Ceritasilat Novel Online

Dibawah Kaki Pak Dirman 1

Dibawah Kaki Pak Dirman Karya Nasjah Djamin Bagian 1


Pasalyz: 1. Ba'angsiapadengan smgaja atau tanpa hak ntelakukanpethatan sehagaifnenadifnalsud dengan Pasal:
ayath] atau Pasal :.g ayath] danayat C:] d'pidana dengan pidana pmjara mashg-mas hg paling singkat 1
lsam] bulan damataude'idapalhg sedikit Rp1ma mapaisamytarupiah] ataupidanagenja'apalhg Iam
;rcijhnahm dan,!ateudendapalhg banyak Rpspmpmpgquclrnamilgarnpiah].
. Barangsiadadengen sengaja menyiarkan,ifne'neme'kanr mengedarkan, atau meanaI kanada umumsuanu
?: ciptaan atau harang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Te'kait sehagaimana dimakmd pada ayat h]
d'pidana dengan pidana penja'a paling lama 5taliun dan,!atau dmdapaling bayak Rpgggpgapgqog (Ima
ramsjutarupiah]. ii Kata Pengantar Di Bawah Kaki Pak Dirman, karangan Nasjah Djamin ini
mengisahkan seorang pelukis yang hidup gelisah, kesepian
dan diburu-buru perasaantak menentu.Hidupnya|iar, kurang
disiplin kerja, bertingkah laku aneh dantidak memperhatikan
diri sendiri. Akhirnya ia sampai pada kesimpulan, bahwa ia
akan dapat mengubah hidupnya bilamana ia sudah beristri.
Dengan gaya polos dan sederhana, pengarang mampu
mengangkat cerita bertema sederhana ini menjadi kisah
1yang mengaysikkan. Balai Pustaka '"q' ..."... iii
Daftar Isi Kata Pengantar .................................................................... iii
Dattarlsi .............................................................................. iy
Pertemuan ............................................................................ l
Turunan"Turunan Bangsawan ............................................. 12
Debu Bere mbun Di Labuh .................................................. 20
Di Bawah Kaki Pak Dirman .................................................. 32
Malam Abstrak ................................................................... 46
Repo dan Lusi ..................................................................... 5"
OrangDrang Gila ............................................................... 6"
Penyelundup Risau..?" ................................................. "5
Napitupulu Maupassant ..................................................... 82
Lengganglah Hati Di Malioboro .......................................... 91
Dialog-Dialog Di Emperno (Emperan) ............................... 103
Cerita Belum Bernama ..................................................... 111
Pengawal Malam .............................................................. 120
Sepasang Hari Sebelum Lebaran ...................................... 132
"Tape Ayu" ........................................................................ 146
Pertemuan Ketika botol bir yang kedua kusuruh buka, hujan
menderas di luar. Serombongan tamu masuk, tujuh orang.
Tiga laki"laki, empat perempuan. Malioboro sepi tertinggal,
berkilat hitam di balik tirai hujan. Pukul delapan seperempat
sudah, malam pekat. Tidak akan ada lagi tamu yang bakal
masuk ke restoran cina ini, malam hujan begini! Sejak aku
duduk tadi hanya ada dua laki"laki di sudut dekat kasir.
Sekarang jumlah tamu menjadi sepuluh orang.
Ketujuh tamu baru duduk berkeliling di meja besar,
bercakap"cakap dan penuh ketawa. Bau parfum yang enak
memenuhi ruangan. "Tentu bukan buatan dalam negeri,"
pikirku. "Mereka begitu berkilauan: pakaiannya dan
manusianyall Sudah pasti bukan orang Jogya," pikirku.
Di pekat hujan yang kelam, masih bisa kulihat plat nom or
oto mereka, Jakarta! Laki"laki yang seorang berkaca mata,
duduk menghadap ke sudut tempatku duduk, masih separoh
baya. Laki- laki yang satu lagi membelakangi aku, dan di
antara mereka duduk wanita"wanita yang kemilau. Laki"laki
itu berbadan besarjangkung dan kepalanya diputi hi uban.
Aku merasa dikecilkan oleh kehadiran mereka, atau
tepatnya oleh pakaian wol, kemeja luar negeri, dasi dan
sepatu mereka! Celana drilku yang sudah lusuh, kemeja
yang telah luntur warna, serta sepatuku yang telah: usang,
tiba"tiba sangat jelek rasanya de kat"dekat ke kemilau di meja
besar sana! "Masa bodoh", pikirku berbesar hati, "restoran
ini bukan untuk mereka saja." Aku pagi tadi baru menerima
duit dan aku ingin minum enak di sini sesampai duitku. Yang
menarik perhatianku bukan seluruh kelompok tujuh orang
itu. Cuma satu orang! Wanita mungil berkaca mata yang
tepat duduk menghadapi sudutku.
Tentu istri seorang dari laki-laki itu!
Sudah kuputuskan tidak menghiraukan meja besar itu,
ataupun si ayu yang senyumnya begitu lembut gemerlap.
Aku duduk diam"diam saja membuka majalah yang tadi
kubeli. Tapi mataku yang tak tahu di untung, selalu lari ke
wajah si ayu itu. Dan setiap aku memandang atau melirik, si
ayu kebetulan menangkap pandangku. Aku mengecam diri,
sebagai pencuri tertangkap basah. Senyumnya, matanya,
geraknya kenapa bisa begitu indah" Indah dan serba mahal"
Dunia iniseperti mereka yang empunya, dan aku terpencil di
sudutku, dalam kelusuhanku sendiri.
Sambil makan dan minum, suara mereka berkicau,
diseling" seling bahasa Belanda. "Tentu mereka ini semua
telah mendapat kesempatan ke luar negeri," pikirku be rpahit
hati. Dan mereka saling berganti mereguk kembali kenangkenangan manis romantisyang mereka alami di negeri orang!
"Selalu bisa saya kehilangan," kata si laki-laki berkaca
mata sambil tertawa. "Setiap kali saya menjejak tanah
air, saya rindu ke Paris atau Venesia. Saya benci kepada
London, benci kepada kabutnya yang tebal, benci karena
iniluensanya!" "Berapa kali LI sudah ke Paris?" tanya seorang wanita.
"Tiga kali, Meyrouw!"
"Ya, benar!" sela si laki"laki besar yang ubanan. "Ya
Meyrouw, het is waar wat hij zegt! O, dat ondragelijk
heimweegeyoel! Saya pernah mengalaminya. Bila berada
di Paris atau Riviera, saya rindu ke Tanah Air, apa saja
yang berasal dari Tanah Air, rasanya amat berharga sekali.
Keroncong yang sentimentil pun mempunyai harga. Tapi,
sebaik saya kembali di negeri sendiri, saya rindu ke Paris,
kepada museanya, terutama L'Ouyere. Rindu kepada teater"
teaternya, ke pada Eifeltoren."
Aku bersiul pelan menghilangkan kesal. Dan ketika
kuarahkan pandang kepada si Ayu itu kulihat bahwa ia hanya
mendengarkan dengan senyumnya, sambil melekapkan dagu
ke tangan. Mengikuti pembicaraan hanya dengan mata yang
takjub. Dan kembali mata kami bertemu. "Tidak," pikirku!
Aku termasuk kasta mereka! Begitu membosankan semua
omongan mereka tentang pengalaman"pengalaman indah di
luar negeri. Tetapi si Ayu itu jarang ikut berbicara; ia hanya
duduk sebagai pende ngarsaja, mengikat aku ditempat duduk,
walaupun aku ingin sekali lekas meninggalkan restoran yang
telahjadi milik mereka! Aku berkali"kali menangkap matanya,
permainan ini lalu agak mengesalkan. Juga mengesalkan
untuk sudutnya! Lalu kuputuskan, akan membenam diri di
sudutku, dan menutup mereka di luar hatiku. Kuraba urat
ditentang pelipisku, sudah tegang dan merenggang! "Alkohol
telah agak naik ke kepala," pikirku. Dan mataku mulai sepat.
Akutak tahu entah sudah berapa lama mereka kulupakan.
Hujan masih menderas di luar. Tapi tiba-tiba terdengar derit
kursi di lantai, dan si besar jangkung berkata, "Excuse me,
dames en here n! Ik geloof ...."
Dalam pandanganku yang mulai sepat, sedikit demi
sedikit wajahnya mulai menjelas, Ia berdiri di hadapanku. Dan
tiba"tiba aku dijalan' sikap kaku dan dingin! Aku mengangguk
diam, ketika ia mengatakan "selamat malam", dan meminta
izin duduk di mejaku. "Sudah lupa kepada saya?" tanyanya.
"Rasanya sekarang tidak!" kataku hambar.
"Ya, kau rupanya!" sambungnya. "Barusan tadi istri saya
menanyakan, apa saya mengenal orang yang duduksendirian
di sudut dan selalu melihat dia! Ha, kau rupanya! Berapa
belas tahun itu sudah?"
Aku diam saja. Benciku dari jaman dulu, melonjak tiba"
tiba. Dia bekas guruku sewaktu di HIS, (SR sekarang) jamanjaman beberapatahunsebelumJepang mendudukilndonesia.
Halim Harpan, lepasan HIK dan seorang yang "gelijkgesteld",
sederajad dengan bangsa Belanda waktu itu! Istrinya seorang
Belanda Indo. "Ya," katanya. "Ini istriku yang baru, setahun yang lalu
kami menikah. Kau ingat meyrouwku yang dulu" Sudah
meninggal sepuluh tahun yang lalu."
"Betul, betul, kau tidak lupa sama saya?" tanyanya lagi.
"Tidak lupa!" jawabku meyakinkan. "Tuan tetap seperti
dmuf Ia terdiam tegang sejenak, mendengar dipanggil dengan
"Tuan". Katanya, 'Nou, nou, Patih kenapa harus bertuan
kepada saya?" Aku ketawa tolol; kataku, "Maaf. Dulu saya panggil
Meneer, sekarang oh, baiklah akan saya panggil Pak, Bapak
Halim." "Ya, kita sudah tua bangka sekarang," katanya. "Kau
sudah dewasa, dan saya sedikit hari lagi pensiun, dan tibatiba satu hari, ilup! Mati! Tapi saya ikut bangga salah se orang
bekas murid saya jadi manusia. Saya baca kau sekarang
ternama dalam dunia seni. (Aku senyum tolol saja). Apa kau
bekerja makan gaji" Saya harap kau tentu seorang pegawai
menengah." Ia terdiam tiba-tiba ketika melihat celana dril dan
kemejaku yang usang. "Apakah yang terpikir olehnya kini?"
tanyaku dalam hati. Aku teringat jaman lalu ketika sekolah
kamiakanikut arak-arakan31Agustus,harilahirRatu Belanda
Wilhelmina. Aku murid yang paling miskin. Baju bertambal,
bersepatu pun tidak. Dan Meneer Halim memarahi aku,
"Besok mesti pake sepatu. Sepatu karet!"
"Saya tidak punya sepatu Meneer," kataku.
"Kenapa kamu tidak punya sepatu" Jangan bikin malu,
seperti anak-anak sekolah desa! Kamu bukan anak sekolah
Melayu liar!" Dan karena aku memang tak pemah sanggup
membeli sepatu, dan karena ia tak mau sekolahnya disebut
sekolah liar, dia mengeluarkan sekeping uang tengahan (50
sen) dan menyuruh aku membeli sepatu. Waktu itu aku
termasuk muridnya yang pintar, ia mencurahkan harapannya,
agar aku lulus ujian memasuki Mulo Gubememen (SMP
Pemerintah). Dan sebagai guru kepala yang baru diangkat
di HIS yang mendapat subsidi dari Pemerintah Belanda,
sekolah yang bukan liar, dia harus menunjukkan prestasinya.
Memang, akhimya aku menempuh ujian memasuki SMP
Pemerintah. Tapi semua hambar saja bagiku. Terutama
pemberiannya yang lima puluh sen untuk sepatu itu, selalu
kurasakan sebagai kejatuhan harga diri yang memang berada
di tingkat bawah. Bila ia memberi bukan karena perhitungan"
perhitungan gengsinya sebagai Inlander yang "gelijkgesteld",
tidak bersikap sebagai orang Belanda terhadap Inlander,
tentu perasaan terhina ini tidak ada padaku. Sejak soal
sepatu itu aku belajarmembencinya.
"Oh," kataku senyum. "Saya tidak pernah tamatkan
Mulo, saya sekarang pegawai biasa sederajad dengan ijazah
SR." "Itu tidak bisa jadi," katanya. "Tentu kau tidak
menyambung sekolahmu. Coba ceritakan apa kerjamu di
jaman Jepang?" "Oh, biasa," kataku. "Kinrohosi, dan mencatut untuk
hidup. Lalu pada jaman Revolusi ikut bertempur ke sana"
kemari. Sejak RIS, menjadi pegawai pemerintah, dan
sekarang saya di sini."
"Tapi pegawai rendah?" katanya menggeleng.
Aku ketawa, kataku, "Saya lepasan HIK seperti seperti
Pak Halim. Dan saya sudah senang begini untuk sementara."
Lalu katanya pelan menawarkan, "Patih! Saya bisa
menolong kau. Maukah kau menjadi pegawai Jawatan saya?"
"Terima kasih," kataku.
la terdiam memandangi aku. Lama ia terdiam. Matanya
kutatap dalam-dalam. "Kenapa kau menolak?"
"Saya tidak bersedia, cuma itu saja soalnya!"
Lalu dengan suara gembira yang dibuat-buat kataku,
"Tentu Pak Halim sekarang pegawai tinggi, setidak"tidaknya
KepalaJawatan?" Ia tak mendengar pertanyaanku; ia hanya memandangi
aku dengan mata tak berkedip. Dan kemudian ia berkata
sambil menunduk, "Saya rasa kau masih dendam dan benci
ke pada saya Patih!"
Aku tertawa diam, menggeleng.
"Lupakanlah yang sudah"sudah," katanya.
Aku memang sudah lupa kepadanya,tetapi kehadirannya
yang mewah pada malam tiba"tiba begini menimbulkan
rasa tak senang kembali. Begitu lekas dan mudahnya orang
seperti Pak Halim Harpan ini merubah dan menyesuaikan
diri. Dan untuk menyesuaikan diri beginilah yang dinamakan seni
hidup! Pintar hidup. Ketika Jepang berkuasa, entah bagaimana
caranya, istri Belanda Indonya dan dia selamat.
Tidak ikut dimasukkan ke kamp tawanan. Dan Meneer
Halim Harpan, yang oleh kenalan-kenalannya bangsa Belanda
dipanggil: "Meneer Halim de Harpan", lalu menjadi"sensei(gum)
Halim Harpan sang", tapi tidak gelijkgesteld dengan bangsa
Jepang! Tidakjuga pernah kena maki "Bakero" dan dipukuli oleh
serdadu-serdadu Jepang. Dan ia menjadi guru Bahasa Jepang
yang hebat, taat keirei setiap pagi ke timurlaut. Segala gerak"
gerik dan jalannya terseret-seret oleh sepatu larsnya yang berat.
lidahnya berputar"putar melebihi lidahJepang.
Kepalanya gundul memakai bosi (pet) serdadu Jepang.
Meneruskan sekolah bagiku jaman itu tak ada keinginan. Aku
mengikutiseorangpelukisJepangke manasajaia pergi.Tiba-tiba
ketika Jepang menyerah, revolusi berkobar dan serdaduserdadu
Inggris dan Belanda mulai mendarat dan menduduki kota kami.
Meneer Halim berpendapat bahwa telah tiba masa untuknya
menaikkan kembali derajat kehormatan gelijkgesteldnya yang
selama ini dipijak-pijakJepang.
Seperti pemuda"pemuda lainnya ketika itu, aku ikut ke
medan pertempuran menghadapi Jepang dan Gurka dan
melakukan kerja sabot di markas tentara Belanda. Bertempur
tanpa tanya, tetapi penuh kegembiraan seolah"olah pergi ke
suatu peralatan! "Kau pernah mencoba membunuh saya. Ingat masih,
Patih?" tanya Halim Harpan.


Dibawah Kaki Pak Dirman Karya Nasjah Djamin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya," jawabku. Aku menyesal. Tak berhasil ketika itu!"
"Kau cuma menyesal, tetapi tetap dendam kepada saya.
Begitu?" Aku mentertawakannya. Kataku, "Tidak, Pak Halim. Saya
bukan pendendam, tapi bila pecah kembali jaman "siap",seperti
dulu yang bisa jadi keyakinanku, aku tidak segan membunuh."
"Kau tetap seorang bekas pemuda yang panas hati," katanya
tertegun. "Esktremis," kataku membetulkan. "Pemuda pengacau,
bandit, seperti yang disebut oleh Belanda pada jaman itu.
Ya, aku tetap begitu, bila yang kuperjuangkan merupakan
suatu keyakinan dan kebenaran untuk bumi tumpah darah."
Ia tertunduk. Diam memasang rokok. Menawarkan aku
sebatang yang kutolak. Seperti itu pulalah kami berhadapan,
ketika dulu pada jaman "siap" aku datang ke rumahnya
malam"malam dengan tugas membunuhnya. Sejak ia
berhasrat memulihkan derajatnya setelah tentara Belanda
mendarat dan Nica bersitumpu kaki di antara pergolakan
pemuda"pemuda berbambu runcing yang memperjuangkan
kemerdekaan tanah airnya. Tuan Halim dan istri mendekati
Belanda Nica. Oleh kepala laskarku, aku disuruh berkali"kali
menemui bekas guruku itu menanyakan sikapnya terhadap
revolusi. Dua kali aku ke sana, yang kedua kali bersama
kepala pasukanku, waktu aku datang seorang diri pertama
kali, Tuan Halim tertawa sinis dan berkata, "Kalian pemuda"
pemuda bodoh! Mau melawan Belanda dengan bambu
runcing! Mau Merdeka! Mana senapan kalian" Mana Bisa!
Kau sebagai bekas murid saya, saya ingatkan, jangan mau
mati percuma melawan Belanda!"
Aku hanya berkata, "Jadi, Meneer Halim tidak percaya
kepada Revolusi, kepada Bung Karno?"
"Tidak! Kita tidak bisa melawan Belanda!"
"Bila Meneer Halim berpendapat begitu, terserah!"
Ia tertawa mengakah, "Ha, mengapa" Saya akan dibunuh
oleh pemuda ekstremis" Akan saya panggil pasukan kerajaan
untuk menebas kalian. Ha, bambu runcing!" Aku melaporkan
kepada kepala pasukan bahwa meneer Halim pro Belanda.
Dan untuk kedua kalinya, kepala pasukan bersama aku
mendatangi Meneer Halim. Jawabnya sama, bahkan tambah
menyakitkan hati. Kepala pasukan kami ditertawakannya.
Dan tiba"tiba saja beberapa kali tinju kepala pasukan kami
menghantamnya. "Kamu menghina saya, ya!" bentaknya.
Kepala pasukan tertawa, "Kami menghormati Meneer
Halim sebagai guru, tapi kami tidak mau hormat kepada
Inlander yang kepingin jadi Belanda Hitam!" Hari itu juga
kami sidang di markas. Keputusan yang diambil ialah:
Meneer Halim harus dimusnahkan! Malam nanti!
Siasat diatur. Aku ditugaskan masuk bertamu dahulu
kepada Meneer Halim, dan mencoba menginsyaikan
untuk yang terakhir. Bila ia tetap berkepala batu, aku harus
memberikan tanda. Kawan"kawan bersenjata bambu runcing harus juga siap
siaga di sekeliling rumah!
Aku pergi pada malam itu. Di pinggangku sebilah pisau
belati. Kami tak punya senjata, hanya kepala pasukan yang
memiliki sebuah Mauser yang dirampasnya dari seorang
opsir Jepang. "Zoo, Patih!" kata Meneer Halim ketika aku
duduk. "Kamu datang membunuh saya?"
"Ya," jawabku dengan tegas. Ia masih duduk di belakang
meja tulisnya sambil tertawa.
"Dengan tangan?" tanyanya sambil berkali"kali melihat
ke jam. Masih pukul tujuh malam kurang tujuh menit ketika
itu. "Sekali lagi saya datang menanyakan," kataku, "apa
Meneer Halim ikut Revolusi atau ikut Belanda!" Ia tertawa
saja, aku mendidih. Tanganku telah menjalar meraba pisau.
Tapi tiba"tiba ia membentak, "Jangan main"main." Sebuah
colt ditujukannya kepadaku, ia masih duduk di belakang meja
tulis. Sambungnya, "Patih yang bodoh! Lemparkan pisaumu
itu! Pestol lebih cepat dari pisau, kau tahu itu?"
Dan ketika aku masih tak menurut, ia menghitung tiga
kali. Pelan-pelan pisau kuletakkan di atas meja. Aku kalah
dan patah. Berdiri pun dilarangnya. Aku tak bisa memberi
tanda kepada kawan"kawan di luar rumah.
"Kau lihat jam itu?" tanyanya. Tinggal beberapa menit;
tepat jam tujuh nanti satu truk tentara kerajaan akan
menjemput saya! Duduklah diam"diam di situ. Saya tahu
kawan"kawanmu eks"tremis sudah "steling" keliling rumah."
Benar! Dari jauh kedengaran suara truk. Ia senyum gembira.
Katanya, "Mereka datang dan perlihatkanlah keberanian
kalian, dengan bambu runcingmu itu."
Truk berhenti di depan rumah. Di luar sepi, serdadu"
serdadu Nica mengadakan steling. Tentu kawan"kawan di
luartelah buyar kini! "Selesai kini," katanya. Pisauku yang masih di meja
dilenting" kannya ke sudut. Dengan tertawa sinis, Colt
dimasukkannya kembali ke saku celana. Langkah-langkah
serdadu telah di depan pintu. Dan aku jadi kalap. Bila
serdadu"serdadu masuk tentu aku akan mati, pikirku. Dan
tiba-tiba saja aku melompati Meneer Halim. Tapi dengan
sekali tinju aku tercampak ke sudut. Badannya yang besar
tegap amat mengerikan, mengancam. Katanya,
"Lihatlah! Begitu mau Merdeka!"
Berkali"kali terjangnya menghujani kepala dan dadaku,
sebelum aku bisa mengumpulkan kekuatan.
Dan dalam keadaan remuk beriumuran darah, aku
diseretnya, didudukkannya di kursi.
"Saya bukan pembunuh," katanya. "Saya tidak akan
membunuh kamu." Lalu serdadu"serdadu Nica masuk, diiringi oleh istrinya,
si Belanda Indo. Serdadu itu tertawa bertanya pada meneer
Halim, "Ha, pemuda ekstremis" Dipasang saja!"
Meneer Halim menjawab, "Biarkanlah dia! Dia bekas
murid saya. Kami baru habis main bokse n, sambil menunggu
tuan-tuan datang. Dia knock out!"
Semua tertawa dan ketika mereka telah berangkat
mengungsikan Meneer Halim dan istrinya, aku didapati
kawan-kawan terisak-isak di rumah yang sudah kosong. Ini
terjadi di bulan pertama revolusi pecah.
"Tidak baik mengingat jaman yang lalu," kata Pak Halim.
"Setiap manusia menjalani hidupnya."
"Ya," kataku pelan. Masing"masing menjalani hidupnya.
Hidup memang penuh ironiseperti mimpi, ngeri dantak adil!"
Ia terdiam memandang aku. Lalu katanya, "Setiap orang
mempunyai kesilapan dan kekeliruan. Dan bila pada satu
waktu sadar akan kekelimannya, ia akan menjadi orang yang
baik." "Ya," kataku lagi. "Manusia ada dua macam dalam detik"
detik ia harus memilih dan bertindak. Ia menjadi seorang pena"
nam yang sadar dan yakin, atau menjadi seorang pengkhianat.
Dan yang dihukum ialah orang seperti yang pertama."
Suasana menjadi tegang antara kami. Mataku hitam
memandangnya, dia amat yakin dan merasa benar dengan
pendapatnya! Aku tiba"tiba teringat pada sanjak "Kerawang
Bekasi", aku teringat pada teman"temanku yang mati sewaktu
pertempuran. Yang mengeluh pelan, "Aku belum mau mati!"
Atau yang bersemangat berteriak sambil mengepal tinju,
"Merdeka!" Mereka sudah beristirahat di Taman Pahlawan,
tulang-tulang putih berserakan. Mereka telah memberikan milik
mereka yang paling berharga, tubuhnya, tulangnya, hatinya, roh,
dan nyawanya! Kulirik si Ayu yang lembut gemerlap itu, istri Muda Halim
Harpan. Orang yang beruntung, tuan Halim Harpan ini. Ia tahu
bagaimana memetik dan mengambil yang terbaik dan terindah
dalam hidup, tanpa risiko, selain kelezatan, dan keberuntungan.
Aku jadi sentimentil tiba"tiba. Terasa mata panas menggenang.
Kupandangi dengan diam"diam wolnya, dasinya, dan jari-jarinya
yang sudah berkerinyut, tapi berminyak subuc Tangan-tangan
yang tak pemah kena lumpur, darah dan nyawa! Tangan"tangan
yang selamanya cuma mengambil, memetiksegalayang terbaik.
Kuteguk gelas birku yang penghabisan.
Lalu katanya yang membosankan, berbunyi lagi, "Patih, kau
masih benci dan dendam kepada saya?"
Aku tertawa, "Tak ada alasan untuk mendendam, Pak Halim.
Kenapa saya hams dendam" Saya cuma telah memberikan
bagian"bagian diri dan hidup saya yang terbaik di masa lalu, ikut
berpesta nyawa dan api. Karena saya ditakdirkan tidak tewas,
maka saya masih hidup dan berusaha membina hidup saya, di
bumi Indonesia yang sudah merdeka."
Lama ia tak bersuara, cuma jarinya yang bercincin pelan
gelisah mengetuk daun meja. Tanpa mengangkat muka ia
10 .:: $ dengan pelan menawarkan lagi, "Bagaimana tawaran saya tadi"
Mau pindah ke jawatan saya" Kau bisa saya kirim ke luar Negeri,
belajar, kalau kau mau."
"Terima kasih!" kataku.
Aku berdiri. Ia melihati aku dari kepala sampai kaki. Ada
terbayang rasa kasihan yang menusuk hatiku, lalu matanya
akhirnya terpukau pada sepatuku yang usang. Aku teringat
kembali akan "peristiwa" limapuluh sennya untuk sepatu! Aku
ketawa di dalam hatiku. "Saya sudah bisa membeli sepatu sendiri sekarang, Pak
Halim," kataku. Ia mengangguk, terkena. Mukanya pedih ditahan-tahan.
Ingin aku menderanya terus"terusan, tapi melihatnya begitu, aku
tak sampai hati. Dia orang tua, terlalu tua untuk hari esok. Dan
manusiamanusia pemetik seperti dia banyak di mana"mana.
"Sampaikan salam saya kepada Nyonya," kataku dengan
senyum. "Dia begitu ayu mempesona !"
Sebelum dia sempat membuka mulut, aku mengulurkan
tangan, pamitan. Aku berlalu, meninggalkan uang birku dua
botol di meja, meninggalkan dia terpanganga.
Dan di hujan yang makin deras aku menepi-nepi di kaki lima
toko. Hatiku lega, dan lapang, tanpa dendam, tanpa penyesalan"
penyesalan terhadap siapa dan apapun, walau air mataku di
dalam sebagai deras hujan malam!
11 Turunan-Turunan Bangsawan
Hujan gerimis menyambut kami ketika tumn dari bis, lalu
berlari mendaki ke villa. Sebaik kami sampai, hujan menderas.
Kabut cuma meluangkan pandang sejauh sepuluh langkah.
Seluruhnya jadi putih kelabu. Suram dan dingin.
Hanya orang-orang seperti kami inilah, turunan
bangsawan, mau memilih musim hujan bulan Desember
begini beristirahat di Kaliurang. Terkumng oleh hujan, lalu
kami memutuskan tidur berkelumun di ranjang masingmasing. Ranjang yang bersprei putih dan segar!
Di dapur, si mbok sibuk sendirian memasak nasi goreng,
dan sambal petai yang kami bawa dari bawah. Sejak pagi
kami bertiga berkeliaran di pasar Beringharjo membeli beras,
garam, gula, trasi, lombok, gereh, petai dan segala tetak
bengek perlengkapan dapur. Dan menggoda setiap "bakulbakul manis" yang kami singgahi!
Sekarang tiga turunan bangsawan ini memeluki guling
masing-masing mencari hangat.
"mBok kita kawin lekas"lekas," si Bilal bersuara dari sudut.
"Kan tidak usah payah-payah kedinginan begini!"
"Kawin?"tanya si Kontan, "kawin membuat orang berotak
dua!" "Kalau si Roni mau sama aku," keluh si Bilal nyeri. "0, aku
lebih baik mati kalau si Roni menolak. Aku tak tahan, aku mau
bunuh diri. Dia begitu lembut, bisa membawa aku ke alam
hidup yang te nang tidak seliar ini! Bagaimana harapanku ha"
Bisa sama dia?" "Bisa," kujawab dengan suara seperti kiyai. Tergantung
pada dirimu sendiri, apa kau sungguh"sungguh?"
"Heh, dia juga pernah bilang begitu. Katanya dengansuara
mesra: Kau sih, dulu tidak sungguh"sungguh. O, dia begitu
mesra! Mesra dan lembut."
Emosi Bilal meluap. Guling dikepit dan didekapnya eraterat, hingga tak tentu lagi bentuknya. "Roni, Roni," bisiknya
12 .:: $ mesra. Tetapi ketika kulihati saja kelakukannya, guling
dilemparkannya ke sudut kamar.
"Bangsat," kutuknya. "Masa guling villa ini begitu lemas
dan penyet! Hei" bentaknya kepadaku. "Kau, kenapa kau tidak
kawin-kawin ha!?" "Kawin sih gampang, tapi kan enak masih merdeka begini.
Tak ada yang mengomeli, tak ada yang memarahi."
"Tak ada yang memasak, tak ada yang mencuci, tak ada
yang mendekapi ...," sambung Kontan.
"Si Anumu itu, kenapa tak kau bawa kemari, ha" Kau
sudah diremuk-remukkannya sekarang?"
"Bagaimana perempuan bisa meremukkan aku,"
bantahku. "Aku orang dari waja, hatiku hati batu."
"Alla, kudengar kau sudah hancur karena dia. Mau bunuh
diri segala!" "Tidak! Dia dan aku tak apaapa."
"Siapa yang terlalu mencari akan terdampar ke pantai
pasrr." "Pasir boblos," sambung Kontan dari balik selimutnya.
"Shut up!" bentakku. "Kalian ini lupa bahwa kalian
keturunan bangsawan!" Dan me numt peraturan, bangsawan
jam segini dan hujan dingin pula, harus beristirahat!"
Serentak Bilal dan Kontan teringat, bahwa mereka pun
keturunan bangsawan juga, dan setuju untuktidur menunggu
hidangan selesai. Tapi belum semenit, Bilal kembali
menggerutu. Katanya, "Hm, setelah kau remes"remes si Anumu itu,
sekarang kau dekat sama si Emi, ya?"
"He, dia kan adikku!" kataku sambil melirik pada si Kontan
yang karena bergulung, bertambah kecil dan pendek.
Ia pura"pura tak mendengar.
Seminggu yang lalu dia membawa pisau mencari-cari aku.
Kepada setiap kawan dia berteriak, "Bangsat dia. Bangsat!
Musuh dalam selimut. Dia kirim"kiriman surat sama si Emi,
memakaitinta hijau, dalam bahasa Jawa!" Untung aku tidak
bertemu dengan dia waktu dia sedang kalap begitu. Kalau
13

Dibawah Kaki Pak Dirman Karya Nasjah Djamin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bertemu, tentu dia sekarang sudah meringkuk di penjara,
dan aku di liang kubur atau di rumah sakit! Beberapa hari
kemudian baru aku bertemu dengan si Kontan yang agak
reda, tapi masih dingin sikapnya.
Sebelum dia berkata apa-apa, aku memulai dulu,
"Kenapa kau sentimen kepadaku, ha!?"
Dia membentak"bentak tentang musuh, tentangselimut,
tinta hijau, tentang bahasa Jawa. Tapi kukatakan dengan
tenang namun penuh ancaman, "Aku tidak menerima
hinaanmu; kau tahu tintaku selamanya hijau, dan aku
menyurati si Emi hanya untuk menanyakan kapan dia mau
dilukis kembali!" Tapisi Kontan bertambah gelisah, mundar"
mandir, dan ketawanya miring"miring tak wajarlagi.
Ia tidak percaya, dan dengan tragis katanya, "Ambillah!
Ambillah dia!" Aku hanya bisa ketawa saja, kataku,
"Janganlah kita bermain sandiwara lagi sekarang, kita ini
keturunan bangsawan dan selalu berani berterus terang!"
Tapi dia meletup lagi, "Ambillah, ambillah dia. Banyak lagi
perempuan macam dia." Lalu dengan nada serius katanya,
"kalau betul kau mau sama dia, ambillah, tapi ia harus kau
didik baik"baik." Tapi, aku tidak mau diselesaikan secara
gampang begitu. Harus cara bangsawan. Walau dengan
berduel sekalipun. Sebab ini soal kehormatan! Akhirnya,
kami selesaikan soal itu secara bangsawan: kami berbaik
kembali, tanpa sentimen kepada selimut, kepada tinta hijau
dan bahasa Jawa! Bilal mengeluh lagi di sudutnya, "Aku takut nanti dia
mem"bawa"bawa pisau lagi!"
"Diam!" bentakku garang.
Si Kontan, tidak bergerak, berpura"pura tidur.
"Roni,oh Roni," keluh Bilal,"aku amatkesepiansekarang."
Tiba-tiba ia duduk bersandar ke dinding dan menyanyi
keras"keras, "So deep is the night, oh lonely night."
"Sekarang belum malam, Tengku," teriak si Kontan.
Tapi emosi Bilal tak bisa dikendalikan lagi. Seluruh villa
be rgegaroleh suaranya. laterdiam dengansendirinya, karena
14 .:: $ tak mempunyai pendengar selain hujan di luar. Dan kami,
Kontan dan aku, keturunan bangsawan asli yang mengetahui
peraturan, sudah pulas tertidur di bawah selimut.
Perut yang melilit karena kosong, membangunkan kami
dari ranjang dan mengejar meja makan. Hidangan ajaib
sudah tersedia: Nasi panas-panas setinggi gunung Merapi
seperti raja"raja. Nasi sampai licin tandas, ikan dan petai
hanya tinggal sebutir dua. Bilal tidak bisa lagi bergerak.
Terperangak saja di kursi. Lima piring padat dilicinkannya.
Tiba"tiba ia berkata sedih, "Janganlah kalian senget
melihat aku. Aku bukan orang rakus makan sebanyak itu.
Tahu kalian" Aku ingat kepada si Roni, dan karena dia tak
hadir, aku memaksakan diriku makan untuk dua orang, untuk
Roni dan untukku!" Kami mengangguk memuji kasih sayangnya, tapi dia
marah. Katanya, "Di mana kesetiaan kalian, ha! Kalian
tidak teringat pada orang yang kalian cintai kalau sudah
menghadapi makanan. Kalau kalian berdua memang senang
ke pada si Emi, ke napa tidak kalian makan untuk dia!?"
Karena kami hanya mesem saja, dia meneruskan, "Kalian
lagi"lagi tak setia. Cuma memikirkan diri sendiri." "Oh, oh,"
keluhnya, "nasi rasanya sudah padat sampai di leher nih.
Excuse me please gentlemen." Dan terbirit"birit dia lari ke
kamar kecil. Hidup amat menyenangkan begini. Tapi bila malam
turun, ikut turun pulalah rasa sepi. Biarpun ada kopi, ada
telor rebus, rasa sepi yang berdegup dalam hati sendiri"
sendiri amat seram dan mengerikan. Jemu memutar-mutar
radio ke seluruh dunia, kami satu per satu pergi berdua.
Tengah malam si Bilal melolong"lolong, bermimpi ngeri.
"Tentang Roni" katanya dan dia memutuskan, "aku ngeri
di villa ini, besok aku mesti pulang." Sejam kemudian aku
pula melolong"lolong, bermimpi jelek, tentang si Emi dan
Romonya. Konklusiku: villa ini ada hantunya, besok aku
harus pulang. ,; 613 15 Tapi yang pulang besoknya hanya si Kontan seorang,
turun ke Yogya. Ia membawa nanas sebesar tinju, oleh-oleh
buat siEmi. Sore nanti dia naik lagi ke villa, dan kami memesankan
agar ia membawa naik Raja Idrus, dan Raden Mangkudito,
supaya beramai-ramai membunuh kesepian. Pagi itu cerah
sedikit. 'v'illa terletak di tempat yang tinggi, menghadap ke
Selatan. Kelihatan hitam candi Prambanan jauh di bawah,
kelihatan Yogya, bukit"bukit gunung Kidul, laut Kidul dan
selendang"selendang awan di atasnya. Begitu sepi, Villa"villa
kosong disekeliling. Bilal dan aku menemukan diri kami sudah berdiri
menghadapi dunia yang menghampar di bawah kaki kami.
Anjing villa si Bruno yang pendiam, ikut-ikut tercenung.
"Seperti ini jugalah dulu"dulu nenek"nenek moyang kita
memandang ke bawah sana," mulai si Bilal. Kita keturunan
bangsawan Raja semesta! Tapi kita tak usah berkecil hati,
tidak mempunyai payung emas selain pohon cemara
atau tidak mempunyai dayang"dayang. Yang penting, kita
keturunan bangsawan, dan sekali Waktu dunia di bawah
sana akan tahu siapa kita!"
Aku mengangguk. Perasaan agung dan terharu menjalari
hatiku. "Kurasa dekat"dekat di sinitentu ada be kas"be kas nenek"
nenek kita." "Ya," jawab Bilal bersemangat. Ia melangkah ke cemara.
Katanya, "Tadi malam kulihat ada sesuatu berkilauan di sini,
dan si Burno pagi tadi kuperhatikan menggali"gali di sini.
Tentu dia mengincar nasi dari nenek-nenek moyang kita."
Sambil berkata demikian, dia menggali dekat batu dan
akar" akar, tapi tiba"tiba ia terhenti. Cepat tangannya di
ciumnya dengan jijik, lalu menghapuskannya ke rumput.
"Anjing keparat," katanya lalu menyepak punggung si
Bruno yang lari terkaing"kaing.
"Dia bukan inkarnasi nenek"nenek moyang kita. Dia
anjing!" kutuknya sambil berlari ke kamar mandi.
16 .:: $ Kemudian kami menghadapi kembali dunia di bawah
kaki kami, bagaikan Raja-raja mengadakan inspeksi daerah
dan teluk rantaunya! "Besar harapanku, ya," ulang si Bilal. "Roni harus tahu,
bahwa aku sekarang sudah menjadi orang besar. Si Sukir
pernah mengejek aku: Kalau kau mau merebut hati si
Roni kau harus membuktikan bahwa kau seorang seniman
yang mempunyai apa"apa. Sombong si Sukir itu. Aku lebih
besar dari dia. Lihat aku, penyair, penulis cerpen dan novel,
sutradara, dan sekarang bergaji tetap sebagai redaktur.
Dunia ini dalam tanganku!
"Bisa kau memberi makan si Roni dengan sajak?"
"Mereka tidak mengerti. Tidak mengerti. Tapi sekali
waktu mereka akan mengerti, kau harus catat hari bersejarah
ini, 5 Desember 1959, dengan proklamasi kita!"
Dengan suara keras ia berteriak, "Hei yang di puncak
Merapi. Hei Candi Prambanan, hei bukit-bukit tandus
Gunung Kidul, hei kota Ngayogyokarto, hei lautan Kidul
hei dengar! Di sini ber"diri dua keturunan bangsawan, abdi"
abdi seni, penyair, penulis novel, drama, pelukis yang tidak
kalian pedulikan. Ingat besok nama kami akan menjadi
buah bibirgadis"gadis, pemuda" pemuda, nenek"nenek, dan
dicantumkan dalam ensiklopedi! Bedebahlah orang-orang
yang tidak bisa mengerti seni dan tidak bisa mengharapkan
senimannya! Kenangkanlah kami, kenangkanlah kami. Kalian
dengar" Dengar?"
Tapi pendengar hanya aku dan si Bruno dan si mbokyang
tengah masak di dapur! Alam dan villa begitu tertinggal.
Hujan gerimis mulai turun pula, setelah kabut riuh berebutan
di sela- sela pohon-pohon dan bukit-bukit. Bilal terkapar
kehabisan napas. Sedih dia bungkem sendirian ditunggui si
Bruno. "Pulang, aku harus pulang se karang," katanya, "aku begitu
kesepian. Tidak ada gunanya aku menjadi orang besarseperti
sekarang ini. Kesepian tidak bisa diusir dengan kemasyuran
1" nama dan karya"karya seni! Aku harus kawin, mempunyai
istri yang bisa ikut merasakan nikmat perjuanganku!
Kami diusir oleh hujan yang mulaiturun, kami terdampar
kembali di ruang depan dengan kesepian dan kemurungan
hati. "Kalau si Roni memang sudah bertunangan, biarlah
dia berbahagia dengan tunangannya itu," kata si Bilal. "Eh,
aku kan pantas jadi suami kemenakanmu, kan?" tanyanya
kemudian. "Kemanakan yang mana?"
"Alla, si Ita yang di asrama Sayidan!"
"Pantas," kataku.
Aku tersenyum sendirian. Kenalpun aku tidak, siapa si
Ita! Sekali ia datang kepadaku dan bercerita tentang Ita.
"Kau kenal dia?" katanya. "Ya," kataku dengan suara yang
meyakinkan, "si Ita itu kemenakanku."
Aku sebagai ketumnan bangsawan mempunyai banyak
sangkut paut dan hubungan yang kait"berkait. Hanya saja
aku yang sudah terlanjur menjadi se nim an, sudah tidak tahu
lagi tentang famili-iamiliku.
"Kalau begitu tolonglah aku, Mamak," kata si Bilal. "Aku
mau mati rasanya kesepian."
Karena aku diam saja, dia gelisah dan berkata, "Aku akan
pulang ke Jogya sekarang juga."
Tapi hujan tak reda"reda; sekedar untuk membunuh
waktu, kami menyetel radio, memakan pete, gereh dan
sambal sampai bosan, sambil berkelumun di kasur.
Ketika kami bangun, si Kontan sudah ada dengan
Amja Dostojevski. Tidak ada Raja Idms, tidak ada Raden
Mangkudito. Semangat kami patah untuk terus"menerus
membunuh kesepian sampai be rhari"hari.
Dari Mein, Kontan membawa surat, dan sepotong sabun.
Bunyi suratnya, "Aku nanti malam menyusul membawa putri"
putri dan dayang-dayang. Tak usahlah rajin-rajin mandi, dan
hematmemakaisabun."Tapisungguh,semangat kamisudah
18 .:: $ mati untuk membunuh kesepian. Ia sudah seperti tuma"
tuma menggeregeti hati dan perasaan. Nasi panas setinggi
Gunung Merapi, sambal dan pete, tidak juga bisa menolong
malah memualkan. Terasalah kerinduan kepada gerak,
kepada pahit getir perjuangan hidup untuk mendapatkan
uang seperak dua dan pada pikiran-pikiran yang dapat
meloncat dan melontar. Di sini semuanya itu terbunuh.
Dan serempak, tiba-tiba saja, besok pagi-paginya yang
amat cerah dan bermatahari kami memutuskan pulang ke
kota. Kesepian tidak bisa dilarikan ke manapun juga. Akan
terus menemukan kese pian-kesepian lain!
Maka berangkatlah kami, empat keturunan bangsawan
menunggu bis lewat. Si Bruno melihati sol sepatu yang sudah
usang terpeang-peang di aspal waktu menurun; melihati
bekas"bekas tambalan pada pantat celana kami dan pada
baju bahu kami. Kami tahu, bahwa di bawah sana menunggu pekerjaan
yang meminta kegigihan menanti wesel honorarium datang,
yang mendesak"desak untuk meminta uang muka karangan
kepada para redaktur, atau menulis-menulis bon rokok
dan melihati hutang tergali dan tertutup. Tapi, satu yang
membanggakan kami, biarpun kami bukan bangsawan
kelahiran, kami adalah bangsa-wan-bangsawan pikiran,yang
mungkin akan mati bunuh diri karena kesepian, atau mati
merasa seperti kijang tunggal di kebun binatang.
Hidup akan berjalan terus.
Selanjutnya yang menunggu kami di bawah sana bukan
kasur yang bersprei putih, tapi tikar penuh kepinding dan
bantal-bantal yang tak tentu warna dan baunya. Tapi yang
penting, keping" ke ping kebahagiaan kecil masih bagian kami
dan bisa dinikmati. Hidup tidak seburuk yang disangka orang!
19 Debu Berembun Di Labuh Dini hari ini aku bertemu denganBenyo. Sudah dua minggu
batang hidungnya tak pemah menongol ke hadapanku. Kali
penghabisan dia kulihat, pakaiannya terlalu bersih: Celana
putih, baju putih, sepatu berkilat dan berkaus kaki pula.
Mukanya gembira dan bertambah muda, apalagi rambutnya
di pangkas menurut potongan AKABRI.
Dengan suara melecehkan, sebuah kalung ditariknya
dari dalam hemnya. Katanya sombong, "Inilah cintaku yang
terbesar dan aku yakin, cintaku kali ini sesuatu yang agung
dan abadi. Kau lihat kalung ini" Hadiah dari gadisku untuk hari
ulang tahunku! Tidakkah hebat itu?" Demi melihat aku cuma
berdiam diri, terbit ketawanya terkikih-kikih. Ketawa yang
amat mem engkalkan hati. Katanya, "Kau tidak gembira sama
sekali, melihat kawanmu menemukan bahagia. Kau tentu
iri, sebab kau tidak pernah merasakan kenikmatan bercinta!
Semua rasa kasih sayang sudah kubunuh!"
Dengan kesombongan itulah ia menghilang untuk dua
minggu. Malam ini kami ditakdirkan bertemu lagi. Malam yang
sudah pudar dan dingin oleh embun lewat tengah malam.
Keseorangan dirinya yang demikian, duduk di tepi trotoar,
di pagar pendek taman bunga depan kantor pos, membuat
ibaku menjadi"jadi. Biarpun lampu"lampu di jalan Malioboro
yang lurus menggaris dari ujung Selatan ke Utara amat indah
dan sunyi kelap"kelipnya, kelihatan hatinya di dalam terlalu
suram dan gelap. Pakaiannya juga! Kembali ia ke dalam keadaan sehariharinya, kumal dan centang"perenang. Kalung pemberian
yang dulu dibangga"banggakan sebagai lambang cinta abadi,
kini terkulai di antara jari"jarinya.
Seekor anjing liar, hitam dan kurapan duduk dengan
takzim sedepa dari ujung sepatunya yang kumal. Mata anjing
kurapan itu, memandang kepadanya dengan penuh rasa


Dibawah Kaki Pak Dirman Karya Nasjah Djamin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kesetiaan. Masih ada terjelepak he lai"helai daun pisang bekas
20 .:: $ pembungkus penganan yang mereka bagi dua tadi dengan
mesra. Ketika aku berdiri di hadapannya, tanpa mengeluarkan
sepatahkata,iatidaksukakepadakehadiranku.Mesrasuaranya
berkata kepada si Bleki kurapan itu, "Bila semua manusia bisa
setia seperti anjing, kehidupan tidak akan sesusah ini. Kau dan
aku senasib sekarang, Bleki. Sama"sama kurapan, terbuang di
bawah kolong langit malam begini."
Bleki yang masih kelaparan dan mengharap akan diberi
apaapa lagi dari tangannya, menjilat dengan mutung sambil
mengibas-ngibaskanekornya,sertasekali-sekalimengeluarkan
kaing-kaing yang halus. Agak kecewa Benyo kepada si Bleki, katanya, "Kau lihat
sendiri, aku tidak mempunyai apa-apa lagi. Sudah habis
semua! Kita sudah sama rata sama rasa."
Bleki yang setia merunduk dan duduk agak menjauh.
"Ha?" sambung Benyo, "atau kau ingin meminta kalungku ini"
Ya?" Diaju"ajukannya kalungnya kepada Bleki, tapi anjing itu
hanya diam dan dengan curiga menelengkan kepalanya yang
penuh dengan kurap. Agaknya ia teringat akan rantai yang
dulu pernah mengikatnya. "Ambillah! Mari, kukalungkan!" seru Benyo.
Dan ketika anjing itu malahan menjauh, marahnya bangkit.
Didekatinya si Bleki, dan berkacak pinggang di hadapannya.
"Kau tidak sudi ha" Tidak mau" Cuma mau makananku saja"
Bangsat! Anjing! Sama saja kau seperti manusia."
Dua tiga kali sepatunya menendang pantat si Bleki. Anjing
itu terkaing-kaing, lari ke dalam taman hijau yang menggelap.
"Tidak ada anjing atau manusia yang setia!" katanya
geram, dan dengan matanya yang merah liar itu terpaut
dengan mataku, marahnya makin menyala.
"Mau apa kau di sini!" teriaknya mengancam.
"Taman ini kepunyaan umum," kataku dengan sabar. "Dan
aku warga negara yang taat membayar pajak."
"Aku tanya, kau mau apa disini!" gertaknya membandel.
I",-:" V 21 Biji matanya merah seperti saga. Aku lebih baik diam.
Dan dengan bisu aku duduk di tepi trotoar, memasang rokok
sebatang. Aku tahu, aku menjadi sasaran pandangannya,
sasaran hatinya yang sedang mengutuk dan menyumpah.
Begitu pun, dengan lembut kutawarkan rokok kepadanya.
"Rokok! Cuma rokok yang bisa kau berikan" Manusia
memang tidak mempunyai hati dan perasaan. Aku sangka,
anjing masih mempunyai perasaan, tapi rupanya juga tidak."
Ia duduk kira"kira dua meter di sebelah kananku,
memandangi lampu"lampu Malioboro yang menyayup ke
Utara. Sambungnya, "Abangku kemarin mengirim kawat dari
kampung, bahwa dia sudah kawin! Bangsat, perempuan
memang bangsat semua."
Kalung lambang cinta abadinya itu yang terbuat dari
biji"biji hitam sepanjang setengah depa, dipermainkannya di
antara telapak tangan. "Ditolak?" tanyaku pelan.
"Tentu kau senang sekarang," sambarnya dengan suara
mendesis. "Aku tahu kau bersorak, karena teorimu betul,
bahwa perempuan sekarang tidak bisa setia. Janganlah kau
datang dengan petuah"petuah, bahwa cinta itu tidak ada."
Aku mengeluarkan sebuah buku saku yang sore tadi
kubeli di toko buku, dan mulai membaca. Lebih baik dia
dibiarkan dengan kesendiriannya. Aku tak tahu berapa lama
kesunyian yang begitu tegang berlalu.
Tapi tiba"tiba suaranya kemudian terdengar, kini dengan
nada lain, "Kenapa kau diam saja, Tih?"
Aku terustak mengacuhkannya, menoleh puntidak. Lalu,
ketika aku mengangkat muka, ia sudah berdiri di hadapanku.
Matanya agak berair, sikapnya tidak seperti anjing galak
lagi. Kalung cinta abadinya telah dikalungkannya di leher,
menjuntai hingga pusatnya.
"Janganlah aku didiamkan saja," katanya. Ia duduk di
sebelahku benar. Sambungnya, "Kepercayaanku kepada
segalanya sudah pudar. Dia sudah digotong"gotong seorang
22 .:: $ dokterandus. Yang pakai kumis kecil lancip dan punya skuter.
Kenapa perempuan suka terkicuh oleh keadaan lahiriah
saja?" (Ia tertawa kecil). Perkara ganteng, aku lebih ganteng
dari si Doktorandus itu. Memang, celanaku cuma dril,
kemejaku bukan harga seribu, dan kantongku selalu pesek,
tapi tidakkah yang penting sebagai manusia, ialah isi budi
pekerti yang murni?"
Kupandangi dia. Diam merenung.
Dengan nada tinggi katanya, "Prasangkamu betul! Gadis"
gadis hanya senang pada hasil-hasil seni seorang seniman,
tapi tidak bisa mencintai si seniman! Apakah aku ini bukan
manusia, tidak human?"
Pelan kusahut, "Tak usahlah kita berbicara tentang
itu. Aku sudah tahu semua tentang kesedihanmu. Dari si
redaktur majalah yang kecil pendek itu. Anggap sajalah
soal itu, sebuah dari batu-batu permata yang kaukutip di
perjalanan pengalaman hidup."
Benyo berdiri, penuh sikap menolak dan benci. Kubiarkan
dia pergi sendiri menyelusuri trotoar ke arah Utara. Dari
sikapnya bisa kutaisirkan, bahwa ia mengutuk aku dengan
rumusan, "Kau yang kuanggap teman dekat juga tidak bisa
diharapkan membantu mengatasi detik-detik situasiku
yang mencapai titik kritis!" Entah berapa lama aku duduk
terbenam membaca buku di bawah lentera yang demikian.
Tiba-tiba aku tersentak oleh kelak-kelik suara selop
perempuan yang lalu terhenti. Sebuah bayangan menutupi
huruf"huruf yang kuikuti. Waktu aku mengangkat muka,
seorang perempuan mem-perhatikan aku, dengan senyum
sunyi. Wajahnya lembut rasanya di bayangan lampu, kebaya
dan kainnya necis dan menarik, sampai"sampai pada
selendang batiknya. Sebuah tas plastik menggayut di lengan
kirinya. Bau pariumnya menusuk hidungnya. Dan selopnya
yang indah, diselusupi kaki danjari"jari yang bersih dirawat.
"Duduklah," kataku, menyilakan, seolah"olah aku sudah
lama berkenalan. '.'"i-l ?"-n" 23
Dalam pengembaraan malam sepanjang Malioboro,
aku mengenal satu per satu perempuan-perempuan malam
sampai ke re"kere dan orang"orang gila yang berkeliaran. Tapi
perempuan ini belum pernah kulihat, sungguhpun aku tahu
pasti bahwa dia tentu salah seorang dari dunia itu.
"Kok adik bisa membaca gelap"gekap begini," katanya.
Kupandangi dia. Hatiku tersinggung dipanggil adik.
Tidakkah dilihatnya jambang, kumis dan jenggotku yang
telah gatal"gatal panjang seinci"
Melihat mataku yang kurang senang, ia tersenyum,
katanya, "Maksud saya, kok kau bisa membaca dalam gelap,
Mas?" Manis dia tersenyum begitu. Bibirnya yang tidak dicat
oleh lipstik, tapi merah alam, membentuk mulut yang kecil
penuh. Dan matanya yang besar lembut berkaca-kaca. Dan
seluruh tubuhnya yang langsing penuh, menyesuaikan diri
dengan kelembutan wajah dan senyumnya. Tidak begitu
biasanya perempuan"perempuan dalam berkeliaran, yang
penuh dengan tingkah laku memualkan karena dikeraskan
oleh kehidupan yang terpaksa mereka masuki.
Ia duduk di sisiku. Jarinya telah bercincin. Tapi setiap
perempuan di dunia memakai cincin. Payah aku ingin
memulai percakapan, karena keraguanku terhadap dirinya.
Malam amat sunyi, hanya ada satu orang dua orang yang
lewat. Sudah pukul empat pagi. Sebentar lagi akan tambah
ramai berbondong"bondong iringan bakul"bakul dari desa,
memikul beban-beban berat sambil omong-omong dan
kadang"kadang terkikih"kikih.
"Mau ke mana, mBak?" tanyaku, sambil mengalihkan
pandang ke satu dua bakul"bakul perempuan yang datang
dari arah Selatan. Sebuah becak, berdesing liwat membawa
pe numpang, mengejar kereta api ke stasiun Tugu.
"Ke Solo," jawabnya. "Mas kok senang membaca di
jalanan, kok tidak pulang ke rumah?"
"Cuma senang saja begini," kataku.
"Begini mudanya dan gantengnya, apa tidak mempunyai
istri?" Heran, aku tidak bisa menjawab pertanyaan yang
diucapkannya dengan nada lembut,seperti me nyesalkannya.
"Istrisaya belum lahir," kataku bergurau.
"Kasihan istri, kalau ditinggal sendirian," katanya
menasehati. Aku teringat pada kakak perempuanku tiba-tiba, kakak
yang selalu menasehati aku semasa kecil bila membuat
kelakuan yang menyedihkan ibuku dengan kata"kata yang
hampir sama, "Kasihan, Ibu terus-menerus kau sedihkan
hatinya." Perasaan"perasaan sentimentil yang tiba"tiba ini
kuhapuskan dengan ketawa.
Kataku, "Mbak! Saya kepingin melukis mBak."
"Dipotret?" tanyanya gembira.
"Bukan, bukan! Dilukis, digambar. Sampean duduk, saya
lukis dengan tangan pakai cat minyak. Sudah pernah dilukis
oleh pelukis?" "Belum. Tapi saya kepingin dilukis. Di rumah Eyang saya
ada satu lukisan tangan, tetapi Eyang bilang harganya mahal
betul. Saya tidak mempunyai duit buat membayamya mas,
kalau saya dilukis."
"Jangan pikir duit," kataku. "Nanti akan saya lukis
sampeyan dua kali, satu buah buat mBak. Setuju?"
"Saya setuju, Mas. Tapi orang macam saya kok dilukis,
Mas" Kan lebih banyak perempuan yang cantik dan ayu yang
pantas dilukis?" "Bukan soal ayunya saja mBak." kataku berusaha
menerangkan. "Tapi soalnya kan mBak senang dilukis dan
saya senang melukis mBak. Yang baik adalah rasa senang
dan kita sama-sama manusia. Besok bisa mulai?"
Lama dia terdiam, seperti berpikir. Katanya, "Betul" Saya
I",-:- V 25 kepingin dilukis dan mempunyai lukisan seperti di rumah
eyang." Di tengah percakapannya ini ia terhenti, Benyo sudah
berdirisaja di hadapan kami.
Ia mengangguk pada perempuan itu, jari-jarinya
mempermainkan biji"biji kalung. Perempuan itu ramah
membalas. "Tak tahan sendirian?" tanyaku pelan kepada Benyo.
Sinar matanya yang benci masih belum hilang, dan
seperti tadi dia diam dan duduk antara dua meter dari
tempat kami, memandang ke arah Selatan.
"Besok saya belum bisa Mas," terdengar suara
perempuan itu. Pagi ini saya sebetulnya mau bepergian ke Solo naik
bis yang pertama. Sudah berjanji akan saya tunggu di sini
dengan Mas Hadi pukul empat."
"Siapa Mas Hadi?"
"Dia bakal suami saya, mau pergi ke desa saya ke rumah
eyang minta restu." "O," kataku kecewa. "Tapi cincin kawin mBak itu ...?"
Ia tersenyum saja. Katanya, "Ini bukan cincin kawin. Tapi
saya senang bahwa Mas Hadi mau mengambil saya menjadi
istri. Sudah bosan hidup seperti kemarin."
Tiba"tiba dengan suara berobah, katanya, "Mas, Mas
tidak percaya bahwa orang macam saya juga kepingin
kawinl?" Aku senyum sompel saja ketika meredakannya, "Setiap
orang kepingin hidup baik, mempunyai keluarga, rumah
dengan halaman." Lama ia terdiam, menekur. Jari"jarinya meremas"remas
pegangan tasnya. Katanya kemudian dengan suara pasrah, "Saya tahu
kalau orang macam saya ini kawin tidak akan lama. Se bentar
za .:: $ sudah cerai lagi. Tapi biarpun sebentar, saya rindu pada
suami sendiri, rindu mengurus orang yang senang pada
saya. Sekali ini saya mau mencoba hidup dengan Mas Hadi.
Mudah"mudahan saya bisa selamat."
Dan sebagai mau menghilangkan keraguan dan
kekecutannya ia tersenyum, dan mengalihkan soal dengan
bertanya, "Itu adiknya Mas, yang duduk di sana" Kok kayak
orang susah saja?" "Dia baru kecewa ditinggalkan gadisnya," kataku be rbisik.
Dipandanginya Benyo yang masih menunggungi kami.
"Dik," seru perempuan itu sebagai kakak memanggil
adiknya. Benyo berkepala batu tak mendengar. Dua tiga kali
perempuan itu memanggilnya. Barulah ia bangkit, lamban
menuju kami dan duduk di sisi perempuan itu.
"Kenapa,dik?"tanya perempuanitudengannadasayang.
Benyo tak menjawab, hanya mempermainkan kalungnya
saja. "Adik masih belajar?" perempuan itu melanjutkan
pertanyaan-nya. Karena Benyo diam saja, ia meneruskan,
"Sebaiknya adik pulang, besok mengantuk disekolah."
Reaksi hebat menjalar diseluruhtubuh Benyo. Dilihatnya
perempuan itu dengan mata tersinggung, lama sekali. Tapi
ketika mata dan bibir perempuan itu tersenyum lembut, rasa
kurang senang itu berangsur lenyap.
Apalagi perempuan itu meneruskan dengan suara
sayang, "Maafkan saya dik, te ntu adik tidak bersekolah lagi."
Dengan lagak medan yang bangkit kembali di hatinya,
Benyo mengeluarkan sehelai kartu Mahasiswa, kemudian
sebuah kartu wartawan. Perempuan itu menerimanya dan
memperhatikan kartu-kartu itu.
Katanya, "Adik, Mahasiswa! Mahasiswa Hukum."
Lama dipandanginya si Benyo, lalu sambungnya dengan
senyumnya yang tak mati"mati, "Kalau besok adik menjadi
jaksa, mBakjangan dihukum, ya?"
'.'"i-l ?"-v" 2"


Dibawah Kaki Pak Dirman Karya Nasjah Djamin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dan sambil memperhatikan kartu wartawan, ia berkata
seolah-olah kepada diri sendiri, "Saya tidak senang menjadi
wartawan. Suka memotreti, suka menulis tentang riwayat
hidup orang. Dulu saya pernah omong"omong sama se orang
wartawan dan dipotret; katanya dia senang sama saya. Tahutahu saya lihat di majalah potret saya dan cerita tentang
saya. Njelehi! Ha, senang saya melihat adik ketawa."
"Saya wartawan kebudayaan," kata Benyo menerangkan.
"mBak tahu kebudayaan?"
Perempuan itu mengangguk, walaupun ternyata bahwa
ia tidak mengerti sama sekali.
Benyo bercerita tentang pekerjaannya, tentang
kehidupannya yang tergantung dari tulis"menulis,
tentang kuliahnya, yang dihadirinya setahun sekali, hanya
untuk menukarkan kartu mahasiswanya. Perempuan itu
mendengarkan dengan penuh perhatian, dengan senyum
dan angguk kepalanya yang ramah dan merisaukan.
Dan tiba-tiba mataku yang mulai sepat oleh kantuk,
terbuka nyalang ketika suara Benyo terdengar, "Saya ikut
mBak ke Solo." "Saya orang desa, masa adik mahasiswa ikut orang desa."
"Kalau mBak senang sama saya, saya mau kawin sama
mBak." Perempuan itu memandangi Benyo, merenung sejenak.
Lalu senyum manisnya buyar lagi.
"Adik sedang patah hati," katanya pelan. "Orang patah
hati baik, tapi jangan putus asa. Adik masih muda, dan saya
sudah tua,saya mBakyumu."
Benyo bangkit bisu batunya kembali, karena ditolak.
Tidak mau memandang wajah perempuan yang dari tadi
mem pesona" nya. Perempuan itutertawa kecil. Dipegangnya
kedua lengan pergelangan Benyo dengan sayang, katanya,
"Lihatlah kurusnya adik sudah. Itu tidak baik. Saya jadi cinta
kepada adik seperti kepada adik sendiri."
"Kalau mBak cinta, kawinlah sama saya."
Perempuan itu terdiam dan bersungguh-sungguh kini.
za .:: $ Tertunduk ia melihat telapak tangannya di pangkuan. Telapak
tangan dengan jari manis kirinya berkilau cincin "kawin", dan
jari manis kanan cincin bermata. Se dang pergelangan kirinya
digelungi oleh gelang mas halus.
"Inilah yang dapat saya kumpulkan selama ini," katanya
sambil mengembangkan kedua tangannya. Cuma ini, dan
saya juga tahu laki"laki mau kawin dengan saya karena saya
mempunyai barang sedikit. Dan kalau barang sudah habis,
saya akan dibuang lagi."
"Saya mau kawin sama mBak, saya mau setia, saya ...."
"Dik, kau tidak tahu saya ini orang macam apa?"
"Saya tidak tau mBak," jawab Benyo dengan tegas.
"Saya sudah payah"payah setia, tapi tidak ada orang yang
setia kepada saya. Tapi saya tahu mBak orang yang setia dan
mencintai." Perempuan itu merenungi muka Benyo lagi, lirih.
Akhirnya katanya, "Bila saya tidak seperti sekarang, bila
saya tidak tua, saya mau menjadi bujang bisa. Sekarang
saya cuma kepingin mempunyai suami yang sama dunianya
dengan saya, kepingin tenang, mengaji dan sembahyang
seperti waktu kecil."
Benyo makin membatu sekarang. Tegang dan sedih.
Menggeletarjari-jarinya memainkan biji kalungnya.
"Bunda Maria," keluhnya hampir tak terdengar.
"Perempuan malam pun menolakku!"
"Jangan begitu dik," hibur perempuan itu kecewa. "Saya
sedang menunggu suami saya pergi ke Solo. Berilah saya
kesempatan merasakan hidup yang baik."
Digenggamnya jari Benyo yang gelisah menyelusuri bijibiji kalung itu. Tiba"tiba tali kalung itu putus dan butir"butir kalung
berderaiditrotoar. Sejenakperempuan itusebagaiterpesona,
tapi tiba"tiba ia berlutut memunguti butir"butir itu.
"Saya tambah menyedihkanmu," katanya dengan suara
berair. "Sekarang kalungmu putus. Saya senang dari tadi
melihat kalungmu ini, teringat akan tasbih Eyang di desa."
V 29 Dikumpulkannya butir"butir kalung yang lepas itu di
telapak tangannya, dan menekurinya.
"Akan saya apakan sekarang, Dik?" tanyanya sambil
menengadah pada Benyo yang masih diam tak bergerak
dengan memegang kedua belah ujung tali kalung yang putus
itu. Kusangka Benyo akan memaki"makinya, tapi airmukanya
lalu berubah jernih. "mBak menyukai kalung ini?" tanyanya. Dan ketika
perempuan itu mengangguk se dikitia meneruskan, "Ambillah
buat mBak. Sebagai tanda cinta saya."
"Adik tidak marah?"
"Saya memberikan dengan tulus mBak."
Benyo mengulurkan untaian yang masih utuh ke telapak
tangan perempuan itu, dan senyum manis bening itu mekar
lagi. "Masukkanlah ke dalam tas," kata Benyo lagi sambil
menolong membukakan sebuah tas.
"Gusti," keluh perempuan itu berbisik, "G usti Allah masih
ada!" "Apa mBak?" tanya Benyo.
Tapi perempuan itu tak mendengarnya dalam
keterharuannya, ia kemudian memegang tangan Benyo,
katanya, "Saya mau jadi mBakyumu."
Benyo mengangguk dengan gembira.
Sambung perempuan itu, "Adik akan saya kenangkan
sampai mati. Doakanlah saya bisa hidupte nang dan bahagia."
Benyo cuma tinggal mengangguk.
Dan tiba-tiba awan mendung menghitami muka
perempuan itu, dan sebagai tercenung ia berkata, "Bila
nasib saya memang tidak bisa berobah, dan besok lusa saya
terpaksa kembali sebagai sekarang, adik tidak benci sama
saya" Gusti, Gusti, saya sudah tidak mau hidup menjual diri
lagi!" Hampir berupa jerit suaranya yang terakhir. Dan ketika ia
pelan menoleh ke arahku mata itu basah.
30 .:: $ Sebuah beca berhenti tepat di depan kami, menyeret
bannya yang tegang direm. Seorang laki-laki meloncat ke
luar. Pakai jas dan kupiah. Kumisnya lancip, matanya agak
sipit penuh curiga dan licin.
"Mari," serunya mendapat perempuan itu. "Mari
berangkat." Matanya tajam mengawasi aku, kemudian Benyo. Penuh
cemburu dan sombong. Perempuan yang dipanggilnya Mar
itu, masih melihat Benyo.
Katanya, "Doakanlah saya restu dan berkah, Dik"!"
Benyo mengangguk, "Selamat mBak," katanya dan
menjabat tangan Mar. "Kau juga Mas," katanya kepadaku.
Lama beca yang melarikan mereka berdua menghilang di
pengkolan kantorpos menuju stasiun bis; kami ikuti dengan
mata. Benyo menggumam, "Laki-laki itu tidak bisa dipercayai
seperti dokterandus yang merampas gadisku! Kumisnya,
matanya, lagaknya! Kasihan mBak Mar. Perempuan yang
mau jujur dalam dunia yang tak jujur?"
Waktu suara azan menggema dingin pagi, Benyo berkata
lagi, "Fajar begitu bagus dan indah. Aku tahu aku bukan
anjing. Aku manusia dengan lekuk-lekuk kemanusiaanku
berkat rahman dan rahimnya Tuhan."
31 Di Bawah Kaki Pak Dirman Sedang cerahnya lagi bulan di langit. Begitu bulat dan
kuning. Segumpal awan pun tak ada untuk menyembunyikan
wajahnya. Dan langit lalu jadi berawan hijau"hijau kebiruan.
Bintang"bintangjadi pudar.
Ya, beginilah kesukaanku akhir-akhir ini. Tertelentang di
tanah, minta ditekuri bintang-bintang, atau minta diteburi
bulan. Rasa luas lapang menyelusuri aku lalu, lapang dan
merdeka. Menyatukan sebutir kehadiranku ke dalam
rangkuman alam. Selama mengembara di Bali berbulan"
bulan lamanya, yang menemani aku ialah bintang, bulan,
pasir, laut dan langit. Pada malam-malam pumama, aku sering ke pantai Sanur,
menggali lubang di pasir yang empuk, lalu menelentang
menengadahi bulan bening yang ge muruhi ombak memecah
di pantai. Kali ini aku ditekuri wajah bulan, di bawah telepak kaki
Pak Dirman! Ya, di telapak kakinya betul. Pak Dirman berdiri
menghadap ke Barat, begitu berat kelihatan bertatanan di
tongkat. Aku telentang di bangku batu sebelah Barat, yang
mendatari dasar kaki patung. Melentang begitu, aku hanya
bisa menangkap dagu Pak Dirman, dan sedikit puncak
hidungnya. Selebihnya, langit hijau biru. Bulan amat mesra
lembut kini tepat di belakang kepalanya. Terasa seolah-olah
penuh kesegaran melintasi ubun" ubun Pak Dirman.
"Jangan genit jeng!" senyum hatiku. "Melintaslah, dan
lagu- kanlah kelembutanmu di wajah Drang Besar ini."
Lambat, tapi tak ragu"ragu lagi bulan melintasi ubun"
ubun Pak Dirman. Aku tersenyum selama ia merayap. Antara
ia dan aku kenal"mengenal dan senyum, sehingga sebulat
penuh wajahnya menekuri te ngadahku.
"Ai," katanya lembut senyum. "Kau lagi!"
Aku mengangguk. Kataku, "Kau makin cantik dan lembut."
32 .:: $ Bulan mencibir dan ketika wajah Pak Dirman
dilembutinya, ia mengangguk takzim. Pak Dirman senyum.
Perasaan cembum memahitkan hatiku.
Bulan mekar lagi senyumnya.
"Oh, kau ini!" sesalnya lembut. "Pak Dirman juga
Bapakku," sambungnya.
"Tahu kau?" tanya bulan lagi kepadaku. "Dulu, ketika
Pak Dirman digotong oleh anak-anakku melalui rimba, bukit,
lembah dan gunung, kami selalu bercakap"cakap. Dan bila ia
terbaring, karena dadanya seperti hampa karena penyakit,
beliau sangat sedih karena penyakit erat-erat merantai hati
dan kakinya. Sedih karena terpaksa menjadi beban digotong
kian ke mari, tak bisa leluasa bergerak sebagai orang sehat.
Tapi beliau orang besar dan berjiwa besar. Anak-anak cinta
kepadanya, bumi Indonesia cinta kepadanya. Dan kau tentu
juga cinta kepadanya!?"
Aku diam saja. Menengadah.
"Dan kau juga sayang kepadanya."
Ia telah merayap pelan ke arah Barat.
"Hm, kenapa kau diam?"tanyanya. "Tahu kau" Kau masih
ingat, ketika kau menengadah kepadaku seperti sekarang
ini" Ya" Ya, waktu itu kau amat lesu, seluruh pasukanmu letih
sejak senja melintasi bukit, lembah, hutan, dan menyelusup
diam"diam dekat"dekat pos penjagaan tentara Belanda.
Kalian satu pasukan ditugaskan ke Jawa Barat, jalan kaki
dari Yogya. Dan di tengah hutan rimba yang lebat itu kau
menengadah padaku, badanmu kau telentangkan begitu
saja di tanah yang basah.
Dan kau berseru padaku, "Oh, tunggulah sebentar,
jangan lekas"lekas pergi bersembunyi di balik lebat
dedaunan. Ya, daun"daun rimba yang lebat, tak mengizinkan
aku penuh-penuh berhadapan dengan kau. Hanya kita bisa
bertemu sekilas di antara daun lebat. Kita berpandangan
saling senyum. Waktu kita bertemu itu, baru saja aku
melintasi rumah Pak Dirman di Yogya. Lihat"lihatlah anak"
anakku diseluruh bagian bumi Indonesia ini, jeng!" pesan
33 beliau. "Dan aku senang menjumpai setiap kalian. Sebab
kalian tidak pernah bertanya untuk apa pergi bertempur.
Semuanya datang dari keikhlasan, ikhlas membe risegalanya,
juga nyawa." "Sudahlah," kataku.
"Itu sudah lampau."
Aku memejamkan mata, tak ingin memandangi bulan.
Sunyi sebentar. Yang terdengar disekelilingku, hanya irama
dengkur seorang gelandangan yang meringkuk di kaki Pak
Dirman sebelah Utara. Ditentang kepalaku, di sebelah kaki Selatan, terdengar
dua bocah-bocah berbisik-bisik.Tentuduabocahgelandangan
yang mencari tempat membaringkan badan menunggu pagi
besok muncul. "Pulas kok Min, tidurnya."
"Tentu dia sedang mimpi dan mengigau," terdengar
jawaban. Aku memejamkan mata, tak bergerak, dan berbuat purapura tidur lelap. Terdengar salah seorang mendekati, dan
terasa ia takut-takut menekuri wajahku. Aku tahu bila mata
kubuka, tentu wajahnya akan kulihat melindungi bulan.
"Heran, priyayi muda ganteng kok tidur seperti
gelandangan," kata bocah itu menekuri wajahku, sambil
duduk kembali di Selatan dekat temannya.
Dalam hati aku tertawa. Tapi aku diam tak bergerak.
"Barangkali dia berkelahi dengan raden ayunya?" tanya
yang seorang. "Atau banyak hutang, dan lari bersembunyi."
Terdengar tertawa mereka. Sebuah suara tawa yang
jernih, dan sebuah lagi yang mulai serak. Dan setelah agak
reda, terdengar suara yang nyaring berkata, "Biarpun ia
berkelahi dengan raden ayunya, atau banyak hutang, tapi ia
menyerobot tempat tidurku. Aku sudah mengantuk betul."
"Nanti dia akan bangunjuga," kata suara yang agak serak
membujuk. "Tapi tengah malam begini aku harus duduk di kaki Barat."
34 .:: $ "Nah, kamu ini! Percaya tahyul."
"Ini malam Jum'at Kliwon, to, kang?"
"Lha, iya, kenapa?"
"Aku harus duduk di kaki Barat setiap malam Jum'at
Kliwon."

Dibawah Kaki Pak Dirman Karya Nasjah Djamin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Terdengar suara yang serak tertawa, membodohbodohkan si suara nyaring.
"Apa bisa menolong, Dik?"
Sisuara nyaring terdiam. "Sudah berapa bulan kau duduk setiap malam Jum'at
Kliwon di kaki Barat, he"Apa hasilnya" Kamu tetapjadi"kere"
gelandangan. Meminta kok kepada patung Pak Dirman!"
Lalu kemudian dengan suara rendah katanya, "Priyayi
tukang serobot ini tentu banyak duit di kantongnya. Lah,
ke napa tidak kita ambil sedikit?"
"Apa kau berani, kang?"
Tak ada jawaban. Lama aku menunggu jawaban. Entah
berapa lama. Tapi akhirnya terdengar si suara serak mengeluh, "Aku
mengantuk, lebih baik tidursaja."
Terdengar ia merebahkan diri, yang kemudian disusul
lagi oleh suara tubuh merebah, tentunya si suara nyaring
ikut membaringkan diri. Mataku kubuka pelan"pelan. Bulan tak menekuri tepat"
tepat lagi kini. Ia entah telah berapa derajat bergeser sudah
ke Barat. Terpaksa kutelengkan kepala ke arahnya.
"Kenapa kau diam?" tanya bulan. "Aku tahu kau tidak
tidur!" Aku mengangguk, dan sambungnya, "Kau masih sakit
hati dan cemburu?" Aku mencibir, teringat si suara nyaring yang menyebut
aku tukang serobot. Bulantersenyum, "Kau orang aneh,"katanya.Waktu dulu
kita bertemu di Sanur, kemudian di Ubud, dan di Batubolong,
kau bertanya kepadaku, "Jeng, apakah kau harus melintas di
Malioboro, dan di Gunung Kidul" Apakah kau Bulan" Apakah
35 Bulan diJogya dan Bulan di Gunung Kidul sama dengan Bulan
di Sanur dan di ubud" Kau betul-betul anak edan. Aku sedih
kau buat, waktu di Bali itu. Kau ingat" Kau meneguk arak
sebotol di pantai Sanur, dan kau berteriak, "Kau bukan Bulan
yang kukenal diJogya atau di Gunung Kidul, kau Bulan Bali!"
"Maafkanlah aku sekali ini," kataku malu. "Aku tak ingat
diri waktu itu." "Ya tentu," katanya lembut. "Aku mengerti kemarahanmu
waktu itu. Kau ingin bercakap"cakap dengan aku di Ubud
waktu malam bulan Purnama. Tapi waktu itu hujan turun
sejak senja, dan mendung tebal tujuh lapis menghalangi aku.
Aku mengerti kem arahanmu di Sanur ketika aku muncul dari
laut sehabis masa" masa purnama!"
"Sekali lagi maafkanlah aku Jeng."
Bulan senyum lembut dan baik.
Katanya, "Aku tak apa"apa. Tapi nasihatku kepadamu,
bila besok-besok kau minum, ajaklah aku minum."
"Kau tahu," tanyanya lagi. "Entah kapan itu terjadi,
aku sudah lupa. Aku kenal seorang penyair besar di tanah
Cina sana. Syair-syaimya dikenal oleh rakyat, dan menjadi
nyanyian rakyat. Ia seorang yang lembut dan hormat. Aku
sering diajaknya minum. Bila aku tersenyum kepadanya, ia
menuangkan anggur ke seloki, lalu kami mendentingkan
seloki dan minum bersama"sama. Kami bercakap"cakap
sambil minum semalam suntuk, hingga ia meminta diri. Aku
ingin kau mau menawarkan aku minum seperti dia."
"Tapi aku jarang minum anggurJeng, terlalu mahal. Aku
cuma bisa menawarkan kepadamu arak atau tuak."
"Itu tak menjadi soal. Aku kepingin kau ajak minum. Ha,
kurasa kaujuga kenal kepada penyairtanah cina yang besar itu?"
"Ya," jawabku dengan gairah. "Aku kenal. Dan aku pernah
mendengar bahwa kau dan dia sering minum anggur. Penyair
yang beruntung dia, Li Tai Po itu!"
"Ya," kata si Bulan. ",Aku tahu, bahwa orang"orang yang
tengah bercinta selalu menengadah kepadaku. Drangorang
rindu dan kangen ingin bercakap"cakap dengan aku. Kulihat
36 .:: $ kau sekarang tak perlu kepadaku. Dulu di Bali kau selalu setia
menunggu aku ke luar, karena kausedang kangen."
"Sekarang tak ada yang kurindukan lagi," kataku senyum
compangfamping. "Ya, aku tahu! Kau patah hati sekarang, dan pahitmu amat
pekat." "TidaklAku tidak patah hati."
"Jangan bohongi dirimu! Bila aku yang kau bohongi tak
apalah, tapi aku sudah tahu."
"Tapi jangan dikira aku patah hati,Jeng! Hatiku sekasar batu,
mana mungkin patah" Aku tidak patah. Tidak bisa patah, tidak
bisa patah hati!" Aku menutup mukaku dengan lengan, tak ingin melihat
wajah Bulan. "Dia mengingau lagi Kang!" terdengar suara nyaring di
sebelah Selatan. Apakah yang patah to, Kang?"
"Hatinya, Lik!"
"Lha, kok hati bisa patah?"
"Ah, kamu ini bodoh! Kamu masih bocah, belum tahu
bercinta-cintaan." Si suara nyaring mengeluh, dan terdengaria mengenakkan
ringkuk tidurnya. "Na, kau tentu membenci aku sekarang," terdengar suara
Bulan. "'Tidak," kataku pelan. "Aku tak membenci apapun dan
siapapun." "Aku tahu, kau sekarang benci kepada dirimu, karena kau
melihat dirimu telanjang bulat dan takut mengakuinya?"
Aku mengangguk di balik lingungan lenganku.
"Aku se nang kau mau berkuat hati," kata Bulan kemudian.
"Dan aku tahu, bahwa kau masih mengharap"harapkan
dia. Tapi itu soalmu, dan baik bahwa kau masih memiliki
harapan. Artinya kau tak putus harap untuk hidup. Kau
tidur?" tanyanya ketika aku tak bergerak dan tak bersuara.
"Baiklah, tenangkanlah hatimu dan carilah kekuatan
mengatasi kekecewaan hidup. Selamat malam."
'.'"i-l ?"-u" 3"
Kemudian setelah aku menggumam selamat malam
kepadanya, terdengar suara Bulan takzim mengucapkan
selamat malam kepada Pak Dirman. Juga pelan tertegun
mengucapkan selamat malam kepada orang"orang yang
berbaring di sekitar kaki Pak Dirman.
Entah berapa lama aku menyelinap antara tidur dan
jaga. Tapi aku sadar kembali ketika mendengarsuara nyaring
berkata, "Bulan ditutup awan, Kang!"
"Huhh," keluh si suara nyaring itu bersuara pula, "Kang,
Kang! Priyayi itu kok belum bangun"bangun"!"
Terdengar si suara parau menggerutu dan menyentak
dalam tidurnya. "Aku periu duduk di kaki Barat Kang!"
Terasa olehku, si suara nyaring duduk menyandar, dan
kemudian sisuara parau. "Kamu ini anak bodoh," si suara parau mengomeli.
"Duduk di kaki Selatan saja sama, to?"
"Bangku yang di sebelah Barat adalah tempat tidurku;
tempatku setiap malam Jumat Kliwon! Aku periu duduk di
situ." "Bodoh," omelsisuara parau dalam mulut.
Senyap kemudian. Aku berpura"pura tidur lelap, merasa
bersalah menyerobot tempat tidur mereka.
"Apa saya bangunkan dia?" tanya si suara parau.
"Oh, jangan. Nanti Kakang dipukuli."
"Ya, sudah! Jangan menggerutu."
Lalu, lama pulasunyi. Sudahtergerak hatiku akan bangun
dan menggeliat, lalu menyerahkan tempat yang kuserobot.
Tapi tiba-tiba dengan pelan si suara Nyaring berkata,
"Aku cuma menjalankan pesan Ibu, Kang. Kakang tak ada,
waktu Ibu meninggal. Cuma aku yang menunggui Ibu. Kakang
sedang mencari telor. Waktu itulah Ibu meninggalkan pesan
Kang!" "Ah, kamu ini. Apa pesan Ibu" Ibu bilang, bahwa bapak
kita pernah ikut menggotong tandu Jenderal Sudirman dari
kampung ke kampung, dari bukit ke bukit" Bahwa bapaktidak
38 .:: $ pulang, cuma menitipkan pesan kepada kawannya yang sama"
sama ikut menggotong sampai ke desa lain, bahwa bapak
telah memutuskan akan ikut dengan rombongan PakJenderal,
ikut terus berjuang" Lik, Lik! Cerita ini aku sudah tahu. Dan
aku juga sudah tahu bahwa bapak tidak pernah pulang, cuma
kawannya yang mengabarkan bahwa ia sudah tewas."
"Apa bapak juga tentara Kang?"
"Tidak Lik, bapak kita bukan tentara. Cuma orang desa
biasa, yang sukarela menggotong tandu Pak Dirman. Aku
mendengar, ia cuma diminta membantu ikut menggotong
sampai ke desa di seberang bukit. Tapi bapak berkeras mau
ikut terus dengan pasukan."
"Tapi bapak se orang Pahlawan, Kang!"
"Tentu, bapak Pahlawan!"
Aku menahan napas. Di antara dua orang itu, diam sepi.
Aku teringat, ketika pasukan kami berlong"mars dari Yogya
merembes ke Jawa Barat. Bagaimana orang-orang desa yang
kami lewati, senantiasa terbuka dan sukarela membantu
dan menyambut setiap pasukan yang datang dan yang pergi.
Bagaimana mereka menyediakan diri sebagai penunjukjalan,
melalui bukit dan gunung. Bagaimana mereka senantiasa
siap dengan dapur umum, baik siang maupun malam untuk
pasukan-pasukan yang datang melepaskan lelah.
Ya, mereka, orang"orang desa terpencil di bukit"bukit,
pahlawan"pahlawan tak bernama yang tak pernah disebut"
sebut. Tentu sama kejadiannya dengan bapak si suara serak
dan si suara nyaring di sebe lahku ini!
"Kata Ibu, Bapak sama Pahlawannya dengan Pak Jenderal
Sudirman," terdengar suara nyaring berkata dengan pelan.
"Tentu," kata si suara parau. "Tapi kita waktu itu masih
kecil, baru tahu merangkak. Kalau Ibu bilang begitu, tentu
betul." "Ya, te ntu betul Kang."
"Ha, apa pesan Ibu kepadamu, he?"
"Tidak ada yang penting Kang. Cuma buat aku sendiri
sma" '.'"i-l ?"-n" 39
"Ah, kamu ini! Coba, pesan apa?"
Lama si suara nyaring tak menyahut.
Dan tiba"tiba si suara nyaring itu mengerang,gumamnya,
"Perutku mulas lagi, Kang."
"Tidur diam-diam saja, Lik. Tadi masih ada darahnya?"
Si suara nyaring itu mengerang, "Darah semua Kang,
darah." "Tahankan saja, Lik. Nanti sembuh sendiri."
"Dulu aku juga pernah berak darah. Besok akan aku petik
buah sirsak yang di halaman rumah Kanjeng Wetan Beteng
itu. Sirsak yang hampir masak, kalau kau makan dua buah,
berak darahmu pasti sembuh."
Lalu, suara si parau lagi dengan pelan, "Aku kepingin
mengambil uang sangu dari kantong priyayi yang tidurtiduran di sebelah!"
Terdengar ia mendekati, tapi tak berani menyentuh
aku yang berpura-pura tidur nyenyak. Kalau ia merogoh
kantongku, akan kurelakan! Di saku hemku cuma ada
sejumlah empatpuluh satu rupiah, sisa beli rokok. Aku ingin
memberikannya kepada mereka, tapi ini tak bisa kulakukan
begitu saja. Di saku belakang celanaku masih ada selembar
limapuluhan. Lalu terdengar keluh si suara parau. Tak terasa bahwa
yang di saku hemku telah menjadi miliknya. Begitu cepat!
Aku memuji kepintarannya dalam hati. Dan dengan tenang,
seolah-olah tak ada terjadi apa-apa, ia duduk lagi di dekat si
suara nyaring. "Sakitmu bagaimana sekarang Lik?" tanyanya pelan.
"Sudah mulai hilang perihnya, Kang."
Lalu lama pula mereka bersembunyi diri. Aku melihat
kepada Bulan dari celah"celah sipit mataku.
Ia senyum mengangguk, katanya, "Kau orang edan yang
baik." "Kau tidak di rumah waktu itu, Kang!" terdengar si suara
nyaring pelan. "Kapan?" 40 .:: $ "Waktu Ibu meninggal. Kau cari telo ke bukit wetan. Ibu
bilang kepadaku," Lik, jangan sedih, kita orang melarat. Ibu
tidak bisa memberikan kau dan Kakangmu makanan nasi.
Tapi Bapakmu mati sebagai Pahlawan, Lik! Dia ikut memikul
tandu Pak Jenderal Dirman. Di rumah yang reyot ini Pak
Jenderal pernah menginap."
"Ya," sela si suara parau. "Aku masih ingat. Aku dilarang
Ibu ribut-ribut, aku menangis melihat banyak prajurit tegaptegap di rumah dan di halaman. Kau masih belum bisa
berjalan Lik!" "Ibu juga mengatakan begitu. Aku amat kurus," kata
Ibu. Pak Dirman melarang ibu repot-repot, dia cuma mau
beristirahat sebentar. Tapi Ibu diam"diam membuat bubur
untuk Pak Dirman yang sakit. Ibu amat takut gemetar, ketika
membawa bubur itu kepada Pak Dirman, takut dimarahi.
Tapi Pak Jenderal senyum, dan kemudian air matanya
jatuh. Katanya, "Ah mBok ini bagaimana?" Kata Ibu aku
digendongan Ibu, menyusu, tapi aku amat iba melihat Pak
Dirman. "Kenapa susah"susah begini mBok?" kata Pak
Dirman. "Bayi sampeyan ini lebih perlu makan bubur yang
enak!" Lalu disendoknya bubur sesendok, disuapkannya
kepada saya, Kang! Ibu menangis, dan Pak Dirman bilang,
"Jangan menangis, mBok! Lihat, saya makan bersama bayi
mBok. Semoga Tuhan memberkahi dan melindunginya." Kata
Ibu, aku lalu tertawa, memegang bibir Pak Jenderal.
Sejenak si suara nyaring diam. Bulan senyum lirih
kepadaku, katanya jauh, "Kau lihat"Tiap manusia mempunyai
luka dan dera." "Lantas apa Lik?" tanya si suara parau.
"Bapak memarahi Ibu karena mengganggu Pak Jendral,
lalu menyuruh bawa aku ke luar. Tapi Pak Jenderal senyum
saja." "Itu saja."

Dibawah Kaki Pak Dirman Karya Nasjah Djamin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Lalu PakJenderal mencium aku, Kang! Dan Ibu tersedu"
sedu ke luar." "Lalu itu saja?"
"Fi-' ?"-n" 41
"Ya, itu saja Kang.Tapi PakJenderal lalu bilang sama Ibu,
"mBok! Kalau besok perang sudah habis, dan bayimu sudah
besar, datanglah bertamu ke rumah saya di Yogya". Kang!
Waktu Ibu mau meninggal, Ibu sampaikan pesan Pak Jendral,
dan aku berjanji akan menemui Pak Jenderal."
"Lik, Lik! Pak Jendral sudah wafat Lik!"
"Tapi dia bilang kepada Ibu, Kang. Aku diundang oleh Pak
Jenderal." "Dia sudah tidak ada, Lik. Ini cuma patungnya, cuma
batu. Pak Jenderal dimakamkan di Taman Pahlawan Semaki."
Aku teringat tiba-tiba kepada penduduk desa-desa yang
kami singgahi, waktu pasukan kami merembes ke Jawa Barat
dari Yogya. Kepada desa"desa yang kami makan berasnya,
kamitiduri ambennya, kami minum airnya! Kepada penduduk
desa yang aku sudah tak tahu entah di pegunungan mana,
bukit mana, atau di lembah mana. Tapi untuk pasukan yang
lewat, mereka tetap menyediakan nasi ompreng; tetapi
menjadi penunjuk jalan ke perbatasan lain, semuanya
terjalin dalam satu tekad dan satu tujuan perjuangan! Dan
aku teringat, ketika Pak Lurah menemui Kepala Pasukan
kami, dan dengan amat hormat menanyakan apakah dapur
umumnya bisa mendapat bantuan kadarnya dari pasukan.
Tapi pasukan kami tidak membawa uang. "Pak," kata Pak
Lurah, "Penduduk desa sendiri kadang"kadang cuma satu
kali makan sehari, mereka kurus dan selalu sakit malaria
atau busung lapar." Dan aku ingat, Kepala Pasukan kami
menuliskan secarik bon dan membubuhi cap pasukan. "Pak,
datanglah dan tukarkan bon ini di Kementerian Pertahanan
di Yogya," kata Kepala Pasukan. Dan Pak Lurah mengangguk,
wajahnya tak berkerut, ketika bon itu disusunnya rapi"rapi di
atas tumpukan yang tebal dari bon"bon pasukan yang lebih
dahulu dari kami mampir di situ. Dan Pak Lurah berkata,
"Inggih, matur nuwun. Selamat berjuang. Merdeka!" Aku
tak tahu apakah bon"bon setebal bantal di desa itu pernah
terbawa ke Yogya, sebab beberapa bulan kemudian Yogya
sudah diduduki oleh Belanda.
42 .:: $ "Sekali waktu aku akan bertemu dengannya Kang,
bertemu dengan Pak Jendral."
"Ha, kamu ini!"
"Setiap malam Jum'at Kliwon aku duduk di Barat, di
kakinya." "Hss! Bodoh kamu. Ini cuma patung Pak Dirman. Drang
mati tidak bisa ditemui Lik! Tidak boleh meminta apa"apa
kepada orang yang sudah meninggal. Doakanlah kepada
Tuhan agar amal Pak Dirman diterima, dan arwahnya
mendapat tempat yang baik!"
"Sekali waktu pasti aku bertemu dengannya Kang. Dia
pernah mencium aku, dan mengundang aku ke Jogya."
"Keras kepala dan bodoh." Lalu dengan suara menyesal,
"Huh, kamu mencret lagi! Oalah baunya! Mambunya! Pergi
berak ke sana dan cuci di kolam. Hati"hati jangan kelihatan
orang!" Si suara nyaring bersingut, melewati kepalaku dan
mencuri-curi jongkok di kolam di hadapanku. Baunya
menyemai ke mana"mana. Dalam cahaya bulan yang sudah
agak memudar, kulirik diam-diam bentuk badan bocah
kurus di tepi kolam itu. "Tuhan," keluhku. Dan ketika aku
berpandangan dengan Bulan, senyum lembutnya amat perih.
"Ya," keluhnya lirih.
"Ia masih bocah cilik dan layu se belum tumbuh!"
Dan tiba"tiba saja tidur malam dikejuti oleh derai ketawa
di kolam. Seorang gelandangan bertubuh bulat melantingkan batu
ke air kolam. Air memancar sepeda dekat si suara nyaring
mencangkung. Aku tertunduk.
Si badan bulat terbahak"bahak.
"Galah! Galah!" serunya menyentak"nyentak. "Anak
Pahlawan berak! "Anak Pahlawan berak! Oalah! Ojo dumeh
Lik, nanti Pak Dirman mambu busuk?"
Si suara nyaring berdiri. Pelan. Lalu pelan mendekati
si badan bulat. Sikapnya pasti dan nekat. Si badan bulat
terbahak terus, meremehkan.
'.'"i-l ?"-n" 43
"Ho, ho! Jangan dekat, kau mambu?"
"Kau bilang apa" ha?"
"Masa kamu tidak dengar! Aku bilang, kamu anak
Pahlawan berak!" "Jangan hina saya?"
"Lha, Bapakmu kan Pahlawan! Kamu anak Pahlawan"
Pahlawan ngising." "Jangan hina saya! Jangan hina Bapak saya?"
"Kan kau mengaku Bapakmu Pahlawan?"
"Bapak saya memang Pahlawan, Pak Dirman pernah
digotongnya ditandu!"
"H a, ha! Pahlawan ngising!"
Tiba"tiba, secepat kilat si suara nyaring menubruk si
badan bulat. "Bangsat! Bangsat!" jeritnya.
Tangannya yang kurus memukuli si badan bulat. Mereka
berguling di tepi kolam. Si badan bulat bukan imbangan si
suara nyaring. Sebelum aku sadar, dan hendak menengahi,
tiba"tiba Kakang si suara nyaring, telah meloncat dan
menghantam si badan bulat, hingga terjajarbebe rapa meter.
"Rasain kowe!" pekiknya. "Berani cuma sama anak kecil."
Si badan bulat tiba"tiba menangis, bertubi"tubi dihujani
pukulan si Kakang. Ia berteriak-teriak meminta ampun. Dan
ketika ia dilepaskan, ia lari memaki"maki dalam tangisnya.
Dan tiba"tiba si Kakang terpana, melihat aku di
hadapannya. Si suara nyaring dirangkulnya, sebagai hendak
melindungi. Wajahnya begitu ketakutan. Tahu bahwa ia telah
be rbuat salah, menyambar uang dari sakuku. Pencurian yang
kurelakan! Aku senyum. "Tidak baik berkelahi sama teman," kataku. Ini adikm u"
Ia mengangguk, dan kian mempererat rangkulan adiknya
yang diam terisak-isak. "Begitu kurus," kataku. "Belum makan?"
Oh, pertanyaan yang konyol dan pahit!
"Sudah, sana," kataku menggembirakan suara. Kamu
mengganggu saya tidur saja.
Hatiku iba menjadi"jadi!
Kataku, "Ini! pergi cari makanan. Ini uang!"
Dan uang limapuluhan yang di kantong belakang celana
kugenggamkan ke tangan si Kakang. Besok, aku masih bisa
ngebon honorarium di kantor Redaksi Majalah, terlintas di
hatiku! "Matur nuwun, Pak." Nuwun! kata si Kakang.
Aku tertawa lebar saja. Kupandangi mata si suara kecil
yang masih berair, matanya yang begitu lirih dan nelongso!
"Sudah. Cari makan di sana buat adikmu!" kataku.
Mereka pergi pelan-pelan. Sekali dua kali si Kakang
masih menoleh kepadaku, menoleh kepada priyayi tolol
yang kema" laman di kaki Pak Dirman!
Ketika aku menengadah langit, aku menengadah ke
wajah Pak Dirman. Ia tersenyum.
Bulan yang hampir bertengger di atap gedung kota
sebelah Barat, juga tersenyum.
Hingga subuh aku mengukur Malioboro.
Ketika aku lewat beberapa kali di depan patung Pak
Dirm an, dari jauh kulihat sosok tubuh si suara nyaring duduk
bersila, di bekas tempatku tidur, dan si Kakang meringkuk di
sebelahnya. Tapi setelah pukul tujuh aku bergegas ke tempat
pekerjaanku, banyak orang berkerumun di kaki patung Pak
Dirman. Berita koran esok harinya memuat kabar kota, beberapa
baris, "Seorang bocah gelandangan kedapatan mati di kaki
patung Pak Dirman." Apakah patung itu mengetahuinya, atau Bulan yang
silam menjelang fajar" Hanya Tuhanlah Yang Maha Tahu.
45 Malam Abstrak Sudah lama kuputuskan tidak mau bertemu dengan dia,
kalau tidak sedang diamuk kesepian. Jika bisa, ia harus saya
hindari. Usaha menghindari ini biasanya selalu gagal. Sebab dia
sebagai lalat, dihalau, hinggap lagi, dan akhirnya kitalah yang
menyerah kalah. Malam itu kami berdua, Abdidalem dan aku menyusuri
lagi Malioboro. Bulan amat suram diliputi mendung dan bekas"
bekas gerimis. Tapi di cahayanya yang suram pudar itu, dan
bintang" bintang yang sekali"sekali memperlihatkan diri, kami
tahu bahwa untuk malam itu hujan sudah jera menuangi bumi.
Dan biasanya bila pada malam harijam telah berdentang 12 kali,
kamilah yang merasa menjadi raja di sepanjang Malioboro. Kami
kenal setiap tegel trotoamya, kami kenal setiap tangga kakilima
toko, kami kenalsetiap kelip lampu-lampu yang sayup berderet,
kami kenal setiap wamng, setiap Irah dan Ijem yang menjual
wedang, yang menjual gudeg, yang menjual salak atau pelem
sepanjang malam itu. Sungguh tidak bisa dielakkan malam itu aku bertemu
dengan dia. Tiba-tiba saja dia sudah menghadang jalan kami. Tanpa
mem"perlihatkan minat atau memperhatikan kehadirannya,
kami terus melangkah. Tapi dia ikut di samping kami, memenuhi
trotoar, berusaha mengikuti langkah kamiyang panjang-panjang
dengan langkahnya yang pendek"pendek.
"Hei, ke mana" Aku ikut!" katanya setengah berteriak.
"Hmm," sapa Abdidalem kepadaku, "kurasa ada orang
menegur kita." "H a," tanyaku heran. "Aku tidak melihat siapa"siapa. Kau
lihat?" "Ada apa kalian malam ini! Apa sudah gila" jadi
sombong?" "Betul-betul aku de ngar suara orang berteriaksekarang,"
kata Abdidalem. 46 .:: $ "Aku tidak mendengar apa"apa, tidak melihat apa"apa,"
kataku. "Jahanam! Sudahlah, biarkan aku mati! Kalau aku mati,
kalian tak akan diganggu lagi. Aku tahu. Kalian akan senang."
"Siapa yang mau mati?" tanyaku kepada Abdidalem.
"Ya, kudengar orang berteriak meminta mati."
"Sudahlah," teriaknya sambil membantingkan kupiahnya ke
trototar. "Mampuslah kalian. Bila sampai waktuku,tidak seorang
akan merayu. Juga kau, juga kalian, tidak!"
Aku menghentikan langkah. Menoleh kepadanya. Ia berdiri
kini di bawah tiang lenterajalan. Mukanya kelihatan suram dan
pucat. Ataukah karena kabut yang menyelendangi sinar listrik di
atas kepalanya" Tapi yang pasti, kepahitan mengeruhi seluruh
wajahnya yang selama ini kukenal selalu gembira dan dihidupi
oleh ketawa. Terbit kasihanku.
Aku jadi teringat kepada Bleki, anjing kampung yang selalu
berkelumun di depan kamarku, menunggui aku pulang jauh
malam untuk mengharapkan sisa-sisa makanan rantang. Aku
ketawa kepadanya, penuh belas kasihan.
"Kalian tidak tahu, aku sudah tidak kepingin hidup lagi
sekarang ini?"teriaknya ketika kami mendekatinya."Kalian hanya
tahu bersenang"senang, tapi kalian tidak pernah merasakan
kehancuran yang mengoyak-ngoyak dadaku! Dia sudah menolak
aku. Menolak aku!" Ia duduk di tembok pagar tanam. Kami di depan bunderan
kantor pos kini. Kami lalu duduk di sampingnya. Karena tidak
bisa mengelakkan diri, apa boleh buat. Kami akan bertiga juga
malam ini mengukur Malioboro dan menginspeksi sekitarnya.
"Dunia ini gelap rasanya," ia menyambung. Mengharapkan
kasih dan cinta, tetapi kehancuran hati yang diperoleh.
"Kau jatuh cinta?" tanyaku penuh minat.
Kulihati dia dengan ejekan di mata. Ha, kumisnya yang
dulu dibiarkan tebal rimbun, sekarang begitu licin. Juga
pangkas rambutnya kini sangat rapi. Dan sekarang ia rajin
pula berkupiah. Pakaiannya betul"betul mengagetkan aku.
Dulu celananya kumal dan tambalan; sebagai ganti kemeja
'.'"i-l ?"-u" 4"
cukup kaus kutang atau vest usang, yang dilingkupinya pula
dengan jas yang tidak tentu warna dan bentuknya lagi. Tapi
kini betul"betul dia sebagi ganti bulu.
"Kau sekarang," kataku memutuskan. Banyak rupanya
laku lukisan dan patungmu.
"Kaya! Kaya!" elaknya. "Aku mau mati sekarang. Semua
hasil"hasil lukisan dan patungku sudah kupersembahkan
kepadanya! Sekarang dia membuat aku begini.
Menghancurkan aku! Lihat ini, lihatlah!"
Ia mengeluarkan sehelai surat yang ditulis dengan huruf"
huruf lancip halus, dari kekasihnya.
"Kalian tidak dapat merasakan kesedihan hatiku, karena
kalian tidak pernah bercinta," katanya menyesali. "Dengar!
Apa tulisannya" Dengarkan."
Dengan wajah seperti orang menghadapi Kitab Suci ia
membaca! ".... walaupun Kak Ar tidak bisa hidup di sampingku,
jangan"lah putus asa. Aku ingin mencarikan Kak Ar kawan
hidup yang lebih sepadan dan yang bisa lebih mengerti serta
menjunjung hidup cita-cita Kak Ar menuju pulau bahagia.
Biarpun hubungan kita di mata lahiriah sudah terputus,
percayalah benang sutera cinta suci yang kita pertautkan
akan tetap kekal abadi, tak bisa diputuskan. O, Kak Ar!
Am punilah aku, sebab akutidak bisa jadi teman abadi Kak Ar.
Sebab, sebelum pertemuan kita yang suci itu, aku sudah
dipupuk dan dipetik oleh orang lain."
Aku bersiul"siul sebagai tak acuh.
"Jahanam!" kutuknya. "Kau tidak mempunyai perasaan
sama sekali. Aku mau mati. Mau mati rasanya!"
Dan dia menghantuk"hantukkan keningnya ke batu
tembok tempat ia bersandar.
"Kenapa mesti mati?"tanyaku.
"Kau tidak mengerti. Pikirlah. Enam bulan sudah kami


Dibawah Kaki Pak Dirman Karya Nasjah Djamin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjalin kemesraan yang begitu halus dengan benang"
benangsutera,tiba"tibadiaberkatabahwadiasudahmempunyai
orang lain. Tidakkah itu curang" Sejak aku mencintai dia, semua
48 .:: $ harapanku, semua hasil seniku, semua kemauanku, semua
berpusat kepadanya. Untuk dia! Dari pagi sampai jauh malam
aku mengaduk lempung sebagai kuli DPU, dan menghasilkan
ciptaan"ciptaan patungku. Dengan penyerahan seluruh hati,
jiwa dan ragaku, sebagai persembahanku ke kakinya. Sejak
aku lahir sampai seratus hari, ibuku sudah berpulang, dan
aku diasuh oleh pe rem"puan lain yang bukan ibu kandungku.
Hanya seratus hari itukah kau merasakan timangan dan
belaian ibu yang mesra dan kasih sayang. Sejak itu tidak
pernah. Dan kini aku mengharapkan belaian kasih mesra dari
dia, aku tiba-tiba ditolaknya. Ditolak begitu pedihnya. Siapa
yang tahan?" "Apakah ia juga cinta kepada kau?"
"Aku cinta tak terlerai ke padanya."
"Dia bagaimana?"
"Dia juga begitu. Tapi siapa yang bisa memastikan hati
perempuan?" "Sudah pemah dia kau cium?"
"Sungguh mati, belum! Cinta yang suci bersih tidak perlu
pakai cium-ciuman. Yang penting, ikatan benang sutera
antara hati dengan hati."
"Jadi cuma kau pandangi saja" Dengan mata bercinta"
Begitu?" "Kau tidak mengerti cinta suci. Cintamu cabul melulu."
"Ah, janganlah kau bercinta se bagai jaman"jaman Hamka
atau Marah Rusli. Kau harus bercinta seperti jaman Chairil,"
kataku kesal. "Kau kuno. Itulah sebabnya maka dia jemu
kepadamu sebab kau menganggap dia seikat bunga saja.
Mana bisa" Seni percintaan ialah romantik dan kehangatan."
"Aku menjalankan romantikku dengan caraku. Apa
salahnya?" "Ya, dengan berkirim surat ala Siti Nurbaya" Pakai benang
sutera, pakai belang bola dan sebagainya" itu kanjaman leluhur
kita, ketika nenek-nenek kita masih pakai celana lemang?"
"Kau tidak bisa dimintai nasihat. Akan kau biarkan aku mati
karena keperihan hati begini?" tanyanya dengansayu.
'.'"i-l ?"-n" 49
"Setiap orang mempunyai keperihan hati," jawabku
dengan keras. "Tapi kau bercinta sebagai anak kecil, cinta
puber. Perlu apa hams terlunta"lunta sebagai ini, kalau
ditolak" Itu bodoh namanya. Kau seharusnya sudah dewasa
sekarang. Perempuan bukan dia seorang."
Lalu kusiteerChairil,"Kecuppelukperempuan,tinggalkan
kalau merayu. Pilih kuda yang paling liar, pacu laju."
"Dia tidakmerayu aku,tapi akulah yang merayu dia. Inilah
salahnya.Akuterlalumengharapkan belaian cinta kasih,sejak
aku lahir sampai begini gaek! Begitu besar kebutuhanku itu,
hingga kehilangan sekali ini tidak bisa aku atasi. Aku sudah
merobah kelakuan-kelakuan burukku, aku berusaha menjadi
manusia yang baik"baik, mau memulai kehidupan yang baru
dan bersih." Dia diam sebentar, lalu katanya, "Aku benci
kepada perempuan sekarang. Sudah dua malam dengan ini
aku tidak bisa tidurmemikirkan kehancuranku.Aku tidak bisa
berpikir, aku tidak bisa bekerja, tidak bisa mematung, tidak
bisa melukis. Kemarin malam, aku sudah memutuskan akan
bunuh diri. Ada tiga jalan yang sudah kupikirkan. Pertama:
memotong urat nadi dengan pisau. Tapi aku takut melihat
darah, takut merasakan sakit. Rencana ini kubuang. Dan
semua barang yang tajam: pisau, gunting, hingga sampai
pada botol, piring dan beling-beling kusembunyikan. Kedua:
minum racun. Tapi malam sudah larut, apotik"apotik sudah
tutup. Dan minum racun juga terasa sakit. Bisa biru nanti
seluruh badan. Dan rencana kedua ini juga kubatalkan.
Tinggal yang ketiga: Terjun ke kali Code. Tapi dari rumah ke
kali Code, jaraknya amatjauh. Aku takut, sementara di jalan
tentu pikiran warasku akan datang, dan pasti tidakjadi bunuh
diri. Ya, kalau aku bisa terus mati! Tapi, kalau hanya kakiku
sebelah yang patah, atau tanganku, bagaimana" Aku tidak
bisa mematung lagi besok, paling-paling aku jadi seorang
invalid yang tidak bisa masuk golongan veteran pejuang!"
"Jadi, tidak jadi bunuh diri?" tanyaku.
"Itulah susahnya," jawabnya sedih. "Betul"betul aku
tidak berani. Bunuh dirijuga meminta keberanian luarbiasa."
50 ;: $ "Bunuh diri tidak punya arti," kataku. "Bunuh diri adalah
perbuatan kalap. Dan kau sendiri belum sampai ke puncak
kekalapan. Tapi, hanya baru berbuat kekalap"kalapan. Tahu
kau, apa yang baik kau lakukan sekarang" Ajaklah kami,
makan minum. Kami bersedia betul menemani orang-orang
yang patah hati atau putus asa, dengan diajak makan minum
di restoran. Tak banyak permintaan kami, hanya kopi segelas,
sate atau tongseng seporsi, cukuplah."
"Akutidak mempunyai duit,"tolaknya.
"Apa boleh buat," kataku memutuskan. "Kita akan
berpisah saja sekarang dan menjelajahi malam suram dan
gelap masing- masing."
Aku berdiri, juga Abdidalem. Aku tahu dia orang yang
amat hemat. Hatiku tertawa di dalam, walaupun ikut sedih
memikirkan dia yang ditolak cintanya. Ya, dalam menghadapi
keputusan yang begitu pun, dia tidak bisa melupakan
ke hematannya. Satu kebiasaan yang unik, ialah bila bertemu,
lalu dengan ramah, dan ketawa seperti seorang jutawan,
dia mengajak orang, "Mari kita makan. Makan sate, minum
bir". Dan kawan yang merasa ditraktir, gembira menerima
tawaran rejeki yang demikian. Dia memesan yang enak"
enak dan mahal, mengobrol kesana"kesini, tapi akhirnya,
kalau masanya harus membayar, ternyata dia sendiri tidak
mempunyai uang sepeserpun! Dengan mempertaruhkan
sumpah dunia akhirat, terjebaklah kantong orang lain.
Tapi sekali ini dia tidak akan aku biarkan sampai ke anganangan begitu. Dia memerlukan teman, dia harus melupakan
ke kikirannya sekali" se kali.
"Biarlah," katanya sambil mengikuti kami yang sudah
berjalan meninggalkannya. "Tapi, cuma kopi segelas saja,"
sambungnya gigih. "Terima kasih," kataku. "Kalau tidak dengan sate atau
mie sepiring, tak usah saja. Orang yang patah hati tidak
seharusnya sempat memikirkan duit lagi, apalagi orang yang
kalap mau bunuh diri!"
Dan setelah menghilangkan keragu"raguannya, dia
51 menerima anjuran kami, walau dengan hati yang mangkel
dan gemas. Sambil makan, kami dihujani lagi dengan segala
kepedihan hatinya. Akhirnya kataku, "Kau ini lucu. Dalam seni kau mencari
tem pattegak dalam aliranyang abstrak.Tapi dalam kehidupan
sehari"hari, kau tidak mau abstrak. Mana konsekwensimu?"
"Apa maksudmu?"
"Ya, anggap sajalah kepedihan dan kekecewaanmu itu
abstrak belaka." "Tidak bisa!" jeritnya. "Itu tidak mungkin!"
"Dan kurasa," kataku pelan, "kurasa jalan keluar buatmu
sekarang yang baik ialah: bunuh diri secara abstrak."
"Itu kan tidak bisa," katanya. "Kepedihan hati tidak
abstrak, Ia ada, meretas, kian pedih dan kian perih sebagai
disiram dengan airjeruk!"
"Orang harus berani konsekwen," kataku bertahan.
"Aku selalu konsekwen. Dalam hasil-hasil patung, dalam
lukisan"lukisanku."
"Ya, hasil-hasil patung dan lukisanmu memang
konsekwen dan abstrak. Tapi abstrakmu dalam patung dan
lukisan, samaseperti bentuk"bentuk abstrak kue donat."
"Buruknya !" teriaknya.
Air ludahnya merinai bersemburan, hingga terpaksa
aku menghapus kening dan hidungku diam"diam dengan
telapak tangan agar tidak dilihatnya. Dia juga masih sempat
merasakan akibat hujan gerimisnya, tapi berkepala batu
dengan berbuat pura"pura tidak tahu.
"Kau tidak mengerti seni," teriaknya meneruskan. "Kue
donat! Hanya seoranglah di antara seniman"seniman di
Yogya iniyang buta seni."
"Di kasih pun aku tidak mau patung-patungmu," kataku
memanasinya. "Buat apa patung tak tentu bentuknya begitu"
Di kali, atau di laut aku masih bisa dapatkan batu"batu atau
akarakar kayu yang lebih indah dan lebih abstrak. Abstraksi
seni ciptaan masa dan alam."
52 ;: $ "Hai!" teriaknya sengit. Betul"betul marah dia sekarang.
"Dengarlah, Abdidalem! Kaulah saksi sekarang! Kalau dia
ingin besok mati, akan kuhenyakkan patung"patungku di
kuburnya pengganti batu nisan. Biar dia di alam baka bisa
mengerti arti abstrak. Biar dia mati dua kali dihimpit oleh
batu-batu patungku yang seberat gunung. Biar disiksa
sampai hari kebangkitan."
"Hasil seni bukan untuk menyiksa," kataku, "Tapi untuk
dinikmati keindahannya."
"Buat orang yang tidak mau mengerti, biarjadi siksaan,
sampai mengerti. Apalagi buat seniman macam kau ini.
mBok, mBok!" teriaknya sengit. "Be rapa sem ua?"
Ketika dengan sipunya warung menyebut jumlah sampai
tiga puluh lebih, ia merutuk, "Kalian ini memang jahanam.
Bikin tumpas duitku saja. Tiga puluh lebih."
"Tiga puluh tujuh rupiah setalen," kataku tertawa.
"Kalau aku putus asa aku tidak akan menghitung duit yang
kukeluarkan. Kukaut dari kantong dan berikan semua apa
yang tergenggam oleh jariku. Kaulah orang kalap dan putus
asa yang masih bisa waras dalam perkara duit. Kau orang
yang abnormal." Gaung Keheningan 3 Suro Bodong 07 Rahasia Tombak Dewa Biang Ilmu Hitam 3

Cari Blog Ini