Ceritasilat Novel Online

Canting Cantiq 3

Canting Cantiq Karya Dyan Nuranindya Bagian 3


137 merasakan kesejukan mendalam dari kata-kata Bima barusan.
Sepintas ia berpikir Bima adalah jelmaan malaikat karena bisa
mengembalikan semangat Mel. Sumpah! Mel naksir beraaat.
Ia rela kehilangan seribu Marco untuk mendapatkan seorang
Bima. Ya, untuk pertama kalinya ia merasa diperhatikan dengan sebegitu baik oleh seorang cowok. Seorang pelayan kafe
bisa membuat hatinya begitu tenang dan bahagia.
"Aku percaya, kamu pasti bisa, Mel"."
Malamnya, lampu kamar Melanie di lantai atas belum juga
mati. Kayaknya malam ini Mel begadang. Padahal besok pagi
ia harus kerja di Kafe Soda.
Peluh membasahi kening Mel. Tangannya terus berkutat dengan spidol dan kertas. Kemampuan Mel untuk membuat sketsa
desain pakaian memang jauh lebih terampil meskipun bentuk
orang yang dibuatnya masih mirip pohon toge. Tapi ia nggak
henti-hentinya membuat ide-ide baru untuk desain pakaian.
Tawaran Aryati Sastra untuk mengadakan pergelaran membuat Mel nggak mau menyia-nyiakan kesempatan itu. Ia nggak
mau mengecewakan Aryati yang jelas sangat berjasa karena telah membuat Mel sadar bahwa dirinya punya bakat jadi fashion
designer. Tapi malam ini Mel merasa aneh banget. Soalnya tiba-tiba
aja tangannya kehilangan ilmu untuk menggambar ide yang
ada di kepalanya. Berkali-kali ia merobek kertas hingga kamarnya penuh bola-bola kertas dan robekan.
"AAAKKHH!!!" Mel menjerit tertahan. Kepalanya ia telungkupkan ke atas meja, lalu kedua telapak tangannya menutupi
138 wajahnya. Ia menangis kencang, merasa usahanya untuk mengulang semua sketsa desainnya dari awal akan sia-sia.
Setelah menumpahkan semua kekesalannya, perlahan-lahan
Mel mengangkat kepala. Saat menatap foto kedua orangtuanya
di meja, mendadak semangat dalam dirinya menyala. Ia ingat,
papanya pernah bilang bahwa nggak ada usaha yang gagal.
Jadikanlah kegagalan itu sebagai usaha untuk mencapai kesuksesan.
Mel menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Ia
mengusap air mata di pipi. Berkali-kali ia mengulang kata-kata
papanya itu dalam hati. Ia kembali mengambil kertas dan mulai membuat sketsa.
Waktu terus berjalan hingga lewat tengah malam. Setelah
menyelesaikan sketsa terakhir, Mel bersandar di kursi, dan perlahan-lahan matanya terpejam.
Esok paginya, Mel terbangun dan tersenyum bangga memandang desain-desain pakaian yang selesai dibuatnya semalam
suntuk. "Berarti, besok tinggal mengukur model yang akan
memperagakan busananya." Kemudian Mel terdiam. Seperti
menyadari kejanggalan kata-katanya. Model" Model siapa"
Emangnya siapa yang rela memperagakan rancangannya" Karen" Mana mungkin cewek sombong itu mau.
Mel menatap jam di dinding kamarnya dan langsung menyambar handuk untuk mandi. Mungkin lebih baik ia mandi
dulu agar badannya bisa lebih segar setelah capek semalaman
bekerja. Lagian sebentar lagi Bima menjemputnya. Jadi ia harus
dandan yang cantik dan wangi.
139 Di lantai bawah, suara alunan gamelan jawa dari radio memecah kesunyian pagi ini. Eyang Santoso sedang memberi
makan Richard sambil bersiul. Sesekali ia bersenandung mengikuti suara sinden di radio.
Saka sibuk memompa ban sepeda onthel miliknya. Sepeda
itu masih kelihatan kinclong meskipun umurnya lebih tua daripada umur Saka. Maklum, sepeda itu adalah sepeda turuntemurun dari orangtuanya.
Melihat motor Bima memasuki pekarangan rumah, Mel langsung buru-buru turun dan berpamitan pada Eyang Santoso.
Rutinitas di kafe dijalani Bima dan Mel seperti biasa. Nggak
terasa, hari menjelang siang. Kafe Soda memang selalu sepi
kalau siang hari. Kesempatan itu dipakai Bima untuk mencuci
keset karet yang biasa digunakan sebagai alas dispenser. Sedangkan di toilet, Mel sedang latihan berbicara sambil menatap bayangannya di cermin.
"Hmm" kayaknya terlalu agresif, tapi?" Mel menghela
napas, kemudian kembali menyusun kalimatnya. "Bima, elo
mau nggak dinner sama gue" Gue yang bayar deh. Akkhhhh!
Jangan gitu. Salah, Melanieee!!!" Mel memukul-mukul kepalanya. Ia menatap bayangannya di cermin toilet. Wajahnya mirip
anak kecil lagi merengek meminta lolipop. Mel mencoba menarik bibirnya kembali. Mencoba tersenyum selebar-lebarnya.
"Hai, Bima! Jalan bareng yuk! Asyik lho. Akhh! Nggak
nggak!" Mel menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia kembali menekuk wajahnya, "God! Gue pengen banget nge-date sama
Bima?" Mel keluar dari toilet cewek dan melihat Bima yang masih
mencuci keset di halaman. Mel berjalan perlahan mendekati
cowok itu. Tangannya menggenggam kuat rok seragamnya.
140 "Bima?" Bima menghentikan pekerjaannya, menengok ke arah Mel
sambil tersenyum lembut. "Ya?"
Tatapannya" Oh, tidaaak! Kenapa Bima harus menatap
Mel sedalam itu" Membuat seluruh bagian dalam tubuh Mel
berdenyut-denyut. Merinding.
"Ada apa, Mel?" tanya Bima lebih lembut lagi.
Mel menarik napas dalam-dalam, dan sebuah kalimat meluncur lancar dari bibirnya, "Gue mau pacaran sama elo"."
Tapi sayangnya, ucapan itu berbarengan dengan suara kendaraan yang baru saja lewat.
Bima mengerutkan keningnya. "Apa, Mel" Aku nggak denger."
Bego. Bego. Bego. Mana bisa omongan tadi diulang" Mel
gondok banget. Dengan terpaksa ia tersenyum. "Ah, ng-nggak.
Udahlah. Nggak penting kok."
"Hai, Bima!" Tiba-tiba seseorang yang nggak diduga Bima datang. Cewek
bertubuh tinggi semampai dengan potongan rambut ikal berdiri
di hadapan Bima. "Karen?" Cewek itu tersenyum cantik. Mel kontan heran mengetahui
Bima kenal dengan nenek lampir itu.
"Ngapain kamu ke sini?" tanya Bima sambil memalingkan
wajahnya dari Karen. "Kenapa kamu belum berubah, Bim" Masih" senang dianggap miskin," Karen berkata dengan sangat pelan.
"Bukan urusan kamu," jawab Bima dingin.
Mel merasa jadi orang tolol karena nggak mengerti pembicaraan mereka berdua.
141 "Aku rasa" kita bisa memperbaiki semuanya lagi, Bima."
Memperbaiki semuanya lagi" Apa yang diperbaiki" tanya
Mel dalam hati. "Sudah aku bilang, aku nggak suka lagi sama kamu, Ren.
Nama kamu udah aku buang jauh-jauh dari pikiranku. Kamu
yang membuat aku nggak bisa jadi kakak yang baik buat
Oscar." "Bim?" Karen meletakkan tangannya di bahu Bima, namun
dengan tegas Bima menepisnya.
"Jangan ganggu aku lagi, Ren. Aku sibuk." Bima beranjak
dari tempatnya dan dengan refleks ia menarik tangan Melanie,
menggandengnya masuk ke kafe.
Karen menatap penuh kebencian ke arah mereka berdua. Ia
benci melihat tatapan Bima pada Mel. Ia juga benci cara Bima
menggandeng Mel. Seharusnya yang Bima gandeng itu bukan
Mel, tapi dirinya. Ia cemburu. Ia sangat ingin mengulang
masa-masa itu. Ia menyesali perbuatan yang telah dilakukannya
bersama Oscar, adik Bima, waktu itu. Ia menyesal telah membuat Bima sangat membenci dirinya.
Suara berisik kayak bajaj membuyarkan lamunan Karen. Cewek itu menengok ke arah datangnya suara dan mendapati
cowok dengan vespa pink memasuki pelataran parkir Kafe
Soda. Dahi Karen berkerut ketika ia menyadari pakaian yang dikenakan cowok itu sangat tak layak dipakai manusia normal
alias norak banget. Cowok berambut kribo itu berjalan mendekatinya, lalu tersenyum sumringah melihat cewek seseksi Karen berdiri di depan Kafe Soda. Ia melepas kacamata hitamnya dan menyapa,
"Hai!" 142 Karen ketakutan setengah mati. Ia buru-buru ngibrit meninggalkan cowok kribo itu yang menatapnya sambil melongo.
143 LANGIT sore Jogja memancarkan warna keemasan. Hari ini
Eyang Santoso dan anak-anak Soda, termasuk Melanie, sedang
duduk-duduk di warung pinggir jalan sambil menikmati jagung
bakar dan kopi hangat. Lagi pula, sudah lama Eyang Santoso
nggak jalan-jalan keluar rumah.
"Dik" Abang mahasiswa nih, Dik"," goda Jhony pada segerombolan ABG yang tengah melintas.
"Jhony! Apa-apaan sih kamu ini!" tegur Eyang Santoso.
"Hahaha"!" anak-anak Soda yang lain kompak tertawa melihat Jhony yang diomelin Eyang.
Ternyata, gerombolan cewek tadi duduk nggak jauh dari
tempat duduk anak-anak Soda. Sayup-sayup terdengar mereka
bergosip ria. "Cowok itu pasti makhluk luar angkasa deh. Aku pernah
baca, katanya kalau makhluk luar angkasa tuh kepalanya lebih
besar daripada badannya," ucap salah satu cewek. Kemudian
yang lainnya kompak menengok ke arah Jhony.
144 "Dia bukan makhluk luar angkasa, tau! Dia pasti orang gila!
Kalau makhluk luar angkasa naik piring terbang. Bukannya
naik Vespa pink." "Kali aja itu kendaraan makhluk luar angkasa yang terbaru.
Hahaha!" Gerombolan cewek itu langsung cekikikan tanpa henti. Kompakan sama anak-anak Soda yang juga ikutan ngakak mendengar obrolan ringan mereka yang terdengar sangat polos.
Tapi jangan salah. Gara-gara penampilannya yang aneh bin
ajaib itu, Jhony jadi dikenal seantero kampus. Mulai dari cewek, cowok, sampai cewek-cowok yang agak diragukan keasliannya. Dari yang punya kampus sampai abang-abang tukang gorengan. Mereka nggak segan-segan menyapa Jhony dengan
sebutan, "Hai, Kibouw!"
Jadi bisa dibilang, Jhony termasuk ngetop. Memang sih, kadang-kadang Jhony suka SKSD. Ups, bukan kadang-kadang
ding, tapi sering. Namanya juga Jhony, si cowok blasteran
Jawa-Batak-Belanda-Ambon (buseeet, banyak bener!).
Sementara itu, Melanie sudah mulai terbiasa dengan kehidupan di Jogja, meskipun awalnya ia tidak bisa menerima
keanehan ini semua. "Jadi, Mbak Mel mau mengadakan fashion show, gitu" Wow!
Hebat banget, Mbak," ujar Dara yang selalu antusias dengan
segala sesuatu yang terjadi pada Melanie.
"Iya. Tapi gue masih bingung dengan konsep acara dan model yang akan meragain busana rancangan gue."
"Lho, kenapa ndak memakai anak-anak saja?" Eyang Santoso
mendadak nimbrung dan langsung mengeluarkan ide briliannya. Kontan anak-anak Soda berpandang-pandangan lantaran
shock. 145 Mel memikirkan kata-kata Eyang Santoso barusan. Fashion
show" Anak-anak Soda" Apa bisa anak-anak Soda berlenggaklenggok di atas catwalk" Nanti bisa-bisa malahan memperjelek
rancangannya. Tapi apa salahnya dicoba" Daripada Mel harus
membayar orang untuk menjadi modelnya. Apalagi meminta
si nenek lampir Karen untuk jadi modelnya. Sorry, ye"
"Hmm" kalau yang lain nggak keberatan sih, saya setuju
aja, Eyang." Dara, Aiko, Saka, Dido, dan Jhony kompak langsung menengok ke arah Bima dan Ipank.
"Ehm" gue suka grogi kalau harus naik panggung. Nanti
takut pingsan," Ipank berusaha menolak usul Eyang Santoso.
"A-aku juga" Aku nyiapin peralatan panggung saja ya."
Bima ikutan komentar. Cowok ini memang paling anti tampil
di depan orang banyak. "Aku bantuin bikin konsep acaranya gimana, Mbak?" Dido
yang biasa mengadakan event-event seru menawarkan diri.
"Hmm" boleh banget! Thanks ya, Do!" ucap Melanie sambil tersenyum dan menggigit jagung bakarnya.
Sebenarnya Melanie juga nggak yakin dengan keputusannya
untuk memakai anak-anak Soda sebagai model fashion shownya. Kalau modelnya itu secantik Angelina Jolie, seganteng
Brad Pitt, atau se-fashionable Victoria Beckham, mungkin dia
nggak akan begitu khawatir. Tapi masalahnya, modelnya itu
adalah Aiko, cewek yang selalu pakai minyak telon dan memakai kardigan kebesaran. Dara, cewek tomboi yang pernah
mematahkan sepuluh sepatu high heels. Jhony, yang jelas banget
selalu berpenampilan jadul tanpa peduli dengan noraknya
warna yang dipilih. Lalu Saka yang pemalu banget. Belum lagi
Dido, Bima, dan Ipank yang sangat tidak bisa diharapkan. Oh
God, semoga keputusannya ini nggak salah!
146 "Hahaha" kamu mau make anak-anak Soda buat jadi model
kamu" Nggak salah?"
Itulah kata-kata yang keluar dari mulut Karen ketika mengetahui niat Mel memakai anak-anak Soda untuk memperagakan
busananya. "Iya. Emangnya kenapa" Ada yang salah" Lebih baik anakanak Soda dibandingin model kurus kerempeng nggak ada
seksi-seksinya." "Kamu meledek saya?"
"Yee" ge-er. Siapa juga yang ngeledek situ!" jawab Mel
sambil cekikikan. Waktu berjalan begitu cepat. Melihat teman-temannya bersemangat membantu, Mel jadi ikutan semangat menyelesaikan
desain-desain pakaiannya. Setelah memutuskan untuk menggunakan anak-anak Soda sebagai model, Mel langsung meminta mereka datang ke Galeri Aryati Sastra untuk diukur
badannya. Dibantu beberapa karyawan Aryati Sastra, proses
ukur-mengukur bisa selesai dalam satu hari.
Mel juga senang banget karena berhasil mendapatkan kain
yang bagus dan murah di pasar loak. Jadi, setelah anak-anak
Soda diukur, karyawan Aryati Sastra langsung menjahit pakaian-pakaian itu.
Aryati Sastra terlihat lebih bersahabat saat ini. Wanita itu
sangat senang dengan kerja keras muridnya itu. Meskipun tampang juteknya nggak pernah berubah, setidaknya Aryati jauh
lebih perhatian dibandingkan sebelumnya.
"Gue capek, kesel! Gue juga jadi ragu-ragu nih," keluh Mel
147 pada malam hari di Soda. Sifatnya yang dulu masih belum berubah. Setiap kali dia melakukan sesuatu, awalnya memang selalu semangat "45. Tapi, giliran udah mau dekat-dekat momen
penting, mentalnya langsung kendur. Menciut sekecil liliput.
"Konsep acaranya udah siap, Do?" tanya Aiko ingin memastikan.
"Udah. Acara Mbak Mel aku taro setelah pergelaran Ibu
Aryati Sastra," jawab Dido yakin.
Mel tampak nggak berdaya. Dia memang belum pernah seribet ini mempersiapkan sebuah acara. Dia selalu awam masalah
kayak begini. "Mbak Mel ada ide buat konsep dekorasi panggung, nggak?"
tanya Saka kemudian. Mel berpikir sejenak. Dia memang nggak kreatif banget untuk urusan dekor-mendekor. Tiba-tiba sebuah ide meluncur di
otaknya. "Hmm" kalo tema dekorasinya colorful gimana?"
Dara, Dido, Saka, dan Aiko langsung berpandang-pandangan
dan kompak berkata, "Keren"!"
"Terus, ada rencana nggak, bahan-bahan apa aja yang dipakai buat dekorasi?" tanya Saka lebih lanjut.
Sejenak Mel kembali berpikir. Bola matanya bergerak-gerak
menerawang, mencari sumber inspirasi. Kemudian dengan raguragu ia menjawab, "Hmm" mungkin" balon-balon dan kertas
krep warna-warni?" "Hhmfff?" Anak-anak Soda berusaha menahan tawa. Ternyata Melanie
memang bener-bener nggak kreatif dalam urusan dekorasi. Balon-balon dan kertas krep" Itu kan dekorasi standar ulang tahun anak TK.
"HAHAHA!" tiba-tiba Ipank masuk dan langsung ngakak
148 tanpa henti mendengar ide Mel barusan. Di belakangnya muncul Bima dan Jhony yang ikutan senyam-senyum.
"Elo yakin mau pake balon?" pekik Ipank tertahan.
"Kok lo ketawa" Emangnya lucu, ya?" Mel tersinggung melihat Ipank yang nggak berhenti ngakak.
"Bukan idenya yang lucu. Tapi elonya yang lucu. Masa bahan-bahan dekorasi mirip pesta ultah anak TK," komentar
Ipank. "Gue punya ide yang lebih dahsyat nih!"
Anak-anak Soda mulai tertarik dengan kata-kata Ipank barusan. Ipank emang terkenal inovatif dan kreatif.
Ipank menatap jauh. Alis kanannya terangkat. Tangan kanannya ia letakkan di bawah dagunya. "Kita pakai lampu
blitz." "Dahsyat!" mendadak Dido berteriak girang. Ia seakan langsung mamahami maksud perkataan Ipank.
"Bukannya itu bakalan makan biaya besar?" Mel khawatir
banget sama ide gila Ipank.
"Kita pakai permainan lampu," Ipank melanjutkan kalimatnya tanpa menggubris pertanyaan Mel barusan. Ia kemudian
menatap Mel, "Gue yang tanggung jawab semua. Gue punya
banyak kenalan yang bisa minjemin alat-alat kayak gitu."
"Interupsi, Bos!" Jhony mengangkat tangan. Anak-anak yang
berada di ruangan itu spontan menengok ke arahnya. "Daku
rasa" kita harus cari judul acara yang mewakili tema colorful.
Yang gampang dimengerti dan cukup menjual."
Mereka berpandangan. Otak mereka sibuk mencari judul
yang bagus untuk acara itu.
"Emangnya Bang Jhony punya ide?" Dara langsung bertanya.
"Punya."

Canting Cantiq Karya Dyan Nuranindya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

149 "Apa?" Jhonny tersenyum lebar. Ia menatap wajah teman-temannya.
Kemudian ia berkomentar, "Gimana kalo judulnya" Berwarnalah Indonesia!"
Siapa bilang batik itu kuno" Memang sih, Melanie pernah
ngomong kayak gitu. Tapi itu kan dulu, sebelum ia memahami
lebih dalam tentang batik. Sebelum ia diberitahu Aryati Sastra
bahwa pada zaman dulu keterampilan wanita-wanita Jawa dalam membatik dijadikan mata pencaharian dan dianggap sebagai pekerjaan eksklusif.
Gara-gara melihat boneka dengan pakaian tradisional di
pasar malam waktu itu, Mel baru sadar bahwa kebudayaan
Indonesia tuh beraneka ragam dan bagus banget. Apalagi saat
Mel melihat pergelaran busana karya lima desainer muda Indonesia. Wah, semakin kebuka aja pikirannya.
Beberapa hari yang lalu Mel membaca rubrik fashion di koran dan melihat desainer luar negeri sudah mulai memakai
batik untuk rancangan mereka. Pasti demam batik bakalan
merajalela di Indonesia. Tapi kenapa harus selalu dari luar negeri dulu" Padahal batik
kan punya nenek moyang bangsa Indonesia. Trus, kapan kita
jadi trendsetter" Hari H acara fashion show karya Aryati Sastra akhirnya datang juga. Kafe Soda sangat ramai malam itu. Hampir semua
tamu undangan datang menghadiri acara tersebut. Bahkan tiket
masuk yang hasil penjualannya disumbangkan kepada warga
miskin pun habis terjual. Sejak acara dimulai, banyak wartawan
150 yang berseliweran ke sana kemari untuk memotret atau mewawancarai para pesohor yang kebetulan hadir di acara itu.
Ternyata nama Aryati Sastra sangat dikagumi berbagai kalangan. Mulai dari artis, seniman, politisi, bahkan orang-orang
biasa. "SELAMAT MENIKMATI PERGELARAN BUSANA KARYA ARYATI SASTRA!" Penuh semangat, MC membuka acara di Kafe Soda.
Selanjutnya alunan suara musik mengiringi langkah kaki
para model yang mengenakan kebaya rancangan Aryati Sastra.
Karen terlihat duduk di sebuah meja dengan pakaian sangat
minim. Ia mengenakan atasan hitam dengan bagian punggung
terbuka hingga di atas pantat. Cewek itu kelihatan kayak tiang
listrik dengan sepatu high heels 14 senti yang membuat kakinya
kayak penari balet. Berkali-kali Mel memergokinya menatap
dan tersenyum menggoda ke arah Bima.
Melanie berdiri di samping panggung, mengamati tamu-tamu
yang hadir malam itu. Wajahnya tampak cemas. Ia nggak yakin apakah ide gila anak-anak Soda akan diterima dengan baik
oleh tamu undangan. Apalagi pakaian rancangannya yang agak
aneh itu. "Tenang, Mel. Everything is gonna be alright," Melanie berusaha menenangkan diri.
Seseorang menepuk lembut bahu Melanie. Mel menengok
dan mendapati sosok Bima di belakangnya. Cowok itu tersenyum lembut. Bima memang selalu begitu. Dia selalu bisa
membuat Mel merasa jauh lebih tenang.
"Apa pun yang terjadi, kamu udah melakukan yang terbaik,
Mel," ujar Bima dengan senyum mautnya.
151 Satu jam kemudian, tepuk tangan penonton memenuhi kafe.
Kelihatannya pergelaran busana Aryati Sastra cukup sukses.
Para model berbaris menunggu kemunculan Aryati Sastra ke
atas panggung. Tak lama kemudian, wanita nyentrik itu muncul dari balik
panggung. Setelah memberi salam dengan mengatupkan kedua
tangan, Aryati Sastra mengambil mikrofon di hadapannya.
Sesaat kemudian ia mulai berkata dengan tenang. "Pertamatama, terima kasih atas kehadiran teman-teman semua," suara
khas Aryati memecah tepuk tangan penonton malam itu.
"Dulu saya pernah bermimpi menjadi seperti boneka Barbie.
Cantik, bertubuh indah, fashionable, modern, dan terkenal.
Yah, saya pikir itu jugalah impian remaja saat ini. Tapi seorang
murid saya membuktikan bahwa kecantikan dan ketenaran
bukanlah apa-apa kalau wanita itu tidak cerdas dan kreatif.
Setelah ini saya akan mempersembahkan karya cerdas murid
saya tersebut, dan Anda dapat menilai sendiri?" Aryati Sastra
tersenyum. "Selamat menikmati?"
Begitu Aryati Sastra selesai berbicara, beberapa tamu beranjak dari tempat duduk. Sepertinya mereka hanya tertarik
pada pergelaran busana Aryati Sastra tanpa mau melihat suguhan lainnya. Jadi, setelah menonton pergelaran busana Aryati,
mereka langsung buru-buru pulang.
Melihat situasi itu, Mel jadi panik. Apalagi beranjaknya beberapa tamu dari kursi mereka menular ke tamu lain yang juga
nggak tertarik menonton pergelaran busana lain selain karya
Aryati Sastra. Mendadak, lampu kafe padam. Hanya satu lampu yang menyala, menyorot ke arah layar di tengah-tengah panggung.
Suasana sunyi. Para tamu pun bertanya-tanya apa yang akan
152 terjadi. Sejenak mereka menghentikan niat untuk pulang dan
menengok ke arah panggung.
Perlahan muncul bayangan besar wayang kulit pada layar
panggung disertai suara Saka yang mengucapkan dua kalimat
panjang yang konon artinya adalah sebuah ucapan selamat datang dengan bahasa Jawa kuno.
Lampu laser menyorot terang, membuat bayangan wayang
tersebut hilang seketika dan sebuah tulisan muncul di layar
tersebut, "BERWARNALAH INDONESIA".
Dentuman musik langsung terdengar di telinga. Mengganti
nuansa tradisional menjadi lebih modern. DJ Dido dengan
lihai memainkan turntable-nya. Menggabungkan usur etnik dan
tecno dalam musiknya. Para tamu menatap takjub sekaligus heran dengan suguhan
tersebut. Mereka kembali ke tempat duduk masing-masing.
Dara muncul dengan mengenakan terusan kemben berwarna
dasar hitam bermotif batik warna-warni. Di telinganya terselip
sekuntum bunga kamboja. Dara melangkah layaknya penari
Bali. Gerakannya begitu gemulai, kontras dengan musik yang
mengiringinya. Dara memang penari sejati.
Aiko tampil cantik dengan kebaya modifikasi dan rok mini
bermotif batik warna biru langit. Kulitnya yang putih tampak
bersinar. Sesaat kemudian muncul Jhony dengan kemeja kasual
batik oranye dengan dasi hijau dan celana cutbrai. Di tengah
panggung cowok kribo itu beraksi dengan berjoget-joget ala
Elvis Presley. Tindakan Jhony kontan membuat seluruh penonton terbahak-bahak.
Dari tengah-tengah penonton, Saka muncul dengan gantengnya, mengenakan kaus oblong putih dan celana bahan dengan
153 potongan yang sangat unik. Mel memang kreatif membuat
celana tersebut terlihat sangat menarik.
Ketika Saka balik ke belakang panggung, Dara, Aiko, Jhony
kembali bergantian muncul dengan rancangan Mel yang lain.
Penonton dibuat tercengang dengan desain mix and match
Melanie. Kebaya dipadukan dengan hot pants, tank top dengan
kain batik berpotongan unik, kemeja batik dengan rompi kasual, semuanya sanggup membuat penonton geleng-geleng kepala. Mereka nggak menyangka desainernya berani senekat
itu. Mel terkagum-kagum melihat Ipank yang segitu seriusnya
mengerjakan lighting yang cukup menakjubkan bagi Mel. Efek
lighting yang dibuat Ipank membuat panggung lebih berwarna.
Sesaat ia bisa membuat lampu seperti bintang-bintang yang
berjatuhan. Tapi sesaat kemudian ia bisa mengubahnya menjadi
sinar laser yang memukau.
Pergelaran busana ditutup dengan standing applause penonton
yang terkagum-kagum dengan penampilan anak-anak Soda
barusan. Tiba-tiba lampu menyorot terang ke arah Mel.
"Apa-apaan ini?" Mel menutup wajahnya dengan punggung
tangannya. Sayup-sayup terdengar MC memanggil namanya.
Oh God. Kaki Mel bergetar ketika sadar mata semua orang
tertuju kepadanya. Mata Mel bergerak-gerak mencari temantemannya. Mana Bima" Dara" Saka" Jhony" Dido" Aiko"
Atau" Ipank" "Ssst" Mel, elo harus ke panggung!"
Mel menengok dan mendapati Bima tersenyum ke arahnya.
Dalam beberapa detik Mel sudah punya ekstraenergi untuk
melangkah ke atas panggung.
154 Mel mencoba menenangkan diri. Dalam hati ia tak henti
berdoa. Mana mungkin ia bisa berbicara di depan sekitar seratus tamu undangan" Mel mencoba menegakkan bahu dan
wajahnya. Ketika di atas panggung, Mel menatap keramaian dengan
dengkul serasa mau copot saking gugupnya. Keringat menetes
dari keningnya. Ia menggigit ujung bibirnya. Ia menengok ke
arah Aryati Sastra yang mengacungkan jempol ke arahnya.
"Ss-saya" nggak tau ha-harus ngomong apa. Yang jelas"
terima kasih. Tanpa didikan Ibu Aryati Sastra dan dukungan
teman-teman, saya nggak mungkin bisa melakukan ini semua?" Mel terdiam. Keheningan langsung tercipta. Dalam
hati Mel terus bertanya-tanya, apa yang harus dia ucapkan
selanjutnya" Sekujur tubuhnya gemetar saking paniknya.
Mendadak ruangan dipenuhi teriakan, sorak-sorai, dan tepuk
tangan penonton yang menanggapi ucapan Mel tadi. Melihat
Mel yang hanya bisa terpaku, Dido kembali menunjukkan keahliannya memainkan turntable-nya. Semua penonton terhipnotis untuk membaur menjadi satu, berjoget-joget ria hingga
larut malam. "Untuk Melanie!!!"
"Bukan. Untuk kita semua!"
"Cheeerss!" Lagaknya udah kayak di film-film luar negeri. Pake acara
toast-toast-an minuman untuk merayakan keberhasilan acara
peragaan busana Mel. Padahal minumannya wedang jahe alias
air jahe. Maklum, Aiko mendadak masuk angin habis selesai
155 acara. Nih cewek bodinya emang tipis banget kayak tripleks.
Makanya dikit-dikit masuk angin.
"Thanks ya, temen-temen. Kalo nggak ada kalian semua, gue
nggak tau acara itu bakalan kayak gimana," ucap Mel sambil
membantu anak-anak Soda membersihkan kafe.
"Melanie, bisa kita bicara serius sebentar?" Aryati Sastra
memanggil Mel. Melanie jadi dag-dig-dug. Aryati mau ngomong apa ya" Kok pakai serius-seriusan segala"
Suasana yang tadinya adem ayem mendadak tegang. Mel
menatap anak-anak Soda satu per satu. Dalam hati ia memikirkan kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan terjadi.
Tapi tadi Ibu Aryati Sasta kelihatannya cukup puas dengan
pergelaran busana karya Mel. Atau jangan-jangan itu cuma
sekadar untuk menyenangkan hati Mel di hadapan pengunjung"
Aryati Sastra mengajak Mel ke sudut ruangan. Mel menggigit ujung bibirnya dan berjalan pelan mengikuti Aryati.
"Ehem!" gaya standar Aryati Sastra memulai pembicaraan.
Wanita itu menatap Mel dari sudut kacamatanya, tapi tidak
bicara. Mel jadi semakin salah tingkah.
"Hmm... a-ada apa, Bu?"
Aryati Sastra masih diam. Matanya menatap lurus ke mata
Mel. Tapi Mel sadar pikiran wanita itu sedang melanglang buana entah ke negeri mana.
"Apa ada kesalahan, Bu?"
"Ini..." tiba-tiba sebuah kata muncul dari mulut Aryati Sastra.
"Ini?" "Iya, ini kesalahan kamu."
Mel diam. Kedua alisnya menyatu saking bingungnya.
156 Aryati Sastra mendekatkan wajahnya ke Mel, kemudian mengetukkan bolpoinnya tepat di kening Mel. "Semua hal berawal dari pikiran. Kalau belum apa-apa kamu sudah berpikir
negatif, bagaimana kamu bisa menghasilkan sesuatu yang positif?" Aryati Sastra bersandar pada kursi. "Anyway, ada tawaran menarik untuk kamu saat ini."
"Tawaran menarik apa, Bu?"
"Saya berpikir untuk menjual pakaian karya kamu di butik
saya." Mel menatap Aryati Sastra lantaran kaget dengan kata-kata
yang baru saja keluar dari mulut wanita itu. "Maksud Ibu?""
Aryati Satra mengangguk sambil tersenyum. "Pengunjung
yang hadir di acara tadi banyak yang menyukai karya kamu.
Bahkan ada beberapa yang menawarkan modal agar karya
kamu diproduksi lebih banyak. Jadi, saya berpikir untuk menjual karya kamu di butik saya. Yah, itu pun dengan persetujuan
kamu. Bagaimana?" "Menjual karya saya di butik Ibu dengan merek Aryati
Sastra Butik" Waaah"!"
"Hmm" kalau kamu mau, kamu boleh memakai merek
kamu sendiri. Misalnya Mel"s Collections, Melanie Collections,
atau apalah terserah kamu. Gimana?"
"Yang bener, Bu?" Melanie kelihatan nggak percaya dengan
ucapan Aryati barusan. Mana mungkin ia bisa menolak tawaran menggiurkan seperti itu"
Aryati Sastra mengangguk tenang, seakan sudah menebak
respons yang akan diterimanya dari Melanie.
Mendadak tatapan Mel kosong. Pikirannya sibuk memikirkan nama-nama keren untuk merek miliknya sambil senyamsenyum. Tampang mupengnya langsung keluar. Saking mupeng157 nya, ia sampai nggak sadar bahwa sejak tadi Aryati Sastra
sudah pergi meninggalkannya sendirian.
Ketika tersadar, Mel terlonjak kaget melihat tampang anakanak Soda yang terbengong-bengong tepat di hadapannya.
Kontan aja ia langsung menjerit. Anak-anak Soda pun ikutikutan menjerit. Alhasil, mereka langsung jejeritan.
"Waduh, kalian ngagetin aja!"
"Mbak Mel yang ngagetin. Tadi mesam-mesem, terus tibatiba menjerit. Memangnya ada apa tho, Mbak?" Saka berkata
sambil mengelus-elus dada.
"Minum, Mbak." Dara datang sambil membawa segelas air
putih yang langsung disambar oleh Mel.
Glek" glek... glek" Mel buru-buru meminum sampai tandas, lalu meletakkan gelasnya di meja. Setelah menarik napas
panjang, Mel berkata, "Eh, tau nggak?""
Anak-anak Soda kompak menggeleng.
"Gue lagi seneeeeeeng!!!!" Mel kembali menjerit saking senangnya.
"Iiiii"!!!" Dara ikutan menjerit.
"Asyiiik!!!" Aiko menjerit juga.
"Senaaang!!!" Saka menimpali.
"Horeee!" Dido ikutan.
"Selamaaat!!!" Jhony ngintil juga.
"Traktiiir!" Ipank melanjutkan.
"Heh! Emangnya kalian tau, Melanie seneng kenapa?" Di
antara yang lain, hanya Bima yang kelihatan paling normal
dan paling nggak ikut-ikutan.
Anak-anak Soda mendadak diam dan kompak menggeleng.
"Tuh kan, mendingan ditanya dulu. Melanie senang kenapa?"
158 "Mbak Mel seneng kenapa, Mbak?" Dara to the point.
"Ehem!" Mel berdeham, kedua tangannya terangkat di depan dada, memberi tanda agar mereka tenang. Ia menarik napas panjang dan mulai berkata, "Ibu Aryati Sastra nawarin gue
ngejual pakaian batik karya gue di butiknya."
"Apa"! Waaah" seru banget, Mbak!" Dara berbinar-binar
menanggapi. "Eiiits, bukan cuma itu. Ibu Aryati juga memperbolehkan
gue membuat hak paten sendiri alias merek sendiri."
"YANG BENER, MBAK"!?" Dara, Aiko, Dido, dan Saka
kompak bertanya. Mel mengangguk sambil tersenyum lebar.
"Selamat ya, Mel?" Bima ikutan tersenyum bahagia.
"Iya. Selamat ya, Mel!" Ipank ikut ngasih selamat.
"Mbak Mel sudah memikirkan nama merek yang mau dipakai?" cetus Aiko.
"Pakai nama Mbak Mel aja," Saka memberi saran dan langsung diiyakan oleh yang lain.
Mel berpikir sejenak. "Sebenernya" gue pengen nama yang
terkesan girly dan ada unsur batiknya. Biar ketahuan bahwa itu
merek buatan Indonesia. Hmmm" kayaknya gue mesti bertapa
tujuh hari tujuh malam dulu nih.?"
159 PAGI-PAGI banget Mel udah bangun. Cewek itu emang begitu kalau lagi bahagia. Suka bangun kepagian. Tinggal di Jogja
membuatnya belajar banyak hal. Satu yang sangat ia sadari
saat ini adalah ternyata kebahagiaan itu nggak harus karena
kaya dan terkenal. Hal indah bisa diraih dengan kerja keras.
Semua telah terbukti di Jogja.
Di lantai bawah, Mel melihat eyangnya dan Jhony sedang
ngobrol serius. Jhony kelihatan konyol banget dengan kaus dan


Canting Cantiq Karya Dyan Nuranindya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

celana pendek bermotif polkadot kuning. Kalo ngomongin
masalah norak-norakan, Jhony deh ahlinya.
"Ayo dong, Eyang?"
"Jhony, Jhony. Uang kos yang bulan lalu saja masih belum
lunas. Masa udah mau ngutang lagi" Eyang bisa tekor nih."
"Tapi saya janji, habis tulisan saya dimuat di majalah, saya
pasti langsung bayar kos. Lunas. Plus bunga kalo perlu. Eyang
mau bunga apa" Mawar, melati, apa kamboja?"
"Halah! Kamu itu memang selalu begitu, Jhon. Ya sudah,
160 kamu Eyang kasih kelonggaran. Tapi janji ya, karena Eyang
kasih kelonggaran, kamu jangan jadi malas."
"Bener, Eyang" Terima kasih, Eyang. Semoga Eyang diterima
di sisi Tuhan Yang Maha Esa."
"JHONY!!!" Lama-kelamaan seru juga kalau melihat kekonyolan Jhony
dan Eyang Santoso. Setelah berpamitan pada Eyang Santoso dan Jhony, Mel menagih Saka yang saat itu sedang mengelap sepeda onthel kesayangannya.
"Saka, anterin gue ke Kafe Soda ya."
"Lho, memangnya Mbak Mel masih mau kerja?" tanya Saka
heran. "Ya iyalaah. Masa gara-gara acara kemarin terus aku langsung berhenti kerja di kafe. Itu namanya nggak asyik. Nggak
profesional!" ucap Mel sambil nyengir dan langsung nangkring
di boncengan sepeda onthel Saka.
Udara pagi terasa dingin memasuki celah-celah kardigan
pink Melanie. Rambut Mel yang panjang dan ikal tergerai tertiup angin. Mel serasa lagi jadi bintang iklan sampo.
"Oh iya, gue udah nemuin nama yang cocok buat label pakaian buatan gue lho!" ucap Mel bangga di tengah-tengah
perjalanan. "Jadi, pakai nama Mbak Melanie?"
"Ooh" nggak dong. Masa bikin label pake nama gue sendiri. Nggak kreatif amat," jawab Mel sambil sibuk merapikan
poninya yang berantakan tertiup angin.
"Jadi namanya apa dong, Mbak?" tanya Saka kembali sambil menghentikan sepeda onthel-nya tepat di depan Kafe Soda.
161 Mel turun dari sepeda lalu merapikan pakaian dan rambutnya. Kemudian ia menepuk pundak Saka, "Ada aja!" ucapnya
sambil tersenyum dan ngeloyor pergi. "Makasih ya, Sak!" teriaknya dari kejauhan.
Kafe masih sepi ketika Mel tiba di sana. Bima juga belum
kelihatan batang hidungnya. Mel langsung melangkah menuju
dapur untuk menyapa koki kafe yang pastinya udah datang
pagi-pagi untuk menaruh belanjaan.
Benar saja. Di dapur sudah ada Roro, Fitri, dan Mister Jo
yang lagi sibuk mempersiapkan semua bahan untuk dimasak
sambil bergosip ria. Niat Mel untuk mengagetkan mereka hilang seketika ketika
ia menyadari apa yang sedang digosipkan oleh mereka.
"Lagak kamu udah kayak bos beneran, Jo!" tuding Roro
pada Mr. Jo. "Kayaknya sampeyan lebih cocok jadi aktor dibandingkan
kerja di kafe. Hahaha"," Fitri ikutan menimpali. "Nama Paijo
pake diganti-ganti jadi Mister Jo segala."
"Namanya juga tuntutan pekerjaan. Tapi Mas Bima tuh hebat ya, mau-maunya berakting jadi karyawan kafe. Padahal dia
kan yang punya." "Mungkin Mas Bima naksir Mbak Melanie, kali!" tebak
Roro. "Kayaknya sih begitu."
"Bima Montaimana kok mau-maunya jadi pelayan."
Krompyang"! Nggak sengaja Mel menjatuhkan tong sampah
kaleng di hadapannya. Mendadak Roro yang punya penyakit
latah langsung tancap gas.
"Eh, Mbak Mel, Mbak Mel, Eh" Mas Bima bohong, bohong, eh, ketahuan, eh?"
162 "Bagus, Ro. Terobos teruuuus"!" Mr. Jo seneng banget
ngegodain Roro. Saat itu juga Bima datang dengan wajah bingung. Cowok
itu menoleh ke arah Mel. "Lho, Mel, kok dateng?"
Mel memandang Bima dengan tatapan kecewa, "Jujur, Bim.
Di dunia ini ada banyak nama Montaimana, atau kamu memang anggota keluarga pengusaha J.B. Montaimana yang terkenal itu?"
Bima menatap Mel ragu. Sorot matanya tampak khawatir.
Entah apa yang harus ia jawab saat ini. Tapi perlahan ia berbicara, "Beliau... kakek aku..."
Mel menggeleng kecewa, lalu bergegas pergi. "Kalau elo
emang nggak mengharapkan gue datang ke sini, oke, ini terakhir kalinya gue datang ke kafe, BOS BIMA YANG TERHORMAT!"
Montaimana Group" Bima cucu pemilik Montaimana Group"
Perusahaan besar yang banyak membawahi bisnis-bisnis hotel,
restoran, kafe, dan media yang ada di Indonesia. Aneh rasanya,
cucu J.B. Montaimana justru tinggal di Jogja, mengelola kafe
dan berteman dengan anak-anak Soda. Seharusnya kan Bima
tinggal di Jakarta, main golf dan clubbing dengan anak-anak
orang kaya lainnya. Tapi bukan itu inti permasalahannya. Intinya adalah Bima telah berbohong pada Mel.
Pintu kamar Mel diketuk beberapa kali. Sudah hampir setengah jam suara ketukan terus terdengar. Kadang berhenti sebentar, terus terdengar ketukan lagi. Yang punya kamar malah
menutup telinga dengan bantal. Padahal sebenarnya Mel tahu
ada yang mengetuk pintu. 163 Sebenarnya Mel nggak pantas marah sama anak-anak Soda
cuma gara-gara dia nggak dikasih tau dari awal bahwa sebenarnya Bima adalah pemilik Kafe Soda. Tapi nggak tahu kenapa,
Mel merasa jadi orang paling tolol. Ia malu sekali. Selama ini
ia merasa Bima adalah karyawan Kafe Soda, tetapi ternyata
cowok itulah sang pemilik. Mel juga gengsi minta maaf pada
Bima karena tadi udah telanjur marah.
Secarik kertas muncul dari celah di bawah pintu. Mel mengambil kertas itu dan langsung membacanya. Dari tulisannya, ia
udah bisa menebak itu tulisan Aiko. Pasalnya, tulisan Aiko
persis format font Times New Roman di komputer. Rapi banget.
Mbak Mel, Mas Bima udah pulang. Dari tadi dia nungguin
Mbak Mel di depan pintu. Kasihan banget. Tolong buka
pintunya, Mbak. Aiko. Mel melipat kembali kertas yang baru saja dibacanya dan
perlahan membuka pintu. Begitu pintu terbuka, wajah Aiko
yang pucat dengan pipi memerah muncul di hadapan Mel.
Aiko pasti masuk angin lagi deh. Kebiasaan!
"Mbak Mel jangan marah sama Mas Bima dong?"
Mel terdiam. Ia menggeser posisinya untuk mempersilakan
Aiko masuk ke kamarnya. "Mbak Mel marah sama Mas Bima, ya?" tanya Aiko. Dia
duduk di kursi dan Mel duduk tepi di ranjang.
"Gue nggak marah sama Bima, Aiko. Gue cuma" merasa
dibohongi aja." 164 "Tapi Mas Bima nggak bermaksud membohongi Mbak
Mel." "Kalau bukan bermaksud ngebohongin gue, terus maksudnya
apa?" Aiko terdiam sejenak. "Mungkin?" Aiko tidak melanjutkan
kata-katanya. "Mungkin apa?" "Mungkin Mas Bima nggak mau dibeda-bedakan dengan
yang lainnya." "Dibeda-bedain gimana?"
"Mas Bima kan anak orang kaya. Sejak pertama aku kenal
Mas Bima, penampilan Mas Bima memang sederhana sekali.
Sama sekali nggak ketahuan kalau dia cucu tertua pemilik Montaimana Group."
Mel terdiam, tak menanggapi kata-kata Aiko.
"Setiap orang pasti nggak akan menyangka Mas Bima cucu
J.B. Montaimana," Aiko berkata pelan.
"Terus, kenapa Bima tinggal di sini?"
"Kenapa bukan di Jakarta, maksud Mbak Mel?"
Mel mengangguk. "Ada semacam tes yang diberikan orangtua Mas Bima. Dan
itu hanya bisa dilakukan di sini. Selain Eyang Santoso adalah
sahabat lama J.B. Montaimana, di kota ini Mas Bima bisa memulai dari nol tanpa membawa nama besar keluarga. Nggak
taulah, Mbak. Kami semua di sini nggak pernah bertanya lebih
jauh." Aiko buru-buru menutup pembicaraannya karena takut
salah omong. Mel terdiam. Aiko bisa memakluminya. Orang yang baru
pertama kali tau siapa sebenarnya Bima pasti bakalan shock
banget. 165 "Mbak Mel"," ucap Aiko ragu. Ia tertunduk.
Mel menatap Aiko dalam-dalam. Kelihatannya cewek itu
menyembunyikan sesuatu. "Mbak Mel mencintai Mas Bima, ya?"
Mel kaget setengah mati dengan pertanyaan Aiko barusan.
Ia memang naksir berat sama Bima. Yah, mungkin karena sikap Bima yang cool dan bikin Mel penasaran. Tapi apa ia harus bilang kayak gitu ke Aiko" Gimana kalau Bima nggak suka
sama dia dan dia cuma bertepuk sebelah tangan" Akhirnya
Mel cuma balik bertanya tanpa menjawab pertanyaan Aiko.
"Emangnya kenapa?"
"Sebelumnya aku mau minta maaf sama Mbak Mel?"
"Minta maaf" Untuk apa?"
Aiko menarik napas panjang. Dengan ragu ia mulai bercerita. "Mbak Mel ingat nggak, waktu aku sesak napas dan
Mbak Mel meminjamkan baju hangat?"
Mel mengangguk yakin dan menunggu kalimat selanjutnya
yang akan keluar dari mulut Aiko.
"Malam-malam aku terbangun dan duduk di teras depan
untuk mencari udara segar, masih memakai baju hangat Mbak
Mel. Aku melihat mobil Mas Bima di pekarangan rumah dan
berpikir Mas Bima mau menginap di Soda."
"Teruuus?" tanya Mel ragu.
"Tiba-tiba aku dengar suara Mas Bima. Dia mengucapkannya
perlahan-lahan, tapi aku tau Mas Bima serius"."
"Me-mengucapkan apa?"
"Mas Bima" menyukai Mbak Mel, sejak pertama kali melihat Mbak Mel."
Jantung Mel berdegup kencang. Ia nggak percaya Bima ter166 nyata menyukainya. Padahal selama ini cowok itu bersikap sangat dingin dan kalem padanya.
"Malam itu Mas Bima salah orang. Karena suasana teras
yang temaram, dia mengira aku adalah Mbak Mel karena aku
memakai baju hangat milik Mbak Mel. Pas Mas Bima sadar
bahwa itu aku, bukan Mbak Mel, dia bertanya kenapa aku memakai baju hangat Mbak Mel. Lalu Mas Bima memohon padaku untuk menjaga rahasia ini. Mas Bima malu sekali?"
Mel terdiam. Di satu sisi ia bahagia karena ternyata Bima
juga menyukainya. Tapi di sisi lain, ia kecewa kenapa harus
Aiko yang mendengar semua ungkapan jujur Bima. Bukan dirinya.
"Tapi, kenapa setelah kejadian itu Bima nggak pernah ngomong apa-apa sama gue?"
"Mungkin karena penyakit Mas Bima."
"Penyakit" Bima sakit apa?"
"Anak-anak Soda punya kelebihan dan kekurangan masingmasing. Termasuk orang se-perfect Mas Bima. Mas Bima termasuk orang yang ahli dalam berbicara di depan audience. Tapi
sayangnya, Mas Bima suka sulit berbicara dengan cewek yang
dia suka." "Maksud kamu" dia gagap?"
Aiko mengangguk. Apa" Cowok seganteng Bima gagap" Nggak ada keren-kerennya deh. Kenapa Mel baru mengetahuinya sekarang" Pantas
selama ini Bima pelit ngomong. Ternyata".
"Tadinya gue pikir Bima tinggal di Jogja karena dia kuliah
di sini," pelan Mel berkata. "Apa Bima nggak kuliah?"
Aiko menatap Mel sambil tersenyum lebar. "Waktu SMP
dan SMA, Mas Bima ikut kelas akselerasi. Sekarang dia lulus167 an terbaik Columbia University. Cumlaude. Cuma dua setengah
tahun." Mendengar itu, Melanie nggak bisa lagi berkata-kata.
Subuh-subuh, Melanie sudah memohon-mohon pada Saka agar
mengantarkannya ke Galeri Aryati Sastra. Masalahnya, kondisi
Mel dan Bima masih nggak enak banget. Jadinya tengsin aja
kalau Mel harus minta tolong Bima untuk nganterin ke galeri
seperti biasa. Makanya Mel sengaja minta dianterin Saka pagipagi biar Bima nggak keburu dateng.
Tiba di Galeri Aryati Sastra, so pasti masih sepi banget.
Tapi ibu-ibu yang biasa membatik di pendopo udah pada datang dan siap bekerja. Katanya sih, bus yang mengantarkan
mereka adanya cuma pagi-pagi. Soalnya kalau pagi banyak
mbok-mbok yang berangkat ke pasar.
Aryati Sastra kelihatannya belum bangun. Jadi, sambil menunggu gurunya itu bangun, Mel selonjoran di bale kayu yang
ada di pendopo sambil memperhatikan ibu-ibu tadi membatik.
Ini metode yang baru aja ia temukan. Ternyata memperhatikan
orang membatik bisa bikin perasaan lebih rileks. Tapi saking
rileksnya, Mel sampai ketiduran. Maklum, dia bangunnya kepagian.
Ketika Mel terjaga, waktu menunjukkan pukul sembilan
pagi. Mel buru-buru masuk ke galeri. Ketika sampai di ruang
tamu, ia melihat Karen yang duduk sambil meneguk secangkir
teh hijau. "Nyari Bu Aryati, ya?" Karen bertanya tenang sambil menyu168 lut rokok di tangannya. Tanpa menunggu jawaban Mel, Karen
melanjutkan, "Dia lagi pergi ke rumah kliennya di Klaten."
"Pergi"!" Mel jelas kaget. Udah dateng pagi-pagi, eh nggak
ketemu orangnya. Karen mengangguk. "Iya. Kenapa" Kamu nggak percaya sama
aku?" Mel nggak menjawab. "Duduk, Mel," Karen berkata sambil mengisap rokok Caprinya dalam-dalam.
Mel menarik kursi dan duduk tepat di hadapan Karen.
Dalam hati ia bertanya-tanya kenapa hari ini Karen terlihat
lebih bersahabat. "Udah sejauh mana hubungan kamu dengan Bima?" Karen
to the point. Deg! Mel kaget banget mendengar pertanyaan Karen barusan. "Ma-maksud kamu?"
Karen mengembuskan asap dari mulutnya dan menatap Mel
lekat-lekat. "Aku pikir kamu udah cukup dewasa untuk bisa
mengerti maksud pertanyaan aku."
"Apa urusan kamu?"
Karen tersenyum sinis. "Bima memang sangat menarik. Ganteng, pintar, sabar, dan yang terpenting" kaya raya."
Mel mulai nggak suka mendengar nada suara Karen. Apa
maunya sih cewek ini"
"Waktu tinggal di Amrik, aku pacaran dengan Oscar, adiknya Bima. Hubungan kami berlangsung hampir dua tahun.
Tapi sayang, Oscar terlalu kekanak-kanakan. Selama setahun
terakhir, aku lebih tertarik pada Bima daripada Oscar. Bahkan
aku rela melakukan apa pun untuk mendapatkan Bima. Termasuk memutuskan hubunganku dengan Oscar."
169 "Lalu, apa tujuan kamu cerita masalah ini ke aku?"
Karen mengepulkan asap dari mulutnya ke wajah Mel, membuat Melanie terbatuk-batuk.
"Bima baik sama kamu hanya untuk membuat aku cemburu.
Jadi, jangan pernah berharap dia naksir kamu. Daripada kamu
patah hati nantinya, lebih baik kamu jauhi Bima."
"Denger ya, Miss Kerempeng, aku rasa kamu nggak punya
hak sama sekali untuk?"
Tiba-tiba Karen mencengkeram keras kedua pipi Mel. "Heh!
Jangan berani macem-macem sama Karen! Aku ini rela melakukan apa saja untuk mendapatkan cowok Montaimana.
Nggak peduli siapa itu. Mau Oscar atau Bima, buat aku nggak
masalah sama sekali. Kalau perlu, J.B. Montaimana sekalian!"
Mel balas mencengkeram pipi Karen. "Heh! Jangan macemmacem juga sama Melanie Adiwijoyo. Gue bisa berbuat nekat
kalo elo sampai macem-macem pada orang sebaik Bima! Bahkan gue bisa ngubrak-abrik muka cantik lo, tau!" ucap Mel
sambil mendorong wajah Karen. Cengkeraman tangan Karen
di pipi Mel terlepas. Kemudian Mel menyambar tasnya dan
pergi meninggalkan Karen.
Kafe Soda pukul 15.03.

Canting Cantiq Karya Dyan Nuranindya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Prang! Sebuah piring terempas dari tangan Karen. Dengan
cepat Bima mencengkeram lengan cewek tinggi semampai itu.
"Keluar kamu!" Amarah Bima sudah nggak bisa terbendung
lagi. Karen memang nggak tau diri hari itu. Nggak ada angin
nggak ada hujan ia dateng ke Kafe Soda cuma untuk ketemu
170 Bima. Padahal dari tadi sambutan Bima sangat nggak bersahabat. Makanya Karen sengaja bikin kegaduhan dengan
membanting piring kafe yang jelas membuat semua mata langsung tertuju pada mereka berdua.
"Aaww! Bima, sakit!" Karen menjerit tertahan. Dia nggak
nyangka Bima akan sekasar itu.
Mata Bima berkilat marah saking menahan emosi. Urat di
sekitar rahangnya berkedut-kedut.
"Oke, oke, tapi kita perlu bicara. Kamu nggak pantes memperlakukan aku seperti ini," Karen berucap selembut-lembutnya.
Bima berpikir sejenak. "Oke. Tapi jangan di sini."
Karen tersenyum semanis-manisnya dan memberikan kunci
mobil miliknya pada Bima. "Kamu yang nyetir."
Di dalam mobil Karen mengoceh terus, nggak peduli pada
Bima yang nggak menanggapinya sama sekali. Cowok itu hanya menatap lurus ke jalan tanpa ekspresi.
"Kamu makin cakep aja," ucap Karen sambil terus menatap
Bima. "Oscar nggak pernah bisa ngalahin kamu deh?"
Bima masih diam. "Aku masih sayang sama kamu, Bim. Sejak aku masih sama
Oscar, sampai detik ini?" Karen meletakkan telapak tangannya di paha Bima.
Dengan cepat Bima menepis tangan Karen. "Jaga sikap
kamu ya, Ren." Karen tertawa mengejek. "Kamu masih sama kayak dulu.
Polos?" "Apa maksud kamu?" Bima mengerem mendadak.
"Kamu perlu seseorang yang lebih berpengalaman, dan tentu
saja yang pantas mendampingi kamu memimpin Montaimana
Group nantinya. Orang itu adalah" aku."
171 Bima tertawa sinis. "Kamu" Montaimana Group hanya perlu
orang-orang pekerja keras dan nggak pantang menyerah. Bukannya cewek nggak tau etika seperti kamu!"
"Tapi aku pekerja keras dan nggak pantang menyerah, Sayang. Buktinya, bertahun-tahun aku terus mengharapkan cintamu?"
"Eh, jangan panggil aku dengan sebutan itu."
"Kenapa" Apa aku nggak pantas menjadi pendamping kamu?"
"Iya. Aku sudah punya calon yang lain. Lagian, aku juga
nggak tertarik dengan cewek seperti kamu."
Kuping Karen terasa panas. Bima punya yang lain" Siapa
cewek yang bisa menyainginya" Siapa cewek yang bisa mengalahkan keseksiannya" Kecantikannya"
"Siapa" Cewek yatim-piatu keturunan Adiwijoyo itu?" tanya
Karen sinis. Bima menginjak gas kencang-kencang dan melajukan mobil
Karen dengan kecepatan tinggi.
"Bima, kita mau ke mana sih?"
"Kamu udah selesai ngomong, kan" Kita balik ke Kafe
Soda." Sampai di Kafe Soda, Bima langsung bergegas keluar dari
mobil Karen dan melemparkan kunci mobil pada cewek itu.
Ketika memasuki kafe, Bima terkejut melihat Mel ada di
sana. "M-mel?"" "Bim, gue ke sini cuma mau ngajuin surat pengunduran diri.
Itu aja," ucap Mel datar sambil bergegas pergi. "Oh iya, gue
nggak marah sama elo kok."
Karen menghentikan langkahnya ketika melihat Mel. Ia me172 natap gadis itu sinis. Kemudian ia mendekati Bima dan tanpa
malu-malu menarik dan mencium Bima. "Sayang, aku pulang
dulu, ya?" Refleks Bima mendorong tubuh Karen hingga cewek itu nyaris tersungkur. Karen emang sinting!
Mel yang melihat adegan itu langsung pergi meninggalkan
Kafe Soda. Hatinya hancur. Bima yang selama ini dikenalnya
sebagai cowok baik-baik, ternyata segitu murahannya di depan
Karen. Sampai membiarkan cewek itu menciumnya di depan
umum. Karen tersenyum penuh kemenangan meskipun jelas-jelas
sudah dilecehkan oleh Bima.
"Dengar ya, Ren. Dia, Melanie Adiwijoyo, adalah cewek
terhormat yang aku pilih. Bukan perempuan murahan seperti
kamu. Tolong, mulai detik ini, jauhi Oscar dan aku. Jauhi keluarga Montaimana."
Karen menoleh sesaat. "Oke, tapi dengan satu syarat."
"Apa?" "Cium aku." "Sinting!" "Hahaha!" Karen melangkah pergi sambil menyampirkan
tasnya di bahu. "Asal kamu tau, Bima, aku yang membakar
semua sketsa desain buatan Melanie. Dan suatu hari nanti aku
akan kembali untuk mendapatkan salah satu dari kalian"kamu
atau Oscar. Bagaimanapun caranya"."
173 SUASANA pagi ini begitu cerah. Secerah matahari pagi yang
menyinari pekarangan kos-kosan Soda. Burung-burung gereja
beterbangan dengan gembira. Terbang dari satu batang pohon,
hinggap di bubungan atap, lalu terbang ke batang pohon lain.
Mungkin sedang mencari sarapan untuk anak-anak mereka
yang berteriak-teriak di sarang tanpa bisa ikut terbang.
Tiba-tiba ada sesuatu terjatuh dari atas pohon. Plok!
"Hah" Apaan nih?" tanya Jhony sambil memegang benda
yang jatuh menimpa rambutnya yang mirip sarang burung itu.
Sesuatu yang lengket dan lembek membuatnya penasaran. Perlahan ia mendekatkan benda itu ke hidungnya. Ia mengendusendus dan langsung tersontak ketika menyadari benda yang
ada di tangannya adalah kotoran burung. "SOMPREEET!!!"
"Hahaha"!" Anak-anak Soda yang lain kompak tertawa
terpingkal-pingkal. Hari ini hari Minggu. Saka, Dara, Aiko, Dido, Ipank, dan
174 Mel sibuk mengecat rumah dengan warna baru yang lebih
catchy. Selain itu, biar ada nuansa baru, kata Eyang Santoso.
Jhony tampak duduk manis di kursi di bawah pohon. Kedua
kakinya diikat pada kaki kursi. Cuma dia yang dilarang habishabisan sama anak-anak Soda untuk ikutan ngecat.
Masalahnya, Jhony kan buta warna. Bisa gawat dia kalo ikutikutan ngecat rumah. Tapi penderitaan Jhony merupakan suatu
kebahagiaan buat Eyang Santoso. Soalnya, Eyang Santoso jadi
punya teman untuk main catur.
Sebuah motor berwarna hijau memasuki pekarangan Soda.
Semua mata langsung tertegun menatap pengendara motor
tersebut. "Ng" Aku ke kamarku dulu, ya"," dengan canggung Dara
berkata. Ia berhenti mengecat lalu masuk ke rumah.
"Aku juga," Aiko ikut-ikutan, dan disusul oleh Dido.
Mel mulai menyadari tujuan anak-anak Soda satu per satu
masuk ke dalam rumah ketika melihat Bima turun dari motor
hijau tersebut. Saka mengelap peluh yang membasahi keningnya sambil
menatap ke arah Melanie. "Saya juga permisi dulu, Mbak."
Tinggallah Jhony yang panik karena kakinya masih diikat.
"Woy, bukain iketannya dong!"
Ipank segera membantu Jhony membuka ikatan kakinya,
lalu mereka berdua masuk ke rumah. Ipank yang iseng,
mengedipkan sebelah mata ke arah Melanie.
"Pagi, Eyang"," sapa Bima pada Eyang Santoso sambil
membungkukkan setengah tubuhnya.
Eyang Santoso mengangguk lalu masuk ke rumah sambil
menyenandungkan lagu Bengawan Solo dan senyam-senyum
penuh makna. 175 Kini hanya Mel dan Bima yang ada di teras rumah. Mel
menatap wajah Bima tanpa berkata apa-apa.
Bima juga terdiam. Akhirnya mereka cuma liat-liatan tanpa
sedikit pun mengeluarkan kata-kata. Saking senyapnya suasana
di sekitar mereka, yang terdengar hanya debar jantung masingmasing.
"Bim, gue mau masuk du?"
"Eh, tunggu, Mel!" dengan cepat Bima menarik tangan
Melanie, mencegahnya masuk ke rumah.
Mel kembali menatap Bima, menunggu cowok itu bicara.
Agak lama Bima berdiam diri. Akhirnya Mel nggak tahan
juga. "Lo mau ngomong apa sih, Bim?""
"Hmm?" Bima mulai memberanikan diri memulai pembicaraan. "A-aku" mau minta maaf..."
"Untuk apa?" "U-untuk?" "Untuk kebohongan elo?" Mel buru-buru memotong. "Bim,
gue nggak marah kok sama elo. Gue cuma ngerasa dibohongi.
Tapi udahlah, lupain aja."
Bima menatap Mel lekat-lekat. "Aku nggak punya maksud
ngebohongin kamu sama sekali, Mel. Soalnya kan selama ini
kamu nggak pernah nanya ke aku."
"Iya, gue tau kok. Lagian gue juga nggak peduli siapa pun
elo. Gue nggak mandang orang dari statusnya."
Bima mengangguk. "Thanks ya, Mel."
Melanie mengangguk sambil tersenyum manis.
"Aku... aku khawatir banget sewaktu melihat kamu marah.
Aku nggak mau kamu pergi."
Mereka berdua terdiam. Sama-sama bingung mau berkata
176 apa lagi. Mel memperhatikan wajah ganteng Bima yang memang nggak bisa ditutupi meskipun cowok itu mengenakan
pakaian nggak bermerek sekalipun. Dalam hati Mel menunggununggu pernyataan "keramat" dari mulut Bima. Ia rela menunggu lama untuk mendengar Bima memintanya jadi pacarnya.
Ayo dooong, ngomong! jerit Mel dalam hati.
Lima menit berlalu. Bima terus terdiam tanpa berani menatap Mel. Kayaknya dia lagi berdoa agar penyakit gagapnya
bisa hilang untuk beberapa menit saja sampai ia berhasil mengutarakan isi hatinya.
"Hmm" Mel?"
"Ya?" dengan cepat Mel menjawab. Ya Tuhan, ia deg-degan
setengah mati. Seluruh tubuhnya gemetaran, kompakan sama
jantungnya. Come on, Bima".
"Hmm" a-aku" aku?"
"Ya?" Justru Mel yang semangat mendorong Bima supaya
melanjutkan kata-katanya.
"Aku" sa-sayang kamu... "
"Akhirnya!!!" teriak Mel senang. Yup, akhirnya kata-kata
"keramat" itu keluar juga. YESS!
Bima jadi bingung. "A-akhirnya apa?"
Mel jadi malu sendiri. Dasar mulut bocor. Ditahan dikit
kenapa sih" Kan tengsin kalau ketahuan dirinya sangat menanti-nanti Bima menembaknya. "Eh" nggak kok. Hehehe.
Trus?"" "Lho, trus apa?" Bima malahan balik bertanya dengan bingung.
"Iya, elo sayang sama gue, trus?""
Bola mata Bima memutar saking bingungnya. Ia mencoba
177 mencerna maksud Mel. "A-apanya yang diterusin" Ya" kamu
cantik, baik hati, pekerja keras. Aku nggak mau melihat kamu
sedih." "Apa nggak ada pertanyaan selanjutnya?"
"Pertanyaan apa" Nggak ada kok."
"Bener nggak ada?" Mel masih memancing.
Bima mengerutkan keningnya. Kemudian ia menggeleng.
Kwak" kwaaaaw"! Mel malu setengah mati. Ternyata saat
itu Bima emang sama sekali nggak berpikir untuk menembak
Mel, meminta Mel untuk jadi pacarnya. Dia cuma mau mengutarakan isi hatinya. Dia cuma pengen Mel tau bahwa dia
tertarik pada Mel tanpa embel-embel apa pun. Mel aja yang
kege-eran. Siapa juga yang mau nembak. Sial!
"Karen itu siapa lo, Bim?" Mel mencoba mengalihkan pembicaraan biar nggak makin tengsin.
Bima terdiam, seperti ragu membicarakan lebih jauh tentang
Karen. Tapi ia nggak bisa membiarkan wajah Mel menatapnya
lembut dengan penuh tanda tanya. "Dia cuma cewek matre
dan gila kekuasaan, yang nggak pernah tau arti kata mencintai
dan dicintai." Tatapan Bima menerawang jauh. Dia menghela
napas kesal. "Dia mantan pacar Oscar, adikku."
Mendengar kalimat jujur Bima, Mel mulai merasakan keraguan yang luar biasa. Ada apa dengan Bima, Oscar, dan Karen"
Kenapa Karen sampai rela datang ke Kafe Soda menemui
Bima" "Semua salah aku. Semua terjadi begitu cepat?" Mata Bima
berkilat merah. Kelihatannya ia sangat emosi menceritakan
soal Karen. "Oscar sangat menyayangi Karen. Dulu aku dan
Oscar tinggal di Amerika. Karen juga sekolah di sana. Sampai
178 suatu hari Karen main ke apartemen aku dan Oscar. Waktu itu
Oscar sedang pergi. Entah kenapa saat itu Karen sangat agresif.
Dia?" "Dia kenapa?" "Dia mencium aku. Saat itu aku mencium aroma alkohol
dari mulutnya. Dia mabuk. Saat itu Oscar datang dan langsung
mengira aku berbuat macam-macam dengan Karen. Sejak saat
itu hubungan aku dan Oscar kurang baik."
Jantung Mel berdegup keras. Tapi ia berusaha kelihatan tenang. Ia meletakkan telapak tangan kanannya di punggung
tangan Bima, mencoba menenangkan cowok itu yang tampaknya mulai emosi.
Bima menatap Mel tajam. Seakan tak percaya dengan cara
Mel menenangkannya. "Karen memang cewek yang nggak tau
bagaimana mencintai dan dicintai," Bima mengulangi kalimatnya. "Aku sudah tahu jelas bagaimana mencintai seseorang?"
"Tahu jelas gimana, Bim?"
"Ya" cara aku mencintai seseorang adalah dengan menemaninya mencari kain, menolongnya membereskan perabotan
kafe, menjaganya saat dia terlelap kecapekan, dan menenangkannya saat dia merasa nggak mampu melakukan sesuatu sendiri." Bima menatap Mel tajam, membuat Mel nggak bisa berpaling dari tatapan Bima. "Aku tau rasanya mencintai, tapi
aku juga ingin dicintai?"
Wajah Mel memerah. Jantungnya berdetak kencang. Tanpa
sadar tangan kirinya mencengkeram rok kuat-kuat. Ia menengok ke arah rumah dan menyadari anak-anak Soda sedang
berdiri di belakang pintu, berebut menguping pembicaraan mereka. Termasuk Eyang Santoso.
179 "Kayaknya ada yang nguping," bisik Mel pelan.
"Iya, aku udah tau dari tadi kok. Biarin aja."
Tiba-tiba deru suara mesin mobil memecah keheningan. Mel
dan Bima menengok ke arah datangnya mobil sambil mengerutkan kening. Anak-anak Soda dan Eyang Santoso pun ikutan
penasaran dengan orang yang berada di dalam mobil tersebut.
Siapa sih, pagi-pagi bertamu" Kok kayaknya nggak familier
ya" Sesosok lelaki berambut kuning mentereng kayak lampu trotoar, berkacamata hitam dan berjas hitam turun dari dalam
mobil. Siapa tuh" Kayaknya nggak ada yang pesen tukang sulap deh.
Dari kejauhan pria itu berteriak dengan lantangnya tanpa
malu-malu, "HEI, MELANIE! APA KABAR?"
Melanie menatap sosok pria tersebut, mencoba mengenalinya. Akhirnya ia tau siapa gerangan pria berambut kuning itu.
"Pak Thomas?" "Hai, apa kabarmu saat ini" Hahaha?" Tanpa ragu Pak
Thomas langsung memeluk Melanie erat-erat.
"Ng" eh, baik, Pak Thomas." Dengan canggung Mel tersenyum maksa. "Tumben sekali, Pak. Ada apa nih?" Mel bertanya sambil menunjuk rambut kuning Pak Thomas. "Itu
rambut kenapa bisa kuning begitu, Pak?"
"Hahaha?" Pak Thomas tertawa tiba-tiba. Mel dan Bima
aja sampai tersentak saking kagetnya. "Gini-gini saya ini pengacara gaul. Selalu mengikuti tren."
"Oh" ookeee"." Mel cuma bisa nyengir sambil manggutmanggut dan menoleh ke arah Bima.
"Gimana, gimana" Sudah betah tinggal di sini?" tanya Pak
Thomas. 180 "Ya" gitu deh, Pak," jawab Mel. "Oh ya. Kenalin, ini


Canting Cantiq Karya Dyan Nuranindya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bima, Pak." Pak Thomas menjabat tangan Bima dan menyebut namanya.
Kemudian ia mencopot kacamatanya, mengingatkan Mel kembali pada bentuk mata Pak Thomas yang kelihatan sangat
cantik dengan bulu mata panjang dan lentik. Jangan-jangan
tiap pagi bulu mata Pak Thomas dijepit dulu. Jelas aja Mel
langsung cekikikan. "Langsung saja ya." Kebiasaan Pak Thomas yang pengen
selalu to the point ternyata nggak pernah berubah. "Saya ke sini
membawa dua kabar," ucap Pak Thomas sambil menunjukkan
jari tengah dan telunjuknya. "Satu adalah kabar baik. Dan
yang satunya lagi adalah kabar buruk mungkin. Kamu mau
yang mana duluan?" Mel menggigit bibir bawahnya.
"Saya beritahu kabar buruknya dulu saja." Ini juga kebiasaan
Pak Thomas yang nggak berubah. Selalu menjawab sendiri
pertanyaan penting yang dia ajukan untuk orang lain sebelum
orang tersebut sempat menjawabnya. "Kabar buruknya adalah"
tidak lama lagi kamu akan meninggalkan tempat ini."
Mel mendadak pucat pasi. Jantungnya berdetak kencang.
Apa maksud Pak Thomas bicara begitu" Padahal Mel udah
mulai kerasan di tempat ini. Padahal Mel masih punya mimpi
dengan label pakaiannya. Padahal Mel udah sayang banget
sama Eyang Santoso, Ibu Aryati Sastra, dan anak-anak Soda
lainnya. "Mak-maksud Pak Thomas apa?"
"Yah itulah berita buruknya. Sebentar lagi kamu nggak tinggal di sini lagi. Yah" mungkin sekitar seminggu lagi."
"Iya, tapi kenapa, Pak?" Mel mulai panik.
"Tunggu saya memberitahukan berita baiknya." Pak Thomas
181 berkata sambil mengacungkan telunjuknya. Berita baiknya"
bulan depan kamu akan berangkat ke Paris untuk kuliah di
sana. Sebelum wafat, ayah kamu sudah mempersiapkan semuanya untuk kamu. Sekolah fashion design terbaik di dunia. Di
sana kamu akan bertemu dengan Oom Ardi, sahabat almarhum
ayahmu, untuk mengurus segala sesuatunya. Kamu akan tinggal
dengan mereka." Mel mematung saking kagetnya mendengar berita dari Pak
Thomas. Ia pikir ia sudah sangat shock dengan berita buruk
dari Pak Thomas. Tapi ternyata ia lebih shock saat mendengar
berita baiknya. "Wah, selamat ya, Mel!" Bima menjabat tangan Mel. Tapi
Mel sama sekali nggak ngeh. Pikirannya sibuk melanglang buana.
Eyang Santoso dan anak-anak Soda keluar dari rumah, lalu
bergabung dengan Bima, Pak Thomas, dan Mel.
"Hei, Mel mau sekolah di Paris!" Bima memberitahu yang
lain dengan senang. Kontan saja anak-anak Soda menjerit
bahagia. Tapi Mel masih aja bengong kayak orang bego. "Gue nggak
mimpi, kan" Gue nggak mimpi, kan?" tanya Mel sambil menampar wajahnya sendiri. "GUE NGGAK MIMPI! AAARKH!"
Pak Thomas dan anak-anak Soda langsung jantungan mendengar teriakan Mel yang sangat mendadak itu.
"GUE BAKAL KULIAH DI PARIIISSS!!!"
Mel benci perpisahan. Ada yang bilang, kalau kita menyayangi sesuatu, kita harus
182 siap bila sewaktu-waktu kehilangan sesuatu yang kita sayangi
itu. Mel mulai nggak yakin dengan keputusan yang ingin dia
ambil. Apa keputusannya untuk kuliah di Paris dan meninggalkan teman-temannya di Soda benar"
Mel membolak-balik halaman majalah fashion di tangannya
untuk meredam kekalutan hatinya. Apa yang bisa diperbuatnya
untuk anak-anak Soda dalam waktu kurang dari sebulan"
Anak-anak Soda sudah membuatnya menjadi lebih dewasa dan
mandiri. Foto Bjork dengan baju angsanya terpampang di majalah.
Mel mulai menilai penampilan penyanyi itu. "Hmm" Kenapa
dengan baju angsa ini Bjork dibilang crime of fashion?" Mel
kembali berpikir keras. Sebenarnya apa sih yang disebut
fashion" Terus, gimana dengan Jhony yang buta warna yang
nggak tau arti kata matching, Aiko yang selalu terlihat vintage,
atau Dara yang berpenampilan funky" Apa sekarang mereka
termasuk crime of fashion, karena saat ini trennya udah berubah" Lalu bagaimana dengan merek-merek mahal yang digandrungi Mel dan teman-temannya sewaktu di Jakarta" Bahkan
banyak orang sampai rela nggak makan hanya untuk membeli
produk bermerek. Apakah merek mahal selalu punya kualitas
bagus" Satu per satu wajah anak-anak Soda melintas di benak Mel.
Jhony, Dara, Ipank, Aiko, Saka, Dido, dan Bima. Ia beranjak
dari tempat tidur dan mengambil dompet serta kacamata hitam
dari dalam tasnya. Saat turun ke lantai bawah, Mel melihat Saka sedang duduk
di ruang tamu. "Saka, lo bisa nganterin gue ke Pasar Malioboro, nggak?" tanya Mel pada Saka.
183 Saka terdiam sejenak. "Waduh, hari ini saya ada janji dengan teman saya untuk main band, Mbak," jawab Saka. "Minta tolong Mas Ipank untuk mengantar saja, Mbak. Mas Ipank
pasti mau." Mel ragu dengan saran yang diberikan Saka. Tapi ia sangat
ingin ke Malioboro. Ide briliannya bakalan hilang kalau nggak
cepat-cepat diwujudkan. Setengah berlari, Mel menaiki tangga menuju kamar Ipank.
Tiba di depan pintu kamar Ipank, Mel menarik napas panjang. Kemudian ia mengetuk pintu kamar Ipank pelan. Agak
lama Mel menunggu. Mel mengetuk sekali lagi. Pintu kamar
Ipank akhirnya terbuka dan".
"AKKKRRHHH"!!!"
Mel berteriak dan langsung menutup wajah dengan tangannya. Yup, apa lagi kalau bukan karena kebiasaan Ipank yang
doyan bertelanjang dada. Kali ini lebih ekstrem lagi. Ipank
hanya mengenakan handuk untuk menutupi bagian bawah tubuhnya. Kalung dengan bandul lempengan besi kotak melingkar di lehernya.
Ipank juga ikutan panik. "Sori, Mel" gue habis mandi.
Tunggu lima menit lagi ya." Pintu kamar buru-buru ia tutup
kembali. Mel mengelus dada sambil ngos-ngosan. Sialan tuh Ipank.
Udah dua kali Mel melihat Ipank telanjang dada kayak gitu.
Kalau sampai tiga kali, bisa-bisa Mel langsung dapat hadiah
payung cantik. Pintu kembali dibuka. Kepala Ipank nyembul dengan bibir
nyengir lebar. "Masuk, Mel."
Mel sangat canggung. Mana pernah ia masuk kamar cowok"
184 Ipank yang menyadari gelagat Mel langsung berusaha menenangkan. "Nggak apa-apa, Mel. Pintunya dibuka aja."
Mel melangkah masuk. Kamar Ipank sangat di luar dugaan
Mel. Ipank yang punya penampilan semau gue itu ternyata
punya kamar yang superrapi. Nggak seperti kamar cowok pada
umumnya yang penuh tempelan poster, di kamar Ipank cuma
ada satu poster, poster seorang pemanjat tebing di Grand
Canyon. Poster itu pun dibingkainya dengan rapi. Nggak ada
sama sekali kesan jorok yang terlihat.
"Ada apa, Mel?" tanya Ipank sambil menggosok-gosok kepalanya dengan handuk.
"Hmmm" elo mau nggak, nganterin gue ke Malioboro?"
"Boleh aja," jawab Ipank tanpa ragu. "Jam berapa?"
Mel mengangkat bahu. "Terserah. Sekarang juga nggak apaapa."
"Boleh." "Oke," jawab Melanie puas.
Siang itu matahari lumayan terik. Cukup untuk membuat
kulit jadi kecokelatan. Kalo cokelatnya cokelat eksotis sih
alhamdulillah. Nah, kalau cokelatnya cokelat dekil" Gawat,
kan" Tapi untungnya Mel selalu merawat diri. Dia nggak pernah
lupa memakai lotion dan sunblock. Biar kulit nggak kering.
Dengan membonceng motor Ipank, Mel melaju menuju
Jalan Malioboro. Ternyata panasnya Jogja nggak kalah hot-nya
dengan Jakarta. Baru beberapa meter, tubuh Mel udah langsung
berkuah. Cewek itu emang gampang keringetan.
Tak lama kemudian, motor Ipank berbelok memasuki Jalan
Malioboro yang padat manusia. Mulai dari orang jualan, orang
belanja, orang nongkrong, gelandangan, sampai orang asing,
semua tumplek blek di situ.
185 Ipank menghentikan motornya di pelataran parkir. Petugas
parkir berseragam biru tersenyum ramah sambil mengusap peluh yang membasahi keningnya.
Mel terdiam menunggu Ipank yang sibuk menggembok motornya. Kemudian cewek itu mengikuti Ipank masuk ke Pasar
Beringharjo, pasar yang terkenal dengan penjual batiknya. Ketika menyeberangi jalan, Ipank menarik tangan Mel dan menggenggamnya seakan khawatir Mel akan tertabrak kendaraan
yang melintas. Terus terang, jalanan di sekitar Malioboro memang superpadat.
Mel tampak tertegun menatap barang-barang yang dijual di
pasar. Di Jakarta lagi heboh gaya street look. Banyak toko dan
butik mahal yang menjual produk-produk bermerek yang mendukung gaya tersebut. Kemeja dengan warna yang seolah kelunturan, celana jins sobek-sobek, sepatu Converse dengan
motif cipratan cat, dan lain-lain. Tapi kenapa di pasar ini justru menjual barang-barang sebaliknya" Hampir semua barang
bermerek ada di pasar ini. Palsu pastinya. Tapi kenapa orangorang di sana tetap membeli meskipun tau banget kalo barangbarang itu jelas-jelas palsu"
Setelah puas berkeliling, Mel akhirnya berhasil mendapatkan
barang yang ia cari-cari.
"Jadi lo ke sini cuma untuk cari kain warna-warni?"
Mel mengangguk sambil menyedot es kelapa mudanya dalam-dalam. Setelah selesai belanja, Ipank mengajak Mel minum es kelapa muda di sebuah warung kecil.
"Buat apa, Mel?"
"Ada deh!" jawab Mel penuh rahasia. Ia konsentrasi menikmati es kelapa mudanya tanpa menengok ke arah Ipank.
186 "Kita pacaran yuk!" tanpa basa-basi, Ipank "menembak"
Mel. Glek! Saking kagetnya, Mel sampai tersedak. Ia langsung
batuk-batuk. Mata cokelat Ipank menatap lurus ke bola mata
Melanie, membuat Mel nggak bisa berkata-kata. Dalam hati
Mel sibuk mencari jawaban. Ipank memang spontan dan menarik, tapi Mel lebih menyukai Bima. Tanpa melihat kekayaan
Bima, Mel lebih suka cowok yang pembawaannya tenang
kayak Bima. Bukannya cowok yang sradak-sruduk kayak Ipank
gini. Ketika Mel sibuk memikirkan jawabannya lebih dalam, mendadak Ipank justru tertawa terpingkal-pingkal.
"Kenapa lo ketawa?" Mel jadi heran.
"Habis elo lucu sih. Lo langsung percaya gitu aja kalo gue
nembak elo" Nggak mungkinlah gue nembak elo."
"KURANG AJAR!" Mel berkata sambil memukul-mukul
lengan Ipank. Padahal Mel nyaris menjawabnya.
"Kemungkinan gue nembak elo itu dulu. Waktu gue masih
umur delapan tahun. Hahaha?"
"Emangnya kenapa?"
"Karena waktu kecil elo cantik. Nggak kayak sekarang.
Hahaha"!" Ipank nggak berhenti ketawa.
"SIAL!" Ipank menghela napas panjang. "Gue udah cinta mati sama
seorang cewek. Penampilannya sih biasa. Cantik sih, tapi sederhana banget. Suaranya lembuuut banget. Gue orang yang
paling susah dibilangin kalau urusan berangkat naik gunung.
Tapi dia satu-satunya orang yang sanggup melarang gue naik
gunung. Udah hampir dua tahun gue naksir dia. Tapi gue
187 masih belum berani nembak dia. Gue cupu kalau di depan
dia." "Huahaha! Masa sih?"
"Iya. Makanya elo jangan kege-eran."
"Yee... siapa juga yang ge-er"
Ipak nyengir. Kemudian ia berkata, "Lagian" saat ini ada
yang jauh lebih mencintai elo dibanding gue..."
Siapa" Siapa yang lebih mencintai Mel" Kenapa mendadak
mulut Mel terkunci untuk bertanya lebih jauh siapa orang
yang mencintai dirinya" Bima-kah orangnya?"
Biasanya hari Senin adalah hari yang paling membosankan
buat Mel. Tapi beda banget dengan hari Senin ini. Mel kelihatan sangat bersemangat datang ke Galeri Aryati Sastra.
Hari ini ia akan melihat desainnya terpampang di galeri.
Makanya ia disuruh datang agak pagi. Soalnya mereka akan
menentukan harga tiap desainnya.
"Kamu mau jual dengan harga berapa, Mel?"
Mel berpikir sejenak. "Harga paling murah aja, Bu. Yang
penting bisa mengembalikan biaya produksi."
Aryati Sastra agak terkejut dengan jawaban Melanie. Wajahnya memancarkan kebimbangan yang luar biasa.
"Saya pikir" gimana orang Indonesia mau mencintai batik
dan kebaya kalau harganya di Indonesia malah mahal," Mel
beralasan. Aryati Sastra melepas kacamata bacanya. Menatap Mel tajam sambil tersenyum bangga. Bangga karena Mel tidak menilai kemampuannya berdasarkan materi. "Tapi, apa kamu
tidak memperhitungkan harga sebuah kreativitas?"
188 "Justru itu, Bu. Desain pakaian saya hanya dijual di butik
Aryati Sastra. Jumlahnya juga hanya beberapa potong setiap
model. Jadi orang akan datang ke butik Ibu kalau mereka
betul-betul menginginkan pakaian itu."
Aryati Sastra mengangguk-angguk. Sebenarnya ia semakin
heran dengan jalan pemikiran muridnya yang cukup aneh itu.
Pukul 16.00, Mel pulang dari galeri. Tiba di Soda, ia tersenyum lebar saat melihat di Soda nggak ada orang. Ia langsung
berjalan menuju ruang setrika dan jemuran untuk meminjam
beberapa potong pakaian. "Ini kayaknya punya" Bang Jhony. Ini bajunya Ipank, Dara,
Aiko, Saka, dan" Eyang Santoso."
Mel membawa enam pakaian ke kamarnya. Saat ini ide gilanya sedang menjalar-jalar. Entah apa yang ingin ia lakukan
terhadap keenam pakaian itu.
"Oke, Mel. You can do it!"
Mel mengambil meteran dan mulai mengukur setiap pakaian
itu. Lebar bahu, lengan, pinggang, semua nggak lupa ia ukur
dan catat. Hingga malam tiba, Mel membereskan peralatannya dan tidur. Itulah yang ia lakukan setiap harinya setiap kali pulang
dari Kafe Soda atau dari Galeri Aryati Sastra. Entah apa yang
sedang ia rencanakan. Tapi yang jelas, ada sebuah hadiah kejutan untuk anak-anak Soda sebelum ia berangkat ke Paris.
Besoknya, Mel menyempatkan diri ke tukang jahit di seberang jalan Kafe Soda untuk mengantarkan kain, catatan ukuran badan, lengkap dengan desain model pakaiannya. Sebenarnya Mel sudah bisa menjahit, tapi dia belum pede. Ditambah
lagi, kalau dia harus menjahit delapan potong pakaian dalam
waktu singkat, mana keburu" Karena itulah Mel minta bantuan
tukang jahit yang ada di depan Kafe Soda.
189 "Usahakan cepat ya, Pak," pinta Mel pada tukang jahit berperawakan subur di hadapannya.
Tukang jahit itu mengukur panjang kain yang diberikan Mel
dan mengangguk-angguk yakin.
Mel tersenyum lebar, membayangkan hasil akhir idenya itu.
Semoga semuanya berjalan seperti yang ia harapkan.
Ini benar-benar terjadi. Sumpah, Mel sama sekali nggak menyangka ini bisa terjadi. Dia" akan". kuliah" di" Paris!
Tapi kenapa semuanya selalu saja begitu. Setiap kali Mel mulai
menyukai sesuatu, pasti sesuatu yang lebih baik akan mengakhirinya.
Besok adalah hari yang membahagiakan itu. Makanya malamnya Mel sibuk memasukkan semua barangnya ke dalam
koper sambil senyam-senyum kayak orgil. Kuliah di Paris rasanya deg-degan banget. Hampir sama kayak anak gadis mau
dilamar. Mel menatap mesin jahit putih di sudut ruangan. Ia kemudian mendekati benda itu dan langsung memeluknya dengan
perasaan bahagia. "Terima kasih, Eyang Melati."
Malam harinya, Aiko, Dara, Ipank, Jhony, Saka, dan Eyang
Santoso menatap delapan kotak di atas meja dengan wajah
bingung. "Hehehe" ini buat kalian berdelapan."
Aiko, Dara, Ipank, Jhony, dan Saka masih terdiam kayak
patung, tanpa menanggapi Mel yang begitu gembira menunjukkan kedelapan kotak itu.
190 "Hmm" aku nggak tau apa Eyang dan lainnya bakalan suka
sama kado dari aku ini," Mel berkata sambil nyengir. "Eiitts,
jangan dibuka dulu!" Mel memperingatkan Jhony yang sudah
siap mengulurkan tangannya. "Bukanya nanti ya, kalau aku


Canting Cantiq Karya Dyan Nuranindya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

udah berangkat ke Paris."
Eyang Santoso dan ketujuh anak Soda lainnya menurut.
Walaupun senang mendapat hadiah, dalam hati kecil mereka
sedih karena Mel akan meninggalkan Soda".
Pagi-pagi banget Mel diantar oleh Ipank, Dara, dan Jhony ke
bandara. Aiko dan Dido nggak bisa nganterin karena harus
sekolah. Sedangkan Saka harus jagain Eyang Santoso di Soda.
Entah kenapa Bima nggak kelihatan pagi ini. Sebenarnya Mel
sangat menyesali ketidakhadiran cowok itu. Tapi apa mau dikata. Mungkin Bima sibuk banget. Handphone-nya juga nggak
aktif. Tapi sekitar lima belas menit setelah Mel dan yang lainnya tiba di bandara, Bima tergopoh-gopoh lari ke arah mereka.
"Bima?"" bisik Mel ketika melihat sosok Bima dari kejauhan.
Ketika tiba di hadapan Mel, dengan cepat Bima berkata.
Masih sedikit gagap, tapi nggak separah waktu itu. "Maaf"
aku terlambat. Aku tadi udah buru-buru banget" Tokonya
belum buka, jadi" aku harus nunggu toko itu buka dulu. Aku
mau ngasih kamu ini"," ucap Bima lembut sambil menyodorkan sebuah boneka kucing kecil dan sebuah kotak biru.
"Aku" aku nggak bisa ngasih kamu apa-apa" dan nggak tau
harus ngasih kamu apa."
191 Aku pengen kamu jadi pacar aku, Bima! jerit Mel dalam hati.
Tapi yang keluar dari mulut Mel adalah, "Thanks ya. Kamu
udah capek-capek begini hanya untuk ngasih gue ini?"
"Deileee" Romantisnyaaa"," Dara berkata dengan tampang
mupeng sambil bergelayut pada Jhony.
Bima menatap Mel tajam. Bibirnya tersenyum lembut. Kini
Bima menarik Mel dalam dekapannya dan mengecup lembut
rambut Mel yang harum sampo beraroma buah-buahan. Mel
kaget luar biasa. Bima nggak pernah seberani ini. Mel merasakan sensasi yang luar biasa dalam pelukan cowok itu. Seluruh
tubuhnya merinding didekap begitu erat oleh Bima.
"Take care, ya. I"m gonna miss you" Dik," bisik Bima sambil
menempelkan pipinya ke rambut Mel.
Apa" Adik" Jadi selama ini Bima menganggap Mel seperti
adiknya" Detak jantung Mel bergerak cepat. Bima, aku pengen
jadi pacar kamu, bukan adik kamu. Tapi dalam hati Mel begitu
menikmati adegan ini. Kedua matanya terpejam, tenggelam
dalam kehangatan tubuh Bima dan aroma khas tubuhnya. Entah mengapa air matanya menetes, "I"m gonna miss you too...
Bima?" Ipank melempar kerikil di tangannya. Saat ini ia dan Bima
duduk di bawah pohon kelapa di dekat pantai. Memandang
ombak dari kejauhan. "Kenapa elo tetep nggak ngomong ke Mel?"
"Gue masih nggak yakin dia suka sama gue, Pank."
"Dia suka sama elo, Bim. Gila ya, sampai detik terakhir
ketemu dia pun elo masih nggak ngomong sama sekali."
192 "Setidaknya dia tau kalau gue sayang sama dia."
"Lo puas cuma bisa ngomong sebatas itu?" tanya Ipank setengah tak percaya. Mimik mukanya terlihat serius sekali.
"Ya nggak. Tapi suatu saat nanti, gue pasti punya keberanian
untuk minta dia jadi pendamping gue."
"Oke, tapi kapan" Sampai dia udah jadi nenek-nenek dan
pikun, sampai dia udah nggak bisa ngenalin elo lagi?"
"Bukan. Gue yakin, nggak lama lagi Mel akan balik ke
Jogja. Gue nggak takut long distance relationship. Jadi, saat Mel
kembali, gue akan tanya ke dia. Untuk saat ini, biarkan dia
fokus kuliah dulu. Gue nggak mau mengganggu kuliahnya.
Nanti kalau waktunya udah tepat, baru gue bilang ke dia."
Ipank menghela napas panjang. "Padahal semua skenario
yang gue buat udah perfect. Kalo tau akhirnya bakalan kayak
gini, mungkin lebih baik gue tembak Mel waktu itu."
"Kenapa elo nggak nembak dia?"
"Karena elo..." Ipank menerawang. "Gue sering mergokin
Mel menatap elo dalem banget. Saat itu gue yakin dia suka
juga sama elo. Dia pasti sangat menunggu elo nembak dia. Elo
tuh sempurna, Bim, tapi kenapa sih nyali lo bisa segitu ciut
kalau sama cewek yang elo sayang?"
"Iya. Tapi gue nggak sendiri kok, Pank..."
"Maksud lo?" "Elo bilang nyali gue ciut kalau deket cewek yang gue
sayang. Trus, gimana kabar Mr. Ipank yang selama bertahuntahun nggak pernah berani mengutarakan isi hatinya ke
Aiko?" "Hahaha! Sialan lo, Bim!"
"Hahahaha?" 193 Ipank merebahkan tubuhnya ke tanah sambil menatap langit
biru. "Gue rasa, setiap orang punya cerita masing-masing tentang kehidupannya. Dan gue" mungkin gue akan punya kisah
tersendiri dengan Aiko. Kita liat aja nanti."
194 "SELAMAT pagi Jogjakarta! Apa kabar Jogja pagi ini" Sudah
siapkah menantang pagi ini" Dara akan puterin satu lagu yang
asyik banget untuk menyemangati kamu semua di pagi ini. Ini
dia?" Ada yang bilang bahwa mimpi, harapan, dan cita-cita itu
beda banget. Ya, ternyata ketiga kata itu memang berbeda.
Dan kita tetap nggak akan pernah tau apa beda ketiga kata itu
sebelum kita mengetahui tujuan hidup kita.
Seminggu yang lalu Mel terbang ke Paris. Meninggalkan
Eyang Santoso, meninggalkan anak-anak Soda, dan meninggalkan label pakaian barunya di butik Aryati Sastra.
Soda masih menjadi tempat yang nyaman untuk semua
orang. Nggak kurang, nggak lebih. Eyang Santoso masih rajin
berbicara dengan Richard, beo kesayangannya, membaca bukubuku yang ada di perpustakaan, dan mengisi penuh setiap TTS
yang dibelikan anak-anak Soda. Mel memberikan Eyang
Santoso syal putih yang nyaman sekali untuk menemaninya
195 setiap hari. Syal itu mengingatkan Eyang Santoso pada almarhum istrinya yang sangat menyukai warna putih.
Dara masih menjadi gadis ekstraenergi yang sibuk dengan
segala rutinitas, dari pagi sampai malam hari. Rambutnya yang
eye-catching hari ini ia tutup dengan jaket capuchon pemberian
Mel. Jaket unik bermotif batik shocking pink yang kontras dengan warna rambut Dara.
Saka seneng banget ketika mendapat hadiah dari Mel, berupa kemeja batik berkerah lebar yang terkesan sangat rock and
roll. Cowok Jawa yang polos dan sopan itu masih punya citacita jadi anak band. Masih sering bikin miniatur wayang, dan
masih rajin merawat sepeda onthel kesayangannya.
Setiap acara anak muda nggak pernah sepi kalau ada DJ
Dido, cowok berkacamata tebal yang punya otak brilian dan
jago bikin visual effect. Kebiasaannya menumpuk uang logam,
menjatuhkannya, dan komat-kamit masih belum berubah. Sebelum pergi, Mel baru tau bahwa kebiasaan Dido itu untuk
mengasah kemampuannya menghitung cepat. Cuma Dido yang
kelihatan terheran-heran dengan kado pemberian Mel. Ia mendapat sebuah rompi mirip rompi motor bermotif batik berwarna
hitam. Tapi karena Mel membuat ukuran Dido dengan sistem
kira-kira, rompi itu jadi mirip coat tanpa lengan karena kebesaran.
Aiko masih sering sakit-sakitan. Tapi sekarang ia punya kardigan baru yang pas dengan ukuran tubuhnya. Kardigan berwarna ungu muda dengan motif lekukan batik yang Mel buat
khusus untuk Aiko. Ia masih tetap jadi selebritas di sekolah
tiap kali ada PR. Dikejar-kejar untuk dimintain sontekan. Kamar Aiko semakin penuh dengan lukisan hasil karyanya. Sekarang dia lagi cinta banget melukis pemandangan.
196 Jhony masih setia dengan skuter pinky-nya. Buta warnanya
masih nggak sembuh-sembuh. Makanya dia masih aja ngotot
bahwa skuternya itu berwarna oranye ngejreng, bukannya pink.
Cowok itu juga masih sering mewek kalau lagi nonton sinetron. Mel memberi Jhony kemeja plus dasi dengan warna yang
maching banget. Tapi sayangnya, Jhony masih nggak bisa memadukan warnanya dengan celana miliknya.
Ipank" Cowok ini masih jadi pentolan senat mahasiswa. Masih sering naik-turun gunung, dan masih emosian. Ipank juga
masih naksir berat pada Aiko tanpa pernah berani mengutarakannya langsung. Ipank seneng banget Mel ngasih dia celana
bahan dengan model penuh kantong yang keren.
Bima" cucu pertama J.B. Montaimana yang pendiam itu
masih sederhana dan baik hati. Masih jadi pengelola Kafe
Soda. Sekarang setiap pagi Bima latihan suara di depan kaca,
biar penyakit gagapnya kalo lagi grogi bisa sembuh. Cowok itu
sering diajak kondangan sama orangtuanya di Jakarta. Dan apa
yang dia pakai" Kemeja batik hitam hadiah dari Mel yang didesain dengan sangat keren.
Dan Melanie" Gadis cantik itu mempunyai kebiasaan baru
di Paris, yaitu menikmati secangkir cappuccino di sebuah kafe
kecil sebelum ia berangkat kuliah. Di dalam tasnya, kepala
boneka kucing yang selalu ia bawa ke mana-mana menyembul
keluar. Mel mengeluarkan boneka kucing itu dan menatapnya
dalam-dalam. Mata boneka itu mengingatkannya pada mata
Bima yang jernih dan lembut. Ia menyentuh bandul kalung
boneka itu dan mengerutkan keningnya karena menyadari ternyata bandul itu bisa dibuka. Bandul itu berisi kertas. Mel
mengeluarkan kertas tersebut dan membuka lipatannya"
197 Wanita itu bernama Melanie Adiwijoyo"
Saat pertama kali dia hadir, aku kira dia
hanyalah seorang cewek kaya yang manja. Tapi hari
itu aku melihatnya berbeda. Ada semangat di matanya.
Semangat untuk terus belajar dan mensyukuri apa yang
dimiliki. Darinya aku paham bahwa hidup berarti
menemukan, menghadapi, dan memecahkan masalah. Aku
bahagia saat melihatnya tertawa dan berbicara tanpa
henti. Saat itulah keindahan seorang wanita terpancar
dari matanya. Aku akan selalu mendoakan yang terbaik untuknya.
Saat ia kembali nanti, aku berharap ia telah
mencapai semua impiannya. Karena aku ingin dia
bahagia dan akan selalu bahagia. Apa pun jawabannya
nanti, dengan atau tidak bersamaku, aku akan tetap
menunggunya di Jogja"
- Bima - Mel menutup kertas di tangannya, beranjak dari tempat
duduknya sambil tersenyum bahagia. Ingin rasanya ia memeluk
Bima saat ini. Merasakan kehangatan aroma tubuhnya dan
tatapannya yang lembut. Mel berjanji pada dirinya sendiri, secepatnya ia akan kembali ke Jogja. Kembali ke Soda. Bersama
Bima. Paris memasuki musim dingin saat ini. Mel berdiri di tengah
198 sebuah taman, menghirup udara Paris dalam-dalam dengan kepala menengadah ke langit. Di sekelilingnya tampak pasanganpasangan muda duduk di kursi-kursi taman.
Mel tersenyum lebar, kemudian memasukkan kedua tangannya ke mantel barunya. Mantel pemberian Bima sewaktu di
bandara. Tiba-tiba tangannya menyentuh kertas kecil di dalam
kantong mantel itu. Mel menariknya dan membaca tulisan
yang tertera di sana. Paris masuk musim dingin. Aku khawatir kamu kedinginan.
Bima. Di Jogja, Galeri Aryati Sastra nggak pernah sepi pengunjung.
Sekarang ini nggak cuma orang tua saja yang datang ke sana,
tapi juga anak-anak muda. Bahkan orang-orang dari Jakarta
pun banyak yang datang untuk membeli pakaian di butik itu.
Saat ini, di mal-mal, kafe, restoran, dan tempat-tempat nongkrong anak muda penuh dengan remaja yang mengenakan
batik. Jadi susah dibedain mana yang trendsetter dan mana yang
follower. Batik udah kayak virus yang menyebar tanpa bisa dibendung.
Orang jahat-orang baik, kaya-miskin, semua jadi susah dibedain. Style memang penting untuk membentuk image seseorang. Bahkan kadang style almost everything dalam kepribadian.
Tapi sebenarnya, style dan kepribadian harus seimbang. Nggak
bagus juga kan, kalau style-nya bagus tapi kepribadiannya jelek.
Begitu juga sebaliknya. Di sudut lain, sekelompok ABG berjalan bersamaan menuju
199 loket penjualan tiket bioskop. Mereka tertawa renyah sambil
memamerkan pakaian mereka masing-masing. Model yang mereka kenakan sangat bervariasi dan unik. Semua orang di dalam bioskop jadi memperhatikan busana mereka yang agak out
of the box itu. "Kapan-kapan kita beli kebaya di sana lagi, ya!"
"Iya dong. Baju di Galeri Aryati Sastra emang bagus-bagus.
Mama juga sering beli kebaya di sana."
"Label baru yang khusus buat anak mudanya lucu-lucu ya!
Jadi pede jalan-jalan ke mal pake kebaya dan batik."
"Iya. Sebenernya, apa pun yang kita pake, kalau kitanya
pede, pasti bakalan kelihatan bagus."
"Banget!!!" Saat mereka berjalan, terlihat jelas label pakaian yang mereka kenakan di bagian pinggang.
Canting CantiQ Melanie Adiwijoyo 200 Tentang Pengarang Dyan Nuranindya merupakan penulis muda kelahiran Jakarta,
14 Desember 1985. Lebih sering mengagumi karya orang
dibandingkan karyanya sendiri. Bercita-cita menjadi dokter
spesialis jiwa, namun malah lulus dari S1 Manajemen ABFII
Perbanas Jakarta. Mengagumi gunung, tebing, lautan, lampulampu jalanan di malam hari, tempat-tempat tinggi, museum
dan bangunan-bangunan tua, sehingga tidak pernah menolak
diajak ke salah satu tempat itu. Penikmat segala jenis buku.
Bahkan buku-buku yang sama sekali tidak dimengertinya.
Lebih sering kalap kalau ke toko buku dibandingkan ke toko
baju. Fans berat film-film buatan Tim Burton yang terkesan
dark dan aneh yang membuatnya ikutan ngefans dengan aktor
Johnny Depp. Paling senang diajak ngobrol. Apalagi dengan
secangkir cappuccino kesukaannya di malam hari.
"Udah punya teenlit ini"
Gak gaul kalo belom baca!"
Karra, cewek tomboi yang jago main basket ini memang beda. Rambutnya nggak cepak seperti kebanyakan cewek tomboi. Tampangnya
manis. Terus, anaknya nyantai banget. Tapi kalo udah marah,
waaah" bisa gawat. Beruntung deh jadi cewek seperti Karra. Selain punya kakak cowok
yang sayang banget sama dia"namanya Iraz"teman-teman Iraz juga
care sama Karra. Terutama Ibel, cowok jago main gitar yang seneng
warna biru. Bahkan waktu harus kuliah ke luar negeri, Iraz malah
menitipkan Karra pada Ibel.
Selama ini Karra menganggap Ibel sebagai kakak, jadi dia cuek aja
waktu Ibel menunjukkan perhatian. Karra malah ditaksir Dira, anak
baru di sekolah yang juga jago main basket. Tampang Dira yang sok
cool tapi sengak bikin Karra sebel banget sama cowok itu. Tapi katanya batas antara cinta dan benci kan tipis banget. Iya nggak sih"
Gramedia Pustaka Utama "jangan lupa, baca juga teenlit
karya Dyan Nuranindya yang satu ini."
Sejak ditinggal sahabatnya waktu kecil, Keysha nggak percaya lagi
sama yang namanya sahabat. Baginya, lebih baik mencari banyak
teman daripada satu orang sahabat. Tapi semua berubah ketika dia
mengenal Aji"cowok berandal, brengsek, tukang bikin onar, dan
terkenal playboy di sekolah. Sejak mengenal Aji, setiap hari Keysha
selalu jantungan menghadapi semua perilakunya yang gampang emosian. Apalagi ditambah musuh-musuh Aji yang jumlahnya bejibun.
Keysha jadi merasa tidak aman dan terancam. Tapi, bagaimana jadinya kalau ternyata cowok brengsek macam Aji justru menaruh kepercayaan besar kepada Keysha sehingga ia berani menceritakan
rahasianya yang paling dalam" Dan apa jadinya kalau orang seperti
Aji akhirnya jatuh cinta pada Keysha"
Gramedia Pustaka Utama Ingin mendapatkan info buku terbaru
terbitan Gramedia Pustaka Utama"
Kirim SMS ke 9858 dengan format:
BB(spasi)Nama(spasi)Umur(spasi)Kota(spasi)
Alamat e-mail(spasi)Kategori buku yang disukai
Contoh: BB Putri 28 Jakarta buah_lucu@yahoo.com Manajemen
BB Esther 23 cheerchubby@yahoo.com Novel roman
Anda akan mendapatkan info buku-buku terbaru favorit
Anda dan info acara-acara yang diselenggarakan oleh
Gramedia Pustaka Utama.

Canting Cantiq Karya Dyan Nuranindya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tarif Rp 1.000 per SMS Melanie Adiwijoyo punya hidup yang sempurna. Sebagai anak
tunggal pengusaha ternama, sejak kecil Mel punya cita-cita jadi
model internasional. Tapi impiannya hancur ketika perusahaan
ayahnya bangkrut dan Mel terpaksa meninggalkan Jakarta untuk
tinggal bersama Eyang Santoso di Jogja.
Siapa sangka, Eyang Santoso nggak tinggal sendirian. Ia tinggal
bersama anak-anak kos yang punya penampilan aneh-aneh. Ada
Dara, cewek tomboi dengan rambut di-highlight pink. Ada Saka,
yang suka berpenampilan tradisional. Ada Ipank, anak gunung
yang temperamental. Ada Jhony, yang punya rambut kribo. Juga
ada Aiko, cewek berwajah oriental yang doyan banget pake
minyak telon. Nggak hanya mereka, ada juga Dido, cowok berkacamata tebal
dengan rambut jigrak kayak Fido Dido, dan Bima yang sangat
pendiam. Mel juga bertemu dengan desainer kebaya bernama
Aryati Sastra yang getol mengajarinya menjahit.
Sanggupkah Mel bertahan di lingkungan barunya, meninggalkan shopping, salon, dan teman-teman cantiknya"
Peri Angsa Putih 1 Pendekar Rajawali Sakti 179 Patung Dewi Ratih Rahasia Si Bungkuk Berjubah Putih 2

Cari Blog Ini