Pendekar Gila Karya Kho Ping Hoo Bagian 5
Sementara itu, A-bwe memandang kepada pemuda itu dengan kagum. Pemuda ini benar-benar tampan dan gagah, cocok sekali menjadi suami nonaku, pikirnya.
Akan tetapi, ketika mendengar ucapan kedua suami isteri itu, tiba-tiba Tiong San tertawa terbahak-bahak, suara tertawa yang ia warisi dari mendiang suhunya.
"Ha ha ha! Kalian memang gila dan anakmu pun ..... gila! Kalian mau ikat aku dengan perjodohan" Sudah kukatakan bahwa aku tidak suka kepada wanita, terutama wanita cantik seperti anakmu! Kalian sudah berlaku baik kepadaku, dan untuk itu aku Lie Tiong San merasa berterima kasih, tetapi tentang perjodohan ..... ha ha! Tidak, seribu kali tidak!"
Setelah berkata demikian, pemuda itu lalu memutar tubuh dan pergi meninggalkan gedung itu, diikuti oleh pandang mata kedua suami isteri itu. Nyonya Ciu nampak berlinang air matanya karena merasa terhina sekali, sedangkan Ciu-wangwe sendiri memandang bingung.
"Untung dia menolak. Agaknya dia memang benar-benar gila seperti kukatakan kemaren ...."
Ia menarik napas panjang.
A-bwe berlari masuk dan tentu saja ia menceritakan semua ini kepada Leng Hwa. Gadis itu tadinya merasa gembira ketika mendengar cerita ini dan mendengar ucapan-ucapan Tiong San yang diulang oleh A-bwe beserta gaya-gayanya sekalian, merasa betapa hatinya menjadi perih. Mukanya pucat dan ia memandang kepada tulisan Tiong San yang tergantung di dinding seakan-akan tulisan itu merupakan diri Tiong San sendiri! Ia menangis. Sekali lagi tanpa disadarinya, Tiong San telah menyebabkan seorang gadis cantik menjadi patah hati!
**** Tiong San meninggalkan kota Cin-an dan langsung mendaki bukit Tai-san untuk mencari Si Cui Sian, wanita bermuka cacad yang membunuh suhunya. Setelah dua hari berputar-putar di bukit itu, mencari keterangan pada dusun-dusun sekitar lembah bukit, tak seorangpun dapat memberi keterangan tentang seorang wanita tua yang bermuka cacad.
Tiong San menjadi kecewa sekali dan karena sudah berada di bukit itu, maka ia teringat akan tempat tinggal suhunya, di mana ia telah tinggal untuk tiga tahun lamanya. Maka ia segera menuju ke tempat itu, yakni sebuah guha besar yang berada di puncak lereng sebelah kiri dan yang masih liar belum pernah didatangi lain orang kecuali dia dan suhunya.
Setelah ia tiba di dekat guha pertapaan gurunya, tiba-tiba ia mendengar suara tangisan. Tiong San menjadi heran sekali karena siapakah orangnya yang berada di tempat sunyi ini" Ketika ia mencari-cari, ternyata bahwa suara itu datangnya dari guha suhunya! Ia makin merasa heran dan segera menghampiri dan berdiri di depan guha. Sekarang ia dapat mendengar suara tangis itu lebih jelas lagi. Itu adalah tangis seorang wanita disertai keluh-kesah mengharukan.
"Hong Sian .... kau kejam sekali .... Kalau saja dulu kau tidak berbuat kejam ... ah, kita tentu telah menjadi suami isteri yang beruntung ..... Kau menyakiti hatiku sehingga aku hidup menderita .... Aku tekun mempelajari ilmu pedang, akan tetapi ketika kita bertemu .... kau Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
145 kembali mengecewakan hatiku ..... Kau tidak melawan dan sengaja mencari kematian di tanganku sekarang .... sekarang aku merasa makin sengsara ... Hong Sian ..." tangis itu makin menjadi-jadi dan Tiong San yang mendengar ucapan ini merasa terkejut bercampur girang.
Inilah orang yang ia cari-cari!
"Si Cui Sian, perempuan jahanam yang kejam! Keluarlah kau untuk menerima pembalasan!"
teriaknya sambil mencabut cambuknya.
Suara tangisan itu tiba-tiba berhenti dan tak lama kemudian dari dalam guha itu keluarlah seorang wanita tua dengan pedang di tangan. Pedangnya berkilauan terkena cahaya matahari dan sekali pandang saja tahulah Tiong San bahwa pedang itu adalah sebuah senjata yang tajam dan ampuh.
Ia memperhatikan wanita itu. Jelas kelihatan bahwa wanita itu dulunya tentu amat cantik dan sekarang pun kulit mukanya masih nampak putih dan halus. Akan tetapi bekas luka yang melintang pada mukanya membuat muka itu nampak mengerikan dan menakutkan sekali, sehingga diam-diam Tiong San bergidik dan merasa seram.
"Si Cui Sian! Kau telah membunuh suhuku dengan kejam. Sekarang lawanlah Shan-tung Koai-hiap, murid Thian-te Lo-mo yang hendak membalaskan sakit hati!" kata Tiong San sambil menggerak-gerakkan cambuk di tangannya.
Wanita itu mendongak ke atas dan berkata sambil menghela napas, "Hong Sian .... kau telah mati .... Apakah dendam yang terkutuk ini takkan ada habisnya ....?""
Akan tetapi kemudian ia merobah sikapnya dan dengan mata bersinar ia memandang kepada Tiong San. "Kau Shan-tung Koai-hiap murid Kui Hong Sian" Bagus, bagus! Aku sudah mendengar namamu dan kabarnya kau lihai seperti gurumu dan sudah mewarisi ilmu kepandaian Hong Sian! Gurumu tidak mau melawanku, biarlah kau yang mewakilinya dan coba kau perlihatkan kepandaianmu. Hendak kucoba sampai di mana hebatnya ilmu cambuk Im-yang Joan-pian!"
Setelah berkata demikian, ia melompat maju dan langsung menyerang Tiong San dengan pedangnya! Pemuda itu cepat melompat mundur dan menggerakkan cambuknya yang segera mengeluarkan bunyi keras dan menyambar ke arah leher perempuan cacad itu. Pertempuran hebat segera terjadi dengan amat serunya. Kali ini tidak seperti biasanya, Tiong San menggerakkan cambuknya dengan serangan-serangan maut karena ia bermaksud membunuh musuh suhunya ini.
Akan tetapi, Si Cui Sian benar-benar lihai sekali ilmu pedangnya dan tiap kali ujung cambuk terbentur pedang, Tiong San merasa betapa tenaganya mental kembali dan ujung cambuknya terpental keras. Wanita itu dengan gerakannya yang amat cepat mendesak maju dan memaksa Tiong San bertempur dari jarak dekat.
"Ayoh, kau keluarkan semua ilmu cambukmu yang lihai!" Si Cui Sian tertawa mengejek.
Tiong San harus mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya. Kini ia memegang cambuknya yang telah ditekuk menjadi pendek dan ia memainkan Im-yang Joan-pian dengan hati-hati. Ujung cambuknya menyambar-nyambar kaku merupakan sebatang tongkat, akan Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
146 tetapi tiap kali ditangkis, ujung cambuk itu menjadi lemas dan dapat meluncur dan melanjutkan serangan mengarah jalan-jalan darah lawan untuk ditotoknya.
Inilah kelihaian ilmu cambuk Im-yang, semacam ilmu cambuk yang tiada duanya dalam dunia persilatan. Akan tetapi, ia tidak tahu bahwa wanita itu selama berpuluh tahun, setelah terluka oleh suhunya, dengan tekun mempelajari ilmu pedang yang hebat dan yang sengaja diatur untuk menghadapi ilmu cambuk dari Thian-te Lo-mo. Maka kini semua serangannya, satu demi satu digagalkan oleh Si Cui Sian dan bahkan serangan balasan wanita itu membuat Tiong San menjadi sibuk sekali!
Setelah bertempur kurang lebih seratus jurus, perlahan-lahan Tiong San mulai terdesak hebat dan perempuan tua itu tertawa senang. "Ha, kalau saja Thian-te Lo-mo sendiri yang bertempur melawan aku .... hm, akan tahulah dia bahwa Si Cui Sian bukanlah wanita yang mudah dikalahkan! Ha ha, anak muda, kau mulai berkeringat dan bingung!"
Memang Tiong San merasa kewalahan sekali. Belum pernah ia menghadapi seorang lawan yang demikian tangguhnya. Ia menggertakkan gigi dan tiba-tiba ia melompat ke kanan dan mengeluarkan cambuknya yang digerakkan sedemikian rupa sehingga cambuk itu berlenggak-lenggok menyerang tubuh lawan dari atas ke bawah! Inilah gerakan cambuk yang disebut Ular Luka Mencari Obat, gerakan yang amat sukar ditangkis oleh lawan oleh karena tiap lekuk dari cambuk ini melakukan serangan tersendiri sehingga dalam gerakan ini, cambuk di tangan Tiong San sekali gus melakukan beberapa serangan yang tak boleh dipandang ringan!
Akan tetapi, agaknya wanita itu telah siap pula menghadapi serangan macam ini. Tiba-tiba ia tertawa masam, secepat kilat menangkap ujung cambuk yang menyambar lehernya, lalu melompat ke belakang sambil menarik ujung cambuk itu! Bagaikan seekor ular yang ditarik kepalanya, sekali gus semua lekuk yang menyerang itu menjadi gagal karena kini cambuk menjadi terpentang lurus.
Mereka saling menyentakkan dan tiba-tiba Si Cui Sian menggerakkan pedangnya dan putuslah cambuk itu pada tengah-tengah! Pedang pusaka itu memang tidak mampu membabat putus cambuk ketika mereka sedang bertempur, karena cambuk itu bersifat lemas. Tetapi setelah kini cambuk itu dipegang oleh kedua pihak dan ditarik kencang, tentu sekali sabet saja, pedang pusaka itu telah berhasil memutuskannya!
Tiong San merasa terkejut sekali dan karena kurang pengalaman, ia menjadi gugup. Saat itu digunakan oleh Si Cui Sian untuk melompat maju dan mengirim tusukan ke arah dada pemuda itu. Tiong San tak mendapat kesempatan berkelit dan agaknya iapun akan menerima nasib seperti suhunya, yakni dadanya tertembus pedang pusaka di tangan Si Cui Sian!
Akan tetapi, tiba-tiba wanita itu menahan tangannya yang memegang pedang, melemparkan pedangnya di atas tanah dan berlutut sambil menutupi mukanya lalu menangis!
"Thian-te Lo-mo ...., apa artinya aku membunuh muridmu" Apa artinya membuat dosa baru"
Ah, mengapa kau tidak lekas datang mencabut nyawaku ....?"
Sementara itu, Tiong San merasa terhina dan menjadi marah sekali karena wanita itu tidak jadi membunuhnya. Ia banting-banting kakinya dan berkata,
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
147 "Perempuan gila! Mengapa kau tidak tusuk dadaku seperti yang kau lakukan kepada mendiang suhu" Jangan kau menghinaku! Aku tidak takut mati, aku sudah kalah terhadapmu, lekas kau ambil pedangmu dan bunuhlah aku!"
Si Cui Sian mengangkat mukanya dan aneh, sepasang matanya sungguhpun mengalirkan air mata, tetapi kini memandang kagum kepada Tiong San.
"Kau .... kau seperti Hong Sian di waktu muda ... kau gagah perkasa!"
"Siapa sudi mendengar ocehanmu" Bunuhlah aku, ayoh, lekas bunuh. Kau kira aku takut mati" Kalau tidak, mari kita bertempur lagi sampai seribu jurus!"
Bab 16 ... SI CUI SIAN berdiri perlahan-lahan, lalu berkata,
"Shan-tung Koai-hiap, betapapun lihaimu, kau bukanlah lawanku! Suhumu sendiri belum tentu dapat menghadapi ilmu pedangku, apalagi kau yang belum berpengalaman. Kita tidak mempunyai permusuhan sesuatu, maka kalau kau suka, dari pada kita bermusuh, marilah kau kuberi pelajaran ilmu pedang. Aku dan gurumu tidak ada jodoh, biarlah ilmu kepandaian kami berdua saja yang menjadi satu dan diwariskan kepadamu!"
"Kau musuh suhu! Kau pembunuh suhu! Bagaimana aku bisa menjadi muridmu" Hanya ada dua jalan bagiku, membunuhmu atau kau membunuh aku!" Tiong San berkeras.
"Orang bijaksana tidak memperdulikan akibat, tetapi dengan teliti memperhatikan sebab.
Kematian suhumu hanya akibat dan sebab-sebabnya kau belum mengetahui. Dengarlah penuturanku, anak muda!" Maka berceritalah Si Cui Sian, wanita yang bermuka cacad itu.
Tiong San mendengarkan dengan penuh perhatian oleh karena memang suhunya belum pernah menceritakan riwayatnya ketika masih muda.
"Dulu ketika masih muda, suhumu dan aku saling mencinta dengan tulus, saling berjanji akan mencinta dengan tulus, saling berjanji akan menjadi suami isteri. Akan tetapi malang sekali, ketika aku berkenalan dengan dia, aku belum tahu bahwa dia sebenarnya adalah orang yang menyakitkan hati orang tuaku. Sebelum aku turun dari perguruan, suhumu pernah mengalahkan ayahku yang menjadi jago terkenal sehingga ayah merasa demikian malu karena namanya dijatuhkan oleh suhumu. Ayah lalu jatuh sakit dan meninggal dunia karena sakitnya itu."
"Sebenarnya, memang kematian ayah ini bukanlah salah suhumu, kiranya kau tentu mengerti perasaan ibuku. Ibu merasa demikian sakit hati kepada suhumu, sehingga ia bersumpah untuk membalas dendam. Ketika aku datang, ibu lalu membuat aku bersumpah pula untuk membalas dendam itu. Biarpun tidak secara langsung, memang suhumu yang menjadi sebab kematian ayah dan kehancuran hati ibuku."
"Kemudian, setelah aku mengetahui bahwa sebenarnya suhumu atau kekasihku itu yang menjadi musuh besar ibuku, terpaksa kami lalu bertengkar. Aku tantang kekasihku sendiri untuk mengadu kepandaian. Kalau saja suhumu bijaksana, tentu ia sudah mengalah dan membiarkan aku menang dalam pertempuran itu karena bukan maksudku untuk
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
148 membunuhnya. Ku pikir bahwa sakit hati ayah hanya karena dikalahkan saja, maka sudah menjadi kewajibanku untuk membalas sakit hati ini dengan mengalahkan suhumu pula di depan orang banyak."
"Kami bertempur dengan disaksikan oleh banyak orang gagah, tetapi sayang, suhumu ternyata amat keras hati, seperti kau sekarang! Suhumu tidak mau mengalah sehingga kami bertempur dengan seru dan mati-matian! Akhirnya ternyata bahwa suhumu masih lebih tinggi tingkat kepandaiannya dan dalam pertempuran mati-matian yang disaksikan oleh banyak orang gagah itu, suhumu salah tangan dan membacok mukaku sehingga mukaku menjadi bercacad seperti ini untuk selamanya!" Wanita itu berhenti sebentar dan menangis, sedangkan Tiong San mendengarkan bagaikan sebuah patung tak bergerak sama sekali. Ia amat tertarik dan ia mulai merasa kasihan kepada wanita ini."
"Rasa sakit pada mukaku yang terbacok pedang, bukan apa-apa apabila dibandingkan dengan rasa perih dan sakit pada hatiku. Aku telah dihina di depan orang banyak oleh kekasihku sendiri, oleh orang yang telah bersamaku bersumpah untuk saling mencinta selamanya! Aku lalu melarikan diri dan belajar ilmu silat yang lebih tinggi, dengan cita-cita membalas penghinaan ini! Akupun mendengar bahwa suhumu juga lari dan menjadi miring otaknya.
Tetapi aku tidak perduli. Setelah berpuluh tahun melatih diri, aku mulai mencarinya."
"Kemudian, aku mendengar bahwa dia berada di kota raja dan aku segera menyusul ke sana.
Kebetulan suhumu sedang mengacau di dapur istana dan aku mendapat kesempatan untuk berhadapan dengannya, untuk sekali lagi mengadu kepandaian! Akan tetapi, suhumu tidak mau melawan dan membiarkan saja pedangku menusuk dadanya, sehingga ..... sehingga ia tewas oleh pedangku ..."
Kembali wanita itu menangis terisak-isak sambil menutup mukanya dengan kedua tangan.
Tiba-tiba ia mengangkat mukanya dan melangkah maju mendekati Tiong San sambil berkata gagah,
"Dia telah mati, untuk apa aku hidup lebih lama" Aku tak dapat membunuhmu, karena kau bukan musuhku. Tadi kau bilang bahwa jalan bagimu hanyalah membunuhku atau terbunuh olehku. Baiklah kau boleh ambil jalan kedua dan bunuhlah aku! Bunuhlah dengan pedang yang telah membunuh kekasihku itu agar aku dapat segera bertemu dan berkumpul dengan dia!"
Si Cui Sian mengambil pedangnya yang tadi dilemparkannya dan memberikan pedang itu kepada Tiong San. Pemuda itu dengan muka pucat menerima pedang itu. Hatinya berdebar dan pikirannya kalut. Pantas saja suhunya tidak melawan, dan pantas saja suhunya tidak membenarkan kalau ia membalas dendam!
Memang suhunya telah rela binasa di tangan perempuan ini, bahkan agaknya disengaja mencari kematian di tangan Si Cui Sian. Patutkah kalau ia kini membunuh wanita ini"
Salahkah kalau wanita yang dirusak hidupnya karena cacad pada mukanya dan luka pada hatinya itu mencari suhunya untuk membalas dendam"
"Aku .... aku tidak biasa mempergunakan pedang ...., aku tidak tahu bagaimana harus memegang pedang ... Harap kau memberi pelajaran dulu kepadaku ...," jawabnya ragu-ragu.
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
149 Si Cui Sian memandangnya dan tiba-tiba sepasang matanya berseri. "Kau anak baik, aku suka memberi pelajaran kepadamu. Sebelum aku mati, aku harus turunkan kepandaianku kepadamu dulu, dan alangkah baiknya kalau ilmu pedangku Pat-kwa Kiam-hoat ini dijodohkan dengan ilmu cambuk Im-yang!"
Tiong San merasa girang sekali dan segera menjatuhkan diri berlutut di depan wanita tua itu.
"Terima kasih, subo!" Mendengar sebutan "subo" atau nyonya guru ini, Si Cui Sian merasa gembira sekali karena ia merasa seakan-akan ia menjadi isteri Thian-te Lo-mo.
"Bagus, anakku, bagus! Kau sudah memiliki dasar ilmu silat tinggi. Dalam setengah tahun saja semua dasar ilmu pedang Pat-kwa Kiam-hoat akan dapat kau pahami."
Demikianlah, semenjak hari itu, di guha mendiang suhunya, kembali Tiong San mendapat gemblengan dari seorang berilmu tinggi. Dan oleh karena wanita itu tidak bertabiat aneh seperti suhunya, maka lambat laun kembalilah sifat sopan-santun Tiong San.
Sungguhpun kesukaannya memaki orang dengan sebutan gila masih selalu menempel pada bibirnya. Benar sebagaimana ucapan Si Cui Sian, dalam waktu enam bulan ia telah dapat mempelajari Pat-kwa Kiam-hoat sampai tamat dan dapat memainkan pedang gurunya itu dengan mahir.
"Tiong San," kata gurunya setelah permainan pedangnya cukup baik. "Sekarang kau pergilah turun gunung dan pergunakan segala kepandaianmu untuk kebaikan. Kalau kau dapat menggabungkan dua ilmu itu, yakni ilmu cambuk Im-yang dan ilmu pedang Pat-kwa, kau akan menjadi lebih lihai dari pada mendiang Thian-te Lo-mo atau aku sendiri! Kau bawa pedang ini, kuhadiahkan kepadamu karena tidak berguna lagi untukku. Aku mau bertapa di sini menanti datangnya Thian-te Lo-mo yang tentu akan menjemputku tak lama lagi!"
Tiong San berlutut menghaturkan terima kasih dengan hati amat terharu, karena tak disangkanya sama sekali bahwa pertemuannya dengan wanita tua yang tadinya dianggap musuh itu dapat mendatangkan keuntungan besar bagi dirinya. Semenjak Si Cui Sian menceritakan riwayatnya, Tiong San telah berubah pandangannya terhadap wanita tua itu.
Ia merasa kagum dan juga kasihan sekali akan nasib wanita itu yang sebetulnya sampai sekarang pun masih amat mencintai Thian-te Lo-mo dengan setia! Ia teringat akan pengalamannya sendiri. Alangkah jauh bedanya wanita tua yang kini juga menjadi gurunya itu dengan wanita-wanita yang pernah dijumpainya.
Ia teringat akan Siu Eng, wanita cantik yang gagah itu. Gadis inipun menaruh dendam sakit hati kepadanya, tetapi persoalannya jauh berbeda dengan sakit hati Si Cui Sian terhadap Thian-te Lo-mo. Siu Eng bukanlah seorang wanita baik-baik, bersifat cabul dan berhati kejam.
Ia teringat pula kepada Liong Bwee Ji puteri jago silat Liong Ki Lok, juga teringat kepada Ciu Leng Hwa, puteri Ciu-wangwe, akan tetapi semua itu hanya terbayang samar-samar saja dan ia hampir lupa kepada wajah gadis-gadis itu. Akan tetapi, ketika ia teringat kepada Gan Siang Cu, diam-diam ia berdebar dan menarik napas panjang. Kasihan gadis itu, pikirnya dan ia merasa betapa ia telah berlaku kejam kepada gadis itu.
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
150 Gadis patut dikagumi, berhati mulia sehingga suka menolong Thian-te Lo-mo ketika terluka, memegang teguh kesucian sehingga ia berlaku nekat dan menolak ketika hendak dipaksa menjadi bini muda seorang pangeran, dan berhati tabah sekali sehingga dengan berani ia hendak membunuh diri di depan makam Thian-te Lo-mo ketika tidak ada jalan lain baginya.
Juga gadis itu cerdik sekali, dan diam-diam Tiong San merasa geli hatinya kalau ia teringat betapa gadis pelayan istana yang biasanya hidup mewah dan yang bersikap lemah lembut dan halus itu menyamar sebagai petani!
Di manakah adanya Siang Cu" Demikian Tiong San berpikir sambil melanjutkan
perjalanannya sambil menuruni bukit Tai-san. Kalau ada kesempatan bertemu, aku harus minta maaf kepadanya atas segala perlakuanku yang kasar-kasar dulu, pikirnya. Akan tetapi di manakah ia dapat bertemu dengan gadis yang tak diketahui asal-usul dan tempat tinggalnya itu"
Ketika ia sedang berjalan sambil melamun, tiba-tiba ia mendengar suara kambing mengembek ramai di pinggir jalan. Ia menengok dan melihat betapa seekor kambing betina sedang mengembek-embek dan berjalan memutari sebuah lubang di dalam tanah dengan
kebingungan. Dari dalam lubang terdengar suara embek kambing kecil yang lemah seperti bunyi anak menangis.
Beberapa kali induk kambing itu mencoba untuk masuk ke dalam lubang, tetapi tak dapat, dan jelas sekali nampak betapa ia hendak berusaha sedapatnya untuk menolong kambing kecil, tetapi ia tidak berdaya sehingga ia menjadi bingung sekali, suaranya terdengar oleh Tiong San seperti orang minta tolong, maka ia menjadi kasihan dan menghampiri, lalu mengeluarkan kambing kecil itu dari dalam lubang.
Induk kambing merasa girang sekali, lalu menghampiri anaknya dan menjilat-jilat dengan lidahnya, sedangkan si kecil itu lalu menekuk kedua kaki depannya seperti berlutut dan minum air tetek ibunya dengan lahapnya. Agaknya sudah lama ia terjerumus ke dalam lubang itu dan perutnya menjadi amat lapar.
Melihat pemandangan ini, tiba-tiba Tiong San merasa betapa hatinya seperti diremas dan tanpa disadarinya, dua titik air matanya melompat keluar dari pelupuk matanya. Pemandangan yang nampak di depannya itu mengingatkan ia akan ibunya sendiri! Melihat kasih sayang sedemikian besar dan mesranya dari induk kambing kepada anaknya, dan melihat betapa ketika hendak menetek, kambing kecil itu menekuk kaki depan seakan-akan berlutut, lambang dari kebaktian anak terhadap ibunya.
Hati Tiong San menjadi amat terharu. Telah hampir lima tahun ia meninggalkan ibunya dan seakan-akan terlupa kepada orang tua itu. Kini hatinya penuh kerinduan kepada ibunya. Rindu sekali untuk melihat wajah ibunya yang sabar dan agung itu, untuk mendengar suaranya yang halus penuh kasih sayang dan untuk merasai belaian tangannya yang mencinta.
"Ibu ...," hati Tiong San berbisik dan segera ia berlari cepat dari tempat itu. Keinginan satu-satunya pada saat itu hanya untuk pulang ke kampungnya dan untuk bertemu ibunya. Ia melakukan perjalanan secepat mungkin agar lebih cepat tiba di kampung Kui-ma-chung, kampung kelahirannya dan di mana ibunya kini berada.
Ia membayangkan dengan gembira betapa kini keadaan ibunya sudah senang dan cukup, tak perlu membanting tulang, menyulam dan menenun sampai jauh malam untuk mendapatkan Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
151 nafkah, karena bukankah ia dulu telah mengirimi uang sepuluh ribu tail perak yang didapatnya sebagai "emas kawin" dari pangeran Lu Goan Ong"
Mengingat hal ini, tak dapat tidak ia terkenang pula kepada Khu Sin dan Thio Swie sehingga kegembiraannya makin meluap. Ia akan bertemu dengan ibunya, dengan Khu Sin dan Thio Swie yang kini tentu telah menjadi pembesar! Alangkah senangnya dapat bertemu dan bercakap-cakap dengan mereka. Kegembiraan ini membuat Tiong San makin tergesa-gesa untuk segera sampai di kampungnya dan ia melakukan perjalanan siang malam, tidak pernah ditundanya, kecuali terjadi hal yang amat penting.
Dan ketika ia tiba di kampung Kui-ma-chung, hatinya berdebar keras karena terlalu amat girang dan terharunya. Ia segera menuju ke rumah ibunya. Dari jauh sudah tampak rumah ibunya dan ia merasa amat heran. Mengapa rumah ibunya masih tua dan buruk seperti dulu"
Bukankah ia sudah mengirim uang sebanyak sepuluh ribu tail perak" Apakah ibunya belum menerima uang itu" Bermacam-macam pertanyaan timbul di dalam pikirannya.
Ia mempercepat larinya untuk segera bertemu dengan ibunya dan memecahkan semua teka-teki yang membuatnya terheran-heran itu. Tiba-tiba ia tertegun karena timbul pikiran baru.
Mungkin ibunya sudah berpindah rumah! Siapa tahu" Dengan uang sebanyak itu, mungkin sekali ibunya mendiami rumah baru dan rumah lama ini dijualnya kepada orang lain!
Pikiran baru ini membuat ia berlari lebih cepat lagi dan sebentar saja ia telah berada di depan pintu rumah itu. Kebetulan sekali pada saat itu seorang wanita tua keluar dari rumah dengan tindakan yang tenang dan perlahan. Wanita itu melihat Tiong San, berdiri diam dan tiba-tiba, memandang dengan mata terbelalak, tak bergerak bagai patung.
"Ibu ....!!" Tiong San bersorak gembira karena ternyata bahwa wanita itu memang benar ibunya. Ia menubruk maju dan menjatuhkan diri berlutut, tak kuasa menahan mengucurnya air mata.
"Tiong San .....! Kau ...." Kau .... sudah kembali ...." Tiong San .....!" Sambil memeluk anaknya yang telah diangkatnya berdiri itu, nyonya janda Lie menangis. Berkali-kali ia memandang wajah puteranya dan mendekapkan kepala anaknya itu ke dadanya dengan hati penuh bahagia dan terharu.
"Ibu, ampunkan aku, anakmu yang tidak berbakti ....." Tiong San berkata.
Ibunya tak dapat berkata apa-apa, hanya memeluknya makin erat seakan-akan khawatir kalau-kalau puteranya akan pergi lagi, pergi jauh tak tentu tempat tinggalnya.
Pada saat itu, terdengar langkah kaki ringan dari dalam rumah.
"Tiong San, anakku. Lihatlah, dia ini adalah seorang berhati mulia yang selama ini menemani ibumu dan menjadi penghibur besar dari kedukaan karena kehilangan kau," kata nyonya itu dengan suara gembira, memperkenalkan.
Tiong San mengangkat kepala memandang dan hampir saja ia berteriak. Ia memandang dengan keheranan kepada seorang gadis yang berpakaian sederhana, seorang gadis yang manis sekali dalam pandangan matanya, gadis yang selama ini seringkali muncul dalam pikirannya. Dan gadis itu memandangnya dengan mata sayu, dengan senyum simpul setengah Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
152 mengejek pada bibirnya. Kemudian gadis itu menjura perlahan sebagai penghormatan kepadanya. Gadis ini bukan lain ialah Gan Siang Cu!
Bagaimana Siang Cu, pelayan istana itu sampai bisa berada di rumah ibu Tiong San dan tinggal bersama orang tua itu" Marilah kita ikuti pengalamannya semenjak ia berpisah dengan Tiong San di dalam hutan itu.
**** Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Gan Siang Cu, gadis pelayan istana yang ditolong oleh Thian-te Lo-mo, kemudian ditolong pula oleh Tiong San yang membawanya keluar kota raja, telah menyamar sebagai seorang petani muda, dengan pakaian hasil curian Tiong San yang sengaja dikotorkan dengan tanah lempung dan telah memotong rambutnya menjadi pendek. Kemudian gadis itu lalu meninggalkan Tiong San dan kembali ke kota raja.
Berkat penyamarannya, dengan mudah ia dapat melalui pintu gerbang kota raja tanpa menimbulkan banyak curiga. Gadis ini teringat akan pesan mendiang Thian-te Lo-mo bahwa kalau ia berhasil keluar, ia dapat minta tolong kepada pemilik rumah penginapan Thian-an-kwan yang menjadi paman seorang pemuda bernama Khu Sin.
Setelah tiba di Thian-an-kwan dan menuturkan bahwa ia adalah kenalan baik Thio Swie, Khu Sin dan Tiong San, benar saja paman Khu Sin itu segera menyambutnya dengan ramah tamah sekali. Tanpa membuka rahasianya, Siang Cu lalu menyatakan bahwa karena sesuatu sebab, ia terpaksa melarikan diri dari kota raja dan minta tolong kepada paman Khu Sin itu untuk membelikan seekor kuda yang baik dan menanyakan pula di mana tempat tinggal Khu Sin. Ia menyatakan bahwa sudah lama ia tidak bertemu dengan Khu Sin sehingga tidak tahu di mana sekarang tinggalnya pemuda itu.
Ia mengeluarkan sebuah dari pada perhiasannya yang terbuat dari emas untuk digunakan sebagai pembeli kuda, dan mendapat keterangan yang jelas tentang keadaan Khu Sin yang telah menjadi wedana dari kota Bun-an-kwan. Setelah menghaturkan terima kasihnya, Siang Cu lalu naik kuda itu dan terus menuju ke kota Bun-an-kwan.
Setelah tiba di kota ini, ia menghadap kepada wedana kota yang bukan lain adalah Khu Sin sendiri. Ia dibawa menghadap kepada Khu Sin yang merasa amat heran yang mendengar dari penjaganya bahwa seorang sahabat dari kota raja hendak bertemu. Lebih-lebih herannya ketika melihat bahwa tamunya adalah seorang petani muda yang berpakaian kotor.
Akan tetapi, Khu Sin berbeda dengan pembesar-pembesar lain sehingga belum lama ia menjadi wedana kota, ia amat disukai oleh penduduk di situ. Kini ia menerima tamunya dengan ramah tamah dan setelah tamunya dipersilahkan duduk, ia bertanya,
"Siapakah saudara dan datang dari mana" Mengapa saudara mengaku menjadi sahabatku sedangkan sepanjang ingatanku, aku belum pernah bertemu dengan kau?"
Dengan ketenangan yang amat mengagumkan, Siang Cu menjawab dengan pertanyaan pula.
"Taijin, bukankah kau bernama Khu Sin dan berasal dari kampung Kui-ma-chung?"
Khu Sin memandang heran. "Benar," jawabnya.
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
153 "Dan kenalkah kau kepada dua orang muda bernama Thio Swie dan Tiong San?"
"Tentu saja! Mereka adalah kawan-kawan baikku. Thio Swie berada di kota tak jauh dari sini menjabat pangkatnya, sedangkan Tiong San ... eh, kau siapakah dan mengapa kau mengajukan pertanyaan itu" Apakah kau diutus oleh seorang di antara mereka?"
Siang Cu menggelengkan kepalanya. "Kalau taijin kenal kepada Tiong San, tentu tahu pula bahwa dia adalah Shan-tung Koai-hiap."
"Ya, ya, aku tahu sampai habis hal itu. Katakanlah, apa keperluanmu menjumpaiku?"
Untuk mendapat kepastian, Siang Cu melanjutkan, "Dan kenalkah taijin kepada Thian-te Lo-mo?"
"Kakek gila itu" Kenal betul, tidak, tetapi aku tahu bahwa dia adalah guru dari Tiong San!"
"Taijin, terus terang saja kedatanganku ini adalah atas petunjuk Thian-te Lo-mo dan kakek itu menyatakan bahwa di dalam kesukaran yang kuhadapi, aku dapat minta pertolongan kepada kawan-kawan muridnya, yakni kepada orang-orang muda bernama Khu Sin dan Thio Swie, dan juga kepada Tiong San. Oleh karena ternyata bahwa Shan-tung Koai-hiap Lie Tiong San tidak mau menolongku, maka dari kota raja aku langsung mencari taijin untuk mohon perlindungan."
Khu Sin merasa terkejut dan heran sekali. "Apakah kau bertemu dengan Tiong San" Di mana"
Bagaimana keadaannya" Dan mengapa ia tidak mau menolongmu" Dia adalah seorang berhati mulia, semulia-mulianya orang!"
Dihujani pertanyaan ini dan melihat sikap Khu Sin yang amat ramah tamah dan baik, Siang Cu tersenyum dan heranlah Khu Sin melihat gigi yang putih dan rata itu. Terlampau bagus untuk menjadi gigi seorang petani muda biasa!
"Khu-taijin, bukan saja aku telah bertemu dengan Shan-tung Koai-hiap, bahkan sudah bercekcok dengan dia!"
"Apa" Kau bercekcok dengan Tiong San" Mengapa?"
"Khu-taijin, ceritaku panjang dan sebelum aku menuturkan ceritaku ini, harap kau jawab dulu pertanyaanku. Sudahkah kau beristeri?"
Terbelalak mata Khu Sin memandang petani muda ini. Tiong San memang ajaib betul, pikirnya. Mempunyai guru seorang kakek gila dan sekarang kawannya ini rupa-ruoanya juga tak beres otaknya! Akan tetapi ia terpaksa mengangguk, karena memang ia telah kawin dengan Man Kwei, bekas pelayan pangeran Lu Goan Ong yang ditolongnya dulu.
"Kalau kau sudah kawin, baik sekali. Harap kau panggil isterimu keluar karena tidak enak sekali bagiku untuk bercerita tentang pengalamanku di depanmu sendiri. Mana isterimu?"
Kini Khu Sin menjadi marah dan menganggap bahwa orang muda ini pasti seorang gila!
"Kau gila!" teriaknya sambil berdiri dari kursinya.
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
154 Siang Cu tertawa geli mendengar ini. "Agaknya kau dan kawanmu Shan-tung Koai-hiap itu semodel, paling suka memaki orang gila!"
"Jangan kau main-main!" Khu Sin membentak. "Mengapa kau berani berlaku begini kurang ajar dan menyuruh isteriku keluar" Kalau kau tidak lekas memberitahukan keperluanmu datang di sini, terpaksa aku akan memanggil penjaga untuk mengusirmu!"
"Betul-betulkah kau ingin bicara dengan aku sendiri di luar tahu isterimu?"
"Tentu saja! Dan jangan kau berlancang mulut membawa-bawa nama isteriku!"
"Bagaimana kalau isterimu mengetahui bahwa suaminya sedang mendengarkan penuturan seorang wanita muda" Apakah dia akan senang hati?"
Kini Khu Sin melompat bagaikan diserang ular dari bawah.
"Apa katamu" Kau .... kau ....."
Siang Cu berdiri dan menjura, kini bersikap biasa sebagai seorang wanita sungguhpun tampak lucu dalam pakaiannya sebagai petani laki-laki itu. "Aku memang seorang wanita, Khu-taijin.
Namaku Gan Siang Cu, bekas pelayan istana kaisar."
Bukan main terkejutnya hati Khu Sin mendengar ini dan ketika sekali lagi Siang Cu tersenyum manis, ia tidak ragu-ragu lagi. Pantas saja bentuk bibirnya demikian manis dan giginya demikian bagus.
"Mari, mari masuk saja ke dalam rumah ...." katanya gagap dan karena lupa hampir saja ia memegang tangan tamunya untuk ditarik ke dalam, tetapi ketika tangannya menyentuh kulit tangan yang halus itu, ia segera melepaskannya seperti menyentuh api panas.
"Maaf, saudara .... eh, nona ....., aku ....., aku bingung sekali!" katanya sambil mempersilahkan Siang Cu masuk ke dalam ruang dalam. Khu Sin lalu berlari-lari memberi tahu kepada isterinya yang segera keluar. Begitu melihat Man Kwei, Siang Cu memandang dan berkata,
"Kalau tidak salah, cici dulu bekerja di gedung pangeran Lu Goan Ong, betulkah?"
Sebagai seorang pelayan istana yang cukup ternama di antara semua pelayan-pelayan, Siang Cu tentu saja pernah dilihat dan dikenal oleh Man Kwei yang mengaguminya. Tetapi dalam keadaan yang demikian, tentu saja ia tidak mengenalnya. Siang Cu lalu membuka topinya dan rambutnya yang telah dipotongnya itu nampak lucu sekali.
"Cici, lupakah kau kepada Siang Cu?"
Man Kwei membelalakkan matanya. "Apa" Kau .... Siang Cu?" dengan herannya ia mendekati dan memandang lebih teliti lagi. Kemudian sambil tertawa ia memeluk Siang Cu.
"Benar, benar! Kau adalah Siang Cu, tetapi mengapa kau menjadi begini?"
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
155 Siang Cu menarik napas panjang dan sebelum ia mulai menuturkan pengalamannya, Man Kwei mencegahnya dan membawanya ke dalam untuk mandi dan bertukar pakaian. Setelah ia muncul lagi, ia telah menjadi seorang gadis cantik, dan ia lalu menuturkan seluruh pengalamannya semenjak pertemuannya dengan Thian-te Lo-mo sampai perpisahannya dengan Tiong San di dalam hutan.
Setelah Siang Cu menuturkan pengalamannya, Khu Sin dan isterinya menjadi sangat terharu.
"Akan tetapi," kata Khu Sin, "Di manakah adanya Tiong San sekarang" Mengapa dia tidak mau pulang?" Hati Khu Sin selalu merasa khawatir semenjak ia mendengar betapa Tiong San telah mempermainkan pangeran Lu Goan Ong dan Siu Eng.
"Siapa tahu?" jawab Siang Cu mengangkat pundak.
"Tapi mengapa dia tidak mau menolongmu" Bukankah ia sudah menolongmu keluar dari istana dan kota raja" Mengapa tidak mau melanjutkan pertolongannya dan meninggalkanmu di dalam hutan?"
Siang Cu tak dapat menjawab dan menundukkan mukanya. Ketika Man Kwei membantu suaminya mendesaknya, ia menjawab, "Mengapa ia tidak mau menolong" Kukira karena ...., karena aku seorang perempuan!"
"Ha"!?" seru Khu Sin terheran-heran.
"Dia memang pembenci perempuan," kata Siang Cu pula dengan cemberut. Man Kwei lebih mengerti perasaan wanita, maka ia mengejapkan matanya kepada suaminya sehingga Khu Sin tidak membuka mulut lagi.
Kemudian Siang Cu bertanya tentang pengalaman mereka dan Khu Sin lalu menceritakan seluruh pengalamannya. Menurut penuturan Khu Sin, ternyata bahwa ia dan Thio Swie telah kembali ke kampung Kui-ma-chung dengan selamat, membawa pangkat dan uang sepuluh ribu tail perak untuk ibu Tiong San. Akan tetapi, nyonya janda Lie, ibu Tiong San, ketika mendengar dari kedua pemuda itu tentang puteranya yang kini telah menjadi seorang pendekar sakti dan uang sepuluh ribu tail perak itu adalah "emas kawin" dari pangeran Lu Goan Ong, menjadi marah-marah.
"Tiong San menjual dirinya, kawin dengan gadis macam itu dan menerima emas kawin yang dikirimkan kepadaku" Ah, kalau ia menganggap ibunya mata duitan seperti itu, dia benar-benar gila! Aku tidak sudi menerima uang ini!" Kemudian ia menangis sedih. Terpaksa Khu Sin dan Thio Swie membawa dan menyimpan uang itu karena ibu Tiong San berkeras tidak mau menerimanya.
Ketika Khu Sin dan Thio Swie mendengar tentang Tiong San yang mempermainkan Siu Eng dan pangeran Lu Goan Ong, mereka menjadi girang dan geli sekali. Terutama Thio Swie yang tadinya merasa tidak puas dan mendongkol mendengar bahwa Tiong San hendak kawin dengan Siu Eng, tertawa terpingkal-pingkal sampai keluar air matanya.
"Bagus, bagus, Tiong San! Kau benar-benar sahabat karibku!" serunya sambil menepuk-nepuk bahu Khu Sin dengan girangnya. "Aha, Khu Sin, ingin benar aku melihat muka Siu Eng dan mengejeknya!"
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
156 Mereka segera memberitahukan hal itu kepada ibu Tiong San yang juga menjadi gembira, tetapi ia segera berkata dengan wajah bersungguh-sungguh kepada Khu Sin dan Thio Swie,
"Uang sepuluh ribu tail perak itu harap hari ini juga kalian kirimkan kembali kepada pangeran Lu Goan Ong! Uang itu adalah hasil penipuan puteraku dan kita tidak berhak memakainya sepeserpun!"
Khu Sin dan Thio Swie tidak berani membantah dan segera mengirimkan kembali uang itu disertai surat mereka yang menyatakan bahwa ibu Tiong San tidak mau menerimanya bahkan mohon banyak maaf untuk kekurang ajaran puteranya. Tak lupa kedua orang muda ini menyampaikan terima kasih atas kurnia yang diberikan kepada mereka.
Kalau pangeran Lu Goan Ong tadinya merasa mendongkol dan gemas sekali karena telah ditipu Tiong San, kini hatinya menjadi luluh menghadapi kemuliaan budi yang diperlihatkan oleh ibu pemuda itu. Maka iapun lalu memberi laporan yang amat baik kepada atasan untuk Khu Sin dan Thio Swie sehingga kedudukan kedua pembesar baru itu makin menjadi kuat.
Demikianlah penuturan Khu Sin kepada Siang Cu dan tiba-tiba gadis ini berkata dengan wajah berseri dan suara gemetar,
"Alangkah mulia hati nyonya Lie itu. Dalam keadaan miskin ia berani menolak uang sebesar itu. Sungguh jarang terdapat di dunia ini ......"
Malam harinya ia bercakap-cakap berdua di dalam kamar dengan Man Kwei yang secara berterus terang menyerangnya dengan perkataan halus.
"Adik Siang Cu, kau mencinta Tiong San, bukan?"
Siang Cu tersenyum dan mukanya menjadi merah. "Dia adalah penolongku dan aku berhutang budi dan nyawa kepadanya. Tanpa pertolongan dia dan suhunya, sudah lama aku tentu tewas.
Akan tetapi .... siapakah berani mencinta seorang pembenci perempuan seperti dia?" Ia menarik napas panjang, lalu berkata sambil memegang tangan Man Kwei.
"Cici yang baik, tak mungkin aku dapat membalas budi Shan-tung Koai-hiap, karena ia pembenci wanita. Juga tak mungkin aku dapat membalas budi Thian-te Lo-mo karena orang tua itu telah meninggal dunia. Akan tetapi ketika tadi aku mendengar tentang nyonya janda Lie, ibu Shan-tung Koai-hiap, hatiku amat kagum dan tertarik. Ia seorang nyonya berhati mulia yang hidup seorang diri, ditinggalkan oleh puteranya. Akupun seorang diri pula. Biarlah aku membalas budi Shan-tung Koai-hiap kepada ibunya saja. Cici yang baik, kuharap kau dan suamimu sudi menolongku, menjadi perantara agar supaya nyonya itu suka menerimaku membantu dan mengawaninya."
Ketika Khu Sin diberi tahu oleh isterinya tentang maksud Siang Cu yang hendak tinggal di rumah ibu Tiong San dan membantu nyonya tua itu, ia merasa setuju sekali. Maka beberapa hari kemudian, Khu Sin beserta isterinya mengantarkan Siang Cu ke dusun Kui-ma-chung, ke rumah nyonya janda Lie.
Bab 17 ... Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
157 NYONYA itu menyambut mereka dengan ramah-tamah dan sebentar saja Siang Cu telah merasa suka sekali kepadanya. Juga nyonya Lie merasa suka kepada Siang Cu yang pandai membawa diri. Setidaknya, nyonya Lie adalah bekas isteri seorang pembesar, maka melihat sikap dan gerak-gerik Siang Cu yang sopan-santun dan tahu bagaimana harus bersikap terhadapnya, ia merasa suka sekali.
Apalagi ketika Man Kwei menuturkan betapa gadis itu adalah seorang yatim-piatu yang lari dari istana kaisar karena hendak dipaksa menjadi bini muda pangeran, nyonya itu merasa kasihan sekali dan ia menerima dengan tangan dan hati terbuka ketika gadis itu minta supaya ia suka menerimanya di rumah itu.
"Aku girang sekali kalau kau sudi tinggal di rumah gubuk dan hidup dengan sederhana dan miskin di sini. Aku memang amat kesepian dan seorang seperti kau akan merupakan penghibur dan kawan yang amat menyenangkan hatiku," katanya.
Demikianlah, mulai hari itu, setelah Khu Sin dan isterinya kembali ke kota, Siang Cu tinggal berdua dengan nyonya Lie dan ketika melihat bahwa nyonya tua itu mendapatkan nafkahnya dengan menghasilkan pekerjaan sulam dan tenun, Siang Cu segera turun tangan membantu.
Dia memang terkenal sebagai ahli pekerjaan tangan yang halus-halus, maka setelah ia berada di situ, hasil pekerjaan sulam dari nyonya Lie makin indah dan banyak disukai orang sehingga pesanan datang semakin banyak.
Bahkan para hartawan dan bangsawan dari luar kota pada memesan barang-barang sulaman kepada nyonya itu sehingga biarpun mereka hanya hidup berdua, namun mereka merasa sibuk setiap hari dan cukup gembira. Dengan adanya Siang Cu, nyonya Lie merasa terhibur sekali dan makin lama ia merasa makin suka kepada gadis itu.
Dalam percakapan-percakapan mereka, akhirnya Siang Cu menceritakan juga tentang pengalamannya dan menceritakan pula bahwa ia pernah ditolong oleh putera nyonya itu yang kini berjuluk Shan-tung Koai-hiap. Tentu saja nyonya Lie merasa girang sekali mendengar ini, tetapi sambil menghela napas ia berkata,
"Tak kusangka bahwa Tiong San yang dulu kuharap-harapkan untuk menjadi seorang pembesar seperti ayahnya, ternyata kini berubah menjadi seorang pendekar. Dan yang paling membuat aku menyesal adalah mengapa ia tidak lekas-lekas pulang. Ah, kalau saja ia berada di sini dan kita bertiga tinggal bersama seperti ini ..... aku akan merasa bahagia dan puas!
Dengan adanya kau dan dia di dekatku setiap hari, usiaku akan lebih panjang dan hatiku selalu akan merasa senang ...."
Mendengar ucapan ini, dada Siang Cu berdebar dan ia menundukkan mukanya yang menjadi merah. Berbulan-bulan gadis itu tinggal di rumah itu dan kini ia telah menganggap nyonya Lie sebagai ibu sendiri yang dihormati dan dikasihinya. Sebaliknya nyonya itupun amat cinta kepadanya.
Pernah nyonya Lie menderita sakit panas, dan siang malam Siang Cu menjaga dan merawatnya dengan penuh kesabaran, telaten, dan penuh perhatian. Gadis ini sampai lupa makan dan lupa tidur, demikian prihatin ia menjaga dan merawat nyonya itu sampai hampir dua pekan lamanya, sehingga nyonya tua itu merasa amat bersyukur dan berterima kasih.
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
158 Setelah ia sembuh, rasa kasihnya kepada Siang Cu makin tebal. Diam-diam ia mengharapkan kembalinya Tiong San dan ia telah mengambil keputusan di dalam hatinya bahwa kalau anaknya itu datang, ia akan menjodohkan Tiong San dengan Siang Cu.
Demikianlah adanya pengalaman Siang Cu semenjak ia berpisah dari Tiong San di dalam hutan beberapa bulan yang lalu sampai ia tinggal di dalam rumah ibu Tiong San dan pada hari itu tak tersangka-sangka Tiong San muncul di depan pintu!
**** Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Tiong San menjadi terkejut dan heran sekali ketika tiba-tiba melihat Siang Cu berada di depannya. Bagaimana gadis ini bisa berada di dalam rumahnya dan tinggal bersama ibunya"
"Kau ....?" katanya perlahan tanpa melepaskan pandangan matanya dari wajah gadis itu.
"Ya, inkong (tuan penolong). Aku Gan Siang Cu yang dulu telah kau tolong. Apakah selama ini kau baik-baik saja?" jawab Siang Cu tanpa berani mengangkat muka.
Kegembiraan yang meluap-luap di dalam hati nyonya Lie membuat nyonya itu tersenyum-senyum di dalam tangisnya, dan melihat kedua orang muda itu, niat yang terkandung di dalam hatinya untuk menjodohkan mereka, mendesak hebat dan tak dapat ditahannya pula, maka ia lalu berkata dengan suara girang sekali,
"Tiong San! Siang Cu! Saat yang amat baik ini memaksa aku memberitahukan niatku yang semenjak lama terkandung di dalam hatiku. Aku bermaksud menjodohkan kalian sebagai suami isteri!" sambil berkata demikian ia memandang kepada mereka berganti-ganti dengan mata berseri.
Siang Cu mendengar ucapan ini dan tiba-tiba air matanya turun menitik dan mukanya menjadi merah sekali. Ia makin menundukkan kepalanya dengan perasaan yang luar biasa malu dan bahagianya! Sedangkan Tiong San merasa seakan-akan jantung di dalam hatinya berloncat-loncatan, tetapi tiba-tiba ia mengerutkan dahinya dan memandang kepada ibunya. Mulutnya tak dapat ditahan lagi berseru,
"Ibu, kau gi ...." untung ia masih dapat menahan lidahnya yang hampir saja menyebut "gila"
sebagai kebiasaannya! Kemudian ia menoleh kepada Siang Cu yang masih menundukkan kepalanya. Ia ingin menahan mulutnya, tetapi bisikan di dalam hatinya yang mendorong-dorongnya, membuat ia bicara seperti tanpa disadarinya.
"Bagus sekali! Kau benar-benar seorang yang tak tahu malu!"
Nyonya Lie menjadi terkejut dan memandang kepada puteranya dengan mata terbelalak dan berseru,
"Tiong San, tutup mulutmu!" sedangkan air mata yang tadi menitik turun dari pelupuk mata Siang Cu karena merasa bahagia, kini disusul oleh air mata yang membanjir karena perasaan duka dan sakit hati. Tetapi gadis itu tetap menundukkan mukanya.
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
159 Tiong San seakan-akan sudah kemasukan iblis dan mulutnya tanpa dapat dikendalikan lagi melanjutkan tuduhan-tuduhannya yang keji.
"Di luar tahuku kau telah menjalankan siasat yang licin dan jahat. Seperti perempuan-perempuan jahat lain yang telah kujumpai, kau pun merupakan seekor ular yang berbisa dan berbahaya. Apakah kau kira aku tidak tahu akan akalmu ini" Kau tak berhasil mendekatiku, maka kau sengaja mencari ibuku untuk memperlihatkan sikapmu yang halus, sopan-santun, untuk memikat hatinya sehingga ibu benar-benar masuk perangkap! Bagus sekali!"
Siang Cu tiba-tiba mengangkat mukanya dan sinar matanya yang halus itu memandang Tiong San. Pemuda ini tiba-tiba menjadi pucat dan insyaf akan kekejian ucapannya. Ia merasa betapa sinar mata yang lembut itu laksana pedang tajam menembus matanya dan langsung menusuk hatinya.
Dengan pekik memilukan Siang Cu berlari keluar sambil mengeluh, "Baiklah .... aku yang jahat, yang hina-dina .... biarlah aku pergi dari sini .... agar jangan mengganggumu ...."
"Siang Cu ....!" nyonya Lie melangkah maju untuk mencegah gadis itu lari pergi, akan tetapi tanpa menoleh Siang Cu berlari keluar dan terus lari terhuyung-huyung ke depan.
Bagaikan seekor harimau betina yang dirampas anaknya, nyonya Lie berdiri tegak, memutar tubuh menghadapi puteranya. Mukanya pucat, air matanya mengalir turun sepanjang pipinya dan suaranya terdengar gemetar penuh perasaan marah ketika ia berkata,
"Anak durhaka ....! Untuk apa kau pulang?" Kau sudah berobah menjadi orang kasar, menjadi orang biadab! Apakah kau pulang hanya untuk menyakiti hati ibumu?"
Tiong San terkejut sekali. Ibu ...." ia berseru.
"Kau ...." kata ibunya pula sambil menuding mukanya dengan telunjuknya, "Kau telah melakukan penipuan, kau telah memeras pangeran Lu Goan Ong dan menipu uangnya sepuluh ribu tail perak! Dengan perbuatanmu itu saja, kau sudah membuat ibumu berkurang usianya. Biarpun aku sudah mengembalikan uang itu kepada pangeran Lu, aku masih saja selalu berduka memikirkan betapa puteraku telah menjadi demikian jahat. Kemudian kedatangan Siang Cu membuat kedukaanku terhibur .... tetapi ... kini kau datang menghinanya dengan kata-kata keji ....! Kau anak durhaka, anak puthauw (tak berbakti) ... Kau ..... kau pergilah dari sini!" jari telunjuknya kini menuding ke arah pintu. "Pergi dari sini ....! Minggat kau dan jangan kembali lagi .....!"
Tiong San menjadi pucat dan tubuhnya menggigil. Sambil menangis ia menjatuhkan dirinya memeluk kaki ibunya. "Ibu ...... ibu ..... jangan kau usir aku, ibu ...." Ia menangis seperti anak kecil dengan hati hancur.
Melihat keadaan Tiong San, kemarahan yang telah memuncak di dalam hati ibu itu menjadi luluh. Hampir saja nyonya Lie mendekap puteranya, tetapi ia pertahankan perasaan hatinya dan berkata sebagai sebuah keputusan tetap,
"Keluarlah dan kau harus berusaha agar Siang Cu suka kembali ke sini! Kalau kau tidak kembali bersama Siang Cu, aku takkan menerimamu, takkan mengaku anak kepadamu, tahu?""
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
160 Mendengar ini, Tiong San lalu melompat keluar dengan cepat sekali dan berlari mengejar Siang Cu yang sudah tak tampak lagi. Ia mencari-cari dan akhirnya melihat tubuh gadis itu masih bergerak maju dengan kaki lemah dan tubuh terhuyung-huyung ke depan. Ia mengejar cepat dan memanggil,
"Nona Gan ....., berhentilah .......!"
Akan tetapi telinga Siang Cu seakan-akan tuli dan tidak mendengar panggilan ini, terus saja berlari maju. Ketika Tiong San dapat menyusulnya, pemuda ini melihat betapa gadis itu berlari sambil menangis terisak-isak Ia melompat melewati gadis itu dan berdiri menghadang di depannya.
Siang Cu memandangnya dengan muka pucat dan menahan kakinya. Napasnya terengah-engah dan mukanya pucat sekali seperti mayat. Melihat Tiong San menghadang di depannya, ia memandang dari balik air matanya.
"Mengapa .... mengapa kau mengejarku" Apakah perlunya kau menghadang orang hina-dina seperti aku ....?" katanya dengan suara terputus-putus.
"Aku minta kau kembali kepada ibuku!" kata Tiong San dengan suara kaku.
"Tidak! Kau minggir dan jangan menghalangi perjalananku!" jawab Siang Cu menahan tangisnya dan melangkah maju lagi.
"Nona Gan ....., kau ..... kuharap, kau suka kembali ...." kata Tiong San lagi dengan suara lebih halus.
"Tidak, tidak!" Siang Cu menggeleng-gelengkan kepalanya. "Untuk apa aku kembali" Untuk memikat hati ibumu" Untuk memasang perangkap sehingga ibumu akan masuk ke dalamnya"
Tidak ....!" Sambil menangis terisak-isak Siang Cu lalu berlari ke depan lagi, diikuti oleh Tiong San yang menjadi bingung sekali.
Pemuda itu segera melompat mendahului dan melihat kekerasan hati Siang Cu ia menjadi kehabisan akal dan segera ia menghadang pula. Ketika Siang Cu berhenti, ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan nona itu! Tertegun juga gadis itu melihat betapa Tiong San berlutut di depannya!
"Apa ..... apa kehendakmu .....?"
Pendekar Gila Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Nona Gan, kau tolonglah aku, kembalilah kepada ibu ..... Kalau tidak, ibu takkan mengaku anak lagi kepadaku ....! Kembalilah, nona Gan .....!"
Siang Cu merasa ragu-ragu dan memandang kepada kepala pemuda yang ditundukkan itu dan kepada tubuh yang sedang berlutut di depannya. Ingin sekali ia mengangkat bangun pemuda itu karena ia merasa tidak enak mendapat penghormatan sebesar ini, tetapi dikeraskannya hatinya dan menggeleng-gelengkan kepalanya lagi.
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
161 "Tidak mau! Aku tidak akan kembali. Kau .... sudah sepantasnya tidak diakui anak oleh ibumu yang berhati mulia itu. Kau .... kau tidak berjantung! Kau kejam dan keras seperti batu karang .... Kau bukan manusia!"
"Baik, baik, kau boleh memaki sesuka hatimu," jawab Tiong San yang masih berlutut, "Asal kau suka kembali dengan aku ke rumah ibu."
Akan tetapi tiba-tiba isak tangis Siang Cu mengeras dan sambil berlari lagi ia mengeluh, "Kau
.... kau bodoh!"
Tiong San memandang dengan bingung dan melihat betapa gadis itu berlari-lari lagi. Ia tak berdaya lagi, dan tak mungkin ia mempergunakan kekerasan karena hal itu tentu takkan disetujui oleh ibunya.
"Nona Gan, kalau kau tidak kasihan kepadaku, apakah kau tidak kasihan pula kepada ibuku"
Ia mungkin akan jatuh sakit karena menderita ....!"
Mendengar ini, tiba-tiba Siang Cu berhenti. Ia teringat bahwa nyonya Lie memang mempunyai jantung yang lemah dan yang mudah sakit apabila terlampau bersedih. Ketika nyonya itu dulu jatuh sakit dan dirawatnya, ahli pengobatan yang didatangkannya memberi nasehat agar supaya nyonya tua itu jangan terlalu banyak bersedih. Kini, perginya ini tentu membuat nyonya itu merasa berduka dan kalau benar seperti yang diucapkan oleh Tiong San tadi bahwa pemuda itu telah diusir oleh ibunya, tentu nyonya itu akan menderita sekali!
Tanpa memperdulikan Tiong San yang berdiri memandangnya, Siang Cu lalu berlari kembali menuju ke rumah nyonya Lie. Pemuda itu merasa girang sekali dan mengikuti dari belakang.
Ketika melihat nyonya Lie berdiri menanti di depan pintu rumahnya, Siang Cu sambil menangis tersedu-sedu menubruk nyonya itu dan keduanya saling berpelukan sambil menangis.
"Tiong San, ayoh minta maaf kepada Siang Cu!" nyonya Lie memerintahkan anaknya.
Terpaksa Tiong San lalu menjura kepada Siang Cu dan berkata perlahan,
"Nona Gan, harap kau suka memaafkanku!"
Akan tetapi, sambil menahan isaknya gadis itu telah berlari masuk ke dalam rumah dan meninggalkannya tanpa memperdulikannya sama sekali!
"Tiong San," kata ibunya pada puteranya, "Gadis itu dapat tinggal di sini atas perantaraan Khu Sin dan isterinya. Ia telah membantuku bekerja, telah merawat dan menemaniku. Aku suka kepadanya dan telah menganggap ia seperti anakku sendiri. Ketika aku sakit sampai hampir setengah bulan, bukan kau yang merawatku! Kau pergi merantau sesuka hatimu meninggalkan ibumu yang sudah tua dan lemah dan ketika aku sakit, Siang Culah yang menjaga dan merawatku dengan penuh perhatian. Apakah budi yang besar dan kemuliaan hatinya itu kini patut kau balas dengan tuduhan-tuduhan keji itu" Kau benar-benar telah mengecewakan dan membikin malu ibumu sendiri!"
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
162 Tiong San lalu berlutut kembali di depan ibunya. "Ibu, ampunilah aku, ibu. Aku mengaku salah ....."
Ibunya menarik napas panjang. "Anak bodoh, yang sudah lewat biarlah, tetapi lain kali jangan kau berlaku sekeji itu!"
Kemudian ibunya lalu minta ia menceritakan semua pengalamannya semenjak pergi dari rumah. Tiong San menuturkan dengan sejelas-jelasnya. Ibunya berkali-kali menghela napas dan ia menyatakan kekaguman dan juga kasihan mendengar tentang kematian Thian-te Lo-mo yang menjadi guru anaknya.
**** Semenjak terjadinya peristiwa itu, Siang Cu tak pernah berbicara dengan Tiong San.
Keduanya sama-sama merasa malu-malu kucing untuk bicara, bahkan di waktu mereka dan nyonya Lie makan bersama, kedua orang muda itu duduk dengan kepala tunduk. Mereka tak berani saling pandang, terutama Tiong San. Ia merasa berdosa kepada gadis itu dan makin lama makin terasalah betapa ia telah berbuat tidak adil dan mengeluarkan tuduhan-tuduhan yang benar-benar keji.
Beberapa hari kemudian, ia pamit kepada ibunya untuk pergi mengunjungi Khu Sin dan Thio Swie di kotanya masing-masing. Pertama ia pergi ke tempat tinggal Thio Swie.
Kedatangannya diterima dengan pelukan mesra. Pemuda ini masih belum menikah karena luka di hatinya akibat perbuatan Siu Eng dulu agaknya masih belum sembuh betul. Ketika ia mendengar dari Tiong San tentang perlakuannya terhadap Siu Eng, Thio Swie tertawa besar dan ia merasa puas sekali. Kemudian Thio Swie lalu berkata,
"Tiong San, kau benar-benar telah membalas sakit hatiku dan aku berterima kasih kepadamu.
Kaulah sahabatku yang telah menolong dan mengangkat aku dan Khu Sin ke tempat yang tinggi, sehingga kami berdua mendapat kedudukan dan pangkat. Tetapi, perbuatanmu terhadap Siu Eng itu menimbulkan kekhawatiran di dalam hatiku. Aku kenal baik adat gadis itu yang amat keras dan tidak mau kalah. Setelah menerima penghinaan dan perlakuan seperti itu, apakah dia akan tinggal diam saja" Ah, kau harus berlaku hati-hati, kawan, siapa tahu bahwa dia akan datang melakukan pembalasan!"
Tiong San tersenyum. "Aku maklum akan hal itu dan memang akupun menduga bahwa dia tentu akan muncul untuk membalas dendam. Akan tetapi, hal itu hanya menunjukkan bahwa dia bukan seorang baik dan tak dapat menginsafi kesalahannya sendiri. Biarlah, kalau ia datang, aku sudah siap menyambutnya!"
Setelah bercakap-cakap dengan gembira dengan kawan lama ini dan bermalam di situ satu malam, pada keesokkan harinya Tiong San lalu pergi mengunjungi kota tempat tinggal Khu Sin. Di sinipun ia disambut dengan amat gembira oleh Khu Sin dan isterinya yang merasa berhutang budi besar kepadanya. Bahkan Khu Sin tentu akan mati di ujung pedang Siu Eng kalau saja ia tidak ditolong oleh kawannya ini. Maka tentu saja sambutan mereka amat meriah dan mesra. Khu Sin sampai mengeluarkan air mata karena girang hatinya dapat bertemu kembali dengan Tiong San. Mereka lalu bercakap-cakap dengan gembira.
Ketika dalam percakapan ini Khu Sin beserta isterinya menceritakan tentang kedatangan Siang Cu yang menyamar sebagai seorang petani muda, Tiong San tertawa karena geli Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
163 hatinya. Akan tetapi ketika Man Kwei menceritakan tentang percakapannya dengan Siang Cu tanpa merahasiakan sesuatu, menuturkan betapa Siang Cu sengaja tinggal bersama nyonya Lie dalam usahanya membalas budi yang diterimanya dari Tiong San dan Thian-te Lo-mo.
Di dalam hatinya Tiong San merasa terharu dan merasa makin besar dosanya terhadap gadis itu! Gadis yang berhati mulia itu telah menyatakan kemuliaannya dan keluhuran budinya, tetapi begitu ia datang, ia telah menghina dan menuduhnya yang bukan-bukan!
Di rumah Khu Sin, Tiong San bermalam sampai dua malam. Kemudian ia pamit untuk pulang. Khu Sin yang belum merasa puas menahannya, tetapi Tiong San berkata bahwa ia telah berjanji kepada ibunya untuk pergi tidak terlalu lama, dan khawatir kalau-kalau ibunya mengharap-harapkan kedatangannya.
Padahal sebetulnya, baru pergi empat lima hari saja pemuda itu telah merasa tidak betah dan ingin sekali cepat-cepat kembali. Entah mengapa, seakan-akan ada sesuatu yang menarik hatinya dan ia kini merasa suka sekali berada di rumah ibunya" Biarpun kepada hatinya sendiri, Tiong San tidak berani mengaku bahwa sebetulnya Siang Cu lah yang menarik dia untuk lekas-lekas pulang!
Tetapi ketika ia tiba di rumah ibunya, ia disambut oleh tangis ibunya yang membuatnya amat terkejut.
"Ada apakah, ibu?" tanyanya dengan cemas.
"Siang Cu ...." kata ibunya dengan terisak-isak.
"Mengapa dia ....?" Makin gelisahlah hati Tiong San mendengar ini, mengkhawatirkan hal yang mungkin terjadi. Sakitkah gadis itu" Atau telah pergi pula"
"Dia .... dibawa pergi oleh serombongan perwira dari kaisar!"
Tiong San merasa seakan-akan kepalanya disambar geledek. Ia melompat dan bertanya,
"Kapan terjadinya?"
"Pagi tadi .... dua orang perwira tua datang dan memaksanya ikut pergi, katanya atas perintah kaisar yang menghendaki kembalinya pelayan istana itu."
"Naik apa?"
"Mereka menunggang kuda dan Siang Cu juga dinaikkan ke atas kuda."
Tanpa pamit lagi Tiong San lalu berlari keluar. Pedang dan cambuknya tak terlupa, tergantung di pinggangnya. Ia tahu ke mana harus mengejar!
Ibunya lalu memeramkan matanya dan diam-diam berdoa semoga puteranya akan berhasil menolong dan membawa kembali gadis itu.
**** Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
164 Dua orang perwira yang datang merampas Siang Cu sebenarnya bukan lain adalah Im-yang Po-san Bu Kam, perwira kerajaan kelas satu yang bertubuh tinggi kurus dan bermata juling itu. Seperti diketahui, perwira ini gagah perkasa sekali dan ketika dulu bertempur melawan Thian-te Lo-mo, perwira ini telah dicabut jenggotnya oleh Thian-te Lo-mo. Oleh karena itu, ia masih merasa sakit hati sekali dan setelah kematian kakek sakti itu, ia masih mempunyai keinginan untuk bertemu dan mengadu kepandaian dengan Shan-tung Koai-hiap, murid Thian-te Lo-mo.
Perwira kedua adalah Bu Tong Cu yang berjuluk Lui-kong atau Dewa Geluduk, perwira kelas dua yang juga tinggi ilmu silatnya, bertubuh bungkuk dengan punggung seperti punggung unta. Sebagaimana diketahui, Bu Kam bersenjata sepasang kipas dan Bu Tong Cu bersenjata sebatang tongkat besi yang berat.
Di istana kaisar, masih terdapat beberapa orang perwira kelas satu yang lihai, tetapi kali ini yang datang merampas Siang Cu hanya dua orang perwira ini, oleh karena sebetulnya mereka ini sama sekali tidak diutus kaisar. Kaisar yang mendengar tentang larinya pelayan itu, tidak mengambil pusing karena baginya, apakah artinya seorang pelayan wanita yang lari" Yang menyuruh dua orang perwira itu adalah pangeran yang tergila-gila kepada Siang Cu, dan hanya dua orang perwira itu saja yang dapat "dibeli" oleh pangeran itu.
Bu Kam dan Bu Tong Cu memaksa Siang Cu naik kuda dan segera melarikan kuda itu menuju ke kota raja. Akan tetapi oleh karena Siang Cu adalah seorang gadis lemah dan mereka telah mendapat pesan keras dari pangeran itu agar jangan sampai membuat gadis itu menderita, maka mereka tidak melarikan kuda mereka terlalu cepat. Malam hari itu mereka bermalam di sebuah kota pada sebuah rumah penginapan. Mereka masukkan Siang Cu dalam sebuah kamar dan menjaga kamar itu bergiliran.
Siang Cu merasa berduka cita dan bingung sekali. Ia tidak takut akan nasibnya, oleh karena ia telah bersumpah takkan menyerahkan diri kepada pangeran itu. Banyak jalan baginya untuk menghindarkan diri dari paksaan pangeran itu, dan mudah saja baginya kalau hendak membunuh diri. Tetapi ia tidak mau melakukan hal itu sekarang, karena diam-diam ia ingin melihat apakah yang akan dilakukan Tiong San apabila mendengar tentang penangkapan ini.
Malam itu gelap dan awan hitam menutup langit, sehingga bintang-bintang tak tampak dari bawah. Menjelang tengah malam ketika yang mendapat giliran menjaga pintu kamar Siang Cu adalah Bu Tong Cu si Dewa Geluduk, tiba-tiba ia mendengar suara perlahan sekali di atas genteng.
Ia berlaku hati-hati dan waspada, maka sambil membawa tongkat besinya, ia lalu melompat naik ke atas. Akan tetapi, pada saat ia melayang naik, dari atas berkelebat bayangan hitam yang cepat sekali gerakannya dan begitu bayangan itu turun di depan kamar, ia segera membuka pintu kamar itu dengan sekali betot saja, lalu ia melompat masuk ke dalam.
Bu Tong Cu terkejut sekali, maka setibanya di atas genteng, ia lalu kembali melompat ke bawah dan menyerbu ke dalam kamar.
Ternyata bahwa yang masuk ke dalam kamar itu bukan lain ialah Tiong San sendiri! Ketika ia telah memasuki kamar, ia melihat Siang Cu duduk dengan tenang di atas pembaringan dan begitu melihat Tiong San, ia tersenyum! Senyum kemenangan ini juga nampak dalam Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
165 matanya yang berseri-seri puas. Sinar mata gadis itu seakan-akan berbisik kepada Tiong San,
"Nah, akhirnya kau datang juga menolongku!"
Tiong San yang sudah lama sekali tak pernah bicara kepada gadis itu, kini merasa bingung karena apakah yang harus ia katakan. Ketika ia hendak membuka mulut, tiba-tiba terdengar bentakan Bu Tong Cu yang menyerbu masuk.
"Bangsat kurang ajar!" Akan tetapi Bu Tong Cu tertegun ketika pemuda itu membalikkan tubuhnya, karena tak pernah disangkanya bahwa pemuda itu adalah Tiong San.
"Shan-tung Koai-hiap .....!" serunya dengan suara gentar, tetapi ia segera mengangkat tongkatnya karena tiba-tiba ujung cambuk Tiong San telah menyambar ke arah mukanya.
Tongkatnya berhasil menangkis batang cambuk, tetapi ujung cambuk itu yang seperti ekor ular, dapat melanjutkan serangannya melalui pinggir tongkat, terus menghantam mukanya!
Bu Tong Cu telah kenal kelihaian cambuk ini, maka ia segera melangkah mundur sambil menarik kembali tongkatnya sehingga mukanya terhindar dari pecutan ujung cambuk.
Kemudian ia mendahului pemuda itu dan menyerangnya dengan tongkat besinya dengan gerak tipu Raja Monyet Mencari Buah, yakni sebuah serangan dari ilmu tongkat Heng-cia Kun-hoat.
Tiong San maklum bahwa dalam keadaan terdesak karena harus menolong Siang Cu, maka ia harus bertindak cepat. Maka ia lalu mencabut pedangnya dengan tangan kiri dan menangkis serangan tongkat itu. Seperti juga cambuknya, gerakan pedangnya ini luar biasa cepatnya dan lihai sekali.
Ketika pedangnya bertemu dengan tongkat lawan, ia merasa betapa hebatnya tenaga lweekang yang disalurkan melalui tongkat itu, tetapi pedangnya yang terpental itu merupakan serangan balasan karena ujung pedangnya yang terpental bukannya tertolak ke belakang, akan tetapi meleset ke bawah dan menusuk dada Bu Tong Cu! Perwira ini terkejut sekali karena ia memang belum pernah mengenal kelihaian Pat-kwa Kiam-hoat yang mempunyai gerakan-gerakan sambung menyambung. Tangkisan dapat diteruskan menjadi serangan. Sebaliknya di dalam serangan pedang selalu bersembunyi gerakan penjagaan diri yang kuat.
Dengan cepat Bu Tong Cu mengelak ke samping karena untuk menangkis dengan tongkat sudah tidak ada waktu lagi, tetapi pada saat itu, cambuk di tangan kanan Tiong San dengan tak terduga-duga telah menyambar ke bawah dan melibat kedua kakinya! Sekali menarik tangan kanannya yang memegang gagang cambuk sambil berseru keras, tubuh Bu Tong Cu yang bongkok itu terguling ke atas lantai!
Tiong San tidak mau membuang waktu lagi. Tanpa berkata sesuatu ia segera memasukkan pedang ke sarungnya dan menggunakan tangan kirinya yang kosong untuk menyambar tubuh Siang Cu yang segera didukungnya dan dibawa melompat keluar dari kamar terus melayang naik ke atas genteng! Terdengar bentakan Bu Kam dari bawah, tetapi Tiong San tidak mau melayaninya dan terus berlari dan berlompat-lompatan dari genteng ke genteng!
Bab 18 ... SEMENTARA itu, telah dua kali dengan ini Siang Cu mengalami peristiwa seperti ini, yaitu dibawa lari oleh Tiong San sambil berlompatan dan lari secepat angin. Di dalam dukungan tangan kiri pemuda itu, ia merasa amat aman dan senang, sama sekali lenyap rasa takut yang Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
166 dulu masih dirasainya pada pertolongan pertama. Akan tetapi melihat betapa pemuda itu melarikan diri dari kedua perwira yang menangkapnya, ia tidak merasa puas.
"Engko Tiong San, apakah kau tidak bisa menangkan mereka?" tanyanya dan Tiong San merasa seakan-akan ia bermimpi. Benarkah ini suara Siang Cu yang berada dalam pondongannya" Telah lama sekali ia tidak mendengarkan suara gadis ini berbicara kepadanya, sehingga ia hampir tidak percaya kepada telinganya sendiri. Apalagi karena gadis ini menyebutnya "engko", sebutan yang amat merdu dan sedap memasuki telinganya!
"Tentu saja aku berani dan dapat mengalahkan mereka!" jawabnya dengan hati berdebar-debar, sehingga Siang Cu yang menempelkan telinganya ke dada pemuda itu dapat mendengar degupan jantungnya.
"Kalau begitu, mengapa kau berlari-lari seperti orang ketakutan" Mengapa kau tidak melawan dan memberi ajaran kepada orang-orang kurang ajar itu?"
"Mereka adalah utusan-utusan kaisar, bagaimana aku dapat melawan mereka" Bukankah aku akan dicap pemberontak?"
"Mereka bohong! Dari percakapan mereka aku tahu bahwa mereka sama sekali bukan utusan kaisar, tetapi adalah kaki tangan pangeran jahanam yang hendak memaksaku menjadi bini mudanya."
Tiong San menahan langkah kakinya dan menurunkan Siang Cu dari pondongannya. "Kau berani berdiri di sini?" ujar Tiong San.
Siang Cu melihat ke bawah. Wuwungan itu tinggi sekali, akan tetapi ia merasa malu untuk menyatakan kengerian hatinya, maka ia menjawab, "Tentu saja berani!"
Tiong San tersenyum, lalu berdiri menanti datangnya dua bayangan orang yang mengejarnya.
"Shan-tung Koai-hiap, kau berani menculik pelayan kaisar?" teriak Bu Kam yang maju dengan sepasang kipasnya.
"Perwira gadungan! Jangan bertopeng nama kaisar, kalau kau memang gagah, majulah!"
Tiong San membentak dan telah siap dengan sepasang senjatanya. Kini ia maklum akan menghadapi lawan tangguh, maka dipegangnya pedang pemberian Si Cui Sian di tangan kanan dan cambuk di tangan kiri.
Im-yang Po-san Bu Kam membentak marah dan menyerang dengan sepasang kipasnya yang berbahaya itu, tetapi Tiong San dengan tenang menyambut serangan itu dengan pedang dan cambuknya. Ilmu kipas Im-yang dari Bu Kam sebenarnya telah mencapai tingkat tinggi sehingga ia telah menduduki tempat kelas satu dan menjadi seorang di antara perwira-perwira yang paling pandai.
Kalau Tiong San hanya memegang cambuknya saja, belum tentu pemuda ini akan dapat menang, karena biarpun ilmu cambuk Tiong San amat lihai dan mengatasi ilmu silat lawannya, tetapi dalam hal lweekang dan pengalaman pertempuran, ia masih kalah jauh. Akan tetapi, kini Tiong San memegang dua macam senjata yang digerakkan dalam ilmu silat dua Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
167 macam pula, dan dalam hal kelihaian, ilmu pedang Pat-kwa Kiam-hoat dari Si Cui Sian memang hebat dan jarang terdapat.
Wanita itu telah mempergunakan waktu puluhan tahun untuk menyempurnakan ilmu pedang ini. Kini setelah ilmu pedang Pat-kwa Kiam-hoat digabung dengan ilmu cambuk Im-yang Joan-pian, maka kehebatannya mengagumkan sekali dan karenanya ia dapat mengimbangi kelihaian sepasang kipas dari Bu Kam.
Pertempuran itu dilakukan di atas wuwungan rumah yang tinggi dan dalam keadaan gelap.
Mereka hanya mempergunakan ketajaman mata dan telinga untuk mengikuti gerakan senjata lawan, maka pertempuran kali ini benar-benar merupakan pertempuran antara mati dan hidup!
Ketika Siang Cu melihat betapa kedua orang itu bertempur dengan gerakan cepat, sehingga tubuh mereka hanya merupakan bayangan-bayangan yang sebentar lenyap sebentar muncul di antara sinar senjata yang menyambar-nyambar. Ia mulai merasa menyesal mengapa ia menyuruh pemuda itu menghadapi lawan yang demikian lihainya.
Bagaimana kalau pemuda itu sampai binasa" Demikian pikirnya dengan hati penuh kegelisahan. Ah, ia menghibur diri sendiri. Kalau Tiong San sampai tewas dalam pertempuran ini, aku akan meloncat dari atas genteng dan tubuhku akan hancur lebur, nyawaku akan menyusul nyawanya!
Sebetulnya kalau Siang Cu mengerti tentang ilmu silat, tentu ia tak usah merasa demikian gelisah. Kini Tiong San mulai dapat mendesak lawannya. Ilmu pedang Pat-kwa Kiam-hoat dan ilmu cambuk Im-yang Joan-pian ternyata benar-benar hebat, sehingga ilmu kipas Bu Kam kali ini tidak berdaya sama sekali!
Lui Kong Bu Tong Cu si Dewa Geluduk, semenjak tadi hanya menonton saja oleh karena ia maklum bahwa ilmu kepandaiannya masih kalah jauh, maka ia tidak berani turun tangan, tetapi ketika melihat betapa Bu Kam mulai terdesak hebat, ia pikir lebih baik segera bertindak merampas Siang Cu dan membawanya ke kota raja untuk menerima pahala dan hadiah dari pangeran yang menyuruhnya!
Shan-tung Koai-hiap sedang sibuk melayani Bu Kam, maka saat yang terbaik ini tak disia-siakan oleh si Dewa Geluduk. Ia melompat ke tempat Siang Cu dan sebelum gadis itu tahu apa yang terjadi, tahu-tahu tubuh si tinggi kurus yang bongkok telah berada di depannya dengan menyeringai menakutkan!
Siang Cu menjerit dan suara itu cukup membuat ujung cambuk Tiong San menyambar ke arahnya dengan kecepatan yang tak disangka-sangka! Ujung cambuk dengan tepat sekali menotok jalan darah di punggung Bu Tong Cu yang segera memekik ngeri dan tubuhnya roboh lalu menggelinding turun ke bawah genteng!
Ketika Tiong San melancarkan serangan ke arah Bu Tong Cu, Im-yang Po-san Bu Kam tidak mau membuang sia-sia kesempatan itu, maka sambil mengerahkan tenaga ia lalu menyerang dengan sepasang kipasnya! Serangan ini luar biasa hebatnya, kipas di tangan kanan menyerang kepala dan kipas di tangan kiri digunakan untuk menusuk, yakni gagang kipas yang runcing itu mengarah jalan darah di iga Tiong San!
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
168 Melihat datangnya serangan yang cepat ini, Tiong San menjadi terkejut. Cambuk di tangan kirinya sedang digunakan untuk menyerang Bu Tong Cu, sehingga tak dapat digunakan untuk menghadapi Bu Kam, maka cepat ia mengelak ke kiri sambil merendahkan tubuhnya.
Serangan kipas kanan ke arah kepalanya dapat dihindarkan dengan elakan ini. Tetapi kipas kiri dari lawannya terus mengejarnya dengan cepat.
Tiong San menggerakkan pedangnya dengan tiba-tiba dan dari samping, gerakan yang benar-benar mentakjubkan karena pedang itu meluncur melalui bawah sikunya dengan memutar pergelangan tangan sedemikian rupa yang takkan mudah dilakukan oleh ahli pedang lain.
Ujung pedangnya bertemu dengan kipas dan "brettt!" ujung pedang itu berhasil merobek kain kipas di tangan Bu Kam.
Alangkah kagetnya Im-yang Po-san Bu Kam melihat hal ini, dan karena ia melihat betapa kawannya sudah dirobohkan, hatinya menjadi ngeri dan ia lalu melompat pergi dengan cepat!
Tiong San melompat ke dekat Siang Cu yang memandangnya dengan kagum sekali dan kalau saja malam tidak demikian gelap, tentu pemuda itu akan melihat betapa sinar mata gadis itu amat mesra menatapnya, dan betapa dua titik air mata bergantung di bulu mata yang panjang itu. Akan tetapi ia tidak melihat hal ini dan segera berkata, "Mari kita pergi!" Ia lalu memondong tubuh Siang Cu dan membawanya melompat ke depan dan berlari cepat keluar dari kota itu.
Kedatangan mereka disambut dengan tangis gembira oleh Nyonya Lie. Nyonya ini tidak saja merasa girang bahwa Siang Cu dapat tertolong, tetapi juga diam-diam ia merasa gembira melihat kegelisahan yang membayang di wajah puteranya ketika mendengar tentang perampasan gadis itu. Diam-diam ia mengucapkan doa kepada Yang Maha Kuasa bahwa akhirnya sepasang orang muda itu akan mendapatkan hati masing-masing!
Akan tetapi, sikap Tiong San masih seperti biasa terhadap Siang Cu, acuh tak acuh dan dingin. Sebetulnya oleh karena ia merasa malu dan terlalu sopan-santun, maka ia jarang sekali berani mengajak bicara gadis itu dan kalau ia sekali-kali bicara, ia selalu bicara dengan penuh kesopanan dan selalu menyebut gadis itu dengan "Gan-siocia" (nona Gan), sehingga Siang Cu yang malam hari itu menyebutnya "kanda", sekarang juga berobah lagi menjadi "inkong"
(tuan penolong)! Hubungan mereka di luar nampak renggang sekali, dan di dalam .... hanya mereka saja yang tahu!
**** Beberapa hari kemudian, pada suatu malam ketika Tiong San sedang layap-layap hendak pulas, tiba-tiba ia mendengar suara perlahan di atas genteng kamarnya. Serentak pikirannya menjadi terang dan kantuknya lenyap sama sekali dan sebagai seorang ahli silat tinggi, seluruh perasaan dan pikirannya memang telah mempunyai gerakan otomatis untuk menjaga diri pada saat ia mencium datangnya bahaya. Ia maklum bahwa orang yang berada di atas gentengnya memiliki ginkang yang baik sekali, sehingga gerakannya hanya terdengar perlahan saja.
Selagi ia hendak turun dari pembaringan, tiba-tiba dari luar menyambar tujuh benda yang bersinar terang ke arah tubuhnya. Ia cepat melompat ke samping dan ternyata benda-benda itu adalah tujuh batang jarum perak yang kini menancap dan lenyap ke dalam kasur di atas Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
169 pembaringan! Sebatang jarum itu kebetulan mengenai papan di pinggir pembaringannya dan sekali ia memandang, ia berseru kaget.
"Siu Eng ....!" Jarum itu ternyata adalah Kiu-hwa-ciam yang biasa dipergunakan oleh Siu Eng. Ia segera menyambar pedang dan cambuknya, lalu melompat keluar dari jendelanya terus melompat ke atas genteng.
Benar saja dugaannya, gadis cantik jelita yang pernah ia permainkan itu telah berdiri di atas genteng dengan tangan memegang pedang.
"Hm, Shan-tung Koai-hiap, akhirnya aku dapat juga mencari tempat tinggalmu! Bersiaplah menerima pembalasanku!"
"Siu Eng, belum insyafkah kau akan kesalahanmu" Sayang .... sayang ....!" kata Tiong San sambil menangkis serangan Siu Eng, tetapi tanpa menjawab, gadis ini menyerang lagi dengan sengitnya. Tiong San hendak mencoba kepandaian pedang gadis itu, maka ia tidak mempergunakan cambuknya, hanya melayaninya dengan pedang saja.
Ternyata olehnya bahwa ilmu kepandaian gadis ini sudah banyak maju, akan tetapi ilmu pedangnya tidak kalah hebat sungguhpun harus ia akui bahwa dengan mengandalkan pedang saja, tak mungkin ia akan mendapatkan kemenangan dengan cepat. Dikerahkannya kepandaiannya dan di bawah sinar bulan yang terang, mereka bertempur di atas genteng dengan serunya.
Serangan-serangan pedang di tangan Siu Eng masih ganas dan cepat seperti dulu, tetapi sekarang permainannya lebih matang dan tenang, tidak banyak mengawur menuruti nafsu kemarahan hati seperti dulu, hingga diam-diam Tiong San memuji. Akan tetapi, untuk mengalahkan Shan-tung Koai-hiap, apalagi kalau dia mempergunakan jurus cambuknya, agaknya Siu Eng harus belajar sedikitnya sepuluh tahun lagi!
Selagi mereka bertempur dengan amat serunya sampai lebih lima puluh jurus, tiba-tiba dari jauh terdengar suitan nyaring dua kali. Tiba-tiba Siu Eng melompat mundur dan berkata sambil tersenyum manis,
"Shan-tung Koai-hiap, cukup sekian dulu. Besok pagi kita bertemu pula!" Gadis itu lalu melompat turun dari genteng dan melarikan diri. Tiong San tidak mau mengejar, karena iapun tidak mempunyai maksud untuk mengganggu gadis itu. Ia berdiri beberapa lama di atas genteng dan merasa heran sekali mengapa tiba-tiba gadis yang belum terdesak hebat itu telah menghentikan pertempuran dan melarikan diri. Lebih tak dimengertinya pula mengapa Siu Eng tadi mengatakan bahwa besok pagi mereka akan bertemu pula!
Ia menarik napas panjang lalu melompat turun dan memasuki rumahnya. Tiba-tiba ia menahan langkah kakinya dan wajahnya berobah. Mengapa ibunya dan Siang Cu tidak keluar" Ia tahu bahwa pada saat seperti itu, biasanya ibunya dan gadis itu belum tidur.
Mengapa mereka tidak mendengar ribut-ribut tadi" Ia segera menuju ke kamar ibunya dan ia makin merasa khawatir ketika melihat pintu kamar ibunya dan pintu kamar Siang Cu yang berada di depan kamar ibunya itu terbuka! Ini tanda bahwa mereka belum tidur. Mengapa mereka tidak keluar" Apakah benar-benar mereka tidak mendengar pertempuran tadi"
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
170 Ia berlari memasuki kamar ibunya dan setibanya di dalam ia menahan teriakannya ketika melihat betapa ibunya duduk di atas sebuah kursi dengan tubuh lemas tak dapat bergerak!
"Ibu ....!" teriaknya sambil menahan napas. Ia cepat memeriksa dan hatinya menjadi lega ketika melihat bahwa ibunya hanya lumpuh karena tertotok saja. Ia cepat menggerakkan tangan menotok dan mengurut tubuh ibunya untuk memulihkan tenaganya dan membebaskan orang tua itu dari pengaruh totokan. Kemudian ia teringat sesuatu dan setelah didengarnya ibunya mengeluh tanda telah terbebas dari totokan, ia lalu melompat keluar dari kamar ibunya itu dan lari memasuki kamar Siang Cu dengan hati berdebar khawatir. Dan benar saja, gadis itu tidak berada di dalam kamarnya! Ia mencari-cari, akan tetapi gadis itu benar-benar lenyap tak berbekas!
Ibunya tersaruk-saruk menyusulnya ke dalam kamar Siang Cu.
"Ibu, di mana dia ....?" Di mana Siang Cu?"?" tanyanya dengan muka pucat.
"Tadi dia berada di kamarku," kata ibunya dengan napas masih sesak, "Kemudian datang seorang wanita berpakaian sebagai seorang to-kouw (pertapa wanita) yang sekali meraba dadaku telah membuat aku seperti lumpuh. Kemudian to-kouw itu juga membuat Siang Cu tak dapat bergerak maupun berteriak, lalu memondongnya pergi setelah meninggalkan surat ini di atas meja."
Tiong San mengambil surat itu dari tangan ibunya dan segera membacanya. Tulisan tangan yang indah menghias kertas itu berbunyi:
Shan-tung Koai-hiap!
Aku mendengar dari Im-yang Po-san Bu Kam bahwa kau berada di sini dan kini mempunyai seorang kekasih yang tak lain hanya seorang pelayan hina!
Kalau kau tidak datang pada esok pagi sebelum matahari naik tinggi di kuil sebelah barat kampung, kau akan menemukan kekasihmu menjadi mayat!
Kalau kau datang pada waktu dan di tempat tersebut, akan kupikir-pikir dulu apa yang akan kulakukan dengan pelayan ini.
Tertanda Gui Siu Eng "Perempuan jahanam!" Tiong San memaki sambil menggertakkan giginya. Ibunya tadi telah membaca surat itu sebelum memberikannya kepada Tiong San, maka ia kini bertanya dengan suara gemetar.
"Aduh, bagaimana baiknya, anakku" Kalau dia sampai mencelakakan Siang Cu .... ah, bukankah Siu Eng ini gadis dari gedung pangeran Lu Goan Ong yang dulu kau permainkan"
Kau telah membikin sakit hati seorang perempuan dan hal ini berbahaya sekali. Ah, ah, bagaimana baiknya?"
"Tenanglah, ibu. Aku bersumpah akan mendapatkan kembali Siang Cu, biarpun untuk itu aku harus membunuh Siu Eng dan to-kouw yang membantunya itu, bahkan biarpun untuk itu aku harus mengorbankan nyawaku!"
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
171 Nyonya Lie memeluk pundak puteranya yang bidang,
"Tiong San .... kau .... kau mencintainya, bukan?"
Tiong San mengangguk. "Benar, ibu. Aku mencintainya dengan sepenuh hati dan jiwaku.
Sungguhpun anakmu yang bodoh ini tidak tahu akan hal itu sebelum peristiwa ini terjadi!"
"Kalau begitu, lekas-lekas kau tolong dia, anakku!" suara nyonya ini mengandung kegirangan besar dan kecemasan hebat sehingga seperti suara orang yang mau menangis.
"Memang, sekarang juga aku akan menyusul ke sana, ibu, tak usah menanti besok pagi!"
Setelah berkata demikian, Tiong San lalu berlari keluar dan segera menuju ke barat. Ia tahu bahwa di sebelah barat Kui-ma-chung itu, agak di luar kampung yang amat sunyi, terdapat sebuah kuil tua yang sudah rusak dan tidak terpakai. Orang-orang kampung menganggap kuil itu angker dan dijadikan rumah setan-setan jahat, maka jarang ada orang berani memasukinya, apalagi di waktu malam hari.
**** Ketika Siu Eng dulu melarikan diri dari kota raja setelah tak berhasil mengalahkan Tiong San, ia lalu lari mencari gurunya, yakni Kiu-hwa-san Toanio yang kini telah menjadi to-kouw dan bertapa di bukit Kiu-hwa-san. Hati gadis itu penuh dengan dendam sakit hati dan ia takkan merasa puas sebelum dapat membalas sakit hatinya terhadap Tiong San.
Kiu-hwa-san Toanio juga merasa tak senang sekali ketika ia mendengar penuturan Siu Eng betapa Shan-tung Koai-hiap telah mempermainkan dan menghinanya. Ia dapat memaklumi rasa malu dan marah yang mengamuk dalam hati muridnya, maka ketika muridnya minta pertolongannya, ia lalu menyanggupi. Demikianlah, keduanya lalu turun dari Kiu-hwa-san setelah untuk beberapa bulan lamanya Siu Eng menerima pelajaran dan latihan-latihan lagi untuk mematangkan ilmu pedangnya.
Akan tetapi, ketika mereka sedang mencari-cari itu, Tiong San tengah melatih ilmu pedang di puncak Tai-san di bawah bimbingan Si Cui Sian sehingga Siu Eng dan gurunya tidak tahu di mana adanya anak muda itu. Kemudian, mereka mendengar dari Im-yang Po-san Bu Kam bahwa kini pemuda itu telah kembali ke kampungnya, dan perwira yang telah dikalahkan oleh Shan-tung Koai-hiap ini segera menambahkan untuk membuat panas hati Siu Eng bahwa sekarang pemuda itu telah mempunyai seorang kekasih, yakni pelayan kaisar yang dilarikannya!
Tanpa membuang waktu lagi, Siu Eng lalu mengajak gurunya untuk mendatangi kampung dan rumah Tiong San. Siu Eng tidak mau mendapatkan kegagalan dalam pembalasan dendamnya, maka ia lalu mengatur siasat "memancing harimau keluar dari guanya". Ia sendiri memancing Tiong San keluar dan bertempur untuk mencoba kepandaian pemuda itu, sedangkan gurunya diam-diam membawa suratnya dan menawan Siang Cu yang dianggapnya kekasih Tiong San itu.
Siang Cu yang menjadi korban tiam-hoat (ilmu totok jalan darah) dari Kiu-hwa-san Toanio, tak berdaya sama sekali dan tak dapat berteriak ketika ia dibawa lari oleh to-kouw yang lihai Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
172 itu. Setelah tiba di kuil tua, Siang Cu dilepaskan dari totokan dan dengan tenang serta tabah ia menghadapi Siu Eng.
"Hm, kau pelayan hina-dina yang tidak tahu malu!" Siu Eng memaki-makinya dengan gemas.
"Kau telah melakukan perbuatan rendah yang mencemarkan nama seluruh pelayan kaisar!
Kau telah melarikan diri dengan seorang pemuda gila!"
Mendengar makian ini sama sekali Siang Cu tidak memperlihatkan muka takut, bahkan ia tersenyum tenang dan sama sekali tidak membuka mulutnya. Dengan marahnya, Siu Eng mengeluarkan maki-makian kotor, sehingga gurunya yang mendengar ini lalu berkata,
"Siu Eng, besok pagi kita menghadapi pertempuran, lebih baik beristirahat dan mengumpulkan tenaga. Kau jangan terlalu ribut, aku akan tidur dan mengaso sebentar." To-kouw ini lalu masuk ke dalam kuil bagian belakang di mana terdapat sebuah kamar yang telah bobrok dan pecah-pecah genteng serta dindingnya.
Siu Eng berjalan hilir-mudik di depan Siang Cu yang masih saja duduk menyandar tiang.
Agaknya Siu Eng telah merasa capai memaki-maki dan kini ia berjalan ke sana ke mari sambil berpikir-pikir. Siang Cu mengikuti langkah Siu Eng dengan pandangan matanya dan aneh sekali, pandangan mata gadis ini nampak sayu dan agaknya ia merasa kasihan kepada Siu Eng!
Beberapa lama mereka berada dalam keadaan seperti itu. Siu Eng merupakan seekor harimau betina yang marah dan berjalan hilir mudik di ruang itu sambil menggigit-gigit bibir dan mengerutkan kening, sedangkan Siang Cu duduk menyandar tiang sambil melihat penculiknya dengan sikap yang tenang dan sama sekali tidak tampak takut atau khawatir.
"Siu Eng," tiba-tiba Siang Cu mengeluarkan suara dengan halus, "Kau .... kau mencintainya
.....?" Siu Eng menghentikan langkahnya dan memandang kepada Siang Cu seakan-akan seekor harimau yang hendak menerkam mangsanya. "Aku ...." Aku mencintai Shan-tung Koai-hiap"
Hah!" Ia menyeringai menghina. "Aku benci dia! Akan kubunuh dia! Akan kubunuh dia besok pagi! Akan kubelah dadanya, kucabut jantungnya! Ya, dan kau juga. Akan kubunuh kalian berdua dengan ujung pedangku sendiri!"
Tiba-tiba Siang Cu tertawa geli. "Siu Eng, kau gadis bodoh! Sama seperti aku pula!"
"Apa maksudmu" Jaga mulutmu sebelum kutampar sampai rusak!"
"Kau diracuni oleh sakit hati dan cemburu! Kau dan aku adalah gadis-gadis bodoh yang mencintai seorang pemuda pembenci wanita! Ha, sungguh lucu menggelikan. Kita berdua sama-sama patah hati, hanya bedanya, aku menerima nasib dengan diam-diam dan sabar, tetapi kau diracuni oleh rasa sakit hati dan cemburu!" Siang Cu tertawa lagi.
"Pelayan hina-dina! Kau boleh tertawa sepuas hatimu, aku tidak akan mengganggu kau sekarang! Aku tidak mau merusak mukamu agar besok pagi kekasihmu itu melihat dengan mata sendiri betapa kekasih hatinya yang manis kurusakkan mukanya. Ya, ya, kau boleh tertawa sekarang, tetapi lihat saja besok! Biarpun kekasihmu itu lihai, dengan mudah guruku Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
173 akan merobohkannya! Kalian akan mampus sebelum matahari naik tinggi dan mayat kalian akan kutinggalkan di sini, biar dimakan oleh binatang liar!"
Sambil berkata demikian, Siu Eng memandang tajam dan maksudnya sebelum ancaman itu dilaksanakan, ia hendak menikmati penderitaan rasa takut pada gadis kekasih Tiong San itu.
Akan tetapi ia kecele, karena Siang Cu sama sekali tidak kelihatan takut, bahkan tersenyum manis.
"Siu Eng, aku tahu siapa adanya kau dan aku pernah pula mendengar tentang riwayatmu dengan Shan-tung Koai-hiap. Kau tak perlu menakut-nakuti aku, karena soal mati bagiku hanya soal kecil saja! Kalau aku tidak ingat kepada nyonya Lie yang mulia dan baik hati, apakah gunanya hidup bagiku" Mungkin akupun sudah berada di dunia lain pada saat ini.
Sebagai seorang yang senasib sependeritaan dengan kau sungguhpun sikap kita berlainan, baik kuceritakan kepadamu. Terus terang kukatakan bahwa seperti kau juga, aku mencintai Shan-tung Koai-hiap, mencinta sepenuh hatiku. Akan tetapi, jangan kau kira bahwa dia juga mencintaiku! Ha, kau belum kenal baik adat Shan-tung Koai-hiap yang aneh! Kau benar-benar kecele kalau mengira bahwa dia mencintaiku. Dia adalah seorang pembenci wanita, mana bisa ia mencinta seorang seperti aku" Akupun diam-diam menderita karena kebodohanku sendiri, maka, kalau kau mau bunuh aku, sekarang maupun besok atau kapan saja aku tidak takut!"
Mendengar ucapan ini, Siu Eng tertegun. Kemudian ia tertawa dengan hati penuh kegelian.
Memang demikianlah watak orang yang kurang mulia, apabila dia sedang berada dalam keadaan susah, maka kesusahan orang lain merupakan hiburan terbesar baginya!
"Ha ha ha!" Wanita kejam itu tertawa lagi. "Kalau begitu, hukumanmu kurobah! Kau takkan kubunuh, tetapi kau akan menyaksikan dengan mata sendiri betapa pemuda yang kaucintai itu mampus di depan matamu. Kemudian kau boleh pergi ke mana saja sesukamu, dan kau boleh menangisi kematian kekasihmu setiap hari!"
"Siu Eng, benar-benarkah kau sekejam itu, untuk membunuh laki-laki yang kau sendiri mencintai?" Kini Siang Cu memandang dengan mata menyatakan kengerian.
Kedua orang gadis ini sama sekali tidak tahu betapa pembicaraan mereka semenjak tadi didengarkan oleh orang yang makin lama makin menjadi pucat, apalagi ketika mendengar pengakuan Siang Cu tadi. Orang ini adalah Tiong San yang diam-diam telah melakukan pengintaian sehingga mendengar dengan jelas semua percakapan kedua orang gadis itu!
Tubuhnya menggigil ketika ia mendengar pengakuan Siang Cu yang menyatakan cintanya yang demikian besar! Ingin ia melompat kegirangan, dan karena tidak mau membiarkan kekasihnya itu tersiksa lebih lama lagi, ia lalu mengeluarkan cambuknya yang menyambar ke arah muka Siu Eng, dibarengi kata-katanya yang ditujukan kepada Siang Cu,
"Siang Cu .... kau salah sangka ....! Aku ... cinta kepadamu, kekasihku .... Cinta padamu dengan seluruh hati dan nyawaku ....!" Tiong San melompat ke ruang itu ketika Siu Eng dengan kaget sekali mengelak dari sabetan cambuk.
Siang Cu memandang dengan mata terbelalak seakan-akan melihat setan di siang hari.
Pandangan matanya bertemu dengan pandangan mata Tiong San dan melihat betapa pemuda Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
174 itu memandangnya dengan sinar mata penuh kasih sayang dan amat mesra. Tiba-tiba ia menutupi mukanya dengan kedua tangan!
Sementara itu, Siu Eng menjadi marah sekali.
"Shan-tung Koai-hiap, bangsat hina! Kau sudah tidak sabar untuk menerima mampus" Baik, malam ini juga aku akan membunuh kau dan kekasihmu yang hina-dina ini!" Ucapan ini dikeluarkan dengan marah dan sangat kerasnya, sehingga pada saat itu juga dari dalam berkelebat bayangan yang cepat sekali datangnya. Kiu-hwa-san Toanio telah berada di ruang itu, menghadapi Shan-tung Koai-hiap dengan pedang di tangan.
Tanpa banyak cakap lagi, Tiong San lalu menyerang to-kouw itu karena ia maklum bahwa inilah orangnya yang membantu Siu Eng. Ia melakukan serangan dengan pedangnya yang segera ditangkis oleh Kiu-hwa-san Toanio. Tiong San terkejut juga ketika pedangnya bertemu dengan pedang yang amat kuat dan tajam, tetapi ia semakin bersemangat. Sebentar saja ia telah dikeroyok dua oleh Kiu-hwa-san Toanio dan muridnya yang menyerang dengan mati-matian.
Tiong San mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Dengan pedang di tangan kiri dan cambuk di tangan kanan, ia mempertahankan diri dan bahkan melakukan serangan balasan yang tak kalah hebatnya, sehingga kedua orang lawannya merasa terkejut dan kagum. Tiong San maklum akan kekejian hati Siu Eng, maka sambil bertempur ia memperhatikan gadis itu, khawatir kalau-kalau Siu Eng akan mencelakai kekasihnya.
Benar saja dugaannya karena ketika merasa betapa sukarnya mengalahkan Shan-tung Koai-hiap yang amat lihai itu, tiba-tiba Siu Eng menggerakkan tangan kirinya dan sinar-sinar putih kecil menyambar ke arah Siang Cu yang masih duduk menyandar tiang dengan muka gelisah, mengkhawatirkan keadaan Tiong San yang dikeroyok dua oleh to-kouw dan Siu Eng!
"Perempuan keji!" Tiong San membentak dan cambuknya menyambar cepat ke arah beberapa batang jarum yang menyambar ke arah Siang Cu itu. Sekali ia kebutkan cambuknya, semua jarum itu terpukul jatuh.
"Siang Cu, kau sembunyilah di belakang tiang itu!" teriaknya dan ia cepat mendesak Siu Eng yang dengan pedang di tangan hendak memburu Siang Cu. Siang Cu segera memutar tubuhnya dan bersembunyi di belakang tiang yang besar. Kini ia terlindung dari serangan senjata rahasia, karena tiang itu tebal dan besar, menutup semua tubuhnya.
Dengan amat gemas dan marah, kini Tiong San mengubah permainannya dan memainkan Im-yang Joan-pian serta Pat-kwa Kiam-hoat dengan sehebat-hebatnya. Pedang dan cambuknya berkilat-kilat menyambar dengan tak terduga dan dengan sangat cepatnya ke arah dua orang lawannya. Tentu saja Siu Eng amat sibuk menghadapi serangan ini, sedangkan gurunya sendiri yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan pengalaman yang luas, merasa bingung dan hanya dapat menangkis saja!
Gadis ini dengan sibuk dan marah menangkis pedang Tiong San yang meluncur ke arah dadanya, tetapi Tiong San sengaja menggetarkan pedangnya sedemikian rupa sehingga ketika pedang beradu, ujung pedangnya meleset dan membacok tangan Siu Eng yang memegang pedang! Siu Eng menjerit dan melepaskan pedangnya serta menarik tangannya, tetapi pedang yang tadi menyerangnya itu kini digunakan untuk menangkis serangan Kiu-hwa-san Toanio, Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
175 sedangkan ujung cambuk di tangan kiri Tiong San secepat kilat mengirim cambukan hebat ke arah muka Siu Eng!
Dalam kegemasannya tadi, Tiong San hendak menggunakan tenaga besar untuk memberi
"hadiah besar" kepada Siu Eng agar muka gadis yang dibencinya itu terluka dan berdarah.
Akan tetapi, tiba-tiba wajah kekasih gurunya kedua, Si Cui Sian, dengan mukanya yang terluka oleh guratan pedang, terbayang pada pikirannya. Apakah ia hendak mengulangi perbuatan suhunya dan membuat Siu Eng bercacad mukanya selama hidupnya" Ia tidak tega dan mengendurkan tangannya sehingga ujung cambuknya itu hanya memberi "hadiah kecil"
saja, yakni mendatangkan gurat merah melintang pada muka Siu Eng, tanda merah yang mudah lenyap kembali. Akan tetapi cukup menyakitkan sabetan ini karena Siu Eng menjerit dan menutup mukanya dengan tangan.
Tiong San tidak mau berlambat-lambatan lagi dan segera mendesak Kiu-hwa-san Toanio dengan kedua senjatanya yang lihai itu. Dengan libatan ujung cambuknya pada pergelangan tangan to-kouw itu, akhirnya ia dapat pula membuat pedang Kiu-hwa-san Toanio terlepas dari pegangan dan jatuh ke lantai! Tiong San melompat mundur dan menahan senjatanya sambil memandang tajam kepada to-kouw itu.
Kiu-hwa-san Toanio menjadi merah mukanya. Dipungutnya pedangnya dan berkata, "Shantung Koai-hiap, kau benar-benar lihai sekali!" Kemudian tanpa berkata sesuatu lagi, to-kouw itu memegang tangan muridnya dan mengajak muridnya melompat pergi dari kuil itu, menghilang di dalam bayangan pohon!
Tiong San menyimpan kedua senjatanya dan ketika ia memutar tubuh memandang ternyata Siang Cu tak tampak pula di situ! Ia menjadi heran dan mengejar keluar. Ternyata bahwa gadis itu setelah melihat betapa Tiong San mengalahkan musuh-musuhnya, menjadi malu sekali teringat akan kata-kata pemuda tadi dan diam-diam ia mendahului lari ke kampung!
Ketika Tiong San dapat menyusulnya, ternyata Siang Cu telah berpeluk-pelukan dengan nyonya Lie yang juga menyusul ke kuil itu dan bertemu di jalan dengan Siang Cu. Mereka lalu kembali ke rumah mereka.
"Ibu," kata Tiong San, "Pada malam ini juga, saat ini juga kuminta ibu supaya meminang Siang Cu menjadi jodohku!" Ucapan ini terdengar gagah dan tidak malu-malu lagi. Nyonya Lie memandang dengan mata terbelalak, kemudian ia tertawa lebar.
"Tiong San, bukankah kau membenci wanita?" ia menggoda.
"Ibu, kau gi .....!" tetapi tiba-tiba ia berhenti karena Siang Cu mengerling tajam kepadanya penuh teguran. "Di antara semua wanita di dunia ini, hanya ibu dan Siang Cu yang kucintai sepenuh hatiku. Dan aku .... aku bukan pembenci wanita lagi sekarang!"
"Siang Cu, kau mendengar sendiri pinangan anakku, bagaimana jawabmu?" tanya nyonya Lie kepada gadis itu sambil tersenyum.
"Aku .... aku ...." gadis ini tidak dapat melanjutkan kata-katanya dan lalu berlari keluar, dikejar oleh Tiong San! Nyonya Lie tertawa bahagia dan masuk ke dalam kamarnya, membiarkan mereka berdua "menyelesaikan" urusannya.
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
176 Ketika Tiong San tiba di luar, ia melihat Siang Cu berdiri memandangi bulan.
"Siang Cu ...." kata pemuda itu halus sambil menyentuh pundaknya. "Bagaimana jawabmu?"
"Kau tentu sudah tahu akan isi hatiku," jawab gadis itu perlahan sambil tunduk, "Tetapi ada tiga hal yang hendak kukatakan."
"Katakanlah!"
"Pertama, kau tidak boleh menyebut orang dengan makian gila lagi! Kedua, semenjak sekarang kau tidak boleh meninggalkan ibu lagi. Ketiga, kalau kau melanggar dua pantangan itu, aku .... aku akan kembali ke kota raja menjadi pelayan kaisar!"
Tiong San tertawa geli dan hatinya berbahagia sekali.
"Kau ... kau gila ....!" katanya dan ia terkejut sekali karena kata-kata pertama yang keluar dari mulutnya tanpa disadarinya itu ternyata telah merupakan pelanggaran! Maka cepat-cepat ia menyambung, "Eh .... maksudku .... kau .... kau manis sekali ....!"
Siang Cu mengerling dan tersenyum geli. Sepasang matanya menatap wajah Tiong San dengan seri yang mengagumkan.
"Coba kau ulangi makianmu tadi ...." bisiknya.
"Ha ....?"" Kau .... kau .... gila .....?"
"Memang aku gila ...., aku gila karena tergila-gila kepada seorang seperti kau ....!" bisik Siang Cu yang pada saat itu juga tenggelam dalam pelukan Tiong San. Bulan purnama di atas kepala mereka berseri menyaksikan kebahagiaan dua makhluk bumi ini!
T A M A T Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
177 Amanat Marga 11 Istana Kumala Putih Karya O P A Pendekar Sakti Suling Pualam 9
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama