Ceritasilat Novel Online

Mushasi 2

Mushasi Karya Eiji Yoshikawa Bagian 2


Takezo kembali, Matahachi pasti kembali juga. Kemudian ia pun kembali berperan sebagai
komandan tertinggi. Diperintahkannya mereka pergi ke semua arah untuk menemukan
Matahachi. la sendiri tinggal di rumah, dan tiap kali dirasanya ada orang mendekat, ia
berlari ke luar dan bertanya apakah mereka belum menemukan anaknya.
Pada waktu matahari terbenam, masih dengan semangat tinggi ia meletakkan lilin di depan
tanda peringatan nenek moyang suaminya. la duduk seperti patung. Karena semua orang
masih melakukan pencarian, tak ada makan malam di rumah itu. Ketika malam tiba dan
masih juga belum ada berita, Osugi pun akhirnya bergerak. Seperti sedang kesurupan ia
keluar pelan-pelan dari rumah, menuju gerbang depan. Di sana ia menanti, tersembunyi
dalam kegelapan. Bulan bersinar menembus ranting-ranting pohon ek, sedangkan pegunungan
yang membayang di depan dan di belakang rumah terselimut kabut putih. Bau harum kembang
pit mengambang di udara. Waktu pun mengapung lewat tanpa terasa. Sesosok tubuh terlihat mendekat, menyusuri sisi
luar kebun pit. Melihat bayangan Otsu, Osugi pun memanggilnya, dan gadis itu berlari.
Sandalnya yang basah berdetap-detap berat di tanah.
"Otsu! Orang bilang kau melihat Takezo. Betul?"
"Ya, saya yakin. Saya melihatnya di tengah orang banyak di luar kuil."
"Kau tidak lihat Matahachi?"
"Tidak. Saya lari ke luar untuk menanyai Takezo, tapi ketika saya memanggil, dia
melompat seperti kelinci ketakutan. Saya lihat matanya sesaat, kemudian dia hilang.
Sejak dulu dia memang aneh, tapi saya tak bisa mengerti, kenapa dia lari seperti itu."
"Lari?" tanya Osugi keheranan. la mulai bertanya-tanya pada dirinya, dan semakin ia
bertanya, semakin terbentuk kecurigaan yang mengerikan di dalam otaknya. Menjadi
jelaslah baginya bahwa anak lelaki Shimmen, si bangsat Takezo yang sempat dibencinya
karena memikat Matahachi yang sangat disayanginya untuk pergi perang, sekali lagi telah
berbuat sesuatu yang tidak baik.
Akhirnya berkatalah ia mengancam, "Bangsat! Barangkali dia sudah meninggalkan Matahachi
yang malang mati entah di mana, kemudian mencuri-curi pulang dalam keadaan sehat
walafiat. Pengecut!" Osugi pun mulai gemetar karena berang, dan suaranya meninggi
menjadi jeritan, "Tidak bisa dia sembunyi dariku!"
Otsu tetap tenang. "Ah, saya pikir dia tak akan berbuat begitu. Biarpun dia harus
meninggalkan Matahachi, pasti dia menyampaikan pesan untuk kita, atau paling tidak
tanda mata dari dia." Kata-kata Otsu terdengar gemetar karena tuduhan perempuan tua
yang tergesa-gesa itu. Namun Osugi waktu itu sudah yakin benar akan pengkhianatan Takezo. la menggelenggelengkan kepala dengan mantapnya, dan berkata lagi, "Ah, dia tak akan berbuat begitu!
Aku kenal iblis itu! Dia tidak sebaik itu. Matahachi mestinya tak perlu bergaul
dengannya." "Nek...," kata Otsu meredakan.
"Apa?" bentak Osugi yang sama sekali tidak reda marahnya.
"Saya pikir, kalau pergi ke rumah Ogin, kita mungkin menemukan Takezo di sana."
Kemarahan perempuan tua itu pun mereda sedikit. "Barangkali kau benar. Ogin kakak
perempuannya, dan memang tak seorang pun di kampung ini yang akan menerima Takezo."
"Kalau begitu, mari kita melihat ke sana. Berdua saja."
Osugi menolak keras. "Tak ada alasan untukku ke sana. Dia tahu adiknya yang menyeret
anakku pergi perang, tapi tak pernah sekali pun dia datang minta maaf atau menunjukkan
sikap hormat. Sekarang pun, ketika Takezo datang, dia tidak memberitahu aku. Kenapa aku
harus pergi mendatanginya" Itu merendahkan martabat. Aku tunggu dia di sini."
"Tapi ini bukan keadaan biasa," jawab Otsu. "Dan lagi, yang pokok sekarang menemui
Takezo secepatnya. Kita mesti bertanya, apa yang sudah terjadi. Ayolah, Nek, kita
pergi. Nenek tak perlu melakukan apa-apa. Saya yang melakukan semua formalitas, kalau
Nenek mau." Osugi menerima desakan Otsu dengan segan-segan. Tentu saja ia sama inginnya dengan Otsu
untuk mengetahui apa yang terjadi, tapi lebih baik ia mati daripada mengemis pada
seorang Shimmen. Rumah Ogin kira-kira satu mil jauhnya. Sebagaimana keluarga Hon'iden, keluarga Shimmen
adalah bangsawan desa, dan kedua keluarga itu berasal dari wangsa Akamatsu beberapa
generasi sebelumnya. Mereka menempati kedua tepi sungai yang berhadapan, dan diam-diam
mereka selalu mengakui hak hidup masing-masing pihak. Hanya sampai di situlah keakraban
mereka. Sampai di gerbang depan, mereka mendapati gerbang itu terkunci. Pepohonan demikian
lebat, hingga tak mungkin terlihat cahaya lampu rumah. Otsu hendak berjalan memutar ke
pintu belakang, tapi Osugi mogok.
"Rasanya tidak pantas kalau kepala keluarga Hon'iden masuk rumah keluarga Shimmen dari
pintu belakang. Itu menurunkan derajat."
Melihat Osugi tak hendak beranjak, Otsu melanjutkan berjalan ke pintu belakang
sendirian. Akhirnya lampu pun muncul di sebelah dalam gerbang. Ogin sendiri yang keluar
menyambut perempuan tua itu, yang tiba-tiba berubah dari seorang perempuan buruk
pembajak ladang menjadi seorang wanita bangsawan besar dan menyapa nyonya rumah dengan
nada-nada tinggi. "Maafkan saya mengganggu Nona pada waktu seperti ini, tetapi urusan saya ini betulbetul tak bisa ditangguhkan. Nona sangat bermurah hati telah datang dan menyilakan saya
masuk!" la pun cepat melewati Ogin dan langsung masuk rumah, dan seperti utusan dewadewa ia pun segera menuju tempat yang paling terhormat di dalam ruangan itu, di depan
ceruk. la duduk dengan angkuhnya. Tubuhnya diapit perkamen yang tergantung dan satu
karangan bunga. la pun berkenan mendengarkan katakata sambutan yang setulus-tulusnya
dari Ogin. Basa-basi telah berakhir, lalu Osugi langsung pada persoalan. Senyuman palsunya lenyap
ketika ia menatap perempuan muda di depannya. "Saya mendengar kabar, setan kecil rumah
ini sudah merangkak pulang. Saya minta dia dibawa kemari."
Walaupun lidah Osugi terkenal tajam, kedengkian yang tak disembunyisembunyikan ini
terdengar bagai guncangan bagi Ogin yang halus.
"Siapa yang Ibu maksud dengan 'setan kecil' itu?" tanya Ogin, jelas menahan diri.
Seperti bunglon, Osugi pun mengubah taktiknya. "Oh, lidah saya sudah tergelincir tadi,"
katanya sambil tertawa. "Itulah nama yang diberikan orang kampung kepadanya. Saya
ketularan orang-orang itu. 'Setan kecil' itu Takezo. Dia bersembunyi di sini, bukan?"
"Ah, tidak," jawab Ogin yang benar-benar terkejut. Karena malu mendengar adiknya
disebut demikian, ia pun menggigit bibirnya.
Dan karena kasihan kepadanya, Otsu pun menjelaskan bahwa ia telah melihat Takezo dalam
pesta. Kemudian, untuk meluruskan perasaan-perasaan yang sudah terganggu, ia pun
menambahkan, "Aneh juga, bukan, bahwa dia tidak langsung datang ke sini?"
"Tapi betul dia tidak datang," kata Ogin. "Ini pertama kali saya mendengarnya. Tapi
kalau dia kembali seperti Ibu katakan itu, saya yakin dia akan mengetuk pintu sebentar
lagi." Osugi yang duduk resmi di bantalan lantai, dan kakinya tersimpuh rapi, melipat tangan
di pangkuan. Dengan gaya seorang mertua yang sedang meradang ia pun melancarkan badai
umpatan. "Apa artinya semua ini" Jadi, apa kau ingin aku percaya kau belum dengar berita tentang
dia" Apa kau tidak tahu, akulah ibu anak yang telah diseret pergi perang oleh pemuda
sampah itu" Apa kau tidak tahu, Matahachi itu ahli waris dan anggota terpenting
keluarga Hon'iden" Adikmu yang membujuk anakku pergi dan terbunuh. Kalau anakku mati,
berarti adikmu yang membunuhnya, dan kalau dirasanya dia dapat pulang diamdiam sendiri
dan beres semuanya..."
Cukup lama perempuan tua itu berhenti untuk mengatur napas, kemudian matanya menyala
kembali dalam keberangan. "Lalu kau sendiri bagaimana" Sejak dia jelas berbuat tak
pantas dengan pulang diam-diam sendirian, kenapa kau yang menjadi kakak perempuannya
tidak lekas menyuruhnya datang padaku" Aku muak dengan kalian berdua. Memperlakukan
seorang perempuan tua tanpa sopan sama sekali. Kalian pikir siapa aku ini?"
Dan sesudah menelan napas sekali lagi, ia pun berkaok-kaok kembali. "Kalau Takezo
memang pulang, bawa Matahachi padaku. Kalau tak bisa, paling tidak suruh setan kecil
itu ke sini sekarang, untuk menjelaskan padaku apa yang terjadi dengan anak
kesayanganku dan di mana dia sekarang-sekarang juga!"
"Bagaimana saya bisa melakukan itu" Dia tak ada di sini."
"Bohong besar!" jerit Osugi. "Kau pasti tahu di mana dia!"
"Saya sudah bilang tidak tahu!" protes Ogin. Suaranya bergetar dan matanya basah oleh
air mata. la pun membungkuk, mengharap setengah mati ayahnya masih hidup.
Tiba-tiba dari pintu yang terbuka ke beranda terdengar bunyi berderak, diikuti bunyi
kaki berlari. Mata Osugi berkilat, dan Otsu mulai berdiri, tetapi bunyi berikutnya yang terdengar
adalah pekikan yang menegakkan bulu roma. Suara manusia yang mirip sekali dengan
lolongan binatang. Seorang lelaki berteriak, "Tangkap dia!"
Kemudian terdengar bunyi lebih banyak kaki, lalu lebih banyak lagi, berlarian di
sekitar rumah, diiringi kertak ranting-ranting dan gemeresik pohon bambu.
"Itu Takezo!" teriak Osugi. la melompat berdiri, menatap Ogin yang berlutut, dan
menyemburkan kata-kata. "Aku tahu dia di sini!" katanya garang. "Itu sama terangnya
dengan hidung di mukamu. Tak mengerti aku, kenapa kau mencoba menyembunyikan dia
dariku, tapi ingatlah, aku tak akan melupakannya."
la pun menuju pintu dan mendorongnya dengan keras. Tapi apa yang dilihatnya di luar
membuat wajahnya yang sudah pucat itu menjadi lebih putih lagi. Seorang pemuda yang
mengenakan pelindung kaki telentang di tanah, mati. Darah segar masih mengalir dari
mata dan hidungnya. Melihat tengkoraknya yang berantakan, pastilah ia dibunuh dengan
satu hantaman pedang kayu.
"Ada... ada... ada orang mati di situ!" katanya terbata-bata.
Otsu membawa lampu ke beranda dan berdiri di samping Osugi yang membelalak ketakutan ke
arah mayat itu. Bukan mayat Takezo atau Matahachi, tapi mayat samurai yang tidak mereka
kenali. Osugi berbisik, "Siapa yang melakukan ini?" Sambil menoleh cepat kepada Otsu, ia
berkata, "Ayo kita pulang, sebelum terlibat."
Otsu tak dapat memaksa dirinya pergi. Perempuan tua itu sudah mengucapkan
keji. Akan terasa tidak adil bagi Ogin, kalau la pergi sebelum memberikan
luka-luka itu. Kalaupun Ogin berdusta, menurut perasaan Otsu, ia tentunya
yang baik. Karena merasa harus tinggal untuk menyenangkan hati Ogin, maka
mengatakan kepada Osugi bahwa la akan menyusul kemudian.
banyak kata salep kepada punya alasan Otsu pun "Semaumulah," bentak Osugi sambil bersiap-siap pergi.
Dengan sopan Ogin menawarkan lentera, tapi Osugi menolak keras. "Ketahuilah, kepala
keluarga Hon'iden belum begitu pikun hingga membutuhkan lampu untuk berjalan." la pun
melipat keliman kimononya, meninggalkan rumah itu dan berjalan tegap menempuh kabut
yang menebal. Tidak jauh dari rumah itu, seorang lelaki menyuruhnya berhenti. Pedangnya terhunus, dan
tangan serta kakinya terlindung zirah. Ia jelas samurai profesional yang tidak bisa
ditemukan di kampung itu.
"Ibu kan baru datang dari rumah Shimmen?" tanyanya.
"Ya, tapi..." "Apa Ibu anggota keluarga Shimmen?"
"Tentu saja bukan!" bentak Osugi sambil mengibaskan tangan sebagai tanda protes. "Saya
kepala keluarga samurai di seberang kali."
"Jadi, Ibu ini ibu Hon'iden Matahachi yang pergi dengan Shimmen Takezo ke Medan
Sekigahara?" "Ya, tapi anak saya pergi ke sana bukan karena ingin. Dia diperdaya setan kecil itu."
"Setan?" "Itu... si Takezo!"
"Saya dengar Takezo itu tidak begitu disukai di kampung ini."
"Disukai" Menggelikan. Belum pernah kau melihat penjahat seperti dia! Tak dapat
kaubayangkan kesulitan yang kami alami dalam keluarga, sejak anak saya bergaul dengan
dia." "Anak Ibu itu barangkali meninggal di Sekigahara. Saya..."
"Matahachi! Meninggal?"
"Eh, sebetulnya saya tidak begitu yakin. Tapi barangkali akan menjadi hiburan sedikit
bagi Ibu dalam kesedihan Ibu, kalau saya katakan, saya akan melakukan segala yang
mungkin untuk membantu Ibu membalas dendam."
Osugi memandang ragu-ragu. "Siapa Anda ini?"
"Saya dari garnisun Tokugawa. Sesudah pertempuran, kami pergi ke Puri Himeji. Atas
perintah pimpinan saya, saya membuat rintangan di perbatasan Provinsi Harima untuk
menyaring semua orang yang lewat.
"Takezo yang berasal dari rumah itu," sambungnya sambil menunjuk, "sudah menembus
rintangan dan lari ke Miyamoto. Kami mengejarnya sampai tempat ini. Dia memang cukup
ulet. Kami mengira sesudah beberapa hari berjalan dia akan ambruk, tapi sampai sekarang
kami belum dapat menyusulnya. Tapi dia takkan dapat terus begitu selamanya. Kami akan
menangkapnya." Dengan mengangguk-angguk sadarlah Osugi sekarang, kenapa Takezo tidak muncul di
Shippoji, dan yang lebih penting lagi, ia sadar bahwa Takezo barangkali tidak pulang ke
rumah, karena itulah tempat pertama yang akan digeledah tentara. Tapi sementara itu,
karena Takezo melakukan perjalanan sendirian, kemarahan Osugi tidak mereda. Berita
kematian Matahachi pun tidak dipercayainya.
"Saya tahu, Takezo bisa sekuat dan selicik binatang liar," katanya malu-malu. "Tapi
saya tak percaya samurai sekaliber Anda sulit menangkapnya."
"Nah, terus terang, itulah pendapat saya semula. Tapi jumlah kami tak banyak, dan dia
baru saja membunuh seorang anak buah saya."
"Izinkanlah perempuan tua ini memberikan sedikit nasihat pada Anda." Sambil membungkuk
ia pun membisikkan sesuatu ke telinga samurai itu. Kata-katanya agaknya sangat
menyenangkan. Samurai itu mengangguk-angguk tanda setuju, dan dengan bersemangat berkata, "Gagasan
bagus! Hebat!" "Jangan tanggung-tanggung melaksanakan tugas itu," dorong Osugi sambil berangkat
pulang. Tak lama sesudahnya, samurai itu mengumpulkan kelompoknya yang terdiri atas empat belas
atau lima belas orang di belakang rumah Ogin. Sesudah ia memberikan keterangan ringkas,
mereka pun melompati dinding, mengepung rumah, dan memblokir semua pintu keluar. Lalu
beberapa orang serdadu menyerbu ke dalam rumah, meninggalkan jejak-jejak berlumpur.
Mereka masuk ke kamar dalam, di mana dua perempuan muda sedang duduk berkabung,
menghapus-hapus wajah yang berurai air mata.
Menghadapi serdadu-serdadu itu Otsu ketakutan dan pucat lesi. Namun Ogin yang bangga
menjadi anak Munisai tetap tak gentar. Dengan mata tenang dan tajam, la tatap dengan
berangnya para penyerbu itu.
"Bajingan! Binatang!" geramnya. Karena tak ada sasaran nyata bagi kemarahannya, ia pun
mengayunkan pedang ek hitamnya hingga mendecit di udara, menebas cabang sebuah pohon
besar. Getah putih yang memancar dari luka pohon itu mengingatkannya akan air susu ibu
yang sedang menyusui. la berdiri dan pandangannya nyalang. Tanpa ibu tempatnya mengadu,
yang ada di dunia ini hanya kesepian. Kali-kali kecil yang mengalir cepat dan bukitbukit yang berombak-ombak di tempat tinggalnya sendiri pun seperti mengejek, bukan
memberikan hiburan. "Kenapa semua orang kampung memusuhiku?" tanyanya. "Begitu melihatku, langsung mereka
lapor pada pengawal di gunung. Dan cara mereka lari waktu melihatku itu, seperti aku
ini orang gila saja."
Sudah empat hari ia bersembunyi di Pegunungan Sanumo. Kini, lewat tabir kabut tengah
hari, ia dapat melihat rumah ayahnya, rumah yang didiami kakak perempuannya sendirian.
Kuil Shippoji bersarang di bukit di bawahnya. Atapnya muncul dari antara pepohonan. la
tahu bahwa ia tidak dapat mendekati satu pun dari kedua tempat itu. Ketika ia
memberanikan diri mendekati kuil itu pada hari lahir sang Budha, ia telah membahayakan
hidupnya, sekalipun kuil itu penuh orang. Ketika didengarnya namanya dipanggil orang,
tidak ada pilihan lagi baginya kecuali melarikan diri. Disamping ingin menyelamatkan
lehernya sendiri, ia tahu kalau ia ditemukan orang di sana, Otsu pun akan mendapat
kesulitan. Malam itu, ketika diam-diam ia pergi ke rumah kakak perempuannya, kebetulan sekali ibu
Matahachi ada di sana. Sejenak ia hanya berdiri di luar, mencoba mengarang-ngarang
penjelasan di mana Matahachi berada, tapi ketika sedang mengawasi kakak perempuannya
lewat celah pintu, serdadu-serdadu melihatnya. Sekali lagi ia terpaksa lari tanpa
mendapat kesempatan bicara dengan siapa pun. Sejak itu, tampak dari tempat
perlindungannya di pegunungan, samurai Tokugawa mencari-cari secara gencar sekali.
Mereka merondai setiap jalan yang mungkin ditempuhnya, dan orang kampung bergabung
membentuk kelompok-kelompok pencari, menjelajahi pegunungan.
la bertanya-tanya bagaimana kiranya pendapat Otsu tentangnya. Ia mulai curiga Otsu pun
telah memusuhinya. Karena merasa orang sekampungnya sendiri menganggapnya musuh, ia pun
jadi serba sulit. Pikirnya, "Sukar sekali mengatakan pada Otsu alasan sebenarnya tunangannya tidak
pulang. Barangkali sebaiknya kusampaikan pada perempuan tua itu.... Betul! Kalau
kujelaskan semua itu kepadanya, dia nanti dapat pelanpelan menyampaikannya pada Otsu.
Sesudah itu tak ada lagi alasanku untuk berkeliaran di sini."
Setelah membulatkan tekad, Takezo pun kembali berjalan, tapi ia tahu, ia tak boleh
mendekati kampung sebelum gelap. Dengan sebuah karang besar ia pecahkan karang lain
menjadi pecahan-pecahan kecil, lalu ia lemparkan sebuah di antaranya ke burung yang
sedang terbang. Burung itu jatuh, dan belum lagi selesai mencabuti bulunya ia sudah
membenamkan gigi-giginya yang setengah kelaparan ke daging yang masih mentah dan hangat
itu. Sambil melahap burung, ia mulai lagi berjalan. Tapi tiba-tiba ia mendengar jeritan
tertahan. Memang, siapa saja yang melihatnya selalu berlari menghindar penuh ketakutan
melintasi hutan. Marah karena dibenci dan ditakuti, dikejar-kejar tanpa alasan, ia pun
berteriak, "Tunggu!" Dan ia mulai berlari, seperti seekor macan tutul mengejar mangsa
yang kabur.

Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Orang itu bukanlah tandingan Takezo, dan dengan mudah terkejar. Ternyata ia penduduk
kampung yang datang ke pegunungan untuk membuat arang. Takezo tahu orang itu, walau
tidak kenal. Takezo mencengkeram kerahnya dan menyeretnya kembali ke tempat terbuka.
"Kenapa kau lari" Apa kau tidak kenal aku" Aku seorang dari kalian, Shimmen Takezo dari
Miyamoto. Tak bakal aku memakanmu hidup-hidup. Kau tahu kan, tidak sopan lari begitu
saja dari orang yang dikenal tanpa mengucapkan salam!"
"Y y-y-y-ya, Tuan!"
"Duduk!" Takezo melepaskan cengkeramannya dari lengan orang itu, tapi makhluk malang itu hendak
lari, hingga terpaksa Takezo menendang pantatnya dan berbuat seolah-olah hendak
memukulnya dengan pedang kayunya. Orang itu merangkak-rangkak di tanah seperti anjing,
menguik-nguik sambil tangannya memegangi kepala.
"Jangan bunuh saya!" jeritnya mengiba-iba.
"Jawab saja pertanyaan-pertanyaanku."
"Akan saya jawab semuanya-tapi jangan bunuh saya! Saya punya istri dan keluarga."
"Tak ada yang mau membunuhmu. Apa betul bukit-bukit ini penuh serdadu?"
"Ya." "Apa mereka mengawasi Kuil Shippoji juga?"
"Ya." "Apa orang kampung memburuku lagi hari ini?"
Diam. "Kau seorang dari mereka?"
Orang itu mendadak berdiri sambil menggeleng-gelengkan kepala seperti orang bisu-tuli
"Tidak, tidak, tidak!"
"Cukup!" teriak Takezo. Dan sambil mencengkeram erat leher orang itu, ia pun bertanya,
"Bagaimana dengan kakak perempuanku?"
"Kakak perempuan mana?"
"Kakak perempuanku, Ogin, dari Keluarga Shimmen. Jangan pura-pura bodoh. Kau tadi janji
akan menjawab pertanyaan-pertanyaanku. Aku tak 1amdak menyalahkan orang kampung yang
mencoba menangkapku. Samurai yang memaksa mereka, tapi aku yakin mereka tak akan
mengapa-apakan kakak perempuanku. Apa anggapanku ini keliru?"
Orang itu pun memberikan jawaban yang terlampau polos. "Saya tidak tahu apa-apa soal
itu. Sama sekali tidak tahu."
Takezo cepat mengangkat pedangnya ke atas kepala orang itu, siap memukul. "Awas!
Kedengarannya mencurigakan. Ada yang sudah terjadi dengan dia, kan" Jangan pura-pura
lagi, atau kuhancurkan tengkorakmu!"
"Tunggu! Jangan! Saya akan bicara! Akan saya katakan semuanya!"
Dengan tangan terlipat tanda memohon, pembuat arang itu gemetaran dan ia bercerita
bahwa Ogin telah ditawan, dan bahwa telah disebarkan perintah di kampung, yang isinya
setiap orang yang memberikan makanan atau perlindungan kepada Takezo otomatis akan
dianggap anteknya. la mengatakan bahwa tiap hari para serdadu mengerahkan orang kampung
ke pegunungan, dan tiap keluarga diminta menyediakan seorang pemuda dua hari sekali
untuk keperluan itu. Keterangan tersebut membuat Takezo tegak bulu romanya. Bukan karena takut, melainkan
marah. Untuk meyakinkan diri bahwa yang didengarnya benar ia pun bertanya, "Tuduhan apa
yang dijatuhkan atas kakak perempuanku?" Matanya berkilat-kilat oleh air mata.
"Tak seorang pun dari kami tahu soal itu. Kami takut pada Kepala Distrik. Kami cuma
melakukan apa yang diperintahkan, itu saja."
"Di mana mereka menahan kakakku?"
"Desas-desusnya mereka menahan dia di benteng Hinagura, tapi saya tidak tahu apa itu
betul." "Hinagura...," ulang Takezo. Matanya pun menoleh ke jajaran pegunungan yang menandai
perbatasan provinsi. Tulang punggung pegunungan itu telah diwarnai bayang-bayang awan
petang yang kelabu. Takezo membiarkan orang itu pergi. Melihat orang itu bergegas pergi karena senang
hidupnya yang tak berarti itu selamat, perut Takezo pun bergolak memikirkan sifat
pengecut manusia-sifat pengecut yang telah memaksa samurai mengusik seorang wanita
malang tak berdaya. la senang kini seorang diri lagi. la harus berpikir.
Segera kemudian ia mengambil keputusan. "Aku harus menyelamatkan Ogin, itu harus.
Kakakku yang malang. Akan kubunuh mereka semua, kalau mencelakakan dia." Sesudah
memilih arah tindakannya, ia pun berjalan tegak ke arah kampung dengan langkah-langkah
jantan. Beberapa jam kemudian, kembali Takezo mencuri-curi mendekati Shippoji. Lonceng malam
baru saja berhenti berdentang. Hari sudah gelap dan cahaya lampu kelihatan menyorot
dari kuil itu sendiri, juga dari dapur dan petak-petak pendeta, di mana orang nampaknya
mondar-mandir. "Kalau saja Otsu keluar," pikirnya.
Ia pun meringkukkan badan tanpa bergerak-gerak di bawah lorong tinggi beratap, tapi tak
berdinding, yang menghubungkan kamar-kamar pendeta dengan kuil utama. Bau makanan yang
sedang dimasak mengambang di udara, menimbulkan bayangan tentang nasi dan sop mengepul.
Beberapa hari terakhir ini ia tidak makan apa-apa kecuali daging burung mentah dan
umbut rumput. Perutnya kini berontak. Kerongkongannya terasa panas ketika getah
lambungnya naik, pahit rasanya, dan dalam kesengsaraan itu ia pun menghirup napas
keras-keras. "Apa itu?" terdengar suara.
"Barangkali kucing," jawab Otsu yang keluar membawa baki makan malam dan mulai
menyeberang lorong, tepat di atas kepala Takezo. Takezo mencoba memanggilnya, tapi ia
begitu mual, hingga tak berhasil memperdengarkan suara jelas.
Ternyata nasib baik, karena justru saat itu suara lelaki tepat di belakang Otsu
terdengar bertanya, "Mana jalan ke kamar mandi?"
Orang itu mengenakan kimono pinjaman dari kuil, diikat dengan sabuk sempit, di mana
tergantung handuk kecil. Takezo mengenalnya sebagai salah seorang samurai dari Himeji.
Jelas ia berpangkat tinggi, cukup tinggi, hingga dapat menginap di kuil dan
menghabiskan waktu malamnya dengan makan dan minum sekenyang-kenyangnya, selagi anak
buahnya dan orang kampung harus menjelajahi sisi-sisi gunung siang-malam, mencari si
pelarian. "Kamar mandi?" kata Otsu. "Mari saya tunjukkan."
la menurunkan baki dan mengantar orang itu menyusuri lorong. Tibatiba samurai itu
menghampirinya dan merangkul Otsu dari belakang.
"Bagaimana kalau ikut aku ke kamar mandi?" sarannya garang.
"Hentikan! Lepaskan saya!" teriak Otsu, tapi orang itu membalikkan badan Otsu, memegang
wajahnya dengan kedua tangannya yang besar dan menyapukan bibirnya ke pipi Otsu.
"Apa salahnya?" bujuknya. "Apa kau tak suka lelaki?"
"Hentikan! Tak boleh begitu!" protes Otsu yang tak berdaya. Serdadu ini pun menutupkan
tangannya ke mulut Otsu. Lupa akan bahaya, Takezo melompat ke lorong seperti kucing, dan mendaratkan tinjunya ke
kepala orang itu dari belakang. Pukulan itu keras. Sekejap tak berdaya, samurai itu pun
jatuh telentang, tapi masih terus berpegangan pada Otsu. Otsu mencoba melepaskan diri
dan genggamannya dan memperdengarkan jeritan nyaring. Orang yang terjatuh itu
berteriak, "Itu dia! Itu Takezo! Dia di sini! Ayo tangkap dia!"
Dari dalam kuil terdengar derap kaki dan raungan suara orang. Lonceng kuil mulai
memberikan isyarat bahaya bahwa Takezo telah ditemukan, dan dari hutan berbondongbondong orang mulai berkumpul di pekarangan kuil. Tapi Takezo sudah pergi, dan tak lama
kemudian kelompok-kelompok pencari sekali lagi dikirimkan untuk menjelajahi perbukitan
Sanumo. Takezo sendiri hampir tidak ingat bagaimana ia menyelinap lewat jaring yang
dengan cepat mengetat itu. Ketika pengejaran sedang sengit-sengitnya, ia sudah berdiri
di tempat jauh, di pintu masuk dapur besar berlantai kotor milik keluarga Hon'iden.
Melongok ke dalam rumah berpenerangan suram itu ia berseru, "Nenek!" "Siapa?" terdengar
jawaban serak. Osugi berjalan pelan keluar dari kamar belakang. Diterangi dari bawah
oleh lentera kertas yang dipegangnya, wajah Osugi yang sudah berkeriput itu memucat
melihat tamunya. "Kau!" teriaknya.
"Ada berita penting yang mau saya sampaikan pada Nenek," kata Takezo buru-buru.
"Matahachi tidak mati, dia masih segar bugar. Dia tinggal bersama seorang perempuan. Di
provinsi lain. Itu saja yang dapat saya sampaikan, karena cuma itu yang saya tahu. Saya
minta Nenek menyampaikan berita ini pada Otsu. Saya tak bisa menyampaikannya sendiri."
Dengan perasaan puas luar biasa karena telah bebas dari berita yang menjadi beban
baginya, ia segera pergi, tapi perempuan itu memanggilnya kembali.
"Mau pergi ke mana kau sekarang?"
"Saya mesti masuk ke benteng Hinagura, menyelamatkan Ogin," jawab Takezo sedih. "Sudah
itu saya akan pergi entah ke mana. Saya cuma mau menyampaikan pada Nenek dan keluarga
Nenek, juga pada Otsu, bahwa tidak saya biarkan Matahachi mati. Selain itu, tak ada
alasan lagi bagi saya untuk tinggal di sini."
"O, begitu." Osugi memindahkan lentera dari tangan yang satu ke tangan yang lain untuk
mengulur waktu. Kemudian ia memberi isyarat pada Takezo, "Kau pasti lapar, kan?"
"Berhari-hari saya tidak mendapat makanan yang pantas."
"Kasihan! Tunggu! Aku sedang masak tadi, sebentar lagi aku kasih kamu makan malam yang
hangat dan enak. Buat hadiah selamat jalan. Dan lagi apa kau tak ingin mandi selagi aku
menyiapkan makanan?" Takezo tak bisa bicara.
"Tak usah terkejut begitu. Takezo, keluargamu dan keluarga kami selalu berdampingan
sejak wangsa Akamatsu. Menurut pendapatku, kau seharusnya, jangan meninggalkan tempat
ini, tapi yang pasti tak akan kubiarkan kau pergi tanpa diberi makan enak dan cukup!"
Sekali lagi Takezo tak dapat menjawab. la mengangkat sebelah tangannya dan menghapus
matanya. Sudah begitu lama tak seorang pun bersikap begitu baik kepadanya. Sesudah
menjadi orang yang selalu curiga dan tidak mempercayai siapa saja, tiba-tiba sekarang
ia teringat bagaimana rasanya diperlakukan sebagai manusia.
"Lekas sana ke kamar mandi," desak Osugi dengan nada seorang nenek. "Bahaya sekali
berdiri di sini-orang bisa melihatmu. Akan kuambilkan kimono dan pakaian dalam
Matahachi untukmu. Sekarang tenang-tenang saja dan mandilah yang baik."
la pun menyerahkan lentera itu pada Takezo dan menghilang ke belakang rumah. Hampir
pada waktu itu juga menantu perempuannya meninggalkan rumah, lari melintasi halaman dan
hilang ditelan malam. Dari kamar mandi, di mana lentera itu berayun-ayun, terdengar suara air berkecipak.
"Nah, bagaimana?" seru Osugi riang. "Cukup panas?"
"Cukup! Saya menjadi orang baru," sahut Takezo.
"Tenang-tenang saja dan hangatkan badanmu. Nasi belum matang."
"Terima kasih. Kalau saya tahu begini macamnya, mestinya saya datang lebih cepat. Saya
yakin Nenek akan menerima saya!" la bicara lagi dua-tiga kali, tapi suaranya tenggelam
oleh bunyi air, dan Osugi tidak menjawab. Tak lama kemudian menantu itu muncul kembali
di gerbang, kehabisan napas. la diikuti serombongan samurai dan barisan sukarela. Osugi
keluar rumah, menyambut mereka dengan bisikan.
"O, jadi Ibu suruh dia mandi. Cerdik sekali," kata salah seorang dari mereka dengan
kagum. "Ya, itu bagus sekali! Pasti kena dia kali ini!" Sesudah memecah diri menjadi
dua kelompok, orang-orang itu pun merunduk dan bergerak hati-hati seperti kelompok
katak ke arah api yang menyala terang di bawah kamar mandi.
Ada sesuatu-sesuatu yang tak dapat dijelaskan-menggelitik naluri Takezo, dan ia
mengintip lewat celah pintu. Maka tegaklah bulu romanya. "Aku dijebak!" pekiknya. Ia
telanjang bulat, dan kamar mandi itu pun kecil. Tak ada waktu untuk berpikir.
Di luar pintu ia melihat gerombolan orang bersenjata tongkat, lembing, dan pentung,
namun ia tak gentar. Rasa takut apa pun yang mungkin dimilikinya hapus oleh rasa
berangnya terhadap Osugi.
"Baik, bajingan-bajingan, awas," geramnya.
Ia sudah tak peduli lagi dengan banyaknya mereka. Dalam keadaan itu, seperti dalam
keadaan yang lain-lain juga, satu-satunya yang menurutnya barns dilakukan adalah
menyerang daripada diserang. Ketika calon-calon penangkapnya sedang mengatur langkah di
luar, dengan tiba-tiba ia tendang pintu sampai terbuka dan ia pun melompat ke udara,
disertai teriakan perang yang menakutkan. Dalam keadaan masih telanjang dan rambut
terburai ke sana kemari, ia tangkap dan rebut tangkai lembing pertama yang ditusukkan
kepadanya, hingga pemiliknya terpental ke semak-semak. Senjata itu digenggamnya eraterat, lalu ia menyerang ke sekitarnya seperti gasing yang berpusing. Begitu saja
diayunkannya senjata itu dan dihantamkannya pada siapa saja yang datang mendekat. Ia
mengambil pelajaran dari Sekigahara bahwa cara ini amat sangat efektif bagi orang yang
kalah dalam jumlah. Tangkai lembing sering dapat lebih jitu dipergunakan daripada
matanya. Para penyerang terlambat sadar bahwa mereka telah membuat kesalahan besar, karena tidak
dari semula mengirim tiga-empat orang menyerbu kamar mandi. Kini mereka hanya dapat
berteriak saling menyemangati. Namun jelas mereka telah lumpuh.
Sekitar sepuluh kali senjata Takezo mengenai tanah, dan senjata itu patah. Maka ia pun
mengambil karang besar dan melontarkannya kepada orang-orang yang sudah memperlihatkan
tanda-tanda mundur itu. "Lihat, dia lari masuk rumah!" seru seorang dari mereka, hampir bersamaan dengan
keluarnya Osugi dan menantu perempuannya dari rumah ke halaman belakang.
Dengan suara ingar-bingar Takezo mengacak-acak seluruh rumah. Pekiknya, "Mana pakaian
saya" Kembalikan pakaian saya!"
Di tempat itu berserakan pakaian kerja, juga lemari kimono yang besar. Tapi Takezo
tidak memperhatikannya. la hanya menajamkan matanya dalam cahaya lampu samar-samar
untuk menemukan pakaiannya sendiri yang compang-camping. Akhirnya dilihatnyaa pakaian
itu di sudut dapur, dicengkeramnya dengan sebelah tangan, dan begitu memperoleh pijakan
kaki di atas tungku tanah yang besar, ia pun merangkak keluar dari jendela kecil yang
tinggi. Ketika la merangkak ke atas, para pengejarnya yang sudah sama sekali bingung
itu tinggal mengutuk dan saling menyesali, karena gagal menjerat Takezo.
Berdiri di tengah atap, tanpa tergesa-gesa Takezo mengenakan kimononya. Disobeknya
sedikit kain ikat pinggang dengan giginya dan diikatnya rambutnya yang masih basah ke
belakang, dekat pada pangkalnya, dan demikian erat hingga alisnya dan sudut-sudut
matanya tertarik. Langit musim semi penuh dengan bintang.
*** 5. Seni Perang PENCARIAN yang dilakukan setiap hari di pegunungan berlangsung terus, dan kerja
pertanian pun mengendur. Orang kampung tak dapat mengerjakan ladangnya atau merawat
ulat sutranya. Papan-papan besar dipasang di depan rumah kepala kampung dan di setiap
persimpangan: pengumuman hadiah besar bagi siapa saja yang berhasil menangkap atau
membunuh Takezo. Juga imbalan memadai untuk informasi apa pun yang bisa menghasilkan
tertangkapnya Takezo. Pemberitahuan itu ditandatangani secara resmi oleh Ikeda
Terumasa, yang dipertuan di Puri Himeji.
Di kediaman Hon'iden berkecamuk suasana panik. Osugi dan keluarganya mengunci gerbang
utama dan merintangi semua jalan masuk. Mereka ketakutan setengah mati, jangan-jangan
Takezo datang membalas dendam. Para pencari, dengan petunjuk pasukan Himeji, menyusun
rencana-rencana baru untuk menjerat pelarian itu. Tapi ternyata usaha mereka tidak
membawa hasil. "Dia membunuh satu orang lagi!" seru satu orang kampung. "Di mana" Siapa kali ini?"
"Seorang samurai. Belum jelas siapa."
Mayat itu ditemukan di dekat jalan setapak di luar kampung. Kepalanya tergeletak dalam
rumpun rumput yang tinggi, kedua kakinya mencuat ke langit dalam kedudukan tak wajar.
Orang kampung terus datang-pergi dan berkasak-kusuk antarsesamanya. Mereka ketakutan,
tapi sangat ingin tahu. Tengkorak orang itu hancur, jelas akibat hantaman salah satu
papan tanda hadiah. Papan itu tergeletak melintang di tubuh yang basah oleh darah.
Orang-orang yang melongo melihat pemandangan itu, tidak dapat tidak, membaca daftar
hadiah yang dijanjikan itu. Beberapa orang tertawa muram melihat ironi mencolok itu.
Wajah Otsu mengerut pucat ketika ia muncul dari tengah-tengah kerumunan. Menyesal
karena telah melihat, ia pun bergegas menuju kuil dan mencoba menghapus gambaran wajah
orang mati yang terus terbayang di depan matanya. Di kaki bukit ia berpapasan dengan
kapten yang menginap di kuil dan lima-enam anak buahnya. Mereka telah mendengar
pembunuhan yang mengerikan itu dan sedang dalam perjalanan untuk menyelidikinya.
Melihat gadis itu, sang kapten menyeringai.
"Dari mana kau, Otsu?" tanyanya dengan sikap akrab menyenangkan."
"Belanja," jawab Otsu pendek. Tanpa melirik orang itu, la pun bergegas mendaki anak
tangga kuil. Otsu sejak semula tidak suka kepadanya. Kumisnya seperti tali. Itu yang
paling tidak disukainya. Tapi sejak malam orang itu mencoba memaksanya, melihatnya saja
sudah membuat ia jijik. Takuan sedang duduk di depan ruang utama, bermain dengan seekor anjing kampung. Otsu
bergegas lewat agak jauh dari situ untuk menghindari binatang kotor itu, ketika Takuan
melihatnya dan memanggil, "Otsu, ada surat buatmu."
"Buat saya?" tanya Otsu tak percaya.
"Ya, kau sedang pergi ketika pesuruh datang, karena itu dia tinggalkan surat itu
padaku." Dikeluarkannya sebuah gulungan kecil dari lengan kimononya dan diserahkannya
pada Otsu. Katanya, "Kau kelihatan kurang sehat. Ada apa?"
"Saya mual. Tadi saya lihat orang mati menggeletak di rumput. Matanya masih terbuka,
dan darah..." "Kau tak perlu melihat hal-hal seperti itu. Tapi kalau melihat keadaan sekarang,
terpaksa kau mesti menutup mata kalau pergi ke mana-mana. Hari-hari ini aku selalu
bertemu mayat. Ha! Padahal tadinya kudengar kampung ini seperti surga kecil!"
"Kenapa Takezo membunuh orang?"
"Supaya mereka tidak membunuhnya, tentu saja. Mereka tak punya alasan sama sekali untuk
membunuhnya, jadi kenapa pula dia mesti membiarkan mereka?"
"Takuan, saya takut!" kata Otsu memohon. "Apa yang mesti kita lakukan kalau dia datang
kemari?" Mendung gelap bergumpal-gumpal di atas pegunungan. Otsu menerima surat misterius itu
dan pergi menyembunyikan diri di kamar tenun. Pada alat tenun terpasang secarik kain
kimono lelaki yang belum selesai. Sejak tahun lalu selalu ia menggunakan waktu luangnya
dengan memintal benang sutra untuk pakaian itu. Itu untuk Matahachi. la merasa senang
bahwa nantinya dapat menjahit semua bagian kain itu menjadi satu kimono lengkap. la
menenun setiap helainya dengan sangat cermat, seakan-akan menenun itu sendiri


Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendekatkan Matahachi padanya. la ingin pakaian itu kekal selamanya.
Sambil duduk di depan alat tenun, ia menatap surat itu dengan saksama. "Siapa yang
mengirim?" bisiknya pada diri sendiri. la merasa surat itu tentunya ditujukan pada
orang lain. Berulang kai ia baca alamatnya untuk mencari kesalahannya.
Surat itu jelas sudah menempuh jalan panjang sebelum sampai kepadanya. Bungkusannya
sudah sobek-sobek dan lusuh, penuh dengan noda bekas jari dan titik air hujan. Ketika
segelnya dibuka, yang jatuh ke pangkuannya bukannya satu, melainkan dua surat. Yang
pertama ditulis seorang wanita yang tak dikenal, seorang wanita yang sudah agak tua,
begitulah terkanya cepat.
Saya menulis hanya untuk membenarkan apa yang tertulis dalam surat satunya. Karenanya
saya tidak akan berbicara terperinci.
Saya sudah kawin dengan Matahachi dan menerimanya dalam keluarga saya. Meskipun begitu,
dia rupanya masih memikirkan Anda. Saya kira, salahlah kalau kita membiarkan saja hal
itu. Karena itu Matahachi dengan ini mengirimkan penjelasan, dan saya memberikan
kesaksian atas kebenaran penjelasan itu.
Harap lupakan Matahachi. Hormat saya, Oko Surat satunya berisi tulisan cakar ayam Matahachi dan berisi penjelasan panjang yang
menjemukan, mengenai semua alasan kenapa ia tidak mungkin pulang. Intinya tentu saja
permintaan agar Otsu melupakan pertunangan dengannya dan agar menemukan suami lain.
Matahachi menambahkan, karena "sukar" baginya menulis langsung kepada ibunya tentang
persoalan itu, ia akan berterima kasih apabila Otsu mau membantu. Kalau Otsu kebetulan
bertemu dengan ibunya, ia diminta menyampaikan bahwa Matahachi masih hidup dan sehat,
serta tinggal di provinsi lain.
Otsu merasa sumsum tulang punggungnya berubah menjadi es. la duduk terpukau, terlampau
terguncang untuk dapat berteriak atau sekadar mengedip. Kuku-kuku jarinya yang memegang
surat itu berubah sewarna dengan kulit orang mati yang dilihatnya kurang dari sejam
sebelumnya. Jam-jam berlalu. Semua orang di dapur mulai bertanya-tanya di mana gerangan Otsu.
Kapten yang diserahi tugas melakukan pencarian merasa puas dapat memerintahkan orangorangnya yang kelelahan itu tidur di hutan, tapi ketika ia sendiri kembali ke kuil pada
senja hari, ia pun menuntut kenikmatan yang sesuai dengan statusnya. Air mandi harus
dipanaskan sepantasnya. Ikan segar dari kali harus disiapkan menurut petunjukpetunjuknya, dan satu orang harus mengambil sake mutu terbaik dari salah satu rumah
kampung. Banyak sekali pekerjaan harus dilakukan untuk menyenangkan orang itu, dan
sebagian besar pekerjaan itu jatuh pada Otsu. Karena Otsu menghilang, makan malam si
kapten terlambat. Takuan pun pergi mencarinya. la sama sekali tidak memikirkan si kapten. Yang
dikhawatirkannya adalah Otsu. Bukan kebiasaan gadis itu untuk pergi tanpa memberitahu.
Sambil memanggil-manggil namanya, biarawan itu melintasi pekarangan kuil dan melewati
kamar tenun beberapa kali. Karena pintu kamar itu tertutup, tak mau la bersusah-susah
melihat ke dalam. Beberapa kali pendeta kuil keluar lorong tinggi dan berseru kepada Takuan, "Belum juga
ketemu" Mestinya di sini-sini saja." Tapi lama kelamaan ia pun bingung, dan serunya,
"Cepat temukan dia! Tamu kita bilang tak bisa minum sake kalau bukan Otsu yang
menuangkan." Pembantu kuil disuruh menuruni bukit untuk mencari Otsu sambil membawa lentera. Hampir
bersamaan waktunya dengan keberangkatan pembantu itu, Takuan pun akhirnya membuka pintu
kamar tenun. Apa yang dilihatnya di dalam sungguh mengejutkannya. Otsu terkulai di atas alat tenun,
jelas dalam keadaan dirundung kesedihan. Karena tak ingin mengganggu, Takuan diam saja
memandang kedua surat yang kusut dan sobek di tanah. Surat itu telah diinjak-injak
seperti sepasang boneka jerami.
Takuan memungutnya. "Apa ini bukan yang dibawa pesuruh hari ini?" tanyanya lembut.
"Kenapa kau tidak menyimpannya?"
Otsu menggeleng lesu. "Semua orang sudah setengah gila mengkhawatirkanmu. Aku sendiri sudah mencari ke manamana. Ayo pulang, Otsu. Aku tahu kau enggan, tapi kau betul-betul harus kerja. Yang
jelas, kau mesti melayani Kapten. Pendeta tua itu sudah hilang akal."
"Kepala saya... kepala saya sakit," bisik Otsu. "Bapak, apa tak bisa mereka meliburkan
saya... malam ini saja?"
Takuan mengeluh. "Otsu, aku pribadi berpendapat kau tak usah menghidangkan sake
untuknya malam ini atau malam kapan pun. Tapi pendeta itu lain pendapatnya. Dia manusia
dari dunia ini. Dia bukan orang yang dapat merebut rasa hormat atau dukungan daimyo
bagi kuilnya lewat kebesaran jiwa semata-mata. Dia percaya bahwa dia mesti
menghidangkan anggur dan makanan agar Kapten senang selalu." Takuan menepuk punggung
Otsu. "Lagi pula, dia sudah menerima dan membesarkanmu, jadi kau berutang budi padanya.
Kau tak boleh tinggal terlalu lama di sini."
Dengan enggan Otsu pun menurut. Ketika Takuan membantunya berdiri, ia menengadahkan
wajahnya yang basah oleh air mata kepada Takuan dan berkata, "Saya akan pergi, asal
Bapak berjanji menemani saya."
"Aku tidak keberatan, tapi si Jenggot Jarang tua itu tak suka padaku. Tiap kali aku
melihat kumis konyol itu, aku jadi ingin sekali mengatakan bahwa kumis itu lucu sekali.
Aku tahu perasaan itu kekanak-kanakan, tapi ada beberapa orang yang memang begitu
pengaruhnya terhadapku."
"Tapi sava tak mau ke sana sendirian!"
"Tapi Pendeta ada di sana, kan?"
"Ya, tapi dia selalu pergi kalau saya datang."
"Hmmm. Itu kurang baik juga. Baiklah, aku akan mengawanimu. Sekarang jangan pikirkan
lagi, dan basuh mukamu."
Ketika akhirnya Otsu muncul di petak pendeta, kapten yang sudah membongkok mabuk itu
jadi gembira. la meluruskan topinya yang dari tadi sudah sangat miring. la jadi sangat
riang dan berkali-kali minta dituangkan sake lagi. Segera kemudian mukanya jadi merah
padam, dan sudut-sudut matanya yang melotot itu mulai turun.
Sekalipun demikian, tidak sepenuhnya ia merasa senang, dan sebabnya adalah hadirnya
satu orang yang tidak dikehendakinya di kamar itu. Di sebelah lampu, Takuan duduk
membungkuk seperti pengemis buta, asyik membaca buku yang terbuka di atas lututnya.
Biarawan itu dikira pembantu pendeta, dan si kapten menudingnya sambil berteriak, "Hei,
yang di sana itu!" Takuan terus juga membaca, sampai Otsu menyodoknya. Ia mengangkat matanya yang kosong
dan memandang ke sekitar, katanya, "Kapten memanggil saya?"
Kapten menjawab pedas, "Ya, kamu! Aku tak ada urusan denganmu. Pergi dari sini!"
"Oh, tapi saya tidak keberatan di sini," jawab Takuan polos. "Oh, tidak keberatan, ya?"
"Sama sekali tidak," kata Takuan dan kembali membaca buku.
"Tapi aku keberatan," gertak si kapten. "Rasa sake jadi rusak karena ada or
ang membaca." "Oh, maaf," jawab Takuan bernada ejekan. "Saya ini sungguh tidak sopan. Kalau begitu,
akan saya tutup buku saya."
"Melihat buku itu saja aku sudah jengkel."
"Baiklah. Akan saya minta Otsu menyingkirkannya."
"Bukan... bukan itu, tapi kau sendiri, goblok! Kau ini bikin rusak suasana."
Wajah Takuan menjadi sungguh-sungguh. "Wah, kalau begitu sulit juga, ya. Soalnya karena
saya bukan Wuk'ung yang suci dan dapat mengubah diri menjadi kepulan asap, atau menjadi
serangga, lalu hinggap di baki Kapten,"
Leher kapten yang merah itu pun menggembung dan matanya melotot. la jadi tampak seperti
ikan buntal. "Keluar kamu, bodoh! Enyah dari mukaku!"
"Baik," kata Takuan tenang sambil membungkuk. Sambil memegang tangan Otsu ia pun
berkata pada gadis itu, "Tamu bilang dia lebih suka seorang diri. Cinta kesendirian
adalah tanda kebijaksanaan. Kita tak boleh mengganggunya lagi. Ayo."
"Kenapa... kenapa, kamu... kamu..."
"Ada apa rupanya?"
"Siapa bilang Otsu mesti pergi denganmu, orang pandir jelek?"
Takuan pun melipat kedua tangannya. "Sudah bertahun-tahun saya memperhatikan, tidak
banyak pendeta atau biarawan yang tampan. Tapi samurai juga begitu, saya kira. Anda
sendiri, umpamanya."
Mata si kapten hampir saja melompat dari ceruknya, "Apa!"
"Apa Kapten sudah mengamati kumis Kapten" Maksud saya, apa Kapten sungguh-sungguh
menyediakan waktu untuk menatapnya dan menilainya secara objektif?"
"Anak haram jadah!" teriak Kapten seraya mengambil pedang yang tersandar di dinding.
"Jaga dirimu!" Takuan berdiri, dan sambil memandang Kapten dengan sebelah matanya ia
pun bertanya tenang, "Hmm. Bagaimana saya mesti menjaga diri saya sendiri?"
Kapten pun memekik sambil memegang pedangnya yang masih tersarung,
"Sudah cukup aku diejek. Sekarang giliranmu menerima akibatnya!"
Takuan jadi tertawa. "Itu berarti Kapten mau memenggal kepala saya" Kalau begitu,
lupakan saja. Membosankan sekali."
"Ha?" "Membosankan. Tak bisa saya membayangkan hal yang lebih membosankan daripada memenggal
kepala seorang biarawan. Kepala itu akan jatuh begitu saja ke lantai dan menggeletak di
situ menertawakan Kapten. Itu bukan prestasi besar. Apa gunanya buat Anda?"
"Hah," geram Kapten, "kalau begitu aku puas bila bisa membungkam mulutmu. Biar sukar
buatmu melanjutkan bualan kurang ajar!" Dengan keberanian yang biasa dimiliki orang
hanya karena memegang senjata, ia pun tertawa terbahak-bahak jelek sekali dan maju
dengan sikap mengancam. "Kapten!" Tingkah laku Takuan yang asal saja itu membuatnya demikian berang, hingga tangannya
yang memegang sarung pedang bergetar hebat. Otsu menengahi kedua orang itu, berusaha
melindungi Takuan. "Apa pula bicara Bapak ini?" katanya dengan maksud mengendurkan perasaan dan
melambatkan tindakan. "Bukan begitu caranya bicara dengan prajurit. Coba sekarang
katakan Bapak menyesal," mohonnya. "Ayolah, minta maaf pada Kapten."
Tapi Takuan sama sekali tidak mundur.
"Minggir, Otsu. Aku tak apa-apa. Apa kaupikir akan kubiarkan diriku dipenggal oleh
orang tolol macam ini" Memang dia mengepalai berpuluh orang yang terampil bersenjata,
tapi dua puluh hari dibuangnya hanya untuk menemukan tempat seorang pelarian yang sudah
kecapekan dan setengah kelaparan. Kalau dia tak punya cukup akal buat menemukan Takezo,
akan mengherankan sekali kalau dia dapat mengalahkanku!"
"Jangan bergerak!" perintah Kapten. Mukanya membengkak menjadi warna lembayung ketika
ia bergerak menarik pedangnya. "Minggir, Otsu! Biar kupotong pembantu pendeta bermulut
besar ini menjadi dua!"
Otsu menjatuhkan diri ke kaki Kapten dan memohon, "Kapten cukup punya alasan untuk
marah, tapi saya minta Kapten bersabar. Dia orang yang tidak begitu beres. Bicaranya
memang begitu dengan semua orang. Dia tidak bermaksud apa-apa, sungguh!" Air mata
bercucuran dari matanya. "Apa katamu, Otsu?" kata Takuan keberatan. "Tak ada yang salah dengan otakku, dan aku
bukannya melucu. Aku hanya mengemukakan kebenaran, tapi rupanya orang tak suka
mendengarnya. Dia tolol, makanya kusebut dia tolol. Apa maumu aku berdusta?"
"Lebih baik jangan kauulangi," guntur samurai itu.
"Aku akan bicara sesukaku. Memang rasanya tak ada bedanya buat kalian para serdadu,
berapa pun waktu yang kalian hamburkan buat mencari Takezo. Tapi itu beban luar biasa
buat petani. Apa kalian menyadari apa yang kalian lakukan terhadap mereka" Mereka tak
bisa makan kalau kalian teruskan ini. Barangkali malahan tak terpikir oleh kalian,
bagaimana mereka terpaksa menelantarkan sama sekali kerja ladangnya untuk mengikuti
perburuan angsa liar kalian yang berantakan itu. Dan tanpa upah pula! Sungguh
memalukan!" "Jangan sembarangan kamu, pengkhianat. Itu fitnah besar terhadap pemerintah Tokugawa!"
"Bukan pemerintah Tokugawa yang kukritik, tapi pejabat-pejabat birokrat seperti kamu
yang berdiri antara daimyo dan rakyat jelata ini, yang bisa saja mencuri upah yang
mestinya mereka terima. Satu hal lagi, kenapa kau bermalas-malasan di sini malam ini"
Siapa yang memberimu hak bersantai pakai kimono yang manis dan enak, nyaman dan hangat,
mandi seenaknya dan minum sake sebelum tidur dengan layanan seorang gadis manis" Apa
itu yang kausebut mengabdi kepada atasan?"
Kapten itu bungkam. "Apa bukan tugas samurai untuk mengabdi kepada atasan dengan jujur dan tak kenal lelah"
Apa bukan tugas Kapten menunjukkan kebajikan kepada rakyat yang membanting tulang demi
daimyo" Coba lihat diri sendiri, Kapten! Kau menutup mata pada kenyataan bahwa kau
menarik para petani dari kerja yang menghasilkan makanan mereka sehari-hari. Kau bahkan
tidak memikirkan sama sekali anak buahmu. Kau mestinya melakukan misi resmi, tapi apa
yang kaulakukan" Setiap ada kesempatan, kaulahap makanan dan minuman orang lain yang
diperoleh dengan susah payah, dan kaugunakan kedudukanmu untuk mendapat penginapan yang
paling menyenangkan. Aku berani mengatakan, kau adalah contoh korupsi yang klasik.
Kauselimuti diri dengan kekuasaan atasanmu untuk menghamburkan tenaga rakyat jelata,
untuk tujuan-tujuan pribadimu sendiri."
Kini Kapten sudah demikian terpesona, hingga tak dapat menutup mulutnya yang menganga.
Takuan mendesak terus. "Sekarang cobalah potong kepalaku dan kirimkan kepada Yang Dipertuan Ikeda Terumasa!
Percayalah, dia akan kaget. Barangkali dia akan berkata, 'Hai, Takuan! Jadi, hanya
kepalamu yang datang menghadap hari ini" Di mana bagian badanmu yang lain"'
"Pasti kau berminat mengetahui bahwa Yang Dipertuan Terumasa dan aku biasa bersama-sama
ambil bagian dalam upacara minum teh di Myoshinji. Kami berdua pun berkali-kali
mengobrol lama dan hangat di Daitokuji, Kyoto."
Kegarangan si Jenggot Jarang menguap dalam sekejap. Mabuknya pun sudah sedikit
berkurang, sekalipun tampaknya ia masih belum dapat menilai apakah yang dikatakan
Takuan itu benar atau tidak. la tampak lumpuh, dan tidak tahu mau bertindak bagaimana.
"Pertama-tama, lebih baik kau duduk dulu," kata biarawan itu. "Kalau kaupikir aku
bohong, aku senang bisa pergi bersamamu ke puri dan menghadap Yang Dipertuan sendiri.
Sebagai hadiah, aku bisa membawakannya tepung soba lezat, yang bisa dibikin orang sini.
Beliau suka sekali tepung itu.
"Tapi tak ada yang lebih capek, dan tak ada yang paling tidak kusukai daripada
mendatangi seorang daimyo. Dan lagi, kalau orang-orang yang menjadi korban tindakanmu
di Miyamoto kebetulan datang selagi kami mengobrol sambil minum teh, aku tak dapat
berbohong. Kejadiannya barangkali akan berakhir dengan kau bunuh diri gara-gara
ketidakmampuanmu. "Sudah dari semula kukatakan supaya jangan mengancamku, tapi kalian para prajurit ini
memang sama saja. Kalian tak pernah berpikir tentang konsekuensi. Dan inilah kekurangan
kalian yang terbesar. "Sekarang turunkan pedang itu; akan kuceritakan hal lain."
Kapten yang sudah tak berdaya itu pun menurut.
"Kau tentu kenal dengan buku Seni Perang karangan Jenderal Sun-tzu, yang merupakan
karya klasik Cina tentang strategi militer" Aku yakin prajurit setarafmu kenal sekali
dengan buku yang demikian penting. Aku menyebutnya karena aku ingin memberikan satu
pelajaran yang menggambarkan salah satu prinsip utama buku itu. Aku mau menunjukkan
kepadamu bagaimana menangkap Takezo tanpa kehilangan lagi anak buah atau menyebabkan
orang kampung mendapat kesulitan lebih dari yang sudah kauberikan. Ini ada hubungannya
dengan kerja resmimu, karena itu kau mesti benar-benar memperhatikannya." la menoleh
pada sang gadis. "Otsu, tolong tuangkan secangkir sake lagi untuk Kapten."
Kapten itu lelaki umur empat puluhan, kira-kira sepuluh tahun lebih tua daripada
Takuan, tapi jelas dari wajah mereka waktu itu bahwa kekuatan watak tak ada urusannya
dengan umur. Cacian lisan Takuan telah merendahkan orang yang lebih tua itu, dan
keangkuhannya pun menguap.
Dengan takut-takut ia berkata, "Tidak, saya tak mau lagi sake. Saya minta Anda
memaafkan saya. Saya tak tahu sama sekali bahwa Anda teman Yang Dipertuan Terumasa.
Maaf, saya telah berlaku terlalu kasar." la jadi begitu tertekan, hingga tampak
menggelikan, tapi Takuan menahan diri untuk tidak lebih memojokkannya lagi.
"Mari kita lupakan saja. Yang ingin kubicarakan adalah bagaimana menangkap Takezo.
Itulah yang harus Anda lakukan untuk melaksanakan perintah dan menjaga kehormatan Anda
sebagai samurai." "Ya." "Tentu saja aku juga tahu bahwa buat Anda tidak penting berapa lama dibutuhkan untuk
menangkap orang itu. Bukankah makin lama waktu itu, makin lama Anda bisa tinggal di
kuil ini, makan, dan mengerling Otsu?"
"Saya minta jangan membawa-bawa lagi soal itu. Terutama di depan Yang Dipertuan."
Serdadu itu pun tampak seperti seorang anak yang akan menangis.
"Aku bersedia menganggap seluruh peristiwa ini sebagai rahasia. Tapi kalau pencarian di
pegunungan sepanjang hari itu berjalan terus, para petani akan mengalami kesulitan
besar. Tidak hanya para petani, tetapi juga penduduk kampung terlalu limgung dan
ketakutan untuk melakukan pekerjaan yang biasa. Menurut penglihatanku, kesulitannya
adalah Anda tidak menggunakan strategi yang sewajarnya. Bahkan menurut pendapatku Anda
tidak menggunakan strategi sama sekali. Apa betul anggapanku, bahwa Anda tidak mengenal
Seni Perang?" "Saya malu mengakuinya, tapi memang demikian."
"Nah, Anda harus merasa malu. Karena itu tak akan kaget kalau aku sebut Anda tolol.
Anda bisa saja seorang pejabat, tapi menyedihkan sekali, Anda orang yang tidak
berpendidikan dan sama sekali tidak efektif. Tapi tak ada gunanya membikin pusing Anda.
Aku hanya akan mengusulkan sesuatu. Aku pribadi menawarkan diri untuk menangkap Takezo
dalam tiga hari." "Anda menangkap dia?"
"Apa Anda kira aku berkelakar?"
"Tidak, tapi..."
"Tapi apa?" "Tapi kalau dihitung tenaga bantuan dari Himeji dan semua petani serta prajurit itu,
lebih dari dua ratus orang sudah menjelajahi pegunungan itu hampir tiga minggu
lamanya."

Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku paham betul."
"Dan karena sekarang ini musim semi, Takezo beruntung. Banyak yang bisa dimakan pada
musim ini." "Kalau begitu, apa Anda merencanakan untuk menunggu sampai turun saiju" Kira-kira
delapan bulan lagi?"
"Tidak, saya pikir tak bisa."
"Tentu saja tidak bisa. Justru karena itu aku menawarkan diri menangkapnya untuk Anda.
Aku tidak membutuhkan bantuan; aku dapat melakukannya sendiri. Tapi pikir-pikir,
barangkali aku akan membawa serta Otsu. Ya, kami berdua cukuplah."
"Anda main-main saja, kan?"
"Diam dulu! Apa menurut Anda, Takuan Soho menghabiskan seluruh waktunya buat bikin
lelucon?" "Maaf." "Seperti kukatakan tadi, Anda tidak mengenal Seni Perang, padahal menurut pendapatku,
itulah sebab terpenting kegagalan Anda yang memalukan. Sebaliknya, mungkin saja aku
hanya seorang pendeta sederhana, tapi aku memahami Sun-tzu. Sekarang tinggal satu
syarat lagi. Kalau Anda tak setuju, aku terpaksa duduk lagi dan melihat saja Anda terus
membuat kesalahan besar, sampai salju jatuh, dan barangkali juga kepala Anda."
"Apa syaratnya?" tanya Kapten hati-hati.
"Kalau aku berhasil membawa pulang pelarian itu, akulah yang menentukan nasibnya."
"Apa maksud Anda?" Kapten menarik-narik kumisnya. Berbagai pikiran berkecamuk dalam
kepalanya. Bagaimana mungkin ia bisa yakin biarawan aneh ini tidak akan menipunya"
Walau ia bicara lancar, ada kemungkinan ia sama sekali tidak waras. Mungkinkah ia teman
Takezo, seorang anteknya" Mungkinkah ia tahu di mana orang itu bersembunyi" Tapi
kalaupun tidak tahu-rasanya memang tidak-apa salahnya memberinya kesempatan, sekadar
untuk melihat apakah ia berhasil dengan rencana gilanya. Setidak-tidaknya barangkali ia
dapat memetik hasil pada saat terakhir. Dengan pikiran itu, Kapten mengangguk tanda
setuju. "Baiklah kalau begitu. Kalau Anda menangkapnya, Anda dapat memutuskan apa
hukumannya. Tapi bagaimana kalau Anda tidak dapat menemukannya dalam tiga hari?"
"Aku akan gantung diri pada pohon kriptomeria di kebun itu."
Pagi harinya pembantu kuil dengan wajah sangat gelisah berlari ke dapur. Terengah-engah
ia berseru, "Apa Takuan sudah gila" Saya dengar dia berjanji mencari Takezo sendiri!"
Mata orang-orang di dapur terbelalak. "Tidak!"
"Tidak, sungguh-sungguh gila!"
"Bagaimana dia akan menangkapnya?"
Jawaban-jawaban konyol dan ketawa mengejek pun terdengar, tapi terdengar juga bisikan
terpendam yang mengandung kekhawatiran.
Ketika berita itu sampai ke telinga pendeta kuil, ia mengangguk bijaksana dan
mengatakan bahwa mulut manusia itu pintu bencana. Tetapi yang betul-betul paling
khawatir adalah Otsu. Hanya sehari sebelumnya surat selamat tinggal Matahachi
melukainya. Lukanya lebih perih dibanding berita kematiannya. Ia mempercayai
tunangannya itu, dan bahkan bersedia menenggang Osugi yang dahsyat itu sebagai mertua
tukang perintah, demi Matahachi. Kepada siapa ia harus berpaling kini"
Bagi Otsu yang sudah tercebur dalam kegelapan dan keputusasaan, Takuan merupakan titik
terang dalam hidup ini. Sinar harapannya yang terakhir. Sehari sebelumnya, ketika ia
menangis sendirian di kamar tenun, ia mengambil pisau tajam dan mengiris-iris sampai
lumat kain kimono yang sungguh-sungguh telah disulami jiwanya. la juga sudah bermaksud
menghunjamkan bilah tajam itu ke dalam tenggorokannya. la sangat tergoda untuk
melakukan hal itu, namun munculnya Takuan akhirnya membuyarkan maksud itu dari
kepalanya. Takuan menghiburnya dan meyakinkannya agar setuju menuangkan sake, dan
Takuan akhirnya menepuk punggungnya. Ia masih dapat merasakan hangatnya tangan kokoh
biarawan itu ketika membimbingnya ke luar kamar tenun.
Dan sekarang Takuan membuat perjanjian yang sinting.
Otsu tidak begitu memedulikan keselamatannya sendiri. Yang lebih dipedulikannya adalah
kemungkinan satu-satunya teman di dunia ini akan hilang juga karena usul tololnya. la
merasa putus asa dan sangat tertekan. Akal sehatnya menyatakan aneh kalau ia dan Takuan
dapat menemukan tempat Takezo dalam waktu sesingkat itu.
Takuan bahkan sudah berani bertukar sumpah dengan si Jenggot Jarang di hadapan altar
Hachiman, dewa perang. Ketika Takuan kembali, Otsu menegurnya dengan keras karena
sikapnya yang terburu-buru itu, tetapi Takuan berkeras tak ada yang mesti
dikhawatirkan. Katanya, tujuannya adalah meringankan beban kampung, mengamankan kembali
lalu lintas di jalan raya, dan mencegah berlangsungnya terus pemborosan hidup manusia.
Mengingat jumlah nyawa yang dapat diselamatkan kalau Takezo bisa cepat ditangkap,
nyawanya sendiri tidaklah begitu penting. Takuan pun meminta agar Otsu beristirahat
sebanyak-banyaknya menjelang malam hari berikutnya, saat mereka berangkat. Otsu harus
ikut tanpa mengeluh, dan percaya penuh padanya. Otsu sudah terlampau bingung untuk
menolak, lagi pula pilihan untuk tinggal di kuil dan selalu gelisah lebih buruk lagi
dibanding dengan pergi. Petang hari berikutnya Takuan masih tidur bersama kucing di sudut bangunan utama kuil.
Wajah Otsu cekung. Baik pendeta, pesuruh, maupun pembantu pendeta mencoba meyakinkannya
untuk tidak pergi. "Pergi saja sembunyi," itulah nasihat praktis mereka, tapi karena
alasan-alasan yang hampir tak dapat dimengertinya sendiri, Otsu sama sekali tidak
tergerak untuk berbuat demikian.
Matahari tenggelam dengan cepat, dan bayang-bayang malam yang pekat mulai menyelimuti
celah-celah jajaran gunung yang menandai alur Sungai Aida. Kucing melompat turun dari
emperan kuil, dan akhirnya Takuan sendiri keluar ke beranda. Seperti si kucing, ia pun
meregangkan anggota badannya sambil menguap lebar.
"Otsu," panggilnya, "lebih baik kita berangkat sekarang."
"Sudah saya kemasi semuanya-sandal jerami, tongkat, pembalut kaki, obat-obatan, kertas
minyak polonia." "Ada yang kamu lupa."
"Apa" Senjata" Apa kita mesti bahwa pedang atau lembing, atau yang lain?"
"Tentu saja tidak! Aku mau bawa bekal makanan."
"O, maksud Bapak beberapa kotak makan siang?"
"Bukan, makanan yang enak. Aku mau bawa nasi, bumbu kacang, dan... o, ya, sedikit sake.
Apa saja yang enak bolehlah. Aku juga butuh kuali. Pergi ke dapur sana, bikin bungkusan
yang besar. Dan bawa pikulan."
Pegunungan dekat tempat itu kini lebih hitam dibanding pernis yang paling hitam,
sedangkan pegunungan yang di kejauhan lebih pucat daripada mika. Waktu itu musim semi
sudah hampir usai, angin berbau wangi dan hangat. Bambu bergaris dan tumbuhan jalar
wistaria menjerat kabut. Makin jauh Takuan dan Otsu meninggalkan kampung, pegunungan
dengan dedaunan yang berkilat-kilat lemah oleh cahaya suram makin tampak seakan
bermandikan hujan petang hari. Mereka berjalan beriringan menembus kegelapan, masingmasing memikul ujung pikulan bambu yang digantungi bungkusan yang terikat baik-baik.
"Malam yang bagus buat jalan-jalan, ya?" kata Takuan sambil menoleh ke belakang.
"Rasanya kurang begitu indah," gerutu Otsu. "Ke mana kita pergi?"
"Aku belum tahu," jawab Takuan, tampak berpikir sedikit, "tapi mari kita jalan lebih
jauh lagi sedikit." "Saya sih tidak keberatan jalan."
"Apa kau capek?"
"Tidak," jawab gadis itu, tapi pikulan itu jelas menyakitinya, karena setiap kali ia
memindahkannya dari bahu satu ke bahu lain.
"Di mana saja orang-orang ini" Tak seorang pun kulihat."
"Kapten tidak memperlihatkan muka di kuil sepanjang hari tadi. Saya berani bertaruh,
dia menyuruh pulang para pencari, supaya kita dapat sendirian saja tiga hari ini. Pak
Takuan, bagaimana caranya menangkap Takezo?"
"0, jangan khawatir. Cepat atau lambat dia akan muncul."
"Tapi dia belum pernah menemui siapa pun. Kalau nanti dia muncul, apa yang akan kita
lakukan" Sesudah diburu orang banyak begitu lama, tentunya dia nekat sekarang. Dia
berjuang demi hidupnya, dan dia sangat kuat. Memikirkan itu saja kaki saya sudah
gemetar." "Hati-hati! Awas kakimu!" seru Takuan tiba-tiba.
"Oh!" teriak Otsu ketakutan, langkahnya langsung terhenti. "Ada apa" Kenapa Bapak bikin
takut saya?" "Jangan khawatir. Bukan Takezo. Aku cuma mau mengingatkan kamu supaya jalan yang balk.
Banyak wistaria dan perangkap semak sepanjang pinggir jalan ini."
"Apa para petani itu yang memasangnya di sini buat menangkap Takezo?"
"He-eh. Tapi kalau kita tidak hati-hati, kita yang akan masuk kedalamnya."
"Takuan, kalau Bapak bicara soal itu, saya jadi gugup dan tak bisa melangkah."
"Apa yang kau khawatirkan" Kalaupun kita terperangkap, aku yang lebih dulu Tak perlu
kau menyusulku." la menyeringai pada Otsu. "Menurutku, sia-sia saja mereka menempuh
banyak kesulitan." Sesudah diam sekejap, ia pun menambahkan, "Otsu, apa menurutmu
jurang ini tidak makin sempit?"
"Tak tahulah saya, tapi sisi belakang Sanumo sudah kita lewati beberapa waktu lalu. Ini
tentunya Tsujinohara."
"Kalau begitu, kita terpaksa jalan sepanjang malam ini."
"Ah, saya bahkan tak tahu ke mana kita ini. Kenapa bicara soal jalan pada saya?"
"Mari kita turunkan beban ini sebentar." Habis meletakkan bungkusan itu ke tanah,
Takuan pergi menuju karang yang berdekatan.
"Bapak mau ke mana?"
"Mau buang air."
Seratus kaki di bawah Takuan, kali-kali kecil yang bergabung menjadi Sungai Aida
mengguntur dari batu ke batu. Bunyi itu menderu menuju dirinya, memenuhi telinganya,
dan menembus seluruh dirinya. Sambil buang air kecil, ia memandang ke langit, seakanakan menghitung-hitung bintang. "Oh, nikmat rasanya!" katanya bersuka hati. "Aku
menyatu dengan alam semesta, atau alam semesta menyatu denganku?"
Akhirnya ia kembali dan jelasnya, "Ketika di sana tadi, aku membuka-buka Buku
Perubahan, dan sekarang aku tahu pasti tindakan apa yang akan kita ambil. Sudah jelas
sekarang." "Buku Perubahan" Bapak tidak membawa buku."
"Bukan yang tertulis, tapi yang ada dalam diriku. Buku Perubahan asli milikku sendiri.
Dia ada dalam hati, atau perut, atau di tempat lain. Ketika berdiri di sana tadi, aku
memikirkan letak tanah, penampilan air, dan keadaan langit. Kemudian aku menutup mata,
dan ketika aku membukanya, ada yang mengatakan, 'Pergi ke gunung di sana itu." la
menunjuk ke puncak yang dekat.
"Maksud Bapak, Gunung Takateru?"
"Aku tidak tahu namanya. Pokoknya, yang setengahnya dataran terbuka." "Orang
menyebutnya padang rumput Itadori."
"O, jadi ada namanya?"
Ketika mereka sampai, padang rumput itu ternyata sebuah dataran kecil yang melandai ke
tenggara dan memberikan pemandangan indah daerah sekitar. Para petani biasa menggiring
kuda dan lembunya ke sana untuk merumput, tapi malam itu tak seekor binatang pun
kelihatan atau terdengar. Ketenangan di situ hanya terpecahkan oleh angin musim semi
yang hangat membelai rerumputan.
"Kita berkemah di sini," ucap Takuan. "Takezo, musuh itu, akan jatuh ke tanganku tepat
seperti Jenderal Ts'ao dari Wei jatuh ke tangan Ch'u-ko K'ung-ming."
Ketika mereka sudah menurunkan beban, Otsu bertanya, "Apa yang kita lakukan di sini?"
"Duduk," jawab Takuan mantap.
"Bagaimana kita bisa menangkap Takezo kalau hanya duduk di sini?" "Dengan jaring pun
kita dapat menangkap burung terbang tanpa mesti terbang sendiri."
"Tapi kita belum memasang jaring sama sekali. Apa Bapak yakin tidak kesurupan rubah
atau yang lain"' "Kalau begitu, mari bikin api. Rubah takut api, jadi kalau aku kesurupan, aku bisa
lekas bebas." Mereka mengumpulkan kayu kering, dan Takuan membuat api. Semangat Otsu tampak naik.
"Api yang baik membuat gembira orang, betul tidak?"
"Yang jelas menghangatkan. Tapi, apa kau sedang sedih?"
"Oh, Takuan, Bapak sudah lihat sendiri bagaimana perasaan saya selama ini. Dan saya
rasa tak ada orang yang betul-betul suka menginap di pegunungan seperti ini. Apa yang
akan kita lakukan, seandainya sekarang ini turun hujan?"
"Dalam perjalanan ke atas tadi, aku melihat gua dekat jalan. Kita dapat berteduh di
sana sampai hujan berhenti."
"Itulah barangkali yang dilakukan Takezo pada malam hari dan kalau udara buruk.
Mestinya banyak tempat macam itu di seluruh gunung ini. Di situ barangkali dia
menyembunyikan diri selama ini."
"Barangkali. Dia sebetulnya tidak begitu cerdik, tapi tentunya dia cukup cerdik untuk
berteduh dalam gua jika hujan."
Otsu jadi tercenung. "Pak Takuan, kenapa orang kampung begitu benci pada Takezo?"
"Para penguasa itu yang membuat mereka membencinya. Otsu, mereka itu orang-orang
sederhana. Mereka takut kepada pemerintah; begitu takutnya, sampai kalau pemerintah
yang menitahkan, akan mereka halau orang-orang sekampungnya, bahkan juga sanak mereka
sendiri." "Jadi, menurut Bapak, mereka cuma berkepentingan melindungi diri sendiri."
"Sebetulnya bukan salah mereka. Mereka itu sama sekali tak berdaya. Kau mesti memaafkan
mereka karena mendahulukan kepentingan sendiri, karena ini masalah mempertahankan diri.
Yang mereka kehendaki sebetulnya cuma sekadar tidak diganggu."
"Tapi bagaimana dengan samurai" Kenapa mereka ribut mempersoalkan orang tak penting
macam Takezo?" "Karena dia lambang kekacauan, orang di luar hukum. Mereka harus menjaga ketenangan.
Sesudah perang Sekigahara, Takezo selalu merasa dikejar-kejar musuh. Kesalahan besar
pertamanya adalah menerobos rintangan di perbatasan. Dia mestinya menggunakan otaknya
sedikit, kabur malam hari atau menyamar. Apa saja. Tapi Takezo tidak begitu! Dia merasa
harus masuk dan membunuh seorang pengawal, dan kemudian membunuhi orang-orang lain
lagi. Sesudah itu ya seperti bola salju yang menggelinding. Dia harus terus membunuh
untuk melindungi hidupnya sendiri. Tapi dialah yang memulai. Seluruh keadaan yang tak
menguntungkan itu akibat satu hal saja: Takezo sama sekali tak punya akal sehat."
"Apa Bapak membencinya juga?"
"Aku jijik! Aku tidak menyukai kebodohannya! Kalau aku penguasa di provinsi ini, akan
kubikin dia menanggung hukuman paling buruk yang dapat kutemukan. Sesungguhnya, untuk
pelajaran bagi orang banyak, akan kusuruh orang mempreteli anggota badannya.
Bagaimanapun, dia tak lebih dari binatang liar, kan" Penguasa provinsi tidak boleh
bermurah hati pada orang-orang macam Takezo, walaupun dia sendiri bagi sejumlah orang
tak lebih dari seorang bajingan. Tindakannya merugikan hukum dan ketertiban, dan itu
tidak baik, terutama pada masa-masa yang tak menentu ini."
"Selama ini saya selalu menganggap Bapak orang baik, tapi di dasar hati ternyata Bapak
sangat keras. Saya tak menyangka Bapak mengurusi hukumhukum daimyo itu."
"Memang. Yang baik harus diganjar dan yang jahat harus dihukum, dan aku datang kemari
justru dengan kekuasaan untuk melaksanakannya."
"Oh, apa itu?" teriak Otsu sambil meloncat bangun dari tempatnya dekat api. "Apa Bapak
tidak dengar" Kedengaran bunyi gemeresik, seperti langkah-langkah kaki, di pohon-pohon
sana itu?" "Langkah-langkah kaki?" Takuan pun bersikap waspada. Tapi sesudah mendengarkan baikbaik beberapa saat lamanya, pecahlah tawanya. "Ha, ha! Itu kan cuma beberapa ekor
monyet. Lihat!" Dan tampaklah bayangan seekor monyet besar dan monyet kecil yang
berayun-ayun di antara pepohonan.
Otsu kelihatan lega, dan duduk kembali. "Uh, saya setengah mati ketakutan!"
Selama beberapa jam berikutnya, keduanya hanya duduk diam menatap api. Tiap kali api
akan mati, Takuan mematahkan ranting-ranting kering dan membakarnya.
"Otsu, apa yang kaupikirkan?"
"Saya?" "Ya, kamu. Meski sering melakukannya, tapi sebetulnya aku benci percakapan dengan diri
sendiri." Mata Otsu sudah bengkak oleh asap. Sambil menengadah ke langit berbintang, Ia berkata
lirih, "Saya pikir aneh sekali dunia ini. Semua bintang di kegelapan kosong di sana
itu.... Tidak, bukan itu maksud saya. Malam telah penuh. Merangkum segala-galanya.
Kalau Bapak memandang bintang-bintang itu lama-lama, kelihatan mereka bergerak.
Bergerak pelan, pelan. Kesimpulannya tak bisa lain bahwa seluruh dunia ini bergerak.
Saya merasakannya. Sedangkan diri saya hanya satu rink kecil di dalam semua itu-satu
titik yang dikendalikan oleh kekuatan mengagumkan yang tak dapat saya lihat. Bahkan
selagi saya duduk di sini sambil merenung, nasib saya pun berubah sedikit demi sedikit.
Pikiran saya terasa berputar-putar dalam lingkaran."
"Kau tidak bicara yang sebenarnya!" kata Takuan tajam. "Pikiran-pikiran itu memang
betul masuk kepalamu, tapi ada pikiran lain yang jauh lebih khusus di otakmu."
Otsu diam. "Aku minta maaf telah melanggar rahasia pribadimu, Otsu. Aku telah membaca surat-surat
yang kauterima itu."
"Betul" Tapi laknya tidak rusak!"
"Aku membacanya sesudah melihatmu di kamar tenun itu. Ketika kaubilang tidak
membutuhkannya, kumasukkan surat itu dalam lengan bajuku. Kupikir sikapku itu keliru,
tapi kemudian ketika aku ada di kamar kecil, kukeluarkan surat-surat itu dan kubaca,
sekadar membuang waktu."
"Bapak jelek! Bagaimana mungkin Bapak melakukan itu! Dan buat membuang waktu pula!"
"Untuk alasan apa sajalah. Tapi setidak-tidaknya sekarang aku tahu, apa yang bikin
banjir air mata itu. Apa yang bikin kau kelihatan setengah mati waktu itu. Dengarkan,
Otsu, kupikir kau beruntung. Lama-kelamaan kupikir lebih baik jalannya peristiwa justru
seperti sekarang. Kaupikir aku jelek" Lihatlah dia!"
"Apa maksud Bapak?"
"Matahachi itu, dulu maupun sekarang, tak kenal tanggung jawab. Kalau kau kawin dengan
dia, dan kemudian suatu hari dia mengejutkanmu dengan surat seperti itu, apa yang akan
kaulakukan" Tak usahlah kaukatakan, aku kenal kau. Kau akan menceburkan diri ke laut
dari karang yang terjal. Aku senang semua itu sudah lewat sebelum sampai di situ."
"Wanita tidak berpikir seperti itu."
"Betul begitu" Bagaimana pikiran mereka?"


Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Saya marah betul. Rasanya ingin menjerit!"
kimononya dengan giginya. "Suatu hari nanti
pasti saya temukan! Saya tak akan berhenti,
pendapat saya tentang dia. Termasuk tentang
Dan dengan marahnya ia pun menarik lengan
akan saya temukan dia! Saya bersumpah,
sebelum saya mengatakan langsung padanya
perempuan Oko itu." Air mata Otsu bercucuran karena marahnya. Takuan menatapnya dengan bergumam samarsamar, "Sudah mulai, ya?"
Otsu tampak tercengang. "Apa?"
Takuan menatap tanah, seperti sedang menyusun pikirannya. Kemudian katanya, "Otsu, aku
betul-betul mengharapkan bahwa kau, lebih dari orang-orang lain, terhindar dari hal-hal
yang jahat dan sikap muka dua di dunia ini. Kuharap dirimu yang manis dan polos itu
dapat melewati semua tahap kehidupan tanpa cela dan tanpa luka." Tapi kelihatannya
angin nasib sudah sepenuhnya gila" Kadang-kadang orang yang tidak begitu beres otaknya
dianggap jenius oleh orang lain. Takuan kemungkinan orang semacam itu. Otsu mulai
merasa yakin akan hal ini.
Tenang seperti biasanya, biarawan itu terus memandang kosong ke api. Akhirnya ia
bergumam, seakan-akan baru melihatnya, "Sudah larut sekarang, ya?"
"Tentu saja! Sebentar lagi fajar," sambar Otsu dengan nada getir yang memang disengaja.
Kenapa ia mempercayai orang gila yang mau bunuh diri ini"
Tanpa menghiraukan tajamnya jawaban Otsu, Takuan berkomat-kamit, "Aneh, ya?"
"Apa yang dikomat-kamitkan?"
"Aku baru saja menyadari bahwa Takezo harus segera muncul."
"Ya, tapi barangkali dia tidak merasa kalian berdua punya janji." Melihat wajah
biarawan yang tegang itu, Otsu pun melunak. "Apa betul menurut Bapak dia akan muncul?"
"Tentu saja!" "Tapi kenapa dia mau langsung masuk perangkap?"
"Ah, tidak persis begitu. Soalnya, hanya sifat manusia, itu saja. Manusia hatinya tidak
kuat, mereka itu lemah. Kesendirian bukan alamnya, terutama kalau kesendirian itu
disertai pengepungan tentara dan pengejaran dengan pedang. Kau bisa saja menganggap itu
wajar, tapi aku akan heran sekali kalau Takezo bisa menolak godaan untuk mendatangi
kita dan menghangatkan diri dekat api."
"Apa itu bukan sekadar impian" Dia barangkali sama sekali tidak di dekat-dekat sini."
Takuan menggelengkan kepala dan katanya, "Bukan, ini bukan sekadar impian. Ini malahan
bukan teoriku sendiri. Ini milik seorang ahli strategi." Ia berbicara demikian yakin,
hingga Otsu jadi merasa puas bahwa penolakan Takuan itu demikian pastinya.
"Aku perkirakan Shimmen Takezo berada dekat sekali di sini, tapi belum lagi bisa
memutuskan, kita ini kawan atau lawan. Anak malang itu barangkali sedang dilanda
keraguan, dan dia sedang bergelut dengannya, tak dapat maju atau mundur. Dugaanku dia
sedang bersembunyi di dalam bayangan kegelapan sekarang ini, memandang kita dengan
mencuri-curi, dan bertanya-tanya habis-habisan, apa yang harus dilakukannya. 0, begini.
Coba kemarikan suling yang kausimpan dalam obi-mu itu."
"Suling bambu saya?"
"Ya, biar kumainkan sebentar."
"Tidak. Tak mungkin. Tak pernah saya mengizinkan siapa pun menyentuhnya."
"Kenapa?" desak Takuan.
"Tak peduli kenapa!" teriak Otsu sambil menggeleng.
"Apa ruginya kalau aku memainkannya" Suling bertambah baik kalau imainkan. Aku tak akan
merusaknya." "Tapi...." Dan Otsu pun mencengkeramkan tangan kanannya kuat-kuat ke suling dalam obinya.
Ia selalu menyimpan suling itu dekat tubuhnya, dan Takuan tahu betapa berharga barang
itu untuknya. Namun tak pernah Takuan membayangkan bahwa Otsu akan menolak
meminjamkannya. "Betul, aku tak akan merusakkannya, Otsu. Sudah berlusin-lusin suling aku mainkan.
Ayolah, aku pegang saja."
"Tidak." "Apa pun yang terjadi?"
"Apa pun yang terjadi."
"Keras kepala!"
"Biar saya keras kepala."
Takuan pun mengalah. "Nah, kalau begitu kamulah yang memainkannya. Mainkanlah untukku
sedikit." "Itu pun saya tak mau."
"Kenapa?" "Karena saya akan menangis, dan saya tak dapat main suling kalau saya menangis."
"Hmm." Takuan berpikir. la merasa kasihan akan sifat gigih bercampur keras kepala yang
khas anak yatim. Tapi ia pun sadar akan kehampaan yang ada dalam hati mereka yang tegar
itu. Menurutnya hati itu sudah ditakdirkan untuk mati-matian merindukan apa yang tidak
bisa diperolehnya, merindukan cinta orangtua yang tidak pernah mereka kenyam.
Otsu selalu merindukan orangtua yang tidak pernah dikenalnya dan mereka pun
merindukannya, tapi ia tak mengenal cinta asli orangtua. Suling itulah satu-satunya
barang peninggalan orangtuanya baginya, satu-satunya gambaran yang pernah ia punyai
tentang mereka. Ketika ia belum lagi cukup umur untuk melihat cahaya matahari, dan
ditinggalkan seperti anak kucing telantar di emperan Kuil Shippoji, suling itu bukan
sekadar gambaran tentang ibu dan ayah yang tak pernah dilihatnya, tetapi juga .
merupakan suara mereka. "Jadi, dia menangis kalau memainkannya!" pikir Takuan. "Tidak heran dia begitu enggan
meminjamkannya pada orang lain, malahan juga memainkannya sendiri." Dan ia pun merasa
kasihan pada Otsu. Pada malam ketiga ini, untuk pertama kali bulan indah berkilau-kilau di langit, dan
sekali-sekali larut di balik awan berkabut. Angsa liar yang selalu bermigrasi ke Jepang
pada musim gugur dan pulang pada musim semi kini tampak dalam perjalanan kembali ke
utara. Kadang-kadang suara kuak mereka terdengar di telinga kedua orang itu dari tengah
awan-awan. Bangun dari lamunannya, Takuan berkata, "Apinya mati, Otsu. Masukkan sedikit kayu
lagi.... Nah, ada apa" Ada yang tidak beres?"
Otsu tidak menjawab. "Apa kau menangis?"
Otsu tetap diam. "Maaf aku telah mengingatkan masa lalu padamu. Bukan maksudku mengganggumu."
"Tidak apa-apa," bisik Otsu. "Mestinya saya tak boleh begitu keras kepala. Ambillah
suling ini dan mainkanlah." la pun mengeluarkan suling itu dari obi-nya dan
mengulurkannya pada Takuan lewat atas api. Suling itu terbungkus dalam kain brokat yang
sudah tua dan aus. Kainnya sobek-sobek, talinya rantas, namun masih tampak keanggunan
yang antik. "Boleh kulihat?" tanya Takuan.
"Ya, lihatlah. Saya tidak keberatan lagi."
"Tapi kenapa tidak kaumainkan sendiri" Lebih baik aku mendengarkan saja. Aku duduk saja
di sini seperti ini." la memutar ke samping dan memelukkan tangannya ke lutut.
"Baiklah. Saya tidak begitu pandai," kata Otsu merendah, "tapi akan saya coba."
la berlutut dengan sikap formal di atas rumput, menegakkan leher kimononya dan
membungkuk ke arah suling yang terletak di depannya. Takuan tidak bicara apa-apa lagi.
Yang ada hanyalah alam semesta yang besar dan diam terselimut malam. Tubuh biarawan
yang seperti bayangan itu tampak seperti batu karang yang telah berguling turun dari
sisi bukit dan menetap di dataran.
Otsu, wajahnya yang putih menoleh sedikit ke samping, meletakkan barang pusaka yang
dipujanya itu ke bibir. la membasahi pipit suling dan membulatkan jiwa untuk bermain.
la tampak berbeda dari Otsu yang biasanya. Otsu yang mewakili kekuatan dan keluhuran
seni. Ia menoleh pada Takuan. Dengan santun sekali lagi ia mengingkari bahwa ia cakap
bermain. Takuan mengangguk acuh tak acuh.
Suara basah suling mulai mengalun. Jemari pipih gadis itu menari di atas ketujuh lubang
alat musik tersebut. Buku-buku jarinya tampak seperti kurcaci yang sedang tenggelam
dalam tarian lambat. Terdengar bunyi, rendah, seperti gemericik kali kecil. Takuan
merasa dirinya berubah menjadi air mengalir yang berkecipak menyusuri jurang, dan
bermain-main di tempat yang dangkal. Ketika nada-nada tinggi terdengar, ia merasa
semangatnya terembus ke langit, meloncat-loncat bersama awan-awan. Bunyi bumi dan gaung
langit bercampur dan berubah menjadi rintihan sayu angin yang berembus melintas
pepohonan cemara, meratapi ketidakabadian dunia ini.
Ia asyik mendengarkan dengan mata tertutup. Takuan pun teringat akan legenda Pangeran
Hiromasa yang sedang bercengkerama pada suatu malam terang bulan di Gerbang Suzaku,
Kyoto, sambil memainkan sulingnya, diselarasi oleh suling lain. Pangeran mencari-cari
pemain suling itu, dan menemukannya di tingkat atas gerbang itu. Mereka bertukar suling
dan bermain musik bersama sepanjang malam. Baru kemudian pangeran itu mengetahui bahwa
teman bermainnya itu setan dalam bentuk manusia.
"Setan pun tergerak hatinya oleh musik," pikir Takuan, "apalagi manusia yang punya lima
macam nafsu, betapa dalam dia akan terpengaruh bunyi suling yang dimainkan gadis cantik
ini!" Ia ingin menangis, tapi air matanva tidak keluar. Wajahnya terbenam lebih dalam
lagi di antara lututnya, yang secara tak sadar dipeluknya lebih erat lagi.
Ketika cahaya api sedikit demi sedikit surut, pipi Otsu berubah jadi merah tua. la
begitu menyatu dalam musiknya, hingga sukar membedakannya dari alat musik yang
dimainkannya. Apakah ia sedang memanggil ibu dan ayahnya" Apakah bunyi-bunyi yang mendaki langit itu
betul-betul melantunkan, "Di manakah engkau!" Apakah jeritan ini tidak tercampur rasa
benci yang sangat dari seorang perawan yang ditinggalkan dan dikhianati lelaki tak
setia" Otsu agaknya sudah mabuk oleh musik dan tenggelam dalam emosinya. Napasnya mulai
menunjukkan tanda-tanda lelah. Butir-butir keringat muncul di dahi, di sekitar anak
rambutnya. Air mata menuruni wajahnya. Sekalipun terputus-putus oleh sedu sedan
tertahan, terasa lagu itu bagai berlanjut terus untuk selamanya.
Dan tiba-tiba terlihat gerakan di rumput. Jaraknya tidak lebih dari lima atau enam
meter dari api. Terdengar seperti binatang yang sedang melata. Kepala Takuan mendongak.
la memandang langsung ke benda hitam itu. Diam-diam ia mengangkat tangan dan
melambaikan salam. "Hai, kamu yang di sana! Tentu dingin rasanya di tengah embun. Datanglah ke dekat api
sini dan hangatkan badanmu. Ke sinilah, dan mari kita bicara."
Otsu terkejut dan berhenti bermain. Katanya, "Pak Takuan, apa Bapak bicara sendiri
lagi?" "Apa kau tidak lihat?" tanya Takuan sambil menuding. "Takezo ada di sana tadi, beberapa
waktu lamanya. Dia mendengarkan kau main suling."
Otsu menoleh, kemudian sambil menjerit ia melemparkan sulingnya ke sosok hitam itu.
Memang itu Takezo. la melompat seperti kijang yang terperanjat dan lari.
Takuan sama kagetnya seperti Takezo karena jeritan Otsu. la merasa seakan-akan jaring
yang dengan hati-hati direntangkannya telah sobek dan ikan pun lolos. la melompat dan
memanggil sekuat paru-parunya, "Takezo! Berhenti!"
Di dalam suara itu terasa ada kekuatan yang perkasa, kekuatan yang memerintah, yang
tidak dapat begitu saja diabaikan. Pelarian itu berhenti seakan terpaku di tanah, dan
menoleh ke belakang, sedikit terpesona. la memandang Takuan dengan mata curiga.
Biarawan itu tidak bicara. Disilangkannya tangannya pelan-pelan ke dada. Ditatapnya
Takezo semantap tatapan Takezo padanya. Kedua orang itu tampaknya bahkan menyatu dalam
tarikan napas mereka. Sedikit demi sedikit di sudut-sudut mata Takuan muncul kerut-merut yang menandai
mulainya senyuman bersahabat. la membuka lipatan tangannya dan memberikan isyarat
kepada Takezo. Katanya, "Kemarilah!"
Mendengar kata-kata itu, Takezo mengedip. Wajahnya yang gelap memperlihatkan ekspresi
aneh. "Kemarilah," desak Takuan, "dan kita dapat saling tukar pikiran." Menyusul sunyi penuh
tanda tanya. "Di sini banyak makanan. Malahan kami juga punya sake. Kami bukan musuhmu. Datanglah ke
dekat api ini. Mari kita bicara." Sunyi lagi.
"Takezo, apa kau tidak membuat kesalahan besar" Ada tempat yang menyediakan api,
makanan, dan minuman, bahkan juga simpati manusia. Tapi kau berkeras menyeret dirimu ke
dalam neraka pribadimu sendiri. Kau mengukuhi pandangan yang cukup menyesatkan tentang
dunia ini. Tapi aku tak akan berdebat lagi denganmu. Dalam keadaanmu sekarang, memang
hampir tidak dapat kau mendengar suara akal sehat. Sudahlah, datang ke dekat api sini.
Otsu, panaskan kentang rebus yang kaubuat tadi. Aku pun sudah lapar."
Otsu meletakkan kuali di atas api, dan Takuan meletakkan guci sake di dekat api untuk
menghangatkannya. Adegan penuh kedamaian ini menghapuskan rasa takut Takezo, dan ia
beringsut mendekat. Ketika hampir berada di atas mereka, ia berhenti dan tegak diam,
agaknya terhambat oleh semacam rasa malu di dalam dirinya.
Takuan menggelindingkan sebuah batu karang ke dekat api dan menepuk punggung Takezo.
"Duduklah di sini," katanya.
Takezo mendadak duduk. Otsu tidak dapat memandang langsung kepada teman bekas
tunangannya itu. la merasa seolah-olah berada di dekat binatang liar tak terantai.
Sambil membuka tutup kuali, Takuan berkata, "Rupanya sudah matang." la tusukkan ujung
sumpitnya ke kentang, ia keluarkan kentang itu, dan ia masukkan ke dalam mulutnya. la
mengunyah lahap, katanya, "Manis sekali dan empuk. Mau coba sedikit, Takezo?"
Takezo mengangguk dan untuk pertama kali ia menyeringai, memperlihatkan sederetan gigi
yang sempurna putihnya. Otsu memasukkan kentang ke dalam mangkuk dan memberikannya
kepada Takezo. Takezo sekali-sekali mengembus makanan yang masih panas itu dan
melahapnya dengan suapan besar-besar. Tangannya gemetar dan giginya gemerincing
mengenai tepi mangkuk. Karena lapar yang luar biasa, geletar itu tidak terkendalikan
lagi. Mengerikan. "Enak, ya?" tanya biarawan itu sambil meletakkan sumpitnya. "Bagaimana kalau mencoba
sake?" "Saya tak mau sake."
"Tidak suka?" "Saya tak mau sekarang." Sesudah sekian lama berkeliaran di pegunungan, ia takut sake
akan membuatnya sakit. Segera ia berkata dengan cukup sopan, "Terima kasih untuk makanan ini. Saya merasa
hangat sekarang." "Apa sudah cukup?"
"Sudah, terima kasih." Ketika mengembalikan mangkuk kepada Otsu, ia bertanya, "Kenapa
kau datang kemari" Kemarin malam kulihat juga apimu."
Pertanyaan Takezo itu mengejutkan Otsu, dan ia tak siap dengan jawaban, tetapi Takuan
menyelamatkannya dengan langsung mengatakan, "Terus terang saja, kami datang kemari
untuk menangkapmu." Takezo tidak memperlihatkan sikap kaget secara khusus, sekalipun agaknya ia ragu-ragu
menerima ucapan Takuan itu demikian saja. la diam saja dan menundukkan kepala. Kemudian
ganti la memandang kedua orang itu.
Takuan menyadari bahwa waktu untuk bertindak sudah tiba. Sambil berputar langsung
menghadap Takezo ia pun berkata, "Bagaimana pendapatmu" Kalau kau akan ditangkap, apa
tidak lebih baik kalau kau diikat dengan ikatan Hukum Budha" Peraturan daimyo itu hukum
dan Hukum Budha pun hukum, tapi dari antara dua itu, ikatan Budha-lah yang lebih lembut
dan berperi- kemanusiaan."
"Tidak, tidak!" kata Takezo, menggeleng-geleng marah.
Takuan melanjutkan dengan nada lunak. "Dengar dulu sebentar. Aku mengerti bahwa engkau
bertekad untuk bertahan sampai mati, tapi pada akhirnya apa engkau bisa betul-betul
menang?" "Apa maksudmu, aku dapat menang itu?"
"Maksudku, apakah engkau dapat berhasil bertahan terhadap rakyat yang membencimu,
terhadap hukum provinsi, dan terhadap musuhmu terbesar, dirimu sendiri?"
-Aku tahu aku sudah kalah," rintih Takezo. Wajahnya berubah penuh kesedihan, dan
matanya basah. "Akhirnya aku akan terbunuh, tapi sebelumnva akan kubunuh dulu perempuan
Hon'iden tua itu dan serdadu-serdadu Himeji, juga semua orang yang kubenci! Akan
kubunuh orang sebanyak vang aku bisa!"
"Dan apa yang hendak kaulakukan untuk kakak perempuanmu?"
"Ha ?" "Ogin. Apa yang akan kaulakukan untuknya" Dia dikurung di benteng Hinagura!"
Takezo tak dapat menjawab, sekalipun sebelumnya ia berketetapan untuk membebaskan
kakaknya. "Apa engkau tidak mesti mulai memikirkan nasib wanita yang baik itu" Sudah demikian
banyak yang dilakukannya untukmu. Dan bagaimana dengan kewajibanmu melanjutkan nama
ayahmu. Shimmen Munisai" Apa engkau sudah lupa bahwa nama itu berasal dari keluarga
Hirata, bahkan selanjutnya dari wangsa Akamatsu dari Harima yang terkenal itu?"
Takezo menutup mukanya dengan kedua tangannya yang hitam dan kini berkuku panjang itu.
Bahunya yang tajam mencuat ke atas ketika berguncang bersama gemetarnya tubuhnya yang
kurus. la tersedu-sedu sedih. "Aku... aku... tidak tahu. Apa... apa bedanya sekarang
ini?" Melihat itu, Takuan tiba-tiba mengepalkan tinjunya dan menghantam keras-keras rahang
Takezo. "Sinting!" guntur suara biarawan itu.
Karena terkejut, Takezo pun terhuyung-huyung oleh pukulan itu, tapi sebelum sempat
pulih dari pukulan itu ia sudah menerima pukulan lain di sisi lain.
"Orang bebal tak bertanggung jawab! Orang bodoh tak kenal terima kasih. Karena ayahibumu dan nenek moyangmu tak ada di sini untuk menghukummu, akulah yang melakukannya
atas nama mereka. Terimalah ini!" Biarawan itu pun memukulnya lagi, kali ini hingga
Takezo jatuh ke tanah. "Sakit?" tanyanya sengit.
"Ya, sakit," rengek pelarian itu.
"Bagus. Kalau sakit, artinya kau masih punya sedikit darah manusia dalam nadimu. Otsu,
berikan ke sini tali itu. Nah, tunggu apa lagi" Bawa ke sini tali itu! Takezo sudah
tahu aku akan mengikatnya. Dia sudah siap. Ini bukan tali kekuasaan, tapi tali cinta.


Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tidak ada alasan bagimu untuk takut atau kasihan padanya. Cepat berikan tali itu!"
Takezo diam menelungkup di tanah, tidak berusaha bergerak. Takuan pun dengan mudah
menduduki punggungnya. Kalau mau melawan, bisa saja Takezo menendang Takuan ke udara,
seperti bola kertas kecil. Mereka berdua pun tahu itu. Namun Takezo hanya terbaring
pasif, kaki dan tangannya terulur, seakan-akan akhirnya ia menyerah pada suatu hukum
alam yang tak kelihatan. *** 6. Pohon Kriptomeria Tua SEKALIPUN pagi itu bukan saat biasanya lonceng kuil dibunyikan, namun gema suara
lonceng yang berat teratur itu terdengar mendayu-dayu di seluruh kampung dan menggaung
sampai jauh ke pegunungan. Hari itu hari perhitungan. Batas waktu yang diberikan pada
Takuan sudah habis. Penduduk kampung bergegas menuju bukit, untuk melihat apakah Takuan
berhasil melakukan tugas yang mustahil itu. Berita keberhasilannya menyebar seperti api
liar. "Takezo sudah tertangkap!"
"Betul" Siapa yang menangkap?"
"Takuan!" "Ah, tak percaya aku! Tanpa senjata" Tak mungkin!"
Orang membanjir ke Shippoji dan memandang ternganga ke arah penjahat yang relah
tertangkap itu. la diikat seperti binatang ke pagar tangga di depan bangunan suci
utama. Beberapa orang menahan napas dan terengah-engah melihat pemandangan itu, seakanakan mereka sedang menyaksikan wajah jin Gunung Oe yang ditakuti. Seakan-akan untuk
mengecilkan reaksi mereka yang dibesar-besarkan itu, Takuan pun duduk sedikit ke atas
tangga sambil bertelekan pada sikunya, dan menyeringai dengan sikap bersahabat.
"Orang-orang Miyamoto," serunya, "sekarang kalian dapat kembali ke ladang kalian dengan
damai. Tentara akan segera pergi!"
Bagi orang kampung yang biasa ditakut-takuti itu, Takuan pun segera menjadi pahlawan,
pembebas, dan pelindung dari yang jahat. Beberapa orang membungkuk rendah, kepala
hampir menyentuh tanah di halaman kuil. Yang lain mendesakkan diri ke depan untuk
menyentuh tangan atau jubahnya. Yang lain lagi berlutut di kakinya. Ngeri oleh sikap
mendewakan diri ini, Takuan pun menarik diri dari kerumunan itu dan mengangkat tangan
untuk menenangkan mereka.
"Dengar, penduduk Miyamoto. Ada yang mau kukatakan kepada kalian, sesuatu yang
penting." Tepik sorak orang banyak pun mereda. "Bukan aku yang berjasa atas penangkapan
Takezo. Bukan aku yang melaksanakannya, tapi hukum alam. Orang yang melanggar hukum
alam akhirnya akan kalah. Hukum itulah yang harus kalian hormati."
"Jangan melucu begitu! Anda yang menangkapnya, bukan alam!"
"Jangan merendahkan diri, Biarawan!"
"Kami hanya memberikan penghargaan yang pada tempatnya!"
"Lupakan hukum itu. Kami mau berterima kasih pada Anda!"
"Nah, kalau begitu berterima kasihlah padaku," lanjut Takuan. "Aku tidak keberatan.
Tapi kalian mesti menghormati hukum. Baiklah, yang sudah, sudahlah, dan sekarang ini
ada sesuatu yang sangat penting, yang hendak kuminta dari kalian. Aku membutuhkan
bantuan kalian." "Bantuan apa?" terdengar pertanyaan dari kerumunan yang ingin tahu.
"Cuma ini: apa yang akan kita lakukan terhadap Takezo sekarang" Janjiku kepada wakil
Keluarga Ikeda, aku yakin kalian pernah melihatnya, adalah kalau aku tidak membawa
pulang pelarian itu dalam tiga hari, aku akan menggantung diri di potion kriptomeria
besar itu. Tapi kalau aku berhasil, akulah yang menentukan nasibnya."
Orang banyak mulai berbisik-bisik.
"Kami tahu!" Takuan kembali mengambil sikap hakim. "Nah, kalau begitu apa
dengan dia" Seperti kalian lihat, binatang yang ditakuti ini
keadaan hidup. Dia tidak begitu mengerikan, kan" Sebetulnya,
tanpa perkelahian, si orang lembek ini. Akan kita bunuh dia,
yang akan kita lakukan sudah ada di sini dalam dia sampai kemari ini atau kita lepaskan?"
Terdengar suara heboh tanda tak setuju dengan gagasan untuk melepaskan Takezo. Satu
orang berteriak, "Mesti kita bunuh dia! Dia tak berguna, dia jahat! Kalau kita biarkan
hidup, dia akan jadi kutukan buat kampung ini."
Selagi Takuan berhenti bicara dan tampaknya sedang memikirkan kemungkinankemungkinannya, suara-suara marah dan tak sabaran terdengar dari belakang, "Bunuh dia!
Bunuh dia!" Pada saat itu, seorang perempuan tua mendesakkan diri ke depan dan menyingkirkan orangorang lelaki yang badannya dua kali lebih besar darinya dengan tusukan-tusukan tajam
sikunya. Tak salah lagi, dialah Osugi si pemarah itu. Sampai di tangga, ia membelalak
pada Takezo sejenak, kemudian menoleh pada orang-orang kampung. Sambil mengacungkan
ranting pohon arbei ke udara ia pun berteriak, "Aku tak akan puas kalau dia hanya
dibunuh! Biar dia menderita dulu! Lihat saja mukanya yang mengerikan itu!" Sambil
kembali menoleh kepada tawanan, ia mengangkat ranting pohon itu, dan pekiknya, "Kamu
makhluk rendah, memuakkan!" Dan ia pun menyabetkan ranting di tangannya beberapa kali
kepada Takezo, sampai akhirnya la kehabisan napas dan tangannya jatuh ke samping
tubuhnya. Takezo menyeringai kesakitan, sementara Osugi menoleh kepada Takuan dengan
pandangan mengancam. "Apa yang Ibu inginkan dariku?" tanya biarawan itu.
"Karena pembunuh inilah hidup anakku hancur." Badan Osugi berguncang hrbat. dan ia
menjerit, "Padahal tanpa Matahachi tak ada yang akan meneruskan nama keluarga kami!"
"Yah," balas Takuan. "Matahachi itu, kalau boleh aku mengatakannya, sebetulnya cuma
kroco belaka. Apa tak akan lebih baik kalau kelak Ibu mengangkat menantu lelaki Ibu
sebagai ahli waris dan memberikan padanya nama Hon'iden yang terhormat itu?"
"Berani betul kamu berkata seperti itu!" Tiba-tiba janda bangsawan yang sombong itu
meledak sedu sedannya. "Aku tak peduli dengan pendapatmu. Memang tak ada orang yang
mengerti dia. Sebetulnya dia tidak jelek, buah hatiku itu." Kemarahannya timbul lagi,
dan ia menunjuk Takezo. "Dialah yang menyesatkan anakku, dia yang membuat anakku jadi
brengsek seperti dia sendiri. Aku punya hak untuk membalas dendam." Ia meminta kepada
khalayak, "Biarkan aku yang memutuskan. Beri aku kesempatan. Aku tahu apa yang mesti
dilakukan terhadapnya!"
Tepat pada saat itu satu teriakan keras dan marah menghentikan perempuan itu. Kerumunan
orang terbelah menjadi dua seperti kain sobek, dan orang yang baru datang itu pun
berjalan cepat ke depan. Orang itu si Jenggot Jarang. Kemarahannya sedang menjulang.
"Ada apa di sini" Ini bukan pertunjukan ekstra! Pergi semua dari sini! Kembali kerja.
Pulang. Cepat!" Terdengar kaki-kaki diseret, tapi tak seorang pun mau pergi. "Kalian
sudah dengar apa kataku! Ayo jalan! Apa yang kalian tunggu?" Ia melangkah dengan sikap
mengancam ke arah mereka. Tangannya tertumpang di pedang. Orang-orang yang ada di depan
mundur dengan mata melotot.
"Tidak!" sela Takuan. "Tak ada alasan mengusir orang-orang baik ini. Aku mengundang
mereka kemari justru untuk dengan cepat membicarakan apa yang harus dilakukan terhadap
Takezo." "Diam kamu!" perintah Kapten. "Kau tak perlu bicara dalam soal ini." la berdiri tegak
dan membelalak kepada Takuan, kemudian kepada Osugi, dan akhirnya kepada orang banyak.
la pun berkata dengan suara menggelegar, "Shimmen Takezo ini tidak hanya sudah
melakukan kejahatan-kejahatan berat dan serius terhadap hukum provinsi, dia juga
pelarian dari Sekigahara. Hukumannya tidak bisa ditentukan oleh rakyat. Dia harus
dikembalikan kepada pemerintah!"
Takuan menggelengkan kepala. "Omong kosong!" Melihat si Jenggot Jarang sudah siap
menjawab, ia pun mengangkat jari menyuruhnya diam. "Bukan itu yang sudah kausetujui!"
Merasa martabatnya terancam, Kapten mulai mencari-cari alasan. "Takuan, kau pasti akan
menerima uang yang sudah ditawarkan pemerintah sebagai hadiah. Tapi sebagai wakil resmi
Yang Dipertuan Terumasa, adalah kewajibanku untuk mengambil tanggung jawab atas tawanan
ini. Nasib tawanan ini tidak lagi menjadi kepentinganmu. Tidak usah kau menyusahkan
diri. Memikirkan dia pun tak perlu."
Takuan tidak berusaha menjawab, tapi tertawa terpingkal-pingkal. Tiap kali tawa itu
seperti akan berhenti, tapi lalu meningkat lagi.
"Perhatikan tingkahmu, Biarawan!" kata Kapten memperingatkan. la mulai meludah dan
menggerutu, "Apanya yang lucu" Hah" Kaupikir semua ini lelucon?"
"Tingkahku?" ulang Takuan, dan tawanya pun pecah lagi. "Tingkahku" Dengar. Jenggot
Jarang, apa kau bermaksud melanggar persetujuan kita dan tidak memenuhi janjimu yang
suci" Kalau benar demikian, kuperingatkan, akan kulepaskan Takezo sekarang juga di
tempat ini!" Terengah-engah orang kampung serentak mulai menyingkir.
"Siap?" tanya Takuan sambil menjangkau tali yang mengikat Takezo.
Kapten bungkam. "Dan kalau kulepaskan dia akan kusuruh dia pertama-tama menyerangmu. Kalian dapat
menyelesaikan perkelahian itu berdua. Lalu tahanlah dia kalau kau bisa!"
"Tunggu dulu... sebentar saja!"
"Aku sudah memegang janjiku," Takuan terus berlalu, seolah akan melepaskan belenggu
tawanan itu. "Tunggu." Di dahi samurai itu bermunculan titik-titik keringat.
"Kenapa?" "Ya, karena... karena..." la hampir menggagap. "Dia sudah terikat. Tak boleh dia
dilepas-kan. Cuma akan bikin kesulitan lagi. Dengarlah! Kau bisa membunuh Takezo
sendiri. Ini... ini pedangku. Cuma, berikan kepalanya padaku untuk kubawa pulang. Adil,
kan?" "Kepalanya untukmu! Tak bakalan! Urusan kependetaan antara lain memimpin upacara
pemakaman. Tapi membuang mayat atau bagian-bagiannya... itu akan memberikan nama jelek
pada kami para pendeta, betul tidak" Tak seorang pun akan mempercayakan mayat keluarga
mereka, kalau kami hanya akan membuangnya, dan kuil-kuil akan bangkrut dalam waktu
singkat." Walau tangan samurai itu sudah mencengkeram gagang pedang, Takuan tidak tahan
untuk tidak mengejeknya. Menghadap kepada khalayak, biarawan itu mengambil sikap sungguh-sungguh lagi. "Kuminta
kalian bicarakan hal ini sekali lagi di antara kalian, dan berikan jawabannya padaku.
Apa yang akan kita lakukan" Perempuan itu bilang, tidak cukup membunuhnya seketika,
kita harus menyiksanya dulu. Bagaimana kalau dia diikatkan ke cabang pohon kriptomeria
itu beberapa hari: Kita dapat mengikat tangan dan kakinya, dan dia akan merasakan cuaca
siang dan malam. Burung-burung gagak barangkali akan mematuk bola-bola matanya.
Bagaimana?" Usul biarawan itu terdengar sangat kejam oleh para pendengarnya, tak berperikemanusiaan, hingga mula-mula tak seorang pun dapat menjawab.
Kecuali Osugi, yang mengatakan, "Takuan, gagasanmu itu menunjukkan kau sungguh-sungguh
bijaksana. Tapi kupikir kita harus menggantungnya seminggu lamanya"o, tidak, lebih!
Biar dia tergantung di sana sepuluh atau dua puluh hari. Lalu aku sendiri akan datang
memberikan pukulan maut."
Tanpa panjang kata, Takuan pun mengangguk, "Baik. Jadi!"
Ia memegang tall yang sudah dilepasnya dari pagar, dan diseretnya Takezo seperti seekor
anjing menuju pohon. Tawanan itu berjalan tanpa perlawanan, kepalanya tertunduk tanpa
kata-kata. la tampak begitu menyesal, hingga beberapa orang yang berhati lunak merasa
sedikit kasihan kepadanya. Namun kegembiraan karena telah menangkap "binatang liar" itu
tidak juga usai, dan dengan penuh semangat semua orang ikut serta dalam kesenangan itu.
Beberapa potong tali disambung-sambungkan menjadi satu. Takezo dinaikkan ke sebuah
cabang, sekitar sepuluh meter tingginya dari tanah, dan diikat erat. Dalam keadaan
terikat, ia lebih mirip boneka jerami besar daripada seorang manusia hidup.
Sekembalinya ke kuil dari pegunungan itu, Otsu mulai merasakan kesenduan yang aneh dan
amat sangat apabila ia berada sendirian di dalam kamar. Ia bertanya-tanya kenapa
demikian. Tinggal sendirian bukanlah hal baru baginya. Dan lagi di sekitar kuil selalu
ada beberapa orang. la memiliki segala yang menyenangkan di rumah. Namun ia merasa
lebih sepi kini daripada sewaktu tiga hari lamanya berada di sisi bukit terpencil,
hanya berteman Takuan. Duduk bertopang dagu menghadap meja rendah di dekat jendela, ia
menimbang-nimbang perasaannya setengah hari lamanya, sebelum akhirnya sampai pada satu
kesimpulan. la merasa pengalaman ini telah memberikan pemahaman ke dalam hatinya sendiri. Ia
menyadari, kesepian ternyata seperti rasa lapar. Bukan di luar, tapi di dalam diri
seseorang. Kesepian berarti merasa kekurangan sesuatu. Sesuatu yang harus ada, namun
tak tahu ia apakah itu. Baik. Orang-orang di sekitarnya maupun keramahan hidup di kuil tidak dapat meredakan
perasaan terpencil yang sekarang ia rasakan. Di pegunungan yang ada hanya kesunyian,
pepohonan, dan kabut, tapi waktu itu ada juga Takuan. Kesadaran datang bagai wahyu.
Takuan tidak sama sekali berada di luar dirinya. Kata-kata Takuan masuk langsung ke
dalam hatinya, menghangatkan dan meneranginya. Api atau lampu mana pun tak dapat
menandingi. Kemudian sampailah ia kepada kesadaran polos bahwa ia kesepian karena
Takuan tidak ada di dekatnya.
Sadar akan penemuan ini, ia pun berdiri, tapi pikirannya masih terus digeluti oleh
masalah itu. Sesudah memutuskan hukuman untuk Takezo, hampir sepanjang waktu Takuan
rapat di kamar tamu dengan samurai Himeji. Karena harus mondar-mandir ke kampung untuk
menyampaikan ini-itu, Takuan tak punya waktu lagi untuk duduk bercakap-cakap dengan
Otsu seperti yang ia lakukan di pegunungan itu. Otsu duduk kembali.
Oh, sekiranya ia punya seorang teman! la tidak membutuhkan banyak. Satu saja yang
mengenalnya dengan baik. Satu orang yang dapat disandarinya. Satu orang yang kuat dan
sepenuhnya dapat dipercayai. Itulah yang ia rindukan, itulah yang ia dambakan sekali
sampai ia hampir gila. Memang selalu ada suling itu. Tapi pada saat seorang gadis mencapai umur enam belas
tahun, ada soal-soal dan hal-hal tak menentu di dalam dirinya yang tidak dapat dijawab
oleh sebatang bambu. la membutuhkan keakraban dan rasa kebersamaan, bukan sekadar hidup
yang mengamati, yang nyata.
"Semua memuakkan!" katanya keras. Tapi menyuarakan perasaannya itu sama sekali tidak
meredakan kebenciannya kepada Matahachi. Air matanya tumpah ke meja kecil yang dipernis
itu. Darah yang bergejolak di dalam nadinya membuat pelipisnya biru. Kepalanya
berdenyut. Diam-diam pintu di belakangnya bergeser terbuka. Di dapur kuil, api untuk memasak makan
malam menyala terang. "Ah ha! Jadi, di sinilah kamu sembunyi! Duduk di sini dan membiarkan hari lewat siasia!"
Tubuh Osugi muncul di pintu. Terkejut dari lamunannya, sesaat Otsu ragu-ragu sebelum
menyambut perempuan tua itu dan meletakkan bantal tempat duduk. Tanpa menunggu katakata tuan rumah, Osugi langsung duduk.
Penakluk Ujung Dunia 2 Goosebumps - 2 Jauhi Ruang Bawah Tanah Buronan Cinta Sekarat 1

Cari Blog Ini