Chapter 1 NAMAKU Marco. Aku suka namaku. Marco. Mengingatkan akan Marco Polo.
Bukan berarti nama belakangku Polo. Tapi bisa juga begitu. Pokoknya aku tak akan
bilang padamu. Tak seorang pun dari kami, anak-anak Animorphs, akan
memberitahumu nama lengkap kami. Atau di mana kami tinggal. Atau apa pun yang
bisa membantu Yeerk menemukan kami.
Yeerk" Apa sih Yeerk itu" kau bertanya-tanya sendiri.
Kuberitahu deh. Mereka itu sejenis spesies parasit. Seperti
cacing pita, cuma jauh lebih parah. Soalnya, Yeerk tidak cuma
merayap di dalam perut atau ususmu. Mereka merayap ke dalam
otakmu. Mereka merasukkan tubuh mereka yang bisa berubah bentuk
ke dalam setiap lekukan dan celah di otakmu. Mereka mengikatkan
diri langsung pada saraf-saraf otakmu. Mereka menguasai otakmu.
Mereka menguasaimu lebih daripada yang bisa kaubayangkan.
Kau berpikir, Ya sudahlah, aku toh masih akan bisa menguasai
diriku. Kau keliru. Soalnya, kalau sekarang ini ada Yeerk di dalam kepalamu, si
Yeerk itulah yang akan menggerakkan tangan dan jari-jarimu. Yeerk itulah yang
akan mengarahkan pandangan matamu.
Yeerk itulah yang akan memutuskan kau sudah lapar atau belum.
Yeerk memasuki otakmu dan membuatmu jadi budak. Mereka
membuka ingatanmu dan membacanya seperti buku saja. Kau masih
bisa berpikir, tentu. Kau masih punya perasaan. Kau bisa takut atau marah atau
malu. Tetapi kau tidak bisa melakukan apa-apa sendiri. Ini bentuk perbudakan
paling total yang pernah ada di muka Bumi.
Tetapi, Yeerk memang bukan berasal dari Bumi.
Orang yang kepalanya dirasuki Yeerk disebut Pengendali.
Pengendali-Manusia, jika Yeerk-nya menguasai manusia. Pengendali-Hork-Bajir,
jika korbannya adalah Hork-Bajir. Meskipun nyaris
semua Hork-Bajir adalah Pengendali, jadi kita tidak usah repot-repot bilang
Pengendali-Hork-Bajir. Kami memerangi serbuan Yeerk yang dipimpin oleh makhluk
jahat mengerikan, Visser Three. Kami adalah enam ABG. Yang lima
memang benar-benar anak baru gede, sedang satunya lagi Andalite
baru gede! Hanya kamilah yang tahu apa yang sedang terjadi. Hanya kami. Dan
bangsa Yeerk, tentu saja.
Dan bagaimana kami bertempur" Dengan kekuatan
bermetamorfosis yang dianugerahkan kepada kami oleh seorang
pangeran Andalite yang sekarat. Kekuatan untuk menjadi binatang apa saja yang
bisa kami sentuh. Bagaimana kau tahu siapa yang Pengendali dan siapa yang
bukan" Itulah masalahnya. Kau tak bisa tahu. Kau bisa menatap
dalam-dalam mata orang yang paling kaupercayai dan tak akan pernah menduga bahwa
di balik mata itu ada parasit alien.
Sekarang kau maklum, kan, kenapa aku tidak mau
memberitahukan nama lengkapku. Atau di mana aku tinggal. Soalnya aku masih ingin
hidup. Aku ingin hidup agar bisa bertempur.
Dan pada suatu hari nanti, aku ingin hidup untuk
memerdekakan satu-satunya orang yang paling berarti bagiku. Orang yang matanya
selama bertahun-tahun kutatap tanpa kusadari bahwa ia bukan lagi ibuku. Tetapi
menjadi Animorphs tidak berarti hanya
menghadapi bahaya dan pertempuran. Ada saat-saat ketika kekuatan yang kami
miliki bisa berguna. Bahkan menyenangkan.
Dan pada suatu Rabu sore yang cerah, sepulang sekolah, aku
berada di mall bersama yang lain, cuma bersantai dan bersenangsenang. Dan kami tidak berada di mall yang biasa-biasa saja. Ini Mega Mall besar
sekali, yang letaknya di pinggir kota.
Anehnya ini ide Cassie. Biasanya ia orang paling akhir yang
akan mengusulkan acara seperti begini.
Tetapi jalan-jalan kali ini menyangkut penganiayaan terhadap
binatang sih. Dan jangan ada yang berani coba-coba main-main
dengan binatang kalau ada Cassie.
"Kiiieeeekk! Makanannya enak! Makanannya enak! Kiiieeekk!"
Saat itu ada aku, Jake, Cassie, Tobias, Rachel, dan Ax. Ax
dalam morf manusianya, tentu. Begitu pula Tobias. Tobias sudah
memperoleh kembali kemampuannya untuk bermetamorfosis
sekarang, tetapi ia tetap elang ekor merah. Ia bisa morf menjadi wujud
manusianya, tetapi jika ia berada dalam wujud itu lebih dari dua jam, ia akan
terperangkap dalam tubuhnya itu dan tak akan bisa morf lagi.
Ia telah memutuskan untuk hidup sebagai elang dan mempertahankan kemampuan
metamorfosisnya. Aku tak yakin apakah aku akan cukup tegar jika harus
menghadapi pilihan seperti itu.
Sedangkan Ax, yah, ia kan Andalite. Ia punya morf manusia
yang kadang-kadang digunakannya. Seperti sekarang ini. Untung saja ia berwujud
manusia. Kalau tidak pasti akan ada banyak teriakan, kepanikan, dan
kekalangkabutan. Andalite jalan-jalan di mall sih so pasti bikin geger.
"Kiiieeek! Cobalah burger Hutan Tropis. Rasanya enak
kiiieeek!" Di dalam mall ini ada restoran yang bernama Amazon Cafe.
Restorannya keren, karena kita seperti berada di salah satu wahana di Disney
World. Meja-mejanya penuh dikelilingi tanaman dan pohon-pohon, sehingga serasa
di tengah hutan beneran. Ada banyak burung-burungan dan buaya-buayaan dan ularularan di pepohonan bohongbohongan itu. Celakanya, ada juga burung beneran. Nuri, tepatnya. Burungburung nuri ini diletakkan di depan, di tempat orang-orang antre menunggu sampai
mendapat meja. Nuri-nuri ini diikat di tempat
bertengger, dirubung orang. Orang tua, orang muda, orang baik, orang
menyebalkan. Orang-orang yang mencoba menakut-nakuti burung-burung itu, atau
memberi makan mereka sampah atau menusuk-nusuk
mereka dengan puntung rokok menyala.
Ini membuat Cassie jengkel. Saking jengkelnya, ia datang
kepadaku dan bertanya, "Marco, apa yang bisa kulakukan untuk menyelamatkan
burung-burung yang malang itu" Mereka bahkan
tidak diberi kesempatan mempertahankan sedikit martabat pun!"
Dan aku menjawab, "Hmmmm. Nuri, kan" Bisa bicara, kan?"
"Yeah. Kenapa" Kau punya ide?"
"Oh, ya. Aku punya ide jitu."
Dan sekarang, dua hari setelah pembicaraan itu, kami berada di
mall. Dan kami berada tepat di depan orang-orang yang melecehkan nuri-nuri itu.
"Bilang, 'Burung jelek!'" seorang anak memaksa seekor nuri hijau cerah.
"Kiiieeeelckk! Amazon Cafe! Cafe petualangan!"
"Bukan, idiot, burung jelek, man! Bilang, 'Burung jelek!'"
"Moron," cemooh Rachel.
Si anak menoleh kepadanya. "Yeah, burung ini memang bego,
benar-benar moron." "Maksudku bukan burungnya, tapi kau..."
Jake meletakkan tangan di bahu Rachel, menenangkannya.
Rachel kadang-ekadang kesulitan mengendalikan kemarahannya. Dan
ia sama sekali tidak punya toleransi untuk orang-orang tolol.
Rachel anaknya jangkung, cantik, rambutnya pirang, dan tak
kenal takut. Yah, jauh di dalam lubuk hati sih ia juga merasa tidak aman, cemas
kalau-kalau ia tak bisa beradaptasi, dan tertekan karena harus hidup memenuhi
standar tinggi yang ditentukannya sendiri.
Tetapi semua itu tersembunyi jauh di dalam. Jauh sekali, sehingga jika kau
berusaha mencapainya, ia akan mencincangmu sebelum kau
bahkan bisa mendekat. "Oke, ayo kita lakukan," ajak Jake. "Sudah hampir tiba waktunya membersihkan
tempat bertengger nuri-nuri ini, jika
perhitungan Cassie benar."
"Setiap hari jam segini," Cassie meyakinkan kami. "Nah, tuh petugasnya malah
sudah muncul." Kulihat perempuan berusia dua puluhan memakai seragam
pramusaji berjalan ke arah kami. Ia menenteng kandang kawat besar.
"Kiiieeeekkk! Daging panggang lezat! Daging panggang lezat!
Kiiieeeekkk!" "Oke, kita siap" Rachel, Marco, Cassie, dan aku, ikuti dia ke belakang. Tobias
dan Ax, kalian tinggal di sini untuk berjaga-jaga."
"Berjaga-jaga," Ax menyetujui. "Jaga. Jagga. Lihat! Apakah itu tempat pembuatan
kue kayu manis" Oh, kue kayu manis. Manizzz."
Jake menghela napas. "Mungkin setelah urusan ini beres, kita bisa pesta kue kayu
manis," katanya. Begini ceritanya. Dalam wujud aslinya, Ax tidak punya mulut.
Andalite bicara dengan bahasa-pikiran dan makan secara penyerapan lewat telapak
kakinya. Maka ketika sedang jadi manusia, si Ax-man jadi agak ajaib dalam
mengucapkan kata-kata. Dan lebih ajaib lagi soal selera makanan. Dan benar-benar
gila jika ketemu kue kayu
manis, yang menurutnya, ciptaan manusia yang paling luar biasa.
Lupakan saja musik dan karya seni.
Ax kapan saja bersedia menukar kue kayu manis dengan
lukisan Mona Lisa, tanpa perlu pikir-pikir lagi.
"Oke, dia pergi!" Cassie memperingkatkan.
Perempuan itu sudah memasukkan keempat burung nuri ke
dalam kandang dan berjalan masuk restoran. Kami membuntutinya.
"Du du, du du, du du, du du, du du," aku menyenandungkan lagu tema Mission:
Impossible. "Misimu, jika kau berkenan
menerimanya: Kembalikan martabat burung-burung nuri dan
berjuanglah membantu Ibu Bumi!"
Cassie memainkan mata ke arahku. Jake menyembunyikan
senyum. "Sulit dipercaya kau mau ikutan, Jake. Jake yang penuh
tanggung jawab, mengizinkan kita menggunakan kekuatan morf demi
kepentingan pribadi. Bahkan ia sendiri ikut turun tangan. Tak kukira aku bisa
menyaksikan ini terjadi," aku menggodanya. "Ini pasti karena dia betul-betul
suka pada Cassie," aku menambahkan pada Rachel dalam bisikan keras.
"Ini karena aku tahu bahwa jika aku tidak setuju, Cassie toh tetap akan
melakukannya juga, dan dia akan mengajak Rachel, dan
mungkin juga kau, dan kalian bertiga perlu seseorang... seseorang yang bisa
berpikir jernih untuk mengawal kalian."
"Ya, Dad," ledekku.
Jake mengeluarkan geraman dari dasar tenggorokan seperti
kadang-kadang dilakukannya. Tetapi aku cuma tertawa. Sudah lama
aku bersahabt dengan Jake. Boleh saja ia jadi pimpinan Animorphs, tapi itu tidak
berarti aku harus menghadapinya dengan terlalu serius.
Kami membuntuti perempuan itu sampai ia masuk ke pintu
gudang. Kami menunggu. Begitu ia keluar lagi untuk membersihkan
tempat bertengger keempat nuri itu, kami segera masuk.
"Dee dee dee, dee.dee dee, dee dee dee, da dum!" aku
bersenandung. "Aku sudah bilang tutup mulut, Marco. Atau aku belum bilang, ya?" Rachel
menanyaiku seakan ngobrol biasa.
"Oke, ayo, teman-teman," Cassie mendesak.
Kami mendekati kandang nuri. Cassie mengeluarkan burungburung itu satu demi satu, meletakkannya di atas telapak tangan kami.
Nuri-nuri itu tenang sekali ketika kami menyerap DNA mereka.
Penyerapan DNA selalu membuat binatangnya seperti dalam
keadaan trans. Nuri sama saja.
Kami menyembunyikan nuri-nuri itu dalam lemari yang
berventilasi baik. Cassie meyakinkan kami bahwa lemari itu aman.
Dan sekarang yang tinggal kami lakukan adalah menjadi nuri. Morf menjadi nuri.
Jadi itulah yang kami lakukan.
Chapter 2 SEBAGIAN besar orang berpendapat bermetamorfosis menjadi
binatang itu mengasyikkan. Aku sepakat sih. Tapi lebih daripada
asyik, proses itu sebetulnya mengerikan. Dan ajaib. Dan luar biasa.
Kalau belum pernah melakukannya, takkan mungkin kau bisa
membayangkan, betapa luar biasanya.
Tubuh yang kaupunyai sejak kau lahir, tubuh dengan dua kaki
dan dua tangan dan kepala dengan wajahmu sendiri yang menghadap
ke depan, berubah. Berubah total. Sampai tak ada lagi yang tinggal, selain
pikiranmu. Kau tak lagi punya jari yang bisa digerak-gerakkan, atau kaki untuk
tumpuan berdiri, atau mulut untuk bicara. Kau
memandang dunia dengan mata binatang lain.
Sementara aku memusatkan pikiran pada si nuri, kurasakan
perubahanku mulai. Yang pertama-tama terjadi adalah, kulitku
berubah menjadi hijau. Bukan pucat kehijauan seperti kalau kau sakit itu. Maksudku
HIJAU. Hijau cemerlang, berkilau, terang. Hijaunya bulu nuri.
"Whoa! Luar biasa!" seruku.
Dan benar-benar luar biasa, karena pada saat yang bersamaan,
yang lain juga berubah warna. Jake menjadi seputih salju. Putih
banget. Rachel campuran menarik kuning dan jingga. Dan Cassie...
nah, si Cassie ini punya kemampuan alami untuk bermetamorfosis.
Pada tubuhnya, warna merah tua, merah darah, menyemburat dari
bahunya turun ke lengan, terus sampai ke ujung jari-jarinya.
Kemudian warna itu merambat ke lehernya, mengubah wajahnya,
seakan gelas bening yang pelan-pelan dituangi sirop merah. Yang
paling akhir berubah adalah bagian putih matanya. Untuk sesaat
keduanya masih putih, tapi kemudian berubah merah seperti sisa
tubuhnya yang lain. Begitu seluruh tubuhku sudah hijau cemerlang, aku mulai
mengecil. Lantai gudang yang kotor serasa naik menyongsongku.
Seperti kalau kita jatuh. Seakan aku pingsan dan jatuh terjerembap menghadap
lantai. Dan selagi tubuhku mengecil, kakiku berubah menjadi kaki
burung. Tulang manusiaku yang kekar dan padat menjadi tulang
burung yang berongga. Organ-organ tubuhku, paru-paru dan perut dan hati,
berbelit ruwet dengan cara yang seharusnya membuat aku
menjerit ketakutan. Tetapi teknologi morf mematikan rasa sakit.
Kulitku yang hijau menjadi lebih cemerlang saat aku mengecil.
Pola bulu-bulu terpeta menebar di sekujur kulitku. Jari-jari tanganku melebar ke
depan dan menipis menjadi sayap.
Dan kemudian wajahku begitu saja meletup ke depan. Seluruh
wajahku. SPRUUUT, begitu saja! Gigiku, bibirku, hidungku, daguku, semua
mengumpul dan menyembul seakan terbuat dari lilin mainan
dan ada orang yang menonjoknya dari belakang.
Kulitku - kulit yang semula pipi dan bibirku - berubah keras.
Sekeras kuku orang tua. Paruh nuriku yang besar dan menggelikan
mulai terbentuk. Warnanya warna kuku kakek-kakek.
Kupandang kawan-kawanku lewat mataku yang terfokus tajam.
Tidak sehebat mata elang, tetapi lebih tajam daripada mata manusia.
bahasa-pikiran. Bahasa-pikiran adalah telepati kami jika kami dalam wujud morf.
Dan tepat saat itu, kurasakan otak nuriku berlomba dengan otak
manusiaku. Aneh sekali. Aku sudah pernah menghadapi otak
binatang-binatang lain yang dipenuhi satu hal saja, ketakutan, seperti otak
tikus, dan otak binatang yang dipenuhi hanya oleh pembunuhan, seperti otak
labah-labah serigala. Aku bahkan sudah pernah
menghadapi otak semut yang seperti mesin tanpa jiwa. Tetapi jarang sekali
kurasakan sesuatu yang bisa dikategorikan kecerdasan dalam otak binatang.
Aku sudah pernah menjadi gorila dan lumba-lumba, dan
keduanya adalah binatang yang cerdas. Nuri tidak secerdas mereka, tetapi jelas
ada kemampuan berpikir di otaknya. Nuri bisa berpikir. Ia punya akal. Dan,
kusadari, ia punya perasaaan. Ia bisa merasakan emosi melampaui naluri
sederhana.
Animorphs - 15 Serangan Hiu Martil di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Otak nuri tidak menutupi kesadaran manusiaku. Kesadaran
manusiaku tetap ada. Dan saat menyadari betapa rumitnya otak itu, aku mulai
memahami kenapa Cassie begitu marah.
bebas merdeka di hutan tropis, bukannya dikungkung di mall.>
Beberapa menit kemudian, si perempuan muncul untuk
mengembalikan kami ke tempat bertengger kami yang sudah bersih.
Aku memandang berkeliling ke orang-orang yang berkerumun di
sana.
kulakukan dalam morf-morf sebelumnya. Aku
mencoba membuat si nuri bicara.
Masukan buatmu: Susah banget bicara kalau kau tak punya
bibir. Semua suara harus dibuat di tenggorokan. Seperti
ventriloquist - ahli bicara perut. Seperti boneka Susan itu, lho. Tetapi aku
akhirnya bisa juga bicara. Kami semua bisa. Dan yang tinggal kami lakukan
hanyalah bicara pada orang-orang yang sedang antre itu.
Maka bicaralah kami. "Kiiiieeeeck! Burger Amazon terbuat dari daging kucing!
Kilieeeeck!" "Kiiiieeeekkk! Cobalah spageti campur rambut kami!"
"Kiiiieeeekkk! Nacho Amazon Cafe paling enak dimakan dengan selai kuku kaki!"
Tobias yang berada di tengah kerumunan nyengir melihat
orang-orang itu berubah pucat. Ax bersamanya, melahap sepotong
piza yang entah diperolehnya dari mana. Aku cuma bisa berharap ia tidak mencomot
itu dari tempat sampah. "Kiiiieeeekkk! Makanan kalengnya beracun!"
"Kiiiieeeekkk! Nikmati roti oles ingus!"
Tidak aneh, kan, kalau kemudian orang-orang yang sedang
antre pergi, mencari restoran lain. Dalam waktu lima menit manajer restoran
memutuskan bahwa memejeng nuri hidup di dalam
restorannya bukanlah ide yang baik. Tetapi kami memutuskan akan
memastikan bahwa ia menerima pesan kami dengan jelas.
"Kiiiieeeekkk! Eh, itu hidungmu atau kau sedang makan
pisang?" "Kiiiieeeekkk! Apa itu yang ada di kepalamu" Ijuk?"
"Kiiiieeeekkk! Itu rambut palsu! Rambut palsu! Kiiiieeeekkk!"
"Kiiiieeeekkk! Kita seharusnya terbang bebas di habitat asli kita!"
Yang ngomong paling belakangan itu jelas Cassie. Menurut aku
sih kelewatan, kalau nuri ngomong begitu.
Setelah itu kami bebas. Sempat kulihat Tobias bertepuk pelan
dan tertawa. Aku merasa senang dan sedikit sombong. Sampai kulihat ada wajah
lain di belakang Tobias. Jauh di belakang, di tengah
kerumunan. Kukenal wajah itu. Erek. Erek, si Chee. Chapter 3 EREK si Chee dulunya adalah Erek teman sekolahku. Tetapi
Erek bukanlah sekadar teman biasa.
Bangsa Chee adalah bangsa android. Mereka kelihatan seperti
manusia dengan cara memproyeksikan semacam sinar hologram
berpenampilan manusia di sekeliling tubuh mereka. Erek boleh saja berpenampilan
ABG, tetapi usianya lebih tua daripada sejarah
manusia. Chee tiba di Bumi ratusan ribu tahun yang lalu. Mereka teman
bangsa Pemalite, yang planet asalnya dihancurkan oleh invasi yang kejam. Bangsa
Pemalite kabur, tetapi terlambat. Saat mereka tiba di Bumi, mereka punah.
Android ciptaan mereka yang tak bisa mati melakukan apa yang
mereka bisa. Mereka memberikan hidup baru pada intisari Pemalite.
Mereka menyatukannya dengan serigala. Dan dari penggabungan ini
lahirlah anjing. Jika kau tahu betapa manis, setia, dan penuh cinta para anjing
pada dasarnya, seperti itulah Pemalite. Dan kau juga tahu sedikit seperti apa
kiranya para Chee. Chee pencinta perdamaian, tetapi bukan karena mereka lemah.
Erek, seorang diri, bisa menangani semua orang di mall hari itu, memukuli mereka
dan memorak-porandakan mall. Sungguh.
Tetapi mereka cinta damai. Mereka juga musuh Yeerk. Mereka
mengamati Yeerk dan mempelajari tentang mereka, dan dengan cara
mereka sendiri yang antikekerasan, mereka berusaha sebisa mungkin untuk
menghambat Yeerk. Erek menunggu sampai ulah kami selesai. Ia menunggu sampai
aku berjalan pergi dengan Jake. Kami memisahkan diri dari yang lain, supaya
tidak kelihatan satu "grup".
"Hai, Marco," sapa Erek. "Halo, Jake."
Kami tidak secara hangat menyambutnya, seperti menghambur
memeluknya. Kami sudah melihat apa yang terjadi suatu kali ketika Erek tertabrak
bus. Sulit dilupakan. Susah memperlakukan anak
sekuat itu seperti anak biasa lainnya.
"Hai, Erek, apa kabar nih?" Jake bertanya hati-hati.
"Baik. Dan kami tahu, dari sumber-sumber kami, bahwa kalian telah banyak berbuat
baik melawan... melawan kenalan kita." Ia merendahkan suaranya. "Kurasa lebih
baik kita bicara enam mata."
Tiba-tiba saja, udara di sekeliling kami berpendar. Semua bunyi
lain di mall diredam. Dan Erek sudah bukan manusia lagi. Ia sudah jadi robot
terbuat dari krom-dan-gading. Berwujud seperti anjing langsing yang berdiri
tegak. "Apa yang kaulakukan?" tanyaku.
"Kuluaskan hologramku mengelilingi kita bertiga. Orang-orang yang melewati kita
akan melihat rombongan satpam Sedang ngobrol.
Tak seorang pun akan peduli ataupun nguping kita."
Benar-benar tipuan hebat. Tetapi membuatku mencelos juga
sih. Erek tidak akan bersusah payah begini kalau cuma mau bicara tentang
olahraga atau hal-hal biasa lainnya.
"Menyelamatkan kedua Hork-Bajir yang merdeka itu hal yang
baik,sekali. Siapa tahu mereka nantinya temyata bibit sesuatu yang baik dan
kuat. Jadi kalian telah memulai penyelamatan seluruh umat manusia."
Aku mengangkat bahu. "Kami senang kalau sibuk. Daripada
main Nintendo, kan mendingan menyelamatkan umat manusia."
Erek tertawa dengan moncong anjingnya yang dari krom.
Kemudian ia segera serius lagi. "Aku perlu bicara empat mata denganmu, Marco."
"Aku sih tidak punya rahasia dengan Jake," kataku. "Kurasa itu dasar perkawinan
yang baik: keterbukaan, kejujuran."
"Ini tentang orang yang dulu pernah sangat dekat denganmu,
Marco." Jantungku berhenti berdetak. Aku langsung tahu siapa yang
dimaksudkannya. Aku mencoba mengatakan sesuatu, tetapi katakataku macet di lidah. Kucoba sekali lagi. "Ibuku?"
Erek mengerling Jake. "Tidak apa-apa, kata Jake. "Aku tahu. Aku satu-satunya yang tahu."
Erek mengangguk. "Marco, ibumu telah kembali ke Bumi. Ia
mengepalai proyek baru yang sangat rahasia. Dioperasikan dari Pulau Royan. Atau
tepatnya, dari perairan di sekeliling Pulau Royan."
Aku tidak sepenuhnya mendengar apa yang dikatakan Erek.
Aku masih terpana mendengar berita ibuku telah kembali ke Bumi.
Jake paham. Ia mengambil alih pembicaraan dengan Erek.
"Apa yang mereka lakukan di lautan?"
"Kami tidak tahu," kata Erek. "Tetapi apa pun itu, pastilah proyek besar, kalau
sampai Visser One sendiri yang mengepalainya."
"Visser Three pasti agak jengkel."
Erek mengangguk. "Visser Three bukan Yeerk idola Visser
One. Dan sebaliknya."
"Begini, aku... kami tidak yakin apakah sebaiknya
memberitahumu tentang ini. Tetapi kami sudah menyelidiki sejauh
yang kami sanggup. Dan aku merasa Marco punya hak untuk
mengetahui dia kembali ke Bumi. Tapi satu hal bagi kalian harus
jelas. Visser One tidak mencapai kedudukan puncak di hierarki Yeerk dengan
bersikap manis. Ia brilian dan berbahaya."
Jake memandangku untuk melihat bagaimana reaksiku.
"Kalian pikir aku tidak tahu bagaimana sebenarnya Visser
One"!" tanyaku panas.
"Aku tahu kau tahu," kata Erek. "Tetapi manusia gampang sekali tertipu oleh
penampilan luar. Kalian menilai orang lain dari wajah dan mata mereka. Wajah
Visser One adalah wajah orang yang
kaupercayai, Marco. Tetapi jika kalian, anggota Animorphs,
memutuskan untuk menyelidiki kegiatan di Pulau Royan ini, kalian mungkin saja
berhadapan langsung dengan Visser One."
Aku mengerti apa maksud Erek. Dan itu membuatku jengkel.
Aku tak tahu kenapa. "Erek, aku kan bukan idiot. Paham?"
Ia menggelengkan kepala robotnya. "Aku tahu. Tapi kau
mencintai ibumu. Kau ingin menyelamatkannya. Jadi, kau bisa saja membuat
kekeliruan." Rasanya ingin sekali aku menampar Erek. Tapi pasti ia akan
membiarkan saja. Dan tanganku sendiri yang akan sakit.
"Ada satu petunjuk lain," kata Erek. Kami punya alasan untuk mempercayai bahwa
ada spesies baru di Pulau Royan. Mereka disebut Leeran."
"Terima kasih, Erek," kata Jake.
"Apakah dia tidak apa-apa?" Erek menanyai Jake.
Aku tak ingin mendengar jawaban Jake. Aku berbalik dan
melangkah keluar dari hologram. Kulihat mata seorang wanita
terbelalak saking kagetnya. Yang baru saja dilihatnya adalah seorang anak
melangkah keluar dari tubuh satpam yang sedang ngobrol.
Jake menyusulku beberapa detik kemudian.
"Erek tidak bermaksud buruk. Kau tahu itu," kata Jake. "Dia cuma..."
"Aku tahu maksudnya," tukasku. "Maksud dia, kalau tiba saat genting, apakah aku
siap membinasakan ibuku sendiri untuk
menyelamatkan misi" Itu maksudnya."
Jake mencekal bahuku dan membalikkan tubuhku. "Dan?"
Aku masih marah. Tetapi aku tahu kenapa aku marah.
Bukannya karena Erek telah menyinggung perasaanku. Tapi karena
Erek benar. "Aku tak tahu, Jake," kataku. "Aku tak tahu."
Chapter 4
Saat itu hari berikutnya sepulang sekolah, di hutan tempat Ax
dan Tobias tinggal. Tobias sedang pergi berburu. Aku ingin bicara berdua saja
dengan Ax. Ia dalam wujud aslinya, tentu saja, menatapku dengan mata utamanya,
sementara mata tanduknya dengan waspada
mengamati pepohonan di segala arah.
Aku sudah meminta Jake agar tidak bilang apa-apa kepada yang
lain tentang Erek. Yang lain tidak tahu bahwa Visser One adalah
ibuku. Mereka beranggapan sama dengan anggapanku selama dua
tahun belakangan ini. Bahwa ibuku tenggelam. Bahwa jenazahnya
tidak pernah ditemukan. Aku tak ingin yang lain tahu yang sebenarnya. Bahwa ibuku
sudah dijadikan Pengendali. Bahwa Yeerk di dalam kepalanya adalah komandan
penyerbuan ke Bumi yang sebenarnya.
Aku tak ingin belas kasihan mereka. Aku pelawak. Aku badut.
Dengan cara itulah aku menghadapi hidup. Dari dulu aku percaya
bahwa sampai batas tertentu kau sendirilah yang memutuskan kau
ingin hidupmu seperti apa. Kau bisa memandang dunia dan berkata,
"Oh, semuanya begitu tragis, begitu suram, begitu mengerikan." Atau kau bisa
memandang dunia dan memutuskan bahwa sebagian besar
ternyata lucu. Jika kau melangkah mundur cukup jauh dari hal-hal sepele,
segalanya jadi lucu. Kau bilang perang itu tragis. Menurut aku sih, gila benar
orang-orang itu, berperang untuk hal-hal tak berarti. Orang berperang karena
berebut lahan di gurun kosong. Itu kan seperti
berantem memperebutkan kaleng minuman yang sudah kosong. Lebih
cocok disebut konyol daripada tragis. Tolol! Bodoh!
Kau bilang, mengerikan ya pemanasan bumi" Menurutku, tidak,
itu lucu. Kita akan mengalami pemanasan bumi karena kita memasang terlalu banyak
AC bocor" Kita menggunakan terlalu banyak deodoran semprot, jadi sekarang
ganjarannya kita akan berkeringat seumur
hidup" Itu tidak menyedihkan. Itu ironis.
Kalian tahu lagunya Alanis Morisette yang berjudul Ironic"
Nah, itu satu hal lagi yang kita sebut ironis.
Tetapi humor jadi sulit diterapkan jika tragedinya terjadi pada
dirimu sendiri. Soalnya aku sudah melihat dampak "kematian" ibuku pada ayahku. Dan tahukah kau"
Sama sekali tak ada lucu-lucunya. Dan aku juga tahu bahwa selama setahun aku
menangis hampir setiap malam
sebelum tidur, memandang fotonya. Sampai sekarang aku masih
merasa ada orang yang melubangiku. Lubang yang takkan pernah
terisi. Lubang yang takkan pernah sembuh. Lubang yang aku sendiri pun tak ingin
disembuhkan, karena aku tak ingin berhenti meratapi ibuku, aku tak ingin
melupakan kesedihanku. Jake kenal ibuku. Jadi ketika kami semua waktu itu berhadapan
dengan Visser One, ia tahu siapa Visser One itu. Tetapi Rachel,
Cassie, Tobias maupun Ax tidak. Dan karena kami waktu itu
berwujud binatang, si Pengendali-Manusia yang dikenal sebagai
Visser One tidak mengenali anaknya.
"Tidak bisakah kauceritakan saja apa yang kauketahui tentang mereka?"
Ax bimbang. Ia masih agak sulit bersikap terbuka dan jujur
kepada manusia. Bangsa Andalite tidak terbiasa mempercayai spesies lain.
Bentuk kehidupan paling canggih ada di lautan. Leeran
adalah bangsa amfibi yang memiliki perasaan.> Ia mengangkat bahu.
"Tidak diizinkan" Kenapa tidak" Apakah mereka berbahaya?"
Ax tertawa. Ia kadang-kadang memang bersikap sok tahu,
seolah paham segala-galanya.
bagaimana"> < Leeran ini katanya sih punya kekuatan batin seperti cenayang.
Mereka bisa membaca pikiran. Paling tidak mereka bisa
melakukannya jika berada dalam jarak dekat. Kami punya rahasia
teknologi dan militer. Kami tak mau hal itu diketahui Leeran. Lagi pula,
memangnya enak kalau pikiran kita diketahui orang asing" Nah, dari mana kau
mendengar tentang Leeran">
"Erek. Si Chee. Dia bilang ada proyek rahasia bawah air yang sedang dilakukan
Yeerk. Dia bilang ada Leeran yang terlibat."
Ax kelihatan bingung.
terhadap Bumi. Leeran kan punya kekuatan batin.
Mereka akan langsung tahu jika salah satu dari rakyat mereka
Pengendali.> "Yeah, kau benar. Sebaliknya... jika mereka bisa menjadikan Leeran ini
Animorphs - 15 Serangan Hiu Martil di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pengendali... Pengendali-Cenayang?"
Ax memutar mata tanduknya ke arahku.
merasakan jika ada pengkhianat.>
"Dan mereka akan sanggup menemukan lima ABG dan satu
Andalite," kataku. "Mereka akan bisa mengenali kita menembus morf binatang kita.
Itu akan berarti tamatnya riwayat kita."
Aku menarik napas dalam-dalam dan melepasnya pelan-pelan.
Di antara celah pepohonan kulihat seekor elang melayang di atas
pucuk-pucuk pohon. Mungkin Tobias, mungkin juga bukan. Selain
memiliki pandangan tajam luar biasa, elang juga punya pendengaran hebat. Aku
jadi bertanya-tanya sendiri, seandainya itu Tobias, apakah ia mendengar
percakapanku dengan Ax. "Kurasa tidak apa-apa," gumamku.
"Segalanya," jawabku sambil tertawa. "Tidak apa-apa, kan?"
Kurasa aku sudah tahu, rahasiaku akan terbuka cepat atau lambat.
Marco si lucu sudah ditakdirkan untuk memelas. Teman-temanku
akan memandangku dan berpikir, Kasihan benar si Marco.
Kugelengkan kepala. "Tidak pernah gagal, tahu tidak. Dewa-dewa Ironi. Mereka
menunggu kesempatan untuk menjungkirbalikkan
hidupmu. Si Tenang-dan-Cuek akhirnya malah jadi sasaran belas
kasihan. Hebat. Sempurna."
jika Ax takjub mendengar ocehanku.
"Tidak. Mereka cuma agama si Marco," kataku. "Dewa-dewa Ironi menunggu sampai
mereka tahu apa yang tidak kauinginkan. Dan itulah yang mereka berikan
kepadamu."
humor manusia. "Jelas," jawabku. "Jika terjadi pada orang lain, itu lucu banget."
Chapter 5 PADA akhirnya kukatakan pada Jake bahwa kami harus
melakukannya. Kami harus menyelidiki apa yang dilakukan Yeerk di Pulau Royan.
Tetapi aku berpesan padanya agar tidak menceritakan tentang
ibuku pada kawan-kawan. Aku masih berharap, entah bagaimana,
kami akan bisa menghindari terbongkarnya rahasia hitamku. Dan
menghindari belas kasihan mereka.
"Pulau Royan adalah pulau kecil, milik pribadi, dua puluh mil dari pantai,"
kuberitahu yang lain, ketika kami berkumpul di gudang jerami Cassie. Gudang itu
juga berfungsi sebagai Klinik Perawatan Satwa Liar. Tempat Cassie dan ayahnya
merawat binatang-binatang
yang sakit atau terluka. Saat itu Sabtu pagi. Kami merencanakan melihat-lihat Pulau
Royan untuk pertama kalinya.
"Panjangnya kira-kira enam setengah kilometer, lebar empat
koma dua, dan berbentuk bulan sabit," aku melanjutkan.
"Sangat puitis," kata Rachel. "Bulan sabit."
"Hei, itu kutipan dari buku panduan, tahu?" kataku. Aku berjengit. Aku
seharusnya tidak menghardik seperti itu. Aku
seharusnya menjawab dengan jitu. Dengan menghardik Rachel seperti itu, kan bisa
ketahuan bahwa aku sedang tegang.
Kutarik napas dalam-dalam. "Menurut Ax, bangsa Leeran ini
bisa membaca pikiran, seperti cenayang. Jadi kita harus sangat hati-hati. Kita
tidak boleh berada dekat-dekat mereka."
"Yang disebut dekat itu, seberapa dekat?" Jake bertanya pada Ax.
mengawasi keadaan lewat loteng gudang yang terbuka dan mendengarkan dengan
pendengaran elangnya. "Jadi kita kombinasi saja," kata Jake. "Terbang dulu. Istirahat.
Lalu morf jadi lumba-lumba."
mengingatkan lagi.
mengangkat alis ke arah Tobias. Rupanya kami
punya pikiran yang sama. Kelihatannya Tobias tidak ingin
bermetamorfosis, walaupun ia sudah mendapatkan kembali
kemampuan morfnya. "Ax punya morf hiu sejak pertama kali kita
menyelamatkannya," kataku. "Itu sama baiknya seperti lumba-lumba.
Dan jika Tobias tidak mau morf..."
Jake memandang arlojinya. "Tobias, kau masih bisa terbang ke The Gardens dan
menyerap DNA lumba-lumba. Toh kita lewat sana
nanti."
tersenyum. "Selama ini kau jadi senjata rahasia kami dengan menjadi dirimu
sendiri." Tobias ragu-ragu.
terbaik. Apalagi biasanya tidak ada termal di atas air. Baiklah, aku akan
menyerap DNA lumba-lumba. Oke, akan kulakukan. Hei,
tidak masalah. Benar, kan" Maksudku, lumba-lumba di air, kan seperti burung di
udara. Benar, kan">
Kami semua menatapnya. Tobias biasanya tidak banyak omong.
Tetapi sekarang ia ngoceh tidak keruan. Cassie-lah yang pertama kali menebaknya.
"Tobias" Apakah kau takut air?"
"Kuanggap itu berarti ya." Aku tertawa. "Kau tidak takut melayang satu setengah
kilometer di angkasa, tetapi kau takut air?"
segala jurusan.> "Hei, bagaimana kalau kita berhenti mengejek Tobias" Oke?"
Rachel menggeram. "Jika dia tidak suka air, ya biar saja."
kan hidup di dalam air.>
Aku mengangguk. "Yep. Tidak salah, lumba-lumba hidup di
air." "Oke, kalau begitu," kata Jake. "Tobias perlu mampir di The Gardens untuk
bermain-main dengan lumba-lumba. Dan ini harus
segera dilaksanakan. Jadi, marilah kita terbang dan berharap
keberuntungan menyertai kita."
"Jangan kuatir," Cassie menenangkannya. "Tenang saja. Begitu kau jadi lumbalumba, kau tak akan takut lagi pada laut.>
Aku tak tahu kenapa, tetapi Tobias yang takut membuatku
merasa lebih nyaman. Kurasa benar juga kata orang, kalau kita sedang sengsara,
lebih enak kalau ada temannya.
"Ayo, kita morf," ajak Jake.
Dan beberapa menit kemudian, aku sudah punya sayap
melengkung ke belakang, bulu putih cemerlang, dan nafsu mengais
makanan dari sampah. Chapter 6 JIKA kau ingin terbang tinggi dan jauh, jadilah burung
pemangsa. Tetapi jika kau ingin bisa pergi ke mana saja, tanpa
menarik perhatian, jadilah burung camar.
Camar dan merpati bisa muncul di mana saja dan melakukan
apa saja tanpa membuat orang peduli. Tetapi jika kau muncul sebagai rajawali
bondol, orang akan langsung tertarik.
Kami semua pernah jadi camar sebelumnya, kecuali Tobias dan
Ax. Kami anggap Tobias sudah cukup terbebani dengan harus
mendapatkan morf lumba-lumba, jadi tak seorang pun dari kami
memintanya menjadi camar. Tetapi Ax lain ceritanya. Di gudang
jerami Cassie ada camar yang terluka. Maka Ax dengan cepat
menyerap DNA-nya. Kami terbang rendah dan cepat menuju The Gardens, seperti
kebiasaan camar. Dan kami melihat setiap keping sampah yang dapat dimakan
sepanjang jalan. Setiap ceceran makanan, dari potongan
kentang goreng, remah roti, sisa burger, bungkus permen, sus keju, sampai permen
agar-agar leleh. Kalau soal melihat sampah makanan, camar sama ahlinya dengan
elang melihat tikus.
mencemooh.
Sebetulnya Tobias tidak benar-benar gaul dengan kami. Ia
terbang jauh lebih tinggi, kira-kira enam kilometer di atas kami.
Tetapi Tobias sudah lama menjadi burung, sehingga hubungannya
dengan burung-burung lain sama dengan hubungannya dengan
manusia. Ia menghormati dan takut terhadap rajawali emas dan
falkon. Kedua jenis burung ini kadang-kadang memang menyerang
elang. Tetapi ia sangat tidak suka pada merpati, camar, dan di atas segalanya,
gagak. Kurasa ini ada hubungannya dengan kebiasaan
bergerombol ketiga burung itu. Tobias orangnya penyendiri.
Jauh di depan kulihat The Gardens. Gampang mengenalinya,
soalnya roller coasternya kira-kira setinggi gedung bertingkat sepuluh.
Dan kulihat banyak camar lain beterbangan di angkasa, di atas taman hiburan dan
kebun binatang.
Kami melaju mengikuti embusan angin sepoi di atas tempat
parkir dan di atas pagar-pagar, terus melewati gerbang. Kami pasti sudah harus
bayar, kalau melewati gerbang itu sebagai manusia.
pada taman hiburan. Aku hidup untuk naik roller coaster. Atau paling tidak
begitulah keinginanku, sebelum aku jadi Animorphs dan menemukan ketegangan yang
jauh lebih besar.
roller coaster kayu. Sebuah mobil berbunyi "kleng-kleng-kleng", mendaki bukit
pertama. Kukepakkan sayap dan aku melesat mengejar mobil itu.
Mobil pertama isinya dua cowok. Usia mereka tak jauh berbeda
dengan aku dan Jake, kukira. Mereka mengangkat kedua tangan
tinggi-tinggi ke udara, siap menjerit-jerit asyik.
Aku meluncur ke arah mereka dan mendarat di pagar pegangan
di depan mobil, tepat saat mobil itu mencapai puncak bukit.
"Whoa! Ada burung!"
Tetapi ia ikut mendarat, tepat di sebelahku. Memang akhir-akhir
ini Jake menjadi sangat bertanggung jawab. Tetapi ia tetap saja
sahabatku yang dulu. "Minggir, burung!" salah satu cowok itu mengusir kami.
Kami tidak mengacuhkannya, dan tepat saat itu mobil meluncur
turun dari puncak bukit. Turun. Turun, turun terus. Makin lama makin cepat.
Kucengkeram pagar dengan segenap kekuatan cakar camarku.
"Whoa-oh-oh!" jerit kedua cowok itu.
Dasar bukit bergerak cepat menyongsong kami. Kami melesat
turun. Sampai dasar, lalu naik, naik, naik, dengan kecepatan 160
kilometer per jam, dan saat mobil meluncur dengan kecepatan penuh itu,
kurentangkan sayapku. Mobil terlepas dan aku melayang di
angkasa lagi.
ditembakkan dari meriam.
Kukuncupkan sayapku, aku berbelok, dan
meluncur melewati celah di antara kayu-kayu itu dengan jarak tak lebih dari lima
senti di kanan-kiriku.
tetapi aku ingin Jake sependapat denganku. Itu
penting bagiku.
Kami terbang bersisian, kembali bergabung dengan yang lain.
aku. Yang lain sebaiknya menerima itu.>
Jake tertawa kecil.
Aku terpaksa ikut tertawa.
Kami terbang ke tangki lumba-lumba. Torpedo-torpedo licin
abu-abu berenang teratur berputar-putar di air yang biru.
Chapter 7 RUPANYA kami tidak memikirkannya masak-masak. Sebagai
manusia, untuk mendapatkan morf lumba-lumba kami tinggal
membelainya jika ikan itu muncul ke permukaan dinding tangki.
Tetapi Tobias dalam wujud normalnya tidak mempunyai
tangan. Yang ia punya cakar. Dan jika kau pernah melihat cakar elang, kau akan
tahu cakar itu selain berfungsi sebagai kaki sekaligus juga senjata. Elang
berburu dengan cakarnya, bukan dengan paruhnya.
Jake dan aku melihat Tobias terbang berputar tinggi di atas. Ia
ragu-ragu.
di roller coaster tadi masih bersisa.
Ia berputar, mengibas udara dari sayapnya dan turun. Meluncur
bagai peluru. Oh ya, harus kusampaikan bahwa hari ini hari Sabtu. Masih
pagi, jadi tempat ini belum penuh. Tetapi sudah ada cukup banyak orang. Kolam
lumba-lumba dikelilingi pengunjung, baik yang duduk maupun yang berdiri merapat
di tepinya. Tapi tak seorang pun memandang ke angkasa. Kecuali satu
anak kecil. Anak kecil yang menunjuk ke atas dan dengan suara
nyaring yang menenggelamkan semua bunyi lain berkata, "Mama!
Burung itu mau menyerang lumba-lumba!"
"Tseeeeeer!" Tobias menyerukan jeritan elang ekor merah terbaiknya.
amat terlambat. Salah satu lumba-lumba meloncat dari dalam air. Dan Tobias
Animorphs - 15 Serangan Hiu Martil di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
meluncur ke arahnya. "Ooooh!" penonton berteriak.
Dan Tobias menyambar. Seperti jika ia menyambar tikus.
Hanya saja kali ini tikus superbesar.
Cakar terjulur ke depan, sayap melebar karena berfungsi
sebagai rem udara, Tobias menyambar. Dan kemudian ia melekat.
Cakarnya terbenam dalam daging lumba-lumba yang licin dan
elastis, sementara si lumba-lumba sendiri masih meliuk indah di
udara. Sungguh balet udara yang ajaib: lumba-lumba besar dan elang kecil,
bertemu tiga meter di atas permukaan air. Pemandangan yang sebetulnya indah
sekali, seandainya ini bukan tindakan sinting.
"Aaaahhhh!" penonton bergumam.
Si lumba-lumba turun kembali ke air.
berhenti sebab si lumba-lumba sudah kembali
terjun ke dalam air, dan ia terbawa. JEBYUUUR!
Cipratan besar. Dan sekarang penonton berdiri saking
tegangnya. "Whoa!" "Apakah ini bagian dari pertunjukan?" ada yang bertanya.
"No way. Lihat saja para pelatih lumba-lumbanya. Mereka
panik!" Ini benar. Para pelatih kalang kabut. Mereka berlarian di sekitar kolam, mencoba
menarik perhatian si lumba-lumba, berharap lumba-lumba itu mau muncul ke
permukaan supaya mereka bisa menangkap
si burung sinting. Tetapi lumba-lumba suka bermain-main. Dan ini rupanya
permainan baru yang mengasyikkan, karena si lumba-lumba tetap saja nyengir
senang sambil meluncur di air.
Naik. Turun. Naik. Turun. Terbang tinggi, terjun dalam-dalam.
Dan sepanjang waktu Tobias terus menjerit-jerit.
Kami semua meneriakkan nasihat-nasihat berguna.
Kukibaskan udara dari sayapku, kukuncupkan ekorku, dan aku
melesat turun menuju sasaran.
Tiba-tiba si lumba-lumba meloncat dari dalam air. Menuju
lingkaran yang digantungkan di atas air. Jelas si lumba-lumba akan melewati
lingkaran itu dengan mulus. Dan jelas juga bahwa elang di punggungnya tidak akan
lolos.
Aku meluncur bagai roket, berupa kelebatan bayangan putih.
Tobias-lah targetku. Tobias yang sedang melambung ke atas di
punggung lumba-lumba. Kubuat penyesuaian terakhir dengan ekorku
dan... PLOKKK! Kutabrak Tobias keras-keras, sampai ia terlempar
dari punggung lumba-lumba. Si lumba-lumba meluncur mulus
melewati lingkaran.
Tobias mengepakkan sayapnya yang basah dan sekuat tenaga
berusaha terbang.
Chapter 8 KAMI terbang dari The Gardens menuju laut. Semua gembira,
kecuali Tobias.
Tobias.
menenggelamkanku. Aku akan sinis terus sampai kuputuskan sudah
cukup.> Kurasa ini konyol, tetapi, sekali lagi, aku senang Tobias marahmarah. Ini membuatku melupakan masalahku. Jika aku bisa terus
sibuk meledek Tobias, aku tidak usah memikirkan kenyataan bahwa
aku sedang terbang semakin dekat ke tempat ibuku berada.
>
berkilauan. Hari itu cerah dan airnya tenang. Tidak ada termal besar-besar yang
disukai Tobias, tetapi udara juga tidak sama sekali mati.
Segera saja Pulau Royan tampak di kejauhan. Siluet gelap di
kaki langit. Perlu kerja keras terbang selama tiga puluh menit untuk mencapai
pulau itu. Pantainya tidak luas. Kurasa itulah sebabnya pulau ini tidak
pernah menjadi tempat wisata. Yang ada hanyalah pohon-pohon pinus yang
bermonggol-monggol terterpa angin laut, dan rerumputan tinggi dengan bunga-bunga
liar di sana-sini. Di salah satu ujung pulau ada rumah besar dikelilingi
bangunan-bangunan kecil. Ada dermaga yang menjorok ke ceruk kecil yang
terlindung. Ada kapal pesiar lebar
berlabuh di sana. Di belakangnya ada perahu berbadan langsing.
Marquez. Entah siapa mereka itu.>
Kami mendarat di deretan pepohonan yang memagari pantai.
Kayu apung terserak di pantai itu. Aku juga melihat beberapa kaleng bir dan soda
yang sudah lapuk dan tertutup rumput. Kelihatannya
sudah lama tak ada orang kemari.
Kami semua kembali ke wujud asal. Semua, kecuali Tobias,
yang terbang berjaga.
disembunyikan.> Ia terbang kembali untuk bergabung bersama kami. Ia mendarat
di sebatang kayu apung yang sudah membusuk dan mulai menyisiri
bulunya. "Mata elangmu sangat berguna," kataku.
marah.
"Penjaga tidak berarti apa-apa," kata Rachel. "Siapa pun pemilik rumah itu, ia
orang superkaya. Buktinya mereka sanggup
menyewa penjaga." "Menurut Erek, kita harus menyelidiki di bawah air," kata Jake.
"Lebih baik kita segera mulai. Kita lihat apa yang ada di bawah sana.
Kalau memang ada." "Oke. Ayo kita morf. Semua jadi lumba-lumba. Kecuali Ax,
tentu saja. Ax akan jadi hiu." Jake memandang Ax. Kemudian kuku kakinya. "Kita
perlu menghilangkan jejak kakimu yang ada di pasir.
Kalau ada Yeerk, ia pasti bisa rnengenalinya sebagai jejak Andalite."
"Jake saja," kata Jake sabar.
Kami berjalan turun ke laut sampai airnya mencapai pinggang
kami. Dingin. Bisa kurasakan pasir bergerak melalui sela-sela jari kakiku,
terbawa arus. Tobias turun dan mendarat di bahu Rachel.
"Yuk, kita lakukan," kata Rachel tak sabar.
"Siap jadi ikan," komentarku.
"Ayo, kita laksanakan," ajak Jake.
"Yang jelas lumba-lumba bukan ikan," kata Cassie. "Mamalia."
Kukedipkan mata pada Cassie. "Tegang. Sangat tegang. Terlalu banyak tikus
berkafein tinggi." Aku sudah pernah bermetamorfosis menjadi lumba-lumba, jadi
aku tahu apa yang akan terjadi. Meskipun demikian, proses
metamorfosis itu sendiri tetaplah luar biasa.
Kupusatkan pikiranku pada lumba-lumba. Dan segera saja
kedua kakiku saling menempel. Sepertinya ada yang menempelkan
kedua paha dan betisku dengan lem super. Tanganku menggapai-gapai serabutan,
berusaha mempertahankan keseimbanganku. Tetapi
kemudian kakiku lenyap, dan selesailah sudah.
BYUR! Aku terjun, kepala duluan, ke dalam air. Kubuka
mataku di bawah air dan kupandang tubuhku.
Seperti sudah kukatakan, setiap morf berbeda. Dan kali ini
perubahanku dari kaki ke atas. Bagian bawah tubuhku sudah hampir sempurna
menjadi lumba-lumba. "Ya ampun, aku jadi putri duyung!" kataku. Meskipun aku mencoba bicara di dalam
air, yang didengar teman-temanku hanyalah,
"Blup blip bloym bl blomblay!"
Yang tadinya kakiku kini sudah jadi gulungan karet abu-abu.
Sementara aku mengawasi, gulungan itu terbuka menjadi ekor. Karet abu-abu
merambat ke atas menyelubungi tubuhku seperti air pasang.
Tetapi prosesnya lama, sehingga aku sempat kehabisan udara.
Kugerakkan lengan manusiaku yang canggung, sampai
kepalaku muncul di atas permukaan air. Begitu aku muncul, kulihat pemandangan
ajaib. Seekor elang ekor merah lengkap dengan bulu-bulunya meleleh menjadi kulit
abu-abu. Sementara paruh Tobias tiba-tiba mencuat ke depan menjadi moncong
lumba-lumba, aku meluncur
kembali ke bawah air. Lenganku mengecil. Jari-jari tanganku saling melekat,
kemudian diselubungi daging elastis abu-abu membentuk sirip.
Kurasakan gelitikan kecil di tengkukku dan kusadari, saat aku
melayang menghadap ke bawah di dalam laut, aku bisa bernapas lewat lubang tiupku
yang baru terbentuk. Tiba-tiba mataku berubah dan air asin yang pekat dan pedas di
mata menjadi lebih jernih, hampir seperti air kolam renang. Aku bisa melihat
yang lain. Mereka semua sudah hampir menjadi lumba-lumba sempurna. Hanya di
sana-sini masih ketinggalan sisa manusianya.
Jari-jari merah jambu masih melekat di sirip Jake. Mulut Cassie masih mulut
manusia. Saat aku memandangnya, mulut itu meletup dan
merekah menjadi senyum lebar lumba-lumba. Tentu saja Tobias tidak meninggalkan
sisa-sisa manusia. Jejak terakhirnya adalah ekor
merahnya. Di ujung ekor lumba-lumbanya masih tampak bulu-bulu
kemerahan. Tetapi dalam hitungan detik, sisa-sisa terakhir itu pun lenyap
dan kami sudah berubah menjadi rombongan lumba-lumba yang
normal. Kecuali Ax, tentunya.
Kami dulu menyelamatkan Ax dari kapal selam pesawat Dome
yang karam. Ia sudah berada di laut selama beberapa waktu, jadi ia sudah
mendapatkan morf yang berguna untuknya. Morf ikan hiu.
Kurasakan naluri lumba-lumbaku bergelegak di dalam
kepalaku. Naluri lumba-lumba adalah naluri binatang paling asyik yang pernah
kualami. Mungkin mereka jenis binatang yang suka
pesta. Bagi mereka hidup ini permainan besar. Mereka suka makan
ikan, dan mereka suka bermain-main.
Tetapi, ya ampun, mereka tidak menyukai ikan hiu.
Dan aku juga tidak. Soalnya, pertama kali aku bermetamorfosis
menjadi lumba-lumba, seekor hiu memotongku nyaris jadi dua. Dan
pengalaman seperti itu terus melekat lho.
Itu Ax, kataku pada diri sendiri. Bukan hiu macan. Itu cuma si
Ax. Tetapi ia memandangku dengan mata hiu yang mati dan
kosong, dan aku tak kuasa mencegah ketakutan yang merayapiku,
walaupun sebagai lumba-lumba aku ingin bermain-main.
Chapter 9
Jake mengusulkan.
Pulau ini kelihatannya damai sekali.>
aku tak bisa lain kecuali mengejarnya. Segera saja kami meluncur dengan
kecepatan maksimal lumba-lumba, melejit keluar dari air,
menyelam ke dasar samudra, balik lagi melesat ke atas. Seperti anak lima tahun
yang bermain dengan riang gembira.
Benar-benar pesta air. Air terasa hangat sekarang. Hangat dan
terasa licin ketika melewati kulitku yang halus. Aku menyelam dalam-dalam,
menahan napasku selama beberapa menit. Aku meluncur cuma
beberapa senti di atas dasar berpasir, kemudian berguling dan
memandang matahari, bola kekuningan di kejauhan yang melompatlompat seirama dengan alunan air.
Kutembakkan sinyal lokasi-gema dari kepalaku dan aku ganti
mendapatkan "gambar" menakjubkan yang terbentuk dari gema yang terpantul.
Sinyalku membawa kembali ikan, pantai, dan karang-karang yang bertonjolan di
dasar laut. Sinyalku juga membawa kembali Ax, dan gambar tubuh hiunya mengganggu
kebahagiaan sempurna pikiran
lumba-lumbaku. Cuek saja, kataku pada diri sendiri. Dia cuma Ax, bukan hiu
betulan. Lupakan hiu. Singkirkan hiu dari dalam ingatanmu.
aturan dalam permainan idiot kami.
Di dalam kepalaku, kudengar Cassie tertawa.
Ia meluncur dan kami semua mengikuti jejaknya. Ax ikut di
belakang kami, tetapi geraknya lebih lambat. Mungkin otak hiunya secara otomatis
tidak menyukai lumba-lumba, sama seperti lumba-lumba tidak menyukai hiu. Aku tak
tahu. Aku tak peduli. Aku sedang berlomba!
Animorphs - 15 Serangan Hiu Martil di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Menyelam dan berenang, berenang terus, kemudian naik,
memecah permukaan untuk menyemburkan udara lama dan
menghirup udara baru, kemudian menyelam lagi untuk berenang dan
berenang, dan mengentakkan ekorku yang kuat untuk mendapatkan
kecepatan sepenuh-penuhnya!
Kami meluncur gesit membelah air, masing-masing berusaha
menjadi yang tercepat mengelilingi pulau.
Beberapa saat aku tidak melakukan pelokasian-gema, tetapi
ketika membelok, kutembakkan sinyalku. Gambaran yang kuterima
kembali membuatku langsung terhenti kaget.
Kudengar semua rekanku menembakkan sinyal-sinyal mereka.
yang tadi kami rasakan memiliki permukaan yang keras dan ujungujung tajam. Dan besar sekali.
Sekarang otak manusia kami kembali menguasai. Paling tidak
otakku. Karena aku menebak inilah yang diceritakan Erek. Dan jika bagian
ceritanya yang ini benar, maka sisanya mungkin benar juga.
Mungkin ibuku ada di bawah sana, di dalam benda yang
berpermukaan keras dan berujung-ujung tajam.
Kami berada di kedalaman kira-kira 60 meter, saat kami tiba di
lokasi yang kami cari. Tetapi tak ada apa-apa di sana. Kecuali
ganggang laut yang melambai-lambai, karang-karang, dan
gerombolan-gerombolan ikan keperakan.
Kutembakkan sinyal lokasi-gema lagi. Menurut pelokasiangemaku, ada sejenis bangunan bawah air persis di depanku.
pemandangan normal dasar laut. Dengan demikian jika ada penyelam yang kebetulan
datang, ia tidak akan melihatnya. Bangunan itu juga tidak akan kelihatan oleh
pesawat-pesawat yang melintas di hari
cerah.>
tempat yang menurut penglihatan kami
cuma dasar laut biasa. Kami berenang sejauh kira-kira lima belas meter, dan
tiba-tiba segalanya berubah. Seakan kau melongokkan
kepalamu lewat layar film dan tiba-tiba melihat panggung di
belakangnya. Di depanku, kurang dari seperempat mil dari Pulau Royan dan
enam puluh meter di bawah permukaan air, ada bangunan bernuansa
merah jambu yang dibangun menempel pada dinding landai dasar laut.
Ada tiga lubang besar, masing-masing cukup besar untuk
dilewati truk sampah. Dua di antaranya tertutup, pintunya pintu baja.
Yang ketiga terbuka, memperlihatkan terowongan gelap di baliknya.
Di antara ketiga lubang besar ini ada dua tingkap bundar
berlapis kaca atau plastik cembung. Lewat salah satu tutup transparan ini aku
bisa melihat ke dalam. Ada orang-orang yang bekerja di depan komputer.
Kelihatannya wajar-wajar saja. Seperti kantor penuh
insinyur atau teknisi. Tampak biasa saja.
Hanya saja bangunannya di dalam air.
Dan tentu saja di dalam kantor biasa tidak ada satpam HorkBajir-nya. Aku bisa melihat dua alien raksasa itu. Tingginya lebih dari dua meter. Matamata pisau mencuat dari pergelangan tangan, siku, dan kaki mereka. Kaki yang
seperti kaki tyrannosaurus. Kepala-ular
mereka dimahkotai dua atau tiga tanduk-penggaruk tajam menghadap ke depan. Ekor
berujung paku besar. Masing-masing punya Yeerk di kepalanya. Aku sudah pernah
bertemu Hork-Bajir yang merdeka. Mereka manis dan lembut hati,
walaupun tampangnya maut. Tetapi yang kulihat kali ini adalah
Pengendali-Hork-Bajir. Dan manusianya adalah Pengendali-Manusia.
Dari jendela kedua aku cuma melihat satu ruangan. Di
dalamnya ada meja dan dua kursi. Tak ada apa-apa lagi.
meniupkan udara dan mengisi kembali paru-paruku. Yang lain
mengikutiku. Semua, kecuali Ax. Ax punya insang yang
memungkinkannya bernapas dalam air.
Kami berkerumun di permukaan air sejenak. Aku ingin melihatlihat dunia normal, kurasa. Merasakan udara.
maksudnya. Ada yang masuk-keluar tempat itu.>
Tapi firasatku mengatakan aku harus minta lebih banyak
keterangan.
Terbang Harum Pedang Hujan 3 Pendekar Naga Putih 89 Orang Orang Terbuang Hantu Santet Laknat 2