Ceritasilat Novel Online

Serangan Hiu Martil 2

Animorphs - 15 Serangan Hiu Martil Bagian 2


siripku.> Perlu beberapa detik bagiku untuk memproses gambaran itu.
Ikan besar dengan sirip belakang dan kepala yang... Jantung lumba-lumbaku
berhenti berdetak. aku menjerit.
Chapter 10 KAMI menyelam dan melihatnya: hiu martil.
celetuk Tobias.
macan,> kata Rachel.
Ada saat-saat aku benar-benar mengagumi keberanian dan
kenekatan Rachel. Tapi saat-saat lain aku ingin menamparnya. Kami pernah melawan
hiu sebelumnya. Kami memang menang, tetapi
menang tipis. Sangat, sangat tipis. Dan kali ini hiunya lebih banyak.
menyerang kita,> kata Jake, setenang ia bisa, sementara sepuluh hiu meluncur
menuju kami. kata Cassie.


kataku.
kata Tobias suram.


Sepuluh hiu melaju menuju kami. Mereka beriringan seperti
pasukan terlatih. Tiba-tiba terlintas di benakku sengatan kesakitan ketika aku
dulu digigit hiu. Mereka menggigit tubuh lumba-lumbaku sampai nyaris putus jadi
dua. Sepertiga bagian bawah tubuhnya
tinggal tergantung pada sedikit sayatan daging dan usus.
Aku sudah sering mengalami ketakutan selama menjadi
Animorphs. Tetapi yang ini sungguh mengerikan. Cuma sedikit yang menandingi rasa
ngeri saat mengawasi hiu mendekatimu, sementara
kau tahu ia bermaksud memangsa dirimu.
kata Jake. sini.> tanya Rachel gusar.
kataku.
Cassie mengingatkan.
kataku. Kuentakkan ekorku dan aku
berputar. Dan saat itulah aku nyaris pingsan. Nyaris mati sebelum sempat digigit
satu kali pun. celetuk Cassie.
Empat hiu martil lagi meluncur menuju kami dari arah
belakang. Empat belas hiu seluruhnya. Lebih dari dua kali lipat jumlah kami.
Jake sudah memberi perintah mundur. Tetapi bukan itu yang
kulakukan. Yang kulakukan berikutnya itu tindakan yang dipicu oleh ketakutan
yang amat sangat. Aku kabur. Kukerahkan seluruh tenaga ekorku dan aku melesat
menghindari dua rombongan hiu.
teriak Jake.
Tetapi aku sudah bergerak. Dan aku sama sekali tidak peduli.
Aku takut sekali. Seakan kurasakan gigi-gigi tajam hiu itu merobek dagingku.
Seakan itu sedang terjadi.
Aku berenang sekuat tenaga. Yang lain mengikut rapat di
belakangku, tetapi jelas aku yang memimpin.
ke air dangkal,> ujar Cassie.
Kedua kelompok hiu itu melihat kami berusaha kabur dan
mereka berganti arah untuk memotong jalan kami. Mereka cepat.
Tidak secepat kami, tapi cepat.
Kedua rombongan hiu itu bergabung. Mereka laksana palu dan
landasannya, dan kami terjepit di antaranya. Kami berenang lebih cepat. Mereka
berenang lebih cepat. Terlambat! Dua dari hiu martil itu memotongku.
Aku memandang berkeliling. Hiu di mana-mana. Kami
dikepung. Empat belas pasang rahang. Ratusan gigi segi tiga runcing, masingmasing setajam pisau. kata Jake. berdarah. Sisanya akan menyerang yang terluka.>
Taktik yang bagus. Tapi aku punya firasat tertentu tentang hiuhiu ini. Ada yang tidak beres dengan mereka.
Jake menerjang monster yang paling dekat. Kami semua
mengikuti jejaknya. Lima lumba-lumba dan satu hiu macan, semua
membelah air asin, menyerang seekor hiu yang malang.
Semua terjadi terlalu cepat untuk memancing reaksi hiu lainnya.
Dan kurasa hiu yang jadi sasaran kami itu sombong. Ia terlalu lamban untuk
kabur. Jake menabrak hiu itu dengan moncongnya. Berikutnya giliranku, kutabrak
hiu itu dengan seluruh kekuatanku.
BLUUKKK! Tubrukan itu membuatku terpana, kehilangan arah. Selama
beberapa detik mataku berkunang-kunang. Aku sadar yang lain
beruntun menabrak hiu itu. Darah mulai mengucur dari insang si hiu.
Membuat air berwarna merah gelap.

teriak Jake. Tetapi ada yang tidak beres. Hiu-hiu yang lain tidak menyerang
hiu yang terluka. Darah melambai seperti selendang sutra di air, dan hiu-hiu itu
tidak memedulikannya. Sebaliknya, mereka malah terus mengejar kami. Seakan mereka
punya sinyal khusus. Mereka bergerak serentak. Terencana.
Aku tahu aku akan mati. Dan parahnya, aku tahu persis
bagaimana rasanya. Chapter 11 HIU yang terluka terus mengucurkan darah ke air. Hiu-hiu
lainnya tetap tidak mengacuhkannya.
Mereka siap menyerang kami.
kata Jake.
Kami melakukan
sarannya. Kami merapat dan begitu Jake
memberi sinyal, kami semua melesat ke depan. Kami seperti satu
kepalan lumba-lumba besar.
teriak Rachel.
Tetapi hiu-hiu itu sudah bereaksi. Mereka telah menebak
rencana kami. Mereka bergegas untuk menghalangi kami. Aku
menoleh dan melihat mereka telah meninggalkan satu hiu untuk
berjaga di belakang, siapa tahu kami akan berbalik.
Tidak mungkin. Hiu-hiu ini beraksi bersama: Seperti
segerombolan serigala. Dan tindakan mereka cerdik sekali.
kata Jake.
Lebih banyak hiu berhasil mendahului kami. Kami siap
menyerang mereka. Mereka siap menyerang kami.
Kulihat jelas gigi-gigi mereka ketika mereka membuka
moncong, siap menggigit daging lumba-lumba.
Kemudian sesuatu melintas di benakku. Kilatan inspirasi yang
muncul dari ketakutan luar biasa.
teriakku. kataku.
Hanya beberapa senti dari deretan gigi tajam itu, kami berbalik
dan meluncur ke atas. Aku melesat ke permukaan air.
WUUUSSS! Kami keluar dari air.
BYUUURRR! Kami menyelam lagi. Tetapi kami sudah berada
di sisi lain pasukan hiu tadi. Mereka berbalik untuk mengejar kami, tetapi kami
sudah berhasil membuat jarak lebih dari satu meter.
Kami berenang secepat mungkin. Hiu-hiu itu mengejar kami.
Dan celakanya, kami berenang menjauh dari pantai, menuju laut lepas yang makin
lama makin dalam. tanya Tobias.
kataku.
Kemudian... Nguu-IIING-uuu-IIING-uuu-IIING-uuu-IIING!
Bunyi sirene, cukup untuk bisa didengar lumba-lumba yang
pendengarannya tajam. Kalau sebagai manusia, kurasa aku tidak akan mendengarnya
sama sekali. Serentak saja, tanpa keraguan,
gerombolan hiu itu berbalik dan menjauh.
tanya Rachel.
Ax bertanya, setelah berhasil
mengejar kami. Cassie mengutarakan perasaanku saat itu. Ayo, kita cepat-cepat pergi dari sini sebelum mereka berubah pikiran lagi.>
timpal Tobias.
Tetapi seperti idiot aku berkata, dalam. Kita selidiki apa yang membuat mereka mundur.> Kurasa aku mulai menyadari
betapa tadi aku kabur lebih dulu dari yang lain. Duh, malunya.
kata Rachel.
Tentu saja persetujuan Rachel itu meyakinkan aku bahwa
usulku tadi jelas salah. Tetapi sudah terlambat. Kami semua
menghirup udara banyak-banyak, lalu menyelam.
Kurang dari enam meter di bawah kami ada kapal selam. Tetapi
bukan kapal selam buatan manusia. Tidak terlalu besar sebetulnya, walaupun
kelihatannya besar ketika kapal itu berada tepat di bawah kami. Bentuknya
seperti ikan pari. Ada sayap air melengkung ke
bawah di kiri-kanannya. Dan di bagian belakang kelihatannya tempat tiga buah
mesin, masing-masing berbentuk silinder gemuk sepanjang enam meter, seperti
cerutu lucu. Tapi yang paling aneh adalah, kira-kira tiga perempat kapal
selam ini transparan. Kecuali mesin, peralatan, dan perabot di
dalamnya, kapal selam ini terbuat dari kaca.
Kami bisa melihat ke dalamnya. Aku melihat tiga geladak,
semuanya transparan. Jadi para awaknya, campuran antara manusia, Hork-Bajir,
Taxxon, dan Gedd, seolah sedang berjalan dan duduk
tenang-tenang di dalam air. Padahal sesungguhnya mereka juga
bergerak dengan kecepatan dua puluh mil per jam.
Di bagian depan kapal selam pastilah anjungan komandonya.
Ada Hork-Bajir dan Taxxon sedang membaca terminal komputer
merah-kuning. Dan di pusat ruangan itu ada kursi. Mengingatkanku akan kursi
Kapten Kirk di film Star Trek.
Di dekat kursi itu berdiri sesosok makhluk ajaib. Kulitnya
berbenjol-benjol kekuningan dan kelihatannya licin berlendir, seperti disaput
Vaseline. Makhluk itu duduk seperti katak pada kaki
belakangnya, telapak kakinya berselaput. Tetapi kalau katak kaki depannya kecil,
makhluk ini punya empat tentakel yang menyebar
dengan jarak yang sama di sekeliling tubuhnya.
Kepalanya yang besar cuma menempel di bahunya, tanpa leher.
Wajahnya melengkung ke depan, dengan mulut lebar yang
kelihatannya nyengir terus seperti orang idiot. Matanya dua, dua-duanya besar
dan hijau cemerlang. Saat kapal selam itu lewat di bawah kami, makhluk itu
kelihatannya bergetar, seakan ia mengalami sedikit tremor. Kulihat ia berbalik
menghadap kami yang menjauh di belakang kapal selam. Ia menatap kami dengan mata
hijaunya yang menyala. Orang yang duduk di kursi itu pastilah mengatakan sesuatu.
Karena makhluk seperti katak ini kelihatannya bingung, kemudian
mengangkat bahu dengan gerakan yang mirip sekali manusia.
Orang yang duduk di kursi bangkit. Ia menggeliat. Ia menoleh
dan mendongak. Memandang kami. Memandangku.
Sekuat tenaga aku menahan diri untuk tidak menyapa, Mom.> kata Rachel parau.
Kapal selam lewat tanpa suara. Hiu-hiu mengikuti di
belakangnya. Lalu kapal selam, penumpangnya, dan hiu-hiu itu,
semua menghilang ke dalam hologram dasar laut yang normal dan
indah. Chapter 12 ADA PR yang harus kuselesaikan waktu aku tiba di rumah.
Banyak banget malah. Di antaranya aku harus membuat ringkasan
buku, dan harus dikumpulkan hari Senin. Lima halaman. Dan guru
Inggris-ku tidak suka kalau lima halaman itu isinya cuma omong
kosong dan ngibul. Kusapa ayahku. Ia bertanya aku ingin makan malam apa.
Kujawab, "Apa saja deh, asal bukan ikan."
"Piza?" "Asal jangan pakai ikan anchovy."
Aku naik ke kamarku dan menemukan buku yang harus kubaca,
di bawah kaus kotor yang kulempar ke atas meja. Kulihat sampulnya.
Lord of the Rings. Tebal banget, terdiri atas tiga buku, dan masing-masing buku
saja sudah tebal. Aku cuma harus bikin ringkasan buku pertama, tapiltu pun tidak
mungkin. "Gila betul. Ngapain aku pilih buku setebal ini?" keluhku.
Tentu saja aku tahu jawabnya. Buku itu harusnya sudah mulai
kubaca sebulan yang lalu. Aku melemparkan diri ke atas tempat tidur dan memasang
headphone di telingaku. Kemudian kutarik bantal
menutupi kepalaku. Kuraih remote control-ku dan kutekan tombol
PLAY. Reggae. Reggae klasik lama. Bob Marley. Kubeli CDnya dulu
waktu aku sedang punya masalah. Tak perlu tahu deh apa masalahnya.
Oke, pokoknya ada hubungannya dengan cewek di sekolahku.
"Hei, Bob Marley," kataku. "Bantu aku, dong."
Bob tidak membantu. Bob terus menyanyikan No Woman, No
Cry. Dan judul itu dengan mudah dicerna otakku sebagai No Mother, No Cry.
"Bagus," gumamku. "Terus saja mengasihani diri sendiri."
Perasaanku tidak keruan. Tak pernah ada yang menyebutku
pengecut. Mungkin tak seorang pun memperhatikan bagaimana aku
tadi kabur. Tapi faktanya aku memang kabur.
Aku bisa saja cari alasan untuk membenarkan kenapa aku
begitu takut. Aku satu-satunya yang pernah dikunyah hiu sampai
nyaris terpotong dua. Dan itu alasan yang bagus untuk merasa takut.
Tapi tidak ada yang bisa mengubah fakta bahwa aku telah
kabur. Dan perasaan itu berbaur ruwet di kepalaku dengan segudang
emosi yang timbul karena bertemu ibuku.
Hatiku hancur ketika ibuku meninggal. Atau paling tidak
kelihatannya meninggal. Tetapi betapa pun menyedihkannya
kematian, kan ada akhir yang pasti. Kau tahu apa yang terjadi. Masuk akal.
Memang sedih, tapi tetap masuk akal.
Kau bertemu dengan orang-orang lain yang telah kehilangan
ayah atau ibu. Kau menyetel TV dan melihat kisah-kisah tentang
orang-orang yang telah kehilangan orangtua atau kakak atau adik. Kau membacanya
di buku-buku. Di surat-surat kabar. Guru BP di
sekolahmu memberikan nasihat-nasihat yang diandaikan bisa
membantumu. Kau membencinya, tetapi paling tidak kau menjadi anggota
kelompok orang-orang sepertimu.
Tapi kelompok apa yang ada untuk orang-orang yang ibunya
tidak meninggal melainkan budak bagi alien yang ada di kepalanya"
Masuk kelompok mana aku manakala aku menyadari bahwa orang
yang tampilannya seperti ibuku itu sebetulnya orang lain yang akan tega
membunuhku tanpa keraguan"
Kuduga begitulah perasaan Jake setiap kali ia duduk untuk


Animorphs - 15 Serangan Hiu Martil di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

makan malam bersama Tom. Kuduga ia mengalami perasaan yang
sama denganku. Hanya saja Jake dan aku tidak membicarakan hal-hal seperti itu.
Jake sahabatku. Tetapi ia sahabatku karena aku adalah aku, kau tahu, kan" Karena
aku lucu dan cerdik dan aku akan
mendukungnya kapan saja, di mana saja.
Maksudku, apa yang harus kulakukan" Aku ini Marco, bukan
jenis orang perasa yang mampu berbagi rasa dengan kelompok orang-orang sejenis.
Aku tidak berbagi rasa. Aku membuat orang lain
tertawa. Aku punya foto ibuku di sebelah tempat tidur. Setiap malam
sebelum tidur aku memandangnya. Aku tak pernah bisa memutuskan
apa yang ingin kulihat setiap kali aku memandangnya. Aku tak tahu apakah aku
melihat ibuku yang telah tiada, atau ibuku yang entah bagaimana ingin
kuselamatkan. Aku tak tahu lagi.
Aku membangun fantasi-fantasi kecil dalam kepalaku.
Tentang bagaimana aku akan menculiknya dari para Yeerk. Dan
akan kusekap ia selama tiga hari, sampai Yeerk dalam kepalanya mati karena
kekurangan sinar Kandrona. Dan ia akan menjadi ibuku lagi.
"Lalu setelah itu apa, Marco?" tanyaku pada diri sendiri.
Bangsa Yeerk kan tidak akan diam saja. Kau tak bisa membiarkan
Visser One mati kelaparan lalu mengambil tubuh induk semangnya
dan hidup bahagia selamanya. Kami akan diburu. Kami akan dikejar terus selama
masih ada Yeerk hidup di atas planet Bumi.
Dan jika Yeerk berhasil menangkap ibuku, ayahku, dan aku,
mereka akan tahu aku anggota Animorphs. Dan segala rahasia kami
akan terbongkar, dan tamatlah riwayat kawan-kawanku. Jake, Rachel, Cassie,
Tobias, Ax.... "Aku terlalu kecil untuk menghadapi masalah seperti ini," aku menjerit ke dalam
bantalku. Dan kemudian kusingkirkan bantal dari wajahku.
Ayahku berdiri di depan pintu, dibingkai ambang pintu.
Mulutnya mengucapkan kata-kata "Aku mengetuk tadi." Dan ia juga berpantomim
mengetuk pintu. Kusambar headphone-ku. "Oh, hai. Ehm, hai."
"Sori. Aku cuma mau tanya kalau-kalau kau mau nonton sepak
bola denganku." "Oh, yeah. Sepak bola," kataku. "Ehm, kurasa tidak. Aku lagi banyak PR dan
tugas." "Oh. Oke." Ia pergi. Lalu ia menoleh dan berkata, "Kau tahu, Marco, kau bisa
ngomong denganku kapan saja."
"Oh. Tentu, Dad."
"Maksudku, kalau ada sesuatu yang membebanimu."
Tawaran yang baik. Ayahku memang orang baik. Kalau besar
nanti aku ingin jadi orang baik seperti ayahku. Tapi tahukah kau" Saat itu
kecurigaan gelap mulai menyusupi pikiranku. Kenapa ia tertarik"
Apa yang membuatnya curiga" Apakah ayahku salah satu dari mereka juga?"
"Tak ada yang menggangguku, Dad. Aku cuma... ehm, ikutan
nyanyi. Tadi itu lirik lagu."
"Ah. Oke. Baiklah, kupanggil kau nanti kalau pizanya datang."
Ia pergi, menutup pintu di belakangnya.
"Bagus benar duniamu, Marco," kataku pelan. Aku bisa
mempercayai ayahku dan berakhir mati. Aku bisa mencoba membantu
ibuku dan mungkin berakhir mati. Dan sebagai bonus, semua temanku juga ikut mati
dan membuat seluruh umat manusia celaka.
Kupandang buku yang harus kubaca. "Itu tidak terjadi. Tidak malam ini."
Terbayang olehku ayahku, duduk di ruang keluarga, menonton
sepak bola. Siapa yang bisa menjamin ia itu betul ayahku"
Aku tak bisa begitu saja mempercayainya. Aku tak bisa turun
menemuinya dan membeberkan semua persoalanku padanya.
Tetapi, jelas aku bisa duduk nonton sepak bola bersamanya.
Kalau itu aku bisa. Chapter 13 "MEREKA bukan hiu biasa," kata Cassie. "Mereka
dikendalikan. Dikontrol. Mereka bekerja sama seperti satu pasukan.
Hiu biasanya tidak bekerja sama."
Kami berkumpul di hutan di belakang rumah pertanian Cassie.
"Apakah mereka Pengendali" Maksudku, kita pernah
menemukan kuda yang dijadikan Pengendali," Rachel mengingatkan.
kata Ax. struktur bagian dalam tubuh hiu. Tak ada tempat untuk Yeerk di otak mereka.
Struktur itu tidak akan pernah bisa ditempati Yeerk.>
"Bisa juga ditanamkan," kataku menyumbang saran. "Kalian tahu, kan, elektroda,
atau entah apa." Semua temanku cuma mengangkat bahu. Siapa yang tahu"
Yang kami tahu hanyalah kami nyaris saja dibantai oleh segerombolan hiu yang
luar biasa. kata Tobias.
"Alasan yang lebih paten lagi bagi kita untuk masuk ke sana,"
kataku. Jake mengangkat alis ke arahku. Rachel mengangguk setuju.
Aku tahu apa yang dipikirkan Jake. Ia berpikir, aku punya alasan tersendiri.
Alasan yang cuma ia dan aku yang tahu.
Aku menggeleng tak kentara, mengisyaratkan tidak. Tidak, aku
tidak mau bilang pada yang lain. Belum saatnya. Mungkin malah aku tidak akan
pernah mengatakannya pada mereka.
Ia mengangkat bahu. Tetapi kulihat ia sebetulnya tidak
sependapat denganku. "Aku setuju kita kembali ke sana" kata Jake. "Ini Leeran yang disebut-sebut
Erek. Mana bisa kita biarkan Pengendali-Cenayang
berkeliaran." "Menurutmu makhluk-macam-katak yang ada di kapal selam itu
Leeran?" Cassie bertanya pada Ax.
Kelihatannya ia resah. menghafalkan Ensiklopedi Bentuk-Bentuk Kehidupan Galaktik.>
"Dari mana kaudapatkan ensiklopedi itu?" tanyaku. "Apa di perpustakaan ada?"
bangunan itu"> tanya Tobias.
"Kau tidak akan suka mendengar jawabannya," gumamku.
Yang lain tertawa. "Kita harus memikirkan kemungkinan jadi hiu martil," kata Cassie. "Hiu-hiu
penjaga itu menyerang lumba-lumba dan hiu macan.
Dugaanku mereka akan menyerang apa saja yang bukan hiu martil.
Dan kita tidak punya hiu martil di The Gardens. Tapi di Ocean World ada. Di sana
ada tangki hiu besar. Aku sudah mengecek ke sana dan di sana benar-benar ada hiu
martil besar. Empat koma dua meter
panjangnya." "Ehm, maaf," kataku, "tapi apa ada yang ingat bahwa kita semua harus dalam wujud
asli kita kalau mau mendapatkan morf hiu ini?"
Begitu kata-kata itu keluar dari mulutku, aku langsung
menyesal. Kelihatannya sesaat aku jadi pemberani, tapi saat
berikutnya berubah pengecut. Dan setelah kejadian hari sebelumnya, mana bisa aku
jadi pengecut lagi. Maka aku berkata, "Tapi, hei, siapa takut" Cuma hiu keciiil."
"Kau," kata Rachel tanpa tedeng aling-aling.
Aku merasa seakan ia menendangku. Maksudku, mungkin
sebetulnya ia tidak bermaksud apa-apa dengan ucapannya itu. Tapi ternyata aku
tidak bisa membalasnya. Pipiku serasa terbakar. Aku berpaling dan pura-pura
sibuk memperhatikan serangga yang merayap pada batang pohon.
"Kita harus ke sana malam hari," kata Cassie. "Malam ini, kurasa. Dan tentu
saja, besok kita harus ke sekolah."
"Lupakan sekolah," kataku kasar. "Ada rapat jam terakhir. Kita bisa kabur
duluan, dan tak akan ada yang peduli. Masih banyak waktu untuk terbang ke
pulau." Jake mengangguk. "Oke. Ocean World malam ini. Pulau besok
sepulang sekolah. Kita perlu menyiapkan alasan masuk akal untuk
orangtua kita, untuk jaga-jaga kalau kita pulang malam. Jangan
sampai aku kena hukuman kurung lagi."
Jadi begitulah. Setelah matahari terbenam, aku memberitahu
ayahku bahwa aku akan ke rumah Jake untuk membuat PR. Kubilang
aku mungkin akan pulang telat. Ayahku berpesan untuk
meneleponnya kalau aku ingin dijemput.
Kami terbang ke Ocean World dan mendarat di taman yang
sudah kosong. Kami demorph, semua kembali menjadi manusia,
kecuali Tobias dan Ax. Lucu rasanya, karena sebagai camar aku merasa nyaman berada
di taman kosong yang gelap. Tetapi sebagai manusia, aku merasa
salah tempat. Aku merasa akan mendapat kesulitan.
Ocean World adalah tempat hiburan baru. Pada dasarnya isinya
beberapa tangki besar ikan. Sebesar apartemen. Ada terowongan
Plexiglas - plastik khusus - yang bisa kaulalui dengan berdiri di atas ban yang
berjalan lambat. Terowongan ini benar-benar melewati air.
Ikan-ikan ada di sekitarmu dan bahkan di atasmu.
Tetapi kami tidak berada di sana sebagai turis. Kami tidak bisa
cuma melihat hiu martil. Kami harus menyentuh mereka.
"Sayang sekali aku tidak tahu bagaimana kita harus melakukan ini," bisik Cassie
seraya memimpin kami ke tangki hiu. "Hiu bukan lumba-lumba. Maksudku, hiu-hiu
ini memang diberi makan kenyang,
tetapi mereka tetap saja bukan binatang kesayangan yang bisa dibelai-belai."
"Membelai hiu. Tambahkan itu ke rodeo lumba-lumba, dan kita bisa buka
pertunjukan sendiri," kataku. Tak seorang pun tertawa. Jake menyeringai. Tapi
bukan seringai senang. Aku pribadi merasa isi tubuhku sedang melakukan
metamorfosis sendiri. Seakan perutku berubah menjadi cairan panas membara.
"Aku punya ide," kata Rachel. "Si hiu tidak harus sadar sepenuhnya waktu kita
menyerap DNA-nya, kan" Jadi kita morf jadi lumba-lumba. Kita masuk ke dalam
tanki. kita berenam lawan satu hiu martil." Ia mengangkat bahu, seakan kami bisa
menebak sendiri kelanjutannya.
Cassie langsung shock. "Kita pukuli hiu malang tak bersalah sampai setengah
semaput" Padahal dia tidak menyerang kita?"
Rachel mengangkat tangannya, mencoba menjelaskan. "Dia kan
cuma hiu, Cassie. Hiu. Orang makan ikan hiu."
"Dan sebaliknya," aku menambahkan.
"Paling tidak lebih masuk akal daripada terjun ke dalam kolam yang berisi hiu,"
kata Jake. "Maksudku, dalam wujud manusia bagaimana mungkin kita bisa menangkap
hiu?" Ia memandang Ax.
"Atau dalam wujud Andalite?"
Cassie mau mengatakan sesuatu. Tetapi tak jadi. Ia cuma
mengatupkan rahang rapat-rapat, seperti biasanya kalau ia tidak setuju pada
sesuatu. "Kalau semua hiu mati pun aku tak peduli," kataku. Aku tertawa seakan baru saja
membuat lelucon. Tetapi itu bukan lelucon.
kata Tobias. tidak jahat. Cuma lapar.>
"Jadi kau memihak Cassie?" tanyaku padanya.
hukum predator. Aku tahu. Aku sendiri predator. Menurutku sih, kita lakukan apa
yang harus kita lakukan.>
Tobias menjadi sedikit lebih tegar sejak ia terperangkap dalam
morf elang. "Baik," kata Cassie tegang. "Ayo, kita lakukan."
Kami berjalan menuju tangki ikan. Ada tiga tangki luas
berbentuk oval. Hampir seperti kolam renang. Ketiganya dibangun
sedemikian rupa supaya ada ruang untuk terowongan Plexiglas di
bawahnya. Tak ada bunyi lain kecuali langkah-langkah kaki kami di atas
lantai beton. Dan bunyi kuku Ax. Tak ada yang bisa dilihat kecuali bayang-bayang
gelap, yang tampak semakin gelap karena cahaya
suram di sana-sini. Tak ada perasaan lain kecuali ketakutan.
Kami berada di jalan setapak menuju tangki. Semak-semak
terawat rapi berjajar sepanjang jalan. Tobias terbang mengikuti kami, kemudian
tiba-tiba menukik turun. katanya.
Kami melompat ke balik semak. Aku mendarat dengan sikuku,
lalu berguling ke bawah rimbunan daun-daun kecil dan ranting-ranting kaku.
Ax ikut melompat. Tetapi semak-semak itu hanya setinggi
setengah meter lebih sedikit. Dan Ax tidak bisa tiarap.
Cahaya senter! "Diam di tempat! Jangan bergerak! Astaga! Apa..." Kudengar bunyi senapan
dikokang. Aku mengintip lewat celah-celah semak dan melihat cahaya
bundar senter jatuh di tubuh bagian atas Ax.
"Astaga, makhluk apa kau ini" Hei! Hei, Kapten! Hei, ke sini!"
tanya Ax.
Terdengar langkah-langkah lain. Mendekat cepat. "Kapten!
Lihat ini! Ya ampun, coba lihat!"
Penjaga pertama tetap mengarahkan senternya pada Ax. Tetapi
cahaya senter itu bergetar keras. Tidak aneh. Ax bukanlah makhluk yang
kauharapkan kautemukan di malam gelap di akuarium wisata.
Si kapten mengarahkan senternya juga. Dan kudengar senapan
kedua diangkat dan dikokang.
"Apa itu?" tanya si kapten tenang. "Itu Andalite, Nak. Itu jelas Andalite."
Chapter 14 "APA?" "Bergerak sedikit saja, Andalite, kutembak kau. Senjata
manusia ini mungkin primitif bagimu, tetapi kau akan terkejut betapa efektifnya
peluru timahnya." "Kapten, beritahu aku apa yang terjadi di sini," si penjaga pertama berkata
memelas. Tiba-tiba... DUAK! Si kapten mengayunkan senapannya,
memukul sisi kepala si penjaga. Penjaga itu tergeletak pingsan.
"Cerewet," kata si kapten. "Tetapi salah satu dari orang kami akan masuk ke
otaknya sebelum ia terbangun. Walaupun aku tak
peduli. Aku sudah muak dengan detail membosankan ini! Dengan
berhasil menangkap salah satu bandit Andalite, aku akan jadi ajudan baru Visser
Three." Ax mengejek.
Three. Sudah kusaksikan kepala-kepala mereka
menggelinding di tanah waktu si Visser marah.>
"Apa yang harus kita lakukan?" tanyaku pada Jake dalam bisikan tanpa suara.
Wajahnya cuma lima senti di depanku.
"Ax butuh pengalihan perhatian."
Itu bukan perintah. Ataupun usul bagiku untuk melakukan
sesuatu. Tetapi aku sadar aku lebih pandai ngocol daripada kawanku yang lain.
Maka aku berdiri dengan lutut gemetaran.
"Hai. Betulkah ini jalan menuju ke toko suvenir?" tanyaku ceria.
?"?""L"W"S."?OG?"OT."?M
Pada saat bersamaan ada yang meluncur cepat dari langit.
"Tseeeeer!" Tobias menjerit. Ia menggaruk wajah si kapten dengan cakarnya.
"Aarrgghhh!" si kapten menjerit sambil memegangi wajahnya yang robek.
Aku melompat dan merampas senapannya. Mencoba
merampasnya. DOOOR! Senapan meletus. Rasanya meletus di tanganku. Tanganku jadi
mati rasa. Senapan itu terjatuh.
DOOOR! Ia mengambilnya dan menembak membabi buta dalam
kegelapan. Nyaris saja aku kena peluru nyasar.
Kau tahu, kan, bagaimana bunyi tembakan di TV" Seperti
TIUUNG, TIUUNG" Nah, di alam nyata, senapan tidak mengeluarkan
bunyi lucu begitu. Bunyinya seperti ledakan bom.


Animorphs - 15 Serangan Hiu Martil di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jarak Ax masih terlalu jauh untuk bisa menggunakan ekornya.
Dan si Pengendali sekarang panik. Ia terus menembak gila-gilaan.
DOOOR! DOOOR! DOOOR! "Lari!" teriak Jake.
Maka kami lari. Tetapi bunyi tembakan telah menarik perhatian
penjaga-penjaga lain. Entah Pengendali maupun penjaga biasa, sama saja. Mereka
semua sama-sama punya senapan.
Kami berlari dalam kegelapan, merasa dikhianati bunyi langkah
kaki kami sendiri. "Ke sini!" bisik Cassie.
Ia membawa kami ke sebuah pintu. Disentakkannya, tetapi
ternyata pintu itu terkunci. Kami terperangkap. Tak bisa kembali.
"Ax," kata Jake.
Ax mengibaskan ekornya lebih cepat
dari yang bisa ditangkap mata manusia.
KLANG! Torehan rapi muncul di pintu baja itu, tepat di
mekanisme kuncinya. Cassie mencoba lagi. Pintu terbuka dan kami
berhamburan masuk ke dalam terowongan Plexiglas yang dikelilingi air.
"Sudah lama aku ingin melihat tempat ini," ujarku. "Dan sekaranglah saatnya - pas
lagi sepi." Suasananya seram dan gelap. Tetapi tidak gelap total. Ada
lampu EXIT merah berpendar. Dan cahaya bulan menembus air di
dalam tangki. Tapi adanya cahaya itu membuat keadaan seratus kali lebih
buruk. Tanpa cahaya, kami cuma akan berada dalam terowongan
gelap. Tetapi dengan adanya cahaya, kami bisa tahu persis kami
berada di mana. Kami berada dalam terowongan plastik di bawah berjuta galon
air. Benar-benar berjuta galon. Kira-kira setara dengan seratus kolam renang.
Dan selagi melangkah di terowongan, aku bisa melihat bayangbayang sosok abu-abu pucat mengerikan berseliweran melewati kami, baik di kanankiri maupun di atas. Mata-mata ikan yang mendelik
tiba-tiba muncul dari kegelapan. Mulut-mulut ikan menganga tanpa suara ke arah
kami. Dan sosok-sosok panjang, tajam, seakan
membayangi gerakan kami. kata Ax senang.

"Ax" Ini bukan hologram," kata Rachel.
manusia"> "Yeah."
"Jangan bergerak, Andalite!"
Penjaga baru. Pengendali juga, jelas. Ia berdiri kira-kira dua
puluh meter di depan kami. Dengan kaki terbuka, siap menembakkan senapan yang
sudah diarahkan kepada kami.
Kami berbalik ke arah kami datang tadi. Tetapi si kapten berlari terengah
mengejar kami. "Kita terperangkap!" ujar Cassie.
"Berhasil menangkapnya, Kapten?" si penjaga bertanya cemas.
"Yeah!" "Ada beberapa anak bersamanya!"
"Lupakan anak-anak itu. Sudah berkali-kali ada anak
menyelundup masuk. Mereka tidak ada hubungannya. Si Andalite-lah yang kita
inginkan." melepas kalian semua,> kata Ax.
"Lupakan," tukas Rachel. "Kita atasi ini bersama-sama."
Ucapan yang berani. Tetapi kedua penjaga itu telah mengurung
kami. Dan dua senapan besar diarahkan kepada Ax.
"Jake," aku berbisik. "Gawat nih. Kita perlu sesuatu yang drastis."
"Aku terbuka menerima usul," gumamnya.
"Oke. Kusarankan kau menarik napas dalam-dalam."
"Oh, ya?" "Yeah," aku menyetujui. "Semua menarik napas dalam-dalam.
Ax-man" Seberapa buruknya plastik buatan manusia?"
Ax cuma butuh sedetik untuk mencerna apa yang
kumaksudkan. Secepat kilat ia mengayunkan ekornya. Dalam lengkungan
besar. Mata sabit ekornya terbenam dalam Plexiglas. Dan
menorehnya. Merobek plastik itu sepanjang satu meter. Cuma perlu celah sesempit
itu, dan selanjutnya tekanan air mengambil alih.
Krrrr-AAAKKK! FWUUUUUUSSHH! Air menghambur deras seperti air terjun Niagara.
Chapter 15 WUUUUUUSH! Gelombang menerjangku dan mengangkat tubuhku. Arus air
menyeretku dan melontarkanku sepanjang terowongan Plexiglas. Aku meluncur ke
satu arah, semua temanku ke arah berlawanan.
Di depanku kulihat si kapten. Kutendang ia, dengan sentakan
tujuh puluh lima meter per jam. Ia tenggelam dan air segera
menyelubunginya. "Jake! Rachel!" aku berteriak. Tetapi tak seorang pun
menjawab. Kemudian aku tak bisa berteriak lagi. Air menggelegak di
atasku, memenuhi terowongan. Sekuat tenaga aku menjejak ke
permukaan terowongan dan berusaha menghirup gelembung udara
besar yang kulihat meliuk keperakan. Ternyata aku malah menghirup air asin.
Morf, idiot! aku memerintah diriku sendiri. Aku perlu jadi
lumba-lumba. Bukan! Bukan lumba-lumba. Lumba-lumba perlu ke
permukaan air untuk bernapas. Aku perlu jadi ikan. Dulu sekali kami pemah
bermetamorfosis menjadi trout, sejenis ikan air tawar. Masih bisakah aku
menggunakan metamorfosis trout"
Selama itu aku masih meluncur terseret arus. Dan kemudian
kusadari aku tidak sendirian. Ada ikan-ikan bersamaku. Ikan besar, ikan kecil.
Semua berenang-renang di sekelilingku.
Udara! Aku butuh udara! Bum! Ada yang menabrakku. Ia lewat menyenggolku,
membuatku berpusar di air. Tubuh manusia" Salah satu temanku" Aku berbalik. Dan,
melihatku bergerak, hiu itu berbalik mendekatiku.
Aku menjerit ketakutan dan merelakan gelembung-gelembung
udara yang sangat berharga keluar dari paru-paruku. Kuangkat
lenganku, kujejakkan kakiku kuat-kuat dan aku berenang mundur.
Metamorfosis jadi ikan" Hiu itu bisa memangsa ikan apa saja.
Aku mulai berenang. Aku harus bisa kembali ke lubang di
terowongan. Lubang yang dibuat Ax. Jika aku dapat lolos lewat
lubang itu, aku bisa mencapai permukaan.
Udara! Udara! Paru-paruku serasa terbakar! Tenggorokanku
kering ketika paru-paruku berjuang mengisi udara sendiri.
Aku berenang sepanjang terowongan, sementara si hiu
mengikuti dengan santai. Mungkinkah berkeringat di dalam air" Rasanya begitu.
Tubuhku serasa terbuat dari agar-agar. Kaki tanganku lemas karena ketakutan,
kram karena kekurangan oksigen.
Tak ada waktu untuk morf. Hanya ada waktu untuk kabur,
Itu dia! Itukah lubangnya" Ya, itu lubang. Lubang di
terowongan. Bukan, tunggu. Lubang ini terlalu bundar. Bundar
sempurna. Tak ada waktu untuk mencemaskan itu. Aku menjejak kuatkuat dan meluncur naik ke lubang vertikal itu. Tiba-tiba kepalaku menembus
permukaan. Udara! Aku menyedotnya dan
mengembuskannya, menyedotnya lagi, menimbulkan suara terengah
dan terisak. Di manakah aku" Aku berada di semacam terowongan vertikal.
Lebarnya tak lebih dari satu meter. Ke arah atasku masih sekitar satu setengah
sampai dua meter. Dan paling atas ada jeruji logam.
"AC," celetukku kaget. Suaraku terdengar datar dan kosong.
Aku berada di saluran AC. Beginilah cara mereka memventilasi
terowongan. Tetapi aku tidak bisa mencapai jeruji di atas. Dan aku masih
berenang di tempat. Hiu! Kucelupkan lagi mukaku ke air dan kubuka mataku untuk
melihat. Nyaris saja aku terlonjak ke atas - walau itu tak mungkin. Si
hiu meluncur naik ke arahku seperti peluru yang ditembakkan dari kapal selam.
Aku tidak berpikir lagi. Aku sekadar bereaksi.
Kujejakkan kakiku ke salah satu sisi terowongan, tanganku bertumpu pada sisi
lainnya, dan dengan cara itu aku merambat naik
meninggalkan air. Pantatku masih di air ketika kulihat muka mengerikan itu
muncul memandangku. Tampang mengerikan hiu martil, dengan
matanya yang dingin pada masing-masing tonjolan.
Itu membuatku memanjat seperempat meter lebih tinggi. Tetapi
terowongan plastik ini licin. Dan aku sudah terlampau lelah untuk bertahan lebih
lama lagi. "Pergi bunuh yang lain, monster goblok!" teriakku pada si hiu.
Kepala itu menghilang lagi ke dalam air. Tetapi dalam hati aku
tahu ia masih di sana. Masih menunggu.
"Ahhh! Ahhh!" Tangan kiriku selip. Nyaris saja aku jatuh. Tak mungkin aku
bertahan lebih lama lagi. Sebentar lagi aku pasti jatuh.
Cuma satu hal yang bisa kulakukan. Aku harus menyerap DNA
hiu itu. Binatang menjadi lemas jika kau menyerap DNA-nya, kataku
pada diri sendiri. Tapi bisa juga tidak. Seperti lumba-lumba Tobias.
Ini gila! Aku tak bisa bertahan. Dan jika aku jatuh, satu-satunya harapanku
hanyalah bisa berpegang pada hiu martil itu.
Si hiu menjulurkan kepalanya ke atas air lagi. Sekarang atau
tidak sama sekali. "Jika nanti ternyata kau memakanku," kataku pada si hiu, "yang cepat, ya."
Kukendorkan tekanan tanganku. Dan aku jatuh. Tepat di atas si
hiu. Ternyata, walaupun hiu, mereka tidak terbiasa kejatuhan
manusia yang menjerit-jerit dan meronta panik dari langit.
By-UUUR! Aku jatuh di atas si hiu dan ia terdesak ke bawah. Kami berdua
tenggelam bersama, kembali ke terowongan utama.
Sebelum si hiu sadar apa yang terjadi, kujulurkan tanganku dan
kucengkeram sirip punggungnya. Dalam hati aku memohon, Tolong,
tolong, kumohon bersikaplah seperti binatang lain, lemaslah!
Kupusatkan pikiranku. Dan bukan main leganya aku, si hiu
menjadi tenang dan lamban.
Kupeluk monster besar itu. Untung aku memakai kaus lengan
panjang. Dan kami berdua mengapung melewati lubang yang dibuat
Ax. Naik menuju udara dan bintang-bintang dan kebebasan.
Ia masih dalam kondisi trans ketika kepalaku menyembul dari
permukaan air. Kami berada di salah satu tangki. Dinding di sekeliling kami
lebih tinggi dari yang seharusnya, karena airnya telah mengucur membanjiri
terowongan. Tetapi di atas, mengitari bibir tangki, kulihat wajah-wajah cemas
memandang ke bawah. "Hei. Lagi ngapain kalian?" tanyaku.
"Marco! Kau masih hidup!" seru Cassie.
"Yeah. Dan kubawakan oleh-oleh nih. Teman baru. Ayo, terjun dan kenalan. Saatnya
kita pesta hiu martil."
Chapter 16 KEESOKAN harinya ada kepala berita besar-besar di koran.
Telah terjadi musibah mengerikan di Ocean World Aquarium. Dua
penjaga hilang. Satu-satunya penjaga yang tersisa mengoceh tentang makhluk
ajaib setengah-rusa, setengah-manusia. Juru bicara akuarium
menyiratkan bahwa si penjaga itu pastilah mabuk dan menembak
akuarium, membuat terowongannya bocor.
Malamnya berita itu disiarkan di TV. Stasiun TV CNN bahkan
mengirim kru kameraman ke sana.
Hari Senin-nya aku menyerahkan lima halaman ringkasan buku
yang isinya ngawur dan omong kosong. Aku menulisnya di bus
jemputan. Hari Selasanya ringkasan kuterima kembali. Nilainya Dminus. Guruku memberi catatan, "Nekat benar, Marco. Kerjakan sekali lagi, dan
kali ini cobalah baca bukunya."
Aku mau bilang apa" Ada guru yang bisa dipermainkan, ada
yang tidak. Kami telah memutuskan tidak akan kembali ke kompleks di
Pulau Royan sampai akhir pekan. Menyelundup keluar di malam hari sangat riskan.
Jika salah satu dari kami tertangkap lalu dihukum kurung, kami tak akan bisa
beraksi untuk sementara. Aku sudah berhenti mencemaskan apa pendapat rekan-rekanku
tentang kaburnya aku sewaktu menghadapi hiu. Menurutku apa yang
terjadi di akuarium sudah menyeimbangkan tindakanku itu. Dan aku juga merasa
sudah bisa mengatasi rasa takutku terhadap hiu. Kurang-lebih begitulah.
Maksudku, jangan sampai kita lengah jika kita
menghadapi hiu. Yang memenuhi pikiranku ternyata bukan sikapku yang sudah
tidak takut lagi pada hiu, melainkan DNA hiu yang ada dalam diriku.
Aku ingin bermetamorfosis menjadi hiu itu. Aku ingin jadi dia. Aku ingin tahu
bagaimana rasanya menjadi makhluk yang begitu tanpa
belas kasihan, tak kenal takut. Sama sekali tanpa emosi.
Dua kali aku memimpikannya. Dalam kedua mimpi itu aku jadi
hiu, hanya saja aku masih memiliki wajahku sendiri. Dan dalam kedua mimpi itu
ada orang yang melakukan perbuatan mengerikan. Aku tak ingat apa, aku cuma ingat
berpikir, Ya, ampun, sungguh mengerikan.
Tetapi di dalam mimpiku aku jadi hiu, maka apa pun perbuatan
mengerikan itu, aku tetap aman.
Sayang sekali aku tak bisa ingat apa perbuatan mengerikan itu.
Kurasa ada orang dibunuh. Ada seorang wanita yang tak hentihentinya memohon, "Tolong aku, tolong aku." Cuma itu yang kuingat.
Tetapi membingungkan juga, karena kadang-kadang suara itu ganti
menjerit-jerit, "Tolong dia, tolong dia."
Seusai sekolah hari Kamis, aku tidak langsung pulang. Aku ke
ruang olahraga. Aku ke kolam renang. Aneh juga, kolam itu kosong.
Tim renang entah ada dimana. Mungkin sedang mencukur bulu kaki
dan rambut kepala. Entahlah.
Kolam renang itu berada di ruang tertutup. Bau kaporit dan
lumut. Ini salah satu tempat yang membuatmu takut kakimu kena kutu air.
Dindingnya tegel putih, sedang dasarnya biru tua. Ada papan lompatan tinggi. Ada
jendela-jendela tinggi di satu dinding, tetapi sebagian besar cahaya berasal
dari lampu neon. Di dalam air sendiri ada lampu-lampu seperti lampu mobil.
Tetapi tetap saja suasananya suram, tak peduli berapa banyak lampu yang menyala.
Aku tahu apa yang akan kulakukan. Dan aku tahu itu tindakan
bodoh. Tetapi aku tahu jika aku tidak melakukannya di sini, aku akan
melakukannya di tempat lain yang bahkan lebih konyol. Seperti
misalnya, bak mandiku di rumah.
Aku ke lokerku dan berganti celana renang. Kemudian aku
kembali ke kolam dan sekali lagi memeriksanya. Tak ada orang. Di tepi kolam tak
ada. Di dalam tak ada. Bahkan tak ada satu riak pun di airnya.
Aku meloncat, kaki duluan, di kolam bertanda dua setengah
meter. Aku menyembul kembali ke permukaan dan berkata, "Ini gila, Marco."
Lalu kujawab sendiri, "Maka aku akan hati-hati." Dan
kutimpali, "Kau bicara pada dirimu sendiri, tahu tidak?"
"Oh, diam," bentakku.
Aku mulai melakukan apa yang sudah ingin kulakukan sejak
hari Minggu. Aku mulai memusatkan pikiran pada si hiu. Aku


Animorphs - 15 Serangan Hiu Martil di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melihatnya dalam ingatanku. Melihatnya mengejarku sepanjang
terowongan plastik itu. Kubayangkan saat aku menyentuh kulit hiu yang seperti
ampelas dan membuatnya tak sadar selama DNA-nya kuserap. Dan
kemudian perlahan-lahan, kurasakan perubahanku.
Mulai dengan bunyi desis tulang-tulangku yang melarut.
Soalnya hiu tidak punya tulang, cuma punya tulang rawan.
Kudengar desis tulang-tulangku. Tulang lengan. Tulang
tungkai. Tulang pinggul, dan bahkan tulang punggungku, semuanya
larut. Aku bisa melihat ke bawah lewat permukaan air, sampai ke
kakiku. Kedua kakiku tampak berkilau dengan latar belakang biru
gelap. Keduanya mulai memanjang. Jari-jarinya terjulur dan terus terjulur,
sampai masing-masing sepanjang tiga puluh senti. Betisku mengikuti jejak jarijari itu. Memanjang seperti balon panjang yang ditiup. Aku kaget sekali waktu
tiba-tiba menyadari kakiku menyentuh dasar kolam.
Sesuatu terjadi di punggungku. Kurasakan ada yang tumbuh di
sana, makin lama makin besar. Terbentuk dari tulang-tulangku yang meleleh.
Aku menjulurkan tanganku - yang masih berbentuk tangan
manusia - ke belakang, dan jari-jariku menyentuh sesuatu yang
berbentuk segi tiga. Punggungku bersirip!
Kurasakan isi mulutku gatal. Gatal sekali, seperti mau tumbuh
gigi. Gigi-gigi hiu mulai memenuhi mulutku.
Kemudian... "Hei, keluar dari kolam!"
Terdengar jeburan keras, disusul sekali lagi. Aku berputar. Dua
kepala meluncur ke arahku. Dua pasang tangan kuat mengayuh air.
Drake dan Woo. Dua cowok bego. Dua cowok preman. Tapi
mereka juga penyelam ulung untuk tim sekolah. Paling tidak si Drake.
Woo sih tidak ada harapan. IQ-nya kelewat jongkok.
"Keluar dari kolam, banci!" kata Woo.
"Jangan sampai kami tendang pantatmu, Marco-roni," Drake menambahkan.
Seharusnya aku takut pada mereka. Tetapi yang kutakutkan
hanyalah jika mereka menyelam. Mereka akan melihat bahwa aku
tidak bisa dibilang normal. Tetapi dari permukaan air mereka mungkin mengira
kakiku yang superpanjang ini cuma distorsi air.
Aku mulai mengembalikan morf-ku. Sungguh goblok aku!
Kubiarkan diriku tertangkap basah dalam keadaan begini. Jake akan membunuhku.
Kalau dia tahu. Aku demorph secepat aku bisa.
Kurasakan jari-jari kakiku kehilangan kontak dengan dasar kolam.
Kemudian Woo berenang telentang, mengangkat satu kakinya
dan menendangku tepat di dada.
Aku tidak melihatnya, tidak menduganya. Jadi tidak bisa
berkelit. "Ooomph!" Udara meletup dari paru-paruku. Kucengkeram
dadaku. "Kan sudah kubilang minggir," kata Drake. "Sekarang terpaksa kami injak kau
karena mengabaikan perintah. Kecuali kau mau angkat kaki cekingmu dari kolam."
Drake memberiku kesempatan untuk lolos. Yang harus
kulakukan hanyalah berbalik dan naik. Cuma itu.
"Yeah, pulang ke ibumu, Marco-roni," ejek Woo.
"Mana bisa," kata Drake nyinyir. "Ibunya sudah mati."
"Oh, u-huk," seringai Woo. "Oh, u-huk, u-huk." Ia membuat gerakan seakan sedang
mengusap air mata dari matanya. "Ibunya barangkali kabur dengan pria iseng."
Sebetulnya lebih baik kutinggalkan saja mereka. Tapi yang
kulakukan malah mengamati leher Woo.
Aku bisa melihat arteri di sana. Pembuluh yang berdenyut di
kanan-kiri jakun Woo. "Mau apa lihat-lihat?" bentak Woo. "Mau mati kau, memandangku seperti itu!"
Tetapi kuperhatikan Woo tidak bergerak mendekatiku. Aku
ingin ia mendekatiku. Ingin sekali.
"Kenapa tuh matanya?" tanya Drake. "Coba lihat matanya."
"Marco?" terdengar suara Jake.
Kulihat ekspresi wajah Woo berubah. Ia memandang ke
belakangku. Kudengar langkah-langkah kaki mendekat.
"Ada apa, Marco?" tanya Jake, berusaha bersikap biasa.
"Ah, bukan main," ejek Drake. "Jake perkasa datang untuk menyelamatkan si kecil
Marco-roni." Kutolehkan kepalaku dengan sigap pada Jake. Aku
menyeringai, memperlihatkan gigi-gigiku. "Aku tithak pekhrlu bantuanmu."
Gigi-gigi hiu yang memenuhi mulutku membuat bicaraku aneh.
Kulihat mata Jake berkilat kaget. Kemudian cemas.
"Biarkan saja, Marco," kata Jake.
Aku kembali menghadapi Woo. Aku masih bisa melihat detak
nadi di lehernya. Gampang sekali...
"Thia menghina ibukhu," kataku.
"Bukan dia yang bertanggung jawab atas apa yang terjadi pada ibumu," kata Jake.
"Jangan menghukum dia untuk kesalahan orang lain."
Aku tak tahu apa yang dipikirkan kedua jagoan itu mendengar
percakapan kami. Aku cuma tahu mereka berdua jadi diam. Mata Woo berkelebat,
bergantian memandangku dan Jake. Ia bingung dan cemas.
Preman tidak terbiasa mendengar korbannya bicara dan bersikap
seakan mereka lebih berkuasa. Atau mungkin ia tidak suka melihat caraku
memandang lehernya. "Simpan tenagamu untuk orang yang benar-benar jahat,
Marco," bujuk Jake. Kurelakan sisa metamorfosis hiuku. Kurasakan mulutku gatal
saat gigi-gigi normalku menggantikan gigi hiu yang tajam-tajam.
Aku memanjat keluar dari kolam.
"Kenapa kau tadi?" Jake mendesak begitu kami meninggalkan tempat itu.
Aku mengangkat bahu dan tersenyum terpaksa. "Tidak apa-apa, Jake. Mungkin tadi
Woo tampak seperti ikan bagiku. Apa bagimu dia kayak ikan juga" Bagiku sih iya."
Sama sekali tidak lucu. Tetapi itu jawaban paling baik yang bisa kuberikan. Jake
menatapku lama-lama. "Mungkin sebaiknya kau tidak usah ikut dalam misi berikut,
Marco." Aku tertawa. "Jake, langkahi dulu mayatku kalau mau
melarangku mendekati pulau itu."
Chapter 17 SABTU pagi kami terbang ke pantai sempit yang sama di Pulau
Royan. Sekarang setelah kami tahu Yeerk ada di sana, di bawah air, kami sangat
berhati-hati. Tetapi Jake masih sempat menarikku ke tepi, ke dekat pohon
yang berbatang bengkok, dan menanyaiku apakah aku baik-baik saja.
"Tentu. Kenapa memangnya?"
"Karena kalau kau baik-baik saja, kalau kau normal, kau akan sibuk memberitahu
kawan-kawan kita betapa gilanya tindakan kita ini dan bahwa kita semua bisa mati
karenanya. Kalau kau tegang, seperti sekarang, kau malah membuat mereka
senewen." Aku cuma memandangnya. "Maksudmu, kawan-kawan kita
akan lebih santai kalau aku bersikap seolah-olah kita semua akan mati?"
"Itu yang mereka harapkan darimu," ujar Jake.
"Yah, kalau begitu aku akan berusaha lebih keras untuk
menghibur mereka," kataku sinis.
Jake memainkan matanya. Kemudian ia memandang berkeliling
dengan waspada. Yang lain sedang duduk di pasir, pura-pura tidak memperhatikan
bahwa Jake dan aku sedang bicara serius dari hati-ke-hati.
Bagus. Rachel mungkin berpikir aku takut dan Jake harus
membujukku. Aku masih peka terhadap komentarnya bahwa aku takut
hiu. "Marco, mungkin akan terjadi pertempuran di bawah sana,"
kata Jake sambil mengedikkan kepalanya ke arah laut. "Mungkin sudah waktunya
memberitahu yang lain apa yang terjadi padamu."
"Tak ada yang terjadi padaku."
"Marco, ibumu ada di bawah sana."
Aku berjengit. Aku sudah berusaha keras tidak memikirkan itu.
"Bagaimana bisa membantu yang lain jika aku memberitahu mereka mungkin aku punya
masalah sendiri di sini?"
Jake kelihatan terkejut. "Marco, aku tidak berpikir soal
membantu yang lain. Kupikir ini bisa membantumu."
Kugelengkan kepala kuat-kuat. "Tidak. Mana bisa aku terbantu kalau ada orang
mengasihani aku. Kau tahu" Sudah setahun ini orang-orang merasa kasihan padaku
setelah ibuku meninggal. Sesudah dia disangka meninggal. Aku tidak suka belas
kasihan. Belas kasihan membuatmu merasa kecil dan lemah. Aku lebih suka dibenci daripada dikasihani."
Jake menghela napas. "Tak ada yang membencimu."
"Tetapi mereka akan mengasihani aku."
Jake tidak punya jawaban untuk ini.
"Hei, jadi tidak nih?" Rachel berseru ke arah kami. "Atau kalian berdua mau
berdiri ngerumpi seharian di situ?"
"Jadi," kataku ngotot. "Tapi kuberitahu kalian sekarang, yang akan kita lakukan
ini gila. Gila! Morf jadi hiu untuk memasuki
kompleks bawah laut Yeerk" Apa yang terjadi pada hidup kita?"
Selagi Jake dan aku berjalan mendekati yang lain, aku
bergumam, "Kau senang sekarang?"
"Oke," Jake berkata kepada kami semua. "Siap?"
"Dari tadi aku sudah siap," Rachel menggerutu.
"Semua ingat, ini morf baru," Cassie mengingatkan. "Naluri baru yang harus kita
tangani. Bersiaplah."
Soalnya jika kau pertama kali bermetamorfosis jadi binatang
tertentu, kesadaran binatang itu bisa menguasai pikiran manusiamu.
Mengalahkanmu. Dan kau tak selalu bisa mendeteksi, morf mana
yang buruk. Mungkin yang paling buruk adalah semut.
Kami turun ke air. Semua kecuali Tobias, yang sekali lagi
bertengger di bahu Rachel. Empat manusia, satu burung, dan satu
Andalite. "Kita ini rombongan superaneh, ya," komentarku.
"Dan pendek," timpal Rachel dengan senyum manis beracun.
"Paling tidak beberapa dari kita pendek."
"Beberapa menit lagi kita semua akan punya sirip punggung
yang sama, Xena Perkasa," kataku kepadanya.
Rachel tertawa. Ia pura-pura sebal kalau ada yang menyebutnya
Xena: Warrior Princess. Tetapi aku tahu ia sebetulnya tersanjung.
"Hei, Tobias," kataku. "Kau sadar, kan, tidak ada tikus di bawah air?"
Tahu, kan, aku sedang melakukan tugasku. Menjalankan
peranku dalam rombongan ini. Bercanda. Ledek-ledekan. Membesarbesarkan masalah. Itu peranku. Seperti yang telah ditunjukkan Jake: Marco yang
tidak bercanda, yang serius, malah membuat orang
cemas. Aku turun ke laut. Ombaknya lebih besar daripada minggu lalu.
Ombak setinggi setengah sampai satu meter memecah dan
bergelombang di sekelilingku. Langit lebih gelap, lebih abu-abu.
Kucoba mengenyahkan semua masalah dari pikiranku. Kucoba
menghilangkan bayangan ibuku. Aku mengingatnya dalam dua versi.
Sebagai ibu yang selalu kukenal. Dan sekarang, sebagai Visser One, Pengendali
yang mengatur agar kami bisa lolos dari pesawat induk Yeerk, hanya untuk
mempermalukan musuh bebuyutannya, Visser
Three. Kucoba menyingkirkan dua bayangan itu. Tetapi saat kurasakan
morf-ku mulai, aku berpikir, Aku datang untuk menyelamatkanmu,
Mom. Dan aku juga berpikir, Aku datang untuk membinasakanmu,
Visser One. Metamorfosisku kali ini mulainya berbeda dengan morf-ku
yang tidak tuntas di kolam renang. Kali ini kulitku yang berubah duluan.
Kulit lumba-lumba seperti karet abu-abu. Kulit hiu seperti
ampelas halus. Kulit hiu bisa membuat kulit manusia berdarah hanya karena
bergesekan. Kulit itu memang terbentuk dari jutaan denticle.
Denticle adalah gigi kecil-kecil. Hiu diselubungi gigi kecil-kecil.
Sementara aku mengawasi, tanganku yang kecokelatan berubah
jadi abu-abu. Kakiku jadi abu-abu. Dada dan bahuku, semua jadi abu-abu.
Kedua kakiku berjalin aneh, seakan mereka sepasang jerami
yang kukepang. Ketika ada ombak yang menerjangku, aku kehilangan keseimbangan
dan jatuh tertelentang, ke air.
Tanganku bergesek dengan dasar laut. Ketika kuamati, kusadari
tanganku luka tergores kerang. Beberapa tetes darahku menitik ke air garam.
Tetapi ada banyak hal lain yang harus kucemaskan. Lagi pula,
kalau aku demorph nanti, luka itu akan hilang.
Saat aku berusaha berdiri lagi, kusadari aku sudah tak punya
kaki. Sebagai gantinya sekarang aku punya ekor, berbentuk segitiga yang anggun.
Segala sesuatu yang ada pada tubuh hiu berbentuk segitiga. Dua
segitiga memanjang bersatu membentuk ekor. Sirip punggung juga
segitiga. Dan segitiga putih keras bergerigi tajam memenuhi mulut.
Kugunakan lenganku untuk menepis air dan menjaga agar
kepalaku tetap di atas air. Dalam kilasan-kilasan ombak, aku melihat yang lain.
Rachel yang mengerikan, dengan moncong hiu dan rambut pirang; Ax yang
menakjubkan, dengan mata tanduk Andalite mencelat dari tonjolan kepala hiu
martil; Tobias, bulunya meleleh menjadi ampelas abu-abu. Bahkan Cassie pun tidak
bisa membuat morf ini indah. Kurasakan gigi hiuku tumbuh, menggantikan gigi manusiaku
yang lemah. Pada saat bersamaan mataku bergeser. Dua-duanya
bergulir ke sisi kepalaku. Aku kehilangan kemampuan untuk
memfokuskan pandangan. Aku tetap berusaha mengarahkan mataku,
memandang secara tiga dimensi seperti biasanya. Tetapi mataku
bergerak terlalu cepat dan terlalu jauh. Yang bisa kulihat hanyalah bayangan
samar air dan wajah-wajah mengerikan.
Tonjolan berbentuk martil di kepala hiu tidak tumbuh dari sisi
kepalaku, melainkan dari depan. Seakan pilar daging tumbuh di antara dua bola
mataku, kemudian membawa kedua mata itu ke sisi.
Lenganku mengecil dan berubah menjadi sirip-sirip tajam. Aku
sepenuhnya berada dalam air sekarang.
Tepat pada waktunya, paru-paruku lenyap begitu saja dan celah
seperti luka torehan terbentuk di tempat yang semula leherku.
Aku punya insang sekarang. Dan gigi hiu. Dan mata hiu.
Tetapi aku belum merasakan pikiran hiu. Baru setelah aku
mulai bergerak, kurasakan pikiran hiu, nalurinya, menggelegak
menembus kesadaran manusiaku.
Gerakan, itulah kuncinya. Soalnya, hiu tidak bisa diam. Jika hiu berhenti
bergerak, ia mati. Hiu berarti gerakan. Gerakan resah, tak kenal belas kasihan,
dan tiada henti. Kurasakan ketakutan meninggalkanku.
Kurasakan amarahku juga meninggalkanku.
Semua emosi dan perasaanku menguap begitu saja. Dan aku
senang. Karena sekarang pikiranku jernih. Sekarang aku memandang dunia dengan
cara sederhana. Amat sederhana.
Dunia ini hanyalah mangsa. Dan aku sendiri adalah rasa lapar.
Tak ada yang lain. Tak ada ayah atau ibu, tak ada ketakutan ataupun kebahagiaan,
tak ada kecemasan. Lapar. Mangsa. Lapar. Mangsa.
Aku berbalik dari pantai. dan berenang ke laut lepas. Dan
kemudian aku berhenti. Sisa terakhir pikiran manusiaku tersingkir.
Si hiu membaui darah. Chapter 18 HIU telah berenang-renang di lautan planet Bumi ratusan juta
tahun saat nenek moyang Homo sapiens - manusia - masih merekareka bagaimana mengupas pisang.
Orang bilang, "Oh, tak usah takut pada hiu. Hiu punya lebih banyak alasan untuk
takut pada manusia daripada manusia takut pada hiu."
Betul. Manusia memang membunuh lebih banyak hiu daripada


Animorphs - 15 Serangan Hiu Martil di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hiu membunuh manusia. Apakah fakta itu akan membuatmu merasa
lebih tenang jika ada hiu yang mencaplok pinggangmu sampai hampir putus"
Kemungkinan tidak. Hiu adalah mesin pembunuh. Kebanyakan mereka membunuh
ikan. Di beberapa bagian dunia mereka membunuh singa laut. Mereka membunuh
lumba-lumba. Mereka membunuh ikan paus, kalau bisa.
Dan mereka membunuh manusia. Paling tidak, ada spesies hiu yang
membunuh manusia: hiu putih besar, hiu macan... dan hiu martil.
Jadi mesin pembunuh seperti itulah aku kini. Sama sekali tak
kenal takut. Sama sekali tanpa emosi. Dalam pikiranku tak ada hal lain, kecuali
membunuh. Tak ada pikiran untuk main-main, seperti yang kautemui pada singa.
Sama sekali tak peduli pada keluarga atau anak. Tak ada rasa kebersamaan. Aku
makhluk soliter - penyendiri yang terdiri atas segi tiga-segi tiga tajam. Benda gelisah yang selalu bergerak
dan haus darah. Pikiranku sedingin, setajam, dan semaut pisau baja. Pikiranku
hanya mencari sesuatu yang bisa dibunuh dan dimakan.
Si hiu berbelok menuju bau darah. Ekor panjangku mendorong
air malas-malasan. Kepala martilku berfungsi seperti pesawat yang sedang
menukik, membuatku bebas berbelok ke sana atau ke sini.
Penglihatanku luar biasa tajam. Nyaris setajam penglihatan manusia.
Aku bisa mendengar. Dan aku bisa merasakan indra-indra lain
yang sama sekali tidak menyerupai indra manusia. Kalau ada ikan
lewat di dekatku, kurasakan getaran arus elektris mereka. Dan entah bagaimana,
aku tak mengerti caranya, kusadari aku bisa merasakan medan gaya magnet planet
Bumi. Aku paham utara dan selatan tanpa tahu kata-kata itu.
Tetapi yang paling terasa, aku bisa membaui. Aku bisa
membaui air saat aku menyedotnya, tak hentinya mencicipi. Dan saat ini, aku bisa
membaui darah. Aku menyadari, keberadaan kawan-kawanku di dekatku. Aku
tahu mereka hiu seperti aku. Tetapi aku tidak peduli. Aku sedang mengikuti jejak
darah. Aku mengikuti bau darah. Tak lebih dari beberapa tetes, jejak
tipis seperti asap yang mencair dalam miliaran galon air laut, tetapi aku
membauinya. Aku terus mengikuti bau itu. Jika baunya lebih keras di lubang
hidung kiriku, aku membelok ke kiri. Jika lebih keras di kanan, aku membelok ke
kanan. Bau itu akan membawaku ke mangsaku.
Membawaku ke makanan. Jejak darah itu asalnya dari dekat sekali!
Bisa kurasakan, dan ketegangan menyelimutiku.
Darah! Binatang yang luka! Mangsa!
Tetapi setelah berputar-putar, kembali ke air yang lebih
dangkal, aku jadi frustrasi. Di mana" Di manakah si makhluk terluka itu" Di
manakah mangsaku" Yang lain berputar-putar di dekatku. Salah satu dari mereka
bergesekan denganku. Seperti ampelas bergesekan dengan ampelas.
Mereka juga mencari, mangsa berdarah yang baunya memenuhi
kepala kami. Di manakah ia" Otak hiu bingung, tidak yakin. Dan dalam kebingungan dan
ketidakpastian itu, pikiran baja hiu menyisakan sedikit celah. Sedikit saja.
Cukup bagi otak manusiaku untuk mengingat tangan manusia,
berdarah karena luka kecil.
Tanganku! Tanganku. Manusia yang bernama Marco.
teriakku dalam bahasa-pikiran. darahku sendiri!> Yang lain tidak peduli. Mereka terus saja berputar-putar dalam
lingkaran yang semakin menyempit, mencari-cari, siap menerkam
sumber darah. Cassie! Rachel. Ax. Tobias. Semua. Ini naluri hiu. Lawanlah. Itu darahku.>
Perlu beberapa menit sebelum kami semua kembali menjadi diri
kami lagi. Tobias yang paling cepat bisa menguasai diri. Tidak aneh sih. Ia
sendiri kan predator. Mungkin pikiran hiu dan pikiran elang tidak begitu berbeda.
Ax juga menguasai diri dengan baik. Bukannya karena Andalite
mirip hiu. Tetapi alasan utamanya karena ia pernah jadi hiu sebelum ini.
komentar Cassie, tertawa gugup.
kata Rachel.
Kami sedikit grogi. Kami sudah agak sombong merasa bisa
menguasai morf binatang. Tetapi hiu berbeda. Kurasa kalau
menyangkut pertahanan diri, otak hiu yang primitif ternyata lebih superior
daripada otak manusia kami.
Otak itu tahu pasti apa yang dimauinya. Dan pengetahuan itu
menimbulkan kekuatan luar biasa.
Kami berenang mengelilingi pulau, kembali ke kompleks yang
tersembunyi di balik selubung hologram. Kali ini kami berharap bisa melewati hiu
super yang nyaris membabat kami ketika kami jadi
lumba-lumba. Kami berenang menembus apa yang kelihatannya dasar
laut, menuju ke kompleks. Dengan mata dingin hiu aku memandang
lewat tingkap. Tingkap yang membuka ke area kerja yang sibuk. Dan tingkap lain
lagi, yang membuka ke ruang kantor tersendiri.
Hiu-hiu penjaga berenang melewati kami dan mengitari kami,
sama sekali tidak peduli.
kata Rachel.
dekat,> Ax memperingatkan. mereka.> Ini saat aku biasanya bergurau. Tetapi tepat saat itu aku melihat seorang wanita
memasuki kantor. Sosoknya agak terganggu oleh kaca transparan, oleh air, dan
oleh mata hiuku yang berorientasi-air.
Tetapi aku mengenalinya. Dan aku lupa melontarkan komentar konyol.
Chapter 19 tanya Tobias. melewati hiu-hiu penjaga.>
kata Jake. Kedengarannya ia tidak begitu
antusias. kata Rachel. > aku mengusulkan.
ujar Cassie.
tanya Ax.
jawabku. kalau pintu tengah">
Jake menyetujui.
Kami berenang menuju pintu tengah. Dari kejauhan pintu itu
besar. Dari dekat, lebih besar lagi. Jelas cukup besar untuk dilewati kapal
selam. Dari luar terowongan itu tampak gelap, tetapi begitu sudah
melewati sinar matahari yang berwarna hijau karena tersaring dari atas, kami
bisa melihat bahwa di dalam terowongan ada lampu-lampu menyala.
Kami berenang-renang, berusaha kelihatan santai. Pintu terbuka
dan terowongan pendek ini membawa kami ke kolam persegi.
Dermaga perahu, jelas. Mungkin digunakan oleh kapal selam. Di sana juga ada hiuhiu martil lain. Tetapi tetap saja mereka tidak
memedulikan kami. Aku naik ke permukaan, kubiarkan sirip punggungku mencuat
ke udara. Aku berguling ke sisi dan mengangkat mata kiriku ke atas air. Mata hiu
tidak dimaksudkan untuk memandang menembus
Rajawali Lembah Huai 5 Pendekar Rajawali Sakti 1 Iblis Lembah Tengkorak Misteri Pulau Neraka 4

Cari Blog Ini