urusan orang lain. Satu hal yang aku tahu: Saat itu, ketika aku menyentuh tubuh
labah-labah yang berbulu, aku benar-benar menyesal kenapa Andalite tidak
menemukan orang lain untuk diberi kekuatan morph.
Chapter 9 DANAU itu di pegunungan. Jauh dari tempat tinggal kami. Kalau kami harus
berjalan, butuh beberapa hari untuk sampai di sana.
Untung saja kami tidak perlu berjalan.
Kami punya pesawat kecil sendiri. TWA. Bukan Transworld Airlines, lho. Kalau
perusahaan penerbangan Amerika itu sih, walaupun terkenal, biasa saja. TWA kami
lebih keren dong. Travel With Animorphs.
Hari yang indah. Hanya ada beberapa gumpalan awan putih di langit yang biru.
Matahari bersinar cerah. Pohon-pohon bagai permadani hijau terbentang di bawah
kami ketika kami terbang menuju ke pegunungan.
Dengan sayap elang lautku terpentang lebar dan matahari memanggang tanah sampai
tanah itu mengirim kolom-kolom udara panas ke atas, hidup ini sungguh sempurna.
Itu kalau kau melupakan fakta bahwa kami terbang menuju ke kehancuran yang
mengerikan.
Dari tadi kami memang tidak terbang berkelompok, agar tidak mencurigakan. Dua
elang laut, alap-alap, elang bondol, falkon, dan elang ekor merah terbang
bersama-sama" Mana mungkin sih. Tapi kami terbang dengan jarak masing-masing
setengah kilometer dan semuanya menuju ke tempat yang sama.
Tobias meluncur ke atas dengan gerakan spiral pelan, sengaja membiarkan yang
lain mendahuluinya. Rachel dan Cassie memisahkan diri juga.
Kaum Yeerk pasti memasang penjagaan ketat dalam pertemuan The Sharing ini. Kaum
Yeerk tahu segala sesuatu tentang morph. Mereka pasti waspada.
Ax, dalam wujud alap-alap, Jake dalam wujud falkon, dan aku terbang menuju
danau, walau tetap berjauhan.
yang dilewati pesawat saat pesawat itu kecepatannya melebihi kecepatan cahaya.
Memang kemungkinannya kecil, tapi kadang-kadang pesawat yang kebetulan lewat
Zero-space bisa menabrak massa yang diparkir sementara di sana.>
Langsung deh perhatianku sepenuhnya tersedot.
jaringan tubuh manusia">
Aku bergidik.
Jake sama terguncangnya denganku.
meluncur dan menabraknya sampai hancur berkeping-keping">
Aku mengembuskan napas lega. Terlalu cepat, ternyata.
membuatku cemas kalau aku harus metamorfosis menjadi binatang kecil. Memang itu
jarang terjadi. Kemungkinannya satu banding sejuta. Tapi kan bisa saja terjadi.>
Sesaat aku dan Jake berpikir. Memikirkan pesawat ruang angkasa menghancurkan
gumpalan besar massa kami. Mengerikan deh.
Tepat saat itu aku melewati puncak bukit. Pinus-pinus tinggi nyaris menggores
perutku. Dan di bawahku, berkilau tertimpa cahaya matahari, terbentang danau
besar, dilindungi bukit dan pegunungan yang mengelilinginya.
makan lalat. Sudah cukup banyak yang bikin aku cemas kalau jadi lalat nanti.>
< Oh, yeah. Hebat. Massaku berkeliaran di Zerospace dan aku siap jadi Spiderman.
Aku tahu, pasti ada alasan yang masuk akal.>
Chapter 10 DI sekeliling danau di bawah kami berkumpul kira-kira dua ratus orang - anakanak dan orang dewasa. Ada yang berenang. Ada yang memanggang burger dan hot dog
di atas api batubara. Sebagian besar cuma bersantai, ngobrol sambil tertawatawa. Seperti rombongan besar orang yang sedang piknik. Dari angkasa mereka kelihatan
sangat normal. Dan kemungkinan sebagian besar dari orang-orang di bawah itu
memang orang biasa yang normal. Tapi banyak juga yang Pengendali. Dan salah satu
dari mereka adalah Erek, yang jelas tidak normal.
Masih jauh dari tepi danau, kami sudah mendarat masuk ke pepohonan. Kami
beristirahat di tanah, dilindungi oleh semak tinggi.
Pandangan dan pendengaran elang lautku mengatakan tak ada siapa-siapa dalam
jarak seratus meter. Tapi aku toh tetap saja gelisah.
rumpun semak di tepi hutan. Aku bisa mendengar dengung mesin perahu motor di
danau dan juga tawa manusia, dari pantai yang lebih dekat.
Aku segera berubah wujud menjadi manusia lagi. Salah satu keterbatasan morph
adalah, kau tak bisa berubah wujud dari satu binatang ke binatang lain. Kau
harus selalu berubah ke wujud asalmu dulu.
Dalam kasus Ax, ini berarti ia berubah menjadi Andalite lagi. Ini membuatnya
gugup. Ada berpuluh-puluh Pengendali dalam jarak cuma 30 meter. Satu anak yang
menyelinap mungkin masih bisa lolos dari pengamatan Yeerk. Tapi Andalite pasti
tidak.
kami. "Aku tak akan pernah siap berubah jadi labah-labah," kataku. Gigiku
bergemeletuk. Padahal udara tidak dingin.
"Yeah, yeah, aku tahu, aku tahu. Oke. Oke. Aku akan melakukannya. Tapi dengan
mata terpejam." Kupusatkan pikiranku pada labah-labah. Tapi aku tak bisa berkonsentrasi,
terutama karena bayangan labah-labah serigala itu membuatku jijik. Kemudian Ax
mulai berubah. Aku tahu aku tak bisa cuma berdiri saja dan menonton. Aku tahu
aku juga harus berubah. "Tak mungkin lebih parah dibanding jadi lalat, kan" Atau semut?" tanyaku, tidak
pada siapa-siapa. Bukannya aku ingin mengingat morph-ku sebagai semut.
Pengalaman kami sebagai semut sungguh amat sangat buruk.
Kupejamkan mata dan kupusatkan pikiran lagi. Kali ini aku berhasil
berkonsentrasi. Kurasakan diriku mulai mengerut. Proses mengerut selalu terasa aneh, tapi
sekarang ini aku juga memikirkan balon besar Marco yang menjijikkan yang tibatiba menggelembung muncul di Zero-space.
Entah apa itu Zero-space.
Kurasakan diriku bertambah kecil. Aku merasakan hal-hal aneh terjadi dalam
tubuhku: rasa kekosongan yang tiba-tiba ketika organ-organ tubuhku lenyap begitu
saja. Dan terdengar desis yang mencemaskan, menjalar dari tulang punggung ke
tengkorakku. Bunyi tulang yang berubah menjadi sumsum, dan bunyi sumsum yang
seakan menjauh. Yah, kurasa aku toh tidak butuh tulang.
Kupejamkan mata erat-erat, tak ingin melihat apa yang sedang terjadi. Aku terus
menutup mata, saking takutnya. Maksudku, kalau ada hal lain yang lebih
menakutkan daripada jadi labah-labah, itu pastilah menjadi campuran menjijikkan
setengah manusia dan setengah labah-labah.
Tetapi kemudian... POP! POP! POP! Aku bisa melihat! Kucoba memejamkan mata, tapi tak bisa!
Aku tak punya pelupuk mata. Susah benar menutup mata kalau kau tak punya pelupuk
mata. Beberapa mata tiba-tiba muncul terbuka begitu saja di dahiku. Mata-mata
bermunculan di kepalaku seperti jerawat.
Nyaris saja aku pingsan. Kalau masih punya suara, pasti aku sudah menjerit. Tapi
aku sudah separo labah-labah. Dan aku terbelalak menatap Ax yang sedang
mengalami perubahan seperti yang kualami.
Aku mengawasinya dengan penglihatan yang setengah manusia dan setengah mata
majemuk labah-labah. Membingungkan, karena mata majemuk labah-labah terdiri atas
banyak faset, sehingga benda yang dilihatnya seperti mosaik.
Sesuatu yang menyeramkan muncul di wajah Ax, di tempat yang seharusnya mulut.
Sesuatu yang besar, menonjol, dan jelek. Dua tonjolan bengkak mengerikan
seperti... entah seperti apa, aku belum pernah melihat sesuatu yang seperti itu.
Sebetulnya itu rahang, tapi besar sekali, kelewat besar. Dari masing-masing
ujungnya tumbuh taring kejam melengkung. Taring pisau namanya.
Kadang-kadang kau betul-betul perlu pelupuk mata. Ada hal-hal yang memang sama
sekali tidak ingin kaulihat.
Aku tahu hal yang sama sedang terjadi padaku. Rahangku menggelembung terus
sampai menghalangi pandanganku yang kacau.
Untunglah aku tak perlu berlama-lama mencemaskan rahangku. Soalnya aku kaget
ketika tiba-tiba saja ada kaki yang meletup muncul dari dadaku.
SPRUUUT! Empat kaki baru, dua di masing-masing sisi, tiba-tiba saja mencuat dari tubuhku,
seakan aku ini odol yang terinjak orang. Mula-mula kaki itu muncul tak
berbentuk, lalu mulai muncul sendi-sendi.
Terlalu banyak sendi malah.
Kaki dan tangan manusiaku berubah menyesuaikan diri dengan keempat kaki pertama
labah-labah ini. Aku jatuh terjerembap, tak sanggup lagi berdiri tegak.
Jatuhnya tidak keras sih. Aku kan sudah kecil. Daun-daun pinus di bawahku sudah
serasa sebesar jari manusia.
Betul. Walaupun aku sudah tak punya jari untuk bandingan.
Sementara itu mata-mata baru bermunculan di tempat-tempat yang seharusnya tak
ada matanya. Beberapa di antaranya mata majemuk. Beberapa bukan.
Kemudian, seakan semua kaki ekstra dan mata kombinasi, plus gabungan rahang
melembung dan taring ini belum cukup, sesuatu seperti kaki meletup dari... yah,
dari tempat yang tadinya leherku.
Kelihatannya seperti kaki ekstra, tapi ternyata bukan. Aku tak tahu apa itu.
Tapi bisa bergerak. Belakangan aku baru tahu itu namanya pedipalpi. Semacam
kombinasi antara bagian mulut dan kaki. Fungsinya seperti antena, tapi bisa juga
untuk memegang. Kepalaku menggelembung besar, dibanding sisa tubuhku. Walau aku kecil, kepalaku
itu besar sekali. Keseluruhan tubuhku kini terbagi dalam dua bagian: semacam
kepala yang gembung dan tubuh yang lebih gembung lagi.
Aku sudah hampir sepenuhnya jadi labah-labah sekarang. Daun pinus yang tadi
serasa sebesar jari, kini sudah sebesar lengan.
Sebagai sentuhan akhir, bulu-bulu lembut muncul di sekujur tubuhku.
Bulu itulah yang menandai bekerjanya otak labah-labahku. Sebagai labah-labah,
penglihatan labah-labah serigala baik sekali. Tetapi ribuan bulu pendek itulah
yang mendapatkan perhatian penuh otak si labah-labah. Bulu-bulu itu sangat peka
dan bisa merasakan petunjuk sekecil apa pun di udara. Gerakan sepelan apa pun,
ke arah mana pun. Dan tiba-tiba saja rasanya seluruh dunia bergerak: daun, daun cemara, debu di
bawah delapan telapak kakiku, serangga di tanah, tikus tanah dalam lubangnya,
burung-burung di udara. Semuanya ditangkap oleh bulu-bulu yang menutupi tubuh
labah-labahku. Bersamaan dengan bekerjanya indra luar biasa itu, otak labah-labahku terbangun.
Aku tadinya takut otak ini akan seperti otak semut: mesin yang tak bisa
berpikir. Atau seperti otak binatang yang biasa jadi mangsa binatang lain,
cemas, takut, dan panik. Tapi oh, tidak. Sama sekali tidak.
Pantas saja namanya labah-labah serigala.
Tubuhnya sih kecil, tak lebih dari lima senti dari ujung kaki paling depan
sampai ujung kaki paling belakang. Anak balita dengan mudah menginjaknya sampai
lumat. Tapi rupanya pemangsa tidak ditentukan dari ukuran tubuhnya, karena begitu aku
merasakan otakku berfungsi, aku tahu labah-labah kecil ini tidak bisa untuk
main-main. Labah-labah serigala adalah pembunuh.
Chapter 11 LAPAR. Itu yang dikatakan otak labah-labah: lapar. Ia lapar. Ia ingin berburu. Ia ingin
membunuh. Ia ingin makan beberapa serangga segar. Ia lapar.
Apa aku bilang lapar"
Dan ia tidak peduli jenis serangga apa. Boleh kumbang, boleh belalang kecil,
boleh belalang sembah besar, boleh cengkerik. Si labah-labah tidak peduli. Ia
penguasa di dunia serangga. Seperti singa bagi binatang-binatang hutan lain.
Seperti hiu di antara ikan-ikan lain di lautan.
Serangga-serangga itu bisa melarikan diri dari labah-labah serigala, tapi mereka
tidak bisa bersembunyi. Gerakan! Ada yang bergerak, dari kiri ke kanan dalam pandanganku, dan aku
mengejarnya seperti anjing mengejar kelinci
Delapan kaki mengerahkan tenaga dan aku meluncur di tanah hutan itu seperti
mobil balap yang menderu meninggalkan garis start.
Bagi pandangan mata labah-labahku, dunia ini kelihatannya aneh. Aku melihat
warna-warna yang belum pernah dilihat mata manusia. Seperti kalau kau main-main
dengan tombol TV. Warna yang seharusnya cokelat menjadi biru, dan hijau jadi
merah, atau warna-warna lainnya. Dari sudut tertentu gambarnya jelas, tapi
sedetik kemudian segalanya berpendar menjadi kepingan kecil-kecil dan aku tibatiba saja memandang sejuta layar monitor kecil.
Aku sama sekali tidak bisa memahaminya.
Tapi sebagian besar yang kulihat adalah gerakan. Aku amat sangat tertarik pada
gerakan. Mataku dan setiap helai bulu pada tubuhku yang menjijikkan ini siap
menangkap gerakan apa pun.
Dan jika benda yang tepat bergerak, tubuhku juga bergerak sendiri.
Meluncur. Menggebu. Seakan diriku dicolokkan pada pipa utama adrenalin yang
tepat. Seperti mendapat tenaga listrik. Tenaga nuklir.
Aku terbang melewati tumpukan daun pinus dan daun-daun lainnya, melewati jalurjalur tanah, mengejar serangga yang bergerak itu. Aku tahu aku ini Marco,
manusia yang sedang bermetamorfosis, dan aku tahu aku sebetulnya tidak ingin
memakan serangga yang sedang kabur itu, tapi ya ampun, perasaan dan energiku
terlalu meluap-luap sehingga aku tak bisa berhenti begitu saja.
Animorphs - 10 Menyelamatkan Kristal Android di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mangsaku kabur dan aku - si pemangsa - mengejarnya. Itu memang sudah naluriku.
Selama ratusan juta tahun aku berbuat seperti itu - mengejar mangsaku. Berjutajuta tahun sebelum Tyrannosaurus rex memikirkan perubahan ini, araknida - si
pemburu-pemburu kecil - sudah asyik membunuh dan melahap mangsanya.
Seluruh sejarah Homo sapiens dari manusia zaman batu sampai ibu-ibu yang main
sepak bola, tak ada artinya dibanding sejarah labah-labah.
Aku ini pembunuh yang punya delapan kaki.
Yang sedang kukejar seekor kumbang.
Kumbang tua besar. Jauh lebih besar dariku. Lebih besar dan lebih lamban. Tubuhnya kelihatan
bertambah besar dalam penglihatanku yang kacau. Makin lama makin besar dan aku
makin gesit mengejarnya. Sayang, aku tak bisa menjelaskan kenapa aku memburunya terus. Kadang-kadang
untuk sesaat otak binatang menguasai dan mengalahkan otak manusia. Tapi bukan
itu yang terjadi padaku. Aku tidak dikuasai. Aku memang mau.
Kukerahkan tenaga. Aku meluncur!
Kaki depanku menyentuh si kumbang. Ia membelok ke kiri, tapi terlalu lambat.
Aku memanjat naik ke punggungnya.
Kuatur rahangku, berhadapan dengan taring mautnya, dan...
Eh, ada Ax. Aku turun dari punggung si kumbang, merasa seakan tertangkap basah
sedang melakukan sesuatu yang salah.
Si kumbang kabur, lega bisa lolos. Itu kalau kumbang bisa merasa lega lho.
Jawaban yang bagus, pikirku.
Gelombang rasa salah dan malu tiba-tiba menerjangku.
Aku tidak tanya apa maksudnya. Kenapa tadi aku semangat banget berburu" Kenapa
tidak kukendalikan keinginan itu"
Aku ingat kemarahan yang kurasakan waktu aku ngobrol dengan Tom. Itukah
sebabnya"
labah-labah yang meluncur di atas delapan kakinya tanpa perlu mengerahkan
tenaga. Aku mengikutinya. Aku tenang sekarang. Perasaan gila-gilaan yang luar biasa saat
berburu tadi sudah reda. Sekarang labah-labah ini cuma jadi alat yang kugunakan.
Tiba-tiba dari angkasa... ada yang jatuh menimpaku!
Mendarat di antara Ax dan aku. Ternyata belalang yang besarnya tiga atau bahkan
empat kali dari tubuh kami. Kayaknya sebesar gajah.
Kemudian... thwap! Bertumpu pada kaki belakangnya yang besar, ia meluncur ke
atas. Lalu menghilang, sama cepatnya dengan kemunculannya tadi.
Kami berlari menembus hutan, menempuh jarak enam puluh meter yang terbentang
antara kami dan rombongan orang-orang itu.
Aku merasakan sudah berada di dekat manusia. Aku "mendengar" getaran yang
mungkin saja omongan orang, tapi sangat tidak jelas untuk bisa ditangkap
maknanya.
Terdengar suara bahasa-pikiran Jake.
Sesuatu yang besar dan lambat muncul di udara di atasku. Aku berlari ke pinggir.
Benda itu mendarat pelan dengan bunyi keras.
BLUUUK! Kaki manusia. Sepatu. Mereknya Nike.
Tapi aku dan Ax merayap terus, dengan gesit berkelit dalam hutan yang dipenuhi
kaki-kaki besar yang bergerak lamban.
Kemudian, aku melihatnya, tepat di depanku. Kelihatannya seperti kaki manusia
telanjang. Tapi aku bisa melihat menembus kulitnya. Menembus kuku jari kakinya.
Dengan delapan mata labah-labahku yang penglihatannya kacau, aku bisa melihat
menembus sinar elektrik hologram yang kabur. Aku bisa melihat apa yang ada dalam
hologram itu. Tampaknya seperti pelat-pelat baja dan gading yang saling berkait. "Telapak
kaki"-nya tidak punya jari-jari kaki. Bahkan bentuknya pun tidak seperti telapak
kaki manusia. Melainkan lebih seperti cakar.
Ia bukan manusia. Dan semua indra labah-labahku yang sensitif, aktif, dan tajam
memberitahuku bahwa ia tidak hidup.
Chapter 12
yang biasa saja.
bernama Erek.
Mata labah-labahku bisa melihat telapak kaki dan hampir seluruh tungkainya.
Seperti sedang memandang foto dengan pencahayaan ganda. Di bagian depan tampak
tampilan kaki manusia, dan di sebelah atas celana pendek. Tapi di balik itu
semua adalah mesin yang kelihatan terbuat dari baja dan gading. Terdiri atas
ribuan pelat yang saling berkait, hampir seperti baju baja yang dipakai oleh
pahlawan perang zaman dulu. Masing-masing lempengan berbentuk seperti segitiga.
Lempengan "gading"-nya sedikit lebih besar daripada lempengan yang terbuat dari
bahan seperti baja. Robot... android... atau entah apa itu, lebih kecil daripada manusia yang
bernama Erek. Kaki yang kupandang itu konstruksinya aneh. Lebih mirip kaki
anjing yang ditarik, daripada kaki manusia. Kaki robot itu, bersama dengan
proyeksi hologram berbentuk kaki manusia, terangkat ketika Erek melangkah.
sesuatu yang tersembunyi di balik cahaya berpendar-pendar itu.>
FWAP! FWAP! FWAP! FWAP! Badai! Tanah di depanku mengepul ketika dua kaki bercakar mendarat. Lalu muncul
bayangan di atas kepalaku! Aku lari. Dua segitiga besar hitam meluncur dari
langit di atasku. Menusuk di depanku! Di belakangku!
Seperti sepasang sekop mesin, dua segitiga itu mengatup. Aku berada di dalamnya.
Aku berada dalam kegelapan. Gelap gulita.
Benda besar berotot meremasku, menjepitku.
Aku tak bisa bernapas. Aku tak bisa melihat. Aku sedang diremas dan dipukuli.
Dan kemudian kusadari... Aku sedang ditelan.
Ada dua jenis bahasa pikiran. Yang satu pribadi, seperti berbisik di telinga
seseorang, dan satunya yang umum, seperti kalau kita berteriak.
Aku berteriak. Semua orang yang berada dekat danau mendengarku. Manusia-manusia normal, yang
mungkin bertanya-tanya sendiri, "Suara apa itu?" Dan para Pengendali, yang tahu
itu bahasa pikiran. Tetapi aku tak peduli. Aku sedang ditelan.
Kucoba mengontrol kepanikanku. Aku ditelan, tapi aku belum mati.
Jake dan Ax.
Bulu-bulu di sekujur tubuhku sudah buta.
Mataku buta. Bahkan tak ada cukup udara bagi tubuh labah-labahku untuk bisa
hidup. Aku sedang dipaksa masuk kerongkongan burung. Burung yang sedang terbang di
angkasa, dan aku nyaris kehabisan napas.
Apa yang akan terjadi jika labah-labah ini mati" pikirku, selagi kesadaranku
berangsur hilang. Apa yang akan terjadi pada gumpalan besar massa Marco di Zspace" Pikiran ini menyadarkanku. Aku ada di luar sana. Keluar dari labah-labah
ini! Kucoba membayangkan wujudku sebagai manusia. Manusia yang bernama Marco. Tapi
semua membingungkan. Pikiranku hampir mati, dan dalam kekaburannya bermunculan
beribu bayangan. Bayangan serigala dan semut raksasa dan gorila. Bayangan semua binatang yang
pernah kucoba, semua pikiran yang pernah jadi pikiranku.
Aku tak bisa menangkap bayangan tubuh manusiaku dan bertahan membayangkannya.
Tapi kemudian, melayang di atas kesadaranku yang berangsur hilang, muncul
bayangan ibuku. Kurasa itu tidak aneh. Orang bilang tentara di medan perang sering memanggil ibu
mereka sesaat sebelum mereka mengembuskan napas terakhir. Kurasa itulah yang
kulakukan. Tapi ini ibuku yang sesungguhnya. Ibuku waktu ia masih benar-benar hidup. Bukan
si Pengendali. Bukan Pengendali yang dikenal sebagai Visser One, tapi ibuku yang
benar-benar ibuku. Ia tersenyum padaku. Ia jauh lebih tinggi dariku, tapi ia membungkuk untuk
mengangkatku. Aku melayang ke atas, ke depan wajahnya. Ia mengecupku.
"Kau akan jadi anak yang lucu," katanya. "Marco kecilku."
Marco. Si anak laki-laki kecil. Maka aku melihat diriku dengan jelas, seakan aku
melihat lewat matanya, melihatku sebagai balita.
Bukan Marco si Animorphs, tapi Marco balita.
Tiba-tiba... Tekanannya bertambah. Bertambah. Aku didesak dari segala jurusan. Kurasakan ada
otot-otot yang menahanku, tapi kemudian otot-otot itu melemah dan bergetar.
Disusul bunyi sesuatu yang robek!
Cahaya! Cahaya! Aku sedang berubah kembali menjadi manusia. Berubah dan bertambah besar. Aku
sudah tersembur dari kerongkongan burung!
Dan sekarang aku sedang jatuh!
Kulihat bayangan kabur si gagak yang melayang jatuh di sebelahku.
Aku terjatuh. Jatuh dari angkasa, campuran menjijikkan labah-labah yang cacat
dan manusia yang mulai tumbuh.
Tubuhku sebesar bisbol, kurasa, dan makin lama makin besar.
Aku enggan memikirkan seperti apa tampangku. Aku tahu aku tidak cakep.
BLUKKKKK! Aku terempas ke tanah. Melenting. Sekali lagi terempas.
Aku terbaring, tak tahu ada di mana, atau aku ini apa. Tapi satu hal aku tahu.
Aku akan menjelma jadi manusia lagi. Aku akan meninggalkan MORPH LABAH-LABAH
itu! Kalau punya mulut, aku pasti sudah menjerit-jerit tak hentinya.
Tapi mulutku munculnya belakangan. Empat kaki labah-labahku mengecil lalu
menghilang. Sisa kakiku menjadi tangan dan kaki manusia. Cakar kecilku menjadi
jari-jari. Taring dan rahangku menjadi gigi dan bibir.
Delapan mata labah-labahku satu demi satu mengatup, tinggal dua. Dan perlahan
dua mata yang tersisa itu berubah menjadi mata manusia sepenuhnya.
Aku menatap langit biru di atasku dengan mata manusiaku. Menatap dahan-dahan
pohon tinggi di atasku. Dan kemudian, aku menatap wajah mantan teman sekolahku,
Erek. Erek si android. Chapter 13 "MARCO?" sapa Erek. "Bukankah rambutmu biasanya lebih panjang?"
Rambut lagi! Bagaimanapun juga, di mata manusiaku, Erek betul-betul kelihatan
seratus persen manusia. Aku tahu itu tidak benar, meskipun demikian, susah juga
untuk tidak mempercayai proyeksi holografis yang menyelubungi android ini.
Dapatkah aku morph menjadi sesuatu yang amat perkasa untuk... untuk mencegah ia
berbuat onar" Kemungkinan tidak. Di sekitar sini di mana-mana ada Pengendali. Ia
tinggal teriak saja untuk minta bantuan.
Saat itu seorang gadis datang berlarian. Ia menunduk menatapku, kemudian ganti
menatap Erek. "Siapa ini?" tanya gadis itu.
"Namanya Marco; kata Erek kalem. "Kau ingat 'bandit-bandit-Andalite' yang selalu
dibicarakan Mr. Chapman" Bandit yang menggunakan teknologi morph untuk
bergerilya?" "Tentu saja," jawabnya.
Erek menunjukku. "Kurasa manusia ini salah satu dari mereka."
Habis sudah. Tamat. Tamatlah riwayat kami sebagai Animorphs. Kami sudah lama
tahu bahwa jika bangsa Yeerk sampai berhasil mengetahui identitas kami yang
sebenarnya, atau bahkan jika tahu kami ini manusia, mereka akan menyapu bersih
kami dalam waktu beberapa hari saja.
Aku pusing dan mual saking takutnya. Takut untuk diriku sendiri dan untuk temantemanku. Akulah yang jadi gara-gara. Akulah yang membocorkan rahasia besar kami.
Erek mengedikkan kepalanya ke arah si gadis. "Ini temanku, Jenny."
Aku tidak ingin berkenalan dengannya.
Kudengar gemeresik suara orang yang menerobos semak-semak.
"Tidak ada apa-apa di sini," kata Erek lantang. "Jenny terkilir. Aku akan
membantunya. Teruskan mencari. Kurasa aku mendengar sesuatu di depan sana."
Erek pastilah sudah melihat ekspresi shock dan bingung di wajahku. Ia nyengir.
"Ada lebih banyak hal di surga dan dunia daripada yang ada dalam impian
filsafatmu, Horatio."
"Shakespeare?" kataku, kagum.
"Ya. Hamlet. Aku menonton pertunjukan perdananya."
"Tapi.....tapi itu kan sudah berabad-abad yang lalu."
Tragedi karya pujangga besar Inggris itu memang dipentaskan pertama kali tahun
1600. Erek mengangguk. "Tahukah kau di mana aku tinggal?"
Aku mengangguk. Kepalaku masih tersuruk di tanah.
"Berubahlah jadi sesuatu yang cukup kecil untuk bisa lolos dari sini," Erek
menyarankan. "Datanglah menemuiku di rumah, kau dan teman-temanmu. Banyak yang
harus kita bicarakan."
Bodoh benar aku karena langsung berujar, "Kau bukan manusia. Kami tahu kau
android." "Dan kau bukan bandit Andalite," kata Erek.
"Bisakah aku mempercayaimu?"
Animorphs - 10 Menyelamatkan Kristal Android di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Erek mengangkat bahu. "Aku bisa menyerahkanmu, sekarang juga. Aku akan jadi
sobat baru Visser Three. Bahkan Visser pun tahu bagaimana menghargai mereka yang
melaksanakan perintahnya dengan baik."
"Siapa tahu kau mau menangkap kami sekaligus," kataku.
Jangan tanya aku kenapa aku berdebat dengannya. Mungkin karena posisiku yang
memalukan. Mungkin aku merasa harus bersikap sok karena aku sedang terkapar di
tanah, memakai pakaian yang sama sekali tidak menarik.
Erek berjongkok. "Marco, jika aku menyerahkanmu kepada Visser Three, dia akan
berhasil mengorek nama semua temanmu darimu. Aku tahu kau anak yang berani. Kau
pasti pemberani, kalau tidak, tak mungkin kau memerangi bangsa Yeerk. Tapi
keberanianmu tidak akan cukup untuk bertahan di bawah siksaan Visser Three. Kau
pasti akan menyebutkan nama teman-temanmu."
Beberapa detik kupikirkan kata-katanya. Ia benar, tentu saja. Bisa kubayangkan
jenis siksaan yang akan ditimpakan Visser Three.
"Kami akan datang," kataku. "Kurasa kami tak punya pilihan. Kau telah
menangkap... basah kami."
Erek menggeleng. "Bukan begitu. Pertemuan nanti adalah pertemuan sekutu, Marco.
Kau perlu tahu, kami juga memerangi Yeerk."
Chapter 14 AYAHKU masak ayam untuk makan malam kami. Aku melewatkan sepanjang sore dengan
kawan-kawanku, berdebat soal pertemuan dengan Erek. Kami berputar-putar, tapi
akhirnya kami sadar bahwa kami harus muncul di pertemuan itu. Kami memang tidak
punya pilihan. Ayam panggang, kentang rebus, dan jagung bakar. Ini prestasi masak tertinggi
ayahku. Jadi aku harus makan. Harus.
Hanya saja, ya ampun! Kalau kau pernah meletup dari kerongkongan burung, lenyap
deh keinginanmu untuk makan unggas mati.
"Bagaimana?" tanya ayahku.
"Enak," jawabku.
Kami duduk di beranda belakang. Rumah kami yang sekarang mirip rumah kami yang
dulu, sewaktu keluarga kami masih lengkap.
Setelah ibuku "meninggal" - aku masih menganggapnya begitu - ayahku benar-benar
terpuruk, lama sekali. Ia kehilangan pekerjaan.
Kami terpaksa menjual rumah dan pindah ke apartemen kumuh di pinggiran, di
bagian kota yang paling buruk.
Sebetulnya itu sih oke-oke saja. Maksudku, punya banyak barang dan rumah bagus
memang enak, tapi bukan miskinnya itu yang membuatku sedih. Melainkan
kesendiriannya. Lama sekali ayahku seperti hidup di dunianya sendiri. Akulah
yang harus memasak, membersihkan apartemen, dan melakukan segalanya.
Menyenangkan punya rumah dengan halaman dan macam-macam kemewahan lain. Tapi
bukan rumahnya atau semua itu yang membuatku senang. Aku senang karena ayahku
sudah jadi ayahku lagi. Kedengarannya sentimental banget, ya.
"Tambah lagi?" "Jelas. Dad." Kusorongkan piringku dan aku berusaha keras untuk tidak memikirkan
burung gagak yang meletus, ataupun kenyataan bahwa aku nyaris saja menyantap
kumbang sebagai makan siangku. Kadang-kadang hidup ini memang aneh banget.
Aku punya banyak pertanyaan untuk ayahku, tapi aku ingin semuanya kedengaran
wajar. Tahu kan, seperti kalau kita ngobrol santai, gitu.
"Jadi, Dad, akhir-akhir ini sibuk ngapain sih?"
Ayahku mengangkat bahu dan mengedip padaku. "Proyek observasi itu hampir
selesai. Aku masih tak bisa mengerti apa yang telah terjad i. Software yang
secara kebetulan diciptakan temanmu, si Tidak itu, tiba-tiba saja menghilang."
Temanku "si Tidak" itu sebetulnya Ax. Ceritanya panjang. Kau mungkin bisa tanya
Andalite kita yang ramah tentang ini, tapi aku tak bisa menceritakan soal ini
pada ayahku. "Setelah selesai di observatorium nanti, tugas Dad berikutnya apa?" tanyaku,
berusaha bersikap sewajar mungkin dengan menggerigiti jagung bakar.
Mata ayahku menatapku, nyaris curiga. Ia mengangkat bahu.
"Proyek yang tak bisa kuceritakan, untuk perusahaan bernama Matcom."
Aku tertawa, berusaha keras bersikap biasa. "Mau bikin bom yang lebih canggih?"
Sesaat ia tidak menjawab. Kemudian dengan suara aneh ia berkata, "Aku tidak
pernah melakukan riset senjata."
Aku jadi heran. Heran betulan. "Kenapa tidak?"
"Kau mau makan ayam itu atau cuma mendorong-dorongnya saja?"
Ia menatapku lama-lama, seakan menimbang-nimbang apakah aku sudah cukup besar
untuk mendengar apa yang akan dikatakannya.
Kuangkat dada ayam itu. Peduli amat deh, ayam kan bukan gagak.
"Karena ibumu," katanya.
Aku berhenti makan. "Setahun terakhir, setahun setengah sebelum... kau tahu, kan. Saat itu rasanya
waktu yang paling sempurna bagi kita." Ia tersenyum membayangkan sesuatu yang
hanya bisa dilihat olehnya. "Kami kadang-kadang bertengkar waktu kau masih
kecil, seperti kebanyakan pasangan lainnya. Tapi kemudian seakan semua masalah
kami lenyap, beres. Mungkin aku telah berubah. Mungkin dia yang berubah. Aku tak
tahu." Kurasakan jari-jari dingin meremas hatiku.
"Itu saat paling menyenangkan dalam hidupku," katanya. "Rasanya kami telah
mencapai tingkat perdamaian dan cinta sempurna. Namun pada masa itu, ada saatsaat ketika ibumu kelihatan gelisah. Seakan dia sedang berjuang menghadapi
masalah berat yang tak mau diceritakannya padaku."
Aku berhenti bernapas. Aku tahu. Aku tahu sekarang kapan perubahan itu terjadi.
Cinta sempurna yang dibicarakan ayahku adalah ulah Yeerk dalam kepala ibuku.
Mana mau Yeerk dipusingkan dengan pertengkaran rumah tangga yang sepele. Ia
butuh ketenangan agar bisa berkonsentrasi pada tujuannya yang lebih penting.
"Nah, suatu hari aku terbangun tengah malam. Ibumu sedang duduk di tempat tidur.
Aku tahu dia baru mimpi buruk. Tapi aku merinding melihatnya. Rasanya..." Ayahku
menggelengkan kepala. "Aneh sekali. Kedengarannya dia seolah sedang terperangkap dalam sumur yang amat
dalam, dan mencoba memanggil-manggilku."
Air mata menggenang di mataku. Kuharap ayahku tidak melihatnya.
"Ibumu bilang, 'Mereka tidak akan mengambilmu kalau kau tidak ikut urusan
militer.' Omongannya tidak masuk akal. Tapi cara dia mengucapkannya... seakan
itu hal paling sulit dan paling penting yang pernah diucapkannya."
Bisa kubayangkan betapa beratnya bagi ibuku mengucapkan hal itu. Kadang-kadang,
kalau kebutuhannya besar sekali, manusia yang ditindas di bawah Yeerk bisa juga
memaksa keluar. Ia bisa menguasai pikirannya sendiri selama beberapa detik.
Mereka bilang hukuman yang ditimpakan pada induk semang semacam itu mengerikan
sekali. Yeerk bisa melakukan siksaan mental selama berminggu-minggu.
Ibuku, ibuku yang sejati, berhasil lolos ketika Yeerk-nya lengah, dan selama
beberapa detik ia menguasai pikirannya sendiri.
"Yah," kata ayahku melanjutkan, "aku tahu itu cuma mimpi buruk ibumu. Tapi sejak
saat itu, setiap kali muncul kesempatan yang ada hubungannya dengan senjata, aku
merasa tak enak." Aku tak bisa lagi pura-pura makan.
"Dad, apakah tawaran yang sedang Dad pertimbangkan ini ada hubungannya dengan
proyek militer?" Ia menghindari tatapanku. "Ada hal-hal sangat menarik yang dilakukan Matcom.
Yang mereka inginkan dariku bukan soal militer. Tapi... yah, mereka memang
melakukan proyek rahasia. Kurasa beberapa proyek itu ada hubungannya dengan
kemiliteran." Rupanya ini dia! Alasan kenapa Tom ingin aku mengajak ayahku ke pertemuan The.
Sharing. Para Yeerk ingin menguasai proyek yang akan ditangani ayahku.
Ibuku telah memperingatkannya. Peringatan itu mungkin kata-kata terakhir yang
diucapkan olehnya - sebagai manusia normal - kepada ayahku.
Ayahku akan mengabaikan peringatan itu, dan sekarang bangsa Yeerk mengincarnya.
Chapter 15 KAMI telah memutuskan untuk bertemu Erek di rumahnya.
Kami belum memutuskan untuk percaya penuh padanya. Jake, Cassie, Ax, dan aku
ikut pertemuan itu. Rachel dan Tobias tinggal di luar untuk berjaga-jaga. Rachel siap menjelma
menjadi beruang grizzly kalau kami berteriak minta tolong.
"Aku akan berada dalam jangkauan bahasa pikiran Ax," katanya untuk kesepuluh
kalinya. "Aku bisa berubah jadi beruang dalam waktu semenit dan menerobos masuk
pintu itu sepuluh detik kemudian."
"Kalau itu terjadi, hati-hati, ya, jangan sampai menginjak aku," pesanku.
Aku menengadah dan melihat Tobias menukik turun dan hinggap di pohon di halaman
rumah Erek. Aku masih bisa bergurau. Kenyataannya aku memang merasa tenang mengetahui Rachel
dan Tobias siap menjaga kami.
Kami menuju pintu rumah yang kelihatannya sangat biasa-biasa saja. Kulemparkan
pandangan pada Jake, mencoba menyatakan,
"Mudah-mudahan saja tindakan kita benar." Tapi Jake sedang sibuk bertukar
pandang serius dengan Cassie.
"Jadi" Salah seorang dari kita mengetuk pintu," kataku. Aku mengerling Ax. Ia
berada dalam wujud manusianya. Morph manusia Ax terbuat dari DNA kami semua kecuali Tobias - yang diserapnya pada saat bersamaan. Jadi tampang Ax merupakan
gabungan wajah Jake, Rachel, Cassie, dan aku. Hasil akhirnya, ia cowok tapi
hampir semanis cewek. Dan ia menyebalkan sekali kalau sedang jadi manusia.
"Mengetuk pintu" Ketuk" Kenapa" Tekuk. Kutek."
Andalite tidak punya mulut dan Ax bukan main senangnya bisa bersuara. Tak bosanbosannya ia bermain kata-kata. Plus, amit-amit deh kalau ia melihat makanan.
Jake mengetuk. Pintu terbuka. Aku terkejut. Bukan Erek, melainkan ayahnya.
Mr. King. Ia mengangguk. "Masuklah."
Kami masuk. Aku merasa tolol banget. Rasanya seolah kami datang mau mengajak
Erek main. Maksudku, rumah itu kelihatan normal sekali. Perabotnya normal,
lampunya normal, piring dan cangkirnya normal. Sementara TV yang normal dan
dimatikan suaranya sedang menampilkan tayangan CNN.
Ada dua ekor anjing, seekor Labrador campuran dan seekor terrier kecil gemuk. Si
anjing Lab cuma berbaring bermalas-malasan. Anjing terrier-nya berlari mendekat
dan mengendus-endus sepatu kami.
"Erek ada?" tanyaku.
Mr. King mengangguk. "Ada. Kalian mau minum soda atau apa?"
"Tidak usah repot-repot, Mr. King. Terima kasih," kata Cassie. Ia membungkuk
untuk menggaruk belakang telinga si terrier.
"Kau suka anjing?" tanya Mr. King.
"Dia suka semua binatang," jawabku. "Dia bahkan suka sigung."
"Tapi anjing, kau suka anjing?"
Cassie tersenyum. "Kalau reinkarnasi benar-benar ada, aku ingin dilahirkan
kembali sebagai anjing."
Mr. King tersenyum, mengangguk, seakan Cassie baru saja mengucapkan sesuatu yang
sangat berarti. "Mari ikut aku."
Ia berbalik dan memimpin kami menuju dapur. Sekali lagi, semua kenormalan ini
membuatku grogi. Ada kertas-kertas kecil Post-It yang ditempelkan di pintu
lemari es, dengan pesan-pesan seperti "sekilo telur, lada putih". Di meja makan
ada sekotak biskuit. Mr. King membuka pintu. Pintu itu menuju ruang bawah tanah. Kami mengikutinya
menuruni tangga kayu sempit.
Saat itu aku mulai bertanya-tanya. Kuperhatikan Ax mulai meninggalkan wujud
manusianya, sedikit demi sedikit kembali ke wujud Andalite-nya.
Bagus. Ax cerdik. Ia merasakan ada bahaya dan ia ingin ekornya siap.
Aku juga ingin ekornya siap.
Mr. King berhenti sejenak ketika kami semua telah tiba di ruang bawah tanah. Ia
sama sekali tidak tampak heran ketika melihat Ax menyelesaikan perubahan
wujudnya. Ia malah menunggu dengan sopan sampai Ax selesai.
Kemudian, aku tercengang, sebab lantai terasa seperti anjlok.
Beberapa detik kemudian baru aku sadar apa yang terjadi. Ruang bawah tanah ini
meluncur turun seperti lift. Ketika mendongak, aku tidak melihat atap di atasku.
Hanya kegelapan. "Astaga," komentar Cassie.
"Jangan takut," kata Mr. King.
Tidak lama. Kami mungkin turun empat atau lima lantai. Paling tidak, begitulah
perasaanku. Kemudian, dengan sedikit entakan, ruang bawah tanah/lift ini
berhenti. "Apakah ini bagian penjualan pakaian pria?" kucoba bergurau.
Aku hampir tak terkejut lagi ketika salah satu dinding ruangan, yang penuh
digantungi peralatan, sekop, garu, dan slang air, tiba-tiba saja menghilang.
Yang tadinya dinding kini berubah jadi lorong yang diterangi lampu keemasan.
"Ruang bawah tanahku kok tidak bisa begini," gumamku pada Jake.
"Memangnya pernah kaucoba?" tanyanya.
"Ke sini," kata Mr. King.
Kami mengikutinya. Sudah sangat terlambat untuk mulai cemas.
Lorong itu tidak panjang, cuma kira-kira lima belas meter. Ujungnya buntu.
Dinding kosong. Tapi kemudian dinding itu juga lenyap.
"Yah!" "No way!"
Ini nyata. Sulit dipercaya, tapi memang nyata.
Di balik dinding lorong itu terdapat ruangan besar sekali, dipenuhi cahaya
kuning keemasan yang lembut dan hangat.
Aku melangkah ke luar lorong dan menginjak rumput. Dan di atas sana, kira-kira
tiga puluh meter di atas kepalaku, tampak bulatan yang berpendar menyala,
seperti matahari. Dari situlah cahaya kuning itu berasal.
Terbentang di hadapan kami, lebih luas daripada lapangan sepak bola, semacam
taman. Pepohonan, rumput, sungai kecil, bunga-bungaan, kupu-kupu beterbangan,
kumbang berdengung dari satu bunga ke bunga yang lain, bajing-bajing berkejaran
naik-turun pohon-pohon. Beberapa android tampak berjalan ke sana kemari. Android dalam bentuk mereka
yang sesungguhnya, mesin yang terbuat dari baja dan sesuatu berwarna putih. Para
android itu punya mulut yang hampir seperti moncong, kaki yang bentuknya kaku,
dan jari-jari tangan yang gemuk-gemuk.
Tapi bukan keberadaan sekitar enam android itu yang mengejutkan. Yang betulbetul mengejutkan adalah adanya ratusan - bahkan mungkin seribu - anjing. Anjing
normal, anjing biasa yang sehari-hari ada di Bumi, segala jenis ras dan
blasteran yang bisa kaubayangkan, berlarian bergerombol. Ada yang menguik,
menyalak, menggonggong, melolong, ataupun menggeram. Mereka mengejar-ngejar
bajing, saling mengendus, yah pokoknya sedang bersenang-senang deh.
Jake, Cassie, dan aku cuma bisa berdiri bengong dengan mulut menganga seperti
idiot. Kalau Ax punya mulut, pasti mulutnya juga akan menganga.
Ini benar-benar surga bagi anjing. Anjing-anjing dan robot berada bersama dalam
taman besar di bawah tanah.
Salah satu robot berjalan mendekati kami. Setelah dekat, hologram berpendar
menyelubunginya. Sedetik kemudian ia menjelma menjadi Erek.
"Selamat datang," katanya. "Mungkin kalian sedikit terkejut, ya."
Chapter 16 "KAMI ini Chee," kata Erek.
Mr. King sudah meninggalkan kami, dan Erek telah membawa kami ke bawah sebatang
pohon besar. Sungai kecil bergemericik kira-kira satu meter dari tempat kami.
Kesunyian menyelimuti kami, seakan ada yang telah membungkam semua anjing. Aku
masih bisa mendengarnya sih, tapi rasanya suaranya datang dari tempat yang
sangat jauh.
"Ya."
Erek tersenyum dengan sesuatu yang kelihatannya persis bibir manusia. "Kami ini
cuma ciptaan. Pencipta kamilah yang hebat."
"Kenapa kau membawa kami ke sini?" tanya Jake. "Kenapa menunjukkan semua ini
pada kami?" "Kami ingin kalian percaya pada kami," kata Erek. "Kami tahu kalian curiga.Wajar
sih kalau kalian curiga. Aku yakin pasti ada beberapa teman kalian yang
ditinggalkan di luar untuk berjaga-jaga, siapa tahu kami mengkhianatimu. Aku
ingin kita berimbang. Aku ingin kalian mengetahui rahasia kami, karena kami
telah mengetahui rahasia kalian."
"Kami melihatmu di konser musik," kataku.
Ia kelihatan kaget, kemudian mengangguk. "Ah, ya. Kalian dua anjing itu, kan"
Memang aku merasakan sesuatu yang aneh. Gimana sih rasanya jadi anjing beneran?"
"Asyik sekali," kata Jake. "Bagaimana kau tahu kami dua anjing itu?"
Animorphs - 10 Menyelamatkan Kristal Android di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Erek menggeleng. "Aku tidak tahu, tapi aku merasakan sesuatu yang aneh. Kami
sudah tahu ada yang bisa bermetamorfosis di Bumi ini. Secara umum, apa yang
diketahui Yeerk, juga kami ketahui."
"Kau membagikan brosur The Sharing. Kau menghadiri pertemuan The Sharing,"
tuduhku. "Betul. Tapi mungkin sebaiknya kuceritakan kisah kami. Agar kalian bisa mengerti
siapa kami. Dan kenapa kami ini sekutu kalian. Dan juga kenapa kami... atau
paling tidak beberapa dari kami... membutuhkan bantuan kalian."
"Begitu lebih oke," ujar Cassie.
Satu hal yang kau perlu tahu tentang Erek: anak ini pandai bercerita. Tiba-tiba
saja segala sesuatu di sekeliling kami lenyap.
Sebagai gantinya muncul gambar tiga dimensi. Sama nyatanya dengan Erek.
Kami tak lagi berada di muka Bumi. Ada dua matahari di langit. Yang satu kecil
dan warnanya nyaris merah, yang lain empat kali lebih besar daripada matahari
Bumi kita dan warna keemasannya lebih tua.
Pohon-pohon, bunga-bunga, dan rerumputannya jelas bukan jenis yang pernah tumbuh
di Bumi. Batang pohon-pohonnya hijau dan mulus. Tapi pohon-pohon itu tak punya
daun. Sebagai ganti daun, dahan-dahannya memecah menjadi dahan yang lebih kecilkecil, yang kemudian memecah lagi menjadi ranting kecil-kecil yang nuansa
warnanya berubah dari hijau ke perak ke merah muda yang mencolok. Rantingranting merah muda ini bertautan, sehingga dari kejauhan, pohon-pohon ini
kelihatan seperti bola besar benang wol baja merah jambu.
Pohon-pohon ini tidak lebih besar dari pepohonan di Bumi, tapi yang besar-besar
justru jamurnya. Paling tidak tumbuhan itu kayaknya seperti jamur. Besarnya
separo pohon-pohon itu sendiri. Di atas masing-masing jamur ada sarang. Sarang
kotor binatang berkulit licin, berkaki tiga, dan meloncat-loncat.
Ada juga binatang-binatang lain, yang satu lebih aneh daripada yang lain. Tapi
binatang utama yang kami lihat adalah makhluk berkaki dua setinggi kira-kira
satu seperempat meter. Kupingnya panjang berjuntai, dan ia bermoncong.
Penampilannya jadi seperti anjing aneh yang bisa berdiri di atas kaki
belakangnya. Sebetulnya, ia kelihatan mirip Erek kalau sedang melepas
hologramnya dan menunjukkan wujudnya yang asli.
"Pencipta kami," kata Erek. "Mereka dikenal sebagai Pemalite. Seratus ribu tahun
sebelum Andalite belajar menyalakan api, Pemalite sudah bisa bepergian dengan
kendaraan yang kecepatannya melebihi kecepatan cahaya."
Kuperhatikan ekor Ax agak berjengit mendengar keterangan Erek.
"Dan tentu saja manusia masih gorila berbulu ketika pertama kali Pemalite
mengunjungi Bumi. Bangsa Pemalite tidak tertarik untuk menaklukkan ataupun
mencampuri kehidupan planet lain. Mereka menikmati hidup." Erek tersenyum.
"Mereka suka bersenang-senang. Mereka suka bermain, melucu, dan tertawa. Dan
mereka sudah jadi bangsa yang berevolusi begitu lama, sehingga naluri-naluri
kasar sudah tak ada pada mereka. Tak ada kejahatan dalam hati mereka. Tak ada
kejahatan dalam jiwa mereka."
Sulit sekali bagiku untuk mempercayainya. Tapi saat aku mengawasi hologram di
sekitarku, menurutku mungkin juga sih di planet aneh ini Pemalite sudah
menemukan kedamaian yang mendalam. Tempat ini rasanya diselimuti ketenangan dan
kedamaian. Seperti kebun Zen atau semacamnya. Rasanya damai, tapi tidak mati
atau lelah atau membosankan. Malah, ke mana pun aku memandang, aku melihat
Pemalite yang meloncat-loncat, berkejaran, bermain, dan mengeluarkan bunyi aneh
CHUK CHUK CHUK. Pastilah itu tawa mereka.
Pemandangan di sekitarku berubah, seperti film yang dimajukan, ganti adegan
lain. Sekarang, tampak Pemalite itu berbaur dengan android seperti Erek. Android
itu berpenampilan seperti pencipta mereka yang mirip anjing.
"Kami ini tadinya cuma mainan," kata Erek. "Pemalite membuat kami untuk
dijadikan teman bermain. Mereka menyebut kami Chee. Kata itu artinya 'teman'.
Mereka juga memberi kami tugas-tugas, tapi kami diciptakan terutama untuk
menjadi teman mereka. Bangsa buatan, ya, tapi bukan bangsa mesin budak."
Erek memandang kami dan sumpah deh, aku melihat air mata di mata hologramnya.
"Kami sahabat mereka, teman yang sederajat dengan mereka. Mereka mengajar kami
untuk bermain dan tertawa. Mereka senang bisa menciptakan android yang bisa
melucu. Sampai dirayakan setahun penuh."
Tiba-tiba... ZZZZZZZAAAAAAARRRRPPPP!
Aku tersentak ke belakang. Seberkas besar sinar membelah daratan terbuka di
depan kami, seperti bajak yang mengoyak tanah secara gila-gilaan. Menghanguskan
pohon-pohon merah jambu dan jamur-jamur raksasa.
"Kemudian datang bangsa Howler," Erek menjelaskan. "Mereka tiba-tiba muncul dari
Zero-space, beribu-ribu pesawat yang kuat. Mereka muncul dari luar galaksi ini.
Para Pemalite sama sekali tak tahu siapa mereka. Dan mereka juga tak pernah
berhasil mengetahui apa yang diinginkan bangsa Howler. Para Howler itu tidak
menuntut apa pun. Mereka cuma menyerang. Mungkin cuma itulah keinginan mereka:
menghancurkan." Yang diperlihatkan Erek kemudian seperti film Perang Dunia II yang mengerikan.
Pemalite diserang dari udara. Stasiun angkasa luar Pemalite diledakkan. Pesawatpesawat Pemalite dibelah dan para Pemalite yang tak berdaya dibiarkan telantar
di ruang angkasa yang dingin dan mati. Adegan-adegan pembantaian berjalan terus.
Kulihat Cassie menangis. Kurasa aku juga menangis. Terlalu mengerikan sih.
"Nyaris seluruh bangsa Pemalite punah," kata Erek. "Beberapa ratus Chee dan
beberapa ratus Pemalite meninggalkan planet dalam sebuah pesawat yang berhasil
lolos hanya beberapa detik sebelum gelombang serangan Howler berikutnya.
"Kami melarikan diri ke Zero-space. Kami tak punya rencana, tak punya bayangan
apa yang harus dikerjakan."
"Kenapa kalian tidak melawan?" tanyaku. "Maksudku, kau bicara tentang
kecanggihan Pemalite. Kalau mereka bisa menciptakan android, mereka kan bisa
menciptakan senjata juga."
Erek menatapku lalu mengangguk, seakan ia setuju. "Bangsa Pemalite sudah lupa
cara-cara berkonflik dan perang. Mereka makhluk-makhluk damai. Mereka sudah lupa
bahwa ada yang namanya kejahatan."
Jawaban itu membuatku frustrasi. Tidak masuk akal. Tapi kubiarkan Erek
melanjutkan cerita sedihnya.
"Sementara kami melarikan diri melewati Zero-space, barulah kami tahu bangsa
Howler sudah berhasil melakukan balas dendam. Para Pemalite mulai sakit. Satu
demi satu mereka meninggal. Bangsa Howler telah melepaskan senjata kuman.
Pemalite langsung terserang. Tapi kami Chee, kami android, kami tidak
terpengaruh." Pemandangan di sekitar kami menjadi bagian dalam pesawat ruang angkasa. Tampak
beberapa Chee memandang tak berdaya sementara salah satu dari pencipta mereka
menggeliat kesakitan. "Kemudian kami ingat sebuah planet. Planet yang mirip planet kami, tetapi sangat
jauh dari rumah kami dan bangsa Howler. Planet itu cuma punya satu matahari dan
cahayanya pun pucat, tetapi di sana ada pepohonan, rerumputan, dan lautan yang
indah." "Bumi," kata Cassie.
"Bumi," kata Erek. "Sudah lima puluh ribu tahun Pemalite tidak mengunjungi Bumi,
dan selama waktu itu, segalanya sudah berubah. Suku-suku primata pengelana telah
membangun kota-kota. Mereka telah menernakkan binatang. Mereka menanam bijibijian. "Kami mendarat di Bumi dengan sisa hanya enam Pemalite yang nyawanya sudah di
ujung tanduk." Hologram menghilang, dan gua di bawah tanah kembali ke wujudnya semula - taman
luas dengan pepohonan Bumi dan tanaman Bumi, dengan anjing di mana-mana.
"Kami tidak dapat menyelamatkan para Pemalite. Mereka akan mati. Tetapi kami
bisa mencoba dan menyelamatkan sebagian dari mereka. Kami berharap bisa
mempertahankan jiwa mereka supaya tetap hidup. Kami mencari spesies di Bumi yang
bisa kami gunakan untuk memelihara intisari Pemalite. Kesantunan mereka.
Kebaikan hati mereka. Cinta kasih mereka. Kegemaran mereka untuk bermain-main."
"Serigala," kata Cassie, sekali lagi mendahuluiku.
Erek kelihatan terkejut, tapi ia menganggukkan kepala proyeksi holografisnya
yang berupa kepala manusia. "Ya. Mereka yang berpenampilan paling mirip
Pemalite. Kami memindahkan intisari Pemalite ke dalam spesies serigala. Dari
perpaduan itu, terciptalah anjing. Sampai hari ini, sebagian besar anjing punya
intisari Pemalite dalam tubuh mereka. Tidak semuanya, tapi sebagian besar.
Setiap kali kalian melihat anjing bermain-main, mengejar tongkat, berlari
berputar-putar sambil menggonggong menikmati hidup, kalian melihat sisa-sisa
bangsa Pemalite." "Itulah sebabnya semua anjing itu ada di sini," kata Jake.
"Mereka... apamu" Teman" Pencipta?"
"Mereka kebahagiaan kami," kata Erek, "karena mereka mengingatkan kami akan
dunia yang tanpa kejahatan. Dunia yang bagi kami telah lenyap. Kami para Chee
inilah satu-satunya yang tersisa dari kejeniusan teknologi Pemalite. Anjinganjing di Bumi inilah satu-satunya yang tersisa dari jiwa Pemalite."
Chapter 17 KURASA aku tak bisa mempercayai semua itu. Tapi nyatanya kami berada di taman
bawah tanah yang luas. Dan di situ android berkeliaran.
Plus, hidupku sendiri sudah jadi cerita panjang aneh yang tak masuk akal. Jadi,
mana aku berhak menertawakan kisah Erek"
"Jadi, kalian semua menyamar jadi manusia?" tanyaku pada Erek.
Ia mengangguk. "Kami hidup sebagai manusia. Mula-mula kami jadi anak-anak,
kemudian kami jadi dewasa, dan akhirnya hologram kami, kami biarkan "mati" dan
kami mulai lagi sebagai anak-anak."
"Sudah berapa lama ini berlangsung?" tanya Cassie.
Erek tersenyum hangat. "Aku membantu membangun piramida yang terkenal itu."
"Kau mendesain piramida?"
"Tidak, tidak, tentu saja tidak. Kami tak pernah mencampuri urusan manusia. Aku
jadi budak. Aku membantu mengangkut batu-batu. Itu tantangan berat bagiku,
karena saat itu aku belum lama berpura-pura jadi manusia. Aku harus
menyembunyikan kekuatanku yang sebenarnya, tentu saja. Gaya berat planet
Pemalite empat kali lebih berat daripada gaya berat Bumi. Jadi wajar kalau kami
dirancang sesuai gaya berat itu, yang berarti kami sangat kuat dibanding
manusia." "Dan kau bertahan sebagai budak?" tanya Jake. "Kau bisa saja menguasai seluruh
Mesir. Kau bahkan bisa menguasai dunia."
"Tidak. Kami bukan Yeerk," katanya dingin. "Kalian harus tahu, sewaktu kami
dibuat oleh pencipta kami, mereka mendesain kami sebagai makhluk tanpa
kekerasan. Kami tidak sanggup menyakiti makhluk hidup lain. Tak ada satu Chee
pun yang pernah membunuh."
Saat itu kulihat empat Chee berjalan bergegas mendekati kami.
Erek juga melihat mereka. Meskipun aku tahu "wajahnya" hologram, menurutku ia
kelihatan jengkel. "Apa yang kaulakukan?" salah satu Chee bertanya. "Apa yang telah kaulakukan,
bodoh?" Keempat Chee itu berhenti di dekat kami dan mendelik memandang kami dengan mata
robot. "Manusia" Andalite" Kumpul di sini" Kau sudah cerita apa saja pada mereka?"
"Segalanya," kata Erek menantang. "Mereka inilah, anak-anak dan Andalite inilah
yang selama ini melawan para Yeerk. Merekalah yang bisa metamorfosis." Suaranya
meninggi. "Merekalah yang melakukan perang yang seharusnya kita lakukan."
"Kita Chee. Kita tidak berperang," salah satu dari android itu bicara. Ia
menyalakan proyektor hologramnya. Muncullah tubuh manusia. Tubuh wanita tua,
mungkin sudah delapan puluh tahun.
"Aku Chee-Ionos. Nama manusiaku sekarang ini Maria," katanya. "Aku tidak
bermaksud marah pada kalian, manusia, ataupun kau, teman Andalite-ku.
Pertengkaranku adalah dengan Chee yang bernama Erek ini dan beberapa temannya."
"Kita hanya menonton tak berdaya saat bangsa Howler membinasakan pencipta kita,
kata Erek pada Maria. "Kita tak bisa berdiri menonton tanpa berbuat apa-apa,
sementara dunia ini juga dihancurkan. Anjing dan manusia berkaitan. Mereka
saling bergantung. Anjing tidak bisa hidup tanpa manusia. Jika manusia jatuh ke
tangan Yeerk, kita dan anjing-anjing - rumah bagi jiwa Pemalite - akan ikut mati
juga." Aku memandang Jake. Itukah sebabnya Chee mau membantu manusia" Untuk
menyelamatkan anjing"
Jake menggeleng pelan dengan geli.
"Kita tidak berperang," kata Maria bernafsu. "Kita tidak membunuh. Kau tahu itu,
Erek. Tapi kau membawa orang-orang luar ini ke sini. Kaubocorkan rahasia yang
sudah kita simpan selama beribu-ribu tahun. Kenapa" Apa manfaatnya" Kita toh
tidak bisa berperang untuk menyelamatkan manusia."
"Di situlah kau keliru," kata Erek pelan. "Kita bisa berperang. Sementara kau
dan yang lain hanya berharap semoga semua berakhir baik, aku dan teman-temanku
telah menyusup ke dalam organisasi Yeerk di Bumi ini. Para Yeerk bahkan mengira
aku salah satu dari mereka."
Maria dan ketiga Chee yang belum berhologram melongo menatapnya.
"Para Yeerk belakangan ini sibuk sekali. Mereka menguasai pabrik komputer
bernama Matcom." Perlu beberapa detik bagiku untuk mengingat nama itu.
Erek meneruskan. "Yeerk sedang menggarap komputer master untuk menyusup dan
memprogram ulang semua software dalam semua komputer di Bumi. Kalau mereka
berhasil mendapat banyak pengikut manusia, mereka akan meluncurkan bom komputer
ini, dan dalam sekejap, mengontrol semua komputer."
"Apa kaitan semua ini dengan kita?" tanya Maria.
"Inti sistem itu adalah sebutir kristal yang diperoleh bangsa Yeerk dari penjual
bangsa Dayang. Si Dayang tidak tahu apa yang dimilikinya, tapi Yeerk tahu.
Kristal ini adalah prosesor yang lebih canggih dari apa pun, bahkan dari apa pun
yang bisa dibuat Andalite. Dan usianya sudah lima puluh ribu tahun ukuran Bumi."
"Kristal Pemalite!" Maria terkejut.
"Ya. Kristal Pemalite. Jika kristal itu berhasil kita miliki, kita bisa
memprogram ulang sistem diri kita sendiri. Kau paham sekarang" Kita bisa
menghilangkan larangan terhadap kekerasan. Kita bisa bebas! Bebas untuk
berperang!" "Kristal Pemalite," bisik Maria. "Kau tak boleh berbuat begitu, Erek. Tak
boleh!" Tapi Erek mengabaikannya. "Jika kita berhasil mendapatkan kristal ini, hampir
semua bisa kita lakukan. Kekuatan kita, digabung dengan kekuatan Animorphs"
Bangsa Yeerk harus menggandakan kekuatan mereka kalau mau melawan kita."
Erek mematikan hologramnya dan kembali berubah menjadi mesin. Kemudian bagian
depan kepalanya membelah terbuka. Di dalam kepala baja dan gadingnya ada
ruangan. Garis tengahnya kurang dari sepuluh sentimeter.
Dan di dalam ruangan itu terkapar ulat abu-abu, tak berdaya, tak bisa lolos.
Kawat-kawat halus, tidak lebih tebal dari rambut, membelitnya.
"Ya," kata Erek. "Para Yeerk mengira aku manusia. Aku pasrah saja ketika mereka
masuk ke dalam kepalaku. Tapi tentu saja Yeerk tidak bisa membuatku menjadi
Pengendali. Aku malah yang memenjaranya. Dia tidak melihat apa-apa. Tak tahu
apa-apa. Aku menguasai pikirannya, bukan terbalik. Dan sekarang, bagi para Yeerk
aku ini Pengendali."
Reaksiku dua macam. Yang pertama, aku mual melihat Yeerk yang terperangkap dalam
kandang baja itu. Walaupun aku benci Yeerk, tetap saja itu perbuatan kejam.
Tapi reaksiku yang satu lagi lebih hebat. Kini kami punya sekutu! Sekutu yang
kuat. Android yang menyamar sebagai Pengendali, yang bisa menyusup ke dalam
kelompok Yeerk. Dan ia punya berbagai kekuatan sendiri.
"Bagaimana Yeerk itu bisa hidup tanpa mendapat sinar Kandrona?" tanya Cassie.
Kau tahu, kan, tiga hari sekali Yeerk harus kembali ke kolam Yeerk untuk
menyerap sinar Kandrona. Tanpa itu mereka akan mati.
"Aku bisa menggunakan kekuatanku sendiri untuk menghasilkan sinar Kandrona agar
Yeerk ini tetap hidup," Erek menjelaskan. "Kalau aku ke kolam Yeerk, aku bisa
menipu Yeerk sehingga mereka mengira Yeerk-ku sedang berenang di kolam. Aku
membuat hologram Yeerk yang keluar dari telingaku dan mencebur ke kolam. Setelah
itu, aku menciptakan hologram Yeerk lain yang masuk kembali ke telingaku. Para
Yeerk tidak menyadari bahwa mereka tidak bertemu Yeerk yang ini di dalam kolam.
Para Yeerk memang jarang sekali berkomunikasi kalau mereka dalam wujudnya yang
asli." "Lalu di mana posisi kami?" tanya Jake. "Maksudku, apa yang kauinginkan dari
kami, Erek?" Erek menjelma kembali ke wujud manusianya. Ia melangkah mendekati kami, penuh
semangat, bergairah. "Kita bisa bersama-sama melawan Yeerk. Kita bisa jadi sekutu. Kami membutuhkan
kristal Pemalite itu. Tapi para Yeerk telah menciptakan pertahanan yang luar
biasa. Kristal itu ada dalam ruangan di tengah gedung Matcom. Hork-Bajir berjaga
di mana-mana. Prajurit-prajurit Hork-Bajir kelas atas, yang terbaik. Dan kristal
itu sendiri dilindungi oleh sistem yang rumit. Disembunyikan dalam ruangan gelap
Animorphs - 10 Menyelamatkan Kristal Android di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gulita. Benar-benar gelap gulita. Cahaya sedikit saja, bagaimanapun kecilnya,
baik itu ultraviolet, inframerah, atau cahaya apa pun, akan membunyikan alarm.
Dalam kegelapan itu juga banyak kabel yang akan langsung berbunyi jika
tersentuh." "Jadi, untuk mendekati kristal itu kau harus bisa menemukannya tanpa melihatnya,
seraya menghindari kabel-kabel yang juga tidak kelihatan dalam gelap," kataku.
"Yah, seperti mencari sebatang jarum di tumpukan jerami dengan mata tertutup dan
kau tak boleh menyentuh sebatang jerami pun. Dinding, langit-langit, dan
lantainya, semuanya peka-sentuhan, jadi kalian tidak bisa menyentuhnya. Bisa
jadi itu memang hal yang tidak mungkin dilaksanakan," kata Erek.
"Lalu bagaimana kami bisa menemukannya?" tuntutku. "Bagaimana mungkin kau bisa
menemukan sesuatu yang tak bisa kaulihat" Apalagi benda itu tidak berbau dan
juga tak bisa bersuara memanggilmu."
"Ehm...," Cassie berdeham.
"Maaf?" tanya Jake keheranan.
"Bisa dilakukan," kata Cassie. "Maksudku... kalau kita mau."
"Tentu saja kita mau," kataku. "Dengan android di pihak kita, kita benar-benar
punya peluang untuk menang. Tentu saja kita mau. Animorphs dan Chee berjuang
bersama" Kemampuan metamorfosis kita digabung dengan kekuatan dan trik hologram
mereka" Matilah si Yeerk."
"Tidak," jerit Maria. "Kau tidak mengerti. Chee tidak mau melukai. Chee tidak
membunuh. Belum pernah ada Chee yang mengambil nyawa makhluk lain." Ia
mencengkeram lenganku dan memandang langsung ke mataku. "Sementara manusia dan
Yeerk dan Andalite dan Hork-Bajir dan berjuta-juta spesies lain di berjuta-juta
dunia berperang, saling membunuh dan menaklukkan, kami tetap hidup dalam damai.
Akankah kau mengakhiri semua itu" Akankah kau membuat kami menjadi pembunuh
juga?" "Ya, Bu, kurasa ya," jawabku, agak dingin. "Kami berjuang untuk hidup kami.
Orangtua kami, kakak dan adik kami, teman-teman kami - mereka semua akan jadi
Lembah Karang Hantu 3 Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen Darah Darah Laknat 2