Ceritasilat Novel Online

Rahasia Chimneys 2

Rahasia Chimneys The Secret Of Chimneys Karya Agatha Christie Bagian 2


"Mon Dieu!" serunya sambil menepukkan tangannya. "Saya kira pencurilah biang
keladinya. Mereka mengirim telegram supaya semua orang pergi dan mereka bisa
beraksi dengan leluasa."
"Mungkin kau benar," kata Virginia ragu-ragu.
"Pasti, Nyonya. Pasti begitu. Setiap hari ada berita seperti itu di koran.
Sebaiknya Nyonya telepon polisi. Kalau tidak, mereka akan datang menggorok leher
kita." "Jangan kuatir, Elise. Mereka tak akan datang menggorok leher pada jam enam
sore." "Biar saya pergi lapor polisi, Nyonya."
"Untuk apa" Jangan tolol, Elise. Naiklah dan siapkan pakaianku untuk ke Chimneys
kalau kau belum melakukannya. Gaun malam yang baru, dan crepe putih, dan - ya,
beludru hitam - gaun hitam sangat cocok untuk pertemuan politik, kan?"
"Nyonya kelihatan sangat menggairahkan dalam satin eau de nil," Elise memberi
saran. "Tidak, aku tak mau memakai itu. Cepat, Elise. Waktunya sempit. Aku akan
mengirim telegram ke Chilvers di Datchet, dan memberi tahu polisi pada waktu
keluar nanti supaya mengawasi rumah ini. Jangan membelalakkan matamu lagi,
Elise. Kalau kau sudah ketakutan sebelum terjadi sesuatu, apa yang akan
kauperbuat bila ada seorang laki-laki tiba-tiba meloncat dari sudut gelap sambil
menusukkan pisau padamu?"
Elise cepat-cepat menaiki tangga dengan sikap waspada. Virginia tersenyum geli
dan berjalan ke ruang belajar yang ada teleponnya. Saran Elise untuk memberi
tahu polisi memang baik dan dia akan segera melakukannya.
Dia membuka pintu dan menuju ke tempat telepon. Lalu, dengan gagang telepon
masih di tangan, dia memandang ke satu arah. Seorang laki-laki duduk di kursi
besar dengan posisi aneh. Virginia rupanya lupa pada tamu yang ditunggunya. Dan
laki-laki itu kelihatannya ketiduran karena menunggu terlalu lama.
Virginia mendekati laki-laki itu dengan senyum nakal di bibirnya. Tapi... tibatiba senyum itu lenyap. Laki-laki itu bukannya tertidur. Dia mati.
Virginia tahu dengan segera. Instingnya telah berbicara sebelum matanya melihat
pistol kecil yang tergeletak di lantai, luka di atas jantung dengan bercak darah
di sekitarnya, dan wajah yang mengerikan.
Dia berdiri kaku, kedua tangannya merapat di badan. Dalam kesenyapan dia
mendengar suara langkah kaki Elise menuruni tangga.
"Nyonya! Nyonya!"
"Ada apa?" Dengan cepat dia keluar. Dia tidak ingin Elise tahu apa yang telah terjadi.
Setidak-tidaknya untuk saat itu. Elise pasti akan histeris kalau tahu dan dia
ingin menenangkan diri agar bisa berpikir jernih.
"Nyonya, bagaimana kalau saya merantai pintu" Pencuri itu bisa datang sewaktuwaktu." "Ya. Baiklah." Dia mendengar suara rantai dipasang. Kemudian mendengar langkah Elise naik ke
atas. Dia bernapas lega. Dia memandang laki-laki itu, lalu melihat telepon. Dia harus segera menelepon
polisi. Tapi dia tidak segera melakukannya. Dia duduk diam tak bergerak, seolah-olah
lumpuh karena kengerian. Segala macam pikiran muncul memenuhi kepalanya.
Telegram palsu. Ada hubungannya dengan soal ini" Apa yang terjadi seandainya
Elise tidak tinggal menunggu dia" Dia akan masuk sendirian - jika dia tidak lupa
membawa kunci seperti tadi dan menemukan laki-laki ini - yang telah dibiarkannya
memeras dirinya. Memang dia punya alasan untuk itu; tapi dia merasa tidak enak
juga. Dia masih ingat betapa kuatirnya George ketika tahu akan hal itu. Apakah
orang lain juga berpendapat demikian" Sekarang tentang surat-surat itu. Tentu
saja bukan dia yang telah menulisnya. Tapi, akan mudahkah membuktikan hal itu"
Dia meletakkan tangannya di dahi. Lalu mengepalkannya erat-erat. Aku harus
berpikir. Pokoknya aku harus berpikir.
Siapa yang membukakan pintu" Tentunya bukan Elise. Kalau dia yang membukakan
pintu, pasti dia akan memberi tahu. Semuanya semakin misterius baginya. Dan
satu-satunya hal yang harus dia lakukan adalah menelepon polisi.
Dia meletakkan tangannya ke gagang telepon. Tiba-tiba pikirannya melayang ke
George. Seorang laki-laki - itulah yang diperlukannya. Seorang laki-laki biasa,
tenang, tidak emosional. Orang yang bisa melihat sesuatu secara proporsional dan
bisa menunjukkan padanya hal-hal yang harus dilakukannya.
Kemudian dia menggelengkan kepala. Bukan George. Hal pertama yang dipikirkan
George adalah posisinya. Dia pasti tidak suka terlibat dalam situasi seperti
ini. George tidak cocok. Bukan orang yang tepat.
Lalu wajahnya melembut. Tentu saja! Bill! Tanpa membuang waktu dia menelepon
Bill. Suara di seberang menjawab bahwa Bill pergi setengah jam yang lalu menuju
Chimneys. "Sialan!" serunya sambil meletakkan gagang telepon dengan gemas. Benar-benar
menyebalkan ditinggal sendirian dengan sesosok mayat.
Pada saat itu bel pintu depan berbunyi. Virginia meloncat. Beberapa menit
kemudian bel itu berbunyi lagi. Elise masih di atas dan pasti dia tidak
mendengar bel itu. Virginia keluar menuju pintu depan, membuka rantai dan
gerendel yang telah dipasang Elise. Sambil menarik napas dia membuka pintu. Dia
melihat laki-laki yang di luar tadi.
Virginia bernapas lega. "Masuklah," katanya. "Rasanya aku punya pekerjaan
untukmu." Dia membawanya ke ruang makan dan menarik sebuah kursi untuk laki-laki itu.
Kemudian dia sendiri duduk menghadapinya. "Maaf," katanya, "apakah kau - maksudku
- " "Eton dan Oxford," kata laki-laki itu. "Itu yang ingin Nyonya tanyakan?"
"Ya semacam itu," kata Virginia.
"Sejak lahir saya tidak punya kemampuan untuk memegang pekerjaan tetap. Yang
Nyonya tawarkan bukan pekerjaan tetap, saya harap."
Virginia tersenyum. "Benar."
"Baiklah," kata laki-laki itu dengan nada puas.
Virginia memandang wajah coklat dan tubuh yang sehat langsing. "Begini - saya
sedang mengalami kesulitan. Kawan-kawan saya sedang sibuk dan sulit dihubungi."
"Kebetulan saya tidak. Silakan, teruskan. Apa kesulitan Nyonya?"
"Ada mayat seorang laki-laki di ruang sebelah," kata Virginia. "Dia baru saja
dibunuh dan saya tak tahu mesti berbuat apa." Dia berbicara polos seperti
seorang anak. Dan dia semakin senang melihat sikap laki-laki di depannya ketika
menerima segala fakta yang diucapkannya. Barangkali dia sudah biasa mendengar
pernyataan-pernyataan seperti itu.
"Bagus," katanya "Sebenarnya saya sudah lama ingin melakukan suatu pekerjaan
detektif amatir. Apa Nyonya akan menunjukkan mayat itu sekarang atau memberi
penjelasan dulu?" "Saya rasa saya akan memberikan fakta-fakta yang perlu kauketahui." Dia diam
sejenak berpikir bagaimana menyingkat cerita yang perlu diberitahukan, lalu
mulai berkata dengan singkat dan tenang.
"Laki-laki itu datang untuk pertama kali kemarin sore dengan maksud menemui
saya. Dia mempunyai beberapa surat - surat-surat cinta yang bertanda tangan nama
saya - " "Tapi bukan Anda sebenarnya yang menulis," kata laki-laki itu dengan tenang.
Virginia memandangnya dengan heran. "Bagaimana kau tahu?"
"Oh, saya hanya menarik kesimpulan. Teruskan."
"Dia ingin memeras saya - dan saya - saya tak tahu apakah kau akan mengerti, tapi saya membiarkannya."
Virginia memandang laki-laki di depannya dan dia menganggukkan kepalanya
meyakinkan. "Tentu saja saya mengerti. Nyonya ingin tahu bagaimana rasanya."
"Ah, kau pintar sekali! Memang itu yang ingin kuketahui."
"Saya memang pintar," kata laki-laki itu merendah. "Tapi harap Anda maklum bahwa
tidak banyak orang yang bisa mengerti hal itu. Banyak orang yang tidak punya
imajinasi." "Saya rasa kau benar. Jadi saya menyuruh laki-laki itu untuk kembali hari ini jam enam sore. Saya datang dari Ranelagh dan menemukan sebuah telegram palsu
yang menyebabkan semua pembantu pergi kecuali pelayan pribadi. Lalu saya masuk
ke ruang kerja dan menemukan mayat tersebut."
"Siapa yang membukakan pintu untuknya?"
"Saya tidak tahu. Kalau pelayan saya yang membukakan pintu untuknya, pasti dia
akan memberi tahu saya."
"Dia tahu apa yang telah terjadi?"
"Saya belum mengatakan apa-apa kepadanya."
Laki-laki itu mengangguk lalu berdiri. "Sekarang kita lihat mayat itu," katanya
cepat. "Ada yang ingin saya katakan - sebaiknya Nyonya mengatakan apa adanya
karena satu kebohongan akan menimbulkan kebohongan-kebohongan lain."
"Kalau begitu kau menyarankan agar saya menelepon polisi?"
"Barangkali. Tapi kita lihat saja dulu mayat itu."
Virginia membawanya keluar ruangan. Kemudian dia berhenti sambil bertanya.
"Maaf. Kau belum memberi tahu namamu."
"Nama saya" Anthony Cade."
Bab 9 Anthony Membuang Mayat ANTHONY mengikuti Virginia sambil tersenyum sendiri. Ini merupakan suatu
kebetulan yang tak terduga. Tapi wajahnya kembali berkerut ketika dia membungkuk
memeriksa mayat itu. "Masih hangat," katanya tajam. "Dia dibunuh kurang dari
setengah jam yang lalu."
"Tidak lama sebelum saya datang?"
"Tepat." Anthony berdiri tegak. Kedua alis matanya berkerut. Kemudian dia mengajukan
pertanyaan yang kurang bisa ditangkap Virginia. "Pelayan Nyonya belum masuk
ruangan ini, kan?" "Belum." "Dia tahu kalau Nyonya sudah memasuki ruangan ini?"
"Ya - Saya berbicara di depan pintu dengan dia."
"Setelah Nyonya menemukan mayat ini?"
"Ya." "Dan Nyonya tidak berkata apa-apa kepadanya?"
"Apa lebih baik kalau saya memberi tahu dia" Saya pikir dia akan menjadi
histeris - dia orang Prancis dan mudah bingung - saya tadi ingin memikirkan masalah
ini tanpa diganggu."
Anthony mengangguk tanpa berkata apa-apa.
"Kelihatannya kau menyesalkan apa yang saya lakukan."
"Ya, memang agak menyulitkan kedudukan Anda, Nyonya Revel. Seandainya Nyonya dan
pelayan itu menemukan mayat bersama-sama segera setelah Nyonya datang,
persoalannya akan menjadi lebih sederhana. Kita bisa mengatakan dengan pasti
bahwa dia dibunuh sebelum Anda datang."
"Tapi sekarang mereka bisa mengatakan bahwa dia dibunuh setelah - ah, saya
mengerti - " Anthony melihat bahwa wanita itu mengerti apa yang dimaksudkannya. Dan kesannya
di luar tadi, ketika melihatnya untuk pertama kali, bertambah kuat. Kecuali
kecantikan, dia memiliki keberanian dan kecerdasan.
Virginia terlalu asyik dengan teka-teki yang sedang dihadapinya, sehingga dia
tidak merasa heran bagaimana laki-laki itu bisa tahu namanya. "Mengapa Elise
tidak mendengar bunyi tembakan?" gumamnya.
Anthony menunjuk jendela yang terbuka ketika mendengar suara bising mobil yang
lewat. "Itu sebabnya London bukan tempat di mana orang bisa mendengar letusan
pistol." Virginia memperhatikan mayat itu dengan agak gemetar. "Seperti orang Itali,"
katanya. "Dia memang orang Itali," kata Anthony. "Profesinya adalah pelayan. Dia hanya
melakukan pemerasan pada waktu-waktu tertentu. Namanya Giuseppe."
"Ya, Tuhan!" seru Virginia. "Apa kau Sherlock Holmes?"
"Bukan," kata Anthony dengan nada menyesal. "Hanya menebak-nebak saja. Tadi
Nyonya katakan dia minta uang. Apa Nyonya beri?"
"Ya." "Berapa?" "Empat puluh pound."
"Sayang," kata Anthony tanpa menunjukkan rasa terkejut. "Coba sekarang kita
lihat telegram itu."
Virginia mengambilnya dari meja dan mengulurkannya. Dia melihat dahi Anthony
berkerut lagi ketika membaca telegram itu.
"Ada apa?" Anthony menunjuk nama tempat pengiriman telegram.
"Barnes," katanya. "Dan Nyonya tadi di Ranelagh. Bukan tidak mungkin Anda
sendiri yang mengirimnya, kan?"
Virginia terpesona oleh kata-katanya. Seolah-olah sebuah jaring membelitnya
semakin ketat. Laki-laki itu membuatnya melihat segala kemungkinan yang masih
suram baginya. Anthony mengeluarkan sapu tangannya dan melilitkannya di tangannya lalu
mengambil pistol kecil yang tergeletak.
"Kita harus hati-hati. Sidik jari," katanya.
Tiba-tiba tubuh Anthony menjadi kaku. Dan suaranya berubah ketika bicara. Suara
itu pendek-pendek dan tidak ramah. "Nyonya Revel, Nyonya pernah melihat pistol
ini sebelumnya?" "Belum," jawab Virginia heran.
"Nyonya yakin?"
"Saya yakin." "Nyonya punya sebuah pistol?"
"Tidak." "Pernah punya sebuah pistol?"
"Tidak, tidak pernah."
"Nyonya berkata benar?"
"Tentu saja." Anthony memandang Virginia sejenak, dan Virginia balas memandangnya dengan heran
karena mendengar nada suaranya.
Anthony menarik napas panjang dan berkata dengan suara tenang. "Aneh. Bagaimana
Anda akan menjelaskan ini?"
Dia menunjukkan pistol itu. Sebuah pistol mungil seperti pistol mainan - tetapi
bisa mematikan. Di situ terukir nama Virginia.
"Oh, tidak mungkin!" Virginia tersentak.
Keheranannya tidak dibuat-buat dan Anthony percaya kepadanya. "Duduklah,"
katanya tenang. "Ada sesuatu yang lebih serius di balik ini semua. Pertama-tama,
apa hipotesa kita" Hanya ada dua kemungkinan. Ada seorang Virginia asli yang
menulis surat-surat itu. Mungkin wanita itu telah membuntuti lelaki ini,
menembaknya, membuang pistolnya, dan mengambil surat-suratnya, lalu menghilang.
Itu suatu kemungkinan, bukan?"
"Ya, mungkin," kata Virginia enggan.
"Sebuah hipotesa lain malah lebih menarik lagi. Siapa pun yang ingin membunuh
Giuseppe, dia juga ingin menjatuhkan Nyonya - bahkan mungkin itulah tujuannya
sebenarnya. Mereka bisa saja membunuhnya di tempat lain. Tapi mereka bersusahpayah membawa dia kemari. Dan siapa pun mereka, mereka tahu tentang Nyonya, vila
Nyonya di Datchet, kebiasaan-kebiasaan Nyonya, dan fakta bahwa Nyonya berada di
Ranelagh sore tadi. Memang aneh - tapi apakah Anda punya musuh, Nyonya?"
"Tentu saja tidak. Kalaupun ada, bukan yang seperti itu."
"Persoalannya sekarang adalah: apa yang akan kita lakukan sekarang" Ada dua
pilihan: A: Menelepon polisi, menceritakan segalanya pada mereka dan percaya
bahwa kehidupan Nyonya yang bersih akan menyelesaikannya. B: Membuang mayat ini.
Dan itu akan saya lakukan dengan diam-diam. Tentu saja saya akan memilih B. Saya
selalu ingin tahu apakah saya cukup cerdik untuk menyembunyikan suatu tindak
kriminal. Tapi saya sendiri tidak mau melakukan tindak kriminal itu. Dari
keduanya, A adalah yang terbaik, yaitu menelepon polisi - tetapi menyembunyikan
pistol dan surat-surat itu - bila masih ada padanya."
Anthony kemudian menggerayangi saku mayat itu.
"Bersih," katanya. "Tak ada apa-apa di sakunya. Soal surat itu akan bertambah
panjang. He, apa ini" Ada lubang di kain pelapis. Ada apa ini" Sobekan kertas
yang tersangkut." Dia menarik sobekan kertas itu dan membacanya. Virginia mendekatinya.
"Sayang cuma sobekan kecil," gumamnya. "Chimneys 23.45 Kamis - seperti janji."
"Chimneys?" seru Virginia. "Luar biasa!"
"Mengapa" Terlalu tinggi untuk orang seperti dia?"
"Aku akan ke Chimneys malam ini. Setidaknya aku bermaksud ke sana."
Anthony berbalik kepadanya. "Apa yang Nyonya katakan tadi" Coba diulangi."
"Aku bermaksud pergi ke Chimneys malam ini," ulang Virginia.
Anthony memandangnya. "Saya mulai mengerti. Barangkali juga saya keliru - tapi ini


Rahasia Chimneys The Secret Of Chimneys Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

suatu ide. Apa kira-kira ada orang yang tidak menginginkan kepergian Anda ke
Chimneys?" "Saudara sepupuku, George Lomax," kata Virginia sambil tersenyum. "Tapi aku
tidak bisa mencurigainya sebagai seorang pembunuh."
Anthony tidak tersenyum. Otaknya bekerja. "Kalau Nyonya menelepon polisi, Nyonya
tak akan bisa pergi ke Chimneys hari ini - ataupun besok. Padahal saya ingin agar
Anda pergi ke Chimneys. Saya yakin bila Anda pergi hal itu akan membingungkan
lawan kita. Nyonya Revel, bersediakah Anda menyerahkan persoalan ini pada saya?"
"Kalau begitu rencana B?"
"Rencana B. Yang harus kita lakukan sekarang adalah menyuruh keluar pelayan
Nyonya. Bisakah?" "Mudah sekali."
Virginia keluar ruangan dan memanggil. "Elise, Elise."
"Ya, Nyonya." Anthony mendengar percakapan singkat. Lalu pintu depan dibuka dan dikunci.
Virginia kembali masuk. "Dia sudah pergi. Saya menyuruhnya membeli minyak wangi.
Saya katakan tokonya buka sampai jam delapan - walaupun sebenarnya tidak. Dia saya
suruh mengikuti saya dengan kereta berikutnya tanpa kembali kemari."
"Bagus," kata Anthony senang. "Sekarang kita lanjutkan pekerjaan ini. Nyonya
punya peti?" "Tentu, kau bisa memilihnya sendiri di lantai bawah."
Ada beberapa peti di bawah dan Anthony memilih sebuah yang kuat dan sesuai
besarnya. "Biar saya bereskan sendiri, Nyonya siap-siap saja sekarang."
Virginia menurut. Dia mengganti baju tenisnya dengan baju bepergian berwarna
coklat dan menghias kepalanya dengan topi kecil berwarna oranye. Ketika turun
Anthony sudah menunggu dengan sebuah peti yang rapi.
"Sebenarnya saya ingin bercerita tentang diri saya. Tapi tidak banyak waktu lagi
malam ini. Inilah yang harus Nyonya lakukan. Panggil sebuah taksi dan masukkan
barang-barang Nyonya bersama peti ini. Pergilah ke Paddington, tinggalkan peti
itu di tempat penitipan barang. Saya akan menunggu di peron. Ketika Anda
melewati saya, jatuhkan karcis titipan barang Anda. Saya akan berpura-pura
mengembalikannya, tapi sebetulnya tidak. Teruskan perjalanan ke Chimneys dan
saya akan membereskan lain-lainnya."
"Kau baik sekali," kata Virginia. "Saya benar-benar tidak enak melibatkan orang
yang baru saya kenal dalam urusan seperti ini."
"Saya menyukainya," kata Anthony seenaknya. "Seandainya teman saya, Jimmy
McGrath tahu tentang hal ini, dia pasti mengatakan bahwa pekerjaan ini sangat
cocok untuk saya." Virginia memandanginya. "Siapa nama temanmu tadi" Jimmy McGrath?"
Anthony berbalik ingin tahu. "Ya, mengapa" Pernah mendengar tentang dia?"
"Ya. Belum lama ini." Dia berhenti, dan kemudian melanjutkan. "Tuan Cade, saya
harus bicara dengan Anda. Bisakah Anda pergi ke Chimneys?"
"Anda akan bertemu dengan saya dalam waktu tak terlalu lama, Nyonya Revel. Nah,
sekarang Konspirator A keluar dari pintu belakang dengan diam-diam, dan
Konspirator B lewat pintu depan dengan megah."
Rencana itu berjalan mulus. Dengan taksi berikutnya Anthony menyusul dan
menunggu di peron lalu mengembalikan tiket yang jatuh. Kemudian dia pergi
mencari sebuah mobil tua yang telah disewanya sejak pagi untuk berjaga-jaga. Dia
kembali ke Paddington dengan mobil itu dan memberikan tiket penitipan barang
pada penjaga, dan menerima peti yang dititipkan. Dia memasukkan peti tersebut
dalam mobilnya dan segera pergi.
Tujuannya sekarang adalah keluar London. Melewati Notting Hill, Shepherd's Bush,
Goldhawk Road, Brentford, dan Hounslow - sampai ke sebuah jalan antara Hounslow
dan Staines. Jalan itu jalan ramai di mana mobil selalu lewat, jejak kaki
ataupun ban tak akan kelihatan. Anthony menghentikan mobilnya di suatu tempat.
Setelah turun, dia mengotori nomor mobil dengan lumpur. Setelah menunggu sampai
tidak terdengar suara mobil dari kedua arah, dia membuka peti dan mengeluarkan
tubuh Giuseppe. Diletakkannya mayat itu dengan rapi di bagian dalam tikungan
sehingga lampu mobil tidak mungkin menyorotinya langsung.
Lalu dia masuk ke dalam mobil lagi dan pergi. Pekerjaan tadi memerlukan waktu
satu setengah menit. Dia kemudian berbelok ke kanan, kembali ke London lewat
Burnham Beeches. Di sana dia menghentikan mobilnya lagi. Dia memilih sebuah
pohon yang besar dan memanjatnya. Ini merupakan suatu pekerjaan yang luar biasa
walaupun untuk seorang Anthony. Di atas sebuah cabang yang tinggi, dia
meletakkan sebuah bungkusan kecil berwarna coklat. Diletakkannya bungkusan itu
di sebuah ceruk kecil di cabang tadi. "Cara yang jitu untuk membuang pistol,"
katanya pada diri sendiri. "Setiap orang selalu mencari-cari di tanah dan
mengeringkan kolam. Tapi di Inggris hanya sedikit orang yang bisa memanjat
pohon." Dia kembali ke Paddington. Di sini peti besar itu diturunkan di bagian
"kedatangan". Anthony merasa lapar dan membayangkan makanan yang enak-enak. Tapi
dia menggelengkan kepalanya ketika melihat jam tangannya. Dia mengisi bensin dan
pergi ke arah utara. Pada jam sebelas tiga puluh dia memarkir mobil di jalan dekat kebun Chimneys.
Dia meloncati pagar dan berjalan ke arah rumah. Ternyata jarak yang harus
ditempuh tidak sedekat yang diperkirakan. Akhirnya dia berlari. Dalam gelap
bayangan rumah, terdengar suara jam menunjukkan pukul dua belas kurang
seperempat. 11.45 adalah waktu yang disebutkan di sobekan kertas itu. Anthony telah sampai
di teras sekarang. Dia memandang ke atas. Kelihatan gelap dan sepi. "Para
politisi ini tidur sore-sore rupanya," gumamnya.
Tiba-tiba dia mendengar suara tembakan. Anthony cepat berbalik. Suara itu dari
dalam rumah - dia sangat yakin. Dia menunggu sebentar, tapi suasana tetap sepi.
Akhirnya dia berjalan ke salah satu jendela panjang yang rendah dari mana suara
tembakan yang mengagetkan itu terdengar. Dia mencoba membuka handelnya,
terkunci. Dia mencoba jendela-jendela yang lain sambil mendengarkan dengan
saksama, tetapi suasana tetap sunyi.
Akhirnya dia memutuskan bahwa suara itu hanya khayalannya saja. Dia kembali
melintasi kebun dengan perasaan kesal dan kecewa.
Dia menoleh melihat rumah besar itu. Ketika itu terlihat sebuah cahaya di
jendela atas yang segera mati lagi, yang kelihatan hanyalah kegelapan malam.
Bab 10 Chimneys JAM 8.30 pagi Inspektur Badgworthy sudah berada di kantornya. Polisi itu
bertubuh tinggi kekar dan berjalan dengan langkah mantap. Dia terbiasa untuk
bernapas berat bila menghadapi hal-hal yang menegangkan. Inspektur itu ditemani
oleh Johnson, seorang polisi baru yang kekanak-kanakan.
Telepon di meja berdering dan inspektur itu mengambilnya dengan gaya mantap.
"Ya, kantor polisi Market Basing. Dengan Inspektur Badgworthy. Apa?"
Terlihat perubahan pada sikapnya. Rupanya dari seseorang yang lebih tinggi
darinya. "Ya, Tuan. Maaf, saya kurang jelas."
Dia diam mendengar. Wajahnya yang biasanya tenang menunjukkan ekspresi yang
berlainan. Akhirnya dia meletakkan telepon setelah mengatakan, "Segera, Tuan."
Dia menoleh kepada Johnson dengan bangga. "Dari Lord Caterham - di Chimneys pembunuhan." "Pembunuhan," kata Johnson tidak percaya.
"Pembunuhan," ulang inspektur itu.
"Ah, sudah lama tak mendengar tentang pembunuhan di daerah ini - sejak kasus Tom
Pearse yang menembak kekasihnya itu."
"Ya - sebenarnya kasus itu pun tak bisa dikatakan pembunuhan," kata Inspektur.
"Ya - dia tidak digantung untuk perbuatan itu. Tapi yang ini benar-benar
pembunuhan, kan Pak?" tanya Johnson.
"Benar, Johnson. Salah seorang tamu Lord Caterham - ditemukan mati tertembak.
Seorang tamu asing. Ada jendela terbuka dan jejak kaki di luar."
"Wah, seorang asing," kata Johnson menyayangkan, seolah-olah kematian orang
asing kurang seru. Johnson merasa bahwa orang asing memang pantas mati ditembak.
"Lord Caterham kedengarannya bingung," lanjut inspektur itu. "Kita akan ke sana
dengan Cartwright, mudah-mudahan tak ada yang mengacak-acak jejak kaki itu."
Dada Badgworthy berdegup keras. Pembunuhan! Di Chimneys! Inspektur Badgworthy
menangani kasus itu. Polisi punya petunjuk penangkapan yang sensasional. Polisi
yang menemukan jejak si pembunuh. Promosi terbayang di benaknya.
"Yaitu kalau Scotland Yard tidak ikut campur," katanya pada diri sendiri.
Pikiran itu membuatnya sebal. Biasanya Scotland Yard selalu datang dan ikut
campur dalam kasus seperti ini.
Mereka berhenti di rumah Dr. Cartwright. Dokter muda itu merasa sangat tertarik
pada apa yang terjadi. Reaksinya hampir sama dengan sikap Johnson.
"Wah - belum pernah terjadi pembunuhan sejak peristiwa Tom Pearse."
Ketiganya masuk ke dalam mobil kecil milik dokter dan berangkat ke Chimneys.
Ketika mereka lewat Jolly Cricketers, dokter itu melihat seseorang berdiri di
ambang pintu. "Orang asing. Kelihatannya wajahnya menarik. Sudah berapa lama dia di situ - dan
apa yang dilakukannya. Belum pernah lihat dia sebelumnya. Pasti baru datang tadi
malam." "Dia tidak datang dengan kereta api," kata Johnson. Saudara Johnson bekerja
sebagai kuli di stasiun, dan karena itu Johnson selalu tahu banyak tentang
orang-orang yang datang-pergi.
"Siapa yang datang ke Chimneys kemarin?" tanya Inspektur.
"Lady Eileen - datang jam 15.40 dengan dua tamu laki-laki, seorang pria Amerika
dan seorang tentara. Keduanya tidak membawa pelayan pribadi. Lord Caterham
datang dengan seorang tamu asing - barangkali yang ditembak itu - dengan kereta jam
17.40. Tamu itu membawa pelayan pribadi. Tuan Eversleigh datang dengan kereta
yang sama. Nyonya Revel dengan kereta jam 19.25, dan seorang laki-laki asing
lain, berkepala botak dan berhidung betet datang dengan kereta yang sama.
Pelayan Nyonya Revel datang dengan kereta jam 20.56"
Johnson berhenti, menarik napas.
"Dan tak ada yang menginap di Cricketers?"
Johnson menggelengkan kepala.
"Kalau begitu dia pasti bawa mobil," kata Inspektur. "Johnson, jangan lupa
menanyai orang-orang di Cricketers kalau pulang nanti, masukkan dalam catatanmu.
Kita perlu tahu tentang orang-orang asing yang ada di sekitar sini. Dan orang
itu kelihatan kalau baru tiba dari luar. Wajahnya sangat coklat." Inspektur itu
menganggukkan kepalanya seolah-olah puas dengan ketelitiannya.
Mobil mereka melewati pintu gerbang Chimneys. Keterangan tentang tempat
bersejarah ini bisa dijumpai di buku-buku panduan wisata. Tempat itu juga ada di
dalam buku Rumah Bersejarah di Inggris. Setiap hari Kamis sebuah bis akan datang
dari Middlingham membawa wisatawan yang ingin melihat sebagian bangunan yang
dibuka untuk umum. Mereka disambut seorang pelayan berambut putih dengan sikap yang sangat
sempurna, yang seolah-olah berkata: Di sini tidak biasanya ada peristiwa seperti
ini. Tapi sekarang ini memang banyak kejahatan. Tapi kita hadapi saja semuanya
dengan tenang, seolah-olah tak ada sesuatu yang terjadi.
"Tuan Besar menunggu Bapak-bapak semuanya. Silakan," katanya.
Dia membawa rombongan itu ke kamar Lord Caterham. Kamar itu kecil, berbeda
dengan ruangan-ruangan lain yang serba luas. "Bapak-bapak polisi, Tuan. Dan
Dokter Cartwright." Lord Caterham sedang berjalan hilir-mudik dengan perasaan kesal. "Ha! Inspektur,
akhirnya Anda datang juga. Terima kasih. Apa kabar, Cartwright" Urusan yang
sangat menyebalkan sekali."
Dan Lord Caterham mengacak-acak rambutnya dengan jari-jari tangannya sehingga
kelihatan seperti bulu landak.
"Di mana mayatnya?" tanya Dokter Cartwright dengan tegas.
Lord Caterham menoleh kepadanya, merasa lega mendengar pertanyaan itu. "Di ruang
pertemuan - di tempat dia ditemukan - saya tak membiarkan orang-orang lain
menyentuhnya. Saya rasa saya harus melakukan hal itu."
"Ya, memang benar yang Tuan lakukan," kata Inspektur senang.
"Dan siapa yang menemukannya" Tuan sendiri?" tanyanya sambil mengeluarkan buku
catatan dan pensil. "Tentu saja bukan saya. Saya tidak biasa bangun sepagi ini. Salah satu pelayan
yang menemukannya. Saya rasa dia menjerit cukup keras walaupun saya sendiri
tidak mendengarnya. Lalu mereka membangunkan saya, saya turun dan - mayat itu ada
di situ." "Tuan mengenali mayat itu sebagai mayat salah seorang tamu?"
"Benar, Inspektur."
"Namanya?" Pertanyaan yang sangat sederhana ini rupanya membuat bingung Lord Caterham. Dia
membuka mulut satu atau dua kali lalu mengatupkannya lagi. Akhirnya dia bertanya
tanpa daya, "Maksud Anda - namanya siapa, begitu?"
"Ya, Tuan." Lord Caterham memandang ke sekeliling ruangan seolah-olah mencari inspirasi.
"Namanya - kalau tidak salah, ya saya rasa benar - adalah - Count Stanislaus."
Sikap Lord Caterham begitu aneh sehingga Inspektur itu tidak jadi menulis di
dalam catatannya. Tapi untunglah pada saat yang meresahkan itu pintu ruangan
terbuka dan seorang gadis tinggi langsing dengan wajah menarik dan sikap tegas
masuk ke dalam. Dia adalah Lady Eileen Brent, yang lebih dikenal dengan sebutan
Bundle. Putri tertua Lord Caterham ini mengangguk kepada yang lain lalu
berbicara kepada ayahnya. "Aku sudah bicara dengan dia."
Lord Caterham mendesah lega. "Bagus. Apa katanya?"
"Dia akan segera datang. Kita harus 'sangat bijaksana'."
Ayahnya menanggapi dengan sebal. "Ha, memang tolol si George Lomax ini. Kalau
dia datang nanti aku akan benar-benar cuci tangan." Dia kelihatannya gembira
karena harapannya sendiri.
"Dan nama korban adalah Count Stanislaus?" tanya Pak Dokter.
Sebuah pandangan penuh arti terkilas dalam mata ayah dan anak. Dan si ayah pun
menyahut, "Tentu saja. Tadi kan sudah saya katakan."
"Saya menanyakannya karena Tuan kelihatan kurang yakin tadi," Cartwright
menjelaskan. Mata dokter itu berkedip mengejek dan Lord Caterham memandangnya dengan rasa
dongkol. "Mari saya tunjukkan," katanya cepat.
Mereka mengikutinya. Inspektur berjalan paling belakang dengan mata awas
diarahkan ke mana-mana, siapa tahu dia bisa menemukan petunjuk di bingkai foto
atau di balik pintu. Lord Caterham mengambil kunci dari sakunya dan membuka pintu. Mereka masuk ke
sebuah ruangan besar dengan tiga jendela panjang rendah menghadap teras. Di
dalam ruangan itu ada sebuah meja panjang, beberapa lemari, dan kursi-kursi kuno
dari kayu ek yang berat. Di dinding berjajar lukisan-lukisan nenek moyang
keluarga Caterham yang sudah meninggal. Di dekat dinding sebelah kiri tergeletak
seorang lelaki dengan kedua lengan terpentang lebar.
Dr. Cartwright mendekati mayat itu dan berjongkok. Inspektur melangkah ke arah
jendela-jendela dan memeriksanya satu per satu. Jendela yang tengah memang
ditutup tapi tidak dikunci. Di tangga luar dia menemukan jejak kaki yang menuju
jendela dan jejak kedua yang melangkah ke luar.
"Sangat jelas," kata inspektur itu sambil mengangguk. "Tapi seharusnya ada jejak
kaki juga di dalam ruangan. Pasti akan kelihatan jelas karena lantainya dari
kayu." "Saya bisa menjelaskan hal itu," kata Bundle. "Pelayan kami telah membersihkan
sebagian ruangan ini tadi pagi sebelum menemukan mayat itu. Waktu dia masuk tadi
masih gelap. Dia langsung menuju jendela, membuka gorden, dan membersihkan
lantai. Tentunya dia tidak langsung melihat mayat itu karena terhalang meja.
Setelah dekat barulah dia melihatnya." Inspektur itu mengangguk.
"Nah," kata Lord Caterham yang sudah ingin melepaskan diri sejak tadi, "saya
tinggalkan Anda di ruang ini, Inspektur. Anda bisa mencari saya kalau memerlukan
saya nanti. Tapi Tuan George Lomax sedang dalam perjalanan kemari dari Wyvvern
Abbey. Sebenarnya ini adalah urusannya. Karena itu dia dapat menjelaskan soal
ini lebih baik." Lord Caterham melangkah pergi tanpa menunggu jawaban. "Gila juga si Lomax
menyeret-nyeretku dalam urusannya. Ada apa, Tredwell?"
Pelayan berkepala putih itu mondar-mandir di dekatnya. "Saya telah lancang
memajukan jam makan pagi, Tuan. Semua siap di ruang makan."
"Rasanya aku tidak dapat menelan apa-apa," kata Lord Caterham dengan murung.
"Tidak sekarang ini," katanya sambil membelokkan langkah kakinya.
Bundle menyelipkan lengannya ke lengan ayahnya dan keduanya masuk ke ruang
makan. Di salah sebuah sisi terjajar makanan dalam pinggan-pinggan perak, masih
hangat mengepul. "Telur dadar," kata Lord Caterham sambil membuka tutup pinggan-pinggan itu.
"Telur dan daging babi, kacang merah, burung, ikan, ham. Ah, tak ada yang
kusukai, Tredwell. Suruh koki bikin telur mata sapi."
"Baik, Tuan." Tredwell menghilang. Lord Caterham dengan pikun mengambil kacang merah dan
daging babi banyak-banyak, menuang secangkir kopi, dan duduk di meja panjang.


Rahasia Chimneys The Secret Of Chimneys Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bundle sudah sejak tadi sibuk dengan telur dan daging babi.
"Aku lapar sekali," kata Bundle dengan mulut penuh. "Peristiwa ini mendebarkan.
Pasti itu yang menyebabkan."
"Ah, orang muda memang suka yang begitu," keluh ayahnya. "Senang hal-hal yang
mendebarkan. Tapi aku sudah tua. Hindari segala kekuatiran - begitu nasihat Sir
Abner Willis - hindari segala kekuatiran. Memang mudah mengatakan hal itu. Dia
enak saja duduk di ruang konsultasinya di Harley Street. Bagaimana mungkin
menghindari kekuatiran kalau sudah berurusan dengan Lomax dan terlibat peristiwa
seperti ini" Seharusnya aku menolak permintaannya. Seharusnya aku lebih tegas
dan menolak dia." Dengan gelengan sedih Lord Caterham bangkit dan mengambil sepiring ham.
"Codders benar-benar kena kali ini," kata Bundle gembira. "Dia sangat bingung
ketika kutelepon. Dia akan tiba sebentar lagi. Dengan gagap dia bicara tentang
sikap bijaksana dan kemungkinan untuk menutupi peristiwa ini."
"Dia sudah bangun?" tanya Lord Caterham.
"Dia bilang sudah bangun dan mendiktekan surat-surat sejak jam tujuh tadi."
"Memang hebat orang-orang seperti dia. Tapi egois juga. Memaksa sekretarissekretaris itu bangun pada waktu mereka seharusnya masih enak tidur. Mendiktekan
surat-surat busuk. Seandainya ada peraturan yang mengharuskan orang-orang
seperti dia bekerja sampai jam sebelas malam, pasti negara ini akan lebih bagus
lagi keadaannya. Lomax selalu mengatakan bahwa aku punya 'posisi'. Seolah-olah
aku memang memilikinya. Dan siapa sekarang ini yang mau menyejajarkan dirinya?"
"Tak ada," kata Bundle. "Mereka lebih suka mengkomersilkan rumahnya."
Tredwell muncul dengan dua telur mata sapi di piring perak dan meletakkannya di
atas meja di depan Lord Caterham. "Apa itu, Tredwell?" tanya majikannya sambil
memandang telur itu dengan wajah yang tidak senang.
"Telur mata sapi, Tuan."
"Aku tidak suka telur mata sapi," kata Lord Caterham. "Melihatnya saja aku tak
suka. Hambar. Bawa saja keluar."
"Baik, Tuan." Tredwell dan telur mata sapi itu menghilang tanpa ribut.
"Untunglah tak ada yang bangun pagi di rumah ini. Seandainya ada, kita terpaksa
menjelaskan kepada mereka."
"Siapa ya pelaku pembunuhan itu," kata Bundle. "Dan mengapa dia melakukannya?"
"Itu bukan urusan kita. Syukurlah," kata Lord Caterham. "Itu adalah tugas
polisi. Tapi kurasa si Badgworthy itu tak akan menemukan sesuatu. Barangkali si
Isaacstein." "Artinya - " "The All British Syndicate."
"Kenapa Tuan Isaacstein membunuh dia kalau dia datang kemari dengan maksud
menemuinya?" "Uang," kata Lord Caterham tanpa ingin menjelaskan. "Dan aku ingat, si
Isaacstein itu memang suka bangun pagi. Huh, kebiasaan orang kota. Bagaimanapun
kayanya mereka, mereka selalu ingin naik kereta jam 9.17."
Suara mobil yang dilarikan kencang terdengar dari jendela yang terbuka.
"Codders," seru Bundle.
Ayah dan anak berdiri menghampiri jendela dan berseru pada pengendara mobil itu
ketika dia sampai di dekat pintu masuk. "Di sini. Kami di sini," teriak Lord
Caterham dengan mulut penuh makanan.
George tidak berniat masuk lewat jendela panjang rendah itu. Dia menghilang di
pintu depan dan masuk bersama Tredwell yang segera lenyap di balik pintu.
"Silakan makan," kata Lord Caterham sambil menyalaminya. "Suka kacang merah?"
George mengesampingkan tawaran itu dengan tidak sabar. "Ini benar-benar suatu
bencana, mengerikan, mengerikan."
"Benar. Mau ikan?"
"Tidak, tidak. Harus dirahasiakan - bagaimanapun caranya tidak boleh bocor ke
luar." Seperti telah diramalkan Bundle, George mulai berceloteh.
"Aku mengerti perasaanmu," kata Lord Caterham simpatik. "Ambillah beberapa
telur, daging babi, atau ikan."
"Kemungkinan yang sama sekali tak terduga - bencana nasional - konsesi yang
berantakan - " "Sabar, sabar," kata Lord Caterham. "Yang kau perlukan adalah makanan yang cukup
untuk menguatkan diri. Telur mata sapi" Tadi ada telur mata sapi di sini."
"Aku tak ingin makan," kata George. "Sudah makan. Seandainya belum pun rasanya
aku tak ingin makan. Kau belum memberitahu orang lain, kan?"
"Ya - hanya Bundle dan aku. Dan polisi lokal. Dan Dokter Cartwright. Tentu saja
para pelayan." George menggeram. "Sudahlah," kata Lord Caterham dengan manis. "Kelihatannya kau tidak sadar bahwa
agak sulit menyembunyikan sesosok mayat. Mayat itu harus dikubur dan sebagainya.
Memang sulit. Tapi - begitulah."
Tiba-tiba George menjadi tenang. "Kau benar, Caterham. Kau sudah memanggil
polisi lokal" Tidak bisa. Kita harus memanggil Battle."
"Battle?" "Maksudku Inspektur Battle dari Scotland Yard. Dia sangat bisa dipercaya. Dia
pernah bekerja sama dengan kami."
"Dalam soal apa?" tanya Lord Caterham dengan rasa ingin tahu.
Tapi mata George melayang kepada Bundle yang duduk di ambang jendela, dan tibatiba saja dia ingat harus bertindak bijaksana. Dia berdiri. "Tidak boleh buangbuang waktu. Aku harus kirim beberapa telegram segera."
George mengeluarkan pen dan menulis dengan kecepatan kilat. Dia berikan yang
pertama kepada Bundle yang membacanya dengan rasa tertarik.
"Wah, namanya luar biasa," katanya. "Baron apa?"
"Baron Lolopretjzyl."
Bundle mengedipkan mata. "Ya. Ini agak makan waktu buat orang kantor pos."
George terus menulis. Kemudian diberikannya kepada Bundle. Setelah itu dia
bicara kepada tuan rumah. "Aku rasa sebaiknya, Caterham - "
"Ya?" kata Lord Caterham dengan malas.
"Anda serahkan saja urusan ini ke tanganku."
"Tentu saja," kata Lord Caterham dengan senang hati. "Memang itu yang
terpikirkan. Kau bisa menemui Inspektur Polisi dan Dokter Cartwright di ruang
pertemuan. Dengan - er - dengan mayat itu. Aku serahkan Chimneys sepenuhnya
kepadamu. Lakukan saja apa yang ingin kaulakukan."
"Terima kasih," kata George. "Kalau aku ingin berbicara denganmu - "
Tapi Lord Caterham sudah sampai di pintu. Bundle hanya tersenyum. "Akan segera
saya kirim telegram-telegram itu," katanya. "Anda tahu jalan ke ruang pertemuan,
bukan?" "Terima kasih, Lady Eileen."
George bergegas ke luar ruang makan.
Bab 11 Inspektur Battle Tiba BEGITU enggannya Lord Caterham kalau-kalau diajak bicara oleh George sehingga
dia menghabiskan waktunya berjalan-jalan di tanah pertaniannya sampai siang.
Ketika dia merasa lapar, barulah dia pulang. Dia juga membayangkan, tentunya
keadaan sekarang sudah lebih baik.
Diam-diam dia masuk rumah lewat pintu samping yang kecil. Dari situ dia
menyelinap ke ruangannya yang nyaman. Tapi tetap saja ada orang yang melihat
kedatangannya. Tredwell yang awas segera muncul di depannya. "Maaf, Tuan - "
"Ada apa, Tredwell?"
"Tuan Lomax, Tuan. Beliau ingin berbicara dengan Tuan kalau Tuan telah datang.
Beliau menunggu di ruang perpustakaan." Dengan cara halus Tredwell memberitahu
bahwa dia mempersilakan tuannya untuk memilih menemui Lomax atau tidak.
Lord Caterham menarik napas dan berdiri. "Cepat atau lambat aku toh harus bicara
dengannya. Di ruang perpustakaan?"
"Ya, Tuan." Sambil menarik napas panjang lagi Lord Caterham melintasi ruangan lebar rumah
tuanya menuju pintu perpustakaan. Pintu itu dikunci. Ketika dia mengutak-atik
handel pintu, kuncinya dibuka dari dalam dan wajah George Lomax mengintip dengan
curiga. Wajah itu berubah ketika tahu siapa yang datang. "Ah, Caterham. Masuklah. Kami
sedang bertanya-tanya apa yang kaulakukan."
Sambil menggumamkan kata-kata yang tidak jelas tentang tanah pertaniannya,
penyewa, dan perbaikan-perbaikan, Lord Caterham masuk. Ada dua orang laki-laki
di situ. Yang satu adalah Kolonel Melrose. Yang lain adalah seorang laki-laki
setengah baya bertubuh tegap dengan wajah tanpa ekspresi.
"Inspektur Battle datang setengah jam yang lalu," George menjelaskan. "Dia telah
berkeliling dengan Inspektur Badgworthy dan telah bertemu Dokter Cartwright. Dia
sekarang ingin mengajukan beberapa pertanyaan pada kita."
Mereka semua duduk setelah Lord Caterham menyapa Melrose dan berkenalan dengan
Inspektur Battle. "Rasanya tidak perlu lagi saya katakan, Battle, bahwa kasus ini sangat
memerlukan tindakan yang bijaksana."
Inspektur itu mengangguk ringan dan berkata, "Ya, Tuan Lomax. Tapi tak perlu
menyembunyikan apa-apa dari kami. Saya dengar nama korban adalah Count
Stanislaus - setidak-tidaknya nama itulah yang dikenal oleh para pelayan. Apakah
memang itu nama aslinya?"
"Bukan." "Jadi siapa?" "Pangeran Michael dari Herzoslovakia."
Mata Battle membelalak sedikit lalu kembali biasa lagi. Wajahnya tidak
menunjukkan ekspresi apa-apa. "Dan apa maksud kedatangannya kemari" Hanya
bersenang-senang?" "Ada tujuan lain, Battle. Ini sangat rahasia."
"Ya, ya. Tuan Lomax."
"Kolonel Melrose?"
"Ya, tentu." "Nah, Pangeran Michael kemari untuk bertemu dengan Tuan Herman Isaacstein. Ada
suatu pinjaman yang akan diberikan dengan beberapa ketentuan."
"Dan ketentuan-ketentuan itu adalah - ?"
"Saya kurang tahu detilnya. Dan memang belum dibicarakan. Tetapi untuk persiapan
kenaikan tahta Pangeran Michael, pangeran itu bersedia memberikan konsesi minyak
kepada perusahaan-perusahaan Tuan Isaacstein. Dan Pemerintah Inggris bersedia
mendukung Pangeran Michael."
"Baik," kata Inspektur Battle. "Saya rasa saya tak perlu keterangan terlalu
jauh. Pangeran Michael memerlukan uang. Tuan Isaacstein memerlukan minyak, dan
pemerintah Inggris bersedia membantu. Satu pertanyaan lagi. Apa ada pihak lain yang
menginginkan konsesi ini?"
"Saya rasa ada sekelompok pemilik modal dan Amerika yang berusaha mendekati
beliau." "Dan telah ditolak?"
Tapi George tidak mau dipancing. "Pangeran Michael lebih bersimpati kepada
Inggris," katanya. Inspektur Battle tidak berusaha memburu jawaban. "Lord Caterham, menurut yang
saya dengar, berikut ini yang telah terjadi kemarin. Anda pergi ke kota dan
kembali ke sini bersama Pangeran Michael. Pangeran itu ditemani oleh pelayan
pribadinya, seorang Herzoslovakia yang bernama Boris Anchoukoff. Tetapi
ajudannya, Kapten Andrassy, tetap tinggal di London. Setelah sampai di sini,
Pangeran Michael mengatakan sangat lelah dan segera beristirahat di kamar yang
disediakan untuknya. Dia makan malam di dalam kamar dan tidak bertemu dengan
undangan-undangan lainnya kemarin malam. Apakah demikian?"
"Benar." "Pagi tadi seorang pelayan wanita menemukan mayatnya kira-kira jam 7.45. Dokter
Cartwright memeriksa mayat itu dan menyatakan bahwa kematiannya disebabkan oleh
peluru yang ditembakkan dari sebuah pistol. Tak ada pistol yang ditemukan dan
tak seorang pun di dalam rumah ini yang mendengar suara tembakan. Padahal jam
tangan korban hancur karena dia jatuh dan memberikan bukti bahwa kejadian itu
terjadi tepat pada jam 23.45 malam. Jam berapa Anda tidur tadi malam?"
"Kami tidur sore-sore. Memang pesta pertemuan itu bisa dikatakan tidak sukses.
Kami masuk tidur kira-kira jam setengah sebelas malam."
"Terima kasih. Nah, sekarang saya ingin mendengar keterangan Anda tentang orangorang yang tinggal di rumah ini."
"Maaf, bukankah orang yang melakukan pembunuhan itu dari luar?"
Inspektur Battle tersenyum. "Saya rasa begitu. Kira-kira begitu. Walaupun
demikian, saya perlu tahu siapa-siapa saja yang ada di sini. Ini hanya
pengecekan rutin." "Nah, Pangeran Michael dan pelayannya lalu Tuan Isaacstein. Anda tahu semua
tentang mereka. Lalu ada Tuan Eversleigh - "
"Yang bekerja di departemen saya," sahut George.
"Dan juga tahu tentang tujuan kedatangan Pangeran Michael yang sebenarnya?"
"Saya rasa tidak," kata George tegas. "Memang dia tahu ada sesuatu dengan
rencana ini, tapi saya merasa belum bisa mengajak dia untuk tahu hal yang
sebenarnya." "Baik. Silakan terus, Lord Caterham."
"Ya. Ada Tuan Hiram Fish."
"Siapa dia?" "Tuan Fish adalah orang Amerika. Dia membawa surat introduksi dari Tuan Lucius
Gott - Anda pernah dengar namanya?"
Inspektur Battle mengangguk sambil tersenyum. Siapa yang belum pernah mendengar
tentang multimilyuner itu"
"Dia ingin melihat koleksi saya. Tentu saja koleksi Tuan Gott jauh lebih bagus.
Tapi saya memang punya beberapa simpanan yang unik. Dan Tuan Fish sangat
antusias. Tuan Lomax memberi saran agar saya juga mengundang satu-dua tamu saya
dalam rombongan ini supaya kelihatan tidak eksklusif. Jadi saya mengundang Tuan
Fish. Itu saja tamu laki-lakinya. Sedang tamu wanita, hanya ada Nyonya Revel.
Dia membawa pelayan pribadinya. Lalu anak perempuan saya, dan anak-anak dengan
pengasuh dan guru-guru mereka, dan para pelayan." Lord Caterham berhenti untuk
mengambil napas. "Terima kasih. Hanya keterangan rutin, tapi diperlukan," kata detektif itu.
"Sudah bisa dipastikan, bukan, bahwa pembunuh itu masuk lewat jendela?" tanya
George. Battle tidak segera menjawab. Akhirnya dia berkata, "Memang ada jejak kaki yang
menuju ke jendela dan kembali dari jendela. Sebuah mobil berhenti di luar
halaman jam 23.40 tadi malam. Dan pada jam dua belas malam seorang lelaki muda
tiba di Jolly Cricketers dengan mobilnya, dan bermalam di sana. Dia meletakkan
sepatu botnya di luar supaya dibersihkan - karena basah dan berlumpur, seolaholah habis dipakai berjalan lewat rumput yang tinggi."
George mencondongkan badannya penuh perhatian. "Bisakah sepatu bot itu
dicocokkan dengan jejak di teras?"
"Sudah." "Jadi?" "Memang cocok."
"Beres kalau begitu," seru George. "Kita sudah tahu pembunuhnya. Dan siapa nama
laki-laki itu?" "Di penginapan itu ia terdaftar dengan nama Anthony Cade."
"Si Anthony Cade ini harus dikejar dan segera ditangkap."
"Anda tak perlu mengejar dia," kata Inspektur Battle.
"Mengapa?" "Karena dia masih di sana."
"Apa?" "Aneh, bukan?" Kolonel Melrose melirik kepadanya. "Ada apa, Battle" Terus terang saja."
"Saya hanya mengatakan aneh. Itu saja. Orang itu seharusnya sudah lari dan
bersembunyi - tapi ternyata tidak. Dia malah tinggal di sini dan membiarkan kami
mencek jejak kakinya."
"Apa pendapatmu?"
"Saya tak tahu harus berpikir apa. Dan hal itu justru merisaukan."
"Barangkali - " Kolonel Melrose tidak melanjutkan kalimatnya karena terdengar
ketukan di pintu. George berdiri dan berjalan ke pintu. Tredwell yang merasa tidak enak dengan
situasi itu berbicara langsung kepada tuannya. "Maaf, Tuan. Ada seorang tamu
yang ingin bertemu untuk keperluan penting dan mendesak yang berhubungan dengan
kejadian tadi pagi."
"Siapa namanya?" Battle menyela.
"Namanya Tuan Anthony Cade, tetapi katanya nama itu tidak berarti apa-apa bagi
siapa pun." Tapi nama itu kelihatannya sangat berarti bagi keempat laki-laki itu. Mereka
semua terkejut. Lord Caterham yang mulai bicara. "Ah, saya kelihatannya mulai menyukai
keterlibatan ini. Bawa dia kemari, Tredwell. Segera."
Bab 12

Rahasia Chimneys The Secret Of Chimneys Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Anthony Bercerita "TUAN Anthony Cade," Tredwell memberi tahu.
"Masuklah orang asing yang mencurigakan dari penginapan desa," kata Anthony pada
dirinya sendiri. Dia langsung berjalan ke arah Lord Caterham mengikuti
instingnya. Pada saat yang sama dia bisa menyimpulkan keempat laki-laki itu: 1.
Scotland Yard. 2. Pejabat daerah - barangkali kepala polisi di sini. 3. Seorang
lelaki yang cepat marah - barangkali seorang pejabat pemerintah.
"Maafkan saya," kata Anthony kepada Lord Caterham, "telah memaksa bertemu dengan
Anda dengan cara begini. Tapi orang-orang di Penginapan Jolly Dog - atau apa nama
penginapan itu - sedang ramai berbicara bahwa ada pembunuhan di sini. Karena saya
merasa bisa memberi sedikit keterangan, maka saya pun datang kemari."
Tak seorang pun berbicara. Inspektur itu diam karena dia adalah orang yang
berpengalaman banyak dan tahu bahwa sebaiknya dia membiarkan orang lain
berbicara. Kolonel Melrose pun diam karena memang dia pendiam. George diam
karena dia biasa diberi tahu atau diberi laporan. Juga Lord Caterham, karena dia
tidak tahu sama sekali apa yang harus ditanyakannya. Tetapi karena ketiga orang
lainnya diam saja dan pembicaraan itu ditujukan kepadanya, maka Lord Caterham
pun bicara. "Er - ya - ya," katanya gugup. "Silakan duduk dulu."
"Terima kasih," kata Anthony.
George mendehem. "Er - Anda katakan tadi bisa memberi keterangan. Maksud Anda - ?"
"Maksud saya, tadi malam saya masuk halaman rumah Lord Caterham tanpa izin (dan
saya mohon maaf untuk itu) kira-kira jam 23.45. Saya memang mendengar suara
tembakan. Setidak-tidaknya saya bisa memberikan keterangan tentang waktu kepada
Anda." Dia memandang berkeliling kepada mereka dan matanya menatap lama pada Inspektur
Battle yang tidak menunjukkan ekspresi apa-apa. "Tapi saya rasa hal itu bukan
kabar baru bagi Tuan," katanya pelan.
"Maksud Anda, Tuan Cade?" tanya Battle.
"Hanya ini. Saya memakai sepatu pada waktu bangun tidur tadi pagi. Ketika saya
minta sepatu bot saya, mereka tidak bisa memberikannya. Seorang polisi muda
rupanya datang ke penginapan itu dan mengambilnya. Saya bisa menyimpulkan dengan
mudah. Karena itu saya cepat-cepat kemari untuk menjernihkan persoalan ini,
kalau mungkin." "Tindakan yang bijaksana," kata Battle biasa.
Mata Anthony berkedip sedikit. "Saya sangat menghargai sikap diam Anda,
Inspektur. Benar inspektur, kan?"
Lord Caterham mulai menaruh perhatian dan rasa kagum pada tamunya ini.
"Inspektur Battle dari Scotland Yard. Ini Kolonel Melrose, kepala kepolisian
kami, dan Tuan Lomax," katanya.
Anthony memandang tajam kepada George. "Tuan George Lomax?"
"Ya." "Mr. Lomax, saya menerima surat Anda kemarin."
George menatap lama dan berkata dengan dingin. "Saya rasa tidak."
Ah, seandainya saja Nona Oscar ada di sini. Dia yang menulis surat-suratnya dan
pasti ingat kepada siapa dia mengirim surat dan tentang apa. Orang penting
seperti George tak mungkin bisa mengingat semua detil-detil kecil seperti ini.
"Tuan Cade - Anda akan memberikan penjelasan pada kami tentang apa yang Anda
lakukan di halaman luar pada jam 23.45 tadi malam, bukan?"
Nada suaranya berkata dengan jelas. "Dan apa pun keterangan Anda, kami tak akan
percaya." "Ya, Tuan Cade. Apa yang Anda lakukan?" kata Lord Caterham penuh rasa ingin
tahu. "Wah, ceritanya agak panjang," kata Anthony.
Dia mengambil kotak rokoknya. "Tak berkeberatan?"
Lord Caterham menggeleng dan Anthony menyalakan rokoknya.
Dia sadar akan bahaya yang ada di dekatnya.
Dalam waktu 24 jam dia telah melibatkan diri pada dua tindak kriminal yang
berbeda. Hal-hal yang telah dilakukannya dalam hubungan tindak kriminal pertama
tak akan baik bila dibeberkan. Setelah selesai membuang mayat, dia langsung
masuk babak tindak kriminal kedua, tepat ketika tindak kriminal itu terjadi. Dan
untuk seorang laki-laki yang suka cari "penyakit", tak ada hal yang lebih baik.
Amerika Selatan pun tidak seasyik ini! Dia telah membuat keputusan. Dia akan
menceritakan semua yang sebenarnya terjadi, dengan sedikit perubahan dan sedikit
menutup-nutupi. "Cerita ini dimulai kira-kira tiga minggu yang lalu - di Bulawayo. Saya yakin Tuan
Lomax tahu di mana tempat itu - tempat yang sangat terpencil. Saya berbicara
dengan teman saya yang bernama Tuan James McGrath - ." Dia menyebutkan nama itu
perlahan-lahan dengan mata memandang George yang terpaku pada kursinya dan
menahan ekspresi dengan susah payah.
"Pokok pembicaraan kami adalah bahwa saya akan pergi ke Inggris untuk melakukan
suatu tugas untuk Tuan McGrath yang kebetulan tidak bisa pergi sendiri. Karena
karcis sudah dipesan atas namanya, maka saya pun pergi dengan nama James
McGrath. Saya tidak tahu hukuman apa yang harus saya terima karena penggantian
nama ini, tapi Pak Inspektur pasti tahu."
"Kita teruskan saja ceritanya, Tuan," kata Battle dengan mata berkedip.
"Ketika sampai di London saya menginap di Hotel Blitz, masih dengan nama James
McGrath. Urusan saya di London ialah menyerahkan sebuah naskah pada sebuah
penerbit. Tidak terlalu lama kemudian saya menerima utusan-utusan dari,
perwakilan dua partai politik sebuah negara asing. Cara yang dipakai salah satu
utusan tersebut sangat konvensional, sedang yang lain tidak. Tapi keduanya saya
hadapi dengan baik. Namun demikian, kesulitan saya masih ada. Pada malam hari
seseorang masuk ke dalam kamar saya dan mencoba mencuri naskah itu. Dia adalah
seorang pelayan hotel."
"Itu tidak Anda laporkan pada polisi?" kata Inspektur Battle.
"Benar, memang tidak. Karena tak ada yang diambil. Tapi saya melaporkan kejadian
itu pada manajer hotel dan dia bisa menguatkan keterangan saya bila diperlukan.
Malam itu juga si pelayan lenyap. Keesokan paginya, penerbit itu menelepon saya
dan menyarankan agar saya menyerahkan manuskrip itu pada orangnya yang akan
mendatangi saya. Saya setuju dan hal itu dilaksanakan pagi berikutnya. Karena
saya tidak mendengar berita apa-apa, saya menganggap naskah itu telah mereka
simpan dengan aman. Dan kemarin, masih dengan nama James McGrath, saya menerima
surat dari Tuan Lomax - " Anthony berhenti sejenak. Dia sekarang menikmati
permainannya. George menjadi gelisah. George Lomax jadi salah tingkah.
"Saya ingat," gumamnya. "Begitu banyak korespondensi. Namanya memang lain dari
yang lain. Tapi saya tidak mungkin bisa mengingatnya." Suara George meninggi,
dan dia mencoba menunjukkan wibawanya. "Tapi tindakan memakai nama orang lain
ini menurut saya - sangat tidak etis. Jelas bahwa Anda melanggar hukum."
"Dalam surat itu," Anthony melanjutkan tanpa terpengaruh sikap George. "Tuan
Lomax memberikan beberapa saran mengenai manuskrip yang ada pada saya. Dia juga
menyampaikan undangan dari Lord Caterham kepada saya untuk datang kemari."
"Saya senang bertemu dengan Anda," kata bangsawan itu. "Lebih baik terlambat
daripada tidak, kan?"
George menunjukkan wajah kecut.
Inspektur Battle memandang Anthony tanpa berkedip. "Itukah penjelasan Anda
tentang kedatangan Anda tadi malam?" tanyanya.
"Tentu saja bukan," kata Anthony ramah. "Kalau saya diundang bermalam di sebuah
rumah di luar kota, saya tidak memanjat tembok pada malam hari, menginjak-injak
rumput di taman, dan membuka jendela rumah. Saya akan berhenti di depan rumah
itu, membunyikan bel, dan membersihkan sepatu di keset. Baiklah, saya teruskan.
Saya membalas surat Tuan Lomax, menerangkan bahwa naskah itu tidak ada lagi pada
saya, dan karena itu dengan menyesal menolak undangan Lord Caterham. Tapi
setelah menulis surat itu saya teringat akan sesuatu." Dia berhenti sejenak - sadar bahwa dia harus melewati sekeping es yang amat tipis. "Pada waktu saya
berkelahi dengan Giuseppe, pelayan hotel itu, saya merebut secarik kertas dengan
tulisan. Kata-katanya tak berarti apa-apa bagi saya pada waktu itu, tapi kertas
itu masih saya simpan. Nama Chimneys sangat menarik perhatian saya. Silakan
lihat sendiri. Kata-kata yang tertulis adalah Chimneys 23.45 Kamis."
Battle meneliti kertas itu.
"Tentu saja kata Chimneys di situ bisa mungkin tidak ada hubungannya dengan
rumah ini. Tapi sebaliknya, mungkin juga ada. Dan jelas bahwa si Giuseppe ini
adalah pencuri. Jadi saya memutuskan untuk pergi kemari tadi malam untuk
melihat-lihat, menginap di losmen, dan menelepon Lord Caterham esok paginya agar
waspada. Tetapi saya datang terlambat - tidak punya cukup waktu. Karena itu saya
menghentikan mobil, naik tembok, dan berlari di halaman. Ketika saya sampai di
teras, rumah itu kelihatan sepi dan gelap. Saya baru saja melangkah kembali
ketika terdengar suara letusan tembakan. Saya seperti mendengar suara itu dari
dalam rumah. Karena itu saya lari kembali, melewati teras dan mencoba membuka
jendela. Tapi jendela-jendela itu terkunci dan saya tidak mendengar apa-apa dari
dalam rumah. Saya menunggu beberapa saat. Tapi semuanya sepi seperti kuburan.
Jadi saya berpikir bahwa saya keliru, dan menganggap suara yang saya dengar tadi
bukan letusan tembakan tapi hanya angan-angan saya saja. Hal yang wajar dalam
situasi demikian menurut pendapat saya."
"Sangat wajar," kata Inspektur Battle tanpa ekspresi.
"Saya pergi ke losmen dan menginap di sana. Lalu tadi pagi saya mendengar berita
itu. Dan saya sadar bahwa saya telah menjadi orang yang dicurigai polisi. Karena
itu saya kemari - berharap agar bersih dari prasangka dan lepas dari borgol."
Ruangan itu senyap. Kolonel Melrose melirik Inspektur Battle. "Saya rasa
ceritanya cukup jelas," katanya.
"Ya," kata Battle. "Kami tidak akan mengeluarkan borgol pagi ini."
"Ada pertanyaan, Battle?"
"Ada satu hal yang ingin saya ketahui. Naskah itu tentang apa?"
Dia memandang George yang kemudian menjawabnya dengan agak segan, "Memoir
almarhum Count Stylptitch. Sebenarnya - "
"Anda tak perlu melanjutkan lagi," sahut Battle. "Saya sudah dapat melihat
hubungannya." Dia menoleh kepada Anthony. "Anda tahu siapa yang tertembak tadi
malam, Tuan Cade?" "Di Jolly Dog mereka mengatakan korban bernama Count Stanislaus."
"Beritahu dia," kata Battle singkat kepada George Lomax.
George merasa sangat enggan, tapi dia terpaksa bicara.
"Tamu yang datang kemari dengan nama Count Stanislaus sebenarnya adalah Yang
Mulia Pangeran Michael dari Herzoslovakia."
Anthony bersiul. "Wah, kok begitu," katanya.
Inspektur Battle yang memperhatikan reaksi Anthony tanpa berkedip menghela napas
seolah-olah puas dengan suatu hal. Dia berdiri dengan cepat.
"Ada satu atau dua pertanyaan lagi untuk Tuan Cade," katanya. "Kalau boleh saya
ingin mengajaknya ke ruang penemuan."
"Tentu saja. Silakan - silakan," kata Lord Caterham.
Anthony dan detektif itu keluar ruangan.
Mayat itu telah dipindahkan dari tempat semula. Di tempat mayat itu ditemukan
ada secercah bekas hitam di lantai. Tapi kecuali itu tak ada lagi tanda-tanda
yang menunjukkan telah terjadi suatu tragedi. Cahaya matahari menembus lewat
ketiga jendela dan ruangan itu terang-benderang. Anthony memandang sekelilingnya
dan berkata, "Bagus sekali. Tak ada yang bisa mengalahkan London tua, ya?"
"Anda masih ingat - di sinikah Anda mendengar suara tembakan itu?" tanya inspektur
itu tanpa menanggapi perkataan Anthony.
"Sebentar." Anthony membuka jendela dan keluar ke teras, dan memandang ke bagian atas rumah
itu. "Ya, di ruangan itu," katanya. "Ruangan itu menonjol di sudut. Kalau
tembakan itu dari arah lain, akan terdengar dari sebelah kiri. Tapi yang saya
dengar adalah dari belakang atau dari kanan."
Dia melangkah kembali dan tiba-tiba bertanya. "Kenapa Anda tanyakan hal itu"
Anda kan tahu dia ditembak di sini?"
"Ah!" kata Inspektur. "Kami tidak selalu tahu semua yang ingin kami ketahui.
Tapi memang dia ditembak di situ. Anda katakan bahwa Anda mencoba membuka
jendela - bukan?" "Ya, semua terkunci dari dalam."
"Berapa jendela yang Anda coba buka?"
"Semua - ketiganya."
"Anda yakin?" "Saya terbiasa untuk meyakinkan sesuatu. Mengapa Anda tanyakan itu?"
"Karena ada yang aneh?"
"Apa yang aneh?"
"Ketika pembunuhan itu diketahui tadi pagi, jendela yang tengah itu dalam
keadaan terbuka - tidak dikunci."
"Wah!" seru Anthony sambil duduk di ambang jendela. Dia mengeluarkan kotak
rokoknya. "Itu memang aneh. Kalau demikian, ada beberapa kemungkinan. Ada dua
alternatif. Mungkin dia dibunuh seseorang yang menginap di rumah ini, dan orang
itu kemudian membuka kunci jendela setelah saya pergi sehingga memberi kesan
seolah-olah pembunuhnya dari luar. Sayalah yang kena getahnya. Setidak-tidaknya
ada prasangka bahwa saya berkata bohong. Tapi kalau Anda berpikir demikian - Anda
keliru." "Tak seorang pun diperbolehkan meninggalkan tempat ini sampai saya selesai,"
kata Inspektur Battle dengan muka suram.
Anthony memandang tajam kepadanya. "Sejak kapan timbul pikiran ada kemungkinan
pelakunya orang dalam?"
Battle tersenyum. "Sudah dari awal. Jejak Anda terlalu jelas, kalau bisa saya
katakan demikian. Segera setelah saya tahu bahwa jejak kaki itu sesuai dengan
sepatu bot Anda, saya mulai ragu-ragu."
"Saya ucapkan selamat pada Scotland Yard," kata Anthony ringan.
Tapi pada saat itu juga Anthony merasa bahwa dia harus lebih hati-hati.
Inspektur Battle adalah seorang polisi yang cerdas. Tidak bisa seenaknya saja.
Dia sangat teliti. "Saya rasa kejadiannya di situ?" kata Anthony menunjuk bekas hitam di lantai.
"Ya." "Dengan apa dia ditembak" - Pistol?"
"Ya. Tapi kami belum tahu mereknya sebelum mereka mengeluarkan peluru dari
tubuhnya." "Kalau begitu belum ketemu?"
"Belum." "Ada petunjuk?"
"Ini saja yang ditemukan," katanya. Inspektur Battle mengeluarkan setengah
halaman sebuah kertas catatan. Dan tanpa kentara, dia diam-diam memperhatikan
Anthony. Tapi Anthony mengenali apa yang ada di kertas tersebut tanpa menunjukkan rasa
terkejut. "He! Itu kan Komplotan Tangan Merah! Kalau mereka ingin
menyebarluaskan ini, sebaiknya mereka cetak saja banyak-banyak. Tidak efisien
membuat satu per satu. Di mana benda ini ditemukan?"
"Di bawah mayat. Anda pernah melihat sebelumnya?"
Anthony menceritakan kembali secara detil apa yang pernah dialaminya. "Maksudnya
mereka ingin memberi tahu bahwa merekalah yang bertanggung jawab atas pembunuhan
ini." "Apakah ada kemungkinan begitu?"
"Ya - mungkin saja kalau memang mereka ingin melakukan propaganda. Tapi sering
kali terjadi bahwa orang yang sering bicara tentang darah biasanya tidak pernah
melihat darah itu sendiri. Saya rasa mereka tak punya keberanian untuk melakukan
hal itu. Dan lagi mereka adalah orang-orang terkenal. Saya rasa tidak ada dari
mereka yang mau menyaru sebagai salah satu tamu di sini. Tapi - ya, siapa tahu."
"Benar, Tuan Cade. Siapa tahu."
Anthony tiba-tiba kelihatan geli. "Ah, saya mengerti idenya sekarang. Jendela
terbuka, jejak kaki, orang asing yang mencurigakan di losmen desa. Tapi
percayalah, Inspektur. Siapa pun saya sebenarnya, saya bukanlah agen lokal
Komplotan Tangan Merah."
Inspektur Battle tersenyum tipis. Kemudian dia memainkan kartunya yang terakhir.
"Anda mau melihat mayat itu?" tanyanya tiba-tiba.
"Boleh," kata Anthony.
Battle mengeluarkan kunci dari sakunya dan berjalan mendahului Anthony melewati
koridor. Dia berhenti di sebuah pintu dan membukanya. Ini adalah ruang keluarga
yang kecil. Mayat itu diletakkan di atas meja dan ditutupi sehelai kain.
Inspektur Battle menunggu sampai Anthony berdiri di sebelahnya. Kemudian, dengan
tiba-tiba dia membuka kain penutup.
Sekilas cahaya kemenangan berkilat di matanya ketika Anthony meneriakkan rasa
terkejut. "Jadi Anda memang mengenal dia, Tuan Cade," katanya dengan suara
tertahan. "Ya. Saya memang pernah melihat dia sebelumnya," kata Anthony setelah menguasai
dirinya. "Tapi bukan sebagai Pangeran Michael Obolovitch. Dia datang kepada saya
sebagai Tuan Holmes dari perusahaan Balderson and Hodgkins."
Bab 13 Tamu Amerika INSPEKTUR BATTLE menutupkan kain penutup mayat dengan wajah kecewa. Anthony
berdiri dengan kedua tangan di saku dan pikiran melayang jauh. "Jadi itu yang


Rahasia Chimneys The Secret Of Chimneys Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dimaksud si tua Lollypop," gumamnya.
"Maaf, Tuan Cade?"
"Tidak, Inspektur. Maafkan lamunan saya. Saya - atau teman saya - Jimmy McGrath,
ternyata bisa ditipu dengan seribu pound."
"Seribu pound kan jumlah yang besar," kata Battle.
"Saya tak mempersoalkan seribu pound-nya itu - walaupun saya akui bahwa jumlah itu
besar," kata Anthony. "Yang membuat gemas itu kan kena tipunya. Dengan tolol
saya menyerahkan manuskrip itu begitu saja. Itu menyakitkan hati, Inspektur.
Benar-benar menyakitkan hati."
Detektif itu tidak berkata apa-apa.
"Ah, sudahlah," kata Anthony. "Sia-sia saya menyesali semua ini. Barangkali
masih bisa diselamatkan. Saya hanya punya waktu sampai Rabu saja untuk mencari
memoir si tua Stylptitch."
"Anda tidak keberatan kalau kita kembali ke ruang pertemuan, Tuan Cade" Ada satu
hal yang ingin saya tunjukkan."
Setelah sampai di sana polisi itu langsung melangkah ke jendela tengah. "Saya
sedang berpikir, Tuan Cade. Jendela yang satu ini sangat sulit dibuka, tidak
seperti lainnya. Barangkali Anda mengira bahwa jendela ini dikunci kemarin.
Barangkali hanya macet saja seperti ini. Saya yakin - ya, saya yakin bahwa Anda
keliru." Anthony memandangnya dengan tajam. "Dan seandainya saya mengatakan bahwa saya
yakin tidak keliru?"
"Apakah Anda tidak pernah membuat kekeliruan?" tanya Battle dengan tenang.
"Ya, tentu saja pernah," katanya.
Battle tersenyum puas. "Anda cerdas sekali, Tuan. Dan Anda tak berkeberatan
mengatakan hal itu - dengan gaya tidak acuh - pada waktu yang tepat, bukan?"
"Tentu saja tidak. Saya - " Dia diam ketika Battle mencengkeram lengannya.
Inspektur itu membungkuk ke depan, mendengarkan.
Sambil memberikan isyarat agar diam kepada Anthony, dia berjingkat ke pintu
tanpa suara dan membukanya dengan tiba-tiba.
Di tengah pintu berdiri seorang laki-laki tinggi dengan rambut hitam yang
terbelah di tengah, mata biru, dan ekspresi tak bersalah pada wajah yang tenang.
"Maaf, Tuan-tuan," katanya dengan suara perlahan dan aksen yang asing. "Apakah
boleh melihat tempat terjadinya tragedi itu" Anda berdua pasti dari Scotland
Yard?" "Saya bukan. Tapi beliau adalah Inspektur Battle dari Scotland Yard."
"Ah, begitu?" kata orang Amerika itu dengan penuh perhatian. "Senang bertemu
dengan Anda semua. Nama saya Hiram P. Fish, dari New York City."
"Apa yang ingin Anda lihat, Tuan Fish?" tanya detektif itu.
Tamu Amerika itu berjalan masuk perlahan, memandang penuh perhatian pada bekas
hitam di lantai. "Saya tertarik pada soal-soal kriminal, Tuan Battle. Salah satu
hobi saya. Saya pernah menyumbang sebuah tulisan pada jurnal kriminalitas
mengenai 'Kemerosotan dan Kriminalitas'."
Sambil berbicara matanya menyapu seluruh ruangan dengan tenang, seolah-olah
memperhatikan semuanya. Pandangannya terhenti sedikit lebih lama pada jendela
tengah. "Mayatnya sudah dipindahkan," kata Inspektur Battle.
"Ah, ini adalah lukisan-lukisan yang luar biasa. Sebuah karya Holbein, dua Van
Dyck, dan kalau tak salah sebuah Velasquez. Saya sangat berminat pada lukisan,
terutama pada edisi pertama. Karena itulah Lord Caterham mengundang saya
kemari." Dia menarik napas perlahan. "Saya rasa sudah cukup. Apa kami bisa
segera kembali ke kota?"
"Saya rasa itu belum bisa dilakukan sekarang," kata Inspektur Battle. "Tak
seorang pun diperkenankan meninggalkan rumah ini sebelum pemeriksaan."
"Ah, begitu. Kapan pemeriksaan dilakukan?"
"Barangkali besok. Tidak sampai Senin. Kami harus menunggu hasil otopsi dan
bicara dengan pemeriksa."
"Saya mengerti. Pesta ini menyedihkan," kata Tuan Fish.
Battle berjalan ke pintu. "Sebaiknya kita keluar saja. Kita kunci ruangan ini."
Dia menunggu sampai kedua laki-laki itu keluar, lalu mengunci dan menyimpan
kuncinya. "Apa Anda mencari sidik jari?"
"Barangkali," jawab polisi itu pendek.
"Tapi pada malam seperti kemarin seorang perusuh pasti meninggalkan jejak kaki
di lantai kayu seperti itu."
"Tak sebuah pun di dalam tapi banyak di luar."
"Jejak kaki saya," Anthony menjelaskan dengan suara ringan.
Tuan Fish memandang keheranan sambil berkata, "Anda membuat saya heran, Anak
muda." Mereka berbelok melewati sebuah sudut dan memasuki sebuah ruangan besar,
berdinding kayu seperti ruang pertemuan tadi. Dua orang muncul dari ujung yang
lain. "Aha! Tuan rumah kita yang ramah," kata Tuan Fish. Ini merupakan deskripsi yang
menggelikan untuk Lord Caterham. Anthony memalingkan muka menahan senyum. "Dia
bersama seorang tamu wanita yang saya lupa namanya. Tapi dia benar-benar seorang
wanita yang cerdas - sangat cerdas."
Lord Caterham ternyata bersama-sama Virginia Revel.
Anthony telah menunggu-nunggu pertemuan ini. Dia harus menyerahkan segalanya
pada Virginia. Walaupun dia percaya akan kecerdasannya, dia tidak bisa
memperkirakan peranan mana yang akan dimainkannya. Tapi dia tak perlu kuatir
terlalu lama. "Oh, Tuan Cade," kata Virginia sambil mengulurkan kedua tangannya. "Jadi
akhirnya Anda datang kemari juga?"
"Nyonya Revel, saya tidak mengira bahwa Tuan Cade adalah kawan Anda," kata Lord
Caterham. "Dia teman lama," kata Virginia sambil tersenyum pada Anthony. Sekilas cahaya
nakal terpancar di matanya. "Saya bertemu dia di London kemarin dan saya memberi
tahu dia bahwa saya akan kemari."
Anthony cepat menanggapi. "Saya menjelaskan pada Nyonya Revel bahwa saya
terpaksa menolak undangan Anda - karena sebenarnya ditujukan untuk orang lain. Dan
saya tentunya tidak bisa berpose sebagai orang lain."
"Sudahlah, sudahlah. Itu sudah lewat. Saya akan menyuruh pelayan mengambil tas
Anda di Cricketers."
"Anda baik sekali, Lord Caterham, tetapi - "
"Ah, tak ada tetapi. Anda harus menginap di sini. Cricketers bukan tempat yang
pantas untuk menginap."
"Tentu saja Anda harus menerima undangan Lord Caterham," kata Virginia.
Anthony sadar akan perubahan sikap di sekitarnya. Virginia ternyata mampu
melakukannya untuk dia. Dia bukan lagi seorang individu yang mencurigakan.
Posisi wanita itu begitu kuat sehingga siapa pun yang dikenalnya kelihatan
selalu bisa diterima. Anthony terbayang pada pistol di atas pohon di Burnham
Beeches dan tersenyum dalam hati.
"Biar saya suruh orang mengambil barang-barang Anda," kata Lord Caterham pada
Anthony. "Dengan keadaan seperti ini kita memang tidak bisa berburu. Sayang.
Tapi bagaimana lagi. Dan saya tak tahu lagi mau apa dengan Isaacstein. Sayang
sekali." Lord Caterham menarik napas berat.
"Beres kalau begitu," kata Virginia. "Anda bisa segera mengulurkan tangan, Tuan
Cade. Temani saya ke danau. Sangat tenang di sana - jauh dari kriminalitas dan
hal-hal seperti itu. Sangat menyedihkan memang buat Lord Caterham. Terjadi
pembunuhan di sini - padahal sebenarnya ini gara-gara ulah George."
"Ah! Seharusnya saya tak usah mendengarkan dia!" kata Lord Caterham. Dia
bersikap seolah-olah itu hanya soal sepele.
"Memang sulit untuk melepaskan diri dari George. Dia selalu berusaha mengikat
kita. Bagaimana kalau kita memakai baju luar yang bisa kita lepas sewaktu-waktu
dia mencoba mencengkeram baju kita?"
Tuan rumah terkekeh mendengarnya. "Saya senang Anda sudi tinggal di sini, Cade.
Saya perlu dukungan moral."
"Terima kasih banyak, Lord Caterham," kata Anthony. "Terutama sekali karena saya
adalah orang yang pantas dicurigai. Tapi barangkali kepindahan saya kemari akan
meringankan tugas Inspektur Battle."
"Dalam soal apa, Tuan?" tanya Battle.
"Anda jadi tidak perlu susah-payah mengawasi saya," kata Anthony ramah.
Dan ketika kelopak Battle mengejap, dia pun tahu bahwa tembakannya mengenai
sasaran. Bab 14 Politik dan Uang INSPEKTUR BATTLE tetap tenang. Kalaupun dia terkejut ketika tahu bahwa Virginia
kenal Anthony, dia tidak memperlihatkannya. Dia dan Lord Caterham berdiri
bersama memandang keduanya keluar melalui pintu kebun. Tuan Fish juga memandang
mereka. "Anak muda yang baik," kata Lord Caterham.
"Bagus sekali Nyonya Revel bertemu dengan kawan lama," gumam si Amerika. "Mereka
sudah kenal cukup lama?"
"Kelihatannya begitu," kata Lord Caterham. "Tapi saya belum pernah mendengar dia
bercerita tentang Tuan Cade. Oh, ya, Battle, Tuan Lomax mencari Anda. Dia ada di
ruang pagi yang biru."
"Baik, Lord Caterham. Saya akan ke sana."
Battle menemukan ruangan itu tanpa kesulitan. Dia sudah mengenal denah rumah
itu. "Ah, Battle," kata Lomax.
Dia sedang berjalan hilir-mudik di karpet dengan tidak sabar. Ada seorang lakilaki besar duduk di dekat perapian. Dia mengenakan pakaian berburu yang biasa
tapi kelihatan aneh di badannya. Mukanya gemuk dan berwarna kekuningan, matanya
hitam - menatap tajam bagaikan mata kobra. Garis dagunya yang persegi menunjukkan
kekuatan dirinya. "Masuklah, Battle," kata Lomax dengan suara tidak sabar. "Dan tutuplah pintu
itu. Ini Tuan Herman Isaacstein."
Battle menganggukkan kepala dengan hormat. Dia tahu siapa Tuan Herman
Isaacstein. Walaupun laki-laki itu hanya duduk diam sedangkan Lomax berjalan
hilir-mudik, dia tahu siapa yang kuat dalam ruangan itu.
"Kita bisa bicara lebih bebas sekarang. Di depan Lord Caterham dan Kolonel
Melrose saya tidak ingin bicara terlalu banyak. Kau mengerti, Battle" Hal ini
jangan sampai ke mana-mana."
"Ah! Tapi biasanya begitu."
Sesaat dia melihat senyuman di muka yang gemuk berwarna kuning itu. Tapi segera
lenyap. "Sekarang, apa pendapatmu tentang laki-laki muda itu - si Anthony Cade?" lanjut
George. "Kau tetap menganggap dia tidak bersalah?"
Battle mengangkat bahunya sedikit. "Dia menceritakan hal yang benar. Sebagian
dari cerita itu bisa dicek kebenarannya. Semua keterangannya tentang
keberadaannya di sini cukup masuk akal. Saya akan mengirim kawat ke Afrika
Selatan untuk mendapatkan informasi yang lebih lengkap."
"Kalau begitu kau menganggap dia bersih?"
Battle mengangkat tangannya yang besar dan persegi. "Tidak begitu cepat, Tuan.
Saya tak pernah mengatakannya begitu."
"Bagaimana pendapatmu tentang perkara kriminal ini, Inspektur?" tanya Isaacstein
untuk pertama kali. Suaranya dalam dan penuh dan mengandung kekuatan di dalamnya. Itulah yang
membuatnya menang dalam rapat-rapat yang dihadirinya.
"Terlalu pagi untuk menyatakan pendapat, Tuan Isaacstein. Saya sendiri masih
belum selesai menanyakan pertanyaan-pertanyaan pertama."
"Apa itu?" "Ah, selalu yang itu-itu juga. Motif. Siapa yang beruntung dengan kematian
Pangeran Michael. Kita harus bisa menjawab pertanyaan itu sebelum sampai ke
mana-mana." "Partai Revolusioner Herzoslovakia - " kata George.
Inspektur Battle mengesampingkan jawaban George dengan berkata, "Bukan Komplotan
Tangan Merah." "Tapi kertas itu - dengan gambar tangan merah?"
"Sengaja diletakkan untuk mengalihkan perhatian."
George merasa tersinggung. "Saya tidak mengerti, Battle. Kau begitu yakin
kelihatannya." "Benar, Tuan Lomax. Kita tahu tentara Komplotan Tangan Merah. Kami telah
memonitor gerakan mereka sejak Pangeran Michael tiba di Inggris. Mereka tak akan
dibiarkan mendekati pangeran itu dalam jarak kurang dari satu mil."
"Saya setuju dengan Inspektur Battle," kata Isaacstein. "Kita harus melihatnya
dari sisi lain." "Begini, Tuan," kata Battle yang merasa mendapat dukungan, "kami memang tahu
sedikit tentang persoalan ini. Kalau kami tidak tahu siapa yang mendapat
keuntungan dengan kematian ini, maka kami tahu siapa yang dirugikan."
"Artinya?" kata Isaacstein.
Matanya yang hitam menatap tajam pada si detektif, dan itu mengingatkannya pada
mata seekor kobra. "Anda dan Tuan Lomax - belum lagi partai Loyalis. Maaf, Tuan, Anda benar-benar
dalam kesulitan." "Battle," George menyela karena terkejut.
"Teruskan, Battle," kata Isaacstein. "Kau benar. Kau memang cerdas."
"Anda harus punya raja. Anda telah kehilangan raja - " katanya sambil menjentikkan
jari-jarinya. "Anda harus mencari raja - dengan segera, dan itu bukan pekerjaan
yang mudah. Saya tidak perlu tahu hal itu secara mendetil. Garis besarnya sudah
cukup memberikan gambaran. Tentunya bisnis besar, bukan?"
Isaacstein menundukkan kepalanya perlahan. "Ya, bisnis yang amat besar."
"Hal itu menimbulkan pertanyaan: siapa pewaris berikutnya?"
Isaacstein memandang Lomax. Yang dipandang menjawabnya dengan enggan dan raguragu, "Saya rasa - dia - ya, barangkali Pangeran Nicholas adalah pewaris
berikutnya." "Ah!" kata Battle. "Siapa Pangeran Nicholas?"
"Saudara sepupu Pangeran Michael."
"Ah! Saya ingin tahu tentang Pangeran Nicholas. Terutama sekali di mana dia
sekarang ini." "Tak banyak yang diketahui tentang dia," kata Lomax. "Sebagai orang muda, dia
dikenal punya ide yang aneh-aneh. Dia berkawan dengan orang-orang sosialis dan
republik, dan melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan kedudukannya. Saya rasa
dia pernah dikirim ke Oxford. Dua tahun kemudian ada berita tentang kematiannya
di Kongo. Tapi itu hanya gosip. Dia muncul kembali beberapa bulan yang lalu
ketika ada berita santer tentang reaksi kaum Loyalis."
"Benarkah" Di mana dia muncul?" tanya Battle.
"Di Amerika." "Amerika!" Battle berpaling kepada Isaacstein dengan pertanyaan singkat, "Minyak?"
Isaacstein hanya mengangguk. "Dia mengatakan bahwa apabila orang Herzoslovakia
memihak raja, dialah calon yang lebih tepat karena pandangan-pandangannya lebih
modern, lebih demokratis dan lebih berorientasi pada kepentingan rakyat daripada
Pangeran Michael. Sebagai imbalan jasa dukungan keuangan, dia akan memberikan
konsesi pada suatu kelompok pemilik modal Amerika."
Inspektur Battle sampai lupa bagaimana harus bersikap ketika mendengar cerita
itu. Dia bersiul panjang dan berkata,
"Jadi begitu ceritanya," gumamnya. "Pada saat yang sama partai Loyalis mendukung
Pangeran Michael dan Anda merasa yakin bahwa Anda akan menang. Tapi tiba-tiba
ada kejadian seperti ini."
"Tentunya kau tidak - " George mulai lagi.
"Ini adalah bisnis besar. Tadi telah dikatakan oleh Tuan Isaacstein bahwa ini
adalah bisnis besar. Dan saya percaya."
"Tapi selalu ada hal yang bisa kita lakukan," kata Isaacstein tenang. "Untuk
saat ini Wall Street menang. Tapi tidak berarti bahwa saya akan berdiam diri.
Inspektur Battle, cari siapa pembunuh Pangeran Michael kalau Anda bermaksud
mengabdi negara." "Ada satu hal yang membuatku curiga," sela George. "Mengapa si ajudan, Kapten
Andrassy, tidak ikut kemari kemarin?"
"Saya telah mencek hal itu," kata Battle. "Sangat sederhana. Dia tetap tinggal
di kota untuk menemui seorang wanita atas nama Pangeran Michael. Urusan itu
untuk rencana akhir minggu yang akan datang. Pangeran Michael kelihatannya
memang suka bersenang-senang - tapi dia melakukannya dengan sembunyi-sembunyi
karena Baron menganggap hal itu tidak pantas dilakukan pada saat seperti ini."
"Ya - benar," kata George.
"Ada satu hal lagi yang perlu kita pertimbangkan," kata Battle dengan ragu-ragu.
"Raja Victor diberitakan berada di London."
"Raja Victor?" Lomax mencoba mengingat.
"Bajingan terkenal dari Prancis, Tuan. Kami mendapat peringatan dari Suret? di
Paris."

Rahasia Chimneys The Secret Of Chimneys Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ah, ya," kata George. "Aku ingat sekarang. Pencuri permata, bukan" Ah, orang
itu - " Tiba-tiba dia berhenti. Isaacstein yang sedang melamun di dekat perapian
terlambat menangkap isyarat mata Battle yang ditujukan kepada George. Tapi
sebagai orang yang sensitif terhadap getaran atmosfir, dia dapat menangkap
ketegangan dalam ruangan itu. "Kau tidak memerlukan aku lagi kan, Lomax?"
tanyanya. "Tidak, terima kasih."
"Apakah rencana Anda terganggu kalau saya kembali ke London, Inspektur Battle?"
"Saya rasa begitu," kata Inspektur dengan hormat. "Karena kalau Anda pergi, yang
lain pasti akan ikut pergi."
"Benar," kata Isaacstein sambil keluar dan menutup pintu.
"Orang hebat dia," gumam George Lomax.
"Ya - sangat berwibawa," Inspektur Battle menimpali.
George mulai berjalan hilir-mudik lagi. "Apa yang kaukatakan membuatku takut,"
katanya. "Raja Victor" Apa dia tidak di penjara?"
"Sudah keluar beberapa bulan yang lalu. Polisi-polisi Prancis bermaksud
mengikuti dia terus. Rupanya dia bisa menyelinap dari pengawasan mereka. Tapi
memang sudah bisa diduga. Seorang bajingan yang luar biasa. Mereka memperkirakan
dia ada di Inggris. Karena itu mereka memperingatkan kami akan hal itu."
"Tapi apa yang dilakukannya di sini?"
"Tuanlah yang dapat menjawabnya," kata Battle penuh arti.
"Maksudmu - " Kaupikir - " Tentu saja kau tahu cerita itu, ah ya - . Tentu saja aku
tidak ada di kantor saat itu. Tapi aku mendengar cerita itu dari almarhum Lord
Caterham. Bencana memang - "
"Kasus Kohinoor!" kata Battle sambil merenung.
George memandang sekelilingnya dengan curiga. "Jangan menyebut nama. Jangan
sekali-kali. Kalau kau terpaksa harus menyebut - pakai saja singkatan K."
Inspektur itu menjadi muram lagi.
"Kau tidak menghubungkan Raja Victor dengan kasus ini, bukan?" kata George.
"Itu suatu kemungkinan. Itu saja. Kalau Anda mau mengingat-ingat lagi, Anda
pasti ingat bahwa ada empat tempat di mana ada kemungkinan seorang tamu agung
menyembunyikan perhiasannya. Dan Chimneys adalah salah satu di antaranya. Raja
Victor ditangkap di Paris tiga hari setelah - pencurian itu. Dan kita berharap
bahwa suatu hari kelak dia kembali ke tempat dia menyembunyikan hasil
curiannya." "Tapi Chimneys kan sudah diobrak-abrik beberapa kali."
"Ya," kata Battle. "Tapi tak ada artinya kalau kita tidak tahu di mana kita
harus mencari. Misalnya sekarang si Raja Victor itu sedang mencari kembali
permatanya di sini, lalu dipergoki oleh Pangeran Michael - dan dia menembaknya."
"Itu suatu kemungkinan," kata George. "Kemungkinan yang sangat cocok untuk
jawaban tindak kriminal ini."
"Itu terlalu jauh. Suatu kemungkinan, memang. Tapi tak lebih dari itu."
"Mengapa?" "Karena Raja Victor dikenal tidak pernah membunuh orang," kata Battle serius.
"Oh, tapi orang seperti dia - penjahat yang berbahaya - "
Tapi Battle menggelengkan kepalanya tidak puas. "Penjahat punya tipe sendirisendiri, Tuan Lomax. Memang mengherankan. Tapi, ya - begitulah - "
"Ya?" "Saya ingin menanyai pelayan pangeran itu. Saya sengaja menangani dia
belakangan. Sebaiknya kita panggil dia kemari kalau Anda tak berkeberatan."
George setuju dan Battle membunyikan bel.
Tredwell datang dan menerima instruksi. Dia kembali lagi dengan seorang lakilaki tinggi bertulang pipi tinggi, mata cekung berwarna biru, dan wajah tanpa
ekspresi yang hampir menyamai Battle.
"Boris Anchoukoff?"
"Ya." "Anda pelayan pribadi Pangeran Michael?"
"Benar. Saya pelayan pribadi Pangeran Michael."
Dia bicara dengan bahasa Inggris yang bagus walaupun beraksen asing.
"Anda tahu bahwa Pangeran Michael terbunuh tadi malam?"
Dia menggeram seperti seekor binatang buas.
Itu saja jawabnya. George begitu ketakutan hingga dia menjauh ke jendela tanpa
rasa malu. "Kapan Anda melihat beliau terakhir kali?"
"Yang Mulia beristirahat jam setengah sebelas. Seperti biasa, saya tidur di
kamar sebelahnya. Beliau pasti turun ke bawah lewat pintu satunya yang menghadap
koridor. Saya tidak mendengar beliau keluar. Barangkali saya diberi obat tidur.
Saya bukan pelayan setia. Saya tidur ketika tuan saya bangun. Saya pelayan
terkutuk." George memandang kepadanya tanpa berkedip, heran.
"Kau cinta pada tuanmu?" tanya Battle memperhatikan dengan teliti.
Wajah Boris kelihatan kesakitan. Dia menelan ludah dua kali. Kemudian terdengar
suaranya yang parau menahan emosi. "Sebaiknya kau tahu, Polisi Inggris, bahwa
lebih baik saya mati untuk tuan saya! Dan sekarang karena dia sudah tidak ada
sedang saya masih hidup - mata saya tak akan terpejam dan jantung saya tak akan
beristirahat sebelum saya membalaskan dendamnya. Saya akan mencari jejak
pembunuh itu seperti anjing, dan kalau saya telah menemukannya - Ah!" Matanya
menyala. Tiba-tiba dia menarik sebuah pisau besar dari balik bajunya. "Saya tak
akan membunuh dia begitu saja - ah, tidak! Mula-mula hidungnya saya iris, lalu
telinganya, dan matanya saya cungkil - dan akhirnya - hatinya yang hitam akan saya
tusuk." Dengan gerakan yang cepat dia masukkan pisaunya, lalu keluar dari ruangan. Mata
George Lomax yang sudah seperti mata ikan maskoki itu seolah-olah ingin meloncat
keluar mengikuti laki-laki itu. "Laki-laki Herzoslovakia asli," gumamnya. "Tak
beradab." Inspektur Battle berdiri waspada. "Orang itu bisa jujur atau aktor terbaik yang
pernah saya lihat. Dan kalau dia jujur, mudah-mudahan Tuhan tidak membiarkan
darah mengalir terlalu deras dari pembunuh Pangeran Michael."
Bab 15 Orang Prancis VIRGINIA dan Anthony berjalan berdampingan di jalan setapak yang menuju danau.
Mereka berdiam diri. Virginia-lah yang memecah kesunyian dengan tertawa kecil.
"Ah," katanya. "Kepalaku begitu penuh dengan hal-hal yang ingin kuketahui dan
yang ingin kuceritakan padamu sampai tak tahu lagi dari mana aku harus mulai.
Pertama-tama - " dia merendahkan suaranya - "apa yang kaulakukan dengan mayat itu"
Kedengarannya mengerikan, bukan" Tak pernah kubayangkan aku bisa terlibat urusan
seperti ini." "Aku tahu - kau pasti merasakan suatu sensasi yang aneh," kata Anthony.
"Kau tidak?" "Tentu saja juga, karena aku belum pernah membuang mayat."
"Coba ceritakan."
Dengan singkat dan jelas Anthony menceritakan langkah-langkah yang dilakukannya
semalam. Virginia mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Kau memang cerdik," katanya ketika Anthony selesai bercerita. "Aku bisa
mengambil peti itu lagi di Paddington. Satu-satunya hal yang menyulitkan adalah
kalau kau harus bercerita tentang di mana kau berada kemarin sore."
"Aku rasa tak akan ada yang menanyakannya. Mayat itu tak akan ditemukan sampai
larut malam kemarin - atau barangkali malah sampai pagi ini. Pasti ada ceritanya
di koran pagi kalau semalam sudah ditemukan. Dan dokter bukanlah tukang sulap
yang selalu tahu dengan tepat berapa jam seseorang telah meninggal. Jam
meninggalnya tak akan bisa dipastikan dengan tepat. Dan alibi untuk tadi malam
pasti lebih baik." "Ya. Lord Caterham bercerita tentang hal itu. Tapi polisi Scotland Yard sekarang
sudah yakin, bukan?"
Anthony tidak menjawab dengan segera.
"Dia tidak kelihatan kaku lagi," kata Virginia.
"Aku tidak tahu," kata Anthony perlahan. "Memang kesannya dia percaya pada
ceritaku. Tapi aku tidak yakin. Barangkali karena sampai saat ini dia tidak bisa
menemukan motif pada diriku untuk melakukan hal seperti itu."
"Motif?" seru Virginia. "Tentu saja kau tidak punya motif untuk membunuh seorang
bangsawan asing yang tidak kaukenal!"
Anthony melirik tajam kepadanya. "Kau pernah tinggal di Herzoslovakia, bukan?"
"Ya. Dengan suamiku, selama dua tahun, di Kedutaan."
"Itu sebelum terjadi pembunuhan atas raja dan ratu. Pernah bertemu dengan
Pangeran Michael Obolovitch?"
"Michael" Tentu saja. Menyebalkan! Dia pernah usul agar aku menjadi istrinya."
"Begitu" Lalu apa usulnya tentang suamimu?"
"Ah. Pokoknya dia punya rencana seperti Daud dan Uriah."
"Dan bagaimana kau menanggapi tawaran baiknya itu?"
"Ya, kita kan harus diplomatis. Aku memang tidak langsung menolaknya dengan
kasar. Bagaimanapun juga dia sakit hati. Kenapa begitu tertarik pada si
Michael?" "Aku ingin meluruskan suatu benang kusut. Apa kau kemarin belum ketemu korban?"
"Belum. Dia langsung beristirahat di kamarnya begitu datang."
"Dan belum melihat mayatnya?"
Dengan mata bertanya Virginia menggelengkan kepala.
"Apa kau kira-kira bisa melihatnya?"
"Kalau hanya dengan membujuk Lord Caterham saja aku rasa bisa. Mengapa" Apa ini
sebuah perintah?" "Tentu saja bukan," kata Anthony. "Apa aku seolah bersikap diktator seperti itu"
Bukan, alasannya ini. Count Stanislaus adalah nama samaran Pangeran Michael dari
Herzoslovakia." Mata Virginia terbelalak lebar. "Mm - begitu." Tiba-tiba wajahnya tersenyum. "Kau
tidak berpikir bahwa Michael segera beristirahat karena dia ingin menghindariku,
bukan?" "Memang begitu," kata Anthony. "Kalau aku tidak keliru, ada seseorang yang ingin
agar kau tidak datang kemari karena kau banyak tahu tentang Herzoslovakia.
Tahukah kau bahwa kau adalah satu-satunya orang yang pernah melihat Pangeran
Michael?" "Maksudmu orang yang terbunuh itu bukan dia?" tanya Virginia tiba-tiba.
"Itu adalah sebuah kemungkinan. Kalau kau bisa membujuk Lord Caterham, kita bisa
menjernihkan hal itu."
"Dia ditembak jam 23.45," kata Virginia merenung. "Waktu yang tertulis di
sobekan kertas. Semuanya serba misterius."
"Ah, aku ingat sekarang. Apa yang itu kamarmu" Kedua dari ujung di atas ruang
pertemuan?" "Bukan. Kamarku di sayap Elizabeth, sisi yang lain. Mengapa?"
"Karena ketika aku mendengar tembakan semalam, lampu kamar itu menyala sekejap."
"Aneh sekali! Aku tidak tahu siapa yang menempati kamar itu. Tapi aku bisa
menanyakannya pada Bundle. Barangkali mereka mendengar tembakan itu."
"Kalaupun mendengar, mereka tidak mau mengatakannya karena Battle mengatakan tak
ada orang yang mendengar tembakan itu. Itu adalah satu-satunya petunjuk yang
akan kuikuti terus."
"Aneh sekali," kata Virginia sambil tetap berpikir.
Akhirnya mereka sampai di kandang perahu di tepi danau.
"Sekarang tentang cerita yang benar. Kita berperahu ke tengah danau saja. Supaya
tidak didengar Scotland Yard, tamu Amerika, dan para pelayan."
"Aku memang mendengar dari Lord Caterham," kata Virginia. "Tapi tidak terlalu
jelas. Coba katakan sekarang. Kau ini Anthony Cade atau Jimmy McGrath?"
Untuk kedua kalinya pagi itu Anthony membeberkan kisah hidupnya selama enam
minggu terakhir. Secara terus-terang, tanpa ada bagian yang ditutup-tutupi. Dia
mengakhiri ceritanya dengan kekagetannya ketika melihat mayat "Tuan Holmes."
"Dan aku sangat berterima kasih kepadamu, yang telah bersedia menanggung risiko
dengan menganggapku seorang kawan lama."
"Tentu saja kau adalah kawan lamaku. Apa aku bisa berpura-pura tidak mengenalmu
setelah kau membantuku dengan urusan mayat itu?" Dia berhenti. "Kau tahu apa
yang aneh dalam peristiwa ini" Ada suatu misteri yang berhubungan dengan naskah
itu yang belum bisa kita singkapkan."
"Kau benar. Ada satu hal yang ingin kutanyakan padamu."
"Apa itu?" "Mengapa kau kelihatan terkejut ketika aku menyebut nama Jimmy McGrath di
rumahmu kemarin" Sudah pernah dengar tentang dia?"
"Benar, Sherlock Holmes. George - saudara sepupuku itu datang kepadaku dan
mengeluarkan segudang ide-ide sinting. Dia menyuruhku datang kemari dan beramahtamah dengan si McGrath ini. Macam Delilah yang bisa memancing keluar naskah
yang diributkan itu. Tentu saja dia tidak mengatakannya begitu. Dia bicara
tentang wanita Inggris yang lembut dan sebagainya - tapi aku bisa menerjemahkan
kemauannya. Lalu aku ingin tahu terlalu banyak. Dan George jadi tidak suka. Dia
berusaha agar aku tak jadi datang kemari dengan mengatakan kebohongan yang tak
bisa dipercaya anak kecil sekalipun."
"Ya - tapi kelihatannya rencananya berhasil juga," kata Anthony. "Di sini ada
James McGrath yang sedang diramahtamahi Nyonya Revel."
"Sayang naskah itu tak ada! Aku ingin bertanya kepadamu sekarang. Ketika aku
mengatakan, aku tidak menulis surat-surat itu, kaubilang bahwa kau tahu.
Bagaimana kau tahu hal-hal seperti itu?"
"Ah - tidak sulit. Aku kan tahu psikologi," kata Anthony sambil tersenyum.
"Maksudmu kebersihan moralku cukup meyakinkan - "
Tapi Anthony menggelengkan kepalanya kencang-kencang. "Sama sekali tidak. Aku
tidak tahu apa-apa tentang kebersihan moralmu. Mungkin saja kau punya pacar dan
kau menulis surat kepadanya. Tapi kau tak akan diam saja kalau diperas. Si
Virginia Revel yang ada di surat itu pasti ketakutan. Sedang kau tak begitu."
"Siapa ya Virginia Revel yang sebenarnya itu, maksudku dia ada di mana. Rasarasanya aku jadi punya seorang duplikat di suatu tempat."
Anthony menyalakan rokok. "Kau tahu bahwa surat-surat itu ditulis dari
Chimneys?" tanyanya.
"Apa?" Virginia sangat terkejut. "Kapan surat itu ditulis?"
"Tidak ada tanggalnya. Aneh, ya?"
"Aku tahu benar tak ada Virginia Revel lain yang pernah menginap di Chimneys.
Bundle dan Lord Caterham tahu dan mereka pasti mengatakannya bahwa ini semua
cuma kebetulan saja."
"Ya. Memang aneh. Rasanya aku semakin tidak percaya pada si Virginia ini!"
"Dia memang sulit dipahami." Virginia menyetujui.
"Sangat sulit. Aku rasa orang itu memang sengaja memakai namamu."
"Tapi mengapa?" seru Virginia. "Apa untungnya memakai nama orang lain?"
"Itulah persoalannya. Banyak yang harus kita selidiki."
"Siapa kira-kira yang membunuh Michael?" tanya Virginia tiba-tiba. "Komplotan
Tangan Merah?" "Mungkin saja mereka yang melakukannya," kata Anthony dengan nada tidak puas.
"Pembunuhan asal-asalan memang biasa mereka lakukan."
"Kita mulai saja. Aku melihat Lord Caterham dan Bundle sedang berjalan-jalan.
Yang pertama kali adalah mencek apakah yang terbunuh Michael atau bukan."
Anthony mengayuh ke tepi Tak berapa lama kemudian mereka berhadapan dengan Lord
Caterham dan Bundle. "Makan siang agak terlambat," kata Lord Caterham sedih. "Barangkali Battle
menyakiti hati koki."
"Ini kawanku, Bundle. Kenalkan," kata Virginia. "Baik-baik sama dia, ya."
Bundle memperhatikan Anthony sejenak. Lalu bicara pada Virginia seolah-olah tak
ada Anthony. "Kau dapat laki-laki cakap ini dan mana, Virginia?"
"Bawa saja dia," kata Virginia dengan murah hati. "Aku mau Lord Caterham." Dia
tersenyum pada Lord Caterham, menyelipkan tangannya di lengannya dan berjalan
bersama. "Kau bisa bicara atau hanya kelihatan gagah dan diam?"
"Bicara?" kata Anthony. "Aku bisa mengoceh. Bisa bergumam. Bisa mendeguk - seperti
kali kecil yang deras airnya. Kadang-kadang aku juga bertanya."
"Misalnya?" "Siapa yang menempati kamar kedua dari ujung yang di sebelah kiri?" Dia menunjuk
kamar itu dengan jarinya.
"Pertanyaan luar biasa!" kata Bundle. "Kau membuatku penasaran. Sebentar - ya, itu
kamar Nona Brun. Guru Prancis. Dia bertugas mengajar kedua adikku. Dulcie dan
Daisy - seperti lagu saja namanya. Aku yakin, yang berikutnya pasti akan dinamai
Dorothy May. Tapi Ibu rupanya bosan anak perempuan, jadi dia meninggal.
Pikirnya, wanita lain mungkin bisa melahirkan anak laki-laki untuk Ayah."
"Nona Brun," kata Anthony sambil merenung. "Sudah berapa lama dia di sini?"
"Dua bulan. Dia datang ketika kami sedang berada di Skotlandia."
"Ha!" kata Anthony. "Aku mulai mencium sesuatu."
"Aku ingin mencium bau masakan saja," kata Bundle. "Haruskah aku mengundang
orang Scotland Yard makan siang dengan kita, Tuan Cade" Anda sudah berpengalaman
luas dan pasti tahu etiket seperti itu. Belum pernah terjadi pembunuhan di rumah
ini sebelumnya. Mendebarkan, ya" Sayang polisi sudah tahu siapa kau. Sebenarnya


Rahasia Chimneys The Secret Of Chimneys Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

aku ingin tahu seperti apa pembunuh itu. Koran-koran mengatakan bahwa pembunuh
itu baik dan ramah. Ya Tuhan, siapa itu?"
Rupanya ada sebuah taksi mendekati rumah. Penumpangnya seorang laki-laki tinggi
dengan kepala yang hampir botak dan bercambang hitam, dan seorang yang lebih
kecil berkumis hitam. Anthony mengenal orang yang pertama dan berseru. "Kelihatannya aku kenal orang
itu. Baron Lollipop."
"Baron apa?" "Aku memanggilnya Lollipop supaya mudah. Kalau nama sebenarnya kita ucapkan aku
takut keseleo lidah."
"Benar. Hampir merusak telepon tadi pagi," kata Bundle. "Jadi dia, orangnya"
Rupanya aku harus berhadapan dengan orang itu siang ini. Tadi pagi sudah bosan
dengan Isaacstein. Peduli setan dengan politik. Maaf, aku harus meninggalkan
Anda, Tuan Cade. Kasihan ayahku yang sudah tua."
Bundle segera kembali ke rumah dengan cepat.
Anthony berdiri memandangnya sejenak, kemudian menyalakan rokok. Tiba-tiba
telinganya menangkap suara yang mencurigakan di dekatnya. Dia berdiri dekat
kandang perahu dan suara itu datang dari sudut lainnya. Dia membayangkan seorang
laki-laki yang berusaha menahan suara bersinnya.
"Siapa kira-kira yang ada di balik rumah perahu ini" Sebaiknya aku lihat saja,"
katanya dalam hati. Dia melemparkan korek api yang baru dipakai menyalakan
rokoknya dan lari berputar ke balik kandang perahu.
Dia melihat seorang laki-laki yang sedang berjongkok di tanah dan sedang
berusaha untuk berdiri. Laki-laki itu bertubuh tinggi, mengenakan baju luar
berwarna pucat dan memakai kaca mata. Dia bercambang dan umurnya antara 30 dan
40 tahun. "Apa yang Anda lakukan di sini?" tanya Anthony. Dia yakin bahwa orang
itu bukan tamu Lord Caterham.
"Maaf," kata orang itu dengan logat asing sambil tersenyum. "Saya bermaksud
kembali ke Jolly Crickets, tapi tersesat. Apa Tuan bisa memberi tahu saya jalan
ke sana?" "Tentu," kata Anthony. "Tapi Anda tidak akan ke sana lewat danau, kan?"
"Eh?" kata orang asing itu bingung.
"Saya mengatakan bahwa Anda tidak akan lewat danau," kata Anthony sambil
memandang kandang perahu. "Ada sebuah jalan di kebun ini - agak jauh, tapi itu
adalah jalan pribadi. Anda telah melanggar milik pribadi."
"Maaf sekali," kata si orang asing. "Saya tersesat. Jadi saya kemari dan tanya
jalan." Anthony tahu bahwa berjongkok di dekat kandang perahu merupakan sikap aneh dari
orang yang tersesat dan ingin bertanya. Dia menggandeng lengan orang itu. "Jalan
lewat sini," katanya. "Putari danau dan jalan lurus - tak akan sesat. Setelah itu
belok ke kiri. Jalan itu menuju ke desa. Anda tinggal di Cricketers, bukan?"
"Ya, Tuan. Sejak tadi pagi. Terima kasih banyak."
"Sama-sama. Mudah-mudahan Anda tidak kena flu," kata Anthony.
"Eh?" "Maksud saya, karena Anda berlutut di tanah yang lembab," jawab Anthony
menjelaskan. "Kalau tidak salah Anda tadi bersin, kan?"
"Ya." "Hm. Tapi jangan ditahan. Salah seorang dokter terkenal baru-baru ini
mengatakan, bahwa membekap hidung bila Anda mau bersin sangat berbahaya.
Pokoknya jangan diulangi lagi. Selamat pagi."
"Selamat pagi, dan terima kasih."
"Orang asing kedua yang mencurigakan dari penginapan di desa," gumam Anthony
sendirian. "Aku tak mengerti. Tampangnya seperti pelancong dari Prancis. Tidak
bisa dibayangkan sebagai anggota Komplotan Tangan Merah. Apa dia juga mewakili
salah satu partai di Herzoslovakia" Guru Prancis itu kamarnya yang kedua dari
ujung. Seorang Prancis misterius ditemukan sedang jongkok di tanah, mendengarkan
percakapan orang lain. Pasti ada sesuatu."
Anthony kembali ke rumah. Di teras dia bertemu Lord Caterham yang kelihaian
sedih, dan dua orang tamu yang baru datang. Wajahnya gembira sedikit ketika
melihat Anthony. "Ah, Anda di sini rupanya. Kenalkan, ini Baron - er - er - dan
Kapten Andrassy, Tuan Anthony Cade."
Baron itu memandang Anthony dengan curiga dan berkata, "Tuan Cade" Saya rasa
bukan." "Saya bisa menjelaskannya pada Anda pribadi, Baron," kata Anthony.
Baron itu membungkuk dan keduanya berjalan memisahkan diri. "Baron," kata
Anthony. "Saya harus minta maaf pada Anda. Saya telah mendapat kehormatan
memakai nama seorang Inggris di negara ini. Saya memperkenalkan diri sebagai
Tuan James McGrath - tapi Anda pasti tahu sendiri bahwa hal itu kecil artinya.
Saya yakin bahwa Anda pernah membaca karya-karya Shakespeare dan pendapatnya
tentang tatanama mawar" Hal ini juga sama. Orang yang ingin Anda temui adalah
orang yang memiliki naskah. Dan sayalah orang itu. Dan Anda pun tahu bahwa saya
tidak lagi menyimpan naskah tersebut, bukan" Tipuan yang sangat licin, Baron.
Sangat licin. Siapa yang merencanakannya" Anda atau atasan Anda?"
"Yang Mulia sendiri. Dan beliau sendiri yang ingin membawanya."
"Dia melakukannya dengan baik sekali," kata Anthony. "Saya tidak akan mengira
kalau dia bukan orang Inggris."
"Beliau mendapat didikan Inggris dengan adat Herzoslovakia," kata Baron.
"Dan hanya seorang profesional yang bisa mendapatkan naskah itu," kata Anthony.
"Boleh saya tahu apa yang terjadi dengan naskah tersebut?"
"Ini antara kita saja," kata Baron.
"Terima kasih. Anda baik sekali, Baron," gumam Anthony.
"Saya rasa dokumen itu dibakar."
"Anda rasa - tapi Anda tidak tahu dengan pasti" Benarkah?"
"Yang Mulia menyimpan dokumen itu. Maksudnya dibaca lalu dibakar."
"Begitu," kata Anthony. "Bagaimanapun naskah itu bukan bacaan ringan yang bisa
dibaca dengan cepat."
"Dari antara barang-barang peninggalan beliau, naskah itu tidak ditemukan. Jadi
pasti sudah dibakar."
"Hm - apa begitu?" Dia diam sejenak, lalu berkata, "Saya menanyakan hal itu karena
- barangkali sudah Anda dengar - saya menjadi obyek kecurigaan. Saya harus
menjernihkan hal ini."
"Benar. Demi nama baik Anda."
"Ya. Jadi saya hanya bisa membuat jelas, persoalannya dengan menemukan pembunuh
yang sebenarnya. Dan untuk melakukan hal itu saya harus punya fakta. Pertanyaan
saya tentang naskah itu amat penting. Karena ada kemungkinan bahwa motif
pembunuhan ini adalah keinginan untuk menguasai naskah tersebut. Bagaimana
menurut Anda - apakah pendapat saya masuk akal?"
Baron itu ragu-ragu. "Anda sudah membaca naskah itu?" tanyanya dengan hati-hati.
"Rasanya pertanyaan saya sudah terjawab," kata Anthony tersenyum. "Tapi ada satu
hal lagi. Saya ingin mengingatkan Anda bahwa saya masih punya keinginan untuk
menyerahkan naskah itu kepada penerbit dimaksud Rabu depan, tanggal 13 Oktober."
Baron itu memandangnya. "Tapi Anda kan sudah tidak memilikinya lagi?"
"Saya katakan Rabu depan. Hari ini baru Jumat. Saya punya waktu 5 hari untuk
mendapatkannya kembali."
"Kalau sudah dibakar?"
"Saya rasa belum. Aku punya alasan untuk itu." Mereka berbelok di sudut teras.
Seseorang berjalan ke arah mereka. Anthony yang belum mengenal Tuan Herman
Isaacstein, memandangnya penuh perhatian.
"Ah, Baron," kata orang itu sambil melambaikan cerutu besar yang diisapnya, "ini
urusan yang sangat buruk - buruk sekali."
"Benar, Tuan Isaacstein," seru Baron. "Semua jadi kacau."
Dengan luwes Anthony meninggalkan kedua lelaki itu dan berjalan berbalik
sepanjang teras. Tiba-tiba dia terkejut. Sebuah asap tipis mengepul dari tengahtengah pagar tanaman yang lebat. "Pasti berlubang di tengahnya," pikir Anthony.
"Aku pernah mendengar hal seperti itu."
Dia memandang sekitarnya dengan cepat. Lord Caterham ada di ujung teras dengan
Kapten Andrassy. Punggung mereka menghadap padanya. Anthony membungkuk dan
berjalan ke pagar. Dia memang benar. Pagar itu tidak satu tapi dua. Di tengahnya ada sebuah jalan
kecil. Ujung jalan itu ada di bagian sana, dekat rumah. Tapi orang yang melihat
dari depan tidak akan mengiranya.
Anthony memandang ke bawah. Dia melihat seorang laki-laki duduk di kursi rotan.
Rokoknya yang tinggal separuh tergeletak di tangan kursi dan dia sendiri
ketiduran. "Hm! Rupanya Tuan Hiram Fish senang duduk di tempat terlindung," pikir Anthony.
Bab 16 Jamuan Teh di Ruang Kelas
ANTHONY kembali ke teras dengan keputusan bahwa satu-satunya tempat yang aman
untuk bicara adalah di tengah danau.
Suara gaung gong terdengar dari dalam rumah dan Tredwell muncul dari pintu
samping. "Makan siang sudah siap, Tuan."
"Ah!" kata Lord Caterham sedikit terburu.
Pada saat itu dua orang anak berlari keluar dari dalam rumah. Mereka adalah
gadis-gadis energetik berumur dua belas dan sepuluh tahun. Dan walaupun nama
mereka Dulcie dan Daisy seperti diceritakan Bundle, tapi mereka kelihatannya
seperti Guggle dan Winkle. Mereka berputar-putar seperti orang yang sedang
Penyembah Dewi Matahari 2 Pendekar Kelana Sakti 9 Dendam Jago Kembar Makam Ke Tiga 3

Cari Blog Ini