Ceritasilat Novel Online

Samurai 17

Samurai Karya Takashi Matsuoka Bagian 17


Midori datang menolongnya.
"Tuanku, apa yang kaulakukan?"
Dengan cucuran air mata penuh kemarahan dan frustrasi, Yorimasa berusaha mendorong pisau lebih dalam ke perutnya. Namun, pakaiannya yang tebal rnembuat pisau itu hanya bergerak sedikit ke arah sana. Dengan kedua tangannya, Midori memegang gagang pedang yang menghadap ke luar itu dan menariknya sekuat tenaga. Tangan Yorimasa masih memegangi mata pedang itu dari balik lapisan kimononya. Cengkeraman Midori lebih kuat. Ketika dia menarik, dia terjengkang bersama pedang itu ke lantai.
Midori menjatuhkan pedang itu dan dengan cepat kembali ke sisi Yorimasa. Yorimasa dan lantai di bawahnya dibanjiri darah. Midori dapat melihatnya mengalir melalui luka di perutnya.
Dia menekankan tangannya di atas luka itu agar darah dapat dihentikan.
"Tolong! Tolong! Ayah! Ayah!"
Midori melepas obinya, membuang pita hiasannya, dan menekankan kain ikat pinggangny.r seerat mungkin pada luka itu. Darah di mana-mana. Midori terguncang karena suaminya masih mengeluarkan darah. Tentu tak ada lagi yang tersisa di tubuhnya.
"Tolong!" Di mana semua orang" Dia tak dapat menunggu lebih lama lagi. Jika Yorimasa tidak segera ditolong, dia akan mati.
Midori keluar dari kamar dan mencari ayahnya
"Seharusnya Ayah biarkan aku mati," kata Yorimasa, "Kini, aku harus mencoba lagi.
Menjijikkan, bukan" Seorang samurai yang harus berusaha dua kali untuk bunuh diri."
"Aku bangga padamu," kata Kiyori.
Yorimasa berbalik di pembaringan untuk menghadap pada ayahnya. Gerakan itu membuat-BUKU KEDUA
57 TAKASHI MATSUOKA SAMURAI JEMBATAN MUSIM GUGUR
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
9. Lord Apel nya meringis. "Aku tahu mengapa kau menikam diri sendiri," kata Kiyori. "Kau tidak ingin menyiksa gadis itu."
"Ayah tak tahu apa-apa," kata Yorimasa. "Aku tidak akan menyentuhnya, takkan pernah!
Aku mencoba bunuh diri karena akulah Okumichi yang terdekat. Jika Ayah yang lebih dekat, aku akan membunuh Ayah. Yang penting bagi Ayah hanya ramalan helaka. Kau menggiring Midori padaku seperti seekor hewan ke rumah jagal."
"Ramalan itu akan menjadi kenyataan. Kau sudah menikah. Kauhidup. Ahli waris itu akan lahir pada waktunya. Aku tak meragukan itu sama sekali."
"Ayah sudah kehilangan akal, orang tua bodoh. Setelah bencana ini, Lord Nao takkan pernah mengizinkan perkawinan bertahan. Bahkan, Lord Apel pun takkan mampu menahan aib ini. Sekarang, cerita pasti sudah menyebar luas di luar sana. Segera setelah aku pulih kembali, aku akan mati."
"Tak ada cerita yang menyebar," kata Kiyori, "karena tak ada yang terjadi. Pernikahan berjalan lancar. Mempelai wanita dan pria menghabiskan malam dengan bercakap-cakap kemudian mempelai wanita kembali ke kediaman ibunya untuk menyiapkan perjalanan ke Kastel Awan Burung Gereja. Sementara itu mempelai pria dan ayahnya menikmati keramahan Lord Nao yang baik hati."
"Aib seburuk ini tak dapat dirahasiakan."
Kiyori tersenyum. "Kau lupa. Sebelum kau dan Midori bertemu malam itu, Lord Nao memerintahkan semua wanita keluar dari kastel. Tak ada orang yang menyiarkan kabar."
"Aku takkan tidur dengan anak kecil."
"Aku tahu. Aku tak mengharapkan itu darimu."
Kini, Yorimasa bingung. "Lalu, bagaimana kau mengharapkan seorang ahli waris?"
"Waktunya akan tiba. Sekarang, kau akan melindunginya dan menjaganya. Pada saatnya, Midori akan menjadi dewasa dan siap menjalani perkawinan."
"Konyol. Itu hanya terjadi dalam dongeng. Segera setelah sembuh, aku akan menyelesaikan apa yang sudah kumulai."
"Kalau begitu, bunuh Midori dahulu," kata Kiyori. "Dia menyangka kau mencoba bunuh diri karena dia sangat mengecewakanmu. Rasa malunya tak tertahankan. Dia mengatakan kepada ibunya bahwa dia tak sanggup hidup jika kau mati."
BUKU KEDUA 58 TAKASHI MATSUOKA SAMURAI JEMBATAN MUSIM GUGUR
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
9. Lord Apel "Aku tak peduli," Yorimasa berkata dan memejamkan mata.
Kiyori tak berkata apa-apa. Namun, senyumnya tersungging dan terus muncul selama beberapa lama.
1867, Kastel Awccn Burung Gereja
"Ibuku berusia tujuh belas tahun ketika aku lahir," kata Genji. "Seperti perkiraan Kakek, ayahku melindungi dan menjaganya hingga dia siap untuk itu."
"Perubahan karakter sebesar itu biasanya hasil kesadaran religius," kata Emily. "Itukah yang terjadi pada ayahmu?"
"Bukan," kata Genji. "Dia tak pernah menjadi orang yang taat. Yang terjadi padanya benarbenar hal lain."
"Apakah itu?" "Dia berubah karena dia menemukan makna cinta."
"Ah," kata Emily sambil tersenyum. "Pandainya engkau. Kau sudah kembali pada masalah itu. Kuharap kau tidak lagi mengatakan bahwa cinta tak dapat dikatakan."
"Aku tak mengatakan itu tak dapat dikatakan. Kataku, itu tidak mudah dikatakan. Kini, aku sudah menceritakan perihal ayah dan ibuku, kau akan memahami penafsiranku."
"Apa?" "Ayahku menjalani hidup penuh kebencian karena dia hanya memikirkan diri sendiri. Bisa dikatakan, ini makna sejati kebencian itu sendiri. Dia berubah karena dalam diri ibuku, dia menemukan orang yang perlu lebih diperhatikan daripada dirinya sendiri. Itulah penafsiranku tentang cinta." Genji menatap Emily. "Bagaimana dengan penafsiranmu?"
Emily tidak terlalu pandai menyembunyikan air matanya. Ketika terasa menggenang, dia berusaha menahannya agar tidak berlinang. Ketika air matanya jatuh, dia mengabaikannya dan berkata, "Penafsiranku sama denganmu, Tuanku." "
BUKU KEDUA 59 TAKASHI MATSUOKA SAMURAI JEMBATAN MUSIM GUGUR
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
10. Pemandangan dari Menara Tinggi
10 Pemandangan dari Menara Tinggi Ketika mereka kembali dari Lembah
Apel, Emily beristirahat di kamarnya. Genji pergi
ke Menara Tinggi. Tidak ada yang mau pergi ke
situ, kecuali terpaksa. Rumor adanya hantu,
terutama hantu Lady Shizuka, membuat orangorang menghindari datang ke sana. Kadang kala,
kehadiran memang perlu. Abu para bangsawan
klan ini disimpan di ceruk-ceruk relung di lantai
tujuh. Pada tanggal-tanggal penting, di sana diselenggarakan pelayanan untuk mengenang orang yang sudah meninggal. Pada waktu lain, hanya pendeta dan biarawati yang rutin menapaki tangganya. Setiap pagi, mereka menaruh bunga dan dupa di altar, lalu menyanyikan sutra. Setiap malam, mereka kembali untuk membersihkan altar dari bunga dan sisa dupa yang terbakar, kemudian melakukan upacara resmi menutup relung untuk malam itu. Genji menyukai keheningan di menara dan pemandangan dari sana ke empat penjuru. Dia juga tidak takut akan hantu.
Dia berlutut di depan abu para leluhurnya dan merenungkan ambiguitas percakapannya barusan dengan Emily. Mengapa pula dia bercerita kepada Emily tentang kedua orangtuanya"
Dia seharusnya tidak merasa perlu untuk membela diri kepada Emily Tak lama lagi, Charles Smith akan datang kembali dan memperbarui lamarannya. Emily akan cenderung memilih Smith kalau dia merasa Genji tidak tahu makna cinta. Emily akan meninggalkan Jepang. Mereka tidak akan pernah bertemu lagi. Tidak ada alasan bagi Genji untuk peduli seberapa banyak, atau sesedikit apa, Emily memikirkan dia. Namun, dia telah bercerita kepada Emily tentang ayah-ibunya. Lebih buruk lagi, dia telah memberi penekanan pada detail yang cenderung melebih-BUKU KEDUA
1 TAKASHI MATSUOKA SAMURAI JEMBATAN MUSIM GUGUR
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
10. Pemandangan dari Menara Tinggi
lebihkan aspek tragis masa kecilnya, keterpurukan ayahnya yang mengerikan, serta kekuatan cinta ibunya"yang menikah sejak masih kanak-kanak"yang menyembuhkan dan memulihkan.
Dengan melakukan itu, dia telah menerbitkan tangis di mata Emily, seperti yang sudah diduganya. Seorang wanita yang menangis untukmu adalah wanita yang tak lain pastilah mencintaimu. Karena itu, kata-kata Genji cocok sekali sebagai rayuan. Namun, tujuan Genji justru berlawanan dengan rayuan, bukankah begitu"
Jika Genji betul-betul menginginkan Emily pergi, dia seharusnya tidak bercerita apa-apa.
Atau bercerita segalanya.
Dia memandangi dua guci keramik persis di depannya. Guci yang lebih besar, agak persegi berwarna abu-abu gelap, berisikan abu ayahnya. Guci yang lebih kecil, dengan lengkungan lebih halus dan warna tanah yang lebih terang, berisi abu ibunya. Genji menghabiskan banyak waktunya untuk datang ke sini mengunjungi keduanya. Awalnya karena tugas dan kewajiban, belakangan didorong oleh harapan bahwa apa yang tersisa dari jasad mereka akan memberikan inspirasi yang dapat memandunya, atau mengangkat semangatnya ketika sedang turun. Bahkan ketika masih kecil, dia sudah menyadari statusnya sebagai seorang bangsawari. Dia tidak bisa mengizinkan dirinya untuk menunjukkan kelemahan di depan para samurai dan pelayan. Pada saat dia sangat membutuhkan, hanya orangtuanya yang bisa membantunya. Karena mereka sudah meninggal, mereka tidak pernah memberitahunya apa-apa. Namun, di sinilah mereka.
Entah bagaimana dia merasa tenteram bersama abu kedua orangtuanya. Dia tidak bisa menjelaskan alasannya.
Mungkin, bagaimanapun, seperti kebanyakan orang, dia juga tidak rasional. Bukannya takut kepada ruh orang yang telah meninggal, dia malah bersandar kepada mereka dalam cara yang ganjil.
Atau, alasannya mungkin seperti yang dia katakan kepada siapa pun yang bertanya mengapa dia menghabiskan banyak waktu di menara itu.
Dia menyukai keheningan. 1840 Genji duduk bersama ayahnya di depan abu ibunya. Dia berusaha semampunya untuk terlihat tenang walau dia sangat bersemangat. Minggu depan, dia akan berumur lima tahun.
Empat adalah umur perbatasan. Banyak orang, terutama perempuan, memperlakukannya BUKU KEDUA
2 TAKASHI MATSUOKA SAMURAI JEMBATAN MUSIM GUGUR
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
10. Pemandangan dari Menara Tinggi
seolah-olah dia masih bayi. Lima tahun bukan bayi lagi. Lima tahun adalah anak laki-laki. Tidak ada keraguan tentang itu. Jika dia menjadi anak laki-laki, dan bukan bayi, berikutnya dia akan menjadi pemuda, dan setelah itu, cuma beberapa tahun lagi, dia akan menjadi seorang laki-laki.
Dia ingin sekali menjadi seorang laki-laki. Lalu, ketika para samurai dan pelayan berkata, "Lord Genji", sentuhan meremehkan dan humor itu akan hilang. Mereka akan mengucapkannya dengan cara yang sama ketika mereka mengucapkan nama kakeknya, atau pamannya. Ketika seseorang berkata, "Lord Kiyori", atau "Lord Shigeru", baik ketika menyapa ataupun menyebut nama di belakang mereka, selalu dengan suara penuh penghormatan. Dia sangat ingin menjadi samurai seperti mereka.
Dia tidak pernah ingin seperti ayahnya. Orang-orang menyebut Lord Yorimasa dengan sedih, simpati, atau melecehkan, tidak pernah dengan penghormatan. Samurai macam apa itu"
Bukan seperti itu yang dia inginkan.
"Kamu ingat ibumu?" tanya Yorimasa.
"Ya, Ayah," jawab Genji. Ayahnya selalu menanyakan pertanyaan yang sama setiap kali mereka bertemu, yang tidak terlalu sering sejak ibunya meninggal.
"Bagus," kata Yorimasa. "Ingatlah dia selalu. Dialah wanita paling baik dan paling cantik di dunia."
"Ya, Ayah." Sebenarnya, ingatan Genji tentang ibunya telah banyak memudar. Satu tahun mungkin tidak terlalu panjang bagi orang dewasa, tetapi baginya, setahun adalah waktu yang sangat lama. Dia ingat bahwa ibunya sangat cantik, dan berbau wangi, dan sering tersenyum kepadanya, dan tidak pernah menghardiknya apa pun kesalahannya.
Ibunya biasa berkata, "Kamu tidak boleh melakukannya lagi, Genji."
"Ya, Ibu," demikian dia menjawab.
"Kamu anak baik," ibunya akan berkata, dan memeluknya.
Dia ingat tentang hal-hal ini, tetapi suaranya sayup, dan ketika dia membayangkan rupa ibunya, cahayanya temaram, dan wajah ibunya seperti sebentuk wajah dalam keremangan senja.
"Sebelum aku mengenalnya," tutur Yorimasa, "hidupku sangat pahit. Aku tidak akan menjadi penguasa wilayah ini. Aku tidak akan menyatakan ramalan klan kita. Jadi, kurasa hidupku sama sekali tanpa makna."
Genji berharap ayahnya tidak marah terhadapnya. Kakek pemah mengatakan kepada Genji bahwa dia akan menggantikannya sebagai Bangsawan Agung, bukan ayahnya, bukan Paman BUKU KEDUA
3 TAKASHI MATSUOKA SAMURAI JEMBATAN MUSIM GUGUR
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
10. Pemandangan dari Menara Tinggi
Shigeru. Dia berharap Paman Shigeru juga tidak marah kepadanya. Paman Shigeru adalah pemain pedang yang hebat, paling hebat setelah Miyamoto Mushashi, semua orang bilang begitu. Jika Paman Shigeru memutuskan untuk menantangnya berduel memperebutkan posisi Bangsawan Agung, Genji yakin dia akan kalah. Seorang samurai selalu diharapkan yakin dengan kemenangannya, betapapun anehnya. Namun Genji tahu, dia tidak punya peluang kalau melawan Paman Shigeru. Melawan ayahnya, masih ada harapan walau ayahnya seorang dewasa dan dia hanyalah anak kecil. Ayahnya selalu mabuk. Seorang samurai yang mabuk bukanlah samurai yang sempurna. Kakeknya telah mengatakan itu berkali-kali.
Akan tetapi, ayahnya tidak terlihat marah. Dia tersenyum dan terus saja berbicara tentang ibu Genji.
"Yang utama dalam hidup," kata Yorimasa, "adalah mencintai. Aku mempelajari itu dari ibumu. Tidak ada yang lebih istimewa dari itu. Maukah kamu mengingatnya Genji?"
"Ya, Ayah." Kalau ayahnya sudah mengucapkan hal-hal semacam itu, Genji merasa sangat malu. Dia berbicara seperti seorang wanita, bukan seorang samurai. Kemenangan, kehormatan, kematian yang mulia, itulah yang menjadi perhatian bagi seorang samurai. Cinta" Itu untuk perempuan.
"Aku bukan orang yang kuat, Genji. Aku minta maaf padamu karena itu. Dahulu sepanjang hidupku, kukira aku orang yang kuat. Kemudian, aku berjumpa ibumu dan menemukan keperkasaan tidak sekuat kelemahan. Cinta memiliki banyak berkah. Itulah salah satu kutukannya. Apakah kamu mengerti?"
"Ya, Ayah." Tak satu kata pun dimengerti Genji. Bagaimana mungkin kelemahan lebih kuat ketimbang keperkasaan" Namun jika dia mengatakan bahwa dia tidak mengerti, ayahnya akan mengucapkan hal-hal yang lebih memalukan, dan Genji tidak menginginkan itu. Dia ingin ayahnya berhenti bicara dan pergi.
"Andai saja dia masih hidup?" kata-kata Yorimasa semakin sayup. Dia masih tersenyum.
Katanya, "Jika saja kami tidak pernah bertemu, mungkin dia akan hidup, masih hidup. Dan aku tidak akan pernah mengenalnya, tidak pemah mencintainya, tidak pernah dicintainya. Hidupku akan tetap mengerikan seperti sebelum kami berjumpa. Tetapi, aku akan lebih memilih itu asal dia bisa hidup, di suatu tempat, dan bahagia."
Pembicaraan ayahnya semakin tidak masuk akal. Kalau ayahnya tidak pernah berjumpa ibunya, apa gunanya bagi ayahnya bahwa ibunya masih hidup alih-alih mati" Ayahnya tidak akan BUKU KEDUA
4 TAKASHI MATSUOKA SAMURAI JEMBATAN MUSIM GUGUR
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
10. Pemandangan dari Menara Tinggi
mendapat manfaat apa-apa, ayahnya bahkan tidak akan tahu ibunya ada.
"Apakah kau mengerti?"
"Ya, Ayah." Yorimasa tertawa. Dia meletakkan tangannya di atas bahu Genji dan meremasnya dengan sayang.
"Kau tidak mengerti. Bagaimana mungkin kau mengerti" Tetapi kalau kau betul-betul beruntung, dan betul-betul tidak beruntung, suatu hari kau akan mengerti."
Nah, dia melakukannya lagi. Berceloteh tentang hal-hal tak masuk akal.
"Ya, Ayah," jawab Genji. Kapan ayahnya akan pergi"
Belakangan, Genji selalu menyesali keinginannya hari itu, karena ketika ayahnya pergi, dia pergi untuk selamanya. Satu bulan kemudian, dia ditemukan meninggal. Bersamanya terdapat hadiah buat Genji, terbungkus rapi dengan kain sutra dan disertai surat pendek.
Surat itu berbunyi, Anakku sayang, maafkan karena ayah tidak menghadiri ulang tahunmu. Ini hadiah untukmu walau terlambat. Kuharap kau akan menghargainya seperti halnya aku. Tidak ada puisi kenangan. Seorang samurai yang baik seharusnya menulisnya.
Hadiah itu berupa rantai perak halus, dengan bandul batu-batu putih mungil berbentuk apel. Ini dahulu milik ibunya. Genji ingat sering melihatnya menempel di ikat pinggang ibunya.
Genji menyimpan surat dan hadiah itu, bukan karena dia menghargainya sebagai kenangan terakhir dari ayahnya"dia tidak menganggap demikian"melainkan karena itulah hal yang sepatutnya dia lakukan. Samurai melakukan hal-hal yang sepantasnya dilakukan, bagaimanapun perasaan mereka. Genji menyimpannya dan melupakannya karena dia telah berjanji pada dirinya sendiri untuk melupakan kegagalan ayahnya yang memalukan.
1867 Genji memandangi rantai dengan apel-apel putih mungil di tangannya.
Apakah apel-apel ini melambangkan cinta, atau kematian, atau keduanya" Di dalam klannya, setidaknya, keduanya itu agaknya saling berkelindan. Memenuhi ramalan yang mengarah pada kelahiran Genji, ibu dan ayahnya meninggal. Alih-alih menyelamatkan mereka, cinta telah menghancurkan mereka berdua.
Selama bertahun-tahun, Genji telah meremehkan kelemahan dan kepengecutan ayahnya.
Genji memahami kematian ibunya. Melahirkan anak sama dengan mempertaruhkan nyawa.
BUKU KEDUA 5 TAKASHI MATSUOKA SAMURAI JEMBATAN MUSIM GUGUR
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
10. Pemandangan dari Menara Tinggi
Namun, samurai macam apa yang mati demi cinta" Pernah Genji merasa tahu jawabannya.
Sekarang, dia tidak yakin. Apakah kelemahan yang mengantarkan ayahnya ke gerbang kematian, atau justru keperkasaan" Keperkasaan dalam kelemahan yang tidak dimengerti oleh Genji kecil sangat masuk akal bagi Genji dewasa.
Apakah kemampuannya untuk memahami hal itu berarti bahwa dia kuat, ataukah lemah"
Sendirian di menara, Genji tertawa keras.
Dia memandangi apel-apel mungil di telapak tangannya. Dengan tangannya yang lain, dia menyentuh apel-apel itu. Genji sudah lama memegang dan menggenggamnya erat-erat, apel-apel itu tidak dingin, seperti batu, tetapi sama hangatnya dengan darah dan dagingnya sendiri.
Okumichi no kami Genji, Bangsawan Agung Wilayah Akaoka, duduk di dalam benteng Kastel Awan Burung Gereja menjelang malam, duduk sendirian bersama abu ibunya tercinta dan ayahnya yang dihormatinya.
1860 Lord Kiyori merasa agak berkunang-kunang. Mula-mula dia mengira dirinya mabuk karena terlalu banyak minum sake. Kemudian, dia merasakan lidahnya kebas, dan tenggorokannya, dan rasa gatal di ujung tangan dan kakinya, lalu pandangannya yang makin terang disertai lingkaran cahaya lembut, seperti pelangi yang jauh, muncul mengelilingi Lady Shizuka. Karena perwujudan Lady Shizuka sendiri transparan, keseluruhan efeknya membuat rasa pening itu berlipat-lipat.
Kiyori berkata, "Ketika engkau memberi tahu aku bahwa kita tidak akan berjumpa lagi setelah malam ini, waktu itu aku tidak begitu paham maksudnya. Yang kau maksudkan adalah aku akan mati. "
Lady Shizuka menjawab, "Bukan, Tuanku, bukan begitu maksudku. Yang kumaksudkan tidak lebih dari ucapanku bahwa setelah malam ini kita tidak akan bertemu lagi. Aku tidak pernah berbicara padamu dengan berteka-teki, atau dengan niatan untuk memperdayai."
"Apakah kau menyangkal bahwa kautahu aku akan diracuni?" Kiyori memandangi mangkuk sup yang kosong itu. "Ada dalam sup ini, bukankah demikian" Siapa pembunuhku?"
"Aku mengetahui banyak hal. Aku membagi hanya sebagian kecil pengetahuanku kepadamu. Apakah kau lebih memilih aku menyampaikan setiap kejadian dalam hidupmu yang akan datang, kemenanganmu, tragedi, prestasi, kekecewaan" Tentang waktu, tempat, dan cara BUKU KEDUA
6 TAKASHI MATSUOKA SAMURAI JEMBATAN MUSIM GUGUR
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
10. Pemandangan dari Menara Tinggi
kematianmu?" Kiyori menggeleng. "Kau benar, seperti biasanya. Aku telah mengetahui lebih dari yang ingin kuketahui. Mengetahui lebih banyak lagi akan membuat beban ini tak tertanggungkan."
"Kau sudah menanggungnya, Lord Kiyori. Dengan agung, dengan keberanian, dan martabat."
"Betulkah?" Badannya miring ke satu sisi. Dia masih bernapas tanpa kesusahan. Namun, otot-ototnya mulai melemah. Dia tidak akan mampu tegak lebih lama lagi. "Siapa yang membunuhku" Bajingan Shogun, Kawakami si Mata Licik?"
Shizuka bergeser dengan anggun ke samping Kiyori tanpa bangkit dari duduknya. Dia ulurkan tangannya seakan-akan menyentuh dengan lembut pundak dan lengan Kiyori. Dia tidak sungguh-sungguh bisa menyentuh Kiyori, sama dengan Kiyori tak bisa menyentuhnya.
Dia berkata, "Tidak perlu merepotkan diri sendiri. Tenanglah. Ikuti irama napasmu."
"Kalau itu Kawakami," ujar Kiyori, bersikukuh tetap pada topik itu, "berarti dia telah menempatkan seorang pengkhianat di tengah-tengah kita. Genji dalam bahaya. Aku harus memperingatkannya." Kiyori tidak lagi mampu berdiri di atas kakinya. Dia merangkak menuju ceruk tempat penyimpanan kertas, tinta, dan kuas.
"Kawakami tidak terlibat," Shizuka membantah, "dan Genji tidak dalam bahaya. Orang yang meracunimu akan jatuh sendiri sebelum Tahun Baru menjadi tua." Shizuka tidak memberi tahu Kiyori bahwa anaknya, Shigeru, yang bertanggung jawab, atau bahwa Shigeru telah gila, dan kematian Kiyori hanyalah yang pertama dari banyak pembunuhan yang akan dilakukannya malam itu. Ramalan yang telah disampaikan Shizuka kepada Kiyori, yang telah diceritakan Kiyori beberapa tahun silam kepada Lord Nao, hampir terlaksana sepenuhnya. Setelah darah malam ini tertumpah, penerus Okumichi yang masih hidup tinggallah Genji dan Shigeru, dan tak lama lagi akan tinggal Genji sendiri.
Kiyori hanya merangkak beberapa senti sebelum dia tak sanggup maju lagi. Dia berbaring telentang dan memandangi langit-langit. Bahkan, untuk mengedipkan mata sudah sulit.
Shizuka mendekat dan berlutut di sampingnya.
Kiyori memandang Shizuka dan berkata, "Genji akan aman?"
"Ya." "Klan ini akan berlanjut "
"Ya." BUKU KEDUA 7 TAKASHI MATSUOKA SAMURAI JEMBATAN MUSIM GUGUR
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
10. Pemandangan dari Menara Tinggi
"Kita akan mengalahkan Shogun Tokugawa-"
"Ya." "Engkau tidak mengatakan itu hanya untuk menghibur seorang pria yang tengah sekarat?"
"Tidak, Tuanku. Aku tidak melakukan hal seperti itu."
Napas Kiyori mulai tercekat. Berat tubuhnya mulai meruntuhkan otot-otot diafragmanya yang semakin kaku.
"Katakan padaku. Hal terakhir. Siapakah kau?"
"Temanmu yang setia, Tuanku, sebagaimana engkau bagiku."
"Aku hendak bertanya?" Setiap helaan napasnya sekarang adalah kemenangan besar. Dia tidak mampu lagi menyampaikan maksud pertanyaannya.
Shizuka membungkukkan badan semakin dekat kepada Kiyori. Kalau saja bisa, dia akan memangku Kiyori dan membuatnya nyaman dengan pelukan perpisahan.
Kiyori berusaha berbicara, tetapi tidak bisa. Dia mengembuskan napasnya, dan tidak menghelanya lagi.
Air mata menggenangi mata Shizuka. Betapa bodohnya dia menangisi Lord Kiyori, seorang pria yang kematiannya telah dia saksikan, yang baru akan dilahirkan hampir lima ratus tahun lagi.
Apa lagi yang bisa dia lakukan" Dia seorang wanita yang telah melihat keseluruhan lingkaran kehidupan seorang pria. Bagaimana mungkin dia tidak menangis"
1308 Shizuka berusaha melupakan dengan cara serupa orang lain berusaha mengingat. Terlahir dengan mengetahui segalanya dalam seketika, hanya dengan membebaskan dirinya dari keserempakan dan keserbatahuan, dia bisa berharap untuk mengerti keberadaannya. Orang lain punya kecenderungan untuk mengingat terlalu sedikit. Kecenderungan Shizuka adalah untuk melupakan terlalu banyak. Dia sudah tahu ada kebun bunga di dalam kuil. Dia telah lupa kapan kebun itu ada. Tidak seorang pun pernah mendengar tentang Lord Narihira, yang akan menanamnya. Hingga kini dia belum dilahirkan. Dan kini, di menara ini, dia tidak bisa naik ke tingkat yang dicarinya.
Shizuka berhenti di anak tangga terakhir dan memandangi langit-langit di atasnya.
"Ada apa?" tanya Hironobu.
BUKU KEDUA 8 TAKASHI MATSUOKA SAMURAI JEMBATAN MUSIM GUGUR
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
10. Pemandangan dari Menara Tinggi
"Tidak ada apa-apa." Dengan sewajar mungkin Shizuka berjalan ke arah jendela yang menghadap ke selatan dan memandangi lekukan garis pantai Shikoku, kegelapan hutan bersebelahan dengan terangnya Samudra Pasifik. Hironobu sudah khawatir sejak Shizuka mencucurkan air mata sebagai reaksi karena tidak menemukan kebun mawar yang sangat ingin dilihatnya. Hironobu pasti akan lebih khawatir kalau dia menanyakan di mana lantai ketujuh.
Shizuka tahu akan ada lantai ketujuh dalam masa hidupnya karena di sanalah dia akan menemui ajal, dan di sanalah putrinya akan lahir.
Masalah mengingat dan melupakan ini lebih rumit dari yang dia kira. Sebelumnya, seluruh hidupnya dia jalani di Biara Mushindo, sebuah bangunan tunggal kecil, tertutup. Bahkan di dalam lingkup pagarnya, bukanlah tugas mudah untuk membedakan antara masa lalu dan masa depan, atau antara masa sekarang dan keduanya, atau antara kenangan dan pertanda masa depan, atau antara pertanda dan mimpi buruk. Seberapa lebih sulitkah di luar pagar itu, di mana lebih banyak yang harus diingat, dan harus dilupakan, dan sangat sedikit waktu hidupnya tersisa untuk melakukannya.
"Apakah menara ini membuatmu tidak nyaman?"
"Tidak, sama sekali tidak, Tuanku."
Hironobu tersenyum dan memeluknya. "Jika kita sedang berdua saja, kau tak perlu memanggilku tuan."
Shizuka melirik dua pengawal yang berpurapura tidak memerhatikan kasih sayang yang ditunjukkan Hironobu secara terbuka.
"Tinggalkan kami," perintah Hironobu.
"Ya, Tuan." Kedua orang itu membungkuk dan keluar dari ruangan.
"Jika kastel ini tidak cukup luas, aku akan memperbesarnya untukmu. Katakan padaku apa yang kau inginkan, dan itu akan jadi milikmu."
"Kastelmu sangat luas. Tidak ada lagi yang diperlukan."
Hironobu harus membangun lantai ketujuh, dan segera. Namun, dia harus melakukannya dengan yakin bahwa itu adalah gagasannya sendiri, karena kalau Hironobu mengira ini ide Shizuka, hal itu akan mengecilkan rasa percaya dirinya. Shizuka tidak tahu mengapa, tetapi dia mengetahuinya begitu.
Kebanyakan bencana yang akan menimpa klan ini disebabkan oleh kebiasaan buruk
mengisi secuil keberadaan seseorang dengan hal-hal remeh berlebihan. Kebiasaan itu tidak BUKU KEDUA
9 TAKASHI MATSUOKA SAMURAI JEMBATAN MUSIM GUGUR
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
10. Pemandangan dari Menara Tinggi
hanya ditemui pada pria yang baru jadi suaminya ini, tetapi pada semua samurai. Tidak ada yang dapat dilakukannya untuk mencegah hal itu. Dalam hidupnya, dia mengamati banyak, dan tidak mengubah apa-apa. Dia melihat jauh melampaui masanya, tetapi dia tidak dapat bertindak di luar waktunya.
"Aku bertanya-tanya," terdengar Hironobu. Dia mengikuti pandangan Shizuka, menyaksikan ombak berlari mengejar dan meninggalkan pantai. "Mengapa ayahku membangun menara ini?" Dia mengatakannya dengan sedikit ketidakpuasan di suaranya. Apakah karena anak laki-laki selalu berusaha melebihi ayahnya"
Shizuka bersandar kepada Hironobu. Shizuka merasakan ha
ngatnya badan Hironobu menembus pakaian mereka. Hironobu sangat hangat. Tidak lama kemudian, dia pastilah juga sangat hangat, dan kehangatan tubuh Hironobu serta kehangatan tubuhnya tidak akan terpisahkan.
1796 "Ya, Lord Kiyori," ujar arsitek itu. "Saya memahami keinginan Anda sepenuhnya."
"Kuharap begitu," tukas Kiyori. Bahkan, pelayannya tidak bersungguh-sungguh menanggapinya. Dia baru berumur lima belas tahun, dan menjadi Bangsawan Agung wilayah itu hanya sebulan lalu setelah kematian ayahnya yang mendadak.
"Saya mengerti, Tuan,"
"Lalu?" "Anda mengatakan, Anda ingin membangun lantai lagi, lantai ketujuh karena Anda menemukan pada masa lampau lantai ketujuh itu ada."
"Ya. Lalu?" "Penjelasan Anda sudah sangat gamblang, Tuan. Tetapi, akan sangat menolong kalau saya diperbolehkan melihat sebentar saja rancangannya. Sebagaimana yang dikatakan Master Kung, Satu gambar bisa menyampaikan lebih banyak daripada ribuan tulisan. "'
Kekesalan Kiyori mulai beralih pada kemarahan. "Kalau aku mempunyai rancangan itu, tidakkah kaupikir aku akan menunjukkannya padamu sekarang ini?"
"Anda tidak memilikinya" Saya tidak mengerti. Siapa yang memilikinya?"
"Tidak seorang pun."
"Tetapi?" Sang arsitek terhenti.
BUKU KEDUA 10 TAKASHI MATSUOKA

Samurai Karya Takashi Matsuoka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

SAMURAI JEMBATAN MUSIM GUGUR
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
10. Pemandangan dari Menara Tinggi
"Teruskan." "Maaf, Tuan, saya telah salah paham. Saya kira, Anda mengatakan pernah melihat rancangan itu."
"Tidak," kata Kiyori. Dia tidak bisa menyampaikan hal yang sebenarnya. Itu akan sangat memalukan. "Kukatakan aku pernah melihat lantai ketujuh." Sang arsitek mengerjapkan matanya, kemudian bola matanya melebar karena pemahaman.
"Sebuah pertanda?"
"Ya." Kiyori berharap dia tidak perlu menjelaskan lebih lanjut.
Sang arsitek membungkuk dalam-dalam nyaris menyentuh lantai.
"Izinkan saya mempersembahkan ucapan selamat, Lord Kiyori, dan harapan bahwa kita mendapatkan manfaat dari pertanda yang lebih banyak lagi."
"Terima kasih."
"Saya akan memulai pembangunan-tepatnya, pembangunan kembali"secepatnya."
"Bagus. Kalau kau sudah siap menambahkan lantai itu, beri tahu aku supaya aku bisa memeriksanya."
"Anda ingin menyaksikan peletakan lantai itu?"
"Ya." Hantu yang mengunjunginya kemarin malam mengatakan kepadanya bahwa lantai itu harus ditempatkan dengan tepat.
"Jika ada sedikit saja kesalahan," katanya, "aku akan muncul di hadapanmu berdiri di bawah lantai, dan terpotong dari kakiku, atau di atas lantai, dan menampilkan diriku sebagai hantu yang mengambang."
"Kalau kau adalah pertanda yang kulihat, apa perlunya itu?" Kiyori bertanya.
"Pikiran manusia hanya bisa menerima sedikit dari apa yang tampak mustahil," jawabnya.
"Terlalu banyak maka kegilaanlah hasilnya."
"Baiklah, Tuanku." Si arsitek sekali lagi membungkuk dalam-dalam. "Akan dikerjakan."
Dengan cepat kabar menyebar bahwa sang bangsawan mewarisi bakat dari leluhurnya.
Sejak saat itu, para pelayan dan samurai memandangnya berbeda. Kalau dia berbicara, mereka mendengarkan dengan cermat. Kalau dia memerintahkan, mereka mematuhi tanpa ragu. Di tempat lain, orang mungkin menganggap konyol kemampuan meramal para Bangsawan Agung Okumichi. Tidak di Wilayah Akaoka. Kekuatan klan yang, berkuasa ditegakkan di atas ramalan BUKU KEDUA
11 TAKASHI MATSUOKA SAMURAI JEMBATAN MUSIM GUGUR
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
10. Pemandangan dari Menara Tinggi
mistis, dan itulah fondasi keberlanjutan dan kemakmuran wilayah itu.
Di sini, menjadi orang yang bisa melihat masa depan membawa otoritas besar, sekalipun orang itu anak laki-laki yang baru berusia lima belas tahun, dan bahkan jika ramalannya itu tidak seperti yang dibayangkan orang lain. Tidak ada orang lain yang akan lebih bijak.
Itulah harapan Kiyori. Tentunya, apakah hanya dia yang dapat melihat wanita itu"
1308, Menara Tinggi Shizuka melewati setiap malam di kamar suaminya, atau kalau suaminya berkenan
mengunjunginya, bersama suaminya di kamarnya. Pada lain waktu dalam minggu pertama sejak kedatangannya, dia menghabiskan banyak waktunya di lantai tertinggi menara itu.
"Mengapa?" tanya Hironobu. "Ada banyak dayang yang akan bermain denganmu. Musisi, penyanyi, penyair, semua tersedia. Kalau kau ingin berkuda, kau boleh memilih kudanya. Atau kereta kuda, kalau kau mau."
"Pemandangannya menarikku ke sini," jawab Shizuka. "Aku telah menjalani enam belas tahun hidupku di lantai dasar, di balik dinding biara. Memandangi dunia lepas, dan berada jauh di atasnya, sangat menakjubkan bagiku. Aku tahu tempat ini adalah menara pengintai untuk prajurit. Kalau aku tidak boleh berada di sini ...." Dia tersenyum kepada Hironobu dan membungkuk.
Hironobu tertawa. "Menara pengintai" Bukan. Samurai Okumichi tidak mencari musuhnya dari kejauhan. Kami tidak menunggu dikepung. Kami tidak menunggu sama sekali. Kami pasukan berkuda. Yang terbaik di kepulauan Jepang. Saat perang, kami menunggangi kuda dan menyerang. Musuh kami harus berhati-hati terhadap kami. Dan kalau mereka melihat kami, itu sudah terlalu terlambat."
Pada percakapan pertama mereka, Hironobu menceritakan penaklukannya atas pasukan hebat Hojo dan peningkatan statusnya setelah itu menjadi Bangsawan Agung. Agaknya sudah menjadi kebiasaan di kalangan samurai untuk selalu menyombongkan apa yang pernah mereka lakukan. Dan ketika mereka berbicara tentang masa depan, mereka berbicara seolah-olah mereka sudah mencapai prestasi besar yang mereka bersumpah untuk meraihnya. Melebih-lebihkan, bukan menyatakan fakta, menjadi unsur dominan.
Shizuka membungkuk dan berkata, "Betapa beruntungnya orang-orang wilayah ini. Mereka menikmati keamanan dan ketenangan yang tak didapat banyak orang lain. Perang
BUKU KEDUA 12 TAKASHI MATSUOKA SAMURAI JEMBATAN MUSIM GUGUR
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
10. Pemandangan dari Menara Tinggi
menghancurkan kerajaan ini. Tetapi di sini, di Akaoka, ada kedamaian."
"Ya," jawab Hironobu. "Keamanan dan ketenangan."
Shizuka bisa mengatakan Hironobu menyukai kata-kata ini. Hironobu akan menggunakannya nanti dalam sejarah yang ditulisnya. Ketika generasi berikutnya membacanya, mereka akan kagum atas prestasinya dalam situasi sulit. Mereka akan terheran-heran bagaimana seorang komandan perang yang begitu sukses"yang juga terkenal mampu melihat masa depan"tidak menjadi Shogun, bahkan tidak berusaha menaklukkan seluruh Shikoku, pulau terkecil dari tiga pulau utama di Jepang.
"Bolehkah aku bertanya" Mungkin ini kurang sopan."
"Engkau istriku," Hironobu menjawab gagali. "Kau boleh menanyai aku apa saja, dan itu tidak akan pernah tidak sopan."
"Terima kasih, Tuanku. Kau baik sekali."
Lagi-lagi, Hironobu tertawa. Dia duduk di sebelah Shizuka dan merangkulnya.
"Kau memanggilku Tuan. Kita cuma berdua sekarang. Tidak perlu lagi resmi-resmi."
Hironobu meletakkan wajahnya ke leher dan pundak Shizuka, lalu menghirup napas.
"Aroma tubuhmu lebih wangi daripada dupa atau parfum mana pun yang pernah kuhirup, atau pernah kubayangkan."
Pipi Shizuka bersemu merah. "Nobu-chan," bisiknya, menyebut Hironobu dengan nama panggilan ketika masih kanak-kanak.
Napas Hironobu tercekat di tenggorokannya, dan ketika dia berbicara, suaranya serak oleh gairah menggebu.
"Kau," ucapnya, menjangkau lengan kimono Shizuka.
Shizuka berbaring di atas lantai. Wajah Hironobu yang berada di atasnya pucat, kecuali semburat darah yang membanjiri kelopak matanya, pipinya, dan bibirnya. Dia terlihat seperti menyala. Di belakangnya tampak langit-langit.
Shizuka sudah tahu lama sebelumnya, langit-langit itu akan menjadi lantai tingkat tujuh Menara Tinggi.
Sejak saat itu, Hironobu tidak lagi berkeberatan Shizuka berlama-lama di menara.
"Kau boleh di sini selama kau suka," katanya. "Andai aku lama hidup terkungkung di antara dinding kuil, aku juga akan menikmati pemandangan ini."
BUKU KEDUA 13 TAKASHI MATSUOKA SAMURAI JEMBATAN MUSIM GUGUR
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
10. Pemandangan dari Menara Tinggi
"Kau baik sekali," ujar Shizuka. "Hanya pria sejati yang mampu berbuat begitu baik."
Shizuka pergi ke menara untuk melihat pemandangan, seperti yang dikatakannya, tetapi bukan pemandangan yang pernah dia gambarkan.
Dia duduk bersila, bermeditasi dalam posisi lotus. Telapak tangannya di atas perut dalam posisi zazen mudra. Kelopak matanya menutup, tetapi tidak rapat sepenuhnya. Dia bernapas ringan dan lemah seakan-akan tidak bernapas sama sekali. Dia bermeditasi dan
mengonsentrasikan keseluruhan jiwanya untuk tujuan sebaliknya. Alih-alih melepaskan, lalu melepaskan usaha melepaskan, dan melepaskan lagi, Shizuka menyambar ini dan itu, memilah satu bayangan dari lainnya, menjajaki pendapat-pendapat tanpa makna tentang hal-hal remeh, memasuki setiap kehampaan tanpa pikiran dengan dugaan, imajinasi, pertimbangan, harapan, gairah, dan rasa takut. Dia mengundang banjir rasa lapar, panas dan dingin, manis dan pahit, menjajaki indra penciuman, pengecapan, perabaan, dan penglihatan, yang aktual, terbayangkan, dan teringat. Keheningan dan ketenangan batiniah tersapu oleh tuntutan liar sepuluh ribu suara menjeritkan permintaan secara bersamaan.
Dia akan melepaskan nanti. Sekarang, penting sekali dia mengembalikan ingatan dan pertanda yang telah dia abaikan dalam semangatnya memahami dunia masa sekarang selama keterjagaannya di Biara Mushindo. Salah mengira tembok biara sebagai realitas, dia telah menyingkirkan kesadaran akan pengetahuan yang dia perlukan. Untuk mendapatkannya kembali, dia harus mengunjungi lagi kegilaannya.
Rasa dingin menusuk tiba-tiba menjalar dari tulang punggungnya dan menyebar ke atas, ke bahunya, ke lehernya, dan ke kulit kepalanya. Suatu entitas sadar memasuki ruangan di belakangnya. Tidak ada bunyi maupun gerakan udara dari ruang tangga yang mewartakan kehadiran seseorang. Apakah hantu mengerikan itu kembali mengganggunya, ataukah gerakan menyelinap itu menyembunyikan bahaya manusia"
Shizuka menghentikan usaha memahami dan mengenali dalam batinnya, dan mengalihkan perhatiannya pada yang lahir. Dia mengenali kedatangan itu tanpa menoleh. Dia tidak bisa lagi melihat ke dalam pikiran orang lain. Kegilaan tidak dapat hadir bersama kemampuan semacam itu. Namun, dia mempertahankan salah satu kekuatannya, kemampuan untuk merasakan niatan.
Dari niatan orang tersebut, dia mengenalnya.
Shizuka berkata, "Kalau kaulakukan, Hironobu akan mengetahui kaulah pelakunya."
Dekat di belakangnya, Shizuka mendengar tarikan napas pendek dan cepat. Kata-katanya BUKU KEDUA
14 TAKASHI MATSUOKA SAMURAI JEMBATAN MUSIM GUGUR
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
10. Pemandangan dari Menara Tinggi
telah menghentikan orang itu beberapa langkah darinya.
Go berkata, "Biarlah dia tahu. Biarlah dia menghabisiku. Bagiku kematian adalah hadiah yang berharga karena kau juga akan mati."
Shizuka berbalik untuk menghadapinya. Tidak ada senjata di tangan Go. Apakah Go akan melemparnya keluar jendela" Mungkin.
Dia tersenyum. "Apakah kau yakin aku tidak bisa terbang?"
"Penyihir." Go mendesiskan kata-kata itu dengan kasar dan mencabut pedangnya.
"Suamiku tidak akan membunuhmu dengan seketika. Dia akan menyiksamu terlebih dahulu, lalu dia akan menyalibmu."
"Kau kira aku takut rasa sakit" Tidak lebih besar dari aku takut mati, penyihir, dan aku sama sekali tidak takut mati." Dia melangkah mendekati Shizuka.
"Untuk dirimu sendiri, tidak," ujar Shizuka.
Go tertegun kembali. "Jenderal Besar, tidak lupakah kau mempertimbangkan konsekuensi penuh untuk pengkhianatanmu" Hironobu tidak akan menyalibmu sendirian.
Para pengikutmu, pelayanmu, dan istrimu akan menyertaimu ke neraka. Begitu juga Chiaki." Penyebutan nama putranya meluluhkan seluruh kekuatan tubuh Go. Dia menurunkan pedangnya dan mundur limbung.
"Aku akan membunuhmu," katanya.
"Ya, kau akan membunuhku," jawab Shizuka, "tetapi tidak sekarang."
"Segera." "Tidak, kau akan terlambat."
"Terlambat untuk apa?"
"Itu juga, akan terlambat kauketahui," ujar Shizuka.
Go menyarungkan pedangnya kembali.
"Aku tidak akan teperdaya oleh kata-kata tipuan dan ramalan palsu. Kau tidak tahu banyak.
Kau hanya pura-pura tahu. Itu tipuan lama tukang sihir." Dia , berbalik dan melangkah cepat menuju pintu.
Shizuka berkata, "Aku tahu siapa diriku."
Go berhenti dan berbalik menatapnya.
"Semua orang tahu siapa dirinya kecuali bayi, orang idiot, dan orang gila."
BUKU KEDUA 15 TAKASHI MATSUOKA SAMURAI JEMBATAN MUSIM GUGUR
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
10. Pemandangan dari Menara Tinggi
"Aku tahu siapa dirimu."
"Semua orang tahu siapa aku. Wilayah ini tidak akan ada kalau bukan karena aku."
"Aku tahu siapa diriku karena aku tahu siapa dirimu," ujar Shizuka. "Betapa menyedihkan menjadi seorang ayah yang ingin membunuh anaknya, alih-alih melindunginya."
"Terkutuklah kau sepanjang masa," maki Go, "bersama semua penyihir yang pernah lahir dari keturunan jahat itu."
Shizuka mendengarkan bunyi langkah Go semakin sayup di tangga. Ayahnya tidak akan memasuki menara itu lagi sampai hari terakhir hidup mereka.
Setelah berusaha keras untuk melupakan, Shizuka sekarang berupaya sebisa mungkin untuk mengingat. Dia terdorong melakukan itu karena sosok yang menghantui menara ini. Apa pun yang mungkin telah diketahuinya tentang sosok itu pada hari-hari kesadaran dan kegilaannya, Shizuka telah menghapusnya.
Siapakah pria itu" Dia harus mengingatnya sebelum lantai ketujuh dibangun. Jika pria itu adalah seorang teman, Shizuka tidak perlu lagi bersembunyi darinya. Jika dia seorang musuh, Shizuka harus mengetahui sifatnya sehingga dia bisa mempertahankan diri darinya.
Hantu itu membuatnya takut, dan dia tidak terbiasa lagi untuk takut.
Shizuka pertama kali melihatnya pada hari kedatangannya di kastel ini. Shizuka duduk di ruangan di lantai keenam menara, menghibur kekecewaannya atas tiadanya lantai ketujuh, ketika dia mendengar seseorang datang menaiki tangga. Seorang pria muda yang tidak dikenalnya muncul di ambang pintu. Usianya tidak lebih dari lima belas atau enam belas tahun. Pedang ukuran dewasa di pinggangnya tampak terlalu besar untuknya. Wajahnya lebih menunjukkan tanda-tanda ketulusan ketimbang kecerdasan, dan keteguhan ketimbang ketampanan. Shizuka hampir saja menyapa pemuda itu ketika dia menyadari mengapa pemuda itu tampak ganjil.
Dia tembus pandang. Dia berbalik menghadap Shizuka dan seakanakan menatap langsung kepadanya.
Shizuka membeku. Mungkin dengan tidak bergerak, ditambah bayangan senja yang kian memanjang, membuatnya tidak ketahuan. Mungkin Shizuka juga tembus pandang bagi pemuda itu sebagaimana dia bagi Shizuka. Dan, berada di bawah bayang-bayang membuat Shizuka lebih sukar dilihat. Mungkin pemuda itu tidak lebih dari sekadar halusinasi.
BUKU KEDUA 16 TAKASHI MATSUOKA SAMURAI JEMBATAN MUSIM GUGUR
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
10. Pemandangan dari Menara Tinggi
Sosok itu melewatinya seolah-olah Shizuka tidak berada di situ. Ketika sosok itu mencapai dinding sebelah sana, dia mulai mengambang di udara, kakinya membuat gerakan menaiki tangga yang tidak ada.
Shizuka menelan jeritannya. Dia menggigit tangannya supaya tidak terkesiap. Dia takut mengeluarkan bunyi sekecil apa pun yang mungkin menarik perhatian sosok itu.
Tepat sebelum sampai di langit-langit, sosok itu berbicara.
"Lady Shizuka," panggilnya. "Boleh aku masuk?"
Sosok itu agaknya mendapat izin dari seseorang karena dia membungkuk hormat, dan setelah itu, menghilang ke dalam langit-langit.
Shizuka tidak punya keberanian untuk bergerak. Dengan putus asa, dia ingin lari dari sosok yang pastilah penjelmaan iblis, tetapi dengan sama putus asanya dia tidak ingin menarik perhatian sosok itu. Dia diam di tempat dan mendengarkan. Dia tidak mendengar apa-apa.
Beberapa menit yang panjang, dia lumpuh ketakutan.
Senja berubah menjadi malam. Pekatnya malam menyelubungi ruang dalam menara. Hanya beberapa berkas sinar bintang menembus awan membedakan satu bayangan dari yang lainnya.
Setidaknya, rasa takutnya untuk diam di tempat mengalahkan rasa takutnya untuk bergerak.
Sehalus mungkin, Shizuka menyeret kakinya menuju tangga, mencengkeram kimononya erat-erat supaya lembaran-lembaran sutra itu tidak berdesir karena saling bergesekan.
Ketika dia sampai di mulut tangga dan mengira pelariannya telah berhasil, sosok kedua muncul. Kali ini seorang pria di awal dua puluhan. Hitam, tegap, dengan gaya berjalan penuh percaya diri seorang pria yang telah membunuh beberapa pria lain, dan pasti dengan dua pedang di pinggangnya.
Seperti yang pertama, dia muncul dari mulut tangga.
Seperti yang pertama, dia tembus pandang dan mengabaikan kehadiran Shizuka.
Akan tetapi, tidak seperti yang pertama, yang satu ini berjalan lurus menuju Shizuka.
Shizuka segera berbalik secepat mungkin, dan dengan susah payah berusaha menghindar sebelum sosok itu memasuki ruangan. Sosok itu melayang di udara dengan cara yang sama dahsyatnya dengan yang pertama, dan seperti yang pertama, dia berhenti dan menyebutkan sebuah nama yang mengejutkan Shizuka.
"Lady Shizuka. Ini aku."
Sosok ini, juga, lalu menghilang ke dalam langit-langit.
BUKU KEDUA 17 TAKASHI MATSUOKA SAMURAI JEMBATAN MUSIM GUGUR
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
10. Pemandangan dari Menara Tinggi
Shizuka tersandar di dinding. Dia terjebak. Dia tidak bisa mengambil risiko menuruni tangga. Jika dia bertemu dengan sosok yang lain, bagaimana kalau makhluk itu menerobos badannya" Namun jika dia tidak pergi, pastilah hanya masalah waktu sebelum salah satu dari yang dua tadi, atau yang akan datang, menemukannya lalu"
Lalu apa" Ketidakpastian menambah rasa takutnya.
Shizuka berharap Hironobu akan datang mencarinya. Namun, dia tahu Hironobu tidak akan melakukannya. Kalimat cerdas Shizuka yang menyetarakan kebaikan hati dengan kesejatian lelaki, akan membuat Hironobu dengan bangga memberinya kebebasan yang Hironobu kira diinginkan Shizuka.
Di ruangan itu, di dekat langit-langit, Shizuka merasa melihat kegelapan bergerak di dalam kegelapan, bayangan halus berbentuk manusia menuruni anak tangga. Sosok itu sampai di lantai ruangan tersebut dan bergerak menuju tangga, menuju Shizuka.
Shizuka tidak dapat lagi bersembunyi lebih lama. Ini sosok yang mana" Dari keduanya, Shizuka tidak yakin yang mana yang lebih ditakutinya. Konon, hantu terburuk menunjukkan sisi tak berbahaya dalam dirinya, membuatnya semakin mengecoh dan menakutkan. Maka berarti, sosok yang lebih muda penampilannya, si pemuda itu, lebih berbahaya daripada si pria. Begitu sosok itu mendekat, tampaknya dia memang lebih buruk di antara keduanya karena siluetnya lebih kecil ketimbang kesatria tadi.
Sosok itu berhenti sebelum memasuki mulut tangga dan memandang keluar jendela. Dia hanya berjarak tidak sampai dua langkah dari tempat Shizuka menyurukkan badan ke dinding.
Sosok itu berpaling ke sinar bintang. Shizuka melihat wajah tipis dan keriput seorang laki-laki tua.
Shizuka menjerit ketakutan dan berlari menuju tangga. Dengan kewaspadaan dihancurkan oleh kekagetan luar biasa karena apa yang baru saja dilihatnya, Shizuka setengah berlari, setengah terjatuh ke lantai. Raungan jahat mengejarnya sampai ke bawah. Setelah berlari ke dalam pelukan Hironobu barulah Shizuka menyadari raungan itu berasal dari tenggorokannya sendiri.
"Jangan biarkan ada yang lolos!" perintah Hironobu.
"Ya, Tuan!" Para samurai dengan pedang terhunus merentak ke dalam menara.
Shizuka tahu mereka tidak akan menemukan seorang pun karena tidak ada orang di sana, hanya hantu.
BUKU KEDUA 18 TAKASHI MATSUOKA SAMURAI JEMBATAN MUSIM GUGUR
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
10. Pemandangan dari Menara Tinggi
Hironobu memeluknya erat-erat. "Kau aman Shizuka, kau aman."
Shizuka bergelayut lemas kepada Hironobu, tubuhnya gemetar tak terkendali. Tidak, dia tidak aman. Dia tidak akan pernah aman lagi.
Sekejap sebelum dia menjerit, Shizuka mengira dia sedang menatap hantu ketiga.
Kemudian, pada wajah laki-laki tua itu dia mengenali si pemuda, dan si kesatria. Mereka bukan tiga hantu sama sekali, mereka satu dan sama. Sosok itu telah membuat aspek manusianya menua hanya dalam beberapa jam.
Apa yang akan mengganggunya setelah ini" Mayat membusuk"
Perutnya bergolak. Dia mengunci kerongkongannya dan menahan rasa pahit itu di sana seakanakan tak berakhir, sebelum membakar dadanya dalam perjalanan turun ke lambung.
Hironobu segera menentukan pihak yang bertanggung jawab terhadap serangan itu. Dia menduga serangan itu dilakukan oleh ninja sewaan, di daerah tetangga yang sudah lama tak disukainya. Shizuka tidak berusaha mencegahnya. Bagaimana mungkin dia bisa" Jika dia memberi tahu Hironobu bahwa penyerangnya adalah hantu dan bukan manusia, dan jika Hironobu mempercayainya, hal itu masih belum akan melindungi musuh yang telah dipilih Hironobu. Begitu kecurigaannya ditetapkan, hal itu selalu membesar dan membesar hingga mendapatkan kepastian bukti penting. Seorang pengecut curang yang mengirim seorang ninja tidak akan ragu menyewa tukang sihir untuk memanggil hantu. Dan jika Hironobu tidak mempercayai Shizuka, jika dia meragukan kewarasannya sekarang, tanggapannya jelas akan berbeda ketika Shizuka menceritakan ramalannya pada hari-hari mendatang. Bagaimanapun, peristiwa apa pun pada masa depan yang dilihatnya, tetap akan terjadi. Namun, konsekuensi akibat per tanda yang dia lihat ini akan jauh berbeda. Shizuka tidak dapat mempertaruhkan itu.
Dia terpaksa membiarkan orang yang tak bersalah menderita dan mati.
Malam itu juga, Hironobu mengirim kurir kepada pengikut-pengikutnya. Sebelum mentari pagi menguapkan embun di dedaunan, Hironobu dan sembilan ratus samurai bersenjata berangkat ke arah timur untuk menyerang Lord Teruo. Dengan itu, penderitaan yang dirasa Shizuka sejak kemunculan hantu tersebut berkembang menjadi demam tinggi, menggigil, rasa pusing, dan mual terus-menerus.
Shizuka beristirahat di kamarnya sebelum matahari terbenam. Dia menyuruh para dayang-dayang pergi. Mereka tidak bisa membantunya melawan hantu apa pun. Seperti para biarawati di biara, mereka tidak akan memiliki petunjuk sedikit pun tentang kehadiran hantu. Mereka hanya BUKU KEDUA
19 TAKASHI MATSUOKA SAMURAI JEMBATAN MUSIM GUGUR
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
10. Pemandangan dari Menara Tinggi
akan melihat perilaku Shizuka, dan dengan gampang mengira dia gila. Penjaga berdiri di koridor di luar kamar Shizuka. Karena Hironobu memerintahkan mereka untuk berjaga di sana, Shizuka tidak dapat menyuruh mereka pergi. Dia berharap, dia dapat menahan dirinya sehingga mereka tidak mendengar banyak.
Andai dia berani, Shizuka tidak akan menunggu hantu itu datang kepadanya. Dia akan datang ke menara dan mencarinya. Namun, Shizuka tidak seberani itu.
Sendirian, dia takut untuk keluar dan takut untuk berdiam, takut untuk tidur dan takut untuk tetap terjaga, takut untuk bermeditasi dan takut untuk membiarkan pikirannya berkeliaran. Tidak satu pun tempat di dunia ini, juga tidak satu pun keadaan pikiran, dapat menjadi tempat berlindung.
Ketika malam menjelang, demamnya semakin memburuk. Setidaknya, terkuras oleh sakit, takut dan keletihan, dia berbaring. Begitu dia melakukan
nya, kesadarannya mulai mengawang-awang tak terasa, perbedaan antara tidur dan terjaga segera hilang. Ketika dia merasa terjaga, dia berusaha untuk bergerak dan menemukan dirinya tak dapat melakukan itu. Ketika dia agaknya tertidur, dia dapati dirinya sedang berpikir bahwa dia tengah tertidur, yang tentu saja berarti dia sebenarnya sedang terjaga. Namun, dia juga tidak bisa bergerak. Sedikit gerakan kelingking, kedutan kelopak mata, perubahan dalam ritme napasnya, perubahan dalam tegangan ototnya-semuanya di luar kemampuannya. Ketika dia berusaha tanpa guna, dia mendengar bunyi yang jauh, tenang, melengking antara mendecit dan mengeluh. Mula-mula dia mengira itu bunyi jangkrik. Namun, perubahan ritmenya yang khas tidak ada. Bunyi ini lebih mirip dengungan lemah gong kuil, tetapi bukannya menghilang, bunyi ini semakin keras, bahkan lebih kejam. Apakah ini pertanda ada hantu yang mendekat" Lagi-lagi, Shizuka berjuang untuk dapat mengendalikan tubuhnya. Jasadnya yang bergeming berlawanan dengan kepanikan yang dia rasa. Teror itu lebih disebabkan oleh antisipasi penuh takut dibandingkan oleh rasa nyeri atau kelumpuhan. Jika saja dia bisa membuka matanya, atau mengepalkan tangan, atau bersuara sekalipun berbisik"
Tiba-tiba dengungan itu berhenti. Bertepatan dengan itu, Shizuka mendengar suara di luar pintunya.
"Mengapa aku harus takut" Ini cuma kamar, seperti yang lainnya." Suara dari orang yang tidak dikenalnya, suara seorang pemuda.
BUKU KEDUA 20 TAKASHI MATSUOKA SAMURAI JEMBATAN MUSIM GUGUR
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
10. Pemandangan dari Menara Tinggi
1796, Sayap Terlarang Kastel Awan Burung Gereja
"Tetapi, aku takut," bisik Lady Sadoko. "Mari kita pergi ke tempat lain saja."
"Ini idemu untuk datang ke sini," ujar Kiyori.
"Aku berubah pikiran," jawab Lady Sadoko. Sadoko mengulurkan tangan dan perlahan meletakkan tangannya di lengan Kiyori. Dengan lembut, Sadoko memegangnya dan berusaha menarik Kiyori sebelum dia membuka pintu. Pada siang hari yang terang, gampang untuk menertawakan cerita tentang hantu, atau tukang sihir yang menjadi hantu. Di sini dan sekarang, hanya ditemani bintang jauh di sana serta sekeping kecil bulan untuk menerangi bumi, hantu dan ruh jahat tampak tidak begitu musykil.
"Ayo," ajaknya.
Kiyori bimbang. Sesungguhnya, dia juga takut. Dia satu-satunya Okumichi di generasinya.
Berarti dia tentunya orang yang akan menerima pertanda masa depan. Membaca laporan rahasia klannya, dia tahu bahwa pertanda seperti itu datang kepada leluhumya dalam banyak cara dan banyak bentuk, sebagiannya sangat mengerikan sehingga yang bersangkutan menjadi gila.
Apakah dia tidak sedang menggoda takdir dengan mengunjungi bekas kamar Lady Shizuka, penyihir sejati yang telah membawa kemampuan melihat masa depan ke dalam aliran darah Kiyori" Namun, keinginannya untuk membuat Sadoko terkesan, lebih besar dari rasa takutnya.
Sukar untuk menceritakan alasannya. Dalam usia empat belas tahun, Sadoko lebih muda dari Kiyori, dan bahkan tampak lebih muda dari usianya sendiri. Sadoko jauh dari sebutan gadis tercantik yang dikenalnya. Strata keluarganya nyaris tidak layak untuk membiarkannya memasuki halaman bangsawan agung. Namun wataknya, kespontanannya yang segar, berhasil
mendapatkan ketertarikan serta kekaguman Kiyori. Manakala Sadoko mengatakan sesuatu, Kiyori tahu dia bersungguh-sungguh.
Mengapa hal itu lebih membuatnya tertarik dibandingkan paras yang jelita, perilaku yang menggoda, keterampilan, dan kata-kata yang cerdas, Kiyori tidak tahu.
"Aku sudah mengatakan akan bermalam di sini,' Kiyori bertahan. "Ucapan seorang Bangsawan Agung, sekali dilontarkan, pantang ditarik kembali." Karena dia telah menjadi Bangsawan Agung selama tiga minggu, dia dapat menekankan statusnya lebih dari sebelumnya.
"Kau tidak benar-benar mengucapkan kata-kata itu," bantah Sadoko. "Yang kaukatakan adalah kau tidak takut bermalam di bagian menakutkan kastel ini. Dan kau mengatakannya padaku. Dan aku mempercayaimu. Sekarang ayolah, kita pergi."
BUKU KEDUA 21 TAKASHI MATSUOKA SAMURAI JEMBATAN MUSIM GUGUR
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
10. Pemandangan dari Menara Tinggi
"Kau boleh pergi," ujar Kiyori sok gagah. "Aku telah mengucapkan kata-kataku. Jadi, aku harus tetap di sini seperti yang kukatakan."
Kiyori menjangkaukan tangannya ke pintu dan mendorong. Dia berharap kunci itu
memakai pengaman sehingga dia tidak bisa masuk. Namun, pintu itu menggeser membuka dengan mudah. Reputasi ruangan itu sudah sedemikian rupa sehingga tidak perlu pengunci.
Pendeta dan biarawati membersihkan bagian ini setiap hari. Jadi, tidak ada sarang laba-laba, debu, atau bau apak.
Sadoko terkesiap dan mundur.
Kiyori melongok ke dalam. Dia tidak melihat apa-apa. Namun, bayangan di ruangan itu membuatnya lebih gelap ketimbang lorong tempat mereka berdiri.
"Apa yang kaulihat?" tanya Kiyori.
"Kegelapan," jawab Sadoko, "kegelapan yang aneh. Ayolah, aku mohon, Tuanku, ayo kita pergi saja."
Sadoko tidak pernah memanggilnya "tuanku" kecuali pada situasi paling resmi, ketika ucapan itu sama sekali tidak bisa dihindari. Sadoko betul-betul takut. Menyadari itu, Kiyori menjadi lebih berani ketimbang yang dirasakannya. Kiyori melangkah memasuki ruangan itu dan akan menutup pintu di belakangnya. Sebagaimana yang diharapkan Kiyori, Sadoko menyelinap masuk sebelum pintu itu tertutup. Satu tangan Sadoko di lengan Kiyori dan satunya lagi di bahunya. Kiyori bisa merasakan badan Sadoko yang gemetaran menempel ke badannya.
"Tenang Sadoko," ujar Kiyori, mengajaknya lebih masuk ke dalam ruangan itu. "Mata kita akan terbiasa dengan gelap. Dan bulan sedang terbit. Sebentar lagi akan lebih terang."
"Akan lebih banyak cahaya kalau kau membuka pintu," tukas Sadoko, "atau bahkan kalau kita berdiri di dekatnya."
"Kalau kubuka pintu itu, aku akan dikira takut. Kalau aku berdiri di dekatnya, lagi-lagi itu menunjukkan rasa takut. Kemarilah. Kita akan duduk di dekat bilik kecil itu."
"Bukankah orang-orang mengatakan di situlah tempat tidumya dahulu?" Sadoko berhenti tiba-tiba. Karena Sadoko masih berpegangan kepada Kiyori, Kiyori terpaksa ikut berhenti.
"Katanya begitu. Banyak yang diceritakan orang-orang. Yang terbaik adalah mempercayai penilaian kita sendiri dan tidak terpengaruh oleh ocehan mereka yang tidak tahu apa-apa tetapi banyak bicara. Ayo, setidaknya kita duduk."
"Sekarang agak lebih terang," ujar Sadoko, mengikuti saran Kiyori untuk duduk. "Tetapi, BUKU KEDUA
22 TAKASHI MATSUOKA SAMURAI JEMBATAN MUSIM GUGUR
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
10. Pemandangan dari Menara Tinggi
masih belum banyak yang bisa kulihat."
"Kita lupa membawa alas," Kiyori berkata dengan kewajaran yang disengaja. "Kita harus tidur tanpa alas." Kebergantungan Sadoko kepadanya membuat Kiyori merasa percaya diri. Dia memiringkan badan dan mulai berbaring di lantai.
Dan seketika dia jatuh dalam kemusykilan. Dalam waktu bersamaan, dingin menusuk tulang dan panas membakar melandanya; beratnya bumi meremukkannya menjadi satu titik yang kecil sekali, sementara ringannya langit menariknya jauh jauh ke seluruh penjuru kosmos; rasa sakit yang tak terperi menyiksa tubuhnya dan keriangan tak hingga membawanya pada kebebasan.
"Kiyori!" Sadoko terbelalak menatapnya. Bulan yang sedang meninggi menyinari ketakutan di wajahnya. "Apa yang terjadi?"
Kiyori tidak dapat menjawab. Bahkan kalaupun dia bisa, dia tidak akan tahu apa yang harus dikatakannya. Dia melihat momen sekarang berdampingan dengan dunia yang tak terhitung banyaknya, serta masa yang tak terhingga jumlahnya, serta jutaan makhluk yang adalah dirinya dan bukan dirinya sendiri. Dia melihat masa lalu dan masa sekarang meregang ke titik tak hingga menuju awal yang tiada berawal dan akhir yang tiada berakhir, yang tidak mungkin pernah dia rasakan tanpa terfragmentasi.
Sosok bayangan perempuan bangkit dari tubuh Kiyori seperti ruh berpisah dari raga.
Segera, Kiyori tahu apa yang tengah terjadi. Wanita itu telah datang kepadanya, sebagaimana dia datang kepada wanita itu. Rambutnya yang panjang menjuntai di atas bahunya dan di atas Kiyori.
Bukan, bukan di atas Kiyori.
Ke dalam Kiyori. Sosok itu mengambang sejengkal di atas karpet dalam gerak-gerik lazimnya ruh tanpa jasad, dan seperti hantu sebagian berada di dalam Kiyori dan sebagian di luar. Gosip menakutkan tentang adanya hantu memang benar, tetapi bukan seperti yang dia bayangkan.
"Kiyori," panggil Sadoko. Dia mengulurkan tangan akan menyentuh Kiyori. Sebelum tangannya sampai, Kiyori berbicara, tetapi tidak kepadanya.
Kiyori berkata, "Lady Shizuka."


Samurai Karya Takashi Matsuoka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Lord Kiyori," kata Shizuka, dan menarik dirinya menjauh dan lepas dari Kiyori.
Ketika Shizuka melakukan itu, Kiyori kehilangan kesadarannya.
BUKU KEDUA 23 TAKASHI MATSUOKA SAMURAI JEMBATAN MUSIM GUGUR
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
10. Pemandangan dari Menara Tinggi
"Kiyori!" Sadoko terlalu takut untuk menyentuhnya. Namun, harus dilakukan sesuatu. Dia bangkit, menghambur ke pintu dan lari mencari pertolongan. Belum lima langkah, dia berhenti.
Jika ada orang lain yang melihat Kiyori dalam keadaan lemah begitu, dalam keadaan yang mungkin merupakan kegilaan sesaat"karena Kiyori telah mengucapkan nama penyihir kuno tersebut seolah-olah dia berada di depannya"kekuasaannya yang belum kukuh terpegang bisa hilang. Dia baru lima belas tahun, dengan banyak musuh dan sedikit teman.
Sadoko menoleh ke lorong gelap menuju sayap terlarang. Masih gemetar ketakutan, dia berbalik ke tempat Kiyori terbaring. Hanya dirinya sendiri yang bisa dia percayai akan diam. Jika Kiyori tidak memercayainya, Kiyori bisa jadi akan membunuhnya dan rahasia Kiyori tetap aman. Sadoko tidak ingin mati. Namun, dia tahu tugasnya. Ayahnya berstatus rendah, tetapi ayahnya seorang samurai, dia masih putri seorang samurai.
Sadoko memegang lengan Kiyori sampai dia akhirnya bangun pada dini hari.
Kiyori berkata, "Menara tinggi. Lantai ketujuh."
"Tidak ada lantai ketujuh, Lord Kiyori," Sadoko menjawab. Dia sengaja mengucapkan nama Kiyori kalau-kalau Kiyori lupa namanya.
"Aku akan membangunnya. Di sanalah nanti kita"."
Dia berhenti dan memandang Sadoko. Sadoko telah melihatnya dalam keadaan paling lemah. Sadoko telah mendengarnya mengoceh kepada hantu. Dapatkan dia mempercayai Sadoko untuk tutup mulut" Hanya satu jalan untuk memastikan. Menghabisinya.
Atau Ada alternatif lain. Menikahinya. Mana yang lebih buruk, pikimya. Setiap bagian tubuhnya dari kepala hingga jari kaki terasa sakit. Dia harus berusaha keras untuk mengangkat dirinya dari pangkuan Sadoko.
"Mengapa kau tertawa, Tuanku?"
"Oh, karena petualangan kecil kita ternyata jauh lebih buruk, dan jauh lebih baik, dibanding yang kita duga."
1311 Shizuka tersenyum. Wajah Kiyori terlihat damai walau dia meninggal karena diracuni. Dia tidak terlalu kesakitan. Shizuka lega karenanya.
BUKU KEDUA 24 TAKASHI MATSUOKA SAMURAI JEMBATAN MUSIM GUGUR
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
10. Pemandangan dari Menara Tinggi
Selama 64 tahun dari 79 tahun usianya, Lord Kiyori takut kepada Shizuka. Dia takut karena Shizuka mengetahui masa depan, dia takut karena Shizuka hantu atau perwujudan dari kegilaannya sendiri, dia takut karena Shizuka muncul dan menghilang tanpa pemberitahuan.
Namun, yang paling ditakutinya adalah karena Shizuka muda selamanya.
Kiyori tidak pernah menyangka betapa menakutkan dirinya bagi Shizuka. Malam pertama di menara waktu itu hanyalah sebuah pertanda. Dalam tiga tahun berikutnya, Lord Kiyori memburuk dengan kecepatan mengerikan dari muda menjadi tua, seolah-olah dia dikutuk oleh dewa-dewa sakti yang tak berbelas kasihan. Mungkin memang benar. Kutukan adalah penjelasan yang cukup bagus.
Shizuka tetap bersama bayangan jasad Lord Kiyori sampai sosok baur itu lebur untuk terakhir kalinya.
Sekarang, hanya satu hantu yang tersisa di Menara Tinggi.
Sebelum matahari terbit kembali, tidak akan ada lagi.
1842 Lord Nao tidak mengira dia akan menjejakkan kaki lagi di tempat ini. Mungkin kalau dia lebih taat beragama, abu putrinya akan sedikit bermakna baginya.
Namun, dia tidak demikian, abu hanyalah abu. Dia tidak mempercayai keabadian dan reinkarnasi betapapun hebatnya digambarkan. Dia tidak percaya orang jahat dibuang dan menderita di neraka, tidak pula dia percaya orang baik dan beriman akan dihadiahi dengan menjadi malaikat di surga. Dia tidak mempercayai ruh orang yang sudah mati selamanya terhu-bung dengan sisa-sisa jasadnya.
Hidup adalah hidup. Mati adalah mati. Itu saja. Pernah suatu ketika, belum lama berselang, keberadaan Nao penuh dengan kehidupan, serta harapan dan peluang yang terkandung dalam kehidupan. Kemudian, dalam waktu singkat, kematian menggantikan kehidupan. Midori, tegap seperti anak laki-laki ketika kanak-kanak, ternyata sangat rapuh sebagai wanita. Sebagaimana yang telah diramalkan temannya, Lord Kiyori, dia tidak pernah pulih dari kelahiran putra pertamanya, Genji. Kelahiran anak kedua, seorang anak perempuan, merenggut nyawanya serta si bayi. Dalam sebulan, suatu wabah yang BUKU KEDUA
25 TAKASHI MATSUOKA SAMURAI JEMBATAN MUSIM GUGUR
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
10. Pemandangan dari Menara Tinggi
dibawa mendarat oleh pemburu Rusia menyapu bagian utara wilayah Nao. Dia selamat dengan hanya menyisakan batuk. Istrinya, putra-putranya, cucu-cucunya, semua tidak seberuntung dia.
Menantu laki-lakinya, Yorimasa, bertahan sepeninggal Midori hanya dalam waktu tidak sampai satu tahun. Abunya baru saja ditempatkan di sebelah abu Midori. Itu adalah formalitas dan pengungkapan perasaan yang dia harap bisa menyenangkan hati seseorang karena tidak ada artinya bagi dia. Di antara sebagian orang, ada yang meragukan penyebab kematian Yorimasa.
Nao tidak termasuk. Kesedihan membuat Yorimasa berpaling pada opium, absinth, dan alkohol. Yorimasa bukan kembali pada kekejamannya seperti pada masa lampau. Dia hanya tidak bisa menanggung kehampaan hidup tanpa Midori. Nao paham. Dia merasakan
penderitaan dan kehampaan yang sama. Bahwa dia masih memiliki cucu yang akan meneruskan garis keturunannya kurang membantu. Dia tidak lagi peduli dengan garis keturunan. Pasti itu pula yang terjadi pada Yorimasa.
Dia ditemukan di pinggir jalan, lehernya patah, kudanya merumput di dekat situ. Semua bukti menunjuk pada kesimpulan yang jelas. Dia mabuk berat, terjatuh, dan jiwanya melayang.
Bahwa setidaknya ada satu orang yang tidak menerima pandangan ini dipastikan dengan kematian enam belas samurai, penjudi, dan penyelundup dalam waktu singkat. Agaknya pelaku mencurigai kematian Yorimasa sebagai akibat dari permainan curang. Keenam belas orang itu dibunuh dengan satu tebasan pedang dari depan tubuh. Pukulan yang demikian kuat sehingga mereka terpenggal atau nyaris terbelah. Semuanya dengan senjata di tangan, atau senjatanya terpental di dekatnya. Tak satu pun kematian itu disebabkan oleh penyergapan tiba-tiba atau sembunyi-sembunyi. Semua gosip menunjuk Shigeru, tentu saja, tetapi tidak ada yang bisa dibuktikan. Tidak ada saksi. Setidaknya, tidak ada yang bersedia maju sebagai saksi.
Nao mendengar gemeresik pakaian dari arah pintu di belakangnya.
Dia berkata, "Seandainya umur kita tidak terlalu panjang, mungkin umur mereka tidak akan terlalu singkat."
Lord Kiyori duduk di sampingnya. Dia berkata, "Tidak ada hubungan di antara keduanya.
Jika ada, semua orangtua akan mengorbankan diri untuk anak-anaknya."
"Namun, aku tak dapat menghilangkan perasaan bahwa aku hidup terlalu lama. Ketika aku lahir, Kaisar Chien-lung sedang berkuasa di Cina, dan kekaisaran itu kuat tak tertandingi. Duta Besar Inggris datang berkunjung, dan sang Kaisar berkata, 'Kau tidak punya apa-apa yang kami inginkan, kau boleh pergi, dan Inggris dengan cepat angkat kaki.' Sekarang, Inggris datang dan BUKU KEDUA
26 TAKASHI MATSUOKA SAMURAI JEMBATAN MUSIM GUGUR
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
10. Pemandangan dari Menara Tinggi
pergi sesukanya, mereka menjual obat terlarang kepada warga Cina untuk mencuri kesehatan mereka dan mematahkan semangat mereka. Cina dan Inggris berperang, dan Inggris menang.
Sukar dibayangkan, tetapi itulah. Aku sudah tua."
"Kau dan aku terlahir pada tahun yang sama," ujar Kiyori. "Kalau kau sudah tua, begitu pula aku."
"Kaubisa melihat masa depan," jawab Nao, "jadi, orang-orang sepertimu tidak akan pernah tua."
"Aku sering berharap tidak memiliki kemampuan itu. Apa gunanya mengetahui suatu tragedi jika tak dapat mencegahnya?"
"Kau tidak memintanya. Itu tanggung jawab yang harus kaupikul. Tidak sepertimu, aku bisa meletakkan bebanku sekarang. Aku sudah menulis kepada Shogun untuk menyerahkan gelar dan kewenanganku."
"Kurasa memang harus begitu."
Nao berkata, "Ingat, ketika kita masih muda, kita berjanji kepada diri sendiri dan leluhur, kita akan menjadi orang yang menuntut balas demi klan kita dan mengalahkan Shogun Tokugawa" Kurasa inilah satu-satunya janji yang lupa kusimpan."
Kiyori tertawa. "Itu sumpah konyol yang dibuat orang muda. Kita bisa dimaafkan karena tidak memenuhinya."
Mereka duduk beberapa saat dalam diam.
Kemudian, Kiyori berkata, "Apa yang akan kaulakukan?"
"Aku akan mengingat," jawab Nao. "Semua orang yang kucinta kini hanya hidup dalam ingatanku." "
BUKU KEDUA 27 TAKASHI MATSUOKA SAMURAI JEMBATAN MUSIM GUGUR
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
11. Kutukan Ibunda Sang Penyihir
11 Kutukan Ibunda Sang Penyihir
1882, Kastel Awan Burung Gereja
Hampir sepanjang perjalanan laut dari
Profinsi Yokohama kee Muroto, Makoto terus
memikirkan apa yang akan dilakukannya jika Genji
menolak menemuinya. Dia tidak perlu repot-repot
memikirkannya. Dia langsung diterima.
Pria yang keluar menyambutnya di ruang tamu
yang luas kira-kira memiliki tinggi dan perawakan
yang sama dengannya. Dia juga mengenakan jas
panjang rangkap dari wol, hem sutra putih dengan dasi sutra hitam, rompi sutra, celana panjang wol yang tipis, dan sepatu bot rendah bertali. Pakaiannya bernuansa abu-abu tua, sedangkan busana Makoto serbahitam. Perbedaan yang mencolok di antara mereka hanyalah warna itu serta sepatu berkuda Makoto yang lebih berat. Timbul sedikit rasa kecewa. Di benteng kuno ini, dia berharap bertemu dengan seorang panglima perang dalam pakaian kebesaran tradisional.
"Aku senang bertemu denganmu, Makoto," kata Genji sambil mengulurkan tangan. Saat berhadapan begitu, dia tampak cukup muda untuk menjadi kakak Makoto.
Bahasa Inggris Genji nyaris sempurna. Makoto mengenali aksen yang sesekali terdengar bukanlah khas orang Jepang asli, melainkan aksen New York, bagian tengah Hudson River Valley, tepatnya di dekat Albania, jika dia tidak keliru. Penelitian linguistik yang dilakukan Makoto membawanya pada hobi yang menarik, yaitu mengidentifikasi tempat lahir pembicara hanya dari pola tuturnya. Genji pasti mempunyai guru dari wilayah itu. Dia harus menanyakan-nya jika ada kesempatan.
"Terima kasih Anda bersedia menemuiku meski dengan pemberitahuan yang mendadak, Tuan Okumichi. Aku tahu Anda sangat sibuk."
BUKU KEDUA 1 TAKASHI MATSUOKA SAMURAI JEMBATAN MUSIM GUGUR
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
11. Kutukan Ibunda Sang Penyihir
"Dua puluh tahun tidak mendadak bagiku."
Makoto tersenyum. "Anda mengejutkanku, Tuan. Paling tidak, tadinya aku menduga akan ada pengelakan, bahkan penolakan langsung. Bahkan lebih dari penolakan, sebenamya ketidaksediaan menemuiku adalah reaksi yang paling mungkin."
"Mengelak tidak ada gunanya," Genji berkata, "dan menolak itu tidak mungkin. Lihat dirimu. Lihat diriku. Hubungan kita sangat jelas."
"Benarkah" Anda tidak melihat Matthew Stark sedikit pun pada diriku?"
"Pada kegagahanmu, ya, dan pada ketenanganmu di situasi yang sulit, aku melihat banyak kemiripan dengan Matthew. Bagaimanapun, dia yang membesarkanmu. Mana mungkin kau tidak mirip dia?"
Dua orang pelayan muncul di ambang pintu dan membungkuk sebelum masuk. Mereka
mengenakan kimono tradisional, bukan busana ala Barat seperti pelayan-pelayan yang menyambut kedatangannya tadi. Mungkin seperti bangsawan Ottoman di Turki, Genji menerapkan cara modern di depan orang asing, tetapi lebih suka menerapkan kekuasaan absolut tradisional di lingkungan dalam. Mungkin hanya dalam situasi itulah, dia memamerkan perlengkapan panglima perang yang tak dilihat Makoto.
Para pelayan meletakkan nampan di atas meja "Anda ingin tehnya dituangkan, Tuan?"
seorang pelayan bertanya.
"Tidak, terima kasih," kata Genji.
Para pelayan membungkuk dan keluar. Keluar masuknya mereka sama sekali tidak
mencolok. "Apakah ibuku melayani dengan cara seperti itu?"
"Dia menuangkan teh," kata Genji, "karena menuang menunjukkan kelembutan, juga memperlihatkan keanggunan dan kecantikan. Karena tiga sifat itu sangat menonjol dalam dirinya, secara alami dia mempunyai kecenderungan itu. Namun, dia tidak terlalu suka membawakan nampan. Bagaimanapun dia bukan pelayan maka tidak ada paksaan untuk suka atau perlu untuk melakukannya."
"Dia bukan pelayan" Yang aku tahu sebaliknya, Tuan. Seorang pelayan atau sejenisnya, di kastel ini, dan di istana Tokyo."
"Ah," kata Genji. Dia berjalan menuju jendela dan memandang laut.
"Apakah aku keliru?"
"Aku yang keliru," kata Genji.
BUKU KEDUA 2 TAKASHI MATSUOKA SAMURAI JEMBATAN MUSIM GUGUR
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
11. Kutukan Ibunda Sang Penyihir
"Anda mengabaikan ibuku, Tuan. Bukan, maaf, aku tidak sedang menuduh atau menghakimi perbuatan Anda. Ini hanya pernyataan yang sebenarnya. Aku ingin tahu mengapa.
Aku datang bukan untuk menuntut Anda secara materi atau apa pun, juga tidak meminta Anda mengumumkan hubungan kita kepada siapa pun, atau mengakuinya dengan cara apa saja. Aku hanya ingin satu hal. Jawaban untuk mengapa'."
"Aku memang tidak mengakuimu seperti seharusnya," kata Genji, "atau mengakui ibumu.
Kuharap kau setuju bahwa, sebesar apa pun kesalahan itu, itu bukanlah penelantaran. Tak satu pun dari kalian yang diabaikan. Kesejahteraanmu sangat diperhatikan, dan aku yakin telah mencukupi kebutuhanmu dengan semestinya."
"Anda akan memaafkanku, Tuan, jika aku menanggapi diskusi semantik tanpa minat," kata Makoto. "Masalah 'mengapa' masih ada, dan keberadaannya cukup jelas sebagai hal yang paling penting."
Genji membungkukkan pinggangnya dengan cara seorang pria Barat mengakui kebenaran lawan bicaranya. Seseorang telah mengajarinya dengan baik.
"Akan kucoba menjelaskan," kata Genji. "Modernisasi kita baru saja dimulai dan juga masih dangkal. Kita masih terikat oleh keyakinan abad pertengahan. Dua puluh tahun yang lalu, ketika kau lahir, situasinya bahkan lebih terbelakang. Kurasa kau akan sulit membayangkan seterbelakang apa."
Seseorang muncul di ambang pintu, kali ini seorang gadis cilik berusia sekitar dua belas tahun. Kimono kanak-kanaknya tidak terlalu cocok dengan penampilannya, yang sangat mengingatkan Makoto pada saudara-saudara perempuannya di San Francisco. Seperti mereka, jelas terlihat bahwa hanya salah seorang dari orangtuanya yang asli Jepang.
"Mengapa kau memakai kimono?" Genji bertanya dalam bahasa Jepang. "Kukira kau benci busana Jepang."
Gadis cilik itu berjalan acuh tak acuh ke dalam ruangan.
Dia berkata, "Itu kemarin. Hari ini aku benci pakaian Barat."
"Baiklah," kata Genji. "Kemari sebentar. Aku ingin memperkenalkanmu dengan seseorang."
Gadis itu mirip saudara-saudara perempuan Makoto dalam garis keturunannya yang campuran. Namun jika mereka hanya cantik, gadis itu sungguh menakjubkan. Rambutnya cokelat muda, dengan bagian-bagian kemerahan cemerlang. Bintik-bintik keemasan tampak BUKU KEDUA
3 TAKASHI MATSUOKA SAMURAI JEMBATAN MUSIM GUGUR
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
11. Kutukan Ibunda Sang Penyihir
berkilau di matanya yang berwarna cokelat terang. Wajahnya semulus keramik paling halus tanpa mengurangi kelincahan dan kehidupan ekspresinya. Harmoni Timur-Barat yang nyata tampak pada bentuk wajahnya, ukuran dan sudut matanya, lengkung hidungnya, tinggi tulang pipinya. Makoto juga melihat kemiripan gadis kecil itu dengan ayahnya dan dirinya, terutama pada bentuk mulut dan caranya membentuk senyum tipis yang menetap di sana. Gadis kecil itu mengingatkannya pada saudara-saudara perempuannya karena jelas jelas dia salah seorang dari mereka.
"Shizuka, ini Makoto," kata Genji dalam bahasa Inggris. "Makoto, ini putriku, Shizuka."
Shizuka berkata dalam bahasa Jepang, "Mengapa Ayah berbahasa Inggris?"
"Nama kalian dari bahasa Jepang," kata Genji, "jadi, tidak banyak bahasa Inggris yang kuucapkan."
"Sudah, Ayah," kata gadis itu, "leluconmu tidak pernah lucu."
Makoto berkata, "Ayahmu berbahasa Inggris karena dia sopan. Aku tamunya dan bahasa Inggris adalah bahasa sehari-hariku."
"Kau bukan orang Jepang?" kata Shizuka dalam bahasa Inggris. Penjelasan Makoto tampaknya masuk akal.
"Aku berdarah Jepang, tetapi lahir di Amerika Serikat dan menghabiskan seluruh hidupku di sana. Ini perjalanan pertamaku ke Jepang."
Shizuka menatapnya dengan saksama. "Ah," katanya, "kau Makoto yang itu. Aku kenali kau sekarang. Aku lihat banyak fotomu. Kita bersaudara."
Makoto menoleh kepada Genji.
Genji berkata, "Aku mungkin memberitahunya terlalu banyak. Salah satu kesalahan klasik ayah yang memanjakan anaknya."
Shizuka berkata, "Kurasa kita benar-benar bersaudara tiri. Ibu kita berbeda. Kita juga separuh yatim. Ibu kita sama-sama meninggal saat melahirkan."
"Aku turut prihatin atas wafatnya ibumu, Shizuka. Ibuku masih hidup."
"Heiko masih hidup?" Shizuka tampak sangat bingung. Dia menoleh kepada ayahnya.
Begitu juga Makoto. "Siapa itu Heiko?" dia bertanya.
BUKU KEDUA 4 TAKASHI MATSUOKA SAMURAI JEMBATAN MUSIM GUGUR
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
11. Kutukan Ibunda Sang Penyihir
1862, San Francisco Jiro dan Shoji berdiri di kisi-kisi kanan kapal Bintang Bethlehem dan menatap ke seberang hamparan air di San Francisco.
Jiro berkata, "Dari jauh pun, tempat ini kelihatan barbar."
"Mau terlihat bagaimana lagi?" Shoji berkata. Sebenarnya, tempat ini banyak mengingatkannya pada kampung halaman ibunya di Kobe, Jepang Barat, dengan air laut yang sama menjilati pinggiran kota, dan lembah-lembah hijau tampak tak jauh di sekitarnya. Tentu saja, dia tidak akan pernah mengakui itu pada temannya. Lagi pula, ada perbedaan utama. Di sini, bangunan-bangunan didirikan tidak hanya di sisi bukit, tetapi memenuhinya hingga ke puncak. Itu takkan pernah terjadi di negara berbudaya seperti Jepang, bangsa yang menghormati puncak gunung sebagai tempat tinggal para dewa "Negeri orang-orang barbar akan terlihat seperti negeri orang-orang barbar."
Sebuah suara yang empuk dan merdu mengalun sampai pada mereka. "Mungkin waktunya sudah tiba untuk menyesuaikan pemikiran kalian." Suara itu menyenangkan, tetapi jelas bernada teguran.
Mengenali suaranya, mereka berkata, "Ya, Lady Heiko," sebelum mereka melihatnya.
Kedekatannya telah mengejutkan mereka. Hanya beberapa saat lalu, mereka melihatnya sedang berbicara dengan Tuan Stark dan kapten di sisi lain kapal itu. Meskipun gerakan-gerakannya selalu lembut dan lambat, jelas dia dapat bergerak sangat cepat dan tanpa suara jika menghendakinya. Kisah perjalanannya melalui gunung-gunung dengan Tuan Stark, serangannya pada malam hari terhadap para penjaga pengkhianat Sohaku, dan kegagahberaniannya dalam pertempuran di Kuil Mushindo sudah melegenda walaupun peristiwa-peristiwa itu baru terjadi tahun lalu.
Heiko berkata, "Tuan Stark dan Lady Emily tinggal di kota ini sebelum datang ke Jepang.
Menghina tempat ini berarti menghina mereka."
"Ya, Lady Heiko." Mereka terus membungkuk dalam-dalam. Kedua mata mereka beralih sopan dan terkunci pada dek kapal.
"Lindungi Lady Heiko dengan nyawa kalian," kata Lord Genji, "dan hormati dia seperti kalian menghormati aku."
BUKU KEDUA 5 TAKASHI MATSUOKA SAMURAI JEMBATAN MUSIM GUGUR
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
11. Kutukan Ibunda Sang Penyihir
Dengan tangan, lutut, dan kepala menekan permadani di lantai Istana Bangau Yang Tenang, Jiro dan Shoji berkata, "Baik, Lord Genji."
"Perlakukan Tuan Stark seperti kalian memperlakukan bangsawan lain yang mengabdi padaku, dan ingat bahwa dia adalah temanku sampai kematian memisahkan kami."
"Baik, Lord Genji."
"Di Amerika, Tuan Stark dan Lady Heiko akan melaksanakan rencana yang kami susun untuk memperkuat klan. Pastikan kalian mematuhi mereka dengan sepenuh hati."
"Baik, Lord Genji.''
"Bukankah kalian dikirim kemari untuk melindungi kami?" tanya Heiko.
"Ya, Lady Heiko."
"Dan bagaimana kalian melaksanakannya jika terus menatap ke tanah?"
Mereka menengadah, melihat Heiko tersenyum.
Terlepas dari kenyataan bahwa mereka telah mendapat teguran, senyumnya sangat
menawan dan begitu hangat sehingga kedua lelaki itu merasa jiwa mereka bercahaya.
"Mulai sekarang, anggap diri kalian setiap saat berada di medan perang dan kurangi setiap bungkukan itu seperlunya. Kita tidak tahu kebiasaan di negeri ini. Kita harus sangat berhati-hati."
"Ya, Lady Heiko."
Stark bergabung dengan mereka di kisi-kisi kanan kapal.
"Nah, kita sudah sampai. Jiro, Shoji, apakah kalian suka" Kota Amerika kalian yang pertama."
"Sangat indah, Tuan," kata Jiro.
"Aku yakin kota ini sudah berubah sejak aku pergi. Jauh lebih besar hanya dalam setahun."
"Mengingatkan saya pada Kobe," kata Shoji. "Bukit-bukit yang sama, kota yang sama di lautan."
Stark terkesan. Baik Shoji maupun Jiro tidak mudah mempelajari bahasa Inggris, tetapi mereka berusaha keras sepanjang tahun lalu. Tak peduli berapa lama dia tinggal di Jepang, dia tahu takkan pernah mampu menguasai bahasa mereka seperti kedua orang ini menguasai bahasa Inggris. Sebagai samurai, mereka mendekati pembelajaran bahasa Inggris dengan cara yang sama mereka mempelajari teknik pedang, seni memanah, dan pertarungan tangan kosong"sebagai BUKU KEDUA
6 TAKASHI MATSUOKA SAMURAI JEMBATAN MUSIM GUGUR
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
11. Kutukan Ibunda Sang Penyihir
persoalan hidup dan mati.
"Ya," Stark berkata kepada Shoji, "aku dapat melihat kemiripan itu setelah kau mengatakannya. Kecuali, tidak ada bangunan di puncak bukit Kobe."
"Ah," Shoji berkata, "benar sekali, Tuan Stark. Pengamatan Anda sangat tajam."
"Sampai kemampuan bahasamu lebih baik, gunakan kata-kata sederhana," kata Heiko dalam bahasa Jepang, "atau kau akan terlihat angkuh dan mempermalukan kita semua."
"Ya, Lady Heiko."
Dalam satu jam, mereka sudah berada di dok. Jiro dan Shoji mengawasi dari dek saat sekelompok kuli Cina bersama sekelompok buruh Amerika menurunkan muatan kapal.
Jiro berkata, "Orang Cina dan Amerika tampaknya saling membenci."
"Kita tidak suka keduanya," kata Shoji, "dan mereka tidak suka kepada kita. Tentu saja mereka juga tidak saling menyukai."
Ada sesuatu yang tidak masuk akal dalam perkataan Shoji. Sebelum Jiro sempat
meluruskannya, pelayan Lady Heiko, Sachiko, bergabung dengan mereka. Dia telah disibukkan dengan barang-barang di bawah. Untuk pertama kalinya, dia melihat San Francisco.
"Ya ampun, ini seperti belantara ketimbang sebuah kota," kata Sachiko. "Kukira ini pelabuhan penting."
"Memang," kata Shoji. Sebelumnya, dia telah menyadari bahwa Sachiko sangat cantik. Dia tampak lebih cantik lagi sebagai satu-satunya wanita Jepang yang dikenalnya selain Lady Heiko dalam perjalanan jauh 7.000 mil.
Jiro berpendapat serupa. "Sama sekali tidak seperti Nagasaki atau Yokohama," Sachiko berkata, "aku mengira akan lebih banyak gedung, lebih banyak orang, lebih banyak segalanya. Bukankah Amerika sebuah negara yang sangat kuat?"
"Sangat kuat," kata Hiro, "dan sangat besar. Dua puluh kali luas seluruh Jepang.
Kebanyakan penduduknya tinggal jauh ke timur."
"Apakah luasnya sama dengan Cina?"
Sachiko sebaya dengan Lady Heiko, berarti usianya 20 tahun. Dia harus segera menikah selagi masih muda. Jiro mengira-ngira apa yang ada dalam benak Lord Genji ketika mengirimkan mereka bertiga ke sini. Ada Sachiko, juga dirinya, dan Shoji. Salah seorang akan tetap membujang, kecuali Lord Genji tidak menghendaki mereka jauh dari Jepang lama-lama.
BUKU KEDUA 7 TAKASHI MATSUOKA SAMURAI JEMBATAN MUSIM GUGUR
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
11. Kutukan Ibunda Sang Penyihir
"Lebih luas," kata Shoji.
"Sungguh" Lebih luas dari Cina. Betapa menakjubkan."
Jiro berusaha keras mengingat lebih banyak fakta tentang Amerika. Dia seharusnya lebih memerhatikan pelayaran. Sekalipun mereka akan segera kembali ke Jepang setelah membantu Tuan Stark mendirikan perusahaan untuk Lord Genji, ada kemungkinan mereka akan tinggal lebih lama. Karena itu, sebaiknya dia menciptakan kesan positif lebih banyak dari Shoji di mata Sachiko. Apa lagi yang lebih penting"
Sachiko memandang tangga kapal. Tuan Stark dan Lady Heiko bersiap-siap turun ke darat.
"Aku harus pergi sekarang. Kalian harus memberitahuku lebih banyak nanti." Dia bergegas membantu Lady Heiko.
Shoji berkata, "Lihat cara Lady Heiko bersandar kepada Tuan Stark."
"Ya. Dia jatuh sakit begitu kapal meninggalkan Jepang."
"Dia tidak terlihat membaik."
"Karena sekarang kita sudah sampai, mungkin dia akan mendapat perawatan medis. Mereka memahami pengobatan, bukan?"
"Ya," kata Shoji. "Aku yakin mereka mempelajari ilmunya dari Belanda, seperti juga kita."
Dalam diam, mereka memerhatikan Stark, Heiko, dan Sachiko turun dari kapal. Mereka berjalan perlahan menyeberangi dermaga menuju kereta kuda yang menunggu.
"Sachiko sangat menawan," kata Jiro.
Shoji berkata, "Hati-hati."
"Apa maksudmu?"
"Aku dengar bisik-bisik bahwa dia seorang ninja."
"Kudengar itu tentang Lady Heiko, bukan Sachiko."
"Jangan bodoh," kata Shoji. "Jika Lady Heiko seorang ninja, bukankah Sachiko pun demikian?"
"Aku rasa tidak harus begitu," kata Jiro.


Samurai Karya Takashi Matsuoka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Lihat diri kita," Shoji berkata.
"Mengapa dengan kita" Kita tentu saja bukan ninja."
"Bukan, tentu saja bukan. Maksudku, Lord Genji seorang samurai maka pembantu-pembantu kepercayaannya juga samurai. Bukankah Lady Heiko pun bersikap sama?"
Mereka mengawasi ketiga orang itu menaiki kereta kuda yang menuju arah kota.
BUKU KEDUA 8 TAKASHI MATSUOKA SAMURAI JEMBATAN MUSIM GUGUR
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
11. Kutukan Ibunda Sang Penyihir
"Dia tidak seperti orang yang suka kekerasan," kata Jiro, lebih penuh harapan dari yang dirasakannya.
"Bagaimana dengan Lady Heiko?" tanya Shoji.
"Dia juga tidak, dan karena itulah aku pun meragukan kabar burung tentang dia," kata Jiro.
"Ingat, Lord Hide mendengar beberapa pengawal memperbincangkannya. Dia menghukum mereka dengan berat, lalu memberi mereka pekerjaan di kandang kuda selama sebulan karena omong kosong itu."
"Jika gosip itu salah, bukankah dia hanya akan menertawakannya dan menganggap mcreka konyol?" tanya Shoji.
Jiro bertanya-tanya apakah Shoji benar-benar percaya, atau mengatakan itu hanya untuk memadamkan rasa suka yang mungkin tumbuh di hatinya kepada Sachiko sehingga dia sendiri dapat maju tanpa hambatan. Sulit mengatakannya. Penyelesaian terbaik untuk semua pihak adalah kembali ke tanah air segera.
"Sini, berbaringlah," kata Stark, membawa Heiko ke sofa terdekat. Sebelum mereka meninggalkan Jepang, dia telah mengatur agar rumah itu dibangun di bukit berhutan di luar kota. Pada tahun kepergiannya, kota sudah merambahnya walaupun bukit itu sendiri sebagian besar tidak berpenghuni.
"Aku tidak cacat," kata Heiko.
"Memang tidak. Tetapi, tidak ada urusan penting untuk kautangani dan tidak ada pertempuran saat ini. Kau harus istirahat selagi bisa."
"Aku sudah beristirahat selama pelayaran."
"Jika kuingat baik-baik, kau juga muntah-muntah terus."
Heiko tertawa, "Yah. Memang."
"Kelihatannya itu sudah berlalu."
"Tiga bulan," kata Heiko. "Lazimnya selama itu."
"Jika Lord Genji mengetahui ini?"
"Dia tidak akan tahu," kata Heiko. "Belum saatnya."
"Mengapa ditunda-tunda" Lebih cepat dia tahu, lebih baik."
"Tak ada gunanya meminta perhatian darinya, sebelum kita yakin."
"Yakin tentang apa" Kondisimu tidak diragukan lagi."
BUKU KEDUA 9 TAKASHI MATSUOKA SAMURAI JEMBATAN MUSIM GUGUR
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
11. Kutukan Ibunda Sang Penyihir
Heiko tersenyum, "Kita tidak yakin bahwa anak ini akan hidup. Mengapa harus mengganggunya dengan sesuatu yang mungkin tidak terjadi?"
"Kurasa dia ingin tahu, Heiko, dan kurasa dia ingin tahu segera."
"Kita tunggu sampai anak ini lahir. Jika kita beri tahu sekarang, dia mungkin tidak senang.
Dia mungkin memerintahkan aku menggugurkannya."
Stark terkejut. "Dia tega begitu" Mengapa?"
"Dia seorang Bangsawan Agung," kata Heiko. "Siapa yang tahu apa yang akan diperbuatnya" Situasinya berbeda sehingga perasaannya sulit kita perkirakan. Yang pasti, kesempatan hidup anak ini lebih baik setelah dia lahir nanti. Kemungkinan Lord Genji akan memerintahkan eksekusi lebih kecil daripada aborsi."
"Aku tidak berpura-pura memahami Jepang lebih baik daripada tahun lalu," kata Stark,
"tetapi, sulit kupercaya dia akan melakukan tindakan sekejam itu tanpa alasan sama sekali." Stark berusaha menenangkan napasnya. "Pokoknya, kita di Amerika sekarang. Bahkan jika dia memerintahkannya, tak ada orang di sini yang akan melakukan perbuatan mengerikan itu."
"Jiro dan Shoji," kata Heiko.
"Akan kubunuh mereka lebih dahulu."
Heiko tersenyum kepada Stark. Seperti biasanya, ekspresi halus dan lembut itu membuat napas Stark tertahan.
"Apakah kau akan membunuhku, Matthew?"
Stark menatapnya lama tanpa berkata-kata.
Ketika dia berkata, suaranya nyaris berbisik, dan dia sudah tahu jawaban dari
pertanyaannya. "Akankah kau membunuh anakmu sendiri?"
"Aku akan mematuhi perintah tuanku."
"Aku tak percaya dia akan memerintahkan hal seperti itu," Stark berkata lagi. "Tak ada alasan, menurutku."
"Aku tidak mengatakan bahwa dia akan melakukannya," Heiko berkata. "Mungkin dia akan senang, tetapi dia seorang Bangsawan Agung. Bangsawan Agung punya alasan yang berbeda dengan orang biasa. Lebih baik menghindari risiko yang tidak perlu, bukan?"
Mata Stark menerawang. Dia tampak lesu.
Heiko merasa sangat bersimpati kepadanya. Ingin dia menjelaskan dengan lebih baik jika BUKU KEDUA
10 TAKASHI MATSUOKA SAMURAI JEMBATAN MUSIM GUGUR
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
11. Kutukan Ibunda Sang Penyihir
bisa, tetapi dia sendiri penuh dengan keraguan.
Sekalipun menyatakan cinta kepadanya, Genji telah mengirimnya ke pengasingan yang jauh.
Tentu saja, Genji tidak menyebut demikian. Dia melimpahi Heiko dengan emas, dan memintanya mendirikan landasan yang kukuh untuk klannya di Amerika. Dia telah meminta Matthew Stark, teman Amerikanya yang tepercaya, untuk melindungi dan membimbing Heiko di tanah airnya itu. Namun fakta sederhana tetap ada, dan tidak dapat dimungkiri-samudra luas kini memisahkan mereka berdua, dan itu terjadi hanya karena Genji memerintahkannya.
Heiko percaya Genji mencintainya. Cara Genji memandangnya, menyentuh dirinya, nada suaranya, ekspresi wajahnya, bahkan irama napasnya ketika dia terlelap di sisinya, semua itu menunjukkan cinta yang sama besarnya dengan cinta Heiko kepada lelaki itu. Bagi Heiko, tak ada yang lebih kuat dari cinta itu dalam hidup ini.
Namun dia di sini, di tempat asing ini, sedangkan Genji berada di belahan dunia lain.
Mengapa dia mengirimnya kemari" Akankah Heiko pernah tahu" Dan ketika Genji tahu bahwa seorang anak telah lahir, apa yang akan dia lakukan" Memerintahkannya kembali"
Memerintahkan anak itu dan juga dirinya dibunuh"
Heiko meletakkan tangah di perutnya yang mulai membuncit. Jika anak itu hidup"jika dia laki-laki"Ah, tak ada gunanya berspekulasi. Untuk saat ini, yang dapat dilakukan hanyalah menunggu. Menunggu dan merawat diri sebaik-baiknya. Waktu akan menjawab semua
pertanyaan. Waktu dan Genji.
Heiko memejamkan mata, tersenyum, dan tak berapa lama kemudian tertidur.
Stark tidak berani bergerak. Heiko tidur sambil bersandar kepadanya. Dia begitu mungil dan rapuh, sementara perjalanan kemarin cukup melelahkan.
Dia sedang mengandung. Stark hampir tidak percaya. Heiko sendiri masih tampak seperti kanak-kanak, terlalu muda untuk menghadapi bahaya maut saat melahirkan. Bayi baru lahir yang mati sama banyaknya dengan yang hidup, dan sering ibu mereka pun ikut mati. Selain risiko maut alamiah itu, ada juga ancaman tak terduga yang menurut Heiko datang dari Genji.
Stark merasa jengah. Dia telah menanyakan alasannya kepada Heiko meski dia tahu. Paling tidak, salah satu dari kemungkinan yang ada. Dia tidak pernah menyangka akan jatuh cinta kepada Heiko, dan karenanya dia tidak mewaspadainya. Perhatiannya tertuju kepada Emily Gibson, rekan misionarisnya di Jepang. Emily memancarkan kecantikan usia delapan belas yang BUKU KEDUA
11 TAKASHI MATSUOKA SAMURAI JEMBATAN MUSIM GUGUR
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
11. Kutukan Ibunda Sang Penyihir
sedang mekar-mekarnya, semerbak memasuki dunia wanita dewasa. Daya tariknya begitu jelas sehingga mudah bagi Stark membekukan hatinya. Tujuannya ke Jepang berhubungan dengan kematian. Tak ada tempat untuk gangguan cinta. Dia tidak memagari hatinya terhadap Heiko karena kemungkinan itu tak pernah terpikirkan olehnya. Heiko orang Jepang, seorang geisha, dan kekasih Lord Genji. Ironisnya, perasaan Stark terhadapnya tumbuh, bukan karena-kecantikannya, melainkan karena keberaniannya. Meskipun tubuhnya mungil dan tampak rapuh, dalam dua kesempatan berbeda, dia membunuh dua lusin samurai bersenjata lengkap dengan tangannya sendiri yang kecil itu. Bukan dari jauh dengan senjata api, melainkan dari jarak dekat, dengan sebilah pisau, pedang, dan senjata rahasia bernama shurihen..Pada saat Stark menyadari kckagumannya telah berubah menjadi sesuatu yang jauh lebih mendalam, sudah terlambat untuk mengingkarinya.
Dia mencintai wanita itu.
Apakah Heiko takut kemurkaan Genji disebabkan oleh Bangsawan Agung itu tahu
perasaan Stark kepadanya" Apakah Genji telah secara keliru menduga bahwa perasaan itu telah diwujudkan dalam tindakan" Jika memang demikian, mungkinkah Genji akan menyuruh Heiko pergi bersama Stark serta menyuruhnya menjaga wanita itu"
Tak ada gunanya bertanya-tanya. Stark tidak memahami orang Jepang secara umum, dan Genji sendiri bahkan lebih membingungkan dari kebanyakan orang. Heiko memang benar tentang satu hal. Motif seorang bangsawan agung selalu rumit dan sulit dipahami, serta tidak mungkin ditebak. Dia harus menunggu dan melihat apa yang terjadi.
Mungkinkah Genji akan memerintahkan anak itu dibunuh begitu lahir" Stark mengenalnya sebagai pria yang baik dan lembut, dalam sikap dan perbuatan, sangat bertolak belakang dengan pasukan kesatria yang dipimpinnya. Jika tidak mengenalnya dengan baik, dia takkan pernah menyangka Genji mampu melakukan hal-hal yang kejam. Akan tetapi, dia telah melihat penjagalan paling sadis yang dilaksanakan atas perintah Genji dan mendengar kabar angin yang lebih menakutkan dari itu. Baru beberapa bulan sebelumnya, Genji telah memimpin anak buahnya membantai seluruh penduduk di sebuah desa petani. Lebih dari seratus orang, termasuk wanita, anak-anak, bahkan bayi yang masih menyusui, secara brutal dihabisi dan desa itu dibumihanguskan. Begitulah kabar burung yang tersiar, dan tak ada yang menyangkalnya.
Mengapa itu dilakukan" Tak ada yang tahu. Pembantaian itu diperintahkan, dan perintah itu dipatuhi. Untuk samurai, itu sudah cukup.
BUKU KEDUA 12 TAKASHI MATSUOKA SAMURAI JEMBATAN MUSIM GUGUR
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
11. Kutukan Ibunda Sang Penyihir
Stark tahu bahwa jika Genji memberikan perintah, Jiro dan Shoji tidak akan pernah ragu.
Begitu pula Heiko. Tidak, itu takkan terjadi. Dia takkan membiarkannya terjadi. Dia telah berjuang bersama kedua samurai itu, tetapi dia akan menembak mereka seperti binatang gila sebelum menyentuh anak Heiko. Dan Heiko, bagaimana dengannya" Jika Stark hanya mengambil anak itu dari Heiko untuk mencegahnya mematuhi Genji, wanita itu akan bunuh diri karena gagal melaksanakan tugas. Stark harus menemukan cara untuk menyelamatkan anak itu dan Heiko sekaligus, jika keadaan memaksa. Caranya" Dia tidak tahu.
Dirasakannya Heiko beristirahat dengan hangat di dadanya. Napasnya sendiri melambat dan mengikuti napas Heiko yang sedang tidur.
Setengah tahun lagi anak itu hadir. Terlalu dini untuk cemas. Mungkin bahkan tak ada yang perlu dicemaskannya. Segalanya bisa saja berjalan lancar pada akhirnya.
Lebih mudah berharap ketimbang yakin, padahal tidak semudah itu untuk berharap.
Satu jam pertama persalinan, Heiko mulai mengalami pendarahan.
Dokter berkata, "Darah sejumlah tertentu sangat wajar. Tak ada bahaya yang perlu dikhawatirkan."
Empat jam kemudian, darah terus mengalir dan kepala si bayi belum juga terlihat.
Dokter berkata kepada Stark, "Saya tidak dapat berbuat apa-apa untuk menghentikan aliran darah ini sampai bayinya keluar."
Pada jam kelima belas, Heiko harus berjuang untuk tetap sadar. Seprai dan handuk di bawah tubuhnya menjadi merah pekat ketika diganti.
Dokter berkata, "Jika dia tertidur, kita akan kehilangan dua-duanya."
Pada jam kedua puluh, Heiko mengejan. Dorongan terakhir itu melahirkan anaknya.
Kemudian, kesadarannya hilang. Si bayi yang sehat dan kuat itu menangis keras-keras.
Dokter berkata, "Akan saya coba menyelamatkannya, Tuan Stark, tetapi Anda harus paham. Tubuhnya kecil dan dia sudah banyak kehilangan darah."
"Dia memiliki keberanian sepuluh laki-laki," kata Stark.
"Ya, Tuan, saya yakin," dokter berkata. "Tetapi tetap saja, keberanian sepuluh kali lipat itu terkandung dalam satu tubuh yang kecil."
BUKU KEDUA 13 TAKASHI MATSUOKA SAMURAI JEMBATAN MUSIM GUGUR
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
11. Kutukan Ibunda Sang Penyihir
"Akan kupanggil dia Makoto," kata Heiko. Dia berbaring di tempat tidur dengan bayi lelaki terbungkus selimut dalam pelukannya. Dia telah memberi Lord Genji seorang putra dan ahli waris. Perintahnya yang memanggil mereka kembali ke Jepang akan segera diberikan begitu dia tahu. "Makoto berarti 'kebenaran'."
Heiko membayangkan dedaunan di Jepang sekarang menguning, tanda musim gugur akan tiba. Dia selalu menyukai musim gugur, tak pernah merasakan kesedihan daun-daun yang jatuh dan gugurnya bunga musim semi. Setelah musim dingin, musim semi akan datang lagi.
"Makoto nama yang bagus," kata Stark. Demi Heiko, dia menahan air matanya.
"Saya sudah menghentikan pendarahannya," kata dokter, "tetapi hanya karena tak banyak lagi darahnya yang tersisa. Pendarahan akan terjadi lagi. Maafkan saya, Tuan Stark."
"Dia sangat mirip Lord Genji, bukan?" Heiko bertanya.
"Dia tampan," Stark berkata, "mirip ibunya yang cantik."
Heiko tersenyum. Walaupun dia lemah dan sangat pucat, senyumnya sehangat sinar mentari pagi.
"Dasar perayu," katanya. Kemudian, kecemasan mengerutkan alisnya. Disibaknya selimut dari wajah Makoto. "Kau bercanda, kan" Dia tidak lebih mirip aku, bukan?"
"Mengapa kau khawatir?" tanya Stark. "Dia beruntung mempunyai wajah mirip kau. Dia jadi lebih tampan ketimbang pahlawan-pahlawan kabuki yang begitu kalian puja."
"Dia tidak akan menjadi pahlawan kabuki," kata
Heiko. "Dia Bangsawan Agung Akaoka berikutnya. Mirip ayahnya akan lebih baik untuk dia. Ibu resminya akan lebih mencintainya."
"Ibu anak ini adalah ibunya sendiri," kata Stark. "Apa maksudnya 'ibu resmi'?"
"Aku tidak berdarah bangsawan," kata Heiko.
Diciumnya pipi si bayi yang mungil dan montok.
Dia tertidur dengan damainya. "Lord Genji harus memperistri wanita bangsawan. Dialah yang akan menjadi ibu Makoto." Heiko melihat ekspresi wajah Stark dan berkata, "Jangan begitu sedih, kawan. Aku akan sering melihatnya. Lord Genji akan membangun tempat tinggal terpisah untukku. Mungkin dia akan mengangkatku menjadi selirnya. Jika tidak, bagiku tidak masalah. Anakku adalah ahli warisnya."
Sejam kemudian, darah kembali mengalir.
Heiko berkata, "Aku sekarat."
BUKU KEDUA 14 TAKASHI MATSUOKA SAMURAI JEMBATAN MUSIM GUGUR
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
11. Kutukan Ibunda Sang Penyihir
"Tidak," kata Stark. "Tidak."
"Bawa Makoto kemari."
Sachiko membawa bayi yang lelap itu ke sisi tempat tidur Heiko dan menyodorkannya kepada majikannya. Heiko menggeleng.
Dia berkata, "Gendong dia, Sachiko. Jangan biarkan dia merasakan noda kematian.
Gendong dan rawat dia sampai Lord Genji memerintahkannya kembali ke tanah airnya."
Sachiko berusaha menjawab, tetapi dia tidak mampu. Sambil mendekap si bayi, perlahan dia jatuh berlutut dan menangis tak tertahankan lagi.
Heiko berkata kepada Stark, "Kita tidak takut kematian. Kau dan aku sudah terlalu sering berhadapan dengan maut."
"Tidak," kata Stark.
Heiko mengulurkan tangan kepadany "Bantu aku bangun," katanya. "Aku ingin melihat Jepang."
Heiko bersandar kepada Stark di bangku kereta. Mereka berhenti di puncak bukit yang menjulang di atas teluk, menghadap ke barat ke seberang Pasifik.
Meskipu n pagi itu cerah, Heiko berkata, "Kabut. Aku selalu menyukai kabut. Ketika aku memandangnya, aku hampir bisa percaya bahwa impian-impian paling mustahil pun akan menjadi kenyataan."
"Heiko," kata Stark.
Namun, dia telah pergi. Ketika Stark berjalan memasuki rumahnya kembali, dia merasa mati.
Kemudian, dia masuk ke kamar Heiko. Dilihatnya Sachiko masih duduk di lantai, tersedu-sedu, dengan bayi dalam dekapannya.
Dipeluknya mereka berdua.
Si bayi terbangun. Segera saja ketiganya mengucurkan air mata.
BUKU KEDUA 15 TAKASHI MATSUOKA SAMURAI JEMBATAN MUSIM GUGUR
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
11. Kutukan Ibunda Sang Penyihir
1882 Kastel Awan Burung Gereja
Makoto begitu terkesima dengan pemaparan Genji, sampai-sampai dia tidak menyadari ketika Genji, ayahnya, meminta diri dan meninggalkan ruangan. Tidak saja laki-laki yang dia anggap ayahnya selama hidup ternyata bukan ayah kandungnya, wanita yang dipanggilnya ibu selama ini juga bukan ibu kandungnya. Perhatiannya kembali ke masa kini hanya ketika dia mendapati dirinya bergandengan dengan adik tiri perempuannya. Mereka menaiki sebuah tangga yang sempit.
"Ke mana kita?"
"Bertemu dengan Lady Shizuka," dia berkata.
"Kukira kaulah Lady Shizuka."
"Maksudku Lady Shizuka pertama. Namaku meniru namanya. Tampaknya, kau tidak tahu apa-apa tentang dirimu atau keluargamu. Itu artinya kau harus mulai dari permulaan."
"Apakah ada permulaan?" Makoto bertanya. "Jika ada, aku akan sangat gembira."
Rangkaian dusta tampaknya berputar mundur tanpa akhir.
"Permulaan selalu ada," adiknya berkata. "Tanpa permulaan, bagaimana mungkin ada akhir"
Tentu saja keduanya hanya sementara."
"Sementara" Bagaimana sesuatu pada masa lalu bisa bersifat sementara" Sudah berlalu dan sudah berakhir."
"Hanya karena ada permulaan dan akhir, tidak berarti segalanya benar-benar berakhir dan sudah berlalu," kata Shizuka. "Tidakkah mereka mengajarkan itu padamu di Amerika?"
1308, Biara Mushindo Enam belas tahun telah berlalu sejak Lady Nowaki datang ke biara itu bersama anaknya yang cacat. Sepanjang masa itu, Suku sang Biarawati Kepala, sering merenungkan peristiwa-peristiwa yang menyebabkan pengasingan. Dia kerap mendapatkan inspirasi untuk
melakukannya dari jeritan dan raungan yang terdengar dari sel Shizuka sepanjang siang dan malam. Meskipun kedudukan membebaskannya dari tugas-tugas kasar, Biarawati Kepala sendiri sering memandikan dan menyuapi gadis gila itu. Kemampuannya menyentuh tubuh kotor itu tanpa ragu serta bertahan dari pemandangan dan bau paling menjijikkan menimbulkan BUKU KEDUA
16 TAKASHI MATSUOKA SAMURAI JEMBATAN MUSIM GUGUR
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
11. Kutukan Ibunda Sang Penyihir
kekaguman seluruh penghuni biara. Mereka semua setuju bahwa Biarawati Kepala adalah contoh terbaik ajaran kasih Buddha.
Perilaku Shizuka tidak berubah selama enam belas tahun. Selama enam belas tahun itu pula perhatian Biarawati Kepala kepadanya terus tercurah dengan kebaikan yang sama. Kendati ketidakstabilan dan perubahan tak terduga merupakan hukum universal. Biarawati Kepala menjadi percaya bahwa tiga hal akan tetap sama: kegilaan Shizuka, mimpi mimpi buruk aneh yang dialami Biarawati Kepala sejak kedatangan Shizuka, dan ketaatannya beribadah seumur hidup.
Lalu suatu pagi, tidak seperti biasanya, dia terbangun dalam keadaan segar, dan menyadari bahwa dia telah melewatkan malam tanpa sekali pun bermimpi buruk. Dia masih merenungkan fenomena penuh berkah ini ketika dua biarawati menemuinya dengan terengah-engah.
"Biarawati Kepala!"
"Ya?" "Shizuka sadar, Biarawati Kepala."
Dia segera tahu maksud biarawati itu. Tak ada lengkingan kegilaan terdengar dari sayap biara. Shizuka tenang hanya jika sedang tidur, dan itu pun tidak selalu. Dia tak pernah diam ketika terjaga.
Biarawati Kepala memejamkan matanya. Dia mengucapkan doa syukur tanpa suara atas kemungkinan kesembuhan Shizuka dari kegilaannya. Dia hendak bangkit ketika disadarinya kebetulan itu. Shizuka menjadi tenang pada hari yang sama dia terbebas dari mimpi buruk.
Apakah kedua peristiwa ini berhubungan" Jika ya, mungkinkah kaitannya berbahaya"
Dipejamkannya mata kembali dan mengucap doa kedua, memohon peningkatan perlindungan dari para dewa seandainya kegilaan itu telah berubah bentuk menjadi sesuatu yang lebih tenang tetapi lebih jahat. Kemudian, dia pergi ke sel Shizuka bersama kedua biarawati.
Gadis itu duduk di lantai dan dengan tenang mengamati mereka masuk. Biarawati Kepala tak pernah melihat mata Shizuka begitu jemih terfokus, perilakunya terkendali dan begitu mirip orang normal.
"Selamat pagi, Shizuka," kata Biarawati Kepala.
Shizuka tidak menjawab, tetapi terus menatap Biarawati Kepala dengan ketenangan penuh minat. Biarawati Kepala membimbing gadis itu untuk mandi, membersihkan tubuhnya, dan mengganti pakaiannya. Kepulihan itu hanya berlangsung selama pendarahan, kemudian dia BUKU KEDUA
17 TAKASHI MATSUOKA SAMURAI JEMBATAN MUSIM GUGUR
Created by syauqy_arr@yahoo.co.id
11. Kutukan Ibunda Sang Penyihir
kembali histeris. Bulan berikutnya, ketika darah mengalir untuk kedua kalinya, dia berhasil menjaga ketcnangannya untuk waktu yang lebih lama. Pada bulan ketiga, dia berpegang lebih kuat pada kesadarannya. Awalnya, pakaian Shizuka masih harus digantikan dan dia harus dimandikan beberapa kali setiap hari. Dia juga tidak segera mengerti perlunya pergi ke toilet.
Bara Maharani 14 Pembunuhan Atas Roger Ackroyd The Murder Of Roger Ackroyd Karya Agatha Christie Kisah Cinta 5

Cari Blog Ini