budak Yeerk jika kami kalah. Jadi, aku akan melakukan apa saja. Jika kalian
telah memerangi semua itu beribu-ribu tahun yang lalu, bangsa Pemalite masih ada
sekarang. Dan kalian tidak akan hidup dengan anjing-anjing dalam kandang besar
di bawah tanah." Aku tidak menyebutkan bahwa The Sharing juga tertarik dengan ayahku. Aku tak mau
membuat hal ini jadi urusan pribadi.
Maria melepaskan cengkeramannya, dan Erek mengangguk.
"Kandang besar di bawah tanah," kata Erek pahit. "Tepat sekali."
"Kami akan mengambilkan kristal itu untuk kalian," kata Jake. "Ceritakan pada
kami semua yang kauketahui tentang Matcom, dan kami akan mengambilkan kristal
itu." Ia memandang Chee yang bernama Maria. "Maaf, tapi Marco benar. Yeerk sudah
menguasai kakakku. Apa pun akan kulakukan untuk merebutnya kembali."
Chapter 18 KAMI ke atas lagi menuju ruang bawah tanah, meninggalkan dunia anjing yang
menakutkan. "Jadi, kita sepakat?" tanya Erek. "Kalian akan membantu kami mendapatkan kristal
Pemalite" Dan kemudian kami akan bertempur bersama kalian untuk mengalahkan
Yeerk?" "Menurutku itu baik," kataku cepat.
"Kecuali ada yang keberatan...," ujar Jake.
Saat itulah Cassie menyela. "Erek, biar kami bicarakan dulu. Ini keputusan
besar." Aku kaget, tapi tidak sekaget Jake.
Kemudian kami mendengar bunyi keras tepat dari atas kami.
"HhhhrrrAAAAWWWWRRRR!"
"Astaga," kataku. Aku tahu bunyi apa itu. Kami semua tahu.
"Rachel," desis Cassie.
"Kami berada di bawah lama sekali," kata Jake. "Erek, kurasa salah satu teman
kami datang untuk menyelamatkan kami."
Erek mengangkat bahu. "Tak jadi soal."
"Kau tidak kenal teman kami," kataku.
Ruang bawah tanah telah kembali ke tempatnya semula. Secepat kilat aku menaiki
tangga. "Rachel! Tenang!"
Aku muncul di dapur dan berlari ke ruang keluarga. Pintu depan rumah sudah copot
dari engselnya. Sofa terlontar ke dinding. Dan di tengah ruangan, tinggi sekali
sampai kepalanya menyentuh langit-langit, berdiri beruang grizzly dewasa.
"HhhhRRAAAAWWRRR!" Rachel menggerung marah dan frustrasi.
Frustrasi, karena Chee yang menyamar menjadi ayah Erek memeganginya erat-erat.
Lengan hologramnya melingkari bahu besar dan kokoh si beruang, memeganginya agar
diam. Ia berhasil menjepit beruang yang begitu kuat, ibaratnya ia meremas mobil Toyota
seakan mobil itu cuma kaleng aluminium.
"Oke, sekarang aku sudah melihat kemampuan kalian," kataku.
Komentar yang sungguh tak memadai.
cukup baik, kalian betul-betul akan mati!>
"Oh, ceritanya seru," kata Cassie.
Rachel sudah mulai tenang dan berhenti menggeram-geram setelah ia melihat kami.
Sekarang pelan-pelan si Chee melepaskannya dan Rachel mulai kembali menjadi
manusia. Jake kelihatan agak malu. Ia merapikan kembali sofa. "Ehm, Erek, ini teman kami,
Rachel." "Kalian cerdik menyiapkan bala bantuan," komentar Erek.
Kepada Rachel ia berkata, "Kuharap kau tidak terluka."
"Bagaimana kalian bisa melawan beruang grizzly kalau kalian antikekerasan?"
"Tentu saja 'ayahku'' ini tahu bahwa dia bukan beruang sungguhan. Dan ayahku
cuma memeganginya. Dia tidak membinasakannya. Jika Rachel cukup kuat untuk
melawan, 'ayahku' tak punya pilihan lain, selain membiarkan dirinya
dibinasakan." Aku tertawa. "Pantas saja kau ingin mengubah semua itu."
Kukira Erek akan sepakat dengan ucapanku. Ternyata ia malah kelihatan agak
sedih. "Ya," katanya. Hanya satu kata itu.
Kami pun pamit pulang. Kubiarkan teman-temanku berjalan duluan. Kutarik Erek mendekat, "Hei, Erek. Kau
hadir waktu pemakaman ibuku. Kurasa aku belum bilang terima kasih."
Erek membuang pandang dan menggigit bibir. "Marco... ada yang harus kukatakan
padamu." "Kurasa aku sudah tahu. Ibuku belum meninggal. Dia Pengendali. Dia Visser One."
Giliran Erek yang kagum. "Kalian sudah belajar banyak ya."
Aku mengangkat bahu. "Itukah sebabnya kau hadir" Kau sudah tahu?"
Erek mengangguk. "Aku tahu. Aku mungkin bisa menyelamatkannya... kalau..."
Kami bertatapan. "Sudah terlambat untuk menyelamatkannya. Tapi pembalasan akan
sangat menyakitkan bagi ulat-ulat menjijikkan itu."
Dalam perjalanan pulang, kami bercerita pada Rachel dan Tobias apa yang terjadi.
Ceritanya lama juga. Sampai di gudang jerami Cassie, kami belum usai bercerita.
"Menurutku sih sebaiknya kita lakukan," kata Rachel. "Si Chee itu tadi
memegangiku seakan aku ini bayi lembek. Mereka kuat sekali. Mereka punya
teknologi yang tidak kita kuasai. Mereka sudah berhasil menyusup ke The Sharing.
Mereka akan membuat kesempatan menang kita berlipat dua. Lalu cerita berakhir."
"Tidak, belum berakhir," kata Cassie menentang sahabatnya.
"Apa hak kita untuk ikut campur dan menghancurkan kedamaian yang sudah beriburibu tahun dimiliki spesies ini" Tidakkah kau mendengar ucapan Maria" Belum
pernah ada Chee yang membunuh makhluk hidup lain. Kau mau seribu tahun dari
sekarang mereka akan bilang bahwa tak ada Chee yang mengambil nyawa makhluk
hidup lain sampai kita membuat mereka jadi pembunuh?"
Aku berbalik menghadapinya, marah. "Yang aku tak mau adalah seribu tahun lagi
orang akan bilang, 'Payah deh manusia. Mereka musnah semua, sama seperti
Pemalite.'" "Ax?" tanya Jake. "Kau belum banyak bicara."
Ax tentu saja sedang berwujud manusia. Kami kan sedang di gudang jerami Cassie.
"Seperti telah kalian ketahui, kami, Andalite, seharusnya tidak mencampuri
urusan spesies lain. Aku sudah melanggar peraturan ini dengan bergabung bersama
kalian. Dan dalam hal ini aku bangga telah melanggar peraturan itu. Tapi para
Chee... Chee...! Bunyinya lucu, ya" Chee." Ia tersenyum dengan mulut manusianya,
kemudian kembali serius. "Chee ini spesies lain. Lebih tua dari Andalite.. Aku
merasa... tidak enak... membantu spesies lain untuk melakukan kekerasan."
Rachel berkata, "Tak seorang pun suka kekerasan. Betul, kan" Perang dengan Yeerk
ini bukan kemauan kita. Jika orang jahat mendekatimu, lalu mereka main keras
duluan, kau tak punya pilihan lain: melawan atau mati."
"Melawan atau mati," aku setuju. "Dan kau butuh bukti" Lihat saja bangsa
Pemalite. Mereka tidak melawan, maka mereka mati. Habis. Punah. Seluruh spesies
musnah. Sekarang 'intisari mereka - entah apa maksudnya itu - terperangkap dalam
anjing, dan robot-robot mereka memberi mereka makan. Yuhui. Mereka bisa menerima
nasib itu. Dan itu pun lebih baik daripada nasib kita jika kita kalah melawan
Yeerk." "Hukum rimba," kata Rachel. "Kau makan atau dimakan."
"Bagaimana mungkin kau bersikap begitu?" aku menuntut. "Kau kan pemangsa. Kau
tahu bagaimana prakteknya."
kalah walaupun melawan. Kita tak akan pernah tahu. Tapi Chee telah hidup selama
ribuan tahun. Aku tahu mereka android, tapi mereka kan spesies juga. Mereka
berhasil bertahan hidup tanpa membunuh. Apakah itu tidak membuat kalian iri"
Tidakkah kalian ingin juga begitu" Tidakkah kalian ingin Homo sapiens menghadapi
jagat raya dan mengatakan dengan jujur, "Kami tidak membunuh. Kami tidak
memperbudak. Kami tidak mencetuskan perang?">
"Aku tidak membuat hukum rimba," kataku. "Aku tidak memulai perang ini. Begitu
pula manusia. Begini, aku tidak mau menjadikan hal ini urusan pribadi, tapi aku
kenal nama Matcom. Ayahku bekerja di perusahaan itu. Dan beberapa hari yang
lalu, Tom..." Sekilas aku melirik Jake. "Dia membujukku datang ke pertemuan The
Sharing dengan mengajak ayahku. Ayahku sedang jadi sasaran The Sharing dan
sekarang kita tahu sebabnya. Jadi, bagiku ini persoalan sederhana: Jika kita
mengambil kristal Pemalite itu, ayahku tidak perlu lagi terlibat dengan Matcom.
Dan mungkin Yeerk akan mencari orang lain untuk dirasuki."
Tak seorang pun bisa menyanggahku. Aku tahu mereka tak akan menyanggahku.
Cassie berjalan ke ujung gudang dan kembali membawa kandang kecil.
"Gelap gulita total, tidak bisa menyentuh dinding, lantai ataupun langit-langit,
dan kau harus melewati ruangan yang dipenuhi kawat sensitif yang bahkan tak
dapat kaulihat." Diangkatnya kandang itu. "Kenalkan, binatang yang bisa
melakukan semua itu."
Binatang itu tidak lebih besar daripada tikus kecil, dengan sayap selaputnya
yang terlipat ke belakang.
"Cool," kataku. "Mula-mula aku Spiderman, sekarang aku jadi Batman."
Chapter 19 KUPIKIR kali ini kami punya kesempatan untuk berlatih menjadi kelelawar. Kami
merencanakan mengambil kristal Pemalite itu minggu depan, pada akhir pekan.
Masih banyak waktu untuk merencanakan dan mempersiapkan diri.
Yeah, betul. "Marco?" ayahku berteriak ke atas, ke arah kamarku. Aku sedang berkutat
menyelesaikan soal matematika. "Ya?"
"Telepon." "X sama dengan nol koma nol-tiga-sembilan," kusebutkan agar aku tidak lupa. Lalu
aku ke koridor untuk menerima telepon di atas. "Nol koma nol-tiga-sembilan. Ya,
siapa ini?" "Hai, Marco. Ini aku, Erek."
"Oh, hai, Erek, ada apa?" kuharap ia ingat telepon kami mungkin saja disadap.
"Tidak ada apa-apa sih," katanya, amat meyakinkan seperti manusia. "Aku cuma
berpikir, kau ingat kan rencana kita minggu depan" Nah, bagaimana kalau kita
lakukan malam ini saja?"
Aku tahu apa yang akan kami lakukan. Dan aku tahu Erek menelepon bukan karena
iseng. Ada sesuatu yang tidak beres. Kutelan hatiku, yang baru saja meloncat ke
leher. "Oke. Aku akan telepon Jake. Siapa tahu dia juga mau ikut."
"Bagus lah," kata Erek. "Sampai nanti, ya."
Kuletakkan kembali gagang telepon. Aku berpikir-pikir, mungkin sebaiknya aku
mengabaikan ajakan Erek. Memang aku ingin melakukannya. Tapi ini kan seperti
Mission Impossible. Dan tanpa perencanaan ataupun latihan, jelas tidak mungkin.
Bahkan sangat, sangat mustahil!
Lagi pula, aku belum buat PR.
Kuangkat gagang telepon dan kutelepon Jake. Empat jam kemudian, saat orangtua
kami tertidur di tempat tidur masing-masing, kami berkumpul di gudang jerami
Cassie. Semua, termasuk Ax. Erek muncul paling belakang.
Ia tidak membuang-buang waktu dengan berbasa-basi. "Ada masalah. Yeerk memasang
sistem pengaman baru, untuk menambah sistem yang sudah ada. Kurasa sistem ini
belum diaktifkan, tapi aku tak berhasil mengetahui sistem macam apa itu."
Tobias. "Kristal ini sudah dilindungi superketat, sehingga penambahan sistem baru bisa
membuatnya di luar jangkauan kita untuk selamanya," kata Erek. "Dan jangan lupa,
Yeerk sedang berusaha menggunakan kristal ini untuk menciptakan sistem komputer
yang begitu kuat, sehingga bisa menguasai semua komputer di Bumi. Memang belum
sampai begitu. Tapi makin lama kita menunda..."
"Astaga, gila benar," kataku. "Tanpa perencanaan" Tanpa persiapan" Masuk begitu
saja dan berharap semuanya berakhir baik?"
"Akan kuceritakan semua yang kuketahui," kata Erek. "Dengar baik-baik. Tidak
terlalu rumit kok." Selama beberapa detik kami bingung. Kami tidak yakin apa yang harus kami
lakukan. Erek jelas ingin kami pergi. Tapi ia punya kepentingan sendiri, yang
mungkin berbeda dari kepentingan kami.
Benar-benar situasi yang membuat kami terjepit. Salah satu orangtua kami bisa
saja terbangun dan kami ketahuan tidak ada di rumah. Lalu mereka akan menelepon
orangtua teman-teman kami, menelepon ke polisi, bahkan meminta regu pencari
merambah hutan. "Pergi atau tidak pergi?" tanya Jake.
"Pergi," kata Rachel, tapi kurang antusias dibanding biasanya.
"Pergi," kataku. "Tapi terus terang, aku tidak bisa menyalahkan kalau ada yang
tak mau ikut." Cassie mendelik menatapku. Ia pikir aku menyindirnya.
"Menurutku, pergi," katanya. "Aku tak pernah menghindar, Marco."
"Jangan panggil aku 'pangeran'," kata Jake jemu untuk keseribu kalinya. "Oke,
kita pergi." Erek langsung memberitahu kami semua yang ia ketahui tentang Matcom dan sistem
pengamanan kristal Pemalite itu. Baru mendengarkan kira-kira dua menit, aku
sudah siap berubah pikiran.
Tapi saat itu sudah terlambat. Kami sudah mengambil keputusan, dan kami seolah
tersapu hanyut menuju ke air terjun - seperti serombongan pendayung yang sudah
kehilangan dayung. Kami bisa bertahan hidup... bisa juga tidak... tapi satu hal
sudah jelas. Kami benar-benar nekat.
Chapter 20 EREK tidak ikut pergi bersama kami. Tapi ia akan menunggu di depan gedung Matcom
sewaktu kami keluar. Itu pun kalau kami berhasil keluar.
Kami terbang dari gudang jerami Cassie ke gedung Matcom. Gedungnya berupa
bangunan tingkat tiga membosankan yang terdiri atas kaca dan semen, seperti yang
biasa kaulihat di kompleks industri. Cuma kaca-kaca persegi kebiruan dengan
tempat parkir luas di belakang.
Saking miripnya dengan gedung-gedung lain di kompleks industri itu, kami
kesulitan menemukannya. Kami terbang berputar-putar, serombongan burung hantu
yang tersesat, selama lima belas menit, sebelum Rachel melihat papan nama
Matcom. Kami mendarat di atap gedung. Erek sudah memastikan tidak ada kamera ataupun
pengawal di atap. "Ayo, kita cari pipa itu," bisik Jake begitu kami sudah menjelma menjadi manusia
lagi. Atau, dalam kasus Ax, menjadi Andalite lagi.
"Erek bilang barat daya, kan?" kataku.
"Barat laut," bantah Cassie.
Kedengarannya ia yakin sekali, kuputuskan untuk percaya padanya. "Yah, memang
itu. Arah mana barat laut?"
Ax tertawa dalam bahasa pikirannya, sampai ia sadar bahwa aku serius.
bahwa kami punya ekor pisau yang tersembunyi.
Pipa itu bergaris tengah kira-kira tujuh setengah senti.
"Mudah-mudahan saja berhasil," kataku. "Aku bahkan tak tahu apakah Spiderman-ku
bisa membuat jaring sutra atau tidak."
"Spiderwoman," kata Cassie. "Morph labah-labahmu labah-labah betina. Labah-labah
serigala tidak membuat jaring, tapi mereka memproduksi benang sutra. Pasti
berhasil deh." "Gampang saja kau ngomong. Aku bahkan tak tahu bagaimana mengaktifkan pabrik
sutraku." Tapi Ax sudah mulai berubah menjadi labah-labah serigala, maka aku bergegas
menyusulnya. Saat aku dan Ax menjelma menjadi labah-labah, yang lain sudah jadi
kecoak semua.
Dari tempatku berdiri di atap, pipa itu kelihatan seperti pencakar langit bulat.
Pipa itu mencuat ke atas kira-kira tiga puluh senti, jarak yang cukup tinggi
kalau tinggimu cuma sesenti.
Animorphs - 10 Menyelamatkan Kristal Android di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku merayap mengelilingi pipa. Salah satu sisinya sudah dilumuri ter. Jadi
gampang dicengkeram. Dengan mudah aku merayap memanjat pipa dan berdiri ngeri di
bibirnya. Kurasakan angin bertiup dari kegelapan di bawahku. Seperti berdiri di tepi Grand
Canyon, ngarai dalam di Sungai Colorado. Pipa itu menembus ketiga tingkat, plus
ruang bawah tanah. Empat lantai.
Cukup tinggi bagi ukuran manusia. Sejuta kilometer kalau kau cuma labah-labah.
Ax merayap dan berdiri bergoyang, menjaga keseimbangan di sebelahku.
sutra. Untunglah labah-labah bukan Albert Einstein. Ia hanya tahu empat hal, salah
satunya adalah menenun benang sutra.
Tubuh labah-labah langsung saja mendorong keluar sehelai benang putih lengket.
Benang itu menempel di pinggir pipa.
Ax melakukan hal yang sama.
Aku melompat dari bibir pipa ke dalam pipa, ke dalam kegelapan. Betul-betul
seperti Spiderman. Aku terjatuh pelan, pelan, pelan, meliuk dan berputar menuruni pipa. Di
belakangku muncul benang putih panjang. Benang itulah yang mengerem jatuhku,
sehingga aku terjatuh pelan-pelan. Mata labah-labah bisa melihat cukup jelas
dalam kegelapan. Seberkas cahaya bulan mengikuti kami sampai jarak tertentu.
Dan kemudian mulai asyik. Aku menendang dari dinding pipa dan berjungkir balik
di udara. Jaringku memelintir di benang Ax dan segera saja kami berdua menenun
benang sutra yang aneh. Seru deh... sampai aku merasakan kekosongan.
masalah.
Ax tidak bilang apa-apa.
Dan aku jatuh. Melintasi kegelapan, menuju ke dasar lubang yang kuharap tidak
akan membunuhku. Chapter 21 AKU jatuh dari tempat yang tinggi sekali.
PLUK! PLUK!
jadi kecoak untuk merayap turun.
Dengan cara ini tidak perlu kami menjadi labah-labah semua. Walaupun kecoak juga
tidak banyak membantu sih.
kecoak.>
Aku dan Ax menyingkir. Beberapa detik kemudian, setelah mereka merayap sampai ke
ujung benang sutra kami....
PLUK! PLUK! PLUK! Tiga ekor kecoak mendarat di dekat kami.
berjalan saja kira-kira tiga meter ke arah barat, kemudian menjatuhkan diri ke
bawah, kemudian merayap ke arah tungku perapian, kemudian turun lagi, kemudian
belok kanan. Nah, kita akan tiba di Ruang Pengamanan Tinggi, di situlah baru
kesulitan kita mulai.>
Tentu saja tak ada yang peduli padaku. Kami merayap di atas lantai baja, dua
labah-labah dan tiga kecoak. Cakar kasar kami menimbulkan bunyi gesekan
mengerikan. Tapi bagi telinga manusia tentu tidak terdengar.
Kami berlari terus. Makin lama makin banyak debu di lantai ventilasi. Aneh
rasanya, seperti berjalan di atas daun-daun kering.
Kedelapan kakiku menendang dan debu bergulung di belakangku. Akhirnya debu itu
malah setebal karpet, walaupun kenyataannya tebalnya cuma beberapa milimeter.
Setiap jarak kira-kira tiga meter, ada lubang berjeruji. Dari antara jerujijeruji itu aku bisa melihat kantor-kantor. Penerangan di dalam kantor itu sangat
suram, hanya cahaya screen saver komputer dan lampu-lampu kontrol merah dan
hijau. Tapi cahaya yang suram ini bisa membantu kami mencari jalan dalam
kegelapan ventilasi. Kemudian....
Ia lari. Aku lari. Kami semua lari.
Sekarang aku juga bisa merasakan getarannya. Langkah-langkah cepat yang
membingungkan. Diikuti bunyi seretan, seperti ada yang sedang ditarik.
Aku lari. Di sebelah kiriku ada labah-labah lain. Ax. Di depanku ada dua kecoak,
hampir sama besarnya denganku. Rachel di sebelah kananku, sedikit di belakang.
Aku tidak bisa menoleh dan melihat ke balik bahuku. Aku kan tak punya bahu. Dan
aku juga tak punya kepala betulan untuk ditolehkan. Jadi aku berhenti, berputar,
dan dalam cahaya suram ventilasi, aku melihatnya.
Besar sekali. Dua puluh kali besarku! Binatang yang mengerikan.
< Tikus! > jeritku. < TIKUS! >
Bunyi diseret tadi adalah bunyi ekor dan perutnya yang berbulu.
Tikus itu lapar dan mengejar kami. Dan, celakanya, larinya lebih cepat
daripadaku.
Kami melesat dengan kecepatan tertinggi labah-labah dan kecoak. Rasanya sudah
cepat sekali, kalau panjangmu cuma dua setengah senti, tapi sebetulnya tidak
sampai satu kilometer per jam.
Tikus bisa berlari mungkin tiga atau tiga setengah kilometer per jam.
Labah-labah kalau bisa menembus setengah kilo per jam saja sudah hebat.
Ventilasi berikutnya masih tiga meter lagi. Aku tak bisa menoleh untuk mengecek
tikus itu, tapi semua bulu di tubuh labah-labahku mengatakan si tikus cuma
belasan senti di belakangku.
Tapi ada sesuatu yang lain yang membuat buluku berdiri.
Tiupan angin....
Sedetik kemudian, kaki-kaki labah-labahku mencengkeram udara kosong. Aku
meluncur ke udara kosong, seakan mengapung di sana dengan kaki-kaki tetap
bergerak, dan kemudian aku jatuh.
PLUK! PLUK! PLUK! PLUK! PLUK!
Kami menimpa lantai baja lagi. Debu mengepul mengiringi jatuhnya tubuh kami.
BLUUUUG! Si tikus terjatuh di belakang kami! Ia masih mengejar kami!
Untungnya saat ia masih agak pusing, kami sudah kabur!
Tiba-tiba di depan kami, lantai baja itu terbuka lagi. Tetapi alih-alih kami
terjatuh dalam kegelapan, di situ ada hamparan menara-menara aneh bergerigi.
Masing-masing menara baja itu tingginya tiga kali tinggi tubuh labah-labahku.
Masing-masing menara logam itu bagian atasnya terbuka. Ada ratusan menara, semua
berderet rapi. Bau tidak enak, bau yang tak dikenali otak labah-labahku, menguar
dari lapangan menara ini.
Ada nyala aneh berkelip menerangi lapangan. Kelihatannya seperti kuburan, dengan
menara-menara ini sebagai batu nisannya.
Mengerikan sekali deh.
Aku tak akan melangkah ke "lapangan" itu kalau si tikus tidak cuma setengah
meter di belakangku dan makin lama makin dekat.
Aku tak memerlukan naluri labah-labah untuk mengetahui di sini berbahaya. Segala
sesuatu meneriakkan bahaya.
Kujulurkan salah satu kaki labah-labahku dan kusentuh puncak menara terdekat.
Kemudian sebelahnya, dan sebelahnya lagi. Aku berjalan dari menara ke menara,
pelan-pelan, hati-hati. Kecoak-kecoak merangkak dan menyusup di lembah-lembah di
antara menara. Dalam keadaan normal mereka tak bisa berdiri, tapi kini mereka
harus menyeret diri senti demi senti.
Di atas kepalaku, sekarang aku melihat asal cahaya aneh itu.
Rupanya itu cahaya lampu pilot. Nyala biru menyinari sepanjang tubuhku. Aku bisa
merasakan panasnya, meskipun jaraknya di atas kepalaku seakan sejauh atap
katedral. Si tikus, yang lebih cerdik dari kami, memutuskan untuk berhenti di tepi
perapian. Tapi kami sudah tak mungkin mundur. Kami harus menyeberangi perapian
itu. Kami hanya bisa berharap Matcom Corporation ini melakukan program hemat
energi dan tidak membuang-buang gas. Kami berdoa semoga tidak ada yang mengotakatik termostat. Sebab jika perapian menyala....
HISSSSSSSSSSSSSSSSS!
beberapa detik lagi gas itu akan mencapai lampu pilot. Dalam beberapa detik lagi
seluruh lapangan ini akan menyala terbakar!
Kukira tadinya aku sudah berlari secepat aku bisa. Aku keliru. Ternyata aku
masih punya kecepatan ekstra. Di depanku kulihat Jake, Rachel, dan Ax, ketiganya
telah selamat, tiba di daerah aman. Hanya Cassie dan aku yang masih berada di
daerah perapian.
HISSSSSSSSSSSSSSSSS! Kemudian... WHUUUUUUSH! Fuh-WWWUUUUMMMP!
Seluruh dunia seakan meledak di sekelilingku. Dinding api... badai angin panas.
Aku langsung terpental, jungkir balik di udara yang sepanas oven.
Chapter 22 AKU jungkir balik ke belakang, menimpa lantai baja lagi, dan meluncur seperti
mobil selip. Aku menabrak Jake, dan sedetik kemudian ganti Cassie yang
menabrakku.
beberapa detik lebih lambat. Tepat pada saat gasnya memancar.>
Sungguh mengerikan. Kami pasti sudah terbakar, mendesis dan meletup, sebelum
sempat jadi manusia lagi.
gemetaran. Sisa perjalanan melalui sistem pemanas dan pendingin ruangan lancar-lancar saja.
Aku jadi punya kesempatan untuk merenungkan kejadian mengerikan tadi. Satu detik
saja terlambat, aku jadi kecoak panggang deh.
dikatakan Erek.> Kami merayap melalui sederet tombol, mengelilingi panel baja, kemudian panel
baja satu lagi. Ini rupanya sistem pemblokiran cahaya. Bahkan photon - partikel
cahaya terkecil - yang menembus ventilasi pun akan terblokir.
Kemudian kami tiba di tepi lubang hitam. Aku tahu di bawah sana adalah Ruang
Berpengaman Tinggi - tempat penyimpanan kristal Pemalite. Kami berada Setinggi
dua meter. Kami harus menjatuhkan diri. Tepatnya kami harus jatuh kira-kira
setengah meter dari dinding.
Kalau lebih jauh dari itu, ke arah tengah ruang besar itu, kami akan
menghidupkan sensor tekanan di lantai.
Saat ini kami sudah terbiasa jatuh.
melangkah terjun ke dalam kegelapan.
Sungguh mengerikan terjatuh ke kedalaman yang gelap gulita. Kau sama sekali tak
tahu lantainya di mana. Rasanya seperti tidak jatuh sama sekali. Sampai kau
menimpa dasar lubang yang keras, baru kau sadar.
daripada mata labah-labahku dalam menembus kegelapan. Suasana lebih gelap dari
pada malam yang paling gelap sekalipun. Lebih gelap daripada bersembunyi dalam
lemari tertutup di tengah malam. Ini adalah kegelapan yang sama jika kita
dikubur hidup-hidup. "Jangan-jangan ada enam Hork-Bajir berdiri sepuluh senti di depan kita dan kita
tidak tahu," kataku dalam bisikan yang rasanya diredam oleh kegelapan itu
sendiri. "Pikiran yang menyenangkan," kata Rachel getir.
menabrak kumparan kawat ultrasensitif. Sentuhan sekecil apa pun akan membunyikan
alarm. Kita harus bergerak sejauh dua belas meter tanpa menyentuh kawat. Tanpa
menyentuh lantai atau langit-langit atau dinding," Jake mengingatkan kami.
"Ayo, kita morph. Supaya kita bisa melihat," ajak Cassie. "Atau tepatnya tidak
melihat. Ah, pokoknya kalian tahu apa yang kumaksud."
Maksudnya adalah kami akan bisa melakukan pelokasian-gema, menentukan arah
dengan bantuan gema. Seperti ketika kami berubah jadi lumba-lumba. Kami akan
mampu mengeluarkan suara yang berkecepatan ultratinggi sehingga tak bisa
ditangkap telinga manusia.
Suara itu akan menggetarkan objek padat apa saja dan mengirim kembali semacam
gambar suara.
Animorphs - 10 Menyelamatkan Kristal Android di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Paling tidak, kami harap begitu. Kami sudah merencanakan untuk berlatih dan
mengetes apakah benar begitu. Sayangnya tak kesampaian dan terpaksa kami
menjelma jadi kelelawar tanpa tahu sedikit pun apa yang akan kami alami.
"Suatu hari nanti kita akan berpikir semua ini lucu," kataku. "Kalau kita diberi
umur panjang lho." Kupusatkan pikiranku pada morph kelelawar yang telah kami serap DNA-nya. Mereka
tidak semengerikan yang diduga orang. Yang jelas tidak semengerikan waktu aku
berubah jadi labah-labah.
Kelelawar yang kami pilih ini sangat kecil tubuhnya, cuma beberapa senti.
Tampangnya seperti tikus, dengan kuping besar dan muka seperti anjing Pekinese.
Kalau tanpa sayap selaputnya, ia sama saja dengan mamalia biasa.
Dalam kegelapan total begini, aku tak bisa melihat apa-apa.
Nihil. Aku tak bisa melihat diriku yang mengecil, lantai yang seakan berlari ke
atas mendekatiku. Aku tak bisa melihat kakiku mengkeret sampai nyaris lenyap dan
bulu cokelat bermunculan di tubuhku. Aku tak bisa melihat bagaimana jari-jariku
bertambah panjang dan selaput setipis kertas tumbuh di antaranya.
Aku tak melihat semua itu. Aku bahkan tak tahu aku sudah menjelma jadi
kelelawar, sampai otak kelelawarku mengirim pesan padaku untuk membuka mulut dan
mengeluarkan pulsa suara.
Aku bercerecet mengeluarkan sederet pulsa suara supercepat. Seperti bunyi
senapan yang memberondongkan peluru, hanya saja lebih nyaring dan jauh lebih
cepat. Dan kemudian....
Seluruh ruangan yang semula gelap pekat tiba-tiba saja menyala.
Sebetulnya aku tidak melihat ruangan yang menyala. Lebih tepat kalau dikatakan
aku... merasakannya, dari kejauhan. Aku merasakan adanya ruangan yang besar
sekali. Aku merasakan ribuan kawat terpasang tegang, ke atas dan ke bawah, dari
kiri ke kanan, saling silang.
Dan, di tengah ruangan, di balik kumparan-kumparan kawat itu, aku merasa
permukaan lantai terangkat, membentuk semacam podium. Kawat-kawat melingkar
terjulur dari atas podium itu.
Semua itu muncul dalam sekejap. Kemudian lenyap. Teman-temanku masing-masing
menembakkan pulsa suara untuk menangkan gemanya, tapi aku tak dapat merasakan
suara mereka sejelas suaraku sendiri.
adalah mengharap yang terbaik. Kita serahkan pada si kelelawar saja urusan
terbangnya.>
lidah kecil kelelawarku. Itu kalau aku punya bibir. Aku tak yakin aku punya.
Kubuka sayapku. Kubentangkan lebar-lebar dan aku berpikir,
"Wah, ini pasti menarik. Hati-hati kucoba sayapku. Cara geraknya berbeda dari
sayap burung. Dengan tiap kepakan seakan aku menjemba udara dan mendorongnya ke
belakangku.
Kutembakkan serentetan pulsa suara dan aku terbang. Tembak lagi! Ada kawat-kawat
tegang di sekelilingku. Kiri! Kiri lagi! Turun! Tidak, tidak! Kanan, kiri, kanan, kanan, lurus ke depan!
Berkali-kali bunyi senapan mesin yang bernada tinggi kutembakkan, dan dengan
pantulan gema yang dihasilkannya, berkali-kali aku berhasil menghindari jalinan
kawat, hanya beberapa milimeter di atasnya.
Sungguh gila! Saking cepatnya, otak manusiaku ketinggalan tiga langkah. Semua
otomatis! Tak masuk akal! Kecepatannya, kegesitannya, terjemahan langsung
pantulan gema suaranya. Dan tiba-tiba saja, aku berhasil lolos! Aku berhasil menembus jaringan kawat.
Aku mendarat di atas meja besar di tengah ruangan. Semuanya hanya dalam waktu
sepuluh detik penerbangan gila-gilaan.
berhasil.
mereka dalam pendar-pendar lokasi-gemaku.
Semua berhasil. Dan kami senang sekali. Luar biasa.
Ax mencerecet dan berkata,
Kristal itu tak lebih besar daripada sebutir anggur. Terletak di atas podium
kecil. Kawat - bukan kawat sensor, tapi seperti kawat listrik yang melingkar,
mengelilinginya. Tapi kristal itu sendiri tidak terikat pada apa pun. Tergeletak
begitu saja. Siapa saja bisa mengambilnya.
Kristal itu mengeluarkan bunyi mendengung pelan. Aku tahu kedengarannya tidak
masuk akal, tapi kristal itu seolah hidup.
lubang ventilasi.>
Saat itu kami tidak lagi merasa sangat gembira.
Chapter 23
Ax berkata,
penjaga, ya pasti di sini ada banyak penjaga.>
dengan teliti, walau kita sudah berhasil masuk dengan sangat hati-hati, pada
akhirnya toh kita harus beraksi seperti Schwarzenegger.>
Cassie berkata,
keluar dari gedung ini. Jangan bertahan dan berkelahi, lewati saja siapa pun
yang berusaha mengejar kita.>
Dalam situasi seperti ini aku senang Jake pemimpin kami. Kami semua tahu apa
yang harus kami lakukan, tapi harus ada yang mengatakannya. Dan aku senang bukan
aku orangnya.
Pernahkah kau menonton film-film perang lama, yang ada adegan pihak Amerika
sedang menuju pantai musuh" Kau tahu, kan, mereka naik perahu kecil, diombangambingkan gelombang besar, bersiap meloncat ke pantai padahal di pantai itu
mereka akan diberondong peluru dan granat"
Nah, begitulah perasaan kami. Sekarang kami tenang, tapi dalam beberapa detik
lagi, akan jadi persoalan hidup atau mati.
Kejadiannya akan berlangsung cepat sekali. Dan tak ada bayangan yang
menyenangkan. Aku menjelma menjadi manusia. Kemudian kupusatkan pikiranku pada binatang yang
paling kusukai kalau aku sedang bertarung.
Kami masih berada di tempat gelap, jadi aku tak melihat tubuhku menjadi besar
dan berbulu. Tapi bisa kurasakan bahuku menggelembung lebih perkasa daripada
yang bisa diidamkan binaragawan. Bisa kurasakan juga kekuatannya. Kekuatan yang
tak mungkin dimiliki manusia. Sungguh lega mengetahui aku lebih kuat daripada
tiga, empat, atau bahkan mungkin lima laki-laki perkasa.
Tapi bahkan gorila pun bisa dikalahkan.
Di dalam kegelapan itu, bisa disentuh tapi tak tampak oleh mata, berkumpul
kekuatan yang bisa mencerai-beraikan sepasukan kecil tentara. Jake menjadi
harimau. Cassie serigala. Rachel menjelma menjadi salah satu dari sedikit
binatang yang lebih kuat dari gorilaku: beruang grizzly dewasa. Dan Ax... yah,
Ax adalah Ax. Dan percayalah, kalau kau sudah pernah melihat Andalite bertempur,
kau tahu bahwa hanya ekornya itulah yang dibutuhkannya.
kedengaran berani padahal aku ketakutan setengah mati.
HHHRRRRRAAAAWWWWRRR! Rachel meluncur melewatiku, menyenggolku, membuatku berputar seperti gasing.
Sepersekian detik kemudian...
NguuIIIIIING! NguuIIIIIING! NguuIIIIIING! Bunyi alarm sungguh memekakkan
telinga. Yang lain menyusul meluncur. Aku ragu-ragu sejenak dalam kegelapan, lantas
meraba-raba mencari kristal Pemalite. Selain Ax, aku satu-satunya yang punya
tangan. Kemudian aku menyusul mereka. Aku berlari dalam kegelapan total, dengan sebutir
kristal kecil dalam genggaman tanganku yang besar.
Rachel menerobos kabel-kabel alarm, dan bisa kurasakan ke arah mana ia lari. Aku
menabrak Ax, kemudian terlontar menabrak Jake, kemudian tiba-tiba - GABRUK! menabrak dinding. NguuIIIIIING! NguuIIIIIING! NguuIIIIIING!
Bru-AAAAAK! Disusul bunyi terjangan keras.
Cahaya yang tiba-tiba! Aku bisa melihat.
Wow, lega banget akhirnya aku bisa melihat!
Cahaya suram menembus masuk lewat pintu. Atau tepatnya sisa pintu, setelah
Rachel menabraknya dengan kekuatan beruang grizzly marah seberat kira-kira
setengah ton. Pintu itu kini tinggal serpihan. Pintu baja, tapi toh kini tinggal
serpihan. Kulihat kelebatan warna jingga dan hitam, bergerak cepat tapi hati-hati - itu
Jake, dalam wujud harimau. Cassie si serigala mengiringi dibelakangnya. Dan
tepat di belakang Cassie berjalan satu-satunya binatang yang tak bisa ditemukan
di mana pun di Bumi ini. Di luar ada lorong. Jake bilang
Melewati pintu-pintu, melewati ruang-ruang kantor, melewati benda-benda normal,
seperti mesin fotokopi dan komputer dan mesin fax dan meja dan kursi, kami
berlari. Rachel yang memimpin. Ia mirip truk raksasa yang berat berkaki empat.
Raungannya berbaur dengan raungan alarm yang tak henti-hentinya.
NguuIIIIIING! NguuIIIIIING! NguuIIIIIING!
Tiba-tiba pintu lagi, jalan buntu. Rachel menerjangnya dengan bahunya dan pintu
itu lenyap. Di baliknya ada ruangan besar. Langit-langitnya tinggi, ruangan
terbuka, semacam lobi. Jendela-jendela!
Samar-samar aku bisa melihat bintang melalui kaca buramnya.
Tinggal beberapa meter saja kami bisa lolos.
Bebas! Hidup! Yang menghalangi kami hanyalah dua puluh orang: Pengendali-Manusia, lengkap
dengan senapan otomatis. Dan di belakang mereka, dua lusin atau lebih prajurit Hork-Bajir.
Penglihatan beruang Rachel parah sekali, terutama dalam cahaya suram begini.
< Yap, > jawabku.
Chapter 24 NGUUIIIIIING! NguuIIIIIING! NguuIIIIIING!
Alarm meraung-raung. Dan berikutnya terdengar bunyi yang lebih mengerikan:
Ce-KLEK! Para Pengendali-Manusia telah mengokang senapan mereka, mengepung kami. Kalau
mereka menembak, kami akan hancur berkeping-keping sebelum bisa berkutik.
Seorang Pengendali-Manusia maju. Ia wanita paro baya yang bertampang ramah,
memakai pakaian biasa, seperti sedang di rumah.
Rambutnya pirang. Ia bisa menjadi nenek siapa saja.
"So. Bandit-bandit Andalite," katanya. Wajahnya penuh ketegangan, tapi ia
berusaha bicara dengan tenang. "Kalian telah memberiku kehormatan besar. Kalau
kuserahkan kalian pada Visser Three, dia akan menaikkan pangkatku dua tingkat.
Mungkin malah tiga!"
"Menyerahlah. Kalian tak bisa lolos," potong wanita itu. "Aku lebih suka menawan
kalian hidup-hidup, tapi diserahi mayat kalian pun Visser masih akan senang."
Kami memandangnya. Dan kami juga memandang moncong dua puluh senapan otomatis
yang diarahkan kepada kami.
Kuangkat tanganku. Di antara jari-jariku yang gemuk dan kasar, kupegang kristal
Pemalite. Wajah si wanita jadi sepucat rambutnya. "Berikan itu padaku."
Kugelengkan kepala gorilaku yang besar.
"Turunkan senapan," perintah si wanita.
"Apa?" seorang laki-laki di belakangnya berteriak. "Mereka sudah di tangan kita!
Sudah tertangkap!" Rahang si wanita bergerak-gerak, tapi ia bisa menguasai diri. "Bagaimana menurut
pendapatmu pengaruh peluru pada kristal itu?"
"Tapi kemungkinan besar peluru tidak akan mengenai kristal itu... Tidak
bakalan." Si wanita tersenyum sumbang. "Kristal itu lebih berharga daripada pesawat induk
dengan seluruh isinya," katanya. Kemudian ia mulai berteriak-teriak, "Kalian mau
menembak" Tembak saja, goblok! Kalau tembakan kalian mengenai kristal, jelaskan
sendiri pada Visser Three." Ia berhasil menguasai diri kembali, sementara pria
yang tadi berteriak memutuskan ia tidak mau memberi penjelasan apa pun pada
Visser Three. "Semua Pengendali-Manusia mundur. Senapan di posisi aman," perintah si wanita.
Senapan-senapan itu bergerak, kemudian turun, dengan moncong mengarah ke tanah.
Tapi aku belum bernapas lega. Soalnya aku tahu apa yang akan terjadi kemudian.
Si wanita menatapku lurus-lurus dan tersenyum, "Hork-Bajir, maju!"
Andalite yang memberi kami kekuatan morph telah menceritakan bahwa Hork-Bajir
dulunya bangsa yang lemah lembut dan berbudaya tinggi, sebelum mereka semua
menjadi budak-budak Yeerk. Sekarang semua Hork-Bajir adalah Pengendali.
Tapi memang susah sih membayangkan Hork-Bajir pernah menjadi makhluk kesayangan
galaksi. Mereka benar-benar makhluk maut berkaki dua: tingginya dua meter, dua
setengah bahkan, kalau kauperhitungkan juga mata pisau yang mencuat dari puncak
kepala ular mereka. Tubuh mereka terdiri atas pisau. Siku, pergelangan tangan,
lutut, semua pisau. Kaki mereka besar bercakar seperti Tyrannosaurus dan mereka
punya ekor gemuk yang ujungnya berduri tajam menyeramkan.
Mereka adalah mesin cincang berjalan. Semua bagian tubuhnya pisau tajam dan
gerak mereka secepat kilat.
Aku pernah bertarung melawan Hork-Bajir sebelumnya. Dan aku bisa menghitung. Dua
lusin Hork-Bajir. Selusin saja sudah sulit dihadapi, apalagi dua lusin. Kami
Animorphs - 10 Menyelamatkan Kristal Android di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sama sekali tak punya harapan menang.
Di belakang Hork-Bajir, di belakang para Pengendali-Manusia yang sudah bergerak
mundur, di luar gedung, menatap dengan penuh ngeri dari balik kaca, kulihat
Erek. Erek yang tak bisa berbuat apa-apa untuk membantu kami. Erek yang tak berdaya
melakukan apa pun, kecuali menyaksikan pembantaian kami.
Aku mual, mau muntah. Ketakutan menyelubungiku. Ketakutan meluap dari diriku,
mengguyurku, menenggelamkanku dari luar dan dalam.
Kami akan kalah. Kami akan mati. Dan hidup, hidup dengan cara apa pun, jauh lebih baik daripada mati.
"Serang," perintah si wanita. Suaranya nyaris bagai bisikan.
Para Hork-Bajir melompat ke depan, membentuk tembok pisau-pisau yang menebas dan
berputar. Tepat di depanku.
CRAAAASSS! Satu Hork-Bajir besar menebas dan dadaku yang berkulit hitam tebal langsung
tertoreh merah! Kuayunkan tinjuku dan kupukul si Hork-Bajir kuat-kuat. Ia terlipat kesakitan.
Tapi satu lagi Hork-Bajir meloncatinya, mendekatiku. Kutahan lengannya, tapi ia
menendangku dengan kakinya yang bercakar.
Aku jatuh telentang. Kutoleh ke bawah, dan kulihat ada lubang di perutku.
Lubang! Aku bisa melihat isi perut gorila! Isi perutku! Isi perutku sendiri!
kesakitan. Si Hork-Bajir meloncat ke atasku. Kuayunkan lagi tanganku. Kena kakinya. Ia
jatuh. Mendarat di sebelahku. Tangan kiriku meraih lehernya dan menekannya.
Kujepit dengan seluruh kekuatanku. Si Hork-Bajir menebasku lagi dan membuat luka
menganga di lenganku yang berbulu. Tapi kujepit terus lehernya.
Aku menjerit sementara si Hork-Bajir menggeliat dan mengayun-ayunkan tangannya
serabutan dan mulai bergeletar tak terkendali.
Di sekelilingku pertempuran berlangsung sangat seru.
Teriakan. Jeritan. Geraman kemarahan binatang. Raungan tak jelas Hork-Bajir.
Bahkan raungan para Pengendali-Manusia, yang menonton dan menyemangati para
Hork-Bajir. Kulihat Jake melompat tinggi dan cakarnya mencengkeram satu Hork-Bajir.
Kulihat Rachel mengayunkan tangannya dan membelah Hork-Bajir seperti orang
membersihkan isi perut ikan.
Kulihat Cassie menghindar dengan gesit, menggigit, mundur, meloncat, menggigit
lagi, busa merah berhamburan dari moncongnya
Dan Ax, menyabet lagi... lagi... lagi, dengan kecepatan maut dan ketepatan
sempurna ekor Andalite-nya.
Tapi kami akan kalah. Semuanya akan selesai beberapa detik lagi. Kami kalah.
Semuanya menjadi satu teriakan bahasa pikiran. Dan tetap saja alarm meraung.
NguuIIIIIING! Kurasakan jepitanku pada leher si Hork-Bajir melemah. Tapi aku sudah tak peduli.
Lebih aman melepaskannya.
Pandanganku merah. Merah dan mulai samar.
Kurasakan tusukan pedih ketika Hork-Bajir lain menghunjamkan pisaunya ke dalam
hati gorilaku. Aku sudah tak peduli. Semuanya akan berakhir... semua akan segera berakhir....
Dari balik kabut merah kulihat ada wajah di balik kaca. Erek.
Entah bagaimana, sewaktu bertempur tadi, aku terlempar tak jauh dari dinding
kaca. Erek cuma semeter dariku. Persis di balik kaca. Kurasakan sesuatu dalam
genggamanku. Kristal itu. Aku merayap. Satu Hork-Bajir bengis menendangku, dan
aku melayang menabrak kaca.
kurasakan otakku menutup.
Para Pengendali-Manusia mengerumuniku, menyodok-nyodokku dengan ujung senapan
mereka. Dengan sisa kekuatan terakhirku, kutonjokkan tinjuku menembus kaca.
Kurasakan jari-jari kuat memaksa membuka tanganku. Kurasakan jari-jari itu
mengangkat kristal Pemalite.
Dan kemudian... lama... lama kemudian,..ada yang menampar pipiku.
"Marco, demorph. Kembali jadi manusia, Marco. Demorph. Kembali! Cepat!"
Chapter 25 AKU terbangun, tergeletak di tanah. Tidak di lantai, tapi di tanah. Di tengah
debu dan dedaunan. Cepat-cepat aku duduk. Kupandangi tubuhku.
"Manusia!" kataku. Ingin rasanya aku menangis, saking leganya jadi diriku lagi.
Jadi diriku dan masih hidup.
Aku memandang berkeliling. Jake. Cassie. Rachel. Ax. Semua ada! Semua manusia!
Kecuali Ax, tentunya. Tobias bertengger di pohon di atasku.
Ada orang lain juga. Kudengar ada yang terisak.
"Kau tak apa-apa, Marco?" tanya Jake.
"Yeah. Yeah. Astaga. Astaga, aku nyaris mati!"
"Memang," kata Jake sungguh-sungguh. "Dia memberimu kejutan listrik untuk
menghidupkan lagi jantungmu."
"Siapa?" Jake mengedikkan kepalanya ke arah suara isakan. Erek, duduk terpuruk di tanah
dengan kepala menunduk. "Di mana kita?" tanyaku.
"Di gerumbulan pohon, tak jauh dari Matcom. Atau tepatnya, sisa Matcom."
"Bagaimana kita sampai di sini" Bagaimana kita berhasil keluar dari sana" Kita
kan sudah kalah!" Cassie mendekat dan duduk di sampingku. "Kau menyelamatkan kami dengan
memberikan kristal pada Erek. Dia menggunakan kristal itu. Dia memprogram ulang
sistem dirinya. Dialah yang..." Cassie membuang pandang. "Dialah..."
"Dia yang menangani Hork-Bajir," kata Rachel. "Aku melihat sebagian. Aku masih
sadar waktu itu." Aku bingung. "Bagaimana Erek menangani para Hork-Bajir?"
Aku nyaris tertawa. "Erek mengalahkan dua lusin Hork-Bajir" Yang benar saja!"
Tak ada yang tertawa bersamaku. Erek sudah berhenti terisak.
Aku heran. Kenapa robot menangis"
Aku berdiri. Aku bisa melihat gedung Matcom. Jaraknya cuma beberapa ratus meter
dari tempat kami. Ada lubang besar di kaca depannya. Perasaanku tak enak
memikirkan apa yang ada di balik lubang itu.
Aku cuma bisa berucap, "Semuanya?"
"Cuma berlangsung selama sepuluh detik," kata Rachel. Ia memejamkan mata,
mencoba tidak mengingat apa yang telah dilihatnya. Tapi kurasa bayangan itu
takkan semudah itu dilenyapkan.
Ia membuka mata lagi, dan betapa aku merasa heran, kulihat air mata.
Itu yang membuatku jadi ngeri lagi. Air mata Rachel.
putus.> Kulihat bekas luka di lengan kiri Ax.
"Sejak itu dia tak mau bicara sepatah pun," kata Cassie sedih. "Dia tak mau
bicara dengan kita."
"Tapi dia menyelamatkan kita, kan?" kataku.
"Yeah," Cassie mengiyakan. Ia tersenyum sedih. "Dia menyelamatkan kita. Dengan
begitu dia kehilangan jiwanya."
Kudekati Erek. Aku ingin berterima kasih padanya. Aku ingin memberitahunya, ia
telah melakukan hal yang benar. Membinasakan yang jahat dan menyelamatkan yang
baik. Ia berdiri ketika aku mendekat.
"Kau oke-oke saja, sobat?" tanyaku.
Ia menatapku dengan mata hologramnya. Mungkin ia harus memilih untuk membuat
mata itu menangis. Mungkin ia harus memilih untuk memberi mata itu pandangan
yang begitu kosong. Aku tak tahu apa hubungan antara android Chee dengan tubuh
manusianya yang berupa hologram. Tapi ekspresi wajahnya menjawab pertanyaanku.
Tidak. Erek tidak oke. "Kau menyelamatkan kami, Erek," kataku.
"Bagaimana kau... bagaimana kau bisa hidup dengan kenangan?" ia menanyaiku.
Aku tahu apa maksudnya. Begini, menang atau kalah, benar atau salah, kenangan
akan kekejaman itu bertahan dalam kepalamu.
Bertahan di sana seperti gumpalan yang tak bisa kautelan. Bertahan laksana
lubang hitam yang menggelapkan harapan dan memakan kebahagiaan sehari-hari,
seperti kanker. Itu adalah bayangan yang kauambil, kaumasukkan ke dalam hatimu,
dan kau harus mencoba hidup dengannya.
Aku mengangkat bahu. "Kurasa aku berusaha untuk tidak memikirkannya. Kucoba dan
kulupakan. Dan sesudah beberapa waktu, mimpi buruk tidak muncul sesering
sebelumnya." Erek meletakkan jari ke kepalanya. "Android," katanya. Ia tersenyum getir. "Aku
tak bisa lupa. Kalian tahu" Aku tak akan pernah bisa melupakan... apa pun."
Kupandang dia. Di dalam ingatan manusiaku, kengerian malam itu sudah mulai
memudar. Kilatan pisau Hork-Bajir, rasa sakit dan mual ketika tanganku menjepit
leher Hork-Bajir... semua itu sudah tertutup parut luka.
Bagaimana jadinya kalau aku tak bisa melupakan" Bagaimana kalau semua kenangan
itu segar selamanya"
Kusadari saat itu kenapa Pemalite melarang makhluk ciptaannya membunuh. Para
Chee hidup untuk selamanya. Selamanya itu lama sekali, kalau harus mengingat apa
yang telah dilakukan Erek.
"Aku ikut prihatin," kataku.
Erek mengangguk. "Ya." Ia mengulurkan tangannya yang mengatup, menghadap ke
bawah. Aku tahu apa yang dilakukannya.
Aku tak mau. Tapi kuangsurkan tanganku dan kuambil kristal Pemalite itu darinya.
"Aku sudah mengubah kembali programku," kata Erek. "Kami... aku... mungkin pada
waktu-waktu tertentu aku bisa bercerita pada kalian. Memberi kalian informasi.
Tapi aku tak akan pernah berkelahi lagi. Aku tak bisa ikut bertempur, kawankawan." Ia berjalan pergi. Kami pulang ke rumah masing-masing dan merayap ke tempat
tidur. Orangtua kami tak ada yang sadar kami telah meninggalkan tempat tidur itu
tadi. Aku sudah lelah tak terkatakan. Tapi aku tak dapat tidur.
Terlalu banyak bayangan. Terlalu banyak kenangan. Dan aku takut akan mimpi
buruk. Ada hal-hal jahat dalam hidup ini, dan kurasa ada saatnya manusia harus melawan
kejahatan itu. Kukatupkan mataku... dan aku tersesat dan ketakutan dalam mimpi burukku.
Dan otakku sudah mulai melupakan.
Chapter 26 "YEAH! Yeah! Kejar, boy!"
Homer berlari kencang, meninggalkan kepulan pasir, mengejar Frisbee yang
melayang di atas kepalanya. Dengan mengentak, ia berhasil tiba di depan Frisbee,
melompat, salto di udara, dan menyambar Frisbee itu. Loncatannya membuatnya tiba
di tepi laut dan ia mendarat di atas ombak.
"Yeah! Anjing pintar!" seru Jake.
"Lumayan," kataku. "Dia memang bukan anjing Frisbee yang kita lihat di TV, tapi
dia lumayan juga." "Hei, itu kan anjing Frisbee profesional. Homer kan cuma sekadar main-main."
Homer datang, melangkah di atas pasir dengan Frisbee di moncongnya.
Saat itu seminggu sesudah pertempuran kami untuk mendapatkan kristal Pemalite.
Jake dan aku sedang bermain di pantai.
Tobias melayang-layang di atas, terbang bersama angin sakal. Aku tak tahu yang
lain di mana. Dan rambutku sudah tambah panjang sedikit. Tapi aku sudah terbiasa
dengan rambut pendek. Kuputuskan untuk tetap bergaya rambut pendek. Hanya supaya
teman-temanku merasa sebal.
Tak banyak orang di pantai karena hawa terlalu dingin untuk berbaring-baring.
Jadi orang-orang datang untuk menerbangkan layang-layang, berjalan-jalan,
mencari kerang. Atau bermain dengan anjing mereka.
Jake berjongkok dan mencoba menarik Frisbee dari moncong anjingnya. Tapi Homer,
seperti semua anjing lain dalam sejarah, menolak melepaskannya.
"Mereka tidak menangkap inti permainan ini," kataku. "Kau melempar, mereka
menangkap, mereka membawanya kembali padamu agar kau bisa melemparnya lagi. Apa
sih susahnya mengerti hal gampang begini?"
Jake menggaruk belakang telinga Homer dan Homer menjatuhkan Frisbee-nya. "Ah,
mereka tahu kok aturan permainan ini," kata Jake tertawa. "Bagi mereka,
permainan ini berarti, 'aku melempar, mereka menangkap, mereka membawanya
kembali, mendapat garukan nyaman di kepala, baru kemudian mereka menyerahkan
Frisbee-nya." Saat itu, Homer tiba-tiba kehilangan minat pada Frisbee. Dua anjing lewat, ekor
mereka terangkat tinggi. Homer mendekat hendak menyapa mereka. Mereka berkenalan
dengan saling mengendus, kemudian pergi, berlarian seperti biasanya anjing,
gembira, bersemangat. Tingkah mereka membuatku tersenyum.
"Pastilah planet yang menyenangkan," kataku.
Jake tahu persis apa yang kumaksud. "Yeah. Planet yang penduduknya baik hati dan
bermain terus. Yeah, pasti asyik sekali."
"Aku ketemu Erek di 7-Eleven kemarin," kataku. "Kurasa dia mencari tempat untuk
'secara kebetulan' bertemu denganku. Dia memberiku nomor telepon. Dia bilang,
itu nomor yang aman. Katanya Yeerk tak akan bisa menyadap ataupun
menelusurinya." "Oh, ya" Jadi?" tanya Jake.
Aku mengangkat bahu. "Jadi, katanya kalau kita memerlukan dia, kita bisa
meninggalkan pesan di nomor itu. Dan kalau ada sesuatu yang harus disampaikan
kepada kita, dia akan meninggalkan rekaman pesan kepada kita."
"Huh," dengus Jake. "Menurutmu, ada yang akan terjadi?"
"Entahlah," kataku jujur. "Tapi kupikir para Chee akan terus melawan Yeerk. Cuma
mereka melakukannya dengan cara mereka sendiri."
Kurogoh sakuku dan kukeluarkan kristal kecil yang seperti berlian itu. "Ini
masih kusimpan. Aku tak tahu mau kuapakan. Erek bahkan sama sekali tak mau
ngomong soal ini. Tapi ini kan komputer paling canggih yang pernah diciptakan.
Kristal ini bisa memprogram ulang sistem para Chee. Bahkan bisa menguasai semua
komputer di muka Bumi. Kristal Pemalite. Kita nyaris mati karena berusaha
mendapatkannya. Enaknya kuapakan?"
Jake dan aku berdiri diam, menatap benda berkekuatan dahsyat itu.
Tiba-tiba aku merasa kami tidak sendirian.
Homer dan kedua anjing lainnya berdiri tepat di depan kami, memandang kami. Aku
tahu ini kedengarannya sinting, tapi sumpah deh, rasanya aku melihat kilatan
kecerdasan dalam mata anjing yang tertawa itu.
Ketiganya menatap kami, dan kami balas menatap mereka.
Kusodorkan tanganku, kubuka telapaknya, untuk memperlihatkan kristal itu kepada
para anjing. Homer menyambar kristal itu dari tanganku seakan kristal itu
biskuit anjing saja. Tapi ia tidak menelannya, melainkan cuma menggigitnya.
Kristal itu berkilauan seperti berlian di antara gigi-giginya.
Ketiga anjing itu, berlari menuju ke tepi pantai. Mereka melangkah ke atas ombak
dan masuk ke air, berjalan sejauh kira-kira tiga setengah meter.
Kemudian mereka kembali ke pantai dan dengan riang gembira menggoyangkan badan
keras-keras, membasahi dua wanita tua yang sedang mencari kerang.
Mungkin suatu hari nanti kristal Pemalite akan terbawa ombak ke pantai, entah di
mana. Mungkin pada saat itu terjadi, kami sudah akan sebijaksana bangsa yang
menciptakannya. "Homer!" teriak Jake. Ia melemparkan Frisbee.
Dan ketiga anjing itu, makhluk-makhluk bodoh penggembira yang menyenangkan itu,
berlomba mengejarnya. END Ebook PDF: eomer eadig Http://ebukulawas.blogspot.com
Convert & Re edited by: Farid ZE
blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu
Animorphs - 10 Menyelamatkan Kristal Android di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pembalasan Nyoman Dwipa 2 Kesatria Berandalan Karya Ma Seng Kong Hati Budha Tangan Berbisa 10