Ceritasilat Novel Online

Mushasi 18

Mushasi Karya Eiji Yoshikawa Bagian 18


Geki terus bicara, sementara mereka makan. Kesan yang diperoleh Musashi tentang
semangat yang dimiliki para samurai tanah perdikan Yang Dipertuan Date adalah bahwa
sebagai perorangan maupun kelompok, mereka memang benar-benar meminati Jalan Samurai
dan mendisiplinkan diri sesuai dengan jalan itu.
Jalan ini telah ada sejak zaman kuno, ketika kelas prajurit lahir, tapi nilai-nilai
moral dan kewajiban-kewajiban sekarang ini tidak lebih dari kenangan samar-samar.
Ketika terjadi kekalutan peperangan di dalam negeri pada abad lima belas dan enam
belas, etika militer mulai menyimpang kalau tidak mau dikatakan terabaikan sama sekali.
Sekarang hampir setiap orang yang dapat menggunakan pedang atau menembakkan anak panah
dari busurnya sudah dianggap samurai, tak peduli ada tidaknya perhatian terhadap makna
yang lebih dalam dari jalan itu.
Samurai gaya perorangan sering kali adalah orang yang rendah wataknya dan hina
nalurinya dibandingkan petani atau orang kota biasa. Karena hanya memiliki tenaga dan
teknik untuk merebut penghormatan dari orang-orang yang ada di bawah mereka, pada
akhirnya mereka pasti hancur. Hanya sedikit daimyo yang mampu melihat hal ini dan hanya
segelintir pengikut kalangan atas Tokugawa dan Toyotomi yang berpikir untuk menciptakan
Jalan Samurai baru yang dapat menjadi dasar kekuatan dan kesejahteraan bangsa.
Pikiran Musashi kembali ke tahun-tahun ketika ia ditahan di Benteng Himeji. Takuan
ingat bahwa Yang Dipertuan Ikeda menyimpan dalam perpustakaannya naskah tulisan tangan
Nichiyo Shushin-kan karangan Fushikian. Takuan mengambilnya supaya dipelajari Musashi.
Fushikian adalah nama samaran jenderal termasyhur Uesugi Kenshin. Dalam bukunya,
Fushikian mencatat soal-soal latihan etika sehari-hari untuk pegangan para pengikut
utamanya. Dari buku itu, Musashi tidak hanya belajar tentang kegiatan pribadi Kenshin,
melainkan juga memperoleh pengertian tentang kenapa tanah perdikan Kenshin di Echigo
kemudian dikenal di seluruh negeri karena kekayaan dan kecakapan militernya.
Terbuai oleh penggambaran Geki yang bersemangat, Musashi mulai merasa bahwa Yang
Dipertuan Date punya kesamaan dengan Kenshin dalam ketulusan hati. Ia juga menciptakan
suasana tertentu di daerahnya, di mana para samurai didorong untuk mengembangkan Jalan
baru, jalan yang akan memungkinkan mereka melawan, termasuk melawan shogun apabila
perlu. "Anda mesti memaaflcan saya karena terus bicara tentang hal-hal yang menjadi minat saya
sendiri," kata Geki. "Bagaimana pendapat Anda, Musashi" Tak ingin Anda datang ke Sendai
untuk melihat sendiri" Yang Dipertuan itu orangnya jujur dan terus terang. Kalau Anda
memang berusaha keras menemukan Jalan itu, status Anda yang sekarang ini tidak menjadi
soal baginya. Anda dapat bicara dengannya, seperti bicara dengan orang lain.
"Banyak yang diperlukan oleh samurai yang hendak mempersembahkan hidupnya kepada
negerinya. Saya akan lebih dari bahagia kalau dapat memperkenalkan Anda. Kalau setuju,
kita dapat pergi ke Sendai bersama-sama."
Waktu itu baki-baki makan malam sudah diambil, tapi semangat Geki sama sekali belum
menurun. Musashi terkesan, tapi masih tetap berhati-hati, dan katanya, "Saya mesti
memikirkannya dulu sebelum memberi jawaban."
Ia mengucapkan selamat malam, dan pergi ke kamarnya. Di situ ia berbaring melotot dalam
gelap, matanya berkilat-kilat. Jalan Samurai. Ia pusatkan perhatian pada ajaran itu
dalam penerapannya dengan dirinya dan pedangnya.
Tiba-tiba ia melihat kebenaran: teknik-teknik pedang bukanlah tujuan yang sedang
dikejarnya. Yang ia cari adalah Jalan Pedang yang mencakup segalanya. Pedang mesti jauh
lebih berarti daripada senjata sederhana. Ia mesti merupakan jawaban atas pertanyaanpertanyaan hidup. Jalan Uesugi Kenshin dan Date Masamune terlalu bersifat militer,
terlampau picik. Akan terserah kepadanya untuk melengkapi segi-segi manusianya,
memberikan lebih banyak kedalaman, lebih banyak keunggulan.
Untuk pertama kali, ia bertanya apakah mungkin seorang manusia biasa menyatu dengan
alam semesta. *** 59. Pemberian Uang PIKIRAN pertama yang menggugah Musashi adalah tentangOtsu dan Jotaro. Walaupun ia dan
Geki bercakap-cakap ramah sambil makan pagi, masalah bagaimana menemukan mereka berdua
itulah yang paling menyita pikirannya. Keluar dari penginapan, tanpa disadarinya ia
perhatikan betul-betul setiap wajah yang dijumpainya di jalan raya. Sekali-dua kali
dikiranya ia melihat Otsu di depan, tapi ternyata ia keliru.
"Anda rupanya mencari seseorang," kata Geki.
"Memang. Teman-teman saya terpisah dari saya di jalan, dan sekarang saya kuatir dengan
nasib mereka. Saya pikir, lebih baik saya melepaskan keinginan pergi ke Edo, dan
mencari jalan lain."
Dengan kecewa, kata Geki, "Sayang sekali. Saya ingin sekali berjalan bersama Anda. Saya
harap Anda tidak mengubah keinginan mengunjungi Sendai, gara-gara saya bicara terlalu
banyak semalam." Sikap Geki yang terus terang dan jantan itu merangsang Musashi. "Anda baik sekali,"
katanya. "Saya harap saya punya kesempatan nanti."
"Saya ingin Anda menyaksikan sendiri, bagaimana samurai kami membawa diri. Dan kalau
Anda tidak tertarik soal itu, nah, anggap saja itu sekadar tamasya. Anda dapat
mendengarkan lagu-lagu setempat, dan mengunjungi Matsushima. Tempat itu terkenal
pemandangannya." Geki minta diri, dan lekas-lekas menuju Celah Wada.
Musashi membalikkan badan dan kembali ke persimpangan Nakasendo, pangkal jalan raya
Koshu. Selagi ia berdiri di sana, merencanakan apa yang hendak diperbuatnya,
segerombolan pekerja harian dan Suwa mendatanginya. Pakaian mereka menunjukkan bahwa
mereka kuli, tukang kuda, atau pemikul joli yang bisa dipergunakan orang di daerah itu.
Mereka datang pelan-pelan dengan tangan terlipat, kelihatannya seperti segerombolan
kepiting. Mata mereka dengan kasar menyelidik tubuh Musashi. Seorang dari mereka berkata, "Pak,
kelihatannya Anda sedang mencari seseorang. Seorang wanita cantik atau pesuruh?"
Musashi menggelengkan kepala, mengusir mereka dengan isyarat agak meremehkan, lalu
menyingkir. Tak tahu ia, apakah akan pergi ke timur atau barat, tapi akhirnya ia
putuskan untuk menghabiskan waktu hari itu dengan melihat-lihat apa yang dapat ia
temukan di sekitar tempat itu. Kalau pencarian yang dilakukannya tidak membawa hasil,
selanjutnya ia dapat pergi ke ibu kota shogun dengan hati bersih.
Salah seorang pekerja menyela pikirannya. "Kalau memang mencari seseorang, kami dapat
membantu," katanya. "Itu lebih baik daripada berdiridiri di bawah sinar matahari.
Bagaimana tampang orangnya?"
Yang lain menambahkan, "Kami bahkan tidak menentukan tarif jasa kami. Kami serahkan
pada Tuan." Akhirnya Musashi mengalah. Ia bahkan melukiskan Otsu dan Jotaro secara terperinci.
Sesudah berunding dengan teman-temannya, orang pertama tadi mengatakan, "Kami belum
pernah melihat mereka, tapi kalau kami membentuk kelompok-kelompok, kami yakin akan
menemukan mereka. Penculik-penculik itu tentunya masuk salah satu dari tiga jalan
antara Suwa dan Shiojiri. Anda tak kenal daerah ini, tapi kami kenal."
Musashi tidak begitu optimis tentang kemungkinan berhasil di medan yang demikian sukar,
tapi katanya, "Baik, pergilah cari mereka."
"Jadi," teriak orang-orang itu.
Sekali lagi mereka berkerumun, berpura-pura sedang memutuskan bagian pekerjaan masingmasing. Kemudian pimpinan mereka maju ke depan dan menggosok-gosok tangan dengan sikap
hormat. "Cuma masih ada satu soal kecil, Pak. Begini... saya kurang suka menyebutkan
ini, tapi kami ini cuma pekerja tak berduit. Tak ada di antara kami yang sudah makan
hari ini. Apa tak dapat Anda memberi persekot buat setengah hari pembayaran, dengan
sedikit tambahan" Saya jamin akan menemukan teman-teman Anda itu sebelum matahari
tenggelam." "Tentu. Saya memang mau memberi."
Orang itu menyebut suatu jumlah, tapi sesudah Musashi menghitung uangnya, ternyata
jumlah itu lebih tinggi dari uang yang dimilikinya. Musashi bukan orang yang tidak
hirau dengan nilai uang, tapi karena ia hidup sendirian, tanpa tanggungan, sikapnya
terhadap uang boleh dikata masa bodoh. Teman-teman dan orang-orang yang kagum padanya
kadang-kadang menyumbangnya untuk perjalanan, dan ada kuil-kuil yang sering dapat
memberikan penginapan gratis kepadanya. Pada kesempatan lain, ia dapat tidur di udara
terbuka, atau pergi tanpa mesti makan secara normal. Dengan berbagai cara, ia selalu
dapat mengatasi soal itu.
Dalam perjalanan ini, ia telah menyerahkan soal uang kepada Otsu yang mendapat hadiah
besar berupa uang perjalanan dari Yang Dipertuan Karasumaru. Otsu-lah yang telah
membayar macam-macam rekening dan memberinya uang saku tiap pagi, seperti biasa
dilakukan seorang istri. Sesudah menyisihkan sedikit untuk diri sendiri, Musashi pun membagikan sisa uangnya
pada orang-orang itu. Walaupun sebetulnya mereka mengharapkan jumlah yang lebih besar,
mereka setuju melakukan pencarian sebagai "pertolongan khusus".
"Nantikan kami dekat gerbang bertingkat dua di Tempat Suci Suwa Myojin," nasihat si
juru bicara. "Petang nanti, kami kembali membawa berita." Dan mereka berangkat ke
beberapa jurusan. Musashi tidak membuang-buang waktu percuma, tapi pergi melihat Benteng Takashima dan
kota Shimosuwa, juga berhenti di sana-sini untuk mencatat ciri-ciri topografi setempat,
yang mungkin di masa depan ada gunanya, dan memperhatikan cara-cara pengairan di sana.
Beberapa kali ia bertanya apakah di daerah itu ada ahli militer terkemuka, tapi tak ada
jawaban menarik yang didengarnya.
Ketika matahari semakin terbenam, ia pergi ke tempat suci dan duduk di tangga batu yang
menuju gerbang bertingkat dua. Badannya lelah tak bersemangat. Tak seorang pun
memperlihatkan hidung, karena itu ia berjalan mengitari pekarangan kecil yang luas itu.
Namun ketika kembali di pintu gerbang, tetap tidak ada orang.
Bunyi kuda yang mengentak-entakan kaki ke tanah mulai menekan sarafnya, walaupun bunyi
itu tidak keras. Ia turun tangga dan tiba di sebuah gubuk yang hanya remang-remang
kelihatan akibat tertutup pepohonan. Seorang perawat kuda tua sedang memberi makan kuda
putih suci milik tempat suci.
Orang itu menatap Musashi dengan sikap curiga. "Ada apa?" tanyanya kasar "Apa urusanmu
dengan kuil ini?" Ketika orang itu mendengar alasan Musashi ada di sana, ia tertawa terpingkal-pingkal.
Karena sama sekali tidak merasa lucu, Musashi tidak berusaha menyembunyikan amarahnya.
Namun sebelum ia mengatakan sesuatu, orang tua itu berkata, "Tak bisa kau jalan
sendirian di jalan ini. Kau terlalu polos. Apa kau percaya betul, hama-hama jalanan itu
akan menghabiskan waktu seharian buat mencari teman-temanmu" Kalau kau bayar mereka di
muka, kau takkan melihat mereka lagi."
"Maksud Bapak, mereka cuma pura-pura waktu membentuk kelompok-kelompok dan berangkat
itu?" Kim wajah si perawat kuda berubah bersimpati. "Kau sudah ditipu!" katanya. "Aku dengar
ada sekitar sepuluh orang gelandangan minum-minum dan berjudi di balik bukit sebelah
sana hari ini. Kemungkinan besar mereka itulah orangnya. Hal-hal ini sering terjadi."
Kemudian ia menyampaikan beberapa cerita tentang musafir-musafir yang ditipu uangnya
oleh pekerja-pekerja bejat itu, tetapi ia menyimpulkan dengan lunak, "Yah, demikianlah
dunia ini. Lebih baik mulai sekarang kau lebih berhati-hati."
Setelah memberikan nasihat bijaksana itu, ia mengambil ember kosong dan pergi
meninggalkan Musashi yang merasa dirinya tolol. "Sudah terlambat melakukan sesuatu
sekarang," keluhnya. "Aku membanggakan diri karena mampu tidak memberikan peluang
sedikit pun pada lawan, tapi sekarang aku dapat ditipu oleh gerombolan pekerja buta
huruf." Bukti tentang mudahnya dirinya ditipu orang itu datang seperti tamparan pada
wajahnya. Kekurangan-kekurangan seperti itu dapat dengan mudah mengeruhkan latihannya
dalam Seni Perang. Bagaimana mungkin orang yang demikian mudah ditipu oleh orang-orang
yang lebih rendah darinya dapat secara efektif memimpin pasukan" Sambil naik pelanpelan menuju gerbang. ia memutuskan untuk mencurahkan lebih banyak perhatian pada caracara yang dipakai dunia sekitarnya.
Salah seorang pekerja menoleh ke sana kemari dalam gelap. Begitu melihat Musashi, ia
memanggilnya dan berlari turun tangga.
"Saya senang dapat ketemu Anda," katanya. "Saya sudah dapat berita tentang seorang dari
orang-orang yang Anda cari itu."
"Oh," Musashi keheranan, karena baru saja ia memarahi dirinya atas kenaifannya. Ia
senang mengetahui bahwa tidak semua orang di dunia ini penipu. "Yang kau maksud seorang
dari mereka itu anak lelaki atau perempuan?"
"Anak lelaki. Dia bersama Daizo dari Narai, dan saya sudah tahu di mana Daizo berada,
atau setidak-tidaknya ke mana dia pergi."
"Ke mana?" "Saya kira orang-orang yang bersama saya tadi pagi takkan memenuhi janji mereka. Mereka
sudah memutuskan menghabiskan waktu hari ini dengan berjudi, tapi saya kasihan pada
Anda. Saya pergi dari Shiojiri ke Seba, dan bertanya pada semua orang yang saya temui.
Tak seorang pun tahu tentang gadis itu, tapi saya dengar dari pelayan di penginapan
tempat saya makan bahwa Daizo lewat Suwa sekitar tengah hari ini, dalam perjalanan ke
Celah Wada. Gadis pelayan itu mengatakan Daizo bersama seorang anak lelaki."
Dengan rasa malu, kata Musashi sedikit resmi, "Terima kasih kau sudi memberitahukan hal
itu padaku." Ia keluarkan kantong uangnya, walaupur. ia tahu isinya hanya cukup untuk
makannya sendiri. Sesaat ia ragu-ragu, tapi karena pikirnya kejujuran tak boleh tidak
mendapat ganjaran, maka ia serahkan uang terakhir miliknya kepada pekerja itu.
Senang mendapat imbalan, orang itu mengangkat uang tersebut ke dahinya sebagai tanda
terima kasih, dan pergi dengan gembira.
Melihat uangnya dibawa pergi, Musashi merasa telah menggunakan uang itu untuk tujuan
yang lebih berharga daripada sekadar pengisi perut. Barangkali sesudah mengetahui bahwa
tingkah laku yang benar dapat mendatangkan keuntungan, hari berikutnya pekerja itu akan
mau menolong musafir lain lagi.
Hari sudah gelap, tapi Musashi memutuskan untuk tidak tidur di bawah tepian atap rumah
petani, melainkan akan melintasi Celah Wada. Kalau sepanjang malam ia berjalan terus,
ia dapat menyusul Daizo. Ia berangkat dan sekali lagi ia senang bahwa pada malam hari
ia berada di jalan sepi. Ada sesuatu yang mengimbau nalurinya dalam suasana itu. Seraya
menghitung langkah kakinya dan mendengarkan suara langit di atas sana , ia melupakan
segalanya dan bergirang atas kehadirannya di dunia ini. Apabila dikelilingi kumpulan
orang yang sibuk, ia sering kali merasa sedih dan terpencil, tapi sekarang ia merasa
hidup dan ringan hati. Ia dapat memikirkan hidup ini dengan kepala dingin dan objektif,
bahkan dapat menyanjung dirinya sebagaimana ia menyanjung orang yang tak dikenalnya
sama sekali. Sebentar setelah tengah malam, renungannya terganggu oleh seberkas cahaya di kejauhan.
Sesudah menyeberangi jembatan Sungai Ochiai, ia mendaki terus dengan mantap. Satu celah
sudah dilaluinya. Celah berikutnya yaitu Celah Wada, membayang di langit berbintang di
atasnya, dan di sebelahnya terdapat penyeberangan yang lebih tinggi lagi, di Daimon.
Cahaya itu terdapat di dalam sebuah lubang yang sejajar letaknya dengan kedua punggung
pegunungan itu. "Kelihatannya seperti api unggun," pikirnya, dan untuk pertama kali selama berjam-jam
itu, perutnya terasa lapar. "Barangkali di sana aku bisa mengeringkan lengan baju dan
makan sedikit bubur atau yang lain."
Ketika sudah dekat, ternyata cahaya itu bukan dari api di luar rumah, melainkan dari
warung teh kecil di pinggir jalan. Ada empat-lima pancang untuk menambatkan kuda, tapi
tak ada kuda. Rasanya mustahil ada orang di tempat seperti itu, malam-malam begini,
namun ia mendengar suarasuara serak bercampur kemeretak bunyi api. Beberapa menit
lamanya ia berdiri ragu-ragu di bawah tepian atap. Kalau rumah itu gubuk petani atau
penebang kayu, ia tak akan ragu minta tempat berteduh atau sisa makanan, tapi ini rumah
usaha. Bau makanan membuatnya lebih lapar daripada sebelumnya. Asap hangat menyelimutinya. Ia
tak dapat lagi meninggalkan tempat itu. "Yah, kalau kujelaskan keadaanku, barangkali
mereka mau menerima patung untuk pembayaran." Yang disebutnya "patung" itu adalah
patung Kannon yang telah dipahatnya dari kayu prem tua.
Begitu ia masuk warung, para tamu terkejut dan berhenti berbicara. Bagian dalam warung
itu sederhana, lantainya dari tanah, dengan perapian dan kerudung api di tengah. Di
sekitarnya berkerumun tiga orang lelaki yang duduk di bangku. Di dalam kuali sedang
direbus daging babi hutan campur lobak besar. Sebuah guci sake dihangatkan di dalam
abu. Tukang warung berdiri membelakangi mereka, mengiris-iris acar sambil mengobrol
dengan ramahnya. "Mau apa?" tanya salah seorang tamu, seorang lelaki bermata tajam bercambang panjang.
Musashi terlampau lapar, hingga tak mendengar. Ia lewati orang-orang itu, dan sambil
duduk di ujung bangku, katanya pada tukang warung, "Kasih saya makan, cepat. Nasi acar
cukuplah. Apa saja."
Orang itu menuangkan sedikit kuah ke nasi dingin di mangkuk, dan meletakkannya di depan
Musashi. "Anda mau lewat Celah malam ini?" tanyanya.
"Ya," gumam Musashi, yang waktu itu sudah mengambil supit dan sudah akan menyerbu
makanan dengan bergairah. Sesudah dua kali menyuap. ia bertanya, "Barangkali Bapak
tahu, apa orang yang namanya Daizo dari Narai ada lewat tempat ini sore tadi, menuju
Celah" Dia bersama seorang anak lelaki."
"Menyesal sekali saya tak dapat membantu Anda." Kemudian kata si pemilik warung pada
orang-orang yang lain, "Toji, apa kau atau orangorangmu melihat orang tua jalan dengan
anak lelaki?" Sesudah saling berbisik, ketiga orang itu menjawab tidak dan serempak menggeleng.
Sesudah kenyang dan merasa hangat oleh makanan panas itu, Musashi mulai kuatir
memikirkan pembayarannya. Ia ragu-ragu bicara dengan tukang warung, karena hadirnya
orang-orang lain, tapi sekejap pun ia tidak merasa sedang mengemis. Cuma menurutnya
kebutuhan perutnya lebih penting untuk diatasi terlebih dahulu. Ia memutuskan bahwa
jika tukang warung tidak mau menerima patungnya, ia akan menawarkan belatinya.
"Saya minta maaf," katanya memulai, "karena saya sama sekali tak punya uang tunai. Tapi
harap maklum, saya bukannya minta makan tanpa bayar. Saya punya barang yang dapat saya
tawarkan, kalau Bapak mau menerimanya."
Di luar dugaan, sikap tukang warung ternyata ramah. Jawabannya, "Saya kira bisa saja.
Apa barangnya?" "Patung Kannon."
"Patung benar-benar?"
"Ah, tapi bukan karya pemahat terkenal"cuma hasil pahatan sendiri. Harganya takkan


Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cukup buat semangkuk nasi, tapi biar bagaimana silakan Bapak lihat dulu."
Ketika ia mulai melepas tali-tali tas yang bertahun-tahun dibawanya itu ketiga orang
lain meninggalkan minuman mereka dan memusatkan perhatian kepada tangan Musashi.
Disamping patung, tas itu berisi juga sepasang pakaian dalam untuk ganti, dan perangkat
alat tulis. Begitu dikosongkan isinya, ada barang yang jatuh ke tanah dengan bunyi
mendenting. Tamutamu lain menahan napas, karena barang yang tergeletak di kaki Musashi
itu ternyata kantong uang, dan dari kantong itu keluar beberapa mata uang emas dan
perak. Musashi sendiri membelalak heran tanpa kata.
"Oh, dari mana ini datangnya?" tanyanya heran.
Orang-orang lain menjulurkan leher untuk melongok harta kekayaannya. Musashi merasa ada
barang lain lagi dalam tas itu, dan ketika dikeluarkannya ternyata sepucuk surat. Surat
berisi satu baris kalimat, bunyinya :
Untuk sementara, ini dapat menutup biaya perjalananmu, dan ditandatangani, Geki.
Mengertilah Musashi apa artinya. Itulah cara Geki berusaha membeli jasanya, demi Yang
Dipertuan Date Masamune dari Sendai Benteng Aoba. Kemungkinan bakal terjadinya benturan
terakhir antara Keluarga Tokugawa dan Keluarga Toyotomi memang semakin besar, hingga
para daimyo besar itu semakin merasakan pentingnya memperoleh pesilat cakap dalam
jumlah besar. Cara yang disenangi dalam persaingan tajam merebut samurai yang benarbenar terkemuka adalah mencoba memaksa mereka berutang, walaupun hanya dalam jumlah
kecil, dan kemudian memperoleh persetujuan diam-diam untuk mengadakan kerja sama di
masa mendatang. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa Toyotomi Hideyori memberikan uang dalam jumlah
besar pada Goto Matabei dan Sanada Yukimura. Walaupun Yukimura berpura-pura
mengundurkan diri di Gunung Kudo, sekian banyak emas perak dikirimkan kepadanya dari
Benteng Osaka, hingga Ieyasu melancarkan pemeriksaan besar-besaran. Karena kebutuhan
pribadi seorang jenderal yang sudah mengundurkan diri di pertapaan itu sederhana
sekali, pastilah uang itu kemudian diteruskan pada beberapa ribu ronin miskin yang
kerjanya menghabis-habiskan waktu di kota-kota besar dan kecil yang berdekatan, sambil
menanti pecahnya permusuhan.
Menemukan seorang pesilat cakap seperti diyakini oleh Geki itu, dan memikatnya untuk
bekerja pada tuannya, adalah satu di antara jasa paling berharga yang dapat dilakukan
seorang abdi. Dan justru karena alasan ini, Musashi tak punya minat terhadap uang Geki.
Menggunakan uang itu berarti menanggung kewajiban yang tak diinginkannya. Dalam
beberapa detik saja ia sudah memutuskan untuk mengabaikan pemberian itu, dan berpurapura bahwa uang itu tidak ada.
Tanpa berkata-kata, ia membungkuk memungut kantong uang itu dan memasukkannya kembali
ke dalam tasnya. Kepada tukang warung ia berkata, seakan-akan tidak terjadi sesuatu,
"Baiklah, akan saya tinggalkan patung ini buat pembayaran."
Tapi orang itu menolak keras. "Saya tak bisa menerimanya."
"Lho, apa salahnya patung ini" Saya memang tidak menamakan diri pemahat, tapi..."
"Oh, patung ini tidak jelek, dan saya mau saja menerimanya, kalau Tuan tak punya uang
seperti Tuan bilang tadi, tapi nyatanya Tuan punya banyak uang. Kenapa pula Tuan
lempar-lemparkan uang tunai Tuan hingga orang banyak melihatnya, kalau Tuan ingin
dikira sudah bangkrut?"
Tamu-tamu lain pun jadi sadar dan tergetar melihat emas itu, dan mereka menganggukanggukkan kepala sebagai tanda setuju. Karena sadar akan sia-sia mengatakan uang itu
bukan uangnya, Musashi mengeluarkan sekeping uang perak dan menyerahkannya kepada
tukang warung. "Ini terlalu banyak, Tuan," keluh tukang warung. "Apa tak ada uang kecil?"
Pengamatan sepintas menunjukkan bahwa keping-keping uang dalam kantong Musashi itu
beberapa macam nilainya, tapi tak ada yang kecil. "Tak usah kuatir soal kembaliannya,"
kata Musashi. "Bapak boleh ambil."
Karena tak dapat lagi berpegang pada khayal bahwa uang itu tidak ada, Musashi
memasukkan tempat uang itu ke dalam kantong bagian perut untuk keamanannya.
Kemudian ia panggul bungkusannya dan menghilang dalam gelap, sekalipun ia banyak
mendengar desakan untuk tinggal lebih lama. Karena sudah makan dan pulih kesehatannya,
menurut perhitungannya ia dapat sampai di Celah Daimon waktu matahari terbit. Siang
hari ia dapat melihat di sekitarnya bunga-bunga dataran tinggi dalam jumlah melimpahrhodo dendron, gentian, krisan liar-tapi pada malam hari, di tengah lautan luas
kegelapan itu, yang tampak olehnya hanyalah kabut seperti kapas yang bergayut ke tanah.
Baru sekitar dua mil dari warung teh itu, seorang dari orang-orang yang dilihatnya di
warung berseru kepadanya, "Tunggu! Ada yang Anda lupa." Sesudah dekat Musashi, orang
itu berkata sambil terengah-engah, "Minta ampun, jalan Anda cepat sekali! Sesudah Anda
pergi, saya temukan uang ini, dan saya bawa kemari. Tentunya milik Anda."
Ia keluarkan keping uang perak yang ditolak oleh Musashi, dengan mengatakan uang itu
pasti bukan uangnya. Tapi orang itu berkeras mengatakan uang itu milik Musashi. "Uang
ini tentunya menggelinding ke sudut waktu kantong uang Anda jatuh."
Karena memang tidak menghitung uang itu, Musashi tidak dapat membuktikan bahwa orang
itu keliru. Disertai ucapan terima kasih, ia terima uang perak itu dan ia masukkan ke
dalam lengan kimononya. Namun, karena alasan tertentu, ia sama sekali tidak tergerak
oleh pameran kejujuran ini.
Walaupun tugas orang itu sudah selesai, masih juga ia berjalan di samping Musashi dan
mulai bicara sedikit. "Barangkali tak boleh saya menanyakan ini, tapi apa Anda belajar main pedang pada guru
terkenal?" "Tidak, saya pakai gaya saya sendiri."
Jawaban Musashi yang acuh tak acuh tidak membikin mundur orang itu. Ia menyatakan
dirinya samurai juga, dan tambahnya, "Tapi untuk sementara saya terpaksa tinggal di
pegunungan ini." "Begitu?" "Ya. Dua teman saya itu juga. Kami bertiga samurai. Sekarang kami hidup dari menebang
pohon dan mengumpulkan ramuan. Kami ini seperti naga yang menanti saat baik di sebuah
kolam, seperti kata pepatah. Tak bisa saya berpura-pura menjadi Sano Genzaemon, tapi
kalau tiba waktunya nanti, saya akan mengambil pedang tua saya, mengenakan ketopong
usang itu, dan pergi berperang demi seorang daimyo terkenal. Sekarang sava menunggu
datangnya waktu itu!"
"Anda berpihak pada Osaka atau Edo?"
"Bukan soal. Yang penting, saya berada pada salah satu pihak. Kalau tidak, bisa habis
waktu saya buat berkeliaran di sini."
Musashi tertawa sopan. "Terima kasih atas uang ini."
Kemudian, dalam usaha meninggalkan orang itu, ia mulai membuat langkah-langkah panjang
dan cepat. Tapi orang itu tetap juga ikut di sampingnya. Langkah yang diambilnya sama
dengan langkah Musashi. Ia terus berkeras berada di sisi kiri Musashi, suatu gangguan
yang pasti dianggap mencurigakan oleh pemain pedang mana pun yang berpengalaman. Namun
Musashi tidak berbuat apa-apa untuk melindungi sisi kirinya, agar tidak memperlihatkan
sikap waspada. Akibatnya sisi itu terbuka lebar.
Orang itu semakin bersahabat sikapnya. "Boleh saya memberi saran" Kalau Anda mau,
bagaimana kalau menginap di tempat kami" Sesudah Celah Wada, Anda masih akan melewati
Daimon. Anda bisa meneruskan jalan ke sana pagi hari, tapi jalannya terjal sekali-sukar
sekali untuk orang yang tidak biasa dengan daerah ini."
"Terima kasih. Saya terima undangan itu."
"Ya, tentu, tentu. Cuma, kami tak dapat menawarkan apa-apa dalam bentuk makanan atau
hiburan." "Tapi saya senang dapat berbaring. Di mana rumah Anda?"
"Sekitar setengah mil ke kiri, dan sedikit ke atas."
"Berarti Anda betul-betul tinggal di pedalaman gunung, ya?"
"Seperti saya katakan tadi, sampai datangnya waktu yang baik, kami tinggal bersembunyi,
mengumpulkan ramuan, berburu, yah, melakukan halhal seperti itu. Saya tinggal serumah
dengan dua yang lain tadi."
"Kebetulan Anda menyebutkannya, tapi bagaimana dengan mereka itu?"
"Mereka barangkali masih minum. Tiap kali kami pergi ke sana, mereka mabuk, dan
akhirnya saya yang mengangkat mereka pulang. Malam ini saya putuskan meninggalkan saja
mereka.... Awas! Ada turunan tajam di situ-di bawah sana ada sungai. Bahaya sekali."
"Apa kita mesti menyeberang sungai?"
"Ya. Di sini sempit dan ada titian balok di bawah kita ini. Sesudah menyeberang, kita
membelok ke kanan dan mendaki menyusuri tepi sungai."
Musashi merasa orang itu sudah berhenti jalan, tapi ia tidak menoleh ke belakang. Ia
temukan balok itu, dan mulai menyeberang. Sesaat kemudian, orang itu melompat ke depan
dan mengangkat ujung balok untuk melontarkan Musashi ke dalam sungai.
"Apa maksudmu?"
Teriakan itu datang dari bawah, tapi orang itu menengadah ke atas dengan heran. Karena
sudah tahu terlebih dahulu gerak pengkhianatan orang itu, Musashi sempat melompat dari
balok dan mendarat dengan ringannya di atas batu besar. Penyerangnya yang terkejut,
menjatuhkan balok ke dalam sungai. Sebelum tirai air yang muncrat jatuh kembali ke
tanah, Musashi sudah melompat kembali ke tepi sungai dengan pedang terhunus, dan
memotong penyerangnya. Semua itu terjadi demikian cepat, hingga orang itu bahkan tak
melihat Musashi menarik pedang.
Mayat itu menyentak-nyentak sesaat-dua saat, kemudian diam. Musashi bahkan tak hendak
memandangnya. Ia kini mengambil jurus yang baru, sebagai persiapan atas serangan
berikut, karena ia yakin akan ada serangan lagi. Sementara ia memantapkan jurusnya,
rambutnya berdiri seperti garuda.
Sunyi sesaat, kemudian terdengar bunyi berdebam yang cukup keras, yang dapat
menghancurkan ngarai itu. Tembakan bedil itu rupanya datang dari suatu tempat di
pinggir lain. Musashi mengelak, dan peluru yang jitu arahnya itu mendesis melintasi
ruangan yang tadi ditempatinya, dan mengubur diri dalam tanggul di belakangnya. Sambil
menjatuhkan diri seakan terluka, Musashi memandang ke seberang. Ia melihat bunga-bunga
api merah beterbangan di udara, seperti kunang-kunang. Terlihat olehnya dua sosok tubuh
yang merangkak hati-hati ke depan.
*** 60. Api Pembasuh ORANG itu mengatupkan gigi erat-erat, menanti sumbu yang sudah menyala mendesis. Ia
bersiap menembakkan lagi bedilnya. Temannya merunduk dan menjeling ke kejauhan.
Bisiknya, "Kaupikir aman?"
"Aku yakin sudah kena dengan tembakan pertama tadi," terdengar jawaban yakin.
Kedua orang itu merangkak hati-hati ke depan, tapi begitu mereka sampai ujung tepi
sungai, Musashi meloncat naik. Pembawa bedil tergagap dan menembak, tapi kehilangan
keseimbangan, hingga peluru melejit tanpa guna ke udara. Suara gema bersahut-sahutan di
dalam lembah, dan dua orang dari warung teh itu pun lari ke atas.
Tiba-tiba seorang di antaranya berhenti dan berteriak, "Tunggu! Buat apa kita lari"
Kita berdua, dan dia sendiri. Aku hadapi dia, dan kau membantu."
"Aku bersamamu!" teriak pembawa bedil. Ia melepaskan sumbu dan membidikkan gagang
bedilnya kepada Musashi. Pasti mereka agak lebih tinggi dari sekadar penjahat. Menurut dugaan Musashi, mereka
pemimpin gerombolan. Kedua orang itu dapat menggunakan pedang dengan kemahiran sejati,
namun mereka sama sekali bukan tandingan Musashi. Dengan satu kali pukulan pedang saja,
mereka berdua sudah melayang ke udara. Pembawa bedil terbelah dari bahu sampai
pinggang, kemudian jatuh tewas ke tanah, sementara bagian atas tubuhnya tergantunggantung di tepi sungai, seperti pada selembar benang. Orang satunya lari mendaki
lereng, sambil mencengkeram lengan bawahnya yang terluka, dikejar cepat oleh Musashi.
Hujan debu dan pasir menjulang, lalu jatuh lagi di belakangnya.
Lembah bernama Lembah Buna itu terletak di tengah jalan antara Celah Wada dan Daimon.
Namanya diambil dari pohon-pohon yang menutupnya. Pada puncaknya yang tertinggi,
dikelilingi pepohonan, berdiri sebuah pondok besar dan kasar, terbuat dari balok-balok
kayu. Sambil berlari cepat ke nyala obor, bandit itu berteriak, "Padamkan api!"
Seorang perempuan melindungi nyala api itu dengan lengan baju yang direntangkan, dan
serunya, "Ah, kau"oh, kau berlumuran darah!"
"D"diam kau, tolol! Matikan lampu"yang di dalam juga." Hampir ia tak dapat mengeluarkan
kata-kata, karena terengah-engah. Ia menoleh sekali lagi ke belakang, dan meluncur
terus melewati perempuan itu. Perempuan itu mematikan obor dan bergegas mengejarnya.
Begitu Musashi sampai di pondok itu, tak satu cahaya pun tampak.
"Buka!" teriaknya. Ia marah, bukan karena dianggap orang tolol, atau karena serangan
pengecut yang dilancarkan kepadanya, melainkan karena orang-orang seperti itu setiap
hari mendatangkan kerugian besar kepada musafir yang tak bersalah.
Sebetulnya bisa saja ia merusak tirai hujan yang terbuat dari kayu itu, tapi ia tidak
mau menyerang dari depan, hingga bagian belakangnya bisa berada dalam bahaya, melainkan
secara hati-hati menjaga jarak dua-tiga meter.
"Buka!" Karena tak ada jawaban, dipungutnya batu terbesar yang dapat diangkatnya, dan
dilontarkannya ke tirai itu. Batu menghantam celah antara dua papan, hingga lelaki dan
perempuan itu sempoyongan masuk rumah. Sebilah pedang terbang dari bawah mereka,
disusul lelaki itu merangkak di lantai. Tapi ia cepat dapat berdiri kembali dan
mengundurkan diri ke dalam rumah. Musashi meloncat maju dan menangkap belakang
kimononya. "Jangan bunuh aku! Ampun!" mohon Gion Toji. Suaranya merengek seperti suara bangsat
kecil-kecilan. Segera kemudian ia berhasil berdiri lagi, dan mencoba menemukan titik lemah Musashi.
Musashi menangkis setiap gerakannya, tapi ketika ia mendesak terus ke depan untuk
mengimpit lawan, Toji mengerahkan segala kekuatannya dan menarik pedang pendeknya,
serta membuat tusukan keras. Musashi mengelak dengan cekatan, menyapunya dengan kedua
lengannya. dan dengan teriakan menghina membantingnya ke kamar sebelah. Lengan atau
kakinya barangkali menghantam penggantung kuali, karena tiang bambu tempat
bergantungnya kuali itu patah. Suaranya berderak. Abu putih mengepul naik dari
perapian, seperti asap gunung berapi.
Rentetan benda yang dilemparkan menerjang asap dan abu memaksa Musashi bertahan. Ketika
abu sudah turun, ia lihat lawannya sudah bukan lagi kepala bandit yang kini sudah
telentang di dekat dinding. Sambil memaki-maki, perempuan itulah yang melemparkan
segala yang dapat dipegangnya-tutup kuali, kayu bakar, supit logam, mangkuk teh.
Musashi melompat ke depan dan cepat mengimpitnya ke lantai, tapi perempuan itu berhasil
menarik tusuk konde dari rambutnya dan menusuk Musashi. Musashi menginjakkan kakinya ke
pergelangan tangan perempuan itu, dan perempuan itu mengertakkan giginya, kemudian
berteriak marah dan muak kepada Toji yang sudah tak sadar, "Tak punya nyali kau"
Bagaimana mungkin kau kalah dari orang tak punya nama macam ini?"
Mendengar suaranya, Musashi tiba-tiba menarik napas panjang dan melepaskannya.
Perempuan itu bangkit berdiri, mencabut pedang pendeknya, dan menerjangnya.
"Hentikan, Bu," kata Musashi.
Kaget mendengar nada biasa yang sopan itu, perempuan itu berhenti dan melongo melihat
Musashi. "Lho, ini... inikan Takezo!"
Dugaan Musashi benar. Di luar Osugi, satu-satunya perempuan yang masih mungkin
menyebutnya dengan nama kecilnya adalah Oko.
"Oh, benar Takezo!" seru Oko, suaranya jadi manis sekali. "Namamu sekarang Musashi,
kan" Kau sudah jadi pemain pedang besar, ya?"
"Apa kerja Ibu di tempat macam ini?"
"Malu aku mengatakannya."
"Apa yang terbaring itu suami Ibu?"
"Kau tentunya mengenal dia. Itulah sisa orang yang namanya Gion Toji."
"Itu Toji?" bisik Musashi. Ia pernah mendengar di Kyoto bahwa Toji adalah bajingan yang
telah mengantongi uang yang dikumpulkannya untuk memperbesar perguruan dan melarikan
diri dengan Oko. Namun, melihat manusia yang sudah jadi rongsokan di dekat dinding itu,
tak dapat tidak ia merasa kasihan. "Lebih baik Ibu urus dia," katanya, "Kalau saya tahu
dia suami Ibu, tak akan saya berlaku kasar kepadanya."
"Oh, ingin aku merangkak masuk lubang, menyembunyikan diri," kata Oko, tersenyum palsu.
Ia pergi ke sisi Toji, memberikan air, dan membalut luka-lukanya. Ketika Toji mulai
siuman, ia pun bercerita siapa Musashi.
"Apa?" teriaknya parau. "Miyamoto Musashi" Orang yang... oh, memalukan!" Sambil menutup
muka dengan tangan, ia meringkuk hina-dina.
Musashi melupakan kemarahannya, dan membiarkan dirinya diperlakukan sebagai tamu
terhormat. Oko menyapu lantai, membereskan perapian, memasukkan kayu api baru, dan
menghangatkan sake. Sambil mengangsurkan mangkuk kepada Musashi, katanya santun, "Kami tak dapat
menyuguhkan apa-apa, tapi..."
"Saya sudah cukup makan-minum di warung teh tadi," jawab Musashi sopan. "Tak usah
repot-repot." "Tapi kuharap kau mau makan makanan yang kusiapkan. Begitu lama kita tidak bertemu." Ia
menggantungkan kuali rebusan pada gantungan kuali, kemudian duduk di samping Musashi
dan menuangkan sake. "Ini mengingatkan saya pada masa lalu di Gunung Ibuki," kata Musashi ramah.
Angin keras bertiup. Walaupun tirai-tirai sudah kembali ke tempat masing-masing, angin
bertiup masuk lewat berbagai celah dan mempermainkan asap perapian, sementara asap itu
naik ke langit-langit. "Tak usah aku diingatkan pada waktu itu," kata Oko. "Tapi apa kau mendengar sesuatu
tentang Akemi" Bisa kau memperkirakan di mana dia sekarang?"
"Saya dengar dia menginap beberapa hari di penginapan Gunung Hiei. Dia dan Matahachi
rencananya akan ke Edo. Tapi rupanya dia lari membawa semua uang Matahachi."
"Oh?" kata Oko kecewa. "Dia juga!" Dan ia menatap lantai, dengan sedih membandingkan
hidup anaknya dengan hidupnya sendiri.
Ketika Toji sudah cukup pulih, ia menggabungkan diri dengan mereka dan minta maaf
kepada Musashi. Menurut pengakuannya, ia bertindak atas dorongan seketika, dan sekarang
ia menyesalinya. Ia meyakinkan tamunya bahwa akan tiba waktu baginya untuk kembali
memasuki masyarakat sebagai Gion Toji yang pernah dikenal dunia.
Musashi diam saja, tapi sebenarnya ia ingin mengatakan bahwa tak banyak yang dapat
dipilih antara Toji samurai dan Toji bandit. Tapi kalau Toji benar-benar kembali ke
kehidupan prajurit, jalanan akan jauh lebih aman bagi para musafir.
Dengan sikap agak lunak karena sake, katanya pada Oko, "Saya pikir akan bijaksana kalau


Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ibu meninggalkan cara hidup yang berbahaya ini."
"Kau benar, tapi tentu saja saya hidup macam ini bukan atas dasar pilihan. Ketika
meninggalkan Kyoto, kami bermaksud mengadu untung di Edo. Tetapi di Suwa, Toji mulai
berjudi dan menghabiskan semua uang kami-uang perjalanan. Aku bermaksud mengusahakan
moxa, karena itu kami mulai mengumpulkan ramuan dan menjualnya di kota. Oh, aku sudah
cukup banyak mengikuti rencana-rencananya buat kaya mendadak. Sesudah peristiwa malam
ini, aku muak." Seperti biasa, beberapa tegukan sake mendatangkan nada genit dalam
pembicaraannya, dan mulailah ia memasang pesona.
Oko adalah jenis perempuan yang umurnya tidak bisa ditentukan, dan ia masih berbahaya.
Seekor kucing rumahan akan bermain dengan sikap malu-malu di pangkuan tuannya, selama
diberi makan dan dipelihara, tapi kala dilepaskan di pegunungan, seketika ia akan
mencari mangsa malam hari dengan mata menyala, siap berpesta bangkai atau mengoyak
daging hidup para musafir yang jatuh sakit di pinggir jalan. Oko mirip sekali dengan
kucing. "Toji," katanya mesra, "menurut Takezo, Akemi pergi ke Edo. Apa kita tak bisa pergi ke
sana, dan hidup seperti manusia lagi" Kalau kita dapa: menemukan Akemi, aku yakin kita
akan dapat menemukan usaha yang menguntungkan buat kita."
"Barangkali juga," terdengar jawaban lesu. Toji memeluk lutut sambil merenung.
Barangkali, bahkan bagi Toji, pikiran yang hendak dikemukakan Oko itu"menjajakan tubuh
Akemi"terasa sedikit kasar. Sesudah hidup dengan perempuan ganas ini, Toji sendiri
sudah mulai merasa malu sebagaimana Matahachi.
Untuk Musashi, ekspresi wajah Toji tampak pedih. Wajah itu mengingatkannya kepada
Matahachi. Ia bergidik saat teringat bagaimana ia pernah dipikat oleh pesona perempuan
itu. "Oko," kata Toji sambil mengangkat kepala. "Sebentar lagi slang. Musashi barangkali
lelah. Bagaimana kalau disiapkan tempat untuknya di kamar belakang, supaya dia dapat
beristirahat?" "Tentu." Sambil melirik dengan mata hampir mabuk kepada Musashi, ia berkata, "Kau mesti
hati-hati, Takezo. Di belakang sana gelap."
"Terima kasih. Barangkali saya bisa tidur sedikit."
Musashi mengikuti perempuan itu menyusuri gang gelap ke belakang rumah. Kamar itu
rupanya kamar tambahan untuk pondok tersebut. Dari bawah, ruangan itu didukung oleh
sejumlah balok, dan dibangun menjorok ke atas lembah. Dari dinding luar ke sungai
tingginya sekitar dua puluh meter. Udara di situ lembap, akibat kabut dan cipratan air
yang mengembus masuk dari air terjun. Tiap kali deru angin meningkat sedikit, ruangan
kecil itu berguncang seperti perahu.
Kaki Oko yang putih kembali melintasi lantai berbilah gang terbuka itu, ke kamar
perapian. "Sudah tidur dia?"
"Kupikir begitu," jawab Oko sambil berlutut di samping Toji, lalu berbisik ke
telinganya, "Apa yang mau kaulakukan?"
"Panggil yang lain-lain."
"Kau mau melaksanakannya?"
"Tentu saja! Ini bukan hanya soal uang. Kalau aku bunuh si bangsat itu, berarti aku
membalaskan dendam Keluarga Yoshioka."
Oko menyingsingkan rok kimononya, dan pergi ke luar rumah. Di bawah langit tak
berbintang, jauh di pegunungan itu, ia berlari kencang melintas angin hitam, seperti
kucing setan, rambut panjangnya berkibar-kibar.
Sudut dan celah di sisi gunung itu tidak hanya dihuni oleh burung dan binatang liar.
Sambil berlari, Oko berhubungan dengan lebih dari dua puluh anggota gerombolan Toji.
Karena sudah terlatih dalam penggerebekan malam, gerakan mereka lebih tenang daripada
daun yang mengapung, menuju tempat di depan pondok.
"Cuma satu orang?"
"Samurai?" "Ada uangnya?" Percakapan yang dilakukan dengan berbisik itu diiringi gerak-gerik penjelasan dan
gerakan mata. Sambil membawa bedil, belati, dan lembing yang biasa dipakai oleh pemburu
babi hutan, sebagian dari mereka mengepung kamar belakang. Sekitar separuhnya turun ke
lembah, dan dua orang berhenti di tengah, tepat di bawah kamar.
Lantai kamar itu tertutup tikar gelagah. Sepanjang salah satu dindingnya terdapat
tumpukan-tumpukan kecil ramuan kering yang rapi, juga kumpulan lumpang dan alat-alat
lain untuk membuat obat. Musashi merasa terhibur mencium bau ramuan yang menyenangkan.
Bau itu seolah mengajaknya memejamkan mata dan tidur. Tubuhnya terasa tumpul dan
membengkak sampai ujung-ujung anggota badan. Tapi ia sadar, tidak boleh menyerah pada
ajakan manis itu. Ia sadar, ada sesuatu yang akan terjadi. Pengumpul ramuan dari Mimasaka tak pernah
memiliki lumbung macam ini. Lumbung mereka tak pernah terletak di tempat berkumpulnya
kelembapan, dan selamanya jauh dari tumbuh-tumbuhan berdaun rimbun. Dari terang cahaya
lampu kecil yang terletak di sebuah mangkuk penumbuk di samping bantal, ia melihat
sesuatu yang menarik perhatiannya. Siku-siku logam yang mengikat kamar itu pada sudutsudutnya dikelilingi sejumlah besar lubang paku. Ia juga dapat melihat permukaan kayu
yang masih baru, yang sebelumnya tentunya tertutup meja-kursi. Maka tidak mungkin
keliru makna yang tersembunyi di situ. Kamar itu pernah dibangun kembali, barangkali
berulang kali. Senyuman kecil tersungging di bibirnya, tapi ia tak bergerak.
"Takezo," panggil Oko lembut. "Kau tidur, ya?" Digesernya pintu shoji pelan-pelan, lalu
la berjingkat menuju kasur dan meletakkan nampan di dekat kepala Musashi. "Kutaruh air
minum buatmu di sini," katanya. Musashi tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa ia masih
terjaga. Ketika Oko kembali ke pondok, Toji berbisik, "Semuanya beres?"
Sambil memejamkan mata sebagai penekanan, jawab Oko, "Dia tidur lelap."
Dengan pandangan puas, Toji bergegas ke luar, menuju belakang pondok. Di situ ia
melambaikan sumbu bedil yang sudah dinyalakan. Melihat itu, orang-orang yang ada di
bawah menarik tiang-tiang pendukung kamar tersebut, hingga kamar runtuh ke dalam
lembah, dinding-dindingnya, kerangkanya, blandar bubungannya, semuanya.
Sambil bersorak penuh kemenangan, yang lain-lain meloncat dari tempat-tempat
persembunyian, seperti pemburu keluar dari persembunyian buatan, dan menyerbu tepi
sungai. Langkah berikutnya adalah memungut mayat dan harta milik korban reruntuhan.
Sesudah itu, soal kecil mengumpulkan kepingan-kepingan kamar dan membangunnya kembali.
Bandit-bandit itu berloncatan ke timbunan papan dan tiang, seperti anjing menyerbu
tulang. Bandit-bandit lain yang datang dari atas bertanya, "Sudah ketemu mayatnya?"
"Belum!" "Mestinya di sekitar sini."
Toji berteriak keras, "Barangkali membentur batu atau yang lain waktu jatuh, dan
terlempar ke samping. Cari."
Batu-batuan, air, pepohonan, dan tumbuh-tumbuhan di dalam lembah itu jadi berwarna
merah terang. Diiringi pekikan terkejut, Toji dan para begundalnya memandang ke atas,
nyala terang menyembur dari pintu-pintu, jendela-jendela, dinding-dinding, dan atap
pondok. Pondok itu berubah menjadi bola api yang sangat besar.
"Cepat! Lekas! Kembali ke atas sini!" Panggilan yang merobek telinga itu datang dari
Oko, dan kedengaran seperti lolongan seorang perempuan yang sudah gila.
Pada waktu orang-orang itu naik sampai ke batu karang, nyala api sudah menari-nari
dengan hebatnya karena angin. Oko berdiri dalam keadaan terikat erat pada sebatang
pohon, terkena hujan bunga api dan arang.
Semua orang tertegun. Musashi lenyap" Bagaimana caranya" Bagaimana mungkin ia mengecoh
mereka semua" Toji patah semangat. Ia bahkan tidak memerintahkan orang-orangnya mengejar. Sudah
banyak ia mendengar tentang Musashi, dan ia tahu, mereka takkan dapat menangkapnya.
Tapi, atas kemauan sendiri, bandit-bandit itu cepat menyusun rombongan-rombongan
pencari, dan terbang ke seluruh penjuru. Mereka tidak menemukan jejak Musashi.
*** 61. Bermain Api TIDAK seperti jalan-jalan utama yang lain, tidak ada pepohonan mengapit jalan raya
Koshu, yang menghubungkan Shiojiri danEdo lewat Provinsi Kai. Jalan yang dipergunakan
untuk keperluan militer selama abad enam belas itu tidak memiliki jaringan jalan
belakang sejenis jaringan Nakasendo, dan belum lama ditingkatkan menjadi jalan utama.
Untuk musafir yang datang dari Kyoto atau Osaka, ciri yang paling tidak menyenangkan
pada jalan raya Koshu itu adalah tidak adanya penginapan dan tempat makan yang baik.
Pesanan makanan bekal paling-paling dapat dipenuhi dengan lempengan kue betas
terbungkus daun bambu yang tidak membangkitkan selera, atau bahkan lebih tidak
merangsang lagi dari itu, kepalan nasi putih terbungkus daun ek kering. Walaupun
makanan di situ sederhana sekalibarangkali tidak banyak bedanya dengan makanan zaman
Fujiwara beberapa ratus tahun sebelum itu-penginapan-penginapan kasar itu dikerumuni
banyak tamu juga, kebanyakan menuju Edo.
Sekelompok musafir sedang beristirahat di atas Celah Kobotoke. Seorang dari mereka
berseru, "Lihat, ada satu rombongan lagi." Yang dimaksud adalah pemandangan yang hampir
setiap hari dinikmatinya bersama temantemannya-serombongan pelacur yang sedang dalam
perjalanan dari Kyoto ke Edo.
Gadis-gadis itu jumlahnya sekitar tiga puluh orang, sebagian umur dua puluhan atau awal
tiga puluhan, dan setidak-tidaknya ada lima yang umurnya belasan tahun. Bersama sekitar
sepuluh orang yang mengelola atau melayani, mereka mirip keluarga besar. Di samping
mereka masih ada beberapa ekor kuda beban yang dimuati segala macam barang, mulai dari
keranjang anyaman kecil sampai peti-peti kayu sebesar orang.
Kepala "keluarga", yaitu seorang lelaki berumur sekitar empat puluh tahun, sedang
berbicara kepada gadis-gadisnya. "Kalau sandal jerami kalian bikin melepuh, ganti
dengan zori, tapi mesti diikat baik-baik, supaya tidak lepas ke sana-sini. Dan jangan
lagi mengeluh tak dapat berjalan terus. Lihat saja anak-anak di jalanan itu!" Jelas
dari nada bicaranya yang masam bahwa orang itu mengalami kesulitan dalam memaksa orangorang tanggungan yang biasanya tak pernah bepergian itu untuk terus berjalan.
Orang itu, yang bernama Shoji Jinnai, adalah penduduk asli Fushimi keturunan samurai,
yang karena alasan-alasan pribadi meninggalkan kehidupan militer dan menjadi pemilik
rumah pelacuran. Karena biasa cepat berpikir, banyak akal, ia berhasil memperoleh
dukungan dari Tokugawa Ieyasu yang sering tinggal di Benteng Fushimi. Ia tidak hanya
memperoleh izin memindahkan usahanya ke Edo, tetapi juga dapat meyakinkan banyak rekan
seusahanya untuk berbuat demikian juga.
Di dekat puncak Kobotoke, Jinnai menyuruh iring-iringannya berhenti, katanya, "Sekarang
ini masih pagi, tapi kita dapat makan siang sekarang." Sambil menoleh kepada Onao,
seorang perempuan tua yang jadi semacam induk ayam, ia memerintahkan mengeluarkan
makanan. Keranjang berisi bekal makanan segera diturunkan dari salah satu kuda beban, dan
kepalan nasi terbungkus daun dibagikan kepada para perempuan itu, yang kemudian
berpencar mengistirahatkan diri. Debu yang membuat kuning kulit mereka juga membuat
rambut mereka yang hitam menjadi hampir putih, sekalipun mereka mengenakan caping jalan
bertepi lebar atau mengikatkan saputangan ke kepala. Karena tidak ada teh, acara makan
itu diiringi banyak jilatan lidah dan isapan gigi. Tidak tampak di situ tipu muslihat
seksual atau getaran cinta. "Tangan siapa yang akan memeluk kembang merah padam ini
malam nanti?" Benar-benar kata-kata yang terasa tidak pada tempatnya.
"Oh, enak sekali!" teriak salah seorang anak buah Jinnai yang masih muda, dengan
gembiranya. Nada suaranya itu kiranya bisa mendatangkan air mata ibunya.
Perhatian dua-tiga orang lainnya mengembara dari makan siang itu, dan terpusat pada
seorang samurai muda yang lewat. "Tampan dia, ya?" bisik seorang.
"Ya, lumayan," jawab yang lain, yang lebih duniawi pandangannya.
Yang ketiga menyambut, "Ah, aku kenal dia itu. Dia biasa datang ke tempat kami, dengan
orang-orang dari Perguruan Yoshioka."
"Yang mana yang kamu bicarakan itu?" tanya lainnya, yang matanya bernafsu.
"Yang muda itu, yang tegap jalannya, membawa pedang panjang di punggungnya."
Tak sadar akan kekaguman orang-orang itu, Sasaki Kojiro terus berusaha lewat saja di
antara barisan kuli dan kuda beban.
Satu suara tinggi mencumbu berseru, "Pak Sasaki! Ke sini, Pak Sasaki!"
Karena banyak orang yang bernama Sasaki, maka Kojiro sama sekali tidak menoleh.
"Bapak yang pakai jambul!"
Alis Kojiro naik, dan ia memutar badan.
"Jaga lidahmu!" teriak Jinnai marah. "Kau terlalu kasar." Tapi ketika ia menengadah
dari makannya, dikenalinya Kojiro.
"Ya, ya," katanya sambil bangkit cepat-cepat. "Kalau tidak salah, ini teman saya
Sasaki! Ke mana Anda pergi, kalau boleh saya bertanya?"
"Oh, halo! Anda pemilik Sumiya, kan" Saya dalam perjalanan ke Edo. Dan bagaimana dengan
Anda" Anda rupanya pindah besar-besaran, ya?"
"Betul. Kami pindah ke ibu kota baru."
"Betul" Anda yakin dapat kemajuan di sana?"
"Tak ada yang bisa tumbuh di air yang tak mengalir."
"Kalau melihat perkembangan Edo, saya bayangkan di sana banyak pekerjaan untuk pekerja
bangunan dan pandai senapan. Tapi hiburan yang elok" Masih meragukan, apa di sana
banyak permintaan." "Anda salah sangka. Para perempuan sudah menciptakan kota Osaka, sebelum Hideyoshi
mulai memperhatikannya."
"Barangkali juga, tapi di tempat sebaru Edo itu, barangkali menemukan rumah yang cocok
saja pun Anda tak bisa."
"Keliru lagi. Pemerintah sudah menyisihkan tanah rawa di tempat yang namanya Yoshiwara
untuk orang-orang dari bidang saya. Rekan-rekan saya sudah masuk, membuat jalan-jalan,
dan membangun rumah. Dari laporan yang saya peroleh, saya akan dapat dengan mudah
memperoleh tempat di pinggir jalan yang baik."
"Maksud Anda, Keluarga Tokugawa memberikan tanahnya" Cuma-cuma?"
"Tentu. Siapa mau bayar tanah rawa" Pemerintah bahkan menyediakan sebagian bahan
bangunannya." "Oh, begitu. Tidak heran, Anda semua meninggalkan daerah Kyoto."
"Dan bagaimana dengan Anda" Atau Anda sudah punya bayangan mendapat kedudukan pada
seorang daimyo?" "Ah, tidak. Tak ada yang seperti itu. Saya akan menerimanya, kalau ada tawaran. Saya
cuma ingin melihat apa yang terjadi di Edo, karena tempat itu menjadi tempat semayam
shogun, dan di masa depan dari situlah asalnya macam-macam perintah. Tentu saja
sekiranya saya diminta menjadi instruktur shogun, mungkin saya terima."
Jinnai bukan orang yang dapat menilai ilmu permainan pedang, tetapi penglihatannya atas
manusia sangatlah tajam. Menurut pikirannya, lebih baik ia tidak memberikan komentar
atas kecongkakan Kojiro yang tak terkendalikan itu. Karena itu, ia memalingkan muka dan
mulai menyuruh anak buahnya bergerak. "Sudah waktunya kita jalan lagi."
Onao menghitung kepala orang-orang itu, dan katanya, "Rupanya kita kehilangan satu
orang. Siapa kali ini" Kicho" Atau barangkali Sumizome. Tidak, mereka berdua ada di
sana. Aneh. Siapa rupanya?"
Karena tak suka berteman jalan rombongan pelacur, Kojiro berjalan sendiri.
Beberapa gadis yang pulang dari mencari gadis yang hilang itu kini kembali ke tempat
Onao. Jinnai menyatukan diri dengan mereka. "Sini, sini, Onao, jadi yang mana yang hilang?"
"Ah, saya tahu sekarang. Yang namanya Akemi," jawabnya menyesal, seakan-akan kesalahan
itu ia yang melakukan. "Yang Bapak ambil di jalan, di Kiso itu."
"Tentunya masih di sekitar tempat ini."
"Kami sudah mencari di mana-mana. Dia tentunya sudah lari."
"Ah, aku tak punya perjanjian tertulis dengan dia, dan aku juga tidak meminjamkan 'uang
badan' kepadanya. Dia bilang dia mau, dan karena wajahnya cukup menarik untuk
dipasarkan, kuambil dia. Sekalipun kukira dia sudah menghabiskan biaya jalan yang
lumayan, tapi tak banyak, jadi tak perlu kuatir. Biarkan saja dia. Ayo kita jalan."
Dan mulailah ia menggiring rombongannya. Ia ingin sampai di Hachioji dalam sehari,
sekalipun itu berarti berjalan sesudah matahari terbenam. Kalau mereka dapat berjalan
sejauh itu, mereka akan sampai di Edo hari berikutnya.
Tidak lama kemudian, Akemi muncul kembali dan menggabungkan diri dengan mereka.
"Di mana kamu tadi?" tanya Onao marah. "Kau tak boleh berkeliaran ke mana-mana tanpa
mengatakan ke mana kau pergi. Kecuali kalau kau mau meninggalkan kami." Perempuan tua
itu lalu menjelaskan dengan cara yang menurutnya benar, bahwa mereka semua sudah kuatir
dengan Akemi. "Ibu tak mengerti," kata Akemi. Cacian perempuan tua
mengikik. "Ada lelaki yang saya kenal di jalan tadi,
olehnya. Saya lari ke rumpun bambu, tapi tak tahu di
sampai ke dasar." Ia menguatkan keterangannya dengan
dan sikunya yang terkelupas. Namun selagi ia memohon
menunjukkan sedikit pun tanda menyesal.
itu hanya disambutnya dengan tawa
dan saya tidak ingin dilihat
situ ada turunan. Saya tergelincir
mengangkat kimononya yang sobek
maaf itu, wajahnya tidak Dari kedudukannya yang hampir di depan, Jinnai sudah mendengar tentang apa yang
terjadi, dan memanggil Akemi. Dengan garang katanya, "Namamu Akemi, kan" Akemi... ini
nama yang sukar diingat. Kalau kau betul-betul mau berhasil dalam usaha ini, kau mesti
mencari nama yang lebih baik. Coba katakan, apa kau sudah betul-betul mengambil
keputusan akan kerja di sini?"
"Apa menjadi pelacur itu membutuhkan keputusan?"
"Ini bukan hal yang dapat kaujalani sekitar sebulan, kemudian kau pergi. Dan kalau kau
menjadi anggotaku, kau mesti memberikan apa yang diminta para langganan, suka atau
tidak suka. Jadi, jangan sampai keliru soal ini."
"Buat saya, semua itu sudah tak ada bedanya. Orang-orang lelaki sudah bikin hidup saya
berantakan."

Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Itu sama sekali bukan sikap yang benar. Coba pikirkan soal ini baik-baik. Kalau kau
berubah pendirian sebelum sampai Edo, itu baik. Aku takkan minta kau mengembalikan
biaya makan dan penginapan."
Hari itu juga, di Kuil Yakuoin di Takao, seorang lelaki tua yang agaknya baru lepas
dari himpitan urusan usahanya, akan mulai menikmati bagian santai perjalanannya. Ia,
pembantunya, dan seorang anak lelaki umur sekitar lima belas tahun, datang di sana
malam sebelumnya dan meminta penginapan. Ia dan anak lelaki itu sudah mengelilingi
kompleks-kompleks kuil sejak pagi-pagi benar. Sekarang sekitar tengah hari.
"Pergunakan ini untuk memperbaiki atap, atau apa saja yang perlu," katanya. Ia
menyerahkan kepada salah seorang pendeta itu tiga mata uang emas besar.
Pendeta kepala, yang mendapat berita tentang hadiah itu, demikian terkesan oleh
kemurahan hati si dermawan, hingga ia bergegas keluar untuk bertukar salam. "Barangkali
Anda akan meninggalkan nama?" katanya.
Pendeta lain mengatakan bahwa hal itu sudah dilakukan, dan menunjukkan kepadanya
tulisan dalam daftar kuil, yang bunyinya, "Daizo dari Narai, pedagang ramuan, tinggal
di kaki Gunung Ontake, di Kiso."
Pendeta kepala meminta maaf dengan sangat atas rendahnya mutu makanan yang dihidangkan
oleh kuil, karena Daizo dari Narai dikenal di seluruh negeri sebagai penyumbang yang
dermawan kepada tempat-tempat suci dan kuil-kuil. Pemberiannya selalu berbentuk mata
uang emas-dalam beberapa peristiwa, kata orang, bahkan mencapai jumlah beberapa lusin.
Hanya ia seorang yang mengetahui, apakah ia melakukan itu untuk hiburan, untuk mencari
nama baik, ataukah karena kesalehan.
Pendeta ingin sekali Daizo tinggal lebih lama, dan memohon kepadanya untuk melihatlihat kekayaan kuil, suatu hak istimewa yang hanya diberikan kepada beberapa orang.
"Saya takkan lama di Edo," kata Daizo. "Dan saya akan datang melihatnya lain kali."
"Tentu, tentu, tapi setidaknya mari saya temani ke gerbang luar," desak pendeta itu.
"Apakah Anda punya rencana menginap di Fuchu malam ini?"
"Tidak, di Hachioji."
"Kalau begitu, ini perjalanan yang mudah."
"Tapi siapa penguasa Hachioji sekarang?"
"Baru-baru ini diletakkan di bawah administrasi Okubo Nagayasu."
"Dia dulunya hakim di Nara, kan?"
"Ya, benar. Tambang emas di Pulau Sado juga di bawah pengawasannya. Dia kaya raya."
"Orang pandai nampaknya."
Hari masih terang ketika mereka sampai di kaki pegunungan itu, dan berdiri di jalan
utama yang ramai di Hachioji, di mana kabarnya terdapat tidak kurang dari dua puluh
lima penginapan. "Nah, Jotaro, di mana kita menginap?"
Jotaro, yang menempel terus di sisi Daizo seperti bayangan, memberi isyarat dengan
tanda-tanda terang, bahwa ia lebih menyukai "di mana saja, asalkan tidak di kuil."
Daizo memilih penginapan yang paling besar dan paling mengesankan. Ia masuk dan memesan
kamar. Pemunculannya yang lain daripada yang lain, dan peti perjalanannya yang anggun,
dipernis dan didukung pelayan itu, menimbulkan kesan memikat pada kerani kepala. Kerani
kepala berkata dengan nada menjilat, "Wah, Bapak datang dini sekali?" Penginapanpenginapan sepanjang jalan raya memang terbiasa menerima rombongan musafir pada waktu
makan malam, atau bahkan lebih malam.
Daizo diantar ke sebuah kamar besar di tingkat pertama, tapi tak lama sesudah matahari
terbenam, pemilik penginapan dan kerani kepala datang ke kamar Daizo.
"Saya tahu ini sangat tidak menyenangkan," pemilik penginapan memulai dengan rendah
hati, "tapi satu rombongan besar tamu datang tiba-tiba sekali. Saya takut suasana di
sini akan ribut bukan main. Kalau Bapak tidak keberatan, saya persilakan sebuah kamar
di tingkat dua..." "Oh, tidak apa-apa," jawab Daizo ramah. "Saya senang melihat usaha Anda maju."
Daizo memberikan isyarat kepada Sukeichi, pelayannya, agar mengurus barang bawaannya,
dan ia naik ke atas. Begitu ia pergi, ruang itu pun diserbu perempuan-perempuan dari
Sumiya itu. Penginapan jadi tidak sekadar sibuk, tapi ingar-bingar. Karena ributnya keadaan di
bawah, para pelayan tidak datang pada waktu dipanggil. Makan malam terlambat, dan
ketika mereka selesai makan, tak seorang pun datang untuk menyingkirkan pinggan dan
mangkuk. Belum lagi suara entakan kaki yang tak henti-hentinya di kedua lantai. Hanya
rasa simpati Daizo kepada orang upahan saja yang membuat ia tidak kehilangan kesabaran.
Tanpa menghiraukan pinggan-mangkuk yang masih berantakan di kamar, ia membaringkan
diri, tidur berbantal tangan. Beberapa menit kemudian, tiba-tiba terpikir olehnya
sesuatu, dan la memanggil Sukeichi.
Sukeichi tidak muncul, karena itu Daizo membuka mata, duduk dan berseru, "Jotaro,
sini!" Tapi Jotaro pun sudah lenyap.
Daizo berdiri dan pergi ke beranda. Dilihatnya beranda penuh deretan tamu yang gembira
menonton para pelacur di lantai pertama.
Melihat Jotaro ada di antara para penonton, direnggutkannya anak itu kembali ke
kamarnya. Dengan sorot mata menakutkan, ia bertanya, "Apa yang kautatap itu?"
Pedang kayu panjang yang tidak dilepas Jotaro, sekalipun di dalam ruangan, menggaruk
tatami ketika ia duduk. "Semua orang melihat," katanya.
"Tapi apa yang mereka lihat?"
"Ada banyak perempuan di kamar belakang, di bawah."
"Cuma itu?" "Ya." "Apa pula yang menyenangkan, kalau cuma itu?" Hadirnya para pelacur itu sama sekali
tidak mengganggu Daizo, tapi karena alasan tertentu, ia merasa bahwa niat besar para
lelaki yang menganga melihat mereka itu menjengkelkan.
"Saya tidak tahu," jawab Jotaro jujur.
"Aku mau jalan-jalan keliling kota," kata Daizo. "Sementara aku pergi, kau tinggal di
sini." "Saya tak boleh ikut?"
"Waktu malam tidak."
"Kenapa tak boleh?"
"Seperti kukatakan sebelumnya, kalau aku pergi jalan-jalan, itu bukan sekadar buat
menyenangkan diri." "Apa belum cukup yang Bapak dapat dari tempat-tempat suci dan kuilkuil itu pada siang
hari" Pendeta-pendeta juga tidur waktu malam."
"Agama itu lebih dari sekadar tempat suci dan kuil, anak muda. Sekarang panggil
Sukeichi kemari. Dia bawa kunci peti perjalananku."
"Dia pergi turun beberapa menit lalu. Saya lihat dia mengintip ke kamar perempuanperempuan itu."
"Oh, dia juga?" seru Daizo, mendecapkan lidahnya. "Pergi sana panggil dia, dan cepat!"
Sesudah Jotaro pergi, Daizo mulai mengikatkan obi-nya.
Mendengar bahwa perempuan-perempuan itu adalah pelacur Kyoto yang terkenal
kecantikannya dan kecakapannya dalam melakukan segala sesuatu, maka tamu-tamu lelaki
tak dapat berhenti memestakan mata mereka. Sukeichi demikian asyik melihat pemandangan
itu, hingga mulutnya masih menganga ketika Jotaro menemukannya.
"Ayo, sudah cukup kau melihat!" bentak anak itu sambil menjewer telinga si pelayan.
"Oh!" pekik Sukeichi.
"Tuanmu memanggil."
"Bohong." "Tak percaya! Dia bilang akan pergi jalan-jalan. Dia selalu jalan-jalan, kan?"
"Ha" Baik, kalau begitu," kata Sukeichi, enggan menolehkan mukanya.
Anak itu membalikkan badan mengikutinya, ketika tiba-tiba saja ada suara memanggilnya,
"Jotaro" Kau Jotaro, kan?"
Suara itu suara perempuan muda. Jotaro menoleh ke sekitar, mencaricari. Harapannya
untuk menemukan gurunya dan Otsu tak pernah lenyap dari hatinya. Mungkinkah mereka" Ia
menatap tegang lewat cabang-cabang rumpun pohon.
"Siapa itu?" "Aku." Wajah yang muncul dari tengah dedaunan itu dikenalnya. "Oh, kau."
Akemi dengan kasar menepuk punggungnya. "Anak bandel! Kan sudah lama betul kita tak
jumpa! Apa kerjamu di sini?"
"Aku bisa juga tanya begitu."
"Oh, aku... ah, tapi itu tak ada artinya buatmu."
"Apa kau jalan sama perempuan-perempuan itu?"
"Betul, tapi aku belum ambil keputusan."
"Ambil keputusan soal apa?"
"Jadi anggota mereka atau tidak," jawab Akemi mengeluh. Lama kemudian baru ia bertanya,
"Apa kerja Musashi sekarang ini?"
Jotaro mengerti, itulah yang sesungguhnya ingin diketahui Akemi. Ia ingin bisa menjawab
pertanyaan itu. "Otsu, Musashi, dan aku... kami terpisah di jalan raya."
"Otsu" Siapa dia?" Baru saja mengucapkan itu, teringat olehnya. "Oh ya, aku tahu. Apa
masih juga dia mengejar-ngejar Musashi?" Akemi sudah terbiasa menganggap Musashi
seorang shugyosha gagah yang mengembara seenak hatinya, hidup di hutan dan tidur di
batu-batu telanjang. Sekalipun misalnya ia berhasil mengejar Musashi, Musashi langsung
dapat mengetahui betapa cabul hidup yang telah ditempuhnya, dan akan menghindarinya.
Sudah lama ia tidak lagi memikirkan bahwa cintanya akan berbalas.
Tetapi disebutnya nama perempuan lain itu membangkitkan perasaan cemburu, dan mengusik
kembali bara naluri cintanya yang sedang sekarat.
"Jotaro," katanya, "di sekitar tempat ini begitu banyak mata yang ingin tahu. Mari kita
pergi ke tempat lain."
Mereka pergi lewat gerbang halaman. Di jalan, mata mereka berpesta menikmati lampulampu Hachioji dan kedua puluh lima penginapannya. Itulah kota tersibuk yang pernah
mereka saksikan semenjak meninggalkan Kyoto. Di sebelah barat laut, menjulang jajaran
Pegunungan Chichibu yang gelap diam, dan pegunungan yang menandai perbatasan Provinsi
Kai, tapi di sini suasana penuh aroma sake, ribut oleh detak-detik buluh penenun,
teriakan pegawai-pegawai pasar, pekik riuh para penjudi, dan rengekan lesu penyanyipenyanyi jalanan.
"Sering aku mendengar Matahachi menyebut nama Otsu," kata Akemi berbohong. "Orang macam
apa dia?" "Oh, dia baik sekali," kata Jotaro seadanya. "Manis, lembut, baik budi, dan cantik. Aku
suka sekali padanya."
Ancaman yang terasa mengawang di atas Akemi jadi bertambah hebat, tapi ia menyelimuti
perasaannya dengan senyuman ramah. "Apa dia memang sebaik itu?"
"Memang. Dan dia dapat melakukan apa saja. Dia dapat menyanyi, dapat menulis dengan
baik, dan dia dapat main suling."
Sekarang Akemi tampak gusar, katanya, "Ah, tapi aku tak melihat gunanya perempuan main
suling." "Kalau kau tak cocok, boleh saja, tapi semua orang memuji Otsu, termasuk Yang Dipertuan
Yagyu Sekishusai. Cuma ada satu hal kecil yang tak kusukai."
"Semua perempuan punya kekurangan. Soalnya cuma, apa mereka mau mengakuinya dengan
jujur, seperti yang kuperbuat, atau mencoba menyembunyikan kekurangan itu di balik
sikap wanita terhormat."
"Otsu bukan orang macam itu. Cuma ada kelemahan kecil pada dia."
"Kelemahan apa?"
"Dia selalu nangis. Betul-betul cengeng."
"Oh" Kenapa begitu?"
"Dia selalu nangis kalau memikirkan Musashi. Akibatnya murung juga ada di dekatnya, dan
itu aku tak suka." Jotaro menyatakan pendapatnya dengan sikap masa bodoh kanak-kanak,
tak sadar akan akibat yang bisa ditimbulkannya.
Hati Akemi dan seluruh tubuhnya terbakar apt cemburu. Hal itu tampak di kedalaman
matanya, bahkan juga pada warna kulitnya. Tapi ia meneruskan pertanyaannya. "Berapa
tahun umurnya?" "Kira-kira sama."
"Maksudmu, sama dengan aku?"
"Ya. Tapi dia kelihatan lebih muda dan lebih manis."
Akemi sekarang nekat menyerang, dengan harapan agar Jotaro menentang Otsu. "Musashi
lebih jantan dari kebanyakan lelaki. Dia tentu benci melihat perempuan yang berlaku tak
pantas terus-menerus. Otsu barangkali mengira air matanya dapat memenangkan simpati
pria, macam gadis-gadis yang bekerja untuk Sumiya."
Jotaro jengkel sekali, dan jawabnya pedas, "Tak benar sama sekali. Pertama-tama,
Musashi suka Otsu. Memang dia tak pernah memperlihatkan perasaannya, tapi dia mencintai
Otsu." Wajah Akemi yang kemerahan itu berubah menjadi merah tua. Ingin ia menceburkan diri ke
sungai, untuk memadamkan nyala api yang membakar dirinya.
"Jotaro, ayo kita ke sini." Ia tarik Jotaro ke arah lampu merah di sebuah jalan kecil.
"Tapi itu tempat minum."
"Lalu, apa salahnya?"
"Itu bukan tempat untuk perempuan. Kau tak boleh pergi ke sana."
"Tiba-tiba saja aku ingin sekali minum, dan aku tak bisa pergi sendiri. Aku malu."
"Kau malu. Tapi aku sendiri bagaimana?"
"Di situ ada makanan juga. Kau bisa makan apa saja yang kausukai."
Sepintas lalu, warung itu kelihatan kosong, Akemi langsung masuk. Sambil menghadap
dinding, katanya, "Saya mau sake."
Mangkuk demi mangkuk diteguk dengan kecepatan yang masih mungkin dicapai manusia.
Kuatir melihat banyaknya Akemi minum, Jotaro mencoba menghambatnya, tapi Akemi
menepiskannya. "Diam!" pekiknya. "Kau ini mengganggu saja! Kasih sake lagi! Sake!"
Sambil menyelipkan diri antara Akemi dan guci sake, Jotaro memohon, "Kau mesti berhenti
sekarang. Kau tak boleh minum terus macam ini."
"Jangan kuatir," kata Akemi cepat. "Kau teman Otsu, kan" Aku tak suka perempuan yang
mencoba menaklukkan lelaki dengan air mata!"
"Dan aku tak suka perempuan mabuk."
"Aku minta maaf, tapi bagaimana mungkin orang kerdil macam kau mengerti kenapa aku
minum?" "Ayolah, bayar saja sekarang."
"Kaupikir aku punya uang?"
"Kau tak punya?"
"Tidak. Barangkali dia bisa ambil uangnya dari Sumiya. Aku toh sudah menjual diri
kepada pemiliknya." Air mata membanjiri mata Akemi. "Aku minta maaf.... Aku betul-betul
minta maaf." "Jadi kau menertawakan Otsu karena nangis, kan" Tapi coba lihat dirimu itu!"
"Air mataku lain dengan air matanya. Oh, hidup ini banyak sekali kesulitannya. Lebih
baik aku mati." Sesudah mengucapkan kata-kata itu, Akemi berdiri dan enyah ke jalan. Tukang warung yang
memang biasa mendapat pembeli macam itu hanya tertawa, tapi seorang ronin yang selama
itu tidur tenang di sudut warung, membuka matanya yang muram dan menatap punggung Akemi
yang kian menjauh. Jotaro mengejarnya dan menangkap pinggangnya, tapi terlepas. Akemi lari masuk jalan
gelap, dan Jotaro mengejarnya.
"Berhenti!" teriak Jotaro kuatir. "Kau tak boleh berpikir begitu. Ayo kembali!"
Akemi kelihatannya tak peduli, apakah ia menubruk sesuatu dalam kegelapan atau jatuh ke
paya-paya, tapi ia sadar sepenuhnya akan permintaan Jotaro. Ketika menceburkan diri ke
laut di Sumiyoshi dulu, ia memang mau bunuh diri, tapi sekarang ia tidak lagi sepolos
dulu. Melihat Jotaro demikian kuatir akan dirinya, ia merasakan getaran nikmat.
"Awas!" teriak Jotaro, ketika melihat Akemi langsung menuju air parit yang kelam.
"Berhenti! Kau mau mati, ya" Gila kau."
Sekali lagi Jotaro menangkap pinggangnya, dan Akemi pun melolong, "Apa salahnya kalau
aku mati" Kaupikir aku jahat. Begitu juga pikir Musashi. Setiap orang berpikir begitu.
Tak ada lagi pilihanku, kecuali mati sambil memeluk Musashi dalam hati. Takkan
kubiarkan dia direbut perempuan macam itu dari tanganku."
"Kau betul-betul kacau. Bagaimana bisa kau jadi begini?"
"Tak peduli. Sekarang tinggal kaudorong aku masuk parit. Ayolah, Jotaro, dorong aku."
Sambil menutup muka dengan kedua tangan, pecahlah tangisnya. Hal itu menimbulkan rasa
ngeri yang aneh dalam diri Jotaro, dan ia merasa ingin menangis juga.
"Ayolah, Akemi. Mari kita pulang."
"Oh, begitu ingin aku melihat dia. Cobalah cari dia Jotaro. Cari Musashi untukku."
"Berdiri diam-diam! Jangan bergerak, berbahaya!"
"Oh, Musashi!" "Awas!" Pada waktu itu, ronin dari warung sake itu muncul dari kegelapan. "Pergi kau, anak
kecil!" perintahnya. "Akan kukembalikan dia ke warung." Ia selipkan tangannya di kedua
ketiak Jotaro, dan dengan kasar ia angkat anak itu ke pinggir.
Ronin itu bertubuh jangkung, umurnya tiga puluh empat atau tiga puluh lima tahun,
matanya dalam dan jenggotnya lebat. Sebuah tanda bekas luka menggores dari bawah
telinga kanan ke dagu. Tidak sangsi lagi, itu luka bekas pedang. Tampaknya seperti
koyakan bergerigi pada buah persik apabila dibuka.
Sambil menelan ludah dengan susah payah untuk mengatasi rasa takutnya, Jotaro mencoba
membujuk. "Akemi, ayolah ikut aku. Semuanya akan beres." Kepala Akemi kini terkulai di
dada samurai itu. "Lihat," kata orang itu, "dia sudah tertidur. Pergi kau! Akan kubawa dia pulang nanti."
"Tidak! Biarkan dia pergi!"
Ketika anak itu menolak beranjak, ronin itu pelan-pelan mengulurkan satu tangannya dan
menangkap kerah Jotaro. "Lepaskan!" jerit Jotaro, melawan sekuat tenaga.
"Bajingan kecil! Bagaimana kalau kau dilemparkan ke parit?"
"Siapa yang melemparkan?" Ia menggeliatkan badan untuk melepaskan diri. Begitu
terlepas, tangannya meraba ujung pedang kayunya. Ia ayunkan pedang itu ke lambung orang
tersebut, tapi ternyata tubuhnya sendiri terjungkir balik dan jatuh ke batu di pinggir
jalan. Ia merintih sejenak, kemudian diam.


Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jotaro pingsan beberapa waktu lamanya, kemudian mulai mendengar suara-suara di
sekitarnya. "Hei, bangun!" "Apa yang terjadi?"
Ketika ia membuka mata, samar-samar tampak olehnya sejumlah orang mengelilinginya.
"Sudah sadar?" "Kau baik-baik saja?"
Malu karena telah menarik perhatian orang banyak, Jotaro memungut pedang kayunya dan
pergi, tapi seorang kerani penginapan mencengkeram tangannya. "Tunggu sebentar,"
salaknya. "Apa yang terjadi dengan perempuan temanmu itu?"
Jotaro memandang ke sekitar, dan ia mendapat kesan bahwa orang-orang yang lain itu juga
dari penginapan, tamu-tamu dan pegawai penginapan. Sebagian orang itu membawa tongkat.
Yang lain memegang lentera kertas bulat.
"Satu orang mengatakan kau diserang, dan seorang ronin membawa pergi perempuan itu. Apa
kau tahu ke mana mereka pergi?"
Jotaro menggeleng. Kepalanya masih pusing.
"Tidak mungkin. Kau mestinya tahu."
Jotaro menuding arah pertama yang dapat ditudingnya. "Sekarang saya ingat. Ke situ!" Ia
enggan mengatakan apa yang sebenarnya terjadi, karena takut mendapat teguran Daizo
gara-gara terlibat soal itu. Ia juga takut mengakui di depan begitu banyak orang bahwa
ronin itu sudah melemparkannya.
Walaupun jawaban itu samar-samar, orang banyak itu bergegas juga ke sana, dan tak lama
kemudian terdengar teriakan. "Ini dia! Ada di sini!"
Lentera-lentera berkerumun di sekitar Akemi. Tubuhnya yang kusut masai terbaring di
tempat ia ditelantarkan, di atas setumpuk jerami dalam lumbung seorang petani. Ia baru
tersadar kembali sesudah mendengar ribut langkah kaki orang berlari, dan ia memaksa
dirinya berdiri. Bagian depan kimononya terbuka, obi-nya tergeletak di tanah. Jerami
menempel pada rambut dan pakaiannya.
"Apa yang terjadi?"
Kata "perkosaan" menggantung di bibir setiap orang, tapi tak ada yang mengucapkannya.
Dan tak seorang pun di antara mereka terpikir akan mengejar bajingan itu. Apa pun yang
terjadi dengan Akemi, mereka merasa ia sendiri yang bersalah.
"Mari kita kembali," kata seseorang sambil menggandeng tangan Akemi. Akemi cepat
menarik dirinya. Ia menempelkan wajahnya ke dinding, dan menangis sedih sekali.
"Rupanya dia mabuk."
"Bagaimana dia bisa sampai begitu?"
Jotaro mengawasi adegan itu dari kejauhan. Apa yang terjadi dengan Akemi tak jelas
baginya, tapi bagaimanapun ia teringat pengalaman yang tak ada hubungannya sama sekali
dengan Akemi. Terkenang kembali olehnya rangsangan yang pernah dialaminya ketika ia
terbaring di lumbung makanan ternak di Koyagyu, bersama Kocha. Terkenang olehnya rasa
takut yang anehnya menggairahkan, rasa takut akan langkah-langkah yang waktu itu sedang
mendekat. Tapi cuma sebentar ia menikmati kenangan itu. "Lebih baik aku kembali,"
katanya memutuskan. Langkahnya menjadi cepat, dan semangatnya yang baru kembali dari wilayah tak dikenal
itu menggerakkannya untuk menyanyikan lagu.
Oh, Budha logam tua yang berdiri di ladang, Kaulihatkah gadis umur enam belas" Tak
kaulihatkah gadis itu" Kalau ditanya, jawabmu "Bung.' Kalau dipukul, katamu 'Bung. "
*** 62. Jangkrik di Rumput JOTARO berjalan dengan langkah santai, tanpa banyak memperhatikan jalan. Tiba-tiba ia
berhenti dan menoleh sekeliling, ingin tahu apakah ia tidak tersesat. "Rasanya aku
belum pernah jalan di sini," pikirnya bingung.
Rumah-rumah samurai melingkari sisa-sisa sebuah benteng kuno. Satu bagian kompleks itu
telah dibangun kembali, sebagai tempat bersemayam resmi Okubo Nagayasu yang belum lama
diangkat, tapi selebihnya daerah yang meninggi seperti bukit alamiah itu masih tertutup
rumput liar dan pepohonan. Kubu-kubu batu di situ sudah runtuh, dijarah oleh tentara
penyerbu bertahun-tahun sebelumnya. Kubu di situ tampak primitif dibandingkan dengan
kompleks benteng empat puluh sampailima puluh tahun terakhir. Tak ada parit benteng,
tak ada jembatan, tak ada barang yang dapat dilukiskan sebagai dinding benteng. Benteng
itu barangkali dulunya milik salah seorang bangsawan setempat, seorang daimyo yang di
masa sebelum perang saudara besar menggabungkan milik pertaniannya dengan kepangeranan
feodal yang lebih besar. Pada satu sisi jalan terdapat sawah-sawah dan rawa-rawa, pada sisi lain dinding-dinding
benteng, dan di sebelah luarnya batu karang. Di atas batu karang itu tentunya dulu
berdiri sebuah benteng. Jotaro berusaha mengetahui posisinya, matanya mengembara menelusuri batu karang.
Kemudian ia lihat ada sesuatu yang bergerak, berhenti, dan kemudian bergerak lagi.
Semula sesuatu itu tampak seperti binatang, tapi segera kemudian bayangan yang bergerak
mencuri-curi itu menjadi sosok seorang manusia. Jotaro menggigil, tapi ia berdiri terus
menatapnya. Orang itu menurunkan tali dengan sangkutan yang diletakkan di puncak karang. Ia
meluncur turun dengan bergantung pada tali itu, dan sesudah mendapat tempat berpijak,
ia guncangkan sangkutan itu sampai lepas, dan ia ulangi lagi proses itu. Sesampainya di
bawah, ia menghilang dalam belukar.
Rasa ingin tahu Jotaro bangkit. Beberapa menit kemudian, ia lihat orang itu berjalan
menyusuri pematang yang memisahkan petak-petak padi, dan agaknya langsung menuju
dirinya. Hampir saja ia panik, tapi kemudian ia merasa tenang melihat bungkusan di
punggung orang itu. "Sungguh membuang-buang waktu! Tak lebih dari seorang petani yang
mencuri kayu api." Pikirnya, orang itu tentunya gila, karena mau membahayakan hidup
dengan mendaki batu karang, sekadar untuk mengambil kayu bakar. Ia juga kecewa. Hal
yang semula misterius, kini jadi membosankan sekali. Tapi kemudian ia mendapat
guncangan kedua. Ketika orang itu berjalan melewati pohon yang dipakainya bersembunyi,
terpaksa ia tergagap. Ia yakin bahwa sosok hitam itu Daizo.
"Ah, tak mungkin," katanya pada diri sendiri.
Orang itu menutup wajahnya dengan kain hitam dan mengenakan celana tanggung petani,
juga pembalut kaki dan sandal jerami ringan.
Orang misterius itu membelok ke jalan setapak yang melingkari bukit. Orang yang
demikian tegap bahunya dan ringan langkahnya tak mungkin berumur lima puluhan,
sebagaimana halnya Daizo. Sesudah meyakinkan dirinya bahwa ia keliru, Jotaro mengikuti
dari belakang. Ia mesti kembali ke penginapan, dan orang itu tanpa disadarinya tentunya
bisa membantunya menemukan jalan.
Ketika orang itu sampai di sebuah tanda jarak jalan, ia menurunkan bungkusannya, yang
sepertinya sangat berat. Ketika ia membungkuk untuk membaca tulisan pada batu itu, ada
hal lain pada orang itu yang memukau Jotaro sebagai hal yang sudah dikenalnya.
Sementara orang itu mendaki jalan setapak naik bukit, Jotaro memeriksa tanda jalan itu.
Di situ terukir kata-kata Pohon Pinus di Bukit Kuburan Kepala-di Atas. Inilah tempat
penduduk setempat menguburkan kepala kriminal dan prajurit yang kalah.
Cabang-cabang pohon pinus yang besar sekali itu tampak jelas pada latar belakang langit
malam. Begitu Jotaro sampai di puncak tanjakan, orang itu sudah duduk di dekat akar
pohon, dan sedang merokok pipa. Daizo! Tak perlu dipersoalkan lagi sekarang. Seorang
petani tak pernah membawa tembakau. Ada memang tembakau yang ditanam di dalam negeri
dan berhasil, tapi jumlahnya demikian terbatas, hingga harganya masih sangat mahal. Di
daerah Kansai yang relatif makmur pun tembakau masih dianggap sebagai kemewahan. Dan di
Sendai, bila Yang Dipertuan Date merokok, juru tulis merasa perlu membuat daftar dalam
buku hariannya, "Pagi tiga rokok, sore empat rokok, sebelum tidur satu rokok."
Di luar persoalan keuangan, kebanyakan orang yang memiliki kesempatan mencoba tembakau,
merasa bahwa tembakau itu membuat mereka pusing, dan bahkan hampir mabuk. Sekalipun
tembakau mendapat penghargaan karena rasanya, pada umumnya ia dianggap narkotika.
Jotaro tahu bahwa jumlah perokok tidak banyak. Ia tahu juga bahwa Daizo adalah salah
seorang perokok itu, karena ia sering melihat Daizo mengeluarkan pipa keramik yang
bagus buatannya. Tapi hal itu tak pernah kelihatan janggal olehnya, karena Daizo memang
orang kaya dan seleranya mahal.
"Apa yang dilakukannya?" pikirnya tak sabar. Karena sudah terbiasa dengan bahaya
mengancam, sedikit-sedikit ia merangkak mendekati.
Selesai mengisap, saudagar itu berdiri, melepas kain kepalanya yang hitam, dan
menyelipkannya ke pinggang. Kemudian pelan-pelan ia berjalan mengelilingi pohon pinus.
Hal berikut yang diketahui Jotaro, Daizo memegang sekop. Dan mana datangnya sekop itu"
Sambil bertelekan pada sekop, Daizo memandang sekelilingnya, ke arah pemandangan malam,
agaknya sedang mengingat-ingat lokasi tersebut.
Daizo kelihatan puas, kemudian menggulingkan sebuah batu besar ke sisi utara pohon dan
mulai menggali dengan giat, tanpa menoleh ke kanan atau ke kiri. Jotaro melihat lubang
itu semakin dalam, sampai cukup untuk orang berdiri. Akhirnya Daizo berhenti dan
menghapus keringat di wajahnya dengan saputangan. Jotaro tetap diam tak bergerak. Ia
betul-betul tercengang. "Cukuplah ini," bisik saudagar itu pelan, selesai menginjak-injak tanah lunak di dasar
lubang. Sesaat Jotaro ingin sekali memanggil dan mengingatkan Daizo untuk tidak
mengubur dirinya sendiri, tapi tidak jadi.
Daizo meloncat ke atas, lalu menarik bungkusan berat itu dari dekat pohon ke tepi
lubang, dan melepaskan tali rami di bagian atasnya. Semula Jotaro mengira karung itu
terbuat dari kain, tapi sekarang ia dapat melihat bahwa karung itu jubah kulit yang
berat, seperti yang biasa dipakai para jenderal menutup ketopong. Di dalamnya terdapat
karung lain dari kain terpal atau sebangsanya. Ketika karung itu dibuka, tampaklah
bagian atas tumpukan emas yang sukar dipercaya-batangan setengah silinder yang dibuat
dengan menuangkan cor-coran emas ke dalam belahan bambu.
Dan masih ada lagi yang menyusul. Daizo melonggarkan obi-nya dan melepaskan bebannya,
berupa beberapa lusin kepingan emas besar yang baru selesai dicetak, yang semula
dimasukkan dalam kantong di bagian perut, bagian belakang kimono, dan bagian-bagian
lain pakaiannya. Kepingan-kepingan itu diletakkannya rapt di atas batangan, kemudian ia
ikat kedua wadah itu baik-baik dan ia masukkan bungkusan itu ke dalam lubang, seperti
mencemplungkan bangkai anjing. Kemudian ia timbunkan tanah kembali, ia injak-injak, dan
ia kembalikan batu itu. Akhirnya ia sebarkan rumput kering dan ranting-ranting kayu di
sekitar batu. Dan mulailah ia mengubah diri kembali menjadi Daizo dari Narai yang terkenal, pedagang
ramuan yang makmur. Pakaian petani yang dililitkan ke sekop disembunyikan dalam semak,
yang sedikit kemungkinannya ditemukan orang lain. Ia mengenakan jubah perjalanan dan
menggantungkan kantong uangnya di leher, seperti pendeta keliling. Ia masukkan kakinya
ke dalam zori, dan gumamnya puas, "Lumayan juga kerja malam ini."
Ketika Daizo sudah berada di luar jarak pendengaran, Jotaro muncul dari tempat
persembunyiannya dan pergi ke batu itu. Walaupun diperhatikan nya tempat itu baik-baik,
ia tak dapat menemukan jejak segala yang baru saja ia saksikan. Ia menatap tanah itu,
seakan-akan menatap telapak tangan tukang sulap yang kosong.
"Lebih baik aku pergi sekarang," pikirnya tiba-tiba. "Kalau aku tak ada di tempat
ketika dia kembali di penginapan, dia akan curiga." Karena lampu-lampu kota sekarang
tampak di bawahnya, tak sulit ia menempuh jalannya. Sambil berlari kencang, ia berusaha
terus berada di jalan samping yang jauh dari jalan yang ditempuh Daizo.
Dengan wajah betul-betul polos, ia daki tangga penginapan dan masuk ke kamarnya. Ia
beruntung. Sukeichi sedang telungkup pada peti perjalanan yang dipernis itu, sendirian,
dan tidur lelap. Air liur meleleh ke dagunya.
"Hei, Sukeichi, bisa masuk angin kau di sini." Dengan sengaja Jotaro mengguncangnya
supaya bangun. "Oh, kau, ya?" kata Sukeichi lambat-lambat, sambil menggosok mata. "Apa kerjamu sampai
malam begini, tanpa bilang Bapak?"
"Kau gila, ya" Aku sudah berjam-jam kembali. Kalau kau tidak tidur, pasti kau tahu."
"Jangan bohong kau. Aku tahu kau pergi dengan perempuan dari Sumiya itu. Kalau sekarang
saja kau sudah mengejar-ngejar pelacur, benci aku memikirkan bagaimana perbuatanmu
nanti kalau besar." Justru waktu itu Daizo membuka shoji. "Aku kembali," hanya itu yang dikatakannya.
Pagi-pagi sekali, orang harus sudah berangkat agar dapat sampai di Edo sebelum malam
tiba. Jinnai sudah membawa rombongannya turun ke jalan, jauh sebelum matahari terbit,
termasuk Akemi. Tapi Daizo, Sukeichi, dan Jotaro tenang saja sarapan, dan belum juga
berangkat sampai matahari cukup tinggi di langit.
Seperti biasa, Daizo berjalan di depan, Jotaro mengikuti di belakang bersama Sukeichi,
dan inilah yang tidak biasa.
Akhirnya Daizo berhenti, dan tanyanya, "Apa yang terjadi denganmu pagi ini?"
"Bagaimana, Pak?" Jotaro berusaha agar kelihatan tak acuh.
"Ada yang tak beres?"
"Tidak, sama sekali tidak. Kenapa Bapak bertanya begitu?"
"Kau kelihatan murung. Tidak seperti biasanya."
"Tak ada apa-apa, Pak. Saya cuma berpikir. Kalau saya terus tinggal dengan Bapak, tak
tahulah saya, apa saya akan pernah ketemu guru saya. Ingin saya mencarinya sendiri,
kalau Bapak tidak keberatan."
Tanpa ragu jawab Daizo, "Keberatan!"
Jotaro sebetulnya sudah mendekat dan mulai memegang lengan orang itu, tapi sekarang ia
menarik kembali tangannya, dan tanyanya bingung. "Kenapa?"
"Mari kita istirahat sebentar," kata Daizo, duduk di dataran berumput yang membuat
Provinsi Musashi sangat terkenal itu. Begitu duduk, ia memberikan isyarat pada Sukeichi
untuk jalan terus. "Tapi saya mesti mencari guru saya
... selekasnya," kilah Jotaro.
"Aku sudah bilang, kau tak boleh pergi sendiri." Dengan wajah garang, Daizo memasukkan
pipa keramik ke mulutnya dan mengisapnya. "Sejak hari ini, kau jadi anakku."
Suaranya kedengaran sungguh-sungguh. Jotaro menelan ludah, tapi Daizo tertawa. Jotaro
menyimpulkan semua itu hanya lelucon, katanya, "Tak bisa saya terima. Saya tak mau jadi
anak Bapak." Apa?" "Bapak seorang saudagar, sedangkan saya ingin jadi samurai."
"Aku yakin kau melihat sendiri, bahwa Daizo dari Narai bukan orang kota biasa, yang
tanpa kehormatan atau latar belakang. Jadilah anak angkatku, akan kubuat kau menjadi
samurai sejati." Dengan perasaan cemas, Jotaro sadar bahwa Daizo sungguh-sungguh dengan ucapannya. "Apa
boleh saya bertanya, kenapa Bapak tiba-tiba saja mengambil keputusan itu?" tanya anak
itu. Dalam sekejap mata, Daizo menangkapnya dan mencengkeramnya ke sisinya. Dilekatkannya
mulutnya ke telinga anak itu, dan bisiknya, "Kau melihat aku, kan, bajingan kecil?"
"Saya lihat Bapak?"
"Ya, kau mengawasi aku, kan?"
"Saya tak mengerti apa yang Bapak bicarakan ini. Mengawasi apa?"
"Yang kulakukan semalam."
Jotaro berusaha sekuat-kuatnya untuk tetap tenang.
"Kenapa kaulakukan itu?"
Pertahanan anak itu hampir runtuh.
"Kenapa kau mengintip-intip urusan pribadiku?"
"Maaf." ujar Jotaro. "Saya betul-betul minta maaf. Takkan saya ceritakan pada siapasiapa."
"Pelankan suaramu! Aku takkan menghukummu. Sebaliknya, kau akan menjadi anak angkatku.
Kalau kau menolak, berarti kau tidak memberi pilihan padaku, kecuali membunuhmu. Nah,
jangan paksa aku berbuat begitu. Kupikir kamu anak baik, anak yang sangat
menyenangkan." Untuk pertama kali dalam hidupnya, Jotaro mulai merasakan takut yang sebenar-benarnya.
"Maaf," ulangnya sungguh-sungguh. "Jangan bunuh saya. Saya tak mau mati!" Seperti
burung kutilang yang tertangkap, ia menggeliat-geliat takut dalam tangan Daizo. Ia
takut kalau ia benar-benar memberontak, tangan maut akan langsung menerkamnya.
Jotaro merasakan cengkeraman Daizo seperti catok, padahal Daizo sama sekali tidak erat
memegangnya. Bahkan ketika ia menarik Jotaro ke pangkuannya, sentuhan tangannya hampirhampir mesra. "Nah, kau mau jadi anakku, kan?" Janggutnya yang kaku menggores pipi
Jotaro. Meskipun Jotaro tidak akan dapat menyebutkannya, tapi ia merasa bahwa yang
membelenggunya adalah bau orang dewasa, bau lelaki. Di pangkuan Daizo ia seperti bayi
saja, tidak dapat melawan, bahkan tak dapat berbicara.
"Kau sendiri yang mesti memutuskan. Kau mau kupungut anak atau mau mati" Jawab sekarang
juga!" Sambil melolong, anak itu menangis keras. Ia gosok wajahnya dengan jari-jarinya yang
kotor, sampai genangan-genangan kecil keruh bermunculan di kedua sisi hidungnya.
"Kenapa menangis" Kau beruntung mendapat kesempatan ini. Kujamin kau akan jadi samurai
besar, setelah aku selesai mendidikmu."
"Tapi... "Apa itu?" "Bapak adalah... Bapak adalah..."
"Ya?" "Saya tak bisa mengatakannya."
"Keluarkan. Bicaralah. Orang mesti mengemukakan pikiran dengan singkat dan jelas."
"Bapak adalah... yah, pekerjaan Bapak adalah mencuri." Sekiranya tangan Daizo tidak
memegangnya, Jotaro pasti sudah enyah seperti rusa. Tetapi pangkuan Daizo itu seperti
lubang yang dalam, dan dinding-dinding lubang itu tidak memungkinkannya bergerak.
"Heh-heh-heh," Daizo terkekeh sambil menampar punggung Jotaro dengan main-main. "Apa
cuma itu yang jadi beban pikiranmu?"
"Ya-y-y-ya." Bahu orang yang kasar badannya itu berguncang karena tawa. "Aku memang jenis orang yang
bisa mencuri seluruh negeri ini, tapi aku bukan pencuri biasa atau penyamun. Lihat
Ieyasu, Hideyoshi, atau Nobunaga, mereka semua prajurit yang mencuri, atau mencoba
mencuri seluruh bangsa ini, kan" Ikutlah saja denganku, dan hari-hari ini kau akan
mengerti."

Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jadi, Bapak bukan pencuri?"
"Aku tak mau susah-susah dengan urusan yang begitu tak menguntungkan." Ia mengangkat
anak itu dari lututnya, katanya, "Sekarang jangan kau mengoceh lagi, dan mari kita
jalan terus. Sejak saat ini, kau jadi anakku. Aku akan jadi ayah yang baik untukmu.
Janji, kau takkan mengucapkan sepatah kata pun tentang apa yang kaulihat semalam. Kalau
kau buka mulut, kupuntir lehermu."
Jotaro percaya kepadanya.
*** 63. Perintis PADA suatu hari, dekat akhir bulan kelima, ketika Osugi sampai diEdo, udara panas dan
lembap, seperti biasa terjadi pada musim hujan, tapi tidak datang hujan. Selama hampir
dua bulan sejak meninggalkan Kyoto, ia berjalan dengan langkah santai, sambil sekalisekali mengobati rasa sakit dan nyeri yang dideritanya, atau mengunjungi tempat-tempat
suci dan kuil. Kesan pertama yang diperolehnya tentang ibu kota shogun itu tidak menyenangkan. "Kenapa
mesti membangun rumah di rawa-rawa macam ini?" ujarnya menghina. "Rumput liar dan
rumput mendong bahkan belum dibersihkan."
Karena kemarau yang salah musim, kabut debu mengambang di atas jalan raya Takanawa,
dengan pohon-pohonnya yang baru ditanam dan tanda-tanda jarak yang belum lama
didirikan. Dataran antara Shioiri dan Nihombashi penuh dengan gerobak sapi bermuatan
batu dan balok. Sepanjang jalan, rumah-rumah baru bermunculan cepat.
"Bajingan...!" gagap Osugi sambil menengadah marah ke arah sebuah rumah yang baru
setengah jadi. Segumpal tanah liar basah dari ember seorang tukang plester secara
kebetulan mendarat di kimononya.
Para pekerja meledak tertawa.
"Berani-berani kalian lempar lumpur pada orang lain, lalu berdiri tertawa-tawa" Kalian
mesti berlutut minta maafl"
Kalau di Miyamoto, beberapa patah kata tajam saja darinya akan membuat para penyewa
tanah atau orang desa yang lain gemetar ketakutan. Tetapi pekerja-pekerja yang hanya
merupakan sebagian kecil dari ribuan pendatang baru dari seluruh negeri itu hampir
tidak menoleh dari pekerjaan mereka.
"Apa yang diocehkan perempuan jelek itu?" tanya seorang pekerja.
Osugi yang sudah naik darah itu berteriak, "Siapa bilang itu" Kenapa kau..."
Makin banyak Osugi menggerutu, makin keras tawa orang-orang itu. Para penonton mulai
berkumpul dan saling bertanya, kenapa perempuan tua itu tidak bersikap sesuai umurnya
dan menerima saja soal itu dengan tenang.
Osugi menyerbu ke dalam rumah, mencengkeram ujung papan tempat berdiri tukang-tukang
plester, dan menyentakkannya dari tiangnya. Beberapa orang beserta ember penuh tanah
liat runtuh ke tanah. "Perempuan brengsek!"
Mereka bangkit dan mengepung Osugi dengan sikap mengancam.
Osugi tak beranjak. "Keluar kalian!" perintahnya dengan muka cemberut. Tangannya meraba
pedang pendeknya. Para pekerja terpaksa berpikir dua kali. Cara perempuan itu memandang dan membawa diri
menunjukkan bahwa ia dari keluarga samurai. Mereka bisa mendapat kesulitan, kalau tidak
berhati-hati. Maka sikap mereka pun melunak.
Melihat perubahan itu, Osugi dengan agung berkata, "Mulai sekarang takkan kubiarkan
kekasaran orang-orang macam kalian." Dengan wajah puas ia keluar dan turun kembali ke
jalan, meninggalkan para penonton yang ternganga memandang punggungnya yang lurus dan
keras itu. Belum lagi ia sempat berjalan kembali, seorang magang dengan kaki berlumpur, yang
anehnya penuh serutan dan debu gergaji, berlari di belakangnya, membawa seember tanah
liat yang kotor. Ia meneriakkan, "Bagaimana kalau ini, nenek sihir?" Ia tumpahkan isi ember itu ke
punggung Osugi. "O-w-w-w!" Lolongan itu memang baik untuk paru-paru Osugi, tapi sebelum ia dapat
membalikkan badan, magang itu sudah lenyap. Ketika ia sadar betapa kotor punggungnya,
ia memberengut sedih, air mata kejengkelan memenuhi matanya.
Orang-orang bersorak gembira.
"Apa yang kalian tertawakan, orang-orang goblok?" berang Osugi. "Apa lucunya perempuan
tua disiram kotoran" Apa begini cara kalian menyambut orang tua di Edo ini" Kalian pun
manusia, bukan" Ingatlah, kalian semua akan tua juga nanti."
Semburan kata-kata ini lebih menarik lagi bagi para penonton.
"Begini ini yang namanya Edo!" dengus Osugi. "Kalau dengar omongan orang, kita pikir
ini tadinya kota terbesar di seluruh negeri. Tapi apa kenyataannya" Cuma tempat penuh
kotoran dan kemesuman. Di manamana orang meruntuhkan bukit dan menimbun rawa-rawa,
menggali parit dan menimbun pasir pantai. Bukan hanya itu, kota ini penuh jembel yang
takkan pernah dapat ditemukan di Kyoto atau di mana pun di barat." Sesudah mengucapkan
semua itu, ia membelakangi orang banyak yang tertawa dan cepat-cepat meninggalkan
tempat itu. Memang kebaruan kota merupakan hal yang paling menonjol. Kayu dan plester rumah-rumah
semuanya tampak cemerlang dan segar, banyak tanah bangunan yang baru sebagian saja
diratakan. Tahi rubah dan kuda mencolok mata dan mengganggu lubang hidung.
Belum lama berselang, jalan ini cuma jalan setapak di tengah sawah, antara Desa Hibiya
dan Chiyoda. Sekiranya Osugi pergi sedikit ke barat, dekat Benteng Edo, ia akan
menemukan daerah yang lebih tua dan lebih tenang, di mana para daimyo dan pengikut
shogun membangun tempat persemayaman, segera sesudah Tokugawa Ieyasu menduduki Edo pada
tahun 1590. Dalam keadaannya sekarang, sama sekali tak ada yang dapat menggugah hati Osugi. Ia
merasa tua. Setiap orang yang dilihatnya-tukang warung, para pejabat yang naik kuda,
para samurai yang jalan-jalan mengenakan topi anyaman-semuanya masih muda, seperti
halnya para pekerja, tukang, pedagang, serdadu, bahkan juga jenderal.
Di depan sebuah rumah yang masih dikerjakan oleh tukang-tukang plester tergantung papan
nama toko, dan di belakangnya duduk seorang perempuan berpupur tebal yang sedang
mengecat alisnya, sambil menanti langganan. Di gedung-gedung lain yang baru setengah
digarap, orang menjual sake, mengatur barang-barang tekstil yang hendak dipamerkan,
atau mengatur perbekalan ikan kering. Seorang lelaki sedang menggantungkan papan obatobatan.
"Sekiranya aku tidak mencari orang," gumam Osugi masam, "satu malam pun aku takkan mau
tinggal di tong sampah ini."
Sampai di sebuah bukit tanah galian yang menghalangi jalan, ia berhenti. Di kaki
jembatan yang menyeberangi parit yang masih belum berair, berdiri sebuah pondok.
Dindingnya terdiri atas tikar gelagah yang diikat tali-tali bambu, tapi sebuah spanduk
menyatakan bahwa pondok itu sebuah tempat mandi umum. Osugi menyerahkan sekeping mata
uang tembaga, dan masuk untuk mencuci kimononya. Sesudah membersihkan semampunya, ia
meminjam galah pengering dan menggantungkan pakaian itu di samping gubuk. Hanya
mengenakan pakaian dalam yang ditutup jubah mandi ringan, ia berjongkok di dalam
bayangan rumah mandi dan memandang kosong ke jalan.
Di seberang jalan, setengah lusin orang lelaki berdiri melingkar sambil tawar-menawar
dengan suara cukup keras, hingga Osugi dapat mendengar apa yang mereka bicarakan.
"Berapa meter persegi itu" Saya tidak keberatan mempertimbangkan, kalau harganya
betul." "Ada dua ribu tujuh ratus meter persegi. Harga seperti saya sebut sebelumnya. Tak bisa
turun." "Ah, terlalu mahal. Tahu sendiri."
"Sama sekali tidak mahal. Menimbun tanah itu makan banyak uang. Dan jangan lupa, tak
ada lagi tanah lain sekitar sini."
"Ah, pasti ada. Di mana-mana orang sedang menimbun."
"Sudah terjual. Orang berebut tanah seperti apa adanya, termasuk yang masih rawa-rawa
dan segalanya itu. Sekarang tak ada lagi tanah tiga puluh meter persegi yang masih
dijual. Tentu saja kalau kita mau ke jurusan Sungai Sumida, masih bisa kita dapat yang
lebih murah." "Kau menjamin ada dua ribu tujuh ratus meter persegi?"
"Tak perlu kausuruh aku berjanji. Ambil tali dan ukur olehmu sendiri."
Osugi heran sekali; angka yang disebut untuk sepuluh meter persegi cukup untuk membeli
ribuan meter persegi tanah sawah yang baik. Tetapi percakapan serupa itu terjadi di
seluruh kota, karena memang banyak saudagar yang berspekulasi dengan tanah. Osugi jadi
terpesona. "Kenapa semua orang menghendaki tanah di sini" Tempat ini tidak baik untuk
padi dan tak dapat juga disebut kota."
Segera kemudian persetujuan di seberang jalan itu ditutup dengan cara bertepuk tangan,
agar nasib baik memberkahi semua yang bersangkutan. Selagi Osugi iseng memperhatikan
perginya bayangan orang-orang itu, terasa olehnya sebuah tangan meraba bagian belakang
obi-nya. "Copet'" jeritnya sambil menangkap pergelangan tangan pencopet itu. Tapi
ternyata kantong uangnya sudah hilang, dan pencopet itu sudah sampai di jalan.
"Copet!" jerit Osugi lagi. Ia segera mengejar orang itu, dan berhasil melingkarkan
tangan ke pinggang si pencopet. "Tolong! Copet"
Si pencopet memberontak dan memukul muka Osugi beberapa kali, tapi tak dapat melepaskan
cengkeraman Osugi. "Lepaskan aku, sapi!" teriaknya sambil menendang tulang rusuk Osugi.
Osugi jatuh disertai omelan keras. tapi ia berhasil mencabut pedang pendeknya dan
melukai tumit orang itu. "Ow!" Darah menyembur dari luka itu. Orang itu berjalan pincang beberapa langkah,
kemudian terguling ke tanah.
Kaget oleh keributan itu, para penjual tanah menoleh. Seorang dari mereka berseru.
"Hei, apa itu bukan si sampah dari Koshu itu?" Yang mengatakan itu Hangawara Yajibei,
kepala gerombolan besar pekerja bangunan.
"Kelihatannya dia," salah seorang anak buahnya membenarkan. "Apa yang ada di tangannya
itu" Kelihatannya kantong uang."
"Betul, kan" Dan barusan ada orang teriak copet. Lihat! Ada perempuan tua menggeletak
di tanah. Lihat sana, apa yang terjadi dengannya. Aku sendiri akan mengurusi orang
itu." Pencopet itu berdiri dan lari lagi, tapi Yajibei menyusulnya dan membantingnya ke
tanah, seperti menepuk belalang.
Kembali mendapatkan majikannya, anak buah Yajibei melaporkan, "Seperti kita duga. Dia
mencopet kantong uang wanita itu."
"Kantong itu ada padaku sekarang. Bagaimana dengan perempuan itu."
"Tak begitu parah lukanya. Dia tadi pingsan, tapi sudah bisa teriak pembunuh!"
"Dia masih duduk di sana. Apa dia tak bisa berdiri?"
"Saya kira tak bisa. Pencopet itu menendang tulang rusuknya."
"Oo, bajingan!" Sambil terus menatap pencopet itu, Yajibei mengeluarkan perintah kepada
bawahannya. "Ushi, dirikan tiang."
Kata-kata itu membuat si pencopet gemetar, seakan-akan ujung pisau ditekankan ke
tenggorokannya. "Jangan, jangan!" mohonnya sambil menyembah-nyembah di tanah, pada kaki
Yajibei. "Lepaskan saya, kali ini saja! Saya janji takkan melakukan lagi."
Yajibei menggelengkan kepala. "Tidak. Kau harus dapat ganjaran."
Ushi"nama ini diberikan menurut rasi bintang waktu ia lahir, sesuai kebiasaan para
petani, kembali bersama dua pekerja dari tempat pembangunan jembatan, tidak jauh dari
situ. "Di sana," katanya sambil menuding ke tengah tempat kosong.
Sesudah kedua pekerja itu menghunjamkan tiang berat ke dalam tanah, seorang di
antaranya bertanya, "Sudah cukup baik?"
"Bagus," kata Yajibei. "Sekarang ikatkan dia ke situ, dan pakukan papan di atas
kepalanya." Ketika semua itu sudah dilakukan, Yajibei meminjam wadah tinta dari tukang kayu dan
menuliskan di papan itu, "Orang ini pencopet. Belum lama dia masih bekerja pada saya,
tapi dia melakukan kejahatan, dan untuk itu dia harus dihukum. Dia mesti diikat di
sini, agar kena hujan dan panas, tujuh hari tujuh malam lamanya. Diperintahkan oleh
Yajibei dari Bakurocho."
"Terima kasih," katanya, mengembalikan tempat tinta. "Nah, kalau tidak terlalu
merepotkan, kasih dia makanan sekali-sekali. Sekadar supaya dia tidak mati. Yah, sisa
makan siangmu cukuplah."
Kedua pekerja dan orang-orang lain, yang sementara itu berkerumun di situ, menyatakan
persetujuan mereka. Sebagian pekerja berjanji menjamin agar si pencopet mendapat jatah
ejekan. Tidak hanya para samurai yang takut dipertontonkan pada umum karena kejahatan
atau kelemahannya. Bagi penduduk kota zaman itu, ditertawakan adalah hukuman paling
berat. Menghukum penjahat tanpa proses hukum sudah merupakan praktek yang diterima dengan
baik. Karena para prajurit terlalu sibuk dengan peperangan, hingga tak sempat menjaga
ketertiban, orang-orang kota mengambil alih tindakan terhadap para penjahat, demi
keamanan mereka sendiri. Walaupun Edo sekarang memiliki hakim resmi dan ada satu sistem
yang dikembangkan, di mana warga kota terkemuka di tiap daerah berfungsi sebagai wakil
pemerintah, namun masih juga terjadi penghakiman langsung macam itu. Dan dalam keadaan
yang masih sedikit kacau itu, para penguasa tak banyak melihat alasan untuk campur
tangan. "Ushi," kata Yajibei, "kembalikan kantong uang wanita tua itu. Sayang sekali peristiwa
ini terjadi pada orang setua dia. Rupanya dia sendirian di dunia ini. Apa yang terjadi
dengan kimononya?" "Dia bilang kimononya dicuci dan dijemur."
"Ambilkan kimononya, kemudian bawa dia. Kita bisa juga membawanya pulang. Tak banyak
artinya kita menghukum si pencopet, kalau kita tinggalkan dia di sini untuk dimangsa
bajingan lain." Beberapa waktu kemudian, Yajibei berangkat. Ushi mengikutinya dari belakang, sambil
membawa kimono Osugi, sedangkan Osugi sendiri digendongnya.
Segera mereka sampai di Nihombashi, "Jembatan Jepang." Dari jembatan itulah sekarang
diukur semua jarak jalan dari Edo. Batu penopang mendukung busur jembatan yang terbuat
dari kayu, dan karena jembatan itu dibangun hanya sekitar setahun sebelumnya,
susurannya masih kelihatan baru. Perahu-perahu dari Kamakura dan Odawara ditambatkan
sepanjang tepi sungai. Di pinggiran terdapat pasar ikan kota.
"Oh, sakit pinggangku," Osugi mengerang keras.
Para pedagang ikan menegakkan kepala, untuk melihat apa yang terjadi.
Yajibei tak suka menjadi tontonan. Ia menatap Osugi, katanya, "Kita segera sampai. Coba
dulu bertahan. Hidup Ibu tak lagi dalam bahaya."
Osugi meletakkan kepalanya ke punggung Ushi dan menjadi setenang bayi.
Di daerah kota paling ramai, para pedagang dan tukang membentuk lingkungan sendiri. Ada
daerah tukang besi, daerah pembuat lembing, daerah-daerah lain untuk tukang celup,
penganyam tatami, dan sebagainya. Rumah Yajibei tampak paling mencolok di antara rumahrumah tukang kayu lain, karena setengah atap bagian depan ditutup genting. Semua rumah
lain beratap papan. Sebelum terjadi kebakaran beberapa tahun silam, hampir semua atap
terbuat dari lalang. Secara kebetulan, Yajibei memperoleh nama keluarganya dari atap
Princess 5 Pendekar Mabuk 092 Darah Pemuas Ratu Pulung Mencari Nansy 2

Cari Blog Ini