Ceritasilat Novel Online

Pria Bersetelan Coklat 2

Pria Bersetelan Coklat The Man In The Brown Suit Karya Agatha Christie Bagian 2


membawa bunga. Kubenamkan hidungku ke seikat bunga violet yang masih basah dan
harum. Dan aku pun merasa lebih baik. Aku bahkan merasa bahwa aku bisa
meneruskan perjalananku sampai pelayaran ini berakhir. Waktu pramugariku
menawarkan kaldu ayam, aku hanya menolak dengan lemah. Waktu orang mengantar
kaldu itu, aku menghabiskannya.
Wanita yang menarik itu turun ke darat. Dia kembali diiringi oleh seorang pria
jangkung yang bersikap seperti prajurit. Rambutnya hitam dan wajahnya merah.
Pagi tadi aku melihatnya berjalan santai hilir-mudik di sepanjang dek. Aku
segera mencatat dalam hati bahwa dia tipe pria Rhodesia yang kuat dan pendiam.
Umurnya kira-kira empat puluh, dan rambut di pelipisnya sudah mulai beruban.
Dialah pria paling tampan di kapal itu.
Waktu pramugari membawakan selimut tebal tambahan, kutanyakan apakah dia tahu
siapa wanita yang menarik perhatianku itu.
"Dia seorang wanita terkemuka dan terkenal, Yang Mulia Nyonya Clarence Blair.
Anda pasti membaca tentang dia dalam surat-surat kabar."
Aku mengangguk dan memandanginya dengan perhatian lebih besar. Nyonya Blair
memang terkenal sebagai salah seorang wanita yang paling bergaya. Kulihat bahwa
dia menjadi pusat perhatian banyak orang. Beberapa orang bahkan mencari-cari
kesempatan untuk berkenalan dengannya. Hal itu mudah terjadi di kapal, karena
orang tak perlu menempuh jalan resmi. Aku kagum melihat Nyonya Blair yang pandai
melecehkan mereka dengan cara yang sopan. Agaknya dengan sendirinya pria kuat
dan pendiam itu telah diangkatnya sebagai pengawal khususnya, dan kelihatannya
pria itu merasa senang serta merasa mendapat kehormatan.
Esok paginya, setelah berjalan beberapa putaran di dek dengan pengiringnya yang
penuh perhatian itu, Nyonya Blair berhenti di dekat kursiku. Aku terkejut.
"Sudah merasa lebih baik hari ini?"
Aku mengucapkan terima kasih, dan kukatakan bahwa aku sudah merasa lebih baik.
"Kau memang kelihatan sakit sekali kemarin. Aku dan Kolonel Race sudah merasa
senang akan bisa melihat suatu penguburan di laut - tapi kau mengecewakan kami."
Aku tertawa. "Setelah naik dan mendapatkan udara segar ini, saya merasa enak."
"Tak ada yang lebih baik selain udara segar," kata Kolonel Race sambil
tersenyum. "Siapa pun akan mati kalau terkurung terus dalam kamar-kamar yang pengap itu,"
kata Nyonya Blair. Dia lalu duduk di sebelahku dan mengisyaratkan dengan
mengangguk bahwa pengiringnya boleh meninggalkannya. "Kamarmu di bagian luar,
kan?" Aku menggeleng. "Aduh! Mengapa kau tak minta tukar. Kamarnya banyak sekali. Banyak orang yang
turun di Madeira, dan kapal ini kosong. Bicaralah dengan petugas pasasi. Dia
pemuda yang baik - aku dipindahkannya ke kamar yang enak dan bagus, aku tak suka
kamar yang kudapatkan mula-mula. Bicaralah dengan dia waktu makan siang nanti."
Aku ngeri. "Saya belum bisa bergerak."
"Jangan bodoh. Ayo berjalan-jalan denganku."
Dengan senyumnya yang berlesung pipit, dia memberiku semangat. Mula-mula kakiku
terasa lemah sekali, tapi setelah kami berjalan bolak-balik, aku mulai merasa
ceria dan lebih segar. Setelah beberapa kali putaran, Kolonel Race menggabungkan diri lagi dengan kami.
"Kita bisa melihat Puncak Tenerife dari sisi lain."
"Oh, ya" Apakah aku akan bisa membuat fotonya?"
"Tidak - tapi kalau sekadar menjepret-jepret saja boleh."
Nyonya Blair tertawa. "Kau jahat. Aku bisa mengambil foto dengan baik."
"Kira-kira tiga persen saja yang jadi, mungkin."
Kami pergi ke sisi dek yang lain. Di sana tampak menjulang puncak lancip yang
putih gemerlap dan bersalju, diselaputi kabut tipis berwarna merah dadu. Aku
berseru memuji keindahan itu. Nyonya Blair berlari mengambil kameranya.
Tanpa merasa gentar oleh ejekan-ejekan Kolonel Race, dia mengambil foto-foto
dengan bersemangat. "Nah, habis sudah filmnya. Astaga," serunya dengan nada kecewa sekali, "aku
menjepret dengan lampunya terpasang selama itu tadi."
"Aku selalu senang melihat anak-anak memainkan mainan barunya," gumam Kolonel.
"Kau jahat sekali - tapi aku masih punya satu rol film lagi."
Dengan sikap menang dikeluarkannya tabung film itu dari saku sweater-nya. Tibatiba kapal oleng dan dia kehilangan keseimbangan. Waktu dia berpegangan pada
pagar kapal untuk bertumpu, tabung film itu lepas dan jatuh ke sisi kapal.
"Aduh!" seru Nyonya Blair. Dengan kocak dia menyatakan kekecewaannya. Dia
membungkuk untuk melihat. "Apakah jatuh masuk ke laut, ya?"
"Tidak. Mungkin barang itu telah menghantam kepala seorang pramugara malang yang
sedang berada di dek bawah."
Seorang anak laki-laki yang tanpa setahu kami telah berada beberapa langkah di
belakang kami, meniup terompet sampai memekakkan telinga.
"Mari makan siang," kata Nyonya Blair. "Aku belum makan apa-apa sejak sarapan
tadi, kecuali dua mangkuk kaldu daging sapi. Mau ikut makan, Nona Beddingfeld?"
Aku bimbang sebentar. "Baiklah, saya juga lapar."
"Bagus. Aku tahu tempat dudukmu. Kau duduk semeja dengan petugas pasasi itu,
bukan. Bicarakan dengan dia mengenai kamar itu."
Aku berhasil turun ke ruang makan. Mula-mula aku makan dengan enggan, tapi
akhirnya ternyata bahwa makanku banyak sekali. Temanku kemarin, memberi selamat
atas kesembuhanku. Semua orang pindah kamar hari ini, katanya, dan dia berjanji
akan segera menyuruh pindahkan barang-barangku ke sebuah kamar di bagian luar.
Hanya ada empat orang yang semeja dengan kami. Aku sendiri, sepasang wanita yang
sudah berumur, dan seorang misionaris yang banyak berbicara tentang "saudarasaudara kita berkulit hitam yang malang".
Aku melihat ke meja-meja yang lain. Nyonya Blair duduk semeja dengan kapten
kapal. Kolonel Race di sebelahnya. Di sisi lain Kapten, duduk seorang pria yang
sudah beruban. Kelihatannya dia orang penting. Kebanyakan dari orang-orang itu
sudah pernah kulihat di dek. Tapi ada seorang yang belum pernah muncul
sebelumnya, karena kalau sudah, pasti dia tidak akan luput dari penglihatanku.
Dia tinggi dan berambut hitam, dan air mukanya aneh serta penuh rahasia, hingga
aku agak terkejut. Dengan penuh rasa ingin tahu kutanyakan pada petugas pasasi
siapa dia. "Pria itu" Oh, dia sekretaris Sir Eustace Pedler. Kasihan dia, tak pernah muncul
karena mabuk laut, Sir Eustace membawa dua orang sekretaris, dan keduanya tak
tahan gelombang besar. Yang seorang lagi bahkan belum muncul. Yang ini bernama
Pagett." Rupanya Sir Eustace Pedler, pemilik Mill House itu ada di kapal ini. Mungkin ini
hanya suatu kebetulan, tapi "Itu yang bernama Sir Eustace Pedler," informanku melanjutkan, "yang duduk di
samping Kapten itu. Orang tua itu suka berlagak."
Makin kupandangi wajah sekretaris itu, makin tak suka aku. Wajah itu pucat,
matanya berkelopak tebal dan penuh rahasia, kepalanya pipih dan aneh - semuanya
menimbulkan rasa tak senang dan curiga.
Kami meninggalkan ruang makan bersamaan. Aku berjalan tak jauh di belakangnya
waktu dia naik ke dek. Dia bercakap-cakap dengan Sir Eustace, dan aku bisa
menangkap sedikit pembicaraan mereka.
"Kalau begitu bolehkah saya segera mengurus soal kamar itu" Saya tak bisa
bekerja karena banyaknya kopor Anda."
"Hei, dengar," sahut Sir Eustace. "Kamarku itu gunanya, pertama untuk tempatku
tidur, dan kedua untuk tempatku berpakaian. Aku tak pernah suka membiarkan kau
hilir-mudik dalam kamar itu dan berisik dengan mesin tikmu itu."
"Itulah maksud saya tadi, Sir Eustace, harus ada tempat untuk bekerja - "
Sampai di situ aku berpisah dari mereka. Aku turun untuk melihat apakah
pemindahan barang-barangku sudah dilakukan. Kudapati pramugaraku sedang
menjalankan tugas. "Kamarnya bagus, Nona. Di dek D. Kamar nomor 13."
"Oh, jangan!" seruku. "Jangan nomor 13."
Kuakui aku memang punya kepercayaan takhyul terhadap angka 13. Kamarnya memang
bagus. Kuperiksa kamar itu, aku ragu, tapi perasaan takhyulku menang. Hampir
menangis aku meminta petugas itu memindahkanku.
"Apakah saya tak bisa mendapat kamar lain?"
Pramugara berpikir. "Oh, ada, nomor 17, di sisi sebelah kanan. Tadi pagi masih kosong, tapi kalau
tak salah sudah diberikan pada seseorang. Tapi kalau barang-barang pria itu
belum ada di dalamnya, dan karena kaum pria tidak begitu percaya takhyul seperti
kaum wanita, saya yakin dia tak keberatan bertukar kamar."
Dengan rasa syukur kuterima usul itu. Pramugara itu pergi untuk mendapatkan izin
dari petugas pasasi. Dia kembali dengan tertawa lebar.
"Beres, Nona. Kita bisa pindah sekarang."
Dia mendahuluiku berjalan ke kamar 17. Kamar itu tidak sebesar kamar 13, tapi
aku merasa puas sekali. "Saya akan segera mengambil barang-barang Anda, Nona," katanya.
Tetapi pada saat itu, si pria berwajah misterius (begitu aku menamakannya),
muncul di ambang pintu. "Maaf," katanya, "tapi kamar ini disediakan untuk Sir Eustace Pedler."
"Tak apa-apa, Tuan," pramugara menjelaskan. "Kami siapkan kamar nomor 13 sebagai
gantinya." "Tidak, saya harus mendapatkan nomor 17."
"Kamar nomor 13 lebih bagus, Tuan - lebih besar lagi."
"Saya sudah memilih nomor 17, dan petugas pasasi sudah mengatakan bahwa itu
bisa." "Maaf," selaku dengan nada dingin. "Tapi nomor 17 sudah disiapkan untuk saya."
"Saya tak bisa membenarkan hal itu."
Pramugara membantuku. "Kamar yang satu itu sama saja, bahkan lebih baik."
"Saya menghendaki nomor 17."
"Ada apa ini?" tanya suatu suara baru. "Pramugara, tolong masukkan barang-barang
saya. Ini kamar saya."
Dia adalah orang yang duduk di sebelahku waktu makan siang, Pendeta Edward
Chichester. "Maaf," kataku. "Ini kamar saya."
"Kamar ini disediakan untuk Sir Eustace Pedler," kata Mr. Pagett.
Kami semua jadi agak panas.
"Maafkan saya harus mempertengkarkan hal ini," kata Chichester dengan tersenyum
sabar. Namun senyum itu tak berhasil menyembunyikan tekad kuatnya untuk
memperoleh keinginannya. Aku tahu, laki-laki yang kelihatan lemah memang selalu
keras kepala. Dia berjalan ke arah pintu sambil memiringkan badannya.
"Kamar Anda nomor 28, di sisi kiri kapal," kata pramugara. "Kamar itu bagus
sekali, Tuan." "Maaf, tapi saya tetap pada pendirian saya. Nomor 17 ini sudah dijanjikan pada
saya." Kami menemui jalan buntu. Masing-masing bertekad untuk tidak mengalah.
Sebenarnya aku bisa menarik diri dari perebutan itu dan memudahkan perkara itu
dengan mengatakan kesediaanku untuk menerima kamar nomor 28. Asal saja aku tidak
mendapat nomor 13, sama saja kamar mana pun yang akan kudapatkan. Tapi darahku
sudah naik. Aku sama sekali tak mau menjadi orang yang pertama mengalah. Apalagi
aku tak suka pada Chichester. Giginya gigi palsu yang berbunyi kalau dia makan.
Kami semua berulang kali mengulang-ulangi hal yang sama. Pramugara makin kuat
meyakinkan kepada kami bahwa kedua kamar yang lain itu lebih baik. Tak ada di
antara kami yang memperhatikan dia.
Pagett mulai marah. Chichester tetap mempertahankan ketenangannya. Aku juga
berusaha menahan kesabaranku. Namun tak ada yang mau mengalah barang sedikit
pun. Pramugara memberiku isyarat dengan berbisik dan mengerjapkan matanya. Diam-diam
aku mengundurkan diri dari tempat itu. Aku beruntung karena hampir segera
bertemu dengan petugas pasasi.
"Tolonglah saya," kataku, "Anda sendiri yang berkata bahwa saya bisa mendapatkan
kamar nomor 17 itu. Tapi kedua orang itu tak mau mundur. Maksud saya Tuan
Chichester dan Tuan Pagett. Anda tetap akan memberikannya pada saya, kan?"
Aku punya keyakinan bahwa pelaut selalu baik pada wanita. Kepala tata usaha
kapal itu pun terpancing dengan mudah. Dia pergi ke tempat pertengkaran, dan
mengatakan pada pihak-pihak yang bertengkar bahwa nomor 17 adalah kamarku.
Mereka berdua masing-masing bisa menempati nomor 13 dan nomor 28, atau tetap di
kamar mereka semula. Mereka boleh pilih.
Dengan mataku kuisyaratkan padanya betapa hebatnya dia, dan aku pun menempati
tempatku yang baru. Pertemuanku dengannya tadi telah sangat menguntungkanku.
Laut tenang dan cuaca makin hari makin panas. Dan aku tak mabuk lagi!
Aku naik ke dek, dan diajar cara main gelang-gelangan. Aku mengikuti bermacammacam cabang olahraga. Teh disuguhkan di dek, dan aku minum serta makan dengan
nikmat. Setelah minum teh aku main dengan beberapa anak muda yang menyenangkan.
Kami dikejutkan oleh bunyi terompet tanda peringatan untuk berpakaian menjelang
makan malam. Aku. bergegas ke kamarku yang baru. Pramugari menyambutku dengan
wajah bingung. "Di kamar Anda ada bau busuk, Nona. Saya benar-benar tak tahu bau apa itu. Tapi
saya yakin bahwa Anda tidak akan bisa tidur di sini. Ada kamar di dek C. Anda
bisa pindah ke sana - hanya untuk malam ini saja."
Bau itu memang benar-benar busuk - memuakkan. Kukatakan pada pramugari itu bahwa
soal pindah itu akan kupikirkan sementara aku berpakaian. Aku cepat-cepat pergi
ke toilet sambil mendengus-dengus dengan jijik.
Bau apa, ya" Bangkai tikus" Bukan, lebih busuk lagi - dan lain. Tapi rasanya aku
kenal bau itu! Ya, aku pernah mencium bau busuk itu. Sesuatu - ha! Aku ingat. Bau
asafoetida! Aku pernah bekerja di kamar obat rumah sakit, selama perang,
meskipun tak lama. Dan aku jadi mengenal bermacam-macam obat yang baunya
memuakkan. Asafoetida, pasti itu. Tapi bagaimana Aku terduduk di sofa waktu aku menyadari keadaan itu. Seseorang telah menaruh
sejumput asafoetida di dalam kamarku. Mengapa" Supaya aku meninggalkannya"
Mengapa mereka begitu ingin aku keluar dari kamar ini" Lalu kubayangkan
peristiwa tadi siang dari sudut lain. Ada apa dengan kamar 17 yang menjadikan
begitu banyak orang ingin menguasainya" Padahal dua kamar yang lain itu lebih
baik. Mengapa kedua pria itu berkeras untuk mendapatkan nomor 17"
17. Lagi-lagi angka 17! Pada tanggal 17 aku berangkat dari Southampton. Angka 17
pula - aku terhenti dengan tersentak. Cepat-cepat kubuka koporku, lalu kukeluarkan
kertasku yang penting itu dari tempat persembunyiannya, yaitu dalam gulungan
kaus kaki. 17 1 22 - Angka-angka itu telah kutafsirkan sebagai tanggal, tanggal keberangkatan
Kilmorden Castle. Mungkinkah aku salah" Kalau dipikir-pikir lagi baik-baik,
apakah seseorang yang menuliskan tanggal akan menganggap perlu untuk menuliskan
tahun dan bulannya pula" Mungkinkah angka 17 itu kamar nomor 17" Lalu angka 1"
Menyatakan waktunya - pukul 1. Dan 22 tentu tanggalnya. Aku melihat ke almanak
kecilku. Besok tanggal 22! BAB X AKU jadi kacau sekali. Aku yakin bahwa akhirnya aku telah menemukan arah yang
benar. Satu hal sudah jelas. Aku tak boleh keluar dari kamar ini. Bau asafoetida
itu harus kutahan. Aku pun meneliti kenyataan-kenyataan yang ada sekali lagi.
Besok tanggal 22, dan pukul 1 malam atau pukul 1 siang akan terjadi sesuatu.
Kupastikan pukul 1 malam. Sekarang pukul 7 malam. Enam jam lagi aku akan tahu.
Aku tak tahu bagaimana malam ini akan kulalui. Masih sore aku sudah kembali ke
kamarku. Kukatakan pada pramugari bahwa aku sedang pilek dan hidungku tersumbat,
jadi aku tidak akan terganggu oleh bau apa-apa. Dia masih kelihatan tak puas,
tapi aku berpegang teguh.
Malam itu rasanya tak kunjung berakhir. Aku pun tidur. Tapi kusiapkan diriku
untuk keadaan darurat. Aku mengenakan kimono flanel yang tebal, dan sepatu
kusiapkan. Dengan berpakaian siap begitu, kurasa aku akan bisa melompat bangun
dan langsung bisa berbuat sesuatu bila ada apa-apa.
Apa yang kuharapkan akan terjadi" Aku sendiri tak tahu. Sesuatu yang kabur, yang
tak mungkin - memenuhi otakku. Hanya satu yang aku tahu pasti, tepat pukul 1
nanti, sesuatu akan terjadi.
Sekali-sekali kudengar penumpang-penumpang lain masuk kamar masing-masing.
Melalui lubang angin pintu, terdengar penggalan-penggalan percakapan dan ucapan
selamat tidur yang disertai tawa. Lalu, sepi. Kebanyakan lampu sudah dipadamkan.
Ada satu lampu di lorong luar yang masih menyala, dan karenanya kamarku masih
cukup terang. Kudengar bunyi jam delapan kali. Jam-jam yang berikutnya rasanya
merupakan waktu yang terpanjang. Aku melihat ke arlojiku untuk meyakinkan diri
bahwa pikiranku tidak sedang melayang terlalu jauh.
Bila analisaku salah, bila pukul satu tidak terjadi apa-apa, itu berarti aku


Pria Bersetelan Coklat The Man In The Brown Suit Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

telah membuat kekeliruan yang bodoh, dan telah menghabiskan uangku sia-sia saja.
Jantungku berdebar kencang.
Terdengar jam berdentang satu kali. Pukul satu! Tidak terjadi apa-apa. Tunggu apa itu" Kudengar langkah kaki orang berlari-lari di lorong.
Kemudian mendadak, seperti meledaknya sebuah bom, pintu kamarku terbuka, dan
seorang pria hampir jatuh karena masuk tergopoh-gopoh.
"Selamatkan aku," katanya serak. "Mereka mengejarku."
Aku sadar bahwa itu bukan saatnya untuk berdebat atau meminta penjelasan. Di
luar sudah terdengar bunyi langkah-langkah kaki. Aku hanya punya waktu empat
puluh detik untuk mengambil tindakan. Aku tadi terlompat bangun dan kini
berhadapan dengan orang asing itu di tengah-tengah kamar.
Sebuah kamar di kapal tak cukup banyak tempat untuk menyembunyikan seorang lakilaki yang tingginya 180 cm. Dengan sebelah tanganku kutarik ke luar peti yang
terdapat di bawah tempat tidurku. Dia menjatuhkan diri lalu menyelinap ke
belakang peti itu. Peti itu kubuka tutupnya. Sementara itu dengan tangan yang
sebelah lagi, baskom kutarik ke bawah. Dengan gerak cepat, rambutku kugulung
menjadi sebuah sanggul kecil di atas kepalaku. Memang memberikan penampilan yang
jelek, tapi demi keselamatan itu merupakan bantuan yang baik sekali. Dengan
rambut yang tergulung menjadi sanggul yang jelek, dan berpura-pura sedang
mengambil sabun dari petinya, aku seolah-olah akan mencuci tengkukku. Orang
tidak akan mungkin mencurigaiku menyembunyikan seorang buronan.
Terdengar ketukan di pintu. Tanpa menunggu aku menyuruh masuk, pintu sudah
didorong dan terbuka. Aku tak punya bayangan apa yang akan kulihat. Kurasa secara samar ada
kubayangkan bahwa Mr. Pagett yang akan masuk sambil mengacungkan pistol. Atau si
Pendeta dengan karung pasir atau semacam senjata lain yang mematikan. Yang sama
sekali tidak kubayangkan adalah datangnya seorang pramugari yang bertugas malam,
yang wajahnya mengandung rasa ingin tahu namun tetap bersikap sopan.
"Maaf, Nona, saya pikir Anda memanggil."
"Tidak," kataku.
"Maafkan saya telah mengganggu Anda."
"Tak apa-apa," kataku. "Saya tak bisa tidur. Saya pikir sebaiknya saya membasuh
muka." Kedengarannya seolah-olah aku tak biasa berbuat begitu.
"Maaf sekali lagi, Nona," kata pramugari itu. "Tapi tadi ada seorang pria yang
agak mabuk dan kami takut dia masuk ke salah satu kamar wanita, dan membuat
mereka ketakutan." "Mengerikan sekali!" kataku dengan sikap ketakutan. "Dia tidak akan masuk
kemari, kan?" "Ah, saya rasa tidak, Nona. Bunyikan saja bel kalau dia masuk. Selamat malam."
"Selamat malam."
Pintu kubuka lalu aku mengintip ke lorong. Kecuali pramugari yang sudah menjauh
itu, tak kelihatan siapa-siapa di situ.
Mabuk! Jadi itulah rupanya sebabnya! Sia-sia saja bakatku bersandiwara kalau
begitu. Peti itu kutarik lebih jauh ke luar dan berkata, "Keluar cepat," kataku
dengan nada marah. Tak ada jawaban. Kuintip ke bawah tempat tidur. Tamuku tak bergerak.
Kelihatannya dia tidur. Kucolek bahunya. Dia tetap tak bergerak.
"Benar-benar mabuk," pikirku jengkel. "Apa yang harus kuperbuat?"
Lalu terlihat olehku sesuatu yang membuat napasku terhenti. Di lantai terdapat
suatu noda merah tua. Dengan mengerahkan seluruh tenagaku, aku berhasil menyeret orang itu keluar
sampai ke tengah kamar. Wajahnya yang pucat pasi menunjukkan bahwa dia pingsan.
Mudah sekali aku menemukan mengapa dia sampai pingsan. Di bawah tulang
belikatnya yang kiri menganga luka yang dalam - rupanya dia ditikam. Kubuka jasnya
lalu kubersihkan luka itu.
Karena merasa dinginnya air, dia bergerak lalu duduk.
"Diam, jangan bergerak," kataku.
Dia anak muda yang cepat pulih. Dia memaksakan berdiri dengan terhuyung.
"Terima kasih, aku tak perlu bantuan apa-apa."
Sikapnya menantang. Sama sekali tak ada ucapan terima kasih!
"Luka itu dalam sekali. Biar kubalut dulu."
"Tak perlu!" sergahnya, seolah-olah aku memohon kebaikan hatinya. Darahku
langsung mendidih! Aku memang bukan orang yang sabar.
"Sikapmu sungguh tak terpuji," kataku dengan nada dingin.
"Bukankah sekurang-kurangnya aku bisa membebaskanmu dari kehadiranku di sini?"
Dia berjalan ke arah pintu, tapi hampir jatuh terhuyung. Dengan cepat kudorong
dia duduk ke sofa. "Jangan tolol," kataku tanpa menimbang perasaannya lagi. "Apakah kau ingin pergi
dengan mencecerkan darah ke seluruh kapal?"
Agaknya dia menyadari kebenaran kata-kataku, karena dia lalu duduk diam-diam
sementara aku membalut lukanya sebisaku.
"Nah, sudah," kataku sambil menepuk hasil karyaku, "cukuplah untuk sementara.
Apakah perasaanmu pun sudah agak tenang sekarang dan mau menceritakan apa yang
terjadi?" "Maaf, aku tak bisa memuaskan rasa ingin tahumu itu."
"Mengapa tidak?" tanyaku kecewa.
Dia tersenyum sinis. "Bila ingin sesuatu tersebar luas, ceritakanlah pada seorang wanita. Kalau
tidak, tutup mulut rapat-rapat."
"Apakah aku ini kelihatannya tak bisa menyimpan rahasia?"
"Kurasa tidak - aku yakin itu."
Dia bangkit. "Pokoknya," kataku sengit, "aku bisa saja menyebarluaskan kejadian-kejadian
malam ini." "Aku pun yakin kau akan berbuat begitu," katanya tak acuh.
"Kau jahat sekali!" seruku marah.
Kami berhadapan dan kami saling melotot dengan kebencian dua orang yang
bermusuhan. Saat itulah aku baru mengamati wajahnya. Rambutnya yang hitam,
dipotong pendek sekali. Rahangnya tirus. Pada pipinya yang kecoklatan, terdapat
bekas luka. Matanya yang abu-abu dan aneh menatap mataku dengan ejekan yang
menantang. Dia tampak berbahaya.
"Kau belum mengucapkan terima kasih padaku padahal aku telah menyelamatkan
nyawamu!" kataku pura-pura manis.
Kata-kataku mengena. Jelas kelihatan dia agak surut. Naluriku berkata bahwa dia
paling benci diingatkan bahwa dia berutang nyawa padaku. Aku tak peduli. Aku
ingin membuatnya sakit hati. Tak pernah aku begitu ingin menyakiti orang.
"Sebenarnya lebih baik tidak!" sergahnya keras. "Aku lebih suka mati, habis
perkara." "Aku senang kau mengakui utang itu. Kau tidak akan bisa melepaskan diri. Aku
telah menyelamatkan nyawamu, dan aku menunggu kau mengucapkan 'Terima Kasih'."
Bila dengan pandangan saja seseorang bisa membunuh, kurasa ingin benar dia
membunuhku pada saat itu. Dengan kasar dia melewati aku. Di pintu dia berbalik,
dan berkata, "Aku tidak akan mengucapkan terima kasih padamu - sekarang atau kapan pun juga.
Tapi kuakui utangku. Suatu hari akan kubayar itu."
Dia berlalu, meninggalkan aku dengan tangan terkepal dan jantung berdebar keras.
BAB XI KECUALI itu tak ada lagi ketegangan lain malam itu. Aku sarapan di tempat tidur
dan siang baru bangun. Waktu aku naik ke dek, aku disambut oleh Nyonya Blair.
"Selamat pagi, Gadis Gipsy. Mari duduk di sebelahku. Kelihatannya kau kurang
tidur." "Mengapa Anda menyebut saya begitu?" tanyaku sambil duduk dengan patuh.
"Kau keberatan" Sebutan itu cocok bagimu. Sudah sejak semula aku menyebutmu
begitu. Ada unsur gipsy pada dirimu yang membuatmu lain dari yang lain. Lalu
kupikir hanya kau dan Kolonel Race-lah di kapal ini yang tidak akan membosankan
bila diajak bicara."
"Lucu sekali," kataku. "Saya juga berpikir begitu tentang Anda - hanya bagi Anda
lebih bisa dimengerti. Soalnya Anda - Anda adalah orang yang terpilih."
"Pandai kau mengatakannya," kata Nyonya Blair sambil mengangguk. "Coba ceritakan
tentang dirimu, Gadis Gipsy. Untuk apa kau pergi ke Afrika Selatan?"
Aku bercerita tentang pekerjaan Papa.
"Rupanya kau putri Charles Beddingfeld" Sudah kuduga bahwa kau bukan gadis
sembarangan! Apakah kau akan pergi ke Bukit Broken Hill untuk mengumpulkan
tengkorak-tengkorak lagi?"
"Mungkin," kataku dengan hati-hati. "Tapi saya juga punya rencana lain."
"Kau memang gadis misterius. Tapi kau benar-benar kelihatan letih pagi ini.
Apakah kau tak tidur" Aku sendiri sulit bangun di kapal. Kata orang, hanya orang
bodoh yang tidur sampai sepuluh jam! Tapi aku bisa tidur sampai dua puluh jam!"
Dia menguap dan kelihatan seperti anak kucing yang mengantuk. "Seorang pramugara
goblok membangunkan aku tengah malam untuk mengembalikan tabung filmku yang
jatuh kemarin. Caranya mengembalikan pun aneh. Diulurkannya tangannya melalui
lubang angin pintu, lalu dilemparkannya. Benda itu jatuh tepat di tengah-tengah
perutku. Sesaat kusangka itu bom!"
"Ini Kolonel Anda datang," kataku, waktu Kolonel Race yang jangkung yang seperti
prajurit itu muncul di dek.
"Dia bukan Kolonelku sendiri. Dia malah sangat mengagumi kau, Gadis Gipsy. Jadi
jangan lari." "Saya ingin mencari sesuatu untuk mengikat rambut saya. Lebih enak daripada
memakai topi." Aku cepat-cepat menyelinap. Entah mengapa, aku merasa tak enak bersama Kolonel
Race. Dia adalah salah seorang yang tak banyak jumlahnya, yang bisa membuatku
merasa malu. Aku turun ke kamarku dan mencari sesuatu untuk bisa menahan rambutku yang selalu
acak-acakan. Aku memang orang yang rapi, aku suka barang-barangku tersusun
dengan cara tertentu dan aku tak suka susunan itu berubah. Waktu kubuka laciku,
aku segera tahu bahwa ada orang yang telah mengacak-acak barang-barangku.
Semuanya terbongkar dan berantakan. Aku melihat ke laci yang sebuah lagi dan
lemari gantung yang kecil. Sama saja keadaannya. Kelihatannya ada seseorang yang
dengan terburu-buru mencari sesuatu tapi tak berhasil.
Aku duduk di tepi tempat tidur. Siapa yang telah membongkar kamarku, dan apa
yang dicarinya" Apakah potongan kertas kecil yang bertulisan angka-angka dan
kata-kata itu" Aku menggeleng dengan rasa tak puas. Itu sudah tak perlu lagi
sekarang. Lalu apa" Aku ingin berpikir. Peristiwa semalam, meskipun menegangkan, tak bisa
menjelaskan persoalan. Siapakah anak muda yang menghambur masuk ke kamarku itu"
Aku belum pernah melihatnya sebelum waktu itu, baik di dek maupun di ruang
makan. Apakah dia salah seorang anak buah kapal" Atau apakah dia salah seorang
penumpang" Siapa yang menikamnya" Mengapa dia ditikam" Dan mengapa kamar nomor
17 begitu besar artinya" Semuanya itu suatu misteri.
Tapi jelas bahwa di Kilmorden Castle ini sedang terjadi peristiwa-peristiwa
aneh. Aku mulai menghitung nama orang-orang yang kuputuskan untuk kuawasi.
Tamuku malam itu tidak kumasukkan Hitungan. Tapi aku bertekad untuk menemukannya
di atas kapal ini, hari ini atau besok. Kupilih orang-orang yang harus
kuperhatikan secara khusus, yaitu:
(1) Sir Eustace Pedler. Dia adalah pemilik Mill House. Kehadirannya di Kilmorden
Castle ini seperti suatu kebetulan saja.
(2) Mr. Pagett, sekretaris yang penuh misteri itu. Dia menjadi pusat perhatianku
karena begitu berkeras untuk mendapatkan Kamar 17. N.B. - Cari tahu apakah dia
ikut Sir Eustace Pedler. (3) Pendeta Edward Chichester. Aku ingin tahu tentang dia karena dia begitu
keras kepala ingin mendapat Kamar 17. Mungkin itu disebabkan oleh temperamennya
yang aneh. Sifat keras kepala bisa menunjukkan sesuatu yang luar biasa.
Aku bertekad bahwa suatu percakapan dengan Pendeta Chichester tak boleh
dilewatkan. Setelah cepat-cepat mengikatkan sapu tanganku ke rambutku, aku naik lagi ke dek
dengan tekad bulat. Aku beruntung. Orang yang kucari sedang bersandar di pagar
kapal sambil minum kaldu. Aku mendatanginya.
"Saya minta maaf atas peristiwa Kamar 17," kataku semanis mungkin.
"Mendendam itu dilarang oleh agama," kata Pendeta Chichester dengan nada dingin.
"Tapi petugas pasasi jelas telah menjanjikan kamar itu pada saya."
"Petugas pasasi adalah orang-orang yang sibuk sekali, bukan?" kataku. "Wajar
kalau mereka kadang-kadang lupa."
Pendeta Chichester tak menyahut.
"Apakah baru kali ini Anda bepergian ke Afrika Selatan?" tanyaku lagi, sekadar
untuk memperpanjang percakapan.
"Ke Afrika selatan memang yang pertama kali. Tapi dua tahun terakhir ini saya
bekerja di antara suku-suku kanibal di Afrika Timur."
"Mendebarkan sekali! Barangkali Anda sering mengalami lolos dari lubang jarum,
ya?" "Lolos dari lubang jarum?"
"Maksud saya, lolos dari pengejaran mereka untuk dimakan."
"Soal-soal yang suci tak boleh dibahas dengan sembrono, Nona Beddingfeld."
"Saya tak pernah mendengar bahwa kanibalisme itu sesuatu yang suci," balasku
tersinggung. Baru saja mengucapkan kata-kata itu, aku mendapat gagasan lain. Kalau memang
benar Pendeta Chichester tinggal di pedalaman Afrika selama dua tahun terakhir
ini, mengapa kulitnya tak kelihatan bekas tersengat matahari" Kulitnya merah
muda dan putih seperti bayi. Pasti ada yang tak beres dengan orang ini. Tapi
sikap dan bicaranya benar-benar menunjukkan kependetaannya. Barangkali bahkan
agak berlebihan. Apakah dia bukan seorang pendeta sandiwara"
Aku mengingat-ingat kembali para pendeta yang pernah kukenal di Little Hampsley.
Ada yang kusukai, ada yang tidak. Tapi jelas tak ada seorang pun yang sama
dengan Pendeta Chichester. Mereka itu semua manusiawi - sedang yang seorang ini
sucinya berlebihan. Aku sedang memikir-mikirkan semuanya itu, waktu Sir Eustace Pedler lewat di dek.
Tepat di dekat Pendeta Chichester, dia membungkuk dan memungut secarik kertas
yang diberikannya pada pendeta itu sambil berkata, "Ada yang jatuh."
Dia berjalan terus tanpa berhenti lebih lama, dan karenanya mungkin tak melihat
betapa terkejutnya Pendeta Chichester. Tapi aku melihatnya. Apa pun yang jatuh
tadi, telah membuatnya kacau sekali setelah dikembalikan. Wajahnya jadi pucat
kebiruan seperti orang sakit. Kertas itu diremasnya kuat-kuat. Kecurigaanku jadi
berlipat ganda. Dia menoleh padaku lalu cepat-cepat memberikan penjelasan.
"Anu - tadi itu suatu bagian dari khotbah yang sedang saya karang," katanya dengan
senyum kecut. "Oh!" kataku sopan.
Suatu bagian dari khotbah! Bisa saja! Tidak, Pak Pendeta - alasanmu terlalu lemah!
Dia segera meninggalkan aku setelah menggumamkan suatu alasan.
Alangkah senangnya aku bila aku yang memungut kertas itu tadi, bukan Sir Eustace
Pedler! Satu hal sudah jelas, Pendeta Chichester tak bisa disingkirkan dari
daftar orang-orang yang kucurigai. Aku bahkan lebih cenderung untuk menempatkan
namanya paling atas dari yang tiga orang itu.
Setelah makan siang, waktu aku masuk ke ruang istirahat untuk minum kopi, aku
melihat Sir Eustace dan Mr. Pagett, duduk bersama Nyonya Blair dan Kolonel Race.
Nyonya Blair mengajakku sambil tersenyum, jadi aku menggabungkan diri dengan
mereka. Mereka sedang bercakap-cakap tentang Itali.
"Tapi itu benar-benar menyesatkan," kata Nyonya Blair bertahan. "Bukankah Aqua
calda berarti air dingin - bukan panas."
"Pasti Anda tak pernah belajar bahasa Latin," kata Sir Eustace sambil tersenyum.
"Kaum pria suka menyatakan kelebihannya dalam bahasa Latin," kata Nyonya Blair.
"Padahal saya suka melihat bahwa kalau kita minta mereka menerjemahkan bahasa
Latin yang tertulis di gereja-gereja tua, mereka tak pernah bisa! Mereka
mendehem-dehem dan tergagap-gagap, lalu berusaha melepaskan diri."
"Memang benar," kata Kolonel Race. "Saya selalu berbuat begitu."
"Tapi saya suka pada orang-orang Itali," lanjut Nyonya Blair. "Mereka suka
menolong - tapi, ada pula segi negatifnya yang memalukan. Bila kita menanyakan
jalan ke suatu tempat umpamanya, dia tidak mengatakan 'mula-mula ke kanan, lalu
ke kiri', atau semacamnya. Tidak! Mereka menyebutkan serangkaian nama tempat.
Dan kalau kita memandanginya dengan kebingungan, dituntunnya saja kita dan
diantarnya sendiri ke tempat itu."
"Begitukah pengalamanmu waktu di Florence, Pagett?" tanya Sir Eustace, sambil
menoleh dan tersenyum pada sekretarisnya.
Entah mengapa, pertanyaan itu kelihatannya mengejutkan Mr. Pagett. Dia terbatabata dan wajahnya memerah.
"Oh, ya - eh, ya begitulah."
Kemudian, setelah menggumamkan alasan-alasan dan meminta maaf, dia bangkit lalu
meninggalkan meja. "Saya jadi curiga kalau-kalau Guy Pagett telah melakukan perbuatan yang tak baik
di Florence," kata Sir Eustace, sambil memandangi sekretarisnya yang sudah


Pria Bersetelan Coklat The Man In The Brown Suit Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjauh. "Setiap kali kita menyebutkan Florence atau Itali, dia mengalihkan
bahan percakapan, atau buru-buru melarikan diri."
"Mungkin dia telah membunuh seseorang di sana," kata Nyonya Blair dengan penuh
harapan. "Dia kelihatan - saya harap Anda jangan tersinggung, Sir Eustace - tapi
kelihatannya dia memang bisa membunuh orang."
"Ya. Tapi kadang-kadang saya geli - soalnya saya tahu benar, betapa tunduknya dia
pada undang-undang dan betapa tinggi budinya. Kasihan dia."
"Sudah agak lama juga dia ikut Anda, bukan, Sir Eustace?" tanya Kolonel Race.
"Enam tahun," kata Sir Eustace, sambil menarik napas dalam-dalam.
"Dia pasti sangat berarti bagi Anda," kata Nyonya Blair.
"Berarti" Ya, sangat berarti." Pria yang malang itu kelihatan makin tak senang.
Agaknya, kehebatan Mr. Pagett diam-diam merupakan kesusahan baginya. Kemudian
ditambahkannya dengan lebih meyakinkan. "Tapi wajahnya membayangkan kejujuran,
bukan" Seorang pembunuh tidak akan mau kelihatan seperti seorang pembunuh.
Seperti si Crippen itu. Saya rasa dia adalah orang yang sangat menyenangkan,
padahal dia seorang pembunuh ulung."
"Dia tertangkap di sebuah kapal, kan?" gumam Nyonya Blair.
Terdengar suatu bunyi gemeletuk di belakang kami. Aku cepat-cepat menoleh.
Cangkir kopi Pendeta Chichester terjatuh.
Rombongan kami segera bubar. Nyonya Blair turun untuk tidur, dan aku pergi ke
dek. Kolonel Race menyusulku.
"Anda selalu menghindar, Nona Beddingfeld. Semalam saya mencari-cari Anda pada
acara dansa." "Saya pergi tidur sore-sore," aku menjelaskan.
"Apakah malam ini pun Anda akan melarikan diri lagi" Atau maukah Anda dansa
dengan saya?" "Saya akan senang sekali dansa dengan Anda," gumamku agak malu. "Tapi bagaimana
dengan Nyonya Blair - ?"
"Teman kita, Nyonya Blair itu, tak suka dansa."
"Anda suka?" "Saya suka dansa dengan Anda."
"Oh!" kataku gugup.
Aku agak takut pada Kolonel Race. Tapi aku juga merasa senang. Ini lebih baik
daripada membahas tentang tengkorak-tengkorak yang sudah menjadi fosil, dengan
profesor-profesor tua yang membosankan! Dan Kolonel Race benar-benar memenuhi
bayanganku mengenai pria Rhodesia yang pendiam dan tegas. Mungkin kelak aku
kawin dengan dia! Aku memang belum dilamarnya, tapi dalam kepramukaan ada
semboyan, "Siaplah Selalu!" Dan semua wanita, mau tak mau, suka menganggap
setiap pria yang mereka temui sebagai calon suami bagi dirinya sendiri atau bagi
teman terdekatnya. Malam itu aku dansa beberapa kali dengan dia. Dia pandai dansa. Setelah selesai
dansa, aku ingin pergi tidur. Tapi dia mengajak berjalan-jalan di dek dulu. Tiga
kali kami berputar-putar, dan akhirnya kami duduk di kursi dek. Tak ada orang
lain di tempat itu. Beberapa lamanya kami bercakap-cakap tanpa ujung pangkal.
"Tahukah Anda, Nona Beddingfeld" Saya rasa saya pernah bertemu dengan Ayah Anda.
Dalam bidangnya, beliau itu sangat menarik, dan saya suka. sekali bidang itu.
Saya juga pernah melakukan penyelidikan seperti beliau, meskipun hanya secara
sederhana sekali. Waktu saya berada di daerah Dordogne - "
Percakapan kami jadi bersifat teknis. Kata-kata Kolonel Race bukan omong kosong.
Dia banyak tahu tentang hal itu. Tapi kadang-kadang dia membuat kesalahan yang
aneh - yang kuanggap saja merupakan salah ucap. Antara lain dikatakannya bahwa
periode Mousterian itu menyusul periode Aurignacian - suatu kesalahan besar bagi
seseorang yang mengaku tahu bidang itu. Tapi dengan cepat dia bisa menangkap
pembetulanku dan menutupi kesalahannya.
Pukul dua belas aku baru kembali ke kamarku. Aku masih bertanya-tanya mengenai
pertentangan-pertentangan aneh dalam percakapan kami tadi. Mungkinkah dia telah
mempersiapkan diri secara khusus untuk pertemuan tadi itu - bahwa dia sama sekali
tak tahu apa-apa tentang arkeologi" Aku menggeleng. Aku merasa kurang puas
dengan penyelesaian itu. Pada saat aku hampir tertidur, aku tiba-tiba duduk, karena suatu gagasan
terkilas di kepalaku. Apakah dia yang ingin memancing aku" Apakah kesalahankesalahan yang dibuatnya tadi itu semacam test - untuk melihat apakah aku benarbenar tahu tentang bidang itu. Dengan kata lain, dia curiga bahwa aku bukanlah
Anne Beddingfeld yang sebenarnya.
Mengapa" BAB XII (Kutipan dari Buku Harian Sir Eustace Pedler)
ADA yang harus dikatakan mengenai kehidupan di kapal. Kehidupan itu tenang.
Rambutku yang sudah ubanan tidak memungkinkan aku mengikuti permainan-permainan seperti lomba makan apel, membawa telur dengan sendok, dan lain-lain - yang
menyenangkan yang begitu banyak di kapal, meskipun aku memang tak pernah
mengerti kesenangan apa yang didapatkan orang dari permainan-permainan itu. Di
dunia ini memang banyak orang bodoh. Kita memuji Tuhan yang telah menciptakan
mereka, dan kita menghindar saja dari mereka.
Untunglah aku ini seorang pelaut yang baik sekali. Pagett tidak. Kasihan dia.
Dia sudah mulai mabuk begitu kami keluar dari Solent. Kurasa, yang menyebut
dirinya sekretarisku yang seorang lagi itu, juga mabuk laut. Soalnya dia tak
pernah muncul. Tapi mungkin juga itu bukan karena dia mabuk melainkan karena
alasan diplomatik tingkat tinggi. Aku senang karena dia tidak menggangguku.
Penumpang-penumpang kapal kebanyakan tak menyenangkan. Hanya ada dua orang
pemain bridge yang lumayan dan seorang wanita yang lumayan - Nyonya Clarence
Blair. Aku pernah bertemu dengannya di kota. Tak banyak wanita yang punya rasa
humor seperti dia. Aku suka bercakap-cakap dengannya. Sebenarnya aku akan lebih
suka lagi sekiranya tak ada keledai berkaki panjang yang pendiam, yang menempel
terus padanya seperti lintah. Tak masuk di akalku bahwa Kolonel Race itu bisa
merupakan hiburan bagi Nyonya Blair. Pria itu memang tampan, tapi sangat
membosankan. Salah seorang pria kuat dan pendiam yang biasanya didambakan oleh
novelis-novelis wanita dan anak-anak gadis.
Guy Pagett terhuyung-huyung di dek setelah kami meninggalkan Madeira, dan mulai
lagi ngoceh tentang pekerjaan dengan suara yang masih serak. Mengapa masih ada
juga orang yang mau bekerja di kapal" Aku memang sudah berjanji pada penerbitku
untuk menyerahkan naskah 'Kenang-kenanganku' di awal musim panas ini. Tapi
persetan dengan itu! Siapa sih yang mau membaca buku kenang-kenangan" Palingpaling nenek-nenek di pinggir kota. Dan berapalah banyaknya kenang-kenanganku"
Selama hidupku aku memang sudah bertemu dan bergaul dengan beberapa orang
terkenal. Dengan bantuan Pagett, aku telah mengumpulkan beberapa anekdot yang
tak lucu tentang mereka. Dan terus terang, Pagett terlalu jujur untuk pekerjaan
semacam itu. Tak dibiarkannya aku membuat anekdot tentang orang-orang yang
kukatakan telah kujumpai, padahal sebenarnya belum pernah.
Aku memaksakan diri untuk menunjukkan kebaikan hatiku padanya.
"Kau masih kelihatan sakit sekali," kataku dengan nada ringan. "Sebaiknya kau
berjemur saja di kursi dek. Jangan - jangan membantah. Jangan pikirkan pekerjaan
dulu." Tapi kemudian dia mengeluh tentang perlunya sebuah kamar tambahan.
"Tak ada tempat untuk bekerja di kamar Anda, Sir Eustace. Kamar itu sudah
terlalu penuh dengan kopor-kopor Anda."
Mungkin dia menganggap bahwa kopor-kopor itu hanya mengganggu.
Kujelaskan padanya bahwa kalau orang bepergian, harus membawa pakaian untuk
ganti. Dia tersenyum kecut. Begitulah selalu reaksinya bila aku mulai melucu.
Kemudian dia kembali membicarakan urusannya.
"Sedang kamar saya terlalu kecil, dan tak ada tempat untuk bekerja."
Yang dimaksudnya dengan 'kamarnya yang kecil' itu sebenarnya salah satu kamar
yang terbaik di kapal. "Sayang, kali ini Kapten tak muncul untuk menampung keluhanmu itu," kataku
menyindir. "Atau apakah kau mau memindahkan sebagian barangmu ke kamarku?"
Sindiran sebenarnya berbahaya untuk orang seperti Pagett. Wajahnya langsung
berseri. "Ya, kalau boleh mesin tik dan peti berisi alat-alat tulis itu - "
Peti itu sekian ton beratnya, dan selalu menjadi pokok kesulitan dengan kulikuli pelabuhan. Keinginan Pagett sekarang adalah membebankan peti itu padaku.
Itu selalu merupakan bahan pertengkaran kami. Dia selalu beranggapan bahwa
barang-barang itu merupakan milik pribadiku yang khusus. Sebaliknya, aku
beranggapan bahwa untuk mengurus barang-barang itulah maka aku menggaji seorang
sekretaris. "Kita cari saja kamar tambahan," kataku buru-buru.
Soalnya sebenarnya sederhana sekali, tapi Pagett adalah orang yang menyukai
misteri. Esok harinya dia datang padaku dengan wajah orang yang mengajak
berkomplot. "Bukankah Anda mengatakan bahwa saya boleh menempati Kamar 17 sebagai kantor?"
"Ya. Ada apa" Apakah peti alat-alat tulis itu tak muat masuk di pintunya?"
"Pintu semua kamar sama saja lebarnya," sahut Pagett serius. "Tapi Sir Eustace,
ada sesuatu yang aneh dengan kamar itu."
Aku lalu teringat akan buku yang menceritakan tentang tempat tidur yang
misterius di sebuah kapal.
"Apakah kamar itu ada hantunya?" tanyaku. "Bukankah kita tidak akan tidur di
kamar itu, jadi biar saja. Hantu tidak mengganggu mesin tik."
Pagett mengatakan bahwa bukan hantu yang menjadi soal, melainkan bahwa dia sama
sekali tidak mendapat Kamar 17 itu. Dikisahkannya suatu cerita panjang yang
berbelit-belit. Ceritanya, dia dan seseorang yang bernama Tuan Chichester, dan
seorang gadis bernama Beddingfeld, bertengkar hebat berebut kamar itu. Jelas
bahwa gadis itu yang menang dan kelihatannya Pagett kesal sekali.
"Baik Kamar 13 maupun lebih baik," ulangnya, "tapi mereka melihatnya saja pun
tak mau." "Yaah," kataku sambil menahan diri untuk tidak menguap, "kau sendiri pun tak mau
melihatnya, kan Pagett?"
Dia melihatku dengan pandangan menegur.
"Tapi Anda sendiri mengatakan bahwa saya harus memperoleh Kamar 17."
Rupanya dia menyesali aku.
"Pagett," kataku jengkel, "aku menyebutkan nomor 17, karena kebetulan kulihat
kamar itu kosong. Tapi bukan maksudku supaya kau mempertahankannya mati-matian nomor 13 atau 28, sama saja."
Dia tampak tersinggung. "Tapi ada sesuatu lagi," katanya ngotot. "Memang Nona Beddingfeld yang mendapat
kamar itu, tapi tadi pagi saya melihat Chichester keluar dari kamar itu dengan
menyelinap." Aku melihat padanya dengan marah.
"Bila kau mencoba menceritakan skandal tentang Chichester, yang misionaris itu meskipun dia benar-benar manusia berbisa - dengan Anne Beddingfeld yang manis, aku
sama sekali tak percaya," kataku dingin. "Anne Beddingfeld itu gadis yang manis
sekali - kakinya bagus sekali. Aku yakin kakinyalah yang terbagus di kapal ini."
Pagett tak suka aku memuji kaki Anne Beddingfeld. Dia sendiri tak pernah
memperhatikan kaki orang - atau mungkin, kalaupun melihat, dia lebih baik mati
daripada mengakuinya. Dia juga beranggapan bahwa aku berpikiran dangkal karena
menghargai hal-hal seperti itu. Tapi aku suka membuat Pagett jengkel, jadi
sengaja kulanjutkan, "Karena kau sudah berkenalan dengan gadis itu, sebaiknya besok kauajak dia makan
malam semeja dengan kita. Besok malam ada acara pesta Pakaian Aneh. Ngomongngomong, sebaiknya kau pergi ke tukang pangkas dan pilihkan aku pakaian yang
aneh." "Masakan Anda akan pergi dengan berpakaian aneh-aneh?" kata Pagett dengan nada
ngeri. Pasti dianggapnya hal itu tak sepadan dengan harga diriku. Dia tampak terkejut
dan menderita. Sebenarnya aku tak punya niat untuk mengenakan pakaian aneh-aneh,
tapi melihat Pagett kebingungan aku jadi makin tergoda.
"Apa maksudmu?" kataku. "Tentu aku akan mengenakan pakaian aneh-aneh itu. Dan
kau juga." Pagett tampak ngeri. "Pergilah ke tukang pangkas dan urus itu," kataku mengakhiri pembicaraan.
"Saya rasa dia tak punya pakaian dalam ukuran luar biasa," gumam Pagett, sambil
memandangi aku, mengira-ngira besar badanku.
Tanpa bermaksud apa-apa, Pagett kadang-kadang bisa melawan.
"Lalu pesan juga meja untuk enam orang di ruang makan," kataku. "Kita akan
mengundang Kapten, gadis yang berkaki bagus itu, Nyonya Blair - "
"Anda tidak akan bisa mengundang Nyonya Blair, tanpa Kolonel Race," sela Pagett.
"Kolonel itu sudah mengundang wanita itu untuk makan bersamanya, saya mendengar
sendiri." Pagett selalu tahu segalanya. Aku jadi jengkel.
"Siapa Race itu?" tanyaku geram.
Seperti sudah kukatakan, Pagett selalu tahu segalanya - atau menganggap dirinya
tahu. Dia memandang dengan pandangan misterius lagi.
"Kata orang, dia agen Dinas Rahasia, Sir Eustace. Orangnya sok. Tapi saya tak
tahu betul." "Dasar Pemerintah!" seruku. "Di kapal ini ada seseorang yang seharusnya membawa
dokumen rahasia, tapi Pemerintah malah menyerahkannya pada orang luar, yang
hanya minta supaya tak diganggu."
Tatapan Pagett jadi lebih misterius. Dia mendekatiku selangkah lebih dekat, lalu
berbisik, "Saya yakin semua peristiwa ini aneh, Sir Eustace. Coba Anda ingat saja penyakit
saya sebelum kita berangkat - "
"Pagett," selaku dengan kasar, "itu adalah sakit perut. Sakit perutmu itu memang
sering kambuh." Pagett bergidik sedikit. "Itu bukan sakit perut biasa. Kali ini - "
"Demi Tuhan, jangan ceritakan tentang kondisimu secara terinci begitu, Pagett.
Aku tak mau mendengarnya."
"Baiklah, Sir Eustace. Tapi saya rasa, saya telah diracuni dengan sengaja."
"Oh!" kataku. "Rupanya kau sudah bicara dengan si Rayburn."
Dia tak membantah. "Pokoknya, Sir Eustace, dia pikir begitu - dan dia memang tahu."
"Ngomong-ngomong, mana anak muda itu?" tanyaku. "Sejak kita naik ke kapal ini,
aku belum melihatnya."
"Katanya dia sakit dan tinggal di kamarnya terus, Sir Eustace." Pagett kembali
berbisik. "Tapi saya yakin itu hanya kamuflase. Dengan begitu dia bisa mengawasi
lebih baik." "Mengawasi apa?"
"Keselamatan kita, Sir Eustace. Kalau-kalau Anda diserang."
"Kau ini penuh curiga, Pagett," kataku. "Kurasa itu pasti dibumbui imajinasimu.
Kalau aku jadi kau, lebih baik kau pergi ke pesta nanti malam dalam pakaian
algojo. Itu sesuai sekali dengan gayamu yang selalu murung."
Kata-kataku membuatnya menutup mulut untuk sementara. Aku pergi naik ke dek.
Gadis yang bernama Beddingfeld sedang asyik bercakap-cakap dengan Pendeta
Chichester. Wanita memang suka pada pendeta.
Orang sebesar aku tak suka membungkuk. Tapi aku berbaik hati untuk memungutkan
secarik kertas yang jatuh melayang ke dekat kaki pendeta itu.
Yang bersangkutan tidak mengucapkan terima kasih atas jerih payahku. Tanpa mauku
aku sempat melihat apa yang tertulis pada kertas itu. Hanya ada satu kalimat.
"Jangan coba bertindak sendiri kalau tidak menghendaki akibat yang lebih buruk!"
Bagus sekali untuk seorang pendeta. Aku jadi ingin tahu siapa Chichester itu
sebenarnya. Dia kelihatan alim sekali. Tapi penampilan sering menyesatkan. Aku
akan menanyai Pagett tentang dia. Pagett selalu tahu segalanya.
Dengan gaya, aku menjatuhkan diri di kursi dek di sebelah Nyonya Blair. Dengan
demikian aku telah mengganggu percakapan empat matanya dengan Race. Kukatakan
bahwa aku tak tahu apa tugas pendeta zaman sekarang.
Kemudian kuundang Nyonya Blair untuk makan malam bersama pada malam pesta
Pakaian Aneh. Race dengan sendirinya ikut terundang juga.
Setelah makan siang, Nona Beddingfeld datang dan minum kopi bersama kami. Aku
tak salah mengenai kaki gadis itu. Memang yang terbagus di seluruh kapal. Aku
pasti akan mengundangnya makan malam juga.
Ingin sekali aku tahu perbuatan salah apa yang telah dilakukan Pagett di
Florence. Setiap kali orang menyebutkan Itali, dia tampak kacau. Sekiranya aku
tak mengenalnya sebagai orang yang sangat berbudi, kurasa aku akan mencurigainya
telah main cinta secara tak terhormat....
Sekarang aku bingung! Bahkan orang-orang yang begitu berbudi pun - Aku akan senang
bila dugaanku memang benar.
Bayangkan, Pagett - dengan suatu rahasia penuh dosa! Hebat sekali!
BAB XIII MALAM itu malam yang aneh sekali.
Satu-satunya kostum yang ada di tukang pangkas yang cukup untukku, adalah
pakaian Teddy si Beruang. Aku mau saja main beruang* (*para pemuda bergaya
menunjukkan kebolehannya di depan gadis yang diincar) dengan gadis-gadis cantik


Pria Bersetelan Coklat The Man In The Brown Suit Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

di malam hari dalam musim dingin di Inggris - tapi untuk daerah khatulistiwa, itu
bukan kostum yang tepat. Bagaimanapun juga aku berhasil menciptakan kegembiraan, dan meraih hadiah pertama
untuk jenis pakaian "yang dibawa ke kapal". Istilah itu memalukan, sebab pakaian
itu hanya kusewa untuk keperluan malam itu. Tapi biarlah, karena tak seorang pun
yang tahu apakah pakaian itu dibuat ataukah dibawa dari darat.
Nyonya Blair tak mau berpakaian aneh. Rupanya dia sepaham dengan Pagett dalam
hal itu. Kolonel Race juga ikut-ikutan. Anne Beddingfeld telah merancang pakaian
gipsy untuknya sendiri. Dia pantas sekali berpakaian begitu. Dengan dalih pusing
kepala, Pagett tak muncul. Untuk menggantikannya kuminta seorang pria kecil yang
aneh, yang bernama Reeves. Dia anggota terhormat Partai Buruh Afrika Selatan.
Meskipun dia mengerikan, aku ingin terus bersamanya, karena dia memberikan
informasi yang kuperlukan. Aku ingin mengerti peristiwa Rand itu dari kedua
belah pihak. Berdansa membuat kita panas. Dua kali aku berdansa dengan Anne Beddingfeld. Dia
pura-pura suka berdansa denganku. Dengan Nyonya Blair satu kali aku dansa. Dia
sama sekali tidak bersusah-payah untuk berpura-pura suka. Aku juga telah
mengorbankan beberapa wanita lain yang penampilannya kusukai.
Kemudian kami turun untuk makan malam kedua kalinya. Aku memesan sampanye.
Pramugara menganjurkan Clicquot 1911, karena itulah yang terbaik yang ada di
kapal. Aku setuju saja. Agaknya dengan minuman itu aku telah berhasil membuka
mulut Kolonel Race. Dia sama sekali tidak pendiam lagi, dan menjadi banyak
bicara. Mula-mula aku senang melihatnya. Kemudian baru kusadari bahwa Kolonel
Race-lah yang sebenarnya menjadi pusat perhatian pesta itu, dan bukan aku. Dia
memperolok-olokkan aku karena aku menulis buku harian.
"Buku itu akan membuka semua rahasia Anda, Pedler."
"Race," kataku, "aku ingin memberitahukan bahwa aku tidaklah sebodoh yang
kaupikir. Mungkin aku membukakan rahasiaku, tapi aku tidak menuliskannya. Bila
aku sudah mati, orang-orang yang menghukumku akan tahu pendapatku tentang banyak
orang, tapi kuragukan apakah mereka akan bisa menambahkan atau mengurangi
pendapat orang tentang diriku. Buku harian itu gunanya untuk mencatat keanehankeanehan orang lain - bukan keanehan-keanehan kita sendiri."
"Tapi kan ada yang disebut pernyataan diri yang tak disadari."
"Di mata seorang psiko-analis, semuanya memang kotor," sahutku.
"Kehidupan Anda pasti menarik, Kolonel Race," kata Nona Beddingfeld, sambil
memandanginya dengan mata lebar yang berbinar.
Begitulah gadis-gadis! Othello menarik hati Desdemona dengan mengisahkan
bermacam-macam cerita padanya, dan sebaliknya Desdemona menarik hati Othello
dengan caranya mendengarkan.
Pokoknya, gadis itu telah berhasil menimbulkan semangat Race. Dia mulai
bercerita tentang singa. Seseorang yang telah menembak banyak singa, dianggap
punya kelebihan dari pria-pria lain. Itu tak adil. Rasanya telah tiba waktunya
aku pun bercerita tentang singa. Kisah yang lebih lucu.
"Ngomong-ngomong," kataku, "saya jadi ingat akan suatu kisah mendebarkan yang
pernah saya dengar. Seorang sahabat saya pergi berburu ke suatu tempat di Afrika
Timur. Pada suatu malam dia keluar dari tendanya untuk suatu keperluan. Dia
dikejutkan oleh suara mengaum. Dia menoleh dan melihat seekor singa sedang
merunduk, siap menerjangnya. Senapannya ditinggal di tenda. Secepat kilat dia
membungkuk, dan singa itu melompat melewati kepalanya. Singa itu marah karena
gagal menerkamnya. Dia mengaum lalu bersiap-siap untuk melompat lagi. Temanku
itu merunduk lagi, dan singa itu lewat di atasnya lagi. Hal itu berulang tiga
kali, tapi kini dia sudah dekat dengan pintu masuk tenda. Dia cepat-cepat masuk
dan meraih senapannya. Waktu dia keluar lagi dengan membawa senapannya, singa
itu sudah pergi. Dia heran sekali. Dia mengendap-endap ke bagian belakang
tendanya, di mana terdapat tanah lapang. Tahu kalian apa yang dilihatnya di
situ" "Singa itu sedang asyik berlatih melompat rendah-rendah berkali-kali - di sana."
Kisahku itu disambut dengan gelak tawa dan tepuk tangan. Aku minum sampanye
lagi. "Pada suatu peristiwa lain," kataku kemudian, "sekali lagi sahabat saya itu
mengalami sesuatu yang aneh. Dia sedang bepergian di Afrika bersama suatu
rombongan. Dia ingin sekali tiba di tempat tujuan sebelum hari panas.
Diperintahkannya anak buahnya untuk mempersiapkan keledai-keledai selagi hari
masih gelap. Mereka mengalami kesulitan karena binatang-binatang itu gelisah.
Setelah akhirnya selesai, mereka berangkat. Keledai-keledai itu lari sekencangkencangnya. Setelah hari siang, barulah mereka tahu mengapa larinya sekencang
ini. Karena gelapnya hari, tanpa sadar anak buah itu telah memasang seekor singa
berpasangan dengan si keledai."
Kelakar itu pun diterima dengan baik. Semua orang di sekeliling meja tertawatawa riang. Tapi kurasa yang membuat orang tertawa paling geli adalah temanku si
Anggota Partai Buruh, yang sejak tadi tetap pucat dan murung yang tiba-tiba
berseru, "Ya, Tuhan! Siapa yang harus melepas singa itu dari kekangnya?"
"Aku harus pergi ke Rhodesia," kata Nyonya Blair. "Mendengar ceritamu, Kolonel
Race, aku jadi tambah ingin pergi. Meskipun perjalanannya mengerikan. Bayangkan
lima hari dalam kereta api!"
"Sebaiknya Anda ikut dalam gerbong pribadi saya," ajakku dengan tulus.
"Oh, Sir Eustace, Anda baik sekali! Apakah Anda bersungguh-sungguh?"
"Tentu saya bersungguh-sungguh!" sergahku, dan aku minum segelas sampanye lagi.
"Tinggal kira-kira seminggu lagi, dan kita akan tiba di Afrika Selatan," desah
Nyonya Blair. "Afrika Selatan," kataku sentimentil. Lalu kuucapkan lagi sebagian dari pidatoku
yang pernah kuucapkan di Colonial Institute. "Apa yang bisa diperlihatkan Afrika
Selatan pada dunia" Apa" Buah-buahan dan hasil-hasil perkebunannya, wolnya,
ternak dan kulitnya, emas dan berliannya - "
Aku nyerocos terus, karena aku tahu bahwa bila aku berhenti, Reeves akan segera
menyela dengan mengatakan bahwa kulit binatangnya tak ada harganya, karena
binatang-binatang itu mati gara-gara terkait pada kawat berduri atau semacamnya.
Dia akan mengorek hal-hal yang lain lagi, dan akhirnya akan menyinggung tentang
kesulitan-kesulitan para buruh tambang di Rand. Dan aku tak mau dituding sebagai
seorang kapitalis. Tapi interupsi datangnya dari orang lain waktu aku
menyebutkan kata sakti 'berlian'.
"Berlian!" seru Nyonya Blair dengan bersemangat.
"Berlian!" sambung Nona Beddingfeld.
Keduanya lalu menoleh pada Kolonel Race.
"Kurasa kau pernah ke Kimberley."
Aku sendiri pernah ke Kimberley, tapi aku tak sempat mengatakannya. Race-lah
yang dihujani pertanyaan-pertanyaan. Bagaimana tambang-tambangnya" Apakah benar
bahwa orang-orang pribumi di sana dikurung dalam perkampungan yang berpagar" Dan
seterusnya. Race menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dan memperlihatkan bahwa dia banyak tahu
tentang hal itu. Dilukiskannya bagaimana cara De Beers mengatur perumahan bagi
orang-orang pribumi dan para pencari berlian itu, dan cara-cara pencegahan
lainnya. "Jadi sama sekali tak ada kemungkinan untuk mencuri berlian-berlian itu?" tanya
Nyonya Blair. Nyata benar rasa kecewanya, seolah-olah kepergiannya ke sana
khusus untuk itu. "Tak ada yang tak mungkin, Nyonya Blair. Pencurian-pencurian tetap terjadi seperti kejadian yang pernah saya ceritakan pada Anda, mengenai seorang pribumi
yang menyembunyikan permata itu dalam lukanya."
"Ya. Tapi maksud saya pencurian besar-besaran?"
"Pernah sekali, baru-baru ini. Tepatnya sebelum perang. Anda pasti ingat
peristiwa itu, Pedler. Anda berada di Afrika Selatan pada saat itu."
Aku mengangguk. "Ceritakan pada kami," seru Nyonya Blair. "Ayolah!"
Race tersenyum. "Baiklah, akan saya ceritakan. Saya rasa kebanyakan dari Anda pernah mendengar
nama Sir Laurence Eardsley, pemilik tambang terkaya di Afrika Selatan" Tambangtambangnya adalah tambang emas. Tapi dia terlibat karena putranya. Kalian tentu
ingat bahwa tak lama sebelum perang, tersiar desas-desus tentang adanya sebuah
tambang baru yang menjanjikan harapan. Tambang itu tersembunyi di bawah batu
karang dalam hutan di British Guiana. Dilaporkan bahwa ada dua orang anak muda
penyelidik, kembali dari daerah Amerika Selatan itu dengan membawa sejumlah
besar berlian kasar. Beberapa di antaranya berukuran besar. Berlian berukuran
kecil sebelumnya pernah ditemukan di daerah di sekitar Sungai Essequibo dan
Sungai Mazaruni. Tapi kedua anak muda itu, yaitu John Eardsley dan sahabatnya
Lucas, menyatakan bahwa mereka telah menemukan bedengan-bedengan deposit karbon
yang luas di hulu kedua sungai itu. Berlian-berliannya di situ beraneka warna,
merah jambu, biru, kuning, hijau, dan putih bersih. Eardsley dan Lucas datang ke
Kimberley, di mana mereka harus menyerahkan permata-permata itu untuk diperiksa.
Pada saat yang sama, telah terjadi suatu perampokan besar di tempat De Beers.
Bila mereka mengirim berlian ke Inggris, permata-permata itu dibungkus dalam
sebuah paket. Paket itu disimpan dalam peti besi yang besar. Dua buah kuncinya
dipegang oleh dua orang, sedang yang tahu kombinasi nomor kuncinya hanya orang
ketiga. Peti besi itu diserahkan ke bank, dan bank itulah yang mengirimkannya ke
Inggris. Setiap paket, secara kasar bernilai 100.000 pound.
"Pada saat itu bank melihat ada sesuatu yang tak beres dengan lak paket itu.
Maka dibukalah paket itu, dan ternyata isinya bongkah-bongkah gula!
"Entah bagaimana kejadian sebenarnya, sampai John Eardsley-lah yang dicurigai.
Orang ingat bahwa waktu masih belajar di Universitas Cambridge dia agak liar,
dan bukan hanya sekali ayahnya harus melunasi utang-utangnya. Pokoknya,
tersiarlah bahwa ceritanya tentang ladang-ladang berlian di Amerika Selatan itu
hanya isapan jempol belaka. John Eardsley ditangkap. Dia kedapatan memiliki
sebagian dari berlian-berlian De Beers.
"Tapi perkara itu tak pernah sampai ke pengadilan. Sir Laurence Eardsley
membayar sejumlah uang seharga berlian-berlian yang hilang itu, dan De Beers pun
tak menuntut ke pengadilan. Tak pernah diketahui bagaimana perampokan itu
sebenarnya terjadi. Tapi mendengar bahwa putranya menjadi pencuri, hancurlah
hati bangsawan tua itu. Tak lama setelah itu dia mendapat serangan jantung.
Sedang si John, nasibnya boleh dikatakan masih baik. Dia mendaftarkan diri
sebagai tentara, dia ikut perang, berjuang dengan berani dan tewas. Dengan
demikian dia menghapus noda pada namanya. Sir Laurence sendiri mendapat serangan
jantung untuk ketiga kalinya, dan meninggal kira-kira sebulan yang lalu. Dia
meninggal tanpa meninggalkan wasiat, dan kekayaannya yang sangat besar itu jatuh
ke tangan seorang keluarga jauhnya yang hampir-hampir tak dikenalnya."
Kolonel itu berhenti. Lalu timbullah suara kacau-balau, ada yang berseru, ada
yang bertanya. Agaknya ada sesuatu yang menarik perhatian Nona Beddingfeld. Dia
menoleh. Karena mendengar dia berseru dengan suara tertahan, aku pun ikut
menoleh. Rayburn, sekretarisku yang baru, berdiri di ambang pintu. Di balik wajahnya yang
merah karena matahari, dia tampak pucat seolah-olah baru saja melihat hantu.
Rupanya kisah Race sangat menyentuh hatinya.
Tiba-tiba dia sadar bahwa kami mengawasinya. Dengan cepat dia berbalik dan
menghilang. "Kenalkah Anda pada orang itu?" tanya Anne Beddingfeld padaku.
"Itu sekretarisku yang kedua," aku menjelaskan. "Namanya Rayburn. Selama ini dia
tak sehat." Gadis itu mempermainkan roti yang ada di piringnya.
"Sudah lamakah dia menjadi sekretaris Anda?"
"Belum," kataku hati-hati.
Tapi kewaspadaan tak ada gunanya bagi seorang wanita. Makin banyak kita
berahasia, makin kuat dia mendesak. Dan Anne Beddingfeld tak malu-malu
melakukannya. "Berapa lama?" desaknya terang-terangan.
"Yah - baru saja, sebelum aku berangkat. Seorang teman lama menganjurkan untuk
menerimanya." Dia tak berkata apa-apa lagi, dan diam merenung. Aku menoleh pada Race karena
merasa bahwa kini giliranku untuk memperlihatkan perhatianku pada kisahnya.
"Tahukah Anda siapa keluarga jauh Sir Laurence itu, Race?"
"Tentu saya tahu," sahutnya dengan tersenyum. "Saya sendirilah orangnya!"
BAB XIV (Kembali ke Cerita Anne) PADA malam pesta dengan pakaian aneh-aneh itu, kuputuskan bahwa aku harus
menceritakan rahasiaku pada seseorang. Selama ini aku main sendiri, dan aku
menyukainya. Kini tiba-tiba semuanya berubah. Aku tak percaya pada penilaianku
sendiri, dan untuk pertama kalinya aku merasa kesepian dan sedih.
Aku duduk di tepi tempat tidur, masih dalam pakaian gipsyku. Aku
mempertimbangkan situasinya. Pertama-tama aku berpikir tentang Kolonel Race.
Kelihatannya dia suka padaku. Aku yakin bahwa dia pasti akan berbaik hati. Dan
dia bukan orang bodoh. Tapi setelah kupikir-pikir lagi, aku jadi bimbang. Dia
orang yang biasa memerintah. Pasti dia akan mengambil alih seluruh persoalan
ini. Padahal misteri ini adalah milikku! Ada pula alasan-alasan lain, yang tak
mau aku mengakuinya, bahkan pada diriku sendiri. Dengan alasan-alasan itu akan
lebih baik kalau aku tidak menceritakan rahasiaku pada Kolonel Race,
Lalu aku berpikir tentang Nyonya Blair. Dia juga begitu baik padaku. Aku tak mau
menipu diri bahwa hal itu ada artinya bagiku. Mungkin itu hanya kesukaannya
untuk sesaat saja. Tapi bagaimanapun juga, aku telah berhasil menarik
perhatiannya. Dia adalah wanita yang telah banyak mengalami sensasi yang biasa
dalam hidup. Aku berniat akan memberinya sesuatu yang luar biasa! Aku suka akan
sikap santainya, kurangnya rasa sentimentilnya, dan karena tak pernah
menunjukkan sikap dibuat-buat.
Tekadku sudah bulat. Kuputuskan untuk segera mencarinya. Dia pasti belum tidur.
Kemudian aku ingat bahwa aku tak tahu nomor kamarnya. Pramugari yang bertugas
malam mungkin tahu. Kubunyikan bel. Agak lama barulah datang seorang pria. Dia langsung memberikan
informasi yang kuminta. Kamar Nyonya Blair adalah nomor 71. Pramugara itu minta
maaf atas keterlambatannya. Dikatakannya bahwa dia harus mengurus semua kamar.
"Lalu ke mana pramugari itu?" tanyaku.
"Setelah jam sepuluh malam mereka semua tak bertugas lagi."
"Bukan - maksud saya pramugari yang bertugas malam."
"Tak ada pramugari yang bertugas malam, Nona."
"Tapi - tapi, kemarin malam, jam satu seorang pramugari datang kemari."
"Pasti Anda bermimpi, Nona. Tak ada pramugari yang bertugas setelah jam sepuluh
malam." Dia pergi, dan tinggallah aku sendiri mencerna informasi baru ini. Siapakah
wanita yang datang ke kamarku pada malam tanggal 22 itu" Aku jadi makin geram
waktu menyadari betapa cerdik dan beraninya lawan-lawanku yang tak kukenal itu.
Kemudian dengan tekad bulat, kutinggalkan kamarku sendiri dan pergi ke kamar
Nyonya Blair. Kuketuk pintunya.
"Siapa?" tanyanya dari dalam.
"Saya - Anne Beddingfeld."
"Oh, masuklah, Gadis Gipsy."
Aku masuk. Pakaian-pakaian berserakan, sedang Nyonya Blair sendiri memakai
kimono yang tercantik yang pernah kulihat. Warnanya jingga, keemasan, dan hitam.
Aku jadi tergiur melihatnya.
"Nyonya Blair," kataku langsung, "saya ingin menceritakan kisah hidup saya - tapi
kalau sekarang tidak terlalu larut bagi Anda dan Anda tidak akan merasa bosan."
"Sama sekali tidak. Aku selalu benci tidur cepat-cepat," kata Nyonya Blair
dengan wajah berkerut karena senyum yang menyenangkan. "Aku akan senang sekali
mendengarkan kisah hidupmu. Kau makhluk yang luar biasa, Gadis Gipsy. Tak akan
ada seorang pun yang mau masuk ke kamarku jam satu malam, untuk menceritakan
kisah hidupnya. Terutama karena selama berminggu-minggu ini kau telah membuatku
menekan rasa ingin tahuku! Padahal aku tak biasa ditolak. Duduklah di sofa, dan
keluarkan isi hatimu."
Aku pun menceritakan semua kisahku. Hal itu makan waktu lama, karena hal-hal
yang kecil pun kuceritakan dengan teliti. Dia menarik napas panjang setelah aku
selesai. Tapi dia tidak mengucapkan kata-kata yang kuharapkan. Dia hanya melihat
padaku, tertawa kecil lalu berkata,
"Tahukah kau, Anne, kau gadis yang luar biasa! Tak pernahkah kau merasa gentar?"
"Gentar?" tanyaku tak mengerti.
"Ya, gentar! Berangkat seorang diri tanpa uang sama sekali. Apa yang akan
kaulakukan di negeri orang, bila uangmu habis?"
"Tak ada gunanya memusingkan hal itu sebelum keadaannya terjadi. Uang saya masih
banyak. Uang dua puluh lima pound yang diberi Nyonya Flemming masih utuh. Lalu
kemarin saya menang lotere. Tambahan lima belas pound lagi. Wah, banyak sekali
uang saya. Empat puluh pound!"
"Ya, Tuhan! Banyak katamu sekian itu!" gumam Nyonya Blair. "Aku tidak akan mampu
berbuat begitu, Anne. Padahal aku boleh berkata bahwa aku ini pemberani. Tapi
aku tidak akan bisa berangkat dengan gembira, dengan hanya beberapa pound dalam
sakuku, tanpa tahu apa yang akan kulakukan dan ke mana aku akan pergi."
"Tapi justru di situlah seninya," seruku. Aku jadi bersemangat. "Kita jadi


Pria Bersetelan Coklat The Man In The Brown Suit Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memiliki semangat petualangan."
Dia memandangi aku, mengangguk-angguk, lalu tersenyum.
"Kau beruntung, Anne! Tak banyak orang di dunia ini yang berperasaan seperti
kau." "Nah," kataku tak sabaran, "bagaimana pendapat Anda tentang semua cerita saya
itu, Nyonya Blair?" "Kurasa mendebarkan sekali! Pertama-tama, kau tak boleh lagi menyebutku Nyonya
Blair. Suzanne, lebih baik. Setuju?"
"Suka sekali, Suzanne."
"Bagus. Sekarang mari kita tinjau persoalan ini. Kau katakan bahwa sekretaris
Sir Eustace - bukan si Pagett yang bermuka tirus itu, tapi yang seorang lagi kaukenali sebagai orang yang ditikam dan mencari perlindungan ke kamarmu?"
Aku mengangguk. "Sekarang ada dua mata rantai yang menghubungkan Sir Eustace dengan kekacauan
ini. Wanita itu terbunuh di rumah dia, dan sekretaris dia pula yang ditikam jam
satu malam. Aku tidak mencurigai Sir Eustace sendiri, tapi bukankah tak mungkin
kalau semuanya kebetulan saja. Pasti ada hubungannya, meskipun dia sendiri tidak
menyadarinya. "Lalu ada pula peristiwa aneh dengan pramugari itu," lanjutnya sambil merenung.
"Bagaimana tampangnya?"
"Aku kurang memperhatikannya. Aku kacau sekali dan tegang - dan pramugari itu
merupakan antiklimaks. Tapi - tunggu - ya, wajahnya rasanya kukenal. Tentu saja,
karena aku telah melihat wajah itu di kapal ini."
"Kau merasa mengenal wajahnya," kata Suzanne. "Yakinkah kau bahwa dia bukan
seorang laki-laki?" "Dia memang tinggi sekali," kuakui.
"Hmm. Kurasa tak mungkin Sir Eustace. Pagett juga tak mungkin - Tunggu!"
Diambilnya secarik kertas lalu mulai menggambar dengan bersemangat. Ditelitinya
hasilnya sambil memiringkan kepalanya.
"Mirip sekali dengan Pendeta Chichester, meskipun belum sempurna." Kertas itu
diberikannya padaku. "Inikah pramugarimu itu?"
"Eh, benar," seruku. "Suzanne, kau pandai sekali!"
Dia membantah pujian itu dengan isyarat.
"Aku sudah lama mencurigai makhluk yang bernama Chichester itu. Ingatkah kau
bahwa cangkir kopinya terjatuh, dan dia jadi pucat kebiruan, waktu kita
berbicara tentang Crippen hari itu?"
"Dan dia mencoba merebut kamar 17!"
"Ya, sebegitu jauh semuanya cocok. Tapi apa artinya semua ini" Apa yang
seharusnya terjadi jam 1 malam di kamar 17 itu" Rasanya tak mungkin penikaman
atas diri sekretaris itu. Kejadian begitu tak bisa ditentukan waktunya pada jam
tertentu, pada hari tertentu, dan di suatu tempat tertentu. Tidak, itu pasti
suatu janji pertemuan, dan dia sedang menuju tempat itu waktu dia ditikam. Tapi
dengan siapakah janji itu" Jelas bukan dengan kau. Mungkin dengan Chichester.
Atau mungkin juga dengan Pagett."
"Rasanya itu tak mungkin," bantahku, "mereka bisa bertemu setiap saat."
Beberapa saat lamanya kami terdiam. Lalu Suzanne menempuh jalan lain.
"Mungkinkah ada sesuatu yang tersembunyi dalam kamar itu?"
"Itu lebih masuk akal," kataku membenarkan. "Itu juga bisa menjelaskan mengapa
barang-barangku diobrak-abrik esok paginya. Tapi aku yakin di tempat itu tak ada
apa-apa yang tersembunyi."
"Apakah tak mungkin anak muda itu menyelipkan sesuatu ke dalam lacimu malam
itu?" Aku menggeleng. "Pasti terlihat olehku."
"Mungkinkah kertasmu yang berharga itu yang mereka cari?"
"Mungkin, tapi rasanya tak masuk akal. Itu hanya catatan jam dan tanggal - dan itu
sudah lewat." Suzanne mengangguk. "Ya, benar juga. Jadi bukan kertas itu. Ngomong-ngomong, adakah kertas itu
padamu sekarang" Aku ingin melihatnya."
Kertas itu memang kubawa sebagai Bukti. A, dan kuserahkan padanya. Suzanne
mengamatinya sambil mengerutkan dahinya.
"Di belakang angka 17 ada titik. Mengapa di belakang angka 1 tak ada titiknya?"
"Tapi ada jarak," aku mengingatkannya.
"Ya, memang ada jarak, tapi - "
Tiba-tiba dia bangkit lalu mendekatkannya ke lampu sedekat mungkin. Sikapnya
menunjukkan kekacauan yang tertekan,
"Anne, ini bukan titik! Ini cacat pada kertasnya! Cacat pada kertasnya,
mengertikah kau" Jadi kita harus mengabaikannya, dan memperhatikan jarak-jarak
itu - !" Aku ikut berdiri di dekatnya. Aku membaca angka-angka itu sebagaimana sekarang
tampak olehku. "1 71 22." "Kaulihat?" kata Suzanne. "Angka itu sama, tapi jadi tak serupa. Waktunya tetap
jam 1, dan pada tanggal 22 - tapi kamarnya, kamar nomor 71! Kamarku ini, Anne!"
Kami bertatapan. Kami senang dengan penemuan kami yang baru itu dan asyik dengan
kegembiraan yang meluap, seolah-olah kami sudah berhasil menyelesaikan seluruh
misteri itu. Kemudian aku serasa terhempas ke bumi.
"Tapi Suzanne, di sini tidak terjadi apa-apa pada jam 1 tanggal 22, bukan?"
Wajahnya juga membayangkan kekecewaan.
"Tidak - tak ada apa-apa."
Aku mendapatkan pikiran baru.
"Ini semula bukan kamarmu sendiri, bukan, Suzanne" Maksudku bukan kamar yang
kaupesan mula-mula?"
"Bukan, petugas pasasi menukarnya."
"Aku ingin tahu apakah sebelum berangkat telah dipesan orang lain - lalu orang itu
tak muncul" Kurasa kita bisa mencari tahu tentang hal itu."
"Kita tak perlu mencari tahu, Gadis Gipsy," seru Suzanne. "Aku sudah tahu!
Petugas pasasi itu yang menceritakannya padaku. Kamar ini dipesan oleh seseorang
yang bernama Nyonya Grey - tapi rupanya Nyonya Grey hanya nama samaran dari Madame
Nadina yang terkenal itu. Dia adalah penari Rusia yang sangat terkenal. Dia
memang tak pernah muncul di London, tapi orang Paris tergila-gila padanya. Dia
sukses besar di sana, selama perang. Kurasa dia bergaul dengan orang-orang
jahat, tapi dia cantik sekali. Petugas pasasi itu menyatakan penyesalannya yang
setulus-tulusnya bahwa dia sampai tak berada di kapal ini. Itu dikatakannya
waktu dia memberikan kamar ini padaku. Lalu Kolonel Race juga bercerita banyak
tentang dia. Agaknya banyak cerita-cerita aneh yang tersiar di Paris. Dia
dicurigai melakukan kegiatan mata-mata, tapi orang tak bisa membuktikan apa-apa.
Kurasa Kolonel Race berada di sana khusus untuk keperluan itu. Dia menceritakan
beberapa hal yang menarik. Katanya ada suatu kumpulan yang terorganisir, yang
sama sekali tidak terdiri dari orang-orang Jerman. Bahkan ketuanya, yang selalu
disebut dengan panggilan 'Kolonel', diduga orang Inggris. Tapi orang tak pernah
bisa mengenalinya. Tapi jelas bahwa dialah yang mendalangi suatu organisasi yang
cukup kuat, yang terdiri dari penjahat-penjahat Internasional. Perampokan,
kegiatan mata-mata, pembunuhan, semua dijalankannya - dan biasanya ada seseorang
yang tak bersalah, yang dijadikan kambing hitam dan harus menjalani hukumannya.
Dia tentu seseorang yang luar biasa pintarnya! Wanita penari itu diduga salah
seorang kaki tangannya. Tapi orang tak bisa membuktikannya. Ya, Anne, kita
berada di jalur yang benar. Pasti Nadina-lah wanita yang terlibat dalam urusan
ini. Janji pertemuan jam I malam tanggal 22 itu adalah janji dengan dia, di
kamar ini. Tapi mana dia" Mengapa dia tak ikut berlayar?"
Sesuatu terkilas di benakku.
"Dia bermaksud pergi berlayar," kataku perlahan-lahan.
"Mengapa tak jadi?"
"Karena dia sudah meninggal. Suzanne, Nadina-lah wanita yang terbunuh di Marlow
itu!" Pikiranku melayang kembali ke kamar kosong di rumah yang kosong itu, dan terasa
lagi ancaman-ancaman dan kejahatan yang ada di sana. Dan aku pun lalu teringat
akan pensilku yang jatuh, dan penemuanku berupa tabung film. Tabung film terhubung lagi dengan sesuatu yang baru-baru ini terjadi. Di mana aku mendengar
tentang sebuah tabung film" Dan mengapa pikiran itu kuhubungkan dengan Nyonya
Blair" Mendadak bagaikan terbang aku mendatanginya, lalu kuguncang-guncang tubuhnya
karena kacaunya pikiranku.
"Filmmu! Film yang dikembalikan padamu melalui lubang angin pintu! Bukankah itu
terjadi pada tanggal 22?"
"Rol filmku yang hilang itu?"
"Bagaimana kau tahu bahwa itu memang tabung filmmu yang hilang" Mengapa orang
harus mengembalikannya padamu dengan cara begitu" Tengah malam lagi. Itu pikiran
gila. Tidak - itu pasti suatu pesan. Filmnya sudah dikeluarkan dari tabung timah
yang kuning itu, dan diisi dengan sesuatu yang lain. Apakah masih ada padamu?"
"Mungkin sudah kupakai. Oh, tidak. Aku ingat, aku melemparkannya ke dalam rak di
sisi tempat tidur. Ini dia."
Tabung itu diberikannya padaku.
Tabung itu bulat panjang seperti biasa, terbuat dari timah, sebagaimana film
biasanya dibungkus di daerah tropis ini. Aku menyambutnya dengan tangan gemetar,
dan hatiku rasanya akan terloncat ke luar. Tabung itu jelas lebih berat daripada
seharusnya. Dengan jari-jari gemetar kulepas plester adhesive yang menjaganya agar tidak
kemasukan udara. Lalu tutupnya kucabut. Pada saat itu bergulinganlah kerikilkerikil kaca yang buram ke tempat tidur.
"Kerikil," kataku benar-benar kecewa.
"Kerikil?" seru Suzanne.
Nada suaranya membuatku kacau lagi.
"Kerikil" Bukan, Anne, bukan kerikil! Ini berlian!"
BAB XV BERLIAN! Aku terpana, terbelalak memandangi tumpukan berlian di tempat tidur itu. Kuambil
sebutir. Kalau tidak karena beratnya, kita bisa saja menyangka bahwa itu adalah
pecahan botol. "Yakinkah kau, Suzanne?"
"Oh, ya, yakin sekali. Aku sudah terlalu sering melihat berlian kasar, hingga
aku tak mungkin ragu lagi. Alangkah cantiknya, Anne - dan beberapa di antaranya
istimewa. Pasti ada sejarahnya di balik semuanya ini."
"Sejarah yang baru saja kita dengar malam ini," seruku.
"Maksudmu - ?"
"Cerita Kolonel Race itu. Tak mungkin itu hanya suatu kebetulan. Dia
menceritakannya dengan suatu maksud."
"Maksudmu untuk melihat reaksi orang-orang?"
Aku mengangguk. "Reaksi Sir Eustace?"
"Ya." Waktu menjawab itu, aku sendiri masih ragu.
Apakah Sir Eustace yang menjadi bahan test itu, atau apakah kisah itu
diceritakannya untuk diriku sendiri" Aku teringat beberapa malam yang lalu waktu
aku mendapat kesan bahwa aku sedang 'dipancing'. Dengan alasan yang tidak
kuketahui, Kolonel Race merasa curiga. Tapi bagaimana keterlibatannya" Bagaimana
hubungan dia sendiri dengan peristiwa ini"
"Siapa sebenarnya Kolonel Race itu?" tanyaku.
"Itu pertanyaan yang sulit," kata Suzanne. "Dia cukup terkenal sebagai pemburu
binatang buas. Dan kaudengar sendiri tadi bahwa dia sepupu jauh Sir Laurence
Eardsley. Sebenarnya aku belum pernah bertemu dengannya sebelum perjalanan ini.
Dia sering bolak-balik antara Inggris dan Afrika. Ada pendapat umum bahwa dia
bekerja di Dinas Rahasia. Aku tak tahu apakah itu benar atau tidak. Dia memang
orang yang misterius."
"Sebagai ahli waris Sir Laurence Eardsley, dia pasti dapat uang banyak, ya?"
"Oh, Anne dia pasti bergelimang uang. Tahukah kau, dia merupakan pasangan yang
tepat bagimu." "Tidak akan mudah mendapatkan kesempatan untuk mendekati dia, selama kau ada di
kapal ini," kataku sambil tertawa. "Wanita yang sudah menikah lebih
berpengalaman!" "Kami memang punya daya tarik tersendiri," gumam Suzanne. "Tapi semua orang tahu
bahwa aku cinta betul pada Clarence - suamiku. Lebih aman dan lebih menyenangkan
bercinta dengan istri yang penuh pengabdian."
"Beruntung sekali Clarence menikah dengan seseorang seperti kau."
"Ah, sebagai teman hidup, aku ini membosankan! Tapi dia selalu bisa melarikan
diri ke kantornya di Departemen Luar Negeri. Di sana dia memasang kaca matanya,
lalu tidur di kursinya. Kita bisa mengirim telegram padanya menanyakan apa yang
diketahuinya tentang Race. Aku suka mengirim telegram. Padahal Clarence merasa
jengkel dengan telegram-telegramku itu. Dia selalu berkata, dengan surat juga
bisa. Tapi kurasa dia tidak akan mau menceritakan apa-apa pada kita. Dia selalu
berhati-hati sekali. Itu sebabnya sulit hidup dengan dia lama-lama. Tapi mari
kita teruskan dengan perjodohan tadi. Aku yakin Kolonel Race itu sangat tertarik
padamu, Anne. Main matalah sedikit dengan dia, dengan matamu yang tajam itu.
Pasti dia akan makin terpikat. Banyak orang yang bertunangan setelah bertemu di
kapal. Kau tak perlu berbuat lain."
"Aku tak ingin menikah."
"Apa iya?" kata Suzanne. "Mengapa tidak" Aku senang bahwa aku sudah menikah meskipun dengan Clarence!"
Kesembronoannya bicara itu kuanggap tak terpuji.
"Aku hanya ingin tahu," kataku dengan tegas, "apa hubungan Kolonel Race dalam
urusan ini" Karena aku yakin bahwa dia terlibat."
"Tidakkah kau berpikir bahwa suatu kebetulan saja dia menceritakan itu pada
kita?" "Tidak," kataku pasti. "Dia sedang mengamat-amati kita dengan ketat. Kau ingat
kan, hanya sebagian dari berlian itu yang ditemukan kembali, tidak semuanya.
Mungkin ini yang tidak ditemukan kembali itu - atau mungkin - "
"Mungkin apa?" Aku tak segera menjawab. "Aku ingin tahu," kataku kemudian, "apa yang terjadi atas diri anak muda yang
seorang lagi. Bukan Eardsley, melainkan - siapa namanya" - Lucas!"
"Bagaimanapun juga, kita akan tahu tentang hal itu. Semua orang mengejar berlian
ini. Pasti untuk memiliki berlian-berlian inilah 'Pria Bersetelan Coklat' itu
membunuh Nadina." "Bukan dia yang membunuhnya," kataku tajam.
"Pasti dia yang membunuhnya. Siapa lagi?"
"Entahlah. Tapi aku yakin bahwa bukan dia yang membunuh Nadina."
"Dia masuk ke rumah itu tiga menit setelah Nadina, dan dia keluar lagi dengan
wajah sepucat kain putih."
"Karena dia menemukan wanita itu sudah meninggal."
"Tapi tak ada orang lain yang masuk."
"Kalau begitu pembunuhnya sudah berada dalam rumah itu, atau bisa juga, dia
masuk melalui jalan lain. Dia tak perlu melewati pondok tukang kebun. Bisa saja
dia masuk dengan memanjat tembok."
Suzanne melihat padaku dengan pandangan tajam.
"'Pria Bersetelan Coklat'," katanya sambil merenung. "Ingin sekali aku tahu
siapa dia. Kupikir, dialah 'dokter' di stasiun kereta api bawah tanah itu.
Mungkin dia sempat menanggalkan make-up-nya lalu menyusul wanita itu ke Marlow.
Nadina dan Carton ada janji untuk bertemu di sana. Keduanya memiliki surat
keterangan untuk melihat rumah yang sama. Bila mereka begitu waspada dan
berusaha supaya pertemuan mereka kelihatan seolah-olah kebetulan saja, itu
artinya mereka merasa curiga bahwa mereka diikuti orang. Pokoknya Carton tidak
tahu bahwa yang membayang-bayanginya itu adalah 'Pria Bersetelan Coklat' itu.
Waktu dia mengenali pria itu, dia begitu terkejut dan kebingungan, hingga dia
mundur dan jatuh ke atas rel yang beraliran listrik. Semuanya itu jelas kan,
Anne!" Aku tak menyahut. "Ya, memang begitu. Dia mengambil kertas itu dari tubuh Carton, tapi karena
terburu-buru kertas itu tercecer. Kemudian dia menyusul Nadina ke Marlow. Apa
yang dilakukannya setelah dia membunuhnya - atau, menurut kau, setelah dia
menemukan mayat wanita itu" Ke mana dia pergi?"
Aku masih tetap diam. "Sekarang terpikir olehku," kata Suzanne merenung. "Mungkinkah dia lalu berusaha
agar Sir Eustace Pedler membawanya naik kapal ini sebagai sekretarisnya" Itu
merupakan kesempatan baik untuk keluar dari Inggris dengan aman dan menghindari
pengejaran. Tapi bagaimana dia sampai bisa mempengaruhi Sir Eustace"
Kelihatannya dia punya kekuatan untuk memaksa Sir Eustace."
"Atau mengancam Pagett," kataku tanpa berpikir.
"Kelihatannya kau tak suka pada Pagett, Anne. Kata Sir Eustace, dia orang yang
sangat terampil dan suka bekerja keras. Yah, mungkin saja benar, meskipun kita


Pria Bersetelan Coklat The Man In The Brown Suit Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tetap mencurigainya. Nah, mari kita lanjutkan dengan kecurigaan-kecurigaanku.
Rayburn adalah si 'Pria Bersetelan Coklat'. Kertas yang tercecer itu telah
sempat dibacanya. Lalu dia disesatkan oleh titik itu, seperti kau. Sebab itu dia
berusaha masuk ke kamar 17 pada jam satu tanggal 22. Sebelum itu dia telah
mencoba memiliki kamar itu melalui Pagett. Dalam perjalanannya menuju kamar itu,
seseorang menikamnya - "
"Siapa?" "Chichester. Ya, semuanya cocok. Kirim telegram pada Lord Nasby. Katakan bahwa
kau sudah menemukan identitas 'Pria Bersetelan Coklat', supaya kau cepat kaya,
Anne!" "Ada beberapa hal yang kaulupakan."
"Apa itu" Di wajah Rayburn ada bekas luka. Aku tahu itu - tapi bekas luka bisa
dipalsukan dengan mudah. Tinggi dan bentuk badannya sama. Bagaimana kau
melukiskan bentuk kepala orang itu pada Scotland Yard?"
Aku gemetar. Suzanne memang orang yang berpendidikan tinggi serta banyak membaca
buku, tapi tak kusangka bahwa dia juga mengenal istilah teknis antropologi.
"Dolichocephalic," kataku ringan.
Suzanne melihatku dengan ragu.
"Apa benar itu?"
"Ya. Yang berkepala panjang. Kepala yang ukuran lebarnya 75 persen kurang dari
panjangnya," aku menjelaskan dengan lancar.
Kami berdiaman sebentar. Aku baru akan bernapas lega, ketika Suzanne tiba-tiba
berkata lagi, "Apa lawannya?"
"Lawan apa?" "Yah, tentu ada lawannya. Kalau kepala ukuran lebarnya 75 persen lebih dari
panjangnya, disebut apa?"
"Brachycephalic," gumamku dengan enggan.
"Ya, itu. Kurasa itulah yang kausebut."
"Apa iya" Aku hanya keseleo lidah. Maksudku dolichocephalic," kataku dengan
penuh keyakinan. Suzanne melihatku dengan pandangan menyelidik. Lalu dia tertawa.
"Kau pandai berbohong, Gadis Gipsy. Tapi untuk menghemat waktu dan kesulitan,
sebaiknya kauceritakan semua padaku sekarang."
"Tak ada yang harus kuceritakan," kataku enggan,
"Benar tak ada?" tanya Suzanne dengan halus,
"Yah, kurasa memang harus kuceritakan padamu," kataku perlahan-lahan. "Aku tak
malu. Bukankah kita tak perlu malu akan sesuatu yang - menimpa diri kita. Itulah
yang terjadi atas diriku, gara-gara orang itu. Dia orang yang pantas dibenci - dia
kasar dan tak tahu berterima kasih - tapi aku bisa mengerti itu. Sama halnya
dengan anjing yang dirantai - atau diperlakukan dengan buruk - dia akan menggigit
siapa saja. Seperti itulah dia - pemarah dan kasar. Aku tak tahu mengapa aku
menyukainya. Aku sangat menyukainya. Baru melihatnya saja, hidupku sudah kacaubalau rasanya. Aku mencintai laki-laki itu. Aku menginginkan dia. Akan kujalani
seluruh Afrika dengan kaki telanjang, sampai aku menemukannya. Lalu akan kubuat
supaya dia mencintaiku pula. Aku mau mati untuk dia. Aku mau bekerja untuknya,
menjadi budaknya, mencuri untuknya, bahkan mengemis atau meminjam untuknya! Nah sekarang kau tahu!" Lama Suzanne memandangiku.
"Kau sama sekali tidak seperti orang Inggris, Gadis Gipsy," katanya akhirnya.
"Kau tak punya rasa sentimentil barang secuil pun. Tak pernah aku bertemu dengan
seseorang yang begitu praktis dan sekaligus begitu bernafsu. Aku tidak akan
pernah suka pada orang seperti itu. Aku bersyukur. Namun - biarpun begitu, aku
merasa iri padamu, Gadis Gipsy. Memang hebat kalau kita bisa menyukai sesuatu.
Tak banyak orang bisa begitu. Tapi dokter kecilmu itu beruntung bahwa kau tak
kawin dengan dia. Kedengarannya, dia bukanlah orang yang akan suka menyimpan
seseorang yang mudah meledak di rumahnya! Jadi kau tak mau mengirim telegram
pada Lord Nasby?" Aku menggeleng. "Dan kau masih tetap berpendapat bahwa dia tak bersalah?"
"Aku juga berpendapat bahwa orang yang tak bersalah pun bisa saja digantung."
"Hem! Ya. Tapi, Anne sayang, kau biasanya bisa menghadapi kenyataan. Hadapilah
sekarang. Kecuali apa yang kaukatakan tadi, mungkin dia telah membunuh wanita
itu." "Tidak," kataku. "Bukan dia."
"Itu sentimen."
"Bukan. Dia memang bisa membunuhnya. Dia bahkan mungkin menyusulnya ke rumah itu
dengan niat untuk itu. Tapi dia tidak akan mengambil seutas tali hitam dan
mencekiknya dengan tali itu. Bila dia yang melakukannya, dia akan melakukannya
dengan tangannya." Suzanne bergidik. Matanya disipitkannya sambil dia berpikir.
"Hmm! Anne, aku mulai melihat mengapa kau menganggap anak muda itu begitu
menarik!" BAB XVI ESOK paginya aku mendapat kesempatan untuk menangani Kolonel Race, Pengundian
lotere baru saja selesai, dan kami berjalan hilir-mudik di dek.
"Bagaimana sang gipsy pagi ini" Sudah ingin cepat-cepat mendarat dan merindukan
karavan?" Aku menggeleng. "Karena laut kini sudah begitu baik dan tenang, rasanya ingin saya tinggal terus
di kapal." "Bersemangat sekali!"
"Lihat saja pagi ini, betapa indahnya."
Kami sama-sama bersandar pada pagar kapal. Laut tenang bagai permukaan kaca.
Permukaan yang seolah-olah diminyaki. Tampak bercak-bercak besar beraneka warna,
biru, hijau muda, hijau zamrud, ungu, dan jingga tua, seperti pada lukisan
kubus. Kadang-kadang tampak kilasan warna keperakan yang menunjukkan adanya ikan
terbang. Udara lembab dan hangat, terasa agak lengket. Hembusannya bagai belaian
yang mengandung parfum. "Cerita Anda semalam menarik sekali," kataku memecah kesunyian.
"Yang mana?" "Yang mengenai berlian."
"Saya rasa wanita memang selalu tertarik pada berlian."
"Tentu. Ngomong-ngomong, bagaimana dengan anak muda yang seorang lagi" Kata Anda
mereka berdua." "Oh, yang bernama Lucas" Yah, orang tentu tak bisa menuntut hanya seorang di
antara mereka. Jadi dia juga bebas."
"Apa yang terjadi atas dirinya" - Maksud saya, sekarang ini" Adakah yang tahu?"
Kolonel Race memandang lurus ke depan, ke laut. Wajahnya tak membayangkan apaapa, seperti kedok saja. Tapi aku mendapat kesan bahwa dia tak menyukai
pertanyaanku. Namun dia langsung menjawab.
"Dia pergi perang dan berjuang dengan gagah berani. Diberitakan bahwa dia luka
dan hilang - mungkin tewas."
Itulah yang ingin kuketahui" Aku tak bertanya lagi. Tapi aku makin meragukan,
seberapa jauh yang diketahui Kolonel Race. Aku makin tak tahu peran apa yang
dimainkannya dalam hal ini.
Aku melakukan satu hal lagi, yaitu mewawancarai pramugara yang bertugas malam.
Dengan imbalan sedikit uang, aku segera berhasil membuatnya bicara.
"Wanita itu tidak ketakutan, kan Nona" Agaknya semacam lelucon yang tak
merugikan. Saya dengar itu merupakan semacam taruhan."
Sedikit demi sedikit, aku berhasil mendapatkan informasi dari dia. Dalam
pelayaran dari Cape Town ke Inggris, salah seorang penumpang memberikan sebuah
tabung film padanya, dengan instruksi supaya benda itu dilemparkan ke tempat
tidur kamar 71, jam satu malam pada tanggal 22 Januari, pada pelayaran kembali.
Katanya, kamar itu akan ditempati oleh seorang wanita, dan katanya hal itu
merupakan suatu taruhan. Kudengar, pramugara itu dibayar banyak untuk tugasnya
itu. Siapa wanita itu, tidak disebutkan. Karena Nyonya Blair langsung masuk ke
kamar 71, pramugara itu tentu tak mengira bahwa dia bukanlah wanita yang
dimaksud. Penumpang yang mengatur hal tersebut dengan pramugara itu, bernama
Carton, dan gambaran tentang pria itu sesuai sekali dengan pria yang tewas di
stasiun kereta api bawah tanah.
Jadi setidak-tidaknya satu misteri sudah terbuka, dan rupanya berlian-berlian
itulah yang merupakan kunci seluruh peristiwa itu.
Hari-hari terakhir di Kilmorden, rasanya berlalu cepat sekali. Sementara kami
makin mendekati Cape Town, aku terpaksa memikirkan rencana-rencana masa depanku
baik-baik. Banyak sekali orang yang ingin kuamat-amati. Pendeta Chichester, Sir
Eustace dan sekretarisnya, dan - juga Kolonel Race! Apa yang harus kulakukan
sehubungan dengan hal itu" Yang pasti, Chichester harus mendapat perhatian
khusus. Aku sebenarnya ingin menghapuskan Sir Eustace dan Mr. Pagett sebagai
tokoh-tokoh yang dicurigai, meskipun dengan enggan. Tapi suatu percakapan yang
tak disengaja, membangkitkan kecurigaanku kembali.
Aku tak lupa mengapa emosi Pagett yang tak bisa dijelaskan itu meluap, setiap
kali Florence disebut-sebut. Pada malam terakhir di kapal, kami semua dudukduduk di dek. Sir Eustace menanyakan sesuatu yang biasa sekali pada
sekretarisnya. Aku lupa apa tepatnya, sesuatu yang berhubungan dengan
keterlambatan kereta api di Itali. Tapi segera kulihat Pagett memperlihatkan
kegelisahan yang telah menarik perhatianku selama ini. Waktu Sir Eustace
mengajak Nyonya Blair dansa, aku cepat-cepat pindah ke kursi di dekat sekretaris
itu. Aku bertekad untuk mengorek soal itu sampai dapat.
"Sudah lama saya ingin pergi ke Itali," kataku. "Khususnya ke Florence. Apakah
Anda senang di sana?"
"Senang sekali. Nona Beddingfeld. Maafkan saya, ada beberapa surat Sir Eustace
yang - ". Kutahan lengan jasnya kuat-kuat.
"Ah, jangan lari!" seruku dengan gaya genit seorang janda setengah baya. "Saya
yakin Sir Eustace tak suka melihat Anda meninggalkan saya seorang diri, tanpa
teman bicara. Kelihatannya Anda tak pernah mau bicara tentang Florence, Mr.
Pagett. Saya yakin Anda menyimpan rahasia yang mengandung dosa!"
Aku masih tetap mencengkam lengannya, dan aku merasakan dia tiba-tiba terkejut.
"Sama sekali tidak, Nona Beddingfeld, sama sekali tidak," katanya bersungguhsungguh. "Sebenarnya saya suka sekali menceritakan segalanya pada Anda, tapi
benar-benar ada beberapa telegram yang - "
"Aduh, Mr. Pagett, alasan Anda sangat dicari-cari! Biar saya katakan pada Sir
Eustace - " Aku tak bisa berkata lebih jauh. Sekali lagi dia terlompat. Sarafnya bukan main
tegangnya. "Apa yang ingin Anda ketahui?"
Nada bicaranya sangat tersiksa, membuatku tersenyum sendiri.
"Tentang semuanya! Lukisan-lukisannya, pohon-pohon zaitunnya - "
Aku terdiam, aku sendiri tak tahu harus berkata apa lagi.
"Saya rasa Anda bisa berbahasa Itali, ya?" kataku lagi.
"Sayang, sepatah pun tak bisa. Hanya sekadar dengan kuli-kuli dan - eh - dengan
pramuwisata." "Pasti," aku buru-buru menyahut. "Lalu, lukisan apa yang paling Anda sukai?"
"Oh, eh - Lukisan Madonna - hasil karya Raphael."
"Ah, Florence," gumamku sentimentil. "Pemandangan di tebing Sungai Arno itu
indah sekali. Indah sekali sungai itu. Lalu Sungai Duomo. Anda ingat kan Sungai
Duomo?" "Tentu, tentu."
"Sungai itu juga cantik, ya?" serangku terus.
"Hampir-hampir lebih cantik daripada Sungai Arno."
"Saya rasa begitulah."
Karena jebakan kecilku berhasil, aku jadi berani melangkah lebih jauh. Tapi
kecil sekali kesempatanku untuk merasa ragu lagi. Mr. Pagett selalu membenarkan
setiap kata yang kuucapkan. Laki-laki ini sama sekali belum pernah pergi ke
Florence selama hidupnya.
Tapi bila dia tidak pergi ke Florence, di mana dia selama itu" Di Inggriskah"
Apa sebenarnya dia ada di Inggris pada saat terjadinya misteri Mill House" Aku
memutuskan untuk mengambil langkah baru.
"Ada sesuatu yang aneh," kataku. "Saya merasa bahwa saya pernah melihat Anda di
suatu tempat. Tapi tentu saya keliru - karena waktu itu Anda sedang berada di
Florence. Tapi - " Kuamat-amati dia dengan terang-terangan. Matanya tampak liar karena gugup.
Lidahnya diulurkannya akan membasahi bibirnya yang kering.
"Di mana - ya - di mana - "
"Saya merasa telah melihat Anda?" aku menyelesaikan pertanyaannya. "Di Marlow.
Anda tahu Marlow, kan" Ah, tentu Anda tahu, bodoh sekali saya. Sir Eustace punya
rumah di sana!" Tapi, dengan alasan tak jelas yang digumamkannya, korbanku melarikan diri.
Malam itu aku masuk kamar Suzanne dengan penuh semangat.
"Nah, sekarang kau tahu, Suzanne," desahku setelah selesai bercerita padanya,
"dia berada di Inggris, tepatnya di Marlow, pada saat pembunuhan itu. Apakah kau
masih begitu yakin bahwa 'Pria Bersetelan Coklat' itu yang bersalah?"
"Aku yakin akan satu hal," kata Suzanne sambil mengerjap-ngerjapkan matanya. Aku
tak mengerti. "Apa?" "Bahwa 'Pria Bersetelan Coklat' itu lebih tampan daripada Mr. Pagett yang
malang. Jangan marah, Anne. Aku hanya menggodamu. Duduklah. Sekarang aku tidak
bergurau lagi. Kurasa kau telah menemukan sesuatu yang penting. Hingga kini kita
menganggap si Pagett punya alibi. Sekarang kita tahu, dia tidak punya alibi."
"Tepat," kataku. "Kita harus mengamat-amati dia."
"Juga semua yang lain," katanya murung. "Itulah salah satu hal yang ingin
kubicarakan denganmu. Kecuali itu - juga mengenai keuangan. Jangan, jangan terlalu
merasa yakin akan dirimu. Aku tahu kau sangat sombong dan maumu mandiri, tapi
kau juga harus mau mendengarkan pikiran sehat mengenai hal itu. Kita kini
berpatner - aku tidak akan mau menawarkan satu penny pun, hanya karena aku suka
padamu, atau karena kau tak punya teman lain. Yang kuingini adalah pengalaman
yang menegangkan, dan aku bersedia membayar untuk itu. Kita akan menyelesaikan
perkara ini berdua, tanpa harus memikirkan biayanya. Pertama-tama, kau harus
ikut aku menginap di Hotel Mount Nelson, atas biayaku, dan kita rencanakan
bersama langkah-langkah kita."
Kami bertengkar mengenai hal itu. Tapi akhirnya aku mengalah, meskipun aku
sebenarnya tak suka. Aku ingin melakukannya sendiri.
"Kalau begitu beres," kata Suzanne akhirnya. Dia bangkit dan meregangkan
tubuhnya sambil menguap lebar. "Capek sekali aku karena terlalu banyak bicara.
Sekarang mari kita bahas korban-korban kita. Pendeta Chichester akan melanjutkan
perjalanannya ke Durban. Sir Eustace akan menginap di Hotel Mount Nelson di Cape
Town, lalu terus ke Rhodesia. Dia akan naik kereta api dan menyewa gerbong
pribadi. Dan setelah minum empat gelas sampanye kemarin malam, dia jadi begitu
terbuka dan menawarkan padaku untuk ikut dengan dia. Aku yakin dia tak
bersungguh-sungguh, tapi dia tentu tak bisa menarik kembali tawarannya, kalau
aku bilang aku mau ikut."
"Baik," aku membenarkan. "Kau mengamati Sir Eustace dan Pagett, dan aku menjaga
Chichester. Tapi bagaimana dengan Kolonel Race?"
Suzanne melihat padaku dengan pandangan aneh.
"Anne, kau kan tidak mencurigai - "
"Ya. Aku mencurigai semua orang. Aku bahkan mencurigai orang yang kelihatannya
tak mungkin dicurigai."
"Kolonel Race akan pergi ke Rhodesia juga," kata Suzanne merenung. "Kalau saja
kita bisa mengatur supaya Sir Eustace juga mengajak dia - "
"Kau pasti bisa mengaturnya. Kau selalu bisa mengatur."
"Aku senang dipuji," kata Suzanne.
Kami berpisah dengan janji bahwa Suzanne akan memanfaatkan bakatnya sebaik
mungkin. Aku merasa terlalu kacau untuk langsung pergi tidur. Malam itu adalah malam
terakhirku di kapal. Besok pagi-pagi benar kami sudah akan berada di Table Bay.
Aku menyelinap naik ke dek. Angin sepoi terasa segar dan sejuk. Kapal agak oleng
dihempas laut. Dek-dek gelap dan sepi. Hari sudah lewat tengah malam.
Aku bersandar pada pagar kapal, memperhatikan buih yang berkilat-kilat. Afrika
terbentang di hadapan kami. Kami melaju ke arah itu di air yang gelap. Aku
Pedang Bintang 2 Pendekar Naga Putih 26 Rahasia Pedang Naga Langit Pedang Golok Yang Menggetarkan 8

Cari Blog Ini