Samurai Karya Takashi Matsuoka Bagian 18
Namun, dia belajar sebelum seminggu berlalu. Ketika musim gugur tiba, seorang pendatang baru bisa keliru menganggap Shizuka sama dengan biarawati lain, kecuali dia lebih muda, nyaris tidak bcrbicara, dan senang mengamati ketimbang melakukan tugas sehari-hari penghuni biara.
Kegilaan yang berisik berubah menjadi kebodohan yang tenang. Dia tidak lagi berteriak, menangis, dan terpuruk ketakutan tanpa sebab, walaupun terkadang dia kehilangan kesadaran seperti dahulu dan menjadi sangat diam, matanya hampir terpejam seolah-olah dia berada di tempat lain. Terkadang dia tampak mengerti apa yang dikatakan orang kepadanya, dan terkadang tidak. Dia tidak setenang yang lain meskipun sudah lebih membaik. Beberapa malam Biarawati Kepala menjenguknya dan menemukannya duduk di tempat tidur dengan mata terbuka, menatap kehampaan. Hubungan yang jelas antara kesadaran baru Shizuka dan siklus menstruasinya membuat Biarawati Kepala cemas. Dia tidak yakin apakah kekhawatiran itu pada tempatnya, atau hanya muncul dalam benak karena takhayul kuno bahwa darah wanita dan ilmu sihir berkaitan erat. Dia berharap, dia hanya bersikap hati-hati. Lagi pula, bahkan di suatu tempat suci yang terpencil, tugas mengawasi lebih cocok bagi wanita tua ketimbang seorang gadis. Tak terasa, tiba waktunya kunjungan musim gugur tahunan Lady Kiyomi. Janda almarhum Bangsawan Agung Akaoka dan ibunda Bangsawan Agung yang sekarang ini adalah salah satu dari dua pelindung utama Biara Mushindo. Yang satunya lagi, Lord
Bandan, penguasa Kagami, tidak pernah berkunjung. Biarawati Suku terutama sangat menanti-nantikan untuk bertemu dengan Lady Kiyomi kali ini. Lady Kiyomi dapat menyaksikan pengobatan mukjizat yang datang dari belas kasih Buddha yang tak terbatas, enam belas tahun doa tiada henti, dan dukungannya yang berlimpah dari kejauhan.
Namun, ketika dia menuju gerbang biara untuk menyambut tamu dari Wilayah Akaoka, dia kecewa tidak melihat pelindungnya itu. Lord Hironobu, putra Lady Kiyomi, telah melakukan perjalanan ke biara tanpa disertai ibunya.
"Sebenarnya aku datang mewakili beliau," katanya. "Dengan sangat menyesal, kuberitahukan bahwa ibuku sakit parah. Menurut dokter, beliau tidak akan bertahan melewati BUKU KEDUA
18 TAKASHI MATSUOKA SAMURAI JEMBATAN MUSIM GUGUR
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
11. Kutukan Ibunda Sang Penyihir
musim dingin. Aku datang hanya karena Ibu memaksa. Aku akan berkemah di luar biara nanti malam, dan pulang esok pagi."
"Kami akan berdoa untuknya," kata Biarawati Kepala.
Kesedihannya benar-benar mendalarn. Takdir telah turun tangan tanpa kenal waktu. Lady Kiyomi takkan pernah menikmati hasil kebaikannya kepada Shizuka. Dia akan mengetahuinya dari surat yang dititipkan Biarawati Kepala kepada putranya. Namun, dia takkan merasakan kegembiraan menyaksikan sendiri kesembuhan menakjubkan itu.
Biarawati Kepala berkata, "Peraturan biara melarang pria masuk dalam kondisi apa pun.
Mohon tunggu di sini. Mari kita minum teh bersama di gerbang. Anda di luar, dan saya di dalam."
Salah seorang biarawati senior mendekat. Dia berbicara sangat perlahan sehingga tidak terdengar oleh para samurai itu.
"Apakah itu pantas, Biarawati Kepala" Gerbang suci melindungi Mushindo dari masuknya iblis. Mendirikan tenda di bawahnya dan menjembatani luar dan dalam berarti mengingkari keberadaannya. Iblis pasti melihat kelemahan itu."
"Tendanya kecil," jawab Biarawati Kepala, "hanya sebentar didirikan di sana."
Dia sangat sedih atas sakitnya Lady Kiyomi dan sangat gembira atas kesembuhan Shizuka.
Dalam hatinya, kedua emosi ini berdampingan secara aneh. Gelombang tidak mungkin pasang dan surut pada saat bersamaan. Kebingungan inilah yang mendorongnya bersikeras dengan undangan itu. Dia akan menyesali kesalahannya itu selama sisa hidupnya.
Para biarawati di satu sisi dan samurai di sisi lainnya mendirikan tenda, menyediakan teh, dan menunggu perintah. Wajah mereka menunjukkan kegelisahan. Semua meyakini apa yang dibisikkan biarawati tua tadi. Hanya Biarawati Kepala dan Lord Hironobu yang merasa nyaman di tempat masing-masing. Mereka berbicara tentang masa lalu, yang bagi Lord Hironobu terasa lebih lama karena dia lebih muda dari Biarawati Kepala. Ketika Suku diangkat sebagai Biarawati Kepala di kuil itu, Hironobu baru berumur delapan tahun.
"Aku ingat pernah berdiri di atas batu itu," kata Hironobu, "dan ditegur oleh Go karena menjadikan diri sendiri sebagai sasaran empuk pembunuh. Kurasa kau tidak ingat Go, pengawalku. Dia datang bersama Ibu dan aku hanya sekali itu, dan kurasa dia tidak bertemu denganmu."
"Kau masih kecil waktu itu," kata Biarawati Kepala. Dia mengalihkan pandangan, terhanyut BUKU KEDUA
19 TAKASHI MATSUOKA SAMURAI JEMBATAN MUSIM GUGUR
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
11. Kutukan Ibunda Sang Penyihir
dalam kenangan. "Tetapi, kau sudah memperoleh dua kemenangan besar. Lady Kiyomi sangat bangga padamu."
"Aku ingat"entahlah, apakah aku mengingat apa yang telah terjadi atau aku mengingat sesuatu yang kubayangkan?" Hironobu tertawa. "Kita sungguh merupakan saksi yang payah untuk hidup kita sendiri."
Biarawati Kepala menoleh kembali kepada Hironobu untuk menjawab. Gerakan tangan Bangsawan Agung yang memegang cangkir teh tertahan sebelum sampai di mulutnya dan berhenti di sana. Hironobu memandang melalui bahunya ke arah halaman depan kuil.
Matanya bercahaya. Tegangan mendadak otot-ototnya mengencangkan wajahnya.
Giginya yang terkatup tampak di balik bibir vang sedikit terbuka.
Dia menarik napas keras. Napasnya tertahan di paru-paru seolah-olah dia hendak menyelam ke dasar laut.
Biarawati Kepala berbalik. Dia melihat Shizuka berjalan ke arah mereka. Dia kembali menoleh kepada Hironobu, yang seolah-olah terhipnotis. Ketika dia mengalihkan perhatian kembali kepada Shizuka, didengarnya Hironobu menarik napas panjang penuh kekaguman. Dia melihat Shizuka saat itu tentu sebagaimana Hironobu melihatnya.
Dalam pakaian kasar biarawati, seorang wanita muda bergerak dengan keanggunan luar biasa. Di dalam tudung, tampak seraut wajah pucat, tetapi sangat cemerlang seperti sinar rembulan. Tangannya !
Yang muncul di ujung lengan baju begitu mungil dengan jemari feminin yang panjang dan runcing, berbeda dengan keanggunan biarawati umumnya. Matanya terlalu besar untuk disebut indah, terlalu menarik untuk disebut biasa-biasa. Hidungnya, berbentuk sempurna tetapi cukup kecil sehingga tidak terlalu mencolok. Mulutnya, mungil dan penuh, di atas dagu yang menyempurnakan bentuk oval wajahnya.
Melihatnya seperti ini untuk pertama kali, Biarawati Kepala juga terlalu terkesima untuk bereaksi cepat sebagaimana semestinya. Sebelum dia sempat berbicara, sebelum dia sempat menyuruh seorang biarawati untuk membawa gadis itu pergi, Shizuka telah berdiri di dekat tenda. Dia memandang Hironobu dan wajahnya menjadi cerah, seolah-olah mengenalinya.
Shizuka tersenyum dan berkata, "Anata." Kau.
Para biarawati dan samurai terkesiap. Itulah kata pertama yang pernah diucapkan Shizuka, BUKU KEDUA
20 TAKASHI MATSUOKA SAMURAI JEMBATAN MUSIM GUGUR
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
11. Kutukan Ibunda Sang Penyihir
tetapi bulan itu penyebab kekagetan mereka. "Anata" terlalu akrab bagi seorang biarawati, atau wanita mana pun, untuk diucapkan kepada lelaki yang baru ditemuinya. Apalagi lelaki itu seorang bangsawan. Lebih dari itu, Shizuka mengatakannya dengan lembut, dengan vokal dipanjangkan dan kemerduan paling feminin. Suatu cara yang mengingatkan penggunaannya di kamar tidur, yang dalam situasi tertentu satu kata sederhana itu mengungkapkan kemesraan terdalam.
"Shizuka," kata Biarawati Kepala. Dia berdiri, segera menengahi keduanya. "Kembalilah ke kuil sekarang." Tanpa disuruh, dua orang biarawati datang membantunya. Masing-masing memegang erat satu lengan gadis itu dan segera membawanya pergi. "Maafkan saya, Tuanku.
Gadis ini tidak sehat. Dia tidak tahu apa yang dikatakannya."
"Shizuka," kata Hironobu. "Apakah dia Shizuka?" Dia terus memperhatikannya sampai gadis itu memasuki kuil dan tidak terlihat lagi.
"Dia tidak waras, Tuanku. Karena itu, dia berada di sini sejak bayi, akan selalu di sini, akan mati di sini."
"Ketika aku masih kecil, setiap berktinjung kemari dengan Ibu, aku berusaha menemukan cara untuk melihatnya. Banyak gosip murahan beredar. Beberapa orang bahkan mengatakan dia bukan manusia, atau hanya separuh manusia. Aku dan teman-teman mengira-ngira bagaimana bulunya. Seperti luak, beruang, atau rubah."
Biarawati Kepala berkata, "Bisa dikatakan dia separuh luak atau rubah. Dia tidak dapat berbicara dengan benar, atau merawat dirinya sendiri, bahkan tugas-tugas paling mendasar untuk kebersihan din Ada masa-masa jiwanya begitu terganggu sehingga dia harus dikurung.
Kemudian, dia harus dibersihkan karena mengotori dirinya sendiri."
"Sungguh malang," kata Hironobu.
Biarawati Kepala berharap kata-katanya yang mengecewakan itu cukup untuk
menghancurkan harapan. Ternyata tidak.
Hironobu meninggalkan biara pagi-pagi sekali hari berikutnya seperti yang dikatakannya.
Namun, suratnya pada Biarawati Kepala untuk menyampaikan kematian ibunya, tak lama kemudian diikuti oleh Hironobu sendiri. Alasannya untuk kembali adalah abu Lady Kiyomi yang dibawanya serta.
"Kuminta abunya disimpan di Kuil Mushindu selama seratus hari," kata Hironobu. "Setelah pemberkatan itu, abunya akan dikembalikan ke altar Kastel Awan Burung Gereja."
BUKU KEDUA 21 TAKASHI MATSUOKA SAMURAI JEMBATAN MUSIM GUGUR
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
11. Kutukan Ibunda Sang Penyihir
Dia membungkuk dan meletakkan sebuah guci di meja di depannya. Seperti sebelumnya, mereka bertemu di luar. Namun kali ini, tenda tempat mereka duduk-duduk didirikan seluruhnya di luar dinding biara, jauh dari gerbang atau tempat lain yang memungkinkan tamu dapat melihat pemandangan di dalam biara.
"Akan saya laksanakan, Tuanku," kata Biarawati Kepala, menerima guci itu sambil membungkuk dalam. "Doa akan dibacakan tanpa henti selama seratus hari. Tetapi, ibu Anda yang mulia tidak membutuhkan bantuan seperti itu untuk memastikan reinkarnasi terbaik.
Perbuatan baiknya sendiri selanna hidup menjamin hal itu."
"Terima kasih, Biarawati Kepala."
"Setelah seratus hari berlalu, saya sendiri yang akan mengembalikan guci ini kepada Anda."
Biarawati Kepala tidak pernah meninggalkan kuil selama lebih dari beberapa jam setiap kalinya sejak peng;mgkatannya. Namun, keraguannya untuk memasuki dunia luar kurang kuat ketimbang kekhawatirannya akan kedatangan Hironobu kembali. Semakin sering dia berada di dekat Mushindo, semakin besar bahaya kemungkinan dia dan Shizuka akan bertemu lagi.
Pertemuan pertama, walaupun hanya beberapa saat, tampak seperti pertanda mengerikan baginya.
"Atas niat baikmu itu, aku berterima kasih juga, Biarawati Kepala. Tetapi, Anda tidak perlu menempuh perjalanan seberat itu. Aku akan tinggal di sini selama seratus hari."
"Tuanku?" Hironobu menunjuk ke arah hutan yang mengitari mereka. "Dalam kunjungan terakhir, aku menemukan kebahagiaan tak terduga berada di hutan yang tak terpelihara itu. Jelas hutan itu masih lebih asli sebagaimana yang diciptakan dewa-dewa ketimbang hutan-hutan kecil yang sudah ditebangi dan dikuasai di selatan sana. Maka telah kuputuskan untuk membangun pondok kecil dan melaksanakan semacam retret alam."
Biarawati Kepala berkata, "Sepanjang pengetahuan saya, hutan pegunungan Shikoku termasuk daerah terliar di Jepang. Bukankah hutan itu dahulu pernah menelan seluruh tentara penjajah" Dapatkah bukit dan hutan kecil ini menyainginya?"
Dia berbicara dengan penuh ketenangan, menyembunyikan keresahannya. Bukan batang-batang pinus, mata air gunung, atau pemandangan lembah yang menarik perhatian Hironobu.
Matanya tak pernah berkeliaran ke gerbang selagi mereka bercakap-cakap. Dia bahkan tak pernah sekali pun melirik ke sana. Hanya dengan terus memikirkannya, dia dapat sepenuhnya BUKU KEDUA
22 TAKASHI MATSUOKA SAMURAI JEMBATAN MUSIM GUGUR
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
11. Kutukan Ibunda Sang Penyihir
mencegah dirinya melakukan itu. Bagi Biarawati Kepala, ini justru membuktikan hasrat yang sebenarnya.
"Keliaran Shikoku terlalu dilebih-lebihkan orang," kata Hironobu.
"Bagaimana dengan wilayah Anda" Tidakkah para musuh akan memanfaatkan ketidakhadiran Anda sekian lama?"
"Tidak, selama Go menjaganya. Tak seorang pun akan berani."
"Bagaimana dengan Go sendiri?"
"Dia telah melindungi dan membimbingku seperti ayah kedua sejak aku masih sangat kecil.
Jika aku tak bisa memercayainya, aku tak bisa memercayai matahari dan bulan selalu di langit, atau bumi selalu di bawah kakiku."
"Tanah kami sering dilanda gempa bumi," kata Biarawati Kepala. "Barangkali ada pelajaran di sana."
Hironobu tertawa. "Jelas aku bukan seorang penyair. Penggambaranku tidak sesuai dengan makna yang kumaksudkan."
Karena Hironobu tidak akan pergi, Biarawati Kepala melakukan satu-satunya yang dia bisa.
Ditugasinya para biarawati untuk selalu menjaga gerbang kuil dan koridor yang menuju sel Shizuka. Shizuka tak pernah ditinggalkan sendiri. Malam hari, dia dikunci di selnya.
Hari-hari berlalu tanpa insiden, kemudian minggu demi minggu. Lantunan sutra tak pemah berhenti. Biarawati Kepala mulai berpikir bahwa kecurigaannya berlebihan.
Dia bertemu dengan Hironobu sekali seminggu di luar dinding kuil. Mereka hanya membicarakan Lady Kiyomi. Hironobu tampak sangat santai. Barangkali, hutan di sini memang lebih dekat dengan kebesaran Sang Pencipta ketimbang hutan-hutan lain di daerah berpenghuni.
Barangkali, berkah dewa akan melindungi mereka semua.
Suatu malam, Biarawati Kepala terbangun mendapati dirinya sudah dalam keadaan duduk di tempat tidur. Keringat dingin membasahi pakaiannya. Tubuhnya terbakar demam. Dia tak ingat telah bermimpi buruk, hanya perasaan takut yang tidak juga mereda. Dia segera bangun dan bergegas menuju sel Shizuka tanpa berganti pakaian. Angin malam musim gugur yang dingin menusuk-nusuk menembus kimono tidurnya dan tubuhnya yang menggigil, hingga ke tulang sumsumnya.
Biarawati penjaga duduk di luar sel dengan posisi lotus. Namun, kepalanya terkulai ke satu sisi. Dengkuran halus menandai tarikan dan embusan napas seseorang yang tak sadarkan diri.
BUKU KEDUA 23 TAKASHI MATSUOKA SAMURAI JEMBATAN MUSIM GUGUR
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
11. Kutukan Ibunda Sang Penyihir
Pintu sel terbuka. Shizuka tidak ada di dalam.
Biarawati Kepala berlari keluar dari kuil, melintasi halaman depan, keluar dari gerbang, dan langsung menuju pondok yang dibangun. Hironobu di bagian hutan paling lebat di antara Biara Mushindo dan sumber air musim dingin yang pada musim ini tak lebih hanya berupa tumpukan batu halus.
Hironobu tidak ada di sana. Shizuka tak ada di sana. Demikian pula para samurai pasukan Hironobu.
Biarawati Kepala memandang ke segala arah. Dia tak melihat jejak. Tak ada tanda-tanda orang lewat baru-baru ini. Dalam keputusasaan, dia menengadahkan kepala, dan pandangannya menatap langit.
Bulan sabit pucat memantulkan sinarnya yang menyeramkan kepadanya.
Biarawati Kepala tak melihat apa pun. Di sekitarnya, dia mendengar banyak suara.
"Dia akan mati," seseorang terisak. "Lalu, bagaimana dengan kita?"
"Kita akan terus mengikuti jalan Buddha."
"Apa katamu" Tanpa Biarawati Suku, tak ada jalan itu. Lord Hironobu dan Lord Bandan akan meninggalkan kita."
"Dia benar. Mushindo jauh dari wilayah mereka. Hanya karena Biarawati Kepala mereka tertarik pada tempat yang jauh ini."
Dia ingat sedang menatap malam. Dia membuka matanya. Dia berada di kamarnya sendiri, dikelilingi para biarawati. Banyak di antara mereka yang berurai air mata.
"Biarawati Kepala!"
"Shizuka," kata Biarawati Kepala.
"Ini tengah malam, Biarawati Kepala. Dia ada di dalam selnya."
"Tunjukkan padaku." Dia berusaha bangun, tetapi merasa sangat lemah. Dua biarawati nyaris mengangkatnya ke sel Shizuka. Biarawati yang dilihatnya tertidur tadi sudah terjaga.
"Biarkan aku melihatnya."
Para biarawati mengangkatnya agar dapat melihat ke dalam dari jendela kecil. Shizuka tidur dengan posisi miring, menghadap dinding.
"Siapa yang membawaku ke kamar?"
BUKU KEDUA 24 TAKASHI MATSUOKA SAMURAI JEMBATAN MUSIM GUGUR
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
11. Kutukan Ibunda Sang Penyihir
"Membawa Anda?"
"Dari hutan. Siapa yang membawaku kembali ke kuil?"
Para biarawati saling berpandangan.
"Biarawati Kepala, kami mendengar Anda menjerit di kamar, jadi kami datang. Anda demam, antara sadar dan tidur, tetapi tidak bisa disadarkan sepenuhnya maupun ditenangkan.
Kami telah menjagai Anda berjam jam."
Mereka telah diperdayai. Tipuan, siksaan, dan muslihat. Para biarawati tidak bersalah.
Mereka bukan bagian dari permainan ini. Mereka hanya dibodohi. Hironobu telah tersihir.
Shizuka menggunakan kekuatan hitam yang baru dimilikinya untuk kabur dari tempat suci ini dan mengacaukan dunia
Biarawati Kepala tidak terpengaruh. Dia tahu, dia telah pergi ke hutan. Dia tidak mengkhayalkannya. Di bawah pengaruh magis Shizuka, Hironobu membawa Biarawati Kepala kembali ke kamarnya. Terlindung dalam kekuatan sihir, mereka menjadi tak kasatmata. Itulah sebabnya, ketika mendatangi pemondokan Hironobu, Biarawati Kepala tidak melihat Shizuka atau Hironobu. Mereka disembunyikan dengan mantra.
"Dia mati," didengarnya seorang biarawati berkata.
"Bukan, dia pingsan lagi," kata yang lain.
"Apakah ini wabah?"
"Tak ada tanda-tanda ke sana. Kurasa dia demam otak. Sepupuku mengalaminya. Dia menjadi gila dan tak pernah pulih."
Biarawati Kepala tak melihat apa-apa. Dia berkonsentrasi pada pendengarannya. Dia mendengarkan sampai suara isakan di kejauhan dengan cepat rnereda menjadi keheningan. Dia terus mendengarkan lama sekali, tetapi tak ada lagi yang didengarnya kecuali detak jantungnya sendiri.
Ketika malam itu sudah larut-ataukah malam itu sudah berlalu dan malam lain tiba"
Biarawati Kepala terjaga. Alih-alih kekalutan, dia merasakan ketenangan. Solusi telah datang padanya tanpa diminta. Ada dua cara untuk memastikan bahwa Shizuka tidak melarikan diri.
Yang pertama, membunuhnya. Ini tidak bisa dilakukan Biarawati Kepala. Semua pengikut Buddha yang welas asih disumpah untuk tidak membunuh, manusia ataupun binatang. Dia harus menempuh cara lain.
Dia menyelinap ke luar kamar. Dia tak bisa pergi ke ruang meditasi karena sutra masih BUKU KEDUA
25 TAKASHI MATSUOKA SAMURAI JEMBATAN MUSIM GUGUR
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
11. Kutukan Ibunda Sang Penyihir
dinyanyikan untuk Lady Kiyomi. Dia pergi ke dapur dan duduk bersila dengan posisi lotus. Dia bermeditasi sampai sinar samar pertama menandakan bahwa jam ayam jantan telah digantikan oleh jam anjing, kemudian bangkit dan menuju sel Shizuka. Dari dapur, dibawanya pisau panjang yang biasa digunakannya untuk mengiris sayuran.
Biarawati Kepala akan menyelamatkan Shizuka dari kutukan. Dia akan menghilangkan kecantikan gadis itu. Tanpa itu, Hironobu tidak menginginkannya, begitu pula lelaki lain.
Shizuka akan tetap tinggal di biara, tempat yang cocok untuknya. Biarawati Kepala akan memotong lidah Shizuka karena dia mulai berbicara, dan seorang penyihir hanya mengucapkan kebohongan. Shizuka akan tetap bisu, seperti seharusnya. Biarawati Kepala akan membutakan matanya karena penglihatan hanya membawa pandangan menyesatkan untuknya. Dalam keadaan buta, dia akan kembali pada penderitaan semula, tetapi dia tidak akan teperdaya lagi.
Biarawati Kepala akan merawat Shizuka seperti biasanya, dengan kesabaran dan kasih sayang sampai akhir hayat mereka.
Begitulah yang semestinya. Hati Biarawati Kepala sudah mantap, tanpa keraguan, begitu juga tangan yang menggenggam pisau itu.
"Biarawati Kepala."
Biarawati yang bertugas di luar sel Shizuka menatap Biarawati Kepala dengan ketakutan ketika dia mendekat. Mata biarawati itu memandang wajah Biarawati Kepala dan pisaunya secara bergantian. Dia berdiri.
"Biarawati Kepala," katanya lagi.
Biarawati Kepala tidak menjawab. Dia melewati biarawati itu, membuka pintu dan memasuki sel. Dia berjalan menembus kegelapan ke pembaringan gadis itu, berlutut dan menyibak kain penutupnya.
Shizuka sudah terbangun. Dia memandang Biarawati Kepala dan mengeluarkan kata kedlua yang pernah diucapkannya.
"Ibu," kata Shizuka.
Biarawati Kepala terhuyung mundur. Dia merasakan beberapa tangan mencekalnya.
Terdcngar teriakan-teriakan. Pisau jatuh dari genggamannya.
Mereka berada di luar gerbang masuk Biara Mushindo. Semua biarawati ada di sana. Begitu juga Lord Hironobu. Shizuka, dan banyak samurai yang mengendarai kuda perang yang gagah.
BUKU KEDUA 26 TAKASHI MATSUOKA SAMURAI JEMBATAN MUSIM GUGUR
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
11. Kutukan Ibunda Sang Penyihir
Biarawati Kepala duduk diam dan mendengarkan percakapan mereka. Apakah dia memang berada di sana atau hanya melihatnya dalam mimpi" Dia tidak yakin. Karena itu, dia tetap diam dan mendengarkan.
"Untunglah Anda ada di sini ketika tragedi ini terjadi," kata seorang biarawati.
"Aku bersyukur karenanya," kata Hironobu.
"Begitu banyak yang terjadi dalam seratus hari ini," kata biarawati itu. "Begitu banyak alasan untuk berbahagia, begitu banyak alasan untuk berduka cita. Tetapi, bukankah ini langkah-langkah yang benar di jalan Buddha?"
"Aku senang dia cukup sehat untuk menghadiri perkawinan," biarawati lain berkata.
"Tampaknya dia menikmatinya."
"Aku ingin tahu apakah dia akan mendapatkan kemampuan berbicaranya kembali," kata yang lain.
"Sungguh menyedihkan," biarawati pertama berkata, "dia justru menjadi bisu ketika Anda dapat berbicara kembali, Lady Shizuka."
"Ya," sahut Shizuka. "Benar-benar menyedihkan."
Seorang biarawati mengeluarkan sebuah kotak terbungkus kain putih dan menyerahkannya kepada Hironobu.
"Semoga Lady Kiyomi selamanya berada dalam kedamaian kasih Buddha," katanya.
Pasukan itu siap berangkat. Hironobu membantu Shizuka naik ke pelana seekor kuda sebelum dia menaikinya sendiri.
Biarawati berkata, "Semoga Anda berdua diberkahi kesehatan, kemakmuran, dan setiap kebaikan dalam kehidupan berkeluarga, Tuan, Nyonya." Semua biarawati membungkuk.
Biarawati Kepala bangkit berdiri.
Dia berkata, "Semoga kau dan keturunanmu dikutuk dengan kecantikan dan kecerdasan selamanya.
"Biarawati Kepala!"
Hironobu berkata kepada Shizuka, "Aku prihatin dengan keadaannya. Jika ada yang dapat kulakukan selain memastikan perawatannya, akan kulakukan."
"Kutukannya?" kata Shizuka.
"Dia gila," kata Hironobu. "Kecantikan dan kecerdasan adalah berkah, bukan kutukan."
Shizuka tak berkata apa-apa lagi. Dia memandang Biarawati Kepala dan mata mereka BUKU KEDUA
27 TAKASHI MATSUOKA SAMURAI JEMBATAN MUSIM GUGUR
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
11. Kutukan Ibunda Sang Penyihir
bertemu. Mereka terus saling menatap sampai rombongan berangkat. Hironobu mungkin tak peduli, tetapi Biarawati Kepala tahu Shizuka memahami kebenarannya karena kutukan mempengaruhi mereka berdua.
Kecantikan dan kecerdasan adalah kutukan.
Biarawati Kepala tak menyadari apakah dirinya seorang wanita tua atau dara muda, scorang pemimpi atau gila, atau apakah perbedaan-perbedaan itu benar-benar nyata. Pertanyaan tanpa jawaban menghabiskan energinya siang dan malam. Dia tak pernah lagi berbicara sepatah kata pun.
Musim semi berikutnya, dia meninggal dalam tidurnya. Biarawati Kepala Suku, dahulu adalah putri Lord Bandan yang cantik, Lady Nowaki, tidak pernah menginjak usia tiga puluh dua.
1882, Kediaman Genji di Tepi Sungai Tama di Luar Tokyo
Sambil menunggu tuan rumah menemuinya, Tsuda memikirkan perubahan-perubahan
besar yang telah terjadi dalam waktu begitu singkat. Kota ini sendiri contoh utamanya. Ketika dia masih muda, Edolah pusat pemerintahan Shogun, dengan klan Tokugawa sebagai penguasa, memerintah Jepang selama dua setengah abad dan tampak seolah-olah akan berkuasa selamanya. Kini, bukan hanya klan Tokugawa yang lenyap, juga seluruh perkantoran kuno Shogun dan Edo digantikan oleh Tokyo. Ini lebih dari perubahan nama. Tokyo adalah ibu kota baru keluarga kekaisaran, yang telah tinggal di Kyoto selama satu milenium. Kaisar Mitsuhito adalah orang yang pertama kali memerintah dari Tokyo, dan orang pertama yang benar-benar memerintah dari mana saja dalam enam ratus tahun belakangan.
Kehidupan Tsuda sendiri adalah contoh perubahan setara dalam skala lebih kecil dan perseorangan. Dia telah dilahirkan sebagai petani di Wilayah Akaoka yang jauh. Bakatnya untuk membangun gedung dengan rancangan yang indah telah menarik perhatian Bangsawan Agung wilayah itu, Lord Genji, dan dia diserahi kontrak penting untuk membangun sebuah kapel Kristen. Bakat Tsuda yang lain, yaitu menempatkan bangunannya di lokasi yang
menguntungkan, adalah nilai tambah untuknya karena mempraktikkan feng shui dengan serius bahkan religius. Paduan keduanyalah yang membawanya ke posisi empuk sekarang ini sebagai mitra, penasihat, dan rekan bisnis mantan junjungannya. Ketika menentukan lokasi untuk kapel BUKU KEDUA
28 TAKASHI MATSUOKA SAMURAI JEMBATAN MUSIM GUGUR
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
11. Kutukan Ibunda Sang Penyihir
yang akan dibangunnya, Tsuda telah menemukan sebuah peti misterius berhiaskan lukisan asing dan barbar pegunungan biru dan seekor naga merah. Peti itu berisi perkamen yang tampak lebih misterius lagi. Dia masih tidak tahu apa arti perkamen itu meskipun diyakini sebagai naskah Jembatan Musim Gugur yang legendaris, tulisan kuno berisi ramalan ajaib yang telah lama hilang. Apa pun itu, penemuan tersebut telah mengubah hidupnya.
Seorang pelayan masuk dan berkata, "Tuan Stark akan menemui Anda sekarang, Tuan Tsuda."
Makoto Stark berdiri di taman dekat susunan karang dan batu. Tsuda berharap diterima dengan cara yang lebih resmi mengingat ini.pertemuan pertama mereka. Sering dikatakan bahwa orang Amerika menyukai suasana informal secara berlebihan. Tampaknya ini benar. Dengan menyembunyikan ketidaksetujuan dari wajahnya, Tsuda membungkuk.
"Tuan Stark, senang sekali akhirnya kita dapat bertemu."
"Terima kasih, Tuan Tsuda."
Makoto mengulurkan tangan. Setelah ragu sesaat, Tsuda menyambut dan mengguncangkannya dengan semangat.
"Ayah Anda, Tuan Stark senior, sering membicarakan Anda. Meskipun belum pemah bertemu, saya merasa sudah akrab dengan Anda."
"Andalah yang beruntung kalau begitu. Aku sendiri, semakin berusaha mengenali diri, semakin sedikit yang kuketahui."
Dia mengatakannya seolah-olah masalah itu mengganggu perasaannya. Tidak seperti kebiasaan orang mengidentikkan penemuan diri dengan kehampaan. Ini menyebabkan Tsuda menelan kembali jawaban dengan kata-kata konvensional mengenai praktik-praktik meditasi Mushindo yang bersifat membebaskan. Dia yakin Makoto tidak sedang berbicara tentang meditasi.
"Begitukah?" kata Tsuda. Tanggapan yang bahkan lebih konvensional, nyaris cocok dalam situasi apa pun dan mengandung pelbagai makna. Ya, Tidak, Mungkin, Saya setuju, Saya tidak setuju, Saya tidak tahu apa yang sedang Anda bicarakan, Saya bersimpati kepada Anda, Silakan teruskan, Sudahlah .... Nada suara penting untuk menentukan makna. Jadi, karena dia tidak yakin akan maksud Makoto sejak awal, Tsuda menyamarkan maksudnya sendiri sebisa mungkin.
Sebenarnya, dia tak bermaksud apa-apa. Secara naluri, dia takut Makoto akan mengalihkan percakapan ke topik yang berbahaya. Dia berharap pria muda itu tidak akan terlalu bergaya BUKU KEDUA
29 TAKASHI MATSUOKA SAMURAI JEMBATAN MUSIM GUGUR
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
11. Kutukan Ibunda Sang Penyihir
Amerika jika itu yang dilakukannya"yaitu terlalu spesifik dan terlalu tajam. Harapan itu segera berantakan.
"Tuan Tsuda, sedekat apa Anda dengan orangtuaku?"
"Tuan Stark dan saya menjalankan usaha bersama"terutama ekspor-impor dan
perbankan"hampir selama lima belas tahun. Kami bertemu setahun sekali, biasanya di Honolulu untuk tahun-tahun terakhir ini. Tempat pertemuan yang nyaman bagi kami berdua.
Saya tak pernah mendapat kehormatan untuk bertemu dengan Nyonya Stark."
"Bagaimana sebelum dia menjadi Nyonya Stark?"
Tsuda bahkan mulai menyesali pertemuannya dengan Makoto. Dia berkata, "Saya tidak akrab dengan Tuan Stark atau Lord Genji secara sosial. Saya belum pernah berkesempatan bertemu dengan calon istri Tuan Stark."
"Begitu." Makoto memerhatikan ketidaknyamanan Tsuda dan keliru menganggapnya ketidaknyamanan fisik. "Oh, maaf, Tuan Tsuda. Mari kita masuk. Aku lupa tidak semua orang senang berdiri di kebun seperti aku."
Interior istana hampir sepenuhnya ala Barat dalam rancangan dan perabotannya. Makoto belum melihat istana secara keseluruhan. Dia baru menjadi tamu di sini selama dua hari, dan istana ini luas. Namun, sejauh yang diketahuinya, hanya ada satu sayap kecil dengan rancangan tradisional Jepang. Sayap itu menunjukkan bahwa Genji menghabiskan sebagian besar waktunya di sana.
Tsuda menerima scotch, alih-alih sake meskipun hari masih pagi. Seleranya telah berkembang dengan kecenderungan pada minuman Barat.
Sangat mendadak Makoto bertanya, "Apakah Anda mengenal Heiko?"
"Heiko" Maksud Anda geisha terkenal itu" Saya tahu tentang dia. Semua orang juga pada waktu itu."
"Anda tak pernah menjadi pelanggannya?"
"Saya?" Tsuda tertawa. Scotch membuatnya ceria dengan sangat cepat. "Bahkan seandainya saya mampu"yang nyatanya tidak kalaupun saya telah menjual semua yang saya miliki dan mencuri segalanya dari semua orang yang saya kenal"seseorang dengan status setinggi dia tak akan pemah merendahkan diri untuk menghibur orang seperti saya. Tidak, hanya para bangsawan yang mendapatkan kehormatan itu."
'Termasuk Lord Genji?"
BUKU KEDUA 30 TAKASHI MATSUOKA
Samurai Karya Takashi Matsuoka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
SAMURAI JEMBATAN MUSIM GUGUR
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
11. Kutukan Ibunda Sang Penyihir
"Ya. Mereka adalah sepasang kekasih. Semua tahu itu. Kisah asmara mereka seperti petualangan di buku cerita. Saya tidak ragu jika suatu hari akan ada drama kabuki mengenainya."
"Tsuda, apa yang kaulakukan di sini?"
Lord Saemon berhenti di ambang pintu. Pelayan yang mengantarkan berlutut
menunggunya. Seperti kebiasaannya akhir-akhir ini, Saemon mengenakan setelan Inggris dengan model anggun. Rambutnya dipangkas pendek, tidak seperti gaya yang belakangan ini disukai Kaisar. Dagunya licin, tetapi kekurangan itu ditutupi dengan kumis bergaya ala Bismarck.
"Lord Saemon," kata Tsuda, berdiri dan membungkuk. "Saya di sini sebagai tamu Tuan Stark." "Tuan Stark?"
"Tuan Makoto Stark," kata Tsuda, "putra Tuan Stark senior. Dia mengunjungi Lord Genji."
"Ah." Saemon melangkah ke dalam ruangan.
"Akhirnya kita bertemu. Aku menunggu-nunggu kesempatan selama bertahun-tahun untuk berkenalan dengan Anda, Tuan Stark."
"Mengapa?" tanya Makoto.
Saemon berkedip. "Maaf?"
Tsuda tak pernah melihat Saemon terkejut selama dia mengenalnya. Ini pertama kalinya.
Bahkan, seseorang yang begitu licik, putra kepala mata-mata yang juga licin tidak siap menghadapi orang Amerika. Tsuda menahan senyumnya sebisa mungkin.
"Mengapa Anda begitu tertarik padaku" Aku bukan siapa-siapa. Bertahun-tahun lalu, aku bahkan lebih buruk dari itu."
"Yah, sewajarnya, aku akan tertarik, Tuan Stark, karena Anda adalah anak"putra dari"
satu-satunya putra seorang sahabat Jepang yang sangat penting."
"Sahabat Jepang," kata Makoto. "Aku tak pemah mendengar Ayah disebut begitu, padahal aku mendengar dia disebut macam-macam. Kalau begitu, Anda mengenalnya dengan baik?"
"Lebih baik dari kebanyakan orang yang mengaku kenal, tetapi tidak sebaik teman-teman dekatnya."
Pelayan yang mengantarkan Saemon masuk ke dalam istana kini berlutut di ambang pintu.
Dia bertanya, "Anda ingin menunggu di sini, Lord Saemon?"
"Ya, jika Tuan Stark dan Tuan Tsuda tidak berkeberatan."
"Sebaliknya," Tsuda berkata. Dia menarik sebuah kursi untuk Saemon dan membungkuk.
BUKU KEDUA 31 TAKASHI MATSUOKA SAMURAI JEMBATAN MUSIM GUGUR
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
11. Kutukan Ibunda Sang Penyihir
"Mungkin justru Anda yang dapat membantu Tuan Stark. Saya sendiri tidak bisa. Dia bertanya tentang Heiko. Saya yakin Anda dan ayah Anda mengenalnya."
"Heiko," Saemon berkata dan tersenyum. "Ayah saya mengenalnya dengan baik. Aku hanya selintas."
Tsuda senang telah mengangkat topik yang menyenangkan Lord Saemon. Dia seorang pria yang sangat berkuasa, berpeluang menjadi menteri di kabinet mendatang, mungkin bahkan menjadi Menteri Keuangan. Untuk seorang bankir seperti Tsuda, Menteri Keuangan bisa dikatakan sebagai juru bicara dewa-dewa di dunia.
"Apa yang menarik dari Heiko bagi Anda, Tuan Stark?" Saemon menolak tawaran scotch Tsuda dan menerima secangkir teh dari pelayan. "Selama masa jayanya sebagai geisha, Anda tentu masih?" Dia berhenti tiba-tiba seolah-olah terpikirkan olehnya sesuatu. Untuk menutupi jeda itu, diteguknya teh sebelum melanjutkan, "Anda masih sangat muda."
"Tepatnya, aku belum ada di dunia. Aku lahir tahun 1862. Aku tahu kariernya berakhir setahun sebelumnya, begitu juga masa tinggalnya di Jepang."
"Ya, aku ingat," kata Saemon. "Dia pergi ke California, ditemani ayah Anda. Situasi sekitar kepergiannya agak misterius."
"Situasi apa?" "Aku tidak tahu apakah aku harus mengatakannya. Aku akan berada di posisi mengulang kabar burung. Tak pernah ada yang terbukti kebenarannya."
"Aku bersedia mendengarkan kabar burung itu."
"Baiklah. Dengan perkenan Anda, kalau begitu," Saemon membungkuk. "Heiko diduga sebagai agen polisi rahasia Shogun. Itu menjelaskan kontaknya yang cukup sering dengan ayahku karena pada waktu itu dia mengepalai organisasi tersebut. Itu juga dapat menjelaskan kepergiannya dari Jepang karena dia akan lebih aman dari pembalasan dendam orang-orang yang pernah dirugikannya. Namun, itu tak menjelaskan mengapa dia harus menerima perlindungan ayah Anda. Tuan Stark senior adalah teman dekat Lord Genji, dahulu sampai sekarang.
Lord Genji dan ayahku adalah musuh bebuyutan."
"Benarkah" Setahuku Anda dan Lord Genji berteman."
"Kami orang Jepang mempunyai jaring balas dendam tanpa ujung yang dibentangkan berabad-abad lamanya. Jika kami tidak menghapusnya, kami takkan pernah bisa mengejar kemajuan Barat. Aku dan Lord Genji telah meninggalkan masa lalu."
BUKU KEDUA 32 TAKASHI MATSUOKA SAMURAI JEMBATAN MUSIM GUGUR
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
11. Kutukan Ibunda Sang Penyihir
"Sungguh terbuka pikiran Anda berdua," kata Makoto.
Bagi Tsuda, dia tidak terdengar tulus. Akan tetapi, mungkin itu hanya pengaruh aksen yang agak aneh dalam bahasa Jepangnya. Tsuda mengisi gelasnya lagi dan terus mendengarkan.
Sejauh ini, dia belum mengetahui apa pun. Namun, tampaknya pengungkapan yang penting akan terjadi kapan saja, pengungkapan yang mungkin membawa keuntungan.
"Silakan lanjutkan," kata Makoto.
"Kemudian, ada pembantaian massal tak lama sebelum Heiko pergi. Sebuah desa orangorang buangan tanpa nilai strategis apa pun dibumihanguskan dan semua penduduknya dibunuh. Mereka bukan ancaman bagi siapa pun, juga tak ada harganya, hidup atau mati. Sangat aneh."
"Orang buangan?"
"Dianggap aib pada era Tokugawa, kini sudah dihapuskan. Tak ada orang buangan lagi.
Semua orang Jepang memiliki hak yang sama di mata hukum, sebagaimana di negeri-negeri berbudaya di Barat."
Ini sama sekali tidak benar, Tsuda dan sernua orang Jepang tahu itu. Hukum telah dicanangkan, bukan dengan tujuan pelaksanaannya, melainkan hanya untuk menutupi tubuh telanjang yang atribut-atributnya dibenci kekuasaan Barat. Jika mereka tidak melihat, mereka akan puas. Bagi Tsuda, dalam segi apa pun ini tidak salah. Tujuan politik bukanlah pencapaian kesempumaan yang mustahil, kesempurnaan yang tidak akan pernah disepakati dua bangsa dalam kasus apa pun, melainkan terakomodasinya minat yang berbeda melalui keseimbangan kemunafikan yang bijak dan terkoordinasi. Dalam seni ini, kedua Bangsawan Agung, Saemon dan Genji adalah ahlinya dengan cara mereka masing-masing. Sungguh dia beruntung dapat melayani mereka.
Makoto bertanya, "Apakah Heiko orang buangan?"
"Apa?" kata Saemon dan Tsuda serempak
"Maaf, Tuan-Tuan," kata Tsuda, membungkuk dengan wajah memerah. "Saya tidak bermaksud berbicara. Saya hanya ingin mengatakan?"
Ingin mengatakan apa" Apa yang bisa dikatakan untuk pertanyaan yang begitu lancang, penuh skandal, menghina, dan sangat berbahaya itu" Berbahaya bukan hanya untuk orang yang telah mengucapkannya, melainkan juga mereka yang mendengar. Terutama bagi dirinya! Saemon adalah seorang Bangsawan Agung. Ya, secara resmi memang sudah tak ada lagi bangsawan BUKU KEDUA
33 TAKASHI MATSUOKA SAMURAI JEMBATAN MUSIM GUGUR
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
11. Kutukan Ibunda Sang Penyihir
agung, tetapi kehormatan, kekuasaan, koneksi, kesetiaan, dan pengaruh tetap milik kebanyakan dari mereka. Dia adalah pemimpin di kalangan veteran Restorasi, mempunyai teman-teman berpengaruh dengan kelebihan yang sama, dan dia tahu banyak rahasia yang dapat digunakannya untuk menekan orang yang tidak mau membantunya. Tsuda, bertolak belakang secara menyedihkan, tak lebih dari seorang penghitung dan penyimpan uang. Mengapa dia datang menemui Makoto Stark" Sungguh bodoh. Mungkin dia akan segera mati sebagai orang bodoh.
"Mengapa kalian terkejut?" tanya Makoto. "Hubungannya tampak cukup jelas."
"Tidak bagi kami," kata Saemon. Dia tak berkata apa-apa lagi, dan terus menatap Makoto dengan ketenangan yang tampak tidak pada tempatnya dalam situasi itu.
"Baiklah," kata Makoto. "Dia sudah pergi. Katakun apa yang harus Anda katakan."
"Apa yang membuat Anda mengira aku menyembunyikan sesuatu?" tanya Saemon. Tsuda telah melarikan diri bagai tikus dari gedung yang nyaris terbakar. Bagaimana mungkin seseorang yang membiarkan ketakutannya tampak begitu jelas merasa dirinya setara dengan pria-pria yang lahir sebagai samurai"
"Tolong, Lord Saemon. Aku tidak berkeberatan dipandang rendah sebagai orang Amerika dalam tubuh orang Jepang. Tetapi, aku sama sekali tidak suka diperlakukan seperti orang bermental lemah. Kujamin, aku tidak begitu."
"Tidak, Tuan Stark, tentu saja Anda tidak demikian."
Inilah kesempatan yang langka bagi Saemon.
Ini juga jebakan mematikan yang akan mengancam kepalanya alih-alih kepala musuhnya jika dia melakukan kesalahan kecil saja.
Dia berkata, "Ada bahaya besar di sini, Tuan Stark, untuk semua yang terlibat. Bahaya itu melampaui soal benar atau tidaknya. Pernyataan bahwa seorang pria bangsawan seperti Lord Genji pernah menyentuh seorang buangan tidak dapat diterima. Aku harus memperingatkan Anda, jangan pernah mengulangi kata-kata itu."
"Aku tidak mengerti. Strata sosial sudah disamakan, dan Anda sendiri mengatakan bahwa tak ada orang buangan lagi. Siapa yang akan peduli?"
"Semua orang," kata Saemon. "Garis keturunan teramat penting di sini. Jika darah biru klan Okumichi tercemar karena itu, tak ada anggota klan yang akan pernah bersih dari nodanya.
Banyak jiwa akan hancur. Darah akan tumpah."
BUKU KEDUA 34 TAKASHI MATSUOKA SAMURAI JEMBATAN MUSIM GUGUR
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
11. Kutukan Ibunda Sang Penyihir
"Tercemar, kata Anda."
"Begitulah masalah ini akan dipandang orang."
"Begitukah cara Anda memandangnya?"
"Tentu tidak," kata Saemon. "Takdir itu ada di tangan masing-masing orang, bukan dalam cengkeraman mati para leluhur." Dia memilih kata-katanya dengan hati-hati. Apakah dusta dipercaya atau tidak sangat bergantung pada cara penyampaiannya. "Kita dilahirkan untuk menciptakan diri sendiri."
"Benarkah?" Makoto menuangkan sedikit scotch ke dalam sebuah gelas dan mengangkatnya ke arah cahaya. Dia meletakkannya tanpa meminumnya. "Jadi apa saran Anda, Lord Saemon?"
"Bicaralah kepada ayah Anda," Saemon berhenti. Masa depan berpusar pada kata-katanya dan reaksi Makoto terhadapnya. "Selama ini aku selalu melihat Matthew Stark sebagai orang jujur yang sejujur-jujurnya."
Makoto berkata, "Matthew Stark bukan ayahku."
Saemon merasakan luapan kegembiraan, jantungnya mulai berdegup kencang. Setiap usaha yang ditempuhnya untuk membongkar rahasia Genji membuatnya putus asa selama lima belas tahun ini. Dia sudah curiga dahulu bahwa Makoto adalah anak Genji, bukan Stark. Namun, ketika Genji tidak melakukan apa pun untuk membawa Makoto ke Jepang, Saemon membuang pemikiran itu. Tak bisa dibayangkannya alasan yang membuat Genji meninggalkan putranya di Amerika. Heiko seorang buangan! Jawaban itu, juga alat untuk dimanfaatkannya, telah datang ke dalam genggamannya. Tanpa menunjukkan kegirangan sedikit pun, dia berkata, "Aku tidak mengerti, Tuan Stark. Bagaimana mungkin?"
Sebelumnya, setiap kali Makoto merasa marah, suhu tubuhnya naik. Kini, dia dalam kemarahan yang begitu hebat sehingga kemarahan sebelumnya tampak seperti kekesalan ringan, tetapi alih-alih panas, dia merasa tubuhnya dingin. Jika ada yang menyentuhnya, dia yakin mereka akan mengira menyentuh es.
Genji telah mengatakan yang lebih buruk ketimbang dusta, menghantamkan pukulan lebih kejam dari penelantaran, merampas lebih dari sekadar nama yang menjadi haknya. Dia telah mencuri seluruh hidup Makoto. Semua kenangannya, semua pengalamannya hanyalah tipuan.
Semua itu bukan miliknya, melainkan milik orang yang tak pernah ada. Pada usia dua puluh BUKU KEDUA
35 TAKASHI MATSUOKA SAMURAI JEMBATAN MUSIM GUGUR
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
11. Kutukan Ibunda Sang Penyihir
tahun, dia terlahir kembali sebagai putra seorang penipu jahat dan wanita penghibur yang diangkat derajatnya. Bahkan lebih buruk lagi, jika apa yang dikatakan Shizuka benar. Salah seorang dari mereka pada akhirnya akan mewarisi penderitaan keturunan semacam kesuruan.
Shizuka menyebutnya sebagai kekuatan melihat masa depan, tetapi jelas itu merupakan kebohongan ayah Shizuka untuk menyenangkan putrinya. Ayah Makoto juga.
Jadi, siapakah Makoto"
Dia adalah malaikat pembalasan membersihkan noda dengan darah. Genji akan berbicara dengan menteri-menteri kekaisaran siang ini. Makoto akan menghadangnya di istana.. Itu tempat pertemuan yang sempurna. Biarkan putra Genji, yang membuatnya begitu malu sehingga tidak diakuinya selama dua dekade, biarkan putera terlantar ini menjadi orang yang mengakhiri pengkhianatannya. Makoto mengambil pistol dari kantongnya dan memeriksa magazinnya.
Revolver kaliber 32 itu, itu hadiah dari ayahnya"atau tepatnya orang yang berpura-pura menjadi ayahnya"terisi penuh dan siap ditembakkan.
Dia bangkit untuk pergi. Ketika dia berbalik menuju pintu, di depan sebuah kakemono, lukisan perkamen vertikal, di dalam ruang kecil, tergantung sepasang pedang samurai, panjang dan pendek.
Itulah kesempurnaan terakhir.
Dia akan membunuh Genji dengan senjata ini, pedang dari istananya sendiri. Dengan pisau yang melambangkan jiwa tanpa noda seorang samurai, dia akan mengakhiri hidup seorang lelaki yang kehormatannya hanyalah kedok dan kebohongan.
Makoto Okumichi mengambil pedang yang lebih pendek dari tempatnya, menyembunyikannya dalam mantel dan pergi.
Istana Kaisar, Tokyo Kereta kuda Genji berhenti di gerbang Istana Kaisar, dan Genji sendiri berhenti untuk berpikir. Penggulingan Shogun Tokugawa, Restorasi Kaisar, penghapusan kelas samurai, pemecahan wilayah, penghancuran pahlawan-pahlawan samurai besar terakhir, datangnya orang-orang asing ke Jepang, semua peristiwa ini terjadi dalam jangka kurang dari sepuluh tahun. Genji menerima kredit lebih banyak dari seharusnya untuk semua kejadian itu, dan juga lebih banyak tudingan. Mereka yang menyanjungnya lebih vokal. Mereka yang menyalahkan dirinya lebih keras. Sejak Restorasi, telah terjadi tujuh percobaan pembunuhan. Semua gagal BUKU KEDUA
36 TAKASHI MATSUOKA SAMURAI JEMBATAN MUSIM GUGUR
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
11. Kutukan Ibunda Sang Penyihir
bukan karena pengawal yang menjaganya, melainkan karena dia takkan mati karena pembunuhan hingga bertahun-tahun nanti.
Pertanda itulah yang telah dilihatnya sejak dahulu. Dia akan terbunuh di Mahkamah Nasional, yang bahkan belum ada, dan akan mati dalam pelukan putrinya, Shizuka. Dalam pertanda itu, Shizuka sudah menjadi seorang wanita muda, bukan gadis cilik. Karena itu, masih banyak waktu baginya.
Karena itu, terkejutlah Genji melihat pria muda dengan pedang terhunus memburu keretanya. Sesaat sebelum pedang itu menembus jendela dan menusuk dadanya, dia merasa tertipu. Dia dikatakan akan menerima tiga pertanda dalam hidupnya, tetapi baru dua yang diterimanya, itu pun salah satunya melenceng fatal. Para pengawalnya tidak melihat pembunuh itu pada waktunya. Bilah pedang akan menembus dadanya hingga ke punggung sebelum pengawal dapat menembak si pembunuh. Apakah dia mengenali pembunuh muda itu"
Akan tetapi, pedang itu tidak mengenainya. Alih-alih, pedang itu menembus tubuh pemuda lain yang maju ke depannya dengan pedangnya sendiri. Pembunuh dan pelindungnya saling menikam. Genji tidak mengenali pembunuhnya. Namun, dia tahu siapa pelindungnya.
Dia adalah anaknya yang baru datang, Makoto.
Biara Mushindo Biarawati Kepala Jintoku mengintip ke kamar tamu. Makoto Stark masih tertidur. Sangat tidak biasa biara menerima seorang pria untuk tinggal di sana. Pada masa lampau"yang bagi Jepang, lima belas tahun juga sudah lampau, bergantung masa lampau mana yang Anda bicarakan"hal itu tidak mungkin terjadi. Namun, Lord Genji menyetujuinya secara pribadi.
Keadaan luka Makoto yang serius, ditambah tindakan kepahlawanan yang telah membuatnya terluka itu, membutuhkan pengecualian dari peraturan yang berlaku. Begitu Lord Genji berkata.
Sebenarnya, lebih dari itu. Pada segala sesuatu, selalu ada lebih dari yang dikatakan seseorang.
Dalam kasus ini, hal itu agak jelas.
Pemuda bersangkutan adalah orang yang melakukan kunjungan aneh beberapa minggu sebelumnya. Dia mengoreksi versi pemandu wisata mengenai Pertempuran Mushindo pada 1861 yang terkenal itu. Dia tahu, katanya, karena orangtuanya ada di sana. Ketika Biarawati Kepala bertanya siapa orang tuanya, dia memuji bahwa pertanyaan itu sangat bagus, kemudian pergi begitu saja.
BUKU KEDUA 37 TAKASHI MATSUOKA SAMURAI JEMBATAN MUSIM GUGUR
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
11. Kutukan Ibunda Sang Penyihir
Penampilannya juga berbicara sendiri. Dalam kunjungan sebelumnya, dia mengingatkan Biarawati Kepala kepada seseorang yang tidak bisa dipastikannya. Kini, kemiripan itu begitu jelas sehingga Biarawati Kepala heran karena tidak menyadarinya dengan segera. Tentu saja, akan lebih mudah untuk melihat kemiripan itu jika Makoto berdampingan dengan Lord Genji.
Banyaknya kemungkinan hubungan sungguh menakjubkan. Dia mungkin saja keponakan, adik, atau putra Lord Genji. Dari semua kemungkinan itu, yang paling membingungkan adalah yang terakhir.
Jika Makoto adalah putra Lord Genji, siapa ibunya"
Katanya, orangtuanya turut bertempur. Hanya ada tiga orang wanita di pihak Lord Genji saat itu. Salah satunya, Lady Emily, tidak mungkin ibu Makoto. Sebelum kematiannya yang terlalu cepat, dia melahirkan anak satu-satunya. Perempuan. Berarti tinggal Lady Hanako dan Lady Heiko. Tidak mungkin yang pertama. Dia telah menikah dengan Lord Hide sebelum pertempuran itu, dan melahirkan anak untuk suaminya dalam tahun yang sama. Lord Iwao, anak itu, hampir sebaya dengan Makoto, dan tidak ada kemiripan apa pun yang memungkinkan mereka bersaudara. Itu berarti ibunya pasti Lady Heiko. Mungkinkah" Jika dia ibunya, Lord Genji tentu telah memboyongnya ke istana bersama anak itu. Dia akan menjadikannya selir resmi"pada masa lalu itu hal yang lazim jika tidak benar-benar menikahinya. Lord Genji tentu tidak akan mengirimkan mereka jauh-jauh ke California dan membiarkan anaknya menggunakan nama orang lain sekalipun orang itu teman sebaik Matthew Stark.
Jadi, Makoto pasti keliru, atau berbohong. Atau, Biarawati Kepala gagal melihat sesuatu yang penting. Jika ada kebenaran untuk diungkapkan, dia mungkin akan mengetahuinya sebelum Makoto meninggalkan biara. Waktunya cukup panjang karena luka-luka Makoto serius.
Ajaib juga bahwa dia tidak mati. Beruntunglah Makoto bahwa pedang lawannya meleset dari jantungnya. Beruntunglah Lord Genji karena Makoto membawa pedang. Jika tidak, si pembunuh mungkin berhasil mencapai tujuannya. Namun, Biarawati Kepala menjadi bertanya-tanya, apa yang dilakukan Makoto di dekat gerbang masuk Istana Kaisar dengan pedang pendek tersembunyi di tubuhnya. Pembunuh itu melakukan hal yang persis sama.
Menuju kebun Goro, Biarawati Kepala bertemu Lord Genji yang baru saja tiba.
Dia membungkuk dalam-dalam dan berkata, "Tuanku."
"Bagaimana keadaan Makoto hari ini?"
"Lebih baik, saya rasa. Dia bekerja di kebun dengan Goro pagi ini. Dia sedang tidur siang BUKU KEDUA
38 TAKASHI MATSUOKA SAMURAI JEMBATAN MUSIM GUGUR
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
11. Kutukan Ibunda Sang Penyihir
sekarang." "Bagus. Apakah kau diganggu lagi oleh wartawan?"
"Tidak, Tuanku. Tidak lebih dari dua minggu. Mungkin minat mereka sudah berkurang,"
kata Biarawati Kepala. Dia mengatakannya hanya untuk kesopanan, bukan karena memercayai hal itu. Minatnya sendiri belum berkurang. Apalagi orang lain.
"Kuharap begitu," kata Genji. Tampaknya, dia tidak memercayai perkataannya sendiri pula.
"Aku pergi ke istana untuk membunuhmu," kata Makoto. Dia menggali di sekitar tanaman untuk menggemburkan tanah.
"Kalau kau tidak campur tangan," kata Genji, "orang lain akan melakukannya untukmu."
Dia berdiri di bawah naungan tak jauh dari Makoto dan mengawasi pemuda itu.
"Ya." "Mengapa kau melindungiku jika kaudatang untuk membunuhku?"
"Entahlah," kata Makoto. "Ketika melihat orang itu, kurasa dia akan merampas hakku, padahal aku sudah cukup dicurangi. Itu tidak masuk akal, kan" Jika ada yang merenggut nyawamu, akulah orangnya."
"Jangan menyesal begitu," kata Genji, tersenyum. "Kau akan punya kesempatan lain.
Pulihkan kesehatanmu dan buat rencana baru."
Makoto tertawa pendek, kemudian terengah dan meletakkan tangan di dadanya. "Ya, akan kubuat rencana baru. Benar-benar baru. Ketika pedang itu menembus dadaku, aku langsung tersadar, atau, bisa dikatakan, aku melihat wajah di mata hatiku. Kau tahu siapa?"
"Heiko." "Bukan, Lord Saemon. Aku sadar saat itu juga bahwa dia telah memperdayaiku, dengan sangat lihai pula."
"Kau tidak bermaksud mengatakan Saemon menyuruhmu membunuhku, bukan?"
"Justru sebaliknya. Dia mengatakan apa pun yang dia bisa agar aku bersabar dan memaafkanmu. Kutegaskan, mengatakan. Kata-katanya tidak sejalan dengan maksud sebenarnya.
Dia sangat ahli dalam hal itu. Tidakkah kau memperhatikannya?"
"Tentu saja. Aku selalu memandang Lord Saemon sebagai orang yang tidak dapat dipegang kata-katanya. Bukan berarti dia berdusta, tetapi jika kita mempercayainya, berarti kita terjerumus."
BUKU KEDUA 39 TAKASHI MATSUOKA SAMURAI JEMBATAN MUSIM GUGUR
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
11. Kutukan Ibunda Sang Penyihir
"Tetapi kau sangat dekat dengannya, dan mengandalkan nasihatnya."
"Kelihatannya saja begitu, bukan kepercayaan sesungguhnya," kata Genji. "Karena Lord Saemon tahu itu, masih ada lagi lapisan kebenaran dan kebohongan di bawahnya, dan di bawahnya lagi, dan seterusnya, dan seterusnya. Juga bagiku."
"Semua orang mengatakan kautahu masa depan sebelum terjadi," kata Makoto, "tetapi lihatlah dirimu, seorang yang bisa melihat masa depan, berbicara seperti orang bodoh."
"Oh" Bukankah menempatkan musuh di tempat yang bisa kita lihat adalah langkah bijaksana" Mengapa kau tidak setuju?"
"Kau mengakali diri sendiri, begitu juga dia. Itu hanya masalah kecerdikan konyol siapa yang akan menjadi bumerang lebih dahulu." Makoto mencabut rumput dan menggoyangkannya agar tanah terlepas dari akamya, kemudian menyisihkannya.
Goro masuk ke kebun dengan cangkul di tangan. Dia pergi ke tepi kebun dan mulai menggali untuk memisahkan petak tanaman dengan jalur untuk berjalan.
Makoto berkata, "Kadang-kadang rute pendek dan langsung milik orang bodoh adalah jalan terbaik menuju tujuan." Dia memandang Genji. "Benarkah kau dapat melihat masa depan?"
"Tidak seperti yang dibayangkan orang," kata Genji. "Satu orang dalam setiap generasi kita dapat melakukannya sejak enam ratus tahun lalu."
"Ya, begitu yang dikatakan Shizuka. Kukira kau sudah mengaturnya untuk menceritakan itu."
"Aku percaya, dengan kepolosan dan kejujurannya dia akan menjelaskan lebih baik ketimbang aku."
"Bukankah seharusnya aku diberi tahu sejak dahulu" Cara Shizuka menggambarkannya, kemampuan itu lebih seperti kutukan ketimbang berkah."
"Banyak hal yang seharusnya kukatakan padamu sejak dahulu. Satu hal tak terucapkan berbuntut hal lain, lalu lainnya, lalu lainnya."
Makoto mengangkat bahu. "Tidak jadi masalah. Shizuka akan mendapatkan kemampuan itu. Aku tak pernah menerima pertanda."
"Dia juga belum pernah. Munculnya kemampuan itu sendiri tak dapat diramalkan. Sering datang pada masa puber, khususnya bagi wanita. Bisa juga datang lama setelah itu. Tak ada cara untuk mengetahui siapa di antara kalian yang akan memilikinya."
"Kurasa, itu berarti tak ada cara untuk mempersiapkan diri," kata Makoto.
BUKU KEDUA 40 TAKASHI MATSUOKA SAMURAI JEMBATAN MUSIM GUGUR
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
11. Kutukan Ibunda Sang Penyihir
"Tidak ada, selain menerima kemungkinan itu," kata Genji.
Dia terdiam cukup lama sehingga Makoto mengira percakapan sudah selesai. Dia hendak pindah ke bagian lain kebun itu ketika Genji berbicara lagi.
Katanya, "Mengenai pengakuan, aku siap melakukannya. Aku juga siap menyatakan kau sebagai ahli warisku menggantikan Shizuka."
Makoto tertawa. Dia tahu itu tidak sopan, tetapi dia tak mampu menahannya.
"Tak ada manfaat dalam pengakuan, Lord Genji. Aku membutuhkannya dua puluh tahun silam. Sekarang tak ada gunanya. Sedangkan ahli waris, kau sudah punya. Shizuka benar-benar pantas untuk itu."
Makoto bergabung dengan Goro dan mulai membantunya membuat teras.
"Goro," kata Makoto.
"Goro," kata Goro, tersenyum.
"Makoto," kata Makoto.
Masih sambil tersenyum, Goro berkata, "Kimi," dan kembali memperhatikan bagian tajam cangkul yang membelah tanah.
Makoto tersenyum kepada Genji. "Aku bertekad membuatnya bisa menyebutkan namaku sebelum aku pergi."
"Jika dia bisa, dia akan mengangkatmu sebagai penerusnya dan kau takkan pernah bisa pergi. Selamanya."
Makoto dan Genji saling pandang. Makoto tertawa. Genji hanya menyunggingkan senyum tipisnya yang khas. "
BUKU KEDUA 41 TAKASHI MATSUOKA SAMURAI JEMBATAN MUSIM GUGUR
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
12. Jembatan Musim Gugur 12 Jembatan Musim Gugur Anak-anak Desa Yamanaka sering bermain
di reruntuhan kuil tua di bukit di atas lembah itu.
Kebanyakan dari mereka takut ke tempat itu. Selalu
ada suara-suara aneh di sana yang, kalaupun tidak
tepat terdengar seperti rintihan ruh-ruh teraniaya,
atau lolongan hantu-hantu, atau celoteh jin, cukup
mirip untuk membangkitkan imajinasi anak-anak
tentang semua hal menyeramkan. Itulah salah satu
alasan mereka ke sana. Karena seperti anak-anak
pada umumnya, mereka suka rasa takut, selama
mereka masih bisa menghentikan rasa takut itu
sebelum menjadi tak tertanggungkan. Hal lain yang membuat mereka bermain di sana adalah karena Kimi, gadis kecil pemimpin mereka, juga bermain di sana. Dia suka bermain di sana karena cuma dialah satu dari dua anak yang tidak takut meskipun dia paling kecil. Anak lain yang tidak takut adalah Goro karena dia dungu seperti ibunya, wanita cacat mental di desa itu.
Goro tidak tampak seperti anakanak, karena dia lebih besar dari semua laki-laki di desa itu, bahkan jauh lebih besar. Wajahnya pun lebih mirip orang dewasa ketimbang anak-anak.
Mungkin sebetulnya dia sudah dewasa, tetapi tingkah lakunya kekanak-kanakan sehingga anakanak tidak pernah mempersoalkan kehadirannya di tengah-tengah mereka. Goro sangat kuat, dan kekuatan itu terkadang banyak manfaatnya. Dia juga sangat lembut, jadi tak ada anak-anak yang merasa takut terhadapnya.
Suatu hari, ketika anak-anak bermain-main di sana, salah seorang anak menunjuk-nunjuk dan berteriak.
"Lihat! Ada hantu!"
Gambaran buram sebentuk tubuh samar-samar terlihat dekat sisa benteng batu yang BUKU KEDUA
1 TAKASHI MATSUOKA SAMURAI JEMBATAN MUSIM GUGUR
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
12. Jembatan Musim Gugur mungkin dahulu pernah memagari kuil itu. Beberapa anak yang penakut mulai kabur.
"Itu bukan hantu," celetuk Kimi, "Itu orang."
Laki-laki itu duduk bergeming. Pakaiannya begitu kusam dan pudar, membuatnya seperti bayangan yang muncul dari dinding itu sendiri. Dia sudah tua dengan kepala botak, pipi cekung, dan mata berbinar yang tatapannya tajam. Tuniknya, bertahun-tahun lalu mungkin putih. Di dekatnya terletak topi kain kerucut dan tongkat kayu.
"Siapa Bapak?" tanya Kimi.
"Seorang asketik dan peziarah."
Kimi tahu bahwa asketik adalah seseorang yang telah menjauhi dunia. Peziarah adalah seseorang yang berkelana untuk mencari pencerahan atau untuk menyucikan dosa. Orang-orang desa tidak ada yang seperti itu. Petani miskin tidak memiliki apa-apa untuk dijauhi. Semua yang mereka lakukan dan miliki adalah milik tuan tanah. Petani miskin juga tidak mencari pencerahan karena orang-orang letih di ambang kelaparan lebih membutuhkan istirahat dan makanan ketimbang kebijaksanaan.
Mereka tidak perlu bepergian jauh untuk menyucikan dosa kalaupun sempat, yang
sesungguhnya tidak, karena setiap saat terjaga merupakan penyucian dosa, yang mereka sendiri tak tahu telah melakukannya atau tidak, di kehidupan yang lalu atau yang lain. Kalau lelaki tua ini adalah seorang asketik, mungkin pertemuannya dengan Buddha, dewa, atau iblis telah mengubah hidupnya. Bisa jadi dia punya kisah-kisah menarik untuk diceritakan.
"Apa yang telah Bapak jauhi?" tanya Kimi.
Samurai Karya Takashi Matsuoka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hampir semuanya," jawab rahib itu.
"Ke mana saja Bapak bepergian?"
"Hampir tidak ke mana-mana."
Nah, sampai di sini perbincangan ini buntu. Kimi memutuskan untuk berpindah ke pertanyaan yang sederhana. "Siapa nama Bapak?"
"Zengen." Rahib tua itu menjawab.
"Apa artinya Zengen?"
"Apa artinya nama-nama?"
"Begini. Namaku artinya 'tiada tanding'," kata Kimi. "Dia namanya Goro, sebetulnya nama aslinya bukan Goro, kami hanya memanggilnya begitu, kependekan dari 'Gorotsuki', yang artinya pengacau. Entah mengapa. Dia tak pernah mengacau. Nah, apa artinya Zengen?"
BUKU KEDUA 2 TAKASHI MATSUOKA SAMURAI JEMBATAN MUSIM GUGUR
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
12. Jembatan Musim Gugur "Apa artinya nama-nama?" kata Zengen lagi.
"Kan sudah kubilang. Namaku artinya Tiada tanding'." Kimi mulai berpikir apakah rahib ini betul-betul orang suci atau cuma orang gila. Kadang-kadang kadang sulit membedakan keduanya, apalagi kalau dia rahib dari salah satu sekte Zen. Dari namanya, Kimi yakin begitu.
Namun, bisa jacli itu cuma tipuan orang gila saja.
"Dan apa artinya 'tiada tanding'?"
"Artinya kukira, tidak ada yang dapat menandingiku."
"Dan apa artinya tak ada yang bisa menandingimu?"
"Apa artinya arti?" Jawab Kimi. "Kalau Bapak bertanya terus, nanti Bapak akan bertanya selamanya dan tidak akan pernah mendapatkan jawaban."
Rahib tua itu mengatupkan kedua tangannya membentuk gassho, gerakan menghormat Buddha, dan membungkuk. Katanya, "Terima kasih kembali."
"Terima kasih kembali" Apa aku harus berterima kasih?"
"Kau sendiri yang memutuskan apa yang kaulakukan atau tidak," kata rahib tua itu.
"Mengapa aku harus berterima kasih?"
"Kalau kau bertanya terus, kau akan bertanya selamanya dan tidak akan pernah mendapatkan jawaban."
"Itu perkataanku barusan."
"Terima kasih," kata Zengen dan membungkuk lagi dengan gassho.
Kimi tertawa, lalu kembali membungkuk, mengatupkan kedua tangannya seperti lelaki itu.
Dia masih belum tahu apakah lelaki tua ini orang suci atau orang gila, tetapi bagaimanapun dia sangat menghibur. Tidak ada orang desa yang berbicara seperti dia.
"Terima kasih kembali," sahut Kimi.
"Ini bekas kuil," ujar rahib tua itu.
"Ya, dahulu sekali. Lama sebelum aku lahir."
Dia tersenyum. "Memang sudah lama sekali. Kautahu apa namanya?"
"Kata ibuku namanya Mu-anu. Dia mungkin bercanda." Salah satu makna mu adalah bukan
'apa-apa'. Lelaki tua itu berkedip. Dia mengangkat kakinya dari posisi lotus dan berdiri.
"Mungkinkah?" katanya.
Dia menatap benteng, batu fondasi di rerumputan, tiang penyangga aula yang rubuh, kini BUKU KEDUA
3 TAKASHI MATSUOKA SAMURAI JEMBATAN MUSIM GUGUR
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
12. Jembatan Musim Gugur sebagian besar telah hancur.
"Aku berada di Wilayah Yamakawa."
"Ya," sahut Kimi, "Junjungan kami adalah Lord Hiromitsu. Beliau bukan Bangsawan yang sangat Agung, tetapi beliau bersekutu dengan?"
"Lord Kiyori," kata rahib tua itu.
"Ya, Bangsawan Agung Akaoka," ujar Kimi, "yang bisa melihat masa depan, karenanya tak terkalahkan di medan perang. Kalau perang terjadi sekali lagi, seperti yang dikatakan orangorang."
"Aku telah kembali," ujar rahib tua itu. "Dahulu akulah rahib kepala di sini. Ah, dua puluh tahun yang lalukan itu" Atau sepuluh?" Dia tertawa sendiri. "Aku membangun gubuk di sana, tidak terlalu kukuh memang. Baik aku maupun gubuk itu tidak lama berada di sini."
Sekarang, Kimi yakin Zengen gila. Sejauh yang diingatnya, tempat ini sudah lama jadi puing-puing. Karena dia baru berumur enam tahun, tentu saja apa yang dikatakannya mungkin benar.
Namun, kemungkinan itu kecil.
"Aku akan membangun kuil ini lagi," kata rahib tua itu, "kali ini dengan sungguh-sungguh, dengan kedua tanganku sendiri."
"Aku tidak akan melakukan itu," kata Kimi. "Melakukan apa pun di mana pun di wilayah ini tanpa izin adalah pelanggaran besar. Bapak perlu izin dari Lord Hiromitsu, dan juga pemimpin sekte kuil ini. Aku tidak yakin sekte apa, dan apakah masih ada."
"Aku akan mendapatkan izin yang diperlukan," kata rahib tua itu.
Meskipun dia tersenyum bahagia, air mata mengalir di pipinya. Kimi menjadi yakin dia penganut aliran Zen Patriarkat karena sudah terkenal orang seperti itu, terutama para gurunya, sering menangis dan tertawa bersamaan. Namun, tidak berarti dia bukan orang gila.
"Aku sudah mengembara tanpa arah bertahun-tahun," katanya, "dan tanpa tujuan. Aku mendapati diriku tepat di tempat seharusnya aku kembali. Syukurku tak terkira." Dia berlutut dan bersujud menghadap tiang penyangga yang keropos.
Kemudian, lelaki itu menulis surat, lalu diberikannya kepada Kimi untuk diantarkan ke kastel Lord Hiromitsu. Kimi lalu mempercayakan surat itu kepada Goro, yang kuat berlari berpuluh-puluh kilometer tanpa lelah. Pengetahuannya tentang arah memang sangat buruk, tetapi kastel itu tidak terlalu jauh letaknya, tepat di ujung jalan utara. Jadi, Goro sekalipun bisa mencapainya tanpa kesulitan. Kimi hanya khawatir surat Zengen hanya akan menimbulkan BUKU KEDUA
4 TAKASHI MATSUOKA SAMURAI JEMBATAN MUSIM GUGUR
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
12. Jembatan Musim Gugur masalah, dan menyebabkan Goro dihukum, alih-alih mendapatkan izin. Namun, Zengen bersikeras ketika dia memperingatkannya. Jadi, mau bagaimana lagi"
Dua minggu kemudian, kekhawatirannya terbukti. Pasukan yang terdiri dari dua puluh samurai berkuda tiba dan memanggil kepala desa. Pemimpin pasukan samurai itu adalah seorang laki-laki bertampang garang yang seolah-olah siap membunuh siapa saja yang dilihatnya.
Dia berseru kepada kepala desa yang menyembah-nyembah, "Di mana Kuil Mushindo?"
Mata kepala desa itu terbelalak kaget dan mulutnya ternganga. Dia tidak mengangkat kepalanya dari tanah, dan tetap bungkam.
Pemimpin samurai itu berpaling kepada salah seorang anak buahnya dan berkata, "Taro, penggal dia. Barangkali, penggantinya sebagai kepala desa akan lebih cepat menjawab."
"Baik, Lord Saiki."
Kimi, yang sedang membungkuk di belakang bersama anak-anak yang lain, mendongak dan melihat samurai yang dipanggil Taro itu turun dari kudanya lalu menghunus pedangnya.
"Tunggu, Tuan Samurai," seru Kimi. "Saya akan mengantar Anda." Lord Saiki melotot marah ke arahnya. Kimi kembali menjatuhkan kepalanya ke tanah dengan ketakutan. Mengapa dia berbicara" Dia bahkan tidak menyukai Buncho, kepala desa itu, yang selalu menghardik dan memerintah orang. Dan, dia juga tidak tahu apakah puing-puing kuil Mu-anu itu adalah Kuil Mushindo yang sedang dicari para samurai. Sekarang, dia pasti akan kehilangan kepalanya pula.
"Hai, kau gadis kecil," kata Lord Saiki, "berdiri!"
Dengan tubuh gemetar, Kimi menurut. Dia berharap tidak akan terkencing-kencing ketakutan. Tak apa mati. Namun, lain masalahnya jika mati sambil ditertawakan. Di sebelahnya, Goro juga berdiri karena dia selalu meniru apa pun yang dilakukannya.
"Hai, Dungu!" seru Lord Saiki, "mengapa kau berdiri" Aku tidak menyuruhmu!"
"Tuan Lord," kata Kimi, "dia memang dungu, jadi dia tidak tahu."
Salah seorang samurai di pasukan itu tertawa.
Dia memang berhasil menelan tawanya, tetapi Lord Saiki sudah telanjur mendengarnya.
"Hide, kau akan bertugas mengurus kuda sampai ada pemberitahuan lain."
"Baik, Lord!" sahut Hide, tak lagi tampak riang.
"Tunjukkan jalannya, gadis kecil," perintah Lord Saiki.
"Ya, Tuan Lord," Kimi membungkuk dan menuruti perintahnya. Sangat dekat di belakangnya, Goro melakukan hal yang sama.
BUKU KEDUA 5 TAKASHI MATSUOKA SAMURAI JEMBATAN MUSIM GUGUR
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
12. Jembatan Musim Gugur Jika samurai memang datang untuk mencari Zengen Tua, Kimi berharap mereka hanya akan menangkapnya, bukan mengeksekusinya. Penahanan dan penyiksaan tidaklah terlalu buruk bagi penganut Zen dibandingkan bagi orang lain karena kuil mereka juga menyerupai penjara, begitu yang didengar Kimi. Di kuil itu, mereka kelaparan, dipukuli, kurang tidur, dan dipaksa menatap tembok atau lantai selama berhari-hari setiap kalinya. Kalau mereka bergerak sedikit atau bersuara, seorang rahib senior akan menghardik dan memukuli mereka dengan tongkat. Kalau mereka tertidur, kelopak mata mereka akan dipotong. Kalau mereka tidak bisa bertahan dalam posisi lotus, kaki mereka akan dipatahkan. Penjara akan seperti pulang ke rumah saja bagi Zengen, bukan" Kimi dan Goro berlari menuju reruntuhan dan berharap yang terbaik.
Apa yang terjadi mengejutkannya lebih dari apa pun yang bisa dibayangkannya.
Zengen Tua sedang menyapu rumput-rumput panjang yang baru dipotongnya ketika
rombongan samurai tiba. Dia meletakkan peralatannya dan membungkuk dalam gassho.
Pasukan itu berhenti dan seluruh samurai turun dari kuda, termasuk Lord Saiki. Mereka semua berlutut dan bersujud dengan kepala mereka menyentuh tanah.
"Lord Nao," sapa Lord Saiki, "Lord Kiyori, Lord Shigeru, dan Lord Genji mengirimkan salam hangat mereka kepada Anda. Mereka memohon Anda
dapat memberitahukan kapan kiranya Anda siap menerima tamu, dan mereka akan datang secepatnya."
"Terima kasih, Lord Saiki," Zengen tua menjawab," tetapi aku bukanlah Lord, dan dia yang bernama Nao sudah tidak ada lagi. Aku adalah Zengen, seorang pengikut jalan Buddha, tidak lebih."
Lord Saiki mendongak dan tersenyum, "Mungkin sedikit lebih dari itu." Dia memberi isyarat dan Taro melangkah maju membawa tempat perkamen dari sutra, lalu meletakkannya di tangan Zengen sambil membungkuk dalam-dalam. "Atas perintah Pemimpin Sekte Mushindo, Anda ditunjuk kembali sebagai rahib kepala kuil ini."
Zengen tersenyum, "Wah, wah."
"Kami akan tinggal dan membantu Anda dalam pemugaran ini, Yang Mulia Rahib Kepala.
Lord Hiromitsu sudah memberikan izin kepada kami untuk mempekerjakan sebanyak mungkin orang desa bilamana diperlukan."
"Jika para petani diambil dari sawah-sawah pada masa bercocok tanam ini, panen mereka akan berkurang dan mereka akan menderita. Aku tidak membutuhkan bantuan mereka, atau Anda, Lord Saiki. Aku akan memugar Mushindo sendiri."
BUKU KEDUA 6 TAKASHI MATSUOKA SAMURAI JEMBATAN MUSIM GUGUR
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
12. Jembatan Musim Gugur "Setidaknya izinkan kami untuk membawakan bahan-bahan yang diperlukan."
"Itu juga tidak perlu. Akan kugunakan apa yang bisa kutemukan. Yang tidak kutemukan, tidak akan kugunakan."
"Sendiri, dan tanpa bahan. Akan menjadi tugas yang berat sekali. Mushindo sudah menjadi puing selama seabad, bahkan lebih."
"Aku tidak sendiri," Zengen tua berkata. "Kimi akan membantuku. Bukan begitu?"
"Ya," sahut Kimi, "dan juga Goro."
"Gadis kecil, anak dungu, dan puing-puing. Anda telah memilih cara yang berat, Yang Mulia Rahib Kepala."
"Sama sekali tidak, Lord Saiki. Sekali lagi, inilah jalan yang telah dipilihkan untukku."
Sejak itu, Kimi dan anak-anak lain sering mengunjungi Zengen. Ternyata, dia telah mengunjungi tempat-tempat lebih banyak dari yang dikatakannya.
Hampir ke mana-mana, mungkin lebih tepat ketimbang hampir tidak ke mana pun. Dia telah mengunjungi seluruhnya dari ke-88 kuil yang tercakup dalam perjalanan ibadah Shikoku, yang dirintis oleh wali Kobo Daishi lebih dari seribu tahun yang lampau. Konon, mereka yang melakukannya dengan tulus akan mendapatkan pembebasan dari 88 godaan indra.
"Bapak mendapatkannya?" tanya Kimi.
"Aku mendapatkan otot-otot pegal, kaki sakit, dan kulit terbakar matahari," kata Zengen.
Dia juga sudah menyeberangi inland Sea ke Honshu, dan pergi ke gunung suci Hiei. Di sana dia mendengarkan khotbah guru-guru Buddha terkemuka, serta melakukan ritual dan ibadah sekte-sekte rahasia yang mengajarkan ilmu sihir, mencari pembebasan dari nestapa dan derita duniawi.
"Bapak mendapatkannya?" tanya Kimi.
"Hanya orang bodoh yang percaya sihir," kata Zengen, "dan lebih bodoh lagi dia yang ingin hidup, tetapi enggan menderita. Di tengah api yang menyala, bagaimana kaulari dari kobarannya" Di tengah es, bagaimana kaulari dari dinginnya yang membekukan?"
Kuil yang dibangun oleh Rahib Kepala Zengen tidak terlalu mirip dengan kuil-kuil lain dan cenderung menyerupai kuil-kuil yang telah dibangunnya di Wilayah Shiroishi, ketika dia masih BUKU KEDUA
7 TAKASHI MATSUOKA SAMURAI JEMBATAN MUSIM GUGUR
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
12. Jembatan Musim Gugur menjadi salah satu dari 260 bangsawan agung di Jepang. Bangunan itu lebih mirip benteng kecil ketimbang tempat ibadah. Ini disesalinya karena dia tak lagi memiliki ide-ide militer di benaknya, tetapi dia hanya mengetahui satu cara untuk membangun, yaitu cara ketika dia masih menjadi samurai pada masa lampau.
Suara-suara aneh dan menakutkan yang dikisahkan anak-anak kepadanya memang bukan sekadar isapan jempol. Memang, ada suara-suara yang mengerikan dan mengganggu, tetapi bagi Rahib Kepala, yang telah kehilangan segalanya dan berpisah dari dunia, semua itu tak lebih untuk mengingatkannya kepada kematian dan penderitaan yang tak terelakkan.
Sejalan dengan waktu, ketenangan yang lembut melingkupi Zengen. Suatu hari, dia menemukan dirinya dalam kedamaian. Bukan karena penderitaannya telah hilang, atau bahkan berkurang, karena itu tak mungkin. Namun, semacam penerimaan telah mengubah segalanya.
Jawaban dinilai berlebihan. Pernah, dia menganggap pertanyaan itu memiliki nilai lebih besar. Sekarang, dia tahu bahwa pertanyaan juga sangat tak berguna.
Suatu hari, sekelompok orang asing tiba. Mereka datang atas undangan Bangsawan Agung Akaoka untuk membangun kuil agama mereka yang menyembah sosok semacam Buddha yang mereka sebut Yesus Kristus. Zengen menawarkan kepada mereka untuk menggunakan
Mushindo. Hari suci mereka adalah Minggu. Bagi Zengen, setiap hari adalah sama baiknya.
Orang-orang Kristen"demikian mereka menyebut diri mereka"menolak dan berkata ingin membangun sendiri kuil mereka. Sebelum mereka memulai, wabah kolera menyerang mereka, menewaskan semuanya kecuali satu orang. Tidak ada yang dapat melafalkan nama orang itu, yang terdengar seperti Jimbo. Dalam sakitnya, entah bagaimana dia berhasil mempelajari bahasa Jepang. Ini bukan kasus pertama. Zengen pemah mengenal seorang nelayan yang lolos dari kecelakaan kapal dan nyaris tenggelam. Dia diselamatkan oleh para pelaut Rusia, lalu mengalami demam hingga mengigau selama sebulan. Setelah sembuh, dia berbicara bahasa Rusia dengan sangat baik. Perubahan tak terduga terkadang muncul karena dekatnya seseorang dengan kematian.
"Izinkan saya menjadi murid Anda," kata Jimbo.
BUKU KEDUA 8 TAKASHI MATSUOKA SAMURAI JEMBATAN MUSIM GUGUR
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
12. Jembatan Musim Gugur "Tidak bisa," jawab Zengen. "Aku bukanlah orang suci. Aku hanyalah manusia biasa yang memakai jubah orang suci. Apa yang bisa kaupelajari dari sehelai jubah kosong?"
Mata Jimbo seketika berpendar oleh kemilau air mata. Dia membungkuk dan berkata,
"Terima kasih Rahib Kepala. Saya akan bermeditasi dengan tulus di bawah bimbingan Anda."
Begitulah, tanpa ambisi dan keinginan, Zengen menjadi guru di jalan Buddha.
Lelaki tua itu duduk dengan sikap meditasi Zen di sebuah gubuk di gunung yang dua hari jauhnya dari Kuil Mushindo, kuil yang telah dua kali dipimpinnya. Di atas sana, dari sela-sela ranting yang melintang sekenanya menjadi atap, bintang-bintang musim dingin berpijar redup menembus kabut yang mengambang turun ke dasar lembah. Dia tetap dalam sikap meditasi, dengan tangan menelungkup membentuk mudra Zen, tetapi sebenarnya dia tak sungguh-sungguh bermeditasi. Dia sedang sekarat, dan sekarat telah muncul dari meditasinya untuk mendapati dirinya sedang merenungkan betapa cepatnya kehidupannya berlalu. Tidak ada sesal, hanya sedikit rasa takjub.
Kemarin dia adalah seorang bangsawan agung, dengan samurai beringas dalam
komandonya, memiliki seorang istri yang setia, dua anak laki-laki yang tangguh, seorang anak perempuan yang jelita, dan cucu-cucu yang riang gembira. Sehari sebelumnya, dia adalah seorang pemuda yang ketakutan. Dengan seperangkat pedang pertamanya, dia berkeringat ketakutan dalam baju besinya, ketika pasukannya menumpas gerombolan petani kelaparan yang putus asa. Dan pada pagi sebelumnya, dia adalah seorang bocah sepuluh tahun, yang berlutut di samping ranjang jenazah ayahnya, bersumpah sambil bercucuran air mata bahwa dia akan menunaikan misi kuno klan mereka untuk menyingkirkan dan membinasakan Shogun
Tokugawa. Dan sekarang, dia sekarat.
Siapa tahu" Mungkin dia sebenarnya sudah mati. Dirinya sekarang hanyalah ruh yang gentayangan di atas jenazahnya bagaikan asap dupa yang terkadang mengambang di udara beku dalam ruangan yang sunyi. Begitu angin kencang bertiup, ruhnya akan buyar.
Napasnya, seandainya masih ada, begitu lemah sampai-sampai tak terasa.
Dilihatnya tangannya. Di sana telah tersentuh pedang, terbelai wanita-wanita, dan terbelai anak-anak.
Tangan itu telah membunuh, memaafkan, dan mencinta.
BUKU KEDUA 9 TAKASHI MATSUOKA SAMURAI JEMBATAN MUSIM GUGUR
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
12. Jembatan Musim Gugur Sekarang, mereka beku. Mampukah dia menggerakkannya, seandainya dia mau"
Dia tidak mau, karenanya dia tak akan pernah tahu"
1895, Istana Genji di Sungai Tama di Luar Kota Tokyo
Genji telah menyiapkan pidato untuk disampaikannya di depan Mahkamah Nasional
meskipun dia tahu bahwa dia akan mati sebelum dia menyampaikannya. Hari ini adalah hari yang telah dilihatnya dalam pertanda bertahun-tahun lampau, hari pembunuhannya. Hampir semasa hidupnya, dia telah tahu kapan, di mana, dan bagaimana dia mati. Apakah pengetahuan ini berkah atau kutukan" Keduanya, barangkali. Terkadang pengetahuan itu membuatnya lalai, pada saat seharusnya dia waspada, dan terkadang ia memberinya keberanian pada saat dia dilumpuhkan rasa takut.
Sekarang, hidupnya akan berakhir. Telah hilang setiap keraguan kecuali satu. Kakeknya, yang ramalannya selalu benar, memberitahunya bahwa dia akan mendapatkan tiga pertanda dalam hidup, dan ketiganya cukup untuk membimbing kehidupannya dari awal hingga akhir.
Mana pertanda ketiga" Lord Kiyori adalah seorang samurai tradisional yang cerdik. Mungkin dia telah berbohong, agar Genji tetap waspada. Tampaknya begitu. Tidak ada waktu untuk pertanda ketiga. Bahkan, seandainya itu datang, untuk apa"
Genji mengamati dirinya di cermin. Dia kelihatan konyol, dengan kumis dan cambang ala jenderal Prancis, mantel pagi politisi Inggris, dan wajah layu bangsawan Jepang pada usia paruh baya. Dia mengenang wajahnya ketika pertama kali berjumpa Emily Gibson. Dahulu rambutnya ditata rumit bergaya samurai yang kini telah punah. Wajahnya dahulu muda, tanpa cambang, wajah yang sangat bangga karena terlahir dengan darah bangsawan.
Apakah dia begitu arogan selama ini"
Genji terbahak. Ya, memang. Begitulah dirinya dahulu.
Dia berpaling dari cermin, dan"
Genji berumur tiga tahun. Dia berjalan menyusuri tepian Danau Batu Putih dekat Kastel Batu Putih, benteng sang kakek dari pihak ibunya, Lord Nao. Dia memegang layang-layang kertas mungil beserta talinya yang terlilit pada sebatang ranting. Pada sisi layang-layang yang BUKU KEDUA
10 TAKASHI MATSUOKA SAMURAI JEMBATAN MUSIM GUGUR
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
12. Jembatan Musim Gugur menghadap ke bawah, terlukis sekawanan burung gereja dengan wama khayalan yang cemerlang alih-alih warna kenyataannya yang suram.
Seorang pria dan wanita masing-masing berjalan di sampingnya. Mereka adalah ibu dan ayahnya.
"Kastel Batu Putih. Danau Batu Putih. Wilayah Batu Putih. Mengapa semuanya disebut Batu Putih padahal tidak ada satu pun batu putih di sini?" tanya Genji.
Ibunya menjawab, "Karena batu putih adalah kekayaan asli wilayah kakekmu. Tepian danau ini dahulu terkenal dengan batu putih yang biasa dipakai dalam permainan go. Para seniman lebih memilih batu itu ketimbang induk mutiara terbaik. Dikisahkan, pahlawan Yoshitsune yang agung menghargai batu Shiroishinya lebih dari apa pun, kecuali kehormatan, kemenangan di peperangan, dan kekasihnya."
"Jadi, di mana batu itu sekarang?"
"Keberadaannya tak seperti induk mutiara. Suatu hari batu itu tak ada lagi."
"Apakah itu ketika Kakek Nao menanam pohon-pohon apelnya?"
"Tidak. Leluhumya yang menanamnya dahulu. Batu putih itu menjadi nama wilayah, danau, dan kastel, lama setelah batu putihnya sendiri telah punah."
"Membingungkan," kata Genji kecil, sembari mengendurkan benang layang-layangnya dan siap berlari, "seharusnya namanya diganti."
Kata ayahnya, "Nama itu bukan hanya penjelasan. Nama itu menjadi lambang yang abadi meskipun banyak hal telah berubah. Seperti namamu, Genji."
Genji melihat kedua orangtuanya bertatapan Mereka tersenyum.
Genji yang sekarang selalu terkenang tatapan itu, tatapan yang selalu membuatnya merasa tak nyaman karena tidak melibatkannya. Saat ini baru disadarinya bahwa pengabaian itu bukanlah disengaja, hanyalah konsekuensi pasti hubungan suami istri. Tak ada ruang buat yang lain.
"Aku juga tak suka namaku," seru Genji, lalu berlari menyusuri pantai untuk menerbangkan layang-layangnya.
Namanya, Genji, berasal dari nama pangeran yang menjadi pahlawan populer dalam novel kuno Lady Murasaki pada Zaman Heian. Selain itu, Genji juga adalah nama lain pahlawan agung Yoshitsune dari generasi Minamoto, yang memenangi pertempuran melawan pasukan musuh yang jauh lebih besar tujuh ratus tahun lalu. Hanya Minamotolah yang dapat menjadi Shogun.
BUKU KEDUA 11 TAKASHI MATSUOKA SAMURAI JEMBATAN MUSIM GUGUR
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
12. Jembatan Musim Gugur Shogun yang berkuasa saat itu, seorang Tokugawa, mengaku keturunan Minamoto. Genji mendengar kasak-kusuk orang tentang betapa konyol dan terlalu muluknya nama Genji untuk anak seorang bangsawan rendahan. Apa yang dipikirkan orangtuanya, begitu orang berkata.
Apakah mereka pikir anak kecil itu akan bisa setampan Shining Prince dalam cerita legenda"
Apakah anak kecil dari generasi Okumichi itu, suatu saat akan bisa menjadi Shogun"
Sekarang, ketika dirinya yang menjadi bocah berumur tiga tahun itu berlarian di pantai dengan layang-layang melambung pasrah di belakangnya. Genji yang berusia 58 tahun ingat bagaimana dia mendapatkan nama itu. Ibunya menikah dalam usia masih sangat belia. Dia mengetahui kisah-kisah lebih baik ketimbang dia mengenal hidup, dan kisah yang paling disukainya adalah novel Lady Murasaki. Dia ingin memiliki Genji sendiri meskipun dia adalah anaknya, dan bukan kekasihnya. Menyetujui nama itu juga merupakan bukti cinta ayahnya kepada ibunya meskipun itu hanya akan menambah cemoohan yang sudah diterimanya sejak menjadi menantu Lord Apel. Dia pasti telah mati-matian mempertahankan nama itu dari protes keras Lord Kiyori dan Lord Nao. Cinta itu ada dalam namanya, dan dalam tukar pandang ayah ibunya, juga dalam senyum yang hanya menjadi milik mereka berdua.
Layang-layang itu tidak juga naik. Genji menjadi kesal. Dia berniat akan merobek-robek dan melempar layang-layang itu ke danau ketika didengarnya ayahnya berseru.
"Lari kemari, Genji, melawan arah angin!"
Ketika dia berlari ke sana, dilihatnya di belakangnya layang-layangnya menentang angin dan mulai naik. Genji yang sekarang ingin melihat ke arah ibunya. Jika dia berusia tiga tahun, ibunya sedang mengandung adik perempuannya, yang kelahirannya membunuh mereka berdua. Hari itu adalah hari bahagia terakhir Genji kecil bersama-sama ayah dan ibunya. Dia ingin memandang ibunya. Dia ingat ibunya wanita yang sangat cantik, tetapi semua anak laki-laki pasti menganggap ibunya cantik. Dia ingin melihatnya sekarang dan mengenangnya karena dalam usianya sekarang dia tidak lagi bisa melakukannya. Dahulu usianya 3 tahun dan sekarang 58
tahun. Dahulu ibunya berusia 20 tahun, dan tidak pernah mencapai 21 tahun. Layang-layang itu terbang tinggi di langit jauh di atas tepian Danau Batu Putih.
Anak lelaki itu mendongak. Layang-layangnya yang berlukiskan burung-burung gereja dengan warna-warni fantastis tampak mencolok di langit bagaikan serpihan permata pelangi.
Dia tertawa, dan mendengar tawa ayah ibunya semakin keras ketika dia mendekati mereka. Saat itu layang-layangnya terbang semakin tinggi dan semakin tinggi.
BUKU KEDUA 12 TAKASHI MATSUOKA SAMURAI JEMBATAN MUSIM GUGUR
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
12. Jembatan Musim Gugur Pria itu ingin memandang ibunya, dan bukannya layang-layang itu, dan pria itu mencoba memalingkan kepala bocah laki-laki itu dan"
"Lord Genji!" Dia mendengar seruan, cemas, jauh, samar. Ketika dia membuka mata, dilihatnya Hide, pengawalnya yang paling setia. Namun, di mana penutup gelung rambutnya, kimononya, pedangnya" Kesadarannya pulih. Genji teringat bahwa Hide sudah mati, terbunuh demi melindungi dirinya dalam salah satu usaha pembunuhan yang sering dilakukan musuh-musuhnya bertahun-tahun ini. Penutup gelung rambut, kimono, dan pedang sudah tidak ada lagi seperti halnya Shogun, bangsawan agung, dan samurai. Semuanya telah menghilang selamanya. Laki-laki muda yang mirip Hide itu adalah putranya, Iwao.
Iwao berpaling ke arah pengawal di belakangnya dan berkata, "Beri tahu Ketua Mahkamah bahwa Lord Genji jatuh sakit dan tidak bisa memberikan pidatonya di depan Mahkamah hari ini."
"Tunggu." Genji duduk. "Aku akan siap berangkat sebentar lagi." Dia tahu, penundaan yang disebabkan pertanda ketiga dan terakhirnya ini, hanya akan memberi kesempatan kepada pembunuhnya untuk masuk ke dalam ruangan. Dia tak mampu menahan dirinya untuk tidak merasa geli karena ironi ini meskipun jiwanya akan melayang. Pertanda ketigalah yang memastikan pertanda pertamanya terwujud. "Bantu aku naik ke kereta."
Genji menyesal dia telah gagal memanfaatkan pertanda itu dengan sebaik-baiknya. Dia gagal melihat ibunya dengan lebih dekat. Apakah dia secantik yang selalu diingatnya" Dia akan mati dengan pertanyaan tak terjawab.
Namun, dia telah belajar sesuatu, scsuatu yang sangat berharga. Pertanda tentang masa lalunya tidak akan membimbing masa depannya karena sisa hidupnya tinggal beberapa ratus detak jantung saja. Sebaliknya, dia telah diberkahi pertanda tentang masa kecil yang bahagia.
Selama ini, dia hanya mengingatnya sebagai masa penuh aib dan derita. Dia telah melupakan hari-hari bahagia itu, ketika mereka bertiga, mungkin merupakan keluarga kecil paling bahagia di seluruh kepulauan Jepang.
"Tuanku?" Mereka telah tiba. Genji melangkah turun dari kereta.
"Apakah Anda yakin, Anda cukup sehat untu berbicara hari ini, Tuanku?"
"Ya, aku baik-baik saja."
BUKU KEDUA 13 TAKASHI MATSUOKA SAMURAI JEMBATAN MUSIM GUGUR
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
12. Jembatan Musim Gugur Munculnya pertanda terakhimya telah membantu pembunuhnya dengan cara lain. Pengawal-pengawal Genji, prihatin dengan kondisinya yang tampak sakit dan lemah, justru mencurahkan perhatian kepadanya lebih banyak ketimbang seharusnya sehingga mereka abai terhadap kemungkinan bahaya yang mengintai dari kerumunan orang.
Ramalan dan hasil saling terjalin dan tak terpisahkan. Ketika dia masih kecil, dia tidak memahami ini. Dia tak habis pikir mengapa Lady Shizuka yang mengetahui banyak hal tentang masa depan, tetap saja tak bisa menggagalkan pengkhianatan meskipun dia telah mengetahuinya lama sebelum itu terjadi. Kini, di ujung hayatnya, misteri itu terjelaskan dengan sendirinya.
Mengetahui masa depan sama seperti mengetahui masa lalu. Peristiwa-peristiwa tak bisa diatur dan diubah, hanya cara menyikapinya yang bisa diubah. Seperti bumi, hati juga memiliki arah. Kepahitan, amarah, ketakutan, dan kebencian membentang ke satu arah; ketenangan jiwa, rasa syukur, kebaikan, dan cinta, membentang ke arah lainnya.
Kemampuan untuk memilih arah hati ini merupakan kekuatan sejati mereka yang terberkati, yang juga merupakan satu-satunya kekuatan sejati setiap manusia.
Betapa beruntungnya dia dengan cinta yang pernah diberikannya dan cinta yang telah diterimanya.
Suara gaduh perdebatan terdengar dari ruangan Mahkamah. Iwao melangkah ke satu sisi dan membukakan pintu untuknya.
Okumichi Genji, Sahabat Kekaisaran, Menteri Tanpa Jabatan dalam pemerintahan Paduka Yang Mulia Kaisar Mutsuhito, mantan Bangsawan Agung Wilayah Akaoka, kekasih geisha dan misionaris sekaligus pembunuh mereka, tersenyum kecil, senyum mengejek diri sendiri yang sering disalahartikan, dan berjalan dengan tenang menuju pengejawantahan pertandanya.
1867, Kastel Awan Burung Gereja
Cinta Emily untuk Genji pasti dan tak tergoyahkan. Seluruh anggota tubuhnya, perasaannya, hidupnya, kebahagiaan duniawinya, tempatnya di surga, semuanya akan dikorbankannya untuk Genji tanpa mengeluh. Seandainya meleburkan diri ke kerak terbawah neraka dapat menyelamatkan Genji, dia akan bersukacita terjun ke dalam kobaran api. Kebahagiaan manakah BUKU KEDUA
14 TAKASHI MATSUOKA SAMURAI JEMBATAN MUSIM GUGUR
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
12. Jembatan Musim Gugur yang lebih besar dari pengorbanan demi keselamatan sang kekasih" Dalam keluguan masa mudanya, dia membayangkan bahwa cinta seperti itu begitu diperolehnya akan selalu membimbing setiap langkahnya. Betapa naifnya pemikiran demikian.
Cinta itu, disimpulkannya, bukan semata permasalahan ruh.
Akhir-akhir ini, dia mulai merasakan gejalagejala fisik yang mengganggu kalau Genji hadir di dekatnya, terutama apabila mereka hanya berdua. Lebih buruk lagi, dia tidak merasa sensasi yang timbul itu tidak menyenangkan. Pendidikan yang didapatnya dan keteguhan imannya telah mencegahnya berfokus terlalu lekat pada hal itu. Namun, dia tetap tidak bisa mencegah dirinya merasakan pengaruh nya yang begitu dahsyat dan intim. Tak ada masalah selama Genji tidak tertarik kepadanya karena ketiadaan perasaan Genji terhadapnya merupakan pertahanan ampuh bagi dirinya melawan perasaannyaterhadap Genji. Namun akhir-akhir ini, dia merasa telah memergoki Genji memandangnya dengan ganjil, pandangan seorang pria dengan gejolak nafsu yang sesaat mengalahkan pertahanan moral dan adab. Ketika Emily menangkap pandangan itu, dia tidak merasa malu atau takut seperti dahulu. Alih-alih, dia tersipu-sipu, dan kulitnya bergelenyar pedih di balik gaunnya. Seandainya Genji lupa diri, mampukah dia menolaknya"
Samurai Karya Takashi Matsuoka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Emily merasa dia tak punya kekuatan untuk itu. Masalah ini akan mudah terpecahkan dengan kepergiannya, kalau yang dia khawatirkan hanyalah kesuciannya. Namun, bukan itu. Jiwa abadi Genjilah yang dicemaskannya.
Kalau dia pergi, dia akan terhindar dari dosa syahwat yang tidak terencana. Namun dengan berpikir begitu, bukankah dia hanya menempatkan dirinya di depan Genji dengan menyamarkan keegoisannya dalam moralitas" Genji memiliki banyak peluang untuk berbuat mesum tanpa melibatkan dirinya. Di samping begitu banyaknya geisha, saat ini ada dua lagi wanita muda malang yang baru saja memasuki rumah tangganya untuk menjadi budak hina sebagai selir.
Selama bertahun-tahun, Emily mengira telah berhasil mengalihkan Genji dari tradisi leluhur yang keliru. Namun, kejadian itu menunjukkan bahwa jerih payahnya masih belum tuntas.
Hal yang lebih parah dari keterjerumusan Genji pada godaan berahi adalah kerancuan sikap spiritual terhadap Tuhan yang tak juga berubah. Dia menyatakan penyerahan diri pada kehendak ilahiah dan kemahakuasaan Tuhan Bapa, bersyukur atas pengorbanan dan kebangkitan kembali Tuhan Anak, bersukacita atas ampunan dan rengkuhan ayoman Roh Kudus. Namun, dia tidak mengakui bahwa. kemajemukan Buddha dan tuhan-tuhan itu hanyalah takhayul. Lebih jauh, dia masih melakukan praktik memuja kehampaan seperti yang dianjurkan oleh sekte Zen Patriarkat BUKU KEDUA
15 TAKASHI MATSUOKA SAMURAI JEMBATAN MUSIM GUGUR
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
12. Jembatan Musim Gugur yang sesat itu. Katanya itu bukanlah pemujaan. Lalu, apa namanya"
"Ini hanyalah melepaskan," begitu dia selalu berkata.
Bukankah itu merupakan kebalikan total dengan penyelamatan, yaitu memegang teguh firman dan kasih Sang Juru Selamat"
Genji terjangkit penyakit yang pada umumnya diderita orang-orang di negaranya, yaitu kemampuan untuk memeluk banyak agama yang berbeda secara bersamaan. Dia merasa tidak masalah untuk menjadi pemeluk Buddha, Sinto, Kristen, sekaligus. Dia dapat mengimani kehendak bebas sebagaimana dia mengimani takdir. Dia dapat menerima firman Tuhan dan kehampaan dengan amin yang sama.
Dari semua perbuatannya yang sesat, yang paling gawat adalah keyakinannya tentang mukjizat melihat masa depan. Menurutnya, bakat itu mengalir dalam darahnya. Kakeknya, mendiang Lord Kiyori, mempunyai kemampuan itu, kata Genji, demikian pula pamannya, Shigeru, yang membunuh ayahnya sendiri. Genji tidak menyatakan dirinya juga memiliki mukjizat itu semata karena dia tahu bahwa pernyataan seperti itu akan menyerang keyakinan utama Emily Membiarkan orang menganut pandangan sesat tidak akan beroleh ampunan Tuhan. Berdiam diri seperti itu hanya akan melipatgandakan dosa.
Kepergiannya akan menandakan berakhirnya proses perpindahan Genji dari paganisme ke ajaran Kristen. Hanya apabila Emily mendampinginya dan terus memberikan bimbingan pelan-pelan, ada harapan Genji akan menyempurnakan reformasi dirinya, dan dengan demikian memastikan keselamatannya.
Pemikiran ini kembali membawanya pada bahaya jasmaniah karena kedekatan yang
berkelanjutan. Seluruh usahanya untuk memikirkan hal ini tampaknya terjebak dalam perputaran logis ini.
Dilema Emily semakin rumit dengan kehadiran perkamen Jembatan Musim Gugur. Perkamen itu memuat ramalan-ramalan yang tampaknya menjadi kenyataan. Ini sangat meresahkan.
Bahkan lebih mengerikan, pemaparannya secara keseluruhan seperti ditujukan langsung dan khusus kepada Emily sendiri.
Lady Shizuka, penulis perkamen itu, telah meninggal lebih dari lima ratus tahun lalu sebelum Emily dilahirkan.
Pasti ada cara lain untuk memandang Jembatan Musim Gugur. Tanpa kehadiran Hanako di sisinya, dia menjadi gagu secara linguistis. Namun, jika Emily melihat dengan mata Pengiman BUKU KEDUA
16 TAKASHI MATSUOKA SAMURAI JEMBATAN MUSIM GUGUR
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
12. Jembatan Musim Gugur Sejati dalam mengkaji kata-kata itu, bukan dengan pancaran sinar hawa nafsu, melainkan dengan cahaya keimanan Kristiani sejati, akankah dia melihat kebenaran"
Tidak ada pilihan lain kecuali mencoba.
Dia mengambil perkamen terakhir, perkamen kedua belas, untuk membaca lagi baris-baris terakhir. Dia berdoa supaya bisa menerjemahkannya dengan pandangan segar. Dia menarik napas panjang dan membuka perkamen itu.
Hanya tersisa tanda-tanda samar, tak terbaca, seperti asap yang tersisa dari api yang baru padam. Selagi Emily memerhatikan, sisa-sisa terakhir tulisan Lady Shizuka itu memudar sepenuhnya. Dia menghampiri peti Mongol dan memeriksa kesebelas perkamen lain. Semuanya kosong seperti perkamen yang belum pernah ditulisi sama sekali.
Emily bersandar pada batang pohon apel itu. Dia telah berjalan ke lembah dari kastel. Terakhir kali dia berjalan sejauh itu adalah ketika dia meninggalkan pertanian orangtuanya untuk selamanya, sewaktu dia masih kecil. Saat itu api menjulang ke langit di belakangnya, disulut ibunya sebagai tanda penyucian kejahatan. Sekarang, nyala api itu ada di dalam dirinya, tak tampak, tetapi justru berkobar karena tak terlihat dan tersimpan begitu rapi.
Sekarang, yang dia miliki hanyalah kenangan tentang Jembatan Musim Gugur untuk memandunya. Dapatkah dia memercayainya"
Tuan Narihira memimpikan bahwa kedatangan American Beauty akan menjadi pertanda kemenangan terakhir klan kami. Dia benar. Namun ketika dia hidup, Amerikamu belum lagi ada, jadi dia keliru menafsirkan mimpinya. Kau bukanlah bunga untuk dinamai sesuai dengan mimpinya.
Emily begitu terkejut oleh kalimat itu sehingga dia mencoba menghapusnya dari ingatannya.
Sekarang, dia mati-matian berusaha mengingatnya lagi, dan tak yakin dapat mengingatnya dengan tepat. Rujukan pada Amerikamu itu cukup membuatnya ngeri. Akan tetapi bahwa Jembatan Musim Gugur menyatakan Kau bukanlah bunga untuh dinamai sesuai dengan mimpinya, berada di ambang Setanisme. Mungkinkah kau merujuk kepada orang lain selain Emily"
Kelahiran putrimu akan menjelaskan segala sesuatu baginya, tetapi tidak bagimu. Engkau tidak akan bertahan hidup lama dengan kelahiran itu. Dia akan banyak mendengar tentangmu dari ayahnya. Karena dia akan mengenalmu, izinkan aku bercerita tentangnya, agar kau mengenalnya juga. Namanya akan sama dengan namaku. Kau akan bersikeras memberinya nama itu dengan napas sekaratmu. Untuk ini, aku berterima kasih.
BUKU KEDUA 17 TAKASHI MATSUOKA SAMURAI JEMBATAN MUSIM GUGUR
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
12. Jembatan Musim Gugur Apakah dia membaca apa yang dipikirnya telah dia baca" Ramalan tentang pernikahannya dengan Genji, dan ramalan tentang kematiannya kemudian setelah bersalin" Tidak mungkin.
Tiada yang dapat mengetahui masa depan, melainkan Yesus Kristus dan para rasul dari Perjanjian Lama. Jika perkamen itu pura-pura melakukannya, itu adalah kesyirikan, tipu daya, kejahatan. Untuk membuktikan kepalsuannya, dia hanya perlu menerima lamaran Charles Smith untuk menikahinya. Dia akan tiba minggu ini. Dalam minggu ini, dia dapat berpura-pura.
Namun, bagaimana itu akan membantu Genji" Pernikahannya dengan Smith tidak akan membuat Genji berpaling dari keyakinannya tentang mukjizat kerasulan dalam dirinya. Ini adalah bahaya terbesar bagi jiwa kemanusiaannya.
Bagaimanapun tulusnya Genji menyatakan keimanan terhadap Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juru Selamatnya, ini tidak bisa sejalan dengan keyakinan dirinya sebagai rasul. Benturan antara kebenaran dan kemusyrikan akan menjauhkan dia selamanya dari kasih dan ampunan Kristus, dan akan menuai hukuman dijauhkan dari Kebangkitan Kembali. Rasanya, Emily sanggup berpisah darinya di dunia. Namun, perpisahan abadi adalah sesuatu yang tak tertahankan. Mungkin motifnya, dalam hal ini, kurang suci.
Dia melihat seorang penunggang kuda mendaki puncak bukit di atas lembah itu. Itu Genji.
Ketika dia mendekat, Emily teringat hari itu, bertahun-tahun yang lalu, ketika Genji terbaring nyaris mati kehabisan darah di salju. Emily memeluknya dan bersumpah kepada Tuhan bahwa dia akan mengorbankan dirinya untuk menolongnya. Untuk sesaat, masa lalu tampak lebih hidup ketimbang masa kini.
Kenangan itu memantapkan keputusannya.
"Kuharap aku tidak mengganggumu," kata Genji.
"Tidak," sahut Emily.
"Aku akan pergi jika kau lebih suka sendiri. Hari ini terlalu cerah untuk dilewatkan seorang diri."
"Aku senang kaudatang," kata Emily "Aku baru saja akan menemuimu."
"Oh?" Dia turun dari kudanya dan berdiri di sampingnya. "Untuk maksud tertentu, atau karena kau merindukanku?"
Emily merasa wajahnya menghangat-siput, tetapi dia tidak membiarkan rasa jengah itu mengalihkan niatnya.
"Aku ingin membicarakan perkamen yang selama ini kubaca," kata Emily. Dia melanjutkan BUKU KEDUA
18 TAKASHI MATSUOKA SAMURAI JEMBATAN MUSIM GUGUR
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
12. Jembatan Musim Gugur sebelum keberaniannya menghilang. "Itu bukan sejarah Awan Burung Gereja."
"Bukan?" "Tulisan dalam perkamen itu adalah Jembatan Musim Gugur karya Lady Shizuka."
"Ah," kata Genji, dan menunggu Emily meneruskan ucapannya.
Emily tercengang dengan reaksinya yang biasa-biasa saja.
"Kau tak tampak terkejut," katanya, "atau bahkan ingin tahu."
"Memang tidak," jawab Genji. "Hanako memberitahuku tentang hal itu begitu dia mengetahuinya."
Emily memandangnya tak percaya. "Hanako itu sahabatku. Dia berjanji tak akan mengatakannya kepada siapa pun."
"Kau adalah sahabatnya. Tetapi, aku adalah junjungannya. Dia tidak setia padaku jika menyimpan rahasia seperti itu. Sebagai balasannya?"
Genji menghentikan kalimatnya dan bergerak sigap untuk menopang Emily saat dia menutupi wajah dengan tangannya dan kehilangan keseimbangan.
Tangannya bersandar pada batang pohon, dan dia menjauhi Genji, menyuruhnya menjauh pula.
"Jangan, tolong. Aku bisa berdiri sendiri."
"Kau yakin?" "Aku tak punya banyak pilihan dalam hal ini. Sama sekali tak pernah punya, tampaknya.
Bahkan, ketika kupikir orang lain mendukungku, ternyata itu pun salah."
"Hanako tidak mengkhianatimu," kata Genji. "Bagaimana kaubisa berpikir begitu" Di Biara Mushindo, dia mengorbankan nyawanya demi kau."
"Memang," Emily mulai terisak. "Tetapi, dia berjanji akan menjaga rahasiaku, dan ternyata tidak."
"Dia tidak berpendapat bahwa itu adalah rahasiamu yang harus disimpan," kata Genji.
"Karena kau berpesan bahwa itu rahasia, dia memintaku bersumpah untuk tidak turut campur, atau membicarakannya sampai kau sendiri membicarakannya lebih dahulu. Aku tak melanggar sumpah."
"Kebetulan saja kau tidak melanggar sumpah," kata Emily. "Kau tidak bisa yakin bahwa aku pasti membicarakannya denganmu. Jika aku tidak melakukannya, kau akan menanyaiku juga akhirnya. Janjimu kepadanya tak ada artinya. Begitu juga janjinya kepadaku."
BUKU KEDUA 19 TAKASHI MATSUOKA SAMURAI JEMBATAN MUSIM GUGUR
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
12. Jembatan Musim Gugur "Bukan begitu, Emily. Kau salah paham. Aku tahu kau akan membicarakannya."
"Oh" Kau mendapat pertanda bahwa aku memberitahumu tentang Jembatan Musim Gugur?"
Hanya karena merasa terluka dia berbicara dengan sinis seperti itu.
"Tidak," kata Genji. Dia melayani tantangan dalam tatapan dan suara Emily dengan ketenangan tak terusik. "Ini pertanda yang lain."
Genji, kembali menjadi penumpang di tubuhnya sendiri, mendapati dirinya berjalan bergegas di koridor. Dia menjadi pria yang sedang tidak sabar. Genji dapat menyimpulkan dari ketergesa-gesaan langkahnya. Dia berada di dalam kastel, berjalan menuju kamarnya. Di ujung koridor itu, dia mendengar tangis bayi yang baru lahir, datang dari arah kamar yang akan didatanginya. Para pelayan berlutut dan membungkuk begitu dia lewat.
Ketika dia memasuki ruangan, dia melihat bayi dalam gendongan seorang pelayan.
"Lord Genji," katanya, sembari menunjukkan bayi itu kepadanya. Namun, dia tak meliriknya sekejap pun. Kekhawatirannya tertuju kepada orang lain, yang sedang berada di bagian dalam ruangan. Sebelum dia masuk lebih jauh, Dokter Ozawa melangkah keluar dan menutup pintu di belakangnya.
"Bagaimana Emily?" suara Genji terdengar cemas.
Dokter Ozawa berkata, "Persalinannya sangat sulit."
"Apakah dia selamat?"
Dokter itu membungkuk. Katanya, "Mohon maaf, Tuanku."
Genji jatuh berlutut. Dia merasakan dukacita mengisi tubuhnya.
"Anda menjadi seorang ayah, Lord Genji," kata dokter itu, sambil meletakkan bayi itu di tangan Genji yang tidak menolak. Genji mencoba memandang wajah bayi itu, berharap menemukan diri ibunya di sana. Namun, Genji sang penumpang tidak memandang bayi itu.
Seluruh perhatiannya tertuju pada hal lain, pada sebentuk kecil liontin yang tergantung dengan rantai perak di leher bayi itu.
Pada liontin perak kecil itu terdapat tanda salib yang berhiaskan bunga lili tunggal, fleur-de-lis.
"Itu adalah liontin yang kaupakai," kata Genji.
"Itu tidak membuktikan apa-apa," sahut Emily "Bahkan, kalau kau melihat apa yang kaukira, BUKU KEDUA
20 TAKASHI MATSUOKA SAMURAI JEMBATAN MUSIM GUGUR
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
12. Jembatan Musim Gugur itu tak membuktikan apa-apa." Pengakuan Genji menggetarkannya, tetapi dia tak dapat mengakuinya. Mengakuinya berarti mengakui kemungkinan bahwa dia memang melihat pertanda. "Halusinasi yang paling aneh sering terjadi dalam mimpi. Memang sifat mimpi begitu.
Kau telah melihat liontinku. Hanako memberitahukan ramalan Lady Shizuka kepadamu. Dirimu yang tidurlah yang menggabungkannya secara aneh. Tak lebih dari itu."
Genji berkata, "Aku mengalami mimpi ini, seperti kau menyebutnya, enam tahun lalu, di taman mawar kastel. Aku tidak menginginkannya terwujud, sama seperti dirimu."
Emily berpaling darinya. Dia menjangkau ke dalam kerah bajunya dan melepaskan kait kalung perak. Dia berbalik kepada Genji, meraih tangannya, meletakkan kalung perak beserta liontin berhiaskan fleur-de-lis itu di telapak tangannya. Kalung itu adalah miliknya yang paling berharga. Semula dia pikir, dia tidak akan berpisah dengan kalung itu untuk selamanya. Satu lagi harapan yang tak terwujud.
"Ini, ambillah. Kau boleh memberikannya kepada istri, atau kekasih, atau selirmu, siapa saja yang melahirkan terlebih dahulu, dan dia bisa memberikannya kepada anaknya. Mimpimu akan terwujud, dan akan membuktikan dengan sendirinya bahwa pertanda itu sama sekali tak bermakna."
Genji memandang liontin itu dan menggelengkan kepalanya.
"Kakekku berkata bahwa mencoba menghindari terwujudnya pertanda adalah sia-sia.
Bagaimanapun pasti akan terjadi juga. Menghindarinya bahkan hanya akan mendatangkan akibat yang lebih berbahaya. Meskipun demikian, aku telah mencoba. Aku telah menjauhkan diri darimu semampuku. Telah kuhabiskan waktuku bersama geisha meskipun tak kukehendaki.
Telah kubawa selir-selir ke rumahku. Telah kuusahakan kau berhubungan dengan Charles Smith dan Robert Farrington. Kalau seorang anak terlahir dari seorang geisha atau selir, mungkin dapat kuyakinkan diriku bahwa yang kulihat bukan pertanda, melainkan mimpi semata, seperti yang kaukatakan. Atau apabila kau menikahi Smith atau Farrington dan kembali ke Amerika, barangkali aku akan percaya apa yang kaukatakan."
Genji mengambil tangan Emily dan meletakkan liontin itu di sana.
"Pernikahanmu adalah harapan terbaik kita, Emily. Kalau kita tidak bersama, pertanda itu tak akan bisa terwujud. Bahkan, mustahil terwujud."
Emily menahan tangan Genji ketika dia mencoba menariknya. Dia menatapnya tanpa ekspresi untuk beberapa lama. Lalu, seulas senyum perlahan menyinari wajahnya, dan BUKU KEDUA
21 TAKASHI MATSUOKA SAMURAI JEMBATAN MUSIM GUGUR
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
12. Jembatan Musim Gugur bersamaan dengan itu, dia terisak lagi. Dia terisak dalam hening, tersenyum, tatapannya terus terpaku kepada wajah Genji.
"Ada apa?" "Aku telah mencintaimu sejak lama." Dia berhenti, menarik napas panjang dan berkata,
"Aku baru tahu kini bahwa kau mencintaiku."
Bara Diatas Singgasana 3 Pendekar Rajawali Sakti 177 Siluman Pemburu Perawan Api Di Bukit Menoreh 17
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama