Ceritasilat Novel Online

Emak 1

Emak Karya Daoed Yoesoef Bagian 1


Karya Daoed Yoesoef EMAK Bab 1. EMAK, BAPAK, DAN KAMI
Kami, anak-anak emak, memandangnya sebagai jiwa
rumah tangga. Kami tak berani membayangkan
bagaimana jadinya hidup tanpa emak, walaupun dia
sendiri sering mengatakan bahwa bapaklah yang
membanting tulang menjadi pencari nafkah utama bagi
seluruh keluarga. Bagi kami sakit bukan merupakan hal yang ditakuti
berkat keberadaan emak. Hal itu bahkan menjadi
peristiwa yang menggembirakan karena anak yang sakit
boleh tidur bersama emak, dikdoni. Walaupun dalam
keadaan sehat kami masing-masing sudah cukup
mendapatkan kasih sayangnya, selama terbaring di dekat
emak sewaktu sakit itulah kami benar-benar menikmati
kehangatan belaian jiwa emak. Bila penyakit yang
diderita si sakit tidak terlalu menular atau yang sakit
sudah menjelang sembuh, semua anak diajak emak tidur
bersamanya. Bapak lalu pindah tidur di ruang tengah.
Sambil menyuapi kami satu per satu, emak menceritakan
beberapa hikayat, dongeng atau riwayat berbagai nabi
dan rasul. Setelah selesai makan adakalanya emak
memetik kecapi sambil melantunkan aneka senandung.
Kalau sudah begitu bapak biasanya datang bergabung,
duduk di seberang emak, sambil sesekali memperbaiki
letak selimut kami. Kalau anak yang sakit boleh tidur dekat emak, anak
termuda, si bungsu, ditempatkan langsung di sebelah
kirinya bila sedang makan bersama. Dengan demikian
emak kalau perlu mudah menyuapinya. Makan bersama
ini pada umumnya teijadi di malam hari, sesudah
sembahyang isya, karena di pagi dan siang hari setiap
orang punya jadwalnya sendiri sesuai dengan
kesibukannya masing-masing. Kami makan di ruang
tengah, duduk bersila di atas lantai beralaskan tikar
pandan, membentuk semacam lingkaran yang
mengelilingi makanan. Di lingkaran ini bapak berada di
sebelah kanan emak dan di samping bapak duduk anak
tertua. Kak Nani. Setelah Kak Nani kawin, tempatnya ini
digantikan oleh kakak kedua, Kak Mami. Lalu duduklah
kakak ketiga, Kak Ani dan kemudian aku, yang dengan
sendirinya berada langsung di dekat emak. Setelah adik
Soelaiman lahir, tempatku ini, sesuai dengan kebiasaan,
diambil alih olehnya karena dialah yang kini merupakan si
bungsu. Biasanya makan malam ini diawali dengan ucapan
"bismillahir roh man nir rohim" yang meluncur secara
bersamaan dari mulut emak dan bapak. Lalu hampir
bersamaan pula emak menyendokkan nasi ke piring
bapak dan bapak meletakkan di piring emak ikan
terbesar yang ada dalam hidangan. Kemudian bapak
mengisi piring anak-anak dengan nasi, dimulai dari piring
kakak tertua yang duduk di sebelahnya dan berakhir di
piring si bungsu. Sementara itu emak sibuk mencuil-cuil
ikan yang tadi diletakkan bapak di piringnya dan
membagi-bagi cuilan itu ke piring anak-anak, dimulai dari
piring anak terkecil dan berakhir di piring bapak.
Biasanya ada tersisa daging ikan yang sama di piring
emak. Sesudah "upacara" awal ini kami bebas mengambil
sendiri lauk-pauk yang sesuai dengan pilihan selera kami
masing-masing. Perbuatan emak dan bapak yang
mengawali keceriaan makan malam keluarga ini menjadi
kenangan abadi dalam hidupku. Meskipun "upacara" itu
terjadi setiap malam, ia tetap kutunggu dan tetap
mengesankan. Hal lain lagi yang sangat mengokohkan nilai-niiai
kekeluargaan yang permanen di hatiku adalah kebiasaan
emak dan bapak duduk-duduk di serambi depan setelah
usai makan malam. Kalau orang lain biasanya di jam-jam
begini pada pergi bersilaturahmi ke rumah tetangga atau
kenalan. Maka itu kadang-kadang ada saja tamu yang
datang ke rumah untuk sekadar mengobrol hingga larut
malam. Bila sedang tidak ada tamu dan kakak-kakakku di
saat yang sama sibuk menyelesaikan pekerjaan rumah
yang diharuskan oleh sekolah di kamar mereka hingga
tak ada lagi temanku bercanda, aku sering berpura-pura
mencari sesuatu ke serambi depan. Emak mungkin
mengetahui bahwa aku sedang kesepian dan cepat
memanggilku untuk mendekat. Lalu kalau tidak duduk di
pangkuan emak biasanya aku duduk di pangkuan bapak.
Emak menanyakan apa-apa yang kulakukan tadi siang,
siapa-siapa yang menjadi teman bermain atau ingin
menjadi apa kalau sudah besar kelak. Kalau bapak pada
umumnya diam saja, hanya tangannya yang sesekali
membelai-belai rambutku. Melihat perbuatan bapak ini,
emak seringkah berkomentar bahwa rambutku hitam dan
lebat seperti rambut bapak. Dan pada suatu malam emak
pernah melanjutkan komentarnya itu dengan
mengatakan bahwa rambutku sudah agak panjang,
sudah waktunya untuk dicukur kembali. Kurasa ucapan
emak ini sebenarnya lebih banyak ditujukan kepada
bapak. Bapak memang bisa menangkap kehendak emak ini.
Maka keesokan harinya dia menuntunku pergi ke rumah
penghulu kampung karena dialah, Uak Haji Mohammad
Noer, yang biasanya mencukur rambutku dua bulan
sekali. Hal ini memang merupakan suatu keistimewaan,
kalaupun bukan suatu kehormatan, mengingat tak ada
anak selain aku yang rambutnya dicukur oleh Uak Haji.
Dia dan warga kampung kiranya menaruh respek atas
budi pekerti bapak. Bapak tidak banyak bicara dan tidak
pernah berusaha mencari simpati banyak orang dengan
rangkaian kata-kata yang muluk-muluk. Namun dia bisa
dipercaya, ucapannya dapat dipegang dan tak pernah
mungkir akan janjinya. Tambahan lagi, orang-orang
sekampung percaya bahwa dia mempunyai ilmu
persilatan. Bapak tidak pernah menceritakan
kemampuannya tersebut kepada anak-anaknya. Para
tetanggalah yang membisikkannya ke telingaku.
Bahkan penghulu sendiri pemah bercerita, sambil
mencukur rambutku, betapa bapak dapat merobohkan
lawan-lawannya dari jarak jauh tanpa saling
bersinggungan. Hal itu terjadi ketika dia dan bapak
pulang dari perkampungan orang-orang Karo sehabis
membeli seekor kerbau. Hewan ini akan disembelih dan
dagingnya digulai untuk santapan orang sekampung
menjelang masuk bulan suci Ramadhan. Hari sudah larut
senja, jalan sangat sepi, sudah tak ada lagi bis dan truk
yang lalu lalang dari dan ke Berastagi. Tiba-tiba
berlompatan dari hutan di kanan-kiri jalan empat orang
bersenjatakan parang terhunus menghadang kereta
lembu mereka. Bapak melompat, menurut Uak Haji,
bagai kilat dari kereta dan langsung menggerakkan
kedua tangannya bagai menepis serangan. Keempat
penyamun tersebut itu terpelanting. Ada yang badannya
sampai membentur batang pohon dan memantul ke
tanah bagai bola. Ada yang terjerembab dan tak berkutik
lagi. Ada yang bisa bangkit namun berjalan terhuyunghuyung sambil meraba-raba laksana orang buta. Yang
seorang lagi sempat lari tunggang-langgang masuk ke
hutan. Orang ini sengaja tidak dicederai oleh bapak agar
bisa menasihati dan menyadarkan para penyamun
lainnya. Karena takut bertanya langsung kepada bapak, aku
memberanikan diri untuk menanyakannya kepada emak.
"Ah" ya" ya, Bapakmu dahulu banyak bepergian ke
kampung dan negeri lain," kata emak dengan nada
biasa-biasa saja. "Mungkin di salah satu peijalanan itu dia
berhasil membela diri dengan merobohkan lawannya."
"Bapak berhasil berkat keampuhan tenaga dalamnya,
bukan?" tukasku. "Itu kan dugaan orang belaka. Orang cenderung
membesar-besarkan sesuatu yang tidak dimiliki dan ingin
sekait memilikinya."
"Tapi Mak, Uak Penghulu sendiri yang bercerita
kepada saya," kataku bersikeras. "Uak Haji Mohammad
Noer, Mak" Emak termenung sejenak bagai hendak mengingat
sesuatu. Tangannya menarik tanganku supaya lebih
mendekat Kemudian sambil menatapku dengan sinar
matanya yang lembut berkata, "Ya, cerita tentang
pembegalan di daerah Titi Rantai itu, bukan?" Aku
mengangguk. "Begini kejadian yang sebenarnya," emak mencubit
sayang pipiku berkali-kali; tak terasa sakit, malah getaran
kasih sayangnya menjalar ke seluruh tubuhku. "Menurut
pengakuan Bapakmu, Tuhanlah yang ketika itu
melindungi dia dan Uak Haji. Tuhan selalu berpihak
kepada yang benar." Aku diam saja.
"Nanti kalau kau sudah dewasa," kata emak
selanjutnya, "kau harus selalu mohon ridho Allah bila
hendak ber-buat sesuatu, lebih-lebih kalau perbuatan itu
akan melibatkan nasib orang-orang lain, teman atau
lawan." Aku tetap bungkam dalam pelukannya.
"Ya, nak, Allah selalu melindungi yang tidak bersalah,
senantiasa berpihak pada yang benar. Namun kita sendiri
harus berusaha, menyiapkan diri untuk mampu
menghadapi segala kemungkinan, tidak gampang
menyerah begitu saja."
Kemampuan lain dari bapak yang menakjubkan
banyak orang adalah menemukan kandungan air di
dalam tanah. Bapak sering diminta bantuannya untuk
menetapkan tempat penggalian sumur dan permintaan
ini datang juga dari kampung-kampung lain di luar kota
Medan. Dia sendiri tidak melakukan penggalian itu,
hanya menetapkan tempat penggalian dan kemudian
mengawasinya sampai selesai, yaitu sampai sumur itu
berair. Aku pemah diajak melihat dia memimpin
penggalian sumur di salah satu kampung di kota Tebing
Tinggi. Dia bersedia membantu penggalian dengan
syarat berupa keharusan si pemilik sumur untuk memberi
bantuan air kepada orang-orang yang memerlukan akibat
musim kemarau yang berkepanjangan. Dia bahkan tidak
meminta bayaran apa-apa untuk jasanya kepada orangorang sekampung atau bila sumur yang digalinya itu
dimaksudkan sebagai sumur bersama bagi seluruh
kampung. Menurut cerita ada orang yang kemudian melanggar
janji dan karena itu sumur pribadinya tiba-tiba mengering
begitu saja. Orang ini datang menyembah-nyembah
bapak memohon pengampunan. Bapak katanya hanya
menjawab agar orang tersebut meminta maaf kepada
alam yang mengandung air tersebut Sumur orang ini
tidak pemah berair lagi kecuali di musim hujan, itu pun
berwarna keruh dan berbau anyir.
Keahlian lain lagi dari bapak adalah dalam membuat
mebel. Benda-benda dari kayu ini, selain untuk keperluan
sendiri, baru dibuatnya atas pesanan. Kerja sehari-hari
bapak adalah menjalankan perusahaan susu lembu yang
dimilikinya, termasuk mengurus lembu-lembu perahan
yang dikandangkan tersendiri jauh terpisah dari rumah.
Demi kelancaran usahanya ini bapak menggaji seorang
Keling bernama Bager sementara anak gadisnya, si
Amisha, bekerja membantu emak di rumah. Kemudian
bapak berladang bersama-sama emak dan mereka
berdua kadang-kadang ke hutan berduaan untuk mencari
kayu bakar atau ramban apa saja yang diperlukan.
Kami, anak-anak, tak tahu persis bagaimana dahulu
emak sampai beijodoh dengan bapak. Emak adalah
seorang yang ramah, murah senyum, lemah lembut,
cekatan, me-nyeni dan berkemauan keras, berani
melawan arus. Dia berparas elok, berbadan tinggi
semampai, berambut ikal dan panjang, berkulit bersih.
Kalau hendak pergi dengan bapak menghadiri perhelatan
perkawinan, emak biasanya makan sirih lebih dahulu
hingga kalau dia tersenyum bibirnya kelihatan, bak kata
pepatah, bagai delima merekah. Keelokan wajah dan
kebersihan kulit emak diperoleh berkat kata Makcik Lela,
sewaktu muda dahulu dia rajin membasuh tubuhnya,
terutama di bagian wajah, dengan susu segar.
Belakangan ini dia kelihatannya sudah semakin
mengurangi perawatan tubuh seperti itu. Kalau keija di
ladang sudah jauh berkurang, biasanya sesudah dipanen,
dia masih meminta si Amisha menyediakan sebaskom
susu segar di kamar mandi. Tidak jarang dia berada di
situ membasuh tubuhnya selama kira-kira setengah hari
penuh. Kalau bapak berbadan atletis dan ayunan langkahnya
terkesan ringan, bagai tak menyentuh tanah bila beijalan,
nyaris tak bersuara. Orangnya pendiam dengan sorot
mata yang tajam, rajin bekerja, jarang tersenyum apalagi
tertawa terbahak-bahak. Bapak di masa remajanya sudah
banyak mengembara, karena sudah sebatang kara sejak
kecil, ke beberapa penjuru Tanah Air dan ke Malaya. Di
negeri ini dia pernah tinggal di Penang dan Klang,
menetap agak lama di Johor mengurus peternakan
Sultan. Melalui sikap masing-masing sehari-hari emak dan
bapak kelihatannya sangat berusaha saling melengkapi,
begitu rukun dan cocok bagai ruas bertemu buku.
Mereka tidak pernah menyembunyikan rasa hormat dan
kasih sayang mereka terhadap satu sama lain, baik di
dalam maupun di luar rumah. Yang kami ketahui dengan
pasti, karena memang benar-benar terasa, adalah usaha
mereka untuk memberikan kami rasa tenteram dan
kepastian, bebas dan rasa khawatir dan waswas
terhadap keadaan yang tak menentu.
Masih kuingat satu kejadian pada suatu malam hujan


Emak Karya Daoed Yoesoef di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lebat yang berangin badai. Allah, alangkah kencangnya
angin itu. Rumah sampai bergoyang, tiang-tiangnya berderak-derik. Kadang-kadang atapnya menggelepar
seperti akan tercabik-cabik bertebaran. Di luar malam
hitam pekat, dahan-dahan pohon menggemuruh
berbenturan. Kami semua ketakutan dan menjadi
gelisah. Emak rupanya melihat hal ini. Sehabis makan
kami tak diharuskan membasuh piring mangkuk yang
kotor, cukup dikembalikan ke dapur saja. Digelarnya tikar
pandan halus di ruang tengah tempat bapak biasa
sembahyang dan berdoa. Bapak dimintanya mengaji dan
kami semua disuruhnya tidur berdesakan di dekat bapak.
Dengan penuh kasih sayang kami diselimut-kannya
berlapis-lapis. Di luar hujan semakin deras, angin kian
menderu, guruh dan petir sambar-menyambar, alam
bagai mengamuk. Tiba-tiba kami dengar bunyi, "Krak "
"krak " buuummm?" Kami tersentak, lalu duduk sambil
saling berpandangan. Bapak menghentikan pengajiannya
sejenak. Tentu ada pohon yang tumbang," katanya. "Tapi tak
apa-apa "jauh dari sini "jauh dari perumahan
penduduk." Bapak meminta kami tidur kembali dan setelah
menepuk-nepuk tubuh kami satu per satu, dia
melanjutkan bacaan Kitab Sucinya. Kami merasa aman
kembali, hangat dan tenteram, begitu mendengar alunan
suara bapak membaca Al Qurart dan melihat emak duduk
di sampingnya dengan wajah yang tenang, amat anggun.
Kami tertidur nyenyak sekali dan keesokan harinya kami
bangun seperti biasa, lupa kejadian yang menakutkan
kemarin malam. Ternyata memang ada sepohon kayu
yang tumbang di ujung kampung. Batangnya melintang
di jalan raya yang memisahkan kampung dengan hutan.
Aku berkakak tiga orang, yang tertua bernama Nani.
Seingatku wajah dan penampilannya mirip sekali dengan
emak, kata orang, bagai pinang dibelah dua. Kalau
mereka berada berdekatan orang bisa saja menganggap
mereka sebagai kakak beradik. Emak dan bapak biasa
saling memanggil dengan menyebut suku kedua dari
nama kakak tertua ini. "Nik, kayu bakar tinggal sedikit,"
kata emak, misalnya, kepada bapak untuk mengingatkan
supaya dia ke hutan mencari kayu. "Nik, kalau ke kedai
tolong belikan saya kacang asin," kata bapak pada emak,
misalnya, agar dibelikan jajan kegemarannya tersebut
Karena kecantikannya, para perempuan sekampung
menyebut Kak Nani "si Molek". Tidak sedikit pemuda
yang jatuh hati kepada kakak tertua ini, di antaranya,
seorang pemuda bangsawan. Emak menolak lamaran
keluarga bangsawan ini. "Bagaimana mungkin saya nanti
harus menyembah pada menantu, pada kedua orang
tuanya dan kelak pada cucu saya," kata emak. Tang
harus kita sembah hanyalah Tuhan." Aku masih kecil
ketika Kak Nani kawin dengan pemuda pilihannya sendiri
dan lalu diboyong suaminya tinggal di rumah mereka
sendiri. Kakakku yang kedua adalah Soemarni dan yang
ketiga, langsung di atas aku, bernama Mari ani. Lain
halnya dengan Kak Nani, Kak Mami dan Kak Ani
merupakan teman-temanku bermain sehari-hari. Mereka
sangat memanjakan aku, bahkan cenderung menjadikan
aku sebagai boneka hidup. Perlakuan ini adakalanya
menjengkelkan. Karena mereka bisa menjahit dan
menyulam, mereka seringkali membuatkan aku celana
monyet baru dengan saku bersulam, yang kadangkadang menjadi bahan gunjingan di kalangan temanteman seumur sepermainan. Padahal aku ingin selalu
tampil biasa-biasa saja, sama dengan anak-anak
kampung tersebut "Biarkan saja anak-anak itu berolok-olok," kata kakakkakakku itu. "Mereka berbuat begitu karena sebenarnya
iri hati. Mereka tak mempunyai kakak yang becus
menjahit dan menyulam."
Kakak-kakakku kerapkali membelikan songkok baru
dari uang tabungan mereka sendiri, hasil penjualan
bunga dan sayur yang mereka tanam di halaman. Maka
bertumpuklah di kamarku songkok-songkok beludru
berbagai warna: hitam, bini tua, bini muda, hijau, coklat
dan, yang paling tak kusenangi karena sangat mencolok,
kuning, oranye serta merah. Ada yang polos dan ada
pula yang bertempelkan kain berbordir fantastis. Mereka
pemah pula menghadiahkan topi tarbus atau "kopiah
turki" kepadaku, berwarna merah ati ayam dan berkuncir
bagai buntut kuda. Aku tak pemah mau memakai topi
tarbus ini di luar rumah karena kuanggap lucu, bagai topi
badut Topi ini menjadi populer berkat penampilan
penyanyi Abdoul Wahab yang berduet dengan penyanyi
Oum Kalsoum dalam film Mesir yang sangat digemari
publik di daerahku. Biasanya songkok dan topi yang
betul-betul tak pemah kusentuh atau mereka anggap
sudah tidak lagi ala mode dan baju serta celana
monyetku yang lama tetapi masih layak pakai, mereka
bawa ke rumah-rumah penampungan anak-anak yatim
piatu, begitu pula dengan kain dan baju mereka sendiri.
Satu waktu datang dari Betawi rombongan Tonil Dardanella. Pada salah satu pementasan cerita yang mereka
bawakan dan kami tonton beijudul Sinjo Kemajoran.
Sinjo ini diumpamakan seorang Indo bernama Leo Ten
Brink. Dari awal hingga akhir pementasan, tokoh sentral
ini memakai sebuah baret di kepalanya. Karena
bentuknya yang bundar pipih miring ke bawah dengan
sebuah buntut pendek kecil di tengah-tengahnya, topi ini
dianggap umum sebagai pencerminan krisis ekonomi
yang sedang berlaku, jadi "topi meleset" dari "zaman
melesett Maka baret ini cepat menjadi topinya anak-anak
muda kota ketika itu. Dan kakak-kakakku tak mau
ketinggalan membelikan satu untuk aku. Kalau yang ini
senang aku memakainya. "Ah, tak di emaklah topi seperti itu," kata emak
mencibir. "Apa-apaan meniru laki-laki Indo Kemajoran
seperti itu. Orangnya banyak omong, hilir mudik tak
menentu." "Bukan orangnya Mak yang kami tiru, tapi topinya
yang memang kocak." Kak Mami membela pilihannya.
"Kata orang topi seperti ini biasa dipakai oleh laki-laki
dan perempuan di Paris. Coba Mak lihat!" Lalu kedua
kakakku bergantian memperagakan pemakaian baret
Harus kuakui bahwa mereka kelihatan manis sekali
dengan baret miring di atas rambut hitam lebat yang
dikepang dua, menggelantung ke bawah mengapit leher
yang jenjang. "Nah sekarang giliran emak memakainya,"
ajak Kak Mami. "Ayolah Mak, mari dicoba. Ecek-eceknya
kita berada di kota Paris."
"Mak, ini bukan ecek-ecek lagi," sambung Kak Ani.
"Sekarang ini kita sudah berada di Paris. "Kan Medan
sudah disebut-sebut sebagai Parijs van Sumatra. Ayo
Mak, cobalah baret ini."
Emak bangkit dari tempat duduknya dan segera
memakai baret di kepalanya. Rambutnya yang juga
mengikal mayang dibiarkannya tergerai sampai ke
pinggangnya. Dia lalu melenggang-lenggok seperti yang
tadi diperagakan oleh kedua kakakku. Kami bertepuk
tangan kegirangan melihat hal ini. Emak kelihatan tak
kalah manis daripada kakak, apalagi kalau dia betul-betul
bersolek. Ketika tiba giliranku memakai baret, bapak
muncul di ambang pintu. "Ada apa sorak-sorai gemuruh ini," tanyanya ingin
tahu. "Lihat Pak, si Daoed saya belikan topi baru," kata Kak
Mami. "Namanya baret"
"Oh, seperti yang dipakai oleh pemain tonil itu,"
komentar bapak. "Nanti bolehlah bapak pinjam untuk
dipakai ke kandang lembu."
"Ah, sampai hati Bapak bilang begitu," protes Kak
Mami seperti merajuk. Padahal dia tahu ucapan bapak
tadi hanya untuk main-main saja. "Ini bukan topi
sembarangan Pak! Masak mau dipakai ke kandang."
"Sudahlah. Ini bapak ganti uangmu ala kadarnya,"
kata bapak sambil menyerahkan tiga talen kepada kakak.
"Biarkan si Daoed memakai baret itu. Pantas dan gagah
kelihatannya." "Anak siapa dulu"!" kata emak menggoda bapak.
"Bin Mohammad Joesoef" Bagai dalam paduan suara
kakak-kakak dan aku bersuara serentak.
Bapak tersenyum belaka dan pergi meninggalkan kami
Setelah bapak menghilang, dengan baret tetap
bertengger di kepala, aku ajak kedua kakakku berdialog
dengan logat Betawi meniru apa yang dipentaskan oleh
Tonil Dardanella. Logat ini kedengarannya lucu. Emak
bisa tergelak-gelak mendengar ucapan-ucapan ala Betawi
kami. Kalau semua orang di Betawi berbicara dengan
logat seperti ini, pikirku di dalam hati, alangkah kocaknya
kehidupan di Ibu Kota Hindia Belanda ini
Setelah adikku lahir, aku agak terbebas dari perhatian
kedua kakakku. Kini si bungsu inilah yang menjadi bulanbulanan kasih sayang mereka. Aku pun ikut-ikut
memanjakannya. Bentuk badannya memang
menggemaskan, berwajah bundar, berkulit bersih, murah
senyum dan tidak cengeng. Kami semua bisa merasakan
dan membenarkan kalau emak sangat menyayangi Dik
Soelaiman. Bukan karena dia merupakan anak bungsu,
tetapi terutama karena dia lahir di saat keadaan ekonomi
keluarga kami sedang menurun mengikuti kemelesetan
keadaan ekonomi daerah Deli. Walaupun keadaan
sandang pangan kami tetap berjalan seperti biasa, tetapi
emak tahu betul bahwa Dik Soelaiman tidak akan
mengalami layanan seorang pembantu rumah seperti
yang dahulu pernah kami rasakan, tidak akan melihat
lembu-lembu sendiri di kandangnya karena telah terjual.
Aku sendiri dapat juga membayangkan kalau adikku ini
tidak akan bisa merasakan betapa nikmatnya duduk di
punggung lembu jantan, seperti yang berkali-kali aku
alami, ketika menggiring semua lembu bapak ke sungai
untuk dimandikan. Kalau hujan kebetulan tidak berbareng dengan angin
keras dan halilintar, emak sesekali membolehkan kami
berhujan-hujan di halaman. Begitu kami lari
berhamburan ke luar rumah, emak masuk ke dapur
menanak nasi dan memasak air panas guna
menghangatkan air mandi kami nanti. Biasanya emak
menyiapkan makanan cepat, seperti kuluban lengkap
dengan iris-irisan telur rebus serta teri, kerupuk dan
emping, di samping gorengan ikan jambal. Emak
menempatkan nasi hangat di dalam sebuah baskom
besar dan di atas nasi ini, dengan beralaskan daun
pisang, ditempatkannya kuluban yang serba lengkap tadi.
Bila dianggapnya kami sudah cukup lama berbasah
kuyup, dia menyetop kami berhujan-hujan dan menyuruh
kami mandi dengan air hangat yang sudah disiapkannya.
Setelah berpakaian kami duduk mengitari baskom
makanan dan mulailah kami "makan kongsi", yaitu
makan bersama dari baskom yang satu ini, yang
memang selalu kami tunggu-tunggu karena cara makan
begini betul-betul meriah. Sesudah perut kenyang, emak
menyuruh kami tidur beramai-ramai di bawah selimut
yang hangat di ruang tengah. Emak menunggui kami
sampai semua tertidur nyenyak sambil memetik kecapi
atau memainkan harmonium. Lagu yang
didendangkannya kian lama kian sayup kami dengar di
sela-sela desir angin dan bunyi rintikan hujan. Kami tidak
memimpikan peri, bidadari atau dewi. Buat apa semua
itu karena kami sudah memiliki emak, yang kasih
sayangnya memang kami rasakan di saat melek, di saat
tidur, di saat sakit di saat sehat kapan saja, sepanjang
waktu. (OodwkzoO) Bab 2 EMAK DAN PAMAN Paman Soelaiman, yang biasa kami panggil Pakcik
Leman, sekali-kali bertandang ke rumah. Walaupun
masih sama-sama sekampung, tempat kediamannya
terpisah jauh dari rumah kami. Kadang-kadang dia
datang bersama istrinya, Makcik Zoebaidah. Kalau paman
bepergian ke luar kota, bibi menginap di rumah kami
atau, adakalanya, aku menemani dia di kediamannya
sampai paman kembali. Karena mereka sendiri tidak
punya anak kamilah yang mereka manjakan. Kalau
datang, sendiri-sendiri atau berdua, ada saja buah
tangan yang dibawa untuk kesenangan kami.
Pada suatu hari Minggu mereka sudah bertandang
pagi sekali. Kedua kakakku memperoleh boneka dan aku
menerima sebuah truk mainan, di samping coklat dan
bonbon aneka warna untuk semua. Kami bersorak-sorak
kegirangan. Emak bergegas ke luar rumah mengeluelukan mereka. "Aih, aih, sudah lama nian kalian tak
muncul," katanya sambil memeluk bibi Tatut sejak
kemarin burung-burung prenjak ramai berkicau. Kau
kelihatan sehat Bedah"! Kau, Leman, bagaimana?"
"Alhamdulillah Kak," jawab paman. "Saya akhir-akhir ini
banyak kesibukan ?" "Dan kerapkali pulang larut malam," tukas bibi. "Bang
Leman semakin banyak melibatkan diri dalam
pergerakan. Sekarang semakin sering diadakan
vergadering* di rumah. Terus terang saya khawatir Kak.
Firasat saya makin lama makin tak enak saja." Dia
memegang erat lengan emak seperti mengadu, tetapi
matanya melirik ke suaminya.
Sebelum paman sempat buka mulut bapak telah
mendekat. "Ada tamu jauh rupanya." Bapak menyalami
mereka dengan mesra. "Untung kalian cepat datang.
Kalau tidak pulut3 bisa saya habiskan sendiri. Cuma


Emak Karya Daoed Yoesoef di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gorengan pisang yang tak bersisa."
"Ah, gampang itu," sambung emak. "Biar saya goreng
lagi sebentar. Malah jadinya enak dimakan selagi hangat"
Sebelum emak melangkah balik ke dapur bibi
menyerahkan kepadanya dua keranjang buah tangan
yang mereka bawa. "Tadi sehabis subuh Bang Leman
pergi sendiri ke kampung Labuhan mencari kepala ikan."
katanya. "Sepagi itu benar?", tanya emak.
"Ya Kak," jawab paman. Di saat itu ikan-ikan pasti
masih segar karena baru turun dari perahu. Lagi pula
harganya tentu murah karena dibeli langsung dari
nelayannya. Biar saya jinjing sendiri keranjang-keranjang
itu ke dapur. Agak berat karena ada pula kepiting, udang
benggala dan sedikit kepah di dalamnya."
"Paham saya sudah," kata emak dengan penuh
senyum. "Kau tentu merindukan gulai kepala ikan
bukan?" "Begitulah," paman mengangguk manja. "Saya ingin
makan enak siang ini."
"Sesudah letih vergadering siang dan malam," sindir
bibi. "Bereslah itu," sambut emak. "Kan ada si Bedah yang
akan membantu. Sekarang mari kita sarapan pulut dulu,
ada yang putih ada yang hitam. Baunya harum karena
baru dituai. Dua hari yang lalu saya beli masing-masing
sesumpit dari inang-inang. Pisang tanduknya dari pohon
sendiri di halaman, manis-manis gurih."
"Aih sedaaap," paman menggesekkan kedua telapak
tangannya. "Kau lihat Bedah, kita beruntung ke sini pagipagi " langkah kanan."
"Ah, malulah saya. Baru sampai sudah cari sarapan,"
kelakar bibi sambil mencubit emak.
Paman Soelaiman adalah saudara sepupu emak. Dia
boleh dikatakan seorang otodidak. Setelah tamat Sekolah
Dasar Melayu dia mengambil berbagai kursus di Tan"s
Com-mercial Class yang berlokasi di Louisestraat Mulamula ditempuhnya sekaligus pelajaran boekhoudert4 A
dan B, handelsrekenen5 dan bahasa Belanda. Sesudah
lulus dengan baik dilanjutkannya dengan belajar bahasa
Inggris. Guna melancarkan berbahasa Inggris ini dia lalu
khusus mencari kerja di Singapura selama setahun.
Setelah kembali ke Medan dia melamar kerja di AVROS
(Algemenc Verenig-ing van Rubberondernemingen ter
Oostkust van Sumatra). Mula-mula kedudukannya
sebagai kerani biasa, kemudian naik menjadi boekhouder
dan akhirnya meningkat lagi ke posisi adjunct
hoofdboekhouder, suatu posisi yang tinggi sekali bagi
seorang inlander6 ketika itu. Sementara itu dia masih
belajar terus, di antaranya bahasa China, dan banyak
membaca. Lemari bukunya di rumah diisi dengan banyak
buku-buku berbahasa Belanda dan Inggris.
Keintelektualan dan ketekunannya bekerja ini rupanya
sangat dihargai oleh orang-orang Belanda yang menjadi
teman keijanya sehari-hari, termasuk Meneer Van
Pieterse, direktur tertinggi di kantornya, dan Mr. Kirby,
seorang staf berkebangsaan Australia yang mewakili
kepentingan perkebunan karet Anglo-American di
AVROS. Karena itu dia mulai sering diajak tournce7 ke
kebun-kebun karet yang ada di seluruh Keresidenan
Sumatera Timur. Kabarnya Tan"s Commercial Class,
tempat dia dulu belajar, telah meminta kesediaannya
untuk menjadi pengajar dengan honor yang tinggi di sore
hari. Namun dia menolak karena dia sudah memikirkan
suatu kerja besar yang akan dilakukannya, yang pasti
jauh lebih berharga bagi dirinya daripada kerja membagibagi pengetahuan dan pengalaman kepada orang-orang
lain. Kerja besar ini adalah membangkitkan batang
terendam, menggugah kesadaran rakyat untuk bergerak
memperbaiki nasibnya melalui perjuangan melawan
penindasan dan penjajahan, pajuangan kemerdekaan
Tanah Air dan Bangsa. Rupanya tournee-tournee (berarti kunjungan kerja
dalam rangka pelaksanaan tugas) tersebut telah
membuka mata, pikiran dan hati paman terhadap
kenyataan pahit dan penderitaan yang dialami oleh kulikuli perkebunan yang umumnya didatangkan dari Jawa.
Mereka telah diperas, dieksploitasi dengan imbalan yang
jauh dari setimpal, jauh di bawah standar kemanusiaan.
Mereka juga telah dijebak agar terus terperangkap di
neraka kerja kontrak perkebunan. Berhubung setiap
tahun ada saja kuli-kuli yang habis masa kontraknya dan
karena itu bebas untuk pulang kembali ke Jawa, maka di
setiap akhir tahun kebun-kebun ini mengadakan
semacam pasar malam di mana permainan judilah yang
menjadi atraksi utama. Padahal di luar daerah
perkebunan gubernemen dengan tegas melarang setiap
bentuk peijudian. Karena ingin bisa membawa uang yang
lebih banyak ke kampung halamannya atau sekadar
bersenang-senang setelah bertahun-tahun membanting
tulang, mereka lalu berjudi. Pada umumnya lebih banyak
yang kalah daripada yang menang. Seluruh tabungan
uang yang jumlahnya memang tak banyak habis ludes di
meja judi. Maka demi hidup kuli yang kalah itu
memperpanjang kontrak untuk diperas kembali oleh
sistem keija perkebunan. Di masa ini pula banyak terjadi
kehancuran rumah tangga para kuli. Istri-istri minta cerai
atau pergi meninggalkan rumah mereka begitu saja
karena jengkel dan kecewa atas perbuatan suami yang
lupa diri itu. Dalam keadaan begini anak-anak mereka
terserah pada nasib masing-masing; yang laki-laki masuk
barisan kuli kontrak baru dan yang perempuan
bergabung pada kelompok pelacur.
Paman dengan sembunyi-sembunyi mulai giat
mewawancarai kuli-kuli dari kebun-kebun yang
dikunjunginya. Dia berusaha sungguh-sungguh
mempelajari "poenale saneties", yaitu aturan-aturan
hukum yang sangat tidak manusiawi bagi kuli-kuli
kontrak yang membangkang atau melarikan diri. Dia
coba mendapatkan dokumen dan laporan tentang insiden
kerja yang selama ini dirahasiakan oleh arsip-arsip kantor
perkebunan. Dia giat membaca novel dan cerita yang
bertemakan suasana hidup dan keija di perkebunan,
seperti yang ditulis oleh H.M. Szkeiy-Lulofe, dan yang
mengenai kehidupan feodalistis dan kolonialistis, seperti
yang dituturkan oleh E. Douwes Dekker dengan nama
samaran Multatuli atau Sentot.
Dia kaji benar-benar pidato dan tulisan dari para
pemimpin nasional terkemuka, seperti Ir. Soekarno dan
Drs. Mohammad Hatta. Dia ikuti terus perkembangan
gerakan kemerdekaan yang ada di Jawa. Dia pun tak
lupa mengadakan kontak-kontak pribadi dengan
beberapa tokoh nasionalis yang ada di Medan, terutama
yang ada di Perguruan Kebangsaan Taman Siswa. Dia
makin sering mengundang orang-orang untuk berapat di
rumahnya. Sementara itu dia terus mendalami ajaranajaran agama Islam pada ulama yang merupakan guru
dan teman karib bapak, yaitu Syekh Haji Mohammad
Zen. Sama halnya dengan bapak, dia bergabung pada
Nahdlatul Ulama, sebuah organisasi keagamaan yang
dominan di kampung kami. Emak dan bapak sangat menghargai keterpelajaran
paman. Walaupun dia lebih muda daripada mereka,
mereka tak segan-segan bertanya kepadanya mengenai
apa saja yang mereka ingin ketahui. Kadang-kadang
tanpa diminta dia datang menceritakan kepada mereka
berita-berita aktual yang dianggapnya perlu mereka
ketahui Berita-berita ini diperoleh paman dari surat kabar
lokal berbahasa Melayu dan Belanda dan dari berbagai
majalah dari Jawa. Paman pernah membawa beberapa
temannya ke rumah dan memperkenalkan mereka
kepada bapak dan emak sebagai orang-orang pergerakan
dari Jawa. Orang tuaku sangat terkesan dengan
pengetahuan mereka tentang peijuang-an rakyat di
berbagai daerah negeri kita. Menurut cerita emak kepada
kami setelah tamu-tamu itu pulang, mereka tidak hanya
dapat menguraikan dengan jelas sebab-sebab dan
jalannya perlawanan rakyat di Aceh, tetapi juga yang
teijadi di Minangkabau, di Banten, di Jawa, di Sulawesi,
Maluku dan daerah-daerah lainnya dan betapa liciknya
tipuan-tipuan Belanda hingga dapat mengalahkan kita.
Belanda menjalankan siasat memecah-belah dan adu
domba dengan bantuan para penjilat dan pengkhianat
yang tidak jarang berupa penguasa dan/atau bangsawan
pribumi setempat Aku dengar sendiri paman pernah berkata kepada
emak dan bapak bahwa Belanda tidak dapat kita
kalahkan dengan pencak silat atau kekuatan tenaga
dalam. Belanda selalu mampu mengalahkan kita bukan
karena jeralah manusianya jauh lebih banyak daripada
kita, tetapi karena ilmu pengetahuannya jauh lebih tinggi
daripada kita. Maka kalau kita mau merebut kembali
kemerdekaan kita dari Belanda, dan memang harus kita
rebut kembali, kita harus bisa lebih dahulu menguasai
ilmu pengetahuan paling sedikitnya sebanyak dan
setinggi yang dimiliki oleh Belanda. "Jadi anak-anak
Abang dan Kakak, terutama si Daoed ini," katanya,
"harus diusahakan bisa sekolah setinggi mungkin. Jangan
seperti saya hanya sekolah di bawah pohon pisang.*
Suruh dia menguasai ilmu pengetahuan Barat sebanyakbanyaknya!" "Kemenakanmu ini "kan sudah mulai bersekolah," kata
emak. "Itu tak cukup Kak. Si Daoed harus diusahakan masuk
ke sekolah Belanda, karena sekolah ini ada lanjutannya.
Tidak berhenti sampai lima tahun saja seperti nasib
Sekolah Melayu. "Apa mungkin dia bisa pindah ke sekolah Belanda itu?"
tanya bapak. "Dahulu tidak, sekarang pun tidak," jawab paman.
"Tapi kabarnya tahun depan akan dibuka sebuah Schakel
School yang memungkinkan anak-anak tamatan Sekolah
Dasar Melayu untuk beralih ke HIS. Saya yakin si Daoed
cukup cerdas untuk bisa diterima dan berhasil. Kalau
Abang dan Kakak tak berkeberatan saya bersedia
mengajarinya bahasa Belanda. Bahkan saya sudah siap
untuk memulainya besok."
Mungkin karena dia sendiri tidak punya anak, paman
sangat berminat untuk menuntun kami maju di bidang
pendidikan. Paman tak pernah lupa membubuhkan
penanggalan Masehi dengan huruf Latin pada catatan
hari kelahiran kami yang ditulis bapak menurut
penanggalan Islam dalam huruf Arab. Begitu besarnya
penghargaan orang tuaku pada paman hingga ketika
adikku lahir, mereka menamakannya menurut nama
Pakcik, yaitu Soelaiman. Pada suatu hari, paman mengajakku ke gedung
tempat berkantor dan berapat dua organisasi
kepemudaan, yaitu Jong Sumatranen Bond (JBS) dan
Jong /slamieten Bond (JIB). Di situ dia berpidato di mana
dengan lancar diutarakannya jumlah karet yang diangkut
ke luar negeri oleh semua perkebunan asing yang
beroperasi di daerah ini dari waktu ke waktu.
Kelihatannya dia hafal di luar kepala statistik dari semua
jenis hasil pertanian dan pertambangan yang dikuras
oleh penjajah Belanda dan sekutu-sekutunya dari Tanah
Air selama bertahun-tahun. Dengan merujuk pada
ucapan-ucapan Soekarno dan Hatta dia membahas
kecurangan dan kelaliman dari kolonialisme di seluruh
dunia. Sejak itu paman menganjurkan aku sering "bermainmain" ke gedung tersebut Dengan perkataan "bermainmain" tersebut kurasa dia tahu persis bahwa aku masih
terlalu muda untuk dapat memahami sepenuhnya apaapa yang diucapkan dan diperdebatkan oleh orang-orang
dewasa di gedung ini. Semua pembicaraan di situ
dilakukan dalam bahasa Melayu, diselang-seling dengan
bahasa Belanda dan kutipan-kutipan dari Al Quran dan
Hadits dalam bahasa Arab. Di salah satu pertemuan
khusus ada dibacakan petikan dari tulisan, pantun, sajak
serta gurindam dari para tokoh dan pujangga dari pulau
Sumatera, yang disebut sebagai Andalas, het eiland der
toekomst. Karya Bung Hatta, pejuang idolanya, termasuk
dalam salah satu yang dibacakan dengan penuh respek.
Paman pernah sekali memboncengkan aku raun-raun
di daerah pemukiman Belanda yang bersih, sejuk dan
nyaman. Ada tiga jalan di situ yang namanya dia minta
supaya kuperhatikan sungguh-sungguh karena, katanya,
berasal dari jeritan nurani seorang intelektual Belanda
dan merujuk pada penderitaan rakyat kita, khususnya
yang ada di Banten. Ketiga jalan itu adalah "Max
Havelaarlaan", "Saidjaweg", dan "Adindaweg". Semua
nama orang yang dijadikan nama jalan-jalan tersebut,
menurut paman, tercantum dalam sebuah kisah, sebuah
drama kemanusiaan, yang ditulis oleh Eduard Douwes
Dekker. Orang Belanda yang satu ini memakai nama
samaran Multatuli, sebuah kata Latin yang berarti "aku
sudah sangat menderita". Adakalanya dia memakai nama
Jawa, "Sentot", sebagai samaran. Kisah tersebut,
berjudul Max Havelaar ofde koffie-veilingen der
Nederlandsche Handelmaatschappij menarik karena, di
satu pihak, ia membeberkan kerakusan, pemerasan dan
kesewenang-wenangan penguasa dan pedagang Belanda
dengan dibantu oleh pembesar-pembesar pribumi yang
gila pangkat dan gila harta dan, di lain pihak, ia
mengungkapkan kesedihan, kemelaratan dan
penderitaan rakyat yang diperas, miskin dan dibiarkan
bodoh, tercermin dalam jalannya nasib Saidja dan
Adinda, dua sejoli dari satu desa di Kabupaten Lebak.
Kemudian sambil duduk-duduk di "Oranjeplein"


Emak Karya Daoed Yoesoef di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan makan kacang goreng dan minum eskrim, paman
menganjurkan aku untuk mulai melatih dan
membiasakan menulis. Pilihlah setiap kata menurut
makna yang dikandungnya dan kemudian susun katakata itu menjadi kalimat hidup yang bertutur kepada
kegelapan dan ketidakpedulian. Tunggulah gemanya. Bila
bergaung, betapapun lemah suaranya, kirim lagi kalimatkalimat lain hingga terangkum menjadi kisah yang
mengandung pesan tertentu bagi nurani manusia.
Jadikan tulisanmu itu sebagai cara kau melihat, cara kau
berpikir dan merasakan, cara kau hidup, cara kau
memposisikan kemanusiaanmu. Dan siapakah yang bisa
mengubah, bahkan memupus pandanganmu, meredam
pikiranmu, melenyapkan pesanmu, mematikan
nuranimu" Tak ada seorang pun, tandas paman. Kau bisa
mati tetapi tulisanmu tidak.
"Lihat saja," katanya, "buah pikiran dan isi hati
Multatuli. Ia pasti tidak enak buat penguasa Belanda
karena kebenaran memang pahit bagi yang bersalah.
Tetapi ia tetap hidup dan ternyata bergema di nurani
seorang atau beberapa orang Belanda yang ada di
pemerintahan kota ini. Kalau tidak bagaimana mungkin
nama-nama ciptaan Multatuli itu bisa dijadikan nama
jalan-jalan yang ada di daerah hunian Belanda ini?"
Dan demi melancarkan kegiatan tulis-menulis ini
paman menganjurkan aku mengikuti kursus mengetik
sepuluh jari, tien vingers blind sijsteem, di Tan"s
Commercial Class". Sebab dengan mengetik, menurut
paman, perekaman buah pikiran dapat dilakukan sama
cepatnya dengan gerak pikiran dalam menelurkan buah
tersebut. Pada tahun 1934 Belanda melakukan penangkapan
besar-besaran. Paman termasuk yang ditangkap dan
sebagian besar buku-bukunya disita oleh polisi. Rumah
orang tua turut digeledah oleh parket10 dan bapak
sempat ditahan beberapa hari. Namun Pakcik Soelaiman
tidak pernah dilepaskan dari tahanan dan lalu, sama
halnya dengan Bung Hatta, dibuang ke Boven Digoel di
pulau Papoea. Ketika dia diberangkatkan ke pengasingan
dari pelabuhan Belawan, kami sekeluarga dan hampir
semua warga kampung diizinkan melihatnya dari jauh.
Selain paman, dari kampung kami turut dibuang teman
karib dan seperjuangannya selama ini, yaitu Uak Talib,
putra tertua dari Syekh Mohammad Zen. Para tahanan
yang dibuang ke Digoel itu rupanya di-bolehkan
membawa istri dan anak mereka masing-masing. Dari
kejauhan, di balik pagar besi pembatas, kami saksikan
mereka begitu ke luar dari gerbong kereta api, dibariskan
dengan tangan diborgol dan kaki dirantai, kecuali
perempuan dan anak-anak, menuju kapal. Mereka
diawasi oleh polisi dengan senapan dan kelewang
terhunus. Aku lihat paman berjalan tegak dengan mata menatap
lurus ke depan, gagah nian, seperti seorang hulubalang
yang sedang memimpin barisan. Sebaliknya bibi berjalan
dengan kepala tertunduk. Melihat hal itu terngiang
kembali di telingaku ucapan Makcik Bedah kepada emak
tentang firasatnya yang lama-lama makin tak enak saja.
Gemerincing bunyi rantai para tahanan yang bagi
pendengaranku sangat menyayat hati, di telinga emak
dan bapak rupanya diterima bagai bunyi yang
menggeramkan. Gigi bapak menggemeretak dan kedua
tangannya terkepal. "Kompeni jahanam," bisik bapak.
Kulihat emak memegang erat-erat lengan bapak agar
dia tidak tergerak untuk melompati pagar pembatas dan
menyerbu ke depan. Aku yakin emak tahu bahwa bapak
tak akan pemah bisa melupakan betapa "serdaduserdadu kompeni" membunuh seluruh keluarga dan
orang-orang sekampungnya semasa perang sabil di
Aceh. Karena persenjataan yang jauh dari sempurna dan
serba tidak lengkap, mereka terus terdesak semakin jauh
ke dalam rimba, setiap langkah mundur menyisakan
semakin sedikit jumlah orang dewasa, hingga akhirnya
tinggal nenek-nenek tua dan anak-anak yang luka,
termasuk bapak: Setelah diasingkan selama empat tahun lebih di Tanah
Merah itu, paman dibebaskan dan pulang kembali ke
Medan. Badannya kurus kering, mengandung benih
penyakit malaria, dengan kulit gelap karena hangus
terbakar terik matahari Keadaan fisik bibi tidak lebih baik
daripada suaminya. Dari seorang yang periang dia
menjadi seorang yang sangat pendiam, lebih senang
menyendiri di rumah daripada bergaul. Usaha emak
menghiburnya sia-sia belaka. Ketika itu aku sudah berada
di kelas akhir HIS dan sudah dapat memahami
sepenuhnya sebab-sebab kebencian serta dendam
kesumat terhadap Belanda yang tecermin di mata Pakcik
Leman yang tetap bersinar berapi-api.
Waktu aku berhasil diterima di sekolah MULO dan
berhasil lulus kursus mengetik dengan sepuluh jari,
paman pemah mengingatkan bahwa aku lahir di minggu
yang sama serta bulan yang sama dengan tanggal
kelahiran Drs. Mohammad Hatta. Maka sudah
sewajarnya, menurut dia, kalau aku meneladani karakter
pemimpin besar ini dan mempelajari dengan saksama
buah pikirannya. Dia pun bertiarap semoga aku kelak
dapat bertemu dan berkenalan dengan tokoh peijuangan
nasional yang sangat dikaguminya.
Harapannya itu, yang perwujudannya tak berani kumimpikan sebelumnya, dikabulkan Tuhan setelah aku
melanjutkan pelajaran ke Pulau Jawa. Mula-mula teijadi
pada tahun 1947 di Yogyakarta, di mana aku
berkesempatan bertemu sekaligus dengan ketiga Bung
Besar, yaitu Soekarno, Hatta, dan Sjahrir. Kami berempat
berdiskusi tentang seni lukis. Lalu perkenalan dan kontak
intelektual yang intensif antara Bung Hatta dan aku
terjalin sejak awal tahun 1955, diawali oleh suatu krisis
moneter di mana dia dan aku berbeda pendapat tentang
cara pemecahannya. Berkali-kali aku diajaknya turut
dalam rombongannya meninjau perkembangan
perkoperasian di Jawa Tengah dan Jawa Barat
Setelah hampir sepuluh tahun tidak ada kontak
pribadi, Bung Hatta dan aku bertemu lagi dan makan
siang bersama di Paris pada tahun 1970. Yang terakhir
aku diundang ke rumahnya pada tahun 1973, beberapa
hari setelah aku kembali ke Jakarta setelah
menyelesaikan studi di Sorbonne, untuk berdiskusi
tentang masalah pendidikan bersama-sama Wakil
Presiden Sri Sultan Hamengku Bu-wono IX. Ya,
pendidikan, suatu tema yang dahulu sangat diperhatikan
paman demi kemajuan kakak-kakakku, adikku dan aku
sendiri. Sayangnya perkenalan dan pergaulanku dengan
Bung Hatta tidak dapat kukabarkan kepada Pakcik Leman
sebagai berita yang pasti sangat menggembirakannya
karena dia telah pergi untuk selama-lamanya, pulang ke
rahmatullah. Selesai sudah janji bakti paman, saudara
sepupu emak. Allah beijanji akan mengajarkan manusia apa yang
tidak diketahuinya sedangkan Rasulullah mengingatkan
supaya manusia memakai ilmu untuk mengatasi masalah
keduniaan serta demi mencapai kebahagiaan dunia dan
akhirat Maka dengan mengacu pada semua petunjuk ini
paman tak pernah bosan mendorong aku agar terus
berusaha mengetahui hal-hal yang tidak kuketahui
melalui studi keilmuan. Namun aku, menurut emak, tidak
boleh berhenti, berpuas diri, sampai di situ saja. Sebab di
samping usaha memperoleh pengetahuan seharusnya
ada upaya menyempurnakan berpengetahuan itu sendiri.
Dan penyempurnaan ini baru diperoleh setelah aku bisa
memikirkan apa yang sebenarnya kupelajari sesudah
mengetahui hal tersebut Dan inilah yang persis dilakukan
oleh paman, begitu kesan emak, tanpa banyak cingcong
semasa hidupnya. (OodwkzoO) Bab 3 EMAK DAN HUTAN Tempat tinggal kami di kota Medan disebut Kampung
Darat. Letaknya berbatasan dengan hutan. Garis pemisah
antara kampung ini dengan hutan adalah sebuah jalan
lurus, yang merupakan jalan terakhir di sebelah barat
kota. Ujungnya yang satu dibatasi oleh jalan ke Langkat
dan terus ke Aceh sedangkan di ujungnya yang lain
melintang jalan ke dataran tinggi Karo dan terus ke
Tapanuli. Inilah barangkali yang menyebabkan
Gemecnte. Medan menamakannya Achterweg. Sejalur
pohon-pohon jati berjejer di sepanjang jalan ini dan
kedua jalan raya yang mengarah ke luar kota tersebut,
bagai pagar alam yang melindungi hutan.
Tak ada penduduk yang gegabah menebang pohonpohon jati yang tumbuh teratur itu. Yang berani kami
lakukan hanyalah memetik daun-daunnya yang lebar
guna dipakai sebagai pembungkus atau alas makanan.
Untuk masuk ke hutan kami terpaksa melintasi jalur
pohon jati yang selebar kira-kira 30 meter. Dan
memasuki hutan yang berada di belakangnya seperti
tidak dilarang. Hutan ini sudah merupakan bagian dari
hidup kami sehari-hari. Di situ kami meramu bahanbahan yang diperlukan untuk kehidupan, dari mulai
sayur-mayur, umbi dan buah tertentu, akar-akar
penyembuh, tanaman bunga, hingga kayu bangunan dan
kayu bakar. Emak dan bapak mulai mengajakku turut serta ke
hutan ketika aku berusia hampir lima tahun. Selama
peijalanan pergi dan pulang mula-mula emak diminta
oleh bapak berjalan di depan, aku di tengah dan dia di
belakang. Dengan begitu bapak di setiap saat dapat
mengamati keadaan dengan teliti, karena dialah yang
tertinggi di antara kami bertiga, tanpa kehilangan
pandangannya pada emak dan aku. Posisinya itu
dimaksudkan pula untuk melindungi emak dan aku dari
serangan binatang buas, terutama harimau. Menurut
cerita raja hutan ini biasa menyerang mangsanya dari
belakang atau samping. Setahun kemudian, ketika bapak menganggap aku
cukup "dewasa" dan, karenanya, bisa diandalkan untuk
melindungi emak, urut-urutan berjalan lalu diubah: aku
yang di depan dengan memegang sebuah tongkat kayu,
emak di tengah dan bapak tetap di belakang dengan
parang terhunus di tangan. Beginilah kiranya cara bapak
mendidikku untuk selalu berusaha melindungi kaum
lemah pada umumnya, emak dan kakak-kakakku pada
khususnya. Tanpa uraian panjang lebar dari bapak, pada
dasarnya dia memang seorang pendiam, sudah dapat
kurasakan didikan untuk bertanggung jawab ini.
Dengan iring-iringan seperti ini, dalam peijalanan
pulang pada suatu hari, aku dikejutkan oleh desis
lompatan bapak ke depan, lalu melesat ke udara setelah
merebut tongkat yang kupegang dan
menghantamkannya ke badan seekor ular yang
menggelantung dari dahan sebatang pohon yang bakal
kami lewati. Karena hantaman itu badan ular tadi
terpental ke samping hingga membentur keras sepohon
kayu. Sorot mata bapak yang tajam rupanya sudah dapat melihat dari jauh gerakan ular yang bersiapsiap menyambar atau melilit kepalaku dari atas.
Hantaman tongkat bapak serta benturan badan ular ke
pohon yang begitu keras telah menimbulkan suara yang
sungguh dahsyat di tengah-tengah keheningan hutan di
senja hari. Burung dan kelelawar beterbangan kian
kemari karena dikejutkan oleh suara tadi sambil
mengeluarkan beragam bunyi yang melengking,
menambah seramnya suasana yang sudah mencekam.
Bapak tetap tegak, tenang dan membisu beberapa saat,
namun telinganya seperti hendak menangkap dan
menjaring suara dan bunyi yang mencurigakan. Akhirnya
dia berkata, "Selesai sudah" Mari kita bergegas pulang,
jangan sampai kemalaman di hutan."
"Apa tak sebaiknya bapak periksa dulu keadaan ular
itu?", tanya emak. "Saya kira tidak perlu," jawab bapak. "Ia sudah tidak
berkutik lagi." "Bisa saja ia belum benar-benar mati, Nik"!" bisik
emak. "Masih berbahaya buat orang-orang lain."
"Mungkin begitu. Namun saya kira ia sudah sekarat,"
bapak berusaha menenteramkan emak. "Sebaiknya kita
biarkan begitu. Tak baik menghabisi lawan yang sudah
tidak berdaya, kecuali kalau terpaksa dalam masalah
hidup atau mati. Lagi pula ia sudah mendapatkan
pelajarannya. Jangan coba-coba memangsa manusia,
apalagi yang tidak berniat mengusik."
Karena melihat aku masih gemetar, bapak mengeluselus kepalaku. "Kaget ya?" tanyanya dengan lembut.
"Saya " saya takut," kataku hampir berbisik. "Bapak
" emak, tidak takut?" aku bertanya perlahan-lahan
dengan menundukkan kepala.
Bapak dan emak tidak segera menjawab. Setelah
sejenak emak membungkukkan badannya mencium
ubun-ubunku dan lalu bercangkung di depanku. "Nak,
bapak tentu takut juga, demikian pula emak," katanya
dengan penuh kasih sayang. "Setiap orang mengenal
takut kalau sedang di dalam hutan. Namun yang disebut
keberanian adalah melakukan apa yang harus dilakukan
walaupun sedang takut. Dan inilah yang tadi dilakukan
bapak, selaku jantan, dengan tepat sekali dan persis
pada waktunya." Dua hari kemudian kampung kami dibuat gempar oleh
cerita dua pencari kayu bakar. Mereka menemukan
bangkai ular sawah sepanjang hampir tiga depa,
tergeletak tak jauh dari jalan setapak yang biasa dilalui


Emak Karya Daoed Yoesoef di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang-orang ketika masuk dan keluar hutan. Menurut
mereka kepala ular itu remuk dan sebuah matanya copot
dari tempurung kepala binatang ini, bagai habis dipalu
berkali-kali. Ular itu kemudian mereka kuliti dan kulit itu
dijual ke pengrajin tas dan sepatu. Cerita ini diulangulang oleh para warga kampung, tua dan muda,
terutama anak-anak, selama beberapa hari di surau, di
tepian, di tempat-tempat umum. Aku tersenyum saja
setiap kali mendengar cerita itu, demikian pula emak.
Aku merasa beruntung dapat kesempatan menyaksikan
sendiri ketangkasan bapak melindungi diri,
menyelamatkan emak dan aku, di saat berada di hutan.
Satu ketika kami bertiga memasuki hutan lebih jauh ke
dalam daripada biasanya. Kami terus beijalan dan
berjalan hingga jalan setapak yang kami tempuh
bercabang. Cabang jalan ini pasti jarang sekali dilewati
orang karena kelihatan samar-samar sekali. Namun emak
memintaku membelokkan langkah ke cabang ini.
Mungkin karena menyadari aku belum pernah
menempuh jalan yang satu ini, emak lalu menetapkan
dirinya jalan di depan, aku di tengah dan bapak tetap di
belakang. Emak melanjutkan perjalanan tanpa ragu-ragu
walaupun jalan setapak ini tetap tak jelas, bahkan di
sana-sini lenyap ditutupi semak belukar. Dengan parang
panjangnya emak membabat penutup jalan itu.
Selama perjalanan ini emak dan bapak tak banyak bicara,
sementara perasaanku membisikkan bahwa hutan yang
kami tempuh ini semakin lebat dan semakin gelap. Di
saat itulah bapak mengingatkan bahwa kami mulai
memasuki daerah monyet di mana tumbuh aneka ragam
pohon buah-buahan. Bila tidak diganggu binatang ini
tidak akan membahayakan. Berkat sinar matahari yang
sesekali mampu menembus kelebatan dedaunan, aku
memang bisa melihat semakin banyak keberadaan pohon
buah-buahan itu, seperti durian, binjai, nangka biasa dan
nangka babi, cempedak, rambe, nam-nam, mangga dan
manggis. Dari kegemaran dan cara monyet-monyet
memakan manggis hutan ini emak menduga bahwa buah
ini tidak hanya mengandung khasiat makanan tetapi juga
khasiat pengobatan. Akhirnya, setelah menempuh daerah gelap yang
menyeramkan kami sampai di daerah terang yang
melegakan. Sesudah aku merasa terkurung dalam
keadaan tertutup yang mencekam, aku merasa direnggut
ke dalam mang terbuka yang sepi menakjubkan. Sebuah
rawa yang cukup luas terhampar jelas di depan mata
beratapkan langit bim jernih. Di sela-sela awan yang
berarak beberapa ekor elang melayang-layang. Kalau
saja kelak-kelik burung-burung itu, yang sayup-sayup
sampai ke telinga dari ketinggian, disambut dari bawah
oleh alunan seruling bambu "
Sebagai cekungan yang terendam air sepanjang
tahun, rawa ini merupakan lahan yang subur bagi
pertumbuhan kangkung dan genjer serta tumbuhan air
lainnya, yang selalu siap untuk dipetik sebanyak yang
kami inginkan. Di rawa ini juga terdapat ikan-ikan lele,
gabus, sepat dan belut, selain katak-katak yang sesekali
berbunyi memecahkan kesepian. Di tepi rawa tumbuh
aneka ragam suplir di celah-celah bebatuan, teratai dan
bunga-bunga liar lain dengan berbagai warna.
Sedangkan di cabang pohon-pohon yang memagari rawa
bergelantungan anggrek hutan, di antaranya anggrek
merpati, kecil mungil putih dan berbau harum bila
sedang mekar. Kalau bukan karena memikirkan waktu
yang terus merayap sesuai dengan kodratnya, orang
pasti ingin menikmati sepuas-puasnya keindahan alam
terbuka di tengah-tengah kehebatan hutan ini.
"Sedang melamun ya?" tanya emak ketika dilihatnya
aku terpukau oleh kehebatan panorama ini.
"Indah sekali Mak, indah sekali," jawabku. "Seperti
ada yang menatanya."
"Pasti ada yang menatanya. Nak, walaupun yang kau
kagumi ini kelihatannya terbentuk begitu saja, ia adalah
suatu lukisan alam, sebuah ciptaan Tuhan, terjadi atas
ke-hendak-Nya. Seperti yang termaktub di bagian akhir
surat Yaasiin"Innamaa amruhuu idza arooda syay"an
ayyaquula lahuu kun fayakuun."
"Tak saya sangka akhirnya akan menemukan tempat
yang seindah dan sesenyap ini di tengah-tengah
kebuasan hutan. Sudah menimbulkan rindu di hati
sebelum awak meninggalkannya."
"Sayang sekali tidak semua orang melihatnya seperti
itu. Yang mengherankan memang bukanlah apa-apa
yang mereka lihat tetapi betapa berbeda-beda mereka
melihatnya." "Terus terang saya tadi ragu-ragu ketika emak
melangkah ke cabang jalan setapak yang samar-samar
itu. Pasti jarang sekali dilewati orang."
"Dalam menjalani hidup ini, Nak, adakalanya kau akan
sampai di jalan yang bercabang atau bersimpang. Bila
demikian, jangan ragu-ragu memilih cabang atau
simpang jalan yang kelihatannya kurang atau jarang
ditempuh orang." "Bagaimana kalau nanti kita tersesat?" tanyaku.
"Kalau kita tersesat bukan berarti kita akan hilang dalam
perjalanan," jawab emak. "Maka jangan ragu-ragu
mengambil jalan yang tidak umum. Hasilnya bisa cukup
memuaskan " contohnya lihat apa yang kau alami
sekarang. Setelah orang-orang melihat hasil ini, lamalama mereka akan mengikuti langkahmu dan jalan ini lalu
menjadi jalan orang banyak. Tapi kau tetap yang
memulai, yang merintis. Ini berlaku baik dalam arti
harfiah maupun secara kiasan."
"Saya jadi ingin berada di tempat ini, berkemah
misalnya, bila malam bulan purnama," kataku. "Pasti luar
biasa indah pemandangannya bagai dalam dongeng."
Menurut emak mungkin bisa begitu tetapi di dalam
dongeng tidak ada nyamuk. Sedangkan rawa ini pasti
merupakan sarang nyamuk. Di samping ini isi rawa
tersebut justru mengharuskan orang ekstra hati-hati
karena binatang-binatang air yang ada di situ merupakan
santapan yang sangat digemari oleh ular. Lagi pula rawa
ini tentunya merupakan tempat berbagai jenis binatang
minum, seperti kijang, babi hutan, kancil dan lain-lain.
Dan semua hewan ini pasti menarik perhatian harimau.
Di dekat-dekat rawa terdapat pula aneka ragam pohon
pisang dan tumbuhan seperti terong, ubi jalar dan ubi
kayu, labu, kacang panjang, rimbang dan bayam. Emak
tidak percaya bahwa semua ini tumbuh begitu saja
secara alami. Tumbuhan tersebut bukan merupakan
tumbuhan liar yang gampang hidup dengan sendirinya,
jadi ia pasti hasil tanaman orang. Maka itu emak tidak
mau mengusiknya, walaupun kami lihat ada pisang yang
sampai membusuk di pohonnya atau terong yang sudah
mengering, lebih pantas dijadikan bibit daripada disayur
atau dilalap. Aku usulkan kepada emak agar dipetik saja apa-apa
yang diperlukan, harganya ditetapkan sesuai dengan
harga di kedai, uangnya dimasukkan ke botol, lalu
disumbat dengan gabus dan kemudian digantung di
pohon terong. Emak tidak sepakat karena botol berisi
uang itu bisa saja diambil orang-orang lain yang tidak
berhak, yang datang juga ke sini untuk ramban. Akhirnya
diputuskan agar botol itu diisi saja dengan surat yang
menanyakan alamat si penanam. Ternyata tak ada
seorang pun yang telah menjamah botol itu karena
setelah berkali-kali mengunjungi tempat ini dan botol
bersurat itu kami buka, surat yang kutulis itu tetap ada
tanpa balasan sekalimat pun.
Sesudah adikku lahir emak dan bapak mengajakku ke
bagian yang lain lagi dari hutan yang sering kami jelajahi
ini. Di situ emak menanam beberapa pohon kemiri kecil
yang selama ini dibibitkannya dalam pot-pot bunga di
halaman rumah. "Untuk apa, Mak?" tanyaku keheranan.
"Dalam hidup ini kita memerlukan buah dari pohon
yang tak gampang tumbuh dan lama sekali baru
berbuah, seperti kemiri ini," jawabnya dengan tenang.
"Kemiri yang kita makan sekarang bukan hasil tanaman
kita atau orang-orang yang sebaya emak dan bapak.
Untung ada orang lain yang dahulu mau menanamnya,
walaupun dia, kita dan setiap orang, sadar bahwa
perkembangan usia kurang memungkinkan si penanam
dapat menikmati jerih payahnya sendiri selagi dia masih
hidup. Kecuali kalau yang menanam itu masih bayi,
sedangkan seorang bayi mustahil dapat melakukan itu.
Jadi emak dan bapak menanam kemiri kecil ini sebagai
tanda terima kasih kepada orang yang dahulu telah
menanamnya untuk kita dan agar kau dan anak-anakmu
kelak tidak kekurangan buah kemiri."
Lalu emak menceritakan bahwa setiap kali dia habis
melahirkan anak, dia pergi ke hutan ini untuk menanam
kemiri dengan diantar oleh bapak dan tanaman ini
disebarnya di tempat-tempat yang berbeda. Hari ini dia
menanam atas nama adikku. Empat tahun yang lalu dia
menanam atas namaku. Lima tahun sebelum itu atas
nama kakakku dan demikian seterusnya. Menurut emak
hutan menyimpan bahan-bahan yang diperlukan oleh
manusia untuk hidup. Maka itu ia harus dipelihara bagi
anak cucu. Membantu memelihara hutan juga tidak
terlalu sulit. Untuk menanam kemiri ini, misalnya, kita
tidak perlu menjadi dewa atau orang pintar. Kita hanya
memerlukan niat, kemauan, ingatan pada anak cucu dan
sebuah cangkul atau sekop.
"Binatang saja, dengan caranya sendiri, ikut menjaga
kelangsungan hidup pohon-pohon di hutan ini," kata
emak menutup uraiannya. "Musang, misalnya,
menyebarluaskan penanaman pohon enau melalui
kotoran yang dibuangnya. Demikian pula burung,
kelelawar, bahkan angin dan hujan. Nah, kalau binatang
saja sudah berbuat begitu, mengapa kita tidak. Hutan
adalah suatu karunia Tuhan yang harus kita syukuri. Jadi
merupakan kewajiban kita untuk menjaga dan
memeliharanya demi anak cucu. Sedangkan kita,
makhluk manusia, adalah wakil Tuhan di bumi."
Setelah berusia hampir sepuluh tahun orang tua
memperbolehkan aku pergi sendirian ke hutan. Jauh-jauh
hari sebelumnya emak mengingatkan bahwa kalau sudah
berada di dalam hutan, aku bukan lagi merupakan
pencari kayu tetapi seorang pemberani Tak ubahnya
dengan seorang pengail yang tercebur ke dalam air. Di
saat itu dia bukan lagi pengail tetapi seharusnya
perenang. Maka itu kalau bertemu harimau, kata bapak,
jangan gugup. Tatap saja matanya dengan tajam,
setajam sorotan mata harimau itu dalam menatap kita.
Lama-kelamaan, setelah binatang buas itu berputarputar, kalau ia kita tatap terus tanpa berkedip, ia pasti
akan menyingkir. Kalau tersesat, panjat saja pohon
setinggi mungkin untuk mendapatkan pandangan
menyeluruh yang lebih luas. Kalau ada kepulan asap,
insya Allah, ada orang atau ladang. Atau cari batang air,
emak menimpali, ikuti alirannya ke hilir. Di satu tempat ia
pasti bergabung dengan aliran yang lebih besar dan
demikian seterusnya. Biasanya ada saja manusia yang
hidup di tepi batang air, di pinggir anak sungai, di tepian
sungai besar. "Jangan khawatir Mak, Pak," kataku meyakinkan
mereka. "Di kepanduan saya sudah diajarkan berbagai
cara mencari jejak dan jalan, disebut tracking."
Aku bangga sekali dan dengan perasaan berbungabunga, percaya diri, kumasuki hutan yang berbagai
sudutnya telah lama kukenal. Biasanya yang kubawa
pulang bukan hanya kayu bakar tetapi juga sayur-mayur
atau buah-buahan atau bunga-bunga aneh yang belum
ada di halaman rumah kami. Aku kemudian menemukan
satu tempat yang ideal di sebuah sungai kecil yang
dinamakan Sungai Putih oleh penduduk. Dinamakan
begitu karena airnya begitu jernih sampai ikan-ikan kecil
yang ada di situ, sebesar-besar teri, jelas kelihatan
berenang kian kemari. Sungai ini penuh dengan batu,
besar kecil, hingga air yang mengalir di celah-celahnya
bergemericik merdu. Bagian yang kuanggap ideal dari
sungai kecil ini aku korek agak dalam hingga badan bisa
berendam, bagai bathtub dewasa ini, sambil tiduran
dengan kepala diletakkan di atas batu. Tidak jauh dari
situ, di ketinggian tebing sungai, tumbuh sebatang pohon
buni yang sering ramai dengan kicauan burung.
Sejak itu setiap kali aku ke hutan, di hari Jumat
sesudah sembahyang atau hari Minggu, atau hari libur
sekolah, kubawa buku. Aku kumpulkan dahulu kayu
bakar atau apa saja yang bisa dibawa pulang, sesudah
itu aku berendam di air Sungai Putih yang sejuk, sambil
membaca dan mendengarkan desiran daun-daun yang
ditiup angin dan kicauan burung-burung di pohon buni.
Sesekali kaki dan badan terasa geli karena dicicipi oleh
ikan-ikan kecil. Angin yang bertiup sepoi-sepoi basah
menambah sedapnya bekal yang dibawakan emak, di
tengah-tengah suasana alam yang tenang dan tenteram.
Aku mulai menyukai alam terbuka ini. Tiada atap kecuali
langit tanpa dinding kecuali pohon-pohon.
Emak pernah mengatakan bahwa dalam menanggapi
hutan kita jangan mengabaikan pohon-pohon yang
membentuknya. Dia menyenangi pohon-pohon, baik
yang berada di dalam hutan maupun yang tumbuh di
sepanjang sungai, yang beijajar di tepi jalan, yang
tumbuh di halaman, pokoknya semua pohon, karena
tetumbuhan ini kelihatannya yang lebih bersekutu
dengan jalan hidup yang harus ditempuhnya ketimbang
yang dilakukan oleh benda-benda hidup lainnya. Cabang
dan rantingnya bisa berbeda dalam bentuk dan ukuran,


Emak Karya Daoed Yoesoef di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tetapi semua itu, di bagian mana pun ia berada, tetap
merupakan pohon itu sendiri. Kita bisa mendapatkan
pohon yang sama dari setekannya sendiri. Kita pun bisa
menanam pohon dari cangkokannya guna memperoleh
buah yang sama ketimbang menumbuhkannya dari biji
buahnya. Semua ucapan dan pandangan emak tentang
pohon bermunculan kembali dalam ingatanku ketika aku
mempelajari filosofi di Sorbonne.
Betapa tidak. Adalah Hegel yang menyatakan bahwa
setiap cabang adalah sebuah pohon-cftague branche est
un arbre. Di halaman-halaman dari bab-bab uraian
filosofis, ada diketemukan pohon yang ditransformasikan
menjadi model klasifikasi keilmuan. Setelah
didisinkarnasi, diredusir menjadi kerangka struktural dan
bukan lagi vegetal, pohon logis atau genealogis ini lalu
memiliki perkembangan sejarahnya sendiri yang cukup
panjang Aristoteles yang memperkenalkannya, lalu
disistematisir oleh Porphyre dan Theodulfe, di abad IX,
membuatnya menjadi citra organisasi ilmu pengetahuan.
Descartes berusaha di tahun 1647 memperbarui
perbandingan figuratif tersebut dalam suatu teks yang
kemudian menjadi terkenal, berbunyi: Dengan demikian
seluruh filosofi bagaikan sebuah pohon, yang akarakarnya adalah metafisika, batangnya merupakan fisika
dan cabang-cabangnya yang ke luar dari batang ini
adalah semua ilmu pengetahuan lain yang dapat
diredusir menjadi tiga hal pokok, yaitu mekanika,
kedokteran dan moral-Aiwsi toute la philosophie est
comme un arbre, dont les racincs sont la metaphysique,
le trone est la phy-sique et les branches qui sortent de ce
trone sont toutes les autres seiences qui se reduisent d
trois prineipales, h savoir la mecanique, la medecine et la
morale. Akhirnya, Darwin menyempurnakan skema ini
dengan gagasan pohon evolusi, pembagian spesies
dalam cabang-cabang dan ranting-ranting.
Maka betapa aku tidak teringat emak. Di sini bertemu
pandangan intuitive emak dengan visi reflective para
filosof. Pohon vegetal yang riil menjadi pohon kehidupan
yang abstrak. Pohon hidup menjadi sebagaimana filosofi
berpikir. Sama halnya dengan filosofi, pohon punya
kemampuan melipatgandakan unsur-unsur yang
heterogen sambil tetap mempertahankan koherensi dari
pluralitas tersebut. Mengingat tumbuhan ini pada
umumnya hidup lebih lama daripada manusia, ia bisa
beijasa sebagai saksi yang mengaitkan satu generasi
dengan generasi lainnya. Untuk menghidupkan peran
transmisi memoar dari pohon ini suatu upaya yang
sederhana sudah memadai, seperti yang dilakukan emak
dengan pohon kemirinya. Dan peran transmisi tersebut
jelas dilakukan pula oleh buku. Bukankah buku
merupakan "anak" dari pohon, sebagaimana terlihat dari
namanya, yaitu "buku", "book","boek" "buch" "bouquin"
yang berasal dari kata "busca", yang berarti "bois" atau
"hutan". (OodwkzoO) BAB 4 EMAK DAN PENATAAN HALAMAN
Sebagai orang yang berasal dari keluarga petani, yang
lahir dan dibesarkan di lingkungan pertanian, emak
kelihatannya memperlakukan alam sebagai suatu realitas
spiritual. Tidak hanya tumbuhan dan tanaman yang
merupakan sebuah mukjizat di mana tecermin
keberadaan unsur hayati, tetapi tanah, air, langit,
matahari, bulan dan bintang memancarkan pula
kandungan dari daya kehidupan yang sama. Sedangkan
halaman yang ditata menjadi kebun dan taman dapat
menangkap manifestasi kekuasaan-kekuasaan elementer
ilahiah tersebut dan menahannya di dalam dan sekitar
rumah. "Mengingat Allah dan agama kita sangat
memujikan kedamaian dan kekhusyukan," kata emak,
"halaman yang asri merupakan bagian yang hakiki dari
rumah orang muslim."
Halaman rumah kami relatif luas. Sebagian dari sisi
depannya serta samping kanan dan kiri rumah dibiarkan
terbuka oleh emak, berupa tanah saja, tak berumput,
tidak ditanami apa-apa. Selain dimaksudkan sebagai
jalan ke dan dari rumah, halaman berpermukaan tanah
tok ini dipakai sebagai tempat kami bermain-main apa
saja bila cuaca baik. Bahkan kalau sedang hujan kami
mandi air guyuran hujan sambil berkejar-kejaran di
pelataran ini. Ia digunakan pula sebagai lahan tempat
menjemur apa saja, dari mulai kasur dan bantal hingga
hasil panenan ladang. Bila sedang terang bulan emak
menggelar tikar pandan di situ dan kami duduk beramairamai di atasnya menikmati kesejukan dan keindahan
malam. Halaman di belakang rumah penuh dengan pohon
buah-buahan, seperti mangga, kueni, nangka, rambe,
rambutan, jambu air dan jambu biji, nam-nam, jeruk bali,
melinjo belimbing, kelapa, kapuk dan berbagai jenis
pisang. Sebagian dari pohon-pohon ini, terutama yang
benar-benar menahun, bukan hasil tanaman sendiri
tetapi bawaan pekarangan yang masih berupa hutan
ketika dulu dibeli bapak dan emak. Di pohon-pohon itu
emak sekarang menempatkan anggrek yang diperoleh
dari hutan. Ada anggrek merpati, berwarna putih jemih
dan wangi bila sedang berkembang. Bila angin
berhembus aroma kewangiannya tersebar ke seluruh
halaman. Ada lagi anggrek berwarna kecoklat-eoklatan,
yang anak-anak emak menamakannya "anggrek emak"
karena kalau sedang berkembang bunganya menjuntai,
mirip rambut emak yang ikal bak mayang mengurai
Pepohonan yang dahan-dahannya beranggrek ini
menimbulkan citra perhutanan. "Hutan kecil" ini kami
manfaatkan pula untuk sarana main sembunyisembunyian. Sisa halaman yang tidak dibiarkan terbuka dan tidak
ditumbuhi pohon-pohon besar, baik di depan maupun di
kanan-kiri rumah, yang luasnya cukup lumayan, ada
yang dibagi-bagi oleh emak kepada kami di samping
bagian yang diurusnya sendiri. Setiap anak kebagian satu
kapling yang tidak boleh ditanami dengan pohon yang
menahun. Pohon sejenis ini harus ditanam bersamasama kelompoknya di belakang rumah, di bilangan hutan
kecil. Setiap kapling diperuntukkan bagi tanaman bunga
serta sayuran dan kami bebas untuk menanam bunga
atau sayur-mayur apa saja.
"Bunga dan tanaman memang merupakan kehadiran
membisu," kata emak, "namun semua ini menghidupi,
nyehatkan, pancaindra kita."
Kak Marni dan Kak Ani lebih banyak menanam bunga
daripada sayuran di kaplingnya masing-masing. Baik
penataan kapling yang mereka buat maupun jenis bunga
yang mereka tanam tidak sama, namun efek keseluruhan
dari perbedaan-perbedaan itu berupa suatu penampilan
dari kemajemukan alam yang amat menawan, persis
dengan yang diharapkan emak.
Kalau adikku lebih banyak menanam aneka ragam
sayur ketimbang aneka ragam bunga di kaplingnya
sendiri. Berbagai jenis sayur ada di kebunnya ini, seperti
kubis, seledri, bayam, bawang, terong, labu, sawi ladang,
kacang panjang, koro. Sayur-mayur ini lalu dibeli emak
untuk makanan sehari-hari. Dik Leman kelihatan bangga
dan puas sekali kalau emak mengatakan kepada bapak
bahwa sayuran yang dihidangkan di saat makan malam
bersama berasal dari kebunnya. Mula-mula adikku ingin
menanam hanya satu jenis bunga, yaitu bunga matahari.
Mungkin dia sangat terpesona oleh bentuk, ukuran dan
warnanya yang memang sangat cemerlang, sanggup
mendominasi lingkungannya. "Nak. besar tidak dengan
sendirinya berarti lebih baik atau terbaik." komentar
emak. "Demikian pula, bunga matahari tidak selalu lebih
baik daripada kembang melati." Walaupun begitu emak
membiarkan adik membuat pilihannya sendiri.
Karena aku tidak tertarik pada kegiatan bercocok
tanam, bahkan cenderung jijik bila tangan harus
menyentuh pupuk kandang, kapling bagianku kuberikan
kepada adik. Berhubung kapling tambahan ini dipakainya
sebagal H pemeliharaan ayam, kapling ini ditetapkan
emak di lakang rumah, di wilayah hutan kecil. Aku
menbftK memagari kapling ini agar ayam-ayam
peliharaan berkeliaran. Setiap ekor ayam dia berikan
nama dan hal ini menimbulkan masalah tersendiri buat
dia dan emak. Dia tidak mau memakan daging ayamnya
sendiri. Maka kalau lebaran ayam-ayamnya ini pasti tidak
bisa disembelih. Emak terpaksa menjual ayam-ayam
yang sehat dan gemuk dari Dik Leman dan uang hasil
penjualan tersebut dipakai untuk membeli ayam-ayam
lain guna dijadikan lauk sebagai pelengkap ketupat, yang
belum tentu sebaik ayam-ayam peliharaan adikku.
Selain senang pada tanaman, Dik Leman memang
senang pula pada binatang. Dia memelihara berbagai
macam burung, termasuk puyuh, yang dijeratnya sendiri
di hutan. Pernah dia memelihara kelinci dan marmut
tetapi kemudian dilepaskannya ke hutan. Binatangbinatang ini bisa membuat lubang di bawah pagar,
"menggangsir" kata orang, dan melalui lubang ini
menyelusup ke kapling emak dan kakak untuk melalap
tanaman-tanaman yang ada di situ.
Kapling emak dan bapak jauh lebih luas daripada
setiap kapling kami. Di situ emak tidak hanya menanam
bunga dan sayuran tetapi juga tumbuhan obat-obat
tradisional. Selain berdasarkan pengetahuan dan
pengalamannya sendiri sejak kecil, jenis-jenis tumbuhan
berkhasiat pengobatan ini diketahui emak dari banyak
bertanya kepada beberapa perempuan Keling dan Babah
Sin Ko Han yang dikenalnya. Babah Sin malah memberi
petunjuk bagaimana cara mengeringkan dan menyimpan
tumbuh-tumbuhan itu supaya awet dan tidak jamuran.
Emak juga menanam delima karena daunnya kadangkadang dipakai sebagai ramuan obat tertentu dan pacar
yang daunnya dipakai untuk berinai.
Sayur-mayur tertentu tidak ditanam emak di dalam
kapling tetapi di sepanjang pagar yang mengelilingi
rumah agar tidak merusak pemandangan, seperti katu,
ubi kayu. mangkuk dan teri, yang khusus dipelihara demi
daunnya. Bila dipetik terus-menerus untuk dimasak daun-daun
tersebut semakin lama menjadi semakin lemas. Daun
katuk untuk sayur bening, daun ubi untuk sayur
bersantan kelapa mutfag daun teri untuk campuran
keluban dan daun mangkudu untuk penyedap gulai otak.
Emak menanam lebih banyak bunga mawar dihalaman
nya daripada yang dilakukan oleh kedua kakakku. Bukan
karena mereka kurang menyukai ratu bunga ini, mereka
bahkan sangat menginginkannya, tetapi pemeliharaan lin
nga yang satu ini rupanya tidak begitu sederhana. B&ro
juga mengurus koleksi tanaman suplir dari bapak yang
didapat dari hutan. Bapak dengan telaten mencari dan
memilihnya satu per satu hingga terkumpul suplir dari
yang berdaun terkecil sampai yang berdaun terbesar
adalah bapak pula yang dengan teratur memberikan
pupuk kandang pada semua tanaman yang ada di
halaman semua merata. Alhasil, berkat jerih payah emak, bapak dan kakakkakak serta adikku, terciptalah di halaman rumah kami
tidak hanya sebuah kebun bunga dan sayuran, tetapi
lebih daripada itu sebuah taman yang indah, penuh
dengan aneka ragam bunga dengan aneka ragam warna
dan aneka ragam aroma kewangian. "Baik di pekarangan
maupun di halaman, segala sesuatu menjadi mungkin,"
kata emak. "Di situ kita dapat sekehendak hati
mempolakan ciptaan, berupa kebun atau taman, bermain
dengan musim, cahaya, tetumbuhan, dedaunan,
perbungaan dan harapan."
Walaupun aku sendiri tidak menanam apa-apa, aku
membantu menyiapkan dan memasang pasak bagi
batang batang bunga yang masih terlalu kurus atau
lemah adar dapat tegak sendiri. Aku menolong
memangkas cabang atau ranting tumbuhan agar menjadi
seimbang lihatan artistik. Aku membuatkan kandang
ayam untuk adikku dan ikut membuat rak susun bagi
koleksi suplir bapak. "Bagus itu, bagus", kata emak
setelah melihat hasil keijaku. "Kerja tangan dan kerja
otak dibuat untuk saling melengkapi, bukan untuk saling
meniadakan." Dengan segala senang hati aku menyirami secukupnya
semua tanaman yang ada. Tak ada seorang pun yang
meminta atau menyuruhku berbuat begitu. Aku bangga
menjadi bagian yang aktif dari kreasi kolektif keluargaku
ini. Di sudut mana pun aku berdiri, dapat kunikmati
keindahan pemandangan dan keheningan suasana
halaman rumah kami. Penetrasi timbal-balik antara
taman dan rumah, berkat penataan halaman, terjadi
karena keinginan emak menyatukan dengan mesra
kehidupan sehari-hari dengan alam. Alam diwakili oleh
pohon-pohon besar di "hutan kecil" dari halaman, karena
pohon-pohon menahun ini, menurut emak, berpartisipasi
dalam keabadian dunia. Sedangkan kehidupan seharihari diwakili oleh tanaman semak, baik yang berbunga
maupun yang berdaun indah, yang dalam dirinya
melambangkan kefanaan. Dan yang menjembatani alam
dan kehidupan sehari-hari ini adalah rumah, tempat
kediaman. Semua tanaman yang melambangkan kefanaan ini
ternyata melelahkan juga. Betapa tidak. Sayuran yang
sudah dipanen perlu segera diganti. Pohon-pohon bunga
yang kering, layu atau mati menuntut peremajaan.
Semua ini pasti membutuhkan kerja. "Kita seperti
didorong untuk selalu mengulang," keluh Kak Mami,"


Emak Karya Daoed Yoesoef di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

selalu mulai dari awal kembali."
"Marni" Mami, rahasia dari hidup yang mengasyikkan
dan kehidupan yang kaya dengan pengalaman adalah
menjalani lebih banyak awal daripada akhir," kata emak.
"Dan salah satu unsur dari rangkaian awal ini adalah
perbuatan mencipta."
"Mencipta?" ulang kakakku.
"Ya, mencipta," ditegaskan kembali oleh emak. cipta
pada asasnya adalah perbuatan Tuhan, tetapi kan
merupakan urusan-Nya semata-mata. Manusia tidak
dilarang melakukan hal yang sama. Bukankah para
pujangga dan seniman sehari-hari Orang-orang awam
seperti kita-kita ini bisa juga mencipta kalau tahu
bagaimana caranya. Untuk menanam setangkai
cangkokan, misalnya, kita tidak perlu merasa menjadi
Tuhan atau menjadi pujangga. Yang kita perlukan
hanyalah cangkul atau sekop atau cetok."
"Tapi Mak, yang saya bayangkan adalah pembuatan
taman, jadi tidak sesederhana menanam cangkokan."
"Bagus sekali kalau kau menyadari hal itu, Nak. Berarti
kesadaranmu ini merupakan suatu awal yang sudah
berada dalam perspektif penciptaan. Jangan lupa bahwg
sebuah kebun atau taman adalah sebuah ciptaan
mamrafl Maka ia harus lebih dahulu dipikirkan,
dikehendaki supaya terwujud, pendek kata,
direncanakan. Sebab menciptakan sebuah kebun, apalagi
taman, berarti, mencari-cari sebuah dunia yang lebih
baik. Dalam usaha kita menyempuraafcgi alam kita
dituntun oleh suatu gambaran surgawi. hasil usaha ini
nanti berupa sebuah taman bunga firdausi atau sekedar
sebuah kebun sayur, ia selalu didasarkan atas harapan
akan suatu masa depan yang berjaya. Haraku akan masa
depan inilah yang menjiwai semua pertamanan. Sebuah
kebun atau taman yang tidak terus-menerus diciptakan
oleh pikiran, perasaan dan tangan nusia, dari musim ke
musim, akan terhukum mati. Setelah, beberapa waktu
yang tinggal hanya kenangan."
Nyonya Belanda yang pernah ditolong emak ketika ;
tergelincir jatuh di muka toko Seng Hap, Mevrouw Jansen, adalah orang bule pertama yang mengagumi
tanaman halaman kami. Dia kemudian menjadi pembeli
tetap bunga dan tanaman berbunga yang ada. Kalau
datang ia dapat duduk yang paling disukainya adalah
tangga serambi depan. Ini adalah suatu pilihan yang
tepat sekali. Dengan duduk di anak tangga teratas, mata
bebas terlepas ke semua penjuru, pemandangan dan
suasana yang mengasyikkan kalbu bisa dinikmati, lebihlebih bila ada kicauan burung dan kupu-kupu yang
beterbangan kian kemari. Tidak jarang dia datang
membawa satu-dua orang temannya, yang lalu menjadi
pelanggan tetap dari bunga-bunga emak.
Pernah dia datang dengan seorang nyonya, yang
setelah diperkenalkan, meminta bantuan emak
menyemarak-kan pesta di rumahnya dengan jalan
menyusun bunga di jambangan-jambangan dan sekalian
mengatur letaknya di berbagai ruangan. Untuk keperluan
itu emak mendatangi rumah sang nyonya di Manggalaan,
melihat-lihat ruangan yang akan dipakai untuk berpesta
serta keadaan halaman rumah. Pada hari yang telah
ditentukan sebuah mobil datang menjemput emak. Dia
pergi dengan membawa bunga-bunga dan dedaunan
segar yang baru dipetik. Kedua kakakku dimintanya
menyusul sepulang dari sekolah untuk membantu. Aku
dipesan emak datang menjemput di sekitar jam setengah
lima sore dengan sado. Ketika aku datang emak dan
kakak-kakakku baru saja selesai dengan pekera jaannya.
Nyonya rumah sebenarnya berniat mengantarkan kami
pulang dengan mobilnya, tetapi emak memutuskan
pulang dengan bersado saja. Dalam peijalanan pulang
kami lewat Kampung Keling untuk membeli mi rebus
"Bang Tong, gado-gado Nek Inem, aneka roti dan
penganan kegemaran kami dan bapak. Kreasi dan
tatanan emak ternyata sangat memuaskan tuan dan
nyonya rumah. Puji-pujian datang juga dari para
tamunya di malam Minggu itu. Belakangan kami dengar
bahwa tuan yang berpesta itu adalah direktur dari De
Javasche Bank. Keberhasilan emak dengan tanaman bunganya
menarik perhatian Uak Haji Muala, seorang pedagang
bunga. Sepulang dari Mekah dia tidak kembali ke
kampung hala nya di Betawi tetapi memilih untuk
bermukim di" kami. Letak rumahnya agak jauh dari
rumah kami. mannya luas dan seluruh permukaannya
ditanami denc bunga, terutama bunga mawar yang
sangat digetiEH^^K keluarga-keluarga Belanda. Mungkin
karena tidak dipupuk atau disiram secukupnya, bungabunga mawarnya tidak menjadi sebesar dan sesegar
mawar emak, padahal dulu emak membeli bibitnya dari
dia. Dia mengusulkan kepada emak, separuh membujuk,
agar emak menanam bungfc mawar saja sebanyak
mungkin. Dia akan menjamin pemasarannya, emak tak
perlu bersusah-payah untuk itu. Terima kasih atas
perhatian Bang Haji," kata emak dengan lembut. "Kalau
ada orang datang ke sini untuk membeli bunga, memang
saya jual. Tetapi bunga-bungar ini saya tanam bukan
dengan maksud memperdagangkannya. Bila saya sedang
risau atau tak enak badan, saya melangkah ke dalam
kebun dan taman saya. Di saat itu saya segera
bersentuhan dengan lingkungan dan suasana; yang lebih
luas, luas sekali. Coba lihat. Pohon rambutan itu berasal
dari Langkat, pohon jeruk dari Aceh, tomat dan kubis
dari Karo. Berbagai bunga yang bibitnya dahulu saya beli
dari Bang Haji dan didatangkan dari Betawi, masin,
Manado, Singapura dan Penang, ternyata menurut
nyonya-nyonya Belanda yang pernah kemari terdapat
pula di negeri-negeri lain yang jauh dari sini. Bunga
alamandliH itu, misalnya, yang Bang Haji datangkan dari
Jawa, adat juga di daerah Amerika Selatan. Demikian
pula bunga ma" tahari yang sangat disenangi si Leman.
Bunga ini beserta jagung yang di sebelahnya bahkan
sudah ada di daerah itu sejak 2000 tahun sebelum
Masehi. Bunga nyonya-makan sirih ada di Afrika. Bunga
merak yang saya perai hutan dekat kita ini rupanya
tumbuh juga di hutan-Madagaskar. Sementara bunga
sungsang dapat ditanam di seluruh Asia. Bunga mawar
ada pula di Negeri Belanda. Bahkan salah satu kota di
negeri itu dinamakan Lembah Mawar atau Rozendal.
Burung layang-layang yang sedang sibuk menyambarnyambar serangga itu, menurut Nyonya Jansen, ada di
seluruh negeri kita. Burung-burung prenjak yang lagi
ramai berkicau itu, menurut si Bager, banyak juga
beterbangan di udara kota Madras, tempat kelahirannya
di Keling sana. Nah, Bang Haji, di luar ambang pintu
rumah saya, kebun dan taman ini, melalui sayuran dan
bunga yang tumbuh di situ, menghadirkan dunia di
halaman rumah. Batas-batasnya berada sama jauh dan
dalamnya dengan pemahaman saya sendiri."
Jadi buat emak pertamanan di halamanan rumah kami
adalah, avant tout, tempat berkontemplasi, keheningan,
ketenangan, bernafaskan nilai-nilai ilahiah dan
kemanusiaan. Ia meluas hingga menyentuh kedalaman
dari diri, dari dunia kerohanian dan kebendaan.
Setelah aku beranjak dewasa aku berkesempatan
menyaksikan sendiri taman-kebun yang ada di Perancis,
Belanda, Inggris, Jepang dan Korea Sealtan. Kini aku
hidup sehari-hari di tengah-tengah taman kebun yang
diciptakan oleh istriku di halaman rumah kami, dengan
keindahannya sendiri yang khas, menampilkan citra
keheningan dan ketenteraman bagi siapa pun yang
berada di dalamnya. Di sini ada "hutan kecil" berupa
pohon buah-buahan, di antaranya pohon buni, ada
dedaunan serta bunga serba warna dan aneka ragam
anggrek dari seluruh Indonesia dan berbagai negara di
dunia. Ada kupu-kupu, ada capung, ada bajing dan
burung yang bebas beterbangan dan bersarang " hingga
anakku pernah mengulang nyanyian yang pernah
dipelajarinya di Ecole Maternelle di Paris, berbunyi ?"
dans lejardin de ma mere oii tous les oiscaux y font leur
nids" di kebun ibuku di mana semua burung membuat
sarangnya. Ada karya-karya seni yang menggambarkan,
menyairkan dan mendendangkan keindahan taman
kebun. Mengingat seni kontemporer sangat menjauhi
representasi plastis, sastra dan lukisannya lebih
menyukai abstraksi ketimbang realisme, aku pikir kebun
halaman dalam dirii$p| merupakan mediator, yang
menguji berdasarkan realitas konsep masing-masing
seniman tentang keindahan.
Dan realitas keindahan ini telah ditampilkan, dahulu
oleh emakku dan kini oleh ibu anakku, di halaman
rumah. (OodwkzoO) BAB 5 EMAK DAN RUMAH SAKIT Sewaktu kakak tertua akan melahirkan anaknya yang
pertama, dia kelihatan takut dan sangat gelisah. Kak
Nani bertingkah laku demikian karena suaminya
menghendaki dia melahirkan di rumah sakit. Sebagai
orang sekolahan abang ipar tentu lebih mempercayai
dokter ketimbang dukun beranak.
Kak Nani sebenarnya bukan takut pada dokter dan
rumah sakit. Di kalangan anak-anak di kampung
memang beredar cerita bahwa orang yang dibawa ke
rumah sakit pasti akan "dipotong-potong" oleh dokter.
Yang ditakutkan Kak Nani pasti bukan kebenaran cerita
anak-anak ini. Yang ditakutinya adalah bayangan bahwa
dia nanti akan tinggal sendirian di ruangan rumah sakit.
Bagaimana nanti kalau malam hari dia perlu bantuan.
Memang katanya ada perawat yang beijaga siang dan
malam, tetapi orang-orang itu pasti bukan kenalannya
selama ini. Jadi apakah mereka akan membantunya
dengan ikhlas dan senang hati" Dengan penuh
pengertian dan kasih sayang"
Emak dapat segera menangkap hal-hal yang membuat
Kak Nani takut dan gelisah itu. Rasa takut pada
kesendirian itu adalah bawaan kakak sejak kecil. Dia
masih bayi ketika orang tuaku pindah dari Kampung
Kubur ke Kampung Darat. Waktu itu kota Medan meluas
ke arah barat, ke daerah yang masih berhutan. Sebagai
sebuah pemukiman yang baru dibuka, kampung ini betulbetul berupa dan bersuasana hutan. Pada waktu asar
sudah mulai gelap karena pohon-pohon yang tinggi dan
berdaun lebat masih tumbuh rapat. Di malam hari babibabi hutan masih terdengar berkeliaran di kolong rumah.
Sungguh tidak mengenakkan bagi pengalaman seorang
anak kecil, bagi orang yang sedang sendirian. Maka
emak membujuk menantunya agar membolehkan
persalinan yang pertama bagi isterinya ini dilakukan di
rumah saja. Dia akan dibantu oleh Nek Siti yang sudah
berpengalaman, sebagai dukun beranak yang pernah
membantu emak melahirkan semua anaknya, termasuk
Kak Nani. Lagi pula emak dapat menungguinya siang dan
malam terus-menerus dengan kasih sayang seorang ibu.
"Emak tak usah khawatir," kata abang ipar. "Sampai
sekarang belum pernah ada berita bahwa perempuan
yang melahirkan di rumah sakit terlantar, menderita atau
celaka." "Ya, memang tak perlu dirisaukan Kak," sambung Pakcik Leman menenteramkan emak, "Dokter dan perawat di
rumah sakit tentunya sudah berpengalaman juga dalam
membantu perempuan bersalin. Lagi pula mereka ini
sudah diuji lebih dahulu pengetahuan dan kecakapannya
sebelum diizinkan bekerja."
"Saya bukan meragukan kepintaran dokter dan
perawat di bidangnya masing-masing," kata emak.
"Mereka sudah disekolahkan untuk itu. Tapi dokter itu
"kan belum pernah melahirkan anak. Kalian pun tidak.
Saya sudah berkali-kali Saya tahu benar bagaimana
bingungnya pikiran, bagaimana galaunya perasaan, kalau
harus berada sendirian dalam menghadapi cobaan Tuhan
yang satu ini. Sedangkan si Nani sejak kecil selalu takut
berada sendirian." Karena abang ipar dan paman diam saja, emak
melanjutkan, " " maka di saat-saat seperti itulah terasa
benar perlunya ada kepastian tentang keberadaan
seseorang bila diperlukan, siang dan malam. Lebih-lebih
lagi bagi yang bersalin untuk pertama kalinya."
Abang ipar tetap pada pendiriannya. Ketika ada berita
bahwa Kak Nani sudah melahirkan, kami semua bergegas
berangkat ke rumah sakit. Karena belum 12 jam, begitu
bunyi peraturannya, tidak semua pengunjung boleh
masuk, hanya suami dan orang tua, itu pun sangat
dibatasi waktunya. Dan benar seperti yang dikhawatirkan
emak, dia pun tidak boleh menunggui Kak Nani
sepanjang hari, lebih-lebih di malam hari.
"Saya kan emaknya zuster, emak kandungnya," bujuk
emak berhati-hati. "Dan ini adalah persalinan anak saya
yang pertama kalinya!"
"Mak, peraturan yang menetapkan semua itu, bukan
kami-kami ini," jawab para perawat. "Kami hanya pelak-.:
sana pekerjaan sesuai dengan peraturan."
Karena penasaran emak-lalu pergi sendiri menghadap
dr. Pimgadi. Kami tak tahu apa-apa yang persis
dibicarakan! nya dengan dokter ini, tetapi kulihat
wajahnya ceria sekali di saat kembali ke tempat kami
menunggu. "Beres," katanya dengan nada gembira.
"Emak boleh menunggu si Nani setiap malam, mulai
malam ini, selama dia dirawat di sini. Sudah saya duga
dokter Jawa ini penuh pengertian, berperikemanusiaan
tinggi."

Emak Karya Daoed Yoesoef di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Maka setiap sore sehabis asar emak pergi ke rumah
sakit dengan membawa makanan kesukaan kakak,
menginap dan pulang ke rumah kembali di sekitar jam
delapan keesokan paginya. Ruangan yang dikhususkan
untuk perempuan yang baru bersalin tidak seluas
ruangan-ruangan pasien lainnya. Alangkah segar rasanya
di dalam ruangan ini. Jendelanya besar-besar sehingga
suasana terang-benderang.
Udara senantiasa bertukar hingga lapang dada
bernapas. Ruangan ini tidak penuh, hanya diisi oleh
empat orang, termasuk kakak. Masih ada beberapa
tempat tidur yang kosong. Bersalin di rumah sakit
memang belum umum ketika itu.
Di kalangan penghuni ruangan bersalin ini emak cepat
dikasihi oleh setiap orang. Emak memperlakukan setiap
pasien seperti terhadap anak atau keluarganya sendiBukan Kak Nani saja yang mendapatkan perhatiannya.
Siapa pun yang mengeluh di malam hari pasti dihiburnya
dengan penuh kasih sayang. Adakalanya emak
menghibur dengan nyanyian yang dapat didengar oleh
semua pasien. Para perawat juga menyayangi emak,
lebih-lebih hoofd-zuster Bertha Tampoebolon karena
emak berusaha belajar dari mereka tentang seluk-beluk
perawatan medis bagi perempuan-perempuan yang baru
bersalin dan makanan yang sehat bagi para bayi. Kalau
jam bezoek sore hari sudah habis dan para pengunjung
sudah pulang semua, emak segera menyapu dan
mengepel lantai ruangan. "Emak tak perlu berbuat begitu," cegah Zuster Bertha.
"Ruangan-ruangan yang lain pun cukup dibersihkan
sekali sehari, kalau pagi saja."
"Ah, tak apalah," kata emak. "Kalau bersih "kan sedap
di mata dan enak di hati. Lagi pula lebih sehat, bukan"!"
Kak Nani diizinkan pulang setelah tinggal sepuluh hari
di rumah sakit. Dengan diantar oleh zuster Bertha kami
beramai-ramai menemui dr. Pimgadi di kantornya untuk
mengucapkan terima kasih. Emak menggendong cucunya
yang pertama dan dengan bangga menunjukkannya
kepada dokter. Dokter Pirngadi membelai-belai kening
dan pipi si kecil sambil memberikan beberapa petunjuk
tentang perawatan dan makanan bayi yang baik menurut
ilmu kesehatan. Setelah menjabat tangan emak agak
lama dia memberikan sejumlah uang kepada emak.
"Saya mendapat laporan dari Zuster Bertha bahwa setiap
sore Emak membersihkan ruangan pasien setelah jam
bezoek selesai," katanya lembut "Maka sudah
sepantasnya rumah sakit memberikan imbalan terhadap
perbuatan Emak ini."
"Ah, tak usahlah dokter," tampik emak dengan halus.
"Saya "kan bukan pegawai di sini," katanya merendah.
"Tapi Emak sudah bekeija baik sekali, persis sesuai
dengan ajaran kesehatan."
"Terus terang, dokter, saya menyapu dan mengepel
itu demi kesehatan anak saya sendiri, bukan untuk
membantu atau menyenangkan rumah sakit."
"Saya dengar Emak juga telah membantu dan
menghibur semua pasien yang ada di ruang bersalin.
Bahkan dengan nyanyian merdu dan pantun yang
khidmat. Mereka semua merasa senang dan bahagia
bagai berada di rumah sendiri. Seorang di antaranya,
yang pulang kemarin, mengatakan sendiri hal ini kepada
saya. Dia mengira Emak bekerja di rumah sakit ini."
"Syukurlah kalau begitu, dokter. Namun sejujurnya,
tujuan awal saya turut berjaga malam di ruangan pasien
adalah membahagiakan si Nani saja. Saya selalu merasa
bahagia dengan membuat anak-anak saya bahagia dan
tidak dihantui oleh ketakutan. Kemudian terpikir oleh
saya mengapa tidak sekalian membahagiakan pasienpasien lain. Bukankah mereka boleh dikatakan senasib
dengan anak saya ini"! Jadi sebenarnya saya sudah
memperoleh imbalan untuk kerja saya di sini, yaitu
dengan membuat semakin banyak orang bahagia,
kebahagiaan saya sendiri menjadi semakin besar. Karena
itu sayalah yang ingin mengucapkan terima kasih kepada
rumah sakit, kepada dokter sendiri dan kepada semua
perawat. Lagi pula perawatan dan pelayanan di sini baik
sekali." "Artinya, kalau begitu, bila Emak ditakdirkan Tuhan
hamil lagi, Emak bersedia melahirkan anak di sini?"
"Ah, tidaklah, dokter," emak tersipu-sipu.
"Mengapa tidak"! Emak kelihatannya masih muda,
seperti kakak si Nani saja, bukan seperti ibunya."
Aku pikir dr. Pirngadi tidak bersenda-gurau. Dia pun"
melihat juga rupanya betapa wajah serta penampilan
kakak dan emak bagai pinang dibelah dua. Lagi pula
Anak Rajawali 10 Pendekar Pulau Neraka 37 Hantu Bukit Angsa Teror Orang Orangan Sawah 1

Cari Blog Ini