Ceritasilat Novel Online

Mushasi 16

Mushasi Karya Eiji Yoshikawa Bagian 16


bernyawa itu maju beberapa langkah lagi.
Orang-orang lain dekat pohon
tolong mereka hilang ditelan
untuk dapat mendengarkan dan
mereka melihat ke arah pohon
itu menjerit sekuat paru-paru mereka, tetapi seruan minta
angin dari pepohonan. Teman-teman mereka terlalu jauh
tidak dapat melihat kejadian itu, sekalipun misalnya
pinus itu dan bukan mengawasi jalan.
Pohon pinus lebar itu sudah ratusan tahun umurnya. Ia telah menyaksikan mundurnya
pasukan Taira yang kalah perang dari Kyoto ke Omi dalam peperangan abad dua belas.
Tidak terhitung sudah berapa kali para pendeta Gunung Hiei turun ke ibu kota untuk
memberikan tekanan pada Istana Kaisar. Apakah karena rasa terima kasih atas pemberian
darah segar yang merembes ke akar-akarnya, ataukah karena sedih menyaksikan pembunuhan
besar-besaran itu, cabang-cabang pinus tersebut bergoyang ditimpa angin berkabut dan
menghamburkan titik-titik embun dingin kepada orang-orang di bawahnya. Angin itu
membangkitkan aneka warna bunyi dari cabangcabang pohon, pada bambu yang berayun-ayun,
dari kabut, dan pada rumput yang tinggi.
Musashi mengambil jurus membelakangi pokok pohon yang lebarnya melebihi pelukan dua
orang. Pohon itu menjadi perisai ideal bagi bagian belakang tubuhnya, tapi rupanya ia
menganggap berbahaya tinggal lama-lama di situ. Matanya mengembara ke ujung pedangnya
dan menatap lawan-lawannya, otaknya menilai medan dan mencari kedudukan yang lebih
baik. "Pergi ke pinus lebar! Ke pinus! Pertempuran di sana!" Teriakan itu datang dari puncak
bukit kecil yang dipilih Sasaki Kojiro untuk mengamati tontonan itu.
Kemudian terdengar bunyi bedil yang memekakkan telinga, dan barulah samurai dari
Keluarga Yoshioka menangkap apa yang sedang terjadi. Seperti tawon, mereka bergerombol
meninggalkan tempat-tempat persembunyian dan meluncur ke persimpangan jalan.
Musashi berkelit ke samping. Peluru menghunjam batang pohon, beberapa inci dari
kepalanya. Sebaliknya, ketujuh orang yang menghadapinya beringsut memutar beberapa kaki
untuk mengimbangi perubahan kedudukan Musashi itu.
Tanpa peringatan terlebih dahulu, Musashi menyerbu dengan pedang dipasang setinggi
mata, ke arah orang yang berdiri paling kiri. Kobashi Kurando, seorang dari Sepuluh
Pemain Pedang Yoshioka, terkena serangan itu. Disertai pekik kaget yang rendah
bunyinya, ia memutar badan dengan satu kakinya, tapi tidak cukup cepat untuk dapat
lolos dari pukulan ke lambungnya. Dengan pedang masih diacungkan, Musashi terus berlari
lurus ke depan. "Jangan biarkan dia lepas!"
Keenam orang lainnya maju mengejarnya, tetapi serangan Musashi kembali membuat mereka
berantakan, kehilangan kerja sama. Dalam sekejap mata Musashi berputar sambil menebas
menyamping ke arah orang terdekat. Miike Jurozaemon. Sebagai pemain pedang
berpengalaman, Jurozaemon sudah menebak serangan ini, dan ia memberikan giliran beraksi
pada kakinya, hingga ia dapat cepat bergerak mundur. Ujung pedang Musashi hampir saja
menyerempet dadanya. Cara Musashi menggunakan senjatanya berlainan dengan cara pemain pedang biasa pada
zamannya. Menurut teknik yang biasa, kalau hantaman pertama tidak mengena, tenaga
pedang itu habis di udara. Sebelum dapat menghantam lagi, mata pedang harus lebih dulu
ditarik kembali. Ini terlampau lambat untuk Musashi. Bilamana ia menghantam ke samping,
hantaman itu diteruskan dengan hantaman ke arah kebalikan. Tebasan ke kanan diikutinya
dengan pukulan kebalikan ke kiri, dengan gerakan yang hakikatnya sama. Mata pedangnya
dengan demikian menciptakan dua berkas cahaya, yang gambarnya mirip sekali dengan dua
lembar daun pintu yang saling dihubungkan.
Pukulan kebalikan yang tak disangka-sangka itu menyayat ke muka Jurozaemon hingga
kepalanya menjadi tomat merah besar.
Karena tidak belajar di bawah pimpinan seorang guru, Musashi merasa kadang-kadang
berada pada kedudukan tidak menguntungkan, tapi kadang-kadang juga ia dapat mengambil
keuntungan dari situ. Salah satu keunggulannya adalah ia tidak pernah dicetak oleh
perguruan tertentu. Ditinjau dari pandangan ortodoks, gayanya tidak memiliki bentuk
yang jelas, tidak ada aturannya, dan tak ada teknik-teknik rahasianya. Karena gaya itu
hanya.didasarkan pada daya cipta dan kebutuhan-kebutuhannya sendiri, maka sukar
disebutkan macamnya atau golongannya. Sampai taraf tertentu bisa saja ia dilawan secara
efektif dengan menggunakan gaya-gaya konvensional. kalau lawannya sangat terampil.
Jurozaemon tidak dapat menduga lebih dahulu taktik Musashi. Orang yang mahir dalam Gaya
Yoshioka atau dalam salah satu gaya Kyoto lain barangkali juga akan terperangah seperti
Jurozaemon. Kalau pukulan fatal yang dijatuhkannya kepada Jurozaemon itu diteruskan dengan
menyerang juga rombongan campuran yang tetap tinggal di sekitar pohon, pasti Musashi
dapat membantai beberapa orang lagi dalam waktu singkat. Tapi ia malah berlari menuju
persimpangan jalan. Kemudian ketika mereka menyangka ia akan melarikan diri, tiba-tiba
saja ia berbalik dan menyerang lagi. Begitu mereka telah menyusun diri kembali untuk
mempertahankan diri, ia lari lagi.
"Musashi!" "Pengecut!" "Berkelahilah seperti lelaki!"
"Urusan kita belum selesai!"
Kata-kata kutukan yang memang biasa itu memenuhi udara. Mata yang berang sudah hampir
meloncat dari ceruknya. Orang-orang itu sudah mabuk melihat dan mencium darah, sama
mabuknya dengan orang yang sudah meneguk segudang sake. Darah membuat para pemberani
menjadi lebih tenang, tapi mempunyai efek sebaliknya terhadap para pengecut. Orangorang itu seperti setan air yang muncul dari danau darah yang kental.
Musashi mengabaikan saja teriakan-teriakan itu. Sesampainya di persimpangan jalan, ia
segera mengambil jalan tersempit di antara ketiga jalan keluar itu, yaitu jalan yang
menuju Shugakuin. Dari arah berlawanan. orang-orang yang telah ditempatkan sepanjang
jalan itu datang secara kacau-balau. Belum sampai empat puluh langkah berjalan, Musashi
melihat orang pertama dalam rombongan itu. Menurut hukum fisika yang biasa, ia akan
segera terperangkap di antara orang-orang itu dan orang-orang yang mengejarnya. Tapi
nyatanya, ketika kedua kesatuan itu bertumbukan Musashi tidak ada lagi di sana.
"Musashi. Di mana kau?"
"Dia di sini tadi. Aku melihatnya!"
"Pasti!" "Dia tidak ada!"
Dan suara Musashi meledak di tengah ocehan bingung itu. "Aku di sini!"
Ia melompat dari balik bayangan sebuah batu, ke tengah jalan, di belakang para samurai
yang sedang berbalik, hingga ia dapat menghadapi mereka semua dari satu arah.
Tercengang oleh perubahan kilat kedudukan itu, orang-orang Yoshioka bergerak cepat
menghimpitnya, tapi di jalan sempit itu mereka tidak dapat memusatkan kekuatan. Kalau
diukur ruang yang diperlukan untuk mengayunkan pedang, untuk dua orang saja pun jalan
itu berbahaya untuk dipakai bergerak maju bersama.
Orang yang terdekat dengan Musashi terhuyung ke belakang dan mendorong mundur orang di
belakangnya ke tengah rombongan yang sedang datang. Untuk sesaat mereka semua
menggelepar tanpa daya, kaki saling berkait. Tapi dalam gerombolan, orang memang tak
mudah menyerah. Walaupun gentar oleh kecepatan dan keganasan Musashi, orang-orang itu
segera dapat memperoleh kembali keyakinan mereka akan kekuatan kolektif. Sambil meraung
menggeletar, mereka maju ke depan. Sekali lagi mereka yakin bahwa tak seorang pemain
pedang pun dapat menandingi mereka semua.
Musashi berkelahi seperti perenang yang sedang melawan gelombang raksasa. Sekali
memukul, ia mundur selangkah-dua langkah. Ia mesti lebih mencurahkan perhatian pada
pertahanan daripada serangan. Ia bahkan menahan diri agar tidak menebas orang-orang
yang terhuyung ke dalam jangkauan tangannya dan merupakan sasaran empuk, baik karena
jatuhnya mereka tidak akan cukup menghasilkan keuntungan, maupun karena kalau
tebasannya meleset, ia akan jadi sasaran lembing-lembing musuh. Jangkauan pedang memang
bisa diukur secara tepat, tapi tidak demikian halnya dengan lembing.
Sementara ia terus mengundurkan diri pelan-pelan, para penyerangnya menghimpitnya tanpa
kenal ampun. Wajahnya sudah putih kebiruan, sampai seakan-akan mustahil ia bisa
bernapas cukup. Orang orang Yoshioka berharap akhirnya ia akan terantuk akar pohon atau
tersandung batu. Sementara itu, tak seorang pun dari mereka mau terlampau dekat dengan
orang yang sedang berkelahi mati-matian demi hidupnya itu. Jatuhnya pukulan pedang dan
lembing terdekat yang menghimpit Musashi selalu lima atau tujuh sentimeter dari
jangkauan sasarannya. Hiruk-pikuk itu ditambah lagi oleh meringkiknya kuda-kuda beban. Di dukuh terdekat,
orang sudah bangun dan sibuk. Saar itu adalah saat para pendeta yang rajin lewat dalam
perjalanan ke atau dari puncak Gunung Hiei, dengan suara bakiak berdetak-detak dan bahu
tegap dibidangkan. Sementara pertempuran berjalan terus, para penebang kayu dan petani
ikut para pendeta di jalan, menyaksikan pertunjukan itu. Kemudian ayam dan kuda di
kampung ikut pula sibuk memperdengarkan suara. Segerombolan penonton berkumpul sekitar
tempat keramat di mana Musashi tadi mempersiapkan diri menjelang pertempuran. Angin
berhenti bertiup dan kabut turun lagi seperti tirai putih yang tebal. Kemudian tibatiba kabut itu hilang sama sekali, hingga para penonton dapat menyaksikan pemandangar
itu dengan jelas. Selama beberapa menit bertempur, keadaan tubuh Musashi sudah berubah sama sekali.
Rambutnya sudah kusut berlumuran darah. Darah bercampur keringat mencelup ikat
kepalanya menjadi merah muda. Ia tampak seperti penjelmaan setan yang muncul dari
neraka. Ia bernapas dengan seluruh tubuhnya. Dadanya yang seperti perisai itu naikturun seperti gunung berapi. Robekan pada hakama-nya memperlihatkan luka pada lutut
kirinya. Jaringan-jaringan putih di dasar luka itu tampak seperti biji buah delima
merekah. Pada lengan bawahnya juga terdapat luka. Luka itu tidak gawat. tetapi telah
memercikkan darah ke dada, sampai ke pedang kecil dalam obinya. Seluruh kimononya
tampak seperti sudah dicelup merah tua. Penonton yang dapat melihatnya, menutup mata
karena ngeri. Yang lebih mengerikan lagi adalah melihat orang yang mati dan terluka akibat
pertempuran. Melanjutkan gerakan mundur taktisnya menyusuri jalan setapak, sampailah
Musashi di sepetak tanah terbuka, di mana para pengejarnya menyerbu secara besarbesaran. Dalam beberapa detik saja. empat atau lima orang sudah terpotong. Mereka
bergelimpangan di sanasini, suatu bukti kecepatan pukulan dan gerakan Musashi. Ia
seperti ada di mana-mana sekaligus.
Tapi sekalipun Musashi dapat beranjak dan mengelak dengan cekatan, ia berpegang pada
satu strategi dasar. Ia tidak pernah menyerang suatu kelompok dari depan atau sampingselamanya menyerong, pada sudut yang terbuka. Apabila satu kesatuan samurai
mendekatinya berhadap-hadapan. ia beranjak seperti kilat ke sudut formasi mereka, agar
dari situ ia dapat menghadapi seorang-dua orang saja berganti-ganti. Dengan cara ini,
ia dapat memaksa mereka pada kedudukan yang sama. Tetapi akhirnya Musashi toh lelah
juga. Lawan-lawannya pun akhirnya akan menemukan cara untuk menggagalkan metode
serangan itu. Untuk itu, mereka perlu menyusun diri dalam dua kekuatan besar, di depan
dan di belakang Musashi. Dengan demikian, Musashi akan berada dalam bahaya yang lebih
besar lagi. Musashi harus mengerahkan seluruh akalnya untuk mencegah terjadinya hal
itu. Pada suatu ketika, Musashi menarik pedang kecilnya dan mulai bertempur dengan kedua
tangannya. Pedang besar di tangan kanannya berlumuran darah sampai gagang dan kepalan
yang menggenggamnya, sedangkan pedang kecil di tangan kirinya masih bersih. Walaupun
pedang pendek itu sudah dapat mengiris sedikit daging waktu pertama kali dipergunakan,
ia masih juga berkilau, haus oleh darah. Musashi sendiri belum sepenuhnya sadar bahwa
ia telah mencabut pedang pendek itu, walaupun ia sudah menggunakannya dengan cekatan,
sama seperti saat menggunakan pedang besarnya.
Apabila tidak memukul, ia arahkan pedang kiri itu langsung ke mata lawannya. Pedang
kanan dijulurkan ke samping, membentuk busur horisontal lebar dengan siku dan bahunya,
dan berada betul-betul di luar garis pandangan musuh. Kalau lawan bergerak ke kanan,
Musashi dapat memainkan pedang kanannya. Kalau penyerang bergerak sebaliknya, Musashi
dapat menggerakkan pedang kecil ke kirinya dan memerangkap musuh di antara kedua
pedangnya. Dengan menusuk ke depan, ia dapat memaku orang itu ke satu tempat dengan
pedang kecil, dan sebelum ada waktu untuk mengelak, ia menyerangnya lagi dengan pedang
besar. Bertahun-tahun kemudian, cara ini akhirnya secara resmi dinamakan Teknik Dua
Pedang Melawan Kekuatan Besar, tapi waktu itu Musashi berkelahi hanya menuruti naluri
semata-mata. Dinilai dari segala ukuran yang berlaku, Musashi bukanlah seorang teknikus pedang yang
besar. Sekolah, gaya, teori, tradisi"tak satu pun dari semuanya itu ia pahami. Cara
berkelahinya sepenuhnya pragmatis. Yang diketahuinya hanyalah apa yang dipelajarinya
dari pengalaman. Ia tidak melaksanakan teori dalam praktek. Ia berkelahi dulu, baru
sesudah itu berteori. Orang-orang Yoshioka, mulai dari Sepuluh Pemain Pedang sampai ke bawah, semua menguasai
teori-teori Delapan Gaya Kyoto yang dijejalkan ke dalam benak mereka. Beberapa orang
bahkan sampai menciptakan variasi gaya sendiri. Sekalipun mereka petarung yang sangat
terlatih dan sangat disiplin, mereka tidak dapat menaksir kemampuan pemain pedang
seperti Musashi yang menghabiskan waktunya sebagai pertapa di pegunungan, membuka diri
sebanyak-banyaknya terhadap bahasa yang berasal dari alam maupun dari manusia. Bagi
orang-orang Yoshioka, tidaklah dapat dipahami bahwa dengan napas yang sudah demikian
tidak teratur, dengan muka yang sudah kelabu, mata yang sudah buram karena keringat,
dan tubuh yang sudah berlumuran darah kental, Musashi masih dapat menggunakan dua bilah
pedang dan mengancam akan menghabiskan siapa saja yang ada dalam jangkauannya. Tetapi
ia berkelahi terus seperti dewa api atau dewa angkara. Mereka sendiri sudah lelah
setengah mati, dan usaha-usaha mereka untuk menaklukkan momok terkutuk ini sudah
histeris sifatnya. Sekonyong-koyong hiruk-pikuk itu meningkat.
"Lari!" teriak seribu suara.
"Hai, engkau yang sendirian, lari!"
"Kita nanti terpaksa lewat batu itu lagi."
"Ha, ha! Dan melihat orang cebol bermuka perempuan lagi" Lupakanlah! Aku bersamamu
sekarang. Oh, tapi dengarkan... apa bukan ibuku yang memanggil-manggil itu" Ayo cepat!
Kalau tidak, dia akan mencariku. Dia jauh lebih gawat daripada hantu kecil bermuka
seram itu." "Lari, selagi bisa!"
Teriakan itu datang dari pegunungan, pepohonan, dari awan-awan di atas. Para penonton
di segala tempat melihat barisan Yoshioka sedang mengepung Musashi. Bahaya yang
mengancam menggerakkan semua penonton untuk mencoba menyelamatkannya, walaupun hanya
dengan suara. Tetapi peringatan mereka itu tak berarti. Musashi takkan mendengarnya, sekalipun bumi
terbelah hancur lebur atau langit bertubi-tubi mengirimkan kilat halilintar. Teriakan
itu makin lama makin seru, mengguncang ketiga puluh enam puncak gunung itu, seperti
gempa bumi. Teriakan-teriakan itu datang serentak dari para penonton dan para samurai
Yoshioka yang berdesak-desakan.
Musashi akhirnya enyah melintasi sisi gunung dengan kecepatan babi liar. Dalam waktu
singkat, lima atau enam orang mengejarnya, mencoba mati-matian agar sempat menjatuhkan
pukulan keras. Disertai lolongan dahsyat, Musashi tiba-tiba berputar, merunduk, dan mengayunkan pedang
ke samping, setinggi tulang kering, hingga para pengejarnya berhenti. Satu orang
meluncurkan lembing dari atas, tetapi lembing itu mental ke udara, terkena pukulan
balasan yang perkasa. Mereka serentak mundur. Musashi mengayun ganas pedang yang kiri.
kemudian yang kanan, kemudian kiri lagi. Karena ia bergerak seperti gabungan api dan
air, musuh-musuhnya berputar-putar gemetar, terhuyunghuyung dan tersandung-sandung di
belakangnya. Kemudian Musashi lari lagi. Ia melompat dari tanah terbuka tempat berkecamuknya
pertempuran, dan masuk ladang gandum hijau di bawah.
"Berhenti!" "Balik sini dan ayo berkelahi!"
Dua orang melompat membabi buta mengejar Musashi. Sekejap kemudian terdengar dua
jeritan meregang nyawa, dua lembing terbang membelah udara dan terjatuh tegak lurus di
tanah ladang. Musashi menggelincir seperti bola besar dari lumpur, melewati ujung
ladang. Sesudah seratus meter jauhnya, ia cepat memperlebar jarak itu.
"Dia menuju dusun!"
"Dia ke jalan besar!"
Padahal nyatanya Musashi merangkak naik dengan cepat dan tanpa terlihat menuju ke ujung
ladang itu, dan sekarang tersembunyi di hutan sebelah atas. Ia melihat bagaimana para
pengejarnya membagi diri untuk meneruskan pengejaran ke beberapa arah.
Waktu itu sudah siang. Pagi cerah, mirip hari-hari lain.
*** 50. Persembahan untuk yang Mati
KETIKA Oda Nobunaga akhirnya kehilangan kesabaran terhadap intrik politik para pendeta,
ia menyerang bangunan Budhis kuno di Gunung Hiei, dan dalam satu malam yang
menghebohkan itu hampir semua dari tiga ribu kuil dan tempat keramat disana habis
dimakan api. Sekalipun empat dasawarsa telah berlalu dan balai utama serta sejumlah
kuil tambahan telah dibangun kembali, kenangan malam itu masih terus mengawang, seperti
selubung di atas gunung. Lembaga itu sekarang tercabut dari kekuasaannya, dan para
pendeta kembali mencurahkan waktu kepada tugas-tugas keagamaan.
Di puncak paling selatan, yang memungkinkan orang meninjau kuil-kuil lain dan juga
Kyoto sendiri, terdapat sebuah kuil kecil terpencil yang dikenal dengan nama Mudoji.
Dalam hat ketenangan, kuil itu jarang diganggu oleh bunyi yang lebih keras daripada
gemerecik air sungai atau kicau burung-burung kecil.
Dari ceruk di dalam kuil terdengar suara lelaki membacakan kata-kata Kannon, Dewi Belas
Kasihan, seperti terwahyukan di dalam Sutra Bunga Seroja. Suara yang monoton itu pelanpelan meninggi sebentar, kemudian seolah-olah si pembaca tiba-tiba ingat akan dirinya,
dan suara itu tiba-tiba menurun.
Seorang pembantu pendeta berjubah putih berjalan menyusuri gang yang lantainya hitam
legam, membawa baki setinggi mata, berisi makanan sederhana tanpa daging, seperti biasa
dihidangkan di tempat-tempat keagamaan. Masuk ke kamar tempat asal suara itu, ia
meletakkan baki di sudut, berlutut sopan, dan katanya, "Selamat siang, Pak."
Sang tamu tidak mendengar salam anak itu. Ia mencondongkan badan sedikit ke depan,


Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tenggelam dalam pekerjaannya.
"Pak," kata pembantu pendeta dengan suara sedikit dikeraskan, "saya membawakan makan
siang. Kalau Bapak tidak keberatan, akan saya tinggalkan di sudut ini."
"Oh, terima kasih," kata Musashi sambil meluruskan badan. "Terima kasih banyak." Ia
menoleh dan membungkuk. "Apa Bapak mau makan sekarang?"
"Ya." "Kalau begitu, akan saya hidangkan nasi."
Musashi menerima mangkuk nasi dan mulai makan. Pembantu pendeta mula-mula memperhatikan
potongan kayu di samping Musashi, kemudian pisau kecil di belakangnya. Keping-keping
dan kerat-kerat kayu cendana putih yang harum baunya berserakan di sekitar. "Bapak
mengukir apa?" tanya pembantu pendeta.
"Rencananya patung suci."
"Sang Budha Amida?"
"Bukan. Kannon. Sayang sekali aku tak tahu apa-apa tentang seni pahat. Pahat ini lebih
banyak mengenai tanganku daripada kayunya." Ia memperlihatkan beberapa jarinya yang
tertakik sebagai bukti, tapi anak itu rupanya lebih tertarik kepada perban putih pada
lengan bawah Musashi. "Bagaimana luka-luka Bapak?" tanyanya.
"Karena perawatan yang baik di sini, sudah hampir sembuh sekarang. Tolong sampaikan
kepada pendeta kepala, aku sangat berterima kasih."
"Kalau Bapak mengukir patung Kannon, Bapak mesti datang ke balai utama. Di situ ada
patung Kannon yang dibuat oleh seorang pemahat terkenal. Kalau Bapak mau, bisa saya
antar ke sana. Tidak jauh, cuma kira-kira setengah kilo."
Gembira menerima tawaran itu, Musashi pun menyelesaikan makannya. lalu kedua orang itu
berangkat ke balai utama. Dalam sepuluh hari semenjak ia tiba dalam keadaan berlumuran
darah dan bertopang pedangnya sebagai tongkat, Musashi belum keluar rumah lagi. Baru
mulai bisa berjalan, ia merasa luka-lukanya belum sembuh seluruhnya, seperti semula ia
sangka. Lutut kirinya sakit, angin yang lembut dan sejuk terasa menghunjam ke dalam
luka tangannya. Namun keadaan di luar menyenangkan. Bunga-bunga sakura yang jatuh dari
pohonnya yang berayun-ayun gemulai itu menari-nari di udara, seperti keping-keping
salju. Langit menujukkan tandatanda warna biru laut awal musim panas. Otot-otot Musashi
membengkak seperti kuncup yang akan segera membuka.
"Bapak mempelajari seni perang, ya?"
"Betul." "Kalau begitu, kenapa Bapak membuat patung Kannon?" Musashi tidak segera menjawab.
"Daripada memahat, apa tidak lebih baik menggunakan waktu Bapak untuk berlatih main
pedang?" Pertanyaan itu membuat Musashi merasa lebih sakit. Pembantu pendeta itu seumur Genjiro,
dan hampir sama besar. Berapa banyak orang telah terbunuh atau luka pada hari yang menentukanm itu" Ia hanya
dapat mengira-ngira. Ia bahkan tidak begitu ingat, bagaimana ia meloloskan diri dari
pertempuran dan menemukan tempat persembunyian itu. Dua hal yang tergambar jelas dalam
pikirannya dan mengejar-ngejar dalam tidurnya yaitu jerit ketakutan Genjiro dan
tubuhnya yang tak berkepala.
Dan untuk kesekian kalinya selama beberapa hari ini, terpikir olehnya ketetapan yang
sudah tertulis dalam buku catatannya: ia tidak akan melakukan sesuatu yang kemudian
disesalinya. Sekiranya ia beranggapan bahwa apa yang telah ia lakukan itu memang telah
menjadi sifat Jalan Pedang, onak duri yang melintang di jalan yang dipilihnya, berarti
ia terpaksa menyimpulkan bahwa masa depannya bakal suram dan tidak manusiawi.
Dalam suasana kuil yang damai itu, pikirannya menjadi jernih. Dan manakala ingatan
tentang darah yang tercurah dan darah beku itu mulai memudar, ia terbenam dalam rasa
iba kepada anak yang telah dibantainya.
Sambil kembali memikirkan pertanyaan pembantu pendeta itu, katanya, "Tapi pendetapendeta besar seperti Kobo Daishi dan Genshin menciptakan banyak patung sang Budha dan
Bodhisatwa, kan" Aku tahu beberapa patung Gunung Hiei ini diukir oleh pendeta. Apa
pendapatmu tentang itu?"
Sambil menelengkan kepala, anak itu berkata ragu-ragu, "Saya tidak begitu yakin, tapi
pendeta-pendeta memang suka membuat lukisan keagamaan dan patung."
"Mari kuceritakan sebabnya. Dengan membuat lukisan atau mengukir patung sang Budha,
mereka dapat menjadi lebih dekat kepadanya. Seorang pemain pedang dapat memurnikan
jiwanya dengan cara seperti itu juga. Kita manusia ini semua melihat satu bulan saja,
tetapi banyak jalan yang dapat kita tempuh untuk sampai ke puncak yang terdekat
dengannya. Kadang-kadang, kalau kita tersesat, kita memutuskan untuk mencoba jalan
orang lain, tapi tujuan akhirnya menemukan penyempurnaan hidup."
Musashi berhenti, seakan-akan masih ada yang hendak dikatakannya lagi, tapi pembantu
pendeta itu berlari mendahului dan menuding sebuah batu yang hampir tersembunyi di
dalam rumput. "Lihat," katanya. "Prasasti ini dibuat oleh Jichin. Dia seorang pendetapendeta terkenal."
Musashi membaca kata-kata yang terukir pada batu yang terbalut rumput liar itu:
Air Hukum Akan segera menjadi dangkal.
Pada akhirnya Angin dingin muram akan melanda
Puncak-puncak Hiei yang gersang
Ia terkesan sekali oleh daya ramal penulis itu. Angin yang melanda Gunung Hiei memang
dingin dan muram, semenjak terjadinya gempuran Nobunaga yang tak kenal ampun itu. Ada
desas-desus bahwa sebagian kaum pendeta masih mendambakan zaman lama, mendambakan
tentara perkasa, pengaruh politik, dan hak-hak khusus, namun kenyataannya mereka tidak
pernah dapat memilih kepala biara baru tanpa menimbulkan banyak intrik dan pertentangan
intern yang buruk. Memang gunung suci itu untuk menyelamatkan orang berdosa, tapi
kenyataannya ia tergantung pada derma dan sumbangan orang berdosa agar dapat hidup
terus. Suatu keadaan yang sama sekali tak menyenangkan, demikian renung Musashi.
"Mari terus," kata anak itu tak sabar.
Ketika mereka mulai meneruskan perjalanan, seorang pendeta Mudoji datang berlari-lari
menyusul mereka. "Seinen!" serunya, memanggil anak itu. "Ke mana engkau pergi?"
"Ke balai utama. Beliau ingin melihat patung Kannon."
"Apa tak bisa lain waktu saja?"
"Maafkan saya karena membawa anak ini, padahal barangkali ada pekerjaan lain yang mesti
diselesaikannya," kata Musashi. "Nah, ajaklah dia kembali. Saya dapat pergi ke balai
utama kapan saja." "Saya datang bukan untuk memanggilnya. Saya ingin Anda kembali bersama saya, kalau
tidak keberatan." "Saya?" "Ya, saya minta maaf telah mengganggu Anda, tapi..."
"Apa ada orang mencari saya?" tanya Musashi, sama sekali tidak kaget.
"Nah, ya. Sudah saya katakan juga pada mereka Anda sedang tak ada. tapi mereka bilang
baru saja melihat Anda bersama Seinen. Dan mereka mendesak saya datang mengajak Anda."
Dalam perjalanan kembali ke Mudoji, Musashi bertanya kepada pendeca itu, siapa para
tamunya, dan tahulah ia bahwa mereka itu dari Sannoin, salah satu kuil cabang.
Jumlah mereka sekitar sepuluh orang, mengenakan jubah hitam dan kepala cokelat. Wajah
mereka yang merah menunjukkan bahwa mereka golongan pendeta prajurit zaman lama yang
ditakuti itu, sebangsa tukang gertak angkuh yang mengenakan jubah pendeta. Meskipun
sayapnya sudah terpotong, kelihatannya mereka telah membangun sarang kembali.
Orangorang yang tak mampu mengambil keuntungan dari pelajaran Nobunaga ini berkeliaran
ke sana kemari menyandang pedang besar, berbuat seolah-olah berkuasa atas orang-orang
lain dan menyebut diri mereka Sarjana Hukum Budhis, padahal sesungguhnya mereka adalah
bajingan-bajingan intelektual.
"Itu dia!" kata salah seorang.
"Dia?" tanya yang lain, mencibir.
Mereka menatap dengan sikap permusuhan yang tak disembunyikan. Seorang pendeta berbadan
tegap dan besar mendekati para pengantar Musashi dengan lembingnya, dan katanya,
"Terima kasih. Kalian tidak dibutuhkan sekarang. Boleh masuk kuil?" Kemudian katanya
lagi dengan kasar, "Anda Miyamoto Musashi?"
Dalam kata-kata itu tidak ada sikap sopan. Musashi menjawab pendek, tanpa membungkuk.
Pendeta lain muncul dari belakang. Pendeta pertama, berdeklamasi, seakan-akan
membacakan teks, "Akan saya sampaikan pada Anda keputusan yang telah diturunkan oleh
pengadilan Enryakuji. Bunyinya, "Gunung Hiei adalah pekarangan murni dan suci, yang
tidak diperkenankan dipakai sebagai tempat berlindung oleh mereka yang menyimpan
permusuhan dan dendam. Tidak pula dapat ditawarkan sebagai tempat pelarian bagi
orangorang hina yang terlibat pertentangan tidak terhormat. Mudoji telah diperintahkan
mengusir Anda segera dari gunung ini. Kalau Anda membangkang, Anda akan dihukum keras,
sesuai dengan undang-undang biara."'
"Saya akan melakukan apa yang diputuskan biara," jawab Musashi dengan nada lunak.
"Tetapi karena sekarang sudah lewat tengah hari dan saya belum bersiap-siap, saya mohon
Anda mengizinkan saya tinggal sampai besok pagi. Juga, saya ingin mengajukan
pertanyaan, apakah keputusan ini datang dari penguasa sipil, atau dari pendeta sendiri.
Mudoji sudah melaporkan kedatangan saya. Saya mendapat pemberitahuan tidak ada
keberatan bahwa saya tinggal di sini. Saya tidak mengerti, kenapa hal itu berubah
demikian mendadak." "Kalau Anda memang ingin tahu," jawab pendeta pertama, "akan saya terangkan. Semula
kami dengan senang hati menawarkan keramahtamahan kami, karena Anda bertempur sendirian
melawan sejumlah besar orang. Namun kemudian kami mendapat laporan-laporan buruk
mengenai Anda, yang memaksa kami meninjau kembali keputusan kami. Dan kami pun
memutuskan tidak dapat lagi menyediakan tempat berlindung bagi Anda."
"Laporan-laporan buruk?" pikir Musashi dengan jengkel. Mestinya ia sudah menduga hal
itu. Perguruan Yoshioka pasti akan menjelek-jelekkannya di seluruh Kyoto. Tapi tak ada
perlunya ia mencoba mempertahankan diri.
"Baiklah," katanya dingin, "saya akan pergi besok pagi, pasti."
Tapi ketika ia memasuki gerbang kuil, pendeta-pendeta itu mulai bicara yang bukanbukan. "Coba lihat dia, si celaka jahat itu!"
"Dasar biadab!"
"Biadab" Orang dungu, itulah dia!"
Sambil menoleh dan menatap orang-orang itu, Musashi bertanya tajam, "Apa kata kalian?"
"Oh, jadi engkau mendengar?" tanya seorang pendeta menantang.
"Ya. Dan ada satu hal yang mesti kalian ketahui. Saya akan menuruti keinginan kaum
pendeta, tapi saya takkan menenggang penghinaan dari orang-orang macam kalian. Apa
kalian menghendaki perkelahian?"
"Sebagai abdi sang Budha, kami tidak ingin perkelahian," terdengar jawaban sok suci.
"Saya hanya membuka mulut, dan kata-kata saya keluar begitu saja."
"Dan itu tentunya suara langit," kata pendeta lain.
Sejenak kemudian, mereka semua sudah mengepung Musashi sambil menyumpah, mengejek,
bahkan meludahi Musashi. Musashi tidak tahu sampai berapa lama ia dapat mengendalikan
diri. Walaupun pendeta prajurit telah kehilangan banyak kekuatan, wakil-wakil mereka
yang baru itu rupanya belum lagi kehilangan kecongkakannya.
"Lihat!" cemooh salah seorang pendeta. "Dan omongan orang kampung, tadinya kupikir dia
samurai yang punya rasa hormat diri. Sekarang aku tahu, dia cuma orang bebal tak
berotak! Dia tidak marah, dia bahkan tidak tahu bagaimana bicara atas namanya sendiri."
Semakin Musashi diam, semakin jahat lidah mereka bergoyang. Akhirnya, dengan wajah
sedikit merah, Musashi berkata, "Kalian bicara tentang suara langit lewat seorang
manusia?" "Ya, kenapa?" "Kalian mengatakan langit bicara menentangku?"
"Kau sudah mendengar sendiri keputusan kami. Apa kau belum mengerti?"
"Belum." "Dan kukira kau takkan mengerti! Karena pengertianmu tak lebih dari yang kaupunyai itu,
sebetulnya kau ini mesti dikasihani. Tapi aku berani mengatakan, dalam kehidupanmu yang
akan datang, kau akan mendapat pikiran sehatmu!"
Dan ketika Musashi tidak mengatakan sesuatu, pendeta itu melanjutkan, "Lebih baik kau
hati-hati sesudah meninggalkan gunung ini. Reputasimu tak bisa dibanggakan."
"Apa peduliku kata orang-orang itu?"
"Coba dengar! Dia masih menyangka dirinya benar."
"Apa yang kulakukan memang benar! Tak ada aku membuat aib atau bersikap pengecut dalam
pertempuran melawan orang Yoshioka."
"Kau cuma omong kosong!"
"Apa ada perbuatanku yang mesti membuatku malu" Coba sebutkan satu!"
"Oh, jadi kau masih punya nyali mengatakan itu?"
"Kuperingatkan kau. Hal-hal lain akan kuabaikan, tapi aku tak akin membiarkan orang
meremehkan pedangku!"
"Baiklah, tapi aku ingin tahu, apakah kau dapat menjawab satu penamaan ini. Kami tahu
kau sanggup bertempur melawan kekuatan berlipat ganda. Kami mengagumi kekuatan kasarmu.
Kami memuji keberanianmu bertahan menghadapi demikian banyak orang. Tapi kenapa
kaubunuh anak yang baru tiga belas tahun umurnya" Bagaimana mungkin kau begitu kejam,
sampai membantai seorang anak?"
Wajah Musashi menjadi pucat, tubuhnya tiba-tiba lemas.
Pendeta itu melanjutkan. "Sesudah kehilangan tangan, Seijuro menjadi pendeta.
Denshichiro kaubunuh. Genjiro satu-satunya yang akan menggantikan mereka. Dengan
membunuh dia, engkau mengakhiri Keluarga Yoshioka. Walaupun misalnya hal itu kaulakukan
demi Jalan Samurai, perbuatan itu kejam, pengecut. Tak cukup baik kalau kau dilukiskan
sebagai orang biadab atau setan. Apa kau menganggap dirimu manusia" Apa kau
membayangkan dirimu mesti disejajarkan dengan samurai" Bahkan apa kau termasuk milik
negeri bunga sakura yang besar ini"
"Tidak! Karena itulah kaum pendeta mengusirmu. Apa pun keadaannya, membantai anak kecil
tidak bisa diampuni. Seorang samurai sejati takkan melakukan kejahatan macam itu. Makin
kuat seorang samurai, makin lembut dan makin berbudi dia terhadap yang lemah. Seorang
samurai memahami dan menunjukkan perasaan belas kasihan.
"Sekarang pergilah kau dari sini, Miyamoto Musashi! Selekas-lekasnya! Gunung Hiei
menolakmu!" Sesudah melampiaskan kemarahan, para pendeta itu beramai-ramai pergi.
Musashi menahan hujan penghinaan yang terakhir itu dengan diam, tapi itu bukan karena
ia tak punya jawaban terhadap tuduhan-tuduhan mereka. "Apa pun yang mereka katakan, aku
yang benar," pikirnya. "Aku melakukan satu-satunya yang dapat kulakukan untuk
melindungi keyakinanku yang tidak salah."
Dengan tulus ia percaya akan berlakunya prinsip-prinsip itu. Karena orang-orang
Yoshioka menggunakan Genjiro sebagai pembawa panji-panji mereka, tidak ada pilihan lain
kecuali membunuhnya. Dialah jenderal mereka. Selama ia masih hidup, Perguruan Yoshioka
akan tetap belum dikalahkan. Musashi dapat membunuh sepuluh, dua puluh, atau tiga puluh
orang, tapi selama Genjiro belum mati, orang-orang yang masih hidup akan selalu
menuntut kemenangan. Dengan membunuh anak itu lebih dulu, Musashi menjadi pemenang,
sekalipun misalnya kemudian ia terbunuh dalam pertempuran.
Menurut hukum permainan pedang, tidak ada yang kurang pada logika ini. Dan bagi
Musashi, hukum itu mutlak.
Sekalipun demikian, ingatan kepada Genjiro betul-betul mengganggunya, menimbulkan
kesangsian, kesedihan, dan kepedihan. Bagi dirinya sendiri pun, kekejaman itu merupakan
perbuatan menjijikan. "Apakah aku harus membuang pedangku dan hidup seperti orang biasa?" tanyanya pada diri
sendiri. Ini bukanlah pertanyaan pertama baginya. Di bawah langit awal petang yang
jernih itu, bunga-bunga sakura putih jatuh di sana-sini, seperti serpih-serpih saiju.
Pepohonan tampak rentan, sebagaimana ia rasakan sekarang, rentan terhadap kesangsian
tentang apakah ia takkan mengubah jalan hidupnya. "Kalau aku membuang pedang ini, aku
dapat hidup dengan Otsu," pikirnya. Tapi kemudian teringat olehnya kehidupan santai
orang-orang kota Kyoto dan dunia yang dihuni Koetsu dan Shoyu.
"Itu bukan duniaku," katanya mantap.
Ia melewati gerbang dan masuk kamar. Ia duduk dekat lampu, mengambil kembali
pekerjaannya yang setengah jadi, dan mulai mengukir lagi cepat-cepat. Penting sekali
baginya menyelesaikan patung itu. Entah hasilnya bagus atau tidak, ia ingin sekali
meninggalkan sesuatu di sini, untuk menyenangkan arwah Genjiro yang telah pergi.
Lampu memudar dan ia pun merapikan sumbunya. Dalam ketenangan malam itu, bunyi
potongan-potongan kecil kayu yang jatuh ke atas tatami terdengar jelas. Konsentrasinya
menyeluruh, dan seluruh dirinya terpusat dengan kepekatan sempurna pada titik kontak
dengan kayu itu. Memang sekali ia mulai menugaskan dirinya, sudah sifat alamiahnya
untuk menenggelamkan diri di dalamnya sampai tugas itu selesai, tak peduli ia bosan
atau kelelahan. Nada-nada bacaan sutra itu timbul dan tenggelam. Tiap kali selesai merapikan sumbu
lampu, Musashi mulai lagi dengar pekerjaannya, dengan bakti dan takzim, seperti
pemahat-pemahat kuno yang kabarnya membungkuk tiga kali kepada sang Budha sebelum
mengambil pahat-pahat untuk mengukir sebuah patung. Patung Kannon yang dibuat Musashi
ini menjadi semacam doa untuk kebahagiaan Genjiro dalam kehidupan berikutnya, dan dalam
makna tertentu juga merupakan permintaan maaf yang rendah hati untuk jiwanya sendiri.
Akhirnya ia bergumam, "Kupikir cukuplah ini." Ketika ia meluruskan badan dan memeriksa
patung itu, lonceng pagoda timur berbunyi sebagai tanda jaga malam kedua, yang dimulai
jam sepuluh. "Sudah larut sekarano.pikirnya, lalu ia segera pergi untuk menyatakan
hormat kepada pendeta kepala, dan memintanya menyimpan patung itu. Patung itu kasar
pahatannya. tetapi Musashi telah mencurahkan seluruh jiwanya ke dalamnya, menangis
menyatakan penyesalan selagi berdoa untuk arwah anak yang meninggal itu.
Baru saja ia keluar dari ruangan itu, Seinen sudah datang menyapu lantai. Ketika
ruangan sudah bersih kembali, ia tebarkan kasur Musashi. lalu sambil memanggul sapu ia
berjalan kembali ke dapur. Tanpa diketahui Musashi, ketika ia masih mengukir tadi,
sesosok tubuh yang seperti kucing telah merayap masuk Mudoji lewat pintu-pintu yang
tidak pernah dikunci, dan masuk beranda. Sesudah Seinen tidak kelihatan lagi, shoji
yang menuju beranda terbuka pelan-pelan, dan kemudian tertutup pelan-pelan juga.
Musashi kembali sambil membawa kenang-kenangan untuk keberangkatannya, sebuah topi


Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

anyaman dan sepasang sandal jerami. Sesudah meletakkan keduanya di samping bantal, ia
mematikan lampu dan merangkak masuk tempat tidur. Pintu-pintu luar terbuka dan angin
bertiup lembut lewat cukup terang, hingga shoji jadi berona kelabu pucat. Bayang-bayang
pohon berayun-ayun lembut seperti ombak laut terbuka yang tenang.
Musashi mendengkur pelan. Semakin dalam tidurnya, semakin pelan napasnya. Tanpa suara,
ujung tirai kecil di sudut ruangan bergerak ke depan, dan sesosok tubuh gelap merangkak
mencuri-curi. Suara dengkuran berhenti, dan sosok hitam itu cepat bertiarap ke lantai.
Ketika napas Musashi mulai mantap lagi, si penyerbu maju sesenti demi sesenti, dengan
sabar, hati-hati, dan menyesuaikan gerak-geriknya dengan napas yang berirama itu.
Sekonyong-konyong bayangan itu bangkit seperti gumpalan sutra kasar hitam dan menerkam
Musashi sambil berteriak. "Mati kau!" Sebilah pedang pendek menyapu ke arah leher
Musashi. Tetapi seketika itu juga senjata itu berdentang ke samping, sementara sosok
hitam itu melayang ke belakang dan terempas ke shoji. Si penyerbu melolong keras dan
terjerembap bersama shoji ke dalam kegelapan di luar kuil.
Ketika melontarkan orang itu, terpikir oleh Musashi bahwa orang dalam tangannya itu
ringan seperti anak kucing. Wajahnya berbalut kain, tapi sekilas terlihat olehnya
rambutnya yang putih. Tanpa beristirahat untuk memikirkan penglihatannya itu, ia
menyambar pedangnya dan berlari ke beranda.
"Berhenti!" teriaknya. "Susah-susah kalian datang kemari, kenapa tidak kalian beri aku
kesempatan menyambut kalian baik-baik?" Ia meloncat ke tanah dan lari kencang ke arah
bunyi langkah-langkah yang menjauh. Tapi hatinya tak lagi di situ. Beberapa detik
kemudian ia berhenti, dan sambil tertawa memperhatikan menghilangnya beberapa orang
pendeta ke dalam kegelapan.
Osugi merasa tulangnya remuk karena jatuh, dan kini ia terbaring di tanah, merintih
kesakitan. "Lho, Nenek ini tadi, ya?" seru Musashi. Ia terkejut karena penyerangnya
bukan orang Yoshioka, dan bukan juga para pendeta yang berang itu. Dirangkulnya
perempuan tua itu dan dibantunya berdiri.
"Sekarang baru aku tahu," katanya. "Jadi, Nenek yang menyampaikan hal-hal jelek kepada
para pendeta itu, kan" Dan kukira karena cerita itu datang dari wanita tua yang gagah
berani dan tulus, mereka percaya setiap ucapan Nenek."
"Oh, punggungku sakit!" Osugi tidak membenarkan dan tidak juga membantah tuduhan itu.
Ia menggeliat sedikit, tapi tak ada tenaga untuk mengadakan perlawanan. Dengan lemah ia
berkata, "Musashi, karena sudah begini jadinya, tak ada gunanya mempersoalkan benar
atau salah. Keluarga Hon'iden tidak beruntung dalam perang, jadi tebaslah kepalaku
sekarang." Musashi merasa kata-kata itu diucapkan tidak semata-mata untuk menunjukkan sikap
dramatis. Kata-kata itu terdengar sebagai ucapan seorang perempuan yang sudah berjalan
sejauh kemampuannya, dan kini ingin mengakhiri perjalanan itu.
"Sakit, ya?" tanya Musashi yang tak hendak menerima kata-kata Osugi secara sungguhsungguh. "Di mana yang sakit" Nenek dapat tinggal di sini malam ini, jadi tak perlu
kuatir." Diangkatnya perempuan itu, dibawanya ke dalam, dan diletakkannya di kasurnya.
Sepanjang malam dirawatnya perempuan itu sambil duduk di sampingnya.
Ketika hari terang, Seinen membawakan Musashi bekal makan yang dimintanya, diiringi
pesan pendeta kepala yang minta maaf atas sikapnya yang kasar, dan mendesak Musashi
untuk pergi selekas mungkin.
Musashi mengirimkan pesan juga, menerangkan bahwa ia sekarang menanggung seorang
perempuan tua yang sudah sakit-sakitan. Pendeta tak ingin Osugi tinggal di kuil itu,
dan menyampaikan sebuah saran. Rupanya seorang saudagar dari kota Otsu telah datang ke
kuil itu, membawa seekor lembu dan meninggalkan binatang itu untuk diurus pendeta
kepala, sementara ia pergi ke tempat lain. Pendeta menawarkan kepada Musashi untuk
menggunakan binatang itu. Katanya, Musashi dapat menyuruh Osugi naik lembu itu untuk
turun gunung. Di Otsu, lembu dapat ditinggalkan di dermaga, atau di salah satu rumah
penjualan borongan di sekitar tempat itu.
Musashi menerima tawaran itu dengan ucapan terima kasih.
*** 51. Minuman Susu JALAN yang menuruni lereng Gunung Hiei berakhir di Provinsi Omi, di suatu tempat di
seberang Miidera. Musashi menuntun lembu itu dengan tambang. Sambil menoleh ia berkata lembut, "Kalau
Nenek mau, kita bisa istirahat. Rasanya kita tidak tergesa-gesa." Tapi setidak-tidaknya
mereka sudah berjalan, demikian pikirnya. Semula Osugi menolak mentah-mentah naik
binatang itu, karena tidak terbiasa naik lembu. Terpaksa Musashi mengerahkan segala
kecerdikannya untuk meyakinkan perempuan itu. Alasan yang akhirnya dapat diterima Osugi
adalah bahwa ia tidak dapat terus-terusan tinggal di benteng tempat hidup membujang
bagi para pendeta itu. Dengan wajah menelungkup ke leher lembu, Osugi merintih kesakitan dan tiap kali
menyesuaikan kedudukannya. Setiap kali Musashi menunjukkan perhatian kepadanya, ia
mengingatkan diri akan dendamnya dan diam-diam menunjukkan kebenciannya karena dirawat
oleh musuh bebuyutannya ini.
Walaupun Musashi sadar benar bahwa tidak ada alasan lain bagi Osugi untuk hidup,
kecuali membalas dendam kepadanya, ia tidak dapat menganggap perempuan tua itu sebagai
musuh sejati. Tak seorang pun pernah demikian banyak menimbulkan kesulitan atau rasa
malu kepadanya, bahkan juga musuh-musuhnya yang lebih kuat, selain Osugi. Tipu daya
Osugi pernah membawanya ke tepi bencana di desanya sendiri. Karena Osugi juga, Musashi
diejek-ejek dan dicaci maki orang di Kiyomizudera. Berkali-kali perempuan itu menjegal
dan menggagalkan rencananya. Berulang kali juga, seperti tadi malam, Musashi
menyumpahinya dan hampir saja menyerah pada dorongan hati untuk memotong perempuan itu
menjadi dua. Namun Musashi perempuan itu diamnya lidah perempuan itu baginya. tidak sampai hati menjatuhkan tangan padanya, terutama sekarang, ketika
sedang sakit dan kehilangan semangat yang biasa dipunyainya. Anehnya,
jahat perempuan itu justru membuat Musashi tertekan. Ia ingin melihat
kembali sehat, sekalipun hal itu akan berarti lebih banyak kesulitan
"Berkendaraan macam begitu, mestinya memang tak nyaman," kata Musashi. "Cobalah tahan
sedikit lagi. Kalau kita nanti sampai diOtsu, saya cari akal lain."
Pemandangan ke arah timur laut bagus sekali. Danau Biwa terhampar tenang di bawah
mereka, Gunung Ibuki di seberangnya, sedangkan puncak-puncak Echizen menjulang di
kejauhan. Di sisi danau itu, Musashi dapat melihat Delapan Pemandangan Karasaki yang
terkenal itu di Desa Seta.
"Mari kita berhenti sebentar," kata Musashi. "Nenek akan merasa lebih enak kalau turun
dan berbaring di bawah beberapa menit." Ia tambatkan binatang itu ke sebatang pohon, ia
angkat perempuan itu, dan ia turunkan.
Dengan menunduk, Osugi menjulurkan tangannya ke samping dan mengerang. Wajahnya panas
karena demam dan rambutnya kusut masai.
"Nenek tak ingin air?" tanya Musashi untuk kesekian kalinya, sambil menggosok punggung
Osugi. "Nenek juga mesti makan." Tapi dengan keras Osugi menggeleng. "Nenek belum minum
setetes air pun sejak tadi malam," kata Musashi lagi. "Kalau Nenek terus begini, Nenek
akan lebih menyusahkan diri sendiri. Saya ingin mencari obat buat Nenek, tapi tak ada
rumah di sekitar sini. Oh ya, bagaimana kalau Nenek makan separuh makanan saya?"
"Memuakkan!" "Ha?" "Lebih baik aku mati di ladang dan dimakan burung-burung. Tak bakal aku begitu rendah,
sampai mau menerima makanan dari musuh!" Osugi mengibaskan tangan Musashi dan
punggungnya dan mencengkeram rerumputan.
Musashi bertanya-tanya dalam hati, apakah perempuan itu akan pernah bisa mengatasi
salah pengertian yang mendasar di antara mereka. Maka diperlakukannya perempuan itu
semesra ia memperlakukan ibunya sendiri. dan dengan sabar Musashi menenangkannya tiap
kali perempuan itu menyerangnya.
"Nenek kan tahu sendiri, Nenek tak ingin mati. Nenek mesti hidup. Apa Nenek tak ingin
melihat Matahachi mencapai sukses?"
Osugi meringis dan menggeram, "Apa hubungannya denganmu" Tak lama lagi Matahachi akan
maju tanpa pertolonganmu."
"Saya yakin. Tapi Nenek mesti sembuh, supaya Nenek sendiri dapat mendorongnya."
"Munafik!" jerit perempuan itu. "Menghabiskan waktu saja kalau kau pikir dapat
menjilatku supaya aku melupakan kebencianku padamu."
Karena sadar bahwa apa pun yang dikatakannya akan disalahartikan, maka Musashi berdiri
dan pergi. Ia memilih tempat di belakang batu, dan di situ ia makan gumpal-gumpal nasi
berisi empleng kacang manis berwarna gelap yang dibungkus satu-satu dengan daun ek.
Separuhnya tidak ia makan.
Karena mendengar suara-suara orang, Musashi memandang ke sekitar batu dan melihat
seorang perempuan desa sedang berbicara dengan Osugi.
Perempuan itu mengenakan hakama seperti biasa dipakai perempuan Ohara, dan rambutnya
terurai di bahu. Dengan suara nyaring, perempuan itu berkata, "Di tempat saya ada
perempuan sakit. Sudah lebih ringan keadaannya sekarang, tapi dia akan sembuh lebih
cepat lagi kalau saya memberinya susu. Boleh saya memerah lembu ini?"
Osugi mengangkat muka dan memandang perempuan itu dengan nada bertanya-tanya. "Di
tempat asalku tidak banyak lembu. Apa betul-betul engkau bisa memerahnya?"
Kedua orang itu bercakap-cakap lagi sedikit, sementara perempuan itu berjongkok dan
mulai menyemprotkan air susu ke dalam guci sake. Ketika guci sudah penuh, ia berdiri
dan memegangnya erat-erat, katanya, "Terima kasih. Saya pergi sekarang."
"Tunggu!" teriak Osugi dengan suara serak. Ia mengulurkan tangan dan menoleh ke
sekitar, untuk memastikan bahwa Musashi tidak memperhatikan. "Berikan dulu sedikit susu
itu padaku. Satu-dua hirupan saja cukup."
Perempuan itu memandang heran ketika Osugi meletakkan guci ke bibir, memejamkan mata,
dan mereguk susu dengan serakahnya, hingga susu mengucur ke dagunya.
Selesai minum, Osugi bergidik, kemudian menyeringai, seolah-olah akan muntah.
"Memualkan sekali rasanya!" cibirnya. "Tapi siapa tahu bisa bikin aku sembuh"
Mengerikan sekali rasanya, lebih busuk daripada obat."
"Ada apa" Apa Ibu sakit?"
"Ah, tidak begitu parah. Masuk angin dan sedikit demam." Ia cepat berdiri, seakan semua
penyakitnya telah hilang, dan sesudah sekali lagi meyakinkan diri bahwa Musashi tidak
melihatnya, ia mendekati perempuan itu dan bertanya dengan suara rendah, "Kalau aku
ikuti jalan ini, sampai ke mana aku?"
"Sampai di atas Miidera."
"Itu di Otsu, kan" Apa ada jalan lain yang bisa kuambil?"
"Ya, ada, tapi ke mana Ibu mau pergi?"
"Ke mana saja. Aku cuma mau lepas dari bajingan itu!"
"Kira-kira delapan atau sembilan ratus meter mengikuti jalan ini, ada jalan setapak ke
utara. Kalau Ibu ikuti saja jalan itu, Ibu akan sampai di antara Sakamoto dan Otsu."
"Kalau kau ketemu orang lelaki mencariku," kata Osugi mencuri-curi, "jangan katakan kau
melihatku." Ia pergi dengan ributnya, seperti belalang sembah pincang yang terburuburu, sampai-sampai tersenggol olehnya perempuan itu dengan kikuknya.
Musashi mendecap dan keluar dari balik batu. "Kukira engkau tinggal sekitar tempat
ini," katanya bersahabat. "Suamimu petani, penebang kayu, atau yang semacam itu?"
Perempuan itu gemetar ketakutan, tapi menjawab, "Tidak. Saya dari penginapan di atas
celah itu." "Oh, lebih baik lagi. Kalau kau kuberi uang, mau kau lari mengerjakan suruhanku?"
"Dengan senang hati, tapi begini, di penginapan saya ada orang sakit."
"Aku bisa membawa susu itu pulang untukmu dan menantimu di sana. Bagaimana" Kalau kau
pergi sekarang, engkau bisa kembali sebelum gelap."
"Kalau begitu, saya kira bisa, tapi..."
"Tak perlu kuatir! Aku bukan bajingan seperti dikatakan perempuan tua itu tadi. Aku
cuma mau menolongnya. Kalau dia bisa jalan sendiri, tak ada alasan menguatirkan dia.
Sekarang akan kutulis surat. Kuminta kau menyampaikannya ke rumah Yang Dipertuan
Karasumaru Mitsuhiro. Tempatnva di bagian utara kota."
Dengan kuas yang dikeluarkannya dari kantong tulisnya, Musashi cepat menuliskan katakata yang sudah ingin sekali ditulisnya kepada Otsu selama ia menyembuhkan diri di
Mudoji. Selesai mempercayakan surat itu kepada perempuan tersebut, ia menaiki lembunya
dan berangkat. Diulang-ulangnya kata-kata yang telah ditulisnya, dan menduga-duga
bagaimana perasaan Otsu sewaktu membacanya. "Padahal semula kupikir aku takkan pernah
melihatnya lagi," gumamnya, tiba-tiba tersadar kembali.
"Melihat kondisi badannya yang lemah," demikian renungnya, "dia bisa terbaring sakit
lagi di tempat tidur. Tapi kalau dia menerima suratku, pasti dia bangun dan datang
secepatnya. Jotaro juga."
Ia biarkan lembu itu berjalan seenaknya. Sekali-sekali ia berhenti, memberikan hewan
itu kesempatan merumput. Surat kepada Otsu itu sederhana. tapi ia cukup senang juga:
"Di Jembatan Hanada engkaulah yang menanti. Kali ini biarlah aku yang menanti. Aku
sudah mendahului. Akan kunanti engkau di Otsu, di Jembatan Kara, Desa Seta. Kalau nanti
kita berkumpul lagi, kita akan bicara tentang banyak hal." Ia mencoba memberikan nada
puitis kepada pesan itu sendiri, seraya merenungkan kata-kata "bicara tentang banyak
hal". Sampai di penginapan ia turun dari lembu, dan sambil memegang air susu dengan kedua
tangan, panggilnya, "Ada orang di sini?"
Sebagaimana biasa pada bangunan tepi jalan jenis ini, di situ terdapat tempat terbuka
di bawah ujung atap depan, untuk para musafir yang berhenti untuk minum teh atau makan
makanan kecil. Di dalam terdapat ruang teh yang sebagian merupakan dapur. Kamar-kamar
tamu ada di belakang. Seorang perempuan tua sedang memasukkan kayu ke dalam tungku
tanah. Di atas tungku ada dandang kayu.
Ketika Musashi mengambil tempat duduk di bangku depan, perempuan itu datang menuangkan
secangkir teh suam-suam kuku untuknya. Musashi kemudian memberikan keterangan dan
menyerahkan guci itu kepadanya.
"Apa ini?" tanya perempuan itu sambil menatap Musashi ragu-ragu.
Karena menduga perempuan itu tuli, Musashi mengulangi ucapannya.
"Susu, Anda bilang susu" Untuk apa?" Masih dengan sikap heran menoleh ke dalam
penginapan dan serunya, "Pak, apa Bapak bisa keluar sebentar" Saya tak mengerti, urusan
apa ini." "Apa?" Seorang lelaki berjalan seenaknya lewat sudut penginapan dan bertanya, "Ada
apa?" Si perempuan menyorongkan guci ke tangan orang itu, tapi orang itu tidak melihat
ataupun mendengarkan apa yang dikatakannya. Matanya lekat pada Musashi, dan pada
wajahnya tergambar kesan tak percaya. Musashi sendiri terkejut, teriaknya, "Matahachi!"
"Takezo!" Kedua orang itu bergegas saling mendekati, dan baru berhenti ketika akan bertubrukan.
Musashi mengulurkan tangannya, dan Matahachi berbuat demikian juga, hingga guci
terjatuh. "Berapa tahun!"
"Sejak Sekigahara."
"Jadi, sudah..."
"Lima tahun. Ya, tentunya. Umurku sudah dua puluh dua sekarang."
Selagi keduanya saling dekap, bau manis susu dari guci yang pecah menyelimuti mereka,
membangkitkan kembali kenangan akan masa-masa mereka berdua masih bayi di dalam
gendongan. "Kau jadi terkenal sekali, Takezo. Tapi... mestinya aku tak boleh memanggilmu Takezo
sekarang. Akan kupanggil engkau Musashi, seperti semua orang lain. Aku sudah mendengar
cerita keberhasilanmu di pohon pinus lebar itu... dan tentang beberapa hal yang sudah
kaulakukan sebelum itu."
"Jangan bikin aku malu. Aku masih amatir. Hanya saja dunia ini rupanya penuh dengan
orang-orang yang tidak sebaik diriku. Omong-omong, apa kau tinggal di sini?"
"Ya, aku di sini sekitar sepuluh hari. Aku tinggalkan Kyoto dengan maksud pergi ke Edo,
tapi ada sesuatu yang menghalangi."
"Ada yang bilang, di sini ada orang sakit. Yah, tak bisa aku berbuat apaapa soal itu
sekarang, tapi sebetulnya itulah sebabnya aku membawa susu itu tadi."
"Sakit" O ya... itu teman perjalananku."
"Sayang sekali. Tapi biar bagaimana, aku senang ketemu kau. Berita terakhir darimu
adalah surat yang dibawa Jotaro itu, ketika aku dalam perjalanan ke Nara."
Matahachi menundukkan kepala, dengan harapan Musashi takkan menyebut-nyebut ramalan
penuh bualan yang ia buat waktu itu.
Musashi meletakkan tangan ke bahu Matahachi. Terpikir olehnya alangkah senang bertemu
lagi dengan temannya ini, dan alangkah ingin ia berbicara panjang-lebar dengannya.
"Siapa yang berjalan denganmu itu?" tanyanya polos.
"Ah, bukan siapa-siapa, bukan orang yang menarik bagimu. Cuma..."
"Tak apa. Mari kita mencari tempat buat berbicara."
Ketika mereka berjalan meninggalkan penginapan, Musashi bertanya. "Bagaimana
penghidupanmu?" "Maksudmu pekerjaan?"
"Ya." "Aku tak punya bakat atau keterampilan khusus, karena itu sukar buatku mendapat
kedudukan pada daimyo. Tak dapat aku mengatakan sedang melakukan sesuatu yang khusus."
"Maksudmu, kau bermalas-malasan saja bertahun-tahun ini?" tanya Musashi, yang samarsamar sudah menduga apa yang sebenarnya terjadi.
"Sudahlah. Mengatakan hal-hal seperti itu cuma membangkitkan kembali segala macam
kenangan tak enak." Rupanya pikiran Matahachi melayang ke masa mereka berada dalam
bayangan Gunung Ibuki. "Kesalahan besar yang kulakukan adalah bergaul dengan Oko itu."
"Mari kita duduk," kata Musashi sambil bersila di rumput. Ia merasa jengkel, kenapa
Matahachi bersikeras menganggap dirinya lebih rendah" Dan kenapa ia menyalahkan orang
lain untuk segala kesulitannya" "Kau ini menyalahkan semuanya pada Oko," katanya tegas,
"tapi apa itu cara bicara seorang dewasa" Tak seorang pun dapat menciptakan hidup yang
berguna buatmu, kecuali dirimu sendiri."
"Aku mengaku salah, tapi... bagaimana aku dapat menerangkannya" Rupanya aku tak mampu
mengubah nasibku sendiri."


Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Pada zaman seperti sekarang ini, kau takkan sampai ke mana-mana kalau kau berpikir
seperti itu. Pergilah ke Edo kalau mau, tapi sesampainva di sana, kau akan bertemu
orang-orang dari seluruh negeri ini, yang masing-masing haus akan uang dan kedudukan.
Kau takkan punya nama kalau cuma melakukan apa yang dilakukan orang lain. Kau mesti
membedakan dirimu dari yang lain, dengan caramu sendiri."
"Ketika masih muda, mestinya aku belajar main pedang."
"Kebetulan sekarang kau menyebut itu. Aku ragu-ragu, apakah patut kau menjadi pemain
pedang. Biar bagaimana, kau baru mulai. Barangkali kau perlu memikirkan kemungkinan
menjadi sarjana. Kukira itulah jalan terbaik buatmu mencari kedudukan pada seorang
daimyo." "Jangan kuatir, aku pasti akan berbuat sesuatu." Matahachi mencabut selembar rumput dan
menyelipkannya ke antara giginya. Perasaan malu menindasnya. Sungguh memalukan,
menyadari akibat dari bermalas-malasan lima tahun lamanya itu. Tadinya ia selalu dapat
menepiskan cerita-cerita yang didengarnya tentang Musashi dengan cukup gampang. Tapi
sesudah berhadapan benar-benar seperti ini, jelas kelihatan perbedaan besar di antara
mereka. Di depan Musashi yang perkasa, sukar Matahachi mengenang kembali bahwa dahulu
mereka berdua teman karib. Bahkan sifat muka Musashi pun terasa menekan. Rasa iri
maupun semangat bersaing tak dapat menghilangkan perihnya menyadari ketidakbecusannya
sendiri. "Besarkan hatimu!" kata Musashi. Tapi bahkan ketika menepuk bahu Matahachi pun, ia
dapat merasa temannya itu lemah. "Yang sudah, sudahlah. Lupakan masa lalu," desaknya.
"Kalaupun sudah kauhamburkan lima tahun yang lalu itu, apa salahnya" Yang penting, kau
mulai untuk lima tahun berikutnya. Lima tahun yang lalu itu, dengan caranya sendiri,
sudah memberikan pelajaran berharga."
"Tahun-tahun yang sungguh brengsek."
"Oh, ya, aku lupa. Aku baru meninggalkan ibumu tadi."
"Kau ketemu ibuku?"
"Ya. Perlu kukatakan, aku sungguh tak mengerti kenapa kau tidak lahir dengan banyak
kekuatan dan keuletan." Dan ia juga tak dapat mengerti, kenapa Osugi memiliki anak
seperti itu, anak yang begitu enggan bekerja dan begitu mengasihani diri sendiri. Ia
ingin mengguncang temannya itu, mengingatkannya, betapa beruntung ia memiliki ibu.
Sambil menatap Matahachi, ia bertanya pada diri sendiri, bagaimana meredakan murka
Osugi. Dan jawabannya pun datang segera kalau Matahachi sendiri sudah berhasil....
"Matahachi," katanya khidmat. "Memiliki ibu seperti ibumu itu, apa tidak ingin kau
mencoba melakukan sesuatu untuk menyenangkannya" Sebagai orang yang tak punya orangtua,
terpaksa aku berpendapat bahwa kau tidak cukup menunjukkan rasa syukur. Bukannya karena
kau tidak cukup menunjukkan rasa hormat. Tapi biarpun dikaruniai bekal terbaik yang
mungkin dimiliki seseorang, rupanya kau menganggapnya tak lebih dari kotoran. Kalau aku
punya ibu seperti ibumu, aku pasti jauh lebih ingin memperbaiki diriku dan melakukan
sesuatu yang betul-betul berguna, semata-mata karena akan ada orang yang bisa kuajak
berbagi kebahagiaan. Tak seorang pun merasa lebih gembira dengan sukses seorang manusia
daripada orangtuanya sendiri.
"Mungkin kedengarannya aku cuma menyemburkan nasihat hampa. Tapi dari seorang
pengembara seperti diriku, bukan itu soalnya. Sukar bagiku menyatakan padamu, betapa
sepi rasaku apabila aku menjumpai pemandangan indah, kemudian tiba-tiba aku sadar, tak
ada orang lain yang bisa kuajak menikmatinya."
Musashi berhenti untuk mengatur napas, dan memegang tangan temannya. "Kau tahu sendiri,
apa yang kukatakan ini benar. Kau tahu aku bicara sebagai teman lama, sebagai orang
yang datang dari desa yang sama. Mari kita mencoba menangkap kembali semangat yang
pernah kita miliki ketika kita berangkat ke Sekigahara. Sekarang tidak ada lagi perang,
tapi perjuangan untuk tetap hidup di dunia yang damai tidak kurang sukarnya. Kau mesti
berjuang, mesti memiliki rencana. Kalau kau mau mencoba, aku mau berbuat segalanya
untuk membantumu." Air mata Matahachi jatuh ke tangan mereka yang saling genggam. Walaupun kata-kata
Musashi serupa dengan khotbah-khotbah ibunya yang membosankan, ia betul-betul tergerak
oleh perhatian temannya. "Kau benar," katanya sambil menghapus air matanya. "Terima kasih. Akan kulakukan apa
yang kaukatakan itu. Aku akan menjadi orang baru sejak sekarang. Aku sependapat, aku
bukan jenis orang yang akan berhasil menjadi pemain pedang. Aku akan pergi ke Edo dan
mencari seorang guru. Kemudian aku akan belajar giat. Aku bersumpah akan melakukan
itu." "Aku sendiri akan membuka mata, mencari guru yang baik, juga majikan yang baik tempat
kau bisa bekerja. Kau bahkan bisa bekerja dan belajar sekaligus."
"Oh, itu bisa seperti mulai hidup lagi. Tapi ada satu hal yang menggangguku."
"Ya" Seperti kukatakan tadi, aku akan berusaha membantumu sebisaku. Setidaknya itulah
yang dapat kulakukan untuk menebus apa yang telah membuat ibumu begitu marah."
"Aduh, tapi memalukan juga ini. Kau tahu, teman jalanku itu seorang perempuan. Dia...
oh, tak dapat aku menyebutkannya."
"Ayo, bicaralah seperti lelaki!"
"Kau jangan marah. Dia orang yang kau kenal."
"Siapa?" "Akemi." Musashi terkejut, dan pikirnya, "Tak mungkin lagi dia memungut perempuan yang lebih
gawat dari itu." Tapi sebelum sempat mengucapkan kata-kata itu, ia sudah menahan diri.
Benar, secara seksual Akemi tidak sebejat ibunya, setidaknya belum, tetapi ia sudah
mengarah ke sana-seperti burung yang terbang membawa obor kehancuran. Disamping
peristiwa dengan Seijuro, Musashi sangat curiga ada apa-apa juga antara perempuan itu
dengan Kojiro. Ia heran nasib jahat apa yang telah mengantar Matahachi kepada
perempuan-perempuan seperti Oko dan anaknya.
Matahachi salah menafsirkan diamnya Musashi sebagai tanda cemburu. "Kau marah, ya" Aku
menceritakan ini dengan jujur padamu karena kupikir sebaiknya aku tidak
menyembunyikannya." "Orang tolol! Yang kukuatirkan itu kau! Apa kau sudah terkutuk sejak lahir, atau kau
sengaja meninggalkan jalanmu buat mencari nasib buruk. Kupikir kau sudah mengambil
pelajaran dari Oko."
Menjawab pertanyaan Musashi itu, Matahachi bercerita bagaimana ia dan Akemi sampai
dapat bersama-sama. "Barangkali aku kena hukum karena meninggalkan Ibu," simpulnya.
"Akemi sakit kaki ketika jatuh ke dalam ngarai, dan kaki itu semakin buruk keadaannya,
jadi..." "Oh, jadi Bapak ada di sini!" kata perempuan tua dari penginapan itu dalam logat
setempat. Ia sudah tak tentu tingkahnya dan pikun. Dengan tangan di belakang, sambil
memandang ke langit, seakan-akan sedang memerikn cuaca, ia berkata, "Perempuan yang
sakit itu tidak dengan Bapak," tambahnya. Nada bicaranya tidak jelas, apakah ia
bertanya atau memberi kabar.
Dengan wajah sedikit merah, Matahachi berkata, "Akemi" Kenapa dia?"
"Dia tak ada di tempat tidur."
"Betul?" "Beberapa waktu lalu dia masih ada, tapi sekarang tak ada."
Walaupun indra keenam Musashi sudah tahu apa yang terjadi, ia hanya mengatakan, "Lebih
baik kita lihat." Tilam Akemi masih terhampar di lantai, tapi kamar itu kosong.
Matahachi memaki-maki dan sia-sia mengelilingi kamar. Dengan wajah merah padam ia
berkata. "Tak ada obi, tak ada uang! Sisir dan peniti saja tak ada! Gila dia! Kenapa
sih dia... meninggalkan aku macam ini!"
Perempuan tua itu berdiri di pintu masuk. "Brengsek," katanya, seakan pada diri
sendiri. "Saya barangkali tak boleh mengatakannya, tapi gadis itu tidak sakit. Dia cuma
pura-pura, supaya dapat tinggal di tempat tidur. Saya memang tua, tapi saya dapat
mengenali hal-hal seperti itu."
Matahachi berlari ke luar, dan berdiri menatap jalan putih yang membelok sepanjang sisi
bukit. Lembu yang berbaring di bawah pohon persik memecahkan kesunyian dengan lenguhnya
yang panjang mengantuk. Kembang persik mulai menua warnanya dan berjatuhan.
"Matahachi," kata Musashi, "kenapa kau berdiri bermuram durja" Mari kita doakan dia
menemukan tempat menetap dan menempuh hidup damai, dan biarlah saja demikian."
Seekor kupu-kupu kuning terlontar tinggi ke udara oleh angin pusaran, dan akhirnya
terjatuh di ujung karang.
"Aku senang sekali dengan janji yang kauberikan itu," kata Musashi. "Apa bukan sekarang
waktunya bertindak, yaitu kau betul-betul mencoba menggembleng dirimu?"
"Ya, itu yang mesti kulakukan, rasanya," gumam Matahachi tanpa semangat, sambil
menggigit bibir bawahnya agar tidak menggeletar.
Musashi memutarnya agar tidak lagi memandang jalan kosong. "Dengar," katanya riang.
"Jalanmu sekarang terbuka. Ke mana pun Akemi pergi, itu tak cocok untukmu. Sekarang
pergilah, sebelum terlambat. Ambillah jalan yang berada di antara Sakamoto dan Otsu.
Kau masih dapat menjumpai ibumu sebelum malam. Kalau nanti kautemukan, jangan lepaskan
lagi dia." Untuk menekankan kata-katanya, Musashi mengambil sandal dan pembalut kaki Matahachi,
kemudian ia masuk penginapan dan kembali dengan barang-barang milik Matahachi yang
lain. "Kau punya uang?" tanyanya. "Aku sendiri tak punya banyak, tapi kau bisa pakai
sebagian. Kalau menurutmu Edo cocok buatmu, aku akan pergi ke sana denganmu. Malam ini
aku ada di Jembatan Kara di Seta. Sesudah kau menemukan ibumu, cari aku di sana.
Kuharap kau membawa ibumu."
Sesudah Matahachi berangkat, Musashi beristirahat menanti turunnya senja dan jawaban
atas suratnya. Ia membaringkan diri di bangku di belakang ruang teh, lalu memejamkan
mata, dan segera bermimpi tentang dua kupu-kupu yang mengapung di udara, sambil
bersenang-senang di antara cabang-cabang pohon yang saling berjalin. Seekor di antara
kupukupu itu dikenalinya"Otsu!
Ketika ia terbangun, cahaya matahari yang condong sudah mencapai dinding belakang ruang
teh. Ia mendengar seorang lelaki berkata, "Dari segi mana pun, penampilan mereka betulbetul brengsek."
"Maksudmu orang-orang Yoshioka?"
"Betul." "Orang terlalu menghormati perguruan itu karena nama baik Kempo. Rupanya di bidang apa
pun, cuma angkatan pertama itu yang besar artinya. Angkatan berikut sudah tidak
semarak, dan pada angkatan ketiga semuanya berantakan. Jarang kita melihat kepala
angkatan keempat dikubur di samping pendirinya."
"Oh, aku bermaksud dikubur di samping buyutku."
"Tapi kau kan cuma seorang pembelah batu" Yang kubicarakan ini orang-orang terkenal.
Kalau kaupikir omonganku ini salah, coba lihat apa yang terjadi dengan ahli waris
Hideyoshi." Para pembelah batu itu bekerja di lubang galian di dalam lembah, dan. sekitar pukul
tiga sore mereka datang ke penginapan untuk minum teh. Sebelumnya, seorang dari mereka
yang tinggal dekat Ichijoji menyatakan bahwa ia melihat pertempuran itu dari permulaan
sampai penghabisan. Sesudah berlusin kali menyampaikan cerita itu, sekarang ia dapat
bercerita dengan kefasihan yang menggetarkan, dan dengan pandainya ia membunga-bungai
kenyataan dan meniru-nirukan gerak-gerik Musashi.
Sementara para pembelah batu asyik mendengarkan ceritanya, empat orang lain datang dan
mengambil tempat duduk di depan: Sasaki Kojiro dan tiga samurai dari Gunung Hiei. Wajah
cemberut mereka membuat para pekerja merasa tak enak, karena itu mereka mengangkat
cangkir teh dan mengundurkan diri ke dalam. Tapi ketika kisah jadi semakin seru.
mulailah mereka tertawa-tawa dan berkomentar, dan sering sekali mereka mengulang-ulang
nama Musashi dengan penuh kekaguman.
Kojiro sampai pada batas kesabarannya, dan ia berseru keras, "Hei kalian yang di sana!"
"Ya, Tuan," jawab mereka serentak, dan dengan sendirinya menundukkan kepala.
"Apa yang terjadi di sini" Kamu!" Kojiro menudingkan kipasnya yang berkerangka baja
pada orang itu. "Kau bicara seperti orang yang tahu banyak. Coba ke sini! Yang lainlain juga! Takkan kuapa-apakan."
Ketika mereka berjalan pelan kembali ke luar, Kojiro melanjutkan, "Dari tadi aku
mendengarmu menyanyikan pujian kepada Miyamoto Musashi" dan sekarang aku sudah bosan.
Yang kau ceritakan itu omong kosong."
Orang pun memandang bertanya-tanya dan berbisik-bisik keheranan.
"Kenapa kauanggap Musashi pemain pedang besar" Hei kau... kau melihat pertempuran itu,
tapi percayalah, aku Sasaki Kojiro, juga melihatnya. Sebagai saksi resmi, aku
memperhatikan setiap bagian kecilnya. Kemudian aku pergi ke Gunung Hiei dan memberikan
kuliah pada murid pendeta, tentang apa yang sudah kulihat. Lebih dari itu, atas
undangan beberapa sarjana ulung, aku mengunjungi beberapa kuil cabang dan memberikan
kuliah lebih banyak lagi.
"Nah, tidak seperti aku, kalian semua tidak tahu apa-apa tentang permainan pedang."
Nada menggurui menjalari suara Kojiro. "Kalian hanya melihat siapa menang dan siapa
kalah, kemudian kalian menggabungkan diri memuji Miyamoto Musashi, seolah-olah dia
pemain pedang terbesar yang pernah hidup.
"Biasanya aku tak mau bersusah-susah menyangkal ocehan orang awam, tapi aku merasa
perlu melakukannya sekarang, karena pandangan-pandangan kalian yang keliru itu
merugikan masyarakat luas. Lebih dari itu, aku mau menunjukkan salahnya pikiran kalian,
untuk kepentingan para sarjana terkemuka yang menyertaiku hari ini. Bersihkan telinga
kalian dan dengarkan baik-baik. Akan kuceritakan apa yang sebenarnya terjadi di pohon
pinus lebar itu, dan manusia macam apa Musashi itu."
Suara-suara tunduk terdengar di antara hadirin yang terperangkap di situ.
"Pertama-tama," kata Kojiro muluk, "mari kita tinjau apa yang sebenarnya ada dalam
pikiran Musashi"maksudnya yang tersembunyi. Dilihat dari caranya memancing pertarungan
terakhir itu, aku hanya dapat menyimpulkan bahwa dia berusaha mati-matian menjual
namanya, menciptakan nama baik bagi dirinya. Untuk itu dia memilih Keluarga Yoshioka,
perguruan pedang paling terkenal di Kyoto, dan secara licik membuka perkelahian.
Keluarga Yoshioka menjadi korban tipu muslihat ini, dan menjadi batu loncatan bagi
Musashi menuju kemasyhuran dan keberhasilan.
"Apa yang dilakukannya itu tidak jujur. Sudah umum diketahui bahwa zaman Yoshioka Kempo
sudah lewat, bahwa Perguruan Yoshioka telah merosot. Perguruan itu seperti pohon layu
atau orang cacat yang sudah menjelang ajal. Yang dilakukan Musashi sekadar mendorong
bangkai kosong itu. Siapa saja dapat melakukan hal itu, tapi tak seorang pun
melakukannya. Kenapa" Karena kami yang mengerti Seni Perang sudah tahu bahwa perguruan
itu sudah tak ada daya. Kedua, karena kami tak ingin membikin suram nama Kempo yang
terhormat. Namun Musashi sengaja memancing insiden, memasang papan tantangan di jalanjalan Kyoto, menyebarkan desas-desus, dan akhirnya mengadakan pertunjukan besar dengan
melakukan hal yang oleh pemain pedang cakap mana pun dapat dilakukan.
"Tak bisa rasanya aku menyebutkan satu demi satu tipu daya murah dan pengecut yang
digunakannya. Kita sebutkan misalnya dia datang terlambat menghadapi pertarungan dengan
Yoshioka Seijuro maupun dengan Denshichiro. Dia bukannya menjumpai musuh-musuhnya
langsung ke pohon pinus lebar, tapi datang dengan jalan memutar dan menggunakan segala
macam muslihat keji. "Telah ditetapkan bahwa dia hanya seorang diri melawan banyak orang. Itu benar, tapi
itu hanya bagian dari rencana setannya untuk membesarkan namanya. Dia tahu benar bahwa
karena dia kalah dalam jumlah, umum akan bersimpati kepadanya. Tapi ketika pertempuran
yang sebenarnya terjadi, yang ada tidak lebih dari permainan kanak-kanak. Ini dapat
kuceritakan pada kalian, karena aku menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Musashi
berhasil sesaat menyelamatkan nyawanya dengan tipu daya licik. kemudian ketika
kesempatan lari datang, dia lari. Memang, aku harus, mengakui sampai batas tertentu dia
m emperlihatkan semacam kekuatan besar. Tapi itu tidak membuatnya menjadi seorang pemain
pedang ahli. Tidak sama sekali! Hak kemasyhuran terbesar yang dipunyai Musashi adalah
kemampuannya untuk lari kencang. Dalam lari cepat, dia tak punya tandingan."
Kata-kata itu sekarang membanjir keluar dari mulut Kojiro, seperti air meluap dari
bendungan. "Orang biasa berpendapat, sukar bagi pemain pedang yang sendirian bertempur melawan
sejumlah besar lawan, tapi sepuluh orang tidak mesti sepuluh kali lebih kuat dari satu
orang. Bagi orang yang ahli, jumlah tidak selamanya penting." Kojiro kemudian
memberikan kritik profesional tentang pertempuran itu. Tidak sukar mengecilkan prestasi
Musashi, karena sekalipun ia memiliki keberanian, setiap pengamat yang berpengetahuan
dapat menunjukkan kekurangan-kekurangan dalam penampilannya. Ketika ia akhirnya
menyebutkan Genjiro, kata-kata Kojiro pedas dan tajam. Ia mengatakan pembunuhan atas
anak itu merupakan kekejian, suatu pelanggaran atas etika permainan pedang yang tidak
dapat diampuni dari sudut mana pun.
"Sekarang baiklah kusampaikan latar belakang Musashi!" teriaknya marah. Kemudian ia
mengungkapkan bahwa beberapa hari lalu ia berjumpa dengar Osugi sendiri di Gunung Hiei
dan mendengarkan cerita panjang dar, lengkap tentang sifat munafik Musashi. Tanpa
memberikan perincian, ia menguraikan berbagai pengalaman pahit yang diderita oleh
"wanita tua yang manis" itu. Ia mengakhiri cerita itu dengan mengatakan, "Sungguh aku
bergidik memikirkan bahwa ada orang-orang yang berteriak memuji-muji bangsat. Akibatnya
terhadap moral masyarakat sungguh mengerikan, kalaian renungkan hal itu. Dan inilah
sebabnya aku bicara begini panjang. Aku tak punya hubungan dengan Keluarga Yoshioka,
dan aku pun tak punya dendam pribadi terhadap Musashi. Aku bicara pada kalian secara
adil tidak berat sebelah, sebagai orang yang setia kepada Jalan Pedang, sebagai orang
yang bertekad secara sepantasnya mengikuti jalan itu! Aku telah menyampaikan kebenaran
kepada kalian. Ingatlah itu!"
Ia terdiam, lalu memuaskan dahaganya dengan secangkir teh lalu:menoleh kepada temantemannya, dan katanya pelan sekali, "Oh, matahari sudah hampir terbenam. Kalau Anda
sekalian tidak segera berangkat, bisa-bisa sesudah gelap pun Anda belum sampai
Miidera." Para samurai dari kuil itu bangkit untuk berangkat.
"Jaga diri Anda," kata seorang dari mereka.
"Mudah-mudahan kita bertemu lagi, kalau Anda kembali ke Kyoto."
Para pembelah batu mendapat kesempatan pergi, dan seperti tawanan yang dibebaskan
pengadilan, mereka bergegas kembali ke lembah yang kini terselimut bayang-bayang
keunguan dan bergema oleh nyanyian burung bulbul.
Kojiro memperhatikan kepergian mereka, kemudian berseru ke dalam penginapan, "Saya
letakkan uang teh di atas meja ya, apa Ibu punya sumbu bedil?"


Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Perempuan itu sedang berjongkok di depan tungku tanah, menyiapkan rnakan malam.
"Sumbu?" tanyanya. "Ada satu ikat tergantung di sudut belakang sana. Ambil sebanyak
Tuan mau." Kojiro melangkah ke sudut. Ketika ia sedang menarik dua-tiga di antaranya dari ikatan,
sumbu-sumbu yang lain jatuh ke bangku di bawah. Dan ketika ia membungkuk akan
mengambilnya, terlihat olehnya dua kaki terentang di atas bangku. Pelan-pelan matanya
menjalar dari kaki itu ke rubuh, dan kemudian ke wajah orang tersebut. Guncangan yang
diperolehnya waktu itu sungguh seperti pukulan keras pada jaringan saraf simpatis.
Musashi menatap langsung kepadanya.
Kojiro meloncat mundur selangkah.
"Ya, ya," kata Musashi sambil menyeringai lebar. Tanpa terburu-buru ia berdiri dan
pergi ke sisi Kojiro. Di situ ia berdiri tenang, wajahnya tampak riang dan maklum.
Kojiro mencoba tersenyum membalas, tapi otot-otot wajahnya menolak runduk. Seketika ia
sadar bahwa Musashi tentunya sudah mendengar setiap patah kata yang diucapkannya,
karena itu rasa malunya pun semakin tak tertanggungkan lagi. Ia merasa Musashi sekarang
menertawakannya. Sebentar kemudian ia sudah memperoleh kembali rasa percaya dirinya,
tapi selama masa peralihan yang singkat itu, sikap bingungnya tak dapat diragukan lagi.
"Terus terang, Musashi, aku tak mengharapkan melihatmu di sini," katanya.
"Senang melihatmu lagi."
"Ya, ya, betul." Baru diucapkan pun kata-kata itu sudah disesalinya, namun ia tak dapat
berbuat lain, dan lanjutnya, "Mesti kukatakan, kau hetul-betul sudah membuat tenar
namamu sejak terakhir kita bertemu. Sukar dipercaya bahwa seorang manusia dapat
berkelahi seperti yang kaulakukan itu. Izinkan aku mengucapkan selamat. Kau bahkan
tetap kelihatan biasa-biasa saja."
Dengan sisa senyum di bibirnya, Musashi berkata dengan sikap sopan dilebih-lebihkan,
"Terima kasih atas kesediaanmu menjadi saksi hari itu. Dan terima kasih juga atas
kritik yang baru saja kau berikan atas penampilanku. Tidak sering kita dapat melihat
diri sendiri menurut pandangan orang lain. Aku sangat berutang budi padamu atas
komentarmu. Percayalah. aku takkan lupa."
Sekalipun dalam nada tenang dan tanpa dendam, pernyataan terakhir itu membuat bulu roma
Kojiro tegak. Ia memahami kata-kata itu sebagaimana adanya, suatu tantangan yang mesti
dilayani di masa depan. Kedua orang itu, yang sama-sama angkuh, sama-sama keras kepala, dan sama-sama yakin
akan kebenarannya sendiri, cepat atau lambat pasti akan bertumbukan. Musashi siap
menanti, tapi ketika ia mengatakan, "Aku takkan lupa," sebenarnya ia cuma menyampaikan
kebenaran belaka. Ia sudah menganggap kemenangannya yang paling baru itu sebagai batu
pengukur dalam kariernya sebagai pemain pedang, suatu titik tinggi dalam perjuangannya
menyempurnakan diri. Fitnah-fitnah Kojiro itu takkan dibiarkan terus-terusan tanpa
tantangan. Sekalipun Kojiro membumbui pidatonya untuk membuai para pendengarnya, sesunggahnya
pendapatnya sendiri tentang peristiwa itu sama dengan yang telah dilukiskannya, dan
tidak berbeda dengan yang sudah ia kemukakan. Dan ia tidak sangsi sama sekali mengenai
ketepatan penilaiannya terhadap Musashi.
"Aku senang mendengarmu mengatakan itu," kata Kojiro. "Dan aku takkan ingin kau
melupakannya. Aku juga takkan lupa." Musashi masih tersenyum ketika ia mengangguk
setuju. *** 52. Cabang-Cabang yang Berjalin
"OTSU, aku kembali," seru Jotaro ketika berlari melintasi gerbang depan yang kasar itu.
Otsu sedang duduk di beranda, bertelekan meja tulis rendah sambil memandang langit.
Begitulah ia semenjak pagi. Pada dinding muka, di bawah kedua tepian atap yang bertemu
di bumbungan, tergantung piagam kayu dengan tulisan putih: "Pertapaan Gunung Bulan".
Pondok kecil milik seorang pejabat kependetaan di Ginkakuji itu telah dipinjamkan
kepada Otsu atas permintaan Yang Dipertuan Karasumaru.
Jotaro menjatuhkan diri di rumpun bunga violet yang sedang berkembang, dan berkecipak
dengan kakinya di sungai, untuk membasuh lumpur yang melekat. Air yang mengalir
langsung dari kebun Ginkakuji itu lebih murni daripada salju yang masih baru. "Air ini
membeku," ujarnya sambil mengerutkan kening, tetapi tanahnya hangat, dan ia senang
hidup di tempat yang indah ini. Burung-burung layang-layang bernyanyi, seakan-akan
mereka pun senang dengan hari itu.
Jotaro bangkit, menggesek-gesekkan kakinya ke rumput, dan pergi ke beranda. "Kakak
belum bosan?" tanyanya.
"Belum. Banyak yang mesti kupikirkan."
"Apa Kakak tak mau mendengar berita baik?"
"Berita apa?" "Tentang Musashi. Saya dengar, dia tak jauh dari sini."
"Di mana?" "Saya sudah keliling berhari-hari, menanyakan barangkali ada yang tahu di mana dia, dan
hari ini saya dengar dia tinggal di Kuil Mudoji, di Gunung Hiei."
"Kalau begitu, dia sehat-sehat saja."
"Mungkin, tapi saya pikir kita mesti pergi ke sana sekarang juga, sebelum dia pergi ke
tempat lain. Saya lapar. Bagaimana kalau Kakak menviapkan diri sementara saya makan?"
"Ada beberapa bakpao terbungkus daun dalam kotak lapis tiga di sana. Ambil sendiri."
Ketika Jotaro selesai makan, ternyata Otsu tidak juga beranjak dari meja. "Ada apa?"
tanya Jotaro, menatapnya curiga.
"Kita tak usah pergi."
"Bodohnya... baru semenit Kakak setengah mati mau lihat Musashi, lalu pura-pura tak
ingin." "Kau tak mengerti. Dia tahu bagaimana perasaanku. Malam ketika kita bertemu di gunung
itu, sudah kuceritakan semua yang mesti kusampaikan. Kami berdua mengira kami takkan
saling bertemu lagi dalam hidup ini."
"Tapi Kakak bisa bertemu dia lagi sekarang, jadi apa yang Kakak nantikan?"
"Tak tahu aku, apa yang dia pikirkan sekarang. Dia puas dengan kemenangannya atau
sekadar menghindar dari bahaya. Ketika meninggalkanku, aku sudah pasrah takkan bertemu
dia lagi dalam hidup ini. Kupikir aku takkan pergi sekarang, kecuali kalau dia
memintaku." "Dan bagaimana kalau dia tidak minta, bertahun-tahun lamanya?"
"Akan kulakukan seperti yang kulakukan sekarang ini."
"Duduk memandang langit?"
"Kau tak mengerti. Tapi tak apalah."
"Apa yang tidak saya mengerti?"
"Perasaan Musashi. Aku betul-betul merasa dapat mempercayainya sekarang. Dulu aku cinta
padanya dengan segenap hatiku, tapi waktu itu aku tidak sepenuhnya percaya dia.
Sekarang aku percaya. Semuanya sudah lain. Kami berdua lebih dekat daripada cabangcabang pohon. Biarpun misalnya kami terpisah, biarpun misalnya kami mati, kami masih
akan bersamasama. Karena itu, tak ada yang dapat membuatku kesepian lagi. Sekarang aku
cuma berdoa semoga dia menemukan jalan yang dicarinya."
Jotaro meledak. "Kakak bohong!" teriaknya. "Apa perempuan memang tak bisa mengatakan
yang sebenarnya" Kalau Kakak mau bersikap begitu, baiklah. tapi jangan sekali-kali
Kakak mengatakan pada saya lagi ingin melihac Musashi. Biar Kakak menangis sampai habis
air mata, saya takkan peduli!"
Sudah susah payah ia berusaha mencari Musashi sejak pergi dari Ichijoji... tapi
sekarang! Seharian ia tak menghiraukan Otsu dan tidak mengucapkan sepatah kata pun.
Tepat sesudah senja, cahaya obor kemerahan melintas halaman, dan salah seorang samurai
Yang Dipertuan Karasumaru mengetuk pintu. Ia menyampaikan surat kepada Jotaro, katanya,
"Dari Musashi untuk Otsu. Yang Dipertuan menyatakan Otsu mesti menjaga dirinya baikbaik." Ia pun pergi.
"Ini memang tulisan Musashi," pikir Jotaro. "Jadi, dia masih hidup." Kemudian dengan
nada marah, "Dialamatkan pada Otsu, bukan padaku. Begitu!"
Otsu muncul dari belakang pondok, katanya, "Samurai itu bawa surat dari Musashi, kan?"
"Ya, tapi kukira Kakak tak berminat," Jotaro mencibir sambil menvembunyikan surat itu
ke belakangnya. "Jangan begitu, Jotaro, mari kulihat!" Otsu memohon.
Jotaro bertahan sebentar, tapi begitu melihat tanda-tanda air mata, disorongkannya
amplop itu pada Otsu. "Ha!" serunya senang. "Tadi Kakak pura-pura tak ingin melihat
dia, tapi tak sabar ingin membaca suratnya!"
Otsu menunduk di dekat lampu, dan kertas itu menggeletar di antara jari-jarinya yang
putih. Nyala lampu seolah memperlihatkan kegembiraan khusus, hampir-hampir merupakan
isyarat bahagia dan nasib baik.
Tinta itu berkilau-kilau seperti pelangi, sedangkan air mata di bulu matanya seperti
permata. Otsu tiba-tiba terbawa ke suatu dunia yang tak berani ia khayalkan, dan ia
teringat akan bagian sajak Po Chu-I yang mengungkapkan kegembiraan luar biasa. Dalam
bagian itu, arwah Yang Kuei-fei yang telah pergi, bergembira atas berita cinta dari
kaisarnya yang hilang. Ia membaca pesan singkat itu, kemudian membacanya sekali lagi. "Dia mestinya menanti
sekarang ini juga. Aku mesti buru-buru." Ia mengira telah mengucapkan kata-kata itu
keras-keras, padahal ia tidak memperdengarkan satu suara pun.
Dan segera ia bertindak, menulis surat-surat ucapan terima kasih kepada pemilik pondok,
kepada para pendeta lain di Ginkakuji, dan kepada semua orang yang telah bersikap baik
kepadanya selama ia tinggal di situ. Selesai mengumpulkan barang-barang miliknya,
mengikatkan sandalnya, dan pergi ke halaman, ia melihat Jotaro masih duduk di dalam,
mengumbar kejengkelan. "Ayo, Jo! Cepat!"
"Mau pergi?" "Kau masih marah, ya?"
"Siapa takkan marah" Kakak ini tak pernah memikirkan orang lain, kecuali diri sendiri!
Apa memang ada yang demikian rahasia dalam surat Musashi itu, sampai Kakak tidak
menunjukkan pada saya?"
"Maafkan," kata Otsu. "Tak ada rahasia. Kau boleh melihatnya."
"Lupakan saja. Saya tak berminat sekarang."
"Jangan begitu. Aku ingin kau membacanya. Surat yang bagus sekali! Surat pertama yang
ditulisnya padaku. Dan ini pertama kali dia minta aku bergabung dengannya. Belum pernah
aku sebahagia ini dalam hidupku. Jangan terus cemberut begitu, ayo pergi ke Seta.
Ayolah." Di jalan melintasi Celah Shiga, Jotaro terus juga diam, marah, tapi akhirnya ia memetik
selembar daun untuk menyiulkan dan mendendangkan beberapa lagu populer untuk memecahkan
keheningan malam itu. Akhirnya Otsu terpaksa menawarkan berdamai, katanya, "Masih ada beberapa gula-gula di
kotak kiriman Yang Dipertuan Karasumaru kemarin itu."
Tetapi fajar sudah menyingsing, dan awan di sebelah sana menjadi merah muda. Jotaro
menjadi biasa kembali. "Kakak sehat-sehat saja" Kakak tidak capek?"
"Sedikit. Jalan ini mendaki terus."
"Sekarang lebih ringan. Lihat, sudah kelihatan danau."
"Ya, Danau Biwa. Di mana Seta?"
"Di sana, Musashi takkan ada di sana sepagi ini, kan?"
"Tak tahulah. Kita butuh setengah hari untuk sampai di sana. Bagaimana kalau kita
istirahat?" "Baik," jawab Jotaro, sifat periangnya sudah kembali. "Mari kita duduk di bawah dua
pohon besar di sana itu."
Asap yang berasal dari api tungku di pagi buta naik di sana-sini, sepeni uap yang naik
dari medan pertempuran. Lewat kabut yang menyebar dari danau ke kota Ishiyama, jalanjalan kota Otsu mulai dapat dilihat. Ketika mendekati kota itu, Musashi memayungkan
tangan ke keningnya dan menoleh ke sekitar. Ia merasa senang kembali ke tengah-tengah
orang banyak. Di dekat Miidera, ketika mulai mendaki lereng Bizoji, ia bertanya-tanya iseng, jalan
mana kiranya yang ditempuh Otsu. Semula ia membayangkan akan dapat bertemu dengan gadis
itu di jalan, tapi kemudian ia simpulkan hal itu tidak mungkin. Perempuan yang membawa
suratnya ke Kyoto itu memberitahukan bahwa Otsu tidak lagi tinggal di kediaman
Karasumaru. tetapi surat akan disampaikan kepadanya. Karena surat diterima Otsu pada
larut malam, dan Otsu akan mengerjakan berbagai hal dahulu sebelum pergi, maka mungkin
Otsu terpaksa menanti datangnya pagi untuk berangkat.
Musashi melewati sebuah kuil dengan sederetan pohon sakura tua, dan di atas sebuah
gundukan ia perhatikan ada sebuah monumen batu. Menurut penilaiannya, pohon sakura itu
pasti terkenal karena kembang musim seminya. Hanya sepintas ia melihat sajak yang
terukir di atas monumen itu, tapi sajak itu teringat lagi olehnya sesudah ia menempuh
jalan beberapa ratus meter. Sajak itu dari Taiheiki. Menurut ingatannya, sajak itu
berkaitan dengan sebuah dongeng yang pernah dihafalnya. Ia membacakannya pelan-pelan
pada dirinya sendiri. "Seorang pendeta mulia dari Kuil Shiga-yang mengenakan tongkat dua meter panjangnya dan
sudah demikian tua, hingga alis putihnya tumbuh menjadi satu di puncak keningnya yang
dingin-sedang merenungkan kecantikan Kannon di perairan danau, ketika kebetulan
terlihat olehnva seorang gundik kaisar dari Kyogoku. Gundik itu dalam perjalanan
kembaii dari Shiga, di mana terdapat kebun besar bunga-bungaan. Melihat dia, pendeta
pun bangkit nafsunya. Kebajikan yang bertahun-tahun ditimbun dengan penuh kesulitan
kini lenyap. Ia ditelan keinginan menyala-nyala dan... Ah, bagaimana terusnya, ya"
Rupanya sudah ada yang lupa. Ah!... dan ia kembali ke gubuknya yang terbuat dari
rerantingan dan berdoa di hadapan patung sang Budha, namun perempuan itu terus
terbayang. Ia menyebut nama sang Budha, namun suara itu terdengar seperti napas khayal.
Di atas awan pegunungan, di waktu senja, dapat terlihat sisir di rambut perempuan itu.
Ini membuatnya sedih. Ketika ia mengangkat mata, menatap bulan yang sendiri, wajah
bulan tersenyum balik kepadanya. Ia menjadi bingung dan malu.
Karena takut pikiran-pikiran seperti itu tak memungkinkannya pergi ke surga apabila
mati nanti, maka ia memutuskan menjumpai perempuan itu dan mengungkapkan seluruh
perasaannya kepadanya. Dengan berbuat demikian, ia berharap bisa mati dalam damai.
Maka pergilah ia ke istana kaisar, dan sambil menghunjamkan tongkatnya mantap-mantap ke
tanah, ia menanti di lapangan bola istana sehari semalam..."
"Maaf, Anda yang naik lembu!"
Orang itu rupanya pekerja harian, seperti biasa ditemukan di daerah perdagangan. Ia
mendekat ke depan lembu itu, menepuk-nepuk hidungnya, kemudian memandang pengendaranya
lewat kepala lembu. "Anda tentunya datang dari Mudoji," katanya.
"Betul. Bagaimana Anda bisa tahu?"
"Saya sudah meminjamkan lembu ini pada seorang saudagar. Saya kira nantinya dia
meninggalkan lembu ini di sana. Saya memang menyewakannya, tapi saya minta Anda
membayar saya, karena sudah menggunakannya."
"Dengan senang hati saya membayar. Tapi saya ingin tahu, sampai berapa jauh saya boleh
naik lembu ini?" "Asalkan membayar, Anda dapat membawanya ke mana saja. Yang mesti Anda lakukan cuma
mengembalikannya kepada pedagang di kota terdekat dengan tempat tujuan Anda. Dari situ
nanti ada orang lain yang akan menyewanya. Cepat atau lambat, lembu akan kembali lagi
kemari." "Berapa sewanya kalau saya bawa ke Edo?"
"Sava mesti menanyakannya dulu ke kandang. Kandangnya ada di jalan yang akan Anda
lewati. Kalau Anda memutuskan menyewanya, Anda cuma mesti meninggalkan nama di kantor."
Daerah perdagangan itu terletak dekat tempat penyeberangan di Qahama. Karena banyak
musafir melewati tempat itu, menurut Musashi itulah tempat yang tepat untuk merapikan
diri dan membeli barang yang diperlukannya.
Setelah selesai urusan lembu, ia makan pagi tanpa terburu-buru, lalu berangkat ke Seta.
Ia senang sekali karena sebentar lagi akan bertemu kembali dengan Otsu.Tak ada lagi
perasaan kuatir tentang Otsu. Sebelum mereka bertemu di gunung itu, Otsu selalu
mendatangkan perasaan takut kepadanya, tapi sekarang lain: kesucian, kecerdasan, dan
kesetiaan Otsu pada malam terang bulan membuat kepercayaannya kepada gadis itu lebih
dalam dari sebelumnya. Tidak hanya ia yang percaya pada Otsu. Ia tahu Otsu juga percaya
kepadanya. Ia bersumpah, begitu mereka bersama kembali, ia takkan menolak apa pun
permintaan Otsu-asalkan tentu saja hal itu tidak membahayakan cara hidupnya sebagai
pemain pedang. Yang menguatirkan sebelum itu adalah bahwa jika ia membiarkan dirinya
mencintai gadis itu, pedangnya akan tumpul. Seperti pendeta tua dalam cerita itu, ia
bisa kehilangan jalannya. Sekarang jelas baginya bahwa Otsu sangat berdisiplin. Gadis
itu takkan pernah menjadi penghalang atau belenggu yang menghambat. Satusatunya masalah
baginya sekarang adalah memperoleh kepastian agar dirinya tidak terbenam dalam kolam
cinta yang dalam itu. "Kalau nanti kami sampai di Edo," pikirnya, "akan kuusahakan agar dia mendapat latihan
dan pendidikan yang diperlukan seorang perempuan. Sementara dia belajar, aku akan
mengajak Jotaro, dan bersama-sama kami akan berusaha mencapai taraf disiplin yang lebih
tinggi lagi. Dan nanti. kalau tiba waktunya..." Cahaya yang dipantulkan dari danau itu
membasuh wajahnya dengan sinar semarak yang berkelip-kelip lembut.
Kedua bagian Jembatan Kara itu, yaitu rentangan bertiang sembilan puluh enam dan
rentangan bertiang dua puluh tiga, dihubungkan oleh sebuah pulau kecil. Di pulau itu
tumbuh pohon liu kuno yang menjadi tanda bagi para musafir. Jembatan itu sendiri sering
disebut Jembatan Liu. "Itu dia datang!" teriak Jotaro sambil berlari keluar dari warung ke bagian jembatan
yang lebih pendek. Di situ dilambainya Musashi dengan satu tangan, dan dengan tangan
satunya lagi ia menuding warung teh. "Itu dia di sana, Otsu! Lihat" Naik lembu!" Dan
mulailah ia menari-nari kecil. Segera kemudian Otsu berdiri di samping Jotaro,
melambaikan tangannya. sedangkan Musashi melambaikan topi anyamannya. Seringai lebar
Musashi menyinari wajahnya, sementara ia mendekat.
Ia ikatkan lembu pada sebatang pohon liu, lalu ketiganya masuk ke warung teh. Ketika
Musashi masih di ujung jembatan tadi, Otsu sudah memanggil-manggilnya dengan keras,
tapi ketika Musashi ada di sampingnya ia tak dapat mengucapkan apa pun. Wajahnya
berseri-seri bahagia, tapi percakapan diserahkannya pada Jotaro.
"Luka Kakak sudah sembuh," kata anak itu, yang kedengarannya hampir-hampir terlalu
gembira. "Waktu saya lihat Kakak naik lembu, saya pikir barangkali Kakak tak bisa


Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jalan. Tapi kami masih bisa datang kemari lebih dulu, kan" Begitu Otsu menerima surat
Kakak, dia langsung siap berangkat."
Musashi tersenyum mengangguk, dan membisikkan kata-kata "oh" dan "ah", tapi pembicaraan
Jotaro tentang Otsu di depan orang-orang lain itu membuatnya tak enak. Atas desakannya,
mereka pindah ke serambi kecil di belakang, yang dilindungi terali tanaman wisteria.
Otsu tetap malu-malu untuk berbicara, dan Musashi jadi pendiam. Tapi Jotaro tidak
memperhatikan hal itu. Ocehannya bercampur dengan dengung lebah dan desir lalat ternak
Suara pemilik warung menyelanya, katanya, "Anda sekalian lebih baik masuk. Sebentar
lagi badai. Coba lihat, langit semakin gelap di atas Ishiyamadera." Ia sibuk
menyingkirkan kerai jerami dan memasang tirai hujan di semua sisi serambi. Sungai
menjadi kelabu, embusan angin keras rnenggerak-gerakkan kembang-kembang wisteria
lembayung muda itu. Sekonyong-konyong kilat menyambar dan hujan tercurah dari langit.
"Halilintar!" teriak Jotaro. "Yang pertama tahun ini. Cepat masuk, Otsu. Kakak bisa
basah kuyup. Cepat, Sensei. Hujan tepat sekali datangnya. Bagus sekali."
Hujan itu "Bagus sekali" buat Jotaro, tapi buat Musashi dan Otsu sungguh membuat malu,
karena kembali ke dalam warung akan membuat mereka merasa seperti sepasang merpati
pelamun. Musashi bertahan, dan Otsu berdiri di tepian serambi dengan wajah merah, tidak
lebih terlindung daripada kembang-kembang wisteria itu.
Orang yang memegang tikar jerami di atas kepalanya ketika berlari melintasi hujan yang
amat deras itu tampak seperti payung besar yang bergerak sendiri. Ia lari ke bawah
tepian atap gerbang tempat suci, meluruskan rambutnya yang basah dan kusut, dan
menengadah dengan nada bertanya-tanya ke arah awan yang bergerak cepat. "Seperti
pertengahan musim panas saja," gerutunya. Tak ada suara yang bisa mengatasi suara
hujan, tetapi kilas cahaya yang tiba-tiba melintas menyebabkan ia menutup telinga.
Matahachi berjongkok ketakutan di dekat patung dewa guntur yang berdiri di samping
gerbang. Sebagaimana awalnya, mendadak hujan itu berhenti. Awan-awan hitam berpencar, sinar
matahari menerobos, dan tak lama kemudian jalanan kembali seperti biasa. Di kejauhan,
Matahachi mendengar dentingan shamisen. Ketika ia hendak meneruskan perjalanan, seorang
perempuan yang berpakaian seperti geisha menyeberang jalan dan berjalan langsung
mendekatinya. "Nama Tuan Matahachi, kan?" tanyanya.
"Betul," jawab Matahachi curiga. "Bagaimana Anda bisa tahu?"
"Teman Anda ada di kota kami sekarang. Dia melihat Anda dari jendela, dan minta saya
menjemput Anda." Matahachi menoleh ke sekitar, dan tampak olehnya beberapa rumah pelacuran di sekitar
tempat itu. Ia ragu-ragu, tapi perempuan itu mendesaknya terus pergi ke tokonya. "Kalau
ada urusan lain," katanya, "tak perlu Anda tinggal lama."
Ketika mereka masuk, gadis-gadis segera menghampirinya, menyeka kakinva, melepaskan
kimononya yang basah, dan mendesaknya agar naik ke ruang atas. Ketika Ia bertanya siapa
temannya itu, mereka tertawa dan mengatakan ia akan segera mengetahuinya.
"Nah," kata Matahachi, "aku baru saja kehujanan. Karena itu aku akan tinggal di sini
sampai pakaianku kering, tapi jangan coba menahanku di sini lebih dari itu. Ada orang
menantiku di Jembatan Seta."
Sambil mengikik ramai, perempuan-perempuan itu berjanji bahwa ia dapat pergi pada
waktunya. Sementara itu, mereka mendorongnya naik tangga.
Di ambang kamar itu, Matahachi disambut oleh suara lelaki, "Ya, ya, aku yakin ini
temanku Sensei Inugami!"
Sejenak Matahachi menyangka terjadi kesalahan identitas, tapi ketika ia memandang ke
dalam ruangan, wajah itu tampak samar-samar dikenalnya. "Anda siapa?" tanyanya.
"Apa kau sudah lupa Sasaki Kojiro?"
"Belum," jawab Matahachi cepat. "Tapi kenapa kausebut aku Inugami: Namaku Hon'iden,
Hon'iden Matahachi."
"Aku tahu, tapi yang teringat olehku selalu adalah engkau pada malam hari di Jalan Gojo
itu. Waktu itu kau cengar-cengir menakut-nakuti kawanan anjing kampung. Kupikir Inugami
"dewa anjing"itu nama yang baik untukmu."
"Hentikan! Ini bukan main-main. Malam itu aku mengalami penderitaan mengerikan garagara kau."
"Benar. Dan aku suruh orang mengundangmu ini karena aku ingin membayar penderitaanmu
itu. Silakan masuk dan duduk. Hei, gadis gadis, sediakan sake buat tamu ini."
"Aku tak bisa tinggal. Aku mesti ketemu orang di Seta. Aku tak boleh mabuk hari ini."
"Siapa yang akan kaujumpai?"
"Orang yang namanya Miyamoto. Dia teman masa kecilku, dan..."
"Miyamoto Musashi" Jadi, kau bikin janji dengan dia waktu di penginapan celah itu?"
"Bagaimana kau bisa tahu?"
"Oh, aku sudah mendengar segalanya tentangmu, segalanya tentang Musashi juga. Aku jumpa
ibumu"Osugi namanya, kan" Di pekarangan utama Gunung Hiei. Dia cerita tentang semua
penderitaan yang telah dialaminya."
"Kau bicara dengan ibuku?"
"Ya. Dia wanita hebat. Aku mengaguminya, juga semua pendeta di Gunung Hiei. Waktu itu
aku mencoba memberikan dorongan padanya."Kojiro membilas mangkuknya dalam cambung air,
lalu ia serahkan pada Matahachi, dan sambungnya, "Nah, mari kita minum bersama dan
menghapuskan permusuhan lama kita. Tak ada alasan untuk kuatir pada Musashi kalau
Sasaki Kojiro ada di pihakmu."
Matahachi menolak mangkuk itu.
"Kenapa kau tidak minum?"
"Tak bisa. Aku mesti pergi."
Matahachi bangkit berdiri, tapi Kojiro mencengkeram pergelangannya erat-erat, katanya,
"Duduk!" "Tapi Musashi menantiku sekarang."
"Jangan tolol begitu! Kalau kau menyerang Musashi sendirian, dia akan membunuhmu
seketika." "Kau salah besar! Dia berjanji akan membantuku. Aku akan pergi dengannya ke Edo untuk
memulai usaha baru."
"Artinya kau mau mengandalkan diri pada orang macam Musashi itu?"
"Oh, aku mengerti, memang banyak orang mengatakan dia tidak baik, tapi itu karena ibuku
pergi ke mana-mana memfitnah dia. Dari semula dia keliru. Sekarang, sesudah bicara
dengan Musashi, aku lebih yakin lagi dari kapan pun. Dia temanku, dan aku akan belajar
dari dia supaya bisa berhasil juga, biarpun sedikit terlambat."
Kojiro menampar tatami sambil tertawa terbahak-bahak. "Bagaimana mungkin kau begitu
polos" Ibumu mengatakan padaku, kau memang naif luar biasa, tapi kalau tertipu oleh..."
"Itu tidak benar! Musashi adalah..."
"Coba diam dulu! Dan dengarkan. Pertama-tama, bagaimana mungkin kau bermaksud
mengkhianati ibumu sendiri dengan memihak musuhnya" Itu tidak manusiawi. Bahkan aku,
yang bukan apa-apanya, tergerak oleh wanita yang berani itu, hingga aku bersumpah akan
memberikan segala bantuan yang dapat kuberikan padanya."
"Aku tak peduli dengan pikiranmu. Aku akan pergi menjumpai Musashi, dan jangan mencoba
menahanku. Dan kau, hei, gadis, bawa ke sini kimonoku! Tentunya sudah kering sekarang."
Sambil mengangkat mata mabuknya, Kojiro memerintahkan, "Jangan sentuh kimono itu
sebelum kuminta. Sekarang dengarkan, Matahachi, kalau kau punya rencana pergi dengan
Musashi, setidaknya kau mesti bicara dulu dengan ibumu."
"Aku akan pergi ke Edo dengan Musashi. Kalau aku berhasil di sana nanti, seluruh
persoalan akan selesai dengan sendirinya."
"Kedengarannya seperti kata-kata Musashi. Aku berani bertaruh, dia sudah mendiktemu.
Biar bagaimana, tunggu sampai besok, dan aku akan pergi denganmu mencari ibumu. Kau
mesti mendengarkan pendapatnya, sebelum melakukan sesuatu. Sementara itu, mari kita
bersenang-senang. Mau atau tidak, kau mesti tinggal di sini dan minum denganku."
Karena tempat itu rumah pelacuran, dan Kojiro tamu yang membayar, semua perempuan pun
mendukungnya. Kimono Matahachi tidak juga datang, dan sesudah beberapa kali minum, ia
tidak lagi menanyakannya.
Dalam keadaan sadar, Matahachi bukanlah tandingan Kojiro. Tapi dalam keadaan mabuk, ia
dapat menjadi ancaman. Ketika siang beralih malam, ia mendemonstrasikan pada semua
orang berapa banyak ia bisa minum. Ia minta dibawakan sake lagi, mengucapkan segala
macam hal yang tak mesti diucapkannya, dengan mengumbar segala kekesalannya-singkatnya
jadi betul-betul mengganggu. Waktu fajar, ia pingsan, dan waktu tengah hari baru ia
sadar kembali. Matahari kelihatan terang akibat hujan sore sebelumnya. Karena kata-kata Musashi terus
bergema di dalam kepalanya, Matahachi ingin sekali mengusir setiap tetes sake yang
diminumnya. Untunglah Kojiro masih tertidur di kamar lain. Ia menyelinap turun, memaksa
gadis-gadis itu menyerahkan kimononya, dan lari menuju Seta.
Air merah berlumpur di bawah jembatan penuh dengan bunga sakura Ishiyamadera yang
berjatuhan. Badai telah meruntuhkan tumbuhan rambat wisteria dan menghamburkan bunga
kerria kuning ke mana-mana.
Sesudah lama mencari, akhirnya Matahachi bertanya di warung teh, dan di situ ia
mendapat kabar bahwa orang yang membawa lembu itu menantinya sampai warung tutup.
Karena sudah malam, orang itu pergi ke sebuah penginapan. Pagi harinya ia kembali lagi,
tapi kerena tidak menjumpai temannya, ia meninggalkan surat yang diikatkannya pada
cabang pohon itu. Surat yang tampak seperti ngengat putih besar itu menyatakan, "Maaf, aku tak dapat
menanti lebih lama. Susullah aku di jalan. Aku akan mencarimu."
Matahachi cepat menyusuri Nakasendo, jalan raya yang menuju Edo lewat Kiso, tapi sampai
Kusatsu belum juga ia dapat menyusul Musashi. Sesudah melewati Hikone dan Toriimoto, ia
mulai was-was, mungkin Musashi telah lepas dari kejarannya. Sampai Celah Suribachi, ia
menanti setengah hari, dan sepanjang waktu itu ia terus memperhatikan jalan.
Baru sesudah sampai di jalan menuju Mino, Matahachi teringat kata-kata Kojiro.
"Apa aku memang ditipu?" tanyanya pada diri sendiri. "Apa Musashi betul-betul tidak
bermaksud pergi denganku?"
Sesudah agak jauh kembali melewati jalan yang sama dan memeriksa juga jalan-jalan
cabangnya, akhirnya tampak olehnya Musashi di luar kota Nakatsugawa. Semula ia girang
sekali, tapi ketika ia sudah dekat dan melihat bahwa orang di atas lembu itu Otsu, ia
segera diamuk rasa cemburu.
"Sungguh tolol aku," geramnya, "mulai dari si bangsat itu mengajakku pergi ke
Sekigahara sampai menit ini juga! Nah, dia tak bisa selamanva menginjak-injakku macam
ini. Bagaimanapun, aku mesti membalasnya... dan segera!"
*** 53. Air Terjun Jantan dan Betina
"HUU, PANAS!" seru Jotaro. "Belum pernah saya berkeringat macam ini waktu naik gunung.
Di mana kita sekarang?"
"Dekat Celah Magome," kata Musashi. "Orang bilang, ini bagian paling sukar dari jalan
raya ini." "Ah, saya tak tahu, tapi ini memang berat. Senang rasanya sampaiEdo. Di sana banyak
orang-betul, Otsu?" "Memang banyak, tapi aku takkan buru-buru sampai di sana. Lebih baik aku menghabiskan
waktu di jalan sepi macam ini."
"Itu karena Kakak naik lembu. Akan lain pendapat Kakak kalau jalan kaki. Lihat! Ada air
terjun di sana!" "Mari kita istirahat," kata Musashi.
Ketiga orang itu masuk jalan setapak yang
bungaan liar, dan masih lembap oleh embun
sebuah batu yang menghadap ke air terjun,
dari lembu, kemudian mengikatkan binatang
sempit. Di mana-mana tanah berselimut bungapagi. Sampai di sebuah gubuk kosong, pada
mereka berhenti. Jotaro membantu Otsu turun
itu ke sebatang pohon. "Lihat, Musashi," kata Otsu. Ia menuding sebuah papan nama, bunyinya: "Meoto no Taki".
Alasan nama itu, yang berarti "Air Terjun Jantan dan Betina", mudah dimengerti karena
batu-batu karang membelah air terjun itu menjadi dua bagian, yang besar tampak sangat
jantan, yang lain kecil lembut.
Lembah dan riam di bawah air terjun itu merangsang tenaga baru dalam tubuh Jotaro.
Sambil setengah melompat setengah menari ia turun ke pinggir yang terjal, ia berseru
bersemangat ke atas, "Ada ikan di bawah sini!"
Beberapa menit kemudian ia berteriak, "Saya bisa menangkapnya! Saya lempar dengan batu,
dan satu terguling mati."
Tak lama sesudah itu, suaranya yang hampir tidak kedengaran akibat deru air terjun
menggema dari jurusan lain lagi.
Musashi dan Otsu duduk dalam bayangan gubuk kecil, di antara pelangi kecil yang tak
Pendekar Gila 5 Kemelut Di Ujung Ruyung Emas Karya Khu Lung Anak Dan Kemenakan 6

Cari Blog Ini