Ceritasilat Novel Online

Mimpi Buruk 2

Fear Street - Mimpi Buruk Bad Dreams Bagian 2


lumba yang dengan anggun berenang sambil berulang-ulang
menyelam dan mengangkat tubuhnya ke permukaan air.
Tanpa terasa, lap pertama sudah diselesaikannya. Maggie
menyentuh dinding dan melakukan somersault.
Flip turn yang sempurna. Konsentrasi! Konsentrasi!
Mungkin dia terlalu cepat mulai. Ini baru lap kedua, tapi dia
sudah letih, gerakannya melamban.
Konsentrasi! Setengah lap gaya punggung, Maggie melihat Dawn
menyalipnya di sebelah kanan. Kemudian Andrea mulai menyusulnya
di sebelah kiri. Tak ada cara untuk mengetahui di mana posisi Tiffany, karena
gadis itu berada dua jalur dari jalurnya.
Padahal tadi dia sudah memimpin! Pelatih meneriakkan
instruksi-instruksi, kawan-kawannya berseru-seru memberinya
semangat. Namun suara mereka terdengar bagai gema yang tak jelas.
"Ayo! Ayo!" hanya itu yang dapat didengar Maggie dengan jelas.
Berikutnya gaya dada. Maggie bernapas dengan susah payah sekarang, setiap ototnya
terasa nyeri. Tetapi pikiran bahwa dia akan kalah lebih menyakitkan lagi.
Diam-diam dia memerintah dirinya sendiri: Lebih cepat! Lebih
cepat! Dia berusaha lebih keras, lebih keras lagi. Ketika itu dia hampir
menyelesaikan gaya dada. Tetapi dia membuat putaran buruk di
dinding. Aku gagal! pikirnya. Belum pernah dia benar-benar gagal dalam perlombaan penting
sebelumnya. Bisakah dia tetap menang" Sekarang atau tak pernah sama
sekali. Gaya bebas adalah keahliannya. Tetapi dia hanya punya dua lap
untuk mengejar yang lain.
Dia merasa seperti mengapung di air. Teriakan dan pekik jerit
di seputar kolam renang semakin nyaring dan seru. Mendekati dinding di seberang,
Maggie menyalip Andrea - kemudian Tiffany.
Maggie terus mengejar. Dia berenang dekat sekali dengan
pembatas jalur, tetapi tak ada waktu untuk meluruskan arahnya
sekarang. Dia hanya bisa berharap tangannya tidak menyentuh
pembatas itu. Kalau sampai menyentuhnya, dia pasti kalah.
Lebih cepat! Lebih cepat lagi!
Dia menarik tubuhnya ke depan, mengaduk air dengan sekuat
tenaga. Dia hanya beberapa inci di belakang Dawn sekarang.
Tinggal beberapa kayuhan lagi.
Dia mengayuh sekuat tenaga dan mengulurkan tangannya
menyentuh dinding. Telapak tangannya yang basah menyentuh
dinding.... Tak sampai sedetik kemudian....
Dawn menyentuh dinding. Maggie yang pertama. Tiffany menyusul sedetik kemudian.
Dan satu kayuhan di belakangnya - Andrea menyusul di posisi
keempat. Maggie memegang dinding dengan kedua tangannya. Napasnya
megap-megap. Dia memandang Coach Randall sambil tersenyum
riang. Pelatih itu memeriksa stopwatch dan membuat catatan di
clipboard. "Posisi pertama, Maggie Travers," serunya. Maggie tidak
memedulikan kata-katanya selanjutnya, dia menjejakkan kakinya ke
dinding lalu berenang santai gaya punggung untuk melemaskan
ototnya. Kemudian dia berbalik dan mengangkat badannya dari dalam
kolam. Setelah berenang sekuat tenaga, lengannya terasa sakit dan
tubuhnya rasanya berat sekali.
"Finish yang bagus, Maggie," kata Coach Randall sambil
tersenyum kepadanya. Wajah Maggie berbinar. Pujian Coach Randall lebih berharga
daripada emas. "Lain kali aku mau lihat kau menambah kecepatan di gaya
kupu-kupu dan gaya punggung," tambah pelatih itu.
Coach Randall tidak pernah memberikan pujian tanpa embelembel kritik. Selalu ada yang harus diperbaiki dan disempurnakan.
"Asyik! Istirahat!" seru Dawn. Dia sudah keluar dari kolam renang dan sedang
berjalan cepat ke arah Maggie dan Coach Randall.
"Tadi terjadi interferensi! Anda tak melihatnya" Maggie berenang dekat sekali ke
jalur saya!" "Dia tak menyentuh pembatas," jawab Coach Randall tegas.
"Kayuhannya membuat pembatas itu bergoyang."
"Hmm, lalu apa?" tantang Dawn. "Anda takkan
membiarkannya, kan?"
"Tenang, Dawn," tukas Coach Randall tajam. "Kau di posisi kedua."
Andrea mengambil handuk dan melingkarkannya di sekeliling
bahunya yang lebar. Maggie memandangnya penuh simpati. Andrea
membuang muka. Dasar anak tak tahu diuntung!
Tiffany duduk di pinggir kolam, menendang-nendang air dan
menggeleng-geleng murung.
"Ayo, anak-anak," kata Coach Randall sambil tersenyum.
"Jangan putus asa. Ini baru salah satu lomba. Masih ada tiga lagi."
Maggie mengangkat wajahnya dan melihat Dawn
memandangnya dengan sengit, napasnya terdengar memburu.
"Dawn," kata Maggie, "Maaf. Aku tak bermaksud..."
"Tentu saja tidak," tukas Dawn sambil memutar-mutar bola
matanya. Maggie melihat Andrea mengawasi mereka, jelas senang
melihat mereka bertengkar.
"Ayo," Coach Randall memanggil gadis-gadis yang duduk di
bangku. "Semua masuk kolam!"
Maggie mengerang. Pertandingan tadi benar-benar
menegangkan. Dia lupa, mereka masih harus berlatih sejam lagi!
Ketika latihan selesai, tenaga Maggie terkuras habis. Semua
ototnya terasa nyeri. Dia mandi di bawah pancuran berlama-lama.
Beberapa gadis mengobrol penuh semangat tentang latihan dan
perlombaan tadi. Tetapi Maggie mengenakan pakaiannya tanpa
berkata apa-apa, dia tenggelam dalam pikirannya sendiri.
Dia yang terakhir keluar dari ruang ganti.
Dia berjalan ke arah kolam renang.
Sekarang hampir semua lampu sudah dimatikan. Mata Maggie
masih pedas karena terkena klorin. Matanya terus berair,
pandangannya kabur. Maka, ketika sampai di pinggir kolam barulah dia melihat
sesosok tubuh mengapung tertelungkup di sana.
Chapter 7 "DAWN!" jerit Maggie.
Di tengah kolam renang tubuh Dawn terapung-apung
dipermainkan riak air yang lembut.
Hanya sedetik Maggie ragu. Kemudian dia terjun ke dalam air
dengan pakaian lengkap. Ya Tuhan... semoga tak terlambat! Maggie
berdoa. Tolong, Tuhan! Ketika kepalanya muncul ke permukaan, Dawn masih beberapa
meter darinya. Oh... kau jangan mati! Jangan mati! Maggie berdoa.
Dawn mengangkat kepalanya.
"Dawn!". Maggie tergagap, berenang cepat mendekat dan
meraih gadis itu. Wajah Dawn berkerut kaget. "Lepaskan," katanya sambil
mendorong Maggie menjauh. "Apa-apaan sih?"
Maggie berenang di tempat sambil memandang kawannya
dengan terheran-heran. "Apa-apaan" Kau sedang ngapain?"
Dawn mengejap-ngejap, membuang air dari matanya. "Latihan
napas, kaukira apaan?"
"Aku... kupikir kau mati!" Maggie tergagap-gagap. Dia menarik lengan Dawn lagi.
Sulit baginya berenang di tempat dengan pakaian
lengkap memberatinya. Dawn tertawa. "Mati?"
Maggie ikut-ikutan tertawa, setengahnya karena lega,
setengahnya karena malu. "Kurasa kau kena kukerjain kali ini," kata Dawn sambil
menepuk air. Air muncrat membasahi kepala Maggie.
"Kau sengaja, ya"!" Maggie mendesak, membalas Dawn
dengan menepuk air. Dawn berenang gaya punggung, menjauhi Maggie. "Tidak!"
jawabnya tegas. "Bagaimana mungkin aku bisa tahu reaksimu akan konyol begini!
Lihat saja kau sendiri! Nyebur ke kolam dengan
pakaian lengkap!" Dengan enggan Maggie mengakui bahwa dia memang konyol.
Dawn tertawa keras. Terpingkal-pingkal. Akhirnya, Maggie pun
ikut-ikutan tertawa. Kedua gadis itu tertawa sampai sakit perut, suara mereka
menggema, dipantulkan atap yang tinggi.
************ Selasa malam. Maggie berusaha keras untuk tidur.
Sambil memandang kanopi di atas kepalanya, dia mencoba
menjernihkan pikirannya, mengendurkan ototnya, santai - santai.
Ketika matanya terpejam, dia merasa ada sesuatu yang
menariknya ke bawah. Dia merasa seperti disedot ke dalam kegelapan oleh kekuatan
yang tak terlihat. Kegelapan yang berubah menjadi kabut kelabu yang berputarputar. Ketika kabut itu berputar di sekeliling dirinya, Maggie merasa
dirinya melayang semakin rendah. Menurun, semakin turun, menuju
ke sebentuk segiempat merah jambu.
Fokus! Fokus! Segiempat merah jambu itu berubah menjadi
kanopi ranjang antik bertiang empat.
Di bawah kanopi, Maggie bisa mendengar bunyi napas
seseorang. Seseorang yang mengerang, "Jangan... jangan..."
Maggie melayang turun, menembus kanopi merah jambu.
Menuju ke ranjang itu. Dia melihat gadis itu, yang sedang berguling-guling gelisah di
balik selimut merah jambu. Gadis berambut pirang abu-abu.
Maggie tahu dia sedang bermimpi, tetapi entah mengapa,
kesadaran itu membuat mimpinya dua kali lebih mengerikan.
Kamar itu dingin, tetapi butir-butir keringat tampak berkilat di
punggung telanjang gadis itu. Kini dia terbaring diam, wajahnya
terpaling. Kalau saja Maggie bisa melihat wajahnya! Maggie ingin
memanggil gadis itu dan memalingkan wajahnya menghadapnya.
Tetapi ketika dia membuka mulutnya, suaranya tak mau keluar.
Gadis ini dalam bahaya. Maggie tahu.
Kemudian dia tahu sebabnya. Penyebab itu tiba-tiba muncul
begitu saja, seperti bayang-bayang yang menggelinding melewati
tubuhnya. Dia dan gadis itu tidak sendirian. Ada sosok lain di kamar itu!
Maggie memutar badannya. Dan melihat... Kilap bilah pisau
tajam di dalam gelap! Kemudian, tiba-tiba saja, kegelapan itu meledak penuh
ancaman dan sesosok makhluk melompat menerjang.
Gadis berambut pirang itu mencoba menghindar. Kepalanya
membentur kepala ranjang. Kemud ian pisau itu terhunjam, mengiris
udara. Maggie mengejat kuat dalam tidurnya, begitu kagetnya, sampai
terbangun. Dia berbaring dalam kegelapan, napasnya megap-megap,
jantungnya berdegup kencang, matanya masih terpejam.
Ini hanya mimpi, katanya pada diri sendiri. Hanya mimpi,
hanya mimpi, hanya... Bayang-bayang dalam mimpinya tak mau enyah dari
pikirannya. Kanopi merah jambu! Kanopi merah jambu yang sama
dengan yang dilihatnya ketika dia membuka mata. Kanopi itu.
Kanopinya. Gadis dalam mimpinya itu tidur di ranjangnya!
Kesadaran itu membuat jantung Maggie berdegup semakin
cepat. Apa artinya ini"
Aku hanya stress, katanya pada diri sendiri, sambil
mencengkeram seprai. Aku tidur di ranjang baru. Jadi aku mimpi
tentang ranjang ini. Itu saja.
Namun pikiran yang mengerikan melintas di benaknya - seperti
yang pernah dipikirkannya waktu itu. Mungkin mimpinya merupakan
peringatan. Mungkin alam bawah sadarnya mencoba
memperingatkannya tentang sesuatu, lewat mimpi.
Tapi apa" Apa" Dia memejamkan mata lalu berguling dan berbaring miring.
Kemudian dia membuka mata dan memandang jendela.
Saat itu barulah Maggie merasakan hadirnya sosok asing di
dalam kamarnya. Matanya terbelalak. Mulutnya mengerinyut,
memekikkan jeritan yang tak terdengar.
Gadis itu berdiri dalam kegelapan, di samping ranjang Maggie,
menatapnya, menatap wajahnya.
Dengan napas tersengal-sengal Maggie beringsut mundur,
kepalanya membentur kepala ranjang.
Dia tak bisa menghindar. Gadis itu mengulurkan tangannya, meraihnya.
Chapter 8 MAGGIE membuka mulut, ingin berteriak.
"Ini aku,aku,aku!" bisik gadis itu berulang-ulang, nyaris putus asa.
Maggie berhenti berteriak dan menutupi mulutnya dengan
tangan, bahunya bergerak naik turun.
Gadis itu membungkuk semakin dekat, cukup dekat hingga
Maggie bisa mengenali wajahnya.
"Andrea!" "Kau tak apa-apa?" Wajah Andrea tampak cemas.
"Andrea!" gumam Maggie. "Aku selalu melihatmu dalam
mimpiku. Aku selalu keliru, merasa melihatmu di mimpi. Kenapa?"
Andrea meremas tangan Maggie. "Kau ngaco. Sadar, Maggie.
Kau membuatku ngeri."
"S-s-sori," gagap Maggie. Dia duduk dan menggeleng-geleng, mencoba mengenyahkan
bayangan mimpinya. "Kau mengerang-erang dan menjerit-jerit ketakutan," bisik Andrea. "Kupikir
sebaiknya kau kubangunkan."
Maggie menelan ludah dengan susah payah. Mulutnya kering.
Dia menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. "Oh."
"Mimpi buruk lagi?" tanya Andrea, sambil duduk di pinggir ranjang.
"Ya," jawab Maggie dari balik tangannya. "Sama dengan yang malam itu. Tapi kali
ini..." "Apa?" Maggie memejamkan matanya rapat-rapat, membayangkan
mimpinya lagi. "Kali ini gadis itu ditikam! Mengerikan. Dia ditikam, dan aku...
aku tak bisa menolongnya."
"Siapa yang menikamnya?" tanya Andrea. "Aku tak tahu. Aku tak bisa melihatnya."
"Seperti film horor saja," kata Andrea.
"Memang. Tapi mainnya di kepalaku ini." Mereka diam


Fear Street - Mimpi Buruk Bad Dreams di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

beberapa saat. Keheningan yang tidak benar-benar senyap. Rumah tua
yang bobrok itu penuh bunyi-bunyi aneh - derit dan derak.
"Apakah jeritanku membuatmu terbangun"' tanya Maggie,
suaranya masih bergetar. "Tidak," kata Andrea. "Aku belum tidur. Aku tak bisa tidur.
Aku turun, mau cari minum - tebak, Gus tidur di mana?"
"Dekat kursi goyang?"
Andrea mengangguk. "Gus tolol," Maggie mendesah penuh sayang.
Resminya Gus itu anjing Maggie. Tetapi nyatanya, Gus anjing
Mr. Travers. Ke mana pun Mr. Travers pergi, Gus selalu
mengikutinya. Gus selalu tidur dengan menumpangkan kepalanya di
pangkuan atau di kaki Mr. Travers.
Malam hari Mr. Travers suka membaca sambil duduk di kursi
goyang, jadi, tempat itulah tempat favorit Gus untuk tidur.
Entah dari mana, terdengar sesuatu dibanting. Maggie terlonjak
kaget. "Tenanglah," seru Andrea. "Kau membuatku takut."
"Aku benci rumah ini," kata Maggie tiba-tiba.
"Bukan cuma kau.?"Aku merasa rumah ini ada hantunya."
"Oh, jangan," kata Andrea memohon. "Aku pasti takkan bisa tidur."
"Tidak, kau pasti bisa. Bukan kau yang mendapat mimpi
buruk." "Maggie, kau harus menenangkan diri. Jangan tegang begitu.
Itu kan cuma mimpi."
Maggie tidak mendengarkan. Di kepalanya, mimpinya mulai
lagi. Sesuatu membuatnya merasa tidak enak - mengusik batas
kesadarannya. Apakah itu" Apa yang ingin diingatnya dengan jelas" Dia tak
bisa mengingat dengan jernih.
Andrea berdiri. Dia meraba salah satu tiang ranjang. "Percaya
nggak" Seharusnya kauberikan saja ranjang ini padaku. Ranjang ini
membawa sial. Ranjang ini membuatmu mengalami mimpi buruk."
Maggie menatapnya seakan tidak mendengar apa yang
dikatakan adiknya. "Ranjang ini...," katanya. Itu dia! Dia mengulurkan tangannya
dan mencengkeram lengan adiknya. "Andrea, kau benar!
Cewek dalam mimpiku, cewek yang terancam bahaya itu. Dia tidur di
ranjang ini!" "Itu sih serem," Andrea mengakui. "Dan dia dit..."
Dia membiarkan pertanyaannya tidak selesai. Maggie
menyelesaikan kalimat yang terputus itu. "Ditikam," gumamnya pelan. "Dengan
pisau. Berkali-kali. Kau belum paham juga" Aku tahu, itu terlalu nyata untuk
kenyataan," Maggie mendesah dengan perasaan gundah.
"Apa maksudmu?"
"Pemiliknya sengaja meninggalkan ranjang cantik ini. Pasti ada apa-apanya."
Andrea menggeleng-geleng. "Biasanya kau tak begini,
Maggie." "Ada yang tak beres di sini," bisik Maggie, mengucapkan apa yang dipikirkannya.
"Aku bisa merasakannya."
"Kaulihat wajah cewek itu kali ini?" tanya Andrea.
Maggie menggeleng. "Tidak."
"Hmm. Seperti apa dia?"
"Rambutnya pirang panjang. Pirang keabu-abuan."
"Pirang keabu-abuan," ulang Andrea sambil merenung.
"Kenapa?" tanya Maggie gugup. "Kau tahu siapa dia?"
"Tidak," sahut Andrea sambil tersenyum. "Aku hanya menebak-nebak, aku tak punya
bayangan siapa dia."
Maggie menunggu sampai Andrea menjelaskan.
"Hmm, kedengarannya ini memang gila," Andrea melanjutkan.
"Tapi kau ingin tahu apa yang menurutku membuatmu bermimpi
buruk?" "Apa?" "Kau terlalu tertekan karena urusan tim renang itu. Sepertinya kau merasa harus
jadi nomor satu." Maggie mengerutkan kening, "Lalu" Aku ingin berprestasi
sebaik-baiknya. Apa itu salah?"
"Tidak. Jangan defensif dong."
"Aku nggak defensif," kata Maggie berkeras.
"Hmm, cuma itu yang bisa kukatakan," kata Andrea.
"Menurutku, itu bisa jadi penyebab. Mungkin dengan meninggalnya Dad, lalu kita
pindah ke rumah ini, dan kompetisi renang itu semuanya terlalu berat buat otakmu. Otakmu keberatan beban."
"Apa hubungannya berenang dengan cewek yang mati
ditikam?" Maggie menuntut jawab, suaranya meninggi.
Andrea mengangkat bahu, seolah baginya hubungan itu jelas
sekali. "Mungkin kau ingin mencederai kami semua agar kau bisa menang."
"Itu... itu benar-benar nggak masuk akal!" protes Maggie.
"Oke, oke," potong Andrea cepat-cepat. "Lupakan aku pernah mengatakannya. Aku
bukan psikiater. Bagaimana mungkin aku bisa
tahu arti mimpi burukmu?"
Maggie menyesal telanjur bicara keras. Andrea hanya berusaha
menolongnya. "Siapa tahu," kata Maggie. "Mungkin memang tim renang yang
membuatku sangat tertekan. Tapi aku harus bagaimana"
Berhenti renang gara-gara mimpi buruk?"
"Bukan begitu. Tapi kau bisa sedikit santai. Jangan
memaksakan diri," Andrea menyarankan.
Maggie tertawa getir. "Bagus. Santai saja. Supaya kau yang
dipilih dalam tim dua ratus meter Gaya Ganti, bukan aku, ya kan?"
Langsung saja mata Andrea berubah jadi kelam. Dia marah
sekali. Uh-oh, pikir Maggie. Aku kelepasan bicara.
"Kau benar-benar menjijikkan!" seru Andrea sambil
menggeleng-geleng dengan kesal bercampur sedih. "Tak peduli apa pun yang
kulakukan, kau selalu menganggapku punya niat buruk, ya
kan?" "Andrea, apa maksudmu" Aku..."
"Kaupikir aku bilang begitu karena aku ingin mengalahkanmu
di lomba renang" Kaupikir ini cuma akal-akalanku?"
"Bukan begitu, Andrea, aku cuma bercan..."
"Dengar, Maggie, renang bukan segala-galanya bagiku. Yang
benar aja!" "Aku nggak bilang begitu, aku hanya..."
Andrea menuding-nudingkan telunjuknya untuk memberi
tekanan pada apa yang dikatakannya. "Aku tak membutuhkan akalakalan untuk mengalahkanmu. Karena aku bisa renang lebih cepat dan
lebih baik darimu. Apa komentarmu, he?"
Maggie mendesah. "Andrea," katanya. "Kau salah mengerti.
Aku tak bermaksud..."
Sekarang Andrea berdiri. "Jangan lakukan itu," bentaknya.
"Jangan lakukan apa?"
"Jangan mulai pura-pura tak bersalah dan bersikap manis
setelah membuatku jengkel! Kau selalu begitu. Selalu!"
"Selalu apa?" "Kau memanas-manasiku," kata Andrea. "Lalu kalau aku marah, kau pura-pura tak
tahu mengapa aku marah, dan dengan begitu
aku yang akan disangka gila."
"Andrea, kau memang gila!" Maggie menjerit karena frustrasi.
"Kau sengaja memancing-mancing pertengkaran."
"Baik," bentak Andrea. "Ini semua salahku. Selalu aku yang salah. Kau si Nona
Sempurna. Begitu, ya?"
Maggie mengangkat tangannya dengan putus asa. "Apa aku
bilang begitu?" "Aku ke sini karena mencemaskanmu," kata Andrea, suaranya bergetar. "Aku masuk
ke kamarmu karena kau menjerit-jerit
ketakutan. Dan inilah terima kasih yang kudapat!"
"Oh, Andrea," kata Maggie. "Lihat saja, kau langsung ngamuk hanya gara-gara
komentar konyol yang kulontarkan tentang tim
renang kita. Apa sih masalahnya" Kau dan aku sama-sama tahu kau
tak benar-benar menginginkanku berprestasi sebaik-baiknya di tim
renang." "Dan bagaimana kau sendiri?" jerit Andrea marah. "Siapa yang mimpi tentang cewek
yang mati ditikam, he" Mimpi berakar dari
harapan, ya kan" Itu yang kupelajari di mata pelajaran psikologi. Jadi, kau
berniat menikam siapa" Siapa yang menurutmu harus mati"
Siapa?" Apakah Andrea benar" Maggie merenung. Tiba-tiba sekujur
tubuhnya terasa dingin. Tak mungkin aku punya pikiran segila itu, kata Maggie dalam
hati. Mimpi itu tak mungkin menyuruhku menikam seseorang.
Mimpi itu tak mungkin memperingatkanku bahwa aku akan
menikam seseorang! Karena dalam mimpi itu aku tak berada di pihak si penikam,
kata Maggie dalam hati; menyadari posisinya dalam mimpi. Aku tak
mengidentifikasikan diriku dengan si penyerang. Aku
mengidentifikasikan diriku dengan si korban!
Chapter 9 MAGGIE memutar nomor kombinasi kunci lokernya untuk
ketiga kalinya. Apa-apaan aku ini" Dia tidak bisa memfokuskan
matanya. Apakah ke 22 kiri" Atau kanan" Dia harus tahu. Dia sudah
ribuan kali membuka kunci loker ini.
Dia menekan pegangan pintu kuat-kuat ke bawah, akhirnya
kunci itu mau membuka. Diletakkannya buku sejarah dan matematika
di rak paling atas. Hari itu Jumat. TGIF - Thanks God It's Friday, pikirnya tanpa
semangat. Mengapa aku lesu sekali" Karena kurang tidur.
Setiap malam, setiap kali naik ke ranjang, dia takut mendapat
mimpi buruk lagi. Mimpi itu tidak kembali. Tetapi membayangkannya
saja sudah membuatnya ngeri setengah mati. Tidurnya gelisah. Setiap suara dan
bunyi di rumah itu terdengar menyeramkan. Dia belum
pernah bisa tidur nyenyak sejak pindah ke Fear Street. Maggie
mendorong buku teks bahasa Inggrisnya jauh-jauh ke dalam loker.
Tugas hari itu adalah membaca cerita tentang anak laki-laki yang
selalu berpikir ada hujan salju. Padahal nyatanya tidak. Pikiran-pikiran itu
memenuhi pikirannya. Akhirnya anak itu jadi gila.
Bacaan yang cocok sekali buatku! katanya sinis pada diri
sendiri. Dia mengambil catatan untuk kelas geologi Mrs. Harrison,
mengunci loker, lalu mengikuti arus murid-murid lain yang berjalan di selasar
yang bising. Tinggal sejam pelajaran lagi.
Sesudah itu dia harus berlatih renang. Dia letih sekali, kakinya
berat seperti besi tuang. Lupakan saja keinginan untuk jadi juara
pertama di lomba apa pun. Bisa-bisa dia langsung tenggelam ke dasar kolam!
Kelas geologi satu lantai di bawah lantai ini. Dia bergabung
dengan mereka yang sedang menuruni tangga. Sinar matahari
menembus lewat jendela-jendela kaca di sepanjang selasar.
Cahayanya menyinari kepala berambut merah di depan sana.
"Andrea!" serunya.
Dia bergegas menyusul adiknya. Dia tak bisa menembus
padatnya kerumunan murid, suaranya tenggelam dalam ributnya
percakapan dan tawa mereka.
Kemudian, beberapa meter di depannya, dia melihat Dawn,
tertawa riang sambil berjalan menuruni tangga bersama dua cowok
anggota tim basket. "Sori, sori..." Maggie mendesak maju.
Dia tidak tahu mengapa. Tiba-tiba dia merasa tidak enak. Dia
mendesak lebih kuat. "Hei," kata seseorang. "Lihat-lihat dong. Jangan main
dorong!" Jantungnya mulai berdegup lebih kencang. Mengapa dia merasa
aneh" "Dawn!" panggilnya lagi.
Bergerak mengikuti arus, Maggie sekarang menuruni tangga.
"Hei... Dawn! Oh!" Maggie menjerit ketika melihat Dawn
kehilangan keseimbangan. Dia mendengar jerit melengking.
Dan melihat Dawn terjungkal.
Semua terjadi dalam sepersekian detik, tetapi sepersekian detik
itu serasa lama sekali, seakan semua terjadi dalam gerak lambat.
Dawn terjungkal ke depan, terguling-guling di tangga.
Buku-bukunya terlempar. Kepalanya membentur tangga dengan bunyi "krak!" - yang
lebih keras dibandingkan pekik jerit orang-orang di situ.
Sekali lagi "krak!" ketika Dawn terguling ke kaki tangga.
Kedua kakinya terpuntir dan tertindih tubuhnya.
Rahangnya terbuka, lemas terkulai. Matanya menatap kosong.
Dawn tidak bergerak. Chapter 10 TRAPPER KEEPER Maggie lepas dari lengannya dan
terpental-pental di tangga. Maggie mengangkat tangannya, menutupi
wajahnya, berusaha mengenyahkan pemandangan mengerikan itu: di
kaki tangga kawannya terkapar dengan kaki terpuntir.
"Dawn... Dawn...," gumamnya.
Ruang tangga bergema oleh teriakan dan jeritan. Murid-murid
mengerumuni Dawn. Dari dekat puncak tangga, Maggie melihat Dawn mulai
merintih kesakitan. "Tanganku!" jerit Dawn. "Tanganku... tanganku patah."
"Panggil guru!" teriak seseorang. "Tolong telepon 911!"
Murid-murid berpencar. Maggie mendengar jerit panik minta
tolong. Seseorang mencoba menolong Dawn untuk duduk. Tetapi gadis
itu memekik kesakitan ketika disentuh.
"Tanganku... tanganku...," jeritnya memilukan. "Ada yang mendorongku!"
Maggie mengambil napas panjang lalu menuruni tangga sambil
memegang birai erat-erat. Dia melihat Andrea di luar kerumunan itu.
Andrea berpaling dan memandang Maggie. Ekspresi wajahnya
aneh sekali. Setengah tersenyum, setengah sedih.
"Dawn, kau tak apa-apa?" tanya Maggie. "Apa yang terjadi"
Kau terpeleset?" Jawaban Dawn membuat Maggie membuang muka. "Tentu saja
aku kenapa-kenapa. Aku didorong. Kau yang mendorongku" Kamu
ya, yang mendorongku?" jerit Dawn sambil menangis.
"Oh?" Maggie nyaris tak mempercayai telinganya.
"Maggie...," Dawn berkata lemah, tangannya terpuntir ke
belakang, air mata meleleh di pipinya yang pucat. "Kudengar kau memanggilmanggilku, Maggie. Kemudian... kau mendorongku."
Maggie kaget sekali. Kaget bercampur ngeri. Dia tergagapgagap. "Oh" Dawn... tidak! Aku... aku tak mungkin! Aku tidak di dekatmu tadi.
Maksudku..." Maggie berpaling pada Andrea, meminta pertolongan. Tetapi
Andrea hanya menunduk memandang lantai. "Katakan padanya, aku
tak mendorongnya, Andrea," Maggie memohon.
"Aku... aku tak melihat apa-apa," gagap An-drea.
Di sekelilingnya, Maggie merasa murid-murid lain
memandangnya dengan pandang menuduh. Maggie membalas tatapan
mereka dengan tidak percaya. Apakah mereka pikir dia benar-benar
tega mendorong seseorang dari tangga" Apakah mereka tidak
mengenalnya dengan baik"
Sambil menangis, marah, bercampur kesal, dia mengambil
Trapper Keeper-nya, berbalik, lalu naik tangga kembali ke lantai atas.
Tak seorang pun menyingkir memberinya jalan.


Fear Street - Mimpi Buruk Bad Dreams di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ketika sampai di selasar lantai atas, dia tak kuasa menahan
tangis. Sambil berusaha agar tidak menangis keras-keras, dia berlari.
Bel berbunyi, tanda murid-murid harus kelas. Tetapi Maggie
berlari ke toilet putri. Dia membanting pintu keras-keras, lalu
menyandarkan badannya pada pintu itu.
Akhirnya dia sendirian. Dia berpaling dan melihat wajahnya yang bersimbah air mata.
Mimpi itu. Sementara dia memandangi pantulan wajahnya di
cermin, mimpi buruk itu melintas lagi di benaknya.
Rambut Dawn pirang. Gadis dalam mimpinya juga berambut
pirang. Andrea pasti menduga gadis yang dimaksudnya adalah Dawn
ketika pertama kali mendengar tentang gadis itu.
Dan dalam mimpinya, gadis itu selalu jatuh terjengkang, ke
belakang, kepalanya membentur kepala ranjang. Kepala Dawn
membentur tangga yang keras, persis gadis dalam mimpinya.
Di cermin, Maggie melihat matanya melotot penuh kengerian.
Bibirnya terkatup rapat ketakutan. Itu membuatnya semakin ngeri.
Apakah mimpinya menjadi kenyataan"
Kata-kata Andrea terngiang-ngiang di telinganya: Mimpi
berasal dari harapan. Mungkinkah, entah bagaimana, Maggie telah menyebabkan
kecelakaan yang menimpa Dawn" Bahkan tanpa menyadarinya"
?b?k?l?w?s.bl?gsp?t.c?m ***************** Dia berhasil mengikuti pelajaran geologi sampai selesai, tetapi
sepanjang waktu pikirannya melayang ke tempat lain. Mrs. Harrison
sedang menjelaskan rencana tugas lapangan yang dijadwalkan untuk
Rabu depan. Sekitar 45 menit perjalanan dari Shadyside terletak Glenn Rock
Mountain. Gua-gua di Glenn Rock merupakan objek wisata yang
terkenal. Maggie tidak sungguh-sungguh mendengarkan penjelasan Mrs.
Harrison. Setengah jam pelajaran, dia minta izin untuk menengok
Dawn. Maggie pergi ke kantor kepala sekolah. Kabar yang
didengarnya tidak membuatnya lega. Tangan Dawn patah. Ada
kemungkinan dia gegar otak.
Ketika akan pulang, Maggie berpapasan dengan Tiffany di
selasar. "Kau percaya apa yang terjadi pada Dawn?" tanya Tiffany lirih. "Bisabisa dia mati!" "Tiffany - kau harus mempercayaiku! Aku tak melakukannya!"
Maggie menyemburkan kata-kata itu.
Terkejut, Tiffany memandangnya dengan matanya yang lebar.
"Aku tak pernah berpikir kau yang melakukannya."
Dengan penuh terima kasih Maggie meremas lengan Tiffany.
Tiffany memandang ke bawah. "Dengar. Dawn gegar otak. Pikirannya agak kacau. Itu
sebabnya dia menuduhmu. Dia akan sembuh - jangan
kuatir." "Kuharap begitu," sahut Maggie, sambil menggeleng-geleng
menahan tangis. "Ini sungguh mengerikan, Tiffany. Semua dorong-mendorong. Kau
tahu seperti apa suasana di tangga di antara jam-jam pelajaran, ketika muridmurid pindah kelas. Aku yakin ini hanya
kecelakaan." "Tentu saja," kata Tiffany. "Tapi, dari sisi Dawn itu juga bisa dimengerti.
Maksudku, kau punya alasan kuat untuk
menyingkirkannya." "Tiffany," kata Maggie, berusaha agar suaranya tidak terdengar mengiba-iba, "kau
mengenalku dengan baik. Kau benar-benar berpikir aku tega mencederai Dawn hanya
untuk memastikan aku masuk tim
renang dua ratus meter Gaya Ganti?"
Tiffany menarik-narik rambutnya. "Tentu saja tidak. Lagi pula, kau pasti masuk.
Kecuali kalau kau benar-benar gagal di tiga lomba
berikutnya. Lagi pula, ada dua tempat yang diperebutkan."
"Jadi aku tak punya alasan untuk mendorong Dawn," Maggie
berkeras. "Mengapa dia menuduhku" Tega benar dia. Aku sakit hati, Tiffany. Sakit
hati sekali." Tiffany melangkah maju dan memeluk Maggie dengan
canggung. "Beri Dawn waktu," bisiknya. "Dia pasti akan kembali berpikir sehat.
Beri dia waktu." Maggie memaksa diri tersenyum. Kedua gadis itu berpisah dan
melangkah ke arah yang berlawanan.
Maggie menghapus air mata di pipinya. Tiffany benar, dia tahu.
Maggie harus menunggu untuk bicara dengan Dawn.
Maggie tak sanggup berlatih renang. Dia mengatakan sakit pada
pelatihnya dan langsung pulang.
Begitu sampai di rumah, dia langsung melemparkan badannya
ke sofa di ruang tamu dan membenamkan wajahnya di situ. Dia tidak
ingin berpikir lagi. Dia sangat letih, tenaganya terkuras habis. Dia sangat
membutuhkan istirahat. Itu pikiran yang terakhir diingatnya. Ketika dia terjaga, ruangan
itu sudah gelap. Maggie mengerang lalu duduk. Dia merasa otaknya lengket di
batok kepalanya. Tidur siang-siang membuatnya kehilangan orientasi
dan gugup. Tapi, sekurang-kurangnya dia tidak mendapat mimpi
buruk. Kemudian dia mencium bau saus tomat, mendengarnya
mendidih pelan di dapur. Ibunya muncul di ambang pintu dapur,
memegang sendok kayu. Dia melambaikan sendok itu tersenyum.
"Kau tidur waktu Mom pulang. Makan malam siap sebentar lagi.
Favoritmu. Spageti dengan bakso nondaging." Sebenarnya itu bukan makanan favorit
Maggie, Dia lebih suka bakso daging betulan. Tetapi Mrs. Travers vegetarian.
"Tidurmu nyenyak sekali, Mom tak tega membangunkanmu,"
kata ibunya. "Telepon berdering dua kali, tapi kau diam tak bergerak.
Mom pikir kau benar-benar perlu tidur, Maggie."
Tidur nyenyak - untuk pertama kali! Itulah pertama kalinya
Maggie tidur nyenyak di rumah baru mereka. Mengapa kali ini
berbeda" Dia langsung tahu jawabnya. Dia tidur di sofa - tidak di ranjang
berkanopi itu. Malam itu, dia berdiri di kamar tidurnya, memandangi ranjang
tua yang cantik itu. Dia masih tidak mengerti mengapa pemilik
sebelumnya tidak membawanya.
Mungkinkah karena ranjang itu ada hantunya"
Perasaannya terhadap ranjang itu sudah jauh berubah sejak
pertama kali mereka pindah ke rumah itu! Pada hari pertama, ranjang itu menjadi
pelipur kesedihannya karena terpaksa pindah rumah. Dia
langsung jatuh cinta pada ranjang itu begitu melihatnya.
Sekarang, dia malah takut melihatnya.
***************** Kebun belakang rumah nomor 23 di Fear Street kecil,
berbatasan dengan pekarangan berumput milik tiga rumah lain.
Pemilik sebelumnya membuat jalan setapak dari batu-batu ceper
besar, dari pintu belakang, tetapi ketika baru beberapa batu dipasang, proyek
itu sudah dihentikan. Ada dua ayunan tua yang sudah berkarat. Maggie duduk di
salah satunya. Ayunan itu dirancang untuk anak-anak, maka dia
terpaksa menjulurkan kakinya yang panjang sebelum bisa berayunayun. Rantai penggantungnya yang sudah karatan berderit-derit ketika dia
berayun-ayun. Hari itu Sabtu pagi. Matahari bersinar cerah dan panas. Langit
yang biru jernih dihiasi beberapa gumpalan awan putih. Biasanya
Maggie terbangun dengan perasaan segar, siap beraktivitas. Tetapi,
pagi itu tubuhnya letih sekali seperti kalau dia akan tidur malam.
Sepanjang malam dia terjaga - memikirkan Dawn, memikirkan
mimpinya, dan menduga-duga kalau-kalau ada hubungan antara
mimpinya dan kejadian itu.
Dia melihat ibunya sedang di kamar tidurnya. Maggie
melambai dan mencoba tersenyum.
Dia turun dari ayunan lalu berjalan menyusuri semak-semak tak
terurus yang membatasi pekarangan itu. Dia memetik beberapa buah
beri yang sudah masak dan memencetnya dengan jarinya, sehingga
buah itu hancur dan mengeluarkan cairan merah seperti darah.
Ayolah, dia mengumpat diri sendiri. Kau harus mengenyahkan
perasaan itu. Pikirkan yang lain.
Tetapi sia-sia saja. Dia tak bisa mengalihkan pikirannya. Apa
kata pepatah" Gajah tak pernah lupa. Ya, dia tak bisa melupakan itu dan tak bisa
mengalihkan pikirannya. Dia duduk menyandarkan punggungnya ke batang pohon birkin
putih yang halus. Mendongak, dia bisa melihat langit dari celah
cabang dan ranting yang mulai bertunas. Angin lembut mengusir
gumpalan-gumpalan awan. Alangkah damainya. Alangkah tenangnya. Tak lama kemudian
Maggie tertidur. Tidur yang tenang, tanpa gangguan mimpi buruk. Tak ada pisau
tajam. Tak ada gadis di balik selimut merah jambu.
Kemudian, ada tangan di bahunya. Kaget, dia membuka mata
dan memekik tertahan. Maggie melihat seorang laki-laki bertampang mengerikan
mengulurkan tangannya ke lehernya. "Tak boleh lama-lama," bisik orang itu dengan
suara parau. Chapter 11 MAGGIE beringsut menjauh sambil menjerit ketakutan.
Orang itu mundur, matanya yang kelabu memancarkan
kekagetannya. "Maaf. Aku tak bermaksud membuatmu takut," katanya. "Aku...
aku hanya tanya apakah kau sudah lama berjemur di sini?" Dia
menunjuk langit. Matahari pagi sudah naik semakin tinggi,
memanaskan pekarangan belakang itu.
"Oh... terima kasih," kata Maggie tergagap. Ketika dipandangi lekat-lekat, lakilaki itu tampak lebih jelas.
Ia sudah tua, wajahnya keriput, penuh cambang putih tak
terurus. Ia mengenakan topi jingga yang sudah kusam, mulutnya
mempermainkan sebatang tusuk gigi. Senyumnya memamerkan gigi
kuning yang tidak rapi. Dia mengulurkan tangannya. Beberapa detik kemudian Maggie
sadar bahwa laki-laki itu hendak membantunya berdiri. Dengan
enggan, Maggie menyambut tangannya dan bangkit berdiri.
Aku gampang kaget dan terlalu tertekan, pikirnya, kesal pada
diri sendiri. Kupikir semua orang hendak mencelakakanku!
"Milton Avery," kata orang tua itu parau. Dia mengangguk dan menyentuh topinya
dengan dua jarinya. "Aku tetanggamu."
Ia mengulurkan tangan kanannya kepada Maggie. Maggie
menyalaminya. Tangan laki-laki tua itu memegangi tangannya lebih
lama daripada yang sewajarnya, sehingga Maggie tidak senang.
Kulitnya terasa seperti kertas usang.
"Kau belum menyebutkan namamu," kata Mr. Avery.
"Oh, maaf. Maggie. Maggie Travers."
"Maggie Travers," ulang laki-laki itu. Dia mengangguk-angguk.
"Nama yang manis."
Maggie tersenyum. "Terima kasih."
Lelaki itu membalas senyumnya dengan hangat. Dia melepas
topinya. Kepalanya botak, hanya tinggal beberapa helai rambut ikal.
Dia menggaruk puncak kepalanya, kemudian mengenakan topinya
lagi. Dia menoleh ke arah rumah. "Senang sekali melihat rumah ini sudah
berpenghuni lagi." Maggie ikut-ikutan memandangi rumahnya, seakan belum
pernah melihatnya. "Sudah lama sekali ditawar-tawarkan, tak laku-laku," kata Mr.
Avery. Maggie merasa bulu kuduknya meremang. "Oh ya?"
"Lama sekali." Caranya mengucapkan kata itu membuat
Maggie semakin ingin tahu berapa lama persisnya yang dimaksudnya.
Tahunan" Puluhan tahun" Pasti orang ini tahu dan ingat.
Mr. Avery melanjutkan, "Aku tak suka bertetangga dengan
rumah kosong. Membuatku merasa tak enak setiap kali menoleh ke
sini. Kau tahu apa maksudku?"
Maggie tahu benar apa maksudnya.
Mr. Avery melepas topinya lagi dan menggunakannya untuk
menunjuk rumahnya. "Aku bahkan membiarkan tirainya tertutup di sebelah sini.
Jadi aku tak perlu melihat rumahmu."
Maggie memandang tirai yang masih tertutup itu dan sebuah
pikiran terlintas di kepalanya. "Anda kenal orang-orang yang dulu tinggal di
rumah saya?" tanyanya.
Mr. Avery tidak langsung menjawab. "Tidak kenal benar.
Mereka tak lama tinggal di sini. Ceritanya menyedihkan.
Menyedihkan." Jantung Maggie berdegup kencang. "Mengapa... apa?"
Lelaki tua itu menatap wajahnya. "Orang real estate itu tak
menceritakan kisah itu?"
"Tidak, kisah apa?"
Mr. Avery mengerutkan dahi. "Hmm, kurasa aku tak bisa
menyalahkannya karena tak menceritakannya. Maksudku, Bob
Jamison itu orang jujur, untuk ukuran salesman. Tapi sudah berbulan-bulan dia
kesulitan menjual rumah ini. Mungkin dia pikir jika kau tak tanya, dia tak harus
bercerita." Dia berdehem. Matanya menatap mata Maggie lekat-lekat,
pandangannya tajam. Mata itu sudah tua, abu-abu pucat, tetapi
tatapannya jernih dan tajam.
"Dengar," katanya parau. "Istriku, Claire, pasti senang berkenalan denganmu.
Gadis manis seperti kau akan membuat hari-harinya jadi cerah. Dia sangat
membutuhkan yang seperti itu.
Bagaimana kalau kau ke rumahku untuk minum teh" Akan
kuceritakan kisah itu selengkapnya."
Maggie memandang rumahnya lagi, melihat kalau-kalau ibunya
mengawasi mereka. Namun jendela kamar tidur ibunya gelap.
"Kedengarannya menarik sekali," katanya.
Mr. Avery menunjuk celah di pagar tanaman. "Lewat sini,"
katanya. Dia melepas topinya, membungkuk, dan mempersilakan.
"Silakan, kau dulu."
Rumah Mr. Avery hangat dan nyaman. Dindingnya penuh fotofoto keluarga - anak-anak, cucu-cucu.
Mrs. Avery sedang duduk di dapur, koran terlipat di samping
piringnya. Dia sedang mengisi teka-teki silang. Wajahnya bulat seperti bulan,
kepalanya ditumbuhi rambut halus yang sudah putih semua.
"Kukira tadi kau berkebun, Milton," katanya tanpa mengangkat wajahnya.
"Tadinya begitu, Claire," katanya.
"Tapi..." Mrs. Avery mengangkat wajahnya lalu tersenyum
hangat. "Ini tetangga baru kita," jelas Mr. Avery sambil meletakkan tangannya di bahu
Maggie. "Claire, ini Martha..."
"Maggie," gadis itu mengoreksi.
"Maggie. Maaf. Maggie Travers."
Mrs. Avery bangkit sambil tersenyum lebar. Dia melangkah
maju untuk menyalami Maggie. "Selamat datang di lingkungan ini,"
katanya. "Oh, aku senang sekali bisa berkenalan denganmu. Kau
manis sekali. Apakah matamu hijau?"
"Ya," sahut Maggie dengan perasaan tidak enak.
"Cantik sekali," kata Mrs. Avery sambil mengangguk-angguk menyatakan
kekagumannya. "Pasti menyenangkan jadi anak muda."


Fear Street - Mimpi Buruk Bad Dreams di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Minggu ini dia tidak punya pengalaman menyenangkan, itu
pasti. "Mr. Avery akan menceritakan...," Maggie memulai.
"Kau mau minum teh?" sela Mr. Avery. "Dan kue jahe" Masih ada kuenya, Claire?"
Claire menghampiri kompor, menggoyang cerek untuk
memastikan masih ada airnya, kemudian menyalakan kompor itu.
"Aku tak tahu," katanya. "Lihat saja di tempat kue."
Maggie tak sabar lagi. "Apa yang terjadi di rumah saya?"
tanyanya terus terang. Mrs. Avery memandangnya dengan tajam. "Kau tak tahu?"
Berputar-putar lagi. "Tidak," sahut Maggie. "Saya..."
"Milton," Mrs. Avery berkata tajam, memandang suaminya
dengan mata menyipit. "Kau mau menakut-nakuti gadis manis ini?"
Maggie merasa keringat mengalir membasahi tulang
punggungnya. Jadi selama ini dia benar. Sesuatu yang mengerikan
telah terjadi di rumah itu. Dia tahu! Jadi, aku tidak gila! pikirnya.
Maggie duduk, mencoba bersikap tenang. Mr. Avery
meletakkan topinya di meja. "Kisahnya menyedihkan," gumamnya.
"Oh, Milton, kita tidak kenal mereka dengan baik - keluarga
Helfer," sela Mrs. Avery. Dia kembali ke kompor untuk mengangkat cerek yang
airnya sudah mendidih. "Banyak kisah mengerikan di jalan ini..."
Mr. Avery melanjutkan, Ada gadis seumurmu - namanya
Miranda. Gadis cantik berambut pirang."
Miranda! Maggie langsung tahu bahwa Miranda pastilah gadis dalam
mimpinya! "Apakah Miranda tinggal di rumah saya?" tanya Maggie
menggebu-gebu. "Ya, dia dan keluarganya tinggal di rumahmu," jawab Mr.
Avery. "Milton, cukup," sela Mrs. Avery.
"Oh, tolong ceritakan," Maggie memohon.
"Dia mati dibunuh," wanita tua itu memuntahkan kata-kata itu.
"Dibunuh." "Dia ditikam," bisik Mr. Avery. "Ditikam di ranjangnya sendiri."
Chapter 12 JUSTIN memeluknya. Perasaannya aman.
Saat itu malam Minggu. Justin mengajaknya nonton film
komedi. Maggie biasanya senang nonton film-film konyol, tetapi kali ini dia
tidak bisa menikmatinya. Seorang gadis dibunuh, benar-benar dibunuh, di ranjangku, dan
sekarang aku bermimpi tentang dia. Pikiran itu berputar-putar di
kepalanya. Setelah film selesai, Justin tetap memeluknya ketika mereka
keluar bersama para penonton lainnya, menuju pelataran parkir
pertokoan itu. Malam musim semi itu udara sejuk dan segar. Bulan
pucat setengah lingkaran melayang rendah di langit ungu.
"Kulihat kau tak menikmati film tadi. Aku juga tidak," kata Justin.
"Nggak, aku suka kok," Maggie berbohong. Tiba-tiba dia
merasa ada yang mengawasinya.
Dia berpaling lalu melepaskan diri dari peluk n Justin.
Dawn, dengan tangan digips, berdiri di tepi pelataran parkir
bersama Tiffany. Dia melambai ke arah Maggie. "Mau nggak
menandatangani gipsku?"
"Dawn!" Maggie berseru kaget melihat gadis itu. Aku berkali-kali meneleponmu.
Moga-moga kau tak berpikir..." Dia bergegas
mendekati mereka. Justin menyusulnya perlahan-lahan.
Aku yang harus minta maaf," kata Dawn, sambil tersenyum
hangat. "Aku mengucapkan kata-kata aneh setelah jatuh waktu itu."
"Kau harus percaya padaku. Aku tak mendorongmu, Dawn,"
kata Maggie singkat. Dawn mengangkat bahu. "Yah, ada yang mendorongku. Tapi
itu tak jadi soal sekarang." Dia tersenyum kepada Maggie. "Tiffany yang akan
mengalahkanmu di dua ratus meter Gaya Ganti. Hai,
Justin." Justin mengangguk. "Hai." Kemudian dia menarik lengan
Maggie, tak sabar ingin mengajaknya pergi.
Maggie menandatangani gips Dawn.
"Kami harus pergi," Justin mendesak.
"Sampai ketemu di tempat latihan," kata Maggie kepada
Tiffany. Dia bilang akan menelepon Dawn. Lalu cepat-cepat
menyusul Justin yang sudah berjalan ke mobilnya.
Maggie tak dapat menahan diri untuk tidak menoleh kepada
kedua gadis itu. Meskipun tidak mendorong Dawn, Maggie masih
tetap merasa bersalah. "Aku tahu, Dawn mengira aku yang mendorongnya," kata
Maggie kepada Justin. "Biarpun dia tak bilang begitu."
"Dawn memang begitu," kata Justin sambil membuka kunci
pintu mobil di samping tempat duduk penumpang. "Kalau kalah di pertandingan, dia
selalu mencari-cari alasan." Dia membukakan pintu untuk Maggie. "Dan kalau
terpeleset, dia bilang didorong."
"Bisa saja," kata Maggie sambil merenung. Tetapi ketika masuk ke mobil,
perasaannya yang sempat riang langsung lenyap. Perasaan
tidak enak mengganggunya lagi.
Mobil Justin tempat duduknya dari kulit halus warna hitam.
Maggie duduk bersandar di kursinya. Santai saja, katanya pada diri
sendiri. Justin menghidupkan mesin, kemudian menekan tombol di
dasbor. Atapnya membuka, membiarkan cahaya bulan dan angin
musim semi yang segar mengalir masuk. Dia tersenyum kepada
Maggie. Mobil meluncur keluar dari pelataran parkir. Bannya
berdecit-decit. Mereka tidak bermobil jauh-jauh. Kira-kira satu blok dari
pertokoan itu, Justin memarkir mobilnya di jalan kosong.
Maggie memandang sekelilingnya, heran. "Mengapa kita
berhenti di sini?" Justin pura-pura melihat ke luar. "Sepertinya kita tersesat,
"katanya sambil tersenyum. Bahkan dalam gelapnya malam, mata
birunya tetap memesona. Maggie membalas senyumnya. "Aku tak kuatir."
Justin mencondongkan badannya, pelan-pelan mendekatkan
wajahnya ke wajah Maggie.
Mata Maggie lekat-lekat menatap matanya. Dia merasa
jantungnya berdegup penuh gairah.
Tetapi dia segera sadar bahwa berciuman di mobil yang kecil
itu sungguh tidak nyaman. Tempat duduknya rendah, sehingga mereka
sulit berpelukan. Mereka juga terikat pada sabuk pengaman masing-masing.
Maggie berusaha membuka sabuk pengaman. Sebuah pikiran
mengerikan membuat badannya dingin.
Seperti ini perasaan gadis itu ketika dia terjebak di dalam
selimut yang membelitnya. Miranda. Gadis yang terbunuh di ranjang
Maggie itu. Dia terbelit, terbelit dalam selimut. Kemudian dia mati ditikam.
Sambil mendesah Maggie membuka sabuk pengamannya dan
membiarkan sabuk itu terkulai jatuh dari bahunya.
Mengapa aku tak bisa berhenti memikirkan Miranda"
Justin mengulurkan tangan meraihnya. "Tunggu," kata Maggie sambil menjauhkan
wajahnya. "Hah" Apa-apaan sih?"
Maggie tidak mau berterus terang. "Nggak, nggak," katanya.
"Di sini... di sini sempit sekali."
Justin mendengus kesal. Dia duduk menyandar di kursinya dan
menatap lurus ke depan dengan marah. Akhirnya dia berpaling kepada
Maggie. "Ada pohon besar yang rindang di sana," katanya. "Kita bisa duduk-duduk
di bawahnya." Maggie ragu-ragu. "Maaf, sungguh, aku minta maaf.
Pikiranku... pikiranku sedang kacau."
Justin mendengus lagi. "Mags, ada apa sih?" akhirnya dia
bertanya. "Tiba-tiba saja kau..."
"Mimpi itu lagi," Maggie mengaku.
"Mimpi?" Wajah Justin berkerut tidak mengerti. "Mimpi apa?"
"Ingat aku pernah cerita tentang mimpi burukku" Ada cewek
berambut pirang, aku tak bisa melihat wajahnya..."
Justin tetap tidak mengerti.
"Aku mencoba mengenyahkannya dari pikiranku," Maggie
cepat-cepat melanjutkan. "Tapi aku bermimpi lagi. Kali ini cewek itu ditikam, di
ranjangku." "Dalam mimpimu," Justin mengoreksi.
"Benar," kata Maggie. "Aku juga berpikir begitu. Itu hanya mimpi. Tapi, tebak
apa yang kudengar dari tetanggaku. Keluarga
terakhir yang tinggal di rumahku - putri mereka mati dibunuh. Di
ranjang. Di ranjangku."
"Aneh," gumam Justin. "Siapa dia?"
"Namanya Miranda Helfer. Kau kenal dia" Kau pernah dengar
tentang pembunuhan itu?"
"Miranda Helfer?" Dia mengingat-ingat. "Tidak. Belum pernah dengar."
Wajah Justin menjadi cerah. "Hmm, itu menjelaskan mengapa
kau mendapat mimpi buruk."
"Tidak. Kau belum ngerti juga, ya?" kata Maggie tidak sabar.
"Aku sudah mimpi buruk sebelum aku tahu tentang cewek yang
terbunuh itu." "Hah?" seru Justin kaget.
"Agen real estate itu tak cerita pada kami," lanjut Maggie. "Dan aku mulai mimpi
tentang pembunuhan itu pada malam pertama aku
tidur di ranjang berkanopi itu. Justin, saat itu aku belum tahu apa-apa.
Sama sekali tak tahu. Jadi, ini pasti sesuatu yang... supranatural."
Justin menyipitkan mata. "Apa maksudmu?"
"Yah, sepertinya ranjang itu ingat akan pembunuhan itu dan
mencoba memberitahuku, memperingatkanku tentang... sesuatu!"
Justin mengacak-acak rambutnya yang hitam ikal. "Mags,"
katanya sambil memutar-mutar bola matanya dengan kesal. "Ranjang itu ingat"
Ranjang itu" Tak masuk akal, Maggie. Tak masuk akal,
Maggie...." "Aku, tahu, aku tahu. Kedengarannya memang tolol. Tapi, apa
kau bisa memberi penjelasan yang lebih baik?" tuntut Maggie
sungguh-sungguh. "Mengapa aku mendapat mimp i buruk itu?"
"Maggie," kata Justin, semakin jengkel. "Mimpi selalu campur aduk dan gila."
"Hmm, menurutku, yang ini pasti ada artinya," tukas Maggie sengit. "Kupikir
Miranda mencoba menyampaikan sesuatu padaku.
Kurasa dia mencoba memperingatkanku tentang sesuatu."
Justin ternganga memandangnya. Kemudian dia tertawa geli.
"Dari kubur?" ****************** Maggie mengangguk dengan sungguh-sungguh. "Dari kubur."
Maggie merapatkan jari-jarinya membentuk sudut sempurna,
tangannya terayun mengiris air. Dia berenang dengan indah. Dia bisa
merasakannya. Dia tidak heran ketika menarik kepalanya keluar dari dalam air
di akhir lomba dan mendapati dirinya yang pertama mencapai finishterpaut setengah lap dari lawannya.
Di belakangnya, air bergolak. Kedua perenang lainnya, Andrea.
dan Tiffany, bersaing ketat, mengejar selisih waktu sekian detik.
Sambil bergantung di pinggir kolam, Maggie mulai berteriakteriak, "Ayo, Andrea! Cepat!"
Mengenakan topi renang dan kacamata renang warna gelap,
Andrea mirip makhluk air aneh yang meluncur cepat. Maggie nyaris
tidak mengenalinya. "Kau pasti bisa, Andrea!" teriaknya.
Tetapi Tiffany lebih cepat, tangannya me-nyentuh tepi kolam
lebih dulu. "Oke, lomba yang bagus," Coach Randall berseru beberapa
detik kemudian. "Kalian bertiga ke sini."
Mereka berdiri setengah lingkaran di depan bangku tim, tempat
Coach Randall duduk sambil mempelajari catatan di clipboard-nya.
Meskipun di situ cukup hangat, ketiga gadis itu berdiri sambil
menyilangkan tangan di dada, seakan melindungi diri. Air menetesnetes dari baju renang mereka.
Maggie selalu mengamati itu sehabis berenang. Rasa gamang
dan tak terlindung begitu keluar dari dalam air.
Ketika memandang deretan bangku yang lebih tinggi, Maggie
melihat Dawn duduk di deretan paling atas. Gadis itu mengenakan
pakaian jalan-jalan, kakinya ditumpangkan di bangku di bawahnya.
Bahkan pada jarak sejauh itu, Maggie bisa melihat Dawn tidak
tersenyum. Hmm, memangnya apa yang kuharapkan" Maggie bertanya
pada diri sendiri. Kalau tanganku patah dan kehilangan kesempatan
untuk bertanding di Kejuaraan Negara Bagian, aku pasti juga akan
begitu. Coach Randall menulis sesuatu pada clipboard-nya. " Oke," ia mengumumkan.
"Maggie, Tiffany, kalian akan bertanding di
Kejuaraan Negara Bagian untuk dua ratus meter Gaya Ganti."
Tiffany menjauh sambil menari-nari, tangannya terangkat
mengungkapkan kegembiraannya. "Aku berhasil!" teriaknya kepada Dawn.
Dawn berteriak riang. "Hebat kau, Tiffany!" Dia tidak memberi selamat kepada
Maggie, tentu saja - dan itu tidak mengherankan.
Maggie memberi selamat kepada Tiffany. Tetapi senyumnya
langsung lenyap ketika dia melihat ekspresi Andrea.
Dagu Andrea terangkat, bibirnya mengerut, wajahnya
menampilkan ekspresi yang sangat dikenal Maggie. Adiknya itu
sedang marah besar. "Andrea," pelatih mereka melanjutkan, "moga-moga ini menghiburmu. Kau berenang
lebih baik dari biasanya."
"Hebat," gumam Andrea.
"Kuharap kau terus berlatih keras, Andrea," Coach Randall memerintahkan. "Dua
ratus meter Gaya Ganti merupakan nomor
paling penting. Kau cadangan pertama."
"Tentu saja," geram Andrea sambil memutar-mutar bola
matanya. "Tak ada calon lain, ya?"
Coach Randall menatapnya lekat-lekat. "Ada satu tim cadangan.
Ada sebelas gadis dalam tim itu. Kalau kau tak berminat berenang di dua ratus
meter Gaya Ganti, katakan sekarang saja."
Andrea mengangkat bahu. "Menjadi cadangan itu amat penting," Coach Randall
melanjutkan. "Dan jangan lupa, kau lebih muda setahun dari Maggie dan Tiffany.
Kau masih punya kesempatan tahun depan."
Maggie memandang Andrea penuh simpati.
"Kau boleh menghentikan sikap sok mengasihani itu!" bentak Andrea. Dia
membalikkan badan lalu berjalan cepat ke kamar bilas.
Coach Randall berpaling kepada Maggie. "Jangan kuatir,"
katanya. "Dia pasti bisa mengatasinya.
Entah mengapa, pikir Maggie, aku meragukan kata-katanya.
Itu bukan pertama kalinya dia berharap Andrea tidak
membencinya seperti itu. ***************** Maggie tidak bisa merasa nyaman. Selimut dan seprai seakan
membakar kulitnya. Biasanya dia suka tidur miring ke kanan. Tetapi malam itu, dia
bisa mendengar - dan merasakan - detak jantungnya. Akibatnya ia
merasa sangat tidak nyaman. Seakan jantungnya sewaktu-waktu akan
berhenti. Bergerak-gerak dan berguling-guling.


Fear Street - Mimpi Buruk Bad Dreams di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dia gelisah dan berguling-guling.
Persis gadis dalam mimpinya itu.
Oh, tidak, tidak. Aku berguling-guling seperti Miranda. Sekarang dia merasa
dirinya jatuh, jatuh ke dalam mimpi.
Tak ada jalan untuk kembali.
Dia jatuh menembus kabut merah jambu. Dari ketinggian di
atas, dia memandang ke bawah ke kanopi merah jambu yang
menggelembung di atas ranjangnya.
Aku bermimpi, katanya kepada diri sendiri. Ini hanya mimpi.
Mengapa pikiran bahwa ini hanya mimpi tidak membuatku
tenang" Menembus kanopi merah jambu. Menembus kelambu merah
jambu di atas. Jatuh ke ranjang.
Dan dia melihat gadis itu. Dia melihat Miranda. Rambutnya
yang pirang kelabu lepek dan basah, menempel di bantal.
Wajah gadis itu tak bisa dilihatnya, seperti biasa.
Kemudian bayang-bayang gelap meliputi ranjangnya.
Maggie bergidik. Tepat saat itu dia melihat kilat bilah pisau
yang tajam dalam cahaya remang-remang.
"Jangan!" jerit Maggie.
Jeritnya pasti keras sekali hingga membuatnya terbangun.
Dia menemukan dirinya terjaga nyalang, duduk di ranjangnya.
Matanya nanar memandang sekeliling kamar tidurnya yang
gelap. Aku tak ingin terjaga sekarang! katanya pada diri sendiri.
Aku ingin menyelesaikan mimpiku. Aku ingin melihat lebih
banyak. Aku harus melihat lebih banyak!
Dia meletakkan kepalanya di bantal lagi, bertekad hendak tidur
dan menyelesaikan mimpinya.
Namun berbaring dalam gelap, memandang kanopi yang
dipermainkan angin semilir dari jendela yang terbuka, Maggie tibatiba sadar bahwa dia tidak sendirian di kamarnya.
Ini bukan mimpi, dia tahu.
Ini nyata. Bukan mimpi. Dan ada seseorang di kamarnya.
Sosok itu berdiri di sudut gelap kamarnya, persis di tempat si
penyerang bersembunyi dalam mimpinya itu.
Dengan gemetar penuh kengerian, Maggie memaksa dirinya
duduk - dan melihat sosok itu.
Andrea! "Andrea" Andrea" Kau?"
Andrea berjalan cepat menyeberangi kamar menuju ke ranjang
Maggie. Ketika Andrea bergerak mendekatinya, Maggie melihat sesuatu
berkilat di tangan adiknya. Dia melihat kilat bilah pisau yang
memantulkan cahaya. Chapter 13 "ANDREA - kau mau apa" Ngapain kau di kamarku?" desis
Maggie. "Aku tak bisa tidur," jawab Andrea lirih. "Aku sedang mencoba rambut model baru.
Aku ke sini mau pinjam alat pengeriting rambut."
Dia mengangkat alat itu. Benda itu memantulkan cahaya.
Sekarang Maggie sadar, itu memang alat pengeriting rambut.
"Maaf, membuatmu terbangun," bisik Andrea. Dia berjingkat-jingkat keluar. "Kau
mau pintunya kubiarkan terbuka?"
Maggie sesak napas dan sulit menjawab. "Akan kututup
sedikit," kata Andrea.
Setelah Andrea keluar, Maggie tetap duduk tak bergerak,
matanya nanar memandang pintu, menunggu napasnya teratur
kembali. Andrea menyeberangi kamar dalam gelap. Kilat bilah pisau itu.
Itu dari mimpiku, pikirnya. Tapi bagaimana mungkin"
Apa aku sudah gila" Dia tak perlu berpikir lama tentang itu. Tiba-tiba pintu kamar
tidurnya terbuka. Dia mendengar bunyi langkah-langkah halus. Tetapi dia tidak
melihat apa-apa! Tanpa pemberitahuan, kepala Gus nongol di samping
ranjangnya. Matanya yang hitam dan sedih menatapnya dalam
kegelapan. Maggie lega sekali melihat anjingnya, dia segera memeluk anjing itu
dan mencium hidungnya. Gus menjilati telinganya. Kemudian dia berbalik ke pintu.
Maggie mendengar anjing itu menuruni tangga depan.
"Kalian harus banyak istirahat." Maggie tiba-tiba ingat pesan pelatihnya. Dia
memejamkan mata. Aku harus tidur. Aku harus tidur...
Dia berbaring diam. Rasanya seperti takkan ada akhirnya padahal mungkin baru lima menit. Dia membuka mata. Ini tak ada
gunanya. Belum pernah dia benar-benar terjaga seperti sekarang.
Oke, Dad, katanya pada diri sendiri. Sudah waktunya
melaksanakan nasihat Dad. Ayahnya selalu menasihati, jika tidak bisa tidur,
segeralah turun dari ranjang dan membaca sampai mengantuk.
Maggie mengayunkan kakinya turun dari tempat tidur. Lantai
dingin dan membuatnya merasa segar. Dia pergi ke rak bukunya dan
memilih bacaan yang membosankan untuk dibaca. Moby Dick. Ini
pasti berhasil. Dad selalu mengatakan itu buku paling membosankan
yang pernah ditulis. Dia ingat nasihat lain ayahnya tentang insomnia. Kata ayahnya,
sebaiknya keluar dari kamar tidur sampai kita mengantuk.
Mr. Travers sangat ahli dalam urusan insomnia karena memang
menderita karenanya. Sering sekali malam-malam, ketika turun ke
lantai bawah, Maggie menemukan ayahnya duduk di dapur sedang
menikmati minuman kesukaannya - satu cangkir besar cokelat
panas - sambil membaca. Moby Dick ini berat sekali. Sambil mengepit buku tebal
bersampul keras itu, dia keluar ke lorong. Dari celah di bawah pintu Andrea, dia
bisa melihat lampu di kamar tidur adiknya belum
dimatikan. Maggie tidak mendekati pintu itu, tetapi berbelok ke
lorong, lalu menuruni tangga depan.
Gus tidur di samping kursi tempat menjulurkan kaki di ruang
tamu, mendengkur keras sekali. Gus sama sekali tidak pernah
menderita insomnia. Dapur kosong dan lengang seperti kuburan. Dia membuka
kulkas, membiarkan udara dingin keluar dan menyapu kakinya yang
telanjang. Entah dari mana, terdengar lantai kayu berderak.
Dia menyimak, badannya tiba-tiba menegang. Biasanya, jika
terdengar bunyi-bunyi aneh di rumah, dia selalu mengatakan kepada
diri sendiri bahwa itu pasti ulah Gus. Tetapi Gus ada di ruang tamu, sedang
tidur. Ah, rumah tua begini pasti menyimpan banyak hal aneh, ia
menenangkan diri. Di luar, angin berembus hingga daun jendela berderak-derak.
Di kulkas dia tidak menemukan apa yang dicarinya, tapi pintu
kulkas tetap dibiarkannya terbuka, agar lampu dari dalamnya memberi sedikit
penerangan. Dia berdiri diam dan menyimak beberapa saat lagi. Semua
hening sekarang. Ditutupnya kulkas.
Dia menyalakan lampu lalu duduk di depan meja dapur. Novel
itu bahkan tidak dibukanya. Tak mungkin dia bisa berkonsentrasi
membaca cerita tentang perburuan ikan paus.
Bisakah aku melanjutkan mimpiku" dia menimbang-nimbang.
Bisakah aku memejamkan mata dan kembali ke dalam
mimpiku" Bisakah aku melihat wajah gadis itu dan penyerangnya"
Bisakah aku mengakhiri mimpiku dan tak pernah mendapat mimpi
buruk lagi" Dia heran dengan dirinya sendiri yang sangat ingin mengetahui
akhir mimpi itu. Apakah aku sudah cukup letih dan sekarang bisa tidur lagi"
Dipejamkannya matanya. Dia bisa merasakan keletihan merambati
sekujur tubuhnya, di bawah batas kesadarannya.
Dia mematikan lampu dapur lalu menaiki tangga depan. Baru
dua minggu tinggal di rumah ini, namun dia sudah bisa
menjelajahinya dalam gelap tanpa tersesat. Dia sudah semakin
terbiasa dengan seluk-beluk rumah itu.
Mungkin suatu saat nanti dia akan benar-benar betah tinggal di
sini. Begitu masuk ke kamar tidurnya, langkahnya langsung terhenti.
Penutup ranjangnya telah dirapikan.
Aneh. Maggie yakin, tadi dia membiarkan penutup ranjangnya
teronggok di kaki ranjang.
Cepat-cepat dia mendekati ranjang dan meraih penutupnya.
Ditariknya penutup ranjang itu ke bawah... Dia menjerit keras
begitu melihat pisau itu, bilahnya yang panjang tertanam di bantalnya.
Chapter 14 DENGAN gemetar, Maggie mengangkat tangan menutupi
wajahnya dan mundur menjauhi ranjang itu.
Ketika sampai di ambang pintu yang terbuka, dia berbalik lalu
lari. Dia merasa mual. Perutnya seperti diaduk-aduk. Pelipisnya
berdenyut-denyut. Andrea! Ini pasti ulah Andrea.
Maggie ingat berkas sinar dari bawah pintu kamar tidur
adiknya. Andrea belum tidur.
Apakah mimpinya memberinya peringatan terhadap Andrea"
Maggie bertanya pada diri sendiri, mencoba menekan kengeriannya,
rasa marahnya. Apakah Andrea sedemikian membenciku"
Di ujung lorong, dalam gelap, pintu kamar ibunya membuka.
Mrs. Travers berlari keluar dengan baju tidurnya. Maggie langsung
melompat menghampiri ibunya.
"Mom... Mom!" Dia mencengkeram lengan ibunya dan
menariknya kembali ke kamarnya.
Mata Mrs. Travers terbelalak penuh kecemasan. "Apa" Ada
apa, Maggie" Ada apa?"
"Andrea..." Suara Maggie tercekik.
"Apa" Kenapa Andrea?"
"Pi... pisau itu."
"Pisau apa" Apa, Maggie" Andrea tak apa-apa, kan?"
"Aku! Aku!" jerit Maggie panik.
Sambil mencengkeram kedua lengan ibunya, ia menarik ibunya
kembali ke lorong. "Andrea menikamkan pisau ke ranjangku!"
jeritnya parau. "Kau bicara apa sih?"
Maggie mendorong ibunya ke kamar tidurnya. "Lihat!" jeritnya sambil menunjuk
ranjangnya. Mrs. Travers menyalakan lampu.
Mereka berdua memandang ranjang Maggie. Penutupnya
teronggok di kaki ranjang, persis seperti ketika ditinggalkannya.
Tetapi sarung bantalnya mulus dan tidak robek.
Dan pisau itu sudah lenyap.
Chapter 15 "AKU tidak gila!" jerit Maggie.
Mrs. Travers mundur, tangannya menarik-narik rambutnya
dengan tegang, matanya memandang Maggie lekat-lekat,
mengawasinya. "Aku tidak gila, Mom!" Maggie terus berkata dengan suara
meninggi. Sambil menjerit marah, dia mendorong ibunya lalu keluar dari
kamarnya. Kemudian menyusuri lorong.
"Jangan sampai Andrea terbangun!" seru Mrs. Travers dari
belakangnya. Tetapi Maggie mendorong pintu kamar adiknya dan
menyalakan lampu. Andrea tengkurap di ranjangnya, penutup ranjangnya menutupi
Istana Gerbang Neraka 1 Dewi Ular Ratu Peri Dari Selat Sunda Tumpahan Darah Di Supit 3

Cari Blog Ini