Ceritasilat Novel Online

Penyakit The Sickness 2

Animorphs - 29 Penyakit The Sickness Bagian 2


tabung suplai air yang menuju ke sebuah toilet di sebuah bangunan terbengkalai
yang nggak pernah di-flush siapa-siapa,> kata Marco. itu!> Jake mengumumkan. belokan ke kiri dan ambil kanan tepat setelah itu. Setelah itu lewati dua
tikungan lalu ambil kiri. Kita akan sampai dalam beberapa detik dan semua itu
nanti hanya akan terjadi sekitar tiga detik. Jangan mikir, jangan ngobrol,
bergerak saja.> Jake berada di depan. Aku di belakangnya. Tobias di belakangku, diikuti Marco
dan Rachel. Tiba-tiba... Tikungan! Lewati! Kanan! Lewati! Lewati!
Jake menjerit.
Aku berenang ke arahnya, ekornya bergerak tak terkendali. Dia terhisap ke dalam
pipa yang salah. Dia berjuang melawan arus, mencoba berenang ke arah yang sebaliknya, tidak ada
waktu... Chomp! Aku menerjang tanpa benar-benar melihat. Gigi-gigiku yang setajam silet
mencaplok sebuah ekor. Aku merasakan Tobias menekan dari belakang.

Ada rasa sakit yang tajam saat Tobias menggigit ekorku. Sekarang aku tidak bisa
berenang. Tobias memegangku, tapi dia juga tidak bisa melawan arusnya.
Kata Marco spontan, setelah berhasil mencerna situasi.
Chomp! Chomp! Jangan tanya aku bagaimana cara mereka menemukan tubuhku, tapi mereka
menemukannya. Aku berdarah dan merasa kesakitan, tapi yang memegangku sekarang ada tiga belut.
Aku meliukkan tubuhku dalam satu cambukkan kencang. Jake tertarik dari dalam
pipa kembali ke arus yang benar.
kata Jake akhirnya.
Tanya Tobias.
Jake berhenti. Dia terdengar pusing. Benar-benar tidak fokus. Apa dia
tadi sebegitu ketakutannya"
Mungkin, tapi Jake tidak pernah gagal mengendalikan diri.
Aku teringat saat dia duduk di gudang jerami dengan kepala ditumpangkan di
tangan. Lalu matanya saat Marco menerangkan cara masuk kolam Yeerk. Kupikir
matanya berkilat-kilat oleh semangat.
Aku mungkin akan menampar diri sendiri kalau aku punya tangan.
Jake sakit. Chapter 10 Aku
mengirimkan bahasa-pikiranku ke Rachel, Tobias dan Marco. penyakitnya sama seperti Ax. Kalau dia mulai morf yang aneh-aneh ->
Rachel menyelesaikan
kalimatku. kata Marco.
Rachel membalas. urus Jake. Tobias dan aku jalan terus.>
Marco memulai.
kedua atau apa,> Jake bergumam.
aku menenangkannya.
kata Rachel mengukuhkan diri. melakukannya.> ketagihan kekerasan.>
Kataku putus asa. atau apa. Dia masih hidup disini.>
Aku membuka bahasa-pikiranku agar Jake bisa ikut mendengar. ketularan yamphut itu. Sebaiknya kami ngapain">
Sunyi lama. Aku akhirnya bertanya.

Rachel berargumen.
perintah Jake.
Kata Marco.
Kata Jake mengambang.
Aku melasakan suatu gelombang yang tidak enak. Kami tersesat. Tersesat dalam
pipa yang panjangnya bermil-mil. Jake tak bisa diajak kompromi. Tidak ada yang
punya ide. Kata Tobias tiba-tiba.
jelasnya. bisa lihat dinding ngarainya, nggak bisa lihat daerah ngarai yang terbuka dan
sulit mendapat ketinggian yang cukup untuk ->
Marco memotong keras.
dekat daerah bukaannya saja. Kalau kamu kendarai angin itu, cepat atau lambat
kamu akan keluar. Air sama saja. Pasti nanti keluar di suatu tempat, kan">
Tanyaku.

Gumam Marco.
Kami patuh. Kami tidak ingat waktu lagi. Tidak tahu dimana kami, dan berapa
waktu yang tersisa dalam morf. Kami hanya mengikuti arus dalam kegelapan,
sesekali berenang untuk tetap mengontrol arah tubuh.
Seabad. Rasanya seperti seabad. Bawah. Atas. Kanan. Kiri. Dengan Jake yang makin
tidak merespons. Bergerak makin pelan.
Lalu... Tanya Marco.
kata Rachel.
aku memulai, tapi dipotong oleh satu tarikan kuat,
dan wooosh, menuruni pipa yang berkelok dan berdinding kasar, ditekan oleh
tekanan yang datang tiba-tiba, dan...
Tidak ada pipa! Aku jumpalitan di udara!
Mata belutku tidak terlalu bagus, tapi aku bisa melihat apinya.
Api yang ada dimana-mana!
Yang lainnya meluncur keluar dari ujung pipa.
Kami berlima belut. Ditembakkan keluar dari ujung selang air pemadam kebakaran,
melayang di udara menuju gedung yang sedang terbakar.
Chapter 11 Melintasi udara! Melintasi jendela. Splat! Aku menabrak sesuatu, lalu menggelincir di lantai.
Teriak Rachel.
Aku tidak butuh perintah apa-apa. Aliran air yang kuat mendorong tubuhku ke atas
sebuah kompor. Aku demorf sementara air memukul-mukul tubuhku.
Tapi bukan airnya yang jadi masalah. Apinya.
Mata manusiaku terbentuk kembali dan langsung pedih. Aku mengerutkan wajah,
menutupi muka dengan tangan yang licin dan masih terbentuk. Teman-temanku
bangkit berdiri seperti monster-monster mengerikan dari air yang menggenang,
Kami berada di dapur. Api utama berasal dari ruang keluarga. Aku melihat ada
tangga. "Tangga," Jake tercekat. "Naik."
Kami terhuyung, sekelompok monster setengah-berubah yang biasa mengisi mimpi
buruk, naik ke atas tangga, menjauhi api. Selang yang lain pasti sudah menyirami
lantai atas karena air mengalir di tangga seperti air terjun.
Kami berhasil mencapai lantai dua. Jake bersandar di palang pembatas dan muntah.
"Aku nggak lihat siapapun di atas sini," kata Rachel, tersedak asap.
Aku mengangguk setuju. "Ayo..." Lalu aku mulai batuk-batuk. Tidak masalah. Kami
tahu apa yang harus dilakukan.
Kupikir tidak ada yang melihat burung-burung pemangsa yang menerobos jendela
belakang, penuh jelaga dan basah kuyup.
Kami terbang hanya sebentar. Jake terlalu lemah untuk tetap bertahan di udara.
Kami mendarat dan demorf.
"Well, tadi itu menyenangkan," kata Marco. "Ayo kita lakukan lagi, secepat
mungkin." "Pasti gara-gara yamphut sial ini," kata Rachel, membantuku memapah Jake. "Jake
sakit waktu jadi belut. Jadi manusia tetap sakit."
Tobias menambahkan. Dia berada di
atas, memantau kalau-kalau kami diikuti atau diperhatikan.
"Kita coba lagi besok sepulang sekolah," Jake memberitahu kami setelah dia turun
dari tangga. "Kalau kondisiku nggak membaik, kalian harus pergi tanpa aku. Aku pulang dulu.
Istirahat." "Marco dan aku akan mengantarmu," aku menawarkan diri.
"Aku akan morf jadi burung hantu dan terbang balik ke gudang," kata Rachel.
"Mengecek Ax. Dan aku akan tanya dia bagaimana cara yamphut menulari manusia,
lalu menelepon kalian di rumah Jake."
Jake menyeka mulutnya dengan lengan baju. "Kamu balik ke gudang jerami juga,
Tobias. Dan diam disana," instruksinya. "Hologram Erek bagus. Tapi itu nggak
cukup. Kalau Ax pergi dari kandang kuda, morf jadi sesuatu yang besar lalu stop
dia. Kalau suhunya mendekati-"
"Sembilan satu koma tiga," aku menginformasikan.
"Ya. Oke. Wow. Man, kepalaku melayang. Ini menyebalkan. Kayak kena flu. Begitu
rasanya.Kayak aku jadi harus..."
Dia membungkuk dan menarik nafas.
"Kayak kamu jadi harus muntah?" Marco menyarankan.
Marco dan aku masing-masing melingkarkan lengan kami di sekliling pinggul Jake
dan berangkat. Untungnya menara air berada di bagian kota yang sama dengan rumah Jake. Tapi
tetap saja jauh. Rachel dan Tobias juga pergi.
"Kamu tahu berapa banyak cara mengatakan 'muntah' dalam bahasa Inggris?" Tanya
Marco saat kami melewati Dunkin' Donuts, toko pertama di barisan restoran cepat
saji yang mewarnai jalan utama yang melintasi kota. "Ada vomiting, tentu saja.
Hurling. Tossing your cookies. Puking, yang jadul. Ralphing."
Aku lega karena Marco mengisi kesunyian yang ada. Walau aku tahu dia bisa
membicarakan topik yang lebih bermutu.
"Ada juga cascading. Tapi aku memilih istilah yang lebih realistis. Kayak
blowing chunks. Spewing your guts."
Marco mengambil nafas yang dalam dan tetap melanjutkan bicara saat kami melewati
Taco Bell. "Tangoing with the toilet. Yang itu bagus, tuh," katanya lebih pada diri
sendiri. "Technicolor yawn." Jake melepaskan diri dari kami, terhuyung menghampiri
pinggiran jalan, membungkuk di atasnya, lalu - isi saja istilah 'muntah'
favoritmu disini. "Kuberi nilai empat," Marco memberitahu Jake. "Sori, guy. Tapi kekuatan
pendorongmu nggak berada di tempat yang benar."
Jake menegakkan badan. Lalu lututnya menekuk. Marco dan aku menangkapnya tepat
sebelum dia jatuh ke jalan.
Marco mengangkat salah satu lengan Jake ke bahunya. Aku menyisipkan lengan yang
satu lagi ke sekelilingku. Lalu Marco dan aku mengangkatnya dengan berpegangan
tangan di bawah tubuhnya.
Sebentar Marco dan aku sudah terlalu terengah-engah untuk berbicara. Kami
berbelok keluar dari jalan utama, berjalan makin dalam menuju daerah pemukiman
penduduk. Beberapa lampu jalan menyala, tapi keadaan lumayan gelap. Dan sunyi,
kecuali suara terengah-engah kami yang tadi.
"Hampir sampai," Marco berkata sambil megap-megap.
Kami berbelok ke arah blok rumah Jake. Saat kami mencapai serambi rumahnya, kami
menurunkan kakinya pelan-pelan. Dia terhuyung sedikit, tetapi berhasil berdiri
tegak. "Jangan biarkan Tom melihatku. Kalau-kalau aku morf," gumamnya.
Aku mengangkat tanganku untuk mengetuk pintu, tapi ibu Jake sudah membuka
pintunya bahkan sebelum kami sempat mengetuk.
"Jake kena flu," dustaku.
"Aku tahu. Rachel sedang meneleponku." Ibu Jake memegang gagang telepon. "Dia
bilang kalian sedang dalam perjalanan."
"Kupikir Jake hampir muntah lagi," seru Marco. Dia membawa Jake menyusuri hall
menuju kamar mandi. "Bisakah saya bicara dengan Rachel sebentar?" Pintaku.
Ibu Jake menyerahkan teleponnya padaku.
"Rachel, ini aku," kataku.
"Jake beruntung," Rachel memberitahuku. "Teman kita yang lain flunya jauh, jauh
lebih parah. Teman kita pikir Jake hanya akan kena gejala yang biasa. Tahulah,
demam, muntah, sakit kepala. Teman kita punya penjelasan yang panjang, lumayan
mengigau yang pasti nggak mau kamu dengar."
"Bagus. Seenggaknya infonya cukup melegakan," kataku lelah.
"Berita buruknya kita semua mungkin akan sakit. Flu jenis ini menular banget,"
Rachel melanjutkan. "Sudah ya, kayaknya aku dengar mobil orangtuamu."
Aku berdiri mematung. Memandangi telepon di tanganku.
Kalau kami semua sakit, siapa yang akan menyelamatkan Aftran" Dan siapa yang
akan mengoperasi Ax"
Chapter 12 Aku mengusap tanganku dengan air hangat yang berbusa. Lalu aku mendorong pintu
ruangan operasi dengan sikuku.
"Dia berada dalam masa kritis," kata Noah Wyle saat aku menghampiri sang pasien.
Dia meletakkan pisau bedah mungil ke tangaku.
"Kau akan baik-baik saja," aku menenangkan pasien kami.
"Aku memercayaimu, Cassie," pasien itu menjawab.
Dia adalah ayahku, berbaring di meja operasi dengani selimut hijau.
"Bu-bukankah dia harus dibius?" Tanyaku tercengang.
Noah Wyle terlihat kaget. "Tidak bisa kalau kita mau mengoperasi yamphut." Aku
mengambil nafas dalam-dalam, bau disinfektan membakar paru-paruku. Aku
memantapkan posisi ujung pisau di dahi ayahku.
Tap, tap, tap. Aku menoleh ke atas dan melihat Jake, Marco, Rachel, dan Tobias dibalik kaca
ruang tunggu. Mereka mengetuk-ngetuk kaca dan melambai padaku.
Aku mengembalikan perhatian pada ayahku. Tapi yang berbaring di meja bukanlah
ayahku lagi. Ax. Aku tidak tahu dimana aku harus membuat sayatan pembuka. Apa Kelenjar Tria
itu terletak di depan kepala" Di belakang"
Tap, tap, tap. Kenapa mereka terus mengetuk-ngetuk kaca" Apa mereka tidak tahu operasi ini
sangat butuh konsentrasi" Aku butuh kesunyian.
Tap, tap, tap. Bunyi itu akhirnya membangunkanku.
"Cassie, kamu akan terlambat ke sekolah," ibuku memperingatkan. Dia mengetukngetuk pintu kamarku sekali lagi.
"Aku sudah bangun!" Teriakku.
Aku berdiri dan membuka laci tengah lemari pakaianku. Langsung menarik pasangan
baju dan celana yang pertama kali disentuh jariku. Lalu aku memasang kaos kaki
dan sepatu, berpamitan pada orang tuaku, dan mencomot sebuah Pop-Tart sambil
berangkat. Aku tidak bisa berhenti menguap. Serasa hanya sempat tidur lima belas menit.
Marco dan aku bergantian menjagai Jake kemarin malam.
Marco sekarang masih berada disana. Sampai Tom pergi ke sekolah. Kami khawatir
kalau-kalau dalam demamnya Jake akan mengatakan sesuatu yang fatal jika sampai
di telinga Tom. Jadi aku menghabiskan setengah malam hinggap di dinding rumah Jake. Bersembunyi
di semak-semak untuk demorf dan remorf cepat-cepat.
Jake tidak mengatakan apapun yang mencurigakan. Sesakit apapun dia, kupikir ada


Animorphs - 29 Penyakit The Sickness di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

semacam bagian dari dirinya yang mengetahui betapa berbahayanya kata-kata yang
salah diucapkan. Aku langsung mendatangi gudang jerami untuk menengok Ax. Aku memasukkan kepalaku
ke dalam hologram. Ax mengedip dengan mata bentuk-almondnya yang manis. gumamnya.
"Kupikir dia merasa tidak enak dia jatuh sakit pada saat kalian membutuhkan
dia," Erek menjelaskan.
Dia menyerahkan sebuah grafik yang berisi catatan temperatur Ax yang diukur tiap
jam. Sudah turun dibandingkan kemarin. Tapi kurang dari satu derajat. Sembilan
puluh empat koma empat. Kami harus mengoperasinya ketika suhunya mencapai
sembilan puluh satu koma tiga. Masih ada sedikit waktu.
Aku mengembalikan grafik itu pada Erek, dan membelai leher Ax yang dipenuhi
bulu-bulu halus. "Bahkan prajurit juga bisa sakit sewaktu-waktu," aku memberitahunya. "Bukan
salahmu." kata Tobias dari tempat
bertenggernya yang biasa di kasau.
"Aku akan terlambat kalau nggak berangkat sekarang," kataku. "Tobias, kamu tahu
dimana aku kalau kamu butuh bantuan."
Aku berbalik dan berlari keluar.
Aku sampai di sekolah sekitar empat menit sebelum bel masuk berbunyi. Aku
langsung menunggu Rachel di lockernya.
Aku menunggu disana sampai waktu bel berbunyi tinggal semenit lagi. Lalu aku
memutuskan untuk mengecek lockerku. Siapa tahu Rachel sudah menunggu disana.
Aku berjalan cepat-cepat menuju lockerku. Tidak ada Rachel.
Bel pun berbunyi. Aku berdiri di dekat locker Rachel sampai koridor sekolah
mulai lengang. Saat tidak ada lagi orang yang tersisa, aku akhirnya memutuskan
untuk masuk ke kelas. Aku berhasil duduk di kursi sekitar sedetik sebelum bel kedua berbunyi. Aku
mengeluarkan catatan dan pensilku, lalu mencoba berkonsentrasi pada perkataan
guruku. Tapi otakku terlalu jenuh untuk dimasuki informasi baru. Aku terus menerus
memikirkan seberapa rendah suhu Ax sekarang. Dan bagaimana keadaan Jake. Dan
dimana Rachel berada. Setidaknya aku bisa menjawab pertanyaan terakhir. Aku mengangkat tangan dan
meminta izin pergi ke belakang.
Guruku tidak terlalu senang aku tidak ke toilet dulu sebelum kelas dimulai tapi
dia tetap memberiku izin.
Aku membuka pintu, melewati toilet, dan pergi ke kelas pertama Rachel. Aku
mengintip dari jendela kotak kecil di dinding.
Rachel tidak ada di dalam.
Aku berbalik dan pergi ke telepon umum di luar gym. Saat aku mencapainya,
kutelepon rumah Rachel. Ibunya menjawab setelah dering kedua.
"Ini Cassie. Apa Rachel di rumah?" Tanyaku tanpa basa-basi.
"Rachel baru saja tidur," katanya. "Dia muntah-muntah terus sepanjang malam."
Chapter 13 Saat waktu makan siang tiba, aku langsung pergi ke kafetaria. Aku mencari-cari
sosok Marco. Aku merasakan ketukan kecil di bahuku dan mengira bahwa itu adalah Marco. Aku
membalikkan badan hanya untuk melihat Mr. Tidwell berdiri disana.
"Kita harus mendiskusikan masalah pesta Klub Bahasa Spanyol," katanya.
Dia mencoba terdengar biasa. Tapi aku bisa merasakan tekanan dari suaranya.
Tidak apa-apa, dia mungkin juga bisa merasakan tekanan dariku.
Dia membawaku ke kelas yang kosong dan menutup pintunya rapat-rapat di belakang
kami. "Visser Three akan kembali lebih cepat dari yang diperkirakan. Interogasi Aftran
mungkin akan dipercepat, bisa saja malam ini. Kalian harus lekas bertindak."
Saat dia berbicara, aku tidak bisa berhenti memerhatikan mulutnya. Seorang Yeerk
menggerakkan bibirnya. Mengontrol lidahnya.
Apa Yeerk itu yang membuat otot-otot kerongkongan Mr. Tidwell menjadi tegang
sehingga aku bisa mendengar tekanan dari nada suaranya"
Apa itu merupakan bagian dari rencana yang dibuat sedemikian rupa untuk
membuatku menaruh kepercayaan padanya" Untuk memastikan bahwa aku telah
meyakinkan teman-temanku agar mau berjalan tepat menuju serangan dadakan"
"Kenapa Anda datang pada saya?" Tanyaku tba-tiba. "Anda bilang Anda tahu
segalanya tentang kami. Jadi Anda pasti tahu pemimpin kami Jake. Kenapa tidak
datang padanya?" Mr. Tidwell duduk di meja guru. "Atran memercayaimu. Hanya kau. Dia bilang kamu
sudah membuktikan dirimu padanya," jelas Mr. Tidwell.
Illim, maksudku. Sangat sulit mengasosiasikan dirinya dengan orang lain selain
Mr. Tidwell. Aku berharap Illim tidak menarikku dari kelompokku. Kami semua seharusnya berada
disini. Setidaknya semua dari kami yang kondisinya memungkinkan.
Satu-satunya hal yang bisa kulakukan adalah mencoba dan memastikan aku
menanyakan seluruh pertanyaan yang akan ditanyakan teman-temanku senadainya
mereka disini. Tidak sulit menebak apa yang ingin Marco ketahui.
"Saya punya pertanyaan lain. Bagaimana dengan Mr. Tidwell" Mr. Tidwell yang
manusia, yang asli?"
"Saat aku baru menggunakan Mr. Tidwell, aku bukan anggota gerakan damai," Illim
mengakui. "Dia bukan induk semang sukarela. Tidak, bukan begitu cara pengucapannya. Dia
induk semangku, budakku."
Matanya terlihat lebih berair daripada biasanya. Bisakah Yeerk mengontrol bagian
tubuh yang tidak digunakan manusia setiap saat" Bisakah Yeerk itu menekan satu
neuron atau apa dan menstimulasi kelenjar air mata induk semangnya"
"Sebenarnya hal yang mendorongku menjadi anggota gerakan damai adalah kesusahan
yang dialami Mr. Tidwell," lanjut Illim. "Teriakan-teriakan marah dan
kesedihannya memaksaku mengakui perbuatanku padanya. Pada saat bersamaan aku
mendengar tentang kumpulan beberapa Yeerk yang berpikir bahwa menggunakan induk
semang tidak sukarela merupakan hal yang salah."
Aku mengangguk. Masuk akal bagiku. Mendengar jeritan-jeritan makhluk berperasaan
terus menerus, mengetahui bahwa kau telah menyakitinya. Bagaimana mungkin hal
itu tidak memengaruhimu"
Lalu aku teringat sesuatu yang Aftran katakan padaku. Bagi sebagian besar Yeerk,
manusia itu sama seperti babi. Hanya seonggok daging. Oink, oink.
"Tidak langsung terjadi begitu saja," Illim meneruskan. "Tapi perlahan-lahan aku
menyadari bahwa aku tidak mau menggunakan tubuh Mr. Tidwell kalau itu berarti
mengorbankan kebebasannya bagiku."
"Dan sekarang... sekarang, Mr. Tidwell ingin mengatakan sesuatu. Aku akan
mengulang apa yang dia pikirkan persis sama, kata per kata," kata Illim.
"Apa Anda tidak bisa membiarkannya bicara sendiri?" Tanyaku.
"Sekarang aku bicara sendiri," kata Tidwell.
"Bagaimana aku tahu itu benar?"
"Kau tidak bisa tahu."
Aku ragu-ragu. "Oke. Apa yang ingin Anda katakan?"
"Cassie, aku mengundang Illim untuk tetap tinggal dalam tubuhku," Mr. Tidwell
menjelaskan. "Kupikir bersama kami bisa melakukan lebih banyak bagi perdamaian
daripada kalau kami berjalan sendiri-sendiri. Dia menggunakan tubuhku dengan
izinku, sekarang." Tidak ada perbedaan dalam suara dan caranya bicara. Tapi memang tidak akan ada.
Tidwell menelan ludah. "Istriku meninggal beberapa tahun yang lalu. Cukup lama,
aku menjadi tidak peduli pada apapun. Aku tertatih-tatih menjalani hidup.
Mencoba kembali ke sekolah. Mencoba pulang kembali."
Dia mencondongkan badan, matanya terpaku padaku. "Ketika Illim mengembalikan
kebebasanku kembali, aku sadar aku ingin berbuat sesuatu dengan itu. Jadi aku
memutuskan untuk ikut bertempur. Apa lagi yang lebih penting dari itu?"
Tanyanya. "Dan Illim dan aku, kami menjadi sahabat. Dia sebenarnya teman yang
sangat baik." Aku tidak tahu apakah Marco dan yang lainnya percaya bahwa yang barusan kudengar
adalah Mr. Tidwell sendiri dan bukan semacam trik dari Yeerk. Aku tidak yakin
aku percaya. Tapi aku ingin memercayainya.
"Begini, saya mau membantu," Kataku pada Mr. Tidwell/Illim. "Tapi tiga anggota
kelompok kami sedang sakit. Benar-benar sakit. Bahkan salah satu dari mereka
butuh bedah otak. Apa gerakan damai Yeerk benar-benar tidak bisa menyelamatkan
Aftran tanpa bantuan kami?"
"Sekarang Illim yang bicara," katanya. "Gerakan damai sedang berkembang. Kami
memiliki sekitar seratus anggota. Tapi tidak semua Yeerk yang bergabung punya
induk semang. Dan tidak semua induk semang cocok untuk pertempuran."
Illim menepuk-nepuk perut buncit Mr. Tidwell. "Apa bisa bertarung dengan HorkBajir menggunakan tubuh ini?" Tanyanya. "Aku turut prihatin mendengar ada
anggota grupmu yang sakit. Tapi setelah sang Visser selesai dengan Aftran, dia
akan tahu segalanya. Dan kemudian setiap Yeerk dalam gerakan damai akan mati.
Induk semang mereka juga. Semua orang yang pernah menolongmu akan dipojokkan dan
dijadikan Pengendali," Illim melanjutkan. "Semua orang yang kalian sayangi akan
dijadikan Pengendali. Semuanya akan berakhir, Cassie. Kekalahannya akan terjadi
total, dan permanen."
Aku terduduk dan meninggalkan mukaku terkubur dalam tangan selama beberapa
menit. Rasanya kepalaku mau pecah. Benar-benar tidak ada harapan! Misi penyelamatan
yang mustahil, dengan setengah kekuatan kami tidak bisa digunakan"
Tapi tidak ada alternatif lain.
"Baiklah," kataku, pada akhirnya. "Kalau kami bisa melakukannya, kami akan
melakukannya." Aku mendorong tubuhku berdiri dan berlajan ke pintu, kaki
gemetaran. Lalu... Lalu sebuah ide...
Aku berhenti, dan membalikkan badan.
"Illim, bisakah Anda bertahan hidup di luar tubuh Mr. Tidwell selama beberapa
jam" Tanpa berada dalam kolam Yeerk, maksudku," tanyaku.
"Selama aku tinggal di tempat yang cair," jawabnya. Dia terlihat agak
kebingungan. Tapi aku tidak kebingungan. Aku punya rencana.
Rencana yang benar-benar menyeramkan.
Tapi rencana. Chapter 14 "Hei, Marco. Tunggu sebentar." Aku mengejarnya di jalanan sampai aku sejajar
dengannya. Aku sudah berharap bisa bertemu dengannya dalam perjalanan pulang.
"Aku bicara dengan Tidwell. Visser Three akan balik lebih awal."
"Kamu ingat 'Lima Monyet Kecil'?" Tanya Marco padaku, nyengir aneh.
"Kamu dengar nggak?" Tanyaku menuntut. "Kita harus selamatkan Aftran hari ini.
Tapi kupikir aku punya rencana."
"Itu lagu. Lebih mirip irama tanpa nada, sih. Pakai gerakan tangan dikit-dikit,"
Marco meneruskan. Tanpa menghiraukanku.
"Begini." Marco mulai bicara dengan ritme. "Lima monyet lompat di tempat tidur.
Satu monyet jatuh kepala luka. Mama panggil dokter dan dokter bilang - " Aku
melagukan kalimat terakhir bersama Marco. "'Monyet jangan lompat di tempat
tidur.' Yeah, yeah, bisa lanjut?"
"Terus ulangi lagi dari awal. Tapi sekarang monyetnya tinggal empat," kata
Marco. Aku memutar tubuhku dan berjalan mundur sehingga aku bisa melihat wajahnya waktu
dia bicara. "Aku masih ingat. Sekarang, kamu mau main lompat karet atau mau
dengar rencanaku?" "Kita ini lima monyet kecilnya," tukas Marco, memandang mataku dalam-dalam.
"Well, enam. Tiga dari kita sudah jatuh dari tempat tidur. Sekarang tinggal tiga
yang terisa. Monyet Cassie. Monyet Tobias. Dan Monyet Marco."
Dia ber oooh-ooh-oooh setengah hati dan menggaruk-garuk badan ala monyet di
kartun-kartun. "Kamu ketakutan, ya, kan?" Tanyaku. Aku kembali berjalan di sampingnya.
"Yeah, aku ketakutan. Tentu saja aku ketakutan," dia membalas. "Ax bisa mati.
Dan kita mau siap-siap masuk kolam Yeerk dengan setengah kekuatan tempur kita.
Setengah! Itu juga kalau salah satu dari kita nggak sakit duluan beberapa jam
lagi. Padahal kemungkinan itu terjadi besar."
"Kamu merasa baik-baik saja kan, tapi?" Tanyaku. Aku mengangkat tangan dan
menekankan pergelangan tanganku di dahinya.
Lumayan hangat. Agak lembab.
Tapi kami sudah jalan cukup jauh. Marco mungkin hanya berkeringat.
"Mataku rasanya agak aneh. Kayak ada getahnya," Marco mengakui. "Tapi tadi ada
film di Health hari ini."
"Nggak apa-apa, kan, kalau begitu."
"Kupikir gara-gara Rachel nggak bisa, aku yang pegang tanggung jawab sekarang,"
kata Marco. "Yep. Kamulah orangnya," jawabku.
"Jadi, karena aku pemimpinnya, sepertinya aku harus mendengar rencanamu,"
ujarnya. Marco memindahkan beban tasnya ke bahu yang satunya. Lalu
memindahkannya lagi. "Aku bicara dengan Mr. Tidwell aktu istirahat. Dia bilang dia sukarela bergabung
dengan gerakan damai Yeerk. Dia pikir itu adalah pekerjaan terpenting yang bisa
dia lakukan sekarang," jelasku. Marco tidak berkomentar pedas seperti biasa,
jadi aku melanjutkan. "Illim, Yeerknya Mr. Tidwell, bilang kalau dia bisa
bertahan beberapa jam di luar tubuh kalau dia ada di lingkungan yang cair. Dia
nggak harus ada di kolam Yeerk atau dimana."
Aku mengambil nafas. "Kupikir aku bisa morf jadi dia dan-"
"Kamu mau morf jadi Yeerk?" Tanya Marco tidak percaya. Dia mulai mengeluarkan
suara-suara seakan ingin muntah.
"Aku tahu kedengarannya depresi, tapi..."
Suaraku menghilang saat Marco terhuyung menghampiri semak-semak dan muntah
betulan. Aku berjalan menghampirinya dan meletakkan tanganku di punggungnya. Akhirnya
punggung Marco berhenti berguncang. Dia menegakkan badan dan menyeka mulutnya
dengan lengan baju. Lalu dia berbalik memandangku.
"Satu monyet lagi jatuh dari tempat tidur," katanya. Lalu, dengan senyum sedih
dia menambahkan, " Cassie yang malang."
Aku mencoba membalas tersenyum berani. Tapi aku sama sekali tidak merasa berani.
Aku merasa ketakutan dan ditinggalkan.
"Harus perhitungkan satu hal," ujar Marco lemah. "Apa?"
"Bagaimana kalau... Bagaimana kalau kamu berhasil?"
Lalu dia ambruk. Dan aku jadi terlalu sibuk membawanya berdiri di atas kakinya
untuk memikirkan perkatannya barusan.
Baru nanti hal itu terpikir kembali. Marco sudah melihat kesalahan fatalnya.
Kalau aku berhasil. Kalau aku menyelamatkan Aftran. Lalu apa" Aku akan punya
seorang Yeerk pelanggar hukum, tanpa induk semang, dan yang paling buruk sejauh
ini, tampa akses ke sinar Kandrona penentu-hidup.
Aku bisa menyelamatkan Aftran. Hanya untuk melihatnya mati.
Chapter 15 lapor Tobias dari
tempat hinggapnya saat aku memasuki gudang jerami.
Aku berhitung sedikit dalam kepala. Aku sudah pergi selama sembilan jam. Suhu Ax
sudah turun satu koma enam derajat. Jadi dia kehilangan hampir dua derajat per
jam. Berarti kami punya sekitar delapan jam sebelum dia mencapai masa kritis.
"Visser Three kembali malam ini," kataku pada Tobias. Aku memberitahunya seluruh
isi percakapanku dan rencanaku.
"Aku harus sudah kembali dari kolam Yeerk sebelum Ax butuh dioperasi," kataku.
Kalau aku bisa kembali. Aku menuju kandang kuda tempat Ax.
kata Tobias. kritisnya bisa terjadi malam ini, atau beberapa jam dari sekarang, atau sekarang
juga. Aku sama sekali nggak bisa lihat polanya. Kadang turunnya lambat, kadang
cepat.> "Mungkin kamu harus melakukannya sendiri. Operasinya," ujarku. "Kamu harus buat
Ax memberitahu dimana letak kelenjar itu. Kamu bisa gunakan ruangan kecil yang
dipakai ayahku untuk mengatur tulang dan macam-macam. Ada alat-alat di dalam."
Tanyanya.
"Yeah," jawabku.
balasnya. menyelamatkan dunia lebih awal. Kamu tahu lebih banyak soal obat dan sebagainya
daripada aku.> "Aku janji nggak akan ikut pesta setelah-menyelamatkan-dunia," ujarku.
Aku ingin berada disini ketika Ax mencapai masa kritisnya. Tapi aku tidak yakin
aku akan bisa melakukan lebih dari yang Tobias bisa. Yeah, aku tahu cara
membalut sayap burung yang patah dan memaksa seekor rakun menelan pil.


Animorphs - 29 Penyakit The Sickness di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tapi itu semua bukan bedah otak. Sama sekali bukan.
Satu sayatan di tempat yang salah, dan Ax bisa kehilangan kemampuan berbahasapikiran. Atau bernafas. Akan sangat mudah menyebabkan kerusakan permanen.
Padanya. Sangat mudah membunuhnya.
Bagaimana caraku hidup dengan kenyataan bahwa aku telah membunuh seorang
sahabat" Mengingatkanku pada Aftran. Dia juga seorang sahabat. Dan menyelamatkannya dari
kolam Yeerk berarti menyiksanya dengan rasa lapar kekurangan Kandrona kecuali
aku bisa memikirkan jalan lain.
Aku tidak tahu bagaimana cara Jake melakukannya. Bagaimana cara dia membuat
keputusan-keputusan hidup-dan-mati tanpa jadi gila dengan rasa bersalah dan
penyesalan. kata Tobias, menarikku dari
pikiran-pikiranku. "Lebih baik begitu," jawabku. Dia pasti mau menengok Rachel. "Aku akan berangkat
sekitar sejam lagi."
janjinya. Dia mengepakkan sayapnya keluar dari
jendela ventilasi bagian atas.
Aku menghampiri tempat Ax. Saat aku membuka pintu, Ax dan Erek muncul di
hadapanku. "Bagaimana keadaan kalian?" Aku menanyai mereka.
gunting, bisa kumengerti,> katanya. mengerti soal kertas membungkus batu. Batu tidak bernafas, ya, kan" Bagaimana
cara kertas menyakiti batu">
"Kertas mengalahkan batu. Memang agak aneh," aku menimpali.

Ax memberitahuku. Aku mengangkat alis pada Erek. Dia mengangkat bahu.
Tanya Ax.
"Di atas sana," kataku, menepuk-nepuk lengannya sekilas, Ax memutar mata
pengintainya ke atas, memerhatikan atap gudang. atas sana,> katanya. "Maksudku, iya, itu jumlah yang besar. Uang yang sangat besar jumlahnya,"
jelasku. Ax tetap mengunci pandangannya ke atas. melihatnya. Aku akan mengambilnya.> Dia maju ke depan sekali dan tubuhnya
langsung berguncang. "Sudahlah," kata Erek. "Jangan permasalahkan hal itu. Kita akan main lagi nanti,
dan kamu akan memenangkan hutangmu."
Ax tidak menjawab. Dia masih memerhatikan langit-langit.
Erek mencondongkan badan ke arahku. "Keadaannya sudah seperti ini sepanjang
hari," bisiknya. "Dia akan terlihat baik-baik saja. Tapi lalu lepas lagi." Jadi
dia masih mengigau kadang-kadang.
"Pernah hampir tertangkap basah ayahku?" Tanyaku. Aku melirik pintu kandang.
Dari sisi bagian dalam, hologramnya terlihat seperti awan perak berkabut. Aku
hanya bisa melihat bentuk-bentuk buram dan bayangan di gudang jerami.
"Sekali, Tobias sampai harus membuat keributan di setiap kandang. Binatangbinatang semua jadi panik, dan ayahmu disibukkan oleh hal itu," Erek menjawab.
"Tolong bilang padaku kamu nggak akan ikut terjangkit."
Erek tersenyum, "Aku tidak pernah sekalipun sakit dalam hidupku. Dan aku ini
sangat, sangat tua."
Aku menoleh pada Ax. "Ax. Hei, Ax. Ayolah, berhenti memandangi langit-langit.
Kita harus bicara." Perlahan Ax menurunkan mata pengintainya.
"Bisakah kamu memberitahuku dimana letak kelenjar Tria" Bisa tolong tunjukkan
daerahnya di kepalamu?"
Ax memprotes. bilang kami nggak harus belajar kelenjar.>
Oh, man. Dia pikir dia sedang berada di sekolah.
"Ini bukan ulangan, Ax. Kamu nggak bakal menerima nilai atau apa," aku mencoba
menenangkannya. "Jawab saja. Dimana kamu pikir letak kelenjar Tria itu" Aku
harus tahu." Thump. Thump. Thump. Erek mencengkram bahuku dan menunjuk ke arah gudang. Ada bayangan hitam yang
bergerak mendekat. Sepatu bot ayahku yang berisik bergeletokan melintasi gudang jerami. Dan dia
sedang berjalan tepat menuju tempat kami.
Aku melompat melewati pintu kandang dan cepat-cepat merangkak berdiri. Pasti aku
kelihatan seperti muncul dari udara kosong.
"Ayah nggak usah melakukan apa-apa lagi," kataku cepat. "Aku sudah memberi makan
dan minum semua binatang."
Ayahku mengintip ke belakang bahuku. "Dimana tadi kamu sembunyi" Aku tadi yakin
kandang kuda itu kosong waktu aku datang."
"Aku disitu terus kok. Ayah harus mulai pakai kacamata," kataku.
Ayahku mengerutkan dahi. "Kamu nggak bisa membohongi Ayah, Cassie," katanya
padaku. "Aku tahu kamu tadi berada di dalam kandang kosong itu. Dan kenapa."
Jantungku berdegup kencang.
"Ayah tahu?" Tanyaku.
Dia mengangguk. "Kamu sedang pura-pura jadi kuda, kan?" Selidiknya.
Aku sudah tidak pernah lagi memainkan permainan itu sejak umurku lima tahun.
Oke, mungkin enam. Tapi aku tidak mengakui hal itu pada ayahku. Aku hanya tersenyum lemah padanya.
"Yah. Ketahuan, deh."
Chapter 16 Setelah ayahku keluar dari gudang jerami, aku memberi makan dan minum para
binatang. Harus, karena aku bilang aku sudah melakukannya.
Lalu aku pergi ke tempat dimana ayahku punya semacam daerah pertukangan dalam
gudang jerami. Dia bukan Yusuf si tukang kayu, tapi dia pernah benar-benar
berminat membuat rumah burung.
Ditambah lagi dia masih membuat sangkar burung kadang-kadang, dan dia sendirilah
yang memperbaiki gudang jerami kalau ada yang rusak. Jadi jumlah dan variasi
alat-alat pertukangannya lumayan banyak.
Aku tahu ayahku punya sebagian besar peralatan yang dibutuhkan untuk operasi
kelenjar Tria di ruang operasi. Tapi kupikir dia tidak ada satu pun alat itu
yang bisa kugunakan untuk melubangi tengkorak Ax. Ayahku adalah dokter hewan
yang hebat, tapi dia jarang membedah menembus tulang.
Aku memerhatikan tumpukan berantakan alat-alat itu satu persatu. Apa ada yang
bisa memotong tulang"
Ayahku punya sebuah gergaji dengan gigi-gigi tajam yang kupikir bisa berguna.
Tapi gergaji itu terlalu panjang. Kecuali aku mau memotong kepala Ax dari luar
ke dalam seperti melon besar...
Aku memejamkan mata erat-erat, menghalau bayangan sadis yang muncul di kepalaku.
Aku mencoba meyakinkan diri sendiri. Kelenjar Tria itu mungkin tidak terlalu
besar. Aku hanya butuh membuat lubang yang kecil.
Lubang kecil yang akan langsung mengekspos otak Ax. Entah kenapa hal itu tidak
terlalu menenangkan. Aku memeriksa alat-alat itu lagi. Ada bor listrik. Pasti bisa melubangi tulang.
Tapi lubang yang dibuat pasti terlalu kecil.
Aku melihat beberapa peralatan lain terselip di belakang rumah burung yang
setengah selesai. Aku mengambilnya, jariku mengelilingi lubang bundar kecil di bagian depannya.
Hmmm. Lubang itu mungkin punya ukuran yang sesuai dengan yang kubutuhkan.
Aku mengingat-ingat benda apa yang digunakan ayahku menggunakan alat ini.
Namanya gergaji lubang. Terlihat agak seperti pembuka tutup botol. Kecuali, di
tempat dimana seharusnya ada cincin metal untuk membuka tutup botol, ada gergaji
bulat mungil. Aku berlari menuju ruang operasi, menyalakan lampu neon, dan menyimpan gergaji
itu. Lalu aku mengumpulkan barang-barang yang kupikir akan kubutuhkan :
hemostat, retraktor, gunting, jarum suntik, benang operasi, bola-bola kapas,
perban, betadine, alkohol.
Saat aku melangkah keluar dari ruang operasi, aku mendengar bunyi kepakan sayap.
Lalu Tobias memasuki gudang melalui ventilasi.
"Bagaimana keadaan Rach-" Aku memulai.
jawabnya sambil melayang menuju tempat bertenggernya yang
biasa.
Kata-katanya mengambang pergi saat dia menukik ke bawah untuk mendarat. Makin ke
bawah. Terlalu ke bawah. "Tobias, awas!" Teriakku ngeri.
THUMP! Tobias menubruk kasau itu kepala duluan.
Dia meluncur tajam. THUD! Dia mendarat di lantai gudang. Dan tidak bergerak-gerak lagi.
"Jangan! Jangan, jangan, jangan!" Aku berlari menghampirinya dan menjatuhkan
lututku disamping tubuhnya.
Pelan-pelan aku mengangkatnya dari lantai. Aku tidak tahu siapa yang sedang
gemetar. Dia. Atau jari-jariku yang memeganginya.
"Tobias, kamu baik-baik saja?" Tanyaku perlahan.
Dia tidak menjawab. "Tobias" Tobias!"
jawabnya.
Dia agak pening. Tapi yang jelas masih hidup.
Aku memanjat berdiri, melangkah hati-hati untuk menghindari guncangan, dan
menuju deretan sangkar-sangkar. "Aku akan meletakkanmu di samping seekor elang
emas. Aku tahu kamu benci mereka, tapi cuma itu sangkar yang kosong."
Tobias mengepak lemah di tanganku. Protesnya.
"Biar ayahku yang merawatmu," jawabku. Aku menaruhnya di dalam sangkar yang
kosong itu dan mengunci pintunya.
Jeritnya. Dia mencoba
berdiri dengan cakarnya dan merentangkan bulu-bulunya.
Aku menarik kartu keterangan dan menulis bahwa si elang ekor-merah terlihat
kacau. Aku menambahkan perkiraan bahwa dia sudah menabrak salah satu kasau.
Kalau ada gejala-gejala lain, ayahku akan tahu cara mengatasinya. Setidaknya aku
tidak harus khawatir soal Tobais.
Aku harus memindahkan kekhawatiranku pada Ax. Jika dia mencapai masa kritis saat
aku sedang bertarung di kolam Yeerk, tidak akan ada yang bisa mengoperasinya.
Tobias mematuk salah satu jeruji besi sangkar dengan paruhnya.
"Oh, sudahlah," kataku kesal. "Kamu ada di tempat terbaik dari tempat manapun
yang bisa kamu bayangkan. Aku nggak punya waktu, nggak punya, NGGAK PUNYA waktu
buat hal yang aneh-aneh, oke"!"
jawabnya patuh.
"Ya, bu," kata Erek dari kandang kuda paling ujung.
Aku mencoba mengontrol diri. Aku menarik nafas dalam-dalam dua kali. Tidak
berguna. Aku tidak bisa tenang.
Chapter 17 Tobias benar, pikirku, saat aku masuk ke dalam rumah. Aku pemimpinnya sekarang.
Pemimpin dari satu anggota. Monyet kecil terakhir yang melompat-lompat di tempat
tidur. Aku melihat ibuku duduk di depan komputer.
"Aku sedang menulis karya tulis soal bedah otak pada binatang," kataku padanya.
"Ada buku yang kira-kira bagus, nggak?"
"Hmm." Ibuku menarik satu buku hijau tebal dari rak di atas kepalanya. "Bagian
pembukaan buku yang ini lumayan bagus." Dia mengambil satu buku lagi yang lebih
tipis. "Yang ini punya beberapa foto yang bagus."
Aku mengambil buku-buku itu. "Thanks. Rachel sedang flu. Aku tadi bilang padanya
aku mau menemaninya."
"Well, kamu perhatian sekali," katanya. Dia mengambil cangkir kopinya dan
menenggaknya. Aku ingat hari dimana dia mendapatkan cangkir itu. Dia dan ayahku sedang berada
di taman hiburan The Gardens. Disitu ada tempat foto dimana kamu bisa
menempelkan mukamu di tubuh orang lain. Kami bertiga memutuskan menjadi
supermodel. Ibuku pikir itu lucu sekali jadi dia mencetaknya di dinding cangkir.
Ibuku dan aku suka menggoda ayahku, mengatakan bahwa dialah yang paling cantik
dari antara kami bertiga. Dia selalu tertawa dan pada akhirnya memberikan tipstips kecantikan ngaco. "Akan kusampaikan salam," kataku. Berbohong, dengan cara yang sama seperti
setiap kebohonganku sejak Elfangor memberikan kami kemampuan morf.
"Urn, dadah." Kuharap aku bisa mengatakan sesuatu yang lain, sesuatu yang lebih.
Hari ini bisa menjadi hari terakhirku.
Aku berlari keluar rumah dan kembali ke gudang jerami. Aku berjalan menuju
tempat Ax. Mengambil satu tarikan nafas dalam, lalu melangkah ke dalam.
"Bagaimana keadaanmu, Ax?" Tanyaku.
Salah satu mata pengintainya berayun setengah lingkaran padaku. Hanya itu
responsnya. "Aku baru saja mengukur suhunya. Sembilan satu koma sembilan," kata Erek.
Turun hampir satu derajat kurang dari satu jam. Kalau suhunya terus turun dengan
kecepatan seperti ini, aku pasti tidak akan kembali tepat waktu.
Tobias bilang temperaturnya tidak turun dengan pola yang bisa diprediksi. Aku
harus berharap turunnya akan jadi lebih perlahan sekarang.
"Erek, sekarang Tobias juga sakit. Aku harus menaruhnya di salah satu sangkar,"
kataku. "Kalau Ax mencapai masa kritis sebelum aku kembali..."
Aku benar-benar tidak mau mengatakan hal ini. Tapi harus. "Kamu jangan pergi
mendatangi ayahku atau siapapun untuk minta pertolongan," aku meyelesaikan
kalimatku. Apa yang sedang kukatakan pada Erek adalah dia harus membiarkan Ax mati.
Erek mengangguk. "Aku mengerti."
Kalau Ax sedang normal, dia pasti juga bisa mengerti. Aku tahu dia bisa. Ax
adalah kadet-prajurit yang terlatih. Dia tahu terkadang salah satu anggota grup
harus mati untuk menyelamatkan sisanya.
Aku meletakkan telapak tanganku pada dahi Ax. "Kamu bisa dengar aku, Ax?"
Tanyaku. Aku merasakan gerakan yang sangat pelan terjadi di bawah tanganku. Apa dia
mendengarkan" Apa dia mencoba menjawab" Aku tidak bisa yakin.
"Sori, Ax," bisikku. "Aku akan tinggal bersamamu seandainya aku bisa."
Aku merasakan air mata yang panas menyakiti mataku dan aku mengedip keras-keras.
"Kamu mengerti, kan?" Lanjutku. "Aku harus mencoba menyelamatkan kita semua.
Bukan hanya kamu." Dengan berat hati aku mengangkat tanganku dari dahinya.
Lalu aku berbalik pergi dari tempat itu tanpa berkata apa-apa lagi.
Aku mengambil sepedaku dari tempatnya diparkir di samping pintu gudang. Aku
menaikinya dan mengayuhnya sekencang mungkin. Aku tidak akan pergi jauh-jauh.
Sepeda yang normal, baik, dan tua ini merupakan kendaraan terbaik.
Aku mengayuh pergi meninggalkan Ax dan Tobias dan Erek. Meninggalkan kedua orang
tuaku. Meninggalkan Jake, Marco dan Rachel.
Aku benar-benar sendirian.
Aku menghentakkan kakiku memutar pedal. Berusaha membakar sebagian rasa takut
yang menumpuk dalam diriku.
Mencoba menghalau semua pemikiran 'bagaimana kalau'.
Bagaimana kalau aku tidak kembali saat Ax mencapai masa kritisnya"
Bagaimana kalau rencanaku tidak berhasil" Bagaimana kalau aku jatuh sakit
sebelum aku bisa menyelamatkan Aftran"
Bagaimana kalau aku jadi kacau"
Bagaimana kalau" Bagaimana kalau" Bagaimana kalau"
Bagaimana kalau dari dulu aku sudah membunuh Aftran"
Kecepatanku melambat saat aku memikirkan hal itu.
Aku juga sendirian pada saat itu. Sendirian, aku mengambil keputusan untuk
membiarkan Aftran hidup. Itu merupakan pilihan yang tepat.
Aftran tidak mengkhianatiku atau anggota Animorphs yang lain. Dia pergi
melakukan hal yang penting bagi gerakan damai Yeerk. Kalau aku mengeluarkan
Aftran dari kolam Yeerk sebelum sang Visser menginterogasinya, gerakan damai itu
akan terus beroperasi. Animorphs akan terus berjuang.
Kalau aku gagal... Aku mengendarai sepedaku masuk ke garasi Mr. Tidwell dan memarkirnya. Lalu aku


Animorphs - 29 Penyakit The Sickness di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

langsung menuju pintu depannya. Dia mengayunnya terbuka sebelum aku membunyikan
bel. "Dimana yang lain?" Tanyanya.
"Sakit." "Cuma kau sendirian?"
"Ya. Aku. Aku atau tidak siapapun juga."
Dia terdiam sejenak, lalu mengundangku masuk.
"Jadi dimana kita akan melakukan hal ini?" Ujarnya langsung setelah aku
menjejakkan kakiku ke dalam. "Kamar mandi" Dapur" Dimana?"
Dia terus memegangi telinganya, menggosok-gosokkan jari pada daunnya. Dia
terlihat benar-benar ngeri pada apa yang sebentar lagi akan kami lakukan. Aku
jadi ingin memberitahunya untuk bergabung dengan klub. Tapi mungkin segalanya
nanti akan jadi lebih buruk.
( Bergabung dengan klub = Join the club. Frase Amerika. Maksudnya, bergabung
dengan orang-orang yang merasa sehati gara-gara suatu alasan, di kasus ini,
sehati merasa gugup. Jadi ikut bergabung dengan klub gugup imajiner, begitu.)
"Dapur juga bisa," jawabku. Aku yang memimpin perjalanan, walaupun itu rumahnya.
Walaupun dia guru dan aku muridnya. Kami tidak punya waktu berurusan dengan hal
itu. Aku duduk di meja dapur dan mengajak Mr. Tidwell duduk di kursi yang terletak di
sebelahku. "Jadi sekarang?" Tanyanya.
"Ayo lakukan!" Kataku.
Seharusnya itu kalimat Rachel. Tapi Rachel tidak sedang berada disitu.
Mungkin kalimat itu bisa membawa keberuntungan bagi kami. Bagi kami semua.
Mr. Tidwell menelengkan telinga kanannya pada meja.
Aku membungkuk. Mataku terkunci pada lubang telinga itu. Aku tidak bisa
memalingkan perhatian. Ada sesuatu yang berkilat-kilat di dalam lubang itu. Lalu tubuh abu-abu sekurus
pensil mencuat keluar. Bergoyang kesana dan kemari. Makhluk itu seakan-akan
sedang mencicipi udara. Shh-lop. Shh-lop. Shh-lop.
Lebih banyak lagi bagian tubuh abu-abu mendorong dirinya keluar dari telinga Mr.
Tidwell. Plop! Yeerk itu jatuh dari jarak beberapa inci ke atas meja. Tubuhnya sudah memipih
dan memanjang saat dia berusaha keluar dari lubang telinga. Aku memerhatikan
dagingnya berkontraksi, seperti tangan yang mengepal. Membentuk tubuhnya yang
seperti-siput. Aku tersentak mundur. Kaki-kaki kursi yang kududuki berdecit di lantai dapur.
Itu Illim, kataku pada diriku sendiri, mencoba mengontrol belitan di perutku.
Mr. Tidwell mengambil lap tangan dari meja dan menyeka telinganya. "Selalu
membuatku merasa... Entahlah. Kosong."
Aku tidak menjawab, Aku mau rencanaku berlanjut. Aku tidak mau ada terlalu
banyak waktu dimana aku bisa berpikir akan apa yang nanti mau kulakukan Aku
mengangkat tangan dan meletakkan ujung jariku pada tubuh Illim yang lembab
dengan lembut. Aku menutup mataku. Berkonsentrasi. Dan DNA dari Yeerk itu menjadi satu
denganku. Yeerk itu. Yeerk itu menjadi salah satu bagian dariku.
Aku menarik tanganku dari Illim. Mr.Tidwell mengisi sebuah kantong Ziploc dengan
air dan menyelipkan Illim ke dalamnya. Lalu dia mengunci bagian tutupnya hampir
penuh dan meletakkan kantongitu di saku jaket corduroynya.
(Ziploc = Kantong plastik yang ada resletingnya. Semacam... mmm... kalau kita beli
obat bentuk kaplet atau pil pasti obatnya dimasukin ke kantong Ziploc. Di
kantong tertera nama pasien sama jawal minum obat. Semacam itu.
Corduroy = sejenis beludru atau kain katun tebal. )
"Kau tahu, jika ada satu hal yang salah, Visser Three bisa tahu akulah yang
membawamu masuk," katanya. "Kalau sudah begitu, dia akan membunuh kita semua."
"Yeah, well, dia sudah mencoba melakukan hal itu sejak dulu, tapi lihat aku
sekarang masih disini," kataku. Lalu aku menertawakan aksi beraniku sendiri.
Mr. Tidwell tersenyum. "Kamu selalu jadi murid yang baik. Tidak seperti Jake,
yang tidak pernah benar-benar menggunakan seluruh potensinya."
Aku menghela nafas. "Well, kuharap Jake ada disini sekarang. Ya sudah. Aku harus
melakukannya. Agak tidak menyenangkan untuk dilihat."
"Sepertinya aku bisa tahan."
Aku memfokuskan pikiranku. Perubahannya terjadi.
Setiap morf itu menakutkan. Setiap morf baru itu dua kali menakutkan.
Morf ini... Inilah musuh kami. Parasit. Siput.
Kulitku jadi licin tertutup lapisan tipis lendir. Menyelubungi seluruh tubuhku,
keluar dari pori-pori. Di kelopak mataku. Di sela-sela jari-jari kaki dan tanganku.
Leherku, kakiku, perutku.
Lendir itu makin lama makin tebal menyerupai Jell-O setengah jadi. Merembes ke
dalam telingaku. Hidungku. Mulutku.
Aku tersedak saat lendir itu berkumpul di mulutku. Gigi-gigiku mulai melebur,
seakan terbakar oleh asam.
Bibirku meleleh menjadi satu, menngunci gigiku yang sudah tiada bersama tumpukan
lendir didalamnya. Ax selalu bilang akulah yang paling jago bermetamorfosis. Tapi sulit sekali
melanjutkan morf ini. Aku mencoba rileks. Untuk membiarkan perubahan-perubahan terjadi.
Tubuhku jadi dingin saat lendir tebal itu mengalir di kerongkonganku, mengisi
esofagusku. Entah bagaimana aku masih bisa bernafas. Mungkin lewat kulit.
Gelombang rasa mual menjalari tubuhku saat cairan itu mencapai isi perutku. Aku
merasakan bagian-bagian itu menggulung dan menghilang.
Lendir itu juga mencapai jantungku. Lalu jantungku mengkerut dan berhenti
berdetak. Tanganku menempel ke sisi tubuhku dan kakiku menempel satu sama lain. Aku
merasakan lendirnya menyerap melewati kulit dan dagingku sampai akhirnya
mencapai tulang. Tulangku serasa berubah jadi es. Lalu tiba-tiba pecah menjadi
triliunan keeping. Lantai menerjangku saat aku jatuh dari kursi. Ukuranku masih belum kecil, dan
aku berbaring saja disana, siput terbesar di dunia. Seluruh tubuhku hanya
terdiri dari daging yang licin dan lembek.
Hanya matakulah yang belum berubah sama sekali. Pandanganku tertuju ke langitlangit. Aku bisa melihat Mr. Tidwell di atasku. Mukanya menujukkan ekspresi ngeri yang
amat sangat. Sepertinya dia sedang berteriak. Aku tidak bisa mendengarnya.
Wajahnya jadi buram saat lendir mulai melapisi mataku. Aku tidak bisa melihatnya
lagi saat mataku pun meleleh sepenuhnya.
Lalu tubuhku menggulung sendiri. Makin ke dalam, makin ke dalam. Menjadi lebih
kecil dan makin kecil. Jatuh... Jatuh... Lalu selesai. Perubahannya berhenti.
Aku telah menjadi seorang Yeerk.
Chapter 19 Aku terdiam di lantai dapur Mr. Tidwell. Tuli, buta, hanya mampu bergerak sangat
terbatas. Bagaimana caraku menemukan telinga Mr, Tidwell" Aku tidak tahu, tapi Yeerk ini
tahu. Aku mencoba membuka diri ke insting alaminya dan membiarkan Yeerk itu
membimbingku. Aku menyadari aku bisa melakukan sesuatu seperti penginderaan gema kelelawar.
Atau seperti sonar. Yeerk itu menembakkan gelombang-gelombang elektrik, lalu
menganalisa pantulannya. Gelombang itu bisa memberi bayangan seperti apa bentuk dan ukuran sebuah benda.
Sonarku merasakan sebuah objek, lebih besar daripada aku, sedang bergerak. Aku
merasakan kehangatan mengelilingi tubuhku, dan aku dibawa naik, naik, naik.
Sonarku menangkap bentuk lain. Insting Yeerkku langsung terdorong keluar. Aku
mengeluarkan dua tonjolan dari bagian depan tubuhku. Meraba-raba sekitarku
sampai aku menemukan satu lubang kecil.
Lalu aku bergerak masuk. Melata tepat menuju bagian dalam telinga Mr. Tidwell.
Sempit. Aku mengekskresikan semacam zat pembunuh rasa sakit untuk melegakan
liang telinganya dan menggeliat, mengatur bentuk tubuhku, mendorong tulang dan
otot agar tidak menghalangi jalanku dengan kekuatan yang mengagetkan.
Aku menembus telinga. Makin dalam. Mencapai daging, sekarang. Makin ke dalam.
Aku terus bergerak sampai akau merasakan satu sentilan kecil arus listrik.
Ya! Inilah yang aku cari-cari.
Otak! Neuron-neuron menghujaniku dengan arus bertegangan mikro saat aku meregangkan
tubuh. Aku hanya setipis kertas. Melebar seperti Silly Putty yang sudah dipukuli.
(putty = Polimer anorganik. Lentur, bisa memantul tapi pecah kalau dipukul
keras-keras. Bisa juga meleber kayak air, membentuk genangan kalau dibiarkan
begitu saja. Produknya Crayola, buat mainan anak-anak.)
Aku mengisi tiap celah dan retakan dalam otak.
Ah! Sekarang aku bisa merasakannya. Nuron-neuron itu berhubungan denganku.
Membuatku menjadi bagian dari tubuh yang aneh dan penuh misteri ini.
Aku merasakan kesenangan dan rasa kagum dari si Yeerk atas kemampuan barunya.
Atas ukuran, kekuatan dan kemampuannya. Rasa senang hewani yang mendalam, tanpasadar, dan tanpa-pemahaman.
Aku menyentuh pusat pendengaran otak.
Ahhh! Rasanya seperti hidup kembali. Suara air yang menetes-netes di tempat cuci
piring sangat menyenangkan untuk didengar.
Lalu, aku menyentuh pusat penglihatan.
Seakan keluar dari lorong gelap setelah terperangkap selama-lamanya. Terlalu
banyak untukku! Begitu membahagiakan! Kegilaan yang saking memesonanya membuat pening.
Aftran memang benar saat dia bilang manusia hidup di tengah-tengah keindahan dan
keagungan. Taplak meja Mr. Tidwell yang bermotif kotak-kotak merah dan putih
benar-benar sesuatu yang harus dinikmati pelan-pelan. Dan Aku mendengar
sebuah suara memanggilku.
Mr. Tidwell. Berbicara dalam pikiranku.
Tanyanya, terdengar panik.
Aku bisa saja berdiri di dapur Mr. Ttidwell semalam suntuk. Membiarkan diriku
tenggelam dalam rasa bahagia mendapati sensasi-sensasi baru.
Tapi aku punya satu tugas. Dan tidak banyak waktu. Aku mengontrol keinginan
Yeerkku untuk menjelajahi dunia yang menurutnya baru ini.
Aku tidak tahu cara menggunakan hubungan antara diriku dengan Mr. Tidwell untuk
mengontrol tubuhnya. Tapi Yeerk ini tahu.
Aku membiarkannya menelaah bagian-bagian otak Mr Tidwell. Beberpa bagian
mengontrol fungsi fisik seperti menggerakkan otot. Bagian yang lain menyimpan
memori. Saat aku merambah area itu, pikiranku dibanjiri oleh gambaran-gambaran dari
potongan hidup Mr. Tidwell.
Mr. Tidwell duduk di dapur ini, tempat cuci piring dipenuhi cucian kotor. Meja
dapur diselubungi bercak-bercak makanan. Bau sampah mengambang di udara.
Mr. Tidwell yang lebih muda, lebih kurus, berada di dapur yang sama, tapi
berseri-seri dan bersih. Dia berdiri di sebelah istrinya sambil mencipratinya
dengan air sabun. Mr. Tidwell berjalan menuju kelas di hari pertamanya sebagai seorang guru.
Merasa bangga dan gugup saat dia menuliskan namanya di papan tulis dan berbalik
untuk menghadapi murid-muridnya.
Mr. Tidwell memanjat tempat tidurnya kemarin malam, dan meletakkan foto istrinya
di atas bantal di sebelahnya dengan hati-hati.
Aku tidak mau melihat hal itu. Aku tidak mau mengorek memori Mr, Tidwell.
Ninja Edan Lengan Tunggal 1 Wiro Sableng 156 Topan Di Gurun Tengger Datuk Sesat Bukit Kubur 1

Cari Blog Ini