"Nggak sementara aku disini dan menonton," kataku.
Aku mengacuhkannya. Gorila. Itu adalah morf kuat favoritku dan aku sedang siap
untuk meretakkan beberapa kepala. Kalau aku tidak bisa menyelamatkan ibuku dari
Yeerknya, setidaknya aku bisa menyelamatkannya dari siapapun yang mencoba
membunuh Visser One.
"Nggak. Kamu membiarkan kebencianmu pada Yeerk menghalangi. Kalau Visser Three
mencoba membunuh Visser One mungkin kita akan dapat sedikit keuntungan."
"Salahkan aku saja nanti," gumamku.
FWAM! Pintu menuju koridor berhamburan ke dalam.
TSEEW! TSEEW! Terdengar suara tembakan sinar Dracon yang akrab dengan telinga kami Aku membuka
pintu kamar mandi. Di kantor, semuanya berantakan.
Sang Visser sudah membebaskan tubuh ibuku dari kolam dan dia sekarang sedang
berjongkok di belakang alat pengintai. Dia menembakkan sinar Dracon.
Seorang Hork-Bajir terhuyung mundur, di dadanya terdapat lobang berasap. Tapi
makin banyak yang masuk lewat ambang pintu.
Aku membuka pintu kamar mandi dan menghambur keluar.
Visser One melirik kaget ke arahku. Dia menahan diri. Haruskah dia menembak"
Dua Hork-Bajir besar menghampirinya. Perhatiannya kembali kepada mereka.
Terlambat! Lengan berpisau mengayun. Pasti dimaksudkan untuk memotong lengan ibuku. Meleset
dan malah menghantam senjatanya sehingga jatuh.
Dia tidak berdaya. Hork-Bajir itu bergerak mendekat.
WHUMPF! Kepalan tanganku meratakan moncong si Hork-Bajir. Dia mundur dengan timpang.
Visser One mencoba meraih sinar Draconnya. Ax melompat keluar dari kamar mandi.
"Andalite!" salah satu Hork-Bajir berteriak kaget.
FWAPP! Pisau ekor Ax melakukan apa yang tadi Hork-Bajir itu ingin lakukan pada ibuku.
Tapi Hork-Bajir lain masih berdatangan. Ada empat dalam ruangan. Lebih banyak
lagi di luar. "Tseeeeer!" Tobias mengepak, cakarnya keluar. Satu hembusan dan kepakan sayap meninggalkan
Hork-Bajir itu terjatuh, memegangi matanya.
Kami bertarung melawan alien-alien kebingungan itu, memukul dan menyayat. Lalu,
di ujung mataku, aku melihat Visser One mengangkat pistol sinar Draconnya.
Padaku! Terlalu jauh bagiku untuk mencapainya.
kepalanya.
Ax padanya. "Aku tidak menerima pertolongan dari Andalite!" Dia menjerit marah. Tapi
senjatanya sudah jauh di luar jangkauan. Hork-Bajir memblokir semua jalan yang
ada untuk mengambilnya kembali.
Sang Visser berbalik dan berlari ke kamar mandi.
Aku berdiri, tepat sekali, saat seorang Hork-Bajir terluka yang menyerang
membabi-buta hendak membuat sebuah sayatan dalam di sisi tubuhku. Aku menangkap
salah satu lengannya yang berpisau dan melemparkannya ke dinding. Aku meninju
Hork-Bajir kedua. Dan Tobias melukai yang lainnya. Tapi Ax-lah yang memenangkan
pertarungan ini. Ekornya mencambuk kiri, kanan, terlalu cepat untuk diikuti
pandangan mata. Para Hork-Bajir jatuh di depannya. Pertama jatuh karena bertarung, tapi lalu
karena panik. Mereka mulai berlomba-lomba berlari keluar dari pintu.
Aku meraih pintu yang sudah amat rusak itu dan menempelkannya kembali ke tempat.
Aku memberi Ax pandangan penuh arti. < Dude. Kayaknya kamu benar-benar bikin
mereka takut.>
dimiringkan.
Aku mengangkat sebuah kursi dan melemparkannya ke jendela. Pecah berkepingkeping.
Tobias terbang melewati pecahan kaca yang berkilat-kilat. Dia langsung
melaporkan.
"Mati kau, Andalite!"
Pintu kamar mandi menjeblak terbuka. Sebuah lengan sedang terangkat. Lengan yang
terlihat-rapuh. Dengan pistol sinar Dracon yang terlihat-tidak-terlalu-rapuh.
Dia punya simpanan senjata di kamar mandi!
TSEEEW! TSEEEW! Pistol itu diarahkan tepat pada Ax. Tapi Ax sudah tidak berada di sana pada saat
dia menarik pelatuknya. Aku menjatuhkan diri di lantai dan maju, meluncur di genangan darah Hork-Bajir.
Sang Visser berjongkok di belakang alat pengintai lagi, matanya terpatri oleh
kebencian. Dengan kepalan tanganku yang luar biasa besar aku mengambil salah
satu tas sang Visser dan melindungi diri dari satu tembakan yang diarahkan pada
kepalaku. Mengumpulkan segala kekuatan otot gorilaku, semua kemarahan seorang anak yang
menginginkan balas dendam, aku melompat ke depan, menyingkirkan alat pengamat
itu, dan menuju Visser One.
WHHUMMPPFF. Empat ratus pound otot dan daging meremukkan tubuh manusia ramping ibuku.
Aku berdiri, menariknya ke atas kakinya, mengambil dan melemparkan senjatanya ke
seberang ruangan dengan tenang. Aku mengunci tangannya.
Mengunci tangannya dengan lembut.
Ax mendengus.
"Jadi kenapa kau tidak membunuhku saja?" VIsser One meludah. "Sampah Andalite
arogan! Kenapa kau tidak membunuhku sekarang?"
Chapter 11
Tapi dalam bahasa-pikiran pribadi, yang hanya bisa didengar olehku dan Tobias,
dia menambahkan,
Aku mempererat peganganku. Membuatnya merasakan kekuatan yang tak bisa dilawan
dari lenganku. Aku menahan keinginan untuk berteriak, "Maaf, Mom!"
"Stop!" Sang Visser menjerit. "Jangan bunuh aku!"
Aku membuat lenganku lebih rileks. Tubuh manusia ibuku terjatuh. Aku dapat
mendengar nafasnya yang tersendat-sendat. Dapat melihat tulang bahunya dari blus
sutra tipis yang ia kenakan.
dan pengecut masih hidup! Tapi Visser Three-lah yang mengakhiri nyawanya. Dialah
orang yang kau mau. Dan begitu juga denganku. Aku mau dia mati sebesar
keinginanmu. Bukan berarti aku tidak akan bangga menyatakan Elfangor sebagai
korbanku."
Aku tidak bisa memeganginya lagi. Aku sedang setengah jalan menuju pelukan penuh
kasih dan cekikan penuh amarah.
Aku melepaskannya. Dia meluruskan wig pirangnya dan menarik beberapa tarikan
nafas dalam. Aku menyingkirkan wig itu dari kepalanya dengan punggung tanganku. Tidak tahu
kenapa. Sang Visser... ibuku.. memandangiku dengan tatapan geli yang dingin. "Prajurit
Andalite yang lemah lembut," katanya mengejek.
"Aku tidak akan bertahan hidup terlalu lama," katanya, tiba-tiba terlihat lelah.
"Visser Three sudah menuduhku berkhianat. Sekarang, setelah Hork-Bajirnya
melapor, dia akan memiliki bukti yang bisa dia bawa ke Dewan Tiga Belas. Mereka
sudah memberikan gashad. Hak untuk membunuhku."
Tobias terbang melewati gambar yang kami lihat tadi.
Dia tertawa. "Dan kalian pasti penasaran untuk mengetahui setiap detilnya."
"Aku sudah mati."
kepalanya, kepalamu akan jadi lebih aman.>
Matanya yang gelap berkilat. "Kau menolongku menghancurkan Visser Three, lalu
kau akan menghancurkanku. Itukah rencananya?"
Dia tertawa merendahkan. "Kebenaran. Kalian berlaku hormat dengan tidak
menganggapku seseorang yang bodoh."
Aku menonton sementara tubuh ibuku menjadi tegak. Suaranya tenang, tanpa emosi.
"Dulu aku kembali ke Bumi untuk membangun sebuah fasilitas bawah air. Tempat itu
seharusnya digunakan untuk memproduksi tubuh induk semang yang cocok dengan
serangan ke bangsa Leera. Tapi seperti yang kalian, para Andalite, ketahui,
fasilitas itu hancur. Harga diriku jatuh. Pangkatku diturunkan menjadi subVisser. Tapi Visser Three berkeras untuk menghancurkanku. Dia memberitahu
siapapun yang mau mendengar bahwa aku adalah seorang pengkhianat. Dewan Tiga
Belas mempercayainya dan mengeluarkan gashad. Aku berada dalam persembunyian
sejak saat itu."
tersembunyi di planet ini. Tidak ada keraguan kau masih punya lebih banyak lagi
generator Kandrona portabel di sana.>
Sang Visser menggelengkan kepalanya. "Aku tidak akan membawamu ke pesawatku,
Andalite." Tanpa menyadari apa yang kulakukan, sebelum aku mendapatkan waktu untuk
berpikir, aku merenggut Kandrona portabel itu dari tempatnya dan membantingnya
keras-keras ke lantai.
"Langkah taktis yang bagus," kata sang Visser. "Potong waktuku. Buat aku
frustasi. Tapi tidak akan berhasil."
Visser One menyandarkan tubuh ibuku pada alat pengintai yang berdiri tegak itu.
Dalam beberapa saat dia terlihat sama tidak berdosanya seperti seorang guru
kelas tiga SD yang hendak menceritakan sebuah kisah mirip legenda dari Abe
Lincoln muda. "Hork-Bajir merdeka," jawabnya singkat. "Visser Three telah membiarkan HorkBajir yang bebas membangun koloni tepat di bawah batang hidungnya."
"Jangan pura-pura bodoh denganku," kata sang Visser. "Hanya satu hal yang kami
kagumi dari kalian para Andalite - kecerdasan."
"Itu urusanku." Visser One mengangkat bahu. "Ada banyak jalan untuk mengetahui
apa yang sedang terjadi di bawah sana kalau kau punya ketajaman mental yang
cukup, sesuatu yang sama sekali tidak dimiliki Visser Three. Beritahu aku,
Andalite," dia melanjutkan. "Bagaimana kakakmu, sang Elfangor yang agung,
bertekuk lutut di depan Yeerk sebegitu tidak sempurna dan inkompeten seperti
Visser Three?"
"Aku tahu seberapa pentingnya balas dendam dalam budaya Andalite," kata Visser
One. "Visser Three membunuh kakakmu. Kau terikat harga diri untuk membunuhnya. Aku
dapat membuat hal itu terjadi."
"Dengan harga setimpal," dia menyetujuinya.
"Koloni Hork-Bajir. Berikan padaku para Hork-Bajir merdeka itu. Aku akan
memberimu Visser Three."
Chapter 12 Sunyi sejenak.
Tobias meledak.
mendeskripsikan Andalite" Dingin. Itu yang mereka pikir. Dia akan memercayai
kita.> Ax berkata,
tertawa.
"Kita sepakat?"
Ax bertanya
Aku tidak bisa membantahnya.
Tobias tertawa tanpa rasa humor.
harus dihabisi. Kamu tahu hal itu kan" Kamu mengerti.>
"Beritahu aku dimana para Hork-Bajir itu berada!"
dengan membunuh seorang Visser dan aku akan mendapatkan balas dendamku.>
"Satu hal lagi : Kau dan kelompokmu harus berada di sana. Aku akan membutuhkan
kalian untuk menghabisi seluruh Hork-Bajir di sana. Aku ini satu orang
sendirian." Ax mulai menjawab. Aku menghentikannya.
lagi. Dia pasti punya pasukan di dekat sini. Setuju saja dengan apa yang dia
Animorphs - 30 Reuni The Reunion di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mau.>
untuk melakukan dua hal yang berlawanan : untuk menangis sekaligus
menghancurkan. "Aku punya e-mail." Dia tertawa dan memberitahu alamatnya pada kami.
Lalu dia menyipitkan matanya dan memandangi kami satu-persatu. "Salah satu dari
kalian mendominasi pembicaraan. Dua dari kalian tinggal dalam wujud morf. Visser
Three itu seorang idiot. Dia tidak melihat hal yang aneh dalam kelompok
pemberontak kalian. Dia melewatkan sesuatu."
Dia tersenyum sadis. "Tapi jangan khawatir. Setelah aku kembali berkuasa aku
akan mengetahui hal itu. Lalu... "Dia membuat bentuk pistol dari tangannya,
menodongkannya ke kepalaku dan berkata, "Lalu... TSEEEEW!"
Chapter 13 Kami meninggalkan tempat itu. Kami demorf di tangga dan bersusah payah naik ke
atas. Sesampainya di atap Tobias mengangkasa untuk memantau keadaan.
sempat sadar apa yang terjadi.>
"Ayo pakai sayap kita," saranku pada Ax.
Beberapa saat kemudian kami semua sudah berada di udara. Penerbangan kami berat.
Tak ada angin yang mengangkat, tidak ada termal di malam hari, hanya udara
kosong yang membuatmu harus terus mengepak seperti kelelawar.
Kami terbang melewati dinding-dinding tinggi dan hutan besi. Di sini dan di sana
ada kilapan cahaya, atau cahaya dari seisi lantai. Aku bisa melihat para petugas
kebersihan mendorong tempat sampah beroda dan vacuum cleaner.
Satu pancaran cahaya menyala di sebuah ruangan penuh dengan pria dan wanita yang
terlihat lelah, memakan pizza sambil berdiri mengelilingi semacam diagram.
Rasanya aneh, tapi terbang di dekat bangunan-bangunan tinggi selalu membuatmu
merasa lebih tinggi dari seharusnya. Kamu pasti menyadari ketinggiannya,
mungkin, waktu kamu sedang terbang melewati lantai empat puluh atau apalah.
Tak ada yang buka suara sampai kami benar-benar sudah aman. Bunyi helikopter
terdengar keras di belakang kami.
Aku cukup yakin anak buah Visser Three akan menemukan ruangan kosong.
< Well, Marco, kamu baru saja setuju untuk mengkhianati Jara Hamee, Toby,
seantero koloni Hork-Bajir. Kamu sebaiknya punya rencana.>
Aku dapat merasakan keraguan Tobias.
kalian. Aku. Rencanaku, oke">
Tobias membelokkan sayapnya, bergerak sedikit menjauh. Sumpah, aku tidak pernah
melihat seorangpun yang bisa mengekspresikan ketidaksetujuannya seperti Tobias.
Tapi waktu itu aku tidak peduli apa yang Tobias pikirkan. Memegang kendali,
melakukan sesuatu, akan menahanku dari memikirkannya lebih jauh. Menahanku dari
kehancuran hatiku. Aku tahu Tobias dan Ax tidak yakin padaku. Aku tahu mereka tidak sepenuhnya
memercayaiku. Mereka pikir aku sedang memainkan peran ganda. Tapi mereka salah.
Aku sudah melihat cara untuk menghancrukan kedua Visser. Aku sudah melihat
semuanya secara sempurna.
Orang-orang tidak mengerti kata 'dingin'. Mereka pikir artinya 'kejam'. Bukan
soal kejam. Tapi soal melihat garis terang dan jelas, dari poin A ke B. Garis yang beranjak
dari motivasi ke tujuan. Awal ke akhir. Soal melihat garis terang dan jelas itu,
dan tidak ambil pusing tentang yang lainnya kecuali satu fakta mempesona bahwa
kamu telah melihat sebuah solusi. Tidak memedulikan apapun kecuali
kesempurnaannya. Itulah yang sedang terjadi. Aku melihat cara untuk menjebak kedua Visser. Dan
hanya itulah yang penting.
Tapi aku tidak akan menjelaskannya pada siapapun. Rasa kasihan orang lain hanya
akan mengaburkan garis lurus tersebut. Rasa kasihan orang lain membuatmu
berpikir tentang hal-hal yang tak dapat kamu pikirkan saat kamu sedang melihat
sang garis.
kuat. Aku tahu mereka akan tetap bertahan bersamaku. Tobias tidak punya pilihan
lain. Dia bisa mencoba untuk menghentikanku dengan kekerasan, atau ikut denganku.
Chapter 14 Malam itu sangat tenang, sementara kami terbang.
Aku tahu dalam hatiku bahwa empat helikopter kecil sarat Hork-Bajir telah
mendobrak pintu sebuah kantor kosong dan tidak menemukan seorangpun di dalamnya.
Aku tahu itu. Aku tidak memercayai takdir. Tapi aku merasakannya saat ini.
Kami akan bertemu lagi, Visser One dan diriku. Kami akan bertemu di puncak
gunung. Dan aku akan mengakhiri segalanya di sana.
Hanya beberapa bintang berkelap-kelip di angkasa menembus awan yang menipis.
Kami terbang lebih berdekatan daripada biasanya di siang hari, ketika
pemandangan tiga burung pemangsa bergerombol bersama di langit akan menarik
perhatian yang tidak diinginkan. Kami terbang dari bawah kota ke pinggiran,
menyebrangi kompleks perumahan tempat Jake dan aku dan Rachel tinggal, melewati
lebih banyak lagi perumahan, dan ke tempat yang hampir menyerupai desa dimana
keluarga Cassie menempatkan rumah mereka, bersama Klinik Satwa Liar mereka.
Kami mendarat di sebuah pohon besar dan berdaun lebat, yang cabangnya sedikit
menyentuh jendela kamar Cassie. Tobias bergerak mendekat, berjalan ke samping
seperti di komik-komik, seperti burung nuri di sangkarnya. Dia mengetuk kacanya
dengan paruhnya. TAP. TAP. TAP.
(Hacky Sack = Semacam permainan dengan bola Hacky Sack, intinya harus
mempertahankan bola di udara tanpa menggunakan tangan.)
Dia kesal karena kendali sudah diambil alih.
TAP! TAP! TAP!
TAP! TAP! TA-CSSSHHHH! Kacanya pecah. Berjatuhan dalam pecahan-pecahan yang berkilauan.
"Aku jadi harus menjelaskannya pada orangtuaku, tahu," Kata Cassie, menggosok
matanya yang mengantuk. Lalu, perlahan-lahan, dia memperbaiki kerah baju
tidurnya.
"Marco, kalian semua ngapain di sini" Apa yang terjadi malam ini" Ada yang
terluka?"
untuk menjatuhkan hukuman.>
"Kamu sebaiknya nggak membangunkanku dan merusakkan jendelaku hanya untuk - "
Cassie memandang Tobias, lalu ke Ax dengan ragu.
"Jake?"
Dia menarik nafas dalam. "Oke. Kambing gunung."
"Bukan kambing seperti itu, Marco." Cassie menggelengkan kepalanya. "Kambing
gunung. Tanduknya tajam. Kecepatan yang luar biasa. Tendangan kaki belakangnya
bisa membuat orang terbang menembus dinding gudang jerami. Berat mereka bisa
sampai tiga ratus pound."
Cassie berhenti sejenak. "Apa dia baik-baik saja?" Dia menanyai Tobias, merujuk
padaku.
"Tobias, situasi ini menekan bagi Marco. Jake menyerahkan kekuasaan padamu.
Kalau Marco - "
"Oke, kalau begitu. Aku akan bertanya padamu. Kamu oke, Marco" Kamu kelihatan
agak gelisah. Kalut."
Aku melontarkan sebuah kata kasar. Lalu,
analisa psikologi. Ini bukan Oprah!>
Cassie menggigit bibirnya dengan penuh pertimbangan. Pandangannya tidak
terfokus. Aku yakin dia sedang mendengar Tobias atau Ax atau mereka berdua
berbicara dengannya menggunakan bahasa-pikiran pribadi. Aku tidak tahu apa yang
mereka katakan. Tapi aku mengenali secercah emosi yang terpancar di matanya :
rasa kasihan. "Well," akhirnya dia berkata, "The Gardens punya habitat pegunungan yang baru
dibuat. Tempatnya terbuka jadi kalian nggak akan punya masalah ke sana setelah
jam kunjung. Atau mendekati kambing-kambingnya."
Aku melentingkan diriku dari ambang jendela. Ax dan Tobias tidak ada yang
berbicara padaku sementara kami terbang. Mungkin mereka sedang berkasak-kusuk
tentangku secara pribadi. Aku tidak peduli.
Aku telah melihat garis yang terang dan jelas itu.
Chapter 15 The Gardens : Taman hiburan yang seru ditambah kebun binatang. Tiket masuk yang
sangat mahal. Kalau kamu masuk lewat gerbangnya.
Aku melihat kincir ria yang lampunya meredup jauh di depan, dan favoritku,
roller coaster yang curam dan mengular terletak di bagian taman hiburan The
Gardens. Beberapa saat kemudian, terbang melewati kebun binatangnya, aku melihat
tempat yang pasti merupakan daerah habitat pegunungan yang sudah Cassie
beritahukan. Padang bergulir dan berumput. Aliran sungai berliku di bagian utaranya. Dan di
tengah padang tersebut, sebuah 'gunung' buatan dari batu amat landai tercampur
semen dipenuhi gua dangkal dan tonjolan. Habitat itu sendiri dikelilingi oleh
pagar jala yang tinggi, di atasnya kami mendarat.
Aku dapat melihat sosok-sosok beberapa kambing bungkuk di dalam gua dangkal
terbesar di sana. Mereka sedang duduk-duduk di tanah sambil berkelompok.
Bebebrapa kambing lain berdiri tak bergerak, memandangi tiga burung yang balas
memandangi mereka.
Andalite, kecuali pengalaman amat tidak menyenangkan yang pernah kualami sebagai
sapi.>
sudah melihat sebuah sosok besar di dalamnya. Yup. Seekor kambing gunung di
dalam, tertidur lelap. Jantan" Aku tidak tahu. Semua kambing punya tanduk hitam
dan jenggot walau sepertinya beberapa dari mereka seharusnya betina.
Ax dan aku demorf dalam diam beberapa kaki darinya. Gunung buatan itu tidak
terlihat terlalu berbahaya ketika kami masih jadi burung. Setelah jadi manusia,
tanah di bawah sana terlihat lebih jauh.
Aku mengayun dan menggenggam sebongkah batu.
Lalu aku mulai merangkak ke dalam menuju hewan besar, berambut putih itu.
"Bagaimana kalau dia bangun?" Kataku.
Aku menghela nafas. "Tobias, begini, jangan tambah bebanku, oke" Aku tahu kamu
pikir Jake akan menyalahkanmu kalau semuanya jadi berantakan. Tapi kita harus
kerja sama, di sini, oke?"
Tobias tertawa.
binatang yang pernah kudekati. Dari semua binatang yang pernah kujelmai,
sekarang aku takut pada seekor kambing"
Aku meletakkan tanganku pada sisi tubuhnya. Dia memandangku.
"Please, jangan tusukkan tandukmu di ginjalku," kataku dengan nada manis.
Dia bergerak. Aku mau melangkah mundur. Tapi itu merupakan hal yang salah untuk
dilakukan. Tanganku menyentuh bulu-bulu kasar. Aku memusatkan pikiran. Aku memerlukan DNA
anak besar ini sekarang. Kambing itu terlihat siap untuk melompat dan menjeblakku ke dimensi berikutnya.
Tapi lalu dia menjadi tenang sementara trance penyerapan DNA mengambil alih.
Kuku-kuku Ax berkelotakan saat dia maju, dan ketika aku menarik tanganku, dia
meletakkan tangannya. Tobias yang terakhir.
itu.
"Uh, jangan lihat sekarang tapi kupikir kita punya masalah lain." Di bibir gua
berdiri teman-teman sekamar Mr. Kambing Gunung. Dan mereka tidak terlihat senang
melihat kami di sana. "Uh-oh," kataku.
Kambing-kambing itu perlu sekitar dua detik untuk melewati sekitar seratus kaki
bebatuan, jurang, dan cekungan.
Aku berbalik. Aku berlari.
Animorphs - 30 Reuni The Reunion di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tobias mengepak menuju tempat aman. Ax melompat pergi dengan anggunnya. Aku" Aku
mendapat tanduk kambing di bokong.
Aku terbang. "Aaahhhhh!" Nanti, aku membaca bahwa kambing gunung jantan suka menyeruduk kambing gunung
jantan lainnya dengan tanduk mereka - di bokong satu sama lain.
Dan biarkan aku berkata sebelum kamu diseruduk dari bukit setinggi lima-belaskaki oleh kambing gunung jantan marah seberat dua-ratus-lima-puluh-pound, kamu
belum merasakan rasa malu sejati.
Chapter 16 Aku berbaring di tempat tidurku, dalam kegelapan. Setiap beberapa menit aku
mengecek angka-angka di jam dinding. Tiga lima-belas. Tiga empat-puluh-dua.
Empat sembilan. Aku mau tidur. Butuh tidur. Tapi tidak bisa.
Pernah mengalami malam-malam seperti ini" Dimana kamu begitu kelelahan, dimana
kamu akan membayar apapun juga untuk bisa terlelap" Tapi roda-roda di kepalamu
tetap saja berputar dan berputar dan berputar"
Pembicaraan imajiner. Aku berbicara, menjelaskan, berargumen. Mengganti katakatanya, mengulanginya lagi, melatihnya. Terus dan terus dalam lingkaran.
Aku berbicara pada Jake, Jake dalam imajinasiku. Menjelaskan dengan logika
sempurna. Aku berbicara pada ayahku dalam sebuah masa depan fiksi, sebuah dunia yang tidak
eksis dimana ada banyak hal yang berbeda dan pada akhirnya aku bisa memeberitahu
semua rahasia yang selama ini telah kujaga dengan nyawaku sendiri.
Aku berbicara dengan ibuku. Berapi-api. Menjelaskan.
Aku menjelaskan pada ibuku, sebagai ibuku yang asli, kenapa aku harus
melakukannya. Aku menjelaskan pada ibuku, sebagai Visser One. Tertawa, cekikikan, menikmati
kemenanganku atasnya. Beginilah caraku mengalahkanmu! Aku mengaok.
Beginilah caraku menyelamatkanmu! Aku menjelaskan.
Tak ada pilihan lain. Tak ada pilihan lain.
Aku harus melakukannya, Dad, kau mengerti, kan" Apa lagi yang bisa kulakukan"
Terlalu banyak yang dipertaruhkan. Aku memiliki tanggung jawab. Kau tahu
rasanya, kan" Dan selain itu, dia sudah mati bagimu. Kau sudah bersedih
untuknya, ingat" Kau menghabiskan bertahun-tahun duduk di kursimu, memandang
kosong, hidupmu hancur berantakan...
Lihat, Jake" Jangan pernah meragukanku lagi. Aku melakukannya, oke" Aku
memprioritaskan misi kita. Aku melihat garis besarnya. Jadi jangan pernah
meragukanku lagi, karena aku sudah melakukan apa yang harus...
Mom, aku harus bagaimana" Aku melihat semua permainannya. Aku melihat semua
bidak di papan catur. Tidak ada solusi untuk membebaskanmu. Hanya ada solusi
untuk menghancurkanmu. Aku harus melakukannya. Bagaimana lagi" Bagaimana aku
bisa... Mati, kau Yeerk, sampah. Mengerut dan matilah, dan ingat-ingat dengan pikiranmu
yang sekarat itu : Ini kulakukan untuknya. Aku membunuhmu untuknya.
Untuk Jake. Untuk ayahku. Untuk... Berulang dan berulang lagi, sementara waktu berdetik pergi. Sementara kelelahan
meresap ke tulang-tulangku.
Suatu hari nanti, ketika kami menang, ketika umat manusia terselamatkan, kami
akan masuk buku sejarah. Aku dan Jake dan Cassie dan Tobias dan Ax. Mereka akan
jadi nama-nama jalan, seperti jenderal dari Perang Dunia Kedua atau Perang
Sipil. Patton dan Eisenhowr, Ulysses Rant dan Robert E. Lee.
Anak-anak akan mempelajari kami di sekolah. Kebosanan, mungkin.
Dan guru mereka akan menceritakan cerita tentang Marco. Aku akan menjadi bagian
dari sejarah. Tindakanku.
Beberapa anak akan tertawa. Beberapa anak akan berkata, "Dingin, man. Itu dingin
sekali." Aku harus melakukannya, tahu. Itu perang. Justru itulah intinya, dasar anak
bodoh sombong yang cuma bisa cengengesan saja. Apa kamu nggak mengerti"
Itulah intinya. Kami menyakiti orang yang tidak berdosa untuk menghentikan si
jahat. Hork-Bajir tak berdosa. Taxxon tak berdosa. Pengendali-manusia tak
berdosa. Bagaimana lagi cara menghentikan para Yeerk" Bagaimana lagi cara untuk menang"
Tak ada pilihan lain, anak kecil. Kami melakukan apa yang harus kami lakukan.
"Dingin, man. Si Marco itu" Dia itu dingin."
Chapter 17 Pagi itu kami semua berkumpul di gudang jerami. Aku sudah lebih dari kelelahan.
Bokongku sakit. Sikuku lecet bekas menggesek gunung buatan itu.
Tobias terlihat lelah juga. Terllau lelah bahkan untuk mengejekku soal
kejadianku dengan kambing itu. Ax terlihat seakan dia telah menghabiskan malam
itu mendengkur seperti seorang bayi.
Aku menjelaskan rencanaku pada Jake dan yang lainnya.
"Kita jatuhkan Visser One. Kita jatuhkan Visser Three. Kita biarkan para Yeerk
percaya mereka sudah menghabisi koloni Hork-Bajir itu. Para Hork-Bajir merdeka
jadi makin aman; para Yeerk berakhir tanpa pemimpin."
Aku menghindari memandang Cassie. Dari Jake, hanya ada sedikit percikan
kesedihan. Tapi Jake juga, ketagihan pada garis yang terang dan jelas.
Rachel mengunci pandangannya di bawah, pada lantai tanah-dan-jerami.
Rachel tidak bodoh. Dia tahu apapun yang dia katakan hanya akan membuatku marah.
Dan kutebak, dia, seperti yang lainnya, sedang membayangkan jika dia berada
dalam posisiku. Bertanya-tanya akankah dia akan mampu melakukannya.
"Kalau berhasil, kita bisa menyingkirkan mereka berdua," aku menyimpulkan. "Tapi
ada banyak hal yang bisa jadi masalah. Banyak hal nggak terlihat yang - "
Cassie meletakkan tangannya di lenganku. "Marco, kamu tahu kita akan mencoba
menolong ibumu, dengan cara apapun yang kita bisa."
"Dia ini hanya satu orang." Aku mengibaskan tangannya dan bangkit berdiri. "Dan
kita seharusnya menyelamatkan seisi bumi, kan"
Salah satu kalimat yang kulatih kemarin malam. Terdengar lebih pahit dan kurang
keren dan kurang kalem dan kurang terkontrol daripada yang kumau.
"Oke," kata Jake.
Itu saja. Hanya 'oke'. Dia tidak mengucapkan kalimat apapun yang kupikir akan
keluar dari mulutnya dalam percakapan imajinerku.
"Jadi kita jalankan ini?" Tanyaku.
"Yeah. Kamu yang atur, Marco."
Aku menarik satu tarikan nafas yang agak bergetar. "Oke. Oke. Oke, kita mau
fokus pada penempatan waktunya. Jangan biarkan Visser One punya waktu untuk
memikirkan segalanya. Biarkan dia kehilangan keseimbangan. Aku tahu tempatnya.
Aku pernah hiking kesana sekali dengan ayahku. Aku butuh seseorang untuk
menghubungi Erek." Erek adalah anggota dari sekelompok kecil Chee. Mereka android. Penolak
kekerasan dalam program mereka. Tapi bekerja untuk menginfiltrasi kaum Yeerk.
Mata-mata. Para Chee hidup sebagai manusia dengan proyeksi hologram mereka yang luar biasa.
Mereka menjalani hidup manusia. Banyak kehidupan manusia. Mereka sudah tinggal
di Bumi sejak zaman piramid.
"Oke. Jangan biarkan dia melihat kita. Kita akan bermain sebagai Andalite arogan
selama semuanya berlangsung. Visser One nggak akan -"
"Dia ini ibumu!" Cassie meledak. "Dia bukan 'Visser One'. Dia itu ibumu! Apa
semuanya akan membiarkan ini terjadi begitu saja?"
Jake melemparkan padangan dingin kepadanya. "Sekarang bukan waktunya, Cassie."
"Kalau begitu kapan" Waktu otak Marco jadi rusak selamanya gara-gara ini" Dia
sedang menyangkali semuanya. Itu ibunya, demi Tuhan."
Jake tidak mengatakan apa-apa. Tidak ada yang mengatakan apa-apa. Kata-kata
Cassie bergaung pada udara kosong.
"Lanjutkan, Marco," kata Jake akhirnya.
"Kita mau dia fokus pada arogansi para Andalite," kataku. "Dia benci Andalite.
Jadi, kita mau dia bergumul di situ saja. Mungkin akan cukup untuk mencegahnya
melihat jebakan yang kita pasang. Setelah kita siap, aku akan e-mail dia."
"Ax, menurutmu kami bisa memainkan peran sebagai Andalite yang arogan?" Tanya
Jake.
pancingan arogansi,> jawabnya.
"Yeah. Rendah hati adalah sifat yang pertama kali ada di pikiranku waktu aku
berpikir soal 'Andalite'," kata Rachel menekankan tiap suku kata.
arogan'.>
"Oke, Tobias. Tapi kamu harus menyisihkan waktu untuk pergi ke gunung."
Aku menyambar komputer yang biasa digunakan Cassie dan ayahnya untuk merekam
catatan medis. "Ax" Kami butuh nama samaran yang aman. Sesuatu yang nggak akan
bisa ditelusuri oleh para Yeerk sampai ke sini."
Ax bekerja di komputer selama beberapa menit, bergumam tentang teknologi manusia
yang begitu primitif. Bergumam dengan cara yang tenang dan rendah hati, tentu
saja.
Aku mengetik. Aku meng-klik 'send'. Aku tidak berpikir tentang apa yang baru
saja kulakukan. "Oke. Semuanya mengerti apa yang harus dilakukan, kan?" Tanyaku.
"Yeah." "Oke. Aku keluar dari sini."
Aku mulai morf jadi osprey. Beberapa saat kemudian, aku sudah berada di udara.
Lega karena sudah berada jauh dari teman-temaku.
Sekitar lima belas menit kemudian, aku mendarat di pohon elm berdaun lebat dekat
sebuah sudut sibuk di Jalan Green and Spring.
Tobias bertengger di tiang telepon di seberang jalan, merapikan bulu-bulunya.
Beberapa menit kemudian dia muncul mengemudikan Audi sewaan. Dia memarkirnya
dengan kasar ke tempat parkir, menerobos rombongan sebuah keluarga yang
mengendarai van Chrysler Town and Country.
Dia memanjat turun. Pengendara van tersebut meneriakkan sesuatu padanya. Dia
memandangi orang tersebut. Orang itu pun memutuskan untuk berkendara pergi.
Dia tidak lagi berada dalam penyamaran. Dia terlihat seperti ibuku lagi. Dia
adalah ibuku. Kulit berwarna zaitun. Rambut hitam seperti model iklan shampoo. Mata gelap.
Dia berdiri berlagak seperti sedang tertarik pada barang-barang yang dipajang di
jendela Ace Hardware.
wanita buta dengan curiga.
lanjut Tobias. "Chapman!" Dia bergumam. "Salah satu anak buah tak kompeten Visser Three. Dia
akan langsung menangkapku kalau artinya dia akan bisa naik pangkat."
lagi.> Mata ospreyku dapat melihat mulutnya membentuk sederetan kata-kata kotor.
Tobias mengacuhkannya.
sekarang. Biarkan dia melihatmu. Jangan coba-coba melarikan diri,> kata Tobias.
Visser One berdiri di luar Dunkin' Donuts jam 1:55 siang.
Tepatnya pada 2:10 siang, Chapman berlari mengelilingi bangunan tersebut,
dibalut pakaian jogging berwarna hijau-limau dan kuning.
Si Yeerk di kepala ibuku membuka pegangannya. Tas tangannya terjatuh. Chapman,
selalu bermain peran sebagai sang pilar komunitas, membungkuk untuk memungutnya
bagi ibuku. Dia menegakkan badan dan menyerahkan tas tersebut.
Visser One tersenyum. Lalu senyum itu membeku.
Aktingnya bagus sekali. Chapman tidak mengatakan apa-apa. Tapi aku bisa melihat darah mengalir pergi
dari kedua pipinya. Dia mundur satu langkah dan berlari pergi dengan kecepatan
dobel. Dari tempat bertenggerku, di atap aluminium berkarat milik Fred's Car Wash, aku
melihat Chapman berhenti pada telepon umum satu blok dari situ dan menekan
rentetan nomor dengan panik.
Visser One berdiri, mulai kesal. Dia memandang sekeliling lagi, mencoba
menentukan keberadaan kami. Tapi ada banyak burung dara dan anjing, dan kami
bisa berada dimana saja.
(JCPenney = Semacam department store. Di Indonesia setara sama Matahari. )
"Namanya 'bus', dasar Andalite bodoh," balasnya menggumam. Aku kebetulan
mendengarnya saat dia berjalan di bawahku.
Akting Tobias berefek juga.
Dua menit kemudian sebuah bus berhenti di seberang pinggiran trotoar yang dicat
kuning.
Ibuku menaiki bus itu. Aku meluncur dari atap tempat cuci mobil itu dan
mendarat, dengan berantakan, di atas atap metal bus yang panas itu. Tidak ada
tempat berpegangan. Tapi beberapa retakan sudah terbentuk di sana dan aku
menancapkan cakarku pada lubang-lubang itu dengan sepenuh hati.
Bukan cara favoritku untuk berpergian.
Busnya kembali ke jalan utama dan memulai perjalanan lima-menit menuju mall.
Untungnya, kecepatannya tidak pernah melebihi sepuluh atau lima belas mil per
jam. Menundukkan kepalaku ke bawah dan membuat tubuhku berbentuk lebih aerodinamis,
aku dapat menahan terpaan anginnya.
Aku bisa saja mengikuti pola udaranya, yang akan membuatku lebih nyaman.
Dua blok dari perhentian bus di depan JC Penney, aku mengangkasa. Dan mengepak
mencari ketinggian. Seekor osprey yang berada terlalu dekat dengan daratan akan
menarik perhatian. Aku meneliti sekelilingku kalau-kalau ada wajah-wajah yang familiar. Aku
menemukan seekor peregrine falcon memandangiku lekat-lekat.
Jake sedang bertengger di atas sebuah bank di batas luar lahan parkir mall.
Animorphs - 30 Reuni The Reunion di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku terbang menuju Dumpster. Tidak seburuk itu. Pikirku.
Sampahnya semua berupa kotak-kotak dan benda-benda dari Gap serta old Navy. Jauh
lebih baik daripada Dumpster restoran.
Aku demorf di Dumpster itu dan memakai pakaian yang ditaruh Jake di sana.
Jake mendarat di sampingku.
berbelok-belok beberapa kali, lalu mendarat di bahuku.
Aku memanjat keluar dan kami buru-buru menuju pintu masuk samping JCPenney.
Visser One sudah berjalan dari halte bis melewati pintu depan. Dia menunggu
instruksi selanjutnya dengan tidak sabar. Dia berpura-pura belanja, menyentaknyentak sebuah jersey Michael Jordan untuk akan kecil dengan sebal.
Ukuranku, mungkin. Apa dia sedang memikirkan tentang seorang anak yang dulu
dimiliki tubuh induk semangnya"
Tidak, sepertinya tidak. Dia sedang berpikir tentang sebuah fakta bahwa
Pengendali-manusia ada dimana-mana. Berpikir bahwa sekarang Visser Three punya
petunjuk tentang keberadaannya. Sedang mengamatinya. Mengetatkan belitannya
padanya. Aku bersembunyi di belakang tanaman tinggi dalam pot. "Oke, lurus di depan
sana," bisikku pada Jake. "Ada layar TV bergantung dari atas. Kamu lihat nggak?"
Lalat sangatlah lemah dalam melihat jarak jauh. Itulah sebabnya aku harus jadi
manusia. Jadi aku bisa berperan sebagai pengatur lalu lintas udara dan menuntun Jake
menuju targetnya.
kanan." Jake berangkat. Aku langsung saja tidak bisa lagi melihatnya. Sulit melihat
seekor lalat dilatarbelakangi berbagai macam pemandangan yang membingungkan.
berbeda. Dan aku melihat kepala ibuku berjengit ke atas.
perlindungan bagi tangan.>
Syal dan sarung tangan. Aku hampir saja tertawa. Sangat Ax-sekali.
Visser One pasti baru saja mengatakan sesuatu yang kasar. Hal berikutnya yang
kudengar adalah Jake berkata,
melihat apakah ada yang membuntuti. Hanya untuk informasi, kami sudah melihat
empat Pengendali-manusia sedang mengamat-amatimu.>
Sebuah kebohongan, tentu saja. Tapi kepala Visser One langsung menoleh kesanakemari sebelum dia sempat mengontrolnya.
kentara.
Visser Three nanti.>
Aku mengerti Visser One. Dia telah melihat garis yang terang dan jelas itu juga.
Masalahnya adalah, hanya salah satu dari kamilah yang bisa mencapai ujungnya.
Chapter 18 Rachel, rambutnya ditata menjadi dua kepangan bodoh dan topi pemancing dipasang
rendah pada kepalanya, ditempatkan di luar Sepatu dan Tas Tangan.
Aku hanya beberapa blok darinya, di Kaus Kaki. Aku terlihat sedikit tidak-padatempatnya. Aku hanya bisa berharap tidak ada anak dari sekolahku yang akan melihatku di
sini sementara aku meneliti rak stoking pinggang-ke-kaki berwarna cokelatkeabuan. Itu salah satu hal yang akan diingat darimu oleh teman-temanmu di sekolah.
Visser One cepat-cepat menuju departemen Syal, Sarung Tangan, dan Topi. Dia
mencomot sebuah syal wol abu-abu dari sebuah rak, menyambar sepasang sarung
tangan kulit tidak biasa yang agak menyedihkan, dan membayarnya dengan takdisangkal-lagi-merupakan kartu kredit palsu.
Lalu dia mulai berjalan menuju pintu keluarnya yang menuju mall. Semuanya sesuai
rencana. Lalu... "Permisi, ma'am" Bisakah Anda mengikuti saya?"
Seorang satpam. Berbaju biasa saja. Jenis orang yang sepertinya selalu berakhir
mengekoriku di toko. Rachel memandangku. Dia mengangkat alisnya penuh tanya.
Aku mendekat, dengan hati-hati, di luar jangkauan pandang Visser One.
"Mengikutimu?" Suara ibuku meninggi. "Kenapa?"
"Ikuti saja saya, Ma'am. Saya harus menanyai Anda beberapa pertanyaan."
Tangan sang Visser terbang ke tas tangannya. Satpam itu menyadari gerakan
tersebut. "Anda harus ditahan karena mencuri syal tersebut."
"Saya membeli syal ini," jawab sang Visser keras kepala. "Saya punya bonnya."
Satpam itu tertawa gugup. Dia melirik sekeliling, seakan sedang mencari
pertolongan. Tapi dia terdengar cukup tegas. "Kalau kau memasukkan tanganmu ke
sana dan mengambil senjata Dracon yang aku yakin kau punya, aku akan membunuhmu
sekarang juga di sini, pengkhianat." Visser One memasukkan tangannya.
Satpam itu merogoh kantong jaketnya.
Kami berada sekitar dua detik dari peristiwa penembakan di dalam toko yang sarat
manusia. Tiba-tiba Rachel berdri di belakangku. "Sembunyi, dasar idiot. Mulutmu terbuka
kayak turis! Biar aku yang tangani," bisik Rachel.
Dia benar. Aku tadi berdri di tempat terbuka, mendekat padanya tanpa kusadari.
Kalau ibuku tadi menoleh ke belakang...
Rachel bergerak cepat. Dia menggamit pergelangan Visser One. Lalu dengan
rengekan yang keras dan bernada tinggi dia berkata, "Aku melihatmu membeli syal
itu kok!" Satpam itu berhenti sejenak. Visser one menegang. Dia memandangi Rachel lekatlekat, tapi Rachel menoleh ke arah berlawanan.
"Tante ini kok dihukum padahal dia nggak ngapa-ngapain! Lady! Lady! Tadi kamu
menjual syal itu padanya, sekarang dia malah dihukum! Kok begini sih tokonya?"
Satu hal yang tidak bisa kami lakukan : meninggalkan seorangpun Pengendali yang
mengenali kami mulai bertanya-tanya. Rachel menghindari setiap kontak mata,
bersembunyi dibalik topi dan rambutnya yang ditata buruk. Bersembunyi dibalik
suara palsu. Aku berharap itu cukup. "Nggak masuk akal! Tante ini dihukum padahal dia membayar itu! Dia membayar agak
kemahalan, kalau kamu tanya aku, buat kain itu. Bukan kain Kashmir, kan!" Aku
memaparkan sebuah cengiran.
Lumayan bekerja. Orang-orang mulai berkumpul. Sales yang tadi juga ikut
terlibat, setuju bahwa Visser One sudah membayar syal itu.
Sulit untuk mengikuti pembicaraan saat kamu sedang jadi lalat. Tapi tentu saja
kami tidak bisa menjawabnya.
Rachel berjalan pergi dari keramaian tersebut dan menggenggam lenganku.
"Ayo keluar dari sini."
"Nggak ada yang melihat - "
"Kamera keamanan," desisnya. Dia mengangguk ke arah langit-langit. Aku melihat
tonjolah kaca berwarna gelap yang di baliknya tersembunyi sebuah kamera.
"Oh." Aku mengikuti Rachel menuju ruang ganti.
Mungkin kujungan pertama dan terakhirku di kamar ganti wanita.
Kami mencapai toko kemah sebelum Visser One dan Jake. Cassie sedang menunggu
disana. Dia ikut campur tangan sementara Visser One sibuk membeli tali panjat dan piton.
Rachel dan aku berada di sekitar situ, berlagak sedang belanja. Kami sedang
mengamati orang lain di toko itu. Mengamati mereka yang mengamati Visser One.
Jake tadi berdusta, meyakini bahwa kami sudah melihat empat Pengendali-manusia
mengekori Visser One. Itu bukan lagi sebuah kebohongan. Dalam beberapa menit kami pun yakin nomor
tersebut bukan empat, tapi lima.
"Kamu mau mengecek apa dia benar-benar diikuti, Marco. Sekarang dia diikuti. Dan
sekarang kita sedang menyiapkan peristiwa penembakan yang ampun-ampunan di OK
Corral," bisik Rachel. "Kamu sebaiknya benar-benar tahu apa yang lagi kamu
lakukan." "Yeah. Aku sebaiknya benar-benar tahu."
Chapter 19 Dia membeli tali dan piton, sarung tangan serta boots.
Dia dibuntuti beberapa Pengendali-manusia di belakangnya sementara dia
mengendari Audi sewaannya dari mall keluar kota, menuju pegunungan nun jauh di
sana. OK Corral. Semua anggota kami berada dalam mobil kecuali Tobias dan Ax.
Kami semua berada dalam morf kecoa, meringkuk di bawah kursi pengemudi.
Karpet hitam yang tebal terasa seperti rumput tinggi dibawah keenam kakiku. Satu
gulung Lifesavers peppermint yang terbuka dan terlupakan adalah batang kayu
besar, diameternya jauh lebih panjang daripada tinggi kami.
Jauh, jauh di atas, setinggi awan-awan, terdapat tabung besi dan kawat melingkar
di bagian bawah tempat duduk. Terlalu jauh untuk dilihat lebih dari ukuran dan
bayang-bayang tak berbentuk yang dibuatnya, kaki raksasa dan tumit menekan
pedal-pedal yang terangkat tinggi.
Dia tahu kami berada bersamanya. Dia tidak tahu lokasi kami, tapi dia tahu kami
sedang mengamatinya. "Kenapa kita tidak menggunakan helikopter saja untuk mencapai koloni Hork-Bajir
ini?" tanyanya.
Cassie mengambil alih pembicaraan. Kami harus membuat Visser One melonggarkan
kewaspadaannya. Harus membuatnya mulai memandang kami sebagai sekutu. Cassie
yang mengemban tanggung jawab itu.
"Tentu saja," jawabnya kesal.
"Memangnya aku ini bodoh" Tali" Piton?"
yang sederhana itu.> Dia berhenti sejenak.
"Pasukanku?"
berdua tahu karena kemampuan morfnya itu dia jauh lebih kuat daripada dirimu,
dengan tubuh induk semangmu yang tidak stabil itu.>
"Aku bisa mengurusi masalah Visser Three seorang diri."
"Rendah hati" Seorang Andalite sepertimu?"
Visser One tertawa kering. "Kau takut padanya."
Sebuah kebohongan, tentu. Tapi kedengarannya cukup jujur. Visser One akan
berpegang pada informasi itu. Dia akan berpikir kami ini bodoh karena
membeberkannya. Kami ingin dia berpandangan bahwa kami ini orang bodoh.
"Menurutmu aku akan jadi lebih lunak setelah kembali berkuasa lagi?" Aku mulai
memberitahu Cassie apa yang harus dia katakan. Tapi dia sudah sampai di sana,
lebih awal daripadaku.
pertarungan langsung kau lebih mudah dibunuh dibandingkan Visser Three. Manusia,
Pengendali atau bukan, mudah mati.>
Sekali lagi, ada rasa kejujuran dari kalimatnya. Ejekan itu membuatnya terdengar
lebih jujur. Dan ada sebuah keuntungan yang tercapai dengan memusatkan perhatian ibuku...
Visser One... pada tingkat ancaman Visser Three. Kami hanya ingin mengingatkan
seberapa mematikannya Visser Three.
"Dan entah mengapa..." Visser One berkata, menimbang-nimbang, "Entah mengapa,
laporan korban dari Bumi selalu terpusat pada Hork-Bajir dan Taxxon. Faktanya...
Aku sedang mencoba mengingat-ingat apakah aku pernah melihat daftar panjang
korban Pengendali-manusia." Isi perutku membeku.
Kami sudah membuat sebuah kesalahan. Sebuah kesalahan besar.
Walet Emas Perak 10 Pendekar Naga Putih 51 Petaka Kuil Tua Bara Diatas Singgasana 22