Ceritasilat Novel Online

Pria Bersetelan Coklat 1

Pria Bersetelan Coklat The Man In The Brown Suit Karya Agatha Christie Bagian 1


THE MAN IN THE BROWN SUIT
by Agatha Christie PRIA BERSETELAN COKLAT Alihbahasa: Ny. Suwarni A. S.
Penerbit: PT Gramedia Mei 1988 PROLOG NADINA, penari Rusia yang telah menggemparkan kota Paris, membungkukkan tubuhnya
seirama dengan riuhnya tepuk tangan penonton. Dia membungkuk berulang kali.
Matanya yang sipit dan berwarna hitam, makin menyipit. Mulutnya yang lebar yang
dicat merah tua, melengkung ke atas. Para penonton Prancis yang antusias itu,
masih terus menghentak-hentakkan kaki mereka, waktu tirai mendesir turun. Dengan
tertutupnya tirai, hilang pula dari pemandangan, dekor yang berwarna-warni
menyolok. Penari yang mengenakan gaun warna biru dan jingga berdraperi itu,
meninggalkan pentas. Seorang pria berjenggot menyambutnya dengan antusias.
Dialah manajernya. "Hebat, petite, hebat," serunya. "Malam ini kau lebih hebat daripada biasanya."
Diciumnya kedua belah pipi penari itu.
Madame Nadina menyambut pujian itu dengan tenang. Dia sudah biasa mendapat
pujian. Wanita itu terus berlalu ke arah kamar gantinya. Di sana buket-buket
bunga bertumpuk-tumpuk sembarangan, dan pakaian indah-indah yang berpotongan
mutakhir bergantungan di kapstok. Udara terasa panas, bercampur dengan harumnya
bunga-bunga dan harumnya parfum serta wewangian lain. Jeanne, periasnya, segera
membantu majikannya sambil terus berbicara dan tak henti-hentinya memuji.
Arus kata-katanya terhenti oleh bunyi ketukan di pintu. Jeanne membuka pintu dan
kembali dengan membawa kartu nama.
"Maukah Anda menerimanya?"
"Coba kulihat dulu."
Penari itu mengulurkan tangannya dengan luwes. Begitu melihat nama "Count
Sergius Paulovitch" yang tercantum pada kartu itu, matanya berbinar karena
tertarik. "Aku mau menerimanya. Cepat ambilkan kimono yang berwarna kuning jagung, Jeanne.
Dan begitu Count masuk, kau boleh pergi."
"Bien, Madame."
Kimono yang dibawakan Jeanne, cantik sekali. Berwarna jagung, terbuat dari bahan
sifon dan berhias bulu binatang. Nadina mengenakan kimono itu, lalu tersenyum
sendiri sambil mengetuk-ngetukkan jemarinya yang putih lentik pada kaca meja
rias. Count langsung memanfaatkan kesempatan yang diberikan padanya. Pria itu tidak
terlalu tinggi, dia kurus, sangat rapi, sangat pucat, dan kelihatan letih
sekali. Raut mukanya sukar untuk diingat, dan tanpa mengingat pembawaannya, akan
sulit mengenali wajah itu kembali.
Dia menyalami penari itu sambil membungkuk dengan sopan-santun yang berlebihan.
"Madame, saya senang sekali mendapat kesempatan ini."
Hanya itu yang terdengar oleh Jeanne, sebelum dia keluar sambil menutup pintu.
Setelah tinggal berduaan saja dengan tamunya, senyum Nadina berubah tanpa
kentara. "Meskipun kita berasal dari negeri yang sama, sebaiknya kita tidak menggunakan
bahasa Rusia," kata penari itu.
"Karena kita sama-sama tak tahu sepatah kata pun bahasa itu, memang sebaiknya
begitulah," tamunya membenarkan.
Dengan persetujuan bersama, mereka lalu menggunakan bahasa Inggris. Dan setelah
tak lagi berbasa-basi, orang tak ragu lagi bahwa bahasa Inggris memang bahasa
ibu si tamu. Dia memang memulai hidupnya sebagai seniman musik di London.
"Kau sukses besar malam ini," katanya. "Selamat, ya."
"Tapi aku tak tenang," sahut wanita itu. "Kedudukanku sebagai penari masih belum
menjamin. Kecurigaan yang timbul selama peperangan, masih belum hilang. Aku
masih tetap diawasi dan dimata-matai."
"Tapi kau tak pernah dituduh sebagai mata-mata, bukan?"
"Mereka tak bisa berbuat begitu. Pemimpin kita terlalu cermat untuk hal itu."
"Kita bisa angkat topi untuk 'Kolonel'," kata Count sambil tersenyum. "Tapi
berita tentang rencana pengunduran dirinya itu, mengejutkan sekali, ya"
Bayangkan - dia akan mengundurkan diri! Seperti seorang dokter, atau tukang jagal,
atau tukang pipa saja - "
"Atau seperti seorang pedagang biasa," sambung Nadina. "Tapi kita tak perlu
heran. Memang itulah ciri khas 'Kolonel' - dia seorang pengusaha yang luar biasa.
Dia mengelola kejahatan, seperti orang mengelola pabrik sepatu saja. Tanpa
melibatkan diri, dia merencanakan dan memimpin serangkaian kudeta, dengan
menggerakkan setiap cabang 'profesi'-nya. Perampokan permata, pemalsuan,
kegiatan mata-mata (yang terutama sangat menguntungkan di masa perang),
sabotase, pembunuhan terselubung. Boleh dikatakan tak ada bidang yang belum
pernah disentuhnya. Hebatnya lagi, dia tahu kapan dia harus berhenti. Bila
keadaan sudah mulai mengancam - dia berhenti - dengan keuntungan besar!"
"Hmm!" kata Count ragu-ragu. "Berita itu - jadi mengacaukan kita semua. Kita
bakal menganggur." "Tapi bukankah selama ini kita dibayar - dengan bayaran tinggi?"
Pria itu tiba-tiba memandangnya dengan tajam, mendengar nada ejekan dalam
suaranya. Wanita itu tampak tersenyum, dan senyumnya menimbulkan rasa ingin
tahu. Tetapi Count melanjutkan dengan diplomatis,
"Ya, 'Kolonel' memang selalu memberi kita bayaran yang tinggi. Kuakui bahwa
kebanyakan suksesnya adalah karena itu - juga karena kepandaiannya mencari kambing
hitam yang tepat. Otaknya memang cemerlang! Dan dia pandai menjalankan semboyan,
'Jika ingin melakukan sesuatu dengan aman, jangan lakukan sendiri!' Sedang kita,
terlibat habis-habisan dan berada dalam genggamannya. Dan kita tak bisa berbuat
apa-apa terhadap dia."
Dia diam, seolah-olah menunggu bantahan dari lawan bicaranya. Tetapi wanita itu
tetap diam, dan terus tersenyum sendiri.
"Ya, tak seorang pun di antara kita bisa apa-apa," katanya lagi sambil merenung.
"Tapi tahukah kau, orang tua itu percaya takhyul. Kudengar, beberapa tahun yang
lalu dia pernah mendatangi seorang peramal. Orang itu meramalkan sukses seumur
hidup baginya, tapi dinyatakannya pula bahwa kehancurannya akan disebabkan oleh
seorang wanita." Kini Nadina merasa tertarik. Dia mengangkat wajahnya.
"Aneh, aneh sekali! Oleh seorang wanita katamu?"
Count tersenyum sambil mengangkat bahu.
"Setelah berhenti - pasti dia akan menikah. Mungkin dengan seorang wanita
terkemuka yang cantik, yang akan menghambur-hamburkan uangnya lebih cepat
daripada waktu dia mendapatkannya."
Nadina menggeleng. "Bukan, bukan begitu. Dengar, besok aku akan pergi ke London."
"Bagaimana dengan kontrakmu di sini?"
"Aku hanya akan pergi semalam. Dan aku pergi diam-diam, menyamar sebagai seorang
bangsawan. Tak akan ada orang yang tahu bahwa aku meninggalkan Prancis. Dan
tahukah kau untuk apa aku pergi?"
"Tak mungkin untuk bersenang-senang, pada saat seperti ini. Bulan Januari adalah
bulan yang tak menyenangkan, selalu berkabut! Pasti untuk sesuatu yang
menguntungkan!" "Tepat." Nadina bangkit lalu berdiri di depan pria itu dengan anggun dan penuh
rasa percaya diri. "Kaukatakan tadi bahwa di antara kita tak ada yang bisa
berbuat apa-apa terhadap pemimpin kita itu. Kau keliru. Aku bisa. Aku, seorang
wanita, punya akal dan juga keberanian untuk mengkhianatinya. Ya, keberanian
memang diperlukan untuk itu. Kau ingat berlian-berlian De Beers?"
"Ya, aku ingat. Kejadian di Kimberley, sesaat sebelum pecah perang, bukan" Aku
tidak terlibat dalam peristiwa itu, dan aku tak pernah mendengar kisahnya secara
terinci. Entah mengapa perkara itu dibekukan begitu saja. Dan keuntungannya
bukan main!" "Permata-permata seharga seratus ribu pound. Saya bekerja berdua - tentu saja atas
petunjuk-petunjuk 'Kolonel'. Waktu itulah aku melihat kesempatan. Rencananya,
beberapa berlian De Beers akan ditukarkan dengan beberapa berlian contoh dari
Amerika Selatan, yang dibawa oleh dua orang pencari intan yang masih muda, yang
waktu itu kebetulan ada di Kimberley. Supaya merekalah yang dicurigai."
"Cerdik sekali," sela Count.
"'Kolonel' memang selalu cerdik. Nah, akulah yang harus menjalankan tugas itu tapi aku juga melakukan sesuatu di luar perhitungan 'Kolonel'. Beberapa dari
permata-permata Amerika Selatan itu kusimpan sendiri - beberapa di antaranya punya
ciri-ciri khas dan dapat dibuktikan dengan mudah bahwa itu bukan kepunyaan De
Beers. Dengan memiliki permata-permata itu, pemimpin kita yang mulia itu berada
dalam genggamanku. Segera setelah kedua anak muda itu dibebaskan dari tuduhan,
dialah yang akan dicurigai. Selama bertahun-tahun ini aku bungkam. Aku senang
karena aku punya senjata untuk keadaan darurat. Tapi kini keadaannya lain. Aku
akan menuntut bagianku - bagian yang sangat besar, bahkan boleh dikatakan besar
sekali." "Luar biasa," kata Count. "Apakah permata-permata itu kaubawa ke mana-mana?"
Diam-diam matanya menyapu isi kamar yang acak-acakan itu.
Nadina tertawa. "Jangan mengira yang bukan-bukan. Aku takkan setolol itu. Berlian-berlian itu
tersimpan di suatu tempat yang sama sekali tidak diduga orang."
"Aku tak pernah menganggapmu wanita tolol. Tapi bolehkah aku memberanikan diri
untuk mengatakan bahwa kau nekat" 'Kolonel' bukan orang yang mudah diperas."
"Aku tak takut padanya," kata wanita itu sambil tertawa. "Hanya ada satu orang
yang pernah kutakuti - dan dia sudah meninggal."
Pria itu memandangnya dengan rasa ingin tahu.
"Semoga saja dia tak hidup kembali," katanya dengan nada ringan.
"Apa maksudmu?" seru penari itu dengan tajam.
Count tampak agak heran. "Maksudku, kau akan susah kalau dia bangkit kembali," katanya. "Tapi aku hanya
bergurau." Wanita itu bernapas lega.
"Ah, tak mungkin, dia benar-benar sudah meninggal. Dia tewas dalam perang. Dia
pernah - mencintaiku."
"Di Afrika Selatan?" tanya Count memancing.
"Ya, di Afrika Selatan."
"Kau berasal dari sana, kan?"
Nadina mengangguk. Tamunya berdiri, lalu meraih topinya.
"Yah," katanya, "itu urusanmu sendiri. Tapi kalau aku jadi kau, aku jauh lebih
takut pada 'Kolonel' daripada pada orang mana pun juga yang pernah jatuh cinta
padaku. 'Kolonel' adalah orang yang sering dianggap remeh."
Penari itu tertawa mengejek.
"Seperti aku tak kenal dia saja, setelah sekian lama!"
"Aku malah meragukan apakah kau benar-benar mengenalnya," katanya dengan nada
halus. "Ah, aku kan bukan anak tolol! Apalagi aku tak seorang diri dalam hal ini.
Sebuah kapal dari Afrika Selatan akan berlabuh di Southampton besok. Salah
seorang penumpangnya khusus datang atas permintaanku. Dia harus menjalankan
beberapa tugas untukku. Jadi 'Kolonel' bukan hanya harus berurusan dengan satu
orang, tapi dengan kami berdua."
"Apakah itu bijaksana?"
"Itu perlu." "Apakah kau percaya betul pada orang itu?"
Penari itu tersenyum aneh.
"Aku percaya betul padanya. Dia memang kurang cekatan, tapi betul-betul bisa
dipercaya." Nadina diam sebentar, lalu berkata lagi dengan nada tak acuh, "Dia
suamiku sendiri." BAB I SEMUA orang mendesakku untuk menuliskan kisah ini. Mulai dari orang-orang
terkemuka (yang diwakili oleh Lord Nasby), sampai orang-orang kecil (yang
diwakili oleh almarhumah pembantu rumah tangga kami, Emily. Aku bertemu
dengannya waktu aku terakhir kali ke Inggris. "Sungguh, Nona," katanya. "Pasti
akan menjadi buku yang menarik sekali - seperti cerita film saja!").
Kuakui bahwa memang pantas mereka memintaku melakukan hal itu. Aku memang
terlibat dalam peristiwa itu, sejak awal. Aku menyaksikan sendiri semua yang
terjadi, dan melihat pula bagaimana peristiwa itu berakhir. Suatu keuntungan
lain, kekosongan-kekosongan dalam penuturanku, karena aku tak tahu, akan terisi
dengan baik bila aku menggunakan catatan harian Sir Eustace Pedler. Beliau
sendiri yang telah berbaik hati menyuruhku, menggunakan buku harian itu.
Jadi begitulah ceritanya. Anne Beddingfeld mulai bercerita tentang petualanganpetualangannya. Aku selalu ingin bertualang. Soalnya hidupku datar-datar saja. Ayahku, Profesor
Beddingfeld adalah salah seorang penyelidik Inggris terbesar mengenai manusia
primitif. Dia benar-benar jenius - semua orang mengakui hal itu. Otaknya dipenuhi
oleh Zaman Batu Paleolitik, tapi tak enaknya, dia hidup di dunia modern. Papa
tak mau tahu tentang manusia modem - bahkan Manusia Neolitik dibencinya dan hanya
dianggapnya sebagai hewan ternak saja. Dia belum merasa puas sebelum mencapai
masa Mousterian. Sayang, orang tak bisa melepaskan diri sama sekali dari manusia modem. Kita
terpaksa harus berhubungan dengan tukang daging, tukang roti, tukang susu, dan
tukang sayur. Karena Papa selalu tenggelam dalam masa lalu, sedang Mama sudah
meninggal waktu aku masih bayi, maka menjadi kewajibankulah untuk menangani
soal-soal praktis dalam hidup. Terus terang, aku benci pada Manusia Paleolitik
itu, entah dia dari ras Aurignacian, Mousterian, Chellian, atau yang lain.
Padahal akulah yang harus mengetik dan mengoreksi sebagian besar tulisan Papa
mengenai Manusia Neanderthal dan Leluhurnya. Dan aku benci sekali pada orangorang Neanderthal. Aku selalu berpikir, untunglah mereka sudah punah dalam masa
yang sudah lama berlalu. Aku tak tahu apakah Papa bisa menebak perasaanku mengenai hal itu - mungkin tidak.
Yang jelas, dia tak peduli. Dia sama sekali tak pernah peduli bagaimana pendapat
orang lain. Kurasa itulah ciri khasnya sebagai orang besar. Dia juga hidup tanpa
memperhatikan kebutuhan sehari-hari. Dia makan apa saja yang terhidang, tetapi
kelihatan tersiksa bila dihadapkan pada soal pembayaran apa yang dimakannya itu.
Rasanya kami tak pernah punya uang. Kemasyhurannya tidak menghasilkan uang.
Meskipun dia anggota hampir semua organisasi yang penting, dan di belakang
namanya berderet-deret huruf yang merupakan gelarnya, namun boleh dikatakan umum
tak tahu bahwa dia ada. Dan buku-buku karangannya yang banyak jumlahnya, sama
sekali tak menarik minat masyarakat, meskipun isinya jelas menambah pengetahuan
umum. Hanya satu kali Papa pernah menjadi pusat perhatian umum. Waktu itu dia
membacakan karangannya mengenai anak simpanse, di depan suatu kelompok. Katanya,
raut muka anak manusia sudah mempunyai raut muka manusia, sedang anak simpanse
lebih mirip manusia daripada simpanse dewasa. Agaknya hal itu membuktikan bahwa
bentuk muka leluhur kita lebih menyerupai kera daripada kita, sebaliknya leluhur
simpanse lebih tinggi sifat-sifat badaniahnya daripada yang sekarang - dengan kata
lain, simpanse mengalami penurunan sifat.
Surat kabar Daily Budget, yang memang menyukai sesuatu yang menggelitik,
langsung memuatnya dengan judul besar-besar: "Kita Memang Bukan Keturunan
Monyet, Tapi Apakah Monyet Keturunan Kita" Profesor yang terkemuka itu
mengatakan bahwa simpanse adalah manusia yang sifat-sifat badaniahnya mengalami
penurunan." Tak lama setelah itu, seorang wartawan mengunjungi Papa, dan berusaha membujuk
Papa untuk menulis suatu seri artikel populer mengenai teori itu. Jarang aku
melihat Papa semarah saat itu. Dengan kasar wartawan itu dimintanya meninggalkan
rumah kami. Diam-diam aku menyesali hal itu, karena saat itu kami sedang sangat
kekurangan uang. Sesaat aku bahkan berniat untuk mengejar pemuda itu dan
memberitahukan bahwa ayahku telah mengubah niatnya dan bahwa Papa akan
mengirimkan artikel-artikel itu. Aku bisa saja menulis artikel-artikel itu
sendiri, dan besar kemungkinannya Papa tidak akan pernah tahu tentang transaksi
itu, karena Papa tidak membaca Daily Budget. Tetapi kemudian kuurungkan niat itu
karena kuanggap terlalu riskan. Jadi aku hanya mengenakan topiku yang terbagus
dan dengan sedih pergi ke desa untuk menemui pemilik warung yang menjengkelkan.
Wartawan Daily Budget itulah satu-satunya pemuda yang pernah datang ke rumah
kami. Ada kalanya aku merasa iri pada Emily, pelayan kami. Dia bisa keluar
setiap kali pacarnya, seorang pelaut bertubuh besar, datang. Dan bila si pelaut
sedang berlayar dia berkencan dengan pesuruh tukang sayur, atau dengan pembantu
apoteker, sekadar 'untuk selingan', katanya. Dengan sedih aku berpikir bahwa tak
ada seorang pun yang bisa kujadikan 'selingan' begitu. Teman-teman Papa semuanya
profesor-profesor tua yang biasanya berjenggot panjang. Memang, Profesor
Peterson pernah merangkulku dengan sayang dan berkata bahwa 'pinggangku ramping
sekali', lalu mencoba menciumku. Kata-katanya itu saja sudah membuatku
menganggapnya kuno. Aku sangat mendambakan petualangan, cinta, dan romantika. Tetapi agaknya nasibku
mengharuskan aku hidup dalam keadaan yang sangat membosankan. Di desa ada sebuah


Pria Bersetelan Coklat The Man In The Brown Suit Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perpustakaan, penuh buku cerita fiksi yang sudah sangat tua. Aku senang sekali
membaca kisah-kisah petualangan yang berbahaya dan kisah-kisah cinta. Lalu aku
akan tidur dan bermimpi tentang laki-laki Rhodesia yang selalu serius dan
pendiam. Juga tentang laki-laki kuat yang selalu mampu 'merobohkan lawannya
dengan sekali tebas'. Tetapi di desa kami tak ada seorang pun yang kelihatannya
bisa 'menebas' lawannya dengan sekali pukul. Bahkan dengan beberapa kali pukul
pun tidak. Ada pula sebuah bioskop yang setiap minggu memutar satu episode film Bahayabahaya yang Mengancam Pamela. Pamela adalah seorang wanita muda yang hebat. Tak
ada satu pun yang bisa membuatnya mundur. Dia jatuh dari pesawat terbang, dia
bertualang di kapal selam, memanjat pencakar langit, dan menyusup dalam gerakangerakan bawah tanah, tanpa rasa takut sedikit pun. Dia sebenarnya tidak pintar.
Pimpinan Organisasi Kriminal bawah tanah setiap kali berhasil menangkapnya,
tetapi karena dia agaknya tak suka menghantam kepala gadis itu begitu saja, dan
selalu ingin membunuhnya dalam sebuah ruangan yang mengandung gas beracun, atau
dengan suatu alat modern yang hebat, maka pada awal setiap episode baru,
pahlawannya selalu berhasil menyelamatkannya. Keluar dari bioskop itu aku selalu
merasa puyeng - apalagi, bila setiba di rumah aku menemukan surat peringatan dari
perusahaan gas, yang mengancam akan memutuskan penyaluran gas kami, bila
tunggakan tidak kami bayar!
Namun tanpa kuduga sama sekali, setiap saat petualangan itu makin hari makin
mendekati diriku. Mungkin banyak orang yang tak pernah mendengar tentang penemuan tengkorak antik
di tambang Broken Hill di Rhodesia Utara. Pada suatu pagi kudapati Papa gembira
sekali, sampai seperti kejang-kejang. Kemudian dikisahkannya semua kejadian itu
padaku. "Hasil penemuanku ini, Anne, punya persamaan-persamaan dengan tengkorak Jawa.
Tap persamaan itu tidak bersifat mendasar. Yang kutemukan ini adalah yang sudah
lama kucari-cari, yaitu bentuk leluhur suku Neanderthal. Kita beranggapan bahwa
tengkorak Gibraltar merupakan tengkorak Neanderthal yang paling primitif yang
pernah ditemukan. Mengapa" Karena suku itu berasal dari Afrika. Mereka pindah ke
Eropa - " "Jangan bubuhkan selai marmalade pada tulang ikan salem, Papa," kataku buru-buru
sambil menangkap tangannya yang sedang linglung. "Ya, apa kata Papa tadi?"
"Mereka pindah ke Eropa - "
Kata-katanya terputus karena dia tersedak, gara-gara tertelan tulang ikan salem
terlalu banyak. "Tapi kita harus segera mulai," katanya sambil bangkit setelah selesai makan.
"Kita tak boleh terlambat. Kita harus siap - pasti masih banyak lagi yang bisa
kita temukan di sekitar tempat ini. Aku juga ingin mencatat apakah penemuanpenemuan lainnya juga berasal dari Zaman Mousterian - kurasa pasti ada kerangkakerangka sapi primitif, tapi kerangka badak berbulu tebal itu pasti tidak ada.
Pasti tak lama lagi akan datang serombongan penyelidik. Kita harus mendahului
mereka. Tolong tulis surat pada Perusahaan Cook, Anne."
"Bagaimana dengan uangnya, Papa?" tanyaku dengan halus.
Dia menatapku dengan pandangan menegur.
"Aku tak senang dengan pandanganmu itu, Nak. Kita tak boleh berpikiran rendah.
Kita tak boleh berpikiran rendah kalau masalahnya menyangkut ilmu pengetahuan."
"Bukan saya, tapi Cook yang akan berpikiran begitu, Papa."
Papa kelihatan sedih. "Bayar saja dengan uang tunai, Anne."
"Saya tak punya uang tunai."
Kini Papa tampak putus asa.
"Aku benar-benar tak bisa diganggu dengan soal-soal sepele seperti uang, Anakku
sayang. Coba hubungi bank - kemarin manajernya mengatakan bahwa aku masih punya
dua puluh tujuh pound."
"Ah, saya rasa itu justru utang Papa."
"Oh, aku ingat! Tulis surat pada para penerbitku."
Aku terdiam ragu. Buku-buku Papa lebih banyak menghasilkan kemasyhuran daripada
uang. Ah, ingin sekali aku pergi ke Rhodesia. 'Laki-laki galak yang pendiam,'
gumamku. Kemudian terpandang olehku sesuatu yang aneh yang dipakai ayahku.
"Papa memakai sepatu yang berlainan," kataku. "Lepas yang coklat itu, dan ganti
dengan yang hitam. Dan jangan lupa memakai syal. Hari dingin sekali."
Beberapa menit kemudian Papa berangkat, dengan memakai syal dan sepatu yang
sudah sepasang. Malam itu dia pulang larut, dan aku bingung melihat syal dan mantelnya hilang.
"Aduh, Anne, kau benar. Aku menanggalkan syal dan mantel waktu akan masuk ke
gua, karena takut kotor."
Aku mengangguk mengerti. Aku ingat, suatu kali Papa pulang dengan badan
berlumuran tanah liat Pleistoken, dari kepala sampai kaki.
Alasan utama mengapa kami menetap di Little Hampsly, adalah karena tempat itu
dekat dengan Gua Hampsly, suatu gua yang kaya akan peninggalan kebudayaan
Aurignacian. Di desa ada sebuah museum kecil. Pengurus museum itu sering pergi
dengan Papa untuk mengorek-ngorek tanah dan menggali tulang-tulang badak berbulu
atau tulang-tulang beruang gua.
Sepanjang malam itu Papa batuk terus, dan esok paginya karena kulihat Papa
demam, aku memanggil dokter.
Kasihan Papa, dia menderita pneumonia berat. Empat hari kemudian dia meninggal.
BAB II SEMUA orang menunjukkan simpatinya padaku. Aku menghargai sikap itu, meskipun
aku masih merasa bingung. Aku tidak terlalu merasa sedih. Aku tak pernah merasa
dicintai Papa. Aku tahu itu. Bila dia mencintaiku, aku mungkin mencintainya
juga. Di antara kami memang tak ada rasa cinta. Kami hanya saling memiliki, dan
aku selalu merawatnya. Diam-diam aku kagum pada kepintarannya dan pengabdian
totalnya pada ilmu pengetahuan. Dan aku sedih karena Papa meninggal pada saat
hidupnya sedang sangat menarik baginya. Aku akan merasa lebih senang seandainya
aku bisa memakamkannya di sebuah gua yang penuh lukisan rusa dan alat-alat Zaman
Batu. Tetapi demi kebiasaan umum, aku terpaksa membuatkannya batu nisan yang
rapi dari marmer, di pekuburan setempat yang tersembunyi di belakang gereja.
Hiburan yang diberikan oleh pendeta dengan tulus hati, sama sekali tidak
menghiburku. Beberapa lama kemudian barulah kusadari bahwa akhirnya aku mendapat apa yang
selama ini kuidam-idamkan - kebebasanku. Aku telah menjadi yatim-piatu, dan boleh
dikatakan tak punya uang, tapi aku bebas.
Aku juga menyadari kebaikan orang-orang. Pendeta berusaha membujukku untuk
bekerja membantu istrinya. Perpustakaan kami yang kecil tiba-tiba merasa perlu
untuk mempekerjakan seorang asisten. Akhirnya dokter pun mendatangiku. Dia
memberikan berbagai macam alasan yang tak masuk akal mengapa dia tidak menagih
biaya pengobatan Papa. Akhirnya dengan banyak liku-liku dikatakannya bahwa
sebaiknya aku menikah dengannya.
Aku terkejut sekali. Umur dokter itu sudah mendekati empat puluh, dan tubuhnya
bulat pendek. Sama sekali tidak seperti pahlawan dalam film Bahaya-bahaya yang
Mengancam Pamela, dan lebih-lebih, tidak mirip orang Rhodesia yang galak dan
pendiam. Aku merenung sebentar, lalu kutanyakan mengapa dia ingin menikah
denganku. Dia kelihatan malu sekali. Lalu katanya dia sangat memerlukan seorang
istri yang bisa membantunya di ruang praktek. Sama sekali bukan posisi yang
romantis. Namun ada sesuatu yang mendorongku untuk menerima lamarannya. Aku
ditawarinya hidup yang aman. Aman dan nyaman. Kalau kuingat kembali hal itu, aku
merasa telah berbuat tak adil terhadap pria kecil itu. Dia benar-benar cinta
padaku, tetapi perasaannya yang halus tidak memungkinkannya berkata begitu. Dan
dia keliru. Akibatnya, kecintaanku terhadap romantika malah memberontak.
"Anda baik sekali," kataku. "Tapi saya tak bisa. Saya tak bisa menikah dengan
seseorang tanpa saya benar-benar mencintainya."
"Apakah Anda tidak - ?"
"Tidak," kataku tegas.
Dia mendesah. "Lalu apa yang akan Anda lakukan?"
"Melihat dunia luar dan bertualang," sahutku tanpa ragu sedikit pun.
"Nona Anne, Anda masih muda sekali. Anda tak mengerti - "
"Tak mengerti kesulitan-kesulitan dalam hidup, maksud Anda" Saya mengerti betul,
Dokter. Saya bukan anak ingusan yang sentimentil - saya ini manusia keras yang
hanya mencari keuntungan! Anda akan menyadari hal itu, bila Anda kawin dengan
saya!" "Cobalah pertimbangkan dulu - "
"Tidak bisa." Dia mendesah lagi. "Saya punya usul lain. Seorang bibi saya tinggal di Wales. Dia membutuhkan
seseorang untuk membantunya. Bagaimana kalau Anda ke sana?"
"Tidak, Dokter, saya akan pergi ke London. Di sana banyak yang terjadi. Saya
akan membuka mata saya, dan pasti akan terjadi sesuatu! Kelak Anda akan
mendengar bahwa saya ada di Cina atau di Timbuctoo."
Kemudian Tuan Flemming, pengacara Papa, datang dari London khusus untuk
menemuiku. Dia juga penggemar antropologi, dan dia sangat mengagumi karya-karya
Papa, Tubuhnya kurus, tinggi, wajahnya tirus, dan sudah beruban. Waktu aku masuk
ruangan, dia bangkit lalu menyalamiku dengan kedua tangannya dan menepuk-nepuk
tanganku penuh kasih sayang.
"Kasihan kau, Anakku malang," katanya.
Tanpa kusadari dan tanpa niat untuk munafik, aku pun bersikap sebagai seorang
yatim-piatu yang amat kehilangan. Itu gara-gara sikap orang tua itu. Dia begitu
baik dan kebapakan - dan aku dianggapnya anak kecil yang bodoh yang harus
menghadapi dunia yang kejam ini tanpa pegangan. Sejak semula aku sudah merasa
bahwa akan percuma saja membantahnya. Dan kemudian ternyata bahwa sikapku itu
memang ada benarnya. "Anakku, bisakah kau mendengarkan keterangan-keteranganku sebentar?"
"Bisa." "Kau tahu ayahmu itu orang besar. Anak-cucunya harus menghargainya. Tapi ayahmu
bukan orang dagang."
Aku sudah tahu itu, mungkin jauh lebih tahu daripada Tuan Flemming, tapi aku
diam saja. Dia berkata lagi, "Kurasa kau akan sulit mengerti soal-soal yang akan
kujelaskan ini. Tapi akan kucoba."
Dia menjelaskan dengan panjang-lebar. Kesimpulannya adalah bahwa aku harus
menghadapi hidup ini dengan bekal sebanyak kira-kira 87 pound. Memang sedikit
sekali. Dengan rasa cemas aku menunggu keterangan apa lagi yang akan menyusul.
Aku sudah kuatir kalau-kalau Tuan Flemming juga punya bibi di Skotlandia yang
membutuhkan seorang teman yang muda dan ceria. Tapi rupanya tidak.
"Yang menjadi soal adalah masa depanmu," lanjutnya. "Apakah kau tak punya sanak
saudara yang masih hidup?"
"Saya sebatang kara di dunia ini," kataku. Aku lalu merasa seperti pahlawan
wanita dalam film. "Punya teman?" "Semua orang di sini baik," kataku dengan perasaan syukur.
"Siapa yang tidak akan berbaik hati pada seseorang semuda kau dan menarik lagi?"
katanya. "Yah, Anakku, coba kita lihat apa yang bisa kita perbuat."
Dia ragu sebentar, lalu berkata lagi, "Bagaimana kalau kau ikut kami untuk
sementara?" Itulah kesempatan yang kuharapkan. London! Tempat yang banyak kejadiannya.
"Anda baik sekali," kataku. "Benarkah saya boleh ikut Anda" Hanya sementara saya
melihat-lihat" Saya tentu harus segera mencari pekerjaan."
"Benar, Nak. Aku mengerti. Saya akan mencarikan yang cocok bagimu."
Aku segera merasa bahwa apa yang dimaksud Tuan Flemming mengenai sesuatu yang
cocok, jauh berbeda dari keinginanku. Tetapi sekarang bukan saatnya untuk
mengatakan hal itu. "Kalau begitu beres. Jadi mengapa tidak sekalian ikut aku hari ini juga?"
"Terima kasih banyak, tapi bagaimana dengan Nyonya Flemming?"
"Istriku akan senang sekali menerimamu."
Aku tak yakin apakah para suami mengenal istrinya sebaik yang diduganya" Bila
aku punya suami, aku akan benci sekali kalau dia kembali dengan membawa seorang
anak yatim-piatu tanpa berunding dulu denganku.
"Kita kirim telegram padanya dari stasiun," lanjut pengacara itu.
Dalam waktu singkat, aku sudah siap mengumpulkan barang-barangku yang tak
seberapa. Aku sedih dan bingung melihat topiku sebelum aku memakainya. Topi itu
mula-mula kusebut topi 'Mary', maksudnya topi yang biasa dipakai oleh seorang
pembantu rumah tangga bila dia keluar. Topi itu terbuat dari anyaman jerami yang
dicat hitam dan bertepi keras, tapi sekarang sudah lembut. Aku pernah merasa
seperti seorang jenius dan menyepak topi itu, kemudian meninjunya dua kali, lalu
bagian atasnya kulekukkan dan di situ kupasang hiasan dari wortel. Hasilnya jadi
bagus sekali. Wortelnya sudah kubuang, dan sekarang kubuang pula bagian-bagian
lain dari hasil karyaku. Tinggallah topi model 'Mary' dalam bentuk aslinya, yang
sekarang sudah dalam keadaan penyok-penyok hingga jadi lebih buruk dari semula.
Memang sebaiknya aku berpenampilan benar-benar seperti seorang anak yatim-piatu.
Aku agak gugup memikirkan bagaimana sambutan Nyonya Flemming nanti. Aku berharap
semoga penampilanku menghilangkan rasa permusuhannya terhadapku.
Tuan Flemming juga gugup. Hal itu kulihat waktu kami menaiki tangga rumah tinggi
di kawasan Kensington yang tenang. Nyonya Flemming menyambutku dengan cukup
menyenangkan. Dia seorang wanita gemuk yang bersikap tenang - seorang istri dan
ibu yang baik. Aku dibawanya naik ke sebuah kamar tidur yang bersih sekali
dengan tirai putih bersih. Diharapkannya agar semua kebutuhanku terpenuhi, dan
diberitahukannya bahwa seperempat jam lagi aku harus turun untuk minum teh.
Kemudian aku ditinggalkannya sendiri.
Setelah dia turun, kudengar suaranya yang agak tinggi dari ruang tamu di bawah.
"Ah, Henry, bagaimana mungkin - " Selebihnya tak kudengar lagi, tapi nada
bicaranya jelas. Beberapa menit kemudian terdengar lagi kata-kata yang
diucapkannya dengan nada yang lebih tajam, "Aku sependapat denganmu! Dia memang
sangat menarik." Betapa susahnya hidup ini. Laki-laki tidak akan mau berbaik hati pada kita bila
kita tak cantik, sedang wanita tidak akan mau berbaik hati kalau kita cantik.
Sambil mendesah panjang, aku mulai mengurus rambutku. Rambutku bagus. Warnanya
hitam-hitam pekat, bukan coklat tua - tumbuhnya pun bagus, dari dahi menurun ke
telinga. Kutarik rambutku ke atas. Telingaku pun bagus, tetapi zaman sekarang
telinga tak penting dalam mode. Sama nasibnya dengan kaki gadis Spanyol di masa
Profesor Peterson masih muda.
Setelah selesai, aku benar-benar seperti anak yatim-piatu yang sedang antri
berdiri dengan memakai topi kecil dan mantel merah.
Waktu aku turun, kulihat Nyonya Flemming memandangi telingaku yang tak tertutup
dengan pandangan senang. Tuan Flemming kelihatan heran. Dia pasti bertanya pada
dirinya sendiri, "Apa yang diperbuat anak ini dengan dirinya sendiri?"
Hari itu berlalu dengan baik. Kami memutuskan untuk segera mencari pekerjaan
untukku. Waktu akan tidur, kutatap wajahku di cermin. Benarkah aku cantik dan menarik"
Secara jujur aku tak bisa berkata begitu! Hidungku tak bagus, mulutku tidak
seperti delima merekah, tak ada pula bagian-bagian lain yang bagus. Memang
seorang pendeta pernah berkata bahwa mataku laksana "matahari yang tersangkut di
kegelapan rimba raya" - tapi ah, pendeta memang selalu pandai membuat
perbandingan, dan dengan mudah pula mengobralnya. Aku jauh lebih suka kalau
mataku berwarna biru seperti warna bunga Iris, daripada hijau berbintik-bintik
kuning begini! Tetapi hijau memang warna yang cocok untuk seorang petualang.
Kubalutkan gaun hitam yang ketat, serta membiarkan lengan dan bahuku terbuka.
Kemudian rambutku kusisir ke belakang, lalu kutarik ke bawah sampai menutupi
telingaku. Kubedaki mukaku banyak-banyak hingga kulitku bertambah putih. Kucari
lipstik dan kusapukan tebal-tebal ke bibirku. Lalu bagian bawah mataku
kuhitamkan dengan gabus yang sudah dibakar. Akhirnya kusampirkan scarf merah ke
pundakku yang terbuka, kutusukkan bulu merah tua ke rambutku, lalu kumasukkan
rokok ke sudut bibirku. Aku senang melihat hasilnya.
"Anne si Petualang," kataku nyaring, sambil mengangguk ke arah bayanganku di
cermin. "Anne si petualangan. Episode I, 'Rumah di Kensington'!"
Anak gadis memang gila-gilaan.
BAB III AKU bosan sekali dalam minggu-minggu berikutnya. Nyonya Flemming dan temantemannya sama sekali tak menarik. Mereka mengobrol berjam-jam lamanya, tentang
diri mereka sendiri dan anak-anak mereka. Tentang sulitnya memperoleh susu yang
baik untuk anak-anak, dan tentang keluhan mereka pada perusahaan susu bila
susunya tak baik. Kemudian percakapan beralih mengenai pembantu dan sulitnya
mendapatkan pembantu yang baik. Mereka ulangi kata-kata yang mereka ucapkan pada
wanita yang bertugas di kantor pendaftaran pembantu dan apa kata wanita itu pada
mereka. Agaknya mereka tak pernah membaca surat kabar, dan mereka tak peduli
tentang kejadian-kejadian di sekitar mereka. Mereka tak suka bepergian - karena
semuanya begitu berbeda dari Inggris. Pergi ke Riviera bolehlah, karena di sana
masih bisa bertemu dengan teman-teman.
Aku mendengarkan dan menyabarkan diri dengan susah-payah. Kebanyakan wanita itu
kaya. Mereka bisa pergi ke mana saja di dunia yang luas dan indah ini, tapi


Pria Bersetelan Coklat The Man In The Brown Suit Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka lebih suka tinggal di London yang kotor dan membosankan, dan bercakapcakap tentang tukang susu dan pembantu rumah tangga! Kalau aku terkenang akan
hal itu sekarang, aku menyadari bahwa aku kurang memberikan pengertian. Tapi
mereka memang bodoh - juga dalam memilih jabatannya sendiri: mereka memilih
menjadi pemegang buku rumah tangga yang tak memuaskan dan kacau.
Urusanku tidak mengalami kemajuan. Rumah dan perabot kami sudah dijual, dan
hasil penjualan itu hanya cukup untuk menutup utang-utang kami. Aku belum
berhasil mendapat pekerjaan. Aku sebenarnya memang tidak terlalu
menginginkannya! Aku yakin bahwa bila orang mencari petualangan, dia akan
menemukannya. Menurut teoriku, orang selalu mendapat apa yang diinginkannya.
Ternyata teoriku itu hampir merupakan kenyataan.
Waktu itu adalah awal bulan Januari - tepatnya tanggal delapan. Aku baru saja
kembali dari suatu wawancara yang tak berhasil. Seorang wanita memerlukan
seorang teman merangkap sekretaris, tetapi ternyata yang dibutuhkannya adalah
seorang pembantu pekerja kasar yang kuat, yang harus bekerja dua belas jam
sehari dengan bayaran 25 pound setahun. Kami berpisah dengan masing-masing
menyembunyikan rasa tak senang. Wawancara itu berlangsung di sebuah rumah di
Jalan St. John's Wood. Aku lalu berjalan ke Edgware Road, dan menyeberang Hyde
Park ke Rumah Sakit St. George. Di sana aku masuk ke stasiun bawah tanah Hyde
Park Corner dan membeli karcis ke Gloucester Road.
Setibanya di peron aku berjalan sampai ke ujungnya. Pikiranku yang penuh rasa
ingin tahu, ingin membuktikan apakah memang benar ada ujungnya, dan ada celah di
antara kedua terowongan di ujung stasiun ke arah Down Street. Aku merasa senang
bahwa hal itu ternyata benar. Di peron itu tak banyak orang. Di ujungnya hanya
ada aku seorang diri dan seorang pria. Waktu aku melewati orang itu, mau tak mau
aku mendengus. Aku memang selalu tak suka bau kapur barus! Mantel orang itu
berbau kapur barus. Padahal kebanyakan orang sudah mengenakan mantel musim
dingin sejak sebelum bulan Januari, dan oleh karenanya pada saat sekarang bau
itu seharusnya sudah hilang. Pria itu berdiri jauh dariku. Dia berdiri di ujung
terowongan. Kelihatannya dia sedang merenungkan sesuatu, hingga aku bisa
memandanginya tanpa menyinggung perasaannya. Pria itu kecil kurus, kulit
wajahnya coklat, bermata kecil biru, dan berjenggot hitam.
"Dia pasti baru datang dari luar negeri," kesimpulanku dalam hati. "Itulah
sebabnya mantelnya berbau begitu. Dia pasti baru datang dari India. Bukan
seorang perwira karena dia berjenggot. Mungkin dia seorang pengusaha perkebunan
teh." Pada saat itu dia berbalik, seolah-olah akan menyusuri kembali langkahlangkahnya di sepanjang peron itu. Dia memandangku sekilas, lalu melihat sesuatu
di belakangku. Wajahnya seketika berubah. Wajahnya mengernyit penuh ketakutan dan panik. Dia mundur selangkah seolah-olah akan menghindari bahaya, lupa bahwa
dia berada di ujung peron. Pria itu tersandung lalu jatuh. Tampak rel memijar
dan terdengar bunyi gemeletak. Aku memekik. Orang-orang berdatangan, Dua orang
petugas stasiun muncul - entah dari mana - dan menguasai keadaan.
Aku tetap berdiri di tempatku, seolah-olah terpaku oleh sesuatu yang mengerikan.
Aku merasa ngeri melihat kecelakaan mendadak itu, namun masih sempat menilai
cara orang mengangkat korban dari rel yang mematikan dan membaringkannya di
peron. Menurut aku mereka melakukannya dengan tenang sekali sama sekali tanpa
perasaan. "Beri saya jalan. Saya dokter."
Seorang lelaki jangkung berjenggot coklat mendesak melewatiku, lalu membungkuk
di atas tubuh yang sudah tak bergerak itu.
Sementara dia memeriksa, aku dihinggapi perasaan aneh. Perasaan aneh itu pasti
tak benar - tak mungkin benar. Akhirnya dokter itu tegak lalu menggeleng.
"Tak ada yang bisa dilakukan lagi. Orang ini sudah meninggal."
Kami semua mendesak mendekat, dan seorang kuli barang yang tampak jengkel,
berkata nyaring, "Ayo mundur, mundur! Untuk apa berkerumun begini?"
Aku tiba-tiba merasa mual. Lalu tanpa melihat ke kiri ke kanan aku berlari, naik
tangga ke arah lift. Pemandangan itu terlalu mengerikan. Aku harus keluar
mencari udara segar. Dokter yang memeriksa orang yang meninggal tadi, berjalan
di depanku. Lift baru saja akan naik, dan yang sebuah lagi baru saja turun. Pria
itu mulai berlari, tanpa sadar bahwa ada secarik kertas jatuh dari sakunya.
Aku berhenti, kupungut kertas itu, lalu aku mengejarnya. Tetapi pintu lift
tertutup di depan hidungku, dan tinggallah aku dengan kertas itu dalam tanganku.
Waktu lift yang kedua tiba di permukaan jalan, orang yang kukejar sudah tak
kelihatan lagi. Kuharap dia tak kehilangan sesuatu yang penting. Aku lalu
memeriksa kertas itu. Kertasnya hanya merupakan sobekan dari buku catatan. Di
situ tertulis kata-kata dan angka-angka dengan pensil, bunyinya:
17.122 Kilmorden Castle Sepintas lalu kelihatannya tidak penting. Namun aku ragu-ragu membuangnya.
Sambil berdiri memegangnya, aku mendengus tak senang. Lagi-lagi tercium bau
kapur barus! Ragu-ragu kudekatkan kertas itu ke hidungku. Ya, kertas itu berbau
kapur barus yang menusuk. Tapi Kertas itu kulipat rapi-rapi lalu kumasukkan ke dalam tasku. Perlahan-lahan aku
berjalan pulang, sambil terus berpikir.
Kuceritakan pada Nyonya Flemming bahwa aku baru saja menyaksikan suatu
kecelakaan mengerikan di stasiun kereta api bawah tanah. Kutambahkan bahwa aku
merasa pening dan mual serta ingin langsung ke kamarku untuk berbaring. Wanita
baik hati itu memaksa supaya aku minum teh dulu. Setelah itu aku mengunci diri
di kamar, dan mulai menjalankan rencanaku. Aku ingin tahu apa yang menimbulkan
perasaan aneh, waktu aku memperhatikan dokter memeriksa tubuh si korban tadi.
Mula-mula aku berbaring di lantai seolah-olah aku mayat. Kemudian aku bangkit,
dan kuganti diriku dengan bantal-guling. Lalu kutirukan setiap gerak-gerik
dokter itu, sepanjang yang kuingat. Setelah selesai, kudapatkan apa yang
kuinginkan. Aku jongkok sambil merenungi dinding di seberangku.
Dalam koran sore itu dimuat berita pendek tentang seorang pria yang tewas di
stasiun kereta api bawah tanah. Diragukan apakah karena bunuh diri atau
kecelakaan. Membaca berita itu, aku merasa bawa tugasku kini menjadi jelas.
Waktu hal itu kuceritakan pada Tuan Flemming, dia membenarkan.
"Kau pasti akan diperlukan dalam pemeriksaan pendahuluan mengenai hal itu.
Bukankah tak ada orang lain yang melihat kejadian itu lebih dekat?"
"Tapi saya merasa bahwa ada orang lain datang dari arah belakang saya. Tapi saya
tak yakin benar - bagaimanapun juga memang tak ada yang sedekat saya."
Waktu diadakan pemeriksaan pendahuluan, Tuan Flemming mengantarku ke sana.
Agaknya dia kuatir kalau-kalau aku ketakutan, dan aku pun tak mau mengatakan
bahwa aku merasa tenang-tenang saja.
Jenazah itu sudah dikenali. Dia bernama L. B. Carton. Di sakunya tidak ditemukan
apa-apa kecuali surat keterangan dari sebuah agen penyewaan rumah, untuk melihat
rumah di dekat sungai di Marlow. Surat keterangan itu untuk L. B. Carton, dengan
alamat Hotel Russell. Petugas hotel menerangkan bahwa pria itu baru saja tiba
sehari sebelumnya dan memang menginap di hotel itu. Dalam buku tamu terdaftar
sebagai L. B. Carton, Kimberley, Afrika Selatan. Agaknya dari kapal dia langsung
ke hotel itu. Akulah satu-satunya orang yang telah menyaksikan kejadian itu.
"Apakah menurut Anda itu suatu kecelakaan?" tanya pemeriksa jenazah.
"Saya yakin. Dia ketakutan melihat sesuatu, lalu dia mundur sembarangan tanpa
disadarinya." "Apa yang menakutkannya?"
"Saya tak tahu. Pokoknya ada sesuatu. Dia tampak panik."
Seorang anggota juri yang kelihatan tak punya perasaan berkata bahwa ada lakilaki yang takut sekali pada kucing. Mungkin laki-laki itu juga telah melihat
kucing. Kurasa pendapatnya itu tak masuk akal, tetapi agaknya dewan juri merasa
puas. Mereka kelihatan sudah tak sabaran untuk pulang dan merasa senang bisa
memberikan keputusan bahwa itu adalah kecelakaan dan bukan bunuh diri.
"Saya heran sekali," kata petugas pemeriksa jenazah, "bahwa dokter yang pertamatama memeriksa mayat itu tak muncul. Seharusnya waktu itu nama dan alamatnya
dicatat. Salah kalau hal itu tidak dilakukan."
Aku tersenyum sendiri. Aku punya teori sendiri mengenai dokter itu. Dan untuk
membuktikan teori itu, aku bertekad untuk pergi ke Scotland Yard secepatnya.
Tetapi esok paginya terjadilah suatu kejutan. Mr. Flemming membeli koran Daily
Budget. Dengan bangga koran itu memberitakan:
KELANJUTAN YANG UNIK DARI KECELAKAAN DI STASIUN KERETA API BAWAH TANAH. SEORANG
WANITA KEDAPATAN MATI TERCEKIK DI SEBUAH RUMAH TERPENCIL.
Aku membaca dengan penuh minat.
"Telah ditemukan sesuatu yang sensasional di Mill House, Marlow, kemarin. Mill
House adalah rumah milik Sir Eustace Pedler, anggota parlemen. Rumah itu akan
disewakan tanpa perabot. Dalam saku laki-laki yang mula-mula diduga bunuh diri
dengan cara menjatuhkan dirinya di rel yang beraliran listrik di stasiun kereta
api bawah tanah di Hyde Park, telah ditemukan surat keterangan untuk melihat
rumah tersebut. Kemarin, di sebuah kamar di lantai atas Mill House, ditemukan
mayat seorang wanita muda yang cantik. Dia mati tercekik. Diduga wanita itu
orang asing, tapi sampai kini belum diketahui identitasnya. Dikatakan bahwa
polisi sudah punya petunjuk. Pemilik Mill House, Sir Eustace Pedler, sedang
berlibur musim dingin di Riviera."
BAB IV TAK seorang pun muncul untuk memberitahukan identitas mayat wanita itu. Pada
pemeriksaan pendahuluan diperoleh petunjuk-petunjuk sebagai berikut.
Pukul satu lewat sedikit pada tanggal 8 Januari, seorang wanita yang berpakaian
bagus dan berbicara dengan aksen asing memasuki kantor Messrs Butler and Park,
sebuah agen penyewaan rumah, di Knightsbridge. Wanita itu berkata bahwa dia
ingin menyewa atau membeli sebuah rumah di tepi Sungai Thames, yang dekat dengan
London. Kepadanya diberikan beberapa alamat dan keadaan rumahnya, termasuk Mill
House. Dia mengaku bernama Nyonya de Castina dan alamatnya Hotel Ritz. Tetapi
ternyata tak ada orang yang bernama itu menginap di hotel tersebut, dan para
petugas hotel tak bisa mengenali mayat itu.
Nyonya James, istri tukang kebun Sir Eustace Pedler, yang bertanggung jawab aus
Mill House dan tinggal di sebuah pondok kecil yang menghadap ke jalan besar di
halaman rumah itu, memberikan kesaksiannya.
Kira-kira pukul tiga petang itu, seorang wanita datang untuk melihat-lihat Mill
House. Dia menunjukkan surat keterangan dari agen penyewaan rumah, dan
sebagaimana biasanya, Nyonya James memberikan kunci-kunci rumah itu. Rumah itu
agak jauh dari pondok tempat tinggalnya, dan dia tak pernah menyertai caloncalon penyewa. Beberapa menit kemudian, datang seorang pemuda. Nyonya James
menggambarkannya sebagai pemuda jangkung, berdada bidang, dengan wajah kemerahan
dan mata abu-abu muda. Wajahnya tercukur bersih dan dia mengenakan setelan jas
coklat. Dia menjelaskan bahwa dia teman si wanita muda yang datang untuk
melihat-lihat Mill House tadi. Dijelaskannya bahwa dia tadi singgah dulu di
kantor pos untuk mengirim telegram. Nyonya James mempersilakannya pergi ke rumah
itu dan tidak lagi berpikir apa-apa.
Lima menit kemudian anak muda itu muncul lagi. Dikembalikannya kunci-kunci rumah
itu dan dikatakannya bahwa rumah itu tak cocok untuk mereka. Nyonya James tidak
melihat wanita tadi, tapi menyangka bahwa si wanita telah pergi duluan. Yang
tampak olehnya adalah bahwa pemuda itu tampak bingung. "Dia kelihatan seperti
orang yang baru saja melihat hantu. Saya sangka dia mendadak sakit."
Esok harinya seorang wanita dan seorang pria lain datang untuk melihat rumah
itu, dan mereka menemukan mayat itu tergeletak di lantai, di salah sebuah kamar
di lantai atas. Nyonya James mengenalinya sebagai wanita yang pertama datang
kemarin. Agen penyewaan rumah juga mengenalinya sebagai "Nyonya de Castina".
Dokter polisi berpendapat bahwa wanita itu sudah kira-kira dua puluh empat jam
meninggal. Harian Daily Budget berkesimpulan bahwa laki-laki di stasiun kereta
api bawah tanah itulah yang telah membunuh si wanita, sebelum dia sendiri bunuh
diri. Tetapi korban di stasiun kereta api bawah tanah itu meninggal pukul dua,
sedang pukul tiga, wanita itu masih segar-bugar. Maka kesimpulannya adalah bahwa
kedua kejadian itu tak ada hubungannya satu sama lain. Disimpulkan pula bahwa
surat keterangan untuk melihat rumah di Marlow yang ditemukan di saku pria yang
meninggal itu hanyalah suatu kebetulan saja.
Maka keputusannya adalah bahwa, "telah terjadi Pembunuhan Yang Direncanakan oleh
seseorang atau beberapa orang yang tak dikenal." Maka polisi (dan Daily Budget)
harus mencari "pria yang bersetelan jas coklat" itu.
Karena Nyonya James yakin bahwa tak seorang pun ada di dalam rumah itu waktu si
wanita memasukinya, dan bahwa tak seorang pun yang masuk kemudian kecuali pemuda
itu, maka masuk akal kalau disimpulkan bahwa dialah pembunuh Nyonya de Castina
yang malang. Dia dicekik dengan seutas tali besar berwarna hitam. Dan agaknya
dia telah diserang dengan sangat mendadak, hingga tak sempat berteriak. Tas
sutranya yang berwarna hitam berisi dompet yang penuh uang, baik uang kertas
maupun uang receh. Juga ada sapu tangan halus berenda yang tak bernoda dan
sobekan karcis kelas satu untuk ke London. Semua itu tak bisa dijadikan
petunjuk. Itulah hal-hal yang dimuat oleh Daily Budget. Dan setiap hari koran itu memuat
anjuran "Temukan Pria Bersetelan Coklat." Setiap hari rata-rata lima ratus orang
mengaku telah berhasil menemukan orang itu, dan para pemuda yang jangkung dan
wajahnya kemerahan karena sengatan matahari menyesal memiliki jas coklat.
Kecelakaan di stasiun kereta api bawah tanah yang hanya dianggap kebetulan saja,
telah dilupakan orang. Apakah itu memang kebetulan" Aku tak begitu yakin. Tapi itu pasti hanya
prasangkaku saja - kejadian di stasiun kereta api bawah tanah itu telah kuanggap
sebagai misteri milikku sendiri. Aku tetap yakin bahwa antara kedua kejadian itu
ada hubungannya. Dalam kedua kejadian itu ada seorang pria yang berwajah merah
karena sengatan matahari - agaknya seorang Inggris yang tinggal di luar negeri lalu ada lagi hal-hal lain. Dengan pertimbangan itulah aku terdorong untuk
mengambil langkah yang berani. Aku melapor ke Scotland Yard, dan minta bertemu
dengan petugas yang harus menangani perkara Mill House.
Aku salah masuk, yaitu ke bagian yang mengurus orang-orang yang kehilangan
payung. Orang-orang di situ lama baru mengerti, dan akhirnya barulah aku.
diantar masuk ke kamar kerja Inspektur Detektif Meadows.
Inspektur Meadows bertubuh kecil dan mukanya berwarna merah kekuningan. Sikapnya
aneh dan tak menyenangkan. Di sudut duduk diam-diam seseorang yang juga
berpakaian preman. "Selamat pagi," kataku gugup.
"Selamat pagi. Silakan duduk. Saya dengar Anda akan menceritakan sesuatu yang
mungkin berguna bagi kami."
Nada bicaranya menyatakan bahwa hal itu sama sekali tak mungkin. Darahku naik.
"Anda tentu tahu tentang pria yang tewas di stasiun kereta api bawah tanah itu"
Pria yang dalam sakunya didapati surat keterangan untuk melihat rumah di
Marlow." "Oh!" kata inspektur itu. "Anda pasti Nona Beddingfeld yang memberikan kesaksian
pada pemeriksaan pendahuluan dulu itu. Dalam saku orang itu memang ada surat
keterangan yang dimaksud. Mungkin banyak sekali orang yang memiliki surat itu hanya mereka tidak tewas."
Kukumpulkan seluruh tenagaku.
"Apakah Anda tak merasa aneh bahwa dalam saku orang itu tak ada karcis?"
"Membuang karcis adalah hal yang biasa sekali. Saya sendiri pun melakukannya."
"Dan tak ada uang."
"Dalam saku celananya ada uang receh."
"Tapi tanpa dompet."
"Memang ada pria yang tak pernah membawa buku catatan atau dompet."
Aku mencoba siasat lain. "Apakah Anda tak merasa aneh bahwa dokter yang memeriksanya tak pernah muncul?"
"Seorang dokter yang sangat sibuk sering tidak membaca koran. Mungkin dia sudah
lupa pada kecelakaan itu."
"Rupanya Anda sudah berketetapan hati bahwa tak ada satu pun yang aneh,
Inspektur," kataku dengan manis.
"Yah, saya rasa Anda agak terlalu suka bicara, Nona Beddingfeld. Saya tahu
wanita muda memang suka romantis - suka akan misteri dan semacamnya. Tapi saya
terlalu sibuk - " Aku mengerti sindirannya dan aku bangkit.
Pria yang di sudut angkat bicara dengan suara halus.
"Mungkin nona ini bisa menceritakan dengan singkat apa gagasannya mengenai hal
itu, Inspektur." Inspektur langsung setuju dengan saran itu.
"Saya harap Anda tidak tersinggung, Nona Beddingfeld. Anda telah menanyakan dan
memancing beberapa hal. Coba berterus-terang, apa yang ada dalam pikiran Anda."
Aku ragu antara perasaan tersinggung dan keinginanku yang menggebu untuk
menuturkan teoriku. Ternyata rasa tersinggungku kalah.
"Pada pemeriksaan pendahuluan, Anda berkata bahwa Anda yakin itu bukan bunuh
diri?" "Ya, saya yakin betul. Pria itu ketakutan. Apa yang membuatnya ketakutan" Jelas
bukan saya, tapi mungkin ada seseorang yang berjalan di peron ke arah kami seseorang yang dikenalnya."
"Anda sendiri tidak melihat seseorang?"


Pria Bersetelan Coklat The Man In The Brown Suit Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak," kataku mengaku. "Saya tidak menoleh. Kemudian, segera setelah mayat
orang itu diangkat dari rel, seorang laki-laki mendesak ke depan untuk
memeriksanya. Dia mengaku dirinya seorang dokter."
"Itu biasa," kata Inspektur datar.
"Tapi dia bukan dokter."
"Apa?" "Dia bukan dokter," ulangku.
"Bagaimana Anda tahu itu, Nona Beddingfeld?"
"Sukar mengatakannya dengan tepat. Selama perang saya bekerja di rumah sakit,
jadi saya sudah biasa melihat cara seorang dokter menangani mayat. Pria itu
tidak memiliki kecekatan profesional seorang dokter. Apalagi, dia meraba jantung
di sebelah kanan tubuh."
"Benar begitu?"
"Ya, saya tidak melihatnya benar pada saat itu - saya hanya merasa bahwa ada
sesuatu yang tak beres. Setelah pulang dari situ saya merenungkannya kembali,
dan saya pun menyadari mengapa semuanya tampak janggal pada saat itu."
"Hm," kata Inspektur sambil mengambil kertas dan pena.
"Sambil meraba bagian atas tubuh orang itu, dia memperoleh kesempatan cukup
untuk mengambil apa yang diingininya dari saku orang itu."
"Rasanya tak masuk akal," kata Inspektur. "Tapi - bisakah Anda memberikan ciriciri pria itu?" "Dia tinggi dan berdada bidang. Dia mengenakan mantel berwarna gelap, sepatu
lars berwarna hitam dan topi bulat. Dia memakai kaca mata berbingkai emas.
Jenggotnya lancip berwarna hitam."
"Kecuali mantelnya, jenggotnya dan kaca matanya, kita tidak akan bisa
mengenalinya kembali," gumam Inspektur. "Dalam waktu lima menit bisa saja dia
mengubah penampilannya, bila dia mau. Kalau dia memang pencopet seperti Anda
katakan tadi." Tak ada maksudku untuk mengatakan begitu. Dan sejak saat itu kuanggap
pertemuanku dengan inspektur itu percuma saja.
"Tak ada lagi yang ingin Anda ceritakan tentang dia?" tanyanya waktu aku bangkit
dan bersiap-siap untuk pergi.
"Ada," kataku. Kumanfaatkan kesempatan terakhir itu sebaik-baiknya. "Kepalanya
berbentuk brachycephalic. Tidak akan mudah baginya untuk mengubah itu."
Aku senang melihat Inspektur Meadows menghentikan penanya. Jelas bahwa dia tak
tahu bagaimana menuliskan kata brachycephalic itu.
BAB V KARENA marah sekali, aku tak menyangka bahwa langkah berikutnya yang akan
kuambil justru lebih mudah. Waktu aku pergi ke Scotland Yard, aku sudah punya
rencana. Rencana itu akan kulaksanakan bila pembicaraanku di Scotland Yard itu
tidak memuaskan (yang ternyata memang sama sekali tidak memuaskan). Itu pun
kalau aku masih punya keberanian untuk melakukannya.
Tapi rupanya hal-hal yang dalam keadaan normal tak berani kita hadapi, bisa
dengan mudah kita tangani dalam keadaan marah. Tanpa berpikir panjang aku pergi
ke rumah Lord Nasby. Lord Nasby adalah jutawan yang memiliki harian Daily Budget. Dia memiliki
beberapa harian lain, tetapi Daily Budget adalah koran kesayangannya. Setiap
orang di Kerajaan Inggris mengenalnya sebagai pemilik Daily Budget. Karena
kegiatan sehari-hari orang besar itu baru saja diberitakan, aku tahu pasti di
mana aku bisa menemukannya pada saat itu. Ini adalah saat-saat dia mendiktekan
surat-suratnya pada sekretarisnya di rumahnya sendiri.
Aku tentu tidak berharap bahwa seorang wanita muda seperti aku yang ingin
menemuinya akan segera diterima dan diperbolehkan bertemu dengan orang sepenting
dia. Tapi aku sudah memikirkan hal itu.
Di rumah keluarga Flemming, aku melihat kartu nama Marquis of Loamsley, yaitu
bangsawan Inggris yang sangat terkenal karena kegemarannya berolahraga. Diamdiam kuambil kartu itu, kubersihkan cermat-cermat dengan roti tawar, lalu
kutuliskan: "Tolong terima Nona Beddingfeld sebentar." Petualang tak boleh
terlalu teliti dalam cara kerjanya.
Siasatku berhasil. Seorang petugas penerima tamu menerima kartu itu lalu
membawanya masuk. Lalu muncul seorang sekretaris yang pucat. Aku menang bersilat
lidah dengannya. Dia masuk lalu muncul lagi dan memintaku untuk mengikutinya.
Aku masuk ke sebuah kamar yang besar. Seorang juru tik steno yang ketakutan
keluar melewati aku. Pintu tertutup dan tinggallah aku berdua dengan Lord Nasby.
Orangnya serba besar. Kepalanya besar. Wajahnya besar. Kumisnya besar. Perutnya
pun besar. Kukumpulkan seluruh keberanianku. Aku kemari bukan untuk mengomentari perut Lord
Nasby yang besar. Suaranya menggelegar.
"Ada apa" Mau apa Loamsley" Apa kamu sekretarisnya" Mengenai soal apa ini?"
"Pertama-tama," kataku dengan sikap setenang mungkin, "saya tak kenal Lord
Loamsley, dan beliau pasti tak tahu siapa saya. Saya mengambil kartunya dari
rumah orang tempat saya menumpang. Dan kata-kata itu saya sendiri yang
menulisnya. Soalnya penting sekali saya harus bertemu dengan Anda."
Sesaat tampak seakan-akan Lord Nasby akan mengalami kejang karena marahnya.
Akhirnya dia menelan ludah dua kali dan dapat menguasai dirinya.
"Aku kagum pada keberanianmu, Anak muda. Nah, sekarang kau sudah bertemu
denganku. Kalau kau bisa menarik minatku, kau boleh bicara selama dua menit,
tidak lebih." "Itu sudah cukup," sahutku. "Saya yakin saya bisa menarik minat Anda. Ini
mengenai misteri di Mill House."
"Kalau kau sudah berhasil menemukan 'Pria Bersetelan Coklat', tulis saja pada
redaksi," selanya cepat-cepat.
"Kalau Anda menyela, saya akan membutuhkan lebih dari dua menit," kataku dengan
tegas. "Saya belum menemukan 'Pria Bersetelan Coklat', tapi kemungkinan besar
saya akan berhasil."
Dengan menggunakan kata-kata sesedikit mungkin, kukemukakan fakta-fakta mengenai
kecelakaan di stasiun kereta api bawah tanah, dan kesimpulan yang kutarik
mengenai hal itu. Setelah aku selesai, tanpa kuduga dia bertanya, "Apa yang
kauketahui tentang kepala brachycephalic?"
Kuceritakan tentang Papa.
"Pria penyelidik monyet itu" Oh. Yah, rupanya kepalamu ada isinya juga. Tapi
ceritamu tadi meragukan. Tak bisa dijadikan pegangan. Dan - agaknya tak ada
gunanya bagi kami." "Saya tahu betul itu."
"Lalu apa maumu?"
"Saya ingin mohon pekerjaan di harian Anda untuk menyelidiki perkara ini."
"Tak bisa. Kami sudah punya orang khusus untuk itu."
"Tapi ada sesuatu yang lebih khusus yang saya ketahui."
"Yang baru kauceritakan tadi itu?"
"Bukan, Lord Nasby. Masih ada yang lain lagi."
"Masih ada lagi" Kau memang cerdik. Apa itu?"
"Waktu dokter palsu itu masuk ke lift, secarik kertas tercecer dari sakunya.
Saya memungutnya. Kertas itu berbau kapur barus. Sama dengan bau orang yang
tewas itu. Tapi dokter itu sendiri tidak berbau begitu. Jadi saya segera
berkesimpulan bahwa 'dokter' itu telah mengambilnya dari orang yang tewas itu.
Pada kertas itu tertulis dua perkataan dan beberapa angka."
"Coba kulihat."
Lord Nasby mengulurkan tangannya dengan seenaknya.
"Saya keberatan," kataku sambil tersenyum. "Soalnya itu penemuan saya."
"Aku benar kalau begitu. Kau memang gadis yang cerdas. Tepat sekali tindakanmu
untuk mempertahankan kertas itu. Apakah kau juga menolak menyerahkannya pada
polisi?" "Tadi pagi saya ke sana dan saya tidak menyerahkannya pada mereka. Soalnya
mereka tetap menganggap bahwa semua ini tak ada hubungannya dengan peristiwa
Marlow. Jadi saya pikir, dalam hal ini saya benar kalau saya tidak
menyerahkannya. Apalagi inspekturnya telah membuat saya marah sekali."
"Picik sekali dia. Yah, aku hanya bisa berbuat begini, Anak gadis, teruslah
bekerja dengan caramu sendiri. Bila kau menemukan sesuatu - yang bisa diterbitkan
- kirimkan kepada kami, dan kamu akan diberi kesempatan. Daily Budget selalu
terbuka untuk orang-orang yang berbakat. Tapi kau harus membuktikan kemampuanmu
dulu. Mengerti?" Aku mengucapkan terima kasih, dan minta maaf atas caraku masuk.
"Sudahlah. Kadang-kadang aku suka juga kelancangan - yang dilakukan oleh seorang
gadis manis. Ngomong-ngomong, katamu kau hanya butuh waktu dua menit, tapi kau
telah menghabiskan tiga menit termasuk gangguan-gangguan. Bagi seorang wanita,
itu hebat! Mungkin itu berkat pendidikan sains-mu."
Keluar dari gedung itu napasku memburu, seolah-olah aku baru saja berlari.
Ternyata berkenalan dengan Lord Nasby telah membuatku letih.
BAB VI AKU pulang dengan perasaan gembira sekali. Rencanaku telah berhasil jauh lebih
baik daripada yang kuharapkan. Lord Nasby telah sangat berbaik hati. Kini
tinggal aku yang harus membuktikan kemampuanku. Setelah kukunci pintu kamarku,
kukeluarkan kertasku tadi dan kupelajari dengan saksama. Inilah petunjuk misteri
itu. Pertama-pertama, apa maksud angka-angka itu" Ada lima angka, dan sebuah titik di
belakang dua angka yang pertama. "Tujuh belas - seratus dua puluh dua," gumamku.
Rasanya tidak memberi petunjuk apa-apa.
Kemudian angka-angka itu kujumlahkan, seperti yang sering dilakukan orang dalam
cerita-cerita fiksi dan yang selalu memberikan kesimpulan yang mengejutkan.
"Satu ditambah tujuh, sama dengan delapan, ditambah satu sama dengan sembilan,
ditambah dua sama dengan sebelas, ditambah dua lagi, menjadi tiga belas."
Tiga belas! Angka sial! Mungkin. Mungkin ini merupakan suatu peringatan, mungkin
pula sama sekali tak ada artinya. Aku tak mau percaya bahwa suatu komplotan
menulis angka tiga belas dengan cara itu. Bila yang dimaksudnya tiga belas, dia
akan menuliskan "13" - begitu saja.
Di antara angka satu dan dua ada jarak. Oleh karenanya seratus tujuh puluh satu
kukurangi dua puluh dua. Hasilnya seratus lima puluh sembilan. Kulakukan sekali
lagi dan kujadikan seratus empat puluh sembilan. Latihan-latihan berhitung
seperti ini baik sekali, tapi sebagai penyelesaian suatu misteri sama sekali tak
berguna. Aku tak mau lagi berhitung, tak ingin lagi mencoba membagi dan mengali.
Aku memperhatikan kata-katanya.
Kilmorden Castle. Sesuatu yang lebih pasti. Itu pasti nama suatu tempat. Mungkin
kediaman suatu keluarga ningrat. (Apakah ini merupakan peristiwa hilangnya
seorang ahli waris" Ataukah tuntutan terhadap suatu gelar") Mungkin pula
merupakan suatu reruntuhan yang bagus. (Mungkinkah ada harta terpendam")
Ya, secara umum aku lebih cenderung yakin pada teori harta terpendam. Angka
selalu berhubungan dengan harta terpendam. Selangkah ke kanan, tujuh langkah ke
kiri, gali satu kaki, turuni dua puluh dua anak tangga. Begitulah umpamanya.
Nanti aku bisa mengerjakannya. Yang penting sekarang adalah pergi ke Kilmorden
Castle secepat mungkin. Aku menyusun strategi dalam kamarku lalu mengambil setumpuk buku petunjuk
mengenai nama-nama tempat. Who's who, Whitaker, Gazetteer, Sejarah Rumah-rumah
Kuno di Skotlandia, dan Pulau-pulau Kecil di Sekitar Inggris. Satu demi satu
kuteliti dengan cermat. Tetapi dengan jengkel kututup buku yang terakhir.
Rupanya tak ada satu pun tempat yang bernama Kilmorden Castle.
Aku menghadapi jalan buntu. Tapi pasti ada tempat dengan nama itu. Untuk apa
orang mengarang-ngarang nama itu dan menuliskannya di secarik kertas" Absurd!
Aku mendapat pikiran baru. Mungkin itu sebuah rumah jelek berpagar setinggi
benteng, di pinggiran kota, yang oleh pemiliknya diberi nama hebat begitu. Maka
itu akan berarti sulit sekali mencarinya. Aku tetap jongkok dengan murung. (Aku
selalu duduk di lantai bila harus melakukan sesuatu yang sangat penting.)
Kurenungkan apa yang harus kulakukan lagi.
Adakah jalan lain yang harus kutelusuri" Aku memeras otakku. Akhirnya aku
melompat kegirangan. Aku harus mendatangi tempat kejadian itu. Itu selalu
dilakukan oleh detektif-detektif ulung! Dan akhirnya, meskipun makan waktu lama,
mereka selalu menemukan sesuatu yang tak terlihat oleh polisi. Jelas kini ke
mana langkahku harus kutujukan. Aku harus pergi ke Marlow.
Tapi bagaimana aku bisa masuk ke rumah itu" Kusingkirkan beberapa cara yang
penuh petualangan, dan kupilih yang paling praktis. Waktu itu rumah itu akan
disewakan - mungkin sekarang pun masih akan disewakan. Aku akan pura-pura menjadi
seorang calon penyewa. Yang pertama akan kudatangi adalah perusahaan penyewaan
rumah-rumah setempat. Di situ biasanya tidak terlalu banyak rumah yang
terdaftar. Kali ini aku bertindak tanpa petunjuk tuan rumahku.
Seorang petugas yang menyenangkan memberikan beberapa nama rumah yang menarik.
Semuanya kutolak dengan berbagai alasan. Akhirnya aku merasa gagal.
"Apa tak ada yang lain?" tanyaku sambil menatap mata petugas itu dengan tak
acuh. "Yang di tepi sungai, dengan kebun yang luas dan punya pondok untuk tukang
kebun." Kutambahkan keterangan-keterangan yang terakhir itu berdasarkan ciriciri Mill House yang kubaca di koran-koran.
"Tentu. Ada. Rumah milik Sir Eustace Pedler," kata petugas itu ragu. "Namanya
Mill House." "Bukankah - itu - " kataku ragu. (Aku jadi pandai sekali berpura-pura ragu.)
"Benar! Tempat terjadinya pembunuhan itu. Saya rasa Anda tidak akan mau."
"Ah, saya rasa tak apa-apa," sergahku. Aku sudah merasa yakin. "Soalnya sehubungan dengan kejadian itu, sewanya tentu bisa lebih murah."
Aku memuji akalku sendiri.
"Yah, mungkin juga. Meskipun terus terang sekarang ini tak sulit mendapatkan
penyewa rumah, dengan banyaknya orang memakai pembantu rumah tangga. Bila
setelah melihatnya, Anda menyukai tempat itu, sebaiknya Anda mengajukan harga
penawaran. Apakah Anda mau saya buatkan surat keterangan untuk melihat rumah
itu?" "Ya, tolong." Seperempat jam kemudian aku sudah berada di depan pondok tukang kebun Mill
House. Setelah kuketuk, pintu langsung terbuka lebar dan seorang wanita setengah
baya yang jangkung menghambur keluar.
"Tak seorang pun boleh masuk ke rumah itu, tahu" Saya sudah bosan dengan
wartawan-wartawan. Ini perintah Sir Eustace - "
"Saya dengar rumah itu akan disewakan," kataku dengan nada dingin, sambil
memperlihatkan surat keteranganku. "Tapi kalau sudah ada penyewanya - "
"Aduh, maaf sebesar-besarnya, Nona. Saya sudah terlalu banyak diganggu oleh para
wartawan. Tak semenit pun saya diberi waktu. Rumah itu tak jadi disewakan."
"Mengapa" Apakah saluran airnya rusak?" bisikku penuh gairah.
"Oh, tidak. Saluran airnya tak apa-apa! Masa Anda belum mendengar tentang wanita
asing yang dibunuh di sini?"
"Memang saya baca di koran-koran," kataku tak acuh.
Sikap tak acuhku rupanya membuatnya jengkel. Sekiranya aku menunjukkan
perhatianku, mungkin dia malah akan menutup mulutnya rapat-rapat. Kini, dia
justru mengoceh tanpa kuminta.
"Saya yakin Anda sudah mendengar! Peristiwa itu diberitakan di semua koran.
Harian Daily Budget bahkan bertekad untuk menemukan siapa pelakunya. Menurut
mereka, polisi kita tak mampu. Mudah-mudahan saja mereka berhasil menangkapnya meskipun sebenarnya dia anak muda yang tampan. Dia gagah sekali. Penampilannya
seperti bekas tentara. Saya rasa dia pernah luka dalam peperangan. Mereka
kadang-kadang menjadi agak aneh sesudah perang usai. Anak kakak saya juga
begitu. Mungkin wanita itu telah memperlakukannya dengan kasar - orang asing
memang jahat. Tapi wanita itu sangat cantik. Di situlah dia berdiri, di tempat
Anda berdiri sekarang."
"Bagaimana warna rambutnya, hitam atau pirang?" tanyaku memberanikan diri. "Foto
yang ada di koran-koran itu tak jelas."
"Rambutnya hitam, tapi wajahnya putih sekali - terlalu putih, dan menurut saya
tak wajar - bibirnya dicat tebal. Tak suka saya melihatnya - saya suka pemakaian
bedak yang tipis saja."
Kami sudah seperti teman lama yang asyik mengobrol, sekarang. Kemudian aku
bertanya lagi. "Apakah dia kelihatan gugup atau resah?"
"Sama sekali tidak. Dia tersenyum-senyum dan tenang-tenang saja, seolah-olah dia
sedang memikirkan sesuatu. Sebab itu saya terkejut setengah mati waktu esok
siangnya kedua orang itu lari ke luar, memanggil polisi dan mengatakan telah
terjadi pembunuhan. Saya tidak akan pernah lupa. Dan saya tidak akan mau
menginjak rumah itu kalau hari sudah malam. Ya, saya bahkan tidak akan mau lagi
tinggal di pondok ini, sekiranya Sir Eustace tidak datang sendiri menyembahnyembah meminta saya untuk itu."
"Saya pikir Sir Eustace ada di Cannes?"
"Waktu itu memang. Dia kembali ke Inggris segera setelah mendengar berita itu.
Dan mengenai menyembah itu, sebenarnya maksud saya dalam arti lain.
Sekretarisnya, Mr. Pagett, menawarkan kepada kami gaji dua kali lipat kalau kami
mau tetap tinggal di sini. Dan suami saya, John, berkata bahwa uang masih tetap
ada artinya." Aku setuju sekali dengan kata-kata John itu.
"Mengenai pemuda itu," kata Nyonya James, tiba-tiba beralih ke pokok pembicaraan


Pria Bersetelan Coklat The Man In The Brown Suit Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

semula. "Dia yang nampaknya kebingungan sekali. Matanya yang berwarna cerah,
melotot. Saya perhatikan benar itu. Dia sedang kacau, pikir saya. Tapi saya sama
sekali tak menyangka sampai demikian buruk keadaannya. Bahkan waktu dia keluar
kembali dalam keadaan aneh begitu, saya masih belum curiga."
"Berapa lama dia berada di dalam rumah itu?"
"Tak lama, mungkin hanya kira-kira lima menit."
"Berapa tingginya" Ada kira-kira seratus delapan puluh?"
"Saya rasa begitulah."
"Kata Anda wajahnya tercukur rapi?"
"Benar - dan tak berkumis."
"Apakah dagunya sampai kelihatan berkilat?" tanyaku mendadak.
Nyonya James menatapku keheranan.
"Ya, sekarang saya ingat, memang berkilat. Bagaimana Anda tahu?"
"Aneh sekali. Pembunuh selalu berdagu licin," kataku seenaknya.
Nyonya James menerima penjelasanku itu dengan penuh kepercayaan.
"Begitukah" Saya belum pernah mendengar hal itu."
"Saya yakin Anda tidak memperhatikan bagaimana bentuk kepalanya?"
"Biasa-biasa saja. Biar saya ambilkan kunci-kunci rumah itu, ya?"
Kuterima kunci-kunci itu, lalu pergi ke Mill House. Sampai sejauh ini
rekonstruksiku kuanggap cukup baik. Kurasa perbedaan-perbedaan mengenai lakilaki yang dilukiskan Nyonya James dengan dokter palsu di stasiun kereta api
bawah tanah dulu, tak penting. Dokter palsu itu mengenakan mantel, berjenggot,
dan memakai kaca mata berbingkai emas. Penampilannya memang benar-benar seperti
orang setengah baya, tetapi waktu dia membungkuk untuk memeriksa mayat itu,
geraknya lentur seperti gerak pria muda. Tampak jelas kelenturan geraknya yang
merupakan ciri khas persendian yang muda.
Korban kecelakaan (yang kusebut Pria Kapur Barus) dan wanita asing yang bernama
Nyonya de Castina, atau entah siapa namanya sebenarnya, telah berjanji untuk
bertemu di Mill House. Begitulah kesimpulanku. Entah karena takut diawasi orang,
atau karena alasan lain, mereka mencari akal yang cerdik. Masing-masing minta
surat keterangan untuk melihat rumah yang sama. Dengan demikian penemuan mereka
di sana akan kelihatan sebagai suatu kebetulan saja.
Aku yakin sekali bahwa penemuan antara Pria Kapur Barus dengan dokter palsu itu
benar-benar tak terduga dan membuatnya terkejut. Apa yang kemudian terjadi"
Dokter palsu lalu menanggalkan penyamarannya dan menyusul wanita itu ke Marlow.
Tapi ada kemungkinan bahwa bila dia menanggalkan samaran itu dengan tergesagesa, bekas-bekas lem masih ketinggalan di dagunya. Itulah yang kutanyakan pada
Nyonya James tadi. Aku tiba di pintu Mill House dengan pikiran yang dipenuhi hal-hal itu. Pintu
rumah itu rendah dan modelnya model lama. Setelah kubuka kuncinya, aku masuk.
Lorong rumah itu rendah, gelap, dan baunya apek. Entah mengapa, aku bergidik.
Wanita yang masuk ke rumah ini sambil tersenyum-senyum beberapa hari yang lalu
itu, apakah dia tidak merasa ngeri dan berfirasat buruk" Tidakkah senyumnya lalu
menghilang dari bibirnya, dan hatinya lalu tercekam ngeri" Atau apakah dia naik
ke lantai atas sambil tetap tersenyum, tanpa menyadari nasib buruk yang akan
menimpanya" Jantungku berdebar. Apakah rumah ini benar-benar kosong" Apakah aku juga akan
ditimpa nasib buruk" Kini aku baru mengerti arti kata "suasana" yang begitu
banyak digunakan orang. Di rumah ini ada suasana itu, suasana kekejaman,
ancaman, dan kejahatan. BAB VII AKU cepat-cepat naik ke lantai atas sambil menepiskan perasaan-perasaan yang
menekanku itu. Tak sulit menemukan kamar tempat tragedi itu terjadi. Waktu mayat
itu diambil, hari hujan lebat, jadi tampak bekas-bekas tapak sepatu besar-besar
yang berlumpur di lantai yang tanpa alas itu. Aku ingin tahu apakah si pembunuh
meninggalkan jejaknya sehari sebelumnya. Kalaupun ada, kurasa polisi tidak akan
mau bicara tentang hal itu. Tapi kurasa tak mungkin ada, sebab waktu itu cuaca
baik dan kering. Tak ada yang menarik di kamar itu. Kamar itu berbentuk segi empat, berjendela
besar dua buah. Dindingnya putih polos dan lantainya tak beralas. Pada lantai di
sudut tampak bekas karpet. Aku mencari dengan teliti di situ, tapi sebuah jarum
pun tak kutemukan. Agaknya detektif yang berbakat ini tak bisa menemukan
petunjuk yang tertinggal.
Aku datang dengan membawa pensil dan buku catatan. Tapi rupanya tak banyak yang
dapat dicatat. Maka kubuat saja sketsa kamar itu untuk menutupi kekecewaanku
atas kegagalan usahaku. Waktu akan mengembalikan pensil ke dalam tas, pensil itu terlepas lalu
menggelinding di lantai. Mill House ini benar-benar sudah tua dan lantainya tidak rata. Pensil itu terus
menggelinding sampai terhenti di bawah salah sebuah jendela. Pada setiap dasar
jendela ada papan lebar dan di bawahnya ada lemari kecil. Pensilku terhenti di
dekat pintu lemari itu. Lemari itu tertutup. Pikirku, seandainya pintu tersebut
terbuka pasti pensilku sudah masuk ke dalamnya. Kubuka pintu itu dan pensilku
pun langsung berguling masuk dan dengan amannya tersembunyi di sudut yang
terjauh. Aku menjangkau akan mengambilnya. Karena kurangnya cahaya dan anehnya
bentuk lemari itu, maka aku tak bisa melihat dan hanya meraba-raba saja. Lemari
itu kosong, kecuali pensilku tak ada apa-apa di situ. Karena sifatku yang suka
menyelidik, aku lalu mencoba mencari dalam lemari di bawah jendela yang satunya.
Mula-mula kelihatannya lemari itu juga kosong. Tetapi aku meraba-raba terus, dan
usahaku berhasil. Tanganku menyentuh sebuah gulungan kertas yang keras, yang
terletak di sudut terjauh dari lemari itu. Setelah kupegang aku segera tahu apa
itu. Sebuah tabung film Kodak. Ini baru penemuan!
Aku merasa yakin bahwa tabung film itu tentu merupakan film tua milik Sir
Eustace Pedler, yang menggelinding kemari tanpa ketahuan, dan tidak ditemukan
orang waktu mereka mengosongkan lemari itu. Tapi ternyata tidak. Kertas merahnya
masih kelihatan baru sekali. Tabung itu berdebu, dan dari tebalnya debu dapat
dilihat bahwa tabung itu telah tergeletak di situ selama dua atau tiga hari artinya, sejak hari pembunuhan itu. Seandainya benda itu sudah lama tergeletak
di situ, pasti debunya lebih tebal lagi.
Tercecer dari siapakah tabung tersebut" Si wanita atau laki-laki itu" Aku ingat
bahwa isi tas wanita itu masih lengkap. Seandainya tabung film itu jatuh karena
tasnya tersentak dan terbuka dalam perkelahian, tentu ada beberapa uang recehnya
yang ikut tercecer. Jadi bukan si wanita yang menjatuhkan tabung film itu.
Aku tiba-tiba curiga, lalu mendengus. Apakah kapur barus telah menjadi obsesi
bagiku" Aku yakin sekali bahwa tabung film itu akan berbau kapur barus juga.
Kudekatkan tabung itu ke hidungku. Baunya keras seperti biasanya bau film, tapi
kecuali itu tercium juga olehku bau yang sangat kubenci itu. Aku segera
menemukan sebabnya. Di ujung serat kayu yang kasar di bagian tengah lemari,
tersangkut seutas benang kain yang berbau kapur barus. Mungkin film itu dibawa
dalam saku pria yang tewas di stasiun kereta bawah tanah itu. Jadi diakah yang
telah menjatuhkannya di sini" Tak mungkin. Semua kegiatannya sudah diketahui.
Bukan, pasti pria yang seorang lagi, si dokter palsu. Waktu dia mengambil kertas
itu, dia mengambil tabung film ini juga. Dialah yang menjatuhkan film ini dalam
pergulatannya dengan wanita itu.
Aku menemukan petunjuk! Film-film itu akan kucuci, dan akan makin kuatlah dasar
usahaku. Kutinggalkan rumah itu dengan perasaan puas. Kunci-kunci rumah kukembalikan pada
Nyonya James, dan aku cepat-cepat pergi ke stasiun. Setiba di kota kukeluarkan
kertas itu dan kupelajari lagi. Tiba-tiba angka-angka itu menjadi jelas.
Mungkinkah itu merupakan tanggal" 17 1 22. Tanggal 17 Januari, tahun 1922. Pasti
itu! Bodoh sekali aku, tidak terpikir ke situ sebelumnya. Tapi kalau begitu aku
harus menemukan di mana Kilmorden Castle itu, karena hari ini sudah tanggal 14.
Tinggal tiga hari lagi. Tinggal sedikit sekali waktunya - bahkan boleh dikatakan
tak ada lagi harapan, karena aku tak punya bayangan ke mana harus mencari!
Sekarang sudah terlambat untuk mengantarkan film itu hari ini juga. Aku harus
cepat-cepat pulang ke Kensington supaya tak terlambat makan malam. Tiba-tiba
kusadari bahwa ada suatu jalan yang mudah untuk menilai apakah kesimpulankesimpulanku benar. Kutanyakan pada Tuan Flemming apakah di antara barang-barang
si Pria Kapur Barus terdapat kamera. Aku tahu bahwa Tuan Flemming menaruh
perhatian besar dan tahu benar tentang hal-hal yang berhubungan dengan peristiwa
itu. Aku terkejut dan jengkel mendengar bahwa tak ada kamera. Semua barang-barang
Carton telah diperiksa dengan teliti, dengan harapan akan menemukan sesuatu yang
bisa sedikit menyingkap kabut misteri itu. Tapi Tuan Flemming yakin tak ada
kamera di antara barang-barangnya.
Itu merupakan hambatan dalam teoriku. Bila dia tak punya kamera, untuk apa dia
membawa-bawa tabung film"
Esok harinya pagi-pagi aku pergi membawa film itu untuk dicuci. Aku begitu
tegang hingga aku jauh-jauh pergi sampai ke Regent Street ke agen pusat Kodak.
Tabung film itu kuserahkan dan kuminta supaya semuanya dicuci. Petugas
menyelesaikan pekerjaannya menyusun film-film yang terbungkus dalam tabungtabung timah, untuk daerah tropis. Lalu mengambil tabung filmku.
Dia memandangku. "Saya rasa Anda telah membuat kekeliruan," katanya sambil tersenyum.
"Ah, tidak," kataku. "Saya yakin saya tak salah."
"Anda telah keliru memberikan tabung film yang salah. Film-film ini belum
digunakan." Aku keluar dengan mempertahankan harga diriku sekuat tenaga. Memang baik juga
kalau sekali-sekali kita menyadari bahwa kita bisa juga berbuat bodoh sekali.
Lalu, waktu melewati salah satu kantor-kantor perkapalan besar, aku tiba-tiba
terhenti. Di kaca jendelanya terpasang gambar salah satu kapal indah milik
perusahaan itu, dan kapal itu bernama "Kenilworth Castle". Timbullah suatu
pikiran gila dalam benakku. Kudorong pintu kantor itu dan aku masuk. Aku menuju
meja layanan dan dengan suara ragu (yang kali ini memang benar-benar), aku
bergumam, "Kilmorden Castle?"
"Berangkat dari Southampton tanggal 17. Anda akan ke Cape Town" Kelas satu atau
kelas dua?" "Berapa?" "Kelas satu, delapan puluh tujuh pound - "
Aku tersentak. Mengapa begitu kebetulan! Sama benar dengan jumlah uang yang
kuwarisi! Aku ingin mengadu nasibku!
"Kelas satu," kataku.
Kini aku benar-benar menerjuni petualangan ini.
BAB VIII (Ringkasan dari Buku Harian Sir Eustace Pedler, MP*) (*MP: Member of Parliament/
Anggota Parlemen) ANEH, agaknya aku tak pernah bisa mengecap kedamaian. Aku sebenarnya suka hidup
tenang. Aku menyukai klub tempatku menggabungkan diri, suka, main bridge, suka
makanan enak dan anggur yang enak. Aku suka negeriku, Inggris di musim panas dan
Riviera di musim dingin. Aku tak punya hasrat untuk mengambil bagian dalam
kejadian-kejadian yang sensasional. Aku hanya mau membaca kejadian-kejadian itu
dari surat kabar saja, kadang-kadang sambil duduk di depan perapian. Tak lebih
dari itu. Tujuanku dalam hidup hanyalah ingin benar-benar nyaman. Untuk mencapai
tujuan itu, aku telah menggunakan banyak akal dan uang. Tapi aku tak bisa
berkata bahwa aku telah berhasil dalam hal itu. Kalaupun hal-hal itu tidak
terjadi atas diriku, dia terjadi di sekitar diriku, dan sering-sering aku
terlibat meskipun aku tak suka. Aku benci kalau aku sampai terlibat.
Hal itu terjadi lagi waktu Guy Pagett tadi pagi masuk ke kamar tidurku, membawa
sepucuk telegram. Wajahnya murung seperti orang sedang menghadiri suatu
pemakaman. Guy Pagett adalah sekretarisku. Dia rajin sekali, mau bersusah-payah dan tak
enggan bekerja keras. Pokoknya dia mengagumkan dalam segala hal. Namun tak ada
seorang pun yang bisa lebih menjengkelkan aku selain dia. Sudah lama aku mencari
akal agar dapat menyingkirkannya. Tapi seorang sekretaris yang lebih suka
bekerja daripada bersenang-senang, yang suka bangun pagi-pagi dan yang
pekerjaannya sama sekali tak ada cacatnya, tak mudah dipecat. Hanya ada satu hal
yang lucu pada diri laki-laki itu, yaitu wajahnya. Wajahnya mirip ahli pembuat
racun di abad XIV - seperti budak orang-orang Borgia.
Aku tidak merasa jengkel kalau dia tidak menyuruhku bekerja juga. Menurutku,
bekerja itu harus dijalankan dengan santai dan seenaknya - pokoknya disepelekan!
Kurasa Guy Pagett tak pernah meremehkan sesuatu selama hidupnya. Segala-galanya
dianggapnya serius. Itulah sebabnya hidup dengan dia begitu sulit.
Minggu yang lalu aku mendapat akal yang cemerlang. Aku menyuruhnya pergi ke
Florence. Dia pernah bercerita tentang Florence dan mengatakan betapa inginnya
dia pergi ke sana. "Besok kau berangkat ke sana," kataku dengan bersemangat. "Aku yang akan
membayar semua biayanya."
Bulan Januari memang bukan waktu yang tepat untuk pergi ke Florence, tapi bagi
Pagett akan sama saja. Bisa kubayangkan dia berkeliling kota, sambil membawa
buku petunjuk dan dengan sikap santrinya mengelilingi semua balai lukisan.
Dengan demikian akan bebaslah aku selama seminggu. Ongkos yang kukeluarkan
relatif murah dibanding dengan kebebasan yang kuperoleh.
Minggu itu benar-benar menyenangkan. Aku melakukan semua yang kuingini, dan
tidak melakukan satu pun yang tidak kuingini. Tapi waktu mataku mengerjapngerjap lalu terbuka, dan kulihat Pagett berdiri di dekatku pukul sembilan pagi
yang bagiku masih awal sekali, sadarlah aku bahwa kebebasanku sudah hilang.
"Eh, Pagett," kataku. "Sudah selesaikah acara pemakamannya" Atau nanti baru akan
dilakukan?" Pagett tak suka lelucon. Dia menatap lurus.
"Anda sudah tahu rupanya, Sir Eustace."
"Sudah tahu apa?" bentakku. "Dari ekspresi wajahmu aku bisa menyimpulkan bahwa
salah seorang keluarga dekatmu yang kausayangi harus dikuburkan pagi ini."
Pagett sama sekali tak menanggapi kelakar itu.
"Saya pikir Anda belum tahu tentang ini." Dijentiknya telegram yang dipegangnya.
"Saya tahu Anda tak suka dibangunkan pagi-pagi - meskipun sekarang sudah pukul
sembilan," - Pagett tetap menganggap bahwa pukul sembilan itu sudah tengah hari
- "dan saya pikir karena ini penting - " dijentiknya lagi telegram itu.
"Apa itu?" tanyaku.
"Telegram dari polisi di Marlow. Seorang wanita kedapatan terbunuh di rumah
Anda." Aku jadi serius. "Bualan besar apa itu?" seruku. "Mengapa harus di rumahku" Siapa yang
membunuhnya?" "Itu tak dikatakan. Saya pikir kita harus segera kembali ke Inggris, Sir
Eustace." "Kau tak perlu punya pikiran seperti itu. Mengapa kita harus kembali?"
"Polisi - " "Apa urusanku dengan polisi?"
"Soalnya itu rumah Anda."
"Itulah sialnya," kataku. "Tapi itu bukan salahku."
Guy Pagett menggeleng dengan murung.
"Pengaruhnya akan buruk terhadap daerah pemilihan Anda," katanya tetap dengan
murung. Aku tak mengerti mengapa harus begitu - namun kurasa naluri Pagett selalu benar
dalam hal itu. Dilihat sepintas lalu, sama sekali tak ada pengaruhnya atas diri
seorang anggota Parlemen, bila seorang wanita muda yang tak dikenal mati
terbunuh di rumahnya yang kosong - tapi bagaimana anggapan rakyat Inggris yang
terhormat, belum diketahui.
"Apalagi wanita itu orang asing," sambung Pagett.
Lagi-lagi kupikir dia benar. Ada seorang wanita terbunuh di rumah kita saja
sudah kurang terhormat, apalagi bila wanita itu orang asing. Aku teringat
sesuatu. "Astaga," seruku. "Kuharap hal itu tidak merisaukan Caroline."
Caroline adalah tukang masakku. Kebetulan dia istri tukang kebunku. Aku tak tahu
apakah dia seorang istri yang baik atau tidak, yang jelas dia seorang tukang
masak yang jempolan. Sebaliknya James bukan tukang kebun yang baik - tapi aku tak
terlalu keberatan dengan kemalasannya dan kuberi dia tempat tinggal di pondok
itu, semata-mata demi masakan Caroline.
"Saya rasa dia tidak akan mau tinggal setelah kejadian ini," kata Pagett.
"Kau selalu pesimis," kataku.
Kurasa aku terpaksa kembali ke Inggris. Pagett jelas-jelas setengah memaksaku.
Apalagi aku juga harus menenangkan Caroline.
Tiga hari kemudian. Aku selalu merasa heran bila ada orang yang tidak meninggalkan Inggris dalam
musim dingin meskipun sebenarnya dia bisa pergi! Iklimnya buruk sekali di sana!
Aku jengkel dengan semua urusan ini. Agen penyewaan rumah mengatakan bahwa
mungkin tidak ada lagi orang yang berminat menyewa Mill House, setelah berita
itu begitu meluas. Caroline sudah bisa ditenangkan - dengan gaji dua kali lipat. Sebenarnya kami bisa


Pria Bersetelan Coklat The Man In The Brown Suit Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyelesaikan hal itu dengan menelegramnya dari Cannes saja. Jadi seperti yang
kukatakan, tak ada gunanya aku kembali. Besok aku akan pergi lagi.
Esok harinya. Beberapa kejutan telah terjadi. Pertama-tama aku bertemu dengan Augustus Milray.
Dia adalah contoh sempurna seorang pegawai negeri yang benar-benar bodoh. Tanpa
memperhatikan rahasia hubungan diplomatik, ditariknya aku ke sudut yang sepi di
Klub. Dia bicara banyak. Tentang Afrika Selatan dan situasi perindustrian di
sana. Mengenai desas-desus yang makin santer tentang pemogokan di Rand. Tentang
alasan-alasan timbulnya pemogokan itu. Aku menyabarkan diri untuk mendengarkan.
Akhirnya dibisikkannya tentang bocornya dokumen-dokumen tertentu yang seharusnya
diserahkan ke tangan Jenderal Smuts.
"Saya yakin Anda benar," kataku sambil, menahan kantuk.
"Tapi bagaimana kita bisa menyerahkannya padanya" Kedudukan kita dalam hal ini
sulit sekali." "Mengapa tidak melalui pos saja?" tanyaku dengan ceria. "Tempelkan saja perangko
seharga dua penny, dan masukkan saja ke kotak pos terdekat."
Dia kelihatan terkejut sekali mendengar usulku itu.
"Aduh, melalui pos biasa! Bagaimana Anda ini, Pedler?"
Aku tak pernah mengerti mengapa Pemerintah mengangkat apa yang disebut "Utusan
Raja". Karena bukankah dengan demikian perhatian orang malah lebih tertarik pada
dokumen rahasia mereka. "Jika Anda tak suka melalui pos, kirim saja salah seorang anak buah Anda yang
masih muda. Mereka pasti senang disuruh bepergian."
"Tak mungkin," kata Milray sambil menggeleng-geleng seperti orang bodoh. "Ada
alasannya. Saudara Pedler - percayalah, saya punya alasan."
"Yaaah," kataku sambil bangkit. "Semuanya itu memang menarik, tapi saya harus
pergi - " "Sebentar lagi, Saudara Pedler, saya minta waktu sebentar lagi. Bukankah Anda
punya niat untuk pergi ke Afrika Selatan tak lama lagi" Saya tahu Anda punya
kepentingan di Rhodesia. Dengan adanya kemungkinan bahwa Rhodesia akan
digabungkan dengan Kesatuan, maka kepentingan Anda akan sangat terancam."
"Saya akan ke sana sebulan lagi."
"Apakah tak bisa dipercepat" Bulan ini misalnya" Atau lebih baik lagi minggu
ini?" "Bisa memang," kataku sambil memandanginya dengan penuh perhatian. "Tapi belum
tentu saya mau." "Itu akan berarti Anda sangat membantu Pemerintah - sungguh. Anda tentu tahu bahwa
Pemerintah - tidak akan melupakan jasa Anda."
"Maksud Anda, Anda akan menjadikan saya tukang pos?"
"Tepat. Kedudukan Anda dalam hal ini tak resmi, perjalanan Anda akan terjamin.
Semuanya akan memuaskan."
"Yah," kataku lambat-lambat. "Baiklah. Saya memang ingin sekali keluar dari
Inggris secepat mungkin."
"Anda akan merasa cocok dengan iklim di sana."
"Saya tahu betul mengenai iklim di sana. Beberapa waktu sebelum perang saya di
sana." "Saya betul-betul berutang budi pada Anda, Pedler. Kiriman itu akan saya
sampaikan pada Anda melalui seorang pesuruh. Harap Anda ingat, serahkan ke
tangan Jenderal Smuts sendiri. Kapal Kilmorden Castle akan berangkat hari Sabtu kapal itu bagus." Kami berjalan bersama sampai di Pall Mall, lalu kami berpisah. Dia menjabat
tanganku dan mengucapkan terima kasih berulang kali. Aku berjalan pulang sambil
merenungkan penyimpangan-penyimpangan kebijaksanaan Pemerintah.
Esok malamnya Jarvis, kepala pelayanku, memberitahukan bahwa ada seorang pria
yang ingin menemuiku untuk urusan pribadi, tapi orang itu tak mau memberitahukan
namanya. Aku selalu benci pada petugas-petugas polis asuransi, maka kusuruh
Jarvis mengatakan bahwa aku tak mau menerimanya. Sayang sekali, Guy Pagett yang
dalam hal ini akan sangat berguna, sedang dapat serangan sakit perut. Anak-anak
muda yang serius dan mau bekerja keras, perutnya lemah dan mudah terserang
penyakit. Jarvis kembali. "Orang itu minta disampaikan bahwa dia adalah utusan Tuan Milray, Sir Eustace."
Kini soalnya jadi lain. Beberapa menit kemudian aku berhadapan dengan tamuku di
ruang baca. Dia adalah seorang pemuda bertubuh tegap, kulitnya merah sekali
karena sengatan matahari. Dari sudut matanya sampai rahangnya tergores suatu
bekas luka. Bekas luka itu merusak wajahnya yang sebenarnya tampan, meskipun
tampak berkesan nekat. "Ada apa?" tanyaku.
"Saya diutus oleh Mr. Milray, Sir Eustace. Saya disuruhnya menyertai Anda ke
Afrika Selatan sebagai sekretaris Anda."
"Anak muda," kataku, "aku sudah punya sekretaris. Aku tak butuh lagi."
"Saya rasa perlu, Sir Eustace. Mana sekretaris Anda?"
"Dia sedang sakit perut," kataku.
"Apakah memang hanya sakit perut biasa?"
"Tentu. Dia sering mendapat serangan itu."
Tamuku tersenyum. "Mungkin benar, mungkin juga tak benar bahwa itu sakit perut biasa. Waktulah
yang akan membuktikannya. Tapi sebaiknya saya katakan saja, Sir Eustace, Mr.
Milray tidak akan terkejut bila mendengar ada usaha untuk menyingkirkan
sekretaris Anda itu. Anda tak perlu kuatir akan diri Anda sendiri" - mungkin di
wajahku sekilas terbayang rasa kuatirku - "bukan Anda yang terancam. Bila
sekretaris Anda sudah tersingkir, akan lebih mudah untuk menghubungi Anda.
Bagaimanapun juga, Mr. Milray menginginkan saya menyertai Anda. Mengenai biaya
perjalanan tentu urusan kami. Yang harus Anda urus hanya paspor. Tolong Anda
katakan bahwa Anda butuh seorang sekretaris tambahan."
Anak muda itu sangat penuh percaya diri. Kami bertatapan, sampai akhirnya aku
yang mengalah. "Baiklah," kataku.
"Anda tak boleh mengatakan pada siapa-siapa bahwa saya akan ikut Anda."
"Baik," kataku lagi.
Barangkali ada juga baiknya anak muda ini ikut aku. Tapi aku mendapat firasat
bahwa aku makin terseret ke dalam urusan yang tak menyenangkan. Padahal kusangka
aku akan mendapat ketenangan!
Waktu tamuku berbalik akan pulang, aku menghadangnya.
"Sebaiknya aku tahu siapa nama sekretarisku yang baru," kataku sinis.
Dia berpikir sebentar. "Saya rasa Harry Rayburn cocok juga," katanya.
Aneh sekali cara mengatakannya.
"Baiklah," kataku untuk yang ketiga kalinya.
BAB IX (Sambungan Kisah Anne) SUNGGUH memalukan bila seorang pahlawan wanita mabuk laut! Dalam buku-buku
cerita, makin hebat kapal itu oleng dan terhempas, makin senang dia. Sedang
semua orang mabuk, dia seorang diri berjalan-jalan di dek, menantang semua
kesulitan dan menikmati badai.
Dengan sangat menyesal aku harus mengakui bahwa pada waktu Kilmorden oleng untuk
pertama kalinya, aku langsung pucat dan bergegas turun. Seorang pramugari laut
yang simpatik menyambutku. Dianjurkannya agar aku minum-minuman jahe.
Tiga hari lamanya aku mengerang dalam kamarku. Lupa akan buruanku. Aku tak lagi
punya minat untuk memecahkan misteri. Aku sama sekali bukan Anne yang pulang ke
South Kensington dengan girang dari kantor agen perkapalan.
Aku tersenyum bila terkenang caraku masuk ke ruang tamu dengan mendadak waktu
itu. Di situ hanya ada Nyonya Flemming. Dia menoleh waktu aku masuk.
"Kau rupanya, Anne. Ada sesuatu yang akan kubicarakan denganmu."
"Ada apa?" tanyaku tak sabar.
"Nona Emery akan berhenti." Nona Emery adalah guru pengasuh pribadi. "Karena kau
belum juga berhasil mendapat pekerjaan, bagaimana kalau kau yang menggantikannya
- aku senang kalau kau tetap tinggal di sini."
Hatiku tersentuh. Aku tahu bahwa dia tidak menginginkan aku tinggal. Semata-mata
keinginannya untuk beramal sebagai layaknya seorang Kristen yang baik saja yang
mendorongnya menawarkan itu padaku. Aku menyesal bahwa selama ini diam-diam aku
tidak menyukainya. Aku bangkit lalu berlari menyeberangi ruangan itu dan
merangkulnya. "Anda baik sekali," kataku. "Sangat, sangat baik! Terima kasih banyak sekali.
Tapi saya tak bisa menerima tawaran Anda. Saya akan berangkat ke Afrika Selatan
hari Sabtu." Reaksiku yang tak terduga itu sangat mengejutkan wanita yang baik hati itu. Dia
tak biasa mendapat pernyataan kasih sayang yang begitu demonstratif, tapi katakataku lebih-lebih lagi mengejutkannya.
"Ke Afrika Selatan" Anne... Anne. Soal seperti itu harus kita pertimbangkan dulu
baik-baik." Aku tak suka mendengar kata-kata itu. Kujelaskan bahwa aku sudah membeli tiket
kapal. Dan kujelaskan pula bahwa sesampainya sana aku akan menjadi pembantu
rumah tangga. Hanya itulah yang terpikir olehku pada saat itu. Kukatakan bahwa
di Afrika Selatan pembantu rumah tangga dicari orang. Kuyakinkan padanya bahwa
aku mampu menjaga diriku sendiri. Dan akhirnya, dia menerima baik rencanaku
tanpa banyak bertanya. Kurasa dia lega karena bisa lepas tangan dari diriku.
Waktu berpisah, diselipkannya sebuah amplop ke tanganku. Di dalamnya kudapati
lima lembar uang lima pound yang masih baru benar, sepucuk surat pendek yang
berbunyi, "Kuharap kau tidak merasa tersinggung dan mau menerima ini demi rasa
sayangku." Dia memang orang yang baik hati. Aku tidak akan mungkin bisa tinggal dengan dia
terus, tapi kuakui bahwa pada dasarnya dia adalah orang baik.
Sekarang dengan uang dua puluh lima pound dalam sakuku, aku siap bertualang
menjelajahi dunia. Pada hari keempat, pramugari mendesakku agar mau naik ke dek. Dengan tekad bahwa
aku akan bisa mati lebih cepat di bawah, aku menolak keras meninggalkan tempat
tidurku. Lalu dikatakannya bahwa kami sudah hampir tiba di Madeira. Harapanku
timbul. Aku bisa turun di tempat itu dan menjadi pembantu rumah tangga. Yang
penting, aku bisa turun ke darat.
Seluruh tubuhku dibungkus dalam berlapis-lapis mantel dan selimut tebal. Kakiku
terasa lemah sekali. Aku dipapah lalu didudukkan di sebuah kursi dek. Aku duduk
saja dengan mata terpejam. Aku sama sekali tidak merasa senang. Seorang petugas
pasasi kapal, seorang pria muda yang berambut pirang dan wajahnya bulat
kekanakan, mendatangiku lalu duduk di sampingku.
"Halo! Anda tentu merasa kesal pada diri sendiri, bukan?"
"Ya," sahutku. Aku benci padanya.
"Sehari dua lagi, Anda tidak akan ingat akan keadaan Anda sekarang ini. Kita
baru saja menempuh gelombang besar di Teluk. Tapi kita akan menempuh cuaca yang
baik. Besok Anda akan saya ajak main ketangkasan lempar gelang-gelangan."
Aku diam saja. "Pasti Anda merasa tidak akan sembuh, ya" Saya sering melihat orang yang lebih
parah keadaannya daripada Anda. Dan dua hari kemudian dia menjadi orang yang
paling aktif di kapal ini. Anda pun akan demikian."
Aku masih bisa menahan marahku, dan aku tak sampai hati untuk langsung
mengatainya pembohong. Tapi hal itu kusampaikan dengan pandanganku. Dia masih
bertahan mengobrol beberapa menit lagi, kemudian pergi. Aku bersyukur. Orangorang lewat berseliweran. Pasangan-pasangan yang segar berolahraga, anak-anak
berlompatan dengan riang, dan anak-anak muda tertawa-tawa. Ada beberapa orang
penderita seperti aku, berbaring di kursi dek.
Udaranya enak, berangin tapi tidak terlalu dingin, dan matahari bersinar cerah.
Tanpa kusadari aku merasa agak senang. Aku mulai memperhatikan orang-orang di
sekelilingku. Seorang wanita menarik perhatianku. Dia berumur kira-kira tiga
puluh, tingginya cukupan, rambutnya pirang sekali, wajahnya bulat berlesung
pipit, dan matanya biru sekali. Pakaiannya, meskipun sederhana, sangat bergaya
dan menunjukkan bahwa itu buatan Paris. Dengan gayanya yang enak dilihat dan
penuh percaya diri, dia seolah-olah memiliki kapal itu!
Para pramugara dek berlari-lari mematuhi perintah-perintahnya. Kursi deknya pun
khusus, dan berbantal banyak sekali. Tiga kali dia minta kursi deknya
dipindahkan. Dan selama segala kesibukan itu, dia tetap cantik dan menarik. Dia
adalah satu dari orang-orang yang tak banyak jumlahnya di dunia ini, yang tahu
apa yang diingininya, berusaha untuk mendapatkan keinginannya, dan menuntut
semuanya itu tanpa menyinggung perasaan orang. Pikirku, kalau aku sembuh - tapi
rasanya aku tidak akan sembuh-sembuh - aku akan senang sekali kalau aku bisa
bercakap-cakap dengan dia.
Kami tiba di Madeira kira-kira tengah hari. Aku masih terlalu lemah untuk
bergerak, tapi aku suka memperhatikan para pedagang yang berpakaian aneka warna
naik ke kapal dan menggelar barang-barang jualan mereka di dek. Mereka juga
Jodoh Rajawali 34 Dewi Sri Tanjung 12 Aji Wisa Dahana Sapu Jagad 1

Cari Blog Ini