Ceritasilat Novel Online

Berjalan Dalam Tidur 1

Fear Street - Berjalan Dalam Tidur Sleep Walker Bagian 1


PROLOG SEPUCAT cahaya bulan, Mayra seolah melayang-layang
melintasi halaman berumput. Rambutnya yang berwarna tembaga dan
panjang melambai-lambai oleh kencangnya tiupan angin malam.
Pakaian tidur sutranya yang putih berkilauan dalam sinar lembut,
berkibaran tanpa bunyi. Dengan mata terpejam rapat, Mayra berjalan tanpa hambatan,
bagaikan roh halus, kaki telanjangnya berada di atas rerumputan
tinggi. Paduan suara katak pohon mulai terdengar, tetapi keributan itu
tidak mengusik tidurnya. Sekejap kemudian nyanyian itu tiba-tiba
berhenti seperti ketika mulai. Sekarang satu-satunya suara yang
terdengar hanyalah napasnya, berat dan tak teratur, satu-satunya tanda
bahwa ia masih hidup, berujud, dan bukan hantu.
Ia telah sampai di pagar rendah di sudut halaman, lalu
membalikkan badan seakan ada radar yang mengendalikannya dari
dalam. Sebuah mobil berbelok dan melaju dengan cepat. Si pengemudi
yang mengantuk bahkan tidak melihatnya.
Tersembunyi di balik bayangan malam yang bergerak perlahan,
Mayra melayang-layang sepanjang pagar. Dengan rambut panjangnya
yang berombak, kulitnya yang putih pucat, pakaian tidurnya yang
berkilauan dan menggembung di sekeliling tubuhnya, ia tampak
seperti sosok dalam lukisan, salah satu potret besar era Victoria yang
tergantung di museum. Ketika akhirnya matanya terbuka, ia tidak tahu di mana dirinya
berada. Mula-mula ia menunduk dan melihat kakinya basah oleh embun
musim panas yang tebal. Walaupun udara malam itu hangat, ia
menggigil kedinginan. Aku cuma memakai baju tidur, ia baru menyadari. Dan
kemudian: aku ada di luar. Tapi di luar mana"
Aku sedang mimpi aneh. Rumah itu tiba-tiba muncul di depannya, seolah juga dapat
melayang-layang melintasi rumput.
Aku ada di halaman rumahku. Hanya dengan baju tidur.
Segumpal awan hitam menghalangi bulan purnama. Bayangan
di sekitar Mayra sekonyong-konyong memudar dan berpindah.
Mayra menyadari bahwa rasa dingin yang menghinggapinya
bukan karena udara, melainkan akibat ketakutan.
Ia memandangi rumahnya. Kelihatan sangat lain, begitu besar
dan asing. Jendela-jendelanya gelap. Tak seorang pun yang terjaga di
sana. Tak seorang pun tahu Mayra ada di luar, berdiri di antara
rumput yang dingin dan basah.
Bagaimana caraku keluar ke sini" Aku terjaga atau tidur"
Apa yang sedang terjadi pada diriku"
Chapter 1 SEMINGGU SEBELUMNYA SAMBIL menguap Mrs. Barnes meletakkan piring berisi telur
orak-arik di meja di depan Mayra. "Ya ampun. Aku lebih capek waktu
bangun daripada waktu mau tidur." Ia mengenakan seragam perawat
putih. Mayra melihat jahitan kelim stoking ibunya terlepas.
Mayra menunduk mengamati onggokan kuning lembek di
piringnya dan mengernyit. "Kenapa pagi-pagi aku sudah harus makan
telur orak-arik?" "Kayak muntah," kata Kim, adik Mayra, dengan kepolosan
anak sepuluh tahun. "Jangan omong begitu di meja makan," tegur Mrs. Barnes
sambil menguap lagi. "Biarpun benar."
"Tapi memang mirip," protes Kim. "Kenapa aku tak boleh
omong begitu?" Kim mengenakan celana pendek merah dan T-shirt
putih polos, siap-siap berangkat ke camp.
"Kau butuh sarapan besar," Mrs. Barnes berkata kepada Mayra,
tidak menghiraukan putrinya yang lebih kecil. "Kau akan mulai kerja
hari ini. Kau perlu banyak tenaga."
"Sedikit kolesterol sebagai sumber tenaga. Terima kasih, Suster
Nancy," kata Mayra enggan, mengaduk-aduk sarapannya dengan
garpu. "Suster Nancy. Suster Nancy," ulang Kim. Panggilan itu terasa
lucu baginya. Memang punya ibu perawat ada kejelekannya, pikir Mayra.
Salah satunya adalah ia dipaksa menelan semua makanan sehat.
Mrs. Barnes meneguk kopi. "Oh, aduh. Aku tidak lihat." Setitik
noda kopi tepercik ke seragam putihnya. Ia buru-buru ke bak cuci
piring untuk menghilangkannya.
Mayra menuangkan kira-kira sekilo garam ke atas telur, dan
rasanya jadi lumayan. "Rasanya tak percaya aku akan kerja hari ini,"
gerutunya. "Liburan musim panas!"
"Liburan musim panas. Liburan musim panas," Kim menirukan,
mulutnya penuh cornflake.
"Jangan tirukan aku lagi," bentak Mayra.
Kim membalas dengan menganga lebar-lebar, memperlihatkan
gumpalan cereal lumat dalam mulutnya.
"Aku sama sekali tidak percaya kau mendapatkan pekerjaan
itu," Mrs. Barnes berkata, sambil kembali ke meja dengan noda basah
besar pada bagian dada seragamnya.
"Hei... terima kasih untuk mosi tidak percayanya!" kata Mayra
sambil tertawa. "Bukan. Bukan itu yang kumaksud. Aku tak pernah mengira
Mrs. Cottler mau memilihmu - karena aku." Dengan hati-hati sekali
Mrs. Barnes meneguk kopinya kembali, sambil memegangi pisin di
bawah cangkir. "Aku merawatnya ketika dia di rumah sakit beberapa
waktu lalu. Ooh... betapa cerewetnya dia."
"Masa?" Kim bertanya, lalu tertawa tergelak.
"Mrs. Cottler terus-terusan mengeluh tentang rumah sakit - atau
tentang aku. Kayaknya semua yang kukerjakan salah di matanya.
Bahkan dia memanggil pengawasku dan mengadu bahwa aku tidak
becus jadi perawat dan mencoba membunuhnya. Bayangkan!"
Mayra tidak dapat membayangkannya. Ia tahu betapa giat dan
serius ibunya bekerja di rumah sakit. Sejak orangtuanya bercerai dan
ayahnya meninggalkan mereka, pekerjaan sebagai perawat menjadi
hal paling penting dalam hidup ibunya - selain Mayra dan Kim,
tentunya. "Jadi waktu mendengar kau melamar pekerjaan pada Mrs.
Cottler, aku tak menduga kau akan diterima," ibu Mayra meneruskan
perkataannya sambil menyesap kopi. "Mungkin dia tidak tahu kau
anakku." Mayra menjatuhkan garpu. Mendadak ulu hatinya terasa sakit.
"Maksud Mom dia itu penyihir tua yang mengerikan" Kenapa Mom
membiarkan aku mengambil pekerjaan ini?"
"Aku yakin dia akan baik sekali padamu," kata ibunya cepatcepat, menyadari bahwa
seharusnya ia tidak bercerita tentang Mrs.
Cottler yang pernah dirawatnya di rumah sakit. "Kau bilang dia sangat
baik waktu mewawancaraimu."
"Ya. Dia sangat ramah," kata Mayra.
"Dan bayarannya sangat besar." Mrs. Barnes membawa cangkir
kosong ke bak cuci dan mencucinya. "Maksudku, lima dolar sejam
hanya untuk membenahi tempat tidur, menyiapkan makan siang, dan
membacakan buku pada sore hari" Ayolah, Mayra - kau benar-benar
beruntung." "Barangkali," kata Mayra, ia memutuskan menyerah, tak
sanggup menghabiskan sarapannya. Lalu dengan satu tegukan besar ia
menghabiskan jus jeruknya.
"Jangan main tebak dalam hal ini. Kita benar-benar dapat
memanfaatkan uang itu, tahu. Ayahmu, di mana pun dia berada, tidak
membantu kita sepeser pun." Mrs. Barnes mengernyit, membuatnya
tampak lebih tua daripada umur sebenarnya, 39 tahun.
"Kenapa aku tak boleh kerja?" Kim bertanya. Mangkuknya
dikelilingi kubangan susu di meja. Mayra selalu rapi dan hati-hati.
Sebaliknya, Kim bertolak belakang dengan Mayra dalam segala hal.
"Kau sudah punya pekerjaan," Mayra menggoda. "Menjadi
gadis kecil yang manis."
"Kau bodoh," balas Kim.
Dari jalan terdengar bunyi klakson.
"Itu bus piknikmu," Mrs. Barnes berteriak, lalu berlari ke pintu
depan untuk memberi isyarat kepada pengemudi bus bahwa Kim akan
segera keluar. "Tasmu sudah siap, kan" Tak ada yang ketinggalan?"
"Ya, Mom," sahut Kim, sambil menyambar tas kanvasnya dan
menuju pintu. "Bagaimana dengan sepatumu" Kau kan perlu pakai sepatu?"
Mrs. Barnes bertanya sambil menunjuk ke kakinya. Kim nyaris
berangkat dengan kaki telanjang.
Beberapa menit kemudian Kim sudah berangkat dengan
membawa tas - dan bersepatu. Mrs. Barnes kembali ke dapur, Mayra
sedang mencuci piring dan gelas, memanfaatkan kesempatan saat
ibunya tidak ada untuk membuang sisa sarapannya ke dalam tempat
sampah. "Aku akan segera berangkat ke rumah sakit," Mrs. Barnes
berkata sambil merapikan stoking putihnya. "Kau siap menghadapi
pekerjaanmu?" "Tidak, sesudah apa yang Mom katakan!" Mayra menjawab,
sambil mengeringkan tangan. "Mrs. Cottler mungkin akan
memperlakukanku seperti budak. Dia akan merantaiku dan
memaksaku menyikat perapiannya dengan sikat gigi!"
"Kau dan imajinasimu," ibunya berkata sambil mendesah.
"Seharusnya tadi aku tidak menceritakannya padamu. Aku lupa kau
suka berkhayal, suka melebih-lebihkan, membuat segala sesuatu lebih
buruk dari yang sebenarnya."
"Mom pikir aku begitu, ya?" Mayra bertanya, merasa agak
tersinggung. Mrs. Barnes mencium kening Mayra sebagai jawabannya,
meraih tasnya, dan berjalan ke pintu depan. "Kau mau ikut sekalian?"
"Tak usah. Terima kasih. Aku mau jalan. Untuk membakar telur
tadi." "Mrs. Cottler tinggal di Fear Street, kan" Kau memang berani
sekali pagi ini." "Yeah, dia tinggal di dekat danau. Tapi aku tak keberatan ke
Fear Street pada siang hari," kata Mayra. "Maksudku, memangnya apa
yang akan terjadi?" Chapter 2 "OH! Kalungku!"
Hazel, kucing hitam Mrs. Cottler, menyambar kalung manikmanik Mayra. Talinya
putus dan manik-manik itu bertebaran di lantai
dapur. "Ada apa, Mayra?" tanya Mrs. Cottler dari ruang makan.
"Oh, bukan apa-apa, hanya kalung saya," jawab Mayra, sambil
membungkuk untuk memunguti manik-maniknya. Karena takut
melihat Mayra membungkuk dan merangkak-rangkak, kucing itu
segera lari keluar kamar. Oh, manik-manikku sayang, keluh Mayra
dalam hati. Walker, cowok barunya, memberinya kalung itu pada
malam sebelum pemuda itu berangkat berlibur dengan keluarganya.
Manik-manik itu terbuat dari kaca, berwarna biru pucat seperti batu
opal. Mayra telah berjanji pada Walker untuk selalu memakai kalung
manik-manik itu dan mengingatnya setiap kali melihat benda itu. Tapi
sekarang... "Oh. Kalungmu berantakan." Mrs. Cottler muncul di pintu.
"Bisa kubantu?"
"Tidak usah. Sepertinya saya sudah berhasil mengumpulkan
semuanya." Mayra bangkit berdiri, tangannya tertangkup, penuh berisi
manik-manik. "Biar aku yang menguntainya lagi." Mrs. Cottler menyandarkan
tongkat, lalu mengulurkan tangan, yang di luar dugaan ternyata halus
dan sama sekali tidak seperti tangan orang tua. Dengan kulit halus
putih, bibir merah tua, serta rambut hitam legam, Mrs. Cottler
kelihatan jauh lebih muda daripada umur sebenarnya. Hanya
tongkatnya yang menunjukkan umurnya. Ia tampak berseri-seri dan
segar mengenakan rok panjang berbunga-bunga dan blus kuning
mentega. "Tidak usah. Tak apa-apa. Sungguh," protes Mayra.
"Ayolah, Mayra. Aku suka mengerjakannya. Aku senang
menguntai manik-manik. Ayo... berikan padaku. Kegiatan ini bagus
untuk tangan tuaku."
Dengan enggan Mayra menyerahkan manik-maniknya kepada
Mrs. Cottler. Wanita tua itu tersenyum senang dan membawa manikmanik itu ke
ruang makan. "Ambillah sup lagi, ayo kita selesaikan
makan siang bersama-sama," ajaknya.
Rabu sore ini merupakan hari ketiga Mayra bekerja di rumah
Mrs. Cottler. Mayra lega, karena ternyata mereka berdua bisa cocok.
Kadang-kadang Mrs. Cottler murung, dan suka mengulangi
perkataannya sendiri. Namun ia sering memuji Mayra, mengatakan
gadis itu cantik, rambutnya yang merah dan panjang tampak indah
apalagi saat terkena sinar matahari, dan ia menyukai buku yang
dipilihkan Mayra untuk dibacakan - bahkan memuji makan siang
sederhana yang disiapkan Mayra.
"Ah, cuma sup mi ayam kaleng dan sandwich ham-keju,"
Mayra memprotes, tersipu malu menerima segudang pujian dari Mrs.
Cottler. "Justru yang sederhanalah yang baik. Kau setuju, kan?" kata
wanita tua itu sambil melemparkan senyum hangat.
Barangkali inilah pekerjaan yang paling mudah, pikir Mayra
sambil melemparkan pandangan ke danau melalui jendela dapur.
Danau itu dikelilingi hutan Fear Street yang lebat dan hijau. Siapa itu
yang sedang berenang di sana" Ia mengecilkan mata supaya bisa
melihat lebih jelas. Tidak. Tak ada seorang pun di danau itu. Cuma
khayalannya. Ia memang sering membayangkan yang tidak-tidak!
Sesudah makan, biasanya Mrs. Cottler akan tidur siang sebentar
di sofa ruang tamu, sedangkan Mayra mencuci piring. Mrs. Cottler
tidak pernah tidur lebih dari sejam, tapi Mayra masih sempat nonton
TV, melamunkan Walter, dan berkeliaran di rumah itu.
Rumah itu anehnya dilengkapi perabotan modern - kursi dan
sofa dari bahan kulit hitam serta krom, meja tamu dari kaca.
Dindingnya dipenuhi deretan rak buku dari lantai sampai langit-langit.
Mrs. Cottler sangat suka membaca. Sekarang ia sudah tua, matanya
terlalu letih untuk membaca, jadi ia lebih suka dibacakan orang lain.
Yang menakjubkan Mayra di rumah itu adalah koleksi
perhiasan kecil yang aneh-aneh. Benda-benda itu memenuhi meja
tulis, meja pajang, dan bendul jendela; diatur dalam kotak pajang kaca
khusus, dan diletakkan di samping buku-buku di rak buku. Mayra
menemukan vas warna-warni dan ukiran antik, porselen berbentuk
sosok aneh, peles antik berisi kulit kerang, bulu, atau bubuk berwarna,
ukiran kucing dan burung dari kayu atau batu, sepasang sarung tangan
putih kecil yang sudah kuning, kacamata tanpa bingkai dan berlensa
tunggal, bunga kering yang sudah pudar, kaki ayam keramik, beberapa
ukiran bulan sabit, burung hantu putih yang diawetkan.
Mayra mencoba menebak mengapa Mrs. Cottler menyimpan
semua barang ini. Namun susah menemukan alasan mengapa orang
meletakkan tikus kecil yang diawetkan di atas piano di dekat topeng
babi dari bubur kertas dan patung perunggu berbentuk anak laki-laki
berlengan satu.

Fear Street - Berjalan Dalam Tidur Sleep Walker di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Koleksi yang luar biasa!" kata Mayra kepada Mrs. Cottler pada
hari pertamanya di rumah itu.
Wanita tua itu menggeleng-gelengkan kepala dan tertawa kecil.
"Cuma rongsokan," katanya. "Hanya koleksi perempuan tua yang suka
mengumpulkan debu." Ketika Mayra mencoba bertanya lebih banyak
tentang hal itu, Mrs. Cottler mengalihkan pembicaraan dengan
berkata, "Sekarang waktunya jalan-jalan."
Setiap sore mereka berjalan-jalan sebentar di tepi danau.
Sebelah tangan Mrs. Cottler berpegangan pada tongkat untuk
menopang badannya, kadang-kadang tangannya yang lain
berpegangan pada lengan Mayra. Berjalan-jalan menempuh jarak
panjang di tanah berawa jelas sulit bagi wanita tua itu. Namun ia
memaksakan diri selalu melakukannya setiap sore.
Entah mengapa Mayra paling tidak menyukai tugas ini. Ia tahu
Mrs. Cottler sebaiknya menghirup udara danau yang segar dan sejuk,
terkena sinar cerah matahari, dan mendapat kesempatan keluar dari
rumah tua yang berantakan itu. Tapi jalan-jalan di situ tiap hari
membuat Mayra merasa tidak enak, tegang, gelisah. Dan ketika
memandangi air danau yang hijau-kebiruan, Mayra merinding,
walaupun hari sangat panas.
Ketika ia memapah Mrs. Cottler berjalan melewati segerumbul
lebat rumput liar menuju tepi danau, wanita tua itu menatap ke
kejauhan. "Mrs. Cottler... Anda kenapa?"
Mrs. Cottler tampaknya tidak mendengar pertanyaan Mayra,
masih asyik memandangi danau yang berkilauan. "Aku kehilangan
Vincent di sini," katanya lirih.
"Vincent?" "Putraku. Dia baru berumur tiga tahun. Seharusnya dia tidak
boleh jauh-jauh dariku. Dia tidak bisa berenang." Ia memalingkan
wajahnya dari Mayra dan mendesah. "Kadang-kadang aku merasa
melihatnya di sini. Meskipun peristiwa itu sudah lama terjadi, aku
masih sering teringat padanya." Ia memegang lengan Mayra lebih
kencang. "Kapan terjadinya?" tanya Mayra.
Mrs. Cottler tidak menjawab. Ia masih tetap diam beberapa
lama, dan kemudian akhirnya berbalik kembali menuju rumah. "Ayo
kita masuk. Sekarang waktunya membaca."
Mrs. Cottler ingin Mayra pertama-tama membacakan buku
berjudul Nicholas Nickleby karya Charles Dickens. Buku itu sangat
tebal. Mayra yakin akan menghabiskan seluruh musim panas untuk
membacanya. Ia sendiri sudah dipaksa membaca Great Expectation di
sekolah. Lumayan, pikirnya, namun bukan pilihannya. Ia terkejut
ketika ternyata bisa menikmati Nicholas Nickleby. Buku itu
sebenarnya lucu sekali. Selama Mayra membacakannya, Mrs. Cottler duduk tegak di
sofa kulit hitam, sambil mengelus-elus Hazel, yang tetap betah berada
di sampingnya seolah-olah ikut mendengarkan Mayra. Kadangkadang Mrs. Cottler
memejamkan mata. Mayra tidak yakin apakah ia
hanya mengistirahatkan matanya atau sudah tertidur, tetapi Mayra
tetap membaca. Rumah itu sungguh-sungguh sunyi. Satu-satunya suara berasal
dari dengkur lembut si kucing hitam, suara Mayra, dan detik jarum
jam perunggu di rak di atas perapian.
"Mayra, aku agak kedinginan." Suara Mrs. Cottler mengejutkan
Mayra. Dipikirnya wanita tua itu sudah tertidur. "Maukah kau lari ke
atas dan mengambilkan sweterku di dalam lemari pakaian?"
"Ya, tentu saja," jawab Mayra, sambil menutup buku dan segera
berdiri. "Belakangan ini aku susah naik-turun tangga, kata Mrs. Cottler.
Ia telah mengatakan hal yang sama tiga-empat kali sepanjang sore itu.
"Kakiku. Kondisiku masih baik kecuali kaki tua ini."
Ya, kondisimu benar-benar baik, batin Mayra ketika bergegas
ke atas. Kulitnya mengagumkan. Mukanya sehalus mukaku.
Bagaimana cara merawatnya"
Mayra melewati lorong gelap menuju kamar Mrs. Cottler di
ujung. Ia melihat berkeliling. Kertas dinding kamar itu berwarna biru
gelap dengan bintang-bintang putih kecil yang seolah berkelap-kelip.
Ada dua lemari pakaian di seberang tempat tidur berukuran besar,
berdampingan menempel pada dinding.
Sweter itu ada di lemari yang mana"
Mayra memilih lemari sebelah kanan dan menarik laci paling
atas. Wow! Aneh. Laci itu penuh lilin hitam, berlusin-lusin lilin hitam
panjang. Mayra mengambil sebatang. Ia membauinya, terkejut mencium
aromanya yang masam. Baunya tua dan apak. Lilin itu terasa halus
dan padat di tangan Mayra. Sumbunya juga hitam.
Lilin aneh, pikir Mayra, sambil mengambil satu lagi. Kenapa
Mrs. Cottler punya lilin hitam" Dan kenapa dia menyembunyikannya
dalam laci lemari pakaian"
Tiba-tiba ada suara keras di belakang Mayra, kedua lilin itu
terjatuh dari tangan. Jantung Mayra berdegup kencang, ia menoleh dan melihat
Hazel, sang kucing hitam, sedang memandanginya dengan mata hijau
bersinar. "Oke, oke, Hazel. Tidak perlu bikin ribut. Aku segera ke
bawah." Mayra mengembalikan lilin-lilin hitam itu ke dalam laci, dan
menemukan sweter yang ia cari di laci di bawahnya, lalu ia bergegas
turun untuk memberikannya kepada Mrs. Cottler. Sejenak ia merasa
mata kucing itu seolah menegurnya karena telah mencari di tempat
yang tidak seharusnya, mata itu menuduhnya, memperingatkannya...
Chapter 3 MAYRA berpamitan pada Mrs. Cottler dan melangkah keluar,
lalu menutup pintu depan yang berat. Ia menghirup udara luar yang
segar dan mendongak ke langit. Awan gelap menyelubungi matahari.
Lebih baik aku cepat-cepat pulang sebelum hujan, pikirnya.
Ia menghidupkan Walkman, mencari saluran Q-100, stasiun
radio yang menyiarkan musik terbaik, dan mulai menuruni tangga
batu menuju jalan. Mayra masih teringat pada kucing hitam itu,
caranya mengeong keras ketika melihat Mayra memegang lilin hitam,
caranya memandang. Stop, Mayra. Hentikan, ia memarahi diri sendiri.
Jangan biarkan khayalanmu mengembara ke mana-mana lagi. Mayra
berjalan cepat, membiarkan musik berdentam-dentam di telinga,
menyapu semua khayalannya.
"Pikirkan saja berapa uang yang akan kauterima di akhir liburan
nanti," katanya kepada diri sendiri. "Bayangkan kau dapat membeli
pakaian baru sebelum masuk sekolah tanpa merasa bersalah lagi."
Mayra melangkah mengikuti irama musik, tidak memikirkan
apa-apa lagi, mulai merasa enak, entakan drum synthesized
mengiringi langkahnya. Tiba-tiba wajah ayahnya melintas di benak Mayra. Sudah sejak
kapan ia tidak bertemu ayahnya" Lebih dari setahun. Mayra ingin tahu
apakah ayahnya sudah berubah, apakah kini berbeda. Mengapa Mayra
tidak pernah mendengar kabar darinya" "Karena dia tak mau tahu,"
kata Mayra pada diri sendiri. "Karena dia tidak memedulikan kami
sama sekali. Itulah sebabnya dia pergi."
Mayra menegur dirinya sendiri lagi karena uring-uringan.
Ia berusaha memikirkan hal-hal yang menyenangkan. Walker.
Ia sangat merindukan cowok barunya. Walker pergi selama dua
minggu. Dua minggu penuh. Mayra mengenang malam menjelang
kepergian Walker. Ia memeluk Mayra, agak lama....
Mayra kembali menikmati musik, menaikkan volumenya.
Semakin keras musik itu, semakin kecil kesempatan masalah
memasuki pikirannya. "Ikuti arus," katanya keras-keras. "Ikuti. Ikuti
arus saja." Mayra baru saja akan berbelok ke Fear Street ketika tiba-tiba
ada tangan yang menggamit bahunya.
"Oh!" Mayra tersentak, lalu melepaskan headphone dan berbalik.
"Link! Aduh, kau bikin aku kaget setengah mati!"
Link cengar-cengir. "Sudah sepanjang setengah blok kau
kupanggil-panggil." "Oh. Pasti radioku kekerasan." Mayra mematikan Walkman.
"Kenapa kau di sini, Link?"
Mata hitam Link memandang Mayra dengan tatapan menggoda.
Disibakkannya rambutnya yang hitam. Link memakai jeans buntung
yang sudah belel dan T-shirt biru tanpa lengan. Meskipun musim
panas baru mulai, kulitnya sudah kecokelatan.
Oke, oke. Dia memang kece, batin Mayra. Masalahnya, dia
sangat menyadari hal itu.
"Aku... aku ingin ngomong denganmu, Mayra."
"Sebaiknya tak usah, Link. Aku tak ingin bicara denganmu."
Mayra berbalik dan mulai melangkah. Ia tidak percaya pada sikap
dinginnya sendiri... tapi, apa lagi yang dapat dilakukannya terhadap
cowok satu ini" Ia dan Link sudah putus sebulan lalu, dan sekarang
Link di sini, masih membuntutinya terus seperti anak anjing yang
memelas. "Kita kan sudah membicarakan hal-hal yang harus dibicarakan,"
Mayra menambahkan tanpa menoleh.
Link mengejar Mayra dan meraih lengannya. "Bukan begitu.
Ada yang masih belum kubicarakan."
"Tulis saja lewat surat," bentak Mayra. Wow, bahkan Mayra
sendiri kaget dengan bentakannya!
Ia menarik lengannya dari pegangan Link. "Lepaskan, Link.
Sori. Aku tak bermaksud jahat padamu. Tapi semuanya sudah berlalu.
Aku sekarang dengan Walker. Kau tak boleh menggangguku lagi."
"Tapi, Mayra..." Link melontarkan pandangan penuh
permohonan, yang biasanya selalu berhasil meluluhkan hati Mayra.
Tapi sekarang membuatnya kelihatan konyol.
Kenapa dulu aku begitu sayang padanya" tanya Mayra dalam
hati. Dia sangat... kekanak-kanakan.
"Kalau kita duduk dan bicara sebentar, aku yakin kita pasti
dapat meluruskan semuanya." Link berlari menghadang langkah
Mayra. Dia sangat mirip adiknya, Stephanie, pikir Mayra tiba-tiba.
Mereka bisa jadi anak kembar. Keduanya sama-sama kece dan
berkulit kecokelatan, sama-sama energik. Ngomong cepat, bergerak
cepat, selalu ngebut, selalu kelihatan menggebu-gebu dalam segala
hal. "Tak ada yang perlu diluruskan. Lupakan saja," kata Mayra,
suaranya terdengar sekesal perasaannya. Sejak mereka putus, Link
menghujaninya dengan dering telepon, mengikutinya ke mana saja.
"Dengar, Link, aku sudah kerja seharian. Aku capek dan pengin
pulang sebelum hujan turun."
"Tapi kau dan aku - itu lebih penting daripada hujan," bantah
Link. Ia masih di depan Mayra sambil berjalan mundur.
Sombong sekali, batin Mayra. Ia seharusnya pacaran dengan
dirinya sendiri! "Tak ada lagi kau dan aku. Sudah kukatakan - aku sekarang
dengan Walker." "Dia kuper." "Apa" Hei, kau sendiri yang kuper. Jangan mulai bertingkah
seperti anak kecil. Sekarang menyingkirlah! Aku mau pulang."
Dengan patuh Link menghentikan langkahnya dan memberi
jalan. Mayra bergegas melewati Link. "Tapi, Mayra, kalau kau mau
memberiku kesempatan...!" teriak Link.
"Semoga hidupmu menyenangkan!" seru Mayra, dan ia mulai
berlari. "Kau akan menyesal!" teriak Link, lebih terdengar sedih
daripada marah. "Kau akan menyesal, Mayra!"
Ketika Mayra menengok ke belakang, Link sudah pergi.
Chapter 4 "NAH, diam, Hazel," kata Mrs. Cottler sambil membungkuk ke
kucingnya. "Mayra akan membacakan buat kita."
Ia tersenyum waktu kucing itu dengan patuh meloncat ke sofa
di sampingnya. "Mulailah, Mayra. Aku benar-benar menyukai buku
ini, terutama karena cara membacamu yang enak sekali didengar."
"Terima kasih, Mrs. Cottler." Mayra membuka buku itu dan
mulai membalik-balik halamannya hingga menemukan bab empat.
Sebelum ia sempat mulai, terdengar ketukan kencang di pintu.
"Siapa ya itu?" tanya Mrs. Cottler. Dengan bertopang pada
tongkatnya ia berusaha berdiri. Ketukan itu terdengar lagi, sedikit
lebih keras. "Sabar, sabar. Kami datang."
Mayra sampai di pintu lebih dulu dan membukanya. Seorang
pria botak, setengah baya dan berwajah merah, memandangnya
dengan mimik marah. Walaupun hari sedang panas oleh matahari
sore, orang itu mengenakan setelan wol abu-abu tua. Dengan memakai
saputangan yang sudah basah laki-laki itu mengelap keningnya yang
lebar. Mayra melihat orang itu memegang buah persik.
"Di mana Mrs. Cottler?" orang itu langsung bertanya tanpa
basi-basi. "Ya, ya, ini saya," kata Mrs. Cottler dari belakang Mayra.
"Apakah Anda lagi, Mr. Clean?"
"Kleeg - bukan Clean!" sahut orang itu marah. Wajahnya
makin memerah. "Apa maksud kedatangan Anda kali ini, Mr. Clean?" tanya Mrs.
Cottler, ia muncul di sebelah Mayra di pintu.
Mr. Kleeg memutar matanya dan mengangkat buah persik itu.
"Menurut Anda apa?" tanyanya dengan nada tidak menyenangkan.
"Oh, jangan mengenai buah persik lagi. Kan sudah saya katakan
saya tidak bisa berbuat apa-apa dalam hal ini."
Mayra mundur selangkah. Mr. Clean atau Kleeg, atau siapa pun
dia, semakin kelihatan tidak senang.
"Anda harus berbuat sesuatu!" katanya. "Saya sudah
memintanya enam kali. Saya takkan minta lagi. Buah-buah persik
Anda berjatuhan memenuhi halaman belakang saya."
"Yah, nikmatilah," kata Mrs. Cottler dengan keras. "Mayra,
tutup pintunya." "Saya tak bisa memangkas rumput! Tak bisa berjalan di
halaman gara-gara persik Anda!" teriak tetangga itu.
"Saya tak bisa menyuruh persik-persik itu tetap diam di pohon,"
balas Mrs. Cottler. Mayra melihat matanya bersinar-sinar. Dia benarbenar
menikmati keributan ini, kata Mayra dalam hati.
Mr. Kleeg berbalik dan menuruni teras depan. "Akan kutebang
pohon itu. Itu yang akan segera kulakukan." Ia melempar persik itu
dengan marah. Buah itu membentur bingkai pintu kasa.
"Hati-hati, Mr. Clean," Mrs. Cottler memperingatkan dengan
lembut. "Jangan begitu. Jangan terlalu emosi dalam cuaca sepanas ini.
Nanti Anda celaka." Mr. Kleeg memaki-maki dan berteriak-teriak dalam perjalanan
kembali ke rumahnya. "Oh, orang itu. Cerewet sekali," Mrs. Cottler menggerutu, lebih
ditujukan pada diri sendiri daripada pada Mayra. "Amat sangat
cerewet." Ia berpaling ke Mayra dan tersenyum. "Tolong tutup
pintunya." Mayra mulai menutup pintu, kemudian berhenti. "Oh, lihat.
Saputangannya jatuh," katanya. Ia membuka pintu kasa,
membungkuk, dan memungut benda itu dari lantai teras. "Apakah
sebaiknya saya kejar dia dan saya kembalikan ini padanya?"
Mata Mrs. Cottler bersinar-sinar dan bibirnya yang gelap


Fear Street - Berjalan Dalam Tidur Sleep Walker di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membentuk senyum senang. "Jangan. Jangan, Sayang. Tak usah kaukembalikan padanya.
Berikan saja padaku."
Ia meraih saputangan lembap itu dari tangan Mayra dan
memasukkannya ke kantong rok. Lalu ia kembali ke sofa. "Kalau
menginginkannya, dia bisa datang kemari. Sekarang bacalah bab yang
tadi." Mayra mulai membacakan lagi, namun pikirannya tak di
tempat. Ia membayangkan Walker. Dia akan kembali dari liburan
pada hari Sabtu. Ia ingin tahu apakah Walker juga memikirkannya
pada saat ini. Ia mencoba mengirimkan sinyal batin kepada Walker sambil
meneruskan membaca huruf-huruf kecil itu. Ia membayangkan sosok
Walker - rambut pendeknya yang pirang, matanya yang biru,
senyumnya yang malu-malu.
Aku memikirkanmu, Walker. Aku sedang memikirkanmu.
Apakah kau pun sedang memikirkanku"
Dia pasti bangga akan aku, pikirnya. Walker sangat serius
dalam hal sihir. Ia ingin menjadi ahli sihir profesional. Ia menekuni
telepati batin dan kekuatan psikis.
Mayra tidak pernah ambil pusing dengan segala hal itu. Tapi
selama beberapa minggu mereka berpacaran, Walker telah banyak
mengajarinya. Dia akan senang kalau tahu aku mencoba
berkomunikasi dengannya melalui cara ini, pikirnya.
Tiba-tiba ia menyadari bahwa Mrs. Cottler sedang berbicara
padanya. "Apa" Maaf," Mayra berkata. "Saya begitu asyik dengan
buku ini. Saya tak mendengar perkataan Anda."
"Tidak apa-apa. Caramu membaca sangat bagus," tukas Mrs.
Cottler sambil membelai-belai Hazel. "Aku senang kau juga
menikmatinya." Ia bangkit dari duduknya. "Tapi aku letih sore ini.
Kukira karena udara panas. Maukah kau menolongku naik ke
kamarku?" "Tentu," sahut Mayra, lalu ia meletakkan buku dan buru-buru
memapah wanita tua itu. "Kau dapat pulang lebih awal. Aku mau tidur."
Mayra menolong Mrs. Cottler menaiki tangga dan menyusuri
lorong menuju kamar tidurnya. Ia berpamitan, lalu kembali ke lantai
bawah, memikirkan Walker lagi, ingin tahu apakah pemuda itu sudah
menerima pesan batinnya. Ia mengembalikan buku ke rak dan, ketika
siap meninggalkan tempat itu, ia melihat tongkat Mrs. Cottler
tergeletak di depan sofa.
"Lebih baik kuberikan dulu ini padanya," Mayra berkata
sendiri. Ia hampir sampai di puncak tangga dengan membawa tongkat
itu ketika Hazel muncul di atasnya. Mata kuning kehijauan hewan itu
berkilat-kilat. Punggungnya melengkung, dan kucing itu mendesis.
"Hazel, kau kenapa?" Mayra memarahinya. "Kenapa kau masih
tetap begitu" Ini kan cuma aku." Mayra naik beberapa langkah lagi.
Kucing itu memandanginya, punggungnya masih tetap melengkung.
"Betapa cepatnya kau lupa," kata Mayra. "Kita berteman, kan?"
Kucing itu kembali mendesis-desis garang.
Seolah-olah dia melarangku ke atas, batin Mayra. Tetapi
kemudian Mayra menyadari kekonyolan pikirannya. Cuma karena
kucing ini hitam, lalu kau mulai membayangkan dia berbeda dari
kucing-kucing lainnya, Mayra memarahi diri sendiri. Mungkin dia
sedang menggertak kutu, atau tikus, atau sesuatu yang lain.
Mayra bergegas melewati Hazel, yang terus memandanginya,
terkejut karena ternyata Mayra tidak takut. Mayra membawa tongkat
itu ke kamar tidur Mrs. Cottler.
Pintunya setengah terbuka. Ruangan itu gelap, hanya ada
seberkas kecil sinar yang berasal dari jendela. Mrs. Cottler duduk
kaku di tempat tidurnya, tubuhnya menghadap dinding. Kelihatannya
matanya terpejam. Mayra ragu-ragu di pintu masuk. "Mrs. Cottler?" panggilnya
pelan. Wanita tua itu tidak menjawab.
Mayra melihat Mrs.Cottler memegang saputangan putih Mr.
Kleeg. "Mrs. Cottler?"
Masih tidak ada jawaban. Apakah dia sedang kesurupan atau sejenis itu" Mayra bertanyatanya. Sedang apa
dia" Mayra maju selangkah ke dalam kamar. Mendadak Hazel
menggosokkan tubuh ke kakinya. Ia terkejut. Kamar itu terasa dingin,
lebih dingin daripada di lorong.
Mrs. Cottler tidak bergerak.
Lebih baik aku keluar dari sini, kata Mayra dalam hati.
Ia menyandarkan tongkat itu ke dinding dan berlari turun ke
lantai bawah tanpa menoleh.
Chapter 5 "MAYRA, kau kira dia penyihir?"
"Well, dia punya kucing hitam. Dan rumahnya penuh benda
aneh, kaki binatang, serta rongsokan. Lacinya di kamar penuh lilin
hitam. Waktu itu dia sedang kesurupan di kamarnya - paling tidak,
mirip kesurupan - sambil memegangi saputangan tetangganya.
Menurutmu itu apa?" "Menurutku, jelas kau berkhayal!"
Mayra menelepon Donna Cash, sahabatnya, sambil menyisir
rambut di kamarnya. Hari itu Jumat pagi, beberapa menit sebelum ia
berangkat kerja. "Harus ada penjelasan logisnya," kata Donna.
"Tentu ada penjelasan logisnya, Donna. Mrs. Cottler itu
penyihir!" "Well," Donna berbicara sambil berpikir, "aku sungguhsungguh tidak percaya.
Kenapa tidak kau tanyai saja dia?"
"Bagaimana caranya" 'Anda penyihir ya, Mrs. Cottler"' Itu
masalah pribadi, kan, Donna?"
"Kukira ya." "Apalagi seharusnya aku tidak boleh tahu tentang lilin hitam itu
ataupun yang lain. Mungkin dia akan marah kalau tahu aku
melihatnya sedang kerasukan."
"Mungkin ya." "Mrs. Cottler selalu baik padaku," sambung Mayra. "Rasanya
sulit percaya..." "Sebaiknya kau jangan bikin dia marah," saran Donna.
"Yeah. Mungkin kau benar."
"Hei... aku cuma bercanda. Ayo, Mayra, sadarlah. Kau tidak
sungguh-sungguh percaya ada yang bisa mengguna-guna orang, kan?"
"Aku baru ingat akan sesuatu yang pernah dikatakan Stephanie,
adik Link, pada kami." Sisir Mayra terjatuh, namun ia tidak berusaha
mengambilnya. "Kau ingat dia selalu meminjam buku aneh tentang
ilmu gaib dari perpustakaan?"
"Yeah. Stephanie memang pernah tergila-gila pada hal itu.
Sebelum dia menemukan cowok yang ditaksirnya!" Donna tertawa. Ia
seorang gadis mungil, dan terpendek di kelas, tapi tawanya paling
kencang. "Yah, kami pernah ke rumah Stephanie suatu hari dan..."
"Dan kau pasti ketemu Link - ya, kan?"
"Sebentar, Donna! Waktu itu Stephanie membacakan buku
tentang ilmu klenik. Di buku itu disebutkan bahwa untuk menenung
diperlukan pakaian, atau barang lain, milik calon korban. Aku ingat
betapa senangnya Mrs. Cottler ketika tahu saputangan orang malang
itu ketinggalan. Dipeganginya saputangan itu erat-erat, matanya
terpejam, dan..." "Whoa! Pelan-pelan, Mayra," Donna memotongnya. Kemudian
Mayra mendengar Donna berseru pada ibunya, "Akan segera kututup
teleponnya! Sebentar lagi!"
"Aku harus menutupnya juga," kata Mayra, sambil melirik jam
dinding. "Well, kau kayaknya serius dengan soal guna-guna ini," kata
Donna. "Semuanya cuma bohong, Mayra. Sebenarnya masalahmu
adalah kau terlalu sering bersama Walker."
"Sekarang apa maksudmu?" bentak Mayra. Ia tidak bermaksud
terdengar begitu marah. "Bukan apa-apa. Aku cuma mau mengatakan, Walker terlalu
percaya pada segala hal yang berbau sihir dan mistik, dan sekarang
kau ikut-ikutan." "Kau tak wuka Walker, ya?" tuduh Mayra.
"Aku tidak berkata begitu. Walker baik. Dia cuma aneh, itu
saja." "Kau menganggapnya aneh karena dia tertarik pada sesuatu,"
kata Mayra. Ia sendiri terkejut mengapa ia begitu marah. "Dia
memang tidak seperti cowok-cowok lain di sekolah yang cuma senang
pesta dan keributan. Dia punya ambisi. Dia punya minat serius pada
sesuatu." "Dia juga sangat kece." Donna rupanya berusaha tak terdengar
terlalu serius. "Sori," kata Mayra cepat-cepat. "Aku tak bermaksud
menyalahkanmu. Barangkali aku cuma bingung dengan tingkah Mrs.
Cottler, dan gelisah menunggu pertemuanku dengan Walker hari
Minggu nanti setelah dua pekan berpisah."
"Yeah, kedengarannya kau bersemangat sekali. Tapi tak apaapa kok."
"Well, aku tahu anak-anak di sekolah menganggap Walker aneh
karena dia tertarik pada ilmu gaib. Dan karena dia pemalu. Tapi aku
tak ingin sahabatku juga menganggapnya aneh."
"Tidak," kata Donna. "Maksudku, sebenarnya aku belum
mengenalnya dengan baik. Ya, ya! Akan kututup teleponnya! Hei,
omong-omong, pernahkah kau bertemu Stephanie sejak kau putus dari
Link?" "Tidak. Sebenarnya tidak juga. Pernah satu kali, seingatku.
Begitu sekolah libur, dia mulai kerja juga. Dia jadi asisten di pusat
penitipan anak-anak prasekolah, atau tempat semacam itu."
"Tapi malam hari dia ada di rumah, kan" Sebetulnya dia kan
bisa meneleponmu." "Donna, jangan bikin masalah."
"Apa gunanya teman?"
"Kau pikir Stephanie marah padaku gara-gara aku putus dari
kakaknya?" "Aku tak tahu."
"Well, terima kasih atas pendapatmu. Aku jadi harus
mencemaskan satu hal lagi. Aku harus pergi sekarang."
"Aku juga. Salam mesra untuk Walker hari Minggu nanti."
"Donna, cari cowok sendiri. Cari kegiatan. Cari sesuatu."
"Stop!" Kedua gadis itu tertawa dan menutup telepon masing-masing.
Menyenangkan sekali persahabatan kami, pikir Mayra. Kami
bisa saling mengutarakan pendapat tentang satu sama lain, dan tahu
hal itu tidak akan menyakiti hati masing-masing.
Bagaimanapun, ia berharap seandainya Donna tak
mengingatkannya pada Stephanie. Hubungan Stephanie dan Link
sangat dekat. Sangat berbeda. Mereka tidak pernah bertengkar atau
bersaing seperti kakak-beradik lainnya. Meskipun Stephanie dan Link
hampir seumur, Stephanie sangat bangga akan kakaknya itu, bahkan
memujanya. Mungkin Donna benar, katanya dalam hati sambil mematutmatut diri di depan
cermin, mengencangkan simpul tali bahu gaun
musim panasnya yang berwarna hijau-putih, lalu turun ke lantai
bawah. Mungkin Stephanie marah padaku karena aku mencampakkan
kakaknya. Itulah sebabnya dia tidak menelepon selama liburan ini.
Yah, pikirnya sedih, aku rupanya kehilangan cowok dan
sahabat.... ***********************************
Mayra melihat ambulans itu ketika ia baru saja berbelok
memasuki Fear Street. "Oh, tidak! Mrs. Cottler!" jeritnya, dan ia mulai berlari
melintasi halaman tetangga menuju rumah itu. Namun ketika makin
dekat, ia baru menyadari bahwa ambulans itu tidak diparkir di depan
rumah Mrs. Cottler. Kendaraan itu diparkir di depan rumah di
dekatnya. Ia berhenti dan berdiri di jalan mobil, melihat dua orang
paramedis berpakaian putih membawa keluar usungan menuju
ambulans. Dengan diselubungi selimut sampai dagu, orang di atas
usungan itu mengerang kesakitan, matanya terpejam rapat. Mayra
segera mengenalinya. Mr. Kleeg.
Paramedis mendorong masuk usungan ke ambulans dan
menutup pintunya. Sebentar kemudian ambulans itu bergerak meninggalkan tepi
jalan, lampu merahnya menyala, memantulkan cahaya
pada daun-daun hijau di pohon.
Pandangan Mayra terarah ke rumah Mrs. Cottler. Wanita tua itu
sedang berdiri di balik pintu kasa dengan menggendong Hazel. Ia
menyaksikan semua peristiwa itu.
"Mrs. Cottler, ada apa?" tanya Mayra sambil berlari-lari kecil
ke teras. Mrs. Cottler sedang tersenyum-senyum. Tetapi waktu Mayra
mendekatinya, ia segera mengubah ekspresinya menjadi sedih. "Mr.
Clean yang malang." Ia membukakan pintu kasa untuk Mayra.
"Mengerikan, benar-benar mengerikan."
"Tapi... apa" Apa yang terjadi?" tanya Mayra sambil menahan
napas. "Mr. Clean yang malang," ulang Mrs. Cottler. "Dia jatuh dan
tulang panggulnya patah. Oh, pasti sakit sekali." Ia menggelengkan
kepala. "Padahal kemarin dia sudah kuperingatkan supaya hati-hati.
Oh, kasihan, kasihan orang itu."
Chapter 6 WALKER menyapa Mayra dengan malu-malu, keluar dari
pintu depan rumahnya, tersenyum agak gugup, dan mengulurkan
tangan untuk menyalami Mayra. Ia memakai jins yang berlubang di
bagian dengkul dan T-shirt Phoenix Suns, yang mungkin dibelinya
selama liburan. Mayra tertawa geli. Walker kelihatan kaku dan kikuk ketika
mencoba menyalaminya. Ia menghindari tangan pemuda itu, lalu
berjinjit, dan sesaat memeluk Walker.
Mayra senang melihat Walker tersipu-sipu. Pipinya yang putih
bersemu merah. "Hei, sudah dua minggu kau berlibur di Pantai Barat. Kok
kulitmu tidak kecokelatan?" tanya Mayra, sambil memegang tangan
Walker dan menggandengnya ke halaman depan.
"Entahlah." Walker mengangkat bahu. "Kalau saja sempat
berhenti dan keluar dari mobil selama tiga menit, barangkali kami
akan terkena sinar matahari. Masalahnya, mobil kami tak pernah
berhenti." "Ke mana kau pergi" Cuma satu kartu pos yang kudapatkan
darimu. Dengan gambar kaktus."
Walker menghela napas dan menggeleng-gelengkan kepala.
"Wah, pokoknya kami pergi ke mana-mana. Berangkat lewat rute
selatan, dan kembali lewat rute utara. Di mana-mana terbentang
padang pasir, begitu datar dan putih, seperti lautan mahaluas."
"Kau pergi ke Grand Canyon?"
"Ya, kukira aku menghipnotis salah satu bagal di sana."
Mayra tertawa dan menarik Walker ke bawah untuk duduk di
rumput di sampingnya."Kau sempat mempraktekkan ilmumu?"


Fear Street - Berjalan Dalam Tidur Sleep Walker di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Walker tampak malu. "Sedikit. Bagal itu tidak mau turun ke
lembah, jadi aku sulap saja."
"Kau bercanda."
"Memang," kata Walker sambil tertawa.
Aku suka tawanya, batin Mayra. Dia jarang tertawa. Biasanya
dia sangat serius, tapi kelihatan sangat kece kalau tertawa.
Mayra memegang tangannya, dan terkejut menyadari betapa
dingin tangan itu. Dia juga gugup, pikir Mayra. Ia jadi merasa senang.
"Tanganmu besar sekali," katanya. Mayra menekankn telapak
tangannya sendiri ke telapak tangan Walker, sambil saling
menempelkan jari. "Lihat." Jemari Walker hampir lima senti lebih
panjang. "Tangan yang besar bagus buat sulap," kata Walker. "Bisa
untuk menyembunyikan kelinci." Ia menarik tangannya dan merogoh
saku. "Akan kutunjukkan tipuan kartu yang baru." Di kantong
belakang jinsnya selalu ada sekotak kartu.
"Tipuan kartu gombal." Mayra sudah sering berkata begitu
padanya, namun Walker tidak marah.
"Yeah, aku tahu." Walker tersenyum dan mengacungkan kartukartu itu. "Ambil
satu." Ada tiga macam tipuan kartu baru yang dipamerkannya kepada
Mayra. Gadis itu sudah berpikir keras, namun tetap tidak dapat
memecahkan rahasia tipuan Walker. Walker memang berbakat
menjadi penyulap. Walker mengeluarkan uang 25 sen dari sakunya. "Ayo
kutunjukkan lagi beberapa sulap jarak dekat yang kupelajari di dalam
mobil." "Bagaimana kalau kau menyulap piza saja?" Mayra berdiri dan
menarik Walker dari rumput. Pemuda itu sangat tinggi dan ceking.
Rasanya Mayra seperti menarik raksasa!
"Piza" Aku tak tahu caranya."
"Aku lapar!" kata Mayra. Sekali lagi Mayra menarik dan
Walker langsung berdiri, membuat Mayra kehilangan keseimbangan
dan nyaris terjengkang. "Oh. Sori." Dua bulatan kecil berwarna pink muncul di pipi
Walker. Mayra mengulurkan kedua tangannya, lalu kembali memeluk
cowok itu. "Aku senang sekali bertemu denganmu lagi," katanya
sambil menatap mata Walker yang sebiru lautan.
Mayra kecewa karena Walker tampak salah tingkah.
Ketika mereka sampai di Ray's Pizza Place yang terletak di
Division Street Mall, Walker berusaha mencairkan suasana. "Aku
suka pakaianmu," katanya sambil mengusap keju di pipinya dengan
tisu. "A-aku belum pernah melihat pundakmu seperti ini."
"Aku punya dua," kata Mayra.
"Aku tahu. Sudah kuhitung."
Pelayan mengantarkan Coke.
"Hei... di mana kalung itu?" tanya Walker.
"Apa?" "Kalung manik-manik yang kuberikan."
Spontan Mayra meraba-raba lehernya, namun tentu saja benda
itu tidak ada. "Ada di rumah Mrs. Cottler. Diputuskan kucingnya, dan
Mrs. Cottler mau merangkaikannya lagi untukku." Mungkin Mrs.
Cottler sudah lupa. Sebaiknya aku mengingatkan dia, pikir Mayra.
"Akan kutunjukkan padamu tipuan dengan sedotan," Walker
mengubah topik pembicaraan. Diputar-putarnya sebuah sedotan
dengan mudah di antara jari-jarinya sampai benda itu lenyap dari
pandangan. "Bagaimana caranya?" tanya Mayra.
Walker membuka sebelah tangannya yang lain. Sedotan itu ada
di situ, terlipat dua. "Bagaimana caranya?" Mayra bertanya lagi.
Walker menaruh telunjuknya di bibir. "Ssstt. Aku tak bisa
membuka rahasianya."
"Oke, kalau begitu, ceritakan padaku tentang liburanmu."
Mayra menggigit piza dan saus tomatnya memercik ke seberang meja.
"Bagaimana caramu melakukan itu?" Walker bergurau.
"Ini sulap," kata Mayra dengan mulut penuh.
"Tak banyak yang bisa diceritakan dari liburanku. Kau kan tahu
aku bersama orangtuaku."
"Kau bertengkar lagi dengan ayahmu mengenai sulap?"
"Sedikit. Bagaimanapun dia baik sekali. Maksudku, dia masih
menginginkan aku menjadi pengacara yang bisa menyulap sebagai
selingan. Tapi dia sudah tidak lagi terlalu sering mengatakannya.
Cuma setiap 320 kilometer."
"Dan ibumu?" "Dia sibuk menunjuk-nunjuk setiap melihat kuda atau kaktus.
Berkali-kali kuingatkan dia kalau umurku sekarang enam belas, bukan
enam tahun!" Mayra meraih tangan Walker dan menggenggamnya.
"Pokoknya aku senang kau sudah kembali."
Ketika mereka keluar dari restoran dan memasuki mall yang
terang benderang, Walker mulai tampak salah tingkah lagi. "Kau tahu,
Mayra. Aku sangat menyesali yang dulu itu."
"Apa?" "Kencan terakhir kita. Aku sudah lama ingin minta maaf."
Mayra sangat bingung. Ia memandangi Walker, mencoba
membaca pikiran cowok itu. Apa yang harus dimintakan maaf" Yang
diingatnya hanyalah Walker mencium pipinya. Malam itu sangat
indah. Ia merasa sangat dekat dengan Walker. Ia bahkan berharap
Walker tidak tersipu-sipu waktu itu.
Tak usah dipikirkan. "Minta maaf untuk apa?" tanyanya. "Malam itu benar-benar
indah." Walker tampak gembira sekali, bahkan merasa lega mendengar
jawabannya. "Oke. Kupikir aku terlalu malam mengantarkanmu
pulang, aku takut kau mendapat kesulitan." Lalu ia melingkarkan
lengannya di bahu Mayra, dan mereka melanjutkan berjalan melewati
mall yang hampir kosong. *********************************
"Mom... belum tidur?" Mayra terkejut menemukan ibunya
berbaring di kursi kulit berlengan di ruang tamu. Ruangan itu gelap,
hanya lampu koridor yang menyala.
"Oh. Uh... hai!" Mrs. Barnes terbangun dan tergesa-gesa
bangkit berdiri. Ia masih mengenakan seragam putih perawat. "Pasti
aku ketiduran di kursi. Aku sudah pulang dua jam tadi."
"Well, kenapa Mom tidak ke kamar?" Mayra menguap.
"Kupikir aku tidak capek." Mrs. Barnes meregangkan ototototnya. "Sekarang aku
tahu aku capek. Senang keluar dengan
Walker?" "Yeah. Senang." Mayra belum pernah bercerita banyak tentang
Walker kepada ibunya. Ia tidak yakin bagaimana perasaan ibunya terhadap Walker.
Ibunya selalu memuji-muji Link setinggi langit, betapa "manis"-nya
cowok itu. Waktu Mayra memutuskan hubungannya dengan Link,
ibunya berusaha keras menyembunyikan kekecewaannya, namun
tidak berhasil. Ibunya belum pernah mengemukakan pendapatnya
tentang Walker. "Dia senang berlibur ke Barat?"
"Yeah. Menurutku liburannya asyik. Mereka pergi ke manamana." Mayra menguap
lagi. "Dan dia sering mempraktekkan
sulapnya dalam mobil."
Mrs. Barnes menggeleng-gelengkan kepala. "Dia benar-benar
tergila-gila sulap."
Mayra tidak mengerti apa yang dimaksud ibunya dengan
ucapan itu. Tapi ia terlalu lelah untuk menanyakannya. "Aku mau
tidur. Besok Mom kerja?"
"Yeah. Giliran yang paling pagi. Aku harus berangkat beberapa
jam lagi, percaya tidak" Naiklah. Akan kukunci pintunya."
Tiba-tiba Mayra melihat ibunya tampak jauh lebih tua. Atau
barangkali itu karena pengaruh lampu koridor yang tajam. Mayra
mengucapkan selamat malam dan mulai menaiki tangga.
"Oh, aku hampir lupa..." Mayra sadar, itu salah satu kebiasaan
ibunya yang paling menjengkelkan. Dia selalu teringat sesuatu begitu
orang sudah setengah jalan naik tangga, sehingga orang harus turun
kembali. "Link menelepon sekitar satu setengah jam lalu."
"Link" Oh, ya ampun." Mayra mengerutkan kening. "Apa yang
Mom katakan?" "Kukatakan kau tidak ada di rumah. Kelihatannya itu yang
paling tepat - apalagi karena kau memang tidak ada."
Itulah gurauan ibunya. "Dia belum menyerah," gumam Mayra. Dengan terkejut ia
menyadari bahwa ia merasa agak tersanjung. Sebenarnya Link tidak
betul-betul jelek, pikirnya. Kadang-kadang sesuatu tidak berjalan baik,
itu saja.... Mayra sekali lagi mengucapkan selamat malam pada ibunya.
Sambil masih memikirkan Link, ia naik ke kamarnya.
Malam itu untuk pertama kalinya ia bermimpi.
Dalam mimpi ia sedang berdiri di tepi danau. Airnya biru
terang, seperti langit. Ia dikelilingi warna biru. Sekonyong-konyong ia
melangkah ke dalam danau. Ia tidak tenggelam. Ia mulai berjalan. Ia
sedang berjalan di permukaan air yang biru, menengadah memandang
langit biru, sama sekali tidak terkejut ketika menyadari ia dapat
berjalan di atas air. Ia maju beberapa langkah, lalu beberapa langkah
lagi. Air terasa sangat dingin di bawah telapak kakinya yang telanjang.
Tiba-tiba ia merasa sedang diawasi. Seseorang sedang
mengawasinya dari tepi danau. Membuatnya merasa tidak enak. Siapa
itu di sana" Siapa yang sedang mengawasinya"
Ia mencoba melihatnya, namun tidak dapat. Dengan sangat
gelisah, merasa ada yang tidak beres, ia terus melangkah, dan
melangkah lagi. Angin bertiup kencang sekali. Pakaiannya melambailambai di
sekelilingnya. Air danau menepuk-nepuk pergelangan
kakinya. Siapa itu di sana" Siapa yang sedang mengawasinya"
Mayra membuka matanya dan ternyata ia dilingkupi kegelapan.
Ini bukan kegelapan kamarnya.
Ia sudah terjaga sekarang. Mimpinya sudah berakhir.
Jadi mengapa ia tidak kembali berada di kamarnya"
Kakinya yang telanjang terasa sangat dingin, sangat basah. Ia
menunduk, ternyata ia sedang berdiri di atas rumput yang tinggi dan
basah. Pakaian tidurnya berkibar-kibar di sekeliling tubuhnya, tertiup
angin. Bayangan bagian depan rumahnya tampak menjulang bagai
makhluk raksasa yang membisu.
Di manakah aku" Bagaimana aku bisa sampai di sini"
Ia memeluk badannya sendiri dan memandangi bangunan
rumah. Betulkah itu rumahnya" Mengapa kelihatan sangat lain"
Sangat gelap, sangat dingin dan sangat gelap.
Kenapa aku berdiri di sini"
Pepohonan bergoyang dan seakan berbisik. Tanah seolah
miring. Mayra mengembangkan kedua lengannya untuk menjaga
keseimbangan tubuhnya. Kemudian ia melihat pintu depan rumahnya terpentang lebar.
Aku berjalan ke sini" Aku berjalan keluar ke sini dalam
tidurku" Ada yang salah, pikirnya. Ada yang salah dan mengerikan.
Chapter 7 "SEDAP sekali masakanmu, Mayra."
"Terima kasih, Mrs. Cottler."
Sinar matahari menerobos tirai jendela di atas bak cuci dapur
ketika Mayra tergesa-gesa menyelesaikan mencuci piring. Ia ingin
segera memulai acara jalan-jalan siang di tepi danau, lalu
membacakan buku untuk Mrs. Cottler. Mungkin buku itu dapat
membuatnya melupakan pengalamannya yang menakutkan - berjalan
dalam tidur tadi malam. Kalau saja ia dapat berbagi cerita dengan seseorang. Mungkin
ketakutannya akan berkurang. Tapi ibunya sudah berangkat kerja.
Pagi tadi hal pertama yang dilakukannya ialah menelepon Walker, tapi
kata ibunya ia belum bangun. Donna sudah berangkat kerja. Jadi tak
ada seorang pun yang dapat diajak bicara.
Benarkah dia berjalan dalam tidur" Menuruni tangga, membuka
pintu depan, dan melintasi halaman depan sampai nyaris ke jalan
dengan mata terpejam dan lengan terjulur seperti dalam film horor"
Pikiran Mayra dipenuhi pertanyaan yang harus segera dijawab.
Ia belum pernah berjalan dalam tidur. Mengapa ia mengalaminya tadi
malam" Ia akan ke mana" Apa yang akan terjadi jika ia tidak
terbangun" Apakah ia akan terus berjalan"
Mayra merenungkan mimpinya, mencoba mengulangnya
berkali-kali dalam benaknya. Ia masih tidak mengerti juga. Mengapa
ia menyeberangi danau itu" Untuk menemui seseorang" Untuk
melarikan diri dari seseorang" Dan siapa yang mengawasinya dari tepi
danau" Apakah mimpinya yang menyebabkan ia berjalan dalam tidur"
Apakah ada hubungan di antara keduanya"
Ia harus membicarakannya dengan seseorang. "Mrs. Cottler,
apakah Anda tahu sesuatu tentang berjalan dalam tidur?"
Wanita tua itu sedang duduk di sofa, mengelus-elus kucing
hitamnya. Kelihatannya ia tidak mendengar pertanyaan Mayra.
Akhirnya ia mengangkat kepala. Kucingnya juga. "Maaf, Mayra. Kau
bicara denganku?" "Ya. Saya... uh... ingin tahu mengenai berjalan dalam tidur."
Mrs. Cottler tidak tampak terkejut mendengarnya. "Berjalan
dalam tidur. Ya. Ya," sahutnya sambil menunduk memandang Hazel.
"Itu sangat misterius. Sangat misterius." Ia mengangkat kucingnya dan
mulai mengajaknya bermain-main.
Mayra mengeringkan tangannya dengan lap bermotif garisgaris. Ia memutuskan tidak
akan menceritakan apa yang dialaminya
kepada Mrs. Cottler. "Jalan-jalannya nanti saja." Mrs. Cottler masih duduk di sofa.
"Kita ubah kebiasaan kita. Sekarang mulailah membaca beberapa bab
dulu." Hazel mengeong dan meloncat turun ke lantai. Badannya
melingkar seperti bola di depan sofa, seolah bersiap-siap
mendengarkan Mayra membaca dengan nyaman.
****************************
Sesudah bekerja Mayra ingin bergegas ke rumah Donna dan
menceritakan apa yang dialaminya semalam. Tapi ia harus pergi ke
mall mengambil beberapa contoh cat untuk ibunya.
Ia merasa lega begitu keluar dari rumah Mrs. Cottler, meskipun,
di luar dugaannya, hari itu berjalan lancar. Mrs. Cottler sedang
gembira dan tampaknya tidak memperhatikan bahwa Mayra kacau
sekali dan sering melamun. Wanita tua itu tertidur waktu Mayra baru
membacakan setengah bab, namun Mayra meneruskan membaca
dengan suara pelan, hampir bergumam, pikirannya melayang jauh dari
huruf-huruf yang dibacanya.
Sekarang matahari sore berwarna jingga tenggelam di balik
pepohonan. Udara terasa segar dan dingin. Mayra harus melewati
pemakaman Fear Street untuk menuju pemberhentian bus di Park
Drive. Dua anak berambut sangat pirang, yang satu laki-laki berumur
delapan-sembilan tahun dan yang satu lagi perempuan agak lebih
besar, sedang tertawa-tawa dan berkejaran dengan ributnya di
halaman pemakaman.

Fear Street - Berjalan Dalam Tidur Sleep Walker di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mengapa mereka bermain di sana" Mayra terheran-heran.
Sekonyong-konyong ia ingin berteriak pada mereka, menyuruh
keduanya bermain di tempat lain. Apakah mereka belum pernah
mendengar kisah menyeramkan tentang pemakaman Fear Street"
Ketika ia masih kecil, seorang anak laki-laki dari ujung blok
telah membuatnya bermimpi buruk selama berminggu-minggu. Anak
itu bercerita mengapa semua batu nisan di sana miring-miring. Karena
didorong-dorong orang mati di bawahnya, yang setiap malam
berusaha menyingkirkan batu-batu nisan itu supaya bisa keluar.
Sampai kini batu nisan miring di pemakaman selalu membuat Mayra
bergidik. Mayra bermaksud berteriak pada kedua anak itu, tetapi mereka
sudah tidak kelihatan. Tawa nyaring mereka masih terngiang di
telinga Mayra. Namun mereka tidak kelihatan di mana-mana. Mayra
menyeberangi jalan dan mengintip lewat atas dinding pemakaman.
Sembunyikah mereka" Tak ada tanda-tandanya.
Ketika melangkah menjauh, ia merasa mendengar tawa
cekikikan dari dekat. Mungkin itu cuma burung. Atau cuma
khayalannya. Ia menyeberangi jalan dan berhenti.
Seseorang baru saja keluar dari rumah di seberang pemakaman,
lalu menutup pintu di belakangnya dengan membantingnya. Dia
memandangi aku, kata Mayra dalam hati. Dia memandangku seakan
mengenalku! Orang itu tampak sangat terkejut melihatnya.
Dia sangat besar, batin Mayra, balas memandang orang itu.
Laki-laki itu kira-kira dua meter tingginya, badannya tegap, dan
berleher seperti pemain football, nyaris lebih besar daripada
kepalanya. Ia mengenakan celana bersepeda ketat berwarna hitam dan
T-shirt tanpa lengan berwarna merah yang mempertontonkan dadanya
yang bidang dan otot-ototnya yang bertonjolan.
Dengan pipi merah dan lebar serta rambut pirang cepak yang
dipangkas rata di bagian atasnya, ia tampak seperti sersan marinir
yang terlatih atau pemain garis belakang tengah football.
Apa yang kaulihat, Leher Besar" pikir Mayra.
Mayra menoleh ke belakang untuk meyakinkan diri bahwa tidak
ada orang lain yang barangkali sedang dipandangi pria itu. Tidak ada.
Fear Street sedang sepi. Tidak ada orang lain di sekitarnya.
Mayra merasa yakin belum pernah bertemu dengannya, namun
orang itu kelihatannya mengenali dirinya. Ekspresinya pelan-pelan
berubah, dari terkejut menjadi marah.
Sekonyong-konyong ia mulai mendekati Mayra, melangkah
lebar dan cepat. "Hei!" serunya, lebih mirip geraman daripada ucapan.
Dia berbahaya, kata Mayra dalam hati. Tiba-tiba ia merasa
waswas dan ngeri. Dia berniat menyakitiku. Dia akan memukulku. Ada sesuatu yang salah pada diri orang itu. Mungkin ukuran
tubuhnya. Mungkin pandangannya yang tajam.
Mayra berbalik dan mulai berlari.
"Hei... berhenti!"
Jantung Mayra berdegup kencang, ia berlari makin cepat.
Apakah orang itu mengikutinya"
Mayra tidak berani menoleh untuk memeriksanya.
Ia tidak berhenti hingga mencapai halte bus. Kemudian, sambil
terengah-engah, ia bersandar pada tiang halte dan menengok ke
belakang. Orang itu tak ada. Dia tidak mengikuti.
Mayra memegangi tiang halte dengan sangat lega, menunggu
degup jantung dan napasnya kembali normal.
Siapakah orang itu" Apa maunya"
Mayra yakin belum pernah melihat laki-laki itu. Ia pasti akan
mengingat orang yang begitu besar dan tampak sangat berbahaya.
Tak lama kemudian bus yang ditunggunya datang, dan ia
melangkah masuk lalu membayar karcis. Ia satu-satunya penumpang.
Limo ber-AC milikku pribadi, pikirnya. Ia menjatuhkan diri ke tempat
duduk plastik dan menyandarkan kepala ke kaca jendela yang dingin.
Ia sangat letih dan lesu. Bukan hanya karena berlari-lari ke halte bus,
tapi juga karena berjalan dalam tidur tadi malam. Tenaganya telah
terkuras. Berjalan dalam tidur. Apakah nanti malam akan dialaminya
lagi" Bus terlalu cepat sampai di Division Street. Mayra masih ingin
tetap berada dalam bus. Sejuk dan tenang. Kekagetannya belum hilang
akibat dikejar cowok aneh itu. Wajah cowok itu masih terbayang
dalam benak Mayra. Ketika melangkah keluar dari bus, Mayra tersentak merasakan
hangat dan lembapnya udara luar. Ia menyeberang dan berjalan
menuju Division Street Mall.
Biasanya aku menghabiskan liburan musim panasku di sini.
Sebelum aku mendapat pekerjaan....
Mall itu sepi, tidak seperti biasanya. Mayra berhenti untuk
melihat-lihat pakaian renang di toko kecil bernama Clothes Call. Ia
melihat bikini hijau dan ingin mencobanya. Tapi apa sebenarnya
tujuannya ke sini" Ia bahkan cuma membawa uang sekadarnya, dan ia
ke situ untuk mengambil contoh cat. Bikini itu jelas tak mungkin
dibelinya, meskipun kelihatan cocok sekali dengan badannya.
Ia melewati Doughnut Hole. Aroma kismis dan kayu manis
mengundangnya masuk, namun ia berhasil mengatasi godaan itu.
Mungkin aku akan beli beberapa waktu pulang nanti, pikirnya.
Mendadak ia merasa kelaparan. Lalu ia berhenti di depan Ray's
Pizza Place dan mengintip ke dalam. Banyak anak sekolah di sana.
Barangkali salah satu temannya dapat dibujuk untuk berbagi sepotong
atau dua potong piza dengan dia.
Tapi... tunggu! Whoa! Mayra mengejap-ngejapkan matanya. Ia tidak percaya pada
penglihatannya sendiri. Siapa itu yang duduk di kursi tengah" Ya. Itu
Walker. Mayra menudungi mata dan mengedip-ngedipkannya untuk
meyakinkan diri bahwa ia tidak mengada-ada.
Tidak. Ia betul. Itu Walker, sedang berbagi piza dengan Suki
Thomas, cewek paling gampangan di sekolah.
Mereka berdua sedang berpandangan, dan berpegangan tangan.
Chapter 8 MAYRA sangat terpukul, ia memasuki restoran itu dan
langsung melangkah ke tempat duduk mereka berdua. "Walker!"
Tangan mereka saling menjauh. Keduanya tersenyum kepada
Mayra. "Mayra, aku tak melihatmu masuk," Walker berkata sambil
memandang Suki. "A-aku baru saja mengalami kejadian aneh. Aku dikejar-kejar
orang!" kata Mayra langsung.
"Hah?" Keduanya ternganga.
"Ada orang mengejarku - di Fear Streetsesudah aku
meninggalkan rumah Mrs. Cottler."
Senyum di wajah Walker menghilang, berganti dengan
keprihatinan. "Apa" Siapa orang itu" Apakah sebaiknya kita
menelepon polisi?" "Jangan. S-sori. Dia tidak mengikutiku sampai jauh, tapi..."
"Ih, ngeri," komentar Suki sambil menggeleng-geleng. Rambut
platinanya mencuat dalam gaya punk, mungkin ia memakai satu atau
dua ton gel. Ia mengenakan T-shirt ungu dan celana ketat senada yang
dirangkap jins buntung. "Seperti apa orangnya?"
"Kelihatannya berbahaya," sahut Mayra pendek, sambil
memandang Walker. "Badannya besar sekali."
"Mayra, duduklah." Walker bergeser ke tembok, memberi
Mayra tempat duduk. "Tak usah. Aku tak mau mengganggu," Mayra segera menolak.
Dipandangnya Walker dengan jengkel karena cowok itu tidak
mengerti maksudnya. Dengan sangat gugup, Walker langsung berusaha membela diri,
"Aku ketemu Suki di mall ini. Tadinya aku akan ke toko sulap untuk
mengambil kartu-kartu pesananku. Ternyata dia ada di sana. Terus
kami ngobrol. Sebenarnya, kami sedang membicarakanmu ketika kau
datang. Kami berdua lapar, jadi kami pesan piza."
"Dan menurutmu dengan berpegangan tangan kalian takkan
kedinginan sampai piza datang?"
"Hah?" Walker memandang Mayra dengan mimik tidak
percaya. "Kami tidak berpegangan tangan."
"Yang benar saja, Mayra. Kami tidak berpegangan tangan kok,"
Suki menimpali dan menggeleng-geleng.
"Aku tadi sedang menunjukkan tipuan koin padanya. Kau tahu,
tangan sebelah mana yang berisi koin" Itu saja."
Dua bulatan kecil berwarna pink muncul di pipi Walker.
Pandangan polos terpancar dari wajah tampannya. Mayra percaya
pada penjelasan Walker. Dia pasti mengatakan yang sebenarnya. Tak seorang pun bisa
bohong sepintar itu! "Di mana koinnya?" tanya Mayra.
Suki mengangkat bahunya. "Aku tak berhasil menebaknya.
Habis susah sekali."
Mayra menyadari bahwa ia telah menuduh yang tidak-tidak.
Walker dan Suki bertemu di mall dan membeli piza bersama. Ia
memang keterlaluan. Lalu ia duduk di samping Walker.
Lagi pula, apa yang menarik Walker pada diri Suki" Sudahlah.
Batalkan pertanyaan itu, pikir Mayra. Reputasi Suki di Shadyside
High sangat jelek. Lebih gampang menemukan apa yang menarik Suki
pada diri Walker. Tapi Walker bukan tipe cowok yang disukai Suki. Ia sangat
pemalu dan lugu. Tak mungkin ada apa-apa di antara mereka berdua.
Mayra memarahi dirinya sendiri karena terburu-buru mencemburui
dan mencurigai cowok itu.
"Apa saja yang kaulakukan selama liburan ini?" Suki bertanya
kepada Mayra setelah menyedot sisa Coke-nya.
"Bekerja." "Aku juga. Paling tidak aku tadi kerja." Suki menghela napas.
"Aku kerja di Frosty's di mall ini. Itu lho, salon. Tapi aku berhenti.
Jam kerjanya gila-gilaan. Kukatakan, tak usah ya. Lalu mereka
mengatakan aku tak usah datang lagi."
"Sial," komentar Mayra. Ini percakapannya yang terpanjang
dengan Suki. "Mau piza?" Walker menawarkan sambil menarik piring ke
dekat Mayra. "Tak usah. Makasih. Aku harus segera pulang. Maksudku, aku
harus belanja dulu." Mayra sudah lupa pada contoh warna pesanan
ibunya. Sudah hampir jam makan malam. Ia harus bergegas.
Ia berdiri. "Tunggu, kau akan kuantarkan," kata Walker.
Sebenarnya Mayra ingin mengobrol dengan Walker,
menceritakan pengalamannya berjalan dalam tidur, betapa aneh dan
mengerikan. Namun sekarang bukan saatnya. Ia sudah mempercayai
penjelasan Walker mengenai Suki. Ia tak ingin mendengar seluruh
penjelasannya sekali lagi. Walker pasti akan melakukannya. Dan
Mayra tak ingin bercerita tentang cowok pirang berbadan besar itu
lagi. Jelas orang itu gila dan salah mengenalinya sebagai orang lain.
Mayra ingin melupakannya saja.
"Tak usah, makasih. Nanti telepon aku, ya.Bye, Suki." Dan ia
lari keluar restoran tanpa menoleh lagi.
*********************************
"Semoga aku tak perlu mulai menguncimu dalam kamar pada
malam hari." Mayra membelalak pada ibunya. "Mom, aku tidak bercanda."
Mrs. Barnes meneguk kopi dan meletakkan cangkirnya kembali
di meja. Mereka baru saja selesai makan malam dan piring-piring
belum dicuci. Mayra menunggu sampai makan malam mereka
selesai - casserole daging giling, makaroni, dan keju panggang setelah itu barulah menceritakan pengalamannya berjalan dalam tidur
tadi malam. Dan sekarang reaksi ibuya, seperti biasa, menganggapnya
bercanda. "Mengapa Mom selalu menganggap lucu segala sesuatu yang
kualami?" Mayra bertanya.
"Tidak, Mayra. Jangan pandangi aku seperti itu. Berjalan dalam
tidur itu masalah serius. Tapi aku tak ingin kau ketakutan dan cemas.
Mungkin ini takkan terjadi lagi. Ayolah, Sayang... rileks saja."
"Mom, aku nyaris sampai di jalan. Apa jadinya kalau aku tidak
terbangun?" "Tapi kau terbangun. Aku perawat. Aku berani jamin belum
pernah ada orang masuk rumah sakit karena tertabrak truk saat
berjalan dalam tidur. Kau takkan apa-apa."
"Oh, aku memang tak apa-apa," tukas Mayra dengan tajam. Ia
meraih cangkir kopi ibunya dan meneguknya. "Uh. Mom tidak pakai
gula, ya?" "Tidak. Aku suka kopi pahit. Pahit dan kental."
Mayra mengernyit dan mendorong kembali cangkir itu ke arah
ibunya. "Kau tak pernah berjalan dalam tidur sebelum ini." Mrs. Barnes
memegang tangan anaknya. "Kau tak pernah mengigau sepanjang
yang kuingat. Kau bahkan tak pernah gelisah selama tidur."
"Betul," Mayra setuju.
"Jadi mungkin kau sedang punya masalah. Barangkali ada
sesuatu yang mengacaukan pikiranmu. Atau mungkin kau salah
makan." "Mom!" Mayra menarik tangannya menjauh.
"Oke, oke. Bukan makananmu. Sori. Aku tahu pikiranmu
sedang sangat kacau. Tapi menurutku kau harus tetap tenang,
berkepala dingin, itu saja."
"Aku keluar ke jalanan cuma memakai pakaian tidur!"
"Jika pikiranmu masih kacau, ada orang hebat di rumah sakit
yang dapat kauajak bicara."
"Maksud Mom dokter jiwa?"
"Ya. Dia temanku, dan aku yakin dia pasti punya waktu
buatmu." "Jadi Mom pikir aku gila?"
"Tidak, tentu saja tidak. Tapi mungkin kau akan merasa lebih
baik kalau bicara dengan seseorang. Kau akan lebih yakin. Yang jelas,
apa pun yang kukatakan, kau pasti takkan percaya."
"Bukannya aku tak percaya pada Mom. Tapi Mom cuma
menganggap aku lucu, mondar-mandir di luar sambil tidur, padahal
aku ngeri." Mrs. Barnes baru akan membuka mulut ketika sekonyongkonyong bel pintu depan
berbunyi. Ia melirik jam tangannya. "Nah,
siapa itu?" "Mungkin Walker." Mayra meloncat dan berlari-lari kecil ke
luar. "Aku ketemu dia di mall, dan dia cemas, jadi..."
Mayra berlari melewati koridor depan, lalu membuka pintu.
"Stephanie!" "Hai. Apa kabar?" Stephanie melambaikan tangannya. Ia
mengenakan blus berwarna biru laut, berlengan panjang, dengan scarf
putih di sekeliling lehernya, dan celana pendek tenis berwarna putih.
Rambut hitamnya diekor kuda. Meskipun disinari cahaya kuning
lampu teras, ia tetap kelihatan kecokelatan.


Fear Street - Berjalan Dalam Tidur Sleep Walker di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dia benar-benar mirip Link, batin Mayra.
Mayra membuka pintu kasa dan Stephanie melangkah masuk.
"Bagaimana caranya kau bisa begitu cokelat?" tanya Mayra.
"Kudengar kau kerja selama liburan ini."
"Memang. Di Shadyside Day-Care. Mirip camp. Sepanjang hari
aku di luar dengan anak-anak. Jadi aku sering terjemur matahari."
"Well, hai, Stephanie." Mrs. Barnes muncul di koridor. "Kau
cantik sekali." "Terima kasih, Mrs. Barnes. Apa kabar?"
"Baik. Sudah agak lama kau tidak kelihatan."
Stephanie melihat ke arah Mayra dengan tidak enak. "Yeah.
Emmm... saya bekerja. Di Shadyside Day-Care. Ada dua puluh anak
umur empat tahun dalam kelompok yang saya jaga. Rasanya capek
sekali, jadi jam setengah sembilan saya sudah tertidur!"
"Kau tidur di dalam atau di luar rumah?" Mrs. Barnes bertanya,
lalu tertawa. "Mom, nggak lucu!"
Stephanie tampak bingung. "Apa yang dikatakan ibumu?"
"Sudahlah, biarkan saja," sahut Mayra cepat-cepat.
Mrs. Barnes kembali ke dapur.
"Kau sedang sibuk nggak?" tanya Stephanie. "Mestinya aku
menelepon dulu, tapi..."
"Nggak, nggak. Aku senang. Maksudku, aku senang ketemu
kau." Mayra merasa lega, ternyata Steplianie tidak marah padanya
karena ia putus dengan Link. "Ayo naik ke kamarku dan kita ngobrol."
Stephanie mengikutinya menaiki tangga. Mayra menjatuhkan
diri di kursi setelah mendorong Stephanie supaya duduk di tempat
tidur. "Kau kelihatan modis. Scarf ini cocok dengan blusmu. Aku
sungguh-sungguh suka."
"Memang sudah seharusnya kau suka scarf ini," kata Stephanie
sambil tertawa. "Ini kan punyamu."
"Ah, yang benar?"
"Yeah. Sudah berbulan-bulan ketinggalan di rumahku."
"Oh. Kalau begitu kembalikan," tukas Mayra setengah
bergurau. "Nggak usah ya. Ini akan kusimpan." Stephanie melicinkan
scarf itu dengan kedua tangannya.
Mayra mengira Stephanie akan mengembalikan benda itu,
namun tampaknya Stephanie serius. Ia benar-benar bermaksud
menyimpannya. Aneh, pikir Mayra. Mestinya dia kan punya banyak scarf.
Keluarga Stephanie sangat kaya, dan dia termasuk cewek berbusana
terbaik di Shadyside High.
Sesaat suasana sunyi, canggung.
"Hei, aku cuma menggodamu," kata Stephanie akhirnya. Ia
melepaskan scarf itu dan meletakkannya di sampingnya di tempat
tidur. "Nih kukembalikan."
Anehnya Mayra merasa lega. "Jadi liburanmu asyik, ya?"
tanyanya. "Yeah. Kira-kira begitu. Tapi tidak bagi Link." Stephanie
mengibaskan ekor kudanya ke belakang pundak. Ekspresinya berubah.
Semua mimik ramahnya hilang.
"Stephanie..." Mayra mengubah posisi duduknya, melipat kaki
di bawah tubuhnya. Tiba-tiba ia merasa takut ketika menyadari
Stephanie datang dengan maksud tertentu.
"Kita harus bicara tentang Link," kata Stephanie dengan suara
rendah. "Tidak, jangan," kata Mayra cepat-cepat. "Aku tahu dia
kakakmu, tapi..." "Kau tak berhak menyakitinya seperti itu."
"Aku berhak," Mayra berkeras, kemudian mendadak menyesal
telah mengucapkannya. Kedengarannya begitu kejam. "Dengar, kita
tak bisa membicarakan ini. Tak ada apa pun yang perlu diomongkan."
"Kenapa kau melakukannya, Mayra" Kau tak punya alasan. Dia
betul-betul terpukul. Dia mengharapkanmu. Dia menyayangimu. Tapi
kau hancurkan semuanya begitu saja. Kau..."
"Aku putus dengan dia. Itu saja. Terjadi begitu saja, kau tahu.
Kami tidak cocok. Aku tak ingin melukainya. Tapi tak kusangka dia
akan berbuat begini. Menyuruh adiknya untuk..."
"Dia tak menyuruhku!" teriak Stephanie.
"Sori." "Aku datang karena kemauanku sendiri, cuma untuk
mengatakan padamu betapa kacaunya Link. Dan itu semua salahmu."
"Maaf," ulang Mayra.
"Maaf saja tak cukup."
"Apa lagi yang mesti kukatakan?"
"Katakan kau akan kembali dengan dia. Memberinya
kesempatan lagi." "Aku tak bisa."
"Kau bisa." "Tapi aku tak ingin. Dengar, Stephanie, Link harus bisa
bersikap lebih dewasa."
"Apa maksudmu?"
"Dia terus-terusan berkeliaran di sekitarku, membuntutiku, dan
meneleponku - kekanak-kanakan sekali. Jika dia memang tidak
menyuruhmu bicara denganku, kenapa kau ke sini" Pasti karena kau
juga menganggapnya masih seperti anak kecil, tak bisa menyelesaikan
masalahnya sendiri."
"Itu tak benar," seru Stephanie, matanya yang hitam berkilatkilat. "Aku datang
karena sayang pada kakakku dan ingin mengatakan
apa pendapatku tentang dirimu."
"Well, oke. Kau sudah melakukannya. Tapi aku tak bisa
ngomong apa-apa lagi. Aku menyesal membuat semua orang merasa
tidak enak. Aku juga merasa tidak enak. Sungguh."
"Dan cuma itu?" Stephanie meloncat.
"Yeah. Hanya itu," sahut Mayra pelan.
"Kau akan menyesal," kata Stephanie. Paling tidak itulah yang
terdengar Mayra. Ia tidak yakin. "Apa yang kau katakan?"
"Kubilang aku ikut menyesal."
"Selamat tinggal, Stephanie," kata Mayra dengan letih.
"Semoga hidupmu menyenangkan."
Stephanie menatap Mayra dengan marah, membalikkan badan,
dan cepat-cepat keluar dari kamar itu. Mayra tidak beranjak dari kursi.
Didengarnya langkah berat Stephanie di tangga, kemudian pintu
depan yang dibanting. Sekonyong-konyong ia menyadari bahwa seluruh badannya
gemetar. Ia tidak menyukai pertengkaran, lebih-lebih dengan orang
yang ia anggap sebagai sahabatnya.
Sungguh memalukan. Benar-benar sangat memalukan.
Pandangannya menyapu tempat tidur. Scarf putihnya. Tidak
ada! Stephanie membawa scarf itu!
Chapter 9 MIMPI itu begitu jelas. Ia dapat mencium aroma cemara, merasakan dinginnya air yang
jernih ketika ia melangkah menuju danau.
Hari ini cerah, matahari bersinar terang, begitu terang sehingga
segalanya tampak cemerlang dan berkilauan. Warna-warna kelihatan
tajam dan jelas. Ia dikelilingi selubung kuning gemerlapan cahaya
matahari. Begitu hangat, begitu cerah.
Di bawah kakinya danau tampak biru, biru yang dingin. Riak
lembutnya terkena sinar matahari, memerciki kaki telanjangnya.
Ia berjalan melintasi air, perlahan-lahan, kedua lengannya di
samping, pandangannya lurus ke depan, selalu lurus ke depan ke atas
permukaan danau yang luas. Alangkah cerahnya hari ini!
Namun ia tak dapat melupakan masalah yang membebaninya.
Seseorang sedang mengawasinya dari tepi danau. Seseorang
mengamatinya ketika ia berjalan di atas danau. Siapakah dia"
Ia membalikkan badan untuk melihatnya. Tapi cahaya
kekuningan yang menyilaukan serasa membutakannya. Mayra
memejamkan mata, lalu melihat ke kejauhan. Cahaya yang
menyilaukan itu membentuk semacam tirai. Ia tidak dapat melihat ke
baliknya. Ia tak dapat melihat siapa yang mengamatinya.
Air danau mendadak terasa dingin. Di bawah, riak ombak
mengempas kakinya lebih keras. Cahaya matahari kekuningan
memudar dan berubah menjadi kelabu, kemudian hitam.
Mayra terbangun. Di manakah aku" pikirnya.
Pepohonan berbisik. Angin meniup pakaian tidurnya.
Aku di luar lagi, hanya memakai baju tidur.
Dikelilingi pepohonan, cemara-cemara tinggi, ek, belukar
pendek. Sebuah sepeda roda tiga tergeletak terbalik di jalan mobil
yang berkerikil, di halaman sebuah rumah tua beratap rendah yang
gelap. Daun jendelanya terempas-empas.
Itu bukan rumahku, pikirnya.
Aku tidak berada di depan rumahku. Aku... berada di tempat
lain. Akibat dicekam ketakutan, Mayra baru menyadari bahwa ia
menahan napas sejak tadi. Diembuskannya napas dari paru-paru dan
di-hirupnya udara dingin dalam-dalam.
Di manakah aku" Ada lampu jalanan sekitar setengah blok dari situ. Pohon-pohon
tua merunduk dan bergesekan.
Mayra menunduk melihat kakinya. Sangat basah, dingin sekali.
Ia sedang berdiri di genangan air yang dalam, lumpur lembut
menyelip di antara jarinya, hampir setinggi mata kaki.
Aku berdiri di dalam lumpur. Tapi di mana" Ia memaksakan
diri untuk menarik napas lagi.
Mimpi itu kembali membayang jelas, dan Mayra mendesah
kaget. Bagaimana aku bisa berjalan di atas danau" Kenapa aku ada di
sana" Kenapa aku di sini" Ia keluar dari dalam genangan. Angin seakan berhenti. Begitu
sepi, sesunyi foto hitam-putih. Seolah-olah hanya dialah yang bisa
bergerak. Ia berjalan menjauhi pepohonan yang sekarang diam. Di balik
semak-semak hijau yang rendah terlihat jalanan. Di seberang jalan itu
ada rumah bergaya Victoria yang tinggi dan tua dengan lampu kuning
pucat, sepucat bulan. Hanya ada satu jendela di lotengnya.
Jalan itu tampaknya sudah tak asing lagi baginya, tapi tetap
terasa janggal. Mayra berjalan menuju lampu, lewat trotoar tanah di tepi jalan.
Ia mengayunkan lengan kanannya, mula-mula perlahan, lalu makin
cepat, sambil memegangi pakaian tidurnya di bagian pinggang dengan
tangan kiri. Apakah yang di dekat lampu itu papan nama jalan"
Ya. Ia melewati satu lagi rumah tua yang gelap, jauh dari jalan.
Rumput dan ilalang tinggi terbentang di halamannya bagai permadani.
Apa aku mengenal rumah itu" Apa aku mengenal jalan ini"
Berapa jauh aku telah berjalan" Apakah aku telah berjalan memasuki
mimpi lain" Ia bergegas mendekati papan nama jalan. FEAR STREET.
Ia memandang ke kejauhan, kemudian membacanya lagi. Tidak
berubah. Masih bertuliskan FEAR STREET.
Kenapa aku ada di sini"
Ia berjalan dalam tidur ke Fear Street, ke tepi hutan. Ke tepian,
pikirnya. Ke tapal batas.
Melewati batas kewarasan. Aku sudah gila.
Kata-kata itu terus diulang dalam hatinya sampai kehilangan
makna. Ia mendongak melihat tanda jalan itu lagi. Benar-benar ada.
Bukan mimpi. Ia berada di Fear Street dengan hanya berpakaian tidur
di tengah malam. Ia berjalan dalam tidur ke sini... untuk mencari...
apa" Barangkali ia akan berdiri di sana selamanya, terpana
memandangi papan nama jalan hitam-putih itu. Namun pendar-pendar
sinar merah membawanya kembali ke alam nyata, dan ia sadar dirinya
tidak sendirian lagi sekarang.
Ada pintu mobil dibanting.
Seorang laki-laki berjalan ke arahnya. Lampu merah berpendarpendar. Seolah
mengelilinginya. Mayra mengedipkan mata, berusaha
menghindari sinar silau itu.
Ia tahu ini cuma mimpi, sekali lagi datang untuk menakutnakutinya. Ia menunduk,
berharap melihat air danau yang biru dingin.
Tapi ia hanya melihat debu.
"Miss?" Laki-laki itu berdiri tepat di hadapannya, disinari kilau cahaya
merah. "Miss" Apa yang kaulakukan di luar sini?"
Ia polisi. Di belakangnya Mayra melihat pendar-pendar lampu
merah di atap mobil polisi itu.
"Hai. Saya... saya tidak tahu."
"Kau baik-baik saja?"
"Ya, saya kira begitu."
"Apakah kau terluka" Apakah ada orang yang membawamu
kemari?" "Tidak." Polisi itu memegang lengan Mayra dengan lembut. Mayra
mengikutinya menuju lampu merah yang berpendar-pendar. "Boleh
aku mengantarkanmu pulang" Kau tinggal di sekitar sini?"
"Terima kasih, Pak."
*********************************
Kali ini ibu Mayra menanggapi masalah itu dengan serius.
Ia berlari ke pintu depan, mengenakan piama laki-laki bergaris
yang selalu dipakainya, dengan wajah takut dan kaget ketika melihat
Mayra dan polisi berwajah serius itu.
Ia membawa Mayra ke dapur, erat memeluk pinggang anaknya.
Mata mereka mengerjap oleh tajamnya sinar lampu dapur. Mrs.
Barnes menjerang air untuk membuat cokelat panas.
Mayra bercerita tentang mimpinya dan tentang bagaimana ia
terjaga di Fear Street. "Tak ada lagi yang kuingat. Tak ada lagi yang
dapat kujelaskan," kata Mayra, lalu pecahlah tangisnya.
Mrs. Barnes mendekat ke sampingnya dan memeluknya.
"Ssshhh. Sekarang kau sudah aman."
"Tapi apa yang terjadi padaku" Kenapa aku melakukannya?"
"Aku tak tahu," sahut ibunya sambil menuangkan sebungkus
bubuk cokelat ke dalam cangkir. "Aku tak tahu apa-apa tentang
berjalan dalam tidur. Tapi yang penting jangan cemas, jangan terlalu
kuatir." "Terlalu kuatir?" jerit Mayra. Ia tahu ibunya berbicara dengan
sangat pelan supaya ia tenang, namun hal itu malah membuatnya
marah. "Bagaimana aku tak kuatir" Aku berjalan ke Fear Street sambil
tidur!" "Aku tahu, Sayang," kata ibunya. Ia menuangkan air mendidih
ke dalam cangkir dan menggeser cangkir itu ke dekat Mayra.
"Mom, aku tak dapat..."
"Dr. Sterne sedang cuti minggu ini," potong Mrs. Barnes. "Tapi
begitu dia masuk kerja, kita akan langsung menemuinya."
"Apa yang dapat ia katakan?" tanya Mayra tidak senang.
Diteguknya cokelat panas itu sedikit dan lidahnya langsung serasa


Fear Street - Berjalan Dalam Tidur Sleep Walker di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terbakar. "Well, aku tak tahu. Kupikir mungkin dia dapat menjelaskan
tentang penyakit berjalan dalam tidur itu. Maksudku, apa
penyebabnya." "Gila. Itulah penyebabnya," gerutu Mayra, ia menangkupkan
kedua tangannya di sekeliling cangkir hangat. "Aku sudah sinting."
"Sudah. Berhentilah berkata begitu." Mrs. Barnes tiba-tiba
kelihatan sangat letih. "Kau tidak sinting. Ada sesuatu yang tidak kita
mengerti, itu saja. Dr. Sterne orang pandai. Dia akan menolong kita.
Nah, sekarang kau mau tidur di kamarku" Ayo. Kita tidur, yuk."
"Trims, Mom. Tapi, sungguh, aku baik-baik saja sekarang.
Cokelat panas ini manjur. Aku sudah jauh lebih tenang sekarang,
Suster Nancy." Mayra tersenyum pada ibunya, kemudian kembali
menyesap cokelat di cangkirnya.
"Mungkin kita bisa memindahkan Kim ke kamarmu untuk
sementara," usul ibunya. "Dia gampang terjaga, dia pasti akan dengar
kalau kau bangun. Lalu dia bisa..."
Mereka berdua terkejut mendengar bunyi langkah kaki yang
keras. Kim berderap masuk ke ruangan itu dengan mengenakan piama
Garfield the Cat. Matanya terpejam, kedua lengannya terjulur lurus ke
depan. "Aku jalan sambil tidur," ia bergumam menirukan suara hantu.
"Aku jalan sambil tidur..."
"Kim!" Mayra berteriak, sebal sekali melihat tingkah adiknya.
"Kau tadi menguping seluruh pembicaraan kami, ya?" tanya
Mrs. Barnes. Kim tidak menghiraukan mereka berdua, melainkan terus
berjalan seperti zombie menyeberangi dapur, matanya tetap terpejam.
"Aku jalan sambil tidur. Awas, hati-hati."
"Berhenti, Kim. Tidak lucu," kata Mrs. Barnes.
"Dia memang kurang ajar." Mayra menggeleng-geleng.
Akhirnya Kim membuka matanya. "Aku juga bisa jalan sambil
tidur, tahu." "Kenapa belum tidur" Kau harus bangun pagi untuk berangkat
ke camp, ingat?" Mrs. Barnes memegang bahu Kim dan memutar
badannya, lalu mendorongnya keluar dari dapur.
"Aku masih tidur. Aku sedang jalan dalam tidur," Kim
bersikeras. Beberapa saat kemudian Mayra sudah kembali ke tempat
tidurnya. Ia merasa capek, bahkan lemas sekali. Namun ia tidak dapat
tidur lagi. Setiap akan terlelap, ia memaksakan diri untuk kembali terjaga.
Tidak, tidak bisa, pikirnya. Aku tak bisa membiarkan diriku
bermimpi lagi. Ia memelototi langit-langit, merasa semakin ketakutan.
Aku tak boleh tertidur lagi, pikirnya.
Chapter 10 WALKER sangat mengkhawatirkan keadaan Mayra. Ia
bergegas ke rumahnya sebelum gadis itu berangkat bekerja. Ia
kelihatan menawan dengan jins pudar buntung dan kemeja polo
bergaris merah-putih. Mayra gembira melihatnya. "Kau tak perlu ke sini pagi-pagi
sekali. Aku baik-baik saja. Sungguh."
"Tapi aku ingin ketemu kau," kata Walker pada Mayra. Dengan
kikuk ia duduk berselonjor di atas karpet ruang tamu. "Duduklah di
sini." "Aku tak bisa. Nanti aku terlambat ke rumah Mrs. Cottler."
"Cuma sebentar saja kan tidak apa-apa." Walker mengulurkan
tangan dan menarik Mayra ke sampingnya.
"Jangan ngaco," kata Mayra menyeringai. Dipeluknya Walker.
Ia suka kalau cowok itu bersikap memaksa dan ngotot seperti
sekarang. Ini jarang terjadi.
"Ceritakan yang tadi malam."
"Kan sudah kuceritakan di telepon. Tak ada yang lainnya."
"Aneh," kata Walker.
"Aneh" Begitu" Begitu pendapatmu?"
"Yeah." Mendadak Walker bersungguh-sungguh. "Yeah, ini
aneh." "Oh. Kupikir aku yang kauanggap aneh."
"Yeah, itu juga."
"Terima kasih banyak. Yang serius dong. Aku betul-betul
takut." "Aku serius. Aku juga takut. Untukmu, maksudku. Pasti ngeri
rasanya tiba-tiba terbangun di suatu tempat di luar rumah."
"Bukan di sembarang tempat. Tapi di Fear Street."
"Begini, aku punya usul." Walker bersandar ke sofa. "Mungkin
aku bisa menghipnotismu dan mencoba menemukan apa masalahmu,
atau arti mimpi itu, atau yang lainnya."
"Tidak, trims," kata Mayra cepat-cepat. Ia mulai berdiri, tapi
Walker menariknya lagi. "Tidak. Aku serius. Aku sudah mempraktekkannya. Maksudku,
aku yakin sekarang aku sudah lebih menguasainya. Pantas dicoba,
kan?" "Walker, kau memang aneh." Mayra bangkit berdiri dan
berjalan menuju cermin di koridor. Sambil merapikan T-shirt, ia dapat
melihat bayangan Walker melalui cermin. Pemuda itu kelihatan sangat
tersinggung. "Itu pujian lho," kata Mayra. Namun ekspresi Walker
tidak berubah. "Jadi kau akan menemui psikiater itu?"
"Yeah. Begitu dia kembali dari cutinya. Kata Mom, dia baik
sekali. Dia telah melakukan semacam penelitian mengenai tidur, jadi
mungkin dia tahu bagaimana cara menghentikan kebiasaanku berjalan
dalam tidur." Walker berdiri dan berjalan mendekati Mayra. Gadis itu
melihatnya melalui cermin. Keren sekali dia, kata Mayra dalam hati.
Sebaiknya aku segera berangkat. Tiba-tiba ia ragu apakah dapat
mempercayai dirinya sendiri berduaan saja dengan Walker di rumah.
Jika sekarang Walker memeluknya, ia pasti tak jadi berangkat kerja ke
rumah Mrs. Cottler. Tapi Walker ternyata diam saja.
Lama sekali ia memandangi bayangan Mayra di cermin, lalu
bertanya, "Boleh aku mengantarmu berangkat kerja?"
"Yeah. Trims." Mayra bertanya-tanya dalam hati apakah
Walker menyadari betapa kecewanya dia.
************************************
Kucing hitam itu seolah terpana melihat Mayra,kepalanya
miring, mata kuning-hijaunya tampak membesar. "Hazel," kata
Mayra, "di mana Mrs. Cottler?"
Wanita tua itu tidak membukakan pintu. Setelah mengetukngetuk beberapa kali,
Mayra masuk ke dalam rumah. Ia disambut
kucing itu dengan pandangan takut dan curiga.
"Mrs. Cottler" Mrs. Cottler?"
Tak ada jawaban. "Mungkin dia di atas," kata Mayra keras. Kucing itu menaiki
tangga seolah mengerti apa yang dikatakan Mayra.
"Mrs. Cottler?" panggil Mayra. Tidak ada jawaban, jadi Mayra
menaiki tangga. Pintu kamar tidur Mrs. Cottler terbuka. Mayra mengintip ke
dalam. Kamar itu kosong. Tapi Mayra melihat pintu kamar mandi
yang tertutup di dinding seberang. Mayra masuk ke kamar itu. "Mrs.
Cottler?" Ia mendengar pancuran di kamar mandi mengucur. Jadi di
situlah Mrs. Cottler. Mayra berbalik akan keluar ketika pandangannya
menangkap sesuatu di atas lemari pakaian. Ia mendekatinya. Sebatang
lilin hitam yang telah terbakar habis, dikelilingi genangan lelehan
hitam. Di sampingnya ada kotak perhiasan kecil yang terbuka. Di
dalamnya Mayra melihat onggokan manik-maniknya yang berwarna
biru pucat. Rupanya Mrs. Cottler belum mulai merangkainya.
Mengapa dikeluarkan" Mengapa ditaruh di dekat lilin hitam yang
aneh ini" Gemerencik air di shower tiba-tiba berhenti.
Lebih baik aku keluar dari sini sebelum dia melihatku, pikir
Mayra. Ia berbalik dan cepat-cepat keluar dari kamar itu tanpa
bersuara. Mayra sedang menyiapkan makan siang berupa salad ikan tuna
ketika akhirnya Mrs. Cottler muncul di dapur. Wanita tua itu
bertopang pada tongkatnya dan tersenyum penuh rasa bersalah.
"Aku bangun kesiangan hari ini," katanya pada Mayra. "Pasti
menyebalkan mesti menunggui perempuan tua seperti aku."
"Hari ini cerah," kata Mayra, sambil masih memikirkan kalung
manik-maniknya di dalam kotak perhiasan. "Makan siang hampir
siap." Mrs. Cottler melangkah mendekati meja di samping Mayra.
"Kau kelihatan capek, Mayra," katanya dengan wajah berkerut
prihatin. "Yeah, saya tahu. Akhir-akhir ini tidur saya tak nyenyak."
"Barangkali ibumu sebaiknya menyuruhmu tidur lebih awal."
Seulas senyum ganjil muncul di wajahnya. "Omong-omong,
bagaimana kabar ibumu?"
Ternyata dia ingat ibuku, kata Mayra dalam hati.
*************************************
Acara berjalan-jalan ke tepi danau terhalang oleh hujan angin.
"Tak apa-apa," kata Mrs. Cottler. "Aku cuma ingat Vincent kalau
pergi ke sana. Itu caraku untuk selalu mengenangnya dalam hidupku.
Tapi hal itu selalu membuatku sedih."
"Kita akan membaca beberapa bab tambahan hari ini," Mayra
berkata, tersenyum hangat, mencoba menghibur wanita tua itu. Tibatiba mimpi itu
berkelebat di benaknya. Dilihatnya danau itu, danau
impian, berkilauan dan jernih. Dipaksanya bayangan itu menghilang
dari benaknya, diambilnya buku, dan dicarinya halaman yang akan
dibacakannya. Beberapa jam kemudian hari masih gerimis ketika Mayra
pulang. Air hujan yang dingin terasa nyaman di wajahnya. Dengan
langkah cepat ia menyusuri Fear Street, ingin segera sampai di rumah.
Ia masih berada di depan makam Fear Street, sepatu karetnya
menapak di atas kubangan yang bertebaran di jalan, ketika tiba-tiba
terdengar bunyi langkah kaki di belakangnya.
Apakah itu orang yang pernah mengikutinya, cowok berleher
besar itu" Ia gemetar dan makin mempercepat langkahnya.
Siapa dia" Apa maunya"
"Hei... Mayra!"
Mayra membalikkan badan. Bukan orang mengerikan itu. Ternyata Link. "Link" Apa
kerjamu di Fear Street?"
Dengan tangan, Link menyisir rambut hitamnya yang basah
oleh air hujan ke belakang, dan tersenyum lebar pada Mayra. "Aku
sedang menunggumu." Ia mengenakan jins denim hitam dan T-shirt
tanpa lengan yang berwarna cerah. Lengan dan dadanya sangat
kecokelatan. Mayra tidak membalas senyumnya. "Link, jangan mulai lagi.
Aku tak mau..." "Tidak. Aku cuma bercanda," kata Link, bergegas menyamai
langkah Mayra. "Aku harus mengantarkan barang. Lalu aku
melihatmu keluar dari rumah itu, jadi..."
Mayra melihat pickup merah di belakang Link yang diparkir di
tengah jalan. Pintu di sisi pengemudi dibiarkan terbuka lebar. "Itu
mobilmu?" "Well, mereka memperbolehkan aku memakainya untuk
mengantar barang," sahut Link sambil tersenyum lagi. "Mau jalanjalan?" Ia meraih
tangan Mayra, namun gadis itu menarik tangannya
menjauh. "Tidak. Aku tak mau." Tiba-tiba bayangan Walker muncul
dalam pikiran Mayra. Ia ingin tahu apa yang sedang dikerjakan cowok
itu pada saat ini. Ia ingin secepat mungkin menelepon Walker begitu
ia sampai di rumah. "Akan kuantar kau pulang. Ayo, Mayra. Kayaknya hujan akan
turun lagi." "Tak usah," tolak Mayra.
"Aku cuma akan mengantarkanmu. Aku takkan ngomong apaapa. Janji."
Mayra ragu-ragu, lalu melihat ke langit yang makin gelap. "Kau
janji takkan mengajakku berkencan, atau semacamnya, Link?"
Link mengangkat tangan kanannya, pura-pura bersumpah.
"Tidak. Aku tidak seseram yang kaubayangkan," jawabnya sambil
tertawa. Mayra mengikuti Link ke mobilnya dan membuka pintu di sisi
penumpang. "Pakai tangga itu untuk naik," kata Link.
Mayra duduk dan menutup pintu. Dilihatnya Link berlari-lari
kecil mengelilingi mobil dan meloncat untuk membuka pintu di sisi
pengemudi. Dia kelihatan hebat, batin Mayra.
Link menyelinap ke belakang kemudi dan melontarkan senyum
jahat. "Kau kelihatan capek. Aku tahu apa yang kaubutuhkan. Jalanjalan ke tempat
jauh dan bersantai," katanya sambil memegang bahu
Mayra dengan tangannya yang hangat. "Kenapa kita tidak pergi ke
River Road saja?" Dengan bergurau Mayra memukul tangan Link agar menjauh.
"Link... kau sudah janji!" Mayra meraih pegangan pintu, tapi jelas
tidak serius. Link menstarter mobil dan mulai melaju meninggalkan Fear
Street. "Tahu aku ketemu siapa kemarin" Kerry Post."
"Oh, yeah?" Kerry adalah sahabat Link yang pindah ke Selatan,
juga pindah sekolah di sana. Mayra menyukai Kerry dan baru
sekarang menyadari bahwa ia tidak pernah teringat pada Kerry sejak
ia putus dari Link. "Bagaimana kabarnya?"
"Masih aneh seperti biasanya." Link berbelok ke kanan di Park
Drive. "Tahu apa yang dikerjakannya selama liburan musim panas ini"
Dia menjadi Mister Frostycone Man."
"Kau pasti bercanda!" Mayra tertawa. "Maksudmu dia harus
berpakaian seperti corong es krim besar sama dengan yang lainnya
itu?" "Yep. Seingatku rute mobil es krimnya di Old Village. Dia
harus terus-terusan membunyikan bel sepanjang hari. Aku bilang aku
akan selalu mengingatnya sebagai Kepala Corong!"
Mayra tertawa. "Dan di mana ceweknya yang nyentrik Alice?" "Menurutku sepanjang liburan ini Alice pasti berusaha
menghindari Kerry!" Mereka berdua tertawa. Mayra memandangi Link, mengamati
wajah tampannya. Ia lupa betapa cowok ini kadang bisa sangat
menyenangkan. Rasanya santai dan nyaman berdua dengannya,
seperti dulu. Link menyadari Mayra sedang mengamatinya. Ia kembali
memegang bahu Mayra. "Bagaimana kalau kita pergi ke River Road?"
tanyanya pelan. "Cuma ngobrol."
Mayra hampir mengatakan ya. Apa ruginya" Link meremas
bahu Mayra. Tidak, prkir Mayra. Ini salah.
Wajah Walker terlintas dalam benaknya.
Segalanya sudah berakhir antara diriku dan Link. Memang, dia
cowok hebat. Memang, aku kadang-kadang merindukan dia dan


Fear Street - Berjalan Dalam Tidur Sleep Walker di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

teman-teman kami berdua. Memang, aku merasa nyaman bersamanya.
Tapi aku sekarang pacaran dengan Walker.
"Link, antarkan aku pulang," katanya, dengan pandangan lurus
ke kaca depan. Ia menoleh, dan melihat kekecewaan di wajah Link. Pemuda itu
tidak hanya kecewa. Ia murka. Kemarahannya menggelegak akibat
sekali lagi ditolak Mayra.
Mereka melaju ke rumah Mayra dalam suasana sunyi,
kesunyian yang mencekam dan muram.
**********************************
Link menurunkan Mayra di tepi jalan, dan gadis itu berlari ke
halaman rumahnya tanpa berpamitan. Mayra terkejut ketika
menemukan Donna sedang menunggu di teras depan. Temannya
memakai celana pendek hijau Day Glo yang dipadu blus pendek.
Pakaian itu membuatnya tampak makin mungil.
"Siapa yang mengantarkanmu?" tanya Donna, memandang
Mayra dengan mimik heran.
"Link," jawab Mayra cepat. "Sekarang kita ngomong yang
lainnya." Donna tersentak. "Dia belum menyerah, hah?"
"Sudah kukatakan, kita ngomong yang lainnya saja," Mayra
berkata ketus, setelah menemukan kuncinya ia membuka pintu depan.
Donna mengikutinya masuk ke ruang tamu yang sejuk dan
menyenangkan. "Oke. Yang lainnya. Bagaimana kabar Mrs. Cottler?"
Donna bertanya dan menjatuhkan diri ke sofa kulit yang
merapat ke dinding. "Aneh," sahut Mayra.
"Aku harus ngomong yang lainnya lagi?" Donna menjulurkan
kaki, dan meletakkannya di atas meja tamu. "Aku ketemu Walker di
mall. Katanya kau... uh... jalan dalam tidur lagi.
"Aku baru akan meneleponmu."
"Mau ngomong tentang hal ini?"
Mayra menghela napas. "Tidak banyak yang bisa diomongkan."
"Kau benar-benar ceria hari ini," Donna menggerutu.
Mayra masih memikirkan Link, bagaimana tadi ia begitu
terpesona pada cowok itu di mobil. Mayra dan Donna membutuhkan
waktu sejenak untuk dapat mulai bercakap-cakap, seolah-olah mereka
dua orang asing yang sama sekali belum saling kenal. Mula-mula
mereka mengobrol macam-macam, seakan untuk melicinkan jalan ke
pembicaraan selanjutnya. Potongan rambut baru sepupu Donna.
Porsche merah mungil dan lucu yang dibeli orangtua Pete Goodwin.
Film baru Tom Cruise. "Oh, ngomong-ngomong, tadi ada cowok yang mencarimu ke
sini," celetuk Donna tiba-tiba.
"Hah?" "Kalau tak salah namanya Cal anu atau semacamnya. Kau kenal
dia?" "Tidak." Perasaan takut mulai merambat naik dari perut Mayra.
"Dia mau apa?" "Entah. Dia menghampiri teras waktu aku sedang
menunggumu. Orang itu besar, sangat besar, otot dan lehernya juga
kelihatan besar." "Oh, tidak." "Mayra... kau kenapa" Kau pucat sekali."
"Yeah. Aku tak apa-apa. Bagaimana dia bisa tahu aku tinggal di
sini" Apakah dia mengatakannya?"
"Tidak. Uh... oh, yeah. Katanya Mrs. Cottler yang
memberitahunya." Mrs. Cottler" Si Cal ini kenal Mrs. Cottler" Mengapa Mrs.
Cottler memberikan alamat Mayra pada orang ini"
"Dia mau apa?" "Dia tidak mengatakan apa-apa. Kukatakan kau tak ada di
rumah. Semoga tindakanku benar," kata Donna. "Tampangnya agak
serem." "Yeah, memang," sahut Mayra. Ia menceritakan pertemuan
pertamanya dengan Cal di depan makam Fear Street.
"Oh, well. Mungkin dia mau menawarimu untuk berlangganan
majalah." Donna bersandar di sofa dan memandangi bayangan yang
bergerak-gerak di langit-langit.
"Yeah. Pasti," kata Mayra sinis.
"Jadi kenapa kau jalan dalam tidur?" tanya Donna mendadak.
Mayra terdiam sejenak untuk memusatkan pikirannya ke
masalah itu. "Kalau saja aku tahu," jawabnya singkat.
"Aku pernah melihat film tentang cewek yang berjalan dalam
tidur setiap malam." Donna menggaruk lututnya.
"Ya ampun," Mayra mengerang. "Pasti kau mau
menceritakannya padaku, kan?"
"Betul. Dia berjalan dalam tidur karena ingin membunuh
seorang cowok." "Donna... sudahlah..."
"Dia tidak berani membunuh cowok itu saat dia bangun. Jadi
dia berjalan dalam tidur dan membunuhnya dalam tidur. Lalu orangorang tidak
dapat menuduhnya membunuh, karena dia sedang tertidur
ketika melakukannya."
"Donna... jangan gitu dong!" Mayra memohon.
"Barangkali kau mau membunuh seseorang," kata Donna.
"Ya. Kau!" Mayra berjalan menghampiri Donna. Jari-jarinya
melingkari leher Donna, lalu ia pura-pura mencekiknya.
"Oke, oke. Apa teorimu?" tanya Donna.
"Teoriku?" "Tentang berjalan dalam tidur."
"Teoriku adalah..." Sekonyong-konyong ide itu muncul di
benaknya, seperti ledakan yang menghancurkan semua rintangan,
mengejutkan Mayra. "Teoriku adalah Mrs. Cottler seorang penyihir
dan dia menenungku supaya berjalan dalam tidur."
Donna tertawa. "Bagus, Mayra. Itu sebagus plot filmku."
Mayra juga tertawa. Namun dalam benaknya terbayang wanita tua itu saat sedang
duduk tegak di tempat tidurnya dengan mata tertutup. Dan ia
membayangkan lilin hitam yang dinyalakan serta kalung manikmaniknya yang ada
dalam lemari pakaian. Ia teringat akan ucapan
Stephanie bahwa penyihir hanya memerlukan barang seseorang untuk
digunakan sebagai alat menenung orang itu - dan dalam hati kecilnya
Mayra tahu pasti teorinya benar.
Chapter 11 "MOM, bolehkah aku berhenti kerja pada Mrs. Cottler?"
Mrs. Barnes, memakai celemek bergaris merah-putih di atas
celana khaki dan T-shirt, membalik-balik hamburger satu per satu di
atas panggangan arang, mengerjapkan mata karena asap.
"Mom, dengar apa yang kukatakan?" tanya Mayra mendekat.
"Tidak. Sori. Kau ngomong apa, Sayang" Hamburger ini sudah
hampir siap. Panggil Kim dan Donna."
"Tapi aku tanya dulu, Mom," Mayra mendesak, berusaha tidak
terdengar merengek. "Bagaimana jika aku berhenti kerja" Tidak apaapa, kan?"
Mrs. Barnes mengernyit Ia menepuk nyamuk yang hinggap di
lengannya dengan sarung tangan untuk memanggang. "Kukira kita
takkan membicarakan masalah serius. Karena itu kita pergi ke Danau
Monolac, ingat" Supaya kau bisa berakhir pekan, jauh dari segala
problem yang membebani pikiranmu."
Seperti biasa ibunya mempunyai ide spontan, dan saat itu terasa
bagus bagi Mayra. Paman George mempunyai pondok yang luas
dengan tiga kamar tidur dan pemandangan ke danau. Mrs. Barnes
memperbolehkan Mayra mengajak Donna.
Pergantian suasana barangkali sesuai dengan anjuran dokter.
Berakhir pekan di danau yang indah, jauh dari Mrs. Cottler, jauh dari
Fear Street, jauh dari semuanya - Mayra langsung setuju.
Ia harus membatalkan janjinya dengan Walker. Meskipun
terdengar kecewa, Walker mau mengerti. "Pergilah," katanya.
"Bersenang-senanglah. Dan jangan pikirkan yang berat-berat."
Tapi ternyata tidak semudah yang dibayangkannya. Ia tidak
dapat melepaskan diri begitu saja dari beban pikirannya. Sabtu sore, ia
dan Donna berperahu ke tengah danau dengan perahu pamannya.
Donna mengenakan celana pendek Day-Glo dan blus pendek yang
dipakainya pada Selasa sore. Mayra memakai T-shirt hijau panjang di
atas pakaian renang putih. Hari ini cerah, danau berkilauan di bawah
sorot matahari, bagaikan dalam dongeng.
"Indah, ya?" tanya Donna.
"Apa?" Mayra sedang melamun. Ia sedang memikirkan Mrs.
Cottler, kalung manik-maniknya, pengalamannya berjalan dalam tidur
di Fear Street, di mana rumah Mrs. Cottler berada.
Semuanya jelas sekarang. Mrs. Cottler gila! Wanita tua itu
berniat membalas dendam pada ibunya lewat Mayra. Rupanya Mrs.
Cottler belum lupa pada pelayanan Mrs. Barnes yang tidak
memuaskannya selama ia dirawat di rumah sakit. Lalu ia menggunagunai Mayra dan
membuatnya berjalan dalam tidur.
Ada dua hal yang harus kukerjakan, kata Mayra pada dirinya
sendiri. Aku harus mendapatkan kembali kalungku. Dan aku harus
berhenti dari pekerjaan ini, berusaha berada sejauh mungkin dari Mrs.
Cottler. Tiba-tiba ia menyadari Donna sedang berdiri di perahu itu.
"Donna... apa yang kaulakukan?"
Donna tertawa. "Nah, akhirnya kau memperhatikan aku. Sudah
lima menit aku ngomong, tapi kau tak mendengarkan sama sekali."
"Sori. Aku cuma - aku tak tahu - berpikir."
"Kebiasaan jelek." Donna duduk dengan kaki tersilang. Perahu
itu berayun lembut di air hijau kebiruan. Donna mencoba
mengajaknya bercakap-cakap, tentang rencananya sesudah lulus dari
Shadyside High, tapi Mayra tidak bisa berkonsentrasi
mendengarkannya. Sesudah beberapa saat, Donna akhirnya menyerah,
dan kedua gadis itu berbaring telentang dalam kebisuan, memandangi
gumpalan awan yang melayang-layang di atas.
Mayra menghabiskan sisa sore itu sendirian di pondok,
mencoba beristirahat. Waktu ia keluar malam itu, Donna sedang
bermain dengan Kim di tepi pantai berkerikil. Ibunya sedang
memanggang barbecue. "Jadi aku bisa berhenti kerja?" tanyanya.
"Kita benar-benar memerlukan penghasilanmu," kata Mrs.
Barnes. Perhatiannya terpusat pada hamburger yang mulai gosong.
"Pekerjaan itu sangat gampang, Mayra. Kenapa kau ingin berhenti?"
Kenapa" Apa yang dapat Mayra katakan" Ia tidak dapat mengatakan
alasan yang sebenarnya: "Mrs. Cottler adalah seorang penyihir. Dia
menenungku hingga aku berjalan dalam tidur." Oh, pasti
menggemparkan. Ibunya akan menertawakannya selama bermingguminggu.
"Uh... aku cuma ingin berhenti." Alasan yang sangat lemah.
"Tetaplah bekerja." Mrs. Barnes memejamkan mata ketika
angin meniupkan asap ke wajahnya. "Kau tidak biasanya gampang
menyerah. Bayangkan saja baju-baju baru yang bisa kaubeli sebelum
masuk sekolah lagi."
"Tapi, Mom... kupikir pekerjaan itu menyebabkan aku berjalan
dalam tidur," kata Mayra. Ia tidak bermaksud mengatakannya, dan
segera menyesalinya. Mrs. Barnes memandang Mayra dengan jengkel. "Jika kau
selalu berjalan dalam tidur setiap kali mendapat pekerjaan baru,
hidupmu akan penuh dengan kesulitan, Mayra."
"Itu... bukan itu maksudku," Mayra tergagap-gagap. "Oh,
sudahlah." Ia membalikkan badan serta cepat-cepat memanggil Donna
dan Kim untuk makan malam. Ia merasa konyol sekali.
Kim dan Donna berada di tepi pantai yang berpasir. Mereka
bersama seorang kenalan baru Kim, anak laki-laki bernama Andy,
dua-tiga tahun lebih muda daripada Kim. Mereka asyik menggali
lubang dalam di pasir. Ketika Mayra mendekat, Kim berjingkat dan menjatuhkan
sekop pasirnya. "Lihat," katanya pada Donna dan Andy. "Tebak siapa
aku." Kim memejamkan mata, menjulurkan lengan lurus ke depan,
dan mulai melangkah dengan kaku melintasi pasir, sambil
mendengkur keras-keras. "Aku tahu. Kau Mayra!" teriak Donna, tak berhasil menahan
tawanya. "Tidak lucu. Jangan membuatnya makin kurang ajar," Mayra
berkata marah. Donna mengangkat bahu. Kim menurunkan lengan dan
membuka matanya. "Ini sangat lucu, tolol."
"Kim, jangan menyebutku tolol. Dengar, sekarang sudah
waktunya Andy pulang. Dan saat kita makan malam."
"Lihat," kata Andy, menyeringai ke arah Mayra. Tangannya
memegang mobil plastik berwarna merah. Tiba-tiba ia mengayunkan
lengannya ke belakang dan melemparkan mobil-mobilan itu ke dalam
air. Mayra melihat mobil-mobilan itu menerjang ombak yang
bergulung lembut, kemudian meluncur.
"Mobil itu mengapung," Andy berkata bangga.
"TIDAK!" Mayra menjerit, mengejutkan semua orang. Dengan
pandangan terpaku pada mobil merah kecil itu, ia mengatupkan kedua
tangan di telinga, seolah tak mau mendengar apa-apa.
"TIDAK! TIDAK! TIDAK! TIDAK!" jeritnya.
Mrs. Barnes menjatuhkan sendok penggorengnya dan berlari
turun ke pantai. "Ada apa, Mayra?"
"TIDAK! TIDAK! TIDAK! TIDAK! TIDAK!" Beberapa menit
kemudian barulah mereka berhasil menenangkan Mayra.
Namun Mayra tidak dapat menjelaskan mengapa ia menjeritjerit.
Chapter 12 "DONNA, kau terlambat."
Donna mengangkat bahu. "Sori. Aku tadi disuruh ibuku." Ia
memakai T-shirt Hard Rock Cafe belel dan jins buntung. "Baik sekali
ibumu mau meminjamkan mobilnya padaku."
"Yah, kadang dia dijemput ke rumah sakit." Mayra melirik jam
tangannya dengan gelisah, lalu menyerahkan kunci mobil pada Donna.
"Katanya bensinnya penuh."
"Aku sebal sekali harus ke dokter gigi di Waynesbridge," kata
Donna. "Tak ada bus yang bisa kunaiki ke sana. Sekali lagi trims, ya."
Ia mulai melangkah keluar, kemudian tiba-tiba kembali lagi.
"Bagaimana keadaanmu?"
"Aku" Baik-baik saja" sahut Mayra cepat.
"Bagus. Kayaknya kau gelisah."
"Tidak. Aku hanya cemas terlambat kerja."
"Sori sekali lagi," kata Donna. "Katakan pada Mrs. Cottler ini
gara-gara aku." "Dan kemudian mungkin dia akan menyihirmu juga." Mayra
bermaksud hanya bergurau, namun suaranya terdengar serius.
"Kau yakin kau tak apa-apa?" Donna memegangi pintu kasa,
badannya setengah di dalam dan setengah di luar rumah.
"Yeah. Begitulah. Aku tak tahu apa yang terjadi padaku di
danau itu. Aku... aku cuma terlalu capek, barangkali."
"Kau tak bisa tidur?"
"Aku tak berani tidur," Mayra membuka rahasianya. "Aku takut
jika tertidur, aku akan mimpi lagi. Dan jika mimpi, aku akan berjalan
dalam tidur lagi. Jadi aku..."
"Kau memaksakan diri tetap terjaga?"
"Yeah."

Fear Street - Berjalan Dalam Tidur Sleep Walker di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aneh." Donna menggeleng-gelengkan kepalanya dengan
penuh simpati. "Yeah. Memang aneh," Mayra berkata pahit. Ia melihat jam
tangannya lagi, kemudian mendorong Donna ke luar rumah. "Pergi.
Pergi. Pergi. Sana, pergi ke dokter gigimu. Sekarang aku benar-benar
terlambat." "Oke, oke. Aku akan pergi. Tahu nggak, Mayra, lebih baik kau
berhenti kerja." "Ibuku melarang." Mayra menutup pintu depan, lalu mengikuti
temannya. "Bagaimana kalau kau mengantarku" Sekarang sudah
mulai hujan." "Sori. Sudah penuh." Donna tertawa ngakak. Mayra tidak
tersenyum. "Hei... aku cuma bercanda lho."
"Nggak lucu," kata Mayra cemberut, sambil menguap.
"Kau tak enak diajak ngomong kalau kurang tidur." Donna
membuka pintu depan Toyota dan duduk di balik kemudi.
"Ini memang bukan musim panas yang menyenangkan," kata
Mayra dengan muram sambil melirik jam tangannya lagi, memikirkan
wanita tua yang sedang menunggunya di rumah menyeramkan di tepi
danau itu. *******************************
Ketika keluar dari mobil dan berpamitan pada Donna, Mayra
melihat Mrs. Cottler sedang mengawasinya dari pintu depan. "Selamat
pagi, Mrs. Cottler," sapanya. Namun tampaknya wanita tua itu hanya
menatap Donna, tidak menanggapinya.
Mayra bergegas ke serambi depan. Mrs. Cottler berpakaian
serba putih - blus putih lengan panjang dan rok putih berlipit.
Rambutnya yang hitam pekat dan kulitnya yang bersemu merah
membuatnya kelihatan berumur setengah usia sebenarnya.
"Mayra, aku harus bicara denganmu," katanya. Satu tangannya
berpegangan pada tongkat, sedangkan tangannya yang lain mendorong
pintu kasa. "Saya... saya sungguh-sungguh minta maaf karena terlambat,
Mrs. Cottler," Mayra tergagap-gagap sambil melangkah ke dalam
rumah, yang terasa dingin meskipun cuaca di luar sedang panas. "Saya
harus menunggu teman saya dan..."
"Tidak apa-apa," kata Mrs. Cottler cepat. Ia berbalik dan
perlahan-lahan berjalan melewati ruang tamu yang berantakan menuju
dapur. "Ada yang harus kukatakan padamu."
Apakah dia akan mengaku telah mengguna-gunaiku"
Itulah yang pertama muncul dalam benak Mayra.
Sebersit rasa takut muncul di dalam perutnya. Tiba-tiba ia
merasa kedinginan. Kenapa begitu dingin dalam rumah ini" Suhu
udara di luar saat itu paling tidak 29 derajat Celsius.
Mrs. Cottler bersandar ke meja dapur dan tersenyum. "Aku
akan pergi beberapa hari."
"Oh!" Kata itu keluar begitu saja dari mulut Mayra, ungkapan
perasaan terkejutnya. Ia sama sekali tidak menyangka hal itu yang
akan diucapkan Mrs. Cottler.
"Adikku sakit. Aku akan menjenguknya di Vermont," lanjut
Mrs. Cottler, sibuk membetulkan bagian depan blusnya.
"Jadi Anda tidak akan memerlukan saya?" Mayra bertanya
sambil mencoba menyembunyikan kegembiraannya. Namun dalam
hati ia bersorak kegirangan.
"Well, aku tak dapat membawa Hazel. Jadi aku ingin kau
memberinya makan tiap hari. Dan selama di sini, kau bisa membawa
masuk surat dan menyirami tanaman."
"Tentu. Akan kukerjakan!" seru Mayra. Dia akan pergi, katanya
dalam hati. Pergi. Pergi. Mungkin selama dia pergi aku dapat tidur
dengan tenang lagi. "Tentu saja aku tetap akan membayarmu penuh." Mrs. Cottler
berjalan ke arah bak cuci piring.
"Oh. Terima kasih." Aku akan membayarmu untuk pergi dari
sini, pikir Mayra. "Anda sangat baik, Mrs. Cottler."
"Yah, aku tahu kau akan mengurus Hazel dan rumah ini dengan
baik selama aku pergi." Hazel memandang Mayra dengan ragu.
Kucing itu terus-menerus berada di dekat kaki Mrs. Cottler pagi ini,
seakan tahu akan segera ditinggal pergi majikannya.
"Ya. Saya akan datang tiap hari," kata Mayra. "Kapan Anda
berangkat?" Ia berharap suaranya tidak terdengar terlalu antusias.
"Besok pagi. Hari ini adik iparku sedang menuju ke sini untuk
menjemputku." Mrs. Cottler sampai di bak cuci piring dan
menyandarkan tongkatnya. "Ya ampun. Aku sampai lupa tadi sedang
mengerjakan sesuatu di sini."
Ia mengangkat sebuah pisau daging besar, jenis yang hanya
dilihat Mayra di tempat penjagalan, dan mulai memotong-motong
sesuatu - mengangkat pisau itu tinggi-tinggi dan mengayunkannya ke
bawah keras-keras hingga menimbulkan bunyi berdebum.
Mayra mendekati bak cuci piring untuk melihat apa yang
sedang dipotong wanita tua itu dengan sepenuh tenaga. Lalu ia
mundur, mengerang, merasa mual.
Benda itu seperti tangan manusia.
Dengan senyum ganjil di wajahnya, Mrs. Cottler berbalik dan
memandangi ekspresi Mayra. "Mayra... ada apa?" ia bertanya sambil
mengangkat pisau daging itu tinggi-tinggi, siap mengayunkannya
kembali. "Yang Anda cincang itu..." Jari Mayra menunjuk.
Mrs. Cottler tertawa. "Ada apa" Kau tak pernah melihat tulang
kaki babi, ya" Adikku sangat menyukainya." Ia membalikkan badan
lagi untuk meneruskan pekerjaannya.
Tulang kaki babi" Kayaknya bukan deh....
Crok, crok, crok. Mrs. Cottler tampak gembira sekali ketika mengangkat dan
mengayunkan pisau besar itu.
Crok. Crok. Crok.... **********************************
Mayra pulang menerobos hujan yang turun meskipun langit
terang-benderang. Ia merasa letih dan gelisah. Begitu sampai di
rumah, ia langsung memasukkan anak kunci ke lubangnya dan
bergegas masuk. "Mom... Mom sudah pulang?" panggilnya. Tidak ada jawaban.
Ia menuju dapur dan mendongak melihat jam dinding yang
terbuat dari kuningan di atas bak cuci piring. Setengah lima. Kira-kira
setengah jam lagi Kim baru akan sampai di rumah.
Ketika ia membuka lemari es untuk mencari minuman dingin,
pesawat telepon berdering. Ia mengangkatnya setelah deringan
pertama. "Hai, Mayra." Suara ibunya. "Aku masih di rumah sakit. Ada
kecelakaan." Sekonyong-konyong seluruh tubuh Mayra terasa dingin.
"Kecelakaan?" "Ya. Donna. Dia di sini. Di rumah sakit. Di bangsalku. Aku...
uh... well... Dia mendapat kecelakaan parah sewaktu mengendarai
mobil." Chapter 13 "D ONNA, kau kedengaran aneh." Mayra mencengkeram erat
gagang telepon, tangannya sampai terasa sakit.
"Yeah. Aku tahu." Suara Donna terdengar parau dan jauh
Wasiat Iblis 2 Shugyosa Samurai Pengembara 2 Hina Kelana 32

Cari Blog Ini