Ceritasilat Novel Online

Menuju Negeri Antah Berantah 1

Menuju Negeri Antah Berantah Destination Unknown Karya Agatha Christie Bagian 1


MENUJU NEGERI ANTAH BERANTAH
DESTINATION UNKNOWN By Agatha Christie (1955) Djvu: Aoi & Dewi KZ http://kangzusi.com Edit & Convert Jar, Txt, Pdf: inzomnia
http://inzomnia.wapka.mobi
Re editeb by: Farid ZE Blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu
Bab 1 Pria di belakang meja itu menggeser penindih kertas yang berat dari kaca empat
inci ke kanan. Wajahnya lebih tepat disebut tanpa ekspresi, daripada sedang
berpikir keras atau merenung. Wajah itu pucat, karena hampir sepanjang liari
hidup di bawah sinar lampu.
Bisa kita duga, orang itu adalah orang yang selalu di rumah. Orang kantoran.
Entah bagaimana, kenyataan bahwa untuk sampai di kantornya kita mesti berjalan
menyusuri koridor bawah tanah yang panjang dan berkelok-kelok, terasa cocok.
Sulit menduga berapa usianya. Dia tidak nampak tua, muda pun tidak. Wajahnya
licin tak berkerut, dan matanya-nampak letih sekali.
Pria satunya di ruangan itu lebih tua. Kulitnya coklat karena matahari dan
kumisnya tipis, ala militer. Sikapnya gugup, siap siaga, dan enerjinya meletupletup. Bahkan sekarang pun, karena tak dapat duduk tenang, dia mondar-mandir,
sambil berkali-kali nyeletuk dengan nada kesal.
"Laporan!" katanya jengkel. "Laporan, laporan, terus laporan, tapi tak ada satu
pun yang baik!" Pria yang di meja itu memandangi kertas-kertas di hadapannya. Paling atas tampak
kartu berjudul, "Betterton, Thomas Charles".
Nama itu disusul dengan tanda tanya.
Pria di meja dengan serius mengangguk. Katanya, "Kau telah membaca semua
laporan ini dan tak ada satu pun yang memuaskan?"
Pria satunya mengangkat bahu.
"Tak ada yang bisa bilang," katanya.
Pria di belakang meja menghela napas.
"Ya," katanya, "itulah. Tak bisa bilang memang."
Si pria yang lebih tua melanjutkan bicaranya bagaikan rentetan tembakan senapan
mesin, "Laporan dari Roma; laporan dari Touraine; kelihatan di Riviera; terlihat
di Antwerpen; teridentifikasi dengan pasti di Oslo; terlihat dengan pasti di
Biarritz; dari pengamatan tampak tingkahnya mencurigakan di Strasbourg; tampak
di pantai di Ostend dengan wanita pirang yang mempesona; dilihat sedang berjalan-jalan di
Brussels dengan seekor anjing greyhound! Yang belum cuma dilihat di kebun
binatang sambil merangkul zebra!"
"Kau sendiri tak punya pandangan, Wharton" Sebetulnya aku sendiri menaruh
harapan pada laporan Antwerpen, tapi laporan itu belum membawa kita ke manamana. Tentu saja, sekarang-" orang muda itu terdiam sebentar-seperti melamun.
Ketika sadar kembali, samar-samar dan dengan penuh rahasia berkata lagi, "Ya,
mungkin... namun demikian-bagaimana, ya?"
Kolonel Wharton mendadak duduk di lengan sebuah kursi.
"Tapi kita harus cari," nadanya tetap mendesak. "Kita harus tembus tabir misteri
segala macam bagaimana, kenapa, dan di mana ini. Kita toh tak mungkin
membiarkan hilangnya seorang ilmuwan, setiap bulan, tanpa punya gagasan sedikit
pun bagaimana mereka pergi, kenapa mereka pergi atau ke mana! Itu kan
masalahnya-atau bukan" Selama ini kita selalu beranggapan bahwa hal itu wajar,
tapi sekarang aku jadi tak terlalu yakin. Sudah baca semua informasi tentang
Betterton dari Amerika?"
Pria di belakang meja mengangguk.
"Cenderung kekiri-kirian pada masa semua orang demikian. Sejauh yang
ditemukan, kecenderungannya tidak ada yang bersifat permanen. Kedengarannya
dia bekerja juga sebelum perang, tapi tak ada yang spektakuler. Ketika Mannheim
lari dari Jerman, Betterton dikirim untuk menjadi asistennya dan akhirnya dia
menikah dengan anak perempuan Mannheim. Setelah Mannheim meninggal, dia
terus bekerja, sendiri, dan menghasilkan karya gemilang. Dia jadi terkenal
dengan penemuan ZE Fission-nya yang mengejutkan itu. ZE Fission merupakan
penemuan yang brilyan dan sungguh-sungguh revolusioner. Betterton menjadi ilmuwan top.
Dari situ karier gemilang sudah terhampar di depan matanya, tapi istrinya
meninggal tak lama setelah menikah. Betterton hancur-luluh. Ia pindah ke
Inggris. Delapan belas bulan terakhir dia di Harwell. Baru enam bulan yang lalu dia
menikah lagi." "Ada sesuatu di situ?" tanya Wharton tajam.
Yang satunya menggeleng. "Tidak, sejauh yang kami temukan. Dia anak pengacara setempat. Bekerja di
kantor asuransi sebelum menikah. Tak punya sangkut-paut dengan politik."
"ZE Fission," ujar Kolonel Wharton muram, tak senang. "Apa yang mereka maksudkan
dengan semua istilah ini, sungguh bikin aku bingung. Aku ini kuno.
Bentuk molekul saja belum pernah kubayangkan, tapi lihat mereka sekarang
membelah seluruh dunia! Bom atom, fisi nuklir, fisi ZE, dan lain-lain semacam
itu. Dan Betterton adalah salah satu gembong tukang belah tersebut! Apa komentar
orang-orang Harwell tentang dia?"
"Kepribadiannya amat menyenangkan. Tentang pekerjaan, tak ada yang menonjol
atau spektakuler. Hanya variasi-variasi dalam penerapan praktis ZEF."
Keduanya terdiam sejenak. Percakapan mereka tak tentu arah, hampir-hampir
otomatis. Laporan dari pihak keamanan menggunung di meja, tapi tak ada yang
menyodorkan informasi berharga.
"Tentu, saja waktu tiba di sini dia mendapat pengawalan ketat," kata Wharton.
"Ya, semua berjalan memuaskan."
"Delapan belas bulan yang lalu," kata Wharton serius. "Kau tahu, pengawalan
seperti itu membuat mereka tertekan. Tindakan pencegahan keamanan. Mereka
merasa terus-menerus diawasi dan hidupnya terkungkung. Mereka jadi penggugup
dan aneh. Sudah cukup sering aku melihat orang-orang yang demikian itu. Lalu
mereka mulai mengimpikan dunia ideal. Kebebasan dan persaudaraan, pemusatan
segala rahasia, dan bekerja demi kemanusiaan! Nah, itulah saatnya, seseorang,
yang kurang-lebih justru manusia-manusia ampas, melihat kesempatan dan
mengambil kesempatan itu!"
Dia mengusap hidung. "Tak ada yang lebih mudah disesatkan daripada ilmuwan,"
katanya. "Semua medium palsu bilang begitu. Tak tahulah, kenapa."
Yang satunya tersenyum, senyumnya amat letih.
"Oh, ya," katanya, "mestinya memang begitu. Soalnya mereka pikir mereka tahu.
Di situlah bahayanya. Nah, kalau kita lain. Kita ini orang-orang yang rendah
hati. Kita tidak berharap dapat menyelamatkan dunia. Kita cuma membereskan satu-dua
bagian atau mengeluarkan satu-dua pengacau jika mereka menghambat kerja kita."
Sambil serius berpikir, jari-jarinya mengetuk-ngetuk meja.
"Kalau saja aku tahu lebih banyak tentang Betterton," katanya. "Bukan tentang
hidup atau tindakan-tindakannya, tetapi mengenai hal-hal keseharian yang justru
banyak mengutarakan sesuatu. Lelucon apa yang dia sukai. Apa yang membuatnya
memaki. Siapa orang yang dia puja dan siapa yang dia benci."
Wharton memandang ingin tahu.
"Bagaimana dengan istrinya-kau sudah coba?"
"Beberapa kali."
"Dia tak bisa bantu?"
Yang satu cuma mengangkat bahu.
"Sampai sekarang belum."
"Kaupikir dia mengetahui sesuatu?"
"Tentu saja dia tak mengaku kalau dia tahu sesuatu. Reaksinya melulu reaksi yang
biasa: resah, sedih, khawatir setengah mati, katanya tak ada tanda-tanda
sebelumnya, kehidupan suaminya sepenuhnya normal, tidak tertekan atau yang
sebangsanya-dan seterusnya dan seterusnya. Teorinya sendiri, suaminya itu
diculik orang." "Dan kau tak percaya?"
"Aku ini sudah terlanjur," kata pria di belakang meja. "Aku memang tak pernah
percaya pada siapa pun."
"Yah," ujar Wharton pelan, "kukira pikiran kita memang harus terbuka. Seperti
apa dia?" "Jenis wanita yang biasa kita lihat main bridge."
Wharton mengangguk paham.
"Itu membuat masalahnya lebih sulit lagi," katanya.
"Dia ada di sini akan menemuiku sekarang. Kami akan menelusuri hal-hal yang
sama lagi." "Itu satu-satunya jalan," kata Wharton. "Tapi aku tak sanggup melakukannya. Tak
cukup sabar." Ia bangkit. "Baiklah, aku tak akan mengganggumu lagi. Kita belum mendapat
cukup kemajuan, bukan?"
"Sayang, belum, kau bisa cek laporan Oslo itu. Tempatnya memungkinkan."
Wharton mengangguk, lalu keluar. Pria satunya mengangkat gagang telepon di
dekat sikunya dan berkata,
"Aku mau ketemu Nyonya Betterton sekarang. Suruh dia masuk."
Pria itu duduk menerawang sampai terdengar ada ketukan di pintu.
Nyonya Betterton dipersilakan masuk. Wanita itu bertubuh jangkung, berusia
sekitar dua puluh tujuh. Cirinya yang paling menonjol adalah rambutnya yang
merah mempesona. Di bawah pesona ini, wajahnya seolah-olah jadi kurang berarti.
Matanya biru kehijauan dan bulu matanya tipis, seperti biasanya pada orang-orang
berambut merah. Pria itu melihat, Nyonya Betterton tidak merias wajahnya. Dipertimbangkannya
hal itu sambil menyalami Nyonya Betterton dan mempersilakannya duduk di
sebuah kursi dekat meja. Dia jadi sedikit lebih condong lagi pada pendapat bahwa Nyonya Betterton
sebenarnya mengetahui lebih banyak dari yang diakuinya.
Berdasarkan pengalaman, wanita yang sedang dilanda kesedihan atau
kekhawatiran yang hebat justru tidak mengabaikan rias wajahnya. Sadar betapa
kesedihan merusak penampilannya, mereka berusaha betul memperbaiki
penampilan mereka. Dia menduga-duga apakah Nyonya Betterton sengaja tidak
merias wajahnya, agar penampilannya sebagai istri yang sedang kebingungan lebih
mantap" Nyonya Betterton berkata, agak terengah,
"Oh, Tuan Jessop, sungguh saya harap-sudah ada kabar?"
Jessop hanya menggeleng dan berkata dengan lembut, "Maaf sekali saya telah
minta Anda datang dalam keadaan seperti ini, Nyonya Betterton. Saya rasa kami
belum memperoleh berita yang pasti untuk Anda."
Olive Betterton menyahut cepat, "Saya tahu. Anda sudah mengatakan itu dalam
surat. Saya cuma menduga saja kalau-kalau-sejak itu-oh! Saya senang kok datang
kemari. Duduk-duduk saja di rumah sambil menduga-duga dan berkeluh-kesahitulah yang paling tak enak. Soalnya, tak ada yang bisa kita lakukan!"
Orang yang dipanggil Jessop itu berkata menghibur, "Jangan Anda keberatan,
Nyonya Betterton, jika saya mengulang-ulang topik yang sama, menanyakan halhal yang sama, menekankan hal-hal yang sama. Soalnya selalu saja ada
kemungkinan akan muncul satu pokok kecil. Sesuatu yang mungkin belum
terpikirkan oleh Anda, atau mungkin yang tadinya Anda pikir tidak cukup penting
untuk disebutkan." "Ya. Ya, saya mengerti. Tanyakan saja kembali semuanya."
"Terakhir kalinya Anda bertemu suami Anda adalah pada tanggal 23 Agustus?"
"Ya." "Waktu itu dia sedang akan meninggalkan Inggris menuju Paris untuk menghadiri
konferensi di sana."
"Ya." Jessop melanjutkan dengan cepat, "Dia hadir dalam dua hari pertama konferensi
itu. Pada hari ketiga dia tidak muncul. Tapi tampaknya dia telah mengatakan
kepada salah satu rekannya, bahwa hari itu dia mengganti acara konferensi dengan
berjalan-jalan naik bateau mouche."
"Bateau mouche" Apa itu bateau mouche?" Jessop tersenyum.
"Perahu-perahu kecil yang berlayar di sepanjang Sungai Seine."
Dipandanginya Nyonya Betterton tajam-tajam. "Menurut Anda apakah tindakan itu
tidak seperti kebiasaan suami Anda?"
Dia menjawab ragu-ragu. "Agak tidak seperti biasanya. Saya pikir tadinya, dia tentu berminat sekali pada
apa saja yang terjadi di konperensi itu."
"Mungkin. Betapa pun pokok diskusi hari itu tidak termasuk bidang yang
diminatinya secara khusus, jadi masuk akal juga jika dia meliburkan diri sehari.
Tapi menurut Anda tindakan demikian itu tidak seperti kebiasaan suami Anda?"
Dia menggeleng. "Tidak seperti biasanya."
"Sore itu dia tidak pulang ke hotel," Jessop melanjutkan. "Sejauh yang dapat
dipastikan, dia tidak melewati perbatasan mana pun, yang pasti tidak dengan
paspornya sendiri. Menurut Anda apakah ada kemungkinan dia punya paspor
kedua, dengan nama lain mungkin?"
"Oh, tidak, untuk apa?"
Jessop memperhatikan Nyonya Betterton. "Anda tak pernah melihatnya memiliki
yang semacam itu?" Ia menggeleng keras-keras. "Tidak dan saya tidak percaya itu. Sedikit pun saya
tidak percaya. Saya tidak percaya dia pergi dengan sengaja seperti yang kalian
semua ingin buktikan. Ada sesuatu yang terjadi padanya, atau-atau mungkin dia
kehilangan ingatannya."
"Kesehatannya selama ini baik-baik saja?"
"Ya. Dia bekerja sedikit keras dan kadang-kadang merasa agak capek. Tak lebih
dari itu." "Dia tidak kelihatan resah atau tertekan?"
"Dia tidak resah atau tertekan tentang apa pun!" Dengan jari-jari gemetaran dia
membuka tas dan mengeluarkan sapu tangan.
"Sungguh tak menyenangkan semua ini." Suaranya bergetar. "Saya tak bisa percaya.
Tak pernah dia pergi tanpa pamit. Pasti ada sesuatu yang menimpanya.
Dia diculik atau mungkin diserang orang. Saya mencoba tidak memikirkan itu, tapi
saya merasa pasti itulah jawabannya. Tentu dia sudah tewas."
"Nah, nah, Nyonya Betterton-tak perlu menduga-duga seperti itu dulu. Kalau
beliau tewas, tentu tubuhnya sudah ditemukan orang sekarang."
"Mungkin saja tidak ditemukan. Hal-hal yang mengerikan bisa terjadi. Mungkin dia
ditenggelamkan atau didorong ke dalam saluran air. Saya yakin, apa saja bisa
terjadi di Paris." "Saya yakin, Nyonya Betterton, Paris punya polisi yang terpercaya."
Dia menyingkirkan sapu tangan dari matanya dan melotot marah kepada Jessop.
"Saya tahu apa yang Anda pikirkan, tapi bukan itu! Tom tak mungkin menjual atau
membocorkan rahasia. Dia bukan komunis. Seluruh kehidupannya tak ada yang
rahasia-rahasiaan." "Apa keyakinan politiknya, Nyonya Betterton?"
"Di Amerika dia demokrat. Di sini dia memberi suara kepada Partai Buruh. Dia tak
tertarik politik. Dia seorang ilmuwan, hanya itu saja."
"Ya," kata Jessop, "dia ilmuwan yang brilyan. Itulah inti masalahnya. Anda tahu,
mungkin saja dia mendapat penawaran yang besar sekali untuk meninggalkan
negerinya, pergi entah ke mana."
"Tidak benar." Kemarahannya meluap lagi. "Memang itu yang koran-koran inginkan.
Itu juga yang kalian semua pikirkan kalau menanyai saya. Tidak benar.
Tak mungkin dia pergi tanpa pamit kepada saya, tanpa memberi petunjuk sedikit
pun." "Dan dia tidak berkata apa-apa kepada Anda?"
Lagi-lagi Jessop memperhatikan Nyonya Betterton lekat-lekat.
"Tidak. Saya tak tahu di mana dia. Saya kira dia diculik, atau kalau tidak,
seperti kata saya tadi, tewas. Tapi jika dia tewas, saya harus tahu. Saya harus
tahu segera. Saya tak bisa terus-menerus begini, menunggu dan menduga-duga. Saya tidak bisa
makan ataupun tidur. Saya bosan dan sebal terus-terusan resah. Tak dapatkah Anda
menolong saya" Sama sekali tak dapat?"
Jessop bangkit dan mengitari mejanya. Gumamnya, "Saya menyesal, Nyonya
Betterton, sungguh-sungguh menyesal. Yakinlah, kami sedang berusaha sekeras
mungkin untuk mengetahui apa yang terjadi dengan suami Anda. Setiap hari kami
mendapat laporan dari berbagai tempat."
"Laporan dari mana?" tanyanya tajam. "Apa kata laporan-laporan itu?"
Jessop menggeleng. "Semua laporan itu harus diselidiki, diteliti, dan dites. Tapi pada prinsipnya,


Menuju Negeri Antah Berantah Destination Unknown Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saya khawatir, semua laporan itu amat tak jelas."
"Saya harus tahu," gumamnya terputus-putus. "Saya tak sanggup terus begini."
"Apakah Anda sayang sekali pada suami Anda, Nyonya Betterton?"
"Tentu saja. Kami kan baru enam bulan menikah. Baru enam bulan."
"Ya, saya tahu. Waktu itu-maaf-kalian tidak sedang bertengkar?"
"Oh, tidak!" "Tak ada masalah wanita lain?"
"Tentu saja tidak. Sudah saya katakan, kami menikah baru bulan April yang lalu."
"Percayalah, saya juga tak menginginkan hal itu terjadi. Masalahnya kita mesti
memperhitungkan segala kemungkinan yang menyebabkan hilangnya suami Anda.
Menurut Anda akhir-akhir ini dia tidak sedang kesal, atau resah-tidak guguptidak khawatir" "Tidak, tidak, tidak!"
"Orang memang jadi penggugup, Nyonya Betterton, jika pekerjaannya seperti
suami Anda itu. Dia hidup dalam kondisi penjagaan yang ketat luar biasa. Bahkan" Jessop tersenyum, "-hampir-hampir dapat dikatakan sudah wajar kalau dia
menjadi penggugup." Nyonya Betterton tidak ikut tersenyum.
"Dia biasa-biasa saja," katanya tanpa ekspresi.
"Dia bahagia dengan pekerjaannya" Apakah dia membicarakan pekerjaannya
dengan Anda?" 'Tidak, semuanya terlalu teknis."
"Anda tak berpikir mungkin dia risau pada kemungkinan-kemungkinan
destruktifnya" Kadang-kadang ilmuwan punya perasaan demikian."
"Dia tak pernah mengutarakan yang seperti itu."
"Begini, Nyonya Betterton," dia mencondongkan tubuhnya di meja, sikap
tenangnya agak goyah, "saya sedang berusaha memperoleh gambaran tentang
suami Anda. Orang macam apa dia. Tapi Anda tidak bersikap membantu."
"Tapi apa lagi yang dapat saya katakan atau kerjakan" Saya kan sudah menjawab
semua pertanyaan Anda."
"Ya, Anda menjawab semua pertanyaan saya, tapi umumnya dalam bentuk negatif.
Saya ingin yang positif, yang konstruktif. Mengerti yang saya maksud" Kita bisa
mencari seseorang dengan jauh lebih baik, kalau kita tahu orang macam apa dia."
Nyonya Betterton berpikir sebentar. "saya mengerti. Sekurang-kurangnya, saya
merasa mengerti. Yah, Tom orang yang ceria dan baik sikapnya. Dan pandai, tentu
saja." Jessop tersenyum. "Itu sifat dan pembawaan. Mari kita lihat yang lebih pribadi
sifatnya. Apakah dia banyak membaca?"
"Ya, banyak juga."
"Buku macam apa?"
"Oh, biografi. Buku-buku yang direkomendasi oleh Book Society, kisah kriminal
kalau sedang lelah."
"Pembaca yang agak konvensional juga. Tak ada kesukaan khusus" Main kartu
atau catur?" "Dia suka main bridge. Kami biasa bermain dengan Dr. Evans dan istrinya, satudua kali seminggu." "Suami Anda punya banyak kawan?"
"Oh, ya, dia pandai bergaul."
"Bukan hanya itu. Maksud saya apakah dia orang yang-amat memperhatikan
kawan-kawannya?" "Dia suka main golf dengan tetangga satu-dua."
"Tak punya teman-teman khusus?"
"Tidak. Soalnya dia lama di Amerika, dan lahirnya di Kanada. Dia tak kenal
banyak orang di sini."
Jessop melihat ke secarik kertas di dekat sikunya.
"Belum lama ini ada tiga orang Amerika datang mengunjunginya. Saya punya
nama-nama mereka di sini. Sejauh yang kami ketahui, ketiga orang ini adalah
satu- satunya orang luar yang berhubungan dengannya. Itu sebabnya, kami memberi
mereka perhatian khusus. Nah pertama, Walter Griffiths. Dia datang ke Harwell
menemui kalian." "Ya, dia kebetulan berkunjung ke Inggris lalu datang menengok Tom."
"Dan reaksi suami Anda?"
"Tom terkejut, tapi senang sekali. Mereka kenal baik waktu di Amerika."
"Bagaimana Griffiths ini menurut Anda" Lukiskan dengan kata-kata Anda sendiri."
"Tapi tentunya Anda sudah tahu segalanya tentang dia?"
"Ya, kami tahu segalanya tentang dia. Tapi saya ingin mendengar bagaimana
pendapat Anda." Wanita itu berpikir sebentar.
"Yah, dia serius dan agak suka omong. Terhadap saya amat sopan dan kelihatan
sangat menyukai Tom. Dia tampak bersemangat menceritakan hal-hal yang terjadi
setelah Tom pindah ke Inggris. Gosip-gosip setempat, saya rasa. Bagi saya tak
terlalu menarik, karena orang-orangnya tidak saya kenal. Lagi pula sementara
mereka bernostalgia, saya sibuk menyiapkan makan malam."
"Tak ada masalah politik yang muncul?"
"Anda mencoba menyiratkan bahwa dia komunis." Wajah Olive Betterton
memerah. "Saya yakin, bukan. Dia bekerja di kantor pemerintah -Kantor Pengacara
Distrik, saya kira. Lagi pula ketika Tom mengejek soal perburuan tukang sihir di
Amerika, dengan serius dia menjawab bahwa orang-orang sini tak mengerti.
Padahal perburuan itu perlu. Jadi itu menunjukkan dia bukan komunis!"
"Aduh, aduh, Nyonya Betterton, jangan marah."
"Tom bukan komunis! Saya terus-terusan mengatakannya, tapi Anda tak percaya."
"Saya percaya, tapi pokok masalah itu mau tidak mau pasti muncul. Nah, sekarang
kontak kedua dengan orang dari luar negeri, Dr. Mark Lucas. Kalian berjumpa
dengannya di London, di Dorset."
"Ya. Setelah menonton sebuah pertunjukan, kami makan malam di Dorset.
Mendadak orang ini, Luke atau Lucas, menghampiri dan menyalami Tom. Dia ahli
kimia riset atau semacam itu dan terakhir bertemu Tom di Amerika. Dia pengungsi
Jerman yang telah menjadi warga negara Amerika. Tapi tentu Anda-"
"Tapi tentunya saya sudah tahu tentang itu" Ya, memang, Nyonya Betterton.
Suami Anda terkejut ketika bertemu dengannya?"
"Ya, terkejut sekali."
"Senang?" "Ya-ya-saya kira demikian."
"Tapi Anda tak yakin?" dia mendesak.
"Yah, Tom tidak terlalu dekat dengannya, begitu kata Tom sesudahnya. Itu saja."
"Jadi hanya pertemuan sambil lalu saja" Tak ada perjanjian akan bertemu setelah
itu?" "Tak ada, hanya sambil lalu saja."
"Begitu. Kontak ketiga dengan orang dari luar negeri adalah dengan seorang
wanita, Nyonya Carol Speeder, juga dari Amerika Serikat. Bagaimana ceritanya?"
"Dia ada hubungan dengan PBB. Kenal dengan Tom di Amerika dan dia
menelepon Tom dari London, mengatakan dia ada di Inggris dan bertanya apakah
suatu hari kami dapat datang dan makan siang bersama."
"Kalian datang?"
"Tidak." "Anda tidak, tapi suami Anda ya!"
"Apa"!" Nyonya Betterton terpana. "Dia tak mengatakannya?"
"Tidak." Olive Betterton tampak bingung dan gelisah. Jessop merasa agak kasihan juga,
tetapi dia mengeraskan harinya. Untuk pertama kalinya dia berpikir, mungkin
sekali ini akan ada hasilnya.
"Saya tak mengerti," kata Nyonya Betterton ragu-ragu. "Rasanya lucu sekali dia
tak cerita sesuatu pun tentang itu."
"Mereka makan siang bersama di Dorset tempat Nyonya Speeder menginap, pada
hari Rabu, 12 Agustus."
"12 Agustus?" "Ya." "Ya, dia memang ke London sekitar waktu itu.... Dia tak pernah cerita apa-apa-"
Kalimatnya terputus lagi, lalu melompat pertanyaan dari mulutnya. "Seperti apa
wanita itu?" Jessop menjawab cepat dengan nada menghibur.
"Sama sekali bukan tipe wanita mempesona, Nyonya Betterton. Wanita karier yang
kompeten dan masih muda. Usianya tiga puluh lebih, tidak cantik. Sama sekali
tidak ada petunjuk bahwa dia punya hubungan intim dengan suami Anda. Itulah
anehnya, mengapa dia tak cerita sama sekali tentang hal itu kepada Anda."
"Ya, ya, saya paham."
"Nah, sekarang pikir betul-betul, Nyonya Betterton. Apakah Anda melihat ada
perubahan pada suami Anda sekitar waktu itu" Katakan saja sekitar pertengahan
Agustus" Jadi kira-kira seminggu sebelum konferensi."
"Tidak-tidak, saya tak melihat apa-apa. Tak ada gejala aneh apa pun."
Jessop menghela napas. Telepon di mejanya berdering. Dia mengangkat gagangnya.
"Ya," katanya. Suara di ujung sana berkata, "Ada orang minta bertemu dengan orang yang
mengurus kasus Betterton, Pak."
"Siapa namanya?"
Suara di sana mendehem sopan.
"Yah, saya tak begitu tahu bagaimana mengucapkannya, Tuan Jessop. Mungkin
sebaiknya saya eja saja."
"Baik. Mulailah."
Jessop mencatat huruf-huruf yang didiktekan lewat telepon di buku catatannya.
"Orang Polandia?" akhirnya dia bertanya.
"Dia tak mengatakan, Pak. Bahasa Inggrisnya bagus, tapi dengan sedikit logat
asing." "Suruh tunggu."
"Baik, Pak." Jessop meletakkan telepon. Kemudian dia menatap Olive Betterton, yang duduk
saja di sana: diam, putus asa, dan pasrah. Dia menyobek kertas yang baru saja
ditulisinya, lalu menyorongkannya kepada Nyonya Betterton.
"Kenal seseorang dengan nama itu?" tanyanya.
Matanya melebar ketika membacanya. Sejenak menurut pendapatnya, Nyonya
Betterton tampak ketakutan.
"Ya," katanya. "Saya kenal. Dia mengirim surat kepada saya."
"Kapan?" "Kemarin. Dia sepupu istri pertama Tom. Dia baru saja datang di negeri ini. Dia
amat prihatin dengan lenyapnya Tom. Dalam surat dia bertanya kalau -kalau saya
sudah mendapat berita dan- dia menyatakan simpati sedalam-dalamnya."
"Anda belum pernah mendengar tentang dia sebelumnya?"
Nyonya Betterton menggeleng.
"Pernah dengar suami Anda membicarakannya?"
"Tidak." "Jadi sebenarnya bisa saja dia sama sekali bukan sepupu suami Anda?"
"Yah, bisa saja, saya kira bisa saja. Saya tak pernah berpikir sampai ke situ."
Dia tampak terkejut. "Tapi istri pertama Tom kan orang asing. Dia anak Profesor
Mannheim. Orang ini kelihatannya tahu segalanya tentang Tom dan istrinya itu
dalam suratnya. Isi suratnya sopan sekali dan resmi dan -dan berbau asing,
begitulah Anda kan tahu. Kelihatannya memang dia orangnya. Lagi pula, apa
maksudnya- seandainya dia orang yang menyamar?"
"Aa, itulah yang selalu kita pertanyakan." Jessop tersenyum samar. "Kami di sini
begitu seringnya mempertanyakan hal itu, sampai kami dapat menangkap
kejanggalan yang paling kecil sekali pun!"
"Ya, saya kira mestinya memang begitu." Mendadak dia bergidik. "Persis seperti
kamar Anda ini, di tengah keruwetan koridor yang simpang-siur, seperti jika kita
bermimpi tak bakal dapat keluar...."
"Ya, ya, dapat saya bayangkan kantor ini menimbulkan perasaan seperti Anda
terkurung di tempat tertutup," ujar Jessop tetap ramah.
Olive Betterton mengangkat tangan dan menyibakkan rambut yang menutupi
keningnya. "Anda tahu, saya sudah tak tahan lagi," katanya. "Duduk dan menunggu saja. Saya
ingin pergi ke suatu tempat untuk berganti suasana. Ke luar negeri misalnya. Ke
tempat di mana saya tidak akan terus-menerus ditelepon wartawan dan dipandangi
orang. Di sini saya selalu bertemu teman-teman. Mereka terus saja bertanya
apakah saya sudah mendapat berita." Dia berhenti sebentar, kemudian melanjutkan,
"Saya rasa-saya rasa saya hampir ambruk. Saya sudah berusaha tabah, tapi ini
terlalu berat untuk saya. Dokter saya setuju. Katanya sebaiknya saya pergi ke suatu
tempat selama tiga atau empat minggu. Dia menuliskan surat untuk saya. Ini saya
bawa." Tangannya merogoh tas, lalu mengeluarkan sebuah amplop dan amplop itu
disorongkannya di meja, kepada Jessop.
"Anda bisa baca apa katanya."
Jessop mengeluarkan surat dari amplop itu dan membacanya.
"Ya," katanya. "Ya, saya mengerti."
"Jadi-jadi tak apa-apa kalau saya pergi?" Matanya gugup menatap Jessop.
"Tentu saja, Nyonya Betterton," jawabnya. Alisnya terangkat heran. "Kenapa
tidak?" "Tadinya saya kira Anda akan melarang."
"Melarang-kenapa" Ini sepenuhnya urusan Anda. Anda bisa mengatur sehingga
saya dapat menghubungi Anda selama Anda pergi, kalau-kalau ada berita."
"Oh, tentu." "Anda akan pergi ke mana?"
"Ke tempat yang panas, yang tidak terlalu banyak orang Inggrisnya. Barangkali ke
Spanyol atau Maroko."
"Bagus sekali. Saya yakin akan banyak manfaatnya bagi Anda."
"Oh, terima kasih. Terima kasih banyak."
Ia bangkit, penuh semangat, gembira-tapi dengan kegugupan yang masih nampak.
Jessop bangkit, berjabatan tangan dengannya, menekan tombol memanggil seorang
utusan untuk mengantar Nyonya Betterton keluar.
Dia kembali ke kursinya dan duduk. Beberapa lama wajahnya tetap tanpa ekspresi,
kemudian pelan-pelan dia tersenyum. Diangkatnya telepon.
"Aku ingin bertemu Mayor Glydr sekarang," katanya.
Bab 2 "Mayor Glydr?" Jessop agak ragu-ragu menyebutkan nama itu.
"Sukar memang," sang tamu berkata dengan nada berkelakar. "Orang-orang bangsa
Anda, mereka menyebut saya Glider, waktu perang. Sekarang, di Amerika Serikat,
saya akan mengubah nama saya menjadi Glyn, supaya mudah bagi semua orang."
"Anda baru datang dari Amerika?"
"Ya, Saya tiba seminggu yang lalu. Anda -maaf-Tuan Jessop?"
"Saya Jessop." Mayor Glydr memandangi Jessop dengan penuh minat.
"Begitu," katanya. "Saya sudah mendengar tentang Anda."
"Oh, ya" Dari siapa?"
Mayor Glydr hanya tersenyum.
"Mungkin kita ini terlalu cepat. Sebelum Anda izinkan saya mengajukan beberapa
pertanyaan, pertama-tama saya ingin menunjukkan surat ini, dari Kedutaan Besar
Amerika Serikat." Dia menyerahkannya sambil membungkuk. Jessop menerimanya, membaca kata
pengantarnya yang ringkas dan sopan, lalu meletakkannya. Diamat-amatinya
tamunya. Orangnya tinggi, sikapnya agak kaku, berusia tiga puluh atau sekitar
itu. Rambut pirangnya tercukur pendek seperti gaya Eropa. Bicaranya lambat dan
berhati-hati, dengan aksen asing yang jelas, meskipun tata bahasanya benar.
Jessop melihat, bahwa dia sama sekali tidak gugup atau kehilangan kepercayaan
diri. Itu saja sudah luar biasa.
Umumnya orang-orang yang masuk ke kantor ini selalu gugup, tegang atau resah.
Kadang-kadang mereka suka penuh tipu daya, kadang-kadang galak.
Orang ini benar-benar menguasai diri. Seorang pria dengan wajah pemain poker
yang tahu apa yang dikerjakannya dan mengapa. Yang tidak mudah diakali atau
dijebak sehingga terlanjur omong terlalu banyak, Jessop berkata ramah, "Dan apa
yang bisa kami tolong?"
"Saya kemari ingin bertanya apakah sudah ada berita lagi tentang Thomas
Betterton, yang baru-baru ini menghilang dengan cara yang sensasional. Saya
tahu, kita tak dapat sepenuhnya percaya pada apa yang ditulis pers, jadi saya
bertanya siapakah sumber informasi yang terpercaya. Mereka bilang-Anda."
"Maaf, kami belum mempunyai informasi yang pasti tentang Betterton."
"Saya kira mungkin dia sedang dikirim ke luar negeri untuk misi tertentu." Dia
diam sebentar, kemudian menambahkan dengan agak menggoda, "Anda tahu toh,
misi sst-sst."

Menuju Negeri Antah Berantah Destination Unknown Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tuan yang terhormat," Jessop kelihatan kurang suka, "Betterton itu ilmuwan,
bukan diplomat atau agen rahasia."
"Oh, saya ditegur. Tapi label kan belum tentu benar. Anda pasti ingin tahu
mengapa saya mempunyai perhatian besar pada soal ini. Thomas Betterton itu
famili saya karena hubungan perkawinan."
"Ya. Anda kemenakan almarhum Profesor Mannheim."
"Aa, Anda sudah tahu itu. Kalian di sini tahu banyak rupanya."
"Banyak orang datang dan bercerita kepada kami," gumam Jessop. "Tadi istri
Betterton ke sini. Dia yang mengatakan. Anda sudah menulis surat kepadanya."
"Ya, menyatakan keprihatinan saya dan bertanya kalau-kalau dia telah mendapat
berita lagi." "Tindakan yang tepat sekali."
"Ibu saya satu-satunya saudara perempuan Profesor Mannheim. Mereka sangat
rukun. Di Warsawa ketika masih kecil, saya sering bertandang ke rumah paman
saya; dan anaknya, Elsa, sudah seperti adik bagi saya. Ketika ayah-ibu saya
meninggal, saya tinggal bersama paman dan sepupu saya. Masa itu benar-benar
indah. Kemudian perang meletus, dengan tragedi dan segala kengeriannya... yang
tak hendak kita bicarakan. Paman saya dan Elsa lari ke Amerika Serikat. Saya
sendiri tetap tinggal, bergabung dengan gerakan perlawanan bawah tanah. Setelah
perang usai, saya mendapat tugas-tugas tertentu. Cuma sekali saya berkunjung ke
paman dan sepupu saya. Kemudian ketika segala tanggung jawab saya di Eropa
berakhir, saya berniat menetap di Amerika. Saya berharap, bisa berdekatan dengan
paman saya, sepupu saya, dan suaminya. Tapi sayang-" dia merentangkan kedua
tangannya, "-waktu sampai di sana, paman saya sudah meninggal, begitu juga
sepupu saya, dan suaminya telah pindah ke negeri ini serta telah menikah lagi.
Jadi sekali lagi saya sebatang kara. Lalu saya membaca tentang lenyapnya ilmuwan
terkenal Thomas Betterton. Maka saya datang kemari untuk melihat kalau-kalau
ada yang dapat saya bantu."
Dia berhenti dan memandang bertanya kepada Jessop. Jessop membalas tatapan itu
tanpa ekspresi. "Mengapa dia hilang, Tuan Jessop?"
"Justru itu," ujar Jessop, "yang ingin kami ketahui."
"Mungkin Anda memang tahu?"
Dengan penuh minat Jessop memperhatikan, betapa mudah peranan mereka
menjadi terbalik. Di ruangan ini dia terbiasa menanyai orang. Sedangkan
sekarang, orang asing inilah yang menjadi si penanya.
Sambil tetap tersenyum ramah, Jessop menjawab, "Yakinlah, kami tak tahu."
"Tapi dugaan toh ada?"
"Ada kemungkinan," kata Jessop hati-hati, "peristiwa ini menuruti pola
tertentu.... Peristiwa-peristiwa semacam ini telah terjadi sebelumnya."
"Saya tahu." Dengan cepat sang tamu mengutip enam kasus. "Semua ilmuwan,"
katanya memberi tekanan. "Ya." "Mereka pergi ke balik Tirai Besi?"
"Itu satu kemungkinan, tapi kami tak tahu."
"Tapi mereka pergi atas kemauan sendiri?"
"Bahkan itu pun," kata Jessop, "sulit dikatakan."
"Bukan urusan saya, menurut Anda?"
"Ah, jangan berkata begitu."
"Tapi Anda benar. Minat saya timbul hanya karena Betterton."
"Hendaknya Anda maafkan saya," kata Jessop, "kalau saya tak begitu mengerti
minat Anda itu. Betterton kan hanya famili karena perkawinan. Kenal saja Anda
tidak." "Itu betul. Tapi bagi kami orang Polandia, sanak-keluarga itu penting. Kami
punya kewajiban." Dia bangkit dan membungkuk kaku. "Menyesal telah mengganggu
Anda dan terima kasih atas keramahan Anda."
Jessop juga bangkit. "Maaf, kami tak dapat membantu," katanya, "tapi yakinlah semua memang masih
serba gelap. Kalau saya mendengar sesuatu, dapat saya menghubungi Anda?"
"Alamatkan saja ke Kedutaan Besar Amerika Serikat. Terima kasih."
Dia membungkuk lagi dengan formalnya.
Jessop menyentuh tombol. Mayor Glydr ke luar. Jessop mengangkat gagang
telepon. "Suruh Kolonel Wharton datang ke kamarku."
Ketika Wharton masuk, Jessop berkata, "Ada perkembangan-akhirnya."
"Bagaimana?" "Nyonya Betterton ingin ke luar negeri." Wharton bersiul. "Akan bergabung dengan
suami?" "Aku punya harapan. Dia datang lengkap dengan surat dokter. Butuh istirahat
penuh dan perubahan suasana."
"Kelihatannya bagus juga!"
"Meskipun, tentunya, mungkin juga memang kenyataannya begitu."
Jessop mengingatkan. "Ini hanya sekadar menyatakan fakta saja."
"Kita tak pernah berpandangan seperti itu di sini."
"Memang tidak. Harus kukatakan dia memainkan peranannya dengan meyakinkan.
Tak pernah tergelincir sesaat pun."
"Kau tak mendapat petunjuk lagi darinya, kukira?"
"Hanya satu petunjuk samar-samar. Si wanita Speeder yang makan siang dengan
Betterton di Dorset."
"Ya?" "Dia tak menceritakan soal makan siang itu kepada istrinya."
"Oo." Wharton menimbang-nimbang. "Kau-pikir itu ada hubungannya?"
"Mungkin saja. Carol Speeder pernah disidangkan oleh Komite Penyelidik
Kegiatan Non Amerika. Dia berhasil membersihkan diri, tapi toh... ya, toh dia,
atau mereka pikir, dia bersalah. Mungkin ini kontaknya. Satu-satunya kontak
untuk Betterton yang kita temukan sampai sekarang."
"Bagaimana dengan kontak Nyonya Betterton - apa mungkin ada kontak yang telah
menyebabkan urusan ke luar negeri ini?"
"Tidak ada kontak secara pribadi. Kemarin dia mendapat surat dari seorang
Polandia. Sepupu istri pertama Betterton. Baru saja dia kemari menanyakan segala
macam detil." "Seperti apa dia?"
"Tak seperti orang biasa," kata Jessop. "Sangat bergaya asing dan serba
sempurna, punya semua sikap 'gentleman', sungguh-sungguh kepribadiannya tidak
lumrah, mencurigakan." "Kaupikir dia kontak dengan yang memberinya informasi?"
"Mungkin juga. Tak tahulah. Dia bikin aku bingung."
"Akan kauawasi dia?"
Jessop tersenyum. "Ya. Aku tekan tombol dua kali."
"Dasar labah-labah tua-dengan segala akalmu." Wharton kembali bernada bisnis
lagi. "Jadi, bagaimana rencananya?"
"Janet, kukira, dan yang seperti biasa. Spanyol, atau Maroko."
"Tidak Swiss?" "Kali ini tidak."
"Kupikir, mestinya Spanyol atau Maroko akan sulit untuk mereka."
"Kita tak boleh meremehkan musuh."
Dengan jengkel Wharton menjentik file-file keamanan itu.
"Justru di dua negara ini Betterton belum pernah dilihat," katanya kesal. "Yah,
akan kita siapkan semuanya. Oh, Tuhan, kalau kita gagal kali ini-"
Jessop menyandar di kursinya.
"Sudah lama aku tak libur," katanya. "Agak muak aku dengan kantor ini. Mungkin
aku akan jalan-jalan sedikit ke luar negeri...."
Bab 3 I "Nomor Penerbangan 108 ke Paris. Air France. Silakan lewat sini."
Orang-orang di ruang tunggu Bandara Heath-row bangkit dari duduknya.
Hilary Craven mengambil kopor kecilnya yang terbuat dari kulit biawak dan
berbondong-bondong dengan yang lain, keluar melangkah ke landasan. Angin
bertiup kencang, dan terasa amat dingin, setelah merasakan hangatnya ruang
tunggu yang berpemanas. Hilary menggigil. Ditariknya mantel bulunya lebih ke atas. Dia mengikuti
penumpang-penumpang lain menuju pesawat yang sedang menunggu.
Inilah saatnya! Dia berangkat, melarikan diri!
Meninggalkan segala yang kelabu, dingin, kesengsaraan yang beku.
Dia lari menuju matahari, langit biru, dan hidup baru. Akan ditinggalkannya
segala beban, beban kesengsaraan dan frustrasi.
Ditelusurinya gang antara tempat duduk di dalam pesawat sembari membungkuk.
Pramugara menunjukkan tempat duduknya. Untuk pertama kalinya setelah
berbulan-bulan, dia merasakan betapa nikmatnya terbebas dari keperihan yang
selama ini begitu parah sehingga hampir-hampir tubuhnya turut merasa sakit.
Aku akan pergi, katanya pada diri sendiri, penuh harapan. Aku akan pergi.
Deru suara mesin dan berputarnya baling-baling menaikkan semangatnya. Seolaholah ada keganasan yang mendasar dalam perasaan itu. Kesengsaraan dari dunia
berbudayalah azab yang paling buruk. Begitu kelabu dan tanpa harapan.
Tapi kini, pikirnya, aku akan lari.
Pesawat beranjak perlahan dengan lancar di sepanjang jalur landasan.
Pramugari berkata, "Silakan mengenakan sabuk pengaman Anda."
Pesawat setengah berputar dan menunggu isyarat pemberangkatan.
Pikir Hilary, mungkin pesawatnya akan jatuh. Mungkin pesawat ini tidak akan
pernah terbang. Kalau begitu berakhirlah semuanya, itulah pemecahan dari
segalanya. Seakan-akan berabad-abad mereka menunggu di lapangan udara.
Menunggu datangnya isyarat untuk menuju kebebasan, pikir Hilary agak aneh,
Aku takkan pernah bisa pergi, tak pernah. Aku akan terus tertahan di sini terpenjara.... Ah, akhirnya. Mesin menderu, lalu mulai melaju. Semakin cepat, semakin cepat berpacu. Hilary
berpikir pesawat ini takkan naik. Tak bisa.... inilah akhirnya. Ah, agaknya
sekarang mereka sudah lepas landas. Rasanya lebih seperti bumi itu yang jatuh,
merosot ke bawah, daripada pesawatnya yang naik. Segala masalah, kekecewaan dan frustrasi
terhempas, ditinggalkan burung logam yang melesat terus, ke atas dengan
sombongnya menembus awan-gemawan.
Mereka ke atas, lalu terbang berputar; di bawah, bandara tampak seperti mainan
kanak-kanak yang menggelikan. Jalan-jalannya kecil dan lucu, rel kereta api
tampak aneh dengan kereta api mainan di atasnya.
Dunia kekanak-kanakan yang menggelikan dengan orang-orangnya yang saling
mencinta, saling membenci, dan saling menyakiti. Tak ada yang berarti lagi,
karena itu semua demikian menggelikan, begitu kecil dan sepele. Kini awan ada di
bawah mereka, padat dan berwarna putih kelabu. Pasti sekarang mereka ada di atas
Selat Channel. Hilary menyandar dan memejamkan mata. Lari. lari. Telah dia tinggalkan Inggris,
tinggalkan Nigel, dan tinggalkan gundukan kecil yang muram, makam Brenda.
Semuanya dia tinggalkan. Dia membuka mata, menutupnya lagi sembari menarik
napas panjang. Dia tertidur....
II Ketika Hilary terjaga, pesawat sedang merendah.
"Paris," pikirnya sambil menegakkan duduk dan meraih tas. Tapi ternyata bukan
Paris. pramugari berjalan di sepanjang pesawat dan dengan keramahan pengasuh
anak yang bagi sementara orang menjengkelkan, dia berkata, "Kami mendaratkan
Anda di Beauvais, karena di Paris kabut amat tebal."
Nada suaranya sepertinya mengatakan ini, "Apa itu tak menyenangkan, Anakanak?" Lewat jendela kecil di sisinya Hilary mengintip ke bawah. Hanya sedikit yang
nampak. Beauvais juga tampaknya diselimuti kabut. Pesawat memutar perlahan.
Setelah beberapa saat baru akhirnya pesawat mendarat. Penumpang dibimbing
menembus kabut lembap yang dingin menuju sebuah bangunan kasar dari kayu
yang hanya punya sedikit kursi dan satu counter kayu yang panjang.
Hilary mulai merasa tertekan, tetapi dia mencoba melawan. Seorang pria di
dekatnya menggumam, "Lapangan udara tua, peninggalan masa perang, Tak ada
pemanas atau kenikmatan di sini. Tapi untung karena mereka orang Prancis, kita
pasti akan disuguhi minuman."
Memang betul, hampir segera, datang pria membawa kunci-kunci dan tak lama
kemudian penumpang mendapat sajian berbagai macam minuman beralkohol
untuk menaikkan semangat mereka. Minuman itu membantu mereka mem
pertahankan semangat menghadapi masa penantian yang panjang dan
menjengkelkan. Jam-jam berlalu tanpa terjadi sesuatu. Kemudian muncul pesawat-pesawat lain dari
balik kabut, juga dialihkan dari Paris. Tak lama kemudian ruang kecil itu penuh
dengan orang yang uring-uringan, menggerutu dan menyumpahi penundaan
tersebut. Bagi Hilary semua itu bagai tak nyata. Seolah-olah dia sedang bermimpi,
terlindung dari kontak dengan kenyataan.
Ini cuma penundaan saja, cuma soal menunggu. Dia tetap masih dalam perjalananperjalanan pelarian. Dia tetap masih beringsut meninggalkan semua itu, tetap
masih menuju titik awal hidup barunya. Suasana hatinya tidak guncang menjalani
penundaan yang demikian panjang dan melelahkan, tidak guncang menghadapi
kesemrawutan ketika diumumkan bahwa bis-bis sudah datang untuk mengangkut
para penumpang ke Paris. Waktu itu hari sudah lama gelap. Maka suasana jadi kalang-kabut. Orang-orang
datang dan pergi. Penumpang, pegawai, portir, semua membawa bagasi, terburuburu dan saling bertubrukan dalam kegelapan. Akhirnya Hilary mendapatkan
dirinya, dengan kaki dan betis sedingin es, di dalam bis yang pelan-pelan
menembus kabut menuju Paris.
Perjalanan itu lama dan melelahkan. Sampai empat jam. Tengah malam mereka
tiba di Invalides. Dengan lega Hilary mengambil bagasinya dan naik kendaraan ke
hotel yang telah menyediakan akomodasi baginya. Dia sudah terlalu letih untuk
makan. Setelah mandi air panas, dia langsung menjatuhkan dirinya ke tempat
tidur. Menurut jadwal, pesawat yang ke Casablanca berangkat dari Bandara Orly pukul
setengah sebelas keesokan paginya. Tetapi ketika mereka tiba di Orly, segalanya
kacau-balau. Banyak pesawat di Eropa yang batal terbang, kedatangan maupun
keberangkatan sama-sama tertunda.
Petugas di meja keberangkatan yang sudah kesal, mengangkat bahu dan berkata,
"Tak mungkin Madame berangkat dengan penerbangan menurut pesanan!
Jadwalnya semua harus diganti. Kalau Madame bersedia duduk barang sebentar,
siapa tahu malah akan beres sendiri."
Akhirnya dia dipanggil dan diberi tahu bahwa ada satu tempat di pesawat menuju
Dakar. Biasanya pesawat jurusan itu tidak mendarat di Casablanca, tapi kali ini
akan mampir ke sana. "Anda akan tiba di sana tiga jam lebih lambat, hanya itu Madame, dengan pesawat
yang berangkat lebih lambat ini."
Hilary mengiyakan tanpa protes dan kelihatannya petugas heran dan senang akan
sikapnya itu. "Madame tak dapat membayangkan kesulitan yang saya hadapi pagi ini," katanya.
"Enfin, mereka tidak masuk akal, tuan-tuan penumpang ini. Kan bukan saya yang
membuat kabut! Dengan sendirinya kabut menyebabkan kekacauan. Orang mesti
punya rasa humor yang tinggi - maksud saya, betapapun tak menyenangkannya
harus mengubah rencana. Betapapun juga, Madame, apalah artinya sedikit
penundaan satu jam, dua jam, atau tiga jam" Toh tidak menjadi masalah, dengan
pesawat apa Madame sampai di Casablanca."
Padahal di hari itu, masalah pesawat justru jauh lebih berarti daripada yang
dibayangkan si Prancis kecil tersebut. Karena ketika akhirnya Hilary tiba dan
melangkah keluar, menuju landasan yang cerah dan bermandikan sinar matahari,
portir yang sedang mendorong kereta bagasi di sampingnya berkata, "Anda
beruntung sekali, Madame, tidak berada di pesawat sebelum ini, pesawat ke
Casablanca yang reguler."
Kata Hilary, "Kenapa, ada apa?"
Pria itu celingukan ke kanan ke kiri, tapi toh berita itu tak mungkin terus
dirahasiakan. Dia merendahkan suaranya lalu mencondongkan tubuhnya ke arah
Hilary. "Mauvaise affaire!" cetusnya. "Pesawat itu kecelakaan waktu mendarat. Pilot dan
navigatornya tewas, begitu pula sebagian besar penumpangnya. Empat atau lima
yang masih hidup dibawa ke rumah sakit. Beberapa di antaranya mengalami cedera
yang parah sekali." Pertama-tama reaksi Hilary adalah marah luar biasa. Serta-merta terloncat dalam
benaknya, Kenapa bukan aku yang ada di pesawat itu" Kalau saja aku di sana,
sekarang semua sudah selesai, aku mati, terlepas dari segalanya. Tak ada lagi


Menuju Negeri Antah Berantah Destination Unknown Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sakit hati, tak ada lagi sengsara. Orang-orang di pesawat itu masih ingin hidup.
Sedang aku - aku tak peduli lagi. Kenapa bukan aku"
Dia melewati pemeriksaan imigrasi, yang dilaksanakan dengan cepat dan sambil
lalu, kemudian dengan bagasinya dia berkendaraan ke hotel.
Sore itu cerah. Matahari baru saja terbenam. Udara begitu bersih dan cahaya
keemasan itu-semuanya sesuai dengan bayangannya.
Dia sudah sampai! Telah dia tinggalkan kabut, kedinginan, dan kegelapan di London; telah
ditinggalkannya kesengsaraan, ketidakpastian, dan penderitaan. Di sini yang ada
hanya denyut kehidupan, warna, dan cahaya mentari.
Hilary menyeberangi kamar dan membuka tirai jendela, melihat ke jalan. Ya,
semuanya persis dengan bayangannya. Pelan-pelan dia berpaling dari jendela dan
duduk di tepi tempat tidur.
Lari, lari! Itu yang terus-menerus berdengung di benaknya, sejak dia meninggalkan Inggris.
Lari. Lari. Dan sekarang dia sadar-sadar dengan perasaan ngeri yang dingin,
bahwa tak mungkin dia lari.
Di sini ternyata semuanya persis seperti di London. Dia sendiri, Hilary Craven,
tetap sama. Dari Hilary Craven-lah dia berusaha melarikan diri dan Hilary Craven
di Maroko ternyata tak berbeda dari Hilary Craven di London. Pelan-pelan dia
bergumam sendiri, "Tololnya aku - tololnya. Kenapa kukira aku akan merasa lain
kalau keluar dari Inggris?"
Makam Brenda, gundukan kecil yang memelas itu ada di Inggris, dan Nigel
sebentar lagi akan menikah dengan istri barunya di Inggris.
Mengapa dia membayangkan kedua hal itu akan kurang berarti jika dia di sini"
Melulu impiannya belaka. Yah, kini itu semua telah berlalu. Kini dia bertatap
muka dengan realita. Realita tentang dirinya, realita tentang apa yang sanggup
ditahannya dan apa yang membuatnya tak tahan lagi.
Pada hematnya, orang akan sanggup menahan penderitaan, selama dia punya
alasan untuk tetap bertahan. Dia kuat menahan penyakitnya yang lama, dia tahan
membiarkan pengkhianatan Nigel berikut segala kekejaman dan
kekurangajarannya. Dia tahan semua itu demi Brenda. Kemudian datang
perjuangan yang lama dan perlahan untuk mempertahankan hidup Brenda.
Perjuangan yang berbuntut kekalahan-kekalahan terakhir....
Sekarang tak ada lagi alasan untuk hidup. Ternyata dia harus pergi ke Maroko
dulu untuk membuktikan hal itu. Di London dia punya perasaan yang aneh dan
membingungkan. Perasaan bahwa kalau saja dia dapat pergi ke suatu tempat lain,
dia akan melupakan segala yang telah terjadi dan memulai hidup baru. Itu
sebabnya dia memesan tiket perjalanan ke tempat ini; tempat yang tak punya
hubungan dengan masa lalunya, tempat yang sama sekali baru baginya dan
memiliki semua yang begitu disukainya: sinar matahari, udara yang bersih,
suasana asing di tengah masyarakat, dan benda-benda yang baru baginya.
Dipikirnya, di sini dia akan lain. Tapi ternyata tidak. Ternyata sama saja. Kenyataannya
demikian sederhana dan tak terhindarkan. Dia, Hilary Craven, tak punya keinginan
lagi untuk hidup. Sederhana saja.
Kalau saja kabut itu tidak turut campur, kalau saja dia pergi dengan pesawat
yang telah dia pesan, maka masalahnya mungkin sekarang telah terpecahkan.
Mungkin kini dia telah terbaring disebuah pemakaman milik pemerintah Prancis, tubuhnya
hancur dan babak- belur tapi jiwanya penuh kedamaian, terbebas dari penderitaan.
Yah, tujuan yang sama tetap dapat dicapainya, tapi dengan sedikit repot.
Betapa mudahnya kalau dia membawa obat tidur. Dia ingat pernah meminta pil
obat tidur kepada Dr. Grey, dan ingat pada sorot wajahnya yang aneh ketika
menjawab, "Sebaiknya jangan. Jauh lebih baik membiasa-kan tidur dengan wajar. Mula-mula
mungkin sulit, tapi pasti bisa."
Sorot wajahnya yang aneh. Tahukah dia waktu itu, atau curiga, bahwa akhirnya
akan jadi begini" Ah, sudahlah, tak akan sulit. Dia bangun dengan ketetapan hati. Sekarang dia
akan pergi ke apotek. III Hilary selalu mengira bahwa di kota-kota luar negeri obat-obatan lebih mudah
didapat. Agak heran juga dia, ketika ternyata tidak demikian halnya. Apoteker
pertama hanya memberinya dua dosis.
Lebih dari itu, katanya, harus dengan resep dokter. Dia mengucapkan terima kasih
sambil tersenyum dan tetap tenang.
Dengan agak cepat dia keluar, dan tak sengaja bertubrukan dengan seorang pria
tinggi berwajah agak serius, yang meminta maaf dalam bahasa Inggris.
Didengarnya pria itu menanyakan pasta gigi, sementara dia meninggalkan apotek.
Entah mengapa dia suka mendengarnya. Pasta gigi. Kedengarannya begitu
menggelikan, begitu biasa, begitu sehari-hari. Kemudian rasa pedih mendadak
datang, karena merek pasta gigi yang dimintanya itu sama dengan yang selalu
disukai Nigel. Hilary menyeberangi jalan dan masuk ke apotek di seberang. Telah empat apotek
dia masuki ketika kembali ke hotel. Dia sedikit senang juga ketika di apotek
yang ketiga, orang muda berwajah burung hantu tadi muncul lagi dan dengan keras
kepala tetap menanyakan pasta gigi merek kesukaannya. Jelas pasta gigi merek itu
tidak umum tersedia di apotek-apotek Prancis di Casablanca.
Hilary hampir-hampir merasa riang ketika dia berganti pakaian dan merias
wajahnya, sebelum turun makan malam. Sengaja dia turun selambat-lambatnya,
karena tak ingin bertemu dengan sesama penumpang atau awak di pesawatnya tadi.
Tapi kemungkinan itu kecil sekali, karena pesawat sudah melanjutkan perjalanan
ke Dakar dan pada hematnya dia satu-satunya yang turun di Casablanca.
Ketika dia masuk, restoran sudah hampir kosong, meskipun dilihatnya orang
Inggris berwajah burung hantu itu masih menyelesaikan makannya di meja dekat
tembok. Dia sedang membaca koran Prancis dan tampaknya amat asyik.
Hilary memesan makanan yang lezat-lezat dan setengah botol anggur.
Semangatnya tinggi, membuatnya seperti terbuai. Pikirnya, "Bukankah ini
petualangan yang terakhir?"
Kemudian dia memesan sebotol air Vichy untuk diantarkan ke kamar dan dari
ruang makan dia langsung naik.
Pelayan mengantarkan Vichy, membuka tutupnya, meletakkannya di meja,
mengucapkan selamat malam dan keluar. Hilary menarik napas lega.
Setelah pelayan menutup pintu, Hilary beranjak ke pintu dan menguncinya. Dari
laci meja rias dikeluarkannya empat bungkusan kecil yang dibelinya di apotek
tadi dan dibukanya. Dia taruh tablet-tablet tadi di meja dan dituangnya air
Vichy ke gelas. Karena obat itu berbentuk tablet, dia hanya perlu menelannya saja,
kemudian mendorongnya dengan air Vichy.
Dia melepaskan pakaiannya, mengenakan kimono, lalu kembali duduk di sebelah
meja. Jantungnya berdegup kencang. Ada rasa takut sekarang, tetapi ketakutan
yang aneh. Bukan ketakutan yang membuatnya ngeri, yang menggodanya untuk
membatalkan rencananya. Tentang itu dia amat tenang dan sadar sesadar-sadarnya.
Akhirnya inilah pelarian-pelarian yang sesungguhnya.
Matanya menatap meja tulis. Dia menimbang-nimbang apakah akan meninggalkan
catatan kecil atau tidak. Tapi dia memutuskan tidak.
Dia tak punya famili, kawan dekat, atau sahabat. Tak ada seorang pun yang ingin
dia pamiti. Dan Nigel, dia tak ingin membebaninya dengan penyesalan yang sia-sia, itu pun
kalau catatan kecilnya dapat membuat Nigel menyesal. Mungkin Nigel akan
membaca di koran, bahwa Nyonya Hilary Craven meninggal di Casablanca akibat
kebanyakan pil tidur. Mungkin cuma sebuah alinea yang kecil sekali.
Nigel akan menerima saja sebagaimana adanya. "Kasihan si Hilary," dia akan
nyeletuk, "sedang sial rupanya-" dan mungkin juga, diam-diam, dia malah lega.
Karena menurut Hilary, mungkin dirinya merupakan ganjalan dalam hati nurani
Nigel, padahal Nigel itu orang yang selalu ingin merasa puas dengan dirinya
sendiri. Nigel sudah terasa amat jauh dan tak penting. Tak ada lagi yang harus
dikerjakannya. Dia akan menelan pil-pil itu, membaringkan diri dan tidur. Dan
dia takkan pernah terjaga lagi. Dia tidak merasakan adanya sentuhan religius,
atau demikianlah menurut perasaannya.
Kematian Brenda telah mengakhiri semua itu. Jadi tak ada lagi yang perlu
dipertimbangkan. Sekali lagi dia menjadi musafir, seperti ketika di Bandara
Heathrow. Musafir yang sedang menunggu saat pemberangkatan menuju tanah
antah-berantah. Tak diganggu bagasi, tak direpoti ucapan selamat jalan. Untuk
pertama kali di dalam hidupnya, dia bebas. Bebas merdeka untuk mengerjakan apa
yang ingin dikerjakannya. Masa lalu telah terpisah darinya. Sengsara yang
panjang dan menyakitkan, yang terus mengikutinya, tak ada lagi. Ya.
Ringan, bebas, tanpa beban apa pun!
Dia siap berangkat. Tangannya meraih tablet yang pertama. Tapi pada saat itu
terdengar ketukan pelan dan sopan di pintu.
Hilary mengernyitkan alis. Dia tetap duduk, tangannya terhenti di udara. Siapa,
ya - pelayan kamar" Ah tidak, tempat tidur telah siap. Mungkin urusan surat-surat atau paspor" Dia
angkat bahu. Tak akan dia bukakan. Mengapa harus repot" Tak lama, siapa pun
dia, pasti akan pergi dan datang lagi kapan-kapan.
Ketukan terdengar lagi, kali ini lebih keras. Tapi Hilary tetap tak bergerak.
Pasti tak ada kejadian yang sungguh-sungguh darurat dan siapa pun dia akan
segera pergi. Matanya menatap pintu. Mendadak mata itu melebar keheranan.
Anak kunci pelan-pelan berputar mundur, berlawanan arah jarum jam, lalu
tersentak maju dan jatuh berdenting di lantai. Kemudian pegangan pintu bergerak,
pintu terbuka dan seorang pria masuk. Ia mengenalinya sebagai orang muda serius
dengan wajah burung hantu yang tadi membeli pasta gigi.
Hilary terpana memandangnya. Dia terlalu kaget untuk berkata atau melakukan apa
pun. Orang muda itu memutar tubuhnya, menutup pintu, memungut anak kunci
dari lantai, memasukkannya ke lubang kunci dan memutarnya. Kemudian dia
menghampiri Hilary dan duduk di kursi satunya di meja itu. Dia berkata, dan
kata- katanya itu bagi telinga Hilary benar-benar merupakan pernyataan yang paling tak
enak didengar, "Nama saya Jessop."
Wajah Hilary langsung merah padam. Dia mencondongkan tubuh ke depan. Penuh
kegeraman dia berkata dengan dingin, "Apa yang Anda lakukan di sini?"
Orang itu memandangnya dengan serius-lalu mengedipkan mata.
"Lucu juga," katanya. "Justru saya datang untuk menanyakan itu kepada Anda."
Kepalanya sekilas mengangguk ke arah benda-benda di atas meja.
Hilary menyahut ketus, "Saya tak mengerti, apa maksud Anda?"
"Oh, Anda pasti mengerti."
Hilary tersendat mencari kata-kata. Betapa banyak yang ingin diutarakannya.
Untuk menyatakan kemarahan. Untuk mengusir pria itu keluar. Tapi anehnya, yang
menang adalah rasa ingin tahunya.
Pertanyaan itu terlompat dari bibirnya dengan begitu wajarnya, sehingga dia
hampir tak menyadarinya. "Anak kunci itu," katanya, "berputar sendiri?"
"Oh, itu!'" Pria itu mendadak nyengir kekanak-kanakan sehingga wajahnya seolah
beralih rupa. Dia merogoh sakunya, mengeluarkan sebuah alat dari logam dan
menyerahkannya kepada Hilary untuk diamati.
"Ini dia," katanya, "alat kecil yang amat praktis. Selipkan saja di lubang kunci
sebelah sana, maka alat ini akan memegang kunci dan memutarnya."
Dia mengambilnya kembali dan memasukkan ke dalam saku.
"Pencuri biasanya menggunakan ini," katanya.
"Jadi Anda pencuri?"
"Bukan, bukan, Nyonya Craven. Yang adil, dong. Saya kan mengetuk pintu.
Pencuri tidak. Baru ketika tampaknya Anda tak mau membukakan pintu, saya
pakai ini." "Tapi kenapa?" Lagi-lagi tamunya memandang ke benda-benda yang disiapkannya di atas meja.
"Kalau saya jadi Anda, saya tak akan melakukannya," katanya. "Sama sekali tidak
seperti yang Anda bayangkan lho, Anda kira Anda hanya tinggal tidur dan tak
bangun lagi. Padahal tidak seperti itu. Banyak akibat tak buruknya. Kadangkadang kejang, pembusukan pada kulit. Kalau tubuh Anda bersifat menolak terhadap
obat itu, daya kerjanya menjadi lama. Lalu tepat pada waktu ada orang menemukan
Anda, maka segala hal tak menyenangkan akan terjadi. Perut Anda dipompa. Anda
akan diberi minyak kastroli, kopi panas. Anda akan ditepuk-tepuk, dan didorongdorong. Yakinlah, semuanya merendahkan martabat."
Hilary bersandar di kursinya, matanya menyipit. Tangannya agak mengepal. Dia
memaksa diri untuk tersenyum.
"Anda sungguh lucu," katanya. "Apa Anda membayangkan saya akan bunuh diri, atau
semacam itu?" "Tak hanya membayangkan," kata si orang muda bernama Jessop, "saya bahkan yakin
sekali. Soalnya saya kan di apotek itu, waktu Anda masuk. Mau membeli
pasta gigi. Nah, mereka tak punya merek yang saya sukai, maka saya cari ke
apotek lain. Eh, di sana Anda menanyakan pil tidur lagi. Yah, saya pikir itu
agak aneh, jadi saya buntuti Anda. Semua pil tidur dari berbagai apotek itu
hanya memberikan satu kesimpulan."
Nada bicaranya bersahabat, santai, tapi amat meyakinkan. Melihat kepadanya, kini
Hilary Craven menyingkirkan segala kepura-puraan.
"Kalau begitu apa bukan kekurangajaran yang semena-mena, jika Anda berusaha
menghalangi saya?" Sejenak hal itu dipertimbangkannya. Kemudian pria itu menggeleng.
"Bukan. Ini hanya salah satu hal yang tak bisa tidak mesti saya lakukan-tentunya
Anda tahu maksud saya."
Hilary sekarang ngotot. "Anda dapat menghalangi saya cuma untuk sementara.
Maksud saya Anda dapat mengambil pil-pil itu -membuangnya ke luar jendela atau
yang semacam itu- tapi Anda tak dapat menghalangi saya untuk membeli lagi
kapan-kapan, atau menerjunkan diri dari tingkat teratas gedung, atau melompat ke
depan kereta api." Orang muda itu mempertimbangkannya.
"Tak dapat," katanya. "Memang saya tak dapat mencegah Anda melakukan hal-hal
itu. Tapi masalahnya, Anda tahu, apakah Anda masih akan mengerjakannya.
Besok, misalnya." "Anda kira besok saya akan berubah pikiran?" tanya Hilary, nadanya sedikit
pahit. "Biasanya begitu," kata Jessop, hampir-hampir seperti minta maaf.
"Ya, mungkin," Hilary menimbang-nimbang.
"Kalau kita melakukannya ketika hati kita sedang panas, dan dalam keadaan putus
asa. Tapi jika putus asa itu sudah jadi dingin, lain soalnya. Masalahnya, saya
sudah tak punya alasan lagi untuk hidup."
Jessop sedikit menelengkan kepalanya, lalu mengedipkan mata.
"Menarik," katanya.
"Tidak juga. Sama sekali tidak menarik. Saya bukan wanita yang amat menarik.
Suami saya, yang saya cintai, meninggalkan saya dan anak saya satu-satunya
meninggal karena radang selaput otak. Kawan atau famili yang dekat, saya tak
punya. Saya tak bekerja, saya juga tak punya kegemaran tertentu dalam seni,
ketrampilan atau pekerjaan yang lain."
"Berat memang," kata Jessop penuh pengertian. Dengan agak ragu-ragu dia
menambahkan, "Anda tak berpikir bahwa itu salah?"
Hilary langsung marah, "Kenapa mesti salah" Ini kan hidup saya."
"Oh, ya, ya," cepat-cepat Jessop menyahut, "Saya sendiri tidak menganut garis
moral yang tinggi, tapi Anda tahu ada orang-orang yang memandang itu salah."
Kata Hilary, "Saya tidak termasuk mereka."
Jessop menyahut, tidak begitu tegas, "Oh, sungguh?"
Pria itu tetap duduk memandang Hilary sambil mengedip-ngedipkan mata dan
berpikir-pikir. Hilary berkata, "Jadi sekarang mungkin, Tuan-ee-"
"Jessop," ujar orang muda itu.
"Jadi sekarang mungkin, Tuan Jessop, sebaiknya Anda tinggalkan saya sendiri."
Tapi Jessop menggeleng. "Tidak sekarang," katanya. "Anda kan tahu, tadi saya ingin tahu apa latar
belakangnya. Sekarang saya sudah tahu. Anda tidak berminat hidup lagi, Anda
tidak ingin hidup lebih lama, Anda menghendaki kematian?"
"Ya." "Bagus," kata Jessop cerah. "Jadi sekarang kita tahu posisi kita masing-masing.


Menuju Negeri Antah Berantah Destination Unknown Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mari beralih ke langkah selanjutnya. Apakah harus dengan pil tidur?"
"Apa maksud Anda?"
"Yah, saya kan sudah ceritakan kepada Anda bahwa pil tidur itu tidak seromantik
kedengarannya. Terjun dari gedung juga tak menyenangkan. Anda belum tentu
langsung mati. Sama halnya dengan menjatuhkan diri di depan kereta api. Yang
saya maksud, ada cara lain."
"Saya tak mengerti maksud Anda."
"Saya mengusulkan metode lain. Metode yang agak menantang sebenarnya. Ada
ketegangannya pula. Saya akan berterus terang kepada Anda. Kemungkinan Anda
tidak mati hanya satu berbanding seratus. Tapi saya kira bila saatnya tiba, Anda
juga tak akan keberatan."
"Sungguh saya tak punya bayangan apa yang sedang Anda bicarakan ini."
"Tentu saja Anda belum mengerti," kata Jessop. "Mulai menceritakannya saja saya
belum. Saya khawatir agak panjang ceritanya. Boleh saya meneruskan?"
"Boleh." Jessop tidak mempedulikan nada terpaksa dalam persetujuan itu.
Dia pun mulai dengan gayanya yang paling mirip burung hantu.
"Saya rasa Anda jenis wanita yang suka membaca koran dan mengikuti beritaberita umum," katanya. "Tentunya Anda telah membaca tentang hilangnya
beberapa ilmuwan akhir-akhir ini. Ada orang Italia sekitar setahun yang lalu dan
sekitar dua bulan yang lalu seorang ilmuwan muda bernama Thomas Betterton
lenyap." Hilary mengangguk. "Ya, saya membacanya di koran."
"Nah, sebenarnya yang terjadi jauh lebih gawat dari yang diberitakan di koran.
Maksud saya, sebenarnya ada lebih banyak orang yang hilang. Mereka tak selalu
ilmuwan. Ada orang-orang muda yang terlibat dalam riset medis penting, ahli
kimia riset, ahli fisika, dan satu pengacara. Oh, banyak sekali di sana sini dan
di mana-mana. Yah, negara kita memang negara bebas. Anda boleh saja pergi kalau
suka. Tapi pada situasi yang aneh ini, kami harus tahu mengapa orang-orang ini
meninggalkan negerinya, ke mana mereka pergi, dan juga penting, bagaimana
mereka pergi. Apakah mereka pergi atas kehendak sendiri" Apakah mereka
diculik" Apakah mereka diperas supaya mau pergi" Rute mana yang mereka
ambil-organisasi macam apa yang memprakarsai semua ini dan apa tujuan
akhirnya" Ada banyak pertanyaan. Kami menginginkan jawaban dari pertanyaanpertanyaan itu. Anda mungkin akan dapat menolong kami mencari jawabnya."
Hilary terbelalak memandangnya.
"Saya" Bagaimana caranya" Kenapa?"
"Sekarang saya sampai pada kasus Thomas Betterton. Dia menghilang dari Paris
kira-kira dua bulan yang lalu. Dia meninggalkan istri di Inggris. Istrinya ini
bingung-atau demikianlah pengakuannya. Dia bersumpah tak tahu kenapa
suaminya pergi atau ke mana perginya dan bagaimana caranya. Pengakuannya itu
mungkin memang benar, atau mungkin juga tidak. Ada yang berpendapat -dan
saya salah satu di antaranya- bahwa semua yang dikatakannya itu tidak benar."
Hilary mencondongkan tubuhnya. Tanpa dikehendakinya dia menjadi tertarik.
Jessop melanjutkan. "Kami pun bersiap-siap untuk mengawasi Nyonya Betterton.
Kira-kira dua minggu yang lalu dia datang kepada saya dan mengatakan bahwa dia
disuruh dokternya pergi ke luar negeri untuk beristirahat total dan mencari
pergantian suasana. Inggris kurang baik baginya, karena orang-orang terus saja
mengganggunya-wartawan surat kabar, famili, dan kawan-kawan yang berbaik
hati." Hilary berkata hambar, "Dapat saya bayangkan."
"Ya, berat. Wajar sekali jika dia ingin melepaskan diri barang sebentar."
"Amat wajar, saya rasa."
"Tapi orang-orang di departemen kami punya pikiran yang jelek dan penuh
prasangka. Kami mengatur pengamatan terhadap Nyonya Betterton. Kemarin
sesuai rencana, dia berangkat dari Inggris menuju Casablanca."
"Casablanca?" "Ya-dalam perjalanan ke tempat-tempat lain di Maroko, tentunya. Semuanya serba
terbuka dan terang-terangan, rencana perjalanan disusun, tempat dipesan dulu.
Tapi ada kemungkinan bahwa dalam perjalanan ke Maroko inilah Nyonya
Betterton akan menghilang."
Hilary mengangkat bahu. "Saya tak tahu di mana peran saya dalam soal ini."
Jessop tersenyum. "Anda bisa terlibat karena Anda punya rambut merah yang amat mempesonakan,
Nyonya Craven." ' "Rambut?" "Ya. Itulah yang paling mencolok pada diri Nyonya Betterton-rambutnya.
Mungkin Anda sudah dengar, bahwa pesawat hari ini, yang sebelum Anda,
mengalami kecelakaan waktu mendarat."
"Saya tahu. Seharusnya saya ada di pesawat itu. Sebenarnya saya telah pesan
tempat di situ." "Menarik," kata Jessop. "Nah, Nyonya Betterton ada di pesawat itu. Dia tidak
sampai tewas. Dia diambil dari reruntuhan dalam keadaan hidup dan sekarang ada
di rumah sakit. Tapi menurut dokter, besok pagi dia sudah tidak dapat bertahan
lagi." Sedikit sinar terang tampak oleh Hilary. Dia menatap Jessop dengan pandangan
bertanya. "Ya," ujar Jessop, "mungkin sekarang Anda menangkap bentuk bunuh diri yang saya
tawarkan kepada Anda. Saya mengusulkan agar Nyonya Betterton tetap
melanjutkan perjalanan. Saya mengusulkan agar Anda menjadi Nyonya Betterton."
"Tapi tentunya," kata Hilary, "itu sama sekali tidak mungkin. Maksud saya,
mereka akan segera tahu bahwa saya bukan Nyonya Betterton."
Jessop menelengkan kepalanya. "Itu tentu sepenuhnya tergantung pada siapa yang
Anda maksud dengan 'mereka'. Ini istilah yang amat kabur. Siapakah 'mereka' ini"
Apakah benar ada sesuatu, atau orang-orang, yang bisa disebut 'mereka'" Kita tak
tahu. Tapi saya bisa bilang begini. Jikalau penjelasan paling populer tentang
'mereka' dapat diterima, maka orang-orang ini bekerja dalam sel-sel yang berdiri
sendiri dan amat rapat. Ini demi keamanan mereka sendiri. Jika perjalanan Nyonya
Betterton ini ada tujuannya dan direncanakan, maka orang-orang yang bertugas di
sini tidak akan tahu apa-apa mengenai segala hal yang terjadi di Inggris. Pada
saat yang ditentukan mereka cuma akan mengontak seorang wanita tertentu di
tempat tertentu, dan melanjutkan rencana dari situ. Keterangan tentang Nyonya Betterton
di dalam paspornya adalah 5 kaki 7 inci, rambut merah, mata hijau kebiruan,
mulut sedang, tak ada tanda-tanda mencolok. Cukup baik."
"Tapi yang berwenang di sini. Tentunya mereka-" Jessop tersenyum. "Bagian yang
itu dijamin beres. Prancis sendiri sudah kehilangan beberapa ilmuwan dan ahli
kimia mereka yang masih muda-muda dan amat berharga. Mereka pasti mau
bekerja sama. Faktanya kira-kira akan jadi begini. Nyonya Betterton, karena
gegar otak dibawa ke rumah sakit. Nyonya Craven, penumpang lain dalam pesawat
nahas yang sama, juga dirawat di rumah sakit. Dalam satu-dua hari Nyonya Craven akan
meninggal di rumah sakit, dan Nyonya Betterton keluar dari rumah sakit, dengan
menderita gegar otak ringan, tapi sudah mampu meneruskan tour-nya. Kecelakaan
itu benar-benar terjadi, begitu juga dengan gegar otak dan gegar otak ini
memberikan penyamaran yang baik buat Anda. Karena gegar otak tak
mengherankan kalau Nyonya Betterton melupakan banyak hal dan menunjukkan
perilaku yang tak dapat diramalkan."
Hilary berkata, "Ini gila!"
"Oh, ya," kata Jessop, "memang gila. Ini tugas yang amat berat dan kalau
kecurigaan kami benar, Anda akan menghadapi kesulitan besar. Nah, Anda lihat,
saya berterus terang, tapi menurut Anda, Anda siap dan bersemangat untuk
menghadapinya. Daripada melompat ke depan kereta api atau yang semacam itu,
saya rasa yang ini akan jauh lebih menyenangkan."
Mendadak, tak disangka-sangka, Hilary tertawa.
"Sungguh," katanya, "saya rasa Anda benar."
"Jadi Anda bersedia?"
"Ya. Kenapa tidak?"
"Kalau begitu," kata Jessop, bangkit dari kursinya dengan semangat yang mendadak
muncul, " kita tak boleh membuang-buang waktu."
Bab 4 I Sebenarnya di dalam rumah sakit udara tidak benar-benar dingin, tapi suasana
memang terasa dingin. Bau antiseptik mengambang di udara. Kadang-kadang di
luar, di koridor, terdengar gemerincingnya gelas-gelas dan instrumen-instrumen
jika seseorang lewat sambil mendorong trolley.
Hilary Craven duduk di kursi besi yang keras di sisi sebuah tempat tidur
Di tempat tidur itu, Olive Betterton terbaring di bawah sinar lampu temaram
dengan kepala dibalut. Dia pingsan. Ada perawat di satu sisi tempat tidur dan
dokter di sisi yang lain. Jessop duduk di sudut sebelah sana kamar itu. Dokter
berpaling kepadanya dan berbicara dalam bahasa Prancis.
"Tak akan lama lagi," katanya. "Denyut nadinya semakin lemah sekarang."
"Dan dia tidak akan sadar lagi?"
Orang Prancis itu mengangkat bahu.
"Itu tak bisa saya pastikan. Mungkin juga, ya..., dekat sekali sebelum ajal."
"Tak ada yang dapat Anda lakukan-tak ada perancang?"
Dokter menggeleng. Dia keluar. Perawat mengikutinya. Mereka digantikan
seorang biarawati yang mendekati bagian kepala tempat tidur dan berdiri di situ.
Jari-jarinya menggenggam rosario dan menelusuri butir-butirnya.
Hilary memandang Jessop dan menuruti pandangannya, Hilary datang
menghampirinya. "Kau dengar apa kata dokter tadi?" tanya Jessop dengan suara rendah.
"Ya. Apa yang ingin kautanyakan kepadanya?"
"Kalau dia sadar lagi, aku ingin mendapat semua informasi yang mungkin kita
peroleh, kata sandi, tanda, pesan, apa saja. Kau mengerti" Lebih mungkin dia
bicara kepadamu, daripada kepadaku."
Hilary langsung menyahut dengan penuh emosi, "Kau ingin aku mengkhianati
orang yang sedang sekarat?"
Jessop menelengkan kepala. Lagak burung yang acapkali ditirunya.
"Oh, jadi bagimu begitu nampaknya, ya?" katanya menimbang-nimbang.
"Ya." Dengan serius dipandangnya Hilary.
"Baiklah kalau begitu, silakan berkata atau berbuat semaumu. Bagiku tak ada
masalah moral dalam hal ini. Kau paham?"
"Tentu saja. Ini kan tugasmu. Engkau pasti akan melancarkan pertanyaan apa pun
semaumu, tapi jangan suruh aku melakukannya."
"Kau agen yang bebas."
"Ada satu hal yang harus kita putuskan. Apakah dia akan kita beri tahu bahwa dia
sedang sekarat?" "Tak tahulah. Harus kupikirkan dulu."
Hilary mengangguk dan kembali ke sebelah tempat tidur. Kini dia merasakan
simpati yang dalam terhadap wanita yang sedang terbaring sekarat itu. Wanita
yang sedang dalam perjalanan menuju suami tercinta. Ataukah mereka keliru"
Apakah dia datang ke Maroko melulu hanya untuk menyendiri, melewatkan waktu
sampai mungkin datang berita pasti mengenai apakah suaminya masih hidup atau
sudah mati" Hilary bertanya-tanya dalam hati.
Waktu berjalan terus. Hampir dua jam kemudian, bunyi gerakan rosario si
biarawati berhenti. Dia berbicara, suaranya lembut tetapi resmi.
"Ada perubahan," katanya. "Saya kira, Madame, saat akhir sudah tiba. Saya akan
memanggil dokter." Dia meninggalkan kamar. Jessop beranjak ke sisi yang lain dari tempat tidur,
berdiri dekat tembok sehingga dia berada di luar jangkauan pandangan wanita itu.
Kelopak mata Nyonya Betterton bergerak-gerak lalu membuka. Mata hijau
kebiruan yang pucat dan hampa itu bertemu pandang dengan Hilary. Kemudian
menutup, lalu membuka lagi. Tampaknya di mata itu kini muncul kebingungan.
"Di mana...?" Kata itu mendesah dari bibir yang hampir tak mengeluarkan napas, tepat ketika
dokter masuk. Dia menggenggam tangan Nyonya Betterton dan jarinya menekan
nadi sambil berdiri di sisi tempat tidur, memandangi pasiennya.
"Anda di rumah sakit, Madame," katanya. "Pesawat Anda mengalami kecelakaan."
"Pesawat?" Suara yang pelan tak bertenaga mengulang kata tersebut seolah-olah seperti dalam
mimpi. "Ada yang ingin Anda temui di Casablanca, Madame" Pesan yang dapat kami
sampaikan?" Dengan susah payah matanya memandang ke atas, ke wajah dokter.
Katanya, "Tidak."
Dia kembali memandang Hilary. "Siapa-siapa-"
Hilary mencondongkan tubuhnya ke depan dan berbicara dengan jelas.
"Saya juga datang dari Inggris dengan pesawat -kalau ada yang dapat saya bantu,
katakanlah." "Tidak-tak ada-tak ada-kecuali-"
"Ya?" "Tak ada." Mata itu bergerak-gerak lagi dan setengah tertutup-Hilary mengangkat wajahnya
memandang Jessop yang tatapannya begitu mendesak. Dengan tegas Hilary
menggeleng. Jessop maju. Dia berdiri dekat-dekat dokter. Mata wanita yang sekarat itu
terbuka lagi. Mendadak mata itu mengenali. Katanya, "Saya kenal Anda."
"Ya, Nyonya Betterton, Anda mengenal saya. Anda mau menceritakan apa saja
sebisanya tentang suami Anda?"
"Tidak." Kelopak matanya menutup lagi. Jessop pelan-pelan berpaling dan keluar.
Dokter memandang Hilary. Dia berkata pelan sekali, "Ajal sudah tiba!"
Wanita yang sedang sekarat itu membuka mata lagi. Dengan susah payah mata itu
menjelajahi ruangan, kemudian diam menatap Hilary.
Olive Betterton menggoyangkan tangannya, pelan sekali. Secara naluriah Hilary
langsung menggenggam tangan yang pucat dan dingin itu.
Dokter mengangkat bahu, sedikit membungkuk, lalu pergi. Kedua wanita itu kini sendirian di kamar. Olive Betterton mencoba berkata, "Katakan-katakan-"
Hilary tahu apa yang ingin ditanyakannya dan mendadak dia tahu apa yang mesti
diperbuatnya. Dia mencondongkan tubuh ke atas tubuh yang terbaring itu.
"Ya," katanya, suaranya jelas dan tegas. "Anda akan meninggal. Itu yang ingin
Anda ketahui, kan" Nah, sekarang dengarkan. Saya akan berusaha mencari suami
Anda. Apa ada pesan yang ingin Anda sampaikan, seandainya saya berhasil?"
"Katakan-katakan kepadanya-supaya hati-hati. Boris-Boris-berbahaya...."
Napasnya terengah dan mendesah lagi. Hilary membungkuk lebih dekat.
"Apa ada yang dapat Anda katakan untuk membantu saya- membantu saya dalam
perjalanan, maksud saya" Membantu saya agar bisa menghubungi suami Anda?"
"Salju." Kata itu begitu samar-samar terdengar, sehingga Hilary kebingungan.
Salju" Salju" Dia mengulangnya tak mengerti.
Olive Betterton mengikik pelan menyeramkan. Dari mulutnya keluar katakata,"Salju, salju, salju yang indah! Sekali kau terpeleset, celakalah sudah!"
Dia mengulang kata yang terakhir. "Sudah.... sudah" Pergi dan katakan tentang
Boris. Saya tak percaya. Saya tak mau percaya. Tapi mungkin juga benar.... Kalau
begitu, kalau memang begitu...."
Matanya yang seperti tersiksa menatap Hilary "... hati-hatilah...."
Terdengar bunyi geletar aneh dari tenggorokannya. Bibirnya tersentak.
Olive Betterton meninggal.
II Lima hari berikutnya sungguh berat secara mental, meskipun fisik tidak bekerja.
Menyendiri di sebuah kamar di rumah sakit, Hilary mulai bekerja. Setiap sore dia
harus menghadapi ujian tentang apa yang telah dipelajarinya hari itu. Seluruh
perincian kehidupan Olive Betterton, sejauh yang dapat diketahui, telah tertulis
di kertas dan dia harus menghafalkannya. Rumah tempat tinggalnya, para wanita
pembantu yang pernah bekerja padanya, familinya, nama anjing-anjing piaraannya
dan nama burung kenarinya, setiap detil hidup perkawinannya dengan Thomas
Betterton selama enam bulan itu.
Hari pernikahannya, nama-nama pengiringnya, gaun-gaun mereka. Pola tirai,
permadani, dan perabotnya. Selera makan Olive Betterton, kegemarannya dan
kegiatannya sehari-hari. Makanan dan minuman kesukaannya.
Hilary dibuat terheran-heran akan banyaknya informasi yang tampaknya tak
berarti, yang telah mereka kumpulkan.
Pernah dia berkata kepada Jessop, "Apa mungkin ada yang berguna dari semua ini"
Dan dengan tenang pria itu menjawab, "Mungkin tak ada. Tapi kau harus
menghayati peran sebagaimana aslinya. Bayangkan saja begini, Hilary. Kau
seorang penulis yang sedang menulis buku tentang seorang wanita. Wanita itu


Menuju Negeri Antah Berantah Destination Unknown Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Olive. Kaulukiskan masa kecilnya, masa remajanya, kauceritakan perkawinannya,
rumah tempat dia tinggal. Sementara mengerjakan itu, bagimu makin lama dia
makin hidup. Kemudian kau mengulang semuanya. Kini kau menuliskannya
sebagai otobiografi. Kau menulisnya dengan kata ganti 'saya'. Paham apa yang
kumaksud?" Dia mengangguk pelan. Tanpa dikehendakinya Hilary terkesan.
"Kau tak mungkin memandang dirimu sebagai Olive Betterton, sebelum kau bisa
merasakan bahwa kau adalah Olive Betterton. Memang akan lebih baik kalau kau
punya kesempatan mempelajarinya sendiri, tapi waktu sudah mendesak. Jadi aku
harus menjejalimu dengan segala informasi ini. Menjejalimu seperti anak sekolah
- seperti siswa yang akan menghadapi ujian penting."
Dia menambahkan, "Syukurlah otakmu cerdas dan kau mempunyai daya ingat
yang baik." Diamatinya Hilary dengan pandangan memuji.
Keterangan di dalam paspor Olive Betterton dan Hilary Craven hampir sama,
tetapi sebenarnya wajah mereka amat berbeda.
Kecantikan Olive Betterton biasa-biasa saja, tidak mencolok. Dia keras kepala
tetapi tidak tampak cerdas. Sedangkan wajah Hilary mempunyai sorot yang
bertenaga dan menarik hati. Matanya yang dalam berwarna hijau kebiruan dan
dinaungi alis yang lebat dan rata, memancarkan kecerdasan dan semangat yang
berkobar-kobar. Garis bibirnya melengkung ke atas, lebar, dan tegas. Garis
rahangnya istimewa-pemahat pasti tertarik memandangi sudut-sudut wajahnya.
Jessop berpikir, "Ada gairah di sana dan nyali dan walau teredam tapi tak padam,
ada semangat yang tinggi dan pantang menyerah-yang senang menikmati hidup
dan bertualang." "Kau akan bisa," katanya kepada Hilary. "Kau murid yang pintar."
Tantangan terhadap kecerdasan dan daya ingatnya itu telah merangsang Hilary.
Kini dia jadi berminat, penuh gairah untuk berhasil. Satu-dua kali muncul juga
reaksi penolakan darinya. Dan dia mengutarakannya kepada Jessop.
"Menurutmu aku tak akan ditolak sebagai Olive Betterton. Katamu mereka tidak
akan tahu bagaimana tampang Olive Betterton, kecuali ciri-ciri umumnya saja.
Tapi bagaimana kau bisa yakin?"
Jessop mengangkat bahu. "Kita tak bisa benar-benar yakin-tentang segala hal. Tapi sampai tingkat
tertentu kami tahu aturan-aturan mainnya. Kelihatannya secara internasional
sedikit sekali terjadi komunikasi di antara mereka. Sebetulnya bagi mereka ini
keuntungan besar. Bila kita menemukan jalur yang lemah di Inggris-ingat di setiap organisasi
selalu ada jalur yang lemah-jalur lemah itu tak tahu apa-apa tentang kegiatan di
Prancis, Italia, Jerman, atau di mana pun sesukamu, dan kita pun cuma dihadapkan
pada tembok kosong. Mereka cuma tahu bagian mereka saja-tak lebih dari itu. Hal yang
sama juga berlaku sebaliknya. Aku berani sumpah yang diketahui sel di sini
hanyalah bahwa Olive Betterton akan tiba dengan pesawat tertentu dan akan diberi
instruksi tertentu. Bukan karena dia sendiri penting. Kalau mereka membawa Olive
ke suaminya, itu karena suaminya yang menginginkan begitu dan karena pada
hemat mereka, mereka akan mendapat manfaat lebih besar dari pria itu kalau
istrinya bergabung. Olive sendiri melulu bidak belaka. Kau juga harus ingat,
gagasan mengganti Olive Betterton cuma improvisasi mendadak saja-muncul
karena adanya kecelakaan pesawat dan warna rambutmu. Rencana kerja kami
tadinya adalah mengamati Olive Betterton dan mencari tahu ke mana dia pergi,
bagaimana dia pergi, siapa yang ditemuinya-dan seterusnya. Itulah yang akan
dipersiapkan dan diawasi oleh pihak sana."
Hilary bertanya, "Apa kau belum pernah mencoba semua itu sebelum ini?"
"Sudah pernah. Di Swiss. Padahal sangat tak mencolok. Tapi sejauh menyangkut
tujuan utama, kami gagal. Seandainya ada orang yang menghubungi Olive di sana,
kami tak melihatnya. Jadi kontak itu pasti singkat sekali. Dengan sendirinya
mereka sudah menduga Olive Betterton pasti diamat-amati. Mereka
mempersiapkan diri menghadapi itu. Terserah kita, apakah akan bekerja lebih
teliti dari yang lalu. Kita harus mencoba lebih licin dari musuh kita."
"Jadi kau akan membuntuti aku?"
"Tentu saja." "Bagaimana caranya?"
Jessop menggeleng. "Aku tak akan memberi tahu. Lebih baik kau tak tahu. Yang tak
kauketahui tak mungkin kaubocorkan."
"Kaupikir aku akan membocorkannya?"
Jessop memasang ekspresi seperti burung hantu lagi.
"Aku tak tahu aktris sebaik apa kau-pembohong yang baik atau tidak. Kau tahu,
itu bukan hal yang mudah. Bukan karena salah bicara. Bisa saja karena hal-hal
kecil, misalnya menarik napas tiba-tiba, ragu-ragu sejenak ketika sedang melakukan
sesuatu-waktu menyalakan rokok umpamanya, ketika mengenali nama atau
seorang kawan. Memang kau bisa dengan cepat menutupinya, tapi sekilas saja
mungkin sudah cukup!"
"Aku mengerti. Ini artinya-terus-menerus waspada setiap detik."
"Persis. Untuk sekarang, teruskan pelajaranmu! Seperti kembali ke sekolah, ya"
Kau benar-benar sudah mengenal Olive Betterton sekarartg. Mari kita pindah ke
soal lain." Kode, tanggapan, dan berbagai perlengkapan. Pelajaran terus berlanjut;
pertanyaan, pengulangan, percobaan untuk membuat Hilary bingung atau untuk
menjebaknya; kemudian kondisi pengandaian dan bagaimana reaksinya. Akhirnya
Jessop mengangguk dan menyatakan puas.
"Kau akan bisa," katanya. Dia menepuk bahu wanita itu seperti seorang paman.
"Kau murid yang pintar. Dan ingatlah ini, kalau kadang-kadang kau merasa begitu
sendirian, mungkin sebenarnya kau tidak sendirian. Aku bilang mungkin-aku tak
mau memastikan lebih dari itu. Musuh kita ini setan-setan yang pintar."
"Apa yang terjadi," kata Hilary, "pada saat aku sampai di tujuan?"
"Maksudmu?" "Maksudku ketika akhirnya aku bertatap muka dengan Tom Betterton."
Jessop mengangguk serius.
"Ya," katanya. "Itulah saat yang berbahaya. Aku hanya bisa bilang bahwa pada
saat itu kalau semua berjalan baik, kau akan mendapat perlindungan. Maksudnya
jika segalanya berjalan seperti yang kita harapkan. Tapi kita pun tahu, operasi
ini, memang tidak punya banyak kemungkinan untuk berhasil."
"Bukankah dulu kaubilang satu berbanding seratus?" ujar Hilary hambar.
"Kukira perbandingannya bisa kita perkecil sedikit. Waktu itu aku belum tahu
kemampuanmu." "Ya, kurasa kau belum tahu." Hilary berpikir serius. "Kukira, bagimu waktu itu
aku hanyalah..." Jessop menyelesaikan kalimat itu untuk Hilary. "...seorang wanita dengan rambut
merah mencolok yang sudah tak punya nyali dan keinginan untuk hidup."
Hilary tersipu. "Itu penilaian yang terlalu kasar."
"Tapi betul, kan" Aku tak suka mengasihani orang. Satu hal, karena itu sama saja
dengan menghina. Kita kasihan kepada seseorang kalau dia kasihan kepada dirinya
sendiri. Rasa kasihan pada diri sendiri adalah salah satu penghambat terbesar di
dunia saat ini." Hilary berkata sambil menimbang-nimbang, "Kukira mungkin kau benar. Apa kau
akan kasihan padaku bila aku berhasil dimusnahkan, atau entah apa istilahnya,
dalam melaksanakan misi ini?"
"Kasihan padamu" Tidak. Aku akan memaki sejadi-jadinya karena kami telah
kehilangan seseorang yang cukup berharga bagi kami untuk bercapek-capek."
"Pujian juga, akhirnya." Tanpa dikehendakinya Hilary merasa senang.
Dia melanjutkan, dengan nada lugas, "Cuma ada satu hal lagi yang menggangguku.
Kaubilang tak seorang pun yang mungkin mengetahui tampang Olive Betterton,
tapi bagaimana kalau aku dikenali orang sebagai diriku sendiri" Aku memang tak
punya kenalan di Casablanca, tapi bagaimana dengan orang-orang yang naik
pesawat bersamaku" Atau mungkin aku bertemu dengan kenalanku di antara turisturis di sini." "Tentang penumpang di pesawatmu, kau tak usah khawatir. Orang-orang yang
terbang bersamamu dari Paris adalah orang-orang bisnis yang terus ke Dakar dan
seorang pria yang turun di sini, tapi sudah terbang kembali ke Paris. Dari sini
kau akan menginap di hotel lain, hotel yang sudah dipesan Nyonya Betterton. Kau
akan mengenakan pakaiannya, meniru gaya rambutnya, dan menempelkan plester
tersembunyi di belakang telinga yang akan membuat wajahmu benar-benar lain.
Kami akan memanggil dokter untuk menggarapmu. Dengan pembiusan lokal, jadi
tidak akan sakit, tapi kau akan punya lecet-lecet bekas kecelakaan yang
sesungguhnya." "Kau amat teliti," kata Hilary.
"Harus." "Kau tak pernah tanya," kata Hilary, "apakah Olive Betterton mengatakan sesuatu
kepadaku sebelum meninggal."
"Kupikir kau menganut garis moral tertentu."
"Maaf." "Tak apa-apa. Aku menghargaimu karena itu. Aku sendiri menganut juga garisgaris moral tertentu-tapi itu tidak berguna dalam kasus ini."
"Ia memang mengatakan sesuatu yang mungkin perlu kuberitahukan kepadamu.
Katanya, 'Katakan-kepada Betterton', maksudnya-'katakan supaya hati-hati-Borisberbahaya-' " "Boris." Jessop mengulang nama itu dengan penuh minat. "Aa! Mayor Boris Glydr
kita yang serba sempurna dan bergaya asing."
"Kaukenal dia" Siapa?"
"Orang Polandia. Dia menemuiku di London. Dia mestinya sepupu Tom Betterton
karena perkawinan." "Mestinya?" "Lebih tepat dikatakan, kalau benar seperti pengakuannya, dia adalah sepupu
almarhum Nyonya Betterton. Tapi kami cuma punya kesaksian dari dia sendiri."
"Olive ketakutan," kata Hilary mengerutkan kening. "Dapat kau melukiskan orang
itu" Aku ingin bisa mengenalinya."
"Ya. Mungkin baik juga kau tahu. Enam kaki Berat sekitar 160 pounds. Pirangwajah aga seperti pemain poker, dingin-warna mata teran -lagaknya asing, amat
kaku dan resmi-bahasa Inggrisnya bagus tapi berlogat asing, bergaya militer
kaku." Dia menambahkan, "Kusuruh orang menguntitnya ketika meninggalkan kantorku.
Tak ada apa-apa. Dia langsun ke Kedutaan Amerika-sebagaimana seharusnya -dia
membawa surat pengantar dari sana. Mereka memang biasa menulis surat seperti
itu jika ingin bersikap ramah tapi tanpa mengeluarkan pernyataan yang memihak.
Kukira dia meninggalkan kedutaan jika tidak dengan mobil orang lain tentu lewat
pintu belakang dengan menyamar sebagai penjaga pintu atau lainnya. Pokoknya
dia berhasil menghindari kami. Ya-kukira mungkin Olive Betterton benar waktu
mengatakan Boris Glydr itu berbahaya."
Bab 5 I Di ruang tamu kecil yang formal di Hotel St. Louis, tiga wanita sedang duduk.
Masing-masing punya kesibukan sendiri. Nyonya Calvin Baker, pendek, gemuk,
dengan rambut dicat biru, sedang menulis surat. Enerji yang dicurahkannya pada
waktu menulis, sama seperti pada saat dia mengerjakan segala bentuk kegiatan
yang lain. Tak ada yang bakal salah duga, bahwa Nyonya Calvin baker adalah pelancong
Amerika, cukup kaya dan selalu haus informasi yang setepat-tepatnya tentang
segala macam hal di mana saja.
Di sebuah kursi kuno yang kelihatannya tak nyaman, duduk Nona Hetherington,
lagi-lagi orang tak mungkin keliru menduga, bahwa pastilah dia pelancong dari
Inggris. Dia sedang merajut pakaian muram tak berbentuk yang biasa tampak
dirajut wanita-wanita Inggris setengah baya.
Nona Hetherington tinggi dan kerempeng. Lehernya kurus, gaya rambutnya jelek,
dan kesan umum yang terpancar darinya adalah betapa secara moral dia kecewa
terhadap alam semesta. Mademoiselle Jeanne Maricot duduk dengan anggun di sebuah kursi yang tegak
sandarannya, memandang keluar jendela dan menguap. Rambut pirangnya dicat
menjadi coklat tua, riasan wajahnya sederhana tetapi menarik. Pakaian yang
dikenakannya bergaya dan tampaknya dia sama sekali tak menaruh minat pada
orang lain di ruangan itu, yang di dalam hati sudah divonisnya sebagai 'tepat
benar dengan penampilan mereka'! Waktu itu dia sedang merenungkan perubahan
penting dalam kehidupan seksnya. Dia terlalu repot untuk memperhatikan
makhluk-makhluk turis ini!
Setelah sama-sama melewatkan dua malam di bawah atap St. Louis, Nona
Hetherington dan Nyonya Calvin Baker jadi akrab. Dengan keramahtamahan
Amerika-nya, Nyonya Calvin Baker mengajak bicara semua orang. Nona
Hetherington, walaupun juga senang berkawan, hanya mau bercakap-cakap
dengan orang Inggris atau Amerika yang menurut dia mempunyai kelas sosial
tertentu. Dengan orang Prancis dia tak mau berurusan, kecuali bila kehidupan
keluarganya jelas terhormat, yaitu bila ada anak-anak yang ikut serta makan di
meja yang bersangkutan. Seorang Prancis yang tampaknya usahawan kaya-raya menjenguk ke dalam ruang
tamu itu. Tetapi ngeri melihat di dalamnya wanita melulu, dia pergi lagi dengan
pandangan menyesal ke arah Mademoiselle Jeanne Maricot.
Nona Hetherington mulai menghitung kaitannya pelan-pelan. "Dua puluh delapan,
dua puluh sembilan - nah sekarang apa ya-oh, aku tahu."
Seorang wanita jangkung berambut merah menjenguk ke dalam, ragu-ragu sejenak,
sebelum terus ke ruang makan.
Nyonya Calvin Baker dan Nona Hetherington langsung waspada.
Nyonya Baker memutar tubuhnya dari hadapan meja tulis lalu berbisik tegang.
"Anda lihat wanita rambut merah yang baru saja menjenguk ke dalam, Nona
Hetherington" Kabarnya dia satu-satunya yang selamat dari kecelakaan pesawat
minggu lalu." "Saya lihat waktu dia datang tadi sore," kata Nona Hetherington. Dia membatalkan
satu kaitan saking bergairahnya. "Dengan ambulans."
"Langsung dari rumah sakit, begitu kata manajer. Saya jadi berpikir-pikir apakah
bijaksana-begitu cepat keluar dari rumah sakit. Saya dengar dia mengalami gegar
otak." "Wajahnya juga diplester-mungkin lecet-lecet kena pecahan kaca. Beruntung sekali
dia tidak terbakar. Biasanya cedera jadi amat parah kalau sampai terbakar dalam
kecelakaan pesawat."
"Sungguh mengerikan jika dipikir-pikir. Kasihan. Apa dia bersama suaminya dan
apa suaminya itu tewas?"
"Saya kira tidak." Nona Hetherington menggelengkan kepalanya yang berambut
kelabu kekuningan. "Menurut koran, satu penumpang wanita."
"Ya, betul. Ada namanya pula. Nyonya Beverly-bukan, Betterton, ya itulah
namanya." "Betterton," kata Nona Hetherington mere-nung-renung. "Nah saya jadi ingat pada
apa, ya" Betterton. Di koran-koran. Oh, aduh, saya yakin itulah namanya."
"Pierre yang malang," Mademoiselle Maricot menggumam pada diri sendiri. "Dia
sungguh-sungguh bikin aku tak tahan! Sedang Jules sayang, dia begitu baik. Dan
ayahnya tak mungkin mengganggu kami. Akhirnya, aku bisa memutuskan!"
Dengan langkah anggun Mademoiselle Maricot keluar dari ruang tamu dan sejak
itu tak pernah ada beritanya lagi.
II Nyonya Thomas Betterton keluar dari rumah sakit sore itu, lima hari setelah
kecelakaan. Ambulans mengantarkannya ke Hotel St. Louis.
Masih tampak pucat dan kurang sehat, dengan wajah diplester dan dibalut, Nyonya
Betterton langsung diantar ke kamar yang telah disediakan untuknya.
Manajer menemaninya dengan simpatik.
"Betapa mengerikannya pengalaman Anda, Madame!" katanya, setelah dengan halus
menanyakan apakah dia suka kamar itu dan menyalakan semua lampu,
padahal sama sekali tak perlu. "Beruntungnya Anda! Mukjizat! Anda bernasib
baik! Hanya tiga yang selamat, dan salah seorang masih dalam kondisi kritis,
saya dengar." Hilary menjatuhkan diri di kursi dengan letih.
"Memang," gumamnya. "Saya sendiri hampir tak percaya. Sekarang saja sedikit yang
saya ingat. Dua puluh empat jam terakhir sebelum kecelakaan masih amat
samar-samar bagi saya."
Manajer mengangguk penuh simpati.
"Ah, ya. Itu akibat gegar otak. Adik perempuan saya pernah mengalami itu. Dia
ada di London dalam masa perang waktu itu. Lalu ada bom meledak, dia pingsan.
Tapi tak lama. Dia segera bangkit, berjalan-jalan di London, naik kereta api
dari Stasiun Euston dan, figurez-vous, bayangkan, dia tiba di Liverpool-sadartanpa ingat apa-apa soal bom, soal dia berjalan-jalan di London, dan soal kereta api,


Menuju Negeri Antah Berantah Destination Unknown Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan bagaimana dia bisa sampai di situ! Hal terakhir yang diingatnya, dia sedang
menggantung rok di lemari pakaian di London. Aneh sekali, kan?"
Hilary mengiyakan, memang itu aneh. Manajer membungkukkan badannya dan
pergi. Hilary bangun dan menatap bayangannya di cermin, begitu merasuknya dia
dalam kepribadiannya yang baru ini, sehingga tungkai kakinya terasa lemah.
Persis seperti orang yang baru saja keluar Jari rumah sakit setelah mengalami
sakit parah. Tadi dia telah menanyakan kalau-kalau ada pesan atau surat untuknya. Tapi tak
ada. Langkah-langkah pertama dalam perannya yang baru ini benar-benar harus
dilaksanakan dalam kegelapan. Ada kemungkinan Olive Betterton telah diberi tahu
agar menelepon nomor tertentu atau supaya menghubungi orang tertentu di
Casablanca. Namun tentang hal itu tak ada petunjuk. Bekal pengetahuannya
hanyalah paspor Olive Betterton, surat pengantar, dan buku tiket dan pemesanan
tempat di Cooks. Pada buku tercantum dua hari di Casablanca, enam hari di Fez,
dan lima hari di Marrakesh. Tentu saja semuanya sudah kedaluarsa dan harus
diurus kembali. Paspor, Surat Pengantar, dan Surat Keterangan Diri telah
dibereskan. Foto yang kini tertempel di paspor adalah foto Hilary, tanda tangan
di Surat Pengantar adalah Olive Betterton oleh tangan Hilary. Semua surat
keterangannya sudah rapi. Tugasnya kini adalah memainkan peranan dengan baik
dan menunggu. Kartu truf-nya adalah kecelakaan pesawat itu, yang telah
menyebabkan dia lupa pada beberapa hal dan tidak begitu jelas ingat pada hal-hal
yang umum. Kecelakaan itu benar-benar telah terjadi dan Olive Betterton sungguh-sungguh ada
dalam pesawat itu. Kenyataan bahwa dia mengalami gegar otak akan cukup
menjadi alasan gagalnya dia memenuhi segala perintah yang mungkin telah
diinstruksikan kepadanya. Dalam keadaan bingung, tak tahu harus berbuat apa dan
lemah, Olive Betterton akan menunggu datangnya perintah.
Hal yang paling wajar dilakukannya tentu beristirahat. Maka dia membaringkan
diri di tempat tidur. Selama dua jam dia mengulang kembali semua yang telah
dipelajarinya di dalam hati. Barang-barang Olive sudah musnah di pesawat.
Hilary hanya memiliki sedikit barang yang diperolehnya di rumah sakit. Dia
menyisir rambut, memoles bibirnya dengan lipstik, dan turun ke ruang makan hotel
untuk makan malam. Dia tahu, orang-orang memperhatikannya. Beberapa meja diduduki orang-orang
bisnis dan mereka ini melihatnya pun hampir-hampir tidak. Tapi dari meja-meja
lain, yang jelas ditempati para turis, dia mendengar orang bergumam dan
berbisik- bisik. "Wanita yang di sana itu-yang berambut merah - dia penumpang yang selamat dari
kecelakaan pesawat itu. Ya, dia datang langsung dari rumah sakit dengan
ambulans. Saya melihatnya datang. Sekarang pun dia masih tampak kurang sehat.
Saya heran mereka begitu cepat mengeluarkannya. Pengalaman ngeri betul. Benarbenar nyaris!" Setelah makan malam Hilary duduk sebentar di ruang tamu kecil yang formal tadi.
Dia bertanya-tanya di dalam hati apakah ada orang yang akan mendekatinya. Ada
satu-dua wanita terpencar-pencar di ruangan itu. Dan tak lama kemudian seorang
wanita setengah baya, kecil, agak gemuk dengan rambut putih yang dicat biru,
pindah ke kursi di dekatnya. Dia menyapa dengan suaranya yang lincah dan
menyenangkan, khas Amerika.
"Sungguh, mudah-mudahan Anda memaafkan saya, tapi saya merasa ingin sedikit
omong-omong dengan Anda. Kalau tak salah, Anda yang beruntung sekali selamat
dari kecelakaan pesawat baru-baru ini?"
Hilary meletakkan majalah yang sedang dibacanya.
"Ya," katanya. "Wah! Mengerikan. Kecelakaan itu maksud saya. Hanya tiga yang selamat,
kabarnya. Betul?" "Hanya dua," kata Hilary. "Salah satu sudah meninggal di rumah sakit."
"Wah! Masa! Nah, kalau Anda tak keberatan saya bertanya-tanya begini NonaNyonya..." "Betterton." "Nah, kalau Anda tak keberatan saya tanya-tanya begini, di mana tempat duduk
Anda di pesawat" Di depan atau dekat ekor?"
Hilary sudah tahu jawabannya dan dia langsung menyahut.
"Dekat ekor." "Memang orang bilang, itulah tempat yang paling aman. Saya selalu minta tempat
duduk dekat pintu belakang. Anda dengar itu Nona Hetherington?"
Dia memalingkan kepalanya kepada seorang wanita separuh baya yang lain. Yang
ini tak usah diragukan lagi pastilah orang Inggris. Wajahnya yang panjang
berkesan sedih, dan mirip kuda. "Persis seperti yang saya katakan dulu. Kalau
masuk pesawat, jangan mau diajak ke depan oleh pramugari."
"Saya kira toh harus ada yang duduk di depan," kata Hilary.
"Nah, yang pasti bukan saya," sahut kawan harunya, orang Amerika itu cepat. "Oh,
Pukulan Naga Sakti 10 Wiro Sableng 185 Jabang Bayi Dalam Guci Bu Kek Kang Sinkang 6

Cari Blog Ini