Le long des lauriers roses. Laurier.
Laurier" itu kan nama orang Prancis kenalannya di kereta api Apakah ini ada
hubungannya atau kebetulan saja, Ia membuka tasnya dan mencari-cari kartu yang
diberikan kepadanya. Henri Laurier, 3 Rue de Croissants, Casablanca. Kartu itu dibaliknya dan samarsamar seperti ada bekas-bekas tulisan pensil di situ, tetapi kemudian dihapus.
ia mencoba menebak-nebak apa yang tertulis. "Ou sont," begitu permulaannya,
kemudian tak terbaca, dan akhirnya kata "D'Antan."
Sejenak ia mengira itu sebuah pesan, tetapi segera ia menggelengkan kepala dan
menaruh kembali kartu itu di tasnya. Tentunya itu kutipan yang dulu pernah
tertulis di situ tetapi yang kemudian dihapus.
Sebuah bayangan menaunginya dan ia pun mendongak kaget. Tuan Aristides
berdiri di antara ia dan matahari. Matanya tidak sedang memandangnya. Tuan
Aristides sedang memandang jauh melewati kebun ke arah perbukitan di kejauhan.
Hilary mendengarnya mendesah, ke mudian mendadak ia berpaling menuju ruang
makan. Tetapi lengan mantelnya menyenggol gelas di meja Hilary sampai jatuh
pecah di lantai teras. Langsung saja ia berbalik cepat dengan sopan.
"Ah. Mille pardons, maaf, Madame."
Dalam bahasa Prancis, Hilary meyakinkannya bahwa kejadian itu sama sekali tidak
apa-apa. dengan sedikit menggoyang jari, Tuan Aristides memanggil pelayan.
Seperti biasa pelayan datang berlari. Orang tua itu memesan minuman untuk
mengganti minuman Hilary, kemudian setelah meminta maaf sekali lagi, ia masuk
ke restoran. Orang Prancis muda tadi naik tangga teras lagi, Masih bersenandung. Ketika
berjalan melewati Hilary, secara mencolok ia tertegun sebentar, tetapi karena
Hilary tak memberi isyarat apa pun, sambil mengangkat bahu ia terus dan pergi
makan siang. Sebuah keluarga Prancis melewati teras, kedua orang tua memanggil anakanaknya. "Ayo, Bobo. Sedang apa kamu" Cepatlah!"
"Tinggalkan bolamu dulu, Cherie, kita akan makan siang sekarang."
Mereka naik tangga dan masuk restoran. Ke-luarga kecil yang berbahagia. Tibatiba saja Hilary merasa begitu sendiri dan takut.
Pelayan mengantarkan minumannya. Hilary bertanya kepadanya apakah Tuan
Aristides sendirian saja di sana.
"Oh, Madame, orang sekaya Monsieur Aristides dengan sendirinya tak pernah
benar-benar bepergian sendiri. Ia disertai seorang pelayan, dua sekretaris, dan
seorang sopir." Pelayan itu sungguh-sungguh terhenyak membayangkan Tuan Aristides bepergian
seorang diri. Ketika akhirnya Hilary masuk ke ruang makan dilihatnya orang tua itu duduk
sendirian di mejanya, seperti malam sebelumnya. Di meja dekat situ, duduk dua
orang muda yang menurut perkiraan Hilary pastilah sekretaris Tuan Aristides,
karena salah seorang dari keduanya selalu dalam sikap siap siaga dan terus
memandang ke arah meja Tuan Aristides, yang ketika itu mengkerut seperti
monyet, sedang bersantap siang dan malah sepertinya tidak sadar bahwa mereka
ada. Jelaslah, bagi Tuan Aristides sekretaris itu bukan manusia!
Sore itu berlalu bagaikan mimpi yang tak menentu. Hilary berjalan-jalan di
taman, turun dari teras yang tinggi ke teras yang lebih rendah. Kedamaian dan
keindahan di situ begitu mempesona. Ada gemericik air, jeruk-jeruk berwarna keemasan, dan
begitu banyak ragam wewangian dan aroma. Yang membuat Hilary begitu betah
adalah keterpencilannya dalam suasana timur Karena taman tertutup adalah
saudara perem puanku, pasanganku.... Beginilah mestinya sebuah taman, tempat
yang terpencil dan keramaian dunia-sarat dengan hijaunya tetumbuhan dan
matahari. Kalau saja aku dapat tinggal di sini, pikir Hilary. Kalau saja aku dapat selalu
tinggal di sini... Bukan taman Palais Djamai itu sendiri yang dimaksudkannya, tetapi ketenangan
batin yang dipancarkannya. Ketika ia tak lagi memburu kedamaian, kedamaian itu
malah ditemukannya. dan kedamaian hati itu datang, justru pada saat ia sedang
berhadapan dengan petualangan dan mara bahaya.
Tetapi siapa tahu sebetulnya tak ada bahaya atau petualangan....
Mungkin ia dapat tinggal di ini beberapa lama tanpa terjadi sesuatu... lalu...
lalu-apa" Angin dingin tiba-tiba menerpa selintas. Hilary Menggigil. Manusia bisa saja
berjalan-jalan di jaman kehidupan yang tenang dan damai, namun pada akhirnya
dari dalam dirinya sendirilah akan datang gangguan. Pergolakan dunia, kerasnya
hidup, segala sesal dan keputusasaan, semuanya itu ada di dalam dirinya.
Sore sudah menjelang petang, matahari sudah tak terlalu kuat lagi cahayanya.
Hilary mendaki teras-teras dan kembali ke hotel.
Sementara Hilary menyesuaikan pandangan matanya dalam keremangan Oriental
Lounge, nampaklah orang yang begitu fasih dan ceria. Nyonya Calvin Baker.
Rambutnya baru saja diperbarui cat birunya dan penampilannya sempurna
sebagaimana biasa. "Saya baru saja tiba dengan pesawat udara," ia menerangkan. "Kereta api sungguh
membuat saya tak tahan-lamanya! Dan penumpangnya sering kali jorok! Di
negara-negara ini rupanya orang tak mengerti sama sekali soal kebersihan. Anda
mesti lihat daging di pasar sini-semua dikerumuni lalat. Mereka kelihatannya
menganggap wajar saja melihat lalat hinggap di mana-mana."
"Saya kira memang wajar," kata Hilary.
Nyonya Calvin Baker tak bakal membiarkan begitu saja sebuah pernyataan yang
menantang seperti itu. "Saya pengikut setia gerakan Makanan Bersih Di rumah saya, semua yang mudah
busuk dibungkus dengan plastik khusus untuk makanan - tapi bahkan di London
saja, roti dan cake kalian dibiarkan tanpa pembungkus. Nah, sekarang ceritakan,
Anda sudah berkeliling" Anda sudah ke Kota Lama hari ini, tentunya?"
"Saya khawatir saya belum 'mengerjakan' se suatu pun," kata Hilary tersenyum.
"Saya cuma duduk-duduk di bawah matahari."
"Ah, tentu saja-Anda kan baru saja keluar dari rumah sakit. Saya lupa."
Jelas hanya karena baru sembuh dari sakit saja yang dapat diterima Nyo nya
Calvin Baker sebagai alasan untuk tidak berjalan-jalan melihat-lihat. "Bagaimana
mungkin aku bisa setolol ini" Memang betul, orang yang baru mengalami gegar
otak, sebaiknya berbaring dan beristirahat di kamar yang remang-remang, hampir
sepanjang hari. Tapi tak lama lagi kita bisa pergi bersama sama. Saya tergolong
orang yang suka pada pelancongan yang serba terencana. Setiap menit
dimanfaatkan." Dalam suasana hati Hilary sekarang, hal itu terdengar bagai neraka, tetapi ia
memuji Nyonya Calvin Baker karena wanita itu tak kenal lelah.
"Yah, memang untuk wanita sebaya saya, saya sangat sehat. Saya hampir tak
pernah merasa letih. Anda masih ingat Nona Hetherington di Casablanca" Wanita
Inggris yang berwajah panjang itu. Malam ini ia sampai. Ia lebih suka naik
kereta api daripada pesawat. Siapa saja ya yang menginap di hotel ini" Rasanya
kebanyakan orang Prancis. Sekarang saya harus buru-buru melihat kamar saya.
Saya tak suka kamar yang mereka berikan dan mereka janji akan menggantinya."
Dan si miniatur pusaran energi, Nyonya Calvin Baker, menggelinding pergi.
Malam itu ketika Hilary masuk ruang makan, yang pertama dilihatnya adalah Nona
Hetherington yang sedang bersantap di sebuah meja kecil dekat tembok. Di
hadapannya tersandar sebuah buku Fontana.
Setelah makan, ketiga wanita itu minum kopi bersama. Kentara benar betapa
bergairahnya Nona Hetherington membicarakan si pria kaya dari Swedia dan
bintang film pirang itu. "Saya dengar mereka belum menikah," ujar-nya, menutupi rasa senangnya dengan
pura-pura mencela. "Di luar negeri kita begitu sering melihat yang beginian. Di
meja dekat jendela sana rupanya keluarga Prancis yang menyenangkan. Anak-anak
itu kelihatannya begitu sayang kepada papa mereka. Anak-anak Prancis memang
dibolehkan tidur agak malam. Sering-sering setelah pukul sepuluh baru mereka
berangkat tidur, dan mereka turut makan setiap hidangan yang tercantum dalam
daftar menu, tidak cuma susu dan biskuit seperti layaknya anak-anak."
"Kelihatannya mereka sehat betul karena makanan-makanan itu," kata Hilary
tertawa. Nona Hetherington menggeleng-gelengkan kepala dan mengomel.
"Akibatnya baru akan mereka rasakan nanti, ujarnya cemberut. "Orang tua mereka
bahkan membiarkan mereka minum anggur."
Tak ada yang bisa lebih mengerikan lagi.
Nyonya Calvin Baker mulai menyusun rencana untuk esok hari, "Rasanya saya
tidak akan ke Kota Lama," katanya. "Saya sudah mengunjungi semua tempat ketika
ke sana dulu. Kota itu sangat menarik dan seperti labirin. Dunia yang begitu
tua, kuno dan mempesonakan. Kalau saja waktu itu saya tidak bersama pemandu
wisata, rasanya saya tak bakal bisa kembali ke hotel. Di sana kita jadi
kehilangan arah. Tapi pemandu wisata saya sangat baik dan ia menerangkan banyak
hal yang menarik. Ia punya kakak laki-laki di Amerika Serikat-di Chicago kalau tak salah.
Setelah selesai berputar-putar di Kota Lama, ia membawa saya ke semacam
warung atau ruang minum teh, di lereng bukit yang menghadap ke kotapemandangannya wah, indahnya. Tentu saja saya mesti minum teh yang
mengerikan rasanya itu, betul-betul tak enak. Dan mereka juga ingin saya membeli
bermacam-macam barang, ada yang bagus, tapi ada juga yang rongsokan saja. Kita
mesti tegas, begitu kesimpulan saya."
"Ya, memang," kata Nona Hetherington. Kemudian dengan penasaran ia
melanjutkan, "Dan tentu saja uang kita sudah tak bersisa untuk membeli cendera
mata. Pembatasan uang benar-benar merepotkan orang."
Bab 7 I Hilary berharap bisa melihat-lihat kota tua Fez tanpa ditemani Nona Hetherington
yang mengesalkan. Untunglah Nona Hetherington diajak Nyonya Calvin Baker
untuk ikut melancong naik mobil.
Karena Nyonya Baker menyatakan dengan sejelas-jelasnya bahwa ia yang akan
membayar ongkos mobilnya, Nona Hetherington yang uang sakunya sudah
menyusut dengan pesat langsung menerima undangan itu dengan bersemangat.
Setelah bertanya ke meja penerima tamu, Hilary mendapat seorang pemandu
wisata, lalu berangkat ke kota Fez.
Mereka mulai dari teras, menuruni serangkaian taman yang bersusun-susun sampai
mereka tiba di sebuah pintu gerbang yang besar di bawah. Pemandu wisata
mengeluarkan kunci sebesar gajah, membuka kuncinya, mendorong pintu sehingga
pelan-pelan terbuka, lalu mempersilakan Hilary lewat.
Rasanya bagaikan melangkah ke dunia lain. Di sekitarnya yang tampak cuma
tembok-tembok kota Fez. Jalan-jalannya sempit berkelok-kelok, temboknya tinggitinggi. Kadang-kadang dari ambang-ambang pintu ia dapat melihat sekilas bagian
dalam rumah atau halamannya. Di sekitarnya lalu-lalang keledai yang sarat
muatan, pria-pria memanggul beban berat, anak-anak laki-laki, wanita-wanita baik
bercadar maupun tidak dan seluruh kesibukan dalam kehidupan serba rahasia kota
kaum Moor itu. Di jalan-jalan sempit itu ia lupa segalanya, lupa pada misinya,
pada tragedi dalam hidupnya, bahkan pada dirinya sendiri. Ia tenggelam mereguk
sepuas-puasnya dengan teli-nga dan matanya, segala yang ia jumpai di dunia
impian itu. Satu-satunya yang menjengkelkan, ialah si pemandu wisata yang terus saja nerocos
tak henti-hentinya dan mempersilakannya masuk ke berbagai bangunan yang
sebenarnya tak menarik minatnya.
"Coba lihat ini, Nyonya. Orang ini menjual barang-barang yang amat bagus-bagus,
murah sekali, sungguh-sungguh kuno, asli Moor. Ia juga menjual gaun dan sutra.
Anda ingin manik-manik yang bagus?"
Proses perdagangan antara Timur dan Barat seperti tak mengenal henti, tapi bagi
Hilary daya tarik kota itu tak tergoyahkan. Tak berapa lama ia sudah tak dapat
mengenali lagi tempat dan arah. Di kota bertembok ini ia tak tahu lagi apakah
sedang berjalan ke arah utara atau ke selatan. Ia juga tak tahu apakah ia sedang
melewati jalan yang tadi telah dilewatinya.
Ketika pemandu wisata mengajukan usulnya yang terakhir, jelas usul ini juga
sudah menjadi bagian dalam kerutinannya, Hilary benar-benar sudah kecapekan.
"Sekarang saya akan membawa Anda ke warung yang amat menyenangkan, amat
enak. Milik kawan saya. Di sana Anda dapat minum teh mint dan mereka akan
menunjukkan banyak barang-barang bagus kepada Anda."
Hilary segera mengenali akal bulus terkenal yang telah diceritakan Nyonya Baker.
Begitu pun ia tetap bersedia melihat, atau diantar untuk melihat apa saja yang
ditawarkan. Besok, ia berjanji kepada diri sendiri, ia akan kembali ke Kota Lama
ini sendirian dan berjalan-jalan tanpa pemandu wisata yang ngoceh terus di
sisinya. Jadi ia menurut saja diantar masuk ke sebuah gerbang, lalu mendaki jalan kecil
berkelok-kelok yang kira kira berada di luar tembok kota.
Akhirnya mereka-tiba di taman yang mengitari sebuah rumah bagus bergaya
pribumi. Di sebuah ruangan besar yang menyuguhkan pemandangan kota yang indah, ia
dipersilakan duduk di depan meja kopi kecil. Kemudian gelas-gelas berisi teh
mint disajikan. Bagi Hilary yang tak suka teh manis, minum teh itu sungguh cobaan berat. Tetapi
dengan tidak mengingat-ingat bahwa yang diminumnya itu teh, dan menganggap
minuman itu semacam limun keluaran baru, ia bahkan hampir-hampir dapat
menikmatinya. Ia juga senang melihat-lihat permadani, manik-manik dan kain tirai
jendela, bordiran dan berbagai barang lain yang ditunjukkan kepadanya. Demi
kesopanan ia membeli satu-dua barang kecil.
Pemandu wisata yang tak kenal letih itu berkata, "Saya sudah menyediakan mobil
untuk Anda jika Anda hendak berputar-putar sebentar. Tak lebih dari satu jam,
untuk melihat-lihat pemandangan indah dan alam pedesaan. Lalu kembali ke
hotel." Kemudian ia melanjutkan lagi dengan ekspresi yang sopan, "Gadis ini sekarang
akan mengantarkan Anda dulu ke kamar kecil yang amat nyaman."
Gadis yang tadi menyuguhkan teh mint, telah berdiri di antara mereka sambil
tersenyum. Ia langsung berbicara dalam bahasa Inggris yang hati-hati, "Ya, ya,
Madame. Anda ikut saya. Kamar kecil di sini amat bagus, bagus sekali. Persis
seperti di Hotel Ritz. Sama seperti di New York atau Chicago. Anda lihat saja!"
Dengan sedikit senyum, Hilary mengikuti si gadis. Kamar kecil itu ternyata sama
sekali berbeda dari iklannya, tapi paling tidak airnya keluar. Ada baskom untuk
cuci tangan dan cermin kecil retak yang hampir saja membuat Hilary tersentak ke
belakang saking kagetnya, ketika melihat bayangannya sendiri di cermin yang
begitu aneh. Setelah mencuci tangan dan melap-nya dengan sapu tangannya sendiri, sambil tak
mempedulikan penampilan handuk di situ, ia berbalik akan pergi.
Entah kenapa, tampaknya pintu kamar kecil macet. Pegangannya ia putar dan
goyang-goyangkan tanpa hasil. Pintu tak bisa dibuka.
Hilary menduga-duga apakah pintu itu diselot atau diganjal dari luar"
Ia jadi geram. Apa maksud mereka menguncinya di situ"
Kemudian dilihatnya ada pintu lain di sudut ruangan. Ia menghampiri pintu itu
dan memutar pegangannya. Kali ini pintu terbuka dengan gampang. Ia keluar.
Ternyata ia berada dalam sebuah ruangan kecil bersuasana Timur yang cuma
diterangi sinar matahari yang masuk lewat celah-celah tinggi di tembok. Di
sebuah dipan kecil, sambil merokok, duduk si Prancis kecil yang dikenalnya di
kereta api, M. Henri Laurier.
II Pria itu tidak bangkit untuk menyalaminya. Laurier cuma berkata dengan suara
agak berbeda, "Selamat sore, nyonya Betterton."
Sejenak Hilary terpaku. Ia terheran-heran. Jadi-ini dia! Ia menguatkan hati. Ini
yang telah kaunanti-nantikan. Berlakulah seperti seharusnya kaupikir Olive akan
berlaku. Ia maju dan dengan penuh nafsu ia berkata, "Anda punya berita untuk saya" Anda
dapat menolong saya?"
Ia mengangguk, lalu berkata mencela, "Di kereta api saya lihat Anda agak
linglung, Madame. Mungkin karena Anda sudah begitu biasanya bercakap-cakap
soal cuaca." "Cuaca?" Hilary terpana menatapnya, kebingungan.


Menuju Negeri Antah Berantah Destination Unknown Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Apa kata orang ini tentang cuaca ketika di kereta api" Dingin" Kabut" Salju"
Salju. Itulah yang dibisikkan Olive Betterton ketika sedang sekarat.
Dan ia mengutip pantun kecil yang tolol-bagaimana ya, bunyinya"
Salju, salju, salju yang indah, Sekali kau terpeleset, celakalah sudah!
Sekarang Hilary mengulangnya dengan tersendat-sendat.
"Tepat-kenapa Anda tidak langsung menyahut dengan pantun itu persis seperti
yang sudah diperintahkan?"
"Anda tak mengerti. Saya kan baru sakit. Pesawat saya mengalami kecelakaan dan
setelah itu saya diopname karena gegar otak. Ingatan saya kacau. Kejadiankejadian lama cukup jelas saya ingat, tapi ada yang saya lupa sama sekali-cukup
banyak." Ia memegangi kepalanya. Dirasanya cukup mudah membuat suaranya sungguhsungguh bergetar. "Anda tak tahu betapa menakutkannya. Saya terus-terusan
merasa melupakan hal-hal penting-hal-hal yang sungguh-sungguh penting.
Semakin saya berusaha mengingat-ingat, semakin saya lupa."
"Ya," kata Laurier, "kecelakaan pesawat itu sungguh di luar dugaan."
Bicaranya dingin tanpa perasaan. "Persoalannya sekarang apakah stamina Anda
cukup baik dan Anda cukup berani untuk tetap melanjutkan perjalanan."
"Tentu saja saya tetap melanjutkan perjalanan," teriak Hilary.
"Suami saya-" Suaranya terputus di situ.
Laurier tersenyum, tetapi senyumnya tak terlalu menyenangkan. Senyum yang
licik. "Suami Anda," katanya, "sedang menanti Anda dengan penuh harap."
Suara Hilary bercampur isaknya.
"Anda tak dapat membayangkan," katanya, "tak dapat membayangkan bagaimana
rasanya beberapa bulan ini sejak dia pergi."
"Menurut Anda apakah pemerintah Inggris sampai dapat menyimpulkan apa
persisnya yang Anda ketahui atau tak Anda ketahui?"
Hilary merentangkan tangan lebar-lebar.
"Bagaimana saya bisa tahu-bagaimana saya bisa menduga" kelihatannya mereka
puas. "Meskipun begitu..." Pria itu berhenti.
"Saya kira kemungkinan besar," kata Hilary pelan, "saya dikuntit sampai ke sini.
Saya memang tak dapat menunjuk orang tertentu, tapi saya punya perasaan bahwa
sejak dari Inggris saya terus diawasi."
"Tentu saja," kata Laurier, dingin-dingin saja "Itu sudah kami perhitungkan."
"Saya pikir saya perlu mengingatkan Anda."
"Nyonya Betterton yang terhormat, kami kan bukan anak kecil. Kami tahu apa
yang kami kerjakan."
"Maaf," ujar Hilary merendah. "Saya memang tolol."
"Tolol tak apa-apa, selama Anda patuh."
"Saya akan patuh," kata Hilary pelan.
"Di Inggris Anda pasti diawasi dengan ketat, saya yakin, sejak suami Anda pergi.
Begitupun pesan itu sampai ke tangan Anda, kan?"
"Ya," kata Hilary.
"Nah," kata Laurier tanpa perasaan lagi, "saya akan memberikan instruksi kepada
Anda, Madame." "Silakan." "Dari sini lusa Anda akan terus ke Marrakesh. Itu sesuai dengan rencana dan
pesanan tempat Anda."
"Ya." "Pada hari setelah Anda tiba di sana, Anda akan menerima-telegram dari Inggris.
Saya tidak tahu api isinya, yang terang telegram itu cukup untuk mengatur
kepulangan Anda segera ke Inggris."
"Saya pulang ke Inggris?"
"Dengar dulu. Saya belum selesai. Anda akan memesan tempat di pesawat yang
meninggalkan Casablanca keesokan harinya."
"Bagaimana kalau saya tak berhasil memesan tempat-misalkan saja semua tempat
sudah penuh?" "Tidak mungkin penuh. Semuanya sudah diatur. Nah, sudah paham perintahnya?"
"Sudah." "Kalau begitu silakan kembali ke tempat pemandu wisata Anda menunggu. Anda
sudah cukup lama di kamar kecil. O, ya, omong-omong, Anda sudah berkawan
dengan seorang wanita Amerika dan wanita Inggris yang kini menginap di Palais
Djamai?" "Ya. Apa itu salah" Sulit untuk menghindari mereka."
"Sama sekali tidak. Justru cocok sekali dengan rencana kami. Kalau Anda dapat
membujuk salah seorang dari mereka untuk menemani Anda ke Marrakesh, malah
baik sekali. Sampai jumpa, Madame."
"Au revoir, Monsieur."
"Kelihatannya," kata Monsieur Laurier dengan acuh tak acuh, "sedikit
kemungkinannya saya akan berjumpa lagi dengan Anda."
Hilary kembali menyusuri jalannya yang tadi menuju ke kamar kecil.
Kali ini ditemukannya pintu satunya tidak terselot. Beberapa menit kemudian ia
telah bergabung lagi dengan pemandu wisata di ruang teh.
"Saya sudah menyuruh sebuah mobil yang nyaman sekali menunggu kita," kata
pemandu wisata. "Sekarang akan saya ajak Anda berjalan-jalan. Perjalanan ini
akan menyenangkan sekali dan Anda bisa lihat banyak hal."
Ekspedisi berjalan terus sesuai rencana.
III "Jadi besok Anda pergi ke Marrakesh," kata Nona Hetherington. "Anda kan belum
lama di Fez" Apa tidak lebih mudah jika Anda pertama-tama ke Marrakesh dulu,
lalu ke Fez, dan setelah itu kembali ke Casablanca?"
"Saya kira memang begitu lebih enak," kata Hilary, "tapi agak sulit memesan
tempat. Amat penuh di sini."
"Tapi tak ada orang Inggris," ujar Nona Hetherington agak putus asa. "Sungguh
zaman sekarang tak menyenangkan, karena kita hampir-hampir tak dapat bertemu
dengan sesama sebangsa."
Ia melihat ke sekitarnya dengan pandangan meleceh dan berkata, "Orang Prancis
yang ada di mana-mana."
Hilary tersenyum samar. Kenyataan bahwa Maroko adalah daerah koloni Prancis
agaknya tidak terlalu diperhitungkan oleh Nona Hetherington. Hotel di mana pun
di luar negeri dianggapnya merupakan hak turis-turis Inggris.
"Orang Prancis, Jerman, Armenia, dan Yunani," kata Nyonya Calvin Baker, dengan
sedikit tertawa. "Orang tua kecil yang jorok itu saya rasa orang Yunani."
"Memang saya diberi tahu ia orang Yunani," kata Hilary.
"Kelihatannya orang penting," kata Nyonya Baker. "Lihat saja bagaimana para
pelayan lintang-pukang melayaninya."
"Sekarang orang tidak lagi memperhatikan orang Inggris," kata Nona Hetherington
muram. "Mereka selalu mendapat kamar di belakang yang paling tak nyaman-kamar
yang dulu biasanya untuk para pelayan."
"Yah, kalau saya, saya tak bisa bilang akomodasi yang selama ini saya peroleh
sejak di Maroko ada cacatnya," kata nyonya Calvin Baker. "Saya selalu mendapat
kamar dan kamar mandi yang paling menyenangkan."
"Anda kan orang Amerika," kata Nona Hetherington ketus. Ada kebencian dalam
suaranya. Karena marahnya, jarum-jarum rajutannya sampai berbenturan.
"Saya ingin mengajak Anda berdua ikut saya ke Marrakesh," kata Hilary.
"Sungguh menyenangkan berkenalan dan ngobrol dengan kalian. Tak enak rasanya
harus bepergian sendiri."
"Saya kan sudah pernah ke Marakesh," sahut Nona Hetherington terkejut.
Tetapi tampaknya Nyonya Calvin Baker tertarik juga pada gagasan itu.
"Ide yang menarik juga,' katanya. "Sudah lebih dari sebulan sejak saya ke
Marrakesh terakhir kali. Senang juga ke sana lagi sebentar, dan saya akan bisa
mengajak Anda berkeliling, Nyonya Betterton, sehingga Anda tidak akan repot
nanti. Baru setelah Anda mengunjungi suatu tempat, mengelilinginya, Anda akan
memahami tempat itu. Saya jadi berpikir-pikir. Saya akan segera ke kantor dan
melihat apa yang bisa saya atur sekarang."
Ketika Nyonya Baker sudah pergi, dengan masam Nona Hetherington berkata,
"Khas wanita Amerika. Meloncat dari satu tempat ke tempat lain, tak pernah
mapan di satu tempat. Suatu hari di Mesir, lain kali di Palestina. kadang-kadang
saya pikir mereka tidak betul-betul tahu sedang di negara mana mereka."
Bibirnya mendecak sebelum menutup. Kemu-dian ia bangkit, dengan hati-hati
mengumpulkan rajutannya dan beranjak meninggalkan Ruang Turki sambil
mengangguk kecil kepada Hilary.
Hilary melirik arlojinya. Ia tak ingin berganti pakaian untuk makan malam,
seperti biasa. Sendirian ia duduk di sana, di sebuah dipan rendah, di ruangan
yang agak gelap dengan hiasan-hiasan gantung bergaya Timur. Seorang pelayan menjenguk
sebentar ke dalam, lalu pergi lagi setelah menyalakan dua lampu.
Lampu-lampu itu tak begitu terang sehingga ruangan terasa temaram
menyenangkan. Kamar itu terasa tenteram, ketentraman khas timur.
Hilary menyandarkan diri di atas dipan, memikirkan masa depannya. Baru kemarin
ia bertanya-tanya sendiri apakah segalanya ini bukan cuma sekadar omong kosong
saja. Dan sekarang-sekarang ia sudah akan memulai perjalanannya. Ia harus hatihati, sangat hati-hati. Ia tidak boleh tergelincir. Ia harus menjadi Olive
Betterton, cukup berpendidikan, tidak artistik, konvensional tetapi jelas-jelas
bersimpati kepada Sayap Kiri, dan seorang wanita yang amat setia kepada suaminya.
Aku tak boleh membuat kesalahan, Hilary berjanji di dalam hati.
Alangkah anehnya, duduk sendirian di Maroko. Rasanya seperti sedang pergi ke
tanah penuh misteri dan ilmu sihir. Lampu temaram di sisinya!
Kalau ia mengambil tembaga berpahat itu, lalu menggosoknya, apakah akan
muncul jin dari dalamnya"
Ketika sedang memikirkan hal itu, ia terkejut. Mendadak saja dari balik lampu
tampak wajah keriput dan jenggot lancip Tuan Aristides. Ia membungkuk sopan
sebelum duduk di sebelahnya, sambil berkata, "Boleh, Madame?"
Hilary menjawab dengan sopan.
Pria itu mengeluarkan kotak sigaretnya dan menawarinya rokok.
Hilary menerima tawaran itu dan Aristides juga menyalakan rokok untuk diri
sendiri. "Anda senang dengan negeri ini, Madame?" tanyanya, setelah beberapa
saat. "Baru sebentar saya di sini," kata Hilary. "Sampai sekarang negeri ini sangat
menarik bagi saya." "Aa. Dan Anda sudah mengunjungi Kota Lama" Anda suka?"
"Menurut saya kota itu indah."
"Ya, memang indah. Masa lalulah yang ada di sana - masa lalu perdagangan,
intrik, bisik-bisik, kasak-kusuk, semua misteri dan kegairahan sebuah kota yang
terkurung oleh jalan-jalannya yang sempit dan tembok-temboknya. Anda tahu, apa
yang saya ingat jika saya berjalan-jalan di Fez?"
"Tidak." "Saya ingat pada Great West Road di London. Saya ingat pada gedung-gedung
pabrik Anda yang besar-besar di setiap sisi jalan itu. Saya ingat gedung-gedung
itu diterangi lampu-lampu neon dan penuh dengan orang-orang di dalamnya, yang
dengan jelas dapat kita lihat dari jalan. Tak ada yang tersembunyi, tak ada yang
misterius. Bahkan jendela-jendelanya saja tidak bertirai. Mereka bekerja di sana
dengan diperhatikan seluruh dunia, kalau dunia mau. Seperti sarang semut yang
dipotong dari atas saja."
"Maksud Anda," kata Hilary tertarik, "yang menarik kontrasnya?"
Tuan Aristides menganggukkan kepalanya yang sudah tua dan mirip kepala kurakura. "Ya," katanya. "Di sana segalanya terbuka, sedangkan di jalan-jalan tua Fez tak
ada yang terbuka Segalanya terselubung, gelap... Tapi-"
ia mencondongkan tubuhnya ke depan dan mengetukkan jarinya di atas meja kopi
kecil dari tembaga, "-tapi hal yang sama terjadi. Kejahatan yang sama,
penindasan yang sama, kehausan akan kekuasaan yang sama, tawar-menawar dan
perdebatan soal harga yang sama."
"Menurut Anda sifat manusia itu di mana-mana sama?" tanya Hilary.
"Di setiap negara. Di masa lalu, seperti juga di masa kini, selalu ada dua hal
yang berkuasa. Kejahatan dan kebajikan! Salah satu. Kadang-kadang keduanya."
Ia meneruskan bicaranya dengan sikap yang hampir-hampir tak berubah. "Saya
dengar, Madame, Anda baru mengalami kecelakaan pesawat yang hebat di
Casablanca?" "Ya, betul." "Saya iri pada Anda," kata Tuan Aristides tak disangka-sangka.
Hilary menatapnya terheran-heran. Tuan Aris-tides menggelenggeleng lagi dengan
keras. "Ya," tambahnya, "Anda pantas membuat orang iri hati. Anda mengalami sesuatu.
Ingin saya mengalami situasi hampir mati, tapi selamat - apa Anda tidak merasa
lain setelah itu, Madame?"
"Dalam cara yang tak begitu menguntungkan," kata Hilary. "Saya gegar otak dan
itu membuat saya sakit kepala hebat, dan ingatan saya terganggu."
"Itu kan cuma sekadar kurang nyaman," kata Tuan Aristides, sambil melambaikan
tangan, "tapi yang telah Anda alami itu petualangan rohani, kan?"
"Betul," kata Hilary pelan, "saya telah mengalami petualangan rohani."
Hilary teringat botol air Vichy dan setumpuk pil tidur.
"Saya belum pernah mengalami yang demi kian," kata Tuan Aristides dengan nada
tak puas. "Begitu banyak hal lain sudah saya alami, tapi itu yang belum."
Ia bangkit, membungkuk, dan berkata, "Dengan segala hormat, Madame," dan
berlalu. Bab 8 Betapa miripnya semua lapangan terbang, selalu punya sifat anonim yang aneh,
pikir Hilary. Semuanya terletak jauh dari kota yang dilayaninya, sehingga kita
merasa seperti berada di tempat tak bertuan. Kita boleh terbang dari London ke
Madrid, ke Roma, ke Istambul, ke Kairo, ke mana saja sesuka kita dan kalau
perjalanan kita semuanya menggunakan pesawat, tak akan kita dapat
membayangkan barang sedikit pun, bagaimana tampang kota-kota itu!
Jika kita lihat sekilas kota-kota itu dari udara, maka yang tampak hanyalah peta
besar, seolah-olah terbuat dari batu-batu bata mainan anak-anak. Dan kenapa
pula, ia berpikir dengan jengkel, sambil melihat ke sekelilingnya, kita selalu
harus berada di tempat seperti ini terlalu pagi begini"
Sudah kurang-lebih setengah jam mereka lewatkan di ruang tunggu.
Sejak kedatangan mereka di sana, Nyonya Calvin Baker yang telah memutuskan
akan menemani Hilary ke Marrakesh, terus saja berbicara.
Hilary menjawab secara otomatis saja. Tetapi kini ia sadar bahwa arus percakapan
sudah bercabang. Nyonya Baker sekarang sudah mengalihkan perhatiannya ke dua pelancong yang
duduk di dekatnya. Mereka pria-pria muda yang tinggi dan pirang.
Yang satu orang Amerika dengan senyumnya yang lebar dan bersahabat sedangkan
yang lainnya orang Denmark atau Norwegia yang agak serius.
Si Norwegia berbicara perlahan dengan nada berat dan agak terlalu mendetil dalam
bahasa Inggris yang berhati-hati Si Amerika tampak senang sekali bertemu denga
pelancong Amerika lain. Tak lama kemudian Nyonya Calvin Baker menoleh kepada Hilary "Tuan-" Mari
saya perkenalkan dengan teman saya, Nyonya Betterton."
"Andrew Peters-Andy bagi kawan-kawa saya."
Orang muda satunya bangun, membungkuk agak kaku dan berkata, "Torquil
Ericsson." "Jadi sekarang kita semua telah saling kenal," kata Nyonya Baker senang. "Apa
kita semua akan ke Marrakesh" Untuk kawan saya, ini yang pertama kalinya-"
"Saya juga," kata Ericsson. "Saya juga baru pertama kalinya akan ke sana."
"Sama saja dengan saya."
Pengeras suara tiba-tiba dihidupkan dan terdengar pengumuman dalam bahasa
Prancis. Suaranya serak dan kata-katanya hampir-hampir tak jelas, tetapi rupanya
itu panggilan bagi mereka untuk naik ke pesawat.
Selain Nyonya Baker dan Hilary, ada empat penumpang lain. Kecuali Peters dan
Ericsson, ada lagi seorang pria Prancis tinggi kurus dan seorang biarawati yang
tampangnya seram. Hari itu cerah, tak berawan, dan kondisi penerbangan baik. Sambil bersandar di
tempat duduknya dengan mata setengah tertutup, Hilary mempelajari kawankawan seperjalanannya, untuk mengalihkan kecemasan yang bertalu-talu di dalam
hatinya. Satu kursi di depannya, di seberang gang, tampak Nyonya Calvin Baker dalam
pakaian bepergiannya yang berwarna abu-abu, seperti bebek gemuk yang puas.
Topi kecil bersayap menempel di rambutnya yang biru dan ia sedang membalikbalik majalah yang kertasnya berkilat-kilat. Sekali-sekali ia mencondongkan
tubuh ke depan untuk menepuk bahu pria yang duduk di depannya, si Amerika muda,
Peters. Setiap kali ditepuk begitu, Peters akan menoleh dan mempertontonkan senyumnya


Menuju Negeri Antah Berantah Destination Unknown Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang ramah, dan menjawab kata-kata Nyonya Baker dengan penuh semangat.
Betapa baik dan ramahnya orang Amerika, pikir Hilary. Begitu lain dengan
pelancong Inggris yang kaku. Ia tak dapat membayangkan Nona Hetherington,
misalnya, langsung dapat bercakap-cakap dengan pria muda bahkan yang
sebangsanya sendiri di pesawat terbang. Ia pun ragu bahwa seorang pria muda
Inggris akan menjawab seramah orang Amerika ini.
Tepat di seberang gang dari kursinya, duduk si Norwegia, Ericsson.
Ketika mereka bertemu pandang, Ericsson mengangguk kecil dengan kaku lalu
menawarinya majalah yang baru saja ditutupnya.
Hilary mengucapkan terima kasih dan menerimanya.
Di belakang Ericsson duduk si orang Prancis yang kurus berkulit coklat itu.
Kakinya menganjur ke depan dan tampaknya ia tidur.
Hilary menoleh melewati bahunya. Si biarawati yang seram duduk di belakangnya.
Matanya yand acuh tak acuh, tak peduli, bertemu pandang dengan mata Hilary
tanpa ekspresi. Ia duduk tak bergerak-gerak, kedua tangannya terkatup.
Bagi Hilary tampaknya aneh sekali ada wanita yang berpakaian abad pertengahan
bepergian dengan pesawat udara di abad dua puluh.
Enam orang, pikir Hilary, bepergian bersama selama beberapa jam, menuju tujuan
masing-masing. Di penghujung perjalanan mereka akan berpencar dan tak akan
berjumpa lagi. Ia pernah membaca novel dengan tema yang mirip, yang mengikuti
kehidupan keenam orang itu.
Prancis itu, pikirnya, pasti sedang berlibur. Kelihatannya ia lelah. Amerika
muda itu mungkin mahasiswa. Ericsson mungkin akan mencari pekerjaan. Biarawati
itu jelas terikat pada biaranya.
Hilary menutup mata dan melupakan kawan-kawan seperjalanannya. Ia
memikirkan, seperti yang dilakukannya sepanjang malam tadi, instruksi yang telah
diberikan kepadanya. Ia harus kembali ke Inggris!
Kedengarannya gila! Atau mungkinkah karena ia dipandang kurang memenuhi syarat, tidak dapat
dipercaya, karena gagal menjawab kata-kata sandi atau pengenal yang seharusnya
dikatakan oleh Olive yang asli"
Ia menghela napas dan bergerak-gerak tak tenang. Yah, pikirnya, aku tak dapat
lebih baik lagi dari ini. Kalau aku gagal... ya gagal. Pokoknya aku sudah
berusaha semaksimal mungkin.
Kemudian terpikir lagi sesuatu yang lain. Henri Laurier menganggap wajar-wajar
saja dan tidak mungkin tidak bahwa di Maroko pasti ia diawasi dengan ketat. Lalu
apakah ini cara untuk melenyapkan kecurigaan itu"
Dengan pulangnya Nyonya Betterton secara tak disangka-sangka ke Inggris, orang
tentu akan menganggap bahwa ia tidak datang ke Maroko untuk "menghilang"
seperti suaminya. Kecurigaan akan luntur-dan ia akan dianggap melulu sebagai pelancong biasa saja.
Ia akan berangkat ke Inggris dengan Air France lewat Paris-dan mungkin di
Paris... Ya, tentu saja-di Paris. Di sanalah Tom Betterton menghilang.
Betapa jauh lebih mudah berpura-pura menghilang di sana. Mungkin Tom
Betterton tak pernah meninggalkan Paris.
Mungkin-saking capeknya menduga-duga tak keruan, Hilary tertidur. Ia terbangunlalu tertidur lagi, sambil sekali-sekali memandang majalah yang dipegangnya
tanpa minat. Ketika mendadak ia terbangun dari tidur yang agak nyenyak,
dirasanya pesawat sedang merendah dengan cepat dan terbang berputar. Ia melihat arloji,
tapi belum waktunya mendarat. Lebih-lebih lagi ketika dari jendela ia menjenguk
ke bawah, tak nampak tanda-tanda adanya lapangan terbang.
Sekilas kecemasan menyerang hatinya. Si orang Prancis bangkit, menguap,
meregangkan kedua lengannya lalu melihat ke luar sambil nyeletuk dalam bahasa
Prancis. Hilary tak menangkap apa yang dikatakannya, tapi dari seberang gang
Ericsson mencondongkan tubuhnya dan berkata, "Kelihatannya kita sedang
mendarat di sini -kenapa, ya?"
Dari kursinya Nyonya Calvin Baker menoleh dan mengangguk senang, sementara
Hilary menjawab, "Kita sedang mendarat rupanya."
Pesawat terus berputar semakin rendah. Tampaknya tanah di bawah gurun melulu.
Tak ada tanda-tanda ada perumahan atau desa. Roda pesawat menyentuh tanah
dengan mantap, memantul-mantul dan makin lama makin lambat sampai akhirnya
berhenti. Pendaratan yang kurang nyaman di tengah-tengah daerah tak bertuan.
Apa ada kerusakan mesin, pikir Hilary, atau mereka kehabisan bahan bakar"
Pilotnya, masih muda, ganteng, dan berkulit kecoklatan, muncul dari pintu depan
dan berjalan menyusuri gang. "Anda sekalian dipersilakan keluar," katanya.
Dibukanya pintu belakang, diturunkannya tangga pendek dan ia berdiri di sana,
menunggu sampai semua penumpang keluar. Di bawah mereka berkumpul, berdiri
dengan agak menggigil. Memang udara dingin, angin bertiup keras langsung dari
pegunungan di kejauhan. Hilary melihat, betapa pegunungan itu diselimuti salju dan luar biasa indahnya.
Udaranya dingin kering menyegarkan. Pilot ikut turun, lalu berkata dalam bahasa
Prancis kepada mereka, "Semua sudah ada di sini" Ya" Maaf, Anda semua
mungkin harus menunggu sebentar. Aa, tidak, saya lihat ia sudah datang."
Ia menunjuk sebuah titik di cakrawala yang semakin lama semakin dekat. Dengan
suara agak kebingungan Hilary berkata, "Tapi kenapa kita turun di sini" Ada apa"
Berapa lama kami mesti tinggal di sini?"
Si Prancis menjawab, "Ada mobil station sedang kemari. Kita akan meneruskan
perjalanan dengan itu."
'Apa mesinnya rusak"' tanya Hilary.
Andy Peters tetap tersenyum ceria.
"O, bukan, menurut saya," katanya. "Mesinnya kedengaran baik-baik saja tadi.
Tapi mereka pasti akan mengusahakan agar terjadi yang semacam ini."
Hilary melongo kebingungan.
Nyonya Calvin Baker menggumam, "Wah, dinginnya berdiri di sini. Memang
inilah yang paling tak menyenangkan kalau iklimnya begini. Tampaknya saja
begitu cerah, tapi begitu matahari hampir terbenam cuaca berubah sama sekali
jadi dingin." Pilot menggumam sendiri pelan-pelan, mengumpat. Pada hemat Hilary ia
mengatakan sesuatu seperti, "Terlambat. Terlalu!"
Mobil station itu sampai juga dengan kecepatan gila-gilaan. Sopirnya, orang
Berber, menghentikan mobil dengan menginjak rem sekeras-kerasnya. Ia
melompat turun dan langsung disambut oleh omelan pilot.
Hilary menjadi sedikit heran, ketika dilihatnya Nyonya Baker ikut-ikutan
berbicara juga-dalam bahasa Prancis.
"Jangan buang-buang waktu," katanya dengan nada memerintah. "Apa guna
bertengkar" Kita kan harus pergi dari sini."
Sopir mengangkat bahu, lalu menghampiri mobil. Dibukanya pintu bagasi. Di
dalam ada peti besar. Bersama pilot dan dibantu Ericsson dan Peters, peti itu
diturunkan. Melihat tenaga yang harus dikerahkan, tentunya peti itu berat.
Ketika sopir mulai membuka tutupnya, Nyonya Calvin Baker menggamit lengan
Hilary, katanya, "Kalau, saya lebih baik tak melihat. Tak pernah sedap dipandang."
Ia membimbing Hilary menyingkir dari situ, ke balik mobil. Si Prancis dan Peters
menyertai mereka. Si orang Prancis berkata dalam bahasanya sendiri, "Kalau
begitu apa yang sedang mereka lakukan di sana?"
Kata Nyonya Baker, "Anda Dr. Barron?"
Si Prancis membungkuk. "Senang berkenalan dengan Anda," kata Nyonya Baker. Ia mengulurkan tangan,
seperti nyonya rumah yang menyambut tamunya di pesta.
Dengan kebingungan Hilary bertanya, "Tapi saya tak mengerti. Apa sih yang ada di
dalam peti itu" Kenapa lebih baik tak melihat?"
Andy Peters menatapnya dengan penuh perhatian.
Wajahnya menarik, pikir Hilary. Persegi dan dapat diandalkan.
Kata Peters, "Saya tahu. Pilot yang memberi tahu saya. Memang tidak begitu enak
didengar, tapi saya kira perlu dilakukan juga." Dengan pelan ia melanjutkan,
"Peti itu isinya mayat."
"Mayat!" Hilary terpana memandangnya.
"Oh, bukan hasil pembunuhan atau yang semacamnya." Ia nyengir menenangkan.
"Mayat-mayat itu diperoleh secara halal untuk penelitian -penelitian
kedokteran." Tapi Hilary tetap saja melongo. "Saya tak mengerti."
"Ah, begini, Nyonya Betterton, inilah akhir dari perjalanan kita. Satu tahap
dari perjalanan kita, maksud saya."
"Akhir?" "Ya. Mereka akan mengatur mayat-mayat itu di dalam pesawat kemudian pilot
akan mengatur sedemikian rupa sehingga kalau nanti kita bermobil meninggalkan
tempat ini, kita akan melihat kebakaran di kejauhan. Satu pesawat lagi telah
mengalami kecelakaan, jatuh berkeping-keping dan tak ada yang selamat!"
"Tapi kenapa" Fantastis sekali!"
"Tapi tentunya-" Dr. Barron sekarang yang berbicara kepadanya, "tentunya Anda
tahu ke mana kita akan pergi?"
Nyonya Baker yang datang menghampiri berkata ceria, "Tentu saja ia tahu. Tapi
mungkin ia tidak mengira akan terjadi begini cepat."
Akhirnya Hilary berkata juga setelah diam kebingungan sejenak, "Tapi maksud
Anda-kita semua?" Ia memandang ke sekeliling.
"Kita semua ini satu tujuan," kata Peters lembut.
Orang Norwegia muda itu, menganggukkan kepala, berkata dengan suara yang
hampir-hampir terdengar fanatik, "Ya, kita semua punya satu tujuan."
Bab 9 I Pilot datang menghampiri.
"Sekarang silakan Anda sekalian berangkat," katanya. "Kita akan cepat-cepat.
Masih banyak yang harus kita kerjakan, padahal kita sudah terlambat."
Sejenak Hilary merasa gentar. Dengan gugup tangannya meraba lehernya, sampai
kalung mutiaranya putus karena tertarik jari-jarinya. Buru-buru ia mengambili
butir-butir mutiara yang lepas dan memasukkannya ke dalam saku.
Mereka semua naik ke mobil station. Hilary duduk di bangku panjang di antara
Peters dan Nyonya Baker. Sambil menoleh kepada wanita Amerika itu, Hilary berkata, "Jadi Anda-jadi Andapenghubungnya, Nyonya Baker?"
"Persis. Dan meskipun saya yang mengatakannya sendiri, saya ini cukup ahli, lho.
Tak ada seorang pun yang heran kalau melihat seorang wanita Amerika sering
bepergian sendiri." Memang Nyonya Baker tetap montok dan banyak senyum, tapi Hilary merasakan
adanya perbedaan sekarang, atau demikianlah pikirnya. Wanita ini wanita yang
efisien dan mungkin juga kejam.
"Akan menarik juga sensasi di halaman depan koran-koran," kata Nyonya Baker.
Ia tertawa kesenangan. "Anda yang saya maksud, Nyonya Mereka akan bilang,
Anda ini terus-menerus sial. Pertama hampir saja kehilangan nyawa di kecelakaan
pesawat di Casablanca, lalu benar-benar tewas dalam musibah berikutnya ini."
Tiba-tiba sadarlah Hilary betapa lihainya rencana itu.
"Bagaimana dengan yang lain-lain ini?" gumamnya. "Apa mereka benar-benar seperti
yang mereka bilang?"
"Ya, tentu. Dr. Barron ahli bakteri, Tuan Ericsson ahli fisika yang brilyan,
Tuan Peters ahli kimia riset, Nona Needheim, tentu saja bukan biarawati, ia ahli
endokrin. Saya, seperti yang tadi saya bilang, hanyalah penghubung saja. Saya
tidak termasuk dalam golongan ilmuwan." Ia tertawa lagi sembari berkata, "Si
Hetherington itu tak pernah mendapat kesempatan."
"Nona Hetherington-apa ia-apa ia-"
Nyonya Baker mengangguk kuat-kuat.
"Kalau Anda tanya saya, ia memang membuntuti Anda. Sejak dari Casablanca,
menggantikan entah siapa."
"Tapi hari ini ia tidak ikut kita, padahal sudah saya desak demikian rupa?"
"Kalau ia ikut, tentu tak cocok dengan peranannya," kata Nyonya Baker. "Akan
terlalu kentara pergi lagi ke Marrakesh, padahal ia sudah pernah ke sana. Tidak,
ia pasti akan mengirim telegram atau menelepon seseorang dan di Marrakesh akan
ada seseorang menanti untuk menjemput ketika Anda tiba. Kalau Anda tiba! lucu,
kan" Lihat! Lihat ke sana! Nah, habislah."
Mereka sedang berjalan menyeberangi gurun dengan cepat. Dan ketika Hilary
menjulurkan lehernya untuk bisa menjenguk lewat kaca jendela yang kecil itu,
dilihatnya cahaya menyala-nyala di belakang mereka. Sayup-sayup ia mendengar
suara ledakan. Peters menghentakkan kepalanya ke belakang dan tertawa. Katanya, "Enam orang
tewas ketika pesawat ke Marrakesh mengalami kecelakaan!"
Hilary berkata perlahan, "Agak-agak mengerikan juga."
"Melangkah ke dunia tak dikenal?" Peters-lah yang berkata. Sekarang ia serius.
"Ya, tapi ini satu-satunya jalan keluar. Kita tinggalkan masa lalu dan melangkah
ke masa depan." Wajahnya bercahaya penuh antusiasme. "Kita harus meninggalkan dunia lama
yang sinting dan bobrok. Pemerintah yang korup dan para setan perang. Kita harus
masuk ke dunia baru-dunia sains, dunia yang bersih dari sampah."
Hilary menarik napas dalam-dalam.
"Persis seperti yang biasa diucapkan suami saya," katanya sengaja.
"Suami Anda?" Peters menatapnya tajam. "Wah, apa ia Tom Betterton?"
Hilary mengangguk. "Wah, hebat. Saya tak kenal dengan Betterton di Amerika Serikat, meskipun dulu
hampir saja berkenalan. ZE Fission itu salah satu penemuan paling hebat abad
ini-ya, saya sungguh-sungguh angkat topi untuknya. Bekerja dengan si tua
Mannheim kan ia?" "Ya," kata Hilary.
"Kalau tak salah, kata orang ia menikah dengan anak Mannheim. Tapi saya rasa
Anda bukan-" "Saya istri keduanya," kata Hilary, kemalu-maluan sedikit. "Ia-Elsa meninggal di
Amerika." "Saya ingat. Kemudian ia pergi ke Inggris untuk bekerja di sana. Kemudian ia
buat mereka jengkel dengan menghilang begitu saja." Ia tertawa tiba-tiba. "Pergi
menghilang begitu saja dari konferensi di Paris."
Lalu seperti memberikan pujian, ia melanjutkan, "Wah, harus diakui mereka
mengorganisasikan segalanya dengan baik, ya."
Hilary mengiyakan. Kehebatan organisasi ini telah membuatnya cemas. Semua
rencana, kode, tanda-tanda yang telah begitu rapi dan rumitnya diatur sekarang
tidak akan berguna, karena sekarang tidak ada lagi jejak yang dapat ditelusuri.
Segala hal telah diatur sedemikian rupa sehingga setiap penumpang di dalam
pesawat nahas itu sama-sama menuju Negeri Antah Berantah, tempat Thomas
Betterton telah mendahului mereka. Tidak akan ada jejak. Tidak ada apa-apa,
kecuali sebuah pesawat yang sudah hangus. Bahkan di dalam pesawat akan ada
pula mayat-mayat hangus. Dapatkah mereka-adakah kemungkinan Jessop dan organisasinya dapat menduga
bahwa ia, Hilary, tidak ada di antara mayat-mayat itu"
Ia ragu. Kecelakaan itu begitu meyakinkan, diatur dengan begitu lihai.
Peters berbicara lagi. Suaranya terdengar begitu antusias, seperti suara anakanak. Baginya tak ada kecemasan, tak ada kenangan, yang ada hanya gairah untuk maju
ke depan. "Saya sungguh ingin tahu," katanya, "dari sini kita ke mana, ya?"
Hilary juga ingin tahu, karena begitu banyak hal tergantung pada hal tersebut.
Cepat atau lambat mereka pasti mengadakan kontak dengan manusia. Cepat atau
lambat, kalau diadakan penyelidikan, mungkin akan ada orang yang melihat bahwa
sebuah mobil station membawa enam penumpang yang mirip dengan deskripsi
para penumpang yang berangkat pagi itu dengan pesawat. Dengan nada suara yang
berlawanan dengan si Amerika yang begitu penuh gairah, ia berpaling kepada
Nyonya Baker dan bertanya. "Ke mana kita sekarang-dan apa yang akan terjadi
berikutnya?" "Lihat saja nanti," kata Nyonya Baker. Meski-pun suaranya begitu menyenangkan,
kata-katanya mengandung nada ancaman.
Mereka terus berjalan. Di belakang nyala pesawat masih tampak di langit. Lebih
jelas nampak, karena matahari sudah rendah di dekat cakrawala. Malam pun jatuh.
Terus saja mereka berjalan. Perjalanan sama sekali tak nyaman, karena jelas
mereka tidak pernah lewat di jalan utama. Kadang-kadang mereka seperti melintasi
ladang, lain kali melintasi lapangan terbuka.
Lama sekali Hilary tetap terjaga. Gagasan dan kecemasan silih berganti memenuhi
benaknya, bertalu-talu. Akhirnya, karena terus saja bergoyang-goyang dan
terantuk-antuk ke kanan ke kiri, ia lelah dan jatuh tertidur. Tapi tidurnya pun
terputus-putus. Berkali-kali ia terjaga karena hentakan-hentakan di sepanjang


Menuju Negeri Antah Berantah Destination Unknown Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jalan. Sejenak ia akan kebingungan di manakah sekarang ia berada, lalu realita menjadi
gamblang lagi. Ia terjaga beberapa saat dengan pikiran kacau-balau dirundung
kecemasan, kemudian kembali kepalanya terangguk-angguk dan sekali lagi ia jatuh
tertidur. II Hilary terbangun ketika sekonyong-konyong mobil berhenti. Dengan lembut sekali
Peters menggoyangkan lengannya.
"Bangun," katanya, "kelihatannya kita sudah sampai entah di mana."
Setiap orang turun dari mobil station. Tubuh mereka kaku dan letih.
Hari masih gelap dan tampaknya mereka berhenti di luar sebuah rumah yang
dikitari pohon-pohon palem. Sekelompok cahaya berkelap-kelip tampak di
kejauhan, seolah-olah di sana ada desa. Rumah itu rumah penduduk asli.
Dua wanita Berber cekikikan menatap Hilary dan Nyonya Calvin Baker dengan
penuh rasa ingin tahu. Sedangkan si biarawati sama sekali tidak mereka acuhkan.
Ketiga wanita itu diantar ke sebuah kamar yang kecil di loteng. Tiga kasur
terhampar di lantai berikut setumpuk selimut, itu saja perabot yang ada.
"Aduh, pegalnya," kata Nyonya Baker. "Naik mobil seperti kita barusan, membuat
badan kaku semua." "Tidak nyaman itu bukan masalah," ujar si biarawati. Nadanya begitu kaku yakin.
Bahasa Inggrisnya bagus dan lancar, tapi logatnya jelek, begitu pikir Hilary.
"Anda sungguh-sungguh cocok sebagai biarawati, Nona Needheim," kata si wanita
Amerika. "Saya bisa membayangkan Anda berlutut di biara di lantai batu yang
keras pukul empat pagi."
Nona Needheim tersenyum mengejek.
"Kekristenan membuat wanita-wanita jadi tolol," ujarnya. "Begitu memuja
kelemahan, sungguh penghinaan besar! Wanita yang tidak beragama justru kuat.
Mereka bersorak dan menang! Dan untuk menang, apa saja yang kurang nyaman
tidak menjadi soal. Tak ada penderitaan yang terlampau berat untuk dijalani."
"Sekarang," kata Nyonya Baker menguap, "sungguh saya rindu ranjang saya di
Palais Djamai di Fez. Bagaimana dengan Anda, Nyonya Betterton" Guncanganguncangan begitu pasti tak membuat gegar otak Anda terasa jadi lebih enak."
"Memang," kata Hilary.
"Tak lama lagi mereka akan menyuguhkan makanan, kemudian Anda akan saya
beri aspirin dan sebaiknya Anda secepatnya tidur."
Terdengar langkah dan cekikikan perempuan di tangga. Tak lama kemudian kedua
wanita Berber tadi masuk membawa nampan. Yang mereka hidangkan adalah
seporsi besar bubur dan sayur daging rebus. Setelah meletakkan makanan itu di
lantai, mereka kembali mengantarkan baskom berisi air berikut handuk.
Salah seorang meraba-raba mantel Hilary dengan jarinya sambil berbicara cepat
kepada wanita-satunya. Kawannya mengangguk setuju dengan cepat dan ikutikutan merabai pakaian Nyonya Baker. Tak seorang pun menaruh perhatian pada si
biarawati. "Hus," ucap Nyonya Baker sambil melambaikan tangan mengusir mereka. "Hus, hus."
Persis seperti mengusir ayam. Mereka minggir-sambil tertawa-tawa, lalu keluar.
"Makhluk-makhluk tolol," kata Nyonya Baker. "Sungguh sulit tetap sabar terhadap
mereka. Saya rasa yang menarik perhatian mereka cuma soal bayi dan pakaian
saja." "Memang cuma itu yang sesuai untuk mereka," kata Fraulein Needheim. "Mereka kan
bangsa budak. Mereka cuma berguna untuk melayani orang-orang yang lebih
dari mereka." "Apa Anda tidak terlalu keras?" kata Hilary yang jengkel menyaksikan sikap
wanita ini. "Saya tak suka pada orang-orang yang sentimental. Yang berkuasa itu cuma
sedikit, sedang banyak orang lain yang bertugas melayani."
"Tapi..." Nyonya Baker menyela dengan tegas.
"Saya rasa kita masing-masing mempunyai pendapat sendiri dalam soal ini,"
katanya, "dan pasti pendapat-pendapat itu menarik. Tapi sekarang bukan waktunya
untuk berdebat. Kita butuh istirahat sedapatnya."
Datang teh mint. Dengan senang hati Hilary menelan beberapa aspirin, karena ia
betul-betul sakit kepala. Kemudian ketiganya membaringkan diri di kasur dan
tidur. Keesokan harinya mereka tidur sampai siang. Menurut Nyonya Baker mereka baru
akan berangkat lagi malamnya. Lewat sebuah tangga, dari kamar tidur mereka bisa
naik ke atap rumah yang rata. Dari situ mereka bisa melihat-lihat suasana
pedesaan di sekitarnya. Tampak sebuah desa di kejauhan, tapi rumah tempat mereka menginap terasing di
tengah kebun palem yang luas.
Ketika bangun, Nyonya Baker menunjuk ke setumpuk pakaian yang telah dibawa
ke kamar dan ditaruh di lantai di dekat pintu.
"Tahap berikutnya, kita akan jadi orang pribumi," ia menerangkan, "kita
tinggalkan pakaian kita di sini."
Demikianlah, pakaian si wanita Amerika kecil pintar yang rapi itu, mantel dan
rok Hilary serta kostum biarawati dilepas. Yang nampak kini tiga orang wanita
pribumi sedang duduk-duduk di atap rumah dan bercengkerama. Kesemuanya itu
terasa seolah-olah tidak benar-benar terjadi.
Setelah tidak lagi mengenakan seragam biarawati yang sama sekali tak
menggambarkan kepribadian pemakainya, kini Hilary dapat lebih mempelajari
Nona Needheim. Ternyata wanita itu lebih muda dari yang dikiranya, tak lebih
dari tiga puluh tiga atau tiga puluh empat.
Penampilannya rapi. Kulitnya yang pucat, yang memancar fanatik, lebih membuat
orang tak suka daripada tertarik. Sikap bicaranya agak kasar dan tanpa kompromi.
Terhadap Nyonya Baker dan Hilary ia melempar pandangan meremehkan; mereka
dianggapnya tak pantas bergaul dengannya.
Kepongahan ini sungguh menjengkelkan Hilary. Sebaliknya, Nyonya Baker seperti
tidak menyadari hal itu sama sekali.
Agak aneh juga bahwa Hilary lebih merasa dekat dan bersimpati terhadap kedua
wanita Berber yang suka cekikikan itu daripada kedua kawannya dari dunia barat.
Wanita Jerman muda ini jelas tak peduli sama sekali pada kesan orang
terhadapnya. Tingkah-lakunya seperti menahan rasa tak sabar dan jelas ia ingin
sekali segera melanjutkan perjalanan dan bahwa ia tak menaruh minat terhadap
kedua rekan seperjalanannya.
Namun tingkah-polah Nyonya Baker lebih sulit dimengerti lagi. Mula-mula,
dibandingkan si wanita Jerman yang serba kurang manusiawi itu, Nyonya Baker
tampak begitu biasa dan normal. Tapi dengan semakin terbenamnya matahari sore,
Hilary justru lebih sebal dan jengkel terhadap Nyonya Baker daripada terhadap
Helga Needheim. Gerak-gerik Nyonya Baker sudah hampir seperti robot yang sempurna. Komentar
dan ucapan-ucapannya semua biasa, normal dan sehari-hari, tapi orang punya
perasaan bahwa semua yang dikatakan atau dilakukannya itu sudah menjadi
hafalan, seperti aktris yang untuk ketujuh-ratus kalinya memainkan peranan yang
sama. Semua tindakannya otomatis, sepenuhnya terpisah dari pikiran dan perasaan
Nyonya Baker yang sebenarnya.
Hilary menduga-duga siapa sebenarnya Nyonya Calvin Baker"
Bagaimana ia dapat memainkan peranannya dengan begitu sempurna seperti
mesin" Apakah ia juga seorang fanatik"
Apakah ia juga punya cita-cita membentuk dunia baru-apakali ia mati-matian
memberontak terhadap sistem kapitalis"
Apakah ia bersedia meninggalkan cara hidup yang biasa demi keyakinan atau
aspirasi politiknya"
Tak mungkin bisa menduganya.
Malam itu mereka kembali berjalan. Tidak lagi naik mobil station, tapi naik
mobil terbuka. Semua orang mengenakan pakaian pribumi.
Yang pria mengenakan djellaba putih, yang wanita menyembunyikan wajah.
Berdesakan di mobil itu, mereka berangkat lagi dan melakukan perjalanan
sepanjang malam. "Bagaimana perasaan Anda, Nyonya Betterton?"
Hilary tersenyum kepada Andy Peters. Matahari baru saja terbit dan mereka baru
saja berhenti untuk sarapan. Menunya roti orang-orang pribumi, telur, dan teh
yang dimasak dengan kompor yang mereka bawa.
"Rasanya seperti sedang bermimpi," kata Hilary.
"Ya, memang ada perasaan seperti itu."
"Di mana ya, kita?"
Andy Peters hanya mengangkat bahu.
"Siapa yang tahu" Paling-paling Nyonya Calvin Baker, yang lain pasti tidak
tahu." "Daerah ini sepi sekali"
"Ya, gurun melulu. Tapi mestinya begitu, kan?"
"Maksud Anda supaya kita tidak meninggalkan jejak?"
"Ya. Kita sadar bahwa semua ini pasti sudah direncanakan dengan seksama. Setiap
tahap perjalanan kita terpisah dari tahap berikutnya. Pesawat meledak di udara.
Mobil station tua berjalan di malam hari. Kalau orang melihatnya, pada mobil itu
tertera nama ekspedisi arkeologi yang sedang melakukan penggalian di daerah ini.
Hari berikutnya ada mobil terbuka penuh dengan orang Berber. Pemandangan yang
amat biasa. Tahap berikutnya,"-ia mengangkat bahu-"siapa yang tahu?"
"Tapi ke mana kita pergi?"
Andy Peters menggeleng. "Percuma bertanya-tanya. Kita toh akan tahu juga nanti."
Orang Prancis itu, Dr. Barron, menghampiri mereka.
"Ya," katanya, "kita akan tahu juga. Tapi sungguh, betapa benarnya.
Kita ini selalu saja bertanya. Sudah mendarah daging sebagai orang barat. Kita
takkan pernah dapat berkata 'Cukuplah untuk hari ini.' Selalu saja esok, esok.
Hari kemarin kita tinggalkan, hari esok kita songsong. Itulah tuntutan kita."
"Anda ingin mempercepat larinya dunia, Doktor?" tanya Peters.
"Begitu banyak yang harus kita capai," kata Dr. Barron. "Hidup begini pendek.
Kita harus punya waktu lebih banyak. Lebih banyak waktu."
Tangannya direntangkan penuh emosi.
Peters menoleh kepada Hilary.
"Empat kebebasan apa yang didengung-dengungkan di negara Anda" Bebas dari
kekurangan, bebas dari ketakutan..."
Orang Prancis itu menyela, "Bebas dari orang-orang goblok," tukasnya pahit.
"Itulah yang saya inginkan! Itu yang diperlukan karya saya. Bebas dari segala
macam penghematan tetek-bengek yang tak ada hentinya! Bebas dari segala
macam pembatasan menjengkelkan yang menghalangi karya seseorang!"
"Anda ahli bakteri kan, Dr. Barron?"
"Ya, saya ahli bakteri. Ah, Anda tak bisa membayangkan betapa menariknya
bidang ini! Tapi membutuhkan kesabaran, kesabaran yang tak ada batasnya,
percobaan yang berulang-ulang-dan uang-banyak uang! Kita mesti punya
peralatan, asisten, bahan mentah! Kalau semua sudah disediakan, apa lagi yang
tak dapat kita capai?"
"Kebahagiaan?" tanya Hilary.
Pria itu tersenyum sekilas dan mendadak jadi manusiawi lagi.
"Ah, Anda kan wanita, Madame. Memang wanita yang selalu mencari
kebahagiaan." "Toh jarang memperolehnya?" tanya Hilary.
Ia mengangkat bahu. "Bisa jadi." "Kebahagiaan pribadi itu bukan masalah," kata Peters serius. "Yang harus ada
adalah kebahagiaan bagi semua; semangat persaudaraan! Kaum buruh, bebas dan
berserikat, memiliki sarana produksi, bebas dari sampah masyarakat atau dari
kaum serakah yang tak pernah puas. Sains itu untuk semua dan tidak boleh
dikuasai oleh satu tangan kekuasaan dan menjadi bahan pertikaian."
"Tepat!" kata Ericsson mengiyakan. "Anda benar sekali. Ilmuwanlah yang harus
menjadi majikan. Mereka yang memegang kendali dan mengatur. Merekalah dan
cuma mereka yang merupakan para superman. Yang punya arti cuma superman.
Para budak memang harus diperlakukan dengan baik, tapi mereka toh tetap budak."
Hilary agak menyingkir dari kelompok itu. beberapa menit kemudian Peters
menghampirinya. "Anda tampak sedikit takut," katanya bergurau.
"Rasanya memang begitu." Hilary tertawa gugup. "Tentu saja yang dikatakan Dr.
Barron betul sekali. Saya cuma wanita, bukan ilmuwan. saya tidak melakukan riset
atau melakukan pembedahan. Saya rasa kemampuan otak saya tidak seberapa.
Yang saya cari, seperti kata Dr. Barron, kebahagiaan-yah, seperti wanita-wanita
tolol lainnya." "Nah, apa pula salahnya?" kata Peters.
"Yah, mungkin saya merasa agak minder juga di lingkungan ini Soalnya, saya kan
cuma wanita yang akan bergabung dengan suami saya."
"Itu sudah cukup," ujar Peters. "Anda mewakili golongan kebanyakan."
"Anda baik melihatnya dari sudut itu."
"Yah, itu memang betul." Kemudian dengan suara pelan ia menambahkan, "Anda
sayang sekali kepada suami Anda?"
"Kalau tidak, untuk apa Anda pikir saya ada di ini?"
"Benar juga. Anda sepandangan dengannya" Kalau tak salah ia komunis?"
Hilary menghindari jawaban langsung.
"Berbicara soal komunis," katanya, "apa Anda tidak merasa ada yang aneh dengan
kelompok kecil kita ini?"
"Apa itu?" "Yah, bahwa meskipun kita mempunyai tujuan sama, pandangan kawan-kawan
seperjalanan kita kelihatannya berbeda-beda."
Peters menyahut serius, "Memang tidak. Anda tepat sekali. Saya belum
memikirkan ke situ-tapi saya kira Anda benar."
"Saya rasa," kata Hilary, "Dr. Barron bahkan sama sekali tidak punya pandangan
politis! ia cuma butuh dana untuk segala percobaannya Helga Needheim bicaranya
seperti fasis, bukan komunis. Dan Ericsson-"
"Bagaimana Ericsson?"
"Menakutkan bagi saya-di dalam benaknya cuma ada satu hal saja, dan itu
berbahaya, ia seperti ilmuwan sinting di dalam film!"
"Sedang saya punya keyakinan persaudaraan di antara sesama, Anda seorang istri "
"yang penuh cinta. Dan Nyonya Calvin Baker-di mana ia akan Anda letakkan?"
"Tak tahulah. Ia paling sulit ditentukan."
"Oh, menurut saya malah tidak. Malah menu rut saya ia yang paling mudah."
"Maksud Anda?" "Menurut saya yang berbicara baginya hanya uang. Ia cuma serdadu bayaran."
"Bagi saya ia juga menakutkan," kata Hilary,
"Kenapa" Apa pula yang Anda takutkan" sama sekali tidak punya sifat ilmuwan
gila sedikit pun." "Ia menakutkan karena ia begitu biasa. Yah, seperti orang-orang lain. Toh, ia
terlibat dalam urusan ini."
Dengan serius Peters berkata, "Partai amat realistik. Mereka hanya mempekerjakan
pria dan wanita yang terbaik di bidang-nya."
"Tapi apakah orang yang cuma menginginkan uang memang orang yang terbaik"
Bagaimana kalau ia berkhianat ke pihak musuh?"
"Itu risiko yang amat besar," kata Peters kalem. "Nyonya Calvin Baker itu wanita
yang lihai. Saya kira ia tidak akan mau mengambil risiko itu."
Hilary mendadak menggigil.
"Dingin?" "Ya. Sedikit dingin."
"Mari kita jalan-jalan sedikit."
Mereka berjalan mondar-mandir. Sembari berjalan Peters membungkuk dan
memungut sesuatu. "Nih, milik Anda terjatuh."
Hilary menerimanya. "Oh, ya, ini mutiara kalung saya. Beberapa hari yang lalu kalung itu putus-oh,
bukan, kemarin putusnya. Rasanya seperti sudah berabad-abad saja."
"Bukan mutiara asli saya harap." Hilary tersenyum.
"Bukan, tentu saja bukan. Cuma asesori saja." Peters mengambil kotak rokok dari
sakunya. Asesori," katanya, "hebat nian istilah itu!"
Ia menawarkan rokok kepada Hilary. "Memang di sini istilah itu jadi kedengaran
tolol." Ia mengambil sebatang. "Lucu juga kotak rokok Anda. Dan berat lagi."
"Karena terbuat dari timah. Kenang-kenangan waktu perang dulu-dibuat dari bom
yang gagal membunuh saya."
"Kalau begitu Anda turut perang?"
"Saya cuma di garis belakang saja. Tugas saya mengutak-atik, kalau-kalau ada
barang yang dapat meledak. Ah, jangan bicarakan soal perang. Kita bicara soal
besok saja." "Ke mana kita akan pergi, ya?" tanya Hilary. "Belum ada yang memberi tahu saya
apa-apa. Apa kita-" Peters menyelanya.

Menuju Negeri Antah Berantah Destination Unknown Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jangan suka menduga-duga tak keruan," kata nya. "Anda berangkat karena
diperintah dan Anda akan mengerjakan apa saja yang diperintahkan."
Kegeraman Hilary mendadak menggelegak, "Anda senang dipaksa-paksa,
diperintah-perintah, suara Anda tak didengar sama sekali?"
"Saya siap menerimanya kalau perlu. Dan memang perlu. Kita mesti mewujudkan
dunia yang damai, disiplin, dan teratur."
"Ah, apa itu mungkin?"
"Pokoknya apa saja yang lebih baik dan kesemrawutan yang ada sekarang. Apa
Anda tidak setuju?" Hilary begitu letih, suasana sekitar begitu sepi dan sinar matahari pagi begitu
indah. Terbawa oleh suasana itu hampir saja Hilary membantah sekeras-kerasnya.
Ingin ia menjawab, "Kenapa Anda menjelek-jelekkan dunia" Masih banyak orang
baik di sini. Dunia yang semrawut malah ladang yang baik agar kebaikan dan
kepribadian bisa tumbuh subur, daripada dunia yang serba teratur dan serba
memaksa, dunia teratur yang untuk hari ini baik, tapi hari esok tidak" Saya
lebih suka punya dunia yang ramah, yang kadang-kadang berbuat salah, dunia
manusia biasa, daripada dunia robot super yang tak kenal lagi rasa iba, pengertian dan
simpati." Tapi Hilary berhasil menahan diri. Sebaliknya ia malah berkata dengan semangat
yang dibuat-buat, "Anda betul sekali. Tadi saya cuma lelah saja. kita memang
harus taat dan maju terus."
Peters nyengir. "Nah, begitu lebih baik."
Bab 10 Mimpi. Begitulah rasanya; dan setiap hari perjalanan mereka semakin terasa bagai mimpi.
Bagi Hilary serasa ia telah bepergian sepanjang hidup nya bersama lima orang
yang aneh-aneh ini. Dari jalan rusak, sekarang mereka menembus daerah yang
serba kosong. Sebenarnya dilihat dari satu sudut, mereka tak dapat dikatakan sedang melarikan
diri. Soalnya, begitu pikir Hilary, mereka itu orang-orang bebas yang memilih
sendiri ke mana akan pergi.
Sebegitu jauh tak ada yang baru saja melakukan tindak kriminal, tak ada yang
sedang dicari polisi. Begitu pun dengan susah-payah mereka berusaha
menghilangkan jejak. Kadang kadang ia bertanya-tanya sendiri kenapa mesti
demikian, karena mereka toh bukan pelarian. Seolah-olah mereka sedang dalam
proses menjadi orang lain, bukan diri mereka sendiri lagi.
Bagi Hilary sendiri, itu memang sepenuhnya betul. Dari Inggris ia berangkat
dengan nama Hilary Craven. Tapi sekarang ia Olive Betterton Mungkin perasaan
bagai sedang bermimpi itu berasal dari situ. Setiap hari rasanya semakin mudah
saja slogan-slogan politik meluncur dari bibirnya. Ia merasa menjadi lebih
serius dan bersungguh-sungguh, dan itu lagi-lagi dirasakannya gara-gara pengaruh
kawan-kawan barunya. Sekarang ia sadar, sebenarnya ia takut kepada mereka. Sebelumnya belum pernah
ia akrab dengan orang-orang jenius. Sekarang ia begitu dekat dengan orang-orang
jenius. Padahal dalam kejeniusan ada sesuatu di atas batas normal yang membuat
orang biasa merasa tertekan. Memang kelima orang itu tak ada yang sama, tapi
semuanya punya kesungguhan berkobar-kobar, punya pikiran yang hanya dipenuhi
satu tujuan tunggal yang memberi kesan mengerikan.
Ia sendiri tak dapat menentukan apakah itu karena kepandaian mereka, ataukah
karena pandangan mereka, kesungguhan mereka.
Yang jelas, begitu pikir Hilary, mereka masing-masing idealis yang penuh gairah
menurut caranya sendiri. Bagi Dr. Barron, hidup adalah gairah yang berkobar-kobar untuk kembali berada di
laboratoriumnya, kembali mengkalkulasi dan bereksperimen dan kembali bekerja
dengan bekal dana serta sarana yang tak ada habisnya.
Bekerja untuk apa" Hilary ragu kalau ia pernah mempertanyakan hal itu. Pernah ia
bercerita kepada Hilary bahwa ia dapat mencelakakan satu benua yang besar hanya
dengan sebotol kecil cairan.
Hilary bertanya, "Masa Anda akan tega melakukan itu" Benar-benar
mengerjakannya?" Dr. Barron malah menjawab dengan sedikit keheranan, "Ya. Ya, tentu saja, kalau
perlu." Nadanya sambil lalu saja. Dan ia melanjutkan, "Alangkah menariknya melihat
bagaimana tepatnya itu terjadi, bagaimana prosesnya." Kemudian ia menghela
napas berat, "Oh, begitu banyak yang mesti kita ketahui, begitu banyak yang
mesti kita temukan."
Sejenak Hilary memahami. Sejenak ia bisa berdiri di tempat Dr. Barron, dengan
pikiran cuma dipenuhi gairah ilmu, sehingga soal hidup mati jutaan manusia
menjadi soal sepele saja. Ini memang satu pandangan dan bukan pandangan yang
hina sebenarnya. Terhadap Helga Needheim ia lebih tak suka. Soalnya wanita muda itu begitu
congkak. Hilary suka kepada Peters, tapi ia sering kurang senang dan takut kalau
mendadak mata pria itu bersinar begitu fanatik.
Pernah ia berkata kepada Peters, "Bukan dunia baru yang ingin kauciptakan
Engkau cuma senang menghancurkan dunia yang sudah ada."
"Kau salah, Olive. Kau ngawur."
"Tidak, aku tak salah. Sebetulnya kau memendam kebencian. Aku bisa
merasakannya. Kebencian. Keinginan untuk menghancurkan."
Dari semuanya Ericsson-lah yang paling mem bingungkan. Pada pandangan
Hilary, ia tukang mimpi, kurang praktis dibandingkan si Prancis. ia sudah
terjerumus lebih dalam daripada si Amerika. Ia punya cita-cita fanatik yang aneh
seperti umumnya orang-orang Norwegia.
"Kita mesti menaklukkan," katanya. "Kita mesti taklukkan dunia. Baru kita bisa
memerintah." "Kita?" Hilary bertanya.
Ia mengangguk. Wajahnya lembut sekaligus aneh dengan mata yang seolah-olah
bersinar lembut. "Ya," katanya. "Kita yang masuk hitungan. Otak. Itu saja kok masalahnya."
Hilary bertanya-tanya akan ke mana mereka ini" Akan ke mana. Orang-orang ini
gila, tapi gilanya tak sama. Seolah-olah mereka masing-masing punya tujuan
sendiri, punya fatamorgana sendiri. Ya, itulah istilahnya. Fatamorgana.
Dari mereka renungan Hilary sampai pada Nyonya Calvin Baker. Ia tak punya
fanatisme apa-apa, tak punya kebencian, tak mencita-citakan apa-apa, tidak
congkak, tak punya aspirasi tertentu. Tak ada yang istimewa. Menurut pandangan
Hilary, ia wanita yang tak punya hati maupun nurani. Ia cuma alat efisien di
tangan kekuatan besar yang misterius.
Malam itu menjelang akhir hari ketiga. Mereka tiba di sebuah kota kecil dan
turun di hotel kecil milik orang pribumi. Di sini mereka kembali mengenakan
pakaian Eropa mereka. Malam itu Hilary tidur di kamar kosong yang kecil dan serba putih,
agak seperti sel. Pagi-pagi buta Nyonya baker membangunkannya.
"Kita berangkat sekarang," kata Nyonya Baker. "Pesawat sudah menunggu."
"Pesawat?" "Ya, Nyonya. Kita kembali ke cara bepergian orang yang berbudaya. Syukurlah."
Setelah kira-kira naik mobil selama satu jam, mereka sampai di lapangan terbang
dan pesawat itu. Lapangan itu tampaknya seperti lapangan terbang militer yang
sudah tak dipakai. Pilotnya orang Prancis.
Beberapa jam mereka terbang, melintasi pegunungan. Dan dalam pesawat Hilary
memandang ke bawah sambil berpikir, alangkah miripnya dunia jika dilihat dari
atas. Yang nampak cuma pegunungan, lembah, jalan-jalan, rumah-rumah. Kalau
kita tidak ahli dalam bidang penerbangan, semua tempat kelihatan sama saja.
Paling-paling yang bisa dibilang hanyalah satu tempat lebih padat penduduknya
daripada tempat yang lain. Tapi separuh perjalanan orang tidak akan bisa melihat
apa-apa, karena pesawat menembus awan-gemawan.
Menjelang petang mereka mulai turun dan terbang berputar. Mereka masih tetap di
daerah pegunungan, tapi akan mendarat di suatu dataran. Di situ ada lapangan
terbang kecil yang ditandai dengan jelas. Di sebelahnya ada gedung berwarna
putih. Mereka pun mendarat dengan sempurna.
Nyonya Baker mendahului ke gedung itu. di samping gedung ada dua mobil besar
dengan sopir berdiri di sampingnya. Jelaslah ini lapangan terbang pribadi,
karena tidak ada pemeriksaan resmi menyambut mereka.
"Kita sudah sampai," kata Nyonya Baker riang. "Kita semua masuk dan mandi-mandi
membersihkan diri. Setelah itu mobil telah siap."
"Sudah sampai?" Hilary melongo memandangnya. "Tapi kita kan belum-kita belum
menyeberang lautan."
"Anda pikir kita akan menyeberang lautan?" Nyonya Baker tampak senang.
Hilary berkata kebingungan, "Ya, ya. Memang. Saya kira..."
Ia berhenti. Nyonya Baker menganggukkan kepalanya.
"Memang banyak yang menyangka begitu. Banyak omong-kosongnya kalau orang
bicara soal Tirai Besi, padahal menurut saya Tirai Besi itu bisa berada di mana
saja. Orang biasanya tidak berpikir ke situ."
Mereka disambut dua pelayan Arab. Setelah mandi dan menyegarkan diri, mereka
duduk untuk minum kopi, makan sandwich dan biskuit.
Lalu Nyonya Baker melihat arlojinya.
"Nah, sampai jumpa, ya," katanya. "Kini sudah saatnya saya meninggalkan Anda
sekalian." "Anda akan kembali ke Maroko?" tanya Hilary terkejut.
"Itu kurang bijaksana," kata Nyonya Calvin Baker. "Saya kan sudah dianggap
hangus dalam kebakaran pesawat! Tidak, kali ini rute saya berbeda."
"Tapi pasti akan ada orang yang mengenali Anda," kata Hilary.
"Maksud saya seseorang yang pernah berjumpa dengan Anda di hotel, entah di
Casablanca atau Fez."
"Ah," kata Nyonya Baker, "mereka yang akan keliru. Sekarang saya punya paspor
lain, meskipun memang betul, seorang saudara saya, Nyonya Calvin Baker, tewas
dalam kecelakaan pesawat. Saudara saya dan saya amat mirip." Ia menambahkan,
"Dan bagi kebanyakan tamu hotel yang cuma berkenalan sambil lalu saja, wanita
Amerika itu amat mirip satu sama lain."
Ya, pikir Hilary, itu memang betul. Nyonya Baker memiliki segala ciri-ciri luar
yang kurang penting. Ia rapi, serba teratur, berambut biru yang tersisir apik,
dan suaranya tinggi, monoton, agak cerewet.
Sedangkan ciri-ciri dalamnya disamarkan atau dapat dikatakan tidak ada. Kepada
dunia dan kenalannya, Nyonya Calvin Baker hanya memamerkan teras wajahnya.
Apa yang di balik teras itu sulit dibayangkan. Seolah-olah ia dengan sengaja
telah menghapus segala ciri kepribadian yang membedakan manusia satu dengan yang
lain. Hilary tergerak untuk mengucapkan itu. Ia dan Nyonya Baker berdiri agak terpisah
dari yang lain. "Saya betul-betul tak tahu," kata Hilary, "seperti apa sebenarnya Anda?"
"Kenapa mesti tahu?"
"Ya. Kenapa, ya" Tapi saya merasa mesti tahu. Kita sudah bepergian secara akrab
bersama-sama, dan bagi saya terasa aneh kalau saya tak tahu apa-apa mengenai
Anda. Maksud saya, Anda yang sebenarnya, perasaan-perasaan Anda, pikiranpikiran Anda, apa yang Anda suka dan tidak suka, apa yang bagi Anda penting dan
apa yang tidak." "Anda suka sekali menyelidik, Nyonya," kata Nyonya Baker. "Kalau mau, dengarkan
nasihat saya: kendalikan kegemaran Anda itu."
"Dari Amerika bagian mana asal Anda saja saya tak tahu."
"Itu juga tak penting. Saya sudah tidak berurusan dengan negara asal saya. Ada
alasannya kenapa saya tak dapat kembali ke sana. Kalau dapat membalas dendam
kepada negara itu, sungguh saya senang."
Hanya selama satu-dua detik ekspresi wajah dan suaranya memancarkan kekejian.
Tapi suaranya segera santai dan ceria lagi, seperti suara turis.
"Nah, sampai ketemu. Nyonya Betterton. Saya harap Anda akan senang sekali
berkumpul lagi dengan suami."
Hilary menyahut tak berdaya, "Di mana saya sekarang saja saya tak tahu, di dunia
bagian mana, maksud saya."
"Oh, itu gampang. Sekarang sudah tak perlu disembunyikan lagi. Suatu tempat
terpencil di Pegunungan Atlas. Tidak terlalu jauh kan-"
Nyonya Baker beranjak dan mengucapkan selamat tinggal kepada yang lain.
Dengan lambaian terakhir yang ceria ia berjalan melintasi lapangan terbang.
Pesawat sudah mengisi bensin dan pilotnya sedang berdiri menunggu.
Samar-samar Hilary bergidik. Pergilah satu-satunya penghubungnya dengan dunia
luar. Peters yang berdiri di sebelahnya, agaknya mengerti perasaannya.
"Tak dapat mundur lagi," katanya pelan. "Begitulah kita kukira."
Dr. Barron berkata pelan,
"Madame, Anda masih berani atau sekarang ingin mengejar kawan Amerika kita
dan ikut naik pesawat itu kembali-kembali ke dunia yang telah Anda tinggalkan?"
"Apa bisa saya pergi, seandainya saya mau?" tanya Hilary.
Si Prancis hanya mengangkat bahu. "Entahlah."
"Akan saya panggil dia?" tanya Andy Peters. "Tentu saja tak usah," sahut Hilary
ketus. Helga Needheim mencela, "Wanita lemah tempatnya bukan di sini."
"Dia tidak lemah," ujar Dr. Barron lembut, "cuma dia sedang bertanya-tanya
kepada diri sendiri. Itu kan biasa pada wanita yang cerdas."
Kata "cerdas" diberinya tekanan seperti akan mengatakan "cerdas seperti Anda
ini" terhadap si wanita Jerman. Sayang Helga sedikit pun tak tergugah mendengar katakata Dr. Barron. Helga Needheim memang meremehkan orang Prancis. Sebaliknya dia begitu
mantap dengan martabatnya sendiri.
Seperti biasa, dengan gugup Ericsson berkata, "Kalau kebebasan sudah di tangan,
bagaima mungkin kita berpikir-pikir akan pulang?"
Kata Hilary, "Tapi kalau bagi kita tak ada lagi kemungkinan untuk pulang, atau
memilih untuk pulang, bukan kebebasan itu namanya!"
Seorang pelayan datang dan berkata, "Mobil sudah siap berangkat. Silakan."
Lewat pintu yang berhadapan dengan pintu masuk tadi, mereka keluar dari gedung.
Dua mobil Cadillac sudah menanti, lengkap dengan sopir berseragam.
Hilary bilang dia lebih suka duduk di sebelah sopir, karena kadang-kadang dia
mabuk jika naik mobil besar. Penjelasan ini agaknya cukup mudah diterima semua
orang. Dalam perjalanan, Hilary mengajak sopir mengobrol. Tentang cuaca, tentang
bagusnya mobil yang mereka tumpangi. Bahasa Prancis Hilary cukup bagus dan
lancar, dan sopirnya cukup ramah. Sikapnya wajar dan apa adanya.
"Berapa lama kita akan sampai ke sana?" akhirnya Hilary bertanya.
"Di rumah sakit, maksud Anda" Mungkin sekitar dua jam, Madame."
Jawabannya membuat Hilary sedikit terkejut. Pantas, di gedung perhentian tadi
Helga Needheim mengganti pakaiannya dengan seragam perawat.
"Coba ceritakan sedikit tentang rumah sakit itu," katanya kepada sopir.
Sopir menyahut bersemangat.
"Ah, Madame, rumah sakit itu hebat sekali. Peralatannya termodern di seluruh
dunia. Sampai banyak dokter yang datang berkunjung terkagum-kagum. Sungguh
amal yang luar biasa bagi kemanusiaan."
"Mestinya," kata Hilary, "ya, ya, mestinya begitu."
"Orang-orang malang ini," kata sopir, "dulu biasanya dikucilkan sampai mati di
pulau-pulau terpencil. Tapi dengan sistem perawatan Dr. Kolini, persentase
kesembuhannya tinggi sekali. Bahkan juga untuk mereka yang sudah tak ada
harapan lagi." "Terpencil sekali rumah sakit ini," kata Hilary.
"Ah, Madame, memang situasinya menuntut rumah sakit ini dibangun di tempat
terpencil. Pemerintah pasti menuntut demikian. Tapi di sini udaranya sehat,
segar sekali. Nah, lihat, Madame, sekarang Anda bisa lihat ke mana kita pergi,"
kata sopir itu sambil menunjuk ke suatu arah.
Mereka sedang mendekati pegunungan. Rata di lerengnya, terlihat gedung putih
berkilauan. "Sungguh prestasi yang mengagumkan," kata sopir, "membangun gedung macam itu di
sini. Pasti menghabiskan dana banyak sekali. Madame, kita sangat berutang
budi kepada dermawan-dermawan dunia. Mereka tidak seperti pemerintah yang
biasanya cari murah saja. Di sini uang mengalir seperti air. Kabarnya pelindung
kami salah satu orang terkaya di dunia. Sungguh, prestasinya luar biasa dalam
meringankan penderitaan manusia."
Mereka masuk ke jalan kecil berkelok-kelok. Dan akhirnya sampai di depan
gerbang besi besar. "Anda harus turun di sini, Madame," kata sopir. "Mobil tidak boleh melewati
gerbang ini. Garasi mobil satu kilometer dari sini."
Para penumpang turun. Di gerbang ada genta besar, tapi sebelum ada yang
menyentuh genta itu pelan-pelan gerbang terbuka lebar-lebar.


Menuju Negeri Antah Berantah Destination Unknown Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sambil tersenyum, seorang pria Negro berjubah putih mempersilakan masuk.
Mereka melintasi gerbang; di satu sisi mereka melihat lapangan besar yang
dipagari tinggi dengan kawat berduri.
Di lapangan itu banyak orang berjalan-jalan. Ketika orang-orang itu menoleh
memandang mereka, Hilary terhenyak kaget. "Lho, penderita lepra!" teriaknya.
"Lepra!" Tubuhnya gemetar ketakutan.
Bab 11 Pintu gerbang Koloni Lepra berdentang menutup di belakang mereka.
Perasaan Hilary berkecamuk putus asa. Buanglah harapan, hai kalian yang masuk
kemari... Inilah akhir segalanya. segalanya. Jalan keluar apa saja yang tadinya ada kini
lenyap. Sekarang dia sebatang kara di sarang musuh Sebentar lagi topengnya akan terbuka
dan terjerumuslah dia ke dalam jurang kegagalan.
Di bawah sadar sebenarnya hal itu telah diketahuinya sepanjang hari. Tapi
ingatan akan hal itu selalu tenggelam dalam optimisme. Dia ngotot berpikir masa
diri ini akan lenyap" Di Casablanca dia bertanya kepada Jessop, "Kapan aku bertemu Betterton?"
Waktu itu Jessop menjawab, justru inilah saat-saat kritisnya. Kata Jessop, dia
berharap pada saat kritis itu dia akan bisa memberikan perlindungan kepada
Sejengkal Tanah Sepercik Darah 14 Rajawali Emas 18 Seruling Haus Darah Suramnya Bayang Bayang 15

Cari Blog Ini