Ceritasilat Novel Online

Mushasi 5

Mushasi Karya Eiji Yoshikawa Bagian 5


yang baru lalu itu, dan bahwa mereka sedang mencarinya ke mana-mana; karena itu ia
mesti hati-hati dengan tindakannya. Tambahan itu berakhir dengan: Kau tak boleh mati
sekarang, karena kau baru mulai menciptakan nama. Kalau nanti aku pun sudah melakukan
sesuatu untuk diriku, ingin aku bertemu denganmu dan bicara tentang masa lalu. Jagalah
dirimu, tetaplah hidup, supaya kau bisa mengilhami diriku.
Tidak sangsi lagi Matahachi punya maksud baik, tapi ada sesuatu yang tak beres dengan
sikapnya. Kenapa ia mesti menyanjung Musashi sedemikian rupa dan berikutnya bicara
sedemikian rupa tentang kegagalan-kegagalan sendiri" "Yah," Musashi heran, "apa tak
bisa dia sekadar menulis bahwa sudah lama waktu berlalu, dan kenapa kita tidak bertemu
dan ngobrol sepuasnya?"
"Jo, apa kau menanyakan alamat orang ini?"
"Tidak." "Apa dia sering datang ke sana?"
"Tidak, ini yang pertama kali."
Terpikir oleh Musashi bahwa kalau ia tahu di mana Matahachi tinggal, pasti ia akan
kembali ke Kyoto sekarang juga untuk bertemu dengannya. Ingin ia bicara dengan kawan
masa kecilnya itu, mencoba menyadarkannya, membangkitkan kembali semangat yang pernah
dimilikinya. Karena ia masih menganggap Matahachi sebagai temannya, ingin ia menariknya
keluar dari suasana hatinya yang sekarang, yang jelas cenderung menghancurkan diri
sendiri. Tentu saja ia juga ingin Matahachi menjelaskan kepada ibunya betapa salah
perbuatan ibunya itu. Kedua orang itu berjalan terus dalam diam. Mereka menuruni Gunung Daigo. Persimpangan
Rokujizo sudah tampak di bawah mereka.
Mendadak Musashi menoleh kepada anak itu, dan katanya, "Jo, aku mau minta tolong."
"Apa?" "Menyampaikan pesanku."
"Ke mana?" "Kyoto." "Itu berarti balik kanan dan kembali ke tempat yang baru saja saya tinggalkan."
"Betul. Aku ingin kamu menyampaikan suratku kepada Perguruan Yoshioka di Jalan Shijo."
Dengan kecewa Jotaro menendang batu dengan jari kakinya.
"Tak mau, ya?" tanya Musashi sambil menatap anak itu.
Jotaro menggelengkan kepala tak menentu. "Saya tidak keberatan, tapi apa Kakak menyuruh
saya ini buat menyingkirkan saya?"
Kecurigaan anak itu membuat Musashi merasa bersalah, karena bukankah ia sendiri yang
telah menghilangkan kepercayaan itu pada orang dewasa"
"Tidak!" katanya tegas. "Seorang samurai tidak berbohong. Maafkan aku atas kejadian
pagi tadi. Itu cuma kesalahan."
"Baik, saya pergi."
Mereka masuk warung teh di persimpangan yang dikenal dengan nama Rokuamida, memesan
teh, dan makan siang. Kemudian Musashi menulis surat yang dialamatkan kepada Yoshioka
Seijuro: Saya mendapat kabar bahwa Anda dan murid-murid Anda sedang mencari saya. Sekarang saya
berada di jalan raya Yamato, karena saya bermaksud mengadakan perjalanan keliling di
kawasan Iga dan Ise sekitar setahun lamanya untuk melanjutkan pelajaran saya dalam ilmu
pedang. Saya tak ingin mengubah rencana waktu ini, tapi karena saya sama kecewanya
dengan Anda berhubung tidak dapat bertemu dengan Anda selama kunjungan saya ke
perguruan Anda, maka ingin saya memberitahukan bahwa saya pasti akan kembali ke ibu
kota pada bulan pertama atau kedua tahun depan. Dari sekarang sampai waktu itu saya
berharap akan dapat memperbaiki teknik saya sebaik-baiknya. Saya percaya Anda sendiri
tak akan mengabaikan latihan Anda. Akan merupakan aib besar jika Perguruan Yoshioka
Kempo yang sedang mekar itu harus menderita kekalahan kedua seperti kekalahan di waktu
lalu. Sebagai penutup, saya sampaikan harapan penuh hormat agar Anda selalu dalam
keadaan sehat walafiat. Shimmen Miyamoto Musashi Masana.
Surat itu memang sopan, namun jelas nampak keyakinan Musashi pada diri sendiri. Sesudah
mengubah alamat surat itu agar tidak hanya mencakup Seijuro saja, melainkan juga semua
murid di sekolah itu, ia letakkan kuasnya dan ia serahkan surat itu kepada Jotaro.
"Apa bisa saya masukkan saja surat ini di perguruan itu, lalu pergi?" tanya anak itu.
"Tidak. Kamu mesti menyapa dulu di pintu depan, lalu menyerahkan surat itu langsung
kepada pembantu di sana."
"Baik." "Ada hal lain lagi yang harus kamu lakukan, tapi barangkali agak sukar." "Apa?"
"Apakah kamu dapat menemukan orang yang memberikan surat padamu itu" Namanya Hon'iden
Matahachi. Dia teman lamaku."
"Oh, itu sama sekali tidak sukar."
"Betul" Bagaimana caramu?"
"Ah, saya tanyakan saja di semua toko minuman."
Musashi tertawa. "Boleh juga pikiranmu itu. Tapi menurut surat Matahachi itu, dia kenal
orang di Perguruan Yoshioka. Kupikir lebih cepat kalau tanya tentang dia di sana."
"Apa yang harus saya lakukan kalau sudah menemukan dia?"
"Aku ingin kamu menyampaikan pesan. Katakan padanya, dari hari pertama sampai hari
ketujuh tahun baru nanti, tiap pagi aku akan ke jembatan besar di Jalan Gojo menantikan
dia. Suruh dia datang menemuiku pada salah satu hari itu."
"Cuma itu?" "Ya, tapi sampaikan juga kepadanya bahwa aku ingin sekali bertemu dengannya."
"Baik, saya mengerti. Lalu Kakak ada di mana, kalau saya kembali nanti?" "Kuterangkan
sekarang. Kalau nanti aku sampai Nara, akan kuatur supaya kamu dapat mengetahui
tempatku dengan bertanya di Hozoin. Hozoin adalah kuil terkenal karena permainan
lembingnya." "Sungguh?" "Ha, ha! Kamu masih curiga, ya" Jangan kuatir. Kalau aku tidak memenuhi janjiku kali
ini, boleh kamu memotong kepalaku."
Musashi masih juga tertawa ketika meninggalkan warung teh. la berangkat menuju Nara,
sedangkan Jotaro ke arah yang berlawanan, ke arah Kyoto.
Di persimpangan jalan itu bercampur aduk orang banyak yang mengenakan topi anyaman,
burung layang-layang, dan kuda-kuda meringkik. Sementara melintasi gerombolan orang
banyak itu, Jotaro menoleh ke belakang dan melihat Musashi masih berdiri di tempat
semula dan memperhatikannya. Mereka tersenyum dari jauh sebagai tanda perpisahan, lalu
masing-masing menempuh jalannya sendiri.
*** 13. Angin Musim Semi DI tepi Sungai Takase, Akemi mencuci sepotong kain sambil menyanyikan lagu yang
dipelajarinya di Kabuki Okuni. Setiap kali ia menarik kain berpola kembang itu,
tercipta bayangan bunga ceri yang terbang berputar-putar.
Angin cinta Menyentak-nyentak lengan kimonoku.
Oh, lengan jadi terasa berat!
Apakah angin cinta itu berat"
Jotaro berdiri di atas tanggul. Matanya yang lincah mengamati pemandangan, dan ia
tersenyum ramah, dan ia tersenyum ramah. "Bagus nyanyinya, Bi," serunya.
"Apa?" tanya Akemi. Ia memandang anak yang seperti orang cebol mengenakan pedang kayu
panjang dan topi anyaman besar itu.
"Kamu siapa?" tanyanya. "Dan apa maksudmu memanggilku Bibi" Aku masih muda!"
"Baik, gadis manis! Bagaimana kalau begitu?"
"Diam kamu!" kata Akemi tertawa. "Kau masih terlalu kecil buat merayu. Lebih baik kau
buang ingusmu." "Saya cuma mau tanya sedikit."
"Oh, oh!" teriak Akemi ketakutan. "Kainku!"
"Sebentar saya ambilkan."
Jotaro mengejar kain itu dari tepi sungai, kemudian memancingnya dari air dengan
pedangnya. Paling tidak, pedang ini bisa dipakai buat keadaan seperti ini, demikian
pikirnya. Akemi mengucapkan terima kasih, lalu bertanya, apa yang hendak ditanyakan
Jotaro. "Apa ada warung teh di sekitar sini yang namanya Yomogi?"
Oh, ya, itu rumahku, disana itu."
"Oh, senang sekali aku mendengarnya! Lama sekali aku mencarinya."
"Kenapa" Kamu datang dari mana?"
"Dari jalan itu," jawab Jotaro sambil menuding tak jelas.
"Dari mana itu kira-kira?"
Jotaro ragu-ragu. "Aku sendiri tidak begitu yakin."
Akemi terkikik. "Tak apalah. Tapi kenapa kamu tertarik pada warung teh kami?"
"Saya mencari orang yang namanya Hon'iden Matahachi. Orang Perguruan Yoshioka bilang,
kalau saya pergi ke Yomogi, saya akan menemukannya."
"Dia tidak di situ."
"Bohong!" "Tidak. Betul. Dulu dia memang tinggal dengan kami, tapi dia sudah pergi beberapa waktu
lalu." "Ke mana?" "Aku tidak tahu."
"Tapi orang serumahmu pasti ada yang tahu."
"Tidak. Ibuku juga tidak tahu. Dia minggat."
"Oh." Anak itu memerosotkan badannya dan menatap air dengan gelisah. "Sekarang apa yang
mesti kulakukan?" keluhnya.
"Siapa yang menyuruhmu kemari?"
"Guruku." "Siapa gurumu?"
"Namanya Miyamoto Musashi."
"Apa kamu membawa surat?"
"Tidak," kata Jotaro sambil menggeleng.
"Bagus sekali kamu jadi suruhan! Tak tahu dari mana datang, dan tidak membawa surat
pula." "Tapi saya membawa pesan."
"Pesan apa itu" Barangkali orang itu tak akan kembali lagi, tapi kalau dia kembali akan
kusampaikan pesanmu itu."
"Saya kira tak boleh saya mengatakannya. Ya, kan?"
"Jangan tanya aku. Putuskan olehmu sendiri."
"Kalau begitu, barangkali juga boleh. Dia bilang ingin sekali bertemu dengan Matahachi.
Dia minta saya menyampaikan pada Matahachi bahwa dia akan menanti di jembatan besar
Jalan Gojo tiap pagi, dari hari pertama sampai hari ketujuh tahun baru nanti. Matahachi
mesti menjumpai dia di sana, di salah satu hari itu."
Akemi pecah ketawanya, tak dapat dikendalikan lagi. "Tak pernah aku mendengar pesan
seperti itu! Jadi, maksudmu, sekarang dia mengirim pesan, minta Matahachi menjumpainya
tahun depan" Gurumu itu mestinya sama anehnya dengan kamu! Ha, Ha!"
Sikap mencemooh tampak pada wajah Jotaro, dan bahunya tegang karena marah. "Apanya yang
lucu?" Akhirnya Akemi berhasil menghentikan tawanya. "Jadi, sekarang kamu marah, ya?"
"Tentu saja. Saya minta tolong dengan sopan, tapi kamu ketawa seperti orang gila."
"Maaf, aku betul-betul minta maaf. Aku tak akan ketawa lagi. Dan kalau Matahachi
kembali, akan kusampaikan pesan itu kepadanya.
"Janji?" "Ya, aku bersumpah." Sambil menggigit bibir untuk menghindari senyum, Akemi bertanya,
"Siapa namanya tadi" Orang yang menyuruhmu menyampaikan pesan itu?"
"Ingatanmu tidak begitu baik rupanya. Namanya Miyamoto Musashi."
"Bagaimana kamu menuliskan Musashi itu?" Jotaro mengambil bilah bambu, lalu
mengguratkan dua huruf di pasir.
"Lho, itu huruf-huruf yang bunyinya Takezo!" ucap Akemi.
"Namanya bukan Takezo, tapi Musashi."
"Ya, tapi bisa juga dibaca Takezo."
"Kamu keras kepala rupanya, ya?" decap Jotaro sambil melemparkan bilah bambu itu ke
sungai. Akemi menatap tajam-tajam huruf-huruf di pasir itu, dan tenggelam dalam renungan.
Akhirnya ia menengadah memandang Jotaro, mengamat-amatinya dari kepala sampai jari
kaki, lalu tanyanya dengan suara lembut,
"Apa ini bukan Musashi dari daerah Yoshino di Mimasaka?"
"Ya. Saya dari Harima. Dia dari Kampung Miyamoto di Provinsi Mimasaka, tak jauh dari
sana." "Apa orangnya tinggi, kelihatan jantan" Dan apa bagian atas kepalanya tidak dicukur?"
"Ya. Bagaimana kamu bisa tahu?"
"Aku ingat dia pernah cerita, ketika masih kecil dia bisulan di puncak kepalanya. Kalau
dia mencukurnya seperti biasa dilakukan samurai, akan kelihatan bekas lukanya yang
buruk." "Pernah cerita" Kapan?"
"Oh, sudah lima tahun lalu."
"Jadi, kamu sudah begitu lama kenal guru saya?"
Akemi tidak menjawab. Kenangan hari-hari itu membangkitkan kenikmatan di dalam hatinya,
hingga bicara pun jadi sukar. Yakin dari berita kecil vang disampaikan anak itu bahwa
Musashi adalah Takezo, ia jadi tercengkeram hasrat untuk bertemu Musashi kembali. Ia
sudah melihat cara hidup ibunya, dan ia juga sudah melihat Matahachi semakin memburuk
perkembangannya. Sejak semula ia lebih menyukai Takezo. Dan semenjak itu semakin yakin
ia akan benarnya pilihan atas Takezo. Ia gembira karena masih sendiri. Takezo. Ia
begitu lain dari Matahachi.
Sering kali ia mengambil sikap tidak menghanyutkan diri dengan para leaki yang selalu
minum di warung tehnya. Ia mencemooh mereka dan terus berpegang teguh pada gambarannya
tentang Takezo. Jauh di lubuk hatinya ia selalu bermimpi akan menemukan Takezo kembali.
Takezo, hanya Takezo-lah kekasih di dalam hatinya, ketika ia menyanyikan lagu-lagu
cinta untuk dirinya sendiri.
Karena tugasnya selesai, Jotaro berkata, "Nah, lebih baik saya pergi sekarang. Kalau
kamu bertemu dengan Matahachi, betul-betullah sampaikan apa yang sudah saya katakan
tadi." Ia pergi, menderap sepanjang puncak tanggul sempit itu.
Kereta sapi itu penuh bermuatan karung-karung yang barangkali berisi betas, kacang
merah, atau hasil bumi setempat yang lain. Di puncak tumpukan ada tulisan yang
menyatakan bahwa barang itu sumbangan kaum Budhis yang setia untuk Kofukuji yang agung
di Nara. Jotaro kenal kuil itu karena namanya identik dengan Nara.
Wajah Jotaro menyala menyatakan kegembiraan kanak-kanaknya. Dikejarnya kendaraan itu,
lalu naiklah ia ke atasnya. Jika ia menghadap ke belakang, masih ada cukup ruangan
untuk duduk. Dan sebagai tambahan kenikmatan, ada pula karung-karung buat bersandar.
Di kiri-kanan jalan, bukit-bukit landai terselimut barisan semak teh yang rapi. Pohonpohon ceri mulai berbunga, dan para petani sudah membajak gerst-sejenis gandum. Mereka
pasti berharap agar tahun itu ladang terhindar dari pijakan para serdadu dan kuda.
Perempuan-perempuan berlutut di pinggir kali, mencuci sayur-sayuran. Jalan raya Yamato
terasa damai. "Untung sekali!" pikir Jotaro sambil bersandar dan bersantai. Karena enaknya tempat
itu, ia selalu tergoda untuk tidur, tapi ia harus berpikir dua kali. Karena takut
kereta akan sampai di Nara selagi ia masih tidur, maka ia merasa bersyukur setiap roda
kereta menggilas batu dan berguncang. Itu membantu matanya tetap terbuka. Tak ada yang
lebih menyenangkan baginya daripada berjalan terus seperti ini menuju tujuannya.
Di luar sebuah kampung, Jotaro dengan malas meraih dan memetik selembar daun dari pohon
kamelia. Diletakkannya daun itu di atas lidahnya dan mulailah ia menyiulkan sebuah
lagu. Kusir kereta menoleh ke belakang, tapi tidak melihat apa-apa. Karena siulan terus juga
berbunyi, ia menoleh ke kiri, kemudian ke kanan, dan berkali-kali lagi. Akhirnya
dihentikannya kereta, dan pergilah ia memutar ke belakang. Melihat Jotaro, ia marah
bukan kepalang. Pukulan tinju yang dijatuhkannya demikian keras, hingga anak itu
berteriak kesakitan. "Apa kerjamu di sini?" gertaknya.
"Tak apa-apa, kan?"
"Enak saja kau!"
"Kenapa" Bapak kan tidak menariknya sendiri?"
"Oh, bajingan kurang ajar kamu!" seru tukang kereta sambil melontarkan Joraro ke tanah,
seperti bola. Jotaro terpelanting dan kemudian terguling ke pangkal sebatang pohon.
Kereta berjalan kembali, bunyi rodanya gemeretak, seakan-akan menertawakannya.
Ketika Jotaro sadar kembali, ia mulai mencari-cari dengan teliti di tanah sekitarnya.
Ia sadar tabung bambu berisi jawaban dari Perguruan Yoshioka untuk Musashi hilang. Tadi
barang itu Ia gantungkan di leher dengan seutas tali, tapi sekarang lenyap.
Ketika anak itu sangat kebingungan dan sedikit demi sedikit melebarkan wilayah
pencariannya, seorang perempuan muda berpakaian perjalanan berhenti memperhatikannya;
ia bertanya, "Kamu kehilangan sesuatu, ya?"
Jotaro memandang wajahnya yang sebagian tertutup topi bertepi lebar, mengangguk, dan
kembali mencari. "Kamu kehilangan uang?"
Karena terlampau asyik, Jotaro tidak begitu memperhatikan pertanyaan itu, dan hanya
memperdengarkan gerutuan tak senang.
"Apa tabung bambu yang panjangnya kira-kira satu kaki dan bertali?" Jotaro tersentak.
"Ya! Bagaimana Kakak bisa tahu?"
"Jadi, kamulah yang diteriak-teriaki kusir-kusir dekat Mampukuji tadi, karena
mengganggu kuda mereka!"
"Ah-h-h... ya "
"Waktu kamu ketakutan dan lari, tali itu tentunya putus. Tabung itu jatuh di jalan, dan
samurai yang sedang bicara dengan kusir-kusir tadi itu mengambilnya. Lebih baik kamu


Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kembali menanyakan kepadanya."
"Betul begitu?"
"Tentu." "Terima kasih."
Tapi baru saja ia hendak berlari, perempuan muda itu memanggilnya. "Tunggu! Tak perlu
kamu kembali ke sana. Kulihat samurai itu berjalan kemari. Itu, yang memakai hakama
lapangan." Ia menuding orang itu.
Jotaro berhenti dan menanti dengan mata terbuka lebar.
Samurai itu seorang lelaki yang mengesankan, berumur sekitar empat puluh tahun. Segala
sesuatu yang ada padanya sedikit lebih besar dan yang biasa-tingginya, jenggotnya yang
hitam legam, bahunya yang lebar, dadanya yang padat. la mengenakan kaus kaki kulit dan
sandal jerami, dan apabila berjalan langkah-langkahnya yang mantap seakan memadatkan
tanah. Dari pandangan sekilas, Jotaro merasa pasti bahwa orang itu prajurit besar yang
mengabdi kepada salah seorang daimyo yang sangat penting, dan ia takut menyapanya.
Untunglah samurai itu yang bicara dulu memanggilnya. "Apa bukan kamu anak nakal yang
menjatuhkan tabung bambu ini di depan Mampukuji?" tanyanya.
"Oh, betul! Tuan menemukannya!"
"Apa tak bisa kamu mengucapkan terima kasih?"
"Maaf. Terima kasih, Tuan!"
"Aku yakin ada surat penting di dalamnya. Kalau tuanmu menyuruh kamu, jangan kamu
berhenti sepanjang jalan mengganggu kuda, membonceng-bonceng, atau bermalas-malas di
pinggir jalan." "Ya, Tuan. Apa Tuan melihat isinya?"
"Sudah sewajarnya, kalau kita menemukan sesuatu, kita memeriksanya dan mengembalikannya
kepada pemiliknya, tapi aku tidak merusak meterai surat itu. Sekarang, sesudah barang
itu di tanganmu lagi, coba periksa dan lihat, apa masih baik keadaannya."
Jotaro membuka tutup tabung dan melihat ke dalamnya. Puas karena surat itu masih ada,
digantungkannya tabung itu kembali ke lehernya, dan ia bersumpah tak akan melepaskannya
untuk kedua kali. Perempuan muda itu tampak sama puasnya dengan Jotaro.
"Baik sekali Tuan telah menemukan barang itu," katanya kepada si samurai, untuk
memperbaiki sikap Jotaro yang tidak mampu menyatakan terima kasih dengan baik.
Samurai berjenggot itu mulai berjalan lagi bersama mereka berdua. "Apa anak itu
bersamamu?" tanyanya kepada perempuan itu.
"Oh, tidak. Belum pernah saya bertemu dengan dia."
Samurai itu tertawa. "Kupikir tadi kamu dan dia pasangan yang agak aneh. Anak itu
seperti setan kecil yang lucu; apalagi ada kata 'Penginapan' pada topinya."
"Barangkali kepolosan kanak-kanaknya itu yang membuat dia begitu menarik. Saya suka dia
juga." Sambil menoleh kepada Jotaro, ia bertanya, "Mau ke mana kamu?"
Karena berjalan bersama kedua orang itu, semangat Jotaro naik lagi. "Saya akan pergi ke
Nara, ke Kuil Hozoin." Sebuah benda panjang sempit yang terbungkus kain brokat emas dan
tersimpan dalam obi gadis itu menarik perhatiannya. Sambil memperhatikannya, ia
berkata, "Saya lihat Kakak membawa tabung surat juga. Hati-hati, jangan Kakak
hilangkan." "Tabung surat" Apa maksudmu?"
"Itu, dalam obi Kakak."
Gadis itu pun tertawa. "Ini bukan tabung surat, tolol! Ini suling."
"Suling?" Dengan mata menyala-nyala karena rasa ingin tahu, tanpa malu-malu Jotaro
melongokkan kepala ke pinggang gadis itu untuk memeriksa benda tersebut. Tiba-tiba
suatu perasaan aneh datang kepadanya. Ia mundur dan seperti mengamat-amati gadis itu.
Anak-anak pun mempunyai selera terhadap kecantikan wanita, atau setidak-tidaknya
mengerti secara naluriah, apakah wanita itu murni atau tidak. Jotaro terkesan sekali
akan kecantikan gadis itu, dan ia menghargainya. Terasa olehnya sebagai keberuntungan
tak terukir bahwa sekarang ia berjalan bersama orang yang begitu molek. Hatinya pun
berdentum, dan ia merasa pusing.
"Oh. Suling... Apa Bibi bisa main suling?" tanyanya. Kemudian, karena ingat akan reaksi
Akemi terhadap kata "Bibi" itu, ia cepat-cepat mengubah pertanyaannya, "Siapa nama
Kakak?" Gadis itu tertawa dan melemparkan pandangan senang kepada si samurai lewat kepala anak
itu. Prajurit yang seperti beruang itu ikut tertawa, memperlihatkan barisan giginya
yang putih kuat di belakang jenggotnya.
"Kamu anak baik, kan" Kalau kamu ingin tahu nama orang lain, yang sopan adalah kamu
menyebutkan dulu namamu."
"Nama saya Jotaro."
Jawaban ini menimbulkan ketawa lebih banyak lagi.
"Itu tidak adil!" teriak Jotaro. "Tuan menyuruh saya menyebutkan nama saya, tapi saya
belum tahu nama Tuan. Siapa nama Tuan?"
"Namaku Shoda," kata samurai itu.
"Itu tentunya nama keluarga. Lalu nama Tuan yang lain apa?"
"Terpaksa aku minta diizinkan hanya menyebut nama itu."
Dengan berani Jotaro menoleh kepada gadis itu, dan katanya, "Sekarang giliran Kakak.
Kami sudah menyebutkan nama kami. Kurang sopan kalau Kakak tidak menyebutkan nama
Kakak." "Nama saya Otsu."
"Otsu?" Jotaro mengulang. la kelihatan puas sebentar, tapi kemudian mengoceh lagi.
"Kenapa ke mana-mana Kakak menyimpan suling dalam obi?"
"Oh, aku butuh suling ini buat mencari makan."
"Jadi, Kakak ini pemain suling?"
"Sebetulnya aku tidak yakin apa ada pemain suling profesional, tapi uang yang kudapat
dengan main suling ini bisa buat melakukan perjalanan-perjalanan jauh macam ini.
Bolehlah kamu menyebut itu pekerjaanku."
"Apa musik yang Kakak mainkan seperti musik yang sudah saya dengar di Gion dan Kuil
Kamo" Musik untuk tari-tarian suci?"
"Tidak." "Apa musik buat jenis tarian yang lain-misalnya Kabuki?"
"Tidak." "Kalau begitu, musik jenis apa?"
"Oh, lagu-lagu biasa saja."
Sementara itu si samurai bertanya-tanya dalam hati mengenai pedang kayu panjang milik
Jotaro itu. "Apa yang kamu pasang di pinggangmu itu?" tanyanya.
"Apa Tuan tak kenal pedang kayu kalau Tuan melihatnya" Saya pikir Tuan ini samurai."
"Ya, aku memang samurai. Cuma aku heran melihat pedang begitu kamu bawa. Kenapa kamu
membawanya?" "Saya mau belajar ilmu pedang."
"Oh, jadi kamu belajar sekarang" Apa kamu sudah punya guru?"
"Punya." "Apa dia yang akan menerima surat itu?" "
Ya. " "Kalau dia itu gurumu, tentunya dia ahli yang sejati."
"Dia sama sekali tidak sebaik itu."
"Apa maksudmu?"
"Semua orang bilang dia lemah."
"Apa kamu tidak keberatan punya guru lemah?"
"Tidak. Saya juga tidak pandai main pedang, jadi tak ada bedanya."
Samurai itu hampir tak dapat menahan rasa geli. Mulutnya menggetar, seakan hendak pecah
menjadi senyuman, tetapi matanya tetap muram. "Apa kamu sudah mempelajari beberapa
teknik?" "Belum bisa dikatakan begitu. Saya belum lagi belajar apa-apa."
Tawa samurai itu pun akhirnya pecah berderai-derai, "Bicara dengan kamu ini bikin jalan
lebih pendek. Lalu, Nona sendiri man pergi ke mana?"
"Ke Nara, tapi tepatnya Nara bagian mana, saya belum tahu. Ada seorang ronin yang sudah
sekitar satu tahun saya cari, dan karena menurut pendengaran saya banyak ronin
berkumpul di Nara sekarang ini, saya punya rencana ke sana, walaupun saya akui, tidak
banyak berita yang terdengar."
Jembatan Uji mulai tampak. Di bawah tepi atap sebuah warung teh, seorang tua yang
sangat sopan memegang sebuah ketel teh besar. Ia sedang melayani para langganan yang
duduk berkeliling di bangku. Melihat Shoda, ia menyalaminya dengan hangat, "Senang
sekali bertemu dengan anggota Keluarga Yagyu!" serunya. "Silakan masuk, silakan!"
"Kami mau istirahat sebentar di sini. Bisa sediakan kue manis buat anak ini?"
Jotaro tetap berdiri, sementara teman-temannya duduk. Baginya duduk dan beristirahat
itu membosankan. Begitu kue datang, ia segera mengambilnya dan larilah ia ke bukit
rendah di belakang warung teh.
Sambil menghirup teh, Otsu bertanya kepada orang tua itu. "Apa Nara masih jauh dari
sini?" "Masih. Orang yang cepat jalannya pun barangkali takkan sampai lebih jauh dari Kizu
sebelum matahari terbenam. Anak perempuan seperti Anda mesti menginap di Taga atau
Ide." Shoda pun segera menyambung. "Nona ini sudah beberapa bulan mencari seseorang. Tapi
terpikir juga oleh saya, apa menurut Bapak cukup aman hari-hari ini, kalau seorang
wanita muda mengadakan perjalanan sendiri ke Nara, sedangkan dia belum tahu akan
menginap di mana?" Mendengar pertanyaan itu, orang tua itu membelalakkan matanya. "Oh, bahkan bermaksud
saja jangan!" katanya pasti. Sambil menoleh ke Otsu, ia mengibas-ngibaskan tangan di
depan wajah, dlan katanya, "Lupakan keinginan itu sama sekali. Kalau Nona yakin ada
teman untuk tinggal di sana, itu lain soal. Kalau tidak, Nara bisa jadi tempat yang
sangat berbahaya." Pemilik warung menuangkan secangkir teh untuk diri sendiri, lalu bercerita kepada
mereka mengenai apa yang diketahuinya tentang keadaan Nara. Rupanya kebanyakan orang
mendapat kesan bahwa ibu kota lama itu tempat yang tenang, damai, di mana banyak kuil
berwarna-warni dan rusa-rusa jinak-sebuah tempat yang tidak terganggu oleh perang atau
kelaparan. Padahal kenyataannya kota itu tidak lagi seperti itu. Sesudah Pertempuran
Sekigahara, tak tahulah orang, berapa banyak ronin dari pihak yang kalah telah datang
bersembunyi di sana. Kebanyakan anggota partisan Osaka dari Tentara Barat dan Osaka,
samurai-samurai yang kini tak punya penghasilan dan sedikit saja punya harapan akan
memperoleh pekerjaan lain. Dengan semakin berkembangnya kekuasaan ke-shogun-an Tokugawa
dari tahun ke tahun, disangsikan apakah para pelarian itu akan dapat lagi memperoleh
penghidupan terang-terangan dengan pedangnya.
Menurut perkiraan kebanyakan orang, 120.000 atau 130.000 orang samurai kehilangan
jabatannya. Sebagai pemenang, orang-orang Tokugawa menyita tanah-tanah milik yang
seluruhnya menghasilkan 33 juta gantang padi tiap tahun. Walau jika dihitung juga tuantuan tanah feodal yang semenjak itu diizinkan menetap kembali dengan gaya yang lebih
sederhana, maka setidak-tidaknya ada delapan puluh daimyo dengan penghasilan seluruhnya
sekitar dua puluh juta gantang yang telah dicabut hak miliknya. Kalau dihitung untuk
setiap lima ratus gantang padi ada tiga samurai yang telah dihentikan dari tempat
kerjanya dan dipaksa bersembunyi di berbagai provinsi lain-terhitung keluarga dan
pesuruhnya-maka jumlah mereka seluruhnya tidak akan kurang dari 100.000 orang.
Wilayah sekitar Nara dan Gunung Koya penuh kuil, karena itu sukar bagi angkatan
bersenjata Tokugawa untuk mengadakan perondaan. Juga, karena merupakan tempat sembunyi
yang ideal, para pelarian berbondongbondong bergerak ke sana.
"Misalnya," kata orang tua itu, "Sanada Yukimura yang terkenal itu bersembunyi di
Gunung Kudo, lalu Sengoku Soya kabarnya berada di luar Horyuji, dan Ban Dan'emon di
Kofukuji. Banyak lagi yang dapat saya sebutkan." Semua itu orang-orang yang punya nama,
orang-orang yang akan dibunuh dengan seketika kalau mereka menunjukkan diri. Satusatunya harapan mereka untuk masa depan adalah kalau perang pecah lagi.
Menurut pendapat orang tua itu, keadaan tidak begitu jelek kalau hanya para ronin
terkenal itu yang menyembunyikan diri, karena mereka semua sedikit banyak punya
prestise dan dapat hidup sendiri dengan keluarganya. Tetapi yang mempersulit keadaan
adalah para samurai miskin yang berkeliaran di jalan-jalan belakang kota; keadaan
mereka demikian sulit, hingga kalau bisa pedang pun akan mereka jual. Setengahnya lalu
mulai berkelahi, berjudi, atau mengganggu ketenteraman, dengan harapan kerusakan yang
mereka datangkan itu akan membuat angkatan bersenjata Osaka bangkit dan mengangkat
senjata. Kota Nara yang dahulu tenang itu kini berubah menjadi sarang penjahat nekat.
Untuk gadis manis seperti Otsu, pergi ke sana sama halnya dengan menuangkan minyak ke
kimono dan menceburkan dirt ke dalam api. Tergerak oleh ceritanya sendiri, pemilik
warung teh menutup ceritanya dengan minta amat sangat pada Otsu untuk mengubah
maksudnya. Otsu kini merasa ragu-ragu dan duduk diam sebentar. Kalau sekiranya ada sedikit saja
petunjuk bahwa Musashi kemungkinan berada di Nara, tak akan ia berpikir panjang
mengenai bahayanya. Tapi sayangnya la betul-betul tak punya alasan untuk terus. la
sekadar berjalan ke arah Nara"tak ada bedanya dengan pengembaraannya ke berbagai tempat
lain, semenjak Musashi meninggalkannya d
i Jembatan Himeji. Melihat kebingungan pada wajahnya, Shoda berkata, "Tadi kaubilang namamu Otsu, bukan?"
"Ya." "Nah, Otsu, aku memang ragu-ragu mengatakan ini, tapi kenapa tidak kau batalkan saja
maksudmu pergi ke Nara itu, dan sebagai gantinya kau pergi denganku ke tanah Koyagyu?"
Karena merasa wajib memberikan keterangan lebih banyak tentang dirinya, dan meyakinkan
Otsu bahwa maksudnya itu terhormat, ia melanjutkan, "Nama lengkapku Shoda Kizaemon, dan
aku mengabdi kepada Keluarga Yagyu. Kebetulan tuanku yang sudah berumur delapan puluh
tahun tidak lagi aktif. Dia menderita kebosanan luar biasa. Ketika kau berkata kau
hidup dari main suling, terpikir olehku, akan senang sekali dia kalau kamu ada di
dekatnya dan sekali-sekali main untuknya. Apa kau suka kerja begitu?"
Orang tua itu segera menimpali dengan pernyataan setuju. "Kamu lebih baik ikut dia,"
desaknya. "Barangkali kamu tahu, yang dipertuan dari Koyagyu yang sudah tua itu adalah
Yagyu Muneyoshi yang agung. Sesudah pensiun, ia memakai nama Sekishusai. Segera setelah
ahli warisnya, Munenori, yaitu Yang Dipertuan dari Tajima, pulang dari Sekigahara, dia
langsung dipanggil ke Edo dan ditunjuk menjadi instruktur dalam rumah tangga shogun.
Tidak ada keluarga yang lebih besar di Jepang ini daripada Keluarga Yagyu. Diundang ke
Koyagyu saja sudah merupakan kehormatan. Jangan sampai tidak diterima tawaran itu!"
Mendengar bahwa Kizaemon adalah pejabat dalam Keluarga Yagyu yang termasyhur itu, Otsu
merasa beruntung, karena besar dugaannya, orang itu bukanlah samurai biasa. Namun ia
merasa sukar menjawab tawaran itu.
Melihat Otsu masih juga diam, Kizaemon bertanya, "Tak suka kamu ke sana?"
"Bukan itu soalnya. Tak ada tawaran lain yang lebih baik dari itu. Cuma saya takut,
nanti permainan saya tidak cukup baik untuk orang seperti Yagyu Muneyoshi."
"Jangan panjang-panjang kamu memikirkan soal itu. Keluarga Yagyu itu lain sekali dengan
daimyo lain. Khususnya Sekishusai, dia ahli upacara minum teh yang berselera sederhana,
tenang. Dia akan lebih terganggu oleh sifat malu-malumu itu daripada bayanganmu bahwa
kamu kurang terampil."
Otsu sadar bahwa pergi ke Koyagyu lebih memberikan harapan, berapa pun kecilnya,
daripada berkeliaran tanpa tujuan ke Nara. Sejak meninggalnya Yoshioka Kempo, Keluarga
Yagyu dianggap banyak orang sebagai eksponen terbesar dalam seni perang di negeri ini.
Dapat dipahami kalau para pemain pedang dari seluruh negeri akan datang ke pintu
gerbangnya; di situ bahkan akan ada daftar tamu. Alangkah bahagianya kalau dalam daftar
itu dapat ia temukan nama Miyamoto Musashi!
Terutama karena memikirkan kemungkinan itu, ia berkata riang, "Kalau menurut pendapat
Tuan tak ada halangan apa-apa, saya mau ke sana."
"Kamu mau" Bagus sekali! Terima kasih sekali.... Hmm, tapi aku ragu, apa seorang
perempuan dapat jalan sejauh itu sebelum malam datang. Apa kamu bisa naik kuda?"
"Bisa." Kizaemon membungkuk ke bawah tepi atap dan mengangkat tangan ke arah jembatan. Tukang
kuda yang menanti di sana datang berlari-lari membawa kuda; Kizaemon menyuruh Otsu naik
ke atasnya, sedangkan ia sendiri berjalan di sampingnya.
Jotaro melihat mereka dari bukit di belakang warung teh, dan serunya, "Apa sudah mau
berangkat" "Ya, kami berangkat."
"Tunggu saya!" Mereka sudah setengah jalan menyeberang Jembatan Uji ketika Jotaro menyusul. Kizaemon
bertanya kepadanya, apa yang dilakukannya tadi, dan Jotaro menjawab bahwa di sebuah
semak di bukit itu terdapat banyak orang sedang main. la tidak tahu nama permainan itu,
tapi kelihatannya menarik.
Tukang kuda tertawa. "Itu ronin-ronin jembel yang sedang berjudi. Mereka tak punya
cukup uang untuk makan, karena itu mereka memikat musafir untuk main dengan mereka dan
mengakali segala milik mereka. Memalukan!"
"Oh, jadi mereka itu berjudi untuk mata pencaharian?" tanya Kizaemon.
"Yang berjudi itu termasuk yang baik-baik," jawab tukang kuda. "Banyak lagi lainnya
yang menjadi tukang culik dan peras. Mereka begitu kasar, sampai tak ada orang yang
dapat berbuat sesuatu untuk menghentikan mereka."
"Kenapa Yang Dipertuan daerah ini tidak menangkap atau mengusir mereka?"
"Jumlah mereka terlalu banyak-jauh lebih banyak daripada yang dapat dihadapi. Kalau
semua ronin dari Kawachi, Yamato, dan Kii bergabung jadi satu, mereka bisa lebih kuat
daripada pasukan Yang Dipertuan sendiri."
"Saya dengar Koga juga penuh dengan mereka itu."
"Ya. Mereka datang dari Tsutsui. Mereka bertekad bertahan terus sampai perang
berikutnya." "Bapak ini begitu terus bicaranya tentang ronin," sela Jotaro, "tapi di antara mereka
tentunya ada orang-orang yang baik."
"Betul," kata Kizaemon menyetujui.
"Guru saya seorang ronin!"
Kizaemon tertawa, dan katanya, "Maka itu kamu membela mereka. Cukup setia juga kamu....
Kaubilang akan pergi ke Hozoin tadi, ya" Apa di sana gurumu tinggal?"
"Saya tidak tahu betul, tapi dia bilang, kalau saya pergi ke sana, orang akan


Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menunjukkan pada saya, di mana dia."
"Apa gaya gurumu itu?"
"Saya tidak tahu."
"Kamu muridnya, tapi kamu tak tahu gayanya?"
"Tuan," sela tukang kuda, "ilmu pedang itu sekarang cuma iseng-iseng. Semua orang
mempelajarinya. Kita dapat bertemu dengan lima atau sepuluh orang dari mereka yang
berkeliaran di jalan ini setiap hari. Itu semua karena jauh lebih banyak ronin yang
mengajar dibanding dahulu."
"Itu cuma sebagian sebabnya."
"Mereka tertarik, karena entah dari mana mereka itu mendengar, bahwa jika orang cakap
bermain pedang, daimyo akan berlomba-lomba menyewanya dengan bayaran empat atau lima
ribu gantang setahun."
"Jalan pintas untuk menjadi kaya, ya?"
"Tepat. Mengerikan kalau kita memikirkannya. Coba, anak sekecil ini pun sudah pegang
pedang kayu. Barangkali dia mengira bahwa dia hanya harus belajar memukul orang dengan
pedang itu untuk menjadi manusia sejati. Kita melihat banyak orang macam itu, dan
sedihnya, akhir-akhirnya kebanyakan mereka itu akan kelaparan."
Kemarahan Jotaro sekilas bangkit. "Apa ini" Coba, kalau berani mengatakan begitu!"
"Coba dengar! Masih seperti kutu membawa cungkil gigi, tapi sudah membayang-kan dirinya
prajurit besar." Kizaemon tertawa. "Hei, Jotaro, jangan marah, nanti kamu kehilangan tabung bambu lagi."
"Tidak lagi! Tak usah menguatirkan saya!"
Mereka berjalan terus. Jotaro merajuk diam. Yang lain-lain memandang matahari yang
pelan-pelan tenggelam. Akhirnya mereka sampai di pangkalan perahu tambangan di Sungai
Kizu. "Di sini kita berpisah. Nah, sebentar lagi gelap, jadi lebih baik kamu buru-buru. Dan
jangan buang waktu di jalan."
"Otsu?" kata Jotaro, yang mengira Otsu akan pergi bersamanya.
"O ya, aku lupa bilang tadi," kata Otsu. "Aku sudah memutuskan pergi dengan Tuan ini ke
puri di Koyagyu." Jotaro tampak terenyak. "Jaga baik-baik dirimu," kata Otsu tersenyum.
"Mestinya sudah sejak tadi aku tahu bakal sendiri lagi." Ia memungut sebuah batu dan
dilemparkannya batu itu bersilantar di permukaan air.
"Tapi kita akan bertemu lagi hari-hari ini. Rumahmu jalanan, sedangkan aku sendiri
banyak jalan." Jotaro kelihatan tak ingin bergerak. "Tapi siapa yang Kakak cari itu?" canyanya. "Orang
macam apa?" Tanpa menjawab, Otsu melambaikan selamat berpisah.
Jotaro berlari sepanjang tepi sungai, lalu melompat ke tengah perahu tambangan kecil.
Ketika perahu yang menjadi merah warnanya oleh matahari petang itu sudah setengah jalan
menyeberangi sungai, ia menoleh ke belakang. Masih dapat ia mengenali kuda Otsu dan
Kizaemon di jalan Kuil Kasagi. Mereka berada di lembah, di sisi bagian sungai yang
tiba-tiba menyempit, dan sedikit demi sedikit ditelan oleh awal bayang-bayang gunung.
*** 13. Angin Musim Semi DI tepi Sungai Takase, Akemi mencuci sepotong kain sambil menyanyikan lagu yang
dipelajarinya di Kabuki Okuni. Setiap kali ia menarik kain berpola kembang itu,
tercipta bayangan bunga ceri yang terbang berputar-putar.
Angin cinta Menyentak-nyentak lengan kimonoku.
Oh, lengan jadi terasa berat!
Apakah angin cinta itu berat"
Jotaro berdiri di atas tanggul. Matanya yang lincah mengamati pemandangan, dan ia
tersenyum ramah, dan ia tersenyum ramah. "Bagus nyanyinya, Bi," serunya.
"Apa?" tanya Akemi. Ia memandang anak yang seperti orang cebol mengenakan pedang kayu
panjang dan topi anyaman besar itu.
"Kamu siapa?" tanyanya. "Dan apa maksudmu memanggilku Bibi" Aku masih muda!"
"Baik, gadis manis! Bagaimana kalau begitu?"
"Diam kamu!" kata Akemi tertawa. "Kau masih terlalu kecil buat merayu. Lebih baik kau
buang ingusmu." "Saya cuma mau tanya sedikit."
"Oh, oh!" teriak Akemi ketakutan. "Kainku!"
"Sebentar saya ambilkan."
Jotaro mengejar kain itu dari tepi sungai, kemudian memancingnya dari air dengan
pedangnya. Paling tidak, pedang ini bisa dipakai buat keadaan seperti ini, demikian
pikirnya. Akemi mengucapkan terima kasih, lalu bertanya, apa yang hendak ditanyakan
Jotaro. "Apa ada warung teh di sekitar sini yang namanya Yomogi?"
Oh, ya, itu rumahku, disana itu."
"Oh, senang sekali aku mendengarnya! Lama sekali aku mencarinya."
"Kenapa" Kamu datang dari mana?"
"Dari jalan itu," jawab Jotaro sambil menuding tak jelas.
"Dari mana itu kira-kira?"
Jotaro ragu-ragu. "Aku sendiri tidak begitu yakin."
Akemi terkikik. "Tak apalah. Tapi kenapa kamu tertarik pada warung teh kami?"
"Saya mencari orang yang namanya Hon'iden Matahachi. Orang Perguruan Yoshioka bilang,
kalau saya pergi ke Yomogi, saya akan menemukannya."
"Dia tidak di situ."
"Bohong!" "Tidak. Betul. Dulu dia memang tinggal dengan kami, tapi dia sudah pergi beberapa waktu
lalu." "Ke mana?" "Aku tidak tahu."
"Tapi orang serumahmu pasti ada yang tahu."
"Tidak. Ibuku juga tidak tahu. Dia minggat."
"Oh." Anak itu memerosotkan badannya dan menatap air dengan gelisah. "Sekarang apa yang
mesti kulakukan?" keluhnya.
"Siapa yang menyuruhmu kemari?"
"Guruku." "Siapa gurumu?"
"Namanya Miyamoto Musashi."
"Apa kamu membawa surat?"
"Tidak," kata Jotaro sambil menggeleng.
"Bagus sekali kamu jadi suruhan! Tak tahu dari mana datang, dan tidak membawa surat
pula." "Tapi saya membawa pesan."
"Pesan apa itu" Barangkali orang itu tak akan kembali lagi, tapi kalau dia kembali akan
kusampaikan pesanmu itu."
"Saya kira tak boleh saya mengatakannya. Ya, kan?"
"Jangan tanya aku. Putuskan olehmu sendiri."
"Kalau begitu, barangkali juga boleh. Dia bilang ingin sekali bertemu dengan Matahachi.
Dia minta saya menyampaikan pada Matahachi bahwa dia akan menanti di jembatan besar
Jalan Gojo tiap pagi, dari hari pertama sampai hari ketujuh tahun baru nanti. Matahachi
mesti menjumpai dia di sana, di salah satu hari itu."
Akemi pecah ketawanya, tak dapat dikendalikan lagi. "Tak pernah aku mendengar pesan
seperti itu! Jadi, maksudmu, sekarang dia mengirim pesan, minta Matahachi menjumpainya
tahun depan" Gurumu itu mestinya sama anehnya dengan kamu! Ha, Ha!"
Sikap mencemooh tampak pada wajah Jotaro, dan bahunya tegang karena marah. "Apanya yang
lucu?" Akhirnya Akemi berhasil menghentikan tawanya. "Jadi, sekarang kamu marah, ya?"
"Tentu saja. Saya minta tolong dengan sopan, tapi kamu ketawa seperti orang gila."
"Maaf, aku betul-betul minta maaf. Aku tak akan ketawa lagi. Dan kalau Matahachi
kembali, akan kusampaikan pesan itu kepadanya.
"Janji?" "Ya, aku bersumpah." Sambil menggigit bibir untuk menghindari senyum, Akemi bertanya,
"Siapa namanya tadi" Orang yang menyuruhmu menyampaikan pesan itu?"
"Ingatanmu tidak begitu baik rupanya. Namanya Miyamoto Musashi."
"Bagaimana kamu menuliskan Musashi itu?" Jotaro mengambil bilah bambu, lalu
mengguratkan dua huruf di pasir.
"Lho, itu huruf-huruf yang bunyinya Takezo!" ucap Akemi.
"Namanya bukan Takezo, tapi Musashi."
"Ya, tapi bisa juga dibaca Takezo."
"Kamu keras kepala rupanya, ya?" decap Jotaro sambil melemparkan bilah bambu itu ke
sungai. Akemi menatap tajam-tajam huruf-huruf di pasir itu, dan tenggelam dalam renungan.
Akhirnya ia menengadah memandang Jotaro, mengamat-amatinya dari kepala sampai jari
kaki, lalu tanyanya dengan suara lembut,
"Apa ini bukan Musashi dari daerah Yoshino di Mimasaka?"
"Ya. Saya dari Harima. Dia dari Kampung Miyamoto di Provinsi Mimasaka, tak jauh dari
sana." "Apa orangnya tinggi, kelihatan jantan" Dan apa bagian atas kepalanya tidak dicukur?"
"Ya. Bagaimana kamu bisa tahu?"
"Aku ingat dia pernah cerita, ketika masih kecil dia bisulan di puncak kepalanya. Kalau
dia mencukurnya seperti biasa dilakukan samurai, akan kelihatan bekas lukanya yang
buruk." "Pernah cerita" Kapan?"
"Oh, sudah lima tahun lalu."
"Jadi, kamu sudah begitu lama kenal guru saya?"
Akemi tidak menjawab. Kenangan hari-hari itu membangkitkan kenikmatan di dalam hatinya,
hingga bicara pun jadi sukar. Yakin dari berita kecil vang disampaikan anak itu bahwa
Musashi adalah Takezo, ia jadi tercengkeram hasrat untuk bertemu Musashi kembali. Ia
sudah melihat cara hidup ibunya, dan ia juga sudah melihat Matahachi semakin memburuk
perkembangannya. Sejak semula ia lebih menyukai Takezo. Dan semenjak itu semakin yakin
ia akan benarnya pilihan atas Takezo. Ia gembira karena masih sendiri. Takezo. Ia
begitu lain dari Matahachi.
Sering kali ia mengambil sikap tidak menghanyutkan diri dengan para leaki yang selalu
minum di warung tehnya. Ia mencemooh mereka dan terus berpegang teguh pada gambarannya
tentang Takezo. Jauh di lubuk hatinya ia selalu bermimpi akan menemukan Takezo kembali.
Takezo, hanya Takezo-lah kekasih di dalam hatinya, ketika ia menyanyikan lagu-lagu
cinta untuk dirinya sendiri.
Karena tugasnya selesai, Jotaro berkata, "Nah, lebih baik saya pergi sekarang. Kalau
kamu bertemu dengan Matahachi, betul-betullah sampaikan apa yang sudah saya katakan
tadi." Ia pergi, menderap sepanjang puncak tanggul sempit itu.
Kereta sapi itu penuh bermuatan karung-karung yang barangkali berisi betas, kacang
merah, atau hasil bumi setempat yang lain. Di puncak tumpukan ada tulisan yang
menyatakan bahwa barang itu sumbangan kaum Budhis yang setia untuk Kofukuji yang agung
di Nara. Jotaro kenal kuil itu karena namanya identik dengan Nara.
Wajah Jotaro menyala menyatakan kegembiraan kanak-kanaknya. Dikejarnya kendaraan itu,
lalu naiklah ia ke atasnya. Jika ia menghadap ke belakang, masih ada cukup ruangan
untuk duduk. Dan sebagai tambahan kenikmatan, ada pula karung-karung buat bersandar.
Di kiri-kanan jalan, bukit-bukit landai terselimut barisan semak teh yang rapi. Pohonpohon ceri mulai berbunga, dan para petani sudah membajak gerst-sejenis gandum. Mereka
pasti berharap agar tahun itu ladang terhindar dari pijakan para serdadu dan kuda.
Perempuan-perempuan berlutut di pinggir kali, mencuci sayur-sayuran. Jalan raya Yamato
terasa damai. "Untung sekali!" pikir Jotaro sambil bersandar dan bersantai. Karena enaknya tempat
itu, ia selalu tergoda untuk tidur, tapi ia harus berpikir dua kali. Karena takut
kereta akan sampai di Nara selagi ia masih tidur, maka ia merasa bersyukur setiap roda
kereta menggilas batu dan berguncang. Itu membantu matanya tetap terbuka. Tak ada yang
lebih menyenangkan baginya daripada berjalan terus seperti ini menuju tujuannya.
Di luar sebuah kampung, Jotaro dengan malas meraih dan memetik selembar daun dari pohon
kamelia. Diletakkannya daun itu di atas lidahnya dan mulailah ia menyiulkan sebuah
lagu. Kusir kereta menoleh ke belakang, tapi tidak melihat apa-apa. Karena siulan terus juga
berbunyi, ia menoleh ke kiri, kemudian ke kanan, dan berkali-kali lagi. Akhirnya
dihentikannya kereta, dan pergilah ia memutar ke belakang. Melihat Jotaro, ia marah
bukan kepalang. Pukulan tinju yang dijatuhkannya demikian keras, hingga anak itu
berteriak kesakitan. "Apa kerjamu di sini?" gertaknya.
"Tak apa-apa, kan?"
"Enak saja kau!"
"Kenapa" Bapak kan tidak menariknya sendiri?"
"Oh, bajingan kurang ajar kamu!" seru tukang kereta sambil melontarkan Joraro ke tanah,
seperti bola. Jotaro terpelanting dan kemudian terguling ke pangkal sebatang pohon.
Kereta berjalan kembali, bunyi rodanya gemeretak, seakan-akan menertawakannya.
Ketika Jotaro sadar kembali, ia mulai mencari-cari dengan teliti di tanah sekitarnya.
Ia sadar tabung bambu berisi jawaban dari Perguruan Yoshioka untuk Musashi hilang. Tadi
barang itu Ia gantungkan di leher dengan seutas tali, tapi sekarang lenyap.
Ketika anak itu sangat kebingungan dan sedikit demi sedikit melebarkan wilayah
pencariannya, seorang perempuan muda berpakaian perjalanan berhenti memperhatikannya;
ia bertanya, "Kamu kehilangan sesuatu, ya?"
Jotaro memandang wajahnya yang sebagian tertutup topi bertepi lebar, mengangguk, dan
kembali mencari. "Kamu kehilangan uang?"
Karena terlampau asyik, Jotaro tidak begitu memperhatikan pertanyaan itu, dan hanya
memperdengarkan gerutuan tak senang.
"Apa tabung bambu yang panjangnya kira-kira satu kaki dan bertali?" Jotaro tersentak.
"Ya! Bagaimana Kakak bisa tahu?"
"Jadi, kamulah yang diteriak-teriaki kusir-kusir dekat Mampukuji tadi, karena
mengganggu kuda mereka!"
"Ah-h-h... ya "
"Waktu kamu ketakutan dan lari, tali itu tentunya putus. Tabung itu jatuh di jalan, dan
samurai yang sedang bicara dengan kusir-kusir tadi itu mengambilnya. Lebih baik kamu
kembali menanyakan kepadanya."
"Betul begitu?"
"Tentu." "Terima kasih."
Tapi baru saja ia hendak berlari, perempuan muda itu memanggilnya. "Tunggu! Tak perlu
kamu kembali ke sana. Kulihat samurai itu berjalan kemari. Itu, yang memakai hakama
lapangan." Ia menuding orang itu.
Jotaro berhenti dan menanti dengan mata terbuka lebar.
Samurai itu seorang lelaki yang mengesankan, berumur sekitar empat puluh tahun. Segala
sesuatu yang ada padanya sedikit lebih besar dan yang biasa-tingginya, jenggotnya yang
hitam legam, bahunya yang lebar, dadanya yang padat. la mengenakan kaus kaki kulit dan
sandal jerami, dan apabila berjalan langkah-langkahnya yang mantap seakan memadatkan
tanah. Dari pandangan sekilas, Jotaro merasa pasti bahwa orang itu prajurit besar yang
mengabdi kepada salah seorang daimyo yang sangat penting, dan ia takut menyapanya.
Untunglah samurai itu yang bicara dulu memanggilnya. "Apa bukan kamu anak nakal yang
menjatuhkan tabung bambu ini di depan Mampukuji?" tanyanya.
"Oh, betul! Tuan menemukannya!"
"Apa tak bisa kamu mengucapkan terima kasih?"
"Maaf. Terima kasih, Tuan!"
"Aku yakin ada surat penting di dalamnya. Kalau tuanmu menyuruh kamu, jangan kamu
berhenti sepanjang jalan mengganggu kuda, membonceng-bonceng, atau bermalas-malas di
pinggir jalan." "Ya, Tuan. Apa Tuan melihat isinya?"
"Sudah sewajarnya, kalau kita menemukan sesuatu, kita memeriksanya dan mengembalikannya
kepada pemiliknya, tapi aku tidak merusak meterai surat itu. Sekarang, sesudah barang
itu di tanganmu lagi, coba periksa dan lihat, apa masih baik keadaannya."
Jotaro membuka tutup tabung dan melihat ke dalamnya. Puas karena surat itu masih ada,
digantungkannya tabung itu kembali ke lehernya, dan ia bersumpah tak akan melepaskannya
untuk kedua kali. Perempuan muda itu tampak sama puasnya dengan Jotaro.
"Baik sekali Tuan telah menemukan barang itu," katanya kepada si samurai, untuk
memperbaiki sikap Jotaro yang tidak mampu menyatakan terima kasih dengan baik.
Samurai berjenggot itu mulai berjalan lagi bersama mereka berdua. "Apa anak itu
bersamamu?" tanyanya kepada perempuan itu.
"Oh, tidak. Belum pernah saya bertemu dengan dia."
Samurai itu tertawa. "Kupikir tadi kamu dan dia pasangan yang agak aneh. Anak itu
seperti setan kecil yang lucu; apalagi ada kata 'Penginapan' pada topinya."
"Barangkali kepolosan kanak-kanaknya itu yang membuat dia begitu menarik. Saya suka dia
juga." Sambil menoleh kepada Jotaro, ia bertanya, "Mau ke mana kamu?"
Karena berjalan bersama kedua orang itu, semangat Jotaro naik lagi. "Saya akan pergi ke
Nara, ke Kuil Hozoin." Sebuah benda panjang sempit yang terbungkus kain brokat emas dan
tersimpan dalam obi gadis itu menarik perhatiannya. Sambil memperhatikannya, ia
berkata, "Saya lihat Kakak membawa tabung surat juga. Hati-hati, jangan Kakak
hilangkan." "Tabung surat" Apa maksudmu?"
"Itu, dalam obi Kakak."
Gadis itu pun tertawa. "Ini bukan tabung surat, tolol! Ini suling."
"Suling?" Dengan mata menyala-nyala karena rasa ingin tahu, tanpa malu-malu Jotaro
melongokkan kepala ke pinggang gadis itu untuk memeriksa benda tersebut. Tiba-tiba


Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

suatu perasaan aneh datang kepadanya. Ia mundur dan seperti mengamat-amati gadis itu.
Anak-anak pun mempunyai selera terhadap kecantikan wanita, atau setidak-tidaknya
mengerti secara naluriah, apakah wanita itu murni atau tidak. Jotaro terkesan sekali
akan kecantikan gadis itu, dan ia menghargainya. Terasa olehnya sebagai keberuntungan
tak terukir bahwa sekarang ia berjalan bersama orang yang begitu molek. Hatinya pun
berdentum, dan ia merasa pusing.
"Oh. Suling... Apa Bibi bisa main suling?" tanyanya. Kemudian, karena ingat akan reaksi
Akemi terhadap kata "Bibi" itu, ia cepat-cepat mengubah pertanyaannya, "Siapa nama
Kakak?" Gadis itu tertawa dan melemparkan pandangan senang kepada si samurai lewat kepala anak
itu. Prajurit yang seperti beruang itu ikut tertawa, memperlihatkan barisan giginya
yang putih kuat di belakang jenggotnya.
"Kamu anak baik, kan" Kalau kamu ingin tahu nama orang lain, yang sopan adalah kamu
menyebutkan dulu namamu."
"Nama saya Jotaro."
Jawaban ini menimbulkan ketawa lebih banyak lagi.
"Itu tidak adil!" teriak Jotaro. "Tuan menyuruh saya menyebutkan nama saya, tapi saya
belum tahu nama Tuan. Siapa nama Tuan?"
"Namaku Shoda," kata samurai itu.
"Itu tentunya nama keluarga. Lalu nama Tuan yang lain apa?"
"Terpaksa aku minta diizinkan hanya menyebut nama itu."
Dengan berani Jotaro menoleh kepada gadis itu, dan katanya, "Sekarang giliran Kakak.
Kami sudah menyebutkan nama kami. Kurang sopan kalau Kakak tidak menyebutkan nama
Kakak." "Nama saya Otsu."
"Otsu?" Jotaro mengulang. la kelihatan puas sebentar, tapi kemudian mengoceh lagi.
"Kenapa ke mana-mana Kakak menyimpan suling dalam obi?"
"Oh, aku butuh suling ini buat mencari makan."
"Jadi, Kakak ini pemain suling?"
"Sebetulnya aku tidak yakin apa ada pemain suling profesional, tapi uang yang kudapat
dengan main suling ini bisa buat melakukan perjalanan-perjalanan jauh macam ini.
Bolehlah kamu menyebut itu pekerjaanku."
"Apa musik yang Kakak mainkan seperti musik yang sudah saya dengar di Gion dan Kuil
Kamo" Musik untuk tari-tarian suci?"
"Tidak." "Apa musik buat jenis tarian yang lain-misalnya Kabuki?"
"Tidak." "Kalau begitu, musik jenis apa?"
"Oh, lagu-lagu biasa saja."
Sementara itu si samurai bertanya-tanya dalam hati mengenai pedang kayu panjang milik
Jotaro itu. "Apa yang kamu pasang di pinggangmu itu?" tanyanya.
"Apa Tuan tak kenal pedang kayu kalau Tuan melihatnya" Saya pikir Tuan ini samurai."
"Ya, aku memang samurai. Cuma aku heran melihat pedang begitu kamu bawa. Kenapa kamu
membawanya?" "Saya mau belajar ilmu pedang."
"Oh, jadi kamu belajar sekarang" Apa kamu sudah punya guru?"
"Punya." "Apa dia yang akan menerima surat itu?" "
Ya. " "Kalau dia itu gurumu, tentunya dia ahli yang sejati."
"Dia sama sekali tidak sebaik itu."
"Apa maksudmu?"
"Semua orang bilang dia lemah."
"Apa kamu tidak keberatan punya guru lemah?"
"Tidak. Saya juga tidak pandai main pedang, jadi tak ada bedanya."
Samurai itu hampir tak dapat menahan rasa geli. Mulutnya menggetar, seakan hendak pecah
menjadi senyuman, tetapi matanya tetap muram. "Apa kamu sudah mempelajari beberapa
teknik?" "Belum bisa dikatakan begitu. Saya belum lagi belajar apa-apa."
Tawa samurai itu pun akhirnya pecah berderai-derai, "Bicara dengan kamu ini bikin jalan
lebih pendek. Lalu, Nona sendiri man pergi ke mana?"
"Ke Nara, tapi tepatnya Nara bagian mana, saya belum tahu. Ada seorang ronin yang sudah
sekitar satu tahun saya cari, dan karena menurut pendengaran saya banyak ronin
berkumpul di Nara sekarang ini, saya punya rencana ke sana, walaupun saya akui, tidak
banyak berita yang terdengar."
Jembatan Uji mulai tampak. Di bawah tepi atap sebuah warung teh, seorang tua yang
sangat sopan memegang sebuah ketel teh besar. Ia sedang melayani para langganan yang
duduk berkeliling di bangku. Melihat Shoda, ia menyalaminya dengan hangat, "Senang
sekali bertemu dengan anggota Keluarga Yagyu!" serunya. "Silakan masuk, silakan!"
"Kami mau istirahat sebentar di sini. Bisa sediakan kue manis buat anak ini?"
Jotaro tetap berdiri, sementara teman-temannya duduk. Baginya duduk dan beristirahat
itu membosankan. Begitu kue datang, ia segera mengambilnya dan larilah ia ke bukit
rendah di belakang warung teh.
Sambil menghirup teh, Otsu bertanya kepada orang tua itu. "Apa Nara masih jauh dari
sini?" "Masih. Orang yang cepat jalannya pun barangkali takkan sampai lebih jauh dari Kizu
sebelum matahari terbenam. Anak perempuan seperti Anda mesti menginap di Taga atau
Ide." Shoda pun segera menyambung. "Nona ini sudah beberapa bulan mencari seseorang. Tapi
terpikir juga oleh saya, apa menurut Bapak cukup aman hari-hari ini, kalau seorang
wanita muda mengadakan perjalanan sendiri ke Nara, sedangkan dia belum tahu akan
menginap di mana?" Mendengar pertanyaan itu, orang tua itu membelalakkan matanya. "Oh, bahkan bermaksud
saja jangan!" katanya pasti. Sambil menoleh ke Otsu, ia mengibas-ngibaskan tangan di
depan wajah, dlan katanya, "Lupakan keinginan itu sama sekali. Kalau Nona yakin ada
teman untuk tinggal di sana, itu lain soal. Kalau tidak, Nara bisa jadi tempat yang
sangat berbahaya." Pemilik warung menuangkan secangkir teh untuk diri sendiri, lalu bercerita kepada
mereka mengenai apa yang diketahuinya tentang keadaan Nara. Rupanya kebanyakan orang
mendapat kesan bahwa ibu kota lama itu tempat yang tenang, damai, di mana banyak kuil
berwarna-warni dan rusa-rusa jinak-sebuah tempat yang tidak terganggu oleh perang atau
kelaparan. Padahal kenyataannya kota itu tidak lagi seperti itu. Sesudah Pertempuran
Sekigahara, tak tahulah orang, berapa banyak ronin dari pihak yang kalah telah datang
bersembunyi di sana. Kebanyakan anggota partisan Osaka dari Tentara Barat dan Osaka,
samurai-samurai yang kini tak punya penghasilan dan sedikit saja punya harapan akan
memperoleh pekerjaan lain. Dengan semakin berkembangnya kekuasaan ke-shogun-an Tokugawa
dari tahun ke tahun, disangsikan apakah para pelarian itu akan dapat lagi memperoleh
penghidupan terang-terangan dengan pedangnya.
Menurut perkiraan kebanyakan orang, 120.000 atau 130.000 orang samurai kehilangan
jabatannya. Sebagai pemenang, orang-orang Tokugawa menyita tanah-tanah milik yang
seluruhnya menghasilkan 33 juta gantang padi tiap tahun. Walau jika dihitung juga tuantuan tanah feodal yang semenjak itu diizinkan menetap kembali dengan gaya yang lebih
sederhana, maka setidak-tidaknya ada delapan puluh daimyo dengan penghasilan seluruhnya
sekitar dua puluh juta gantang yang telah dicabut hak miliknya. Kalau dihitung untuk
setiap lima ratus gantang padi ada tiga samurai yang telah dihentikan dari tempat
kerjanya dan dipaksa bersembunyi di berbagai provinsi lain-terhitung keluarga dan
pesuruhnya-maka jumlah mereka seluruhnya tidak akan kurang dari 100.000 orang.
Wilayah sekitar Nara dan Gunung Koya penuh kuil, karena itu sukar bagi angkatan
bersenjata Tokugawa untuk mengadakan perondaan. Juga, karena merupakan tempat sembunyi
yang ideal, para pelarian berbondongbondong bergerak ke sana.
"Misalnya," kata orang tua itu, "Sanada Yukimura yang terkenal itu bersembunyi di
Gunung Kudo, lalu Sengoku Soya kabarnya berada di luar Horyuji, dan Ban Dan'emon di
Kofukuji. Banyak lagi yang dapat saya sebutkan." Semua itu orang-orang yang punya nama,
orang-orang yang akan dibunuh dengan seketika kalau mereka menunjukkan diri. Satusatunya harapan mereka untuk masa depan adalah kalau perang pecah lagi.
Menurut pendapat orang tua itu, keadaan tidak begitu jelek kalau hanya para ronin
terkenal itu yang menyembunyikan diri, karena mereka semua sedikit banyak punya
prestise dan dapat hidup sendiri dengan keluarganya. Tetapi yang mempersulit keadaan
adalah para samurai miskin yang berkeliaran di jalan-jalan belakang kota; keadaan
mereka demikian sulit, hingga kalau bisa pedang pun akan mereka jual. Setengahnya lalu
mulai berkelahi, berjudi, atau mengganggu ketenteraman, dengan harapan kerusakan yang
mereka datangkan itu akan membuat angkatan bersenjata Osaka bangkit dan mengangkat
senjata. Kota Nara yang dahulu tenang itu kini berubah menjadi sarang penjahat nekat.
Untuk gadis manis seperti Otsu, pergi ke sana sama halnya dengan menuangkan minyak ke
kimono dan menceburkan dirt ke dalam api. Tergerak oleh ceritanya sendiri, pemilik
warung teh menutup ceritanya dengan minta amat sangat pada Otsu untuk mengubah
maksudnya. Otsu kini merasa ragu-ragu dan duduk diam sebentar. Kalau sekiranya ada sedikit saja
petunjuk bahwa Musashi kemungkinan berada di Nara, tak akan ia berpikir panjang
mengenai bahayanya. Tapi sayangnya la betul-betul tak punya alasan untuk terus. la
sekadar berjalan ke arah Nara"tak ada bedanya dengan pengembaraannya ke berbagai tempat
lain, semenjak Musashi meninggalkannya di Jembatan Himeji.
Melihat kebingungan pada wajahnya, Shoda berkata, "Tadi kaubilang namamu Otsu, bukan?"
"Ya." "Nah, Otsu, aku memang ragu-ragu mengatakan ini, tapi kenapa tidak kau batalkan saja
maksudmu pergi ke Nara itu, dan sebagai gantinya kau pergi denganku ke tanah Koyagyu?"
Karena merasa wajib memberikan keterangan lebih banyak tentang dirinya, dan meyakinkan
Otsu bahwa maksudnya itu terhormat, ia melanjutkan, "Nama lengkapku Shoda Kizaemon, dan
aku mengabdi kepada Keluarga Yagyu. Kebetulan tuanku yang sudah berumur delapan puluh
tahun tidak lagi aktif. Dia menderita kebosanan luar biasa. Ketika kau berkata kau
hidup dari main suling, terpikir olehku, akan senang sekali dia kalau kamu ada di
dekatnya dan sekali-sekali main untuknya. Apa kau suka kerja begitu?"
Orang tua itu segera menimpali dengan pernyataan setuju. "Kamu lebih baik ikut dia,"
desaknya. "Barangkali kamu tahu, yang dipertuan dari Koyagyu yang sudah tua itu adalah
Yagyu Muneyoshi yang agung. Sesudah pensiun, ia memakai nama Sekishusai. Segera setelah
ahli warisnya, Munenori, yaitu Yang Dipertuan dari Tajima, pulang dari Sekigahara, dia
langsung dipanggil ke Edo dan ditunjuk menjadi instruktur dalam rumah tangga shogun.
Tidak ada keluarga yang lebih besar di Jepang ini daripada Keluarga Yagyu. Diundang ke
Koyagyu saja sudah merupakan kehormatan. Jangan sampai tidak diterima tawaran itu!"
Mendengar bahwa Kizaemon adalah pejabat dalam Keluarga Yagyu yang termasyhur itu, Otsu
merasa beruntung, karena besar dugaannya, orang itu bukanlah samurai biasa. Namun ia
merasa sukar menjawab tawaran itu.
Melihat Otsu masih juga diam, Kizaemon bertanya, "Tak suka kamu ke sana?"
"Bukan itu soalnya. Tak ada tawaran lain yang lebih baik dari itu. Cuma saya takut,
nanti permainan saya tidak cukup baik untuk orang seperti Yagyu Muneyoshi."
"Jangan panjang-panjang kamu memikirkan soal itu. Keluarga Yagyu itu lain sekali dengan
daimyo lain. Khususnya Sekishusai, dia ahli upacara minum teh yang berselera sederhana,
tenang. Dia akan lebih terganggu oleh sifat malu-malumu itu daripada bayanganmu bahwa
kamu kurang terampil."
Otsu sadar bahwa pergi ke Koyagyu lebih memberikan harapan, berapa pun kecilnya,
daripada berkeliaran tanpa tujuan ke Nara. Sejak meninggalnya Yoshioka Kempo, Keluarga
Yagyu dianggap banyak orang sebagai eksponen terbesar dalam seni perang di negeri ini.
Dapat dipahami kalau para pemain pedang dari seluruh negeri akan datang ke pintu
gerbangnya; di situ bahkan akan ada daftar tamu. Alangkah bahagianya kalau dalam daftar
itu dapat ia temukan nama Miyamoto Musashi!
Terutama karena memikirkan kemungkinan itu, ia berkata riang, "Kalau menurut pendapat
Tuan tak ada halangan apa-apa, saya mau ke sana."
"Kamu mau" Bagus sekali! Terima kasih sekali.... Hmm, tapi aku ragu, apa seorang
perempuan dapat jalan sejauh itu sebelum malam datang. Apa kamu bisa naik kuda?"
"Bisa." Kizaemon membungkuk ke bawah tepi atap dan mengangkat tangan ke arah jembatan. Tukang
kuda yang menanti di sana datang berlari-lari membawa kuda; Kizaemon menyuruh Otsu naik
ke atasnya, sedangkan ia sendiri berjalan di sampingnya.
Jotaro melihat mereka dari bukit di belakang warung teh, dan serunya, "Apa sudah mau
berangkat" "Ya, kami berangkat."
"Tunggu saya!" Mereka sudah setengah jalan menyeberang Jembatan Uji ketika Jotaro menyusul. Kizaemon
bertanya kepadanya, apa yang dilakukannya tadi, dan Jotaro menjawab bahwa di sebuah
semak di bukit itu terdapat banyak orang sedang main. la tidak tahu nama permainan itu,
tapi kelihatannya menarik.
Tukang kuda tertawa. "Itu ronin-ronin jembel yang sedang berjudi. Mereka tak punya
cukup uang untuk makan, karena itu mereka memikat musafir untuk main dengan mereka dan
mengakali segala milik mereka. Memalukan!"
"Oh, jadi mereka itu berjudi untuk mata pencaharian?" tanya Kizaemon.
"Yang berjudi itu termasuk yang baik-baik," jawab tukang kuda. "Banyak lagi lainnya
yang menjadi tukang culik dan peras. Mereka begitu kasar, sampai tak ada orang yang
dapat berbuat sesuatu untuk menghentikan mereka."
"Kenapa Yang Dipertuan daerah ini tidak menangkap atau mengusir mereka?"
"Jumlah mereka terlalu banyak-jauh lebih banyak daripada yang dapat dihadapi. Kalau
semua ronin dari Kawachi, Yamato, dan Kii bergabung jadi satu, mereka bisa lebih kuat
daripada pasukan Yang Dipertuan sendiri."
"Saya dengar Koga juga penuh dengan mereka itu."
"Ya. Mereka datang dari Tsutsui. Mereka bertekad bertahan terus sampai perang
berikutnya." "Bapak ini begitu terus bicaranya tentang ronin," sela Jotaro, "tapi di antara mereka
tentunya ada orang-orang yang baik."
"Betul," kata Kizaemon menyetujui.
"Guru saya seorang ronin!"
Kizaemon tertawa, dan katanya, "Maka itu kamu membela mereka. Cukup setia juga kamu....
Kaubilang akan pergi ke Hozoin tadi, ya" Apa di sana gurumu tinggal?"
"Saya tidak tahu betul, tapi dia bilang, kalau saya pergi ke sana, orang akan
menunjukkan pada saya, di mana dia."
"Apa gaya gurumu itu?"
"Saya tidak tahu."
"Kamu muridnya, tapi kamu tak tahu gayanya?"
"Tuan," sela tukang kuda, "ilmu pedang itu sekarang cuma iseng-iseng. Semua orang
mempelajarinya. Kita dapat bertemu dengan lima atau sepuluh orang dari mereka yang
berkeliaran di jalan ini setiap hari. Itu semua karena jauh lebih banyak ronin yang
mengajar dibanding dahulu."
"Itu cuma sebagian sebabnya."
"Mereka tertarik, karena entah dari mana mereka itu mendengar, bahwa jika orang cakap
bermain pedang, daimyo akan berlomba-lomba menyewanya dengan bayaran empat atau lima
ribu gantang setahun."
"Jalan pintas untuk menjadi kaya, ya?"
"Tepat. Mengerikan kalau kita memikirkannya. Coba, anak sekecil ini pun sudah pegang
pedang kayu. Barangkali dia mengira bahwa dia hanya harus belajar memukul orang dengan
pedang itu untuk menjadi manusia sejati. Kita melihat banyak orang macam itu, dan
sedihnya, akhir-akhirnya kebanyakan mereka itu akan kelaparan."
Kemarahan Jotaro sekilas bangkit. "Apa ini" Coba, kalau berani mengatakan begitu!"
"Coba dengar! Masih seperti kutu membawa cungkil gigi, tapi sudah membayang-kan dirinya
prajurit besar." Kizaemon tertawa. "Hei, Jotaro, jangan marah, nanti kamu kehilangan tabung bambu lagi."
"Tidak lagi! Tak usah menguatirkan saya!"
Mereka berjalan terus. Jotaro merajuk diam. Yang lain-lain memandang matahari yang
pelan-pelan tenggelam. Akhirnya mereka sampai di pangkalan perahu tambangan di Sungai
Kizu. "Di sini kita berpisah. Nah, sebentar lagi gelap, jadi lebih baik kamu buru-buru. Dan
jangan buang waktu di jalan."
"Otsu?" kata Jotaro, yang mengira Otsu akan pergi bersamanya.
"O ya, aku lupa bilang tadi," kata Otsu. "Aku sudah memutuskan pergi dengan Tuan ini ke
puri di Koyagyu." Jotaro tampak terenyak. "Jaga baik-baik dirimu," kata Otsu tersenyum.
"Mestinya sudah sejak tadi aku tahu bakal sendiri lagi." Ia memungut sebuah batu dan
dilemparkannya batu itu bersilantar di permukaan air.
"Tapi kita akan bertemu lagi hari-hari ini. Rumahmu jalanan, sedangkan aku sendiri
banyak jalan." Jotaro kelihatan tak ingin bergerak. "Tapi siapa yang Kakak cari itu?" canyanya. "Orang
macam apa?" Tanpa menjawab, Otsu melambaikan selamat berpisah.
Jotaro berlari sepanjang tepi sungai, lalu melompat ke tengah perahu tambangan kecil.
Ketika perahu yang menjadi merah warnanya oleh matahari petang itu sudah setengah jalan
menyeberangi sungai, ia menoleh ke belakang. Masih dapat ia mengenali kuda Otsu dan
Kizaemon di jalan Kuil Kasagi. Mereka berada di lembah, di sisi bagian sungai yang
tiba-tiba menyempit, dan sedikit demi sedikit ditelan oleh awal bayang-bayang gunung.
*** 15. Dataran Hannya JOTARO berjalan sedih pelan-pelan di belakang gurunya, karena takut setiap langkah yang
diambilnya akan semakin mendekatkan mereka kepada maut. Sebelum itu, di jalan yang
lembap dan teduh di dekat Todaiji, sebutir embun yang menjatuhi kerahnya hampir saja
membuatnya berteriak. Burung-burung gagak hitam yang dilihatnya sepanjang jalan ikut
menimbulkan rasa ngeri padanya.
Nara sudah jauh mereka tinggalkan. Lewat baris-baris pohon kriptomeria di sepanjang


Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jalan, mereka dapat melihat dataran yang melandai berombak-ombak menuju Bukit Hannya.
Di sebelah kanan, mereka melihat puncak-puncak Gunung Mikasa. Di atasnya langit yang
damai. Bahwa ia dan Musashi sedang berjalan langsung menuju tempat pencegatan para jago tombak
Hozoin baginya betul-betul tak masuk akal. Banyak tempat untuk bersembunyi kalau
bermaksud demikian. Dapat saja mereka masuk salah satu kuil yang banyak jumlahnya di
sepanjang jalan itu dan menanti kesempatan yang baik. Itu sudah tentu lebih masuk akal.
Ingin ia mengetahui, apakah Musashi bermaksud meminta maaf kepada para pendeta itu,
sekalipun tak pernah ia berbuat salah kepada mereka. Jotaro sudah memutuskan, kalau
Musashi minta maaf pada mereka, ia juga akan berbuat demikian. Sekarang bukan waktunya
berdebat tentang siapa yang benar dan siapa yang salah.
"Jotaro!" Mendengar namanya dipanggil, anak itu terkejut. Alisnya naik ke atas dan tubuhnya jadi
tegang. Karena merasa barangkali mukanya pucat akibat takut, dan karena tak ingin
kelihatan kekanak-kanakan, ia menatapkan matanya dengan berani ke langit. Musashi
memandang ke langit juga, dan anak itu merasa lebih kecil hati lagi.
Ketika Musashi melanjutkan bicaranya, kata-kata yang diucapkannya bernada gembira
seperti biasanya. "Nyaman, bukan, Jo" Sepertinya kita sedang berjalan diiringi lagu
burung bulbul." "Apa?" tanya anak itu kaget.
"Burung bulbul, kataku."
"Oh, ya, burung bulbul. Ada beberapa ekor di sekitar tempat ini, kan?" Musashi dapat
melihat dari pucatnya bibir anak itu bahwa ia sedih sekali. Ia merasa kasihan.
Betapapun, bisa saja dalam beberapa menit lagi tiba-tiba anak itu menjadi sebatang kara
di tempat yang asing. "Kita sudah dekat Bukit Hannya, ya?" kata Musashi.
"Betul." "Nah, lalu apa sekarang?"
Jataro tidak menjawab. Hanya nyanyian burung bulbul dingin saja yang terdengar oleh
telinganya. Tak dapat ia mengusir firasat yang dirasakannya bahwa mereka berdua segera
akan berpisah untuk selamanya. Mata yang pernah nyalang gembira ketika mengejuti
Musashi dengan topeng itu kini tampak gelisah dan sedih.
"Lebih baik kau tinggal di sini," kata Musashi. "Kalau kau jalan terus, kau bisa
terluka. Tak ada alasan buatmu untuk membahayakan diri sendiri."
Jotaro pun pecahlah tangisnya. Air mata meleleh di pipinya, seperti bendungan jebol.
Punggung tangannya diusapkannya ke mata, dan bahunya menggeletar. Tangisnya ditambah
pula dengan sentakan-sentakan kecil, seakan-akan ia sedang tersedak.
"Apa pula kau mesti di Kyoto. Dari sana ini" ikut Tapi akan Kaubilang mau belajar Jalan Samurai" Kalau nanti aku menerobos dan lari,
lari ke jurusan yang sama. Kalau aku terbunuh, kau kembali ke toko sake
sekarang kau pergi ke bukit kecil di sana itu, dan perhatikan dari sana.
tampak segala yang terjadi."
Sesudah mengusap air mata, Jotaro mencengkeram lengan kimono Musashi, dan ucapnya, "Ayo
kita lari!" "Bukan begitu cara samurai bicara! Kau mau jadi yang begitu, ya?"
"Saya takut! Saya tak mau mati!" Dengan tangan gemetar ia menariki lengan kimono
Musashi agar kembali. "Pikirkan saya," demikian ia memohon. "Ayolah pergi dari sini,
mumpung masih bisa!"
"Kalau kamu bicara seperti itu, aku jadi ingin lari juga. Kamu tak punya orangtua yang
akan mengurusmu, seperti aku ketika seumur kamu. Tapi..."
"Kalau begitu, ayolah. Apa yang kita tunggu?"
"Tidak!" Musashi membalikkan badan, dan sambil mengangkangkan kakinya ia menghadapi
anak itu. "Aku samurai. Kamu anak samurai. Kita tak akan lari."
Mendengar kepastian dalam nada Musashi itu, Jotaro menyerah dan duduk. Air mata kotor
meleleh di pipinya ketika ia menghapus matanya yang merah bengkak dengan kedua
tangannya. "Jangan kuatir!" kata Musashi. "Aku tak mau kalah, aku harus menang! Segalanya akan
beres nanti." Jotaro tidak sedikit pun senang mendengar kata-kata itu. Ia tak dapat percaya sepatah
kata pun. Karena tahu bahwa para jago tombak Hozoin itu lebih dari sepuluh orang
jumlahnya, ia sangsi apakah Musashi akan dapat mengalahkan mereka satu-satu, apalagi
semuanya sekaligus. Apalagi Musashi terkenal sebagai orang lemah.
Musashi sendiri sudah mulai kehilangan kesabaran. Ia suka pada Jotaro dan kasihan
kepadanya, tetapi sekarang ini bukan waktunya memikirkan anak-anak. Para jago tombak
sudah menanti dengan satu tujuan: membunuhnya. Ia harus siap menghadapi mereka. Jotaro
merupakan gangguan baginya sekarang.
Suaranya pun jadi tajam. "Jangan nangis lagi! Kalau begitu kelakuanmu, tak bakal kamu
jadi samurai. Kenapa kamu tidak kembali saja ke toko sake itu?" Dengan tegas dan agak
keras ditolaknya anak itu.
Jotaro terkena batunya dan tiba-tiba berhenti menangis dan berdiri regak, mukanya
kelihatan kaget. Dilihatnya gurunya berjalan terus menuju Bukit Hannya. Ia ingin
memanggil, tapi dilawannya dorongan keinginan itu. Sebaliknya ia paksa dirinya tinggal
diam beberapa menit lamanya. Kemudian ia berjongkok di bawah sebuah pohon tak jauh dari
situ, menutup muka dengan tangan, dan menggeretakkan giginya.
Musashi tidak menoleh, walaupun sedu-sedan Jotaro menggema di telinganya. Ia merasa
dapat melihat anak kecil yang malang dan ketakutan itu melalui tengkuknya, dan ia
menyesali telah membawanya serta. Melindungi diri sendiri saja sudah lebih dari cukup
beratnya; dalam keadaan belum matang seperti sekarang, ia hanya bisa mengandalkan diri
kepada pedang dan tak tahu ia apa yang bakal terjadi esok-jadi, apa perlunya teman
baginya" Pohon-pohon mulai menjarang. Ia mendapati dirinya sudah berada di tengah dataran
terbuka. Sebuah datarannya agak tinggi dan pegunungan di kejauhan sana. Di jalan yang
memecah menuju Gunung Mikasa, seorang lelaki mengangkat tangan menyapanya.
"Hei, Musashi! Mau ke mana?"
Musashi dapat mengenali orang yang datang ke arahnya itu. Dia Yamazoe Dampachi.
Walaupun Musashi segera merasa bahwa tujuan Dampachi adalah menjebaknya, namun ia
menyambut juga dengan sungguh-sungguh.
Dampachi berkata, "Aku senang bertemu denganmu. Aku ingin kau tahu bahwa aku sangat
menyesali urusan kemarin itu." Nada bicaranya wrlalu sopan, dan selagi bicara jelas ia
memperhatikan wajah Musashi sebaik-baiknya. "Kuharap engkau bisa melupakannya. Semua
itu kekeliruan." Dampachi sendiri belum begitu tahu bagaimana harus bersikap terhadap Musashi. Ia memang
sangat terkesan oleh apa yang disaksikannya di Hazoin. Ya, mengingat hal itu saja sudah
membuat tulang punggungnya dingin. Tapi biar bagaimana, Musashi hanyalah seorang ronin
provinsi yang tidak akan lebih dari dua puluh satu atau dua puluh dua tahun umurnya.
Dan Dampachi masih jauh dari siap untuk mengakui bahwa orang seumur dan dengan status
seperti Musashi itu dapat lebih baik dari dirinya.
"Mau ke mana?" tanyanya lagi.
"Rencananya lewat Iga ke jalan raya Ise. Dan kau?"
"Oh, ada pekerjaan di Tsukigase."
"Kalau tak salah, itu tidak jauh dari Lembah Yagyu?"
"Tidak, tidak jauh."
"Di situlah kuil Yang Dipertuan Yagyu, kan?"
"Ya, dekat Kuil Kasagidera. Engkau mesti pergi ke sana nanti. Yang Dipertuan Muneyoshi
sekarang hidup pensiun sebagai ahli upacara minum teh, dan anaknya Munenori ada di Edo,
tapi kau mesti singgah di sana dan melihat keadaannya."
"Tak yakin aku bahwa Yang Dipertuan Yagyu mau memberikan pelajaran kepada musafir
seperti diriku." "Ada kemungkinan. Tentu saja lebih baik kalau kau punya pengantar. Kebetulan aku kenal
seorang tukang senjata di Tsukigase yang bekerja pada Keluarga Yagyu. Kalau kau suka,
aku bisa tanya, apa dia mau memperkenalkanmu."
Dataran itu menghampar luas beberapa mil jauhnya. Garis langit di sana-sini diselingi
pohon kriptomeria tunggal atau pinus hitam Cina Namun di sana-sini dataran itu menaik
lembut, dan jalan pun ikut naik dan turun. Di dekat kaki Bukit Hannya, Musashi melihat
asap api berwarna cokelat mengepul di belakang sebuah bukit rendah.
"Apa itu?" tanyanya.
"Apa yang apa?"
"Asap di sana itu."
Selama itu Dampachi terus menempel di sisi kiri Musashi, dan ketika ia memandang wajah
Musashi, wajahnya sendiri mengeras.
Musashi menuding, "Asap di sana itu mencurigakan," katanya. "Apa menurutmu tidak
begitu?" "Mencurigakan" Mencurigakan bagaimana?"
"Yah, mencurigakan, seperti pandangan matamu sekarang ini," kata Musashi tajam.
Sekonyong-konyong ia menyapukan jarinya ke tubuh Dampachi.
Bunyi orang bersuit melengking memecahkan kesunyian dataran itu. Dampachi tersengalsengal terkena hantaman Musashi. Karena perhatiannya tertuju pada jari Musashi, ia tak
sadar bahwa Musashi sudah menarik pedangnya. Tubuhnya melambung, melayang ke depan, dan
mendarat dengan wajah ke bawah. Dampachi tak akan bangkit lagi.
Dari kejauhan terdengar teriakan tanda bahaya. Dua orang muncul di puncak bukit.
Seorang memekik, lalu keduanya memutar badan dan angkat kaki, tangan diacung-acungkan
di udara. Pedang yang ditudingkan Musashi ke tanah berkilauan oleh sinar matahari. Darah segar
menetes dari ujungnya. Ia berjalan langsung ke arah bukit itu. Sekalipun angin musim
semi bertiup lembut ke kulitnya, Musashi merasa otot-ototnya menegang selagi mendaki.
Dari puncak bukit ia melihat ke bawah, ke arah api yang menyala.
"Dia datang!" seru seorang dari kedua orang yang tadi lari menggabungkan diri dengan
yang lain-lain. Semuanya ada sekitar tiga puluh orang. Musashi dapat mengenali pengikut
Dampachi, yaitu Yasukawa Yasubei dan Otomo Banryu.
"Dia datang!" kata yang lain membeo.
Mereka tadi sedang bermalas-malasan di bawah sinar matahari. Sekarang semua bangkit
berdiri. Setengahnya pendeta, dan setengahnya lagi ronin yang sukar dilukiskan. Ketika
Musashi tampak, terdengar hiruk-pikuk hebat tanpa kata di tengah gerombolan itu. Mereka
melihat pedang yang bernoda darah, dan tiba-tiba sadarlah mereka bahwa pertempuran
sudah dimulai. Bukannya menantang Musashi, mereka malah cuma duduk-duduk mengitari api
dan membiarkan Musashi yang menantang.
Yasukawa dan Otomo bicara cepat, menjelaskan dengan gerak-gerik cepat, bagaimana
Yamazoe sudah terbantai. Ronin itu melolong berang, sementara para pendeta Hozoin
menatap Musashi dengan pandangan mengancam. Mereka menyusun diri menghadapi
pertempuran. Semua pendeta itu membawa tombak. Dengan lengan baju hitam tersingsing mereka siap
beraksi dengan tekad membalas kematian Agon dan memulihkan kehormatan kuil. Mereka
tampak aneh, seperti setan-setan neraka.
Para ronin membentuk setengah lingkaran, hingga mereka dapat menyaksikan pertunjukan
itu dan sekaligus mencegah Musashi melarikan diri.
Namun tindakan jaga-jaga itu ternyata tidak perlu, karena Musashi tidak memperlihatkan
tanda-tanda akan lari atau mengundurkan diri. Sebaliknya, ia berjalan mantap dan
langsung ke arah mereka. Pelan-pelan, langkah demi langkah, ia maju, seakan-akan siap
menerkam setiap saat. Untuk sesaat berkecamuk kesunyian yang menyesakkan. Kedua belah pihak menyadari semakin
mendekatnya maut. Wajah Musashi menjadi pucat pasi. Lewat matanya menyorot mata dewa
pembalasan dendam, berkilat-kilat penuh kesengitan. Ia sedang memilih korbannya.
Baik kaum ronin maupun kaum pendeta tidak setegang Musashi. Jumlah mereka yang besar
memberikan keyakinan, dan optimisme mereka tak tergoyahkan. Namun tak seorang pun ingin
menjadi orang pertama yang diserang.
Seorang pendeta di ujung barisan memberikan isyarat, dan tanpa merusak formasi mereka
menderas mengepung Musashi dari kanan.
"Musashi! Aku Inshun," seru pendeta itu. "Aku diberitahu bahwa kau datang ketika aku
sedang pergi, dan kau membunuh Agon. Lalu kau secara terbuka menghina kehormatan
Hozoin. Kau mengejek kami dengan memasang poster-poster di seluruh kota. Benar?"
"Tidak!" seru Musashi. "Kalau kau memang pendeta, kau tidak boleh hanya percaya pada
yang kau lihat dan kau dengar. Kau mesti menimbang segala sesuatu dengan pikiran dan
jiwamu." Kata-kata itu seperti menuangkan minyak ke dalam nyala api. Tanpa menghiraukan
pemimpinnya, para pendeta mulai berteriak-teriak, menyatakan tak ada gunanya berbicara,
dan sudah saatnya kini bertempur.
Mereka didukung penuh semangat oleh kaum ronin yang telah menyusun diri dalam formasi
rapat di sebelah kiri Musashi. Sambil memekik-mekik, memaki-maki, dan mengayun-ayunkan
pedang ke udara, mereka mendesak para pendeta untuk bertindak.
Karena yakin para ronin cuma bermulut besar dan tak berani berkelahi, Musashi tiba-tiba
menghadap mereka dan berseru, "Baik! Siapa di antara kalian akan maju dahulu?"
Kecuali dua-tiga orang, mereka semua mundur selangkah, karena masingmasing yakin bahwa
mata setan Musashi mengarah kepadanya. Dua-tiga orang yang berani itu bersiap dengan
pedang diacungkan, seraya mengumandangkan tantangan.
Dalam sekejap mata Musashi sudah menerpa seorang di antaranya, seperti jago aduan.
Terdengar bunyi seperti letupan sumbat botol, dan tanah pun merah oleh darah. Kemudian
terdengar suara mengerikanbukan teriakan perang, bukan kutukan, tetapi lolongan yang
benar-benar membekukan darah.
Pedang Musashi mendesing ke sana kemari di udara, sedangkan gaung di dalam tubuhnya
sendiri menjadi petunjuk bahwa ia sedang bertumbukan dengan tulang manusia. Darah dan
otak berpercikan dari pedangnya. Jari dan tangan berterbangan di udara.
Kaum ronin itu rupanya datang untuk menyaksikan penyembelihan besar-besaran, bukan
untuk ambil bagian di dalamnya. Kelemahan mereka telah menyebabkan Musashi menyerang
mereka lebih dahulu. Mula-mula sekali mereka merapatkan diri dengan cukup baik, karena
menurut pikiran mereka para pendeta akan segera datang menyelamatkan. Tapi ternyata
para pendeta itu hanya berdiri diam tak bergerak, sementara Musashi dengan cepat
membantai lima atau enam ronin serta membikin kacau yang lain-lain. Tak lama kemudian
mereka saling menyerang ke segala jurusan dan saling melukai.
Hampir sepanjang waktu itu Musashi tidak sadar benar, apa yang sedang diperbuatnya. Ia
seperti kesurupan, dalam mimpi penuh pembunuhan, di mana tubuh dan jiwanya terpusat
hanya pada pedangnya yang semeter panjangnya. Tak disadarinya bahwa seluruh pengalaman
hidupnya-mulai dari pengetahuan yang ditempatkan kepadanya oleh ayahnya, sampai pada
apa yang dipelajarinya di Sekigahara, teori-teori yang pernah didengarnya di berbagai
perguruan seni pedang, serta pelajaran-pelajaran yang diberikan kepadanya oleh
pegunungan dan pepohonan-semuanya itu serentak bermain dalam gerak cepat tubuhnya. Ia
menjadi tiupan angin pusaran yang menerjang kawanan ronin, yang karena kebingungan
menjadi sasaran empuk serangan pedangnya.
Singkatnya pertarungan dihitung salah seorang pendeta dengan tankan dan embusan
napasnya. Pertarungan sudah selesai sebelum ia sempat mengambil napas kedua puluh.
Musashi basah kuyup oleh darah korbannya. Beberapa ronin yang masih tinggal pun
bermandikan darah kental. Tanah, dan bahkan udara, penuh dengan darah. Seorang di
antara mereka menjerit, dan ronin yang masih hidup bertebaran di mana-mana.
Sementara pertarungan berlangsung, Jotaro tenggelam dalam doa. Kedua tangannya terlipat
di dada dan matanya tertengadah ke langit. Ia memohon, "Ya, Tuhan yang di surga,
bantulah dia! Guruku di dataran sana tak berdaya, karena kalah jumlah. Dia lemah, tapi
dia bukan orang jahat. Tolonglah dia!"
Walaupun Musashi memerintahkannya pergi, tak dapat ia pergi. Tempat yang akhirnya
dipilihnya untuk duduk, dengan topinya dan topeng di sampingnya, adalah sebuah bukit
kecil. Dari situ ia memperhatikan pemandangan di sekitar api di kejauhan itu.
"Hachiman! Kompira! Dewa Kuil Kasuga! Lihat! Guruku langsung menyongsong musuh. Oh,
dewa-dewa langit, lindungilah dia. Saat ini dia bukan dirinya. Biasanya dia lunak dan
lembut, tapi dia sedikit aneh sejak tadi pagi. Dia tentunya gila. Kalau tidak, tak akan
dilayaninya orang sebanyak itu sekaligus! Oh, aku mohon, aku mohon, tolonglah dia!"
Sesudah berseru-seru kepada para dewa seratus kali atau lebih, ia lihat usahanya itu
tak ada hasil, dan mulailah ia marah. Akhirnya ia berseru, "Apa sudah tak ada dewa di
negeri ini" Apa akan kalian biarkan orangorang jahat menang, dan membiarkan orang baik
terbunuh" Kalau memang begitu, semua yang selalu dikatakan orang padaku tentang benar
dan salah itu bohong! Kalian tak bisa membiarkan dia terbunuh! Kalau kalian biarkan,
akan kuludahi kalian!"
Ketika dilihatnya Musashi terkepung, doa-doanya pun berubah menjadi kutukan yang
diarahkannya tidak hanya kepada musuh, tapi juga kepada dewa-dewa sendiri. Kemudian,
ketika disadarinya bahwa darah yang tertumpah di dataran itu bukan darah gurunya,
mendadak ia mengubah lagu. "Lihat! Guruku ternyata bukan orang lemah! Dia menghajar
mereka!" Itulah pertama kali Jotaro menyaksikan orang bertempur seperti binatang, sampai mati,
dan itulah pertama kali ia melihat darah sebanyak itu. la merasa seolah berada di sana,
di tengah kancah, dan dirinya cemar juga oleh darah mengental. Hatinya berubah jungkir
balik, ia merasa ringan dan pening.
"Lihat dia! Dia bisa melawan! Bukan main serangan itu! Dan lihat pendeta-pendeta tolol
itu, yang cuma berbaris seperti gerombolan gagak berkaok-kaok, tetapi takut maju!"
Tapi yang terakhir itu terlalu dini diucapkannya, karena ketika ia mengucapkan itu,
para pendeta Hozoin mulai menyerbu Musashi.
"Oh, oh! Gawat kelihatannya. Mereka ramai-ramai menyerang dia. Musashi gawat sekarang!"
Lupa akan segalanya, semata-mata karena kecemasannya, Jotaro meluncur seperti bola api
ke tengah kancah bencana yang sedang menghampiri itu.


Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kepala Biara, Inshun, memberikan perintah menyerang, dan sesaat kemudian para jago
tombak itu segera beraksi, diiringi raungan gegap gempita. Senjata mereka yang
berkilauan bersuit-suit di udara, sementara para pendeta berpencar seperti tawon yang
menghambur dari sarangnya. Kepala mereka yang gundul itu membuat mereka tampak lebih
barbar lagi. Tombak yang mereka bawa berlain-lainan, dan lempeng tombaknya pun sangat berbeda-bedayang lancip, yang berbentuk kerucut, yang papak, yang berbentuk silang, atau yang
bengkok-tiap pendeta menggunakan jenis yang paling disukainya. Hari ini mereka mendapat
kesempatan untuk melihat bagaimana teknik-teknik yang mereka asah dalam latihan dapat
mereka gunakan dalam perkelahian yang sebenarnya.
Sementara mereka maju menyebar, Musashi melompat mundur dan berdiri siap menantikan
serangan muslihat. Letih dan sedikit pusing oleh pertarungan sebelumnya, dicengkeramnya
gagang pedangnya erat-erat. Gagang pedang itu lengket oleh darah kental, campuran darah
dan keringat mengaburkan pandangannya, tapi ia bertekad untuk mati dengan cemerlang,
kalau memang ia harus mati.
Tetapi sungguh ia heran, serangan itu tidak juga datang. Para pendeta bukannya
melakukan serangan yang memang dinanti-nantikan itu ke arahnya, melainkan menyerang
bekas sekutunya seperti anjing gila. Mereka mengejar para ronin yang telah melarikan
diri dan menyerang mereka tanpa kenal ampun, sementara para ronin menjerit-jerit
memprotes. Para ronin yang tak menduga itu sia-sia saja mencoba mengerahkan para jago
tombak agar melawan Musashi. Mereka diiris, ditusuk, ditikam mulutnya, dibelah dua,
atau dibantai, sampai tak seorang pun di antaranya tetap hidup. Pembunuhan besarbesaran itu betul-betul sempurna dan sekaligus menunjukkan sifat haus darah.
Musashi tak percaya akan matanya. Kenapa para pendeta itu menyerang pendukung mereka"
Dan kenapa demikian kejam" Baru beberapa saat sebelumnya ia berkelahi seperti binatang
liar. Sekarang hampir tak dapat ia menahan diri melihat kebuasan para pendeta itu dalam
menyembelih ronin. Setelah sesaat lamanya berubah menjadi seekor binatang yang tak
berpikiran, sekarang ia pulih kembali pada keadaannya yang biasa, setelah melihat
orangorang lain mengalami perubahan juga. Pengalaman itu membuatnya sadar.
Kemudian sadarlah ia bahwa tangan dan kakinya ditarik-tarik orang. Dan ketika ia
melihat ke bawah, tampak olehnya Jotaro sedang mengucurkan air mata puas. Dan untuk
pertama kali waktu itu la merasa santai.
Setelah pertempuran berakhir, Kepala Biara mendekatinya, lalu berkata dengan sikap
sopan dan mulia, "Tentu Anda Miyamoto. Suatu kehormatan bertemu dengan Anda." Kepala
Biara itu jangkung dan berwajah cerah. Musashi agak terpengaruh oleh kehadirannya, juga
oleh sikapnya yang tenang. Dengan sedikit bingung ia hapus pedangnya dan la sarungkan,
tapi sesaat lamanya tak dapat ia mengucapkan kata-kata.
"Izinkan saya memperkenalkan diri," sambung pendeta itu. "Saya Inshun, Kepala Biara
Hozoin." "Jadi, Andalah ahli tombak itu," kata Musashi.
"Sayang saya tak ada ketika Anda mengunjungi kami baru-baru ini. Saya juga merasa malu
bahwa murid saya, Agon, memperlihatkan perkelahian yang demikian jelek."
Menyayangkan perbuatan Agon" Musashi merasa barangkali telinganya perlu dibersihkan. Ia
tetap diam sesaat lamanya, karena sebelum ia dapat memutuskan cara yang cocok untuk
menjawab nada sopan Inshun itu, ia harus menghapuskan dahulu kekacauan dalam
pikirannya. Ia masih belum dapat mengerti kenapa para pendeta itu kemudian melawan para
ronin tak dapat ia mencari jawaban yang masuk akal. Ia bahkan sedikit heran bahwa
dirinya masih hidup. "Ayolah," kata kepala biara itu, "bersihkan sebagian darah itu. Anda butuh istirahat."
Inshun mengantarnya ke dekat api, sedangkan Jotaro menguntit di belakang.
Para pendeta menyobek-nyobek secarik kain katun lebar menjadi potongan-potongan kecil
dan menghapus lembing mereka. Berangsur-angsur mereka semua berkumpul di sekitar api,
duduk bersama Inshun dan Musashi, seolah-olah tak suatu pun yang aneh telah terjadi.
Dan mereka mulai mengobrol.
"Lihat ke sana," kata seseorang, menunjuk ke atas.
"Aaa, gagak-gagak sudah mencium bau darah. Sudah berkaok-kaok mencari mayat mereka."
"Kenapa burung-burung itu tidak turun?"
"Mereka akan turun nanti, begitu kita pergi. Dan mereka akan berebutan melahap makanan
besar itu." Olok-olok mengerikan itu berlangsung terus dengan nada santai serupa. Musashi
memperoleh kesan bahwa ia tak akan mendapatkan keterangan apa pun, kecuali kalau ia
bertanya. Ia memandang Inshun, dan katanya, "Tadi saya pikir Anda dan orang-orang Anda
datang kemari untuk menyerang saya, dan saya sudah bertekad mengirim sebanyak-banyaknya
dari antara Anda sekalian ke negeri orang mati. Tak mengerti saya, kenapa Anda sekalian
memperlakukan saya seperti ini."
Inshun tertawa. "Nab, kami memang tak perlu menganggap Anda sekutu, tapi tujuan kami
yang sebenarnya hari ini adalah sedikit 'bersih rumah'."
"Anda namakan semua ini 'bersih rumah'?"
"Betul," kata Inshun sambil menuding ke arah kaki langit. "Tapi saya pikir lebih baik
kita menanti dan mempersilakan Nikkan menjelaskan pada Anda. Saya yakin titik hitam di
tepi dataran itu dia."
Pada saat itu juga, di sisi lain dataran itu berkatalah seorang penunggang kuda kepada
Nikkan, "Anda cepat sekali berjalan kalau melihat umur Anda."
"Bukan saya yang cepat. Anda yang lambat."
"Anda lebih gesit daripada kuda."
"Kenapa tidak" Saya lelaki."
Pendeta tua yang berjalan kaki sendiri itu melangkah menyamai para penunggang kuda yang
sedang maju ke arah asap api. Kelima penunggang kuda itu pejabat.
Ketika rombongan itu mendekat, para pendeta saling berbisik, "Itu Guru Tua." Mereka
membenarkan, mundur mengambil jarak yang sesuai, dan membariskan diri dengan penuh
upacara, seakan-akan menghadapi suatu acara suci, untuk menyambut Nikkan dan
pengiringnya. Yang pertama dikatakan Nikkan adalah, "Sudah kalian urus semuanya?"
Inshun membungkuk dan menjawab, "Seperti Bapak perintahkan." Kemudian ia menoleh kepada
para pejabat, "Terima kasih atas kedatangan Tuan-tuan."
Para samurai melompat turun satu demi satu dari kuda. Pimpinan mereka menjawab, "Tak
apa-apa. Terima kasih, Anda sekalian sudah melaksanakan kerja hebat.... Mari kita
periksa, kawan-kawan."
Para pejabat berjalan ke sana kemari memeriksa mayat-mayat dan membuat beberapa
catatan. Kemudian pimpinannya kembali ke tempat berdirinya Inshun. "Akan kami kirim
kemari orang dari kota untuk membersihkan semua ini. Anda sekalian boleh merasa bebas
meninggalkan segalanya ini sebagaimana adanya." Dengan itu kelima orang tersebut
menaiki kembali kuda mereka dan pergi.
Nikkan memberitahu para pendeta bahwa tenaga mereka tidak diperlukan lagi. Mereka
membungkuk dan meninggalkan tempat itu diam-diam. Inshun mengucapkan selamat tinggal
pada Nikkan dan Musashi, lalu meninggalkan tempat itu.
Begitu orang-orang itu berangkat, terdengarlah hiruk-pikuk besar. Burung-burung gagak
turun, mengepak-ngepakkan sayap dengan riangnya.
Sambil menggerutu karena bunyi ribut itu, Nikkan berjalan ke sisi Musashi, dan katanya
ringan saja, "Maafkan kalau saya sudah melukai hati Anda beberapa hari lain."
"Sama sekali tidak. Bapak sudah berbuat baik sekali. Sayalah yang harus berterima
kasih." Musashi berlutut dan membungkuk dalam-dalam di depan pendeta tua itu.
"Bangkitlah," perintah Nikkan. "Padang ini bukan tempat untuk membungkuk."
Musashi bangkit berdiri. "Apakah pengalaman di sini memberikan pelajaran kepadamu?" tanya pendeta itu.
"Saya bahkan tidak begitu mengerti, apa yang sudah terjadi ini. Apa Bapak dapat
menceritakannya pada saya?"
"Dengan senang hati," jawab Nikkan. "Para pejabat yang baru pergi tadi itu bekerja di
bawah Okubo Nagayasu yang baru-baru ini dikirim kemari untuk memerintah Nara. Mereka
masih asing dengan daerah ini, dan para ronin mengambil keuntungan dari asingnya mereka
itu dengan tempat inimencegati musafir yang tak berdosa, memeras, berjudi, melarikan
perempuan, memasuki rumah-rumah janda-menimbulkan segala macam kesulitan. Pemerintah
tak dapat mengendalikan mereka, tapi mereka sudah tahu bahwa ada sekitar lima belas
pentolannya, termasuk Dampachi dan Yasukawa.
"Kau tahu Dampachi dan pengikutnya tak suka padamu. Karena takut menyerangmu sendiri,
mereka membuat rencana yang menurut mereka jitu. Para pendeta Hozoin-lah yang berkelahi
untuk mereka. Pernyataan-pernyataan fitnah tentang kuil yang dituduhkan padamu itu
pekerjaan mereka. Begitulah juga poster-poster itu. Mereka berjanji segalanya akan
dilaporkan padaku, agaknya dengan perkiraan aku bodoh."
Mendengar itu Musashi tertawa.
"Maka kupertimbangkan hal itu sebentar," kata Kepala Biara, "dan terpikir olehku, ini
kesempatan ideal untuk mengadakan 'bersih rumah' di Nara. Kubicarakan rencana itu
dengan Inshun. Dia setuju menjalankan, dan sekarang semua orang pun senang-para
pendeta, para pejabat, juga burung-burung gagak itu. Ha, ha!"
Ada satu orang lagi yang senang bukan buatan. Cerita Nikkan itu telah menghapuskan sama
sekali segala kesangsian dan rasa takut Jotaro, dan anak itu gembira luar biasa. Ia
menyanyikan lagu populer karangannya sendiri, sambil menari-nari seperti burung yang
mengepak-ngepakkan sayapnya:
Bersih rumah, oh, Bersih rumah!
Mendengar suaranya yang tak dibuat-buat ini, Musashi dan Nikkan menoleh memandangnya.
Jotaro waktu itu mengenakan topengnya sambil tersenyum ajaib dan menudingkan pedang
kayunya ke tubuh-tubuh yang berserakan. Sambil sekali-sekali melayangkan pukulan ke
arah burungburung, ia melanjutkan:
Ya, ya, burung gagak, Sekali-sekali
Memang perlu bersih rumah
Tidak hanya di Nara. Memang kebiasaan alam Membikin baru semuanya. Supaya musim semi dapat naik dari bumi.
Kami bakar dedaunan. Kami bakar ladangan. Terkadang kami butuhkan salju turun.
Terkadang kami butuhkan bersih rumah.
Wahai, kalian, burung gagak!
Berpestalah! Dan memilihlah!
Sop langsung dari ceruk mata.
Juga sake merah pekat. Tapi jangan terlalu banyak.
Sebab kalian bisa mabuk. "Sini, Nak!" seru Nikkan tajam.
"Ya, Pak," Jotaro berdiri diam memandang wajah Kepala Biara.
"Jangan seperti orang tolol. Ambilkan beberapa batu."
"Macam ini?" tanya Jotaro, memungut sebuah batu yang terletak dekat kakinya dan
mengacungkannya. "Ya, macam itu. Ambil yang banyak!"
"Baik, Pak!" Anak itu mengumpulkan batu-batu. Nikkan duduk dan menuliskan kata-kata Namu Myoho
Renge-kyo, doa suci sekte Nichiren, pada tiap batu itu. Kemudian ia berikan batu-batu
itu kembali pada anak itu dan ia perintahkan anak itu menyebarkannya di antara mayatmayat. Sementara Jotaro melakukan suruhannya, Nikkan mengatupkan kedua tangannya dan
menyanyikan bagian dari Sutra Bunga Teratai.
Selesai melakukan hal itu, ia menyatakan, "Doa itu akan melindungi mereka. Sekarang
kalian berdua bisa jalan terus. Aku kembali ke Nara." Dan sama mendadaknya dengan waktu
ia datang, ia pun berangkat dengan kecepatan hebat, seperti kebiasaannya, sebelum
Musashi sempat mengucapkan terima kasih atau membuat janji untuk bertemu lagi
dengannya. Sesaat Musashi hanya menatap tubuh yang makin menjauh itu, kemudian tiba-tiba ia
melesat mengejarnya, "Bapak Pendeta!" panggilnya. "Apa tak ada yang Bapak lupakan?" Ia
menepuk-nepuk pedangnya selagi mengatakan itu.
"Apa?" tanya Nikkan.
"Bapak belum memberikan petunjuk, dan karena tak ada jalan untuk mengetahui kapan kita
akan bertemu lagi, saya akan senang jika mendapat sedikit nasihat dari Bapak."
Mulut Kepala Biara yang tak bergigi itu memperdengarkan tawa terbahakbahak yang
terkenal itu. "Jadi, kamu belum mengerti?" tanyanya. "Satu satunya yang harus kuajarkan
padamu adalah kamu terlalu kuat. Kalau kamu terus juga membanggakan dirimu dengan
kekuatanmu, kamu tak akan hidup sampai umur tiga puluh. Hari-hari ini mudah sekali kamu
terbunuh. Pikirkan itu, dan putuskan sendiri bagaimana membawa diri nanti."
Musashi diam. "Kamu sudah melaksanakan sesuatu hari ini, tapi belum baik, sama sekali belum. Karena
kamu masih muda, tak dapat aku menyatakan kamu benar, tapi suatu kesalahan besar kalau
kamu menyangka Jalan Samurai itu hanya terdiri atas pameran kekuatan.
"Tapi aku sendiri cenderung memiliki kesalahan yang sama, karena itu aku tidak berhak
bicara padamu tentang soal ini. Kamu mesti mempelajari jalan yang ditempuh oleh Yagyu
Sekishusai dan Yang Dipertuan Koizumi dari Ise. Sekishusai dulu guruku, dan Yang
Dipertuan Koizumi gurunya. Kalau kamu mencontoh mereka dan mencoba mengikuti jalan yang
sudah mereka tempuh, kamu bisa mencapai kebenaran."
Suara Nikkan tidak kedengaran lagi. Musashi, yang selama itu memandang ke tanah dan
tenggelam dalam pemikiran, menengadah. Pendeta tua itu sudah menghilang.
*** 16. Tanah Perdikan Koyagyu
LEMBAH Yagyu terletak di kaki Gunung Kasagi di sebelah timur Laut Nara. Di awal abad
ketujuh belas, tempat itu merupakan wilayah kediaman masyarakat kecil yang sejahtera.
Ia terlalu besar untuk dilukiskan sebagai kampung semata-mata, namun tidak cukup
berpenduduk atau ramai untuk dapat disebutkota. Tentu saja ia dapat disebut Kampung
Kasagi, tetapi penduduk tempat itu sendiri menyebutnya Kambe Demesne, sebuah nama yang
diwarisi dari zaman tanah perdikan.
Di tengah masyarakat kecil itu berdiri Wisma Utama, sebuah puri yang menjadi lambang
kemantapan pemerintah maupun pusat budaya daerah itu. Kubu-kubu batu, yang mengingatkan
orang kepada benteng kuno, mengelilingi Wisma Utama. Rakyat wilayah itu, demikian juga
nenek moyang Yang Dipertuan, hidup senang di sana semenjak abad kesepuluh. Penguasa
yang sekarang seorang tuan tanah desa yang baik. Ia menyebarkan kebudayaan di antara
rakyatnya, dan sepanjang waktu siap melindungi wilayahnya dengan taruhan nyawa. Namun,
bersamaan dengan itu, secara hati-hati ia menghindari keterlibatan serius dalam perang
dan permusuhan antara tuan-tuan feodal di daerah-daerah lain. Singkatnya tempat itu
merupakan tanah perdikan yang damai dan diperintah dengan cara yang bagus.
Di sini orang tidak melihat tanda-tanda kekurangan atau kemerosotan moral yang ada
hubungannya dengan samurai bebas. Wilayah ini sama sekali tidak mirip dengan Nara, di
mana kuil-kuil kuno yang ternama dalam sejarah dan kesusastraan rakyat dibiarkan
telantar. Unsur-unsur yang mengganggu tidak dibiarkan memasuki kehidupan masyarakat.
Lingkungan itu sendiri memang tak kenal keburukan. Gunung-gunung dalam jajaran Kasagi
tidak kurang indahnya pada waktu senja dibandingkan pada waktu matahari terbit. Airnya
murni dan bersih. Orang bilang air itu air ideal untuk membuat teh. Kembang prem
Tsukigase tidak jauh turnbuhnya dari tempat itu, dan burung-burung bulbul menyanyi dari
musim melelehnya salju sampai musim datangnya angin ribut berguntur. Suaranya sejernih
kristal, seperti jernihnya air sungai gunung.
Seorang penyair pernah menuliskan bahwa di tempat lahirnya seorang pahlawan,
pegunungan, dan sungai-sungai biasanya segar dan jernih. Jika tak ada pahlawan
dilahirkan di Lembah Yagyu, maka kata-kata penyair itu kosong saja kiranya. Tetapi
tempat ini memang tempat kelahiran para pahlawan. Tak ada bukti yang lebih meyakinkan
daripada para Yang Dipertuan Yagyu sendiri. Di rumah besar itu, para pegawai pun orangorang bangsawan. Banyak di antara mereka yang asalnya petani, tapi kemudian jadi
menonjol karena pertempuran, kemudian menjadi pembantu yang setia dan cakap.
Yagyu Muneyoshi Sekishusai yang kini mengundurkan diri itu berdiam di sebuah rumah
pegunungan kecil, tak berapa jauh di belakang Wisma Utama. Ia tidak lagi memperlihatkan
minat kepada pemerintahan setempat, dan tidak memedulikan pula siapa yang waktu itu
memegang kekuasaan langsung. Ia punya sejumlah anak dan cucu yang terampil, juga
pegawai-pegawai yang dapat dipercaya untuk membantu dan membimbing mereka. Selanjutnya
ia dapat dengan bebas menganggap bahwa rakyat diperintah dengan sebaik-baiknya, sama
dengan ketika ia yang mengurusnya.
Musashi datang ke daerah itu sekitar sepuluh hari sesudah terjadi pertempuran di
Dataran Hannya. Di perjalanan ia telah menyaksikan barang-barang peninggalan zaman
Kemmu. Ia menginap di penginapan setempat dengan maksud bersantai sementara, baik fisik
maupun mental. Dengan pakaian tidak resmi, pada suatu hari ia keluar berjalan-jalan dengan Jotaro.
"Mengagumkan," kata Musashi, sementara matanya mengembara memandang panenan di ladang
dan para petani yang sedang bekerja. "Mengagumkan," ulangnya beberapa kali.
Akhirnya Jotaro bertanya, "Apanya yang mengagumkan?" Baginya yang paling mengagumkan
adalah kenapa Musashi berbicara sendiri.
"Sejak meninggalkan Mimasaka, aku sudah mengunjungi Provinsi Settsu, Kawachi dan Izumi,
Kyoto dan Nara, dan belum pernah aku melihat tempat seperti ini."
"Lalu kenapa" Apanya yang lain?"
"Pertama, di pegunungan ini banyak terdapat pohon."
Jotaro tertawa. "Pohon" Di mana-mana ada pohon. Betul, kan?"
"Ya, tapi di sini lain. Semua pohon di Yagyu ini tua. Ini berarti tidak pernah terjadi
perang di sini, tidak ada pasukan musuh yang membakar atau menebangi hutan. Itu berarti
juga tidak pernah terjadi kelaparan, setidak-tidaknya untuk waktu yang sangat lama."
"Hanya itu?" "Tidak. Ladang di sini juga hijau, dan gandum yang baru tumbuh itu diinjak-injak
bawahnya baik-baik untuk menguatkan akarnya dan membikin baik tumbuhnya. Dan dengar
itu! Apa tidak kau dengar bunyi roda pemintalan" Bunyi itu seperti berasal dari tiap
rumah. Dan apa tidak kau lihat bahwa kalau musafir lewat dengan pakaian yang baik, para
petani tidak melihatnya dengan perasaan iri?"
"Ada lagi?" "Seperti kaulihat, banyak gadis muda kerja di ladang. Ini berarti daerah ini makmur,


Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan hidup di sini normal. Anak-anak tumbuh sehat, orang tua diperlakukan cukup hormat,
sedang pemuda dan pemudi tidak pergi ke tempat-tempat lain untuk mencari hidup yang tak
menentu. Aku berani bertaruh yang dipertuan daerah ini kaya, sedangkan pedang dan
senapan dalam gudang senjata tetap tergosok dan berada dalam keadaan sebaik-baiknya."
"Rasanya tak ada yang istimewa," keluh Jotaro.
"Betul, kukira k au tak akan tertarik."
"Dan lagi, Kakak datang kemari bukan untuk mengagumi pemandangan. Kakak mau melawan
samurai dalam Keluarga Yagyu, kan?"
"Berkelahi itu bukan satu-satunya dalam Seni Perang. Orang-orang yang berpikir demikian
dan sudah puas hanya karena bisa makan dan punya tempat untuk tidur, sebenarnya cuma
gelandangan. Seorang pelajar yang serius jauh lebih berkepentingan melatih pikirannya
dan mendisiplinkan semangatnya daripada sekadar mengembangkan keterampilan perang. Ia
harus mempelajari segala macam hal"geografi, irigasi, perasaan rakyat, tingkah laku dan
adat kebiasaan mereka, hubungan mereka dengan yang dipertuan di wilayah mereka. Dia
ingin mengetahui apa yang terjadi di dalam purl, tidak hanya yang terjadi di luarnya.
Pokoknya, dia ingin pergi ke semua tempat yang dapat didatanginya clan mempelajari
segala yang dapat dipelajarinya."
Musashi sadar bahwa kuliah ini barangkali hanya sedikit artinya bagi Jotaro, tapi ia
merasa perlu bersikap jujur kepada anak itu, dan tidak hanya memberikan jawaban
setengah-setengah. Ia tidak memperlihatkan ketidaksabaran mendengar banyaknya
pertanyaan anak itu, maka selagi mereka berjalan itu ia terus memberikan jawabanjawaban yang mengandung pemikiran dan serius.
Sesudah mereka melihat apa-apa yang bisa dilihat di bagian luar Puri Koyagyu, demikian
Wisma Utama itu biasanya disebut orang, dan sesudah melihat dengan saksama segala
sesuatu di sekitar lembah itu, mereka pulang ke penginapan.
Di tempat itu hanya terdapat sebuah penginapan, tapi penginapan itu besar. Jalan di
situ bagian dari jalan raya Iga, dan banyak di antara orangorang yang berziarah ke Kuil
Joruriji atau Kasagidera itu menginap di situ. Pada malam hari, sepuluh atau dua belas
kuda beban selalu siap tertambat di pohon dekat pintu masuk atau di bawah tepi atap
depan. Pembantu yang mengikuti mereka ke kamar bertanya, "Sudah jalan-jalan, ya?" Kalau tidak
Pendekar Aneh Naga Langit 17 Kuda Binal Kasmaran Serial Tujuh Senjata Karya Gu Long Anak Baru Gendenk 1

Cari Blog Ini