Ceritasilat Novel Online

Berjalan Dalam Tidur 2

Fear Street - Berjalan Dalam Tidur Sleep Walker Bagian 2


sekali. Ia berbicara perlahan-lahan, seolah baru bangun dari tidur
panjang. "Kupikir ini pengaruh obat bius yang mereka berikan
padaku." "Kau kesakitan, ya?"
Lama sekali tidak ada sahutan. "Tidak. Sudah tidak lagi. Aku...
sebentar, Mayra. Perawat akan memberiku obat lagi."
Mayra mondar-mandir di dapur. Terima kasih, Tuhan, dia
masih hidup, pikirnya. Dia pasti akan sembuh.
"Halo, aku lagi," Donna berkata, suaranya hanya terdengar
berbisik sekarang. "Rasanya aku baik-baik saja, Mayra."
"Kata Mom kakimu patah."
"Yeah. Pergelangan tanganku juga patah. Rusukku memarmemar."
Mayra membayangkan Mrs. Cottler ketika sedang mencincang
tulang kaki babi itu. "Ibumu sangat baik," kata Donna. "Aku sempat panik waktu
melihat slang-slang berseliweran di lenganku. Tapi dia tenang saja.
Dia menjelaskan semuanya. Rasanya nasibku masih baik."
"Baik?" Tangan Mayra berkeringat. Dijepitnya gagang telepon
di bawah dagunya, lalu ia mondar-mandir lagi.
"Well, orang gila itu memang benar-benar mencoba
membunuhku. Aku yakin."
Sejenak Mayra terdiam. Orang gila" Apa yang sedang
dibicarakan Donna" Obat bius yang diberikan perawat itu pasti telah mulai bekerja
dan membuatnya agak aneh, pikir Mayra. "Donna, apa katamu?"
"Orang gila itu mencoba mendorongku. Maksudku, dia sudah
berhasil mendorongku keluar dari jalanan."
"Siapa?" "Aku tak tahu. Aku cuma bisa melihat mobilnya. Hujan lebat
sekali. Dan dia menurunkan tebengnya di kaca depan, hingga aku tak
dapat melihat mukanya."
"Apa" Ada orang yang sengaja menabrakmu?"
" Yeah. Dia muncul dari samping dan mulai menyundulku. Aku
kaget dan takut. Lalu aku ngebut. Berusaha menjauhinya. Tapi dia
menyundul lagi dengan lebih kencang. Jalanan sangat licin akibat
hujan. Aku sedang di jalan raya, dan di sana tak ada belokan. Tak
ada..." Sepertinya Donna melantur. "Donna... kau masih di sana" Kau
tak apa-apa?" "Lalu dia menyerudukku dari samping. Pasti kencang sekali.
Dan tentu saja karena mobilnya lebih besar... jauh lebih besar daripada
Toyota kecil itu. Aku... aku tak bisa mengendalikan mobil lagi."
"Dan kau menabrak?"
"Ada pembatas di pinggir jalan raya. Pembatas jalan dari beton.
Aku menabraknya. Aku terpelanting dan terguling-guling beberapa
kali. Kaca mobil pecah berantakan. Segalanya di sekelilingku seolah
bergetar. Rasanya aku takkan pernah melupakan bunyi mengerikan
itu. Kayaknya seluruh dunia retak. Berkeping-keping. Oh, aku capek,
Mayra. Mataku rasanya sudah berat sekali."
Dalam benak Mayra terlintas pikiran yang mengerikan.
"Donna... apa warna dan jenis mobil itu?"
"Jenis pickup."
"Ya, dan warnanya?"
"Hah?" "Cobalah ingat-ingat."
"Warnanya... uh... merah. Pickup merah. Sekarang aku mau
tidur, Mayra," bisik Donna. "Pil-pil ini..."
"Bye, Donna. Nanti kau kujenguk." Ditunggunya sahutan
Donna, tapi rupanya gadis itu sudah benar-benar tertidur.
Pickup Link berwarna merah, pikirnya.
Dan Link sangat marah waktu kutolak. Demikian marah hingga
tak bisa bicara. Mayra meletakkan kembali gagang telepon dan menyadari
bahwa tubuhnya bergidik. Seluruh tubuhnya menggigil. Bukan karena
udara dingin. Rasa dingin itu dimulai dari dalam otaknya, lalu turun
ke tubuhnya. Karena pikirannya. Ia menggigil karena takut.
Tak mungkin Link, ia berkata dalam hati sambil memeluk
tubuhnya sendiri, berusaha berhenti gemetar. Tak mungkin Link.
Tapi siapa pun orang itu, sasarannya bukanlah Donna.
Donna sedang memakai mobilku. Akulah sasaran sebenarnya.
**********************************
Walker cepat-cepat meletakkan pesawat telepon ketika Mayra
masuk ke kamarnya. "Oh, hai. Tak kusangka kau datang." Ia kelihatan
bingung. Kedua pipinya memerah. Ia mengenakan celana pendek tenis
berwarna putih dan T-shirt tanpa lengan yang juga putih.
"Sedang telepon teman cewekmu, ya?" Mayra menggoda.
"Ha, ha. Lucu sekali."
Mayra menyentuh pipi Walker. "Hai, orang asing."
"Mengapa kau ke sini?" tanya Walker. Padahal Mayra berharap
mendapat sambutan yang lebih hangat.
"Aku ingin bicara denganmu. Banyak yang ingin kukatakan.
Walker berjalan ke jendela. Matahari telah turun di balik
pepohonan, namun udara masih terasa panas dan lengket. Walker
melayangkan pandangannya ke luar jendela. "Kata ibumu tadi aku
boleh naik," Mayra berkata, tiba-tiba merasa telah mengganggu cowok
itu. "Tidak apa-apa," Walker berkata tanpa membalikkan badan.
"Kau tak senang ketemu aku, ya?" tanya Mayra. Mengapa ia
harus meminta cowok ini supaya bersikap ramah" Benarkah sikap
aneh Walker ini cuma karena rasa malunya"
"Tentu aku senang." Walker mendekat dan merangkul bahu
Mayra dengan sebelah lengan. "Aku ingin menunjukkan padamu satu
tipuan baru lagi." "Jangan, Walker. Tak ada peragaan tipuan malam ini. Aku ingin
bicara denganmu. Aku sungguh-sungguh harus bicara."
Walker kelihatan kecewa. "Well, oke. Ayo kita turun. Kita
duduk di ruang keluarga saja. Kau bisa cerita apa saja."
Nah, begitu dong, kata Mayra dalam hati. Ia mengikuti Walker
turun ke ruang keluarga. Mereka berdua duduk berdekatan di sofa
kulit dan bercakap-cakap tanpa gangguan selama hampir dua jam.
Mayra bercerita mengenai Donna dan pickup merah itu. Juga
tentang Cal, cowok yang mengikuti dan menanyakan dirinya. Lalu ia
menceritakan teorinya bahwa Mrs. Cottler telah menyihirnya hingga
ia berjalan dalam tidur. "Kau pasti akan menertawakanku. Aku tahu," Mayra berkata
sebelum menceritakan teorinya.
Tapi Walker tidak tertawa. Wajahnya makin serius ketika
Mayra berbicara, dan ia mulai mengangguk setuju.
"Mungkin kau betul," katanya ketika Mayra selesai bicara.
"Kau tidak menganggap otakku miring?"
"Tidak. Penyihir memang tidak hanya ada dalam buku-buku
dongeng," Walker berkata dengan serius. Mereka duduk
berdampingan, saling merapat meskipun ruang keluarga itu cukup
panas. Walker duduk bersila dengan kakinya yang panjang dan
mengulurkan sebelah lengannya ke sandaran sofa di belakang Mayra.
Mayra ingin memeluk Walker, tapi wajah cowok itu tampak
serius. Mayra tak ingin mengganggunya sekarang. Ia ingin mendengar
komentar Walker. "Aku sudah sering membaca tentang penyihir dan pertemuanpertemuan mereka," kata
Walker. "Jumlah penyihir sekarang lebih
banyak daripada zaman dulu. Mereka memang diam-diam, tapi tetap
ada." "Dan mungkinkah penyihir membuat orang berjalan dalam
tidur?" Mayra bertanya sambil menyandar pada Walker.
"Ada banyak jenis sihir," jawab Walker hati-hati.
"Pertanyaanku adalah, kenapa" Apa alasan orang melakukan itu
padamu?" "Well, aku tidak yakin. Mrs. Cottler pernah dirawat di rumah
sakit, dan ibuku menjadi perawatnya. Entah bagaimana, Mrs. Cottler
mendapat ide sinting bahwa ibuku mencoba membunuhnya. Dia
protes pada pihak rumah sakit sampai menimbulkan keributan."
"Dan kau pikir..."
"Dia mempekerjakanku dan menyihirku untuk membalas
dendam pada ibuku." "Aneh." Walker menggeleng-gelengkan kepala.
"Oh, aku lupa mengatakan padamu, Mrs. Cottler sedang pergi
ke luar kota beberapa hari."
"Pas sekali!" Walker berseru dan melonjak dari sofa.
"Hah" Apa maksudmu" Aku masih harus ke sana untuk
memberi makan kucingnya. Aku tak dapat main denganmu sepanjang
hari." "Bahkan lebih sempurna lagi," kata Walker. "Kita mendapat
kesempatan untuk mengadakan penyelidikan selama beberapa hari.
Besok kita ke sana bersama dan meneliti rumah itu. Akan kita
pastikan apakah dia penyihir. Dan kalau memang benar, kita cari
bukti-buktinya." Mayra meremas tangan Walker. "Asyik! Kau akan
menemaniku" Sungguh?"
"Tentu saja," sahut Walker. "Aku tak suka melihatmu seperti
ini, terus-menerus cemas. Kecapekan. Kita harus menyelidiki apa
penyebabnya. Harus."
"Terima kasih," kata Mayra penuh syukur. "Dan terima kasih
karena kau telah mempercayaiku."
Mayra menjatuhkan diri ke dalam pelukan Walker dan mereka
berpelukan dengan mesra lama sekali, sampai ibu Walker masuk ke
ruangan itu dan menawarkan snack.
*********************************
"Tumben, Hazel, kau belum pernah segirang ini melihatku."
Kucing itu menggosokkan tubuhnya ke pergelangan kaki Mayra dan
mengeong keras. "Pasti kau lapar, kan?"
Mayra berbalik dan memegangi pintu kasa untuk Walker. "Ayo
masuk. Jangan sampai kucing ini keluar."
Walker cepat-cepat masuk, lalu memandangi kucing di
bawahnya. "Kucing hitam. Yah, ini satu bukti bahwa wanita tua itu
penyihir!" "Hei... Kupikir kau akan serius dalam hal ini." Mayra marah.
"Aku serius," Walker berkata sambil melangkah melewati
Mayra menuju ruang tamu. Ruangan itu segelap waktu malam hari.
Tirai tebalnya tertutup, menghalangi sinar cerah matahari pagi.
Walker mendekati tirai dan menyibakkannya. Sinar matahari langsung
menerobos masuk ke ruangan berantakan itu. "Wow! Lihat rongsokan
ini!" "Mrs. Cottler benar-benar kolektor sejati," kata Mayra sambil
membungkuk untuk membelai kucing. "Lihat-lihat saja dulu, aku mau
memberi makan Hazel."
Ia berjalan ke dapur, namun kucing itu tidak mengikutinya,
malahan memandangi Walker dengan curiga. "Ke sini, Hazel. Kau tak
mau makan, ya" Biarkan saja si Walker. Dia takkan merusak apa-apa.
Dia cuma mau lihat-lihat."
Kucing itu mengeong lagi dengan keras seolah memperingatkan
Walker, dan kemudian dengan enggan mengikuti Mayra ke dapur. Ia
mulai melahap makanannya dengan rakus begitu Mayra menaruh
piring di lantai, dan gadis itu lalu bergegas bergabung dengan Walker
di ruang tamu. Rasanya aneh berada di situ tanpa kehadiran Mrs. Cottler.
Langit-langit berderik seakan ada orang yang berjalan di lantai atas.
Ruangan itu berdebu dan pengap. Berbau lapuk, bau yang tidak
pernah tercium Mayra bila wanita tua itu ada di rumah.
Ketika mereka berdua mengamati rak-rak yang penuh ukiran
dan pahatan antik - pajangan berbentuk hewan serta bunga-bunga
langka yang dikeringkan - Mayra merasa seseorang sedang
mengawasi mereka. Ia berpaling beberapa kali, mengira akan melihat
Mrs. Cottler di belakangnya. Tentu saja tak ada orang lain di situ.
Ih, seram, kata Mayra dalam hati. Namun perasaan ganjil itu
tidak mau hilang juga. "Itu apa?" Walker bertanya sambil menunjuk sebuah pintu.
"Ruang keluarga?"
"Bukan. Itu perpustakaan."
"Ayo kita periksa."
Mayra mengikuti Walker ke perpustakaan berpanel hitam
dengan rak buku memenuhi lantai sampai langit-langit di keempat
dindingnya. Perabot lain yang mengisi ruangan itu hanya berupa satu
meja mahoni tua dan satu kursi kulit berwarna gelap. Mayra baru
sekali-dua kali masuk ke ruangan ini untuk mengambil buku yang
akan dibacakannya. Ia belum pernah sempat menjelajahinya.
"Wow. Beberapa buku kelihatan sudah sangat kuno," kata
Walker, matanya menelusuri rak-rak itu.
Mereka mulai memeriksa judulnya. Di satu dinding terdapat rak
berisi navel-novel klasik, satu set karya Shakespeare, koleksi
sandiwara Yunani. "Aku ingin tahu apakah dia membaca semua ini,"
kata Walker. "Hei, kau jadi membisu. Ada apa?"
"Aku tak tahu. Rasanya seram," sahut Mayra. Ia berbalik dan
melihat kucing itu sedang berdiri di pintu masuk, memandanginya
dengan mata hijau berkilauan. Ia memaksakan diri untuk berbalik lagi
ke arah buku-buku itu. "Lihat ini, Walker."
Walker buru-buru menengok ke arah Mayra. "Apa yang
kautemukan?" "Buku-buku lihat judulnya. Semuanya tentang ilmu sihir."
Mayra membaca beberapa judul keras-keras. Lalu ia menarik
keluar buku yang tampaknya kuno sekali. Sampulnya yang tebal telah
robek dan pudar. Dibukanya buku itu. Halamannya yang kuning
berkerut-kerut. "Lihat yang ini." Ia menyodorkan buku itu pada
Walker. Judulnya Pemujaan Sejati. Pada halaman pertama terdapat
foto patung berbentuk setan yang tersenyum, dipahat dengan cermat.
"Berapa umur buku ini?" tanya Walker.
"Tidak ada tanggalnya," jawab Mayra. "Tapi kelihatannya
benar-benar tua. Lihat, buku ini berisi kumpulan mantra dan resep
aneh." Mayra mengembalikan buku itu ke rak.
"Seluruh dinding ini berisi buku tentang ilmu gaib," kata
Walker. Tiba-tiba si kucing mengeong, mengagetkan Mayra. "Diam,
Hazel," tegur Mayra. "Kami kan cuma lihat-lihat."
Ia kembali meneliti rak yang lebih rendah, matanya menangkap
sebuah judul. Psikologi Berjalan dalam Tidur. Ia berlutut supaya dapat
mengamati rak itu dengan lebih teliti. Orang yang Berjalan dalam
Tidur. Kasus Berjalan dalam Tidur.
"Dia membohongiku!" teriak Mayra.
"Apa" Ada apa di bawah situ?" Walker sedang memegang buku
setebal kamus yang bersampul kulit.
"Ini buku-buku tentang berjalan dalam tidur."
Walker menutup buku tebal yang sedang ia pegang.
"Sungguh?" "Sesudah berjalan dalam tidur untuk pertama kalinya, aku
bertanya pada Mrs. Cottler kalau-kalau dia tahu sesuatu mengenai hal
itu, dan ia hanya mengatakan masalah itu sangat misterius.
"Tapi ternyata dia punya serak penuh buku tentang berjalan
dalam tidur." "Dia sengaja tak ingin aku tahu dia paham tentang berjalan
dalam tidur."

Fear Street - Berjalan Dalam Tidur Sleep Walker di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Walker membantunya berdiri. "Aku mulai menduga teorimu
benar," kata Walker, sambil masih tetap memegangi tangan Mayra.
"Mrs. Cottler pasti penyihir. Dan lihat buku berjalan dalam tidur itu yang kuning itu - Buku Harian Orang yang Berjalan dalam Tidur.
Lihat cara menaruhnya. Menonjol keluar"
"Maksudmu buku itu kelihatan baru saja dipakai akhir-akhir
ini," kata Mayra. "Ya. Benar." Mayra menarik keluar buku itu dan meletakkannya di meja.
"Mungkin aku akan meminjam yang ini dan membacanya. Mungkin
aku akan meminjam beberapa."
Walker melingkarkan lengannya ke sekeliling tubuh Mayra dan
menarik gadis itu ke pelukannya yang hangat.
"Aku sangat gembira kau ada di sini," kata Mayra. "Jika aku
harus ke sini sendirian dan menemukan semua barang ini, aku akan
histeris." "Ini memang koleksi buku yang ganjil," Walker berkata.
"Sangat aneh." "Ayo kita ke atas," Mayra berkata dan menarik tangan Walker.
"Aku ingin menunjukkan lilin-lilin hitam itu padamu. Mungkin masih
ada barang lainnya lagi di sana."
Mereka hampir sampai di pintu ketika Mayra memperhatikan
kedua foto di atas meja di tengah ruangan. "Oh, tidak!" jeritnya,
sambil menunjuk ke arah foto itu. "Walker... lihat! Aku tak percaya!"
Chapter 14 KUCING itu mengeong dengan marah dan meloncat ke atas
meja. Mayra tidak menghiraukannya dan meraih bingkai ganda itu. Ia
mengangkatnya hingga Walker dapat melihatnya.
"Ini Stephanie dan Link," Walker berkata, ia tampak seheran
Mayra. "Itu foto-foto sekolah mereka tahun lalu."
"Kenapa foto-foto ini bisa ada di meja Mrs. Cottler?" tanya
Mayra, sambil terpana memandangi foto-foto itu seakan ia bisa
mendapat jawaban dari sana.
Kucing itu akan mengayunkan cakar ke lengan Mayra, namun
luput. "Hazel, kau kenapa sih?" tanya Mayra. "Kau tak ingin aku
mengambil foto ini" Kau ingin diperhatikan, begitu?"
Kucing itu menatapnya dengan pandangan kosong.
Mayra mengembalikan foto-foto itu ke atas meja. "Mungkin
jawaban misteri ini ada di dalam." Mayra menarik laci meja. Laci itu
penuh foto, kertas, buku catatan, dan kartu.
"Walker, lihat ini." Mayra kembali menemukan foto Stephanie
di dalam laci itu. Yang ini barangkali sudah berumur paling tidak dua
atau tiga tahun. Mayra meneruskan membongkar-bongkar isi laci.
"Jika kau menemukan fotoku di situ, jangan katakan!" kata
Walker. Ia mencoba bercanda, tapi nada suaranya terdengar ketakutan.
Mayra menarik keluar setumpuk foto dan mulai memeriksanya
satu per satu. "Aku ingin tahu apakah di sini ada foto si Leher Besar
itu," katanya. "Maksudmu cowok yang mengikutimu itu?"
"Yeah. Cal. Bagaimanapun, dia terlibat dalam hal ini. Mungkin
dia putra Mrs. Cottler!"
Kemudian Mayra menarik keluar selembar kartu ucapan
selamat ulang tahun dan membukanya. "Well, well."
"Apa?" "Dengarkan ini. 'Selamat ulang tahun, Bibi Lucy. Salam sayang,
Stephanie.'" "Bibi Lucy?" "Mrs. Cottler adalah bibi Stephanie!" seru Mayra. "Dan bibi
Link! Pantas saja! Stephanie-lah yang memberitahuku mengenai
pekerjaan ini! Lucunya, dia tak pernah menyebut-nyebut Mrs. Cottler
adalah bibinya." "Yeah. Lucu." Walker sependapat.
Mayra melemparkan kembali semua foto dan kertas ke dalam
laci. "Dan sekarang mungkin Stephanie serta bibinya bekerja sama.
Barangkali keduanya mengarahkan guna-guna mereka padaku,
membuatku berjalan dalam tidur, membuatku hilang ingatan!"
"Tenang, tenang," Walker berkata.
"Kalungku." Mendadak Mayra teringat pada manik-maniknya.
"Aku akan mengambil kembali manik-manikku. Itu yang pertamatama akan kulakukan.
Lalu aku akan meminta kembali scarf-ku dari
Stephanie." "Scarf-mu?" "Yeah. Lalu aku akan berhenti bekerja di sini dan sedapat
mungkin menjauh dari Mrs. Cottler serta kemenakan-kemenakannya
yang terkasih itu!" Mayra membanting laci hingga menutup dan nyaris tersandung
kucing, bergegas keluar dari perpustakaan.
"Mayra... kau mau apa?" Walker benar-benar terpana.
"Sudah kukatakan. Aku akan ke atas, mau mengambil kalung
manik-manikku." Mayra berlari menaiki tangga, Hazel mengikuti di belakangnya
sambil mengeong-ngeong keras seolah memprotes. "Hazel... awas.
Aku tak mau tersandung lagi."
Kemudian ia berlari sepanjang koridor, dan masuk ke kamar
tidur yang mempunyai dua lemari pakaian rendah di kedua sisi
dindingnya. Ada kotak perhiasan, di sudut lemari itu, tepat di tempat
Mayra pernah melihatnya. Ia bergegas menghampiri dan mengulurkan tangan ke dalam
untuk mengambil kalung manik-manik itu.
"Oh, tidak!" Kotak itu kosong. Kalung manik-manik itu lenyap.
*************************************
"Whoa! Pelan-pelan," tukas Donna. "Menurutku, walau tak
dibius, aku juga takkan mengerti ceritamu."
Mayra terkejut melihat keadaan Donna. Ia tak bermaksud
menampakkan kekagetannya waktu melangkah masuk ke kamar itu.
Tapi ia tak siap melihat temannya memakai gips, sama sekali tak
dapat bergerak, dengan slang bertempelan di lengannya.
Tapi paling tidak Donna masih terdengar seperti biasanya. Ia
berusaha melucu dengan mencela makanan rumah sakit dan mengeluh
tentang salah satu perawat, yang tak sengaja menduduki lengannya
ketika sedang memberi obat!
Meskipun biasanya kedua cewek itu tidak pernah mendapat
masalah mencari topik pembicaraan, Mayra segera merasa salah
tingkah waktu mencoba bercakap-cakap. Dengan canggung ia duduk
di kursi lipat di samping tempat tidur Donna, berusaha mencari topik
dari dunia luar untuk diceritakan pada temannya.
Akhirnya ia tidak dapat menahannya lagi. Ia menceritakan
kepergiannya ke rumah Mrs. Cottler dengan Walker sehari
sebelumnya, bagaimana ia telah membuktikan bahwa wanita tua itu
adalah penyihir, dan Stephanie - kemenakannya - mungkin juga
penyihir. "Memang ada orang yang suka terlalu cepat mengambil
kesimpulan," kata Donna sinis, "tapi ini keterlaluan."
"Apa maksudmu?"
"Maksudku, apa sebenarnya yang sudah kaubuktikan, Mayra"
Kau membuktikan bahwa Stephanie dan Link ada kaitan keluarga
dengan Mrs. Cottler. Well, barangkali Stephanie sudah
menyebutkannya padamu waktu ia menawarkan pekerjaan itu, dan
kau mungkin cuma sedang tak mendengarkan. Dan apa lagi yang
kaubuktikan" Bahwa Mrs. Cottler sangat tertarik pada barang-barang
berbau mistis dan sejenisnya?"
"Tapi semuanya cocok," Mayra berkeras, tidak sabar dengan
sikap tidak percaya Donna. "Aku tak pernah berjalan dalam tidur
sampai aku mulai bekerja pada Mrs. Cottler. Dan aku meninggalkan
kalungku di rumahnya."
"Ohh," Donna mengerang.
"Ada apa" Kaupikir aku tolol, ya?"
"Tidak. Leherku gatal, aku tak bisa menggaruknya."
Mayra tertawa. Ia membungkuk di atas tempat tidur dan
menggaruk leher Donna. "Nah, kau senang kan aku menjengukmu?"
"Dengar, aku tahu kau benar-benar jengkel pada kasus berjalan
dalam tidur yang kaualami dan yang lain-lainnya," Donna kembali
pada pembicaraan semula. "Tapi jangan kehilangan akal sehat.
Sekarang abad kedua puluh, ingat" Sudah tak ada lagi orang yang
berkeliaran menenung orang lain."
"Kata Walker masih ada. Katanya sekarang para penyihir itu
malah lebih sering mengadakan pertemuan dibandingkan dengan di
abad ketujuh belas."
Donna kembali mengerang. "Gatal lagi?" "Tidak. Aku cuma ngantuk. Sori. Pasti akibat pil-pil itu. Aku
harus tidur sekarang. Aku tak sanggup membuka mata lagi. Kita
ngobrol lagi kapan-kapan, ya" Aku punya banyak waktu untuk
memikirkan hal itu. Aku yakin kita berdua bisa memecahkannya."
Donna menguap. "Terima kasih kau mau datang."
"Aku akan segera ke sini lagi," Mayra berkata sambil bangkit
berdiri. "Kau juga harus tidur," kata Donna kemudian.
"Kalau saja aku bisa tidur," gumam Mayra, dan tiba-tiba ia
merasa tertekan. Ia melangkah keluar dari kamar dan bergegas
menelusuri koridor rumah sakit.
**************************************
Mayra sedang dalam perjalanan pulang, ia duduk dalam bus
jurusan Division Street yang penuh sesak. Dahinya sedang ia
tempelkan di jendela ketika tiba-tiba di benaknya muncul gagasan
pergi ke rumah Stephanie dan langsung menanyainya.
Diliriknya jam tangannya. Hampir pukul lima. Stephanie sudah
pulang kerja sekarang. Dan mungkin Link belum pulang. Waktu yang
tepat. Ia menekan bel, menunggu bus berhenti, lalu turun. Hanya
tinggal beberapa blok lagi ia akan sampai di rumah Stephanie.
Matahari berwarna kuning tua, tampak rendah di langit. Udara sore
terasa dingin dan kering.
Mayra menarik napas dalam-dalam. Apa yang akan kukatakan
padanya" Aku hanya akan ngomong terus terang bahwa aku tahu apa
yang terjadi. Tentu saja dia akan menyangkal. Dia pasti menyangkal
semuanya. Tapi kemudian akan kusebutkan apa yang kulihat di rumah Mrs.
Cottler. Aku tahu penyihir tua itu adalah bibinya.
Dan aku tahu kenapa dia mengambil scarf putihku,
Lalu apa" Lalu dia harus menghentikannya. Dia dan wanita tua itu harus
menghentikan apa yang mereka perbuat terhadapku.
Satu blok lagi. Seekor anjing menyalak dan menyerbu Mayra di
halaman rumput yang panjang serta datar. Anjing itu berkaing-kaing
kaget ketika lehernya tersentak, tercekik rantai yang tak cukup
panjang. Hewan itu terpental terbalik.
Mayra tak dapat menahan tawanya. Anjing memang binatang
tolol, pikirnya. Bayangan Hazel melintas di benaknya. Sebaliknya, kucing itu
tampak cerdas sekali. Hazel jelas tidak suka melihat Mayra dan
Walker menyelidiki rumahnya. Kucing itu kelihatan lega waktu
mereka berdua meninggalkan rumah Mrs Cottler. Binatang aneh....
Sekarang Mayra telah sampai di teras depan rumah Stephanie.
Pintu depannya terbuka. Ia mengintip melalui pintu kasa.
Aku tak sabar lagi menunggu Stephanie membuka kedok "Miss
Polos"-nya di hadapanku, katanya dalam hati. Kali ini aku tahu terlalu
banyak untuk bisa dia tipu.
"Permisi," serunya ke dalam.
Tak ada jawaban. "Stephanie... kau di rumah?"
Masih sunyi. Mayra membuka pintu kasa dan melangkah masuk.
Diedarkannya pandangan ke seputar ruang tamu. Aneh rasanya
kembali lagi ke rumah ini. Semuanya terasa begitu akrab. Tak ada satu
pun yang berubah, dan rasanya belum lama Mayra meninggalkannya.
"Stephanie?" ia memanggil ke atas.
Ketika pandangannya melayang ke puncak tangga, ia dapat
melihat pintu kamar Stephanie yang tertutup. Mungkin dia ada di
dalam kamarnya dan tak dapat mendengarku, batin Mayra.
Saat menaiki tangga yang berlapis karpet tebal, Mayra
menyadari jantungnya berdegup kencang. Perasaannya tidak enak.
Barangkali ia sebaiknya kembali pulang dan melupakan semua ini.
Sebenarnya ia lebih menyukai menghindari pertengkaran dan yang
sejenisnya. Tidak. Ia harus maju terus. Ia tak tahan melalui malam-malam penuh
rasa takut untuk tidur, takut akan mengalami mimpi buruk dan
terbangun entah di mana, jauh dari rumah.
Diketuknya pintu kamar tidur Stephanie.
Tak ada jawaban. Tapi ia dapat mendengar bunyi musik dari
dalam. "Stephanie. Kau di dalam?"
Ia mendorong pintu hingga membuka dan mengintip ke dalam.
Kamar itu gelap gulita, satu-satunya sinar berasal dari tiga
batang lilin yang berkedip-kedip. Dalam kegelapan itu, Stephanie
duduk di lantai di samping lilin, memunggungi Mayra. Ia bersila di
depan lingkaran putih, dan melantunkan tiga-atau empat kata yang
sama berulang kali tanpa irama. Ada beberapa benda kecil di dalam
lingkaran itu. Namun karena cahaya yang suram dan bergoyanggoyang, Mayra tak
dapat melihat dengan jelas benda apa itu.
Bagaimanapun, ia berhasil melihat dengan jelas satu hal Stephanie mengikatkan scarf putih Mayra di sekeliling kepalanya.
Chapter 15 TIBA-TIBA Stephanie berhenti komat-kamit dan menoleh.
"Mayra... kenapa kau di sini?"
"Jangan tanya. Apa yang sedang kaulakukan?" Mayra bertanya
sambil melangkah masuk ke kamar.
Stephanie meloncat berdiri. "Cuma berlatih. Siapa yang
menyuruhmu masuk" Apakah ibuku ada?"
"Aku masuk sendiri," sahut Mayra.
"Sekarang kau dapat keluar sendiri," kata Stephanie dengan
kasar. Matanya yang hijau berkilat-kilat dalam cahaya lilin, sangat
mirip mata Hazel. "Tidak, sampai kau katakan kenapa kau melakukan ini." Mayra
bergeming dari tempatnya berdiri.
"Melakukan ini" Apa maksudmu?"
Mayra menuding lingkaran itu. Ketika mendekat, ia dapat
melihat di dalamnya terdapat tulang-tulang, mungkin tulang ayam,
yang diatur membentuk segi tiga.
"Kau tahu aku selalu tertarik pada hal-hal yang berbau mistis,"
kata Stephanie. Ia menyalakan lampu di atas laci pakaian. "Jadi aku
cuma mencoba-coba. Memangnya kenapa?"
"Kenapa kau mengguna-gunaiku?" Kata-kata itu meluncur


Fear Street - Berjalan Dalam Tidur Sleep Walker di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

begitu saja dari mulut Mayra. Ia tidak benar-benar berniat mengajukan
pertanyaan itu. Sekarang setelah menyatakannya, sekonyong-konyong
ia merasa malu. Stephanie tertawa. "Ya ampun, Mayra. Kau gila, ya?"
"Kau memang mengguna-gunaiku," Mayra berkeras. "Kau
memakai scarf-ku." "Hah?" Stephanie meraih ke atas kepalanya dan menarik lepas scarf
putih itu, rambutnya terurai sampai melewati bahu. "Nih."
Disorongkannya scarf itu ke tangan Mayra. "Ambil."
"Kau pakai ini untuk mengguna-gunaiku," Mayra mengulangi
ucapannya, namun mulai merasa ragu-ragu.
"Itu kupakai untuk menahan rambutku ke atas," kata Stephanie
dengan nada mengejek. "Aku selalu keramas sehabis pulang kerja.
Aku tak mau bahuku basah. Ambil saja scarf konyolmu itu."
"Tapi, Stephanie, aku sudah tahu semuanya." Mayra berusaha
agar suaranya tetap terdengar normal, tiba-tiba ia ingin lari, lari
meninggalkan rumah ini dan tidak bertemu Stephanie ataupun
kakaknya lagi. "Aku tahu Mrs. Cottler bibimu."
"Ya ampun, mati aku," Stephanie mengejek lagi dan
menjatuhkan tubuhnya di tepi tempat tidur. "Tentu saja kau tahu dia
bibiku. Aku mengatakannya padamu waktu menawarkan pekerjaan
itu." "Tidak, kau belum pernah mengatakannya padaku," sangkal
Mayra. ia berpikir keras. Benarkah yang dikatakan Stephanie"
Pernahkah dia mengatakannya" Mayra tidak dapat mengingatnya.
"Aku yakin kau tidak mengatakannya," katanya lagi.
Aku seharusnya tidak pernah memulai ini, pikir Mayra. Aku
merasa begitu yakin ketika naik ke sini dan menemukan Stephanie
komat-kamit di lantai. Tapi sekarang...
Tidak, aku betul. Aku harus betul.
Aku tidak mengada-ada. Aku berjalan dalam tidur karena ada
orang yang telah menenungku. Kalau bukan Stephanie, pasti bibinya.
Stephanie bohong, Mayra memutuskan.
"Apa kau pikir orang lain juga berniat mencelakaimu?" tanya
Stephanie, bersedekap. "Kenapa kau sangat jahat padaku?" Mayra menyemburkan
kemarahannya. "Kukira kita berteman."
"Aku tidak jahat padamu. Aku marah karena kau nyelonong
masuk ke kamarku dan menuduhku seenaknya. Kaulah yang jahat.
Kau sembarangan menuduhku menenungmu! Omonganmu ngawur
dan sinting!" "Aku tidak sinting!" teriak Mayra. "Kau kenal cowok bernama
Cal?" "Siapa?" "Cal. Aku tak tahu nama lengkapnya. Cowok pirang berbadan
dan berleher besar."
Stephanie tertawa. "Tidak. Aku tidak kenal. Memangnya
kenapa aku harus kenal dia?"
"Bibimu kenal dia. Bibimu menyuruh cowok itu
membuntutiku." "Mayra, aku benar-benar tak paham apa yang sedang
kaubicarakan. Semua omonganmu tak jelas juntrungannya sejak kau
menerobos masuk ke sini. Kau kenapa" Kau kelihatan sangat capek
dan menakutkan." "Kau tahu aku tak bisa tidur nyenyak!" Mayra berteriak, mulai
kehilangan kendali diri dan tak dapat mengontrolnya. "Kau tahu aku
berjalan dalam tidur... dan kau tahu kenapa!"
"Berjalan dalam tidur?"
Aku tahu dia pura-pura tidak bersalah, pikir Mayra.
"Kau berjalan dalam tidur mungkin akibat perasaan bersalah
telah memutuskan hubungan dengan Link."
"Stephanie, hentikan!"
"Memangnya kenapa" Kau sendiri yang mulai, Mayra. Kau
tahu apa yang kupikir waktu aku tadi melihatmu berdiri di sini?"
"Apa?" "Kupikir kau datang untuk berbaikan kembali dengan Link
karena Walker mencampakkanmu."
Sekonyong-konyong Mayra merasa dingin sekali, seakan-akan
darahnya membeku. Apa yang sedang dibicarakan Stephanie" Mayra
merasa salah dengar. "Karena Walker mencampakkanmu."
Apa yang dimaksud Stephanie" Mungkin aku memang sinting,
kata Mayra dalam hati. "Walker" Mencampakkan aku" Hah?"
"Setiap orang tahu dia sekarang pacaran dengan Suki Thomas."
Apakah aku sudah masuk ke Twilight Zone" pikir Mayra.
"Sekarang kau hanya mau menyakitiku," Mayra berkata lirih
dan mulai melangkah mundur keluar dari kamar itu.
"Tidak," Stepahnie berkeras. "Jangan katakan kau tidak tahu hal
ini." "Tak ada yang harus kuketahui. Aku ketemu Walker tadi pagi.
Kau cuma berusaha menyakiti hatiku."
"Aku melihat Walker dan Suki makan piza bersama di mall,"
kata Stephanie. "Well, aku juga Lihat. Itu biasa saja, bukan berarti Walker
mencampakkan aku." Mayra menggenggam scarf putihnya dengan
kencang, hingga tangannya terasa sakit. "Kau memang kekanakkanakan," Mayra
berkata dengan suara bergetar.
Stephanie diam saja, hanya mengangkat bahu dan memutar bola
matanya. "Selamat tinggal, Stephanie. Sori aku nyelonong masuk dan
merusak latihan sihirmu." Mayra berbalik dengan cepat dan
melangkah ke pintu, kepalanya agak pusing.
"Sori juga!" teriak Stephanie di belakangnya.
Kemudian sekonyong-konyong, ketika Mayra sampai di tangga,
Stephanie muncul tepat di belakangnya. Ia memegang bahu Mayra.
"Aku sungguh-sungguh minta maaf," kata Stephanie lirih, tanpa nada
marah sama sekali. "Maaf untuk... semuanya."
Mayra berlari menuruni tangga, mendorong pintu kasa, terbiritbirit keluar dari
rumah itu, napasnya megap-megap. Matahari hampir
tenggelam, tapi udara masih panas dan lembap. Ia berdiri di tengah
jalan mobil yang berkerikil, masih terengah-engah, menunggu merasa
lebih tenang. Apa maksud Stephanie dengan mengatakan "maaf untuk
semuanya?" Mayra bertanya-tanya. Maaf karena bersikap jahat"
Maaf karena telah mengguna-gunaiku hingga aku berjalan
dalam tidur" Maaf karena membuat gosip tentang Walker"
Ia tidak bisa berlama-lama memikirkannya. Tiba-tiba ia melihat
pickup merah Link memasuki halaman.
"Hei... Mayra... hai!"
"Oh, tidak," gumam Mayra. Link adalah orang terakhir yang
ingin dijumpainya saat itu.
Link menghentikan mobilnya di depan Mayra dan melompat
keluar, wajah kerennya nyengir lebar. "Ini kejutan."
"Aku... uh... bicara dengan Stephanie."
Cengiran Link menghilang. "Sungguh?"
Mobil itu. Sekonyong-konyong Mayra teringat pada pickup merah itu.
Donna. Orang gila yang menabraknya.
"Link," Mayra berkata, "dua hari yang lalu, kau..."
Ia menunduk untuk memeriksa bumper mobil itu. Mulus dan
tak penyok. Ia memeriksa kedua spakbor depan. Tanpa cacat, seperti
masih baru. Jadi bukan Link, pikirnya.
Bagaimana mungkin aku mengira Link-lah pelakunya"
Mungkin Stephanie benar. Mungkin aku memang gila. Aku
curiga setiap orang yang kukenal berusaha menyakitiku.
Lalu pikirannya melayang pada Donna yang sedang terbaring di
rumah sakit dengan slang-slang menempel di lengannya. Dan Cal,
yang memandangnya dengan mengerikan. Dan ia sendiri berjalan
dalam tidur masuk ke hutan ,itu....
"Aku tidak gila," katanya, tanpa menyadari bahwa ia berbicara
keras-keras. Link ternganga memandanginya.
Chapter 16 MALAM itu Mayra bermimpi lagi.
Kali ini angin menderu-deru ketika ia melangkah ke danau.
Gelombang gelap, sehitam tinta, menepuk-nepuk pergelangan
kakinya, membasahi tepi bawah pakaian tidurnya.
Warna-warna tampak begitu jelas. Langit malam bagaikan
beledu hitam. Bulan berkilauan keemasan, nyaris seterang matahari.
Ia menyeberangi gelombang. Air terasa dingin, dingin sekali
mengenai kakinya. Lagi-lagi, seseorang sedang mengawasinya dari tepi danau.
Siapakah orang itu" Mayra penasaran ingin mengetahuinya.
Ia mencoba berbalik, namun seolah ada yang menahan
punggungnya. Ia harus tetap berjalan, berjalan dengan sangat lambat,
tapi tanpa berhenti, di atas gelombang gelap yang memukul-mukul.
Dalam sekejap ia dikelilingi air. Daratan, hutan, semuanya
lenyap di belakangnya. Siapakah itu" Siapakah itu yang ada di belakangnya di tepi
danau" Siapakah itu yang diam-diam mengawasinya ketika ia
menyeberangi air" Sekonyong-konyong ia dapat melihat. Semua bergeser, dan ia
dapat melihat tepi danau, semak-semak rendah, pepohonan gelap yang
melambai-lambai di belakangnya.
Sekarang terang sekali. Bulan bercahaya putih menyilaukan.
Cahayanya menyebar di tepi danau seperti lampu sorot.
Siapa yang ada di sana" Seseorang sedang berdiri di bawah
cahaya putih itu. Ia mengerjap-ngerjap supaya dapat melihat lebih jelas.
Ya. Ya. Ia dapat melihat orang itu sekarang. Itu Walker.
Walker berdiri mematung, tanpa suara, mengawasi Mayra
ketika gadis itu menoleh lagi dan menyeberangi ombak.
Walker, mengapa kau memandangiku seperti itu"
Lalu, tiba-tiba, ia menghilang bersama sinar bulan yang terang.
Digantikan oleh gelapnya ombak yang basah. Gelombang itu menarik
Mayra ke bawah, ke bawah.
Ia berusaha memberontak, mencoba berenang. Namun air itu
begitu kuat. Air naik sampai ke pinggangnya, sekarang dingin sekali,
dingin yang membekukan, dan berat.
Berat, makin berat. Mayra tenggelam makin dalam.
Oh, tolonglah aku, tolong. Kenapa aku tak bisa berenang"
Kenapa aku tak bisa bergerak"
Ia merasa makin tenggelam. Ia mencoba mengangkat lengan
ketika kepalanya mulai tenggelam, tapi kedua lengannya tak dapat
digerakkan. Makin tenggelam ke dalam air yang berat dan gelap. Ia tercekik
sekarang. Oh, biarkan aku bernapas.
Ia terbangun. Tapi ia masih di dalam mimpinya.
Atau rasanya begitu. "Oh, biarkan aku bernapas."
Air itu mencekiknya. Ia megap-megap dan berjuang melawan
air - menggapai-gapai, menelan air lagi.
Masih tidurkah dia" Tidak. Ini nyata. Ia di dalam air. Air yang dalam.
Ia tenggelam. Air naik ke atas kepalanya.
Ia menutup matanya dan berjuang ke atas.
Ia cepat-cepat ke permukaan, tersedak, memukul air,
menggapai-gapai, mencoba menarik tubuhnya sendiri, menariknya
keluar dari air, keluar dari mimpi yang bukan mimpi.
Ia berusaha menjerit, berteriak minta tolong. Namun tak ada
suara yang keluar. Rambutnya kusut, menutupi wajahnya. Ia berusaha
menyibakkannya supaya dapat bernapas.
Aku tak dapat bertahan di atas, pikirnya, dan ia mulai
tenggelam lagi, matanya membelalak, jantungnya berdegup kencang.
Itu satu-satunya suara yang terdengar di dalam air yang sunyi - air
yang berputar-putar mematikan, mengelilinginya sekali lagi.
Aku tenggelam. Aku mati. Tapi di manakah aku"
Ia mulai melihat rona-rona, warna-warna terang.
Dadanya terasa sakit. Paru-parunya hampir meledak.
Aku tenggelam. Aku mati. Lengan-lengan kuat meraih bahunya. Lengan-lengan kuat
merengkuhnya ke atas. Apakah ia sedang mimpi juga"
Dibukanya matanya. Tidak. Ada sebuah speedboat kecil. Dan
seorang laki-laki bertopi bisbol yang menutupi keningnya. Orang itu
berjenggot pendek. Laki-laki itu meraih bahu Mayra. Menariknya. Tubuh gadis itu
kini terasa sekarang, seberat ikan paus.
"Bantu aku," katanya. "Kau dapat membantuku mengangkat
tubuhmu?" Suara pria itu terdengar sangat jauh, berkilo-kilometer
jauhnya. Pria itu menariknya lagi. Mayra tidak dapat membantunya.
Perahu kecil itu miring dan terombang-ambing naik-turun.
Rasanya lama sekali sebelum akhirnya Mayra terbaring
telentang di perahu kecil itu.
"Kau bisa bicara?" tanya laki-laki itu. Matanya tampak ramah.
Mayra mengangkat kepalanya dan muntah. Air menyembur
keluar dari mulutnya, air danau yang payau. Ia tersedak, menarik
napas dalam-dalam, muntah lagi, lalu mulai merasa lebih baik.
"Kau bisa bernapas?" tanya orang itu.
Mayra melihat joran dan gulungan senar, kotak peralatan
memancing, di samping motor tempel kecil di buritan.
Laki-laki itu tidak menunggu jawaban Mayra. "Untung tadi aku
lewat." Mayra mengangguk. Ia mulai gemetar. "D-dingin," katanya.
Laki-laki itu menarik tali pada motor tempel, dan mesin itu
mulai hidup. "Aku akan membawamu ke tepi," katanya. "Sori, aku tak
punya selimut. Aku tak mengira malam ini akan memancing seorang
gadis di danau. Dan ternyata kau satu-satunya hasil tangkapanku."
Mayra melihat tepi danau yang gelap dibatasi pepohonan.
Mereka hampir sampai ke sana. Mayra belum pernah berjalan dalam
tidur sejauh ini ke dalam danau. Cukup jauh untuk menenggelamkan
dirinya. "Apa yang sedang kaulakukan di dalam air sendirian malammalam begini?" tanya
pemancing itu. "Aku tak tahu," sahut Mayra.
Chapter 17 SAMBIL menggigit bibir bawahnya, Mrs. Barnes meletakkan
gagang telepon. "Dr. Sterne bilang dia dapat menemuimu besok pagi.
Kau mau sup tomat semangkuk lagi?"


Fear Street - Berjalan Dalam Tidur Sleep Walker di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak. Aku sudah kepanasan," Mayra menjawab sambil
memutar-mutar sendok dengan jarinya. "Apakah Mom pikir dia benarbenar bisa
menyembuhkanku?" Ibunya melangkah melintasi dapur, berhenti di belakang Mayra
dan melingkarkan lengan ke bahunya. "Mayra, kita harus berbuat
sesuatu. Kau nyaris tenggelam malam ini." Mrs. Barnes membungkuk
dan menempelkan pipi ke rambut Mayra yang masih basah. "Kupikir
Dr. Sterne benar-benar dapat menolong."
Mayra mendesah. Ia mendongak melihat jam dinding dapur.
Betulkah sekarang pukul setengah empat pagi"
"Lebih baik kau pergi tidur," kata ibunya. "Menurutmu kau
akan bisa tidur?" "Aku tak tahu apakah aku ingin tidur," sahut Mayra.
Pandangannya menerawang ke luar jendela, ke dalam kegelapan.
"Aku sungguh-sungguh ngeri, Mom. Kenapa aku begini?"
"Jangan cemas. Dr. Sterne akan menolong menemukan
penyebabnya, dan sementara ini kau dapat tidur di kamarku," Mrs.
Barnes berkata. Namun melihat bibirnya yang gemetar dan air mata
yang menggenang di sudut matanya, Mayra tahu ibunya sama
ketakutan dan sama bingungnya dengan dia sendiri.
***********************************
Kedua resepsionis rumah sakit itu, yang duduk di dalam
lingkaran meja di tengah-tengah lobi, lebih tertarik untuk ngobrol
sendiri daripada melayani orang-orang yang datang menanyakan arah
serta informasi. "Aku tak tahu, Barbara. Sungguh, aku tak tahu," ucap
wanita yang lebih kecil berulang-ulang kepada yang lebih besar, yang
berulang kali menggeleng.
Mayra, mengenakan celana pendek dan T-shirt kuning
berlengan panjang, menunggu dengan sabar, bersandar ke meja
resepsionis. Setelah beberapa saat ia merasa harus menyela jika tak
ingin terlambat sampai di ruangan Dr. Sterne. "Boleh saya tahu di
mana ruangan Sterne?"
"Lantai empat," sahut resepsionis yang bernama Barbara, hanya
memandangnya sekilas. "Pakai lift sebelah kiri," tambah temannya, yang ternyata punya
perhatian juga. Mayra mengucapkan terima kasih dan melangkah ke lift sebelah
kiri. Meskipun belum pukul sembilan pagi, orang-orang sudah
berkerumun menunggu di depan pintu lift.
"Oh. Maaf!" Mayra menabrak seorang wanita yang kakinya
digips. "Hati-hati." Wanita itu memelototi Mayra dan menjauh,
bersandar pada kruk logamnya.
Aku begitu gelisah, sampai tak memperhatikan apa-apa lagi,
pikir Mayra. Aku tak ingin berada di sini. Aku tidak sakit. Kenapa aku
ada di rumah sakit" Ia ingin tahu ibunya ada di mana. Barangkali di lantai enam.
Mrs. Barnes ingin menemani Mayra ke Dr. Sterne, namun banyak
pasien yang harus ditanganinya di atas sana.
Kenapa di sini panas sekali" Mayra heran. Disibakkannya
rambut ke belakang bahu. Seandainya saja ia membawa jepit rambut.
Akhirnya pintu lift membuka dan semua orang berdesakan
masuk, kelihatan sama sekali tidak nyaman. Di lantai dua masuk lagi
dua dokter yang memakai seragam bedah hijau lengkap dengan
topinya, mereka sedang membicarakan pasien dengan suara rendah.
Ketika lift mencapai lantai empat, Mayra mendesak dari
belakang. "Mau keluar!" teriaknya. Tapi kelihatannya tak seorang pun
mendengar. "Tolong... saya mau keluar."
Pintu mulai menutup ketika ia mendorong orang-orang di kirikanannya dan
mendekati pintu lift. Ia nekat meloncat dan akhirnya
berhasil keluar tepat saat pintu membanting menutup.
Sekarang aku di mana" tanyanya pada diri sendiri. Ia menyusuri
dinding berwarna hijau pucat sampai menemukan papan bertulisan
PSIKIATRI. Ada anak panah di samping tulisan itu, menunjuk ke arah
kanan, jadi Mayra berjalan ke kanan, melewati dua pintu ayun, dan
masih terus berjalan. Kamar-kamar pasien berderet di sepanjang kedua sisi lorong
sempit itu. Lewat pintu-pintu yang setengah menutup Mayra dapat
melihat para pasien berbaring di ranjang mereka. Beberapa sedang
tidur. Beberapa memandang pesawat TV yang tampaknya digantung
di langit-langit. Lalu terdengar gema pertandingan olahraga.
Mungkin aku salah belok, pikir Mayra. Orang-orang ini
kelihatannya sakit. Mereka tidak mirip pasien psikiatri.
"Bisa saya bantu?" Seorang mantri bertubuh besar yang sedang
membawa setumpuk nampan muncul di depannya.
"Oh. Ya. Saya mencari ruangan Dr. Sterne."
"Dia di Psikiatri."
"Yeah. Saya tahu. Saya..."
"Kembalilah melewati pintu-pintu itu, lalu belok ke kanan."
"Oke. Terima kasih banyak." Ia berbalik dengan tidak yakin dan
mencoba mengikuti petunjuk mantri itu.
Setelah melewati pintu-pintu itu ia membelok ke kanan dan
melewati lorong yang sejenis, hanya kali ini berdinding biru pucat.
"Aku harus keluar dari sini," kata Mayra keras-keras.
Ia berbalik lagi dan dengan cepat melewati sederetan pintu ayun
yang lainnya. Ada lagi papan bertulisan PSIKIATRI. Sebuah anak
panah menunjuk lurus ke depan. Seorang perawat yang mendorong
sekereta nampan sarapan tersenyum tenang padanya ketika
berpapasan. Merasa jadi sedikit berani, Mayra melanjutkan berjalan,
membaca papan-papan nama di samping setiap pintu. Ia sampai di
ruang jaga tempat seorang perawat yang tampaknya kecapekan
terkulai di balik meja, matanya terpejam.
Ketika baru akan menanyakan letak ruangan Dr. Sterne, Mayra
terhenti - dan tersentak. Cowok di sana itu...
Cal. Ia mengenali rambut pirangnya yang cepak. Matanya yang
melotot. Lehernya yang besar.
Cowok itu mula-mula tidak melihat Mayra. Ia sedang duduk di
sofa di dekat ruangan perawat, matanya sedang memandangi papan
penunjuk yang bertulisan PSIKIATRI.
Namun kemudian ia menengok dan melihat Mayra, dan
pandangan mereka bertemu. Mayra langsung mengalihkan
pandangannya ke bawah, lalu melihat gelang nama di lengan orang
itu. Oh, tidak! Ia segera menyadari mengapa Cal ada di situ.
Dia pasien sakit jiwa! Chapter 18 "HEI... kau!" Dalam sekejap Cal mengenali Mayra. Ia kelihatan
bingung, pusing. Ia berusaha berdiri, dan Mayra melihat untuk
pertama kalinya bahwa ia memegang tongkat.
Mayra memutar badannya, mencari jalan untuk lari.
Muka Cal memerah. Ekspresinya berubah dari terkejut menjadi
marah. "Hei... berhenti!"
Teriakannya membangunkan perawat itu, yang langsung
melonjak dari kursinya. Antara Mayra dan Cal ada meja perawat itu.
Mayra cepat-cepat melangkah menjauh.
"Hei... berhenti!"
Cal mengejar Mayra, mukanya merah padam, matanya melotot
marah. Mayra mulai berlari. Hampir saja ia menabrak kereta yang
penuh dengan nampan-nampan makan siang. "Hei... kalau jalan lihatlihat!" seru
seorang mantri memperingatkan.
Mayra menoleh ke belakang. Cal sedang mendekatinya,
melangkah terseok-seok disangga tongkatnya, dan melambailambaikan tangan ke
Mayra dengan kacau. "Berhenti... kau! Hentikan cewek itu!" teriak cowok itu.
Mayra berbelok di sudut, mencari-cari tempat persembunyian.
Ia menyelinap ke dalam sebuah kamar. "Halo" Bisa saya bantu?"
Seorang wanita muda cepat-cepat bangun, duduk di tempat tidurnya di
dekat jendela. "Oh. Maaf. Saya salah masuk kamar," kata Mayra. Ia
menyelinap keluar kembali ke koridor.
"Nah, sekarang!" Cal bersorak, muncul dari belokan. "Stop.
Kau takkan bisa ke mana-mana lagi!"
"Kau mau apa" Pergi kau!" jerit Mayra.
Cal menyerbu ke depan dengan canggung, berusaha matimatian menangkap Mayra.
Tiba-tiba muncul dua perawat di kirikanan Cal, menyergapnya, menahan tubuhnya.
"Tolol! Lepaskan aku!" serunya. Lalu Mayra melihat papan penunjuk di dekat sebuah pintu yang
terbuka: DR. LAWRENCE STERNE. Seorang laki-laki muda
berambut warna tembaga keriting berdiri di depan pintu. Ia
mengenakan setelan berwarna cokelat gelap dan sedang membolakbalik kertas pada
clipboard. Mendengar Cal ribut memberontak dari pegangan para perawat
tadi, Mayra melesat ke belakang orang itu dan menyerbu masuk ke
dalam ruangan kantor yang kosong. Ia akan menutup pintu di
belakangnya, tapi orang itu menahan daun pintu dengan clipboardnya.
?"?""L"W"S."?OG?"OT."?M
"Maaf, Nona," ia berkata, tampak terkejut sekali. "Anda sedang
apa?" "Saya... uh... saya ada janji dengan Dr. Sterne," Mayra
tergagap-gagap. "Ini kantornya, kan?"
"Ya, betul." Laki-laki itu ikut masuk dan meletakkan clipboardnya di atas meja
yang berantakan. "Aku Dokter Sterne."
"Tapi Anda terlalu muda!"
Ucapan itu hampir terlontar dari mulut Mayra. Tapi ia berhasil
menghentikannya. Namun ia tidak bisa menghentikan gerakan
mulutnya yang menganga heran.
"Aku tidak seperti yang kaubayangkan, ya?" Dr. Sterne berkata
sambil memandangi Mayra dari atas ke bawah.
"Well, ya," Mayra mengakui.
"Aku pernah mencoba memelihara jenggot supaya kelihatan
lebih tua," kata psikiater itu, "tapi tumbuhnya tidak keruan. Malahan
membuatku mirip musang." Ia tersenyum pada Mayra, namun
ekspresinya segera berubah. "Kenapa kau lari ke sini seperti itu?"
"Ada orang mengejar saya. Salah satu pasien sakit jiwa."
"Pasien sakit jiwa?" Dr. Sterne melangkah keluar ke koridor
dan menengok ke kiri-kanan. "Dia besar dan pirang. Lehernya besar."
"Lehernya besar?" tanya Dr. Sterne dari koridor. "Ella" Kau
lihat seseorang yang berleher besar di luar sini?"
Seorang perawat berbadan tinggi kurus, berambut hitam lurus,
serta berkacamata dengan gagang tanduk hitam, muncul di koridor di
samping Dr. Sterne. Ia bukan perawat yang telah menolong Mayra
membebaskan diri dari sergapan Cal.
"Tidak, saya tidak melihat siapa-siapa," sahut perawat itu.
"Apakah dia pasien Anda?"
"Bukan. Bukan. Terima kasih," Dr. Sterne menjawab sambil
menggaruk dagu. Ia kembali masuk ke kantornya, lalu memandang
Mayra dengan sorot tidak percaya.
"Dia benar-benar ada di sana," kata Mayra. "Dia sudah pernah
mengejar saya sebelumnya."
"Orang berleher besar itu?"
"Ya. Dia mencari tahu tentang saya pada teman saya. Dan suatu
hari dia membuntuti saya. Dan sekarang saya baru tahu dia pasien
sakit jiwa di sini dan..."
Dr. Sterne mengangkat kedua tangannya. "Woo. Tenang. Biar
kuperjelas dulu. Katamu orang berleher besar itu membuntutimu di
luar sana padahal dia pasien di rumah sakit ini?"
"Ya. Anda tak percaya, kan?" tanya Mayra, tiba-tiba ia merasa
marah. "Aku baru menyadari siapa kau," kata Dr. Sterne sambil duduk
di kursi kulit hitam yang tinggi di balik mejanya yang kacau. "Kau
putri Amy Barnes. Mayra - betul, kan?"
Mayra merasa malu sekali karena beberapa alasan. Orang ini
teman ibunya, dan sekarang orang ini berpikir ia benar-benar sinting,
membayangkan ada yang membuntutinya.
"Ya. Kata Mom..."
"Kau sering berjalan dalam tidur."
"Mom menceritakan semuanya?"
"Ya. Tapi aku lebih suka mendengarnya dari kau sendiri." Dr.
Sterne menyuruh Mayra duduk di kursi berlengan dari bahan kulit
hijau di seberang mejanya.
"Bukankah mestinya saya berbaring di sofa atau sesuatu?"
"Mestinya aku botak, tua, berlogat asing, dan kau mestinya
berbaring di sofa." Dr. Sterne tertawa kecil. "Well, maaf. Aku tak
punya logat asing, dan aku tak punya sofa. Kukira kau dapat bicara
denganku sambil duduk, kan?"
Mayra tersenyum untuk pertama kalinya. Paling tidak dokter ini
bisa bercanda. Mayra menjatuhkan dirinya ke kursi dan
mengembuskan napas lega. "Kau takut?" Dr. Sterne bertanya sambil memajukan tubuhnya
ke depan, sikunya bertumpu pada meja. Ia membalik lembaran kosong
di sebuah notes kuning panjang.
"Tidak. Maksud saya, ya. Maksud saya, bukan pada Anda."
Psikiater itu kelihatan kecewa. "Kau tidak menganggapku orang
yang mengerikan?" "Tidak juga," sahut Mayra. "Anda berusaha bersikap manis
pada saya supaya saya tenang, bukan?"
"Betul," Dr. Sterne langsung mengakuinya. "Mau melihatku
menyulap tiga apel?"
Mayra tertawa. "Tidak. Sungguh tidak. Sekarang saya merasa
lebih baik. Sungguh."
"Kau kelihatannya kecapekan," kata dokter itu. "Apa kau cukup
tidur?" "Tidak. Saya takut tidur."
"Takut kau akan berjalan dalam tidur lagi?"
"Ya." "Ayo kita mulai dari awal," kata Dr. Sterne sambil mencatat di
notesnya. "Ceritakan padaku tentang saat pertama kali kau mengalami
berjalan dalam tidur. Setiap detail yang dapat kauingat. Bayangkan
semuanya. Pejamkan matamu kalau kau mau. Coba bayangkan semua
yang kaukatakan." Mayra memejamkan matanya, namun cepat-cepat membukanya
kembali. "Tidak. Nanti saya bisa ketiduran." Sambil menerawang ke
arah jendela di belakang meja si dokter, Mayra mulai menceritakan
sebanyak mungkin, diawali dengan mimpi aneh yang dialaminya
setiap kali. Membutuhkan waktu lama untuk menguraikan semuanya itu.
Ketika Mayra selesai mengatakan semua yang dialaminya - ditarik
keluar dari danau, tercekik, dan hampir tenggelam - Dr. Sterne telah
memenuhi lembaran notes dengan tulisannya.
"Apakah saya gila atau apa?" Mayra bertanya, terkejut karena
menyadari bahwa suaranya bergetar. Dikiranya ia akan merasa lega
setelah mengeluarkan semuanya kepada psikiater itu, namun ternyata
ia merasa lebih gelisah dan lebih takut daripada yang pernah
dialaminya. "Kau tidak gila," sahut Dr. Sterne sambil mengerutkan wajah.
"Berhentilah mengira begitu. Kupikir ada sesuatu yang membebani


Fear Street - Berjalan Dalam Tidur Sleep Walker di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pikiranmu, sangat meresahkanmu. Tapi menurutku kau tidak perlu
cemas terkena penyakit jiwa. Bukan itu yang menyebabkan kau
berjalan dalam tidur."
"Lalu apa penyebab sebenarnya?" desak Mayra.
"Kuduga ini akibat trauma yang terpendam," sahut Dr. Sterne.
"Apa" Tolong Anda jelaskan. Saya belum mendapat pelajaran
psikologi di sekolah."
"Ada sesuatu yang mengganggumu," jelas dokter itu. "Sesuatu
yang sangat mengguncang. Kau mencoba mengatasinya ketika tidur,
karena kau tahu sulit mengatasinya saat terjaga."
Mayra menatap dokter itu, memikirkan apa maksudnya.
"Sesuatu yang mengguncang mengganggu saya?"
Dr. Sterne mengangguk. "Alam bawah sadarmu berusaha
mengatasinya." "Tapi jika masalah itu sangat mengguncang, bukankah aku pasti
ingat?" Dr. Sterne membuka laci mejanya, dengan cepat mencari-cari
sesuatu, lalu menutupnya kembali. Ia menatap mata Mayra. "Kau
punya ide kira-kira masalah apa itu?"
Mayra menggeleng. "Tidak. Saya tidak tahu apa yang telah
sedemikian mengguncang saya. Saya sangat tidak menyukai pekerjaan
saya selama liburan ini, tapi itu bukan masalah besar." Mayra baru
menyadari bahwa ia belum menceritakan kepada Dr. Sterne tentang
Mrs. Cottler, atau tentang kecurigaannya bahwa Mrs. Cottler - atau
Stephanie - menyihirnya hingga ia berjalan dalam tidur.
Kalau kukatakan, dia pasti benar-benar menyangka aku gila,
kilah Mayra. "Saya putus dengan cowok saya belum lama ini. Tapi saya tidak
begitu peduli. Sekarang saya sudah punya cowok baru."
Dr. Sterne melihat jam tangannya. "Oh, aku sungguh-sungguh
menyesal. Hari ini pertemuan kita cuma bisa sampai di sini," katanya.
Mayra berdiri. "Maaf. Saya..."
"Aku ingin kau kembali lagi minggu depan," kata dokter itu. Ia
berdiri dan mengantar Mayra ke pintu. "Kau mau kembali ke sini dan
ngobrol lagi lebih banyak?"
"Saya... ya." "Dan aku tak ingin kau kuatir otakmu terganggu, atau kau
mengidap penyakit serius, atau sejenisnya. Tunggu sebentar." Dr.
Sterne kembali ke meja dan mencoret-coret pada notes. Lalu ia
merobek dan memberikannya pada Mayra.
"Apa ini?" Mayra tidak dapat membacanya sedikit pun.
"Itu resep. Supaya kau dapat tidur. Dosisnya sangat ringan.
Tidak menyebabkan kecanduan. Minumlah setiap malam, setengah
jam sebelum kau tidur. Sudah terbukti keberhasilannya. Seorang
pasienku juga sering berjalan dalam tidur, dan obat itu berhasil
menghentikannya." "Tapi saya..." "Kau perlu tidur. Kau benar-benar kecapekan, Mayra. Dan
menurutku kalau bisa menenangkan pikiranmu, mungkin kau dapat
menemukan masalahmu, biang keladi kebiasaanmu berjalan dalam
tidur." Mayra memasukkan resep itu ke kantong celana pendeknya.
"Jadi itukah nasihat Anda" Tidur?"
Dr. Sterne tersenyum. "Paling tidak aku tak mengatakan,
'Minumlah dua aspirin dan telepon aku besok pagi.'"
*************************************
"Kau kelihatan mendingan hari ini," Mayra berkata pada
Donna, lalu dengan letih menjatuhkan diri ke kursi lipat di samping
tempat tidur temannya. "Maksudmu aku sudah setengah sadar dan tak lagi tidak sadar?"
"Maksudku kondisimu tampak lebih baik. Paling tidak, slangslang itu sudah tidak
ada." "Yeah. Aku kembali menjadi diriku lagi sekarang," kata Donna
sinis. "Aku bukan Frankenstein lagi. Tapi sekarang aku jadi mumi.
Lihat perban-perban ini!"
Mayra bergidik. Mungkin akulah yang seharusnya tergeletak di
ranjang rumah sakit ini, pikirnya. Akulah sasaran sebenarnya. Maniak
di dalam pickup itu - dikiranya dia berhasil menyodokku keluar dari
jalan. "Apa kabar dunia di luar sana?" tanya Donna.
Mayra sedang memikirkan Dr. Sterne, penjelasannya mengenai
kasus berjalan dalam tidur. Ada sesuatu yang mengganggu Mayra,
katanya. Sesuatu yang begitu mengguncang hingga Mayra tidak dapat
memikirkannya waktu terjaga.
Kira-kira masalah apa ya itu"
"Hei, Mayra... kau melamun, ya?" Suara Donna membuyarkan
lamunannya. "Oh. Sori." "Bagaimana pekerjaanmu" Kau masih mengira Mrs. Cottler
yang mengguna-gunaimu?"
"Ya," jawab Mayra cepat. "Eh, tidak. Maksudku, aku tak tahu."
"Well, setidaknya kau yakin mengenai hal itu." Donna tertawa.
"Aduh! Jangan bikin aku ketawa. Sakit sekali!"
"Aku berjalan dalam tidur lagi," kata Mayra, mendadak ia
merasa sangat lelah. "Kali ini aku nyaris tenggelam."
"Oh, ya ampun. Mayra, sori. Di mana?"
"Di danau. Di belakang hutan Fear Street. Kau tahu, yang di
dekat rumah Mrs. Cottler."
"Kau berjalan sejauh itu sambil tidur?"
"Yeah. Mula-mula aku mimpi tentang danau, lalu aku berjalan
ke sana. Aneh sekali. Kau tahu, Mrs. Cottler kehilangan anaknya di
danau itu. Aku ingin tahu apakah itu ada hubungannya dengan..."
Pikirannya melayang. Ia tidak melanjutkannya.
"Apa yang terjadi ketika kau sampai di danau?" tanya Donna.
"Waktu aku sampai di sana, kukira aku tetap berjalan."
"Dan kau tidak terbangun di dalam air?" Wajah Donna tampak
penuh rasa ngeri dan prihatin.
"Tidak. Sampai seorang pemancing datang dan menarikku
keluar. Jika dia tidak ada di sana, aku..."
Donna mengulurkan sebelah tangan dan meraih tangan Mayra.
"Mayra, kau harus mengatakan pada seseorang tentang Mrs. Cottler.
Kau harus mengemukakan kecurigaanmu."
"Aku baru saja mengunjungi psikiater di lantai di bawah rumah
sakit ini. Makanya aku pagi sekali datang ke sini."
"Dan kau katakan padanya..."
"Tidak, aku tak bisa melakukannya. Kupikir psikiater tidak
akan percaya soal klenik, ya kan?"
"Tidak, kukira tidak. Tapi, Mayra, ini mengerikan sekali. Lain
kali..." Mayra melepaskan tangannya dari pegangan Donna dan
melangkah ke jendela. Ia memandangi tempat parkir yang penuh sesak
di bawah, sambil berpikir keras.
Danau itu. Ia harus berpikir tentang danau itu. Selama ini ia telah
memikirkan segala sesuatu kecuali danau itu. Tapi sekarang danau itu
kelihatan begitu penting.
Danau itu pasti kunci semua persoalan yang terjadi pada
dirinya - mengapa ia berjalan dalam tidur.
Ada sesuatu yang mengganggunya, kata Dr. Sterne. Sesuatu
yang membebaninya, yang berusaha ia atasi dalam tidur.
Sesuatu yang membebaninya... tentang danau itu.
"Aku harus ambil tindakan," cetusnya dengan keras tanpa sadar.
"Hah?" seru Donna dari tempat tidur. "Mayra, ke sini. Aku tak
bisa melihatmu." "Aku akan ke danau itu."
"Apa katamu?" "Aku akan ke danau itu. Nanti malam."
"Hebat. Selamat bersenang-senang," kata Donna kebingungan.
"Aku selalu ke sana dalam tidurku. Nanti malam aku akan ke
sana dalam keadaan terjaga. Barangkali dengan cara begitu aku dapat
mempelajari sesuatu, Donna. Mungkin danau itu akan
memberitahuku." "Danau itu akan memberitahumu?" Donna tampak makin
kebingungan. "Tunggu saja," kata Mayra dengan semangat menggebu-gebu.
"Kau akan aku kasih kabar."
"Oke," kata Donna kesal, melihat temannya terburu-buru pergi.
"Aku masih tetap di sini. Aku takkan ke mana-mana."
************************************
Udara malam itu panas dan lembap. Katak-katak pohon
mengerik tanpa henti di pepohonan. Di suatu tempat jauh dari hutan
itu, seekor anjing melolong sedih, menunggu jawaban, lalu melolong
lagi. "Ow!" Mayra menepuk seekor nyamuk. Ia mendongak ke arah
pepohonan, masih sepi, sesepi foto. Ia melangkah masuk lebih dalam
ke hutan Fear Street, senternya menerangi jalan setapak yang sempit
dan berumput lebat di depannya.
"Aku senang Walker tidak ikut," katanya pada diri sendiri. Ia
mencabut segenggam rumput tinggi yang menghalangi jalannya.
Mayra telah menelepon Walker sesudah makan malam tadi dan
meminta pemuda itu menemaninya ke danau. "Ke danau" Buat apa?"
Walker terdengar kebingungan.
"Cuma buat senang-senang," sahutnya, ia tidak ingin
menjelaskan tujuan kepergiannya lewat telepon. Bagaimanapun,
sebenarnya Mayra tidak yakin dengan tujuannya ingin ke danau. Ia
hanya tahu bahwa ia harus melakukan sesuatu.
"Jalan-jalan di hutan Fear Street pada malam hari
kedengarannya tidak asyik buatku," kata Walker.
"Tapi danau itu pasti sangat indah nanti malam," Mayra
beralasan. "Sekarang hampir bulan purnama."
"Aku tak bisa, Mayra. Aku telah janji pada sepupuku untuk
menjaga anak kembarnya nanti malam."
"Benar?" tanya Mayra curiga.
"Sungguh. Aku akan menemanimu kalau bisa. Begini saja... kita
pergi ke danau itu lain kali, oke?"
"Well..." "Kau takkan pergi sendirian, kan?"
"Well..." "Tidak. Sungguh. Aku tak ingin kau pergi sendirian. Itu
konyol." "Well..." "Mayra" Ayolah. Aku sangat menguatirkanmu."
Mayra menimbang-nimbang apakah ia akan memberitahu
Walker mengenai tujuan sesungguhnya pergi ke sana malam ini, dan
akhirnya memutuskan pemuda itu pasti tidak akan mengerti. "Aku
akan meneleponmu nanti," katanya, "untuk melihat bagaimana kau
bertahan menghadapi teror keponakan kembarmu itu." Kemudian ia
meletakkan pesawat telepon.
Mula-mula Mayra kecewa Walker tidak dapat menemaninya.
Namun kemudian ia menyadari bahwa memang lebih baik pergi tanpa
Walker. Jika ada sesuatu yang ditemukannya di danau itu, barangkali
lebih baik kalau ia mengetahuinya sendirian.
Sinar bulan remang-remang menembus pepohonan lebat.
Kerlap-kerlipnya yang keperakan membuat hutan itu tampak tidak
nyata, seperti sebuah tempat dalam dongeng seram. Suasana sangat
hening, Mayra dapat mendengar setiap tarikan napasnya. Sekonyongkonyong katak
pohon berhenti mengerik. Sekarang satu-satunya suara
lain yang terdengar adalah gemeresak sepatu karetnya yang tersaruksaruk di tanah
lembut, sepanjang perjalanannya melewati jalan
setapak yang berkelok-kelok di dalam hutan.
Rasa takut menyergapnya seketika, seolah-olah mengendapendap dari belakang dan
menerkamnya. Ia berhenti dan berusaha menghalaunya.
Namun seluruh tubuhnya gemetaran. Kakinya lemas seperti
kertas. Kepalanya berdenyut-denyut.
Apa yang tengah terjadi padaku" ia bertanya-tanya.
Mungkin ini akibat ia sendirian berada di tengah hutan Fear
Street, tempat banyak peristiwa mengerikan dan misterius terjadi.
Mungkin karena ia sudah dekat dengan danau tempat ia nyaris
tenggelam kemarin malam. Mungkin Mrs. Cottler sedang mengirimkan guna-guna dengan
memakai kekuatan sihir, untuk mencegah agar Mayra tidak mendekati
danau itu, supaya Mayra tidak menemukan apa yang sedang dicarinya.
Aku harus tetap terus, pikir Mayra.
Ia mengarahkan senternya ke arah jalan setapak dan mulai
melangkah lagi, memaksa kakinya maju, memaksa diri mengabaikan
badannya yang gemetaran dan kepalanya yang berdenyut-denyut.
Tak lama kemudian ia sudah melihat danau itu. Tampak keabuabuan di bawah langit
gelap. Airnya menerpa tepi danau yang
berlumpur, nyaris tanpa bunyi.
Setelah lega terbebas dari hutan, Mayra mulai berlari melintasi
rerumputan tinggi menuju air.
Danau itu kelihatan lebih besar daripada biasanya, begitu luas,
kedua sisinya lenyap dalam kegelapan. Fear Island, pulau kecil di
tengah danau, hanya berupa bayangan yang menonjol di kejauhan.
Mayra menghela napas dalam-dalam.
Apa yang kaurahasiakan dariku, danau" Mengapa aku selalu
memimpikanmu" Mengapa aku selalu mendatangimu dalam tidurku"
Mengapa Mrs. Cottler membawaku kepadamu"
Rahasia mengerikan apa yang kausembunyikan dariku"
Ia duduk di tepi dermaga kayu kecil yang menjulur beberapa
meter ke air. Rasa takut sudah menghilang, namun ia belum berhenti
gemetar. Air di bawah begitu indah, begitu menyejukkan.
Ia hampir melepaskan sepatu karetnya dan memasukkan kaki ke
air ketika ia mendengar langkah kaki di atas rumput di belakangnya.
Ternyata ia tidak sendirian.
Chapter 19 " SIAPA itu?" Suara Mayra hanya berupa bisikan. Tubuhnya seolah membeku.
Ia bernapas dengan susah payah.
Sebelah sepatunya terlepas, sebelah lagi masih menempel di
kakinya. Sambil berusaha mengenakan kembali sepatunya yang
terlepas, ia memandangi kegelapan.
"Siapa di situ?"
Tali sepatunya masih tersimpul, sehingga ia tidak dapat
memasukkan kakinya. Dan tangannya sangat gemetar sampai-sampai
ia tak sanggup menguraikan simpul tali itu.
Mayra meloncat turun dari dermaga, menenteng sepatunya yang
sebelah, dan mencari tempat untuk sembunyi. Ada segerumbul semak
beberapa puluh meter dari tepi danau. Ia mendengar bunyi ranting
berkeretak. Langkah-langkah kaki di tanah gembur.
"Siapa itu?" panggilnya dengan suara aneh, tenggorokannya
tercekik oleh rasa takut.
Bunyi langkah lagi, makin keras. Lalu... "Hei!" seru sebuah
suara. Terlambat untuk lari. "Hei!" Suara yang sudah akrab di telinganya.
Jantung Mayra berdegup kencang. Ia mengangkat sepatunya,
seakan menggunakannya sebagai senjata.


Fear Street - Berjalan Dalam Tidur Sleep Walker di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiba-tiba ia muncul, melangkah keluar dari kegelapan menuju
sinar bulan yang keperakan.
"Link!" "Hai, Mayra." "Link! Kenapa kau di sini?"
"Aku melihatmu. Di Fear Street. Aku sedang di dalam mobil.
Lalu kuputuskan untuk mengikutimu. Aku cemas. Maksudku, apa
yang kaukerjakan di sini sendirian?"
"Ini bukan urusanmu!"
Beberapa detik tadi Mayra merasa gembira melihat Link. Tapi
ketika Link menyebut mobilnya, Mayra tersentak.
Mayra membayangkan Donna yang sedang tergeletak di rumah
sakit, lengannya penuh slang.
Rasa takut itu muncul kembali. Mayra gemetar. Pusing.
Akhirnya Mayra memutuskan menutupi ketakutannya itu dengan
marah-marah. Ia takkan membiarkan Link tahu bahwa ia ketakutan.
"Apakah kau berjalan dalam tidur lagi?"
Link bertanya, seulas senyum ganjil menghiasi wajahnya.
"Tidak," sahut Mayra dingin. "Bagaimana kau tahu tentang hal
itu?" Link mengangkat bahu. Senyumnya hilang. Matanya yang
hitam menatap Mayra tajam. "Seharusnya kau tidak sendirian di hutan
Fear Street, Mayra. Kau sudah cukup lama tinggal di Shadyside untuk
tahu tentang hal ini."
Apakah perhatiannya ini tulus" Apakah ada maksud
terselubung" "Aku bisa menjaga diriku sendiri," Mayra berkata sambil
membalikkan badan membelakangi Link. Ia duduk di atas tunggul
kayu dan berusaha menguraikan simpul tali sepatunya. "Aku sudah
bosan kaukuntit terus-terusan. Aku ingin kau berhenti - mulai saat
ini." "Tapi aku sungguh-sungguh mencemaskanmu, Mayra."
"Well, cemaskanlah yang lainnya," tukas Mayra. Ia mendongak
melihat cowok itu. Wajah Link penuh perhatian.
"Kau tak seharusnya ada di sini," Link mengulangi ucapannya,
tanpa menghiraukan kemarahan Mayra.
"Aku janji ketemu Walker," Mayra berbohong. "Kuharap kau
tak ada di sini ketika dia datang nanti."
"Kalian janji ketemu di sini?"
"Yeah. Memangnya kenapa?"
Cowok itu tertawa. "Apanya yang lucu?"
"Ini bukan tempat yang asyik untuk kencan, kan" Lihat saja.
Kau tidak menemukan pasangan lain yang melewati hutan itu untuk
kencan di sini." "Well... aku dan Walker suka hal-hal yang sedikit
menegangkan. Mayra tahu alasannya terdengar lemah, namun hanya
itulah yang dapat dikatakannya.
Link mengerutkan dahi dan menyibakkan rambutnya yang
panjang, seakan tidak mempercayai ucapan Mayra.
"Kenapa kalian berdua tidak datang ke sini bersama-sama?"
Link bertanya. "Pergilah, Link. Aku sungguh-sungguh ingin sendirian di sini."
"Mayra, sori. Sungguh. Aku benar-benar sedang naik mobil
lewat Fear Street, lalu aku melihatmu. Aku tahu seharusnya aku tak
boleh mengikutimu, tapi... aku tak tahu."
"Apakah kau pernah membawa mobilmu ke jalan raya menuju
Waynesbridge, Link?" Pertanyaan itu meluncur keluar begitu saja dari
mulutnya. Mayra harus mengetahui jawabannya. Ia harus tahu apakah
pickup Link yang nyaris membunuh Donna.
"Hah?" "Kau dengar pertanyaanku. Minggu lalu. Betulkah itu kau?"
"Mayra, apa yang sedang kaubicarakan?"
Mayra menatap mata Link yang hitam, berusaha mencari
kebenaran di situ. "Sebuah pickup merah telah menabrak Donna di jalan itu. Dia
sedang membawa Toyota ibuku dan..."
Link tampak benar-benar bingung. "Donna" Bagaimana
keadaannya" Mayra, kau kenapa" Omonganmu tidak dapat
dimengerti." Mayra menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia tidak tahu apakah
Link sedang berpura-pura tidak tahu apa-apa ataukah ia memang tidak
bersalah. Jika itu memang mobilnya, tentu ia takkan mengakuinya
sekarang. Mayra menyesal telah menanyakan hal tersebut pada Link.
Tiba-tiba Link membungkuk dan meraih lengan Mayra.
"Mayra... ayo kuantar kau pulang."
Mayra langsung meloncat berdiri dan menarik tangannya dari
pegangan cowok itu. "Lepaskan aku!"
"Aku sangat rindu padamu," kata Link. Ia melangkah maju dan
memegangi Mayra dengan kedua tangannya.
Mayra berusaha menarik lepas tangannya, tapi pegangan cowok
itu terlalu kencang. Matanya tampak liar. "Aku begitu
merindukanmu," ulang Link. Suaranya terdengar tegang, aneh.
Dia mulai ngaco, pikir Mayra.
"Link... lepaskan!"
"Tidak!" teriak Link. "Aku tak mau!" Ia mengencangkan
pegangannya, menarik Mayra ke arahnya. "Tidak sampai kau
mengakui kau juga merindukanku!"
Lengan Link memeluk pinggang Mayra. "Link... jangan!"
Pelukan Link pada pinggang Mayra makin kencang. Link
semakin mempererat pelukannya.
"Jangan... Link! Jangan!"
Mayra menoleh. Wajah Link bersinggungan dengan pipi Mayra.
"Lepaskan aku!"
Mayra meninju telinga kiri Link.
Kepala Link tersentak ke belakang, ia terperanjat. "Hei..."
Cepat-cepat Mayra membungkuk, meloloskan diri dari Link
yang masih terkejut. "Mayra, tunggu..."
Mayra berlari tunggang-langgang ke arah dermaga, menoleh,
dan melihat Link mengejarnya.
"Tunggu... aku tak bermaksud apa-apa...!" seru Link. Matanya
kacau dan liar. Yang terpikir oleh Mayra hanyalah melarikan diri, ia meloncat
dari dermaga ke dalam air.
Oh! Dingin sekali! Mayra megap-megap, sekonyong-konyong lumpuh karena
serangan rasa dingin itu. Lalu ia ingat peristiwa itu....
Chapter 20 SEMUANYA kembali terbayang.
Malam yang mengerikan itu, lebih dari sebulan lalu.
Serangan hawa dingin mengembalikan ingatannya. Dan ketika
Mayra berjuang kembali ke tepi danau, sekonyong-konyong ia ingat
semuanya. Dan ia mendengar jerit ketakutan itu lagi.
"Mayra... kau kenapa?" panggil Link. Dilihatnya ekspresi wajah
Mayra. Tangan Mayra menutupi kedua telinganya, mencoba meredam
jeritan yang baru ia ingat dan yang tak mau menyingkir.
"Antar aku pulang," Mayra berhasil mengatakannya. "Pokoknya
antar aku pulang." Link membantu Mayra berjalan melalui hutan Fear Street.
Kemudian Mayra terpuruk di kursi mobil, dan Link mengendarai
pickupnya tanpa mengatakan apa-apa.
Ketika sampai di rumahnya, Mayra tak ingat lagi perjalanan itu.
Ia lupa mengucapkan selamat malam pada Link. Ia tak ingat menaiki
tangga menuju kamarnya, mengganti pakaiannya, dan naik ke tempat
tidur. Ia mengenang kembali malam Minggu itu, tenggelam dalam
ingatannya, masih merasakan ketegangan itu, ketegangan yang begitu
cepat berubah menjadi mimpi buruk.
Sekali lagi jeritan itu terdengar. Seseorang memanggilmanggilnya dengan sangat
panik, minta tolong. Ia menutupi kedua
telinganya dan memejamkan mata.
Ketika membuka matanya kembali, ia berada di dalam
kamarnya, mengenakan pakaian tidur, aman di atas ranjang.
Bagaimana ia bisa sampai di sini" Apakah ini juga mimpi"
Kamar itu mulai berputar-putar. "Apakah ini nyata?" Mayra
bertanya keras-keras. Malam yang sangat menyeramkan itu - apa ia sekarang
mengingatnya" atau apa itu juga mimpi" Apakah itu benar-benar
terjadi" "Mulai lagi dari awal," katanya pada diri sendiri, mencoba
menata pikirannya, berusaha menenangkan jantungnya yang berdebur
kencang, mencoba menghentikan kamarnya yang berputar-putar.
Ia rebah kembali di tempat tidur, memejamkan mata, dan
berusaha memunculkan kembali peristiwa malam Minggu itu. Walker.
Di mana ia bertemu Walker" Mayra berpikir keras.
Di Division Street Mall. Mereka akan nonton film. Itu kencan
mereka yang ketiga atau keempat. Ia ingat, waktu itu Walker
bertingkah aneh. Mulanya, hari itu beberapa anak mengejeknya aneh. Mereka
mengolok-olok tipuan sulap yang sedang dipertunjukkan Walker
kepada mereka. Mayra menyuruhnya melupakan hal itu, namun
Walker tampaknya tidak dapat melakukannya. "Sungguh tidak
gampang punya sikap berbeda di Shadyside," kata Walker pahit.
"Semua orang ingin aku bersikap seperti yang lain. Mereka
menganggapku aneh karena aku lebih tertarik pada hal-hal gaib
dibanding pada grup-grup heavy-metal dan pesta."
"Ayo kita nonton," kata Mayra.
Tetapi Walker menolak. "Aku punya usul yang lebih baik."
Pipinya merah merona. Matanya liar. Bicaranya cepat. Jalannya
ngebut, hingga Mayra terbirit-birit mengikutinya.
"Walker... pelan sedikit. Kau mau apa?" Mayra mulai merasa
gelisah. Ia sebenarnya belum begitu mengenal pemuda itu. Walker
belum pernah bertingkah seperti itu.
Mayra mengikuti Walker ke salah satu tempat parkir mall.
Walker mulai melongok-longok ke dalam mobil yang berderet di sana.
"Ini dia," katanya, setelah memeriksa beberapa baris. Kunci kontaknya
masih tertancap. Ayo masuk."
Oldsmobile model baru. Berwarna merah mirip mobil pemadam
kebakaran. Benarkah Walker akan mencuri mobil ini" "Walker...
jangan." Walker tertawa. "Aku hanya menggodamu, Mayra."
"Apa maksudmu?"
"Ini mobil ibuku. Aku cuma bercanda. Ayo. Masuk."
"Kau benar-benar membuatku gelisah," kata Mayra sambil
tertawa. "Tingkahmu aneh sekali. Kupikir kau mau mencuri mobil
ini." Mayra duduk di depan.
"Aku aktor jempolan," kata Walker, lalu ia duduk di belakang
kemudi. Digesernya tempat duduk ke belakang, karena kakinya terlalu
panjang. "Penyulap harus pandai berakting."
Walker memundurkan mobil keluar tempat parkir dan
membawanya menuju pintu keluar. "Pakai sabuk pengamanmu,"
katanya. "Rasanya aku mau ngebut."
"Kita mau ke mana?" tanya Mayra ketika Walker membelokkan
mobil dengan tajam ke Division Street, membuat ban mendecit.
"Entahlah. Ke mana saja." Ia melesat melewati lampu merah.
Tatapan liar itu kembali muncul di matanya.
"Tunggu sebentar," kata Mayra curiga. "Ini mobil ibumu" Kau
membawanya ke mall?"
"Yeah." "Lalu kenapa tadi kau memundurkan jok?"
Walker tertawa. Tawa yang belum pernah didengar Mayra, tawa
menyeramkan. Mayra sama sekali tidak menyukainya.
"Oke, oke. Memang kita meminjam mobil ini sebentar."
"Walker... turunkan aku!"
"Aku akan mengembalikannya ke tempat parkir itu. Aku janji."
"Walker... bisa-bisanya kau..."
Walker mengangkat bahunya. "Pokoknya aku senang. Kau tak
pernah berbuat menuruti kata hatimu, ya?"
Mobil itu berdecit lagi di belokan, nyaris menghantam taksi.
Sopir taksi marah-marah sambil mengklakson. Walker menginjak gas.
"Wow! Mobil ini bisa lari juga. Pasti V-enam."
"Walker..." "Aku tahu, aku tahu. Aku janji. Satu lagi putaran cepat, dan kita
segera kembali ke tempat parkir itu."
"Memang tepat katamu, putaran cepat. Kenapa kau ngebut
seperti ini?" Walker tidak menjawab, malah melanggar lampu merah lagi.
"Ups. Aku tak lihat yang itu."
Tak lama kemudian mereka melaju cepat menuju River Ridge
di jalan sempit berkelok-kelok dengan pemandangan ke Conononka
River. River Ridge merupakan tempat kencan yang paling sering
dikunjungi anak-anak Shadyside High.
"Ayo kita lihat ada apa di atas sini pada malam hari," kata
Walker. "Pelan-pelan!" teriak Mayra.
Tapi peringatannya terlambat.
Mula-mula Mayra melihat lampu besar di tikungan jalan. Lalu
ia melihat mobil kuning kecil itu. Walker membanting setir, tapi tidak
tepat waktunya. Semuanya seolah terjadi dalam gerak lamban. Mayra dapat
melihat apa yang sedang terjadi, namun tak ada yang dapat ia perbuat
untuk menghentikannya. Bahkan ia tak sempat mengangkat lengan
untuk menutupi matanya. Oldsmobile merah mereka menyeruduk sisi
pengemudi mobil kuning itu. Tabrakan itu bunyinya memekakkan,
seperti ledakan bom. Mayra merasakan satu hantaman keras, lalu satu guncangan
pelan. Dan kemudian ia mendengar jeritan. Jeritan ketakutan yang
melengking berasal dari mobil kuning itu. Jeritan yang akan selalu
didengarnya berulang-ulang.
Tanpa daya Mayra memandangi mobil kuning itu terjungkir
keluar bahu jalan. "Tidak! Walker! Tidak!" Mayra menjerit-jerit tanpa sadar.
Akhirnya Oldsmobile itu bergetar berhenti. Mayra sejenak
duduk membeku dan menyadari dirinya baik-baik saja. Ia meloncat
keluar dari mobil dan berlari ke tepi jalan.
Di bawahnya, dengan cepat mobil kuning itu tenggelam ke
dalam sungai, gelembung-gelembung besar timbul seiring lenyapnya
sosok mobil itu. "Walker... kita harus menolong!" teriak Mayra.
"Walker!" Di mana dia" Mayra menoleh dan melihat Walker duduk di
belakang kemudi, memberi isyarat pada Mayra agar kembali ke dalam
mobil. "Walker... cepat! Paling tidak ada dua orang dalam mobil itu!"
Di mana mereka" Mengapa mereka tidak cepat-cepat berenang
ke permukaan" "Walker... kita harus menolong mereka! Mereka tenggelam!"
Dengan bunyi tersedot yang keras, atap mobil itu menghilang
ke dalam air.

Fear Street - Berjalan Dalam Tidur Sleep Walker di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mayra terpana memandang ke bawah dari pinggir jalan,
membeku dalam kepanikan. Naiklah. Naik. Cepat naik.
Akhirnya seseorang mengapung keluar dari mobil tenggelam
itu. Oke. Sudah satu, pikir Mayra. Mungkin mereka tak apa-apa.
Sambil berkecipakan orang itu berusaha berenang ke tepi
sungai. Tidak lama kemudian ia berhasil keluar dari air dan
melangkah di tanah tepi sungai. Sambil terbatuk-batuk dan tersedaksedak ia
mendongak menatap ke tepi jalan - dan melihat Mayra.
"Walker... cepat!" teriak Mayra. "Cepat turun dari mobil! Orang
itu... dia memanggil-manggilku, tapi aku tak bisa mendengarnya!"
Laki-laki itu memberi tanda pada Mayra dengan panik, lalu
meloncat kembali ke dalam air, barangkali untuk menyelamatkan
seorang lagi yang masih ada di dalam mobil.
"Walker... kita harus cepat-cepat menolong! Walker..."
Sekonyong-konyong Walker sudah ada di samping Mayra. Tapi
ia tidak menoleh ke bawah, melainkan meraih lengan Mayra dan
mulai menariknya kembali ke mobil.
"Walker... kau mau apa?"
Walker tidak menjawab, malahan mengencangkan
cengkeramannya pada lengan Mayra. "Ow! Aduh!"
Walker tidak menghiraukan teriakan Mayra, didorongnya gadis
itu masuk ke mobil. Yang diingat Mayra hanyalah mereka kemudian
ngebut. Dan lalu... Dan lalu apa" Mayra masih berbaring, matanya terpejam rapat, ia berusaha
menggali ingatannya dalam-dalam. Lalu apa yang terjadi" Ia ingat
waktu itu ia menangis. Menangis dan protes. Minta Walker kembali
ke tempat itu. Lalu apa" Apa yang kami lakukan"
Mengapa aku tidak ingat sedikit pun sampai malam ini"
Serangkaian pertanyaan muncul bertubi-tubi. Tapi anehnya,
Mayra merasa lega. Sekarang ia tahu mengapa ia selalu berjalan
dalam tidur menuju air. Sekarang ia tahu apa yang mengganggu
pikirannya, apa yang selalu ia coba selesaikan di alam bawah sadarnya
ketika tidur. Dan sekarang ia yakin sudah tahu mengapa peristiwa malam
mengerikan itu hilang dari ingatannya selama berminggu-minggu.
Ia merasa telah berhasil mengungkapkan semuanya.
Ia tinggal membuktikannya.
Sambil menyalakan lampu meja di samping tempat tidur, Mayra
meraih pesawat telepon. Sudah malam - hampir tengah malam - tapi
apa boleh buat" Mayra menekan nomor telepon Walker. Nada panggil berbunyi
sekali, dua kali. Walker mengangkat pesawat telepon dan mengucapkan halo,
suaranya terdengar mengantuk.
Ketika Mayra meminta Walker menemuinya di rumah Mrs.
Cottler besok pagi, pemuda itu terdengar terkejut. "Uh... aku tak bisa
besok. Bagaimana kalau..."
"Bagaimana kalau besok malam saja" Aku harus mengatakan
sesuatu yang sangat penting padamu."
Walker segera setuju. Chapter 21 WALKER meraih tangan Mayra dan menariknya ke bawah, ke
sampingnya, di tepi danau berumput. Walker berusaha memeluk
Mayra. "Jangan," kata Mayra sambil mendorong Walker menjauh.
Gadis itu duduk di samping Walker, menatap ke arah air danau yang
berona abu-abu. Malam yang dingin. Udara terasa lebih mirip musim gugur
daripada musim panas. Pepohonan dan semak-semak menghilang ke
balik sosok kelabu malam hari, bayang-bayangnya menyelubungi
tanah. Jauh di danau, hampir di Fear Island, dua ekor burung menukik
dan menyelam, menangkap ikan untuk makan malam, ketika
segumpal kabut tertiup ke tepi danau.
Mayra telah cukup banyak tidur sore itu. Tidur nyenyaknya
yang pertama kali setelah berminggu-minggu. Namun ia tidak merasa
sepenuhnya segar waktu bangun tidur. Ia mengganti pakaiannya
dengan jins belel ketat serta kaus rugbi bergaris hijau-putih, lalu
bergegas menuju rumah Mrs. Cottler.
Hazel telah menunggunya di dekat pintu. Ketika Mayra selesai
memberi makan kucing itu dan menyirami tanaman Mrs. Cottler,
Walker mengetuk pintu belakang. Ia mengenakan celana katun kusut
dan sweter abu-abu. Rambutnya tidak disisir.
Walker akan melangkah masuk, namun Mayra keluar dan
menarik pintu hingga menutup. "Malam ini dingin dan indah. Ayo kita
ke danau," kata Mayra.
Walker tampak kebingungan, tapi ia mengikuti Mayra menuruni
lereng yang curam berumput menuju danau yang gelap dan sunyi.
Sekarang Mayra duduk di samping Walker, memandangi
pemuda itu yang sedang berbaring di rerumputan tinggi. Sepanjang
hari Mayra telah menyiapkan dan melatih apa yang akan dikatakannya
pada cowok itu. Tapi sekarang semua terasa itu tidak pas.
"Ada apa?" tanya Walker sambil masih memegangi tangan
Mayra. "Kau kelihatan kacau. Kau berjalan dalam tidur lagi?"
"Tidak," jawab Mayra. Dan matanya kembali menatap Fear
Island di tengah danau yang sekarang seluruhnya terselubung kabut.
"Kau sudah bisa tidur?" Walker tampak prihatin.
"Tidak. Aku belum bisa tidur," Mayra berbohong. "Aku terlalu
takut untuk tidur." "Karena berjalan dalam tidur?"
"Ya. Setiap kali hampir terlelap, aku memaksakan diri untuk
tetap terjaga. Aku ketakutan setiap malam. Aku benar-benar kacau,
Walker. Aku sungguh-sungguh perlu bantuanmu."
Walker duduk, masih memegangi tangan Mayra. "Bantuanku?"
"Ya. Aku memerlukanmu untuk membuatku tenang."
Walker melepaskan tangan Mayra. "Maksudmu..."
"Aku memerlukanmu untuk menghipnotisku supaya aku tenang.
Ingat, kau pernah menawariku, kan?"
"Well, ya. Kukira aku bisa. Aku tak tahu." Walker
menyibakkan rambut pirangnya ke belakang dengan kedua tangan.
"Aku sudah sering berlatih."
"Itu tak berbahaya, kan?" tanya Mayra sambil menggigit bibir
bawahnya. "Tidak, sama sekali tidak. Aku sudah menguasainya dengan
baik. Alice, sepupuku, kuhipnotis beberapa bulan lalu supaya berhenti
merokok. Seharusnya tidak susah menggunakan pengaruh hipnotis
untuk mengurangi kecemasanmu.
"Well, aku sudah putus asa, Walker. Sungguh," kata Mayra.
"Tadi malam hal ini terpikir olehku sebelum meneleponmu. Aku ingat
kau pernah menawarkan untuk menghipnotisku dan... "
"Well, gampang sekali, sungguh." Walker merogoh kantong
celananya dan menarik keluar sebuah pemantik. "Pertama-tama, aku
akan membuatmu merasa sangat ngantuk."
"Cuma merasa?" "Yeah. Kau cuma merasa seperti sedang terlelap."
"Bagus kalau begitu," kata Mayra sedih. "Sudah lama aku tidak
bisa tidur. Sejak aku mulai kerja di rumah Mrs. Cottler..."
"Dia akan kembali sebentar lagi, kan?"
"Betul." "Kau harus menghindari dia," kata Walker berapi-api. "Gunagunanya padamu itu...
hei...jangan kau kira aku bisa menghilangkan
kebiasaanmu berjalan dalam tidur dengan hipnotis."
"Tidak. Tentu saja tidak," kata Mayra, dengan gugup ia
mencabut segenggam rumput, dan membuka kembali kepalannya
hingga potongan rumput lembap itu berjatuhan lewat sela-sela
jemarinya. "Aku cuma ingin kau membuatku merasa tenang. Itu saja."
"Oke." Walker tersenyum meyakinkan Mayra. "Dalam sekejap
kau pasti akan merasa lebih baik, Mayra. Mula-mula, lemaskan ototototmu. Nah,
begitu. Sekali lagi. Lebih rileks lagi."
Mayra mengendurkan otot-otot leher, dan kepalanya terkulai ke
depan. Walker menyalakan pemantik. Api memercik, lalu menyala
merah terang. "Sekarang aku ingin kau mengikuti nyala geretan ini,"
katanya. "Mungkin kau pernah melihat ini di TV dalam acara sulap.
Tapi ini sungguh-sungguh. Sekarang, kosongkan pikiranmu, oke"
Jangan pikirkan apa pun kecuali nyala api ini. Berkonsentrasilah pada
nyalanya. Pusatkan seluruh perhatianmu pada nyalanya. Ikutilah. Nah,
begitu. Ikuti ke sini... lalu ke sini."
Mata Mayra mengikuti geretan itu dari kiri ke kanan, dari atas
ke bawah. Kelopak matanya mulai terasa berat.
"Kau mulai merasa ngantuk. Itu bagus. Biarkan saja," bisik
Walker. "Kau mulai memejamkan mata sekarang. Akan enak rasanya
kalau kau pejamkan matamu. Teruskan. Teruslah tidur. Tutup
matamu. Kalau kau buka matamu nanti, kau akan merasa sangat
tenang, sangat santai, sangat damai."
Mayra memejamkan matanya. Walker terus berbisik beberapa
lama. Mayra menanggapinya dengan mengangguk-angguk. Tapi tidak
membuka mata. Lengannya tergantung lurus di sisi.
"Sebentar lagi aku akan menyuruhmu buka mata, kau akan
merasa santai. Seakan kau baru saja menjalani tidur ternyenyak
selama hidupmu. Dan kau akan merasa benar-benar damai dengan
dirimu sendiri. Kegelisahan yang membingungkanmu akan
terlupakan. Kau akan benar-benar tenang."
Mayra, dengan kelopak mata mengatup ringan, mengangguk
pelan, tenang. "Dan ketika kau buka matamu," kata Walker masih dengan
suara sangat lirih, "kau akan tetap melupakan peristiwa malam itu di
River Ridge. Kau takkan diganggu bayangan mobil kuning itu. Kau
takkan ingat sedikit pun tentang kecelakaan itu, tentang mobil kuning
itu, tentang pergi ke River Ridge denganku. Waktu kau buka
matamu..." Mayra membuka mata dan seluruh tubuhnya tegang. Ia
meloncat dan merenggut bagian depan sweter Walker dengan kedua
tangannya. "Dasar brengsek!" jerit Mayra. "Aku tahu itulah yang
kaulakukan padaku di malam mengerikan itu! Aku berjalan dalam
tidur - kaulah biang keladinya - dan kau sudah sejak awal
mengetahuinya!" Chapter 22 MULUT Walker ternganga dan bulatan pink di kedua pipinya
berubah menjadi merah tua. Walker mulai beranjak berdiri, namun
Mayra mendorongnya hingga ia terduduk lagi. Mayra berdiri di
hadapannya dengan kemarahan berkobar-kobar.
"Jadi kau cuma pura-pura, ya?" tanya Walker.
"Betul. Aku harus terjaga, untuk mendengarkan apa yang
kauomongkan." "Ini cuma perangkap, ya?"
"Cepat juga kau sadar. Kau tak berhak melakukannya padaku,
Walker, menghipnotisku malam itu dan membuatku melupakan
kecelakaan itu. Kau tak punya hak mengacaukan pikiranku seperti
itu." "Waktu itu kau ingin melapor ke polisi," kata Walker dingin.
"Aku tak dapat membiarkanmu melakukannya. Aku tak dapat
membiarkanmu merusak hidup kita berdua karena sebuah kecelakaan
konyol." "Kecelakaan konyol" Mungkin ada orang yang mati dalam
mobil itu, Walker! Kita bahkan tak tahu berapa banyak orang yang
ada dalam mobil itu, kan" Karena kau kabur. Kau tak berbuat apa pun
untuk menolong. Kaubiarkan orang itu mati."
"Satu orang," kata Walker membuang muka. "Seorang pria
mati. Aku membacanya di koran. Yang satu lagi, saudaranya, masih
hidup." "Tapi aku tak membaca beritanya, kan?" kata Mayra pahit, ia
menendang segumpal rumput ke arah Walker. "Sebab aku bahkan
tidak ingat pernah ada di sana. Kau telah mengatur semuanya!"
"Harus. Masa depan indah menungguku. Aku takkan
membiarkannya hancur karena satu kesalahan konyol."
"Kesalahan konyol" Kau pelaku tabrak lari, Walker!" teriak
Mayra. Ia tahu ia tidak dapat mengendalikan diri lagi, namun ia tak
sanggup menghentikannya. "Dan selama ini kau tahu kenapa aku
berjalan dalam tidur. Kau tahu apa masalahku, kenapa aku selalu
berjalan dalam tidur menuju air. Aku tak dapat mengatasinya secara
sadar karena kau telah menghipnotisku malam itu."
"Aku cuma berniat membuatmu tenang. Kau bahkan setuju,"
kata Walker, ia menghindari tatapan Mayra. "Jadi, aku
menghipnotismu, dan... uh...well..."
"Dan selama berminggu-minggu ini kau membiarkanku
berprasangka buruk pada wanita tua malang yang tidak bersalah itu
hanya supaya kau terhindar dari kecurigaan!"
Walker terpaku menatap danau dan tidak menanggapi.
"Kau sama sekali tak peduli padaku, kan" Ya, kan?" desak
Mayra. Walker melompat berdiri dan melangkah menjauhi Mayra.
"Sekarang aku sudah pacaran dengan Suki," katanya. "Semua orang di
dunia sudah tahu. Aku berada dekatmu cuma untuk memastikan
ingatanmu tak pulih."
Kedua tangan Mayra mengepal. Ia ingin menghajar Walker
sampai babak belur, tapi ia menahan tangannya supaya tetap berada di
samping. "Aku punya berita buruk buatmu, Walker," katanya sambil
mengertakkan gigi. "Ingatanku sudah pulih. Seluruhnya. Dan aku akan
menelepon polisi sekarang juga."
"Tidak." Mata Walker tampak liar, persis seperti pada malam ia
mencuri mobil itu, malam terjadinya kecelakaan itu.
Sekonyong-konyong ia bergerak maju serta meringkus kedua
tangan Mayra, menahannya di samping tubuh gadis itu. "Hei...
lepaskan!" jerit Mayra. Walker lebih kuat daripada yang ia kira.
Walker mengangkat tubuh Mayra ke atas pundak dan
membawanya menuju danau. "Turunkan aku! Kau mau apa?"
"Aku tak bisa membiarkanmu menelepon polisi," kata Walker
dengan sangat tenang, terlalu tenang. "Aku tak bisa membiarkanmu
menghancurkan hidupku. Aku akan menjadi penyulap tenar. Aku tak
bisa membiarkanmu menghancurkannya."
Mayra meronta-ronta berusaha melepaskan diri, tapi
cengkeraman Walker bagaikan tang. Walker menjatuhkan Mayra dari
dermaga kecil ke dalam danau, lalu membungkuk, merenggut kepala
dan leher Mayra, serta mendorong wajah Mayra ke dalam air.
Mayra meronta-ronta berusaha tetap berada di permukaan,
berusaha menghirup udara. "Walker, tolong..."
"Sori," kata Walker, masih terdengar tenang menakutkan. "Tadi
seharusnya kau biarkan aku menghipnotismu. Akan jauh lebih
gampang." "Kau sungguh-sungguh akan menenggelamkanku?" jerit Mayra.
Walker tidak menyahut. Ia malahan kembali mendorong kepala
Mayra ke dalam air dan menahannya di sana.
Chapter 23 KAKI Mayra menendang-nendang, ia berusaha melepaskan
diri. Namun Walker tetap bertahan di tepi dermaga, memegangi


Fear Street - Berjalan Dalam Tidur Sleep Walker di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepalanya, menekannya ke bawah. Mayra mencoba berputar, mengira
barangkali ia dapat lolos. Tapi pegangan Walker terlampau kencang.
Paru-paru Mayra serasa akan meledak.
Aku tenggelam di danau ini untuk kedua kalinya, pikir Mayra.
Lalu cengkeraman Walker melonggar. Mayra mendengar
cowok itu berteriak. Mayra mengangkat kepalanya dan menelan air.
Apa yang terjadi" Walker sudah sama sekali melepaskannya.
Mayra berguling menjauh, berusaha berdiri sempoyongan di tepi
danau yang basah. Walker sedang bergulat dengan sesuatu.
Mayra menyibakkan rambutnya yang basah dari matanya. Ia
menarik napas dalam-dalam, lalu mengulanginya sekali lagi.
Hazel! Kucing hitam itu berada di bahu Walker, menggeram keras,
mencakari muka dan leher Walker. "Pergi! Pergi!" raung Walker.
Bagaimana Hazel bisa berada di sini" Mayra terheran-heran.
Apakah dia tadi ikut menyelinap keluar ketika aku pergi dengan
Walker" Karena meronta-ronta mencoba melepaskan cakaran kucing itu,
Walker jatuh terjengkang.
Mayra tidak menunggu untuk melihat apa yang terjadi
kemudian. Inilah kesempatan baginya untuk melarikan diri. Ia segera
berlari melintasi rerumputan tinggi, pakaiannya yang basah kuyup
terasa membebani langkahnya.
Sepatu karetnya tergelincir di rumput. Ia tersandung, tapi cepatcepat bangkit
lagi. Sambil berlari sekencang-kencangnya, Mayra
meraba-raba kantong jins, mencari kunci rumah Mrs. Cottler.
Apakah ia membawanya"
Ia harus masuk ke rumah itu. Ia harus menelepon polisi.
Kunci. Kunci. Di mana sih"
Ini dia! Ia merasakan benda itu dalam kantongnya.
Rasanya sudah berjam-jam, padahal kurang dari semenit
kemudian Mayra sudah berkutat dengan kunci pintu belakang. Lalu ia
bergegas masuk rumah, napasnya memburu, jantungnya berdegup
kencang. Ia kembali mengunci pintu itu dan memasang telinga.
Ia tidak mendengar suara Walker ataupun kucing itu dari sini.
Telepon. Mayra bergegas ke telepon dapur dan sambil
menyibakkan rambut panjangnya yang basah dari wajahnya, menekan
nomor 911. Ia benar-benar kehabisan napas dan harus mengulang semua
yang dikatakannya paling tidak dua kali, namun ia yakin telah
menyampaikan pesannya ke suara di seberang sana. Polisi sedang
dalam perjalanan. Mayra merasa sedikit lega, lalu menyandarkan diri ke meja
dapur. "Hei!" Hazel sedang berbaring di atas permadani kecil di depan bak
cuci piring, sambil menjilati kakinya.
"Bagaimana kau bisa sampai di sini begitu cepat?"
Aneh sekali. Tak sampai dua menit yang lalu kucing itu berada
di tepi danau. Bagaimana cara binatang itu kembali ke dalam rumah
ini" Tampaknya dia sudah lama berada di sini.
Mayra tidak sempat lama memikirkan kucing itu. Ia menjerit
ketika sebongkah batu melayang ke dalam dapur, menghancurkan
kaca jendela. "Tidak!" jeritnya sambil mundur menjauh.
Chapter 24 MAYRA melotot ketakutan ketika sebuah kaki muncul di
jendela, menendang pecahan kaca yang masih tertancap di sana. Lalu
sebelah kaki lagi mengayun masuk ke dapur. Dengan wajah
berlumuran darah akibat cakaran, Walker melangkah masuk.
Ia mengusap darah di pipinya dengan lengan baju dan menatap
tajam ke arah Mayra. "Kali ini kau takkan bisa lepas."
"Walker, kau terlambat. Aku sudah menelepon polisi."
Walker berdiri di samping tembok, napasnya memburu. Ia maju
selangkah mendekat, sepatunya menggerus pecahan kaca jendela yang
bertebaran di lantai. Darah bekas cakaran kucing mengalir turun di pipinya,
membentuk alur gelap. Matanya liar. "Seharusnya kau tak
melakukannya." Ia maju selangkah lagi. "Kau berdarah," kata Mayra.
Walker menyeka mukanya lagi dengan lengan baju yang sudah
ternoda darah. "Seharusnya kau tak melakukannya," ulangnya sambil
maju makin dekat. "Jangan maju lagi," Mayra memperingatkan. Ia mencari-cari
senjata, apa saja yang dapat dipakainya untuk membela diri. "Biar
kubersihkan mukamu." Barangkali ia dapat membujuk Walker dengan
bersikap manis padanya. "Kau akan menghancurkan hidup kita," kata Walker.
"Walker, dengar, biarkan aku membantumu membersihkan luka
itu." Walker tampaknya tidak mendengar kata-kata Mayra. Ia
melangkah lagi ke arahnya.
Hazel tiba-tiba berdiri, memandangi Walker dengan waspada.
Kepalanya miring dan ia mengeong keras seakan mengancam,
mulutnya menyeringai memperlihatkan gigi-gigi tajam.
"Aku takkan membiarkanmu menghancurkan hidup kita," ulang
Walker. Di belakang Walker, Mayra melihat pisau daging besar milik.
Mrs. Cottler, tergeletak di meja di samping bak cuci piring.
Chop, chop, chop. Mayra seolah mendengar lagi suara tulang dipotong.
Mengapa pisau itu digeletakkan begitu saja" Seakan-akan
sengaja disediakan di situ untuk Mayra.
"Mundur, Walker," katanya.
Walker melangkah lagi melintasi dapur.
Aku harus mempertahankan diri, pikir Mayra. Dia benar-benar
sudah gila. Dia sudah sekali mencoba membunuhku.
Tapi bagaimana cara meraih pisau itu" Aku harus melewati dia.
Kemudian, sambil meraung keras, Walker menerkam Mayra.
Gadis itu menghindar, merunduk, dan tangannya menjulur. Walker
berbalik, terkejut melihat Mayra meraih pisau berat itu.
Entah mengapa, ia menyeringai.
Kembali ia menyeka lukanya dengan lengan baju. Napasnya
sekarang makin memburu, mendengus-dengus. "Apa yang akan
kaulakukan dengan pisau itu, Mayra?"
Mayra mengangkat pisau itu di depannya, terkejut menyadari
beratnya. "Pokoknya mundur," katanya, suaranya bergetar.
"Apa yang akan kaulakukan dengan pisau itu?" ulang Walker
sambil maju mendekati Mayra.
"Aku serius, Walker. Mundurlah." Mayra semakin tinggi
mengangkat pisau berat itu.
"Apa yang akan kaulakukan dengan pisau itu?"
Walker berlari ke arah Mayra, mengagetkannya.
Mayra tahu ia tak dapat menggunakan pisau itu.
"Apa yang akan kaulakukan dengan pisau itu?" Walker
berteriak. Ia meraih pisau itu, berusaha melepaskannya dari tangan Mayra.
Mereka bergumul berusaha menguasai benda itu, kedua lengan
mereka terangkat di atas kepala.
"Tidak!" jerit Mayra. "Lepaskan! Tidak!"
Ternyata, di luar dugaan Mayra, Walker sangat kuat. Mayra
tidak dapat mempertahankan pisau itu lagi. Walker menarik benda itu
dari genggamannya. "Tidak!" jerit Mayra, tenggorokannya tercekik rasa ngeri.
Mayra mendorong perut Walker kuat-kuat, dan melesat lari
keluar dapur, melewati koridor menuju pintu depan. Ia dapat
mendengar langkah Walker tepat di belakangnya.
"Tidak!" Ia harus keluar dari sana.
Ia menarik pintu membuka.
Dan menjerit. Cal sedang berdiri di pintu masuk. Ia memandangi Mayra,
mukanya keruh, merah padam karena marah. Ia mengenakan jins
longgar dan jaket denim belel, sambil memegangi tongkat kayu besar.
Di belakangnya, Mayra melihat pickup merah yang diparkir di pinggir
jalan. Pickup merah Cal. Rupanya dialah yang menabrak Donna waktu itu.
Aku terkepung, pikir Mayra.
Aku kalah. Chapter 25 CAL memelototinya, mukanya merah padam.
Badannya kaku, kakinya terpentang lebar seakan siaga.
"Siapa kau" Kau mau apa?" teriak Mayra.
Walker, yang mendekat dari belakang Mayra, segera berhenti
begitu melihat mimik wajah Cal.
"Siapa kau" Apa maumu" Jawab!" jerit Mayra.
Namun di luar dugaan Mayra, Cal mendorongnya ke samping
dan melewatinya untuk mendekati Walker. "Kau membunuh
saudaraku!" seru Cal.
Walker tersentak dan mulai mengacungkan pisau daging.
Cal bergerak cepat. Ia mengayunkan tongkat kuat-kuat, dan
pisau daging itu terpental dari tangan Walker. Kemudian Cal
memukulnya. Walker terjengkang jatuh ke karpet di koridor, dan Cal
menjepitnya di bawah, menekankan tongkat itu ke dadanya.
"Kau membunuh saudaraku," ulang Cal.
"Berhenti. Aku... aku tak bisa bernapas," erang Walker.
Cal tidak menghiraukannya. Otot-ototnya yang kuat bertonjolan
ketika ia menahan Walker tetap di bawah dengan tongkat itu. Cal
mendongak ke Mayra, yang masih terdiam kaget di pintu.
"Jangan bunuh dia!" jerit Mayra ketika Cal menekankan tongkat
itu ke tenggorokan Walker. "Jangan bunuh dia... tolong!
"Selama ini kupikir kau yang membunuh saudaraku," Cal
berkata terengah-engah, mengabaikan permintaan Mayra. "Lalu tadi
aku ada di dekat rumah ini. Kudengar kalian bertikai danau itu,
sehingga aku tahu kejadian sebenarnya. Aku tahu dialah yang
membunuh saudaraku dan melarikan diri. Aku mendengar semua
ucapanmu. Lalu aku melihat dia berusaha menenggelamkanmu. Aku
bermaksud menolongmu. Tapi aku tak bisa bergerak cepat dengan
tongkat ini - terutama di rumput. Untunglah, kau bisa lolos."
"Tolong... lepaskan aku," Walker tersedak. "Aku takkan
melakukan apa-apa. Sumpah."
Cal tidak memedulikannya.
"Maksudmu kau...," kata Mayra.
Namun ia berhenti ketika mendengar bunyi gaduh di pintu
depan. Ia berbalik dan melihat dua polisi berwajah galak. Tangan
keduanya dalam keadaan siaga di atas sarung pistol.
Salah satu polisi menarik pintu kasa, dan mereka berdua
melangkah masuk. "Apa sebenarnya yang terjadi di sini?" tanya salah satu polisi.
Cal cepat-cepat melepaskan Walker dan berdiri, bertopang pada
tongkat kayunya. Walker tidak bergerak untuk bangun. Polisi itu
membungkuk ke arahnya. "Kau tak apa-apa, Nak?"
"Kau yang ada di mobil kuning itu?" Mayra bertanya pada Cal,
merasa lega ia telah selamat, ingin segera mendengar seluruh kisah
itu. "Saudaraku Jerry dan aku ada dalam mobil itu," jawab Cal
cepat, nyaris tak bernapas. "Aku melihatmu di pinggir jalan. Kupikir
kaulah sopirnya. Kukira kau akan menolongku menyelamatkan Jerry.
Tapi kau malah melarikan diri."
"Aku ingin menolong," kata Mayra. "Tapi Walker menarikku
pergi." "Saudaraku tenggelam. Sesudah itu, sepertinya aku jadi agak
sinting. Kau selalu terbayang di benakku. Aku tak dapat melupakan
wajahmu. Kusangka kaulah yang membunuh saudaraku, jadi aku
berniat mencarimu." "Aku sangat menyesal," kata Mayra.
Kedua polisi itu berpandangan, tidak mengerti sedikit pun.
"Lalu aku keluar rumah dan tiba-tiba bertemu denganmu di luar
rumah nyonya tua di Fear Street itu," Cal melanjutkan. "Aku tak
percaya bisa benar-benar menemukanmu. Aku sudah mengenal Mrs.
Cottler bertahun-tahun, jadi ketika aku mengarang cerita bahwa aku
memerlukanmu untuk menjaga keponakanku, dia memberiku
alamatmu, tidak susah."
"Dan kemudian kau mencoba membunuhku dengan
pickupmu?" tanya Mayra, mendadak ia merasa lemas, dan bersandar
pada langkan. "Kupikir kaulah yang ada dalam mobil itu. Aku cuma ingin
menakut-nakutimu," sahut Cal. Tapi jalan itu ternyata sangat basah
dan licin, aku tak bisa mengendalikan mobilku lagi. Aku tak
bermaksud menabrak. Aku sendiri harus dirawat di rumah sakit karena
pergelangan kaki dan lututku patah. Itulah sebabnya aku memakai
tongkat ini." "Oh, ya ampun. Waktu aku melihatmu di sana, kukira kau
pasien sakit jiwa!" Mayra berseru.
"Mungkin seharusnya begitu," kata Cal dengan muka suram.
"Aku tak percaya aku telah mengejar orang yang salah selama ini.
Aku... aku sangat tertekan - sejak Jerry meninggal."
"Berhentilah ngobrol dan tolong ceritakan pada kami apa yang
terjadi di sini," salah satu polisi itu meminta dengan tidak sabar.
"Ceritanya panjang," kata Mayra padanya.
Chapter 26 SEMINGGU KEMUDIAN "KUAKUI. Aku memang menyebalkan."
"Aku setuju," kata Mayra.
Link memandangnya dengan sedih. "Aku tak bermaksud
bertingkah menyebalkan," katanya lirih.
"Sesungguhnya tidak menyebalkan," goda Mayra.
"Satu-satunya alasan kenapa aku begitu menyebalkan adalah
karena aku sangat sayang padamu."
Mayra tertawa. "Oh, jadi aku yang salah kau bertingkah
menyebalkan begitu."
"Betul," Link langsung mengiyakan. Cepat-cepat ia mendekati
Mayra di sofa dan melingkarkan lengan ke bahu gadis itu.
"Memang kau suka begitu," kata Mayra.
"Apa" Aku tak dengar. Katamu, 'Aku suka kau'?"
"Tidak. Bagaimana aku bisa suka kau" Kau menyebalkan.
Sudah terbukti menyebalkan."
Link menarik Mayra dan memeluknya dengan kedua lengannya
yang hangat. "Oke, mungkin aku suka kau sedikit," kata Mayra setelah
berpikir sejenak. Link memeluknya lagi, kali ini lebih lama.
"Mungkin aku suka orang-orang yang menyebalkan, Mayra
mengaku. Ia melirik jam tangannya. "Hei... aku tak punya waktu
untuk ini. Aku harus ke rumah Mrs. Cottler. Dia sudah kembali.
Katanya aku mesti datang dan mengambil gajiku."
"Gaji" Asyik! Kau harus mentraktirku makan siang!" Link
berdiri dan mengikuti Mayra keluar ruangan. "Ayo. Kuantar kau ke


Fear Street - Berjalan Dalam Tidur Sleep Walker di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rumah Bibi Lucy. Mereka keluar lewat pintu depan. Link berlari ke
pickup merahnya di halaman.
Melihat pickup merah itu, Mayra berhenti. "Kau pasti
menganggapku benar-benar tolol karena menuduhmu mencoba
menabrakku." "Tidak, sama sekali tidak," bantah Link, sambil meraih tangan
Mayra dan menariknya ke mobil. "Aku menyebalkan, ingat" Orang
menyebalkan tidak dapat mengatai orang lain tolol. Tidak boleh."
"Tapi Stephanie pasti mengira aku sungguh-sungguh sinting.
Maksudku, aku hampir menuduhnya tukang sihir!"
"Sudah kujelaskan semuanya pada Stephanie," kata Link sambil
membukakan pintu mobil untuk Mayra.
"Dan?" "Dan kau betul. Dipikirnya kau memang sinting!" Link tertawa
dan menutup pintu. Dia kelihatan keren sekali kalau ketawa begitu, kata Mayra
dalam hati. "Stephanie ingin sekali baikan lagi denganmu." Link
menghidupkan mesin dan memundurkan mobil.
"Dia kan sedang memantrai sesuatu waktu aku nyelonong ke
dalam kamarnya," kata Mayra membela diri.
"Well, aku dan dia sama-sama tertarik pada hal-hal gaib," kata
Link. "Menurutku mungkin karena pengaruh Bibi Lucy."
"Mrs. Cottler betul-betul penyihir?"
Link tercengang, mulutnya ternganga. "Hah?" Dipandanginya
Mayra. "Perhatikan jalanan," Mayra memperingatkan.
"Bibi Lucy penyihir" Kau bercanda, ya" Dia itu profesor
terkenal. Bergelar Ph.D. Dia mengajar mata kuliah ilmu gaib di
beberapa universitas sampai pensiun beberapa tahun lalu. Sekitar
sepuluh bukunya tentang ilmu gaib sudah diterbitkan!"
Mayra ingin tertawa. "Wah, rupanya aku salah sangka.
Mungkin aku masih berjalan dalam tidur!"
Tak lama kemudian mereka disambut hangat oleh Mrs. Cottler,
yang tampak sangat gembira melihat mereka berdua. "Aku takkan
lama menahan kalian, anak-anak muda," katanya ramah. "Ini hari
Sabtu yang indah. Pasti kalian tak ingin menghabiskan waktu dengan
si tua yang membosankan ini."
Ia menyerahkan honor Mayra. "Oh. Aku hampir lupa, Sayang.
Aku punya sesuatu untukmu."
Mrs. Cottler menghilang ke ruangan lain sambil bertopang pada
tongkatnya. Beberapa menit kemudian ia kembali, membawa kotak
yang diserahkannya kepada Mayra. "Ini kalung manik-manikmu.
Semuanya sudah dirangkai kembali. Kukerjakan selama aku berada di
rumah saudaraku. Sori lama sekali. Semoga kau tak mengira aku
melarikannya!" Mayra mengangkat kalung manik-manik itu dan mengagumi
hasil rangkaian Mrs. Cottler. "Aduh, manis sekali! Terima kasih!"
Lalu dikalungkannya rangkaian manik-manik itu ke lehernya.
"Kau pembaca yang sangat bagus, Mayra," kata Mrs. Cottler.
"Aku tak bisa menunggu sampai Senin. Mungkin kita akan mulai
dengan buku baru." "Kayaknya menyenangkan," kata Mayra. "Kayaknya ide yang
bagus buatmu ya, Hazel?"
Mayra membungkuk ke arah kucing itu, yang sedang berjemur
di depan jendela dapur. Kucing ajaib, kata Mayra dalam hati.
Bagaimana dia bisa turun ke danau untuk menyelamatkanku
dari Walker" Dan bagaimana dia bisa kembali ke rumah sebelum aku"
Mayra memandangi Hazel. Kucing itu memiringkan kepala dan
balas memandang Mayra. Kukira itu merupakan salah satu misteri yang takkan pernah
terungkap, pikir Mayra. Dan ia mengikuti Link keluar pintu menuju
Fear Street. END KENANGAN Reras daun kering Helai demi helai Dan kau pun terdiam Kulihat di matamu kala itu
Sebuah cerita lain Bukan tentang pedang ataupun padang gersang
Bukan pula cinta dan lara
Hanya sebuah pemahaman, karna kau tahu
Saat itu hampir tiba Lalu wajahmu pun tak bisa kubaca
menerawang jauh dan tenggelam.
Kala surya sinari engkau, bayangmu jatuh dengan enggan.
Tegarlah tegak, Cantik. Luka yang kugoreskan kelak kan hilang
Dan kau pun tersadar: Aku tlah menghilang. Pedang Golok Yang Menggetarkan 23 Jodoh Rajawali 03 Ratu Kembang Mayat Hantu Tangan Empat 2

Cari Blog Ini